Download - Judicial Activism
KEBEBASAN HAKIM DALAM PENEGAKAN HUKUM
DITINJAU DARI JUDICIAL ACTIVISM
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
A. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
2. Rumusan Masalah ....................................................................... 3
3. Tujuan ......................................................................................... 3
4. Metode ........................................................................................ 3
B. KAJIAN PUSTAKA......................................................................... 4
1. Judicial Activism ......................................................................... 4
2. Kebebasan Hakim Dalam Menegakan Hukum dan Keadilan...... 9
C. PEMBAHASAN DAN ANALISIS................................................... 14
1. Dasar Hukum Judicial Activism .................................................. 14
2. Penerapan Judicial Activism Dalam Penegakan Hukum ............ 16
D. PENUTUP ......................................................................................... 24
1. Kesimpulan ................................................................................. 24
2. Saran ............................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 25
ii
1
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Judicial Activism lahir dari common law system yang lebih memiliki
orientasi kepada hukum yang tercipta dari adanya peristiwa yang terdapat dalam
masyarakat.1 Common law system berkembang berdasarkan keputusan pengadilan
yang merujuk pada tradisi, custom dan preseden. Bentuk reasoning yang
digunakan dalam common law dikenal dengan casuistry atau case based
reasoning. Commom Law dapat berbentuk hukum yang tidak tertulis dan hukum
tertulis seperti yang tertuang dalam statutes maupun codes. Common law system
merupakan sistem hukum yang memakai logika berpikir induktif dan analogi.
Bentuk common law system di atas, berbeda dengan bentuk sistem civil law
terdiri dari statutes, regulation dan customs. Statutes adalah merupakan undang-
undang, sedangkan regulasi merupakan peraturan-peraturan yang pembuatannya
telah melalui power delegation dari legislatif dengan eksekutif. Sumber ketiga
yaitu custom atau kebiasaan cukup menarik untuk dicermati mengingat custom
bukan merupakan suatu legal term yang tepat dalam dunia positivisme. Custom
adalah kebiasaan yang dipraktikkan dalam masyarakat yang tidak dituangkan
dalam bentuk tertulis (non statory law). Adapun alasan pengkualifikasian
kebiasaan ke dalam sumber hukum dengan syarat kebiasaan itu merupakan
representasi hukum dengan catatan atau reserve tidak ada statute dan regulasi
yang bertentangan dengannya (custom).2
Judicial Activism merupakan sebuah cara permenungan, mencari, atau
menggali filosofi dari hukum dalam pembuatan putusan peradilan, hakim
diperbolehkan menggunakan pengetahuan personalnya berkaitan dengan
kebijakan publik, juga pelbagai faktor-faktor lainnya, untuk menuntunnya
memutuskan sebuah permasalahan.3
1 Pan Mohamad Faiz, Konstitusi dan Aktivisme Yudisial (artikel), Kolom Opini JurnalNasional Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2009
2 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, ctk. Pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 75
3 Bryan A. Garner (Edt), Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, West, a ThomsonBusiness, USA, 2004, hlm. 862.
2
Makna dan hakekat Judicial Activism penting untuk dipahami dan
diimplementasikan oleh Hakim antara lain karena dalam pembuktian diproses
persidangan, hakim mencari kebenaran materiil, bukan sekedar kebenaran formil.
Disamping itu, perlu disadari juga bahwa Judicial Activism dapat
mengisi kekosongan hukum dalam menggapai keadilan dalam masyarakat.4
Pemikiran hukum di Indonesia mengenai Judicial Activism masih belum
terlalu umum dikenal oleh masyarakat karena belum merupakan “arus utama”
dalam penegakan hukum, masih terlalu banyak Hakim yang tidak menerapkan
Judicial Activism dalam menegakan hukum, meskipun peraturan perundang-
undangan memberikan kemungkinan yang luas penerapan Judicial Activism.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud berkaitan dengan Judicial
Activism tercantum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
secara yuridis memberikan dasar kemandirian bagi Hakim untuk menegakkan
hukum sesuai dengan rasa keadilan, dan Hakim tidak terikat secara harfiah pada
peraturan perundang–undangan yang berlaku, dalam hal ini Hakim didorong
untuk melakukan penemuan hukum.5
Sementara itu, dalam hal penerapan Judicial Activism tidak sebatas
menerapkan peraturan perundangan yang menekankan kepastian hukum tetapi
berkeadilan yang berkembang di masyarakat. Hakim bukan hanya menjadi corong
undang-undang, tetapi hakim yang juga dapat menggali nilai-nilai keadilan di
balik pasal-pasal yang mati dalam bidang hukum perdata, bidang hukum pidana,
maupun Hakim bidang hukum administrasi (Tata Usaha Negara). Meskipun
Hakim yang menerapkan Judicial Activism tentu akan mendapatkan banyak kritik,
bahkan cemoohan. Sebab, seorang hakim yang menempuh Judicial Activism tidak
hanya berhenti pada buku teks, tetapi menggali nilai keadilan yang kontekstual
dan akan menjadi juru bicara keadilan dalam suatu kasus atau fenomena hukum
harus mencermin rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.
4 Paulus E Lotulung, Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan (makalah) disampaikan pada dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2011 di Jakarta.
5 H.A. Mukhsin, Asyrof, Asas–Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum olehHakim dalam Proses Peradilan, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No.252 Bulan November2006, Ikahi, Jakarta. 2006, hlm.84.
3
Bertititik tolak pada uraian di atas, dalam makalah ini mencoba untuk
mendekripsikan dan menganalisis Judicial Activism berkaitan dengan aspek
kebebasan hakim dalam penegakan hukum yang berkeadilan.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalahnya adalah:
a. Apa yang menjadi dasar hukum bagi penerapan Judicial Activism dalam
penegakan hukum?
b. Bagaimana penerapan Judicial Activism dalam penegakan hukum?
3. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk menjelaskan:
a. Dasar hukum bagi penerapan Judicial Activism dalam penegakan
hukum.
b. Penerapan Judicial Activism dalam penegakan hukum.
4. Metode
Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah metode yuridis
normatif. Metode yuridis normatif yaitu berupa penelitian terhadap peraturan
perundang-undangan, studi kepustakaan dan bahan-bahan hukum lainya yang
berkaitan dengan penulisan kajian ini. Pendekatan ini dilakukan guna memperoleh
data sekunder dibidang hukum dan untuk melengkapi serta menunjang data yang
diperoleh dari penelitian kepustakaan maupun penjabaran buku-buku.
