i
KATA SAMBUTAN
Sekretaris Jenderal DPR RI
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaarakatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita
semua.
Dalam kesempatan Rapat Paripurna DPR RI pada hari
selasa 2 Oktober 2018, BPK RI telah menyerahkan
kepada DPR RI Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I
(IHPS I) Tahun 2018 dari 700 Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) BPK pada pemerintah pusat,
pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan badan lainnya
yang meliputi hasil pemeriksaan atas 652 laporan keuangan, 12 hasil
pemeriksaan kinerja, dan 36 hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu
(PDTT).
Sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 23E ayat (3), hasil pemeriksaan
tersebut ditindaklanjuti oleh DPR RI dengan melakukan penelahaan dalam
mendorong akuntabilitas dan perbaikan pengelolaan keuangan negara. Hal
ini dilakukan DPR RI sebagai bentuk menjalankan fungsi pengawasan atas
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Untuk memperkuat referensi sekaligus memudahkan pemahaman
pembacaan IHPS I Tahun 2018, Badan Keahlian melalui Pusat Kajian
Akuntabilitas Keuangan Negara dalam memberikan dukungan pelaksanaan
fungsi pengawasan DPR, telah melakukan penelahaan terhadap temuan dan
permasalahan hasil pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan
Kementerian dan Lembaga (LKKL) untuk Tahun Anggaran 2017 yang
dikelompokkan sesuai Mitra kerja Komisi Dewan dari Komisi I sampai
dengan Komisi XI.
Demikianlah hal-hal yang dapat kami sajikan. Kami berharap hasil telahaan
ini dapat memberikan informasi kepada Pimpinan dan Anggota Komisi
DPR RI sehingga dapat dijadikan acuan dasar dalam meminta
ii
pertanggungjawaban pemerintah dan melakukan pengawasan terhadap
perkembangan tindak lanjut rekomendasi atas hasil pemeriksaan BPK
tersebut, terutama terhadap tindak lanjut rekomendasi yang berstatus belum
selesai dan belum ditindaklanjuti.
Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian pimpinan dan anggota DPR
yang terhormat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
iii
KATA PENGANTAR
Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara
Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI
uji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT,
karena berkat nikmat dan rahmat-Nya Pusat Kajian Akuntabilitas
Keuangan Negara (PKAKN) Badan Keahlian DPR RI dapat
menyelesaikan buku Telaahan atas Laporan Keuangan Kementerian dan
Lembaga pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2018. Buku
disusun berbasis data hasil pemeriksaan BPK RI dan bertujuan untuk
memperkuat pengawasan DPR RI atas penggunaan keuangan negara.
Buku ini merupakan penelaahan atas Laporan Keuangan Kementerian
dan Lembaga (K/L) yang menjadi mitra kerja Komisi di DPR RI. Terkait
hal ini BPK memeriksa 86 Laporan Keuangan Kementerian dan
Lembaga (LKKL) dan 1 Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara
(LKBUN).
Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa 79 LKKL dan 1 LKBUN
memperoleh opini WTP, 6 LKKL memperoleh opini Wajar Dengan
Pengecualian (WDP) dan 2 LKKL memperoleh opini Tidak Menyatakan
Pendapat. Atas perolehan opini LKKL pada 2017, BPK menjelaskan
bahwa terdapat kenaikan jumlah K/L dengan opini WTP dari 74 K/L
pada 2016 menjadi 80 K/L pada 2017. Peningkatan jumlah K/L dengan
opini WTP ini terjadi karena adanya perbaikan berupa:
1. Pembentukan Task Force penanganan piutang;
2. Perbaikan penyajian akun persediaan; dan
3. Dilakukannya penilaian Aset Tak Berwujud (ATB),
memperhitungkan beban amortisasi ATB Lainnya, dan
menyajikan ATB dan amortisasinya pada LK Tahun 2017.
Pada akhirnya kami berharap buku ini dapat bermanfaat untuk seluruh
Alat Kelengkapan Dewan DPR RI terutama komisi-komisi terkait dan
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI sebagai bahan
pembahasan saat Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat dan kunjungan
P
iv
kerja komisi maupun perorangan. Atas kesalahan dan kekurangan pada
buku ini kami mengharapkan kritik dan masukan yang membangun
untuk perbaikan produk PKAKN kedepannya.
Jakarta, Maret 2019
Helmizar
NIP.196407191991031003
v
DAFTAR ISI
Kata Sambutan Sekretaris Jendral DPR RI....................................... i
Kata Pengantar Kepala Pusat KAKN............................................... iii
Daftar Isi................................................................................................ v
Daftar Tabel.......................................................................................... vii
1. KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN
HASIL PEMERIKSAAN 1
Sistem Pengendalian Intern........................................ 5
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-
undangan....................................................................... 13
2. BADAN PENGAWAS OBAT MAKANAN
HASIL PEMERIKSAAN 21
Sistem Pengendalian Intern........................................ 25
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-
undangan....................................................................... 31
3. KEMENTERIAN KESEHATAN
HASIL PEMERIKSAAN 35
Sistem Pengendalian Intern........................................ 43
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-
undangan....................................................................... 58
4. BADAN KEPENDUDUKAN KELUARGA
BERENCANA NASIONAL
HASIL PEMERIKSAAN 72
Sistem Pengendalian Intern........................................ 78
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-
undangan....................................................................... 86
5. BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
KESEHATAN
HASIL PEMERIKSAAN 89
vi
6. BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN
PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA
HASIL PEMERIKSAAN 93
Sistem Pengendalian Intern........................................ 98
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-
undangan....................................................................... 102
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Rincian Aset Tetap Tanah Dikuasai Pihak Lain 2
Tabel 2 RAB Kontrak Induk 36
Tabel 3 Tindak Lanjut yang Belum Sesuai Rekomendasi BPK 38
Tabel 4 Temuan Realisasi Belanja KKBPK 73
Pusat Kajian AKN | 1
TELAAHAN ATAS HASIL PEMERIKSAAN BPK RI PADA KEMENTERIAN/LEMBAGA
MITRA KERJA KOMISI IX
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2018 (IHPS I 2018),
BPK mengungkap sebanyak 456 temuan dengan rekomendasi sebanyak
1.236 untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran Tahun
2017 pada Kementerian/Lembaga (K/L) mitra kerja Komisi IX yang
membidangi Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Disamping K/L, terdapat
Badan Lainnya yang juga menjadi Mitra Kerja Komisi IX yaitu BPJS
Kesehatan. Hasil pemeriksaan BPK atas Kementerian/Lembaga dan Badan
mitra kerja Komisi IX dapat dirinci sebagai berikut:
1. Kementerian Ketenagakerjaan
Laporan Keuangan Kementerian Ketenagakerjaan pada Tahun 2015
mendapat opini WDP dari BPK. Namun pada Tahun 2016 dan 2017 LK
Kemenaker telah berhasil mendapatkan opini WTP. Berikut gambaran
mengenai jumlah temuan dan rekomendasi, serta status pemantauan tindak
lanjut atas rekomendasi BPK untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan
Tahun Anggaran 2017 di Kemenaker:
Bagan di atas menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir (2015-
2017) BPK mencatatkan 91 temuan dalam pemeriksaan yang dilakukan
terhadap Kemenaker, dan memberikan 274 rekomendasi untuk
ditindaklanjuti. Dari 274 rekomendasi, 154 (56,20%) rekomendasi telah
ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi BPK, dengan kata lain telah
selesai ditindaklanjuti. Sedangkan 119 (43,43%) tindak lanjut belum sesuai
rekomendasi BPK dan 1 rekomendasi belum ditindaklanjuti oleh
Kemenaker.
2015 2016 2017
21 48 22
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
24 102 28 39 40 40 1 0 0 0 0 0
Belum Ditindaklanjuti Tidak Dapat Ditindaklanjuti
Temuan
91
Rekomendasi
274
Sesuai Rekomendasi Belum Sesuai Rekomendasi
2 | Pusat Kajian AKN
Hasil Pemeriksaan BPK atas LK Kemenaker mengungkapkan terdapat
temuan berulang dari Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun
Anggaran 2017 terkait penggunaan dan pengamanan Aset Tetap pada
sejumlah satker yang belum tertib. Diantara satker-satker tersebut, Auditorat
Keuangan Negara III BPK RI yang menangani pemeriksaan Kemenaker
menyoroti temuan Aset Tetap tanah pada Biro Umum yang dikuasai pihak
lain di luar pemerintah dengan luas tanah 22.954m2 senilai
Rp10.669.264.000. Rinciannya adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Rincian Aset Tetap Tanah Dikuasai Pihak Lain
No Lokasi Tanah
Luas Nilai Bukti Kepemilikan Keterangan
(m2) (Rp)
1
Jl. Gunung Sahari Raya-Jakarta
1.364 2.968.064.000
Sertifikat Hak Pakai No 83 Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan
Dikuasai BUMD
2 Jl. Gatot Subroto-Jakarta
18.150 649.200.000 Sertifikat Hak Pakai Nomor 100 yang terbit 15 April 2008*
Dikuasai YTKI.
3 Jl.Raya Pisangan-Jakarta
3.440 7.052.000.000 Sertifikat Hak Pakai Nomor 325
Diatasnya berdiri 30 unit bangunan yang dijadikan tempat tinggal pensiunan dan masyarakat umum
Jumlah 22.954 10.669.264.000
Ket: *): Berdasarkan Keterangan dari LHP BPK pada LK Kemenaker Tahun 2014
Diantara ketiga tanah tersebut, permasalahan tanah yang dikuasai oleh
YTKI tersebut terbilang cukup kompleks. Gedung YTKI yang dibangun
diatas tanah Kemenaker di Jalan Gatot Subroto awalnya dibangun sebagai
hibah dari Pemerintah Jerman dhi. Friedrich Ebert Stiftung (FES) kepada
Pemerintah Indonesia dhi Depnaker sesuai perjanjian pada tanggal 4 Juli
1968 dan 31 Januari 1969. Berdasarkan pemeriksaan dokumen diketahui
bahwa tanah tersebut telah dipinjamkan dengan dasar pinjam pakai kepada
Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) sesuai Surat Menteri
Depnakertrans No.614/M/XI/1980 tanggal 26 November 1980. Surat
Pusat Kajian AKN | 3
tersebut tidak mengatur mengenai batas waktu peminjaman dan besaran
kontribusi/sewa YTKI atas penggunaan tanah Negara tersebut.
Surat tersebut sebenarnya sudah tidak relevan seiring dengan berlakunya
Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 2006 yang diubah terakhir dengan
berlakunya PP No 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Dalam PP No.6 Tahun 2006 tersebut dijelaskan bahwa
Pemanfaatan BMN berupa Tanah dan atau Bangunan dilaksanakan oleh
pengelola barang, yaitu Menteri Keuangan. Selain itu dalam Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan
Pemindahtanganan Barang Milik Negara dijelaskan bahwa pelaksanaan
pemanfaatan BMN dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan dilakukan oleh Pengguna Barang dengan persetujuan
Pengelola Barang.
Apabila mengacu pada dasar hukum yang lebih tinggi, yaitu Pasal 49 ayat
(3) UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang
menyatakan bahwa tanah dan bangunan milik negara yang tidak
dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
Kementerian/Lembaga, wajib diserahkan pemanfaatannya kepada Menteri
Keuangan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara.
Sebagai tambahan, pada LHP atas LK Kemenaker Tahun Anggaran 2014,
BPK menyatakan bahwa tanah milik Kemenaker di JI. Jenderal Gatot
Subroto Kav. 44 Jakarta Selatan yang dikuasai oleh YTKI tersebut
berpotensi merugikan negara apabila tidak segera dikuasai kembali oleh
negara dhi Kemenaker.
Temuan tersebut merupakan temuan berulang yang belum terselesaikan
hingga saat ini. BPK selalu menyatakan pada LHP atas LK Kemenaker
Tahun Anggaran 2015 s.d. Tahun Anggaran 2017 bahwa Aset Tetap berupa
tanah tersebut apabila tidak segera dikuasai kembali akan berpotensi hilang
dan bersengketa di masa yang akan datang.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Ketenagakerjaan (Menaker)
agar melakukan proses pengamanan dan penguasaan kembali atas aset yang
dikuasai pihak lain. Dalam rangka menindaklanjuti rekomendasi BPK yang
salah satunya menguasai kembali tanah yang dikuasai YTKI tersebut,
Kemenaker melalui Sekretaris Jenderal telah membuat surat permohonan
4 | Pusat Kajian AKN
audit investigasi atas aset milik Kemenaker yang dikuasai YTKI kepada
BPKP pada tanggal 6 September 2016. BPKP kemudian merespons dengan
menugaskan tim audit investigasi pada tanggal 13 Desember 2016. Hasil
audit investigasi sudah disampaikan kepada Menaker namun belum ada
disposisi lebih lanjut. Untuk tanah di Jalan Raya Pisangan yang dikuasai
pensiunan, Kemenaker saat ini tengah bernegosiasi dengan para pensiunan
agar mereka mengajukan perrnohonan sewa atas tanah yang mereka tempati
tersebut. Sedangkan untuk tanah di Jalan Gunung Sahari Raya, saat ini tanah
tersebut dikuasai oleh BUMD dan disampingnya berdiri kantor Jamkesda.
Perkembangan terkini berdasarkan LHP atas LK Kemenaker Tahun
Anggaran 2016, BPK menyatakan bahwa bangunan yang berdiri diatas tanah
Kemenaker di Jalan Gunung Sahari tersebut sedang dalam tahap
pengosongan.
Berdasarkan LHP atas LK Kemenaker T.A. 2017, BPK mengungkap 22
temuan dengan 39 permasalahan. Uraian berikut ini merupakan temuan dan
permasalahan yang menjadi perhatian BPK baik dari sisi sistem
pengendalian intern maupun kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan:
Pusat Kajian AKN | 5
Sistem Pengendalian Intern
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian Pendapatan
1. Pengelolaan pendapatan DKPTKA-IMTA pada Direktorat
Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing tidak sesuai
ketentuan
2. Pengelolaan pendapatan pada 11 satker tidak sesuai ketentuan
3. Pengelolaan pendapatan dari pemanfaatan BMN di empat satker belum
tertib
Sistem Pengendalian Belanja
1. Kegiatan Belanja Modal direalisasikan dengan Belanja Barang
sebesar Rp21.192.463.409 dan kegiatan Belanja Barang
direalisasikan dengan Belanja Modal sebesar Rp2.039.144.440
2. Pembayaran Honorarium Assessor dan Tenaga Penguji di
lingkungan Kemnaker sebesar Rp2.595.077.000 belum diatur dalam
Standar Biaya Keluaran (SBK)
3. Penatausahaan atas pemberian bantuan uniuk pembangunan Workshop
Pelatihan Kerja Kejuruan Komputer tidak tertib
4. Pengendalian atas pertanggungjawaban realisasi belanja pada 17 satker
tidak sesuai ketentuan
Sistem Pengendalian Aset
1. Sisa kas terlambat disetor pada sembilan satker sebesar Rp795.657.395
dan penggunaan kas Atnaker yang tercampur dengan kas besi pada
Kantor Perwakilan RI di Hongkong
2. Penyajian Piulang Bukan Pajak pada Biro Humas dan BRPLK Bekasi belum
mencerminkan nilai bersih yang dapat terealisasi
3. Penatausahaan persediaan pada 12 satker tidak tertib
4. Penggunaan dan pengamanan Aset Tetap pada 31 satker tidak tertib
5. Penatausahaan BMN pada 16 satker Kemnaker tidak sesuai ketentuan
6 | Pusat Kajian AKN
Pengelolaan pendapatan DKPTKA-IMTA pada Direktorat
Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing tidak sesuai
ketentuan.
Selama ini, setiap bulan pihak Dit. PPTKA melakukan rekonsiliasi data
IMTA yang diterbitkan dari aplikasi SIPPTKA dengan data SIMPONI dari
Bendahara Penerimaan selaku Pengelola Dana DKPTKA yang kemudian
dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi (BAR) yang ditandatangani oleh
Kasubdit Analisis dan Perijinan TKA, KEK, dan PTSP dan Pengelola Dana
DKPTKA.
Rekonsiliasi bulanan antara Dit. PPTKA dengan Pengelola DKPTKA
dalam hal ini Bendahara Penerimaan hanya menghasilkan nilai selisih antara
data SIMPONI dengan data dari aplikasi SIPPPTKA, namun belum dapat
menjelaskan secara jelas mengapa selisih itu terjadi dan sampai saat ini belum
ada penyelesaian terkait selisih data tersebut.
Sementara itu pemeriksaan atas data rekonsiliasi bulanan antara Dit.
PPTKA dengan Pengelola DKPTKA terkait penyajian Laporan Keuangan
Tahun 2017 atas pendapatan IMTA, menunjukkan kondisi sebagai berikut:
a. Setiap bulan selama tahun 2017 terdapat kode NTPN pada data
SIMPONI. Kode NTPN ini sudah sesuai dengan data yang ada di
IMTA, namun demikian yang dibayarkan tidak sesuai dengan masa
berlaku IMTA dengan total nilai sebesar USD210,600. Pada sebagian
data menunjukkan setoran yang tercatat di SIMPONI lebih besar dari
nilai IMTA yang dikeluarkan oleh Dit. PPTKA, akan tetapi terdapat juga
setoran yang lebih kecil dari nilai IMTA yang dikeluarkan oleh Dit.
PPTKA. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama ini terdapat IMTA
yang jangka waktu penerbitannya melebihi atau kurang dari jumlah
pembayaran yang diterima meskipun telah dilakukan verifikasi secara
berjenjang di Dit. PPTKA yang menyebabkan potensi kekurangan atau
kelebihan penerimaan pada tahun 2017.
b. Terdapat pembayaran yang telah dilakukan oleh pihak ketiga yang
ditandai dengan adanya Kode NTPN pada data SIMPONI akan tetapi
IMTA belum diterbitkan. Data SIMPONI menunjukkan bahwa
terdapat penerimaan negara berdasarkan penyetoran dari perusahaan
yang menggunakan jasa TKA namun data tersebut tidak terdapat di
Pusat Kajian AKN | 7
aplikasi SIPPTKA dhi. IMTA yang dikeluarkan oleh Dit. PPTKA
dengan total nilai USD3,470,400. Hal tersebut menunjukkan bahwa
terdapat IMTA yang belum diterbitkan meskipun pihak perusahaan
pengguna jasa TKA telah melakukan pembayaran.
Selain kondisi tersebut di atas, sebagaimana telah diungkap dalam
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LK Kemnaker Tahun 2016,
Kemnaker belum pernah bersurat ke daerah-daerah sehingga tidak
maksimal dalam melakukan koordinasi dengan daerah terkait dengan
permasalahan penyajian data pembayaran perpanjangan IMTA yang
dilakukan oleh daerah yang belum memiliki peraturan daerah (Perda).
Selama ini daerah belum ntelaporkan penerbitan IMTA sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 ayat (3) Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 yang
mewajibkan Kepala Dinas Provinsi atau Kabupaten/Kota melaporkan
secara periodik setiap tiga bulan sekali kepada Menteri Ketenagakerjaan
dengan tembusan kepada Dirjen Binapenta dan PKK.
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
a. Pendapatan DKPTKA-IMTA kurang diterima oleh Dit. PPTKA
sebesar USD3,200 atau setara Rp43.353.600 (kurs tengah BI 31
Desember 2017 USD 1 = Rp13.548).
b. Kemnaker kesulitan menyajikan data terkait pendapatan IMTA
khususnya atas setoran dari daerah yang belum memiliki Perda
perpanjangan IMTA.
c. Pendapatan DKPTKA-IMTA sebesar Rp7.558.429.200 pada
Kemnaker belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya karena
adanya selisih antara pembukuan bendahara penerimaan dengan
data di aplikasi SIPPTKA.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Ketenagakerjaan agar:
a. Menginstruksikan Dirjen Binapenta dan PKK untuk menarik
kekurangan penerimaan sebesar USD3,200 atau setara
Rp43.353.600 dari pihak ketiga dan disetorkan ke Kas Negara.
b. Menginstruksikan Dirjen Binapenta dan PKK untuk
memerintahkan kepada Direktur PPTKA supaya melakukan
koordinasi intensif dengan daerah terkait penerimaan IMTA.
8 | Pusat Kajian AKN
c. Menginstruksikan Dirjen Binapenta dan PKK untuk
memerintahkan kepada Direktur PPTKA dan Kasubdit Analisis
dan Perijinan TKA, KEK dan PTSP supaya melakukan rekonsiliasi
bulanan dan mencari penjelasan atas selisih antara data di
SIMPONI dengan data di aplikasi SIPPTKA.
