Download - Jalan perubahan untuk indonesia
1
BAB I KEMISKINAN
2
Masalah dan Rekomendasi Kebijakan
POKJA PENGENTASAN KEMISKINAN
[Prof. Dr. Bambang Setiaji] Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta
MASALAH
Salah satu hal penting dalam visi dan misi Jkw‐ Jk adalah masalah pengentasan kemiskinan. Bahkan seluruh pembangunan ekonomi tidak bermakna bila hanya meningkatkan yang sudah kaya, dan tidak meningkatkan kesejahteraan kelompok miskin.
Kemiskinan disebabkan oleh kualitas pekerjaan yang kurang baik, missal tanah yang terlalu kecil, bahkan tidak memiliki tanah sama sekali, akhirnya mereka hanya menjadi buruh tani yang dibayar rendah. Karena produktifitas dan keuntungan usaha pertanian yang kecil, upah sektor pertanian yang rendah menjadi sebab tidak tercukupinya kebutuhan minimum kelompok buruh tani.
Di sektor kelautan disebabkan oleh tidak dimilikinya sarana melaut yang memadai. Jelajah yang pendek, misalnya tidak memiliki fasilitas pendingin ikan yang diperlukan untuk menjelajah laut dalam yang jauh dan menguntungkan. Akibatnya penghasilan nelayan rendah dan demikian juga pekerjanya.
Di sektor industri, disebabkan oleh kualitas bisnis yang kurang, disebabkan oleh ketiadaan barang modal, teknologi, kualitas produksi, dan pemasaran, akhirnya omset yang rendah, laba yang rendah dan akhirnya upah buruh yang rendah. Pekerja di sektor industri rumah tangga dan informal adalah locus kemiskinan.
Bahkan di industri formalpun Upah Minimum yang ditetapkan oleh pemerintah, walaupun sudah meningkat, belum sepadan dengan meningkatnya standar hidup dan harga‐harga. Jadi secara keseluruhan buruh adalah locus kemiskinan, dan kebijakan upah minimum adalah faktor kunci.
Untuk pekerja mandiri yang lain, baik di sektor perdagangan, jasa lain, dan produksi, sering berupa setengah pengangguran, produktifitas sangat rendah, sehingga tidak mencukupi untuk mengejar standar hidup yang terus meningkat.
Locus kemiskinan yang paling nyata adalah pengangguran yang berarti tidak memiliki penghasilan sama sekali.
3
REKOMENDASI KEBIJAKAN 1. Perbaiki sumber penghasilannya: kebijakan upah. 2. Dorong lahirnya 5 juta wirausaha baru (kecil, menengah dan besar), yang gesit,
berbasis pengetahuan dan teknologi yang lebih baik, di sektor pertanian, kelautan, industri pengolahan, dan jasa‐jasa.
3. Usaha usaha kecil yang dipelopori oleh para sarjana dengan kualitas SDM yang lebih baik, yang gesit, berorientasi domestik dan internasional dan sangat menguntungkan. Mereka akan mampu memperbaiki upah pekerja dan memperbaiki kemiskinan. Bahkan merekrut para pengangguran yang semula menjadi beban keluarga miskin berubah menjadi penyumbang keluarga.
4. Berikan subsidi bunga bank bagi wirausaha baru, khususnya para sarjana. Subsidi bunga dan bukan modal hanya memerlukan anggaran yang kecil, dan bank tetap akan berhati‐hati melepas kredit.
5. Permudah perkembangan bisnis dengan perijinan dan berbagai supporting yang memungkinkan dengan sasaran akhir untuk memperbaiki nasib para pekerja. Pada saat yang sama Upah Minimum Regional bisa ditingkatkan.
6. Buat pekerjaan umum infra struktur pedesaan/perkampungan terutama di masa tidak ada pekerjaan, supaya rakyat memperoleh sumber pendapatan yang bermartabat.
7. Bagi manula yang berusia 65 tahun ke atas yang mungkin karena modernisasi hidup sendiri atau hidup dalam keluarga miskin, pantas diberi tunjangan oleh negara. Mereka pada masa muda sudah bekerja dengan upah yang rendah sehingga mendorong ekonomi tumbuh. Maka pada masa tua pantas mendapat santunan Negara dengan kartu Manula Lestari, melalui bank/kantor pos.
8. Dengan menurunkan biaya sekolah, biaya rumah sakit, biaya air bersih, sanitasi, toilet, perumahan, dan inflasi umum maka kemiskinan dan ekonomi umum rakyat banyak akan membaik.
4
POINTER
FGD POKJA KEMISKINAN (Draf)
[Ir. Cungki Kusdarjito, MP., Ph.D] Universitas Janabadra Yogyakarta
5
6
7
8
9
10
11
NOTA KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (PK): TREND, PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
[Sugeng Bahagijo]
Direktur Eksekutif, INFID PERKEMBANGAN DAN DATA KEMISKINAN
Indonesia tergolong negara kelas menengah (middle income) yang “kantong” kaum
miskinnya terbesar, baik dibandingkan dengan rata‐rata negara menengah maupun dibandingkan dengan negara‐negara dengan kue pembangunan (PDB) terbesar di dunia anggota G20.
Disamping mewarisi pertumbuhan ekonomi yang positif selama 10 tahun terakhir dan rata‐rata pendapatan per kapita 3.500 USD, disisi lain, pemerintah yang baru juga diwarisi oleh angka Ketimpangan yang meningkat drastik dari level 0.35 tahun 2005, menjadi 0.41 (Indeks Gini) pada tahun 2013, yang tertinggi dalam sejarah Indonesia.
Jumlah penduduk atau warga miskin makin menurun tiap tahun, setidaknya dari data dan klaim pemerintah. Tahun 2014, jumlah penduduk miskin berjumlah 28 juta jiwa. Jumlah ini masih sangat besar. Lebih besar dari total penduduk Malaysia (22 juta), lebih dari 2,5 kali penduduk DKI Jakarta (9 juta) dan hampir 10 kali penduduk Propinsi Sulawesi Selatan (3 juta).
Tabel 1: Jumlah Penduduk Miskin
Tahun Jumlah (juta) 2004 36. 1 2008 35 2010 31 2011 29.9 2013 28.6 2014 27*
*Proyeksi Jumlah penduduk miskin perlu dilihat dalam dua konteks: jumlah penduduk dan
jumlah angkatan kerja dan angka pengangguran terbuka. Pada tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia adalah 252,3 juta jiwa (proyeksi), jumlah angkatan kerja berjumlah 1,48 juta orang, dan jumlah pengangguran terbuka berjumlah 6.9 juta orang.
12
Meski secara umum kemiskinan ditandai oleh kurangnya pendapatan, aset dan pekerjaan (jobholder vs jobless), namun sebab‐sebab kemiskinan berbeda beda di perkotaan dan pedesaan. Pemulung di kota memiliki pendapatan yang tetap, meski hidup di kolong jembatan dan tidak mampu membiayai pendidikan anak‐anaknya.
Sebaliknya, kemiskinan di pedesaan ditandai oleh ketiadaa lahan, modal yang lemah dan kekurangan pendapatan, meski memiliki rumah. Kemiskinan di pedesaan ditandai juga oleh lemahnya kesempatan menikmati barang dan jasa layanan pemerintah seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, lapangan kerja.
Sebab lain kemiskinan ketiadaan jaminan sosial karena penduduk terpapar resiko hidup (menjadi tua, meninggal) dan resiko sosial (PHK, menganggur, perceraian, sakit) tanpa dilindungi oleh sistem jaminan sosial modern. Karena sistim jaminan sosial publik Indonesia (kesehatan dan Ketenagkerjaan) belum berjalan atau melindungi semua warganegara (universal), dan hanya melindungi sebagian kecil lapisan penduduk (PNS, TNI dan kelompokk swasta profesional). JKN dan Jaminan Ketenagkerjaan masih sedang dibangun.
Pemerintah melalui TNP2K telah mengembangkan dan memiliki data penduduk miskin yang sama (unified data base), yang digunakan oleh semua kementrian dan lembaga pemerintah, sebagai rujukan agar program diselenggarakan secara tepat sasaran. Data yang tunggal ini akan memudahkan perancangan dan evaluasi program‐program pemerintah.
Pemerintah telah mengembangkan berbagai macam program pengurangan kemiskinan mulai dari PKH, PNPM, KUR, BOS dan Raskin, Jampersal dan sebagainya. Cakupan wilayah dan penerima manfaat dari masing‐masing program bervariasi. PNPM memiliki cakupan yang luas. Demikian juga dengan Raskin dan Bos dan Jampersal. Sementara PKH memiliki cakupan wilayah dan penerima manfaat lebih sempit dan terbatas. Tidak mengejutkan bila capaian dan hasil dari masing‐masing program berbeda‐beda.
Besaran anggaran untuk seluruh program‐program penanggulangan kemiskinan diperkirakan antara 50‐80 Triliun. Dalam APBN 2014, terdapat pos Belanja Sosial sebesar Rp.73, 2 Triliun. Sebelumnya, tahun 2013, sebesar Rp. 93 Triliun. Angka persisnya barangkali masih dapat diperdebatkan, namun jelas bahwa secara nominal, dana untuk PK tiap tahun terus meningkat, sejalan dengan membesarnya volume APBN. Namun demikian, dibandingkan dengan volume belanja Subsidi BBM dan Belanja Barang, maka trend yang terlihat nyata dan jelas adalah, belanja sosial selalu lebih kecil (Lihat Tabel 2 dan 3).
13
Tabel 2: Belanja Sosial vs Subsidi BBM
Tahun Belanja Sosial (Triliun Rp) Subsidi BBM (triliunRp) 2005 24.9 104 2008 57.7 223 2010 68.6 140 2011 71.1 255 2012 75.6 306 2013 92.3 332 2014 73.2 364*
*proyeksi
KEBIJAKAN DAN PROGRAM‐PROGRAM KEMISKINAN Kemiskinan dapat diatasi melalui setidaknya 2 jalur utama. (i) Melalui pasar kerja;
antara lain melalui ketersediaan lapangan kerja dan upah layak dan luas sempitnya kapasitas industrialisasi dan pertanian dalam menyerap angkatan kerja; (ii) Intervensi pemerintah melalui (a) Kebijakan Fiskal dan Moneter; (b) Sistem Jaminan Sosial; (c) Program‐program pemerintah; termasuk didalamnya subsidi pertanian dan penyediaan air bersih dan sanitasi.
Pemerintah dapat mempengaruhi jalur pertama secara tidak langsung baik melalui kebijakan upah minimum maupun melalui investasi dalam negeri dan FDI. Sebaliknya, pemerintah dapat menenetukan atau mengendalikan secara langsung melalui jalur kedua : yaitu melalui kebijakan fiskal, sistim jaminan sosial, dan program‐program PK yang diselenggarakannya
Secara skematis, maka kedudukan atau porsi dari program‐program PK pemerintah paling jauh akan memiliki bobot separuh dalam menurunkan kemiskinan. Sisanya akan harus dilakukan melalui kebijakan makro ekonomi melalui kebijakan fiskal (pajak, subsidi) dan moneter (suku bungan, inflasi)
Tabel 4: Dua Jalur Penanggulangan Kemiskinan
Jalur Pasar (Pemerintah Mempengaruhi)
Peran Pemerintah (Pemerintah Mengendalikan )
Pembukaan Lapangan Kerja Jaminan Kesehatan (Kartu Indonesia Sehat/JKN) Upah yang Payak Pelayanan Pendidikan (Kartu Indonesia Pintar) Suku bunga Perbankan
Program‐Program PK (PNPM, PKH, Raskin, BOS, BLT, BLSM, dll)
Jumlah investasi
Pelayanan Perumahan (Rumah Deret), Air Minum dan Sanitasi, Perlindungan Aset warga (Rumah, Tanah, Tabungan)
Informasi Pasar Kerja Kebijakan Alokasi APBN dan APBD Kebijakan Pajak (PPh, PPn) Kinerja Kementrian Tenaga Kerja, Pertanian, Kesehatan dan Pendidikan
14
Keberhasilan program‐program PK dapat diukur dari setidaknya dua kriteria dan dimensi. yaitu (a) Efisiensi dan efektivitas, dalam arti kebijakan dan program telah mencapai dengan biaya dan kelembagaan yang ada; Kriteria ini penting dalam menilai sejauh mana operasi dan teknis kelembagaanya efektif dan efisien dalam menyediakan jasa dan barang layanan itu sampai ke tangan pengguna/warganegara dengan tepat waktu dan dalam mutu yang dapat diterima.
Selain itu, kebijakan juga dapat diukur dari sejauh mana (b) dampak program tersebut kepada pemecahan masalah kemiskinan. Hal ini antara lain dapat dilihat dari berbagai indikator yang relevan seperti jumlah penerimanya, jumlah lapangan kerja, angka pengangguran, jumlah penurunan angka putus sekolah, jumlah penurunan angka kematian ibu, dan seterusnya.
Selama 10 tahun terakhir, Kebijakan dan program‐program pemerintah PK dapat digolongkan kepada beberapa upaya, antara lain (i) penyediaan sarana dan prasarana di pedesaan, di wilayah yang kekurangan sarana dan prasarana seperti jalan, jembatan, pasar dan sebagainya; (ii) penyediaan modal kerja dengan bunga rendah seperti KUR (Kredit untuk rakyat) yang disalurkan melalui perbankan seperti BRI; dan (iii) penyediaan pelayanan kesehatan seperti Jamkesmas dan Jampersal; (iv) Penyediaan dana bantuan untuk sekolah seperti Bos.
Tabel 3: Jenis dan Tipe program PK
Nama Program Jenis/Tipe Cakupan PNPM Prasarana pedesaan. Pembangunan
Sarana dan Prasarana desa. Jenis proyek ditentukan oleh partisipasi warga, sesuai kebutuhan. Termasuk kelompok simpan pinjam. Didampingi oleh fasilitator.
Seluruh Indonesia
PKH Pendapatan. Pemberian Dana Tunai Bersyarat kepada warga miskin (Orang tua wajib menyekolahkan anak dan Kaum ibu wajib memeriksakan kesehatan di Posyandu dan Puskesmas setempat)..
Khusus untuk keluarga miskin di beberapa propinsi
Raskin Pangan. Pemberian beras dengan harga dibawah harga pasar (bersubsidi) untuk Gakin (keluarga miskin)
Keluarga Miskin di seluruh Indonesia
Jampersal Kesehatan. Pelayanan Kesehatan gratis untuk ibu bersalin yang memerlukan (universal, tidak hanya yang miskin)
Untuk semua warga di seluruh Indonesia
BOS Pendidikan.Bantuan untuk sekolah termasuk untuk pembangunan sarana dan prasarana sekolah
Seluruh Indonesia
15
KENDALA DAN PERMASALAHAN
Dilihat dari “Nawa Cita” dan “Negara Hadir” serta Kemandirian Ekonomi, yang menjadi visi‐misi Jokowi JK, maka Kebijakan dan program‐program PK 10 tahun terakhir dapat dikatakan sebagai (i) negara tidak hadir karena pelayanan kebutuhan dasar ditumpukan dan diandalkan pada pendekatan Pasar (you get what you pay) ketimbang pendekatan Hak (you get what you need).
(ii) Jika negara hadir, dalam bentuk berbagai program‐program pemerintah, maka terdapat banyak kelemahan dalam operasi dan kelembagaannya. Sehingga barang dan jasa dari pemerintah tidak sampai, terlambat diterima, dan atau terlalu lemah untuk untuk meringankan dan menolong warga yang sedang membutuhkannya ( kematian ibu, balita kurang gizi, .
Diperiksa dari pendekatan Kualitas Manusia dan Keunggulan ekonomi, maka program Kebijakan dan program‐program PK terutama pada bidang Kesehatan dan Pendidikan lebih banyak menundukkan diri pada kebutuhan jangka pendek ketimbang kebutuhan jangka panjang. Kebutuhan jangka panjang artinya memenuhi kekurangan dan defisit yang selama dialami Indonesia: defisit dokter, insinyur, ahli hukum ekonomi, peneliti Biotek, dll.
Secara teknis operasi dan kelembagaan, kendala dan permasalahan dapat diringkas ke dalam satu frasa: Kelemahan Teknis dan kelembagaan; Artinya, kelemahan pelaksanaan, pengawasan, pendataan dan sebagainya. Berikut ini beberapa kendala dan permasalahan yang apabila diatasi akan dapat meningkatkan kualitas dan dampak program‐program PK pemerintah di tahun‐tahun 2015‐2019 mendatang:
1) Pengukuran dan Data Kemiskinan. Pemerintah belum atau tidak memiliki data angka
kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi program‐program pemerintah dijalankan, yang ada adalah data tahunan angka kemiskinan. Hal ini tentu menyulitkan untuk bisa menilai sejauh mana hasil dan keberhasilan seluruh program‐program PK pemerintah.
2) Pendekatan Kebijakan. Kebijakan dan program PK selama ini hanya memusatkan diri pada pengurangan KEMISKINAN, dan tidak sekaligus pengurangan KESENJANGAN. di RPJM dan RKP serta Nota APBN pemerintah, ukuran keberhasilan pembangunan tidak/belum diukur dengan penurunan kesenjangan/ketimpangan (penurunan Gini Rasio). Implikasinya, pemerintah hanya menggunakan pendekatan “targeted”, dan melupakan pendekatan “universal”.
3) Pendekatan Program Program‐program PK pemerintah masih bertumpu pada pendekatan “the needy” (“untuk yang miskin saja”) yaitu pendekatan targeted. Sementara banyak bidang memerlukan pendekatan yang universal (untuk semua), seperti dalam hal jaminan kesehatan, pelayanan pendidikan dan pelayanan ketenagakerjaan.
4) Penganggaran. Program‐program PK banyak tetapi kualitas dan dampaknya sangat beragam mulai minimal hingga berdampak penting. Alokasi terbesar untuk program‐program PK adalah PNPM dengan dana 11 T. sementara program lainnya hanya berkisar 1‐3 T per tahun.
16
5) Cakupan dan skala program minimal. Beberapa program pemerintah terlalu kecil dalam hal cakupan wilayah dan penerimanya, dengan dana yang minimal. Yang berakibat besaran manfaat yang diterimanya juga tidak signifikan. Akibatnya, manfaat dan dampak program‐program PK sulit diukur secara nasional dan agregat dalam menurunkan kemiskinan. Misalnya saja PKH. Cakupan PKH tidak bersifat nasional dan dengan alokasi dana program yang kecil.
6) Metode Penyaluran Subsidi yang keliru. Subsidi Pupuk, Benih (subsidi Pertanian) memainkan peran penting secara konsep. Dengan jumlah dana yang dialokasikan cukup besar. Pada tahun 2013 jumlahnya 17 Triliun. Metode penyaluran subsidi selama lebih berupa subsidi kepada produsen ketimbang subsidi pengguna atau petani. Hal ini yang berakibat salah sasaran dan manfaatnya atau dana subsidi itu dibajak atau dikorupsi melalui kerjasama elit politik dan penerima dana sibsidi (Pusri, BUMN Pertanian, dll). Akibatnya manfaatnya tidak dirasakan (“negara tidak hadir”). Padahal pemerintah bisa memberikan subsidi langsung Tunai kepada para petani dan nelayan dan membebaskan mereka untuk membelanjakannya
7) Kendala Pusat dan Daerah. Ditinjau dari aspek anggaran, selama ini peran pemerintah daeh (kota dan Kab) sangat minimal. Sebagian besar pemerintah daerah hanya mengalokasikan kurang dari 5 persen APBD untuk kesehatan dan pendidikan, Sementata pemerintah Kota dan Kab mengalokasikan lebih dari 60 persen untuk belanja eksekutif dan DPRD.
8) Program PK terlalu banyak ragamnya. Dari program PNPM hingga BOS, dari PKH hingga Raskin, secara manajemen dan kelembagaan, pemerintah menjebakkan diri pada rentang tugas yang rumit dan tanpa koordinasi. Pemerintah juga tidak memiliki standar teknis capaian dan akuntabilitas pada tiap program‐program karena masing‐masing dierahkan kepada kementrian dan lembaga yang mengelolanya (PNPM di Kemendagri, PKH di Kemensos, Bos di Kementrian Pendidikan, dll)
9) Kualitas Kelembagaan yang buruk. Penyaluran berbagai program seringkali juga tidak efektif karena kinerja dan kelemahan birokrasi di kementrian dan lembaga pemerintah pusat: (i) keterlambatan, hingga tahunan bukan saja hari, minggu atau bulan.; misalnya saja penyaluran untuk siswa kelas 2 SMP, yang ternyata hanya diterima ketika dia sudah kelas 2 SMA (ii) Kegiatan yang tidak dilakukan, misalnya penyediaan dan distribusi obat‐obat untuk rumah sakit rumah sakit pemerintah daerah oleh kemenkes. UKP4 memiliki data tentang kinerja berbagai program, termasuk keterlebatan dan berbagai kendala lain, sebagai hasil pemantauan langsung ke lapangan melalui uji petik di beberapa kab dan kota.
10) Silo‐silo birokrasi dan Kelembagaan: Program‐program PK dikelola oleh berbagai lembaga, tanpa kordinasi yang baik dan terukut. PNPM oleh Kemendagri, BOS oleh Kemntrian Pendidikan, dan PKH oleh Kemensos, Subsidi Pertanian oleh kementrian Pertanian dan seterusnya, dan masing bergerak dengan egonya masing masing (silo‐silo). Upaya memiliki data base keluarga miskin patut dipuji akan tetapi masih banyak hal dan aspek yang belum dapat disatukan atau dikoordinasi.
17
REKOMENDASI‐REKOMENDASI Rekomendasi Umum
1) Ujian politik dan teknis bagi pemerintah Jokowi adalah merevisi APBN, bagaimana melakukan perubahan APBN untuk menciptakan ruang fiskal yang memadai untuk mendanai program‐program prioritas Jokowi JK sebagaimana dijanjikan
2) Pemerintah Jokowi JK perlu menciptakan ruang fiskal, 2‐3% PDB atau sekitar 100‐300 T, untuk mendanai berbagai intervensi atau program‐program prioritas pemerintah Jokowi JK, dengan 3 cara (i) mengalihkan sebagian dana subsidi BBM dan Energi untuk program‐program PK; (ii) penghematan belanja barang birokrasi (honor, perjalanan dinas, dll); (iii) Menaikkan tarif PPH Orang Pribadi untuk menyasar kelompok Superkaya yang berpendapatan diatas 1 milair dan 5 Miliar per tahun dengan tarif 40‐45%.
3) Kebijakan PK harus sekaligus menurunkan Ketimpangan. Oleh Karena itu, pemerintah juga harus memfokuskan diri pada pelaksanaan Jaminakan Kesehatan (Kartu Indonesia Sehat) dan Jaminan Ketenagakerjaan. Pemerintah Jokowi JK perlu mengukur keberhasilan pembangunan dengan indikator (a) penurunan Ketimpangan (penurunan Gini Rasio), disamping (b) penurunan angka kemiskinan dan (c) angka pengangguran
4) Pemerintah menempuh Dua Jalur PK: Jalur Pasar dan Jalur Pemerintah. Dalam Jalur pemerintah, 3 intervensi yang harus diutamakan : Dukungan Fiskal (Belanja Sosial), Jaminan Sosial dan Bantuan Sosial. Untuk kebijakan fiskal, pemerintah perlu merubah Kebijakan Pajak PPH Orang Pribadi perlu dirubah untuk mencerminkan keadilan. Batas atas pendapatan pajak (PPh Pribadi superkaya) perlu diubah dari Rp. 500 juta dengan tarif 35 persen perlu ditambah dengan (a) lapisan pendapatan Rp 1 miliar ke atas, (b) pendapatan Rp 5 miliar ke atas dan (c) lapisan Rp 10 Miliar pertahun ke atas dengan tarif berkisar antara 40‐45 persen, sesuai dengan standar Uni Eropa.
5) Pemerintah Jokowi perlu menyelaraskan anggaran pemerintah daerah (kota dan Kabupaten) melalui “politik fiskal” yaitu dengan cara : (a) mematok batas atas/maksimum bagi belanja eksekutif, DPRD dan Belanja pegawai tidak lebih dari 50% APBD . (b) mematok batas bawah/minimum untuk belanja pendidikan dan kesehatan tidak kurang dari 30% APBD (untuk pendidikan dan kesehatan. Kemenkeu tidak akan mencairkan dana pusat ke pemerintah kota dan kab (APBD) jika rencana APBD tidak mematuhi kaidah fiskal tersebut diatas.
Rekomendasi Khusus
1) Subsidi Pertanian (Pupuk, Benih dll) diubah dari subsidi produsen kepada subsidi konsumen KEPADA petani secara langsung. Subsidi dapat diberikan secara tunai kepada kelompok petani dan nelayan untuk membeli bibit, pupuk, modal kerja, kapal nelayan dan sebagainya.
18
2) Berbagai program‐program PK perlu dimerger ke dalam 4‐5 program besar dengan tujuan menciptakan cakupan dan dampak yang lebih besar dan memudahkan pengelolaan, pelaporan dan akuntabilitas, serta didanai secara memadai (well‐finance) untuk wilayah yang luas yang menjadi sasaran: i. Karftu Indonesia Sehat (blok Kesehatan: Jampersal, Jamkesmas, dll) ii. Kartu Indonesia Pintar (Blok Pendidikan: BOS, dll) iii. Jaminan Tunai (Blok Bantuan Sosial: Raskin, PKH, dll) iv. Kartu Indonesia Mandiri (Blok Jaminan Ketenagekerjaan) v. Program Pemberdayaan Masyarakat (Blok Pemberdayaan: PNPM, dll)
3) Pemerintah Perlu mengalokasikan dana tambahan APBN untuk premi Jaminan Kesehatan bagi kelompok yang ditanggung pemerintah (PBI) sesuai premi yang dipatok oleh Kemenkes: dari Rp. 19 T ke 30 T pada APBN 2015.
4) Pemerintah perlu meminta BPS dan Bappenas memproduksi dan mengadakan data‐data kemiskinan baru untuk memudahkan pemantauan dan pengukuran hasil program‐program pemerintah : Data sebelum intervensi pemerintah dan sesudah intervensi pemerintah.
5) Perlu dipikirkan Badan Tersendiri untuk PK yang langsung mengawasi dan mengkoordinasi semua program‐program PK, yang didukung oleh unit pemantauan program dan unit teknis analisa kebijakan.
5) UKP4 dan BPKP perlu diperluas wewenang tidak hanya memantau penyerapan anggaran dan realisasi rencana, tetapi juga menilai kinerja dan kualitas implementasinya. Artinya, kedua lembaga itu juga diberi wewenang untuk mengusulkan pendekatan kebijakan dan desain dan metode teknis pelaksanaannya.
LAMPIRAN:
Perincian Rencana Aksi Kemiskinan
MENDESAK ‐100 HARI 1 TAHUN Cetak Biru Kartu Indonesia Sehat (JKN) Pengadaan Data Kemiskinan Baru Alokasi Dana Untuk Premi Pbi Jaminan Kesehatan (JKN)
Studi Kelayakan Dana 1 Juta Untuk Keluarga Miskin/Jaminan Tunai
Cetak Biru Kartu Indonesia Pintar Perpres Penyelasaran APBD Sesuai Prioritas Jokowi Jk
Cetak Biru Percepatan Jaminan Ketenagakerjaan (Kartu Indonesia Mandiri)
Pembentukan Badan Penanggulangan Kemiskinan
Pepres Penyatuan/Merger Berbagai Program PK
Studi Kelayakan Tunjangan Pengangguran (Unemployment Benefits)
Cetak Biru Perbaikan Perumahan Perkotaan (Rumah Deret)
Cetak Biru Jaminan Tunai Indonesia
19
Masalah dan Rekomendasi Kebijakan
POKJA PENGENTASAN KEMISKINAN
[Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D] Guru Besar Fakultas Ekonomika & Bisnis UGM dan
Direktur Program Magister Ekonomika Pembangunan UGM MASALAH UMUM PEMBANGUNAN
Masalah pokok ekonomi Indonesia adalah tingkat kesejahteraan masyarakat yang relatif masih rendah.Hal tersebut tercermin pada tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah yakni sebesar US$4.810 pada tahun 2012 (bandingkan dengan Malaysia: US$16.530 pada periode yang sama) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih rendah yakni 0,629 pada tahun 2013 (peringkat 121 dari 173 negara) Rekomendasi Kebijakan:
Strategi pembangunan yang harus dilakukan adalah redistribution with growth! Perekonomian tumbuh sekaligus merata! Ini strategi yang dilakukan oleh beberapa negara Asia Timur (Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang) beberapa dekade yang lalu. Strategi ini memiliki beberapa implikasi kebijakan: 1. Pertumbuhan ekonomi ‘tidak harus’ terlalu tinggi (cukup misalnya sekitar 6% per
tahun) tetapi inklusif (inilah esensi dari demokrasi ekonomi). Oleh karena itu, prioritas utama harus diberikan kepada sektor/subsektor yang banyak melibatkan pelaku ekonomi menengah bawah.
2. Pengembangan UMKM & Koperasi yang merupakan salah satu pilar ekonomi Indonesia menjadi suatu keharusan. Oleh karena itu Kementerian UMKM & Koperasi harus direvitalisasi dan refungsionalisasi sebagai alat demokrasi ekonomi.
3. Peningkatan pembangunan sektor pertanian secara umum menjadi suatu keniscayaan. Sektor pertanian di Indonesia selain merupakan sektor yang sangat strategis dalam hal penyerapan tenaga kerja juga sebagai basis pembangunan (endogenous development) Indonesia menuju kemandirian ekonomi. Ingat pengalaman Jepang dan Korea Selatan misalnya. Sebelum mereka mengembangkan program, industrialisasi, sektor pertanian mereka dibangun dengan kokoh terlebih dahulu.
4. Untuk menjamin agar pertumbuhan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, implikasi poin 1: Pertumbuhan penduduk harus dikendalikan (misalnya ditekan sampai
20
1%, sekarang sekitar 1,34% per tahun). Di sini arti penting kita melakukan revitalisasi Program KB dan BKKB.
5. Pembangunan di kawasan daerah tertinggal dan perbatasan harus dilakukan dengan baik. Khusus daerah perbatasan harus mendapat perhatian khusus karena berbatasan dengan negara tetangga. Masalah kedaulatan politik bisa terganggu jika kesejahteraan masyarakat perbatasan rendah.
MASALAH KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan masalah kronis dan akut di Indonesia. Ini merupakan “pekerjaan rumah besar” sebagai bangsa. Dengan kriteria garis kemiskinan yang “sangat longgar’ pun jumlah penduduk miskin di Indonesia masih banyak. Pada 2012 adalah 28,594 juta atau 11,66 persen (18,086 juta atau 14,7 persen di perdesaan dan 10,507 juta atau 8,6 persen di perkotaan) Rekomendasi Kebijakan: 1. Peningkatan pembangunan pertanian, khususnya subsektor pangan dan perikanan
(nelayan) karena di kedua subsektor merupakan kantong kemiskinan 2. Pembangunan perdesaan berbasis lokal 3. Pengembangan potensi ekonomi kawasan pesisir dan perbatasan 4. Peningkatan pengembangan UMKM & Koperasi 5. Pemetaan dan pemantauan kemiskinan secara lebih akurat agar arah “subsidi” tepat
guna 6. Peningkatan pembangunan infrastruktur di daerah perdesaan dan kawasan
tertinggal 7. Pengintensifan program KB di kalangan penduduk miskin, khususnya daerah
perdesaan.
MASALAH DISPARITAS PENDAPATAN
Kondisi distribusi pendapatan di Indonesia belakangan ini semakin butuk. Bahkan terburuk sepanjang sejarah perekonomian Indonesia yang ditandai oleh tingginya Indeks Gini yakni 0,413 pada tahun 2013. Selain itu disparitas regional juga masih buruk yang ditandai oleh masih dominannya kontribusi Jawa terhadap ekonomi Indonesia yakni 57 persen. Kondisi distribusi pendapatan (perorangan dan regional) yang buruk sangat potensial menimbulkan keresahan sosial, konflik horizontal di masyarakat, dan separatisme.
Rekomendasi Kebijakan:
1. Peningkatan produktivitas SDM melalui peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan & kesehatan
21
2. Peningkatan pembangunan kawasan pesisir (nelayan) dan kelautan 3. Peningkatan pengembangan UMKM & Koperasi di daerah perdesaan. 4. Peningkatan pembangunan infrastruktur di kawasan tertinggal & peningkatan
konektivitas antar daerah (khususnya pembangunan prasarana jaringan transportasi: jalan raya dan pelabuhan laut)
5. Perbaikan sistem kelembagaan: sistem perpajakan yang berkeadilan, perbaikan akses ke sumberdaya produktif, dan regulasi lainnya
6. Peningkatan pembangunan pertanian subsektor pangan (sebagian besar penduduk miskin bergerak di subsektor ini)
7. Peningkatan pembangunan di kawasan tertinggal dan perbatasan.
22
BAB II PEREKONOMIAN DAN KEBIJAKAN FISKAL
23
DEMOKRASI: DAULAT RAKYAT BUKAN DAULAT TUANKU
[Prof. Dr. Sri Edi Swasono]
Guru Besar UI, Penasehat Menteri BAPPENAS, Ketum Majelis Luhur Tamansiswa, Penerima “Anugerah HB IX” dari UGM
Demokrasi adalah “daulat Rakyat”, bukan “daulat Tuanku” atau “daulat pasar”. Pemerintahan demokratis adalah pemerintahan cap rakyat, bukan cap tuanku, bukan pula cap partai, cap teknokrat ataupun cap kleptokrat.
Demokrasi politik menuntut partisipasi politik dan emansipasi politik seluruh rakyat. Demikian pula demokrasi ekonomi menuntut partisipasi ekonomi dan emansipasi ekonomi. Demokratisasi politik sarat dengan nilai‐nilai kultural dan fatsoen lokal, demikian pula demokrasi ekonomi mengemban nilai‐nilai kultural dan tatanan lokal. Tanpa demokrasi ekonomi akan terbentuk konsentrasi kekuatan ekonomi yang akan mengatur dan mendikte demokrasi politik. Demokrasi ekonomi merupakan “the political struggle of the twenty‐first century” (JW Smith, 2000), sebagai upaya mendobrak pola perdagangan konspiratif masa lalu yang membentukkan imperialisme korporasi saat ini (ibidum).
Demokrasi menjadi tuntutan modernisasi, yang bukan harus westernisasi. Ada demokrasi Barat ada pula demokrasi Timur. Indonesia menegaskan demokrasi bikinannya sendiri (custom‐made), suatu consociational democracy, demokrasi berdasar konsensus. Demokrasi Indonesia memangku pluralisme Indonesia, mengedepankan prinsip “semua diwakili”, bukan sekedar “semua dipilih”. Demokrasi Indonesia terselenggara di parlemen melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (bukan sekedar Majelis Rakyat), yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan Utusan‐utusan dari Daerah‐Daerah dan Golongan‐Golongan. Inilah Demokrasi Pancasila berdasar “asas bersama”, demokrasi yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat, bukan yang serba melalui voting. Bahwa Amandemen UUD 1945 meminggirkan prinsip “semua diwakili” sebagai custom‐made democracy‐nya Indonesia, adalah suatu “kecelakaan konstitusional”, suatu kelengahan kultural kebarat‐baratan berdasar “asas perorangan” (individualisme).
***
Sangat menarik mendengar penegasan Capres Jokowi: “…saya hanya akan tunduk kepada konstitusi dan amanat rakyat…”.
Tunduk kepada konstitusi adalah tunduk pada UUD 1945 yang berlaku (hasil amandemen), yang berarti mengandung “kecelakaan konstitusional” itu. Berarti bila
24
Jokowi menjadi Presiden RI ia akan terlibat masalah bagaimana menyelenggarakan demokrasi Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila, khususnya berkaitan dengan Sila ke‐4.
Tuntutan kembali ke UUD 1945 makin marak: dimulai dari tuntutan kembali sepenuhnya kepada UUD 1945 asli, sampai mengamandemen ulang UUD 1945 asli dan mengamandemen UUD 1945 hasil amandemen. Inilah dinamika tuntutan konstitusional yang akan dihadapi Jokowi.
Seorang Presiden bertunduk kepada amanat rakyat, berarti tunduk kepada wakil‐wakil rakyat di parlemen. Parlemen kita adalah hasil voting, sebagaimana saya tulis (Kompas, 9/8/2011), wakil‐wakil rakyat tidak terpilih sepenuhnya berdasar vox populi vox Dei, tetapi kental dengan politik uang – vox populi vox argentum, yaitu demokrasinya blantik‐blantik politik. Kemudian DPR bukanlah lagi “dewan perwakilan rakyat”, tetapi lebih merupakan “dewan perwakilan partai” dengan superioritas pimpinan partai.
***
Capres Jokowi menolak pula pemberitaan media yang dikutipkan oleh Prabowo Subianto, bahwa Jokowi mengabaikan peran koperasi. Jokowi menegaskan berita itu bohong, sebaliknya menyatakan bahwa koperasi sangat penting. Di sini Jokowi menjadi sealiran dengan gerakan koperasi yang sempat hampir berputus‐asa menghadapi UUD Koperasi, UU No. 17/2012, yang kapitalistik dan borjuistik, yang membunuh gerakan koperasi. Kita mensyukuri judicial review diterima MK, UU Koperasi ini dibatalkan oleh MK.
Penegasan Jokowi tentang posisi penting koperasi tentu merupakan komitmen konstitusionalnya yang terkait dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar demokrasi ekonomi Indonesia. Koperasi adalah wadah ekonomi rakyat. Berpaham kerakyatan dan membela ekonomi rakyat bukan monopoli orang‐orang komunis, melainkan merupakan kewajiban konstitusional. Di sinilah sebenarnya titik temu pandangan ekonomi Jokowi dan Prabowo Subianto. Dengan demikian diharapkan bahwa ekonomi Indonesia dapat diluruskan kembali sesuai Pasal 33 UUD 1945, dengan menegaskan hakikat demokrasi ekonominya: bahwa “kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang‐seorang, bahwa cabang‐cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, dan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat”. Penegasan konstitusional ini sering dengan tugas pemerintahan Negara untuk melaksanakan cita‐cita nasionalnya: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”.
Cita‐cita nasional yang strukturalistik begini hanya bisa dilaksanakan dengan menggelar suatu perencanaan pembangunan nasional, yang tidak bisa menyandarkan pada kehendak dan selera pasar‐bebas. Apalagi kita wajib ikut melaksanakan ketertiban dunia, berarti kita wajib ikut mendesain wujud dan mekanisme globalisasi, tidak sekedar menjadi bangsa antisipatif dan sekedar menjadi obyek kekuatan global.
25
***
Pasal 33 adalah local wisdom Indonesia, suatu master piece (Bintoro Tjokroamidjojo, Bappenas, 1973). Dengan Pasal 33 inilah kita menegaskan custom‐made economic democracy‐nya Indonesia, artinya kita mengakhiri pola‐pikir swing of pendulum dari “kiri” ke “kanan” atau sebaliknya, kita menolak westernism yang terperangkap pola‐pikir komunisme versus kapitalisme itu‐itu saja. Pasal 33 bukan “jalan kiri”, bukan “jalan kanan”, bahkan bukanlah “jalan tengah”, tetapi adalah “jalan lain”, suatu “jalan lurus”, yang para pendiri Republik menyebutnya sebagai “jalan Pancasila”. Saya ingin mengungkap di sini bahwa Jakob Oetama pernah menegur saya (saya tulis di Kompas, 16/8/2005) tentang keheranannya mengapa banyak ekonom mengagumi “jalan ketiga”‐nya Anthony Giddens. Dikatakan Jakob Oetama The Third Way‐nya Giddens tertinggal (55 tahun) dari Pasal 33‐nya Hatta.
Berpikir dalam konteks (swing of pendulum) adalah obsolit. Bahwa Francis Fukuyama menulis tentang the “end of history” (1992) dan menyatakan bahwa “demokrasi liberal Barat merupakan bentuk final dari pemerintahan manusia”, telah terbantahkan oleh fakta dan juga disanggah oleh Samuel Huntington (1996) yang mengemukakan pandangan tentang dominannya the “clash of civilizations”.
Saat ini kita ditantang untuk berpikir dalam konteks shifts of paradigm (pergeseran paradigma) dari manusia yang digambarkan sebagai homo‐economicus, ke manusia sebagai homo‐humanus, homo‐socius, homo‐religious dan homo‐magnificus. Di mana humanisme menjadi titik sentralnya. Dari sinilah kita harus mengangkat pentingnya “daya kerjasama”, bukan hanya “daya saing”. Setelah Tembok Berlin runtuh (1989) umat manusia paradigmatik bicara lagi tentang “alle Menschen werden Bruder” – menuntut the brotherhood of men. APEC, ASEAN‐AEC dan seterusnya adalah forum kerjasama, bukan forum persaingan bantai‐membantai. Kepentingan nasional harus diutamakan.
[Asli makalah ini untuk Harian KOMPAS, dan telah dimuat di KOMPAS, 16 Agustus 2014]
26
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
[Dr. R. Maryatmo]
Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta
APBN mempunyai fungsi stabilisasi, alokasi, dan distribusi. Yang dimaksud fungsi stabilisai adalah bahwa struktur, serta besaran APBN baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi stabilitas moneter di Indonesia, yakni stabilitas suku bunga, harga, dan kurs. Fungsi alokasi APBN adalah bahwa alokasi anggaran dapat menjadi daya dorong dan dinamika kinerja dan pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Fungsi alokasi anggaran ini juga dapat dimanfaatkan untuk memberikan prioritas pencapaian kinerja dan pertumbuhan sector yang penting dan dibutuhkan masyarakat. Fungsi distribusi APBN berkaitan dengan fungsi APBN untuk distribusi pendapatan, dan pengentasan kemiskinan serta pelestarian lingkungan.
Agar ketiga fungsi APBN itu bisa berjalan baik, perlu beberapa syarat yang harus ada dalam proses anggaran: 1) Penyusunan program dan anggaran harus ditangan pemerintah dan departemennya.
Kontrol boleh di tangan DPR. 2) Proses penyusunan, realisasi, serta evaluasi program dan anggaran harus bersih dari
korupsi dan kepentingan politik. 3) Selayaknya sebuah institusi anggaran merupakan konsekuensi dari program. Program
diturunkan dari sebuah perencanaan jangka menengah (REPELITA) dan jangka panjang (GBHN). Setiap program harus memiliki tolok ukur capaian secara terukur. Setiap program harus dievaluasi pencapaiannya. Harus ada monitoring dan evaluasi untuk memastikan bahwa a) program sesuai (in line) dengan program jangka menengah dan jangka panjang. b) program mencapai sasaran seperti ditunjukkan oleh tolok ukur yang sudah ditentukan sebelumnya. c) perlu ada penjelasan jika program tidak sesuai dengan tolok ukur capaiannya.
4. Perencanaan program dan anggaran bisa dilakukan oleh depertemen pemerintah (BAPENAS?), dengan mendengarkan visi misi presiden, dan masukan departemen yang menangani program di lapangan.
5. Pemerintah perlu mendefinisikan dengan jelas sasaran subsidi. Subsidi BBM sekarang ini sudah sangat jelas jauh dari sasaran, karena yang menerima subsidi justru bukan orang, instritusi, atau kelompok masyarakat yang seharusnya menerima subsidi. Pemerintah harus mencari alternatif cara pencapaian sasaran subsidi. Salah satu cara
27
yang efektif adalah subsidi secara langsung (cash transfer) untuk sasaran yang sungguh membutuhkan.
6. Dengan gencarnya pemekaran, pemerintah perlu mendifinisikan kembali pembagian peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara jelas, agar tujuan jangka panjang, jangka menengah, dan fungsi APBN bisa tercapai. Pemekaran yang tak terkendali mengindikasikan bahwa wewenang daerah begitu besar, sehingga setiap daerah menginginkan pemekaran yang dirasa lebih menguntungkan daripada kesatuan daerah yang lebih besar. Perlu diingat bahwa pemekaran membutuhkan dana penyelenggaraan pemerintah yang lebih besar.
7. Untuk meminimalkan korupsi, pemerintah perlu segera menerapkan “single identity”, melalui e‐ktp. Semua transaksi harus menggunakan identitas e‐ktp tersebut. Transaksi bank, pajak, paspor, dlsb harus menggunakan data base e‐ktp tersebut. Perlu pendifinisian yang jelas tentang wewenang akses terhadap data base tersebut, agar ranah “privacy” tidak dilanggar.
28
AGENDA NASIONAL 5 TAHUN KE DEPAN: MENATA DAN MENGAKTIFKAN PEREKONOMIAN INDONESIA
YANG INKLUSIF DAN BERDAULAT
[Dr. Darmin Nasution] Mantan Gubernur Bank Indonesia 2010‐3013
[Pengantar: Naskah ini adalah bahan dan hasil dari diskusi terbatas Tm Ahli Seknas Jokowi, yang berupaya menjawab tantangan bangsa ke depan, dan langkah‐langkah yang harus dilakukan – seknas jokowi].
PETA PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN
Pengalaman bangsa kita selama hampir tujuh dasawarsa ini menunjukkan bahwa, dibalik berbagai kemajuan yang telah dicapai, ekonomi Indonesia tetap saja belum keluar dari sejumlah kelemahan dasar. Berbagai kelemahan dasar dimaksud, merupakan persoalan struktural yang berkelindan dengan unsur kelembagaan yang tetap terbelakang. Sebagai akibatnya ekonomi Indonesia sejauh ini tetap rentan terhadap setiap gejolak yang terjadi secara internal maupun eksternal. Tentu saja beberapa dari kelemahan dasar tersebut merupakan warisan dari masa pra‐kemerdekaan. Akan tetapi dalam masa yang sedemikian panjang seyogianya kita telah mampu melahirkan perbaikan yang perlu, bahkan mengantisipasi dinamika ke depan. Kita memang telah berhasil keluar dari julukan kelompok negara miskin, tepatnya Indonesia dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah bawah‐ sekalipun tingkat kemiskinan masih meru pakan fenomena yang luas dan dalam. Hal ini terutama berakar dari minimnya dukungan kelembagaan dan fasilitasi kebijakan memupuk kapasitas ekonomi rakyat.
Sektor pertanian khususnya penghasil pangan kita –secara luas, termasuk peternakan dan perikanan‐ tetap belum mampu melahirkan perbaikan yang berarti. Ketidak jelasan politik pertanahan praktis tidak memberi peluang bagian terbesar masyarakat memperbaiki kesejahteraannya secara berkesinambungan. Dengan penguasaan lahan yang kecil –terutama di Jawa‐ tentu saja mustahil mendedikasikan hidup secara penuh sebagai penghasil pangan. Sebagai akibatnya penduduk terpaksa mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan keadaan tersebut ditambah pembangunan prasarana pendukung yang terbatas, tentu sulit bagi petani meningkatkan produktivitas. Situasi para petani lebih dipersulit lagi menghadapi struktur pasar dan jaringan distribusi yang eksploitatif. Bagian harga yang diterima petani tidak beranjak
29
banyak. Padahal sumberdaya tanah, air, cahaya matahari, dan manusia tersedia, walaupun tidak semuanya tersebar secara merata. Alih‐alih menjadi negara eksportir yang unggul dalam bidang yang sangat strategis ini, Indonesia malah semakin tergantung dari luar. Sementara itu dua sumberdaya penting, yaitu tanah dan air makin jelas mengalami kerusakan, karena tidak terawat dengan baik. Hal ini jelas menjadi bomb waktu yang bukan hanya mengancam kelesetarian lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko kedaulatan pangan, menghadapi gejala pemanasan global.
Perkembangan di bidang‐bidang lain juga tidak menggembirakan. Negara Indonesia yang besar –dalam ukuran luas wilayah maupun jumlah penduduk‐ditandai dengan kegiatan industri dan jasa modern yang terbatas. Kemunduran yang terjadi paska krisis besar Asia 1998 semakin mendorong Indonesia mengeksploitasi sumberdaya alam, baik pertambangan (non‐migas) maupun kehutanan dan perkebunan. Bahkan perkembangan industri padat karya yang sebelumnya cukup significant belakangan semakin kehilangan daya saing. Keadaan ini sangat terkait dengan lemahnya pengembangan SDM (persisnya human capital) dan juga infrastruktur dan kelembagaan. Beberapa tahun belakangan sektor industri dan PMA mulai menggeliat kembali. Akan tetapi orientasinya lebih kepada barang konsumsi dibarengi property dan real‐estate. Oleh karena itu strategi dan kebijakan industrialisasi mendesak untuk diarahkan pada pengolahan hasil pertambangan, perkebunan dan kehutanan, serta penghasil bahan baku/penolong dan barang modal. Hanya dengan cara itu keseimbangan eksternal ekonomi Indonesia tetap terjaga dengan dinamika internal yang berkelanjutan. Berarti industrialisasi perlu didukung dengan pengembangan infrastruktur, human capital, kelembagaan (ekonomi dan non‐ekonomi), keuangan dan fiskal. Dalam hubungan ini perlu sekali disadari bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Berarti peran konektivitas dan konfigurasi wilayah sangat penting, baik di lihat dari sumberdaya, sarana‐prasarana, dan sebaran penduduk.
Sejauh ini kapasitas perekonomian nasional–termasuk tingkat pertumbuhannya‐ tidak mampu menyerap angkatan kerja sehingga fenomena setengah penganggur (disguised unemployment dan underemployment) semakin menggejala disamping pengangguran terbuka. Fenomena ini lebih dikenal sebagai sektor informal yang cenderung permanen. Oleh karena itu penting sekali mengarahkan dan mendorong kelembagaan agar mengembangkan akses –secara efisien‐ kepada pelbagai kegiatan ekonomi, baik di sektor pertanian rakyat, industri dan jasa UMKM, serta prasarana. Perhatian pemerintah perlu diutamakan kepada kelembagaan di sektor keuangan, SDM, serta pengetahuan dan teknologi. Kelembagaan meliputi peraturan perundangan, pasar, institusi (baik pemerintah maupun swasta) dan proses bisnis. Termasuk juga dalam hal ini mengefektifkan kelembagaan keamanan dan penegakan hukum. Pemerintah dan lembaga‐lembaga sosial diaktifkan untuk menegakkan disiplin dasar di pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat dalam rangka membangun karakter bangsa. Dengan demikian potensi pelbagai sumberdaya benar‐benar menjadi tumpuan perkembangan ekonomi dan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Membangun Indonesia tidak bisa tidak perlu berangkat dari kesadaran akan kekayaan dan kelimpahan sumberdayanya di satu pihak, serta kelangkaan modal, pengetahuan‐
30
teknologi, kelembagaan‐organisasi‐etos kerja‐proses bisnis, dan peng uasaan tanah di pihak lain. Upaya strategis dimulai dari memaksimumkan penerimaan negara, disusul dengan kofigurasi pengeluaran yang tepat sasaran. Kampanye dan sosialisasi berhemat dan gemar menabung secara berkelanjutan untuk meningkatkan tabungan dan investasi nasional. Hanya dengan cara itu kita secara bertahap melepaskan diri dari ketergantungan kepada modal luar beserta bias kebijakan (seperti tingkat bunga tinggi) yang pada gilirannya membebani dan merugikan kepentingan nasional.
Uraian ini selanjutnya lebih ditekankan kepada kebijakan dan langkah‐langkah yang perlu ditempuh dalam jangka pendek sampai menengah berdasarkan peta permasalahan ekonomi dewasa ini. Sasaran utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan dan berkesinam bungan. Sebagai bagian dari strategi jangka menengah‐panjang uraian ini sekaligus merupakan fondasi untuk keluar dari jebakan “middle‐income trap” dan mengantar bangsa ini mencapai negara maju dalam dua dasawarsa ke depan.
PRIORITAS DAN KONFIGURASI KEBIJAKAN 1. Reformasi Pertanian:
Mengembangkan modal petani (termasuk nelayan dan peternak): a. Tujuan: mengangkat dan mengukuhkan kesejahteraan petani; menstabilkan dan
menggiring turun inflasi; mendukung perbaikan keseimbangan eksternal (NPI); membangun kedaulatan pangan, membangun keunggulan dalam produk hortikultura tropis;
b. Basis Kebijakan: • Mengatur kewajiban pengolahan persil tanah sesuai peruntukannya, • Menetapkan “Pedoman dan Standar” prasarana pedesaan terutama jaringan
irigisasi tersier serta jalan dan jembatan dalam rangka allokasi bantuan desa sebagai pelaksanaan Undang‐undang Desa’
• Memperkuat kelembagaan dan peran BULOG meliputi penyuluhan dan pendidikan petani dalam pengenalan jenis tanaman, cara bercocok tanam, mendorong lahirnya kluster usaha pertanian, pengolahan dan penyimpanan, disamping pembelian dan pembentukan stok pangan,
• Membangun bersama Pemerintah Daerah sistem informasi –a.l. tentang cuaca, harga dan pasar, pedagang pengumpul, dan pilihan tanaman dan bidang kegiatan‐ yang bisa diakses dengan telpon genggam sederhana,
• Memperkuat BPN melakukan sertifikasi tanah rakyat, teristimewa di pedesaan, • Menyusun “Pedoman dan Standar” dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dalam
pembukaan lahan baru untuk para petani dan peternak, • Menyusun paket kebijakan mendorong BUMN dan swasta membangun kapal
penangkap ikan yang lebih terjangkau nelayan, serta usaha pembekuan dan pemrosesan ikan,
31
• Mengembangkan usaha dan atau kegiatan pemuliaan (pembibitan) ternak seperti sapi, kambing, unggas, dll., serta penyebaran dan distribusinya,
• Bekerjasama dengan Otoritas terkait mengembangkan program memperluas jangkauan terhadap lembaga keuangan termasuk pembiayaan usaha petani (financial inclusion),
• Membangun sarana/prasarana pasar –termasuk pergudangan oleh swasta‐ dan angkutan di wilayah pertanian (lihat juga kebijakan penyelesaian subsidi dan pengembangan SJSN).
2. Reorientasi Kebijakan dan revitalisasi Industrialisasi:
a. Tujuan: membangun kebijakan, peraturan, kelembagaan mendukung industrialisasi yang berbasis sumberdaya nasional, meningkatkan nilai tambah, mendukung perkembangan UMKM kerajinan dan industri.
b. Basis kebijakan: • Merumuskan paket kebijakan termasuk insentif mendorong perkembangan
industry bahan baku/penolong dan barang modal secara bertahap, dengan memperhatikan efisiensi/daya saing,
• Melaksanakan UU Minerba dengan memperhatikan aspek skala ekonomi dan prasarana,
• Merumuskan kebijakan termasuk insentif dan disinsentif mendorong pengolahan lebih lanjut –secara bertahap‐ produk hasil kehutanan dan perkebunan,
• Mendukung pengembangan sentra kerajinan dan UKM dalam bidang prasarana (seperti trotoar, tempat parkir, dan sentra pemasaran) tenaga konsultan, disain, dan teknik processing, serta jaring pengadaan bahan‐bahan.
• Bekerja sama dengan Pemda mengadakan events seperti bazar dan pameran setempat sebagai ajang mempertemukan pengrajin/UKM dengan konsumen dan lembaga keuangan,
• Bekerja sama dengan Pemda dan Otoritas terkait membangun sistem informasi –yang bisa diakses dengan HP sederhana‐ tentang pelbagai produk beserta profil para pengrajin dan UKM (lihat juga kebijakan di sektor pertanian/pangan).
