Download - Jurnal Association New
Hubungan antara Atopi, Asma, Rhinokonjungtivitis Alergi,
Dermatitis Atopik dan Infeksi Cacing Usus pada Anak-anak Kuba
Meike Wo¨rdemann1, Raquel Junco Diaz2, Lenina Menocal Heredia2, Ana Maria Collado Madurga2, Aniran RuizEspinosa3, Raul Cordovi Prado3, Irai Atencio Millan3, Angel Escobedo4, Lazara Rojas Rivero3, Bruno Gryseels1,
Mariano Bonet Gorbea2 and Katja Polman
Ringkasan
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara infeksi cacing usus di masa lalu dan saat ini
dengan asma, rhinokonjungtivitis alergi, dermatitis atopik dan atopi.
Metode. Penelitian cross-sectional terhadap 1320 anak usia 4-14 tahun dari dua kota di
Kuba.
Infeksi cacing ditentukan dengan pemeriksaan tinja dan kuesioner kepada orangtua. Asma,
rhinokonjungtivitis dan dermatitis atopik didiagnosis berdasarkan kuesioner Studi
Internasional Asma dan Alergi Anak, pemeriksaan tambahan asma dengan spirometri, dan
atopi dengan skin prick test.
Hasil. Hasil kuesioner frekuensi asma sebanyak 21%, 14% untuk rhinokonjungtivitis
alergi, dan 8% untuk dermatitis atopik. Hasil spirometri, 4% menderita asma, 20%
memiliki hasil skin prick tes positif. Riwayat infeksi Enterobius vermicularis dikaitkan
dengan meningkatnya risiko dermatitis atopik (OR 1.88, P = 0.001) dan rhinokonjungtivitis
alergi (OR 1,34, P = 0,046), dan infeksi cacing tambang berkaitan dengan peningkatan
risiko rhinokonjungtivitis alergi (OR 2,77, P = 0,021). Pemeriksaan feses yang positif
untuk infeksi Ascaris lumbricoides tidak berhubungan dengan dermatitis atopik (OR 0,22,
P = 0,007). Asma dan atopik yang tidak berkaitan dengan infeksi cacing.
Kesimpulan. Infeksi A. lumbricoides yang terjadi saat ini melindungi anak-anak Kuba dari
infeksi dermatitis atopik, sedangkan infeksi E. vermicularis dan cacing tambang di masa
lalu merupakan faktor risiko untuk terjadinya rhinokonjungtivitis alergi dan / atau
dermatitis atopik. Tampaknya, interaksi yang terjadi tergantung pada jenis cacing, penyakit
atopik dan waktu terjadinya infeksi cacing.
Kata kunci. rhinokonjungtivitis alergi, asma, dermatitis atopik, atopik, infeksi cacing
1
Pendahuluan
Pengamatan sebelumnya menunjukkan bahwa di negara berkembang penyakit atopik
sangat umum terjadi dan infeksi cacing relatif jarang, begitu pula sebaliknya, hal ini
menimbulkan spekulasi bahwa kedua fenomena ini memiliki hubungan timbal balik.
Hipotesis luas dari keadaan ini adalah paparan infeksi cacing pada anak usia dini dapat
mengurangi risiko terjadinya alergi di usia dewasa (hygiene hypotesis). Bagaimanapun
juga, hubungan antara penyakit atopik dan infeksi cacing masih belum jelas dan
kontroversial (Nyan et al. 2001; Sharghi et al. 2001; Palmer et al. 2002; Cooper et al. 2004;
Van den Biggelaar et al. 2004).
Kebanyakan penelitian terdahulu meneliti tentang hubungan infeksi cacing usus
dengan asma dan atopi, dan hanya sedikit yang diketahui tentang hubungannya dengan
gejala atopik lainnya seperti dermatitis atopik dan rhinokonjungtivitis alergi (Huang et al.
2002; Schäfer et al. 2005). Selain itu, mereka memfokuskan pada pemaparan infesi cacing
saat ini, sehingga untuk mengidentifikasi urutan kejadian antara dua fenomena. Dalam studi
ini, kami memeriksa hubungan infeksi cacing usus di masa lalu dan saat ini dengan asma,
dermatitis atopik, rhinokonjungtivitis alergi dan atopik di antara anak-anak sekolah di dua
kota di Kuba dimana sering terjadi infeksi cacing dan tingkat penyakit atopik dilaporkan
sangat tinggi (Masoli et al. 2004; Wördemann et al. 2006a). Kami juga menyelidiki
kontribusi faktor risiko umum lainnya yang ditemukan terkait dengan penyakit dan / atau
Atopik dalam buku acuan (Bufford & Gern 2005).