Pengelolaan pendapatan pada 11 satker tidak sesuai ketentuan.
Hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan penatausahaan penerimaan
pada sebelas satker menunjukkan kondisi sebagai berikut:
a. Tarif PNBP atas kegiatan pengujian dan pelatihan belum diatur
dalam Peraturan Pemerintah
1) Biaya lain-lain atas kegiatan pengujian pada Balai Besar
Pengembangan K3 Makassar dan Balai K3 Medan tidak jelas
perhitungannya
2) Tarif biaya pelatihan pada Balai Besar Pengembangan Latihan
Kerja (BBPLK) Serang dan Balai Latihan Kerja (BLK)
Samarinda belum diatur
b. Penatausahaan Bendahara Penerimaan belum memadai
1) Bendahara Penerimaan tidak tertib dalam menyusun BKL
2) Rekening Penerimaan tidak dimanfaatkan secara optimal
c. Bendahara Penerimaan pada delapan satker terlambat menyetorkan
PNBP
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
a. PNBP yang berasal dari jasa pengujian dan pelatihan sulit untuk
diuji.
b. LPJ Bendahara Penerimaan pada 11 satker tidak menggambarkan
kondisi sebenarnya dan tidak valid.
c. Risiko penyalahgunaan PNBP yang tidak segera disetorkan ke Kas
Negara sebesar Rp5.351.984.500.
BPK merekomendasikan kepada Menleri Ketenagakerjaan agar:
a. Menginstruksikan Dirjen Binalattas dan Dirjen Binwasnaker untuk
mengusulkan tarif PNBP atas kegiatan pengujian dan pelatihan di
UPTP.
Pusat Kajian AKN | 9
b. Menginstruksikan Dirjen Binalattas dan Dirjen Binwasnaker untuk
memerintahkan masingmasing Kepala UPTP supaya dalam
melakukan pembukuan berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
c. Menginstruksikan kepada masing-masing kepala satker untuk
melakukan penyetoran PNBP sesuai dengan waktu yang ditentukan
dalam PMK Nomor 03/PMK.02/2013.
d. Memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada:
1) Kepala Biro Umum, Direktur Bina K3, Kepala BBPLK
Serang, Kepala BLK Samarinda, Kepala BLK Makassar,
Kepala Balai K3 Samarinda, Kepala Balai K3 Bandung, Kepala
Balai K3 Jakarta, Kepala Bidang Pelayanan Teknis K3 pada
BBPK3 Makassar dan Kepala Seksi Pelayanan Teknis K3 pada
Balai K3 Medan.
2) Bendahara Penerimaan pada Biro Umum, Direktorat Bina K3,
BBPLK Serang, BLK Samarinda, BLK Makassar, Balai K3
Samarinda, Balai K3 Bandung, Balai K3 Jakarta, BBPLK
Medan, dan BBPK3 Makassar.
Kegiatan belanja modal direalisasikan dengan belanja barang sebesar
Rp21.102.463.409 dan kegiatan belanja barang direalisasikan dengan
belanja modal sebesar Rp2.039.144.440.
Pemeriksaan secara uji petik atas dokumen penganggaran dan realisasi
belanja TA 2017 di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan, menunjukkan
adanya permasalahan kesalahan penganggaran yaitu kegiatan belanja modal
direalisasikan dengan belanja barang sebesar Rp21.192.463.409 dan kegiatan
belanja barang direalisasikan dengan belanja modal sebesar
Rp2.039.144.440.
Uraian permasalahan atas kesalahan penganggaran masing-masing
kegiatan sebagai berikut:
a. Kegiatan belanja modal pada enam satker direalisasikan dengan belanja
barang sebesar Rp21.192.463.409
1) Direktorat Bina Kelembagaan Pelatihan sebesar Rp16.098.455.203
2) Pusat Data dan Informasi Kemnaker sebesar Rp98.200.000
3) BLK Samarinda sebesar Rp81.581.000
10 | Pusat Kajian AKN
4) Balai K3 Samarinda sebesar Rp29.700.000
5) BBPLK Bandung sebesar Rp4.794.359.206
6) Atase Ketenagakerjaan (Atnaker) Hongkong, Direktorat
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri sebesar
Rp90.168.000
b. Kegiatan belanja barang pada tiga satker direaliasikan dengan
menggunakan belanja modal sebesar Rp2.039.144.440
1) Sekretariat Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja sebesar Rp60.000.000
2) Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai sebesar Rp10.925.000
3) Direktorat Bina Kelembagaan Pelatihan sebesar Rp1.968.219.440
c. Kegiatan Belanja Modal Tanah pada Satker BBPLK Serang dianggarkan
dalam kelompok belanja modal gedung dan bangunan sebesar
Rp1.215.994.000
Permasalahan tersebut mengakibatkan penyajian informasi belanja
barang lebih saji dan belanja modal kurang saji pada LRA Kemnaker 2017
sebesar Rp23.231.607.809.
BPK merekomendasikan kcpada Menteri Ketenagakerjaan agar:
a. Menginstruksikan Inspektorat Jenderal untuk lebih cermat dalam
melakukan fungsi reviu RKAKL satker atas pengelompokan belanja
sesuai tujuan peruntukannya.
b. Menginstruksikan secara berjenjang kepada Direktur Bina Kelembagaan
dan Pelatihan, Kepala Pusdatin, Kepala BLK Samarinda, Kepala Balai
K3 Samarinda, Kepala BPLK Serang, Kepala BBPLK Bandung,
Sekretaris Ditjen PHI dan Jamsostek, dan Kepala Pusdiklat Kemnaker
untuk melakukan pengawasan atas pengelompokan belanja berdasarkan
tujuan peruntukannya.
c. Menginstruksikan secara berjenjang kepada bagian perencanaan masing-
masing satker terkait untuk melakukan perencanaan pengelompokkan
belanja sesuai BAS.
Pusat Kajian AKN | 11
Pembayaran honorarium assessor dan tenaga penguji di lingkungan
Kemnaker sebesar Rp2.595.077.000 belum diatur dalam Standar Biaya
Keluaran (SBK).
LRA Kemnaker Tahun 2017 (Audited) menyajikan realisasi Belanja
Barang sebesar Rp1.962.740.895.238 atau 91,37% dari anggaran sebesar
Rp2.148.150.889.000. Diantara realisasi Belanja Barang tersebut digunakan
untuk kegiatan pelayanan laboratorium K3, Honorarium Tim Rekruitmen
dan Administratur Pelatihan Balai K3, pembayaran honor tim assessor
kegiatan sertifikasi kompetensi, dan Dana Dekonsentrasi Ditjen Pembinaan
Pelatihan dan Produktivitas. Kegiatan-kegiatan tersebut seluruhnya sudah
dianggarakan dalam DIPA/POK di masing-masing satker.
Hasil pemeriksaan menunjukkan permasalahan sebagai berikut:
a. Realisasi pembayaran tarif honorarium tanpa standar acuan yang jelas
pada Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Balai K3) Samarinda
sebesar Rp29.500.000
b. Realisasi pembayaran tarif honorarium tanpa standar acuan yang jelas
pada Balai K3 Medan sebesar Rp38.082.000
c. Realisasi pembayaran transport tanpa standar action yang jelas pada
Satker Dekonsentrasi Ditjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas di
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah sebesar
Rp64.295.000
d. Realisasi pembayaran tarif honorarium tim Assessor kegiatan akreditasi
LPK tanpa standar acuan yang jelas pada satker Dekonsentrasi Ditjen
Binalattas Disnakertrans Provinsi Sulawesi Selatan sebesar
Rp20.250.000
e. Realisasi pembayaran honorarium Assessor untuk sertifikasi kompetensi
pada enam satker tidak memiliki standar acuan yang jelas
Hal tersebut mengakibatkan pembayaran honorarium assessor dan
tenaga penguji kompetensi di lingkungan Kemnaker tidak seragam dan tidak
konsisten.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Ketenagakerjaan agar
berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk menyusun dan
menetapkan pedoman teknis yang mengatur besaran honorarium Assessor
12 | Pusat Kajian AKN
dan tenaga penguji kompetensi di lingkup Ditjen Binalattas dan Ditjen
Binwasnaker dan K3.
Penatausahaan persediaan pada 12 satker tidak tertib.
Pemeriksaan atas kegiatan penatausahaan yang meliputi reviu dokumen
persediaan, konftrmasi dengan pengurus barang dan pemeriksaan fisik
lapangan secara uji petik pada 12 satker menunjukkan adanya beberapa
permasalahan dengan uraian sebagai berikut:
a. Pembelian barang persediaan tidak menggunakan MAK belanja
persediaan
b. Bukti pengeluaran barang persediaan tidak dibuat dengan tertib
c. Pengurus barang tidak tertib dalam melakukan pencatatan persediaan
d. Opname fisik persediaan tidak dilakukan secara tertib dan akurat
e. Barang yang rusak tidak diungkapkan dalam CaLK
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
a. Terjadi kerusakan atas persediaan yang tidak ditatausahakan secara
tertib.
b. Penyajian laporan persediaan tidak tertib.
c. Saldo akhir sisa bahan pengujian tidak dapat diukur secara akural.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Ketenagakerjaan agar:
a. KPB lebih optimal dalam melakukan pengawasan dan pengendalian atas
pengelolaan persediaan.
b. Petugas pengelola persediaan di masing-masing satuan kerja supaya
melakukan penatausahaan persediaan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pusat Kajian AKN | 13
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Belanja Barang
1. Bukti pertanggungjawaban Belanja BBM, ATK, dan biaya
pemeliharaan pada Balai K3 Medan dan Pusdiklat sebesar
Rp233.610.549 berindikasi tidak riil
2. Pembayaran Honorarium, Sewa Kendaraan dan Uang Saku RDK melebihi
SBM sebesar Rp45.820.000 dan Pembayaran Jasa Kebersihan tidak sesuai
kontrak sebesar Rp57.707.000
3. Pemborosan atas Belanja Barang pada 13 satker sebesar
Rp1.159.701.000
4. Realisasi Pertanggungjawaban Perjalanan Dinas dan Biaya
Honorarium Dana Dekonsentrasi di Dinas Tenaga Kerja Provinsi
Sumatera Utara tidak riil sebesar Rp114.243.000
5. Keterlambatan Pekerjaan Pembuatan Video Bimtek Bahan Edukasi
di lingkungan K3 dan Sektor UMKM pada Direktorat Bina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja belum dikenakan denda sebesar
Rp443.338.254
6. Bukti pertanggungjawaban Belanja BBM di BLK Makassar tidak tertib
7. Realisasi Honorarium Pengelola Keuangan tidak sesuai ketentuan
sebesar Rp153.415.500
Belanja Modal
1. Kekurangan volume pada tiga paket pekerjaan sebesar
Rp351.229.114
2. Pemecahan paket untuk menghindari pelelangan pada pekerjaan
Pengadaan Bahan-bahan Pelatihan di BLK Samarinda dan Pusdiklat
3. Kemnaker tidak dapat mencairkan jaminan pelaksanaan atas pekerjaan
putus kontrak yang didanai oleh IDB
14 | Pusat Kajian AKN
Bukti pertanggungjawaban perjalanan belanja BBM, ATK dan biaya
pemeliharaan pada Balai K3 Medan dan Pusdiklat berindikasi tidak
riil sebesar Rp233.610.549.
Pemeriksaan atas dokumen pertanggungjawaban menunjukkan bahwa
terdapat pertanggungjawaban belanja barang Kementerian Ketenagakerjaan
yang berindikasi tidak riil, dengan uraian sebagai berikut:
a. Belanja BBM sebesar Rp151.800.000 pada Balai K3 Medan berindikasi
tidak riil
Hasil pemeriksaan secara uji petik atas bukti pertanggungjawaban
realisasi penggunaan dana pemeliharaan peralatan dan mesin berupa
pembelian minyak solar, minyak pertamax, dan minyak premium
menunjukkan bahwa terdapat bukti pertanggungjawaban berindikasi
tidak riil sebesar Rp1 51.800.000.
Bukti pembayaran bahan bakar tersebut menggunakan kuitansi biasa
dengan stempel basah SPBU yang dipertanggungjawabkan sebesar
Rp12.650.000 setiap bulannya oleh Bendahara Pengeluaran atau
Rp151.800.000 selama setahun. BPK mclakukan pengujian secara uji
petik atas bukti pertanggungjawaban dengan melakukan konfirmasi
ke SPBU terkait.
Berdasarkan hasil permintaan keterangan dan penelusuran atas
tempat/alamat pembelian bahan bakar minyak pada liga SPBU
diketahui bahwa bukti pcrtanggungjawaban/bukti pembayaran
pembelian bahan bakar bukan merupakan bukti pembayaran yang
dikeluarkan oleh SPBU tersebut.
b. Pembelian ATK, computer supplies dan biaya perbaikan kendaraan
pada Pusdiklat sebesar Rp81.810.549 berindikasi tidak riil
Hasil wawancara dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pusdiklat,
Pejabat Pengadaan, Pemegang Uang Muka (PUM), Bendahara
Pengeluaran, dan Kasubbag Umum Pusdiklat di satker Pusdiklat
diperoleh keterangan sebagai berikut:
1) Pengadaan ATK, computer supplies, penggandaan.
penyediaan/sewa kendaraan, pemeliharaan jaringan listrik, service
kendaraan, perbaikan AC yang menggunakan jasa ke 16 perusahaan
tersebut dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan melalui 1
orang jasa perantara, marketing (sdr. Z). Perantara tersebut bekerja
Pusat Kajian AKN | 15
atas nama perusahaan-perusahaan tersebut. Adapun mekanisme
pembelian melalui perantara/marketing tersebut dilakukan dengan
cara pihak PUM menghubungi perantara/marketing jika ingin
melakukan pembelian barang dan jasa sesuai dengan kebutuhannya.
Sedangkan bclanja operasional dilakukan dengan menggunakan UP
dalam kegiatan pengadaan barang/jasanya dan bukti
pertanggungjawabannya dibedakan melalui beberapa kuitansi.
2) Pejabat pengadaan tidak pernah bertemu dengan calon
rekanan/penyedia sehingga tidak melakukan proses klarifikasi dan
negosiasi terhadap aspek administrasi maupun spesifikasi teknis
sesuai dengan metode penunjukkan langsung.
3) Semua pelaksanaan kegiatan pengadaan dilakukan melalui 1 orang
marketing tersebut di atas, namun menggunakan perusahaan-
perusahaan yang berbeda.
Hasil konfirmasi dengan marketing dari rekanan/perusahaan (sdr. Z),
menyatakan bahwa memang seluruh perusahaan-perusahaan tersebut
diwakili oleh satu orang dan memberikan fee sebagai imbal jasa kepada ke-
16 perusahaan tersebut yang telah meminjamkan nama perusahaannya untuk
digunakan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa di satker Pusdiklat.
Selanjutnya, marketing tersebut juga menyatakan bahwa hanya 15
perusahaan yang telah memberikan kuasa untuk menandatangani seluruh
faktur dan kuitansi pembelian, kecuali 1 perusahaan yaitu CV PLT. Hasil
konfirmasi kepada tiga perusahaan atas bukti pembelian menunjukkan
bahwa direktur perusahaan menyatakan bahwa tanda tangan yang tertera di
bukti kuitansi tersebut adalah bukan tanda tangannya. Sementara karena dua
belas perusahaan lainnya menggunakan virtual office sebagai kantornya
maka sampai pemeriksaan berakhir tidak terkonfirmasi.
Hasil pengujian atas bukti-bukti SPJ sebesar Rp290.215.983
menunjukkan bahwa PUM dan Bendahara Pengeluaran hanya dapat
menyampaikan 36 kuitansi sebesar Rp208.405.400, sehingga terjadi selisih
kelebihan pembayaran senilai Rp81.810.549. Pihak PUM dan Bendahara
Pengeluaran Pusdiklat berjanji akan menyampaikan bukli pembelian secara
riil dari 16 perusahaan tersebut. Namun, sampai dengan pemeriksaan
berakhir, pihak Pusdiklat tidak dapat melengkapinya.
16 | Pusat Kajian AKN
Hal tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran Belanja Barang
MAK 523121 berupa pembelian bahan bakar minyak dan
pertanggungjawaban ATK, Computer Supplies dan biaya service yang tidak
riil sebesar Rp233.610.549.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Ketenagakerjaan agar:
a. Menginstruksikan Kepala Balai K3 Medan untuk menarik kelebihan
pembayaran belanja barang pemeliharaan peralatan dan mesin sebesar
Rp151.800.000 dan menyetorkannya ke kas negara, serta menyampaikan
salinan bukti setor kepada BPK;
b. Menginstruksikan Kepala Pusdiklat untuk menarik kelebihan
pembayaran atas bukti pertanggungjawaban ATK, Computer Supplies
dan biaya service tidak riil sebesar Rp81.810.549 dan menyetorkannya
ke kas negara, serta menyampaikan salinan bukti setor kepada BPK;
c. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada Kepala Balai K3 Medan
dan Kepala Pusdiklat, KPA dan PPK yang tidak melakukan
pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan pengadaan barang dan
jasa tersebut.
Pemborosan atas belanja barang pada 13 satker sebesar
Rp1.159.701.000.
Hasil pemeriksaan uji petik atas dokumen pertanggungjawaban belanja
honorarium pengelola keuangan dan operasional satuan kerja (satker) serta
bukti-bukti pendukungnya dan hasil wawancara dengan Bendahara
Pengeluaran pada beberapa satker lingkup kantor pusat dan satker penerima
dana Dekonsentrasi Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan
permasalahan sebagai berikut:
a. Pemborosan atas kelebihan jumlah personil Staf Pengelola Keuangan
sebesar Rp200.600.000
b. Pemborosan atas kelebihan jumlah personil pengelola Sistem Akuntansi
Instansi (SAI) sebesar Rp557.000.000
c. Pemborosan atas kelebihan jumlah personil pengurus/penyimpan
BMN sebesar Rp26.100.000
1) Pemborosan atas kelebihan jumlah pengurus/penyimpan BMN
pada satker Itjen sebesarRp21.300.000
Pusat Kajian AKN | 17
2) Pemborosan atas kelebihan jumlah pengurus/penyimpan BMN
pada satker Setditjen Binalattas sebesar Rp4.800.000
d. Pemborosan atas kelebihan jumlah personil tim pengelola PNBP
Sekretariat Ditjen Binapenta sebesar Rp335.190.000
e. Pemborosan atas belanja konsumsi rapat pada Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi Sulsel sebesar Kp8.361.000
f. Pemborosan belanja ATK atas Dana Dekonsentrasi di Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp32.450.000
Hal ini mengakibatkan pemborosan atas pembayaran honorarium
pengelola keuangan dan honor penyelenggara kegiatan tahun 2017 sebesar
Rp1.159.701.000.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Ketenagakerjaan agar:
a. Menginstruksikan masing-masing KPA supaya dalam membuat SK
pengelola keuangan. SAI dan personil pengurus BMN selalu mematuhi
ketentuan yang berlaku;
b. Menginstruksikan kepada PPK dan Bendahara Pengeluaran di masing-
masing satker terkait supaya memverifikasi bukti-bukti
pertanggungjawaban dan melakukan pembayaran honorarium dengan
mengacu kepada SBM sebagai batasan tertinggi;
c. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada masing-masing KPA
terkait karena membuat SK pengelola keuangan, SAI dan personil
pengurus BMN dengan tidak mematuhi ketentuan yang berlaku.
Realisasi pertanggungjawaban perjalanan dinas dan biaya
honorarium dana dekonsentrasi di Dinas Tenaga Kerja Provinsi
Sumatera Utara tidak riil sebesar Rp114.243.000.
Berdasarkan pemeriksaan atas bukti pertanggungjawaban kegiatan
perjalanan dinas jabatan di Satker Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera
Utara diketahui terdapat SPJ perjalanan dinas yang tidak dilengkapi dcngan
bukti pengeluaran, pembayaran hotel kosong, pembayaran yang lebih kecil
dari jumlah yang diterimanya. dan pembayaran perjalanan dinas melebihi
jumlah hari dinas serta beberapa bukti pertanggungjawaban asli yang
dilampirkan disertai dengan kuitansi kosong atau bukti pembayaran yang
disesuaikan dcngan nilai biaya penginapan dan transpor yang diterima
18 | Pusat Kajian AKN
pelaksana perjalanan. SPJ perjalanan dinas yang tidak dilengkapi dengan
bukti kunjungan dan laporan hasil perjalanan dinas. Pengeluaran untuk
perjalanan dinas yang berindikasi tidak sesuai dengan kondisi senyatanya
sebesar Rp106.563.000.