3. Mengembangkan Sektor Jasa:
a. Tujuan: mengevaluasi, mem‐benchmark, serta menyempurnakan peraturan, kelembagaan, standar produk, serta pelaku perdagangan dan disribusi produk hasil rakyat untuk pasar dalam negeri maupun ekspor, serta transformasi struktural;
b. Basis Kebijakan: • Menugaskan Kemendag dan BULOG bekerjasama dengan Pemda terkait untuk
menyusun konsep, proses bisnis, dan kelembagaan mengefisienkan mekanisme dan jaringan distribusi/perdagangan hasil pangan, holtikultura, ternak, ikan, dan hasil kerajinan,
32
• Menugaskan Kemendag dan Kemenperin mengidentifikasi teknik meningkatkan standar mutu dan pilihan pasar (luar negeri) komoditi hasil perkebunan dan kehutanan rakyat,
• Menugaskan Kemendag (BPEN) bekerjasama dengan Kemenaker mengidentifikasi kompetensi dan proses bisnis, serta mendorong lahirnya kegiatan jasa pendukung peningkatan ekspor dari FOB menjadi CIF,
• Merancang paket kebijakan dan proses transformasi struktural perpindahan penduduk dari sektor pertanian (informal) ke sektor jasa perkotaan –terutama perdagangan, bangunan, dan pengangkutan‐. Proses transfromasi ini berlangsung secara bertahap dengan dukungan peraturan, kelembagaan, dan insentip/disinsentip.
• Mengaktifkan mekanisme penetapan standar kompetensi pelbagai kegiatan sektor jasa dan industri, serta mendorong kelahiran lembaga pelatihan (sertifikasi) dan akreditasi.
4. Mengoptimumkan Keuangan, Birokrasi, dan Pembiayaan
a. Tujuan: meningkatkan penerimaan negara, mengefektif dan mengefisienkan birokrasi pemerintahan (terutama perijinan dan pelayanan umum) serta mengoptimumkan pembiayaan/ pengeluaran negara.
b. Basis Kebijakan: • Memaksimumkan penerimaan pajak, bea‐cukai, dan non‐pajak dengan konsolidasi
data/informasi dan menggunakan metode bench‐marking dll, • Melakukan reorientasi fungsi‐fungsi dan peran Pemerintah dan BUMN, dengan
memperjelas hal‐hal yang perlu dilaksanakan pemerintahan dan BUMN, • Merumuskan kembali dan mempertajam fungsi dan tugas‐tugas yang
dilaksanakan setiap Badan, Kementerian, Komisi dan Lembaga pemerintahan lainnya, didasarkan pada tolok ukur efektivitas dan efisiensi,
• Melakukan reorientasi allokasi anggaran negara dan lembaga pemerintahan sejalan dengan reorientasi fungsi dan perannya, berdasarkan sasaran dan kinerja yang ditetapkan. Misalnya anggaran pendidikan perlu direview allokasi antara pengembangan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar sekolah, dan pendidikan/pelatihan kompetensi dan ketrampilan,
• Membuat peraturan (PP) yang mengatur setiap pengeluaran/pencairan dana APBN/APBD –termasuk sub‐kontrak sampai dua tingkat) wajib dalam bentuk alat keuangan non‐cash, dalam rangka pemberantasan korupsi,
• Membuat UU tentang perijinan dan pelayanan publik, yang mengatur kewajiban setiap instansi Pemerintah (Pusat maupun Daerah) menerbitkan peraturan pelaksanaan yang memuat sekurangnya persyaratan, prosedur, biaya (jika ada), waktu penyelesaian, pelaksanaan ijin, serta sanksi pelanggaran (meminimumkan praktek KKN).
33
5. Reformasi Subsidi
a. Tujuan: mereformasi subsidi negara kearah yang tepat sasaran dan terukur, meningkatkan kesejehteraan rakyat, dan membangun energi alternatip dan terbarukan.
b. Basis Kebijakan: • Menyempurnakan konsep dan selanjutnya merancang skenario dan jadwal
pelaksanaan SJSN yang layak dan berkelanjutan, • Menyusun skenario dan jadwal pengurangan subsidi komoditi –terutama subsidi
BBM, listrik, pupuk dsb.‐ dan mentransformasi penghematan dananya menjadi subsidi orang (SJSN), pembangunan prasarana pedesaan, dan prasarana ekonomi dalam rangka industrialisasi,
• Memobilisasi dunia usaha termasuk UKM membangun berbagai energi alternatip dan terbarukan, seperti biomass, panas bumi, tenaga air (termasuk mikro‐hidro), hasil tanaman/perkebunan, batubara, energi matahari, dll.,
• Menyusun skenario merubah pemakaian pupuk dari urea menjadi NPK untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani.
6. Ketenaga Kerjaan (human capital)
a. Tujuan: mendorong dan mengefektifkan sistim pendidikan, pelatihan dan sertifikasi angkatan kerja untuk meningkatkan mutu SDM dan daya saing.
b. Basis Kebijakan: • Menyusun standar pengetahuan dan kompetensi setiap mata pelajaran, serta
praktek dan pekerjaan laboratorium pendidikan dasar dan lanjutan, • Mengatur mekanisme, kelembagaan, dan proses bisnis pemantauan, penilaian,
dan tindak lanjut terhadap pencapaian standar pengetahuan dan kompetensi pendidikan,
• Menyempurnakan peraturan dan mendukung langkah melahirkan standar kompetensi, sertifikasi, dan akreditasi pelbagai keahlian dan ketrampilan,
• Menyusun paket kebijakan mendorong lahirnya berbagai kelembagaan pelatihan dan sertifikasi,
• Merevitalisasi jalur pendidikan kejuruan pada tingkat pendidikan menengah, untuk mendukung peningkatan kapsitas dan standar ekonomi masyarakat, terutama UMKM,
• Membangun serta merevitalisasi lembaga pengembangan benih, terutama tanaman pangan dan holtikutura, ternak dan unggas, serta ikan.
7. Lembaga Keuangan dan Pembiayaan
a. Tujuan: membangun prasarana sistem informasi harga, pedagang pengumpul dan eceran, tingkat bunga dan pembiayaan, untuk meningkatkan efisiensi dan posisi tawar dan pendidikan petani.
34
b. Basis Kebijakan: • Menjalin kerjasama Pemerintah, BI dan OJK, beserta Pemda membangun sistim
informasi –yang bisa diakses dengan HP‐ tentang ramalan cuaca, alamat dan nomor HP pedagang pengumpul, tingkat harga pelbagai produk –terutama hasil pertanian dan saprodi‐ baik di tingkat pedagang pengumpul maupun di pasar eceran.
• Menyusun peraturan pelaksanaan –yang meliputi standar operasi dan keamanan‐ dalam rangka memfasilitasi terwujudnya brancheless banking dan agen bank serta e‐money,
• Menyusun paket kebijakan termasuk insentip dan disinsentip untuk menggerakkan lembaga keuangan menjangkau dan melayani usaha perorangan mikro dan UMKM.
• Menyusun konfigurasi kebijakan dalam bidang produksi pangan (dalam arti luas), transformasi subsidi, efisiensi jaringan distribusi pangan, mengembangkan sarana‐prasarana dan konektivitas dalam rangka menstabilkan dan menggring inflasi ke arah yang sepadan dengan di negara‐negara tetangga,
• Bekerjasama erat dengan otoritas terkait mengefisienkan operasi lembaga‐lembaga keuangan untuk menggiring tingkat bunga yang mampu dijangkau ekonomi masyarakat.
35
Masalah dan Rekomendasi Kebijakan
KELOMPOK KERJA BIDANG APBN DAN FISKAL
[Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D] Guru Besar Fakultas Ekonomika & Bisnis UGM dan
Direktur Program Magister Ekonomika Pembangunan UGM MASALAH Masalah fiskal yang utama di Indonesia adalah defisit anggaran. Defisit anggaran di Indonesia disebabkan 2 hal utama: rendahnya penerimaan pemerintah terutama dari pajak dan besarnya subsidi energi khususnya BBM. Defisit anggaran belanja tersebut yang ditutup dengan utang pemerintah (pinjaman DN/LN dan Surat Berharga Negara). Meskipun mengalami defisit anggaran tetapi masih batas toleransi berdasarkan UU N0. 17/2003 tentang Keuangan Negara yakni maksimum 3% dari PDB (defisit APBN kita berkisar 2,4% dari PDB pada tahun 2014). Sumber penerimaan pemerintah dari DN: pajak, SDA, laba BUMN, dan penerimaan lainnya. Data pada tahun 2013 menunjukkan bahwa:
penerimaan dari pajak sekitar Rp1.148T (tax ratio hanya berkisar 12 persen; tax ratio negara‐negara maju rata‐rata di atas 30%).
penerimaan dari pengelolaan SDA sekitar Rp203T penerimaan dari laba BUMN hanya sekitar Rp36T
Rekomendasi Kebijakan:
1. Perlunya reformasi sistem perpajakan dan peningkatan jumlah WP agar tax ratio meningkat. Pembentukan badan penerimaan negara dari pajak dan bea cukai yang langsung di bawah kendali Presiden menjadi suatu keniscayaan. Kebijakan‐kebijakan yang mendorong peningkatan jumlah WP seperti pemutihan pajak atau penurunan tariff pajak mungkin bisa dilakukan.
2. Peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur pajak sehingga mereka bisa berkembang menjadi aparatur yang professional dan berintegritas tinggi.
3. Harus dilakukan reorganisasi & restrukturasi BUMN dan penerapan GCG pada seluruh BUMN agar daya saing dan kinerjanya meningkat. Selain itu, penerapan prinsip economies of scope melalui program merger beberapa BUMN harus dilakukan agar
36
daya saing internasionalnya meningkat.BUMN yang tidak mencapai economies of scale (skala yang ekonomis) bila perlu ditutup.
4. Renegosiasi kontrak karya dengan pihak asing dalam pengelolaan SDA. Untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran, subsidi energi, khususnya BBM harus dihapuskan secara bertahap. Tidak ada cara yang paling efektif untuk menghemat pemakaian energi kecuali melalui kebijakan harga! Hal ini juga mendidik masyarakat agar rasional dalam konsumsi energi.
37
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP): STATUS, PROBLEM DAN REKOMENDASI1
[Dr. rer. Pol. Sony Mumbunan, MSc]
Pakar fiskal dan ekonom di Pusat Riset Perubahan Iklim, Universitas Indonesia STRUKTUR PNBP
Sebagai gambaran, dalam struktur penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumbangan sektor Migas (196 triliun Rupiah) merupakan bagian terbesar dari total penerimaan PNBP Sumber Daya Alam (226 triliun Rupiah). Dalam APBN 2014, sektor Migas diharapkan menyumbang sekitar 87 persen total dari total PNBP SDA, sementara sektor Non‐migas sebesar 13% di mana 80% dari pangsa penerimaan ini disumbangkan oleh PNBP mineral dan batubara. (Tabel 1).
Tabel 1. Anggaran Penerimaan dari PNBP dalam APBN 2014
Komponen PNBP Penerimaan (dalam
Milyar Rupiah) % Total SDA
% SDA Non‐migas
Total PNBP SDA 225.954,7 PNBP Migas 196.508,3 86,97
Minyak bumi 142.943,1 62,26 Gas alam 53.565,2 23,71
PNBP Nonmigas 29.446,4 13,03 Mineral dan batubara 23.599,7 10,44 80,14 Kehutanan 5,017,0 2,22 17,04 Perikanan 250,0 0,11 0,85 Panas bumi 579,7 0,26 1,97
1 Draft background text ini disiapkan oleh Dr.rer.pol. Sonny Mumbunan, MSc., pakar fiskal dan ekonom di Pusat Riset Perubahan Iklim, Universitas Indonesia. Memperoleh Doktor Ilmu Ekonomi bidang Keuangan Publik dan Ekonomi Lingkungan dari Universitaet Leipzig, Jerman (magna cum laude) dan menjadi konsultan kajian fiskal dan keuangan publik untuk World Bank, Pemerintah Norwegia, Pemerintah Jerman, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu), dan Unit Kerja Presiden Bidang Pemantauan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
38
PNBP SEKTORAL
Dalam bagian berikut akan diberikan paparan dari beberapa PNBP sektoral terpenting. Paparan singkat ini mengangkat snapshot kondisi saat ini dan problematikanya berdasarkan bukti (evidence‐based) yang diambil dari kajian‐kajian paling mutakhir tentang PNBP di berbagai sektor. Sejumlah rekomendasi, baik yang umum maupun teknis, diberikan di bagian terakhir.
PNBP Migas
PNBP Migas merupakan penyumbang PNBP SDA terbesar kita (sekitar 80% PNBP total). PNBP Minyak dipungut dari revenue yang menjadi bagian kontraktor (setelah dikurangi kewajiban Domestic Market Obligation/DMO untuk kebutuhan dalam negeri) dan bagian pemerintah (setelah dikurangi pajak, pungutan dan fee kegiatan hulu Migas), sementara PNBP Gas dipungut dari revenue yang menjadi bagian pemerintah (setelah dikurangi pajak, pungutan dan fee). Potensi lebih dari PNBP Migas tidak digali; Sejauh ini tidak ada upaya sistematis untuk meningkatkan DMO.
Pada saat ini, kecenderungan peningkatan PNBP Migas lebih disebabkan oleh peningkatan harga minyak dan bukan oleh peningkatan hasil lifting minyak bumi.
Kenaikan 1 persen harga minyak dunia menyebabkan kenaikan 1,8% PNBP; sementara kenaikan 1 persen jumlah ekspor minyak karena kenaikan produksi dalam negeri 1 persen menyebabkan 15,5% kenaikan PNBP.2
PNBP Pertambangan (Mineral dan Batubara)
Sumbangan PNBP Pertambangan terbilang tidak optimal, baik bila dibandingkan dengan sumbangan yang diberikan pajak maupun yang diberikan PNBP SDA Migas. Kendati sekitar 3 dari 10 orang superkaya di Indonesia (versi Majalah Forbes) menjadi kaya karena batubara dan mineral, sumbangan PNBP mineral dan batubara tergolong kecil, hanya sekitar 10 persen dari total penerimaan PNBP Sumber Daya Alam dalam APBN 2014 (pada tahun‐tahun sebelumnya, proporsi ini lebih kecil lagi).
Potensi kehilangan penerimaan negara dari batubara antara tahun 2010 sampai 2012 total sebesar 1,2 milyar Dollar (atau rata‐rata 400 milyar Dollar per tahun) atau setara dengan sekitar 13,5 triliun Rupiah (atau rata‐rata 4,5 triliun Rupiah saban tahun).3 Adapun potensi kerugian atau kehilangan penerimaan negara dari royalty mineral lain (nikel, bijih
2 Angka‐angka taksiran ini diperoleh dengan estimasi Structural Vector Autoregressive (SVAR) menggunakan empat variabel: harga minyak dunia, nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, jumlah ekspor minyak domestik, dan pendapatan negara dari minyak.
3 Angka ini dihasilkan dari perbandingan antara data ekspor batubara di Kementerian Perdagangan (volume dan nilai Free on Board/FOB) dan data penerimaan negara di Ditjen Minerba Kementerian ESDM.
39
besi/pasir besi, timbal, bauksit dan mangan) adalah sebesar 24,6 juta Dollar pada tahun 2011 atau setara dengan 271,3 milyar Rupiah.
Problem administrasi PNBP Minerba bersumber dari problem (1) tata laksana PNBP yang mencakup penetapan jenis dan tarif, penghitungan kewajiban, penagihan, penyetoran, pengelolaan dan alokasi PNBP, di mana hal‐hal ini tersangkut persoalan data pendukung dan database; (2) regulasi termasuk tidak sinkronnya substansi aturan UU tentang PNBP dengan aturan perundang‐undangan yang lain; (3) organisasi dan SDM (4) hilangnya potensi PNBP dari tidak dilaksanakannya kewajiban PNBP.
PNBP Kehutanan
PNBP Kehutanan datang dari objek penerimaan kayu dan non‐kayu. PNBP terbesar berasal dari Dana Reboisasi/DR dan Provisi Sumber Daya Hutan/PSDH (masing‐masing sebesar 56% dan 27%, pada tahun 2011). Realisasi penerimaan dari dua objek PNBP ini tidak mencerminkan potensinya. Sebagai contoh, realisasi PNBP dari PSDH hanya separuh (51%, rata‐rata tertimbang) dari potensi penerimaanya pada tahun 2008 sampai 2011.4
Problem dari belum optimalnya PNBP kehutanan, baik dari rendahnya realisasi maupun rendahnya potensi penerimaan, datang dari semua penjuru aliran penerimaan (revenue flow) dan aliran informasi (information flow) dalam sistem administrasi PNBP kehutanan. Persoalan dalam sistem administrasi PNBP kehutanan mencakup antara lain persoalan data pungutan penerimaan, harga dan tarif, serta pengawasan dan kepatuhan pembayaran. PNBP Perikanan
Penerimaan sektor perikanan tidak mencerminkan potensinya. Revenue loss sektor perikanan sangat tinggi: dalam pungutan hasil perikanan, realisasi PNBP di tingkat daerah hanya 16,5 persen dari potensinya, sementara di tingkat pusat realisasi PNBP tak sampai separuh potensinya (42%).5 Kendati jumlah kapal penangkap ikan meningkat setiap tahun (sekitar 1,6 persen per tahun), PNBP SDA Perikanan menunjukkan kecenderungan penurunan. Selang waktu 2005‐2009, PNBP SDA Perikanan tidak pernah mencapai target dan terus mengalami penurunan sekitar 19% per tahun. (Untuk PNBP Perikanan non‐SDA, mengalami peningkatan).
Penyebab penurunan PNBP ini antara lain karena menurunnya fishing effort, deplesi SD perikanan (karena kontaminasi air laut dan overfishing), rendahnya produkfitifas nelayan (waktu melaut yang singkat karena menggunakan kapal ukuran kecil, di bawah 3
4 Angka ini dihasilkan dari simulasi yang membandingkan nilai PSDH perkiraan dan realisasi dengan nilai PSDH potensi. Data yang digunakan adalah data produksi kayu hutan alam dengan definisi, penggolongan, harga dan tarif kayu yang berlaku sesuai ketentuan perundang‐undangan (bukan harga pasar).
5 Angka ini diperoleh dari simulasi yang membandingkan realisasi penerimaan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dengan produksi ikan tangkap, tarif PNBP dan skema bagi hasil pusat dan daerah.
40
GT), kenaikan harga BBM dan kekurangan pasokan BBM, illegal fishing dan problem tata kelola kelautan. REKOMENDASI Rekomendasi Umum
Secara umum, solusi atas persoalan PNBP bakal berpusar pada dua hal berikut. Pertama, meningkatkan potensi penerimaan yang secara konseptual dapat dicapai
dengan jalan: • Menaikkan tarif PNBP yang belum optimal mencerminkan biaya kegiatan ekstraksi
dan pangsa rente yang sepatutnya menjadi milik pemerintah, misalnya meningkatkan tarif batubara.
• Meluaskan cakupan potensi dari objek PNBP, misalnya memperluas Domestic Market Obligation dalam bagian pemerintah di sektor Migas.
• Mengenakan pungutan PNBP pada sektor‐sektor atau objek‐objek yang penting dan membawa keuntungan besar namun selama ini belum dikenakan PNBP, misalnya PNBP hasil perkebunan kelapa sawit.
Kedua, meningkatkan realisasi penerimaan yang secara konseptual dapat dicapai dengan jalan membenahi dan menyempurnakan sistem administrasi PNBP. Antara lain dengan membenahi regulasi dan kelembagaan (mensinkronkan substansi aturan tentang PNBP dengan aturan perundang‐undangan yang lain, mengatasi keterbatasan kelembagaan dalam pengelolaan PNBP di pusat dan daerah, dan menutup potensi kehilangan/kerugian negara dari PNBP). Rekomendasi Khusus
Rekomendasi khusus yang diberikan berkenaan dengan peningkatan potensi penerimaan dan realisasi penerimaan dari PNBP akan sangat bergantung dari konteks spesifik dari sektor dan objek PNBP bersangkutan. Sebagai sebuah ilustrasi, pada bagian berikut akan ditampilkan rekomendasi khusus untuk contoh kasus sektor pertambangan mineral dan batubara (Tabel 2). Rekomendasi ini mencakup keseluruhan bagian sistem administrasi PNBP, dari perencanaan sampai alokasi PNBP.
41
Tabel 2. Permasalahan, penyebab dan rekomendasi: sistem administrasi pertambangan dan mineral
Permasalahan Penyebab Saran/Rekomendasi
Proses perencanaan: Penetapan Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP Tarif dan jenis tarif yang ditetapkan tidak sesuai dengan perkembangan di lapangan, termasuk dalam pasar produk mineral dan batubara dunia
a. Tidak adanya data dan informasi yang memadai untuk mendukung penetapan tarif dan jenis tarif yang sesuai dengan kondisi riil yang terjadi
b. Tidak dilakukannya revisi secara reguler terhadap PP PNBP
Penetapan RPP jenis dan tarif atas jenis PNBP menjadi PP memakan waktu yang lama untuk ditetapkan
Proses penetapan PP Jenis dan tarif atas jenis PNBP melibatkan banyak instansi. Pembahasan di setiap instansi memakan waktu yang lama dan mensyaratkan adanya data dan informasi pendukung yang memadai.
a. Kementerian ESDM agar membangun database yang komprehensif
b. Kementerian Keuangan mengeluarkan aturan terkait kewajiban Kementerian/Lembaga untuk melakukan revisi secara reguler terhadap jenis dan tarif atas jenis PNBP yang ada di setiap kementerian/lembaga.
c. Kementerian Keuangan mengeluarkan panduan tentang tata cara revisi PP tarif dan jenis PNBP d. Kementerian ESDM berkoordinasi dengan Kem. PPN/BAPPENAS menyusun potensi dan pemanfaatan mineral dan batubara untuk keperluan ketahanan energi dan penerimaan negara dari sektor minerba .
Tarif dan jenis tarif PNBP yang berlaku terhadap mineral dan batubara yang berlaku pada KK lebih rendah dibandingkan tarif yang berlaku pada IUP Mineral. Tarif PNBP untuk royalti yang berlaku pada PKP2B lebih tinggi dibandingkan dengan yang berlaku pada IUP Batubara.
a. Tafsir terhadap Pasal 169 UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba yang bersifat menghargai keberlakuan kontrak secara mutlak
b. Kontrak yang hadir lebih dahulu dari terbitnya UU No.4 tahun 2009 dan PP No. 9 tahun 2012
c. Pembahasan kontrak/perpanjangan kontrak KK/PKP2B kurang melibatkan kementerian keuangan
Kementerian ESDM melakukan negosiasi dengan KK/PKP2B untuk menyesuaikan klausul pembayaran royalti dan iuran tetap dalam kontrak dengan memperhatikan tarif pada PP No. 9 tahun 2012 dengan melibatkan Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara yang berperan dalam pengelolaan PNBP
Tidak semua KK/PKP2B bersedia untuk melakukan renegosiasi kontrak termasuk aspek penyesuaian pembayaran royalti/iuran tetap
a. KK/PKP2B diuntungkan dengan tarif dan jenis tariff yang ada dalam kontrak dibandingkan dengan mengikuti PP tarif dan jenis tarif atas PNBP minerba
b. Tafsir kementerian ESDM (Ditjen Minerba) tentang batas waktu penyesuaian KK/PKP2B
a. Kementerian ESDM harus merenegosiasikan KK/PKP2B sesuai dengan amanat UU No.4 tahun 2009 sesuai dengan Pasal 169 poin b: ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B disesuaikan selambat‐lambatnya 1 tahun sejak UU 4/2009 diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. Didalam poin c,
42
terhadap UU No. 4 tahun 2009 selambat‐lambatnya 1 tahun sesuai dengan pasal 169 poin (b), merupakan batas waktu proses renegosiasi dimulai dan bukan batas akhir selesainya renegosiasi.
c. Adanyan perilaku menunda‐nunda dari pihak KK/PKP2B untuk menyepakati usulan pemerintah, terutama berkaitan dengan kewajiban KK/PKP2B.
pengecualian tersebut adalah upaya peningkatan penerimaan negara.
b. Kementerian ESDM sebagai perwakilan pihak Pemerintah merumuskan langkah selanjutnya (termasuk pengaturan sanksi) jika proses renegosiasi dalam rangka penyesuaian kalausul kontrak terhadap UU No. 4 Tahun 2009, tidak selesai dilakukan.
2. Proses perhitungan kewajiban PNBP Tidak akuratnya perhitungan volume dan kualitas mineral dan batubara yang akan dijual oleh pelaku usaha, sebagai dasar untuk perhitungan kewajiban royalti
a. Pemerintah tidak melakukan pengecekan ulang terhadap perhitungan volume dan kualitas mineral dan batubara yang dilakukan Surveyor yang ditunjuk
b. Minimnya pengawasan proses pengapalan/pengangkutan mineral dan batubara
c. Adanya kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas surveyor
d. Tidak adanya akses terhadap sistem pelaporan surveyor oleh Ditjen Minerba.
e. Tersebarnya pelabuhan ekspor mineral dan batubara di berbagai titik
f. Terdapatnya perbedaan Peraturan Menteri Perdagangan terkait tata niaga minerba
a. Kementerian ESDM mengoptimalkan peran Tekmira sebagai pembanding terhada laporan Surveyor
b. Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan untuk memastikan tidak terjadinya kebocoran/kesalahan dalam perhitungan kewajiban PNBP termasuk opsi pembayaran jasa surveyor oleh pemerintah
c. Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan merevisi aturan tata niaga minerba antara lain: penyetoran PNBP sebelum pengapalan dan pengaturan ekportir terbatas
d. Kementerian Perhubungan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Pemda terkait dengan pengaturan pelabuhan mineral dan batubara.
e. Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian ESDM untuk mengimplementasiksan sistem data terpadu (INSW) lalu lintas perdagangan mineral dan batubara
43
3. Proses penagihan kewajiban PNBP Tidak tertagihkannya semua piutang negara (royalti dan iuran tetap) oleh pemerintah kepada pelaku usaha
a. Ditjen Minerba tidak memiliki database untuk memonitoring besarnya kewajiban PNBP setiap wajib bayar KK/PKP2B/IUP oleh karena data produksi dan penjualan tidak disampaikan secara real time oleh pelaku usaha KK/PKP2B kepada Ditjen Minerba dan IUP kepada kepala daerah. Hanya disampaikan dalam bentuk laporan reguler (bulanan, triwulanan, semesteran dan tahunan)
b. Belum semua IUP berstatus clean and clear c. Terbatasnya jumlah KK/PKP2B/IUP yang
diaudit d. Kementerian keuangan sebagai BUN, belum
memiliki daftar wajib bayar PNBP Minerba. Termasuk tidaksemua pelaku usaha (IUP) tercatat sebagai wajib pajak (hanya sekitar 30an% IUP yang tercatat sebagai wajib pajak).
e. Lemahnya pengawasan terhadap metode self‐assessment dalam perhitungan kewajiban PNBP.
f. Penagihan kewajiban royalti dan iuran tetap sepenuhnya menjadi tanggung jawab Ditjen Minerba
g. Tidak disyaratkannya pembayaran royalti sebagai syarat dikeluarkannya Laporan Surveyor (LS) untuk komoditas batubara h. Tidak adanya Permen ESDM tentang tata cara penagihan dan pembayaran PNBP
a. Kementerian Keuangan bersama‐sama dengan Kementerian ESDM membangun Sistem Pengelolaan PNBP Minerba berbasis IT yang antara lain memuat: database produksi, database penjualan, database ekspor impor, database pelaku usaha, database lokasi usaha berbasis spasial berikut sistem monitoring dan evaluasi nya. Sistem berbasis IT ini terintegrasi secara real time dengan semua stakeholder terkait.
b. Kementerian ESDM berkoordinasi dengan lembaga audit untuk memastikan dilakukannya audit pada seluruh KK/PKP2B dan IUP Kategori besar
c. Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan berkoordinasi untuk mendata semua wajib bayar PNBP dan memastikan IUP terdaftar sebagai wajib pajak . Semua WP minerba adalah Waba.
d. Sebagaimana PP 22/2005, Kementerian Keuangan meminta BPKP untuk melakukan audit pada seluruh KK/PKP2B dan IUP kategori besar.
e. Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan menyusun aturan yang mendorong kepatuhan pembayaran PNBP termasuk kebijakan dan sistem pembayaran PNBP sebelum pengapalan mineral dan batubara
f. Kementerian Keuangan melakukan monitoring secara proaktif kepada Kementerian ESDM terkait Pelaksanaan kewajiban pelaporan pengelolaan PNBP dan Pelaksanaan kewajiban pembayaran/penyetoran PNBP
g. Kementerian ESDM menetapkan Permen ESDM tentang tata cara penagihan dan pembayaran PNBP
44
4. Proses penyetoran kewajiban PNBP Tidak terbayarkannya kewajiban PNBP secara segera sesuai dengan amanah UU No. tahun 1997 tentang PNBP
a. Tidak diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM tentang tata cara pembayaran dan penyetoran PNBP, sehingga pembayaran PNBP minerba didasarkan atas SE Ditjen Minerba yang memberikan keleluasaan pembayaran royalti, maksimal 1 bulan setelah pengapalan/penjualan.
b. Belum optimalnya implementasi sistem informasi dan monitoring pelaksanaan pembayaran PNBP oleh KK/PKP2B/IUP, yang dikembangkan oleh Ditjen Minerba c. Tidak dikenakannya sanksi yang tegas terhadap pelaku usaha yang terlambat membayarkan kewajiban iuran tetap dan royalti d. Tidak dijadikannya pembayaran royalti sebagai salah satu syarat penerbitan LS
a. Kementerian ESDM merevisi Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral dan Batubara KESDM No. 04.E/35/DJB/2012 tentang Penyampaian Laporan Iuran Tetap dan Iuran Produksi
b. Kementerian ESDM menyusun Peraturan Menteri tentang tata cara pengenaan, pemungutan, dan penyetoran PNBP pada Kementerian ESDM.
c. Kementerian Keuangan untuk segera mengimplementasikan Modul Penerimaan Negara untuk PNBP pada Tahun 2013.
d. Untuk komoditas batubara, Kementerian ESDM berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan untuk menerbitkan aturan yang antara lain mensyaratkan pembayaran royalti sebagai salah satu syarat penerbitan
Tidak dilengkapinya Bukti setor royalti dan iuran tetap (Surat Setoran Bukan Pajak) dengan informasi yang jelas tentang tujuan pembayaran dan identitas penyetor
a. Keengganan wajib setor (pelaku usaha) untuk mencantumkan identitas dan tujuan penyetoran dengan lengkap.
b. Belum diterapkannya aplikasi Modul Penerimaan Negara untuk PNBP minerba
a. Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM berkoordinasi untuk merevisi formulir SSBP dan menyusun sistem dan mekanisme yang memastikan agar semua SSBP/revisinya dilengkapi dengan identitas penyetor dan informasi lainnya.
b. Kementerian Keuangan agar segera menerapkan modul penerimaan negara, termasuk untuk PNBP mineral dan batubara yang terkoneksi dengan sistem penerimaan keuangan negara lainnya
Tidak ditembuskannya bukti setor PNBP kepada Pihak‐pihak terkait.
a. Minimnya sosialisasi kepada wajib setor b. Tidak adanya mekanisme/sistem untuk
menembuskan bukti setor PNBP secara otomatis kepada pihak‐pihak terkait (termasuk kepada pemerinta daerah)
a. Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Kementerian ESDM untuk menyusun mekanisme dan sistem agar SSBP bisa diakses oleh semua pihak terkait
b. Kementerian ESDM agar segera menerbitkan Permen ESDM tentang tata cara penagihan dan penyetoran PNBP
45
dengan mengatur antara lain tata cara/mekanisme penyerahan copy SSBP kepada pihak terkait
Penyetoran PNBP melewati batas waktu pembayaran satu bulan setelah pengapalan.
a. Tidak diterapkannya sanksi yang tegas kepada pelaku usaha yang melanggar batas waktu penyetoran
b. Belum optimalnya implementasi sistem informasi dan monitoring pelaksanaan pembayaran PNBP oleh KK/PKP2B/IUP.
a. Kementerian Keuangan membuat aturan, mekanisme dan infrastruktur untuk memastikan kewajiban terkait PNBP telah dilaksanakan dengan benar dan tepat waktu oleh Wajib Bayar.
b. Kementerian ESDM memprioritaskan penyelesaian dan mengoptimalkan implementasi sistem informasi dan monitoring pelaksanaan pembayaran PNBP oleh KK/PKP2B/IUP.
5. Proses penyimpanan Terdapat setoran yang bukan jenis PNBP Mineral dan Batubara yang masuk ke dalam akun penerimaan PNBP Mineral dan Batubara.
a. Belum diterapkannya aplikasi Modul Penerimaan
b. Tidak lengkapnya informasi yang ada dalam Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP)
a. Kementerian Keuangan untuk segera mengimplementasikan MPN untuk PNBP yang terkoneksi dengan sistem penerimaan keuangan negara lainnya
b. Kementerian keuangan dan kementerian ESDM berkoordinasi untuk menyusun sistem dan mekanisme yang memastikan agar semua SSBP dilengkapi dengan identitas penyetor dan informasi lainnya
6. Proses pembagian PNBP Rekonsiliasi PNBP antar Kementerian/Lembaga dan Antar Pemerintah Daerah yang masih bersifat manual
Belum optimalnya implementasi sistem informasi dan monitoring pelaksanaan pembayaran PNBP oleh KK/PKP2B/IUP, yang dikembangkan oleh Ditjen Minerba
a. Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM berkoordinasi untuk menyusun sistem/mekanisme rekonsiliasi
Ketimpangan informasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
Tidak adanya sistem informasi dan database yang dapat diakses secara bersama oleh pihak terkait (Kemkeu, Kemendagri, KemESDM, Pemda) untuk memantau besaran PNBP Minerba dan perkiraan dana yang akan dibagihasilkan ke setiap daerah.
a. Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM dan Kemendagri berkoordinasi membangun sistem yang mengalirkan informasi dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dan sebaliknya.
b. Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Kemendagri, Kemen ESDM dan PEMDA untuk membangun sistem satu pintu aliran informasi Minerba.
46
REKOMENDASI KEBIJAKAN PAJAK
[Yustinus Prastowo, M.Hum., M.A.] Direktur Eksekutif CITA/Center for Indonesia Taxation Analysis
OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT SEBUAH OUTLINE6
6 Disiapkan oleh Yustinus Prastowo, M.Hum., M.A. (Direktur Eksekutif CITA/Center for Indonesia Taxation Analysis) untuk keperluan terbatas. Pengutipan sebagian atau seluruhnya dan penyebarluasan tanpa ijin penulis tidak diperkenankan. Penulis dapat dihubungi di [email protected] atau [email protected] dan HP 0812 9180933.
I. Target capaian :
Peningkatan penerimaan pajak yang signifikan, yaitu kenaikan bertahap rasio pajak (perbandingan total penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto) dari 12% menjadi 16% dalam waktu 5 tahun ke depan.
II. Latar Belakang:
Kontribusi penerimaan pajak dalam APBN sekitar 75% atau Rp 1.100 triliun. Tax Gap (selisih antara potensi pajak dengan pajak yang dapat dipungut) masih tinggi, berkisar Rp 350‐450 triliun per tahun.
Rasio pajak (perbandingan total penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto) masih berkisar 12%.
Rerata rasio pajak negara sebaya (low middle‐income countries) adalah 19‐24%
Jumlah wajib pajak masih sekitar 25 juta, jauh dari jumlah optimal sekitar 64 juta. Wajib Pajak juga masih didominasi orang pribadi karyawan.
Administrasi perpajakan yang belum sederhana dan mudah. Pemenuhan dan perlindungan hak wajib pajak yang belum baik dan konsisten.
47
BAGAN ARUS REFORMASI PERPAJAKAN
III. Langkah‐langkah Strategis:
Reformasi Perpajakan menyeluruh (mencakup Tax Policy, Tax Law, dan Tax Administration), dan meliputi langkah‐langkah: 1. Menyusun Cetak Biru Kebijakan Pajak yang berkeadilan, yang mencakup
prinsip dasar perpajakan, akomodasi hak‐hak warganegara sebagai pembayar pajak, dan penataan kelembagaan.
2. Melakukan amandemen menyeluruh Undang‐undang Perpajakan yang mengakomodasi prinsip‐prinsip kebijakan pajak berkeadilan.
3. Membangun sistem administrasi perpajakan yang baik, yang tercermin dari efisiensi (cost of collection) dan efektivitas (cost of compliance).
Dilakukan sekaligus (komprehensif), saling terkait
(integral), dan terukur (measurable)
Tax Law Amandemen menyeluruh perundang‐undangan yang menjamin prinsip‐prinsip
kebijakan pajak berkeadilan
Tax Administration Membangun sistem administrasi
perpajakan yang baik, yang tercermin dalam efisiensi (cost of collection) dan efektivitas (cost of
compliance)
Reformasi Perpajakan
Dilakukan sekaligus
(komprehensif), saling terkait (integral), dan
terukur (measurable)
48
PENJABARAN PRINSIP‐PRINSIP DAN PRIORITAS:
Kebijakan Pajak, didasari prinsip:
Berkeadilan, baik keadilan vertikal yang dicerminkan pendekatan kemampuan membayar (ability to pay) dan keadilan horisontal (beban pajak yang sama pada level penghasilan yang sama).
Mendorong pemerataan pendapatan dan kesejahteraan rakyat. Menciptakan iklim usaha yang baik, kompetitif, dan memberi kepastian. Meningkatkan partisipasi aktif warganegara dan peningkatan kualitas demokrasi
melalui relasi timbal balik negara (pemungut pajak) dan warganegara (pembayar pajak).
Amandemen Undang‐undang Perpajakan, yang dilandasi prinsip:
Harmonisasi jenis pajak dan pengaturan‐pengaturan normatif dan teknis. Perluasan basis pemajakan (tax base) baik sektoral maupun geografis. Optimalisasi peran Pajak Penghasilan (PPh) sebagai jenis pajak yang menjadi
sumber penerimaan negara, yang memperhatikan unsur: apa yang akan dikenai (what), siapa yang dipajaki (who), berapa beban pajak (how much), bagaimana cara memungut (how).
Harmonisasi tarif pajak yang mengakomodasi keadilan vertikal dan horisontal. Redefinisi konsep penghasilan dan biaya fiskal. Akomodasi hak‐hak wajib pajak, termasuk kemudahan administrasi, mendapat
layanan publik yang baik, dan akses pada fasilitas. Optimalisasi tax expenditure (fasilitas berupa pengurangan, pembebasan,
pengecualian pajak) yang mencerminkan prinsip keadilan.
49
LANGKAH‐LANGKAH DAN STRATEGI JANGKA PENDEK DAN MENENGAH I. Melakukan desain ulang arsitektur fiskal Indonesia, melalui:
Earmarking system untuk pajak tertentu, misalnya PPN dan PBB/BPHTB, yaitu alokasi dalam porsi tententu ke pos belanja publik yang terukur dan berdampak. Misalnya: alokasi 10% dari penerimaan PPN untuk bidang kesehatan dan pendidikan, dst.
Mekanisme insentif/disinsentif pemerintah daerah berdasarkan Key Performance Indicator (KPI) yang memasukkan partisipasi dalam pemungutan pajak pusat dan alokasi anggaran yang tepat sasaran sebagai indikator utama.
Perbaikan Sistem Administrasi Perpajakan, dengan prioritas:
Menghitung potensi pajak yang sebenarnya untuk mengetahui jumlah pajak yang seharusnya bisa dipungut (tax gap).
Membuat patok‐banding (benchmark) rasio‐rasio keuangan dan pajak sektoral yang termutakhirkan (bersumber dari SPT) dan didukung data pembanding berdasarkan riset.
Membangun Sistem Administrasi Perpajakan yang integratif – yaitu menggabungkan berbagai koridor Kementerian/Lembaga terkait ‐ dan berbasis teknologi informasi yang handal.
Mempercepat penambahan jumlah wajib pajak – dari sekitar 25 juta saat ini menjadi 60 juta – melalui integrasi NIK/eKTP dengan NPWP.
Perluasan administrasi pembayaran dan pelaporan secara elektronik, termasuk sistem perijinan terpadu online.
Integrasi dan komputerisasi sistem administrasi PPN, mencakup penerbitan faktur pajak (e‐invoice), pembayaran (e‐payment), pelaporan (e‐filing), dan konfirmasi.
Perbaikan Formulir SPT PPh Orang Pribadi, khususnya formulir kepemilikan simpanan atau harta di luar negeri dalam jumlah tertentu.
Sinkronisasi dan kemudahan akses terhadap fasilitas perpajakan, termasuk koordinasi dengan Ditjen Bea dan Cukai, BKPM, Kementerian Perindustrian.
Kemudahan penyelesaian dan pelayanan restitusi pajak . Perbaikan layanan tax ruling (pemberian opini atau interpretasi UU atau
ketentuan perpajakan) oleh Ditjen Pajak, demi terciptanya kepastian hukum. Manajemen piutang pajak yang baik. Perbaikan sistem penyelesaian sengketa pajak, melalui restrukturisasi lembaga
penyelesaian keberatan dan banding. Perbaikan manajemen sumber daya manusia, mencakup sistem rekrutmen,
promosi‐demosi, analisis beban kerja, remunerasi, reward and punishment.
50
Penyederhanaan jumlah pajak daerah dan partisipasi di pajak pusat, misalnya diintegrasikan dalam Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan).
II. Merebut kepercayaan publik untuk berpartisipasi dalam pembayaran pajak
Membuka Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Orang Pribadi sebagai bentuk komitmen pada transparansi dan akuntabilitas publik. Hal ini bisa dimulai dari Presiden, para menteri, anggota DPR, para kepala daerah hingga seluruh penyelenggara negara.
Pemeriksaan sukarela (voluntary audit) SPT pejabat negara secara berjenjang dan berkala, salah satunya dengan menandingkan SPT dan LHKPN.
Kerjasama mengikat antar KL/lembaga dan Pemda, misalnya kemudahan pelaksanaan kewajiban PPh Pengalihan Hak atas tanah/bangunan (Ditjen Pajak) dan BHPTB (Pemda), PBB sektor pertambangan dengan deadrent/landrent, pemerolehan KTP/NIK/Akta Kelahiran dan NPWP, Perijinan Usaha (Pemda) dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (Ditjen Pajak), jumlah tenaga kerja (Disnaker/Kementerian Naker) dan jumlah karyawan yang dipotong PPh Pasal 21 (Ditjen Pajak), Data pemberian Ijin Usaha Pertambangan/IUP (Pemkab/Pemprov) dan Wajib Pajak Sektor Pertambangan (Ditjen Pajak) dan data Kementerian ESDM, data pelaku UKM (Kementerian Koperasi dan UKM), data eksportir (Kementerian Perdagangan), data pelaku industri (Kementerian Perindustrian), Eksportir/Importir (Ditjen Bea dan Cukai) dan jumlah wajib pajak penghasilan tertentu (Ditjen Pajak).
Quick Win dan layanan publik. Pemerintah merancang dan menyediakan layanan terbaik terhadap wajib pajak patuh dan warga yang telah menjadi wajib pajak dan melaporkan SPT, minimal terhadap akses pelayanan publik seperti: KTP, SIM, STNK, Akta Kelahiran, IMB, dll.
III. Penataan Kelembagaan (Pemisahan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai dari
Kementerian Keuangan)
Ditjen Pajak dipisah dari Kementerian Keuangan RI untuk optimalisasi dan transparansi fungsi.
Persiapan penataan kelembagaan: struktur, personel (staffing), kewenangan dalam waktu tiga tahun sebelum diberlakukan.
Badan Penerimaan Negara terdiri dari 5 komisioner yang merupakan representasi pemerintah, civil society dan taxpayer community, dan stakeholders lain (koordinasi horisontal dan mekanisme kontrol). Kelima komisioner mengkoordinasikan fungsi kelembagaan vertikal: pelayanan dan fasilitas, penegakan hukum, administrasi perpajakan, manajemen SDM, dan Pengembangan IT.
51
Integrasi kementerian/lembaga untuk basis data perpajakan (Ps 35A UU KUP), termasuk akses data bank bagi Ditjen Pajak untuk kepentingan penggalian potensi pajak.
IV. Membangun sistem administrasi yang mudah dan handal
Menciptakan sistem penghitungan potensi pajak yang handal dan mutakhir, untuk mengetahui jumlah pajak yang masih dapat dipungut dan merumuskan strategi pemungutan yang tepat.
Menciptakan sistem benchmarking berdasarkan SPT yang disampaikan dan riset – untuk mengetahui rasio‐rasio keuangan dan pajak dalam rangka penggalian potensi.
Menciptakan sistem administrasi perpajakan terpadu yang mengintegrasikan sistem pelayanan, pengawasan, pemeriksaan pajak.
Perluasan basis pemajakan (broadening tax base), yaitu ekstensifikasi perpajakan untuk menjaring subjek pajak dan objek pajak potensial, misalnya underground economy.
Integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan e‐ KTP dengan NPWP. Pembayaran dan pelaporan elektronik (e‐payment dan e‐filing, termasuk e‐invoice
untuk PPN). Termasuk perluasan integrasi data online (elektronik) dengan pendekatan konsumsi untuk mengenakan PPh.
Penyempurnaan terus‐menerus sistem administrasi PPN, dengan stratifikasi omset yang lebih pasti. Salah satu yang penting adalah rekonsiliasi PK (Pajak Keluaran) dan PM (Pajak Masukan) secara berkala dan dikaitkan dengan verifikasi post‐audit berbasis sampling untuk mencegah penyalahgunaan faktur pajak fiktif.
Integrasi informal economy ke dalam sistem administrasi perpajakan dengan penyiapan payung hukum (UU Usaha Perseorangan), kemudahan akses perbankan/finansial, ekspor, dan pemasaran bagi yang terdaftar.
Tarif efektif untuk UKM dan Wajib Pajak tertentu demi kemudahan, yaitu tarif tunggal yang mengkombinasikan PPh dan PPN (misalnya 1‐2% dari omset).
Penyediaan software pembukuan dan pelaporan yang mudah, standar, dan terintegrasi dengan sistem administrasi perpajakan.
Peninjauan kembali sanksi administrasi yang membedakan penjeraan (detterent) dan pembinaan (education).
Sistem informasi perijinan terpadu sektor ekstraktif untuk menjamin ketersediaan informasi/data dan pengawasan lintas‐instansi/kementerian/pusat‐daerah, yang tercermin dalam integrasi identitas NIK, SIUP, NPWP, NPPKP, dll sejak pendaftaraan perijinan.
Mempermudah prosedur restitusi/pengembalian kelebihan pajak, melalui penerapan skema post‐audit dengan sanksi yang berat (pemeriksaan dilakukan utamanya untuk SPT Kurang Bayar bukan Lebih Bayar seperti sekarang).
52
Perbaikan formulir SPT, khususnya orang pribadi dengan lebih memerinci kepemilikan asset termasuk investasi, termasuk kepemilikan simpanan dan asset di luar negeri yang melebihi batas tertentu (model FATCA USA).
Optimalisasi anti‐avoidance rules dalam UU PPh dengan peraturan turunan yang jelas, efektif, dan operatif, mencakup CFC (controlled foreign corporation), thin capitalization (skema hutang vs modal), interest stripping, dll.
V. Melakukan amandemen UU Perpajakan dan harmonisasi peraturan
Menekankan aspek keadilan vertikal dan keadilan horisontal. Perumusan ulang konsep‐konsep PPh (redefinisi penghasilan, misalnya realisasi
capital gain, dividen, dll.) Tax expenditure (pemberian fasilitas tax exemption, tax deduction, tax relief) ==>
peningkatan tunjangan/pengurang untuk pekerja non‐produktif, kaum perempuan, anak, investasi riset.
Insentif/disinsentif sektor ekstraktif ==> pengaturan biaya reklamasi, cost recovery Perubahan tarif pajak melalui perluasan tax bracket ==> menjangkau kelompok
superkaya. Ini dilakukan dengan menurunkan tarif PPh di level penghasilan menengah dan menaikkan batas atas (marginal tax rate), dari 30% menjadi 35% dan 37.5% untuk lapis penghasilan di atas Rp 1 milyar dan di atas Rp 5 milyar/tahun).
Pajak sektor finansial (Financial Transaction Tax/FTT) untuk mendorong keadilan vertikal/horisontal dan mengurangi volatilitas pasar.
Mempertimbangkan penerapan pajak warisan (wealth tax) untuk menjamin kesetaraan dasar warganegara (ex ante equality).
Harmonisasi peraturan perpajakan – dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Dirjen Pajak, hingga SE Dirjen – agar tercipta sistem peraturan yang akurat, jelas, dan pasti.
VI. Membentuk Gugus Tugas Anti‐Penghindaran Pajak khususnya Pajak Internasional
Pembentukan satgas anti‐penghindaran pajak terdiri dari Ditjen Pajak, PPATK, BPKP, Polri, Kejaksaan, Pemda di bawah supervisi KPK.
Renegosiasi tax treaty (P3B)==> menguntungkan source country (misalnya redefinisi passive income seperti dividen dan royalti) dan mandat pertukaran informasi yang tanpa syarat.
Mendorong kerjasama perpajakan regional untuk menghindari penyelundupan pajak dan race to the bottom (perang tarif yang tidak sehat).
Pengaturan transfer pricing yang lebih jelas dan administrasi yang mudah, misalnya kombinasi Model Amerika Serikat dan Brazil dengan Model OECD yang diikuti pemerintah saat ini. Pemerintah harus menyiapkan database perusahaan pembanding (comparable company yang memadai), menerapkan kebijakan safe harbour (sektor tak strategis dan kompleks).
53
Pengaturan contract party dalam bidang migas dan minerba yang melarang domisili di negara tax haven atau secrecy jurisdiction.
VII. Perlakuan Pajak Tertentu dan Hal‐hal Khusus
Penegakan hukum tanpa pandang bulu untuk pengemplang pajak yang nyata‐nyata merugikan pendapatan negara dan tidak memiliki itikad baik terhadap negara.
Norma penghitungan khusus (PPh Pasal 15) pertambangan minerba untuk menghindari tax evasion.
Mengembalikan perlakuan pajak final sektor jasa konstruksi dan real estate/pengembang – menjadi tarif umum Pasal 17 UU PPh.
Pajak warisan (inheritance tax) atau pajak kekayaan (wealth tax) untuk menciptakan keadilan kesempatan (ex ante equality).
Pajak atas unrealized capital gain yang berpotensi meningkatkan kemampuan ekonomis yang dapat menambah kekayaan bagi pemegang saham.
Maklumat wajib pajak (taxpayer charter), yang menjamin pemenuhan hak‐hak wajib pajak.
Prioritas penyelesaian UU Konsultan Pajak dan pembentukan Komunitas Pembayar Pajak (taxpayer community).
Demikianlah sekilas pandangan‐pandangan tentang perbaikan kebijakan pajak untuk meningkatkan penerimaan negara. Hal‐hal di atas dapat diturunkan dalam langkah‐langkah teknis yang dapat segera dieksekusi demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Jakarta, Agustus 2014
54
BAB III REVOLUSI MENTAL
55
MEMAKNAI SISTEM TRIPUSAT KHD DALAM MEMBANGUN PEKERTI LUHUR DAN BERDISIPLIN TINGGI
UNTUK INDONESIA YANG KUAT
[Prof. Dr. Martani Huseini] Pengajar dan Periset ‘Competitive Dynamics UNIVERSITAS INDONESIA dan
Wakil Ketua Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa Indonesia PENDAHULUAN
Sebuah Negara yang berdaya saing tinggi pada umumnya dapatditandai dari keseriusandan komitmennya dalam mencetakManusia yang berSumber Daya (MSD; Otak & Watak)) melalui sinkronisasi proses pendidikan TRIPUSAT (di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat). Siapa yang tidak kenal Negara Korea Selatan dan Singapura ? Kemajuan akan industri
dan perekonomiannya tak perlu diragukan lagi.Tetapi tidak banyak orang mengira bahwa kemajuan tersebut sangat ditentukan oleh kegigihan mengimplementasikan sebuah ‘skenario mimpi besar yang bernama ‘Vision’. Kalau ditarik garis sejarah pada tahun enam puluhan, kemajuan ekonomi dan daya saing kedua bangsa ini‘tidak terlalu jauh’ berbeda dengan negara Indonesia.Namun kini, Indonesia sangat tertinggal jauh dari dua negara tersebut dari aspek industri, perekonomian maupun aspek pembangunan manusianya sebagai penopang fondasi bangunan daya saing bangsa.
MENGAPA KOREA SELATAN DAN SINGAPURA BISA MAJU PESAT?
Untuk membangunsuatu‘peradaban baru’ seperti Korea Selatan dan Singapura
yangwarganya dapat hidup layak dan berdaya saing tinggi, diperlukan suatu skenario besar dalamproses transformasi pendidikan manusianya. Dalam skenario ini, manusia tidak lagi dianggap sebagai salah satu unsur dari elemen 5 M organisasi (Men, Money, Machine, Materials dan Methods) seperti yang kita kenal. Disini manusia dilihat sebagai suatu elemen istimewa tersendiri, yakni sebagai mahluk Tuhan yang memilikikekuatan otakdengan ‘memory dan RAM’ yang bergiga‐giga powernya, ‘unlimited’, dan dahsyat. Dengan kata lain, otak manusia dapat diasah dan kemudian dibentuk wataknya, agar dapat menjadi Manusia yang ber‐Sumber Daya dua TAK (ber‐Otak dan ber‐Watak).
56
Kita ketahui bahwa Korea Selatan dan Singapura kini sudah dapat mewujudkan ‘mimpinya’ hingga mencapai peringkat ‘World Class’. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Segala daya upaya yang berkaitan dengan pembangunan manusia selalu diutamakan dan disesuaikan dengan visi ‐ misi yang ingin diraihnya.
Linsu Kim, pengarang buku ‘Imitation to Innovation’ dan buku sejenis lainnya, menggambarkan bagaimana sebuah mimpi besar telah menjadikan Korea sebagai suatu bangsa yang inovatif dan berdaya saing tinggi. Korea pernah tertinggal oleh beberapa negara maju, termasuk Jepang yang menjadi musuh bebuyutannya. Namun dengan suatu tekad yang bulat dan realistis, Korea berhasil mengejar ketertinggalannya hingga mencapai peringkat ‘world class’. Walaupun diakui bahwa proses pencapaiannya harus melalui suatu fase imitasi/peniruan. Peniruan terhadap sesuatu hal yang baik, melalui serangkaian proses yang sistematis dan terencana serta menggunakan patok banding terhadap ‘best performer’, sering disebut sebagai konsep ‘Benchmarking’. Dibalik penetapan target‐target, ekonomi, industrialisasi yang ingin diraih, tidak banyak yang tahu bahwa aspek pendidikan yang komprehensif sebagai prasyarat keberhasilan dalam pelaksanaannya diselaraskan dengan pentahapan tujuan tersebut.
Dalam kasus negara Singapura Edgar Schein, pakar Budaya Organisasi dari MIT Amerika Serikat dalam awal pembangunan Singapura didatangkannya ke Singapura pada awal 1970an dan dilibatkan untuk merancang proses transformasi manusia‐manusia Singapura yang terdidik secara unggul dan berkarakter yang tangguh. Shcein dalam bukunya ‘Strategic Pragmatism’ mendeskripsikan dengan gamblang bagaimana sulitnya membentuk watak bangsa Singapura agar dapat dijadikan sebagai faktor pengungkit (leverage) yang utama dalam meningkatkan daya saing. Bahkan pakar manajemen asli Singapura, Neo dan Chen penulis buku ‘Dynamic Governance’ mengkonfirmasi tentang pentingnya fondasi ‘budaya’ dalam mendukung pencapain visi besar dalam suatu tata kelola yang dinamis.
