Download - Jurnalistik dakwah
Jurnalistik Dakwah 1
Jurnalistik Dakwah 2
PERAN JURNALISTIK DAKWAH
MENCEGAH BENTURAN PERADABAN
Oleh: Syarifuddin
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Setengah abad yang lalu amat mudah mendapatkan kota
atau negeri yang homogen, dihuni oleh satu kelompok etnik,
budaya atau agama tertentu. Tapi sekarang tidak lagi. Mobilitas
penduduk yang bergerak sangat dinamis, didukung oleh
perkembangan iptek yang luar biasa, telah menyebabkan
struktur dan komposisi penduduk di berbagai daerah berubah
cepat. Jurnalistik dakwah lahir sebagai ilmu baru yang akan
memberikan pencerahan pada semua media di dunia ini. Hal ini
latarbelakangi akibat media dewasaini kurang mampu
memberikan kenyamanan di tengah masyarakat. Hal ini tampak
dari produksi berita yang disampaikan lebih pada penonjolan
erotisme, materialisem, sosialisme, kapitalisme, humanisme
yang merusak cakwala manusia sebagaimana yang pernah
terjadi pada masa lalu.
Menghindari hal tersebut terulang kembali maka lahirlah
jurnalistik dakwah yang akan menjadi ilmu penyeimbang dari
jurnalistik yang ada dewasa ini. Masyarakat multikultural, atau
masyarakat bhinneka dengan heterogenitas yang semakin tinggi,
cenderung rentang dengan konflik sehingga membutuhkan
media massa yang memiliki kepekaan sosial dalam
memberitakan setiap berita yang akan dipublikasikan.
Dalam masyarakat multicultural setiap kelompok berhak
mengembangkan diri sesuai dengan ‚jalan‛ jati diri atau
Jurnalistik Dakwah 3
karakteristik kelompoknya (HAR Tilaar, 2004). Faham ini tidak
menganggap cukup dengan adanya Hukum dalam suatu
demokrasi konstitusional, karena dalam masyarkat multicultural
dibutuhkan adanya jaminan terhadap hak-hak kelompok
minoritas untuk mengembangkan martabat atas dasar jati diri
mereka. Jadi dibutuhkan adanya kesadaran kolektif yang
mendorong munculnya kebudayaan politik yang ditandai oleh
adanya penghormatan timbal-balik atas hak-hak manusia, sebab
dengan demikianlah demokrasi konstitusional bisa menjamin
hak-hak kelompok minoritas untuk duduk bersama dengan
kebudayaan kelompok-kelompok lain, tanpa ada rasa takut akan
kehilangan identitas atau ‚ditelan‛ oleh kelompok mayoritas
yang dominan.
Apa relevansi multikulturalisme bagi kita sebagai muslim
dan warga bangsa Indonesia? Pertama, berangkat dari realita
kita sebagai bangsa yang penuh keragaman. De facto bangsa ini
tersebar di 17.000 lebih pulau, terdiri dari puluhan etnik dengan
bahasa, tradisi, dan agama yang tidak sama. De jure, kita
sebenarnya telah mengadopsi semangat multikulturalisme
sekalipun dengan aktualisasi yang masih gamang. Pancasila dan
UUD 1945 telah mencoba merangkul semua unsur keragaman
itu, sebagaimana teukir tegas pada simbol (Garuda) negara
dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika. ‚Berbeda-beda tetapi
tetap satu‛, sungguh merupakan semboyan yang paling pas
untuk merangkum prinsip-prinsip multikulturalisme. Nah .
Bagimana Peran jurnalistik dakwah dalam mencegah benturan
peradaban menghindari benturan peradaban di indoensia dan
bahkan dunia. Inilah yang akan menjadi kajian dalam jurnalistik
dakwah.
Jurnalistik Dakwah 4
B. PEMBAHASAN
Pengalaman pada masa pemerintahan yang lalu bisa
menjadi pelajaran berharga tentang perlunya sikap istiqomah
pada semangat multikulturalisme, demi kelangsungan hidup
bangsa yang memang bersifat multikultural. Kebijakan
pemerintah Orde Baru yang otoriter-sentralistik sejak lama telah
‚membongsai‛ kebhinnekaan daerah-daerah demi keTunggal
Ikaan yang semu. Atas nama persatuan dan kesatuan ruang
gerak keanekaragaman kultural yang terdapat di daerah-daerah
dipersempit, sehingga menghancurkan local cultural geniuses,
seperti tradisi pemerintahan nagari di Minangkabau, pela
gandong di Ambon, komunitas dalihan natolu di Tapanuli.
Padahal keanekaragaman tradisi sosio-kultural seperti ini
merupakan kekayaan kultural yang luar biasa, yang mengandung
pranata-pranata sosial yang antara lain berfungsi sebagai
defense mechanism untuk memelihara integrasi dan keutuhan
sosio-kultural masyarakat (Azyumardi Azra, 2003). Maka
pantas diduga jika kekerasan dan konflik bernuansa perbedaan
etnik-agama yang marak sejak tahun 1996, tidak lepas dari
kebijakan yang telah memandulkan local geniuses tersebut.
Ketiga, pengalaman pendek era Reformasi yang
mendebarkan karena kebijakan desentralisasi kekuasaan
pemerintah ke daerah-daerah cenderung memperlihatkan gejala
‚daerahisme‛ yang tampil tumpang tindih dengan
etnisitas‚sukuisme‛. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali,
mempunyai bobot ancaman yang lebih besar terhadap keutuhan
bangsa dibandingkan dengan pengalaman yang salah dari
pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Jika dulu
kebhinnekaan yang terancam, sekarang bandul ancaman itu
Jurnalistik Dakwah 5
bergerak ke sisi keTunggal Ikaan. Sesungguhnya tidak ada yang
salah dengan pengungkapan identitas etnik dan agama karena di
dalamnya ada kebanggan karakter diri dan kemartabatan
kultural yang diperlukan oleh tiap bangsa untuk maju dan kuat.
Namun dalam suatu masyarakat yang multikultural,
pengungkapan identitas yang sempit bisa menimbulkan
antiklimaks yang mengancam kepentingan bersama.
Keempat adalah posisi umat Islam yang mayoritas,
sehingga kelangsungan hidup bangsa ini tidak salah kalau
disandarkan pada kearifan orang-orang muslim dalam
menghargai keanekaragaman kultural tersebut. Apa yang
seharusnya kita lakukan dari jurnalistik dakwah? Harus disadari
bahwa keragaman atau pluralitas kultural itu sudah merupakan
suatu kenyataan yang umum, sejalan dengan arah perkembangan
masyarakat dari berbagai dimensi. Persoalannya adalah
bagaimana pluralitas itu disikapi dan dikonseptualisasikan tanpa
harus menghadang laju perkembangan masyarakat. Al-Qur’an
pun memastikan trend perkembangan ke arah masyarakat yang
multikultural itu, sekaligus mengajarkan bagaimana manusia
harus mensikapi keragaman tersebut sebagaimana tersurat pada
Al-Hujarat 13: ‚Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan
kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbagai bangsa dan kelompok agar kamu saling
mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah mereka yang paling takwa. Allah Maha Tahu dan
Maha Teliti‛.
Jaidi sekalipun pada posisi minoritas, Nabi saw bersama
sahabat-sahabatnyas bukan hanya aktif berinteraksi dengan
warga kelompok mayoritas, tetapi bahkan mengambil inisiatif
Jurnalistik Dakwah 6
untuk membangun struktur masyarakat baru yang sesuai dengan
sikon zaman. Tetapi harus dicatat, awal dari semua langkah
inisiatif yang berani ini adalah dengan perhitungan atau siyasah
yang terukur. Dimulai dengan suatu cacah penduduk, lalu
melakukan konsolidasi internal untuk mengukuhkan soliditas
kaum muslim yang terdiri dari berbagai kelompok-suku. Pasal 3
sampai 23 dari Piagam Madinah dapat difahami sebagai upaya
konsolidasi internal, memperkuat sel-sel jaringan Ukhuwah
Islamiyah sebagai persiapan untuk memenangkan ‚pertarungan‛
interaksi sosial antarkelompok dalam kompleksitas masyarakat
yang multikultural. Ambil contoh dari pasal (17) ‚Perdamaian di
antara Muslimin adalah satu. Tidak seseorang muslim pun boleh
bersepakat untuk menyetujui perdamaian dengan mengenyahkan
muslim lainnya‛, dan pasal (23) ‚Bila terdapat perbedaan
tentang sesuatu hal, hendaklah diserahkan kepada Allah dan
Muhammad‛. Kedua dictum ini sangat jelas tertuju pada
maksud mempersatukan kaum Muslim yang memang berpotensi
konflik karena karakter heterogenitasnya.
Jadi, belajar dari apa yang dicontohkan Nabi dan para
sahabat di Madinah, salah satu persiapan untuk memasuki
masyarakat global yang multikultural itu adalah kemampuan
managerial untuk mempersatukan kaum muslim yang tidak
homogen. Kaum muslim yang terbelah-belah sudah merupakan
realitas sejarah, persoalannya adalah kepemimpinan siapa yang
mampu mempersatukan untuk membawa mereka dengan
percaya diri dan bermartabat ke kompleksitas masyarakat yang
multikulutral, bukan hanya sebagai obyek tetapi sebagai
inisiator yang mampu mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam
sebagai rahmat bagi semua kelompok masyarakat yang ada.
Jurnalistik Dakwah 7
Berikutnya adalah membangun ukhuwah wathoniyah &
bashariah di tengah pluralitas ummah yang ingin hidup bersama
secara damai, dengan cara saling menjaga diri (taqwa). Tiap
kelompok punya otonomi kultural sendiri, dan mereka berhak
mengekspresikan diri sesuai dengan kriteria-kriteria hukum
agama dan budayanya. Jaminan atas hak ini dalam Piagam
Madina antara lain terlihat pada pasal (25) ‚Agama orang-orang
Yahudi untuk mereka sendiri, agama kaum muslim untuk
mereka sendiri. Hal ini termasuk mawla mereka dan diri
(person) mereka sendiri‛. Diktum ini yang sekarang disebut
sebagai salah satu prinsip dalam Multikulturalisme, yaitu bisa
menghargai orang lain seperti apa adanya - you are what you
are, sebenarnya tak lebih dari upaya sosialisasi atas prinsip-
prinsip kebebasan serta oengakuan atas adanya perbedaan
agama seperti yang difirmankan Tuhan (S.al-Kafirun)
sebelumnya pada periode makkiyah dengan kalimat lakum
dienukum wa liyadien.
Bagaimana dengan tugas dakwah? Dakwah tetap
berlangsung wajar di tengah-tengah pluralitas yang saling
menghargai, untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran ilahiah
terhadap warga masyarakat yang semakin kompleks. Dakwah
dalam masyarakat yang multikultural berakentuasi pada proses
interaksi antarkelompok yang ada, yaitu lewat perilaku-perilaku
warga muslim yang menimbulkan proses saling mempengaruhi
dengan warga dari kelompok lain. Tuntunan normatif yang
diberikan al-Qur’an untuk tampil dengan sikap terbuka, percaya
diri, dan menjaga dignity Islam, sebagaimana telah disebut di
atas, dimaksudkan untuk efektivitas penularan norma-norma
dan nilai Islam dalam proses interaksi antarkelompok tersebut.
Jurnalistik Dakwah 8
Sementara tuntunan tentang taqwa, sikap selalu menjaga diri,
dimaksudkan untuk memupuk pengendalian diri terhadap
potensi-potensi konflik yang lazim ada dalam proses interaksi
antarkelompok. Dengan demikian setiap muslim diharapkan bisa
tampil dengan perilaku interaksi yang berbobot dakwah bil haal,
baik dalam hubungan-hubungan yang bersifat asosiatif maupun
yang bersifat disasosiatif.
Fenomena global yang menumbuhkan masyarakat-
masyarakat multikultural meyakinkan orang mukmin akan
universalitas Islam, karena embrio pengembangan masyarakat
multikultural tersebut telah didemonstrasikan Nabi pada periode
Madina 1400 tahun yang lalu. Apa yang dituntunkan Nabi
adalah: (1) Keberanian untuk memasuki masyarakat
multikultural (ummah) secara terbuka, percaya diri, dan
menjunjung tinggi martabat Islam (2) Konsolidasi internal
dengan membangun ukhuwah Islamiyah. Berbeda pendapat
(khilafiyah) sudah merupakan keniscayaan, maka adagium yang
tepat adalah ‚bersatu dalam ushul, bertoleransi dalam furu’ ‚
(KHM Isa Anshary, 1984). (3) Interaksi sosial dengan
kelompok-kelompok lain atas dasar saling menjaga diri dengan
saling menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang
ada. (4) Membangun ukuwah wathoniyah wa bashariyah
antarkelompok etnik-agama yang ada. Kualifikasi dai
bagaimana yang dibutuhkan untuk bisa memenuhi empat
tuntunan di atas, antara lain dapat disebut beberapa hal.
Pertama harus beriman dan ikhlas terhadap agama yang
hendak didakwahkan, sebab keberanian, percaya diri, dan
kesetiaan untuk menjaga martabat Islam hanya muncul dari
iman serta sifat ikhlas tersebut. Perlu dibangun kesadaran baru
Jurnalistik Dakwah 9
tentang makna kewajiban dakwah sebagai tugas untuk
menyampaikan kebenaran-kebenaran ilahiah secara hikmah
kepada semua orang. Keihlasan dalam dakwah membuat seorang
dai bisa lebih berlapang dada.
Kedua bersifat adil, dalam arti hanya mendakwahkan apa
yang sudah diamalkan (Al-Baqarah, 44), tidak menyembunyikan
kebenaran Tuhan (Al Imran, 187) karena berbagai kepentingan,
dan mendakwahkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Ketiga memiliki hikmah sehingga mampu berdakwah
sesuai dengan sikon obyeknya. Dakwah untuk masyarakat kota
yang mengalami rasionalisasi dan alienasi sudah tentu - dengan
sifat hikmah - didekati dengan cara yang berbeda jika
berhadapan dengan masyarakat desa yang stagnan. Dakwah
dengan pendekatan esoteris atau estetis dapat dilakukan untuk
masyarakat kota, sementara untuk masyarakat desa tersebut
dakwah dilakukan dengan pendekatan etis. Penyajian materi
dakwah pun tentu bilhikmati, yaitu ke masyarakat kota yang
dinamik-plural dengan hidayah sentris sementara ke masyarakat
desa yang stagnan dengan rasio sentris. Tetapi bagaimana
hikmah bisa dimiliki seseorang (dai), Al-Ghazali mengajukan
empat prasyarat: ‘ilmu, iffah, saja’ah, dan ‘adlu.
Keempat, berakhlaq karimah agar bisa tampil sebagai
sosok teladan seperti yang dicontohkan dan menjadi kunci
sukses dakwah Rasulullah Saw.
Nabi dan para sahabat tampil sebagai inisiator masyarakat
multicultural di Madinah dalam posisi sebagai kelompok
minoritas. Kaum muslim di Indonesia yang mayoritas (85%)
mestinya bisa lebih berhasil dengan menjadikan jejak-jejak
Jurnalistik Dakwah 10
sejarah Nabi tersebut sebagai model dakwah dalam membangun
masyarakat bangsa yang multikultural.
III. PENUTUP
Peran jurnalistik dakwah dalam mencegah benturan
peradaban adalah media jurnalistik dakwah karena memiliki
cakrawala dan idiologi rahmatalli’alamin. Filosofi inilah
sehingga jurnalistik dakwah mampu mewadahi semua
perbedaan, suku, bangsa, warna, dan ia berada di atas semua
perbedaan. Jurnalistik dakwah sebagai satu kekuatan untuk
mendesain berita yang mampu memberikan spirit pencerahan
kepada semua manusia. Ilmu jurnalistik dakwah laksana filosofi
air yang memberikan kelembutan, kesegaran, keceriaan,
kebugaran, dan kehidupan pada semua makhluk. Paradigma dan
filosofi air ini, tidak pernah mengeluh karena ia sadar bahwa
eksistensinya berbuat kebaikan adalah tujuan akhirnya.
Begitupulan idiologi jurnalistik dakwah dalam mencegah
terjadinya benturan peradaban perlu memberikan kemasan berita
yang dapat mengolah perbedaan sebagai kekuatan untuk
memberikan berita yang dapat mencerahkan manusia dari semua
warna menuju satu titik yakni adanya ekosisten hidup yang
saling membutuhkan dan saling ketergantungan. (QS Al-
Hujurat/49: 13).
Jurnalistik Dakwah
Jurnalistik Dakwah 11
Oleh: Ramlan M
A. Latar Belakang
‚Sesungguhnya yang pertama diciptakan Allah adalah al-
Qalam, kemudian Allah menciptakan Nûn, yakni tinta; lalu Ia
berkata padanya: Tulislah, al-Qalam bertanya: apa yang harus
kutulis? Ia berfirman: tulislah apa yang telah terjadi dan apa
yang akan terjadi sampai hari kiamat baik perbuatan,
peninggalan, maupun pemberian. Lalu al-Qalam pun menuliskan
apa yang telah terjadi sampai hari kiamat. Itulah maksud Allah-
‘Nûn’, perhatikan Alqalam dan apa yang dituliskannya, begitu
sabda Rasulullah Saw.‛1
Kajian tentang metode penelitian jurnalistik dakwah
relatif masih baru atau sebut saja masih balita. Hal ini
disebabkan karena disiplin ilmu jurnalistik dakwah juga relatif
masih sangat baru. Dakwah dan jurnalistik merupakan dua
kajian yang akan dikompromikan dalam tulisan ini. Setidaknya
ada dua hal yang harus diklarifikasi sebelum masuk pada
pembahasan. Pertama, kata Jurnalitik dalam terminologi
‚jurnalistik dakwah‛ berfungsi sebagai kata sifat sehingga bisa
dipahami bahwa kegiatan dakwah yang dimaksud adalah
bersifat atau melalui media jurnalistik. Kedua, oleh karena
jurnalistik bagian dari komunikasi maka metode penelitian
‚jurnalistik dakwah‛ dalam tulisan ini akan meminjam metode
(model) penelitian yang biasa dipakai dalam ilmu komunikasi.