4
B. KAJIAN PUSTAKA
1. Judicial Activism
Istilah Judicial Activism, diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa
Indonesia dengan istilah ”Keaktifan Hakim” atau ”Keaktifan peradilan.6
Pengertian Judicial Activism: a philosophy of judicial decision making,
whereby judges allow their personal views about public policy, among other
factors, to guide their decision, usually with the suggestion that adherents of this
philosophy tend to find constitutional violations and are willing to ignore
precedent.7 (Judicial Activism adalah sebuah cara permenungan, mencari, atau
menggali filosofi dari hukum dalam pembuatan putusan peradilan, Hakim
diperbolehkan menggunakan pengetahuan personalnya berkaitan dengan
kebijakan publik, juga pelbagai faktor lainnya, untuk menuntunnya memutuskan
sebuah permasalahan).
Judicial Activism merupakan proses dan upaya pengadilan untuk mencapai
puncak kearifan dalam melaksanakan tugas yudisialnya yang dalam putusannya
mengacu pada nilai-nilai keadilan (etis), kebenaran (logis), estetis (harmoni) bagi
pencari keadilan dan pemangku kepentingan (stakeholder). Keadilan di dunia
tidak pernah sempurna tetapi harus diupayakan secara maksimal, dengan
mempergunakan potensi yang dianugerahkan Allah yang Maha Kuasa. Hal yang
salah adalah orang yang merasa paling benar, karena pada diri manusia melekat
keterbatasan-keterbatasan. Upaya maksimal mempergunakan potensi
kemanusiaan merupakan kebajikan dan keutamaan moral para Hakim dalam
beramal-ilmiah dengan ilmu-amaliah dalam menegakan kebenaran dan keadilan.8
Judicial Activism menurut S.P. Sathe merupakan proses pengambilan
putusan pengadilan melalui pendekatan berbeda. Pendekatan ini melebihi filsafat
6 Lord Denning adalah orang yang memperkenalkan teori Judicial Activism. Hakim asal Inggris ini populer dengan pernyataan "Berikan saya hukum yang buruk dengan hakim-hakim yang baik, maka saya dapat memberikan keadilan. Tetapi berikan saya hukum yang baik dengan hakim-hakim yang buruk, maka saya tak dapat melakukannya"
7 Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, ninth edition, Thomas Reuters, WestPublishing Co, 2009, hlm 922
8 Artidjo Alkostar, Hukum Pidana Serta Tuntutan Tegaknya Kebenaran dan Keadilan, (makalah) Bahan Rakernas Mahkamah Agung, Jakarta, 2012, hlm 13
5
hukum lama, karena dianggap lebih modern dan dekat dengan kehidupan riil
masyarakat. Judicial Activism juga dipahami sebagai dinamisme para Hakim
yang memegang kekuasaan kehakiman ketika membuat putusan tanpa melampaui
batas-batas konstitusi.9
Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Judicial Activism
bermakna apabila seorang Hakim mengenakan pandangan atau paham pribadinya
dalam batasan rambu peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan
rasa keadilan yang hidup dalam masayarakat, yang diwujudkan dalam putusan
yang memperkuat keadilan.
Tujuan Judicial Activism menurut Z. Asikin Kusumah Atmadja adalah
memperbarui paradigma hukum dalam upaya menuju puncak kearifan dalam
memutus perkara. Dalam arti pula, mengeluarkan energi maksimal
memberdayakan potensi intelektual dan potensi spiritual mencapai kebenaran
hakiki dan keadilan sejati.10
Judicial Activism dapat diterapkan dalam berbagai macam proses peradilan,
yaitu : bidang Hukum Perdata, bidang Hukum Pidana, bidang
Hukum Administrasi (Tata Usaha Negara), dan lain sebagainya, dengan variasi
kasus-kasusnya11, dan dapat digunakan dalam berbagai cara:
a. pengadilan membuat keputusan yang mendukung atau meningkatkan
kepentingan sosial (seperti, pengakuan dan penegakan hak-hak sipil oleh
Mahkamah Agung Amerika pada tahun 1960-an);
b. pembuatan keputusan dengan mempertimbangkan hukum atau prinsip-
prinsip baru yang signifikan, seperti : pangkuan Mahkamah Agung
Australia dalam Kasus Mabo tahun 1992 tentang pengakuan hak atas
tanah orang-orang Aborigin atas tanah yang mereka tempati; dan
c. pengadilan mengamati dengan serius dasar hukum tindakan-tindakan
executive yang mungkin secara politik tidak disenangi atau kontroversi.12
9 S.P. Sathe, Judicial Activism in India, Transgressing Borders and Enforcing Limits, Oxford University Press, New Delhi, 2002.
10 Ibid, hlm 15
11 Paulus Effendie Lotulung, Judicial Activism Dalam Konteks Peradilan Tata UsahaNegara, (makalah) disampaikan dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2011, hlm 1
12 Ibid
6
Berkaitan dengan hakekat Judicial Activism, ketika Hakim menghadapi
persoalan hukum dalam kasus kongkrit yang harus diadili, sementara kodifikasi
hukum bersifat statis, disisi lain perkembangan hukum masyarakat bersifat
dinamis, maka diperlukan peranan Hakim yang aktif dalam proses peradilan
mensyaratkan kemampuan berpikir dan kemampuan (profesionalitas) Hakim
untuk mencari dan menemukan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan,
sehingga Hakim dalam memutus perkara harus menguasai berbagai metode dan
cara menemukan hukum.
Pemenuhan rasa keadilan dalam penegakan hukum mendorong Hakim
dalam memutus perkara harus ada Judicial Activism yang dapat dimaknai Hakim
aktif mengikuti perkembangan hukum, termasuk kebijakan-kebijakan publik yang
berubah, untuk dipakai sebagai pertimbangan dalam memutus perkara karena
perubahan-perubahan mengakibatkan bergesernya rasa keadilan dalam putusan-
putusan yurisprudensi Hakim sebelumnya.
Judicial Activism dalam mengikuti perkembangan hukum dan kebijakan
publik beserta perubahannya menjadi bagian dari Judicial Activism dalam proses
peradilan, karena perubahan-perubahan tersebut Hakim harus menerapkan
ketentuan hukum yang baru atau mengubah suatu ketentuan hukum lama dengan
cara menemukan atau menciptakan hukum (Judge Made Law).
Penemuan hukum menurut Paul Scholten adalah sesuatu yang lain daripada
hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan
bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturanya harus ditemukan, baik dengan
jalan interprestasi maupun dengan jalan analogi maupun rechsvervijning
(penghalusan atau pengkonkritan hukum).13
Penemuan hukum oleh Hakim menurut Sudikno Mertokusumo dilakukan
dengan cara, interprestasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan
hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar
ruang lingkup kaidah dalam Undang–undang tersebut dapat diterapkan pada
peristiwa hukum tertentu. Penafsiran oleh Hakim merupakan penjelasan yang
harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai
peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret. Tujuan akhir penjelasan dan
13Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 146.