Pemeriksaan selanjutnya atas SPJ diketahui terdapat kelebihan
pembayaran uang harian narasumber dan moderator kegiatan di luar kantor
seperti fullboard dan fullday sebesar Rp7.680.000. Kelebihan uang harian
dihitung pada saat yang bersangkutan telah menerima honor dan bantuan
transpor atas tugasnya sebagai narasumber dan moderator.
Permasalahan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran atas
realisasi perjalanan dinas sebesar Rp114.243.000.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Ketenagakerjaan agar:
a. Menginstruksikan Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara
untuk menarik dan menyetor ke kas negara atas kelebihan pembayaran
perjalanan dinas dan pembayaran honorarium sebesar Rp114.243.000,
serta menyampaikan salinan bukti setor kepada BPK;
b. Menginstruksikan kepada penanggungjawab program untuk meminta
laporan pelaksanaan kegiatan kepada KPA Dana Dekonsentrasi sebagai
bentuk pengendalian antara realisasi fisik dan keuangan;
c. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada Penanggung Jawab
Program, KPA Dana Dekonsentrasi Provinsi Sumatera Utara atas
kelebihan pembayaran perjalanan dinas dan honorarium.
Keterlambatan pekerjaan pembuatan video Bimtek bahan edukasi di
lingkungan K3 dan sektor UMKM pada Direktorat Bina Keselamatan
dan Kesehatan kerja belum dikenakan denda sebesar Rp443.338.254.
Berdasarkan BAST, pembuatan video tersebut sudah dinyatakan selesai
sesuai yang diatur dalam kontrak, Namun perbandingan dokumen
SPK/kontrak dan DVD yang merupakan tempat penyimpanan video
bimtek Bahan Edukasi di lingkungan Direktorat Bina K3 serta sektor
UMKM oleh masing-masing pihak ketiga diketahui bahwa terdapat
perbedaan tanggal pembuatan video dalam DVD dari jadwal yang sudah
diperjanjikan dalam kontrak.
Pusat Kajian AKN | 19
Hasil perbandingan antara tanggal berakhirnya kontrak dengan tanggal
pembuatan DVD Video Bimtek yang diberikan kepada BPK menunjukkan
adanya perbedaan penyelesaian pekerjaan sehingga dapat dikatakan bahwa
penyelesaian kontrak mengalami keterlambatan. Adapun jumlah hari
keterlambatan pelaksanaan pembuatan video bimtek di lingkungan Dit. Bina
K3 antara 8 s.d 30 hari, namun atas keterlambatan tersebut pihak PPK
belum mengenakan sanksi denda kcpada rekanan pelaksana tersebut sebesar
Rp443.338.254.
Kondisi tersebut mengakibatkan kekurangan penerimaan negara sebesar
Rp443.338.254.
BPK merekomendasikan Menteri Ketenagakerjaan agar
menginstruksikan Direktur Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
supaya mengenakan dan menarik denda keterlambatan sebesar
Rp443.338.254 untuk diselurkan ke kas negara, serta menyampaikan salinan
bukti setor kepada BPK.
Kekurangan volume pada tiga paket pekerjaan sebesar Rp351.229.114.
Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap realisasi Belanja Modal
melalui pihak ketiga meliputi reviu dokumen perjanjian (kontak) dan
pembayaran. pemeriksaan fisik lapangan, serta wawancara dengan masing-
masing PPK, Pokja Unit Layanan Pengadaan (ULP), Panitia Penerima Hasil
Pekerjaan (PPHP), dan rekanan pelaksana menununjukkan permasalahan
kekurangan volume sebesar Rp351.229.114. Permasalahan tesebut secara
rinci diuraikan sebagai berikut:
a. Pembangunan dan Rehabilitasi BBPLK Bandung
Hasil pemeriksaan fisik dilapangan yang dilakukan bersama antara BPK,
PPK, kontraktor pelaksana, serta konsultan pengawas tanggal 14
Februari 2018, diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) Pekerjaan tambah kurang tidak dilengkapi dengan dokumen
amandemen kontrak
2) Volume terbayar tidak sesuai dengan yang terpasang
b. Pekerjaan Pembuatan Ruang Penitipan Bayi pada Biro Umum
Hasil pemeriksaan fisik dilapangan yang dilakukan bersama antara BPK,
PPK, kontraktor pelaksana, serta konsultan pengawas tanggal 7
20 | Pusat Kajian AKN
Desember 2017 diketahui adanya volume addendum kontrak yang tidak
sesuai dengan volume terpasang senilai Rp75.180.053
c. Pekerjaan Pembuatan Parkir Motor pada Biro Umum
Hasil pemeriksaan fisik dilapangan yang dilakukan bersama antara BPK,
PPK, kontraktor pelaksana, serta konsultan pengawas tanggal 5
Desember 201 7 dikclahui hal-hal sebagai berikut:
1) Volume addendum kontrak tidak sesuai dcngan volume terpasang
2) Terdapat komponen pembayaran peralatan yang tidak
dipergunakan
3) Kelebihan pembayaran atas kesalahan perhitungan volume
pekerjaan pada back up data final
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar
Rp351.229.114.
BPK merekomendasikan kepada Mentcri Ketenagakerjaan agar:
a. Menginstruksikan penarikan kelebihan pembayaran atas kekurangan
volume pekerjaan supaya disetorkan ke kas negara, serta menyampaikan
salinan bukti setor kepada BPK masing-masing oleh:
1) Kepala BBPLK Bandung sebesar Rp206.971.193,
2) Kepala Biro Umum sebesar Rp144.257.921.
b. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada Kepala BBPLK Bandung,
Kepala Biro Umum , KPA di BBPLK Bandung dan Biro Umum. PPK
di BBPLK Bandung dan Biro Umum, PPHP BBPLK Bandung dan Biro
Umum karena tidak cermat dalam melaksanakan pengendalian kegiatan.
Pusat Kajian AKN | 21
2. Badan Pengawas Obat Makanan
LK BPOM telah berhasil mendapatkan opini WTP dalam tiga tahun
terakhir (2015-2017). Berikut gambaran mengenai jumlah temuan dan
rekomendasi, serta status pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK
untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di
BPOM:
Bagan di atas menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir (2015-
2017) BPK mencatatkan 57 temuan dalam pemeriksaan yang dilakukan
terhadap BPOM, dan memberikan 127 rekomendasi untuk ditindaklanjuti.
Dari 127 rekomendasi, 60 (47,24%) rekomendasi telah ditindaklanjuti sesuai
dengan rekomendasi BPK, dengan kata lain telah selesai ditindaklanjuti.
Sedangkan 67 (52,76%) tindak lanjut belum sesuai rekomendasi BPK.
Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Efektivitas Pengelolaan Obat Dalam
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2016 dan Semester I
2017 di BPOM dan Instansi terkait lainnya, BPK mengungkapkan penilaian
atas efektivitas pengelolaan obat dalam penyelenggaraan program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang menjadi tanggung jawab BPOM.
Pemeriksaan tersebut tidak diarahkan pada penilaian keberhasilan atau
kegagalan Badan Pengawas Obat dan Makanan atas pengelolaan obat dalam
dalam rangka penyelenggaraan Program JKN secara keseluruhan simpulan
pemeriksaan kinerja ini lebih diarahkan pada aspek pengelolaan (managerial
practices) obat yang harus ditingkatkan oleh Deputi Bidang Pengawasan
Produk Terapetik dan Napza di Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam
rangka melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan.
BPOM sendiri mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan
di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan
2015 2016 2017
28 15 14
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
33 22 5 23 16 28 0 0 0 0 0 0
Belum Ditindaklanjuti Tidak Dapat Ditindaklanjuti
Temuan
57
Rekomendasi
127
Sesuai Rekomendasi Belum Sesuai Rekomendasi
22 | Pusat Kajian AKN
perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan program JKN, BPOM harus
dapat menjamin konsistensi mutu obat pasca pemasaran sesuai dengan
spesifikasi dan standar mutu yang ditetapkan melalui pengawasan pre market
dan post market.
Pemeriksaan atas kegiatan perencanaan obat JKN di Deputi Bidang
Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA di Lingkungan BPOM mengacu
pada sub kriteria atas pengawasan obat JKN yang telah disepahami bersama
dengan Entitas, yaitu:
1. Perencanaan pengawasan atas Obat JKN dilakukan sesuai dengan
ketentuan;
2. Pengawasan Obat JKN telah dilaksanakan sesuai ketentuan.
Dalam pemeriksaan ini, BPK memberikan apresiasi atas capaian
keberhasilan yang telah dilakukan oleh Deputi Bidang Pengawasan Produk
Terapetik dan NAPZA di Lingkungan BPOM guna mendukung kegiatan
pengawasan obat JKN yang memadai. Namun, masih terdapat kelemahan-
kelemahan pada kegiatan pengawasan obat JKN yang harus menjadi
perhatian BPOM untuk dilakukan perbaikan sebagai berikut:
1. Pengawasan Post Market Obat JKN yang dilakukan Badan POM belum
memadai
Hasil reviu atas Pedoman Sampling Produk Terapetik dan Napza (PTN)
Tahun 2016 dan 2017 dan wawancara dengan Seksi Pemantauan dan
Analisis Harga Obat diketahui bahwa semua Balai Besar /Balai POM
telah menetapkan target pengawasan obat, termasuk obat JKN. Dimana
pada pedoman sampling PTN telah ditetapkan ketentuan dan kebijakan
terkait perencanaan prioritas obat yang disampling di masing-masing
provinsi, kategori obat yang diprioritaskan untuk disampling, prosedur
sampling, mekanisme pelaporan serta monitoring obat tidak memenuhi
syarat (TMS). Hasil analisis atas Sistem Informasi Pelaporan Terpadu
(SIPT) Balai Besar/Balai POM dan Laporan Tahunan Balai Besar/Balai
POM diketahui hal-hal sebagai berikut:
2. Pengawasan produksi obat termasuk obat JKN belum sesuai dengan
target yang ditetapkan
Target sampling Produk Terapetik Tahun 2016 (Kategori A s.d I)
sebanyak 16.538 sampel dengan realisasi dari 32 Badan POM/Balai
POM sebanyak 15.483 sampel. Hal tersebut menunjukan bahwa belum
semua Balai Besar POM (Badan POM)/Balai POM dapat melaksanakan
semua sampling dan pengujian Produk Terapetik yang telah ditetapkan.
Pusat Kajian AKN | 23
Untuk target sampling Produk Terapetik Tahun 2017 ditetapkan
sebanyak 16.768 sampel. Namun hingga triwulan II 2017 baru dilakukan
pengujian atas 2.182 sampel atau baru mencapai 13% dari target yang
telah ditetapkan. Terkendalanya target melakukan pengujian atau
sampling Produk Terapetik disebabkan karena tidak terakomodirnya
beberapa zat aktif ataupun bentuk sediaan dalam aplikasi SIPT,
perubahan metode sampling yang memerlukan penyesuaian dalam
pelaksanaannya, dan keterbatasan variasi dan jumlah sampel obat di
sarana hilir terutama di sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah.
3. Belum tercapainya target pengawasan terhadap Industri Farmasi
pemenang e-catalogue
Tindak lanjut inspeksi dan evaluasi Corrective and Preventive Action (CAPA)
atau Tindakan Perbaikan dan Pencegahan pada temuan non kritis
terhadap obat industri farmasi yang tidak memenuhi syarat, belum
sepenuhnya dilakukan secara konsisten oleh Balai BPOM di daerah,
dimana dari 9 (sembilan) Badan POM hanya 3 (tiga) Badan POM yang
telah melakukan evaluasi CAPA secara mandiri yaitu Yogyakarta,
Semarang dan Serang. Terkait kemandirian Balai Besar/ Balai POM
dalam melakukan tindak lanjut dan evaluasi CAPA terhadap inspeksi
dengan temuan non kritis dilakukan pada Tahun 2016 sehingga
pelaksanaannya masih belum sepenuhnya konsisten. Badan POM telah
melakukan upaya peningkatan capacity building petugas Balai dalam
evaluasi CAPA.
4. Hasil pengawasan obat telah dikomunikasikan kepada pihak terkait dan
namun belum ditindaklanjuti secara optimal
Tindak lanjut hasil inspeksi Cara Produksi Obat Yang Baik (CPOB)
yang tanpa temuan kritis dan evaluasi CAPA dapat ditindaklanjuti
langsung oleh Badan POM/Balai POM, sedangkan tindak lanjut
inspeksi balai dengan temuan kritis dan evaluasi CAPA akan
ditindaklanjuti oleh pusat untuk dievaluasi terlebih dahulu. Hasil analisis
laporan kegiatan forum evaluasi dan perencanaan inspeksi CPOB
Tahun 2017 dan Sistem Informasi Pelaporan Terpadu (SIPT) diketahui
bahwa capaian tindak lanjut atas hasil inspeksi dengan temuan kritikal
dengan tepat waktu pada Tahun 2016 sebesar 57,14% atau dibawah
target sebesar 65,00%. Hasil konfirmasi dengan Kepala Seksi Inspeksi
Sarana Produksi Produk Terapetik dan PKRT diketahui bahwa
penyusunan laporan inspeksi membutuhkan kompetensi personil yang
memadai baik dari segi teknis dan pengalaman terutama terkait dengan
24 | Pusat Kajian AKN
penetapan kategorisasi temuan kritikal. Pada Tahun 2016, personil yang
baru direkrut sebagai Inspektur CPOB masih dalam proses kualifikasi
dengan tingkatan trainee dan inspektur junior (pemula).
5. Pengawasan distribusi obat dalam penyelenggaraan JKN belum
memadai
Pengawasan distribusi obat dalam penyelenggaraan JKN di fasilitas
pelayanan kesehatan belum sepenuhnya dilakukan secara memadai. Hal
ini disebabkan tidak terlepas dari pedoman pengawasan dan tindak
lanjut hasil pengawasan fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan
kefarmasian belum disesuaikan dengan kewenangan BPOM yang baru,
pengawasan atas distribusi obat di fasyankes belum optimal, dan hasil
pengawasan telah dikomunikasikan kepada fasyankes namun belum
sepenuhnya ditindaklanjuti.
Secara garis besar, BPK menyimpulkan Badan Pengawas Obat dan
Makanan belum sepenuhnya efektif dalam melakukan pengelolaan obat
dalam penyelenggaraan JKN Tahun 2016 dan semester I Tahun 2017. Hal
tersebut berakibat pada ketidakoptimalan pengawasan sarana distribusi
produk terapetik dan PKRT serta pengawasan obat JKN yang kurang
memadai. Penyebab permasalahan tersebut dikarenakan Direktorat
Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT tidak optimal dalam
melaksanakan evaluasi dan monitoring atas:
1. Ketersediaan semua zat aktif ataupun bentuk sediaan yang terakomodir
dalam aplikasi SIPT;
2. Kemandirian Balai Besar/Balai POM melaksanakan evaluasi CAPA dan
tindak lanjut;
3. Pembobotan analisis resiko dan tindak lanjut pengawasan sarana
pelayanan kefarmasian milik pemerintah.
Atas kondisi yang diungkapkan tersebut di atas, Kepala Deputi Bidang
Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA menyatakan setuju dengan
kondisi yang diungkapkan dalam temuan pemeriksaan BPK dan selanjutnya
akan melakukan langkah-langkah pembenahan sesuai dengan rekomendasi
yang diberikan. Adapun rekomendasi yang diberikan BPK antara lain adalah:
1. Melakukan revisi atas Pedoman Pengawasan dan Tindak Lanjut Hasil
Pengawasan Fasilitas Distribusi Obat dan/atau Bahan Obat dan
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian;
2. Melakukan koordinasi dengan Pusat Informasi Obat dan Makanan
dalam pemutakhiran ketersediaan semua zat aktif;
Pusat Kajian AKN | 25
Meningkatkan evaluasi dan monitoring atas ketersediaan semua zat aktif
ataupun bentuk sediaan yang terakomodir dalam aplikasi SIPT.
Berdasarkan LHP atas LK BPOM T.A. 2017, BPK mengungkap 14
temuan dengan 22 permasalahan. Uraian berikut ini merupakan temuan dan
permasalahan yang menjadi perhatian BPK baik dari sisi sistem
pengendalian intern maupun kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan:
Sistem Pengendalian Intern
Penatausahaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Fungsional pada Badan POM belum tertib.
Realisasi PNBP umum pada TA 2017 adalah sebesar
Rp4.920.314.814,00, dimana untuk PNBP umum tidak diberikan estimasi
anggaran, sedangkan realisasi PNBP fungsional pada TA 2017 adalah
sebesar Rp130.177.107.003,00 dari anggaran sebesar Rp80.000.000.000,00
atau 162,72%.
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
Pendapatan Negara dan Hibah
1. Penatausahaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Fungsional
pada Badan POM belum tertib
2. Pengendalian dalam penerimaan PNBP dari penempatan mahasiswa
magang pada Balai Besar POM DKI Jakarta belum optimal
Belanja Negara dan Beban
1. Perhitungan potongan absensi tunjangan kinerja pada beberapa
pegawai di BBPOM Lampung kurang tepat
2. Kesalahan penganggaran dalam pengadaan Masterplan BBPOM
Makassar sebesar Rp77.794.500,00
Aset
1. Pengelolaan persediaan Badan Pengawas Obat dan Makanan belum
tertib
2. Penyajian Hewan Percobaan dalam Persediaan Lainnya pada Pusat
Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) tidak sesuai dengan
Kebijakan Akuntansi
3. Pengelolaan Aset Tetap pada enam satker Badan POM belum tertib
26 | Pusat Kajian AKN
Hasil pemeriksaan atas pengelolaan PNBP fungsional (khususnya jasa
tenaga, pekerjaan, informasi, pelatihan dan teknologi) dan PNBP umum
menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
a. Pedoman pengelolaan PNBP belum disesuaikan dengan perubahan
pelayanan publik dalam pengelolaan PNBP.
b. Jangka waktu penyetoran PNBP melewati batas
c. Pemungutan PNBP belum seluruhnya disetor langsung ke kas negara
d. Terdapat kendala dalam penggunaan aplikasi e-payment Badan POM
1) Belum seluruh aplikasi yang dimiliki Badan POM terintegrasi
dengan SIMPONI
2) Laporan hasil e-payment belum sesuai dengan pedoman pengelolaan
PNBP dan belum sepenuhnya mendukung pelaporan keuangan
berbasis akrual
e. Pelaporan Penyelesaian Layanan Publik Belum Memadai.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Penyajian nilai pendapatan diterima di muka pada Laporan Keuangan
tidak secara langsung dapat diketahui dari informasi penerimaan PNBP
dari sistem/aplikasi yang dibangun karena adanya penerimaan yang
belum dapat terindentifikasi;
b. Pemerintah tidak dapat segera memanfaatkan PNBP yang terlambat
disetorkan.
BPK merekomendasikan kepada Kepala Badan POM agar:
a. Segera merevisi pedoman pengelolaan PNBP BPOM yang disesuaikan
dengan kondisi saat ini, agar sinkron dengan aplikasi SIMPONI serta
pendaftaran/registrasi produk secara elektronik, dan dengan adanya
kebijakan akuntansi PNBP BPOM dan PP 32 Tahun 2017 tentang jenis
dan tarif atas jenis penerimaan negara dan menyesuaikan dengan Buletin
Teknis Nomor 8 SAP tentang Akuntansi Utang;
b. Mengimplementasikan penggunaan aplikasi e-payment secara terpadu.
Pusat Kajian AKN | 27
Pengelolaan persediaan pada beberapa satuan kerja Badan POM
belum tertib.