Bagi penulis, hal ini tidaklah tabu karena dakwah itu sendiri
1 Ramlan M diakses dalam jurnal mujatahid STAIN Palopo.
Jurnalistik Dakwah 12
sangat erat kaitannya dengan komunikasi, bahkan boleh
dikatakan sangat mirip.
Salah satu tujuan tulisan ini adalah untuk menggugah
kesadaran orang Muslim bahwa aktifitas dakwah bukan hanya
terbatas pada dakwah bil Kalam (DBK) akan tetapi juga sebagai
Dakwah Bil Qalam (DBK). Kalau pegertian dakwah disepakati
sebagai proses mengajak, membimbing, mengarahkan,
memotivasi kaum Muslim untuk menjalankan syariat Islam
(Allah), maka media yang dipakai dalam proses itu bisa
bermacam-macam. Sebahagian dai (komunikator) lebih senang
menggunakan media oral sebagai cara untuk berdakwah, tetapi
sebahagian yang lain lebih suka berdakwah melalui tulisan. Dari
sinilah bisa dilihat hubungan antara dakwah dan jurnalistik.
Sehingga, seorang jurnalis sangat layak disebut sebagai seorang
dai.
Menurut A. Faisal Bakti, setidaknya ada beberapa alasan
kenapa jurnalistik dakwah menjadi penting. Pertama, objek
bacaan dalam perintah Tuhan yang pertama adalah keharusan
membaca alam raya (teks kauniyah) dan teks qauliyah (Alquran
dan Hadis). Perintah Allah swt untuk membaca teks qauliyah
dan alam raya menunjukkan pentingya dilakukan riset (research)
dan pengembangan (development). Kedua, signifikansi al-
Qalam (tulisan) ada pada fungsinya sebagai media sebagai
penghantar pesan-pesan. Ilmu tidak bisa ditangkap tanpa
pembacaan dan pemaknaan oleh manusia. Menurutnya goresan
qalam (tekstualitas) lebih kuat sebagai penghantar ilmu
dibanding dakwah verbal (oralitas). Jika produk DBQ terbaca
dengan baik, ia akan cenderung melahirkan kreatifitas dan
kultur baru (cree la culture). Sedangkan DBK lebih cenderung
Jurnalistik Dakwah 13
mewariskan kultur (heriter la culture). Ketiga, bahwa Alquran
adalah ‚kata Tuhan‛ sedangkan jurnalistik adalah ‚tulisan
tangan manusia‛ menunjukkan kelengkapan ‚persaudaraan‛.
Dalam hal ini, peran jurnalisitk sebagai karya tangan manusia
adalah mengolah, mencari dan mengekspresikan pesan-pesan
Tuhan (Suf Kasman, 2004: x-xi).
Al-Shabuny mengatakan ‚perhatikanlah Qalam dan segala
sesuatu yang ditulisnya‛ (Muhammad Ali al-Shabûniy, 1996:
529). Dalam ayat ini, Allah bersumpah dengan Qalam dan Kitab
yang ditulis, dengan maksud membuka pintu pengajaran
keduanya (Ahmad Musthâfa al-Marâgy, t.th: 27). Betapa Qalam
itu termasuk nikmat besar yang telah di anugrahkan oleh-Nya,
agar orang dapat menuliskan buah pikiran, keinginan, dan
perasaan seseorang (Departemen Agama RI, 1995: 287). Dengan
Qalam, ilmu pengetahuan tiada tersisa tercatat, (Hamka, 1983:
40). bahkan para pengarang dan pujangga telah mengantarkan
bangsanya untuk merdeka, di-sebabkan sari buah pena (M. Isa
Anshary, 1995: 34).
Tulisan seseorang dapat membentuk pendapat umum dan
mengubah pola pikir dapat menguncang dunia seketika, hal ini
membuat Presiden John Fitzgerald Kennedy pernah menyatakan
‚lebih takut pada seorang wartawan ketimbang seribu tentara‛
(Ainur Rafiq Sophiaan, 1993: vii). Dibantu oleh kekuatan pers,
Lenin juga mencapai suatu gerakan revolusi, ke titik puncak,
lalu mengingatkan ‚waspadalah terhadap kekuatan pers‛ (Albert
L. Hester dan Wai Lan J., 1997: 41). Karena tarikan pena sang
kuli tinta itu bisa merakit sederet tulisan sakti (Garin Nugroho,
1995: 47). Memang, tulisan adalah tamannya para ulama, begitu
Jurnalistik Dakwah 14
pameo klasik Ali bin Abi Thalib. (Rusjdi Hamka dan Rafiq,
1983: 40).
Umat Islam dalam perspektif kekinian harus semakin
kritis terhadap informasi yang tiap hari diterima. Salah satu dari
berbagai tantangan yang dihadapi umat Islam tersebut adalah
menumbuh kembangkan jurnalistik Islami, atau menjadikan pers
Islami sebagai ‚ideologi‛ para jurnalis muslim, demi membela
kepentingan Islam dan umatnya, dan juga mensosialisasikan
nilai-nilai Islam sekaligus meng-counter dan memfilter derasnya
arus informasi jahili dari Barat.
Pers (umum) sering didefinisikan sebagai proses meliput,
mengolah, dan menyebar luaskan peristiwa (berita) atau
opini/pandangan (views) kepada masyarakat luas. Bertolak dari
pengertian itulah maka pers Islami dapat dimaknai
sebagai‛suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan
berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam, khususnya
yang menyangkut agama dan umat Islam kepada khalayak, serta
berbagai pandangan dengan perspektif ajaran Islam‛ (Asep
Syamsul M. Romli, 2000: 85-86). Sebagai pers berkarakteristik
religius (bernafaskan ajaran Islam), Alamsyah Ratu
Perwiranegara yang dikutip Rusjdi Hamka dalam buku Islam
dan Era informasi mengatakan, seharusnya media massa Islam
memegang peranan penting dan berjasa besar dalam kehidupan
beragama masyarakat, terutama masyarakat Islami.
Sejarah telah membuktikan bagaimana kepeloporan media
massa Islam dalam sejarah peradaban masyarakat di dunia.
Sebelum Eropa menemukan tiga penemuan barunya, yaitu: seri
cetak, pemakaian mesin, dan kompas, yang menjadi motor
pemercepat tumbuhnya gerakan Renaisance, gerakan kelahiran
Jurnalistik Dakwah 15
kembali peradaban Eropa yang lahir sejak abad 14 Masehi yang
kelak menjadi titik awal jaman Kerajaan Abbasiah (pada abad
VIII dan X-an) telah banyak tumbuh industri-industri kertas
setempat. Pada abad XII-an baru masuk kedaratan Eropa. Hal
inilah satu realitas yang dapat dibanggakan oleh kaum
muslimin, yakni kontribusinya dalam membuat kertas yang
dihadiahkan sekaligus membuka peradaban baru bangsa Eropa
(Rusjdi Hamka dan Rafiq, 1983: 42-43). Itulah fakta sejarah,
yang secara historis telah menjadi saksi bagaimana peran pers
Islami dalam sejarah peradaban umat Islam melukis sejarah
peradaban modern yang kita saksikan dewasa ini.
Hanya saja umat Islam dewasa ini kerap di hadapkan suatu
dilema yang lumayan pelik, yaitu tidak memilikinya suatu
media massa yang memadai untuk memperjuangkan dan
menegakkan nilai-nilai Islam. Dampaknya, yang terjadi tidak
hanya kurang tersalurkannya aspirasi umat, tetapi juga umat
Islam hanya menjadi konsumen bagi media non-Islam massa lain
yang tidak jarang membawa informasi yang tidak relevan dalam
rangka pemberdayaan umat. (Asep Syamsul M. Romli, 2000:
81).
Jadi, kehadiran jurnalistik dakwah yang penulis angkat
sebagai titik acuan, selain berfungsi sebagai alat informasi
pendidikan dan hiburan, namun intinya sebagai pembimbing
kerohanian atau pengembangan misi ‘amar ma’ruf nahi munkar,
sesuai firman Allah dalam QS.Ali Imran [3]: 104.
Jurnalistik Dakwah 16
Pengertian Jurnalistik dakwah (DBQ)
1. Pengertian Dakwah
Dakwah; secara etimologis, perkataan dakwah berasal dari
bahasa Arab دعوة– يدعوا – دعا yang berarti menyeru,
memanggil, mengajak dan menjamu (Ibnu Manzur, 1998: 359-
360). Sedangkan orang yang melakukan seruan atau ajakan
tersebut dikenal dengan panggilan da’i (orang yang menyeru).
Tetapi mengingat bahwa proses penyampaian (tablîgh) atas
pesan-pesan tertentu, maka dikenal pula istilah muballig yaitu
orang yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaikan
pesan (message) kepada pihak komunikan (Toto Tasmara, 1997:
31).
Secara etimologis pengertian dakwah adalah mengajak
umat manusia kepada al-khaer dan al-huda serta me-
merintahkan mereka berbuat ma’rûf dan mencegah berbuat
mungkar agar mereka memperoleh hidup di dunia dan akhirat
(Ali Mahfuz, 1952: 17).
Kata da’ā pertama kali dipakai dalam Alquran dengan arti
mengaduh (meminta pertolongan kepada Allah) yang pelakunya
adalah Nabi Nuh as (QS. al-Qamar (54): 10) Lalu kata ini berarti
memohon pertolongann kepada Tuhan yang pelakunya adalah
manusia (dalam arti umum) (QS. al-Qamar (39): 8). Setelah itu,
kata da’ā berarti menyeru kepada Allah yang pelakunya adalah
kaum Muslimin (QS. Fushshilat (41): 33).
Kemudian kata yad’ū, pertama kali dipakai dalam Alquran
dengan arti mengajak ke neraka yang pelakunya adalah syaitan
(QS. Fathir (35): 6). Lalu kata itu berarti mengajak ke surga
yang pelakunya adalah Allah (QS. Yunus (10):25), bahkan
dalam ayat lain ditemukan bahwa kata yad’ū dipakai bersama
Jurnalistik Dakwah 17
untuk mengajak ke neraka yang pelakunya orang-orang musyrik
dan mengajak ke surga yang pelakunya Allah, sebagai dalam
QS. al-Baqarah (2):221. (Departemen Agama RI, 1989: 54).
Sedangkan kata dakwah atau da’watan sendiri, pertama
kali digunakan dalam Alquran dengan arti seruan yang
dilakukan oleh para Rasul Allah itu tidak berkenan kepada
obyeknya (QS. al-Mu’min (40):43). Namun kemudian kata itu
berarti panggilan yang juga disertai bentuk fi’il (da’ākum) dan
kali ini panggilan akan terwujud karena Tuhan yang memanggil
(QS. al-Rum (30):25). Lalu kata itu berarti permohonan yang
digunakan dalam bentuk doa kepada Tuhan dan Dia menjanjikan
akan mengabulkannya (QS. al-Baqarah (2):186).
Dari uraian-uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa
kata dakwah dalam pengertian terminologi adalah menyeru,
memanggil, mengajak dan menjamu. Adapun orang yang
melakukan ajakan atau seruan tersebut dikenal dengan da’i
(orang yang menyeru).
Pada sisi lain, karena penyampaian dakwah termasuk
tablīgh, maka pelaku dakwah tersebut di samping dapat disebut
sebagai da’i, dapat pula disebut sebagai muballig yaitu orang
yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan
(message) kepada pihak komunikan.
Sedangkan pengertian dakwah secara terminologis adalah
mengajak umat manusia kepada al-khaer serta memerintahkan
mereka berbuat ma’rūf dan mencegah berbuat munkar agar
mereka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Pengertian dakwah ini, berdasar pada QS. al-Imrān (3): 104
sebagai berikut:
Jurnalistik Dakwah 18
ولتكن منكم امة يدعون الي الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وألئك هم
الم ون
Terjemahnya :
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang
yang beruntung. (Departemen Agama RI, h. 93).
Pengertian dakwah di atas, agaknya cukup mewakili
pengertian-pengertian dakwah secara terminologis yang banyak
dikemukakan oleh ulama dan cendekiawan Muslim lainnya.
Sejalan dengan pengertian dakwah tersebut, Didin Hafiduddin
menyatakan bahwa makna dakwah ini, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan secara seksama, yakni :
a. Dakwah sering disalah mengertikan sebagai pesan yang
datang dari luar, sehingga langkah pendekatan lebih
diwarnai dengan interventif, dan para dai lebih
mendudukkan diri sebagai orang asing, tidak terkait dengan
apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
b. Dakwah sering diartikan menjadi sekedar ceramah dalam
arti sempit, sehingga orientasi dakwah sering pada hal-hal
yang bersifat rohani saja.
c. Masyarakat yang dijadikan sasaran dakwah sering dianggap
vacuum, padahal dakwah berhadapan dengan setting
masyarakat dengan berbagai corak dan keadaannya.
Sehingga dakwah itu harus dinamis dan selalu berkembang
baik dalam hal materi, metode maupun strategi dakwah itu
sendiri.
d. Dakwah yang diartikan hanya sekedar menyampaikan dan
hasil akhirnya terserah kepada Allah, akan menafikan
Jurnalistik Dakwah 19
perencanaan, pelaksanan dan evaluasi dari kegiatan dakwah.
Oleh karena itu, tidak pada tempatnya bila kegiatan dakwah
hanya asal-asalan.
2. Jurnalistik
Jurnalistik berasal dari kata ‚jurnal‛ atau ‚dujour‛ yang
berarti hari, dimana segala berita atau warta sehari itu termuat
dalam lembaran yang tercetak (Asep Syamsul M. Romli, 68).
Dalam kamus Bahasa Inggris ‚Journal‛ diartikan sebagai
majalah, surat kabar, dan diary (buku catatan harian), sedangkan
‚journalistic‛ diartikan kewartawanan (warta=berita, kabar)
(Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, 1982: 93). Jadi
jurnalistik adalah salah satu bentuk publisistik/komunikasi yang
menyiarkan berita dan atau ulasan berita tentang peristiwa-
peristiwa sehari yang umum dan aktual dengan secepat-
cepatnya (Riyati Irawan dan Teguh Meinda, 1981: 1). Di
samping itu, jurnalistik diapandang sebagai suatu pengelolaan
laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari
peliputan berita sampai penyebarannya kepada masyarakat (
Onong Uchana Effendi, 2001: 151).
Argumen-argumen yang mendasari pentingnya penerapan
dakwah jurnalitik adalah untuk menumbuh kembangkan gerakan
dakwah Islam lewat media cetak. Karena selama dekade ini
pasaran pers Indonesia selalu ditandai dengan aneka ragam
penerbitan majalah, mulai majalah berita, hiburan, majalah
wanita dan anak-anak, begitupula olah raga, sastra sampai pada
yang lebih khas seperti, ‚motor dan mobil (otomotif). Di antara
aneka ragam itu yang barang kali bersamaan timbulnya dengan
sejarah pers Indonesia ialah majalah yang bernafaskan Islam
Jurnalistik Dakwah 20
diterbitkan oleh penerbit dan pengarang-pengarang Islam untuk
tujuan penyebaran dan pendalaman akhlak pembacanya.
Mengingat saat ini, bangsa Indonesia semakin terpuruk dan
gelisah hingga berusaha mencari ‚jawaban‛ terhadap persoalan
hidup atau problema kemasyarakatan lewat siraman rohani dari
jurnalistik dakwah.
Jadi, jurnalistik dakwah adalah suatu aktifitas dan proses
mengajak, membimbing, memotivasi, membina, menyampaikan
pesan-pesan agama kepada orang Muslim melalui media tulisan
(jurnalistik) baik majalah, surat kabar, bulletin, buku dan
sebagainya.
3. Metode Penelitian Jurnalistik Dakwah
Ada beberapa model metode penelitian yang bisa dipakai
dalam penelitian jurnalistik dakwah atau dakwah bil Qalam
(DBQ). Metode penelitian yang akan dipakai dalam jurnalistik
dakwah ini berasal dari metode penelitian yang biasa dipakai
dalam kajian komunikasi antara lain, model penelitian 1) Jarum
Hipodermik, 2) Use and Gratification, 3) Analisa Isi, 4)
Analisis Framing.
a. Metode Jarum Hipodermik
Penelitian model ini dilakukan oleh Hovland untuk
meneliti pengaruh propaganda sekutu dalam mengubah sikap.
Model ini berasumsi bahwa komponen komunikasi
(komunikator, pesan, dan media) sangat kuat dalam
mempengaruhi komunikasi. Disebut model ‚jarum hipodermik‛
karena seakan-akan komunikasi disuntikkan langsung ke dalam
jiwa komunikan (al-Mad’u). Model ini disebut juga sebagai
‚bullet theory‛ karena seakan-akan al-Mad’u (komunikan atau
Jurnalistik Dakwah 21
audiens) secara pasif menerima berondongan pesan dari
komunikator (al-Dai). Jika komunikator sudah dipilih dengan
tepat, pesan yang baik, serta media yang benar baik media
elektronik maupun media cetak, maka komunikan akan
diarahkan sekehendak komunikator (Jalaluddin Rakhmat, 2000:
62). Untuk mengetahui variabel efek (pengaruh) dapat dilihat
dari tiga kategori yakni segi kognitif (perubahan pendapat,
penambahan pengetahuan serta perubahan kepercayaan), segi
afektif (sikap, perasaan, dan kesukaan), segi behavioral yakni
prilaku atau kecenderungan prilaku (Jalaluddin Rakhmat, 2000:
64).
b. Model Penelitian Uses and Gratification (Penggunaan dan
Pemenuhan Kebutuhan).
Model ini merupakan antitesa dari model penelitian Jarum
Hipdermik yakni tidak tertarik untuk melihat apa yang
dilakukan atau pengaruh media pada diri seseorang, tetapi ia
tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media.