7
penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu
berlaku.14
Jazim Hamidi mengatakan bahwa penemuan hukum mempunyai cakupan
wilayah kerja hukum yang sangat luas, karena penemuan hukum itu dapat
dilakukan oleh siapa saja, baik itu perorangan, ilmuwan, peneliti hukum, para
Hakim, jaksa, polisi, advokat, dosen, notaris dan lain-lain.15 Akan tetapi menurut
Sudikno Mertokusumo, profesi yang paling banyak melakukan penemuan hukum
adalah para Hakim, karena setiap harinya Hakim dihadapkan pada peristiwa
konkrit atau konflik yang harus diselesaikan. Penemuan hukum oleh Hakim
dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh Hakim
merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena
hasil penemuan hukum itu di tuangkan dalam bentuk putusan.16
Penemuan hukum membutuhkan atau memerlukan metode penafsiran.
Penafsiran sebagai suatu metode penemuan hukum secara historis memiliki
relevansi dengan tradisi hermeneutik yang sudah sangat tua usianya. Semula
hermeneutik adalah teori yang menyibukkan diri dengan ihwal menginterpretasi
naskah, karena itu pada permulaan digunakan terutama oleh para teolog, yang
tugasnya memang berurusan dengan naskah-naskah keagamaan. Kemudian
cabang ajaran-ilmu ini juga menarik perhatian para historikus, ahli kesusasteraan
dan para yuris. Perkataan hermeneutik berasal dari bahasa Yunani, yakni kata
kerja ‘hermeneuein’ yang berarti ‘menafsirkan’ atau ‘menginterpretasi’ dan kata
benda ‘hermeneia’ yang berarti ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi’.17
Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Fitzgerald mengemukakan, secara
garis besar interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
interpretasi harfiah dan interpretasi fungsional. Interpretasi harfiah merupakan
interpretasi yang semata-mata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan
sebagai pegangannya. Dengan kata lain, interpretasi harfiah merupakan
14 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra AdityaBakti, Bandung, 1993.hlm. 13.
15 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan InterpretasiTeks, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm 51.
16 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,1993
17 J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Den Haag:
8
Kluwer-Deventer, 1993), hal. 139
interpretasi yang tidak keluar dari litera legis. Interpretasi fungsional disebut juga
dengan interpretasi bebas. Disebut bebas karena penafsiran ini tidak mengikatkan
diri sepenuhnya kepada kalimat dan kata-kata peraturan (litera legis). Dengan
demikian, penafsiran ini mencoba untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu
peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap bisa
memberikan kejelasan yang lebih memuaskan.18
Beberapa metode penafsiran berdasarkan dari hasil penemuan hukum
(rechtsvinding), metode interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam,
yaitu metode penafsiran restriktif dan metode penfasiran ekstensif.
Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat
membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan Undang-Undang, ruang lingkup
ketentuan itu dibatasi. Prinsip yang digunakan dalam metode penafsiran ini adalah
prinsip lex certa, bahwa suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak
dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (lex stricta), atau dengan kata lain suatu ketentuan
perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara
tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan itu sendiri. Sedangkan
interpretasi ekstensif adalah penjelasan yang bersifat melampaui batas-batas yang
ditetapkan oleh interpretasi gramatikal.19
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan beberapa metode
interpretasi yang lazimnya digunakan oleh Hakim (pengadilan) antara lain adalah
penafsiran tekstual (textualism or literalism) atau penafsiran harfiah ini
merupakan bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang dilakukan dengan cara
memberikan makna terhadap arti dari kata-kata di dalam dokumen atau teks yang
dibuat oleh lembaga legislatif (meaning of the words in the legislative text).
Dengan demikian, penafsiran ini menekankan pada pengertian atau pemahaman
terhadap kata-kata yang tertera dalam konstitusi atau Undang-Undang
sebagaimana yang pada umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang.20
Sementara itu, menurut Feri Amsari cara Hakim menafsirkan atau
memaknai sebuah aturan hukum umumnya menggunakan dua pola tafsir, yaitu
18 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 95.19 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., hlm. 13-20
20 Ibid, hlm. 14.
original intent atau non-original intent, biasa disebut juga dengan tekstual
meaning atau contextual meaning. Intinya dua pola tersebut adalah pertikaian tak
berkesudahan antara penganut paham positivisme hukum dan utilitarianisme
(hukum progresif). Dalam studi hukum tata negara dikenal pula teori mengenai
the living constitution theory yang dianggap bagian dari cara pandang hukum
progresif.21 Namun tidak semua sepakat bahwa hukum itu harus terbuka terhadap
sebuah jaman.22
Metode penafsiran mana yang akan dipilih dan digunakan oleh Hakim
dalam menghadapi perkara-perkara hukumnya, pada akhirnya berpulang pada
Hakim. Hakim dalam konteks ini memiliki kebebasan untuk memilih berdasarkan
keyakinan hukumnya. Pemanfaatan metode interpretasi yang beragam dalam
praktik peradilan, dan tidak adanya tatanan yang hierarkis di antara metode itu
menurut J.A. Pontier mengimplikasikan kebebasan Hakim yang luas untuk
mengambil keputusan.23
2. Kebebasan Hakim Dalam Menegakan Hukum dan Keadilan
Kebebasan Hakim diperlukan dalam menerapkan Jusicial Aktivism dan
kebebasan Hakim sebagai wujud dari kekuasaan kemandirian kehakiman.
Pentingnya kekuasaan kehakiman dinyatakan oleh Harold J. Laski: Certainly no
man can over estimate the importance of the mechanism of justice.24
Kekuasaan kehakiman yang merdeka, dikatakan oleh Russell: A theory of
judicial independence that is realistic and analytically useful cannot be concerned
with every inside and outside influence on judges.25 Dalam hal Hakim yang bebas
dalam proses peradilan, menurut Kelsen: the judges are, for instance, ordinarily
‘independent’ that is, they are subject only to the laws and not to the orders
21 Feri Amsari, Menghambat Laju Judicial Terorism Pada Putusan MK22 h tt p ://e n . w i k i p e d ia .or g / w i k i / L i v i ng _ C o ns t it u ti o n , d iakses pada tanggal 8 Februari 2013,
14:38 Wib.23 J.A. Pontier, Op. Cit., hlm. 9424 Harold J. Laski, A Grammar of Politics, London: George, Allen & Unwin Ltd.,
1957,hlm.541.25 Russell, Peter H., and David M. O’Brien, Judicial Independence In The Age Of
Democracy, Critical Perspectives From Around The World, Toronto: Constitutionalism &
Democracy Series, McGraw-Hill, 1985, hlm.12.
