TUGAS INDIVIDUMANAJEMEN FINANSIALDOSEN : Dr. Ir. NOER AZZAM ACHSANI, MS
PERKEMBANGAN KREDIT MIKRO DI DUNIA : TANTANGAN, PELUANG DAN
STRATEGI KE DEPAN
Oleh : NAMA : MOHAMAD TAUFIK NIM : P056100282. E-35
PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2011
1
DAFTAR ISI
Daftar Isi......................................................................................................... 2
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang................................................................................. 3
I.2. Identifikasi Masalah ........................................................................ 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB III. SEJARAH MICROFINANCE
3.1. Kredit Mikro di Indonesia : dari Masa ke Masa ........................... 6
3.2. Sejarah Grameen bank ................................................................. 12
3.3. Dua Pandangan layanan Microfinance ......................................... 16
BAB IV. TANTANGAN , PELUANG DAN STRATEGI MICROFINANCE
4.1. Peluang dan Kesulitan Microfinance ............................................... 18
4.2. Strategi Microfinance....................................................................... 21
4.3. Layanan Microfinance...................................................................... 25
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan...................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA
BAB I. PENDAHULUAN
2
1.1. Latar Belakang
Keberadaan keuangan mikro tidak dapat dipisahkan dari usaha-usaha penanggulangan
kemiskinan. Bahkan perhatian dan usaha untuk mengembangkan keuangan mikro terutama
didasarkan pada motivasi untuk mempercapat usaha penanggulangan kemiskinan. Hal ini pulalah
yang mendasari berbagai lembaga internasional bergerak langsung dalam kegiatan keuangan
mikro maupun dalam pengembangan lembaga keuangan tersebut.
Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program baik
yang bersifat langsung maupun tak langsung. Usaha ini dapat berupa transfer payment dari
pemerintah misalnya, program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana,
maupun usaha yang bersifat produktif misalnya melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.
Secara hipotesis, kaitan antara pemberdayaan kredit mikro dengan upaya pengentasan
kemiskinan merupakan pintu masuk relatif mudah bagi orang yang akan menjadi pengusaha
pemula. Jika pengusaha pemula ini tumbuh dan berkembang akan terentaskan karena menjadi
pengusaha atau karena trickle down effect dari semakin banyaknya pengusaha mikro.
Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program, termasuk
didalamnya adalah program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana dan
tentu saja adalah melalui pinjaman dalam bentuk micro credit. Upaya pengentasan kemiskinan
yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih menitikberatkan bentuk-bentuk transfer atau
subsidi, padahal dalam rantai kemiskinan tidak selalu harus diatasi dengan cara tersebut. Aspek
yang lebih penting adalah memutus mata rantai kemiskinan yang dapat dilakukan antara lain
dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat miskin menjadi produktif, yang
dalam pepatah disebut “jangan berikan umpannya tapi berikanlah kailnya
Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di
kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini, memfokuskan
pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis
untuk mewujudkan broad based development atau development through equity.
3
Lembaga keuangan mempunyai fungsi sebagai intermediasi dalam aktifitas suatu
perekonomian. Jika fungsi ini berjalan baik, maka lembaga keuangan tersebut dapat
menghasilkan nilai tambah. Aktifitas ekonomi disini tidak membedakan antara usaha yang
dilaksanakan tersebut besar atau kecil, karena yang membedakan hanya besarnya nilai tambah
berdasarkan skala usaha. Hal ini berarti bahwa usaha kecilpun jika memanfaatkan lembaga
keuangan juga akan memberikan kenaikan nilai tambah, sehingga upaya meningkatkan
pendapatan masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan cara yang produktif dengan
memanfaatkan jasa intermediasi lembaga keuangan, termasuk usaha produktif yang dilakukan
oleh masyarakat miskin.
Pasar/permintaan yang ada dalam microfinance berasal dari rumah tangga, dan
perusahaan yang bergerak secara unregulated dalam sektor ekonomi informal. Bank Dunia
memperkirakan potensi pasar untuk kredit mikro di seluruh dunia saat ini tidak kurang dari
angka 100 juta nasabah. Kondisi umum sektor informal sering digambarkan seperti langka
modal, kepemilikan bersifat keluarga, skala kecil, status tidak legal, beroperasi di pasar
unregulated, relatif mudah keluar masuk pasar, padat karya, pendidikan informal dan
ketrampilan rendah, jam kerja tidak tertentu, sedikit pemakaian alat, penggunaan sumber daya
sendiri, dan penjualan/pemasaran bersifat domestik.
Banyak pakar dan pelaku bisnis turut memikirkan dan mengembangkan usaha kredit
mikro dalam berpartisipasi mengentaskan kemiskinan dan memeratakan pendapatan. Sehingga
dapat mengangkat harkat dan martabat mereka. Berbagai alternatif dan strategi dalam layanan
kredit mikro telah direncanakan dan dilkaukan dalam menaklukan hambatan dan tantangan yang
dihadapi dalam usahanya mencapai keberhasilan.
4
1.2. Identifikasi Masalah
Dari uraian di atas dapat diidentifikasikan permasalahannya yaitu :
a. Apa dan bagaimana sebenarnya kredit mikro (microfinance) ?
b. Mengapa kredit mikro dan apa urgensinya ?
c. Kesulitan-kesulitan apa yang menghambat usaha kredit mikro?
d. Seberapa besar peluang usaha kredit mikro?
e. Strategi apakah yang dilakukan agar usaha kredit mikro mencapai keberhasilan?
f. Sejauh manakah usaha kredit mikro dalam mengentaskan kemiskinan?
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Microfinance
Mikro dalam istilah microfinance lebih menjelaskan mengenai ‘inferiority’ atau
keterbatasan, yaitu inferioritas dari masyarakat miskin (the poors) yang sulit atau terbatas
aksesnya kepada pelayanan jasa keuangan/perbankan. Beberapa definisi mengenai microfinance
antara lain sebagai berikut:
International Management Communications Corporation (IMCC): microfinance sebagai
seperangkat teknik dan metode perbankan non-tradisional untuk membuka akses seluas-luasnya
kepada sektor yang tidak tersentuh jasa keuangan formal.
The Foundation for Development Cooperation: microfinance sebagai penyediaan jasa
keuangan khususnya simpanan dan pinjaman bagi rumah tangga miskin yang tidak memiliki
akses ke lembaga keuangan formal.