Pemeriksaan secara uji petik atas pengelolaan persediaan pada 9
(sembilan) satker yaitu, Deputi 3, PPOMN, BBPOM di Jakarta, BBPOM di
Semarang, BBPOM di Yogyakarta, Balai POM di Palangkaraya, dan
BBPOM di Lampung menunjukkan hal-hal berikut:
a. Pelaksanaan, perhitungan dan pelaporan hasil stock opname per 31
Desember 2017 belum tertib
1) Pencatatan persediaan belum tertib dan belum didukung dengan
hasil stock opname yang memadai
2) Persediaan suku cadang hasil pengadaan T.A 2017 yang telah
dipergunakan oleh laboratorium namun masih tercatat sebagai
persediaan
b. Persediaan tidak layak pakai dan kadaluarsa masih tersaji di Neraca
1) Baku pembanding dengan kondisi tidak layak pakai masih disajikan
sebagai persediaan di BBPOM Yogyakarta
2) Persediaan reagen yang telah kadaluarsa masih tersimpan di gudang
persediaan dan tersaji dalam laporan persediaan Per 31 Desember
2017
c. Persediaan media mikro dan reagensia belum seluruhnya dilengkapi
dengan informasi tanggal kadaluwarsa dan terdapat persediaan yang
telah kadaluwarsa masih tercatat dan tersimpan di gudang
d. Pencatatan atas mutasi persediaan belum menggunakan metode yang
benar
1) Mutasi persediaan belum sepenuhnya menerapkan metode FIFO
2) Pencatatan atas mutasi persediaan belum sepenuhnya menggunakan
metode prepetual
e. Tidak terdapat monitoring atas penggunaan bahan baku, baku primer
dan baku pembanding
1) Tidak terdapat monitoring atas sisa baku pembanding yang telah
digunakan
2) Pengelola laboratorium belum membuat kartu bahan baku atas
penggunaan bahan baku pembanding
3) Pengelola laboratorium belum membuat kartu kendali atas
penggunaan baku primer dan baku pembanding sekunder
28 | Pusat Kajian AKN
f. Pencatatan nama barang dan kode barang persediaan belum tertib
1) Persediaan glassware yang berbeda jenis dicatat dengan nama dan
kode barang yang sama
2) Pencatatan nama dan nomor kode barang beda di kartu dan aplikasi
g. Terdapat kesalahan penentuan harga atas persediaan
h. Terdapat persediaan yang tidak diketahui keberadaan fisiknya
i. Penetapan personil pengelola persediaan kurang memadai.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Pengendalian atas penatausahaan persediaan Badan POM lemah
berpotensi penyimpangan;
b. Persediaan yang kadaluarsa tidak diketahui itemnya secara pasti dan
berpotensi membuat hasil pengujian tidak akurat.
BPK merekomendasikan kepada Kepala Badan POM agar:
a. Memerintahkan Kuasa Pengguna Barang pada satuan kerja terkait agar
lebih optimal dalam melakukan pengendalian dan pengawasan atas
penatausahaan persediaan;
b. Melalui Kepala Unit Kerja terkait agar memerintahkan kepada Pengelola
Persediaan dan BMN agar mematuhi SOP dan peraturan terkait
penatausahaan persediaan terutama terkait konsistensi dalam mencatat
nama, jenis, kemasan, tanggal kadaluarsa dan informasi lainnya.
Pengelolaan Aset Tetap pada beberapa satker di Badan POM belum
tertib.
Aset Tetap merupakan Barang Milik Negara (BMN) yaitu barang yang
dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya
yang sah. Karena itu, BMN wajib diamankan baik secara fisik, administratif
maupun hukum. Berdasarkan pengujian terhadap dokumen pengelolaan
Aset Tetap dan pemeriksaan fisik serta pemberian keterangan dari pengelola
BMN pada 6 (enam) satker di lingkungan Badan POM diketahui hal-hal
berikut:
a. Pemutakhiran dan Distribusi BMN dalam BBR, DBL, KIB, dan DIR
belum dilakukan secara tertib
1) Terdapat BMN yang belum didistribusikan dalam Daftar Barang
Ruangan (DBR)
Pusat Kajian AKN | 29
2) BMN belum terdistribusikan kedalam Daftar Barang Lainnya
(DBL)
3) BMN belum didistribusikan dalam Kartu Inventaris/Identitas
Barang (KIB)
4) BMN belum memiliki KIB
5) Pengelola BMN belum melakukan pembuatan dan pemutakhiran
Daftar Inventaris Ruangan (DIR)
6) Pencatatan Aset Tetap alat angkutan pada KIB tidak didukung
dengan informasi yang memadai
7) Pengelolaan BMN pada aplikasi SIMAK BMN belum update
sehingga masih terdapat BMN yang belum terdistribusikan
8) Terdapat BMN dalam kondisi baik yang tidak digunakan lagi
b. Pengelolaan dan Pengamanan Aset Tetap Rusak belum dilakukan secara
baik
1) Identifikasi atas Aset Tetap rusak belum dilakukan secara tertib
2) Pengamanan terhadap Aset Tetap dengan kondisi rusak berat
kurang memadai
c. Aset berupa tanah dan gedung kantor BBPOM Lampung belum
didukung bukti kepemilikan
d. Aset dicatat secara gabungan
e. Penyerahan Aset Tetap Kendaraan tidak disertai berita acara serah
terima antar satker
f. Aset Tetap kendaraan tidak diketahui keberadaannya.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. BMN yang belum diketahui lokasinya dan asal perolehannya pada
aplikasi SIMAK BMN berpotensi hilang;
b. Legalitas atas tanah milik BBPOM Lampung tidak kuat dan berpotensi
menimbulkan permasalahan di kemudian hari berupa klaim kepemilikan
dari pihak lain.
c. Aset Tetap yang belum masuk dalam DBR, DBL dan KIB maupun
tercatat tanpa informasi yang memadai pada KIB sulit ditelusuri dan
berpotensi disalahgunakan dan hilang;
d. Pengelolaan asset tetap dalam hal pengawasan, pengendalian dan
pengamanan atas Aset Tetap berupa peralatan dan mesin dan Aset
Tetap dengan kondisi rusak tidak memadai dan rawan penyimpangan;
30 | Pusat Kajian AKN
e. Aset yang tidak diketahui keberadaannya rawan disalahgunakan dan
berpotensi hilang.
BPK merekomendasikan kepada Kepala Badan POM agar:
a. Melakukan pencatatan dan updating DBR, DBL dan KIB pada aplikasi
SIMAK BMN secara tertib dan lengkap mencakup seluruh informasi
yang harus tersedia dalam pencatatan aset agar tidak terjadi duplikasi
pencatatan dan memudahkan dalam inventarisasi;
b. Memerintahkan Kepala BBPOM Lampung dan Kepala Biro Umum
pada Sekretariat Utama agar segera memproses status hukum atas tanah
milik BBPOM Bandar Lampung yang tumpang tindih dengan
Pemerintah Daerah setempat agar tidak berpotensi menimbulkan
permasalahan di kemudian hari berupa klaim kepemilikan dari pihak
lain;
c. Memerintahkan Sekretaris Utama agar segera memproses
pertanggungjawaban atas Aset yang tidak diketahui keberadaannya;
d. Melengkapi aset yang telah berpindah antar satker dengan berita acara;
e. Memisahkan aset yang dicatat secara gabungan;
f. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada kuasa pengguna barang dan
pengelolan BMN yang kurang cermat dalam melaksanakan tugasnya.
Pusat Kajian AKN | 31
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Terdapat kelebihan pembayaran dalam belanja modal pekerjaan
renovasi bangunan gudang dan pekerjaan penambahan daya listrik
pada dua satker sebesar Rp228.685.706,00.
Hasil pemeriksaan secara uji petik atas pelaksanaan kontrak/surat
perjanjian untuk pekerjaan belanja modal pada dua satker Badan POM
diketahui terdapat kelebihan pembayaran dalam renovasi gudang reagen dan
TU pada BBPOM Lampung dan pengadaan penambahan Daya Listrik pada
BBPOM DKI Jakarta dengan rincian sebagai berikut:
a. Pekerjaan renovasi Gudang Reagen, Sampel, dan TU pada BBPOM
Lampung sebesar Rp114.477.593,00
b. Kelebihan pembayaran pekerjaan penambahan daya listrik pada
BBPOM DKI Jakarta sebesar Rp114.208.113,00
Permasalahan di atas mengakibatkan terjadi kelebihan pembayaran
kepada penyedia barang/jasa sebesar Rp228.685.706,00.
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Belanja Barang
1. Pengadaan Reagensia dan Media Mikro pada dua satker tidak sesuai
spesifikasi
2. Pekerjaan penayangan Talkshow dan Iklan Layanan Masyarakat melalui
media televisi tidak dilakukan secara tertib
Belanja Modal
1. Kelebihan pembayaran atas kekurangan volume pada tiga satker sebesar
Rp83.830.217,87
2. Kelebihan pembayaran dalam Belanja Modal pada dua satker
sebesar Rp228.685.706,00
3. Pekerjaan Belanja Modal terlambat diselesaikan dan belum/kurang
dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp106.398.083,00
4. Proses pemeriksaan dalam penerimaan pengadaan genset pada dua
satker tidak dilakukan dengan cermat
5. Pekerjaan pengadaan Alat Laboratorium HPLC senilai
Rp1.149.500.000,00 tidak dilakukan sesuai ketentuan
32 | Pusat Kajian AKN
BPK merekomendasikan kepada Kepala Badan POM agar:
a. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada KPA yang tidak optimal
dalam melakukan pengendalian terhadap kegiatan pengadaan barang
dan jasa yang dilakukan masing-masing PPK;
b. Memerintahkan kepada KPA pada BBPOM Lampung dan BBPOM
DKI Jakarta untuk memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku
kepada PPK yang kurang cermat dalam melaksanakan ketentuan yang
ditetapkan dalam kontrak
c. Menginstruksikan secara tertulis kepada PPK BBPOM Lampung untuk
mengembalikan kelebihan pembayaran dari pihak ketiga sebesar
Rp114.477.593,00 ke Kas Negara kemudian menyampaikan bukti
penyetoran kepada BPK;
d. Menginstruksikan secara tertulis kepada PPK BBPOM DKI Jakarta
untuk mengembalikan kelebihan pembayaran dari pihak ketiga sebesar
Rp114.208.113,00 ke Kas Negara kemudian menyampaikan bukti
penyetoran kepada BPK;
e. Memerintahkan kepada KPA untuk memberikan sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku kepada panitia penerima hasil pekerjaan yang
kurang cermat dalam melakukan pemeriksaan atas spesifikasi dan
kuantitas hasil pekerjaan;
f. Memberikan sanksi atau skorsing kepada Kontraktor Pengawas yang
kurang cermat dalam mengawasi pelaksanaan pekerjaan yang menjadi
tanggungjawabnya pada pelelangan berikutnya.
Pekerjaan belanja modal pada dua satker terlambat diselesaikan dan
belum/kurang dikenakan denda keterlambatan yang berakibat pada
kekurangan penerimaan negara sebesar Rp106.398.083,00.
Hasil pemeriksaan secara uji petik atas pelaksanaan kontrak/surat
perjanjian untuk pekerjaan belanja modal pada dua satker BPOM diketahui
terdapat denda atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan pada dua satker
yang belum dikenakan kepada kontraktor pelaksana dengan rincian sebagai
berikut:
a. Pekerjaan pengadaan alat uji DNA pada BBPOM Lampung terlambat
diselesaikan dan denda keterlambatan kurang dikenakan sebesar
Rp84.641.040,00
Pusat Kajian AKN | 33
b. Pengadaan alat laboratorium uji DNA pada Balai POM Palangkaraya
belum dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp2.289.846,00
c. Pengadaan Genset pada Balai POM Palangkaraya terlambat diselesaikan
dan kurang dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp19.467.197,00.
Kondisi tersebut mengakibatkan penerimaan negara dari denda
keterlambatan penyelesaian pekerjaan sebesar Rp106.398.083,00 tidak dapat
segera dimanfaatkan oleh negara.
BPK merekomendasikan kepada Kepala Badan POM agar:
a. Memerintahkan kepada KPA pada BBPOM Lampung dan Balai POM
Palangkaraya untuk memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku
kepada PPK dan pejabat penerima hasil pekerjaan yang kurang cermat
dalam melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam kontrak;
b. Menginstruksikan secara tertulis kepada PPK BBPOM Lampung untuk
mengenakan denda keterlambatan kepada pihak ketiga sebesar
Rp84.641.040,00 dan menyetorkannya ke Kas Negara kemudian
menyampaikan bukti penyetoran kepada BPK;
c. Menginstruksikan secara tertulis kepada PPK Balai POM Palangkaraya
untuk mengenakan denda keterlambatan kepada pihak ketiga sebesar
Rp19.467.197,00 dan menyetorkannya ke Kas Negara kemudian
menyampaikan bukti penyetoran kepada BPK;
d. Memberikan sanksi atau suspen kepada Kontraktor Pengawas yang
kurang cermat dalam mengawasi pelaksanaan pekerjaan yang menjadi
tanggungjawabnya pada pelelangan berikutnya.
Pekerjaan pengadaan alat laboratorium HPLC senilai
Rp1.149.500.000,00 tidak dilakukan sesuai ketentuan, dimana
penyusunan KAK pekerjaan pengadaan dan penggunaan metode
lelang cepat dalam proses pengadaan HPLC tidak sesuai ketentuan.
Balai POM Palangkaraya merealisasikan pengadaan alat laboratorium
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang dilaksanakan oleh
CV Vindiratama berdasarkan Surat Perjanjian Nomor
PR.04.11.98.10.17.1885 tanggal 30 Oktober 2017 dengan nilai kontrak
sebesar Rp1.149.500.000,00 dengan masa kontrak selama 40 hari kalender.
HPLC adalah alat yang digunakan Badan POM dalam pengujian sampel.
34 | Pusat Kajian AKN
Hasil pemeriksaan lebih lanjut atas dokumen kontrak dan dokumen
perencanaan pengadaan diketahui bahwa:
a. Penggunaan metode lelang cepat dalam proses pengadaan tidak sesuai
ketentuan pelaksanaan pengadaan HPLC oleh Balai POM Palangkaraya
pada tahun 2017 dilakukan melalui metode lelang cepat. Pemeriksaan
atas proses pemilihan metode pengadaan diketahui:
1) Penyebutan Merk HPLC tidak sesuai dengan permintaan usulan
pengadaan HPLC dari user dhi pihak Laboratorium Teranokoko
2) Terdapat perbedaan atas spesifikasi dan kualitas antar merk HPLC
b. Penyusunan KAK pengadaan pekerjaan pengadaan alat laboratorium
HPLC tidak sesuai ketentuan.
Kondisi tersebut mengakibatkan Balai POM Palangkaraya berpotensi
tidak mendapatkan barang dengan harga dan kualitas barang yang
menguntungkan bagi negara.
BPK merekomendasikan kepada Kepala Badan POM agar:
a. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada KPA yang kurang optimal
dalam melakukan pengawasan atas perencanaan dan pelaksanaan
pekerjaan yang menjadi tangung jawabnya;
b. Memerintahkan kepada KPA pada Balai POM Palangkaraya untuk
memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada PPK dan
pejabat penerima hasil pekerjaan yang kurang cermat dalam
melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam kontrak.
Pusat Kajian AKN | 35
3. Kementerian Kesehatan
LK Kemenkes telah berhasil mendapatkan opini WTP dalam tiga tahun
terakhir (2015-2017). Berikut gambaran mengenai jumlah temuan dan
rekomendasi, serta status pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK
untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di
Kemenkes:
Bagan di atas menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir (2015-
2017) BPK mencatatkan 184 temuan dalam pemeriksaan yang dilakukan
terhadap Kemenkes, dan memberikan 544 rekomendasi untuk
ditindaklanjuti. Dari 184 rekomendasi, baru 178 (32,72%) rekomendasi telah
ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi BPK. Sedangkan 355 (65,26%)
tindak lanjut belum sesuai rekomendasi BPK dan 11 rekomendasi belum
ditindaklanjuti oleh Kemenkes.
Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan (LK) Kemenkes Tahun
Anggaran 2015, BPK mengungkapkan temuan terkait pembangunan RSU
Pratama Nduga senilai Rp51.047.304.000,00 yang tidak dapat dinilai
kewajarannya pada Tahun Anggaran 2015. Berdasarkan data pemantauan
tindak lanjut rekomendasi BPK atas temuan tersebut pada Tahun Anggaran
2016 dan Tahun Anggaran 2017, diketahui status tindak lanjut rekomendasi
tersebut belum sesuai atau masih belum selesai.
Dalam Tahun Anggaran 2015, Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga
telah melaksanakan Pembangunan RSU Pratama Nduga senilai
Rp51.047.304.000,00 melalui PT ARI. Jangka waktu pengerjaan adalah 120
hari kalender atau dari tanggal 31 Agustus 2015 sampai dengan tanggal 29
Desember 2015. Dalam pelaksanaanya, dilakukan addendum pekerjaan
tambah kurang sehingga nilai kontrak berubah menjadi sebesar
2015 2016 2017
88 60 36
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
119 54 5 129 97 129 2 9 0 0 0 0
Belum Ditindaklanjuti Tidak Dapat Ditindaklanjuti
Temuan
184
Rekomendasi
544
Sesuai Rekomendasi Belum Sesuai Rekomendasi
36 | Pusat Kajian AKN
Rp51.047.305.100,00. Hasil pemeriksaan atas dokumen kontrak dan
pelaksanaan pekerjaan, sesuai Rencana Anggaran Biaya (RAB) kontrak induk
dengan nilai pekerjaan termasuk PPN total sebesar Rp51.047.304.000,00,
dengan rincian.
Tabel 2. RAB Kontrak Induk
No Uraian Pekerjaan Nilai Termasuk PPN
(Rp)
1. Pekerjaan Persiapan 366.725.000,00
2. Bangunan A (Poliklinik, IGD, Bersalin, OK dan Kantor)
10.171.309.000,00
3. Bangunan Rawat Inap 8.753.899.000,00
4. Pekerjaan Struktur 17.859.739.000,00
5. Pekerjaan Mekanikal 5.164.611.000,00
6. Pengembangan Tapak 8.731.021.000,00
Jumlah 51.047.304.000,00
Pembayaran pekerjaan telah selesai dilakukan sesuai dengan nilai yang
tertera dalam RAB tersebut pada tanggal 17 Desember 2015. Padahal
diketahui telah dilakukan addendum pekerjaan tambah kurang yang
dituangkan dalam Surat Perjanjian Addendum. Diketahui pula terdapat
duplikasi pekerjaan struktur berupa Pembuatan Direksi Keet dan Gudang,
Papan Nama Proyek, Administrasi, Pelaporan, dan Dokumentasi dan
Pengadaan Listrik dan Air Kerja senilai Rp206.772.273,00. Rekanan
kemudian mengembalikan kelebihan pembayaran senilai Rp206.772.273,00
ke rekening Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga.
Namun demikian, setelah pemeriksaan berakhir, rekanan pelaksana
pembangunan RS Pratama Kabupaten Nduga menyampaikan dokumen
tambahan berupa addendum kontrak baru yang tidak diberikan kepada BPK
pada saat pemeriksaan fisik dilapangan. Dengan demikian pemeriksa tidak
dapat menyakini kewajaran pekerjaan pembangunan RSU Pratama Nduga.
Berdasarkan permasalahan tersebut, BPK menyatakan bahwa temuan
tersebut berakibat pada:
1. Pengeluaran keuangan negara untuk pembangunan RSU Pratama
Nduga sebesar Rp51.047.304.000,00 tidak dapat dinilai kewajarannya;
2. Potensi penyalahgunaan atas uang setoran rekanan sebesar
Rp206.772.273,00 ke rekening Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga.
Pusat Kajian AKN | 37
Hal ini disebabkan oleh adanya indikasi kesengajaan PPK dan rekanan
pelaksana membuat dokumen addendum baru untuk menghindari
penyimpangan yang telah terjadi. Menanggapi permasalahan tersebut,
Inspektorat Jenderal Kemenkes akan melakukan pemeriksaan atas
pelaksanaan pembangunan RSU Pratama Nduga.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri
Kesehatan untuk memerintahkan Inspektur Jenderal Kemenkes agar:
1. Membentuk Tim untuk memeriksa dan meneliti kebenaran dokumen
pengadaan dan pelaksanaan pembangunan RS Pratama Kab. Nduga yang
dibuat oleh PPK dan rekanan pelaksana serta menyampaikan hasilnya
kepada BPK;
2. Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga
untuk menarik uang setoran rekanan sebesar Rp206.772.273,00 yang
telah disetorkan ke rekening Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga dan
kemudian menyetorkannya ke Kas Negara.
Namun, berdasarkan kondisi terkini pemantauan tindak lanjut atas
rekomendasi BPK pada LHP atas LK Kemenkes Tahun Anggaran 2017,
diketahui bahwa Kemenkes belum menindaklanjuti sesuai dengan
rekomendasi karena belum dibentuk Tim untuk memeriksa dan meneliti
kebenaran dokumen pengadaan dan pelaksanaan pembangunan RS Pratama
Kab. Nduga yang dibuat oleh PPK dan rekanan pelaksana serta
menyampaikan hasilnya kepada BPK. Begitupula rekomendasi untuk
berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga untuk menarik
uang setoran rekanan sebesar Rp206.772.273,00 kemudian disetorkan ke
Kas Negara juga masih dalam proses atau belum selesai dilakukan.
