i
TESIS
KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR
RISIKO KUALITAS TIDUR BURUK PADA ATLET
DALAM PEMUSATAN LATIHAN
NI NYOMAN MESTRI AGUSTINI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
i
TESIS
KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR
RISIKO KUALITAS TIDUR BURUK PADA ATLET
DALAM PEMUSATAN LATIHAN
NI NYOMAN MESTRI AGUSTINI
NIM 1314068203
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ii
TESIS
KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR
RISIKO KUALITAS TIDUR BURUK PADA ATLET
DALAM PEMUSATAN LATIHAN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
NI NYOMAN MESTRI AGUSTINI
NIM 1314068203
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
iii
iv
Tesis ini Telah Diuji pada
Tanggal 4 Desember 2017
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana nomor
Ketua : dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S (K)
Sekretaris : Dr. dr. A.A.A Putri Laksmidewi, Sp.S (K)
Anggota :
1. Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra. Sp.S (K)
2. Dr. dr. Thomas Eko P. Sp.S (K), FAAN
3. dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S (K)
v
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan karya akhir ini sebagai prasyarat mendapatkan tanda keahlian di
bidang Neurologi dan Magister Ilmu Biomedik.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah berperan besar sehingga penulis dapat menempuh Program
Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi dan Program Magister Program Studi Ilmu
Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sampai tersusunnya karya akhir
ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof. Dr.
dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan dan Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
selaku Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes dan
Dr. dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, dan Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK selaku
Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. I Wayan
Sudana, Mkes , selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar, atas kesempatan dan
fasilitas yang telah diberikan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada pembimbing
karya akhir ini, dr. A.A.B.N Nuartha, Sp.S (K) dan Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi,
Sp.S (K), yang juga sebagai penguji yang telah membantu, memberi dorongan
semangat, saran dan koreksi dari tahap praproposal hingga ujian akhir tesis. Penulis
juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penguji, Dr. dr.
D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S (K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S (K), FAAN, dan
dr. IGN Purna Putra, Sp.S (K) atas dorongan semangat, saran dan koreksi dalam
penyempurnaan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada dr. I Putu Eka
Widyadharma, M.Sc, Sp.S (K) atas segala bimbingan, saran, waktu, kesabaran,
vii
nasehat dan motivasi selama pendidikan dan penyusunan karya akhir ini. Kepada dr.
Desak Ketut Indrasari Utami, Sp. S atas segala bimbingan, nasehat dan motivasi
selama pendidikan dan penyusunan karya akhir ini.
Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada dr. A.A.B.N.
Nuartha, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK
UNUD/RSUP Sanglah. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga penulis
sampaikan kepada Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S (K), selaku Ketua Program
Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah serta dr. Ida
Bagus Kusuma Putra, Sp.S selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter
Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS
sebagai pembimbing akademik, atas segala bimbingan, didikkan, nasehat, motivasi
dan petunjuk yang diberikan selama proses pendidikan. Ucapan terima kasih penulis
ucapkan kepada seluruh supervisor di Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP
Sanglah atas segala bimbingan dan saran selama penulis mengikuti pendidikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman seangkatan yaitu dr. Gede
Suputra, dr. Cok Istri Gangga Dewi, dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, dr. Putri Ayuna
Sundari dan dr. Ni Made Dwita Pratiwi untuk kebersamaan, motivasi dan
masukannya. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh peserta PPDS I Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan inspirasi, dorongan, segala
bantuan dan kebersamaan selama penulis menjalani pendidikan dan menyelesaikan
karya akhir ini. Terima kasih juga kepada tenaga administrasi Bagian/SMF Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah atas kerjasama dan dorongan semangat selama penulis
mengikuti pendidikan ini yang banyak membantu pelaksanaan penelitian ini.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bapak Wayan Tirtayasa selaku pihak KONI Denpasar atas ijin dan
bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini. Kepada Bapak Nyoman Suteja, Ibu
Kadek Sri, Bapak I Nengah Sudira, Bapak Ketut Arjana dan Bapak Made Suandhi
viii
selaku pelatih cabang olahraga Atletik, Balap sepeda dan Bulutangkis Denpasar atas
bantuannya dan kepada atlet Kota Madya Denpasar yang telah berkenan menjadi
subyek penelitian dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian ini. Kepada Dr.
dr. AA Wiradewi Lestari, Sp. PK selaku kepala bagian Patologi Klinik RSUP
Sanglah, bapak I Ketut Gede Adi Santika dan ibu Ni Wayan Meni selaku staff bagian
Patologi Klinik atas bantuan yang telah diberikan dalam pengambilan sampel
penelitian.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua yang
penulis cintai dan sayangi Prof. Dr. I Wayan Sadia, M.Pd dan Dra Ni Ketut Thantris,
M.Pd dan kepada mertua, Drs. IGBN Artawan dan Ni Made Sumiarsih, Amd. Keb
yang telah memberikan kasih sayang dan mendidik penulis serta memberikan doa,
semangat dan dorongan dalam menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih juga
kepada suami tercinta IGBN Dipta Negara, ST dan anak kami tercinta IGBN Giri
Dharma Pemayun yang telah memberikan kasih sayang, doa dan dukungan semangat
kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih juga kepada
saudari penulis terkasih yang telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan dan
semangat kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini.
Penulis telah berusaha membuat tesis ini dengan sebaik-baiknya namun tetap
menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan baik dari aspek materi dan
penyajiannya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi
perbaikan tesis ini.
Akhirnya penulis tidak lupa mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua
pihak, bila dalam proses pendidikan maupun dalam pergaulan sehari-hari ada tutur
kata dan sikap yang kurang berkenan di hati. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih
dan Penyayang selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak
yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
Denpasar, Desember 2017
Penulis
ix
ABSTRAK
KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS
TIDUR BURUK PADA ATLET DALAM PEMUSATAN LATIHAN
Kondisi pemusatan latihan pada atlet akan mengubah intensitas, durasi dan
beban latihan. Terjadi ketidakseimbangan aksis HPA yang menyebabkan kadar
kortisol meningkat sehingga kualitas tidur buruk. Pada beberapa peneilitan dikatakan
latihan fisik yang intensif pada atlet selama 4 minggu akan meningkatkan kadar
kortisol. Kadar kortisol yang tinggi akan menyebabkan terjadinya cortisol awakening
response sehingga kualitas tidur buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet dalam pemusatan
latihan.
Penelitian ini dilakukan di pemusatan latihan atlet Kota Madya Denpasar
mulai Juni hingga Nopember 2017 dengan menggunakan rancangan kasus-kontrol
pada 64 subyek penelitian.
Dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa rerata kadar kortisol pada
kelompok kasus (270,859 ± 93,434 nmol/L) lebih tinggi dari pada kelompok kontrol
(195,838 ± 60,999 nmol/L). Analisis bivariat dengan Chi-square dan didapatkan OR
= 7,667 dengan IK 95% = 2,524-23,284) dan nilai p<0,001. Analisis multivariate
didapatkan variabel kadar kortisol memiliki nilai P < 0,001. Terdapat hubungan yang
bermakna antara kadar kortisol tinggi dengan kualitas tidur buruk dan kadar kortisol
sebagai faktor independen yang berpengaruh terhadap kualitas tidur buruk
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan simpulan bahwa kadar kortisol
tinggi meningkatkan risiko kualitas tidur buruk tujuh kali yang bermakna secara
statistik pada atlet dalam pemusatan latihan.
Kata kunci: kortisol,kualitas tidur buruk, atlet
x
ABSTRACT
HIGH CORTISOL SERUM CONDITIONS AS A RISK FACTOR FOR
POOR SLEEP QUALITY ON THE ATLET IN TRAINING CENTRE
Athletes in training centre at the athlete will have different intensity,
duration and load of the exercise. There will be an imbalance of the HPA axis and
causes the increase of cortisol level, resulting in poor sleep quality. Intensive
physical exercise in athletes for 4 weeks will increase cortisol levels. High levels
of cortisol will cause cortisol awakening response and result in poor sleep quality.
This study aims to determine high cortisol as a risk factor of poor sleep quality in
athletes in training centre.
This research was conducted at the Denpasar’s athlete training centre from
June to November 2017 by using case-control design on 64 subjects.
From the statistical analysis it was found that the mean of cortisol serum in
case group (270,859 ± 93,434 nmol / L) was higher than control group (195,838 ±
60,999 nmol / L). Bivariate analysis with Chi-square and obtained OR = 7,667
with IK 95% = 2,524-23,284) and value of p <0,001. Multivariate analysis
showed that cortisol serum had P value <0.001. There was a significant
association between high cortisol levels and poor sleep quality and cortisol levels
as an independent factor affecting poor sleep quality
Based on the results of this study found the conclusion that high cortisol
levels increase the risk of poor sleep quality seven folds in athletes in the training
centre statistically significant.
Keywords : poor sleep quality, cortisol, athletes
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM........................................................................................... i
PRASYARAT GELAR………………………………………………………
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………..
PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………………………….
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………………………………..
UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………….
ABSTRAK……………………………………………………………………
ABSTRACT…………………………………………………………………
DAFTAR ISI.....................................................................................................
ii
iii
iv
v
vi
ix
x
xi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xii
DAFTAR TABEL............................................................................................. xiii
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xv
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 6
2.1 Pelatihan Atlet………................................................................................. 6
2.1.1 Atlet………………………………………………………..
2.1.2 Kebutuhan Energi Atlet……………………………………
2.1.3 Program Pelatihan Atlet……………………………………
6
9
12
2.2 Kortisol………………………………………………................................ 13
2.2.1 Definisi dan fungsi kortisol………….……......................... 13
2.2.2 Peranan kortisol pada atlet………………............................ 17
2.2.3 Peranan kortisol pada tidur……………………................... 18
2.3 Fisiologi Tidur ............................................................................................ 20
2.3.1 Arsitektur tidur…………..………….……......................... 20
2.3.2 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur............. 22
2.3.3 Tidur dan HPA aksis………………………………………. 26
2.3.4 Kualitas tidur……………………………………………… 27
BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS
PENELITIAN..................................................................................................
32
3.1 Kerangka Berpikir....................................................................................... 32
3.2 Konsep Penelitian........................................................................................ 35
xii
3.3 Hipotesis...................................................................................................... 36
BAB IV. METODE PENELITIAN............................................................... 37
4.1 Rancangan Penelitian................................................................................. 37
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................... 38
4.3Ruang Lingkup Penelitian............................................................................ 38
4.4 Penentuan Sumber Data............................................................................. 38
4.4.1 Populasi target...................................................................... 38
4.4.2 Populasi terjangkau.............................................................. 38
4.4.3 Sampling frame.................................................................... 39
4.4.4 Kriteria subyek..................................................................... 39
4.4.4.1 Kriteria inklusi.............................................................. 39
4.4.4.2 Kriteria eksklusi............................................................ 40
4.4.5 Besar sampel......................................................................... 40
4.4.6 Teknik pengambilan sampel................................................. 41
4.5 Variabel Penelitian...................................................................................... 41
4.5.1 Klasifikasi variabel............................................................... 41
4.5.2 Definisi operasional.............................................................. 42
4.6 Bahan Penelitian.......................................................................................... 45
4.7 Instrumen Penelitian.................................................................................... 45
4.8 Prosedur Penelitian..................................................................................... 45
4.9 Analisis Data............................................................................................... 48
BAB V. HASIL PENELITIAN...................................................................... 50
5.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian…................................................... 50
5.2 Hubungan Kadar ortisol Tinggi dengan Kualitas Tidur Buruk.................. 54
5.3 Hubungan Faktor-faktor Lain dengan Kualitas Tidur Buruk…..................
5.4 Hubungan Faktor Risiko Independen terhadap Terjadinya Kualitas Tidur
Buruk
55
56
BAB VI. PEMBAHASAN…………............................................................... 62
6.1 Karakteristik Dasar Subyek…..................................................................... 62
6.2 Hubungan Kortisol Tinggi dengan Kualitas Tidur Buruk…....................... 63
6.3 Hubungan Faktor-Faktor Lain dengan Kualitas Tidur Buruk…................ 64
6.4 Kelebihan dan Kelemahan Penelitian……………………………………. 68
BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN............................................................
7.1 Simpulan……………................................................................................. 69
7.2 Saran………………………........................................................................ 69
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 70
Lampiran …………………………………………………………………… 75
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Rata-rata maximal oxygen uptake dalam liter per menit per
kilogram berat badan pada laki-laki dan perempuan pada
beberapa cabang olahraga..................................................
11
Gambar 2.2 Struktur kimia kortisol........................................................ 13
Gambar 2.3 Aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal dan Respon Stres….. 14
Gambar 2.4 Kadar kortisol saat tidur...................................................... 20
Gambar 2.5 Siklus Sirkardian Kortisol dalam 24 jam…………………. 16
Gambar 2.6 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur……… 24
Gambar 2.7 Sirkuit bangun-tidur; (A) ARAS yang terdiri dari jalur
dorsal dan ventral, (B) jalur inhibisi terhadap sirkuit
ARAS………………………………………………………
27
Gambar 2.8 Kadar kortisol saat
tidur……………………………………
28
Gambar 2.9 Interaksi komponen sentral dan perifer pada stress dengan
tidur………………………………………………………..
29
Gambar 3.1 Kerangka berpikir penelitian................................................ 35
Gambar 3.2 Konsep penelitian................................................................. 36
Gambar 4.1 Bagan rancangan penelitian................................................. 38
Gambar 4.2 Bagan alur penelitian........................................................... 48
Gambar 5.1 Hasil Prosedur ROC kadar Kortisol terhadap Kualitas
Tidur dengan nilai 75,4%....................................................
53
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kriteria tingkah laku dan fisiologi fase bangun dan
tidur............................................................................
23
Tabel 5.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian…………………… 50
Tabel 5.2 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian berdasarkan kasusk
dan kontrol...........................................................................
52
Tabel 5.3 Analisis Bivariat Kadar Kortisol dengan Kualitas Tidur…. 54
Tabel 5.4 Analisis Bivariat Faktor-faktor Lain dengan Kualitas
Tidur………………………………………………………..
55
Tabel 5.5 Analisis Multivariat Kadar Kortisol dan Cabang Olahraga,
dengan Kualitas Tidur…………………………………...…
57
xv
DAFTAR SINGKATAN
SINGKATAN
ACTH :AdrenocorticotropicHormone
ADP :Adenosin Triphosphate
ARAS :Ascending Reticular Activating System
AUC : Area Under the Curve
BF :Basal forebrain
CAR : Cortisol awakening responses
CRF : Corticotropin-releasing factor
EEG : Elektroensefalografi
GRs : Glucocorticoid receptors
HAM-A : Hamilton Rating Scale for Anxiety
HPA :Hypothalamus-Pituitary-Adrenal
IK :Indeks kepercayaan
IL 1 : Interleukin 1
IMT : Indeks Massa Tubuh
LC :Locus Coeruleus
NE : Norephinefrin
NREM : Non-Rapid Eye Movement
OR : Odd Ratio
PON : Pekan Olahraga Nasional
PORPROV : Pekan Olahraga Provinsi
PSQI : The Pittsburgh Sleep Quality Index
REM : Rapid Eye Movement
ROC : Receiver Operating Characteristic
SCN :Supra Chiasmatic Nucleus
Vo2 max : konsumsi oksigen maksimal
TNF-a : Tumor necrosis faktor-a
VLPO : Ventrolateral Preoptic Nucleus
WHO : World Health Organization
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian....................................................... 73
Lampiran 2 Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance)............. 74
Lampiran 3 Informed consent………………………………………….. 75
Lampiran 4 Lembar pengumpulan data…………………………… 80
Lampiran 5 Hasil analisis SPSS…………………………………… 89
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penampilan seorang atlet tergantung pada pemeliharaan keseimbangan
antara latihan dan istirahat yang optimal. Latihan merupakan salah satu bentuk
stresor fisik dan psikis. Pada prinsipnya latihan adalah memberi tekanan fisik
secara teratur, sistematis, berkesinambungan sedemikian rupa sehingga dapat
meningkatkan kemampuan fisik dalam melakukan aktifitas. Program latihan fisik
merupakan fokus utama persiapan atlet yang akan mengikuti pertandingan. Pada
setiap cabang olahraga akan disusun program latihan untuk mendapatkan kondisi
atlet yang paling maksimal yang didasarkan pada konsep periodisasi dan prinsip-
prinsip latihan serta metodologi penerapannya di lapangan.
Persiapan dan pemilihan seorang atlet dilakukan secara berjenjang, mulai
dari tingkat sekolah atau daerah hingga tingkat pusat. Persiapan yang dilakukan
untuk atlet yang akan mengikuti pertandingan adalah dengan membentuk program
latihan yang fokus secara bertahap. Pemfokusan latihan akan mengubah pola
latihan atlet yang sebelumnya. Prinsip berlebih (overload) merupakan salah satu
prinsip yang digunakan dalam pemusatan latihan yang penting untuk mencapai
puncak prestasi (Harsono, 2003). Intensitas, durasi dan beban latihan harus
mencukupi agar tidak menyebabkan kondisi patologis pada atlet (Giovani et al,
2006). Diperlukan latihan dengan prinsip berlebih dan prinsip-prinsip latihan lain
agar tidak menimbulkan efek buruk (Harsono, 2003).
2
Adanya ketidakseimbangan latihan, kompetisi dan pemulihan yang
berlangsung terus menerus, akan berujung pada kondisi overtraining (latihan yang
berlebihan). Berdasarkan salah satu penelitian (Giovani et al, 2006), 6% pelari
jarak jauh, 21% atlet renang Australia dan lebih dari 50%pemain sepak bola
mengalami overtraining. Ketidakseimbangan serta kondisi overtraining tersebut
akan menjadi stres fisik pada atlet dan salah satunya berujung pada munculnya
gangguan tidur. Berdasarkan studi pendahuluan melalui wawancara dengan atlet
dan pelatih yang menjalani pemusatan latihan, disampaikan adanya keluhan
kesulitan tidur pada atlet setelah mengikuti pemusatan latihan. Kesulitan tidur
dirasakan mengganggu program latihan karena menyebabkan tidak optimalnya
kondisi fisik atlet. Puncak stres yang terjadi pada atlet adalah pada saat
pertandingan. Data awal mengenai kualitas tidur terhadap atlet cabang olahraga
atletik yang menjalani persiapan pertandingan, didapatkan hasil bahwa 46,2%
memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan 53,8% memiliki kualitas tidur baik.