Microfinance merupakan pembiayaan dengan skala mikro. Makna mikro dalam dalam
konteks ini berkaitan dengan nilai transaksi dan kapasitas keuangan nasabah yang umumnya
masuk ke dalam kategori miskin seperti yang dirumuskan oleh UNCDF, CGAPdan ADB
“microfinance refers to loans, savings, insurance, transfer services and other financial products
targeted at low-income clients”.
Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997), kredit mikro adalah
program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk membiayai proyek yang
dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli
terhadap diri sendiri dan keluarganya, “programmes extend small loans to very poor for self-
employment projects that generate income, allowing them to care for themselves and their
families”
Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan kredit yang
diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang
mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta rupiah per tahun. Lembaga keuangan yang
terlibat dalam penyaluran kredit mikro umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
6
Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro (microfinance)
adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran
berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat
miskin dan pengusaha kecil (insurance to poor and low-income households and their
microenterprises). Sedangkan bentuk LKM dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank
desa dan koperasi, (2) lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-
sumber informal misalnya pelepas uang.
Sedangkan difinisi yang lebih rinci dirumuskan oleh Marguerite Robinson dalam
bukunya yang cukup fenomenal The Microfinance Revolution Volume I & II yakni
“microfinance is small-scale financial services provided to people who farm or fish or herd; who
operate small or microenterprises where goods are produced, recycled, repaired, or traded; who
provide services; who work for wages or commissions; who gain income from renting out small
amounts of land, vehicles, draft animals, or machinery and tools; and to other individuals and
groups at the local levels of developing countries, both rural and urban”. : (microfinance
sebagai layanan keuangan skala kecil khususnya kredit dan simpanan yg disediakan bagi mereka
yang bergerak di sektor pertanian, perikanan atau peternakan; yang mengelola usaha kecil atau
mikro yg meliputi kegiatan produksi, daur ulang, reparasi atau perdagangan; yang menyediakan
layanan jasa; yang bekerja untuk memperoleh upah atau komisi; yg memperoleh penghasilan
dari/dengan cara menyewakan tanah, kendaraan, tenaga hewan ternak, atau peralatan dan mesin-
mesin; dan kepada perseorangan atau kelompok baik di pedesaan maupun di perkotaan di
negara-negara berkembang).
Dari berbagai pengertian tersebut di atas bahwa microfinance mengandung tiga elemen
utama yang membedakannya dengan sistem intermediasi keuangan lainnya seperti perbankan
yaitu:
1. Batasan transaksi
Nilai transaksi microfinance tidak bersifat universal artinya tidak ada konvensi
internasional yang menetapkan nilai transaksi yang masuk kategori kecil atau mikro. Di
7
Indonesia, nilai transaksi microfinance hanya dirumuskan pada batasan kredit mikro saja yakni
maksimum Rp50 juta. Sedangkan untuk transaksi keuangan lainnya seperti simpanan, asuransi,
remittance, sistem pembayaran tidak ada pengaturan yang jelas.
2. Segment Pasar
Microfinance memiliki keunikan dalam melayani masyarakat yakni terfokus pada
masyarakat miskin yang terbagi menjadi empat kelompok:
Kelompok I yakni the poorest of the poor. Penduduk miskin yang tidak memiliki sumber
pendapatan karena faktor usia, sakit, cacat fisik sehingga tidak memiliki pendapatan.
Kelompok II yaitu labouring poor. Kelompok miskin yang bekerja sebagai buruh dengan
penghasilan sangat terbatas dan bersifat tidak tetap atau musiman yang umumnya bekerja di
sektor pertanian atau sektor-sektor lain yang bersifat padat karya.
Kelompok III adalah self-employed poor. Merupakan penduduk miskin yang berpenghasilan
relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dengan bekerja di sektor informal.
Kelompok IV ialah enconomically active poor. Golongan yang telah memiliki kekuatan ekonomi
dengan sumber pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dan memiliki
surplus income.
3. Tujuan
State of practice microfinance sekarang tidak terlepas dari sejarah kelahirannya yaitu
untuk menanggulangi masalah-masalah yang berkaitan dengan kemiskinan. Selanjutnya
pengembangan microfinance menjadi salah satu agenda untuk mencapai The Millennium
Development Goals untuk mengurangi jumlah penduduk dunia menjadi separuhnya pada tahun
2015. Hal ini kemudian diperkuat dengan Resolusi PBB No.A/58/488 tentang the International
Year of Microcredit 2005 yang mendorong microfinance sebagai sektor keuangan yang inklusif.
Microbanking. Layanan microfinance bisa dilakukan oleh pemerintah, individu, swasta,
LSM, Lembaga Keuangan formal ataupun informal. Layanan microfinance yang dilakukan oleh
8
perbankan disebut microbanking. Microbanking adalah bagaimana perbankan yang merupakan
lembaga keuangan formal harus bisa melayani sektor mikro, yang umumnya bersifat informal,
atau bagaimana sektor mikro yang informal bisa masuk dalam sektor perbankan yang formal.
Profil nasabah dalam microfinance (Berenback dan Churchill, 1997) .Tenaga kerja:
memperkerjakan 1-5 orang termasuk anggota keluarganya, Aktiva tetap: relatif kecil karena
labor intensive, lokasi : disekitar rumah, umumnya di luar pusat bisnis, Pemasaran : tergantung
pada lokal dan jarang terlibat kegiatan ekspor impor, Manajemen: ditangani sendiri dengan
teknik sederhana, Aspek hukum: beroperasi di luar ketentuan yang di atur hukum, perijinan,
pajak, perburuhan dan lain-lain.
2.2. Urgensi Microfinance
Ketersediaan sumber daya finansial yang cukup pada saat yang tepat merupakan salah
satu faktor penting bagi individu atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akan
tetapi kondisi ideal tersebut hampir tidak mungkin terjadi pada masyarakat miskin karena
terbatasnya resource sehingga memerlukan adanya intervensi keuangan untuk menutup gap yang
ada. Ada lima pola intervensi microfinanc, misalnya dalam pembiyaan yakni:
1. Income smoothing
Menutup kebutuhan keuangan karena adanya gap antara pendapatan dan pengeluaran karena
faktor musim atau siklus upahan. Umumnya petani membutuhkan dana pada masa tanam untuk
membeli sarana produksi dan memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga. Hal yang sama juga
terjadi pada para pekerja atau buruh yang menerima upah secara berkala.