Metode
Kelompok Studi
Studi cross sectional dilakukan antara tahun 2003 dan 2004 di San Juan Martin, kota yang
terletak di Barat Kuba dan di Fomento, sebuah kotamadya di pusat pulau. Di San Juan
Martin semua anak (n = 398) dari lima SD, dan di Fomento semua anak (n = 922) dari 14
sekolah dasar termasuk dalam penelitian. Menggunakan Survey Select, SAS version 8.0
(SAS Institute Inc., Cary, NC, USA), sekolah dipilih secara acak setelah stratifikasi untuk
area kotamadya (San Juan y Martinez atau Fomento) dan daerah (Perkotaan atau pedesaan);
semua anak dari sekolah masing-masing disertakan. Kedua kotamadya merupakan daerah
2
pegunungan pedesaan yang dilaporkan endemik untuk kecacingan (Escobedo et al. 2007;
Wördemann et al. 2006b).
Surat persetujuan tertulis diperoleh dari orang tua setiap anak. Studi ini disetujui
oleh komite etis Institute of Tropical Medicine Belgia, Pedro Kouri Institut Kedokteran
Tropis (IPK) dan Institut Nasional untuk Kebersihan, Epidemiologi dan Mikrobiologi
(INHEM) di Havana, Kuba.
Desain Studi
Semua anak yang berpartisipasi dilakukan spirometri sebelum dan setelah latihan, skin
prick test dan pemeriksaan tinja. Selain itu, orang tua atau wali dari masing-masing anak
diwawancarai menggunakan versi diperpanjang dari kuesioner standar versi Spanyol dari
ISAAC (Asher et al. 1995). Definisi penyakit atopik menggunakan ketetapan ISAAC :
asma yang terjadi saat ini didefinisikan sebagai jawaban afirmatif pertanyaan kedua ISAAC
tentang asma tentang riwayat asma saat ini (The ISAAC Steering Committee 1998);
rhinokonjungtivitis alergi didiagnosis seperti yang didefinisikan oleh Strachan et al. (1997)
dan dermatitis atopik seperti yang didefinisikan oleh Williams et al. (1999) (jawaban
afirmatif untuk pertanyaan kedua dan ketiga pertanyaan dari Ishak atau kuesioner
dermatitis rhinitis). Pertanyaan tambahan diberikan untuk faktor-faktor yang mungkin
berhubungan dengan sensitisasi alergi atau penyakit atopik sesuai literatur (Bufford & Gern
2005): asupan antibiotik selama tahun pertama kehidupan, kepemilikan atau riwayat kontak
hewan peliharaan saat ini, gastroesophageal reflux (baik sering muntah, atau pyrosis, atau
napas berbau masam, atau biasa menolak makan pada masa bayi), merokok di rumah
tangga, riwayat keluarga atopik (atopik dari ayah, ibu atau saudara kandung), tempat
penitipan anak pra sekolah dan riwayat minum ASI saat bayi.
Atopik didefinisikan sebagai reaksi skin prick tes positif paling tidak terhadap salah
satu alergen yang diteskan. Skin prick tes dilakukan menggunakan ekstrak dari tujuh
alergen yang telah digunakan di seluruh dunia oleh ISAAC (Dermatophagoides
pteronyssinus , D. onyssinus, D. farinae, cat dander, mixed tree, mixed grass, farinae,
Alternaria alternata, dan kecoa) yang diproduksi oleh ALK, Nieuwegein, Belanda.
Histamin (10 mg / ml) digunakan sebagai kontrol positif dan larutan alergen encer sebagai
3
kontrol negatif. Larutan ekstrak dan kontrol ditempatkan di sisi volar lengan kiri
menggunakan Alk lancets yang berbeda. Respon kulit diukur setelah 15 menit, dengan
perbandingan dimensi terbesar (3 mm atau lebih besar) terhadap reaktivitas dari kontrol
larutan alergen encer sebagai reaksi positif.