Masih dalam Tahun Anggaran yang sama, BPK menggarisbawahi
temuan tentang belum dikenakannya denda atas keterlambatan penyelesaian
pekerjaan kepada penyedia barang dan jasa oleh 17 Satker di lingkungan
Kemenkes selama Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp2.271.613.984,66.
Dalam temuan tersebut, yang telah disetorkan ke kas Negara/BLU saat itu
juga sebesar Rp728.378.332,06 atau kurang/belum disetorkan sebesar
Rp1.543.235.652,60.
Berdasarkan kondisi terkini pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi
BPK pada LHP atas LK Kemenkes Tahun Anggaran 2017, diketahui tindak
lanjut atas rekomendasi BPK oleh beberapa satker di lingkungan Kemenkes
tersebut masih belum sepenuhnya sesuai. Masih terdapat sisa denda
38 | Pusat Kajian AKN
keterlambatan yang belum disetor sebesar Rp1.104.522.579,88. Rinciannya
adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Tindak Lanjut yang Belum Sesuai Rekomendasi BPK
No Rekomendasi Satker
Nilai Denda Keterlambatan Yang Belum Disetor ke
Negara
Status Tindak Lanjut
1. Memerintahkan secara tertulis kepada KPA untuk memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada PPK yang tidak melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam kontrak dan menarik denda keterlambatan kepada penyedia barang/jasa sebesar Rp1.543.235.652,60 untuk disetorkan ke Kas Negara/Kas BLU kemudian menyampaikan bukti penyetoran kepada BPK;
Bina Upaya Kesehatan
Rp1.090.202.040,00 Belum ditindaklanjuti
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Rp14.320.539,88 Belum ditindaklanjuti
Jumlah Rp1.104.522.579,88
Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan (LK) Kemenkes Tahun
Anggaran 2016, BPK mengungkapkan temuan tentang Realisasi Belanja
Modal melalui perikatan kontrak yang belum sesuai dengan ketentuan pada
30 satker. Temuan tersebut berakibat kelebihan pembayaran
Rp10.480.492.556,67 yang berasal dari pelaksanaan pekerjaan pada 26 satker
dan kekurangan penerimaan sebesar Rp3.831.421.728,17. Untuk kelebihan
pembayaran, yang sudah disetor kembali ke Kas Negara pada saat itu juga
adalah sebesar Rp1.931.703.359,43 sehingga masih kurang
Rp8.548.789.197,24. Begitu pula kekurangan penerimaan yang sudah disetor
Pusat Kajian AKN | 39
saat itu juga adalah Rp131.157.294,00 sehingga masih sisa
Rp3.700.264.434,17.
BPK merekomendasikan kepada PPK satker terkait untuk
mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran sebesar
Rp8.548.789.197,24 dan mempertanggungjawabkan kekurangan
penerimaan negara yang berasal dari denda keterlambatan pekerjaan sebesar
Rp3.700.264.434,17. Apabila ditotal, nilai kelebihan pembayaran dan
kekurangan penerimaan yang harus disetor ke Kas Negara adalah sebesar
Rp12.249.053.631,41. Berdasarkan kondisi terkini pemantauan tindak lanjut
atas rekomendasi BPK pada LHP atas LK Kemenkes Tahun Anggaran
2017, kelebihan pembayaran dan kekurangan penerimaan yang sudah disetor
ke Kas Negara baru Rp2.801.601.913,53 atau masih kurang Rp
9.447.451.717,88.
Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan (LK) Kemenkes Tahun
Anggaran 2017, BPK mengungkapkan temuan tentang pengadaan modul
bangunan dan alat kesehatan serta peralatan penunjang untuk Rumah Sakit
(RS) Bergerak dan RS Pratama di beberapa daerah yang melibatkan sejumlah
rekanan. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui empat pekerjaan yang
ditargetkan selesai pada bulan November 2017. Dalam realisasinya, hingga
tahun 2017, kegiatan tersebut belum sepenuhnya selesai. Permasalahannya
tersebut berakibat sebagai berikut:
1. Negara dhi Kemenkes harus membayar Rp10.228.112.420,04 untuk
putusan pengadilan atas klaim wanprestasi PPK terhadap pekerjaan
yang dilaksanakan PT RK (Rekanan proyek RS Bergerak) sebesar
Rp5.321.208.070,00 dan PT BP (Rekanan proyek RS Pratama) sebesar
Rp4.906.904.350,04. PT RK dan PT BP menggugat Ditjen Bina Upaya
Kesehatan (BUK) Kemenkes (sekarang menjadi Ditjen Yankes) ke
pengadilan dan hasilnya keduanya memenangkan gugatan tersebut. Isi
Putusan Mahkamah Agung tertanggal 27 Februari 2018 diketahui
bahwa Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali.
Dengan demikian, putusan pengadilan atas perkara perdata antara
Ditjen BUK dengan PT RK dan PT BP tersebut sudah memiliki
kekuatan hukum tetap;
2. Negara belum menerima pendapatan total sebesar Rp5.426.986.104,00
atas wanprestasi pekerjaan Alat Kesehatan dan Peralatan Penunjang RS
Bergerak oleh rekanan PT AMP dengan rincian:
40 | Pusat Kajian AKN
a. Jaminan pelaksanaan yang tidak dicairkan sebesar
Rp764.364.240,00;
b. Penagihan sisa uang muka atau mencairkan jaminan uang muka
sebesar Rp1.698.587.200,00;
c. Mengenakan denda keterlambatan sebesar Rp2.964.034.664,00;
3. Kelebihan pembayaran sebesar Rp3.694.382.296,00 atas pembayaran
untuk alat kesehatan dan peralatan penunjang yang tidak terealisasikan
oleh PT. HSA;
4. Pencatatan alat kesehatan dan peralatan penunjang RS Bergerak dan RS
Pratama belum mencerminkan nilai yang seharusnya.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri
Kesehatan melalui Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan (Dirjen Yankes)
agar:
1. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada PPK yang tidak
mengenakan sanksi sesuai ketentuan kepada penyedia pada pekerjaan
yang mengalami putus kontrak serta tidak optimal dalam
mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan pekerjaan;
2. Memerintahkan Kuasa Pengguna Barang:
a. Menginstruksikan PPK menagih uang sebesar Rp5.426.986.104,00
yang terdiri atas jaminan pelaksanaan sebesar Rp764.364.240,00,
jaminan uang muka sebesar Rp1.698.587.200,00 dan denda
keterlambatan sebesar Rp2.964.034.664,00 serta kelebihan bayar
sebesar Rp3.694.382.296,00;
b. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan
BMN yang ada dalam penguasaannya.
Kementerian Kesehatan pada prinsipnya menerima atas kondisi dalam
temuan pemeriksaan dan akan segera menindaklanjuti temuan dengan
menagihkan jaminan pelaksanaan, jaminan uang muka, denda keterlambatan
dan kelebihan bayar.
Selain hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan, terdapat Hasil
Pemeriksaan Kinerja atas Efektivitas Pengelolaan Obat dalam
penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Tahun 2016 dan
Semester I 2017 di Kemenkes. BPK mengungkapkan bahwa masih terdapat
permasalahan-permasalahan yang perlu mendapat perhatian mengenai
pengelolaan obat dalam program JKN sebagai berikut:
Pusat Kajian AKN | 41
1. Proses perencanaan kebutuhan obat JKN belum dilakukan secara
memadai. Hal ini ditunjukkan antara lain penyusunan Formularium
Nasional (Fornas) yang belum sepenuhnya sesuai ketentuan dimana
revisi Fornas Tahun 2017 belum ditetapkan dan Fornas belum
diterbitkan tepat waktu serta belum menerapkan waktu transisi. Selain
itu penyusunan rencana kebutuhan obat (RKO) juga belum dilakukan
sesuai ketentuan baik dari sisi SDM maupun anggaran.
2. Pengadaan dan penyediaan obat JKN terutama berdasarkan e-katalog
melalui e-Purchasing belum dilakukan secara memadai. Dalam
penyediaan obat Kementerian Kesehatan telah memiliki pedoman yang
dibutuhkan namun belum diatur secara lengkap. Disamping itu
pedoman penyediaan obat melalui jalur khusus (Special Acces
Scheme/SAS) yang dimiliki sudah tidak relevan dengan kondisi terkini
dan belum dilakukan update.
3. Monitoring dan evaluasi serta penanganan pengaduan/keluhan atas
pengelolaan obat JKN belum dilakukan secara memadai. Kementerian
Kesehatan telah mengembangkan aplikasi e-monev yang
memungkinkan untuk memonitor pengelolaan obat terutama
pembelian melalui e-katalog secara real time, namun karena baru pertama
kali diterapkan masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menyimpulkan bahwa Kemenkes
belum sepenuhnya efektif dalam melakukan pengelolaan obat dalam
penyelenggaraan Program JKN Tahun 2016 dan semester I Tahun 2017. Hal
ini mempertimbangkan adanya proses perencanaan kebutuhan obat JKN
belum dilakukan secara memadai, pengadaan dan penyediaan obat JKN
belum dilakukan secara memadai, dan monitoring dan evaluasi serta
penanganan pengaduan/keluhan atas pengelolaan obat JKN belum
dilakukan secara memadai.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan untuk segera
menindaklanjuti saran perbaikan sebagai berikut:
1. Lebih cermat dalam menyusun jadwal kegiatan pelaksanaan
penyusunan Fornas dan meningkatkan koordinasi dengan Tim
Komnas serta meningkatkan sosialisasi Fornas;
2. Melengkapi pedoman pengadaan yang belum sepenuhnya mengatur
faktor-faktor terkait pengadaan berdasarkan e-katalog melalui e-
Purchasing secara lengkap dan jelas serta melakukan koordinasi antar
42 | Pusat Kajian AKN
kementerian/lembaga terkait dalam proses penyelenggaraan e-
Purchasing obat;
3. Melakukan update terhadap aplikasi e-monev dengan menambah fitur
yang belum terakomodir dalam aplikasi e-monev serta melakukan
koordinasi antara Kementerian Kesehatan dengan LKPP terkait
pembelian obat melalui e-katalog dan sanksi terhadap perusahaan
farmasi maupun distributor yang tidak memenuhi komitmen.
Atas temuan, simpulan dan rekomendasi yang diberikan oleh BPK,
Menteri Kesehatan menyampaikan menerima keseluruhan temuan dan
simpulan BPK, serta akan menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi yang
diberikan.
Berdasarkan LHP atas LK Kemenkes T.A. 2017, BPK mengungkap 36
temuan dengan 59 permasalahan. Uraian berikut ini merupakan temuan dan
permasalahan yang menjadi perhatian BPK baik dari sisi sistem
pengendalian intern maupun kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan:
Pusat Kajian AKN | 43
Sistem Pengendalian Intern
Penatausahaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada lima
satuan kerja (satker) belum tertib.
Dari hasil pemeriksaan atas pengelolaan Pendapatan BLU dan Pendapatan
lain-lain satker Kemenkes diketahui hal-hal berikut:
a. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan
1) Pengelolaan PNBP pada Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan
(BPFK) Medan belum memadai
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
Pendapatan Negara Bukan Pajak
1. Penatausahaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada lima
satuan kerja (Satker) belum tertib
Belanja Negara
1. Perencanaan dan penganggaran Belanja Barang pada lima satker
tidak sesuai ketentuan
2. Perencanaan Belanja Modal pada satu satker tidak memadai
Aset
1. Pengelolaan perbendaharaan dan Uang Muka Kerja pada dua satker
belum memadai
2. Penatausahaan dan pengelolaan Piutang pada dua satuan kerja belum
memadai
3. Penatausahaan dan pengelolaan Persediaan belum memadai
4. Penatausahaan dan pengelolaan Aset Tetap belum memadai
Kewajiban
1. Penatausahaan Utang Kepada Pihak Ketiga pada lima satker belum
tertib
2. Penatausahaan Pendapatan Diterima Di Muka pada dua satker belum
merinci pihak-pihak yang memiliki piutang
Permasalahan Lainnya
1. Proses Hibah Persediaan Untuk Dijual atau Diserahkan Kepada
Masyarakat Sebesar Rp168.050.351,00 belum selesai
2. Penatausahaan Hibah Tanah seluas 12.950 m2 senilai Rp388.500.000,00
dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat tidak sesuai ketentuan
44 | Pusat Kajian AKN
2) Pengenaan biaya tuslag dalam pelayanan farmasi pada RSUP Prof.
Dr. RD. Kandou Manado tidak mengacu pada Peraturan Menteri
Keuangan
3) Harga jual barang farmasi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Pada UPT RSCM Kencana tidak sesuai dengan Keputusan
Direktur Utama
4) Penagihan pendapatan Jasa Layanan Umum yang berasal dari
pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
pada RSHAM belum memadai
b. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P)
Pengelolaan PNBP pada Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas II
Manado belum memadai
c. Badan Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusi (BPPSDM)
Pengelolaan pendapatan pada Politeknik Kesehatan Kemenkes
Semarang belum memadai.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Potensi penyalahgunaan atas penerimaan PNBP yang dikelola tidak
sesuai ketentuan dan realisasi PNBP KKP Kelas II Manado belum
mencerminkan realisasi riil;
b. Penyajian pendapatan dan piutang atas jasa pelayanan BPFK Medan TA
2017 belum merupakan nilai yang wajar yang dapat diandalkan;
c. Potensi penyalahgunaan dan salah saji atas akun pendapatan pada
Poltekkes Semarang;
d. Pengenaan tuslag sebesar Rp143.534.500,00 membebani pasien
umum/penjamin non JKN;
e. Potensi kekurangan dan kelebihan realisasi Pendapatan Jasa Pelayanan
RSUPN-CM;
f. Indikasi klaim BPJS RSHAM yang diajukan tidak sesuai dengan kondisi
yang sebenarnya.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui eselon-1
terkait memerintahkan KPA pada satker untuk:
a. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian atas penatausahaan kas,
pengelolaan PNBP yang berada dalam penguasaannya;
Pusat Kajian AKN | 45
b. Menginstruksikan bendahara penerimaan pada satker terkait melakukan
pengelolaan PNBP sesuai ketentuan yang berlaku dan melakukan
rekonsiliasi dengan unit kerja teknis secara berkala;
c. Menginstruksikan petugas lapangan pada satker terkait memungut
PNBP sesuai ketentuan yang berlaku;
d. Menginstruksikan Direktur Utama RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado dalam menetapkan perhitungan tarif farmasi mengacu pada
ketentuan yang lebih tinggi dan kondisi terkini;
e. Menginstruksikan Kepala Unit Manajeman Sistem Informasi (UNSI)
RSCM untuk melakukan penyesuaian perhitungan harga jual barang
farmasi secara benar dan akurat pada Sistem informasi Avicena;
f. Menginstruksikan Koordinator keuangan UPT RSCM Kencana dan
Kepala Unit Manajeman Sistem Informasi (UNSI) RSCM untuk
melaksanakan evaluasi secara berkala terhadap perhitungan harga jual
barang farmasi secara benar dan akurat pada Sistem Informasi Avicena.
g. Menginstruksikan kepada Tim Verifikasi pengajuan klaim BPJS untuk
meningkatkan koordinasi dengan Tim koder dalam penetuan dan
verifikasi tarif final untuk pengajuan klaim;
h. Menginstrusikan kepada Tim Koder RSUP H. Adam Malik Medan
untuk lebih cermat dalam menganalisa dan menentukan tarif klaim dan
tidak sesuai dengan ketentuan pada ICD 9 dan ICD 10 perihal diagnosa
pasien.
Perencanaan dan penganggaran serta pengadan belanja barang pada
lima satker belum memadai.
Dari hasil pemeriksaan atas perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan
belanja barang diketahui hal-hal berikut:
a. Sekretariat Jenderal
Penganggaran belanja tidak sesuai dengan peruntukkan kegiatannya
pada Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia
b. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
1) Perencanaan pengadaan alat posbindu pada Direktorat P2PTM
tidak cermat dan pemanfaatan hasil pengadaan belum memadai
Hasil pemeriksaan diketahui hal-hal sebagai berikut:
46 | Pusat Kajian AKN
a) Terdapat peralatan sebesar Rp6.618.127.490,00 tidak
terdistribusi dan sebesar Rp3.947.580.000,00 akan memasuki
masa kadaluarsa
b) Barang hasil pengadaan Posbindu Kit Tahun 2017 sebesar
Rp353.027.000,00 tidak diketahui keberadaannya
2) Perencanaan pengadaan RDT Filariasis untuk Brugia pada
Direktorat P2PTVZ tidak cermat
c. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
1) Terdapat penganggaran tidak sesuai dengan peruntukan kegiatannya
pada Direktorat Tata Kelola Obat Publik
2) Pengadaan dan pendistribusian vaksin reguler Inactivated Polio
Vaccin (IPV) oleh Dit. Oblik dan Perbekkes tidak sesuai
perencanaan.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Beban keperluan perkantoran dengan beban pemeliharaan gedung dan
bangunan senilai Rp714.324.330,00 tidak menggambarkan kondisi yang
sebenarnya;
b. Direktorat P2PTM dan Direktorat P2PTVZ belum mendapatkan
manfaat atas pengadaan barang/jasa;
c. Barang RDT Filariasis untuk Brugia dan Filariasis Brugia tahun 2017
sebesar Rp3.193.196.050,00 yang sudah diserahkan ke Kabupaten/kota
berpotensi tidak dapat dimanfaatkan sampai dengan masa kadaluwarsa;
d. Barang hasil pengadaan posbindu kit Rp353.027.000,00 berpotensi
hilang;
e. Realisasi belanja akun 526311 yaitu Belanja Barang Bantuan Lainnya
untuk Diserahkan Kepada Masyarakat/Pemda yang digunakan untuk
tupoksi satuan kerja sehingga tidak menggambarkan kondisi yang
sebenarnya;
f. Adanya potensi penyalahgunaan atas barang Kemenkes oleh pihak di
luar Kemenkes karena kegiatan pengiriman BMN berupa Vaksin IPV
tidak diatur dalam kontrak.
Pusat Kajian AKN | 47
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui eselon-1
terkait memerintahkan KPA pada satker untuk:
a. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian atas pencatatan dalam
perencanaan penganggaran belanja Belanja Barang Bantuan Lainnya
untuk Diserahkan Kepada Masyarakat/Pemda;
b. Menginstruksikan pejabat yang berwenang dalam penyusunan anggaran
mengacu pada BAS, pedoman penggunaan akun belanja dan standar
akuntansi pemerintahan yang telah ditetapkan;
c. Menginstruksikan Kepala Sub Direktorat Penyakit DMGM dan Kepala
Sub Direktorat Filariasis agar lebih cermat dalam merencanakan
pengadaan barang dan jasa;
d. Mengintruksikan PPK agar lebih optimal dalam negosiasi pengiriman
dengan penyedia agar pengadaan vaksin menjadi lebih efektif;
e. Menginstruksikan PPK agar lebih cermat dalam melaksanakan
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan yang menjadi tanggung
jawabnya.
Perencanaan Belanja Modal pada RSUPN-CM tidak memadai.
Pemeriksaan secara uji petik atas sistem pengendalian internal
pengelolaan belanja modal pada RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSUPN-CM) diketahui masih terdapat kelemahan pengendalian intern,
yaitu Perencanaan Pekerjaan Pengadaan Alat Kedokteran Patient Monitor
With ET CO2 dan Mesin Anestesi di Kamar Operasi RSCM Kintani
Departemen Obstetri dan Ginekologi.
Pekerjaan tersebut dilaksanakan oleh PT.USM berdasarkan
Perjanjian/Kontrak Nomor HK.05.01/XXII/12206/2017 tanggal 25 April
2017 dengan nilai Rp604.641.711,00.
Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa pelaksanaan pekerjaan tersebut
tidak didasari perencanaan yang memadai sebagaimana uraian berikut.
a. Pengadaan dilakukan berdasarkan Formulir Kebutuhan Belanja Modal
Nomor 0681/2 Maret 2017-Alked50M tanggal 2 Maret 2017 yang
diajukan oleh Kepala Bidang Pelayanan Medik dan Plh. Kepala Bagian
Anggaran serta telah disetujui oleh Direktur Medik dan Keperawatan
dan Direktur Keuangan. Nama alat dan spesifikasi barang yang diadakan
48 | Pusat Kajian AKN
sama dengan yang tercantum dalam rincian Formulir Kebutuhan
Belanja Modal tersebut;
b. Berdasarkan checklist penerimaan barang yang dikeluarkan oleh
PT.USM dan ditandatangani oleh Panitia Penerima Hasil Pekerjaan dan
user, seluruh barang telah diterima pada tanggal 22 Mei 2017 dengan
spesifikasi sesuai yang telah disepakati pada perjanjian/kontrak;
c. Pada tanggal 3 Agustus 2017, Kepala Departemen Obstetri dan
Ginekologi mengajukan permohonan perubahan mesin anestesi melalui
surat nomor KR.02.01/IX.9.2/1127/2017 perihal Perubahan Mesin
Anestesi kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Alat Kedokteran
dan Perbekalan Farmasi RSUPNCM. Mesin anestesi yang diminta
adalah Datex-ohmeda 9100 Basic tipe 9100C dengan merk GE
Healthcare dan negara asal China (di bawah lisensi USA). Menurut
keterangan PPK, keunggulan tipe mesin yang diminta jika dibandingkan
dengan yang telah diadakan adalah dapat mengatur dosis obat bius yang
akan masuk ke janin saat alat tersebut digunakan dalam bedah sectio
caesarea sehingga lebih aman buat janin;
d. PPK menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan
pemutusan perjanjian/kontrak dengan PT.USM melalui surat Nomor
HK.05.01/XXII/28722/2017 tanggal 26 September 2017 perihal Surat
Pemutusan Perjanjian Kontrak. Berdasarkan surat tersebut, atasan
pemutusan perjanjian/kontrak adalah alat kedokteran yang telah
diadakan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pelayanan di
RSUPNCM. Atasan tersebut tidak memenuhi ketentuan pengadaan
barang/jasa maupun ketentuan perjanjian/kontrak.
PPK menjelaskan bahwa pemutusan perjanjian/kontrak tersebut
disetujui oleh PT.USM dan barang yang telah diterima sudah
dikembalikan ke PT.USM. Namun sampai pemeriksaan berakhir, PPK
tidak dapat menunjukkan surat persetujuan pemutusan
perjanjian/kontrak maupun bukti pengembalian barang.
Setelah pemutusan perjanjian/kontrak tersebut, Kepala Bidang
Pelayanan Medik mengirim surat Nomor TU.02.03/IX.I.I/3237/2017
tanggal 6 Oktober 2017 perihal Revisi Spesifikasi Mesin Anestesi RSCM
Kintani kepada Kepala Unit Sekretariat Bersama PPK RSUPN-CM,
PPK Alat Kedokteran dan Perbekalan Farmasi RSUPN-CM dan Kepala
Pusat Kajian AKN | 49
Unit Layanan Pengadaan RSUPN-CM. Isi surat tersebut adalah
permohonan pengadaan sesuai spesifikasi yang telah direvisi di mana
spesifikasi mesin anestesi menjadi merk GE Healthcare, negara asal
China (di bawah lisensi USA) dan tipe 9100 C (kode e-catalogue
42000000-AKS-00054592). Atas perubahan spesifikasi tersebut, Kepala
Bidang Pelayanan Medik tidak membuat Formulir Kebutuhan Belanja
Modal yang baru.
Kondisi tersebut mengakibatkan tertundanya pemanfaatan Alat
Kedokteran Patient Monitor With ET CO2 & Mesin Anestesi untuk
pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui eselon-1
terkait memerintahkan Direktur Utama RSUPNCM selaku KPA dan Kepala
Bidang Pelayanan Medik untuk membuat perencanaan kebutuhan belanja
modal berdasarkan kebutuhan pelayanan.
Penatausahaan dan pengelolaan persediaan belum memadai.
Dari pemeriksaan atas pengelolaan persediaan ditemukan permasalahan
dengan sebagai berikut:
a. Pencatatan Persediaan pada 19 satker belum tertib
b. Pelaksanaan stock opname pada tiga satker tidak tertib
c. Pencatatan Persediaan tidak didukung dokumen sumber
d. Pengendalian atas pengelolaan fisik persediaan belum memadai
e. Terdapat jenis obat ARV melampaui kebutuhan buffer stock
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Persediaan per 31 Desember 2017 belum disajikan secara akurat
sehingga belum merupakan nilai yang wajar dan dapat diandalkan pada
Pusat Krisis Kesehatan, RSKD, RSUP Dr. Kariadi, RS Kanker
Dharmais Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan
Litbangkes (BTKLPP) Kelas I Palembang
b. Pencatatan saldo persediaan pada 18 satker berpotensi belum
mencerminkan kondisi yang sebenarnya pada Pusat Krisis Kesehatan,
Sekretaris Konsil Kedokteran Indonesia, Biro Kerja Sama Luar Negeri,
P2PML, BBTKLPP Yogyakarta, KKP Kelas II Manado, KKP
50 | Pusat Kajian AKN
Soekarno Hatta Jakarta, KKP Tanjung Priok Jakarta, KKP Kelas I
Medan, Dit. Oblik, Dit Alkes dan PKRT, RSUP Hasan Sadikin, RSUP
Prof, Dr. Kandou Mando, RSUP Dr. Kariadi Semarang, RSUP Wahidin
Sudiro Husodo, RS Kanker Dharmais, Pusat 1 Balitbangkes, Poltekkes
Yogyakarta;
c. Masa manfaat obat dengan masa kadaluarsa kurang dari 2 tahun pada
RSUP Hasan Sadikin menjadi lebih singkat dan berpotensi tidak bisa
dimanfaatkan;
d. Kebijakan pengadaan buffer stock P2PML tidak mencerminkan
penganggaran yang efisien dan memiliki potensi terjadinya pemborosan;
e. Pengamanan persediaan pada Dit Alkes dan PKRT yang lemah
mengakibatkan terbukanya peluang kehilangan barang persediaan yang
tidak dapat ditelusuri penggunaannya;
f. Persediaan RSHAM yang disimpan di tempat yang tidak seharusnya
berpotensi hilang atau rusak.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui eselon 1
terkait memerintahkan KPB pada satker untuk:
a. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian atas penatausahaan
persediaan yang ada dalam penguasaannya;
b. Menyusun pedoman teknis yang dapat dipersamakan dengan Standar
Prosedur Operasional (SPO) diselaraskan dengan peraturan yang
berlaku;
c. Menginstruksikan pengelola persediaan dan pengelola gudang
mematuhi ketentuan yang berlaku dalam melakukan penatausahaan
persediaan;
d. Menginstruksikan pengelola BBM solar agar melakukan pencatatan dan
pelaporan dengan di dukung alat dan prosedur yang memadai;
e. Petugas SIMAK BMN dan penanggungjawab persediaan sub bagian
belum melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melakukan
penatausahaan persediaan sesuai ketentuan yang berlaku;
f. Kuasa Pengguna Barang P2PML agar lebih optimal dalam merancang
sistem pengendalian internal yang memadai dalam pengelolaan obat
ARV;
g. Direktur Utama RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou agar menyusun pedoman
pencatatan persediaan dalam aplikasi persediaan yang berasal dari data
Pusat Kajian AKN | 51
SIRS serta updating data persediaan pada SIRS yang antara lain meliputi
prosedur rekonsiliasi data persediaan antara Gudang Farmasi dan depo
serta timeline atau batas waktu penginputan mutasi barang;
h. Direktur Poltekkes Kemenkes Yogyakara selaku KPB untuk menunjuk
personil yang bertanggungjawab mengelola persediaan di Jurusan;
i. Menginstruksikan Kepala Instatasi Farmasi RSUP Dr. Kariadi untuk
meningkatkan pengendalian internal yang memadai dalam melakukan
koreksi saldo persediaan;
j. Menginstruksikan Kepala Subbag Program dan Laporan dan unit kerja
pelaksana kegiatan BBTKLPP Yogyakarta untuk mematuhi klasifikasi
belanja dalam menyusun anggaran;
k. Menginstruksikan Kepala Instatasi Pemeliharaan Sarana agar lebih
optimal dalam melakukan pengendalian dan pengawasan atas
pengelolaan BBMN solar.
Penatausahaan dan pengelolaan Aset Tetap belum memadai.
Dari pemeriksaan atas pengelolaan Aset Tetap ditemukan permasalahan
dengan uraian sebagai berikut.
a. Aset Tetap belum dicatat dalam laporan barang milik negara pada empat
satker
b. Aset Tetap kerjasama belum sesuai ketentuan pada tujuh satker
c. Aset Tetap tidak diketahui keberadaannya pada enam satker
d. Penatausahaan distribusi barang pada aplikasi SIMAK BMN belum
tertib pada 17 satker
e. Inventarisasi Aset Tetap belum dilakukan secara menyeluruh pada enam
satker
f. Aset Tetap belum dimanfaatkan
g. Penatausahaan barang rusak kurang memadai
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Potensi penyalahgunaan atas BMN yang tidak ditatausahakan secara
memadai;
b. Informasi Aset Tetap yang disajikan dalam laporan keuangan belum
lengkap;
52 | Pusat Kajian AKN
c. Kehilangan pendapatan dari pemanfaatan BMN yang belum didukung
dengan perjanjian kerja sama dan pelaksanaan kerja sama yang tidak
sesuai dengan yang dipersyaratkan;
d. Tujuan inventarisasi BMN untuk mendapatkan data yang lengkap
mengenai jumlah, keberadaan, kondisi, bukti kepemilikan dan nilai serta
BMN yang tercatat maupun yang tidak tercatat yang dikuasai oleh satker
tidak mencapai pada enam satker.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui eselon-1
terkait memerintahkan KPA/KPB pada satker agar:
a. Memerintahkan Petugas SIMAK BMN pada satker terkait mematuhi
ketentuan yang berlaku dalam melakukan penatausahaan BMN serta
meningkatkan koordinasi dengan unit ker/instansi/satuan kerja terkait
dalam melakukan pendataan dan pengelolaan BMN yang ada di
wilayahnya;
b. Kuasa Pengguna Barang untuk meningkatkan pembinaan, pengawasan
dan pengendalian atas pengelolaan, pemanfaatan dan pelaporan BMN
yang berada dalam penguasaannya;
c. Kepala KKP Makassar selaku KPB agar mengajukan usulan persetujuan
pemanfaatan BMN yang berada dalam penguasaannya kepada Pengelola
Barang;
d. Kuasa Pengguna Anggaran agar lebih cermat dalam merencanakan
kebutuhan barang sesuai analisis kebutuhan.
Penatausahaan utang kepada pihak ketiga pada lima satker belum
memadai.
Utang kepada pihak ketiga merupakan belanja yang masih harus dibayar
dan merupakan kewajiban yang harus segera diselesaikan kepada pihak
ketiga lainnya dalam waktu kurang dari 12 (dua belas bulan). Hasil
pemeriksaan atas penatausahaan utang kepada pihak ketiga diuraikan sebagai
berikut.
a. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan
1) RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado
Dari hasil pemeriksaan atas pengelolaan utang tersebut diketahui
hal-hal berikut:
Pusat Kajian AKN | 53
a) Terdapat sisa utang tahun 2016 sebesar Rp4.500.000.000,00
yang belum diselesaikan
b) Terdapat utang belanja barang yang sudah lama
c) Terdapat utang belanja modal meskipun masih terdapat pagu
anggaran
2) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan TA 2017
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo (Unaudited) pada CaLK E.4
Koreksi Lain-lain diketahui terdapat koreksi kurang atas utang TA
2016 sebesar Rp335.245.904,00.
Berdasarkan keterangan dari petugas pengelola utang diketahui
bahwa koreksi utang dapat terjadi karena pada saat pencatatan
utang, sebagian utang tersebut belum didukung dengan dokumen
pendukung yang valid antara lain bukti tagihan dan kelengkapan
dokumen pertanggungjawaban, sehingga pencatatan utang hanya
didasarkan pada hasil konfirmasi oleh Sub Bagian Akuntansi
Manajemen dan Verifikasi kepada pihak ketiga/unit kerja yang
dilakukan pada akhir tahun.
Berdasarkan keterangan dari petugas pengelola utang, untuk utang
TA 2017 (Unaudited) semua dokumen pendukung utang TA 2017
sudah diterima dan diverifikasi oleh Sub Bagian Akuntansi
Manajemen dan Verifikasi pada tanggal 13 Februari 2018. Dari
dokumen tersebut diketahui terdapat kesalahan perhitungan atas
utang remunerasi sebesar Rp280.545.959,00, sehingga utang
remunerasi yang semula sebesar Rp11.997.015.829,00 menjadi
Rp11.716.469.870,00. Atas kesalahan tersebut sudah diusulkan
untuk dikoreksi.
3) RSUP Dr. Tadjuddin Chalid Makassar
Pada tahun 2017, nilai utang kepada Pihak Ketiga sebagian besar
merupakan utang atas belanja barang yang terdiri dari pengadaan
obat-obatan dan bahan habis pakai (BHP) medis, dan utang atas
uang makan, gaji dan tunjangan/remunerasi yang belum dibayarkan
sampai dengan 31 Desember 2017.
Pencatatan utang dilakukan berdasarkan Surat Pesanan (SP) dan
faktur serta hasil konfirmasi dengan pihak ketiga. Tetapi tidak
54 | Pusat Kajian AKN
semua rekanan diberikan surat konfirmasi. Dan dari rekanan yang
diberikan konfirmasi tersebut tidak semuanya mengirimkan jawaban
konfirmasi.
Berdasarkan keterangan dari petugas pengelola utang, diketahui
bahwa belanja tersebut dicatat sebagai utang karena kelengkapan
berkas pengajuan pembayaran baru dapat diverifikasi dan disetujui
mendekati tahun anggaran berakhir. Hal ini terjadi karena tidak
tertibnya unit kerja di lingkungan RS Dr. Tadjuddin Chalid
Makassar dalam melakukan pengajuan pembayaran. Petugas
pengelola utang mencatat utang berdasarkan berkas penagihan yang
disampaikan oleh ULP, yang terdiri dari faktur barang, surat
pesanan dan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Pekerjaan yeng
merupakan belanja barang obat dan BHP serta belanja modal.
Untuk belanja lainnya antara lain belanja keperluan kantor, belanja
uang makan dan belanja perjalanan dinas, berkasnya tidak berasal
dari ULP. Petugas pengelola utang mencatat sesuai dengan berkas
yang diserahkan pada saat penagihan.
4) RSUP H. Adam Malik (RSHAM)
Pemeriksaan atas pelaksanaan perjanjian menunjukkan bahwa
selama TA 2017 RSHAM belum berhasil menyajikan nilai
persediaan pada Aplikasi Persediaan dan BMN. Penelusuran
terhadap mekanisme pencatatan yang digunakan menunjukan
bahwa RSHAM menggunakan Modul General Ledger (MGL) dari
SIMRS. Salah satu aplikasi dari MGL adalah aplikasi penghubung
(bridging) persediaan SIMRS ke SIMAK BMN.
5) RSUP Dr. Sardjito
Pemeriksaan atas utang usaha kepada pihak ketiga pada RSUP Dr.
Sardjito dilakukan dengan pengujian penilaian perhitungan atas
pencatatan rekapitulasi perhitungan utang. Hasil pemeriksaan
diketahui bahwa masih terdapat utang usaha pihak ketiga yang
kurang catat dan selanjutnya hasil konfirmasi secara uji petik kepada
penyedia barang dan jasa dan hasil rekonsiliasi dan penelusuran
utang usaha diketahui masih terdapat utang usaha pihak ketiga yang
kurang catat minimal sebesar Rp10.818.737.220,00. Dari jawaban
konfirmasi yang diperoleh diketahui bahwa masih terdapat selisih
Pusat Kajian AKN | 55
perhitungan utang antara RSUP Dr. Sardjito dengan penyedia
barang dan jasa yang belum dapat diidentifikasi oleh bagian
akuntansi sebagai utang atau telah dilunasi per 31 Desember 2017.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Penyelesaian utang kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp4.500.000.000,00
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado berlarut-larut;
b. RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado berpotensi tidak dapat
membayar utang jangka pendek;
c. Kontinuitas pelayanan RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado
berpotensi terganggu.
d. Timbulnya potensi permasalahan penyajian utang serta penganggaran
dan pembayaran utang pada tahun anggaran berikutnya pada RSUP
Prof. Dr. R.D. Kandou Manado;
e. Pengukuran nilai keterjadian Belanja Jasa BLU (SIMRS) dan nilai
kewajiban atas Utang PFK pada RSHAM tidak dapat diyakini sebesar
Rp6.944.570.124,00 sehingga Utang usaha kepada pihak ketiga disajikan
lebih rendah dari yang seharusnya (understated).
f. Timbulnya potensi permasalahan penganggaran dan pembayaran utang
usaha pada tahun anggaran berikutnya pada RSHAM.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui eselon-1
terkait memerintahkan KPA pada satker untuk:
a. Menginstruksikan Direktur Utama RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado agar lebih optimal dalam menyelesaikan utang kepada BPJS
Kesehatan;
b. Mengintruksikan Direktur Utama RS Dr. Tadjuddin Chalid untuk
menetapkan SOP utang yang mengatur tentang batas waktu penyerahan
tagihan dalam SPO tentang utang sehingga penagihan tidak tertib;
c. Mengintruksikan ULP 2 RSUP Dr. Sardjito untuk lebih persuasive
dalam menerbitkan BAST;
d. Direktur Utama RSUP H. Adam Malik (RSHAM mengintruksikan
bagian akuntansi dan panitia penerima barang meningkatkan koordinasi
dalam pelaksanaan penerimaan dan verifikasi pengadaan barang/jasa
agar lebih optimal dan memberikan teguran tertulis Kepala Bagian
Akuntansi agar lebih teliti dalam melaksanakan melaksakanan Uji Fungsi
Model General Ledger;
56 | Pusat Kajian AKN
e. Direktur Utama RSUP Dr. Sardjito melakukan peninjauan kembali atas
surat keputusan agar disesuaikan dengan ketentuan yang ada.
Proses hibah persediaan untuk diserahkan kepada masyarakat
sebesar Rp168.050.867.351,00 belum selesai.
Dari hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan pelaksanaan hibah atas
persediaan tersebut diketahui hal-hal berikut:
a. Persediaan untuk dijual/diserahkan kepada masyarakat pada Direktorat
Pelayanan Kesehatan Tradisional (Dit. Yankestrad) sebesar
Rp129.800.000,00
Dari hasil pemeriksaan bahwa persediaan tersebut telah diajukan
permohonan hibahnya. Namun seiring dengan reorganisasi di
lingkungan Kementerian Kesehatan yang antara lain mengalihkan
Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional (d/h Direktorat Bina
Pelayanan Kesehatan Tradisional) dari Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat (d/h Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak) ke Ditjen Yankes, proses permohonan hibah tersebut harus
diulang. Sampai dengan pemeriksaan lapangan berakhir, permohonan
hibah tersebut belum diajukan kembali.
b. Persediaan untuk dijual/diserahkan kepada masyarakat pada Direktorat
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Dit. Fasyankes) sebesar
Rp152.538.442.919,00
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dari 649 penerima, yang telah
didukung berita acara serah terima sebanyak 231 penerima, di antaranya
sebanyak 222 penerima telah berproses hingga pengajuan surat
permohonan ke Sekretariat Ditjen Yankes.
Menurut keterangan petugas persediaan, salah satu kendala dalam
proses hibah adalah BAST tidak segera dikembalikan oleh penerima
hibah sehingga tidak dapat diproses lebih lanjut. Pada tahun 2017,
permohonan hibah kendaraan roda 4 dan 2 senilai Rp5.229.454.033,00
untuk 8 penerima telah diajukan ke Pengguna Barang dan Dit.
Fasyankes telah melakukan koreksi untuk mengeluarkan dari neraca.
c. Persediaan untuk dijual/diserahkan kepada masyarakat pada Direktorat
Pelayanan Kesehatan Rujukan (Dit. PKR) sebesar Rp13.737.714.042,00
Hasil pemeriksaan menunjukkan sebagai berikut:
Pusat Kajian AKN | 57
1) Terdapat Kelebihan catat sebesar Rp636.057.125,00 yang terjadi
karena kekeliruan identifikasi. Atas kekeliruan tersebut, Dit. PKR
telah melakukan koreksi;
2) Dari 92 penerima, yang telah didukung berita acara serah terima
sebanyak 20 penerima, di antaranya sebanyak 17 penerima telah
berproses hingga pengajuan surat permohonan ke Sekretariat Ditjen
Yankes.