1010
(instructions) of superior judicial or administrative organs.26 Dalam proses
peradilan Hakim hanya tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada perintah
atau instruksi dari organ yudisial atau administratif yang lebih tinggi.
Kaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, Scheltema berpendapat
bahwa dalam penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman
yang merdeka (Hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya sistem
hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, setiap orang
akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum
yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan
kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu perkara.27
Kebebasan hakim didasarkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman di
Indonesia dijamin dalam UUD 1945, yang selanjutnya diimplementasikan dalam
Pasal 24 UUD 1945 yang dipertegas dengan Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 jo Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 2 Undang-Undang No. 5
Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009, pada prinsipnya secara
subtantif mengandung arti bahwa kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai
kemandirian dalam makna terdapatnya kebebasan penuh dan tidak adanya
intervensi dalam kekuasaan keHakiman, hal ini mencakup tiga hal yaitu: (a) bebas
dari campur tangan kekuasaan apapun, (b) bersih dan berintegiritas, dan (c)
professional.28
Kebebasan Hakim menurut Paulus E Lotulung merupakan personifikasi
dari kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidak berada dalam ruang hampa tetapi
dibatasi oleh rambu-rambu; (a) akuntabilitas; (b) integritas moral dan etika; (c)
transparansi; (d) Pengawasan (kontrol)29; dan (e) tuntutan masyarakat.30
26 Hans Kelsen, General Theory of Law And State, translated by Anders Wedberg, NewYork: Russell & Russell A Division of Atheneum Publishers, Inc., 1961, hlm.275.
27 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM- UNISBA1995,hlm.5-6
28 T.Subarsyah Sumdikara, Penegakan Hukum Sebuah Pendekatan Hukum Dan PolitikKriminal, Kencana Utama Bandung. Februari 2010, hlm 223.
29 Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Makalah DisampaikanPada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan yang diiselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 -18 Juli 2003
30 Stammler dalam Friedmann, 1994, Teori Filasafat Hukum, Idealisme Filosofi Problema
1111
Keadilan (Susunan II), Iakarta, Raja Grafindo Persada, hlm 29
1212
Pertama, pertanggungjawaban kehakiman (judicial accountability) tersebut
merupakan:
1. pertanggungjawaban politik Hakim dan lembaga kehakiman, ketika
dimintai tanggungjawab oleh parlemen atau DPR;
2. pertanggungjawaban publik-kemasyarakatan Hakim dan lembaganya,
yaitu bahwa keduanya dapat dikritik oleh mayarakat. Caranya dengan
mengekpose kepada masyarakat, yaitu melalui publikasi putusan
pengadilan termasuk perbedaan pendapat di antara anggota majelis
Hakim (dissenting opinion);
3. pertanggungjawaban hukum baik eksklusif maupun inklusif. Untuk
tanggungjawab eksklusif maka lembaga keHakiman ikut
bertanggungjawab atas kekeliruan Hakim dalam melaksanakan tugasnya
kepada publik, sedangkan tanggungjawab inklusif hanya dibedakan
kepada Hakim; dan
4. pertanggungjawaban hukum yang bersifat individual, yaitu
tanggungjawab Hakim terhadap ketentuan-ketentuan pidana termasuk
korupsi, perdata, serta disiplin dan kode etik profesi
Kedua, integritas Hakim dan etika mempengaruhi kebebasan Hakim karena
kebebasan Hakim tersebut harus disertai dengan integritas moral, keluhuran, dan
kehormatan martabat Hakim. Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
disebutkan bahwa Hakim tidak memiliki integritas, apabila:
1. mengadili suatu perkara padahal memiliki konflik kepentingan, baik
karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan
lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik
kepentingan;
2. berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat,
Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh
Hakim yang bersangkutan;
3. tidak membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak
langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum
Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat;
4. melakukan tawar-menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara,
1212
menunda eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam menangani
suatu perkara di pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;
5. mengadili suatu perkara padahal memiliki hubungan keluarga, Ketua
Majelis, Hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang
menangani perkara tersebut;
6. mengadili suatu perkara padahal Hakim itu memiliki hubungan
pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara;
7. mengadili suatu perkara padahal pernah mengadili atau menjadi
Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan
di Pengadilan tingkat yang lebih rendah;
8. mengadili suatu perkara padahal pernah menangani hal-hal yang
berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili,
saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi Hakim;
dan
9. mengizinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang
tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat
mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugas-
tugas peradilan.
Ketiga, transparansi Hakim dalam penyelenggaraan dan proses memberikan
keadilan diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan-putusan badan pengadilan
serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-
putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga putusan-
putusan tersebut dapat menjadi objek kajian hukum dalam komunitas hukum.
Keempat, yang dapat mempengaruhi kebebasan Hakim adalah adanya
pengawasan baik internal maupun eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di negara ini,
Mahkamah Agung yang memiliki fungsi pengawasan dalam lingkup
kekuasaan kehakiman. Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung menyebutkan bahwa Mahkamah Agung melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan
yang berada di bawahnya. Selanjutnya, Pasal 32 Undang-Undang No.3
Tahun
1313
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung menguraikan bentuk-bentuk pengawasan yang
menjadi kewenangan Mahkamah Agung ya n g p a d a i n t i n ya yang
harus diawasi oleh Mahkamah Agung adalah jalannya peradilan
(rechtsgang) dengan tujuan agar pengadilan menyelenggarakan proses peradilan
dengan seksama dan sewajarnya. Namun demikian pengawasan dan
kewenangan sebagaimana dimaksud di atas tidak boleh mengurangi
kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Sedangkan
pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) dalam
amandemen Ketiga Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945). Komisi Yudisial merupakan sebuah lembaga
negara bantu (state auxiliary institutions) yang memiliki fungsi
pengawasan terhadap perilaku Hakim. Kehadiran Komisi Yudisial yang
merupakan lembaga independen dan terpisah dari Mahkamah Agung dapat
memperjelas adanya institusi yang menjalankan fungsi pengawasan
eksternal.
