Download - Jurnal Fisika Dan Terapannya
JURNAL FISIKA DAN TERAPANNYA VOLUME 1, NOMOR 4, DESEMBER 2013 Penanggung Jawab Prof.,Drs., Win Darmanto, M.Si,Ph.D. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Indonesia Dewan Redaksi (Editorial Board): Ketua : Drs. Siswanto, M.Si. Wakil Ketua: Dr. Retna Apsari, M.Si. Anggota : Dr. Suryani Dyah Astuti, M.Si.
Mohammad Faried, ST.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayahNya
semata jurnal online edisi pertama ini dapat diterbitkan.
E-jurnal “Fisika dan Terapannya” ini merupakan media publikasi bagi sivitas di
lingkungan departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Selain
itu melalui media ini diharapkan dapat mencegah terjadinya praktek plagiasi dalam penelitian.
Pada edisi pertama ini, diterbitkan sepuluh makalah hasil penelitian mahasiswa dari program
studi S1 Fisika dan program studi Teknobiomedik, masing-masing memberikan sumbangan
lima makalah. Topik makalah dari prodi S1 Fisika meliputi bidang biofisika, fisika material,
fotonik dan komputasi, sedangkan topik makalah dari prodi teknobiomedik meliputi bidang
biomaterial dan instrumentasi medis . Hal ini sesuai dengan kelompok bidang keahlian (KBK)
yang dikembangkan pada kedua program studi tersebut.
Semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.
Ketua Departemen Fisika
FST Universitas Airlangga
Drs. S i s w a n t o, M.Si.
Jurnal Fisika dan Terapannya (Journal of Physics and Application)
DAFTAR ISI
Aditta Putri Aulia H. Analisis Profil Potensial Listrik Pada Titik 1 Welina Ratnayanti Akupuntur Untuk Diagnosis Diabetes Mellitus Tri Anggono P Ahmad Zaini Arif Aplikasi Serat Optik Sebagai Indikator 18 Samian Ketinggian Cairan Dengan Metode Deteksi Daya Supadi Rugi Optis Akibat Pelengkungan Dan Pemolesan Aziza Anggi Maiyanti Sintesis dan Karakterisasi Sifat Mikroskopik 26 Jan Ady Keramik Batako dengan Variasi Penambahan Djoni Izak R Sekam Tebu Cicilia Maya Christanti Pengaruh Variasi Holding Time Pada Proses 36 Dyah Hikmawati Laku Panas Terhadap Sifat Fisis Material Djoni Izak R Baja 2436 Fita Fitria Penentuan Respon Optimal Fungsi 41 Wellina Ratnayanti K Penglihatan Ikan Terhadap Panjang Gelombang Tri Anggono P. Dan Intensitas Cahaya Tampak Aditya Iman Rizqy Studi Infiltrasi Tubulus Dentin Berbasis 47 Aminatun Hidroksiapatit yang Berpotensi untuk Terapi Prihartini Widiyanti Dentin Hipersensitif Agnes Krisanti W. Sintesis dan Karakterisasi Kolagen dari 58 Adri Supardi Tendon Sapi (Bos Sondaicus ) sebagai Bahan Prihartini Widiyanti Bone Filler Komposit Kolagen – Hidroksiapatit Sabrina Ifahdini S Perancangan Aplikasi Audiometer Nada 70 Adri Supardi Murni Dan Tutur untuk Diagnosis Pendengaran Franky Chandra S.A. Thieara Ramadanika Rancang Bangun Heart Rate Monitoring- 88 Delima Ayu S Device (HRMD) Sebagai Pemantau Bradikardi Retna Apsari Dan Takikardi Berbasis Mikrokontroller Wida Dinar Tri Meylani Sintesis Dan Karakterisasi Hidroksiapatit 98 Djoni Izak R Makropori Untuk Aplikasi Bone Filler Siswanto
Volume 1, Nomor 4, DESEMBER 2013
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 1
Analisis Profil Potensial Listrik Pada Titik Akupuntur Untuk
Diagnosis Diabetes Mellitus
Aditta Putri Aulia Haqque, Welina Ratnayanti, Tri Anggono P
Laboratorium Biofisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas
Airlangga, Surabaya 60115
Abstract
The aim of this research is to analyze electrical potential profile on the acupoint betwen
healty people and the patient of diabetes mellitus type II. Administering data have done
by recording electrical potential profile on the acupoints: Feishu, Xinshu, Ganshu, Pishu,
and Shenshu to the 10 healthy people and the 10 people with diabetes mellitus based on
the second data observation at the Local Government Clinic Mulyorejo, Surabaya.
Potential profile of the organs has the electrical signals form. It was achieved by the
result of electrical potential which is based time recording. Recording time was done
during 100 second. The results couldn't be differentiated significantly, so it needs the
other signals processing with FFT analyze method with cutting as the data frames. It was
done every 3,29 second. Based on the result of analyzing the amplitude each frequency
group, the significant differences are on the acupoint Feishu: 348-352 Hz, on the acupoint
Xinshu 1-5 Hz, on the acupoint Ganshu 248-252 Hz. According to the preference, it was
found that the electrical potential profile on the acupoints of the healthy people has lower
amplitude than the people with diabetic mellitus. So, analyze of electrical potential profile
on the acupoints can be used for diabetes mellitus diagnose.
Keywords : electrical biopotential, acupoint, diabetes mellitus, FFT.
2 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus baru disadari oleh penderitanya ketika kadar gula darah meningkat
hingga ≥ 200 mg/dl. Setiap tahun jumlah penderita diabetes mellitus semakin meningkat.
Menurut laporan WHO, jumlah penderita diabetes mellitus di dunia pada tahun 1987
kurang lebih 30 juta. Pada bulan November 1993, jumlah penderita diabetes mellitus di
dunia meningkat hingga menjadi 100 juta lebih dengan prevalensi 6%. Pada tahun 1994,
jumlah penderitanya di dunia mencapai 110,4 juta, pada tahun 2000 meningkat kurang
lebih 1,5 kali lipat menjadi sekitar 175,4 juta, pada tahun 2010 meningkat kurang lebih 2
kali lipat menjadi sekitar 239,3 juta, dan hingga tahun 2020 diperkirakan menjadi 300 juta
(Tjokroprawiro dkk, 2007).
Pengertian diabetes mellitus adalah suatu kelainan metabolisme yang ditandai
dengan kadar gula darah yang tinggi akibat pankreas yang tidak dapat menghasilkan
insulin. Metode diagnosis yang umum digunakan untuk mendeteksi kadar gula dalam
darah seperti tes kuantitatif laboratorium glukosa urin, tes kuantitatif kadar glukosa darah
puasa, serta uji toleransi memerlukan waktu dan biaya yang dirasakan oleh sebagian
masyarakat menjadi salah satu masalah sehingga sebagian masyarakat terlambat
mendeteksi dini kenaikan kadar glukosa dalam darah. Sehingga pada akhirnya
menyebabkan penderita diabetes mellitus semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Akupunktur merupakan cara pengobatan tradisional dengan memasukkan atau
memanipulasi jarum ke dalam titik akupunktur tubuh. Titik akupunktur adalah titik yang
mempunyai sifat aktif listrik dengan karakteristik “High Voltage Low Resistance”.
Permukaan tubuh tempat titik akupunktur memiliki resistansi yang rendah sehingga dapat
mengalirkan beda potensial yang lebih tinggi dibangdingkan dengan permukaan tubuh
yang bukan titik akupunktur. Rangsangan dari titik akupunktur lebih didasarkan pada
kenyataan biofisika bahwa dasar aktif listrik antar sel ke arah organ sasaran. Titik
akupunktur sebagai model reseptor fungsional dua arah dimana salah satu bioinformasi
tubuh dapat dimanfaatkan untuk kepentingan terapi dan diagnosis dalam bidang
kedokteran (Saputra, 2002). Sedangkan meridian sebagai jalur spesifik menuju ke organ
target dari suatu titik akupunktur yang terdapat pada permukaan kulit.
Dengan adanya hubungan antara titik akupunktur dengan organ yang dituju, maka
akan dapat diketahui aktivitas kelistrikan organ tersebut dari analisis sinyal yang
dihasilkan di titik akupunktur. Telah dilakukan penelitian sebelumnya mengenai analisis
profil potensial listrik pada titik akupunktur untuk diagnosis fungsional organ. Analisis
profil potensial listrik pada titik akupunktur untuk mengetahui kelainan fungsi organ telah
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 3
dilakukan oleh Puspa Erawati (2004). Penelitian ini memanfaatkan aktifitas kelistrikan
dari organ melalui titik akupunktur untuk diamati kemudian profil potensial listriknya
dijadikan sebagai indikator kelainan fungsional organ. Sedangkan pada penelitian yang
akan dilakukan menggunakan titik akupunktur sebagai titik yang menghubungkan sifat
aktif listrik organ yang ingin diketahui aktivitas listrik dari organ-organ yang terkait
dengan penyakit diabetes mellitus (melalui meridian kandung kemih) sehingga profil
kelistrikannya dapat digunakan untuk diagnosis dini penderita diabetes mellitus. Dalam
penelitian ini akan digunakan titik akupunktur yang spesifik ke organ meridian Shu
belakang, yaitu titik Feishu (Paru), Xinshu (Jantung), Ganshu (Hati), Pishu (Limpa), dan
Shenshu (Ginjal). Profil potensial listrik pada titik akupunktur yang diperoleh akan
dianalisis sinyal hingga dapat diperoleh hasil yang dapat memperlihatkan perbedaan
secara nyata profil potensial listrik pada kondisi sehat dan pada kondisi diabetes mellitus.
Dengan dapat dibedakannya profil potensial listrik kedua kondisi ini diharapkan dapat
menjadi suatu metode diagnosis baru menggunakan prinsip fisika dan dapat mengetahui
implementasi serta pentingnya prinsip fisika dalam metode penelitian khususnya analisis
sinyal.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian primer, observasional, dan bersifat analitik
dengan pendekatan yang dilakukan bersifat transversal atau cross sectional yaitu sekali
pengambilan data pada saat tertentu dan tidak simultan. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel bebas : kadar gula darah testi
2. Variabel terikat : profil potensial listrik testi (dalam frekuensi dan amplitudo)
3. Variabel terkendali : titik akupuntur yang terkait dengan penyakit diabetes dan
gejalanya serta waktu perekaman profil potensial listrik.
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 orang testi sehat yang
dibuktikan dengan tes kadar gula darah dan penelusuran riwayat kesehatan dengan
metode wawancara, dan 10 orang testi testi penderita diabetes mellitus yang
direkomendasikan oleh Puskesmas Mulyorejo dan Dinas Kesehatan Kota Surabaya serta
dibuktikan dengan tes kadar gula darah. Alur penelitian yang dilakukan digambarkan
dalam bagan diagram berikut :
4 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Gambar 1. Alur Penelitian
Tanpa memberikan perlakuan apapun kepada kedua kelompok testi, masing-masing
anggota kelompok kedua testi diuji kadar gula darahnya kemudian dilakukan pemasangan
elektrode untuk perekaman biopotensial pada titik-titik akupunktur yang berhubungan
dengan organ yang terkait dengan penyakit diabetes mellitus. Titik-titik yang digunakan
adalah titik Feishu (terkait organ paru), Xinshu (terkait organ jantung), Ganshu (terkait
organ Hati), Pishu (terkait organ Limpa), dan Shenshu (terkait organ Ginjal).
Gambar 2. Letak titik-titik akupuntur meridian Shu belakang.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 5
Alat perekam biopotensial yang digunakan bekerja dengan prinsip perekaman
biopotensial dengan EMG. Perekaman biopotensial menggunakan prinsip dari EMG
(Electromyography). EMG (Electromyography) merupakan pemeriksaan syaraf tepi dan
otot (Widjaja, 2012). Sinyal EMG mempunyai sifat random karena sangat bergantung
kepada ukuran, bentuk, dan penempatan elektroda pada permukaan dari bagian yang akan
diuji. Sinyal EMG mempunyai rentang amplitudo sebesar 0,10 mV, dengan dominan
pada 200-400 mikrovolt. Sinyal EMG mempunyai rentang frekuensi yang lebar antara
20-500 Hz, sehingga untuk proses perekaman diperlukan rangkaian penguat yang besar.
Frekuensi cut off high 500 Hz digunakan untuk menapis frekuensi tinggi. Sinyal
bioelektrik sangat rentan terhadap derau (noise), yang muncul dari interfrensi jala-jala
listrik, gerakan tubuh dan frekuensi radio (Cromwell L., dkk, 1976).
Sinyal dideteksi pada dua sisi dari elektrode positif dan negatif yang dipasang,
rangkaian elektrik mendapatkan beda tegangan antara kedua sisi kemudian dikuatkan
beda tegangannya. Sebagai hasilnya, sinyal manapun yang common pada kedua sisi akan
dihilangkan, dan sinyal yang berbeda pada kedua sisi akan memiliki differensial yang
kemudian dikuatkan. Sinyal yang munculnya jauh dari organ yang dideteksi akan tampak
sebagai sinyal biasa, dimana sinyal yang berada disekitar area akan berbeda pada
konfigurasi ini (Carlo dan Deluca, 2000). Sinyal yang diperoleh rentan terhadap derau
(noise). Hal tersebut dikarenakan, elektrode yang digunakan merupakan elektrode non-
invasif sehingga sangat mudah terjadi gangguan yang berasal dari adanya gangguan
inheren komponen elektronik, gangguan dari sumber radiasi seperti transmisi,
ketidakstabilan sinyal yang bersifat inheren karena sinyal EMG bersifat random,
ketidakstabilan penempatan selama masa perekaman, atau masuknya sinyal dari
komponen tubuh lain di dekat penempatan elektrode yang terkena ransang listrik kecil
sehingga mengganggu sinyal dari target yang ingin dideteksi (Wijayanto dan Hastuti,
2006). Pada perangkat Iworx, sinyal yang dikeluarkan merupakan hasil dari penguatan
sinyal yang dilakukan 1000x dari sinyal bioelektrik masukan.
Setting alat yang digunakan adalah :
6 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Gambar 3. Setting Alat
Tahap-tahap perekaman biopotensial organ menggunakan perangkat ini adalah :
1. Arus bioelektrik organ dikeluarkan melalui titik akupunktur kemudian diterima
elektrode non-invasif ditempatkan kemudian mengalir ke bioamplifier.
2. Sinyal yang dihasilkan tubuh sangat kecil berorde mikrovolt, sehingga dilakukan
penguatan pada bioamplifier sebesar 1000 kali agar sinyal dapat terlihat pada layar
komputer pada program Labscribe. Tampilan sinyal dari perekaman biopotensial
dapat ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 4. Tampilan sinyal perekaman biopotensial pada titik akupuntur.
Sinyal hasil perekaman merupakan gelombang yang dipancarkan dari aktivitas organ
yang dapat dipresentasikan oleh fungsi gelombang :
∑
∑
=
=
+++=
+++=
n
iii
n
ii
tAAtAt
tttt
12211
121
sin......sinsin)(
.)(..........)()()(
ωωωψ
ψψψψ (2.0)
Dengan :
Ψ(t) : fungsi gelombang sebagai fungsi waktu
Ai : Amplitudo
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 7
ω : frekuensi penyusun gelombang
t : waktu penjalaran
Setiap fungsi gelombang penyusunnya dapat dijabarkan menggunakan deret Fourier
jika fungsi gelombang tersebut periodik. Deret Fourier memperlihatkan bahwa semua
fungsi periodik dapat diekspresikan sebagai suatu kombinasi dari suku-suku
pembentuknya. Fourier menunjukan bahwa sebuah fungsi dengan periode T dapat
diperlihatkan dengan deret trigonometri dengan bentuk :
tnbtnaatf nn
n ωω sincos)(1
0 ∑∞
=
++= (2.1)
Dengan 𝝎𝝎 = 2π/T adalah frekuensi perulangan fungsi (rad/s).
Untuk fungsi genap, koefisien Fourier dalam deret Fourier dapat dihitung dengan
persamaan :
dttntfT
b
dttntfT
a
dttfT
a
T
Tn
T
Tn
T
T
∫
∫
∫
−
−
−
=
=
=
ω
ω
sin)(1
cos)(1
)(10
(2.2)
Titik awal dari integral dapat diubah. Pada titik awal manapun harus dan pasti
menghasilkan nilai yang sama untuk integral dari fungsi yang periodenya lebih dari satu.
Deret Fourier memiliki beberapa sifat yang penting, yaitu : frekuensi dari bentuk sinus
dan cosinus pertama adalah suatu fungsi frekuensi, dan kenaikan frekuensi antara
pembentuk-pembentuknya kenaikan n yang sebanding dengan fungsi frekuensi. Periode
pembentuk sinus dan cosinus pertama adalah sebuah fungsi, dan setiap pembentuk dalam
deret tersebut memperlihatkan sebuah bilangan bulat dari gelombang sinus dan cosinus
yang sesuai dengan periode fungsi tersebut.
Suatu fungsi f(t) dengan variasi waktu dapat ditulis sebagai sebuah persamaan
dengan parameter waktu. Fungsi tersebut juga digambarkan dalam bentuk grafik terhadap
waktu. Kedua ekspresi fungsi, yaitu grafik waktu dan persamaan fungsi waktu disebut
dengan representasi domain waktu. Deret Fourier menawarkan sebuah representasi
alternative untuk fungsi dalam domain frekuensi. Meskipun penggambaran fungsi
terhadap waktu sebuah histogram yang dapatdiperbaiki dengan sumbu x sebagai
frekuensi dan sumbu y sebagai amplitude tiap frekuensi. Bentuk tersebut merupakan
representasi domain frekuensi. Dengan menggunakan identitas Euler,
8 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
cos 𝑥𝑥 =12�𝑒𝑒𝑖𝑖𝑥𝑥 + 𝑒𝑒−𝑖𝑖𝑥𝑥 �
sin𝑥𝑥 = 12𝑖𝑖
(𝑒𝑒𝑖𝑖𝑥𝑥 + 𝑒𝑒−𝑖𝑖𝑥𝑥 )
deret Fourier dapat ditulis dalam bentuk kompleks sebagai berikut :
𝑓𝑓(𝑡𝑡) = � �𝑐𝑐𝑛𝑛𝑒𝑒𝑖𝑖𝑛𝑛𝑖𝑖𝑡𝑡 �∞
𝑛𝑛=−∞
𝑐𝑐𝑛𝑛 = 1𝑇𝑇
∫ 𝑓𝑓(𝑡𝑡)𝑒𝑒−𝑖𝑖𝑛𝑛𝑖𝑖𝑡𝑡 𝑑𝑑𝑡𝑡𝑇𝑇𝑇𝑇
Dalam kelistrikan, deret Fourier dapat memperlihatkan suatu tegangan periodik. Jika
kita mengingat sebuah integral merupakan sebuah batas dari penjumlahan, deret Fourier
berubah menjadi integral Fourier. Fourier yang telah ditransformasi dapat digunakan
untuk memperlihatkan fungsi non periodic menjadi fungsi periodik dengan periode
menuju tak hingga, contohnya satu pulsa tegangan tidak berulang. Deret Fourier hanya
berlaku untuk sinyal periodik. Sedangkan transformasi Fourier digunakan untuk sinyal
aperiodik yang dianggap sebagai sinyal periodik orde tak hingga. Jika sinyal aperiodik
dianggap sebagai sinyal periodik orde tak hingga maka periodenya diperbesar menuju tak
hingga, sehingga spectrum sinyal menjadi spektrum kontinyu. Dengan demikian
penjumlahan pada deret Fourier berubah menjadi integral dengan variabel kontinyu 𝝎𝝎,
bentuknya menjadi :
∫
∫∞
∞−
−
∞
∞−
=
=
dtetfF
deFtf
ti
ti
ω
ω
ω
ωωπ
)()(
)(21)(
(2.5)
Gambar 5. Kurva fungsi waktu yang akan ditransformasi (sebelah kiri) dan kurva
yang menunjukkan hasil Fourier Transform (sebelah kanan). Dicuplik dari
www.certif.com
f(t) F(ω)
t (ms) ω(Hz)
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 9
Gambar 5 menunjukkan contoh sinyal sebagai fungsi waktu yang sulit
dideskripsikan bentuk deret Fourier atau fungsi waktunya (sebelah kiri). Sumbu ordinat
menyatakan tegangan sebagai fungsi waktu f(t) dan sumbu absis sebagai waktu t.
Amplitudo pada tegangan fungsi waktu bergantung pada koefisien Fourier (a0, an, dan bn),
sedangkan yang mempengaruhi rapat dan renggangnya sinyal adalah frekuensi-frekuensi
(ω) penyusun sinyal tersebut. Setelah dilakukan transformasi Fourier, diperoleh kurva
berubah pada sumbu absis merupakan frekuensi (ω), sedangkan sumbu ordinat
merupakan Amplitudo yang ternormalisasi sebagai fungsi frekuensi F(ω).
Fast Fourier Transform merupakan suatu bentuk analisis data dengan memanfaatkan
operasi matematika yang digunakan dalam pemrosesan sinyal untuk mengubah data dari
domain waktu kontinyu menjadi domain frekuensi dengan cepat.
Konvolusi pada transformasi Fourier menunjukkan bahwa,
2)]([1)(*)()( tfFFFπ
ωωω =−= (2.6)
Teorema Parseval menunjukkan bahwa,
∫∫∞
∞−
∞
∞−
== dttfdFF 22 )(1)()(π
ωωω (2.7)
Rata-rata dari adalahtf 2)]([ ∫∞
∞−
dttf 2)(1π
Teorema Parseval secara fisis menunjukkan hubungan antara rata-rata dari kuadrat
f(t) dan koefisien Fourier (a0, an, dan bn) seperti pada persamaan berikut:
∑
∑∑
∫
∞
∞−
∞∞
∞
∞−
=
++
=
=
22
1
2
1
22
02
22
)]([
21
21)]([
)(1)]([
n
nn
ctf
batf
dttftf
a
π
Dalam analisis sinyal ini, perangkat lunak yang digunakan adalah program
Labscribe. Pada tampilan terdapat nilai T2-T1 merupakan fasilitas untuk memudahkan
membaca rentang skala yang memiliki satuan format jam:menit:detik. Display time
menunjukkan kurun waktu perekaman.
Setelah hasil perekaman ditampilkan, selanjutnya mengklik icon analisis FFT pada
program Labscribe, yaitu fungsi analisis yang mengubah sinyal profil potensial listrik
10 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
domain waktu ke domain frekuensi. Hasil yang muncul adalah pulsa-pulsa yang
menunjukkan frekuensi (sumbu-x) dari fungsi gelombang pada sinyal listrik hasil
perekaman mulai dari 1 Hz sampai 499 Hz dengan masing-masing amplitudo mulai dari 0
sampai 1 (sumbu-y). Data diolah dengan mencuplik pada rentang waktu yang sama, yaitu
3,29 sekon kemudian klik menu FFT lalu menempatkan dua kursor sampai mendapatkan
beberapa nilai frekuensi dan amplitudonya.
Gambar 6. Cuplikan Hasil Analisis Transformasi Fourier Profil Potensial Domain
Waktu menjadi Domain Frekuensi
Kemudian dilakukan pencatatan frekuensi dan amplitudo profil potensial listrik
masing-masing testi pada tiap-tiap titik dengan pencuplikan data hingga 20 bingkai.
Perhitungan uji beda dilakukan dengan menggunakan uji T sampel bebas pada rata-rata
amplitudo dari 20 bingkai data yang diambil untuk tiap kelompok frekuensi pada masing-
masing kelompok testi. Uji T sampel bebas merupakan uji beda untuk data rasio yang
terdistribusi normal atau mendekati normal. Penarikan kesimpulan dari Uji T sampel
bebas dilakukan dengan menghitung nilai t tabel dan t hitung. Jika nilai t hitung > t tabel
dengan taraf signifikansi 0,05, maka H0 diterima. Namun, jika nilai t hitung < t tabel
dengan taraf signifikansi 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Untuk t tabel :
ns
xt µ−=
Untuk t hitung :
Amplitudo Frekuensi
Waktu
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 11
( ) ( )
12
2
2
2
11
1
2
2
22).(
−
∑−∑
=
−
∑−∑
=
+
−=
−=
n
nBB
Bs
n
nAA
As
ss
BA
s
BAt
BABA
Keterangan :
x = rata-rata dari sampel yang diambil
µ = rata-rata dari populasi yang diambil
n = jumlah sampel yang diambil
s =standar deviasi data
A = rata-rata sampel jenis A
B = rata-rata sampel jenis B
sBA ).(
= standar error yang diperoleh dari standar error masing-masing jenis perlakuan
Uji beda antara data dari testi sehat dengan data dari testi sakit menggunakan uji T
sampel bebas pada perangkat lunak SPSS 13.0. Cara penarikan kesimpulan dari hasil Uji
T sampel bebas menggunakan SPSS adalah dengan memperhatikan nilai signifikansi 2-
tail yang disebut sebagai p. Jika p > 0,05, maka H0 diterima dan H1. Namun, jika p < 0,05,
maka H0 ditolak dan H1 diterima (Kusriningrum, 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam persiapan penelitian, testi diabetes mellitus diperiksa kadar gula darahnya
menggunakan alat cek kadar gula darah digital untuk meyakinkan bahwa pada testi
diabetes mempunyai kadar gula darah yang tinggi atau pada testi sehat mempunyai kadar
gula darah yang rendah dan diminta untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang terjadi
setelah pasien menderita diabetes mellitus. Pada testi sehat dilakukan juga wawancara
untuk riwayat kesehatan testi. Kemudian dilakukan uji beda untuk membandingkan kadar
gula darah pada testi sehat dan testi diabetes mellitus. Testi sehat sebanyak 10 orang
diberi kode n1 hingga n10 dan testi diabetes sebanyak s1 hingga s10. Berdasarkan hasil
SPSS uji beda kadar gula darah pada testi sehat dan testi diabetes, diperoleh hasil bahwa
terdapat perbedaan signifikan antara kadar gula darah testi sehat dengan testi diabetes
12 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
mellitus, yaitu nilai p= 0,0003. Nilai rata-rata kadar gula darah pada testi sehat adalah
(100,0±9,1) mg/dl dan pada testi sakit adalah (297,0±43,1) mg/dl.
Profil potensial listrik pada titik akupunktur dihasilkan dari perekaman potensial
listrik pada titik-titik akupunktur Feishu (BL 13) terkait organ paru, Xinshu (BL 15)
terkait organ jantung, Ganshu (BL 18) terkait organ hati, Pishu (BL 20) terkait organ
limpa, dan Shenshu (BL 23) terkait dengan organ ginjal selama 100 detik. Hasil cuplikan
perekaman profil potensial listrik domain waktu untuk orang sehat yaitu pada gambar 7
dan penderita diabetes mellitus dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 7. Profil Potensial Listrik Domain Waktu pada orang sehat.
Gambar 8. Profil Potensial Listrik Domain Waktu pada penderita diabetes mellitus.
Dengan absis menyatakan rentang waktu pencuplikan data (ms), dan ordinat
merupakan tegangan sebagai fungsi waktu (V/ms).
Profil potensial listrik domain waktu pada titik akupunktur belum dapat dibedakan
secara langsung sehingga diperlukan analisis sinyal untuk dapat membadakan keduanya.
Oleh karena itu, diperlukan analisis FFT (Fast Fourier Transform) pada perangkat lunak
Labscribe untuk mengubah profil potensial listrik domain waktu menjadi profil potensial
listrik domain frekuensi. Profil potensial listrik yang terekam dapat dicuplik menjadi
bingkai-bingkai data dalam selang waktu pencuplikan yang sama. Dari setiap bingkai
yang dicuplik, frekuensi dan masing-masing amplitudo diamati dengan kursor, dicatat ke
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 13
dalam tabel sehingga menghasilkan data yang rapi dan dapat dianalisis secara statistik.