2. Cash flow injection
Mengatasi aliran kas (terjadi kesenjangan antara aktiva lancar dan pasiva lancar) yang terutama
bagi usaha mikro yang menerapkan sistem pembayaran kredit atau karena ada kebutuhan
strategis misalnya untuk memenuhi kontrak bisnis yang bersifat sesaat.
9
3. Emergency relief
Merupakan asistensi keuangan untuk mengatasi kebutuhan mendadak karena adanya musibah
keluarga, sakit dan bencana alam, kehilangan pekerjaan, biaya pendidikan dan kebutuhan jangka
pendek lainnya karena umumnya masyarakat miskin tidak memiliki tabungan atau asuransi.
4. Asset building
Menyediakan dana yang bersifat jangka panjang untuk membeli aktiva tetap (peralatan rumah
tangga), kendaraan, hewan ternak, properti , dan lain-lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi
atau dapat dikonversikan kembali menjadi uang.
Secara empiris, efektivitas dari intervensi microfinance memberikan dampak yang positif
terhadap rumah tangga. Secara umum mekanisme dampak tersebut dapat dijelaskan dan
digambarkan sebagai berikut:
Pertama, akses keuangan yang berkelanjutan merupakan faktor produksi penting dalam kegiatan
ekonomi masyarakat miskin yang dalam hal ini menghasilkan double impact yaitu pendapatan
dan penyerapan tenaga kerja. Adanya pendapatan yang stabil akan mempermudah untuk
mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari, pakaian, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan tempat
tinggal yang layak, kendaraan, barang berharga, dan sebagainya. Dalam jangka panjang, akan
mendorong terbentuknya rumah tangga yang mandiri dan sejahtera.
Kedua, adanya jaminan pembiayaan mendorong pengusaha mikro mengambil keputusan bisnis
jangka panjang dan melakukan investasi yang menguntungkan.
Kehadiran lembaga microfinance akan meningkatkan awareness dan mendorong masyarakat
miskin menggunakan instrumen moneter seperti tabungan, sistem pembayaran, transfer uang dan
asuransi sehingga meningkatkan likuiditas dan dinamika ekonomi lokal.
Ketiga, efektivitas intervensi microfinance yang dijelaskan sebelumnya telah mendorong
berbagai inisiatif mengembangkan produk dan jasa keuangan lainnya untuk melayani masyarakat
miskin, antara lain housing microfinance.
10
BAB III. SEJARAH MICROFINANCE
1.1. Kredit Mikro di Indonesia : dari Masa ke Masa
Pada masa pemberian kredit pertanian bersubsidi (1950-an – 1970-an), masyarakat
miskin dipandang sebagai petani kecil yang tersisihkan dengan fokus perhatian pada laki-laki
sebagai pencari nafkah utama. Oleh karenanya, dianggap perlu untuk meningkatkan
produktivitas mereka melalui pemberian kredit. Pada era 1980-an masyarakat miskin lebih
banyak dipandang sebagai pengusaha mikro, umumnya perempuan, yang tidak memiliki aset
untuk dijadikan jaminan walaupun usahanya mempunyai prospek untuk berkembang.
Berdasarkan pemahaman ini dikembangkan upaya-upaya lembaga non-pemerintah untuk
menyediakan kredit mikro, khususnya bagi perempuan.
Peralihan dari kredit bersubsidi ke kredit tanpa subsidi ini juga dilatarbelakangi oleh
argumen bahwa masyarakat miskin sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga pinjaman,
tetapi mereka lebih membutuhkan akses terhadap kredit. Kredit mikro makin berkembang pada
tahun 1990-an dengan adanya inovasi cara penyaluran kredit kepada kelompok dengan pola
Grameen Bank, dengan kelompok perempuan miskin sebagai target utama. Pola ini telah
menarik perhatian dunia sehingga diadopsi oleh banyak negara dan memperoleh dukungan dari
banyak lembaga pendanaan. Perkembangan memunculkan industri keuangan mikro yang
menerapkan konsep “financial viability and sustainability” lembaga penyedia layanan keuangan
mikro. Perkembangan ini diiringi dengan upaya besar-besaran untuk menambah jumlah nasabah
atau meningkatkan jumlah kredit per nasabah.
Pada akhir 1990-an, beberapa studi secara kritis menyoroti gejala makin tersingkirnya
golongan paling miskin dari pelayanan keuangan mikro, sebagai akibat sampingan dari
penekanan yang berlebihan pada kelancaran pembayaran dan ‘institutional viability’ lembaga
pemberi layanan keuangan mikro. Secara umum, Matin, Hulme dan Rutherford juga menyatakan
bahwa ketersingkiran golongan paling miskin tersebut disebabkan oleh ketidaksesuaian antara
rancangan layanan keuangan mikro yang tersedia dengan pola penghidupan golongan
masyarakat termiskin yang kegiatan ekonominya (produksi, konsumsi, perdagangan, tabungan
pinjaman dan kegiatan mencarinafkah) dilakukan dalam skala kecil, dan mempunyai tingkat
kerentanan yang sangat tinggi terhadap gejolak ekonomi.
11
3.2. Sejarah Grameen Bank
Mengapa perlu mengupas sejarah Grameen Bank? Apa hubungannya dengan
micofinance? Ketika kita membicarakan kredit mikro maka kita tak lepas dari pembicaraan
mengenai Grameen Bank. Karena Grameen Bank dianggap sebagai pioner dalam dunia kredit
mikro. Mata dunia telah tertuju kapada keberhasilan yang telah dicapai oleh Grameen Bank.
Bagaimana sejarah Grameen Bank, sehingga usaha krdit mikro harus mengacu kepadanya?
Muhammad Yunus dari Grameen bank Bangladesh. Seorang ekonomis praktis
mendapatkan hadian Nobel perdamaian (bukan pertama kalinya). Memang
tepat. Karena kondisi ekonomi, terutama yg menyangkut massa miskin,
adalah faktor paling kuat untuk perdamaian. Grameen bank adalah bank
yg memberi microcredit (pinjaman sangat rendah) tanpa agunan
tetapi memakai sistem kelompok berdasar kepercayaan. Terutama pada wanita-wanita miskin..