Adaptasi yang harus dilakukan oleh atlet terhadap perubahan program latihan
serta target yang harus dicapai menjadi hal yang mendasari kesulitan tidur pada
atlet dalam pemusatan latihan.
Berbagai jenis stres fisik maupun stres mental akan menyebabkan
ketidakseimbangan Hipotalamus-Pituitary-Adrenal cortex axis (aksis HPA)
sehingga terjadi peningkatan sekresi hormon adrenocorticotrophic hormone
(ACTH) (Guyton and Hall, 1996). Stres fisik juga meningkatkan respon imun,
terjadi peningkatan Interleukin 1 (IL-1) yang juga berpotensi menstimulasi aksis
HPA. Beberapa sitokin lain yang juga dapat mengaktivasi aksis HPA antara lain
3
IL-6, IL-10 dan tumor necrosis faktor-a (TNF-a), namun potensinya masih kurang
efektif dibandingkan IL-1 (Adrian et al, 2008).
Peningkatan hormon ACTH akan berdampak pada stimulasi korteks
adrenal untuk mensintesis dan mensekresi glukokortikoid ke sirkulasi darah
(Adriana et al, 2008). Kortisol merupakan glukokortikoid yang utama, dan 90%
aktivitas substansi ini (Rodrigo et al, 2012). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Ghaderi et al (2011), ditemukan bahwa kadar serum kortisol meningkat secara
signifikan pada atlet laki-laki dan perempuan yang mengikuti latihan yang lebih
berat. Penelitian yang dilakukan oleh Hamid et al (2012), menunjukkan terjadinya
peningkatan kadar kortisol yang signifikan pada subyek yang menjalani pelatihan
dengan intensitas berat selama 8 minggu. Penelitian yang dilakukan oleh Alghadir
(2015) pada sampel usia 15-25 tahun yang menjalani latihan aerobik selama 4
minggu dengan intensitas menengah, didapatkan peningkatan hormon kortisol
secara signifikan dengan nilai p < 0,001. Peningkatan kadar kortisol lebih sering
dijumpai pada atlet cabang olahraga yang bertanding secara individual (Giovani et
al, 2006).
Peningkatan kadar kortisol dalam darah pada seseorang, termasuk atlet
akan memberikan dampak buruk seperti penekanan sistem imun, insomnia,
perubahan suasana hati dan depresi (Kandhalu P, 2013). Kortisol juga akan
berpengaruh terhadap sistem saraf pusat yaitu merubah gelombang elektrik di
sistem limbik dan hipokampus sehingga mempengaruhi siklus tidur. Tidur akan
menjadi terputus-putus, berkurangnya gelombang lambat, memendeknya waktu
tidur serta insomnia (Hudson et al, 2010).
4
Penampilan seorang atlet dalam olahraga tergantung pada pemeliharaan
keseimbangan antara latihan dan istirahat yang optimal. Program latihan yang
meningkat dan stres yang dialami atlet akan menyebabkan ketidakseimbangan
hormonal. Produksi hormon ACTH akan meningkat sehingga meningkatkan kadar
hormon kortisol. Berbagai dampak dari peningkatan kadar kortisol dalam darah
dapat menurunkan kondisi dan penampilan atlet, terutama saat mereka dalam
pelatihan yang intensif sebagai persiapan menghadapi pertandingan. Salah satu
dampak yang dapat terlihat adalah pada kualitas tidur yang buruk (Kandhalu,
2013). Namun demikian, terdapat beberapa penelitian yang mengatakan bahwa
kadar kortisol tinggi tidak mempengaruhi kondisi seseorang yang mengalami
latihan berat, hal tersebut terkait dengan mekanisme adaptasi melalui penurunan
sensitivitas terhadap kadar kortisol tinggi sehingga dapat melindungi otot dan
jaringan lain yang sensitive terhadap sekresi kortisol setelah latihan (Duclos et al,
2003). Pada hiperkortisolisme kronis karena latihan berat dikatakan terjadi proses
adaptasi sebagai respon untuk perlindungan tubuh (Duclos et al, 2007).
Berdasarkan uaraian tersebut, maka diusulkan penelitian tentang kadar
kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet atletik dalam
pemusatan latihan.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah kadar kortisol tinggi dapat digunakan sebagai faktor risiko kualitas tidur
buruk pada atlet dalam pemusatan latihan.
5
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kortisol tinggi sebagai faktor risiko
kualitas tidur buruk pada atlet dalam pemusatan latihan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa peranan neuroendokrin
dalam hal ini kadar kortisol pada atlet yang mengikuti pemusatan latihan
meningkat dan kadar kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada
atlet sehingga dapat memperkuat pemahaman tentang neuroendokrin dalam
gangguan tidur pada atlet. Penelitian ini merupakan sarana proses pendidikan,
khususnya dalam hal melakukan penelitian dan meningkatkan pengetahuan di
bidang neurologi.
1.4.2 Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi
olahraga dalam pengaturan latihan pada atlet yang mengikuti pemusatan latihan
sehingga dapat menghindari kejadian gangguan tidur, dasar pertimbangan
pemeriksaan kortisol atlet yang telah menjalani pemusatan latihan agar nantinya
didapatkan prestasi atlet yang optimal.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelatihan Atlet
2.1.1 Atlet
Atlet menurut kamus besar bahasa Indonesia (2005) adalah olahragawan yang
terlatih kekuatan, ketangkasan dan kecepatannya untuk diikutsertakan dalam
pertandingan. Atlet berasal dari bahasa Yunani yaitu athlos yang berarti “kontes”.
Istilah lain atlet adalah atlilete yaitu orang yang terlatih untuk diadu kekuatannya
agar mencapai prestasi. dapat dikatakan atlet adalah orang yang melakukan latihan
agar mendapatkan kekuatan badan, daya tahan, kecepatan, kelincahan,
keseimbangan, kelenturan dan kekuatan dalam mempersiapkan diri untuk
pertandingan.
Perkembangan prestasi para atlet Indonesia dapat dilihat melalui event
olahraga yang pada umumnya diikuti baik di tingkat nasional maupun
internasional yaitu Pekan Olahraga Nasional (PON), Sea Games, Asian Games,
dan Olimpiade. Pencapaian prestasi seorang atlet tentunya didasari dari proses
pembinaan secara berjenjang. Tempat pembibitan dan pembinaan olahraga bagi
para atlet muda yang bertujuan untuk meningkatkan prestasi olahraga di Indonesia
adalah Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga. Pembinaan tersebut selanjutnya
dilakukan secara berjenjang meningkat hingga di tingkat nasional (Kemenpora,
2010).
7
Tujuan utama atlet berlatih adalah untuk mencapai puncak prestasi.
Pembinaan harus direncanakan dengan baik dan benar, didasarkan pada konsep
periodisasi dan prinsip-prinsip latihan, serta metodelogi penerapannya di lapangan
(Harsono, 2003). Atlet yang mencapai puncak adalah yang menghasilkan prestasi
paling baik karena mampu memaksimalkan efisiensi fisik dan mentalnya serta
kemampuan teknik dan taktiknya. Hal tersebut didasarkan pada kondisi biologis
dan kebugaran atlet yang optimal. Untuk mencapai kondisi tersebut, diperlukan
program latihan. Program latihan merupakan seperangkat kegiatan dalam berlatih
yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan oleh atlet baik
mengenai jumlah beban latihan maupun intensitas latihan (Tangkudung et al,
2010). Beberapa faktor yang diperlukan untuk dapat mencapai puncak prestasi
antara lain:
1. Volume latihan. Kemampuan atlet untuk berlatih dengan volume yang
tinggi merupakan syarat penting, karena korelasi positif antara volume
latihan dengan prestasi (Bompa, 1994).
2. Manipulasi volume dan intensitas latihan. Diperlukan manipulasi volume
dan intensitas dalam setiap latihan yang cermat. Volume latihan yang
tinggi (80%-90%) dengan intensitas medium paling cocok diberikan pada
tahap persiapan/permulaan program latihan. Namun, saat akan
pertandingan, intensitas dinaikkan dan volume diturunkan (Harsono,
2003).
3. Kemampuan atlet untuk dapat pulih kembali dalam waktu yang cepat
setelah latihan atau pertandingan menggambarkan adaptasi yang optimal
8
terhadap berbagai rangsangan yang diberikan dalam latihan dan
pertandingan. Dengan adanya daya tahan aerobik yang abik, maka atlet
akan pulih dengan cepat.
4. Kondisi neuro-muskular yang optimal akan memungkinakn atlet untuk
mampu melakukan manuver kemampuan dan taktik. Apabila kondisi
tersebut tidak sempurna, akan mengakibatkan menurunnya penampilan
sehingga mengurangi kemungkinan atlet mencapai puncak prestasi.
5. Kompensasi berlebih. Tahap ini merupakan tahap regenerasi biokimia atlet
sudah mencapai tingkat optimal, sehingga kinerja dan potensi fisik serta
mental atlet berada di puncak. Dapat dicapai apabila sebelumnya pelatih
sudah merencanakan program pengurangan beban, volume dan intensitas
latihan dengan tepat. Apabila latihan diberikan terus menerus samapi dekat
pertandingan, maka kondisi fisik dan mental akan menurun. Diperlukan
program pengurangan (unloading) untuk mencapai puncak prestasi.
6. Motivasi, arousal dan relaksasi psikologis merupakan faktor lain yang
dapat membantu dalam mencapai puncak prestasi.
7. Jumlah pemuncakan dalam tahap pertandingan juga merupakan faktor
penentu untuk pemucakan prestasi. Apabila dalam uji coba atlet
memperlihatkan kemajuan yang positif dalam prestasinya, maka hal ini
merupakan petanda baik bahwa pemuncakan prestasinya dapat dicapai saat
pertandingan.
9
Selain faktor-faktor yang dapat mencapai pemuncakan prestasi seperti tersebut
di atas, terdapat beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi pemuncakan
prestasi atlet, antara lain (Harsono, 2003):
1. Faktor yang berhubungan dengan organisasi pertandingan
Faktor ini mencakup cuaca dan musim, suhu udara, peraltan dan lapangan
pertandingan, urutan pertandingan penonton serta wasit.
2. Faktor yang berhubungan dengan keadaan atlet.
Gaya atau kebiasaan hidup pola makan, kualitas tidur, kebiasaan atlet yang
lainnya dapat mempengaruhi kinerja dan kemampuan pemulihan sehingga
mempegaruhi prestasi. Kecemasan saat bertanding, arousal (gugahan)
yang tidak optimal atau terlalu bergairah juga memberikan dampak
terhadap penampilan atlet.
3. Faktor yang berhubungan dengan latihan dan pelatih
Pencapaian pemuncakan prestasi diperlukan program latihan yang
didesain dengan baik, volume latihan yang tidak terlalu tinggi dan
intensitas yang tidak terlalu cepat ditingkatkan, pertandingan yang tidak
terlalu banyak, istirahat cukup (Pate et al, 1964). Selain itu, diperlukan
pemulihan yang cukup akan mencegah terjadinya cedera dan overtraining
(latihan berlebihan).
2.1.2 Kebutuhan Energi Atlet
Pelatihan atlet dengan memperhatikan prinsip peningkatan beban berlebih
maka latihan harus melibatkan kerja tubuh yang lebih berat dan ditingkatkan
hingga level lebih tinggi (Nining et al, 2011). Pembentukan kondisi fisik
10
seseorang dapat dilakukan dengan pembentukan daya tahan yang akan
meningkatakn volume oksigen maksimal (Vo2 max) (Juliantine et al, 2007). Vo2
max akan menyesuaikan dengna kebutuhan masing-masing cabang olahraga yang
dilatih. Vo2 max menggambarkan kapasitas maksimum tubuh untuk menyalurkan
dan menggunakan oksigen saat olahraga intensif yang menentukan tingkat
kebugaran seseorang.
Berdasarkan pengetahuan saat ini, ditemukan bahwa pengambilan oksigen
maksimal atlet top tidak lebih superior dibandingkan pelari jarak menengah
(Astrand et al, 1977). Kebutuhan energi atlet masing-masing cabang olahraga
berbeda tergantung beban latihannya. Lari jarak jauh yang ekstrim tidak menjadi
program latihan yang efektif dalam meningkatkan kekuatan aerobic maksimal.
Berikut adalah perbandingan penggunaan oksigen maksimal beberapa cabang
olahraga.
11
Gambar 2.1 Rata-rata maximal oxygen uptake dalam liter per menit per kilogram
berat badan pada laki-laki dan perempuan pada beberapa cabang olahraga
(Astrand et al, 1977)
Penelitian yang dilakukan oleh Singh et al (2014) mengenai konsumsi oksigen
maksimal (Vo2 max) untuk beberapa cabang olahraga ditemukan berbeda-beda.
Lari cross country menunjukkan Vo2 max yang paling tinggi dibandingkan cabang
olahraga lainnya. Pemain bola basket, hockey dan lari jarak pendek menunjukkan
Vo2 max yang kurang lebih sama dengan variasi yang minimal (62 hingga 65).
Pemain judo dan perenang menunjukkan Vo2 max yang lebih rendah (kurang dari
60).
12
Untuk mengetahui besar Vo2 max seorang atlet, dapat dilakukan bermacam-
macam tes, seperti di bawah ini dinyatakan dalam milliliter/ kg berat badan/
menit:
a. Tes lari 12 menit dari Cooper
b. Tes lari 2,4 km
c. Tes Balke yaitu tes lari selama 15 menit.
d. Tes multi tahap (Bleep test)
2.1.3 Program Pelatihan Atlet
Program latihan secara umum mencakup masa persiapan, masa pertandingan dan
masa peralihan (Bompa et al, 2015). Masa persiapan terdiri dari persiapan umum
dan khusus. Persiapan umum menekankan latihan yang ditujukan pada
pembentukan atau pembinaan fisik, seperti daya tahan, kelentukan, kecepatan,
kekuatan, kedisiplinan dan lainnya, berlangsung selama 1 hingga 2 bulan dengan
bobot latihan yang diberikan berkisar antara: latihan fisik (60-70%), latihan teknik
(30-35%) dan latihan mental (5%). Persiapan khusus menekankan pada
penguasaan teknik dasar yang kemudian ditingkatkan menjadi satu kesatuan gerak
yang sempurna. Berlangsung 2 hingga 3 bulan dengan bobot latihan teknik (50%),
latihan taktik (20%), latihan fisik (10%) dan test trials (10%).
Masa pertandingan mencakup pra kompetisi dan kompetisi. Masa pra
kompetisi menekankan latihan terutama pada masalah-masalah taktik baik
individu ataupun beregu. Berlangsung selama 2-3 bulan dengan bobot latihan
taktik (60%), latihan mental (15%) dan try out dan test trials (20%). Pada masa
kompetisi, atlet harus berada dalam kondisi siaga dan siap tempur. Saat ini harus
13
diciptakan suatu suasana atau kondisi yang baik hingga dapat memenangkan
pertandingan.
Masa peralihan merupakan transisi atau berakhirnya pertandingan. Saat ini
atlet harus tetap melakukan aktivitas fisik agar kondisi fisik tidak menurun. Masa
ini merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan evaluasi baik dari hasil
pertandingan maupun proses latihan.
2.2 Kortisol
2.2.1 Definisi dan fungsi kortisol
Kortisol atau nama lainnya Hydrocortisone, 11β; 17,
21‐trihydroxypregn‐4‐ene‐3, 20‐dione, merupakan hormon glukokortikoid yang
berperan penting bagi manusia, meningkatkan substrat metabolik, menjaga
integritas pembuluh darah dan melindungi dari respon yang berlebihan terhadap
sistem imunologi dari latihan yang yang merusak otot. Nilai kortisol serum
normal bervariasi, pada pagi hari 170-635 nmol/L (The International Sistem of
Units (SI)) atau 6-23 μg/dL (Traditional Units), sedangkan sore hari 82-413
nmol/L (SI Unit) atau 3-15 μg/dL (Traditional unit).
Gambar 2.2 Struktur kimia kortisol
14
Kortisol disekresikan oleh korteks adrenal pada kelenjar suprarenal, yang
berkaitan dengan aksis HPA. Kortisol menstimulasi pemecahan asam amino
dalam sel tubuh. Asam amino tersebut dilepaskan, dibawa ke hati, dimana
selanjutnya berperan pada sintesis glukosa melalui glukoneogenesis. Fungsi
kortisol lainnya adalah dalam penggunaan lemak untuk menghasilkan energi,
membantu tubuh dalam beradaptasi terhadap stress, mengatur kadar glukosa saat
puasa, menurunkan penyimpanan glukosa dan oksidasi glukosa otot untuk
menghasilkan energi. Kadar kortisol dalam darah berfluktuasi dari waktu ke
waktu. Kadar kortisol basal dapat terlihat pada awal dari aktivitas harian, yaitu
pada pagi hari (Adriana et al, 2008).
Gambar 2.3 Aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal dan Respon Stres (Gulliams et
al, 2010)
15
Produksi kortisol dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah stressor
fisik dan psikologis. Aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap keseimbangan
anabolisme dan katabolisme. Terjadi peningkatan kadar hormone katabolisme
dalam hal ini hormone kortisol pada seseorang yang mengalami stress fisik yang
lama. Hal tersebut akan menyebabkan perbandingan hormon anabolisme
(testosterone) dan hormone katabolisme (kortisol) menjadi turun.
Terdapat keseimbangan aksis HPA, dimana peningkatan kadar kortisol akan
memberikan umpan balik negatif terhadap aksis tersebut, seperti pada bagan di
bawah (Sandra et al, 2011). Aktivitas dari aksis HPA akan berujung pada
peningkatan kadar kortisol dalam sirkulasi (Adriana et al, 2008). Peningkatan
kortisol di sirkulasi akan memberikan efek negatif pada jaringan hipotalamus dan
pituitary melalui reseptor glukokortikoid dan reseptor mineralokortikoid.