Kelima, yang cukup penting yang dapat mempengaruhi kebebasan Hakim
adalah adanya tuntutan dari masyarakat dengan berbagai latar belakang
sosial budaya mempunyai harapan atau tuntutan sesuai dengan pandangan atau
persepsinya masing-rnasing. Dalam hal ini Hakim mau tidak mau harus pula
memperhatikan rasa keadilan masyarakat disamping keadilan yang tertuang dalam
hukum formal. Keadilan itu sifatnya abstrak, karena adil bagi seseorang belum
tentu adil bagi orang lain. Kecenderungan untuk menyamakan hukum dan
keadilan adalah kecenderungan untuk membenarkan suatu tata sosial tertentu. Ini
adalah kecenderungan politik bukan kecenderungan hukum.31 Tuntutan akan
keadilan dan kepastian merupakan bagian yang tetap dari cita hukum yang
mengarahkan semua sarana dan tujuan kesatu arah.32
31 Hans Kelsen Hans, Alih Bahasa Somardi, Teori Hukum Murni, Rindi 1995, Press, hlm 39
1414
32 Stammler dalam Friedmann, 1994, Op. Cit, hlm 29.
1515
C. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
1. Dasar Hukum Judicial Activism
Perundang-undangan yang berkaitan dengan yang mengatur kekuasaan
kehakiman meliputi UUD 1945 dan UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Hal serupa juga termuat pada Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Dengan demikian
penekanannya bukan hanya pada kepastian hukum, tetapi pada kepastian hukum
yang adil.
Fungsi kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 1 (satu) Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum
Republik Indonesia.
Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara yang merdeka, akan
sangat menentukan kualitas, kredibilitas, dan integritas keseluruhan proses
peradilan. Lembaga yang mempunyai kekuasaan kehakiman hanya lembaga
pengadilan, maka lembaga pengadilan yang bersih dan kebal (clean and immune)
dari segala campur tangan pihak kekuasaan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Ketentuan di atas, untuk mengantisipasi Hakim dalam pemeriksaan dan
memutus perkara ternyata seringkali menghadapi suatu kenyataan bahwa hukum
yang sudah ada tidak dapat secara pas untuk menjawab dan menyelesaikan
sengketa yang dihadapi. Hakim harus mencari kelengkapannya dengan
1616
menemukan sendiri hukum itu.33 Jadi, dalam penemuan hukum yang penting
adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa
konkret (in-concreto).34 Dalam hal menemukan hukum untuk memutuskan suatu
perkara ketika seorang Hakim wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berlaku untuk
seluruh Hakim dalam semua lingkungan peradilan dan dalam ruang lingkup
hakim tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi.
Sementara itu, berkaitan dengan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”.
Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman memberi makna bahwa Hakim sebagai organ utama Pengadilan dan
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk
menemukan hukum dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada
atau kurang jelas.
Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak
lengkap atau hukum samar-samar.35 Karena menurut Sudikno Mertokusumo
kegiatan kehidupan manusia itu luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya,
sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan
dengan tuntas dan jelas, maka wajar apabila tidak ada peraturan perundang-
undangan yang dapat mencakup akan keseluruhan kehidupan manusia, sehingga
tidak ada peraturan perundang-undangan yang selengkap-lengkapnya dan yang
sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak jelas maka harus dicari dan
ditemukan karena itu, diperlukan kebebasan Hakim.36
Hanya saja, apakah dengan dalih kebebasan atau dengan dalih harus
memutus atas alasan keyakinannya, selanjutnya Hakim boleh sekehendak hatinya
33 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo ; Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta, PT. Citra Aditya Bhakti, 1993. hlm 10
34 Sudikno Mertokusumo, Op cit, hlm. 38.
35 Sugijanto Darmadi, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Jakarta, 1998, hlm. 3
1717
36Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yokyakarta, Cetakan Kelima, April 2007 hlm. 38.
1818
melakukan penyimpangan terhadap undang-undang atau memberi interpretasi
terhadap undang-undang? jawabnya tentu saja tidak, karena hal itu akan
menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum.
Penemuan dan penciptaan hukum oleh Hakim dalam proses peradilan harus
dilakukan atas prisnsi-prinsip dan asas-asas tertentu.yang menjadi dasar sekaligus
rambu-rambu bagi Hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan
dan menciptakan hukum. Dalam upaya penemuan dan penciptaan hukum, maka
seorang Hakim mengetahui prinsip peradilan yang ada dalam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini UUD
tahun 1945, UU. No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang telah diuraikan di
atas, maka dalam mengadili perkara-perkara yang dihadapinya maka hakim akan
bertindak sebagai berikut :
a. dalam kasus yang hukumnya atau Undang-Undangnya sudah jelas
tinggal menerapkan saja hukumnya;
b. dalam kasus, hukumnya tidak atau belum jelas maka hakim akan
menafsirkan hukum atau Undang-Undang melalui cara/metoda
penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum; dan
c. dalam kasus yang belum ada Undang-Undang/hukum tertulis yang
mengaturnya, maka hakim harus menemukan hukumnya dengan
menggali dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
2. Penerapan Judicial Activism Dalam Penegakan Hukum
Salah satu persyaratan penerapan Judicial Activism adalah hakim harus
memiliki karakteristik tertentu. Menurut Asep Warlan karakteristik tersebut
adalah:37
1. Hakim harus mengikuti dan memperhatikan dengan seksama
perkembangan hukum, sehinggga wawasan dan pemahaman hakim tidak
37 Asep Warlan Yusuf, Sebelas Karakteristik Judicial Activism (Keaktifan Hakim), Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan bagi Pelatih (ToT) Sertifikasi Hakim Lingkungan Tahap I 11-15 Desember 2011.
1919
tertinggal dan ditinggalkan oleh perkembangan dan kemajuan pemikiran
hukum, baik nasional maupun internasional;
2. Hakim harus mampu melengkapi kekurangan yang ada dalam peraturan
perundang-undangan. Hakim mampu menemukan hukum dan melakukan
kostruksi hukum;
3. Hakim harus mampu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan
tumbuh berkembang dalam nadi kehidupan masyarakat. Hakim bukan
corong atau mulut undang-undang;
4. Hakim harus mampu melihat dan mempertimbangkan nilai dan norma
yang ada di luar peraturan perundang-undangan sepanjang relevan
dengan perkara yang tengah diadili dan yang akan diputuskan, tanpa
mengabaikan makna dan hakikat kepastian hukum;
5. Hakim harus dipandu dan dibimbing oleh kekuatan keilmuan hukum
yang substansial, sehingga mampu menyerap dan mencerna pengetahuan
hukum yang disampaikan oleh para pakar/ahli hukum ketika memberikan
keterangan ahli di pengadilan;
6. Hakim harus berkomitmen dan menunjukkan indepedensi, kemerdekaan,
kemandirian, imparsialitas dan tanggung jawab sebagai penegak hukum
dan keadilan;
7. Hakim bersifat aktif (dominis litis) dalam pengendalian jalannya
persidangan secara proporsional dan patut/layak, sehingga jalannya
persidangan benar-benar sesuai dengan hukum acara, tata tertib
peradilan, dan etika profesi;
8. Hakim harus cermat dalam pembuktian, artinya harus ada kreativitas dan
inovasi, sesuai dengan metode dalam berpikir hukum dengan tetap
mengedepankan rasionalitas, objektivitas yang terstruktur, teratur dan
terukur;
9. Putusan Hakim pada PTUN bersifat erga omnes, maka hakim harus
benar-benar memperhatikan keadilan dan kepentingan hukum di luar
pihak-pihak yang berperkara, jangan hanya terfokus pada pihak-pihak
yang tengah berperkara;
2020
10. Kualitas putusan hakim harus mampu berderajat yurisprudensial,
artinya dapat menjadi pedoman, rujukan dan insipirasi bagi hakim-
hakim yang lainnya dalam membuat putusan; dan
11. Putusan hakim dapat menjadi bahan penting yang berguna bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan dan juga menjadi bahan
pembelajaran dan pengayaan bagi materi pendidikan hukum.
