INTAN
jurnal.unipa.ac.id/index.php/intan
ISSN 2655-3473 VOLUME 02 | NOMOR 2 | NOVEMBER 2019
147 | Analisis Kestabilan Lereng Penambangan
Nikel Pada PT. Gag Nikel Dengan Menggunakan Metode Bishop
Diterbitkan oleh :
Jurusan Teknik Pertambangan
Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Universitas Papua
Manokwari
91 | Pencucian Batubara Menggunakan
Chance Cone Dengan Media Pasir Besi
97 | Penggunaan Metode Rapid Visual
Screening Dalam Menentukan
Kerentanan Bangunan
Akibat Gempa Bumi
106 | Perkembangan Regulasi
Peningkatan Nilai Tambah
Nikel di Indonesia
118 | Potensi Sumberdaya Mineral
Distrik Windesi
Kabupetan Teluk Wondama
125 | Studi Kasus Desain Matrix
Acidizing Dengan Memperhatikan
Mekanisme Pembentukan Wormhole
Pada Reservoir Karbonat
129 | Pengelolaan Kawasan Konservasi
Hutan Mangrove dan
Bekantan (Nasalis Larvatus)
(KKMB) di Kota Tarakan
133 | Evaluasi Produksi Staggered
Crew di Tambang Bawah Tanah
Deep Ore Zone PT. Freeport Indonesia
143 | Evaluasi Kinerja Alat Pengolahan
Sirtu PT. Bintang Timur Lestari
Kota Sorong Provinsi Papua Barat
155 | Analisis Pengaruh Kemiringan
Jalan Angkut Terhadap Konsumsi
Bahan Bakar Dump Truck
Hino 500 FG 235 JJ
80 | Rancangan Pabrik Peremuk di PT. X
Daerah Istimewa Yogyakarta
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
ISSN 2655-3473
Volume 2 Nomor 2, November 2019 Halaman 80-160
INTAN Jurnal Penelitian Tambang diterbitkan oleh Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik
Pertambangan dan Perminyakan Universitas Papua di Manokwari sebagai media untuk menyalurkan
pemahaman tentang aspek-aspek sains, teknologi, ekonomi, sosial dan lingkungan dari dunia pertambangan
berupa hasil penelitian lapangan atau laboratorium maupun studi pustaka. Jurnal ini diterbitkan dua kali
dalam setahun yaitu pada bulan Mei dan November.
Redaksi menerima naskah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain dari dosen, peneliti, mahasiswa
maupun praktisi dengan ketentuan penulisan seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk
penulisan). Naskah yang masuk akan dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata
cara lainnya
Penanggung jawab
Juanita R. Horman, S.T., M.T.
Tim Editor
Jance Murdjani Supit, S.T., M.Eng.
Agustinus Denny Unggul Raharjo, S.T., MOGE.
Marcus R. Maspaitella , S.P., M.AgriCom.
Sekretariat
Djusman Bin Aziz, S.T.
Desain Grafis
Ido Krostanto, A.Md.
Mitra Bestari
Ir. Hasywir Thaib Siri, M.Sc. (UPN “Veteran” Yogyakarta)
Dr. Tedy Agung Cahyadi, S.T., M.T., IPM. (UPN “Veteran” Yogyakarta)
Dr. Zubair Saing, S.T., M.T. (Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)
ALAMAT SEKRETARIAT INTAN JURNAL PENELITIAN TAMBANG: Jurusan Teknik
Pertambangan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTPP) Universitas Papua, Gedung
Teknik, Jalan Gunung Salju, Amban, Manokwari, Papua Barat. Telepon: 085244058187
Website: jurnal.unipa.ac.id/index.php/intan
INTAN Jurnal Penel i t ian Tambang
jurnal.unipa.ac.id/index.php/intan
ISSN 2655-3473 VOLUME 02 | NOMOR 2 | NOVEMBER 2019
DAFTAR ISI
80 - 90 | Rancangan Pabrik Peremuk di PT. X Daerah Istimewa Yogyakarta
Muhammad Arifin Nur, Indah Setyowati, Tedy Agung Cahyadi,
Sudaryanto, Indun Titisariwati
91 - 96 | Pencucian Batubara Menggunakan Chance Cone Dengan Media Pasir Besi
Hendri Prananta Perangin-angin
97 - 105 | Penggunaan Metode Rapid Visual Screening Dalam
Menentukan Kerentanan Bangunan Akibat Gempa Bumi
Indra Birawaputra, Yoga C. V. Tethool
106 - 117 | Perkembangan Regulasi Peningkatan Nilai Tambah Nikel di Indonesia
Arif Setiawan, Juanita R. Horman
118 - 124 | Potensi Sumberdaya Mineral Distrik Windesi Kabupetan Teluk Wondama
Hermina Haluk
125 - 128 | Studi Kasus Desain Matrix Acidizing Dengan Memperhatikan Mekanisme
Pembentukan Wormhole Pada Reservoir Karbonat
Praditya Nugraha, Leonardo Davinci Massolo, Nur Wahyuni
129 - 132 | Pengelolaan Kawasan Konservasi Hutan Mangrove dan
Bekantan (Nasalis Larvatus) (KKMB) di Kota Tarakan
Supardi
133 - 142 | Evaluasi Produksi Staggered Crew di Tambang Bawah Tanah
Deep Ore Zone PT. Freeport Indonesia
Gianfranco Enrico Pocerattu, Yulius Ganti Pangkung
143 – 146 | Evaluasi Kinerja Alat Pengolahan Sirtu PT. Bintang Timur Lestari
Kota Sorong Provinsi Papua Barat
Chairun Nisa, Jance Murdjani Supit
147 - 154 | Analisis Kestabilan Lereng Penambangan Nikel Pada PT. Gag Nikel
Dengan Menggunakan Metode Bishop
Papua Dorus Rumsowek, Indra Birawaputra
155 - 160 | Analisis Pengaruh Kemiringan Jalan Angkut Terhadap Konsumsi
Bahan Bakar Dump Truck Hino 500 FG 235 JJ
Rinaldi R. Wincono, Juanita R. Horman
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
80
RANCANGAN PABRIK PEREMUK DI PT. X DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA
Muhammad Arifin Nur1), Indah Setyowati2), Tedy Agung Cahyadi3),
Sudaryanto4), Indun Titisariwati5)
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Jl. Padjajaran, Condongcatur, Yogyakarta 55238 Indonesia Email: [email protected]
Abstract
PT. X is one of the companies engaged on andesite mining and crushing. Currently the PT X crusher
factory produces 233.3 tons/day of andesite with 2 crusher units, with the demand of 200 - 300 tons/day.
The production is expected to be 468.8 tons/day if the third crusher has been built. However, market
demand increased to 1100 tons/day. Therefore PT X plans to build a new crusher plant on a new location,
because the current location is insufficient if added to any other crusher unit. In the construction of a new
crusher plant, a crusher plant design is needed to obtain what tools are needed to obtain the desired
production target, and to determine the setting of the crusher. The problem that occurs is that a new crusher
plant design is needed for production of 800 tons / day on condition that the product size of -20 + 10 mm
is the largest percentage of the whole, more than 28%. In designing a new crusher plant, some data is
needed including: material size distribution in the stockyard, effective working time, efficiency of each deck
screen, and the location of the establishment of a new crusher plant.
Keywords: crusher, hopper, screen, setting, stockyard, vibrating grizzly feeder
Abstrak
PT. X merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang penambangan dan peremukan batu
andesit. Saat ini pabrik peremuk milik PT X memproduksi batu andesit sebesar 233,3 ton/hari dengan 2
unit peremuk, dan permintaannya 200 – 300 ton/hari. Produksi akan menjadi 468,8 ton/hari apabila
peremuk ketiga sudah jadi dibangun. Akan tetapi, permintaan pasar meningkat hingga 1100 ton/hari. Maka
dari itu PT X berencana akan membangun pabrik peremuk baru di lokasi yang baru, karena lokasi yang ada
sekarang ini tidak mencukupi bila ditambah unit peremuk lagi. Dalam pembangunan pabrik peremuk yang
baru, diperlukan rancangan pabrik peremuk agar diperoleh alat – alat apa saja yang dibutuhkan agar
diperoleh target produksi yang diinginkan, serta menentukan setting alat peremuk. Permasalahan yang
terjadi adalah dibutuhkan rancangan pabrik peremuk yang baru untuk produksi sebesar 800 ton/hari dengan
syarat, produk ukuran -20 + 10 mm yang dihasilkan persentasenya terbesar dari keseluruhan, lebih dari 28
%. Dalam merancang pabrik peremuk yang baru, dibutuhkan beberapa data antara lain: distribusi ukuran
batuan yang ada di stockyard, waktu kerja efektif, efisiensi tiap deck screen, dan lokasi didirikannya pabrik
peremuk yang baru.
Kata kunci: crusher, hopper, screen, setting, stockyard, vibrating grizzly feeder
Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
81
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman
kebutuhan akan permintaan bahan galian tambang
semakin meningkat secara signifikan. Salah satu
bahan galian tambang yang dibutuhkan saat ini
yakni batu andesit. Permintaan akan batu andesit
akan terus mengalami peningkatan dengan
banyaknya pembangunan infrastruktur yang
dilakukan saat ini. (Fikri, 2018). Maka dari itu, perlu
dilakukan upaya pemanfaatan bahan yang ada guna
menunjang pembangunan, salah satunya dengan
membuka tambang dan mendirikan pabrik peremuk.
jual batu yang akan di tawarkan ke pasar meningkat.
Akan tetapi, sebelum membangun pabrik peremuk
penting untuk merangcang pabrik peremuk agar
target produksi dari hasil peremukan dapat dicapai.
PT. X merupakan salah satu perusahaan yang
bergerak di bidang penambangan dan pengolahan
batu andesit PT X memiliki sebuah tempat
pengolahan batu andesit yang berada sekitar 6 km
dari lokasi tambangnya. Memiliki dua unit peremuk
yang baru berjalan pada bulan September 2018 yang
lalu, ditambah satu unit lagi sedang dibangun. PT X
memproduksi batu andesit yang diolah dengan
fraksi -50 + 30 mm, -30 + 20 mm, -20 + 10 mm, dan
-10 mm. Dari beberapa fraksi batuan tersebut, yang
memiliki permintaan paling banyak adalah fraksi
ukuran -20 + 10 mm.
Dua unit peremuk di tempat peremukan batu
andesit PT X saat ini memproduksi batu andesit
dengan kapasitas 52,5 ton/hari dan 233,3 ton/hari,
kemudian untuk unit selanjutnya direncanakan
memiliki kemampuan produksi 183 ton/hari,
sehingga kapasitas total seluruh unit peremuk yang
berada di tempat pengolahan adalah 468,8 ton/hari.
Sebelumnya dengan unit peremuk yang sudah ada
telah memenuhi permintaan para konsumen yang
sebesar 200 – 300 ton/hari. Akan tetapi, akhir – akhir
ini permintaan akan batu andesit di PT. X meningkat
hingga mencapai 1100 ton/hari. Dengan 2 unit
peremuk yang sudah ada dan 1 unit yang sedang
dibangun masih belum dapat mencapai target yang
diinginkan, ditambah lagi ruang pada lokasi
peremukan yang sudah ada tidak cukup untuk
ditambah unit peremuk yang baru, sehingga perlu
ditambah lagi satu unit peremuk pada lokasi yang
baru untuk memenuhi permintaan tersebut. Oleh
karena itu diperlukan rancangan untuk pabrik
peremuk yang baru sehingga didapat alat – alat apa
saja yang akan dibutuhkan, luasan area yang
dibutuhkan dan setting yang diperlukan sehingga
didapat hasil produksi yang maksimal pada fraksi -
20 + 10 mm yang banyak diminati.
METODE PENELITIAN
Dalam penyusunan tulisan ini, diperlukan
data antara lain: ukuran terbesar material dari
stockyard, efisiensi tiap deck pada vibrating screen
yang sudah ada, produktifitas pada alat peremuk
yang dirancang, dan produktifitas alat peremuk baru
yang diinginkan. Data – data tersebut digunakan
sebagai dasar dalam perancangan pabrik peremuk.
Tahap Preparasi
Pada tahap preparasi sebagai tahap
penyiapan material supaya ukurannya sesuai dengan
kebutuhan konsumen maupun tahap selanjutnya.
a. Kominusi
Kominusi secara umum merupakan proses
mereduksi ukuran material.
1. Jaw Crusher
Jaw crusher atau bisa disebut dengan peremuk
rahang merupakan peremuk yang terdiri dari
dua buah rahang.
Menurut Kurimoto, kapasitas jaw crusher
dapat dihitung dengan rumus:
TA= T × C × M × F × G (1)
2. Cone Crusher
Cone crusher adalah alat yang proses
peremukannya bekerja secara terus menerus
tanpa selang waktu (kontinu) karena gerakan
dari cone crusher adalah gerakan putaran.
Menurut Kurimoto, kapasitas cone crusher
dapat dihitung dengan rumus:
TA= T × C × M × G × α × β (2)
Reduction Ratio Merupakan perbandingan antara ukuran
umpan dengan produk pada operasi pemecahan
batuan. Nilai reduction ratio menentukan
keberhaasilan suatu proses peremukan.
Limiting Reduction ratio:
LRR = tF
tP =
wF
wP (3)
Screen Screening disebut juga sebagai klasifikasi
mekanik, yaitu proses pemisahan batuan berdasarkan ukuran lubang ayakan.
Dalam penentuan luas permukaan screen
menggunakan rumus dari Kurimoto pada saat tahap
perencanaan:
A = C
B.G.V.H.E.M.O.D.T.W(m
2) (4)
Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
82
Peralatan Pendukung pada Tahap Preparasi
Hopper
Volume hopper dapat dihitung berdasarkan
rumus berikut:
Vh = (Latas ×Tatas)+1
3×Tbawah×
�Latas+Lbawah+(Latas+Lbawah)1/2� (4)
Feeder
Feeder adalah alat yang digunakan sebagai
alat pengumpanan yang berfungsi untuk membantu
atau mengatur keluarnya material umpan dari
hopper ke alat peremuk.
Belt Conveyor
Untuk menentukan lebar belt dan kapasitasnya
dapat dilihat pada Tabel 1 - 4:
Tabel 1. Maximum Belt Speeds dan Maximum Size of Material (Nordberg, 1993)
Belt Width
Maximum Size of
Lumps - Inches Maximum Belt Speeds - Feet Per Minute
Equal Size
Lumps
Mixed
with
90%
Fines
Light Free Flowing
Material As Grain,
Pulverized Coal 50
Lb/Cu.Ft.
Average Material As
Sand, Gravel, Stone,
Coal, Dine Ore 100
Lb/Cu.ft
Abrasive Material As
Coal, Screened Lump
Coke 30 to
50 Lb./Cu.Ft.
(In)
(mm)
16" 406 2 4 500 400 350
18" 457 3 5 500 500 400
24" 609 5 8 600 600 450
30" 762 6 11 700 650 500
36" 914 8 15 800 650 500
42" 1066 10 18 800 650 500
48" 1219 12 21 800 650 500
54" 1371 14 24 800 650 500
60" 1524 16 28 800 650 500
Tabel 2. Kapasitas Belt Conveyor dengan Kemiringan Idler 20° (Nordberg, 1993)
TPH WITH 20° THROUGHING IDLERS (METRIC TONS)
Belt Width Load
Cross
Section Sq
Ft
Belt Speed in Feet per Minute (FPM) (Meter Per Min)
(In)
(mm)
100
(30)
150
(45)
200
(60)
250
(76)
300
(91)
350
(109)
400
(121)
450
(139)
500
(152)
550
(167)
600
(182)
650
(197)
16" 406 ,140 42
(38)
63
(57)
84
(76)
105
(95)
125
(133)
147
(133)
168
(152) - - - - -
18" 457 ,180 54
(48) 80
(72) 110 (99)
135 (122)
160 (145)
190 (172)
218 (197)
243 (220)
270 (244)
- - -
24" 609 ,333 100 (90)
150 (136)
200 (181)
250 (226)
300 (272)
350 (317)
400 9362)
450 (408)
500 (453)
550 (498)
600 (544)
-
30" 762 ,533 160
(145) 240
(217) 320
(290) 400
(362) 480
(435) 560
(507) 640
(580) 720
(653) 800
(725) 880
(798) 960
(870) 1040 (943)
36" 914 ,780 235
(213) 350
(317) 470
(426) 585
(530) 700
(634) 820
(743) 935
(848) 1050 (952)
1170 (1061)
1290 (1170)
1400 (1269)
1520 (1378)
42" 1066 1,100 330
(299)
495
(448)
660
(598)
825
(748)
980
(888)
1155
(1047)
1320
(1197)
1485
(1346)
1650
(1496)
1815
(1646)
1980
(1795)
2140
(1940)
48" 1219 1,467 440
(349) 660
(598) 880
(798) 1100 (997)
1320 (1197)
1540 (1396)
1760 (1596)
1980 (1795)
2200 (1995)
2420 (2194)
2640 (2394)
2860 (2594)
54" 1371 1,900 570
(516) 855
(775) 1140
(1033) 1420
(1287) 1710
(1550) 2000
(1814) 2280
(2067) 2560
(2321) 2850
(2584) 3130
(2838) 3420
(3101) 3700
(3355)
60" 1524 2,400 720
(653) 1080 (979)
1440 (1306)
1800 (1632)
2160 (1959)
2520 (2285)
2880 (2612)
3240 (2938)
3600 (3265)
3960 (3591)
4320 (3918)
4680 (4244)
Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
83
Tabel 3. Kapasitas Belt Conveyor dengan Kemiringan Idler 35° (Nordberg, 1993)
TPH WITH 35° THROUGHING IDLERS (METRIC TONS)
Belt Width Load
Cross
Section Sq
Ft
Belt Speed in Feet per Minute (FPM) (Meter Per Min)
(In)
(mm)
100
(30)
150
(45)
200
(60)
250
(76)
300
(91)
350
(109)
400
(121)
450
(139)
500
(152)
550
(167)
600
(182)
650
(197)
18" 457 ,225 66
(59)
100
(90)
135
(122)
170
(154)
200
(181)
235
(213)
270
(244)
305
(276)
338
(306) - - -
24"
609
,416 125
(113) 187
(169) 250
(226) 310
(281) 380
(344) 435
(394) 500
(453) 560
(507) 625
(566) 685
(621) 750
(680) -
30"
762
,666 200
(181) 300
(272) 400
(362) 500
(453) 600
(544) 700
(634) 800
(725) 900
(816) 1000
(907) 1100
(997) 1200
(1088) 1300
(1179)
36"
914
1,000 300
(272) 450
(408) 600
(544) 750
(680) 900
(816) 1050
(952) 1200
(1088) 1350
(1224) 1500
(1360) 1650
(1496) 1800
(1632) 1950
(1768)
42"
1066
1,410 420
(380) 635
(575) 845
(766) 1060
(961) 1270
(1151) 1480
(1342) 1690
(1532) 1900
(1723) 2120
(1922) 2320
(2140) 2540
(2303) 2750
(2494)
48"
1219
1,875 560
(507) 845
(766) 1125
(1020) 1400
(1269) 1690
(1532) 1970
(1786) 2250
(2040) 2530
(2294) 2810
(2548) 2420
(2194) 2640
(2394) 2860
(2594)
54"
1371
2,470 740
(671) 1110
(1006) 1480
(1342) 1850
(1677) 2220
(2013) 2600
(2358) 2960
(2684) 3340
(3029) 3700
(3355) 4080
(3700) 4450
(4036) 4820
(4371)
60"
1524
3,120 935
(848) 1400
(1269) 1870
(1696) 2340
(2122) 2800
(2539) 3280
(2974) 3740
(3392) 4200
(3809) 4680
(4244) 5150
(4671) 5610
(5088) 6100
(5532)
Tabel 4. Kapasitas Belt Conveyor dengan Kemiringan Idler 45° (Nordberg, 1993)
TPH WITH 45° THROUGHING IDLERS (METRIC TONS)
Belt Width Load
Cross
Section Sq
Ft
Belt Speed in Feet per Minute (FPM) (Meter Per Min)
(In)
(mm)
100
(30)
150
(45)
200
(60)
250
(76)
300
(91)
350
(109)
400
(121)
450
(139)
500
(152)
550
(167)
600
(182)
650
(197)
24" 609 ,483 145
(131)
217
(196)
290
(263)
360
(326)
435
(394)
508
(460)
580
(526)
650
(589)
625
(566)
795
(721)
870
(789) -
30"
762
,773 232
(210) 348
(315) 465
(421) 580
(526) 695
(630) 810
(734) 930
(843) 1040
(943) 1000
(907) 1270
(1151) 1390
(1260) 1500
(1360)
36"
914
1,130 335
(303) 510
(462) 680
(616) 850
(770) 1020
(925) 1190
(1079) 1360
(1233) 1530
(1387) 1500
(1360) 1860
(1687) 2040
(1850) 2200
(1995)
42"
1066
1,595 478
(433) 720
(653) 960
(870) 1200
(1088) 1440
(1306) 2680
(2523) 1910
(1732) 2150
(1950) 2120
(1922) 2630
(2385) 2870
(2603) 3110
(2820)
48"
1219
2,127 640
(580) 955
(866) 1275
(1156) 1600
(1451) 1910
(1732) 2230
(2022) 2550
(2312) 2870
(2603) 2810
(2548) 3500
(3174) 3820
(3464) 4150
(3764)
54"
1371
2,760 830
(752) 1240
(1124) 1655
(1501) 2070
(1877) 2480
(2249) 2900
(2630) 3310
(3002) 3720
(3374) 3700
(3355) 4550
(4126) 4960
(4498) 5380
(4879)
60"
1524
3,480 1040
(943) 1570
(1432) 2090
(1895) 2610
(2367) 3130
(2838) 3660
(3319) 4180
(3791) 4700
(4262) 5220
(4734) 5740
(5206) 6260
(5677) 6800
(6167)
Efektifitas
Suatu peralatan memiliki kemampuan kerja
yang nantinya menjadi salah satu faktor dalam
pemilihan peralatan. Dapat dirumuskan:
A = Kapasitas Nyata
Kapasitas Desain×100% (6)
HASIL PENELITIAN Pemilihan Alat
Peralatan yang digunakan pada rancangan
pabrik peremuk batu andesit dipilih sesuai dengan
kondisi material yang diremuk dan kapasitas yang
direncanakan. Pembahasan alat peremuk batu
andesit ini akan menjelaskan alasan dan
pertimbangan pemilihan alat yang digunakan pada
proses peremukan.
Stockyard
Lokasi pabrik peremuk baru akan berada di
daerah yang relatif datar. Hal itu sangat
menguntungkan sekali untuk penentuan lokasi
Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
84
stockyard, karena salah satu syarat menentukan
lokasi stockyard adalah daerah yang relatif datar.
Selain itu juga, lokasi stockyard tidak boleh
ditempatkan di area hasil timbunan.
Bentuk dari stockyard adalah limas
terpancung, seperti yang dapat dilihat pada
Lampiran D, memiliki tinggi 1,5 m. Hal ini karena
dump truck hanya menumpahkan material dari di
atas permukaan tanah, tidak bisa menumpahkan dari
atas timbunan stockyard.
Jarak stockyard ke hopper yang
direncanakan sejauh 90 m.
Hopper
Awal proses reduksi batu andesit dimulai
dengan penumpahan material batu andesit ke
hopper. Hopper dibuat dengan bentuk limas
terpancung ke bawah dengan sudut kemiringan ≥
45o, sehingga θ = 67,38o dan α = 45,97o (lihat
lampiranB). Bentuk limas terpancung diaplikasikan
karena dimensi sisi atas disesuaikan dengan lebar
bucket wheel loader, sedangkan sisi bawah
menyesuaikan dengan lebar dan panjang feeder,
yang mana lebar bucket wheel loader dominan lebih
besar dari pada lebar feeder.
Volume hopper dirancang untuk dapat
memenuhi 9 kali penumpahan dari bucket wheel
laoder, yaitu dengan volume 17,87 m3, alasannya:
1) Saat penumpahan awal sebelum unit
peremuk dinyalakan, wheel loader dapat
mengumpankan material terlebih dahulu ke
hopper sampai 9 kali atau lebih pengumpanan.
Sehingga saat unit peremuk dinyalakan,
proses pengumpanan ke alat peremuk dapat
berjalan secara continue saat wheel loader
sedang mangambil material di stockyard.
2) Mengurangi beban kerja wheel loader saat
megumpankan material ke hopper, sehingga
dapat mengerjakan pekerjaan lain, seperti
merapihkan material di stockyard.
Vibrating Grizzly Feeder
Feeder dipasang pada bagian bawah hopper.
Feeder yang dipilih merk LIMING, tipe vibrating
grizzly feeder, model FH-1245 dan kapasitas 600
ton/jam dengan ukuran umpan yang dapat masuk
maksimal 700 mm. Feeder memiliki space bar 100
mm dengan efisiensi 100%, sehingga fraksi ukuran
-100 mm akan lolos seluruhnya. Vibrating grizzly
feeder berfungsi untuk:
1) Mengatur kecepatan pengumpanan ke
primary crusher agar tidak terjadi
penumpukan material pada mulut crusher,
sehingga tidak terjadi penyumbatan.
2) Memperbesar kapasitas unit peremuk.
Dengan adanya screen bar, tidak seluruhnya
material masuk ke dalam jaw crusher karena
ada yang lolos di screen bar, sehingga
kapasitas unit peremuk bertambah.
3) Memisahkan fraksi batuan yang berukuran
-100 mm dengan -600 + 100 mm. Hal itu
karena umpan yang masuk ke hopper untuk
fraksi -100 mm memiliki persentase 50,3%,
pemisahan, dalam arti tidak mengalami
peremukan di jaw crusher.
Primary Crusher (Jaw Crusher)
Pada tahap peremukan pertama (primary
crushing), material berukuran +100mm akan
direduksi ukurannya menggunakan jaw crusher.
Jumlah material yang masuk ke jaw crusher
sebanyak 56,59 ton/jam. Jaw crusher yang dipilih
yaitu merek LIMING model PE900x1200
(Lampiran B), dengan ukuran umpan terbesar yang
dapat masuk 750mm dan setting 100 mm. Dengan
setting tersebut didapat kapasitas teoritis 160
ton/jam (Lampiran D).
Alasan pemilihannya adalah:
1) Jaw crusher merupakan alat untuk primary
crushing dan cocok untuk batuan yang bersifat
keras, brittle, dan tidak lengket.
Contoh: batuan beku dan bijih.
2) Batu andesit yang diremuk kondisinya:
a) Berkarakteristik medium-hard stone,
sehingga factor for properties of stone
(Faktor C) = 1
b) Kandungan airnya < 5%, sehingga factor
for moisture content of material in relation
to crusher opening size (Faktor M) = 0,95
c) Material yang masuk ke jaw crusher
adalah material yang telah diayak,
sehingga material yang masuk seluruhnya
berukuran ≥ ukuran setting jaw crusher,
sehingga factor for grain size distribution
of material (Faktor F) = 0,8
d) Memiliki bulk density 1,6 ton/m3, sehingga
factor for bulk density (Faktor G) = 1
Dengan kondisi material yang ada, kapasitas
terpasang jaw crusher adalah 121,6 ton/jam
> jumlah umpan yang masuk (56,59 ton/jam).
3) Maksimum ukuran umpan yang dapat masuk
adalah 750 mm, lebih besar dari ukuran
terbesar umpan yang bersasal dari
penambangan, yaitu 600 mm.
Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
85
Double Deck Vibrating Screen (DDVS)
Umpan DDVS berasal dari produk undersize
dari vibrating grizzly feeder dan produk hasil
peremukan primary crusher. Umpan yang masuk
sejumlah 114,7ton/jam. DDVS yang dipilih yaitu
merk KURIMOTO tipe KI-H dengan luas
penampang 900 x 1800 mm. Ukuran lubang bukaan
tiap decknya adalah 80 mm dan 30 mm. Deck 80 mm
akan menghasilkan produk oversize (-147 +80 mm)
dan undersize (-80 mm). Kemudian untuk produk
undersize deck 80 mm akan diayak lagi di deck
30 mm. Deck 30 mm akan menghasilkan produk
oversize (-80 +30mm) dan undersize (-30 mm).
Untuk produk -147 +80 mm dan -80 +30 mm akan
dibawa belt conveyor menuju ke peremukan kedua
(secondary crushing), sedangkan untuk produk
-30mm akan dibawa belt conveyor menuju ke Triple
Deck Vibrating Screen (TDVS).
Alasan pemilihannya adalah: 1) Tipe KI-H digunakan karena cocok untuk
material hasil peremukan yang masih
berukuran relatif besar.
2) Ukuran screen yang digunakan adalah 900 x
1800 mm karena dari hasil perhitungan
rekomendasi luas permukaan tiap decknya,
didapatkan hasil terluasnya pada deck 1 yaitu
1,44 m2. Faktor – faktor yang berpengaruh
dalam perhitungan dapat dilihat pada tabel 5:
Tabel 5. Faktor Perhitungan Luas Penampang Double Deck Vibrating Screen
Faktor Deck 1 Deck 2
C 114,7 ton/jam 56.24
B 91 ton/jam.m2 55 ton/jam.m2
G 1 1
V 1.3 1.25
H 0.94 0.76
E 1.276 1.471
M 1 1
O 0.84 1.19
T 1 1
W 1 1
D 1 0.9
F1 1.2 1.2
F2 1.25 1.25
3) Deck berjumlah 2 bertujuan untuk:
a) Deck 1 (80 mm), untuk menahan material
dengan ukuran +80 agar tidak langsung
diayak di deck 30 mm, sehingga tidak
merusak deck 30 mm.
b) Deck 2 (30 mm), untuk memisahkan
produk yang akan diayak lagi pada ayakan
selanjutnya dengan produk yang masih
perlu direduksi ukurannya.
Efisiensi deck 80 mm adalah 82,5%,
sedangkan deck 30 mm adalah 78,3%. Alasan
efisiensi pada deck seperti yang tersebut:
1) Efisiensi 82,5% pada deck 80 mm didapat
dari asumsi. Asumsi dibuat dengan dasar data
penelitian pada deck 50 mm dan 30 mm dari
vibrating screen yang sudah ada, didapat
efisiensinya 79,8% dan 78,3%, sehingga
efisiensi deck 80mm diasumsikan lebih besar
dari 79,8%, yaitu 82,5%.
2) Sedangkan untuk efisiensi 78,3% di deck 30
mm didapat dari penelitian pada deck 30 mm di
vibrating screen yang sudah ada.
Cone Crusher
Material oversize deck 1 dan 2 dari DDVS
selanjutnya akan dilakukan peremukan lagi pada
secondary crushing. Umpan yang masuk sejumlah
90,51ton/jam. Secondary crusher yang dipilih
adalah cone crusher dengan merek LIMING tipe
HST160/H1 (Lampiran B), dengan ukuran umpan
maksimum yang dapat masuk 215 mm, setting yang
digunakan 25 mm, dan kapasitas teoritis 192,9
ton/jam (Lampiran D).
Alasan pemilihannya adalah:
1) Cone crusher dipilih karena cocok
digunakan untuk peremukan batu andesit hasil
dari primary crusher yang masih banyak
jumlah batunya yang berukuran +50 mm.
2) Batu andesit yang diremuk kondisinya:
a) Berkarakteristik medium-hard stone,
sehingga factor for properties of stone
(Faktor C) = 1
b) Kandungan airnya < 5%, sehingga factor
for moisture content of material in relation
to crusher opening size (Faktor M) = 0,95
c) Material yang masuk ke jaw crusher
adalah material yang telah diayak, sehingga
material yang masuk seluruhnya berukuran
≥ ukuran setting jaw crusher, sehingga
factor for grain size distribution of material
(Faktor F) = 0,8
d) Memiliki bulk density 1,6 ton/m3, sehingga
factor for bulk density (Faktor G) = 1
e) Pengumpanannya secara continues (β= 1)
Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
86
Dengan kondisi material yang ada, ditambah
wear factor (0,8), maka kapasitas terpasang cone
crusher adalah 117,28 ton/jam > jumlah umpan yang
masuk (56,59 ton/jam).
3) Cocok untuk batuan yang bersifat keras,
brittle, dan tidak lengket. Contoh: batuan beku
dan bijih.
Triple Deck Vibrating Screen (TDVS)
Umpan TDVS berasal dari produk undersize
deck 1 DDVS dan produk hasil peremukan
secondary crusher. Umpan yang masuk sejumlah
114,7 ton/jam. TDVS yang dipilih yaitu merk
KURIMOTO tipe KI dengan ukuran lubang bukaan
tiap decknya adalah 30 mm, 20 mm, dan 10 mm.
Produk-produk hasil pengayakan di setiap
deck tersebut kemudian dibawa belt conveyor
menuju ke stockpile masing-masing.
Alasan pemilihannya adalah:
1) Tipe KI digunakan karena cocok untuk
material berukuran sedang dan kecil.
2) Ukuran screen yang digunakan adalah 900 x
2400 mm karena dari hasil perhitungan tiap
decknya, didapatkan hasil terluasnya pada
deck 3 yaitu 1,92 m2 dengan kondisi umpan
dan ayakan dapat dilihat pada tabel 6:
Tabel 6. Faktor Perhitungan Luas Penampang Triple Deck Vibrating Screen
Faktor Deck 1 Deck 2 Deck 3
C 114,7
ton/jam
84,35
ton/jam
61,24
ton/jam
B 55
ton/jam.m2 45
ton/jam.m2 31,3
ton/jam.m2
G 1 1 1
V 1.6 1.6 1.3
H 1.21 1.06 0.82
E 1.471 1.54 1.6
M 1 1 1
O 1.19 1.19 1.12
T 1 1 1
W 1 1 1
D 1 0.9 0.8
F1 1.2 1.2 1.2
F2 1.25 1.25 1.25
3) Deck berjumlah 3 bertujuan untuk:
a) Deck 1 (30 mm), untuk mendapatkan
produk 1 dengan fraksi -50 + 30mm pada
produk oversizenya, sedangkan produk
undersizenya akan diayak kembali di deck
di bawahnya.
b) Deck 2 (20 mm), untuk mendapatkan
produk 2 dengan fraksi -30 + 20mm pada
produk oversizenya, sedangkan produk
undersizenya akan diayak kembali di deck
di bawahnya.
c) Deck 3 (10 mm), untuk mendapatkan
produk 3 dengan fraksi -20 + 10mm pada
produk oversizenya, sedangkan produk
undersizenya akan menjadi produk 4
dengan fraksi -10 mm.
Efisiensi deck 30 mm adalah 78,3%, deck 20
mm adalah 76,8%, dan deck 10mm adalah 75,1%.
Alasan efisiensi pada deck seperti yang tersebut:
a) Efisiensi 78,3% di deck 30 mm didapat dari
penelitian pada deck 30 mm di vibrating
screen yang sudah ada.
b) Efisiensi 76,8% pada deck 20 mm dan
efisiensi 75,1% pada deck 10 mm didapat
dari asumsi. Asumsi dibuat dengan dasar
semakin kecil ukuran lubang ayakan, maka
efisiensi semakin kecil.
Belt Conveyor
Belt conveyor yang digunakan untuk
mengangkut material pada rencana proses
peremukan ini berjumlah 8. Adapun alasan
pemilihannya sebagai berikut:
1) Belt Conveyor 1 (VGF dan JC ke DDVS)
Densitas material yang dibawa belt conveyor
adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material
terbesarnya 147 mm, maka:
Lebar belt = 609 mm
Kecepatan maks = 600 ft/menit
Kapasitas = 750 ton/jam
2) Belt Conveyor 2 (DDVS ke CC)
Densitas material yang dibawa belt conveyor
adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material
terbesarnya 147 mm, maka:
Lebar belt = 609 mm
Kecepatan maks = 600 ft/menit
Kapasitas = 750 ton/jam
3) Belt Conveyor 3 (DDVS ke TDVS)
Densitas material yang dibawa belt conveyor
adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material
terbesarnya 30 mm, maka:
Lebar belt = 406 mm
Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
87
Kecepatan maks = 400 ft/menit
Kapasitas = 168 ton/jam
4) Belt Conveyor 4 (CC ke BELT 3)
Densitas material yang dibawa belt conveyor
adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material
terbesarnya 40 mm, maka:
Lebar belt = 406 mm
Kecepatan maks = 400 ft/menit
Kapasitas = 168 ton/jam
5) Belt Conveyor 5 (TDVS ke SP 1)
Densitas material yang dibawa belt conveyor
adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material
terbesarnya 10 mm, maka:
Lebar belt = 406 mm
Kecepatan maks = 400 ft/menit
Kapasitas = 168 ton/jam
6) Belt Conveyor 6 (TDVS ke SP 2)
Densitas material yang dibawa belt conveyor
adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material
terbesarnya 20 mm, maka:
Lebar belt = 406 mm
Kecepatan maks = 400 ft/menit
Kapasitas = 168 ton/jam
7) Belt Conveyor 7 (TDVS ke SP 3)
Densitas material yang dibawa belt conveyor
adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material
terbesarnya 30 mm, maka:
Lebar belt = 406 mm
Kecepatan maks = 400 ft/menit
Kapasitas = 168 ton/jam
8) Belt Conveyor 8 (TDVS ke SP 4)
Densitas material yang dibawa belt conveyor
adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material
terbesarnya 40 mm, maka:
Lebar belt = 406 mm
Kecepatan maks = 400 ft/menit
Kapasitas = 168 ton/jam
Menentukan Setting Unit Peremuk Agar
Didapat Persentase Terbesar Pada Produk
dengan Fraksi -20 + 10 mm
Dalam menentukan setting unit peremuk
untuk jaw crusher (primary crusher) dan cone
crusher (secondary crusher) terlebih dahulu perlu
diketahui ukuran terbesar umpan yang akan masuk
ke peremuk, produk terbesar yang diinginkan,
reduction ratio peremuk, dan setting terkecil-
terbesar yang dimiliki peremuk.