Frekuensi-frekuensi yang muncul sebagai frekuensi dominan pada setiap pencuplikan
adalah frekuensi-frekuensi dengan interval 1-5 Hz, 98-102 Hz, 148-152 Hz, 198-202 Hz,
248-252 Hz, 298-302 Hz, 348-352 Hz. Hasil pencatatan amplitudo yang telah disusun
secara rapi dari 20 pencuplikan setiap kelompok frekuensi dihitung nilai rata-rata
amplitudonya.
Hasil perhitungan rata-rata amplitudo tiap kelompok frekuensi pada profil potensial
listrik titik akupunktur domain frekuensi kemudian diuji beda menggunakan uji T sampel
bebas. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil uji T sampel bebas untuk rata-rata
amplitudo adalah :
1. Terdapat perbedaan signifikan pada kelompok frekuensi 1-5 Hz dengan p=0,032 pada
titik Xinshu, 248-252 Hz dengan p=0,035 pada titik Ganshu, dan 348-352 Hz dengan
p=0,020 pada titik Feishu.
2. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada frekuensi lainnya dan pada titik akupunktur
lainnya.
Pada penelitian ini menggunakan perangkat lunak perekam biopotensial yang telah
diatur secara otomatis sebagai perekam sinyal EMG. Sinyal EMG yang dihasilkan
berorde hingga mikrovolt, sehingga diperlukan penguatan agar dapat diperlihatkan pada
layar komputer. Sinyal EMG dari permukaan tubuh yang direkam berasal dari beda
potensial yang terjadi antara dua elektrode yang dipasang pada titik akupunktur secara
lateral sebagai pintu masuk dan keluarnya energi yang memiliki arah positif dan negatif.
Antara titik akupunktur dan kelistrikannya pada organ dihubungkan oleh meridian
sebagai jalur aliran energi. Sehingga organ diamati kelistrikannya melewati meridian
menuju titik akupunktur. Elektrode positif dan negatif yang dipasang secara lateral,
menerima beda potensial pada kedua titik akupunktur lateral kemudian
mentransmisikannya ke dalam bioamplifier. Perekaman sinyal EMG menggunakan
perangkat Iworx yang dapat melakukan penguatan 1000 kali dari sinyal masukannya
sehingga dapat teramati pada layar komputer. Sinyal yang teramati pada layar komputer
merupakan sinyal sebagai fungsi waktu yang belum dapat dibedakan secara nyata.
Sehingga belum dapat dijadikan sebagai metode analisis profil potensial listrik untuk
diagnosis diabetes mellitus.
Dengan menggunakan transformasi Fourier, sinyal dalam fungsi waktu yang
sebelumnya tidak dapat dibedakan kini dapat terlihat perbedaannya yang nyata secara
statistik. Kecederungan yang timbul pada profil potensial listrik untuk kondisi sehat
14 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
dengan kondisi diabetes adalah amplitudo yang dihasilkan cenderung lebih tinggi pada
kondisi diabetes. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengolahan sinyal untuk persiapan
data sangat diperlukan untuk mengetahui perbedaan profil potensial listrik yang
sebelumnya merupakan fungsi waktu. Dengan dapat terbedakannya profil potensial listrik
pada titik akupunktur untuk kondisi orang sehat dengan kondisi orang sakit, maka metode
analisis ini dapat dijadikan sebagai metode diagnosis untuk penyakit diabetes mellitus.
Faktor-faktor yang menyebabkan tidak ditemukannya perbedaan signifikan pada
titik-titik akupunktur yang lain dan frekuensi yang lain karena profil kesehatan dari testi
yang tidak homogen serta terdapatnya kemungkinan adanya arus listrik yang bukan
berasal dari organ yang ditransmisikan oleh elektrode. Profil potensial listrik yang
terekam merupakan profil potensial untuk keadaan pada waktu tertentu saat perekaman.
Keadaan testi yang tidak homogen akibat faktor psikologis maupun fisik menyebabkan
perubahan profil potensial listrik secara seketika. Penentuan letak elektrode pada titik
akupunktur yang kurang tepat atau terjadinya pergeseran elektrode juga dapat menjadi
salah satu penyebab hilangnya sinyal yang harusnya terekam. Pola profil potensial listrik
fungsi frekuensi pada testi sehat terdapat kecenderungan frekuensi dominannya memiliki
amplitudo yang lebih kecil dibandingkan dengan pada testi sakit. Frekuensi yang muncul
merupakan representasi dari aktivitas kelistrikan organ. Perbedaan ini dapat disebabkan
karena adanya kecenderungan perubahan aktivitas listrik pada orang sakit dan orang
sehat, dimana organ pada orang sakit lebih banyak melakukan aktivitas untuk
menyeimbangkan kondisi tubuh.
Dalam pembahasan secara akupunktur, apabila terdapat salah satu unsur dalam
hukum lima unsur yang memberikan energi yang berlebihan, maka akan menyebabkan
unsur lain menjadi tidak seimbang. Dengan menggunakan kajian akupunktur pada organ
dalam hukum lima unsur, terdapat hubungan ibu dan anak yang merupakan pengibaratan
saling menghidupi, serta saling membatasi atau saling menindas. Dalam hubungan saling
menghidupi, unsur hati menghidupi jantung, jantung menghidupi limpa, limpa
menghidupi paru, paru menghidupi ginjal, dan ginjal menghidupi hati. Sedangkan dalam
hubungan saling membatasi, unsur hati membatasi limpa,unsur limpa membatasi ginjal,
ginjal membatasi jantung, jantung membatasi paru, dan paru membatasi hati. Dari hasil
penelitian, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada titik Feishu
(terkait organ paru) di frekuensi tinggi yaitu 348-252 Hz, titik Xinshu (terkait organ
jantung) di frekuensi rendah yaitu 1-5 Hz, titik Ganshu (terkait organ hati) di frekuensi
248-252 Hz. Penjelasan untuk hasil tersebut berdasarkan kajian akupunktur, hati
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 15
merupakan representasi dari unsur kayu menunjukkan dominasi pada frekuensi 248-252
Hz. Frekuensi tersebut menunjukkan energi tinggi dari hati yang kemudian membatasi
limpa sebagai unsur tanah sehingga menyebabkan limpa lemah (lebih lemah dibanding
pada orang sehat) pada frekuensi tinggi yaitu 348-352 Hz. Limpa yang mengalami
defisiensi tidak cukup kuat untuk menghidupi paru, sedangkan jantung tidak cukup
dihidupi oleh hati sehingga menyebabkan dominasi frekuensi kecil, yaitu 1-5 Hz.
Sehingga akibatnya jantung tidak dapat membatasi paru. Dengan demikian, efek
selanjutnya yaitu paru menunjukkan frekuensi dominan yang tinggi atau energi tinggi
pada frekuensi 348-352 Hz. Dengan tingginya energi pada paru menyebabkan gejala-
gejala awal penyakit yang sering terjadi terkait dengan ketidaknormalan fungsi kerja
organ paru, seperti : rasa gatal pada kulit, kulit yang kering, dan lain-lain. Hal ini dapat
diduga sebagai akibat dari ketidaknormalan kerja organ pada kondisi diabetes sehingga
menyebabkan diperlukannya energi yang lebih untuk menyeimbangkan kondisi tubuhnya.
Energi yang berlebihan ini dapat dianggap sebagai sinyal yang dipancarkan oleh organ
tersebut.
Dalam kajian akupunktur dan kedokteran konvensional, perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui penyebab dari munculnya kecenderungan yang menjadikan
perbedaan pada profil potensial listrik pada titik akupunktur untuk kondisi sehat dan
kondisi diabetes mellitus. Pada penelitian ini belum dapat diketahui penyebab secara pasti
alasan dari timbulnya kecenderungan tersebut. Perlu dilakukan penelitian yang lebih
lanjut dan lebih serius dengan melibatkan pakar di bidang kedokteran konvensional
maupun kedokteran akupunktur untuk menelusuri hal-hal yang terjadi pada organ-organ
yang diamati dari penelitian ini. Namun yang dapat dicermati adalah organ-organ yang
terhubung pada titik-titik akupunktur ini merupakan organ-organ yang rentan terganggu
atau rentan terjadi komplikasi diabetes melitus.
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Profil potensial
listrik pada titik akupuntur untuk orang sehat memiliki pola kecenderungan amplitudo
pada masing-masing kelompok frekuensi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
profil potensial listrik pada titik akupuntur untuk penderita diabetes mellitus tipe II.
Berdasarkan analisis statistik, terdapat perbedaan signifikan antara profil potensial listrik
fungsi frekuensi untuk orang sehat dan orang sakit yaitu pada frekuensi 1-5 Hz pada titik
Xinshu, frekuensi 248-252 Hz pada titik Ganshu, frekuensi 348-352 Hz pada titik Feishu,
sedangkan pada frekuensi lainnya pada titik akupunktur lainnya tidak terdapat perbedaan
16 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
signifikan. Dengan dapat terbedakannya profil potensial listrik pada titik akupunktur
untuk orang sehat dan penderita diabetes mellitus, metode ini dapat digunakan untuk
diagnosis dini diabetes mellitus. Namun perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
meyakinkan analisis profil potensial listrik pada titik akupunktur dapat dijadikan sebagai
metode diagnosis baru diabetes mellitus.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari dan Santosa, B. P., 2005, Analisis Statistik dengan Microsoft Excell & SPSS,
Penerbit ANDI, Yogyakarta
Aston, R, 1990, Principles of Biomedical Instrumentation and Measurement, Merril
Publishing Company
Boas, Mary L., 1983, Mathematical Methods in the Physical Sciences Second Edition,
John Wiley & Son, Inc, Canada
Erawati, P., Astuti, S. D., dan Prijo, T. A., 2003, Analisis Profil Potensial Untuk Kelainan
Fungsional Organ, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya
Cameron, J.R, 1978, Fisika Tubuh Manusia, Diterjemahkan Oleh Brahm U. Pendit, Edisi
2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Carlo J, Deluca, 1976, The use of Surface EMG in Biomechanics,
http://www.delesys.com.09/19/2000
Cromwell L., Arditi M. Weibel F.J., Pfeiffer E.A, Steele B., Labok J., 1976, Medical
Instrumentation for Health Care, Prentice Hall Inc
Gabriel, J. F, 1996, Fisika Kedokteran, EGC, Fisika Universitas Udayana, Bali
Griffiths, D. J., 1999, Introduction to Electrodynamics, 3rd Edition, Prentice-Hall, Inc.,
New Jersey
Hobbie, R. K. and Roth, B. J., 2007, Intermediate Physics For Medicine and Biology, 4th
Edition, Springer Science+Bussines Media, New York
Hall, Guyton A., 1997, Bahan Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical
Physiology), Diterjemahkan oleh Irawati Setiawan, Edisi 1, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Istikomah, 2006, Pengaruh Stimulasi Listrik Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah
Mencit (Mus musculus), Fisika Universitas Airlangga, Surabaya
Kusriningrum, 2008, Perancangan Percobaan, Airlangga University Press, Surabaya
Labscribe Data Acquisition Software Manual.iWorx/ CB Sciences, Inc, Washington.
http://www.iworx.com.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 17
Rahayu, N. E., 2011, Analisis FFT (Fast Fourier Transform) Untuk Respon Otak Terkait
Fungsi Penglihatan Akibat Pengaruh Intensitas Dan Panjang Gelombang
Cahaya, Fisika Universitas Airlangga, Surabaya
Papoulis, A., 1984, Signal Analysis, McGraw Hill. Inc, Singapore
Saputra, K., 2002, Akpunktur Klinik, Airlangga University Press, Surabaya
Saputra, K., Idayanti, A., 2005, Akupunktur Dasar, Airlangga University Press, Surabaya
Setioningsih, 2010, Analisa Efek Terapi Panas Terhadap Kelelahan Otot, ITS Library,
Surabaya
Tjia, M. O., 1994, Gelombang, Dabara Publishers, Solo
Tjokroprawiro, Askandar, dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Airlangga
University Press, Surabaya
Widhiarso, Wahyu, Cara Membaca SPSS, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta
Widjaya, Witjahyakarta, 2012, EEG dan EMG: Teknik Pemeriksaan Syaraf, RS Pondok
Indah Group, Jakarta
Wijayanto, Y. Nur. dan Hastuti, D., 2006, Rangkaian Bioamplifier untuk Mendeteksi
Sifat Elektris Otot, Jurnal Elektronika No. 2 Juli-Desember 2006, Volume 6
Website :
http://compassionatedragon.com
http://certif.com
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/
http://digilib.its.ac.id/analisa-efek-terapi-panas-terhadap-kelelahan-otot-10406.html
18 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
APLIKASI SERAT OPTIK SEBAGAI INDIKATOR
KETINGGIAN CAIRAN DENGAN METODE DETEKSI RUGI
DAYA OPTIS AKIBAT PELENGKUNGAN DAN PEMOLESAN
A Zaini Arif, Samian, Supadi
Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Kampus C Unair Jl. Mulyorejo, Surabaya 61113
ABSTRAK
Telah dikembangkan indikator ketinggian cairan dengan prinsip modulasi intensitas yaitu
dengan memanfaatkan perubahan rugi daya optis pada lengkungan(macro-bending) serat
optik yang dipoles. Serat optik plastik dengan diameter 1 mm dilengkungkan menyerupai
huruf U dengan jari-jari 4,4 mm kemudian disebut dengan probe. Ujung probe dipoles
dengan kedalaman 175,6 μm agar dapat kontak langsung dengan media luar yang diukur.
Dibuat 9 buah probe dengan jarak 70 mm. Didapat hubungan antara rugi daya optis
dengan jumlah probenya adalah berupa grafik ekponesial dan didapat hubungan yang
linear antara rugi daya optis dalam satuan desibel (dB) dengan jumlah probe. Dalam
pengukuran ketinggian cairan, tegangan yang terukur oleh detektor mengalami kenaikan
jika jumlah probe yang tercelup bertambah sehingga ketinggian cairan dapat terdeteksi
dengan baik pada setiap periode ketinggian 70 mm. Total rentang ketinggian yang diukur
adalah 0 mm sampai 700 mm.
Kata kunci : Probe, Rugi daya optis
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 19
1. PENDAHULUAN
Pengukuran ketinggian cairan sa-ngatlah penting diantaranya pada dunia industri.
Dalam pengukuran ketinggian cairan tersebut diantaranya dibutuhkan sistem yang bekerja
secara otomatis, mem-punyai respon yang baik, akurat, dan mudah pengaplikasiannya.
Pengembangan pengukuran ketinggi-an zat cair sangatlah menarik karena banyak
metode pengukuran ketinggian cairan yang telah berhasil dikembangkan. Beberapa
metode untuk mengukur ketinggian zat cair telah banyak dilakukan diantaranya adalah
dengan menggunakan prinsip hidrostatis, kapasitif, ultrasonik, gelombang mikro,
inframerah, elektro-mekanik, radiometri, dan metode optik.
Penggunaan dan pengembangan se-rat optik (fiber optic) sebagai sensor telah
banyak dilakukan. Serat optik menjadi salah satu pilihan pengembangan sensor yang
menjanjikan karena memiliki ke-unggulan diantaranya yaitu tidak kontak langsung
dengan obyek pengukuran, tidak menggunakan sinyal listrik, akurasi pe-ngukuran yang
tinggi, tahan terhadap in-duksi listrik maupun magnet, dapat di-monitor dari jarak jauh,
dapat dihubung-kan dengan sistem komunikasi data, serta dimensinya yang kecil dan
ringan me-mudahkan penginstalannya (Krohn, 2000).
Ada banyak aplikasi sensor serat optik untuk pengukuran ketinggian zat cair,
diantaranya yang berhasil diteliti adalah sensor ketinggian zat cair meng-gunakan serat
optik dengan probe berupa prisma (Hossein, 2004) maupun elemen sensitif berbentuk
kerucut (Pekka, 1997), deteksi ketinggian zat cair melalui per-geseran panjang
gelombang Bragg yang dihasilkan dari Fiber Bragg Grating (FBG) (Kyung-Rak. dkk,
2009). Deteksi ketinggian cairan juga telah dilakukan dengan menggunakan dua buah
serat op-tik sebagai pemancar dan penerima berkas cahaya melalui sebuah cermin (head
sensor) sebagai collimator (C. Vazquez dkk, 2004). Kemudian, dengan teknik yang
sederhana telah dikembangkan juga sensor ketinggian air berdasarkan sensor pergeseran
berbasis modulasi intensitas menggunakan fiber coupler serta meng-gunakan prinsip
hidrostatis yaitu tekanan hidrostatis (Samian dan Supadi, 2010).
Salah satu rugi daya optis yang dialami oleh serat optik adalah disebabkan karena
adanya lengkungan (macro-bending) pada serat optik. Rugi daya ini tergantung pada
karakteristik serat optik, pada jari-jari kelengkungan, dan pada media eksternal yang
kontak langsung dengan bagian lengkungan tersebut.
Dengan memanfaatkan rugi daya karena adanya lengkungan dapat dibuat indikator
ketinggian cairan dengan prinsip modulasi intensitas. Tekniknya relarif sederhana yaitu
dengan melengkungkan serat optik dengan jari-jari tertentu dipoles pada ujung
20 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
lengkungnya (probe). Karena bagian teras serat optik dapat kontak langsung dengan
cairan akibat pemolesan tersebut, sehingga diharapkan dapat meningkatkan respon
penurunan rugi daya optis karena ujung probe tercelup cairan.
Pada penelitian ini dibuat beberapa probe dengan jarak tertentu, sehingga akan
mengukur ketinggian cairan pada level-level tertentu. Oleh karena itu proses pengukuran
sensor ini akan bersifat diskontinu.
Serat optik yang digunakan adalah serat optik plastik karena jika dibanding dengan
jenis lain serat optik jenis plastik harganya relatif lebih murah, fleksibel, mudah
memanipulasinya, aperture nu-meriknya besar, diameternya lebih besar, dan dapat
dilengkungkan dengan mudah dengan jari-jari yang kecil. Keuntungan metode ini adalah
relatif mudah dan murah dalam pembuatannya, jangkauan pengu-kuran level dapat dibuat
cukup lebar.
2. METODE PENELITIAN
Pembuatan Probe
Serat optik dilengkungkan menyeru-pai bentuk U. Lengkungan tersebut ditahan
dengan sebuah penyangga sehingga bentuknya tidak berubah. Kemudian di-lakukan
pemolesan (diamplas) sehingga terdapat goresan berbentuk elips (2x) pada ujung probe
tersebut dengan panjang 2x sebesar 2,6 mm. Proses pemolesan di-lakukan pada ujung
probe dengan meng-gunakan ampelas waterproof no 1200. Ampelas dicelupkan pada air
terlebih dahulu agar permuakaan ampelas lebih halus. Ujung probe dipoles pelan-pelan
agar panjang 2x tidak melebihi 2,6 mm. Jika nilai 2x belum 2,6 mm dilakukan pemolesan
lagi hingga nilai 2x mencapai 2,6 mm.
Saat proses pemolesan berkas laser He-Ne dimasukkan dari salah satu ujung serat
optik tujuannya adalah untuk mem-perjelas goresan ellips diujung probe sehingga
mempermudah pengukurannya. Pengukuran 2x menggunakan jangka sorong dengan
ketelitian 0,05 mm dan di-lihat dengan bantuan lup/kaca pembesar untuk memperjelas
pengukuran.
Ilustrasi Pemolesan pada bagian ujung probe dapat dilihat pada Gambar 1. Pada
Gambar 1 menunjukkan serat optik yang yang dilengkungkan dan dipoles pada ujungnya.
Jika diperhatikan maka pada bagian muka polesan tersebut terdapat goresan pada ujung
probe yang berbentuk elips. Kedalaman polesan (d) dapat dihitung sebagai fungsi dari
panjang sumbu mayor elips (2x), jika jari-jari lengkungan R dan jari-jari serat optik
adalah r, maka persamaan yang menyata-kan kedalaman polesan (d) adalah,
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 21
𝑑𝑑 = (𝑟𝑟 + 𝑅𝑅) −�(𝑟𝑟 + 𝑅𝑅)2 − 𝑥𝑥2 (1)
Penggunaan persamaan (1) secara geometri memudahkan dalam mengetahui
kedalamam inti(core) yang terpoles karena nilai 2x relatif lebih mudah untuk diukur
panjangnya.
Gambar 1. Gambar salah satu probe dan ilustrasi pemolesannya
Dari pengukuran nilai jari-jari probe (R) adalah 4,4 mm, jari-jari serat optik adalah
0,5 mm, dan nilai 2x adalah 2,6 mm. Maka berdasarkan perhitungan de-ngan
menggunakan persamaan (1) didapat kedalaman polesan sebesar 175,6 μm.
Adapun tujuan pemolesan adalah agar bagian teras (core) serat optik dapat kontak
langsung dengan cairan yang diukur. Sehingga terjadi respon perubahan tegangan yang
terukur akibat perubahan probe yang tercelup. Kemudian Rugi daya tiap probe diukur
dengan detektor cahaya sehingga diketahui hubungan antara rugi daya dengan jumlah
probenya. Langkah selanjutnya adalah mengaplikasikan probe yang telah dibuat untuk
mendeteksi ketinggian cairan.
Set up Eksperimen
Rancangan pemanfaatan rugi daya optis karena lengkungan dan pemolesan
sebagai indikator ketinggian cairan secara sederhana dapat di ilustrasikan pada gambar 2.
Laser sebagai sumber cahaya dipancarkan dan dipandu olah serat optik. Ketika sinar laser
melewati probe maka akan terjadi rugi daya atau terdapat sinar yang diloloskan. Ketika
probe tersebut hanya berinteraksi dengan media luar berupa udara maka rugi daya
optisnya akan berbeda dengan jika ada bagian probe yang terendam dengan cairan. Oleh
karena dengan mengubah-ubah ketinggian cairan secara teratur maka probe yang
22 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
terendam dengan cairan juga akan berubah. Dapat diperkirakan jumlah probe yang
terendam dengan cairan akan mempunyai hubungan dengan perubahan rugi daya optis
pada serat optik tersebut. Detektor pada ujung serat optik yang lain akan mendeteksi daya
optis yang masih terpandu oleh serat optik. Detektor ini akan mengubah cahaya yang
mengenainya menjadi tegangan listrik. Dengan demikian perubahan ketinggian zat cair
dapat dideteksi melalui tegangan listrik yang terbaca pada detektor optis tersebut.
Gambar.2 Rancangan indikator ketinggian
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hubungan antara tegangan keluaran detektor terhadap jumlah probe dan dapat
dilihat pada gambar 3. Detektor yang digunakan adalah detektor OPT 101 dan sumber
cahayanya adalah laser He-Ne 632,8 nm uniphase dengan daya 0,95 mW.
Gambar 3. Hubungan tegangan keluaran detektor dengan jumlah probe
Gambar 3 grafiknya mempunyai persamaan eksponesial y = 44.83e-0.97x artinya
bahwa pola hubungan antara tegangan keluaran terhadap jumlah probe adalah
eksponensial. Tegangan keluaran yang diterima oleh detektor optik me-ngalami
16.3440
8.4560
3.2540
0.63380.28990.0965
0.03760.0215
0.0094
y = 44.83e-0.97x
R² = 0.989
-10123456789
101112131415161718
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tega
ngan
(Vol
t)
Probe
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 23
pelemahan secara eksponensial ketika jumlah probe bertambah. Hal ini sesuai dengan
attenuasi atau rugi daya pada serat optik yang secara fisis di rumuskan
𝑃𝑃𝑜𝑜𝑜𝑜𝑡𝑡 = 𝑃𝑃𝑖𝑖𝑛𝑛 𝑒𝑒−𝛼𝛼𝛼𝛼 (2)
Nilai R2 dari grafik 4.1 adalah 0,989 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan
grafik hubungan keluaran dengan jumlah probe berupa grafik eksponen adalah 98,9 %
atau mengalami error sebesar 1,1 %.
Rugi daya biasanya dinyatakan dalam satuan Desibel, sehingga untuk mengetahui
bahwa tiap probe mengalami rugi daya. Serta untuk mengetahui hubungan rugi daya
dengan jumlah probe maka dapat dihitung rugi daya dalam satuan desibel (dB).
Desibel berkaitan dengan rasio dua kuantitas elektrik seperti daya(watt),
Tegangan(volt), dan Arus(ampere). Jika kita melewatkan sinyal pada suatu pe-rangkat,
tentunya akan mengalami pe-nurunan atau penguatan daya. Sinyal input dan Output dapat
berupa satuan daya(W), arus (A), atau tegangan(V). Desibel sangat berguna untuk
membandingkan level ma-sukan ke keluaran. Jika level keluaran lebih besar daripada
level masukan, ja-ringan menunjukkan penguatan, sebalik-nya jika level keluaran lebih
kecil maka jaringan tadi menunjukkan peredaman. (Fremann, Roger L. 2005).
Secara matematis rugi daya dalam Desibel adalah perbandingan logaritmik antara
daya masukan ( Pout ) dengan daya keluaran ( Pin ). Dan dapat di tulis
𝑅𝑅𝑜𝑜𝑔𝑔𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 = −10 log 𝑃𝑃𝑜𝑜𝑜𝑜𝑡𝑡𝑃𝑃𝑖𝑖𝑛𝑛
(3)
Karena yang terukur oleh detektor adalah tegangan (V) dan P ≈ V2 maka persamaan 3
menjadi
𝑅𝑅𝑜𝑜𝑔𝑔𝑖𝑖 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 = −20 log 𝑉𝑉𝑜𝑜𝑜𝑜𝑡𝑡𝑉𝑉𝑖𝑖𝑛𝑛
(4)
Vin adalah tegangan keluaran detektor dengan jumlah probe 0 atau serat optik
belum dilengkungkan dan dipoles berdasarkan pengukuran nilainya 17,23 Volt.
Sedangkan Vout adalah tegangan keluaran detektor dengan jumlah probe 1, 2, sampai 9
buah. Berdasarkan hasil per-hitungan dengan menggunakan persamaan 4 maka dapat
dibuat grafik hubungan antara rugi daya yang terjadi karena kenaikan jumlah probe
(gambar 4)
24 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Gambar 4. Grafik Rugi daya terhadap jumlah probe
Dari Gambar 4 nampak terjadi kenaikan rugi daya secara linear karena
penambahan jumlah probe. persamaan linearitas adalah y = 8.481x - 8.305 dengan nilai
koefisien korelasi (R2) sebesar 0.989. Nilai R2 artinya Hubungan rugi daya dengan jumlah
probe adalah linear dengan tingkat kepercayaan sebesar 98,9 atau error sebesar 1,1 %.
Karena rugi daya mengalami kenaikan secara linear akibat pertambahan jumlah probe
maka dapat dipastikan tiap probe mengalami rugi daya.
Pengaplikasian serat optik yang di-lengkungkan (probe) sebagai indikator
ketinggian cairan hasil datanya dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Grafik kenaikan tegangan terhadap jumlah probe yang tercelup
Pada gambar 5 nampak bahwa te-gangan yang terukur oleh detektor mengalami
kenaikan jika jumlah probe yang tercelup bertambah. Kenaikan tegangan terjadi karena
cladding yang terpoles semula digantikan oleh udara dengan indek bias 1 terisi oleh air
dengan indek bias 1,33 sehingga terjadi kenaikan pantulan sinar didalam core serat optik.
Jumlah probe yang tercelup mewakili rentang ketinggian cairan tertentu. Misal-nya
jumlah probe yang tercelup 0 maka ketinggian cairannya adalah 0 s/d 70 mm. Jika 1
probe yang tercelup maka ketinggi-an cairannya adalah 70 s/d 140 mm dan seterusnya.