Dalam penjelasan Neo dan Chen, ditegaskan bahwa prasyarat utama dalam proses mewujudkanmimpi besar Singapura tersebut harus dimilikinya ‘able people’ yang cerdas dan berkarakter. Memiliki ‘able people’ (bukan hanya otak, tetapi juga watak yang baik) adalah titik awal suatu tata‐kelola organisasi baik disektor publik maupun privat. Dengan bekal inilah maka manusia‐manusia dilingkungan pemerintah, akademisi, pelaku bisnis dan masyarakat (QUATRO HELIX) di Singapura dengan pola pikir ‘unggul dan bermartabat’ dapat tercetak. Fokus terhadap pembangunan individu‐individu dalam organisasi akhirnya dapat membentuk para pemangku kepentungan yang selalu berfikir futuristik (thinking ahead), berfikir lintas fungsi dan sektor (thinking across), berfikir dan belajar secara terus menerus (thinking again) sepanjang masa sudah menjadi suatu kebutuhan pokok. Dalam penelolaan setiap organisasi sikap trengginas dalam bertindak(agile process) merupakan kunci sukses dalam berorganisasi.
Dalam kehidupan keseharian, sikap dan budaya kerja menjunjung tinggi efisiensi dan produktivitas yang dibarengi dengan semangat berorientasi pada peningkatan kualitas yang terus menerus sangat penting. Sikap, budaya, dan semangat ini merupakan modal dasar bangunan daya saing dalam setiap kehidupan organisasi.Contoh nyata dalam
57
perwujudan hal yang disebut diatas bisa dilihat bagaimana bangsa Singapura menjadikan Bandara Changi 1, 2 dan 3 menjadi ‘World‐Class Aviation Hub’. Contoh lain adalah di sektor pelabuhan laut. Singapura mampu bersaing dengan pelabuhan laut yang terbaik dariRotterdam Belanda dan menjadi acuan dunia. Kesuksesan ini juga dimulai oleh suatu visi (mimpi besar)dan keseriusan dalam proses implementasinya.
Bahkan kini ambisi bangsa Singapura menjadikan negaranya sebagai ‘Knowledge Hub’, sudah semakin terlihat dalam proses implentasinya. Kinerja lembaga‐lembaga pendidikan dasar seperti Montessouri, NUS, dan Nanyang University sudah mulai menggeliat dan menempati peringkat dunia dalam riset maupun kualitas pendidikan.
Rossabeth Mosskanter, pakar manajemen dari Universitas Harvard menegaskan, bahwa untuk dapat memiliki peringkat kelas dunia, sebuah institusi ataupun negara harus memiliki elemen‐elemen pokok yang disebut sebagai 3 C (Concept, Competency, dan Connection). Tanpa memiliki visi dan konsep yang jelas dengan dibarengi kesungguhan membangun kompetensi manusianya, maka sangat mustahil bisa mewujudkan dayasaing bangsanya hingga keperingkat terbaik dunia. Oleh karena itu, mengoperasionalkan konsep 3 C tersebut, sinergi ketiga komponen dasar tersebut tentunya memerlukan suatu proses yang panjang dengan komitmen yang tinggi dari semua pihak. Sehingga rumusan 3 C itupun semestinya perlu ditambahkan satu C lagi yaitu komitmen (Commitment).
Isyarat lain tentang proses transformasi dari yang sudah baik menjadi sangat istimewa (world class), secara rinci pula pakar manajemen lainnya Jim Collins, penulis buku ‘Good to Great dan Great by Choice’. Ia mengindikasikan pentingnya pendidikan budaya dan perilaku disiplin sebagai prasyarat utama untuk menjadikan suatu organisasi dari peringkat Good menjadi Great. Terminologi atau kata kunci DISIPLIN harus menjadi jargon utama dalam perwujudannya. Sikap disiplin dari individu, disiplin dalam bertindak sesuai tahapan waktu, dan disiplin terhadap peningkatan dalam pola pikir dan dalam daya inovasinya (Discipline People, Discipline Action,& Discipline Thought) merupakan ungkapan tiga D yang tidak ada habisnya. Sikap ini harus dibangun disetiap lini pendidikan baik di keluarga, bangku pendidikan, dan dimasyarakat seperti konsep Pendidikan Tripusat, yang digagas oleh tokoh pendidikan Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara.
Secara pengamatan umum, hampir bisa ditengarai secara kasat mata, bahwa negara yang maju dalam perekonomian dan daya saing industrinya, pasti memiliki program Wajib Militer minimum berdurasi satu tahun. Apakah bangsa Indonesia memerlukan proses penggemblengan semacam wajib latih militer (military service) untuk melatih budaya ‘disiplin’, sikap ‘mutual respect’, ‘team work’ serta ‘mutual trust’? Pemikiran semacam ini nampaknya perlu disegerakan, dipikirkan, dan diwujudkan. Setelah bertahun‐tahun, karakter bangsa kian memprihatinkan. Perilaku koruptif semakin mengganas. Perilaku unjuk rasa yang menjurus pada amuk masa dan destruktif semakin kerap dijumpai. Budaya malu semakin langka. Perilaku menyerobot hak orang lain dalam berkendaraan dan mengantri semakin kurang beradab. Bahkan perilaku bersih sehat, berhemat dan akrab terhadap kelestarian lingkungan semakin menipis. Dengan serentetan contoh berdisiplin seperti di negara‐negara yang berdaya saing tinggi, sebuah pemikiran kritis perlu digugah.
58
MAKNA PEMBELAJARAN (LESSONS LEARNT) DARI KOREA SELATAN DAN SINGAPURA
Dari dua contoh inilah maka didapat benang merah makna pembelajaran yang bisa dipetik dari kedua bangsa itu tentang upaya peningkatan ‘peradaban baru’. Banyak hal yang perlu dikaji terlebih dahulu sebagai ‘lessons learnt’ bagi bangsa Indonesia yang mempunyai potensi SDA dan SDM yang luar biasa dan berkeinginan kuat untuk meningkatkan daya saingnya hingga ke peringkat dunia. Proses adopsi dan kreasi daya saing asli a la ‘bangsa Indonesia’ perlu disesuaikan dengan problematika aktual bangsa Indonesia. Termasuk didalamnya adalahsituasi geografis yang sangat tersebar disekitar tujuh belas ribu kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, serta aspek keberagaman sosio‐kultural yang cukup kompleks. Itu belum termasuk dengan rencana dan implementasi penyatuan ekonomi ASEAN yang dimulai ditahun 2015 (Masyarakat Ekonomi Asean). Kesemua ini tentunya merupakan tantangan berat yang harus dihadapi. Jika tata‐kelola ini tidak terlaksana dengan baik, dapat dipastikan kita akan kewalahan bersaing dengan bangsa lain.
Sekali lagi, contoh dalam proses perwujudan mimpi besar kedua negara tersebut perlu dikaji dan di’benchmarked’ dalam rencana implementasinya. Kini bisa dijumpai sederetan merek‐merek besar di segala industri milik para ‘taipan’ konglomerasi CHAEBOL seperti SAMSUNG, LG, HUNDAY, DAEWOO, K‐POP dan masih banyak lagi contoh yang lain. Dibalik cerita sukses tersebut yang sudah pasti adalah adanya keseriusan para pemangku kepentingan QUATROHELIX (Pemerintah, Akademisi, Pebisnis dan para pemuka masyarakat) yang berkomitmen untuk dilibatkan dan menyatu dalam membangun sistem pendidikan dari tingkat keluarga, sekolah dan masyarakat.
Contoh dari tetangga dekat kita, dapat dilihat eksistensi perusaahaan konglomerasi seperti Temasek, Singtel, Singapore Airline, bandara Changi, Rumah Sakit Mont Elisabeth. Bahakan di sektor pendidikan dasar bisa dilihat sekolah Montessouri sudah eksis di Indonesia. Begitu pula dengan Nanyang University, Universitas Nasional Singapura (NUS), dan masih banyak cerita sukses lainnya yang perlu jadikan patok banding bagi masyarakat Indonesia.
Sesunguhnya Indonesia yang memiliki,‘BONUS BOOMING PENDUDUK’ (jumlah penduduk usia produktif) yang melimpah dan dengan sumber daya alam yang masih banyak, dapat mewujudkan mimpi sebagai negara ‘Adidaya’. Namun jika bonus ini tidak dikelola dengan baik (dari segi otak dan wataknya), ini akan menjadi bumerang dan benalu malapetakabagi masyarakat seperti munculnya kelompok‐kelompok Geng Motor, Kapak Merah, Geng Cabe‐cabean dan masih banyak lagi yang lain.
PERGESERAN ‘PLATFORM’ DAYA SAING BANGSA
Di era peradaban baru ini, tatanan ekonomi dan industri sudah berubah dari era ‘Industrial Economy’ bergeser ke‘Knowledge Based Economy’.Tatanan masyarakat yang barupun juga mengalami pergeserankearah ‘Knowledge Based Society’. Dengan adanya kemajuan dibidang ICT, jarak tidak lagi menjadi penghalang.Tatanan sosialpun sudah
59
berubah menjadi ‘tanpa batas’ dan ‘interconnected’.Sebagai konsekuensi dari orientasi baru tersebut, bidang kependidikan juga perlu diselaraskan terhadap dengan perkembangan IPTEK dengan tidak mengesampingkan nilai luhur dan jatidiri bangsanya. Membangun pendidikan yang berkualitas untuk mewujudkan daya saing bangsa dalam multi sektor pembangunan merupakan suatu kebutuhan yang mutlak. Tata kelola dalam proses penyelenggaraan pendidikanmulai dari proses ‘knowledge exploration, knowledge creationdan knowledge dissemination’ perlu dikaji ulang agar pengembangan bidang kependidikan selalu diselaraskan dengan konteks perkembangan POLEKSOSBUDTEK. Tantangan bangsa Indonesia kedepan sebagai negara sistem ekonominya ‘terbuka lebar’ menjunjung tinggi aspek‐aspek multi‐kulturalisme yang demokratis, dibahas secara serius didalam konvensi Pendidikan yang digagas oleh PGRI ini. Sayangnya bangsa Indonesia untuk sementara waktu masih tidak memiliki GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sehingga ‘attachement’ pembangunan manusia sulit dikaitkan dengan ‘Road‐Map’ daya saing Daerah maupun dayasaing nasionalnya. Diharapkan pada pemerintah baru yang akan ditentukan tahun 2014 ini dapat memikirkan ‘platform’ pendidikan baru yang sejalan dengan skenario baru daya saing yang ingin ditetapkan.
Perbaikan dalam upaya suatu rekonstruksi tatanan kependidikan dimasa yang akan datang perlu ‘adjusment’ antara konten (content), konteks, proses serta sistem pendukung yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran, tenaga kependidikan, infrastruktur kependidikan fisik maupun non fisik, kelitbangan dan aspek lain yang terkait dengan pembangunan manusia seharusnya diarahkan pada sasaran jangka menengah dan panjang yang hendak dicapai oleh suatu bangsa. Pengembangan suatu skenario strategi jangka panjang yang terencana dan terintegrasimutlak harus dibuat secara nasional dan visioner serta membanggakan. Pengkaitan pada tujuan jangka panjang seperti di jaman pemerintahan Orde Baru seperti visi kedirgantaraan yang dipimpin oleh Menristek B.J. Habibi untuk tahap awal bekerjasama dengan Spanyol dalam membuat pesawat CN 235 (Casa‐Nurtanio), kemudian membuat sendiri dengan seri N 250 dan akhirnya menjadi N 2130walaupun masih belum berhasil namun upaya mulia tersebut perlu ditiru. Untuk kemandirian pangan dan industri lainnya, pemerintah daerah perlu didorong dan di ‘empowered’ yang tentunya disesuaikan dengan misi masing‐masing daerah berdasarkan konsep klaster yang telah disepakati seperti program ‘One Village One Product’ ataupun konsep SAKASAKTI (Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti) sesuai nafas pasal‐pasal Undang‐Undang no. 22 dengan revisinya di Undang‐Undang no. 32 tahun 2002 yang pada dasarnya kewenangan untuk mengelola wilayah secara ‘bertanggung jawab’ diserahkan pada pada tingkat kabupaten dan kota. Contoh kongkrit program seperti ‘Sejuta Sapi’ yang digagas pemprov NTB, Lumbung jagung ‘Gorontalo’, industri kreatif Cimahi dan masih banyak lagi yang lain.
Oleh karenanya segala daya dan dana yang terkait dengan ‘penyeragaman’ dan standardisasi hasil yang optimal seperti penerapan Ujian Nasional yang bertujuan sangat mulia akan sia‐sia apabila masalah ketimpangan mutu guru, sistem pendukung lainnya (termasuk sistem insentif, upgrading & updating para guru) tidak dipikirkan secara mendalam.
60
Setiap daerah memiliki SDA yang spesifik serta kearifan lokal yang berbeda, oleh karena itu ‘involment’ terhadap para pemangku kepentingan QUATRO HELIX merupakan pengungkit utama agar sinkronisasi pendidikan Tripusat dapat selaras dan sejalan guna mendukung bangunan daya saing serti yang tergambar sebagai berikut :
Pembangunan Watak ‘budaya kerja keras’,berdisiplin tinggi, serta pantang menyerah
menjadi prasyarat utama dalam pembentukan daya saing. Dalam suatu konstruksi pembangunan Daya Saing, kesemua hal yang disebut diatas sebenarnya pernah dijalankan di Indonesia di jaman era Orde Lama maupun Orde Baru sehingga Indonesia pernah mengalami kemandirian bidang pangan dan energi minyak, sehingga Indonesia pernah menjadi anggota maupun pemimpin OPEC (Organisasi Pengekspor Minyak) dikala itu.
Dalam bidang politik bangsa Indonesia pernah disegani dunia karena sikap politik Non‐Blok dan ’Bebas Aktif’. Kebanggaan akan kepemilikan kedaulatan ‘POLEKSOSBUD’ dimasa lalu perlu ulangi lagi, agar ‘dignity’ bangsa Indonesia dapat ditimbulkan lagi. Kebangkitan kembali semangat juang untuk menuju suatu bangsa yang disegani dan berdaya saing tinggi perlu direkonstruksi.
Berbagai kegiatan pendidikan yang bisa menjangkau keseluruh pelosok wilayah Indonesia supaya bisa mendukung kemandirian energi, pangan, ekonomi dan industri disetiap kabupaten dan kota secara mutlak harus diwujudkan. Hal yang pertama harus dilakukan adalah perekrutan tenaga didik yang bermutu, dilatih dengan sistem yang sinkron antara kemampuan otak dan wataknya serta dilengkapi dengan sistem pendukung yang baik, maka niscaya daya saing daerah maupun bangsa bisa terwujud.
61
Berbagai bentuk kegiatan tempo dulu yang pernah dirasakan di masyarakat sebagai pelengkap pendidikan dipersekolahan dan keluarga, sepertipendidikan dan latihan bela diri pencak silat, Kepanduan (Pramuka), Kojarsena, P4, Klompencapir, Posyandu, Menwa/Walawa (Resimen Mahasiswa/ Wajib Latih Mahasiswa), CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), Siskamling dan masih banyak lagi yang lain. Upaya yang pernah dilakukan ini tentunya merupakan sesuatu yang perlu direnungkan kembali dan direkonstruksi agar bisa di format ulang sesuai perkembangan jaman dan diselaraskan dengan program kependidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan sentuhan kurikulum dan tata‐kelola yang baik dibangku sekolah yang diselaraskan dengan pendidikan budi pekerti baik disekolah, keluarga dan masyarakat serta melibatkan pera pemangku kepentingan QUATRO HELIX, maka diharapkan daya saing bangsa Indonesia yang sudah memiliki modal dasar SDA yang melimpah disertai dengan kepemilikan jumlah penduduk yang pada usia produktif yang besarsehingga proses transformasi MSD di Indonesia dapat diwujudkan. SKENARIO BARU INDONESIA: PERANGI KEBODOHAN & KEMISKINAN, TINGKATKAN DAYASAING
Tidak akan ada yang menyangkal bahwa suatu sistem pendidikan dengan ruh (content) yang baik, disertai arah yang dengan proses pentahapan yang jelas, dengan dukungan manajemen yang prima tentu akan menghasilkan luaran (output dan outcome) peserta didik yang unggul yang diharapkan dapat memerangi kebodohan apabila terstandardisasi secara ‘adil’ dan merata. Basis kependidikan untuk semua anak bangsa, ‘Wajib Belajar 9 – 12 tahun’ (Education for All) tidak akan berarti apabila standardisasi mutu guru dan fasilitas penunjang sangat timpang. Hal ini disebabkan variasi Sistem Insentif dan distribusi yang tersebar diseluruh penjuru yang membentang dari barat ke timur meliputi wilayah‐wilayah kepulauan yang bejumlah lebih dari 17.000. Isu terberat dalam aspek tata‐kelolanya adalah tentang apakah lebih baik pengelolaannya secara sentralistik ataupun desentralistik berklaster masih menjadi perdebatan yang belum terjawabkan secara tuntas.
Yang jelas, seandainya berbagai masalah‐masalah diatas belum terjawab, maka masih sangat jauh jika aspek sumber daya manusia yang diharapkan sebagai penopang daya saing bangsa. Karena secara generik, masalah daya saing yang berkaitan dengan aspek manusianya selalu sikap mental dan budaya yang berorientasi pada aspek Efisiensi dan Produktivitas, Kualitas, Fleksibilitas, serta Inovasi. Implikasi atas prasyarat diatas maka penataan pendidikan yang baik dari tingkat dasar hingga jenjang pendidikan tinggi harus serempak. Sudahkah kita melakukan apa yang menjadi catatan seperti masalah‐masalah diatas?
Secara umum, program pemerintah dalam penerapan KURIKULUM 2013 yang ‘reformatif’ perlu dicermati kembali akan ‘content, context, process, & support systems’nya. Reformasi Pendidikan yang mengacu pada 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan meliputi standardisasi Tata Kelola, Biaya, Sarana dan Prasarana, Pendidik dan tenaga
62
Kependidikan, isi, proses, peneliaian dan kompetensi lulusan seabagai output yang terukur sudah ditetapkan. KREATIVITAS DAN INOVASI PROGRAM BARU DAN SISTEM PENDIDIKAN YANG TERINTEGRASI
Inovasi maupun revitalisasi program pendidikan tempo dulu, tentang pendidikan, pelatihan maupun penyuluhan yang pernah dilakukan perlu dikaji ulang isinya dan disesuaikan konteks perkembangan POLEKSOSBUDTEK. Keberhasilan akan penerapan kurikulum 2013 diharapkan bangsa Indonesia tidak bisa disepelekan menjadi bangsa yang ‘underdog’ namun memiliki kemandirian dan jati diri. Setiap kegiatan DIKLATLUH perlu diselaraskan dengan azas/falsafah Pancasila yang pernah dioperasionalkan pada jaman pemerintahan Orde Baru yang dikenal dengan program P4, Kepramukaan, PON, Siskamling, Posyandu, dan Klompencapir. Program‐program ini perlu dikaji ulang agar dapat disinergikan dengan implementasi program kurikulum nasional 2013.
Untuk menjamin keberhasilan implementasi program kependidikan yang berdaya guna bagi suatu kemandirian bangsa, perlu dibangun sebuah skenario perencanaan yang terintegrasi secara vertikal maupun horizontal. Hal ini penting sebab banyak variabel‐variabel sosio‐politik seperti kearifan lokal, sindrom putra‐daerah serta kasus otonomi daerah yang eksesif. Hal‐hal disebutkan tadi adalah merupakan prasyarat mendirikan pondasi suatu bangunan daya saing yang sering disebut sebagai ‘Nation and Character Building’.Proses pendidikan yang baik akan menghasilkan luaran (output dan outcome) peserta didik yang berkemampuan menguasai ‘knowledge’, ‘skill’ dan ‘attitude’ yang prima. Dengan kata lain, individu yang bernaung dalam organisasi akan memiliki ‘personalmastery’, ‘mental dialoque’ sehingga dapat menciptakan ‘collaborative action’ dalam tindakan suatu tim.
Situasi bangunan pondasi mental dan karakter bangsa Indonesiapada saat ini masih tercabik‐cabik oleh sikap mental yang yang menginginkan hasil yang ‘instant’ dan ‘short‐cut’, menghalalkan segala cara untuk kepentingan rezim, kelompok hingga individu. Mari kita tengok sikap bangsa Indonesia atas kondisi ‘mutualtrust’, ‘mutual‐respect’ dan ‘chemistry’ ketiga pemangku kepentingan TRIASPOLITIKA belum dapat menjadi acuan berperilaku luhur, namun malahan diplesetkan menjadi TRIASKORUPTIKA (tumbuh bersemi budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di tiga lembaga yang seharusnya menjadi panutan bangsa. PENUTUP
Dapat ditengarai secara gamblang, bahwa setiap negara yang berdaya saing tinggi indeks kinerja kependidikan yang dicapai mulai dari tingkat dasar hingga jenjang pendidikan tinggi selalu berada ditingkat20 besar peringkat dunia. Seringkali bersamaan dengan kinerja tersebut, pencapaian HDI (Human Development Index) biasanya tinggi pula.
63
Peringkat karya ilmiahnya maupun prestasi perolehan paten inovasi diberbagai bidang juga sangat mencolok angkanya.
Namun dibalik itu semua, negara yang berdaya saing tinggi, hampir semuanya memiliki ‘Pelatihan Bela Negara’ yang tertanam dalam kegiatan wajib ‘Military Service’ guna melatih semangat daya juang dan pendidikan disiplin untuk melatih ritme disiplin. Khususnya untuk generasi muda sebelum diterjunkan dalam kegiatan sehari‐hari di masyarakat. Selama minimal satu tahun untuk ‘latihan kemiliteran’ para peserta ‘military service’ mengikuti penggemblengan mental dan diberikan materi ajar keilmuan. Dengan sistem ‘boarding school’ yang dengan sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah bisa diharapkan proses standardisasi output dan outcome akan bisa diwujudkan.
Pembangunan pola pikir dan sikap mental yang tangguh, penuh disiplin dan bertanggung jawab terhadap masyarakat nampaknya merupakan suatu keniscayaan. Setiap individu sebelum terjun kemasyarakat harus dibekali pendidikan disiplin dan pekerti luhur di sekolah dan di keluarga baik berupa ‘dongeng’, ‘role modelling’ dalam latihan bela diri maupun sejenis ‘outbond’ lainnya. Instrumen utama dalam pembentukan ‘Character Building’ memang dimulai dari aktivitas yang ‘dipaksa’, lama‐kelamaan akan menjadi ‘terbiasa’ dan akhirnya ‘membudaya’.
Penyimpangan yang kita lihat di masyarakat Indonesia sangat mungkindisebabkan oleh adanya ketidakpahaman dan kurangnya edukasi, sertamaraknya ‘proses pembiaran’ yang berkepanjangan. Hal ini diperparah dengan minimnya suri tauladandi lingkungan sekitar kita. Media massa pun tak ketinggalan menyuguhi masyarakat dengan tayangan yang ‘kurang mendidik’ dalam konteks pembagunan watak. Semoga peringatan HARDIKNAS oleh Tamansiswa Cabang Jakarta yang diperingati tepat tanggal 2 Mei 2014 bersama para Stakeholders dalam dunia kependidikan (para praktisi, penggiat pendidikan disiplin dan pendidik pekerti luhur, termasuk koran Kompas, media sosial lainnya) sebagai motivator, dinamisator, dapatmeneruskan gagasan‐gagasan KHD yang masih belum terwujud seperti Sistem Tripusat, Sistem Among maupun filosofi Tut Wuri Handayani, Suci Tata Ngesti Tunggal dapat merubah wajah dan perilaku bangsa Indonesia yang karut marut dilanda demam korupsi dan tindakan yang kurang ‘adab’ sehingga merugikan kita semua. Semoga upaya yang mulia ini merupakan titik balik pembangunan SDM yang bermartabat guna mendukung daya saing bangsa Indonesiamenyongsong implementasi MEA 2015. Jakarta, 2 Mei 2014
64
REFERENSI UTAMA : Birkinshaw Julian, ‘Reinventing Management’, Harvard Business Review, Jossey‐Bass 2010. Collins Jim, ‘Good to Great’, Harper Collins Publishers Inc., 2007 Collins Jim & Morten T. Hansen, ‘Great By Choice’, Random House, 2011 Neo Boon Siong & Chen Geraldine ‘ Dynamic Governance : Embedding Culture,
Capabolities and Change in Singapore’, World Scientific Publishing Co.Pte., 2007 Kim Linsu ‘Imitation to Innovation : The Dynamics of Korea’s Technological Learning’,
Harvard Business Review Press, 1997. Kim Linsu ‘Technology, Learning, and Innovation : Experiences of Newly Industrilizing
Economies’, Cambridge University Press, 2000. Mol J Michael & BirkinshawJulian, ‘Giant Steps in Management’, Prentice Hall, 2008. Moss Kanter Rosabeth, ‘WORLD CLASS’, Touchstone Publishers, 1997 Schein Edgar, ‘Strategic Pragmatism : The Culrure of Singapore’s Economic Development
Board’, MIT Press, 1996. Universitas Sarjana Wiyata & Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, KURIKULUM 2013
DALAM DIMENSI ‘NATION & CHARACTER BUILDING’ 2013 ASEAN Secretariat , Roadmap for an Asean Community , 2013. KEMENDIKBUD, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan, KURIKULUM
2013, disampaikan pada Kongres XXI PGRI 5 Juli 2013.
65
PROBLEMA PENDIDIKAN DI INDONESIA DAN USULAN PEMECAHANNYA
[Dr. Ir. Bambang Supriyadi, CES, DEA] Koordinator Kopertis Wilayah V DIY
Diketahui bersama bahwa, undang‐undang yang mendasari sistem pendidikan di Indonesia adalah Pasal 31 UUD 1945, yang mengamanahkan agar Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjujung tinggi nilai‐nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia bangsa Indonesia. Namun, sejak diundangkannya, sampai dengan lebih dari setengah abad dan bahkan saat ini, masih banyak problem yang terkait dengan pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia.
Dalam kesempatan ini, untuk mengungkap problema pendidikan di Indonesia, akan saya sampaikan hasil survei dari berbagai lembaga tinggkat dunia, berbagai pendapat dari para pakar pendidikan, para mahasiswa yang sedang studi di bidang pendidikan dan para pengamat pendidikan. Salah satunya, Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur DIY, dalam pidato dies natalis Universitas Negeri Yogyakarta ke 49, menyampaikan suatu kenyataan bahwa masih banyak keluhan yang muncul tentang pendidikan di Indonesia, karena pendidikan terkesan hanya berorientasi pada perolehan angka dalam ujian, padahal semestinya juga harus berorientasi pada proses, agar pendidikan dapat dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia dalam mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya.
Dalam hal prestasi kualitas manusia, United Nations for Development Programme (UNDP) telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tersebut Indonesia hanya menduduki posisi ke‐111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara‐negara tetangga saja, posisi Indonesia berada di bawahnya.
Rendrik Setiawan, 2012, terkait dengan Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau education for all (EFA) di Indonesia menurun tiap tahunnya. Tahun 2011 Indonesia berada diperingkat 69 dari 127 negara dan merosot dibandingkan tahun 2010 yang berada pada posisi 65. Penyebab rendahnya indeks pembangunan pendidikan di Indonesia diukur dari tingginya jumlah anak putus sekolah. Sedikitnya setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah menengah pertama (SMP) tidak dapat melanjutkan pendidikan. Data pendidikan tahun 2010 juga menyebutkan 1,3 juta anak usia 7‐15 tahun terancam putus sekolah. Bahkan laporan Kementrian Pendidikan dan
66
Kebudayaan menunjukan bahwa setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. Sedangkan di tingkat Asia saat ini, Indonesia masih tertinggal dari Brunei Darussalam, tetapi lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109).
Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu.
Gambaran hasil pendidikan saat ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Banyak masyarakat berpendapat: Kualitas peserta didik rendah; kualitas guru/pengajar masih rendah; menurunnya akhlak dan moral bangsa, rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, belum meratanya kesempatan belajar (equity) dan banyaknya peserta didik yang putus sekolah; biaya pendidikan mahal; serta pendidikan belum mampu mensejahterakan bangsa, mengingat masih tingginya kemiskinan di Indonesia. Dampak dari hasil pendidikan yang kurang baik ini, dikhawatirkan kedepannya akan makin tertinggal oleh negara negara tetangga/ASEAN.
Ria Anggriasari dkk, 2010, menyampaikan bahwa pendidikan juga mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk mendukung pembangunan di Indonesia. Pembangunan selalu diupayakan seirama dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Namun demikian terkadang, perkembangan zaman itu sering memunculkan persoalan‐persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
*** Terkait kualitas peserta didik yang rendah, anak‐anak Indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal‐soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Sementara itu daya juang/usaha peserta didik dalam mencapai prestasi yang tinggi juga rendah terbukti siswa suka mencontek dan itu biasa terjadi. Tapi apa kita tahu kalau “guru juga suka menyontek”? ini lebih parah, lihat pada test‐test yang di ikuti guru, test pegawai negeri yang diikuti guru. Menyontek menjadi budaya tersendiri.
Bagaimana dengan kualitas guru/pendidik yang masih rendah atau kurang profesional. Dalam dunia pendidikan, guru menduduki posisi tertinggi dalam hal penyampaian informasi dan pengembangan karakter mengingat guru melakukan interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Kualitas pendidikan terbentuk dari kualitas pembelajaran yang juga ditentukan oleh kualitas gurunya.
Kualitas dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga saat ini dari 2,92 juta guru baru sekitar 51% yang berpendidikan S‐1 atau lebih, sedangkan sisanya belum berpendidikan S‐1. Begitu juga dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5% guru yang memenuhi syarat sertifikasi sedangkan 861.670 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu
67
merencanakan, melaksanakan dan menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat.
Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka‐angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Dalam hal mengajar, metode yang menjadi favorit guru hanya satu, yaitu metode ceramah satu arah. Metode yang paling banyak di lakukan guru dan yang paling banyak di kuasai oleh para guru‐guru. Pernahkah guru mengajak anak keliling sekolah untuk belajar? pernahkah guru mengajak siswanya melakukan percobaan alam di lingkungan sekitar? atau guru pernah membawa ilmuan langsung datang ke kelas untuk menjalankan profesinya?
Kalau dilihat pembelajaran di ruang kelas, seperti sudah diseragamkan. Anak‐anak duduk rapi tangan dilipat dimeja, mendengar guru mengajar. Seolah anak‐anak “dipaksa” mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang. Akibatnya siswa tidak dilatih untuk bertanya, anak tidak berani bertanya, atau yang biasa bertanya anak itu itu saja.
***
Bila diukur dari persyaratan akademis, selain menyangkut pendidikan minimal juga diperlukan kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, yang ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality). Banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Tampaknya, kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada. Masalah pertama bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Dikatakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir, tetapi juga mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid untuk menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga‐tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.
68
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top‐down yaitu pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik dianggap manusia‐manusia yang tidak tahu apa‐apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid‐murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu‐waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja.
Yang ketiga, manusia yang dihasilkan dari pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar‐akar budayanya. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain?
Selain itu yang menjadi faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu dan kurang memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas.
*** Dalam hal menurunnya akhlak dan moral bangsa. Pendidikan Tinggi belum mampu
melahirkan lulusan yang memiliki akhlak mulia dan karakter yang kuat. Anarkhisme intra dan interkampus seperti membentuk lingkaran kekerasan, banyak dijumpai terjadinya demo‐demo yang bersifat anarkhis yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa. Dalam hal ini pendidikan agama menjadi sangat penting sebagai landasan akhlak dan moral serta budi pekerti yang luhur yang harus diberikan kepada peserta didik sejak dini. Yang demikian, akan menjadi landasan yang kuat bagi kekokohan moral dan etika setelah terjun ke masyarakat.
Pemerintah mengalokasikan dana Rp 66 triliun untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan pendidikan masih menjadi sektor paling korup di Indonesia. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) 2011, kasus suap terbanyak berasal dari sektor pendidikan. Dari 436 kasus yang ditangani penegak hukum, 54 kasus, atau 12,4%, berhubungan dengan korupsi di sektor pendidikan. Yang paling menyedihkan dari kasus korupsi ini diantaranya ada sebagian besar uang yang dicuri itu, sebenarnya dialokasikan untuk warga miskin yaitu anggaran untuk dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan dana bantuan sosial yang ditujukan untuk membangun gedung sekolah di wilayah‐wilayah miskin dan terpencil di Indonesia.
69
Sangat disayangkan bahwa masalah‐masalah yang menjangkiti sistem pendidikan muncul ketika Indonesia berharap untuk memanfaatkan apa yang disebut sebagai demographic dividend. Hampir 60 persen jumlah penduduk Indonesia berada di bawah usia 40 tahun. Dengan membengkaknya jumlah kaum muda, Indonesia memiliki potensi untuk melampaui statusnya sebagai negara berkembang dan menjadi negara yang siap bersaing. Namun jumlah kaum muda yang sebagian besar tidak terdidik serta kurang terdidik justru bisa berbalik menjadi sebuah bom waktu yang siap meledak manakala pertumbuhan ekonomi negara gagal mencitpakan lapangan pekerjaan bagi mereka.
*** Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan yang menyebabkan terjadinya
pengangguran tenaga terdidik. Secara empiris, kecenderungan meningkatnya pengangguran tenaga terdidik disebabkan oleh perkembangan dunia usaha yang masih didominasi oleh pengusaha besar yang jumlahnya terbatas dan sangat mengutamakan efisiensi (padat modal dan padat teknologi), sehingga pertambahan kebutuhan akan tenaga kerja jauh lebih kecil dibandingkan pertambahan jumlah lulusan dari lembaga pendidikan.
Terkait dengan kewirausahaan, banyak pendapat yang mengatakan bahwa salah satu masalah mendasar yang dihadapi perguruan tinggi adalah problem relevansi dan mutu yang belum menggembirakan. Pendidikan tinggi belum bisa menjadi faktor penting yang mampu melahirkan enterpreneur dengan orientasi job creating dan kemandirian. Akibatnya masih banyak lulusan pendidikan tinggi yang memiliki mental menjadi pegawai, kurang punya kreatifitas dalam mengembangkan usaha.
Terkait dengan belum meratanya kesempatan belajar dan banyaknya peserta didik yang putus sekolah. Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki lebih dari 17000 pulau. Dari segi pemerataan dan penyebaran, distribusi guru tidak merata. Kekurangan guru untuk sekolah di perkotaan, desa, dan daerah terpencil masing‐masing adalah 21%, 37%, dan 66%. Sedangkan secara keseluruhan Indonesia kekurangan guru sebanyak 34%, meskipun di banyak daerah terjadi kelebihan guru. Belum lagi pada tahun 2010‐2015 ada sekitar 300.000 guru di semua jenjang pendidikan yang akan pensiun sehingga harus segera dicari pengganti untuk menjamin kelancaran proses belajar.
Terkait dengan biaya pendidikan mahal; banyak pendapat menyatakan pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak‐Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak‐kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
70
Hingga sekarang masalah infrastruktur pendidikan masih menjadi hantu bagi pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih banyaknya sekolah‐sekolah yang belum menerima bantuan untuk perbaikan. Banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap, laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya. Berdasarkan data Kemendiknas, secara nasional saat ini Indonesia memiliki 899.016 ruang kelas SD namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi rusak. Sementara pada tingkat SMP, saat ini Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas namun ruang kelas dalam kondisi rusak mencapai 125.320 (42%).
Pendidikan belum mampu mensejahterakan bangsa, mengingat masih tingginya kemiskinan di Indonesia. Sampai pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta orang (11,37 persen), berkurang sebesar 0,52 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012 yang sebesar 28,59 juta orang (11,66 persen). Namun tampaknya pendidikan belum mampu mensejahterakan bangsa secara keseluruhan.
Kriteria kelulusan dan pelaksanaan UN masih menjadi polemik di masyarakat. Dari sisi mata pelajaran yang diujikan yakni kelompok Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dianggap tidak mewakili kompetensi siswa secara menyeluruh. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan UN dan materi yang diujikan, tampak tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan perundangan menyangkut pendidikan nasional, karena hanya memperhatikan kecerdasan intelektual saja. Kemampuan intelektual saja jelas tidak menjamin kualitas keberhasilan manusia.
Belum lagi yang masih heboh dibahas di media cetak, media TV, Internet dsb, terkait dengan banyaknya para “intelektual produksi pendidikan” yang korupsi, moral yang rusak, dan berita yang paling hangat minggu‐minggu terakhir ini adanya “Pekan Kondom Nasional”, yang kebetulan pernah penulis bahas 24 tahun yang lalu di Perancis. USULAN PEMECAHANNYA
Fenomena masalah pendidikan tampaknya lebih banyak dibahas tentang rendahnya kualitas guru dalam proses pendidikan dan proses mendidiknya. Beberapa usulan perbaikan untuk menyelesaikan masalah proses pendidikan:
1. Jangan hanya berorientasi pada perolehan angka dalam ujian dan perolehan ijasah saja.
2. Harus dapat meningkatkan daya tangkap peserta didik dan kemampuan menguasai materi bacaan, agar mampu menguraikan jawaban yang memerlukan penalaran
3. Harus mampu meningkatkan daya juang peserta didik dalam menguasai ilmu untuk mencapai prestasi tinggi, secara mandiri, jujur dan tidak nyontek
4. Tidak hanya menyampaikan informasi untuk men‐jejal‐kan materi ilmunya, tetapi melalui interaksi langsung dengan peserta didik sambil menyisipkan karakter baik
71
5. Harus dapat memerankan fungsinya secara optimal dengan tidak hanya ceramah satu arah saja, tapi harus dapat membangkitkan semangat peserta didik untuk meningkatkan keingintahuannya pada ilmu yang dipelajari.
6. Perlu kesesuaian bidang studi/disiplin ilmu dengan bidang dan ilmu yang diajarkannya
7. Harus dapat meningkatkan kepercayaan diri pada peserta didik bahwa interaksi proses pendidikan ini menuju pada memanusiakan manusia, bukan manusia robot
8. Harus mampu menyeimbangkan antara belajar yang berfikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif)
9. Jangan seperti pendidikan gaya bank, yang hanya mengisi otak peserta didik sebagai safe deposit box
10. Tidak cukup hanya mengantarkan peserta didik untuk memenuhi kebutuhan zaman, tapi diharapkan mampu bersikap kritis terhadap zamannya maupun memprediksi masa future‐nya
11. Harus mampu menggali potensi, kreatifitas, minat dan bakat serta kebutuhan peserta didik
Beberapa usulan perbaikan untuk menyelesaikan masalah Kurikulum: 1. Harus membuka/memberi kesempatan kepada guru untuk mencari referensi
tambahan dalam mengembangkan bahan ajar dan tidak terbelenggu pada buku paket
2. Harus disusun untuk mampu mengenalkan anak didik dengan lingkungannya, mampu melahirkan lulusan yang memiliki akhlak mulia dan kharakter yang kuat, mampu menjaga diri untuk tidak mudah korupsi, mampu mengendalikan sifat anarkhisme
3. Harus disusun untuk mampu melahirkan enterpreneur dengan orientasi job creating dan kemandirian, untuk mengurangi mental sebagai pegawai.
Mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat luas, terdiri dari lebih dari 17 000 pulau, dengan jumlah penduduk anak usia sekolah yang sangat besar serta heterogennya kemampuan finansial rakyat Indonesia, diusulkan penyelesaian masalah pendidikan: 1. Regulasi pemerintah yang dapat memberikan kesempatan secara merata kepada
seluruh warga negara baik dari sisi distribusi maupun kualitas guru/pendidik, kesempatan para peserta didik untuk mengenyam pendidikan,
2. Regulasi pemerintah yang dapat mendukung secara merata infrastruktur dan fasilitas pendidikan yang layak, memenuhi standar yang ditetapkan
3. Regulasi pemerintah yang dapat secara merata meningkatkan kesejahteraan para guru/pendidik.
4. Regulasi pemerintah yang dapat meningkatkan kualifikasi guru/pendidik tingkat dasar, menengah dan tingkat pendidikan tinggi.
Berkaitan dengan usulan tersebut, diharapkan kepada Pendidikan Tinggi Penyelenggara bidang pendidikan, termasuk Universitas PGRI Yogyakarta, untuk tanggap terhadap kondisi, tantangan dan kesempatan ini. Guru SD/SMP/SMA yang profesional, sesuai UU
72
Sisdiknas, harus berkualisi S1 (level 6 dalam KKNI) dan Pendidik tingkat Diploma dan Sarjana harus berkualifikasi S2 (level 8) serta harus berkualifikasi S3 (level 9) untuk mendidik di tingkat Magister.
Terbuka lebar dan kesempatan yang banyak untuk meningkatkan pelaksanaan Tridharma, khususnya penelitian bagi para pendidik di Perguruan Tinggi penyelenggara bidang pendidikan, mengingat banyaknya problema pendidikan dan tantangan yang harus diatasi, untuk peningkatan SDM pendukung pembangunan, kesejahteraan bangsa dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan membimbing kita kejalan yang lurus, sehingga problema pendidikan di Indonesia segara dapat teratasi, sehingga bangsa ini kedepan dapat menghasilkan generasi yang bermutu, berakhlak mulia, tangguh, yang tentunya juga diharapkan merupakan alumni dari Universitas ini.
BAHAN PUSTAKA Abraham, Problematika Pendidikan di Indonesia, abraham4544.wordpress.com. Download
1 Desember 2013. Anis Baswedan, 2013, Tantangan Dunia Pendidikan di Indonesia, The Wall Street Jounal, 9
Oktober 1013 Anis Baswedan, 2013, Masa Depan Pendidikan dan Nasionalisme Kita, Diskusi Publik,
Gedung PP Muhammadiyah, Maarif Institute Gubernur DIY Hamengku Buwono X, 2013, Sambutan Peringatan Dies Natalis ke 49
Universitas Negeri Yogyakarta, Kampus Karangmalang, 21 Mei 2013 http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php. Masalah Pendidikan di Indonesia. Nomor urut
artikel: 364 Ria Anggriasari dkk, 2010, Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusinya, Universitas
Negeri Semarang Rendrik Setiawan, 2012, Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusinya,
positivego.blogspot.com. 12 November 2012. Soedibyo, 2013, Pemetaan Permasalahan Pendidikan dan Solusinya, CITIZENG, Opini, 4
September 2015, 06.15 Yanti Mukhtar, Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Republika,
10/5/2005 ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Makalah Permasalahan Pendidikan di Indonesia, van88.wordpress.com. Download
2 Desember 2013 ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Kualitas Pendidikan di Indonesia masih rendah. Berita satu.com, terbit 13 Oktober
2013, ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Kualitas Pendidikan indonesia rangking 69 tingkat dunia. Azermind.com, download
3 Desember 2013 ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐, Peringkat Sistem Pendidikan Indonesia Terendah di dunia. BBC‐Indonesia, 27
November 2012, 13.11 WIB
73
Masalah dan Rekomendasi Kebijakan
POKJA PENEGAKAN HUKUM
[Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, S.H., M.Hum.] Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta
Hukum adalah salah satu bidang yang paling rendah meraih optimisme masyarakat. Padahal, bidang hukum merupakan acuan paling primer bagi pengelola negara. Hal‐hal konkret yang perlu diberikan prioritas dalam: 1. Penuntasan kasus‐kasus yang menjadi perhatian publik
Selama ini terkesan sangat kuat adanya sikap ambigu yang diperlihatkan oleh pemerintah tatkala diminta untuk tegas dalam berupaya menyelesaikan kasus‐kasus yang menarik perhatian publik, yang “kebetulan” melibatkan pejabat atau mantan pejabat tinggi. Rekomendasi untuk penyelesaiannya mungkin sudah ada dan diterima oleh pemerintah. Rekomendasi itu tidak sepenuhnya ditolak tetapi juga ternyata tidak dijalankan. Keraguan bersikap seperti ini akan membuat pemerintah menjadi “sasaran” ketidakpercayaan publik. Untuk itu, hal konkret yang perlu dijalankan oleh pemerintah yang akan datang adalah: (a) menginventarisasi semua “pekerjaan rumah” atas kasus‐kasus yang masih belum tuntas pada pemerintahan masa sebelumnya; (2) mengambil sikap yang jelas untuk meneruskan atau tidak meneruskan proses penanganan kasus‐kasus tersebut, (3) jika tidak meneruskan, harus dijelaskan alasan‐alasannya secara logis dan transparan. Intinya “bola” dari beban “pekerjaan rumah” atas kasus‐kasus tersebut jangan lagi berada di tangan pemerintah saat ini. 2. Peninjauan kembali lembaga‐lembaga pemerintah nonstruktural
Saat ini ada sedemikian banyak lembaga pemerintah nonstruktural, baik yang sederajat dengan kementerian maupun tidak sederajat di dalam jajaran pemerintahan. Nomenklaturnya bisa sangat beragam, seperti badan, lembaga, dewan, pusat, komite, atau komisi (lihat Lampiran di bawah). Jika kita menyimak reaksi masyarakat, terlihat kesan bahwa sebagian dari lembaga tersebut masih belum mampu menuai apresiasi. Sangat mungkin alasannya adalah karena: (a) jumlahnya terlalu banyak, sehingga justru membebani anggaran, (b) ada tumpang tindih tugas dan fungsi satu sama lain, (c) sebagian tidak memperlihatkan luaran (output) pekerjaan yang jelas, misalnya hanya memberikan rekomendasi. Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan kembali institusi‐institusi tersebut, peninjauan kembali tugas dan fungsi masing‐masing, pemberdayaan bagi
74
institusi‐institusi yang ingin tetap dipertahankan. Sebagai contoh Komisi Hukum Nasional dan Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah contoh dari tumpang tindih tugas dan fungsi.
Bagi lembaga pemerintah nonstruktural yang dipandang sangat vital, tetapi tidak cukup “bergigi” dalam menjalankan fungsinya, maka perlu diberi tambahan kewenangan. Sebagai contoh Kompolnas dan Komisi Kejaksaan, bisa saja dipandang vital untuk menjadi lembaga pengawas kinerja aparatur kepolisian dan kejaksaan, tetapi sekarang ini praktis tidak mampu berbicara banyak karena keterbatasan kewenangan. 3. Penertiban birokrasi pemerintahan
Birokrasi adalah penggerak roda pemerintahan yang utama. Birokrasi yang gemuk dan lamban hanya akan menjadi beban bagi pemerintah dan memberikan cermin yang kurang baik. Rekrutmen birokrasi secara transparan dan akuntabel layak untuk diperluas (tidak sekadar dimulai dan hanya di Jakarta). Untuk itu, langkah pertama adalah: (a) penerbitan aturan hukum yang mendorong penertiban dan pemberdayaan birokrasi pemerintahan ini; (b) pemanfaatan teknologi informasi untuk proses rekrutmen, promosi, dan demosi; (c) perbaikan renumerasi dan kesejahteraan, dan (d) mekanisme sanksi yang lebih tegas dan cepat bagi aparat birokrasi yang melanggar. 4. Peningkatan edukasi publik terhadap kesadaran hukum
Program‐program kesadaran hukum sudah lama dijalankan, tetapi belum berjalan secara berkelanjutan. Masyarakat juga tidak menganggap hal ini penting. Padahal, apa yang disebut “revolusi mental” seharusnya juga mencakup edukasi publik terhadap kesadaran untuk menaati/menghormati hukum. Fenomena semasa pileg dan pilpres memperlihatkan adanya dukungan pemilih kaum muda yang bersentuhan langsung dengan teknologi komunikasi/informasi. Peningkatan edukasi publik terhadap kesadaran hukum akan jauh lebih efisien dan efektif jika dirancang dengan pemanfaatan teknologi komunikasi/informasi ini. Contoh kecenderungan radikalisme di kalangan generasi muda sangat mungkin terjadi karena mereka hanya mendapat informasi sepihak tanpa ada counter information dari pemerintah.
75
BIDANG SOSIAL KEAGAMAAN HARUS MENJADI PERHATIAN KABINET JOKOWI JK
[Dr. Zuly Qodir]
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
LSI dan Yayasan DENY JA menyebutkan tahun 2012, masyarakat kehilangan kepercayaan dan kepuasan terhadap lembaga Negara demikian rendah. Ketidakpuasan masyarakat atas Lembaga Kepresidenan mencapai 62, 7%, ketidakpuasan terhadap Polisi 64,7 % dan ketidakpuasan terhadap partai politik 58,1%. Rendahnya kepuasan masyarakat atas tiga lembaga Negara disebabkan kerja lambat, terkesan apatis, dan membiarkan dalam pelbagai kasus pelanggaran HAM kebebasan beragama di Indonesia.
Kita tahu umat Islam adalah mayoritas mencapai 88,18 % dari total penduduk Indonesia 237.641.326 (BPS, 2010). Secara berurutan penganut Kristen : 16,5 juta/6,96%; 6,9 juta/2,4 % Katolik; 4 jt/1,69 % Hindu; 1,7 jt/0,72% Budha, 0,11 jt/0,05% Konghudu dan lainnya 0,13 %. Sekarang diperkirakan mencapai 240 juta, dengan etnis Jawa paling dominan 207 juta
Berikut ini temuan dari laporan tahunan kebebasan beragama dan berkeyakinan The Wahid Institute DESEMBER 2013: 1. Selama Januari sampai Desember 2013, jumlah pelanggaran atau intoleransi
berjumlah 245 kasus atau peristiwa. Dimana 106 peristiwa (43%) melibatkan aktor negara dan 139 peristiwa (57%) oleh aktor non‐negara. Sementara total jumlah tindakan adalah 280 dimana 121 tindakan (43%) dilakukan aktor negara dan 159 tindakan (57%) oleh aktor non negara.
2. Pelanggaran atau intoleransi oleh aktor negara tertinggi di daerah Jawa Barat sebanyak 40 kasus, diikuti Jawa Timur 19 kasus, Jawa Tengah 10 kasus, dan Jakarta 8 kasus.
3. Pelanggaran non‐negara tertinggi juga di daerah Jawa Barat, yakni sebanyak 46 peristiwa, berikutnya Jakarta sebanyak 22 kasus, Jawa Tengah 20 kasus dan Jawa Timur 17 kasus.
4. Pelanggaran atau intoleransi paling banyak di Pulau Jawa yakni 191 kasus (78%), sementara di luar Jawa hanya 54 kasus (22%)
5. Bentuk pelanggaran oleh aktor negara yang paling banyak adalah menghambat/menghalangi/menyegel rumah ibadah, sebanyak 28 kasus. Diikuti pemaksaan keyakinan, 19 kasus. Melarang/menghentikan kegiatan keagamaan, 15 kasus. Dan kriminalisasi atas dasar agama sebanyak 14 kasus, dll.
76
6. Sementara bentuk pelanggara oleh aktor non‐negara paling banyak adalah serangan fisik sebanyak 27 kasus, diikuti penolakan/penutupan tempat ibadah sebanyak 25 kasus.
7. Pelaku dari aktor negara paling sering adalah pemerintah kabupaten/kota sebanyak 32 kasus, diikuti aparat kepolisian 30 kasus, aparat kecamatan 9 kasus, satpol PP 6 kasus, pemerintah provinsi/gubernur 6 kasus, pengadilan 7 kasus, Menag 5 kasus, aparat desa 4 kasus, Kantor Kemenag 4 kasus, DPRD Kab/kota 3 kasus, TNI 3 kasus, pemerintah pusat 3 kasus, MPU Aceh 2 kasus, Mempera 1 kasus, Mendagri 1 kasus, Dinas Pendidikan 1 kasus, jaksa 1 kasus, RT 1 kasus, Menseskab 1 kasus, Dinas Dukcapil 1 kasus.
8. Pelaku berkelompok, paling banyak adalah massa tanpa identitas 57 kasus, kemudian pengurus masjid sebanyak 3 kasus, jemaat kristen 1 kasus, karyawan perusahaan 1 kasus, panitia diskusi 1 kasus.
9. Pelaku institusi, paling banyak adalah MUI sebanyak 18 kasus, kemudian FPI 13 kasus, FUI 8 kasus, Aliansi Ormas 5 kasus, JAT 3 kasus, perusahaan 3 kasus, Aliansi anti Ahmadiyah 3 kasus, Garis 2 kasus, GP Anshor 2 kasus, kampus 2 kasus, MMI 2 kasus, MTA 2 kasus, Muhammadiyah 2 kasus, LSM Muslim 2 kasus, Selebihnya Bassara, FBR, FKUM Pasar Minggu, Formasat tasik, FUIB, Gempa, Gerakan Masyarakat peduli Kerukunan, UNS Solo, pengelola website, SIAP, KUIB, LDII, Lembaga Kajian, Ormas AlManar masing‐masing satu kasus.
10. Pelaku individu 11 kasus tidak teridentifikasi, 1 kasus pelakunya artis, 1 kasus oleh kepala sekolah, 1 kasus oleh ketum PPP, 1 kasus oleh tokoh agama
Sementara Itu Kondisi Kehidupan Keagamaan di Sekolah adalah:
Sebuah riset yang dilakukan Center for Religious and Cross‐Cultural Studies Universitas Gadjah Mada dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta dalam Politik Ruang Publik Sekolah (2011), melaporkan bahwa di Yogyakarta teradapat beberapa sekolah menengah atas (SMA) yang memiliki kecenderungan keras (radikal) dalam memahami keagamaan yang selama ini dianut. Radikalisasi yang mereka anut terjadi karena peran‐peran para mentor yakni para alumni SMA tersebut dalam memberikan pemahaman tentang keislaman pada para siswa SMA tersebut.
Mereka adalah kaum muda (youth) yang rata‐rata berumur 18‐19 tahun merujuk pada Nancy Smith Hefner (2005 dan 2007), mereka ini melakukan aktivitas keislaman di sekolah dengan mendominasi ruang public seperti menjadi pengurus OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) sebuah organisasi resmi milik sekolah menengah atas serta mendominasi kegiatan keislaman dalam organisasi Unit Kerohanian Islam (Rohis) yang sejak tahun 1990 menjalar dimana‐mana, hamper disetiap sekolah negeri yang ada di Yogyakarta, termasuk sekolah‐sekolah unggulan bahkan sekolah berstandar Internasional. Mereka menegosiasikan kepentingan keislamannya dengan melawan struktur yang dilakukan melalui agency agency yang dirawat melalui jaringan alumni sekolah tersebut. (LKiS dan CRCS, 2011)
77
Persoalan radikalisme di sekolah juga harus menjadi perhatian, sebab ketika ditanyakan kepada mereka kepada 100 sekolah di Jabotabek, dengan 590 guru, tentang apakah bersedia terlibat dalam aksi kekerasan, sebanyak 48,9 % bersedia mendukung. Ketika ditanyakan apakah yang dilakukan Nordin M Top, itu dapat dibenarka, sebanyak 14, 2 siswa menyatakan dapat membenarkan. Sementara ketika ditanyakan apakah setuju dengan pemberlakuan syariat Islam sebanyak 84, 8 (85%) menjawab setuju. Sementara ketika ditanyakan apakah Pancasila masih relevan sebagai dasar Negara sebanyak 25,8 atau 26% menjawab tidak relevan. (LAKIP, 2011)
Kita kaitkan dengan kemenangan Prabowo Hatta di Provinsi provinsi seperti Jabar dan Aceh adalah bekas basis DI TII dan NII, sementara di Sumbar dan NTB adalah basis PKS yang beraliran Wahabi Politik dimana wahabi politik bergerak pada level negara dan berkolaborasi dengan rezim politik utk kekuasaan dan kepentingannya. Sedangkan Maluku Utara dan Gorontalo adalah basis Wahabi dari aliran al Irsyad yang nota bene arabiyun. Oleh sebab itu jelaslah perlu mendapatkan perhatian dari kelompok kaum agamawan (muslim mainstream Muhammadiyah dan NU) serta umat agama lain agar Indonesia tidak menjadi sasaran berkembangnya ISIS (Islamic State Irak and Syuriah) yang telah menguasai Irak dan Suriah, dan melakukan pembongkaran makam para Nabi, seperti nabi Yunus di Mosul.