Reduction Ratio Total diperoleh berdasarkan
ukuran umpan terbesar dari stockyard dibagi
dengan ukuran produk terbesar yang diinginkan.
Reduction Ratio Total pada rancangan pabrik
peremuk ini sebesar 12, maka dilakukan dua kali
peremukan.
RR = Umpan Terbesar
Produk Terbesar
RR = 600 mm
50 mm
= 12
Jaw Crusher
Jaw crusher yang dipilih adalah model
PE900x1200, dapat menerima umpan dengan
ukuran maksimum 750 mm, tetapi umpan
sebenarnya yang diterima berukuran 600 mm.
Produk yang dihasilkan memiliki ukuran terbesar
147 mm, sehingga reduction rationya adalah 4,1.
Kemampuan setting alat 100 – 200 mm, sedangkan
yang digunakan adalah 100 mm, dengan kapasitas
terpasang jaw crusher adalah 121,6 ton/jam.
Alasan menggunakan setting 100 mm, yaitu
Jaw crusher yang digunakan dapat menerima
ukuran umpan sebesar 600 mm, sehingga model
PE900x1200 dipilih, akan tetapi setting yang
dimiliki sebesar 100 – 200 mm. Sehingga, setting
100 mm digunakan karena merupakan setting
terkecilnya.
Cone Crusher
Cone crusher yang dipilih adalah model
HST160 dengan H1 dengan kapasitas terpasang
cone crusher adalah 117,28 ton/jam. Dapat
menerima umpan dengan ukuran maksimum 215
mm, tetapi umpan sebenarnya yang diterima
berukuran 147 mm. Produk yang dihasilkan
memiliki ukuran terbesar 40 mm, sehingga
reduction rationya adalah 3,7. Kemampuan setting
alat 16 – 44 mm, sedangkan yang digunakan adalah
25 mm.
Alasan menggunakan setting 25 mm:
1) Produk terbesar yang diinginkan adalah 50
mm, sedangkan setting yang dapat
menghasilkan produk dengan ukuran -50 mm
adalah 31 mm - 16 mm (pada alat yang
dipilih).
2) Apabila menggunakan setting 31 mm, maka
produk terbesarnya adalah 50mm (sesuai
dengan yang diharapkan). Akan tetapi
hasilnya, tidak didapat jumlah produk dengan
persentase terbanyak pada fraksi -20 +10 mm.
Maka dari itu dipilih setting 25 mm supaya
fraksi -20 +10 mm menghasilkan jumlah
produk dengan persentase terbanyak dibanding
fraksi lainnya.
Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
88
Menghitung Banyak Produk yang Dihasilkan
Per Jam Setiap Fraksinya
Produk akhir pada rancangan pabrik peremuk
ini seluruhnya dihasilkan dari proses pengayakan
pada Triple Deck Vibrating Screen (TDVS).
Umpan yang diterima TDVS berasal dari undersize
deck 2 (30 mm) Double Deck Vibrating Screen dan
produk Cone Crusher, dengan distribusi sebagai
berikut:
Gambar 1. Grafik Distribusi Produk Undersize
Deck 2 DDVS
Gambar 2. Grafik Distribusi Produk Secondary
Crusher
Sehingga, distribusi yang menjadi umpan
TDVS:
Gambar 3. Grafik Distribusi Umpan TDVS
Pada TDVS terdapat 3 deck ayakan yang
digunakan untuk mengayak, sehingga akan
didapatkan 4 jenis produk. Ukuran lubang bukaan
tiap deck dan efisiensinya sebagai berikut:
Deck 1 = 30 mm dengan efisiensi (78,3%)
Deck 2 = 20 mm dengan efisiensi (76,8%)
Deck 3 = 10 mm dengan efisiensi (75,1%)
Deck 1
Opening = 30 mm
Gambar 4. Grafik Distribusi Umpan Deck 1
Opening 30 mm
Produk yang lolos (-30 mm) = 84,35 ton/jam
Produk yang tertahan (+30 mm) = 30,35 ton/jam
Produk yang tertahan di deck 1 (30 mm) akan
menjadi produk 1 (-50 +30mm) sebanyak 30,35
ton/jam yang selanjutnya akan dibawa belt
conveyor menuju stockpile 1, sedangkan yang lolos
akan diayak kembali menuju ke deck dibawahnya.
Deck 2
Opening = 20 mm
Gambar 5. Grafik Distribusi Umpan Deck 2
Opening 20 mm
Produk yang lolos (-20 mm) = 61,24 ton/jam
Produk yang tertahan (+20 mm) = 23,11 ton/jam
Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
89
Produk yang tertahan di deck 2 (20 mm) akan
menjadi produk 2 (-30 +20mm) sebanyak 23,11
ton/jam yang selanjutnya akan dibawa belt
conveyor menuju stockpile 2, sedangkan yang lolos
akan diayak kembali menuju ke deck dibawahnya.
Deck 3
Opening = 10 mm
Gambar 6. Grafik Distribusi Umpan Deck 3
Opening 10 mm
Produk yang lolos (-10 mm) = 27,58 ton/jam
Produk yang tertahan (+10 mm) = 33,67 ton/jam
Produk yang tertahan di deck 3 (10 mm) akan
menjadi produk 3 (-20 +10mm) sebanyak 33,67
ton/jam yang selanjutnya akan dibawa belt
conveyor menuju stockpile 3, sedangkan yang lolos
akan menjadi produk 4 (-10 mm) sebanyak 27,58
ton/jam yang selanjutnya akan dibawa belt
conveyor menuju stockpile 4.
Jadi, produk hasil peremukannya:
-50 + 30 mm = 30,35 ton/jam
-30 + 20 mm = 23,11 ton/jam
-20 + 10 mm = 33,67 ton/jam
-10 mm = 27,58 ton/jam
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil adalah
sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi target produksi sebesar 114,7
ton/jam, dengan umpan terbesar dari stockyard
600 mm, dan jam kerja efektif 6,98 jam/hari
maka alat-alat yang digunakan pada rancangan
ini adalah:
1) Hopper: 4,5 m x 3,5 m x 1,7 m
2) Feeder: LIMING, model FH1245
3) Primary Jaw Crusher: LIMING, model
PE900 x 1200
4) Double Deck Vibrating Screen:
KURIMOTO, model KI – H
5) Secondary Cone Crusher: LIMING, model
HST250/H1
6) Triple Deck Vibrating Screen: KURIMOTO,
model KI
7) Belt Conveyor 1 dan 2: LIMING, belt width
650 mm
8) Belt Conveyor 3-8: LIMING, belt width 500
mm
2. Setting unit peremuk agar didapat persentase
terbesar pada produk dengan fraksi -20 + 10 mm
sebagai berikut:
1) Jaw crusher, setting yang digunakan 100mm
2) Cone crusher, setting yang digunakan 25mm
3. Dengan triple deck vibrating screen diperoleh
distribusi produk yang diinginkan sebagai
berikut:
-50 + 30 mm = 30,35 tpj
-30 + 20 mm = 23,11 tpj
-20 + 10 mm = 33,67 tpj
-10 mm = 27,58 tpj
DAFTAR PUSTAKA
Ajie, M. Winanto, dkk. 2001. Pengolahan Bahan
Galian. Jurusan Teknik Pertambangan,
FTM, UPN “Veteran” Yogyakarta.
Ajie, M. Winanto. 2001. KURIMOTO CRUSHING
& GRINDING FIRST EDITION. Kurimoto
ltd.
Currie J. M. 1973. Unit Operation in Mineral
Processing. CSM Press. New York.
Gaudin A.M. 1939. Principles of Mineral
Dressing, Mc Graw Hill Book Company,
Inc., New York.
Nordberg. 1993. Reference Manual Fourth
Edition. Nordberg, Inc.U.S.A.
Partanto, Prodjosumarto. 1995. Pemindahan
Tanah Mekanis. Diktat Kuliah, Jurusan
Teknik Pertambangan ITB.
Wills, B. A dan Tim Napier-Munn. 2006. Mineral
Processing Technology 7th edition. Elsevier
Science and Technology Books, Queenslan
Awandoi dan Birawaputra INTAN Volume 1, Nomor 1, 2018
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
90
Gam
bar
7.
Ran
cangan
Pab
rik P
erem
uk d
an S
ayat
an d
i P
T.
X
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
91
PENCUCIAN BATUBARA MENGGUNAKAN CHANCE CONE
DENGAN MEDIA PASIR BESI
Hendri Prananta Perangin-angin
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Universitas Papua
Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: [email protected]
Abstract
Study of coal washing was conducted by designing and creating chance cone equipment which was
then continued by process performance test using iron sand as a separator medium. The variable used for
this experiment was feed coal with the size of -12.5 +5 mm; -5mm +1.68 mm ; and -1.68 mm +0.85 mm, a
mixer with a spinning speed of 44, 53, 72, 96, and 120 rpm, and a media relative density ( suspension of
water and iron sand ) of 1.3 and 1.4 . From the result of sink – float test, the initial coal ash level of 7.91%,
5.73%, and 6.76% each was obtained. From the result of equipment performance test, the highest efficiency
was obtained at 1.4 media relative density of 69.18% at mixer speed of 120rpm with bait size of -1,68 +0,85
mm and ash content of 6,39%.
Keywords: Result, ash, mixer spin, density, feed size and efficiency
Abstrak
Studi pencucian batubara ini dilakukan dengan merancang dan membuat alat chance cone ,yang
kemudian dilanjutkan dengan uji kinerja proses menggunakan pasir besi sebagai media pemisah. Variabel
yang digunakan untuk percobaan ini adalah batubara umpan berukuran -12,5 + 5 mm ; -5 + 1,68 mm ; dan
-1,68 mm + 0,85 mm, pengaduk dengan kecepatan putaran 44, 53, 72, 96, dan 120 rpm, serta densitas
relative media ( suspensi air dan pasir besi ), 1,3 dan 1,4. Dari hasil uji endap-apung umpan didapatkan
kadar abu awal batubara umpan masing-masing 7,91 %, 5,73 %, dan 6,76 %. Dari percobaan uji kinerja
alat, efisiensi tertinggi diperoleh pada densitas relatif media 1,4 sebesar 69,18 % pada putaran pengaduk
120 rpm dengan ukuran umpan -1,68 mm + 0,85 mm, dan kandungan abu 6,39 %.
Kata kunci: Perolehan, abu, putaran pengaduk, densitas, ukuran umpan dan efisiensi
Perangin-angin INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
92
PENDAHULUAN
Tersedianya cadangan batubara yang cukup
melimpah menjadikan bahan bakar fosil ini
menjadi energi alternatif sebagai pengganti bahan
bakar minyak bumi. Selain cadangan, teknologi
pemanfaatan juga cukup tersedia, sehingga
dampak yang mengotori lingkungan juga bisa
dihindari. Pembatubaraan terjadi karena adanya
tekanan dan temperatur yang tinggi dan
berlangsung dalam selang waktu yang sangat
lama. Perbedaan sifat batubara disebabkan adanya
perbedaan sumber material lingkungan
pengendapan, keadaan dan kondisi serta derajat
perubahan dalam macam, jumlah serta distribusi
pengotornya.
Dari segi pemanfaatannya, batubara
digunakan dalam berbagai macam industri dan
rumah tangga. Untuk memanfaatkan batubara
haruslah sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh
penggunanya. Sebagian batubara yang berasal dari
tambang, secara umum belum memenuhi
persyaratan lingkungan dalam pemanfaatannya.
Pencucian batubara merupakan kegiatan untuk
memenuhi persyarataan lingkungan pada
pemanfatanya.
Arti Strategis Batubara
Cadangan tertambang (mineable) batubara
Indonesia sebesar 12 milyar ton (ESDM - 2015)
dan ini merupakan cadangan energi yang paling
besar jika dibanding dengan minyak bumi yang
besarnya 5 milyar SBM dan gas 90 TSCF (15,30
milyar SBM). Meskipun saat ini pemanfaatan
batubara Indonesia sebagai sumber energi masih
relatif kecil namun batubara Indonesia memiliki
arti penting sebagai sumber energi primer
dibeberapa pembangkit listrik dan bahan bakar
industri. Berdasarkan RPJMN tahun 2015 -2019
Rencana Produksi di Tahun 2015 sebesar 425 Juta
Ton. Persentase Domestik terhadap Produksi
Batubara Nasional Tahun 2015 sebesar 24% dan
meningkat menjadi 60% di Tahun 2019 Dari total
produksi batubara Indonesia tahun 2015 sebesar
335 juta ton sekitar 70% diantaranya diekspor dan
sisanya sebesar 30% digunakan didalam negeri.
Kedepan diharapkan pemanfaatan batubara
Indonesia mampu menunjukan angka yang
signifikan dalam hal penyedia energi nasional
sebagai pengganti minyak bumi dan pemanfaatan
kayu bakar yang berpotensi menurunkan kualitas
hutan kita. Peran strategis batubara dikarenakan
batubara dapat memberikan efek ganda terhadap
ekonomi nasional dan daerah, seperti penyerapan
tenaga kerja, motor perkembangan ekonomi
didaerah terpencil, pengembangan wilayah dan
masyarakat dan peningkatan pendapat berupa
pajak, royalti, devisa kepada pemerintah pusat dan
daerah.
Chance Cone
Chance Cone merupakan alat pemisah
media berat komersial pertama dan media
padatnya adalah pasir besi. Suspensi pasir besi
dapat tertahan di dalam cone karena adanya
pengadukan dan arus air dari bawah ke atas,
pentingnya hubungan antara pengaduk dan arus
air tergantung pada densitas yang diinginkan pada
pemisahan. Batubara bersih tertampung di
permukaan media sementara batubara kotor
(reject) tenggelam masuk ke dasar cone. Putaran
pengaduk juga menyebabkan gerakan air berputar
melingkar, membawa fraksi batubara bersih
terapung sekitar tiga perempat keliling didalam
bak sebelum akhirnya mengalir mengikuti aliran
discharge. Media dipisahkan dengan cara
penyemprotan. Didasar bak terdapat sebuah ruang
yang berfungsi untuk mengeluarkan reject, yang
dilengkapi dengan katup yang dapat terbuka dan
tertutup secara penumatik.
Lajuendap (settling velocity) partikel dalam
bak mediaberat sebanding dengan volume
partikel:
Lajuendap ≈ (mg - mg) - R (1)
Atau,
Lajuendap ≈ g × v (δ - ρ) (2)
Bila v berkurang (partikel semakin kecil),
gaya yang dinyatakan oleh g v (δ - p) akan menurun
dan nilainya sama dengan R sehingga laju endap
akan menjadi nol atau sangat kecil. Jika R lebih
besar dari nilai g v (δ - p) laju endap akan menjadi
negative sehingga partikel akan terapung. Laju
endap berbanding lurus dengan gaya yang
menggerakan partikel. Ukuran batubara umpan
yang digunakan pada percobaan ini adalah: - 12,5
mm + 5 mm, -5 mm + 1,68 mm, -1,68 mm + 0,85
mm.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan besarnya Yield dan kandungan abu
teoritis batubara umpan,
2. Mempelajari pengaruh variable proses yaitu
ukuran umpan, kecepatan pengadukan dan
densitas relatif media terhadap Yield batubara
tercuci dan kandungan abunya,
3. Menentukan efisiensi kinerja alat.
Perangin-angin INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
93
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan melalui dua
tahapan yaitu tahap perancangan alat dan uji
kinerja alat. Tahap perancangan alat dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu mempelajari fungsi
dan struktur dari setiap alat. Tahap uji kinerja alat
meliputi tahap persiapan media, persiapan umpan
dan uji endap-apung, pengambilan data, analisis
kadar abu dan analisa sebahagian nilai calorific
value dari data tertentu saja.
Dalam tulisan ini akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai tahapan-tahapan penelitian seperti
peralatan, bahan dan prosedur kerja. Penelitian ini
dilakukan di laboratorium Pengolahan Bahan
Galian dan Laboratorium Analisis Batubara
Departemen Pertambangan Institut Teknologi
Bandung.
Metode Pengambilan Data
Metode yang dilakukan dalam pengambilan data
meliputi:
1. Perancangan alat yaitu dengan mempelajari
fungsi dan struktur dari setiap bagian alat,
2. Preparasi media dan umpan,
3. Uji endap-apung umpan dan analisis kandungan
abu awal,
4. Uji kinerja proses untuk setiap variable proses
yang telah ditentukan,
5. Analisis terhadap data yang diperoleh dari
percobaan untuk melihat variable proses
terhadap perolehan batubara tercuci dan
penurunan kandungan abunya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ditinjau dari pencucian batubara yang telah
dilakukan dengan alat chance cone dan mengambil
perbedaan variabel ukuran batubara umpan,
densitas relatif media, dan kecepatan putaran
pengadukan diperoleh hasil untuk dilakukan
pembahasan terhadap penurunan kandungan abu
dari hasil pencucian yang telah dilakukan.
Uji Endap-Apung
Uji endap-apung dilakukan untuk setiap
fraksi dengan ukuran batubara umpan yaitu - 12,5
+ 5 mm, -5 + 1,68 mm dan -1,68 + 0,85 mm.
Pengujian dilakukan dalam larutan dengan densitas
relatif mulai dari densitas 1,3 sampai dengan
densitas 1,8. sehingga diperoleh tujuh fraksi untuk
masing-masing ukuran batubara umpan. Hasil uji
endap apung kemudian sehingga diperoleh hasil
seperti pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 diperlihatkan bahwa kandungan
abu batubara umpan berdasarkan ukuran -12,5 + 5
mm adalah 7,91%; ukuran -5 + 1,68 mm adalah
5,73%; dan ukuran -1,68 + 0,85 adalah 6,76%.
Tetapi bila dicuci dengan menggunakan densitas
relatif pemisah 1,3 akan diperoleh batubara tercuci
(Yield) sebesar 87,61% dengan kadar abu 4,43 %
untuk ukuran -12,5 + 5 mm ; 86,35%, dengan kadar
abu 2,37 untuk ukuran -5 + 1,68 mm ; dan 58,36%
dengan kadar abu 2,67 % untuk ukuran -1,68 + 0,85
mm. Sedangkan apabila pencucian menggunakan
densitas relatif 1,4 akan diperoleh batubara tercuci
(Yield) dan kadar abunya berturut-turut sebagai
berikut : ukuran -12,5 + 5 mm Yield sebesar 92,62
% dan kadar abunya 4,91%; ukuran - 5 + 1,68 mm
Yield sebesar 93,46% dan kadar abunya 2,84%;
sedangkan ukuran - 1,68 + 0,85 mm Yield sebesar
92,84 % dan kadar abunya 3,51 %.
Tabel 1. Hasil Uji Endap-Apung Batubara Umpan.
Ukuran
umpan (mm) Densitas relatif
Individu Kumulatif
Berat % Abu % Berat % Abu %
-12.5+5
% Berat
49.54
-1.3
1.3-1.4
1.4-1.5
1.5-1.6
1.6-1.7
1.7-1.8
+1.8
87.61
5.01
2.35
0.42
2.00
0.88
1.73
100
4.43
13.27
25.41
33.40
42.23
56.80
74.21
87.61
92.62
94.97
95.39
97.40
98.27
100.00
4.43
4.91
5.42
5.54
6.30
6.75
7.91
Perangin-angin INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
94
Ukuran
umpan (mm) Densitas relatif
Individu Kumulatif
Berat % Abu % Berat % Abu %
-5+ 1.68
% Berat
32.11
-1.3
1.3-1.4
1.4-1.5
1.5-1.6
1.6-1.7
1-7-1.8
+1.8
86.35
7.11
1.90
0.81
0.98
0.75
2.10
100
2.37
8.57
24.69
33.49
43.36
50.53
72.78
86.35
93.46
95.36
96.17
97.16
97.90
100.00
2.37
2.84
3.28
3.53
3.93
4.29
5.73
- 1.68+
0.85
% Berat
7.34
-1.3
1.3-1.4
1.4-1.5
1.5-1.6
1.6-1.7
1.7-1.8
+1.8
58.36
34.48
1.49
1.06
1.06
0.90
2.65
100
2.67
4.95
22.95
32.76
41.78
49.35
72.36
58.36
92.84
94.32
95.38
96.45
97.35
100.00
2.67
3.51
3.82
4.14
4.56
4.97
6.76
Dengan dilakukannya uji endap apung
diketahui perkiraan Yield batubara tercuci dan
kadar abu di dalam fraksi reject berikut dengan
fraksi beratnya, kadar abu terbesar pada batubara
bersih dan sulit tidaknya pemisahan diantara
densitas relatif pemisah 1,3; 1,4;1,5;1,6;1,7; dan
1,8.
Pengaruh Putaran Pengaduk Dan Ukuran
Batubara Umpan Terhadap Persen Batubara
Tercuci (Yield), Effisiensi dan Persen Abu.
Dengan menggunakan beberapa variabel
berubah seperti ukuran batubara umpan, kecepatan
pengadukan dan densitas relatif media, maka
dilakukan uji kinerja proses dan diperoleh hasil
seperti pada Tabel 2 dan 3
Untuk kedua densitas relatif media
pemisahan yaitu 1,3 dan 1,4 ada kecendrungan
peningkatkan Yield batubara tercuci seiring dengan
bertambahnya kecepatan pengadukan, tetapi bukan
berarti dengan tingginya kecepatan putaran
pengadukan, Yield juga akan tinggi, ketentuan ini
dibatasi untuk kecepatan pengadukan kisaran dari
44 - 120 putaran per menit. Kecendrungan semakin
besamya Yield pada saat putaraan semakin cepat
dikarenakan suspensi pasir besi dan air (media)
semakin setabil berada di dalam cone dan densitas
yang dihasilkan mendekati densitas relatif 1,3 dan
1,4.
Tabel 2. Hasil percobaan untuk Densitas Relatif Media 1,3
Fraksi
Ukuran BB
(mm)
Putaran
Pengaduk
(rpm)
Batubara tercuci Cum. %
Float
dari grafik
Effisiensi
Berat % Abu %
-12.5+5
% berat:
49.54
44
53
72
96
120
6 .45
11.70
15.80
27.10
38 25
1.31
1.78
1.80
1.84
1.89
55.20
61.63
61.89
62.41
63.06
11.69
18.98
25.53
43.42
60.65
-5+1.68
% berat:
32.11
44
53
72
96
120
7.40
14.80
23.05
31.10
41.20
1 80
1.96
2.00
2.56
2.86
88.84
89.66
89.88
92.44
93 67
8.33
16.51
25.64
33.64
43.98
Perangin-angin INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
95
Fraksi
Ukuran BB
(mm)
Putaran
Pengaduk
(rpm)
Batubara tercuci Cum. %
Float
dari grafik
Effisiensi
Berat % Abu %
-1.68+0.85
% berat:
7.34
44
53
72
96
120
17.20
I 22.60
34.20
47.20
49.90
2 25
2.85
3.18
3.95
4.68
87.40
90.28
91.71
94.60
96.78
19.68
25.03
37.29
49.89
51.56
Composite
-12.5+0.85
44
53
72
96
120
7.68
13.72
19.93
30.20
40.28
1.56
1.93
1.99
2.27
2.47
69.99
74.11
74.45
75.9
76.89
11.14
18.59
26.54
40.43
53.89
Bila dibandingkan dengan Yield hasil uji
endap-apung untuk semua variabel kecepatan
pengadukan dan ukuran batubara umpan, Yield
batubara tercuci hasil percobaan masih berada
dibawah Yield seharusnya seperti hasil Yield yang
dihasilkan pada uji endap apung.
Berdasarkan kadar abu batubara tercuci,
pengaruh kecepatan pengadukan dan ukuran
batubara umpan untuk densitas relatif media 1,3
dan 1,4 terlihat bahwa dengan bertambalmya
kecepatan putaran pengadukan kadungan abu
batubara tercuci juga semakin bertambah, begitu
juga dengan ukuran batubara umpan berpengaruh
terhadap Yield.
Semakin halus ukuran umpan maka semakin
tinggi Yield. Berdasarkan hasil percobaan uji endap
apung justru sebaliknya. Apabila dalam keadaan
ideal, misalnya digunakan densitas relatif media
1,3 maka material yang berdesintas kurang dari 1,3
akan terapung sebagai batubara tercuci, sedangkan
semua partikel berdensitas relatif lebih dari 1,3
akan tenggelam. Tetapi pada operasi pencucian
chance cone secara kontinyu, tidak dapat
beroperasi sempurna seperti pada uji endap apung,
sehingga menyebabkan hasil pencucian selalu
kurang baik bila dibandingkan dengan hasil uji
endap apung, maka hal inilah yang terjadi pada
percobaan ini.
Tabel 3. Hasil Percobaan untuk Densitas Relatif Media 1,4
Fraksi
Ukuran BB
(mm)
Putaran
Pengaduk
(rpm)
Batubara tercuci Cum. %
Float
dari grafik
Effisiensi Berat % Abu %
-12.5+5
% berat:
49.54
44
53
72
96
120
9.20
23.24
31.00
41.70
52.50
1.37
1.85
2.44
2.60
4.70
56.00
62.51
69.80
71.64
90.37
16.42
37.17
44.40
58.20
58.10
-5+1.68
% berat:
32.11
44
53
72
96
120
14.70
24.60
36.10
46.80
59.45
2.08
2.24
2.73
3.49
4.84
90.26
91.02
93.16
95.91
99.08
16.29
27.03
38.75
48.80
60.00
-1.68+0.85
% berat:
7.34
44
53
72
96
120
36.60
41.40
57.40
61.20
69.00
2.43
2.56
3.15
4.88
6.39
88.27
88.91
91-57
97.28
99.73
41.45
46.55
62.67
62.91
69.18
Perangin-angin INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
96
Fraksi
Ukuran BB
(mm)
Putaran
Pengaduk
(rpm)
Batubara tercuci Cum. %
Float
dari grafik
Effisiensi Berat % Abu %
Composite
-12.5+0.85
44
53
72
96
120
13.44
2523
35.02
21.93
56.37
1.71
2.05
2.60
3.11
4.89
71.03
74.98
80.02
82.51
94.29
18.44
34.28
43.87
55.20
59.70
KESIMPULAN
Dilihat dari hasil percobaan uji kinerja alat
dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Kadar abu batubara umpan berdasarkan uji
endap-apung pada ukuran - 12,5 + 5 mm , -5 +
1,68 mm dan -1,68 + 0,85 mm adalah 7,91 %,
5,73 % dan 6,76 %.
2. Pengaruh variabel percobaan terhadap Yield
batubara tercuci dan abu adalah semakin besar
kecepatan putaran pengaduk (44 - 120 rpm),
maka Yield dan kadar abu batubara tercuci juga
semakin besar.
3. Efisiensi tertinggi untuk densitas relatif media
1,3 diperoleh pada ukuran - 12,5 + 5 mm,
putaran pengaduk 120 rpm sebesar 60,65 % dan
untuk densitas relatif 1,4 diperoleh pada ukuran
umpan - 1,68 + 0,85 mm, kecepatan putaran
pengaduk 120 rpm adalah 69,18 %
UCAPAN TRIMA KASIH
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Soemarno, Ms
2. Dr. Bagyo Yanuwiadi
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Arief S. S. Sudarsono,M.Sc
4. Bapak Prof. Ir. Djamhur Sule, M.Sc
DAFTAR PUSTAKA
Adinugraha, W, “Tesis Magister”, Studi Pencucian
Batubara Menggunakan Chance Cone
Dengan Media Hematite, 2006.
Betekhtin, A., “A Course of Mineralogy”, Peace
Publisher, Moscow.
Brown, G.G., “Unit Operation”, 14th Printing,
Modem Asia Edition, Japan, 2008.
Burt, R.O., (assisted by Chris Mills), “Gravity
Concentration Technology”, Elsevier, 2004.
Kim H.T, “Dasar-Dasar Kimia Tanah”, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 1991.
Leonard, J. W, & Mitchell, D.R., “Coal
Preparation”, 3rd Ed., The American
Institute of Mining, Metallurgical, and
Petroleum Engineers, Inc, New York, 1968.
McCabe, W.L., Smith, J.C, Harriot, P, “Unit
Operation of Chemical Engineering”,
McGraw-Hill, 2002.
Osborne, D.G., “Coal Preparation Technology”,
Vol. l & 2, Graham Trotman Limited a
Member of Kluwer Academic Publisher
Group, 1988. 9.
Pryor, E.J., “Mineral Processing”, Elsevier
Publishing Co. Ltd. Essex, England, 1965.
Rusnadi, L., “Tesis Magister”, Studi Pencucian
Batubara Menggunakan Chance Cone
Dengan Media Pasir Kuarsa, 2006.
Sudarsono, A.S., “Pengantar Preparasi dan
Pencucian Batubara”, Departemen Teknik
Pertambangan, Institut Teknologi Bandung,
Bandung, 2003.
Sule, D., “Materi Kuliah Perancangan Pabrik
Pencucian Batubara”, Program
Pascasarjana, Rekayasa Pertambangan ITB,
2004..
Sule, D, “Seminar Batubara Nasional”,
Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral, Jakarta.
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
97
PENGGUNAAN METODE RAPID VISUAL SCREENING DALAM
MENENTUKAN KERENTANAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA
BUMI
Indra Birawaputra 1), Yoga C. V. Tethool 2)
1) 2)Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Papua 1) 2) Jl. Gunung Salju Amban Manokwari
Email: 1) [email protected]
Abstract
Sorong is a city located at the junction of three tectonic plates. Thus, makes the city vulnerable to
earthquake hazards. Evaluation on building vulnerability is needed to determine the damage mitigation
due to an earthquake. As a populous area, Moyo residential area requires building vulnerability evaluation
of earthquake hazard. Rapid Visual Screening according to FEMA P-154 2015 is used to evaluate the
building vulnerability. This method requires input data such as seismic location, building occupancy, soil
type, building typology, number of story, vertical irregularities, plan irregularities and code. The analysis
result showed that the level of vulnerability for building typologies W1, RM1 and C3 were 0.09%, 1.01%
and 32.62%.
Keywords: building vulnerability, earthquake, rapid visual screening
Abstrak
Kota Sorong terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik. Hal ini menyebabkan Kota Sorong
rentan terhadap bahaya gempa bumi. Evaluasi kerentanan bangunan di Kota Sorong diperlukan untuk
mengetahui kemungkinan kerusakan yang akan terjadi akibat gempa bumi. Sebagai kawasan padat
penduduk, Perumahan Moyo di Kota Sorong memerlukan evaluasi kerentanan bangunan. Evaluasi
kerentanan bangunan akibat gempa bumi dilakukan dengan menggunakan metode Rapid Visual Screening
(RVS) sesuai FEMA P-154 tahun 2015. Metode ini membutuhkan data masukan yang berupa: lokasi
seismik, tingkat hunian, tipe tanah, tipologi bangunan, jumlah lantai, ketidakberaturan bangunan dalam
arah vertikal, ketidakberaturan denah bangunan dan peraturan yang digunakan saat membangun. Hasil
analisis menunjukan bahwa tingkat kerentanan untuk tipologi bangunan W1, RM1 dan C3 masing-masing
adalah 0,09%, 1,01% dan 32,62%.
Kata Kunci: kerentanan bangunan, gempa bumi, rapid visual screening
Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
98
PENDAHULUAN
Gempa bumi tektonik terjadi akibat adanya
energi yang dilepaskan saat terjadinya patah
lempeng bumi. Enegi yang dilepaskan dirambatkan
oleh pusat gempa berupa gelombang getaran ke
permukaan tanah (Hasmar, 2013). Sebagai daerah
yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik
besar dunia, menyebabkan Indonesia akan sering
diguncang gempa tektonik. Wilayah utara Pulau
Papua berada pada jalur patahan lempeng tektonik
Pasifik. Hal ini menyebabkan gempa bumi sering
dirasakan oleh masyarakat di utara Pulau Papua,
salah satunya di Kota Sorong.
Setiap peristiwa alam, termasuk gempa
bumi, memiliki akibat entah baik atau buruk.
Dampak buruk yang terjadi antara lain apabila ada
korban jiwa. Pada dasarnya, gempa bumi tidak
bersifat membunuh, tetapi pengaruh dari gempa
bumi itulah yang akan membuat jatuhnya korban
jiwa. Pengaruh dari gempa bumi yang dimaksud
seperti: kegagalan kontruksi bangunan/ keruntuhan
gedung, tanah longsor, tsunami dan lainnya.
Beberapa penelitian terdahulu
menyimpulkan bahwa perilaku suatu bangunan
saat terjadi gempa sangat dipengaruhi oleh
konfigurasi bangunan tersebut. Bangunan yang
memiliki konfigurasi kurang baik seperti adanya
soft storey, bad mass distribution, set back dan lain
sebagainya cenderung memiliki perilaku yang
kurang memuaskan saat terjadi gempa bumi
(Widodo, 2007). Selain itu, penggunaan material
berkualitas rendah pada perumahan masyarakat
mengakibatkan kekuatan dari elemen bangunan
tersebut menjadi sangat rendah dan rentan
mengalami kegagalan konstruksi saat terjadi
gempat bumi (Satyarno, 2011).
Kota Sorong sebagai salah satu kota besar di
Provinsi Papua Barat mengalami kemajuan pesat
dalam bidang pembangunan. Namun keberadaaan
bangunan-bangunan tersebut perlu dievaluasi
kerentanannya ketika gempa bumi terjadi, terutama
pada kawasan padat penduduk. Dengan
mengetahui tingkat kerentanan suatu bangunan
terhadap gempa bumi, maka dapat diambil
langkah-langkah mitigasi ketika terjadi bencana
gempa bumi. Hal ini merupakan salah satu bentuk
kesiapan dalam menghadapi bencana gempa bumi
yang dapat terjadi di masa datang (Perdana, 2017).
Rapid visual screening (RVS) dapat
digunakan sebagai langkah awal untuk
mengevaluasi kerentanan bangunan akibat gempa
bumi secara cepat dan tanpa menggunakan
perangkat lunak khusus. Hasil RVS akan
memberikan gambaran terkait bangunan mana saja
yang memiliki tingkat risiko tinggi akibat gempa
bumi dan memerlukan evaluasi lanjutan yang lebih
detail (Kurniawandy, 2015).
Oleh sebab itu, pelaksanaan penelitian ini
penting dilakukan untuk mengetahui tingkat
kerentanan bangunan di Kota Sorong. Lokasi
penelitian berada pada Komplek Perumahan Moyo
Kelurahan Klamana yang termasuk kawasan
pemukiman padat penduduk. Metode RVS
digunakan pada penelitian ini dan bertujuan untuk
mengetahui tingkat kerentanan bangunan pada
Perumahan Moyo akibat ancaman bencana gempa
bumi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode berupa
survei yang menggunakan data primer meliputi
kegiatan pengamatan, pencatatan dan pengambilan
titik sampel, serta menggunakan data sekunder
sebagai informasi lokasi kejadian bencana gempa
bumi.
Gambar 1. Formulir Rapid Visual Screening
(FEMA 154, 2015)
Evaluasi tingkat kerentanan bangunan
akbibat gempa bumi dilakukan menurut metode
rapid visual screening (RVS), sesuai FEMA P-154
tahun 2015. Data masukan yang dibutuhkan dalam
metode RVS ini berupa; tipologi bangunan,
ketidakberaturan bangunan dalam arah vertikal,
Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
99
ketidakberaturan bangunan dalam arah horisontal
dan jenis tanah. Kemudian data tersebut dimasukan
kedalam formulir khusus yang disediakan menurut
FEMA P-154 tahun 2015. Formulir yang
digunakan ditampikan pada Gambar 1. Hasil
perhitungan akhir menggunakan metode RVS akan
menunjukan probabilitas keruntuhan bangunan
akibat gempa bumi.
RAPID VISUAL SCREENING (RVS)
Metode Rapid Visual Screening (RVS)
adalah sebuah metode pengamatan secara cepat
yang dikembangkan oleh FEMA untuk
mengidentifikasi, menginventarisir suatu bangunan
secara tampak yang berpotensi berbahaya secara
seismik (Zulfiar, 2018). Beberapa data masukan
yang dibutuhkan untuk menghitung nilai akhir
tingkat kerentanan bangunan dijelaskan sebagai
berikut.