Misalnya, sejauh mana surat kabar membantu responden
memperjelas suatu maslaah atau menemukan masalah. Jadi,
model penelitian ini tidak akan melihat sejauh mana pengaruh
komunikator, pesan serta media dalam merubah sikap dan
prilaku audiens, akan tetapi bagaimana sikap responden
(komunikan) terhadap media, pesan, serta komnikator tersebut
(Jalaluddin Rakhmat, 2000: 65-67). Model penelitian ini
menempatkan materi dakwah, media dakwah sebagai objek
respond audiens. Maksudya, al-Mad’u (audiens) akan puas
terhadap seorang dai jika materi dakwah dan media yang
Jurnalistik Dakwah 22
digunakan dapat memenuhi apa yang dibutuhkan seorang al-
Mad’u (audiens).
c. Penelitian Model Analisis Isi dan Wacana
Penelitian ini tidak melihat dan terpengaruh kepada
komuikator, media, serta pesan dakwah. Tetapi untuk model
analisis isi, penelitian ini lebih melihat materi dakwah yang
diangkat oleh seorang dai. Aplikasi metode ini adalah seorang
peneliti jurnalistik dakwah akan melihat dan mencata tema-
tema inti yang diminati audiens dan yang sering dikemukakan
oleh seorang dai baik yang berkaitan dengan akidah, akhlak,
muamalah, serta ibadah. Sementara di lain sisi, analisis wacana
tidak melihat seberapa sering tema dakwah muncul dalam
jurnalistik dakwah. Fokus kajian analisis wacana terletak pad
ide, latar belakang serta konteks yang ada di luar dengan
pemilihan tema seorang dai (jurnalis).
Neuman menyebutkan bahwa ‚content analysis is a
technique for gathering and analyzing the content of text‛
maksudnya, analisis isi adalah teknik pengumpulan data serta
analisis terhadap isi suatu teks. Yang dimaksud teks di sini
bukan hanya sebatas tulisan tetapi juga termasuk ide, tema,
pesan, arti maupun symbol-simbol yang terdapat dalam teks
baik berupa tulisan, gambar maupun pidato (Bambang Prasetyo
dan Lina Miftahul Jannah, 2006: 167).
d. Model Penelitian Analisis Framing
Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks
yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis.
Paradigma ini memandang realitas kehidupan social bukanlah
Jurnalistik Dakwah 23
realitas yang natural tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya,
analisis pada paradgima konstruksionis adalah menemukan
bagaimana pristiwa dan realitas tersebut dikonstruksi dan
dengan cara apa konstruksi itu dibentuk (Eriyanto, 2005: 37).
Jadi pesan yang dikirim dalam lalulintas komunikasi diproduksi
dan dipertukarkan makannya oleh pengirim, penerima, serta
dihubungkan dengan konteks social di mana mereka berada.
Analisis framing adalah suatu model penelitian dalam
komunikasi yang melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan
dikonstruksi oleh media. Framing adalah sebuah cara bagaimana
pristiwa disajikanoleh media. Penyajian tersebut dilakukan
dengan cara menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek
tertentu. Oleh karena itu, yang dilakukan oleh media adalah
menseleksi, menghubungkan, menonjolkan, serta menekankan
isu tertentu sehingga makna suatu pristiwa lebih mudah
menyentuh dan diingat oleh khalayak (Eriyanto, 1994: 368).
Model framing ini seringkali dipakai juga oleh seorang dai
dalam melaksanakan misi penyebaran agama Islam. Dalam
dunia tafsir, analisis framing hamper mirip dengan metode tafsir
maudhui yang mencoba mengkonstruksi, menghubungkan,
menseleksi teks-teks tertentu untuk memberikan pemahaman
yang lebih mudah dan tersentuh oleh audiens (al-mad’u).
Penutup
Setelah penulis memberikan penjelasan deskriptif tentang
jurnalistik dakwah atau Dakwah Bil Qalam yang diikuti dengan
inisiasi metode penelitian jurnalistik dakwah yang dipinjam dari
ranah ilmu psikologi, maka penulis mengemukakan beberapa
poin-poin singkat sebagai kesimpulan.
Jurnalistik Dakwah 24
1. Penelitian dan Pengembangan dakwah khususnya
Jurnalistik dakwah atau Dakwah Bil Qalam (DBQ)
merupakan perintah agama yang ditandai dengan
turunnya surah al-‘Alaq.
2. Jurnalistik dakwah atau Dakwah bil Qalam (DBQ)
suatu upaya aktifitas, proses mengajak, membimbing,
memotivasi, membina, menyampaikan pesan-pesan
agama kepada orang Muslim melalui media tulisan
(jurnalistik) baik majalah, surat kabar, bulletin, buku
dan sebagainya.
3. Dalam pengembangan jurnalistik dakwah, ada beberapa
tawaran metode yang bisa digunakan antara lain
penelitian model Jarum Hipodermik, Use and
Gratification, Analisis Isi dan Wacana, serta model
Analisis Framing.
DAFTAR RUJUKAN BUKU
Alamudi, Abdullah. Pedoman Untuk Wartawan, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1997.
al-Marâgy, Ahmad Musthâfa. Tafsîr al-Marâgiy, Beirut: Dâr
Ahyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, t.th.
al-Râziy, Imam Fakhr. Al-Tafsîr al-Kabîr ‘an Mafâtih al-Ghaib,
Cet.I; Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiah, 1990.
Jurnalistik Dakwah 25
al-Shabûniy, Muhammad Ali. Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir,
Cet.I; Lubnân: Dâr al-Fikr, 1996.
al-Suyûtiy, al-Imâm ‘Abd. al-Rahmân Jalâl al-Din. Al-Dur al-
Mantsûr Fiy Tafsîr al-Ma’tsûr, jilid VIII, Cet.I; Bairut:
Dâr al-Fikr, 1983.
al-Tirmidziy, Imâm Muhammad Isâ bin Sûrah. Sunan al-
Tirmiziy, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994.
Anshary, M. Isa Mujahid. Dakwah, Cet V; Bandung: CV
Diponegoro, 1995.
Effendi, Onong Uchjana. Komunikasi: Teori dan Praktek,
Bandung: Rosda Karya, 2001.
Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik
Media, Cet. III; Jogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005.
Hamka, Rusjdi dan Rafiq. Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983.
Irawan, Riyati dan Teguh Meinda. Tanya Jawab Dasar-dasar
Jurnalistik, Cet. I; Bandung: Armico, 1981.
Kasma, Suf. Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-prinsip
Dakwah bil Qalam dalam Al-Quran, Cet. I; Jakarta:
Teraju, 2004.
Mahfuz, Ali. Hidayat al-Murshidin, Kairo: Dar al-Kutub al-
Arabi’, 1952.
Manzur, Ibnu. Lisan al-Arab, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-
Arabiy, 1998.
Nugroho, Garin. Kekuasaan dan Hiburan, Cet. I; Yogyakarta:
Yayasan Benteng Budaya, 1995.
Poerwadarminta, W.J.S. dan Wojowasito. Kamus Lengkap
bahasa Inggeris – Indonesia, Bandung: Hasta, 1982.
Jurnalistik Dakwah 26
Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah, Metode
Penelitian Kualitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006.
Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung:
Rosdakarya, 2000.
Romli, Asep Syamsul M. Jurnalistik Praktis Untuk Pemula, Cet.
II; Bandung: Rajawali Rosdakarya, 2000.
Sophiaan, Ainur Rafiq. Tantangan Media informasi Islam;
Antara Profesionalisme dan Dominasi Zionis, Cet. I;
Surabaya: Risalah Gusti, 1993.
Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah, Cet.II; Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1997.
Sumber Lain
Departemen Agama RI; Proyek Penggandaan Kitab Suci Al-
Quran, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: YPPA, 1995.
Departemen Agama RI, Al-Qu’an dan Terjemahnya, Surabaya:
Mahkota, 1989.
Soesilo, Arie S. dan Philo C.Wasburn, Constructing a Political
Spectacle: American and Indonesian Media Accounts of
the Crisis in the Gulf, The Sociological Quraterly, Vol. 35.
No. 2, 1994.
Jurnalistik Dakwah 27
MEDIA MASSA MASYARAKAT
Oleh: Wahyuni Husain
Abstrak : Media on-line on the Internet continues to grow and to attract audiences to choose the media is a source of information. This of course can disrupt the stability of other traditional media in presenting the news that the actual competition. However, despite news delivered via on-line media is much faster than the newspapers published, but it does not mean more complete. Also in the media on-line does not provide much space discussing the news in detail, it is different in the traditional media space for more news, so even a small problem became news. These factors cause the print media still remains as medium used by the public.
Kata kunci : media on-line, cyber, cyberspace, media
cetak, informasi.
A. Pendahuluan
Sumber informasi utama masyarakat adalah media massa.
Keterbatasan kemampuan manusia untuk memperoleh informasi
itulah sehingga manusia membutuhkan suatu media yang dapat
memenuhi kebutuhan informasinya. Pada saat ini telah terjadi
revolusi informasi dimana manusia dihadapkan pada banyak
pilihan media seperti media cetak dengan berbagai macam versi
penyajiannya, media elektronik televisi dan audio visualnya
serta media internet dengan megapustaka untuk berbagai
informasi yang dibutuhkan.
Jurnalistik Dakwah 28
Frederick William mengatakan bahwa kita dalam
kehidupn modern ini secara terus menerus memilih media
komunikasi mana yang dapat mewakili situasi yang ada. Ia juga
mengatakan bahwa salah satu hal yang membedakan gambaran
mengenai dunia kita dalam komunikasi modern adalah bahwa
kita memiliki banyak pilihan dalam menggunakan media
komunikasi. Tidak hanya itu saja, media menjadi bervariasi dan
isinya berhubungan pada teknologi komunikasi baru. Contohnya
televisi bisa kita terima di rumah hanya dengan kabel, disk atau
tape yang berhubungan langsung dengan satelit. Sebenarnya kita
hidup dalam dunia yang memiliki banyak alternatif komunikasi
yang mungkin mendorong kita untuk meningkatkan pilihan-
pilihan yang lebih banyak.
Era globalisasi muncul menyusul terjadinya revolusi
komunikasi dan informasi yang mulai menggejala sejak tahun
1970-an atau sekitar seperempat abad silam. Revolusi
komunikasi dan informasi dipicu oleh revolusi telekomunikasi
dengan berbagai perwujudannya. Fenomena tersebut kemudian
dikenal pula dengan nama Cybercommunication (Cybercom).
Sejarah menyaksikan munculnya komunikasi satelit, telepon
antarbenua, televisi, telepon selular, dan TV kabel hingga
jaringan internet sejagat (A. Muis, !999: 188– 189).
Pada saat revolusi komunikasi dan informasi seperti
dikatakan A. Muis di atas terdapat kecenderungan
bertambahnya jumlah masyarakat yang selalu ‚haus‛ akan
informasi baru serta menjamurnya industri media massa.
Tingkat ketergantungan masyarakat pada media massa pun
semakin meningkat. Maka dari itu komunikasi memiliki
kekuatan yang cukup luas di masyarakat dan berada pada setiap
Jurnalistik Dakwah 29
aspek – ekonomi, politik, sosial, budaya – yang dapat
mempengaruhi jalannya suatu negara. Komunikasi dalam hal ini
berhubungan dengan media massa yang dijadikan mediator
antara masyarakat juga antara masyarakat dengan pemerintah.
Media massa merupakan media komunikasi yang dijadikan
sumber informasi terbesar bagi masyarakat untuk memenuhi
rasa ingin tahunya. Media massa juga dijadikan jembatan
informasi antara satu tempat dengan tempat lain. Hal inilah
yang menyebabkan masyarakat sangat tergantung pada media
massa. Sehingga apapun yang disajikan akan dengan mudah
dipercayai oleh penerima. Karena masyarakat tidak memiliki
kesempatan untuk melakukan cek dan ricek atas apa yang
dikemukakan media massa. Saat itulah media massa akan
dengan mudah melakukan ‘brain washing’ pada pembaca dan
mengarahkan masyarakat sesuai dengan keinginan orang-orang
di belakang informasi.
Berbagai cara ditempuh untuk memenuhi kebutuhan
informasi masyarakat dengan menyajikan berita-berita yang up
to date, sehingga terjadilah persaingan antar media massa. Salah
satu cara yang digunakan media untuk memperoleh informasi
yang aktual adalah dengan menyebarkan koresponden ke seluruh
dunia. Dengan begitu, media massa akan lebih mudah
mendapatkan informasi aktual dari seluruh dunia dalam waktu
singkat. Cara lain yaitu dengan membentuk kantor berita seperti
kantor berita di Indonesia dengan nama Kantor Berita Antara
atau Reuters di Inggris dan NHK di Jepang.
Teknologi komunikasi dalam hal penyebaran informasi
melalui media massa semakin berkembang. Kali ini tidak hanya
melalui media cetak ataupun elektronik tetapi internet. Suatu
Jurnalistik Dakwah 30
media alternatif selain media massa yang telah ada, internet
merupakan suatu mega pustaka dimana seluruh informasi yang
dibutuhkan dapat diperoleh disana.
Berdasarkan artikel Charles Elliot (E-Paper in Asia, News
Flows and the Computer-Mediated Press, 1999), internet
merupakan hasil teknologi komunikasi yang menjadi jaring
penghubung terbesar di dunia. Ia sebagai perantara yang
menjembatani hubungan antara dunia Barat dan Timur sehingga
hanya dalam waktu yang relatif singkat dan biaya murah
seseorang dpaat membaca surat kabar berbagai terbitan dunia
dengan aktualitas yang terjamin.
Penggunaan internet sebagai media pengiriman informasi
mulai dilirik oleh para ‚pencinta‛ jurnalistik. Internet dianggap
sebagai suatu cara yang paling mudah dan murah dalam
penyampaian informasi dari pelosok manapun juga yang
memiliki jaringan internet. Maka telepon dan facsimile
walaupun masih digunakan tetapi dianggap tiak secepat internet
dalam penyampaian berita.
Dalam dunia jurnalistik, internet memberikan kekuasaan
pada individu dengan komputer untuk mengembangkan pusat
penerbitannya sendiri. Internet menawarkan suatu PC dasar
hanya dengan menggunakan telepon hubungan web serta
layanan sistem informasi global yang gratis.
Berkembangnya teknologi internet sebagai media
informasi elektronik yang akhir-akhir ini berkembang pesat di
negara maju sejak 35 tahun yang lalu dan mulai pula
berkembang di Indonesia, diperkirakan dapat mempengaruhi
teknologi penyebaran informasi dari teknik tradisional menjadi
teknik penyebaran melalui media elektronik (cyber). Revolusi
Jurnalistik Dakwah 31
teknologi informasi di Indonesia memang sedang terjadi,
walaupun agak terlambat dibanding dengan negara lain. Hal ini
dibuktikan dengan bertambah banyaknya jumlah pengguna
internet, perusahaan jasa provider dan merebaknya media on-
line membuktikan bahwa internet ini mulai membudaya di
Indonesia.
Perkembangan teknologi komunikasi juga mempengaruhi
kalangan praktisi pers. Saat ini terutama media cetak tidak lagi
dihadapi dengan media elektronik yang tentu saja memiliki
banyak kelebihan dibanding dengan media cetak dalam hal
visualisasi. Tapi tampaknya media cetak lagi-lagi harus ‘gigit
jari’ dengan munculnya media on-line di internet. Seperti yang
kita ketahui bahwa internet tidak memiliki hambatan dalam
penyampaian informasinya. Tidak ada yang membatasi ataupun
peraturan-peraturan tertulis yang mengaturnya.
Masuknya media baru ini di tengah-tengah masyarakat
yang sedang merangkak menuju kedewasaan berpikir pasti tidak
akan mudah. Perkembangan teknologi ini harus disesuaikan
dengan budaya pemakai dan konsumen. Sampai sejauh mana
inovasi ini dapat mempengaruhi cara mereka berpikir. Apalagi
kebebasan penyebaran informasi di internet yang seperti tanpa
penghalang. Pengawasan terhadap internet hampir tidak
mungkin karena begitu ramainya lalu lintas dan karena identitas
sangat mudah disamarkan. Bahkan salah seorang operator
Amerika menyediakan layanan anonimitas, menanggalkan
semua penanda dari pesan yang dikirim melalui servernya,
sehingga orang merasa bebas mengekspresikan diri.
George Owel seperti dikutip A. Muis (1999 : 193)
meramalkan media massa akan dikendalikan oleh sebuah
Jurnalistik Dakwah 32
kekuatan misterius yang otoriter pada saat memasuki era
globalisasi informasi. Karena pada saat ini dunia yang mulanya
terasa sangat luas akan menjadi kecil, modem serta jaringan
telepon kita akan dengan mudah meraih informasi apa saja tanpa
kita ketahui siapa di belakang semuanya.
Dilihat dari jumlah pengguna internet yang sudah
menjangkau sebagian besar kota-kota di Indonesia dan
menjamurnya Warnet (Warung Internet) di seluruh pelosok
membuktikan bahwa internet telah menjadi salah satu alternatif
masyarakat untuk memperoleh informasi. Apalagi nilai
aktualiatas berita di internet jauh lebih aktual dibandingkan
dengan media tradisional seperti media cetak dan media
elektronik. Hal ini disebabkan oleh proses penyampaian berita
pada media cetak dan elektronik melalui berbagai macam tahap,
sehingga waktu terus berjalan yang menyebabkan nilai
aktualitas suatu berita berkurang.
Melihat gejala seperti ini, maka mulai bermunculan media
interaktif internet, walau pada mulanya jarang dikenal oleh
masyarakat. Tetapi kemudian internet secara gradual menjadi
budaya baru di tengah-tengah masyarakat dan mulai diterima
serta dianggap sebagai salah satu alternatif sumber informasi.
Penyebaran informasi melalui internet yang tidak
mengenal batas negara dan peraturan-peraturan pemerintah
memang salah satu kelebihan selain aktualitas berita yang
tinggi. Kebebasan mengungkapkan pendapat dan menyebarkan
informasi secara global memang sangat menarik perhatian
masyarakat. Setidaknya mereka dapat memperoleh informasi
yang tidak atau belum disiarkan di media tradisional.
Jurnalistik Dakwah 33
Kecenderungan peralihan pemilihan sumber informasi
masyarakat menjadi salah satu sebab media tradisional untuk
melakukan peningkatan mutu. Bahkan ada beberapa media
menyajikan beberapa versi seperti dengan mengeluarkan versi
media ceta, elektronik dan internet. Sehingga muncullah istilah
media kembar, disebut demikian karena memang isi dari ketiga
versi itu tidak jauh berbeda. Hanya kelebihannya ketiga versi itu
dapat meraih lebih banyak audiens dari berbagai lapisan.