Berdasarkan beberapa persoalan diatas maka hal yang hemat saya mesti mendapatkan perhatian dari Kemenag atau pemerintah yang urus masalah keagamaan, perlu membuat blue print tentang : 1. Penanggulangan Radikalisme dan Terrorism di Level Makro dan Mikro. Pada level
makro berada dibawah Departemen Agama, Kemendiknas dan Kebudayaan untuk membuat sebuah rancangan pembelajaran di tingkat SMP dan SMA yang mendorong terjadinya persebaran perilaku dan pandangan multikultur dan inklusif dalam beragama dan bermasyarakat.
2. Sementara pada level Mikro, pada tiap‐tiap Kemenag Provinsi dan Kabupaten serta Kanwil Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota harus didisain sebuah pembelajaran yang mengantarkan siswa SMP‐SMA untuk bisa sharing dnegan berbagai macam agama dan aliran keagamaan di Indonesia, salah satunya dengan visiting studies dan field visit utk para siswa.
3. Perlu dibuat semacam pusat kajian dan lembaga riset yang secara khusus menangani masalah‐masalah radikalisme dan terorisme di Indonesia dibawah kementrian atau dibawah departemen khusus, seperti Dephan dan Keamanan yang diberi tugas untuk mengkaji dan memberikan masukan terkait isu, dan peristiwa radikalisme dan terorisme di Indonesia dan asia tenggara.
4. Perlu dibuat kebijakan bersama antara Kemenag dan Kemendikbud bidang Kurikulum SMP/MTS sampai SMA/MA untuk mendasain proses pembelajaran yang inklusif dan multikultur dalam setiap kota/kabupaten dan provinsi.
5. Perlu dibuat disain pembelajaran yang mendorong adanya metode belajar bersama dalam sebuah sekolah antara sekolah Islam dan non Islam, tukar pelajar di seluruh
78
Indonesia, dari daerah‐daerah mayoritas Islam ke mayoritas Kristen, demikian sebaliknya dari Kristen ke Islam dan demikian seterusnya.
Matur nuhun Jogjakarta, 16 Agustus 2014
79
JALAN PERUBAHAN UNTUK INDONESIA BERDAULAT, MANDIRI, DAN BERKEPRIBADIAN
[Dra. Marietta.D.Susilawati, M.Hum]
Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara besar yang mempunyai sumber daya alam dan sumber daya manusia yang luar biasa. Sumber daya alam di Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang patut kita syukuri. Wilayah Indonesia yang sangat luas, baik darat maupun lautan terkandung sumber alam yang sangat berlimpah. Tanahnya yang luas dan subur dapat memberikan harapan hidup yang lebih baik bagi semua makhluk hidup, baik manusia, tumbuhan maupun hewan.
Sumber daya manusia Indonesia juga tidak kalah jika dibanding dengan bangsa lain, banyak orang Indoesia yang pandai, hal ini terbukti apabila mengikuti berbagai kompetisi secara internasional , wakil dari Indonesia banyak yang mendapatkan prestasi. Disamping itu banyak orang Indonesia yang studi dan bekerja secara profesional di berbagai negara. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, etnik dan budaya juga merupakan aset yang bisa menjadi salah satu sumber devisa negara. Pancasila sebagai Ideologi bangsa Indonesia juga menunjukkan bahwa bagsa Indonesia merupakan bangsa yang beradab dan bermartabat, sehingga Pancasila banyak dikagumi oleh bangsa lain di dunia. Apabila negara Indonesia dikelola dengan baik maka akan menjadi bangsa yang besar dan mampu bersaing dengan bangsa lain, sehingga sebagai bangsa yang berdaulat bangsa Indonesia mampu ikut menetukan arah globalisasi dan bukan menjadi korban globalisasi. KEADAAN SEKARANG
Negara yang mempunyai sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang luar
biasa seperti Indonesia, apabila dikelola dengan baik, maka menjadi negara yang besar, seperti yang dicita‐citakan oleh para pendiri bangsa, yaitu menjadi negara yang sejahtera adil dan makmur. Persoalannya cita‐cita tersebut masih jauh dari harapan, penyebabnya adalah pengelolaan negara yang kurang maksimal, bahkan cenderung menyimpang, sehingga keadaan Indonesia saat ini cukup memprihatinkan dan hal itu terbukti antara lain sbb:
80
1. Terjadinya kesenjangan sosial ekonomi
Di Indonesia kondisi sosial ekonomi bangsa semakin nampak adanya kesenjangan sosial yang sangat dalam, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan sosial adalah sistem politik yang masih menerapkan “politik uang” dalam pemilihan para pemimpin, sehingga menyebabkan pemimpin yang terpilih belum tentu kredibel dan berkomitmen untuk mensejahterakan rakyat. Hal tersebut menimbulkan banyak kebijakan yang dihasilkan tidak untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk kepentingan mereka yang berdampak pada terjadinya tindak korupsi. Banyaknya korupsi di kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif semakin membuat kehidupan rakyat semakin terpuruk.
Penegakan supremasi hukum yang masih diskriminatif dan maraknya mafia hukum membuat hukum mudah direkayasa, hal ini menyebabkan para pelanggar hukum tidak menjadi jera, melainkan semakin merajalela, misalnya koruptor semakin banyak, tindak kriminalitas semakin tinggi, peredaran dan penyalahgunaan narkoba semakin parah. 2. Pembangunan dan penyebaran penduduk yang tidak merata.
Tidak meratanya kue pembangunan akan menimbulkan terjadinya urbanisasi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, hal ini akan berdampak pada penyebaran penduduk yang tidak merata. Banyak penduduk dari desa dan dari daerah yang menuju kekota besar, sehingga akan menimbulkan berbagai persoalan di kota berkaitan dengan tempat tinggal, kemacetan, maka muncullah perumahan kumuh di kota yang berada di pinggir sungai, sehingga dapat mengganggu fungsi sungai dan dapat mengurangi ruang terbuka hijau. Kondisi tersebut akan menimbulkan persoalan di kota misalnya banjir, macet dsb. 3. Rawan konflik
Keanekaragaman suku, agama, ras dan budaya masih belum dipahami secara baik oleh masyarakat, sehingga sering menimbulkan terjadinya konflik antar suku, agama, ras dan budaya dikarenakan kesalahpahaman karena pemahaman karena sempit atau dangkalnya pemahaman yang menimbulkan masyarakat terjebak pada sentimen dan fanatisme sempit. Disamping itu konflik juga bisa disebabkan oleh kesenjangan ekonomi, kemiskinan juga bisa menjadi salah satu penyebab konflik. 4. Belum siap menghadapi globalisasi
Globalisasi tidak bisa dihindari oleh setiap bangsa, suka atau tidak setiap bangsa harus menghadapi globalisasi, persoalannya ada bangsa yang siap namun ada juga bangsa yang belum siap dalam menghadapi globalisasi. Bangsa Indonesia terkesan belum siap menghadapi globalisasi dalam berbagai bidang. Di bidang ekonomi, bangsa Indonesia masih belum mandiri, khususnya di bidang pangan maupun energi, hal ini terbukti dengan banyaknya impor bahan pangan maupun energi, yang membuat APBN semakin
81
membengkak, dan berdampak pada membengkaknya utang luar negeri yang menjadi beban rakyat. Disamping impor pangan dan energi Indonesia juga masih mengimpor barang‐barang elektronik dan otomotif, tekstil dsb.
Bangsa Indonesia juga terkesan belum siap dalam menghadapi pasar bebas ASEAN 2015. Kebijakan pemerintah untuk mempersiapkan produk maupun tenaga kerja Indonesia belum secara komprehensif dan signifikan seperti yang dilakukan oleh negara‐ negara tetangga, sehingga dikhawatirkan bangsa Indonesia tidak mampu bersaing dengan negara tetangga seperti Singapura, Thailand maupun Malaysia,dan akhirnya akan menjadi korban pasar bebas 2015.
KENDALA YANG DIHADAPI
Untuk menjadi negara yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian banyak kendala
yang dihadapi oleh pemerintah kedepan. Adapun kendala‐ kendala tersebut antara lain : 1. Jumlah pertumbuhan penduduk yang sangat pesat.
Pesatnya pertumbuhan penduduk akan berdampak pada kebutuhan tempat tinggal dan pemenuhan pangan. Biasanya masyarakat yang berpendidikan rendah dan kondisi ekonomi yang tidak memadai justru mempunyai anak banyak. Hal ini akan berdampak pada kelangsungna pendidikan dan pekerjaan, yang akhirnya akan berpengaruh pada tingkat pertumbuhan ekonomi, dan menjadi tanggung jawab negara. Tingkat pertumbuhan penduduk harus dikendalikan oleh negara bekerjasama dengan berbagai pihak. Belum adanya kerjasama antar berbagai pihak secara komprehensif ini akan menjadi kendala dalam mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk. 2. Belum adanya chek and balance antara eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Ketiga lembaga tersebut selama ini masih terkesan belum menjalankan fungsinya masin‐masing yaitu saling menjalankan fungsi kontrol, sehingga persoalan korupsi masih menjadi faktor utama penyebab penderitaan rakyat. Beberapa proyek pemerintah yang mengarah pada tindak korupsi dan telah lolos dari persetujuan DPR, bahkan penindakan hukumnyapun masih banyak penegak hukum yang bisa disuap, sehingga korupsi tidak semakin berkurang melainkan semakin merajalela. 3. Liberalisasi ekonomi.
Penerapan ekonomi liberal membuat kesenjangan ekonomi semakin dalam, dan rakyat kecil semakin tak berdaya. Selama ini pemerintah kurang menerapkan ekonomi kerakyatan,proteksi terhadap usaha kecil kurang maksimal, sehingga pemodal besar semakin berjaya dan pemodal kecil banyak yang gulung tikar. Contoh konkret tidak dibatasinya toko‐toko modern, maka menyebabkan warung‐warung kecil banyak yang tersaingi dan akhirnya gulung tikar. Hal ini menunjukkan bahwa peranan pemerintah sebagai pelindung rakyat kecil belum berfungsi dengan maksimal.
82
4. Kurangnya kehadiran negara
Apabila terjadi tindak kekerasan maupun konflik horisontal, masih banyak terjadi bahwa rakyat belum merasakan kehadiran negara. Banyak kasus konflik antar perbedaan suku, agama, seperti kasus AKKBP di Monas, Kasus Cikeusik, kasus Poso, kasus Maluku dll yang menyebabkan terjadinya korban yang tak terhindarkan. 5. Kurangnya penanaman tentang pluralisme dan multikulturalisme
Pendidikan baik secara ‐ informal dalam keluarga maupun pendidikan formal di sekolah masih belum benar‐benar berhasil untuk menanamkan nilai‐nilai pluralisme dan multikulturalisme bagi anak didik, sehingga kemajemukan bangsa Indonesia ini masih belum disikapi secara positif, melainkan lebih banyak disikapi secara negatif. Hal ini terlihat masih adanya kelompok kurangnya rasa toleransi, bahkan masih ada kelompok‐ kelompok yang ingin memaksakan kehendaknya pada orang lain, serta masih sering terjadinya konflik yang disebabkan karena perbedaan suku, agama dsb.
6. Kurangnya keteladanan para pemimpin
Di Indonesia masih banyak para pemimpin, baik pejabat negara, wakil rakyat, pemimpin masyarakat maupun pemimpin agama yang belum bisa memberikan teladan tentang : kesederhanaan, kejujuran, kedisiplinan, dsb. Yang terjadi justru sebaliknya, sehingga rakyat tidak mempunyai figur positif yang pantas untuk diteladani. Tidak adanya keteladanan para pemimpin menyebabkan masyarakat tidak respek lagi terhadap kebijakan yang dibuat oleh para pemimpin, bahkan cenderung apatis terhadap kebijakan para pemimpin.
7. Masa transisi kepemimpinan
Kendala masa transisi kepemimpinan pada pemilu 2014 adalah tidak dilibatkannya calon presiden terpilih dalam pembuatan RAPBN 2015, sehingga pemerintahan yang baru ke depan tidak leluasa untuk menjalankan program‐programnya, sehingga hanya menjalankan program jangka pendek. SOLUSI DAN REKOMENDASI
Untuk mengatasi kondisi dan beberapa kendala tersebut diatas maka perlu dilakukan
terobosan untuk mengatasinya yaitu antara lain sbb: 1. Sistem politik yang demokratis
Demokrasi yang berkualitas adalah Kedaulatan ditangan rakyat, maka partisipasi rakyat yang tinggi dalam kehidupan politik perlu diupayakan, sehingga tercipta budaya politik yang sehat, sportif, menghargai perbedaan, santun dalam berperilaku, mengutamakan kedamaian dan persatuan serta anti kekerasan dalam berbagai bentuk.
83
Budaya politik tersebut diharapkan dapat meminimalisir sistem politik uang, sehingga pemimpin yang dipilih benar‐benar kredibel dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat, sehingga siap untuk melayani rakyat , bukan hanya mengejar jabatan dan uang. Semua itu diharapkan melahirkan kepemimpinan yang demokratis, kuat dan efektif. Pemimpin yang demikian diharapkan mampu menjadi teladan bagi rakyatnya, dan rakyat juga sangat respek dan mencintai serta mencontoh pemimpinnya. Kondisi tersebut akan mendorong negara menjadi maju, kondusif dan sejahtera, serta dapat mengurangi kesenjangan sosial dalam masyarakat. 2. Sistem hukum yang adil
Semua warga negara berkedudukan sama di depan hukum dan berhak untuk mendapatkan keadilan. Hukum ditegakkan untuk keadilan dan bukan untuk kepentingan kekuasaan atau kepentingan kelompok tertentu. Tantangan terwujudnya aturan hukum yang adil serta institusi hukum dan aparat penegak hukum yang jujur, profesional, independen akan membawa kepastian hukum, sehingga fungsi hukum sebagai efek jera akan terwujud. Keseriusan pemerintah dalam penegakan hukum dalam berbagai hal, termasuk kasus korupsi, pelanggaran HAM, maupun berbagai kasus yang lain akan memulihkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah maupun penegak hukum. Hal ini akan membantu memperbaiki kondisi dan mengatasi persoalan bangsa bangsa yang carut marut.
3. Pemerataan Pembangunan
Sudah saatnya pemerintah melakukan pembangunan yang merata, baik antara desa dan kota dalam berbagai pulau, sehingga NKRI tetap terjaga karena sama‐sama mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pemerataan pembangunan , baik antara desa dan kota di berbagai pulau tentu disesuaikan dengan ciri dan kebutuhan masing‐masing. Yang perlu dibangun dalam pembangunan desa adalah tata kelola pertanian dan peternakan, infra struktur, mental dan skill SDM (petani, peternak, nelayan dsb) , serta tata niaga penjualan produknya, sehingga desa dan kota mampu saling memenuhi kebutuhan, dan dapat mengurangi ketergantungan impor, dengan demikian bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang mandiri dan bermartabat. Pembangunan desa yang berhasil akan dapat memacu roda perekonomian dan pemberdayaan masyarakat serta kemajuan daerah, sehingga dapat meminimalisir terjadinya urbanisasi. Terjadinya penyebaran penduduk antara desa dan kota diharapkan dapat mengurangi berbagai persoalan yang terjadi baik di kota maupun di desa selama ini. 4. Sistem ekonomi yang adil dan produktif
Tantangan sistem ekonomi yang adil dan produktif adalah terwujudnya ekonomi yang berpihak pada rakyat serta terjaminnya sistem insentif ekonomi yang adil dan mandiri. Sistem ekonomi tersebut berbasis pada kegiatan rakyat yang memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkesinambungan, terutama yang bersumber pada
84
pertanian, kehutanan dan kelautan. Untuk merealisasikan sistem ekonomi tersebut diperlukan SDM yang kompeten dan mekanisme ekonomi yang menyerap tenaga kerja, misalnya Indonesia tidak perlu ekspor bahan baku, melainkan barang yang sudah jadi, selain harganya lebih tinggi dapat menyerap tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran. Disamping itu negara mengembangkan ekonomi yang mengolah SDA, dan industri kreatif, termasuk industri jasa di berbagai bidang, sertifikasi dan peningkatan skill SDM serta standarisasi produk dapat membantu bangsa Indonesia mampu bersaing dalam menghadapi salah satu dampak globalisasi yaitu pasar bebas. 5. Pembenahan sistem pendidikan
Selama ini sistem pendidikan lebih mengutamakan segi kognitif, dan kurang menekankan pendidikan karakter, hal tersebut berdampak pada perilaku generasi muda bangsa Indonesia yang kurang bangga menjadi bangsa Indonesia. Pendidikan ideologi Pancasila dan pendidikan budi pekerti perlu dikaji ulang agar generasi muda tidak kehilangan jati diri, menjadi bangsa yang santun dan bermartabat serta bangga menjadi bangsa Indonesia, sehingga dapat meningkatkan rasa nasionalisme dan patriotisme bangsa. Pendidikan akan penyadaran pluralisme dan multikulturalisme perlu ditanamkan, baik secara informal dalam keluarga, non formal dalam masyarakat maupun secara formal di sekolah dari tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi. Penanaman pluralisme dan multikulturalisme melalui pendidikan akan membantu bangsa Indonesia menjadi bangsa yang inklusif dan humanis, sehingga lebih toleransi dalam menyikapi keragaman agama dan budaya 6. Sistem sosial budaya yang beradab
Tantangan terwujudnya sistem sosial yang beradab adalah terpelihara dan teraktualisasinya nilai‐nilai universal yang diajarkan setiap agama dan nilai‐nilai luhur budaya bangsa, sehingga mampu bersikap inklusif dan humanis. Terwujudnya kebebasan untuk berekspresi dalam rangka pencerahan, penghayatan dan pengamalan agama serta keragaman budaya menunjukkan bahwa budaya dan martabat bangsa Indonesia tetap terjaga. Sistem sosial yang beradab mengutamakan terwujudnya masyarakat yang mempunyai rasa saling percaya, saling menyayangi, baik terhadap sesama masyarakat maupun antara rakyat dengan institusi publik. PENUTUP
Untuk menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian, maka bangsa
Indonesia harus siap untuk melakukan perubahan dalam berbagai bidang. Apabila setiap orang mempunyai kesadaran dan mau melakukan perubahan dengan sungguh‐sungguh, maka bangsa Indonesia akan mengalami perkembangan ke arah positif, sehingga dapat mewujudkan cita‐citanya untuk menjadi negara yang sejahtera adil dan makmur. Dalam kondisi yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian maka bangsa Indonesia mampu
85
bersaing dengan negara lain dalam menghadapi globalisasi , sehingga dapat menjadi negara yang ikut menentukan arah globalisasi. Yogyakarta, 18 Agustus 2014
86
REVOLUSI MENTAL MENJAWAB TANTANGAN BANGSA: Sumbangan Pemikiran untuk Presiden Terpilih Joko Widodo
[Merphin Panjaitan]
Penulis buku “Logika Demokrasi:Menyongsong Pemilihan Umum 2014” dan “Dari Gotongroyong ke Pancasila”
PENDAHULUAN
Pemilihan Presiden telah selesai, Joko Widodo menjadi Presiden Terpilih dan Jusuf Kalla menjadi Wakil Presiden Terpilih, dan akan dilantis pada 20 Oktober 2014. Tersedia cukup waktu bagi Presiden Terpilih Joko Widodo untuk memilih dan mengangkat para menteri. Dalam memilih dan mengangkat para menteri, jangan lupa dengan janji kepada masyarakat selama kampanye. Banyak janji telah ditabur dan konsekwensinya akan dituai banyak tuntutan. Berbagai permasalahan bangsa telah menanti. Berbagai tantangan harus dijawab, untuk mewujudkan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang lebih baik, maju, makmur, aman, sejahtera dan adil.
Banyak gejala buruk yang terjadi pada era orde baru, berlanjut ke era refomasi dan bertahan sampai sekarang. Korupsi di negara kita telah terjadi di masa orde baru, dan sekarang di era reformasi korupsi semakin meluas bersamaan dengan pemberian otonomi daerah dan penguatan lembaga legislatif. Tampaknya kemana kekuasaan negara ditempatkan, kesana korupsi ikut. Korupsi mengikuti kekuasaan negara,atau lebih parah lagi korupsi melekat pada kekuasaan negara. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita bahwa penyalahgunaan kekuasaan negara di Indonesia pernah terjadi di masa orde baru dan sedang berlanjut sampai sekarang. Korupsi tidak berkurang,bahkan meluas bersamaan dengan meluasnya kekuasaan negara.
Masyarakat adil makmur adalah cita‐cita nasional yang didengungkan sejak sebelum merdeka,tetapi sampai sekarang,masih terlalu banyak warga masyarakat yang belum makmur,dan bahkan sangat miskin. Banyak penganggur dan warga miskin,hidup bersama warga kaya dan bahkan sangat kaya.Ketimpangan ekonomi sangat mencolok,akibat penyelenggaraan negara yang tidak adil.Kaum miskin,karena kemiskinannya sering diperlakukan tidak adil, diabaikan dan dilecehkan.
Konflik dengan kekerasan antar berbagai kelompok masyarakat telah banyak terjadi di era orde baru,dan di era reformasi ternyata masih terus terjadi,bahkan lebih sering dan memakan korban lebih banyak. Tawuran massal dapat kita lihat di televisi hampir setiap hari,baik di kota maupun di desa.Tawuran massal terjadi karena banyak warga masyarakat
87
yang tidak mau menyelesaikan perselisihan mereka dengan cara yang demokratis dan damai.
Kebebasan beragama dan berkepercayaan adalah bagian dari hak kebebasan yang harus dijamin dalam negara demokrasi, karena salah satu fungsi negara adalah menjamin terpenuhinya hak asasi manusia.Tetapi gangguan dan ancaman terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan yang terjadi sejak era orde baru, sampai sekarang masih terjadi dan bahkan semakin hebat.Perusakan rumah ibadah, khususnya gedung gereja dan rumah ibadah penganut Ahmadiyah sering terjadi.
Pada masa kampanye yang lalu Joko Widodo menjanjikan akan memimpin gerakan perubahan nasional untuk mewujudkan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang lebih baik. Penggerak utama dari gerakan tersebut adalah Revolusi Mental.Saya pikir dalam Revolusi Mental tersebut harus diwujudkan perubahan perilaku masyarakat dan negara, menjadi lebih maju,gotongroyong,demokratis, kreatif,kerja keras dan adil. PEMBARUAN PERILAKU MASYARAKAT
Masyarakat Indonesia dalam upaya mewujudkan kemajuan bangsanya,harus siap hidup bersama dalam semangat persaudaraan.
Di atas segala perbedaan yang ada, seperti perbedaan ras, suku, agama, profesi, hak milik, kepandaian, dan berbagai perbedaan lainnya, disepakati suatu kebaikan bersama yang diperjuangkan bersama. Kesejahteraan,keamanan,keadilan dan kemajuan bagi semua adalah cita‐cita bersama, yang ditentukan bersama dan harus diperjuangkan bersama‐sama.
Kebersamaan ini harus terus dipupuk dengan selalu mengedepankan kepentingan semua. Individu yang satu dengan yang lain bisa saja mempunyai pemikiran dan kepentingan yang berbeda,tetapi kalau bangsa Indonesia hendak bertahan hidup dan berkembang,harus bersedia hidup bersama dalam semangat persaudaraan.Demikian pula dalam kehidupan kenegaraan,berbagai kelompok masyarakat dalam suatu negara bisa saja mempunyai kepentingan yang berbeda‐beda, atau bahkan bertentangan, tetapi kalau kehidupan bersama mau diwujudkan, dialog harus dibuka untuk mendapatkan konsensus.Kesombongan kelompok dibuang, saling pengertian diutamakan dan dengan demikian kehidupan bersama berlangsung damai dan sejahtera. Hidup bersama dalam semangat persaudaraan
Hidup bersama dalam suatu negara dapat terwujud kalau ada kesadaran akan kesetaraan, kebebasan dan toleransi, dan dijiwai oleh semangat persaudaran,sebagai suatu bangsa yang telah memilih untuk hidup bersama.Dalam kehidupan kemasyarakatan,yang kaya memberikan sebagian kekayaannya untuk membantu yang miskin, yang kuat menggunakan kekuatannya untuk menolong yang lemah, yang kuasa menggunakan kekuasaannya untuk membantu yang tidak kuasa, yang sehat mengurus yang sakit, dan orang hidup mengurus yang mati.Seperti bunyi suatu hukum tua: Orang
88
yang mengumpulkan banyak tidak kelebihan, dan yang mengumpulkan sedikit tidak kekurangan, tetapi yang tidak mau bekerja janganlah ia makan.
Persaudaraan antar anak bangsa harus terus dipelihara dalam semua bidang kehidupan sebagai bagian dari penerapan martabat manusia demi kebaikan bersama. Pembelaan kita kepada yang lemah harus diperkuat karena kaum lemah tidak mampu membela dirinya sendiri.Kaum miskin tidak dapat membela kepentingannya secara perorangan, dan oleh karena itu mayarakat secara bersama‐sama berjuang disemua bidang kehidupan,terutama dibidang politik, mendorong negara membuat kebijakan pemberdayaan kaum miskin. Perjuangan kebangsaan yang sedang merosot ini hanya dapat kita pulihkan dalam kebersamaan kita sebagai suatu bangsa,baik dalam suka ataupun duka. Penderitaan kelompok masyarakat yang satu dapat dirasakan oleh kelompok masyarakat yang lain,dan kemudian bersama‐sama menanggulanginya. Berubah dari orientasi status menjadi orientasi prestasi
Masyarakat perlu menyadari bahwa negara tidak memberikan kekayaan kepada masyarakat,tetapi masyarakat yang berusaha menjadi kaya dengan memanfaatkan kondisi kondusif yang disiapkan oleh negara. Masyarakat menjadi kaya,membayar pajak lebih banyak membuat anggaran belanja negara menjadi lebih besar. Dan anggaran belanja negara yang membesar ini diperjuangkan agar digunakan oleh negara untuk pemberdayaan kaum miskin. Warga masyarakat bersaing dalam pasar,ada yang menang dan tentu ada pula yang kalah. Sebagian warga masyarakat menjadi kaya dan sebagian lagi menjadi miskin atau tetap miskin. Negara harus memberdayakan kaum miskin agar tetap punya kesempatan meningkatkan kesejahteraannya. Untuk itu perlu diberlakukan ketentuan imbalan kerja yang berbeda bagi warga kaya dan warga miskin. Bagi warga kaya: Setiap orang memberi menurut kemampuannya,dan menerima sesuai prestasi kerjanya, dan bagi warga miskin: Setiap orang memberi menurut kemampuannya, dan menerima sesuai kebutuhannya untuk hidup dan berkembang.
Masyarakat luas harus mengubah orientasinya, dari masyarakat yang berorientasi pada status berubah menjadi masyarakat yang berorientasi pada prestasi.Kerja dan prestasi adalah keharusan bagi individu, masyarakat dan bangsa untuk kehidupan yang lebih baik dan maju. Kerja keras dan prestasi adalah kebutuhan semua orang,kaya ataupun miskin, laki‐laki ataupun perempuan, muda ataupun tua. Kerja keras dan prestasi adalah cara terhormat untuk memenuhi kehidupan hidup tiap‐tiap orang dan keluarganya.
Kerja keras dan prestasi adalah aktualisasi diri,tampil di masyarakat sebagai suatu individu yang utuh,dan berfungsi dalam pemeliharaan kesehatan fisik,mental dan spiritual. Kepribadian demokrasi
Masyarakat juga harus ikut aktif dalam proses politik agar demokrasi yang mantap lebih cepat terwujud. Demokrasi mengakui, semua manusia demi kelangsungan hidup dan perkembangan dirinya, mempunyai hak‐hak dasar yang didapat dari Pencipta dan dikenal dengan hak asasi manusia, antara lain hak hidup, hak kebebasan, hak memiliki, dan hak
89
mengupayakan kebahagian. Dalam demokrasi cara dan tujuan sama pentingnya.Oleh karena itu,walaupun pengambilan keputusan menjadi lambat, tetapi prosedur demokrasi harus dijalani. Berbeda dengan pemerintahan diktator yang memisahkan tujuan dengan cara. Segala cara bisa ditempuh demi pencapaian tujuan,dengan semboyan, tujuan membenarkan cara.
Demokrasi adalah pemerintahan negara untuk pertanggungjawaban,dan masyarakat luas ikut dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan. Sekali keputusan ditetapkan dapat diharapkan masyarakat luas akan mendukung. Sehubungan dengan itu kepribadian demokrasi dikembangkan di kalangan masyarakat luas, dari hari ke hari semakin luas dan mendalam, hingga terwujud budaya demokrasi. Seorang demokrat mandiri dalam berpikir, emosi dan intelektual, dapat mengatur dirinya sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Toleran terhadap berbagai perbedaan dan mengakui kesetaraan manusia.Mereka berani mengambil keputusan sendiri dan berani memikul tanggung jawab. Kepribadian demokrasi dapat terbentuk kalau kepada orang tersebut diberikan kebebasan untuk memilih dan mungkin saja melakukan kesalahan. Seorang tumbuh, belajar membuat pilihan‐pilihan dan sekali‐kali membuat pilihan yang salah. PEMBARUAN PERILAKU NEGARA
Perilaku negara yang buruk harus diubah,menjadi negara yang berperilaku
demokratis,adil, melayani seluruh rakyat,dan bertanggung jawab. Dan agar negara mau menjadi demokratis, adil dan melayani seluruh rakyat, harus terjadi interaksi yang seimbang,a dil dan saling mempercayai antara negara dengan masyarakat.Untuk itu perilaku negara dan masyarakat harus diperbarui.
Negara berfungsi melayani rakyat, dan oleh karena itu negara tidak boleh menjadi tujuan untuk dirinya sendiri. Secara umum tujuan negara adalah kesejahteraan dan keamanan rakyat,tidak lebih tidak kurang. Negara dapat melaksanakan tanggungjawabnya kalau kepada negara dipercayakan menjalankan kekuasaan yang sepadan.Kekuasaan itu disebut kekuasaan negara,cukup besar tetapi terbatas. Kekuasaan negara harus cukup besar karena tanggungjawabnya besar,tetapi terbatas karena negara adalah alat yang harus dapat dikendalikan oleh rakyat. Kekuasaan negara yang tidak terbatas justru akan digunakan oleh penguasa untuk menelan rakyat sipemilik negara.
Negara harus menciptakan kondisi yang kondusif bagi kemajuan masyarakat,antara lain dengan menjamin kebasan penduduk.Tidak ada kemajuan tanpa kebebasan,karena kemajuan membutuhkan kreativitas individu dan masyarakat, dan kreativitas membutuhkan kebebasan. Tanpa kebebasan berbicara, kebebasan berserikat, dan berbagai kebebasan lainnya,serta jaminan keamanan dan pemilihan umum yang demokratis,kendali rakyat terhadap negara akan lemah, dan akibatnya negara diperalat oleh penguasa untuk kepentingan mereka sendiri.
90
Terapkan Prinsip Subsidiaritas
Kekuasaan negara dibatasi oleh fungsinya.Negara hanya melakukan fungsi yang tidak dapat dilakukan sendiri dengan baik oleh masyarakat. Artinya, negara hanya melengkapi, bukan menggantikan masyarakat.Negara membantu masyarakat dalam berbagai fungsi yang tidak dapat dikerjakan sendiri dengan baik oleh masyarakat. Negara subsidier terhadap masyarakat. Dari pemikiran ini terbentuklah salah satu prinsip negara demokrasi, yaitu prinsip subsidiaritas.
Negara berfungsi membantu masyarakat, dan berbagai fungsi yang dapat dilaksanakan sendiri dengan baik oleh masyarakat, negara tidak perlu melakukannya. Kata“subsidiaritas” berasal dari kata Latin “subsidium” yang berarti “bantuan, sokongan”.7
Negara membantu masyarakat dalam upaya mereka mencapai kehidupan yang lebih maju, aman dan sejahtera. Masyarakat bekerja keras untuk mencapai cita‐citanya,dan negara membantu masyarakat mewujudkan kehidupan bersama yang lebih maju, demokratis, damai, aman, sejahtera dan adil. Pada waktu pengangguran terlalu banyak, seperti yang terjadi sejak 1997 sampai dengan sekarang ini, yang berarti masyarakat gagal menciptakapan cukup kesempatan kerja8, negara harus turun tangan langsung membuka lapangan kerja baru untuk menampung para penganggur.
Persoalan besar yang kita hadapi adalah konflik antar negara dan masyarakat, bukan konflik antara berbagai kelompok masyarakat. Negara di satu sisi berupaya untuk memperbesar kekuasaannya, sementara di sisi lain masyarakat ingin mempertahankan otonominya. Konflik seperti ini tampaknya akan berlangsung lama.Sebagai contoh konflik antara negara dan masyarakat, adalah antara Kementerian Pendidikan dengan sekolah tentang wewenang penentuan kelulusan pelajar. Stop Ujian Nasional dan kembalikan penentuan kelulusan kepada sekolah
Sekolah adalah bagian dari masyarakat yang menjalankan fungsi pendidikan dan
pengajaran, mulai dari menerima peserta didik, melaksanakan pengajaran, sampai dengan menentukan kelulusannya. Dan agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, sekolah membutuhkan otonomi. Kemajuan sekolah akan mendorong kemajuan individu, masyarakat dan Negara.Kemajuan sekolah dapat dicapai apabila sekolah memperoleh otonominya dan memiliki guru yang profesional.Dan profesi guru akan berkembang apabila kepada guru diberi kepercayaan menjalankan tugas pendidikan dan pengajaran, termasuk dalam menguji dan menentukan kelulusan pelajar.
Berdasarkan prinsip subsidiaritas, Ujian Nasional seharusnya dihentikan, dan penentuan kelulusan seorang pelajar ditentukan oleh sekolahnya masing‐masing.
7 Lihat Frans Magnis Suseno,1992, Etika Politik, Jakarta, Penerbit PT Gramedia, halaman 306‐307 8 Penciptaan kesempatan kerja terutama menjadi fungsi masyarakat.
91
Penentuan kelulusan pelajar adalah bagian dari fungsi sekolah9. Pemerintah tidak perlu membuat Ujian Nasional untuk menentukan kelulusan seorang pelajar. Penentuan kelulusan pelajar melalui pelaksanaan Ujian Nasional yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan adalah suatu bentuk pengambilalihan sebagian fungsi sekolah oleh negara. Kebijakan ini bertentangan dengan prinsip subsidiaritas.Pelaksanaan Ujian Nasional untuk menentukan kelulusan pelajar SD,SLTP dan SLTA oleh Pemerintah10, ditambah dengan kecenderungan negara terlalu banyak mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat dapat membawa negara ini menjadi negara totaliter. Lulus tidaknya seorang pelajar ditentukan oleh sekolah. Negara tidak berwewenang menentukan kelulusan seorang pelajar. Negara mengatur lembaga pendidikan, tenaga pendidik dan kriteria yang digunakan untuk menentukan kelulusan seorang pelajar.UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengatur sebagai berikut:UU membagi dua tugas evaluasi.
Evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah, seperti yang dimuat dalam Pasal 59 ayat (1) :Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Sedangkan penilaian hasil belajar peserta didik dipercayakan kepada pendidik dan sekolah, dimuat dalam :Pasal 39 ayat (2) berbunyi: Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran ………., dan Pasal 58 ayat (1) berbunyi: Penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Pasal 61 (ayat 2) berbunyi: Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
Digunakannya Ujian Nasional untuk menentukan kelulusan peserta didik tidak menyelesaikan masalah pendidikan, tetapi justru membuat masalah baru. Pemerintah membuat peraturan, Pemerintah memberikan ijin pendirian sekolah. Pemerintah melaksanakan akreditasi dan Pemerintah juga mengambil kewenangan guru dalam penilaian terhadap peserta didik.Dengan kebijakan seperti ini,berarti Pemerintah tidak mempercayai guru dan sekolah. Otonomi sekolah diambil negara dan guru tidak dipercaya. Mutu pendidikan tidak akan pernah meningkat dalam negara yang Pemerintahnya tidak mempercayai guru dan sekolah.Penentuan kelulusan pelajar dengan Ujian Nasional menunjukkan ketidakpercayaan negara terhadap sekolah, sebagai bagian dari masyarakat. Kebijakan ini adalah simbol dari ketidakpercayaan negara terhadap masyarakat.
9 Guru dan sekolah lebih mengetahui tentang siapa diantara pelajar yang layak lulus,dan oleh karena itu sekolah dapat menentukan lebih tepat pelajar yang lulus dan tidak lulus.
10 Ujian Nasional telah menjadi bahan perdebatan ditengah masyarakat, dari tahun ke tahun, Sikap pro‐kontra terus muncul dan tetap kuat.
92
Saya mengusulkan, dalam bulan pertama pemerintahannya,Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Penghentian Ujian Nasional dan Pengembalian Penentuan Kelulusan Pelajar kepada Sekolah. Dan bersamaan dengan itu mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Pelaksanaan Survei Kependidikan Nasional untuk Pembuatan Peta Kependidikan Nasional dan sekaligus untuk melihat kemajuan pendidikan. Kebijakan Kesempatan Kerja Penuh(fullemployment policy)
Tantangan besar bagi Indonesia sekarang ini antara lain adalah masalah pengangguran yang telah berlangsung sejak krisis ekonomi tahun 1997,dan belum ada kemajuan yang berarti sampai sekarang. Indonesia dengan jumlah penduduk besar mempunyai angkatan kerja yang juga besar.Jumlah pencari kerja besar,dan yang tidak mendapat pekerjaan menjadi penganggur.Penganggur yang terlalu banyak akan menimbulkan bebagai permasalahan ekonomi,sosial dan politik.Jawaban terbaik untuk mengatasi masalah pengangguran adalah menyediakan kesempatan kerja yang cukup untuk menampung para pencari kerja,sehingga setiap pencari kerja mendapatkan pekerjaan yang sesuai.
Penduduk Indonesia pada Agustus 2010 diperkirakan berjumlah 238,22 juta orang,dengan penduduk usia kerja sebesar 172,07 juta orang.Pada waktu yang sama,jumlah angkatan kerja mencapai 116,53 juta orang,terdiri dari penduduk yang bekerja 108,21 juta orang dan pengangguran terbuka 8,32 juta. Selama 10 tahun,dari Agustus 2001 dengan penganggur terbuka 8,1% turun menjadi 7,1% pada Agustus 2010,memperlihatkan tidak ada kemajuan yang berarti dalam mengurangi persentase penganggur terbuka di Indonesia. Penciptaan kesempatan kerja terutama menjadi fungsi masyarakat. Tetapi kalau masyarakat gagal menciptakan kesempatan kerja dalam jumlah cukup,maka sesuai dengan prinsip subsidiaritas, negara harus turun tangan langsung membuka lapangan kerja baru untuk menampung para penganggur.
Soekarno dalam pidato 1 Juni1945 dalam Sidang Pertama BPUPKI menawarkan budaya gotongroyong, yang telah lama digunakan dalam kehidupan sehari‐hari masyarakat Indonesia diterapkan dalam kehidupan kenegaraan Indonesia.Gotongroyong adalah membanting tulang bersama,memeras keringat bersama, perjuangan bantu‐binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.11 Semboyan”keringat semua buat kebahagiaan semua” hanya dapat terwujud kalau semua orang mendapat pekerjaan yang sesuai dengan bakat,minat dan kemampuannya, serta mendapat upah yang layak dan adil..
UUD 1945 Pasal 27 ayat(2) menyatakan:Tiap‐tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dan Pasal 28D ayat (2) menyatakan: Setiap
11 Lihat Saafroedin Bahar dkk,penyunting,1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia, halaman 82.
93
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Secara konstitusional,Indonesia seharusnya menjalankan Kebijakan Kesempatan Kerja Penuh Dan oleh karena itu saya mengusulkan Pemerintah menjalankan Kebijakan Kesempatan Kerja Penuh secara konsekwen. Diusulkan negara harus turun tangan langsung menurunkan angka penganggur terbuka menjadi lebih rendah dari 3% dan atau angka setengah penganggur lebih rendah dari 6%.12
Kebijakan kesempatan kerja penuh membutuhkan anggaran yang sangat besar dan untuk itu diusulkan alokasi anggaran sebagai berikut: Pertama: Diadakan prioritas dalam alokasi anggaran belanja negara, baik dalam APBN maupun APBD. Prioritas pertama pada anggaran yang berpengaruh besar dalam peningkatan kesempatan kerja, peningkatan produktivitas masyarakat dan peningkatan daya saing bangsa. Peningkatan kesempatan kerja dilaksanakan terutama dengan investasi besar‐besaran oleh negara dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Investasi ini akan membuka lapangan kerja seluas‐luasnya baik langsung maupun tidak langsung. Para penganggur dengan keterampilan yang sesuai akan diterima bekerja di proyek‐proyek pembangunan infrastruktur, dan penganggur lain masuk ke sektor‐sektor ekonomi yang tumbuh dan berkembang akibat pembangunan infrastruktur tersebut. Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan, pembangkit listrik buatan dalam negeri, pembangunan waduk dan irigasi ditingkatkan,disertai dengan penanam hutan,pembersihan dan perbaikan sungai, dan kalau perlu menimbun Selat Sunda.Kedua: Anggaran lain dikurangi, misalnya gaji Presiden, para menteri, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, gubernur, bupati, walikota, dan pejabat negara lainnya diturunkan. Ketiga: Pembelian peralatan perang dikurangi dan sebagai gantinya membangun pabrik senjata di dalam negeri, dengan maksud menambah kesempatan kerja baru sekaligus mengurangi ketergantungan peralatan perang terhadap negara lain. Keempat: Berbagai bidang usaha yang dapat dikerjakan perusahaan swasta, seperti perkebunan kelapa sawit, karet, coklat dijual kepada swasta nasional,dan dana hasil penjualan ini dapat digunakan untuk membentuk BUMN strategis seperti pabrik energi terbarukan,pabrik senjata dan lain‐lain. Penerimaan negara dari keuntungan perusahaan sebaiknya dikurangi untuk mencegah negara bersaing dengan masyarakat. Kelima: Penerimaan negara dari pajak ditingkatkan dengan cepat.
12 William Henry Beveridge pada tahun 1942 dalam Laporan berjudul Social Insurance and Allied Services menyampaikan tesis sebagai berikut:Karena pekerja tidak mampu menciptakan full employment,maka full employment menjadi tanggungjawab negara.Full employment didefinisikan sebagai negara dengan kesempatan kerja lebih besar dari pekerja yang tersedia,sehingga apabila seseorang kehilangan pekerjaan,segera mendapatkan pekerjaan baru.Negara bertanggungjawab menurunkan pengangguran menjadi 3 %. Dikutip dari http://en.wikipedia.org diakses tanggal 24 Januari 2012,pukul 08.00 WIB.
94
Tetapkan Undang‐Undang Ganti Rugi
Negara berfungsi menegakkan keadilan,dan untuk itu negara juga harus dapat “dihukum” kalau dia bersalah kepada masyarakat,sebagaimana negara menghukum warga masyarakat yang bersalah.
Pejabat negara yang bersalah dihukum dan kerugian masyarakat yang diakibatkan kesalahan pejabat negara harus diganti oleh negara. Negara walaupun bersalah tidak dapat dimasukkan kedalam penjara, oleh karena itu yang dipenjarakan adalah pejabat negaranya, sedangkan negara membayar ganti rugi.
Sesuai dengan pemikiran ini, Sengkon dan Karta seharusnya mendapat ganti rugi, tetapi sulit dilaksanakan karena belum ada undang‐undang yang mengaturnya. Sengkon dan Karta dituduh membunuh pasangan Sulaiman‐Siti Haya, dan pada Oktober 1977 Sengkon divonis 12 tahun dan Karta 7 tahun penjara. Di dalam penjara Sengkon dan Karta ketemu Genul yang mengaku membunuh pasangan Sulaiman‐Siti Haya. Genul akhirnya diajukan ke pengadilan dan divonis 12 tahun. Meskipun pembunuh yang sebenarnya telah divonis, Sengkon dan Karta tidak langsung bebas, karena keduanya tidak mengajukan banding hingga keputusan terhadap kedua orang ini dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Albert Hasibuan, seorang pengacara, memperjuangkan pembebasan Sengkon dan Karta,dan pada Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung Oemar Seno Aji memerintahkan agar keduanya dibebaskan lewat jalur peninjauan kembali. Terhadap ketidakadilan negara ini, Sengkon dan Karta menuntut ganti rugi Rp.100 juta,‐Tuntutan berpindah dari satu Pengadilan ke Pengadilan yang lain, tetapi negara tetap tidak memberi ganti rugi.
Negara sangat tidak adil, karena negara telah berlaku tidak adil kepada Sengkon dan Karta sebanyak 2 kali, pertama menghukum mereka yang tidak bersalah dan kedua tidak mau memberi ganti rugi.
Dan untuk menutupi kekurangan ini perlu ditetapkan Undang‐Undang Ganti Rugi, yang antara lain mengatur tentang tindakan negara yang dapat dimintakan ganti rugi, bagaimana tuntutan itu dilaksanakan; bagaimana menghitung kerugiannya; dan bagaimana pengadilannya. Perlu dibentuk Pengadilan Ganti Rugi, dengan sebagian hakim dan jaksa nonkarir, agar pengadilan dapat berlangsung adil. Negara harus menegakkan keadilan dalam segala bidang kehidupan. Keadilan adalah suatu keadaan dimana semua pihak mendapatkan haknya. Rakyat mendirikan negara adalah untuk menegakkan keadilan, dan penegakan keadilan adalah pemenuhan hak dari semua pihak yang berhak.
Tetapkan Undang‐Undang Pembuktian Terbalik Harta Pejabat dan Pegawai Negara.
Negara harus memberantas korupsi,karena korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan negara oleh pejabat negara,atau siapapun yang dipercaya menjalankan kekuasaan negara.Korupsi di negara kita ini tampaknya sulit diberantas, karena banyak dari warganegara Indonesia yang sejak sebelum menjadi pejabat telah membuat rencana korupsi. Seseorang calon gubernur, bupati, ataupun walikota sejak pencalonan sampai dengan kampanye telah mengeluarkan banyak dana,baik miliknya sendiri ataupun bantuan
95
dari pihak lain. Bukan tidak mungkin,banyak dari kandidat ini,sejak awal membuat dua agenda sekaligus,yaitu:satu agenda pemerintahan, dan satu lagi agenda korupsi untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Korupsi mengakibatkan banyak kerugian,antara lain:Pertama:Banyak bangunan publik seperti gedung sekolah, jalan raya dan jembatan yang cepat rusak karena bangunannya tidak sesuai dengan rencana semula, agar tersedia dana untuk menyuap para pejabat terkait.Kedua: Pemerasan yang terjadi kepada warga masyarakat dalam pengurusan berbagai ijin mengakibatkan ekonomi biaya tinggi yang menghambat perkembangan perekonomian masyarakat.Pemerasan ini membuat marah banyak warga masyarakat,dan bukan mustahil menimbulkan kebencian kepada Pemerintah. Ketiga: Korupsi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah, dan Pemerintah yang tidak dipercayai masyarakat hampir pasti gagal. Keempat: Korupsi besar‐besaran seperti yang terjadi di Indonesia mengakibatkan ketidakadilan dan ketimbangan ekonomi. Para koruptor beserta keluarga dan kroninya menjadi sangat kaya dengan cara melanggar hukum sementara masyarakat luas tetap miskin, walaupun telah bekerja keras sepanjang hidupnya.Melihat berbagai dampak buruk dari korupsi, kita perlu membuat strategi pemberantasan korupsi yang tepat dan kuat. Negara harus menghukum koruptor dan sekaligus mencegah terjadinya korupsi.Untuk itu perlu ditetapkan Undang‐Undang Pembuktian Terbalik Harta Pejabat dan Pegawai Negara. Undang‐Undang ini mengharuskan semua Pejabat dan Pegawai Negara melaporkan dan membuktikan asal‐usul harta dan harta keluarganya, satu kali setiap tahun.Kalau orang tersebut gagal membuktikannya, pejabat tersebut dinonaktifkan sementara dari jabatannya,dan kegagalan ini diumumkan kepada publik. Waktu nonaktif tersebut dapat digunakan untuk satu kali lagi membuktikan kebenaran harta milik tersebut dan kalau gagal lagi, pejabat tersebut diberhentikan dengan tidak hormat dan dibawa kepengadilan. Pelaksanaan Undang‐Undang Pembuktian Terbalik Harta Pejabat dan Pegawai Negara dipercayakan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MENGATASI JEBAKAN SUBSIDI BBM
Tantangan terbesar yang segera dihadapi oleh Presiden Joko Widodo adalah
“Jebakan Subsidi BBM” Subsidi BBM ini adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan dan terlalu besar. Ratusan triliun rupiah uang rakyat dibakar di jalanan,meningkatkan emisi gas CO2 dan menimbulkan kemacetan lalulintas di banyak kota besar. Ratusan triliun rupiah ini seharusnya digunakan untuk membangun banyak sarana dan prasarana umum dan sekaligus membuka jutaan kesempatan kerja baru untuk mempekerjakan para penganggur.
Subsidi BBM yang terlalu tinggi tentu memberi keuntungan besar kepada importir BBM, tetapi merampas peluang untuk kesejahteraan masyarakat. Walaupun kita telah sepakat mengurangi Subsidi BBM,tetapi pelaksanaannya tidak mudah. Parpol di luar pemerintah akan menggunakan isu BBM ini untuk melawan pemerintah. Oleh karena itu perlu dibuat strategi cerdas untuk mengatasi Jebakan Subsidi BBM ini.
96
Strategi ini beranjak dari prinsip bahwa harga dan subsidi BBM adalah bagian dari APBN. Untuk itu tentukan terlebih dahulu program kerja Pemerintah pada tahun tertentu. Kemudian perkirakan jumlah penerimaan negara pada tahun tersebut,dan selanjutnya ditentukan subsidi dan harga jual BBM.Dan untuk mengurangi resistensi masyarakat, sebaiknya beberapa progaram strategis ditetapkan dengan Undang‐Undang Khusus. Misalnya Undang‐Undang tentang Peningkatan Kesempatan Kerja untuk Rehabilitasi Hutan. Undang‐Undang Peningkatan Kesempatan Kerja untuk Pembuatan Jalan dan Jembatan Baru. Undang‐Undang tentang Peningkatan Kesempatan Kerja untuk Pembangunan Waduk dan Rehabilitasi Sungai.APBN ini menggunakan anggaran defisit,dan oleh karena itu penerimaan negara dari pajak harus terus meningkat dengan cepat. Untuk itu urusan pajak perlu dikeluarkan dari Kementerian Keuangan dan dibuatkan badan baru, dipimpin oleh seorang pejabat negara setingkat menteri dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Dengan strategi seperti ini,uang hasil penjualan bahan tambang,khususnya BBM dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, antara lain melalui tersedianya lapangan kerja yang cukup,sarana dan prasarana umum yang memadai dan ekonomi masyarakat yang merata dan berkembang. PEMBERDAYAAN KAUM MISKIN
Pemberdayaan adalah peningkatan keberdayaan/kemampuan seseorang atau sekelompok orang,sehingga mampu mandiri menjalani hidupnya. Pemberdayaan kaum miskin adalah peningkatan kemampuan kaum miskin sehingga mampu meninggalkan kemiskinannya dan mandiri.Pemberdayaan kaum miskin dilaksanakan dalam semua bidang kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan,karena penyebab kemiskinan juga datang dari semua bidang kehidupan,dengan penggerak utama di bidang politik.
Kaum miskin terperangkap dalam kemiskinannya oleh berbagai penyebab dari luar dirinya.. Kemiskinan di Indonesia sebagian besar adalah kemiskinan struktural, suatu kemiskinan yang diakibatkan struktur kemasyarakatan dan kenegaraan menutup akses kaum miskin keberbagai sumber daya yang menjadi hak mereka. Kemiskinan struktural adalah ketidakadilan negara terhadap kaum miskin. Kondisi ini membuat kaum miskin terperangkap dalam kemiskinannya, bukan atas kehendak mereka,tetapi karena sebagian pejabat negara, baik pejabat terpilih maupun pejabat yang diangkat, dengan sengaja dan direncanakan mengambil hak kaum miskin untuk menambah jumlah kekayaan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan negara yang dipercayakan oleh rakyat kepada mereka.
Pemilikan alat produksi oleh masyarakat termasuk kaum miskin juga dibutuhkan untuk mengimbangi negara yang kekuasaannya sangat besar. Interaksi politik negara‐masyarakat yang seimbang menjadi jaminan kuatnya kendali rakyat terhadap negara. Kaum miskin dengan alat produksi miliknya tidak tertinggal dari kelompok masyarakat lainnya dalam berinteraksi dengan negara. Negara melayani rakyat seluruhnya, tanpa kecuali.Kaum miskin berhak mendapatkan berbagai faktor produksi.
97
Petani padi berhak menuntut kepada negara,antara lain berupa:bantuan benih unggul, subsidi pupuk, pinjaman modal, kesempatan memperoleh lahan pertanian dengan cara kredit, dan harga jual gabah yang menguntungkan petani.Kebijakan seperti ini juga diberlakukan pada nelayan, industri kecil, pedagang kecil, penduduk disekitar hutan, penduduk disekitar pertambangan, dan juga pengangguran.Untuk mendukung program pengalihan faktor produksi kepada kaum miskin,dibutuhkan koperasi sebagai badan usaha bersama kesumber modal. Kaum miskin, sekecil apapun, memiliki kemampuan.Dengan sedikit bantuan pihak lain, negara atau masyarakat, kemampuan ini dapat ditingkatkan dan produktifitas mereka akan meningkat.
Masyarakat sendiri tidak mampu menanggulangi kemiskinan ini,dan karena itu menjadi tanggungjawab negara mengatasinya. Semua warganegara, termasuk kaum miskin berhak menjadi kaya dan negara berfungsi membantunya.
Manusia membutuhkan hak milik pribadi, terutama alat‐alat produksi. Petani memiliki lahan dan alat pertanian, peternak memiliki ternak dan padang penggembalaan, nelayan memiliki perahu atau kapal penangkap ikan, petambak ikan memiliki tambak, dan seterusnya. Semua keluarga mempunyai rumah tinggal sendiri, tempat mereka memelihara dan mendidik anak‐anaknya. Pemilikan alat‐alat produksi oleh perorangan menjadi sangat strategis, agar masyarakat dapat mengimbangi negara yang kekuasaannya sangat besar. Kaum miskin membutuhkan harta milik perorangan, terutama alat produksi, dalam jumlah yang memadai. Petani memiliki lahan pertanian, peternak memiliki ternak dan padang penggembalaan, nelayan memiliki perahu atau kapal penangkap ikan, petambak ikan memiliki tambak, dan seterusnya. Semua keluarga mempunyai rumah tinggal sendiri, tempat mereka memelihara dan mendidik anak‐anaknya.
Pemilikan alat produksi oleh masyarakat,termasuk kaum miskin juga dibutuhkan untuk mengimbangi negara yang kekuasaannya sangat besar. Interaksi politik yang seimbang antara negara dan masyarakat menjadi jaminan kuatnya kendali rakyat terhadap negara.Kaum miskin dengan alat produksi miliknya tidak tertinggal dari kelompok masyarakat lainnya dalam berinteraksi dengan negara. Negara melayani rakyat seluruhnya, tanpa kecuali, tidak berpihak dan adil.
Pengaturan pemilikan alat produksi seperti ini akan membuat harta milik perorangan menjadi lebih merata, dan kondisi ini kondusif bagi pemberdayaan kaum miskin dalam negara demokrasi, sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Milik perorangan,termasuk milik kaum miskin adalah prestasi kerja seseorang, yang harus dihormati oleh masyarakat dan negara, tetapi tidak lepas dari fungsi sosial yang dijiwai semangat persaudaraan.Dengan demikian bangsa Indonesia semakin kuat dan mampu bersaing dengan bangsa yang telah lebih dahulu maju, dan pada waktu yang sama warga miskin bergerak cepat meninggalkan kemiskinannya. Indonesia berubah menjadi bangsa yang kuat ditengah persaingan antar bangsa yang semakin keras, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi kenyataan.