Tingkat Hunian
Metode RVS membedakan tingkat hunian
bangunan menjadi 9 kategori yaitu: bangunan
umum, bangunan komersial, bangunan pelayanan
darurat, bangunan industri, bangunan pemukiman,
bangunan pendidikan, bangunan utilitas dan
bangunan gudang (FEMA 154, 2015).
Tipe Tanah
Tipe tanah dibedakan menjadi 6 bagian: A
(Hard Rock), B (Avg. Rock), C (Dense Soil), D
(Stiff Soil), E (Soft Soil), F (Poor Soil). Apabila
dalam proses evaluasi tipe tanah tidak dapat
diklasifikasikan, maka dapat diasumsikan sebagai
tipe tanah D (FEMA 154, 2015).
Tipologi Bangunan
Berdasarkan FEMA 154 (2015), tipologi
bangunan diklasifikasi menjadi 17 tipe bangunan.
Masing-masing tipologi bangunan tersebut
diklasifikasikan berdasarkan pada sistem struktur
yang digunakan.
Jumlah lantai
Jumlah lantai diukur dari bagian bangunan paling
bawah yang menyentuh tanah hingga atap (Zulfiar,
2018).
Lokasi Seismik
Lokasi seismik terbagi menjadi lima
tingkatan yaitu rendah, sedang, agak tinggi, tinggi
dan amat tinggi yang ditampilkan pada Tabel 1
(FEMA 154, 2015). Untuk menentukannya,
diperlukan nilai akselerasi respon spektrum Ss dan
S1 pada lokasi yang ditinjau.
Tabel 1. Pembagian Lokasi Seismik
Lokasi
Seismik
Akselerasi Respon
Spektrum, Ss
(periode pendek,
0.2 detik)
Akselerasi Respon
Spektrum, S1
(periode panjang,
0.2 detik)
Rendah Ss < 0,25g S1 < 0,10g
Sedang 0,25g ≤ Ss < 0,50g 0,10g ≤ S1 < 0,20g
Agak
tinggi
0,50g ≤ Ss < 1,00g 0,20g ≤ S1 < 0,60g
Tinggi 1,00g ≤ Ss < 1,50g 0,40g ≤ S1 < 0,60g
Amat
tinggi
Ss ≥ 1,50g S1 > 0,60g
(Sumber: FEMA 154, 2015)
Vertical irregularity
Vertical Irregularity adalah penampakan
bangunan secara vertikal yang tidak beraturan.
Beberapa hal yang tergolong vertical irregularity
(Zulfiar, 2018) antara lain:
- Sloping Site, bangunan yang berada diatas bukit
yang curam;
- Soft story, kondisi dimana sebuah lantai
bangunan memiliki kekuatan yang lebih kecil
daripada lantai diatas atau dibawahnya;
- Out of plane seatback, suatu lantai tidak selaras
secara vertikal dengan sistem penahan gaya
seismik di atas atau di bawahnya;
- In plane seatback, gaya seismik di tingkat atas
diimbangi dengan elemen-elemen dari sistem
penahan gaya seismik pada tingkat yang lebih
rendah;
- Short coloumn, bila beberapa kolom lebih
pendek daridapa kolom pada umumnya;
- Splif level, kondisi terjadi dimana lantai atap
atap di salah satu bagain bangunan.
Plan irregularity
Plan Irregularity yaitu ketidakberaturan bentuk
denah (tidak simetris). Contoh plan irregularity
ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Contoh plan irregularity (FEMA 154,
2015)
Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
100
Peraturan yang digunakan saat membangun
Code (peraturan) bisa diketahui dengan
melihat tahun ketika bangunan tersebut didirikan.
Menurut Zulfiar (2018), untuk peraturan yang
berlaku di Indonesia, disebut pre-code apabila
dibangun sebelum tahun 1971 (PBI 1971), dan
disebut Post-Benchmark apabila dibangun setelah
tahun 1992 (SNI 1992).
Skor akhir
Skor akhir (S) dari sebuah bangunan dapat
diperoleh dengan cara menjumlahkan setiap angka
dari kriteria-kriteria yang disebutkan sebelumnya
pada formulir RVS yang tersedia. Apabila nilai S ≤
2, maka bangunan yang dievaluasi tersebut
memiliki resiko yang tinggi akibat gempa bumi
sehingga diperlukan evaluasi yang lebih detail
(FEMA 154, 2015).
Tabel 2. Penjelasan Tipologi Bangunan
No Tipologi
Bangunan Gambar
Uraian
Singkat Karakteristik
1 W1
Struktur
berbahan
kayu,
bertingkat
satu atau
banyak
Berbahan dinding kayu.
Bangunan-bangunan jenis ini berkinerja
sangat baik ketika terjadi gempa karena
ringan.
Akibat gempa, kerusakan dapat terjadi
pada plesteran, tetapi dikalisifikasi sebagai
kerusakan non-struktural.
Kerusakan struktural yang paling sering
terjadi akibat sambungan yang kurang
baik pada struktur atas dan struktur bawah
(pondasi).
2 C3
Struktur
Rangka
Beton
Pemikul
Momen
dengan
dinding bata
tanpa
perkuatan
Kolom dan balok beton dapat memiliki
ketebalan setebal dinding dan atau dapat
diekspos untuk dilihat pada samping dan
belakang bangunan.
Dinding pengisi cenderung melengkung
dan jatuh keluar dari bidang ketika
mengalami gaya lateral luar bidang yang
kuat.
Hubungan pasangan bata di sekitar kolom
atau balok biasanya kurang baik dan
mudah lepas.
3 RM1
Bangunan
bata dengan
perkuatan
Berbahan dinding bata.
Ketebalan dinding biasanya 10cm hingga
20cm.
Rangka atap kayu atau baja ringan.
Praktek konstruksi yang buruk dapat
menghasilkan dinding yang tidak
diperkuat, akan mengalami kegagalan
dengan mudah.
(Sumber: Hasil Penelitian, 2018)
Hasil RVS terhadap 60 (enam puluh) sampel
bangunan yang berada di Kompleks Perumahan
Moyo Kelurahan Klamana di Kota Sorong
disajikan pada Tabel 3. Sebagai contoh, untuk
tipologi banguna RMI1-3 (no.7) pada Tabel 3,
diketahui basic score tipologi bangunan ini sebesar
1,1. Kriteria penilaian yang termasuk pada
bangunan yang ditinjau antara lain : plan
irregularity bernilai -0.4 karena denah bangunan
menunjukan ketidakberaturan, post-benchmark
bernilai 1,6 karena bangunan dibangun setelah
tahun 1992 dan soil type bernilai -0.2 karena jenis
Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
101
tanah pada lokasi bangunan termasuk tanah lunak.
Nilai-nilai ini merupakan ketetapan yang diambil
berdasarkan pada formulir isian RVS seperti
ditunjukan pada Gambar 1. Selanjutnya,
perhitungan final sore diperoleh dengan cara
menjumlahkan basic score dan angka pada masing-
masing kriteria penilaian tersebut:
FS = 1.1 + (-0.4) + 1.6 + (-0.2) = 2.1
Apabila nilai final score (S) kurang atau sama
dengan 2, maka bangunan tersebut tergolong
berisiko terhadap ancaman gempa bumi dan perlu
dilakukan evaluasi yang lebih detail (Zulfiar,
2018). Prosedur ini dilakukan untuk semua
bangunan yang akan dievaluasi tingkat
kerentanannya. Hasil perhitungan final score
ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Akhir dengan RVS
No
Tip
olo
gi
Ba
ng
un
an
Ba
sic
sco
re
Kriteria Penilaian
Min
imu
n s
core
Fin
al
sco
re (
S)
Sev
ere
ver
tica
l
irre
gu
lari
ty
Mo
der
ate
ver
tica
l
irre
gu
lari
ty
Pla
n
irre
gu
lari
ty
Pre
- c
od
e
Po
st -
ben
chm
ark
So
il T
yp
e A
or
B
So
il T
yp
e E
(1-3
sto
ries
)
So
il T
yp
e E
(>3
sto
ries
)
1 W1 1 2.1 -0.7 1.9 0 0.7 3.3
2 W1 2 2.1 -0.7 1.9 0 0.7 3.3
3 W1 3 2.1 -0.7 1.9 0 0.7 3.3
4 W1 4 2.1 -0.6 -0.7 1.9 0 0.7 2.7
5 RM1 1 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1
6 RM1 2 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1
7 RM1 3 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1
8 RM1 4 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1
9 RM1 5 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
10 RM1 6 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
11 RM1 7 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
12 RM1 8 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1
13 RM1 9 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
14 RM1 10 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
15 RM1 11 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
16 RM1 12 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
17 RM1 13 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
18 RM1 14 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
19 RM1 15 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
20 RM1 16 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
21 RM1 17 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
22 RM1 18 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
23 RM1 19 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
24 RM1 20 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
25 RM1 21 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1
26 RM1 22 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
27 RM1 23 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
102
No
Tip
olo
gi
Ba
ng
un
an
Ba
sic
sco
re
Kriteria Penilaian
Min
imu
n s
core
Fin
al
sco
re (
S)
Sev
ere
ver
tica
l
irre
gu
lari
ty
Mo
der
ate
ver
tica
l
irre
gu
lari
ty
Pla
n
irre
gu
lari
ty
Pre
- c
od
e
Po
st -
ben
chm
ark
So
il T
yp
e A
or
B
So
il T
yp
e E
(1-3
sto
ries
)
So
il T
yp
e E
(>3
sto
ries
)
28 RM1 24 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
29 RM1 25 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
30 RM1 26 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
31 RM1 27 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
32 RM1 28 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
33 RM1 29 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
34 RM1 30 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
35 RM1 31 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1
36 RM1 32 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1
37 RM1 33 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
38 RM1 34 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
39 RM1 35 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
40 RM1 36 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
41 RM1 37 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1
42 RM1 38 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
43 RM1 39 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1
44 RM1 40 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
45 RM1 41 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
46 RM1 42 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1
47 RM1 43 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5
48 RM1 44 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
49 RM1 45 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
50 RM1 46 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7
51 C3 1 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6
52 C3 2 0.9 -0.3 -0.3 NA 0 0.3 0.3
53 C3 3 0.9 -0.3 -0.3 NA 0 0.3 0.3
54 C3 4 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6
55 C3 5 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6
56 C3 6 0.9 -0.3 -0.3 NA 0 0.3 0.3
57 C3 7 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6
58 C3 8 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6
59 C3 9 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6
60 C3 10 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6
(Sumber: Hasil Penelitian, 2018)
Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
103
Tabel 4. Perhitungan Probabilitas Keruntuhan Bangunan
No
Tip
olo
gi
Ba
ng
un
an
Fin
al
sco
re (
S)
Ra
ta-r
ata
Fin
al
sco
re (
S) Probabilitas Keruntuhan
Ra
ta -
ra
ta
Pro
ba
bil
ita
s
Ker
un
tuh
an
Des
ima
l
Per
sen
tase
1 W1 1 3.3
3.15
0.00050 0.05%
0.09% 2 W1 2 3.3 0.00050 0.05%
3 W1 3 3.3 0.00050 0.05%
4 W1 4 2.7 0.00200 0.20%
5 RM1 1 2.1
2.13
0.00794 0.79%
1.01%
6 RM1 2 2.1 0.00794 0.79%
7 RM1 3 2.1 0.00794 0.79%
8 RM1 4 2.1 0.00794 0.79%
9 RM1 5 2.5 0.00316 0.32%
10 RM1 6 2.5 0.00316 0.32%
11 RM1 7 2.5 0.00316 0.32%
12 RM1 8 2.1 0.00794 0.79%
13 RM1 9 2.5 0.00316 0.32%
14 RM1 10 2.5 0.00316 0.32%
15 RM1 11 1.7 0.01995 2.00%
16 RM1 12 1.7 0.01995 2.00%
17 RM1 13 2.5 0.00316 0.32%
18 RM1 14 2.5 0.00316 0.32%
19 RM1 15 2.5 0.00316 0.32%
20 RM1 16 1.7 0.01995 2.00%
21 RM1 17 2.5 0.00316 0.32%
22 RM1 18 2.5 0.00316 0.32%
23 RM1 19 1.7 0.01995 2.00%
24 RM1 20 1.7 0.01995 2.00%
25 RM1 21 2.1 0.00794 0.79%
26 RM1 22 2.5 0.00316 0.32%
27 RM1 23 1.7 0.01995 2.00%
28 RM1 24 1.7 0.01995 2.00%
29 RM1 25 2.5 0.00316 0.32%
30 RM1 26 1.7 0.01995 2.00%
31 RM1 27 2.5 0.00316 0.32%
32 RM1 28 1.7 0.01995 2.00%
33 RM1 29 2.5 0.00316 0.32%
34 RM1 30 2.5 0.00316 0.32%
35 RM1 31 2.1 0.00794 0.79%
Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
104
No
Tip
olo
gi
Ba
ng
un
an
Fin
al
sco
re (
S)
Ra
ta-r
ata
Fin
al
sco
re (
S) Probabilitas Keruntuhan
Ra
ta -
ra
ta
Pro
ba
bil
ita
s
Ker
un
tuh
an
Des
ima
l
Per
sen
tase
36 RM1 32 2.1 0.00794 0.79%
37 RM1 33 2.5 0.00316 0.32%
38 RM1 34 1.7 0.01995 2.00%
39 RM1 35 2.5 0.00316 0.32%
40 RM1 36 2.5 0.00316 0.32%
41 RM1 37 2.1 0.00794 0.79%
42 RM1 38 1.7 0.01995 2.00%
43 RM1 39 2.1 0.00794 0.79%
44 RM1 40 1.7 0.01995 2.00%
45 RM1 41 1.7 0.01995 2.00%
46 RM1 42 2.1 0.00794 0.79%
47 RM1 43 2.5 0.00316 0.32%
48 RM1 44 1.7 0.01995 2.00%
49 RM1 45 1.7 0.01995 2.00%
50 RM1 46 1.7 0.01995 2.00%
51 C3 1 0.6
0.51
0.25119 25.12%
32.62%
52 C3 2 0.3 0.50119 50.12%
53 C3 3 0.3 0.50119 50.12%
54 C3 4 0.6 0.25119 25.12%
55 C3 5 0.6 0.25119 25.12%
56 C3 6 0.3 0.50119 50.12%
57 C3 7 0.6 0.25119 25.12%
58 C3 8 0.6 0.25119 25.12%
59 C3 9 0.6 0.25119 25.12%
60 C3 10 0.6 0.25119 25.12%
(Sumber: Hasil Penelitian, 2018)
Dari Tabel 3 diketahui bahwa untuk tipologi
bangunan W1 final score tertinggi dan terendah
masing-masing adalah 3,3 dan 2,7, untuk tipologi
RM1 adalah 2,5 dan 2,1, sedangkan untuk tipologi
C3 adalah 0,6 dan 0,3.
Selanjutnya untuk mengetahui
kemungkinan/ probabilitas suatu bangunan untuk
mengalami kegagalan/ keruntuhan adalah dengan
Persamaan 1 (FEMA 154, 2015).
Probabilitas keruntuhan = 1 10�� (1)
dimana: S = final score
Sebagai contoh, bila hasil perhitungan final
score sebesar 2, maka probabilitas keruntuhuan
bangunan tersebut adalah 1/ 102 atau sebesar 0.01.
Artinya saat terjadi gempa bumi, maka
kemungkinan 1 bangunan rentan atau berpotensi
roboh dari 100 bangunan yang ada. Perhitungan
probabilitas keruntuhan saat terjadi gempa bumi
besar untuk masing-masing-bangunan dan tipe
bangunan disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4
menunjukan bahwa, untuk tipologi bangunan W1
memiliki rata-rata nilai akhir (S) 3,15 dan rata-rata
probabilitas keruntuhan bangunan tipe ini adalah
Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
105
0,09%. Tipologi bangunan RM1 memiliki rata-rata
nilai akhir (S) sebesar 2,13 dan rata-rata
probabilitas keruntuhan bangunan tipe ini adalah
1,01%, sedangkan untuk tipologi bangunan C3
diperoleh rata-rata nilai akhir (S) sebesar 0,51 dan
rata-rata probabilitas keruntuhan bangunan tipe ini
adalah 32,62%.
Dari ketiga tipologi bangunan yang ditinjau,
maka tipe C3 memiliki tingkat kerentanan yang
paling tinggi bila terjadi gempa bumi. Hal ini
disebabkan karena basic score tipe C3 adalah yang
paling kecil diantara ketiganya. Selain itu
bangunan-bangunan tipe C3 memiliki beberapa
kriteria penilaian yang memberikan nilai negatif
terhadap basic score. Kriteria penilaian seperti:
vertical irregularity, plan irregularity, dan tipe
tanah merupakan parameter yang sangat
menentukan dalam mengevaluasi menggunakan
FEMA 154 karena komponen tersebut sebagai
faktor nilai pengurang (Kurniawandy, 2015). Dari
pengamatan dilapangan beberapa bangunan tipe C3
memiliki ketidakberaturan arah vertikal disebabkan
letak rumah yang berada pada kondisi tanah lereng,
selain itu juga terdapat beberapa bangunan yang
memiliki ketidakberaturan denah disebabkan
bentuk denah bangunan tidak simetris.
Selanjutnya apabila hasil evaluasi tahap awal
dengan menggunakan metode RVS suatu bangunan
dinyatakan rentan atau berisiko terhadap ancaman
gempa bumi, maka perlu dilakukan evaluasi
lanjutan yang lebih detail. Evaluasi lanjutan
tersebut perlu melibatkan evaluator yang handal
yang tentunya berkonsekuensi terhadap
pembiayaan. Sehingga kesadaran dari para pemilik
bangunan untuk melakukan evaluasi lanjutan
sangat dibutuhkan demi keselamatan pengguna
bangunan maupun orang-orang yang berada
disekitarnya (Amir, 2012).
KESIMPULAN
Ketidakberaturan arah vertikal dan bentuk
denah bangunan yang tidak simetris dapat
menyebabkan kerentanan bangunan akibat gempa
bumi menjadi meningkat.
Saat gempa bumi terjadi, tipologi bangunan
W1 dan RM1 masih tergolong aman sedangkan
tipologi C3 memiliki tingkat kerentanaan yang
tinggi.
Perlu dilakukan kajian yang lebih detail
terhadap tipologi bangunan C3 karena hasil analisis
skor akhir kurang dari 2.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Fatmawati. (2012). Evaluation of Building
Vulnerability From Earthquake by Rapid
Visual Screening Based On FEMA 154.
Jurnal Infrastruktur, Vol 2, 9-15.
ATC Project. 2015. FEMA P-154 – Rapid Visual
Screening of Buildings for Potential Seismic
Hazards: A Handbook. Washington DC:
Federal Emergency Management Agency.
Badan Standarisasi Nasional. (2012). Tata Cara
Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung
(SNI 03-1726-2012). Bandung: BSN
Hasmar, H. A. Halim. (2013). Dinamika Tanah &
Rekayasa Kegempaan. Yogyakarta: UII
Press.
Kurniawandy, Alex, Andy H, Rahmatul F. (2015).
Evaluasi Kerentanan Bangunan Gedung
Terhadap Gempa Bumi Dengan Rapid
Visual Screening (RVS) Berdasarkan FEMA
154. Prosiding Annual Civil Engineering
Seminar 2015, Pekanbaru.
Perdana, Intan Putra. (2017). Evaluasi Kerentanan
Bangunan Rumah Masyarakat Terhadap
Gempabumi di Desa Wisata Bugisan
Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten.
Thesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Satyarno, Iman. (2011). Vulnerability of
Indonesian Community Houses to
Earthquake Disaster. Prosiding The Ninth
International Symposium on Mitigation of
Geo-disasters in Asia, Yogyakarta.
Widodo. (2007). Kerusakan Bangunan Pada
Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 : Akibat
Kebelumjelasan Code, Sosialisasi Atau
Pelaksanaan. Prosiding Seminar HAKI
2007, Surabaya.
Zulfiar, M. H., Jayady, A., Saputra, N. R. J.
(2018). Kerentanan Bangunan Rumah
Cagar Budaya Terhadap Gempa di
Yogyakarta. Jurnal Karkasa, Vol 4, 1-7.
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
106
PERKEMBANGAN REGULASI PENINGKATAN NILAI
TAMBAH NIKEL DI INDONESIA
Arif Setiawan1), Juanita R. Horman 2)
1) Mahasiswa Pasca Sarjana Rekayasa Pertambangan ITB 2) Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Papua
Email: 1) [email protected], 2) [email protected]
Abstract
One of mining industry characteristics is non renewable, therefore its management should be
optimal, efficient and environmentally oriented. Indonesian government has established the mining law as
a main regulation in carrying out mineral and coal mining activities. The regulation related to mining
industry was Act No. 11/1967, which then replaced by Act No. 04/2009. Implementing rule of the Act No.
04/2009 is regulated through a Government Regulation (PP). In order to implement this government
regulation, a Minister Regulation is then need to be issued. The main objective of this research is to know
the development of the downstream mining industry related to increasing value added, especially nickel.
The method used in this study is a descriptive method that describes secondary data in the form of
documentation obtained from various sources. The results shows that the implementation of Act No.
04/2009 has ogbligated the maning companies to built their smelters to run mineral processing and metal
refining in five years, in which it can increase value added of minerals, including nickel. Therefore,
according to the act, in 2014 raw ore exports should be banned. This condition results in a decrease of raw
ore export. The construction of a smelter is used to process and purify nickel with levels above 2%.
However, in Indonesia there is still nickel ore with levels below that level. Therefore, Ministerial Regulation
No. 05/2017 was issued to overcome this problem, which is currently being replaced by ministerial
regulation No. 25/2018.
Keywords: Increased added value, legislation
Abstrak
Salah satu karakteristik industri pertambangan adalah bersifat tidak dapat diperbarui, sehingga
pengelolaannya harus optimal, efisien berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pemerintah Indonesia
menentapkan Undang-Undang (UU) pertambangan sebagai regulasi dalam melaksanakan kegiatan
pertambangan mineral dan batubara. UU pertambangan tersebut adalah UU No. 11 Tahun 1967 dan
digantikan oleh UU No. 04 Tahun 2009. Peraturan pelaksana dari UU No. 04 Tahun 2009 adalah Peraturan
Pemerintah (PP) dan untuk melaksanakan PP tersebut maka dikeluarkannya Peraturan Menteri. Tujuan
utama dari penelitian ini adalah mengetahui perkembangan dari hilirisasi industri pertambangan terkait
Peningkatan Nilai Tambah (PNT) khususnya nikel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode distriptif yang menjelaskan data sekunder berupa dokumentasi yang diperoleh dari berbagai
sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dengan adanya UU No. 04 Tahun 2009, maka setiap
perusahaan tambang diharuskan membangun smelter untuk pengolahan dan pemurnian dalam waktu lima
tahun, sehingga memungkinkan terjadinya PNT mineral, termasuk nikel. Berdasarkan jangka waktu
tersebut, pada tahun 2014 pelarangan ekspor bijih mentah diberlakukan hingga saat ini. Hal ini berpengaruh
pada penurunan ekspor bijih nikel di Indonesia. Di Indonesia pembangunan smelter digunakan untuk
mengolah dan memurnikan nikel dengan kadar diatas 2%, tetapi di Indonesia sendiri masih terdapat bijih
nikel dengan kadar di bawah kadar tersebut. Olehnya ditetapkanlah Permen No. 05 Tahun 2017 untuk
mengatasi masalah tersebut, yang mana saat ini telah diganti dengan Permen No. 25 Tahun 2018.
Kata Kunci: Peningkatan nilai tambah, peraturan perundang-undangan.
Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
107
PENDAHULUAN
Pertambangan merupakan industri yang
penting karena berperan sebagai salah satu
penopang perekonomian Indonesia. Selain itu
pertambangan memiliki beberapa karakteristik,
salah satu diantaranya adalah non renewable (tidak
dapat diperbarui). Oleh karena itu pengelolaannya
harus optimal, efisien berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan (Thendry, 2016). Hal
tersebut seuai dengan amanat Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) pasal 33 ayat 3
yang berbunyi:
“Bumi dan air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Untuk menjalankan amanat tersebut,
dibuatlah kebijakan yang diatur dalam perundang-
undangan, salah satunya adalah undang-undang
pertambangan. Di Indonesia UU pertambangan
tersebut adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun
1967 (UU No. 11/1967) dan Undang-Undang
Nomor 04 Tahun 2009 (UU No. 04/2009). Sejak
dikeluarkannya UU No. 04/2009 menggantikan
UU No. 11/1967, ada beberapa perubahan yang
terjadi, salah satuya adanya terkait Peningkatan
Nilai Tambah (PNT) mineral.
UU No. 04/2009 mengamanatkan untuk
melakukan PNT dalam beberapa pasal yaitu:
1. Pasal 95 C untuk meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara.
2. Pasal 102 yaitu pemegang IUP dan IUPK wajib
meningkatkan nilai tambah sumber daya
mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pemanfaatan mineral dan batubara.
3. Pasal 103 yaitu Pemegang IUP dan IUPK
Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan
dan pemurnian hasil penambangan di dalam
negeri atau mengolah dan memurnikan hasil
penambangan dari pemegang IUP dan IUPK
lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan
nilai tambah sebagaimana dimaksud diatur
dengan peraturan pemerintah.
4. Pasal 104 yaitu untuk pengolahan dan
pemurnian, pemegang IUP Operasi Produksi
dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan
kerja sama dengan badan usaha, koperasi, atau
perseorangan yang telah mendapatkan IUP atau
IUPK yang dikeluarkan oleh menteri, gubernur,
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
dan pelarangan melakukan pengolahan dan
pemurnian dari hasil penambangan yang tidak
memiliki IUP, IPR, atau IUPK.
5. Pasal 170 yaitu pemegang KK yang sudah
berproduksi wajib melakukan pemurnian
selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU ini
diundangkan.
Untuk melaksanakan UU tersebut,
dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23
Tahun 2010 (Tanggal 1 Februari 2010) yang
mengisyaratkan bahwa pemegang Izin Usaha
Pertambangan (IUP) operasi produksi dan Izin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi
produksi harus mengutamakan kebutuhan mineral
dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri
(Kementrian Perdagangan, 2013).
PP ini mengalami perubahan sampai pada
tahun 2018, yang di dalamnya terdapat beberapa
pasal mengenai kebijakan peningkatan nilai
tambah. Mengingat sampai pada tahun 2010
Indonesia pernah menjadi negara yang
memproduksi dan mengekspor bahan galian keluar
negeri seperti nikel, timah, tembaga dan bauksit
(Herjuna, 2011).
Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih
dari penjualan komoditas bahan galian tersebut,
perlu melakukan PNT agar nilai jual lebih tinggi.
Hal ini dimaksudkan agar dapat memberikan
pemasukan/pendapatan yang besar bagi pemerintah
serta dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan
masyarakat Indonesia sesuai amanat dari UUD
1945 Pasal 33.
Oleh karena itu penelitian ini membahas
mengenai perkembangan perundang-undangan
atau peraturan yang terkait dengan PNT serta
beberapa perusahaan yang melakukan kebijakan
tersebut.
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang
perkembangan dari kebijakan PNT sejak
dikeluarkannya UU No. 04/2009 sampai saat ini
yaitu tahun 2018 berupa peraturan pelaksana dan
perkembangan dari hilirisasi pertambangan mineral
dan batubara khususnya nikel.
METODE
Data yang digunakan dalam peneltian ini
merupakan data sekunder yang diperoleh dari
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral dan
dari website resmi salah satu perusahaan
Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
108
pertambangan yang melaksanakan peraturan
tersebut.
Analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif
yang menggambarkan perkembangan dari
peraturan perundang-undangan tersebut mulai dari
diberlakukannya UU No. 04/2009, PP serta Permen
dan salah satu perkembangan PNT pada
pertambangan Nikel sampai pada tahun 2018.
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah
Istilah peraturan peruandang-undangan yang
digunakan dalam penelitian ini menurut UU No. 12
Tahun 2011 (Pemerintah Indonesia, 2011) adalah:
1. Undang-Undang (UU) adalah Undang-Undang
adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dengan persetujuan bersama Presiden.
2. Peraturan Pemerintah (PP) adalah peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), arti dari Peraturan adalah tatanan
(petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk
mengatur. Dan Menteri adalah kepala suatu
departemen (anggota kabinet), merupakan
pembantu kepala negara dalam melaksanakan
urusan (pekerjaan) negara. Jadi Peraturan Menteri
(Permen) adalah tatanan (petunjuk, kaidah,
ketentuan) yang dibuat kepala departemen dalam
membantu kepala negara (presiden).
PNT menurut Permen No. 05 Tahun 2017
adalah upaya untuk meningkatkan nilai mineral
melalui kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian.
PNT komoditas tambang mineral yang
terdiri dari mineral logam, mineral bukan logam
dan batuan dapat dilaksanakan melalui kegiatan:
1. Pengolahan dan pemurnian untuk komoditas
tambang mineral logam
2. Pengolahan untuk komoditas tambang mineral
bukan logam dan batuan
Pengolahan mineral merupakan upaya untuk
meningkatkan nilai mineral yang menghasilkan
produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak
berubah dari mineral asal.
Pemurnian adalah upaya untuk
meningkatkan nilai mineral logam melalui proses
ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih
lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat
fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Peraturan PNT
Berikut ini adalah urutan dari perkembangan
ditetapkannya UU dan PP serta Permen terkait
peningkatan nilai tambah.
Tahun 1960
Di tahun ini UU Pertambangan pertama kali
dibentuk dan dikeluarkan. UU tersebut adalah UU
No. 37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan dan
UU No. 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi, untuk menggantikan
Indische Mijnwet Tahun 1899 yang dikeluarkan
oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pada UU No 37 Prp Tahun 1960 (Pemerintah
Republik Indonesia, 1960) dijelaskan secara jelas
mengenai kegiatan PNT pada pasal 10 tentang
usaha pertambangan yang meliputi:
1) Penyelidikan umum
2) Eksplorasi
3) Eksploitasi
4) Pemurnian dan pengolahan
5) Pengangkutan
6) Penjualan
Hal tersebut termuat pula pada UU No 44
Prp Tahun 1960 Pasal 4 terkait usaha
pertambangan minyak dan gas bumi. Dapat dilihat
bahwa pada pasal tersebut dari kedua UU yang ada,
kegiatan pengolahan dan pemurnian merupakan
salah satu dari usaha pertambangan, dan arti dari
pengolahan dan pemurnian dijelaskan secara jelas
pada pasal 1. Hal tersebut menandakan bahwa
kegiatan PNT telah ada.
Tahun 1967
Pada tahun 1967 tepatnya pada tanggal 2
desember tahun 1967 dikeluarkan UU No. 11
Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok
pertambangan (Pemerintah Republik Indonesia,
1967), menggantikan UU No. 37 Prp Tahun 1960.
Hal mengenai PNT dijelaskan sama seperti UU No
37 Prp dan UU No. 44 Prp Tahun 1960. Dalam UU
No 11 yang menjelaskan mengenai PNT, terdapat
pada Bab 4 pasal 14 terkait Usaha Pertambangan
yang meliputi:
1) Penyelidikan umum
2) Eksplorasi
3) Eksploitasi
4) Pengolahan dan pemurnian
5) Pengangkutan
6) Penjualan.
Tahun 1969
Pada tahun ini ditebitkannya PP No 32
Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU No. 11 Tahun
Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
109
1969 (Pemerintah Republik Indonesia, 1969). Pada
PP ini terkait PNT dijelaskan pada Pasal 7 dan
Pasal 11 tentang kuasa pertambangan yang terdiri
dari kuasa pertambangan untuk kegiatan usaha
pertambangan yaitu:
1) Kuasa pertambangan penyelidikan umum
2) Kuasa pertambangan Eksplorasi
3) Kuasa pertambangan Eksploitasi
4) Kuasa pertambangan Pengolahan dan
pemurnian
5) Kuasa pertambangan Pengangkutan
6) Kuasa pertambangan Penjualan.
Tahun 1986
Pada tahun ini dikeluarkan PP No. 17 Tahun
1986 tentang kewenangan pengaturan, pembinaan,
pengembangan industri. Hal tersebut dijelaskan
pada pasal 2 terkait industri (Pemerintah Republik
Indonesia , 1986) yaitu:
1) Penyulingan minyak bumi.
2) Pencairan gas alam
3) Pengolahan bahan galian bukan logam tertentu
4) Pengolahan bijih timah sebagai ingot timah
5) Pengolahan bauksit menjadi alumina
6) Pengolahan bijih logam mulia menjadi logam
muha.
7) Pengolahan bijih tembaga menjadi ingot
tembaga
8) Pengolahan bahan galian logam mulia menjadi
ingot logam
9) Pengolahan bijih nikel menjadi ingot nikel
Tahun 2009
Pada tahun ini tepatnya tanggal 12 Januari
ditetapkan UU No. 04 Tahun 2009 tentang
pertambangan mineral dan batubara. Pertimbangan
untuk menetapkan UU ini (Pemerintah Indonesia,
2009) adalah:
1. Mineral dan batubara yang terkandung dalam
wilayah hukum pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan alam tak terbarukan
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peranan penting dalam memenuhi
hajat hidup orang banyak, karena itu
pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara
untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi
perekonomian nasional dalam usaha mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan.
2. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara yang merupakan kegiatan usaha
pertambangan di luar panas bumi, minyak dan
gas bumi serta air tanah mempunyai peranan
penting dalam memberikan nilai tambah secara
nyata kepada pertumbuhan ekonomi
nasional dan pembangunan daerah secara
berkelanjutan.
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak
sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan
peraturan perundang-undangan di bidang
pertambangan mineral dan batubara yang dapat
mengelola dan mengusahakan potensi mineral
dan batubara secara mandiri, andal, transparan,
berdaya saing, efisien, dan berwawasan
lingkungan, guna menjamin pernbangunan
nasional secara berkelanjutan
Tahun 2010
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan
beberapa pasal pada Undang-Undang No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara yaitu:
1. Pasal 5 ayat (5),
2. Pasal 34 ayat (3),
3. Pasal 49,
4. Pasal 63,
5. Pasal 65 ayat (2),
6. Pasal 71 ayat (2),
7. Pasal 76 ayat (3),
8. Pasal 84,
9. Pasal 86 ayat (2),
10. Pasal 103 ayat (3),
11. Pasal 109,
12. Pasal 111 ayat (2),
13. Pasal 112,
14. Pasal 116, dan
15. Pasal 156.
Maka pada tanggal 1 februari 2010
ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun
2010 (PP No. 23 /2010) tentang pelaksanaan
kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara
(Pemerintah Indonesia, 2010).
PP ini ditetapkan dan mencabut beberapa
peraturan sebelumnya (Kementrian Energi dan
Sumber Daya MIneral, 2018) yaitu:
1. PP No. 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU
No. 11 Tahun 1967.
2. PP No. 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan
Bahan-Bahan Galian.
3. PP No. 37 Tahun 1986 tentang penyerahan
sebagian urusan pemerintahan di bidang
pertambangan kepada pemerintah daerah
tingkat I
Tahun 2012
Untuk melaksanakan ketentuan pada pasal
96 dan pasal 111 (PP No 23 Tahun 2010)
Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
110
diperlukan Peraturan menteri tentang PNT mineral,
sehingga pada Tanggal 6 Februari Tahun 2012
ditetapkan Permen No. 7 Tahun 2012 Tentang PNT
mineral melalui kegiatan pengolahan dan
pemurnian mineral (Pemerintah Indonesia, 2012).
Pada bulan yang sama yaitu bulan Februari,
setelah ditetapkannya Permen No. 7 Tahun 2012,
dan ditetapkan pula PP No. 24 Tahun 2012 tentang
perubahan atas peraturan pemerintah No. 23 Tahun
2010 (Pemerintah Indonesia, 2012). Peraturan ini
di tetapkan dengan sebagai pertimbangan atas:
1. Menunjang pembangunan industri dalam negeri
perlu penataan kembali perhberian izin usaha
pertambangan untuk mineral bukan logam dan
batuan.
2. Memberi kesempatan lebih besar kepada
peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi
dalam kegiatan usaha pertambangan mineral
dan batubara, perlu mewajibkan modal asing
untuk mengalihkan sebagian sahamnya kepada
peserta Indonesia.
