Download - Kajian PERBAIKAN
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Wellek dan Warren (1977) dalam bukunya Teori Kesusastraan berpendapat
bahwa “Sastra ‘menyajikan’ kehidupan, dan ‘kehidupan’ sebagian besar terdiri
dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga ‘meniru’ alam dan dunia
subjektif manusia.” (1977: 109) Lebih lanjut Darma (1983:52) menyatakan bahwa
karya sastra, khususnya novel, diciptakan pengarang dengan tujuan untuk
dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan tanpa melupakan bahwa karya sastra
sebenarnya merupakan bagian pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu
jiwa.
Mengutip pernyataan penulis Perancis, Michael Butor, Aart van Zoest
(1993) dalam bukunya Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang
Kita Lakukan Dengannya menyatakan bahwa masalah manusia adalah mencari
arti dari yang tidak mempunyai arti. Dia juga menyatakan bahwa semua
mempunyai arti, atau tidak satupun mempunyai arti. Titik tolak dari pernyataan
ini adalah bahwa manusia mencari arti dalam benda-benda dan gejala-gejala yang
mengelilinginya dan bahwa dia, tepat atau tidak tepat, benar atau salah,
memberikan arti. Karena manusia mampu, maka dia dapat memberikan arti pada
benda-benda dan gejala-gejala. Manusia adalah homo semioticus. Pemuda yang
sedang jatuh cinta melepaskan helai-helai bunga (‘dia cinta padaku’, dia tidak cinta
padaku’), si ragu hati yang melemparkan uang untuk mengambil keputusan,
mahasiswa yang dalam perjalanan ke ujian, berpikir bahwa andai saja dia bertemu
dengan tiga kucing hitam berarti dia akan lulus ujian, merupakan usaha manusia
untuk merebut sebuah tanda dari kekuasaan yang lebih tinggi. Dan apabila kekuasaan
yang lebih tinggi itu berdiam diri, tidak memberikan tanda, maka mereka sendiri akan
memproklamasikan sesuatu, apa saja, sebagai tanda. Dengan demikian manusia
mempunyai kemampuan untuk menciptakan tanda. Ia dapat mengirimkan tanda dan
ia dapat sepakat mengenai arti tanda tersebut dengan sesamanya (Zoest, 1993).
1
Mengenai hubungan antara karya sastra dan tanda, Culler (1977:5)
mengungkapkan bahwa karya sastra tersusun oleh seperangkat sistem symbol (bagian
dari tanda), sedangkan sistem simbol itu memiliki arti apabila dapat dijelaskan dari
mana ia berasal dan untuk siapa ia dimanfaatkan. Mengenai hal tersebut, Zoest
mengungkapkan pendapat yang sama. Teks sastra secara keseluruhan merupakan
tanda dengan semua cirinya: bagi pembaca, teks sastra ini menggantikan sesuatu yang
lain, yakni kenyataan yang dipanggil, yang fiksional (Zoest, 1993: 61). Hal senada
diungkapkan oleh Ratna (2004), bahwa sastra dalam bentuk karya atau naskah
mengandung makna tanda-tanda, sesuatu yang lain yang diwalikinya, sebagai tanda-
tanda nonverbal. Makna tanda-tanda bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi berasal
dari konteks di mana ia diciptakan, di mana ia tertanam (Ratna, 2004: 117). Tanda ini
dikirimkan oleh pengirim (sender), yang bisa juga berarti penulis, kepada penerima
(receiver), yaitu pembaca. Oleh sebab itu, pemahaman suatu karya sastra tidak bisa
dilepaskan dari kenyataan di luarnya, yaitu masyarakat di mana karya itu hadir.
Hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman
mengenai tanda yang sangat kaya. Kemampuan pengarang untuk menuangkan ide
dan pengalaman yang dia peroleh dari masyarakat ke dalam karya sastra dan juga
kemampuan pembaca untuk bias memahami atau mengiterpretasikan tulisan dan
maksud pengarang lewat karyanya menentukan nilai sebuah karya sastra
Cerpen merupakan simbol tanda, dan untuk memahami simbol tanda itu
diperlukan pemaknaan dari pembaca. Untuk memahami cerpen harus mampu
memahami bahasa yang di dalam cerpen sebagai sistem tanda yang mempunyai
arti. Di dalam cerpen sebagai sistem tanda yang mempunyai arti. Di dalam cerpen
terdiri dari simbol-unsur yang tersusun, dan setiap susunan tersebut mempunyai
makna yang saling berkaitan, maka di dalam pemaknaan cerpen tidak boleh
memaknai dengan semaunya sendiri melainkan harus dengan kerangka simbol
yaitu ilmu tentang tanda-tanda.
Di dalam cerpen harus diperhatikan tentang cara pemaknaanya karena
cerpen merupakan simbol tanda. Dengan demikian pendekatan semiotik cerpen
akan mampu diartikan. Semiotik mempelajari sistem-sistem, tanda-tanda,
konfensi-konfensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
2
Pengarang dalam menyampaikan idenya, tidak secara langsung
menuliskannya secara jelas dan mudah dimengerti. Pengarang memerlukan
semacam alat untuk menyampaikan pesan-pesan tersembunyi. Dengan tanda-
tanda, maka pengarang tidak perlu menuliskan secara jelas hal yang ingin
disampaikannya kepada pembaca. Pengarang hanya perlu menyuguhkan tanda-
tanda sehingga pikiran pembaca akan mencari-cari maksud yang diinginkan
pengarang.
Dalam cerpen berjudul Harimau Belang karya Guntur Alam, sosiologis
sastra, semiotika sastra, dan hermeneutika sastra menjadi hal yang mesti diungkap
berkaitan pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh pengarang. Dalam
cerpen ini, bentuk kehidupan suatu masyarakat tertentu kurang bisa dipahami
ketika dibaca saja tanpa dikaji lebih dalam.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah, yaitu:
Bagaimana bentuk sosiologi, semiotika, dan hermeneutika sastra yang terdapat
dalam cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
bentuk sosiologi, semiotika, dan hermeneutika sastra yang terdapat dalam
cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam?
3
II. KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi memiliki
arti, ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu
pengetahuan yang memelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam
masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sedangkan sastra memiliki arti,
kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.
Kedua ilmu ini, memiliki objek yang sama, yaitu manusia. Sosiologi sebagai suatu
pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan
segi-segi sosial.