Sehingga total ketinggian cair-an yang terukur adalah 700 mm. rentang ini dapat
0.45856.1824
14.4774
28.686735.4807
45.031653.2312
58.076965.3002
y = 8.481x - 8.305R² = 0.989
05
10152025303540455055606570
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Rug
i Day
a (d
B)
Jumlah Probe
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 25
dimungkinkan bertambah dengan mengatur jarak antar probe serta mencari jari-jari dan
kedalaman polesan probe yang sesuai sehingga rugi daya optis yang terjadi pada probe
tidak terlalu besar.
4. KESIMPULAN
Rugi daya akibat pelengkungan (macro-bending) serat optik yang dipoles ujung
lengkungnya dapat dimanfaatkan sebagai indikator ketinggian cairan dengan prinsip
pendeteksian secara diskontinu dan dapat bekerja dengan baik. Rentang ketinggian yang
terukur adalah 0 sampi 700 mm.
5. DAFTAR PUSTAKA
Binu, S. V.P. Mahadevan Pillai, N. Chandrasekaran, 2007, Fiber Optic Displacement
Sensor for Measure-ment Amplitude and Frequency of Vibration, Optic & Laser
Tech-nology, 39:1537 – 1543 . University of Kerala, Kariavattom, Thiruvanan-
thapuram 695 581, Kerala, India
Freeman, Roger L., 2005, Fundamentals of telecommunications, John Weley & Sons, Inc,
Hoboken, New Jersey.
Hossein Golnabi, 2004, Design and Operation of A Fiber Optic Sensor For Liquid Level
Detection, Optics and Lasers in Engineering, 41: 801–812. Sharif University of
Tech-nology, Tehran, Iran
Krohn, D.A, 2000, Fiber Optic Sensor, Fundamental and Application, 3rd, ISA, New
York.
M. Lomer, J. Arrue , C. Jauregui, P. Aiestaran, J. Zubia, J.M. L´opez-Higuera, 2007,
Lateral Polishing of Bends In Plastic Optical Fibres Applied to A Multipoint
Liquid-Level measurement sensor, A 137: 68–73, Spain.
Samian dan Supadi, 2010, Sensor Ketinggian Air Menggunakan Multi-mode Fiber
Coupler, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Airlangga, Surabaya
Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi, Febdian Rusydi, AH Zaidan, 2009,
Theoretical and Experimental Study of Fiber-Optic Displacement Sensor Using
Multimode Fiber Coupler. Journal of Optoelectronics and Biomedical Materials,
1 (3): 303– 308 . Universitas Airlangga, Surabaya
26 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Sintesis dan Karakterisasi Sifat Mikroskopik Keramik Batako
dengan Variasi Penambahan Sekam Tebu
Aziza Anggi Maiyanti, Jan Ady dan Djony Izak
Departemen Fisika,Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya
Kampus C Mulyorejo, Surabaya 60115
e-mail :[email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan sekam tebu
pada sifat mikroskopis batako sehingga dapat diketahui komposisi sekam tebu paling baik
untuk bahan pengikat dari batako tersebut. Sampel yang digunakan batako dengan
penambahan sekam tebu diayak dan tanpa diayak dengan persentase masing – masing
0wt%, 3wt%, 6wt%, 9wt%, 12wt% ,15wt%. Variasi optimum terlihat pada variasi
12wt% untuk penambahan sekam tebu tanpa diayak dan 15wt% untuk penambahan
sekam tebu diayak. Nilai porositas batako rata-rata normal yaitu sebesar (8,119 ±
3,866)% dan nilai densitas rata-rata (2,343 ± 0,211) gr/cm3, setelah penambahan sekam
tebu maka terjadi perbaikan sifat porositas dan densitas yaitu (7,692 ± 2,492)% dan
(2,387 ± 0,087) gr/cm3 untuk variasi penambahan sekam tebu tanpa pengayakan,
sedangkan nilai porositas dan densitas untuk penambahan variasi sekam tebu dengan
pengayakan adalah (3,846 ± 0,427)% dan (2,674 ± 0,125) gr/cm3. Setelah melalui uji
XRD terlihat pembentukan fasa baru yaitu Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97 (Enstatite) yang
diidentifikasikan memiliki pengaruh perbaikan sifat densitas batako. Berdasarkan nilai
porositas dan nilai densitas diatas maka batako dengan variasi penambahan sekam tebu
telah berhasil memperbaiki sifat mikroskopis batako meskipun pada penambahan sekam
tebu tanpa pengayakan memiliki nilai porositas dan densitas tidak stabil.
Kata Kunci : Keramik Batako, Sekam Tebu, Porositas, Densitas, XRD
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 27
PENDAHULUAN
Definisi keramik mencakup semua bahan bukan logam dan anorganik yang
berbentuk padat.Umumnya senyawa keramik lebih stabil dalam lingkungan termal dan
kimia dibandingkan elemennya. Bahan baku keramik yang umum dipakai adalah
felspard, ball clay, kwarsa, kaolin, dan air. Sifat keramik sangat ditentukan oleh struktur
kristal, komposisi kimia dan mineral bawaannya.Klasifikasi keramik meliputi keramik
modern dan keramik tradisional.Dalam penelitian ini bahan keramik yang digunakan
masuk dalam kategori keramik modern yaitu batako.Batako merupakan keramik modern
yang biasa digunakan untuk bahan dasar bangunan sebagai pengganti batu bata. Hasil
penelitian laboratorium yang pernah dilakukan untuk batako berumur 28 hari diperoleh :
berat fisik rata-rata sebesar 12,138 kg, densitas rata-rata sebesar 2,118 gr/c, penyerapan
air sebesar 12,876% dan kuat tekan rata-rata sebesar 1,97 MPa (Darmono, 2009).
Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, sekam tebu yang
dahulunya hanya digunakan sebagai abu gosok, sudah mulai dimanfaatkan dalam industri
bahan bangunan, seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayati pada tahun 2010
dengan judul Pengaruh Penambahan Abu Ampas Tebu Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis
Batako. Pada penelitian ini digunakan variasi penambahan sekam tebu dengan persentase
10wt%, 20wt%, 30wt%, 40wt%, 50wt%. Peneliti menggunakan perbandingan semen,
pasir, air sebesar 1:4:0,5. Penelitian ini menambahkan sekam tebu pada proses pembuatan
sehingga diharapkan memperbaiki sifat fisis dan mekanis batako meliputi penyerapan air,
densitas, kuat pukul, kuat tekan dan kekerasan. Selain itu terdapat juga penelitian yang
dilakukan oleh Emelda Sihotang pada tahun 2010 dengan judul Pemanfaatan Abu Ampas
Tebu pada Pembuatan Mortar. Penelitian ini menggunakan variasi penmabahan sekam
tebu 3%, 6%, 9%, 12% dan 15%. Penelitian Sihotang mendapatkan hasil porositas
semakin baik tetapi tidak menghitung nilai densitas sedangkan pada penelitian Hayati
diketahui nilai densitas. Kedua penelitian diatas tidak meneliti tentang pengaruh
penambahan sekam tebu dengan sifat mikroskopik sebuah bahan.
Ulasan di atas memberikan inspirasi untuk mengkarakterisasi material keramik
batako baik yang sudah ditambahkan dengan variasi sekam tebu ataupun yang belum
ditambahkan sekam tebu terkait dengan sifat mikroskopik yang dikandung oleh material
keramik batako sehingga dapat menjadikan material keramik batako yang telah disintesis
dengan sekam tebu mempunyai kelebihan dibandingkan dengan material keramik batako
tanpa variasi apapun.
28 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
METODE PENELITIAN
Pembuatan Sampel
Pencampuran material dilakukan dengan menggunakan mixer sesuai dengan
proporsi dalam rancangan percobaan di atas.Pertama, agregat halus dicampur dengan
sekam tebu sampai merata pencampurannya.Kedua, semen Portland tipe-1 ditaburkan
pada permukaan pencampuran tersebut.Setelah ketiganya merata, dilubangi bagian
tengahnya seperti sebuah kawah untuk ditaburi air PDAM lalu diaduk hingga campuran
tersebut saling mengikat dan homogen menjadi sebuah adonan pasta.
Pencetakan material dilakukan setelah pencampuran dan pengadukan
material.Adonan batako basah dimasukkan di dalam cetakan balok (10x5x5) cm.
Sebelum dimasukkan ke dalam cetakan, terlebih dahulu cetakan diolesi dengan
vaselin.Setelah dimasukkan ke cetakan, adonan pasta dipress hingga padat dan ditutup
dengan kain basah selama 24 jam.
Pengeringan material dilakukan setelah batako dicetak dan dibiarkan
selama 24 jam lalu dikeluarkan dari cetakannya. Selanjutnya diletakkan di rendam di bak
perendaman selama 27 hari. Pada hari ke 28 dilakukan proses pengeringan atau
pengangkatan material selama 24 jam dilanjutkan dengan pengujian mikroskopik,
porositas dan densitas pada mortar tersebut.
Pengujian Porositas
Setelah melalui proses perendaman dan pengeringan maka dilakukan uji porositas
menggunakan persamaan :
Porositas (%) = 𝑚𝑚𝑏𝑏 − 𝑚𝑚𝑘𝑘𝑣𝑣𝑏𝑏
x 1𝜌𝜌𝑑𝑑𝑖𝑖𝑟𝑟
x 100%
Dimana :
mb = Massa basah dari benda uji (gram)
mk= massa kering dari benda uji (gram)
vb = Volume benda uji
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 29
Gambar 1. Grafik Hasil Uji Porositas Batako dengan variasi Sekam Tebu
Pengujian Densitas
Untuk pengukuran densitas batako mengacu pada standard ASTM C 134-95 dan
dihitungdengan persamaan (Juwairiah,2009):
ρpc = m sm b−(m s−m k )
x ρair
Dimana :
ρpc= densitas (gr/cm3)
ms= massa sample kering (gr)
mb= massa sample setelah di rendam (gr)
mg= massa sample digantung didalam air (gr)
mk= massa kawat penggantung (gr)
ρair= densitas air = 1(gr/cm3)
Hasil penelitian laboratorium yang pernah dilakukan untuk batako berumur 28
hari diperoleh: berat fisik rata-rata sebesar 12,138 kg, densitas rata-rata sebesar 2,118
gr/cm3, penyerapan air sebesar 12,876%, dan kuat tekan rata-rata sebesar 1,97 MPa
(Darmono, 2009).
Uji XRD
Pengujian XRD dilakukan setelah melewati uji porositas dan uji densitas. Uji XRD
dilakukan untuk mengetahui pengaruh sifat mikroskopik batako dengan variasi
penambahan sekam tebu dengan perbaikan nilai porositas dan nilai densitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sekam tebu yang digunakan untuk variasi penambahan pada batako harus
merupakan silika amorf dikarenakan bentuk silika amorf akan memberi pengaruh
peningkatan kekuatan keramik yang lebih besar dibanding dengan bentuk fase
kristalnya.Berdasarkanpenelitian Hanafi dan Nandang (2010), memaparkan bahwa kuat
patah maksimum diberikan oleh bentuk amorf sebesar 940 dyne/cm2 yang lebih tinggi
dari kuat patah keramik Indonesia dalam literatur. Silika amorf diperoleh dengan cara
membakar sekam tebu dengan suhu antara 5000C-6000C dan setelah melalui uji XRD
maka akan terlihat hasil seperti pada Gambar 2.
30 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Gambar 2. Hasil Uji XRD Sekam Tebu
Hasil XRD batako dengan variasi penambahan sekam tebu disajikan pada
Gambar 3, 4 dan 5.
Gambar 3. Hasil Uji XRD Variasi 0 wt%
Gambar 4. Hasil Uji XRD Variasi 12wt% dengan pengayakan
Gambar 5. Hasil Uji XRD Variasi 15wt% tanpa pengayakan
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 31
Berdasarkan analisis XRD pada Gambar 3 menunjukkan bahwa batako sebelum
penambahan sekam tebu didominasi oleh dua fasa yaitu SiO2 sebanyak 62,5 % dan
Al2ClF25Sr10(Strontium Hexafluoroaluminate fluoride chloride) sebanyak 37,5%. Hasil
XRD pada Gambar 4 mengandung 3 fasa dominan
yakniSiO2sebanyak1,8%,Al2ClF25Sr10sebanyak3,0%danAl0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97
(Enstatite)sebanyak 95,2%. Hasil Grafik XRD pada Gambar 4.4 mengandung 3 fasa
dominan yaitu SiO2sebanyak 17,3 %, Al2ClF25Sr10sebanyak 10,6 % dan
Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97(Enstatite) sebanyak 72,1 %. Fasa enstatite terlihat mulai
muncul pada variasi penambahan sekam tebu 12 wt%.
Perbedaan dari ke tiga sampel yang di uji adalah persentase kedua fasa dominan
tersebut dan terlihat juga terdapat fasa baru yang terbentuk pada hasil pengujian XRD
batako yang telah divariasikan dengan sekam tebu yaitu fasa Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97
(Enstatite). Pembentukan fasa enstatite disajikan dalam lampiran 3 point B dan C .
Munculnya senyawa enstatite di duga berperan dalam perbaikan sifat densitas batako.
Berdasarkan(Dana,E.S,1892) dijelaskan juga bahwa Enstatite tersusun atas
senyawa pada Tabel 1.
Tabel 1. Senyawa penyusun Enstatite
Berdasarkan Tabel1 terlihat penyusun dari enstatite hampir sama dengan
penyusun sekam tebu, pasir dan semen yang terdiri dari SiO2,Al2O3 dan Fe2O3 sedangkan
setelah mengalami pencampuran maka terjadi perubahan pada senyawa TiO3 menjadi
TiO2 hal ini diduga terjadi karena pada saat pencampuran bahan terjadi suatu reaksi
penggantian atom sehingga terbentuk juga senyawa-senyawa yang lain. Dikarenakan
pasir, sekam tebu dan semen mempunyai senyawa pembentuk yang identik maka jika
ketiga bahan tersebut dicampurkan maka terdapat kemungkinan terbentuk fasa enstatite.
Karakterisasi perbaikan sifat porositas ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 6.
Sebagai pembanding terdapat variasi 0wt% dengan nilai porositas adalah 8,119± 3,866 %
dan nilai densitas sebesar 2,343 ± 0,211 gr/cm3.
No Senyawa
1 SiO2
2 TiO2
3 Al2O3
4 Fe2O3
5 Cr2O3
6 FeO
32 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Tabel 2. Hasil Uji Porositas Batako
No Variasi
(%)
Porositas Rata – Rata (%)
Tidak diayak Diayak
1 3 wt 9,402 ± 3,140 7,692 ±0,855
2 6 wt 12,820±0,457 6,838 ± 1,298
3 9 wt 11,111±2,898 5,128 ± 1,047
4 12 wt 7,692 ± 2,492 4,273± 4,472 x 10-4
5 15 wt 12,820±1,788 3,846 ± 0,427
Gambar 6. Grafik Hasil Uji Porositas Batako
Porositas yang stabil dihasilkan pada penambahan variasi sekam tebu yang telah
melalui pengayakan yaitu mengalami perbaikan disetiap persentase sekam tebu yang
ditambahkan sehingga didapatkan hasil yang optimum pada variasi penambahan sekam
tebu sebanyak 15%. Sekam tebu dapat berperan sebagai pengisi antara partikel partikel
pembentuk batako sehingga kedapan batako akan menjadi bertambah sehingga
permeabilitas semakin kecil.
Partikel-partikel SiO2 pada sekam tebu yang sangat halus memiliki luas permukaan
interaksi yang tinggi. Partikel-partikel tersebut berinteraksi dengan campuran pasir dan
semen yang merupakan bahan baku utama dari batako. Semakin banyak partikel yang
berinteraksi, semakin kuat pula batako. Semakin kuat batako maka semakin berkurang
juga nilai porositas batako sehingga didapatkan nilai porositas batako yang
optimum.(Mulyati, 2010)
Menurut penelitian Mulyati pada tahun 2010 dengan penambahan sekam tebu
melalui pengayakan 200 mess atau setara dengan 75 mikron maka sekam tebu memiliki
ukuran lebih kecil dibandingkan ukuran partikel semen yaitu 120 mess atau setara dengan
125 mikron sehingga sekam tebu dapat memasuki pori-pori yang ditinggalkan oleh air
tetapi tidak dapat dimasuki oleh ukuran partikel semen. Sehingga saat sekam tebu dapat
mengisi pori-pori yang ditinggalkan oleh air maka rongga-rongga pori dalam batako akan
semakin sedikit perbandingannya dengan volum batako tersebut sehingga nilai
0
5
10
15
0 10 20Poro
sitas
(%)
Variasi (%)
Tidak Diayak
diayak
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 33
porositasnya mengalami perbaikan di setiap penambahan persentase sekam tebu yang
melalui proses pengayakan. Hasil Karakterisasi perbaikan nilai densitas ditunjukkan pada
Tabel 3 dan Gambar 7.
Tabel 2. Hasil Uji Densitas Batako
Jika diperhatikan pada hasil Grafik uji XRD yakni Gambar 4 dan 5terlihat
terdapat fasa baru yang diindikasikan menjadi salah satu penyebab perbaikan sifat yakni
fasa Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97 (Enstatite).
Gambar 7. Hasil uji Densitas Batako
Gambar 3 menunjukkan terdapat dua fasa dominan yakni SiO2dan
Al2ClF25Sr10(Strontium Hexafluoroaluminate fluoride chloride) dengan nilai persentase
yang berbeda. Berdasarkan penelitian (Brownel, L.E dan Young, E.H, 1993) didapatkan
nilai densitas dari SiO2 (Quartz) adalah 2,648 gr/cm3 sedangkan menurut penelitian (N.N.
Greenwood,1997) terlihat bahwa nilai densitas Al2ClF25Sr10 (Strontium
Hexafluoroaluminate fluoride chloride) yakni 3,69 gr/cm3. Gambar 4 dan 5 masih
terdapat dua fasa yang sama tetapi terlihat terbentuk fasa baruyaitu
Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97 (Enstatite) dengan persentase yang sangat tinggi.
Berdasarkan Morimoto,N dan Koto,K,1969diketahui Enstatitememiliki nilai
densitas 3,9 gr/cm3. Berdasarkan data densitas masing-masing fasa yang telah didapatkan
dan persentase masing-masing fasa yang telah di ketahui maka terlihat bahwa fasa
Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97(Enstatite) memiliki nilai densitas paling tinggi sehingga
dengan nilai densitas tersebut serta persentase yang ditunjukkan pada Gambar 4 dan
0123
0 10 20
Den
sitas
(g
r/cm
3 )
Variasi (%)
Tidak diayak
Diayak
No Variasi
(%)
Densitas Rata – Rata (gr/cm3)
Tidak diayak Diayak
1 3 wt 1,745 ± 0,145 2,399 ± 0,049
2 6 wt 1,897 ± 0,079 2,452 ± 0,044
3 9 wt 2,060 ± 0,145 2,516 ± 0,123
4 12 wt 2,387 ± 0,087 2,631 ± 0.079
5 15 wt 1,879 ± 0,129 2,674 ± 0,125
34 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Gambar 5 yang tinggi pula dapat disimpulkan bahwa Enstatite mempunyai pengaruh
pada perbaikan nilai densitas batako.
KESIMPULAN
1. Metode Penambahan Silika Amorf Sekam Tebu dapat digunakan untuk mensintesis
material keramik batako dengan nilai porositas dan densitas yang lebih baik
dibandingkan dengan batako murni. Porositas batako murni memiliki nilai rata-
rata(8,119 ± 3,866)% dan Densitas batako murni memiliki nilai (2,343 ± 0,211)
gr/cm3. Sedangkan nilai porositas setelah penambahan sekam tebu adalah (7,692 ±
2,492) % untuk yang tidak diayak dan (3,846± 4,472 x 104)% untuk batako dengan
variasi penambahan sekam tebu diayak, sedangkan densitas batako yang dihasilkan
setelah mendapatkan penambahan silika amorf sekam tebu adalah (2,387 ± 0,087)
gr/cm3 untuk penambahann variasi sekam tebu tanpa pengayakan dan penambahan
sekam tebu yang mengalami pengayakan didapatkan nilai (2,674 ± 0,125) gr/cm3.
2. Hasil dari uji XRD menggambarkan penambahan silika amorf sekam tebu dapat
memperbaiki sifat mikroskopis batako dengan adanya pembentukan fasa baru yaitu
Al0,03Fe0,15Mg1,82O6Si1,97 (Enstatite) yang berperan dalam memperbaiki nilai densitas
batako dikarenakan Enstatite memiliki nilai densitas yang cukup tinggi dibandingkan
dengan fasa SiO2 (Quartz) dan Al2ClF25Sr10 (Strontium Hexafluoroaluminate
fluoride chloride).
DAFTAR PUSTAKA
Brownell,L.E. Young, E.H. 1993. Precipitation chemystry.New York.
Dana, E.S. (1892) .Dana’s System of Mineralogy 6th edition. 346-348.
Darmono.2009.Penerapan Teknologi Produksi Bahan Bangunan Berbahan Pasir Bagi
Korban Gempa Di Kulonprogo Serta Analisis Mutu dan
Ekonominya.Yogyakarta:Universitas Negeri Yogyakarta.
Hayati, E.K. 2007.Buku Ajar Dasar-Dasar AnalisaSpektroskopi. Malang: UINpress.
Herdianita.2000.Pengukuran Kristalinitas Silika Berdasarkan Metode Difraktometer
Sinar-X.Bandung:Institut Teknologi Bandung
Hidayati,Nurwahyu.2010.Pengaruh Penambahan Abu Ampas Tebu Terhadap Sifat Fisis
dan Mekanis Batako. Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Jaturapitakkul,Chai.2009.Utilization of Bagase Ash a Pozzolanic Material in
Concrete.Thailand:University of Technology Thonbury.
Joelianingsih.2004. Peningkatan Kualitas Genteng Keramik Dengan Penambahan Sekam
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 35
Padi Dan Daun Bambu (Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah
Pasca Sarjana / S3). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Juwairiah, 2009.Efek Komposisi Agregat Batu Apung dan Epoxy Resin Dalam
Pembuatan Polymer Concrete Terahadap Karakteristiknya.Medan:Universitas
Sumatera Utara.
Morimoto,N. Koto,K. 1969. The Crystal Structure of Orthoenstatite.Zeitschrift fur
kristallographie.
Mulyati, Sri. 2010. Pengaruh Persen Massa Hasil Pembakaran Serbuk Kayu dan Ampas
Tebu Pada Mortar Terhadap Sifat Mekanik dan Sifat Fisisnya. Universitas
Andalas.
Nawy,Tavio dan Kusuma.Beton Bertulang : Sebuah Pendekatan Mendasar. Surabaya:ITS
Press.
N.N. Greenwood.1997. Chemistry of the element. Butterwort-Heinemann. United
Kingdom:Oxford..
Ratnasari,D.2009. Tugas Kimia Fisik X-Ray Diffraction (XRD).Surakarta:Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
S.A.Hanafi dan R.A. Nandang.2008.Studi Pengaruh Bentuk Silika dari Sekam tebu
terhadap Kekuatan Produk Keramik.Serpong : Pusat Penelitian Kimia LIPI
Sihotang,Emelda.2010.Pemanfaatan Sekam tebu pada Pembuatan
Mortar.Medan:Universitas Sumatera Utara
Sitorus, T.K. 2009.Pengaruh Penambahan Silika Amorf Dari Sekam Padi Terhadap Sifat
Mekanis Dan Sifat Fisis Mortar. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Simbolon, T, 2009. Pembuatan dan Karaterisasi Batako Ringan Yang Terbuat dari
Styoform Semen.Medan:Uuniversitas Sumatera Utara
Sukmawati,Rahman.2010.Kajian Eksperimental Pengaruh Aspek Lekatan Agregat Kasar
Terhadap Mortar pada Kuat Tekan Beton.Semarang:Universitas Diponegoro
Umah,Saiyidatul.2010.Penambahan Abu Sekam Padi dari Berbagai Suhu Pengabuan
Terhadap Plastisitas Kaolin.Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim
Wiboweo.FX. Nurwadji, John Tri Hatmoko, Haryanto Yoso Wigroho.2006.
Pengembangan Alat Pengolah Limbah Sekam tebu Menjadi Pozolan.
Yogyakarta:Universitas Atma Jaya
Wijanarko W.,2008, Analisis Bahan Jerami Padi Dalam Bentuk Block atau Kotak
Sebagai Bahan Pengisi Batako.Surakarta:Universitas Sebelas Maret
36 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
PENGARUH VARIASI HOLDING TIME PADA PROSES
LAKU PANAS TERHADAP SIFAT FISIS
MATERIAL BAJA 2436
Cicilia Maya Christanti[1], Dyah Hikmawati., M.Si[1], Drs. Djoni Izak R., S.Si., M.Si.
Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh laku panas pada variasi Holding Time
terhadap komposisi, struktur mikro dan kekerasan baja 2436. Perlakuan panas austenit
dengan suhu 950oC dengan variasi waktu penahanan dari 20 menit sampai 90 menit dan
tempering. Pengujian menggunakan uji kekerasan Rockwell, spektrometer, serta
mikroskop optik. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kekerasan baja bora 2436 yang
dapat di aplikasikan sebagai produk pendukung adalah yang diproses dengan waktu
penahanan 30 menit sampai 50 menit sekitar 57,25 HRC sampai 59,25 HRC. Hal ini
terjadi dengan adanya komposisi unsur-unsur penting yaitu Fe sebagai unsur utama dan
unsur yang sengaja ditambahkan untuk meningkatkan sifatnya baja bora 2436 dan unsur
C, Cr, V, dan W yang masih teridentifikasi. Hasil pengujian struktur mikro dengan waktu
penahanan dari 30 menit sampai 50 menit terlihat struktur perlit yang bersifat lebih keras
lebih banyak dibandingkan ferit yang lebih rapuh.
Kata kunci : perlakuan panas, kekerasan, komposisi, struktur mikro.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 37
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Baja adalah bahan utama yang banyak digunakan oleh dunia industri, biasanya
banyak digunakan terutama untuk membuat alat-alat perkakas. Salah satu baja yang
digunakan baja bora 2436, baja tersebut digunakan sebagai produk pendukung dari
produk utama yaitu stempel merk. Keunggulan dari baja 2436 adalah memiliki kekerasan
yang tinggi (baik) yang dapat digunakan untuk stempel merk. Kelemahannya adalah baja
2436 hanya perusahaan tertentu saja yang memproduksi baja tersebut. Selain unsur besi
sebagai unsur utamanya, baja bora 2436 mengandung unsur-unsur Fe, C, Si, Mn, P, S,
Cr, W dan V yang memiliki persentase tertentu. Persentase masing-masing unsur tersebut
berpengaruh terhadap sifat-sifat fisis dari baja 2436, diantaranya sifat kekerasannya.
Sebagai industri yang banyak memanfaatkan bahan baku baja pada produk-produknya,
maka banyak proses perlakuan dilakukan untuk mendapatkan sifat baja yang sesuai
dengan aplikasinya. Salah satu aplikasinya adalah sebagai bahan pembuatan alat untuk
stemple merk. Produk ini memiliki kekerasan tertentu sehingga diperlukan baja dengan
karakteristik kekerasan tertentu pula untuk membuat stemple merknya. Sifat tersebut
dapat diperoleh melalui lama waktu proses perlakuan panas (heat treatment). Variasi
yang berbeda pada perlakuan ini diharapkan akan diperoleh baja bahan baku stempel
merk yang memiliki kekerasan yang melebihi atau paling tidak sama dengan sifat
kekerasan produk utama.