Terdapat kecenderungan, media on-line di internet terus
berkembang dan menjadi daya tarik khalayak untuk memilih
media ini menjadi sumber informasi. Hal ini tentu saja dapat
mengganggu stabilitas kerja media tradisional lainnya dalam
bersaing menyajikan berita yang aktual. Dengan demikian,
penulis membatasi masalah dengan memaparkan bagaimana
penerimaan masyarakat yang dihadapkan pada beberapa
alternatif sumber informasi terutama dengan kehadiran media
baru.
Dalam tulisan ini, penulis mengumpulkan data melalui
studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan
dari buku bacaan maupun artikel serta hasil penelitian yang
relevan dengan pembahasan dalam makalah ini. Dalam
menganalisisnya, penulis menggunakan metode analisis
deskriptif.
1. Teknologi Komunikasi dan Informasi
Teknologi komunikasi menurut Rogers dirumuskan
sebagai peralatan perangkat keras, setruktur-struktur
organisasional, dan nilai-nilai sosial dengan mana individu
mengumpulkan, mengolah dan saling bertukar informasi dengan
Jurnalistik Dakwah 34
individu lain. Adapun mengenai teknologi informasi mencakup
sistem-sestem komunikasi seperti satelit siaran langsung, kabel
interkatif dua arah, penyiaran bertenaga rendah (low power
broadcasting), komputer (termasuk PC dan komputer genggam
yang baru), dan televisi (termasuk video disk dan video tape
cassette)‛ (Ely, 1982: 5).
Memang ada pembahas yang membedakan antara
teknologi komunikasi dengan teknologi informasi dengan
menyatakan bahwa yang pertama mencakup pengertian yang
lebih luas, termasuk sistem, saluran, perangkat keras dan
perangkat lunak dari komunikasi modern, di mana teknologi
informasi merupakan bagian daripadanya. Sedangkan ilmuan
lainnya membedakan teknologi informasi dalam pengertian
hardware atau perangkat keras saja. Bahkan ada yang
menafsirkan teknologi informasi sebagai perangkat komputer
berikut segala kelengkapannya saja. Namun bila diamati dengan
lebih dalam, nyatalah bahwa di antara kedua bidang tersebut
saling berkaitan satu sama lain, bahkan seringkali digunakan
untuk menyebut hal yang sama secara bergantian.
Dalam mendefinisikan teknologi komunikasi selalu
berkaitan dengan istilah hardware dan software. Hardware
adalah bagian yang paling nyata dari sistem teknologi baru
dimulai dari hardware. Tetapi bagaimana pun dalam memahami
teknologi komunikasi tidak cukup hanya memahami hardware.
Sangatlah penting untuk memahami pesan-pesan komunikasi
yang disampaikan melalui sistem teknologi dimana pesan-pesan
ini dijadikan ‘software’ (August E. Grant, 1996 : 143).
Teknologi komunikasi merubah secara dramatis cara orang
mengirim dan menerima pesan. Media baru bukan mengenai
Jurnalistik Dakwah 35
meletakkan surat kabar, majalah, radio dan televisi di luar
bisnis. Tetapi saluran baru komunikasi menjadi sangat popular
dan menawarkan alternatif disamping media tradisional. Dalam
beberapa kasus, Anda perlu mempertimbangkan ‚media baru‛
ini (Jim Macnamara, 1999: ).
Kata cyber sejak tahun 1948 selalu dikaitkan dengan robot
dan komputer. Banyak sekali cyber seperti cyberspace,
cyberborg, dan lain-lain, tetapi yang kerap kali digunakan
adalah cyberspace yang diartikan sebagai kombinasi teknologi
komunikasi dan informasi.
Perputaran informasi sudah tidak lagi menggunakan
hitungan jam tetapi menggunakan hitungan detik. Peristiwa
akan terus terjadi pada saat wartawan sedang menulis berita dan
begitu selanjutnya. Aktualitas berita semakin tinggi diharapkan
sehingga persaingan antara media semakin ketat.
Teknologi komunikasi memang banyak menjanjikan
harapan (rising expectations) sekaligus menimbulkan frustasi
(rising frustrations). Banyak hal yang harus kita hadapi akibat
pesatnya teknologi komunikasi ini. Pertama, teknologi
komunikasi akan melahirkan kelas baru dalam masyarakat.
Kedua, teknologi komunikasi bisa membentuk nilai baru.
Ketiga, teknologi komunikasi bisa memperpendek jam kerja
kita, orang bisa kerja tanpa harus pergi ke kantor karena
dihubungkan oleh telekomunikasi. Keempat, pesatnya teknologi
komunikasi bisa dimanfaatkan para pengusaha sebagai arena
persuasi massal di media massa. Kelima, teknologi komunikasi
membawa ekses juga pada timbulnya ketergantungan pada
negara lain. Hingga sekarang, misalnya perangkat keras dan
Jurnalistik Dakwah 36
lunak (hardware dan software) dalam bidang komputer dan
teknologi komunikasi berasal dari negara Barat.
2. Media On-line
Media komunikasi di Indonesia sejak masa reformasi
khususnya media massa cetak sudah mulai membumi terutama
setelah MENPEN membebaskan penerbitan media cetak bagi
siapapun juga yang berkeinginan untuk menjadi Pemred
mendadak. Semakin banyak media cetak yang beredar tentu saja
semakin membingungkan masyarakat yang mulai tergantung
pada media tersebut. Kemudian kebebasan pers yang semula
dianggap sebagai barang langka di kalangan pers, sekarang
menjadi barang obralan yang tidak lagi memperhatikan
mutunya. Tak ada cek dan ricek atas penyajian informasi, tidak
ada lagi rasa ‘hormat’ pada pemerintah atau pejabat-pejabat.
Semua dianggap boleh dilakukan di media cetak.
Masyarakat yang mulanya menyambut baik kemunculan
media-media baru mulai meragukan nilai faktual dan etikanya.
Lalu terjadilah seleksi oleh khalayak dan mulai beberapa media
tidak terbit lagi karena ditinggalkan pembacanya. Kesempatan
kebebasan penyajian informasi ini juga dimanfaatkan oleh para
inovator Indonesia. Mereka mampu melihat sesuatu dari sisi
yang berbeda, sisi lain yang jarang disentuh orang yaitu
penerbitan Media On-line. Masyarakat yang semula saling
berebut menerbitkan media cetak, kemudian ‘berani’
menerbitkan media on-line yang tentu saja masih belum
membudaya dan masih jarang disentuh oleh para pemasang iklan
di Indonesia sebagai sumber pendapatan.
Jurnalistik Dakwah 37
Media on-line dapat dianggap sebagai media masa depan,
dan suatu saat masyarakat Indonesia akan menganggap media
on-line sebagai media alternatif selain media cetak dan
elektronik. Sekarang pun media on-line sudah mulai dikenal
oleh masyarakat banyak sebagai sumber yang terpercaya. Untuk
beberapa kalangan tertentu, informasi di internet dianggap
sebagai sumber informasi aktual dan tercepat.
Pada penelitian yang dilakukan oleh University of
Southern California (1998), disebutkan bahwa pada awal 90-an,
hanya setengah lusin surat kabar besar dan sedikit surat kabar
kecil saja yang memiliki Surat Kabar On-line atau interaktif
pada web atau internet provider seperti Amerika On-line.
Walaupun tanpa produk on-line, ratusan surat kabar memiliki
halaman web. Pertengahan 90-an Surat Kabar On-line baru
menawarkan untuk menyajikan berita utama surat kabar
tersebut untuk ditempatkan di web dan sebagian besar surat
kabar telah menempatkan semua isi surat kabar versi cetak pada
web. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Barret (1997)
ditemukan bahwa 67 % pembaca on-line secara kontinyu
membaca Surat Kabar On-line dan Majalah On-line di internet.
3. Media Modern dan Media Tradisional
Yang tergolong media modern adalah media on-line
sedangkan yang termasuk media tradisional adalah media cetak
dan elektronik. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
melihat perbedaan kedua media ini, salah satunya adalah yang
dilakukan oleh Christoph Neuberger, Jan Tannemacher,
Matthias Biebl dan Andre Duck (JCMC, 1998) dari Catholic
University di Jerman melakukan penelitian tentang media on-
Jurnalistik Dakwah 38
line sebagai media masa depan. Mereka melakukan penelitian
dengan cara membandingkan media cetak dan media on-line.
Variabel yang digunakan pada kuesioner untuk melihat
kelebihan dan kekurangan media on-line dibandingkan dengan
media cetak dengan menanyakan 2541 responden yaitu :
Kelebihan :
1) Digunakan secara gratis
2) Beritanya lebih aktual
3) Dapat menggunakan lingkup yang lebih luas
4) Menggunakan saluran
5) Dapat otomatis mencari informasi yang dibutuhkan
6) Dapat melihat berita dari surat kabar luar negeri
7) Dapat menghubungi editor melalui e-mail
8) Adanya forum diskusi
Kekurangan :
1) Laporan media on-line tidak seluruhnya informasi yang
disajikan
2) Menghabiskan waktu lama untuk mengakses
3) Tidak dapat dibaca saat perjalanan
4) Membaca di layar komputer sangat melelahkan
5) Akses internet menghabiskan biaya besar
6) Terlalu banyak ‘link’ jadi membingungkan
7) Menghabiskan waktu yang lama untuk berhubungan
dengan link yang tersedia.
Salah satu kesimpulan penelitian ini adalah bahwa updates
pada media on-line kerap kali terjadi. Dan satu dari dua belas
berita akan dilakukan perubahan lebih dari tiga kali dalam
Jurnalistik Dakwah 39
sehari, karena memang disitulah kelebihan media on-line yaitu
kecepatan penyampaian berita. Perilaku pembaca surat kabar
juga berubah. Menurut survei yang dibuat oleh Jupiter sebuah
perusahaan konsultan, menunjukkan bahwa 12 % orang melihat
breaking news melalui internet dulu, ketimbang melalui radio.
Tetapi mereka tidak menginginkan artikel panjang, mereka
ingin judul saja dan berita yang di-update secara rutin.
Selain internet orang banyak mencari breaking news dari
jaringan televisi 24 jam, sama dengan wire service yang
mensuplai berita ke AOL atau Yahoo, dua situs besar di
internet, sedangkan surat kabar berada di urutan paling akhir.
Berdasarkan penelitian yang dibuat Merce Management
Consulting beberapa tahun lalu, televisi dan radio menjadi
sumber yang lebih penting untuk berita yang aktual, sedangkan
surat kabar lebih berharga untuk berita property, pekerjaan,
olahraga, hiburan, seni, makanan, persoalan rumah tangga.
Tetapi kemudian mereka yang di internet mengambil bidang itu
yang menyajikannya lebih mendalam. Maka pencinta olahraga
lebih suka masuk web site tim favorit mereka dibandingkan
surat kabar.
Walaupun internet telah mengungguli media massa
tradisional, kebutuhan untuk berita yang ditulis dengan baik dan
berdasarkan penelitian mendalam tetap ada. ‚The easier it is to
publish, the more rubbish will get published‛ demikian pendapat
para jurnalis tradisional. Institusi media massa tradisional yang
sudah memiliki reputasi baik yang mempublikasikan isinya di
internet lebih dipercaya dibandingkan the cheap journalist.
(Kompas on-line).
Jurnalistik Dakwah 40
PENUTUP
Berita-berita yang disampaikan melalui media on-line
memang lebih cepat dibandingkan dengan surat kabar yang
diterbitkan, tetapi bukan berarti lebih lengkap. Juga pada media
on-line tidak menyediakan banyak ruang yang membahas berita
secara detail, lain halnya pada media tradisional yang ruang
untuk beritanya lebih banyak sehingga masalah kecil pun
diangkat menjadi beritanya.
Media on-line lebih mengutamakan agar pembaca
mengetahui peristiwa bukan memahami apa yang terjadi,
sedangkan pada media tradisional sebaliknya, berita tidak hanya
untuk diketahui tetapi dipahami juga. Pengaruh pemberitaan
melalui media on-line hanya pada kecepatan pemberitaan suatu
peristiwa, sehingga yang mengakses informasi melalui media ini
memperoleh informasi secara aktual tidak seperti pada media
tradisional.
Masyarakat cenderung menggunakan media on-line karena
keaktualan informasi yang disampaikan dan tidak
mempengaruhi penyebaran informasi melalui media tradisional.
Hal ini disebabkan karena media tradisional masih digunakan
luas di masyarakat karena biayanya relatif murah dan mudah
mengaksesnya.
Jurnalistik Dakwah 41
Daftar Rujukan
Buick, Joanna dan Zaron Zevtic, Mengenal Cyberspace For
Beginners, Bandung : Mizan, 1997.
Ely, D.P., Information Technology in Education: The Best of
ERIC, New York: ERIC Clearinghouse on Information
Resources, 1982.
Grant, E August, Communication Technology Update, Fifth
Edition, Butterworth-Heinemann, 1996.
Koswara, E, Dinamika Informasi dalam Era Global, Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya, 1998.
Macmara, Jim, Strategi Jitu Menjinakkan Media, Jakarta : PT.
Mitra Media Publisher, 1999.
Muis, A., Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa, Jakarta : PT.
Dharu Anuttama, 1999.
Negroponte, Nicholas, Being Digital, Yogyakarta: Mizan, 1998.
Piliang, Amir Yasraf, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Yogyakarta :
Mizan Pustaka, 1998.
William, Frederick, The New Communication, Third Edition,
California: Wadsworth Publishing Company, 1992.
Jurnalistik Dakwah 42
PENDEKATAN KOMUNIKASI DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA ARAB
Oleh Kartini
Abstrak: Communicative approach (al-madhal al-ittishali)
in study of Arabic language that create to competition as
purpose study that direct to procedure of language skill, that
consist of attention (istima’), speaking (kalam), reading
(qiraah), and writing (kitabah). Communication approach (al-
madhal al-ittishal) to stimulate students to learning activity.
The used of communication approach activity, that is functional
of communication language that another to share information
and information process and social interaction activity that is
dialog, simulation, debating, and another discussion activity.
Kata kunci: Pendekatan Komunikatif (al-madhal al-ittishal),
Pembelajaran, Bahasa Arab.
A. Pendahuluan
Pendekatan komunikatif yang dalam bahasa Arab disebut
dengan al-madhal al-ittishali yaitu pendektan yang
mempokuskan pada kemampuan komunikasi aktif dan praktis.
Menurut pemerhati bahasa, pendekatan ini telah mengadakan
terobosan baru yang strategis dibidang pengajaran bahasa
kedua, dan dianggap sebagai pendekatan yang integral dan
memiliki cirri-ciri yang pasti. Hal ini karena ia merupakan
perpaduan strategi-strategi yang bertumpu pada suatu tujuan
Jurnalistik Dakwah 43
tertentu yang pasti, yaitu melatih menggunakan bahasa secara
spontanitas dan kreatif.
Sasaran pendekatan ini adalah memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk menggunakan bahasa Arab pada
situasi yang alami dengan sikap spontanitas kreatif, disamping
penguasaan tata bahasa. Fokus pendekatan ini adalah
menyampaikan makna atau maksud yang tepat sesuai dengan
tuntunan dan fungsi komunikasi pada waktu tertentu.
B. Karakteristik Pendekatan Komunikatif
1. Sejarah Lahirnya Pendekatan Komunikatif
Pada tahun 1960-an tradisi pembelajaran bahasa di Inggris
mengalami perubahan cukup mendasar. Perubahan ini dipicu
oleh asumsi baru tentang hakikat pembelajaran bahasa yang
secara mendasar mengikuti asumsi-asumsi baru. Hal inilah yang
mendorong munculnya pembelajaran Bahasa Komunikatif
(Communikative Language Teaching).
Pada tahun-tahun sebelumnya, situasional Language
Teaching mendominasi percaturan pembelajaran bahasa Inggris.
Pada ‚Situasional Language Teaching‛ dalam hal ini tertentu
mirip dengan pendekatan komunikatif. Bahasa diajarkan dengan
cara melatih siswa tentang struktur dasar dalam berbagai
aktivitas yang didasarkan pada hal-hal yang bermakna.
Pendekatan pembelajaran bahasa tersebut tidak dapat bertahan
lama sebab ada bantahan-bantahan dari para pakar linguis di
Amerika. Dalam pendekatan audiolingual sebagai bagian dari
penerapan pendekatan Situasi Language Teaching. Selanjutnya,
Howatt (dalam Tolla,1996) mengatakakan pendekatan
Situasional Language Teaching merupakan suatu gagasan yang
Jurnalistik Dakwah 44
keliru karena memprediksi bahasa berdasarkan kejadian-
kejadian situasional atau situasional tertentu. Pendekatan
tersebut lebih seksama akan kembali pada konsep tradisional.
Hal yang sama diungkapkan oleh Noam Chomsky seorang
pakar linguistik Amerika Serikat dalam bukunya ‚Syntaktic
Struktures‛ yang diterbitkan 1957 menunjukkan bahwa teori
struktural terbukti tidak mampu menjelaskan karakteristik
bahasa yang fundamental kreativitas (Purwo, 1990). Di samping
itu, para pakar linguis terapan di Inggris menekankan pada
dimensi bahasa yang mendasar lainnya yang belum tergarap
secara memadai pada pendekatan pembelajaran bahasa yang
telah berlaku saat itu, yaitu dimensi fungsional dan komunikatif.
Menurut penilaian mereka, perlu ada pemberian perhatian yang
cukup memadai dalam pembelajaran bahasa dengan menekankan
pendekatan komunikatif daripada pendekatan struktural.
Para sarjana yang memprakarsai pandangan tersebut, yaitu
Christopher Candlin dan Henri Widdoson yang telah banyak
mengkaji karya-karya linguis Fungsional Inggris, seperti John
Firth, dan M.A.K. Halliday. Karya-karya yang bersifat
sosiolinguistik, seperti Dell Hymes, John Gumperz dan william
Labov dari Amerika. Karya-karya filsafat, seperti John Austin
dan John Searle dari Amerika dan London (Tolla, 1996).
Dalam pandangan fundamental dalam kaitannya dengan
hakikat pembelajaran bahasa merupakan embrio bagi
pendekatan lain dalam pembelajaran asing yang bersumber dari
perubahan realitas pembelajaran bahasa di Eropa dan
membentuk suatu dewan yang dinamakan ‚Dewan Eropa‛ yang
mendukung sepenuhnya terbentuknya Asosiasi Linguistik
Terapan Internasional (Internasional Assosiasi of Applied
Jurnalistik Dakwah 45
Linguistics). Assosiasi ini dianggap sangat penting untuk
mengembangkan dan menyebarluaskan metode-metode
pembelajaran bahasa.