Pada tahun 2017, permohonan hibah komputer dan printer senilai
Rp37.635.510,00 untuk 3 penerima telah terbit persetujuan hibahnya
dari Pengguna Barang dan Dit. PKR telah melakukan koreksi untuk
mengeluarkan dari neraca.
d. Persediaan untuk dijual/diserahkan kepada masyarakat pada Direktorat
Pelayanan Kesehatan Primer (Dit. PKP) sebesar Rp1.644.910.390,00
Berdasarkan hasil penelusuran secara uji petik atas dokumen pengiriman
untuk hasil pengadaan tahun 2011 s.d 2013, tim pemeriksa BPK hanya
dapat mengidentifikasi bukti pengiriman untuk item barang Usila Kit
senilai Rp290.070.000,00. Adapun item persediaan lainnya total senilai
Rp1.354.840.390,00 tidak dapat ditelusuri bukti pengirimannya.
Kondisi tersebut mengakibatkan persediaan untuk dijual/diserahkan
kepada masyarakat sebesar Rp168.050.867.351,00 masih membebani neraca
Ditjen Yankes karena belum bisa dihapuskan.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui eselon-1
terkait memerintahkan KPA agar lebih optimal dalam melaksanakan dan
memantau proses hibah persediaan untuk dijual/diserahkan kepada
masyarakat.
58 | Pusat Kajian AKN
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Pendapatan Negara Bukan Pajak
1. Pendapatan belum dipungut sebesar Rp523.081.592,2 pada dua satker
2. Pendapatan terlambat disetor ke kas negara sebesar Rp40.820.000,00
pada Pusat Peningkatan Mutu SDM Kesehatan
3. Kekurangan penerimaan negara sebesar Rp1.388.725.714,11 pada
enam satker
Belanja Pegawai
1. Pembayaran Gaji dan Tunjangan Kinerja/Remunerasi tidak sesuai
ketentuan sebesar Rp10.097.049.323,00 pada 28 satker
Belanja Barang
1. Realisasi Belanja Perjalanan Dinas Luar Negeri tidak sesuai ketentuan
sebesar Rp90.882.937,00 pada dua satker
2. Belanja sewa berindikasi fiktif sebesar Rp82.200.000,00 pada satu satker
3. Kekurangan volume pekerjaan pemeliharaan AC Sebesar
Rp24.155.000,00 pada satu satker
4. Pembayaran Remunerasi Pegawai BLU tidak sesuai sebesar
Rp18.489.159.441,43 pada lima satker
5. Kelebihan pembayaran atas realisasi Belanja Barang sebesar
Rp876.832.808,00 pada delapan satker
6. Pembayaran honor tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebesar
Rp86.450.000,00 pada dua satker
7. Potensi kelebihan pembayaran atas pelayanan obat oleh Apotek Kimia
Farma sebesar Rp3.027.844.398,40 Pada RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo
8. Denda atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan belum dikenakan
sebesar Rp464.490.405,01 pada tiga satker
9. Realisasi Belanja Barang tidak dilengkapi bukti pertanggungjawaban
yang valid sebesar Rp1,089,424,461.00 pada lima satker
10. Proses pengadaan Barang/Jasa tidak sesuai ketentuan pada dua satker
11. Pemecahan kontrak kegiatan belanja pemeliharaan sebesar
Rp2.620.667.500,00 pada RSUP H. Adam Malik Medan
12. Perencanaan pengadaan dua pekerjaan tidak tertib pada Direktorat
Kesehatan Lingkungan
Pusat Kajian AKN | 59
Kekurangan penerimaan negara sebesar Rp1.388.725.714,11 pada
enam satker.
a. Pengenaan pajak penghasilan sebesar Rp1.163.419.092,11 dan bea
materai sebesar Rp108.000,00 atas jasa giro dan bunga deposito pada
enam satker
Dalam melakukan pengelolaan kas, Kuasa Pengguna Anggaran dapat
membuka rekening giro dan deposito. Atas dana yang dikelola pada
rekening tersebut, satker berhak memperoleh jasa giro dan bunga yang
besarannya dihitung berdasarkan saldo rekening giro dan pokok
Belanja Modal
1. Kelebihan pembayaran atas kekurangan volume pekerjaan senilai
Rp1.901.662.813,20 pada 22 satker
2. Kelebihan pembayaran atas realisasi Belanja Modal sebesar
Rp204.412.834,00 pada enam satker
3. Spesifikasi hasil pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak senilai
Rp68.933.235,62 pada tiga satker
4. Jaminan Pelaksanaan atas pemutusan kontrak pekerjaan belum dicairkan
sebesar Rp2.009.355.050,00 pada empat satker
5. Potensi kelebihan pembayaran atas kekurangan volume pekerjaan
sebesar Rp2.298.271.452,05 pada RSUP dr. Kariadi Semarang
6. Denda atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan belum dikenakan
kepada penyedia barang/jasa sebesar Rp3.269.502.641,37 pada
sembilan satker
7. Pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan yang tidak sesuai ketentuan
pada empat satker
Aset Tetap
1. Aset Tetap Tanah minimal seluas 8.759,52 m2 dikuasai oleh pihak
ketiga pada Sekretariat Badan PPSDM Kesehatan
Aset Lainnya
1. Sanksi keterlambatan penyelesaian pekerjaan total sebesar
Rp5.426.986.104,00 belum dikenakan dan terdapat pembayaran
sebesar Rp3.694.382.296,00 atas barang yang tidak terealisasi pada
pekerjaan penyelesaian pekerjaan pengiriman dan pembayaran sisa
pekerjaan alat kesehatan dan peralatan penunjang RS Bergerak
60 | Pusat Kajian AKN
deposito dengan mengikuti tingkat suku bunga yang berlaku serta tidak
dikenakan pajak penghasilan.
Namun dari pemeriksaan pada enam satker diketahui bahwa terdapat
jasa giro dan bunga yang dikenakan pajak penghasilan 20% sebesar
Rp1.163.419.092,11 (Rp212.911.914,11 + Rp950.507.178,00) dan bea
materai sebesar Rp108.000,00.
b. Kekurangan penerimaan bunga deposito sebesar Rp225.198.622,00
pada RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar (RSWS)
Pada tahun 2017, RSWS membuka rekening deposito pada bank BRI
(nomor bilyet DC 4833254) dengan nominal Rp35.000.000.000,00 dan
jangka waktu 1 bulan terhitung sejak 21 Februari 2017. Tingkat suku
bunga saat pembukaan deposito sebesar 6,75% dan disesuaikan setiap
perpanjangan deposito. Bunga tersebut ditransfer setiap bulan sesuai
tanggal jatuh tempo ke rekening BTN Nomor 00000077-01-30-
000010-3.
Namun dari pemeriksaan diketahui bahwa RSWS kurang menerima
bunga deposito sebesar Rp225.198.622,00.
Kondisi tersebut mengakibatkan empat satker terkait belum dapat
memanfaatkan pendapatan sebesar Rp200.271.726,42 untuk membiayai
kegiatan operasional.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui eselon-1
terkait agar:
a. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada bendahara penerimaan
dan atasan langsungnya pada satker terkait yang tidak melakukan
rekonsiliasi secara periodik dengan pihak-pihak terkait atas penerimaan
pendapatan;
b. Memerintahkan Kuasa Pengguna Anggaran pada satker terkait menagih
penerimaan jasa giro dan bunga deposito yang terlanjur dikenakan
pajak penghasilan dan bea meterai sebesar Rp200.271.726,42 kepada
Bank Mandiri, BNI dan BTN serta meningkatkan pengawasan dan
pengendalian atas pengelolaan pendapatan yang berada dalam
penguasaannya.
Pusat Kajian AKN | 61
Pembayaran gaji dan tunjangan kinerja/remunerasi tidak sesuai
ketentuan sebesar Rp10.097.049.323,00 pada 29 satker.
a. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Pembayaran gaji dan tunjangan kepada pegawai yang telah melebihi
batas usia pensiun sebesar Rp171.893.130,00 pada tiga satker di
lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
b. Badan PPSDM Kesehatan
Pembayaran gaji dan tunjangan kinerja/remunerasi untuk dosen yang
tidak sesuai ketentuan sebesar Rp9.925.156.193,00 pada 26 satker di
lingkungan Badan PPSDM Kesehatan.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Terdapat dosen yang tidak segera mendapat hak pensiun atau terhambat
pengembangan karirnya;
b. Kelebihan atas pembayaran gaji dan tunjangan sebesar
Rp10.097.049.323,00;
c. Utang dalam SKPP kurang ditetapkan sebesar Rp137.619.121,00.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan:
a. Segera menetapkan pemberhentian dosen sesuai ketentuan
perundangan dan berkoordinasi dengan Kepala BKN untuk
mempercepat penetapan pencantuman gelar dosen;
b. Memberhentikan gaji dan tunjangan terhadap dosen yang sudah pensiun
sesuai ketentuan.
c. Melalui eselon-1 terkait:
1) Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada Kepala Bagian
Kepegawaian dan Umum dan Kepala Urusan Kepegawaian pada
satker terkait yang tidak optimal dalam melaksanakan tugas dan
fungsi kepegawaian;
2) Berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menyelesaikan hak dan
kewajiban-kewajiban dosen yang telah pensiun.
3) Memerintahkan Kuasa Pengguna Anggaran pada satker terkait:
a) Merevisi penetapan utang dalam SKPP;
b) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan
belanja pegawai yang menjadi tanggung jawabnya.
62 | Pusat Kajian AKN
Pembayaran remunerasi pegawai BLU tidak sesuai ketentuan sebesar
Rp18.489.159.441,43 pada lima satker.
a. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan
1) RSUP dr. Kariadi Semarang (RSDK)
Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa pemberian remunerasi
untuk beberapa dokter melebih batas maksimal total remunerasi
yang ditetapkan dalam KMK Nomor 25/KMK.05/2017 sebesar
Rp2.978.298.052,00.
2) RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar (RSWS)
Dari hasil pemeriksaan atas dokumen pembayaran remunerasi yang
bersumber dari PNBP dengan cara membandingkan besaran yang
dibayarkan dengan besaran total remunerasi maksimal pada KMK
Nomor 541/KMK.05/2014 sesuai kode jabatan dan gradenya
diketahui bahwa terdapat kelebihan pembayaran remunerasi kepada
pegawai selama tahun 2017 sebesar Rp2.650.386.075,56
3) Balai Kesehatan Mata Masyarakat Makassar (BKMM Makassar)
Dari hasil pemeriksaan atas dokumen pembayaran remunerasi yang
bersumber dari APBN dan PNBP dengan cara membandingkan
besaran yang dibayarkan dengan besaran total remunerasi maksimal
pada Kepmenkeu sesuai kode jabatan dan gradenya diketahui bahwa
terdapat kelebihan pembayaran remunerasi kepada pegawai selama
tahun 2017 sebesar Rp6.213.419.440,13.
4) RSUP H. Adam Malik Medan (RSHAM)
Dari hasil pemeriksaan atas dokumen pembayaran remunerasi baik
yang bersumber dari APBN dan PNBP diketahui hal-hal berikut:
a) Pembayaran remunerasi pegawai medis dan non medis tidak
sesuai ketentuan
b) Terdapat kelebihan pembayaran gaji (P1) pegawai medis dan non
medis sebesar Rp93.067.077,47
c) remunerasi ke-13 tidak sesuai ketentuan sebesar
Rp1.308.500.000,00
b. Badan PPSDM Kesehatan
1) Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Medan (Poltekkes
Medan)
Pusat Kajian AKN | 63
Dari hasil pemeriksaan atas dokumen pembayaran remunerasi
diketahui hal-hal berikut:
a) Kelebihan pembayaran gaji (APBN) tenaga pendidik sebesar
Rp1.164.992.960,00 dan gaji (P1) serta insentif sebesar
Rp668.962.665,76
b) Peraturan Direktur Poltekkes Medan Nomor
HK.02.04/00/02.03/0834.1/2017 belum mengakomodir sanksi
kepada dosen.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Pemborosan keuangan negara atas pemberian remunerasi yang melebihi
ketentuan sebesar Rp15,346,703,815.67
b. Kelebihan pembayaran remunerasi tenaga pendidikan pada BLU
Poltekkes Medan yang telah melampaui masa pensiun
Rp1.833.955.625,76;
c. Kelebihan pembayaran remunerasi ke 13 pada BLU RSHAM sebesar
Rp1.308.500.000,00;
d. Hutang ke negara lebih ditetapkan sebesar Rp2.422.620,00 dan kurang
ditetapkan sebesar Rp24.613.960,00.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui eselon-1
terkait:
a. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada Kepala Bagian SDM dan
Kepala Bagian Keuangan pada satker terkait yang tidak melaksanakan
pembayaran remunerasi sesuai ketentuan;
b. Memerintahkan Kepala Biro Kepegawaian segera menetapkan
pemberhentian kepada dosen yang harus pensiun;
c. Memerintahkan Direktur SDM dan Direktur Keuangan pada satker
terkait melakukan perhitungan dan verifikasi pembayaran remunerasi
sesuai ketentuan;
d. Memerintahkan Kuasa Pengguna Anggaran pada satker terkait:
1) Menagih kelebihan pembayaran sebesar Rp1.308.500.000,00;
2) Merevisi penetapan utang dalam SKPP;
3) Berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menyelesaikan hak dan
kewajiban-kewajiban dosen yang telah pensiun.
4) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan
belanja gaji dan tunjangan yang berada dalam penguasaannya.
64 | Pusat Kajian AKN
Denda atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan belum dikenakan
kepada penyedia barang/jasa sebesar Rp3.269.502.641,37 pada
sembilan satker.
a. Direktorat Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Dit. Fasyankes)
Dari hasil pemeriksaan pada tanggal 27 Desember 2017, PPK
mengirimkan surat Nomor BN.02.07/V.6/5543/2017 kepada Direktur
Utama PT CP perihal Pengiriman dan Penitipan Ambulans.
PPK menjelaskan bahwa 18 ambulans tersebut dititipkan terlebih
dahulu meskipun tempat tujuan akhirnya Jakarta karena proses
karoserinya belum selesai dilakukan oleh PT CKM selaku pelaksana
pekerjaan karoseri.
Berdasarkan Berita Acara Penyerahan Pengadaan Ambulans Gawat
Darurat kepada para pihak penerima sesuai tempat tujuan akhir yang
telah ditentukan sebelumnya diketahui bahwa penyedia baru
menyelesaikan seluruh pekerjaan pada tanggal 11 Januari 2018 atau
terlambat selama 11 hari dari berakhirnya kontrak tanggal pada 31
Desember 2017.
Atas keterlambatan tersebut, PT CP belum dikenakan denda sebesar
Rp250.470.000,00.
b. RSUP dr. Sardjito Yogyakarta (RSDS)
1) Konstruksi Fisik Pembangunan Gedung Pusat Jantung Terpadu
Tahap IV
Dari hasil pemeriksaan fisik pada tanggal 6 s.d. 8 Februari 2018
diketahui bahwa untuk pekerjaan Arsitekur sub pekerjaan Modular
Operating Theater masih terdapat pekerjaan yang belum terpasang
yaitu 3 unit Cooler Cabinet Kapasitas 150 L senilai
Rp315.000.000,00.
Cooler Cabinet Kapasitas 150 L dinyatakan selesai dipasang
berdasarkan Berita Acara Pengecekan dan Verifikasi Nomor
PS.07.01/XI.7/6546/2018 tanggal 23 Maret 2018 yang
ditandatangani oleh pihak RSDS, Inspektorat Jenderal Kementerian
Kesehatan dan penyedia dhi. PT KK sehingga terdapat
keterlambatan peneylesaian pekerjaan selama 83 hari. Atas
keterlambatan tersebut, PT KK belum dikenakan denda sebesar
Rp28.259.214,36.
Pusat Kajian AKN | 65
Atas denda tersebut PPK telah menindaklanjuti dengan
mengenakan denda kepada PT KK sebesar Rp28.259.214,36 dan
menyetorkan ke kas BLU RSUP dr. Sardjito Yogyakarta (RSDS).
2) Modernisasi Unit Lift/Bed Elevator Di Gedung Irna I
Dari pemeriksaan lebih lanjut atas dokumen BAST, dokumen
pembayaran serta observasi fisik diketahui bahwa pekerjaan baru
selesai tanggal 9 Januari 2018 sesuai BAST Nomor
BN.01.05/XI.8.2/651/2018 sehingga terdapat keterlambatan
selama 9 hari atau sebesar Rp4.702.500,00.
Atas denda tersebut PPK telah menindaklanjuti dengan
mengenakan denda kepada PT MJEE sebesar Rp4.702.500,00 dan
menyetorkan ke kas BLU RSUP dr. Sardjito Yogyakarta (RSDS).
c. RS Paru dr. M. Goenawan Partowidigdo Bogor (RSPG)
Pekerjaan tersebut telah selesai sesuai BAST Nomor
08/LP.T2/PT.RS/II/2018 tanggal 18 Februari 2018 namun belum
dilakukan pembayaran untuk termin ketiga maupun pengenaan denda
keterlambatan selama 50 hari atau sebesar Rp122.500.000,00.
Atas denda tersebut PPK telah menindaklanjuti dengan mengenakan
denda kepada PT RS sebesar Rp122.500.000,00 dan menyetorkan ke kas
BLU RS Paru dr. M. Goenawan Partowidigdo Bogor (RSPG).
d. RS Kanker Dharmais (RSKD)
PT SEI serta laporan pemasangan kabel NYY dari PT JLM diketahui
bahwa terdapat keterlambatan penyelesaian pekerjaan dari jadwal yang
seharusnya. Atas keterlambatan tersebut pihak RSKD belum
mengenakan denda sebesar Rp22.662.750,00.
e. RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK)
Pekerjaan Penyelesaian Pembangunan Gedung Utility Tahun 2017
diselesaikan 100% pada tanggal 28 Maret 2018 sesuai Berita Acara Serah
Terima Barang/Jasa Non Medis Nomor
0017/BAST/UMUM/PPSNM/RSJPDHK/III/2018. Dengan
demikian, terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan selama 54 hari
kerja (31 Desember 2017 s.d. 28 Maret 2018 dikurangi permohonan
penambahan waktu yang tidak diakomodir PPK selama 33 hari) dan
harus dikenakan denda sebesar Rp1.820.100.564,00.
f. RSUP dr. Kariadi Semarang (RSDK)
66 | Pusat Kajian AKN
1) Pengadaan Alat Medik Klinik Infertil
Pada tanggal 14 Desember 2017, panitia penerima hasil pekerjaan
telah membuat Berita Acara Uji Fungsi dan Serah Terima Alat
Kesehatan yang menyatakan bahwa penyedia telah menyelesaikan
seluruh pekerjaan sesuai yang telah disepakati di dalam kontrak.
Namun dari hasil pengujian fisik oleh tim pemeriksaan BPK pada
tanggal 6 Februari 2018 diketahui bahwa terdapat ketidaksesuaian
serial number pada alat dengan Certificate of Origin.
Atas perbedaan serial number tersebut, panitia penerima barang
melakukan konfirmasi kepada PT NMI sebagai agen tunggal alat-
alat tersebut. Menurut penjelasan PT NMI, CoO yang diserahkan
bukan CoO yang sebenarnya. Selanjutnya PT NMI langsung
meminta CoO sebenarnya ke pabrik dan setelah diterima kemudian
diserahkan ke panitia penerima barang dan tim pemeriksa BPK.
Karena CoO yang merupakan salah satu syarat penyelesaian
pekerjaan baru diterima pada tanggal 6 Februari maka terjadi
keterlambatan selama 37 hari dan penyedia seharusnya dikenakan
denda sebesar Rp162.045.015,00.
2) Pembangunan Gedung Service dan Parkir
Dari hasil pemeriksaan atas dokumen kontrak dan dokumen
pengadaan serta pemeriksaan fisik pada tanggal 2 Februari 2018
bersama PPK, kontraktor, konsultan pengawas dan PPHP diketahui
bahwa terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut:
a) Pemilihan jenis kontrak tidak sesuai ketentuan
b) Keterlambatan pekerjaan belum dikenakan denda keterlambatan
g. RS Ortopedi Prof. dr. R. Soeharso Surakarta (RSO)
1) Pengadaan Peralatan Pengolah Data dan Pengembangan Aplikasi
SIMRS Terintegrasi
Hingga kontrak berakhir, CV DS belum mampu menyelesaikan
pekerjaan Pengadaan Peralatan Pengolah Data dan Pengembangan
Aplikasi SIMRS Terintegrasisehingga KPA dan PPK memberikan
perpanjangan waktu selama 90 hari kalender atau berakhir pada
tanggal 12 Maret 2018. Namun menurut keterangan PPK, RSO
akhirnya memutus kontrak pada tanggal 5 Februari 2018.
Pusat Kajian AKN | 67
Atas keterlambatan pekerjaan sampai dengan tanggal pemutusan
kontrak selama 55 hari kalender, CV DS seharusnya dikenakan
denda sebesar Rp161.837.500,00.