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan bulan
Juni 2011 dan dilaksanakan di Laboratorium Logam, Bengkel Perkakas, dan
Laboratorium Heat Treatment, Turen-Malang dan Laboratorium Fisika Material jurusan
Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga.
3.3.1 Perlakuan Panas Austenit (Heat Treatment)
Spesimen yang digunakan sebanyak 8 dilakukan proses heat treatment secara
bersamaan dengan suhu 950oC selama satu jam.
3.3.2 Waktu Penahanan (Holding Time)
Spesimen sebanyak 8 buah tersebut diberi waktu penahanan dari 20 menit sampai 90
menit dengan interval waktu 10 menit.
38 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Tempering
Suhu tempering 180 oC dan lama waktu tempering adalan satu jam dengan pendinginan di
udara.
Diagram Alir Penelitian
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 39
HASIL DAN PEMBAHASAN
Baja bora sebelum proses perlakuan belum siap untuk di aplikasikan sebagai
produk pendukung sehingga diperlukan proses perlakuan panas austenit yang dapat
meningkatkan nilai kekerasannya. Meskipun proses ini mengakibatkan nilai kekerasan
yang tinggi sebesar 58,98 HRc sampai 62,50 HRc, tapi menyebabkan baja bersifat yang
getas. Hal ini terjadi karena tegangan sisa yang dapat mengakibatkan bahan menjadi
patah. Oleh karena itu, diperlukan proses tempering untuk menghilangkan tegangan sisa.
Meskipun tingkat kekerasan sedikit menurun dari semula 57,25 HRc sampai 59,25 HRc
tapi nilai kekerasan tersebut cukup tinggi bagi baja bora 2436 sehingga siap di aplikasikan
sebagai produk pendukung. Pada penelitian ini waktu penahanan 30 menit sampai 50
menit terbukti memberikan nilai tingkat kekerasan yang cukup untuk spesifikasi produk
pendukung.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengujian, pengamatan, serta hasil dan pembahasan yang telah dilakukan dalam
penelitian ini, dapat diambil kesimpulan :
1. Hasil uji kekerasan menunjukkan peningkatan dari sekitar 16,13 sampai 19,75
menjadi sekitar 57,25 sampai 59,25 untuk seluruh perlakuan. Peningkatan kekerasan
tersebut adanya unsur-unsur C, Cr, V, dan W yang ada dalam kandungan baja bora
2436 dan hasil struktur mikro mendukung hal tersebut dimana nampak pada
penahanan 30 menit sampai 50 menit memiliki struktur perlit yang keras lebih
dominan dan struktur ferit yang lebih rapuh.
2. Pengaruh variasi waktu penahanan 20 menit belum tepat karena nilai kekerasannya
belum layak untuk digunaka sebagai produk pendukung. Waktu penahanan 30 menit
sampai 50 menit merupakan pilihan yang terbaik untuk memproses baja 2436 karena
nilai kekerasan mencapai sekitar 57,25 sampai 59,25 yang paling tinggi, adapun
waktu penahanan 60 menit sampai 90 menit kurang menjadi pilihan karena waktu
penahanan lebih dari 60 menit cenderung menurunkan nilai kekerasannya
5.1. Saran
Pada waktu proses perlakuan panas sebaiknya oven furnace tidak terlalu sering di buka
sehingga hasil yang di peroleh dapat lebih baik
40 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA
Cain Tubal, 1984, “Hardening, Tempering and Heat Treatment”, First edition, Argus
Book.
Dalil, M, 1999, ”Pengaruh Perbedaan Waktu Penahanan Suhu Stabil (Holding Time)
Terhadap Kekerasan Logam”, Jurnal Natur Indonesia II, Fakultas Teknik
Universitas Riau
Djafri, Sriati, 1987, Terjemahan dari Mechanical Metallurgy. Jakarta, Erlangga :
Metalurgi Mekanik
Hariyanto, Agus, 2006, “Pengaruh Perlakuan Panas Terhadap Peningkatan Nilai
Kekerasan dan Perubahan Struktur Mikro Pada Alat Pemindah Gigi Isuzu Diesel
“ Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta
R. Koekoeh K Wibowo, SENTA (2007) “Pengaruh Proses Perlakuan Panas Pada Baja
AISI 304 Terhadap Kekerasan Dan Laju Korosi Dalam Media HCl (35%)”.
Low R. Samuel, 2001, “Rockwell Hardness Measurement of Metallic Materials”,
National Institute of Standards and Technology, America.
Mubarok, Fahmi, St., MSc, 2008, “Metallurgy I”, Jurusan Teknik Mesin, ITS
Sofiyyudin Ahmad Aniq, 2007, “Pengaruh Suhu Carburizing Menggunakan Media Arang
Batok Kelapa Terhadap Kekerasan Dan Ketahanan Aus Roda Gigi Baja AISI
4140”, Jurusan Teknik Mesin, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.
Suherman Wahid Ir, “Pengetahuan Bahan”, Jurusan Teknik Mesin FTI-ITS, Surabaya,
1988.
Wibowo, Bambang Tri, 2006, “Pengaruh Temper Dengan Quenching Median Pendingin
Oli Mesran SAE 40 Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Baja ST 60” Jurusan
Teknik Mesin, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.
Van Vlack, Lawrence H., 1992, Ilmu Dan Teknologi Bahan, Terjemahan : Sriati Djapire,
Edisi Kelima, PT. Erlangga, Jakarta
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 41
PENENTUAN RESPON OPTIMAL FUNGSI PENGLIHATAN
IKAN TERHADAP PANJANG GELOMBANG DAN
INTENSITAS CAHAYA TAMPAK
Fita Fitria, Welina Ratnayanti K, Tri Anggono P
Laboratorium Biofisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya 60115
ABSTRAK
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh panjang
gelombang dan intensitas cahaya tampak terhadap respon ikan dan mengetahui panjang
gelombang dan intensitas cahaya tampak yang paling berpengaruh terhadap respon ikan.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Prosedurnya
adalah rangkaian lampu LED yang telah diisolasi dipasangkan ke dalam tambak ± 30 cm
dari permukaan perairan tambak dan jaring angkat dipasangkan ke dalam tambak,
selanjutnya rangkaian lampu LED dinyalakan selama 10 menit, setelah 10 menit jaring
angkat diangkat dari tambak dan dihitung jumlah ikan liar yang telah masuk ke dalam
jaring angkat. Berdasarkan analisis data menggunakan Anova yang dilanjutkan dengan uji
Tukey. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa panjang gelombang dan intensitas
cahaya tampak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perilaku ikan liar,
menunjukkan bahwa pada perlakuan selama 10 menit dengan pemaparan cahaya LED
hijau dengan panjang gelombang 548 nm menunjukkan respon optimum penglihatan ikan
terhadap warna cahaya Led hijau dengan rata-rata jumlah ikan liar yang berkumpul pada
jaring angkat adalah 23,8 dan intensitas cahaya tampak sebesar 296,4 k Lux memberikan
respon optimal penglihatan ikan dengan rata-rata jumlah ikan liar yang berkumpul pada
jaring angkat adalah 27,8.
Kata kunci: Panjang gelombang, Intensitas Cahaya, Penglihatan ikan
42 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
PENDAHULUAN
Perkembangan Teknologi saat ini memudahkan manusia untuk melakukan
aktivitasnya di segala bidang, salah satu yang terkena imbasnya adalah kemajuan
teknologi dalam bidang perikanan yaitu mengembangkan alat penangkap ikan yang
ramah lingkungan. Perkembangan teknologi penangkapan ikan yang saat ini sedang
sukses dan berkembang pesat adalah penggunaan sumber cahaya untuk menarik perhatian
ikan dalam proses penangkapan ikan (Nikonorov, 1975).
Penggunaan alat bantu penangkap ikan dengan menggunakan sumber cahaya sudah
banyak dilakukan di perairan laut oleh nelayan dengan tujuan untuk mengumpulkan ikan
di suatu areal penangkapan ikan sehingga nelayan dapat meningkatkan hasil
tangkapannya, Pemanfaatan sumber cahaya sebagai alat bantu penangkap ikan adalah
dengan memanfaatkan tingkah laku ikan terhadap cahaya.
Ada beberapa factor ikan dapat berkumpul pada area tertentu oleh suatu cahaya
diantaranya ikan tertarik cahaya karena adanya sifat phototaksis .
Secara umum respon ikan terhadap sumber cahaya dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu bersifat phototaksis positif (ikan yang mendekati datangnya arah sumber
cahaya) dan bersifat phototaksis negatif (ikan yang menjauhi datangnya arah sumber
cahaya). Identik dengan penangkapan ikan di perairan laut, penangkapan
ikan di perairan darat yaitu di tambak juga perlu dilakukan dengan tujuan yang berbeda
dari perairan laut, dalam perairan darat tujuannya lebih pada menangkap ikan liar yang
ada di dalam tambak.
Pada umumnya dalam suatu tambak terdapat ikan liar yang tidak di inginkan
berkembang, ikan liar ini dapat menggangu pertumbuhan ikan yang diproduksi dalam
suatu tambak ikan, sehingga dapat menurunkan hasil panen petani tambak. Diharapkan
penggunaan sumber cahaya dalam menangkap ikan di perairan tambak dapat membantu
petani tambak dalam upaya mengurangi ikan liar di dalam tambak sehingga hasil panen
yang dihasilkan dapat optimal.
Pada penelitian yang dilakukan oleh utami dengan menggunakan cahaya yang
berbeda – beda yaitu cahaya hijau , merah, biru, kuning, dengan intensitas yang berbeda-
beda yaitu antara 1 lux-19 lux dengan interval 2 lux. Ikan yang di gunakan adalah ikan
pepetek yang merupakan ikan demersal yang hidup di laut tropis Hasil penelitian tersebut
menghasilkan ikan yang paling banyak berkumpul pada cahaya berwarna hijau dan ikan
yang paling sedikit berkumpul pada cahaya berwarna merah dengan intensitas 19 lux.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 43
Sedangkan menurut Najamuddin dkk, 1994 Ikan-ikan pelagis seperti ikan layang,
tembang dan kembung sangat peka terhadap warna merah dan kuning. Selanjutnya
penelitian yang dilakukan oleh Masyahoro 1998 ikan kembung lelaki (Rastraligger
Kanagurta) tertarik oleh cahaya warna biru dengan intensitas 3500 lux. Menurut Fujaya
(2002) Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku ikan terhadap cahaya antara lain
intensitas, komposisi spektrum warna cahaya dan lama penyinaran.
Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intensitas cahaya dan panjang
gelombang sangat menentukan jenis ikan yang tertangkap. Oleh karena itu dalam
penelitian ini akan menentukan kesukaan ikan terhadap warna cahaya tertentu dengan
intensitas yang berbeda –beda. Sehingga petani tambak dapat menangkap ikan liar yang
dapat menggangu perkembangan ikan budidaya yang di produksinya.
Sumber cahaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah cahaya LED.
Penggunaan cahaya LED ini dimaksudkan untuk memanfaatkan respon ikan terhadap
cahaya. Untuk meminimalkan masuknya cahaya dalam air peletakkan sumber cahaya
dinyalakan di dalam air. Diharapkan peletakan sumber cahaya di dalam air memberikan
pengaruh terhadap ikan agar dapat berkumpul di dalam jebakan atau jaring ikan.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian mencakup tahap persiapan dan tahap penelitian .Alur kegiatan
disajikan pada bagan alir di bawah ini (Gambar 1).
Gambar 3.1. diagram blok langkah – langkah penelitian
44 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian Jumlah ikan liar yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap
panjang gelombang cahaya LED
Tabel 1.Rata-rata jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap variasi
cahaya LED
Warna
LED
Jumlah ikan pada pengulangan
ke - Rata -
rata 1 2 3 4 5
Hijau 27 24 26 27 15 23.8
Biru 26 27 23 24 10 22
Merah 10 14 10 11 9 10.8
Kuning 16 18 10 6 8 11.6
Putih 26 16 14 12 9 15.4
Dari data yang diperoleh pada Tabel 1. dapat disajikan Histogram Rata-rata
jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap panjang gelombang
cahaya LED
Gambar 2. Histogram Rata-rata jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam jaring angkat
terhadap panjang gelombang cahaya LED
Dari gambar 2 diatas memperlihatkan bahwa Lampu LED warna hijau lebih disukai
daripada Lampu LED warna lainnya, kemudian Lampu LED warna biru, lalu lampu
Lampu LED warna putih, Lampu LED warna merah dan paling sedikit warna kuning,
maka dapat diketahui bahwa ikan gatul lebih adaptif dengan panjang gelombang yang
pendek yaitu warna hijau sepanjang 548 nm dan warna biru dengan panjang 465 nm
dibandingkan dengan panjang gelombang yang panjang seperti yang dimiliki oleh warna
putih sepanjang 440-700 nm, warna merah sepanjang 653 nm dan kuning sepanjang 595
nm.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 45
Hal tersebut disebabkan karena intensitas cahaya yang di pancarkan LED kuning
paling kecil dibandingkan dengan lampu LED lainnya (ditunjukkan pada Lampiran ).
Sehingga intensitas cahaya yang diterima oleh ikan kurang optimal. Sedangkan warna
LED hijau dan biru memiliki intensitas cahaya yang besar dan diperkuat oleh Panjang
gelombang hijau dan biru yang memiliki panjang gelombang yang pendek sehingga daya
tembus ke dalam perairan semakin besar. Dan juga berdasarkan habitatnya ikan gatul
lebih terbiasa dengan warna hijau yaitu warna cahaya LED hijau yang menyerupai
kondisi dari lingkungan (air tambak) pemeliharaan oleh karena itu ikan gatul lebih adaptif
terhadap warna hijau.
Menurut Ayodhyoa, 1981 ikan tertarik oleh cahaya disebabkan oleh kekuatan dan
warna lampu yang digunakan. Ikan dapat membedakan warna cahaya asalkan cukup
terang dan masing-masing jenis ikan menyukai warna terang yang berbeda-beda.
Tabel 2 Rata-rata jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap variasi
intensitas cahaya LED warna Hijau
Intensitas Cahaya LED Jumlah ikan pada pengulangan ke -
Rata-rata 1 2 3 4 5
265,2 kLux 25 27 28 28 20 25.6
296,4 kLux 23 30 26 23 37 27.8
327,6 kLux 28 13 29 14 25 21.8
358,8 kLux 30 27 23 21 12 20.6
390 kLux 24 17 15 13 11 16
Dari data yang diperoleh pada Tabel 2. dapat disajikan Histogram Rata-rata
jumlah ikan gatul yang masuk ke dalam jaring angkat terhadap variasi intensitas cahaya
LED warna Hijau
Gambar 3 Histogram Rata-rata jumlah ikan Gatul yang masuk ke dalam jaring angkat
terhadap Intensitas Cahaya.
46 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Dari gambar 3 dapat diketahui bahwa intensitas cahaya 296.2 kLux mengumpulkan
ikan paling banyak sedangkan ikan paling sedikit berkumpul pada intensitas cahaya 296.2
kLux. Pada intensitas cahaya sebesar 327.6 kLux terjadi penurunan jumlah ikan gatul
yang masuk ke dalam jaring angkat. Hal ini disebabkan karena ikan juga memiliki
intensitas cahaya optimum, yaitu intensitas cahaya maksimum (paling kuat atau besar)
yang dapat diterima oleh sel indra penglihatan ikan. Apabila cahaya yang diberikan sudah
melebihi intensitas maksimum yang dapat diterima oleh ikan, maka ikan akan cenderung
menjauhi cahaya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa intensitas cahaya sebesar 296.2
kLux adalah intensitas maksimum yang dapat diterima oleh penglihatan ikan gatul.
Menurut Woodhead (1963) menyatakan bahwa tiap spesies ikan mempunyai intensitas
cahaya optimum yang berbeda-beda, tergantung susunan organ-organ tubuhnya.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Panjang gelombang dan intensitas cahaya tampak dengan menggunakan Lampu LED
memberikan pengaruh terhadap perilaku ikan liar dalam penelitian ini ikan liarnya
adalah ikan gatul.
2. Kesukaan warna cahaya LED ikan gatul adalah warna cahaya LED hijau dengan
panjang gelombang cahaya 548 nm dan intensitas cahaya optimum yang dapat
diterima oleh penglihatan ikan gatul sebesar 296,4 kLux.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Universitas Airlangga Surabaya dan
Laboratorium biofisika telah memfasilitasi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ayodhyoa. 1976. Teknik Penangkapan Ikan. Bagian Teknik Penangkapan Ikan. Institut
Pertanian Bogor.
Fujaya, Y. 2002. Fisiologi Ikan.Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Proyek
Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 146
hlm.
Fujaya, Y . 2004. Fisiologi Ikan . Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Jakarta:
PT Asdi Mahasatya.
Woodhead PMJ. 1966. The Behavior of Fish Relation to the Light in The Sea.
Eceanografy Marine Biology: Horald Barnes Edition. Rev. 4: 337-403.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 47
Studi Infiltrasi Tubulus Dentin Berbasis Hidroksiapatit yang
Berpotensi untuk Terapi Dentin Hipersensitif
Aditya Iman Rizqy1, Aminatun 2, Prihartini Widiyanti 3 1,2,3 Program Studi Teknobiomedik, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
E-mail : [email protected]
Abstract
Dentin hypersensitivity is pain that lasts shortly and sharp due to stimuli to an
open dentin which is caused by gingival recession. When the open dentin is exposed to a
stimuli from outside, fluid in the dentinal tubules experiences in and out mechanical
movements which may trigger the pain. This study aimed to infiltrate the dentin tubules
so that the open dentin tubules could be sealed back. Hydroxyapatite (HA) was chosen as
the infiltration base material since it is the largest component (70%) of dentin and also
biocompatible. Calcium phosphate precipitation method was used in this study.
Variations of HA concentration (0.133 M: 0.113 M: 0.093 M: 0.073 M: 0.053 M) were
conducted to observe the effect of HA addition to the microstructure and the
biocompatibility of the obtained precipitate. The SEM test result showed that the addition
of HA concentration resulted in denser and thicker precipitate, of which the
concentration of 0.133 M yielded the best precipitate. ANOVA test on the results of MTT
assay showed that increasing the HA concentration of the solution showed no significant
difference in the number of cells with the condition that the percentage of the living cells
is still below the toxicity threshold. Based on the SEM result, hydroxyapatite has the
potential as a material for dentine hypersensitivity therapy, yet an optimization to the
solutions’ concentrations would be necessary to obtain biocompatible solutions.
Keywords: hydroxyapatite, dentin hypersensitivity, dentin tubules, infiltration,
precipitation, calcium phosphate.
48 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Abstrak
Hipersensitivitas dentin adalah rasa sakit yang berlangsung singkat dan tajam
akibat rangsangan terhadap dentin yang terbuka karena gusi yang menurun. Ketika dentin
yang terbuka terpapar rangsangan dari luar, cairan dalam tubulus dentin mengalami
pergerakan mekanis ke dalam dan ke luar yang memicu timbulnya rasa nyeri. Penelitian
ini bertujuan untuk melakukan infiltrasi tubulus dentin sehingga tubulus dentin yang
terbuka dapat tertutup kembali. Hidroksiapatit (HA) dipilih menjadi bahan dasar infiltrasi
karena merupakan komponen terbesar (70%) penyusun dentin gigi serta sifatnya yang
biokompatibel. Metode presipitasi kalsium fosfat digunakan dalam penelitian ini.
Dilakukan variasi konsentrasi HA (0,133 M ; 0,113 M ; 0,093 M ; 0,073 M ; 0,053 M)
untuk diamati perbedaan struktur mikro dan biokompatibilitas tumpatan yang terbentuk.
Hasil Uji SEM menunjukkan bahwa seiring penambahan konsentrasi HA, presipitat yang
dihasilkan semakin padat dan tebal, dimana konsentrasi 0,133 M menghasilkan tumpatan
terbaik. Uji ANOVA pada hasil MTT Assay menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi
HA pada larutan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada jumlah sel hidupnya
dengan kondisi masih dibawah batas ambang toksisitas. Berdasarkan hasil SEM,
hidroksiapatit berpotensi sebagai bahan terapi dentin hipersensitif, namun perlu dilakukan
optimasi konsentrasi larutan untuk memperoleh larutan yang biokompatibel.
Kata kunci : hidroksiapatit, hipersensitivitas dentin, infiltrasi tubulus dentin, presipitasi,
kalsium fosfat.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 49
PENDAHULUAN
Salah satu masalah gigi sehubungan dengan rasa sakit yang banyak terjadi dan
sulit diatasi oleh dokter gigi adalah dentin hipersensitif (Orchardson et al., 2006) atau
yang lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah gigi sensitif saja. Pada tahun 2007,
sekitar 30 % penduduk dunia mengalami hipersensitivitas dentin (Carini dkk., 2007)
dengan tidak menutup kemungkinan terjadinya peningkatan prevalensi hingga saat ini.
Hipersensitivitas dentin didefinisikan sebagai rasa sakit yang berlangsung singkat
dan tajam akibat adanya rangsangan terhadap dentin yang terbuka (terpapar lingkungan
oral) (Kielbassa et al., 2002). Walaupun rasa sakit yang timbul hanya berlangsung
singkat, namun hal ini dapat mengakibatkan proses makan menjadi sulit (Aldo et al.,
2002). Rasa sakit tersebut akan mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan rongga mulut
dan bila tidak diatasi akan menimbulkan defisiensi nutrisi pada penderitanya (Camila
dkk., 2006).
Salah satu cara perawatan dentin hipersensitif adalah dengan menutup tubulus
dentin (saluran penghubung permukaan dentin dengan saraf pada pangkal dentin) untuk
mencegah rangsangan dari luar memicu rasa nyeri (Chu et al., 2010). Calcium oxalate,
contohnya, telah direkomendasikan sebagai perawatan efektif untuk dentin hipersensitif
berdasarkan presipitasi (penggumpalan) calcium oxalate dalam tubulus dentin. Perawatan
ini secara efektif menghilangkan hipersensitivitas pada tahap awal, namun ternyata hanya
bertahan sebentar saja dikarenakan larut/terkikisnya calcium oxalate itu sendiri (Kerns et
al., 1991).
Fazrina (2011) telah melakukan penelitian infiltrasi tubulus dentin dengan pasta
desensitasi pro-Argin yang mengandung arginin, asam amino, dan kalsium karbonat
sebagai sumber kalsium dalam pasta ini, dan diperoleh kedalaman tumpatan sedalam 2
µm saja. Tumpatan yang hanya 2 µm ini rentan terkikis oleh berbagai gerakan mekanis
cairan dalam mulut seperti halnya kocokan air ketika berkumur, sehingga banyak dokter
gigi menghimbau pada pasien untuk tidak berkumur terlalu lama setelah penyikatan gigi
dengan pasta desensitasi.
Penelitian oleh Bedi (2011) juga mendukung fenomena ini, dimana percobaannya
yang menggunakan bahan potassium nitrate juga menunjukkan pengikisan total pada
tumpatan setelah pembilasan langsung dengan aquades. Saat ini, telah ada pasta
desensitasi komersial yang mengandung kristal hidroksiapatit, namun bagaimanapun
penggunaan tumpatan dari pasta desensitasi masih memberikan kekhawatiran akan
50 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
hilangnya tumpatan setelah berkumur sehingga tumpatan dari pasta desensitasi tidak bisa
bertahan terlalu lama dalam dentin.
Ishikawa et al. (1995) melakukan antisipasi terhadap kasus serupa sebelumnya
dengan menginfiltrasi (menutup) tubulus dentin dengan metode presipitasi
(penggumpalan) kalsium fosfat dalam tubulus dentin yang menghasilkan tumpatan
(presipitat) sedalam ± 10-15 µm sehingga semua kekhawatiran di atas dikatakan dapat
teratasi.
Berdasarkan konsep di atas, perlu dilakukan upaya infiltrasi tubulus dentin
dengan kalsium fosfat seperti yang dilakukan Ishikawa et al. (1995). Kalsium fosfat
berjenis hidroksiapatit (HA) dipilih karena hidroksiapatit merupakan komponen terbesar
dari dentin (70 %) (Ismiawati, 2009) dan memiliki sifat biokompatibel, yakni tidak
menimbulkan reaksi inflamasi atau efek kerusakan hingga kematian sel jaringan sekitar
(Dainti, 2010). Presipitat HA yang dihasilkan akan dibandingkan dengan tumpatan yang
dihasilkan dari pasta desensitasi HA komersial terhadap pengaruh pengocokan dengan
aquades (simulasi proses kumur) untuk melihat perbedaan struktur mikro yang terjadi.
Upaya infiltrasi tubulus dentin berbasis hidroksiapatit dalam penelitian ini
diprediksikan akan menghasilkan tumpatan yang cukup dalam (lebih dari kedalaman
yang dihasilkan dari pasta desensitasi komersial) dan bisa menjawab kebutuhan akan
tumpatan yang lebih tahan pengaruh kumur yang berakibat pada kembalinya rasa nyeri
tajam karena hilangnya tumpatan.
BAHAN DAN METODE
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bubuk hidroksiapatit
(Ca10(PO4)6(OH)2), aquades, H3PO4 2 M, NaOH 1 M ; 1,5 M ; 2 M ; 2,5 M dan 3 M, HCl
0,6 M, serta 7 buah gigi molar manusia berusia 16-35 tahun (kondisi sehat/normal) yang
diperoleh dari Unit Bedah Mulut FKG Universitas Airlangga.
2. Metode
Metode dalam penelitian ini adalah presipitasi kalsium fosfat yang digunakan
Ishikawa et al. (1994) untuk menginfiltrasi tubulus dentin dengan bahan kalsium fosfat.
Ada 2 macam larutan yang digunakan dalam metode ini, yakni larutan HA dan NaOH
sebagai netralisator. Larutan HA disiapkan dengan melarutkan bubuk hidroksiapatit
dalam larutan H3PO4 2 M. Setelah larutan HA diaplikasikan pada sampel, larutan NaOH
diaplikasikan pada sampel yang sama. Larutan HA yang bersifat asam akan mengalami
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 51
kenaikan nilai pH setelah bercampur dengan larutan NaOH yang bersifat basa. Campuran
kedua larutan akan menghasilkan larutan dengan suasana netral sehingga hidroksiapatit
yang sebelumnya terlarut dalam H3PO4 akan terpresipitasi kembali membentuk gumpalan
yang dapat menyumbat saluran tubulus dentin pada sampel.
Perolehan nilai konsentrasi larutan HA jenuh yang dijadikan angka patokan
variasi dilakukan dengan menghitung jumlah bubuk HA maksimal yang dapat larut dalam
H3PO4 2 M. Eksperimen dilakukan dengan membuat larutan HA keruh terlebih dahulu.
Untuk memperoleh HA yang tak larut, digunakan alat centrifuge (Beckman tipe TJ-R
Refrigeration Unit) dengan memisahkan bubuk HA tak larut (endapan) dari larutan
jenuhnya (supernatan). Pemusingan dengan centrifuge dilakukan terhadap larutan HA
awal yang masih keruh selama 15 menit dengan kecepatan 2200 rpm sampai diperoleh
endapan pada dasar tabung centrifuge. Endapan yang diperoleh dicuci berulang kali
dengan aquades hingga kondisi netral kemudian dipisahkan dari aquades yang tersisa.
Endapan lembab dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100° C selama 1 jam untuk
menguapkan semua aquades yang masih tercampur. Jumlah endapan HA ini digunakan
untuk menentukan jumlah HA maksimal yang larut.