Menurut Muhammad yunus, banyak orang yang kehilangan semangat memerangi korupsi
dalam negara yang korup. Dia mencontohkan negeri asalnya, Bangladesh, yang merupakan
negara terkorup di dunia versi Transparency International. Dari serangkaian diskusi
pemberantasan korupsi, banyak orang di Bangladesh yang sudah menyerah sejak awal.
Yunus adalah pendekar pengentas masyarakat dari kemiskinan dunia. Lewat Grameen
Bank, lembaga keuangan paling revolusioner dalam sejarah perbankan dunia, pria kelahiran
Chittagong, Bangladesh, ini memberikan kredit ringan kepada orang miskin, termasuk pengemis
di Bangladesh, tanpa jaminan sama sekali. Gagasan dan pola penyaluran kredit Grameen Bank
memberikan inspirasi bagi banyak orang dan lembaga yang tengah berjuang memerangi
kemiskinan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Dia menjelaskan Grameen Bank menabrak sistem dan prinsip bank konvensional, yakni
semakin kaya seseorang, pemberian kredit akan semakin besar. Tapi Grameen Bank justru
memberikan kredit kepada orang miskin, yang sebagian besar tidak berpenghasilan tetap.
Pembayaran pinjaman dilakukan secara kolektif oleh seseorang yang ditunjuk Grameen Bank.
Uang yang terkumpul dari nasabah dibawa oleh pengumpul (collector) ke kantor perwakilan
Grameen Bank.
Grameen Bank merupakan bank skala nasional dengan perputaran uang tunai sampai
jutaan dolar setiap hari. "Faktanya, tidak ada korupsi," katanya. Keberadaan institusi seperti
Grameen Bank yang dijalankan tanpa korupsi membentuk harapan bagi masyarakat. "Jika satu
12
institusi bisa dibangun bebas korupsi dan dijalankan tanpa korupsi, kita bisa membuat institusi
lainnya bebas korupsi," kata Yunus. Grameen tidak meminta persyaratan yang rumit seperti
halnya bank perkreditan rakyat yang lain,karena hal itu tidak mungkin dilaksanakan untuk
menjaring target nasabah mereka yang tidak mempunyai rumah tinggal tetap. untuk masalah
pembayaran pun pada prosesnya jika terjadi permasalahan dalam bisnis nasabah bisa diperlunak
sesuai kemampuan nasabah.
Dengan contoh, hal ini terbukti dari salah satu nasabah grameen yang rumah dan segala
kekayaannya habis karena musibah kebakaran, jelas tidak mampu membayar kembali maka
grameen meminjamkan lagi untuk modal awal sehingga dia bisa menata kehidupannya kembali
dan malah saat ini dia mampu mnggaji orang lain menjadi pegawainya dan membayar sesuai
jadwal.
Grameen bank atau juga dikenal dengan nama Bank Kaum Miskin sejak awal didirikan
tidak pernah menyandang nama syariah, Islam atau apapun juga yang berbau agama. Namun
dalam perjalanannya bank yang didirikan oleh Muhammad Yunus ini menebarkan banyak sekali
nilai-nilai kemanusiaan. Penghapusan kemiskinan, penyediaan pendidikan, layanan kesehatan,
kesempatan kerja bagi kaum miskin, kesetaraan jender melalui pemberdayaan perempuan serta
memastikan kesejahteraan manula, semua merupakan tujuan-tujuan sosial yang menjadi
komitmen Grameen Bank. Grameen menentang kerangka kelembagaan yang ada sekarang,
Grameen menentang perekonomian yang didasarkan pada ketamakan bisnis, Gramen ingin
menciptakan perusahaan-perusahaan yang sadar sosial untuk menyaingi perusahaan-perusahaan
yang tamak.
Grameen bukanlah bank non riba, Grameen bank menyalurkan tiga jenis kredit dan
membebani masing-masing kredit tersebut dengan tingkat bunga berbeda:
1) kredit mata pencarian dengan suku bunga 20 persen,
2) kredit perumahan dengan suku bunga 8 persen dan
3) kredit pendidikan tinggi anak-anak keluarga Grameen dengan suku bunga 5 persen.
Seluruh bunga adalah bunga tunggal yang dikalkulasi berdasarkan metode declining
balance. Terkait dengan pendidikan, Grameen bank meyakini bahwa pendidikan
adalah salah satu unsur utama untuk keluar dari kemiskinan.
13
Setiap tahun Grameen memberikan beasiswa kepada 30.000 siswa. Tidak ada istilah
mudharabah, musyarakah ataupun murabahah dalam konsep Grameen Bank. Setiap tahun sejak
resmi berdiri tahun 1983 Grameen Bank selalu mencetak laba kecuali pada tahun 1983, 1991 dan
1992. Tahun 1983 adalah tahun berdirinya, sedangkan tahun 1991 dan 1992 merupakan tahun
rehabilitasi bagi semua nasabah setelah badai siklon dahsyat melanda Bangladesh di bulan April
1991.
Sejak berdiri, Grameen Bank telah menyalurkan pinjaman mencapai US $ 6 milyar
dengan tingkat pengembalian sebesar 99 persen ( Yunus, 2007, hal 259). Lantas apa
menariknya? Di mana letak benang merahnya dengan prinsip syariah? Banyak bank-bank lain
mencapai prestasi yang sama bahkan lebih dari Grameen Bank, dan jelas Grameen Bank bukan
bank syariah karena menerapkan bunga pada nasabahnya. Yang menarik dalam hal ini adalah
karena dengan jumlah nasabah mencapai 7 juta orang, 95 persennya adalah kaum perempuan
sangat miskin yang dalam dunia perbankan modern sangat tidak layak untuk diberi kredit.
Tidak ada satupun bank di dunia ini yang mau memberikan pinjaman dengan atau tanpa bunga
pada orang yang tidak punya 5C. Tidak ada satupun bank di dunia ini yang mau dengan susah
payah mencari nasabah para orang miskin yang sudah terbelit hutang dengan rentenir dan
menawari mereka pinjaman tanpa agunan apapun dengan tujuan agar hidup mereka terbebas dari
kemiskinan, memperoleh penghasilan yang layak dan bisa menyekolahkan anak-anak mereka.