Sebagai realisasi dari program-program perkumpulan
tersebut, tahun 1971 mulai dikembangkan pembelajaran bahasa
dalam suatu sistem kredit, yaitu sebuah sistem yang tugas-tugas
pembelajarannya dipecah-pecah ke dalam bagian atau unit-unit.
Setiap unit berhubungn dengan unit lainnya (Aleksander dalam
Azies, 1996 :2). Upaya tersebut mulai dipertajam oleh D.A.
Wilkins pada tahun 1972 dalam makalahnya berjudul
‚Grammatikal, Situasional an National Syllabus‛ yang
disampaikan dalam konfrensi Linguistik Terapan di
Copenhagen. Sejak itu kepopuleran pembelajaran bahasa secara
komunikatif menyebar ke seluruh penjuru dunia dan mampu
menggoyangkan konsep pembelajaran bahasa yang
dikembangkan oleh kaum struktural. Dalam konferensi tersebut,
Wilkins mendemonstrasikan sistem makna yang mendasari
penggunaan bahasa secara komunikatif. Wilkins menguraikan
dua jenis makna yaitu kategori nasional meliputi konsep-konsep
seperti waktu, urutan, kuantitas, lokasi, frekuensi dan kategori
fungsi komunikatif seperti penolakan, penawaran, keluhan dan
sebagainya. Wilkins kemudian merevisi dan melengkapi
makalahnya sehingga tersusun sebuah buku berjudul National
Syllabuses (1976) dan memiliki pengaruh besar terhadap
pembelajaran bahasa komunikatif (PBK).
Sekalipun pada mulanya gerakan ini tumbuh di Inggris,
tetapi pada umumnny pengaruhnya meluas sampai ke Amerika
pada pertengahan 1970-an. Para pendukungnya baik di Inggris
Jurnalistik Dakwah 46
maupun di Amerika sama-sama melihat sebagai suatu
pendekatan bukan metode.
2. Pengertian dan Hakikat Pendekatan Komunikatif
Istilah pendekatan komunikatif yang pertama kali muncul
di Inggris dengan nama Communicative Approach. Tujuan
pendekatan ini adalah (a) menciptakan kompetensi sebagai
tujuan pembelajaran bahasa dan (b) mengembangkan prosedur
keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis (Tolla, 1996: 95). Selanjutnya, Littlewood (dalam
Azies,1996: 4) menjelaskan bahwa salah satu ciri khas utama
penmbelajaran bahasa komunikatif adalah pemberian perhatian
sistematis terhadap aspek-aspek fungsional dan struktural
bahasa. Berdasarkan ciri tersebut, maka ia menetapkan dua
dimensi yang perlu diperhatikan dalam menyusun program
pembelajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif di
antaranya adalah :
a) Dimensi yang berkaitan dengan perumusan tujuan
keterampilan yang diperlukan pembelajar bahasa yang
tidak hanya terbatas pada pemakaian struktur bahasa,
tetapi juga penguasaan keterampilan yang lain, yaitu
keterampilan bagaimana menghubungkan struktur-
struktur tersebut dan fungsi-fungsi komunikasi sesuai
dengan situasi peristiwa bahasa.
b) Dimensi yang berkaitan dengan jenis-jenis kegiatan
belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan pertama.
Asumsinya adalah belajar berkomunikasi, tetapi yang
lebih penting ialah pembelajar mampu menggunakan
bahasa itu secara otomatis atau spontan.
Jurnalistik Dakwah 47
Berdasarkan kedua dimensi di atas dapat dipahami bahwa
kemahiran penggunaan bahasa dalam situasi komunikasi yang
nyata sesungguhnya jauh lebih penting dimiliki oleh para siswa
dibandingkan dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah
bahasa (pendekatan struktural). Pendekatan komunikatif
memberikan tekanan pada kebermaknaan dan fungsi bahasa atau
dari struktural ke fungsional.
Dalam hal ini, bahasa lebih tepat dipandang sebagai
sesuatu yang berkenaan dengan apa yang dapat dilakukan
(fungsi) atau berkenaan dengan makna apa yang dapat
diungkapkan (nosi) melalui bahasa dan bukan yang berkenaan
dengan butir-butir bahasa. Dengan demikian, penggunaan
bahasa untuk tujuan tertentu seperti: menyapa, meminta maaf,
menasihati, memuji atau mengungkapkan pesan tertentu dalam
kegiatan berkomunikasi (Pateda, 1991). Untuk lebih memahami
hakikat pendekatan komunikatif secara mendalam ada delapan
hal yang perlu dijelaskan yaitu:
(a) Teori Bahasa: Pendekatan komunikatif berdasarkan pada
teori bahasa yang menyatakan bahwa pada hakikatnya
bahasa itu merupakan suatu sistem untuk mengekspresikan
makna. Teori ini lebih memberi tekanan pada dimensi
semantik dan komunikatif dibandingkan pada ciri-ciri
gramatikal bahasa. Oleh karena itu, dalam pembelajaran
bahasa yang berdasarkan pada pendekatan komunikatif
bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa.
(b) Teori Belajar; Kegiatan belajar dikembangkan dengan
mengarahkan pembelajar ke dalam komunikasi nyata.
Pembelajar dituntut pula untuk menggunakan bahasa yang
dipelajarinya. Teori belajar yang cocok untuk pendekatan
Jurnalistik Dakwah 48
ini adalah pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Teori
ini beranggapan bahwa proses belajar bahasa lebih efektif
apabila bahasa diajarkan secara informal melalui
komunikasi langsung di dalam bahasa yang sedang
dipelajari.
(c) Tujuan; yang ingin dicapai di dalam pembelajaran bahasa
yang berdasarkan pendekatan komunikatif merupakan
tujuan yang lebih mencerminkan kebutuhan siswa. Karena
kebutuhan siswa yang utama dalam belajar bahasa berkaitan
dengan kebutuhan komunikasi. Oleh karena itu, tujuan
umum pembelajaran bahasa adalah mengembangkan
kemampuan siswa untuk berkomunikasi (kompotensi dan
performansi komunikatif).
(d) Silabus; Silabus harus disusun searah dengan tujuan
pembelajaran. Oleh karena itu, dalam penyusunan silabus
pembelajaran bahasa yang berdasarkan pendekatan
komunikatif yang harus diperhatikan ialah kebutuhan dan
materi-materi yang dipilih harus sesuai dengan kebutuhan
siswa.
(e) Tipe Kegiatan di dalam pembelajaran bahasa yang
menggunakan pendekatan komunikatif, pembelajar
diarahkan ke dalam situasi komunikasi nyata. Kegiatan
komunikasi tersebut dapat berupa kegiatan tukar informasi,
negoisasi makna, atau kegiatan berinteraksi.
(f) Peranan Guru; Dalam pembelajaran bahasa Arab, guru
dapat berperan sebagai fasilitator dalam proses komunikasi,
partisipan tugas dan teks, menganalisis kebutuhan,
konselor, dan manajer kegiatan belajar mengajar dalam
kelas.
Jurnalistik Dakwah 49
(g) Peranan Siswa; Dalam pembelajaran bahasa Arab
pembelajar berperan sebagi pemberi dan penerima, sebagai
negoisator dan interaktor dalam kegiatan pembeajaran
bahasa Arab dengan pendekatan komunikatif pembelajar.
Dengan demikian, para siswa tidak diharuskan menguasai
bentuk-bentuk dan makna-maknanya dalam kaitannya
dengan konteks pemakaiannya.
(h) Peranan materi; Dalam pembelajaran bahasa Araba materi
disusun dan disajikan dalam peranan sebagai pendukung
usaha peningkatan kemahiran berbahasa dalam tindak
komunikasi yang nyata. Materi ditempatkan sebagai bagian
yang memiliki andil besar dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Dengan demikian, dalam pembelajaran
bahasa komunikatif materi berfungsi sebagai sarana yang
sangat penting dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran
(Sumardi, 1992).
Berdasarkan uraian di atas, maka pendekatan komunikatif
adalah pembelajaran bahasa yang berdasarkan pada tujuan
pembelajaran yang mementingkan fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi. Siswa diarahkan untuk dapat menggunakan bahasa,
bukan mengetahui tentang bahasa dan bertujuan untuk
membentuk kompetensi komunikasi, bukan semata-mata
membentuk kompetensi kebahasaan, dengan memanfaatkan
seluruh sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar.
3. Ciri-ciri Pendekatan Komunikatif
Untuk menentukan ciri-ciri pendekatan komunikatif,
landasan pokok yang berkenaan hal tersebut, adalah hakikat
Jurnalistik Dakwah 50
teori bahasa, hakikat belajar bahasa, dan hakikat pembelajaran
bahasa.
a. Hakikat Teori Bahasa
Pendekatan komunikatif pertama-tama berdasarkan pada
teori bahasa sebagai komunikasi (language as communication).
Teori bahasa yang secara khusus merupakan pengembangan
pendekatan komunikatif. Teori ini bertentangan dari kebiasaan
penekanan struktur bahasa. Dalam teori bahasa tersebut bahasa
dilihat dari sistem gramatika sebagai sebuah sistem komunikasi
di tingkat teori bahasa, pendekatan komunikatif memiliki
landasan teoretis yang cukup kokoh (Pateda, 1991). Teori yang
melandasi pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: (a)
Bahasa adalah sistem untuk mengungkapkan makna. (b) Fungsi
utama bahasa adalah untuk interaksi dan komunikasi. (c)
Struktur bahasa mencerminkan kegunaan fungsional dan
komunikatifnya.
Teori lain yang juga melandasi pendekatan komunikatif
adalah tentang fungsi bahasa yang diketengahkan oleh Halliday
(dalam Pateda, 1991). Ketujuh fungsi bahasa tersebut sebagai
berikut: (a) Fungsi instrumental yaitu menggunakan bahasa
untuk memperoleh sesuatu. (b) Fungsi regulator yaitu
menggunakan bahasa untuk mengontrol perilaku orang lain. (c)
Fungsi interaksional yaitu menggunakan bahasa untuk
menciptakan interaksi dengan orang lain. (d) Fungsi personal
yaitu menggunakan bahasa untuk mengungkapkan perasaan dan
makna. (e) Fungsi teoristik yaitu menggunakan bahasa untuk
belajar dan menemukan makna. (f) Fungsi imajinatif yaitu
Jurnalistik Dakwah 51
menciptakan dunia imajinasi. (g) Fungsi representasional yaitu
menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi.
b. Hakikat Belajar Bahasa
Beberapa ahli ilmu bahasa terapan dalam pembelajaran
bahasa, antara lain Brumfit, Johnson, serta Littlewood (dalam
Syafi’ie, 1993) mengemukakan beberapa prinsip teori belajar
bahasa yang menjadi dasar pendekatan komunikatif sebagai
berikut:
1) Untuk mendorong kegiatan proses belajar bahasa
dibutuhkan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
komunikasi yang sebenarnya. Berdasarkan prinsif ini,
tidak berarti bahwa pembelajaran bahasa selalu berupa
aktivitas berkomunikasi yang sebenarnya terjadi. Adapun
kegiatan-kegiatan pembelajaran yang berupa latihan-
latihan pemakaian bahasa bukanlah tujuan pembelajaran
melainkan media untuk mencapai tujuan yakni
kemampuan berkomunikasi oleh karena latihan-latihan
menuju pendekatan komunikatif penggunaan bahasa
bukan pengetahuan kebahasaan.
2) Penciptaan kegiatan-kegiatan yang bermakna pada siswa
dengan penggunaan bahasa akan mendorong proses belajar
bahasa. Dari prinsif ini pembelajaran bahasa dengan
pendekatan komunikatif sangat mengutamakan berbagai
tugas yang bermakna bagi siswa.
3) Bahasa yang bermakna bagi siswa akan mendorong proses
belajar siswa. Berdasarkan prinsif ini, materi pembelajaran
bahasa melalui pendekatan komunikatif adalah bahasa
dalam pemakaian.
Jurnalistik Dakwah 52
Selanjutnya, Angela Scarino (dalam Azies, 1996: 28-32)
mengemukakan delapan prinsip belajar bahasa yang bercorak
komunikatif sebagai berikut : (a) Pembelajar akan belajar bahasa
dengan baik bila diperlakukan sebagai individu yang memiliki
kebutuhan dan minat. (b) Pembelajar akan belajar bahasa
dengan baik bila ia diberi kesempatan untuk berpartisipasi
dalam menggunakan bahasa sasaran secara komunikatif dalam
berbagai aktivitas. (c) Pembelajar akan belajar bahasa dengan
baik jika ia dipajankan (exposed) ke dalam situasi komunikasi
yang dapat dipahami dan relevan dengan kebutuhan dan
minatnya. (d) Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik, bila
ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk,
keterampilan dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan
bahasa. (e) Pembelajar akan belajar dengan baik bila ia
memperoleh gambaran tentang data sosiokultural dan
pengalaman budaya yang merupakan bagian dari bahasa sasaran.
(f) Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik jika ia
menyadari peran serta hakikat bahasa dan budaya. (g)
Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik jika ia diberi umpan
balik yang tepat yang menyangkut kemajuan mereka.
c. Hakikat Pembelajaran Bahasa
Dalam pembelajaran bahasa, pembelajaran adalah untuk
mengembangkan kompetensi komunikatif para pembelajar yang
mencakup kemampuan menafsirkan bentuk-bentuk linguistik
baik yang dinyatakan eksplisit maupun implisit.
Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa
sering diasosiasikan dengan silabus, tidak didasarkan pada
tingkat kesukaran dan kerumitan butir struktur, tetapi
Jurnalistik Dakwah 53
didasarkan pada kebutuhan pembelajar. Dengan demikian,
analisis kebutuhan merupakan hal yang mutlak perlu
dilaksanakan sebelum pembelajaran bahasa pendekatan
komunikatif.
Pendekatan komunikatif sebenarnya adalah pendekatan
pada desain silabus bukan pendekatan pada metode
pembelajaran bahasa. Dalam pendekatan tersebut materi disusun
dengan memperhatikan fungsi-fungsi bahasa atau pemakaian
bahasa. Materi yang baik untuk pendekatan pembelajaran yang
memperhatikan fungsi bahasa karena didasarkan pada
kebutuhan-kebutuhan komunikasi pembelajar dan tidak
didasarkan pada sistematika butir-butir bahasa.
Materi yang terdapat dalam pembelajaran bahasa adalah
materi yang berupa teks, materi yang berorientasi pada tugas,
dan materi yang berupa benda yang sebenarnya. Mengacu pada
ketiga bentuk materi tersebut, maka ada beberapa prinsip yang
perlu diketahui di antaranya: (a) Materi harus menunjang
tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam kurikulum. (b) Materi
yang disusun mengacu pada keperluan dan autentik. (c) Materi
harus dapat menstimulasi terjadinya interaksi antara guru
dengan siswa dan interaksi antara siswa. (d) Materi yang
disajikan harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk
dapat memperhatikan bentuk-bentuk bahasa. (e) Materi harus
dapat memberikan dorongan pembelajar untuk mengembangkan
keterampilan belajar. (f) Materi harus dapat menciptakan
pembelajar menerapkan keterampilan berbahasa (Syafi’ie,
1997).
Berdasarkan uraian pada landasan pendekatan komunikatif
di atas, maka ciri-ciri pendekatan komunikatif dapat dinyatakan
Jurnalistik Dakwah 54
sebagai berikut: (a) Pendekatan komunikatif dapat menunjukkan
aktivitas yang realistis untuk mendorong pembelajar untuk
belajar. (b) Melalui aktivitas-aktivitas bahasa bertujuan untuk
mengerjakan tugas-tugas yang mendorong pembelajar untuk
belajar. (c) Materi dan silabus dipersiapkan setelah melakukan
analisis mengenai kebutuhan (needs) pembelajar. (d) Penyajian
materi dan aktivitas dalam kelas berorientasi pada pembelajar.
(e) Cara berperan sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan
pembelajar, dan manajer kelompok. Untuk berkomunikasi baik
lisan maupun tulis yang wajar. (f) Peranan materi dapat
menunjang komunikasi pembelajar secara aktif (Subiyakto,
1993: 70-73).
Prosedur Pembelajaran Bahasa dalam Pendekatan
Komunikatif. Secara umum, tujuan pembelajaran bahasa
berdasarkan pendekatan komunikatif adalah mempersiapkan
pembelajar untuk melakukan interaksi yang bermakna dengan
cara mengikhtiarkan pembelajar untuk mampu memahami dan
menggunakan bahasa secara alamiah. Pengelolaan kelas bahasa
yang mencerminkan penggunaan bahasa yang alamiah, yakni
penggunaan bahasa yang nyata sesuai dengan penggunaan
bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Berkenaan dengan prosedur pembelajaran bahasa
berdasarkan pendekatan komunikatif ini, Finochiaro dan
Brumfit menawarkan garis besar pembelajaran pada tingkat
sekolah menengah pertama. Garis besar kegiatan pembelajaran
yang ditawarkan kedua tokoh tersebut dapat disimpukan sebagai
berikut: (a) Penyajian dialog singkat, yaitu penyajian dialog
singkat ini sebaiknya didahului dengan pemberian motivasi
dengan cara menghubungkan situasi dialog tersebut dengan
Jurnalistik Dakwah 55
pengalaman pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. (b)
Pelatihan lisan dialog yang disajikan, yaitu pelatihan lisan
dialog ini biasanya diawali dengan contoh yang dilakukan oleh
guru.
Para siswa mengulang contoh lisan gurunya, baik secara
bersama-sama dilakukan oleh seluruh siswa, setengahnya,
sekelompok kecil, maupun individual. (c) Tanya jawab, yaitu
tanya jawab ini dapat dilakukan pada dua fase. Pertama, tanya
jawab yang berdasarkan topik dan situasi dialog. Kedua, tanya
jawab tentang topik itu dikaitkan dengan pengalaman-
pengalaman pribadi siswa. (d) Pengkajian, yaitu para siswa
diajak untuk mengkaji salah satu ungkapan yang terdapat dalam
dialog. Lalu para siswa diberi tugas untuk memberikan contoh
ungkapan lain yang fungsi komunikatifnya sama. (e) Penarikan
kesimpulan, yaitu para siswa diarahkan untuk membuat
kesimpulan tentang kaidah bahasa yang terkandung dalam
dialog. (f) Aktivitas Interpretatif, yaitu pada langkah ini, para
siswa diarahkan untuk menafsirkan (menginterpretasikan)
beberapa dialog yang dilisankan. (g) Aktivitas Produksi lisan,
yaitu Aktivitas produksi lisan (berbicara) dimulai dari aktivitas
komunikasi terbimbing sampai kepada aktivitas yang bebas. (h)
Pemberian Tugas, yaitu memberikan tugas tertulis sebagai
pekerjaan rumah. Dan (1) Evaluasi, yaitu evaluasi pembelajaran
dilakukan secara lisan (Tarigan, 1988: 280).