Sebelas karakteristik Judicial Activism sebagaimana diungkapkan di atas,
dalam penerapan penegakan hukum di Indonesia bagi para pencari keadilan
(Justiciablellen) merupakan suatu yang diharapkan. Artinya Justiciablellen
mendambakan perkara–perkara yang diajukan kepengadilan dapat diputus oleh
Hakim–Hakim yang mempunyai sebelas karakteristik di atas sehinga dapat
melahirkan putusan–putusan yang tidak saja mengandung legal justice, tetapi
juga berdimensikan moral justice dan social justice. Akan tetapi dalam
parakteknya sering kali dijumpai para Justiciablellen merasa tidak puas dan
kecewa terhadap kinerja Hakim yang diangap tidak mempunyai sebelas
karakteristik tersebut.
Selain karakteristik Hakim di atas, Hakim Indonesia mempunyai kewajiban
atau hak untuk melakuan penemuan hukum agar putusan yang diambilnya dapat
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Salah satu cara untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada
yurisprudensi. Menurut Van Apeldoorn, hakim tidak terikat kepada putusan
hakim-hakim lain dan juga tidak kepada hakim yang lebih tinggi. Apabila suatu
peraturan dalam putusan hakim diterima secara tetap dan nyata menjadi keyakinan
hukum umum, atau dengan kata lain dalam suatu masalah hukum telah terbentuk
suatu yurisprudensi tetap dan peraturan itu menjadi hukum objektif, bukan
berdasarkan keputusan hakim tetapi sebagai kebiasaan. Berdasarkan garis tingkah
laku hakim-hakim terciptalah keyakinan hukum umum.38
Pernyataan di atas, sejalan dengan peradilan yang berlaku di Indonesia,
hakim tidak terikat pada putusan hakim terdahulu mengenai perkara yang sejenis.
Apabila terdapat hakim yang dalam menjatuhkan putusannya berkiblat pada
38 L.J. van Apeldoom (1951) Inleiding tot de studie van het Ned, recht. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, hlm 119.
2121
putusan pengadilan yang lebih tinggi mengenai perkara yang serupa dengan yang
dihadapinya, tidak berarti asasnya telah berubah menjadi the binding force of
precedent. Berkiblatnya hakim pada putusan terdahulu itu disebabkan the
persuasive force of precedent, yaitu putusan tersebut diikuti karena
meyakinkannya untuk diikuti.39
Pandangan di atas, berdasarkan asumsi bahwa hukum di Indonesia
mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-
undang, tetapi penemuan hukum ini juga mempunyai unsur-unsur otonom yang
kuat karena hakim seringkali harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang
menurut pandangannya sendiri.40 Tetapi hal itu harus dilakukan atas prinsip-
prinsip atau asas-asas tertentu yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi
Hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan menciptakan
hukum.41
Paradigma Hakim menentukan efektivitas atau tidaknya proses penemuan
hukum. Artinya manakala Hakim tidak dapat merubah paradigmanya dari
positivisme menjadi hukum progresif, maka penemuan hakim tidak akan efektif,
begitupula sebaliknya.
Jiwa dan semangat Aliran Progresif dalam metode penemuan hukum
(Rechtsvinding) adalah sinkron dengan hakekat yang ingin dicapai melalui
Judicial Activism. Aliran progresif ini merupakan pembaruan pandangan
dalam rechtsvinding, sebagai reaksi atas aliran lama yang konservatif. Aliran
Progresif memberikan pencerahan hukum bagi peradilan yang akan merupakan
alat untuk melakukan perubahan-perubahan sosial melalui putusan-
putusan Hakim.42
Paradigma hukum progresif dalam penerapanya sudah mempunyai dasar
hukum sebagaimana yang diberikan oleh UU No 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan kehakiman yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pada konteks itu, hakim diwajibkan
39 Sudikno Mertokusumo, Op cit, hlm.4540Ibid.41H .S. Mukhsin Asyrof, Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim
Dalam Proses Peradilan. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252, November 2006, hlm.7342 Ibid
2020
untuk menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.43
Dengan demikian Hakim tidak lagi tersenralisasi pada peraturan, tetapi pada
kreativitas dalam hal ini pada hakim dalam mengaktualisasi hukum dalam ruang
dan waktu yang tepat. Hal itu sebagaimana dinyatakan Satjipto Rahardjo, yang
menyebutkan bahwa para pelaku hukum, dapat melakukan perubahan yang kreatif
terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan
(changing the law) karena dapat dilakukan interpretasi. Selain itu, keadilan tidak
bisa secara langsung ditemukan melalui proses logis-formal. Keadilan justeru
diperoleh melalui intuisi. Karena itu, argumen logis-formal “dicari” sesudah
keadilan ditentukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang
diyakini adil tersebut.44
Satjipto Rahardjo, lebih lanjut menjelaskan bahwa paradigma Hakim harus
dirubah dari manusia untuk hukum menjadi hukum untuk manusia. Karena
hukum seharusnya bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum
ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia.
Inilah hukum progresif, yang menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan
hukum yang pro-rakyat. Selanjutnya menurut Hukum progresif, hakim sebagai
pelaku hukum, harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang
dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan
kebahagian), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan
hukum.45
Konsep hukum yang proresif menurut Satjipto Rahardjo, hukum tidak
mengabdi pada dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar
dirinya.46 Dengan demkian, hukum harus bersifat responsif. Regulasi hukum
akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual
aturan.