Untuk menunjukkan hyperresponsiveness bronkial (BHR), dilakukan spirometri
sebelum dan 5 dan 10 menit setelah olahraga (lari selama 6 menit) sesuai pedoman ATS
(The American Thoracic Society, Medical Section of the American Lung Association
Masyarakat 1987; The American Thoracic Society 2000) pada semua anak (4-14 tahun)
menggunakan spirometer portabel (Spirobank, MIR, Roma, Italia). Jika di FEV1 awal lebih
rendah dari 70% dari nilai prediksi seperti yang didefinisikan oleh the European
Respiratory Society and Knudson et al. (1976), atau jika FEV1 turun lebih dari 15%, baik 5
atau 10 menit setelah latihan, spirometri dianggap abnormal. Dalam kasus seperti anak
menerima bronkodilator untuk membantu pemulihan, dan spirometri diulangi setelah 20
menit untuk memastikan bahwa semua anak mencapai nilai FEV1 awal lagi.
Satu sampel tinja segar diambil dari tiap anak, satu untuk dilakukan smear dan yang
kedua untuk dilakukan pemeriksaan Kato Katz 25 mg (Katz et al. 1972). (Katz et al). 1972.
Infeksi cacing yang sedang terjadi didefinisikan dengan keberadaan telur cacing (Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, hookworm or Enterobius vermicularis) yang terdeteksi
oleh salah satu dari dua metode. Selanjutnya, riwayat infeksi cacing sebelumnya dicatat
untuk setiap sampel. Para orang tua ditanya apakah mereka anak pernah mengalami infeksi
parasit, dan jika ya, ditanyakan jenis parasitnya. Jika orang tua tidak tahu nama parasitnya,
maka diminta untuk menjelaskan penampilan parasitnya (misalnya lombrices pequenos
atau lombricillas untuk 'cacing putih kecil', yaitu E. vermicularis, atau blancos lombrices
Grandes untuk 'cacing putih besar", yaitu A. lumbricoides ). Tidak ada gambar yang
digunakan.
Perhitungan statistik menggunakan STATA versi Intercooler digunakan untuk
Windows. Nilai P <0,05 dianggap signifikan secara statistik. Analisis statistik disesuaikan
dengan desain sampling menggunakan sekolah sebagai unit sampling primer. Kedua kota
(San Juan y atau Fomento) dan jenis daerah (pedesaan/perkotaan), termasuk dalam
stratifikasi variabel. Faktor-faktor yang signifikan pada analisis univariat dilakukan analisis
4
regresi logistik bertahap disesuaikan dengan usia (linear), jenis kelamin, kota, daerah dan
pendapatan rumah tangga (≤ 250 peso atau > 250 peso).
Hasil
Sebanyak 1.320 anak digunakan sebagai sampel dari 19 sekolah. Rata-rata usia anak-anak
yang berpartisipasi 4-14 tahun (median 8 tahun); 679 anak laki-laki (51%) dan 641
perempuan (49%). Tingkat Respon terhadap kuesioner 100% dan 99-100% untuk tes lain
(1319/1320 untuk skin prick test, 1308/1320 untuk spirometri). Dari 1313 anak-anak yang
memberikan sampel feses, 83 (6%) positif untuk A. lumbricoides, 126 (10%) untuk T.
trichiura, 121 (9%) untuk cacing tambang, dan 36 (3%) untuk E. vermicularis ; 295 (22%)
anak-anak positif pada paling tidak salah satu dari cacing.
Perhitungan geometri jumlah telur cacing untuk anak-anak yang positif adalah 947,1 telur
per gram tinja (EPG) untuk A. lumbricoides, 133,6 EPG untuk T. trichiura dan 210,5 EPG
untuk cacing tambang; telur E. vermicularis tidak dihitung. Dari 1320 anak-anak yang
orang tuanya diwawancarai, 349 (26%) memiliki riwayat terinfeksi A. lumbricoides, 5
(<1%) untuk T.trichiura, 39 (3%) untuk cacing tambang dan 763 (58%) untuk E.
vermicularis. 279 (21%) dari anak-anak mengalami asma, 54 (4%) hasil spirometri
abnormal, 267 (20%) menunjukkan reaksi positif terhadap skin prick tes, 179 (14%)
menderita rhinokonjungtivitis alergi seperti yang didefinisikan oleh Strachan dan 110 (8%)
menderita dermatitis atopik seperti yang didefinisikan oleh Williams.