Harmer (dalam Pateda, 1991) mengemukakan pula bahwa
tahap-tahap pembelajaran bahasa komunikatif harus dimulai
dari aktivitas nonkomunikatif, menuju aktivitas komunikatif.
Dalam fase kegiatan untuk berkomunikasi dan tujuan
berkomunikasi. Selanjutnya, Littlewood mengatakan (dalam
Jurnalistik Dakwah 56
Saadie, 1998) bahwa penggunaan pendekatan komunikatif
dalam pembelajaran bahasa ada dua kegiatan yang harus
diketahui, yaitu kegiatan komunikasi fungsional dan kegiatan
interaksi sosial. Kegiatan komunikasi fungsional meliputi antara
lain kegiatan saling membagi informasi dan mengolah
informasi. Kegiatan interaksi sosial meliputi dialog, simulasi,
memerankan lakon pendek yang lucu, improvisasi, berdebat dan
melaksanakan berbagai bentuk diskusi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat memberikan suatu
indikasi bahwa dalam pembelajaran bahasa yang menggunakan
pendekatan komunikatif guru bahasa dapat menggunakan
alternatif prosedur yang memungkinkan terciptanya
pembelajaran yang dinamis.
Kesimpulan
Berdasarkan dengan uraian di atas, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1) Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar
berkomunikasi. Oleh karena itu pembelajaran bahasa Arab
dalam pendekatan komunikatif diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa Indonesia baik secara lisan maupun
tulisan.
2) Tujuan pendekatan komunikatif yaitu, membentuk
kompetensi sebagai tujuan penmbelajaran bahasa dan
mengembangkan prosedur keterampilan berbahasa.
3) Ciri khas pembelajaran bahasa Arab dalam pendekatan
komunikatif adalah pemberian perhatian sistematis
terhadap aspek fungsional dan struktur bahasa.
Jurnalistik Dakwah 57
4) Kemahiran menggunakan bahasa dalam situasi komunikasi
yang nyata sesungguhnya lebih penting dimiliki para siswa
disbanding dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah
bahasa.
5) Hakikat pendekatan komunikasi meliputi teori bahasa, teori
belajar, tujuan, silabus, tipe kegiatan, peranan guru, peranan
siswa, dan peranan materi.
6) Ciri-ciri pendekatan komunikatif di antaranya adalah : (a)
pendekatan komunikatif menunjukkan aktivitas yang
realistis untuk menstimulasi pembelajar untuk belajar, (b)
materi dari silabus dipersiapkan setelah dilakukan analisis
kebutuhan pembelajar, (c) penyajian materi dan aktivitas
dalam kelas berorientasi kepada pembelajar, (d) guru
berperan sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan
pembelajar dan menejer kelompok untuk berkomunikasi
baik secara lisan maupun tulisan.
Daftar Rujukan
Azies, Furqanul dan A. Chaedar Alwasilah. 1996. Pengajaran
Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Pateda, Mansur. 1991. Linguistik Terapan. Flores: Nusa Indah.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran
Bahasa. Yogyakarta: Kanisius
Jurnalistik Dakwah 58
Saadie, Ma’mur. 1998. Pendekatan Komunikatif dalam
Penggunaan Bahasa Indonesia. Jakarta : Proyek Penataran
Guru SLTP Setara D3 Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah Depdikbud.
Subiyakto, Sri Utari N. 1993. Metodologi Pengajaran Bahasa.
Jakarta: Gramedia.
Sumardi, Muljanto. 1992. Berbagai Pendekatan dalam
Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Syafi’ie, Imam. 1996. Terampil Berbahasa Indonesia 1;
Petunjuk Guru Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah
Umum Kelas 1. Jakarta: PT General Bhakti Pertama.
Syafi’ie, Imam. 1997. Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
Tarigan, H.G. 1988. Metode Pengajaran Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Tolla, Ahmad. 1996. Kajian Pendekatan Komunikatif dalam
Pengajaran Bahasa Indonesia di SMU di Kotamadya
Ujung Pandang. Tesis. Malang: IKIP Malang.
Zainuddin, Radliyah. 2005. Metodologi dan Strategi Alternaif
Pembelajaran Bahasa Arab. Cirebon: STAIN Cirebon Pres.
Jurnalistik Dakwah 59
EKSISTENSI SURAT KABAR SEBAGAI
MEDIA DAKWAH
Oleh Efendi P.
Abstrak; The press is one of the media propaganda is very
effective in the delivery of religious messages to the public. In
the modern world human needs of the press described as the air,
where every time people will definitely need it. The press as
propaganda media have functions and goals include: educate,
inform, entertain, influence, and as social control. Thus, the
presence of newspapers as a medium of propaganda is very
strategic.
Kata kunci : dakwah, media, pengaruh
A. Pendahuluan
Dalam dunia modern kehidupan masyarakat tidak lagi
dapat dipisahkan dari jurnalistik dan pers. Secara ekstrem para
ahli jurnalistik menyamakan pers dengan udara yang dibutuhkan
manusia untuk hidup. Manusia modern tidak lagi dapat hidup
tanpa mendapatkan suguhan pers, yang memenuhi kebutuhan
masyarakat akan informasi (H. Assegaff, 1991: 9).
Keberhasilan dakwah tidak semata terletak pada format
dan isi, tetapi sangat tergantung pula pada metode dan media,
pengaruh media informasi sungguh makin nyata. Sementara di
kalangan umat Islam umumnya kita juga mulai menyaksikan
adanya semacam pergeseran proporsionalitas struktur
penggunaan media dakwah, yakni da’wah bil qalam (media
Jurnalistik Dakwah 60
cetak) mendapat posisi besar di samping dakwah billisan
(Hamka dan Rafiq, 1989:122).
Secara umum fungsi media komunikasi massa tersebut
adalah:
a. memberikan informasi
b. mendidik
c. menghibur dan
d. mempengaruhi (Effendy, 1986: 116).
Surat kabar sebagai salah satu media dakwah, baik surat
kabar harian maupun mingguan, keduanya telah memiliki fungsi
tersebut di atas. Persoalannya adalah apakah muballigh sudah
siap untuk menggunakan dan memanfaatkan surat kabar sebagai
media saluran dakwah? Ini adalah sebuah tantangan bagi para
muballigh dalam menyampaikan pesan-pesan agama kepada
masyarakat khususnya melalui media cetak (surat kabar).
Ciri masyarakat informasi ditandai dengan makin lebar
dan intensidnya kegiatan komunikasi, baik yang bersifat
interakatif maupun media massa. Teknologi informasi
merupakan ciri dominan kehidupan masyarakat dalam mencari,
memproses, dan menyajikan informasi (Firdaus, 2003: 12).
Dengan demikian tampak ada kesamaan antara fungsi
surat kabar (pers) dan fungsi dakwah. Hasanuddin mengatakan
bahwa persamaan antara dakwah dan publisistik yaitu sama-
sama menyampaikan isi pernyataan, objeknya sama-sama
manusia, sama-sama bertujuan agar manusia lain jadi
sependapat, selangkah dan serasi dengan orang yang
menyampaikan isi pernyataan (Ardhana, 199: 45).
Jurnalistik Dakwah 61
Surat kabar sebagai media informasi dan media dakwah
sangat besar pengaruhnya dalam penyiaran Islam kepada
masyarakat. Surat kabar sebagai media massa memuat dan
menyajikan berbagai macam informasi yang dibutuhkan oleh
masyarakat selalu konsumen. Makalah ini akan membahas
pengaruh dakwah melalui surat kabar.
B. Dakwah Melalui Surat Kabar
Dakwah adalah kewajiban yang harus ditegakkan oleh
umat Islam, kapan dan di manapun mereka berada. Dakwah
dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk, misalnya melalui
perbuatan (akhlak), tutur kata (lisan), dan melalui tulisan (surat
kabar). Untuk membahas dakwah melalui tulisan, maka di
bawah ini akan dikemukakan pengertian, beberapa media
dakwah dan pengaruhnya melalui surat kabar.
a. Pengertian media dakwah
Kata ‚media‛ berasal dari bahasa latin, yaitu
‚median‛ yang artinya alat perantara. Sedangkan kata media
merupakan jamak darikata median tersebut (Syukir, 1983:163).
Dari pengertian ini dipahami, bahwa yang dimaksud dengan
media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut H. Hamzah Ya’qub (1981: 47), bahwa media
dakwah adalah ‚alat obyektif yang menjadi saluran
menghubungkan ide dengan ummat, suatu elemen yang vital dan
merupakan urat nadi dalam totaliteit dakwah‛.
Asmuni Syukir (1983:163) menjelaskan bahwa media
dakwah adalah alat yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah ini dapat
Jurnalistik Dakwah 62
berupa barang (material), manusia, tempat, kondisi tertentu dan
sebagainya.
Abd. Kadir Munsyi (1981: 41), menjelaskan bahwa media
dakwah adalah alat yang menjadi saluran penghubung ide
dengan umat, suatu elemen yang vital yang merupakan urat
nadi dalam totalitiet dakwah. Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa media dakwah adalah segala sesuatu yang
dipergunakan dalam rangka pelaksanaan dakwah demi
tercapainya tujuan dari pada dakwah.
b. Beberapa media Dakwah
Mengingat banyak media yang dapat digunakan oleh para
da’i dalam menyampaikan pesan-pesan agama kepada
masyarakat, maka berikut akan dikemukakan beberapa pendapat
para ahli tentang media dakwah. H. Hamzah Ya’qub (1981: 47-
48) membagi media dakwah dalam lima (5) bahagian, yaitu:
1) Lisan, seperti khutbah, pidato, ceramah, kuliah diskusi,
seminar, musyawarah, nasehat, pidato radio, ramah tamah,
anjang sana, obrolan secara bebas dan lain sebagainya
yang menggunakan lidah dan suara.
2) Tulisan, misalnya menyampaikan dakwah lewat buku-
buku,
3) majalah, surat kabar, buletin, spanduk, dan lain-lainnya.
4) Lukisan, seperti gambar-gambar, foto, film cerita dan lain-
lain lukisan yang mengandung nilai-nilai dakwah.
5) Audio visual, yaitu yang dapat didengar dan dilihat.
Misalnya televisi dan lain-lain.
Jurnalistik Dakwah 63
6) Akhlak (uswatun hasanah), yakni menunjukkan perbuatan
nyata seperti mensiarhi orang sakit, membangun masjid,
sekolah, poliklinik dan lain-lain.
Menurut Abd. Kadir Munsyi, bahwa ada enam (6) macam
media dakwah yaitu:
a) Lisan
b) Tulisan
c) Lukisan atau gambar
d) Audio visual
e) Perbuatan
f) Organisasi (Munsyi, 1981: ix-x).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa,
media dakwah adalah alat yang digunakan sebagai perantara
dalam rangka pencapaian tujuan dakwah. Meskipun hanya
sebagai alat perantara tetapi sangat berperan dalam pelaksanaan
dakwah. Hal tersebut menunjukkan bahwa media dakwah
sangat dibutuhkan dalam proses penyelenggaraan aktivitas
dakwah di masyarakat. Dengan demikian media dakwah yang
meliputi segala sesuatu yang digunakan dalam hubungannya
dengan pelaksanaan dakwah, sekalipun hanya alat penunjang,
akan tetapi sangat besar pengaruhnya dalam pencapaian
tujuan yang ingin dicapai oleh dakwah.
Sekalipun media dakwah itu sangat banyak, tetapi tidak
ada media yang sempurna, masing-masing memiliki kelebihan
dan kekurangan, kekurangan yang ada pada media yang satu
akan disempurnakan oleh media lainnya. Makin banyak
menguasai penggunaan media dalam pelaksanaan dakwah, maka
Jurnalistik Dakwah 64
semakin mengantar kepada keberhasilan dan kesuksesan dalam
pelaksanaan dakwah. Oleh karena itu, dalam memilih media
dakwah sebaiknya selalu dikondisikan dengan objek dakwah,
sebab tidak semua media dakwah bisa digunakan dalam semua
kondisi dan situasi.
Media dakwah merupakan salah satu unsur dakwah yang
dapat menunjang suksesnya dakwah. Sebab itu, materi dakwah
yang akan disampaikan harus disesuaikan degan media yang
akan digunakan. Dengan demikian, dakwah yang disalurkan
lewat media lebih mudah mempengaruhi mad’u. Di sinilah
pentingnya media bagi juru dakwah dalam menyampaikan
materi dakwah terhadap mad’u.
Pesan yang akan disampaikan oleh komunikator melalui
media cetak (suarat kabar) sedapat mungkin dirumuskan sebagai
berikut:
1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa,
sehingga dapat menarik perhatian komunikan.
2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju
kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan
komunikan, sehingga sama-sama mengerti.
3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi
komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk
memperoleh kebutuhan tersebut.
4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh
kebutuhan yang layak bagi situasi komunikan (Effendy,
1986:39).
Jurnalistik Dakwah 65
C. Pengaruh Dakwah Melalui Surat Kabar
Akhir abad XX dewasa ini adalah masa terjadinya banjir
media massa dan menjurus kepada terjadinya kekerasan media
massa yang sukar diabaikan oleh pembentuk-pembentuk watak
manusia. Media massa seperti surat kabar, televisi, radio, film,
teater, majalah dan sebagainya. Oleh para da`i harus
dimanfaatkan seefektif mungkin, sebab bila tidak, media
tersebut akan cenderung berupa alat sekularistis yang akan
mendangkalkan penghayatan keagamaan umat Islam.
Surat kabar sebagai salah satu media dakwah sangat besar
peranannya dalam mentransformasikan nilai-nilai ajaran agama
kepada masyarakat. Peranan surat kabar antara lain dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1) Empat buah koran yang memusuhi lebih berbahaya
daripada seribu bayonet.
2) Dalam melaksanakan perjuangan meletakkan dasarnya
cita-cita atau penyebaran cita-cita maka koran merupakan
benteng pertahanan
3) Untuk mengetahui amanat penderitaan rakyat yang
sebenarnya dapat dicerminkan dalam koran
4) Apabila koran dibiarkan secara merdeka, saya tidak akan
bisa memerintah lebih dari 30 bulan (Napolion)
5) Koran dapat disamakan dengan mata, telinga, dan
lidahnya rakyat
6) Adapun yang tidak benar yang disiarkan oleh koran bisa
mengakibatkan benar dan rakyat akan mempercayainya
7) Koran langsung bisa menjadi pembunuh bila ia terlalu
dibebaskan berbicara
Jurnalistik Dakwah 66
8) Bila digunakan sebenarnya koran dapat menguasai dan
memerintah dunia Suatu negara bisa menjadi baik atau
buruk tergantung dari peranan korannya.
9) Bicara hanya menghasilkan sejumlah kecil manusia yang
terpengaruh, tetapi dengan koran jutaan manusia bisa
terpengaruh (H.M. Iskandar, 2008:58).
Fungsi dakwah adalah membentuk opini, merubah sikap
dan untuk mengarahkan tingkah perseorangan dan masyarakat.
Dakwah sebagai agen pembaharuan, perbaikan dan perubahan,
mempunyai sarana yang sama dengan pendidikan, yaitu
keluarga, pendidikan formal, lingkungan masyarakat dan media
massa (Habib, 1982:138). Sebagai agen perubahan, maka
sesungguhnya keluarga selain menempati tempat yang paling
penting, juga sebagai pendahuluan dan tahap awal pendidikan
manusia. Oleh karena itu, melalui fungsi keluarga dakwah
sangat penting artinya dalam pembentukan watak dan pribadi
muslim, sebagai benih terbentuknya masyarakat yang
dikendalikan oleh pola dakwah (Habib, 1982: 138).
Surat kabar sebagai media dan sarana dakwah diperlukan
oleh manusia yang akan berkembang terus-menerus sejalan
dengan laju dan perkembangan manusia. Apabila dikaitkan
dengan media dan sarana dakwah dalam al-Qur’an, maka akan
ditemukan sebagai contoh media dakwah, misalnya pentingnya
baca tulis sebagai media dakwah. Informasi tentang perintah
baca tulis dapat dilihat dalam al-Qur’an surah al-‘alaq: 1-5;
Terjemahnya:
Jurnalistik Dakwah 67
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan,
2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. (Departemen Agama RI., 1989:1079).
Media tulis, termasuk di dalamnya surat kabar sangat
membantu dalam pelaksanaan dakwah terutama yang ditujukan
kepada masyarakat dan kelompok-kelompok yang
berpendidikan. Di sini juru dakwah mesti proaktif mengambil
bagian dan betul-betul memanfaatkan media massa tersebut.
Berkaitan dengan itu, diperlukan teknik penyajian yang
menarik, seperti penggunaan bahasa, materi yang menarik dan
sebagainya. Karena itu pemanfaatan media secara efektif
memerlukan ketrampilan dan keahlian bagi pengguna media itu.
Di sini perlunya lembaga dakwah dan pendidikan membentuk
kader-kader dai berupa:
1. Menyiapkan para pengarang, penerjemah dan penulis yang
memenuhi syarat untuk memenuhi pasaran bacaan ilmiah
sastra budaya yang di dalamnya ditemukan benih-benih
tauhid yang kuat dan kokoh.
2. Menyiapkan penyiaran dan perfilman, agar dunia film
suatu waktu akan dipengaruhi dengan cerita yang
menyebabkan orang asyik menontonnya dan barulah pada
akhirnya menarik nafas puas, karena film itu ternyata film
yang bernada agama.
Jurnalistik Dakwah 68
3. Menyiapkan seniman dalam segala macam jenisnya yang
mampu mengantarkan karya seninya untuk mendekatkan
diri kepada Allah, mengagumi keindahan dan menghargai
segala ciptaan Allah di alam raya ini.