Tabung Durham sebanyak 5 buah disiapkan untuk mensimulasikan presipitasi
yang terjadi pada 5 variasi larutan HA yang ditentukan. Larutan HA diteteskan pada
kelima tabung masing-masing 1 tetes sesuai urutan variasinya. Kemudian NaOH 1 M
diteteskan masing-masing juga 1 tetes pada kelima tabung yang sebelumnya sudah berisi
larutan HA untuk menetralisasi larutan. Kondisi presipitat yang terbentuk diamati satu per
satu selama 6 jam.
3. Karakterisasi
Beberapa uji dilakukan, antara lain uji karakterisasi SEM, uji sitotoksisitas MTT
Assaydan uji ANOVA satu arah. Hasil dari masing-masing uji kemudian dianalisis
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penentuan variasi konsentrasi HA
Hasil eksperimen menunjukkan bahwa nilai konsentrasi larutan HA jenuh yakni
sebesar 0,133 M. Eksperimen ini dilakukan hanya dengan sekali percobaan, sehingga
peneliti menyatakan bahwa konsentrasi larutan HA sebesar 0,133 M ini menggambarkan
kondisi larutan yang mendekati tepat jenuh. Angka 0,133 M inilah yang kemudian
menjadi patokan dalam penentuan angka konsentrasi yang lain, sehingga diperoleh
52 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
deretan variasi konsentrasi 0,133 M ; 0,113 M ; 0,093 M ; 0,073 M dan 0,053 M untuk 5
larutan HA yang digunakan dalam penelitian ini.
2. Simulasi presipitasi dengan tabung Durham
Simulasi ini dilakukan untuk sedikit memberikan gambaran proses presipitasi
yang terjadi di dalam tubulus dentin secara kasat mata sebelum diaplikasikan langsung
pada sampel dentin serta untuk memastikan keberhasilan proses karakterisasi SEM. Hasil
simulasi ini ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel. 1. Kondisi presipitat dalam tabung Durham
Berdasarkan Tabel 1, NaOH 3 M pada akhirnya dipilih untuk digunakan sebagai
netralisator dalam penelitian ini karena menghasilkan presipitat yang mampu bertahan
(kuat) dan tidak rontok kembali ke dasar tabung hingga jam ke-6 bahkan pada seluruh
variasi larutan HA.
3. Hasil SEM
Karakterisasi SEM terhadap tumpatan juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa
HA dapat digunakan untuk menginfiltrasi tubulus dentin, serta memberikan gambaran
pengaruh penambahan konsentrasi HA dalam metode presipitasi kalsium fosfat terhadap
mikrostruktur tumpatan yang dihasilkan. Struktur mikro dari presipitat (tumpatan)
sebelum dan sesudah pengocokan dengan aquades dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 53
Gambar 1. Dentin sebelum perlakuan (A) ; tumpatan pasta HAP komersial (B) ; dan
tumpatan HAP 0,133 M (C) ; 0,113 M (D) ; 0,093 M (E) ; 0,073 M (F) dan 0,053 M (G)
(Magnifikasi 2500X untuk semua sampel)
A
D C
E F
B
G
54 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Gambar 1 menunjukkan bahwa larutan HA dengan konsentrasi 0,133 M (C)
menghasilkan tumpatan yang paling padat (kompak) dan menutup seluruh permukaan
dentin secara merata dibandingkan dengan keempat konsentrasi lainnya (D-G). Pasta HA
komersial (B) pun terlihat tidak menutup permukaan dentin secara merata dan masih
menyisakan tubulus dentin yang terbuka.
Gambar 2. Tumpatan HA setelah pengocokan dengan aquades : pasta HA komersial (A) ;
0,133M (B) ; 0,113M (C) ; 0,093M (D) ; 0,073M (E) dan 0,053M (F) (Magnifikasi
2500X)
A B
C D
E F
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 55
Gambar 2 menunjukkan bahwa bahkan setelah pengocokan dengan aquades,
tumpatan dengan konsentrasi HA 0,133 M (B) masih meninggalkan tumpatan hingga ke
dalam tubulus dentin, tidak hanya di permukaan saja seperti yang dihasilkan dari larutan
HA konsentrasi 0,073 M (E) yang berupa lapisan presipitat tipis sehingga banyak bagian
yang retak akibat pengocokan. Pada bagian bawah lapisan yang hilang pun (tanda panah),
tidak terlihat presipitat yang masih mengisi bagian dalam tubulus dentin. Sedangkan
tumpatan yang dihasilkan pasta HA komersial menunjukkan tubulus dentin yang makin
terbuka lebar setelah pengocokan dengan aquades (A). Hal ini relevan dengan pernyataan
Strassler (2008) bahwa efektivitas penggunaan pasta desensitasi memang baru bisa
ditunjukkan setelah penggunaan rutin selama ± 2 minggu.
3. Hasil Uji MTT Assay
Hasil uji MTT Assay menunjukkan bahwa larutan HA 0,093 M ; 0,113 M dan
0,133 M secara berurutan menyisakan sel hidup sebanyak 34,49 % ; 34,75 % dan 36,48
%. Sebelum dilakukan uji untuk menganalisis hasil OD formazan antar kelompok
konsentrasi, pengujian distribusi dan homogenitas sampel dilakukan terlebih dahulu. Uji
normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov Test menunjukkan p = 0,997 yang berarti bahwa
semua kelompok konsentrasi memiliki distribusi normal (p > 0,05). Uji homogenitas
dengan Levene Statistic menunjukkan p = 0,604 yang berarti bahwa semua kelompok
konsentrasi memiliki varians yang homogen (p > 0,05). Setelah diketahui semua
kelompok konsentrasi berdistribusi normal dan homogen, dilakukan uji parametrik
ANOVA satu arah dengan taraf kemaknaan 5% untuk mengetahui perbedaan nilai OD
formazan antar kelompok konsentrasi. Probabilitas yang diperoleh adalah sebesar 0,456
(p > 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah sel hidup yang
bermakna antar kelompok konsentrasi yang diuji.
Berdasarkan prosentase sel yang hidup, baik larutan HA 0,093 M ; 0,113 M
maupun 0,133 M, semuanya masih bersifat toksik dikarenakan menyisakan sel hidup
kurang dari 60 %. Hal ini diduga karena sifat asam larutan HA 0,093 M ; 0,113 M dan
0,133 M yang masih terlalu kuat dengan nilai pH masing-masing 1,40 ; 1,43 dan 1,49
(hasil pengukuran dengan pH meter).
56 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
KESIMPULAN
1. Karakterisasi SEM (Scanning Electron Microscopy) menunjukkan bahwa HA dapat
digunakan untuk infiltrasi tubulus dentin.
2. Penambahan konsentrasi HA pada larutan, menghasilkan presipitat yang lebih padat
dan tebal, dimana konsentrasi 0,133 M menghasilkan tumpatan terbaik.
3. Peningkatan konsentrasi HA pada larutan tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna pada jumlah sel hidupnya dengan kondisi masih dibawah batas ambang
toksisitas.
SARAN
1. Semua larutan HA maupun NaOH dari metode yang digunakan dalam penelitian ini
masih bersifat toksik, karena itu perlu dilakukan optimasi lebih lanjut pada H3PO4
(pelarut hidroksiapatit) menggunakan pH yang lebih tinggi (konsentrasi di bawah 2
M), serta NaOH dengan pH yang lebih rendah (konsentrasi di bawah 3 M) hingga
diperoleh larutan HA dan NaOH yang aman/non-toksik.
2. Uji in vivo perlu dilakukan setelah diperoleh larutan HA dan NaOH yang aman/non-
toksik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Ibu Aminatun, Ibu Prihartini Widiyanti, Ibu
Retna Apsari dan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya fullpaper ini.
DAFTAR PUSTAKA
Addy, M., 2002. Dentine hypersensitivity: new perspectives on an old problem. Int Dent
J
Aldo, B., 2002. Jr. Laser therapy in the treatment of Dental hypersensitivity.
http://www.walt.nu
Bedi, G., 2011. Clinical and Scanning Electron Microscopic Evaluation of Various
Concentrations of Potassium Nitrate as a Desensitizing Agent. Volume 6, Smile
Dental Journal
Camila, 2006. Efficacy of Gluma Desensitizer® on dentin hypersensitivity in
periodontally treated patients. Braz Oral Res 2006
Carini, F., 2007. Effects of a ferric oxalate dentin desensitizier: SEM analysis. Research
Journal of Biological Sciences
Chu, C., 2010. Management of dentine hypersensitivity. Dental Bulletin Maret
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 57
Dainti, E.A., 2010. Pengaruh Penambahan Hydroxyapatite Terhadap Karakteristik
Amalgam High Copper Tipe Blended Alloy. Skripsi Program Sarjana. Surabaya :
UNAIR.
Fazrina, N., 2011. Perawatan Non-Invasif Hipersensitivitas Dentin dengan Pro-Argin.
Skripsi Program Sarjana. Medan : USU.
Imai, Y., 1990. A New Method of Treatment for Dentin Hypersensitivity by Precipitation
of Calcium Phosphate in situ. Japan : Tokyo Medical and Dental University.
Ishikawa, K., 1994. Occlusion of Dentinal Tubules with Calcium Phosphate Solution
Followed by Neutralization. Japan : Tokushima University.
Ismiawati, I.D., 2009. Analisis Sifat Mekanik dan Struktur Kristal Hidroksiapatit pada
Enamel Gigi Akibat Paparan Laser Nd-YAG. Skripsi Program Sarjana. Surabaya
: UNAIR.
Kerns, D.G., 1991. Dentinal Tubule Occlusion and Root Hypersensitivity. Journal
Periodontal.
Kielbassa, A.M., 2002. Dentine hypersensitivity: Simple steps for everyday diagnosis and
management. International Dental Journal
Muchtaridi, 2006. Kimia 2. Indonesia : Yudhistira.
Orchardson, R., 2006. Managing dentin hypersensitivity. J Am Dent Assoc
Strassler, H. dan Serio, F., 2008. Dentinal Hypersensitivity : Etiology, Diagnosis, and
Management. USA : The Academy of Dental Therapeutics and Stomatology.
58 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Sintesis dan Karakterisasi Kolagen dari Tendon Sapi (Bos
Sondaicus ) sebagai Bahan Bone Filler Komposit
Kolagen – Hidroksiapatit
Agnes Krisanti Widyaning, Adri Supardi2, Prihartini Widiyanti2
1Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
2Staf Pengajar Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis komposit
kolagen – hidroksiapatit dengan memanfaatkan tendon sapi, mengetahui karakteristik
mikro dan biologis komposit kolagen – hidroksiapatit, serta mengetahui variasi
komposisi komposit kolagen – hidroksiapatit yang terbaik untuk dapat diaplikasikan
sebagai bahan implant. Prosedur penelitian yang dilakukan adalah mensintesis kolagen
dari tendon sapi dengan cara merendam 70 gram tendon dalam 5% HCl selama 24
jam pada suhu 4ºC. Perendaman dilakukan dengan perbandingan b:v 1:20. Setelah masa
perendaman, filtrat hasil perendaman ditambahkan 1N NaOH. Akan terbentuk gumpalan
putih, yang kemudian disaring menggunaka kertas saring. Kolagen basah yang terbentuk
sebanyak 13,86%, kemudian dikompositkan dengan hidroksiapatit dengan 7
variasi komposit kolagen - hidroksiapatit yaitu 100:0; 0:100; 30:70; 40:60; 50:50; 60:40
dan 70:30. Produk hidroksiapatit yang digunakan berasal dari Instalasi Pusat
Bioamaterial dan Bank Jaringan Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya. Hasil FTIR
komposit terdeteksi adanya pita serapan vibrasi asimetri streching (υ3) fosfat
(PO43-), pita serapan υ3 karbonat (CO3-2), pita serapan NH dan pita serapan OH.
Hasil uji toksisitas menunjukkan sel dapat hidup semua lingkungan sampel. Hasil
karakteristik biologi sampel menunjukkan bahwa sampel pada perbandingan kolagen :
hidroksiapatit 40 : 60 memiliki potensi besar untuk dijadikan bone filler dengan nilai uji
MTT Assay 108,1%.
Kata Kunci : Kolagen Tendon, Hidroksiapatit, Komposit kolagen
–hidroksiapatit, bone filler.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 59
Abstract
This study aims to synthesize the composite collagen - hydroxyapatite by using
bovine tendon, Knowing and biological characteristics of the micro- composite collagen -
hydroxyapatite, and Knowing the composition variation of the composite collagen -
hydroxyapatite is best to be applied as an implant material. The procedure is to synthesize
research conducted collagen from bovine tendon by soaking 70 grams of tendon in 5%
HCl for 24 h at 4 º C. Soaking is done by comparison wv 1:20. After the immersion,
the filtrate was added 1N NaOH immersion results. Will form white lumps, which make
use of filter paper and then filtered. The results of this white blob is wet collagen.
Collagen is formed and then wet yag dikompositkan with hydroxyapatite with 7
variations of hydroxyapatite collagen composite is 100:0; 0:100; 30:70: 40:60: 50:50:
60:40 and 70:30. Products derived from hydroxyapatite used Bioamterial Central Bank
Network Installation General Hospital Dr. Soetomo Surabaya. FTIR results
weredetected composite asymmetric stretching vibration absorption band (υ3) phosphate
(PO43-), υ3 absorption band of carbonate (CO3-2), NH absorption band and the OH
absorption band. For the toxicity test results indicate the cell can survive all
environmental samples. The results of the biological characteristics of the samples
showed that the samples on a comparison of collagen: hydroxyapatite-40: 60 has
great potential to be used as bone filler by the MTT test Assay108, 1%.
Key word : Tendon bovine, Hydroxyapatite, Collagen–Hydroxyapatite
Composite, Bone Filler.
60 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
PENDAHULUAN
Kualitas hidup manusia bergantung pada kesehatan organ dan
jaringan.Terganggunya fungsi organ atau jaringan dapat menyebabkan kerusakan
yang fatal bagi tubuh. Bila suatu organ telah mengalami kerusakan yang cukup fatal,
maka perlu dilakukan tindakan untuk mengganti organ atau jaringan yang rusak
tersebut. Penggantian organ atau jaringan inilah yang disebut sebagai implant. Ketika
autograft dan allograft sudah tidak memungkinkan untuk digunakan, maka solusi yang
tepat adalah penggunaan biomaterial sebagai implant.
Tendon sapi banyak ditemukan dipasaran, mudah didapat dan harga cukup
terjangkau. Tendon sapi juga memiliki kandungan kolagen yang cukup tinggi. Kolagen
secara luas diaplikasikan dalam bidang medis karena sifatnya yang biokompatibel dengan
tubuh dan biodegradable. Protein kolagen telah banyak digunakan untuk perbaikan
jaringan tulang karena protein ini mampu untuk merangsang pertumbuhan sel – sel tulang
baru (Lee et al, 2001).
Hidroksiapatit ( Ca10(PO4)6(OH)2) adalah salah satu biomineral paling penting
yang ditemukan alami pada jaringan keras. Hidroksiapatit memiliki biokompatibilitas
yang sangat baik dengan jaringan keras, osteokondutivitas tinggi dan bioaktivitas
meskipun laju degradasi rendah, serta kekuatan mekanik dan potensi osteoinduktif yang
baik ( Rodrigues et al, 2003 ). Hidroksiapatit digunakan dalam rekonstruksi tulang karena
struktur kimia yang mirip dengan komposisi anorganik tulang manusia.Tulang
merupakan bagian tubuh kompleks yang terdiri dari protein, terutama kolagen dan
mineral hidroksiapatit. Oleh karena itu, penelitian sekarang banyak difokuskan pada
biomaterial hidroksiapatit dengan protein dan polimer sintetis lainnya yaitu kolagen .
Komposit kolagen – hidroksiapatit berbentuk scaffold banyak dimanfaatkan
untuk memperbaiki jaringan tulang rusak. Namun dalam aplikasinya, tidak semua
scaffold dapat memenuhi kebutuhan untuk menutupi bagian tulang yang rusak.
Diperlukan suatu bone filler untuk mengisi ruang kosong antar scaffold.
Menurut pendapat ahli dalam bidang ortopedi, untuk aplikasi bone filler banyak
digunakan untuk keperluan bedah mulut, perbaikan struktur wajah dan perbaikan
jaringan tulang rawan. Untuk tulang panjang (long bone), sangat jarang bone filler
diaplikasikan karena kurang memberikan sifat mekanik yang diharapkan.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 61
MATERIAL DAN METODE Material
Bahan yang digunakan untuk pembuatan sampel adalah 37% asam klorida
(HCl), 40 gram NaOH, asam fosfat, 1M NH4OH, 5% asam asetat (CH3COOH), 1M
Na2HPO4.2H2O, akuades, 70 gram tendon sapi, serta 10 gram hidroksiapatit tulang sapi
bubuk. Untuk karakterisasi sampel, bahan yang diperlukan antara lain sel fibroblast,
larutan PBS, EMS 5%, tripsin 0,25%, pewarna MTT, DMSO, serum sapi 10%.
Preparasi Tendon Sapi
Tendon sapi yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari rumah
potong hewan (RPH) Pegirikan Surabaya. Langkah pertama proses sintesis
kolagen adalah mencuci bersih tendon sapi dengan air mengalir. Kemudian tendon
dipotong kecil dan dihancurkan. Pemotongan dan penghancuran tendon berguna untuk
memperluas permukaan tendon sehingga mengoptimalkan interaksi molekul kolagen
dengan larutan pada saat perendaman maupun ekstraksi. Ekstraksi Kolagen
Tendon yang sudah dipotong, dihancurkan dan ditimbang seberat 70 gram,
kemudian direndam dalam 5% HCl dengan perbandingan berat tendon dan volume
HCl adalah 1 : 20 agar tendon terendam sempurna pada suhu 4ºC. Setelah mencapai 24
jam waktu perendaman, cairan dipisah melalui penyaringan dengan kain. Filtrat hasil
perendaman ditambahkan dengan larutan NaOH 1 N sampai pH mencapai Ketika pH
netral, terbentuk gumpalan putih yang berkumpul ditengah filtrat, kemudian didiamkan
selama 30 menit hingga gumpalan putih tersebut mengendap dan selanjutnya disaring.
Komposit Kolagen Hidroksiapatit.
Hidroksiapatit yang digunakan berasal dari tulang sapi produk Instalasi Pusat
Bioamterial dan Bank Jaringan Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya. Dilakukan 7
variasi komposit kolagen – hidroksiapatit yaitu 100:0; 0:100; 30:70; 40:60; 50:50;
60;40 dan 70:30. Metode pembuatan komposit mengacu pada metode Wenpo et al
(2009) dengan modifikasi.
Kolagen dilarutkan dalam 1M asam asetat kemudian ditambahkan
Na2HPO4.2H2O dengan perbandingan 1:1:1. Larutan yang masih bersifat asam ini
dinetralkan dengan menambahkan 1M NaOH. Hidroksiapatit dilarutkan dalam asam
fosfat dengan perbandingan 1:4. Dinetralkan dengan NH4OH. Larutan kolagen dan
larutan hidroksiapatit kemudian dicampurkan dan diaduk selama 15 menit. Larutan
62 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
diendapkan ± 6 jam. Cairan diatas endapan dibuang, dan endapan dituang dalam cetakan
untuk selanjutnya di- freeze drying. Komposit yang didapat berbentuk bubuk. Fourier
Transform Infra Red (FTIR) Karakterisasi sampel kolagen dan sampel omposit
kolagen – hidroksiapatit menggunakan FTIR Jasco – 4200.
MTT Assay
Kultur sel fibroblast dilakukan dengan mengambil sel BHK-21 (baby hamster
kidney). Uji menggunakan wadah microwell plate 96. Satu baris plate diisi oleh
kontrol media, satu baris lainya untuk kontrol sel, dan sisanya untuk pengujian sampel.
Sebagai kontrol sel dibuat dengan cara menambahkan bovine serume dan medium
eagle kedalam satu baris plate. Kemudian kontrol media dibuat dengan menambahkan
medium eagle dan sel fibroblast kedalam satu baris plate lainya. Sampel yang akan
diuji berbentuk serbuk. Sampel dilarutkan kedalam medium eagle dan bovinne
serume sampai mencapai 50cc. Sebanyak 50µl larutan sampel diambil, untuk kemudian
dilakukan uji.
Setelah sampel diteteskan kedalam plete dengan 8 kali perulangan, semua
sampel termasuk kontrol sel dan kontrol media diberi pewarna MTT stock solution
((3-(4,5-Dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide). Jumlah sel hidup
kemudian dihitung dengan menggunakan Elisa Reader.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perendaman 70 gram kolagen dengan HCl 5% menghasilkan kolagen basah
sebesar 9,7 gram dengan prosentase :
9.7 𝑔𝑔𝑟𝑟𝑑𝑑𝑚𝑚 70 𝑔𝑔𝑟𝑟𝑑𝑑𝑚𝑚 𝑥𝑥 100% = 13.86%
Menurut Li (2003), ikatan antar molekul kolagen dalam otot bagian kulit dan
atau tulang akan meregang ( melunak ) pada kondisi pH dibawah 4 atau diatas 10. Wang
(1994) menyatakan bahwa rantai protein kolagen apabila dipotong (dipecah) dengan
HCl akan dihasilkan asam amino dan rantai polipeptida.
Hasil spekstroskopi kolagen tendon sapi pada Gambar 1 menunjukkan adanya
daerah serapan amida A pada 3438,46 cm-1 (titik no.7). Daerah serapan amida A
merupakan daerah dimana terdapat ikatan NH streching yang berasosiasi dengan ikatan
hidrogen dan OH dari hidroksiprolin ( Puspawati et al, 2012 ). Daerah serapan 1421,28
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 63
cm-1 dan 1449,24 cm-1 (titik no.12 dan no.13) menunjukkan adanya bending OH
yang terdapat pada daerah sekitar 1300 – 1550 cm-1. Daerah ini teridentifikasi sebagai
serapan amida II. Adanya gugus OH dimungkinkan karena masih ada senyawa OH
dari air yang digunakan untuk mengekstraksi kolagen.
Gambar 1. Spektrum FTIR kolagen tendon sapi
Terlihat pula daerah serapan amida I pada bilangan gelombang 1638,23 cm-1
(titik no. 11) . Daerah serapan ini menunjukkan adanya ikatan C=O streching
dengan kontribusi dari NH bending (Puspawati et al, 2012) dan O-H yang berpasangan
dengan gugus karboksil ( Suwardi et al, 2010). Serapan amida III kolagen tendon sapi
teridentifikasi didaerah 1125,26 cm-1 (titik no. 14 ) yang merupakan gugus dari NH
bending.
Sedangkakan hasil FTIR hidroksiapatit pada gambar 2 menunjukkan
adanya pita serapan vibrasi asimetri streching (υ3) fosfat (PO4) pada b ilangan
gelombang 1049,31 cm -1 dengan puncak yang sangat tajam. Terlihat juga adanya pita
serapan υ3 karbonat (CO3-2) pada bilangan gelombang 1461,05 cm-1 dan 1416,31
cm-1 dengan intensitas sangat lemah. Adanya kandungan karbonat mengurangi
tingkat kristalinitas hidroksiapatit (Mulyaningsih, 2007).
64 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Gambar 2. Spektrum FTIR hidroksiapatit tulang sapi
Pada daerah panjang gelombang 3571,42 cm-1 dan 632,19 cm-1 terdeteksi
daerah serapan gugus hidroksil (OH) dengan intensitas yang lemah. Kristal hidroksiapatit
ditandai oleh pita vibrasi asimetri bending (υ4) dalam bentuk pita
belah dengan maksimum pada 570,52 cm-1 dan 602,43 cm-1. Sedangkan daerah
serapan maksimum kristal hidroksiapatit yang tampak menyatu dengan pita υ4 pada
daerah 632,19 cm-1 bukan berasal dari PO43-, melainkan dari gugus OH. Selain
menunjukkan kehadiran kristal apatit, kadar belah pita serapan υ4 menunjukkan
kandungan fase kristal apatit dalam sampel ( Djawarni dan Wahyuni, 2002).
Ketika dikompositkan, hasil FTIR komposit terlihat pada gambar 3 yang
menunjukkan adanya serapan amida A dan amida I yang mengalami pergeseran dari hasil
FTIR kolagen murni (gambar 1). Amida A bergeser dari posisi spektrum awal 3438,46
cm-1 ke titik 3112,55 cm-1 (titik no. 3) Pergeseran spektrum amida A dipengaruhi oleh
kehadiran gugus OH dari penambahan hidroksiapatit. Daerah amida I mengalami
pergeseran dari spektrum awal pada daerah 1638,23 cm-1 ke titik 1675,84 cm-1 (titik
no. 9) dan 1716,34 cm-1 (titik no.8). Demikian pula daerah amida II, terjadi pergeseran
dari spektrum awal pada titik 1421,28 cm-1 dan 1449,24 cm-1 ke titik 1461,78
cm-1 (titik 11), yang merupakan gugus deformasi NH dan di titik 1402 cm-1 (titik 12),
yang merupakan gugus CH2 dari prolin. Spektrum amida III tidak tampak akibat
adanya interaksi antara kolagen dan hidroksiapatit.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 65
Gugus fosfat (PO43-) milik hidroksiapatit juga terlihat mengalami
pergeseran di daerah 1072,23 cm-1 (titik no. 15). Sedangkan kristal hidroksiapatit
mengalami pergeseran dari spektrum awal pada 570,52 cm-1 dan 602,43 cm-1 ke titik
di daerah 552,506 cm-1 (titk no.23 Gambar 4.3) dan 536,114 cm-1 (titik no.24).
Gambar 3. Spektrum FTIR komposit kolagen – hidroksiapatit
Hasil dari pergeseran spektrum ikatan amida antara spektrum kolagen dan
spektrum komposit kolagen – hidroksiapatit, menunjukkan bahwa terjadi ikatan
hidrogen yang terbentuk antara gugus OH dari hidroksiapatit dan gugus NH dari kolagen.
Hilangnya pita amida III pada daerah sekitar 1229 – 1301 cm-1, memperkuat indikasi
adanya ikatan hidrogen. Sedangan atom Ca2+ dari hidroksiapatit dengan gugus –COO-
dari kolagen membentuk ikatan koordinasi atom anorganik – organik sperti pada Gambar
4.4 (Sionkowska et al, 2010).
Gambar 4. Sketsa struktur ikatan komposit kolagen – hidroksiapatit
( ikatan koordinasi, ----- ikatan hidrogen )
66 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Hasil pengujian selanjutnya adalah uji toksisitas dengan metode MTT Assay.
Prosentase jumlah sel hidup untuk uji MTT dapat dihitung dengan persamaan :
Hasil analisis perhitungan uji MTT Assay dapat dilihat pada tabel 1. Pada
uji MTT Assay, suatu bahan dikatakan tidak toksik apabila prosentase sel hidup
masih diatas 60% (Wijayanti,2010). Dibawah 60% menunjukkan bahwa sampel
tersebut bersifat toksik dan berbahaya bila diaplikasikan dalam tubuh.