3. Memberikan kepastian hukum bagi pemegang
Kontrak Karya dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara yang
bermaksud untuk melakukan perpanjangan
dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan, perlu
diatur mengenai tata cara permohonan lzin
Usaha Pertambangan dimaksud
Pada Tanggal 16 Mei Tahun 2012 terjadi
perubahan pada Peraturan Menteri No. 7 Tahun
2012 yaitu Permen No. 11 Tahun 2012 tentang
perubahan atas peraturan menteri energi dan
sumber daya mineral No. 07 Tahun 2012 tentang
PNT mineral melalui kegiatan pengolahan dan
pemurnian mineral. Dengan alasan atas
pertimbangan dalam rangka meningkatkan
efektifitas pelaksaaan pengendalian penjualan
mineral ke luar negeri (Pemerintah Indonesia,
2012)
Tahun 2013
Pada Tahun 2013 terjadi perubahan kedua
atas Permen No. 7 Tahun 2012 dalam rangka
menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan
pengendalian penjualan mineral ke luar negeri serta
untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Agung
No. 10 P/HUM/12 Tanggal 12 September 2012,
perlu dilakukan perubahan kembali pengaturan atas
PNT mineral melalui kegiatan pengolahan dan
pemurnian mineral, maka pada Tanggal 1 Oktober
2013 ditetapkan Permen No. 20 Tahun 2013
tentang perubahan kedua atas peraturan menteri
energi dan sumber daya mineral No. 07 Tahun
2012 (Pemerintah Indonesia, 2013)
Tahun 2014
Pada Tanggal 11 Januari Tahun 2014 ditetapkan
dua peraturan perundang-undangan yaitu:
1. PP No. 1 Tahun 2014 tentang perubahan kedua
atas peraturan pemerintah No. 23 Tahun 2010.
Peraturan ini ditetapkan atas pertimbangan
untuk meningkatkan manfaat mineral bagi
rakyat dan kepentingan pembangunan daerah,
maka perlu peningkatan nilai tambah mineral
melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian
sumber daya mineral di dalam negeri sesuai
Pasal 103 dan Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(Pemerintah Indonesia , 2014).
2. Permen No. 1 Tahun 2014 tentang peningkatan
nilai tambah mineral melalui kegiatan
pengolahan dan pemurnian mineral di dalam
negeri. Peraturan ini ditetapkan untuk
melaksanakan ketentuan PasaI 96 dan Pasal 112
C angka 5 dari PP No. 23 Tahun 2010 yang telah
dua kali diubah terakhir dengan PP No. 1 Tahun
2014 (Pemerintah Indonesia, 2014).
Tahun 2015
Pada Tanggal 4 Maret Tahun 2015
ditetapkan Permen No. 8 Tahun 2015 tentang
perubahan atas peraturan menteri energi dan
sumber daya mineral nomor 1 Tahun 2014
(Pemerintah Indonesia , 2015).
Peraturan Menteri ini ditetapkan dengan
mempertimbangkan berbagai hal (Pemerintah
Indonesia , 2015) yaitu:
1. Dalam rangka mendorong, melaksanakan, dan
memfasilitasi pelaksanaan penelitian dan
pengembangan mineral yang diatur UU No. 4
Tahun 2009 pasal 146, sehingga perlu diaturnya
pengiriman conto mineral ke luar negeri dalam
rangka kerja sama penelitian dan
pengembangan mineral untuk menunjang
pengembangan kegiatan pengolahan dan
pemurnian mineral di dalam negeri.
2. Meningkatkan efektifitas dan menjamin
kepastian hukum pelaksanaan peningkatan nilai
tambah mineral melalui kegiatan pengolahan
dan pemurnian mineral di dalam negeri,
sehingga perlu mengatur kembali batasan
minimum pengolahan dan pemurnian mineral
termasuk penetapan jenis komoditas tambang
mineral serta mineral ikutannnya yang belum
ditetapkan batasan minimum pengolahan dan
pemurniaanya.
Tahun 2017
Pada tanggal 11 Januari ditetapkan tiga
peraturan perundang-undangan yaitu:
Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
111
1. PP No. 1 Tahun 2017 tentang perubahan
keempat atas peraturan pemerintah No. 23
Tahun 2010. Pertimbangan ditetapkannya
peraturan ini (Pemerintah Indonesia, 2017)
adalah:
1) Pemerintah berupaya mendorong
terwujudnya pembangunan fasilitas
pemurnian di dalam negeri dalam rangka
pelaksanaan peningkatan nilai tambah
mineral logam melalui kegiatan pengolahan
dan pemurnian mineral logam dalam UU
No. 4 Tahun 2009.
2) Memberikan manfaat yang optimal bagi
negara serta memberikan kepastian hukum
dan kepastian berusaha bagi pemegang lUP
Operasi Produksi, lUPK Operasi Produksi,
Kontrak Karya, dan Peijanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara,
perlunya untuk mengatur kembali ketentuan
mengenai divestasi saham.
2. Permen No. 5 Tahun 2017 tentang peningkatan
nilai tambah mineral melalui kegiatan
pengolahan dan pemurnian mineral di dalam
negeri. Pertimbangan dalam menetapkan
peraturan Menteri ini adalah untuk
melaksanakan PP No. 23 Tahun 2010 yang telah
mengalami perubahan sampai perubahan yang
keempat yaitu PP No. 1 Tahun 2017 yaitu pasal
96, pasal 112C angka 5. (Pemerintah Indonesia,
2017).
3. Permen No. 06 Tahun 2017 tentang tata cara
dan persyaratan pemberian rekomendasi
pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri
hasil pengolahan dan pemurnian. Pertimbangan
atas penetapan peraturan ini adalah pelaksanaan
penjualan mineral ke luar negeri hasil
pengolahan dan pemurnian (Pemerintah
Indonesia, 2017)
Pada tanggal 30 maret ditetapkan Permen No
28 Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan
menteri energi dan sumber daya mineral No. 05
Tahun 2017. Peraturan ini ditetapkan berdasarkan
beberapa pertimbangan (Pemerintah Indonesia,
2017) yaitu:
1. Untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi
Negara,
2. memberikan kepastian hukum dan kepastian
berusaha,
3. serta mendorong terlaksananya peningkatan
nilai tambah mineral melalui terwujudnya
pembangunan fasilitas pemurnian mineral di
dalam negeri oleh pemegang kontrak karya
yang melakukan perubahan bentuk
pengusahaan pertambangan dari kontrak karya
menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus
Operasi Produksi, dan
4. perlunya mengatur kembali ketentuan mengenai
perubahan bentuk pertambangan dari kontrak
karya menjadi Izin Usaha Pertambangan
Khusus Operasi Produksi.
Pada tanggal 15 Mei 2017 ditetapkan
Permen No. 35 Tahun 2017 tentang perubahan atas
peraturan menteri energi dan sumber daya mineral
No. 06 Tahun 2017 tentang tata cara dan
persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan
penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan
dan pemurnian. Dengan pertimbangan bahwa
dalam rangka pelaksanaan penjualan mineral
keluar negeri hasil pegolahan dan pemurnian, perlu
dilakukan verifikasi rencana pembangunan fasilitas
pemurnian dan verifikasi kemajuan fisik
pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri
(Pemerintah Indonesia, 2017)
Tahun 2018
Pada tanggal 7 Maret ditetapkan PP No. 08
Tahun 2018 tentang Perubahan Kelima Atas PP
No. 23 Tahun 2010 (Pemerintah Indonesia, 2018).
Dan Pada tanggal 30 April ditetapkannya Permen
No. 25 tentang pengusahaan pertambangan mineral
dan batubara (Pemerintah Indonesia, 2018).
Permen ini mempertimbangkan pasal 96 dari PP
No 23 tentang peningkatan nilai tambah (yang telah
mengalami perubahan sampai pada PP No. 08
Tahun 2018).
Pada Permen No. 25 Tahun 2018,
Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan/atau
batubara tertuang pada pasal 16 yaitu pemegang
IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan
peningkatan nilai tambah mineral dan batubara
melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian.
Kegiatan PNT dapat dilakukan dalam bentuk
kerja sama dengan pemegang IUP atau IUPK
operasi produksi yang membangun fasilitas
pengolahan dan pemurnian. Untuk pengolahan
batubara dalam rangka Peningkatan Nilai Tambah
dapat dilakukan jika telah tersedia teknologi dan
layak secara ekonomis.
Dalam Permen No. 25 terdapat beberapa
pasal yang mengatur tentang peningkatan nilai
tambah yaitu:
1. Pada pasal 17 Tahun 2018, dalam penjualan
mineral hasil pengolahan dan/atau pemurnian
ke luar negeri wajib terlebih dahulu melakukan
peningkatan nilai tambah melalui kegiatan
pengolahan dan/atau pemurnian sesuai batasan
Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
112
minimum pengolahan dan/atau pemurnian
tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan
Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Permen ini. Jika komoditas
tambang yang tidak tercantum dalam lampiran
I, II, dan III, maka hanya dapat dijual keluar
negeri setelah batasan minimum pengolahan
dan pemurnian ditetapkan oleh Menteri
2. Pada Pasal 18, produk samping atau sisa hasil
pemurnian untuk beberapa mineral yaitu:
1) Tembaga berupa lumur anoda wajib
melakukan peningkatan pemurnian lebih
lanjut di dalam negeri sesuai dengan
Batasan minimum pemurnian lanjut produk
samping yang tercantum pada lampiran IV
dari Permen ini.
2) Untuk produk samping dari pemurnian
tembaga berupa logam tanah jarang wajib
dilakukan pemurnian di dalam negeri sesuai
dengan batasan minimum pemurnian
komoditas tambang yang tercantum dalam
Lampiran I
3) Untuk produk samping timbal dan seng
berupa emas dan perak wajib melakukan
Pemurnian di dalam negeri sesuai dengan
batasan minimum Pemurnian komoditas
tambang Mineral logam tercantum dalam
Lampiran I.
4) Produk Samping hasil Pengolahan timah
berupa konsentrat zirkon, ilmenit, rutil,
monasit, dan senotim wajib dilakukan
Pengolahan dan/atau Pemurnian di dalam
negeri sesuai dengan batasan minimum
yang tercantum dalam Lampiran I dan
Lampiran II.
5) Produk Samping hasil Pemurnian
Konsentrat timah berupa Terak wajib
dilakukan peningkatan kemurnian lebih
lanjut di dalam negeri sesuai dengan
batasan minimum yang tercantum dalam
Lampiran IV.
6) Untuk point 4 dan 5 yang belum memenuhi
batasan minimum Pengolahan dan/atau
pemurnian dan batasan minimum
pemurnian lanjut Produk Samping, wajib
diamankan dan dikelola sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
(Sumber: data diolah)
Gambar 1. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan terkait PNT dari tahun 2009 – 2018.
Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
113
3. Pasal 19 yaitu pemegang IUP operasi produksi,
IUPK operasi produksi, IUP operasi produksi
khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian,
dan IUP operasi produksi khusus untuk
pengangkutan dan penjualan, serta pihak lain
dapat melakukan penjualan ke luar negeri
dengan syarat:
1) Mineral logam yang telah memenuhi
batasan minimum pemurnian
2) Mineral bukan logam atau Batuan yang
telah memenuhi batasan minimum
Pengolahan
Dengan menggunakan pos tarif/hs
(harmonized system) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kewajiban pemenuhan batasan minimum
Pengolahan dan/atau Pemurnian tidak berlaku bagi
Mineral yang digunakan untuk kepentingan dalam
negeri atau penelitian dan pengembangan Mineral
melalui pengiriman conto mineral ke luar negeri.
Perkembangan Hilirisasi Pertambangan Nikel
Sejak dikeluarkannya Permen ESDM No. 07
Tahun 2012 dalam rangka melaksanakan amanat
UU No. 04/2009, khususnya terkait dengan
kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di
dalam negeri paling lambat tanggal 12 Januari 2014
yaitu 5 tahun terhitung dari tanggal yang sama
sejak di tetapkannya UU No. 04 yang termuat pada
pasal 170 (Kementrian Perdagangan, 2013).
Pada Permen No. 11 Tahun 2012 (tanggal 16
Mei 2012) yaitu perubahan atas Permen No. 07
Tahun 2012, menjelaskan bahwa perusahaan
pertambangan dapat melakukan ekspor bijih atau
ore mineral (dalam hal ini nikel) ke luar negeri
sebelum tahun 2014 jika telah mendapatkan
rekomendasi dari Menteri ESDM dengan syarat
sebagai berikut (Kementrian Perdagangan, 2013):
1) Status IUP Operasi Produksi dan IPR Clear and
Clean (c&c).
2) Perusahaan pertambangan harus melunasi
kewajiban pembayaran keuangan kepada
negara.
3) Wajib menyampaikan rencana kerja dan atau
kerja sama dalam pengelolaan dan atau
pemurnian mineral di dalam negeri.
4) Wajib menandatangani pakta integritas.
Jadi UU No. 4/2009 dapat berlaku secara
efektif pada Januari 2014 untuk komoditas
tambang mineral logam, mineral bukan logam dan
batuan dalam bentuk bahan mentah (raw
material/ores). Menurut BPS dari tahun 2009
sampai tahun 2013 jumlah ekspor nikel mengalami
peningkatan dan menurun di tahun 2014 sejak
diberlakukannya Permen No. 01 Tahun 2014
seperti yang terlihat pada gambar 2.
Sumber: (Badan Pusat Statistik, 2018) Data diolah
Gambar 2. Perkembangan nilai ekspor nikel Indonesia tahun 2009-2014
Pada PP No. 01 Tahun 2014 tentang
perubahan PP No. 23 Tahun 2010 yang berisi
pelarangan ekspor mineral mentah yang dimulai
tanggal 12 Januari tahun 2014, akan tetapi untuk
nikel berkadar rendah masih sulit dimurnikan di
dalam negeri dikarenakan smelter di Indonesia
dibangun bukan untuk spesifikasi bijih berkadar
1 2 3 4 5 6
Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Ekspor Nikel 10.437.126,50 17.566.047,40 40.792.164,80 48.449.392,10 64.802.857,10 4.160.120,70
0
10
20
30
40
50
60
70
Mil
lio
ns T
on
Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
114
rendah dan hanya bisa menyerap bijih kadar 2% ke
atas. (Kementrian Perindustrian).
Pada tahun 2017 ditetapkannya Permen
untuk pemanfaatan mineral logam dengan kriteria
tertentu yaitu Permen No. 05 Tahun 2017 yang
mana pada pasal 9 ayat 2 bahwa pengolahan dan
pemurnian untuk mineral logam dengan kriteria
tertentu seperti nikel berkadar kurang dari 1,7%.
Maksudnya adalah pada pasal ini diwajibkan untuk
mengolah dan memurnikan nikel dengan kadar di
bawah 1,7%, sehingga tidak terbuang percuma (tak
bernilai). Alasannya adalah smelter di dalam negeri
kebanyakan hanya mengolah nikel berkadar di atas
1,7%. (Agustinus, 2017).
Izin ekspor bijih nikel kadar rendah hanya
diberikan kepada perusahaan yang telah
membangun smelter dan dievaluasi terus selama
enam bulan. Apabila program pembangunan tidak
berjalan maka izin ekspor langsung dicabut.
Jumlah bijih nikel yang boleh diekspor dibatasi
sesuai dengan kapasitas smelter yang dibangun dan
jumlah wilayah pertambangan (Agustinus, 2017).
Perubahan kebijakan dilakukan agar industri
hilirisasi mineral dapat diteruskan serta perlu
tambahan waktu untuk pembangunan smelter,
dikarenakan jika ekspor mineral mentah dan
konsentrat ditutup 100% akan berakibat buruk dan
smelter pun tetap tak akan terbangun (Agustinus,
2017).
Kebijakan PNT mineral juga telah
mendorong investasi pada sektor Industri
Pengolahan dan Pemurnian Logam, tercatat sampai
dengan Bulan Oktober 2017 investasi yang telah
selesai ditanamkan untuk pembangunan fasilitas
pemurnian Nikel di dalam Negeri adalah mencapai
±5,03 milyar USD (±Rp 68 triliun). Investasi
tersebut telah berhasil membangun sejumlah 13
fasilitas pemurnian Nikel dengan berbagai macam
produk yang dihasilkan yaitu NPI, FeNi dan
NiHidroxide dan telah mampu memurnikan bijih
Nikel di dalam Negeri sebesar 34 juta ton bijih
Nikel (Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral, 2017)
Pasca terbitnya PP 1 Tahun 2017 beserta
turunannya Permen ESDM No 5/2017 dan Permen
ESDM No. 6/2017 yang memberikan insentif bagi
pelaku usaha yang membangun fasilitas pemurnian
untuk dapat menjual bijih nikel kadar rendah
mampu mendorong minat pelaku usaha untuk
dengan sungguh-sungguh membangun fasilitas
pemurnian baru atau bahkan mendorong existing
smelter meningkatkan kapasitas fasilitas
pemurnian yang telah ada, tercatat ada 11
perusahaan yang berinvestasi baru dan dua
perusahaan melakukan ekspansi dengan total
investasi yang akan ditanamkan sebesar 4,3 milyar
USD (Rp 56 triliun) dengan kapasitas input sebesar
28 juta ton bijih Nikel (Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral, 2017).
Rekomendasi ekspor yang telah dikeluarkan oleh
KESDM sampai dengan 30 November 2017 untuk
komoditas Nikel sejumlah 14 Perusahaan dengan
jumlah ekspor sebesar 22,9 juta ton, namun sampai
dengan 30 November 2017 realisasi ekspor bijih
nikel kadar rendah baru mencapai 3 juta ton.
Menurut kementrian perindustriaan,
permintaan stainless steel sampai tahun 2025
diperkirakan sebesar 410 Ribu Ton, dengan
produksi ferronickel dalam negeri sebesar 180 Ribu
Ton pada tahun 2013 maka dibutuhkan minimal
720 Ribu Ton tambahan produksi dalam jangka
waktu 12 tahun. Untuk memenuhi demand yang
ada pada tahun 2025 ditargetkan sudah
membangun tambahan smelter dengan tambahan
kapasitas 1,68 juta ton, dengan rincian:
1) Pada tahun 2014, terdapat tambahan kapasitas
poduksi ferronickel PT. Feni Haltim sebesar
300 Ribu Ton dan PT. Bumi Selaras sebesar 600
Ribu Ton.
2) Pada tahun 2015, terdapat tambahan kapasitas
poduksi ferronickel PT. Weda Bay Nickel
sebesar 600 Ribu Ton.
3) Ditargetkan hingga tahun 2025, terdapat
penambahan investasi pada industri ferronickel
300 Ribu Ton diantaranya dari perluasan
kapasitas produksi PT. Antam Unit Pomalaa
sebesar 100.000 Ton, investasi baru PT. Multi
Baja sebesar 100 Ribu Ton dan investor lainnya
sebesar 190 Ribu Ton.
4) Direncanakan PT. Antam akan membangun
pabrik stainless steel pada tahun 2020 dengan
kapasitas produksi sebesar 600 Ribu Ton.
Guna memenuhi kebutuhan energi atas
pembangunan smelter ferronickel dan pabrik
stainless steel pada tahun 2025 maka dibutuhkan
kepastian supply energi setara energi listrik sebesar
1.020 MW. Untuk memenuhi kebutuhan demand
produk Stainless Steel dari tahun 2013 sampai
dengan tahun 2025 dengan mengoptimalkan bahan
baku dari dalam negeri, diperkirakan setidaknya
harus membutuhkan bahan baku bijih nikel sebesar
80 Juta Ton. Proyeksi konsumsi pada tahun 2025
dalam bentuk stainless steel sebesar 1,5 kg
perkapita, meningkat hampir tiga kali lipat
dibandingkan konsumsi saat ini 0,6 kg perkapita.
Faktor penggerak cabang industri pengolah nikel
Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
115
adalah sektor transportasi, alat rumah tangga, alat
kesehatan, dan konstruksi. Tahun 2013 produksi
nikel dalam ferronickel sebesar 18 ribu ton,
sehingga dengan target konsumsi stainless steel 1,5
kg per kapita kebutuhan stainless steel akan
mencapai 400 ribu ton. Hal ini sesuai dengan
rencana PT Antam yang akan membangun pabrik
stainless steel pada tahun 2020 dengan kapasitas
600 ribu ton. Adapun rencana investasi yang akan
membangun smelter ferronickel adalah PT. Bumi
Makmur Selaras, PT. Feni Haltim, PT. Antam, PT.
Weda Bay Nickel dan PT.Multi Baja Selaras
dengan kapasitas total sebesar 1,3 juta ton dan
diproyeksikan akan terdapat investasi lain sebesar
200 ribu ton sampai tahun 2025. Sehingga sampai
tahun 2025 memerlukan bijih nikel sebesar 80 juta
ton, dengan tambahan energi sebesar 900 MW dan
investasi sebesar Rp. 72 trilliun (Kementrian
Perindustrian, 2016).
Sumber: (Kementrian Perindustrian, 2016)
Gambar 3. Kebutuhan dan pasokan stainless steel
Sumber: (Kementrian Perindustrian, 2016)
Gambar 4. Pohon Industri Nikel
Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
116
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Sejak ditetapkannya UU No. 04 Tahun 2009
terutama dalam hal PNT mineral dan batubara.
UU ini memberikan jangka waktu perusahaan
tambang untuk melakukan pembangunan
smelter selama lima tahun sejak dikeluarkanya
UU tersebut dan menetapkan peraturan
pemerintah yaitu PP No. 23 Tahun 2010 dan
mengalami perubahan sebanyak 4 kali dan PP
ini dicabut oleh PP No. 08 Tahun 2018. Untuk
menjalankan PP maka ditetapkan Permen yaitu:
1) Permen No. 07 tahun 2012
2) Permen No. 11 tahun 2012
3) Permen No. 20 tahun 2013
4) Permen No. 01 tahun 2014
5) Permen No. 08 tahun 2015
6) Permen No. 07 tahun 2017
7) Permen No. 25 tahun 2018, Permen No. 25
tahun 2018 merupakan regulasi yang
digunakan saat ini.
2. Untuk hilirisasi pertambangan nikel,
pemerintah mengeluarkan Permen No. 01
Tahun 2014 yang menyatakan bahwa mineral
tertentu seperti nikel dapat diolah dan
dimurnikan di dalam negeri dengan kadar
minimum kurang dari 1,7% nikel. Dikarenakan
smelter di dalam negeri hanya mampu
mengolah dan memurnikan nikel kadar di atas
2%. Nilai ekspor nikel meningkat pesat dari
tahun 2009 sampai 2013 dan di tahun 2014
ekspor nikel menurun dikarenakan PP No. 01
Tahun 2014 mengenai pelarangan ekspor
mineral mentah diberlakukan. Tetapi bagi
perusahaan yang masih dalam tahap
pembangunan smelter, mendapatkan
rekomendari dari pemerintah untuk melakukan
ekspor.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih yang diberikan kepada bapak
Prof. Dr. Ir. Rudy Sayoga Gautama yang telah
membimbing terkait penyelesaian penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agustinus, M. (2017, Januari 21). Ekspor Tambang
Mentah Tak Langgar UU Minerba.
Retrieved from
https://finance.detik.com/energi/d-
3402153/esdm-ekspor-tambang-mentah-
tak-langgar-uu-minerba
Badan Pusat Statistik. (2018). Ekspor Bijih Nikel
Menurut Negara Tujuan Utama, 2002-2015.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Herjuna, S. (2011). Mineral dan Batubara dalam
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta:
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.
(2017, Desember 27). Investasi dan
Keberlangsungan Operasi Fasilitas
Pemurnian Pasca Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2017. Retrieved
fromhttps://drive.esdm.go.id/wl/?id=CeOjI
HoFqkGGXVWhHexx61uV8w2ESHJm
Kementrian Energi dan Sumber Daya MIneral.
(2018, November 8). Status Peraturan.
Retrieved from
http://jdih.esdm.go.id/view/status.php?bentu
k=Peraturan%20Menteri%20Energi%20dan
%20Sumber%20Daya%20Mineral&no=07
&tahun=2012&id=41
Kementrian Perdagangan. (2013). Analisis
Dampak Kebijakan Pelarangan Ekspor Raw
Material Tambang dan MineraL. Jakarta:
Kementrian Perdagangan.
Kementrian Perindustrian. (2016). Hilirisasi
Pembangunan Industri Berbasis Mineral
Tambang. Jakarta: Kementrian Perindustrian
Republik Indonesia.
Kementrian Perindustrian. (n.d.). Pemerintah Buka
Keran Ekspor Nikel & Bauksit. Retrieved
from
http://kemenperin.go.id/artikel/16245/Peme
rintah-Buka-Keran-Ekspor-Nikel-&-Bauksit
Pemerintah Indonesia . (2014). Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010. Lembaran Negara RI Tahun 2014 No.
1. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia . (2015). Peraturan Menteri
ESDM No. 08 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM
No. 01 Tahun 2014. Berita Negara RI Tahun
2015 No. 349. Jakarta : Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2009). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Lembaran Negara RI Tahun 2009
No. 4. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2010). Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan
Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
117
Batubara. Lembaran Negara RI Tahun 2010
No. 29. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2011). Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Lembaran Negara RI Tahun
2011 No. 82. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2012). Peraturan Menteri
Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor
07 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai
Tambah Mineral Melalui Kegiatan
Pengolahan Dan Pemurnian Mineral. Berita
Negara RI Tahun 2012 No. 165. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2012). Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 07 tahun 2012. Berita
Negara RI Tahun 2012 No. 534. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2012). Peraturan
Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2012
Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010.
Lembaran Negara RI Tahun 2012 No. 45 .
Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2013). Peraturan Menteri
Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor
20 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber
Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012. Berita
Negara RI Tahun 2013 No. 993 . Jakarta:
Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2014). Peraturan Menteri
Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai
Tambah Mineral Melalui Kegiatan
Pengolahan Dan Pemurnian Mineral Di
Dalam Negeri. Berita Negara Ri Tahun 2014
No. 35. Jakarta: sekretariat negara.
Pemerintah Indonesia. (2017). Peraturan Menteri
Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor
28 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber
Daya Mineral Nomor 05 Tahun 2017. Berita
Negara RI Tahun 2017 No. 515 . Jakarta:
Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2017). Peraturan Menteri
ESDM No. 05 Tahun 2017 Tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Di
Dalam Negeri. Berita Negara RI Tahun
2017 No. 98. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2017). Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2017 Tentang Perubahan Keempat
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010. Lembaran Negara RI Tahun
2017 No. 4. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2017). Permen ESDM
Nomor 06 Tahun 2017 Tentang Tata Cara
Dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi
Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar
Negeri Hasil Pengolahan Dan Pemurnian.
Berita Negara RI Tahun 2017 No. 99.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2017). Permen ESDM
Nomor 35 Tahun 2017 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber
Daya Mineral Nomor 06 Tahun 2017.Berita
Negara RI Tahun 2017 No.687. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2018). Peraturan Menteri
Nomor 25 tahun 2018 tentang pengusahaan
pertambangan mineral dan batubara. Berita
Negara RI Tahun 2018 No. 595. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2018). Peraturan
Pemerintah Nomor 08 Tahun 2018 Tentang
Perubahan Kelima Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010.
Lembaran Negara . Jakarta: Sekretariat
Negara.
Thendry, S. (2016). Desentralisasi Kewenangan
Dalam Pengaturan Usaha Pertambangan Di
Era Otonomi Daerah. Lex et Societatis,
Vol.IV/No.4, 45-53.
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
118
POTENSI SUMBERDAYA MINERAL DISTRIK WINDESI
KABUPETAN TELUK WONDAMA
Hermina Haluk
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Universitas Papua
Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: [email protected]
Abstract
Geologically the Windesi area is composed of sedimentary rocks from the Kembelangan Group,
which are in the Middle Jura to the Middle Miocene. The Kembelangan group suppressed in harmony with
Imskin limestone (KTi) which is in the Upper Cretaceous to the Middle Miocene. Thus, it has quite a variety
of mineral potential. Potential Mineral Resources in the Windesi District are classified as Non-Metallic
Minerals consisting of limestone, sandstone, shale and assorted gravels. Possible occurrence of limestone
in Windesi District found in Wamesa Tengah village, Windesi village, Sombokaro village, Yopmios village
and Sandey village with an estimated reserve area of 3,093,325 Ha. Sandstones found in Sandey village
and partly in Wamesa Tengah village, as well as in Windesi village. The possible occurence of sandstone
in the Windesi District area is quite large with an estimated reserve area of 156,290.51 Ha. Shale scattered
in the middle of Sandey village and in the northern part of Windesi village and partly in Yopmios village
with a reserve area of approximately 414,845.19 Ha. Assorted gravels potential found in Sandey village in
the west and along the coast of Tanjung Ronsore in the north to northeast with a reserve area of
approximately 2,973.17 Ha.
Keywords: Geology, Windesi, Potency, Mineral Resources.
Abstrak
Secara geologi daerah Windesi tersusun oleh batuan sedimen dari Kelompok Kembelangan yang
berumur Jura Tengah sampai Miosen Tengah. Kelompok Kembelangan tertindih selaras oleh batugamping
Imskin (KTi) yang berumur Kapur Atas hingga Miosen Tengah sehingga memiliki potensi sumberdaya
mineral yang cukup bervariasi pula. Potensi Sumberdaya Mineral di Distrik Windesi tergolong Mineral
Non Logam yang terdiri dari batugamping, batupasir, serpih dan sirtu. Potensi batugamping di Distrik
Windesi dijumpai di kampung Wamesa Tengah, kampung Windesi, kampung Sombokaro, kampung
Yopmios dan kampung Sandey dengan perkiraan luas cadangan 3.093.325 Ha; Batupasir dijumpai di
kampung Sandey dan sebagian di kampung Wamesa Tengah, kampung Windesi. Potensi batupasir di
daerah Distrik Windesi cukup besar dengan perkiraan luas cadangan 156.290, 51 Ha; Serpih tersebar di
bagian tengah kampung Sandey dan di bagian utara kampung Windesi serta sebagian di kampung Yopmios
dengan luas cadangan lebih kurang 414.845,19 Ha. Potensi sirtu terdapat di kampung Sandey di bagian
barat dan sepanjang pesisir pantai tanjung Ronsore di sebelah utara sampai timur laut dengan luas cadangan
lebih kurang 2.973,17 Ha.
Kata Kunci: Geologi, Windesi, Potensi, Sumberdaya Mineral.
Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
119
PENDAHULUAN
Distrik Windesi merupakan wilayah yang
sangat luas dan memiliki potensi sumber daya alam
berupa potensi geologi yang sangat beragam, baik
yang berupa sumberdaya yang dapat dimanfaatkan
untuk kesejahteraan masyarakat seperti
sumberdaya mineral, energi (migas, panasbumi),
air, maupun sumberdaya (potensi) kebencanaan,
seperti banjir, tanah longsor, gempa, dan lain-lain.
Semua potensi tersebut harus dapat dikelola dengan
baik dan benar untuk dapat meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta
menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah
daerah dalam rangka pembangunan kawasannya.
Penelitian potensi mineral yang dilakukan di
daerah Windesi dimaksudkan untuk
mengumpulkan data primer potensi mineral non
logam. Data primer yang dikumpulkan yaitu
keanekaragaman jenis mineral, lokasi, luas sebaran
dan perkiraan cadangan potensi sumberdaya
mineral. Hasil penelitian ini diharapkan akan
menjadi masukan yang sangat berharga bagi
pemerintah daerah untuk menggali dan
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari
sektor pertambangan umum serta lebih
memberdayakan lagi perekonomian masyarakat di
daerah.
Lokasi Daerah Penelitian
Gambar 1. Lembar Daerah Penelitian
Secara administratif, Daerah Windesi
termasuk wilayah kabupaten Teluk Wondama
dengan koordinat 134º06’00” - 134º24’00” BT dan
2º16’00” - 2º41’00” LS, dengan batas wilayah
sebagai berikut: di sebelah barat berbatasan dengan
Distrik Nikiwar dan Kabupaten Kaimana, sebelah
utara dengan Distrik Saukgwapu dan Distrik
Nikiwar, sebelah timur dengan Distrik Wasior dan
di selatan dengan Distrik Kuri Wamesa. (Gambar
2). Dari Manokwari, daerah penyelidikan dapat
ditempuh melalui laut dengan kapal penumpang
selama 12 jam menuju Wasior atau 6 jam
menggunakan kapal expres, dari Wasior menuju
Windesi dilanjutkan dengan longboat selama 3
jam.
Gambar 2. Lokasi Penelitian
METODE PENELITIAN
Penelitian potensi mineral yang dilakukan di
Daerah Windesi menggunakan metode penelitian
lapaangan dan laboratorium. Penelitian lapangan
dilakukan dengan melakukan pemetaan geologi
permukaan berupa pengamatan geomorfologi,
pengamatan batuan dan struktur geologi serta
pengambilan sampel dan dokumentasi. Sedangkan
penelitian laboratorium merupakan tahap analisis
petrografi dan analisis kimia untuk sampel batuan
yang representatif dari setiap jenis batuan. Hasil
penelitian lapangan dan laboratorium kemudian
disajikan dalam bentuk peta potensi sumber daya
mineral.
KONDISI GEOLOGI DISTRIK WINDESI
Berdasarkan pengamatan lapangan dan
analisis peta geomorfologi distrik Windesi
Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
120
didominasi oleh topografi dataran hingga
perbukitan dan sebagian besar topografi perbukitan
tersayat kuat dengan kemiringan lereng berkisar
antara 2 – 35%, dengan elevasi 30 - 200 meter
diatas permukaan laut. Daerah ini umumnya
disusun oleh batupasir, serpih, batugamping dan
sirtu (pasir dan batu). Daerah Windesi dibagi
menjadi dua satuan geomorfologi, yaitu Satuan
geomorfologi datarana Fluvial Satuan
Geomorfologi Lereng dan Perbukitan
Denudasional (Gambar 3). Sungai-sungai yang ada
di Distrik Windesi adalah sungai Masasopi, sungai
Wamesa, sungai Windesi, sungai Kario, sungai
Borios dan sungai Wariowi dengan pola aliran
sungai yang mengontrol wilayah ini adalah pola
aliran paralel dan sub-dendritik. Sungai-sungai
yang mengalir pada daerah penelitian mempunyai
ciri-ciri penampang melintang membentuk huruf V
di bagian utara dan barat dan huruf U di bagian
selatan dengan ciri dinding lembah terjal,
dibeberapa lokasi dijumpai air terjun dan timur
daerah penelitian dengan lembah menyerupai
bentuk U, ada dataran banjir, ada terbentuk
meander, dijumpai erosi alur dan erosi parit dengan
ciri ini maka sungai-sungai yang mengalir di
daerah penelitian dapat dikategorikan sebagai
sungai berstadia muda menuju dewasa.
Batuan di distrik Windesi terdiri dari
Batupasir Kelompok Kembelengan (JKk), yang
berumur Jura Tengah – atas, Batupasir Formasi
Woniwogi (JKw) berumur Kapur Bawah, Serpih
Formasi Piniya, Batupasir Formasi Ekmai (Kue),
Batugamping Formasi Imskin (Kti), Batugamping
Koral (Qc) dan endapan alluvium (Qa). Struktur
geologi yang berkembang di daerah Windesi
adalah kekar, sesar dan lipatan yang berkembang
pada batupasir dan serpih. Batupasir yang
mengalami lipatan kemudian tersesarkan pada
bagian antiklin dengan arah umum baratlaut-
tenggara. Antiklin yang berkembang berupa
antiklin asimetris dengan sayap utara yang miring
kurang dari 10 sedangkan sayap selatan miring
sebesar 20 dan setempat ada yang mencapai 35.
Peta geologi distrik Windesi dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 3. Peta Geomorfologi Distrik Windesi
Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
121
Gambar 4. Peta Geologi Distrik Windesi
HASIL PENELITIAN
Potensi Sumberdaya Mineral yang terdapat
di Distrik Windesi tergolong Mineral Non Logam
yaitu batugamping, batupasir, serpih dan sirtu. Peta
potensi sumber daya mineral di distrik Windesi
dapat dilihat pada gambar 5 dibawah ini:
Gambar 5. Peta Potensi Sumberdaya Mineral Distrik Windesi
Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
122
Batugamping
Batugamping di Distrik Windesi terdapat
pada Formasi Imskin. Batugamping Formasi
Imskin berumur Kapur Atas - Miosen Tengah,
merupakan batugamping kristalin, padat, keras, dan
berongga, sedangkan batugamping yang ditemukan
di pulau Yop merupakan batugamping terumbu
(reef limestone). Batugamping adalah jenis batuan
sedimen klastik atau non klastik yang disusun oleh
hampir 90% karbonat, dan sering disebut juga
batuan karbonat. Di daerah ini terdapat
batugamping kristalin yang padat, keras.
Singkapan batupasir dapat dilihat pada Gambar 6.
Berdasarkan analisis petrografi, batugamping yang
ada di daerah ini merupakan batugamping
wackstone dan batugamping packstone. Sedangkan
berdasarkan analisisi kimia, batugamping distrik
Windesi dapat dimanfaatkan untuk industri semen
karena mempunyai kualitas cukup baik memenuhi
syarat untuk bahan baku semen jenis portland
dengan kisaran kadar CaO (51,86%-55,93%),
MgO (0,22%-0,31%), Fe2O3 (0,23%-1,49%) dan
Al2O3 (0,17%-0,93%). Selain itu batugamping
juga dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan
karena pada umumnya tidak memiliki cadangan
batuan keras seperti batuan beku andesit atau basal.
Abrasif pada batugamping cukup baik untuk
penstabil jalan di daerah rawa-rawa dengan
campuran kapur padam sekitar 1-6% dan kadar
sulfurnya harus rendah; sehingga akan berfungsi
sebagai tras.