Gambar 2.4 Umpan balik negatif aksis HPA (Sandra et al, 2011)
Mekanisme aktivitas HPA aksis ditunjukkan dengan adanya fluktuasi kadar
kortisol dalam tubuh. Sejumlah episode sekretor kortisol terjadi pada 24 jam hari
16
sehingga memungkinkan untuk menggambarkan empat fase temporal yang tidak
sama. Fase ini diwakili oleh periode aktivitas sekretori minimal, selama sekresi
kortisol diabaikan, dan terjadi 4 jam sebelum dan 2 jam setelah onset tidur,
episode sekresi nokturnal awal pada jam ketiga sampai kelima jam tidur, fase
sekresi utama dari serangkaian tiga sampai lima episode terjadi selama jam
keenam sampai kedelapan jam tidur dan berlanjut sampai jam pertama terjaga dan
aktivitas sekresi keterjagaan yang intermiten pada jam keempat hingga sembilan
ditemukan pada periode jam ke 2 hingga ke 12 fase terjaga (Sharon et al, 2010).
Berikut adalah fluktuasi kortisol dalam 24 jam.
Gambar 2.5 Siklus Sirkardian Kortisol dalam 24 jam (Sharon et al, 2010)
Berbagai kondisi dapat menyebabkan hiperativitas dari aksis HPA, seperti
penyakit kronis, stress fisik yang berlebihan dan stress psikis (Guyton and Hall,
1996). Kontraksi otot akan meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap
glukokortikoid. Stress fisik yang berlebihan akan meningkatkan kontraksi otot
skeletal sehingga menimbulkan serangkaian reaksi inflamasi dan produksi
17
berbagai sitokin (Duclos et al, 2003). Kondisi di jaringan seperti itu akan
menyebabkan hiperaktivitas aksis HPA. Mekanisme lain yang juga dapat
menyebabkan hiperaktivitas aksis HPA oleh stress fisik adalah melalui pengaruh
sitokin terhadap saraf perifer yang secara langsung dan tidak langsung
mengirimkan sinyal aferen ke otak yaitu hipotalamus (Adriana et al, 2007).
Hiperaktivitas aksis HPA yang terjadi terus menerus akan menyebabkan
kegagalan umpan balik negatif. Kadar kortisol di sirkulasi akan tetap tinggi.
Tingginya kortisol di sirkulasi akan merubah kemampuannya untuk berikatan
dengan reseptor glukokortikoid dan mineralokortikoid. Dampak selanjutnya
adalah aksis HPA akan menjadi tetap hiperaktif dan kadar kortisol di sirkulasi
tetap tinggi (Sandra et al, 2011).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Filaire et al (dalam Giovani et al, 2006),
menemukan terjadinya penurunan rasio perbandingan testosterone dan kortisol
pada atlet yang menjalani latihan dengan intensitas tinggi selama 16 minggu.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Gorostiaga et al (dalam Giovani et al,
2006) pada atlet sepak bola yang menjalani latihan berat selama 11 minggu
mengalami penurunan rasio testosterone dan kortisol. Penelitian pada atlet dayung
yang menjalani latihan berat, didapatkan peningkatan kadar kortisol dan
penurunan rasio testosterone: kortisol setelah atlet menjalani latihan berat selama
3 minggu (Maestu et al, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Hamid et al (2012), menunjukkan terjadinya
peningkatan kadar kortisol yang signifikan pada subyek yang menjalani pelatihan
dengan intensitas berat selama 8 minggu. Hal tersebut dijelaskan terkait dengan
18
peningkatan aktivitas HPA aksis, selain itu juga berkaitan dengan stimulasi sistem
saraf parasimpatis, peningkatan suhu tubuh, peningkatan pH darah, hipoksia dan
akumulasi laktat (Hamid et al, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Alghadir
(2015) pada sampel usia 15-25 tahun yang menjalani latihan aerobik selama 4
minggu dengan intensitas moderate, didapatkan peningkatan hormon kortisol
secara signifikan dengan nilai p < 0,001. Latihan yang dilakukan selama 24 jam
ditemukan tidak secara signifikan meningkatkan kadar kortisol dalam darah
(Gholamali et al, 2016).
Faktor psikologis merupakan faktor lain yang mempengaruhi kadar kortisol
seseorang. Kecemasan dengan derajat berat dapat meningkatkan kortisol secara
signifikan dibandingkan kecemasan dengan derajat ringan (Ramos et al, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Kurina et al (2004) juga menemukan bahwa
subyek dengan tingkat kecemasan tinggi dan depresi memiliki kadar kortisol yang
lebih tinggi secara signifikan. Penelitian lain menunjukkan bahwa subyek dengan
tingkat stress rendah tidak memiliki kadar kortisol yang meningkat (Vedhara et al,
2003). Penelitian oleh Assari et al (2015) menunjukkan bahwa kortisol tidak
berhubungan dengan kecemasan dan depresi pada remaja kulit hitam. Individu
dengan depresi derajat ringan dan sedang juga dikatakan tidak menunjukkan
hipersekresi kortisol (Cowen, 2002).
Penghitungan kadar kortisol dapat dilakukan dengan beberapa cara dan
analisa, baik dari pemeriksaan saliva, urin dan darah (Rodrigo et al, 2012).
Analisa kortisol standar medis dengan pemeriksaan serum darah merupakan
prosedur standar pemeriksaan hormon. Pengambilannya yang bersifat sederhana
19
dan rentang kadar kortisol yang telah diketahui secara umum. Penelitian yang
dilakukan oleh Neary et al (2002) menemukan bahwa pemeriksaan kortisol
melalui serum, saliva dan urine memberikan hasil yang sama. Namun demikian,
bahan pemeriksaan serum darah memiliki kelebihan dapat disimpan untuk
pemeriksaan yang lama.
Pemeriksaan kadar kortisol pada saliva untuk menilai tingkat stress individu.
Metode ini merupakan metode yang cepat dan tidak menyakitkan. Sediaan air liur
yang diambil dapat stabil dalam suhu ruangan selama satu minggu. Pengambilan
saliva memiliki beberapa keuntungan yaitu lebih akurat, harga lebih murah,
memberikan hasil yang lebih cepat, pengambilan yang dapat dilakukan pada
beberapa tempat tanpa memerlukan ruangan khusus. Meskipun demikian,
keterbatasan dari pemeriksaan kortisol dari saliva adalah adanya pengaruh dari
adanya kelainan pada rongga mulut, adanya darah pada saliva, Sjogren syndrome,
penggunaan terapi hormonal (Rodrigo et al, 2012). Pemeriksaan kadar kortisol
dalam urin jarang dilakukan karena tidak bisa dilakukan satu kali waktu dan
memerlukan pengumpulan urin selama 24 jam (Neary et al, 2002).
2.2.2 Peranan kortisol pada atlet
Kortisol merupakan hormon glukokortikoid yang penting bagi kehidupan
dalam menyediakan sumber metabolisme saat aktivitas latihan (Rodrigo et al,
2012). Kortisol disekresikan oleh korteks adrenal pada kelenjar suprarenal, yang
berfungsi saat dan sesudah latihan termasuk dalam proses glukoneogenesis.
Kortisol menstimulasi pemecahan protein menjadi asam amino di dalam sel.
20
Asam amino tersebut kemudian dibawa ke hati yang ikut serta dalam sintesis
glukosa melalui glukoneogenesis (Duclos, 2003).
Latihan pada atlet merupakan stimulus yang potensial bagi aksis hipotalamus-
pituitari-adrenal. Hormon glukokortikoid yang dihasilkan memberikan efek yang
menguntungkan bagi atlet, terjadi peningkatan availabilitas substrat yang
diperlukan untuk penyediaan energi bagi otot (Duclos, 2003). Saat latihan
diberhentikan secara mendadak, kondisi hormon diharapkan dapat mengatasi
proses metabolisme yang terjadi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Duclos
(1997) pada atlet lari marathon yang menjalani latihan intensif, didapatkan
terjadinya perpanjangan waktu hiperkortisolism endogen selama dan sesudah
latihan. Meskipun demikian, terjadi proses adaptasi yaitu penurunan sensitivitas
terhadap kortisol dalam rangka melindungi otot dan jaringan lainnya yang
sensitive terhadap kortisol.
2.3 Fisiologi Tidur
2.3.1 Arsitektur Tidur
Tidur memiliki beberapa definisi sesuai dengan pemikiran para ahli. Menurut
Guyton and Hall (1996), tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan tak sadar yang
masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik ataupun
rangsangan lain. Menurut Potter & Perry (2005), tidur merupakan proses
fisiologis yang bersiklus bergantian dengan periode yang lebih lama dari
keterjagaan. Definisi lain menyatakan tidur merupakan suatu keadaan yang
bersifat normal, dimana hilangnya kewaspadaan untuk menerima dan merespon
21
lingkungan luar yang terjadi berulang dan kembali lagi (reversible) (Silber et al,
2010). Berbagai hal terlibat dalam proses tidur, mencakup tingkah laku
(behavioral), fisiologi, dan neurokognitif serta fungsi imunologis (Curcio dkk,
2006; Lange dan Born, 2011). Pada saat tidur didapatkan pergeseran antara
keseimbangan sintesis protein dengan degradasi protein, yang lebih bergeser ke
arah sintesis. Sintesis protein otak, asam nukleat di seluruh tubuh, dan sintesis
Adenosin Triphosphate (ADP) mencapai tingkat yang lebih tinggi pada saat tidur
(Lumbantobing, 2008).
Mitosis sel aktif, termasuk ginjal, usus, dan kulit terjadi secara aktif saat tidur.
Hormon anabolik (hormon pertumbuhan, kortikosteroid, gonadotropin) lebih
banyak dijumpai saat tidur (Lumbantobing, 2008).
Berdasarkan tiga rekaman fisiologis yang dilakukan sewaktu tidur, yaitu
elektroensefalografi (EEG), elektrookulografi (EOG), dan elektromiografi (EMG),
tidur dibagi menjadi 2 tahapan nyata yang berlangsung sesuai dengan pola siklus,
yaitu :
1. Tidur Non- Rapid Eye Movement (REM), dibagi menjadi 4 stadium, yaitu :
- Tingkat 1 (tidur ringan)
- Tingkat 2 (tidur terkonsolidasi/consolidated sleep)
- Tingkat 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat)
2. Tidur REM
Siklus akan berulang sebanyak 4-6 kali tiap tidur secara normal pada orang
dewasa, dan setiap siklus berlangsung sekitar 90-110 menit (Lumbantobing,
2008; Chokroverty, 2010).
22
Pada manusia dewasa sepertiga bagian awal tidur didominasi oleh tidur
gelombang lambat/Slow Wave Sleep (SWS) sedangkan sepertiga bagian akhir
tidur didominasi oleh tidur REM. Tidur NREM berlangsung sekitar 75%-80 %
dari setiap waktu tidur pada orang dewasa dan dibagi menjadi 4 stadium, stadium
1-4 sesuai dengan kriteria manual skoring tradisional Rechtschaffen dan Kales (R-
K). Sedangkan berdasarkan rekaman EEG, stadium tidur dibagi menjadi 3, yaitu
N1, N2 dan N3. Waktu tidur REM berkisar antara 20%-25% dari total waktu
tidur keseluruhan. Petanda spesifik tidur REM adalah adanya gerakan mata cepat
ke segala arah dan ketiadaan aktivitas otot yang dapat direkam oleh EMG
(Chokroverty, 2010).
Tabel 2.1 berikut ini menunjukkan kriteria spesifik tingkah laku dan fisiologi
yang terjadi sepanjang fase terjaga, tidur NREM, dan REM.
Tabel 2.1 Kriteria tingah laku dan fisiologi fase bangun dan tidur (Chokroverty,
2010)
Kriteria Fase bangun Tidur NREM Tidur REM
Postur
Mobilitas
Respon terhadap
stimulasi
Tingkat
kewaspadaan
Kelopak mata
Gerakan mata
EEG
EMG (tonus otot)
EOG
Berdiri, duduk
Normal
Normal
Waspada
Terbuka
Waking eye
movement
Gelombang alfa,
desinkronisasi
Normal
Waking eye
movement
Berbaring
Postural shift,
immobile
Menurun
Tidak sadar tapi
reversibel
Tertutup
Slow rolling eye
movement
Sinkronisasi
Sedikit menurun
Slow rolling eye
movement
Berbaring
Immobile,
myoclonic jerks
Menurun, bahkan
tidak berespon
Tidak sadar tapi
reversibel
Tertutup
Rapid eye
movement
Thetha, saw tooth
wave
Desinkronisasi
Menurun bahkan
tidak ada,
Rapid eye
movement
23
2.3.2 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur
Temuan-temuan genetik terbaru mengindikasikan bahwa mekanisme
molekulerlah yang mengontrol irama sirkadian dan mengatur stadium tidur
terkonservasi secara filogenetik. Gangguan tidur dalam jangka lama
mempengaruhi pengaturan temperatur tubuh, metabolisme diet, dan fungsi
imunologi. Pada susunan saraf manusia, instruksi genetik diekspresikan secara
progresif pada level transkripsi genetik yang lebih tinggi, sintesis protein, dan
hubungan dinamis antar populasi neuronal subkortikal yang terlibat dalam
membentuk substrat anatomi tidur seperti yang dijelaskan oleh gambar dibawah
ini (Pace-Schott dan Hobson, 2002).
Gambar 2.6 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur (Pace-Schott
dan Hobson, 2002).
24
Jam sirkadian molekuler secara genetik diekspresikan oleh 20.000 sel-sel
SCN yang berlokasi secara bilateral di hipotalamus, tepat di atas chiasma
optikum. Sel-sel tersebut mengandung mekanisme “master clock” yang mengatur
ritme fisiologis tubuh terhadap siklus siang malam selama 24 jam (Pace-Schott
dan Hobson, 2002).
Setelah demikian lama ditemukannya sirkadian spesifik dan mekanisme
kontrol bangun-tidur, ternyata mekanisme irama biologis juga melibatkan struktur
lain selain selain SCN yang berlokasi dekat dengan nukleus tersebut. Struktur
tersebut antara lain nukleus paraventrikular, Subparaventrikular Zone (SPZ)
(daerah hipotalamus yang menerima sejumlah besar proyeksi dari SCN) dan
nukleus Dorsomedial Hypothalamic (DMH) yang menerima proyeksi dari SPZ
(Pace-Schott dan Hobson, 2002).
Substrat neuanatomi tidur dan fisiologi bangun tidur terdiri dari mekanisme
kompleks yaitu jalur aktivasi dan inhibisi yang bersifat umpan balik antara
berbagai pusat yang terletak rostral batang otak dan korteks seperti yang
dijelaskan pada gambar 2.6 di bawah. Mekanisme bangun tidur dimediasi oleh
Ascending Reticular Activating Sistem (ARAS) dan jalur inhibisinya yang
berproyeksi melalui nukleus-nukleus formasio retikularis batang otak dan rostral
batang otak ke talamus dan Basal Forebrain (BF). Terdapat dua jalur proyeksi
yang terlibat dalam mekanisme tersebut. Jalur pertama melalui rute dorsal, yaitu
neuron-neuron kolinergik Pedunculopontine/Lateral Dorsal (PPT/LTD) yang
mengeksitasi neuron-neuron retikular dan talamokortikal. Jalur kedua adalah
melalui rute ventral yang meliputi hipotalamus dan BF. Proyeksi jalur tersebut
25
bermula dari nukleus Locus Coeruleus (LC) yang bersifat noradrenergik, nukleus
rafe dorsalis yang bersifat serotonergik, nukleus di daerah Ventral Periaquductal
Greymatter (PAG) yang bersifat dopaminergik, Tuberomamillary Nucleus (TMN)
yang bersifat histaminergik, serta hipotalamus bagian lateral yang menghasilkan
oreksin dan melanin-concentrating hormone. Kelompok neuron-neuron tersebut
lebih aktif saat fase bangun dibandingkan tidur non-REM dan tidak menunjukkan
aktivitas selama tidur REM (gambar 2.6 A)
Ventrolateral Preoptic Nucleus (VLPO) diperkirakan berperanan dalam
sirkuit inhibisi ARAS. Mekanisme inhibisi oleh nukleus preoptik dan aktivasi
oleh ARAS disebut “flip-flop switch design”. Sistem ini secara indirek
distabilisasi oleh neuron-neuron oreksin dan neuron yang mengandung melanin-
concentrating hormone di daerah lateral hipotalamus, yang mencegah mekanisme
aktivasi/inhibisi secara spontan, seperti halnya pada kondisi narkolepsi. Neuron-
neuron VLPO yang aktif saat tidur tersebut menghasilkan neurotransmiter inhibisi
GABA dan galanin (gambar 2.6 B) (Saper dkk., 2005, Fuller dkk., 2006).
26
Gambar 2.7 Sirkuit bangun-tidur; (A) ARAS yang terdiri dari jalur dorsal dan
ventral, (B) jalur inhibisi terhadap sirkuit ARAS (Fuller dkk., 2006).
Lesi eksitotoksik pada SPZ menyebabkan gangguan irama sirkadian tidur,
aktivitas lokomotor dan temperatur tubuh. Proyeksi SPZ adalah pada VLPO yang
berperan dalam regulasi tidur NREM. Target proyeksi SPZ yang lain adalah DMH
yang mengandung banyak neuron oreksin, yang pada akhirnya berproyeksi
menuju VLPO. Lesi pada area DMH menyebabkan penurunan amplitudo
sirkadian dan temperatur tubuh pada binatang coba. Hal ini menimbulkan asumsi
bahwa terdapat hubungan area tersebut dengan SCN. Terdapat aliran impuls
transinaptik retrograd yang menunjukkan adanya proyeksi indirek dari SCN
melalui DMH. Proyeksi kemudian diteruskan ke nukleus VLPO hipotalamus
kemudian ke nukleus noradrenergik LC. Oreksin meningkat pada aktivitas LC
(Pace-Schott dan Hobson, 2002).
27
2.3.3 Tidur dan akis HPA
Tahap inisiasi tidur dimulai ketika aktivitas HPA Axis berkurang, dan
depriviasi tidur berhubungan dengan aktivasi HPA. Terjaga pada malam hari
berhubungan dengan naik turunnya kortisol, pelepasan NE dan CRH yang diikuti
oleh inhibisi sekresi kortisol. Kadar kortisol dalam darah berfluktuasi, kortisol
mulai meningkat dengan cepat pada bangun pagi hari dan terus meningkat hingga
60 menit. Fenomena ini disebut dengan awakening respone (Hudson et al, 2010).