Setelah dilakukan penyesuaian untuk usia, jenis kelamin, kota, perkotaan/pedesaan,
latar belakang dan pendapatan, riwayat infeksi cacing tambang yang berkaitan dengan
peningkatan risiko rhinokonjungtivitis alergi, dan riwayat infeksi E. vermicularis
vermicularis dengan peningkatan risiko dermatitis atopik dan alergi rhinokonjungtivitis.
Hasil pemeriksaan positif terhadap A. lumbricoides berbanding terbalik dengan dermatitis
atopik. Trichuris trichiura tidak menyebabkan dampak yang signifikan pada salah satu
penyakit atopik, baik melalui kuesioner atau dengan pemeriksaan. Reaktivitas skin prick
tes, asma dan hasil spirometri tidak berhubungan secara bermakna dengan salah satu cacing
yang diperiksa setelah dilakukan multiple regression (Tabel 1and 2).
5
6
Diskusi
Meskipun telah terbukti bahwa infeksi cacing dan penyakit atopi saling berkaitan secara
terbalik (Scrivener et al. 2001; Cooper et al. 2004; Van den Biggelaar et al. 2004) tetapi
hubungan antara keduanya masih tidak jelas (Palmer et al. 2002). Penelitian sebelumnya
menunjukkan hal yang bertentangan yaitu baik helminthiases karena penyebab apapun
(Palmer et al. 2002), menghambat (Scrivener et al;. 2001 Cooper et al. 2004; Van den
Biggelaar et al. 2004) atau tidak terkait dengan penyakit atopik (Sharghi et al;. 2001 Davey
et al. 2005; Cooper et al. 2006); atau bahwa penyakit atopik melindungi dari infeksi cacing
(Nyan et al. 2001). Penelitian kami menegaskan adanya hubungan yang berbeda antara
infeksi cacing dan penyakit atopik, gejala yang tampak tergantung pada jenis infeksi cacing
dan penyakit atopik. Selain itu, waktu infeksi cacing tampaknya ikut berperan seperti yang
ditunjukkan hasil kuesioner dibandingkan hasil pemeriksaan tinja. Sayangnya, data
sebelum pemeriksaan tinja tidak tersedia, jadi kami harus mengandalkan kuesioner untuk
memperoleh informasi tentang riwayat infeksi cacing pada anak-anak seperti yang telah
7
dilakukan oleh peneliti lain (Palmer et al. 2002; Schäfer et al. 2005). Namun kami
menyadari keterbatasan pendekatan ini. Metode ini kurang spesifik dan tidak peka, dengan
risiko hanya mengukur gejala yang tampak jelas dan pengaruh infeksi cacing berat. Desain
penelitian cross-sectional dan informasi yang potensial dan bias ingatan pasien pada saat
mengisi kuesioner menyebabkan tidak dapat membuat hubungan temporal yang kuat. Studi
longitudinal merupakan pendekatan yang lebih valid untuk memeriksa sebab-akibat yang
berhubungan antara infeksi cacing dan penyakit atopi. Namun demikian, kita berpikir
bahwa data yang kami lakukan memberikan indikasi pentingnya waktu investasi cacing
dalam hubungan ini. Secara umum, hasil cross sectional memiliki nilai penting dalam
desain longitudinal yang baru.
Kami menemukan adanya hubungan negatif antara infeksi A. lumbricoides yang
terjadi saat ini dengan dermatitis atopik, hal ini menunjukkan bahwa A. lumbricoides dapat
melindungi terhadap dermatitis atopik. Namun, hubungan terbalik tidak dapat
dikesampingkan, terutama sejak riwayat infeksi A. lumbricoides did lumbricoides tidak
mempunyai efek pada dermatitis atopik. Hubungan terbalik antara infeksi cacing dengan
dermatitis atopik telah dilaporkan oleh Schafer et al. (2005), peneliti ini menggunakan data
kuesioner tentang riwayat dermatitis atopik dan investasi cacing sebagai pertanyaan
tambahan pada pertanyaan onset kejadian. Mempertimbangkan urutan terjadinya dermatitis
atopik dan waktu investasi cacing, mereka menemukan bahwa investasi cacing sebelumnya
berhubungan negatif dengan dermatitis atopik dan riwayat dermatitis atopik sebelumnya
juga berhubungan negatif dengan investasi cacing saat ini.