Gambar 6. Batugamping yang terdapat di distrik Windesi:
batugamping kristalin (kiri); batugamping terumbu (kanan)
Batugamping dijumpai berbentuk bukit atau
pegunungan memanjang di jalur Lipatan Lengguru
menempati hampir 60% daerah telitian. Batuan ini
bersentuhan langsung dengan Batulumpur Formasi
Piniya (Kp) dan Batupasir dari Formasi Woniwogi
(Jkw). Batugamping ini tersingkap di sepanjang
pantai dan jalan Windesi memanjang baratlaut-
tenggara searah dengan Lipatan Lengguru. Potensi
batugamping di Distrik Windesi dijumpai di
kampung Wamesa Tengah, kampung Windesi,
kampung Sombokaro, kampung Yopmios dan
kampung Sandey. Potensi batugamping di daerah
Distrik Windesi cukup besar dengan perkiraan luas
cadangan 3.093.325 Ha.
Batupasir
Ciri-ciri Batupasir yang dijumpai di Distrik
Windesi adalah batuan berwarna abu-abu
kecoklatan dan kekuningan, berukuran butir
menengah-kasar, terpilah baik, membundar sampai
membundar tanggung, dan berlapis baik dengan
struktur laminasi sejajar dan silang siur di beberapa
tempat dijumpai juga batupasir dengan butiran
halus-menengah, agak lepas dan mudah diremas.
Singkapan batupasir dapat dilihat pada Gambar 7.
Batupasir ini pada umumnya didominasi oleh
kuarsa, pirit, glaukonit, ortokuarsit dan mika
termasuk dalam Formasi Batupasir Woniwogi dan
Batupasir Ekmai. Ketebalan batupasir yang di
jumpai di lapangan memiliki ketebalan kurang
lebih 1m – 20m. Dibeberapa lokasi penelitian juga
di indikasikan adanya lapisan grafit dengan ciri-ciri
berwarna hitam, kekerasan 1-2, sebagai sisipan
dalam batupasir. Berdasarkan hasil analisisi kimia,
batupasir distrik Windesi menunjukkan kandungan
SiO2 (83,10 - 85,45%) Al2O3 (6,55-7,28 %), dan
Fe2O3 (1,97%), MgO (1,98 – 2,31%), Na2O
(0,01-0,05%) dan CaO (0,76-2,68%). Prospek
pemanfaatan batupasir dapat digunakan sebagai
bahan bangunan, bahan dasar pembuat kaca
(batupasir kuarsa), pencampur semen beton dan
kalau kandungan lempungnya tinggi bisa juga
sebagai bahan pencampur genteng, batubata
ataupun batuhias.
Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
123
Gambar 7. Singkapan batupasir di distrik Windesi
Batupasir Distrik Windesi bersentuhan
langsung dengan Batugamping Formasi Imskin
(Kti) dan Batulumpur Formasi Piniya (Kp).
Batupasir ini dijumpai di kampung Sandey dan
sebagian di kampung Wamesa Tengah, kampung
Windesi. Potensi batupasir di daerah Distrik
Windesi cukup besar dengan perkiraan luas
cadangan 156.290, 51 Ha.
Serpih
Serpih berwarna abu-abu tua sampai hitam,
tekstur klastik, ukuran partikel-partikel
penyusunnya berdiameter <1/16 mm berupa
kuarsa, feldspar, dan mineral opak, dengan ukuran
butir 0,05-0,2mm, bentuk butir menyudut
tanggung-membulat tanggung, butiran
mengambang dalam matrik lempung. Serpih yang
ada di daerah Windesi sudah terubah menjadi
batuan metamorf berupa Sabak (slate) dengan ciri-
ciri berwarna abu-abu-kehitaman-kecoklatan,
foliated texture (slaty cleavage), dengan ukuran
mineral: 0,05 mm – 0,15 mm, komposisi tersusun
atas mineral kuarsa, muscovit, grafit, dan mineral
lempung. Singkapan serpih dapat dilihat pada
Gambar 8.
Serpih tersebar di bagian tengah kampung
Sandey dan di bagian utara kampung Windesi serta
sebagian di kampung Yopmios. Serpih yang ada
termasuk dalam Formasi Batulumpur Piniya ((Kp)
dan Kelompok Kembelangan (Jkk). Serpih di
daerah ini bersentuhan langsung dengan
Batugamping Imskin (Kti), Batupasir Woniwogi
(Jkw) dan Terumbu Koral (Qc). Berdasarkan hasil
analisis kimia serpih yang diambil di daerah ini
menunjukkan kandungan Al2O3 (15,53%), SiO2
(23,39%) dan Fe2O3 (5,66%), dan CaO (24-27%).
Serpih tersebut cukup baik untuk bahan baku
industri keramik, atap genteng dan batubata merah
dan sebagai campuran bahan baku semen jenis
portland. Hasil perhitungan sementara sumberdaya
serpih untuk daerah Distrik Windesi dengan luas
cadangan lebih kurang 414.845,19 Ha.
Gambar 8. Singkapan serpih di daerah Windesi
Pasir dan Batu (Sirtu)
Sirtu di kabupaten Teluk Wondama distrik
Windesi terdiri dari sirtu sungai dan pasir pantai. Di
daerah Windesi dan sekitarnya memiliki sirtu
sungai yang cukup prospek dan sumber dayanya
cukup banyak terdiri dari pasir, kerikil, kerakal, dan
bongkah, kebanyakan sirtu yang ada didaerah ini
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk
membangun tempat tinggal.
Pasir pantai yang dijumpai di Distrik
Windesi berdasarkan warnanya dapat dibagi
menjadi dua jenis yaitu pasir putih dan pasir hitam.
Pasir putih berwarna putih – putih kecoklatan,
halus sampai sedang, umumnya membulat
tanggung, komposisi mineral penyusun kuarsa,
feldspar, mineral hitam dan pecahan – pecahan
fosil. Endapan pasir putih terutama bersumber dari
batuan Formasi Woniwogi dan Formasi Imskin.
Pasir hitam berwarna hitam – abu-abu kehitaman,
terhampar disepanjang pantai windesi kearah
selatan dari tanjung Ronsore. Komposisi mineral-
mineral berwarna hitam seperti biotit, grafit;
kuarsa, feldspar, klorit dan pecahan – pecahan fosil.
Endapannya terutama berasal dari Formasi Piniya
dan Formasi Ekmai.
Potensi sirtu terdapat di kampung Sandey di
bagian barat dan sepanjang pesisir pantai tanjung
Ronsore di sebelah utara sampai timurlaut.
Berdasarkan analisis kimia sampel pasir dari
daerah ini menunjukkan kandungan unsur-unsur
sebagai berikut : SiO2 (70,39 – 87,70%), Al2O3
(6,04-15,53 %), dan Fe2O3 (1,54-5,66%), MgO
(1,61 – 2,71%), Na2O (0,02%) dan CaO (1,31-
1,42%). Prospek pemanfaatan sirtu dapat
Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
124
digunakan sebagai bahan bangunan dan pembuatan
pondasi jalan raya, jembatan dan bandara. Hasil
perhitungan sementara sumberdaya sirtu untuk
daerah Distrik Windesi dengan luas cadangan lebih
kurang 2.973,17 Ha.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian lapangan (pemetaan geologi)
dan penelitian laboratorium (analisis petrografi dan
analisis kimia batuan), dapat disimpulkan bahwa:
1. Distrik Windesi terdiri dari dua satuan
geomorfologi, yaitu Satuan geomorfologi
datarana Fluvial Satuan Geomorfologi Lereng
dan Perbukitan Denudasional. Batuan yang
tersingkap terdiri dari Batupasir Kelompok
Kembelengan (JKk), yang berumur Jura Tengah
– atas, Batupasir Formasi Woniwogi (JKw)
berumur Kapur Bawah, Serpih Formasi Piniya,
Batupasir Formasi Ekmai (Kue), Batugamping
Formasi Imskin (Kti), Batugamping Koral (Qc)
dan endapan alluvium (Qa). Struktur geologi
yang berkembang di distrik Windesi adalah
kekar, sesar dan lipatan yang berkembang pada
batupasir dan serpih.
2. Sumberdaya Mineral Non Logam di Distrik
Windesi terdiri dari batugamping, batupasir,
serpih dan sirtu. Potensi batugamping di Distrik
Windesi dijumpai di kampung Wamesa Tengah,
kampung Windesi, kampung Sombokaro,
kampung Yopmios dan kampung Sandey
dengan perkiraan luas cadangan 3.093.325 Ha;
Batupasir dijumpai di kampung Sandey dan
sebagian di kampung Wamesa Tengah,
kampung Windesi. Potensi batupasir di daerah
Distrik Windesi cukup besar dengan perkiraan
luas cadangan 156.290, 51 Ha; Serpih tersebar
di bagian tengah kampung Sandey dan di bagian
utara kampung Windesi serta sebagian di
kampung Yopmios dengan luas cadangan lebih
kurang 414.845,19 Ha. Potensi sirtu terdapat di
kampung Sandey di bagian barat dan sepanjang
pesisir pantai tanjung Ronsore di sebelah utara
sampai timurlaut dengan luas cadangan lebih
kurang 2.973,17 Ha.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kabupaten Teluk Wondama yang sudah
memfasilitasi kami untuk melakukan Kegiatan
Inventarisasi Sumberdaya Alam Mineral di
Kabupaten Teluk Wondama.
DAFTAR PUSTAKA
G.P. Robinson, Ryburn, R.J, Harahap, B.H.,
Tobing, S.I, Achdan,A., Bladon, G.M,
Pieters, P.E, 1990, Peta Geologi Lembar
Steenkool, Irian Jaya, Skala 1: 250.000,
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung.
Sanusi Halim, Wastoni, Adrian Zenith, Sarino,
2006, Inventarisasi dan Evaluasi Mineral
Non Logam di Kabupaten Teluk Wondama
dan Teluk Bintuni, Provinsi Irian Jaya Barat,
Proceeding Pemaparan Hasil-hasil Kegiatan
Lapangan dan Non Lapangan, Pusat Sumber
Daya Geologi, Bandung.
Suhada, Dede I; Hidayat, Rahmat; Rukhimat,
Sandy; Suryana, Asep; 2015, Penyelidikan
Bitumen Padat Daerah Windesi dan
Sekitarnya, Kabupaten Teluk Wondama,
Provinsi Papua Barat, Proceeding
Pemaparan Hasil-hasil Kegiatan Lapangan
dan Non Lapangan, Pusat Sumber Daya
Geologi, Bandung.
Suhala, S. dan Arifin, M., 1997, Bahan Galian
Industri, PPTM, Bandung
Sukandarrumidi, 2005, Bahan Galian Industri,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
125
STUDI KASUS DESAIN MATRIX ACIDIZING DENGAN
MEMPERHATIKAN MEKANISME PEMBENTUKAN
WORMHOLE PADA RESERVOIR KARBONAT
Praditya Nugraha1), Leonardo Davinci Massolo2), Nur Wahyuni3)
1) 2) 3)Jurusan Teknik Perminyakan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Universitas Papua
Jl. Gunung Salju Amban Manokwari
Email: 1)[email protected], 2)[email protected], 3)[email protected]
Abstract
This paper discusses the comparison of acid calculation required on carbonate matrix acidizing
between volumetric method and by considering the wormhole formation mechanism. Normally the standard
estimation of the required acid volume in carbonate rocks is based on volumetric method where the acid
will be distributed evenly to all direction in the targeted formation. However the real acid mechanism at
carbonate rock is affected by the creation of wormhole. This case study compares the amount of acid volume
to both scenarios. The result shows more optimistic result for volumetric method compared to the wormhole
influences.
Keyword: Matrix Acidizing, carbonate acidizing, volumetric method, wormhole
Abstrak
Paper ini membahas perbandingan perhitungan kebutuhan asam pada sebuah operasi acidizing
formasi karbonat secara volumetrik dan dengan mempertimbangkan mekanisme pembentukan wormhole.
Selama ini standar perhitungan kebutuhan volume acid pada batuan karbonat masih berdasarkan metode
volumetrik seperti normalnya pada batuan pasir. Dimana pada asumsi metode volumetrik rembesan asam
akan merata kesegala arah pada formasi target. Lain halnya pada karbonat, mekanisme rembesan asam
terdapat pembentukan wormhole. Studi kasus ini membandingkan jumlah volume asam terhadap kedua
skenario tersebut. Didapatkan, skenario volumetrik menghasilkan volume asam yang lebih optimis
dibandingkan pada pengaruh wormhole.
Kata kunci: Matrix acidizing, karbonat acidizing, metode volumetrik, wormhole
Nugraha, Massolo dan Wahyuni INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
126
PENDAHULUAN
Matrix acidizing adalah injeksi larutan asam
ke dalam formasi dengan tekanan injeksi di bawah
tekanan rekah formasi. Matrix acidizing bertujuan
untuk memperbaiki permeabilitas formasi di
daerah sekitar sumur. Pada reservoir batupasir
(sandstone), injeksi asam dilakukan untuk
melarutkan mineral-mineral dekat lubang sumur
sehingga permeabilitas yang rendah (skin) dapat
diperbaiki.
Operasi Acidizing pada reservoir karbonat
memiliki mekanisme yang berbeda dengan
acidizing pada reservoir batupasir. Pada acidizing
di reservoir karbonat terjadi reaksi kimia pada
matrix batuan yang membuat porositas dan
permeabilitas batuan meningkat dengan
terbentuknya wormhole. Wormhole adalah saluran
menyerupai rekahan yang konduktif untuk dilalui
fluida reservoir sebagai akibat reaksi asam dengan
batuan karbonat yang melampaui daerah formasi
yang mengalami kerusakan (penurunan
permeabilitas).
Desain operasi acidizing pada reservoir
karbonat seringkali hanya dengan menghitung
kebutuhan volumetrik asam berdasarkan besaran
volume reservoir yang akan distimulasi . Walaupun
pada operasi tersebut didapati kenaikan produksi
akibat perbaikan nilai skin, mekanisme
pembentukan wormhole perlu diperhatikan untuk
mendapatkan kebutuhan volume asam optimum
dan tekanan injeksi optimum yang dapat
meningkatkan efisiensi operasi acidizing di
reservoir karbonat.
Sebuah studi kasus dengan data lapangan
dan data sekunder dari literatur akan diolah untuk
melihat perbandingan kebutuhan volume asam
secara volumetrik dan dengan metode yang
memperhitungkan pembentukan wormhole.
METODE PENULISAN
Model Pembentukan Wormhole
Wormhole terbentuk akibat proses pelarutan
matrix karbonat yang efisien. Pada laju injeksi
optimum, pori-pori yang lebih besar akan meluas
lebih cepat dibandingkan pori-pori yang lebih
kecil. Pori-pori yang lebih besar mendapat bagian
asam lebih banyak pada proses acidizing, sehingga
panjang dan volumenya meningkat membentuk
wormhole. Wormhole akan terbentuk ketika reaksi
dibatasi oleh perpindahan massa, atau bila laju
perpindahan massa dan laju reaksi pada permukaan
bernilai sama. Kondisi tersebut disebut juga mixed
kinetics. Proses pembentukan wormhole
dipengaruhi oleh laju injeksi dan sifat fluida
dengan mineral yang meliputi kinetika reaksi, laju
perpindahan massa, geometri aliran, dan
kehilangan cairan (fluid loss). Terdapat beberapa
jenis struktur pelarutan pada pembentukan
wormhole yaitu pelarutan merata (face dissolution),
wormhole kerucut (conical wormhole), wormhole
dominan (dominant wormhole), wormhole
bercabang (ramified wormhole), dan pelarutan
seragam (uniform dissolution). Al-Harty dkk,
(2009) memperlihatkan bahwa struktur pelarutan
dipengaruhi oleh laju injeksi dan pore volume yang
ditembus wormhole.
Gambar 1. Pola Struktur Pembentukan Wormhole
Kondisi wormhole yang diinginkan adalah
wormhole dominan dimana pada kondisi ini laju
injeksi optimum memungkinkan asam disalurkan
ke ujung rekahan hingga panjang rekahan yang
diinginkan.
Akanni dan Nasr-El-Din (2015), telah
mengulas berbagai model pembentukan wormhole
untuk menentukan laju injeksi optimum. Mereka
merekomendasikan laju injeksi asam optimum
adalah pada kondisi maksimal yang
memungkinkan dilakukan di lapangan. Kondisi
maksimal yang memungkinkan di lapangan adalah
pada tekanan di bawah tekanan rekah formasi.
Maksimal laju injeksi pada sumur vertikal
(Economides dkk., 1994) :
Q��� = kh( − �)141.2� ��ln 0.472���� � + ��
(1)
Schecter dkk (2000), mengembangkan
persamaan untuk menghitung panjang penetrasi
wormhole dengan memperhatikan pengaruh
kehilangan fluida serta asumsi bahwa wormhole
sebagai fraktal. Untuk aliran radial :
Nugraha, Massolo dan Wahyuni INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
127
� !" − ��
!" = #$ % &2(1 − ')(ℎ *+�
�, -. (2)
Di mana NPe merupakan Peclet number yang
dihitung dari :
*+� = /0 ℎ (3)
Laju injeksi optimum, volume asam yang
dibutuhkan, dan panjang penetrasi akan
dibandingkan dengan hasil perhitungan volume
asam secara volumetrik zona skin yang dhitung
dengan persamaan :
%�123 = (4567 − 5�78'ℎ (4)
Studi Kasus
Operasi acidizing akan dilakukan pada
sebuah sumur vertikal dangkal dengan reservoir
karbonat limestone. Data-data sumur dapat dilihat
pada Tabel 1 sedangkan data-data operasi acidizing
terdapat pada Tabel 2. Aliran pada sumur ini
diasumsikan aliran radial seperti diilustrasikan
pada Gambar 2.
Tabel 1. Data Sumur
Data Sumur Simbol Nilai
Gradien Rekah pf 226.4 psi
Tekanan Reservoir
Permeabilitas
Porositas
Interval perforasi
Radius sumur
Radius pengurasan
Radius penetrasi
Viskositas minyak
p-
k
ϕ
h
rw
re
rd
µ
130.7 psi
7 md
0.2
12.73 ft
0.265 ft
250 ft
2.2 ft
3.1 cp
Tabel 2. Data Operasi Acidizing
Data Simbol Nilai
Jenis Asam - HCl 15%
Dissolving Power
Diffusivitas Asam
X
DA
0.082
7 x 10-9 m2/s
Gambar 2. Skema Aliran Radial dan Skin
Pertama-tama perlu dilakukan perhitungan
besarnya perbaikan skin yang diharapkan
berdasarkan panjang radius penetrasi wormhole
(sebagai radius skin yang ingin diperbaiki) dengan
asumsi permeabilitas pada zona stimulasi tidak
terbatas (Economides dan Nolte, 2000) :
� = − ln 9��1��
: (5)
Diperoleh skin perbaikan sebesar -2.11.
Harga skin 2.11 akan digunakan untuk menghitung
laju injeksi dengan persamaan (1). Qmax dari
perhitungan persamaan (1) divariasikan dengan
lamanya waktu injeksi dengan menggunakan
persamaan (2) dan (3) hingga diperoleh radius
penetrasi yang diharapkan (2.2 ft). Dari laju injeksi
dan waktu injeksi maka didapat volume asam yang
dibutuhkan. Volume asam ini merupakan volume
asam yang diperoleh dengan memperhatikan
pembentukan wormhole.
Hasil tersebut akan dibandingkan dengan
perhitungan volume asam konvensional di mana
volume asam yang diperlukan diasumsikan sebesar
volume zona skin yang akan diinjeksi asam.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Laju Alir Optimum
Laju alir optimum diperoleh berdasarkan
laju alir maksimum sebelum mencapai tekanan
rekah formasi. Dari persamaan (1) :
Q��� = (7)(12.73)(226.4 − 130.7)141.2(3.1) =9ln 0.472(250)
(0.265) : + (2.11)?
Q��� = 2.37 bbld = 4.36 × 10�D E-/G
Nugraha, Massolo dan Wahyuni INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
128
Laju alir max sebagai laju alir optimum
digunakan untuk menghitung Peclet number pada
persamaan (3).
*+� = 4.36 × 10�D(7 × 10�D)(3.88) = 1.61 × 107
Parameter VA (volume asam) pada
persamaan (2) merupakan hasil kali laju alir dengan
lama waktu injeksi (VA = Q x t). Disini lama waktu
injeksi akan divariasikan hingga mendapat radius
penetrasi sebesar 2.2 ft (rA). Nilai nf dan b masing-
masing sebesar 1.67 dan 1.7 x 104 diperoleh dari
dimensi fractal dan percobaan pada berbagai laju
alir (Daccord, dkk., )
� ,.IJ − 0.8,.IJ =
(1.67)(1.7 × 10K) L(4.36 × 10�D)(M)N2(1 − 0.2)((3.88) (1.61 × 107)�,
-
Hasil perhitungan persamaan (2)
ditabulasikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Persamaan (2)
Parameter Simbol Nilai
Radius penetrasi rA 2.2 ft
Lama waktu injeksi
Volume Asam
t
VA
1.44 jam
0.14 bbl
Perhitungan Volume Asam Volumetrik
Dengan memasukkan data pada persamaan
(4) diperoleh :
%�123 = ((2.27 − 0.2657)(0.2)(12.73)= 8.71 $$O
Pembahasan
Perhitungan volume asam yang diperlukan
pada operasi acidizing tanpa memperhatikan
pembentukan wormhole akan mendapatkan hasil
yang jauh optimistis. Hal ini menyebabkan
penggunaan volume yang lebih banyak
dibandingkan volume asam yang optimum. Akan
tetapi, dengan tingginya ketidakpastian pada
reservoir karbonat terutama pada permeabilitas
yang dapat bervariasi seperti adanya vug atau
rekahan alami, maka perhitungan kebutuhan
volume asam berdasarkan volumetrik dapat
dilakukan dengan tingkat keberhasilan yang baik.
Laju injeksi asam berperan penting dalam
pembentukan struktur wormhole yang akan
terbentuk. Struktur wormhole dominan terbentuk
pada kondisi laju injeksi optimum. Walaupun pada
operasi di lapangan dibuat lebih tinggi daripada
laju injeksi optimum berdasarkan percobaan
coreflooding pada beberapa referensi. Sehingga
batasan tekanan rekah formasi dapat menjadi
parameter yang menentukan laju injeksi optimum
pada operasi acidizing di lapangan.
KESIMPULAN
Perhitungan kebutuhan volume asam secara
volumetrik akan menghasilkan volume asam yang
lebih optimis dibandingkan dengan metode yang
memperhatikan pembentukan wormhole.
Untuk operasi matrix acidizing di reservoir
karbonat direkomendasikan menggunakan laju
injeksi maksimal yang dapat dilakukan (dengan
memperhitungkan tekanan rekah formasi) untuk
mendapatkan struktur pembentukan wormhole
yang optimal yaitu wormhole dominan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Harty, S., Bustos, O.A., Samuel, M. et at.,
(2009), Option for High-Temperature Well
Stimulation. Oilfield Review, 20(4), pp. 52-
62
Akanni, O.O., and Nasr-El-Din, H.A., (2015), The
Accuracy of Carbonate Matrix-Acidizing
Models in Predicting Optimum Injection and
Wormhole Propagation Rates, SPE Middle
East Oil & Gas Show and Conference, SPE-
172575-MS.
Daccord, G. dkk. (1989). Carbonate Acidizing :
Toward a Quantitative Model of the
Wormholing Phenomenon. SPE Production
Engineering. pp. 63-68.
Economides, M.J., and Nolte, K.G., (2000),
Reservoir Stimulation, 3rd , John Wiley &
Sons Ltd, England.
Economides, M.J., Hill, A.D., Ehlig-Economides,
C. et al., (1994), Petroleum Production
System.
Schecter, S.R. (1992). Oil Well Stimulation.
Prentice-Hall, Inc. A Simon & Schuster
Company Englewood Cliffs. New Jersey.
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
129
PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI HUTAN
MANGROVE DAN BEKANTAN (NASALIS LARVATUS)
(KKMB) DI KOTA TARAKAN
Supardi
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Universitas Papua
Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: [email protected]
Abstract
Mangrove and Bekantan (Nasalis larvatus) conservation areas (KKMB) in Tarakan City is a mangrove
city forest area that in the development stage sepecially for Bekantan population and mangrove ecosystem at
large. With an area of about 22 hectares and at least 11 protected animal species includes Bekantan, the KKMB
has become iconic tourism attraction. This not only of the rarity of the attraction but also because of this kind
of venue is the only one in the world. This research aimed to find out the management, the uniqueness and the
obstacles faced in managing KKMB. The methods used are interview, observation and literature study. The data
obtained are compiled, processed, and analyzed with descriptive qualitative analysis methods, by providing an
overview of the situation or events and phenomena in the field. From the study, we could understand that the
KKMB is manage by the Tarakan City Tourism Office. The retribution came from KKMB are deposited to the
Tarakan City Revenue Service. Furthermore, the uniqueness of KKMB that attracts tourists to visit due to its
strategic location in the middle of the urban area adjacent to the shopping centers, settlements, fishponds,
companies, and access roads / ports. Two main attraction of the KKMB are bekantan (proboscis mongkey)
endemic to Borneo and The red mangrove (Rhizophoraa Apiculata). Last, the problem faced by the management
of KKMB are no clear organizational structre and waste management that come from tides, domestic waste, and
visitors. Also in KKMB there is no clear organizational structure.
Keywords: KKMB, management, proboscis monkey and mangrove
Abstrak
Kawasan konservasi hutan mangrove dan Bekantan (Nasalis larvatus) (KKMB) di Kota Tarakan
merupakan kawasan hutan kota bakau yang masih dalam tahap pengembangan khususnya untuk populasi
Bekantan dan ekosistem mangrove secara keseluruhan. Dengan luas sekitar 22 hektar dan 11 spesies satwa
dilindungi, terutama Bekantan, KKMB ini menjadi ikon bagi pelancong mancanegara. KKMB merupakan hal
yang patut di diperbincangkan dan dilestarikan mengingat kawasan tersebut menjadi satu-satunya tempat di Kota
Tarakan yang letaknya dekat dengan pusat kota dan juga satu-satunya di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengelolaan, Keunikan KKMB dan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan KKMB. Metode yang
digunakan adalah wawancara, observasi dan studi pustaka. Data yang diperoleh disusun, diolah, dan dianalisis
dengan metode analisis deskriptif kualitatif, dengan memberikan gambaran mengenai situasi atau kejadian dan
fenomena-fenomena di lapangan. Pengelola dan penanggung jawab KKMB adalah Dinas Pariwisata Kota
Tarakan. Hasil restribusi pengunjung KKMB disetorkan seluruhnya ke Dinas Pendapatan Kota Tarakan.
Keunikan KKMB yang menjadi daya tarik masyarakat lokal dan wisatawan untuk berkunjung ke KKMB yaitu
letaknya yang sangat strategis karena berada di tengah kota berbatasan langsung dengan keramaian yakni: pusat
perbelanjaan, pemukiman, pertambakan, perusahaan, dan akses jalan/ pelabuhan. Selain itu di KKMB banyak
satwa yang dilindungi dan endemik, seperti bekantan (Nasalis larvatus) yang mempunyai hidung besar panjang
yang merupakan hewan endemik Kalimantan. Kemudian flora yang unik yang jarang ada di daerah lain seperti
mangrove bakau merah (Rhizophoraa Apiculata). Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan KKMB adalah
masalah kebersihan (sampah), terutama sampah yang berasal dari pasang surut air laut, pemukiman dan
pengunjung. Di KKMB juga belum ada struktur organisasi yang jelas.
Kata kunci: KKMB, pengelolaan, bekantan dan bakau
Supardi INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
130
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove
yang keragaman jenis yang tinggi. Terdapat sekitar
47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove.
Ekosistem mangrove terdiri dari hutan atau
vegetasi mangrove yang merupakan komunitas
pantai tropis.
Kawasan konservasi hutan mangrove dan
Bekantan (Nasalis larvatus) (KKMB) di Kota
Tarakan merupakan kawasan hutan kota bakau
yang masih dalam tahap pengembangan untuk
organisme yang masih bertahan hidup baik vegetasi
dan hewan yang jumlahnya telah jarang atau sedikit
ditemukan di daerah lain. Dengan luas sekitar 22
hektar, mampu menjadikan daya tarik tersendiri
bagi pengunjungnya. Kawasan konservasi hutan
mangrove dan bekantan (Nasalis larvatus)
(KKMB) merupakan hal yang patut di
diperbincangkan dan dilestarikan mengingat
kawasan tersebut menjadi satu-satunya tempat di
Kota Tarakan yang letaknya dekat dengan pusat
kota dan juga satu-satunya di dunia.
Keberadaan Hutan Mangrove /KKMB
memang tidak bisa dipandang sebelah mata .
Terasa sangat indah, nyaman dan asri. Bahkan,
hutan kota seluas 22 hektar itu sudah menjadi icon
Tarakan di mata pelancong mancanegara.
Pasalnya, di kawasan ini terdapat sedikitnya 11
spesies satwa dilindungi, terutama Bekantan
(Nasalis larvatus).
Penelitian ini bertujuan untuk Mengkaji
pengelolaan, Keunikan dan kendala yang dihadapi
di kawasan konservasi hutan mangrove dan
bekantan (Nasalis larvatus) (KKMB) di Kota
Tarakan.
METODE PENELITIAN
Metode yang dilakukan dalam beberapa
tahap:
Orentasi Lapangan
Dimaksudkan untuk melihat gambaran yang
jelas tentang situasi dan kondisi areal penelitian,
sehingga mempermudah pelaksanaan
pengumpulan data.
Membuat dan Menyusun Panduan Pertanyaan
Materi pertanyaan disusun berdasarkan situasi
lapangan dan kebutuhan sesuai dengan tujuan
penelitian.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara langsung dengan para pihak yang
berkompeten dan pihak yang memiliki informasi
yang cukup tentang materi penelitian, antara lain
pihak dinas pariwisata Kota Tarakan dan pengelola
lapangan KKMB Kota Tarakan.
Pengolahan dan Analisis Data
Seluruh data yang terkumpul dirapikan, diperiksa,
dan diverivikasi sehingga data-data yang
terkumpul tidak kurang atau terlupakan untuk
kemudian dilakukan analisis.
Penyusunan Laporan
Seluruh data yang diperoleh dari lapangan diolah
dan dianalisis selanjutnya penelitian disusun
menjadi Karya Ilmiah dengan bimbingan Dosen
pembimbing.
Kemudian seluruh data yang diperoleh
disusun, diolah, dan dianalisis dengan metode
analisis deskriptif kualitatif, dengan memberikan
gambaran mengenai situasi atau kejadian dan
fenomena-fenomena di lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kota Tarakan merupakan Kota
Persinggahan/transit, Kota Jasa, dan Kota
perdagangan di Kalimantan Utara. Di Kota
Tarakan terdapat Pelabuhan laut, kapal fery, dan
bandara internasional. Sebagai kota dengan kondisi
strategis seperti itu Kota Tarakan perlu
meningkatkan dan mengembangkan potensi-
potensi wisata yang ada. Usaha pemerintah untuk
mendirikan kawasan hutan mangrove dan bekantan
(Nasalis larvatus) (KKMB) merupakan ide yang
baik, karena dapat memanjakan masyarakat yang
singgah di Kota Tarakan.
Kawasan hutan mangrove yang terdapat
dipinggir laut tepat di jantung/pusat Kota Tarakan,
merupakan salah satu potensi wisata yang dapat
diunggulkan. Pemerintah Kota Tarakan melalui
Dinas Pariwisata Kota Tarakan mengembangkan
Kawasan hutan mangrove tersebut dengan
diterbitkannya keputusan walikota Tarakan No.
591/HK-V/257/2001 tentang pemanfaatan hutan
mangrove Kota Tarakan dan Perda No. 04 tahun
2002 tentang larangan dan pengawasan hutan
mangrove di Kota Tarakan.
Tujuan didirikanya KKMB tersebut adalah
melestarikan hutan mangrove yang berfungsi
sebagai pelindung pantai, abrasi, gelombang tinggi
dan angin kencang. Selain itu KKMB juga
melestarikan fauna langka bekantan (Nasalis
larvatus) yang jumlahnya dari tahun ke tahun
semakin bertambah, KKMB juga berkembang
menjadi kawasan ekowisata dengan berbagai
macam kegiatan dan kegunaan. Saat ini KKMB
menjadi salah satu objek wisata unggulan dan
menjadi icon ekowisata Kota Tarakan.
Supardi INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
131
Guna menunjang optimalisasi fungsi dan
pelayanan kepada pengunjung KKMB, ditata
sedemikian rupa dan fasilitas-fasilitas penunjang
keamanan dan kenyamanan pengunjung dilengkapi
beberapa fasilitas tersebut yaitu :
1. Gazebo, sebagai tempat santai sambil
menikmati keindahan dan kesejukan KKMB.
Namun dari jumlah yang tersedia, dirasa masih
kurang sehingga perlu ditambah lagi karena
banyak pengunjung yang datang ke KKMB,
terutama pada hari-hari libur dimana
pengunjung yang datang dengan kerabat, teman,
dan keluarga membawa makanan dan minuman.
2. Taman bacaan, ditaman bacaan ini tersedia
buku-buku bacaan terutama yang berhubungan
dengan ekowisata, KKMB, dan Kota Tarakan.
Namun jumlah buku-buku yang tersedia masih
terbatas, padahal taman bacaan ini menjadi
salah satu tempat favorit mahasiswa dan peneliti
untuk mecari referensi dan informasi terutama
yang terkait dengan hutan dan ekowisata.
3. Toilet umum, keberadaan toilet umum di
KKMB sudah cukup memadai dan berada pada
posisi yang mudah diakses pengunjung.
4. Jembatan kayu ulin, pembangunan jembatan
kayu ulin dimaksudkan sebagai jalan bagi
pengunjung menjejahi KKMB. Jembatan
dengan ukuran panjang 2.400 meter dan lebar 2
meter ini semakin mempercantik KKMB.
5. Kursi pengunjung, sudah cukup banyak tersedia
dan posisinya cukup menyebar di KKMB.
Keberadaan kursi-kursi untuk bersantai ini
semakin memanjakan pengunjung.
6. Kantin, letaknya berada didekat pintu masuk
dan belakang KKMB, kantin ini menjual
berbagai makanan dan minuman ringan.
7. Karantina pemeriksaan hewan, dengan adanya
tempat ini, satwa yang ada dapat terpelihara
dengan baik.
8. Tower, disediakan untuk pengunjung yang
ingin melihat dan menikmati keindahan
KKMB, pesisir laut, berbagai sudut kota tarakan
dari atas ketinggian.
9. Tempat sampah, sudah cukup banyak dan
posisinya baik.
Dinas pariwisata sebagai pengelola dan
penangung jawab KKMB, menarik retribusi bagi
pengunjung. Tarif yang diberlakukan bagi
pengunjung lokal dan turis berbeda, dimana untuk
turis dikenakan biaya sebesar Rp 5000/org,
pengunjung lokal dewasa 3000/org, dan anak-anak
2000/org. Hasil restribusi pengunjung KKMB
disetorkan 100% ke Dinas Pendapatan Kota
Tarakan. Kemudian dana tersebut digunakan lagi
untuk mengelola KKMB. Jumlah rata-rata
pengunjung pada hari kerja 30 orang/hari dan hari
libur 250 orang/hari.
Jumlah petugas yang ada saat ini 19 orang,
terbagi atas koordinator lapangan, petugas
kebersihan, petugas keamanan. Petugas kebersihan
dan petugas keamanan jumlahnya masih sangat
kurang mengingat KKMB yang cukup luas.
Petugas kebersihan perlu di tempatkan lebih
banyak di daerah pasang surut air laut/ pinggir laut.
Karena sampah seperti plastik yang merupakan
sampah domestik yang dibuang ke laut banyak
yang masuk melalui laut ke kawasan KKMB, selain
itu petugas kebersihan perlu memasang dan
mengontrol jaring pencegah masuknya sampah.
Jumlah petugas keamanan yang hanya terdiri
dari 4 orang harus menjadi perhatian pihak
pengelola, jumlah ini masih sangat kurang.
Mengingat luasnya KKMB dan banyaknya
pengunjung terutama pada hari libur. Pos-pos
keamanan sebaiknya dibangun dan ditempatkan
pada tempat-tempat strategis dan rawan di dalam
KKMB, untuk keamanan pengunjung terutama
terhadap antisipasi serangan hewan bekantan
(Nasalis larvatus), monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis), dan tindak kejahatan lain di dalam
KKMB. Di KKMB juga belum ada struktur
organisasi yang jelas, sehingga tugas masing-
masing tidak teratur atau manajemennya tidak baik
maka dari itu Di KKMB perlu pembentukan
sruktur organisasi sehingga pengelolaan dapat
berjalan dengan baik.
Banyak keunikan KKMB yang menjadi daya
tarik masyarakat lokal dan wisatawan untuk
berkunjung ke KKMB. Letaknya yang sangat
strategis karena berada di tengah kota berbatasan
langsung dengan keramaian yakni: pusat
perbelanjaan, pemukiman, pertambakan,
perusahaan, dan akses jalan/ pelabuhan. Akses ke
KKMB juga sangat dekat bila dari bandara hanya
menempuh perjalanan 15 menit menggunakan taxi.