Belum ada dalam sejarah perbankan dunia, suatu bank yang 95 persen nasabahnya
berasal dari orang miskin bisa menguasai 93 persen total ekuitas bank, yang 9 dari 13 anggota
Dewan Komisarisnya adalah para perwakilan peminjam.Grameen bank bukan yayasan sosial
karena bank ini tetap mengenakan bunga bahkan pada orang miskin sekalipun, tapi Grameen
bank adalah bank yang sarat dengan tujuan sosial. Kredit seperti dikatakan Yunus (2007, hal
248) lebih dari sekedar bisnis, layaknya pangan, kredit adalah hak asasi manusia. Karenanya
menolak memberikan kredit dengan alasan tidak bankable merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia.
Dengan alasan ini, Yunus mengajukan dua perubahan terhadap ciri dasar kapitalisme
yang telah menyebabkan kekayaan hanya menumpuk pada segelintir pengusaha yang bankable.
Perubahan pertama yang diajukan Yunus terkait dengan pandangan yang berlebihan dari seorang
14
pengusaha kapitalis. Menurutnya seorang pengusaha bukanlah orang yang punya bakat khusus,
semua manusia adalah pengusaha potensial. Sebagian kita menurut Yunus memperoleh peluang
untuk menunjukkan bakat ini, tetapi kebanyakan kita tidak pernah memperoleh kesempatan.
Perubahan kedua terkait dengan bagaimana seorang pengusaha membuat keputusan investasi.
Teori ekonomi menggambarkan pengusaha hanya sebagai orang yang memaksimalkan laba.
Di beberapa Negara di Amerika Undang-undang korporasinya bahkan mewajibkan
maksimalisasi laba. Pemegang saham bisa menuntut eksekutif atau dewan direktur yang
menggunakan dana perusahaan untuk kepentingan masyarakat secara umum daripada untuk
maksimalisasi laba pemegang saham. Sebagai akibatnya dimensi sosial dalam pemikiran
pengusaha diabaikan sepenuhnya.
Menurut Yunus jika kita tidak menyisakan ruang bagi nilai-nilai sosial dalam kerangka
teoritis kita, maka yang terjadi adalah kita akan mendorong manusia berperilaku tanpa
menghargai nilai-nilai sosial. Karenanya Yunus mengusulkan mengganti prinsip sempit
maksimalisasi laba dengan prinsip yang lebih luas bahwa seorang pengusaha harus
memaksimalkan dua hal sekaligus, yaitu laba dan manfaat sosial. Apa yang diusulkan dan telah
dijalankan Yunus ini menggambarkan dengan sangat tepat keseimbangan antara sifat egoistik
dan altruistik yang harus ada dalam akuntansi syariah seperti pernah dibahas oleh Triyuwono
(2006).
Grameen bank menunjukkan bahwa sifat egoistik dan altruistik yang dipadukan dengan
sangat baik bisa menghasilkan suatu bisnis yang menguntungkan sekaligus mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan, mewujudkan keadilan ekonomi serta mendistribusikan kesejahteraan.
Keberadaan perusahaan besar di Bangladesh seperti Grameen Check, Grameen Shamogree,
GrameenPhone dan Grameen Telecom merupakan bukti nyata bahwa tujuan sosial bisa
mengangkat harkat martabat manusia sekaligus mendatangkan profit dalam waktu yang
bersamaan.
Namun demikian Yunus punya pemahaman sendiri mengenai sifat altruistik yang
disebutnya sebagai perilaku yang digerakkan oleh tujuan sosial. Dalam pandangan Yunus
perilaku ini tidak cukup dilakukan hanya dengan bantuan amal atau dalam dunia bisnis dikenal
15
dengan charity. Bantuan amal menurut Yunus hanyalah cara untuk melepas tanggungjawab.
Bantuan amal hanya mengekalkan kemiskinan dan bukan merupakan solusi terhadap
kemiskinan. Bantuan amal seringkali digunakan karena kita enggan mengakui pokok masalah
dan menemukan solusi. Bantuan amal lebih lanjut dikatakan Yunus hanya menyenangkan hati
kecil kita saja.
Permasalahan sebenarnya menurut Yunus adalah memberi kesempatan yang sama bagi
setiap manusia, kesempatan dalam hal ini adalah kesempatan untuk mendapatkan pinjaman agar
mereka dapat berusaha dan meneruskan hidup secara layak yang bebas dari kemiskinan,
penderitaan dan kesengsaraan. Bukankah kemiskinan mendekatkan pada kekufuran. Ya..inilah
antara lain salah satu nilai syariah yang bisa dipetik dari perjalanan Grameen bank. Grameen bisa
membuktikan bahwa maksimalisasi profit juga bisa dilakukan dengan maksimalisasi manfaat
sosial.
3.3. Dua Pandangan Layanan Microfinance
Perdebatan mengenai ketersingkiran golongan paling miskin dari layanan keuangan
mikro tersebut mengarah pada dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama pada dasarnya
beranggapan bahwa golongan paling miskin tidak memerlukan pelayanan keuangan mikro, tetapi
lebih memerlukan bantuan yang bersifat langsung. Pandangan ini didasarkan pada kondisi
golongan termiskin, yang umumnya tinggal di tempat terpencil dengan akses transportasi dan
akses pasar yang sangat terbatas, sehingga mereka tidak akan mampu mengembalikan kredit.
Oleh karenanya, penanggulangan kemiskinan bagi golongan ini harus dilakukan melalui bantuan
sarana kesehatan, pangan, pendidikan, dan bukan kredit mikro (Robinson, 2002). Selain itu,
muncul alasan lain mengenai mahalnya biaya untuk menjangkau golongan termiskin, yang tidak
sebanding dengan besarnya jumlah kredit dan tabungan mereka, sehingga tidak akan mampu
menjamin keberlanjutan dan perkembangan lembaga penyedia jasa keuangan mikro (the
Microfinance Gateway).