Wellek dan Warren (1956-1984, 1990:111) membagi sosiologi sastra
sebagai berikut: Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra,
masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar
belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari
berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah
warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang
adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat
tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau
posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah
sosiologi pengarang. (Wellek dan Warren, 1990:112)
Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang
menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa
yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini
mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial
(1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton
(penyusun sejarah cerpen Inggris yang pertama) bahwa sastra memiliki
4
kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya,
sastra adalah gudang adat istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya
sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya
meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup
tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkannya dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam
Damono, 1989: 3-4), yang meliputi hal-hal berikut:
1. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial
pengarang dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca
termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya,
yang terutama harus diteliti, yang berkaitan dengan:
a) Bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia
mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau
pekerjaan yang lainnya,
b) Profesionalisme dalam kepengaranganya, dan
c) Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat
dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih
kabur, karena itu banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus
diperhatikan dalam klasifikasi karya sastra sebagai cermin masyarakat adalah:
a) Sastra mungkin tidak dapat dikatakan cermin masyarakat pada waktu
ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu
sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis,
b) Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi
pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya,
c) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu,
dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat,
d) Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat
secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin
masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan
untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan
5
sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat
tertentu. Dengan demikian pandangan sosial pengarang diperhitungkan
jika peneliti karya sastra sebagai masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan
nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan:
a) Sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama
derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu sastra harus
berfungsi sebagai pembaharu dan perombak,
b) Sastra sebagai penghibur saja, dan
c) Sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dari pengertian-pengertian sosiologi sastra menurut beberapa ahli di atas,
dapat saya simpulkan, bahwa sosiologi sastra erat kaitannya dengan kehidupan
sosial yang terjadi pada penulis (yang mempengaruhi proses penulisan sebuah
karya sastra), maupun segi sosial yang benar-benar dicerminkan penulis dalam
karyanya (lepas dari segi kemasyarakatan yang berhubungan langsung dengan
penulis).
2.2 Pengertian Semiotika Pierce
Semiotik adalah pembelajaran mengenai sifat-sifat dasar dan variasi asas-
asas yang memungkinkan dalam semiosis. Istilah semiosis berasal dari risalah
Epicurean filosofis Philodemus. Pierce menjelaskan bahwa semiosis mengandung
makna perbuatan yang hampir terdapat dalam berbagai macam tanda dan ini
merujuk pada sesuatu perbuatan yang berlabel tanda (Winfrid North, 1990:42)
”Menurut Pierce salah satu bentuk adalah kata, Sedangkan objek
adalah tanda yang ada dalam benak seseorang, maka munculah makna tentang
sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. (Sobur, 2002:115)”.
Pierce juga mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari
kepertamaan, objeknya adalah kedua, dan penafsiran unsur pengantara adalah
contoh dari ketigaan. Ketigaan yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga
membangkitkan semiotika yang tidak terbatas, selama satu penafsiran (gagasan)
yang membaca tanda sebagai tanda bagi lain (yaitu dari suatu makna dan
6
penanda) bisa ditangkap oleh penafsiran lainnya. Penafsiran ini adalah unsur yang
harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi, penangkap)
membentuk tiga jenis penafsiran yang penting. Agar bisa ada sebagai suatu tanda,
makna tersebut harus ditafriskan yang dikupas teori segitiga makna adalah
persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan
orang pada waktu berkomunikasi.
Menurut Pierce tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain
dalam batas-batas tertentu.tanda akan selalu mengacu kepada suatu yang lain, oleh
Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan, tanda baru
dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melaui
interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri
penerima tanda, artinya tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat
ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground yaitu pengetahuan tentang
system tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukan
oleh Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik
Bagi Charles Sander Pierce (Pateda, 2001:44 dalam Sobur, 2003:41),
tanda ”is something which stand to somebody for something in some resfect or
capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Pierce disebut
ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau represntamen) selalu terdapat dalam
hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini,
Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan ligisign. Berdasarkan Objeknya, Pierce
membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Dan
Berdasarkan Interpretantnya dibagi atas rheme, dicent sign atau decisign dan
argument.
Jadi, dapat penulis simpulkan bahwa ada sembilan kajian semiotika
di dalam teori Pierce, yaitu:
1. Qualisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda-tanda berdasarkan sifat. Contoh, sifat
merah merah mungkin dijadikan suatu tanda. Merah merupakan suatu qualisigns
karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Agar benar-benar menjadi
7
tanda, qualisigns harus memperoleh bentuk, karena suatu qualisigns dalam
bentuknya yang murni tidak pernah ada. Merah akan benar-benar menjadi tanda
kalau ia dikaitkan dengan sosialisme, atau mawar, bahaya atau larangan. Misalkan
bendera merah, mawar merah, dan lain-lain.
2. Sinsigns
Tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan. Semua
pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat merupakan sinsigns. Misal
jerit kesakitan, heran atau ketawa riang. Kita dapat mengenal orang dan cara jalan,
ketawanya, nada suara yang semuanya itu merupakan sinsigns.
3. Legisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu aturan yang berlaku
umum atau konvensi. Tanda-tanda lalu-lintas merupakan legisigns. Hal itu juga
dapat dikatakan dari gerakan isyarat tradisional, seperti mengangguk yang berarti
”ya”, mengerutkan alis, cara berjabatan tangan. Semua tanda bahasa merupakan
legisigns karena bahasa merupakan kode yang aturannya disepakati bersama
(Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:32).
4. Ikon
Tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan, tanpa tergantung
pada adanya sebuah denotatum, tetapi dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu
persamaan yang secara potensial dimilikinya. Secara sederhana, dapat dikatakan
bahwa ikon adalah tanda yang keberadaanya tidak bergantung kepada denotatum-
nya. Definisi ini mengimplikasikan bahwa segala sesuatu merupakan ikon, karena
semua yang ada dalam kenyataan dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Foto,
patung-patung naturalis, yang mirip seperti aslinya dapat disebut sebagai contoh
ikon.
5. Indeks
Sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari adanya
sebuah denotatum. Dalam hal ini hubungan antara tanda dan denotatum-nya
adalah bersebelahan. Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa indeks adalah
tanda yang keberadaannya bergantung pada denotatum-nya. Kita dapat
mengatakan bahwa tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Asap dapat dianggap
sebagai tanda api sehingga dalam kaitannya dengan api, asap ini dapat merupakan
8
indeks. Segala sesuatu yang memusatkan perhatiannya pada sesuatu dapat
merupakan indeks, berupa jari yang diacungkan, penunjuk arah angin, dan lain-
lain.