98
Penguatan koperasi
Pengalihan faktor produksi kepada kaum miskin13 membutuhkan koperasi,sebagai badan usaha bersama yang dapat digunakan kaum miskin menjadi jalan kesumber dana. Koperasi adalah usaha bersama,yang dikelola secara gotongroyong untuk kesejahteraan bersama. Melalui koperasi kaum miskin dapat menuntut pinjaman modal dari Pemerintah. Petani dapat memiliki lahan pertanian sendiri dengan pinjaman dari koperasi, demikian pula nelayan yang saat ini tidak mempunyai kapal dan modal kerja, dan oleh karena itu untuk mengatasinya, nelayan perlu menjadi anggota koperasi, dan koperasi nelayan ini mempunyai usaha kapal nelayan, pabrik pengolahan ikan, dan transportasi serta pasar penjualan ikan.
Kondisi yang sama diberlakukan juga bagi profesi yang lain. Sopir taksi dapat memilik taksi, pedagang kakilima memiliki tempat berjualan, dan seterusnya.
Negara membantu penguatan koperasi anatara lain dengan memfasilitasi pembentukan dan pemeliharaan koperasi di kalangan petani, nelayan, buruh, pedagang kecil dan berbagai profesi lainnya. Kemudian berbagai jenis koperasi ini mengumpulkan modal untuk membentuk bank yang akan melayani mereka, terutama dalam penyediaan faktor produksi.
Ratusan atau bahkan ribuan koperasi tani membentuk Bank Tani Gotongroyong, dan bank ini meminjamkan dananya kepada petani untuk membeli lahan pertanian secara bergiliran,sebagaimana petani di Minahasa dahulu kala menggunakan mapalus untuk memiliki lahan pertanian secara bergiliran. Ratusan koperasi nelayan bergotongroyong membentuk Bank Nelayan Gotongroyong,dan bank ini meminjamkan dananya kepada koperasi nelayan untuk membeli perahu nelayan dan atau membangun pabrik pengolahan ikan secara bergiliran. Ratusan atau bahkan ribuan koperasi buruh bergotongroyong membentuk Bank Buruh Gotongroyong, dan bank ini meminjamkan dananya kepada koperasi buruh untuk membeli sebagian saham perusahaan tempat mereka bekerja. Ratusan atau bahkan ribuan koperasi tani, nelayan,buruh dan sejenisnya bergotongroyong membentuk Bank Perumahan Gotongroyong, dan bank ini akan meminjamkan dananya kepada petani, nelayan dan buruh yang membutuhkan untuk membeli rumah secara bergiliran.
Koperasi dijadikan sarana utama mendekatkan kaum miskin kesumber modal, oleh karena itu negara harus ikut memperkuat koperasi. Koperasi perlu diperkuat, dan untuk itu perlu dibentuk direktorat jenderal koperasi di semua kementerian bidang ekonomi, seperti
13 Kaum miskin dengan bermodalkan pengetahuan dan keterampilan,mengelola harta miliknya, meningkatkan pendapatan dalam upaya keluar dari perangkap kemiskinan.Universal Declaration of Human Rights pasal 17 ayat (1) mengamanatkan:Everyone has the right to own property alone as well as in association with others.(Setiap orang berhak memiliki harta,baik sendiri maupun bersama‐sama dengan orang lain).UUD 1945 pasal 28H ayat (4) mengamanatkan:Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang‐wenang oleh siapapun.
99
kementerian: perindustrian, perdagangan, pertanian, kehutanan, kelautan,dan perhubungan. Dan dengan demikian kementerian koperasi tidak diperlukan lagi. Wakil Presiden, wakil gubernur, wakil bupati dan wakil walikota bertugas supervisi dan koordinasi program penguatan koperasi di wilayah kerjanya masing‐masing. Dengan menguatnya koperasi di seluruh wilayah Indonesia, perekonomian nasional akan tumbuh lebih cepat, merata dan adil; pengangguran dan kaum miskin berkurang; daya saing produksi nasional di pasar global meningkat; dan ketimpangan ekonomi berkurang. Koperasi menjadi sokoguru perekonomian nasional, apabila koperasi diselenggarakan secara gotongroyong, baik antar individu dalam masyarakat, dan antara masyarakat, swasta dan negara. Pasar yang adil
Sebagaimana rakyat mengendalikan negara,rakyat juga perlu mengendalikan pasar, karena baik negara maupun pasar adalah alat milik rakyat, yang dengan sengaja dibuat untuk keadilan, keamanan, dan kesejahteraan manusia. Rakyat mengendalikan pasar, karena kalau tidak, pasar akan dikendalikan pihak lain, yaitu pengusaha besar dan atau pejabat negara, untuk keuntungan mereka sendiri.
Rakyat mengendalikan pasar dengan maksud: Pertama: Pasar menjadi adil bagi semua pihak, baik produsen maupun konsumen.Ketersediaan dan harga bahan pangan pokok seperti beras, gandum, dan susu, tidak boleh begitu saja diserahkan kepada pasar, karena bahan pangan ini harus selalu tersedia cukup di pasar,dengan harga yang adil, dilihat dari kepentingan konsumen maupun produsen. Oleh karena itu,negara harus ikut berperan dalam penyediaan bahan pangan tersebut dan penentuan harganya. Kebijakan publik harus bisa masuk ke dalam pasar. Kedua: Pasar dapat digunakan mendukung kemajuan bersama suatu bangsa dan seluruh umat manusia. Untuk ini, pasar harus terbuka untuk semua barang dan jasa,sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, baik produsen maupun konsumen. Kepada bangsa‐bangsa terbelakang diberi waktu yang pantas untuk meningkatkan daya saingnya. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. Ketiga: Pasar berpihak pada orang‐orang rajin, pekerja keras yang kreatif, dan pada saat yang sama menghukum para pemalas. Pasar memberi imbalan lebih banyak kepada pekerja keras, rajin dan kreatif sesuai dengan prestasi kerja mereka,dan kepada pemalas diberi kesempatan hidup menderita, sebagai imbalan atas kemalasannya. Kondisi seperti ini diperlukan untuk mendorong semua manusia, hidup dan bekerja keras sesuai dengan martabat manusia.
Negara dan pasar harus bekerja melayani rakyat seluruhnya, dan oleh karena itu negara dan pasar harus berada dalam kendali rakyat, bukan pengusaha besar dan atau penguasa. Dengan pengendalian seperti ini, negara dan pasar bersedia melayani semua, termasuk warga masyarakat lemah dan miskin.
Negara dan pasar harus dipisah,dan sampai batasan tertentu kedua pihak ini mempunyai otonomi,saling berinteraksi secara seimbang, damai,saling mempercaya dan adil.Negara dan pasar tidak boleh bersatu,karena kalau mereka bersatu,negara dan pasar
100
akan mengabdi kepada penguasa dan pengusaha besar,untuk kepentingan mereka sendiri,dan merugikan masyarakat.Persatuan negara dan pasar adalah persekongkolan antara penguasa dan pengusaha, dan persekongkolan ini akan melepaskan negara dan pasar dari kendali rakyat.
Dalam kehidupan kenegaraan,agar rakyat dapat mengendalikan negara,kekuasaan negara harus dibatasi dan dibagikan secara seimbang dan saling mengawasi. Rakyat dapat menggunakan satu lembaga negara untuk menghadapi lembaga negara lainnya,seperti menggunakan Mahkamah Konstitusi untuk uji materi Undang‐Undang yang ditetapkan Dewan Perwakilan Rakyat.Dalam kehidupan kemasyarakatan, kekuasaan pasar harus dibatasi dan dibagikan kepada jutaan produsen dan konsumen,yang saling bersaing. Hukum mengatur, membatasi, dan membagi‐bagi,baik kekuasaan negara maupun pasar.Dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan,negara dan pasar saling berinteraksi dengan kekuasaan yang terbatas, otonomi yang terbatas,berada dalam kendali rakyat,dan digunakan melayani rakyat seluruhnya. KABINET GOTONGROYONG
Jokowi JK dalam visinya antara lain menyebutkan kepribadian gotongroyong,dan sebagai bagian dari implementasinya saya usulkan agar Presiden Joko Widodo membentuk Kabinet Gotongroyong.Dengan harapan pemerintahan Presiden Joko Widodo nantinya akan bekerja secara gotongroyong,hingga tantangan bangsa yang sangat berat ini dapat dijawab dengan tepat dan cepat.
Gotongroyong adalah pusat peradaban bangsa Indonesia yang telah berlangsung sejak lebih dari satu juta tahun yang lalu.Masyarakat Indonesia yang bergotongroyong berhasil bertahan hidup dan berkembang,dan kemudian mendirikan negara kebangsaan Republik Indonesia.Dengan menghadapi segala cobaan yang muncul,bangsa Indonesia tetap hadir sampai sekarang sebagai bangsa merdeka,karena tumbuh dan berkembang dalam peradaban gotongroyong.Menjadi tanggungjawab kita semua memperjuangkan agar penyelenggaraan negara Republik Indonesia berlangsung oleh gotongroyong dari seluruh rakyat Indonesia,tanpa membedakan asal usul,suku,ras,dan agama.
Gotongroyong adalah kerja bersama,kerja keras,setara,sukarelan,bantu membantu untuk kebaikan bersama.Gotongroyong didirikan di atas kesadaran saling ketergantungan manusia terhadap sesama. Kesadaran ini akan menjadi pendorong kerjasama dalam masyarakat,bantu membantu, tolong menolong, demi keamanan dan kesejahteraan semua.Keyakinan ini perlu diterapkan dalam kehidupan kenegaraan, antara lain dengan membentuk Kabinet Gotongroyong.
101
BAB IV POROS MARITIM DUNIA DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI
102
ARAH BARU KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA JOKOWI‐JK
[Don K Marut] Presidium Seknas Jokowi
PENGANTAR
Meskipun di dalam negeri rakyat Indonesia sering disuguhi dengan berita tentang kehebatan Indonesia di dunia Internasional, berita‐berita seperti itu sebenarnya tidak memiliki gaung di tingkat internasional. Aktor‐aktor dan kinerja kebijakan luar negeri Indonesia masih setara dengan actor‐aktor dan kinerja dari Negara‐negara miskin dan sedang berkembang lainnya. Capaian Indonesia sebagai lower middle income country tidak cukup memberi keyakinan bagi Negara‐negara lain, terutama Negara‐negara maju dan upper middle income countries untuk mengalihkan wajahnya ke Indonesia. Meskipun Indonesia disebut sebagai Negara demokratis, tetapi korupsi, beban utang luar negeri, kepastian kebijakan pembangunan di dalam negeri dan ditambah lagi masalah‐masalah pelanggaran HAM di dalam negeri di masa lalu masih terlalu kuat di dalam catatan Negara‐negara mitra untuk menjadikan Indonesia sebagai mitra unggulan yang patut dipercaya menjadi rujukan. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini cukup stabil, pertumbuhan tersebut tidak cukup berkualitas untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki contoh dalam bidang kebijakan pembangunan ekonomi. Berbeda dengan China dan India, yang memiliki fondasi yang kuat dalam kerangka institusional ekonominya dan untuk kebijakan‐kebijakan lain, Indonesia masih mengacu kepada resep‐resep dari Bank Dunia dan IMF untuk hampir semua kebijakan ekonomi dan keuangan.
Dibutuhkan suatu proses “reformat” kebijakan luar negeri, yang tidak hanya mengandalkan “diplomasi senyum dan kata‐kata manis”, tetapi kepastian dalam mengambil arah dan sikap di dalam issue‐issue internasional, dan di dalam menentukan pilihan kebijakan dan keputusan yang tepat yang sesuai dengan kepentingan pembangunan Indonesia. Perjanjian‐perjanjian bilateral dalam kerjasama pembangunan bisa diambil sebagai contoh sederhana, di mana posisi Indonesia hampir tidak berada pada posisi yang menguntungkan. Perjanjian bilateral dengan Jepang, sebagai kreditor terbesar Indonesia, misalnya, selalu mencantumkan klausula di mana setiap proyek fisik yang dibiayai utang dari Jepang harus menggunakan alat‐alat yang dibeli dari Jepang, dan kalau menggunakan supplier Indonesia maka sekurang‐kurangnya 10% saham dari perusahaan supplier tersebut harus milik perusahaan Jepang. Perjanjian‐perjanjian seperti ini jelas memposisikan Indonesia pada kerugian beruntun. Hal ini menunjukkan diplomasi
103
Indonesia di dalam kerjasama internasional masih lemah dan tidak sinkron dengan kepentingan pembangunan di dalam negeri.
Gagasan Poros Maritim dari Jokowi‐JK sebenarnya sudah terlambat beberapa dasawarsa dibandingkan dengan India, China, Korea dan Jepang di Asia. Dibutuhkan percepatan konseptualisasi dan realisasi konsep Poros Maritim ini untuk mengejar ketertinggalan dari Negara‐negara lain yang potensial menjadi competitor di Asia‐Pasific dan Asia‐Afrika. Politik luar negeri Indonesia selama ini yang lebih defensive karena berkaitan dengan pelanggaran HAM dan korupsi di dalam negeri perlu ditinjau kembali dan orientasi politik luar negeri lebih diarahkan pada politik pembangunan dan ekspansi ekonomi, di bawah kerangka Poros Maritim dengan Doktrin Maritim yang jelas juga. I. EMPAT FOKUS UTAMA POLITIK LUAR NEGERI
Di dalam debat capres‐cawapres dan di dalam visi‐misi Jokowi‐JK telah disebutkan beberapa pokok pikiran yang menjadi dasar politik luar negeri Indonesia dalam rangka membantu pembangunan di dalam negeri dan peningkatan ketahanan/pertahanan Indonesia. Pokok‐pokok pikiran tersebut dikelompokkan dalam empat fokus utama, yang dirumuskan dari tantangan‐tantangan dan peluang‐peluang yang dihadapi Indonesia ke depan. A. Negara Indonesia hadir di mana ada warga Negara Indonesia, dan di mana ada bangsa lain yang sedang ditindas.
Tenaga kerja Indonesia dan warga Negara Indonesia tersebar di banyak Negara. Kontribusi mereka terhadap pembangunan baik secara langsung maupun tidak langsung sudah diakui cukup signifikan. 1. Tenaga Kerja Indonesia:
Tenaga kerja Indonesia, baik yang unskilled maupun yang memiliki high skill tersebar di berbagai Negara. Pemerintah perlu memberi perhatian khusus pada tenaga kerja yang unskilled atau pun yang bergerak di dalam bidang‐bidang pelayanan rumah tangga, perkebunan dan manufaktur di Negara‐negara lain. a. Pemerintah harus meninjau ulang penempatan tenaga kerja di Negara‐negara yang
tidak mempunyai undang‐undang perlindungan tenaga kerja dan tidak mengakui konvensi PBB tentang Hak‐hak Asasi Manusia dan Konvensi PBB tentang buruh migran. Pemerintah wajib meninjau ulang penempatan tenaga kerja Indonesia di Negara‐negara dimana TKI Indonesia selalu mendapatkan perlakuan yang tidak berperikemanusiaan, atau yang melanggar hak‐hak buruh sesuai ketentuan ILO dan hak‐hak buruh migran sesuai Konvensi PBB tentang Buruh Migran.
b. Pemerintah, sebagaimana dinyatakan di dalam UU No. 37/199 tentang Hubungan Luar Negeri, Bab V, Pasal 19, 20 dan 21, wajib memberi pengayoman, perlindungan dan
104
pelayanan kepada warga Negara Indonesia. Khusus berkaitan dengan tenaga kerja Indonesia (TKI), setiap perwakilan Indonesia di Negara‐negara di mana TKI ditempatkan wajib memantau secara regular, melindungi dan memberikan segala bentuk bantuan hokum kepada TKI jika terjadi sengketa atau masalah hokum antara majika dan TKI yang bersangkutan.
c. Pemerintah wajib melindungi TKI yang tidak ditempatkan melalui jalur‐jalur resmi yang ditetapkan pemerintah. Secara khusus pemerintah wajib memberi perhatian kepada TKI di Malaysia yang memasuki Malaysia melalui jalur‐jalur tidak resmi. Untuk Itu Perwakilan Indonesia di Malaysia harus menempatkan pejabat‐pejabat setingkat konsul di setiap kota yang diidnetifikasi dekat dengan wilayah kerja dari TKI yang ditempatkan secara tidak resmi tersebut. Perwakilan RI di Malaysia wajib mengetahui jumlah dan tempat kerja dari semua TKI di Malaysia, baik yang ditempatkan secara legal maupun “illegal”.
Untuk warga Negara Indonesia yang hidup dan bekerja di luar negeri dengan skill tinggi, pemerintah wajib melindungi, mengayomi dan memberi pelayanan sesuai kebutuhan, dan menjamin agar setiap warga Negara Indonesia dan keluarganya memiliki sentuhan budaya secara langsung dengan budaya Indonesia. Sebagai contoh, buku‐buku bacaan Bahasa Indonesia tentang Indonesia untuk anak‐anak yang lahir atau tinggal di Negara‐negara lain selalu tersedia, sehingga anak‐anak yang lahir dan tinggal di Negara lain memiliki keterikatan dengan budaya dan situasi yang ada di Indonesia. 2. Diaspora Indonesia:
Perkumpulan Indonesia Diaspora perlu diperkuat, tidak hanya menjadi forum silaturahmi antar‐warga Negara Indonesia di luar negeri, tetapi menjadi wadah untuk merumuskan kontribusi warga Negara Indonesia di luar negeri untuk pembangunan di berbagai sector di Indonesia. Jika keahlian warga Diaspora Indonesia ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia atau oleh perusahaan‐perusahaan di Indonesia, maka warga Indonesia tersebut perlu ditarik ke dalam negeri dengan gaji dan benefits yang pantas sesuai dengan kondisi di dalam negeri. Warga Diaspora Indonesia juga bisa didorong untuk menjadi tenaga marketing untuk produk‐produk Indonesia, dan menjadi sumber informasi untuk ekspansi pasar produk‐produk Indonesia di luar negeri.
Warga Negara Indonesia yang kawin dengan warga Negara lain juga bisa didorong untuk membangun perkumpulan peminat Indonesia. Di Australia dan Jerman sudah ada perkumpulan orang Indonesia yang kawin dengan orang Australia dan Jerman dan secara rutin mengirimkan bantuan untuk pembangunan desa atau sekolah‐sekolah di daerah‐daerah tertentu di Indonesia. Kehadiran pemerintah Indonesia di dalam perkumpulan‐perkumpulan ini amat penting untuk memperkuat keterikatan mereka pada Indonesia. 3. Republik Maluku Selatan dan Organisasi Papua Merdeka:
Orang Indonesia yang berwarganegara lain dan potensial menciptakan masalah, seperti Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda dan Organisasi Papua Merdeka (OPM)
105
yang tersebar di berbagai Negara perlu mendapat perhatian khusus. Organisasi‐organisasi ini sering mengganggu Indonesia baik di tingkat internasional maupun di dalam negeri.
Pemerintah wajib merangkul dan mengadakan dialog secara rutin dengan kelompok‐kelompok tersebut dan para pendukungnya di beberapa Negara. Ada beberapa strategi yang akan dilakukan, baik oleh perwakilan Indonesia di luar negeri, maupun oleh delegasi khusus dari Indonesia: a. Mengadakan festival budaya, seperti budaya Maluku atau Budaya Papua di Negara‐
negara tersebut, termasuk pemutaran film‐film tentang Maluku dan Papua. b. Mengadakan pertemuan‐pertemuan informal dan formal dengan organisasi‐
organisasi tersebut, baik di kantor Kedutaan Besar Indonesia maupun di luar kantor Kedutaan Besar Indonesia.
c. Mengundang tokoh‐tokoh Maluku atau Papua dari Indonesia untuk berdialog dengan tokoh‐tokoh RMS atau OPM di beberapa Negara.
d. Mengundang tokoh‐tokoh RMS dan OPM untuk mengunjungi desa‐desa di Maluku dan di Papua, dan menawarkan untuk kembali ke Indonesia sebagai warga Negara Indonesia atau sebagai warga Negara Indonesia yang tinggal di Negara‐negara lain.
e. Melibatkan pemerintah local dan nasional dari Negara‐negara sahabat di mana RMS dan OPM berada dalam setiap kegiatan baik budaya maupun dialog‐dialog politik.
Pemerintah tidak akan melihat RMS dan OPM yang berada di Negara‐negara tersebut sebagai musuh, tetapi sebagai mitra kritis dalam rangka meningkatkan pembangunan dan menciptakan perdamaian di wilayah‐wilayah tersebut. 4. Bangsa‐bangsa yang tertindas dan dilanda konflik:
Sebagai pelaksanaan dari Pembukaan UUD 1945, pemerintah Indonesia wajib membantu bangsa‐bangsa yang sedang berjuang untuk meraih kemerdekaannya dan yang berada di dalam ketertindasan, serta yang sedang menghadapi konflik internal.
Indonesia akan mengambil langkah yang tegas terhadap Palestina, dengan mengakui kemerdekaan penuh Negara Palestina, dan membuka kedutaan besar di Palestina.
Indonesia akan berpartisipasi aktif di dalam menyumbang pasukan perdamaian untuk menciptakan perdamaian di Negara‐negara yang sedang menghadapi konflik internal, seperti di Eropa bagian Timur dan di Afrika. B. Menyerbu Pasar Global:
“Economic statecraft” akan menjadi diplomasi utama Indonesia ke depan. Ekonomi dan pembangunan akan menjadi tema utama dari diplomasi Indonesia baik secara bilateral maupun multilateral. Perwakilan‐perwakilan Indonesia di Negara‐negara lain didorong untuk menjadi “marketing officers” yang mencari dan menyerbu pasar‐pasar di Negara‐negara lain dengan produk‐produk dari Indonesia. Setiap perjanjian‐perjanjian kerjasama pembangunan dengan Negara‐negara lain atau dengan lembaga‐lembaga pembangunan
106
dan keuangan internasional akan mengutamakan aktor‐aktor pembangunan di dalam negeri, seperti perusahaan‐perusahaan dan masyarakat Indonesia.
Berkaitan dengan ini perwakilan‐perwakilan Indonesia di luar negeri akan melakukan pekerjaan‐pekerjaan sebagai berikut, di samping tugas rutin membangun dan memperkuat hubungan persahabatan dan melindungi warga Negara Indonesia: 1. Mengumpulkan informasi pasar secara regular di Negara‐negara lain. 2. Menyebarkan informasi‐informasi produk‐produk Indnesia di luar negeri. 3. Mengadakan pameran‐pameran produk‐produk Indonesia di Negara‐negara lain. 4. Memfasilitasi pelaku‐pelaku bisnis Indonesia di Negara‐negara lain. 5. Mengumpulkan informasi tentang lapangan pekerjaan yang membutuhkan keahlian
professional menengah, seperti perawat dan pekerja Information Technology (IT) dari Indonesia.
6. Mendorong kerjasama teknologi antara perusahaan‐perusahaan Negara lain dengan perusahaan‐perusahaan Indonesia.
Untuk itu di setiap KBRI yang memiliki potensi pasar yang besar, baik untuk produk‐produk ekspor dari Indonesia maupun untuk investasi perusahaan‐perusahaan dari Indonesia, ditempatkan satu atau dua orang staff ahli dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia yang akan dibiayai sepenuhnya oleh Negara.
Multinational Corporations Indonesia:
Beberapa perusahaan besar Indonesia, yang sudah masuk kategori Multinational Corporations (MNCs), sudah merambah pasar dunia dengan mengadakan investasi yang ekspansif di berbagai Negara. BUMN seperti Biofarma dan Pertamina, perusahaan‐perusahaan swasta seperti Indofood, Ciputra, Podomoro, Dharmala Group dan sebagainya sudah mengadakan investasi di berbagai Negara. Perusahaan‐perusahaan swasta ini secara umum berjalan sendiri tanpa fasilitasi dari pemerintah atau perwakilan pemerintah Indonesia di Negara‐negara tersebut.
PT Indofood telah membangun pabrik‐pabdik di Negara‐negara yang dikenal sedang mengalami konflik, atau dalam istilah petinggi PT Indofood “sedang mencari format demokrasi”, seperti Suriah, Irak, Nigeria, Sudan, India bagian Timur (daerah konflik etnis). Perusahaan‐perusahaan seperti ini tidak hanya membuka pabdirk tetapi juga membawa tenaga kerja ahli dari Indonesia. Dukungan terhadap perusahaan‐perusahaan ini sangat penting.
Peluang ekspansi MNCs ini ke Negara‐negara maju yang sedang mengalami krisis ekonomi, juga sangat besar jika informasi tentang investasi di Negara‐negara tersebut tersedia. Perusahaan‐perusahaan MNCs Indonesia ini bisa membeli perusahaan‐perusahaan pemilik brand internasional di Negara‐negara yang sedang mengalami krisis ekonomi.
Peluang bisnis di Negara‐negara emerging markets akan dijajagi secara mendalam dan sistematis untuk memberi jalan bagi perusahaan‐perusahaan Indonesia untuk
107
melakukan ekspor atau investasi di Negara‐negara tersebut, baik di Asia, Amerika Latin maupun di Afrika.
C. Poros Maritim Dunia:
Sejak Indonesia diakui sebagai Archipelagic country, Indonesia tidak memiliki dokrin maritime yang jelas dan bisa dilaksanakan. Negara‐negara lain seperti India, China, Jepang, Korea dan AS di Asia‐Pasifik sudah lama menetapkan wilayah maritime sebagai wilayah pertarungan ekonomi dan pertahanan. Pemerintah akan segera merumuskan Doktrin Maritim yang jelas dan bisa diimplementasikan dengan Poros Maritim Dunia. Indonesia, selain sebagai Negara archipelago, sesuai pengakuan UNCLOS 1982, juga mempunyai posisi maritime yang sangat strategis antara Asia‐Pasifik dan Asia‐Afrika, baik dari segi ekonomi maupun dari segi pertahanan. Aspek Ekonomi:
Transportasi komoditi perdagangan melalui laut masih merupakan yang terbesar di dunia hingga sekarang, melampaui transportasi darat. Daya angkut kapal‐kapal besar melalui laut masih jauh lebih besar daripada daya angkut melalui kereta api di daratan. Karena itu pengembangan jalur perdagangan melalui laut, tidak hanya menguntungkan dari segi perrdagangan internasional, tetapi juga dari segi pengembangan industry perkapalan dan jasa angkutan. Poros Maritim Dunia dimaksudkan untuk menjadikan Indonesia baik sebagai pusat lalulintas transportasi maritime dunia, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat industry maritime dunia. 1. Poros Maritim Asia‐Pasifik
Asia Pasifik mempunyai nilai geo‐ekonomi, geopolitik dan geo‐strategis yang penting untuk semua Negara‐negara besar di dunia. Transaksi perdagangan di Asia‐Pasifik jauh lebih besar daripada transaksi ekonomi (perdagangan) di Euro‐Atlantik. Orientasi pembangunan dan politik dan pertahanan Rusia ke Timur akan menambah semakin dinamisnya ekonomi, politik dan pertahanan di Asia‐Pasifik.
Secara ekonomis Indonesia belum memanfaatkan secara maksimal peluang yang sedang berkembang pesat dan akan meningkat terus di Asia‐Pasifik. Indonesia akan menjadi salah satu pusat perdagangan maritime antara Asia dan Negara‐negara Pasifik lainnya. Untuk itu Indonesia akan membuka pelabuhan‐pelabuhan besar dan mendorong pembangunan industri‐industri besar di wilayah bagian timur Indonesia yang berhadapan langsung dengan wilayah Pasifik.
Indonesia akan meningkatkan hubungan dagang dan kerjasama ekonomi dengan Negara Amerika Latin, dan menarik Amerika Latin untuk lebih mengembangkan hubungan dagang dan ekonomi ke wilayah Asia‐Pasifik daripada ke wilayah Euro‐Atlantik.
108
2. East Asian Community:
Setelah berkembangnya ASEAN menjadi economic community yang lebih stabil, Indonesia akan mendorong direalisasikannya kesepakatan‐kesepakatan yang telah dirintis untuk membangun East Asian Economic Community, yang berkembang dari ASEAN+3, yang mencakup ASEAN dan China, Korea dan Jepang. Sebagai Negara terbesar di ASEAN dan memiliki hubungan persahabatan dan ekonomi yang besar dengan China, Korea dan Jepang, Indonesia akan proaktif memperluas dan memperdalam kerjasama ASEAN+3 menjadi East Asian Economic Community. Studi‐studi resmi yang sudah dilakukan oleh East Asian Vision Group (EAVG – 2001) dan East Asian Study Group (EASG – 2002) akan didorong untuk diimplementasikan untuk mempercepat integrasi ekonomi di kawasan Asia Timur, dan mengurangi konflik‐konflik yang berbasis sejarah dan perebutan sumberdaya alam dan perbatasan. Untuk itu Indonesia akan mendorong semua Negara anggota East Asian Economic Community untuk mulai merealisasi rekomendasi‐rekomendasi yang telah diajukan oleh EASG.
3. Poros Maritim Asia‐Pasifik – Afrika:
Hubungan antara Indonesia dan Afrika tidak terlepas dari Bandung Spirit yang telah memberi kontribusi besar bagi kemerdekaan Negara‐negara di Afrika. Konferensi Asia‐Afrika masih menjadi referensi bagi Negara‐negara Afrika dan Asia dalam membangun hubungan persahabatan dan solidaritas. Fundamen sejarah ini akan dihidupkan lagi untuk membangun kerjasama ekonomi yang lebih luas dan intensif dengan Negara‐negara Afrika. Masa depan ekonomi Indonesia akan terletak pada perkembangan di Negara‐negara Asia‐Pasifik dan Afrika. Kemajuan ekonomi Negara‐negara Afrika akan turut membantu pembangunan ekonomi Indonesia, baik sebagai pasar maupun sebagai tujuan investasi, dan mitra pembangunan.
Indonesia akan membangun hubungan laut langsung antara Indonesia dan Negara‐negara Afrika bagian Timur dan Selatan, dan menjadi penghubung antara Asia Timur dan Afrika. Aspek Pertahanan:
Sebagai Negara maritime, Indonesia akan segera merumuskan secara tegas Doktrin Maritim dalam bidang pertahanan. Gangguan terhadap kedaulatan wilayah Indonesia terutama terjadi di batas‐batas wilayah laut. Selain mempertegas batas‐batas laut dengan Negara‐negara tetangga, Indonesia akan memperkuat armada laut yang menjaga perbatasan laut dengan Negara‐negara tetangga.
Wilayah Asia‐Pasifik, selain menjadi wilayah dengan dinamika ekonomi yang sangat tinggi, juga rentan terhadap konflik. Indonesia akan meningkatkan kapabilitas angkatan laut dan udara, sebagai kekuatan surveillance dan juga sebagai kekuatan pertahanan terhadap serangan‐serangan dari pihak musuh. Indonesia akan mengembangkan kekuatan Angkatan Laut dengan menambah dan memodernisasi armada kapal dan kapal selam, dan membangun system persenjataan rudal antar‐benua.
109
Indonesia akan menjajagi kerjasama pertahanan maritime dengan China, Korea dan Amerika Serikat, dan membantu memfasilitasi perdamaian di Asia Timur dan kerjasama yang saling menguntungkan antara Asia Timur dengan Amerika Serikat. D. Kerjasama Pembangunan Internasional
Krisis ekonomi di Negara‐negara maju, di Eropa dan Amerika, telah mengubah konstelasi ekonomi dunia, dimana hegemoni tunggal Amerika Serikat dan dollar Amerika Serikat mengalami tantangan yang signifikan. Kekuatan superpower tunggal yang hegemonic dalam arsitektur politik, ekonomi, perdagangan dan keuangan internasional yang selama ini dikuasai oleh Amerika Serikat dan G7 tidak mampu menjaga stabilitas eknomi dan keuangan global. Kekuatan hegemonic AS yang didukung G7 melemah dan ekonomi dan politik global mulai kehilangan pusat kekuasaan tunggal. Munculnya kekuatan BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) dan beberapa Negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat mendorong munculnya pusat‐pusat kekuatan ekonomi dan politik baru. Ekonomi dan politik global menjadi polisentrik. Demikian pula kekuatan lembaga‐lembaga Bretton Woods, terutama IMF dan Bank Dunia, mulai dipertanyakan keampuhannya sebagai lembaga moneter dan keuangan internasional.
Di dalam situasi ekonomi Negara‐negara maju yang mengalami penurunan tersebut Indonesia tidak akan menyandarkan diri pada bantuan dan utang dari Negara‐negara maju untuk pembangunan di dalam negeri. Demikian pun kepatuhan Indonesia pada resep‐resep pembangunan, keuangan dan moneter dari IMF dan Bank Dunia harus diakhiri. Indonesia akan membangun dengan lebih mengutamakan kekuatan sendiri di dalam negeri, dan mengadakan kerjasama pembangunan dengan Negara‐negara lain dan lembaga‐lembaga keuangan internasional dengan memegang prinsip kesetaraan, keadilan dan saling menghormati. Karena itu Indonesia akan mempertegas posisi‐posisi kebijakan kerjasama pembangunan internasional dalam berbagai arena, terutama melalui forum‐forum internasional yang strategis, dan beberapa modalitas kerjasama pembangunan internasional. 1. Penguatan Peran Indonesia di G20:
Indonesia akan memperkuat posisinya di G20 dengan usulan‐usulan kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan internasional yang memihak pada pembangunan Negara‐negara sedang berkembang dan miskin. Indonesia akan mendorong G20 untuk meningkatkan dan memperluas implementasi dari keputusan‐keputusan G20, terutama yang berkaitan dengan Multi‐years Development Actions, dan beberapa keputusan khusus yang berkaitan dengan: a. Eliminasi illicit financial flows dan safe heavens. b. Kerjasama dalam memberantas korupsi lintas Negara. c. Kerjasama dalam bidang perpajakan.
110
d. Kerjasama dalam bidang peningkatan kapasitas statistic e. Reformasi lembaga‐lembaga keuangan internasional.
Indonesia akan menjadi tuan rumah G20 tahun 2019. 2. Kerjasama Selatan‐Selatan:
Indonesia akan meningkatkan kerjasama Selatan‐Selatan, dengan pertama‐tama memperkuat posisi sebagai hub untuk knowledge sharing untuk kerjasama Selatan‐Selatan. Best practices dalam bidang pembangunan di Indonesia akan di‐share dengan Negara‐negara Selatan lain. Bidang‐bidang yang bisa di‐share dalam kerangka Kerjasama Selatan‐Selatan antara lain: Posyandu dan Puskesmas dalam bidang kesehatan, Micro‐hydro Electricity Power dalam bidang energy, Keuangan mikro dalam bidang keuangan berbasis masyarakat, dan biogas yang berbasis masyarakat.
Indonesia akan meningkatkan knowledge sharing dalam kerjasama Selatan‐Selatan ini menjadi bantuan pembangunan untuk Negara‐negara miskin, yang mempunyai potensi pasar di masa yang akan datang. Untuk itu pemerintah akan meningkatkan status Direktorat Kerjasama Pembangunan di Bappenas menjadi Badan Kerjasama Pembangunan yang akan mempersiapkan kebijakan kerjasama pembangunan Selatan‐Selatan.
Indonesia akan mengajak Negara‐negara maju untuk terlibat di dalam triangular cooperation dengan menjadikan best practices dalam sector‐sektor pembangunan tertentu untuk direplikasi secara adaptif di Negara‐negara sedang berkembang lain. 3. Pengurangan Utang Luar Negeri:
Pemerintah akan mengurangi secara sistematis ketergantungan pada utang luar negeri, dan akan mengambil langkah‐langkah sistematis untuk mengurangi beban utang luar negeri yang ada sekarang. Indonesia akan melakukan negosiasi pengurangan utang dengan skema debt‐swap, yang paling memungkinkan untuk middle income countries. Pemerintah akan mengefektifkan dan memaksimisasi implementasi proyek‐proyek debt‐swap yang sekarang sedang berjalan, dan akan dijadikan sebagai contoh untuk skema debt‐swap selanjutnya. Pemerintah akan menawarkan berbagai model debt‐swap, baik dengan kerjasama dengan lembaga‐lembaga internasional maupun dengan pemerintah‐pemerintah daerah dan lembaga‐lembaga swadaya masyarakat di dalam negeri. Salah satu bidang yang akan dijadikan model debt‐swap ini adalah proyek‐proyek pembangunan desa. Dengan demikian, sambal membangun desa, Indonesia bisa mengurangi jumlah utangnya ke Negara‐negara lain. II. ISSUE‐ISSUE KHUSUS JANGKA PENDEK 1. Millennium Development Goals menuju Sustainable Development Goals
Tahun 2015 adalah batas terakhir yang ditetapkan PBB tahun 2000 untuk mencapai tujuan‐tujuan pembangunan millennium (MDGs). Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah terlibat secara penuh dalam merumuskan kelanjutan dari
111
Millennium Development Goals ini, yani dengan perumusan butir‐butir penting dari Sustainable Development Goals. Pemerintah akan meneruskan upaya‐upaya tersebut dalam forum‐forum PBB, dengan mempertimbangkan arah baru kebijakan pembangunan Indonesia dalam lima tahun yang akan datang. 2. Kerjasama Pengembangan Riset, Teknnologi dan Pendidikan
Pemerintah akan meningkatkan kerjasama dalam bidang riset, teknologi dan pendidikan dengan Negara‐negara maju, baik antar‐pemerintah maupun antar‐perusahaan swasta yang melibatkan universitas‐universitas di Indonesia. Pemerintah melalui perwakilan di luar negeri dan Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Riset dan Teknologi akan menjajagi kerjasama dalam bidang Riset, Teknologi dan Pendidikan. Perwakilan di luar negeri, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Riset dan Teknologi akan memantau secara sistematis perkembangan pendidikan mahasiswa‐mahasiswa Indonesia yang diberi beasiswa baik oleh pemerintah Indonesia maupun oleh sponsor‐sponsor internasional. Para penerima beasiswa pendidikan di luar negeri ini akan dibantu untuk mengarahkan riset dan pilihan jurusannya pada kebutuhan pengembangan riset, teknologi dan pendidikan di dalam negeri.
Pemerintah akan mendaftar secara rinci seluruh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di universitas‐universitas di luar negeri, dan diberi informasi tentang peluang‐peluang pemanfaatan keahlian‐keahliannya untuk pengembangan teknologi dan riset di dalam negeri. Riset dalam bidang kemaritiman, termasuk teknologi kelautan, perkapalan dan pertahanan maritim akan ditingkatkan atau didorong untuk mendapatkan perhatian khurus, untuk mempercepat implementasi Doktrin Maritim dan pembangunan Poros Maritim Dunia. 3. Memperbaiki hubungan dengan Australia
Pemerintah akan segera memperbaiki dan meningkatkan kembali hubungan dengan Australia yang beberapa waktu lalu mengalami penurunan. Berbagai issue penting akan dikaji ulang dan dituntaskan, seperti masalah pengungsi, dengan mempertimbangkan hubungan yang saling menguntungkan dan hokum dan kebiasaan internasional mengenai pengungsi (refugees). Kerjasama pembangunan antara Indonesia dan Australia akan ditingkatkan. Indonesia akan meminta Australia untuk menjelaskan sikapnya terhadap masalah Papua, dan sebagainya yang bersifat politik dan potensial mengganggu kedaulatan dan perdamaian di Indonesia. 4. Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura
Pemerintah akan mempercepat penyelesaian perundingan ekstradisi dengan Singapura, dan kerjasama dalam transparansi transaksi perbankan dan keuangan, untuk mencegah pelarian asset‐asset koruptor dan perusahaan‐perusahaan yang melakukan praktek‐praktek illegal di Indonesia.
112
POROS MARITIM
[Prof Dr. Tulus Warsito] Guru Besar Ilmu Politik & Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
DEFINISI DAN DESKRIPSI PERMASALAHAN:
Istilah Poros Maritim muncul dalam visi‐misi kampanye JKW‐JK sebagai ide andalan politik luar negeri yang berwawasan maritim, sekaligus sebagai dasar pengembangan ekonomi kelautan di dalam negeri. Istilah “poros” bisa diartikan sebagai “pemusatan kekuatan yang diperoleh dari kerjasama atau aliansi” ataupun “penguatan diri terhadap tekanan eksternal”. Doktrin Poros Maritim merupakan upaya untuk meningkatkan kekuatan nasional (dalam bidang maritim) dalam pergaulan global maupun bagi kesejahteraan rakyat di dalam negeri.
Upaya semacam itu dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu: 1) studi komparasi eksternal melalui studi perbandingan kekuatan maritim global, sehingga diperoleh parameter global dalam mencapai keunggulan‐keunggulan pada aras “poros” yang dimaksud; 2) studi internal melalui analisis sektor dalam negeri sebagai bagian terpenting dari upaya pemanfaatan kelautan bagi kesejahteraan seluruh rakyat. STUDI KOMPARASI EKSTERNAL
Kalau “Poros Maritim Dunia” dimaksudkan sebagai “kekuatan penting” di bidang kelautan di level global, maka studi perbandingan kekuatan maritim antar kekuatan global menjadi tolok‐ukur awal dari doktrin yang dimaksud. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada era abad 16‐19 Inggris dan Belanda, kemudian beberapa Negara Eropa Barat lainnya (Portugis, Spanyol dan Itali) pernah merajai laut seluruh dunia yang menjadikan mereka sebagai kolonialis terbesar sepanjang abad. Pada era Paska Perang Dunia, negara‐negara Super Power (AS & US) menjadi kekuatan laut yang baru, dengan menguasai wilayah pengaruh ideologi selama Perang Dingin. Era Paska Perang Dingin menjadikan negara‐negara industri maju sebagai kekuatan maritim modern, dengan prestasi mereka mendominasi perekonomian dunia. Pada era yang paling mutakhir, era Abad 21, muncul kekuatan maritim baru dengan kemampuan teknologi mereka dalam industri kapal, baik kapal militer maupun kapal niaga. Negara‐negara seperti India, Korea Selatan dan China adalah sosok kekuatan maritim baru era abad 21, dengan prestasi memiliki wilayah
113
pengaruh (sphere of influence) setidaknya di Asia. Dalam perbandingan semacam itu(tentu masih bisa dikembangkan dengan variable‐variabel pembanding yang lain) Indonesia mau ke arah mana, dengan cara apa mencapainya, kapan waktu pencapainnya dst dst?
STUDI KOMPARASI KEKUATAN LAUT DUNIA
ERA AKTOR PRESTASI KETERANGAN 1 Abad 16‐19 Inggris
Belanda Negara Eropa Barat
Kolonisasi Dunia
2 Abad 20 dan Paska Perang Dunia
Amerika Serikat Uni Soviet
Dominasi Pengaruh Ideologi Dunia
3 Paska Perang Dingin
Negara Industri Maju
Dominasi Ekonomi Dunia
4 Abad 21 India Korea Selatan China
Kekuatan Laut Asia‐Pasifik sbg tandingan Super Power
STUDI INTERNAL/ANALISIS DALAM NEGERI
Konsep “Poros Maritim” sebagai upaya peningkatan kekuatan nasional (bukan dalam bentuk aliansi dengan kekuatan lain) menunjukkan pentingnya studi kekuatan nasional sebagai satu‐satunya dasar upaya yang dimaksud. Konsep ataupun teori dasar pada analisis politik luar negeri biasanya merujuk pada pentingnya 3 (tiga) hal yang terjadi pada negeri yang bersangkutan, yaitu aspek Politik, Ekonomi dan Keamana Dalam Negeri.
Artinya, upaya merealisasikan Poros Maritim Dunia harus memenuhi persoalan yang muncul dari ketiga aspek Dalam Negeri tersebut. Konsep maupun implementasi Poros Maritim Dunia harus dapat menjawab, bahkan harus menjadi jawaban unggulan, dari persoalan Dalam Negeri. Dengan kredo bahwa jika kita sudah dapat menfaatkan posisi kelautan kita untuk kesejahteraan rakyat secara optimal saat itulah Poros Maritim Dunia baru bisa diwujudkan.
Analisis Internal
SEKTOR
KEGIATAN KONDISI
SEKARANG TARGET
ANALISIS SWOT
SOLUSI‐PENANGA‐
NAN
JAD‐WAL KERJA
1 POLITIK/ KEAMANAN Keamanan Laut (TNI‐AL) Sengketa Perbatasan
‐ TNI‐AL kita skrg merupakan kekuatan militer laut terbesar di
* TNI‐AL harus unggul di Asia
* Ratifikasi kesepakata
Perlu mapping seluruh permasalahan dan rekonstruksi
Tingkatkan kekuatan Armada AL Tingkatkan Pelabuhan Strategis
114
Konstelasi Politik DN
Asteng (kuantitatif)
‐ Masih sering terjadi sengketa batas kelautan dg negara tetangga, illegal fishing
‐ Dinamika politik DN yg sering berseberangan dg konsep NKRI
n perbatasan dg negara tetangga
* Stabilisasi politik DN utk mendukung terciptanya Poros Maritim Dunia
solusinya
2 EKONOMI Perdagangan Antar‐Pulau Transportasi Laut
Terbatasnya infrastruktur dan suprastruktur yg mengedepankan kemajuan perdagangan antar‐pulau sbg tulang punggung ekonomi nasional
Reformatisasi suprastruktur (birokrasi maupun tata niaga swasta) yg dapat mendukung terciptanya Good governance dlm pemanfaatan potensi ekonomi antar‐pulau utk kemajuan ekonomi nasional
Mapping potensi ekonomi antar pulau
Bangun “Tol Laut” utk kelancaran arus perdagangan antar pulau
3 MANAJEMEN SUMBER ALAM Pertambangan Perikanan Lingkungan Hidup
Terbatasnya infrastruktur dan suprastruktur yg berpihak kepada ekonomi nasional
Reformatisasi suprastruktur (birokrasi maupun sistem tata kelola energi) kelautan untuk kemandirian ekonomi nasional
Mapping potensi SDA kelautan Evaluasi Birokrasi SDA kelautan
Reformasi pengelolaan SDA laut
Yogyakarta, 10 Agustus 2014
115
BAB V PENGUATAN DESA DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
Masalah dan Rekomendasi Kebijakan
POKJA PEMBANGUNAN PERDESAAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
[Ahmad Ma’ruf, SE, M.Si]
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta & Direktur Inspect PERMASALAHAN
Visi Presiden Jokowi‐Jusuf Kalla adalah “Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian berlandaskan Gotong‐Royong.” Hal yang menjadi masalah dalam pembangunan sekarang antara lain adalah disparitas pembnaunan antar desa‐kota, kemiskinan yang bertambah pada wilayah perdesaan dan pelaku sektor basis (pertanian, nelayan), serta pudarnya kearifan lokal dan modal sosial, termasuk didalamnya spirit gotong royong.
Posisi umum masyarakat perdesaan terkait dengan ketidakberdayaan masyarakat akibat kebijakan pembangunan dimana negara tidak secara konkrit hadir dalam kehidupan masyarakat. Hal yang terjadi, masyarakat lebih dikonstruksikan sebagai obyek pembangunan.
REKOMENDASI KEBIJAKAN 1. Perlunya Kementrian Pembangunan Perdesaan dan Pemberdayaan Masyarakat
Persoalan ketimpangan pembangunan dan kemiskinan perdesaan dan ketidakberdayaan masyarakat tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan sektoral. Diperlukan pendekatan yang terpadu dengan intensitas tinggi (fokus) agar visi presiden baru tersebut terujud. Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan berupa Kementerian Pembangunan Perdesaan dan Pemberdayaan Masyarakat. Kementrian ini juga akan mengemban amanat UU Desa yang sudah disyahkan. Sekarang ini, adanya kementrian PDT, justru menegaskan dikotomi lokus pembangunan dan memunculkan moral hazard pada sebagian daerah hanya untuk kepentingan mendapatkan proyek pembangunan. Padahal proses pembangunan harusnya menyeluruh, maka kementrian ini ditiadakan dan tugas dimasukan sebagai bagian dari kerja Kementrian Pembangunan Perdesaan.
143
2. Penguatan Kapasitas SDM Perangkat Desa
Kelembagaan desa sebagai instrumen pembangunan kondisinya sangat variatif, baik kapasitas SDM maupun sistem operasional pemerintahan desa. Implikasinya, potensi desa tidak teroptimalkan untuk kemakmuran masyarakat, namun justru tidak sedikit birokrasi desa menjadi beban bagi masyarakat. Maka, perlu ada penguatan kapasitas pada SDM perangkat desa (termasuk level dusun) sebagai bagian dari Revolusi Mental pada level birokrasi tingkat dasar yang semuanya berhubungan langsung dengan pelayanan masyarakat.
3. Modernisasi Sistem Layanan Desa
Sistem manajemen pelayanan pada lembaga perdesaan secara umum masih tradisional, tidak efisien, tidak transparan, tidak akuntabel, dan terbangun citra negatif bagi masyarakat umum. Oleh karena itu, perlu penguatan kapasitas kelembagaan yang dimulai dari membangun sistem layanan modern sehingga masyarakat diposisikan sebagai tamu terhormat untuk dilayani. Hal ini menjadi bagian dari proses reinventing goverment pada level birokrasi perdesaan.
4. Optimalisasi Potensi untuk Keberdayaan Masyarakat
Philosofi pembangunan yang lekat dengan visi Jokowi‐JK adalah kemandirian dan partisipasi. Kemandirian tidak saja dalam kemampuan ekonomi, namun juga ranah sikap mental masyarakat. Adanya potensi desa yang variatif menjadi modal dasar pembangunan kemandirian. Berbagai program pemberdayaan masyarakat sesuai potensi lokal dengan pola partisipatory perlu dilakukan agar kemandirian ekonomi dan sosial serta kultural dapat terbangun. Dalam konteks ini, model pendampingan masyarakat secara berkelanjutan dan penuh totalitas menjadi kebutuhan. Pelibatan dan interaksi kerjasama antar unsur LSM, perguruan tinggi, kelompok sosial, ormas, lembaga profesi, dan organisasi lain menjadi model pembangunan perdesaan untuk keberdayaan masyarakat.
144
POKOK‐POKOK PIKIRAN PENGEMBANGAN DESA
[Wijang Wijanarko, ST] AKPPI (Asosiasi Konsultan Pembangunan Permukiman Indonesia)
145
146
147
148
149
150
151
152
153
BAB VI REFORMA AGRARIA
154
AGRARIA KEHUTANAN: Kondisi, Masalah ‐Akar Masalah, dan Rekomendasi
[Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS]
Pengajar pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan Program Pascasarjana IPB dan UI
PENGERTIAN
Istilah “agraria kehutanan”digunakan karena cakupan naskah ringkas ini memandang bahwa hutan menjadi bagian dari sumber‐sumber agraria yang mempunyai fungsi sosial, ekonomi maupun lingkungan hidup. Ia bukan hanya hutan negara, tetapi juga hutan dengan alas hak pribadi (hutan hak) maupun komunitas (hutan adat).
Disamping itu, hutan dengan bentang alamnya juga menjadi sumber ekonomi bagi sektor lain secara langsung seperti pangan maupun energi dan di hutan produksi dan lindung yang dapat pula menjadi sumber bahan tambang. Secara tidak langsung, melalui jasa lingkungan, hutan juga memberi kepastian berlangsungnya penyediaan air bagi pertanian dan industri, serta menjaga keseimbangan lingkungan bagi penyediaan udara bersih, selain terdapat jasad renik, sumber obat‐obatan, dlsb.
Oleh karenanya, kerusakan hutan bukan hanya menurunkan manfaat ekonomi, tetapi juga berpengaruh terhadap semua sektor yang memerlukan air, menjadi pemicu terjadinya bencana alam, serta menurunkan kualitas lingkungan lokal, nasional maupun global. KONDISI AGRARIA KEHUTANAN
Hutan negara seluas 130,68 juta Ha, yang telah ditetapkan hanya seluas 14,24 juta Ha (10,9%) (RKTN, 2011)14. Itupun dengan kondisi di semua fungsi hutan (konservasi, lindung, produksi) terdapat hak‐hak pihak ketiga yang berupa izin‐izin tambang dan kebun, hutan adat dan hutan/lahan hak perorangan (Tabel 1). Sementara itu, hampir seluruh rencana tata ruang senantiasa menginginkan konversi hutan seluas 5%‐24% dari luas kawasan hutan di propinsi untuk pembangunan non kehutanan serta mengkomodir keberadaan ribuan desa yang sudah ada di dalamnya (Tabel 2). Disamping itu, keberadaan perkembangan izin
14 Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No 49/2011.
155
tambang di dalam hutan negara bukan hanya di hutan produksi, tetapi juga berada di hutan lindung seluas 3,8 juta Ha, yang rawan terjadi kerusakan lingkungan (Tabel 3). Jumlah dan luas usaha pertambangan di hutan negara yang telah berproduksi terus mengalami peningkatan dan di akhir 2013 mencapai 681 perusahaan dengan luas 461 ribu Ha (Tabel 4). Adapun jumlah dan luas tambang di hutan negara yang sedang melakukan eksplorasi tercatat berjumlah 552 perusahaan dengan luas 2,9 juta Ha (Tabel 5). Berdasarkan RKTN (2011), pada tahun 2030 hutan negara tersebut akan menjadi 112, 33 juta Ha atau sekitar 18,35 juta Ha akan dialokasikan bagi penggunaan non kehutanan. Perubahan kawasan hutan seluas 18,35 juta Ha yang telah direncanakan itu pada dasarnya mengakomodir kerusakan hutan maupun alih fungsi yang terjadi secara riil di lapangan, legal atau illegal. Secara nasional hutan bekas tebangan (log over area) di hutan produksi yang tidak dikelola secara intensif sudah seluas 42,26 juta Ha (32 %), selain itu dari seluruh hutan negara seluas 22,5‐24,4 jt Ha sudah menjadi desa/kampung (Kemenhut, 2011)15. Artinya, pengurangan luas hutan negara yang dicanagkan dalam RKTN itu lebih untuk mengakomodir hutan negara yang sudah tidak berhutan karena berbagai sebab. Itupun hanya sepertiga dari luas hutan negara yang sudah tidak berhutan tersebut. MASALAH DAN AKAR MASALAH Fakta‐fakta Masalah
Berdasarkan kenyataan di lapangan (de facto), alih fungsi dan kerusakan hutan setidaknya disebabkan oleh 4 hal yaitu: status hutan negara tidak legitimate, penguasaan SDA oleh swasta/pemegang izin, terdapat mekanisme formal untuk melakukan konversi hutan, serta kebijakan perizinan yang dijalankan bukan sebagai alat pengendalian.
Legalitas hutan negara. Status legal kawasan hutan negara yang dilakukan melalui proses pengukuhan kawasan hutan oleh Panitia Tata Batas (PTB)16 hanya secara umum menghasilkan berita acara tata batas (BATB) yang ditanda‐tangani panitia itu, tetapi adanya klaim terhadap hutan negara tidak diselesaikan. Akibatnya hutan negara yang sudah legal tidak legitimate, dalam arti masih tidak diakui keabsahan legalitasnya itu. Penyebab lain yaitu ukuran kinerja PTB berdasarpan panjang batas (km) dan dibatasi waktu kerjanya hanya satu tahun. Kondisi demikian itu bertentangan dengan mandat PP No 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, yang menyatakan bahwa permasalahan pihak ketiga dan konflik‐konfliknya dalam hutan negara yang belum dapat diselesaikan selama pemancangan tanda batas harus dituntaskan oleh PTB (Pasal 22). Tanpa adanya
15 Bahan‐bahan presentasi Ditjen Planologi, Kementerian Kehutanan dalam penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN)
16 Selama ini Panitia ini diketuai oleh Bupati dan beranggotakan UPT Kementerian Kehutanan (BPKH), BPN dan dinas‐dinas di daerah serta Camat dan Kepala Desa. Pembiayaan panitia ini oleh Kementerian Kehutanan. Saat ini, melalui Peraturan Menteri Kehutanan No 25/2014, terdapat perubahan dimana BPKH sebagai ketua panitia dan keanggotaan Kepala Desa dihilangkan.