Sampel A dan sampel B merupakan sampel kontrol. Sampel A adalah sampel
kolagen tanpa perlakuan, sedangkan sampel B adalah sampel hidroksiapatit tanpa
perlakuan. Pada sampel A, hasil uji MTT Assay mencapai lebih dari 100%, yaitu
119,4%. Hal ini menunjukkan bahwa sampel kolagen tidak toksik dan mampu
menumbuhkan sel fibroblast. Kolagen merupakan suatu protein bioresorbable alami, yang
umum digunakan sebagai perancah atau filler untuk regenerasi jaringan. Kolagen tipe
1 digunakan sebagai perancah atau filler jaringan tulang. Dalam aplikasi perbaikan
jaringan tulang, umumnya kolagen dipakai dalam bentuk komposit, karena jaringan
tulang bukan merupakan jaringan lunak, melainkan jaringan keras. Sedangkan sifat
kolagen adalah lentur dan lunak, sehingga perlu penambahan bahan lain. Dalam
penelitian ini, kolagen dijadikan sebagai matriks dari komposit kolagen –
hidroksiapatit yang bisa dijadikan sebagai bone filler.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 67
TABEL 1 Hasil Uji MTT Assay
Nama Sampel
Rata rata sel hidup Kontrol Sel Kontrol Media % Sel Hidup
Sampel A 0,127 0,091 0,093 119,4
Sampel B 0,080 0,091 0,093 94,3
Sampel C 0,084 0,091 0,093 96,1
Sampel D 0,106 0,091 0,093 108,1
Sampel E 0,079 0,091 0,093 93,9
Sampel F 0,073 0,091 0,093 90.2
Sampel G 0,861 0,091 0,093 97,4
Sampel B merupakan hidroksiapatit menujukkan hasil uji 94,3% yang
menunjukkan sampel ini tidak toksik. Hidroksiapatit memiliki biokompatibilitas yang
baik terhadap kontak langsung dengan tulang. Untuk sampel C, sampel D, sampel E,
sampel F dan sampel G berturut – turut memiliki prosentase hasil uji sebesar 96,1% ;
108,1% ; 93,9% ; 90,2% dan 97,4%.
Kelima variasi sampel ini juga menunjukkan bahwa sampel tidak toksik. Namun
pada sampel D, hasil MTT Assay mencapai 108,1%. Hal ini menunjukkan bahwa ada sel
yang tumbuh pada sampel (proliferasi). Sampel D merupakan sampel dengan variasi
kolagen : hidroksiapatit 40 : 60. Hasil uji MTT 5 variasi sampel dapat disajikan dalam
bentuk grafik.
Gambar 5. Diagram Hasil Uji MTT Assay 5 Sampel Variasi
68 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Secara keseluruhan hasil uji MTT Assay pada semua variasi sampel
menunjukkan hasil yang baik dan tidak toksik. Variasi sampel yang terbaik
adalah pada sampel D, yaitu variasi kolagen : hidroksiapatit 40 : 60, karena
mampu menunjukkan adanya aktivitas pertumbuhan sel.
KESIMPULAN
Hasil spekstroskopi FTIR komposit kolagen - hidroksiapatit terdeteksi adanya
gugus N-H dari amida A di serapan 3112,55 cm-1, gugus N-H dari amida I terdeteksi
didaerah 1675,84 cm-1 dan 1675,84 cm-1, gugus N-H dari amida II 1240,97 cm-1,
gugus N-H dari amida III pada serapan 1461,78 cm-1 gugus O-H pada daerah
serapan 607,467 cm-1, gugus PO43- pada 1072,23 cm-1 dan gugus karboksil C=O
streching pada titik 1716,34 cm-1 .
Hasil karakteristik biologi sampel menunjukkan bahwa sampel pada
perbandingan kolagen : hidroksiapatit 40 : 60 memiliki potensi besar untuk dijadikan
bone filler dengan nilai uji MTT Assay 108,1%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Bapak Drs. Adri Supardi, M.Sc, Ibu Dr.
Prihartini Widiyanti, drg., M.kes, Ibu Dyah Hikmawati S.Si M.Si serta pihak pihak yang
terlibat dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Lee, C.H (a),. Singla, A (a),. Lee, Y(b). 2001. Biomedical Application of Collagen .
(a)Department of Pharmaceutics, College of Pharmacy, The University of
Missouri-Kansas City, (b) School of Interdisciplinary Computing and
Engineering, The Uni_ersity of Missouri-Kansas City, Kansas City,
MO64110, USA
Li, Shu-Thung. 1993. Collagen Biotechnology and it’s Medical Application.
Biomed. Eng. ppl.Baia Comm. 5 : 646-657
Mulyaningsih, N.N. 2007. Karakterisasi Hidroksiapatit Sintetik dan Alami pada
Suhu 1400ºC. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 69
Mulyaningsih, Neng Nenden. 2007. Karakterisasi Hidroksiapatit Sintetik dan
Alami pada Suhu 1400ºC. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Puspawati ,N.M., Simpen, I.N., Sumerta Miwada, I.N.. 2012. Isolasi Gelatin dari Kulit
Kaki Ayam Broiler dan Karakterisasi Gugus Fungsinya dengan Spektrofotometri
FTIR. Universitas Udayana. Bali.
Rodrigues ,C.V.M., Serricella, P., Linhares, ABR., Guerdes, RM., Duarte, MEL., Farina,
M. 2003. Characterization of a Bovine Collagen–Hydroxyapatite Composite
Scaffold for Bone Tissue Engineering. Brazil.
Sionkowska, A., Kowslowska, J. 2010. Characterization of Collagen/Hydroxyapatite
Composite Sponges as a Potential Bone Subtitute.Faculty of Chemistry.
Copernicus University. Torun. Polandia
Suwardi, Yuniarto., Atmaja, Lukman., Martak, Fahimah. 2010. Pengaruh Variasi
Larutan Asam pada Isolasi Gelatin Kulit Ikan Patin (Pangasius hypothalmus)
terhadap Sifat – Sifat Kimia dan Fisik. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.
Wang, D. 1994. Studies on Manufacturing a Functional Ingredient from Porcine skin
Collagen by Enzyme Hidroyst. Tungai University, Taichung. Taiwan.
Wenpo Feng, Keyong Tang, Xuejing Zheng, Yuanming Qi, Jie Liu. 2009.
Preparation and Characterization of Porous Collagen / Hydroxyapatite / Gum arabic
Composite. China.
Wijayanti, Fitria. 2010. Variasi Komposisi Cobalt Chromium pada Komposit Co- Cr-
HAP sebagai Bahan implan. Departemen Fisika. Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas. Surabaya
70 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No. 1, Vol. 4, Desember 2013
Perancangan Aplikasi Audiometer Nada Murni dan Tutur
untuk Diagnosis Pendengaran
Sabrina Ifahdini S1, Adri Supardi2, Franky Chandra3
1,2,3Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian dengan tujuan merancang suatu perangkat lunak
Audiometer nada murni maupun tutur yang lebih praktis, efektif, dan efisien dan mampu
menampilkan audiogram nada murni maupun tutur serta hasil diagnosis gangguan
pendengaran pasien pada frekuensi 250 Hz hingga 8 kHz secara langsung dan disimpan
dalam database. Dalam penelitian ini, sistem aplikasi perangkat lunak audiometer telah
diprogram menggunakan Delphi untuk dapat menghasilkan nada murni dengan
memanfaatkan soundcard dari komputer/laptop. Dalam proses pembangkitan nada murni
ini dibutuhkan suatu komponen audio bernama Tonegen. Sedangkan untuk audiometer
tutur, dibutuhkan suatu rekaman kata-kata yang telah dibakukan yakni PB List yang untuk
selanjutnya diujikan pada pasien. Variabel frekuensi memiliki tingkat akurasi sebesar
100% dan tingkat presisi sebesar 100%. Variabel taraf intensitas untuk headphone kanan
memiliki tingkat akurasi sebesar 99,4% dan tingkat presisi sebesar 99,85%, sedangkan
untuk headphone kiri memiliki tingkat akurasi sebesar 99,45% dan tingkat presisi sebesar
99,84%.
Kata kunci : audiometer nada murni, audiometer tutur, perangkat lunak, gangguan
pendengaran, diagnosis pendengaran.
Jurnal Fisika Dan Terapannya |No. 1, Vol. 4, Desember 2013 71
ABSTRACT
It has been conducted a research with the goal of designing a pure tone and
speech audiometer software that is more practical, effective, efficient and capable of
displaying pure tone and speech audiogram as well as the diagnosis of hearing loss
patients at a frequency 250 Hz to 8 kHz and stored directly in to database. In this study,
the application system audiometer software was programmed using Delphi to be able
producing pure tones using soundcard of computer / laptop. In this pure tone generation
process needs an audio component called Tonegen. As for the speech audiometer, it needs
some recordings of words that have been standardized (PB List) then subsequently tested
on patients. Variable of frequency has accuracy percentage of 100% and precision
percentage of 100%. Variable of sound level for the right headphone has accuracy
percentage of 99,4% and precision percentage of 99,85%, whereas for the left headphone
has accuracy percentage of 99,45% and precision percentage of 99,84%.
Keyword : pure tone audiometer, speech audiometer, software, hearing loss,
hearing level diagnosis.
72 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
PENDAHULUAN
Damayanti (2010) mengatakan bahwa angka ketulian telah mencapai 16,8% dari
jumlah penduduk Indonesia dan 0,4% untuk ketulian dengan kelompok tertinggi di usia
sekolah (7-9 tahun). Disamping itu diperkirakan setiap tahunnya akan ada sekitar 5200
bayi lahir tuli. Angka tersebut yang menempatkan Indonesia termasuk negara yang
memiliki angka ketulian yang tinggi di Asia Tenggara. Tingkat penurunan kemampuan
pendengaran (ambang pendengaran) pada individu dapat diketahui dengan berbagai jenis
tes pendengaran diantaranya tes bisik, tes garputala, tes audiometri (Miyoso, 1985).
Hingga saat ini telah berkembang audiometer dengan berbagai jenis, diantaranya adalah
Audiometer nada murni dan Audiometer tutur.
Namun dari pemeriksaan ketulian dengan menggunakan audiometer tersebut masih
terdapat beberapa kekurangan dan keterbatasan. Audiometer pada umumnya hanya
menyediakan tampilan hasil data yang mentah sehingga hanya orang yang ahli dalam
bidang audiologi yang mampu mendiagnosa secara penuh. Tampilan data tersebut berupa
audiogram yang menunjukkan berapa tingkat taraf intensitas yang menunjukkan ambang
pendengaran pasien. Selain itu, audiometer umumnya berupa audiometer dengan
rangkaian yang rumit dan berbentuk hardware analog audiometer dan tidak praktis untuk
dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain.
METODE PENELITIAN
1. Perancangan
Dalam penelitian ini perancangan sistem dari perangkat lunak audiometer diprogram
melalui PC/Laptop. Adapun blok diagram perancangan sistem secara lengkap dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Blok diagram perancangan sistem
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 73
1. Komputer Pribadi (PC)
Komputer pribadi adalah suatu sistem yang berfungsi untuk mengontrol kerja dan
pengolah data yang kemudian ditampilkan pada layar monitor dengan hasil
audiogram berserta diagnosis ambang pendengaran pasien. Selain itu fungsi dari
komputer pribadi ini adalah untuk membuat suatu program (perangkat lunak) uji
ambang pendengaran dan diagnosis pendengaran dengan menggunakan software
Delphi 6.0.
2. Soundcard
Dalam penelitian ini soundcard berfungsi untuk mengolah sinyal dari berbagai taraf
intensitas dan frekuensi. Komponen untama dari soundcard adalah ADC (Analog to
Digital Converter) dan DAC (Digital to Analog Converter).
3. Rekaman kata
Rekaman kata-kata ini terdiri dari beberapa kata yang telah dibakukan dan
digunakan untuk menguji kemampuan pasien dalam menirukan kata-kata dengan
benar.
4. Headphone
Headphone adalah suatu priranti yang berfungsi untuk mengubah besaran listrik
menjadi suara/bunyi dari berbagai taraf intensitas dan frekuensi yang dapat
didengar manusia. Dengan headphone ini, pasien akan mendengarkan beberapa
nada murni (Audiometri nada murni) maupun kata-kata yang terekam (Audiometri
tutur).
5. Pasien
Pasien adalah objek yang diuji ambang pendengarannya dengan cara mendengar
bunyi dari berbagai taraf intensitas dan frekuensi.
Perancangan software meliputi proses interupsi pasien, penampilan grafik Audiogram
program melalui monitor, pengaturan frekuensi dan taraf intensitas (dB), serta
penyimpanan data pasien melalui memori komputer. Adapun diagram alir rancangan
program audiometer nada murni dan tutur dibagi menjadi 3 yakni diagram alir menu
utama, diagram alir menu audiometer nada murni dan diagram alir menu audiometer
tutur.
74 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Gambar 3. Diagram alir menu utama program
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 75
Gambar 4. Diagram alir menu audiometer nada murni
76 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Gambar 5. Diagram alir menu audiometer tutur
2. Kalibrasi
Kalibrasi pada umumnya merupakan proses untuk menyesuaikan keluaran atau
indikasi dari suatu perangkat pengukuran agar sesuai dengan besaran dari standar yang
digunakan dalam akurasi tertentu. Kalibrasi dimaksudkan sebagai tindakan untuk
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 77
menyesuaikan bunyi yang dibangkitkan oleh audiometer, sehingga sesuai dengan
ketentuan atau kebutuhan pemeriksaan. Pada audiometer nada murni, bunyi yang
dibangkitkan terdiri atas dua parameter, yaitu taraf intensitas dan frekuensi. Sedangkan
pada audiometer tutur, suara yang dibangkitkan juga terdiri dari dua parameter, yaitu taraf
intensitas dan jenis kata. Untuk mengetahui seberapa besar penyimpangan bunyi/suara
dalam taraf intensitas yang dibangkitkan oleh audiometer adalah dengan melakukan
pengukuran dengan menggunakan sound level meter. Selain mengkalibrasi variabel taraf
intensitas, variabel frekuensi juga akan dikalibrasi. Pada kalibrasi frekuensi, dibutuhkan
suatu osiloskop yang akan disambungkan pada PC.
3. Pengujian
Pengujian dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian perangkat lunak yang
dirancang dengan soundcard pada komputer pribadi dengan audiometer yang telah
berstandar dan digunakan di pasaran. Pengujian ini dilakukan dengan cara mengujikan
program perangkat lunak audiometer yang telah dibuat pada penelitian ini ke beberapa
sampel pasien yang diambil secara acak.
Setelah dilakukan pengujian ke beberapa pasien, maka tahap berikutnya adalah
membandingkan kedua hasil dari pemeriksaan pasien. Diharapkan, bahwa kedua
pemeriksaan tersebut memiliki hasil yang sama sehingga dapat disimpulkan bahwa
program yang dibuat dari penelitian telah memenuhi standar alat medis pada umumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Perancangan
Perancangan sistem yang berhasil dibuat dalam penelitian ini adalah perancangan
perangkat lunak (software) aplikasi beserta rancangan pendukungnya yang telah mampu
menghasilkan gelombang sinus dalam bentuk nada-nada murni dari berbagai frekuensi
dan taraf intensitas (dB) untuk audiometer nada murni. Selain nada murni, telah dibuat
suatu rekaman tutur yang dapat diubah taraf intensitasnya (dB) untuk audiometer tutur.
Selanjutnya nada-nada murni dan rekaman tutur tersebut akan digunakan sebagai
parameter diagnosis gangguan pendengaran pasien.
Perancangan program aplikasi audiometer nada murni maupun tutur pada penelitian
ini telah berhasil dibuat dengan bahasa Pascal menggunakan software Delphi 6.0.
Program audiometer ini terdiri dari empat form menu yakni form tampilan depan dan
menu utama, form pengisian data pasien, form tampilan audiometer nada murni, dan form
tampilan audiometer tutur.
78 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
1.1 Tampilan Data Pasien
Fungsi dari form ini adalah untuk menyimpan data identitas pasien serta hasil
diagnosis pendengaran sehingga akan memudahkan pemeriksa untuk mencari hasil rekam
medis saat dibutuhkan kembali. Tampilan data pasien ini dapat diperlihatkan pada
Gambar 6.
Gambar 6. Tampilan data pasien
1.2 Tampilan Audiometer Nada Murni
Tampilan/form ini digunakan untuk memeriksa pendengaran pasien dengan cara
pasien akan mendengarkan beberapa nada murni dari berbagai frekuensi maupun taraf
intensitas. Fungsi dari audiometer nada murni adalah untuk mendiagnosis ambang dengar
pasien sehingga dapat diketahui apakah pasien memiliki gangguan pendengaran tertentu
atau tidak. Tampilan Audiometer nada murni ini dapat diperlihatkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Tampilan Menu Audiometer Nada Murni
1.3 Tampilan Audiometer Tutur
Pemeriksaan dengan audiometer tutur ini perlu dilakukan karena kelemahan
audiometer nada murni yang hanya memeriksa berupa nada-nada saja, tidak bahasa. Oleh
karena itu, pada audiometer tutur ini disajikan beberapa kata-kata. Kata-kata yang
digunakan adalah kata-kata yang biasa diucapkan pada percakapan. Kata-kata ini berupa
kata-kata baku dari UGM atau biasa disebut UGM PB List (Phonetically Balanced List).
Namun dalam penelitian ini, rekaman kata tidak diambil dari rekaman asli UGM
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 79
melainkan rekaman yang dibuat sendiri namun tetap menggunakan kata-kata yang telah
dibakukan. Tampilan Audiometer tutur ini dapat diperlihatkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Tampilan Menu Audiometer Tutur
2. Hasil Uji Kinerja Program dan Analisis Data
Pengujian dilakukan untuk mengetahui kesesuaian perangkat lunak audiometer nada
murni dan tutur yang telah dirancang dengan Komputer Pribadi. Terdapat dua parameter
yang harus diuji kalibrasi yakni parameter frekuensi dan parameter taraf intensitas (dB).
2.1 Hasil Uji Frekuensi
Parameter frekuensi yang telah dibangkitkan oleh program Delphi diuji dengan
menggunakan osiloskop untuk mengetahui ketepatan nilai frekuensi yang telah dihasilkan
dengan cara melihat dari bentuk gelombang pada layar osiloskop. Nilai frekuensi yang
dihasilkan oleh program diharapkan sama dan sesuai dengan frekuensi pada umumnya.
Pengukuran frekuensi dengan osiloskop ini dilakukan sebanyak lima kali yang
selanjutnya diambil rata-rata dan nilai error seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengukuran frekuensi
Frek (Hz) Osiloskop (Hz) Rata
(Hz) Error (%)
250 250 250 250 250 250 250 0
500 500 500 500 500 500 500 0
1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 0
2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 0
4000 4000 4000 4000 4000 4000 4000 0
8000 8000 8000 8000 8000 8000 8000 0
Rata-rata kesalahan/error 0
2.2 Hasil Uji Taraf Intensitas (TI)
Pada pengujian taraf intensitas, program dijalankan pada nilai dB mulai dari 30
hingga maksimal dB di tiap frekuensi yang berbeda-beda dengan penambahan kelipatan
sebesar 5 dB dan diukur dengan menggunakan sound level meter untuk mengetahui
kesesuaian nilai taraf intensitas yang dihasilkan program dengan nilai yang diharapkan.
Pengujian ini harus dilakukan dalam kondisi tenang dan tidak ada suara (noise).
80 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Data hasil uji taraf intensitas dapat dilihat pada Tabel 2 untuk keluaran headphone
sebelah kiri sedangkan Tabel 3 untuk keluaran headphone sebalah kanan.
Tabel 2. Hasil pengukuran taraf intensitas Headphone kanan Frekuensi (Hz) TI Audiometer (dB) TI Sound level meter (dB) Error (%)
250
30 30.7 30.7 30.6 2.22
35 35 34.9 35 0.10
40 40.1 40 40 0.08
45 45.2 45.1 45.1 0.30
50 47.6 48 47.8 4.40
500
30 30.9 30.8 30.8 2.78
35 35.3 35.3 35.3 0.86
40 40 40 40 0.00
45 45.2 45 45.2 0.30
50 50 50 50.1 0.07
1000
30 31 30.9 31 3.22
35 35.3 35.3 35.3 0.86
40 40.1 40. 40 0.08
45 45.3 45.3 45.2 0.59
50 50.2 50.2 50.2 0.40
55 55.1 55.1 55.1 0.18
2000
30 30.9 31 31 3.22
35 35 35 35 0.00
40 39.7 39.8 39.8 0.58
45 44.9 44.9 45 0.15
50 50.2 50.2 50.1 0.33
55 55.2 55.2 55.1 0.30
4000
30 31 31 30.9 3.22
35 34.5 34.7 34.8 0.95
40 40.3 40.2 40.2 0.58
45 45.5 45.4 45.4 0.96
50 49.9 50 49.9 0.13
55 54.8 55 55 0.12
60 60.3 60.3 60.2 0.44
8000
30 30.8 31 30.8 2.89
35 34.5 34.7 34.8 0.95
40 40.8 40.8 40.7 1.92
45 45.6 45.6 45.6 1.33
50 50.5 50.4 50.3 0.80
55 55.5 55.5 55.4 0.85
60 60.4 60.4 60.3 0.61
65 65.4 65.4 65.4 0.62
Rata-rata error (%) 0.60
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 81
Tabel 3. Hasil pengukuran taraf intensitas Headphone kiri Frekuensi
(Hz)
TI Audiometer (dB) TI Sound level meter (dB) Error (%)
250
30 31 30.8 30.9 3.00
35 35.1 35 35 0.10
40 40.2 40.2 40.1 0.42
45 45.2 45 45.2 0.30
50 48.1 48.3 48.2 3.60
500
30 31 31 30.9 3.22
35 35.2 35.2 35 0.38
40 39.8 39.9 40 0.25
45 44.8 44.8 44.9 0.37
50 50.2 50 50.2 0.27
1000
30 31 31 31 3.33
35 35.1 35 35.1 0.19
40 40 40 40 0.00
45 45 45 45 0.00
50 49.9 50 50.1 0.00
55 54.9 54.9 55 0.12
2000
30 31 31 30.9 3.22
35 35 34.9 35 0.10
40 39.9 40 40 0.08
45 44.9 44.9 45 0.15
50 50.2 50.2 50.1 0.33
55 55.2 55 55.1 0.18
4000
30 30.9 31 31 3.22
35 35.5 35.4 35.3 1.14
40 39.9 39.9 40 0.17
45 45.4 45.4 45.4 0.89
50 49.8 50 49.8 0.27
55 55.2 55.2 55.2 0.36
60 60.2 60.2 60.1 0.28
8000
30 31 30.9 30.9 3.11
35 34.9 35 35 0.10
40 40.6 40.4 40.4 1.17
45 45.2 45.1 45.2 0.37
50 50.1 50.1 50 0.13
55 55 55 55.1 0.06
60 60 60 60 0.00
65 65 65 65 0.00
Rata-rata error (%) 0.55
Tingkat ketepatan audiometer dalam menentukan nilai Taraf Intensitas (TI) dihitung
dengan persamaan:
82 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Ketepatan alat = 100% - % error
Ketepatan headphone kanan = 100% - 0.60%
= 99.40%
Ketepatan headphone kiri = 100% - 0.55%
= 99.45%
Selain tingkat ketepatan alat, perlu dihitung pula Standar Deviasi (SD).
Perhitungan standar deviasi (SD) ditentukan dari persamaan :
1)( 2
−
−= ∑
nxx
SD i
sedangkan perhitungan nilai koefisien variasi (KV) ditentukan dari persamaan :
%100×=x
SDKV
Sehingga didapat tingkat presisi alat adalah sebesar 99.85% untuk headphone
kanan dan 99.84 % untuk headphone kiri.
2.3 Hasil Uji Pasien
Pengujian yang dilakukan disini bersifat simulatif dalam arti pasien diambil secara
acak sehingga tidak semua pasien yang diuji benar-benar pasien yang mengalami
gangguan pendengaran tertentu. Namun pengujian ini dilakukan dengan tujuan
menghasilkan hasil pemeriksaan audiogram yang sesuai dengan gangguan pendengaran
yang diharapkan. Alasan dilakukan pengujian secara simulatif ini karena sulitnya
menemui pasien dengan gangguan pendengaran yang sesuai dengan yang dibutuhkan.
Setelah dilakukan pemeriksaan ambang dengar dengan audiometer nada murni
konvensional kemudian dibuat grafik audiogram secara manual. Sedangkan pemeriksaan
ambang dengar dengan perangkat lunak audiometer, grafik secara otomatis. Selanjutnya
pasien tersebut diperiksa dengan audiometer tutur dan pasien diharuskan dapat menebak
kata-kata yang muncul. Kemudian dari kata-kata yang benar diambil persentasenya
sehingga dapat diambil audiogram tutur.
Pada penelitian ini diambil tujuh pasien secara acak dengan hasil audiogram
konvensional dan audiogram aplikasi dari pemeriksaan menggunakan audiometer nada
murni dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan audiogram dari pasien dengan pemeriksaan
audiometer tutur dapat dilihat pada Tabel 5.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 83
Tabel 4. Perbandingan hasil diagnosis antara audiometer nada murni standar dan aplikasi
audiometer nada murni
No Pasie
n
Audiometer Nada Murni
Standar Aplikasi Audiometer Nada Murni
Audiogram Diagno
sis
Audiogram Diagnos
is
1 A
Tuli
Ringan
Tuli
Ringan
2 B
Tuli
Sedang
Tuli
Sedang
3 C
Tuli
Sedang
Tuli
Sedang
4 D
Normal
Normal
84 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
5 E
Normal
Normal
6 F
Normal
Normal
7 G
Normal
Normal
Tabel 5. Perbandingan hasil diagnosis dengan audiometer tutur
No Pasien Diagnosis sebelumnya Audiometer Tutur
Persentase Diagnosis
1 A Tuli Konduktif 100% Tuli Konduktif
2 B Tuli Konduktif 90% Tuli Konduktif
3 C Tuli Konduktif 90% Tuli Konduktif
4 D Normal 100% Normal
5 E Normal 100% Normal
6 F Normal 100% Normal
7 G Normal 100% Normal
Dari kedua hasil tersebut dapat diketahui bahwa dari uji pasien, perangkat lunak
audiometer nada murni dan tutur tersebut dapat mendiagnosis sesuai dengan yang
diharapkan. Meskipun pada pemeriksaan dengan audiometer nada murni, bentuk
audiogram dan nilai ambang dengar di tiap frekuensinya tidak mutlak sesuai, namun
perangkat lunak audiometer telah dapat mendiagnosis sesuai dengan hasil diagnosis
dengan alat audiometer yang standar.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 85
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari analisis data dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Perangkat lunak audiometer nada murni dan tutur memiliki kemampuan
menampilkan dan mencetak hasil pemeriksaan dalam bentuk grafik audiogram serta
menampilkan hasil diagnosis pendengarannya dengan pembangkitan frekuensi pada
perangkat lunak audiometer nada murni sebesar 250 Hz, 500 Hz, 1 kHz, 2 kHz, 4
kHz, dan 8 kHz.
2. Variabel frekuensi memiliki tingkat akurasi sebesar 100% dan tingkat presisi sebesar
100%. Variabel taraf intensitas untuk headphone kanan memiliki tingkat akurasi
sebesar 99,4% dan tingkat presisi sebesar 99,85%, sedangkan untuk headphone kiri
memiliki tingkat akurasi sebesar 99,45% dan tingkat presisi sebesar 99,84%.
2. Saran
Berikut adalah beberapa saran yang dapat dipertimbangkan untuk penyempurnaan
penelitian lebih lanjut :
1. Pengembangan berikutnya diharapkan rentang nilai taraf intensitas maksimal yang
dapat dibangkitkan mencapai 120 dB sehingga audiometer dapat digunakan untuk
mendiagnosis segala jenis gangguan pendengaran/ketulian.
2. Pengujian pada pasien dilakukan menggunakan pasien yang memiliki gangguan
pendengaran yang sebenarnya dan lebih bervariasi.
3. Pengembangan untuk penelitian dengan audiometer nada murni diantara seperti
mengarah ke yang lebih spesifik misal pasien dengan pengaruh lingkungan yang
bising (biasa pada industri) dan sebagainya.
4. Pengembangan untuk penelitian dengan audiometer tutur diantaranya sepertipada
pembuatan rekaman kata yang dapat diatur frekuensinya sehingga parameter yang
diukur dapat bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
Andi. 2003. Seri Panduan Pemrograman Borland Delphi 7 (Jilid 1). Andi Offset.