Kadar kortisol mulai menurun pada sore hari dan makin menurun dengan kadar
sangat rendah pada tengah malam, hingga subuh. Pola sirkardian sekresi kortisol
berkembang pada 1 bulan pertama kehidupan manusia. Pola tersebut berkaitan
dengan sirkardian siklus bangun-tidur (Adriana et al, 2008).
Kadar kortisol dalam tubuh dapat dilihat dari darah, urin dan saliva. Kadar
dalam saliva mirip dengan kadar dalam darah. Berikut adalah gambaran kortisol
dalam saliva pada siklus tidur. Pada gambar tersebut menunjukkan siklus tidur
normal, kadar kortisol tertinggi pada pagi hari, lalu makin menurun secara
bertahap pada siang hari dan menetap sepanjang sore dan menurun kembali saat
malam hari (Guilliams et al, 2010).
28
Gambar 2.8 Kadar kortisol saat tidur
Sistem stress mencakup komponen sistem saraf pusat, yaitu neuron CRH di
hipotalamus paraventrikular nucleus dan nucleus noradrenergic di batang otak dan
saraf perifer (Chrousos et al, 2016). Stres akan mengaktivasi sistem Sympatho-
Adreno-Medullary (SAM) dan aksis HPA. Menyebabkan hiperaktivitas sistem
kardiovaskular, katelkolamin, kortisol ACTH dan CRH (Kuem S et al, 2012).
Disfungsi aktivitas HPA axis berperan dalam berbagai gangguan tidur.
Depresi dan gangguan terkait stress juga berhubungan dengan gangguan tidur,
peningkatan kortisol dan perubahan kadar NE serta disfungsi HPA axis.
Mekanisme pelepasan kortisol berkaitan dengan regulasi tidur (Follenius et al.,
1992). Namun, insomnia kronis tanpa depresi terjadi pada peningkatan kadar
kortisol, terutama pada sore hari dan tahap awal periode tidur malam. Peningkatan
kortisol ini dapat menjadi penyebab utama gangguan tidur (Hudson et al, 2010).
Peningkatan CRH, ACTH dan kortisol selama fase awal pada malam hari
berkaitan dengan kelelahan dan gangguan tidur. Peningkatan sekresi kortisol
menyebabkan penurunan fase non-REM tidur dan bertambahnya waktu terjaga.
29
Peningkatan kortisol dan sistem saraf otonom akan menyebabkan individu berada
dalam kondisi terjaga. Pada individu normal, keterjagaan (wakefulness) dan tidur
tahap 1 dipengaruhi oleh peningkatan kadar kortisol, sedangkan SWS atau tidur
dalam berkaitan dengan penurunan kadar kortisol. Terjadinya distruption atau
gangguan berupa terjaga yang berulang kali, berkaitan dengan peningkatan
kortisol plasma yang signifikan. Rata-rata kadar plasma kortisol yang tinggi
dalam 24 jam ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada individu dengan total
tidur yang lebih pendek. Pada kelompok lanjut usia juga didapatkan adanya
peningkatan kadar kortisol basal yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia
muda yang berkaitan dengan adanya gangguan tidur (Chrousos et al, 2016).
Menurut Vgontzas et al (2002), hiperkortisol selama 24 jam dapat menyebabkan
insomnia kronis.
Gambar 2.9 Interaksi komponen sentral dan perifer pada stress dengan tidur
(Chrousos et al, 2016)
30
Gambar di atas menjelaskan bentuk interaksi antara komponen sentral dan
perifer pada stress dengan tidur. Garis tebal menunjukkan arah stimulasi,
sedangkan garis putus-putus menunjukkan gangguan atau inhibisi. Peningkatan
glukokortikoid, yaitu kortisol akan memberikan efek inhibisi atau mnengganggu
tidur REM (Chrousos et al, 2016). Kortisol yang mempunyai efek individu
terjaga akan menyebabkan tidur yang terfragmentasi sehingga berdampak pada
terjadinya gangguan tidur.
2.3.4 Kualitas tidur
Kualitas tidur tidak hanya dinilai dari aspek kualitatif tetapi juga aspek
kuantitatif seperti misalnya lamanya waktu tidur, waktu yang diperlukan untuk
tertidur dan frekuensi terbangun dari tidur pada malam hari .
Kualitas tidur merupakan gambaran subyektif tentang kemampuan untuk
mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang dialami sepanjang
waktu tidur yang diukur dengan menggunakan kuesioner standard (Van Cauter
dkk, 2007; Agustin, 2012). Kualitas tidur diukur secara subyektif diukur dengan
PSQI dengan pemeriksaan 7 komponen yaitu latensi, durasi, kualitas, efisiensi
kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi
tubuh di siang hari (Buysse, 1989).
Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemeriksaan neurofisiologi
yaitu EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak. Perekaman listrik dari
permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas
listrik yang terus menerus timbul dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat
eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit
31
lain yang diderita. Tipe gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa,
betha, tetha dan delta (Guyton & Hall, 1997).
Gangguan tidur dapat terjadi pada siapa saja. Penelitian pada masyarakat
dewasa (usia di atas 18 tahun) yang tidak memiliki gangguan tidur, setelah diikuti
selama 1 tahun, ditemukan insiden insomnia sebesar 30,7% (LeBlanc et al, 2009).
Berbagai aspek mempengaruhi terjadinya gangguan tidur seperti aktivitas,
pekerjaan shift, cemas, kondisi kesehatan, nyeri, riwayat keluarga dan riwayat
insomnia sebelumnya (Kuem S et al, 2012; Oka et al, 2016; Purwa et al, 2017).
Atlet merupakan salah satu kelompok masyarakat yang sering mengalami
gangguan tidur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Juliff LE et al (2014)
yang meneliti atlet nasional dan internasional beberapa cabang olahraga mengenai
gangguan tidur yang dialami selama pelatihan. Didapatkan 64% atlet mengalami
tidur yang lebih buruk dari biasanya sebelum pertandingan selama 12 bulan
terakhir. Gangguan tidur yang dialami mencakup kesulitan memulai tidur (sleep
onset insomnia) sebanyak 82,1%, bangun terlalu cepat (26,8%), terbangun malam
hari (38%), mimpi buruk (5,6%) dan tidak segar saat bangun tidur (36,3%).
Berbagai hal mempengaruhi kualitas tidur seorang atlet. Jenis kelamin
berhubungan dengan tidur yang tidak nyaman karena mimpi buruk, dan
ditemukan lebih banyak pada atlet wanita (Juliff et al, 2014). Penelitian lain
menunjukkan hasil yang berbeda, Gupta et al (2016) menemukan bahwa tidak
terdaapt perbedaan kejadian gangguan tidur pada atlet laki-laki dan perempuan.
Atlet cabang olahraga individual dan beregu memiliki perbedaan persentase
gangguan tidur, namun tidak signifikan (Juliff et al, 2014). Selain itu, gangguan
32
tidur tersebut tidak berdampak pada penampilan atlet. Penelitian lain
menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu frekuensi gangguan tidur pada cabang
olahraga individual lebih besar secara signifikan dibandingkan olahraga beregu
(Gupta et al, 2016).
Indeks massa tubuh yang berlebihan berhubungan dengan gangguan tidur,
terutama berkurangnya latensi tidur (Hargens et al, 2013). Orang dengan obesitas
dikatakan sering kali mengalami insomnia. Faktor psikologis seperti depresi dan
kecemasan secara signifikan sebagai faktor risiko gangguan tidur, terutama
insomnia (LeBlanc et al, 2009). Adanya gangguan tidur sebelumnya, seperti
gangguan tidur primer juga menjadi salah satu faktor risiko gangguan tidur
selanjutnya. Episode insomnia sebelumnya (dalam 1 tahun terakhir)
meningkatkan kejadian gangguan tidur 5 kali lebih tinggi secara signifikan
(LeBlanc et al, 2009).
33
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Berdasarkan pada rumusan masalah dan tinjauan pustaka, dapat disusun
sebuah kerangka berpikir. Stres fisik dan psikis akan mempengaruhi HPA axis
melalui reaksi inflamasi. Hiperaktivitas pada HPA axis, akan merangsang
hipotalamus. Aktivitas hipotalamus yang meningkat akan memicu pelepasan
corticotropin-releasing faktor (CRF). Respon terhadap stress akan mengakibatkan
CRF dilepaskan ke pembuluh darah hypophysial portal yang menuju ke kelenjar
pituitary anterior. Ikatan CRF pada reseptor di pituitary menginduksi pelepasan
adrenocorticotropic hormone (ACTH) ke sirkulasi sistemik. ACTH akan
menstimulasi sintesis glukokortikoid kortisol di korteks adrenal (Smith et al,
2006). Peningkatan kadar kortisol dalam darah akan memberikan umpan balik
negatif terhadap aksis HPA, selanjutnya pada produksi CRF dan ACTH, yang
kemudian akan menurunkan kadar kortisol (Guilliams et al, 2010).
Stress fisik yang kronis selama lebih dari 4 minggu akan meningkatkan kadar
kortisol. Adanya stress yang berlebihan akan berdampak pada peningkatan kadar
kortisol yang terus menerus. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya
umpan balik negatif sehingga kadar kortisol tetap tinggi. Kadar kortisol tinggi
selama lebih dari 24 jam akan menyebabkan gangguan tidur. Peningkatan kadar
kortisol di sirkulasi akan menurunkan kemampuan erikatan dengan GRs di
jaringan HPA aksis. Kondisi tersebut akan menyebabkan kegagalan umpan balik
34
negative. Tidak terjadinya umpan balik negative akan menyebabkan kondisi
kortisol di sirkulasi tetap tinggi.
Tingginya kadar kortisol yang terus menerus secara kronis akan
menyebabkan cortisol awakening responses (CAR) sehingga meningkatkan
frekuensi terjaga, peningkatan frekuensi EEG pada fase tidur serta menurunkan
gelombang tidur pendek. Kondisi tersebut akan berdampak pada buruknya
kualitas tidur. Kualitas tidur yang buruk pada seorang atlet karena stress fisik
menyebabkan terganggunya kondisi atlet, meningkatnya rasa ngantuk saat siang
hari hingga menurunkan performa dan prestasi saat bertanding.
35
Gambar 3.1 Kerangka berpikir penelitian
Hiperaktivitas HPA Axis
Corticotropin-releasing faktor (CRF)
meningkat (Hipotalamus)
Adenocorticotropin hormone (ACTH) meningkat
(Hipofisis Anterior)
Korteks Adrenal
Kortisol meningkat
Umpan
balik
negatif
Kronis
Kualitas tidur buruk
Stres fisik
Akut
Ikatan GRs
menurun
Umpan
balik
negatif
×
Cortisol Awakening Responses (CAR)
Reaksi inflamasi
36
3.2 Konsep Penelitian Kerangka Konsep
Variabel yang akan diteliti
Variabel perancu (dikendalikan pada tahap rancangan penelitian)
Variabel lain yang akan ditampilkan pada karakteristik data
Gambar 3.2 Konsep penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka maka disusunlah konsep
penelitian sebagai berikut:
1. Kadar kortisol tinggi merupakan salah satu faktor risiko kualitas tidur
buruk pada atlet dalam pemusatan latihan.
2. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas tidur seperti gangguan tidur
sebelumnya, depresi berat, kecemasan sedang-berat, penggunaan obat-
obatan dan indeks massa tubuh dikendalikan dengan desain penelitian.
Gangguan tidur
sebelumnya
Depresi berat
Kecemasan berat
Penggunaan obat-
obatan
Atlet dalam pemusatan
latihan
Usia
Jenis kelamin
Cabang Olahraga
Kadar kortisol serum
tinggi
Kualitas tidur buruk
37
3. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas tidur pada atlet seperti usia,
jenis kelamin, cabang olahraga akan dikendalikan menggunakan statistik
pada tahap analisis hasil penelitian.
3.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir dan konsep penelitian di atas, ditetapkan hipotesis
penelitian sebagai berikut: kadar kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur
buruk pada atlet dalam pemusatan latihan.
38
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Studi ini meneliti tentang faktor risiko terjadinya kualitas tidur buruk pada subyek
yang mengikuti pemusatan latihan. Penelitian ini merupakan penelitian
observasional analitik menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk
mengetahui kadar kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada
atlet dalam pemusatan latihan. Untuk menggambarkan secara jelas rancangan
penelitiannya adalah sebagai berikut:
Gambar 4.1 Bagan rancangan penelitian
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Atlet menjalani
pemusatan latihan
selama 4 minggu
Kualitas tidur
buruk
Kualitas tidur
baik
Kortisol tinggi
Kortisol tidak tinggi
Kortisol tinggi
Kortisol tidak tinggi
39
Penelitian dilakukan di lokasi pemusatan latihan atlet Kota Madya Denpasar
mulai Juni hingga Nopember 2017. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
kadar kortisol dilakukan di lokasi pemusatan latihan atlet oleh petugas
laboratorium, sedangkan pemeriksaan kadar kortisol serum dilakukan di Instalasi
laboratorium RSUP Sanglah. Pemeriksaan kualitas tidur dilakukan di lokasi
pemusatan latihan atlet.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berada dalam ruang lingkup Neurologi khususnya Divisi
Gangguan Tidur dan Neuroendokrin.
4.4. Penentuan Sumber Data
4.4.1 Populasi target
Populasi target adalah semua atlet yang mengikuti pemusatan latihan.
4.4.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau adalah atlet Kota Madya Denpasar yang mengikuti pemusatan
latihan sebagai persiapan PORPROV tahun 2017.
4.4.3 Sampling frame
40
Sampel diambil dari atlet Kota Madya Denpasar cabang olahraga Atletik,
bulutangkis dan balap sepeda yang menjalani pemusatan latihan sebagai persiapan
PORPROV tahun 2017 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4.4 Kriteria subyek
4.4.4.1 Kriteria inklusi:
Kriteria inklusi kasus meliputi hal-hal berikut:
1. Atlet kota madya Denpasar yang mengikuti pemusatan latihan sebagai
persiapan PORPROV tahun 2017 dengan kualitas tidur buruk.
2. Atlet bersedia ikut dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai
maksud, tujuan dan prosedur penelitian selengkapnya dengan
menandatangani surat persetujuan (informed consent).
Kriteria inklusi kontrol meliputi hal-hal berikut:
1. Atlet kota madya Denpasar yang mengikuti pemusatan latihan sebagai
persiapan PORPROV tahun 2017 dengan kualitas tidur baik.
2. Atlet bersedia ikut dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai
maksud, tujuan dan prosedur penelitian selengkapnya dengan
menandatangani surat persetujuan (informed consent).
4.4.4.2 Kriteria eksklusi:
1. Atlet yang mengalami gangguan tidur sebelumnya.
41
2. Atlet dengan depresi berat
3. Atlet dengan kecemasan sedang-berat
4. Mengkonsumsi obat yang mempengaruhi kadar kortisol serum seperti obat
antidepresan, antipsikotik dan anticemas dalam 30 hari terakhir.
4.4.5 Besar sampel
Besar sampel yang dibutuhkan dihitung menurut rumus untuk jenis penelitian
analitik dengan skala pengukuran komparatif dengan variabel kategorikal tidak
berpasangan (Colton, 1974, cit. Dahlan, 2009):
𝑛1 = 𝑛2 = (𝒵α. 2PQ + 𝒵β. P1Q1 + P2Q2)²
(𝑃1 − 𝑃2)²
Keterangan :
n : besar sampel
Zα : deviat baku alfa (α= 5%, Zα = 1,96)
Zβ : deviat baku beta (β=15%, Zβ = 1,036)
P : proporsi total = ( P1+ P2 / 2)
Q : 1 – P
P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement
peneliti.
Q1 : 1 – P1
P2 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
Q2 : 1 – P2
P1 – P2: beda proporsi minimal yang dianggap bermakna.
Dari penelitian terdahulu (Jullif et al, 2014) diperoleh informasi:
42
P2 = 0,64 maka dapat diketahui P1= 0,94
𝑛1 = 𝑛2 = (1,96 . 2 . 0,79 . 0,21 + 1,28 . 0,94 . 0,06 + 0,64 . 0,36)²
(0,94 − 0,64)²
• Besar sampel (n) yang dibutuhkan adalah:
• Berdasarkan rumus di atas, didapatkan sampel minimal tiap kelompok
sebanyak 31,5 orang. Sehingga jumlah sampel keseluruhan menjadi 64
orang.
4.4.6 Teknik pengambilan sampel
Subjek penelitian diambil dari populasi sasaran dan populasi terjangkau.
Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode random sampling.
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Klasifikasi variabel
1. Variabel bebas: kadar kortisol serum tinggi
2. Variabel tergantung: kualitas tidur buruk
3. Variabel perancu: usia, jenis kelamin, cabang olahraga
4.5.2 Definisi operasional variabel
1 Kadar kortisol serum merupakan merupakan kadar kortisol yang diperiksa
dari serum darah. Kadar kortisol diperiksa setelah atlet menjalani pemusatan
latihan 4 minggu, diambil pada pagi hari (pkl 08.00-10.00). Kadar kortisol
43
serum diperiksa menggunakan kortisol kit dengan metode kompetitif ELISA
di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah. Nilai kortisol
dikelompokkan menjadi kadar kortisol tinggi dan tidak tinggi yang
dibedakan dengan hasil statistic prosedur Receiver Operating Characteristic
(ROC) dan menilai Area Under the Curve (AUC). Data disajikan dalam
skala kategorikal nominal.
a. Kadar kortisol tinggi bila ≥ 208,05 nmol/L
b. Kadar kortisol tidak tinggi bila < 208,05 nmol/L
2 Kualitas tidur merupakan gambaran subyektif tentang kemampuan untuk
mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang dialami
sepanjang waktu tidur yang diukur dengan menggunakan kuesioner standard
(Van Cauter dkk, 2007; Agustin, 2012). Kualitas tidur diukur secara
subyektif diukur dengan PSQI dengan pemeriksaan 7 komponen yaitu
latensi, durasi, kualitas, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur,
penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi tubuh di siang hari (Buysse,
1989) (seperti terlampir). Validitas instrumen PSQI pada penelitian yang
dilakukan oleh Cunha dkk. (2008) adalah 0,89, sedangkan reliabilitas 0,88
(Cueller dkk., 2008). Data disajikan dalam skala kategorikal nominal.
a. Kualitas tidur baik bila skor PSQI ≤ 5
b. Kualitas tidur buruk bila skor PSQI > 5
3 Atlet adalah orang yang melakukan latihan mempersiapkan diri untuk
pertandingan sebagai wakil dari Kota Madya Denpasar yang menjalani
pemusatan latihan sebagai persiapan PORPROV 2017 pada bulan Juni 2017.