Data mengenai hubungan antara parasit usus dan dermatitis atopik dan
rhinokonjungtivitis alergi sulit untuk ditemukan (Huang et al. 2002; Schäfer et al. 2005).
Kami menemukan riwayat infeksi E. vermicularis berhubungan dengan peningkatan risiko
rhinokonjungtivitis alergi dan dermatitis atopik, pernyataan yang terakhir berbeda dengan
Schafer et al., yang melaporkan adanya hubungan negatif antara riwayat investasi E.
vermicularis sebelumnya dan dermatitis atopik di anak-anak sekolah di Jerman Timur.
Kami tidak menemukan hubungan apapun antara riwayat infeksi E. vermicularis
saat ini dengan dermatitis atopik atau rhinokonjungtivitis alergi. Huang et al. (2002)
memiliki hasil yang sama untuk dermatitis atopik, tetapi dilaporkan hubungan yang negatif
8
dengan rhinitis alergi dan asma. But in Huang's study current Tapi pada penelitian Huang,
infeksi E. vermicularis saat ini didasarkan pada pemeriksaan pita. Kami hanya
menggunakan pemeriksaan tinja, yang kurang sensitif (Tsibouris et al banyak. 2005)
sehingga dengan demikian dapat menjelaskan kurangnya pengaruh infeksi E. vermicularis
vermicularis saat ini pada penyakit atopik dalam populasi penelitian kami.
Dalam populasi penduduk Kuba yang kami teliti, riwayat infeksi cacing tambang
berkaitan dengan peningkatan risiko rhinokonjunktivitis alergi. Sepanjang pengetahuan
kami, kami adalah yang pertama yang menemukan hubungan antara infeksi cacing tambang
dan rhinokonjungtivitis alergi. Trichuris trichiura ini tidak terkait dengan penyakit atopik.
Hasil ini sejalan dengan hasil Dagoye et al. (2003) yang menemukan T. trichiura tidak
berhubungan dengan kejadian asma, berbeda dengan cacing lain. Terutama cacing yang
memiliki fase sistemik dalam siklus hidup mereka dapat mempengaruhi penyakit atopik
(Scrivener et al. 2001; Dagoye et al. 2003).
Asma pada anak-anak Kuba ini tidak terkait dengan helmintiasis, baik didefinisikan
sebagai asma saat ini atau dari hasil spirometri yang abnormal.
spirometry. Persentase anak-anak dengan bronkial hyperresponsiveness yangditemukan
dengan spirometri (4%) berbeda jauh dengan mereka yang dilaporkan sedang menderita
asma saat ini oleh orang tuanya (21%), sebagaimana telah dilaporkan sebelumnya
(Wördemann et al. 2006a). Kedua metode memiliki keterbatasan dan kegunaan mereka
untuk mendiagnosis asma, baik secara terpisah atau bersama-sama, masih diperdebatkan
(Demissie et al. 1998; Remes et al. 2002; Gruchalla et al. 2003). Reaktivitas skin prick test
juga tidak terpengaruh oleh cacing, hal ini sesuai dengan penelitian Palmer et al. (2002) dan
Cooper et al. (2006). Reaktivitas skin prick tes dalam kaitannya dengan infeksi cacing
mungkin tergantung pada intensitas dan kronisitas dari infeksi cacing, seperti infeksi cacing
yang kronis dan berat dapat melindungi dari atopi (Lau & Matricardi 2006). Jadi kurangnya
efek infeksi cacing terhadap uji tusukan kulit dalam penelitian kami dan Palmer et al.
(2002) dan Cooper et al. (2006) mungkin karena rendahnya intensitas dan prevalensi yang
terinfeksi saat di skin pricktest dibandingkan hasil penelitian lain yang menyatakan
hubungan terbalik antara infeksi cacing dengan penyakit atopik (Cooper et al. 2003; Van
den Biggelaar et al. 2004).