Tenaga-tenaga seperti inilah yang diharapkan dapat
memanfaatkan media komunikasi massa sehingga dakwah dapat
berkembang dan turut mewarnai kehidupan umat manusia.
Sekarang media massa memasuki babak baru dengan istilah
abad informasi dan globalisasi. Media ini mempunyai efek yang
sangat luas, tidak terbatas pada suatu daerah, bahkan mungkin
sampai ke seluruh dunia. Karena itu materi dakwah melalui
media surat kabar akan dapat menjangkau sasaran yang luas.
Penutup
Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan
pokok-pokoknya sebagai berikut:
1. Surat kabar sebagai salah satu media massa, hanya
merupakan alat penunjang untuk mempercepat
sampainya informasi (pasan) yang disampaikan oleh
komunikator (da’i) kepada komunikan (mad’u).
2. Dakwah melalui surat kabar jaungkauannya lebih luas,
sehingga pengaruhnya juga lebih banyak. Adapun
hasilnya kembali kepada mad’unya, terima atau tidak,
mengamalkan atau tidak.
3. Keberadaan media cetak khususnya surat kabar menjadi
peluang emas bagi juru dakwah untuk mengambil bagian
di dalamnya dengan mengisi pesan-pesan agama bagi
masyarakat.
Jurnalistik Dakwah 69
DAFTAR RUJUKAN
Assegaff, Dja’far H. Jurnalistik Masa Kini. Cet. III; Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1991.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya:
Mahkota, 1989.
Effendy, Onong Uchjana. Dimensi-Dimensi Komunikasi. Cet.
II; Bandung: Alumni, 1986.
Eka Ardhana, Sutirman. Jurnalistik Dakwah. Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995.
Firdaus, Haris. Generasi Muda Islam di Ambang Kehancuran.
Cet. II; Bandung: Mujahid, 2003.
Habib, M. Syafa’at. Buku Pedoman Da’wah. Cet. I; Jakarta:
Widjaya, 1982.
Hamka, Rusjdi dan Rafiq, Islam dan Era Informasi. Cet. I;
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1989.
Iskandar, H.M. Ilmu Dakwah. Cet. I; Palopo: Lembaga
Penerbitan Kampus (LPK) STAIN, 2008.
Munsyi, Abdul Kadir. Metode Diskusi dalam Dakwah.
Surabaya: al-Ikhlas, 1981.
Syukir, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya:
al-Ikhlas, 1983.
Yaqub, H. Hamzah. Publisistik Islam Teknik Da’wah dan
Leadership. Cet. II; Bandung: Diponegoro, 1981.
Jurnalistik Dakwah 70
PERAN MEDIA MASSA DALAM MELAKUKAN
PERUBAHAN SOSIAL
Oleh; Hamdani Thaha
Abstrak : The present of mass media in society generate
various impact, both for negative and also positive. Expected by
negative impact of media like penetration of Western
civilization values, can be reduce various value and cultural
from outside with abilityy society itself to become the net for a
cultural resilience and local wisdom. Expected also for jurnalist
to be presentation order through mass media pay attention to
the code of etik and religion values so that can lessen the
negative impact from media.
Kata kunci : media massa, efek, afektif, kognitif, konatif, pers,
hegemoni.
A. Pendahuluan
Teknologi komunikasi massa sering dijuluki sebagai
faktor penentu perubahan yang kehadirannya tidak bisa
dibendung. Makin mendekati abad 21 makin banyak perubahan
yang terjadi akibat pengaruh kemajuan teknologi komunikasi.
Proses pengaruh ini tidak berjalan pada satu bidang saja, tetapi
juga merambah kebidang-bidang lain dalam kehidupan manusia.
Maka teori tentang efek komunikasi massa sekitar permulaan
abad ke-20 menyatakan bahwa individu sangat dipengaruhi
secara langsung oleh pesan-pesan media utamanya dalam bentuk
pendapat umum. Kemudian tahun 1950-an efek media
dipandang sangat sedikit, tetapi setelah tahun 1970-an para
Jurnalistik Dakwah 71
sarjana datang kembali meneliti dimana khalayak ramai
dianggap sangat dipengaruhi oleh media massa.
Para ahli dalam dasawarsa 1950 dan 1960 menaruh
harapan besar pada potensi media massa untuk meningkatkan
pembangunan. Media massa memiliki kemapuan yang besar
untuk menyebarkan pesan-pesan pembangunan kepasa banyak
orang. Yang tinggal di tempat terpisah dan tersebar, secara
serentank dengan kecepatan tinggi. Oleh karena itu media massa
dijuluki sebagai ‚pengganda ajaib‛ (Rogers, et,al., 1985:184).
Pada masa pra komunikasi media massa, umumnya orang
bergantung kepada orang-orang lain untuk mencatat,
menafsirkan, menyampaikan pesan-pesan kepadanya dengan
cara yang amat pribadi. Zaman komunikasi massa tiba ketika
orang-orang telah mampu menciptakan mesin reproduksi yang
dapat menggantikan komunikator pribadi dan melipatgandakan
pesan-pesannya. Maka setelah perkembangan media massa
sebagai sarana informasi di Indonesia, tidak terlepas dari
jalannya pembangunan nasional di segala sektor kehidupan
masyarakat.
Kecenderungan misi media massa pada posisi terpenting
dalam perumusan pola kebijakan pembangunan nasional untuk
itu harus di topang institusi, pengontrol serta perangkat aturan
lain, yang jelas konsep dan pelaksanaanya (kode etik media
massa). Terjadinya penyimpangan kode etik pada media massa
disebabkan oleh lemahnya kontrol terhadap media massa serta
tidak dilaksanakannya secara tegas UU untuk kode etik yang
dibuat agar tidak terjadi efek media massa yang negatif dan
dapat menyebabkan ketimpangan dalam agama. Tulisan ini akan
Jurnalistik Dakwah 72
mengungkapkan mengenai efek yang ditimbulkan oleh media
massa dan bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat.
B. Pengertian Media Massa
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk
menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Istilah
‚massa‛mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk, yang
komponennya sulit dibedakan satu sama lain (McQuail, 1994:
31). Menurut kamus bahasa Inggris ringkas memberikan definisi
‚massa‛ sebagai suatu kumpulam orang banyak yang tidak
mengenal keberadaan individualitas‛.
Jika khalayak tersebar tanpa diketahui dimana mereka
berada, maka biasanya digunakan media massa. Media massa
adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari
sumber ke penerima dengan menggunakan alat-alat komunikasi
mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi. Adapun
karakteristik media massa menurut Hafied Cangara (1998: 134-
135) adalah:
a) Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media
terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan,
pengelolaan sampai pada penyajian informasi.
b) Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan
kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim
dan penerima. Kalau toh terjadi reaksi atau umpan balik,
biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
c) Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan
waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan bergerak
secara luas dan simultan, dimana informasi yang
Jurnalistik Dakwah 73
disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang
sama.
d) Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio,
televisi, film dan semacamnya.
e) Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh
siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis
kelamin, dan suku bangsa.
Jadi, media massa adalah industri dan teknologi
komunikasi yang mencakup surat kabar, majalah, radio, televisi
dan film. Istilah ‘massa’ mengacu pada kemampuan teknologi
komunikasi untuk mengirimkan pesan melalu ruang dan waktu
dan menjangkau banyak orang.
C. Efek Media Massa
Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif,
afektif dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan
kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan. Efek afektif
berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap).
Sedangkang efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat
untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Meskipun
dimensi-dimensi efek ini berhubungan satu sama lain, ketiganya
juga independen satu sama lain. Sebagai contoh meningkatnya
pengetahuan tentang suatu isu tidak selalu diikuti oleh
perubahan attitude (Bem dalam Amri Jahi, 1993: 31).
Dalam hampir seluruh tindakan komunikasi, efek yang
sangat dikehendaki ialah yang bertalian dengan belajar, sikap
dan perilaku. Survey kowledge, attitude, and Practice (KAP)
yang banyak dilakukan oleh badan-badan bantuan internasional
Jurnalistik Dakwah 74
biasanya berkaitan juga dengan efek-efek ini (Rogers dalam
Amri Jahi, 1993:32). Komunikasi dapat menimbulkan efek yang
berbeda-beda. Orang-orang tertentu mungkin belajar lebih
banyak daripada yang lain, dan dalam difusi inovasi, sejumlah
kecil orang cenderung untuk mengadopsi inovasi lebih dahulu
dari pada yang lainnya. Perbedaan dalam tambahan
pengetahuan, attitude, dan perubahan perilaku dapat
menimbulkan ‚kesenjangan efek komunikasi‛ (Shingi dan
Mody, 1976: 171). Perbedaan-perbedaan dalam belajar diantara
bebagai segmen khalayak telah diketahui dalam studi-studi awal
komunikasi. Sebagai contoh, Hyman dan Sheatsley (1947: 412)
menulis tentang orang-orang yang selalu tidak tahu apa-apa
dalam review mereka tentang kampanye-kampanye informasi
publik.
Minat pada belajar diferensial hidup kembali ketika
Tichenor dan kawan-kawannya (1970:159) mengusulkan
‚hipotesis kesenjangan pengetahuan‛. Mereka menjelaskan
bahwa ‚ketika informasi yang masuk melalui media massa ke
dalam suatu sistem sosial meningkat, segmen-segmen populasi
itu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung
untuk memperoleh informasi ini lebih cepat daripada segmen-
segmen yang status sosial ekonominya lebih rendah, sehingga
kesenjangan dalam pengetahuan di antara segmen-segmen ini
cenderung meningkat daripada berkurang‛.
Kesenjangan pengetahuan ini tidak bersifat absolut,
melainkan relatif. Kelompok-kelompok dengan status sosial
ekonomi yang lebih rendah tidaklah sepenuhnya tidak memiliki
informasi, tetapi cenderung kurang tahu daripada kelompok-
kelompok yang status sosial ekonominya lebih tinggi. Ketika
Jurnalistik Dakwah 75
kesenjangan pada satu topik informasi tertutup, kesenjangan
baru mungkin terbentuk pada isu-isu yang lain, yang kelompok
berstatus sosial ekonomi lebih tinggi memiliki akses yang lebih
baik dari sumber-sumber informasi yang menyangkut isu
tersebut.
Menurut Tichenor (1973: 45), kesenjangan efek
komunikasi terjadi karena: 1) Perbedaan tingkat keterampilan
berkomunikasi diantara segmen suatu khalayak secara
keseluruhan, 2) Tingkat pengetahuan tentang isu yang dikuasai
sebelumnya, 3) Kontak sosial yang relevan dengan orang-orang
yang memiliki lebih banyak informasi, 4) Persepsi selektif, 5)
Kerelevanan fungsional dan utilitas, 6) Akses yang berbeda pada
sumber daya yang terbatas, 7) Bias urban pada media massa, 8)
Bantuan yang tidak memadai dari badan yang melakukan
intervensi sosial, 9) Kurangnya partisipasi dari khalayak sasaran
dalam pembuatan keputusan dan implementasi keputusan
tersbut, dan 10) Perbedaan pendidikan, minat, atau motivasi.
Pendidikan tampaknya menjadi suatu faktor yang
menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Ia juga
melengkapi segmen tertentu khalayak dengan keterampilan
berkomunikasi yang diperlukan (Schramm dalam Jahi, 1993:
33). Penggunaan media yang tinggi juga melengkapi mereka
dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dalam beberapa
topik (Rogers dalam Jahi, 1993:33). Dengan demikian proses
atensi, komprehensif dan retensi yang selektif selain anggapan
mereka tentang penggunaan inovasi, memberikan kontribusi
pada perbedaan pengetahuan, attitude, dan perilaku khalayak.
Dimensi efek komunikasi melalui media massa dapat juga
ditinjau dari dimensi lain, yaitu: a) Langsung atau kondisional,
Jurnalistik Dakwah 76
b) Spesifik-isi atau umum-menyebar, c) Perubahan atau
stabilitas, d) Kumulatif atau non kumulatif. e) Jangka pendek
atau panjang, f) Mikro atau makro, dan g) Efek prososial atau
antisosial (Chaffe dalam Amri Jahi, 1993: 34).
Pendapat umum tentang suatu efek komunikasi ialah suatu
respon yang langsung, isomorfik atau satu demi satu. Dalam
komunikasi media massa, hal ini menunjukkan juga suatu
dampak yang segera, yang sama kemungkinannya untuk setiap
orang dalam suatu khalayak, seperti pada teori peluru atau
jarum suntik (McLeod dan Reeves dalam Jahi, 1993: 34). Efek
mungkin spesifik sesuai dengan isi pesan atau menyebar.
Peneliti dapat mempelajari efek program televisi untuk anak-
anak, seperti Sesame Street di Amerika Latin dan mennetukan
bagaimana program itu telah mempengaruhi kemampuan
membaca dan menulis dan juga berhitung di antara penonton-
penonton muda itu. Selain itu riset dapat juga bersifat lebih
umum, speerti penelitian tentang dampak sosial penggunaan
radio dan televisi melalui satelit di India dan Indonesia.
Misalnya, dari penelitian semacam itu diketahui bahwa jadwal
siaran televisi menimbulkan konflik dengan waktu shalat dan
waktu belajar (Budhisantoso, 1981: 151).
Media massa sering digunakan untuk menimbulkan
perubahan, yang melibatkan difusi atau suatu inovasi atau tipe
lain program intervensi sosial. Di pihak lain, beberapa peneliti
menggarisbawahi fungsi konservatif media massa. Mereka
mengungkapkan bahwa fungsi media massa yang lebih umum
ialah untuk memperkuat kepercayaan yang telah ada, attitude,
dan cara mengerjakan sesuatu, daripada mendorong perubahan.
Dalam melaporkan berita, beberapa peneliti berpendapat bahwa
Jurnalistik Dakwah 77
kadang kala media mendorong informasi yang memiliki potensi
merusak (McLeod dan Reeves dalam Jahi, 1993: 35).
Beberapa peneliti mencoba menentukan apakah efek
media kumulatif atau tidak. Sebagai contoh, terlalu banyak
menonton televisi mengarah pada timbulnya gambaran tentang
dunia yang menakutkan. Proses inilah yang mereka sebut
sebagai mainstreaming, yang menunjukkan bahwa televisi dapat
mengembangkan konsepsi realitas di antara kelompok khalayak
yang berbeda (Garbner dalam Jahi, 1993: 35).
Suatu dimensi yang juga ada hubungannya ialah apakah
efek tersebut jangka pendek atau jangka panjang. Dalam studi
televisi di Samoa Amerika (Schramm dalam Jahi, 1993: 35),
peneliti menemukan efek belajar jangka panjang di kalangan
para pelajar, selain perilaku meniru. Kondisi personal dan
struktural yang menyebabkan macam belajar dan modifikasi
perilaku ini terjadi perlu dipelajari juga. Efek media massa juga
dapat dipandang dari suatu sudut mikro, yang individu dalam
suatu masyarakatnya, dijadikan unit pengamatan, atau dari
sudut makro, yang isu-isu seperti pemilikan media massa dan
peliputan berita, penggunaan televisi dan radio, produksi surat
kabar (McLeod dalam Jahi, 1993: 35) dijadikan unit
pengamatan.
Efek antisosial media massa lebih sering ditekankan
daripada efek prososial mereka. Kekerasan dalam televisi
Amerika Serikat dan efeknya pada keagresifan anak-anak
mendapat lebih banyak publisitas daripada efek belajar program
pendidikan seperti Sesame Street atau dramatisasi seperti Roots
atau The Day After sekalipun (Chaffee et. al. Dalam Jahi, 1993:
35).
Jurnalistik Dakwah 78
Media juga memiliki efek fisik, dimana media
memperkenalkan alat-alat baru rumah tangga di mana-mana di
dunia, dari masa kecil seperti radio dan perekam kaset video,
sampai kepada media besar seperti satelit. Di samping itu,
media massa baru menggabungkan beberapa teknologi yang
sudah ada. Teleteks menggunakan sinyal televisi untuk
menyiarkan informasi kepada penerima khusus, sedangkan
videoteks menggabungkan teknologi telepon dan komputer.
Sementara itu, satelit memperlancar transmisi informasi ke
wilayah yang sangat luas. Media baru ini memiliki potensi
untuk membantu pelaksanaan tugas-tugas pembangunan jika
digunakan secara selektif dan tepat. Ada juga efek psikologis
komunikasi massa, seperti kepuasan yang diperoleh dari
berbagai penggunaan media massa.
Di sisi lain terdapat konsekuensi kultural dan psikologis
yang negatif dari media massa, yang merupakan ancaman
terhadap kualitas kehidupan individual modern (Sonny Yuliar,
2001: 249). Terlepas dari pengaruh positif dan negatif, pada
intinya media massa telah menjadi cerminan budaya tontonan
bagi masyarakat dalam era informasi dan komunikasi yang
semakin berkembang pesat. Karena media massa menciptakan
suatu situasi dimana khalayak secara serempak memperhatikan
pesan (Onong uchjana Efendy, 1991: 11).
Terdapat sejumlah cara yang ditempuh oleh media massa
untuk membuat kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah bagi
kita. Pertama, media massa memberitahukan dan membantu kita
mengamati dunia kita, media melakukan fungsi pengawasan.
Media menyediakan berita, informasi dan peringatan yang kita
butuhkan untuk membuat keputusan yang trinformasi. Media
Jurnalistik Dakwah 79
juga memberitahukan kita mengenai keadaan dan kejadian yang
dengan cepat.
Kedua, media massa mengatur agenda kita dan membantu
menyusun kehidupan kita. Ketiga, media massa membantu kita
berhubungan dengan bermacam-macam kelompok dan golongan
dalam masyarakat. Keempat, media massa membantu untuk
mensosialisasikan kita. Melalui media massa kita menambah
apa yang susdah dipelajari mengenai perilaku dan nilai-nilai
dalam pertemuan langsung dengan orang lain, media mengajar
kita norma-norma dan nilai-nilai dan berperan serta dalam
sosialisasi kita. Kelima, media massa digunakan untuk
mengajak kita dan untuk memanfaatkan sumber-sumber pesan.
Keenam, media massa adalah menghibur. Efek terpenting dari
media massa adalah memperkuat sikap-sikap dan pendapat yang
telah ada. Media massa juga berfungsi memantau aktivitas
pemerintah (A.S. Ahmad, 1992: 36).