44
4 Pemusatan latihan merupakan latihan tahap persiapan umum yang dilakukan
terhadap atlet Kota Madya Denpasar sebagai persiapan PORPROV 2017
pada bulan Juni 2017.
5 Jenis kelamin ditentukan berdasarkan tanda pengenal. Data dikelompokkan
menjadi laki-laki dan perempuan. Data berskala nominal dikotomi.
6 Usia pada penelitian ini dibatasi menjadi usia 15-25 tahun. Usia ditetapkan
menurut tanggal kelahiran yang tercatat di Kartu Tanda Penduduk atau
berdasarkan keterangan keluarga sesuai yang tercatat dalam Kartu Keluarga.
Data berskala nominal.
7 Kecemasan merupakan pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental
yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan
menghadapi masalah atau adanya rasa aman. Kecemasan diukur dengan
Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS). Terdiri dari 14 kelompok gejala,
di mana masing-masing kelompok gejala dirinci lagi dengan gejala-gejala
yang lebih spesifik (seperti terlampir). Masing-masing kelompok gejala
diberi penilaian angka (skor) antara 0 – 4, di mana:
0 = tidak ada gejala (keluhan)
1 = gejala ringan
2 = gejala sedang
3 = gejala berat
4 = gejala berat sekali
Kecemasan berat apabila penilaian HARS 25-30.
8 Cabang olahraga adalah cabang jenis gerak badan untuk menguatkan dan
menyehatkan tubuh, yaitu cabang olahraga atletik, balap sepeda dan
bulutangkis.
9 Gangguan tidur sebelumnya merupakan kondisi dimana sleep latency lebih
dari 30 menit, waktu terjaga setelah onset tidur lebih dari 30 menit, efisiensi
45
tidur kurang dari 85% atau total lama tidur (total sleep time) kurang dari 6-
6,5 jam, dan keluhan tersebut terjadi minimal 3 hari dalam seminggu selama
minimal 1 bulan (Perdossi, 2014).
10 Penderita dengan depresi berat. Depresi merupakan keadaan psikologis yang
ditandai oleh gejala utama berupa afek depresi, kehilangan minat dan
kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas (Maslim, 2003). Depresi berat ditentukan dengan
menggunakan skala Hamilton Rating Scale for Depression (seperti
terlampir), dikatakan depresi berat bila skor > 24. Data berskala nominal.
11 Mengkonsumsi obat yang mempengaruhi kadar kortisol serum seperti obat
antidepresan, antipsikotik dan anticemas dalam 30 hari terakhir.
4.6. Bahan Penelitian
Bahan sampel penelitian diambil dari data atlet kota madya Denpasar yang
mengikuti pemusatan latihan untuk PORPROV 2017. Bahan penelitian terdiri
dari:
1. Data atlet didapatkan dari hasil pengisian kuisioner.
2. Darah vena yang telah dicampur dengan reagen siap pakai.
3. Kualitas tidur diambil dari pengisian kuesioner PSQI.
4.7 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan terdiri dari alat pengumpulan data berupa kuesioner.
Kuesioner dan lembar pengumpulan data digunakan untuk mencatat data dasar
46
karakteristik sampel, hasil pemeriksaan laboratorium, dan hasil pemeriksaan
PSQI.
4.8. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap.
Tahap pertama: melakukan pengambilan sumber data sesuai dengan metode
pengambilan data yang digunakan, dilakukan pemeriksaan PSQI sebelum atlet
mengikuti pemusatan latihan untuk menyingkirkan gangguan tidur sebelumnya
dan dilakukan penyaringan sumber data menurut kriteria inklusi dan eksklusi yang
telah disepakati, serta bersedia menandatangani surat persetujuan inform consent
setelah diberikan penjelasan.
Tahap kedua: melakukan pencatatan identitas subjek, pemeriksaan keadaan vital,
anamnesis, pemeriksaan fisik secara umum, pemeriksaan klinis neurologis,
pemeriksaan laboratorium (kortisol serum) yang diambil setelah atlet mengikuti
pemusatan latihan selama 4 minggu, diambil pada pagi hari sebelum beraktivitas
dan penilaian gangguan tidur dengan kuesioner PSQI. Pengambilan sampel darah
pemeriksaan kortisol dilakukan pada 1 hari setelah penilaian gangguan tidur.
Tahap ketiga: melakukan penataan data dalam bentuk tabel dan selanjutnya
dilakukan analisis data dengan program SPSS , serta dibuat kesimpulan dalam
bentuk tabel dan penjelasannya.
47
Berikut akan digambarkan kerangka kerja dalam penelitian ini.
KRITERIA
INKLUSI
ATLET DALAM PEMUSATAN LATIHAN
selama 4 minggu
KRITERIA
EKSKLUSI
Pemeriksaan Kualitas
tidur (PSQI)
Atlet kota madya Denpasar tim PORPROV 2017
48
Gambar 4.2 Bagan alur penelitian
4.9 Analisis Data
Data hasil penelitian akan dianalisis secara statistik dengan bantuan program
Windows SPSS versi 20. Analisis data dilakukan dalam tahapan berikut:
1. Tahapan statistik deskriptif digunakan untuk melihat gambaran karakteristik
dasar subyek penelitian.
2. Tahapan statistik analitik dilakukan dua tahap, yaitu uji hipotesis untuk
analisis tahapan statistik analitik bivariat dengan tujuan untuk menilai kadar
kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet dalam
SAMPEL PENELITIAN
Pemeriksaan Kualitas
tidur (PSQI)
Kadar kortisol
serum tidak tinggi
Kadar kortisol
serum tinggi
KUALITAS TIDUR
BAIK
KUALITAS TIDUR
BURUK
Kadar kortisol
serum tidak tinggi
Kadar kortisol
serum tinggi
ANALISIS DATA
Pemeriksaan kortisol
49
pemusatan latihan dengan membuat tabulasi silang 2x2. Setelah tabulasi
silang dilakukan penghitungan ukuran asosiasi berupa Odd Ratio (OR),
dimana OR>1 sebagai faktor risiko, OR<1 sebagai faktor protektif, dan OR=1
menyatakan tidak ada hubungan.
3. Tahapan terakhir adalah analisis multivariat dengan tujuan untuk menilai
kadar kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet
dalam pemusatan latihan setelah memperhitungkan faktor perancu. Analisis
dengan menggunakan analisis regresi logistik untuk mendapatkan ukuran
asosiasi berupa adjusted OR. Tingkat kemaknaan dinyatakan dengan p < 0,05
dengan interval kepercayaan 95%.
50
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar kortisol tinggi
dapat digunakan sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet dalam
pemusatan latihan. Subjek penelitian adalah atlet Kota Madya Denpasar yang
mengikuti pemusatan latihan sebagai persiapan PORPROV tahun 2017. Populasi
penelitian ini berjumlah 500 orang dari semua cabang olahraga yang
dipertandingkan dalam PORPROV 2017. Adapun yang digunakan dalam
penelitian ini adalah atlet cabang olahraga atletik, bulutankis dan balap sepeda.
Jumlah atlet atletik sebanyak 50 orang, balap sepeda 30 orang dan bulutangkis 20
orang. Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi diambil 64 sampel secara acak
dengan 32 sampel kasus dan 32 sampel kontrol.
Penelitian menggunakan rancangan studi observasional analitik dengan
metode kasus kontrol. Analisa hasil penelitian ini menggunakan analisis bivariat
dan analisis multivariat.
5.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan sebagai sampel adalah atlet Kota Madya
Denpasar yang mengikuti pemusatan latihan sebagai persiapan PORPROV tahun
2017 cabang olahraga atletik, bulutangkis dan balap sepeda yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi untuk dilakukan pemeriksaan sebanyak 64 subyek
penelitian. Berikut karakteristik dasar subyek penelitian.
51
Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Variabel N %
Cabang Olahraga
Atletik 30 46,9
Balap Sepeda 20 31,2
Bulutangkis 14 21,9
Jenis Kelamin
Lelaki 37 57,8
Perempuan 27 42,2
Umur (Tahun)
Median (min-maks)
16,50 (13-31)
Berdasarkan tabel 5.1 di atas, maka dapat dikethaui bahwa subyek
penelitian merupakan atlet Kotamadya Denpasar cabang olahraga atletik, balap
sepeda dan bulutangkis dengan median umur adalah 16,5 tahun dengan umur
minimal 13 tahun dan maksimal 31 tahun. Persentase jenis kelamin adalah lelaki
57,8% dan perempuan 42,2%.
Data penelitian selanjutnya dibedakan berdasarkan kelompok kasus dan
kontrol. Kelompok kasus adalah sampel dengan kualitas tidur buruk dengan nilai
PSQI > 5 sedangkan kelompok kontrol adalah sampel dengan kualitas tidur baik
dengan nilai PSQI ≤ 5.
Tabel 5.2 Karakteristik Subyek Penelitian berdasarkan Kasus dan Kontrol
Variabel Kasus (N = 32)
(%)
Kontrol N (N = 32)
(%)
Cabang Olahraga
52
Atletik 18 (56,2) 12 (37,5)
Balap Sepeda 9 (28,1) 11 (34,4)
Bulutangkis 5 (15,6) 97 (28,1)
Jenis Kelamin
Lelaki 17 (53,1) 20 (62,5)
Perempuan 15 (46,9) 12 (37,5)
Umur (Tahun) Median
(min-maks)
17,00 (13-31) 16,00 (14-21)
Total 32 (100) 32 (100)
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, maka dapat dilihat karakteristik untuk
masing-masing kelompok kasus dan kontrol. Adapun persentase masing-masing
cabang olahraga untuk kasus adalah atletik 56,2%, balap sepeda 28,1% dan
bulutangkis 15,6%. Persentase masing-masing cabang olahraga untuk kontrol
adalah atletik 37,5%, balap sepeda 34,4% dan bulutangkis 28,1%. Persentase jenis
kelamin pada kelompok kasus, lelaki 53,1% dan perempuan 46,9%. Pada
kelompok kontrol lelaki 62,5% dan perempuan 37,5%. Median umur kelompok
kasus adalah 17 tahun, sedangkan kelompok kontrol adalah 16 tahun.
Pada penelitian ini didapatkan hasil pemeriksaan kortisol pada semua
sampel termasuk dalam kriteria normal, yaitu rentangan 97,8 nmol/L hingga 448,3
nmol/L (nilai normal 166 - 507 nmol/L). Selanjutnya dilakukan metode statistik
prosedur Receiver Operating Characteristic (ROC) dan menilai Area Under the
Curve (AUC) untuk mengetahui kemampuan pemeriksaan kortisol dalam
memprediksi kualitas tidur buruk. Kurva ROC (gambar 5.1) menunjukkan bahwa
kadar kortisol memiliki diagnostic yang baik karena kurva jauh dari garis 50%
dan mendekati 100%. Nilai AUC yang diperoleh dari metode ROC adalah sebesar
53
75,4% (95% IK; 62,8% - 88,0%, p < 0,001). Secara statistik, nilai AUC sebesar
75,4% menunjukkan kekuatan nilai diagnostic yang cukup. Hasil dari koordinat
ROC menunjukkan bahwa titik potong (cut off) kortisol ≥ 208,05 yang dipakai
pada penelitian ini memiliki nilai sensitivitas 75% dan spesifisitas 71,9%.
Gambar 5.1 Hasil prosedur ROC kadar kortisol terhadap kualitas tidur dengan
nilai AUC 75,4%
Data penelitian mengenai kadar kortisol selanjutnya dikelompokkan
menjadi dua, yaitu kadar kortisol plasma tinggi ≥ 208,05 nmol/L dan kadar
kortisol plasma tidak tinggi < 208,05 nmol/L.
5.2 Hubungan kadar kortisol tinggi dengan kualitas tidur buruk pada atlet
Hubungan antara kadar kortisol tinggi sebagai variabel bebas dengan kualitas
tidur sebagai variabel tergantung pada atlet atlet Kota Madya Denpasar dinilai
dengan menggunakan analisis bivariat. Uji hipotesis yag digunakan adalah Chi-
square. Didapatkan nilai odds ratio (OR) dengan interval kepercayaan (IK) 95%.
54
Kemaknaan penelitian ini ditetapkan pada nilai probabilitas p<0,05. Hasil analisis
ini disajikan pada tabel 5.3
Tabel 5.3 Analisis Bivariat Kadar Kortisol dengan Kualitas Tidur
Kasus
n (%)
Kontrol
n (%)
OR
(IK 95%) P
Kadar
kortisol
Tinggi 24 (72,7) 9 (27,3) 7,667
(2,524-23,284)
< 0,001
Tidak tinggi 8 (25,8) 23 (74,2)
Dari tabel 5.3 diketahui total atlet dengan kadar kortisol tinggi adalah 33 subyek
dengan 24 subyek (75%) pada kelompok kasus dan 9 subyek (28,1%) pada
kelompok kontrol. Hubungan antara kadar kortisol dan kualitas tidur ini dianalisis
dengan menggunakan Chi-square dan didapatkan OR = 7,667 dengan IK 95% =
2,524-23,284) dan nilai p<0,001 yang berarti secara uji statistik kadar kortisol
tinggi meningkatkan 7,667 kali risiko kualitas tidur buruk yang bermakna secara
statistik.
5.3 Hubungan Faktor-faktor lain dengan kualitas tidur buruk
Faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin dan cabang olahraga juga berperan
menyebabkan terjadinya kualitas tidur buruk pada atlet. Hubungan faktor-faktor
lain sebagai penyebab kualitas tidur buruk ini dianalisis dengan menggunakan uji
Chi-square. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.4
Tabel 5.4 Analisis Bivariat Faktor-faktor Lain dengan Kualitas Tidur
Kasus Kontrol OR
(IK 95%) P
55
Jenis
Kelamin
Lelaki 17 (53,1%) 20 (62,5%) 0,680
(0,251-1,843)
0,448
Perempuan 15 (46,9%) 12 (37,5%)
Usia < 16,5 tahun 15 (46,9%) 17 (53,1%) 0,779
(0,292-2,078)
0,617
≥ 16,5 tahun 17 (53,1%) 15 (46,9%)
Cabang
Olahraga
Atletik 18 (56,2%) 12 (37,5%) 2,143
(0,788-5,825)
0,133
Non Atletik 14 (43,8%) 20 (62,5%)
Hasil dari penelitian ini didapatkan subyek dengan jenis kelamin lelaki sebanyak
17 (53,1%) pada kelompok kasus dan 20 subyek (62,5%) pada kelompok kontrol.
Jenis kelamin perempuan sebanyak 15 subyek (46,9%) pada kelompok kasus dan
12 subyek (37,5%) pada kelompok kontrol. Hubungan antara jenis kelamin dan
kualitas tidur buruk ini dianalisis dengan mengggunakan uji Chi-square dan
didapatkan OR = 0,680 dengan IK 95% = 0,251-1,843 dan nilai p = 0,448 yang
berarti secara uji statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin
dengan kualitas tidur buruk. Pada variabel usia didapatkan 15 subyek (46,9%)
yang berusia kurang dari 16,5 tahun pada kelompok kasus dan 17 subyek (53,1%)
pada kelompok kontrol. Hubungan antara usia dan kualitas tidur ini dianalisis
dengan mengggunakan uji Chi-square dan didapatkan OR = 0,779 dengan IK
95% = 0,292-2,078 dan nilai p = 0,617 yang berarti secara uji statistik tidak
terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kualitas tidur buruk.
Pada variabel cabang olahraga dibedakan menjadi atletik dan non atletik
(balap sepeda dan bulutangkis). Didapatkan 18 subyek (56,2%) dari cabang
olahraga atletik dan 14 subyek (43,8%) dari cabang olahraga non atletik (balap
sepeda dan bulutangkis. Hubungan antara cabang olahraga dan kualitas tidur
56
buruk ini dianalisis dengan menggunakan uji Chi-square dan didapatkan OR =
2,143 dengan IK 95% = 0,788-5,825 dan nilai p = 0,133 yang berarti secara uji
statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kualitas
tidur buruk.
5.4 Hubungan Faktor Risiko Independen terhadap Terjadinya Kualitas
Tidur Buruk
Hasil analisi bivariat, didapatkan faktor risiko terjadinya kualitas tidur buruk
adalah kadar kortisol tinggi dan cabang olahraga. Selanjutnya dilakukan analisis
multivariat untuk melihat apakah kadar kortisol tinggi dan cabang olahraga
merupakan faktor risiko independen terhadap terjadinya kualitas tidur buruk.
Analisis multivariat ini menggunakan uji regresi logistic. Hasil analisis
ditampilkan pada tabel 5.5 berikut.
Tabel 5.5 Analisis Multivariat Kadar kortisol dan Cabang Olahraga dengan
Kualitas Tidur Buruk
Koefisien OR P
(IK 95%)
Kadar Kortisol 2,103 8,188
(2,589-25,894)
< 0,001
Cabang Olahraga 0,905 2,427
(0,781-7,828)
0,124
Konstanta -1,494
Dari analisis multivariate didapatkan variabel kadar kortisol memiliki nilai P <
0,001, sedangkan variabel cabang olahraga dengan nilai P > 0,005. Dengan
57
demikian, kadar kortisol tinggi sebagai faktor risiko independen terhadap kualitas
tidur buruk yang signifikan secara statistik.
58
BAB VI
PEMBAHASAN
Subyek penelitian ini adalah atlet Kota Madya Denpasar yang mengikuti
pemusatan latihan sebagai persiapan PORPROV tahun 2017 yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia menjadi sampel penelitian. Subyek
dikelompokkan menjadi 2 yaitu kasus yang merupakan atlet dengan kualitas tidur
buruk dan kelompok control yaitu atlet dengan kualitas tidur baik. Masing-masing
kelompok sebanyak 32 orang sehingga total subyek penelitian didapatkan 64
orang.