6. Simbol
Tanda yang hubungan antara tanda dan denotatum-nya ditentukan oleh
suatu peraturan yang berlaku secara umum. Secara umum, yang dimaksud dengan
simbol adalah bahasa (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5
No.1, 2004:32-33).
7. Rheme
Tanda merupakan rheme bila dapat diinterpretasikan sebagai representasi
dari kemungkinan denotatum. Misal, orang yang matanaya merah dapat saja
menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau
mata dimasuki insekta, atau baru bangun atau ingin tidur.
8. Dicisign (atau dicent sign)
Tanda merupakan dicisign bila ia menawarkan kepada interpretan-nya
suatu hubungan yang benar. Artinya, ada kebenaran antara tanda yang ditunjuk
dengan kenyataan yang dirujuk oleh tanda itu, terlepas dari cara eksistensinya.
9. Argument
Bila hubungan interpretatif tanda itu tidak dianggap sebagai bagian dan
suatu kelas. Contohnya adalah silogisme tradisional. Silogisme tradisional selalu
terdiri dari tiga proposisi yang secara bersama-sama membentuk suatu argumen;
setiap rangkaian kalimat dalam kumpulan proposisi ini merupakan argumen
dengan tidak melihat panjang pendeknya kalimat-kalimat tersebut (Ratmanto,
dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:33).
Untuk mengungkap suatu hal dalam karya sastra yang berhubungan
dengan budaya, berhubungan dengan kesepakatan konvensional perihal bahasa,
maka tanda yang berupa simbol-simbol yang akan diteliti dalam cerpen Harimau
Belang karya Guntur Alam.
2.3 Pengertian Hermeneutika
Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermenenuein, bahasa
Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis,
9
hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan
pesan Illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik
lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan
bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra
terdiri atas bahasa, di pihak lain, didalam bahasa sangat banyak makna yang
tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.
Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam
menafsirkan teks. Hermeneutika mencakup dalam dua fokus perhatian yang
berbeda dan saling berinteraksi yaitu; 1) peristiwa pemahaman terhadap teks, 2)
persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman interprestasi itu (Palmer,
2005 : 8). Hal ini memperlihatkan bahwa gagasan utama dalam hermeneutika
adalah pemahaman (understanding) pada teks.
Analisis Hermeneutika
Analisis adalah proses dalam merinci suatu data yang akan ditulis pada
penyajian data. Analisis data dilakukan dengan menentukan makna setiap data,
hubungan satu dengan yang lain dan memberikan penafsiran yang dapat diterima
oleh akal sehat dalam konteks masalahnya secara keseluruhan, untuk itu data
tersebut dihubungkan satu dengan yang lain dengan menggunakan pola berpikir
analitik, sintetik, logis yang kemudian dicari persamaan dan perbedaannya.
Disamping itu dicari hubungan atau ketergantungan antara yang satu dengan yang
lain meskipun bukan dalam bentuk sebab akibat. Hermeneutika berusaha
menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang
melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang,
dan pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut diharapkan suatu
upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekon-struksi dan reproduksi
makna teks, yang selain melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh
pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang
ke dalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna sesuai dengan situasi dan
kondisi saat teks dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, hermeneutika
memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran yaitu
teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi. Ricouer (dalam
Rafiek) menjelaskan tentang tata cara kerja hermeneutic sebagai berikut: langkah
10
pertama, ialah langkah simbolik, dari symbol ke symbol. Langkah kedua, adalah
pemberian makna oleh symbol serta penggalian yang cermat atas makna. Langkah
ketiga, adalah langkah yang benar-benar filosofis, yaitu menggunakan symbol
sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut mempunyai hubungan erat dengan
langkah-langkah pemahaman bahasa , yaitu semantik (tingkat ilmu bahasa yang
murni), refleksif (tingkat ilmu yang lebih tinggi, yang mendekati tingkat
ontology), dan eksistensial atau ontologism (pemahaman tingkat being atau
keberadaan makna).
Dalam analisis hermeneutik tidak mencari kesamaan antara maksud
penyampai pesan dan penafsir, akan tetapi hermeneutik disini adalah menafsirkan
makna dan pesan seobjektif mungkin dengan keinginan teks. Teks itu sendiri tentu
saja tidak otonom yang tertulis atau terlukis (visual), tetapi selalu berkaitan
dengan konteks. Hal yang harus diperhatikan adalah seleksi atas hal-hal diluar
teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Ini berarti bahwa analisis harus
bergerak dari teks, bukan sebaliknya. Semua proses penafsiranya merupakan
dialog antara teks dan penafsir. Hermeneutik erat kaitanya dengan analisis
structural. Analisis structural yaitu sarana logis untuk menguraikan teks (objek
yang ditafsirkan). Kemudian analisis hermeneutik bergerak lebih jauh dari kajian
struktur, analisis hermeneutik melibatkan berbagai disiplin yang relevan sehingga
memungkinkan tafsir menjadi lebih luas dan dalam.
Bagaimanapun berbagai elemen struktur yang bersifat simbolik tidak bisa
dibongkar dengan hanya relasi antarelemen tersebut. Oleh sebab itu penafsiran
hermeunetik mencakup ilmu yang dimungkinkan ikut membentuknya; psikologi,
sosiologi, politik, antropologi, sejarah, dan lain lain. Ini yang dimaksud dengan
distansiasi atas dunia teks (objek) dan pemahaman diri. Dengan kata lain, jika teks
diapahami melalui analisis relasi antar unsurnya (structural), bidang-bidang lain
yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain
yang relevan dan memungkinkan. Agar lebih jelas, konsep dan cara kerja metode
dan pendekatan yang telah diuaraikan diatas dalam kaitanya dengan karya seni
sebagai subyek penelitian, dengan ini akan digambarkan berupa piramida terbalik
sebagai berikut:
11
Makna
Disiplin Ilmu Lain yang Relevan
Seniman dan Aspek Referensial
Simbolisasi
Objektivasi Struktur
Seni atau Objek
1) Teks (seni), di tempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek
atau pusat yang otonom. Karya seni diposisikan sebagai fakta ontologi.
2) Karya seni, sebagai fakta ontology dipahami dengan cara mengobjektifasi
strukturnya. Disini analisis structural menempati posisi yang penting.
3) Simbolisasi, terjadi sebab tafsir telah melampaui batas struktur.
12
4) Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang
bersifat referensial yang menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor
yang berkaitan denganya.
5) Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan
diluar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir.
Makna, dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutic
berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya
seni sebagai fakta ontology), tetapi berada di dalam horizon yang dipancarkan
teks.