Yogyakarta.
Andriani, Dina. 2011. Perancangan Perangkat Lunak Pelayanan Rawat Inap Rumah
Sakit Adam Malik Dengan Menggunakan Visual Basic 6.0. Universitas Sumatra
Utara. Medan.
86 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Anggraeni, Dya. 2011. Fisika Medik. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Sriwijaya. Palembang.
Anonim, 2011. Bafo USB to Parallel Printer Adapter (USB-A/Cent36-M). (online)
(http://hellotrade.com diakses pada tanggal 17 November 2011)
Aras, Vineet P. 2003. Audiometry techniques, circuits, and systems. M. Tech. Credit
Seminar Report, Electronic Systems Group, EE Dept, IIT Bombay.
Aritmoyo, Dullah. 1985. Pengertian Umum Tentang Audiometri. Cermin Dunia
Kedokteran No 39. International Standard Serial Number: 0125-913x. Penerbit:
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma.
Asroel, Harry. 2009. Audiologi. Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra
Utara. Medan.
Bachtiar, Syaiful. 2011. Audiometer Berbasis Soundcard Pada Komputer Pribadi.
Program Studi Teknik Elektro. Universitas Diponegoro. Semarang.
Cameron, John R, Skofronik, James G., Grant, Roderick M. 2006 Fisika Tubuh Manusia.
Edisi Kedua. EGC. Jakarta.
Damayanti, Soetjipto. 2010. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran
Dan Ketulian, (Online). (http://www.ketulian .com, diakses 17 November 2011).
Davis, Don, Eugene, Patronis. 2006. Sound System Engineering. Edisi Ketiga. Focal
Press. Burlington, USA.
Estu, Devy. 2011. Borland Delphi. Materi Delphi Grafik. Modul TIK SMA Negeri 3
Yogyakarta.
Gabriel, J. F. 1988. Fisika Kedokteran. Edisi Pertama. EGC. Denpasar.
Gatot, Wempy. 2011. Rancang Bangun Audiometer Dengan Tampilan Audiogram Digital
Berbasis Mikrokontroler AVR Atmega 8535. Program Studi Fisika. Universitas
Airlangga Surabaya.
Handajadi, Wiwik. 2009. Pembacaan Output Timbangan Digital Jarak Jauh Dengan
Menggunakan Pemprograman Visual Basic 6.0. Jurnal Teknologi 2(1) : 96-107.
Harahap. 2011. Sistem Pengontrolan Level Ketinggian Air Secara Otomatis
Menggunakan Mikrokontroler ATMega8535 Dengan Sensor Ultrasonik. Program
Studi Teknik Elektro. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Hermanto. 2010. Membangun Kesadaran Bunyi Anak Tunarungu Melalui Pembelajaran
Bina Persepsi Bunyi Dan Irama Di Sekolah. Universitas Negeri Yogyakarta.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 87
Latifah, Melly. 2010. Implikasi Assessment Dan Diagnosis Pada Anak Penderita
Gangguan Pendengaran Terhadap Treatment Dan Pendidikannya. Program
Studi Ilmu Keluarga dan Pangan. IPB Bandung.
Marcus, Teddy. 2003. Pemrograman Delphi untuk Pemula : IDE dan Struktur
Pemrograman. (Online) (http:/maranatha.edu diakses pada tanggal 17 November
2011)
Miyoso, Dwi Priyo. 1985. Diagnosis Kekurangan Pendengaran. Cermin Dunia
Kedokteran No 39. International Standard Serial Number: 0125-913x. Penerbit:
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma.
Utami, Ema. 2005. 10 Langkah Belajar Logika Dan Algoritma. Menggunakan Bahasa C
Dan C++ Di Gnu/Linux. Penerbit CV Andi Offset. Yogyakarta.
Pearce, Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisologi untuk Paramedis. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Prasetina, Retna, Catur. 2004. Teori dan Praktek interfacing Port Paralel dan Port Serial
Komputer dengan Visual Basic 6.0. Andi. Yokyakarta.
Riantiningsih, Wahyu. 2009. Pengamanan Rumah Berbasis Microcontroller Atmega 8535
Dengan Sistem Informasi Dengan Menggunakan Pc. Program Studi Teknik
Elektro. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Saladin. 2003. Anatomy and Physiology. The unity of form third edition. Mcgrawhill.
New York.
Solihat, Muthiah, Choirina, Halimah. 2008. Port Paralel. Program Studi Matematika.
Universitas Islam Bandung.
Suhardiyana. 2010. Peningkatan Kemampuan Kognitif Anak Melalui Permainan Kartu
Angka Dan Gambar Siswa Kelas Persiapan Tunarungu Wicara SLBN Kendal
Tahun 2009 / 2010. Universitas Negeri Semarang.
Syaiffudin. 2004. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi ketiga. EGC.
Jakarta.
Syndhuwardhana, Felisiano. 2010. Pengendalian ATCS Dengan CCTV Dinamis Melalui
Port Paralel. Program Studi Teknik Elektro. Universitas Katolik Soegijapranata.
Semarang.
88 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
RANCANG BANGUN HEART RATE MONITORING DEVICE
(HRMD) SEBAGAI PEMANTAU BRADIKARDI DAN
TAKIKARDI BERBASIS MIKROKONTROLER
Thieara Ramadanika1, Retna Apsari 2, Delima Ayu S 3 ,
,1,2,3 Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Airlangga
Email : [email protected]
ABSTRACT
A research has been conducted entitled “Design of Microcontroller Based-Heart
Rate Monitoring Device. It aimed to design a Heart Rate Monitoring device that would be
equipped with a heart condition display such as bradycardia, tachycardia, or normal as
well as with an additional wireless so that when it was used at hospitals, the heart rate of
the hospitalized patients could be monitored by doctors or nurses from a distance, which
would simplify doctors or nurses to control their patients. The sensor used in this study
applied a plethysmograph method of which is a technique to detect or measure changes in
blood volume within the patients’ fingers. The technique used was “reflection” in which
the LED and the LDR were placed side by side. Microcontroller programming was done
in this study to calculate the number of heartbeats per minute as well as information of
heart rate condition such as bradycardia (heart rate less than 60 Bpm), tachycardia
(heart rate over 100 Bpm) or normal (heart rate between 60-100 BPM), which was then
transmitted by using wireless communication and then displayed on LCDs or PC. A test
using ECG calibrator was conducted to patients with a heart disease, which showed that
it had an accuracy rate of 94%. Besides, this tool also have a high accuracy, mobile,
competitive, and productive.
Keywords: Heart Rate, Heart, plethysmograph, LDR, LED
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 89
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian dengan judul Rancang Bangun Heart Rate Monitoring
Device Berbasis Mikrokontroler, dengan tujuan merancang Heart Rate Monitoring yang
dilengkapi dengan tampilan kondisi jantung saat itu yaitu bradikardi, takikardi, atau
normal, serta terdapat tambahan berupa wireless agar jika digunakan di Rumah Sakit,
pasien opname dapat dipantau denyut jantungnya oleh dokter jaga atau perawat secara
jarak jauh, sehingga memudahkan dokter jaga atau perawat dalam mengontrol pasien.
Sensor yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode plethysmograph, yaitu
mendeteksi atau mengukur perubahan volume darah di dalam jari, dengan mode yang
dipakai adalah refleksi dimana LED dan LDR diletakkan bersampingan. Pemrograman
mikrokontroler dilakukan untuk menghitung jumlah denyut jantung permenit serta
informasi kondisi denyut jantung yaitu bradikardi (denyut jantung kurang dari 60 Bpm),
takikardi(denyut jantung lebih dari 100 Bpm) atau normal (denyut jantung antara 60-100
Bpm), kemudian dikirim menggunakan komunikasi wireless dan ditampilkan pada LCD
maupun PC. Alat ini mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi dalam mengukur denyut
jantung. Uji yang dilakukan kepada penderita penyakit jantung dengan kalibrator ECG
mempunyai tingkat akurasi sebesar 94%. Di samping mempunyai tingkat akurasi tinggi,
alat yang dihasilkan peneliti ini bersifat mobile, kompetitif, dan produktif.
Kata Kunci : Heart Rate, Jantung, plethysmograph, LDR, LED
90 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
PENDAHULUAN
Penggunaan alat medis sangat diperlukan sebagai alat bantu diagnosa kesehatan
seseorang sebagai indikasi ada tidaknya suatu penyakit. Salah satu penyakit yang paling
banyak dijumpai adalah penyakit jantung. Berdasarkan data yang disampaikan WHO
(World Health Organization) dalam laporan mengenai beban penyakit global bahwa
angka kematian karena jantung sangat tinggi yaitu sebesar 29% kematian global setiap
tahun, perhitungan ini didasarkan catatan kematian dari 112 negara pada 2004 (Rusciano,
2004). Kemajuan teknologi terutama dalam bidang pemeriksaan jantung terus dilakukan,
namun beberapa kendala yang dihadapi salah satunya yaitu pasien yang diharuskan selalu
bertemu dengan dokter, hal ini tentu tidak efektif sehingga penulis memiliki inovasi
supaya pasien tetap dapat berkomunikasi dengan dokter tanpa harus bertatap muka. Alat
medis yang dikembangkan tersebut berupa heartrate monitoring device (HRMD).
Heart rate monitoring digunakan untuk pengukuran jumlah denyut jantung.
Perubahan denyut jantung yang tidak normal sering dialami oleh penderita penyakit
jantung yang mana variabel ketidak normalannya terjadi saat bradikardi (denyut jantung
kurang dari 60 kali per menit) dan takikardi (denyut jantung lebih dari 100 kali per
menit). Monitoring denyut jantung ini berfungsi sebagai informasi awal agar lebih berhati
– hati dalam beraktifitas sehingga perubahan denyut jantung yang tidak normal dapat
diminimalisir.
Perancangan HRMD terdiri dari sensor, mikrokontroler, wireless, dan display.
Pengukuran yang dilakukan untuk menentukan jumlah heartrate menggunakan metode
Plethysmografi, dengan mengukur perubahan volume darah di suatu organ akibat dari
pemompaan darah oleh jantung. Photoplethysmograph (PPG) merupakan instrumen
plethysmograph yang bekerja menggunakan sensor optik (Mascaro dkk, 2001).
Diharapkan dengan adanya alat ini maka penderita penyakit jantung akan lebih
terkontrol, karena dalam alat akan dilakukan pengukuran secara realtime untuk
mendapatkan BPM dan didapat hasil kondisi denyut jantung yaitu bradikardi, takikardi,
atau normal.
Jantung
Jantung adalah salah satu organ tubuh yang paling vital fungsinya dibandingkan
dengan organ tubuh vital lainnya. Apabila fungsi jantung mengalami gangguan maka
besar pengaruhnya terhadap organ-organ tubuh lainnya terutama ginjal dan otak. Fungsi
utama jantung adalah sebagai single pompa yang memompakan darah ke seluruh tubuh
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 91
untuk kepentingan metabolisme sel - sel demi kelangsungan hidup.
Kerja jantung dikatakan normal jika atrium berkontraksi kira-kira seper enam
detik mendahului kontraksi ventrikel, sehingga memungkinkan pengisian ventrikel
sebelum ventrikel memompa darah menuju paru-paru dan tubuh. Kontraksi jantung
bekerja secara otomatis hingga dihasilkan arus listrik dalam bentuk potensial aksi atau
konduksi jantung dan ritme jantung dapat dikontrol (Kurachi, 2001).
Gambar 2.1 Jantung
Sensor Pletyhsmograph
Plethysmograph merupakan suatu teknik untuk mendeteksi/mengukur perubahan
volume di dalam suatu organ. Informasi dari sinyal perubahan volume darah ini dapat
digunakan untuk menghitung detak jantung per menit karena setiap puncak gelombang
yang terjadi korelasi dengan satu denyut jantung. Photoplethysmograph (PPG)
merupakan instrumen plethysmograph yang bekerja menggunakan sensor optik (Huang,
2011).
Gambar 1. Skema Rangkaian Sensor
92 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Heart Rate Monitor
Sistem monitoring heart rate telah menjadi suatu alat yang umum pada medis
karena sensitif terhadap adanya gangguan fisiologis dan psikologis. Penggunaan awal
adanya heart rate monitor adalah untuk aplikasi klinis sebagai alat diagnosis, prognosis
dan manajemen pasien yang memiliki masalah kesehatan (Ramli, 2011).
Wireless
Wireless adalah teknologi yang menghubungkan 2 buah komputer atau lebih
dengan menggunakan media transmisi gelombang radio. Teknologi radio menggabungkan
sinyal frekuensi rendah dan gelombang pembawa yang frekuensi tinggi ke dalam
modulator untuk kemudian di konversi ke gelombang elektromagnet dan dipancarkan ke
udara (Evolution Education, 2010).
Gambar 2. Skema Rangkaian Modul Wireless XBee
Arduino
Arduino adalah pengendali mikro single-board yang bersifat open-source,
diturunkan dari Wiring platform, dirancang untuk memudahkan penggunaan elektronik
dalam berbagai bidang. Hardware arduino memiliki prosesor Atmel AVR dan software
arduino memiliki bahasa pemrograman sendiri (Mike Mc Roberts, 2010).
Gambar 3. Board Arduin
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 93
METODE PENELITIAN
Prosedur proses ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu, persiapan desain
diagram blok alat, perancangan hardware, perancangan software. Diagram blok alat
dijelaskan pada Gambar 4.
Gambar 4. Proses Pembuatan Alat
Penjelasan untuk Gambar 4, dalam penelitian ini desain sensor yang digunakan
adalah Plethysmograph mode refleksi seperti pada Gambar 5, dimana menunjukkan
pemasangan LED dan LDR pada jari yang digunakan sebagai sensor pendeteksi denyut
jantung.
Gambar 5. Pemasangan Sensor Plethsymograph
Input (Sensor)
Output (LCD dan
buzzer)
Transmitter
Wireless transmitter
Mikrokontroler
Catu daya
Receiver
Wireless receiver
Mikrokontroler
Catu daya
94 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Mikrokontroler dalam penelitian ini ada 2 yaitu difungsikan untuk transmitter
dan receiver. Rangkaian transmitter terdiri dari sensor, catu daya, modul wireless dan
Arduino Duemilanove, proses kerja pada transmitter yang pertama yaitu sensor
mendeteksi adanya denyut jantung pada jari kemudian data tersebut dikirimkan dengan
modul wireless yang difungsikan sebagai transmitter yang dikontrol oleh mikrokontroler.
Rangkaian receiver terdiri dari modul wireless yang difungsikan sebagai receiver yang
akan menerima data dari transmiter dan diproses oleh mikrokontroler yang kemudian
akan ditampilkan ke LCD dengan keluaran berupa kondisi denyut jantung. Adapun
perancangan software HRMD dapat disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Perancangan Software HRMD
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 95
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahapan selanjutnya yang dilakukan ada pengujian alat. Alat ini telah diuji di
klinik dokter spesialis jantung dengan pasien yang memiliki beragam kondisi penyakit
jantung. Proses pengujian alat juga disertai proses pembanding dengan alat yang telah
terkalibrasi yaitu ECG yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Uji Coba HRMD Dengan Pembanding ECG
Rata-rata % eror HRMD :
(4,13% + 10,15% + 1,33% + 7,71%)4
= 6%
Prosentase akurasi HRMD 100% − 6% = 94%
Berdasarkan hasil perhitungan akurasi didapati nilai jika HRMD memiliki tingkat
akurasi sebesar 94% setelah dilakukan kalibrasi dengan ECG. Hasil ini menunjukkan jika
HRMD telah berhasil dibuat dengan baik dan dapat diaplikasikan pada penderita penyakit
jantung.
Dari hasil perhitungan denyut jantung pada masing-masing penderita penyakit
jantung selama perhitungan, kondisi jantung mereka menunjukkan aktivitas yang stabil
dan tidak terjadi kelainan bradikardi maupun takikardi. Namun hal ini tidak berarti
penderita dinyatakan sembuh, karena selama pengukuran mereka dalam kondisi
beristirahat. Ketika sedang beraktivitas sehari-hari, kemungkinan terjadinya kelainan
secara tiba-tiba sangat besar, sehingga peran HRMD sangat dibutuhkan untuk
mengantisipasi terjadinya penyakit jantung yang lebih parah.
Pengujian selanjutnya yaitu uji aktivitas fisik dimana bertujuan untuk menguji
alat HRMD bahwa alat HRMD dapat digunakan untuk monitoring denyut jantung dengan
optimal, hasil pengujian dapat disajikan pada Tabel 2.
96 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Tabel 2. Data Uji Aktivitas Fisik
Data uji perlakuan fisik pada Tabel 2 menunjukkan bahwa alat HRMD dapat
bekerja secara optimal, dibuktikan pada saat beristirahat kondisi denyut jantung terlihat
normal, dan setelah melakukan aktifitas fisik kondisi denyut jantung terlihat cepat. Dari
perbedaan inilah alat HRMD dapat digunakan untuk mendeteksi deyut jantung, serta
dapat membedakan antara kondisi jantung beristirahat dan kondisi denyut jantung setelah
melakukan aktivitas fisik
Analisis secara medis dari hasil uji pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa denyut
jantung dipengaruhi oleh aktifitas yang dilakukan. Ketika seseorang melakukan olah raga
maka denyut jantung permenitnya akan lebih cepat dibandingkan sebelum beraktifitas
(istirahat), hal ini disebabkan ketika seseorang melakukan aktifitas olah raga maka akan
meningkatkan kebutuhan oksigen, sehingga jantung akan meningkat kerjanya untuk
memenuhi kebutuhan oksigen tersebut.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kepada DIKTI yang telah menghibahkan dana untuk penelitian ini, serta teman-
teman 1 tim PKM-T Tyas, Keke, Fifin dan dosen pembimbing kami yaitu ibu Delima
Ayu Saraswati. Saya ucapkan juga banyak terimakasih kepada dosen monevin dari
UNAIR yang juga dosen pembimbing skripsi saya yaitu ibu Retna Apsari yang telah
banyak memberikan masukan dalam penelitian ini.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 97
DAFTAR PUSTAKA
Evolution Education. 2010. XBee-Pro Basic, (Online) ( http://www.rev-
ed.co.uk/docs/xbe001.pdf ) , diakses 29 Juni 2012
Huang, Fu-Hsuan. et,al, 2011. Analysis of Reflectance Photoplethysmograph Sensors.
United Kingdom: World Academy of Science, Engineering and Technology.
Kurachi, Yoshihisa., 2001, Heart Physiology and Pathophysiology, Boston,
Massachusetts :9-10.
Mascaro, stephen A dan H. Harry Asada. 2001. Photoplethysmograph Fingernall sensor
for measuring Forces Without Haptic Obstruction. IEEE Transactions On Robotics
And Automation, Vol 17, No. 5.
Mike Mc Roberts. 2010. Arduino Starter Kit Manual: Earthshine Design
Ramli, NI . 2011. Design and Fabrication of a Low Cost Heart Monitor using Reflectance
Photoplethysmogram. United Kingdom: World Academy of Science, Engineering
and Technology.
Rusciano, Florence. 2004. Global Burden of Disease. Switzerland : WHO (World Health
Organization).
98 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
SINTESIS DAN KARAKTERISASI HIDROKSIAPATIT
MAKROPORI UNTUK APLIKASI BONE FILLER
Wida Dinar Tri Meylani, Djoni Izak R., Siswanto
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Airlangga
Email : [email protected]
Abstract
In this study, macroporous hydroxyapatite has been done by foam immersion
method. Materials used in this study include hydroxyapatite, PVA and foams. Synthesis
carried out by immersing the foam in the slurry which mixture of 40 wt% hydroxyapatite
and PVA solution (50 wt%). Sample is dried and heated at 650 º C to remove PVA and
foam. The next stage is the process of sintering the sample at 1000 º C with variation in
sintering duration about 4 hours, 5 hours and 6 hours. Based on SEM test, porosity test,
and compressive strength test, the best results shown by the samples with 6 hours of
sintering because it has a pore diameter of 184-571 μm with a porosity of 87.565%,
compressive strength value of 7.1395 x 10-3 MPa and not give toxic effects.
Key words: macroporous hydroxyapatite, foam immersion method, sintering, pore
diameter, porosity, compressive strength, non toxic.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 99
Abstrak
Telah dilakukan sintesis hidroksiapatit makropori dengan metode perendaman
busa. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi hidroksiapatit, PVA dan busa.
Sintesis dilakukan dengan cara merendam busa dalam slurry yang merupakan campuran
40 wt% hidroksiapatit dan larutan PVA (50 wt%). Selanjutnya sampel dikeringkan dan
dipanaskan pada temperatur 650º C untuk menghilangkan busa dan PVA. Tahap
selanjutnya adalah proses sintering sampel pada temperatur 1000º C dengan variasi lama
waktu sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam. Berdasarkan uji SEM, uji porositas, dan uji
compressive strength, hasil terbaik ditunjukkan oleh sampel yang disintering 6 jam karena
memiliki diameter pori sebesar 184 – 571 µm dengan porositas 87,565 %, nilai
compressive strength 7,1395 x 10-3 MPa dan tidak toksik.
Kata kunci : hidroksiapatit makropori, metode perendaman busa, sintering, diameter
pori, porositas, compressive strength, tidak toksik.
100 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
PENDAHULUAN
Transplantasi sangat terbatas oleh ketersediaan organ dan masalah kompatibilitas
imun. Perkembangan yang menarik perhatian saat ini adalah regenerasi atau penumbuhan
kembali jaringan yang sakit atau rusak. Teknik jaringan mengacu pada penumbuhan
jaringan baru menggunakan sel hidup yang dikendalikan oleh struktur substrat dari
material sintetis (Park et al, 2007).Bone filler telah banyak digunakan dalam rekonstruksi
tulang akibat kecelakaan, tumor jinak, tumor ganas dan cacat tulang bawaan. Rongga
tulang yang rusak diisi dengan bone filler sehingga memungkinkan tumbuhnya sel tulang
yang baru. Bone filler akan menghilang saat sel tulang yang baru telah tumbuh (Phillips,
2005).
Dalam rangka untuk mendorong pertumbuhan sel tulang di dalam bone filler
sangat diperlukan kontrol karakteristik fisik porositas (Descamps et al, 2008). Parameter
penting untuk bone filler antara lain porositas, ukuran diameter pori, serta interkoneksi
pori. Saat ukuran pori hidroksiapatit melebihi 100 µm, tulang akan tumbuh di dalam pori
yang saling terkoneksi dan mempertahankan vaskularitas (Ratner, 2004). Pada tulang,
porositas bone filler yang dibutuhkan ± 70% (Keaveny, 2004) dengan ukuran pori
minimum untuk pertumbuhan sel tulang adalah sebesar 100 µm (Swain, 2009). Ukuran
pori yang paling cocok atau efektif untuk pertumbuhan sel tulang adalah pada kisaran
ukuran 100 – 400 µm (Swain, 2009).
Hidroksiapatit adalah salah satu biokeramik yang digunakan sebagai bahan
pembuatan bone filler. Bone filler dari hidroksiapatit dapat ditempati oleh jaringan tulang
karena hidroksiapatit memiliki kemiripan dengan komposisi tulang. Hidroksiapatit
memiliki biokompatibilitas yang tinggi dengan jaringan hidup disekelilingnya serta
bersifat osteokonduktif yaitu dapat merangsang pertumbuhan tulang (Descamp et al,
2008).Swain (2009) menggunakan metode perendaman busa polimer untuk mensintesis
hidroksiapatit makropori. Hidroksiapatit dibuat dalam bentuk slurry dengan cara
dicampurkan dalam larutan PVA (Polyvinyl Alcohol) kemudian busa direndam dalam
slurry tersebut. Setelah sampel dikeringkan, pembakaran sampel di dalam furnace
dilakukan untuk menghilangkan busa dan PVA kemudian dilanjutkan ke tahap akhir yaitu
tahap sintering. Pada penelitian tersebut hidroksiapatit makropori yang dihasilkan
memiliki ukuran diameter pori 400 – 500 µm dan terdapat interkoneksi. Kelemahan dari
penelitian ini adalah ukuran pori yang dihasilkan kurang sesuai untuk pertumbuhan tulang
karena ukuran pori yang efektif untuk pertumbuhan tulang adalah 100-400 µm.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 101
Selama proses pembakaran material atau proses sintering, terjadi suatu
penyusutan dimana porositas menurun dan terjadi peningkatan integritas mekanik.
Perubahan ini terjadi akibat penggabungan butiran-butiran atau partikel sehingga material
menjadi lebih padat (Callister, 2001). Semakin lama waktu yang diberikan pada proses
sintering, maka porositas dari material tersebut semakin menurun (Smith, 1990). Selama
proses sintering tersebut berlangsung, semakin lama waktu sinteringnya maka ukuran
pori-pori akan menjadi lebih kecil (Callister, 2001).
Pada penelitian ini, telah dilakukan sintesis hidroksiapatit makropori
menggunakan metode perendaman busa dimana pada proses sintesisnya digunakan busa
sebagai media atau agen pembuat pori. Penelitian Swain (2009) memiliki kelemahan
yaitu pori-pori yang dihasilkan sebesar 400-500 µm kurang efektif untuk pertumbuhan
tulang karena ukuran pori yang efektif adalah sebesar 100-400 µm. Variasi pada lama
waktu proses sintering pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan yang
terjadi pada ukuran pori dan porositas hidroksiapatit makropori sebagai akibat dari
perbedaan lama waktu sintering. Selain itu dengan mengetahui lama waktu sintering yang
tepat maka akan dapat dihasilkan hidroksiapatit makropori yang memiliki porositas dan
diameter pori yang efektif untuk pertumbuhan sel tulang.
METODE PENELITIAN
Penelitian tentang “Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit Makropori untuk
Aplikasi Bone Filler” ini dilakukan dalam dua tahap pelaksanaan yaitu tahap pembuatan
sampel dan tahap pengujian sampel. Tahap pembuatan sampel meliputi proses pembuatan
slurry, perendaman busa Polyurethane, pengeringan, penghilangan busa dan PVA serta
proses sintering.
Pembuatan sampel hidroksiapatit makropori dilakukan dengan menggunakan metode
perendaman busa. Pada pembuatan sampel tersebut dilakukan variasi pada lama waktu
sintering dengan temperatur sintering yang tetap yaitu 1000º C. Tahap-tahap pembuatan
sampel hidroksiapatit makropori adalah sebagai berikut.
Hidroksiapatit slurry dibuat dengan mencampurkan 40 wt% serbuk hidroksiapatit
dengan larutan Polyvinyl Alcohol (PVA) 5 wt%. Busa yang terbuat dari polyurethane
dipotong berbentuk kubus dengan ukuran kurang lebih 1x1x1 cm. Busa yang telah
dipotong kemudian direndam dalam slurry. Sampel kemudian dikeringkan dalam furnace
selama 2 jam pada temperatur 80º C kemudian temperatur ditingkatkan menjadi 650º C
selama 1 jam untuk menghilangkan busa serta PVA. Tahap terakhir adalah sintering
102 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
sampel I, II dan III pada temperatur 1000º C dengan variasi lama waktu masing-masing
sampel adalah 4 jam, 5 jam dan 6 jam.
Tahap pengujian ketiga sampel hidroksiapatit makropori meliputi pengujian
porositas, pengujian SEM, pengujian compressive strength, pengujian FTIR dan
pengujian MTT assay sebagai berikut.
Pengujian FTIR
Pengujian FTIR dilakukan Laboratorium Polimer dan Membran Teknik Kimia
UBAYA. Sejumlah sampel digerus bersama KBr dengan perbandingan 1:20 (w/w).