156
legitimasi itu, alih fungsi dan kerusakan terus terjadi, baik akibat perkembangan penduduk maupun izin‐izin tambang dan kebun secara illegal.
Penguasaan hutan oleh swasta. Kebijakan dan skema perizinan secara umum mengharuskan para calon pemegang izin—hutan, tambang, kebun—mencari sendiri calon lokasi izin di dalam wilayah yang telah dialokasikan Pemerintah. Dengan demikian, swasta harus mempunyai informasi akurat tentang lokasi itu, karena akan menentukan kelayakan usahanya. Pemerintah/Pemda melakukan verifikasi ketepatan lokasi izin tersebut, namun dalam prakteknya informasi yang digunakan sangat terbatas. Akibatnya, hampir setiap lokasi izin masih terdapat konflik penggunaan atau pemanfaatan hutan oleh pihak lain, termasuk adanya pemukiman, kebun dan lahan‐lahan pertanian masyarakat adat/lokal.
Di sisi lain, legalitas hak atas hutan/tanah bagi warganegara—masyarakat adat/lokal—untuk mendapatkan ruang hidup, praktis tidak difasilitasi Pemerintah/ Pemda. Sementara itu dalam proses penetapan hutan negara secara hukum, legalitas hak atas hutan/tanah menjadi persyaratan yang harus dipenuhi dan persyaratan demikian ini tidak dipunyai masyarakat. Jalan lain bagi masyarakat adat/lokal untuk mendapat hak/akses terhadap pemanfaatan hutan melalui skema izin—dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa—untuk mendapatkan legalitas tidak dapat dipenuhi akibat persyaratan administrasi dan mahalnya pengurusan izin. Dalam 10 tahun terakhir komposisi pemanfaatan hutan antara usaha besar dan kecil tidak berubah, dan kini komposisi itu dengan angka 97% untuk usaha besar dan 3% untuk usaha kecil (Tabel 6).
Konversi hutan by design. Skema perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK‐HA), hutan tanaman (IUPHHK‐HT), dan tambang melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IUPPKH), secara de facto telah mewujudkan konversi hutan alam secara sistematis. Peran IUPHHK‐HA dalam menghasilkan kayu bulat selama 10 tahun terakhir telah digantikan oleh IUPHHK‐HT dan dalam waktu yang sama terjadi peningkatan usaha tambang (IUPPKH) (Tabel 7, 8, 9). Data 2013 menunjukkan bahwa sejumlah 179 perusahaan IUPHHK‐HA dan 139 perusahaan IUPHHK‐HT menuju kebangkrutan(APHI, 2013)17. Apabila ini terjadi akan terdapat sekitar 39 juta Ha hutan produksi yang tidak ada pengelolanya, atau secara defacto terjadi open access. Kondisi ini akan semakin mempermudah usaha tambang bekerja di hutan produksi.
Design yang lain yaitu berupa penetapan kawasan hutan berdasarkan proses penataan ruang. Proses ini, walaupun menurut Undang‐undang Penataan Ruang tidak dilakukan dalam rangka pemutihan terhadap keterlanjuran kesalahan penggunaan ruang, namun dalam prakteknya hampir senantiasa mengakomodir keterlanjuran itu.
Mempermainkan fungsi Izin. Perizinan pada dasarnya adalah suatu proses untuk dapat melakukan tindakan tertentu yang dilarang, namun dengan izin, hal yang dilarang itu menjadi sah dilakukan. Dengan demikian, substansi izin itu adalah pengendalian yang harus
17 Bahan presentasi Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) pada saat pembahasan permasalahan perizinan kehutanan oleh Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan di Surabaya, Oktober 2013.
157
dilakukan, untuk tujuan sosial, lingkungan, ekonomi secara adil, oleh pihak yang berwenangan atau pihak pemberi izin. Namun, dalam kenyataannya tidak demikian.
Kajian KPK (2013)18 menunjukkan bahwa di dalam seluruh mata rantai perizinan kehutanan mulai dari pengurusan izin, perencanaan hutan, pelaksanaan produksi, tata niaga hasil hutan, serta pengawasan dan pengendalian perizinan, terdapat biaya suap/peras (Tabel 10). Misalnya, dalam pelaksanaan pengurusan izin usaha kehutanan yang dialami pelaku usaha untuk mendapatkan rekomendasi Bupati/Gubernur dihargai antara Rp 50.000,‐ sampai dengan Rp. 100.000,‐ per hektar dan antara Rp 10 milyar sampai Rp 15 milyar untuk sebuah izin pertambangan. Untuk mengesahkan rencana kerja usaha kehutanan perlu membayar sekitar Rp 250 juta, sementara itu untuk mengangkut kayu bulat harus membayar sekitar Rp 500.000,‐ per pos jaga dengan jumlah antara 20‐30 pos jaga (Tabel 11).
Selain itu, dalam hal pengawasan oleh aparat Pemerintah dan Pemerintah Daerah, secara umum masih terdapat kebiasaan mengganti biaya pelaksanaan Surat Perintah Tugas (SPT) oleh perusahaan. Secara umum, perusahaan menerima 100 sampai 150 SPT per tahun. Kajian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Fakultas Kehutanan IPB (2012)19 menunjukkan di Kalimantan Tengah terdapat perusahaan hutan alam yang kedatangan tamu pengawas selama 278 hari dalam satu tahun. Pegawai pemerintah pusat, propinsi dan kebupaten yang melakukan pengawasan itu meminta informasi yang hampir sama kepada perusahaan. Fenomena seperti itu menunjukkan bahwa kerusakan hutan dan sumberdaya alam bukan kurang pengawasan, tetapi justru kelebihan pengawasan, namun hanya menghasilkan laporan administratif tanpa bermakna sebagai instrumen pengendalian izin.
Mahalnya biaya pengurusan dan pelaksanaan perizinan serta rendahnya pelayanan publik tersebut, terutama bagi masyarakat adat/lokal, menyebabkan setidaknya dua masalah. Pertama, saluran mendapatkan legalitas untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara de facto hanya terbatas disediakan bagi usaha besar, karena masyaraat adat/lokal tidak mampu membayarnya. Kedua, sebagaimana diutarakan di atas, dalam setiap urusan penyelesaian konflik penggunaan kawasan hutan negara, pertambangan maupun perkebunan, siapa yang paling berhak memanfaatkan sumberdaya alam itu adalah siapa saja yang mampu menunjukkan bukti legalitas sesuai peraturan‐perundangan. Usaha besar mampu mendapatkan syarat legalitas itu walaupun harus membayar mahal, tetapi masyarakat adat/lokal tidak.
Pelayanan yang memihak tersebut di berbagai tempat menjadi pemicu kecemburuan, perasaan tertekan dan frustasi, serta rasa pelakuan tidak adil yang sangat mendalam bagi
18 Kajian ini dilakukan oleh KPK bidang penelitian dan pengembangan dengan koordinator pelaksananya Hariadi Kartodihardjo dan Grahat Nagara. Kajian ini dikaitkan dengan pelaksanaan perbaikan sistem pemerintahan melalui Nota Kesepahaman Bersama/NKB 12 Kementerian/Lembaga.
19 Kajian ini dilakukan untuk mengetahui masalah‐masalah tata kelola perusahaan besar kehutanan (good corporate governance) yang bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
158
masyarakat adat/lokal. Bentuk‐bentuk konflik pemanfaatan hutan dan lahan antara perusahaan dan masyarakat yang pemicunya dapat disebabkan oleh hal‐hal yang tidak penting (sepele), sesungguhnya di pihak masyarakat mempunyai akar masalah yang sangat mendalam seperti itu.
Akar Masalah
Isi peraturan. Fakta‐fakta masalah di atas antara lain disebabkan oleh isi peraturan perundangan perizinan yang di dalamnya menetapkan kewenangan‐kewenangan memberi rekomendasi maupun pemberian izin, namun juga terdapat diskresi yang luas serta mekanisme pelaksanaan peraturan yang tidak transparan (KPK, 2013)20. Selain itu dalam pembuatan peraturan juga masih dilingkupi state capture yaitu adanya pemihakan atau pemenuhan kepentingan bagi pihak‐phak tertentu, ketidak‐jelasan batas waktu pemberian izin, maupun ataupun hal‐hal lain yang menyebabkan ketidak‐adilan berusaha. Analisis peraturan perizinan kehutanan berdasarkan pendekatan corruption impact assesment (CIA) juga menunjukkan peraturan‐peraturan itu rentan menimbulkan peras/suap dan korupsi (KPK, 2013)21 (Tabel 12).
Struktur dan kapasitas lembaga. Struktur organisasi, baik pusat maupun daerah, cenderung tidak mempunyai tugas dan kapasitas untuk sampai pada penguasaan SDA di lapangan. Pada umumnya pelayanan perizinan bagi usaha besar yang dikedepankan. Secara umum juga dijumpai masalah masih rendahnya kapasitas lembaga dalam menggunakan izin sebagai instrumen pengendalian. Kajian review perizinan oleh UKP4 yang dilakukan di sembilan kabupaten di tiga propinsi yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Jambi yang saat ini masih sedang berjalan, misalnya, menunjukkan bahwa dokumen perizinan sebagai instrumen pengendalian izin dan jumlah produksinya yang dimiliki oleh pejabat pemberi izin kurang dari 50%. Dokumen yang tidak dipunyai itu termasuk NPWP perusahaan. Kondisi demikian itu mencerminkan lemahnya Pemerintah/Pemda mengetahui besarnya kekayaan negara, tidak peduli terhadap kecilnya jumlah pendapatan negara serta nilai kerugian yang diakibatkan oleh sistem perizinan yang sedang berjalan. Dalam kondisi seperti itu, alih fungsi dan perusakan hutan bukanlah bagian penting dari kepemerintahan yang ada.
Administrasi dan indikator kinerja. Administrasi dan ukuran kinerja lembaga‐lembaga Pemerintah/Pemda manjadi bagian dari masalah struktural karena persoalan itu sangat mengikat dan berpengaruh terhadap sikap pimpinan maupun birokrasi lembaga‐lembaga Pemerintah/Pemda itu. Misalnya dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan, ukuran kinerjanya ditetapkan berdasarkan panjang tata batas (km) dan dapat terserapnya anggaran dalam waktu kurang dari 1 tahun. Dengan cara memberikan batasan kerja seperti
20 Idem catatan kaki no 5. 21 Idem catatan kaki no 5.
159
itu, sudah hampir pasti bahwa pelaksanaan pengukuhan hutan negara hanya menghasilkan batas‐batas fisik, tetapi persoalan klaim atas hutan negara tidak akan menjadi perhatian.
Demikian pula, satuan dan besaran biaya pengawasan terhadap berjalannya izin seringkali lebih kecil daripada yang dibutuhkan. Akibatnya, para pengawas perizinan bekerja mengandalkan sarana‐prasarana perusahaan dan mengakibatkan konflik kepentingan dalam pelaksanaan pengawasan yang dilakukan.
Masalah menyelesaikan masalah. Dalam 20 tahun terakhir persoalan alih fungsi dan kerusakan hutan alam belum terpecahkan. Dengan mengambil kembali angka‐angka di atas, adanya rencana secara formal untuk mengalokasikan 18,35 juta Ha hutan negara bagi penggunaan sektor non kehutanan (RKTN, 2011)22 dan dalam waktu yang sama seluas 42,26 juta Ha hutan produksi telah berubah menjadi area bekas tebangan, selain itu seluas 22,5‐24,4 jt Ha sudah menjadi desa/kampung, juga akan terjadi hutan negara open akses seluas 36 juta Ha apabila 318 perusahaan hutan alam (IUPHHK‐HA) dan tanaman (IUPHHK‐HT) benar‐benar akan bangkrut, merupakan indikator‐indikator prospek alih fungsi dan kerusakan hutan yang akan lebih besar.
Berbagai program dalam 15 tahun terakhir, seperti sertifikasi ekolabel yang saat ini terdapat verifikasi legalitas kayu (VLK), pemberantasan illegal logging melalui Inpres No 4/2005, maupun program‐program yang terkait dengan REDD+, belum dapat menjawab persoalan alih fungsi dan kerusakan hutan tersebut. Hal demikian itu secara umum akibat semua program itu tidak secara kuat menyentuh masalah‐masalah pokok, yaitu empat masalah empiris dan tiga masalah struktural di atas. Sertifikasi ekolabel sampai dengan VLK secara umum hanya mampu menghasilkan penilaian perusahaan, mampu memberi peluang pasar lebih baik, namun tidak diikuti perbaikan kebijakan sehingga pengelolaan hutan secara lestari tidak dapat terwujud.
Pemberantasan illegal logging mampu menangkap sebagian pelaku‐pelakunya namun dalam waktu yang sama terjadi kawasan hutan yang ditinggalkan pengelolanya sehingga terdapat alih fungsi dalam berbagi bentuk, formal berupa perizinan—terutama tambang dan kebun—maupun illegal. Demikian pula dalam pelaksanaan REDD+ masih terkonsentrasi pada penetapan instrumen untuk mengamankan pembiayaan REDD+ itu, seperti pembentukan dokumen‐dokumen rencana, MRV, safeguard, lembaga REDD+ dan belum atau tidak efektif untuk mampu menyelesaikan syarat‐syarat pemungkin (enabling conditions) yang diperlukan, seperti kepastian hak atas kawasan hutan, regulasi yang efisien, serta kepastian usaha maupun hak dan akses masyarakat adat/lokal. Dari pengalaman pelaksanaan moratorium izin selama tiga tahun—dari rencana empat tahun—mampu mengendalikan perkembangan izin untuk sementara waktu, namun karena program ini tidak diikuti dengan perbaikan tata kelola (governance) hutan dan lahan, maka makna moratorium sebagai penundaan izin untuk memperbaiki sistem perizinan itu menjadi kurang berarti.
22 Idem catatan kaki no 5
160
Bagaimanapun, saran‐saran perbaikan untuk memecahkan masalah, berserta program‐program pelaksanaannya sangat tergantung respon Kementerian/Lembaga dan Pemda. Sementara itu, lembaga‐lembaga Pemerintah/Pemda beserta kultur dan mental blok yang ada di dalamnya, terutama yang mempunyai kewenangan perizinan, secara umum sudah terjebak melayani kebutuhan administrasi dan indikator kinerja yang bersifat jangka pendek, serta didasarkan oleh peraturan‐perundangan yang cenderung mengutamakan investasi yang sifatnya eksploitatif terhadap sumberdaya alam. Sikap pemihakan bagi masyaraat luas yang diperlukan saat ini tertimpa oleh kepentingan kelompok dan individu. Masalah paradigmatis pelayanan publik itu menyebabkan ketidak‐jelasan pemisahan antara peran lembaga Pemerintah/Pemda sebagai pengendali kekayaan negara dengan kepentingan individu maupun kelompok yang ikut serta atas nama kebijakan negara tersebut.
Jalan buntu selama 20 tahun terakhir itu juga diakibatkan oleh cara menyusun perencanaan nasional dan daerah, yang ditetapkan berdasarkan visi dan misi para pemimpin yang terpilih—Presiden, Gubernur, Bupati—tetapi persoalan praktek‐praktek nyata di lapangan, transaksi‐transaksi perizinan, kekuatan‐kekuatan sosial‐politik yang menyertainya maupun persoalan kapasitas dan kapabilitas lembaga dan unit kerja pemerintahan, tidak diangkat sebagai dasar penetapan strategi pembangunan yang dimaksud. Para perencana pembangunan dan penentu kebijakan biasanya hanya terbuai pada angka‐angka agregat nasional dan daerah maupun indikator‐indikator makro ekonomi sebagai indikator pembangunan yang selalu nampak seperti sangat menjanjikan. REKOMENDASI
Perbaikan kebijakan agraria kehutanan, yang berdampak besar bagi kemiskinan, pertanian dan lingkungan hidup—berdasarkan pengalaman selama ini—akan sangat tergantung pada perubahan struktur Kementerian/Lembaga dan Pemda serta leadership yang ada di dalamnya. Aspek ini dapat menjadi pendorong utama dan memastikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dapat diselamatkan untuk sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Secara operasional, peran pengawasan dan penindakan hukum—khususnya yang terkait penyalah‐gunaan wewenang dan merugikan negara serta perbaikan peratutan‐perundangan dan sitem pelaksanaannya, sebagaimana saat ini dikoordinasikan oleh KPK—perlu ditingkatkan. CSO—lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan media—perlu aktif berperan dalam perbaikan sistem termasuk masalah‐masalah struktural dan empiris sebagaimana disebutkan di muka. Secara rinci program penyelesaian masalah‐masalah itu diuraikan berikut ini.
161
Program Utama23 1. Mempercepat Penyelesaian Klaim Hutan Negara dan Kepastian Usaha
URGENSI Memanfaatkan kekayaan SDH tropis di Indonesia bagi sebesar‐besarnya kemakmuran
rakyat semakin jauh dari harapan manakala persoalan konflik hutan negara tidak diselesaikan. Aspek ini secara langsung juga memastikan kepastian usaha kehutanan maupun kepastian akses masyarakat adat/ lokal terhadap pemanfaatan hutan. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Adanya gagasan percepatan penyelesaian klaim dan penetapan kawasan hutan melalui metode “klaim dan verifikasi” oleh UKP4 perlu dicermati, disempurnakan dan dijalankan. Inti persoalan yang dipecahkan dengan metode ini yaitu dapat diselesaikannya hak‐hak pihak ketiga di dalam kawasan hutan negara. Penyelesaian masalah ini tidak dapat hanya dibebankan kepada Kementerian Kehutanan, melainkan kepada berbagai Kementerian/ Lembaga yang terkait, seperti: BIG, Kemendagri, BPN, KemESDM, dan Kementan. PENYELESAIAN KETERLANJURAN
Salah satu akar masalah persoalan kerusakan hutan adalah tidak terkendalinya izin pemanfaatan SDA,terutama yang ekspoitatif, di lokasi yang salah dan sudah beroperasi. Penerapan hukuman terhadap pejabat pemberi izin melalui undang‐undang penataan ruang serta undang‐undang pencegahan dan pengendalian kerusakan hutan perlu disegerakan.
2. Pemanfaatan Hutan secara Adil dan Berkelanjutan
URGENSI SDA yang terkait dengan penggunaan lahan dan hutan, seperti tambang, kebun,
tanaman pangan, akan terus meningkat kebutuhannya. Berdasarkan fakta saat ini mengenai kondisi sumberdaya hutan, maka adanya dikhotomi pemanfaatan di dalam hutan produksi berupa hutan alam dan hutan tanaman menjadi tidak relevan. SDH produksi tersebut sudah saatnya dipandang sebagai sumberdaya multi‐manfaat, sehingga arah perizinan tidak lagi diberikan untuk setiap jenis komoditi seperti saat ini.
23 Seluruh bagian rekomendasi ini telah didiskusikan dan dibahas oleh presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dan termuat dalam Kertas Kerja DKN, 2014.
162
PENCADANGAN SDA Produk hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan hutan merupakan komoditi yang
harus dikembangkan dan menjadi unggulan sektor kehutanan di masa depan. Ke depan nilai jasa lingkungan hutan harus diperhitungkan sebagai sumber pertumbuhan baru sektor kehutanan yang cukup signifikan melalui kegiatan pemanfaatan berbasis perlindungan dan pengawetan di kawasan konservasi.
Sejauh ini belum ada strategi nasional untuk melakukan penghematan dan pencadangan pemanfaatan SDA, terutama komoditi tambang. Eksploitasi SDA dapat terhenti hanya diakibatkan oleh harga komoditi yang turun atau oleh mekanisme pasar. Relevansi kebijakan pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap pengurasan SDA—antara lain melalui pencadangan SDA tambang—sangat tinggi dan kehutanan dapat memerankan kebijakan ini. PANGAN DAN BIO‐ENERGI
Meskipun sudah ada kebijakan untuk mempertahankan lahan pertanian berkelanjutan dan rancangan alokasi lahan untuk bio‐energi, namun ekonomi pasar cenderung melawan kehendak kebijakan itu. Kebijakan kehutanan harus dapat menguatkan kebijakan ini melalui kebijakan alokasi manfaat hutan bagi pangan dan energi. PENYELESAIAN KONFLIK
Penyelesaian konflik atas kawasan hutan, masih merupakan hal yang belum ditangani dengan baik, atas maraknya konflik akibat ijin‐ijin kawasan hutan yang diterbitkan, baik pada kawasan hutan yang baru ditunjuk maupun sudah ditetapkan. Konflik ini berhubungan langsung dengan keberadaan masyarakat di kawasan itu, baik atas hak adat masyarakat adat, maupun kampung‐kampung dan usaha produktif yang berada pada kawasan hutan. 3. Perlindungan dan Pemulihan Fungsi Hutan
URGENSI PULAU JAWA DAN PULAU‐PULAU KECIL
Pulau Jawa yang sudah kelebihan beban—kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup—perlu mendapat pembatasan dalam kebijakan penggunaan SDH, misalnya terhadap bahan tambang dan galian serta pemanfaatan SDA lainnya yang memungkinkan kerusakan tutupan hutan dan bertambahnya lahan kritis. Disamping juga perbaikan kinerja Perum Perhutani yang memungkinkan peningkatan sistem produksi serta peranannya bagi pengembangan ekonomi masyarakat. Perhatian khusus juga harus diberikan pada pengelolaan hutan di pulau‐pulau kecil dan daerah‐daerah yang secara ekologis rentan.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan habitat darat maupun perairan yang dilaksanakan dalam kerangka kerja jangka pendek sudah terbukti gagal. Menanam pohon yang tidak pernah menjadi hutan dalam 20 tahun terakhir harus diakhiri melalui bentuk rehabilitasi dengan ada kejelasan pengelolanya.
163
OPEN AKSES Keberhasilan perlindungan dan pemulihan daya dukung sangat tergantung kuatnya
atau tingginya intensitas pengelolaan SDH di lapangan. Sejauh ini terdapat sekitar 48 juta Ha kawasan hutan tanpa pengelola, demikian pula rendahnya intensitas pengawasan kawasan perairan. Kelembagaan pengelola di tingkat tapak/ lapangan (KPH) perlu dioperasionalkan. Prasyarat Program Prioritas
4. Informasi dan Manajemen Pengetahuan SDH
URGENSI Informasi dan pengetahuan sangat penting diadakan dan diperbaharui bagi
pengendalian pembangunan agar diketahui secara pasti hutan sebagai kekayaan negara. Keterbukaan informasi bagi stakeholders—termasuk status hutan dan lahan serta transparansi perizinan pemanfaatan SDH—akan menjadi sumber pengetahuan dan pengawasan SDH oleh publik. KEPASTIAN HAK
Informasi mengenai batas‐batas kepemilikan/ penguasaan dan pengetahuan pengelolaan SDH sangat diperlukan untuk meminimalkan konflik yang saat ini berakibat rendahnya kepedulian semua pihak terhadap kerusakan SDH. Putusan MK No. 35/2012 perlu diprioritaskan untuk segera menetapkan hak‐hak masyarakat adat/ lokal yang berarti menentukan kepastian ruang hidup dan kepastian usaha bagi semua pihak.
MANAJEMEN PENGETAHUAN
Organisasi Kehutanan seharusnya merupakan organisasi berbasis pengetahuan (knowledge based organization) yang mampu menghasilkan dampak bagi kesejahteraan masyarakat, kepastian berusaha serta mempertahankan fungsinya bagi penguatan daya dukung lingkungan hidup 5. Mewujudkan Tata Kelola yang Bersih melalui Review Kebijakan
URGENSI Masa depan kehutanan ditentukan oleh tata kelola yang efisien dan efektif, dan hal
ini hanya dapat diwujudkan apabila seluruh isi peraturan‐perundangan mendukungnya. Pentingnya review kebijakan telah didukung oleh berbagai fakta adanya ekonomi biaya tinggi dan korupsi akibat isi peraturan‐perundangan maupun praktek‐prakteknya. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Implementasi kebijakan ini tidak dapat dilakukan secara parsial, namun harus menyeluruh, termasuk pelaksanaan kebijakan ini di Daerah. Kapasitas dan integritas lembaga yang menangani agraria kehutanan sangat urgen untuk ditingkatkan sejalan dengan peningkatan beban kerjanya. Untuk mewujudkannya, perlu disertai dengan
164
keterbukaan informasi dan lembaga Kementerian perlu secara pro‐aktif membuka informasi pelaksanaan kebijakan ini kepada publik. 6. Kebijakan Perdagangan dan Efisiensi Usaha
URGENSI Pelestarian sumberdaya hutan sangat tergantung pada harga komoditi dan efisiensi
perdagangannya. Persaingan usaha perlu diwujudkan untuk menumbuhkan pasokan bahan baku maupun industri yang memanfaatkannya. Untuk mendukung hal tersebut, kapasitas yustisia dalam penegakan hukum perlu diperluas dengan mengkaitkan pelanggaran dengan undang‐undang penataan ruang, pencegahan dan pengendalian perusakan hutan, pencucian uang, maupun tindak pidana korupsi. PERSAINGAN USAHA DAN PERDAGANGAN
Salah satu akar masalah persoalan lambatnya perkembangan usaha untuk memproduksi bahan baku kayu, baik dari hutan maupun tanaman, adalah adanya pengaturan dan pembatasan perdagangan. Harga yang rendah yang diterima pengusaha kayu telah menjadi faktor yang menurunkan kinerja usahanya. Review dan perbaikan kebijakan pembatasan ekspor kayu bulat maupun kayu gergajian untuk jenis dan asal kayu tertentu perlu menjadi prioritas. 7. Kapasitas Lembaga dan Pengorganisasian di Tingkat Tapak
URGENSI Tata kelola yang efisien dan efektif juga harus dapat diwujudkan dalam bentuk
organisasi yang bekerja di tingkat tapak (KPH). Dampak kerusakan hutan dapat melampaui batas wilayah administrasi dan batas yurisdiksi sektoral yang berarti bahwa keberhasilan pengendaliannya sangat tergantung kerjasama antar wilayah administrasi maupun antar sektor. KPH yang bekerja dan menjadi dasar pelaksanaan program pembangunan antar wilayah administrasi dan antar sektor menjadi keniscayaan. Percepatan pembangunan dan operasionalisasi KPH memperoleh posisi penting tidak hanya untuk membangun kembali kontribusi sektor kehutanan pada PDRB dan PDB, tetapi juga menyangkut pemberdayaan masyarakat desa hutan serta segera menghapus keberadaan kawasan hutan yang selama ini dipandang sebagai “open access”. LEADERSHIP DAN NETWORK
Perbaikan kinerja yang menuntut visi jangka panjang cenderung berlawanan dengan arah pembangunan ekonomi dan politik eksploitasi SDA jangka pendek. Berbagai praksis ekonomi politik justru diterapkan oleh kepentingan yang muncul pada berbagai tingkatan kepemerintahan. Konflik kepentingan dalam tubuh pemerintah ini perlu diatasi melalui peningkatan kapasitas kepemimpinan untuk dapat membangun ekonomi wilayah berkelanjutan berbasis sumberdaya alam ternasuk hutan. Pembangunan wilayah tersebut pada kenyataannya tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga tunggal, tetapi memerlukan
165
governance network. Jejaring kepemerintahan menjadi sangat menentukan, termasuk leadership yang antara lain mampu membangun jejaring para pihak di luar pemerintah (LSM, Perguruan Tinggi, dll). IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Berbagai instrumen kebijakan seperti rehabilitasi hutan dan lahan, perizinan, pemberdayaan masyarakat, konservasi dan perlindungan, resolusi konflik, dll harus dapat diintegrasikan dalam kerangka pengorganisasian pengendalian pemanfaatan dan pelestarian SDH. Penggunaan instrumen harus dapat dilaksanakan di tingkat pengelolaan tapak (KPH). Untuk itu pembangunan KPH harus diikuti oleh program mainstreaming paling kurang pada dimensi berikut: (i) review dan perbaikan peraturan perundangan di tingkat pusat, (ii) reforma kewenangan dan kelembagaan kehutanan di tingkat pusat dan pemerintahan daerah, serta (iii) pembangunan kapasitas untuk mengoperasikan KPH secara profesional. 8. Kebijakan Kehutanan dan Otonomi Khusus
URGENSI Khusus untuk daerah otonomi khusus bagi Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan
Provinsi NAD, dalam restrukturisasi kebijakan dan harmonisasi peraturan perundangan di bidang kehutanan harus mengacu kepada UU Otonomi Khusus masing‐masing, dengan tetap memperhatikan kondisi spesifik wilayah otonomi tersebut. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Dalam hal‐hal tertentu, agar kebijakan agraria kehutanan dapat selaras dengan karakteristik ketiga wilayah tersebut, pembahasan mengenai harmonisasi implementasi Undang‐undang Otonomi Khusus dan Undang‐undang Kehutanan perlu dilakukan. Perubahan Struktur, Kapasitas dan Leadership
Pemisahan pejabat politik dan pejabat negara. Sejauh ini dalam pelaksanaan kepemerintahan pada umumnya, bukan hanya bidang kehutanan, terdapat pengaruh besar dan hampir tidak dapat dikendalikan, yaitu kepentingan politik praktis yang dipaksakan ke dalam birokrasi di hampir seluruh lembaga pemerintah. Pimpinan politik seperti Menteri, Gubernur dan Bupati dapat dengan mudah mengintervensi arah kebijakan yang telah ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis, ekonomi maupun sosial. Sepanjang situasi seperti ini tidak terpecahkan, program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga‐lembaga pemerintah/ pemda itu akan senantiasa terputus dan dapat berganti arah setiap lima tahun. Diharapkan dengan adanya Undang‐undang No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara dapat memecahkan persoalan ini.
Struktur dan pengendalian. Seluruh prioritas di atas pada akhirnya dapat dijalankan hanya apabila terdapat organisasi Kementerian yang mempunyai struktur, tugas dan fungsi sejalan dengan prioritas‐prioritas tersebut, sejalan dengan organisasi di tingkat
166
tapak (KPH) yang sedang dikuatkan, serta sejalan dengan bangunan struktur organisasi kehutanan di daerah dan diawasi oleh sistem pengendalian yang sesuai. Bentuk struktur organisasi Kementerian Kehutanan saat ini—yang sesungguhnya tidak berubah sejak adanya otonomi daerah—sudah tidak lagi ideal dan bahkan tidak sesuai dengan struktur organisasi yang dituangkan dalam Undang‐undang No. 41/1999 tentang Kehutanan.
Evaluasi terhadap hubungan antara unit kerja (Kemenhut) dan efektivitas penyelenggaraan kebijakan agraria kehutanan perlu dilakukan. Bahkan, tata
kelembagaan Kementerian Kehutanan dan seluruh kementerian teknis yang terkait dengan hutan dan lahan perlu memperoleh penilikan secara menyeluruh dan tepat. Pertimbangan efisiensi pelayanan dan mobilisasi sumberdaya untuk menyelesaikan persoalan riil di lapangan perlu digunakan dalam penetapan institusi kehutanan (K/L) mendatang.
Transformasi organisasi perlu dilakukan, yaitu dari kegiatan administrasi kehutanan yang sangat besar di pusat menjadi bentuk organisasi kehutanan nasional yang lebih ramping dibanding dengan penguatan tata laksana pengelolaan hutan di lapangan. Kegunaan transformasi organisasi itu adalah untuk mewujudkan efektivitas pelaksanaan sistem insentif dan dis‐insentif kepada pelaku pengelola dan usaha kehutanan. Dengan disepakatinya KPH saat ini sebagai pengelola hutan di tingkat tapak, tata kelola agraria kehutanan harus dapat diefisienkan. Beberapa program terkait dengan upaya ini antara lain, yaitu: 1. Penetapan target pencapaian pembangunan kehutanan yang lebih terbuka—dan
ditetapkan dengan basis ekosistem‐spasial. Jika perlu disampaikan ke publik untuk memperoleh asupan semestinya (sejalan dengan prinsip PADIATAPA);
2. Akuntabilitas dan transparansi penetapan dan penggunaan anggaran pembangunan kehutanan;
3. Proses pengurusan dan pelaksanaan—termasuk mekanisme pembayaran iuran, pajak, dll—serta penilaian izin yang terbuka bagi publik.
4. Penetapan sistem ketenagakerjaan kehutanan—termasuk kepastian jenjang karier, insentif dan keamanan kerja—yang memungkinkan penguatan kapasitas kehutanan di tingkat tapak dan kabupaten/ kota;
5. Pengembangan sistem karier SDM sesuai standar profesionalitas, serta penetapan pejabat yang terbuka bagi publik;
6. Akses yang lebih terbuka atas data/ informasi yang dikelola oleh K/L terkait hutan dan lahan.
Leadership. Adanya struktur organisasi dan pengendalian yang sudah tepat namun tidak disertai sistem pengendalian kinerja dan leadership, juga tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terkait dengan beberapa aspek berikut: 1. Pembaruan kebijakan kehutanan menuntut pemikiran‐pemikiran baru mengenai
‘hutan dan kehutanan’ baik yang bersifat paradigmatik maupun operasional. Pengelolaan SDH berbasis ekosistem serta menyusun kebijakan yang tidak bersifat ‘command and control’ dan mahal sejauh ini belum sampai pada langkah‐langkah
167
nyata dan belum ada kepemimpinan (leadership) yang mengambil peran secara kuat untuk mewujudkannya.
2. Pembangunan kehutanan sangat tergantung pada kebijakan‐kebijakan Kementerian Keuangan, misalnya yang terkait dengan penetapan tarif dan pajak. Disamping itu juga sangat tergantung pada kebijakan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan bagi terselenggaranya insentif pengembangan industri maupun ekspor yang memungkinkan daya tarik untuk membangun hutan bagi masyarakat dan dunia usaha serta pengembangan nilai tambah hasil hutan. Dalam percepatan beroperasinya KPH juga sangat tergantung Kementerian Dalam Negeri, BPN, dan Bappenas. Ketiga lembaga tersebut dapat mendorong percepatan itu melalui penyelesaian konflik‐konflik kawasan hutan. Pengembangan pengelolaan hutan serba guna, misalnya untuk wisata alam perlu bersinergi dengan Kementerian Pariwisata, agro‐forestry dan silvopastura perlu bersinergi dengan Kementerian Pertanian, sedangkan dalam penggunaan kawasan hutan untuk tujuan non‐kehutanan, misalnya tambang perlu ada sinergi dengan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral.
3. Seluruh lembaga yang mempunyai kaitan dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan kehutanan perlu mendorong atau mewujudkan penguatan kebijakan kehutanan dengan mengkaitkannya dengan kebijakan PSDA, sebagaimana saat ini telah dikoordinasikan oleh KPK dan UKP4. Terkait dengan kepentingan dan urgensi serta sifat kemendesakkan penguatan kebijakan kehutanan tersebut, peran pemimpin berbagai lembaga menjadi sangat penting. Kepemimpinan (leadership) yang memiliki dan menggunakan tiga kompetensi sekaligus yaitu: kompetensi teknis dan hukum, kompetensi manajerial dan kompetensi etis mutlak diperlukan
Disusun untuk Seknas Jokowi, Bogor 13/08/14
168
MENGAWALI REFORMA AGRARIA, BAGIAN DARI AGENDA 100 HARI PEMERINTAHAN JOKOWI‐JK
[Noer Fauzi Rachman, Ph.D]
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria Indonesia Pengajar Program S2 Sosiologi Pedesaan Institute Pertanian Bogor
POTRET PERMASALAHAN
Rakyat Indonesia secara keseluruhan selayaknya menyambut abad XXI dengan penuh
kegembiraan dan optimisme, namun pada kenyataannya tidak lah demikian. Banyak kelompok rakyat miskin di seantero desa, pinggir kota, di pedalaman maupun pesisir pulau‐pulau dilanda rasa galau. Mereka menanggung beban berat untuk melepaskan diri dari kemiskinannya karena sebab utama bahwa penguasaan tanah pertanian, pesisir, dan hutannya semakin terkonsentrasi penguasaannya oleh perusahaan‐perusahaan raksasa di bidang pertambangan, kehutanan dan pekebunan. Ditambah dengan faktor layanan alam (ecological services) yang diterima rakyat semakin lama semakin merosot, berakibat produktifitas rakyat semakin hari menurun.
Penulis ingat bahwa para pendiri Negara‐Bangsa Indonesia, termasuk Soekarno dan Muhamad Hatta, telah meletakan dasar‐dasar baru pengaturan agraria nasional yang berdasarkan kritik terhadap cara politik agaria kolonial bekerja. Dalam pidato di BPUPK 1 Juni 1945 itu, Soekarno dengan jelas dan jenius menunjukkan bagaimana Negara Republik Indonesia musti difungsikan sebagai Ibu Pertiwi yang memangku rakyat sebagai warganegaranya. “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”Muhammad Hatta pun demikian pula, ia telah meletakan dasar‐dasar yang melarang tanah (dan sumber daya alam) untuk diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). SEBAB‐SEBAB, AKIBAT‐AKIBAT, DAN AKIBAT‐AKIBAT LANJUTANNYA
Bagaimanapenguasaan tanah yang dilakukan olehperusahaan‐perusahaan raksasa di
bidang pertambangan, kehutanan dan pekebunan semakin terkonsentrasi. Faktor utama yang menyebabkannya adalah putusan pejabat publik (Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Pertambangan dan Energi) yang memberi lisensi‐lisensi
169
pemanfaatan tanah dan sumber daya alam, seperti ijin Hak Pengusahaan Hutan/Hutan Tanaman industry (HTI), Hak Guna Usaha, Kontrak Karya Pertambangan, Ijin Usaha Pertambangan, dan lainnya. Lisensi‐lisensi pada kenyataannya menjadi alas hukum perusahaan‐perusahaan pemegang lisensi untuk mengusir, menyingkiran dan meminggirkan rakyat petani, nelayan, masyarakat adatdari tanah, sumber daya alam, dan wilayah hidupnya.Padahal mereka itu menggantungkan kelanjutan hidupnya dari cara mereka menguasai dan memanfaatkan tanah, sumber daya alam dan wilayahnya, dengan sistem pertanian keluarga, perladangan suku, wana‐tani, pengembalaan suku, kebun‐hutan bersama, hingga pengelolaan pesisir dan laut secara adat.
Ada di antara mereka yang sibuk untuk terus‐menerus mempertahankan diri dan bertarung melawan perluasan konsesi‐konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan itu.Produktivitas mereka yang hidup di sistem‐sistem produksi ini cenderung dibiarkan menurun begitu saja oleh pemerintah karena layanan alam (ecological service) yang semakin lama semakin jelek mutunya. Sebaliknya, kebijakan, kekuasaan, dan fasilitas pemerintah diarahkan untuk mempermudah jalan para perusahaan/investor memperbesar produksi komoditas global dari perusahaan‐perusaan pertambangan, kehutanan dan pekebunan itu.
Selain karena konsentrasi penguasaan tanah, konversi tanah‐tanah pertanian ke non‐pertanian, perkembangan ilmu dan teknologi produksi, dan pertumbuhan penduduk miskin, telah ikut membuat kesempatan kerja di pertanian semakin sempit.Data sensus pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003. Jadi, secara umum, dibanding dengan mereka yang membutuhkan pekerjaan, kesempatan kerja di sektor pertanian semakin menyempit dari tahun ke tahun.Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin menipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di pedesaan itu, mayoritas yang tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil resiko pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran, di kota‐kota propinsi, metropolitan hingga ke luar negeri. Sebagian besar dari rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik pula bagi pemuda‐pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti mereka itu. Dunia pertanian dan hidup di desa tidak menjanjikan bagi pemuda‐pemudi. Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin kuat pula motivasi dan dorongan untuk mereka meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan pemuda‐pemudi yang pandai‐pandai, termasuk untuk mengenyam pendidikan.
Krisis agraria sekarang ini dicirikan oleh tigahal utama yang mencolok, yakni: ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang sangat tajam, konflik‐konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang meletus di sana‐sini dan tidak ada penyelesaiannya, dan kerusakan ekologis yang parah dan membuat layanan alam tidak lagi dapat dinikmati rakyat. Ketiga perkara ini telah disebut secara lugas sebagai masalah nasional dalam Ketetapan MPR RI No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Satu mandat utamanya dari TAP MPR ini adalah
170
penyelesaian pertentangan, tumpang tindih dan tidak sinkronnya berbagai perundang‐undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berlaku. Ironisnya tidak ada satupun Presiden Republik Indonesia yang menjalankan arah kebijakan dan mandat yang termuat di dalam Ketetapan MPR itu. Semenjak dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 melalui UU Nomor 24/2003 sudah cukup banyak undang‐udang agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang telah diuji konstitusionalitasnya, dan sebagian telah dibatalkan karena tidak sesuai dengan UUD 1945 yang berlaku. Yang terbanyak diuji adalah Undang‐undang No. 41/1999 tentang Kehutanan. Adalah pekerjaan utama Presiden membentuk panitia negara untuk melakukan kajian (review) perundang‐udangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang bertentangan, tumpang tindih dan tidak sinkron satu sama lain.
Masalah kita juga adalah karakter pemburu rente dari pejabat publik di Pemerintah Pusat dan Daerah, yang umumnya diperolehnya dari kewenangan pemberian lisensi‐lisensi untuk usaha pertambangan, kehutanan, perkebunan, pertanian, perdagangan, dan lainnya, baik di Kementerian Pertambangan dan Energi, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian perdagangan, Kementerian Pertanian, dan lainnya, maupun di pemerintahan daerah. Dalam konteks kewenangan kabupaten yang diterima sebagai hasil desentralisasi, sudah menjadi pengetahuan umum para pengamat otonomi daerah bahwa pemberian ijin lokasi untuk perkebunan, dan ijin usaha pertambangan (batu bara, nikel, dsb) sangat marak diberikan Bupati sebagai upaya mendapatkan rente sebagai “kompensasi dari pengeluarannya ketika bertanding dalam pemilukada”. Menurut saya cara memahami dan menjalankan fungsi pejabat pemerintahan demikian itu sangat mirip dengan yang dijalankan oleh para pejabat pemerintah kolonial Hindia‐Belanda dengankebijakan agraria kolonial yang diskriminatif, meski kita hidup di jaman paska‐kolonial. Jelas sekali hal ini sepenuhnya adalah penyimpangan dari arti “publik” sesungguhnya dari “pejabat publik”. Ini adalah juga penghianatan terhadap cita‐cita para pendiri Negara‐Bangsa bagaimana negara Republik Indonesia seharusnya bekerja melalui para pejabatnya. USULAN LANGKAH AWAL LAND REFORM
Menghadapi situasi konsentrasi penguasaan tanah yang semakin menjadi di awal
abad 21 ini, saya mengidamkan Pemerintah Pusat di bawah pimpinan Presiden Indonesia terpilih sanggup untuk memimpin tim “operasi bedah” atas dasar diagnosa yang tepat. “Operasi bedah” demikian itu, dalam ilmu dan praktek kebijakan pembangunan, disebut sebagai agraria reform atau Reforma Agraria. Termasuk dalam target “operasi bedah” ini adalah untuk memastikan status penguasaan wilayah‐wilayah adat yang berada dalam kategori “Hutan Negara” yang dikuasai oleh Kementerian Kehutanan. Setelah redistribusi tanah, pemerintah perlu membantu penerima tanah redistribusi dengan menyediakan segala fasilitas untuk membuat pertanian rakyat itu produktif dan berkelanjutan.
Adalah tantang kita semua memprogramkan langkah pertamaReforma Agrariaini dalam program 100 hari kabinet baru di bawah Presiden Joko Widodo dan Wk. Presiden
171
Jusuf Kalla, untuk mewujudkan salah satu dari butir janji dalam Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi‐JK 2014, yakni redistribusi tanah 9 (Sembilan) juta hektar, yang dapat dimulai dengan pembentukan suatu unit khususImplementasi Reforma Agraria, setidaknya dalam bentuk satuan tugas khusus, yang langsung berada di bawah Presiden, setidaknya bertanggung jawab untuk (1) menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Reforma Agraria; (2) mempersiapan basis data, pengetahuan dan desain program implementasi; (3) mengkordinasi badan‐badan pemerintah (pusat dan daerah) untuk pelaksanaan redistribusi maupun program paska redistribusi tanah; (4) memobilisasi dukungan pembiayaan; (5) mempersiapkan pengorganisasi pihak penerima redistribusi tanah, tanah yang akan diredistribusi, dan mekanisme transfer penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah itu; (6) mempersiapkan penanganan sengketa/konflik akibat , dan (7) melakukan kerjasama pembangunan inetrasional untuk reforma agraria.
Bogor, 13 Agustus 2014
172
BAB VII PANGAN DAN ENERGI
173
ISU BESAR PANGAN
[Prof. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, MS] Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
“If I had only one hour to save the world, I would spend fifty‐five minutes defining the problem, and only five minutes finding the solution”, Albert Einstein. Hiruk pikuk pesta demokrasi, kampanye, debat capres dan pilpres sudah berakhir.
Sekarang saatnya kembali merenungkan apakah semua visi‐misi serta janji‐janji kandidat yang sebagian masuk dalam memori rakyat dan petani Indonesia memang berlandaskan peta permasalah pangan yang ada serta memungkinkan untuk direalisasikan di periode pemerintahan mendatang.
Penyediaan pangan di masa depan berkejaran dengan pertumbuhan penduduk yang melonjak dengan cepat. Untuk mencapai populasi hingga 1 milyar, dunia memerlukan waktu 250.000 tahun. Kemudian untuk mencapai 2 milyar perlu waktu satu abad dan hanya perlu waktu 1/3 abad untuk mencapai 3 milyar. Setelah itu hanya perlu waktu 17 tahun dan kemudian 12 tahun penduduk dunia bertambah 1 milyar lagi (Montpellier, 2012).
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Perlu ribuan tahun hingga penduduk Indonesia mencapai 100 juta jiwa, dan setelah itu hanya perlu waktu sekitar 35 tahun untuk menjadi 200 juta (tahun 1998) dan 35 tahun berikutnya (tahun 2033) sudah mencapai 300 juta.
Bila sejak 40 tahun yang lalu hingga masa kini perebutan sumberdaya minyak mewarnai dinamika geopolitik dunia, maka di masa depan pangan akan menggantikan enerji sebagai pemicu gejolak politik dunia. Dengan demikian siapapun pemimpin kita bila mengabaikan masalah pangan maka persoalan pangan akan menjadi bom waktu yang sewaktu‐waktu bisa meledak menjadi kerusuhan sosial dan bahkan penggantian pemerintahan melalui mekanisme yang tidak diharapkan oleh semua orang. PETA PERMASALAHAN PANGAN
Pada tingkat global dan nasional memproduksi pangan yang mencukupi sudah mulai
dihadapkan dengan berbagai kendala besar. Kendala tersebut diantaranya adalah menurunnya permukaan air tanah, laju peningkatan produksi yang mulai stagnan, perubahan iklim yang mengacaukan pola budidaya, meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman, deplesi cadangan fosfat sebagai bahan baku pupuk P serta degradasi dan erosi tanah yang terjadi di hampir semua negara di dunia.
174
Sebagai dampaknya, stok biji‐bijian dunia menurun dari 107 hari konsumsi pada 10 tahun yang lalu menjadi hanya 74 hari konsumsi pada beberapa tahun terakhir ini (L.R. Brown, 2012, Full Planet, Empty Plates). Harga pangan dunia meningkat 200 hingga 300 persen yang berdampak serius bagi penduduk miskin dunia yang pendapatannya 50 hingga 70 persen dibelanjakan untuk pangan.
Permasalahan pangan di Indonesia tidak kalah pelik. Terabaikannya pembangunan sektor pertanian dan pangan pasca reformasi menyebabkan kita semakin dalam masuk ke jurang impor pangan yang menghambat upaya Indonesia mandiri di bidang pangan dan mengorbankan petani kecil.
Impor pangan yang semakin membesar selama 10 tahun terakhir ini merupakan kenyataan. Selama periode pemerintahan terakhir, impor pangan dibanding dengan tahun 2004 meningkat tajam. Beras meningkat 482,6 persen, daging sapi 349,6 persen, cabai 141,0 persen, gula 114,6 persen, bawang merah 99,8 persen, jagung 89,0 persen, kedelai 56,8 persen dan gandum 45,2 persen (D.A. Santosa, Kompas 26/3/2014, diolah dari Bappenas 2014 dan USDA 2014). Ironisnya anggaran sektor pangan dan pertanian selama 9 tahun terakhir ini meningkat 611 persen!
Selain itu, petani kecil selama ini hanya menjadi obyek kebijakan. Petani terpaksa harus mencari upaya untuk menyelamatkan diri sendiri. Spekulasi dan serbuan produk impor telah menghempaskan puluhan ribu petani hortikultura karena harga hortikultura yang jatuh ketika saat panen. Harga cabai selama 2 bulan terakhir ini jatuh di bawah biaya produksi karena masuknya cabai olahan impor yang menyebabkan petani merugi puluhan juta rupiah per hektarnya (Kompas 7/7/2014). Petani tebu juga menghadapi hal yang sama. Gula rafinasi yang diimpor masuk ke pasar bebas serta persetujuan impor gula kristal putih oleh Kemendag (10/7/2014) menghancurkan harga gula di tingkat petani justru ketika petani tebu mulai memasuki panen raya.
Siklus tersebut terus berulang tiap tahun dan terjadi di hampir semua komoditas, baik bawang merah, bawang putih, kedelai, jagung, beras, ikan hingga garam. Dikarenakan harga pangan merupakan penyumbang inflasi terbesar maka perlindungan harga di tingkat konsumen menjadi kebijakan utama yang ditempuh pemerintah. Rezim ketahanan pangan juga menempatkan investor asing, mafia pangan, pengusaha besar, industri pangan, pedagang pangan, dan penyedia input produksi berada di puncak piramida struktur pertanian kita. Hingga saat ini tidak ada keberanian pemerintah untuk mengubah itu semua.
Pola konsumsi masyarakat juga berubah. Konsumsi beras menurun rata‐rata sebesar ‐1,62 persen tiap tahun (BPS 2014). Penurunan konsumsi beras tersebut bukan disebabkan beralihnya konsumsi ke sumber karbohidrat lokal lainnya tetapi lebih disebabkan peningkatan konsumsi pangan olahan berbasis tepung terigu yang meningkat tajam. Impor gandum selama periode tersebut meningkat rata‐rata sebesar 8,6 persen tiap tahun (diolah dari WOAB, USDA 2014). Pengeluaran rata‐rata untuk konsumsi makanan dan minuman jadi meningkat tajam rata‐rata sebesar 14,7 persen (BPS 2014).
Perubahan gizi masyarakat juga praktis tidak terjadi karena hanya terjadi peningkatan kecil konsumsi protein asal hewani yaitu 0.28 persen tiap tahun yang jauh lebih rendah
175
dibanding pertumbuhan penduduk. Ironisnya sumber protein hewani yang hampir 100 persen pakan maupun bibitnya dikuasai oleh perusahaan multi nasional meningkat tajam sebesar 4,6 persen untuk daging ayam ras dan 1,61 persen untuk telur ayam ras tiap tahunnya. Sedangkan sumber protein hewani asal rakyat dan petani kecil berupa daging ayam kampung, telur ayam kampung dan telur itik menurun tajam masing‐masing sebesar ‐1,67, ‐7,30 dan ‐9,78 persen tiap tahunnya (BPS 2014).
Konsumsi tahu dan tempe yang merupakan sumber penting protein nabati –sekalipun sumber bahan bakunya sebagian besar impor‐ peningkatannya juga jauh lebih rendah dibanding pertumbuhan penduduk yaitu hanya 0,16 persen per tahun. Lebih memprihatinkan adalah penurunan konsumsi ikan selama 5 tahun terakhir ini dibanding 5 tahun sebelumnya yaitu sebesar ‐2,19 persen (diolah dari BPS 2014). POLA KONSUMSI BERBASIS IMPOR
Dengan demikian pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen selama periode
pemerintahan sekarang praktis tidak berdampak terhadap perubahan pola konsumsi ke arah kedaulatan pangan dan bahkan tidak berdampak apapun terhadap upaya peningkatan gizi masyarakat. Program diversifikasi gagal dan pola konsumsi masyarakat semakin bergeser sedikit demi sedikit dari pola konsumsi berbasis produksi lokal asal petani kecil dan nelayan ke pangan berbasis impor dan produk korporasi.
Alih‐alih meningkatkan kapasitas petani kecil untuk mampu bersaing dalam pasar yang sampai saat ini tidak adil bagi mereka, kebijakan pemerintah dalam 5 tahun terakhir justru semakin liberal dan sangat condong ke korporasi asing. Jumlah investasi asing (FDI, Foreign Direct Investment) untuk sektor pertanian melalui lisensi yang telah diterbitkan pemerintah meningkat luar biasa tinggi yaitu dari 1221 pada tahun 2009 menjadi 4342 pada tahun 2011 atau 255 persen hanya dalam tempo 2 tahun (BKPM 2012). Pada periode 2010 – 2013 nilai investasi asing di bidang pangan dan perkebunan meningkat sebesar 113 persen (BKPM 2014).
Kecenderungan ini sungguh mengkawatirkan apalagi di tahun 2015 Indonesia memasuki Masyarakat Ekonomi Asean. Hambatan tarif maupun non‐tarif akan dihilangkan dan prosedur karantina akan diintegrasikan melalui ASEAN single window. Bahan pangan maupun pangan olahan yang diimpor melalui salah satu negara akan dengan bebas masuk ke pasar terbesar ASEAN yaitu Indonesia tanpa hambatan.
Petani dan nelayan kecil semakin dibenturkan dengan sistem perdagangan pangan dan pertanian yang tidak adil bagi mereka. Dengan demikian perlu upaya luar biasa keras sehingga program luhur kedaulatan pangan bisa benar‐benar terwujud dan tidak menjadi jargon kampanye tanpa isi. Pemerintah mendatang perlu merenegosisasi seluruh perjanjian regional maupun internasional yang selama ini terbukti memperparah kondisi petani. Pola liberalisasi yang kebablasan perlu direm dengan meninjau ulang seluruh Undang‐Undang terkait pangan dan pertanian serta semua produk turunannya.
Seluruh visi‐misi dan program yang sudah ditulis perlu dibedah dan dikemas ulang sehingga benar‐benar implementatif menuju kesejahteraan petani dan nelayan serta
176
menuju Indonesia yang berdaulat di bidang pangan (Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia, Associate Scholar Center of Reform on Economic/CORE Indonesia).
177
POKOK‐POKOK AGENDA PEMBANGUNAN PERTANIAN UNTUK KEBANGKITAN INDONESIA
[Dr. rer. nat. Mangku Purnomo, SP. M.Sc. Ph.D]
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya PENDAHULUAN
Tidak ada satupun bangsa di dunia ini yang maju tanpa sokongan pertanian demikian
juga pertanian tidak akan pernah maju tanpa sokongan kekuasaan. Pertanian bukan hanya masalah pangan tetapi juga masalah energi dan politik. Tidak hanya masalah pada aras lokal, pertanian juga menjadi perhatian dunia global. Sebagai landasan kemajuan bangsa pertanian menginpirasi para pemimpin besar dunia dalam membangun bangsanya. Tidak hanya sebagai simbol peradaban, pertanian adalah landasan kemakmuran, kemadirian, dan martabat bangsa.
China dan Mesir masa lalu mengembangkan pertanian Rakyat di sekitar Nill dan Mekong24. Kejayaannya China dipertanian tidak diragukan hingga hari ini. Nabi Yusup dengan Lumbung Pangannya mampu memberi makan hingga tujuh musim paceklik hingga negaranya menjadi makmur dan kuat. Dalam pidato peresmian Institut Pertanian Bogor, Ir. Soekarno mengatakan bahwa pertanian adalah masalah mati dan hidupnya sebuah bangsa25.