III. PEMBAHASAN
3.1 Kajian Sosiologis Sastra dalam Cerpen Harimau Belang
Menurut Wellek dan Warren (dalam Faruk, 1999 : 3), pengklasifikasian
kajian sosiologi meliputi tiga hal, pertama sosiologi pengarang yang
mempermaslahkan atau membahas tentang status sosial, idiologi, sosiologi, dan
sebagainya yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua,
sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan unsur-unsur pembentuk suatu
karya sastra itu sendiri. Hal tersebut membahas hal yang menjadi pokok
permaslahan. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermaslahkan pembaca dengan
pengaruh sosial karya sastra.
3.1.1 Sosiologi Pengarang dalam Cerpen Harimau Belang
Faruk (1999 : 4) mengungkapkan bahwa dari Wellek dan Warren, Sapardi
Djoko Damono menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam
sosiologi sastra, salah satunya yaitu, sosiologi pengarang yang memasalahkan
status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang
sebagai penghasil karya sastra. Sejalan dengan hal itu, Watt (dalam Semi,
1968:54) mengatakan bahwa konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut
13
posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di
dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai
perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.
Guntur Alam, lahir di Tanah Abang, Muara Enim, Sumatera-Selatan, 20
November 1986. Belajar menulis di Bengkel Cerpen Nida tahun 2005.
Menyelesaikan pendidikan di Teknik Sipil Universitas Islam “45” Bekasi.
Cerpen-cerpennya tersebar di berbagai media massa nasional dan lokal.
Beberapa prestasi di dunia menulis seperti: Juara 1 Sayembara Menulis
Cerita Rakyat Kabupaten Muara Enim 2003, Finalis LMCPI VII Annida 2005,
Juara Hiburan di LCPI Ummi 2007, 1 dari 10 Cerpenis Terbaik Festival Seni
Surabaya 2010, Juara 2 Lomba Cipta Cerpen Pemuda Kementerian Pemuda dan
Olahraga 2011, Cerpenis Pilihan Kompas 2011, 1 dari 15 Penulis yang lulus
seleksi kurator untuk berpartisipasi dalam Ubud Writers and Readers Festival
2012 pada 3-7 Oktober 2012, 20 Besar Lomba Penulisan Romance Qanita-Mizan
2012, Juara 1 Sayembara Menulis Cerpen “Banten, Suatu Ketika” Banten Muda
Community 2012, Juara 3 Lomba Mengarang Cerpen Pascasarjana Universitas
Negeri Makassar 2013, Cerpenis Pilihan Kompas 2012 dan lain-lain.
Hampir setiap karya yang diciptakan Guntur Alam adalah karya-karya
yang bernuansa sosial. Salah satunya adalah cerpen Harimau Belang. Cerpen ini
mengisahkan pasangan saumi istri yang bernama Nalis dan Menot yang saling
menyayangi. Pengalaman-pengalaman sosial masyarakat yang pernah dialaminya,
mungkin menjadi sebuah pijakan tersendiri untuk menyebutnya sebagai seorang
yang berjiwa sosial. Pengalaman-pengalaman sosial tersebut kemudian diuraikan
dalam cerpen-cerpennya, yang lebih sering tercampur dengan persoalan-persoalan
tradisi masyarakat membuat pembaca terasa memasuki dunia lain.
Harimau belang adalah titisan leluhur dari masa silam. Puyang, begitulah
mereka menyebutnya. Dalam cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam ini,
harimau belang merupakan hewan keramat yang tidak boleh diburu. Namun,
sepertinya Nalis dan warga dusun Tanah Abang sedikit nyeleweng dari latar
belakang mitos desanya. Guntur Alam menghadirkan cerpen Harimau Belang
dengan latar belakang Mitos/Kepercayaan sebuah dusun. Namun pesan yang
terkandung di dalamnya dapat diterima oleh semua kepercayaan masyarakat.
14
Bahwa tidaklah benar mempercayai mitos terkait harimau belang tersebut.
Pengarang sepertinya ingin menyampaikan pesannya melalui jalan cerita yang tak
biasa.
3.1.2 Sosiologi Karya Sastra dalam Cerpen Harimau Belang
Menurut Wellek, karya sastra memiliki tujuan untuk menghibur dan
mendidik agar pembaca mengetahui atau memahami perasaan yang ingin
disampaikan oleh pengarang. Selain itu karya sastra juga disebut sebagai
ungkapan keindahan sastrawan mengenai suatu objek. Sebagai sarana mencari
uang, dimana karya sastra dapat digunakan semata-mata sebagai sarana mencari
uang atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, yaitu pengarang dengan menjual
hasil karya sastra yang mereka buat kepada para pembaca. Karya sastra dapat
digunakan sebagai propaganda, dengan karya sastra para pengarang dapat
menyampaikan suatu maksud atau pesan yang ditujukan kepada khlayak
umum/pembaca agar para pembaca melakukan pesan atau maksud yang ada pada
karya sastra tersebut, terlepas dari baik atau buruknya pesan yang ingin
disampaikan oleh pengarang.
Cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam merupakan cerpen yang
sangat jenius, penuh kejutan dan mempunyai makna yang dalam. Membaca
cerpen Harimau Belan tidak hanya mengajak kita untuk melihat manusia, dunia
dan isinya, namun memaksa kita memasuki dunia kepercayaan masyarakat
(mitos). Guntur Alam berusaha menyuguhkan permainan bahasa yang lebih
ditekankan dalam hal bentuk-gaya dan mulai sedikit meninggalkan isi. Menot
merupakan tokoh sentral dalam cerpen ini. Ia merupakan istri dari Nalis. Mereka
mempunyai dua anak laki-laki yakni Latas dan Pebot. Sebagai orang tua dan
sekaligus pemimpin rumah tangga, kedua berusaha menjaga agar anak mereka
tersebut tetap aman dan baik, dengan cara ikut berburu Harimau Belang.
….
”BESOK aku akan ikut orang-orang berburu rimau,” ucap Nalis tadi malam
”Tak usahlah, Bang. Nanti kualat berburu puyang,” Menot tak ingin ada hal
buruk yang menimpa Nalis, dia, dan anak-anaknya.
15
”Kalau tak dibunuh, rimau itu akan makan orang lagi. Iya kemarin anak
lanangnya Kudik, besok-besok bisa jadi anak kita,” tukas Nalis.
….