Di KKMB banyak satwa yang dilindungi dan
endemik, misalnya bekantan yang mempunyai
hidung besar panjang yang merupakan hewan
endemik Kalimantan dan flora yang unik yang
tidak ada di daerah lain.
Hutan mangrove yang terhampar di KKMB
juga memiliki fungsi yang sangat penting baik
secara ekologi maupun sosial ekonomi bagi
masyarakat Kota Tarakan, yaitu:
Supardi INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
132
1. Pelindung pantai dari abrasi, angin topan, badai,
gempuran gelombang dan perembesan air laut
di sekitarnya.
2. Mempercepat perluasan pantai karena
terjadinya pengendapan lumpur dan perangkap
sedimen.
3. Daerah pembesaran, mencari makan yang
berasal dari serasah mangrove, dan daerah
pemijahan untuk berbagai jenis ikan, udang, dan
biota laut lainnya.
4. Tempat berlindung dan berkembang berbagai
jenis fauna seperti burung, mamalia, bekantan,
kera ekor panjang, serangga, dan lain-lain.
5. Pengatur suhu, penghasil oksigen, dan lain
sebagainya.
6. Sebagai tempat penelitian dan pendidikan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian pengelolaan
kawasan konservasi hutan mangrove dan bekantan
(Nasalis larvatus) (KKMB) di Kota Tarakan dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengelola dan penanggung jawab KKMB
adalah Dinas Pariwisata Kota Tarakan. Hasil
restribusi pengunjung KKMB disetorkan
seluruhnya ke dinas pendapatan Kota Tarakan.
2. Fasilitas-fasilitas penunjang yang ada di KKMB
antara lain: gazebo, taman bacaan, jembatan
kayu ulin, toilet, kursi pengunjung, kantin,
tower, dan tempat sampah.
3. Keunikan KKMB yang menjadi daya tarik
masyarakat lokal dan wisatawan untuk
berkunjung ke KKMB adalah Letaknya yang
sangat strategis karena berada di tengah kota
berbatasan langsung dengan keramaian yakni:
pusat perbelanjaan, pemukiman, pertambakan,
perusahaan, dan akses jalan/ pelabuhan. Selain
itu Di KKMB banyak satwa yang dilindungi dan
endemik, misalnya bekantan (Nasalis larvatus)
yang mempunyai hidung besar panjang yang
merupakan hewan endemik Kalimantan.
Kemudian flora yang unik yang tidak ada di
daerah lain.
4. Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan
KKMB adalah masalah kebersihan (sampah),
terutama sampah yang berasal dari pasang surut
air laut, pemukiman dan pengunjung. Di KKMB
juga belum ada struktur organisasi yang jelas
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Perkembangan Luas Hutan
Mangrove Kota Tarakan Pemetaan Tahun
2001.
Dahlan, E. N. 2002. Hutan Kota: Untuk
Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas
Lingkungan Hidup. Departemen Kehutanan
Republik Indonesia. http://www.w3.org/
TR/REC-html40.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tarakan. 2009.
Perkembangan Luas Hutan Mangrove Kota
Tarakan.
Dinas Lingkungan Hidup & SDA Kota Tarakan.
2007. Pesona KKMB di Tarakan,
Kalimantan timur
Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan
Keanekaragaman Hayati, Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan, 2010.
Fandeli C. Mukhlison, 2000. Pengusahaan
Ekowisata. Fakultas Kehutanan Univ.
Gadjah Mada Yogyakarta.
Hamdan. 2012. Kawasan Konservasi Hutan
Mangrove dan Bekantan.
Kusmana, C. 2002. Rencana Rehabilitasi Hutan
Mangrove dan Hutan Pantai Pasca Tsunami
di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya
Hutan Mangrove Pasca sunami, Medan,
April 2005.
Napitu JP. 2007. Pengelolaan Kawasan
Konservasi.
Noor, Y.R. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove
di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
Nybakken, j.w. 1992. Biologi Laut Suatu
Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa oleh D.G.
Bengen. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta, Indoneisa.
.Sibarani, J. P. 2003. Potensi Kampus Universitas
Sumatera Utara Sebagai Salah Satu Hutan
Kota di Kota Medan. Fakultas Pertanian
Program Studi Budidaya Hutan, Universitas
Sumatera Utara.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2002.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota.
Jakarta : Dephut RI. Pasal 1, ayat 1. Pasal 3.
Perda RTRW Kota Tarakan No. 03 Tahun 2006.
Perkembangan Luas Hutan Mangrove Kota
Tarakan
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
133
EVALUASI PRODUKSI STAGGERED CREW
DI TAMBANG BAWAH TANAH DEEP ORE ZONE
PT. FREEPORT INDONESIA
Gianfranco Enrico Pocerattu1), Yulius Ganti Pangkung2)
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Universitas Papua
Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: [email protected]
Abstract
To increased the production, the Deep Ore Zone (DOZ) mining department has a concept of
implementing a staggered crew. Staggered crew is a crew formed specifically to support production
activities. To assess the performance of the application of the staggered crew, an evaluation of the factors
that influence production activities is carried out. Factors that subject to evaluation are working time,
number of operators and production capability. The results of evaluating work time (optimum efficiency)
for crew I, II, and III showed as follow 29%, 30%, and 28% respectedly. Very low efficiency is due to time
constraints in operation, which are affected by delay time, idle time and maintenance time. Average
productive work time (work) is 3.26 hours/day, delay time is 3.26 hours/day, idle time is 4.03 hours/day
and maintenance time is 0.53 hours/day. Idle time is the highest time of these four parameters. The results
also showed that there were differences in the number of distribution operators, namely crew I numbered
16 people, crew II numbered 12 people and crew III numbered 15 people. But the number of operators on
each crew is still sufficient to support production activities. The average production is 62.14 tons/hour and
4,784.78 tons/day. So with a production of 62.14 tons/hour and working time of 11 hours/day, it takes a
minimum of 8 dump truck operators to reach a value of 5,468.32 tons/day.
Keywords: Production, Staggered Crew, Working Time.
Abstrak
Dalam peningkatan produksi, departemen tambang Deep Ore Zone (DOZ) mempunyai konsep
dengan mengimplementasikan staggered crew. Staggered crew merupakan kru yang dibentuk khusus untuk
menunjang kegiatan produksi. Untuk menilai kinerja dari penerapan staggered crew, maka dilakukan
evaluasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegiatan produksi. Faktor-faktor yang menjadi
bahan evaluasi adalah waktu kerja, jumlah operator dan kemampuan produksi. Hasil evaluasi waktu kerja
(efisiensi optimum) untuk crew I adalah 29%, crew II adalah 30% dan crew III adalah 28%. Efisiensi yang
sangat rendah disebabkan karena adanya waktu hambatan dalam operasi, yang dipengaruhi oleh waktu
tunda, waktu terhenti dan waktu perawatan. Waktu kerja produktif rata-rata (work) adalah sebesar 3,26
jam/hari, waktu delay sebesar 3,26 jam/hari, waktu idle sebesar 4,03 jam/hari dan waktu maintenance
sebesar 0,53 jam/hari. Waktu idle merupakan waktu tertinggi dari keempat parameter ini. Hasil juga
menunjukan bahwa adanya perbedaan jumlah distribusi operator, yaitu crew I berjumlah 16 orang, crew II
berjumlah 12 orang dan crew III berjumlah 15 orang. Namun jumlah operator pada tiap crew masih cukup
untuk menunjang kegiatan produksi. Produksi rata-rata adalah sebesar 62,14 ton/jam dan 4.784,78 ton/hari.
Sehingga dengan produksi 62,14 ton/jam dan waktu kerja 11 jam/hari, dibutuhkan minimal 8 orang operator
dump truck untuk mencapai nilai 5.468,32 ton/hari.
Kata Kunci: Produksi, Staggered Crew, Waktu Kerja.
Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
134
PENDAHULUAN
Area tambang DOZ saat ini merupakan area
tambang yang aktif dalam melakukan kegiatan
produksi. Kegiatan produksi dilakukan dengan
sistem kerja menjadi dua shift kerja per hari.
Namun pada prakteknya, semua waktu dari shift
kerja tidak dipakai sepenuhnya untuk kegiatan
produksi. Hal ini disebabkan karena sebagian
waktu tersebut dipakai untuk persiapan menjelang
produksi (awal shift) dan persiapan menjelang
akhir produksi (akhir shift). Kegiatan menjelang
produksi berupa persiapan para karyawan dari
tempat tinggal menuju ke area tambang, pengisian
absensi, pembagian tugas (line-up) dan safety
meeting. Penggunaan waktu selain untuk kegiatan
produksi adalah pada saat waktu pergantian shift
(shift change) dan waktu makan serta istirahat
(meal & break). Pada pergantian shift terdapat jeda
waktu operasional, dimana operator reguler yang
telah selesai bekerja akan digantikan oleh operator
pada shift berikutnya. Begitu juga pada saat makan
dan istirahat, terdapat jeda waktu dikarenakan tidak
ada operator yang melakukan kegiatan produksi.
Bertolak dari kondisi ini, departemen tambang
DOZ melihat adanya kesempatan (opportunity)
untuk tetap melakukan kegiatan produksi secara
kontinu dengan cara implementasi staggered crew.
Staggered crew adalah kru yang dibentuk khusus
dengan penempatan waktu kerja berbeda namun
memiliki jumlah waktu kerja yang sama dengan
waktu kerja kru regular dengan tujuan untuk
meningkatkan waktu kerja efektif, menunjang
kegiatan produksi (production support) dan
melakukan proyek lainnya (special project).
Departemen tambang bawah tanah DOZ
telah mengimplementasikan staggered crew sejak
bulan September 2018. Dalam pengoperasian
staggered crew, bukan hal yang pasti proses
produksinya akan berjalan dengan lancar. Ada
faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap
kegiatan produksi yang dilakukan. Berdasarkan
latar belakang pemikiran inilah sehingga perlu
dilakukan evaluasi tentang implementasi
pengoperasian staggered crew pada area tambang
DOZ di PT. Freeport Indonesia.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode
deskriptif adalah metode yang digunakan untuk
mencari unsur-unsur, ciri-ciri, sifat-sifat suatu
fenomena. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kuantitatif. Menurut Kasiram
(2008:149), penelitian kuantitatif adalah suatu
proses menemukan pengetahuan yang
menggunakan data berupa angka sebagai alat
menganalisis keterangan mengenai hal yang ingin
diketahui.
Penelitian dilakukan berlangsung selama ± 6
bulan, yaitu pada bulan Januari sampai Juni 2019.
Sedangkan waktu pengambilan data dilakukan
selama ± 1 bulan, yaitu pada bulan Januari 2019.
Lokasi tempat penelitian adalah level truck haulage
pada area tambang Deep Ore Zone PT. Freeport
Indonesia yang berlokasi di dataran tinggi
Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan
tiga variabel yaitu jarak angkut sebagai variabel
bebas, cycle time dump truck sebagai variabel
terikat dan waktu kerja dan jumlah operator sebagai
variabel dinamis.
DASAR TEORI
Waktu Siklus (Cycle Time)
Waktu siklus (cycle time) merupakan waktu
yang digunakan oleh alat untuk melakukan satu
siklus atau kegiatan inti dalam kegiatan operasi
produksi yang dilakukan. Pada penelitian ini
menulis mengamati waktu siklus dari alat angkut
yaitu dump truck.
Adapun waktu siklus dari dump truck adalah
waktu memuat material (loading time), waktu
angkut bermuatan (tramming full), waktu manuver
I (mengambil posisi untuk menumpah material),
waktu dumping (dumping time atau penumpahan
material), waktu kembali kosong (tramming
empty) dan waktu manuver II (mengambil posisi
untuk dimuati). Cycle time ideal alat dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut:
CT = TL + TTF + TD + TTE + TM (1)
Dimana CT adalah cycle time alat, TL adalah
waktu pemuatan (time of loading), TTF adalah
waktu angkut bermuatan (time of tramming full),
TD adalah waktu untuk menumpahkan material
(time of dumping), TTE adalah waktu kembali
kosong (time of tramming empty) dan TM adalah
waktu manuver.
Efisiensi Kerja
Efisiensi kerja adalah perbandingan antara
waktu produktif dengan waktu kerja yang tersedia.
Hal ini merujuk kepada seberapa efisien waktu
yang digunakan dari waktu yang tersedia untuk
melakukan kegiatan operasional.
Untuk melakukan penelitian terhadap
efisiensi dan keadaan alat mekanis, perlu dilakukan
kajian terhadap masing-masing komponen berikut:
Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
135
1. Effectiveness
E = W
O×100% (2)
2. Physical/Mechanical Availability
PA = A
S×100% (3)
3. Utility
U = O
A×100% (4)
4. Optimum Efficiency
EO = W
S×100% (5)
Effectiveness merupakan waktu kerja efektif
yang digunakan alat untuk beroperasi (kinerja
operator). Physical Availability merupakan ukuran
keadaan fisik dari alat yang digunakan (baik
tidaknya alat untuk beroperasi). Utility menunjukan
persentase waktu yang dipergunakan oleh suatu
alat untuk beroperasi pada saat alat tersebut
digunakan (available) atau seberapa efektif alat
dimanfaatkan dalam keadaan tidak rusak.
Optimum Efficiency menunjukan persentase dari
seluruh waktu kerja yang tersedia dapat
dipergunakan untuk kerja produktif (efisiensi
kerja).
Estimasi Produksi Alat
Pada penelitian yang hendak dilakukan ini
penulis menghitung kemampuan produksi dari alat
mekanis dump truck yang merupakan objek
penelitian dengan menggunakan formula berikut
(Andi Tenrisukki Tenriajeng, 2003):
P = C x 60 x FK
CT (6)
Dimana produksi (P) adalah kemampuan alat
(ton/jam), C adalah kapasitas vessel (m3 atau ton)
bila menggunakan payload = ton, maka harus
dikalikan dengan densitas material (ton/m3), FK
adalah faktor koreksi yang dipengaruhi oleh
efisiensi operator, ketersediaan mesin dan efisiensi
operasi, CT (cycle time) adalah waktu siklus dari
alat dalam satu siklus (menit), 60 adalah faktor
konversi waktu ke jam dan digunakan sebagai
pembagi waktu untuk mengetahui jumlah trip dump
truck per jam.
Regresi Linear
Regresi linier adalah metode statistika yang
digunakan untuk membentuk model hubungan
antara variabel terikat (dependen; respon; Y)
dengan satu atau lebih variabel bebas (independen,
prediktor, X).
Analisis regresi setidak-tidaknya memiliki 3
kegunaan, yaitu untuk tujuan deskripsi dari
fenomena data atau kasus yang sedang diteliti,
untuk tujuan kontrol, serta untuk tujuan prediksi.
Persamaan regresi linier dari Y terhadap X
dirumuskan sebagai berikut:
Y = a + bX (7)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Waktu Kerja Staggered Crew
Pengambilan data kerja dilakukan untuk
mlihat kesesuaian antara waktu kerja aktual
dilapangan dengan waktu kerja yang telah
ditetapkan oleh perusahaan. Data waktu kerja yang
diambil ada dua, yaitu data primer berupa data kerja
aktual staggered crew 1, 2 dan 3. Data sekunder
berupa data waktu kerja dalam rencana
implementasi staggered crew.
Tabel 1. Waktu Kerja Rencana Staggered Crew
Aktivitas Durasi (Menit/Hari)
Safety Meeting + Line
Up/Preparation 20
Makan dan Istirahat 60
Waktu Kerja 540
Persiapan dan Check Out 20
Total 640
Tabel 2. Waktu Kerja Aktual Staggered Crew
Aktivitas
Durasi (Menit/Hari)
Crew
I
Crew
II
Crew
III
Safety Meeting +
Line Up/Preparation 45 45 45
Makan dan Istirahat 60 90 120
Waktu Kerja 540 510 480
Persiapan dan
Check Out 20 20 20
Total 665 665 665
Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
136
Waktu kerja aktual dari staggered crew
adalah 665 menit/hari (11,08 jam/hari => 11
jam/hari).
Tabel 3. Parameter Waktu Aktual
Tanggal
Durasi (Jam/Hari)
Delay
(D)
Idle
(I)
Work
(W)
Maintenance
(M)
05/10/2019 2,98 4,12 3,65 0,33
06/10/2019 2,00 5,20 3,11 0,77
07/10/2019 3,16 4,65 2,71 0,57
08/10/2019 5,93 3,43 1,72 0,00
09/10/2019 2,71 4,15 3,79 0,43
10/10/2019 2,80 3,32 4,44 0,53
11/10/2019 2,70 4,65 3,73 0,00
12/10/2019 1,40 4,03 2,52 3,13
13/10/2019 3,59 4,67 2,27 0,55
14/10/2019 4,70 3,37 3,02 0,00
15/10/2019 3,65 3,27 4,17 0,00
17/10/2019 3,55 3,52 3,95 0,07
Rata-Rata 3,26 4,03 3,26 0,53
Jumlah Operator dan Pembagian Line-Up
Pengambilan data ini dilakukan untuk
melihat rencana perusahaan dalam penugasan
operator (man power) dan penugasan operator pada
keadaan aktual. Pengamatan dilakukan dengan
mengamati jumlah operator dump truck yang
bertugas pada tiap staggered crew.
Tabel 4. Rencana Penugasan Staggered Crew Truck
Operator
Chutte Puller
(LP)
Additional
Tons/Day
4 2 2.000
5 3 3.500
6 4 5.000
8 5 7.500 Assumption Truck Productivity = 200 tons/hour
Target utama dalam penerapan staggered crew
adalah pencapaian produksi 5.000 ton/hari, dengan
menugaskan 6 orang operator truck dan 4 orang operator
LP.
Tabel 5. Pembagian Line-Up Aktual
Tanggal Crew Operator Dump Truck
(Orang)
03 Januari 2019
III
7
04 Januari 2019 7
05 Januari 2019 7
06 Januari 2019 7
07 Januari 2019 7
08 Januari 2019
I
7
09 Januari 2019 7
10 Januari 2019 6
Tanggal Crew Operator Dump Truck
(Orang)
11 Januari 2019 7
12 Januari 2019 7
13 Januari 2019
II
8
14 Januari 2019 8
15 Januari 2019 7
16 Januari 2019 8
17 Januari 2019 7
Rata-Rata 7,2 = 7
Estimasi Produksi
Perhitungan produksi dilakukan setelah
parameter dalam perhitungan terpenuhi. Parameter
tersebut adalah cycle time, faktor koreksi dan
payload faktor. Perhitungan produksi dilakukan
dengan nilai perkiraan. Artinya, satu nilai waktu
siklus yang telah dihitung, akan diasumsikan
berlaku untuk kegiatan di tiap loading point (LP).
Kemudian dari hasil perhitungan akan dicari nilai
produksi rata-rata.
Sebelum melakukan estimasi produksi ada
beberapa tahap yang dilakukan yaitu:
1. Pengukuran Jarak Angkut Pada Peta
2. Estimasi Waktu Loading, Dumping, Manuver I
dan II
3. Plot Data Jarak Angkut dan Tramming Time
Pada Scatter Diagram
4. Estimasi Cycle Time (CT) Rata-Rata
5. Estimasi Faktor Koreksi
6. Estimasi Produksi
Pengukuran Jarak Angkut Pada Peta
Pengukuran jarak angkut tidak dilakukan
langsung pada area penelitian namun dilakukan
pada level truck haulage dengan menggunakan
software Autocad 2016. Jarak angkut diukur
berdasarkan dua rute pengangkutan, yaitu menuju
crusher 1 dan 2.
Tabel 6. Jarak Angkut dari Tiap LP ke Crusher
No. Loading
Point
Jarak Angkut (meter)
Crusher 1 Crusher 2
1 LP07 2.158 2.153
2 LP06 2.136 2.132
3 LP05 2.130 2.125
4 LP04 2.111 2.105
5 LP03 2.122 2.117
6 LP02 2.123 2.118
7 LP01 2.119 2.114
8 LP1A 2.125 2.120
9 LP1B 2.136 2.130
10 LP1C 2.140 2.134
11 LP1D 2.132 2.127
12 LP1E 2.129 2.123
13 LP1F 2.124 2.119
Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
137
No. Loading
Point
Jarak Angkut (meter)
Crusher 1 Crusher 2
14 LP1G 2.124 2.119
15 LP1H 2.122 2.117
16 LP1I 2.118 2.113
17 LP1J 2.122 2.117
18 LP1K 2.130 2.125
19 LP05S 1.765 1.684
20 LP04S 1.759 1.677
21 LP03S 1.772 1.690
22 LP02S 1.760 1.678
23 LP01S 1.757 1.675
24 LP1AS 1.755 1.673
25 LP1BS 1.756 1.675
26 LP1CS 1.760 1.678
27 LP1DS 1.759 1.677
28 LP1ES 1.758 1.677
29 LP1FS 1.762 1.670
30 LP1GS 1.761 1.680
31 LP1HS 1.750 1.669
32 LP1IS 1.756 1.674
33 LP1JS 1.765 1.682
Estimasi Waktu Loading, Dumping dan Manuver
Estimasi waktu ini dilakukan dengan
mencari nilai rata-rata masing-masing waktu dalam
siklus dari data aktual hasil pengukuran. Waktu
rata-rata akan dipakai untuk mewakili setiap
kegiatan loading, dumping dan manuver disetiap
LP.
Tabel 7. Waktu Loading, Dumping dan Manuver
No. Siklus Waktu
(Detik) (Menit)
1 Loading 54,489 0,908
2 Dumping 37,095 0,618
3 Manuver I 14,674 0,245
4 Manuver II 48,953 0,816
Plot Data Jarak Angkut dan Tramming Time Pada
Scatter Diagram
Plot data jarak angkut dan tramming time
(waktu angkut) dilakukan dengan menggunakan
metode statistika regresi linear. Penggunaan
metode ini bertujuan untuk mencari nilai rata-rata
dari tramming time tiap LP ke crusher. Pengolahan
data dilakukan dengan menggunakan software
IBM SPSS Statistics 23. Hasil pengolahan data
akan muncul dalam bentuk scatter diagram. Data
yang digunakan adalah jarak angkut (sumbu X) dan
tramming time (sumbu Y). Berikut adalah scatter
diagram hasil sebaran data tramming time aktual
dengan jarak angkut pada tiap LP menuju ke
crusher. Pada persamaan didapatkan nilai a
(intersept) = 1,27 dan b (slope) = 0,0046.
Gambar 1. Scatter Diagram Model Jarak Angkut
dan Tramming Time
Setelah mendapat persamaan regresi dari
scatter diagram, kemudian dihitung nilai CT rata-
rata dari tiap LP. Perhitungan CT dilakukan dengan
cara mendistribusikan kembali data jarak angkut
dan tramming time dari data aktual pada persamaan
(7).
Tabel 8. Tramming Time Pada Crusher 1
LP Crusher
Jarak
(m)
X
a b
Y = a + bX
Tramming
(Menit)
LP07 1 2.158 1,27 0,0046 11,198
LP06 1 2.136 1,27 0,0046 11,096
LP05 1 2.130 1,27 0,0046 11,070
LP04 1 2.111 1,27 0,0046 10,979
LP03 1 2.122 1,27 0,0046 11,033
LP02 1 2.123 1,27 0,0046 11,035
LP01 1 2.119 1,27 0,0046 11,018
LP1A 1 2.125 1,27 0,0046 11,047
LP1B 1 2.136 1,27 0,0046 11,094
LP1C 1 2.140 1,27 0,0046 11,112
LP1D 1 2.132 1,27 0,0046 11,077
LP1E 1 2.129 1,27 0,0046 11,062
LP1F 1 2.124 1,27 0,0046 11,040
LP1G 1 2.124 1,27 0,0046 11,042
LP1H 1 2.122 1,27 0,0046 11,033
LP1I 1 2.118 1,27 0,0046 11,012
LP1J 1 2.122 1,27 0,0046 11,031
LP1K 1 2.130 1,27 0,0046 11,067
LP05S 1 1.765 1,27 0,0046 9,391
LP04S 1 1.759 1,27 0,0046 9,360
LP03S 1 1.772 1,27 0,0046 9,419
LP02S 1 1.760 1,27 0,0046 9,365
LP01S 1 1.757 1,27 0,0046 9,352
Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
138
LP Crusher
Jarak
(m)
X
a b
Y = a + bX
Tramming
(Menit)
LP1AS 1 1.755 1,27 0,0046 9,341
LP1BS 1 1.756 1,27 0,0046 9,350
LP1CS 1 1.760 1,27 0,0046 9,364
LP1DS 1 1.759 1,27 0,0046 9,360
LP1ES 1 1.758 1,27 0,0046 9,355
LP1FS 1 1.762 1,27 0,0046 9,375
LP1GS 1 1.761 1,27 0,0046 9,372
LP1HS 1 1.750 1,27 0,0046 9,322
LP1IS 1 1.756 1,27 0,0046 9,348
LP1JS 1 1.765 1,27 0,0046 9,387
Tabel 9. Tramming Time Pada Crusher 2
LP Crusher
Jarak
(m)
X
a b
Y = a + bX
Tramming
(Menit)
LP07 2 2.153 1,27 0,0046 11,174
LP06 2 2.132 1,27 0,0046 11,077
LP05 2 2.125 1,27 0,0046 11,045
LP04 2 2.105 1,27 0,0046 10,954
LP03 2 2.117 1,27 0,0046 11,009
LP02 2 2.118 1,27 0,0046 11,011
LP01 2 2.114 1,27 0,0046 10,993
LP1A 2 2.120 1,27 0,0046 11,024
LP1B 2 2.130 1,27 0,0046 11,070
LP1C 2 2.134 1,27 0,0046 11,087
LP1D 2 2.127 1,27 0,0046 11,052
LP1E 2 2.123 1,27 0,0046 11,037
LP1F 2 2.119 1,27 0,0046 11,016
LP1G 2 2.119 1,27 0,0046 11,017
LP1H 2 2.117 1,27 0,0046 11,009
LP1I 2 2.113 1,27 0,0046 10,988
LP1J 2 2.117 1,27 0,0046 11,007
LP1K 2 2.125 1,27 0,0046 11,043
LP05S 2 1.684 1,27 0,0046 9,015
LP04S 2 1.677 1,27 0,0046 8,985
LP03S 2 1.690 1,27 0,0046 9,045
LP02S 2 1.678 1,27 0,0046 8,991
LP01S 2 1.675 1,27 0,0046 8,977
LP1AS 2 1.673 1,27 0,0046 8,967
LP1BS 2 1.675 1,27 0,0046 8,975
LP1CS 2 1.678 1,27 0,0046 8,989
LP1DS 2 1.677 1,27 0,0046 8,984
LP1ES 2 1.677 1,27 0,0046 8,983
LP1FS 2 1.670 1,27 0,0046 8,951
LP1GS 2 1.680 1,27 0,0046 8,998
LP1HS 2 1.669 1,27 0,0046 8,947
LP1IS 2 1.674 1,27 0,0046 8,973
LP1JS 2 1.682 1,27 0,0046 9,007
Estimasi Cycle Time (CT) Rata-Rata
Perhitungan CT rata-rata dilakukan dengan
mengakumulasikan nilai waktu loading, tramming,
manuver I, dumping dan manuver II untuk setiap
loading point menuju ke crusher 1 dan 2.
Kemudian dihitung nilai CT rata-rata akumulasi
crusher 1 dan 2.
Tabel 10. Cycle Time Tiap LP ke Crusher 1
LP Loading
(menit)
Tramming
(menit)
Manuver
I
(menit)
Dumping
(menit)
Manuver
II
(menit)
Total
CT
LP07 0,908 11,198 0,245 0,618 0,816 13,785
LP06 0,908 11,096 0,245 0,618 0,816 13,683
LP05 0,908 11,070 0,245 0,618 0,816 13,657
LP04 0,908 10,979 0,245 0,618 0,816 13,566
LP03 0,908 11,033 0,245 0,618 0,816 13,620
LP02 0,908 11,035 0,245 0,618 0,816 13,622
LP01 0,908 11,018 0,245 0,618 0,816 13,605
LP1A 0,908 11,047 0,245 0,618 0,816 13,634
LP1B 0,908 11,094 0,245 0,618 0,816 13,681
LP1C 0,908 11,112 0,245 0,618 0,816 13,699
LP1D 0,908 11,077 0,245 0,618 0,816 13,664
LP1E 0,908 11,062 0,245 0,618 0,816 13,649
LP1F 0,908 11,040 0,245 0,618 0,816 13,627
LP1G 0,908 11,042 0,245 0,618 0,816 13,629
LP1H 0,908 11,033 0,245 0,618 0,816 13,620
LP1I 0,908 11,012 0,245 0,618 0,816 13,599
LP1J 0,908 11,031 0,245 0,618 0,816 13,618
LP1K 0,908 11,067 0,245 0,618 0,816 13,654
LP05S 0,908 9,391 0,245 0,618 0,816 11,978
LP04S 0,908 9,360 0,245 0,618 0,816 11,947
LP03S 0,908 9,419 0,245 0,618 0,816 12,006
LP02S 0,908 9,365 0,245 0,618 0,816 11,952
LP01S 0,908 9,352 0,245 0,618 0,816 11,939
LP1AS 0,908 9,341 0,245 0,618 0,816 11,928
LP1BS 0,908 9,350 0,245 0,618 0,816 11,937
LP1CS 0,908 9,364 0,245 0,618 0,816 11,951
LP1DS 0,908 9,360 0,245 0,618 0,816 11,947
LP1ES 0,908 9,355 0,245 0,618 0,816 11,942
LP1FS 0,908 9,375 0,245 0,618 0,816 11,962
LP1GS 0,908 9,372 0,245 0,618 0,816 11,959
LP1HS 0,908 9,322 0,245 0,618 0,816 11,909
LP1IS 0,908 9,348 0,245 0,618 0,816 11,935
LP1JS 0,908 9,387 0,245 0,618 0,816 11,974
Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
139
Tabel 11. Cycle Time Tiap LP ke Crusher 2
LP Loading
(menit)
Tramming
(menit)
Manuver
I
(menit)
Dumping
(menit)
Manuver
II
(menit)
Total
CT
LP07 0,908 11,174 0,245 0,618 0,816 13,761
LP06 0,908 11,077 0,245 0,618 0,816 13,664
LP05 0,908 11,045 0,245 0,618 0,816 13,632
LP04 0,908 10,954 0,245 0,618 0,816 13,541
LP03 0,908 11,009 0,245 0,618 0,816 13,596
LP02 0,908 11,011 0,245 0,618 0,816 13,598
LP01 0,908 10,993 0,245 0,618 0,816 13,580
LP1A 0,908 11,024 0,245 0,618 0,816 13,611
LP1B 0,908 11,070 0,245 0,618 0,816 13,657
LP1C 0,908 11,087 0,245 0,618 0,816 13,674
LP1D 0,908 11,052 0,245 0,618 0,816 13,639
LP1E 0,908 11,037 0,245 0,618 0,816 13,624
LP1F 0,908 11,016 0,245 0,618 0,816 13,603
LP1G 0,908 11,017 0,245 0,618 0,816 13,604
LP1H 0,908 11,009 0,245 0,618 0,816 13,596
LP1I 0,908 10,988 0,245 0,618 0,816 13,575
LP1J 0,908 11,007 0,245 0,618 0,816 13,594
LP1K 0,908 11,043 0,245 0,618 0,816 13,630
LP05S 0,908 9,015 0,245 0,618 0,816 11,602
LP04S 0,908 8,985 0,245 0,618 0,816 11,572
LP03S 0,908 9,045 0,245 0,618 0,816 11,632
LP02S 0,908 8,991 0,245 0,618 0,816 11,578
LP01S 0,908 8,977 0,245 0,618 0,816 11,564
LP1AS 0,908 8,967 0,245 0,618 0,816 11,554
LP1BS 0,908 8,975 0,245 0,618 0,816 11,562
LP1CS 0,908 8,989 0,245 0,618 0,816 11,576
LP1DS 0,908 8,984 0,245 0,618 0,816 11,571
LP1ES 0,908 8,983 0,245 0,618 0,816 11,570
LP1FS 0,908 8,951 0,245 0,618 0,816 11,538
LP1GS 0,908 8,998 0,245 0,618 0,816 11,585
LP1HS 0,908 8,947 0,245 0,618 0,816 11,534
LP1IS 0,908 8,973 0,245 0,618 0,816 11,560
LP1JS 0,908 9,007 0,245 0,618 0,816 11,594
Tabel 12. Cycle Time Rata-Rata
LP
CT
Crusher
1
(menit)
CT
Crusher
2
(menit)
CT
Rata-
Rata
(menit)
CT
Rata-
Rata
(menit)
LP07 13,785 13,761 13,773 14
LP06 13,683 13,664 13,673 14
LP
CT
Crusher
1
(menit)
CT
Crusher
2
(menit)
CT
Rata-
Rata
(menit)
CT
Rata-
Rata
(menit)
LP05 13,657 13,632 13,644 14
LP04 13,566 13,541 13,554 14
LP03 13,620 13,596 13,608 14
LP02 13,622 13,598 13,610 14
LP01 13,605 13,580 13,593 14
LP1A 13,634 13,611 13,623 14
LP1B 13,681 13,657 13,669 14
LP1C 13,699 13,674 13,687 14
LP1D 13,664 13,639 13,652 14
LP1E 13,649 13,624 13,637 14
LP1F 13,627 13,603 13,615 14
LP1G 13,629 13,604 13,616 14
LP1H 13,620 13,596 13,608 14
LP1I 13,599 13,575 13,587 14
LP1J 13,618 13,594 13,606 14
LP1K 13,654 13,630 13,642 14
LP05S 11,978 11,602 11,790 12
LP04S 11,947 11,572 11,760 12
LP03S 12,006 11,632 11,819 12
LP02S 11,952 11,578 11,765 12
LP01S 11,939 11,564 11,751 12
LP1AS 11,928 11,554 11,741 12
LP1BS 11,937 11,562 11,749 12
LP1CS 11,951 11,576 11,763 12
LP1DS 11,947 11,571 11,759 12
LP1ES 11,942 11,570 11,756 12
LP1FS 11,962 11,538 11,750 12
LP1GS 11,959 11,585 11,772 12
LP1HS 11,909 11,534 11,721 12
LP1IS 11,935 11,560 11,747 12
LP1JS 11,974 11,594 11,784 12
Nilai CT minimum adalah 12 menit dan
maksimum adalah 14 menit. Pada estimasi
produksi yang akan dipakai adalah nilai CT
maksimum.
Estimasi Faktor Koreksi
Perhitungan dilakukan dengan mengamati
beberapa parameter seperti waktu kerja (W), waktu
tunda (D), waktu operasi (O), waktu terhenti (I),
waktu tersedia (A), waktu perawatan (M) dan
waktu terjadwal (S). Kemudian akan dihitung nilai
efisiensi optimum (persamaan 5) dan nilai ini akan
digunakan untuk estimasi produksi. Nilai efisiensi
optimum = faktor koreksi.
Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
140
Tabel 13. Parameter Efisiensi Kerja Aktual
Waktu Kerja
(Work)
Kerja Lancar (Waktu
Siklus)
Waktu Tunda
(Delay)
Tunggu LP Aktif
Running Cari LP
Antri di LP
Tunggu Lip Chutte Terbuka
Antri di Crusher
Crusher Red Light
Tramming Parking
Waktu Tunda Lain-Lain
Waktu Terhenti
(Idle)
Makan & Istirahat
Ganti Truck
Cuci Truck
Mundur Kerja Cepat
Check Out & Preparation
Mengisi BBM
dll.
Waktu Perawatan
(Maintenance)
Check List & Warming
Truck
Tabel ini merangkum kegiatan aktual di
lapangan yang menyebabkan adanya hambatan
dalam produksi.
Tabel 14. Efisiensi Kerja Aktual Crew III
Tanggal E PA U EO
05 Jan 2019 55% 97% 62% 33%
06 Jan 2019 61% 93% 50% 28%
07 Jan 2019 46% 95% 56% 24%
Rata-Rata 54% 95% 56% 28%
Tabel 15. Efisiensi Kerja Aktual Crew I
Tanggal E PA U EO
08 Jan 2019 22% 100% 69% 16%
09 Jan 2019 58% 96% 61% 34%
10 Jan 2019 61% 95% 69% 40%
11 Jan 2019 58% 100% 58% 34%
12 Jan 2019 64% 72% 49% 23%
Rata-Rata 53% 93% 61% 29%
Tabel 16. Efisiensi Kerja Aktual Crew II
Tanggal E PA U EO
13 Jan 2019 39% 95% 49% 20%
14 Jan 2019 40% 100% 68% 27%
15 Jan 2019 53% 100% 70% 38%
17 Jan 2019 53% 99% 68% 36%
Rata-Rata 46% 99% 64% 30%
Hasil perhitungan efisiensi operator untuk
crew I adalah 53%, crew II adalah 46% dan crew
III adalah 54%. Hasil ini menunjukan bahwa dari
waktu operasi yang ada, kurang lebih setengah dari
waktu operasi digunakan untuk kerja produktif atau
melakukan siklus. Hasil perhitungan dari keadaan
fisik alat (PA) untuk crew I adalah 93%, crew II
adalah 99% dan crew III adalah 95%. Persentase ini
menunjukan bahwa alat yang digunakan berada
dalam keadaan yang baik dengan waktu perbaikan
yang rendah, artinya keadaan fisik alat sangat
bagus. Hasil perhitungan keefektifan penggunaan
alat (utility) untuk crew I adalah 61%, crew II
adalah 64% dan crew III adalah 56%. Hasil ini
menunjukan bahwa penggunaan waktu dalam
pengoperasian alat adalah setengah dari waktu
yang tersedia.