Hukum progresif, memiliki logika yang mirip dengan Legal Realism,
melihat dan menilai hukum dari tujuan-tujuan sosial yang ingin dicapainya serta
43 Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman44 Satjipto Rahardjo, Konsep dan Karakter Hukum Progresif , (Makalah) Seminar Nasional
I Hukum Progresif, Kerjasama Fakultas Hukum Undip, Program Doktor Ilmu Hukum Undip dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang, Desember, 2007
45 Ibid
46 Ibid.
2121
akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu, yang karenanya dari sudut
pandang etis, dapat disebut etika teleologis. Cara berpikir teleologis ini, bukan
tidak memperhatikan hukum. Aturan penting, tetapi itu bukan ukuran terakhir
yang lebih diutamakan adalah tujuan dan akibat. Sebab itu, pertanyaan sentral
dalam etika teleologis, adalah apakah suatu tindakan itu bertolak dari tujuan yang
baik, dan apakah tindakan yang tujuannya baik itu, juga berakibat baik. Dalam
pandangan hukum progresif, pelaku hukum harus memiliki kepekaan pada
persoalan-persoalan krusial dalam hubungan–hubungan manusia, termasuk
keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas; baik politik,
ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks ini, hukum progresif harus
tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan). Hukum progresif
yang menghendaki pembebasan dari tradisi keterbelengguan, memiliki kemiripan
dengan pemikiran Roscoe Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial
(social engineering). Usaha social engineering, dianggap sebagai kewajiban untuk
menemukan cara-cara yang paling baik bagi memajukan atau mengarahkan
masyarakat.47
Agar dapat memajukan dan mengarahkan masyarakat, maka dalam konteks
cara berpikir Hakim ketika memutuskan suatu perkara, mennurut Satjipto
Rahardjo, Hakim hendaknya berani melakukan breaking the rule. Jadi Hakim
jangan hanya merujuk pada hukum, tetapi tidak merujuk pada rasa keadilan dan
kondisi riil yang berkembang di masyarakat. Pandangan Satjipto Rahardjo
tersebut, menghendaki Hakim supaya lebih progresif dalam memutus perkara
dengan menggali nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Cara bekerja seperti
itulah yang dikenal sebagai Judicial Activism, yang menuntut daya pikir Hakim
yang tajam serta kepekaan terhadap permasalahan yang dihadapi.48
Pada peradilan manakah Judicial Activism dapat diterapkan? Berdasarkan
uraian di atas, penerapan Judicial Activism dalam peradilan tata usaha negara
menjadi terbuka karena peradilan tata usaha negara memiliki ciri khusus. Menurut
Paulus Effendie Lotulung, ciri khusus hukum administrasi (tata usaha
47 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis SertaPengalaman-Pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 16
48 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Bila Aktivisme Hukum Hakim Mati, diakses dari h tt p :/ / ww w . k or a n t e m po. c o m / k or a n t e m po / 2007 / 11 / 10 /O p i n i/ k r n ,200711 1 0,4 5 . i d. h t
2222
negara/pemerintahan) pada umumnya berkembang melalui putusan-
putusan pengadilan (hukum yurisprudensial) dan bukan hanya melalui doktrin
ataupun norma-norma tertulis, kodifikasi, dan sebagainya.49
Selain itu, menurut Paulus Effendie Lotulung dalam perspektif Hukum Tata
Usaha Negara, peran Judicial Activism sangat penting, karenanya dalam rangka
meningkatkan profesionalisme Hakim, selalu diingatkan bagi para Hakim
akan penerapan dan implementasi berbagai metode interpretasi, penghalusan
hukum, dan sebagainya, sebagai bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) dengan
cara-cara melakukan Judicial Activism, disertai komitmen yang kuat untuk
menegakkan hukum dan keadilan.50
Uraian tersebut, menunjukan bahwa seorang Hakim Tata Usaha Negara
melalui putusan-putusannya sangat diharapkan akan mampu membawa ke arah
perkembangan hukum, terutama dalam kaitannya antara hubungan
Negara/ Pemerintahan dengan warga negara yang diperintah. Dalam kondisi dan
situasi sistem hukum yang sedemikian itu makin sangat perlu dirasakan adanya
Judicial Activism dikalangan para Hakim untuk dapat mengisi kekosongan hukum
dalam menggapai keadilan dalam masyarakat.51
Demikian pula penerapan Judicial Activism dalam peradilan tata negara,
yang memungkinkan Hakim untuk tidak selalu berpikir yang legal-positivism,
yang hanya memaknai aturan (dalam hal ini menguji suatu undang-undangan yang
dianggap bertentangan dengan UUD 1945) secara formal tekstual, yang kerap
kalai mengabaikan keadilan.
Penerapan Judicial Activism dalam peradilan tata negara, terlihat misalnya
dalam melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang tercermin dalam
putusan dengan perkara No: 102/PUU-VII/2009 dan perkara No: 22-24/PUU-
VI/2008. Putusan Hakim memperlihatkan kemampuan Hakim yang mampu
melihat maksud dari kata-kata dalam konstitusi secara luas adalah putusan dengan
No. perkara: 102/PUU-VII/2009 dan perkara No: 22-24/PUU-VI/2008. Hakim
dalam putusan ini menggunakan teori Living Constitution, melihat masalah
49 Paulus Effendie Lotulung, Judicial Activism Dalam Konteks Peradilan Tata UsahaNegara, (makalah) disampaikan dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2011, hlm 3
50 Ibid, hlm 451 Ibid
2323
didasari kondisi kekinian. Putusan No.102/PUU-VII/2009 (Putusan Penggunaan
KTP) berkaitan dengan diperbolehkannya KTP sebagai identitas pemilih pada
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009.
Putusan 22-24/PUU-VI/2008 (Putusan suara terbanyak) berkaitan dengan
penentuan calon anggota legislatif terpilih melalui mekanisme suara terbanyak
bukan didasari kepada nomor urut. Sehingga anggota DPR, DPD, dan DPRD
terpilih adalah orang-orang yang benar-benar memperoleh tingkat eletabilitas
yang tinggi.
Putusan yang menggunakan pendekatan kontekstual tersebut disambut
antusias oleh masyarakat. Putusan suara terbanyak dan putusan penggunaan KTP
sama sekali tidak menimbulkan pertentangan oleh publik. Walaupun putusan
penggunaan KTP dilakukan pada hari-hari genting menuju Pemilu Presiden,
namun tidak satupun pihak dari pasang calon Presiden dan Wapres yang
mempertanyakan putusan tersebut. Demikian pula dengan putusan yang
berkenaan dengan suara terbanyak walaupun tidak terdapat kata suara terbanyak
dalam UUD 1945, namun Hakim memaknainya demikian. Mayoritas kalangan
berpendapat bahwa putusan ini telah sesuai dengan semangat demokrasi
sesungguhnya.
2424
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Dasar hukum Judicial Activism diatur dalam UUD 1945 dan ketentuan
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
b. Sebelas karakteristik Judicial Activism merupakan kata kunci dari
penerapan Judicial Activism dalam penegakan hukum di Indonesia,
sehingga penerapan Judicial Activism berbanding lurus dengan
karakteristik hakim, apabila kuat karakteristik hakimnya, maka
penerapan penegakan hukum yang berkeadilan akan terwujud,
begitupun sebaliknya makin lemah karakteristik hakim, maka semakin
lemah penerapan penegakan hukum yang berkeadilan.