Dialog di atas merupakan sebagian pencarian dari beberapa bagian yang
memperlihatkan bahwa Nalis dan Menot sangat menjaga anak-anaknya sekalipun
harus berburu Harimau Belang. Namun, Tuhan mempunyai kehendak sendiri,
Nalis tak kunjung kembali dari berburu, sedangkan Menot bertemu dengan
Harimau Belang di Danau Piabong.
3.1.3 Sosiologi Pembaca dalam Cerpen Harimau Belang
Sosiologi pembaca mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial
karya tersebut, yakni sejauh mana dampak sosial sastra bagi masyarakat
pembacanya ( Wellek dan Werren, 1990: 111 ). Beberapa pengertian dan pendapat
di atas menyimpulkan bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan
terhadap karya sastra dengan tidak meninggalkan segi-segi masyarakat, termasuk
latar belakang kehidupan pengarang dan pembaca karya sastra. Karya sastra kita
kenal sebagai karya imajinasi yang lahir bukan atas kekososngan jiwa namun juga
atas realitas yang terjadi di sekeliling pengarang. Seorang sastrawan tidak hanya
mengikuti selera publiknya atau pembacanya, tetapi juga menciptakan publiknya
sendiri. Pembaca memiliki peran penting dalam dunia sastra. Adanya
pembaca, dunia sastra mengalami perkembangan, baik dalam produksi karya
ataupun segi keilmuan. Tanpa pembaca, fungi sastra tidak memiliki perannya
dalam karya. Jadi karya tanpa ada pembaca tidak lebih dari sekedar kumpulan
naskah.
Dewasa ini, kemunculan karya sastra semakin banyak. Beberapa media
cetak, seperti koran, setiap minggu ada yang memuat karya sastra. Lahirnya
karya sastra, tidak terlepas dari kepiawaian seorang penulis dalam
mengeksplorasikan idenya. Keberadaan karya sastra sampai pada pembaca, tidak
terlepas dari keberadaan penerbit atau media. Tujuan akhir dari penerbitan adalah
mampu menjadikan karya sastra dapat dimiliki oleh pembaca yaitu masyarakat
atau publik. Pembaca dapat dikatakan sebagai raja pada kegiatan produksi sastra.
16
Dalam dunia sastra sorang penulis, karya/hasil ciptaan penulis
dan pembaca merupakan mata rantai dalam menggerakkan perkembangan
dunia sastra. Penulis merupakan titik awal dalam keberadaan karya. Karya inilah
yang akan diterima oleh pembaca atau penikmat sastra.
Keberadaan pengarang dan karya sastra tentunya tidak pernah lepas dari
pembaca, seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa tanpa pembaca, fungi sastra
tidak memiliki perannya dalam karya. Hal itu karna antara ketiganya memiliki
hubungan yang tak dapat dipisahkan, hususnya hubungan antara pengarang dan
pembaca dengan menjadikan karya sastra sebagai sarananya penghubungnya.
Hubungan sastrawan dengan pembaca adalah hubungan timbal balik. Pada awal
komunikasi, sastrawan berkomunikasi dengan pembacanya berangkat dari
praanggapan yang sama. Dalam dunia sastra, praanggapan ini dinamakan
konvensi sastra (Wahyudi Siswanto, 2008: 94).
Sastrawan yang mengetahui konvensi yang sudah ada dibenak pembaca
bisa mengambil sikap mengikuti dan memanfaatkan konvensi itu. Sastrawan yang
mengambil sikap mengikuti konvensi bisa berangkat dari praanggapan yang sama
dengan pembaca dan tetap setia untuk menghasilkan karya sastra yang sesuai
dengan praanggapan tersebut.
Melalui cerpen Harimau Belang ini, Guntur Alam ingin menyampaikan
kepada pembaca bahwasannya eksistensi manusia hanya sebatas sebagai makhluk,
sedangkan Tuhan adalah sang Pencipta. Ia yang mengendalikan semua dan
menjadi super power yang tidak pernah bisa tertandingi. Mitos warga dusun
Tanah Abang tidak ada satupun yang mampu menandingi kuasa Tuhan. Bukan
mitos yang tak bias dipecahkan, namun kuasa Tuhan yang tak bisa diperkirakan.
3.2 Kajian Semiotik Sastra dalam Cerpen Harimau Belang
Dalam cerpen Harimau Belang karya Guntur Alam terdapat kutipan kata
yang mengandung simbol-simbol yang perlu dirunut maknanya untuk lebih
memahami maksud dan mengerti pesan yang ingin disampaikan pengarang. Kata
dan kalimat yang mengandung simbol-simbol beserta pemaknaan simbol tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Laki, lanang-lanang, bini
17
Pemilihan kata untuk menyebut laki-laki atau istri dalam cerpen tersebut
menyiratkan pada masyarakat tertentu. Penggunaan diksi-diksi tersebut, laki untuk
menyebut suami atau laki-laki dewasa, lanang-lanang untuk menyebut para lelaki
dan bini untuk menyebut istri, biasa dipakai pada masyarakat Minangkabau. Atau
banyak dipakai pada masyarakat sekitar Sumatera.
b. Terlebih Menot tengah mengandung anak ketiga mereka. Perempuan
berumur dua puluh enam tahun itu masih percaya jika seseorang tengah hamil,
lakinya tak boleh berbuat macam-macam dengan binatang.
Kutipan tersebut memberikan pengertian bahwa masyarakat dalam cerpen
tersebut adalah masyarakat yang masih terjebak dalam sistem perkawinan dini.
Bila umur dua puluh enam saja sudah akan melahirkan anak ketiga, dan anak
pertama berumur 9 tahun, maka perempuan ini, Menot menikah minimal pada
usia 17 tahun. Atau, bila dikurangi masa mengandung selama 9 bulan, bisa jadi
usia saat menikah adalah 16 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk sebuah
perkawinan.
”Tas, jaga adik. Emak nak mandi ke Piabong,” ucapnya pada Latas, anak
sulungnya yang berumur sembilan tahun itu.
Kutipan yang menyatakan bahwa anak pertama Menot berusia 9 tahun.
c. Menot, Nalis, Seron, Kudik, Ceok, Genepo, Latas dan Pebot;
Nama-nama tokoh dalam cerpen tersebut barangkali adalah nama-nama
yang kurang umum di telinga pembaca. Nama-nama tersebut adalah nama yang
menyiratkan dari kelompok tertentu. Sebuah komunitas masyarakat yang
barangkali benar-benar ada, atau memang hanya imajinasi tajam dari pengarang.