Pandangan kedua mengajukan argumen bahwa golongan miskin pun layak mendapatkan
layanan keuangan mikro, sehingga rancangan bentuk layanannyalah yang harus disesuaikan
dengan kebutuhan mereka. Alasan ketidaklayakan pelayanan keuangan mikro bagi golongan
termiskin yang dikemukakan oleh pandangan pertama dibantah oleh pandangan ini. Pandangan
16
kedua ini memberikan penekanan pada perlunya perubahan paradigma keuangan mikro dari
fokus pada aspek promosi atau dukungan terhadap usaha ekonomi ke arah layanan keuangan
mikro yang bersifat perlindungan melalui program tabungan, pinjaman darurat, atau asuransi
mikro. Menurut pandangan ini, tidak adanya permintaan terhadap pelayanan keuangan mikro
lebih disebabkan oleh ketidaksesuaian antara bentuk layanan yang tersedia dengan kebutuhan
mereka. Karena itu, perubahan bentuk layanan ke arah yang lebih sesuai dengan kebutuhan
masyarakat paling miskin menjadi prioritas yang mendesak.
BAB IV. TANTANGAN, PELUANG DAN STRATEGI MICROFIANCE
17
5.1. Peluang dan Kesulitan Microfinance
Situasi yang kini kita alami, memang menggelisahkan. Rasanya, siapapun tak akan
tenang hatinya menyaksikan sekitar 38 juta penduduk Indonesia dan ada lebih dari 550 juta di
dunia masih bergulat dalam kemiskinan (versi Badan Bantuan CARE). Jeritan tanpa suara (voice
of the voiceless) itu, terasa menyayat sanubari, membuat kita bergegas ingin mengulurkan
tangan. Namun, apakah mereka membutuhkan bantuan seperti yang kita pikirkan ? Pengalaman
menunjukkan, bila bantuan yang kita berikan salah, justru akan mematikan kemandirian, inisiatif
dan menimbulkan ketergantungan. oleh karena itu, mari kita “mencari tahu” siapakah si miskin
itu ?
Apakah orang miskin malas dan tak mau bekerja ? Tentu tidak. Bila mereka tak mau
bekerja, tentunya tak bisa mempertahankan hidup. Lalu, apakah mereka the have not ? Tentu
juga bukan. Mereka adalah the have little, mereka memiliki sesuatu meski sedikit. Entah tenaga,
tradisi gotong royong, tanah, famili dll. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja (keras), namun
produktifitasnya sangat rendah. Acapkali jam kerjanya tak terbatas, namun penghasilannya tetap
minim, usahanya kurang berkembang dan hanya bertahan pada tingkat subsistensi.
Pasar/permintaan yang ada dalam microfinance berasal dari rumah tangga, dan
perusahaan yang bergerak secara unregulated dalam sektor ekonomi informal. Bank Dunia
memperkirakan potensi pasar untuk kredit mikro di seluruh dunia saat ini tidak kurang dari
angka 100 juta nasabah. Kondisi umum sektor informal sering digambarkan seperti langka
modal, kepemilikan bersifat keluarga, skala kecil, status tidak legal, beroperasi di pasar
unregulated, relatif mudah keluar masuk pasar, padat karya, pendidikan informal dan
ketrampilan rendah, jam kerja tidak tertentu, sedikit pemakaian alat, penggunaan sumber daya
sendiri, dan penjualan/pemasaran bersifat domestik.
Disamping mengakomodasi pemerataan , mengembangkan kelompok usaha ini secara riil
strategis, setidaknya dilihat beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi
produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan
penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini diberdayakan secara
tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor usaha kecil; 3) secara efektif
18
mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan
rakyat miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda.
Tabel di bawah ini memperlihatkan peran strategis dari usaha mikro (oleh World Bank
disebut economically active poor) dalam mengurangi kemiskinan.
Melihat peran dari usaha mikro yang sangat strategis, timbul pertanyaan mengapa usaha
ini kebanyakan sulit berkembang. Untuk menelusuri hal tersebut, tabel di bawah ini akan
menunjukkan berbagai persoalan yang menjerat para pengusaha mikro. Bagi pengusaha mikro,
persoalan permodalan (aksesibilitas terhadap modal) ternyata merupakan masalah yang utama.
Jenis Kesulitan Usaha Mikro
Jenis Kesulitan IKR IK
1. Kesulitan modal 34.55% 44.05%
2. Pengadaan bahan baku 20.14% 12.22%
3. Pemasaran 31.70% 34.00%
4. Kesulitan lainnya 13.6% 9.73%
Sumber: Data BPS terolah (1999) IKR: Industri Kecil Rumah Tangga IK: Industri Kecil
19
Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh (undeserved) dan tidak
dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju
perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat ini
dinilai tidak layak bank (not bankable) karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan
kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan
mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro
terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan modal
apa adanya yang mereka miliki. Tabel data di bawah ini akan memperlihatkan realitas tersebut.
Darimana Modal Diperoleh
Uraian IKR IK
Modal Sendiri
Modal Pinjaman
Modal Sendiri dan
Pinjaman
90.36%
3.20%
6.44%
69.82%
4.76%
25.42%
Jumlah 100% 100%
Asal Pinjaman
Bank
Koperasi
Institusi Lain
Lain-lain
18.79%
7.09%
8.25%
70.35%
59.78%
4.85%
7.63%
32.16%
Sumber: Data BPS terolah (1998)
20
5.2. Strategi Microfinance
5.2.1. Alternative Layanan Kredit Mikro
Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan
masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di Indonesia sendiri hal
itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun lalu pun sudah
mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum
baru, yaitu dengan adanya Microcredit Summit (MS) yang diselenggarakan di Washington
tanggal 2-4 Februari 1997.
MS merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan
penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak negara. MS
juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan keragaan
keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat (perekonomian
rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk menanggulangi kemiskinan global
sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar 600 juta jiwa).
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro
(microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih
lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan
modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang
dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka.
Dalam mengembangkan keuangan mikro untuk melayani masyarakat miskin
(economically active poor) tersebut, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan :
1. Banking of the poor
Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance, dimana mobilisasi keuangan
mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin itu sendiri.
Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership base, dimana keanggotaan dan
partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang penting. Bentuk-bentuk
21
yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP),
dll.
2. Banking with the poor
Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan yang telah ada, baik
kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas bersifat informal atau yang
sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta lembaga keuangan formal
(bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda itu, diupayakan untuk diorganisir dan
dihubungkan atas dasar semangat simbiose mutualisme, atau saling menguntungkan.
Pihak bank akan mendapat nasabah yang makin banyak (outreaching), sementara pihak
masyarakat miskin akan mendapat akses untuk mendapatkan financial support. Di
Indonesia, hal ini dikenal dengan pola yang sering disebut Pola Hubungan Bank dan
Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK).