Dari beberapa efek positif yang ditimbulkan media massa
di atas, maka dapat disimpulkan fungsi dari media itu sendiri,
antara lain:
a) Media dapat menghibur, mendidik, kontrol sosial, sebagai
bahan informasi.
b) Media massa bisa berguna bagi pendidikan dan
pengembangan intelegensia.
c) Peran media mencirikan bahwa proses interaksi manusia
merupakan hal terpenting dalam masyarakat untuk
meningkatkan pengetahuan terhadap informasi yang
berkembang.
d) The surveilance of the environment, yaitu mengamati
lingkungan.
Jurnalistik Dakwah 80
e) The correlation of the part of society in responding to the
environment, yaitu mengadakan korelasi antara informasi
data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak sasaran,
karena komunikator lebih menekankan pada seleksi
evaluasi dan interpretasi.
f) Transmission of the social heritage from one generation to
the next, maksudnya ialah menyalurkan nilai-nilai budaya
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
g) Efek ekonomis, sosial, penjadwalan kegiatan,
penyalur/penghilangan perasaan tertentu, perasaan orang
terhadap media (Jalaluddin Rakhmat, 1985: 217).
Disamping efek positif yang ditimbulkan media massa
terdapat pula efek negatif dari media massa antara lain:
1) Kehadiran media massa dapat membentuk tindakan
seseorang keluar dari kebiasaannya.
2) Media dapat mengancam nilai-nilai sosial yang ada dalam
masyarakat.
3) Media dipandang sebagai ancaman, seperti meningkatkan
pengangguran, meningkatkan kontrol dan pengawasan
terhadap rakyat.
4) Media merupakan faktor pengubah tatanan masyarakat.
5) Media mengajak manusia mengganti kehidupan rilnya
yang membosankan dengan sebuah pengalaman yang
berantakan.
6) Media mengubah pengalaman dan pemahaman diri
manusia secara mendasar.
7) Media dapat mempengaruhi karakter keseluruhan para
remaja.
Jurnalistik Dakwah 81
8) Media melaporkan dunia nyata secara selektif yang
mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan
sosial yang timpang, bias dan tidak cermat (Charles P.
Wright, 1988: 170).
D. Media Massa dan Masyarakat
Media audio visual terutama televisi tidak bisa dilepaskan
dari denyut nadi kehidupan masyarakat karena efeknya yang
banyak mempengaruhi perilaku pemirsa. Kalau ada pertanyaan
seberapa jauh pengaruh media terhadap perilaku? Maka
jawabannya akan sulit, meski ada beberapa penelitian yang telah
mencoba menggali hubungan antara tayangan media dengan
perilaku masyarakat, tidak semua mampu mengungkap dengan
gamblang hubungan tersebut akan tetapi yang pasti program-
program tersebut mempengaruhi perilaku manusia.
Media mencerminkan keadaan suatu masyarakat, artinya
bahwa realitas yang ada dalam masyarakat kemudian
dikonstruksi kembali ke dalam media dengan cara yang berbeda
sesuai dengan kapasitas, struktur kelembagaan dan ideologi
media. Semua elemen tersebut berpadu dan membentuk
gambaran tayangan yang hadir ke hadapan publik.
Tidaklah mengherankan jika satu event/kejadian yang
sama seperti bencana alam, kecelakaan dan kegiatan seremoni
bisa dihadirkan secara berbeda. Ini disebabkan karena media
mengambilnya dari sudut (angle) yang berbeda dan
dipersepsikan secara berbeda pula. Bagaimanapun warna sebuah
berita setidaknya ditentukan oleh wartawan di lapangan,
redaktur, kebijakan redaksional, visi dan ideologi media. Elemen
Jurnalistik Dakwah 82
tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari proses produksi
pesan baik pada media cetak maupun elektronik.
Perkembangan teknologi telah menempatkan komunikasi
di garis depan dari sebuah perubahan sosial. Dalam konteks ini
perubahan dan dinamika dalam suatu masyarakat dipengaruhi
oleh proses komunikasi lintas wilayah dan budaya. Komunikasi
mempengaruhi pola perilaku, gaya hidup, cara pandang, dan
tatanan sosial masyarakat.
Seiring globalisasi, dinamika kehidupan manusia modern
melingkupi pergerakan manusia, barang atau gagasan di antara
negara dan akselerasi wilayah. Ada empat dimensi pokok
globalisasi yang saat ini dapat kita jadikan acuan menggali
hubungan ekonomi dan kapital; media, informasi dan teknologi
komunikasi, imigrasi dalam skala besar, produksi kebudayaan
dan konsumerisme.
Dalam situasi dimana pergulatan ideologi berlangsung
dengan ketat, bangsa Indonesia mengalami tekanan yang
mengakibatkan keterpurukan dan krisis dalam berbagai aspek
kehidupan – khususnya watak bangsa (nation character)
sehingga sulit melihat dengan jernih bagaimana kolonialisme
bermetamorfosis dengan banyak istilah seperti ‘globalisasi
ekonomi’ yang secara perlahan masuk melalui banyak pintu.
Kolonialisme dan kapitalisme selalu bermuara pada pengerukan
sebanyak-banyaknya sumber-sumber produksi untuk mencapai
keuntungan sebanyak-banyaknya.
Paham ini mulai berkembang di kota-kota utama dunia
besar sebagai pusat masuknya informasi yang kemudian
merembes ke kota besar dan kota-kota kecil lainnya lewat
istilah kosmopolitan. Karena istilah ini lahir dalam budaya
Jurnalistik Dakwah 83
Barat – tentu saja tidak terlepas dari akar ideologi tersebut.
Pada intinya istilah kosmopolitan mengandung dimensi
keanekaragaman lalu lintas budaya dari berbagai kutub
peradaban. Namun yang kemudian terjadi adalah istilah ini
kemudian menyempit dan menjadi ‘made in USA’ .
Salah satu pengertian sempit globalisasi adalah
Amerikanisasi – pengertian ini rasanya tidak berlebihan bila
melihat desarnya arus modal Amerika yang menembus berbagai
belahan dunia. Pada tahun 2002 Divisi Kependudukan PBB
mencatat bahwa Mc. Donald’s sebagai salah satu ‘made in
Amerika’ terkemuka memiliki 30.000 warung di 118 negara di
dunia dan diperkirakan dalam dekade 1999 - 2000 an setiap hari
ada 3 warung Mc. Donald’s di buka, bisa dibayangkan
bagaimana derasnya penetrasi label Amerika di hampir seluruh
penjuru dunia.
Penetrasi ini secara perlahan menggiring berbagai lapisan
masyarakat terutama generasi muda yang dengan tidak sadar
membangun konsep diri (self concept) yang rentan
menimbulkan rasa minder (inferior) bila mengidentifikasikan
diri di saat juga harus menghadapi masalah dan tekanan dari luar
dan dalam budaya sendiri. Mereka merasa malu dan minder bila
tidak nongkrong di KFC, berbalut merek Blue Jeans dan Lee
Cooper serta rasa minder kalau tidak mengidentifikasikan
dirinya dengan label-label Barat.
Bila ini menjangkiti generasi muda maka disinilah pintu
masuknya Amerikanisasi berawal, khasanah nilai-nilai dan
kearifan lokal yang mengagungkan kesederhanaan, beralih
dengan mempersepsikan sesuatu sesuai dengan standar materi
dan hedonisme.
Jurnalistik Dakwah 84
Tayangan yang hadir di layar kaca mewakili secara
simbolis realitas yang ada didalam masyarakat. Jika saat ini -
misalnya dalam program stasiun televisi di negeri ini saat ini
banyak yang bermunculan tayangan bertema hantu-itulah
realitas masyarakat kita. Lalu ketika muncul protes dan kritikan
karena dianggap kurang mendidik apakah mesti dibuatkan
Undang-Undang Anti hantu seperti halnya Rencana Undang-
Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang saat ini
sedang digagas dan menimbulkan pro dan kontra?
Meskipun banyak pendapat yang mengatakan bahwa
realitas dalam masyarakat dikonstruksi kembali kedalam media
melalui film dan sinetron namun semuanya belumlah merupakan
realitas sesungguhnya. Kita bisa melihat bagimana sinetron di
televisi sebagai hiburan yang mengangkat ‚realitas perempuan‛
yang mayoritas penontonnya perempuan muda, ibu-ibu dan
pembantu rumah-tangga. Kebanyakan tayangan tersebut
menampilkan perempuan yang memarahi anak gadis, suami,
pembantu hingga tetangganya sampai kelihatan urat lehernya.
Mungkin salah satu sebab mengapa para tenaga kerja wanita
yang berprofesi sebagai PRT yang dikirim keluar negeri
mengalami pelecehan karena dari dalam negeri sendiri terlalu
sering dikatakan pembantu bodoh dan dungu. Secara tidak sadar
perempuan Indonesia direpresentasikan oleh seringnya tokoh
perempuan menangis dalam begitu banyak episode Sinetron dan
film serta pakaian minim artis dan liuk tubuh penyanyi dangdut
perempuan. Pertanyaannya adalah apakah realitas yang
dikonstruksi media tersebut identitas perempuan bangsa
Indonesia? Jawabannya mungkin bukan mencerminkan identitas
Jurnalistik Dakwah 85
perempuan Indonesia tetapi itulah realitas perempuan Indonesia
saat ini.
Diakui atau tidak, media massa telah menarik begitu
banyak energi sosial mulai dari pakaian, cita rasa, hingga
pemakaian bahasa. Melalui media massa elemen-elemen budaya
pop Amerika seakan menjadi menu yang melebur dan
membentuk watak budaya pop di Indonesia, merembes dari
kota-kota besar lalu menuju kota-kota kecil. Lihatlah bagaimana
Britney Spears, Christina Aguillera atau Ashley Simpson
kemudian menular ke Agnes Monika dan artis remaja lainnya
dan menjadi ikon remaja yang diikuti gaya dandanannya.
Kalau kebetulan ke Jakarta dan berjalan-jalan ke pusat
perbelanjaan maka kita akan menjumpai begitu banyak istilah
yang campur aduk mulai dari hingar-bingar pemakaian kata-kata
bahasa Inggris tertentu seperti ‚thank you‛, ‚okay‛, atau ‚cool‛
sampai ‚so what gitu loh‛ di hampir semua media elektronik,
Summit Building, Plaza Senayan, Atrium Plaza Senen, Depok
Trade Center dan masih banyak lagi – bahkan sudah merambah
ke daerah tercinta lewat ‚Sultan Square‛ - hanya untuk
memberi label tempat merupakan ciri dari bahasa budaya pop
Indonesia. Akibatnya sering tidak terhindar dari kelatahan salah
kaprah pemahaman makna padahal begitu banyak padanannya
dalam bahasa Indonesia.
Bila kita menonton tayangan dari negeri lainnya di Asia
seperti Jepang, Thailand dan Cina hampir tidak ditemukan
eskpresi kemarahan berlebihan seperti di Indonesia. Keberadaan
perempuan yang konstruksi dalam berbagai jenis sinerton atau
apapun namanya boleh jadi merupakan gambaran kondisi
psikologis yang disebut patologi sosial ‚masyarakat yang sakit‛
Jurnalistik Dakwah 86
suatu masyarakat yang sakit secara sosial karena banyaknya
himpitan persoalan yang tidak bisa dipecahkan sementara di lain
pihak mereka tidak mempunyai kemampuan subsistensi sosial
yang cukup kuat, suatu keadaan dimana masyarakat toleran dan
sabar menghadapi berbagai macam persoalan hidup. Antonio
Gramsci, seorang penyokong teori media kritis menyatakan
bahwa proses hegemoni dapat muncul dalam banyak cara dan
pola, intinya hal itu terjadi ketika sesuatu diinterpretasi pada
cara yang menungkinkan kepentingan satu kelompok diatas
yang lainnya.
Mc.Quail dalam teori media kritis lainnya mengatakan
bahwa media merupakan pemain utama dalam pertarungan
ideologi, dimana ideologi yang dominan dapat diabadikan oleh
media. Dalam pandangan marxisme klasik media merupakan
instrumen kelas atau kelompok yang dominan dimana kaum
kapitalis mengembangkan ideologinya. Media menyebarkan
ideologi penguasaan dan menindas kelas lain dalam masyarakat.
Pada gilirannya apa yang tertangkap stasiun televisi di
pusat kekuasaan kemudian merembes menuju kota lain dan
kota-kota kecil sampai pelosok desa yang terjangkau siaran
tersebut. Pada tahap ini tidak ada yang dapat membendung
penetrasi berbagai nilai dan budaya dari luar selain kemampuan
masyarakat itu sendiri untuk dapat menjadi jaring bagi sebuah
ketahanan budaya dan kearifan lokal.
E. Pandangan Agama terhadap Media Massa
Jika pandangan teologis mengenai media massa diberikan
kedudukan formal sebagai bagian dari sistem media massa yang
berlaku, maka peran netral agama dalam bidang itu sulit
Jurnalistik Dakwah 87
berkembang. Padahal sistem media massa di negara kita telah
menentukan adanya keharusan bertanggung jawab kepada
Tuhan Yang Maha Esa (UU Pers dan UU Perfilman).
Makin formal kedudukan agama dalam urusan kebebasan
media massa makin memiliki sifat sebagai alat legitimasi sistem
media massa tersebut. Akibatnya, kemandirian pandangan
agama terhadap persoalan-persoalan media massa kurang bisa
berkembang. Inilah yang terjadi ketika banyak muncul gejala
pelaksanaan fungsi hiburan sebagian media massa yang
menawarkan selera rendah.
Dalam film atau televisi sering disajikan adegan
pembunuhan, perusakan dan sebagainya yang merusak dan
mencelakakan orang lain. Adegan kekerasan ini biasanya
dianggap sebagai bagian yang ramai dari penyajian film.
Bersama adegan seks, adegan kekerasan adalah pemancing
penonton yang paling manjur. (veven S. Wardhana, 1997: 147).
Untuk itu jika agama banyak memberikan legitimasi
kepada sistem media massa dalam penentuan sajian hiburan
yang pantas dan tak pantas, maka proses lembaga-lembaga
agama terhadap berbagai sajian hiburan yang dinilai vulgar,
misalnya di televisi swasta dan majalah-majalah hiburan, takkan
banyak artinya. Karena itu pandangan teologis terhadap peran
media massa harus dinetralisasikan sesuai dengan kesalehan
yang menjadi ciri agama Samawi.
Semua agama menjunjung tinggi kebebasan komunikasi
dan informasi di antara umat manusia. Bahkan Tuhan
memerintahkan manusia selalu berkomunikasi dengan-Nya.
Untuk itu sistem komunikasi sosial dan sistem media massa,
menurut agama Islam misalnya, ada pula disebut kebebasan
Jurnalistik Dakwah 88
komunikasi atau kebebasan media massa yang bertanggung
jawab. Yang dimaksud bertanggung jawab tentulah bertanggung
jawab kepada Allah SWT. Di TAP MPR No. XXXII/1966 dan
UU Pers ditentukan, bahwa kebebasan pers harus dibatasi
dengan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara
implisit UU perfilman pun menentukan hal yang sama (UU No.
8/1992 pasal 21 dan pasal 26 ayat 1 (A. Muis, 2001: 181).
Pandangan al-Qurán dan Hadist tersebut mengenai
kebebasan pers cenderung diformalkan oleh sistem pers yang
berlaku, seperti juga semua teori lainnya tentang kebebasan
pers, sehingga semua teori akan terserap ke dalam sistem
tersebut. Di Indonesia, sebenarnya sistem pers pancasila tidak
bertentangan dengan pandangan teologis mengenai kebebasan
pers dan pembatasannya. Tetapi, manakala agama banyak
menyodorkan legitimasi kepada kebijaksanaan pemerintah
tentang kebebasan pers, maka pandangan teologis mengenai
kebebasan media massa tidak lagi bisa netral.
F. Kesimpulan
Efek media massa selain positif juga memiliki dampak
negatif. Pengelola komunikasi massa dapat dipastikan tidak
berniat untuk menyebarkan dampak negatif kepada
khalayaknya. Media massa harus memiliki efek menambah
pengetahuan, mengubah sikap, menggerakkan perilaku. Efek
yang terjadi pada tiga aspek yaitu efek pengetahuan (afektif),
perasaan (kognitif), dan pada sikap perilaku (konatif).
Ada beberapa alasan yang mendorong kita untuk
meningkatkan peranan media massa antara lain agar media
dapat memperkenalkan dan mengintegrasikan inovasi yang
Jurnalistik Dakwah 89
diperlukan dalam perikehidupan masyarakat, agar media massa
memperluas wawasan yang dapat mengurangi ketegangan yang
menyertai perubahan di era global ini, agar media massa
meredam konflik dengan menyediakan forum diskusi dan dialog
antara individu maupun antarkelompok dalam masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Achmad, A.S., Komunikasi, Media Massa dan Khalayak, Cet. I,
Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1992.
Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1998.
Effendy, Onong Uchjana, Radio Siaran: Teori dan Praktek, Cet.
III, Bandung: CV Mandar Maju, 1991.
Jahi, Amri, Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Kuswandi, Wawan, Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi, Cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.
Liliweri, Alo, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, Cet. I,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Muis, A., Komunikasi Islam, Cet. I, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001.
Mulyana, Deddy dan Idy Subandi Ibrahim, Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib,
Cet. I. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997.
Jurnalistik Dakwah 90
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 2001.
........., Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2001.
Rogers, Everett M.; Zao Xiaoyan; Pan Zhondang; Chen Milton,
The Beijing Audience Study. Communication Research 12, 1985.
Susanto, Astrid, Filsafat Komunikasi, Bandung: Binacipta,
1976.
........., Komunikasi dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Binacipta, 1976.
Wardhana, Veven S., Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Woods, John L., A Question for the Media Managers, Media
Asia 3, 1976.
Wright, Charles R., Mass Communication: A Sociological
Perspektive, diterjemahkan oleh Liliwati Trimo dan
Jalaluddin Rakhmat dengan judul: Sosiologi Komunikasi
Massa, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1988.
Yuliar, Sonny, Memotret Telematika Indonesia: Menyongsong Masyarakat Informasi Nusantara, Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001.
Jurnalistik Dakwah 91