Komposisi sampel dan KBr masing-masing adalah 0,025 gr dan 0,5. Digunakan KBr
karena sel tempat cuplikan dari sampel harus terbuat dari bahan-bahan yang tembus
terhadap sinar infra merah, seperti NaCl dan KBr. Campuran kemudian di press dengan
menggunakan alat pengepres pada tekanan 10 torr sehingga menjadi pellet yang padat,
pellet ini yang kemudian dianalisa dengan menggunakan alat spektrokopi FTIR tipe
Bruker Tensor 27.
Pengujian SEM
Sampel diuji menggunakan SEM tipe INSPECT S50 dan dilakukan di
Laboratorium Sentral Universitas Negeri Malang. Sampel yang akan dipotret disiapkan
terlebih dahulu. Sampel direkatkan dengan karbon pada tempat (stub) yang terbuat dari
logam dan dilapisi palladium. Lalu sampel dimasukkan dalam ruang spesimen dan
disinari dengan pancaran elektron (20 kV). Elektron yang dipantulkan lalu dideteksi
dengan detektor sintilator yang diperkuat dengan suatu rangkaian listrik yang dapat
mengakibatkan timbulnya gambar layar CRT (Catode Ray Tube). Lalu dilakukan
pemotretan setelah memilih bagian tertentu dari objek dengan pembesaran yang
diinginkan sehingga diperoleh foto yang baik dan jelas.bagian bawah halaman.
Pengujian Porositas
Porositas hidroksiapatit makropori dihitung dengan menghitung persen volume
ruang kosong yang terdapat pada sampel. Sebelum ditimbang massanya, sampel dihitung
volumenya kemudian sampel dalam keadaan kering ditimbang massanya. Selanjutnya
sampel dimasukkan dalam gelas beaker yang berisi air. Massa sampel setelah direndam
kemudian ditimbang. Porositas dari sampel dihitung berdasarkan persamaan berikut.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 103
Dimana,
mb = massa basah dari benda uji (gram)
mk = massa kering dari benda uji (gram)
Vb = volume benda uji (cm3)
ρair = massa jenis air (1 gr/cm3)
Pengujian Compressive Strength
Pengujian compressive strength dilakukan di Laboratorium Korosi dan
Kegagalan Material Jurusan Material Metalurgi ITS. Sisi sampel diukur dengan
menggunakan jangka sorong (panjang p, lebar l). Sampel ditempatkan pada tempat
spesimen alat uji tekan, kemudian sampel ditekan dengan alat penekan sehingga penekan
dapat menekan permukaan sampel sampai hancur. Besarnya beban (F) yang digunakan
untuk menekan sampel hingga hancur dapat dilihat pada alat. Dari data yang telah
diperoleh kemudian dimasukkan dalam persamaan sebagai berikut.
Dimana F merupakan gaya tekan sampel dalam satuan Newton (N) dan A
merupakan luas penampang sampel yang dikenai gaya tekan.
Pengujian MTT assay
Pengujian MTT assay yang dilaksanakan di Pusat Veterinaria Farma dilakukan
dalam beberapa tahap antara lain persiapan kultur sel fibroblas, pengerjaan sampel dan
tahap pengujian sampel. Tahap persiapan kultur sel fibroblas akan dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut. Persiapan dilakukan dalam laminar flow. Kultur sel
BHK-21 dalam bentuk monolayer dengan media Eagle’s dan FBS 10% ditanam dalam
botol kultur Roux kemudian diinkubasi pada suhu 37° C selama 48 jam menggunakan
inkubator. Kultur sel lalu dicuci dengan PBS sebanyak 5 kali yang bertujuan untuk
membuang sisa serum yang tersisa. Kemudian ditambahkan tripsin versene untuk
melepaskan sel dari dinding botol dan memisahkan ikatan antar sel agar tidak
menggerombol. Sel dengan kepadatan 2 x 105 dimasukkan dalam 100 µL media Eagle’s
(media eagle’s 86%, penstrep 1%, fungizone 100 unit/mL) kedalam mikroplate 96-sumur
sesuai dengan jumlah sampel dan kontrol.
Tahap kedua adalah pengerjaan sampel yang akan dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut. Sampel disterilkan dalam autoklaf selama 1 jam pada suhu 120º
C. Dalam laminar flow, sampel diencerkan dengan media eagle’s dan FBS. Sampel yang
104 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
telah diencerkan dimasukkan dalam mikroplate 96-sumur sebanyak 50 µL lalu diinkubasi
24 jam pada suhu 37° C.
Tahap ketiga adalah pengujian sampel yang akan dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut. 10 µL pereaksi MTT 5 mg/mL yang telah dilarutkan dalam PBS
ditambahkan ke media untuk setiap sumuran kemudian diinkubasi selama 4 jam dalam
suhu 37° C. Pelarut DMSO ditambahkan ke setiap sumuran sebanyak 50 µL lalu
disentrifuse 30 rpm selama 5 menit. Nilai densitas optik formazan dihitung dengan Elisa
reader pada panjang gelombang 630 nm. Penghitungan persentase sel hidup dapat
dihitung sesuai dengan persamaan sebagai berikut.
Dimana % sel hidup = persen jumlah sel setelah perlakuan, OD perlakuan = nilai
densitas optik sampel setelah perlakuan, OD kontrol media = nilai densitas optik kontrol
media, OD kontrol sel = nilai densitas optik kontrol sel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil FTIR diperoleh dalam bentuk spektrum yang menggambarkan besarnya
nilai % transmitan dan bilangan gelombang untuk sampel hidroksiapatit makropori. Hasil
pengujian FTIR dari ketiga sampel hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu
sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam dapat dilihat pada Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 1. Hasil pengujian FTIR dari sampel Hidroksiapatit makropori yang disintering 4
jam.
3572
.10
3433
.59
2360
.81
2002
.06
1446
.64
1032
.06
962.
0987
5.72
632.
9660
3.04
569.
5647
3.72
5001000150020002500300035004000Wavenumber cm-1
020
4060
8010
012
014
0Tr
ansm
ittan
ce [%
]
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 105
Gambar 2. Hasil pengujian FTIR dari sampel Hidroksiapatit makropori yang disintering 5
jam.
Gambar 3. Hasil pengujian FTIR dari sampel Hidroksiapatit makropori yang disintering 6
jam.
Selama proses pembuatan, Polyvinyl Alcohol (PVA) dan busa jenis Polyurethane
(PU) digunakan bersama dengan hidroksiapatit sampai terbentuk makropori. Sisa-sisa
dari PVA dan PU akan semakin berkurang sesuai dengan meningkatnya lama waktu
sintering. Dalam hal ini proses sintering selain berfungsi sebagai proses penggabungan
partikel-partikel material, proses sintering juga berfungsi sebagai tahap akhir untuk
menghilangkan bahan-bahan sisa yang sudah tidak diperlukan.
Untuk mengetahui apakah PVA dan PU masih tersisa dalam sampel
hidroksiapatit makropori, maka dilakukan analisis pada ketiga spektrum FTIR sampel.
Jika pada sampel masih terdapat PVA, maka pada spektrum FTIR akan muncul puncak
gugus vinil (C=C) yang terletak pada bilangan gelombang 1600-1700 cm-1. Adanya
polyurethane akan ditunjukkan oleh adanya puncak milik gugus ester (R-COO-R) pada
bilangan gelombang (1735-1750 cm-1) dan gugus amina (NH) pada bilangan gelombang
(3000-3700 cm-1).
3572
.35
3435
.01
2360
.71
2002
.14
1429
.96
1050
.08
962.
0887
5.91
633.
2060
3.20
569.
5447
4.27
5001000150020002500300035004000Wavenumber cm-1
020
4060
8010
012
014
0Tr
ansm
ittan
ce [%
]
3642
.38
3572
.38
3495
.68
2361
.38
2002
.15
1423
.84
1046
.32
961.
78
633.
0560
2.97
569.
2247
4.10
5001000150020002500300035004000Wavenumber cm-1
020
4060
8010
012
014
0Tr
ansm
ittan
ce [%
]
106 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Dari spektrum FTIR hasil pengujian ketiga sampel pada Gambar 1, Gambar 2 dan
Gambar 3 dapat diketahui bahwa tidak ada gugus fungsi vinil milik PVA (C=C) dan
gugus ester dan amina dari busa polyurethane (NH dan R–COO-R). Dalam spektrum
FTIR tersebut hanya terdapat gugus-gugus fungsi milik hidroksiapatit yaitu hidroksil dan
fosfat (OH dan PO43-). Sehingga dapat dikatakan bahwa ketiga sampel hidroksiapatit
makropori yang terbentuk tidak mengandung PVA dan polyurethane.
Pengujian dengan SEM dilakukan untuk mengetahui struktur permukaan dan
diameter pori sampel. Hasil pengujian SEM yang menunjukkan struktur permukaan dari
sampel hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam dan 6
jam dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hasil pengujian SEM dari sampel Hidroksiapatit makropori dengan variasi
lama waktu sintering (a) 4 jam, (b) 5 jam, dan (c) 6 jam.
Lama waktu sintering berpengaruh pada ukuran diameter pori dari sampel
hidroksiapatit makropori. Ukuran diameter pori sampel hidroksiapatit makropori dapat
diukur menggunakan garis skala yang terdapat pada gambar hasil SEM. Setelah dilakukan
pengukuran diameter pori pada ketiga sampel tersebut berdasarkan Gambar 4, untuk
masing-masing sampel diperoleh ukuran diameter pori yang berbeda-beda. Pengaruh dari
variasi lama waktu sintering terhadap ukuran diameter pori pada sampel hidroksiapatit
makropori diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengukuran diameter pori dari sampel hidroksiapatit makropori dengan
variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam, 6 jam.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 107
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada sampel hidroksiapatit makropori, ukuran
diameter pori menurun sesuai dengan kenaikan lama waktu sintering. Hal ini terjadi
karena selama proses sintering berlangsung, terjadi penggabungan butiran atau partikel
sehingga material menjadi lebih padat. Semakin lama waktu yang diberikan pada proses
sintering maka ukuran pori-pori akan menjadi lebih kecil.
Pada penelitian ini meskipun telah terjadi penurunan ukuran diameter pori
sampel terhadap kenaikan lama waktu sintering, namun sampel III yang disintering 6 jam
dan memiliki diameter pori terkecil yaitu 184 – 571 µm belum dapat diaplikasikan untuk
bone filler. Hal ini dikarenakan ukuran diameter pori pada sampel tersebut lebih besar
dari ukuran diameter bone filler yang efektif untuk pertumbuhan sel tulang, yaitu 100 –
400 µm. Untuk mendapatkan diameter pori hidroksiapatit makropori yang efektif untuk
pertumbuhan tulang, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu dengan meningkatkan
pada lama waktu sintering agar diperoleh diameter pori sebesar 100 – 400 µm.
Selain ukuran diameter pori, lama waktu sintering juga berpengaruh terhadap
porositas dari sampel hidroksiapatit makropori. Hasil pengujian porositas sampel
hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengujian porositas dari sampel hidroksiapatit makropori dengan variasi
lama waktu sintering 4 jam, 5 jam, 6 jam.
Setelah dilakukan pengukuran porositas, maka berdasarkan Tabel 2 diperoleh
porositas yang berbeda-beda untuk ketiga sampel dengan lama waktu sintering yang
berbeda. Pengaruh dari variasi lama waktu sintering terhadap porositas sampel
hidroksiapatit makropori ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 5.
108 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Gambar 5. Grafik hubungan antara variasi waktu sintering dengan porositas (%)
Hidroksiapatit makropori.
Porositas dipengaruhi oleh proses sintering dimana porositas akan menurun
ketika lama waktu proses sintering ditingkatkan. Grafik pada gambar 5 menunjukkan
bahwa pada sampel hidroksiapatit makropori, porositas menurun sesuai dengan kenaikan
lama waktu sintering. Sampel III yang disintering selama 6 jam memiliki porositas lebih
kecil jika dibandingkan dengan sampel I dan II. Hal ini disebabkan karena selama proses
sintering berlangsung terjadi penyusutan akibat penggabungan partikel-partikel yang
menyebabkan material menjadi lebih padat. Semakin lama waktu untuk proses sintering,
maka penggabungan partikel material menjadi semakin efektif sehingga porositas makin
menurun.
Meskipun telah dihasilkan tiga sampel hidroksiapatit makropori dengan
porositas sebesar 95,447%, 90,886% dan 87,565% untuk sampel I, II dan III, namun
ketiga sampel tersebut masih belum sesuai untuk diaplikasikan sebagai bone filler.
Menurut Keaveny (2004), hidroksiapatit makropori yang akan diaplikasikan sebagai bone
filler pada tulang spongious femur membutuhkan porositas sebesar ±70%. Pada penelitian
ini, ketiga sampel hidroksiapatit makropori yang dihasilkan memiliki porositas lebih dari
70% sehingga belum dapat diaplikasikan untuk bone filler. Untuk mendapatkan
hidroksiapatit makropori yang memiliki porositas ±70% dapat dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan cara menambah lama waktu sinteringnya yaitu lebih dari 6 jam.
Lama waktu sintering akan berpengaruh terhadap compressive strength dari
sampel hidroksiapatit makropori. Hasil pengujian compressive strength sampel
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 109
hidroksiapatit makropori dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam dan 6 jam
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengujian compressive strength dari sampel hidroksiapatit makropori
dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam, 6 jam.
Setelah dilakukan pengukuran compressive strength, maka berdasarkan Tabel 3
diperoleh nilai compressive strength yang berbeda-beda untuk ketiga sampel dengan lama
waktu sintering yang berbeda. Pengaruh dari variasi lama waktu sintering terhadap sifat
mekanik compressive strength sampel hidroksiapatit makropori ditunjukkan oleh grafik
pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik hubungan antara variasi waktu sintering dengan compressive strength
hidroksiapatit makropori.
Lama waktu sintering mempengaruhi sifat mekanik sampel dimana nilai
compressive strength sampel akan meningkat sesuai dengan kenaikan lama waktu
sintering. Grafik pada Gambar 6 menunjukkan bahwa pada sampel hidroksiapatit
makropori, compressive strength meningkat sesuai dengan kenaikan lama waktu
110 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
sintering. Sampel III yang disintering selama 6 jam memiliki nilai compressive strength
lebih besar jika dibandingkan dengan sampel I dan II. Hal ini disebabkan karena selama
proses sintering, terjadi penggabungan partikel-partikel atau butir material sehingga
terjadi ikatan yang kuat antara masing-masing butir. Peristiwa ini dapat terjadi karena
adanya suatu mekanisme gerakan material diantara butir (proses difusi) dan sumber
energi untuk mengaktifkan gerakan tersebut. Semakin lama waktu yang diberikan pada
proses sintering, semakin banyak partikel-partikel yang berikatan sehingga material
menjadi lebih kuat. Dalam hal ini lama waktu sintering akan berpengaruh pada sifat
mekanik bahan termasuk compressive strength.
Nilai compressive strength dari hidroksiapatit makropori yang akan
diaplikasikan sebagai bone filler adalah sebesar 7,5 – 41 MPa. Nilai compressive strength
dari ketiga sampel hidroksiapatit makropori pada penelitian ini belum memenuhi nilai
compressive strength yang sesuai untuk aplikasi bone filler. Nilai compressive strength
sampel dapat ditingkatkan dengan cara menambah lama waktu sintering sampai
didapatkan nilai yang sesuai untuk aplikasi bone filler.
Ketiga sampel hidroksiapatit makropori menggunakan PVA dan PU dalam
proses pembuatannya. Setelah ketiga sampel hidroksiapatit telah terbukti tidak
mengandung PVA dan PU berdasarkan hasil pengujian FTIR, maka perlu dibuktikan
apakah ketiga sampel tersebut tidak bersifat toksik. Oleh karena itu dilakukan tahap
pengujian toksisitas yaitu uji MTT assay.
Hasil pengujian MTT assay yang menunjukkan persen sel hidup dari sampel
hidroksiapatit makropori yang disintesis dengan variasi lama waktu sintering 4 jam, 5 jam
dan 6 jam dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengujian MTT assay dari sampel hidroksiapatit makropori yang disintesis
dengan variasi temperatur sintering 4 jam, 5 jam, 6 jam.
Tabel 4 merupakan hasil perhitungan nilai densitas optik dari setiap sampel
yang diuji. Densitas optik dapat diartikan kemampuan suatu material untuk menyerap
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 111
suatu cahaya. Nilai dari densitas optik (OD) setara dengan banyaknya sel hidup. Makin
tinggi nilai OD maka sel yang hidup semakin banyak.
Setelah dilakukan pengujian MTT assay, maka berdasarkan tabel 4 yang
diperoleh dari hasil pembacaan Elisa Reader menunjukkan bahwa ketiga sampel
hidroksiapatit makropori tidak bersifat toksik pada sel. Hal ini ditunjukkan oleh
persentase sel yang hidup masih diatas 60 % pada pengujian ketiga sampel tersebut.
Ketiga sampel hidroksiapatit makropori tersebut tidak bersifat toksik karena selama
proses sinteringnya, PVA dan PU sudah dihilangkan sehingga yang tertinggal hanya
hidroksiapatit. Hal tersebut dikuatkan oleh pengujian pada ketiga sampel hidroksiapatit
yang telah diuji FTIR dimana pada spektrum FTIR ketiga sampel hanya terdapat gugus-
gugus fungsi hidroksil dan fosfat (OH dan PO43-) atau dengan kata lain tidak ada gugus-
gugus fungsi milik PVA dan PU.
Hasil pengujian FTIR memperlihatkan bahwa PVA dan busa telah berhasil
dihilangkan melalui proses pemanasan 650º C dan sintering 1000º C dengan lama waktu
sintering berbeda. Berdasarkan hasil pengujian SEM dan porositas, ukuran diameter pori
dan porositas sampel hidroksiapatit makropori menurun sesuai dengan kenaikan lama
waktu sintering. Penurunan porositas tersebut akan menyebabkan kenaikan pada
compressive strength sampel. Dalam hal ini perubahan pada ukuran pori sampel akan
menyebabkan perubahan pada porositas dan compressive strength sampel. Hasil
pengujian MTT assay juga memperlihatkan bahwa sampel hidroksiapatit makropori yang
disintesis menggunakan metode perendaman busa tidak memberikan efek toksik karena
PVA dan busa yang telah hilang.
Dari beberapa hasil uji yang telah dilakukan pada ketiga sampel hidroksiapatit
makropori, diperoleh karakteristik terbaik yaitu pada sampel III yang disintering pada
temperatur 1000º C selama 6 jam. Pada sampel tersebut ukuran diameter pori yang
dihasilkan adalah sebesar 184 – 571 µm dengan porositas 87,565 % dan nilai compressive
strength 7,1395 x 10-3 MPa. Pada sampel tersebut juga tidak ditemukan adanya sisa PVA
dan busa. Pengujian MTT assay menunjukkan bahwa sampel tersebut tidak memberikan
efek toksik karena persen sel hidup yang diperoleh dari pengujian sampel tersebut adalah
sebesar 96,472%.
Hidroksiapatit makropori dapat diaplikasikan sebagai bone filler jika memenuhi
syarat antara lain ukuran pori 100-400 µm, porositas kurang lebih 70%, memiliki
compressive strength 7,5 – 41 MPa dan tidak bersifat toksik. Dari beberapa pengujian
yang telah dilakukan, sampel III memiliki sifat terbaik jika dibandingkan dengan kedua
112 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
sampel lainnya. Meskipun hasil uji MTT assay menunjukkan bahwa sampel III tidak
toksik, namun sampel III tersebut belum dapat diaplikasikan sebagai bone filler karena
ukuran diameter pori, porositas serta nilai compressive strengthnya tidak memenuhi
syarat sebagai bone filler. Untuk mendapatkan sampel hidroksiapatit makropori yang
diameter pori, porositas dan sifat mekanik compressive strengthnya sesuai untuk aplikasi
bone filler maka perlu dilakukan penambahan pada lama waktu sinteringnya.
KESIMPULAN
1. Variasi lama waktu sintering berpengaruh pada ukuran pori, porositas dan sifat
mekanik compressive strength sampel hidroksiapatit makropori. Semakin lama
waktu sintering yang digunakan, maka ukuran pori dan porositas sampel akan
menurun. Semakin lama waktu sinteringnya akan membuat nilai compressive
strength sampel meningkat.
2. Sampel III yang disintering selama 6 jam memiliki kandidat untuk aplikasi bone
filler karena ukuran pori yang dimiliki adalah sebesar 184-571 µm, mendekati
ukuran pori yang efektif untuk pertumbuhan sel tulang (100-400 µm).
DAFTAR PUSTAKA
Ananto, S., 2008, Analisis Mikrostruktur, Sifat Mekanik dan Sifat Kimia Logam SS-904L,
Skripsi Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,
Surabaya.
Chou, J., et al., 2007, Conversion of Coral Sand to Calcium Phosphate for Biomedical
Application, Department of Chemistry Materials and Forensic Science,
University of Technology Sydney, Australia.
Callister, W. D., 2001, Fundamentals of Materials Science and Engineering, John Wiley
and Sons, Inc, New York.
Demirkol, et al., Mechanical and Microstructural Properties of Sheep Hydroxyapatite
(SHA) of Nanocrystalline Hydroxyapatite Composites, Technical Prog. Dept.,
Vocational School of Degirmendere Ali Ozbay, Kocaeli University. Golcuk,
Turkey.
Descamps, M., et al., 2007, Manufacture of macroporous β - Tricalcium Phosphate
Bioceramics, Laboratoire des Mate riaux et Proce´de´s (LMP), Universite de
Valenciennes et du Hainaut-Cambre´sis, EA 2443, Zl du champ de l’Abbesse,
59600 Maubeuge, France.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 113
Descamps, M., et al., 2008, Synthesis of Macroporous β – Tricalcium Phosphate with
Controlled Porous Architectural, Laboratoire des Mate´riaux et Proce´de´s
(LMP), Universite de Valenciennes et du Hainaut-Cambre´sis, EA 2443, Zl du champ de
l’Abbesse, 59600 Maubeuge, France.
Gross, K. A., et al., 1997, Thermal Processing of Hydroxyapatite for Coating Production,
Thermal Spray Laboratory, Department of Materials Science and Engineering,
State University of New York at Stony Brook, New York.
Heimann, R. B., 2001, Modern Bioceramic Materials : Design, Testing, and Clinical
Application, Department of Mineralogy Freiberg University of Mining and
Technology Brennhausgasse 14, 09596 Freiberg, Germany.
Kalita, S., et al., 2006, Fabrication of 3-D Porous Mg/Zn doped Tricalcium Phosphate
Bone-Scaffolds via the Fused Deposition Modelling, Department of Mechanical,
Materials and Aerospace Engineering, University of Central Florida, Orlando,
Florida.
Keaveny, T. M., 2004, Standard Handbook of Biomedical Engineering and Design,
McGraw Hill.
Kurniawan, S. B., 2012, Sintesis dan Karakterisasi Sifat Mekanik Mortar Berbasis
Material Komposit Silika Amorf dengan Variasi Penambahan Sekam Tebu,
Skripsi Jurusan Fisika, Universitas Airlangga, Surabaya.
Li, S., et al., 2003, Macroporous Biphasic Calcium Phosphate Scaffold with High
Permeability / Porosity Ratio, 1IsoTis NV, Bilthoven, The Netherlands.
Liebschner, M. A. K., et al., 2003, Optimization of Bone Scaffold Engineering for Load
Bearing Applications, Department of Bioengineering, Rice University, Texas,
USA.
Miao, X., et al., 2010, Graded/Gradient Porous Biomaterials, Institute of Health and
Biomedical Innovation, Queensland University of Technology, 60 Musk Avenue,
Kelvin Grove, QLD 4059, Australia.
Mooney, D. J., et al., 2000, Engineering Biomaterials for Tissue Engineering: The 10–
100 Micron Size Scale, The Biomedical Engineering Handbook, Second Edition,
Boca Raton: CRC Press LLC.
Muzzarelli, R. A. A., et al., 1978. Enchanced Capacity of Chitosan for Transition Metal
Ions in Sulphate – Sulphuric Acid Solution.Talanta. Vol 21. Pp. 1137-1143.
Nath, S., et al., 2006, A Comparative Study of Conventional Sintering with Microwave
Sintering of Hydroxyapatite Synthesized by Chemical Route, Laboratory for
114 Jurnal Fisika Dan Terapannya | No.1, Vol.4, Desember 2013
Advanced Ceramics, Department of Materials & Metallurgical Engineering, IIT-
Kanpur National Metallurgical Laboratories, Jamshedpur.
Oktar, et al., 2007, Mechanical Properties of Bovine Hydroxyapatite (BHA) Composites
Doped with SiO2, MgO, Al2O3, and ZrO2, School of Engineering, Industrial
Engineering Department, Marmara University, Goztepe Campus, Ziverbey,
Kadikoy, Istanbul, Turkey.
Park, J., et al., 2007, Biomaterials an Introduction, 3rd Edition, Springer, New York.
Phillips, G. O., 2005, Clinical Application of Bone Allografts and Substitutes Biology and
Clinical Application, World Scientific, London.
Rachadini, N., 2007, Uji Sitotoksisitas Ekstrak Serbuk Kayu Siwak (Salvadora persica)
pada Kultur Sel dengan Menggunakan Esei MTT. Skripsi Fakultas Kedokteran
Gigi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Ratner, B. D., et al., 2004, Biomaterial Science, Second Edition, Elsevier Scademic Press,
San Diego.
Sahin, E., 2006, Shynthesis and Characterization of Hydroxyapatite – Alumina – Zirconia
Biocomposit, Izmir Institute of Technology, Izmir.
Sari, N. A. W., 2005, Pengaruh Suhu dan Waktu Sintering pada Pembentukan Paduan
PbS, Skripsi Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas
Airlangga, Surabaya.
Sloane, E., 2003, Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula, EGC, Jakarta.
Swain, S. K., 2009, Processing of Porous Hydroxyapatite Scaffold, Thesis Department of
Ceramic Engineering, National Institute of Technology, Rourkela.
Syafrudin, H., 2011, Analisis Mikrostrukutr, Sifat Fisis dan Sifat Mekanik Keramik Jenis
Refraktori, Skripsi Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas
Airlangga, Surabaya.
Sedyono, J., 2008, Proses Sintesis dan Karakterisasi FTIR Hidroksiapatit dari Gipsum
Alam Kulon Progo, Teknik Mesin UGM, Yogyakarta.
Smith, W. F., 1990, Principles of Material Science and Engineering, Second Edition,
Mc Graw-Hill Publishing Company, New York.
Thermo Nicolet. 2002. Introduction to Fourier Transform Infrared Spectrometry. Thermo
Nicolet Corporation All rights reserver, Worldwide.
Viswanath, et al., 2004, Synthesis, Sintering and Microstructural Characterization of
Nanocrystalline Hydroxyapatite Composites, Materials Research Centre, Indian
Institute of Science, Bangalore, India.
No.1, Vol.4, Desember 2013 |No. 1, Vol. 4, Desember2013 115
Wijayanti, F., 2010, Variasi Komposisi Cobalt - Chromium Pada Komposit Co-Cr-HAP
Sebagai Bahan Implan, Skripsi Departemen Fisika, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Yeo, W. H., 2008, Improvement in Sinterability of Hydroxyapatite by Addition of
Magnesium Oxide, Universiti Tenaga Nasional, Malaysia.
Ylinen, P., 2006, Applications of Coralline Hydroxyapatite with Bioabsorbable
Containment and Reinforcement as Bone Graft Substitute, Academic dissertation
Department of Orthopaedics and Traumatology, Helsinki University Central
Hospital and University of Helsinki, Helsinki.