Bahkan hanya sekedar untuk menarik perhatian pembaca. Sejauh ini, belum
ditemukan tanda-tanda yang pasti perihal nama-nama tersebut. bila dihubung-
hubungkan dan dimirip-miripkan dengan simbol-simbol yang lain, maka, nama-
nama tersebut adalah nama-nama komunitas masyarakat di daerah Minangkabau,
Sumatera.
d. Tanah Abang
18
Pemilihan nama dusun dengan Tanah Abang ini, mungkin ditujukan untuk
“menipu” pembaca. Tanah Abang memang identik dengan nama sebuah kawasan
di Jakarta. Namun, dalam cerpen ini, suasana yang digambarkan pengarang sangat
jauh dari Jakarta. Bahkan masyarakatnya dijelaskan berada di dekat hutan, dengan
masyarakat yang masih tradisional dan bahasanya pun bukan bahasa ala Jakarta.
Bila yang dimaksud adalah sebuah kawasan di Jakarta sebagaimana yang
umum diketahui, maka tentu akan banyak hal lain yang mendukung. Dalam
cerpen ini sama sekali tak ada yang mendukung itu. Tanah Abang, dalam cerpen
ini adalah nama dusun. Sehingga bila memang benar-benar ada, maka tak akan
banyak orang yang mengetahuinya. Tanah Abang yang dimaksud dalam cerpen
ini, sama sekali bukan kawasan di Jakarta.
e. pergi berburu
Berburu berarti ada tempat tujuan untuk berburu. Berburu yang dimaksud
dalam cerpen ini adalah berburu Harimau Belang yang meresahkan masyarakat
tersebut. Dengan pergi berburu, pengarang sebenarnya ingin mengatakan bahwa
masyarakat yang digambarkannya adalah mereka yang tinggal dekat hutan. Hutan
karet.
f. harimau belang adalah titisan leluhur dari masa silam, jika seseorang
melintas di hutan dan ada harimau belang, dia harus permisi
Budaya masyarakat dalam cerpen tersebut masih percaya dengan mitos
yang diwariskan leluhur mereka. Bahwa ketika melewati harimau belang, mereka
wajib permisi. Kepercayaan ini menandakan bahwa masyarakat yang diletakkan
pengarang dalam cerpen ini adalah masyarakat yang masih memegang teguh
warisan mitos leluhur mereka.
g. kambing yang sedang merumput di darat dusun
Selain dekat dengan hutan, ternyata masyarakat itu juga ada di sebuah
perkampungan yang kurang layak disebut kota. Kambing merumput menandakan
19
bahwa masyarakat yang dibawa pengarang adalah masyarakat kampung yang
berarti tidak perkotaan. Ini diperjelas juga dengan kata dusun.
h. Bocah laki-laki enam tahun itu diterkamnya saat tengah bermain perang-
perangan dengan kawan-kawannya di darat dusun.
Kutipan ini menguatkan bahwa masyarakat ini adalah masyarakat
kampung. Karena di kota sudah tidak jamannya lagi anak-anak bermain perang-
perangan.
Perang-perangan adalah salah satu permainan yang cukup populer di kampung-
kampung. Di kota, perang-perangan sudah tidak ada lagi, barangkali. Anak-anak
lebih suka pergi ke tempat playstation atau warnet.
i. bergumul dengan pokok karet, tambang batubara Serpuh, atau bergumul
dengan gelondongan kayu di BHT, pabrik bubur kertas, di hulu kecamatan
Kutipan ini menunjukkan bahwa mata pencaharian masyarakat dalam
cerpen ini adalah menyadap karet, penambang batubara, atau pekerja pabrik
kertas. Selain itu, mereka juga digambarkan masyarakat yang dekat dengan hutan,
dekat dengan pohon karet. Karena pekerjaan mereka adalah menyadap karet.
Dengan pekerjaan ini, masyarakat dalam cerpen ini digambarkan masyarakat yang
menempati posisi menengah ke bawah. Pernyataan ini diperkuat dengan kutipan
berikut:
Sayangnya orang-orang dusun cuma kebagian jadi satpam, tukang tebang
kayu, tukang angkut kayu di pabrik bubur kertas itu. Tak ada yang diangkat jadi
bos
Masyarakat dusun Tanah Abang tidak ada yang diangkat menjadi bos, karena
tidak memiliki ijasah sarjana. Posisi bos tidak bisa ditempati, sehingga mereka
menjadi masyarakat yang terus berada di kawasan ekonomi menengah ke bawah.
Kemudian masyarakat itu bisa menjadi kaya ketika mereka rela menjual tanahnya.
Seperti dalam kutipan berikut:
Beberapa orang jadi kaya mendadak karena tanahnya kena operan Serpuh
20
Orang yang kaya mendadak sudah pasti berasal dari tidak kaya alias
miskin. Mereka yang merelakan tanahnya dan menjadi mendadak kaya. (Dengan
asumsi kaya adalah bila memiliki banyak uang).
j. jika seseorang tengah hamil, lakinya tak boleh berbuat macam-macam
dengan binatang
Ungkapan ini menunjukkan bahwa masyarakat dalam cerpen ini adalah
masyarakat yang masih erat dengan mitos. Meskipun memang terdapat bukti-
bukti yang menyatakan bahwa seorang suami yang berbuat buruk pada binatang
ketika istrinya sedang hamil, ada hal-hal yang tidak menyenangkan yang terjadi
pada anak ketika ia lahir nanti. Sebagaimana terdapat dalam penggalan berikut:
Dulu, saat bininya hamil muda, Ceok sempat menghajar ular hitam yang dia
temui di kebun karetnya. Ular itu melarikan diri, tak mati tapi babak belur kena
pukulan kayu dari Ceok. Saat anaknya lahir, anaknya lumpuh layu. Orang-orang
dusun mengatakan, Ceok kualat gara-gara ular hitam itu.
Keyakinan ini memang masih menjadi wajah sehari-hari kita dalam
kehidupan masyarakat yang masih tidak bisa dilepaskan dari belenggu pikiran
nenek moyang atau leluhur. Pernyataan ini diperkuat dengan ungkapan berikut:
Binatang yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun dianggap keramat oleh
orang dusun
Bahwa pikiran tentang keramat memang diturunkan dan diwariskan secara
teratur oleh nenek moyang. Orang-orang dusun dahulu terlanjur mengeramatkan
binatang harimau belang yang satu itu sehingga sampai anak cucunya masih tetap
mengikuti persepsi orang dusun terdahulu.
k. Harus tamat kuliah kalau nak jadi bos, Bang
Penggalan tersebut menyiratkan bahwa pendidikan masyarakat dalam
cerpen ini rata-rata hanya tamatan sekolah menengah atas atau bahkan di
bawahnya lagi. Pernyataan ini diperkuat dengan penggalan berikut:
Perempuan yang hanya tamat SD itu tak berani bersuara. Lakinya tak akan
mendengarnya. Kalau pun dia didengarkan, apa yang bisa mereka perbuat?