3. Banking for the poor
Bentuk ini mendasarkan diri atas credit led institution dimana sumber dari financial
support terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat miskin, namun
memperoleh dari sumber lain yang memang ditujukan untuk masyarakat miskin. Dengan
demikian tersedia dana cukup besar yang memang ditujukan kepada masyarakat miskin
melalui kredit. Contoh bentuk ini adalah : Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana
Kredit Pedesaan (LDKP), Grameen Bank, ASA, dll.
Bentuk pertama (Banking of the poor) menekankan pada aspek pendidikan bagi
masyarakat miskin, serta melatih kemandirian. Bentuk ketiga (Banking for the poor)
menekankan pada penggalangan resources yang dijadikan modal (capital heavy), yang ditujukan
untuk masyarakat miskin. Sedangkan bentuk kedua (Banking with the poor) lebih menekankan
pada fungsi penghubung (intermediary) dan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada.
22
Selanjutnya , usaha kredit mikro tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, karena
faktor-faktor kompetisi, regulasi, pasar dan lain-lain harus diatur dan ditata sedemikian rupa agar
menjadi rambu-rambu dalam melkukakan usaha kredit mikro baik bagi kalangan bisnis swasta
maupun pemerintah.
Berikut dapat digambarkan strategi dan pendekatan dan contoh-contoh dari usaha mikro :
5.2.2. Lembaga Keuangan Mikro dan Pengentasan Kemiskinan
Pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu yang ampuh dalam menangani
kemiskinan. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa, ketika pinjaman diberikan kepada
mereka yang sangat miskin, kemungkinan besar pinjaman tersebut tidak akan pernah kembali.
Hal ini wajar saja, mengingat mereka (the extreme poor) tidak berpenghasilan dan tidak memiliki
kegiatan produktif. Program pangan dan penciptaan lapangan kerja lebih cocok untuk
masyarakat sangat miskin tersebut. Sedangkan sebagian masyarakat lain yang dikategorikan
miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) atau masyarakat
yang berpenghasilan rendah (lower income), mereka memiliki penghasilan, meskipun tidak
23
banyak. Untuk itu diperlukan pendekatan, program subsidi atau jenis pinjaman mikro yang tepat
untuk masing-masing kelompok masyarakat miskin tersebut (Rudjito, 2003). Secara skematis hal
di atas dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 1. Financial Services in the Poverty Alleviation Toolbox
(Sumber : Rudjito, 2003)
Keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha penanggulangan kemiskinan
yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana penyimpanan, pembiayaan dan asuransi
yang efisien dapat membangun keberdayaan kelompok miskin dan peluang mereka untuk keluar
dari kemiskinan, melalui:
(1) tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi,
(2) mengelola resiko dengan lebih baik,
(3) secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset,
(4) mengembangkan kegiatan usaha mikronya
(5) menguatkan kapasistas perolehan pendapatannya,
(6) dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik.
24
Pada lembaga keuangan mikro dapat menumbuhkan minat masyarakat di pedesaan untuk
berusaha atau menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil di pedesaan, yang pada akhirnya dapat
membantu program pemerintah untuk :
1. Meningkatkan produktivitas usaha masyarakat kecil di pedesaan.
2. Meningkatkan pendapatan penduduk desa.
3. Menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan, sehingga dapat memperkecil keinginan
masyarakat pedesaan melakukan urbanisasi.
4. Menunjang program pemerintah dalam mengupayakan pemerataan pendapatan penduduk
desa dan upaya pengentasan kemiskinan.
5.2.3. Layanan dalam microfinance
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam pelayanan kredit mikro yang
merupakan strategi dalam mengembangkan kredit mikro adalah :
1. Teori supply-leading finance . Muncul pasca Perang Dunia II (akhir 1940-1950).Merupakan
kombinasi tiga pendapat saat itu : 1) Pemerintah di negara yang baru merdeka, bertanggung
jawab atas pembangunan bidang ekonomi dinegaranya.2) Perkembangan ekonomi sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan produksi dibidang pertanian secara cepat dan
luas.3)Kebanyakan petani tidak sanggup menanggung bunga kredit yang mereka butuhkan
untuk membeli alat-alat pertanian modern.
2. The Poverty lending approach. Konsentrasi pada pengentasan kemiskinan melalui instrumen
kredit yang biasanya disertai dengan layanan tambahan, seperti pelatihan terkait baca tulis,
menghitung, kesehatan gizi, keluarga berencana dsb nya. Lewat pendekatan ini, pe,erintah dan
pihak donor membiayai kredit untuk orang miskin, dengan bunga di bawah suku bunga pasar.
Tujuannya adalah menjangkau orang miskin, terutama yang miskin “papa”, untuk membantu
keluar dari lembah kemiskinan serta memberdayakan mereka (contoh: Grameen Bank of
Bangladesh)
3. The Financial system approach. Menekankan pada jangkauan luas kepada orang miskin yang
memiliki kegiatan ekonomi (the economically active poor) baik kepada peminjam maupun
penyimpan. Lebih ditekankan untuk institusi yang telah mandiri, karena adanya peningkatan
25
permintaan pembiayaan mikro di seluruh dunia. Institusi ini dapat memenuhi permintaan
nasabah akan layanan jasa keuangan yang nyaman dan memadai (contoh: BRI Unit of
Indonesia, BancoSol of Bolivia, ASA of Bangladesh).
4. Prinsip umum pengelolaan microfinance.
a). Demand driven/demand following/market driven. Pelayanan dan pengembangan produk
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi nasabah mikro.
b).Accessibility. Pelayanan terbuka bagi seluruh lapisan (sektor) melalui pendekatan sistem
dan prosedur yang mudah, persyaratan yang sesuai, lokasi yang strategis, sehingga mudah
diakses, dan mengurangi biaya transaksi bagi nasabah.
c). Simplicity. Organisasi, sistem operasional, administrasi, pengawasan dan sistem informasi
didesain secara sederhana, mudah, mdengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas.
d) Transparancy. Sistem kegiatan terbuka, baik hak dan kewajiban bagi pekerja maupun
nasabah, melalui sistem reward and punishment yang fair, fitur produk yang memberi banyak
pilihan, dan sistem informasi yang user friendly.
e). Cost Recovery. Harus mampu menutup semua biaya dan mampu menghasilkan laba yang
memadai.
f). Sustainability. Kelangsungan kegiatan didukung oleh prinsip dan sistem yang berjalan
dengan baik, dan menjamin kelangsungan pelayanan bagi nasabah potensial, dan
menyumbang manfaat bagi pengembangan kinerja pelayanan itu sendiri, sehingga tercipta
sistem keuangan mikro yang berkesinambungan.