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai
efisiensi optimum yang sangat rendah, yaitu tidak
lebih dari 30%. Dari tabel tersebut nilai efisiensi
optimum untuk masing-masing crew adalah crew I
adalah 29%, crew II adalah 30% dan crew III
adalah 28%. Efisiensi yang sangat rendah
disebabkan karena adanya waktu hambatan dalam
operasi, yang dipengaruhi oleh waktu tunda, waktu
terhenti dan waktu perbaikan.
Pada hasil perhitungan tentang nilai rata-rata
dari empat parameter waktu (tabel 3), didapatkan
untuk waktu kerja (work) sebesar 3,26 jam, waktu
tunda (delay) sebesar 3,26 jam, waktu terhenti
(idle) sebesar 4,03 jam dan waktu perawatan
(maintenance) sebesar 0,53 jam/hari. Hasil ini
menunjukan bahwa waktu idle memiliki jumlah
yang lebih besar dibandingkan tiga parameter
lainnya. Namun disisi lain, waktu delay pun cukup
besar, sehingga akan berpengaruh terhadap waktu
kerja produktif.
Ada banyak hambatan yang terjadi dalam
proses produksi (tabel 13). Hambatan tersebut
seperti penggunaan waktu istirahat yang
berlebihan, cuci truck, perbaikan alat, antri di
crusher, mundur kerja terlalu cepat dan lain
sebagainya. Hambatan lain yang terjadi adalah
menunggu LP aktif, running cari LP dan antri di
LP. Menunggu LP aktif adalah suatu kondisi
dimana semua LP untuk sementara tidak beroperasi
dengan kode lampu LP berwarna merah. Running
cari LP adalah kondisi dimana ketika operator
dump truck akan berputar mencari LP yang aktif
(kode lampu LP hijau) untuk melakukan kegiatan
pemuatan. Antri di LP adalah kondisi dimana
ketika beberapa truck antri pada beberapa LP aktif
saja yang sedang beroperasi.
Hal ini dapat terjadi karena ada saat dimana
ketika regular dan staggered crew beroperasi
dalam waktu yang sama sehingga terjadi overlap.
Material yang ditumpahkan dari level extraction ke
LP akan dimuat dan diangkut habis dengan sangat
Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
141
cepat oleh dump truck. Kondisi ini akan berakibat
pada adanya waktu tunda yang berpengaruh
terhadap efisiensi optimum.
Estimasi Produksi
Berikut adalah perhitungan kemampuan
produksi dari staggered crew:
a. Estimasi Produksi Staggered Crew I
Diketahui:
C = 50 ton (payload capacity)
FK = 0,29 atau 29% (FK = EO)
CT = 14 menit
Maka estimasi produksi adalah:
P =50 ton x 60 menit/jam x 0,29
14 menit
P = 62,14 ton/jam
= 62,14 ton/jam x 11 jam/hari
= 683,54 ton/hari
= 559,26 ton/hari x 7 operator
= 4.784,78 ton/hari
b. Estimasi Produksi Staggered Crew II
Diketahui:
C = 50 ton (payload capacity)
FK = 0,30 atau 30% (FK = EO)
CT = 14 menit
Maka estimasi produksi adalah:
P =50 ton x 60 menit/jam x 0,30
14 menit
P = 64,28 ton/jam
= 64,28 ton/jam x 11 jam/hari
= 707,08 ton/hari
P = 707,08 ton/hari x 7 operator
= 4.949,56 ton/hari
c. Estimasi Produksi Staggered Crew III
Diketahui:
C = 50 ton (payload capacity)
FK = 0,28 atau 28% (FK = EO)
CT = 14 menit
Maka estimasi produksi adalah:
P =50 ton x 60 menit/jam x 0,28
14 menit
P = 60 ton/jam
= 60 ton/jam x 11 jam/hari
= 660 ton/hari
= 660 ton/hari x 7 operator
= 4.620 ton/hari
Tabel 17. Estimasi Produksi Staggered Crew
Crew Produksi
(Ton/Jam)
Produksi
(Ton/Hari)
I 62,14 4.784,78
II 64,28 4.949,56
III 60 4.620
Rata-Rata 62,14 4.784,78
Setelah melakukan estimasi produksi, hasil
menunjukan bahwa target produksi tidak tercapai
dengan rencana awal implementasi staggered crew
(tabel 4). Oleh karena itu rekomendasi yang dapat
diberikan yaitu dengan penambahan jumlah
penugasan operator dump truck. Rekomendasi
dapat dilihat pada tabel 18.
Tabel 18. Rekomendasi (Penugasan Operator
Dump Truck)
Jumlah
Operator
& Alat
Produksi
(ton/jam)
Jam
Kerja
(jam/hari)
Produksi
(ton/hari)
7 62,14 11 4.784,78
8 62,14 11 5.468,32
9 62,14 11 6.151,86
10 62,14 11 6.835,4
KESIMPULAN
Dari hasil evaluasi tentang implementasi
staggered crew di level truck haulage area tambang
DOZ, ada beberapa hal yang dapat dismpulkan
yaitu sebagai berikut:
1. Waktu kerja yang dipenuhi oleh masing-masing
crew berbeda-beda dikarenakan pekerjaan yang
dilakukan tidak sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan. Waktu kerja dari staggered crew I
adalah sebesar 540 menit, crew II adalah 510
menit dan crew III adalah 410 menit. Waktu
kerja yang sesuai dengan jadwal hanya
dilakukan oleh crew I. Waktu kerja produktif
rata-rata (work) adalah sebesar 3,26 jam/hari.
Waktu delay sebesar 3,26 jam/hari, waktu idle
sebesar 4,03 jam/hari dan waktu maintenance
sebesar 0,53 jam. Waktu idle merupakan waktu
tertinggi dari keempat parameter ini.
2. Kemampuan produksi yang dapat dipenuhi oleh
staggered crew adalah berbeda tiap crew.
Kemampuan produksi dari crew I adalah
sebesar 62,14 ton/jam dan 4.784,78 ton/hari.
Kemampuan produksi dari crew II adalah
sebesar 64,28 ton/jam dan 4.949,56 ton/hari.
Kemampuan produksi dari crew III adalah
sebesar 60 ton/jam dan 4.620 ton/hari.
3. Proses evaluasi tentang implementasi staggered
crew dilakukan dengan melihat 3 parameter
Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
142
yaitu waktu kerja, jumlah operator dan
kemampuan produksi. Waktu kerja aktual yang
dipergunakan staggered crew adalah sebesar
665 menit (± 11 jam). Peningkatan produksi
dalam pencapaian target dapat dilakukan
dengan menugaskan 8 orang operator dump
truck dengan produksi perkiraan yang akan
dihasilkan sebesar 62,14 ton/jam dan 5.468,32
ton/hari.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Tenrisukki Tenriajeng. 2003. Pemindahan
Tanah Mekanis. Gunadarma. Jakarta.
Awang Suwandi. Parameter Pengukuran Efisiensi
Kerja Dalam Horman J.R. 2014. Penuntun
Praktikum Pemindahan Tanah Mekanis.
Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas
Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Universitas Papua.
Deny Kurniawan. 2008. Regresi Linier. R
Foundation for Statistical Computing.
Vienna. Austria
Effendi Kadir. 2008. Pemindahan Tanah Mekanis.
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya.
Kasiram, Moh. 2008. Metodologi Penelitian. UIN
Maliki Press. Malang.
Suryana. 2010. Metodologi Penelitian. Universitas
Pendidikan Indonesia.
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
143
EVALUASI KINERJA ALAT PENGOLAHAN SIRTU
PT. BINTANG TIMUR LESTARI KOTA SORONG
PROVINSI PAPUA BARAT
Chairun Nisa 1), Jance Murdjani Supit 2)
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Universitas Papua
Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: 1)[email protected], 2)[email protected]
Abstract
The processing of base course must be able to meet consumer demand. Thus, evaluating the works of the
crushing plant as well as adjusting the final products by washing the sand. The problems state in this study are
how much the pebble produce from the crushing plant, how much the pebble produce from the sand wash, what
kind of obstacles during the process, and how to achieved better production. Further more the study aim to
calculate the plant yield production; the diffraction yield is 3075,004 m3 / month with the distribution in each
fraction of 3/8 (pebble) fraction of 381,175 m3 / month fraction 1 / 2 (gravel) of 853,121 m3 / month, fraction
2/3 (pebble) of 1164,484 m3 / month, and abubatu fraction of 676,424 m3 / month. The calculation results have
not yet reached the company standard; fractions 3/8 (pebble) = 10%, fractions 1/2 (pebble) = 21%, and fractions
2/3 (gravel) = 29%, and rock ash fractions ( very fine sand) = 17%, with the desired presentation the company
is a fraction 3/8 (pebble) = 5 - 10%, fraction 1/2 (pebble) = 20 - 25%, fraction 2/3 (gravel) = 30 - 35%, and
rock ash fraction (very fine sand) = 20 - 25%. Hence, the results of the presentation are deficiencies in fractions
2/3 (gravel) and stone ash (very fine sand). Whereas for sand washing, the number of buckets is 1339 times per
month, with the amount of volume entering 3385.97 m³ / month, and the total volume coming out is 3361 m³ /
month. Constraints that occur in the processing process in this case during production such as improper working
time, rain, repair of tools, and chunks larger than 35 cm.
Keywords: Production, Crusher, Sand Washing.
Abstrak
Proses pengolahan yang dilakukan harus dapat memenuhi permintaan konsumen dengan upaya
mengevaluasi cara kerja crushing plant dan pencucian pasir dalam menyesuaikan hasil produksi. Dengan
permasalahan berapa besar produksi dari crushing plant dan pencucian pasir dan juga apa saja yang menjadi
kendala dalam proses pengolahan pada unit crushing plant serta pencucian pasir serta usaha-usaha yang dapat
dilakukan untuk mencapai produksi. Dengan tujuan menghitung produksi crushing plant dan mendapatkan
kendala - kendala yang terjadi pada unit crushing plant, dengan hasil produksi perfraksi sebesar 3075.004
m3/bulan dengan penyebaran pada tiap-tiap fraksi sebesar untuk fraksi 3/8 (kerikil) sebesar 381.175 m3/bulan
fraksi 1/2 (kerakal) sebesar 853.121 m3/bulan, fraksi 2/3 (kerakal) sebesar 1164.484 m3/bulan, dan fraksi abubatu
sebesar 676.424 m3/bulan. Hasil perhitungan dilapangan belum mencapai hasil persentasi yang diinginkan
perusahaan yaitu fraksi 3/8 (kerikil) = 10 %, fraksi 1/2 (kerakal) = 21 %, dan fraksi 2/3 (kerakal) = 29 %, dan
fraksi abu batu (pasir sangat halus) = 17 %, dengan presentasi yang inginkan perusahaan adalah fraksi 3/8
(kerikil) = 5 – 10 %, fraksi 1/2 (kerakal) = 20 – 25 %, fraksi 2/3 (kerakal) = 30 – 35 %, dan fraksi abu batu
(pasir sangat halus) = 20 – 25 %. Jadi dari hasil presentasi kekurangan pada fraksi 2/3 (kerakal) dan abu batu
(pasir sangat halus). Sedangkan untuk pencucian pasir jumlah bucket 1339 kali per bulan, dengan jumlah volume
yang masuk 3385.97 m³/bulan, dan jumlah volume yang keluar 3361 m³/bulan. Kendala-kendala yang terjadi
pada proses pengolahan dalam hal ini pada saat produksi seperti waktu kerja yang tidak sesuai, hujan, perbaikan
alat, dan bongkahan yang lebih besar dari 35 cm..
Kata Kunci: Produksi, Crusher, Pencucian Pasir
Nisa dan Supit INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
144
PENDAHULUAN
Sirtu adalah singkatan dari pasir batu. Sirtu
terjadi karena akumulasi pasir dan batuan yang
terendapkan di daerah-daerah relatif rendah atau
lembah. Sirtu biasanya merupakan bahan yang
belum terpadukan dan biasanya tersebar di daerah
aliran sungai. Sirtu juga bisa diambil dari satuan
konglomerat atau breksi yang tersebar di daerah
daratan (daerah yang tinggi). Sirtu berasal dari dua
bagian yang yang berukuran besar merupakan
material dari batuan beku, metamorf dan sedimen.
Sedangkan berukuran halus terdiri pasir dan
lempung. Seluruh material tersebut tererosi dari
batuan induknya bercampur menjadi satu dengan
material halus. Kuatnya proses ubahan atau
pelapukan batuan dan jauhnya transportasi
sehingga material batuan berbentuk elip atau bulat
dengan ukuran mulai kerikil sampai bongkah.
PT. Bintang Timur Lestari merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang penambangan
dengan bahan galian berupa pasir batu (sirtu) yang
di manfaatkan sebagai bahan baku kontruksi.
Bahan galian tersebut di proses melalui kegiatan
pengolahan dengan menggunakan mesin peremuk
(crusher) dan alat pencucian pasir. Secara umum,
penambangan mencakup kegiatan penggalian
terhadap bahan tambang yang kemudian untuk
dilakukan pengolahan dan pemasaran. Pada tahap
penambangan itu sendiri terdiri dari penggalian,
pembongkaran, dan pengangkutan ke fasilitas
pengolahan maupun langsung dipasarkan apabila
tidak dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Proses
pengolahan dilakukan untuk dapat memenuhi
target produksi yang telah ditentukan yaitu 4000
m³/bulan. Maka upaya yang di lakukan yaitu
dengan mengevaluasi kemampuan produksi dari
alat crushing plant dan pencucian pasir.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode deskriptif kuantitatif. Metode penelitian ini
bertujuan untuk memberikan analisis terhadap
suatu masalah setelah semua data yang berupa
angka terkumpul. Teknik pengumpulan data yang
dilakukan adalah observasi lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Crushing Plant
Untuk mendapatkan hasil produksi maka
dapat dihitung volume dengan rumus kerucut
terpancung yaitu sebagai berikut :
Volume Kerucut Terpancung :
V = 1
3 .π.t ( R2 + Rr + r2 ) (1)
Misalkan perhitungan pada hari pertama
untuk Fraksi 3/8, diketahui :
π = 3,14
t = 3 m
R = 2,452 m
r = 0,437 m
Jadi,
V = 1/3 x 3,14 x 3 x ((2,4522 + (2,452 x 0,437)
+ 0,4372))
= 22.843 m3
Untuk mendapatkan volume total maka
volume yang ada dijumlahkan dengan volume yang
dipindahkan kemudian dikurangi dengan volume
yang tersedia dihari sebelumnya, maka dapat
dilihat seperti dibawah ini:
Vtotal = (22.843 m3 + 0) – 0 m3
= 22.843 m3 + (0 m3)
= 22.863 m3
Nilai 0 m3 didapat dari sisa volume pada hari
pertama yang masih tersisa di hari berikutnya.
Karena pada hari kedua ada perbaikan pada screen
dan Belt Conveyor sehingga mengakibatkan tidak
ada produksi pada hari kedua. Begitu juga pada
fraksi (1/2), fraksi (2/3), dan fraksi abu-batu.
Berikut ini adalah hasil total perhitungan
produksi perhari dan pada setiap fraksi.
Gambar 1 Grafik Hasil Volume Perfraksi
0
200
400
600
800
1000
1200
Fraksi
3/8
(Kerikil)
Fraksi
1/2
(Kerakal)
Fraksi
2/3
(Kerakal)
Fraksi
abu batu
(Pasir
sangat
halus)
381,175
853,121
1164,484
676,424
Nisa dan Supit INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
145
Gambar 2. Grafik Presentasi Hasil Volume
Perfraksi
Nilai persentasi yang diinginkan perusahaan
dan persentasi berdasarkan perhitungan ada pada
tabel berikut ini:
Tabel 1. Prensentasi Yang Diinginkan
Perusahaan Dan Prensentasi Berdasarkan
Hasil Perhitungan
Perbandingan Produksi Crushing Plant dengan
kapasitas produksi crusher merek Shanbao tipe
PE 400 x 600
Perbandingan antara hasil produksi crushing
plant dengan kapasitas produksi alat crusher merek
shanbao tipe PE 400 x 600 yang digunakan, dapat
dihitung dengan cara volume total pada hari itu
dibagi dengan jam kerja perusahaan yaitu 9 jam.
Sebagai berikut adalah grafik perbandingan
Volume Crusher Per hari dan Per jam.
Gambar 3. Perbandingan Volume Crusher Per hari
dan Per jam
Menghitung Produksi Pencucian Pasir
Pada kegiatan pencucian pasir ini
menggunakan alat gali yaitu backhoe , pencucian
pasir dilakukan dengan berapa kali jumlah bucket
yang digunakan. Dapat dilihat pada gambar 4
Volume Masuk dan Keluardalam Pencucian Pasir:
Gambar 4. Volume Masuk dan Keluar dalam
Pencucian Pasir
Permasalahan yang Terjadi Pada Proses
Pengolahan
Faktor atau permasalahan-permasalahan
yang dihadapi pada proses pengolahan akan
menyebabkan kegiatan pengolahan berjalan kurang
produksi dan efisien sehingga untuk mendapatkan
hasil produksi yang diinginkan tidak dapat
terpenuhi. Ada beberapa faktor yang sering terjadi
pada proses pengolahan adalah sebagai berikut :
- Material
- Sering terjadi kemacetan pada alat peremuk
- Belt conveyor
- Curah hujan
- Screen
Pembahasan
Berdasarkan grafik 1 dapat dinyatakan
bahwa perolehan hasil volume dari setiap fraksi
bahwa diketahui ada beberapa hari yang tidak ada
10%
21%
29%
17%
23%
Fraksi 3/8
(Kerikil)
Fraksi 1/2
(Kerakal)
Fraksi 2/3
(Kerakal)
Fraksi abu batu
(Pasir sangat
halus)
Target yang tidak
terpenuhi
Presentasi yang diinginkan
oleh PT. Bintang Timur
Lestari
Presentasi
Beradasarkan Hasil
Perhitungan
Fraksi 1 (3/8) 5-10 % Fraksi 1 (3/8) 10%
Fraksi 2 (1/2) 25-30 % Fraksi 2 (1/2) 21%
Fraksi 3 (2/3) 30-35 % Fraksi 3 (2/3) 29%
Fraksi 4 (Abu
batu) 20-25 %
Fraksi 4 (Abu
batu) 17%
Target yang
tidak terpenuhi 0%
Target yang tidak
terpenuhi 23%
Nisa dan Supit INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
146
produksi karena ada beberapa kendala seperti
pergantian belt pada belt balik panjang, pergantian
ring spring pada screen dan ada penambalan pada
screen ukuran 3/8 yang pada saat itu mengalami
kebocoran.
Pada grafik 2 tertera prensentasi yang
diinginkan perusahan dan hasil yang dihitung ada
nilai pada fraksi 2/3 dan abubatu yang masih belum
mencapai persentasi yang diinginkan karena pada
saat penelitian di lapangan screen pada fraksi 2/3
dan 3/8 mengalami kebocoran sehingga material
abubatu sebagian masuk ke screen fraksi 3/8 yang
menyebabkan presentasi pada fraksi abubatu
berkurang dan fraksi 2/3 pun berkurang.
Pada grafik 3 perbandingan volume hasil
produksi per jam perhari dengan kapasitas produksi
crusher. Ada beberapa hasil yang tidak mencapai
kapasitas crusher yang digunakan yaitu kurang dari
10 m3/jam. Hal ini disebabkan karena ukuran
material yang masuk pada crusher lebih besar dari
setingan bukaan crusher yang digunakan atau yang
bisa masuk pada crusher ini adalah material yang
berdiameter kurang dari 35 cm dengan kemampuan
crusher 10 -34 m3/jam.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diatas maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Total hasil produksi perfraksi sebesar 3075.004
m3/bulan dengan penyebaran pada tiap-tiap
fraksi sebesar untuk fraksi 3/8 ( Kerikil) sebesar
381.175 m³/bulan, fraksi 1/2 (Kerakal) sebesar
853.121 m3/bulan, fraksi 2/3 (Kerakal) sebesar
1164.484 m3/bulan, dan fraksi abubatu (Pasir
sangat halus) sebesar 676.424 m3/bulan.
Dengan hasil perhitungan yang belum mencapai
hasil persentasi yang diinginkan perusahaan
yaitu fraksi 3/8 (Kerikil) = 10%, fraksi 1/2
(Kerakal) = 21%, dan fraksi 2/3 (Kerakal) =
29%, dan fraksi abu batu (Pasir sangat halus) =
17%, sedangkan presentasi yang diinginkan
perusahaan adalah fraksi 3/8 (Kerikil) = 5 –
10%, fraksi 1/2 (Kerakal) = 25 – 30%, fraksi 2/3
(Kerakal) = 30 – 35%, dan fraksi abu batu (Pasir
sangat halus) = 20 – 25%. Jadi kekurangan
presentasi pada fraksi 2/3 (Kerakal) dan abu
batu (Pasir sangat halus).
2. Pada kegiatan pencucian pasir jumlah dari
bucket dalam pencucian = 1339 kali bucket
dalam perbulan, dimana rata – rata bucket yaitu
= 47.821. Sedangkan volume yang masuk
berjumlah 3385.97 m³/bulan dengan jumlah rata
– rata berkisar = 120.928 m³ , dan volume yang
keluar = 3361 m³ dengan jumlah rata – rata =
120.036 m³.
3. Kendala-kendala yang terjadi pada proses
pengolahan dalam hal ini pada saat produksi
seperti waktu kerja yang tidak sesuai, hujan,
perbaikan alat, bongkahan yang lebih besar dari
35 cm.
DAFTAR PUSTAKA
CV. Surya Baskara Jaya, 2016, Laporan
Eksplorasi, Sorong Papua Barat (tidak
dipublikasikan)
Keley Kamaria Siti, 2017, Evaluasi Kerja Crushing
Plant Terhadap Pencapaian Produksi Pada
PT. Bintang Timur Lestari Kota Sorong
Provinsi Papua Barat, Skripsi S1 Teknik
Pertambangan, Universitas Papua
Manokwari (tidak dipublikasikan)
Minarni, 1995. Unit Pemecah Crushing Jaw
Crusher, Direktorat Jenderal Pertambangan
Umum Pusat Pengembangan Tenaga
Pertambangan. Bandung
Sudarsono Arif, 2003. Pengolahan Bahan Galian.
Universitas Gajah Mada
Sari Shintya Avellyn, 2015, Analisis Kinerja
Crushing Plant Pada Tambang Andesit
untuk Mencapai Target Produksi 23000
Ton/Bulan di PT. Panghegar Mitra Abadi
Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat,
Skripsi S1 Teknik Pertambangan.
Universitas Islam Bandung
Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif dan R & D. Alfabetha Bandung
Sukandarrumidi, 1998, Bahan Galian Industri.
Universitas Gajah Mada
Sholeh, 2015, Metode Perhitungan Volume
Timbunan. UPN “Veteran” Jawa Timur
Tobing S.IR, 1995, Pengolahan Bahan Galian,
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum
Pusat Pengembangan Tenaga Pertambangan.
Bandung
Waum A.Karolina, 2012, Evaluasi Penggunaan
Jaw Crusher di PT. Pro Intertech Indonesia
Kelurahan Saoka Distrik Sorong Barat
Kotamadya Sorong Provinsi Papua Barat,
Tugas Akhir D3 Teknik Pertambangan.
Universitas Papua Manokwari (tidak
dipublikasikan)
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
147
ANALISIS KESTABILAN LERENG PENAMBANGAN NIKEL
PADA PT. GAG NIKEL DENGAN MENGGUNAKAN
METODE BISHOP
Papua Dorus Rumsowek1), Indra Birawaputra2)
1)Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Universitas Papua 2)Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Papua
Jl. Gunung Salju Amban Manokwari
Email : 1) [email protected], 2)[email protected]
Abstract
It is important to understand the condition of the slopes formed and the FK values obtained from the
results of slope analysis in order to provide a safe FK value based on standard requirements for nickel
mining slopes. The problems found in the study are, what variables are used in calculating FK values as
well as the presence of safe FK values and level geometries that are ideal for mining activities. Thus, the
results of one of the main variables used to calculate the slope balance are Bishop method, and get FK
values from one different methods, namely 1.144 by looking at the characteristics of the soil and rocks.
Keywords: Slope Stability, Safety Factors
Abstrak
Penting untuk mengetahui kondisi lereng yang dibentuk dan nilai FK yang didapatkan dari
hasil analisis lereng agar dapat memberikan nilai FK yang aman berdasarkan standar ketentuan bagi
lereng penambangan nikel. Masalah yang terdapat pada penelitian yaitu, variabel apa saja yang
digunakan dalam menghitung nilai FK, serta adanya nilai FK yang aman dan geometri jenjang yang sangat
ideal untuk kegiatan penambangan. Sehingga didapatkan hasil satu variabel utama yang digunakan
untuk menghitung kestabilang lereng yaitu metode Bishop, serta mendapatkan nilai FK dari satu metode
yaitu 1,144 dengan melihat kondisi karateristik tanah dan batuan.
Kata Kunci: Kestabilan Lereng, Faktor Keamanan
Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
148
PENDAHULUAN Masalah kestabilan lereng timbul akibat dari
suatu pekerjaan kegiatan penggalian maupun
kegiatan penimbunan. Hal ini merupakan
permasalahan yang penting karena menyangkut
masalah keselamatan pekerja dan peralatan beserta
bagunan yang berada disekitar lereng tersebut.
Pekerjaan penambangan dengan tambang terbuka
sering ditemukan lereng yang tidak stabil dan dapat
menggangu kelancaran produksi yang berakibat
tidak tercapainya target produksi yang
direncanakan. Sehingga perlu ada analisis yang
tepat sebelum menentukan rekomendasi geometri
lereng untuk pembentukan lereng dalam kegiatan
penambangan Nikel laterit.
Pada PT Gag Nikel sistem penambangan
yang dilakukan adalah tambang terbuka dengan
metode open cesh, dimana untuk mendapatkan ore
dilakukan pengupasan lapisan penutup terlebih
dahulu. Pengupasan lapisan tanah penutup yang
dilakukan untuk mendapatkan ore diikuti dengan
pembentukan geometri lereng mengakibatkan
terbentuknya lereng-lereng dengan kemiringan dan
ketinggian yang berbeda dimana akan
menimbulkan distribusi tegangan yang baru karena
mengganggu distribusi tegangan pada lereng
alamiah yang sudah ada. Salah satu akibat dari
distribusi tegangan baru ini, berupa kelongsoran
jenjang sebagai salah satu sifat alamiah lereng
untuk mencari kesetimbangan baru dengan cara
pengurangan beban yang ditanggungnya.
Oleh karena itu diperlukan suatu kajian
terhadap kestabilan lereng untuk menghasilkan
ketinggian dan kemiringan lereng yang aman
sebagai salah satu saran bagi operasi
penambangan yang akan melakukan pekerjaan.
Analisis keamanan dilakukan pada lereng tunggal
dengan memperhatikan faktor-faktor yang
berpengaruh pada lereng dimana operasi
penambangan akan dilakukan. Metode
perhitungan yang digunakan pada analisis
kestabilan lereng untuk mencari nilai faktor
keamanan (FK) dapat menggunakan dua metode
yaitu adalah metode Bishop, analisis kestabilan
lereng dengan metode Bishop merupakan analisis
kestabilan yang dilakukan dengan mengunakan
cara komputasi dengan bantuan software
Slide 6.0 untuk menghitung nilai FK yang
di analisis, dan juga mengunakan pendekan
dengan analisis scenline pada front
penambangan.
METODE PENELTIAN Metode penelitian pada dasarnya
merupaka cara ilmia untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode
penelitian yang akan digunakan pada penelitian
ini adalah metode kuantitatif. Penelitian ini
termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
metode kuantitatif menekankan analisisnya pada
data-data numeric (angka) yang diolah dengan
metoda statistika. Pada dasarnya, pendekatan
kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial
(dalam rangka analisis hubungan antar variabel
dengan pengujian hipotesis.
HASIL DAN PEMBAHASAN Mencari kesetimbangan baru dengan cara
pengurangan beban yang ditanggungnya. Oleh
karena itu diperlukan suatu kajian terhadap
kestabilan lereng untuk menhasilkan ketinggian
dan kemeiringan lereng yang aman sebagai salah
satu saran bagi operator yang akan melakukan
pekerjaan.
Geometri Jenjang Pada Front Arafa
Suatu jenjang yang dibuat harus mampu
menampung dan mempermudah pergerakan
alatalat mekanis pada saat aktivitas pengupasan
tanah penutup dan pengambilan bijih.
Gambar 1. Geometri Lereng Tunggal dan Lereng
Keseluruhan
Tabel 1. Geometri Jenjang Tunggal Lereng Arafa
No
Crest-Toe Toe-Crest
Slope
(°) Ket Tinggi
Lereng(m)
Lebar
Lereng(m)
1 5,85 17,48 65° C1-T1
2 8,22 17,49 73° C2-T2
3 7,84 16,87 74° C3-T3
Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
149
Tabel 2. Geometri Lereng Keseluruhan Front Arafa
Kemiringan Jenjang Lereng
C1-T3 = arc tan �Tinggi lereng C3-T1
Lebar Jenjang C3-T1�
= arc tan 28, 21 meter
61, 12 meter
= 24.7757°
Analisis Scanline Sampling
Scanline dipakai dengan pendekatan parameter
RMR yang dihitung menggunkan lima parameter
utama yang di jumlahkan untuk mendapatkan nilai
RMR yaitu :
Uniaxial Compressive Strength of rock material
(UCS)
Kekuatan batuan utuh yang didapatkan pada lokasi
penelitian dengan menggunakan pengujian secara
langsung yaitu pengujian Uniaxial Compressive
Strengh (UCS).
Gambar 2. Pengujian Kekuatan Batuan Utuh
Pada Lokasi Penelitian
Rock Quality Designation (RQD)
Nilai ini dihitung menggunakan pendekatan
scanline dengan terlebih dahulu menghitung
besar frekunsi kekear persatuan panjang dan
didapatkan frekuensi keker pada lereng adalah
untuk LA I 1,533, LA II 1,2 dan untuk LA III
0,818, Nilai RQD dapat dilihat di tabel 3 nilai
rating RQD.
Tabel 3. Nilai RQD
No Kode
Lokasi
Range of
values
Nilai
RQD Rating Rock Quality
1 LA01 90%-100% 98,9% 20 Very Good
2 LA02 90%-100% 99,2% 20 Very Good
3 LA03 90-100% 99,6% 20 Very Good
Spasi Kekar
Kekar pada 3 jenis lereng yang diamati terdapat
jumlah kekar yang berbeda-beda dengan kondisi
lereng yang dipengarui oleh kondisi geologi,
unutk melihat nilai spasi kekar dapat di lihat pada
(Tabel 4).
Tabel 4. Nilai Rating spacing of discontinuity
(Bienawski, 1989)
Condition of Discontinuity (Kondisi
Diskontinuitas)
Kondisi diskontinuitas dipengaruhi adanya
kemenerusan diskontinuitas (persistence), bukaan
(aperture), kekasaran permukaan (roughness),
pengisi (infillings), dan tingkat pelapukan
(weathering) nilai kondisi diskontinuitas dapat
dilihat pada (Tabel 5).
Tabel 5. Condition of Discontinuity (Kondisi
Diskontinuitas)
Groundwater Condition (Kondisi Airtanah)
Kondisi airtanah massa batuan pada lokasi
penelitian didasarkan pada kondisi air yang
muncul atau kelembaban permukaan lereng.
Secara umum, lereng pada daerah penelitian
memiliki kondisi yang kering hingga basa.
Tabel 6. Kondisi air tanah pada lokasi penelitian
(Bienawski, 1989)
No
Jarak Lapangan(m)
Slope (°) Ket Crest-Toe Toe-Crest
Tinggi
Lereng(m)
Lebar
Lereng(m)
1 28,21 61.12 24.7757° C1-T3
No Kode
Lokasi
Range of
values
Nilai Rata-
rata spacing Rating Description
1 LA01 0.6-2 m 0,65 m 15 Moderate
2 LA02 0.6-2 m 0,83 m 15 Moderate
3 LA03 0.6-2 m 1,22 m 15 Moderate
Ko
de L
ok
asi
Pers
iste
nce
Apert
ure
Ro
ug
hn
ess
Infi
llin
gs
Wea
theri
ng
Rati
ng
LA01 1-3 m
4
0,1-1.0 m
4
Smooth
1
soft
clay
<5mm 2
Moderately
weathered
3
14
LA02 1-3 m 4
0,1-1.0 m 4
Rough 5
Slightly weathered
5
20
LA03 1-3 m
4
0,1-1.0 m
4
Rough
5
Slightly
weathered 5
20
Kode Lokasi Groundwater
Condition Rating
LA01 Damp 10
LA02 Completely dry 15
LA03 Completely dry 15
Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
150
Rekapitulasi Pembobotan Rock Mass Rating
(RMR)
Nilai bobot Rock Mass Rating (RMR)
dari lima parameter yang didapatkan, maka total
nilai RMR yang diperoleh pada lokasi penelitian
dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 7. Total nilai dan klasifikasi RMR
Analisis Kinematika
Analisis kinematik dilakukan untuk
mengetahui persebaran set diskontinuitas pada
setiap lereng sehingga dapat diketahui tipe
keruntuhan yang berpotensi terjadi. Persebaran
set diskontinuitas diperoleh dari contour plot data
orientasi seluruh diskontinuitas pada perangkat
lunak Dips 6.0. Metode stereografis digunakan
untuk membantu mengidentifikasi jenis
keruntuhan/longsoran yang mungkin terjadi pada
suatu lereng batuan.
Scenline I Lereng Arafa
Berdasarkan pola-pola diskontinuitas dan
kedudukan lereng menunjukan adanya model
keruntuhan/longsoran baji (Wedge Failure) yang
dibentuk oleh dua set diskontinuitas yaitu JS1
dan JS2 dengan banyaknya set diskontinuitas
yang memotong satu lereng yaitu 23 dengan
panjang scenline 15 m.
Gambar 3. Kondisi Scenline Pada lereng Arafa I
Scenline I Lereng Arafa Berdasarkan pola-
pola diskontinuitas dan kedudukan lereng
menunjukan adanya model keruntuhan/longsoran
baji (wedge failure) yang dibentuk oleh dua set
diskontinuitas yaitu JS1 dan JS2, memiliki sudut
penunjan yang dibentuk oleh perpotongan kedua
set diskontinuits tersebut (plunge intersection) (Ψi)
sebesar 34° dengan sudut geser dalam (Φ) sebesar
25° sudut geser dalam ditentukan berdasarkan
kelas masa batuan, dan kemiringan lereng (Ψf)
sebesar 70°.
Gambar 4. Analisis Kinematika Pada Scenline
Lereng Arafa 1
Scenline II Lereng Arafa
Berdasarkan pola-pola diskontinuitas dan
kedudukan lereng dengan arah N50°E
menunjukan adanya model keruntuhan/longsoran
bidang (toppling failure) yang dibentuk dengan
12 set diskontinuitas yang terdiri dari Fault
dengan panjnag scenline 10 m, dan plot
diskontinuitas tersebut menghasilkan satu JS1.
Gambar 5. Kondisi Scenline Pada lereng Arafa II
Berdasarkan syarat kinematik untuk tipe
longsoran bidang yang ditetapkan, maka dapat
dikatakan bahwa longsoran bidang pada
scenline Lereng II Kemunkinan berpotensi karena
memenuhi syarat tersebut (Gambar 5).
Gambar 6. Analisis Kinematika Pada Scenline
Lereng Arafa 2
Kode
Lokasi Nilai RMR Kelas Deskripsi
LA01 66% III Cukup
LA02 77% II Baik
LA03 77% II Baik
Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
151
Scenline III Lereng Arafa
Berdasarkan pola-pola diskontinuitas dan
kedudukan lereng dengan arah N26°E
menunjukan adanya model keruntuhan/longsoran
bidang (toppling failure) yang dibentuk dengan 9
set diskontinuitas yang terdiri dari Fault dengan
panjnag scenline 11 m, dan plot diskontinuitas
tersebut menghasilkan satu JS1, (ɑp) yang
hampir paralel dengan arah kemiringan muka
lereng (ɑf), atau dengan kata lain arah kemiringan
JS1 N 58° E berada dalam zona kritis (antara
ɑf + 160° dan ɑf - 200°).