2. Saran
Saran berisi mengenai hal-hal yang dapat disarankan pada pihak yaitu:
a. Dasar hukum Judicial Activism di Indonesia sebaiknya diperkuat
dengan peraturan perundang-undangan lain dan menjadikan Judicial
Activism sebagai “arus utama” dalam penegakan hukum dan keadilan.
b. Tradisi Hakim dalam penerapan Judicial Activism perlu terus didorong,
melalui cara berpikir yang tidak legal-positivism dalam penegakan
hukum. Untuk mencapai hal itu, diperlukan pengembangan program
peningkatan kapasitas Hakim sehingga karakteristik Judicial Activism
benar-benar sebagai bagian dalam diri Hakim dan tidak hanya dipahami
saja.
~ 0 ~
2525
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008.
Artidjo Alkostar, Hukum Pidana Serta Tuntutan Tegaknya Kebenaran dan
Keadilan,
(makalah) Bahan Rakernas Mahkamah Agung, Jakarta, 2012.
AR. Mustopadidjaja, Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN,
Makalah Seminar Pembangunan Nasional VIII, Penegakan Hukum
Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh BPHN
Departemen KeHakiman dan HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Asep Warlan Yusuf, Sebelas Karakteristik Judicial Activism (Keaktifan Hakim),
Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan bagi Pelatih (ToT)
Sertifikasi Hakim Lingkungan Tahap I 11-15 Desember 2011
Bagir Manan, Kekuasaan KeHakiman Republik Indonesia, LPPM-UNISBA
Bandung, 1995.
Bambang Sutiyoso Metode Penemuan Hukum, Universitas Islam Indonesia Press ,
Yogjakarta, 2006.
Banerjea (edt), Judicial Activism, Vikas Publishing House, New Delhi, 2002.
Bismar Nasution, Mencegah Korupsi dengan Keterbukaan, Majalah Hukum
Forum No.36, 9 Januari, 2005.
Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, ninth edition, Thomas Reuters, West
Publishing Co, 2009.
Danang Widoyoko, et. al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW, Jakarta,
2002.
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-Norma Bagi Penegak Hukum),
Penerbit Kanisius, Yogyakarta,1995.
Feri Amsari, Menghambat Laju Judicial Terorism Pada Putusan MK diaksess
dari http:// e n.wikip e di a .o r g /wiki / L ivin g _Constitutio n , di akses pada
tanggal 8 Februari 2013, 14:38 Wib.
Febiana Rima, Mafia Hukum dan Moralitas Penegak Hukum, artikel Suara
Pembaruan, 3 April 2010
2626
Gustav Rradbruch dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1990
Goh Bee Chen, Law Without Lawyers, Justice Without Courts, 2002
H.A. Mukhsin, Asyrof, Asas – Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum
oleh Hakim dalam Proses Peradilan, Majalah Hukum Varia Peradilan
Edisi No.252 Bulan November 2006, Ikahi, Jakarta. 2006.
Hans Kelsen Hans, Alih Bahasa Somardi, Teori Hukum Murni, Rindi Press, 1995.
H .S. Mukhsin Asyrof, Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh
Hakim Dalam Proses Peradilan. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No.
252, November 2006.
J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, cet. 22,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.
J.A. Pontier, Penemuan Hukum, (diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta), Jendela
Mas Pustaka, Bandung, 2008.
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan
Interpretasi Teks, UII Press, Yogyakarta, 2005.
Jean Bethke Elshtain, Roe v. Wade: Speaking the Unspeakable., dalam: Robert P.
George (Edt), Great Cases in Constitutional Law, Universal Law
Publishing Co.Pvt.Ltd., New Delhi, 2001.
Hans Kelsen, General Theory of Law And State, translated by Anders Wedberg,
New York: Russell & Russell A Division of Atheneum Publishers,
Inc., 1961.
Harold J. Laski, A Grammar of Politics, London: George, Allen & Unwin Ltd.,
1957
Johan Dwi Junianto, Judicial Activism Dalam Dinamika Pemikiran Hukum Hakim
Mahkamah Konstitusi: (Studi Terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 066/PUU-II/2004) Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang, Agustus 2009.
J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties, Grondbegrippen Uit De Rechtstheorie, Den
Haag, Kluwer-Deventer, 1993.
K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005
2727
M. Yahya Harahap, SH., Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Mardjono Reksodiputro, Reformasi Hukum di Indonesia, Seminar Hukum
Nasional Ke VII, BPHN Departemen KeHakiman dan HAM, Jakarta,
1999.
Moh. Mahfud MD, Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Di
Indonesia (Makalah) pada FGD tentang Penegakan Hukum yang
diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan pada Rabu, 12 Oktober 2011 di Hotel Sari
Pan Pasific, Jakarta.
S.P. Sathe, Judicial Activism in India, Transgressing Borders and Enforcing
Limits, Oxford University Press, New Delhi, 2002.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Stammler dalam Friedmann, Teori, Filasafat Hukum, Idealisme Filosofi Problema
Keadilan (Susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Sugijanto Darmadi, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Jakarta, 1998
Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 2001.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung,1993.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali, Jakarta, 1983.
Pan Mohamad Faiz, Konstitusi Dan Aktivisme Yudisial (artikel), Kolom Opini
Jurnal Nasional Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2009.
Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum
(makalah) Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional
Viii Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan
Berkelanjutan yang diiselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen KeHakiman Dan Hak Asasi Manusia RI,
Denpasar, 14 -18 Juli 2003
2828
Judicial Activism Dalam Konteks Peradilan Tata Usaha Negara,
(makalah) disampaikan dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun
2011
S.P. Sathe, Judicial Activism in India, Transgressing Borders and Enforcing
Limits, Oxford University Press, New Delhi, 2002.
Pontang Moerad, B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam
Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005.
Ridwan Khairandy, Makna, Tolok Ukur, Pemaknaan dan Sikap Pengadilan di
Indonesia Terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak, Jurnal
Hukum, Fakultas Hukum UII, No. Edisi Khusus, Vol. 16 Oktober
2009.
Russell, Peter H., and David M. O’Brien, Judicial Independence In The Age Of
Democracy, Critical Perspectives From Around The World, Toronto:
Constitutionalism & Democracy Series, McGraw-Hill, 1985.
T.Subarsyah Sumdikara, Penegakan Hukum Sebuah Pendekatan Hukum dan
Politik Kriminal, Kencana Utama, Februari, Bandung, 2010.
Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies Constitutional Court in
Asian Cases, Cambridge University Press, USA, 2003.
Wildan Suyuthi, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim, Pusdiklat
MA-RI: Jakarta, 2004.