6.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian
Pada variabel cabang olahraga pada penelitian mencakup cabang olahraga
atletik, balap sepeda dan bulutangkis. Pada ketiga cabang olahraga ini, terdapat
perbedaan persentase kejadian kualitas tidur buruk. Atlet yang mengalami kualitas
tidur buruk dari cabang olahraga atletik sebanyak 56,2%, balap sepeda sebanyak
28,1% dan bulutangkis sebanyak 15,6%. Ketiga cabang olahraga ini merupakan
cabang olahraga yang dipertandingkan di PORPROV Bali 2017 dan termasuk
dalam olahraga yang memiliki tingkat beban latihan yang seimbang. Kebutuhan
energi ketiga cabang olahraga ini hampir sama (Astrand et al, 1977).
Pada variabel jenis kelamin didapatkan jenis kelamin lelaki (53,1%) lebih
banyak mengalami kualitas tidur buruk dibandingkan jenis kelamin perempuan
(46,9%). Hal ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh
59
Jonathan et all (2012) yang menemukan bahwa efikasi tidur pada atlet lelaki lebih
buruk dibandingkan perempuan. Pada penelitian ini didapatkan perbandingan
jenis kelamin lelaki dan peremouan yang mengalami kualitas tidur buruk adalah
1,13 : 1, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gabriele et al (2017)
yang mendapatkan bahwa perbandingan atlet remaja lelaki dan perempuan yang
memiliki kualitas tidur buruk adalah 1,02 : 1.
Pada variabel usia, didapatkan nilai median adalah 16,5 tahun. Dengan
atlet berusia ≥ 16,5 tahun (53,1%) lebih banyak yang mengalami kualitas tidur
buruk dibandingkan usia < 16,5 tahun (46,9%). Bila dilihat perbandingan usia
atlet ≥ 16,5 tahun dibandingkan < 16,5 tahun adalah 1,13 : 1. Hal ini tidak jauh
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gabriele et al (2017) yang
mendapatkan bahwa perbandingan atlet yang memiliki kualitas tidur buruk usia
15 hingga 19 tahun dibandingkan dengan usia 10 hingga 14 tahun adalah 1,26 : 1.
6.2 Hubungan Kortisol Tinggi dengan Kualitas Tidur Buruk
Hasil pemeriksaan kadar kortisol didaptkan dalam kriteria normal, yaitu
rentangan 97,8 nmol/L hingga 448,3 nmol/L (nilai normal 166 - 507 nmol/L).
Penentuan kadar kortisol atlet selanjutnya dibedakan menjadi tinggi dan tidak
tinggi dengan menggunakan metode statistic prosedur Receiver Operating
Characteristic (ROC) dan menilai Area Under the Curve (AUC).
Metode analisis ROC kadar kortisol pada kualitas tidur buruk
menunjukkan bahwa kadar kortisol memiliki diagnostic yang cukup dengan nilai
AUC sebesar 75,4% (95% IK; 62,8%-88,0%, p < 0,001). Hasil dari koordinat
60
ROC menunjukkan bahwa titik potong (cut off) kortisol ≥ 208,05 yang dipakai
pada penelitian ini memiliki nilai sensitivitas 75% dan spesifisitas 71,9%. Kadar
kortisol ≥ 208,05 nmol/L dikelompokkan menjadi kelompok tinggi dan kadar
kortisol < 208,05 nmol/L dikelompokkan menjadi kelompok tidak tinggi.
Pada penelitian ini didapatkan 24 subyek (75%) dengan kadar kortisol
tinggi pada kelompok kasus dan 9 subyek (28,1%) pada kelompok kontrol. Rerata
kadar kortisol pada kelompok kasus (270,859 ± 93,434 nmol/L) lebih tinggi dari
pada kelompok kontrol (195,838 ± 60,999 nmol/L). Setelah dilakukan analisis
bivariat dengan Chi-square dan didapatkan OR = 7,667 dengan IK 95% = 2,524-
23,284) dan nilai p<0,001 yang berarti kadar kortisol tinggi meningkatkan 7,667
kali risiko kualitas tidur buruk yang bermakna secara statistik. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sylvie et al (2016) yang
mendapatkan hubungan kadar kortisol yang lebih tinggi dengan masalah tidur (p <
0,001). Penelitian lain yang dilakukan oleh Jin Ling et al (2017) juga
mendapatkan bahwa kadar kortisol berhubungan positif dengan gangguan tidur
yang dinilai dengan PSQI (r = 0.60, P < 0,001). Kadar kortisol tinggi akan
berpengaruh terhadap sistem saraf pusat yaitu merubah gelombang elektrik di
sistem limbik dan hipokampus sehingga mempengaruhi siklus tidur,
menyebabkan cortisol awakening responses (CAR). Peningkatkan frekuensi
terjaga, peningkatan frekuensi EEG pada fase tidur serta menurunkan gelombang
tidur pendek, tidur akan menjadi terputus-putus, berkurangnya gelombang lambat,
memendeknya waktu tidur serta insomnia (Hudson et al, 2010).
61
6.3 Hubungan Faktor-Faktor Lain Dengan Kualitas Tidur Buruk
Faktor-faktor lain yang berperan pada kualitas tidur buruk pada atlet antara
lain cabang olahraga, jenis kelamin dan usia.
Pada variabel jenis kelamin didapatkan subyek dengan jenis kelamin lelaki
sebanyak 17 (53,1%) pada kelompok kasus dan 20 subyek (62,5%) pada
kelompok control. Jenis kelamin perempuan sebanyak 15 subyek (46,9%) pada
kelompok kasus dan 12 subyek (37,5%) pada kelompok control. Analisa dengan
uji Chi-square didapatkan OR = 0,680 dengan IK 95% = 0,251-1,843 dan nilai p
= 0,448 yang berarti secara uji statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan kualitas tidur buruk. Hasil penelitian ini serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Gabriele (2016) yang mendapatkan bahwa
perbedaan jenis kelaim pada kelompok atlet remaja dengan kualitas tidur buruk
tidak berbeda signifikan dengan nilai p = 0,999. Berbeda dengan hasil penelitian
yang didapatkan oleh Juan t al (2017) yang menemukan kualitas tidur berbeda
bermakna pada jenis kelamin lelaki dan perempuan. Perbedaan hasil penelitian ini
disebabkan karena penelitian yang dilakukan oleh Juan et al (2017) melibatkan
semua kelompok umur, termasuk perempuan yang sudah masuk masa menopause.
Sedangkan pada penelitian ini melibatkan atlet dengan rentangan usia 13 hingga
31 tahun.
Pada variabel usia didapatkan 15 subyek (46,9%) yang berusia kurang dari
16,5 tahun pada kelompok kasus dan 17 subyek (53,1%) pada kelompok control.
Hasil analisa dengan uji Chi-square didapatkan OR = 0,779 dengan IK 95% =
0,292-2,078 dan nilai p = 0,617 yang berarti secara uji statistik tidak terdapat
62
hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kualitas tidur buruk. Hasil uji
statistic ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Gabriele et al (2017) meskipun perbandingan usia yang didapatkan sejalan,
namun hasil analsiis statistic kualitas tidur buruk usia 15 hingga 19 tahun
dibandingkan dengan usia 10 hingga 14 tahun adalah berbeda signifikan (p <
0,001). Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan karena sampel yang digunakan
pada penelitian sebelumnya adalah kelompok usia dengan aktivitas yang berbeda.
Semakin tinggi usia, aktivitas yang dilakukan semakin banyak. Sedangkan pada
penelitian ini, aktivitas utama yang dilakukan adalah sama yaitu sebagai atlet.
Pada variabel cabang olahraga setelah dibedakan menjadi atletik dan non
atletik, didapatkan 18 subyek (56,2%) dari cabang olahraga atletik yang
mengalami kualitas tidur buruk dan 14 subyek (43,8%) dari cabang olahraga non
atletik (balap sepeda dan bulutangkis) yang mengalami kualitas tidur buruk. Hasil
analisa dengan uji Chi-square didapatkan OR = 2,143 dengan IK 95% = 0,788 –
5,825 dan nilai p = 0,133 yang berarti secara uji statistik tidak terdapat hubungan
bermakna antara cabang olahraga dengan kualitas tidur buruk. Hasil uji statistic
ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Gupta
et al (2016) mendapatkan bahwa frekuensi gangguan tidur masing-masing cabang
olahraga berbeda signifikan. Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan
karena pada penelitian ini hanya menggunakan atlet untuk cabang olahraga
individual saja yaitu atletik, balap sepeda dan bulutangkis perorangan. Sedangkan
pada penelitian sebelumnya menggunakan baik cabang olahraga individual
maupun beregu.
63
6.4 Hubungan Faktor Risiko Independen terhadap Terjadinya Kualitas
Tidur Buruk
Pada penelitian ini dilakukan analisis multivariat regresi logistik untuk
menilai faktor risiko independen terhadap kualitas tidur buruk. Dari analisis
multivariat didapatkan faktor independen yang berpengaruh terhadap kualitas
tidur buruk adalah kadar kortisol. (OR=8,188; IK 95%=2,589-25,894; p<0,001).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Stjin et al
(2017), yang mendapatkan bahwa efisiensi tidur yang buruk berhubungan dengan
kadar kortisol yang tinggi. Kualitas tidur yang tidak efisien merupakan akibat dari
terganggunya aksis HPA. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sarah (2014),
mendapatkan bahwa kualitas tidur yang buruk berhubungan secara signifikan
dengan kadar kortisol yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Jin Ling et al
(2017) juga mendapatkan bahwa kadar kortisol berhubungan positif dengan
gangguan tidur yang dinilai dengan PSQI (r = 0.60, P < 0,001). Kadar kortisol
tinggi akan berpengaruh terhadap sistem saraf pusat yaitu merubah gelombang
elektrik di sistem limbik dan hipokampus sehingga mempengaruhi siklus tidur.
Tidur akan menjadi terputus-putus, berkurangnya gelombang lambat,
memendeknya waktu tidur serta insomnia (Hudson et al, 2010). Durasi tidur yang
pendek disebabkan oleh tingginya kadar kortisol yang menyebabkan munculnya
cortisol awakening response (CAR) sehingga tidur menjadi terfagmentasi (Sarah,
2014).
64
6.5 Kekuatan dan Kelemahan Penelitian
Kelebihan penelitian ini adalah belum banyaknya peneliti yang meneliti
mengenai kadar kortisol sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet
terutama di Indonesia. Pada penelitian ini, subyek penelitian yang digunakan
homogen dimana kondisi dpsikologis yaitu kecemasan dan depresi berat
dieksklusi pada pemilihan sampel. Selain itu, subyek sudah diberi penjelasan
tentang tatacara pengisian kuesioner sehingga pengisian kuesioner lebih akurat
dan memakai instrumen yang sudah dilakukan uji reabilitas dan validitas di
Indonesia dengan hasil yang baik.
Kelemahan penelitian ini adalah tidak dapat ditentukan durasi peningkatan
kadar kortisol yang dapat menyebabkan kualitas tidur buruk. Selain itu, penelitian
ini juga tidak dapat menentukan peningkatan kadar kortisol minimal yang
menyebabkan kualitas tidur buruk. Pada penelitian ini memakai subyek pada
populasi tertentu dan dilakukan pada tempat tertentu, sehingga hasil penelitian ini
belum bisa menggambarkan kondisi yang sama pada populasi dan tempat yang
berbeda.
65
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan simpulan bahwa kadar kortisol tinggi
meningkatkan 7,667 kali risiko kualitas tidur buruk yang bermakna secara statistik
pada atlet dalam pemusatan latihan. Kadar kortisol merupakan faktor risiko
kualitas tidur buruk yang independen pada atlet dalam pemusatan latihan.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini menyarankan agar dilakukan evaluasi berkala
kualitas tidur pada atlet dalam pemusatan latihan untuk mendeteksi dini adanya
gangguan tidur serta dilakukan pemeriksaan kortisol pada atlet dalam pemusatan
latihan untuk mengetahui faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet. Penelitian
lebih lanjut diperlukan guna menyempurnakan hasil penelitian ini antara lain
dilakukan penelitian dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar
dengan melibatkan berbagai cabang olahraga serta dengan menggunakan metode
penelitian pre dan post test.
66
DAFTAR PUSTAKA
Adriana del Rey, George Chrousos, Hugo Besedovsky. 2008. NeuroImmune
Biology, The Hypothalamus-Pituitary-Adrenal Axis. Amsterdam. Elsevier.
Alghadir A, Gabr S, Farag A. 2015. The effects of four weeks aerobic training on
saliva cortisol and testosterone in young healthy persons. J. Phys. Ther.
Sci.27: 2029–2033, 2015.
Anonim. 2015. Body Mass Index (BMI). Available at:
https://www.cdc.gov/healthyweight/assessing/bmi/. Diakses: 6 Maret 2017.
Anonim. 2014. The Psychology Of Individual And Team Sports (Basic).
Available at: http://sportsnscience.utah.edu/2014/05/11/team-psychology-
basic/. Diakses: 21 Maret 2017.
Anonim. t.t. Drugs and cortisol. Available at:
www.goodhormonehealth.com/articles/Drugs_and_cortisol.pdf. Diakses: 10
Maret 2017.
Assari S, Maryam M, Caldwell C, Zimmerman M. 2015. Anxiety Symptoms
During Adolescence Predicts Salivary Cortisol in Early Adulthood Among
Blacks; Sex differences. Int J Endocrinol Metab. 2015 October; 13(4):
e18041.
Astrand P, Rodahl K. 1977. Textbook of Work Physiology. New York: McGraw-
Hill Book Company.
Bompa T, Carrera R. 2015. Conditioning Young Atlhete. United States: Human
Kinetics.
Buysse DJ, Reynolds CF, Monk TH, Berman SR, Kupfer DJ. 1989. The
Pittsburgh Sleep Quality Index: a new instrument for psychiatric practice and
research. Psychiatry Res. 1989 May;28(2):193-213.
Chokroverty, S. 2010. Overview of Sleep and Sleep Disorder. Indian J Med Res;
131: 126-140.
Chrousos, Vgontzas A and Ilia K. 2016. HPA Axis and Sleep. NCBI Bookshelf.
A service of the National Library of Medicine, National Institutes of Health.
Last update January 18, 2016.
67
Cowen P J. 2002. Cortisol, serotonin and depression: all stressed out?. British
Journal of Psychiatry (2002), 180, 99-100.
Duclos M, Gouarne C, Bonnemaison D. 2003. Acute and chronic effects of
exercise on tissue sensitivity to glucocorticoids. J. Appl. Physiol.,
2003;94:869-75.
Duclos M, Corcuff JB, Rashedi M, Fougere V, and Manier. 1997. G. Trained
versus untrained: different hypothalamo-pituitary-adrenal axis responses to
exercise recovery. Eur J Appl Physiol 75: 343–350, 1997.
Duclos M, Guinot M, Yves L. 2007. Cortisol and GH: odd and controversial
ideas. Appl. Physiol. Nutr. Metab. 32: 895–903 (2007)
Gabriel C, Muana H, Hítalo A, Valéria M, Wbinayara A, Ana C, Rodrigo C.
2017. Sleep Quality And Its Association With Psychological Symptoms In
Adolescent Athletes. Rev Paul Pediatr. 2017;35(3):316-32.
Ghaderi M, Azarbayjani M, Atashak S, Shamsi M, Saei S, Sharafi H. 2011. The
Effect of maximal progressive exercise on serum cortisol & immunoglobulin a
responses in young elite athletes. Annals of Biological Research, 2011, 2
(6):456-463
Gholamali A, Mohsen G, Abdolhamid H, Rohellah R. 2016. The Effects of
Combined Exercises Intensity (Aerobics-Resistance) on Plasma Cortisol and
Testosterone Levels in Active Males. Int J Basic Sci Med. 2016;1(1):18-24.
Giovani S, Jerri L, Alvaro R. 2006. Overtraining: theories, diagnosis and markers.
Rev Bras Med Esporte _ Vol. 12, Nº 5 – Set/Out, 2006.
Guilliams Thomas G. and Lena Edwards. 2010. Chronic Stress and the HPA Axis:
Clinical Assessment and Therapeutic Considerations. The Standard Point
Institute of Nutraceutical Research. Volume 9, No. 2.
Guyton and Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hamid M, Azizi M, Hiwa M. 2012. Effect of 8 Weeks Low and High Intensity
Resistance Training on Leukocyte Count, Igg, Cortisol and Lactate
Concentration in Untrained Men. World Applied Sciences Journal 16 (7): 949-
954, 2012 ISSN 1818-4952
68
Hargens T, Kaleth A, Edwards E, Butner K. 2013. Association between sleep
disorders, obesity, and exercise: a review. Nature and Science of Sleep 2013:5
27–35.
Harsono. 2003. Peaking (Pemuncakan Prestasi) dalam Perkembangan Olahraga
Terkini kajian para pakar. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Hudson Tori and Bush Bradley. 2010. The Role of Cortisol in Sleep. Natural
Medicine Journal 2(6), June 2010.
Jing Lin, Huacai Zhao, Jie Shen, and Fuyong Jiao. 2017. Salivary Cortisol Levels
Predict Therapeutic Response to a Sleep-Promoting Method in Children with
Postural Tachycardia Syndrome. j.jpeds.2017.08.039.
Jonathan L, Mark G, Kathleen P, Jean D, Charles P. Sleep duration and quality in
elite athletes measured using wristwatch actigraphy. 2012. Journal of Sports
Sciences, March 2012; 30(6): 541–545.
Juliantine T, Yudiana Y, Subarjah H. 2007. Teori Latihan. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Juliff L E, Shona L, Jeremiah J. 2014. Understanding sleep disturbance in athletes
prior to important competitions. J Sci Med Sport (2014),
http://dx.doi.org/10.1016/j.jsams.2014.02.007
Kandhalu Preethi. 2013. Effects of Cortisol on Physical and Psychological
Aspects of The Body And Effective Ways By Which One Can Reduce Stress.
Berkeley Scientific Journal 2013 Volume 18, Issue 1
Kementerian Pemuda dan Olahraga. 2010. Statistik Keloahragaan tahun 2010.
Kuem S, Lin K and Insop S. 2012. Stress and Sleep Disorder. Exp Neurobiol.
2012 Dec;21(4):141-150.
LeBlanc M, Chantal M, Josée S, Hans I, Lucie B, Charles M. (2009). Incidence
and Risk Factors of Insomnia in a Population-Based Sample. SLEEP
2009;32(8):1027-1037.
Lumbantobing. 2008. Gangguan Tidur. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
69
Maestu J, Jurimae M, Jurimae T. 2004. Hormonal response to maximal rowing
before and after heavy increase in training volume in highly trained male
rowers. SPORTS MED PHYS FITNESS 2004;44:00-00 Vol 44.