Gambar 7. Kondisi Scanline Pada Lereng Arafa III
Berdasarkan syarat kinematik untuk tipe
longsoran bidang yang ditetapkan, maka dapat
dikatakan bahwa longsoran bidang pada scenline
III Lereng Kamunkinang berpotensi karena
memenuhi syarat tersebut (Gambar 7).
Gambar 8. Analisis Kinematika Pada Scenline
Lereng Arafa 3
Slope Mass Rating (SMR)
Berdasarkan karakterisasi massa batuan
dan analisis kinematik yang telah dilakukan
dapat diketahui kondisi kestabilan lereng dari
analisis SMR. Nilai SMR merupakan gabungan
antara nilai RMR dengan hubungan kedudukan
set diskontinuitas terhadap kedudukan lereng
berdasarkan tipe keruntuhan dari analisis
kinematik. Hasil karakterisasi massa batuan
menunjukkan nilai RMR sebesar 66%-77%
(kelas III dan II) dengan kualitas fair rock-good
rock. Hasil analisis kinematik menunjukkan
potensi keruntuhan berupa keruntuhan bidang
(toppling failure) dan keruntuhan baji (wedge
failure) serta orientasi set diskontinuitas yang
menyebabkan potensi keruntuhan tersebut.
Tabel 8. Data tipe keruntuhan, orientasi lereng,
dan orientasi set diskontinuitas
berdasarkan analisis kinematik.
Kode Tipe
Longsoran αs βs αj/αi βj/βi
C1-T1 Baji 95° 70° 188° 71°
C2-T2 Bidang 50° 47° 65° 40°
C3-T3 Bidang 26° 58° 39° 20°
Pengolahan seluruh data variabel RMR,
F1, F2, F3, dan F4 dengan rumus SMR
menghasilkan nilai SMR (Tabel 8) yang dapat
dikategorikan menjadi kelaskelas kestabilan
lereng.
Tabel 9. Total Nilai Dan Klasifikasi SMR
Ko
de
RM
R
F1
F2
F3
F4
Nila
i SM
R
Kela
s
Desk
ripsi
C1-T1 66% 0,70 0,15 -60 0 59,7 III Sedang
C2-T2 77% 1,00 0,70 -60 0 35 IV Buruk
C3-T3 77% 0,70 0,70 -60 0 47,6 III Sedang
Analisis Kestabilan Lereng Menggunakan
Metode Bishop
Metode analisis kestabilan lereng yang
digunakan dalam penelitian adalah metode
bishop. Harga perbandingan ini adalah faktor
keamanan atau Safety factor. Data geometri
lereng aktual yang dihasilkan dan data material
properties dimasukkan pada software Slide V.6.0
dari Rocscience maka diperoleh faktor keamanan
lereng. Geometri lereng merupakan kenampakan
visual lereng di lapangan. Pengukuran Geometri
lereng dilakukan dengan menggunakan
pengukuran data lapangan untuk mengetahui
tinggi lereng, jarak datar dan sudut kemiringan
Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
152
lereng. Untuk data analisis lereng dapat dilihat
pada tabel 5.12 berikut ini:
Tabel 10 . Geometri Lereng
Kode Jarak Datar
(m) Tinggi (m) Slope (°)
LA01 17,48 m 5,85 65
LA02 17,49 m 8,22 73
LA03 16,84 m 7,84 74
Metode Bishop bekerja berdasarkan
prinsip keseimbangan batas yaitu menghitung
kekuatan geser yang akan mempertahankan
kemantapan, dibandingkan dengan besarnya
tegangan geser yang bekerja. Untuk melihat data
cohesi, sudut geser yang didapatkan dari hasil
perhitungan RMR untuk mengetahui kualitas
masa batuan pada lereng tersebut (tabel 3.9), dan
beban yang bekerja pada lereng dapat dilihat pada
tabel 5.13 berikut ini:
Tabel 11. Data Analisis Lereng Metode Bishop
(Bieniawski, 1989)
Kode Cohesi
(Kpa)
Sudut Geser
Dalam (°)
Beban
(kN/m2)
LA01 200 25 6610
LA02 300 35 6610
LA03 300 35 6610
Gambar 9. Analisis Lereng Penambangan Front Arafa 1
Gambar 10. Analisis Lereng Penambangan Front Arafa 2
Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
153
Gambar 11. Analisis Lereng Penambangan Front Arafa 3
Hasil analisis kestabilan lereng yang
dianalisis dengan menggunakan metode bishop
dengan bantuan software slide untuk mencari nilai
FK pada tiga lereng yang diamati dengan hasil
nilai FK yang didapatkan dapat dilihat pada tabel
12 berikut ini:
Tabel 12. Hasil nilai faktor kemanan dengan
menggunakan software Slide 6
Kode Kohesi
(Kpa)
Sudut
Geser
dalam (°)
Beban
pada
lereng
(kN/m2)
Nilai FK Kondisi
Lereng
LA01 200 25 6610 1,144 Jenuh
LA02 300 35 6610 1,914 Kering
LA03 300 35 6610 1,876 Kering
Dari hasil analisis yang didapakan dengan
mengunakan metode bishop yang bekerja
berdasarka prinsip kesetimbangan batas, dengan
data yang diperoleh dari hasil perhitungan
klasifikasi masa batuan (RMR) yang dilakukan
untuk mengetahui kondisi lereng tersebut dengan
beberapa parameter yang digunakan untuk
memperoleh data yang dibutuhkan antara lain
cohesi dengan nilai 200-300 Kpa dan untuk sudut
geser dalam 25°-35°(Tabe 5.13), yang ditentukan
berdasarkan klasifikasi masa batuan. Faktor
keamanan yang digunakan berdasarkan
hasianalisis metode Bishop untuk nilai FK yang
digunakan dengan kondisi yang dilihat yaitu
kondisi jenuh air pada lokasi penelitian dengan
memiliki nilai FK 1,144 dengan kondisi jenuh air
pada lereng arafa.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian kemantapan
lereng pada PT. Gag Nikel, Distrik Waigeo
Barat kepulauan, Kabupaten Raja Ampat,
Provinsi Papua Barat, dapat disimpulkan:
1. Faktor keamanan lereng individu adalah
untuk Lereng individu berdasarkan
karateristik massa batuan menggunakan
metode bishop, nilai FK yang dikatakan aman
dengan kondisi lereng kering yang didapatkan
pada lereng C2-T2 dan C3-T3 dengan nilai
FK 1,914 dan 1,879 sedangkan untuk kondisi
lereng jenuh air yaitu C1-T1 memiliki nilai FK
1,144 dikatakan kondisi tersebut dalam kondisi
tidak aman.
2. Pada kondisi ini nilai FK yang digunakan
yaitu 1,144 dengan kondisi jenuh air pada lereng
C1-T1, kondisi ini digunakan agar melihat
kondisi yang paling buruk atau paling kritis
pada lereng tersebutpada front penambangan
arafa.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telat membantu dalam
proses penelitian ini khususnya kepada
Bapak/Ibu Dosenjurusan teknik pertambangan,
Unipa yang telah membantu penulis dalam
menulis skripsi dan menyusunya dan juga
kepada PT. Gag Nikel, yang telah memberikan
ijin untuk melakukan penelitian skripsi.
Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
154
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Atlas Sumberdaya Wilayah
Pesisir Kabupaten Raja Ampat, Propinsi
Irian Jaya Barat. Waigeo: Konsorsium Atlas
Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat.
Bienawski, 1989. Metode Klasifikasi Massa
Batuan Rock Mass Rating (RMR).
Clearesta Elsura Jannah.2013. Analisis
Kestabilan Lereng Massa Batuan Pada
Ruas Jalan Tawaeli-Toboli Km 34-39,
Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi
Tengah.
Golightly and Elias, 1981-1998, Definis Nikel
Laterit.
Romana. 1985. Klasifikasi Massa Batuan
Terhadap Lereng Batuan.
Supriatna dkk.1995. Kondisi Geologi Pulau Gag,
Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua
Barat.
Sukandarrumidi. 2006. Metode Penelitian
Deskriptif dan Kuantitatif.
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
155
ANALISIS PENGARUH KEMIRINGAN JALAN ANGKUT
TERHADAP KONSUMSI BAHAN BAKAR DUMP TRUCK HINO
500 FG 235 JJ
Rinaldi R. Wincono1), Juanita R. Horman2)
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Universitas Papua
Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: 1) [email protected], 2) [email protected]
Abstract
Dump truck is one of the mechanical equipment that become the main conveyance in mining activity
especially in open pit. In its use dump trucks require a variety of operational needs, one of them the need
for fuel oil (diesel). Transportation Activities conducted by PT. Sumber Anugrah Buana using Hino 500
FG 235 JJ type hauling equipment. Transportation distance from the mining front to the stockyard of 120
meters is divided into two segments, segment A-B and B`-C with each slope of 10% -20%. The average
fuel consumption of Hino 500 FG 235 JJ is 7.11 liter / hour. Based on the results of the analysis is known
that the slope of the haul road greatly affect the large consumption of diesel fuel. Fuel consumption is most
needed when traversing an uphill road with a 30% (+) road slope. On the uphill road there are several
forces as a vehicle inhibitor.
Keywords: gradient hauling road, fuel consumption
Abstrak
Dump truck merupakan salah satu alat mekanis yang menjadi alat angkut utama pada kegiatan
penambangan khususnya pada tambang terbuka. Dalam penggunaannya dump truck membutuhkan
berbagai kebutuhan operasional, salah satunya kebutuhan akan bahan bakar minyak (solar). Kegiatan
Pengangkutan yang dilakukan PT. Sumber Anugrah Buana menggunakan alat angkut tipe Hino 500 FG
235 JJ. Jarak pengangkutan dari front penambangan ke stockyard yaitu 120 meter terbagi menjadi dua
segmen yaitu segmen A-B dan B-C dengan masing-masing memiliki kemiringan 10%-20%. Rata-rata
konsumsi bahan bakar Hino 500 FG 235 JJ yaitu 7,11 liter/jam. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa
kemiringan jalan angkut sangat mempengaruhi besar konsumsi bahan bakar solar. Konsumsi bahan bakar
paling banyak dibutuhkan saat melintasi jalan yang menanjak dengan kemiringan jalan (+) 30%. Pada jalan
yang menanjak terdapat beberapa gaya-gaya sebagai penghambat kendaraan.
Kata Kunci: kemiringan jalan angkut, konsumsi bahan bakar.
Wincono dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
156
PENDAHULUAN
Latar Belakang
PT. Sumber Anugrah Buana merupakan salah
satu perusahaan kontraktor yang bergerak dibidang
pertambangan batu pecah (bancuh tak terpisahkan)
yang terletak di Distrik Makbon Kabupaten Sorong
Provinsi Papua Barat. Operasi kegiatan
penambangan dilakukan menggunakan sistem
tambang terbuka dengan metode quarry.
Bahan bakar merupakan bahan material yang
dikonsumsi untuk menghasilkan energi. Pada sektor
pertambangan penggunaan bahan bakar didasarkan
pada jenis peralatan dari setiap kegiatan
penambangan. Salah satu bahan bakar yang umum
digunakan yaitu bahan bakar cair (solar), digunakan
pada peralatan mekanis untuk melakukan aktivitas
dasar penambangan yaitu pembongkaran,
pemuatan, dan pengangkutan, serta kegiatan
penunjang yaitu pengolahan.
Dalam industri pertambangan, alat angkut
dipakai untuk mengangkut material sepanjang
puluhan kilometer hingga ratusan kilometer setiap
tahun sehingga bahan bakar menjadi komponen
utama yang berkontribusi besar pada biaya operasi
penambangan.
Besar kecilnya konsumsi bahan bakar
kendaraan tidak hanya tergantung pada karakteristik
mesin saja, tetapi juga dipengaruhi oleh gaya gerak
kendaraan, kondisi jalan angkut, kecepatan dan
tenaga. Variabel utama dalam gaya gerak kendaraan
adalah tahanan gulir dan tahanan kemiringan,
kondisi jalan angkut adalah kondisi permukaan
jalan dan kemiringan jalan.
Berdasarkan KEPMEN Energi dan Sumber
Daya Mineral RI No. 1827 K/30/MEM/2018
tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik
Pertambangan Yang Baik, kemiringan jalan
tambang tidak boleh lebih dari 12 %. Jalan angkut
di PT. Sumber Anugrah Buana memiliki
kemiringan yang tidak sesuai, di mana kemiringan
jalan maksimal sebesar 20%. Semakin besar
kemiringan jalan semakin besar konsumsi bahan
bakar, sehingga kemiringan jalan menjadi salah satu
faktor utama terhadap konsumsi bahan bakar. Oleh
karena itu dilakukan suatu analisis pengaruh
kemiringan jalan angkut terhadap konsumsi bahan
bakar
METODOLOGI PENELITIAN
Pada penelitian ini menggunakan penelitian
eksplanatori yaitu suatu penelitian yang berusaha
untuk menguji hipotesis yang menyatakan
hubungan sebab-akibat antara dua variabel atau
lebih. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
melakukan pengamatan dan pengambilan data
secara langsung dilapangan. Data yang diambil
meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
yang diambil meliputi jarak pengangkutan, waktu
tempuh dan kemiringan jalan tiap segmen.
Sedangkan data sekunder yang diambil meliputi
berat jenis material, spesifikasi alat angkut, dan
densitas solar.
Data primer dan sekunder yang diperoleh
akan digunakan untuk perhitungan konsumsi bahan
bakar, kecepatan alat angkut, tahanan kemiringan,
tahanan gulir dan tenaga yang diperlukan.
DASAR TEORI
Tahanan Yang Mempengaruhi Gaya Gerak
Kendaraan
Tahanan Gulir
Nilai dari suatu tahanan gulir dipengaruhi
oleh berat, semakin besar berat yang diterima oleh
ban akan menyebabkan semakin besar nilai dari
tahanan gulir, hal ini berhubungan dengan gaya
tarik yang diperlukan untuk mendorong kendaraan.
Secara praktik tahanan gulir dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
RR = Wr x Crr (1)
Dimana Wr merupakan berat kendaraan (kg)
dan Crr merupakan koefesien tahanan gulir.
Koefesien tahanan gulir dapat dilihat pada tabel 1
Tabel 1 Koefesien Tahanan Gulir
No Kondisi Permukaan Jalan
Nilai
Koefesien
(%)
1 Jalan Terpelihara dan ban tidak
terbenam 2
2 Jalan terpelihara dan ban agak
terbenam 3.5
3 Ban terbenam, sedikit basah 5
4 Keadaan jalan jelek 8
5 Jalan berpasir gembur, jalan
kerikil 10
6 Keadaan jalan jelek 15-20
Sumber: Tenriajeng, 2003
Tahanan Kemiringan
Tahanan kemiringan adalah gaya berat yang
melawan atau membantu gerak kendaraan karena
kemiringan jalur jalan yang dilaluinya. Tahanan
kemiringan dapat dihitung dengan rumus:
GR= Wk x Kemiringan Jalan (%) (2)
Wincono dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
157
Dimana Wk merupakan berat kendaraan dan
GR adalah tahanan kemiringan (Kg).
Kondisi Jalan Angkut
Kemiringan Jalan (Grade)
Pada umumnya kemiringan jalan
berhubungan langsung dengan kemampuan alat
angkut. Kemiringan jalan angkut biasanya
dinyatakan dalam satuan (%). Kemiringan jalan
secara keseluruhan dapat dihitung dengan rumus:
Grade = Δh
Δx x 100 % (3)
Dimana Δh merupakan beda tinggi (meter)
dan Δx merupakan jarak datar (meter).
Perkerasan Jalan
Berdasarkan sifat dasarnya, material
perkerasan diklasifikasikan menjadi empat kategori,
yaitu :
- Material berbutir
- Material terikat
- Aspal
- Beton semen
Tenaga (Power)
Power atau tenaga adalah banyaknya usaha
yang harus dilakukan per satuan waktu. Sedangkan
usaha adalah gaya yang diperlukan untuk
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat
lain dimana gaya ini dapat berupa dorongan, tarikan
atau mengangkat.
Pada alat mekanis satuan tenaga yang lebih
sering digunakan adalah horsepower atau tenaga
kuda. Untuk mengetahui nilai horsepower pada
mesin dapat digunakan rumus:
HP = Tenaga tarik � v
375 x eff. mesin (4)
Dimana v merupakan kecepatan (mil/jam),
HP merupakan tenaga dan 375 merupakan nilai
konversi (1 HP = 550 ft lb/sec).
Minimum Fuel Consumption Rate
Minimum konsumsi bahan bakar perlu
diketahui dalam perhitungan konsumsi bahan bakar.
Biasanya nilai ini didapat dari kurva performa
mesin. Kurva performa mesin terdiri dari beberapa
parameter yaitu torsi mesin, horsepower engine,
rasio konsumsi bahan bakar dan kecepatan putar
mesin (rpm).
Perhitungan Konsumsi Bahan Bakar
Untuk menentukan besarnya konsumsi bahan
bakar dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
m = ma + mk (5)
Dimana m merupakan masa konsumsi bahan
bakar (gram/jam), ma adalah masa konsumsi bahan
bakar dari loading point ke dumping point, dan mk
adalah masa konsumsi bahan bakar dari dumping
point ke loading poin.
Untuk memperoleh nilai ma dan mk dapat
menggunakan rumus:
ma+mk = (Pa x Bfa) + (Pk x Bfk) (6)
Dimana Pa adalah tenaga dump truck untuk
mengangkut material dari loading point ke dumping
point (PS), Pk adalah tenaga yang dibutuhkan dump
truck untuk kembali dari dumping point ke loading
point (PS), Bfa adalah brake specific fuel
consumption dari loading point ke dumping point
(gr/PS/h) dan Bfk adalah brake specific fuel
consumption dari dumping point ke loading point
(gr/PS/h).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Peralatan Yang Digunakan
Gambar 1. Dumptruck Hino 500 FG 235 JJ
Peralatan yang digunakan dalam kegiatan
pengangkutan yaitu dumptruck Hino 500 FG 235 JJ.
Alat angkut yang digunakan sebanyak satu unit.
Segmen Jalan
Gambar 2. Penampang melintang jalan angkut
Wincono dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
158
Jarak jalan angkut dari front penambangan ke
stockyard di PT. Sumber Anugrah Buana yaitu 120
meter terdiri dari dua segmen yaitu segmen A-B dan
B-C dengan jarak antar segmen yaitu 60 meter.
Pengamatan dilakukan pada jalur angkut dimana
setiap jalur angkut memiliki kemiringan jalan yang
berbeda.
Gambar 3. Kemiringan Jalan Segmen B-A
Gambar 4. Kemiringan Jalan Segmen A-B
Gambar 5. Kemiringan Jalan Segmen B-C
Tabel 2. Kemiringan jalan tiap segmen pada jarak
angkut 120 meter
No Segmen Grade
(%) (ᴼ)
1 A-B (-) 20 (-) 11,4
2 B-C (-) 10 (-) 5,7
3 C-B (+) 10 (+) 5,7
4 B-A (+) 20 (+) 11,4 Sumber: Data yang diolah
Keterangan:
(-) : Kondisi jalan menurun
(+) : Kondisi jalan menanjak
Kecepatan Pengangkutan
Berdasarkan hasil pengukuran dilapangan
jarak angkut dari front penambangan ke stockyard
yaitu 120 meter. Waktu tempuh rata-rata saat
mengangkut muatan yaitu 0,015 jam. Waktu
tempuh rata-rata saat kembali kosong yaitu 0,016
jam.
Berdasarkan data di atas dapat diketahui
kecepatan rata-rata saat mengangkut muatan yaitu
7,95 km/jam atau 4,93 mil/jam dan kecepatan rata-
rata saat kembali yaitu 7,46 km/jam atau 4,63
mil/jam.
Tenaga tarik
Pada penelitian ini satuan tahanan gulir dan
tahanan kemiringan menggunakan satuan British
yaitu lb (pound). Diketahui nilai tahanan gulir saat
mengangkut muatan yaitu 1.112,26 lb dan saat
kembali kosong 353,78 lb. Sedangkan nilai tahanan
kemiringan saat mengangkut muatan yaitu 31.779
lb dan saat kembali kosong yaitu 10.108 lb.
Tabel 3. Total tahanan No Segmen Total Tahanan (Lb)
1 A-B (-) 8421,44
2 B-C (+) 3386.18
Sumber: Data yang diolah
Tenaga (Power)
Pada penelitian ini satuan tenaga
menggunakan satuan PS (pferdestarke) sesuai
dengan satuan yang ada di spesifikasi Hino 500 FG
235 JJ.
Tabel 4. Tenaga yang diperlukan No Segmen Tenaga (PS)
1 A-B 0
2 B-C 53,31
Sumber: Data yang diolah
Saat diposisi turunan tenaga tarik bernilai
negatif karena tahanan kemiringan lebih besar dari
tahanan gulir. Artinya dump truck bergerak dengan
memanfaatkan gaya tarik gravitasi bumi akibat
kemiringan jalan. Sehingga dalam perhitungan
tenaga, tenaga yang dihasilkan minus (-) dan
dianggap nol.
Konsumsi Bahan Bakar
Tabel 5. Konsumsi bahan bakar
No Segmen
Jalan
Tenaga
Tarik
Lb
Tenaga
PS
Bahan
Bakar
liter/jam
1 A-B -8421,44 0 0
2 B-C 3386,18 53,31 7,11
Sumber: Data yang diolah
Wincono dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
159
Penentuan BSFC pada penelitian ini diperoleh
melalui kurva performance mesin berdasarkan
penggunaan putaran mesin. Putaran mesin yang
dihasilkan dump truck Hino 500 FG 235 JJ yaitu
2.500 rpm.
Berdasarkan tabel 4.4 konsumsi bahan bakar
dump truck terdapat perbedaan antara jalan yang
dilalui menurun dan menanjak. Hal ini disebabkan
karena pada saat posisi turunan tenaga yang
dihasilkan yaitu negatif, sehingga dalam
perhitungan masa konsumsi bahan bakar dianggap
nol.
Gambar 6. Kurva Performance Mesin
Pembahasan
Konsumsi Bahan Bakar Dump Truck Hino 500 FG
235 JJ
PT. Sumber Anugrah Buana melakukan
kegiatan pengangkutan dengan menggunakan
dumptruck tipe Hino 500 FG 235 JJ sebanyak 1 unit.
Kegiatan pengangkutan dilakukan dari front
penambangan ke stockyard dengan jarak 120 meter.
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui rata-
rata konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan yaitu
7,11 liter/jam.
Pengaruh Kemiringan Jalan Terhadap Konsumsi
Bahan Bakar
Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi konsumsi bahan bakar. Kemiringan
jalan angkut menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi besar atau kecilnya konsumsi bahan
bakar. Kemiringan jalan angkut dapat
mempengaruhi tenaga tarik, kecepatan dan tenaga.
Gambar 7. Kurva Pengaruh Tahanan Kemiringan
Jalan Terhadap Bahan Bakar
Pada jalan yang menanjak kemiringan jalan
yang semakin tinggi menyebabkan kecepatan mesin
berkurang, oleh sebab itu dibutuhkan tenaga yang
cukup untuk menarik kendaraan dan muatan yang
diangkut.
Lintasan jalan angkut yang dilalui dump truck
Hino 500 FG 235 JJ pada saat bermuatan yaitu
menurun dengan kecepatan rata-rata 4,93 mil/jam
sedangkan pada saat kosong lintasan yang dilalui
adalah menanjak. Lintasan jalan angkut terbagi
menjadi dua segmen yaitu segmen A-B dan B-C.
Kemiringan jalan pada dua segmen yaitu 10-20%.
Berdasarkan tabel data konsumsi bahan bakar
pada tabel 4.4 terdapat perbedaan konsumsi bahan
bakar saat melintasi jalan yang menurun dan
menanjak. Konsumsi bahan bakar saat melintasi
jalan yang menanjak lebih besar dibanding saat
melintasi jalan yang menurun. Perbedaan ini terjadi
karena saat melintasi jalan yang menurun dengan
kemiringan jalan (-) 20% gravitasi bumi akan
mempercepat laju dump truck, sehingga dump truck
menggunakan exhaust breake untuk mengontrol
laju. Exhaust breake merupakan rem bantuan yang
diaplikasikan pada beberapa kendaraan diesel
medium. Exhaust breake dapat mempengaruhi
konsumsi bahan bakar, karena rem ini bekerja
dengan menahan gas buang dengan otomatis
menahan mesin untuk bekerja dan mencegah mesin
untuk melakukan pembakaran bahan bakar. Pada
saat menanjak gaya-gaya yang melawan adalah
gravitasi, tahanan gulir dan gesekan internal.
Sehingga pada saat melintasi jalan yang menurun
ada torsi negatif, artinya tidak diperlukan gaya
pendorong atau gaya yang bekerja pada roda = 0.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang
telah dilakukan di PT.Sumber Anugrah Buana,
dapat disimpulkan rata-rata konsumsi bahan bakar
alat angkut Hino 500 FG 235 JJ adalah 7,11
liter/jam.
Wincono dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
160
DAFTAR PUSTAKA
Wong, J. Y. 2010. Theory Of Ground Vehicles Third
Edition, Journal of applied Minning
Willey-IEEE.
Sukandarrumidi. 2012. Metodologi Penelitian.
Gadjah Mada University Press.
Merlin, Nabella. dkk. 2016. Analisis Pengaruh
Kemiringan Jalan dan Jarak Angkut
Terhadap Konsumsi Bahan Bakar dan Fuel
Ratio Pada Kegiatan Penambangan
Batuan Andesit Di PT. Gunung Sampurna
Makmur, Desa Rengasjajar Kecamatan
Cigedug, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Jurnal Prosiding Teknik Pertambangan.
Vol.2 No1.Tahun.2016
Tenriajeng, Andi, 2003. Pemindahan Tanah
Mekanis.
Prodjosumarto, Partanto. 1996. Pemindahan Tanah
Mekanis. Jurusan Teknik Pertambangan.
Institut Teknologi Bandung.Bandung.
Indonesianto, Yanto. 2001. Pemindahan Tanah
Mekanis. Jurusan Teknik Pertambangan.
Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran”. Yogyakarta.
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Volume 2, Nomor 1, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
PETUNJUK PENULISAN INTAN JURNAL PENELITIAN
TAMBANG
(CENTER, TIMES NEW ROMAN 16, BOLD)
Penulis 11), Penulis 22), Penulis 33)
1) 3)Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Universitas Papua
Jl. Gunung Salju Amban Manokwari 2)Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Papua
Jl. Gunung Salju Amban Manokwari
Email: 1)[email protected], 2)[email protected], 3)[email protected]
Abstract
Abstract title is written with Times News Roman style (10 pt and bold) and centered format. The
distance between abstract with Author address is 2 spaces (10 pt). the body text of abstract was written
italic style (10 pt) amounts 150-200 words, with left margin and right margin 35 mm and 30 mm from edge.
Key words written under the abstract text arranged in alphabetical order and separated by a semicolon.
Title keywords written with regular format with 11 pt bold font while the key words in italics (italic).
Abstract was written in English and Indonesian, if article was written in Indonesian. If article was written
in English, abstract was written in English. The titles article was written before the contents of the abstract
format Bold UPPER CASE.
Keyword: abstract, keyword, title, writing guidelines
Abstrak
Judul abstrak ditulis dengan huruf Times New Roman rata tengah dengan format 10 pt bold. Jarak
antara judul abstrak dengan nama lembaga adalah 2 spasi (10 pt). Jarak antara teks abstrak dengan judul
abstrak adalah 1 spasi (10 pt). Abstrak ditulis dengan huruf miring (Italic) sepanjang 150-200 kata, dengan
margin kiri 35 mm dan margin kanan 30 mm. Abstrak ditulis dengan format satu kolom. Kata kunci ditulis
di bawah teks abstrak, disusun urut abjad dan dipisahkan oleh tanda titik koma. Judul kata kunci ditulis
dengan format regular dengan font 11 pt bold sedangkan kata kuncinya ditulis dengan huruf miring (italic).
Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, jika artikel berbahasa Indonesia. Jika artikel
berbahasa inggris maka abstrak cukup ditulis dengan bahasa Inggris saja. Judul dalam abstrak ditulis
sebelum isi abstrak dengan format UPPER CASE Bold.
Kata kunci: abstrak, kata kunci, judul, petunjuk penulisan
Penulis INTAN Volume 2, Nomor 1, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
PENDAHULUAN
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
diterbitkan sejak 2018 dengan frekuensi 2 (dua)
kali setahun setiap bulan Mei dan November.
INTAN Jurnal Penelitian Tambang dicetak dari
artikel-artikel yang dikirim ke Redaksi INTAN
Jurnal Penelitian Tambang setelah melalui proses
review oleh Dewan Redaksi dan/atau Mitra
Bebestari. Setiap artikel yang dikirimkan harus
terbebas dari unsur plagiarsm maupu
autoplagiarsm.
INTAN Jurnal Penelitian Tambang sebagai
jurnal nasional dikembangkan dengan sistem
pengelolaan secara online. Proses submitted
/pendaftaran artikel dan proses telaah artikel
dikerjakan secara online.
Artikel dapat ditulis dalam bahasa Inggris
atau bahasa Indonesia yang baik dan benar. Artikel
dapat berupa hasil-hasil penelitian, kajian pustaka,
maupun analisis serta pemecahan permasalahan
yang relevan dengan bidang ilmu teknik
pertambangan, yang belum pernah dipublikasikan
dalam media publikasi lainnya.
METODE PENULISAN
Petunjuk Umum
Artikel harus ditulis pada kertas HVS ukuran
A4 (210 x 297 mm). Artikel ditulis tanpa nomor
halaman dan disusun dengan urut-urutan topik
bahasan: Pendahuluan, Metode Penelitian Hasil
dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima
Kasih (kalau ada), Daftar Notasi (jika ada) dan
Daftar Pustaka. Abstrak dan Judul ditulis dalam 2
(dua) bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris.
Petunjuk Penulisan
Artikel diawali dengan judul artikel dengan
font 16 pt bold format UPPER CASE. Nama
penulis ditulis di bawah judul dengan format Title
Case font 12 pt bold. Nama penulis ditulis lengkap
tanpa gelar akademik. Nama lembaga (institusi
asal, alamat, nomor telepon, nomor faksimil dan e-
mail) ditulis di bawah nama penulis dengan huruf
Times New Roman dengan format Title Case, 11
pt. Jika penulis lebih dari satu, hendaknya ditulis
email untuk penulis korespondensi (corresponding
author). Judul artikel, nama penulis dan nama
lembaga ditulis rata tengah. Jarak antara judul
dengan nama penulis adalah 2 spasi (10 pt) dan
jarak antara nama penulis dengan nama lembaga
adalah 1 spasi (10 pt).
Isi artikel ditulis dengan format margin kiri
25 mm, margin kanan 20 mm, margin bawah 20
mm dan margin atas 30 mm. Jarak header dari tepi
kertas adalah 20 mm, dan jarak footer dari tepi
kertas (edge) adalah 13 mm. Artikel diketik dalam
program MS Word dengan jenis huruf Times New
Roman dengan font 11 pt, 1 spasi dan dalam format
dua kolom. Setiap artikel terdiri atas maksimum 15
halaman (termasuk gambar dan tabel) dan ditulis
justified. Penulisan paragraf di tepi kiri baris
dengan jarak peralihan paragraf baru 10 pt (awal
paragraf menjorok ke dalam).
Sub judul ditulis dengan huruf tebal dengan
format UPPER CASE dan disusun rata kiri tanpa
nomor dan garis bawah. Sub sub judul ditulis
dengan huruf tebal dengan format Title Case dan
disusun rata kiri tanpa nomor dan garis bawah. Sub
sub sub judul ditulis dengan huruf tebal dengan
format Sentence case dan disusun rata kiri tanpa
nomor dan garis bawah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar dan Tabel
Gambar dan Tabel diletakkan di dalam
kelompok teks dan diberi keterangan. Gambar dan
tabel diikuti dengan judul gambar yang diletakkan
di bawah gambar yang bersangkutan dan judul
tabel yang diletakkan di atas tabel yang
bersangkutan. Judul gambar dan judul tabel diberi
nomor urut. Gambar dijamin dapat tercetak dengan
jelas walaupun diperkecil sampai 50%. Gambar
atau diagram/skema sebaiknya diletakkan di antara
kelompok teks. Gambar tidak dibingkai. Untuk
gambar atau grafik yang berwarna, mohon
dikirimkan softfile bersamaan dengan file tulisan
jika ingin dicetak berwarna. Tabel yang
ditampilkan tanpa garis vertikal, sedangkan garis
horisontal hanya ditampilkan 3 garis horisontal
utama yaitu 2 garis horisontal untuk item judul
kolom dan garis penutup dari baris paling bawah.
Gambar 1. Yield glukosa dengan suhu yang
berbeda untuk powder biomassa yang
tetap 5 g/L, pada konsentrasi enzim
30% dan pH 4,5
Penulis INTAN Volume 2, Nomor 1, 2019
INTAN Jurnal Penelitian Tambang
Tabel 1. Komposisi mikroalga spesies Tetraselmis
chuii
Komponen Komposisi
(%w/w)
α-sellulosa 47,2 %
Hemisellulosa 35,5%
HWS 17%
Persamaan
Persamaan ditulis rata tengah dan diberi
nomor yang ditulis di dalam kurung. Nomor
tersebut ditempatkan di akhir margin kanan dari
kolomnya.
D = ������ ��
+ B���������
���
(1)
Penulisan Kutipan/Cuplikan
Sistem penulisan kutipan/cuplikan suatu
naskah atau literatur menggunakan sistem Harvard.
Sumber pustaka dituliskan di dalam uraian hanya
terdiri dari nama penulis dan tahun penerbitannya.
Contoh: Usaha-usaha untuk mencari sistem
penyimpanan panas yang lebih baik telah banyak
dilakukan, diantaranya adalah menggunakan panas
laten peleburan dari PCM (Yanadoro dan Matsuda,
2006 untuk satu atau dua penulis ; Sutrisno dkk.,
2011; Smith et al., 2011 untuk penulis lebih dari
dua). Menurut Sanyono (2010), ………dst.
KESIMPULAN Artikel dikirimkan/didaftarkan secara online
dengan cara mengakses website dari INTAN Jurnal
Peneltian Tambang dengan alamat sebagai berikut;
http://jurnal.unipa.ac.id/index.php/intan/index.
Setiap Penulis harus mempunyai user name
dan kata kunci/Password untuk bisa mendaftarkan
artikelnya. Data pada bagian Metadata harus diisi
secara lengkap dari semua Penulis. Setiap
mendaftarkan artikelnya dapat dilengkapi dengan
Surat Peryataan yang menyatakan bahwa artikel
terbebas dari konflik dan plagiarism. Bagi calon
Penulis yang belum bisa submitted secara online
dapat menghubungi Redaksi melalui jalur E-mail
dengan alamat [email protected] atau
Setiap artikel yang masuk akan dilakukan
telaah oleh Dewan Redaksi dan/atau Mitra
Bebestari. Korespondensi akan ditujukan kepada
penulis pertama. Penulis harus segera memperbaiki
artikel sesuai petunjuk reviewer. Jika artikel telah
dinyatakan diterima baik Major Revision maupun
Minor Revision, maka Penulis harus memperbaiki
artikel paling lama 0,5 bulan setelah
pemberitahuan. Jika penulis tidak segera
memperbaiki artikelnya, maka pada saat
mengirimkan artikel akan dianggap sebagai
pendaftaran baru (New Submission).
Redaksi berhak menolak artikel yang dikirim
apabila tidak relevan dengan bidang teknik
pertambangan, tidak up to date atau sudah pernah
dipublikasikan dalam majalah ilmiah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka disusun menurut abjad tanpa
penomoran dan jarak antara daftar pustaka adalah
½ spasi (5 pt). Aturan penulisan yang digunakan
adalah sebagai berikut :
Pustaka yang berupa majalah/jurnal
ilmiah/prosiding:
Sumin, L., Youguang, M.A., Chunying, Z.,
Shuhua, S., and Qing, H.E., (2009), The
Effect of Hydrophobic Modification of
Zeolites on CO2 Absorption Enhancement,
Chinese Journal of Chemical Engineering,
17(1), pp. 36-41.
Pustaka yang berupa judul buku :
Fogler, H.S., (2006), Elements of Chemical
Reaction Engineering, 4th, Prentice Hall
International, Upper Sadle River, New
Jersey, pp. 47-93
Pustaka yang berupa disertasi/thesis/skripsi :
Djaeni, M., (2008), Energy Efficient Multistage
Zeolite Drying for Heat Sensitive Products,
PhD Thesis, Wageningen University, The
Netherlands.
Pustaka yang berupa paten:
van Reis, R.D., (2006), Charged Filtration
Membranes and Uses Therefore, US Patent
7,001,550.
Pustaka yang berupa HandBook :
Knothe, G., van Gerpen, J., and Krahl, J., (2005),
The Biodiesel Hanbook, AOCS Press,
Campaign, Illionis, USA, pp. 70-84