Amerika mensubsidi pertanian hingga mampu memberi makan jutaan penduduk Eropa yang kelaparan akibat perang dunia kesatu26. Tidak mengherankan jika ekonomi Eropa dan Amerika disatukan tidak hanya masalah kesamaan etnik tetapi lebih sebagai hubungan dagang dan balas budi. Bahkan Eropa modern mensubsidi susu melalui Common Agricultural Policy (CAP) agar masyarakat miskin tetap mampu membeli susu dan produk turunannya27. Sementara kita sebagai negara agraris membiarkan peternak berjuang sendiri hingga susu tak terbeli oleh orang miskin.
24 Diamond, Jared (1999). Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies. New York: W.W. Norton & Company. ISBN 0‐393‐31755‐2.
25 Soekarno (1053). Soal Hidup Atau Mati, Almanak Pertanian 1953 hal 11‐20 26 Simon G.A, 2012, Food Security: Definition, Four dimensions, History. University of Roma 27 CAP, C. A. P. (2013). Common Agricultural Policy (CAP).
178
Pertanian harus didekati “oleh” kekuasaan dan bukan didekati “dengan” kekuasaan. Didekati oleh kekuasaan artinya kekuasaan hadir mendukung dan mengatur bukan mempolitisasi. Pengalaman menunjukan jika pertanian didekati dengan kekuasaan hanya memunculkan politisasi pertanian. Pertanian cenderung menjadi “tag line” politik atau jargon “heroisme” untuk menarik suara massa rakyat menjelang pemilu. Alih‐alih bekerja untuk petani dan nelayan, gaya demikian hanya akan melahirkan “Nasionalisme semu” berujung pada kemalaratan massa tani dan nelayan.
Menyadari kondisi tersebut maka perlu untuk menuangkan pokok‐pokok agenda kebangkitan kaum tani dan nelayan. Kebangkitan nyata tidak hanya dalam produksi dan kesejahteraan ekonomi tetapi juga kebangkitan politik kaum tani. Kebangkitan yang mengantarkan kaum tani dan nelayan berdaulat sebagai pilar negara yang hebat dan bermartabat. PETANI DAN PERTANIAN ALAS KAKI KEKUASAAN
Menghindari bahasan hanya berupa jargon, pokok‐pokok pikiran ini menguraikan
pendekatan kekuasaan atas pertanian terlebih dahulu sebelum memasuki rumusan pertanian progresif. Bahasan dibagi dalam tiga dimensi waktu yakni masa kolonial, masa orde baru, dan rejim reformasi. Masing‐masing masa diuraikan bagaimana kekuasaan mengangkangi pertanian selama ini. Kekuasaan telah “memanipulasi” pertanian dengan memberikan harapan semu dan menjauhkan petani dan nelayan sebagai kaum mandiri dan hebat. Era Kolonial: Sapi Perahan dan Setan Agraria
Pendekatan kekuasaan jaman kolonial dilakukan melalui tiga jalan utama yakni menjajah kebudayaan, merubah hukum agraria, dan memonopoli sektor ekonomi strategis28 29. Penjajahan kebudayaan dilakukan melalui penciptaan struktur sosial tertentu yang menjadikan kebudayaan barat sebagai kebudayaan paling maju. Oleh karena itu kebudayaan lokal harus mengikuti kebudayaan barat apabila ingin menjadi budaya maju. Pandangan ini merasuk dalam sanubari bangsa hingga kita tidak lagi bangga dengan kebudayaan asli kita.
Penjajahan kebudayaan paling terang dipertanian adalah pengkondisian preferensi konsumsi pangan kita. Makanan paling mahal bergaya luar negeri. Restoran paling laris bergaya luar negeri. Buah mahal juga produksi luar negeri. Daging mahal diimport luar negeri. Angrek dan bunga yang mahal juga ditangkarkan di luar negeri.
28 Elson, R. E. (1978). The cultivation system and" agricultural involution". The cultivation system and" agricultural involution".
29 Van Niel, R. (1972). Measurement of Change Under the Cultivation System in Java, 1837‐1851. Indonesia, 89‐109.
179
Pertanian kita seolah hanya menghasilkan pangan untuk kelas bawah. Kelas yang hanya mampu membayar makanan dengan uang kecil. Nama‐nama makananpun harus di luar negerikan ejaannya supaya laris. Jika tidak segera dihentikan, maka preferensi konsumsi pangan kita akan terbangun sesuai dengan selera penjajah. Dan tentu saja kita tidak akan pernah menjadi mandiri secara budaya.
Penjajahan budaya lain yang tak kalah hebat adalah penjajahan intelektuak pertanian kita. Ilmu pertanian dipisahkan sepenuhnya dengan ilmu sosial ekonominya sehingga menjadi sebagai ilmu teknis. Pemisahan ini diterapkan pada pendidikan insinyur‐insinyur pertanian kolonial yang diteruskan pada jurusan sosial ekonomi pertanian kita. Karena itu jurusan sosial ekonomi menjadi pilihan kedua di Fakultas‐Fakultas Pertanian karena masalah sosial pertanian adalah tambahan pelajaran saja.
Pola pendidikan pertanian dikotomis mewarnai seluruh pola pikir kaum intelektual pertanian hingga saat ini. Ini adalah penjajahan budaya melalui pendidikan. Tidak heran jika ilmuwan pertanian seperti robot yang tidak tahu perkembangan pertanian itu sendiri. Inilah penanggungjawab kenapa perkembangan ilmu‐ilmu sosial ekonomi pertanian sangat lemah. Bahkan ilmuwan pertanian kita mayoritas menggambarkan proses “marginalisasi” kondisi pertanian Indonesia sebagai differensiasi dan bukan penindasan.
Tidak hanya pendidikan dan pola makan. Penjajahan kebudayaan pertanian juga dilakukan melalui introdusir pola tanam monokultur30. Pola ini menggerus ketahanan pangan kita sekaligus menghilangkan diversifikasi plasma nuftah. Budaya tanam pohon sebagai bagian integral dari rutinitas petani kita sebagai respon kelestarian lingkungan juga hilang karena pola ini. Nelayan diajarkan untuk terus memburu ikan sementara mengolah dan menjualnya adalah urusan pihak lain. Spesialisasi dan monokultur ini menjauhkan petani dari tradisi gotong‐royong dan empati pada lingkungan.
Selain kebudayaan, merubah hukum agraria adalah kebijakan paling membunuh dari pemerintah kolonial. Kebijakan ini bahkan masih berpengaruh terhadap petani dan nelayan hingga saat ini. Hukum agraria kolonial mengintrodusir kepemilikan pribadi dan pajak atas tanah. Undang‐undang ini memberi kebebasan bagi pemanfaatan hutan‐hutan negara dengan konsensi tertentu juga pembelian besar‐besaran lahan‐lahan rakyat untuk perkebunan. Komoditifikasi tanah dari penguasaan ulayat ke penguasaan negara untuk digunakan sebagai keperluan kegiatan komersil mendapatkan legitimasi hukum.
Karena kebebasan kapital maka penguasaan minimal petani atas lahan garapan sebagaimana diundangkan tidak ada. Petani didorong untuk mengecil sehingga mudah untuk ditaklukan. Meskipun UUPA telah diundangkan pada masa kemerdekaan tetapi filosofi kekuasaan tetap menggunakan paradigma hukum kolonial.
Swasta besar bahkan investor asing mendapatkan porsi lebih besar untuk menguasai lahan‐lahan pertanian produksi daripada keluarga‐keluarga petani kecil. Petani kecil
30 Fasseur, C. (1992). The politics of colonial exploitation: Java, the Dutch, and the Cultivation System (No. 8). SEAP Publications.
180
dianggap tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan produksi dan menggerakan ekonomi bangsa. Ketidakadilan agraria merupakan sumber masalah yang belum terpecahkan hingga saat ini.
Kebijakan agraria selanjutnya diikuti dengan monopoli perdagangan komoditi strategis. Jaringan perdagangan komoditas tersebut tidak dikuasai oleh pribumi. Kopi, gula, kakao,tembakau, pala, dan cengkeh bahkan candu sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah kolonial. Hingga saat ini tidak ada satupun perusahaan dalam negeri yang mampu mengendalikan komoditas tersebut karena sepenuhnya telah dikuasai asing sejak masa kolonial. Kalaupun ada hanyalah pemain kecil yang tidak dapat mendeterminasi pasar dunia.
Jika ada pemain besar disektor pangan peran negara sangatlah besar. Fenomena “polically affiliated power” dan “conglomerate power” untuk menggambarkan strategi dari pemain industri pangan mengusai pasar31. Model‐model penguasaan pasar ala konglomerasi tersebut pasti mendistorsi produsen khususnya petani kecil namun mampu berjalan efisien. Inilah pola‐pola yang digunakan oleh pemerintah kolonial untuk memudahkan ekploitasi dan ternyata diteruskan oleh penguasa setelah merdeka yakni memfasilitasi pengusaha besar untuk memonopoli pasar pertanian strategis.
Untuk pertanian Indonesia yang hebat penguasaan jalur distribusi pangan oleh segelintir orang atau korporasi tidak boleh. Kalaupun korporasi berperan mereka harus tunduk pada otoritas pertanian sebagai kontrol stok pangan dan pengatur monopoli. Di era kolonial pangan menjadi salah satu senjata bagi penjajah untuk menekan kekuasaan raja‐raja lokal. Kondisi ini hampir sama dengan prilaku para spekulan pangan pada masa kini yang mempermainkan harga baik yang “berskongkol” ataupun inisiasi pribadi.
Jadi, pada masa kolonial pertanian lebih banyak didekati “dengan” kekuasaan daripada “oleh” kekuasaan. Kekuasaan tidak pernah hadir untuk menguatkan massa rakyat berproduksi, tetapi malah dijadikan sapi perah dan alas kaki kekuasaan. Penjajahan budaya pertanian, monopoli komoditi strategis, serta penerapan hukum agraria barat menjadi instrumen kolonial untuk memerah pertanian baik hasil maupun manusianya. Secara umum pertanian masa ini betul‐betul menjadi sapi perahan kekuasaan dengan penerapan hukum agraria kapitalis sebagai legitimasi disertai dengan praktek monopoli dan penindasan. Orde Baru: Revolusi Hijau dan Setan Agribisnis
Apakah cara kolonial menguras suberdaya pertanian tersebut dirubah pada masa orde baru? Tidak! Pertanian malah dijadikan kuda tunggangan dan sapi perahan kekuasaan. Ditunggangi saat pesta politik dan diperas sepanjang masa untuk mendukung pertumbuhan industri. Melalui revolusi hijau Orba berhasil memberi makan jutaan rakyat di
31 Sato, Y. (1993). The Salim group in Indonesia: the development and behavior of the largest conglomerate in Southeast Asia. The Developing Economies, 31(4), 408‐441.
181
negara berkembang khususnya Asia karena peningkatan produksi berkali‐kali lipat32. Meski demikian, kesejahteraan petaninya tetap rendah!
Kesempatan revolusi hijau tidak memberikan dampak positif bagi petani kecil33. Input produksi, pupuk, pemasaran hasil, juga kesempatan‐kesempatan ekonomi selain produksi dimonopoli oleh lapis atas. Tidak ada mobilitas sosial dari kaum tani kita selama 32 tahun dijajah Orde Baru. Petani tetap miskin, miskin,dan miskin bin melarat! Inilah fokus kita! Mengangkat kembali kaum Marhein!
Secara masif pertanian dieksploitasi menjadi sektor paling marjinal. Nilai tukar petani (NTP) terus menurun hingga bertani seperti bekerja tanpa hasil. Harga input produksi terus melambung sementara harga produk pertanian stagnan. Pemerintah secara sengaja menstagnankan harga pangan untuk menghindari gejolak politik.
Buruhpun digaji murah agar tetap mampu berproduksi. Industri tak mampu ber “inovasi” agar berdaya saing. Tenaga kerja murah satu‐satunya sumber daya saing. Lagi‐lagi upah murah hanya berlaku jika harga pangan murah! Wal hasil, petani tak mungkin membiayai pendidikan yang mahal. Kesehatan yang mahal.
Pertanian yang mustinya dilindungi dianggap sama kedudukannya dengan sektor swasta lainnya. Pertanian harus untung dengan harga pangan murah. Rakyat dipaksa bekerja melebihi waktu. Tak ada waktu libur. Pagi dan sore memerah susu, siang kesawah dan mencari rumput, malam menunggu giliran air irigrasi. Hasilnya, mereka tetap melarat! Produk‐produk pertanian “dipaksa” untuk murah sebagai pangan utama buruh pabrik, sementara petani dibiarkan saja miskin.
Anak petani akhirnya tak bisa sekolah. Tidak ada mobilitas sosial. Tidak ada prubahan struktur masyarakat. Tidak pernah ada kebudayaan petani yang jadi kebudayaan populer. Selalu marjinal. Dibenamkan betul‐betul oleh kekuasaan. Supaya tidak ada kritik. Supaya tetap leluasan menguras harta rakyat. Agar leluasa mengkibuli para petani.
Orde baru dikritik kanan kiri. Negara dianggap memelaratkan sebagian besar anak bangsa. Bahkan bertanggungjawab atas kelaparan dan kemiskinan saat ini34. Entengnya mereka bilang bahwa pertanian kita memang kuno. Puh, kenapa baru 32 tahun berkata demikian? Kenapa tidak sejak awal rejim berdiri. Sekarang mereka bilang lagi, Enak Jamanku Tho!
Agribisnis! Setan baru yang diciptakan. Konsep setan yang melegalkan pertanian sebagai sapi perahan. Sapi perahan sektor lain untuk tumbuh dan berkembang. Setan yang melegalkan pencamplokan sumber agraria rakyat oleh korporasi. Setan yang menjadikan
32 Hazell, Peter B.R. (2009). "The Asian Green Revolution". IFPRI Discussion Paper (Intl Food Policy Res Inst). GGKEY:HS2UT4LADZD.
33 Gibbons, D. S., Koninck, R. D., & Hasan, I. (1980). Agricultural modernization, poverty and inequality. The distributional impact of the Green Revolution in regions of Malaysia and Indonesia. Agricultural modernization, poverty and inequality. The distributional impact of the Green Revolution in regions of Malaysia and Indonesia.
34 Booth, A. (2000). Poverty and inequality in the Soeharto era: An assessment.Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36(1), 73‐104.
182
petani pemilik menjadi petani penggarap. Konsep yang melegalkan penggunaan racun untuk tanaman.
Agribisnis adalah setan yang anti perubahan. Setan yang melegalkan kemelaratan demi ketersediaan tenaga kerja. Mobilitas petani dan nelayan adalah ancaman. Mereka tetaplah menjadi pekerja untuk industri pertanian. Tidak boleh menjadi pemilik. Hanya perusahaan besar yang diperbolehkan.
Alih‐alih diberi kehormatan, petani kecil malah dikirim transmigrasi untuk tanah yang tidak subur. Kenapa tidak reformasi agraria? Jutaan hektar tanah terbengkalai. Dikuasai oleh negara dan korporasi. Dibiarkan terbengkalai sementara rakyat berebut tanah. Para konglomerat sibuk mengkapling jutaan hektar tanah negara, sementara rakyat dibiarkan saling bunuh untuk sepetak dua petak tanah.
Lihatlah para transmigran kita. Menggaruk‐garuk gambut untuk sekaleng dua kaleng beras. Dua tiga polong kacang dari tanah yang asam dikalimantan. Menempuh puluhan kilometer pompong hanya untuk sekilo garam. Minum air hujan yang terlalu asam. Jika tidak kuat, dikatakan malas. Yang beruntung masih bisa menamam sawit. Itupun sangat sedikit. Sawitpun tak bisa mereka olah sendiri. Mereka tetap tergantung pada para konglomerat yang memeras dimasa lalu.
Puh, ini harus dihentikan! Inilah agenda kebangsaan kita. Bukan sekedar agenda rejim. Agenda seluruh anak bangsa. Yang ada dikolong jembatan, pulau‐pulau kecil, gedung‐gedung mewah hingga kalian yang bekerja diseluruh dunia. Kita harus segera bertobat. Bertobat untuk kekejaman kita selama ini. Bertobat untuk mempecundangi mereka. Bertobat untuk pemerasan selama puluhan tahun oleh bangsa sendiri.
Sudah saatnya kita bangkit bersama. Sudah saatnya mengangkat derajat mereka. Ra po po, kita ditertawakan. Ra po po kita dianggap berkianat. Ra po po kita dianggap bicara sepele. Inilah ikrar kita. Tidak akan pernah ada bangsa Indonesia tanpa tetesan keringat petani. Itu pandangan leluhur kita. Itu sejarah bangsa kita. Bangsa yang meletakan petani sebagai kaum terhormat. Bukan pecundang... ingat membela petani tak cukup dengan orasi! Rejim Reformasi: Revitalisasi Pertanian dan Setan Import
Sekarang mari kita kritisi orde reformasi. Orde yang katanya mencanangkan revitalisasi pertanian35. Orde yang menganggap pertanian tidak vital lagi. Tidak vital karena kontribusi pada pendapatan negara dianggap kecil. Tidak vital karena penggeraknya kelas bawah. Bukan kelas menengah yang rajin berbelanja. Tidak vital karena tidak bisa membayar pajak besar. Pajak yang akan mereka korupsi kemudian!
Mereka salah besar. Bahkan buta. Buta sebuta butanya. Pertanian terlampau vital. Dia menompang segala pertumbuhan. Roda‐roda industri berputar ditompang peluh petani? Ribuan buruh menganga mulutnya menunggu beras petani. Bahkan jutaan kendaraan
35 Irawan, A. (2005). Membernaskan Strategi Revitalisasi Pertanian.
183
mulai bergantung pada petani untuk energi. Tidak hanya itu. Pertanian kini juga diekploitasi untuk wisata. Sumber energi baru ekonomi yang terus tumbuh. Tetap saja yang berkantong tebal yang memetik manfaatnya.
Itu artinya pertanian sudah terlampau vital. Sekali lagi terlampau vital. Hingga bisa mati seluruh tubuh kalau diambil perannya. Pertanian menyerap 40% tenaga kerja kita. Memberi makan 250 juta lebih anak bangsa. Tumpuan harapan bagi para buruh yang terkena PHK.
Orde reformasi menganggap revitaliasi identik dengan pemberian bantuan mesin pertanian? Mesin‐mesin yang akhirnya berkarat karena tak tepat sasaran. Mesin‐mesin yang akhirnya juga dimonopoli oleh parbikan‐pabrikan sialan. Teknologi rakyat akhirnya tidak berkembang. Mereka ditolak karena tidak bisa ikut tender. Syarat dan spesifikasinya tidak memenuhi. Padahal sebagian besar telah teruji puluhan tahun. Sudah dicoba bahkan jauh sebelum panitia lelang dilahirkan.
Revitalisasi juga dimaknai memberi banyak kreditan. Kreditan yang semakin membebani petani. kreditan yang menjadi ladang baru korupsi. Kreditan yang menjadi ajang politik. Ajang bagi‐bagi duit negara. Kreditan yang mengajari petani bertipu daya. Sungguh! Kreditan ini telah merusak mental bangsa ini hingga pelosok negeri.
Revitalisasi dianggap merekrut penyuluh sebagai Tenaga harian Lepas (THL). Mengkatung‐katungkan nasib insinyur‐insinyur pertanian. Menyia‐nyiakan waktu empat tahun mereka kuliah. Tidak untuk berproduksi tetapi untuk duduk di kantor. Tanpa fasilitas. Tanpa wewenang. Uang bensin terbatas. Menjadi pengganti kerja penyuluh tua yang telah malas. Tanpa penghargaan dan imbalan yang layak.
Revitalisasi dianggap pembangunan bendungan baru. Pembangunan berarti korupsi baru. Bendungan lama dibiarkan rusak. Saluran airnya juga dibiarkan rusak. Tanah subur diubah jadi perumahan. Petani disuruh pindah ke tanah asam. Puh...! Itulah kebijakan reformasi.
Al hasil pertanian kita terseok‐seok. Negara agraris tidak mampu memberi makan rakyatnya. Sentan import menjadi solusinya. Import buah, beras, daging, ikan, susu, gula, sayur, bahkan garam. Bumbu dapur kebanggaan pertanian tripis saja juga digilas oleh setan import36. Sungguh setan import reformasi sangat sadis. Membunuh daya produksi rakyat. Menjadi disinsentif bagi jutaan petani kita.
Wajar jika petani dan nelayan marah. Wajar jika mereka berharap. Wajar pula jika kita memberikan tawaran. Revitalisasi “gombal” dan “setan Import” harus kita lawan. Kita harus membangun industri benih sendiri. Kita cari pupuk dan obat pertanian sendiri. Mengolah dengan cita rasa dan teknologi sendiri. Menjual dengan harga kita sendiri. Inilah jalan kemandirian.
36 Lassa, J. (2005). Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950‐2005. Jakarta: ZEF.
184
PENDUDUK DAN KINERJA SEKTOR PERTANIAN
Pada lima puluh tahun terakhir dari tahun 1960 penduduk Indonesia telah berkembang hampir tiga kali lipat. Pedesaan menyumbang pertambahan penduduk terbesar yang saat ini mengurbanisasi dan menjadi beban kota‐kota besar di Indonesia. Perkembangan penduduk berarti peningkatan kebutuhan panganjuga perumahan yang berpotensi mengurangi luas lahan pertanian. Secara agregatif perkembangan jumlah penduduk Indonesia dibanding dengan negara lain dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar 1. Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 1960 hingga 2010 Sementara itu import produk pangan kita juga meningkat demikian pesat dari tahun
ke tahun. Beras, gandum, dan kedelai merupakan produk import yang terus meningkat dari tahun ketahun. Kedelai bahkan jumlah import hampir tiga kali lipat sejak tahun 2009 hingga 2012. Import gandum malah sangat besar melebihi beras hingga lebih dari lima juta ton. Jumlah yang cukup besar untuk import bahan pangan yang tentunya menggerus devisa negara.
Gambar 2. Volume Impor Komoditas Tanaman Pangan Indonesia Tahun 2009‐2012 (Dalam Ton)
185
Menilik produksi pangan pokok kita maka peningkatan tidak begitu signifikan dalam empat tahun terakhir. Padi yang menjadi pokok perhatian saja stagnan pada level 13 juta hektar seluruh Indonesia sehingga cukup sulit untuk menenuhi ketahanan pangan paling tidak setahun. Pencetakan sawah‐sawah baru tak pernah dilakukan lagi. Kegagalan projek sejuta hektar jaman Orde Baru masih menghantui. Food estate yang ditawarkan juga tidak serius dikerjakan.
Gambar 3. Stagnasi Perluasan Lahan Tanaman Pangan Empat Tahun Terakhir Tidak hanya masalah pangan pokok, untuk produk peternakan indonesia juga
mengalami stagnasi. Sapi potong nasional saja hanya berkisar antara 112 hingga 13juta ekor masih sangat jauh dari jumlah penduduk sebanyak hampir 250 juta jiwa. Meskipun jumlahnya cukup banyak, sepertikambing bukan merupakan sumber daging yang efisien sehingga jadi pelengkap sapi saja.
Gambar 4. Stagnasi Produksi Peternakan Utama Empat Tahun Terakhir
186
Seluruh kinerja demikian akhirnya dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian kita betul‐betul telah stagnan dimana prouksi tidak lagi meningkat signifikan sementara kebutuhan meningkat tajam. Sebagai korban adalah petani dimana jumlah mereka semakin banyak sehingga produksi harus dibagi. Sementara itu harga‐harga input produksi meningkat terus sehingga menggerus keuntungan petani. secara nasional Nilai Tukar Petani atau NTP sebagai gambaran keuntungan petani hanya sekitar satu persen saja selama empat tahun terakhir dimana nilai hanya sedikit diatas 100.
Gambar 5. Nilai Tukar Petani tahun 208‐2014
AGENDA‐AGENDA POLITIK PERTANIAN
Ini adalah momentum kaum tani untuk bangkit melawan setan import. Momentum nelayan untuk membangun kemandirian. Momentum buruh tani untuk mengakses lahan. Kekuasaan harus melayani rakyat dan bukan melayani penguasa. Oleh karena itu maka kebangkitan kaum tani dan nelayan harus kembali pada rumusan suci ikrar kebangsaan. Tidak boleh lagi menyimpang dari pilar‐pilar kebangsaan kita. Tidak boleh menghamba pada kapital dan cara‐cara asing untuk memakmurkan petani.
Sebelum masuk pada agenda pembangunan pertanian progresif, kendala struktural kebangkitan pertanian harus diatasi terlebih dahulu. Secara makro harus segera didorong transformasi struktural dimana secara gradual jumlah petani harus dikurangi hingga 50% selama sepuluh tahun dari keadaan sekarang dengan asumsi lahan pertanian tetap. Ini adalah reforma agraria!
Pembangunan pertanian progresif sendiri adalah pendekatan pembangunan yang lebih bertumpu pada penguatan potensi‐potensi petani dan keluarganya. Peran‐peran pemerintah benar‐benar harus tepat tidak hanya bersifat kebijakan makro tetapi juga kebijakan yang dilahirkan dari dinamika pelaku pertanian. Pemerintah harus benar‐benar menjadikan aspirasi petani sebagai program kerjanya dan bukan rekaan para perencana di kantor.
187
Peneliti pertanian harus meneliti masalah petani bukan meneliti untuk dirinya sendiri. Bagian‐bagian pemerintah yang dibuat untuk mendorong produksi harus menyelesaikan kendala petani bukan mereka‐reka kendala petani. Bagian pemasaran harus mampu menfasilitasi petani memasarkan produknya baik lokal maupun internasional. Bagian pengolahan harus mampu melahirkan budaya pangan yang baik. Juga bagian sumberdaya manusia harus memanajemen pergerakan seluruh sistem untuk melayani petani dan keluarganya.
Untuk mencapai tujuan‐tujuan tersebut, maka disusun program‐program kerja utama pemerintahan Baru yakni:
I. Program percepatan perubahan struktural sektor pertanian melalui:
A. Optimalisasi pemanfaatan tanah negara dan swasta terlantar Pencetakan lahan baru 1‐2 juta hektar serta optimalisasi lahan pasang surut dan rawa waktu 5 tahun.
B. Penyerapan surplus tenaga kerja pertanian melalui Industrialisasi olahan pertanian
C. Revisi bentuk penyaluran subsidi pupuk dari subsidi produsen kepada subsidi langsung ke petani (padi, jagung, kedelai)
II. Program konsolidasi perencanaan pembangunan pertanian melalui:
A. Menerapkan perencanaan pembangunan pertanian berbasis kebutuhan petani dikoordinasi oleh BPTP dan kantor‐kantor penyuluhan pertanian secara bertingkat.
B. Menerapkan perencanaan strategi pengembangan komoditi dikoordinasi oleh balai‐balai penelitian komoditi bersama dengan kantor‐kantor penyuluhan pertanian secara bertingkat.
III. Program percepatan penguatan kapital pertanian melalui:
A. Mempercepat pendirian lembaga investasi pertanian menggunakan jaringan balai‐balai penyuluhan pertanian yang tersebar diseluruh kecamatan di Indonesia
B. Mengkonsolidasikan program‐program bantuan permodalan yang selama ini telah diberikan kepada kelompok tani menjadi satu manajemen
IV. Program percepatan konsolidasi sumberdaya manusia pertanian melalui: A. Penambahan dan perimbangan bidang keahlian penyuluhan pertanian dari
budidaya, pengolahan, kelembagaan‐pengorganisasian, bisnis pertanian, serta pengendalian hama penyakit.
B. Rasionalisasi bidang keahlian pertanian sesuai dengan keberimbangan kebutuhan dibadan‐badan litbang pertanian.
C. Mensinergikan penelitian didepartemen pertanian dengan pusat‐pusat penelitian lain baik swasta maupun perguruan tinggi.
D. Mendayagunakan asosiasi‐asosiasi keilmuan pertanian menjadi bagian dari strategi riset pertanian
188
E. Mengikutsertakan seluruh mahasiswa pertanian dalam proses‐proses pengawalan program‐program teknis departemen pertanian.
V. Program percepatan penguatan ketahanan pangan masional melalui: A. Mensinergiskan kerja‐kerja produksi pertanian (beras, Gula, dan Kedelai dan
daging) dengan bulog melalui investasi langsung ke ke patani sejak tanam difasilitasi oleh penyuluh‐penyuluh pertanian
B. Revitalisasi dan efisiensi industri gula nasional, dengan target produksi gula sebesar 5 juta ton dalam lima tahun.
C. Mendorong kemandirian petani dan peneliti dalam meproduksi dan meningkatkan persebaran paten dan bibit unggul untuk beras, kedelai dan jagung.
D. Rancangan dan cetak biru industrialisasi peternakan guna mendukung pengurangan impor daging sapi dengan cara memaksimalkan peternakan rakyat dan BUMN.
E. Membangun sistem logistik pangan nasional melibatkan swasta dan bulog guna membangun ketahanan pangan nasional.
F. Mendorong bulog menjadi otoritas ketahanan pangan nasional yang langsung dikendalikan oleh presiden.
VI. Program penguatan kebijakan makro nasional untuk mendukung pertanian
progresif melalui: A. Penurunan impor 6 bahan pangan (beras, jagung, kedelei, daging sapi, susu gula
sekitar 30‐50 persen dari level impor tahun 2014. B. Dukungan dana dan kebijakan untuk menggalakkan riset, pengembangan, serta
penyebarluasan pematenan pertanian dan pengolahan pertanian sebesar 5% dari anggaran departemen pertanian.
C. Mereview kesepakatan‐kesepakatan global termasuk ASEAN terkait dengan perdagangan yang berpotensi menggerus ketahanan pangan Indonesia.
D. Mendorong konsolidasi perusahaan pengeksport produk pertanian untuk memberikan harga yang layak bagi petani dan pasar internasional.
E. Membangun Agricultural Eco‐Fundation untuk aksi‐aksi pengawetan sumberdaya lahan dan air.
VII. Program pencepatan pembangunan infrastruktur pendukung pembangunan pedesaan melalui: A. Revitalisasi bendungan dan Pembangunan bendungan baru serta perlindungan
jaringan irigrasi pertanian. B. Revitalisasi jalan‐jalan desa untuk memudahkan obilitas barang dan jasa
dipedesaan dan mengembangkan alat transportasi yang efisien C. Insentive bagi pembangunan infrastruktur di jalan‐jalan perkebunan untuk
mendorong daya saing perusahaan perkebunan nasional
189
PENUTUP
Seluruh program kerja tersebut diatas disarikan dari keprihatinan atas terus merosotnya sektor pertanian sekaligus semakin rendahnya kesejahteraan petani dan buruh tani. Keterpurukan pertanian dan petaninya harus segera dihentikan jika ingin ketahanan pangan dan ekonomi nasional stabil. Semoga pokok‐pokok pikiran ini menjadi pintu masuk untuk pembangunan pertanian lebih progresif dimasa yang akan datang.
PUSTAKA Booth, A. (2000). Poverty and inequality in the Soeharto era: An assessment.Bulletin of
Indonesian Economic Studies, 36(1), 73‐104. Diamond, Jared (1999). Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies. New York:
W.W. Norton & Company. ISBN 0‐393‐31755‐2. Elson, R. E. (1978). The cultivation system and" agricultural involution". The cultivation
system and" agricultural involution". Fasseur, C. (1992). The politics of colonial exploitation: Java, the Dutch, and the Cultivation
System (No. 8). SEAP Publications. Gibbons, D. S., Koninck, R. D., & Hasan, I. (1980). Agricultural modernization, poverty and
inequality. The distributional impact of the Green Revolution in regions of Malaysia and Indonesia. Agricultural modernization, poverty and inequality. The distributional impact of the Green Revolution in regions of Malaysia and Indonesia.
Hazell, Peter B.R. (2009). "The Asian Green Revolution". IFPRI Discussion Paper (Intl Food Policy Res Inst). GGKEY:HS2UT4LADZD.
Irawan, A. (2005). Membernaskan Strategi Revitalisasi Pertanian. Lassa, J. (2005). Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950‐2005. Jakarta: ZEF. Lindblad, J. T. (1995). Colonial Rule and Economic Development: A Review of the Recent
Historiography on Indonesia. Jahrbuch für Wirtschaftsgeschichte, 1, 9‐22. Sato, Y. (1993). The Salim group in Indonesia: the development and behavior of the largest
conglomerate in Southeast Asia. The Developing Economies, 31(4), 408‐441. Simon G.A, 2012, Food Security: Definition, Four dimensions, History. University of Roma Solometo, Julie. “Ancient Egypt.” James Madison University. October 2011. Lecture. Van Niel, R. (1972). Measurement of Change Under the Cultivation System in Java, 1837‐
1851. Indonesia, 89‐109.
190
BEBERAPA POKOK PIKIRAN UNTUK POKJA ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
[Dr. Ir. Widayati, MT.]
Dosen Program Studi Teknik Kimia ‐ Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Yogyakarta.
Untuk menuju kepada era mandiri energi perlu adanya upaya yang maksimal dan road map yang realistis baik untuk energi fosil maupun energi baru terbarukan. Hal ini mendesak mengingat Blue Print Pengembangan Bahan Bakar Nabati Untuk Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran 2006‐2025 belum sepenuhnya tercapai.
Demikian pula halnya untuk sumber daya mineral. Dengan diterapkannya program hilirisasi tambang dan adanya larangan ekspor bahan mentah pertambangan oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah diberlakukan mulai tahun 2014, mau tidak mau perlu road map dan langkah yang jelas sehingga kita bisa mengolah mineral di dalam negeri.
Kedua road map ini perlu dijalankan secara simultan agar kinerja dan proses peralihan dari kabinet sebelumnya ke kabinet baru dapat berjalan dengan mulus. Disamping perlu adanya perbaikan rencana yang disertai dengan target yang jelas salah satu hal yang tidak kalah penting adalah untuk selalu menjaga agar tidak terjadi kekosongan pasokan bahan bakar dan adanya upaya maksimal agar dengan adanya peraturan baru perusahaan pertambangan berskala kecil dan menengah dapat tetap beroperasi.
Salah satu langkah awal untuk tercapainya kemandirian energi adalah dengan cara memberikan kesempatan kepada para Ilmuwan Indonesia, para praktisi dan pelaku industri untuk secara bersama‐sama mencari solusi. Kerja bareng ini harus dilandasi niat “semata‐mata hanya untuk kepentingan masyarakat bangsa dan Negara”. Selanjutnya perlu menentukan program apa saja yang menjadi prioritas, siapa melakukan apa, berapa anggaran yang tersedia serta berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk merealisasikan target yang hendak dicapai.
Karena harapan rakyat kepada pemerintahan baru sangat besar maka kabinet yang baru harus mau kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Lain dari itu perlu adanya “think tank” yang setiap waktu dapat berinteraksi dan memberi masukan yang realistis kepada siapa saja yang memerlukan sehingga semua program kabinet baru dapat betul‐betul terwujud dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Untuk mengurangi pengeluaran Negara perlu adanya upaya penghapusan subsidi BBM dan perlu mekanisme yang jelas agar bantuan kepada warga pra sejahtera tepat sasaran. Selain untuk membantu keluarga pra sejahtera, alihkan dana yang ada untuk
191
membangun kilang Refinery baru dan maksimalkan sumur‐sumur tua yang masih layak. Jika tidak terlalu mendesak tidak perlu melibatkan tenaga ahli dan teknologi asing. Melalui cara ini ketergantungan terhadap pakar dan teknologi dari luar negeri dapat diminimalkan. Kita memang harus berhemat di semua segi karena era serba mudah nampaknya sudah berlalu. Sebagai salah satu bahan masukan mengapa pemerintah harus secara serius memajukan Energi Baru Terbarukan dapat disimak dari artikel yang saya kutip sebagai berikut.
Kelompok agribisnis China‐Malaysia tengah berupaya membangun lahan persawahan dan
proyek pengolahan terpadu pada November mendatang di Indonesia. Dengan dana investasi US$ 2 miliar (Rp 20,3 triliun), perusahaan China ini berharap bisa memasuki pasar berkembang di tanah air sekaligus memenuhi pasokan beras domestik.
Seperti dilansir dari Malaysia Chronicle, Senin (22/7/2013), perusahaan perkebunan China Liaoning Wufeng Agricultural telah menandatangani nota kesepakatan kerja sama dengan Malaysian Amarak Group dan perusahaan lokal Indonesia, Tri Indah Mandiri.
Wufeng merupakan pemodal utama dalam rencana pengembangan dan pengolahan padi dan kedelai di Subang, Jawa Barat, Indonesia. Amarak diketahui berkontribusi sebesar 20% dari investasi awal di tanah air tersebut. Sebuah laporan menyatakan jumlah investasi tersebut bisa berkembang mencapai US$ 5 miliar (Rp 50,8 triliun).
CEO Wufeng, Ma Dian Cheng mengatakan perusahaannya akan segera mendirikan anak perusahaan lokal lain atas nama Wufeng di dalam negeri. Tujuannya adalah untuk mempermudah pengadaan beberapa fasilitas proses pengolahan beras terpadu dengan Amarak. Ma mengatakan 80% dari produksi kelompok perusahaan tersebut akan memenuhi pasar Indonesia. Perusahaan tersebut diketahui akan memproduksi cuka dan minyak dari olahan padi. Setelah ekstraksi minyak, sekam akan dibakar dan bisa menghasilkan listrik untuk keperluan penggilingan padi. Sementara hasil penggilingan padi dengan silika sendiri dapat digunakan untuk manufaktur ban. "Dengan fasilitas pengolahan kami, tak ada satupun yang terbuang. Kami adalah perintis dari berbagai teknologi di China dan kami ingin berbagi manfaat teknologi tersebut pada Indonesia," jelas Ma.
Dia lebih lanjut menjelaskan, investasi di Indonesia dapat berkisar di harga US$ 1 miliar hingga US$ 2 miliar yang diperuntukan bagi berbagai penelitian teknis. Tri Indah sendiri tengah bekerja sama dengan para petani lokal guna menyiapkan 50 ribu hektare (ha) lahan percobaan di Jawa Barat. Ma mengatakan perusahaan akan berkolaborasi dengan sejumlah universtias lokal untuk mengembangkan teknologi pengolahan padi dan menghasilkan beras berkualitas tinggi. Sementara Wufeng berencana mengimpor sebagian besar mesin pengolahannya dari China dan menggeser semua mesin lokal yang ada. Ma memastikan kualitas mesinnya lebih baik daripada yang ada di Indonesia.
Sejak didirikan pada 2000, Wufeng memiliki 24 lahan dan 2 ribu karyawan di provinsi Liaoning, China. Perusahaannya terus gencar melakukan perluasan bisnis ke Thailand, Vietnam, Kamboja dimana banyak padi ditanam untuk memasok kebutuhan beras di kawasan China daratan.
Proyek di Indonesia akan menjadi usaha patungan Wufeng yang pertama dan diharapkan dapat memenuhi pasar luar negeri. Direktur Amarak Saadiah Osman mengatakan, usaha patungannya tersebut akan menyediakan modal untuk menggarap lebih dari satu juta hektare lahan persawahan di Indonesia. Ma mengatakan rencananya untuk tinggal di Indonesia dalam waktu lama mengingat investasi agrikultur membutuhkan kesabaran untuk memperoleh return. "Kami akan tinggal di Indonesia, karena negara ini pun menyambut baik
192
niat kami," ujar Ma. Dari penawaran saham perdananya pada publik di Shanghai atau Hong Kong tahun ini, dia berencana menambah investasinya sebesar US$ 1 miliar. (Sis/Shd).
Sumber : http://m.liputan6.com/read/645663/perusahaan‐china‐malaysia‐bangun‐sawah‐rp‐20‐triliun‐di‐indonesia
Untuk Sumber Daya Mineral, perlu adanya perbaikan mekanisme utamanya sehubungan dengan program hilirisasi tambang. Data dari Litbang “Kompas” yang diolah dari Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, yang termasuk dalam golongan komoditas tambang mineral yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya adalah mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan. Pelaksanaan bagi masing‐masing komoditas adalah berupa kegiatan pengolahan dan pemurnian untuk ke tiga komoditas tersebut. Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 menyebutkan bahwa, setiap jenis komoditas tambang mineral logam tertentu, seperti tembaga, emas, perak, timah, timbal dan seng, kromium, molibdenum, platinum, bauksit, bijih besi, pasir besi, nikel/kobalt, mangan dan antimoni, wajib diolah dan/atau dimurnikan sesuai dengan batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian. Sedangkan pasal 5 menyebutkan, produk sampingan dari tambang itu juga harus diolah di dalam negeri.
Atas dasar keadaan yang kita hadapi maka saya mengusulkan beberapa langkah untuk tahun pertama kabinet baru sebagai berikut:
No. Mulai dari Sampai dengan
Materi Instansi Terkait
1 Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
Akhir Desember 2014
1. Menjaga ketersediaan pasokan BBM. 2. Membentuk Pokja dg tugas utama
menyelaraskan Program Kabinet Baru dengan APBN 2014 dan RAPBN 2015 untuk bidang Energi Fosil, Energi Baru Terbarukan dan Pengolahan bahan Mineral & Batubara
ESDM, Pertamina, Para pakar dll.
2 Awal Januari 2015
Akhir April 2015
1. Melanjutkan kegiatan dengan materi 1.1 dan 1.2
2. Mempertahankan pasokan listrik dan mengurangi frekwensi “mati lampu” di wilayah yang selama ini secara periodic mengalami “mati lampu”.
ESDM, Pertamina, PLN, Para pakar dll
3 Awal Mei 2015
Akhir Agustus 2015
1. Melanjutkan kegiatan dengan materi 1.1, 1.2 dan 2.2
2. Mempublikasikan dan sosialisasi Roadmap Baru yang lebih realistis untuk Energi Fosil, Energi Baru Terbarukan dan untuk Industri Mineral & Batubara.
ESDM, Pertamina, PLN, Para pakar dll.
4 Awal September 2015
Akhir Desember 2015
1. Melanjutkan kegiatan dengan materi 1.1, 1.2 dan 2.2
2. Mengevaluasi seluruh program untuk perbaikan pelaksanaan.
ESDM, Pertamina, PLN, Para pakar dll
193
PELUANG MEWUJUDKAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA DI DAERAH TROPIKA YANG SEJAHTERA
[Dr. Ir. J.P. Gentur Sutapa]
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Keinginan mewujudkan kesejahteraan seluruh bangsa hampir menjadi keinginan seluruh jajaran pemimpin bangsa. Dalam perkembangannya pertumbuhan suatu bangsa selalu terkait dengan kemampuan SDM nya serta daerah teritorial Negara itu berada. Sejarah memcatat adanya/ terjadinya perebutan teritorial dan sumberdaya baik secara langsung maupun secara tidak langsung . Dalam segala era daerah tropis selalu menjadi perebutan pengaruh, yang salah satu sebabnya ialah adanya pertumbuhan alami yang tinggi di daerah tropis yang akan mendorong pertumbuhan berbagai hal baik sektor ekonomi maupun inovasi teknologi.Pertumbuhan tropis serta adanya intensitas sinar matahari dan curah hujan yang tinggi merupakan keunggulan tropis yang perlu dimanfaatkan secara optimal.
KEBIJAKAN YANG TROPIS ORIENTED Berbagai kebijakan sebaiknya dengan orientasi keunggulan tropis. Kebiajakan bukan
hanya diarahkan untuk mengolah sumber daya tropis namun harus ada tekanan pada pengembangan dan kelestarian sumber aya tersebut ( sustainable development). Dengan demikian maka kebijakan diharmonikan kemampuan SDM di segala bidang. Mentalitas harus dibentuk (revolosi mental ) agar bukan semua hal diborongkan namun unsur alih teknologi unsur menguasai sektor produksi dan mengembangkannya agar ada inovasi adanya produk baru menjadi sangat penting dari perspektif menuju kemandirian. Dengan demikian maka kekhasan akan muncul dan dengan kualitas dapat diarahkan sebagai daya saing bagi produk sejenis serta daya tarik bagi konsumen. Salah satu konsumen pertama adalah konsumen dalam negeri misalnya dalam urusan kebutuhan dasar maka sebaiknya surplus, produksi mencukupi dan tidak tergantung pada Negara lain.
PENINGKATAN SDM DI SEGALA BIDANG / REVOLOSI MENTAL Revolosi maupun reformasi tatapikir atau mental merupakan langkah awal yang
strategis. Berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kepemudaan menjadi media yang baik
194
untuk membentuk mentalitas bangsa ke depan. Catatan sejarah menujukkan mentalitads generasi penerus adalah penentu kemandirian dan kemajuan suatu bangsa. Dengan demikian sektor pendidikan adalah kuncinya. Secara langsung jaminan mutu penyelenggaraan pendidikan merupakan landasan yang kuat yang dapat diuitamakan. Peningkatan sektor pendidikan adalah peningkatan sistem atau rangkaian prosses. Dengan demikian program peningkatan perlu didahului dengan program evaluasi lapangan yang rinci agar dana peningkatan mutu pendidikan lebih efektif dan efisien serta tepat sasaran. Sebagai catatan peningkatan mutu pendidikan adalah peningkatan segala aspek dalam sistem pendidikan dengan demikian maka kebutuhan sekolah satu dan yang lain mungkin sekali berbeda, akan tergantung hasil evaluasi yang telah dilakukan. Dalam hal ini pedoman evaluasi serta evaluator yang baik perlu diupayakan secara sistematis.
PEMERATAAN KESEJAHTERAAN Apapun upaya peninkatan kesejahteraan haruslah mempertimbangkan pemerataan
kesejahteraan. Pertumbuhan tinggi tanpa pemerataan adalah penciptaan Gap yang pada saatnya akan menimbulkan kesulitan lain. Kembali disini perubahan paradigma atau sikap mental diperlukan. Mentalitas mau berbagai dan mentalitas pejuang kesejahteraan perlu dikuatkan. Maka ke depan pahlawan pahlawan kita adalah pahlawan kesejahteraan. Kata kunci yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur ialah rasa kebanggaan akan tanah dan negeri Indonesia Raya yang dihati sanubari setiap warga Indonesia. Kita adalah bangsa yang baik, bangsa yang peduli sesama, bangsa yang mau berbagi dengan sesama warga, bangsa yang perhatian pada yang lemah, yang kekurangan, bangsa yang memperhatikan penyandang cacat, bangsa yang berhati mulia dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. Hal tersebut adalah esensi Indonesia Raya yang pernah menggepa disanubari para pahlawan yang dengan Rahmat Tuhan yang maha Esa telah membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan. Mengisi kemerdekaan adalah kelanjutan upaya pembebasan tersebut yang pada jaman ini akan mewujud dalam pembebasan dari kemiskinan, kebodohan, kemalasan, ketertinggalan, dan mentalitas sempit, serta mentalitas mementingkan diri sendiri.
USULAN /REKOMENDASI KEBIJAKAN
1. Pertumbuhan tropis adalah peluang dan kenikmatan hadiah dari Tuhan bagi Negara Tropis maka hendaknya diupayakan secara optimal untuk mempermudah kehidupan manusia yang ada di dalamnya yang akan direalisasikan dalam sisir iput, proses dan output segala sektor produksi di daerah tropis.
2. Kebijakan pengelolaan sumberdaya tropis perlu dilakukan secara terintegrasi baik dalam perancangan, implementasi maupun mentalitas/paradigma dalam pengelolaan. Kehutanan, pertanian peternakan perkebunan merupakan sektor yang saling berkait yang perlu diatur secara terintegrasi.
195
3. Program insentif atau bantuan langsung pada sektor produksi pangan perlu dilakukan secara sistematis dan langsung pada sasaran misalnya petani, rantai pemasaran, sistem daurulang produk dsb.
4. Revolosi perubahan mentalitas atau pola pikir agar tumbuh subur kebanggaan sebagai bangsa tropis perlu dilakukan secara sistematis dengan mengembangkan lagi berbagai kegiatan kepemudaan, kepramukaan, kemasyarakatan dan pendidikan luar sekolah.
5. Kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah tolok ukur yang riil dalam membangun bangsa maka berbagai indikator dan cara pengukuran perlu diterjemahkan secara mudah agar dipahami selurtuh rakyat dan terlebih setiap pejabat. Kebanggaan pejabat di segala level adalah keikutsertaannya dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Sila ke lima Pancasila secara jelas menunjukkan Indikator bagi semua jajaran pemimpin Negeri ini. Apabila diresapkan dengan hati jernih sila kelima adalah cermin yang akan merefleksikan hasil kerja para pemimpin pada levelnya masing masing.
Kiranya ada kekurangan saya mohon maaf dan semoga bermanfaat bagi segenap pembaca. Yogyakarta, 18 Agustus 2014
196
IMPLEMENTASI SISMENNAS DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN GUNA MENINGKATKAN PRODUKSI
DAN DISTRIBUSI PANGAN DALAM RANGKA KEMANDIRIAN BANGSA
[Dr. Ir. Bambang Supriyadi, CES, DEA] Koordinator Kopertis Wilayah V DIY
PENDAHULUAN
Sistem Manajemen Nasional telah mengajarkan bagaimana suatu program akan
dilaksanakan, tentunya didasarkan pada suatu perencanaan yang matang dan didukung dengan anggaran yang memadahi. Pada saat ini yang diperlukan adalah perencanaan yang komprehensif, untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang, dan didukung penganggaran yang disusun sesuai kebutuhan yang direncanakan dan dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan perencanaannya. Untuk mencapai sasaran dan tujuan nasional, pemerintah memiliki program pembangunan nasional, yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah Tahunan (RKP), dengan berbagai fungsinya. Sesuai amanat dalam UUD 1945, Pembangunan ditujukan untuk menghasilkan keadilan dan kemakmuran. Kebijakan dan strategi dasar dalam pembangunan harus bersifat inklusif, yaitu semua terlibat dan pembangunan untuk semua (development for all). Pembangunan yang diarahkan untuk ketahanan pangan menuju kemandirian bangsa harus berdimensi wilayah; mengintegrasikan dan menyatukan potensi ekonomi yang ada di daerah menjadi satu kesatuan geo‐ekonomi secara nasional; serta menjadikan sumber daya manusia sebagai subyek pembangunan. Tripartied komponen kekuatan sebagai ujung tombak membangun kemandirian di bidang pangan, yaitu : Pemerintah, Pemerintah Daerah; para Petani Penggarap; dan Pihak Swasta (Private Sector), harus terbangun dan tersinergikan untuk mengubah, mengolah, mendayakan potensi menjadi kemampuan dalam bentuk produk pangan unggulan nasional dan daerah.
Menurut Menteri Pertanian, kebijakan pembangunan pertanian tahun 2010‐2014 menginginkan terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor dan kesejahteraan petani. Sebagai targetnya antara lain: Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan untuk surplus beras 10 juta ton pada akhir 2014 (Direktif
197
Presiden), Swasembada jagung berkelanjutan, Swasembada kedelai pada 2014, Swasembada daging sapi/kerbau 2014, Swasembada gula/tebu 2014; Peningkatan Diversifikasi Pangan; Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing dan Ekspor; Peningkatan Kesejahteraan Petani. Namun hambatan untuk mencapai target ini masih terganjal oleh beberapa permasalahan yang dihadapi di Indonesia seperti: Laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi (periode 2000‐2010=1,49% per tahun) dengan jumlah penduduk yang besar; konversi lahan pertanian masih tinggi dan tidak terkendali; Infrastruktur pertanian/pedesaan masih kurang memadai; belum memadainya prasarana dan sarana transportasi, sehingga meningkatkan biaya distribusi pangan; sebaran produksi pangan yang tidak menentu, baik antar waktu (panen raya dan paceklik) ataupun antar daerah (di Jawa surplus dan di Papua defisit).
Oleh karena itu, maka perlunya mengimplementasikan sistem manajemen nasional, yang diterapkan dalam “organisasi negara”, dimana Sismennas merupakan suatu piranti yang padu dalam pengelolaan dan penyelenggaraan segala kegiatan nasional, melingkupi seluruh aspek kehidupan di masyarakat oleh Negara/Pemerintahan. Dengan sistem manajemen nasional yang baik diharapkan akan terjadi penguatan ketahanan nasional yaitu kondisi dinamik bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional, dalam rangka mempertahankan eksistensi bangsa dan negara terhadap semua tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang dihadapinya, baik yang datang dari dalam maupun dari luar dalam segala bentuk dan manifestasinya. Berdasar uraian diatas, maka yang menjadi pokok permasalahannya adalah: “Bagaimana Implementasi Sismennas dalam Perencanaan Pembangunan Pertanian guna Meningkatkan Produksi dan Distribusi Pangan dalam rangka Kemandirian Bangsa?”.
PERMASALAHAN
Implementasi Sismennas dalam perencanaan pembangunan pertanian sampai saat ini masih belum terencana dengan baik, disebabkan antara lain: revitalisasi lahan pertanian dalam hal pemetaan (mapping) lahan pertanian belum maksimal, infrastruktur dan sarana pendukung pertanian belum terkoordinasi dengan baik diantara kementrian terkait, usaha untuk memotivasi SDM pertanian belum maksimal dan pengembangan pangan lokal kurang tampak diprogramkan. Berdasarkan pada PISO analisis Tannas, implementasi Sismennas dalam perencanaan pembangunan pertanian kurang optimal disebabkan: masih ada sebagian penentu kebijakan, pelaku usaha tani dan masyarakat yang kurang memahami nilai‐nilai yang terkandung di dalam ideologi bangsa yaitu Pancalisa serta kurang implementasinya. Peraturan perundang‐undangan antar kementerian masih sering tumpang tindih dan kurang sinkron implementasi di daerah. Kondisi kekuatan ekonomi Indonesia kurang didukung oleh hasil produksi pertanian, terlihat dari kontribusi sektor pertanian yang masih rendah. Hal ini terkait dengan kualifikasi dari para petani yang sebagian besar masih rendah, yakni lulusan SD. Dengan berlakunya otonomi daerah dimana banyak para pejabat penentu dan pengambil keputusan didaerah melanggar
198
hukum bila ditinjau dari aturan yang berlaku nasional, para penegak hukum tidak selalu mampu mengatasinya. Terindikasi dari banyaknya pengalihan lahan subur pertanian ke non pertanian dan tidak ada tindakan hukum yang jelas. Secara rinci permasalahan yang ditemukan pada implementasi Sismennas dalam perencanaan pembangunan pertanian guna meningkatkan produksi dan distribusi pangan dalam rangka kemandirian bangsa antara lain:
a. Belum maksimalnya perencanaan mapping lahan pertanian. b. Kurangnya koordinasi perencanaan infrastruktur pendukung pertanian. c. Belum maksimalnya pengembangan SDM pertanian. d. Kurangnya perencanaan pengembangan pangan lokal.
Implementasi Sismennas dalam perencanaan pembangunan pertanian guna meningkatkan produksi dan distribusi pangan dalam rangka kemandirian bangsa yang diharapkan adalah sebagai berikut: a. Memaksimalkan Perencanaan mapping lahan pertanian.