21
Si Menot yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini bahkan hanya
seorang yang lulusan sekolah dasar. Sehingga setidaknya menjadi perwakilan
masyarakat sekitarnya bahwa pendidikan mereka memang tidak terlalu baik.
Dalam kutipan lain juga dijelaskan bahwa warga dusun Tanah Abang kebanyakan
adalah lulusan SMA, karena tidak ada keterangan melanjutkan pendidikan.
Berikut kutipannya:
bujang Tanah Abang tamatan SMA melamar kerja di sana dan diterima; jadi
tukang gali batubara!
Dengan alasan yang tidak disebutkan, setelah tamat SMA, para warga
Tanah Abang memilih melamar kerja di pabrik dan memang diterima, meskipun
hanya menjadi tukang gali batubara. Padahal untuk menjadi tukang gali batubara,
secara nalar tidak memerlukan lulus SMA. Asalkan memiliki fisik yang cukup
kuat, maka pekerjaan ini layak bagi orang tersebut.
Maka, pernyataan tersebut juga dapat dimaknai bahwa di kawasan Tanah Abang
tidak ada pekerjaan yang lebih baik yang bisa dipilih dan menjadi alternatif. Dan
menjadi tukang gali batubara adalah pilihan yang sama sekali tidak buruk.
l. JARUM jam bergambar Kabah..
Kutipan ini menjadi bukti bahwa masyarakat dalam cerpen ini, beragama
yang identik dengan Ka’bah yaitu agama Islam. Meskipun belum tentu
masyarakat beragama Islam seluruhya, namun berdasarkan tanda ini, dapat
memberi perwakilan gambaran bahwa sebagian masyarakat Tanah Abang
beragama yang identik dengan Ka’bah, yaitu agama Islam.
m. Limas
Sebagaimana diuraikan di atas, maka tidak salah lagi bahwa masyarakat
dalam cerpen ini adalah masyarakat yang ingin diasumsikan masyarakat di
kawasan Sumatera. Meskipun kurang jelas masyarakat yang mana, namun dari
beberapa tanda-tanda atau simbol yang telah ditemukan, terdapat alternatif untuk
menebak-nebaknya. Ada Palembang, Riau dan Jambi. Rumah Limas memang
identik dengan Sumatera Selatan, namun Jambi adalah penghasil karet terbesar.
Sedangkan Riau, suatu sumber juga menyebutkan daerah ini juga menyumbang
karet yang tidak kecil. Kawasan tersebut juga terdapat taman Nasional yang isinya
22
adalah binatang-binatang. Maka, alternatif itu adalah pilihan yang bisa sedikit
menjawab dari sekian kemungkinan-kemungkinan.
n. film kartun Spongebob
Di bagian sebelum akhir cerita, disebutkan bahwa ada seorang anak yang sedang
menonton film kartun Spongbob. Film kartun yang banyak berisi adegan konyol
itu membuat kita yakin bahwa latar waktu yang diusung pengarang tidak jauh dari
masa sekarang. Karena film kartun spongbob sendiri baru beredar di Indonesia
sesudah abad ke-21.
3.3 Kajian Hermeneutika Sastra dalam Cerpen Harimau Belang
Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermenenuein, bahasa
Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis,
hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan
pesan Illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik
lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan
bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra
terdiri atas bahasa, di pihak lain, didalam bahasa sangat banyak makna yang
tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.
Dalam karya sastra, hermeneutik dipakai untuk menginterpretasi sebuah
teks supaya dapat dipahami, Gadmer mengatakan bahwa untuk memahami karya
sastra diperlukan tiga tahapan, yaitu kemengertian, interpretasi, dan aplikasi.
Dalam proses aplikasi, seorang pembaca dapat memahami teks karya sastra jika
cakrawala kesejarahan teks melebur dengan cakrawala pembaca.
Dalam cerpen ini, yang menjadi tokoh utama adalah tokoh Menot, karena
tokoh ini merupakan pusat penceritaan dan memiliki peran penting dalam suatu
cerita.
Tokoh Menot adalah seorang perempuan yang tidak bisa menikmati masa
remajanya bahkan untuk bermain dan bercanda. Keinginannya untuk menikmati
masa remaja yang ceria sama seperti anak remaja lainnya harus kandas. Kondisi
tersebut kemudian memaksanya merelakan masa remajanya hancur karena harus
menikah dengan laki-laki yang bernama Nalis.
23
Keadaan ini dapat kita lihat dalam penggalan cerpen dibawah ini:
“Terlebih Menot tengah mengandung anak ketiga mereka. Perempuan berumur
dua puluh enam tahun itu masih percaya jika seseorang tengah hamil, lakinya tak
boleh berbuat macam-macam dengan binatang.”
Kutipan tersebut memberikan pengertian bahwa masyarakat dalam cerpen
tersebut adalah masyarakat yang masih terjebak dalam sistem perkawinan dini.
Bila umur dua puluh enam saja sudah akan melahirkan anak ketiga, dan anak
pertama berumur 9 tahun, maka perempuan ini, Menot menikah minimal pada
usia 17 tahun. Atau, bila dikurangi masa mengandung selama 9 bulan, bisa jadi
usia saat menikah adalah 16 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk sebuah
perkawinan.
”Tas, jaga adik. Emak nak mandi ke Piabong,” ucapnya pada Latas, anak
sulungnya yang berumur sembilan tahun itu.
Kutipan yang menyatakan bahwa anak pertama Menot berusia 9 tahun.
Dalam bagian lain, tokoh Mneot mengalami suatu tekanan batin karena
mengalami trauma yang mendalam dalam hidupnya karena mitos yang menyebar
di dusun Tanah Abang. Tokoh Menot tak rela suaminya pergi berburu Karena ia
takut nanti anaknya akan lahir secara cacat akibat ulahnya memburu Harimau
Belang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerpen di bawah ini:
”Tak usahlah, Bang. Nanti kualat berburu puyang,” Menot tak ingin ada hal
buruk yang menimpa Nalis, dia, dan anak-anaknya. Terlebih Menot tengah
mengandung anak ketiga mereka. Perempuan berumur dua puluh enam tahun itu
masih percaya jika seseorang tengah hamil, lakinya tak boleh berbuat macam-
macam dengan binatang.