Maslim, R. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas PPDGJ III.
Jakarta: Bagian llmu Kedokteran Jiwa FK Unika Jaya.
Michael D, Thomas S. 2015. The Neurobiology of Sleep and Wakefulness.
Psychiatr Clin N Am.
Monica P and Christine L. 2014. Exploring Sex and Gender Differences in Sleep
Health: A Society for Women’s Health Research Report. JOURNAL OF
WOMEN’S HEALTH Volume 23, Number 7, 2014.
Neary J, Malbon L, McKenzie D. 2002. Relationship between serum, saliva and
urinary cortisol and its implication during recovery from training. J Sci Med
Sport. 2002 Jun;5(2):108-14.
Nining W, Juanita N, Soetanto H. 2011. Dasar-dasar Fisiologi Olahraga.
Surabaya: Unesa University Press.
Oka NMS, Utami DKI. 2016. Shift worker sleep disorder. MEDICINA.
2016;50(1):92-101.
Pate R, McClenaghan B, Rotella R. 1964. Scientific Foundation of Coaching.
Philadelphia: Saunders College Publishing. Diterjemahkan oleh: Dwijowinoto
K. 1993. Dasar-dasar Ilmiah kepelatihan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Perdossi. 2014. Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur Edisi 1.
Purwa DPGS, Kesanda IMP, Adnyana IMO, Widyadharma IPE. 2017. The Effect
of Partial Sleep Deprivation in Decrease of Cognitive Function in Resident
Doctors of Udayana University/Sanglah General Hospital. International
Journal of Science and Research (IJSR). Volume 6 Issue 4, April 2017.
Ramos M, Cardoso M, Vaz F, Torres M, García F, Blanco G, González E. 2008.
Influence of the grade of anxiety and level of cortisol on post-surgical
recovery. Actas Esp Psiquiatr 2008;36(3):133-137.
Rodrigo Gomes, Guilherme Rosa, Rudy José, Estélio Henrique MD. 2012.
Cortisol and Physical Exercise. Available at:
70
https://www.researchgate.net/publication/228160384. Diakses: 27 Oktober
2016.
Sandra M, Cristiane V, Camila M, Mario J. 2011. Early life stress, HPA axis, and
depression. Psychology & Neuroscience, 2011, 4, 2, 229 – 234.
Sarah Bassett. 2014. “Sleep Quality but Not Sleep Quantity Effects on Cortisol
Responses to Acute Psychosocial Stress” (Tesis). The Faculty of the Graduate
School of Arts and Sciences. Massachusetts. Brandeis University Department
of Psychology.
Sharon C, Miguel D. 2010. Replication of cortisol circadian rhythm: new
advances in hydrocortisone replacement therapy. Ther Adv Endocrinol Metab
(2010) 1(3) 129138.
Silber M, Krahn L, Morgenthaler T. 2010. Sleep Medicine in Clinical Practice
Second Edition. New York: Informa Healthcare.
Tangkudung J, Puspitorini W. 2012. Kepelatihan dan Olahraga “Pembinaan
Prestasi Olahraga”. Jakarta: Penerbit Cerdas Jaya.
Theresa M. Buckley and Alan F. Schatzberg. 2005. REVIEW: On the Interactions
of the Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis and Sleep: Normal HPA
Axis Activity and Circadian Rhythm, Exemplary Sleep Disorders. The Journal
of Clinical Endocrinology & Metabolism 90(5):3106–3114.
Vedhara K, Miles J, Bennett P, Plummer S, Tallon D, Brooks E, Gale L,
Munnoch K, Christa S, Fowler C, Lightman S, Sammon A, Rayter Z, Farndon
J. 2003. An investigation into the relationship between salivary cortisol, stress,
anxiety and depression. Biological Psychology 62 (2003) 89-96.
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian
71
72
Lampiran 2 Ethical Clearance
73
Lampiran 3. Informed Consent
SEBAGAI PESERTA PENELITIAN
Bapak/Ibu kami minta untuk berpartisipasi dalam penelitian. Kepesertaan dari
penelitian ini bersifat sukarela. Mohon agar dibaca penjelasan di bawah dan
silakan bertanya bila ada pertanyaan/bila ada hal hal yang kurang jelas.
Kadar Kortisol Tinggi Sebagai Faktor Risiko Kualitas Tidur Buruk Pada Atlet
Dalam Pemusatan Latihan
Peneliti Utama dr. Ni Nyoman Mestri Agustini
Prodi/ Fakultas/ Univ/
Departemen/ Instansi
Neurologi / Fakultas Kedokteran Universitas Udayana /
RSUP Sanglah Denpasar
Peneliti Lain Tidak ada
Lokasi Penelitian Pemusatan Latihan PORPROV 2017 Kota Madya
Denpasar
Sponsor/
Sumber pendanaan
Swadana
Penjelasan Penelitian
Kadar Kortisol Tinggi Sebagai Faktor Risiko Kualitas Tidur Buruk Pada Atlet
Dalam Pemusatan Latihan
Program latihan yang meningkat dan stres yang dialami atlet akan
menyebabkan ketidakseimbangan hormonal. Akan terjadi perubahan produksi
hormon salah satunya adalah meningkatkan kadar hormon kortisol. Berbagai
dampak dari peningkatan kadar kortisol dalam darah dapat menurunkan kondisi
dan penampilan atlet, terutama saat mereka dalam pelatihan yang intensif
sebagai persiapan menghadapi pertandingan. Salah satu dampak yang dapat
terlihat adalah pada kualitas tidur yang buruk.
Penelitian ini berlangsung selama dua bulan dan melibatkan 64 atlet Kota
Madya Denpasar yang mengikuti pemusatan latihan persiapan PORPROV 2017.
Yang dapat menjadi peserta penelitian adalah atlet Kota Madya Denpasar
cabang olahraga Atletik, Balap sepeda dan Bulutangkis. Proses pengambilan
darah akan dilakukan oleh dokter/tenaga terlatih di RSUP Sanglah pada lipatan
lengan atas sebanyak 3cc untuk pemeriksaan kortisol. Peneliti juga akan
mewawancarai dan memeriksa mengenai kualitas tidur dan riwayat keluhan
sebelumnya.
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
(INFORMED CONSENT)
74
Manfaat yang didapat oleh peserta penelitian
Manfaat yang didapat oleh peserta penelitian adalah mengetahui kadar
kortisol dalam darahnya sehingga dapat mengetahui faktor risiko kualitas tidur
yang dialami dan mendapat penatalaksanaan secara lebih optimal.
Ketidaknyamanan dan risiko/kerugian yang mungkin akan dialami oleh peserta penelitian
Tindakan pemeriksaan ini tidak memiliki risiko kerugian fisik, hanya akan terasa sedikit nyeri di area pengambilan darah.
Alternatif tindakan/pengobatan
Tidak ada.
Kompensasi, Biaya Pemeriksaan/Tindakan dan ketersediaan perawatan
medis bila terjadi akibat yang tidak diinginkan
Tidak ada kompensasi finansial atas kepesertaan anda dalam penelitian
ini. Peneliti menanggung biaya pemeriksaan yang akan dilakukan pada
penelitian ini. Bila terjadi dampak medis sebagai akibat langsung dari prosedur
penelitian, peneliti akan menanggung biaya pengobatannya sesuai dengan
standar pengobatan yang berlaku.
Kerahasiaan Data Peserta Penelitian
Semua catatan yang berhubungan dengan penelitian akan dijamin kerahasiaannya, nama Bapak/Ibu tidak akan dicatat dimanapun. Semua data yang telah diisi hanya akan diberi kode yang tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi identitas saudara. Apabila hasil penelitian ini dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi yang berkaitan dengan Bapak/Ibu akan ditampilkan dalam publikasi tersebut.
Kepesertaan pada penelitian ini adalah sukarela
Kepesertaan Bapak/Ibu pada penelitian ini bersifat sukarela. Bapak/Ibu
dapat menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pada penelitian atau
menghentikan kepesertaan dari penelitian kapan saja tanpa ada sanksi.
Keputusan Bapak/Ibu untuk berhenti sebagai peserta penelitian tidak akan
mempengaruhi kegiatan pemusatan latihan atlet dalam persiapan PORPROV
2017.
JIKA SETUJU UNTUK MENJADI PESERTA PENELITIAN
Jika setuju untuk menjadi peserta penelitian ini, Bapak/Ibu diminta untuk
menandatangani formulir ‘Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Sebagai *Peserta Penelitian/ *Wali’ setelah Bapak/Ibu benar benar memahami
tentang penelitian ini. Bapak/Ibu akan diberi salinan persetujuan yang sudah
ditanda tangani ini.
75
Bila selama berlangsungnya penelitian terdapat perkembangan baru yang dapat
mempengaruhi keputusan Bapak/Ibu untuk kelanjutan kepesertaan dalam
penelitian, peneliti akan menyampaikan hal ini kepada Bapak/Ibu.
Bila ada pertanyaan yang perlu disampaikan kepada peneliti, silakan hubungi dr.
Ni Nyoman Mestri Agustini, Nomor Hp. 081933048631, email:
Tanda tangan Bapak/Ibu di bawah ini menunjukkan bahwa Bapak/Ibu telah
membaca, telah memahami dan telah mendapat kesempatan untuk bertanya
kepada peneliti tentang penelitian ini dan menyetujui untuk menjadi peserta
penelitian.
Peserta/ Subyek Penelitian, Wali,
__________________________________
__________________________________ Tanda Tangan dan Nama Tanda Tangan dan Nama
Tanggal (wajib diisi): / / Tanggal (wajib diisi): /
/
Hubungan dengan Peserta/
Subyek Penelitian:
_________________________________________
Peneliti
___________________________________________________
__________________ Tanda Tangan dan Nama
Tanggal
76
Tanda tangan saksi diperlukan pada formulir Consent ini hanya bila (Diisi
oleh peneliti)
Peserta Penelitian memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, tetapi tidak
dapat membaca/ tidak dapat bicara atau buta
Wali dari peserta penelitian tidak dapat membaca/ tidak dapat bicara atau buta
Komisi Etik secara spesifik mengharuskan tanda tangan saksi pada penelitian ini
(misalnya untuk penelitian resiko tinggi dan atau prosedur penelitian invasive)
Catatan:
Saksi harus merupakan keluarga peserta penelitian, tidak boleh anggota tim penelitian.
Saksi:
Saya menyatakan bahwa informasi pada formulir penjelasan telah dijelaskan
dengan benar dan dimengerti oleh peserta penelitian atau walinya dan
persetujuan untuk menjadi peserta penelitian diberikan secara sukarela.
___________________________________________________
__________________
Nama dan Tanda tangan saksi
Tanggal
(Jika tidak diperlukan tanda tangan saksi, bagian tanda tangan saksi ini dibiarkan
kosong)
77
Lampiran 4
LEMBAR PENGUMPULAN DATA
Lengkapi tiap isian pertanyaan dan centang (√) pada kotak hal yang mungkin ditemukan.
Data Karakteristik
1 Nomor urut
2 Nama / jenis kelamin
3 Tanggal lahir / usia
4 Alamat / no. telepon
5 Status perkawinan
6 Suku bangsa
7 Pekerjaan/Asal Sekolah
8 Tinggi/berat badan
9 Tekanan darah
10 Lingkar leher
11 Cabang olahraga
12 Nomor cabang olahraga
Riwayat penyakit dahulu dan pengobatan YA
(Skor) TIDAK Keterangan
13 Gangguan tidur sebelumnya (nilai PSQI
sebelumnya)
14 Depresi berat (Nilai HDRS)
15 Kecemasan berat (Nilai HAM-A)
16 Penggunaan Obat-obatan
Aktivitas Keterangan
17 Frekuensi Latihan ………kali/hari……..hari/minggu
18 Durasi latihan ……..jam/kali latihan
19 Beban latihan Ringan Sedang Berat
Kondisi Tempat Tinggal YA TIDAK Keterangan
20 Tinggal bersama orang tua
21 Tidur mandiri
22 Kenyamanan tempat tidur
Konsumsi makanan/minuman YA TIDAK Keterangan
78
23 Konsumsi Kopi
24 Alkohol
25 Merokok
Keluhan saat ini yang ada YA TIDAK Keterangan
26 Tidur mendengkur
27 Kram saat tidur
28 Nyeri bagian tubuh saat tidur
29 Gangguan tidur selama 1-3 bulan terakhir
Pemeriksaan Laboratorium
30 Kortisol
Pemeriksaan PSQI setelah pemusatan latihan
31 PSQI
79
The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
Petunjuk :
Petanyaan berikut berhubungan dengan kebiasaan tidur Anda selama satu bulan/
satu minggu terakhir. Jawaban anda harus menunjukkan jawaban yang paling
akurat untuk menggambarkan sebagian besar malam dan hari selama
seminggu/sebulan yang lalu. Kami berharap Anda menjawab semua pertanyaan
dimana untuk pertanyaan nomor 1-4, jawablah dengan angka, sedangkan jawaban
untuk pertanyaan nomor 5-9 cukup dengan memberi tanda (√) pada salah satu
kolom pilihan jawaban yang ada.
1. Selama satu bulan terakhir, sekitar pukul berapa biasanya anda tidur di malam
hari?
(pukul …..)
2. Selama satu bulan terakhir, berapa lama (dalam menit) anda waktu untuk
tertidur di malam hari? (…… menit)
3. Selama satu bulan terakhir, sekitar pukul berapa anda biasanya bangun di pagi
hari ?
(pukul ….. )
4. Selama satu bulan terakhir, berapa jam anda dapat tidur nyenyak di malam
hari? ( Ini mungkin berbeda dengan jumlah waktu yang dihabiskan saat tidur )
(…. jam)
5. Selama sebulan terakhir
, seberapa sering anda
mengalami kesulitan
tidur, yang disebabkan
karena :
Tidak pernah
(0)
1x seminggu
(1)
2x seminggu
(2)
≥ 3x
seminggu (3)
A. Tidak dapat tertdur
dalam waktu 30 menit
B. Terbangun di tengah
malam atau pagi-pagi
sekali
C. Terbangun karena ingin
ke toilet
D. Tidak dapat bernapas
dengan nyaman
E. Batuk atau mendengkur
dengan keras
F. Merasa sangat
kedinginan
G. Merasa sangat
kepanasan
H. Mimpi buruk
80
I. Merasa nyeri
J. Alasan lain:…
6. Selama satu bulan
terakhir, seberapa sering
anda mengkonsumsi
obat untuk membantu
anda agar dapat tertidur
(resep ataupun dari toko
obat)?
7. Selama satu bulan
terakhir, seberapa sering
anda mengantuk saat
berkendaraan, makan,
atau ketika melakukan
aktivitas sosial?
Tidak menjadi
masalah (1)
Hanya
masalah kecil
(2)
Agak
menjadi
masalah (2)
Masalah
besar (3)
8. Selama satu bulan
terakhir, seberapa berat
anda untuk dapat tetap
bersemangat dalam
mengerjakan sesuatu?
Sangat baik (1) Cukup baik
(2)
Cukup buruk
(3)
Sangat buruk
(4)
9. Selama satu bulan
terakhir, bagaimana
anda menilai kualitas
tidur anda secara
keseluruhan?
81
SKALA PENILAIAN DEPRESI HAMILTON
1. Keadaan perasaan depresi (sedih, putus asa, tidak berdaya, tak bergaul)
0 = tidak ada
1 = perasaan ini hanya dinyatakan bila ditanya
2 = perasaan ini dinyatakan secara verbal spontan
3 = perasaan yang nyata tanpa komunikasi verbal, misalnya : ekspresi
mukanya, bentuk, suara, dan kecenderungan menangis
4 = pasien menyatakan perasaan yang sesungguhnya ini dalam komunikasi
baik verbal maupun nonverbal secara spontan
2. Perasaan bersalah
0 = tidak ada
1 = menyalahkan diri sendiri, merasa sebagai penyebab penderitaan orang
lain
2 = ide-ide bersalah atau renungan tentang kesalahan-kesalahan pada masa
lalu
3 = sakit ini adalah sebagai hukumannya, delusi bersalah
4 = suara-suara kejaran atau tuduhan dengan/dan halusinasi penglihatan
tentang hal-hal yang mengancam
3. Bunuh diri
0 = tidak ada
1 = merasa hidup tidak ada gunanya
2 = mengharapkan kematian atau pikiran-pikiran lain ke arah itu
3 = ide-ide bunuh diri atau langkah-langkah ke arah itu
4 = percobaan bunuh diri (setiap usaha yangn serius berniali 4)
4. Insomnia (initial)
0 = tidak ada
1 = keluhan kadang-kadang sukar masuk tidur, misalnya lebih dari setengah
jam baru dapat tidur
2 = keluhan tiap malam sukar masuk tidur
5. Insomnia (middle)
0 = tidak ada
1 = pasien mengeluh, gelisah, dan terganggua sepanjang malam
2 = terjaga sepanjang malam, setiap terbangun dari tempat tidur bernilai 2
(kecuali untuk buang air)
6. Insomnia (late)
0 = tidak ada kesulitan, atau keluhan bangun terlalu pagi
1 = bangun di waktu fajar, tetapi tidur lagi
2 = bila telah bangun, tidak bisa tidur lagi
7. Pekerjaan dan minat
0 = tidak ada kesukaran
1 = pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan ketidakmampuan, keletihan, atau
kelemahan-kelemahan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan
kerja atau hobi
82
2 = hilangnya minat akan kegiatan-kegiatan, hobi, atau pekerjaan baik
secara langsung maupun tidak, pasien menyatakan kelesuan, keragu-
raguan dan rasa bimbang (merasa bahwa ia harus memaksa diri untuk
bekerja atau dalam kegiatan lainnya)
3 = berkurang waktu untuk aktivitas sehari-hari atau kurang produktivitas.
4 = tidak bekrja karena sakitnya sekarang.