Salah satu implementasi Sismennas dalam perencanaan pembangunan pertanian dalam RPJM 2010‐2014 adalah revitalisasi lahan pertanian. Dengan mapping lahan pertanian yang matang dan disepakati pemerintah pusat dan daerah dapat digunakan sebagai landasan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian menjadi non‐pertanian dan mencegah alih fungsi lahan sawah yang produktivitas‐nya termasuk kategori tinggi atau sangat tinggi. Dengan demikian kebijakan tentang lahan abadi pertanian yang dicanangkan pada bulan Juni 2005, yang mencakup kebijakan tentang tata penggunaan tanah (pemerintah mengalokasikan 15 juta ha lahan sawah ditambah 15 juta ha lahan tegalan), yang hanya boleh digunakan untuk kegiatan pertanian, dan tidak diizinkan dikonversi ke bentuk‐bentuk penggunaan lain dapat direalisir.
b. Peningkatan koordinasi perencanaan infrastruktur bidang pertanian. Sistem Manajemen Nasional telah mengajarkan bagaimana suatu program akan dilaksanakan, tentunya didasarkan oleh suatu perencanaan yang matang dan komprehensif, baik untuk jangka pendek, maupun jangka menengah dan panjang. Penyediaan infrastruktur irigasi merupakan kewenangan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Kementerian PU memiliki kewenangan atas irigasi pusat, sementara perbaikan jaringan irigasi menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kewenangan terhadap jaringan irigasi diatur dalam MoU antara pemerintah pusat dan daerah. Walaupun areal luasan daerah irigasi menjadi kewenangan pemerintah provinsi, namun apabila pembangunan memberatkan Pemprov, maka pemerintah pusat bisa membangun prasarana irigasi yang dibutuhkan. Ketersediaan infrastruktur irigasi yang memadai memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peningkatan produksi pangan dan ketahanan pangan nasional.
c. Peningkatan perencanaan pengembangan SDM bidang pertanian.
199
Implementasi Sismennas pada RPJM 2010‐2014 salah satunya memprioritaskan peningkatan Ketahana Pangan, yang didalamnya memprogramkan pengembangan SDM pertanian dan kelembagaan pertanian. Pengukuran kinerja sektor pertanian dapat dilihat dari kontribusi sektor ini terhadap PDB Nasional, Nilai Tukar Petani (NTP), dan capaian terhadap sasaran produksi komoditas di sektor ini. Sektor pertanian yang melibatkan 38.3% dari jumlah penduduk, diharapkan dapat meningkatkan income per capita lebih besar dari US3.464. Kinerja yang dihasilkan dari sektor pertanian merupakan cerminan dari hasil kerja sumber daya manusia pelaku utama penggerak sektor ini, yaitu petani. Perencanaan yang mampu meningkatkan hasil kerja petani melaui dukungan fasilitas pelayanan yang memadai, kepemilikan lahan yang lebih luas diharapkan dapat memotivasi para petani untuk meningkatkan kinerjanya di sektor pertanian.
d. Peningkatan perencanaan pengembangan pangan lokal. Dalam menunjang Program Peningkatan Ketahanan Pangan didukung oleh pengembangan diversifikasi konsumsi pangan yang bertumpu pada keanekaragaman sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal. Upaya diversifikasi pangan, melalui pemanfaatan sumber karbohidrat lokal untuk mengurangi ketergantungan pada beras diharapkan dapat meningkatkan hasil seperti yang diinginkan pemerintah. Pemerintah mempunyai gambaran bagaimana upaya penganeka‐ragaman pangan ini bisa dilakukan agar ketergantungan terhadap beras dapat dikurangi. Produk pangan lokal seperti sagu, sukun, ubi jalar, ubi kayu, pisang dan lain‐lain, diharapkan dapat menciptakan ekonomi baru diluar beras dan meningkatkan terdistribusinya bahan pangan di setiap wilayah.
Berdasarkan permasalahan yang teridentifikasi serta setelah melalui berbagai analisis dan pembahasan maka kebijakan yang perlu ditempuh dalam Implementasi Sismennas dalam Perencanaan Pembangunan Pertanian Guna Peningkatan Produksi dan Distribusi Pangan Dalam Rangka Kemandirian Bangsa, dapat dirumuskan sebagai berikut:
”Optimalnya perencanaan program mapping lahan pertanian dan meningkatnya intensitas koordinasi antar lembaga terkait serta mantapnya program diversifikasi pangan dalam perspektif Sismennas dapat meningkatkan produksi dan distribusi pangan dalam rangka kemandirian bangsa“,
Untuk mewujudkan tujuan, sasaran dan strategi yang telah ditentukan pada Implementasi Sismennas dalam perencanaan pembangunan pertanian guna meningkatkan produksi dan distribusi pangan dalam rangka kemandirian bangsa tersebut, maka dirumuskan strategi‐strategi yang selanjutnya diikuti langkah‐langkah nyata dan rasional, agar manajemen perencanaan pembangunan pertanian dapat berjalan secara efektif dan efisien. Strategi yang disusun didasarkan pada arah pembangunan pertanian, yang diantaranya diarahkan untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan; untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, ketersediaan pangan dan keamanan pangan; menciptakan SDM berkualitas dan berdaya saing; dan diharapkan menghasilkan pangan
200
yang bergizi, sehat, aman, dan sesuai dengan keyakinan masyarakat. Strategi‐strategi dan upaya‐upaya untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut antara lain:
a. Strategi 1. Memaksimalkan program mapping lahan pertanian. b. Strategi 2. Meningkatkan koordinasi antar lembaga terkait dalam perencanaan
infrastruktur pertanian. c. Strategi 3. Meningkatkan perencanaan pengem‐bangan sumber daya manusia bidang
pertanian. d. Strategi 4. Meningkatkan perencanaan pengembangan pangan lokal.
Dengan ditetapkannya strategi dalam rangka mewujudkan kebijakan pokok diatas dapat terwujud secara nyata dan dapat dilaksanakan sesuai harapan maka ditindaklanjuti dengan upaya‐upaya dan langkah‐langkah konkret sebagai yang diuraikan dalam naskah taskap. KESIMPULAN
a. Sistem Manajemen Nasional telah mengajarkan bagaimana suatu program akan dilaksanakan, tentunya didasarkan oleh suatu perencanaan yang matang dan didukung dengan anggaran yang memadahi. Pada saat ini yang diperlukan adalah perencanaan yang komprehensif, untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang, didukung penganggaran yang disusun sesuai kebutuhan yang direncanakan dan dilaksanakan secara konsisten dengan perencanaannya.
b. Sebagai pelaksanaannya, Pemerintah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 – 2025, dengan pentahapan: RJPM Nasional I Tahun 2005‐2009; RJPM Nasional II Tahun 2010‐2014; RJPM Nasional III Tahun 2015‐2019; RJPM Nasional IV Tahun 2020‐2024. Selanjutnya RPJM tersebut dijabarkan ke dalam Rencana Kerja pemerintah (RKP) yang merupakan rencana pembangunan tahunan nasional.
c. Perencanaan pembangunan pertanian belum didasarkan pada mapping lahan pertanian yang jelas dan disepakati oleh pihak pihak yang terkait. Hal ini berdampak pada menurunnya produksi yang diakibatkan oleh tidak terkendalinya alih fungsi lahan pertanian. Meningkatnya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian memperbesar masalah dalam mencapai target pembangunan pertanian.
d. Ketersediaan infrastruktur irigasi yang memadai dan koordinasi yang intens antar kementrian terkait akan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peningkatan produksi pertanian dan ketahanan pangan nasional.
e. Kinerja yang dihasilkan sektor pertanian merupakan cerminan dari hasil kerja sumber daya manusia dimana pelaku utama penggerak sektor ini adalah petani. Kinerja sector pertanian lndonesia tidak efisien, karena kontribusi sektor ini terhadap PDB Nasional, Nilai Tukar Petani (NTP), dan capaian terhadap sasaran produksi komoditas di sektor inimasih cukup rendah.
f. Program peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat merupakan salah satu dari sekian banyak program pada program aksi prioritas ketahanan
201
pangan dalam RPJMN 2010‐2014. Perencanaan diversifikasi pangan lokal ataupun pengembangan pangan lokal saat ini belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
SARAN
Perencanaan program akan berhasil guna apabila berdasar pada data yang komprehensif dan akurat. Oleh karenanya dalam perencanaan pembangunan diperlukan dukungan teknologi informasi dan komunikasi yang handal agar TPKB sebagai inti dari Sismennas dapat menyajikan informasi yang terpercaya dari data yang lebih kompherensif, akurat dari hasil analisis yang mendalam, untuk digunakan dalam pengambilan keputusan strategis jangka panjang, menengah, dan pendek.
Saatnya KUD harus direvitalisasi dan direformasi agar KUD dapat hidup kembali sesuai dengan perkembangan zaman demi untuk mensejahterakan masyarakat perdesaan. Dengan merevitalisasi KUD pembangunan koperasi pertanian di pedesaan mempunyai arah yang jelas dan mantap untuk memperkuat kelembagaan petani. Gagalnya pembangunan pertanian di pedesaan karena lemahnya kelembagaan petani dan tanah/lahan. Dengan menguatnya kelembagaan petani akan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat di pedesaan.
Dalam upaya peningkatan kualitas SDM bidang pertanian, perlu upaya yang komprehensif, berjenjang dan berlanjut, di mulai dari proses seleksi, pendidikan, penempatan dan pembinaan selama dalam penugasan dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi rendahnya kinerja SDM bidang pertanian. Untuk dapat mencapai tingkat produktivitas pangan dan profesionalisme SDM yang diharapkan, perlu terus dilakukannya reformasi terhadap pola pembinaan sumber daya manusia bidang pertanian di negeri ini.
202
SUBSIDI ENERGI: TANTANGAN PRESIDEN BARU37
[Y. Sri Susilo]
Dosen Fakultas Ekonomi UAJY dan Sekretaris ISEI Cabang Yogyakarta
”Defisit fiskal menjadi tantangan pemerintahan baru yang akan dilantik pada Oktober mendatang. Kebijakan perihal subsidi energi mendesak untuk diambil pada masa transisi pemerintahan saat ini dengan yang akan melanjutkan nantinya” (Kompas, 23 Juli 2014, hal. 17)
Tahun anggaran (T.A) 2014 besarnya subsidi energi mencapai Rp 297,40 triliun. Angka tersebut didasarkan pada realisasi T.A2013 sebesar Rp 299,59 triliun dari yang ditetapkan APBN‐P 2013 sebesar Rp 287,14 triliun. Subsidi energi T.A 2014 tersebut mencakup subsidi BBM/LPG dengan pengajuan sebesar Rp 210,73 triliun38. Sementara itu, realisasi tahun 2013 mencapai Rp 210 triliun dari APBN‐P 2013 sebesar Rp 199,90 triliun. Untuk subsidi listrik T.A 2014 diajukan sebesar Rp 71,36 triliun, sementara realisasi T.A 2013 sebesar Rp 89,59 triliun dari APBN‐P 2013 sebesar Rp 87,24 triliun. Untuk subsidi Bahan Bakar Nabati (BBN) di 2014 diajukan sebesar Rp 4,90 triliun, sedangkan realisasi T.A 2013 sebesar Rp 0,25 triliun. Sementara itu, cadangan risiko energi di 2014 diajukan sebesar Rp 10,41 triliun39.
Banyak kalangan menyoroti bahwa besarnya subsidi energi, khususnya BBM, dianggap sudah terlalu besar. Di samping itu subsidi BBM juga tidak tepat sasaran dibandingkan subsidi listrik. Besarnya subsidi listrik lebih kecil dan dalam praktek operasional subsidi listrik lebih tepat sasaran. Dalam arti yang menikmati subsidi adalah yang benar‐benar membutuhkan. Pelanggan PLN dengan watt kecil (450 VA – 900 VA)
37 Paper ini pernah dipresentasikan dalam Diskusi Ekonomi Terbatas kerjasama ISEI Cabang Yogyakarta, Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY), dan SKH ”Kedaulatan Rakyat” yang diselenggarakan pada hari Kamis, 24 Juli 2004 di Kampus Pusat UTY. Revisi telah dilakukan dengan penambahan dan pengurangan namun tidah mengubah substansi.
38 Alokasi BBM bersubsidi dalam APBN T.A 2014 mencapai 48 juta kiloliter dengan rincian premium 32,5 juta kiloliter, solar 14,6 juta kiloliter, dan minyak tanah 0,9 juta kiloliter.
39 Di samping subsidi energi (subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi BBN & subsidi LPG 3 kg) dalam APBN T.A 2014 terdapat subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, dan subsidi rangka kewajiban pelayanan umum / public service obligation (PSO). Untuk memproduksi listrik dan LPG sebagian besar inputnya dari minyak mentah seperti BBM, sehingga jika harga minyak mentah naik maka biaya produksi listrik dan LPG juga meningkat seperti biaya produksi BBM sehingga beban subsidi juga meningkat.
203
membayar lebih murah dan memperoleh subsidi dan sebaliknya. Hal ini berbeda dengan kasus BBM bersubsidi, masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi justru menikmati subidi BBM yang lebih besar.
Berdasarkan data APBN beban subsidi BBM semakin meningkat. Meningkatnya subsidi BBM tersebut terkait dengan melonjaknya konsumsi minyak Indonesia40. Di sisi lain produksi (lifting) minyak tidak mencapai target seperti yang direncanakan. Sebagai contoh, sejak tahun 2009 realisasi produksi minyak Indonesia selalu di bawah target. Pada tahun 2013 targetnya sebesar 840 ribu barrel per hari teryata realisasinya hanya 825 ribu barrel per hari. Bagaimana dengan konsumsi minyak Indonesia? Jika pada tahun 2009 konsumsinya sebesar 1,02 juta barrel per hari, pada tahun 2013 melonjak menjadi 1,50 juta barrel per hari. Dengan demikian pada tahun 2013 Indonesia harus mengimpor minyak sebesar 725 ribu barrel per hari. Seperti diketahui, sejak tahun 2004 sudah menjadi negara net importer oil. Hal ini berarti Indonesia harus mengimpor minyak untuk memenuhi konsumsi minyak domestik.
Fokus tulisan ini pada subsidi BBM, khususnya kebijakan penurunan subsidi BBM. Dalam kasus penurunan subsidi BBM tentu ada kelompok yang setuju (pro) dan kelompok yang tidak setuju (kontra) dengan masing‐masing argumentasinya. Selanjutnya presiden terpilih seharusnya mempunyai keberanian untuk menurunkan subsidi BBM yang berdampak pada kenaikan harga BBM bersubsidi (premium, solar dan minyak tanah)41. Pada bagian terakhir merupakan catatan penutup yang menegaskan bahwa presiden terpilih untuk tidak ragu‐ragu untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.
ARGUMENTASI PRO & KONTRA
Subsidi BBM harus diakui cenderung meningkat. Kondisi ini tentu membebani APBN.
Untuk itu diperlukan upaya untuk menurunkan atau bahkan menghapus subsidi BBM secara bertahap. Mengenai kebijakan penurunan subsidi BBM yang berdampak pada
40 Faktor penyebab lain meningkatnya subsidi BBM adalah kenaikan harga minyak mentah dunia (international crude oil). Kombinasi dari melemahnya rupiah baru‐baru ini, tingginya harga minyak mentah dan tetap tingginya permintaan produk minyak bumi di Indonesia – yang terakhir khususnya disebabkan oleh harga bahan bakar bersubsidi‐ terus mempengaruhi posisi neraca pembayaran (balance of payment) Indonesia secara signifikan. Harga minyak internasional yang tinggi serta lemahnya nilai tukar rupiah menyebabkan biaya impor minyak meningkat secara signifikan. Permintaan terhadap minyak impor relatif tidak elastis harga dalam jangka pendek hingga menengah, yang berarti bahwa depresiasi rupiah tidak akan menyebabkan penurunan permintaan domestik, namun justru jumlah pengeluaran untuk impor minyak akan naik dalam tingkat setara. Hal ini akan menyebabkan merosotnya neraca perdagangan, yang jika tidak dikoreksi akan melemahkan posisi makroekonomi eksternal Indonesia (GSI dan IISD, 2014).
41 Menteri Keuangan M. Chatib Basri menyatakan urgensi penurunan subsidi BBM pada saat ini (Kompas, 23 Juli 2014). Jika pada tahun 2014 ini harga BBM bersubsidi dinaikkan maka subsidi BBM yang diemban pemerintah baru menjadi lebih ringan.
204
kenaikan harga BBM, tentu menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan (Sri Susilo, 2014b).
Kelompok yang setuju terhadap penurunan subsidi BBM mempunyai argumentasi: (1) subsidi BBM akan menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian. Besarnya subsidi tersebut sebagian akan dinikmati oleh produsen (surplus produsen) dan konsumen (surplus konsumen), namun sebagian ada yang hilang tdak dinikmati oleh produsen dan konsumen (dead‐weight welfare loss). (2) Subsidi BBM tidak tepat sasaran. Masyarakat yang berpenghasilan lebih tinggi menikmati subsidi BBM lebih besar daripada masyarakat yang pendapatannya lebih rendah. (3) Dengan subsidi maka harga BBM di pasar domestik menjadi lebih murah, hal ini berakibat cenderung terjadinya konsumsi yang berlebihan (over consumption) atau terjadinya pemborosan energi. Kondisi tersebut juga akan mendorong penyelundupan BBM ke pasar internasional. (4) Hasil pengurangan anggaran subsidi BBM dapat dialokasikan untuk anggaran pembangunan infrastruktur, asuransi dan jaminan kesehatan, beasiswa pendidikan, program padat karya dan program lainnya untuk masyarakat miskin. (5) Jika harga naik maka konsumsi BBM menjadi semakin rasional (konsumsi tidak berlebihan) dan selanjutnya kondisi kualitas lingkungan menjadi semakin baik dikarenakan polusi semakin berkurang.
Kelompok yang kontra terhadap penurunan subsidi BBM setidaknya mempunyai dua argumentasi. (1) Penurunan subsidi BBM yang diikuti dengan naiknya harga BBM menimbulkan kenaikan harga barang dan jasa (inflasi). Kondisi ini menjadikan daya beli masyarakat juga turun, khususnya bagi masyarakat yang hampir miskin dan masyarakat miskin. Kondisi ini pada akhirnya akan menambah jumlah penduduk yang termasuk kategori miskin. (2) Kenaikan harga BBM yang diikuti dengan inflasi akan menyebabkan permintaan domestik mengalami penurunan dan pada gilirannya akan menyebabkan penurunan produksi. Terjadinya penurunan produksi di berbagai sektor ekonomi menyebabkan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini akan menjadikan pengangguran meningkat. Ringkasnya kelompok kontra berpendapat kenaikan harga BBM akan menyebabkan terjadinya inflasi yang lebih tinggi dan meningkatnya kemiskinan serta pengangguran.
Argumentasi untuk menurunkan subsidi BBM sangat kuat. Mengapa? Subsidi BBM ternyata menimbulkan ketidakadilan, ketidakmerataan, dan ketidaktepatan sasaran. Berdasarkan data Kementerian ESDM (2012), ternyata proporsi BBM bersubsidi dinikmati oleh (Sri Susilo, 2014a): (1)sebagian besar pemilik pemilik mobil (53%) daripada pemilik sepeda motor (47%). (2) Masyarakat yang tinggal di pulau Jawa dan Bali menerima subsidi yang lebih besar (59%) dibandingkan penduduk wilayah lainnya. (3) Sektor transportasi/angkutan darat menerima subsidi yang paling besar (89%) dibandingkan sektor‐sektor ekonomi lainnya. Kemudian berdasarkan data Kemenkeu (2012), tercatat 25% rumah tangga berpenghasilan tertinggi menikmati 77% subsidi BBM dibandingkan 25% rumah tangga berpenghasilan terendah yang hanya menikmati 15% subsidi total subsidi BBM.
205
CATATAN UNTUK PRESIDEN TERPILIH
Penurunan dan atau penghapusan subsidi BBM tentu berdampak negatif terhadap perekonomian dalam jangka pendek, terutama inflasi, sektoral, ekonomi makro, kemiskinan, dan pengangguran (Sri Susilo, 2013). Dampak berupa inflasi, sektoral, dan ekonomi makro dari aspek besaran (magnitude) relatif kecil42. Dampak terhadap kemiskinan dan pengangguran harus diwaspadai. Kabinet Jokowi‐JK tentu sudah mempunyai solusi terhadap subsidi BBM. seharusnya punya nyali untuk menurunkan subsidi BBM secara bertahap dan akhirnya menghapus subsidi BBM. Dengan kata lain presiden terpilih harus siap tidak populer dengan kebijakan menuurnkan subsidi BBM.
Dampak negatif penurunan subsidi BBM dalam jangka pendek dapat dapat dikurangi dengan diterapkan kombinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal dilakukan dengan menerapkan jaring pengaman sosial (social safety net) oleh pemerintah. Di sisi lain, kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dapat dilakukan dengan menurunkan jumlah uang beredar (MO) melalui instrumen menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Kebijakan pengurangan subsidi BBM juga harus disertai dengan program kompensasi. Pelaksanaan program kompensasi yang tidak efektif justruk akan meningkatkan kemiskinan. Sebaliknya jika program kompensasi dapat dilaksanakan dengan efektif dapat menekan kemiskinan. Kompensasi sebaiknya bukan dalam bentuk tunai (non cash transfer), dapat berupa asuransi dan jaminan kesehatan, bea siswa pendidikan, modal kerja UMKM, program padat karya serta beras untuk masyarakat miskin dan hampir miskin.
Anggaran dari pengurangan subsidi BBM dapat dialokasikan untuk investasi di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pengembangan investasi energi terbarukan (Sri Susilo, 2011). Berkaitan dengan pengembangan dan investasi energi terbarukan, dalam hal ini Bahan Bakar Nabati (BBN), maka pemernitah harus memberikan dukungan yang memadai. Dukungan tersebut dalam bentuk insentif terbatas agar industri BBN mampu bergerak untuk berproduksi dengan mencapai skala ekonomi yang diharapkan. CATATAN PENUTUP
Kebijakan subsidi energi, khususnya BBM, tidak dapat diberlakukan secara terus menerus. Di samping itu, jika subsidi terpaksa harus diberikan maka harus diberlakukan secara adil, selektif dan tepat sasaran dengan jangka waktu yang terbatas. Penurunan subsidi BBM yang dilakukan harus secara bertahap (gradual) sehingga sampai jangka
42 Sebagai contoh setiap kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 10 persen per liter akab berdampak pada kenaikan inflasi secara nasional sebesar 1 persen (Kompas, 23 Juli 2014). Kenaikan harga premium sebesar 44,44 persen dan solar sebesar 22,22 persen pada bulan Juni 2013 mendorong inflasi sebesar 8,38 persen pada akhir tahun 2013. Dampak tersebut tidak berbeda signifikan dengan hasil simulasi yang dilakukan oleh Sri Susilo (2013).
206
waktu tertentu subsidi dapat dihilangkan sama sekali. Jokowi, Presiden RI terpilih tahun 2014‐2019 tidak perlu bimbang dan ragu untuk melaksanakan kebijakan mengurangi subsidi BBM, dengan catatan pemerintah harus memberikan informasi dan argumentasi yang memadai kepada masyarakat. Apalagi penurunan subsidi BBM sudah tercantum dalam program kerja Jokowi‐JK pada saat kampanye pemilihan presiden. DAFTAR PUSTAKA Anonim, (2014), ”Subsidi Jadi Tantangan Pemerintahan Baru”, Kompas, 23 Juli 2014, hal. 17 GSI dan IISD, (2014) ”Tinjauan Subsidi Energi di Indonesia: Penelitian Enam Bulanan
Mengenai Kebijakan‐Kebijakan Subsidi Energi”, Edisi 1 Volume 1, Maret 2014. Sri Susilo, Y., (2014a), ”Pengendalian BBM Bersubsidi”, Kedaulatan Rakyat, 8 Agustus 2014 ,
hal. 1 Sri Susilo, Y., (2014b), ”Pengurangan Subsidi BBM”, Koran Jakarta, 11 Juni 2014, hal. 4 Sri Susilo, Y., (2013), Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) & Perekonomian Indonesia, Cetakan
1, Penerbit Gosyen, Yogyakarta. Sri Susilo, Y., (2011), ”Penghapusan Subsidi BBM Untuk Pengembangan dan Investasi
Energi Alternatif Terbarukan”, Jurnal Ekonomi Indonesia, No. 2 Desember 2011, hal. 83‐119
207
BAB VIII INFRASTRUKTUR DAN PERUMAHAN
208
INFRASTRUKTUR SEBAGAI PENGGERAK PEREKONOMIAN
[Rahman Hidayat, Ir. M.Eng, DR.‐Eng] Kepala BPDP‐BPPT
Infrastruktur vital dan dasar seperti jalan raya, pelabuhan, bendungan, saluran irigasi,
bandar udara, listrik, telekomunikasi dan lainnya yang andal dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian. Dengan menyediakan infrastruktur dasar dan vital berarti pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk mewujudkan tatanan hidup dan berusaha yang sehat kepada rakyatnya.
Pada kenyataannya, komitmen yang diberikan oleh pemerintah selama ini untuk membangun infrastruktur tersebut terkendala oleh banyak persoalan internal di dalam pemerintahan itu sendiri. Dalam banyak kasus hambatan perwujudan proyek/rencana pembangunan infrastruktur tersebut terutama disebabkan oleh lemah dan sulitnyanya koordinasi antar lembaga pemerintah terkait khususnya 2 (dua) kementerian utama yang bertanggungjawab di bidang pembangunan (dan regulator) di bidang infrastruktur (dasar) yaitu Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU) dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Selain itu faktor penghambat juga disebabkan oleh persoalan penyediaan lahan untuk pembangunan‐yang menjadi kewenangan badan Pertanahan Nasional (BPN)‐serta masih terbatasnya ketersediaan peta‐peta wilayah yang memadai dan presisi‐yang menjadi tugas dan kewenangan dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Yang terakhir ini akibat terbatasnya anggaran yang diberikan oleh pemerintah apabila dibandingkan luasnya wilayah Indonesia yang harus dipetakan (peta tematik). Ke depan, terkait pembangunan infrastruktur dasar dan vital tersebut maka pemerintahan baru (Jokowi‐JK) pada tahap awal perlu merekonstruksi ulang organisasi kementerian yang mengurusinya agar proses‐proses pembangunan tersebut dapat berjalan lancar sesuai rencana dan mencapai target sebagai perwujudan dari manifesto yang tertuang dalam visi‐misi dan janji‐janji selama kampanye. Manifesto ini merupakan “perjanjian keramat” pasangan Jokowi‐JK dengan seluruh rakyat Indonesia yang harus ditepati.
Ada beberapa opsi terkait rekonstruksi ulang kelembagaan kementerian untuk bidang infrastruktur antara lain, adanya kementerian Koordinator bidang Infrastruktur dengan asumsi menggunakan kondisi eksisting Kementerian/Lembaga (K/L) yang ada sekarang. Yang berada di bawah koordinasi kementerian ini setidaknya adalah: KemenPU, KemenHub, BPN, BIG. Opsi lainnya adalah dengan mengintegrasikan 4 (empat) K/L terkait pembangunan infrastruktur dasar ini menjadi Kementerian Infrastruktur, Transportasi, Pertanahan, dan Geospasial (urutan namanya dapat dibolak‐balik misal: Geospasial,
209
Pertanahan, Infrastruktur, dan Transportasi) di bawah satu kendali. Kementerian ini cukup dibawahi satu orang Menteri (terjadi perampingan) dengan dilengkapi beberapa Direktorat Jenderal teknis di bawahnya atau bahkan Wakil Menteri (Wamen) apabila dirasa perlu, tergantung arah dan kebijakan umum pemerintahan Jokowi‐JK. Wakil Menteri Transportasi misalnya, membawahi dan menangani eks Kementerian Perhubungan ditambah Direktorat Jenderal Bina Marga (sebelumnya berada di Kementerian PU).
Organigram terkait kementerian bidang infrstruktur (vital dan dasar) ini sedang saya kerjakan, insyaallah Senin sore ini sudah siap. Juga data‐data pendukung betapa perlu dan sudah mendesaknya percepatan pembangunan infrastruktur dasar akan saya sertakan.
210
DRAFT ORGANIGRAM KEMENTERIAN INFRASTRUKTUR, TRANSPORTASI,
PERTANAHAN, DAN GEOSPASIAL
[Rahman Hidayat, Ir. M.Eng, DR.‐Eng] Kepala BPDP‐BPPT
211
212
213
214
215
216
217
218
219
POKOK‐POKOK PIKIRAN SEKTOR PERUMAHAN
[Wijang Wijanarko, ST] AKPPI (Asosiasi Konsultan Pembangunan Permukiman Indonesia)
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
230
231
232
233
BAB IX KABINET KERAKYATAN
234
KOMPETENSI YANG HARUS DIMILIKI OLEH MENTERI PERTANIAN KABINET JOKOWI
[Panca Pramudya]
1. Memahami kompleksitas tantangan yang dihadapi dunia pertanian di Indonesia dewasa
ini.
Pertanyaan untuk wawancara: Menurut Anda apa penyebab belum majunya sektor pertanian di Indonesia (misalnya jika dibanding dengan Thailand)?
Jawaban yang diharapkan kurang lebih: a. Regulasi yang ada saat ini tidak mendukung perkembangan pertanian (terkait
masalah subsidi, riset, dll). Ada juga gap regulasi yang belum ada untuk mendukung perkembangan sektor pertanian (khususnya terkait isu proteksi).
b. Persaingan dengan produk pertanian impor (yang di negara asalnya menerima subsidi pemerintahnya sehingga lebih murah dibanding harga produk lokal yang dihasilkan di Indonesia). Subsidi yang diberikan oleh pemerintah Indonesia saat ini banyak yang kurang tepat sasaran, sehingga tidak dinikmati oleh petani
c. Penguasaan rantai pemasaran produk pertanian oleh segelintir pihak sehingga permainan harga jual di tingkat petani sangat berpeluang terjadi, terutama jika petani tidak memiliki akses ke pasar dan tidak mempraktikan model pemasaran bersama untuk meningkatkan bargaining power.
d. Point b dan c di atas menyebabkan tidak ada jaminan pendapatan yang cukup bagi petani. Hal ini masih bisa diperparah jika terjadi serangan hama atau gagal panen karena faktor cuaca (banjir, kekeringan).
e. Tidak adanya asuransi pertanian untuk petani terutama menghadapi pola cuaca ekstrem akibat climate change dan kualitas lahan pertanian yang menurun akibat pola revolusi hijau selama ini (jika panen gagal petani sangat mungkin terlibat hutang). Jika petani terlibat hutang dalam jumlah besar, aset yang berpeluang digadai adalah lahan pertaniannya.
f. Ketersediaan lahan pertanian. Point e di atas bisa menyebabkan petani kehilangan salah satu modal produksi penting yaitu lahan. Selain itu, hilangnya lahan pertanian juga disebabkan oleh tidak bagusnya law enforcement terkait alih fungsi lahan menjadi pemanfaatan lain (misalnya untuk perumahan dan ruko). Hal ini juga
235
menjadi kendala bagi mereka yang ingin mulai berusaha sebagai petani, karena harga tanah yang tinggi akibat persaingan dengan fungsi lahan yang lain.
g. Regenerasi petani mandeg karena pendapatan dari pertanian kurang menjanjikan. Anak muda lebih suka menjadi buruh pabrik/ojek. Tenaga kerja pertanian langka. Hal ini juga menjadi kendala bagi mereka yang ingin mulai berusaha sebagai petani: sulit mendapatkan tenaga kerja.
h. Belum memasyarakatnya model pemasaran bersama untuk meningkatkan bargaining power petani terhadap tengkulak/buyer. Model koperasi kurang disukai oleh petani karena pengalam buruk semasa Orde Baru di mana koperasi menjadi alat bagi pemerintah untuk menekan dan mengeksploitasi petani.
i. Hasil riset di bidang pertanian belum terjembatani dengan baik dengan penerapan di tingkat petani, sehingga petani belum bisa memetik manfaat secara maksimal dari riset pertanian
2. Memahami konsep dan konteks rantai pemasaran di sektor pertanian sehingga bisa
merancang model pemasaran yang mampu memproteksi konsumen sekaligus menguntungkan petani (misalnya unt komoditas beras yang merupakan komoditas politis).
Pertanyaan untuk wawancara: Menurut Anda, bagaimana model rantai pemasaran produk pertanian yang bisa melindungi kepentingan petani ?
Jawaban yang diharapkan kurang lebih: a. Petani biasanya mengalami masalah permainan harga karena mereka harus
berhadapan orang perorangan dengan tengkulak atau buyer. Petani yang tidak memiliki akses langsung ke pasar tidak memiliki pilihan lain untuk memasarkan produknya selain melalui tengkulak. Karena itu, model pemasaran berkelompok harus diterapkan untuk membantu petani meningkatkan bargaining powernya.
b. Peran negara dalam mengatur harga jual dan harga beli (maksimum dan minimum) harus lebih digalakkan. Selain menetapkan harga, fungsi pengawasan dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran juga harus dilaksanakan dengan lebih baik. Di luar fungsi pengawasan harga ini, lembaga pemerintah ini sebaiknya juga menjalankan fungsi marketing (perluasan pasar, mencari alternatif pasar) agar demand terhadap produk petani bisa ditingkatkan dan menjaga kelangsungan pasar bagi produk petani.
c. Untuk mengatasi kendala distribusi kepada konsumen, perlu digalakkan model pertanian seperti “community supported agriculture” di mana sekelompok petani melayani secara langsung sekelompok konsumen. Model relasi langsung seperti ini memiliki beberapa keuntungan seperti: (i) memastikan distribusi barang sampai ke tangan konsumen dalam kondisi segar, (ii) rantai pemasaran yang pendek mengurangi ongkos kirim, (iii) harga beli di tingkat petani bisa lebih baik, karena tidak ada pedagang antar yang mengambil keuntungan, (iv) jumlah produk
236
pertanian yang terbuang karena tantangan distribusi (delay waktu, jarak yang jauh) bisa dikurangi.
3. Memahami konsep swasembada secara menyeluruh.
Pertanyaan untuk wawancara: Menurut Anda, apa saja tantangan untuk mewujudkan swasembada pangan di Indonesia?
Jawaban yang diharapkan kurang lebih: a. Swasembada bukan sekadar masalah meningkatkan jumlah produksi di tingkat
petani. Lebih dari itu, swasembada juga menyangkut masalah distribusi yang adil dan merata (tidak terpusat di beberapa pihak saja) sehingga tidak menjangkau seluruh rakyat. Dalam hal ini, barang mungkin tersedia di pasar, tetapi karena model distribusi tadi maka harga jual menjadi tinggi dan tidak terjangkau oleh konsumen dengan kemampuan ekonomi lemah.
b. Dengan pertimbangan point di atas, swasembada tidak bisa dicapai dengan pendekatan pertanian sebagai industri besar. Pertanian harus dilihat sebagai satu usaha yang terdiri dari unit‐unit pertanian skala kecil. Karena pada kenyataannya, yang memproduksi pangan adalah petani skala kecil dan bukan industri besar. Industri justru menjadi "makelar" antara petani dan konsumen dan mengambil porsi keuntungan terbesar dari kedua belah pihak. Untuk mencapai swasembada harus didorongkan relasi langsung antara petani skala kecil dan konsumen di tingkat lokal (misalnya community supported agriculture). Model ini akan bisa membantu mengatasi tantangan distribusi
c. Swasembada seharusnya tidak terfokus pada beras saja karena secara historis beras bukan pangan pokok di semua wilayah Indonesia. Menggalakkan keanekaragaman pangan pokok dan mengembalikan budaya pangan non beras seharusnya masuk dalam program swasembada pangan di Indonesia. Keanekaragaman produk juga bisa dipikirkan dalam kerangka keunggulan daerah/desa sehingga tiap daerah/desa memiliki produk unggulan yang tidak hanya dijual dalam bentuk mentah tetapi juga olahan.
d. Swasembada juga berarti memberikan proteksi kepada petani terhadap persaingan harga produk pertanian impor yang lebih murah. Jika harga produk import masih murah, maka pasar juga akan lebih mengarah ke produk impor. Namun memang perlu diingat bahwa sebelum menutup keran import maka sektor pertanian di dalam negeri harus disiapkan agar mampu menghadapi demand yang besar, untuk menghindari gejolak di masyarakat.
e. Swasembada tidak hanya masalah meningkatkan jumlah/volume produksi tetapi juga soal pengadaan benih, pupuk, dan asupan pertanian lain dari dalam negeri dan akan lebih baik lagi jika bisa dilakukan dengan sumber daya dari dalam negeri. Dalam konteks ini, perlu juga dipikirkan perlindungan terhadap kekayaan sumber daya hayati pertanian Indonesia.
237
PENATAAN STRUKTUR KELEMBAGAAN DAN PERENCANAAN NASIONAL:
Kondisi, Masalah, Tantangan Visi Baru, Rekomendasi
[Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS] Pengajar pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan Program
Pascasarjana IPB dan UI PENGERTIAN
Struktur kelembagaan negara tidak hanya berupa lembaga, tetapi juga mencakup aturan main untuk memastikan lembaga‐lembaga itu dapat menjalankan dengan baik tugas‐tugas penetapan perencanaan, hubungan inter dan antar lembaga untuk melaksanakan rencana, dan didukung oleh kualitas aparatur sipil negara yang profesional dan berintegritas, sehingga visi pembangunan nasional dan kebijakan serta rencana pembangunan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Seluruh visi dan misi serta harapan masyarakat terhadap pemerintahan baru dapat dijalankan hanya apabila struktur kelembagaan negara responsif untuk dapat menyesuaikan transformasi dari pendekatan lama ke pendekatan baru. Ini berarti kerangka kerja kelembagaan negara saat ini perlu ditelaah untuk menemukan hambatan‐hambatan transformasi tersebut dan mencari solusinya.
Struktur kelembagaan tidak dapat dipisahkan dari sistem perencanaan nasional yang sedang dijalankan. Sistem perencanaan nasional menentukan lingkup dan ketepatan sasaran pokok dan arah kebijakan pembangunan, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian/Lembaga negara. Apabila tidak tepat, maka lembaga‐lembaga itu akan tidak efektif kerjanya untuk mewujudkan impian sebagian besar masyarakat.
KONDISI
Keberadaaan UU No.39 Tahun 2009 tentang Kementerian Negara yang sudah efektif dijalankan sejak Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB ke II) masih belum bisa mengh‐adirkan potret lembaga negara (Pusat) yang tepat ukuran dan fungsi, efisien, dan efektif. Bahkan jumlah kelembagaan pemerintah mengalami penambahan secara signifikan, terutama untuk Lembaga Non Struktural. Isu yang senantiasa muncul yaitu semakin gemuknya struktur kelembagaan pemerintah, rendahnya interkoneksi antar lembaga pemerintah pusat dan daerah, dan tidak jelasnya pengaturan tentang kedudukan, fungsi, dan peran
238
lembaga pemerintah seperti Kementrian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian/LPNK dan Lembaga Non Struktural/LNS. Saat ini jumlah jabatan struktural di Kementrian mencapai 19.478 jabatan sedangkan jumlah jabatan struktural di LPNK ada 5.020 (LAN, 2013).
Sistem perencanaan pembangunan saat ini, yang pada dasarnya melakukan kompilasi dari rencana‐rencana sektor yang sudah given, cenderung tidak mampu mewujudkan koherensi pelaksanaan pembangunan.
MASALAH
Kondisi kelembagaan negara saat ini, apabila dikaitkan dengan pengelolaan sumberdaya alam—yang saat ini masih menjadi sumber utama ekonomi nasional dan daerah—serta persoalan kesejahteraan rakyat (lokal/adat), menyebabkan masalah‐masalah pokok sebagai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi cenderung menguras sumberdaya alam, menurunkan fungsi
lingkungan hidup, dan tidak menghasilkan pemerataan hasil‐hasil pembangunan. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak dipenuhinya sejumlah asumsi konsep pertumbuhan ekonomi itu, terutama lemahnya hak menguasai negara (bukan hanya kelompok tertentu) terhadap kekayaan alam tersebut;
2. Upaya melestarikan fungsi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi basis keberlanjutan pertanian, peternakan, perikanan (darat/laut), pariwisata, maupun manfaat global seperti pengendalian perubahan iklim, dipisahkan tersendiri dan di lapangan bersaing secara bebas atau kejar‐kejaran dengan percepatan peningkatan investasi yang mengeksploitasi sumberdaya alam;
3. Regulasi dan kebijakan tidak efektif mengatasi masalah‐masalah riil di lapangan karena hanya mengatur sektor‐sektor dan bidang‐bidang pembangunan di daerah secara sendiri‐sendiri. Setiap sektor mempuyai tolok ukur kebenaran sendiri tanpa memperdulikan capaian sektor lainnya. Misalnya, bidang pertanian dan kehutanan (sebagai sektor primer) yang kinerjanya sangat tergantung pada kebijakan perdagangan (agar harga lokal tinggi), cenderung diabaikan, karena kebijakan perdagangan lebih mementingkan pasokan industri yang berorientasi ekspor sambil mengorbankan sektor primer dengan harga komiditinya yang sangat rendah;
4. Program dan kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk mencapai sasaran pokok pembangunan43—ekonomi, lingkungan, politik, hukum, pertahanan dan keamanan, tata kelola dan reformasi birokrasi, kesejahteraan rakyat, kewilayahan dan pembangunan kelautan—tidak diikuti oleh upaya untuk mengatasi hambatan‐hambatan untuk mencapai sasaran pokok pembangunan tersebut. Akibatnya, kinerja pembangunan lebih mengejar ukuran‐ukuran administratif (WTP, dll), tetapi hampir
43 Diambil dari bahan presentasi rancangan RPJMN 2015‐2019 (Bappenas, Agustus 2014)
239
selalu mensisakan banyak masalah di lapangan, seperti konflik sosial, illegal mining—fishing—logging, konversi hutan, maupun rendahnya infrastruktur ekonomi bagi usaha masyarakat lokal/adat;
5. Upaya pencegahan korupsi dan perbaikan tata kelola pemerintahan (good governance) diletakkan pada bagian hilir proses pembangunan dan sebaliknya tidak digunakan sebagai dasar pencegahan pada awal proses pembangunan.
TANTANGAN VISI BARU
Orientasi hasil‐hasil pembangunan pada masyarakat lokal/adat dapat diwujudkan hanya apabila terdapat kebijakan untuk membuka akes masyarakat lokal/adat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, infrastruktur ekonomi, pendidikan yang berkualitas dan kesehatan yang murah. Sementara itu, struktur kelembagaan dan perencanaan pembangunan saat ini tidak menganggap masyarakat lokal/adat sebagai subyek utama pembangunan.
Dari sisi politik ekonomi kelembagaan negara, cenderung menjabarkan perencanaan makro ke mikro, hal yang sama, politik ekologi kelembagaan negara mengutamakan pertumbuhan kelompok tertentu yang mampu mengeksploitasi sumberdaya alam dan bukan melayani kelompok masyarakat miskin lokal/adat yang masih perlu pemberdayaan untuk mencapai kesetaraan dalam memanfaatkan peluang ekonomi yang diberikan. Dengan kata lain, secara empiris/operasional konsep trickle down effect masih sangat kental digunakan oleh lembaga‐lembaga negara yang ada.
Belum terdapat mekanisme perencanaan pembangunan di pusat maupun daerah yang mampu mewadahi aspirasi masyarakat lokal/adat yang mempunyai karakteristik sangat khas pada setiap wilayah di Indonesia. Hal itu disebabkan sistem perencanaan dimulai dari target‐target agregat nasional dan cenderung menyeragamkan kondisi di lapangan. Rancangan RPJMN 2015‐2019 mempuyai kelemahan pokok dan dapat menghambat pelaksanaan visi baru, antara lain sebagai berikut: 1. Tidak diketahui secara jelas hubungan saling ketergantungan antar 9 (sembilan)
sasaran pokok pembangunan. Hal demikian itu dalam penjabarannya menyebabkan dominasi sasaran pokok pembangunan ekonomi yang mengutamakan produksi komoditas (industri, pertanian, dll) dan berakibat lemahnya pencapaian sasaran pokok kesejahteraan masyarakat (kedaulatan rakyat).
2. Tidak ada arahan perencanaan secara nasional bagaimana sasaran pokok dan arah kebijakan pembangunan itu diimplementasikan dengan memperhatikan karakteristik wilayah ekoregion atau 7 pulau (kepulauan) besar di Indonesia. Hal ini berakibat tetap terjadinya ketimpangan antar pulau, akibat harus menjalankan pembangunan dengan paltform yang sama.
3. Substansi/materi perencanaan terlihat berupa kompilasi dari sasaran, kebijakan dan program sektor‐sektor, sehingga tidak ada inovasi pendekatan pembangunan yang baru, karena sektor‐sektor yang ada sudah given dengan organisasi, tugas dan fungsi yang sudah tertentu. Dalam hal ini, organisasi menentukan tujuan pembangunan, dan
240
bukan sebaliknya organisasi tidak mungkin sebagai instrumen untuk mencapai sasaran pembangunan yang sudah berubah.
REKOMENDASI
Penataan kelembagaan negara tidak dapat dipisahkan dari penataan perencanaan pembangunan. Dalam hal ini, secara garis besar, “frame” penataan kelembagaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fungsi perencanaan pembangunan dan pengawasan pembangunan perlu
disinergikan. Materi perencanaan pembangunan bukan berasal dari sektor‐sektor secara terpisah, tetapi berasal dari Menteri Koordinator yang telah mensinergikan seluruh kebijakan/program; a. Untuk itu diperlukan Menteri Koordinator Sumberdaya Alam. Menteri ini
mempunyai tugas mensinergikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan untuk bidang‐bidang: pertanahan, pertanian/ perkebunan, kehutanan, energi/sumberdaya mineral, perikanan, dan perternakan serta penanggulangan bencana.
b. Seluruh bidang‐bidang itu berada di dalam bentang alam yang sama dan mempunyai keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain, dan perlu dikendalikan secara simultan agar tidak melampaui daya dukung lingkungan—yang mengakibatkan bencana alam maupun sosial—serta dapat dipastikan bahwa masyarakat adat/lokal sebagai subyek utama pembangunan.
c. Menteri Koordinator ini memutuskan prioritas pemanfaatan sumberdaya alam, karena pemanfaatan sumberdaya alam oleh bidang‐bidang tersebut cenderung trade off satu sama lain.
d. Ukuran kinerja pembangunan sebagai dasar pengawasan pembangunan harus tepat dan berupa outcome dari program bidang‐bidang terkait (dan bukan output dari kegiatan bidang tertentu), agar koodinasi antar bidang menjadi suatu keharusan.
2. Hal serupa dilakukan terdapat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Masyarakat, agar bidang‐bidang pendidikan, kesehatan, ketenaga‐kerjaan, informasi, dlsb menjadi segenap program untuk wilayah tertentu guna meningkatkan kemampuan masyarakat lokal/adat untuk memanfaatkan keterbukaan akses terhadap pemanfaatan sumberdaya alam sebagai landasan pengembangan ekonomi.
3. Implikasi dijalankannya butir 1 dan 2, maka perencanaan pembangunan pada tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota harus sudah berdasarkan perencanaan secara spasial, yang didalamnya terdapat sebaran kekayaan sumberdaya alam dan penguasaannya, potensi bencana, infrastruktur ekonomi (jalan, pasar, dll) dan sosial, serta lokasi‐lokasi masyarakat tertinggal. Pada tataran yang sudah operasional ini, seluruh rancangan program/kegiatan pembangunan daerah harus sudah diketahui lokasinya secara tepat.
241
4. Berdasarkan butir 1, 2 dan 3 tersebut, Koordinator Bidang Ekonomi tidak lagi diperlukan, karena ekonomi adalah hasil akhir dari seluruh kegiatan yang disinergikan oleh Menteri Koordinator Sumberdaya Alam dan Koordinator Kesejahteraan Masyarakat. Pertumbuhan ekonomi bukan ditetapkan dari “atas” tetapi sebagai hasil agregat dari seluruh Kabupaten/Kota dan Propinsi di Indonesia. Struktur yang demikian memungkinkan terwujudnya partisipasi pembangunan dari “bawah”, yangmana untuk wilayah tertentu ukuran pertumbuhan ekonomi tidak tepat digunakan. Apabila ukuran itu dipaksakan digunakan seperti saat ini, investasi usaha besar yang senantiasa akan menjadi relevan diprioritaskan, karena selalu paling siap memanfaatkan peluang yang ada.
5. Implikasi dari pendekatan di atas, dan dengan memperhatikan persoalan pokok pengelolaan sumberdaya alam—yang menjadi tulang punggung kedaulatan pangan, energi, obat‐obatan—seperti konflik hutan/lahan dan kelestarian fungsi hutan dan justru tidak pernah menjadi sasaran pokok pembangunan, oleh karenanya maka: a. Dikuatkan fungsi perencanaan (Bappenas)—yang diusulkan digabung dengan
UKP4—yang kini struktur organisasinya terpecah‐pecah menjadi sektor‐sektor. Bentuk organisasi demikian itu cenderung gagal melihat masalah pokok pembangunan, karena harus melayani kegiatan sektor‐sektor yang sudah given.
b. Diperlukan sinergi fungsi tertentu dari organisasi untuk penguatan bidang kehutanan dan lingkungan hidup, untuk meningkatkan intensitas pengelolaan kawasan lindung seperti kawasan konservasi, hutan lindung, sumber air, serta keanekaragaman hayati sebagai landasan utama kedaulatan pangan, energi dan obat‐obatan.
c. Diperlukan unit kerja khusus/lembaga untuk mengatasi persoalan konflik hutan/lahan (antara perusahaan dan masyarakat, perusahaan dan perusahaan, masyarakat dan pemerintah/pemda, dlsb), keterlanjuran kesalahan lokasi izin (tambang dan kebun di kawasan konservasi, hutan lindung dll), yangmana unit kerja/lembaga tersebut bebas kepentingan terhadap unit‐unit kerja/lembaga yang berfungsi memberi perizinan pemanfaatan sumberdaya alam.
6. Berdasarkan “frame” di atas, lebih lanjut dapat ditetapkan bentuk transformasi Kementerian/Lembaga yang saat ini ada, termasuk arahan transformasi serupa bagi pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota. Disamping itu, juga perlu ditetapkan benefit‐cost, serta kebijakan penanganan resiko yang mungkin terjadi, serta peraturan‐perundangan yang perlu disesuaikan atau dibuat baru untuk mewadahinya.
Bogor, 14 Agustus 2014
242
Masalah dan Rekomendasi Kebijakan
POKJA LEMBAGA KEPRESIDENAN
[Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, S.H., M.Hum.] Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta
Presiden adalah top executive dalam sistem ketatanegaraan. Untuk itu, dukungan kelembagaan kepresidenan harus dapat menjamin kinerja eksekutif. Hal‐hal konkret yang dapat dilaksanakan adalah: 1. Kejelasan posisi Wakil Presiden
Posisi wakil presiden tidak boleh hanya menjadi “ban serep”. Untuk itu, pembagian tugas antara Presiden dan Wakil Presiden menjadi mutlak perlu diketahui sejak awal, dan diumumkan secara terbuka kepada rakyat. Untuk itu perlu diambil kebijakan: (a) menyepakati pola pembagian tugas antara Presiden dan Wakil Presiden, (b) diumumkan kepada masyarakat.
2. Keberadaan lembaga‐lembaga pendukung fungsi kepresidenan
Saat ini ada cukup banyak lembaga yang menjadi institusi “supporting” bagi presiden, seperti Dewan Penasihat Presiden (DPP), UKP4, bahkan para staf khusus presiden. Lembaga dan/atau individual yang ada di sekeliling Presiden tersebut sangat berpotensi memunculkan alur birokrasi baru yang tidak perlu. Untuk itu, kebijakan yang perlu diambil adalah: (a) mengevaluasi kembali keberadaan berbagai unit di bawah presiden yang mempunyai tumpang tindih fungsi dan tugas, sehingga berkesan menyulitkan koordinasi dan sinergi, (b) menetapkan mana unit yang perlu dan tidak perlu, serta menggabungkan atau membubarkan unit tertentu.
3. Zaken cabinet dengan perampingan struktur kabinet
Tuntutan bagi hadirnya kabinet ahli (zaken cabinet) telah banyak disuarakan, sekalipun pada akhirnya ada kompromi‐kompromi, mengingat jabatan menteri kerap dipandang lebih sebagai jabatan politis. Artinya, kesan secara umum yang harus dijaga adalah bahwa personalia kabinet harus diisi seluruh atau hampir seluruhnya oleh orang‐orang profesional yang mumpuni sesuai portofolio kabinet. Dengan demikian tidak perlu ada jabatan menteri koordinator dan wakil menteri. Fungsi koordinator bisa dijalankan oleh Presiden atau Wakil Presiden. Tugas wakil menteri
243
seharusnya sudah teratasi oleh para pejabat eselon di bawah menteri, yakni Sekjen, Dirjen, dan Irjen. Untuk jabatan eselon kedua, diusahakan dijalankan dengan merit system dengan lelang jabatan terbuka.
4. Perhatian khusus pada Kementerian Pendidikan
Dengan dana APBN yang salah satu porsi terbesar diberikan untuk sektor pendidikan, maka tidak bisa dihindari bahwa Kementerian Pendidikan perlu lebih berbenah untuk menunjukkan bahwa lembaga ini pantas mengemban dana sebear itu. Di luar itu, masa depan bangsa harus diinvestasikan terutama melalui jalur pendidikan. Terlepas dari upaya perampingan struktur kabinet, maka untuk portofolio bidang pendidikan, perlu dilakukan kebijakan: (a) memilah kementerian pendidikan menjadi dua area tugas, dipimpin oleh menteri berbeda, yaitu menteri pendidikan tinggi dan menteri pendidikan luar sekolah/dasar/menengah.
LAMPIRAN Banyak lembaga pemerintah nonstruktural yang terkesan lebih sebagai beban (sumber Kompas, 30 April 2005).
244
PENATAAN KELEMBAGAN KOMISI‐KOMISI NEGARA
[Dr. Ni’matul Huda, SH., M.Hum] Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Sejak reformasi politik 1998 dan reformasi konstitusi 1990‐2002 pemerintah Indonesia banyak melahirkan lembaga baru yang bernama komisi‐komisi Negara yang jumlahnya lebih dari tujuh puluh lima (75), dalam bentuk komisi, lembaga, departamen, badan, dll. Komisi‐komisi Negara hadir untuk menjawab keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi lembaga Negara yang selama Order Baru terkontaminasi oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sangat merusak sendir‐sendi kenegaraan dan kebangsaan.
Dalam perjalanannya, tidak jarang antar komisi Negara ataupun antara komisi Negara dengan lembaga negara lainnya saling tumpang tindih/over lapping. Di samping itu, ada sejumlah komisi Negara yang tidak terdengar kiprahnya dalam penyelenggaraan Negara, sehingga hanya menghabiskan keuangan Negara, karena komisi ataupun lembaga tersebut hanya untuk balas jasa politik para penguasa.
Pemerintah SBY pernah melakukan kajian terhadap keberadaan komisi‐komisi tersebut, tetapi tidak tuntas dan tidak ada tindak lanjutnya. Padahal kajian atas permasalahan tersebut penting untuk mendesain kelembagaan Negara yang ideal bagi kebutuhan rakyat Indonesia dalam proses bernegara yang modern dan bermartabat.
Setelah reformasi berjalan ± 15 tahun, sudah saatnya pemerintah meninjau kembali keberadaan dan kinerja komisi‐komisi Negara tersebut dan mengoptimalkan lembaga yang sudah ada. Misalnya, Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, Ombudsman RI, dll. Sudah saatnya mengakhiri menghadirkan lembaga/komisi Negara yang hanya didasarkan transaksional politik ataupun politik balas budi.
Untuk itu perlu ditata kembali kelembagaannya, sumber daya manusianya dan apa urgensinya bagi kelangsungan berbangsa berbangsa dan bernegara. Apa yang harus dihapuskan (misalnya KHN) karena tugas dan wewenangnya sudah diampu lembaga lain misalnya Departemen Hukum dan HAM. Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian tidak jelas peranannya bagi bangsa da Negara karena tidak didesain sebagai lembaga independent. Ada yang harus disatuatapkan (misalnya Komnas HAM, Komnas Anak, Komnas Perempuan ada yang harus diperkuat kedudukannya (misalnya KPK dan Komisi Yudisial). Salah satu langkah yang harus ditempuh adalah melakukan amandemen ulang untuk menata kedudukan lembaga/komisi‐komisi tersebut. Yogyakarta, 18 Agustus 2014