“Keyakinan ini makin kuat karena ketabuan ini bukan mitos semata. Anak
pertama Ceok terlahir dengan badan lumpuh layu, tak bisa bergerak, terkapar
saja di atas kasur walau bujang itu sudah berumur lima tahun. Dulu, saat bininya
hamil muda, Ceok sempat menghajar ular hitam yang dia temui di kebun
karetnya. Ular itu melarikan diri, tak mati tapi babak belur kena pukulan kayu
dari Ceok. Saat anaknya lahir, anaknya lumpuh layu. Orang-orang dusun
mengatakan, Ceok kualat gara-gara ular hitam itu.
24
Dari kutipan di atas, kita bisa lihat bahwa tokoh Menot tidak ingin
suaminya pergi berburu, dia ingin diperlakukan seperti layaknya seorang istri, dia
ingin dimanja dan disayang dengan cara yang normal. Karena trauma akan mitos-
mitos yang beredar di Dusun Tanah Abang tersebut, tokoh Menot begitu resah
ketika suaminya pergi berburu.
Tokoh Menot pada dasarnya selalu berusaha bersikap baik dan sopan
kepada suaminya karena hal tersebut merupakan suatu yang harus dilakukan
untuk menjunjung tinggi nilai moral yang berlaku dalam masyarakat meskipun
sebenarnya batinnya menolak untuk melakukan itu. Keadaan ini dapat kita lihat
dalam kutipan cerpen berikut :
“Nah, bagaimana Menot tak cemas ketika Nalis bercerita hendak berburu
harimau belang. Binatang yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun dianggap
keramat oleh orang dusun mereka. Menot tak dapat membayangkan akan seperti
apa nasib yang menimpa anak dalam kandungannya ini kelak.”
”Kalau tak dibunuh, rimau itu akan makan orang lagi. Iya kemarin anak
lanangnya Kudik, besok-besok bisa jadi anak kita,” tukas Nalis.
”Tapi, Bang,” Menot masih berusaha membantah, dia melabuhkan mata ke arah
Nalis. Keduanya berpandangan dalam temaram lampu dapur. ”Aku takut terjadi
hal buruk. Kau tahu sendiri aku tengah hamil. Rimau juga sangat buas. Kau bisa
mati kalau diterkamnya.” Menot memasang wajah memelas.
25
IV. PENUTUP
4.1 Simpulan
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi memiliki
arti, ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu
pengetahuan yang memelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam
masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sedangkan sastra memiliki arti,
kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.
Kedua ilmu ini, memiliki objek yang sama, yaitu manusia. Sosiologi sebagai suatu
pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan
segi-segi sosial.
Wellek dan Warren (1956-1984, 1990:111) membagi sosiologi sastra
sebagai berikut: Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra,
masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar
belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari
26
berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah
warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial.
Semiotik adalah pembelajaran mengenai sifat-sifat dasar dan variasi asas-
asas yang memungkinkan dalam semiosis. Istilah semiosis berasal dari risalah
Epicurean filosofis Philodemus. Pierce menjelaskan bahwa semiosis mengandung
makna perbuatan yang hampir terdapat dalam berbagai macam tanda dan ini
merujuk pada sesuatu perbuatan yang berlabel tanda (Winfrid North, 1990:42).
Menurut Charles Sander Pierce ( 1839 - 1913 ) tanda dapat dibagi menjadi
tiga. Mereka adalah simbol, ikon, dan indeks. Simbol merupakan hubungan
petanda dengan petanda sebagai kesepakatan konvensional. Ikon lebih cenderung
menghubungan petanda dan penanda secara fisik. Sedangkan indeks
menghubungkan petanda dan penanda sebagai hubungan sebab akibat.
Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermenenuein, bahasa
Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis,
hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan
pesan Illahi kepada manusia.
Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam
menafsirkan teks. Hermeneutika mencakup dalam dua fokus perhatian yang
berbeda dan saling berinteraksi yaitu; 1) peristiwa pemahaman terhadap teks, 2)
persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman interprestasi itu (Palmer,
2005 : 8). Hal ini memperlihatkan bahwa gagasan utama dalam hermeneutika
adalah pemahaman (understanding) pada teks.
Menurut Ricoeur, pemaknaan adalah suatu dialektika antara penjelasan
dan pemahaman. Penjelasan merupakan analisis struktur yang dilakukan terhadap
karya dengan melihat hubungannya pada dunia yang ada di dalam teks. Model ini
menjelaskan sisi objektif sebagai ranah ilmu alam. Dari sini dapat dilihat bahwa
hasil pemaknaan hermeutika adalah pemahaman diri (refleksi).
4.2 Saran
Karya sastra yang memiliki banyak istilah-istilah atau penggunaan diksi
yang tidak banyak diketahui awam, maka teori semiotik sangat disarankan sebagai
alat analisisnya. Analisis semiotik mengungkap hal-hal yang tak bisa ditangkap
27
dengan sekali baca. Perlu pengumpulan informasi tentang hal-hal yang ada di
dalam karya sastra.
Mengenai karya yang dikaji, cerpen ini menyiratkan simbol-simbol lain yang
masih sangat perlu untuk diungkap pesan-pesannya. Analisis sederhana makalah
ini tentu masih banyak kekurangan. Disarankan bagi pembaca untuk lebih
menganalisis dengan lebih dalam dan lebih teliti.
DAFTAR RUJUKAN
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Alam, Guntur. Harimau Belang. Harian Kompas Edisi 12 Januari 2014.
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature. Routledge & Kegan Paul: London.
Darma, Budi. 1983. Solilokui, Kumpulan Esai Sastra. Jakarta. Gramedia.
E. Palmer. 2005. Hermeneutik: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kaelan, 2009, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, yogyakarta:Paradigma.
Manuaba, Putera. “Hermeneutik dan Interpretasi Sastra”. diakses dari http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.html
Purkonudin, Ukon. 2011. “Teori Hermeneutik dalam Karya Sastra”. Opini Kompas
Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Jogyakarta. Pustaka Pelajar.
Santoso, Puji, 1993, ancangan semiotika dan pengkajian susastra, Bandung: Angkasa.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Jakarta: Penerbit
28
Kanisius.Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1977. Theory of Literature. Harcourt Brace Javanovich, Publisher, San Diego. New York. London.
Zoest, Aart van. 1993. Semiotika: Tentang tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan dengannya. Yayasan Sumber Agung: Jakarta.
29