6. Agar nasabah mikro tertarik bertransaksi dengan Lembaga Keuangan. Suku bunga harus
kompetitif dibanding lembaga keuangan sejenis. Kemudahan persyaratan jaminan, baik
berupa barang dagangan maupun alat-alat rumah tangga. Kemudahan prosedur, formulir
dibuat sederhana, dan proses tidak berbelit-belit. Kecepatan proses persetujuan pembiayaan,
lokasi lembaga keuangan yang mudah dijangkau, serta angsuran disesuaikan kemampuan
nasabah.
26
5.3.3. mikro dapat menggerakkan perekonomian di suatu negara.
Saat ini pandangan terhadap bisnis mikro mulai berubah seiring dengan perkembangan
kondisi dimana bisnis mikro ternyata relatif bisa survive dalam menghadapi krisis ekonomi. Di
negara berkembang, jasa perbankan umumnya hanya menjangkau dari kurang 20% penduduk,
dan sisanya tidak pernah terjangkau sama sekali oleh pelayanan lembaga keuangan formal,
meski pun sektor ini jumlah dan potensinya sangat besar.
Program microfinance dapat menyediakan pembiayaan kurang dari USD 10 sampai
dengan USD 10.000. Jika kita dapat melayani penduduk yang termasuk dalam kategori
economically active poor, serta diasumsikan 50% dari pelayanan berhasil, maka nasabah mikro
yang berhasil lama kelamaan akan meningkat menjadi nasabah ritel yang potensial dan menyerap
banyak tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja dan keberhasilan nasabah ritel akan mampu
mendorong sektor riil disuatu negara.
27
BAB VI. KESIMPULAN
Dari pembahasan dan uraian dalam bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh dan tidak dianggap
memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju
perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok
masyarakat ini dinilai tidak layak bank karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan
kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan
mahalnya biaya transaksi.
2. Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di
kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini,
memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal
yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development
through equity.
3. Keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha penanggulangan kemiskinan
yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana penyimpanan, pembiayaan dan
asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan kelompok miskin dan peluang
mereka untuk keluar dari kemiskinan
4. Bank Dunia memperkirakan potensi pasar untuk kredit mikro di seluruh dunia saat ini
tidak kurang dari angka 100 juta nasabah. Kondisi umum sektor informal sering
digambarkan seperti langka modal, kepemilikan bersifat keluarga, skala kecil, status tidak
legal, beroperasi di pasar unregulated, relatif mudah keluar masuk pasar, padat karya,
pendidikan informal dan ketrampilan rendah, jam kerja tidak tertentu, sedikit pemakaian
alat, penggunaan sumber daya sendiri, dan penjualan/pemasaran bersifat domestik.
5. Dalam mengembangkan keuangan mikro untuk melayani masyarakat miskin terdapat
beberapa alternatif yang bisa dilakukan yaitu : Bentuk pertama (Banking of the poor)
menekankan pada aspek pendidikan bagi masyarakat miskin, serta melatih kemandirian.
Bentuk ketiga (Banking for the poor) menekankan pada penggalangan resources yang
dijadikan modal (capital heavy), yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Sedangkan
28
bentuk kedua (Banking with the poor) lebih menekankan pada fungsi penghubung
(intermediary) dan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Ismawan, Bambang dan Setyo Budiantoro. 2005. Mapping Microfinance In Indonesia. Jurnal
Ekonomi Rakyat. Artikel - Ekonomi Rakyat dan Keuangan Mikro-Maret 2005. Pada
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_22
Jurnal Ekonomi Rakyat , Artikel - Th. II - No. 6 - September 2003
Krisnamurthi, Bayu. 2003. Pengembangan Keuangan Mikro dan Penanggulangan Kemiskinan.
Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel - Th. II - No. 2 - April 2003. dalam:
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_14/. Diakses pada tanggal 22 Juni 2010.
Martowijoyo, Sumantoro. 2002. Masa Depan Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia: Tinjauan
Dari Aspek Pengaturan dan Pengawasan. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Th. I-No.5 - Juli
2002. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_5/ . Diakses pada tanggal 26 Juni 2010.
Microfinance Revolution Paradigma Baru Lembaga Keuangan Mikro, INDEF dan BRI, 1998.
Noer Soetrisno,DR , Lokakarya Keuangan Mikro, 16 Juni 2003 di Pendopo Kabupaten Blitar
Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional:
Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan Wiloejo Wirjo Wijono Kajian Ekonomi
dan Keuangan, Edisis Khusus November 2005
Robinson, Marguirete, The Micro Finance Revolution, Sustainable Finance for the Poor, The
World Bank, 2000
Rudjito. 2003. Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna Menggerakkan
Ekonomi Rakyat Dan Menanggulangi Kemiskinan Studi Kasus: Bank Rakyat Indonesia.
Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel - Th. II - No. 1 -Maret 2003. dalam:
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_13/. Diakses pada tanggal 22 Juni 2010.
29
Sadoko, Isono, dkk. 1995. Pengembangan Usaha Kecil. Pemihakan Setengah Hati. Yayasan
Akatiga. Bandung.
Setyo Budiantoro -- Direktur Kajian Ekonomi dan Pembangunan Center for Humanity and
Civilization Studies (CHOICES) dan staf Ketua LSM Bina Swadaya, Bisnis Indonesia, 13
Januari 2003
Soetrisno, Noer. 2003. Lembaga Keuangan Mikro: Energi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat?.
Pada : http://www.smecda.com. Diakses pada tanggal 23 Juni 2010.
http://mikrobanker.wordpress.com/2009/01/11/apa-mengapa-dan-siapa-microfinance/
http://syarifahmicrofinance.blogspot.com/2009/12/sejarah-grameen-bank.html
http://www.cgap.org/gm/document-1.9.2751/KeyPrincMicrofinance_in.pdf
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_18/artikel_4.htm
30