8. Kelambanan (lambat dalam berpikir dan berbicara, gagal berkonsentrasi,
aktivitas motorik menurun)
0 = normal dalam berbicara dan berpikir
1 = sedikit lambat dalam wawancara
2 = jelas lamban dalam wawancara
3 = sukar diwawancarai
4 = stupor (diam sama sekali)
9. Kegelisahan/agitasi
0 = tidak ada kesukaran
1 = kegelisahan ringan
2 = memainkan tangan, rambut, dan lain-lain
3 = bergerak terus, tidak bisa duduk tenang
4 = meremas-remas tangan, meggigit-gigit kuku, menarik-narik rambut,
menggigit-gigit bibir
10. Kecemasan (psikis)
0 = tidak ada kesukaran
1 = ketegangan subyektif dan mdah tersinggung
2 = mengkhawatirkan hal-hal kecil
3 = sikap kekhawatiran yang tercermin di wajah atau pembicaraannya
4 = ketakutan yang diutarakan tanpa ditanya
11. Kecemasan (somatik)
Kecemasan fisiologis seperti gangguan gastrointestinal, mulut kering, perut
kembung, diarhea, keran perut, bersendawa, palpitasi, sakit kepala,
hiperventilasi/nafas panjang, sering kencing, bukan karena efek samping obat
0 = tidak ada
1 = ringan
2 = sedang
3 = berat
4 = menyebabkan ketidakmampuan
12. Gejala somatik gastrointestinal
0 = tidak ada
1 = nafsu makan berkurang tapi masih dapat makan tanpa dorongan teman.
2 = sukar makan tanpa dorongan teman, membutuhkan pencahar untuk
buang air besar, atau obat-obatan untuk sakuran pencernaan
13. Gejala somatik umum
0 = tidak ada
1 = anggota gerak, punggung, atau kepala terasa berat, sakit punggung,
kepala dan otot-otot, hilangnya kekuatan dan kemampuan
2 = gejala-gejala diatas lebih jelas
14. Genital (gangguan libido, minaat terhadap seks, gangguan menstruasi)
83
0 = tidak ada
1 = ringan
2 = berat
15. Hipokondriasis
0 = tidak ada
1 = dihayati sendiri
2 = preokupasi mengenai kesehatan diri sendiri
3 = sering mengeluh, membutuhkan pertolongan dan lain-lain
4 = waham hipokondriasis/somatik (yakin dirinya menderita suatu penyakit)
16. Kehilangan berat badan (pilih antara A atau B)
Bila hanya riwayatnya
0 = tidak ada kehilangan berat badan
1 = kemungkinan berat badan berkurang berhubungan dengan sakit sekarang
2 = jelas (menurut pasien) berkurang berat badannya
3 = tidak terjelaskan lagi penurunan berat badan
17. Dibawah pengawasan dokter bangsal secara mingguan bila jelas berat badan
dan berkurang menurut ukuran :
0 = < 0,5 kg seminggu
1 = > 0,5 kg seminggu
2 = > 1 kg seminggu
3 = tidak ternyatakan lagi kehilangan berat badan
18. Insight (tilikan)
0 = mengetahui sedang depresi atau sakit
1 = mengetahui sakit tapi berhubungan dengan penyebab iklim, makanan,
bekerja berlebihan, virus, perlu istirahat, dan lain-lain
2 = menyangkal sakit
19. Variasi harian (diurnal)
Catat mana yang lebih berat, waktu pagi atau malam, bila tidak ada gangguan beri
tanda di nol
0 = tidak ada perubahan
1 = lebih buruk waktu malam
2 = lebih buruk waktu pagi
20. Kalau ada perubahan tandai derajat perubahan tersebut. Tandai nol bila tidak
ada perubahan
0 = tidak ada
1 = ringan
2 = berat
21. Depersonalisasi dan derealisasi (misalnya: merasa diri atau disekitar tidak
nyata/terasa lain, ide-ide nihilistik)
0 = tidak ada
1 = ringan
2 = sedang
3 = berat
4 = berat sekali (tidak dapat bekerja karena gangguan)
22. Gejala-gejala paranoid
0 = tidak ada
84
1 = kecurigaan
2 = ideas of reference (menghubung-hubungkan suatu kejadian dengan
dirinya)
3 = waham kejar / waham curiga
23. Gejala-gejala obsesi dan kompulsi
0 = tidak ada
1 = ringan
2 = berat
Total Score ______________________________________
HARS
85
Berikan tanda (X) pada kolom pilihan anda
NO. PERTANYAAN
0
(Tidak
Ada)
1
(Ringan)
2
(Sedang)
3
(Berat)
4
(Berat
Sekali)
1
Perasaan Ansietas
( Cemas, Firasat
Buruk, Takut Akan
Pikiran Sendiri, Mudah
Tersinggung )
2
Ketegangan
( Merasa Tegang,
Lesu, Tak Bisa
Istirahat Tenang,
Mudah Terkejut,
Mudah Menangis,
Gemetar, Gelisah )
3
Ketakutan
( Pada Gelap, Pada
Orang Asing, Ditinggal
Sendiri, Pada Binatang
Besar, Pada Keramaian
Lalu Lintas, Pada
Kerumunan Orang
Banyak )
4
Gangguan Tidur
( Sukar Memulai
Tidur, Terbangun
Malam Hari, Tidak
Nyenyak, Bangun
dengan Lesu, Banyak
Mimpi-Mimpi, Mimpi
Buruk, Mimpi
Menakutkan )
5
Gangguan
Kecerdasan
( Sukar Konsentrasi,
Daya Ingat Buruk )
6
Perasaan Depresi
( Hilangnya Minat,
Berkurangnya
Kesenangan Pada
Hobi, Sedih, Bangun
Dini Hari, Perasaan
Berubah-Ubah
Sepanjang Hari )
86
7
Gejala Somatik
(Otot)
( Sakit dan Nyeri di
Otot-Otot, Kaku,
Kedutan Otot, Gigi
Gemerutuk, Suara
Tidak Stabil/Bergetar )
8
Gejala Somatik
(Sensorik)
( Suara mendenging di
telinga, Penglihatan
Kabur, Muka Merah
atau Pucat, Merasa
Lemah, Perasaan
ditusuk-Tusuk )
9
Gejala Jantung dan
Pembuluh darah
(Takhikardia/Jantung
berdetak lebih cepat
dari biasanya,
Berdebar, Nyeri di
Dada, Denyut Nadi
Meningkat, Perasaan
Lesu/Lemas Seperti
Mau Pingsan, Detak
Jantung Menghilang
(Berhenti Sekejap) )
10
Gejala Respiratori/
Pernapasan
( Rasa Tertekan Di
Dada, Perasaan
Tercekik, Sering
Menarik Napas, Napas
Pendek/Sesak )
11
Gejala
Gastrointestinal/
Saluran cerna
( Sulit Menelan, Perut
Melilit, Gangguan
Pencernaan, Nyeri
Sebelum dan Sesudah
Makan, Perasaan
Terbakar di Perut, Rasa
Penuh atau Kembung,
Mual, Muntah, Buang
Air Besar Lembek,
87
Kehilangan Berat
Badan, Sukar Buang
Air Besar (Konstipasi)
)
12
Gejala
Urogenital/Sal.
kencing&Kelamin
( Sering Buang Air
Kecil, Tidak Dapat
Menahan Air Seni,
Amenorrhoe,
Menorrhagia, Menjadi
Dingin (Frigid),
Ejakulasi dini, Ereksi
Hilang, Impotensi)
13
Gejala Otonom
( Mulut Kering, Muka
Merah, Mudah
Berkeringat, Pusing,
Sakit Kepala, Bulu-
Bulu Berdiri )
14
Tingkah Laku Pada
Wawancara
( Gelisah, Tidak
Tenang, Jari Gemetar,
Kerut Kening, Muka
Tegang, Tonus Otot
Meningkat, Napas
Pendek dan Cepat,
Muka Merah )
88
Lampiran 5
Karakteristik Subyek Penelitian
Nomor Kode Sampel Cabang Olahraga Usia
Jenis
Kelamin Kelompok
Kadar
Kortisol
1 AAGBM Atletik 20 L 1 286.2
2 MAD Atletik 15 P 2 324.1
3 ASK Atletik 26 P 1 283.7
4 IGNBJR Atletik 17 L 1 283.7
5 IGAH Atletik 16 L 2 185
6 IKODL Atletik 18 L 2 270.2
7 MTF Atletik 28 L 1 362.3
8 INAES Atletik 16 L 2 152.1
9 YNB Atletik 15 P 1 189.2
10 IGANSS Atletik 16 P 1 300.4
11 PYA Atletik 17 L 2 169.9
12 KATK Atletik 17 L 1 121.7
13 IAKDT Atletik 16 P 2 200.8
14 NPEN Atletik 15 P 1 170.8
15 IPWEP Atletik 15 P 1 280.4
16 GKJP Atletik 15 L 2 125.5
17 AAGM Atletik 15 L 1 147.7
18 IGAPSO Atletik 21 P 1 298
19 NKMRL Atletik 15 P 2 164.3
20 IGMFS Atletik 18 L 1 119.5
21 NLK Atletik 16 P 1 119.5
22 SGK Atletik 31 L 1 296.5
23 NPTM Atletik 18 P 1 245.6
24 NMAR Atletik 18 P 1 279.4
25 NKDRM Atletik 16 P 2 166.9
26 IPAB Atletik 18 L 1 223.7
27 IWGGP Bulutangkis 20 L 1 370.8
28 IPAAP Bulutangkis 19 L 2 182
29 NLKDA Bulutangkis 15 P 2 244.6
30 RSRV Bulutangkis 21 P 2 252.4
89
31 LGAW Bulutangkis 17 P 2 185.5
32 NKMJL Bulutangkis 16 P 1 298
33 IGBASP Bulutangkis 16 L 2 212
34 AASS Bulutangkis 19 L 2 206.2
35 FRRF Bulutangkis 17 L 2 97.8
36 JMSA Bulutangkis 21 L 1 381.8
37 IGAWPA Atletik 15 P 1 316.3
38 IGNAPA Atletik 15 L 2 182.7
39 ELYS Atletik 17 L 2 243.2
40 FZLA Atletik 18 L 2 246.7
41 LGRT Balap Sepeda 15 L 2 311.8
42 EOST Balap Sepeda 30 L 1 359.4
43 KADPT Balap Sepeda 16 L 1 191.1
44 BYKB Balap Sepeda 15 L 2 117
45 PDJSP Balap Sepeda 14 L 2 202.3
46 KDDA Balap Sepeda 17 L 2 111.6
47 RKAD Balap Sepeda 17 L 1 319.5
48 YGBS Balap Sepeda 18 L 1 208.2
49 GDPY Balap Sepeda 16 L 2 148.5
50 IPMAAP Balap Sepeda 14 L 2 140
51 IGBDPR Balap Sepeda 13 L 1 104.7
52 CDWB Balap Sepeda 17 L 2 207.9
53 NKDDN Balap Sepeda 14 P 1 263.1
54 SYBSD Balap Sepeda 14 P 2 138
55 NKSWP Balap Sepeda 16 P 2 149.6
56 NKAA Balap Sepeda 15 P 1 381.2
57 NKDAP Balap Sepeda 17 P 2 170.5
58 NPNV Balap Sepeda 15 P 1 321.3
59 IPAM Balap Sepeda 14 L 1 322.9
60 GAFPW Balap Sepeda 18 L 2 166.1
61 PDPY Bulutangkis 16 P 2 193.4
62 MCT Bulutangkis 21 P 1 444.7
63 NMDS Bulutangkis 21 P 2 326.1
64 AVHN Bulutangkis 17 L 1 448.3
90
JenisKelamin * Kelompok Crosstabulation
Kelompok Total
kasus kontrol
JenisKelamin
L Count 17 20 37
% within Kelompok 53.1% 62.5% 57.8%
P Count 15 12 27
% within Kelompok 46.9% 37.5% 42.2%
Total Count 32 32 64
% within Kelompok 100.0% 100.0% 100.0%
Usiakategori * Kelompok Crosstabulation
Kelompok Total
kasus kontrol
Usiakategori
1 Count 14 18 32
% within Kelompok 43.8% 56.2% 50.0%
2 Count 18 14 32
% within Kelompok 56.2% 43.8% 50.0%
Total Count 32 32 64
% within Kelompok 100.0% 100.0% 100.0%
CabangOlahraga * Kelompok Crosstabulation
Kelompok Total
kasus kontrol
CabangOlahraga
Atletik Count 18 12 30
% within Kelompok 56.2% 37.5% 46.9%
Balap Sepeda Count 9 11 20
% within Kelompok 28.1% 34.4% 31.2%
Bulutangkis Count 5 9 14
% within Kelompok 15.6% 28.1% 21.9%
Total Count 32 32 64
% within Kelompok 100.0% 100.0% 100.0%
91
Area Under the Curve
Test Result Variable(s): NilaiKortisol
Area Std. Errora Asymptotic Sig.
b Asymptotic 95% Confidence
Interval
Lower Bound Upper Bound
.754 .064 .000 .628 .880
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5
Coordinates of the Curve
Test Result Variable(s): NilaiKortisol
Positive if
Greater Than or
Equal Toa
Sensitivity 1 - Specificity
96.810 1.000 1.000
101.255 1.000 .969
108.150 .969 .969
114.300 .969 .938
118.250 .969 .906
120.600 .906 .906
123.600 .875 .906
92
131.750 .875 .875
139.000 .875 .844
143.850 .875 .813
148.100 .844 .813
149.050 .844 .781
150.850 .844 .750
158.200 .844 .719
165.200 .844 .688
166.500 .844 .656
168.400 .844 .625
170.200 .844 .594
170.650 .844 .563
176.400 .813 .563
182.350 .813 .531
183.850 .813 .500
185.250 .813 .469
187.350 .813 .438
190.150 .781 .438
192.250 .750 .438
197.100 .750 .406
201.550 .750 .375
204.250 .750 .344
207.050 .750 .313
208.050 .750 .281
210.100 .719 .281
217.850 .719 .250
233.450 .688 .250
243.900 .688 .219
245.100 .688 .188
246.150 .656 .188
249.550 .656 .156
257.750 .656 .125
266.650 .625 .125
274.800 .625 .094
279.900 .594 .094
282.050 .563 .094
284.950 .500 .094
291.350 .469 .094
297.250 .438 .094
299.200 .375 .094
93
306.100 .344 .094
314.050 .344 .063
317.900 .313 .063
320.400 .281 .063
322.100 .250 .063
323.500 .219 .063
325.100 .219 .031
342.750 .219 .000
360.850 .188 .000
366.550 .156 .000
376.000 .125 .000
381.500 .094 .000
413.250 .063 .000
446.500 .031 .000
449.300 .000 .000
a. The smallest cutoff value is the minimum
observed test value minus 1, and the largest
cutoff value is the maximum observed test value
plus 1. All the other cutoff values are the
averages of two consecutive ordered observed
test values.
KategoriKortisol * Kelompok Crosstabulation
Kelompok Total
kasus kontrol
94
KategoriKortisol
tinggi >= 208.05 Count 24 9 33
% within KategoriKortisol 72.7% 27.3% 100.0%
tidak tinggi < 208.05 Count 8 23 31
% within KategoriKortisol 25.8% 74.2% 100.0%
Total Count 32 32 64
% within KategoriKortisol 50.0% 50.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 14.076a 1 .000
Continuity Correctionb 12.262 1 .000
Likelihood Ratio 14.647 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 13.856 1 .000
N of Valid Cases 64
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
KategoriKortisol (tinggi >=
208.05 / tidak tinggi <
208.05)
7.667 2.524 23.284
For cohort Kelompok =
kasus 2.818 1.497 5.304
For cohort Kelompok =
kontrol .368 .203 .666
N of Valid Cases 64
cabang olahraga atletik dan non atletik * Kelompok Crosstabulation
Kelompok Total
kasus kontrol
cabang olahraga atletik dan 1.00 Count 18 12 30
95
non atletik % within cabang olahraga
atletik dan non atletik 60.0% 40.0% 100.0%
2.00
Count 14 20 34
% within cabang olahraga
atletik dan non atletik 41.2% 58.8% 100.0%
Total
Count 32 32 64
% within cabang olahraga
atletik dan non atletik 50.0% 50.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 2.259a 1 .133
Continuity Correctionb 1.569 1 .210
Likelihood Ratio 2.273 1 .132
Fisher's Exact Test .210 .105
Linear-by-Linear Association 2.224 1 .136
N of Valid Cases 64
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for cabang
olahraga atletik dan non
atletik (1.00 / 2.00)
2.143 .788 5.825
For cohort Kelompok =
kasus 1.457 .887 2.395
For cohort Kelompok =
kontrol .680 .404 1.145
N of Valid Cases 64
Jenis kelamin * Kelompok Crosstabulation
Kelompok Total
kasus kontrol
Jenis kelamin 1 Count 17 20 37
% within Jenis kelamin 45.9% 54.1% 100.0%
96
2 Count 15 12 27
% within Jenis kelamin 55.6% 44.4% 100.0%
Total Count 32 32 64
% within Jenis kelamin 50.0% 50.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .577a 1 .448
Continuity Correctionb .256 1 .613
Likelihood Ratio .578 1 .447
Fisher's Exact Test .613 .307
Linear-by-Linear Association .568 1 .451
N of Valid Cases 64
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Jenis
kelamin (1 / 2) .680 .251 1.843
For cohort Kelompok =
kasus .827 .509 1.344
For cohort Kelompok =
control 1.216 .726 2.037
N of Valid Cases 64
Usiakategori * Kelompok Crosstabulation
Kelompok Total
kasus kontrol
Usiakategori 1
Count 14 18 32
% within Usiakategori 43.8% 56.2% 100.0%
2 Count 18 14 32
97
% within Usiakategori 56.2% 43.8% 100.0%
Total Count 32 32 64
% within Usiakategori 50.0% 50.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1.000a 1 .317
Continuity Correctionb .563 1 .453
Likelihood Ratio 1.003 1 .317
Fisher's Exact Test .454 .227
Linear-by-Linear Association .984 1 .321
N of Valid Cases 64
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Usiakategori
(1 / 2) .605 .225 1.624
For cohort Kelompok =
kasus .778 .473 1.279
For cohort Kelompok =
control 1.286 .782 2.115
N of Valid Cases 64
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a KatKortisol(1) 2.103 .587 12.811 1 .000 8.188 2.589 25.894
98
KatCabangOR(1
) .905 .588 2.368 1 .124 2.472 .781 7.828
Constant -1.494 .540 7.654 1 .006 .224
Step 2a
KatKortisol(1) 2.037 .567 12.915 1 .000 7.667 2.524 23.284
Constant -.981 .391 6.297 1 .012 .375
a. Variable(s) entered on step 1: KatKortisol, KatCabangOR.