9
Kami juga memeriksa efek dari faktor risiko umum lainnya untuk penyakit atopik
dan/atau atopik (Bufford & Gern 2005). Pemakaian antibiotik selama tahun pertama
kehidupan secara signifikan berhubungan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya asma,
dermatitis atopik dan rhinokonjungtivitis alergi dalam populasi penelitian kami. Interferensi
dari konsumsi antibiotik dengan flora usus dan dampak selanjutnya terhadap perkembangan
penyakit atopik atopik telah diusulkan sebelum (Hart et al. 2002). Namun hubungan antara
asupan antibiotik dan penyakit atopik juga bisa terbalik, yaitu meningkatnya asupan
antibiotik karena gejala alergi keliru didiagnosis sebagai infeksi bakteri atau karena infeksi
saluran pernapasan yang membutuhkan perawatan antibiotik pada anak dengan asma,
seperti yang disarankan oleh Bufford dan Gern (2005). Gejala refluks dikaitkan dengan
rhinokonjungtivitis alergi dan asma saat ini. Penelitian terakhir telah ditemukan oleh
Nordenstedt dan et al. (2006) di Norwegia juga tampaknya karena reaktivitas bronkial yang
meningkat dan mikroaspirasi pada pasien dengan refluks.
Riwayat kontak dengan binatang berhubungan negatif yang dengan dermatitis
atopik. In literature animal contact is generally Pada literatur, riwayat kontak dengan
binatang secara umum digambarkan memiliki efek perlindungan terhadap penyakit atopik
(Bufford & Gern 2005). Faktor risiko lainnya, seperti minum ASI, saudara kandung,
keadaan tempat penitipan anak, merokok di rumah tangga, kepemilikan hewan peliharaan
atau kontak selama tahun pertama kehidupan tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap penyakit atopik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hubungan antara faktor
resiko yang disebutkan di atas dan penyakit atopik sering tidak konsisten (Bufford & Gern
2005).
Simpulan
Infeksi A.lumbricoides saat ini melindungi anak-anak Kuba terhadap dermatitis atopik,
sementara riwayat infeksi E. vermicularis dan cacing tambang sebelumnya merupakan
faktor risiko untuk rhinokonjungtivitis dan / atau dermatitis atopik.
Sepertinya, perbedaan interaksi tergantung pada jenis cacing dan penyakit atopik dan waktu
investasi cacing.
10
Referensi
1. Asher MI, Keil U, Anderson HR et al. (1995) International study of asthma and
allergies in childhood (ISAAC): rationale and methods. European Respiratory Journal
8, 483–491.
2. Bufford JD & Gern JE (2005) The hygiene hypothesis revisited. Immunology and
Allergy Clinics of North America 25, 247–262.
3. Cooper PJ, Chico ME, Rodrigues LC et al. (2003) Reduced risk of atopy among
school-age children infected with geohelminth parasites in a rural area of the tropics.
Journal of Allergy and Clinical Immunology 111, 995–1000.
4. Cooper PJ, Chico ME, Rodrigues LC et al. (2004) Risk factors for atopy among school
children in a rural area of Latin America. Clinical and Experimental Allergy 34, 845–
852.
5. Cooper PJ, Chico ME, Vaca MG et al. (2006) Effect of albendazole treatments on the
prevalence of atopy in children living in communities endemic for geohelminth
parasites: a clusterrandomised trial. Lancet 367, 1598–1603.
6. Dagoye D, Bekele Z, Woldemichael K et al. (2003) Wheezing, allergy and parasite
infection in children in urban and rural Ethiopia. American Journal of Respiratory and
Critical Care Medicine 167, 1369–1373.
7. Davey G, Venn A, Belete H, Berhane Y & Britton J (2005) Wheeze, allergic
sensitization and geohelminth infection in Butajira, Ethiopia. Clinical and
Experimental Allergy 35, 301–307.
8. Demissie K, White N, Joseph L & Ernst P (1998) Bayesian estimation of asthma
prevalence, and comparison ofexercise and questionnaire diagnostics in the absence of
a gold standard.
9. Annals of Epidemiology 8, 201–208. Escobedo AA, Can˜ ete R & Nu´n˜ ez FA (2007)
Intestinal protozoan and helminth infections in the Municipality San Juan y Martınez,
Pinar del Rı´o, Cuba. Tropical Doctor 37, 236–238.
11