Atas denda tersebut PPK telah menindaklanjuti dengan
mengenakan denda kepada CV DS sebesar Rp44.137.500,00 dan
menyetorkan ke kas negara, sehingga masih terdapat sisa denda yang
belum dibayarkan sebesar Rp117.700.000,00.
2) Pengadaan Peralatan Non Medis Lift, Dumbwaiter dan Escalator
Hasil pemeriksaan menunjukan bahwa perpanjangan waktu
pelaksanaan pekerjaan tidak disertai salinan pernyataan keadaan
kahar yang dikeluarkan oleh pihak/instansi yang berwenang dhi.
Direktorat Jenderal Bea Cukai sehingga keterlambatan pemrosesan
merupakan kendala yang berasal dari pihak penyedia dan tidak
masuk ke dalam kategori kahar. Atas adenddum yang tidak sesuai
ketentuan ini, RSO seharusnya mengenakan denda atas
keterlambatan sebesar Rp101.771.800,00.
Atas denda tersebut PPK telah menindaklanjuti dengan
mengenakan denda kepada PT PMIB – PT BSI sebesar
Rp57.658.103,00 dan menyetorkan ke kas negara, sehingga masih
terdapat sisa denda yang belum dibayarkan sebesar
Rp44.113.697,00.
h. RSUP dr. M. Hoesin Palembang (RSMH)
Hasil pengadaan yang telah diserahterimakan pada tanggal 18 Desember
2017 seharusnya belum selesai 100%, di mana saat uji coba alat
kesehatan cathlab pada tanggal 15 Desember 2017 terdapat item
pekerjaan yang belum diuji sehingga berdampak terhadap timbulnya
kendala pada perangkat hemodynamic untuk memonitor NIBP dan
SpO2. Perbaikan atas kendala tersebut oleh PT PI pada tanggal 28
Januari 2018 selesai dengan adanya field service report dan alat sudah
dapat difungsikan pada tanggal 5 Februari 2018.
Dengan adanya kondisi tersebut, terdapat sebagian pekerjaan yang
belum telambat diselesaikan dengan nilai Rp472.704.200,00. Dengan
jangka waktu keterlambatan selama 47 hari kalender yang dihitung sejak
berakhirnya masa pelaksanaan pengadaan alat kesehatan cathlab pada
tanggal 20 Desember 2017 sampai dengan selesainya perbaikan pada
68 | Pusat Kajian AKN
tanggal 5 Februari 2018. Denda keterlambatan yang harus dikenakan ke
penyedia adalah sebesar Rp22.217.097,40.
i. Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II (Poltekkes
Jakarta II)
Dari hasil pemeriksaan dokumen diketahui bahwa bobot pekerjaan yang
telah dikerjakan oleh penyedia sampai tanggal 21 Desember 2017 adalah
sebesar 83,071% sehingga sisa pekerjaan yang belum dikerjakan oleh
penyedia adalah sebesar 16,929% (100% - 83,071%) atau senilai
Rp3.051.306.751,40 (16,929% x nilai kontrak sebelum PPN dan PPh
3% Rp18.024.140.536,36). Dengan demikian, denda keterlambatan yang
seharusnya dikenakan kepada penyedia adalah sebesar
Rp238.001.926,61 (78 hari x 1/1000 x Rp3.051.306.751,40). Pada
tanggal 31 Desember 2017, penyedia telah membayar denda
keterlambatan sebesar Rp204.397.470,00 sehingga denda keterlambatan
kurang dikenakan sebesar Rp33.604.456,61.
Atas kondisi tersebut di atas, Kementerian Kesehatan telah mengenakan
denda keterlambatan sebesar Rp507.727.317,36 sehingga masih terdapat
kelebihan bayar sebesar Rp2.761.775.324,01.
Kondisi tersebut mengakibatkan kekurangan penerimaan negara dari
denda keterlambatan pekerjaan sebesar Rp2.761.775.324,01.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui eselon-1
terkait agar:
a. Memerintahkan secara tertulis kepada KPA untuk memberikan sanksi
sesuai ketentuan yang berlaku kepada PPK pada sembilan satker yang
tidak melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam kontrak dan
menginstruksikan secara tertulis kepada PPK supaya menarik denda
keterlambatan dan jaminan pelaksanaan kepada penyedia barang/jasa
sebesar Rp2.761.775.324,01 untuk disetorkan ke Kas Negara/Kas BLU
kemudian menyampaikan bukti penyetoran kepada BPK;
b. Memerintahkan kepada KPA untuk memberikan sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku kepada panitia penerima hasil pekerjaan yang
dalam membuat berita acara serah terima tidak sesuai dengan kondisi
yang sebenarnya; dan
Pusat Kajian AKN | 69
c. Memberikan teguran tertulis kepada KPA agar mengoptimalkan
pengendalian terhadap kegiatan pengadaan barang dan jasa yang
dilakukan oleh masing-masing PPK.
Aset Tetap tanah minimal seluas 8.759,52 m2 dikuasai oleh pihak
ketiga pada Sekretariat Badan PPSDM Kesehatan.
Sekretariat Badan PPSDM Kesehatan memiliki Aset Tetap tanah yang
beralamat di Jalan Hang Jebat III Blok F3 Kebayoran Baru. Tanah tersebut
terbagi pada dua sertifikat hak pakai dengan luas masing-masing 6.322 m2
dan 57.253 m2, an. Pemerintah Republik Indonesia qq Kementerian
Kesehatan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik diketahui bahwa di atas Aset Tetap
tanah tersebut terdapat bangunan perumahan warga dan komersil (warung
makan) minimal seluas 8.759,52 m2 yang dikuasai oleh pihak ketiga. Analisa
dokumen mengungkapkan bahwa pada awalnya bangunan tersebut
merupakan rumah dinas di lingkungan Pusdiknakes sebelum menjadi Badan
PPSDM Kesehatan. Pemeriksaan lebih lanjut mengungkapkan bahwa 167
unit rumah dinas Hang Jebat tersebut tidak pernah dicatat sebagai Aset
Tetap milik Sekretariat Badan PPSDM Kesehatan. Selain itu, dari hasil
konfirmasi ke salah satu penghuni terkait status bangunan perumahan warga
dan komersil tersebut saat ini diketahui bahwa sebagian besar bangunan
disewakan atas nama perorangan.
Kondisi tersebut mengakibatkan Sekretariat Badan PPSDM Kesehatan
berpotensi kehilangan kepemilikan atas tanah minimal seluas 8.759,52 m2
dan bangunan rumah dinas di atas tanah tersebut yang tidak pernah tercatat.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui Kepala
Badan PPSDM Kesehatan agar:
a. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada pengelola BMN yang tidak
optimal dalam mengelola Barang Milik Negara yang menjadi tanggung
jawabnya;
b. Memerintahkan Kuasa Pengguna Barang:
1) Melakukan pengaman fisik dan hukum terhadap aset tanah yang
dikuasai oleh pihak lain;
70 | Pusat Kajian AKN
2) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan
Barang Milik Negara yang berada di dalam penguasaannya.
3) Mengembalikan fungsi aset negara berupa rumah dinas untuk dapat
digunakan dalam mendukung tugas Badan PPSDM Kesehatan.
Sanksi keterlambatan penyelesaian pekerjaan total sebesar
Rp5.426.986.104,00 belum dikenakan dan terdapat pembayaran
sebesar Rp3.694.382.296,00 atas barang yang tidak terealisasi pada
pekerjaan penyelesaian pekerjaan pengiriman dan pembayaran sisa
pekerjaan alat kesehatan dan peralatan penunjang RS Bergerak.
Pada Tahun 2012, Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan/Dit.
BUKR, pada Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan/Ditjen BUK
melaksanakan kegiatan pengadaan modul bangunan dan alat kesehatan serta
peralatan penunjang untuk Rumah Sakit (RS) Bergerak dan RS Pratama.
Sesuai dokumen Kerangka Acuan Kerja, tujuan dilaksanakannya kegiatan
tersebut adalah untuk memperkuat pelayanan kesehatan rujukan dalam
upaya mendukung akses pelayanan kesehatan dan ketersediaan pelayanan
kelas tiga yang paripurna dan bermutu.
Dari hasil analisa dokumen dan wawancara/konfirmasi dengan pihak-
pihak terkait diketahui bahwa terdapat beberapa permasalahan dalam proses
pelaksanaannya, sebagaimana uraian berikut:
a. Hasil penilaian dan verifikasi Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) atas empat pekerjaan awal menyatakan
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kurang bayar total sebesar
Rp25.737.585.362,91 atas prestasi pekerjaan yang terealisasi
b. Putusan MA atas gugatan perdata PT RK dan PT BP terkait pemutusan
kontrak mengharuskan Kemenkes membayar ganti kerugian materiil
sebesar Rp25.649.759.800,00
c. Terdapat alat kesehatan dan peralatan penunjang RS Bergerak dan RS
Pratama hasil pengadaan awal yang tidak dikirim ke gudang Kemenkes
d. Pekerjaan lanjutan pengadaan alat kesehatan dan peralatan penunjang
RS Bergerak putus kontrak namun penyedia belum dikenakan sanksi
e. Pekerjaan lanjutan pengadaan alat kesehatan dan peralatan penunjang
RS Pratama belum dapat dilunasi pembayarannya
Pusat Kajian AKN | 71
f. Terdapat keterkaitan antara PT HSA selaku penyedia awal dengan PT
AMP selaku penyedia lanjutan pada pekerjaan Pengadaan Alat
Kesehatan dan Peralatan Penunjang RS Pratama
g. Terdapat pencatatan yang tidak tepat atas hasil empat pekerjaan terkait
RS Bergerak dan RS Pratama
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Negara harus membayar sebesar Rp10.228.112.420,04 untuk putusan
pengadilan atas klaim prestasi pekerjaan dari PT RK dan PT BP yang
melebihi prestasi pekerjaan maksimal hasil penilaian BPKP;
b. Negara belum menerima pendapatan total sebesar Rp5.426.986.104,00
atas:
1) Jaminan pelaksanaan yang tidak dicairkan sebesar
Rp764.364.240,00;
2) Sisa uang muka yang tidak ditagih atau Jaminan Uang Muka yang
tidak dicairkan sebesar Rp1.698.587.200,00;
3) Denda keterlambatan yang belum dikenakan sebesar
Rp2.964.034.664,00;
c. Kelebihan pembayaran sebesar Rp3.694.382.296,00 atas pembayaran
untuk alat kesehatan dan peralatan penunjang yang tidak terealisasi;
d. Pencatatan alat kesehatan dan peralatan penunjang RS Bergerak dan RS
Pratama belum mencerminkan nilai yang seharusnya.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan melalui Direktur
Jenderal Pelayanan Kesehatan agar:
a. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada PPK yang tidak
mengenakan sanksi sesuai ketentuan kepada penyedia pada pekerjaan
yang mengalami putus kontrak serta tidak optimal dalam mengendalikan
dan mengawasi pelaksanaan pekerjaan;
b. Memerintahkan Kuasa Pengguna Barang:
1) Menginstruksikan PPK menagih sebesar Rp5.426.986.104,00 yang
terdiri atas jaminan pelaksanaan sebesar Rp764.364.240,00, jaminan
uang muka sebesar Rp1.698.587.200,00 dan denda keterlambatan
sebesar Rp2.964.034.664,00 serta kelebihan bayar sebesar
Rp3.694.382.296,00;
2) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan
BMN yang ada dalam penguasaannya.
72 | Pusat Kajian AKN
4. Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional
LK BKKBN pada Tahun 2015 dan 2016 mendapat opini WDP dari
BPK. Namun pada Tahun 2017 LK BKKBN telah berhasil mendapatkan
opini WTP. Berikut gambaran mengenai jumlah temuan dan rekomendasi,
serta status pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK untuk Tahun
Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di BKKBN:
Bagan di atas menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir (2015-
2017) BPK mencatatkan 60 temuan dalam pemeriksaan yang dilakukan
terhadap BKKBN, dan memberikan 150 rekomendasi untuk ditindaklanjuti.
Dari 150 rekomendasi, baru 59 (39,33%) rekomendasi telah ditindaklanjuti
sesuai dengan rekomendasi BPK. Sedangkan 48 (32%) tindak lanjut belum
sesuai rekomendasi BPK dan 43 (28,67%) rekomendasi belum
ditindaklanjuti oleh BKKBN.
Hasil Pemeriksaan BPK atas LK BKKBN Tahun Anggaran 2015-2017,
BPK mengungkapkan terdapat temuan berulang terkait penyusunan Harga
Perkiraan Sendiri (HPS) belum didukung dokumen yang memadai.
Disamping permasalahan penyusunan HPS juga terdapat permasalahan lain
terkait realisasi belanja yang belum dapat dipertanggungjawabkan.
Pada Tahun Anggaran 2015 terdapat temuan realisasi belanja Program
Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) tidak sesuai
ketentuan dengan total nilai Rp44,37 miliar yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
2015 2016 2017
34 16 10
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
36 23 0 23 25 0 20 0 23 0 0 0
Belum Ditindaklanjuti Tidak Dapat Ditindaklanjuti
Temuan
60
Rekomendasi
150
Sesuai Rekomendasi Belum Sesuai Rekomendasi
Pusat Kajian AKN | 73
Tabel 4. Temuan Realisasi Belanja KKBPK
Program Rincian Permasalahan
Nilai Realisasi Belanja Yang Tidak
Sesuai Ketentuan (Rp)
KIE Kreatif
Pencairan kegiatan KIE kreatif per paket kegiatan melebihi Kerangka Acuan Kerja (KAK).
Rp33.388.619.585,00 Pencairan kegiatan KIE Kreatif belum didukung dokumen pertanggungjawaban.
Tidak adanya dokumentasi HPS dan dokumen pendukungnya. Hal tersebut berakibat tidak dapat diketahuinya berapa nilai wajar HPS disetiap kegiatan KIE Kreatif.
-
Capacity Building Behavior Change Communication (CBBCC)
Dokumen pertanggungjawaban belum menggambarkan kondisi sebenarnya
Rp7.032.821. 720,00
Kegiatan pentaloka peran Babinsa sebagai Public Relation dalam program KKBPK TA 2015
Dokumen pertanggungjawaban belum menggambarkan kondisi sebenarnya
Rp3.948.848.470,00
Jumlah Nilai Rp44.370.289.775,00
Kemudian pada Tahun Anggaran 2016, terdapat temuan belanja barang
KIE Kreatif tidak dapat diyakini kewajarannya minimal sebesar Rp7,52
Miliar dan terdapat kelebihan pembayaran minimal sebesar Rp623,85 juta.
Untuk Tahun Anggaran 2017, terdapat temuan Penyusunan HPS
Kegiatan Integrasi Kampung KB Bersama Mitra dan KIE Kreatif Tahun
Anggaran 2017 tidak didukung dokumen yang memadai.
Temuan tersebut berakibat pada:
1. Belanja Barang pada Tahun Anggaran 2015 tidak dapat diyakini
kewajarannya sebesar Rp44.37 miliar;
74 | Pusat Kajian AKN
2. Belanja Barang atas Kegiatan KIE Kreatif pada Tahun Anggaran 2016
tidak dapat diyakini kewajarannya minimal sebesar Rp7.529.602.658,00;
3. Belanja Barang tidak disajikan secara wajar dalam LRA Tahun
Anggaran 2016 sebesar Rp623.859.813,00;
4. Kerugian negara atas kelebihan pembayaran Kegiatan KIE Kreatif
Tahun Anggaran 2016 minimal sebesar Rp623.859.813,00;
5. HPS belum sepenuhnya disusun berdasarkan data harga pasar setempat
dimana HPS yang disusun PPK cenderung lebih tinggi dibandingkan
harga pasar pada item pekerjaan yang akan dilelang.
Terkait temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala BKKBN
untuk memerintahkan jajarannya agar:
1. Melakukan verifikasi atas dokumen pertanggungjawaban KIE sebesar
Rp44.370.289.775,00 selanjutnya menarik dan menyetorkan belanja atas
kegiatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan ke Kas Negara, dan
menyampaikan bukti setor ke BPK;
2. Melakukan verifikasi atas dokumen pertanggungjawaban Kegiatan KIE
Kreatif sebesar Rp7.529.602.658,00. Selanjutnya menarik dan
menyetorkan kelebihan pembayaran atas kegiatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan ke Kas Negara, dan menyampaikan salinan
bukti setor kepada BPK;
3. Menarik dan menyetorkan kelebihan pembayaran sebesar
Rp623.859.813,00 ke Kas Negara dan menyampaikan salinan bukti setor
kepada BPK;
4. Melakukan revisi Buku Panduan Operasional Kegiatan dengan
memperhatikan unsur-unsur pengendalian internal dalam pengelolaan
keuangan negara;
5. Menyusun dan mendokumentasikan setiap HPS dengan dokumen
pendukung sesuai ketentuan;
6. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) dan Panitia Penerima Barang yang lalai;
7. Memberikan teguran tertulis kepada pelaksana kegiatan (rekanan) yang
tidak patuh menjalankan kontrak;
8. Menyusun HPS dengan memperhatikan harga pasar menjelang
pengadaan di lokasi kegiatan;
9. Mengadministrasikan dokumen pendukung HPS dan dokumen kertas
kerja perhitungan HPS;
10. Menyusun database HPS sesuai harga pasar setempat.
Pusat Kajian AKN | 75
Terkait progres tindak lanjut rekomendasi tersebut, BPK
mengungkapkan bahwa verifikasi dokumen pertanggungjawaban KIE
sedang berjalan dan penyetoran ke kas negara terkait temuan Tahun
Anggaran 2015 dan Tahun 2016 masih dalam proses. Sedangkan untuk revisi
Buku Panduan Operasional Kegiatan sudah dilakukan. Untuk sanksi dan
teguran juga sudah dilakukan kepada PPK dan Panitia Penerima Barang.
Namun pemberian sanksi untuk rekanan belum selesai dilakukan. Mengenai
rekomendasi untuk pendokumentasian dokumen pendukung HPS, BPK
meminta penyusunan dan pendokumentasian HPS dilakukan serentak oleh
BKKBN di seluruh wilayah Indonesia. Namun, saat ini (berdasarkan posisi
Tahun Anggaran 2017), baru terdapat 6 BKKBN Provinsi yang
melaksanakan rekomendasi tersebut yaitu NTB, Papua, Papua Barat, Bangka
Belitung, DIY, dan Jawa Timur.
Dalam diksusi dengan Auditorat Keuangan Negara (AKN) III yang
menangani pemeriksaan BKKBN, permasalahan tersebut terjadi karena
HPS belum disusun sesuai dengan harga setempat, HPS tidak
didokumentasikan, pemecahan paket kegiatan dilakukan bersamaan waktu
dan tempatnya, pencairan kegiatan per paket kegiatan melebihi Kerangka
Acuan Kerja (KAK), dan belanja barang belum didukung dokumen
pertanggungjawaban. Tim pemeriksa menemukan permasalahan pada saat
penyusunan HPS dan kertas kerja BKKBN yang tidak lengkap. Akibat dari
temuan ini masih bersifat administratif, sampai saat ini tim pemeriksa belum
menemukan penyimpangan pada saat lelang.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan
Keempat Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah Pasal 11 ayat (1) huruf (a) disebutkan bahwa PPK
bertanggung jawab untuk membuat penyusunan HPS. Selanjutnya dalam
Pasal 66 ayat (7) diatur tentang kaidah penyusunan HPS yang harus
didasarkan pada data harga pasar, yang diperoleh berdasarkan hasil survei
menjelang dilaksanakannya pengadaan dengan mempertimbangkan
beberapa informasi teknis dan harus dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uji petik yang dilakukan terkait pelaksanaan kegiatan Integrasi
Kampung KB Bersama Mitra Kerja dan KIE Kreatif di Jawa Barat dan Jawa
Tengah diketahui bahwa harga pasar setempat atas beberapa item pekerjaan
masih lebih rendah dari HPS yang disusun PPK. Jika penyusunan HPS
dimarkup maka peserta lelangnya akan memarkup juga, sehingga akan terjadi
pemahalan harga pengadaan yang tentu saja bertentangan dengan prinsip
76 | Pusat Kajian AKN
lelang untuk mencari rekanan yang mampu secara finansial dan memberikan
harga terendah dengan kualitas barang dan jasa yang terjaga.
Selain itu, juga terdapat Laporan Hasil Pemeriksan Kinerja Atas
Pengelolaan Data dan Informasi Kependudukan, Keluarga Berencana, dan
Pembangunan Keluarga (KKBPK) Tahun 2015 – 2016. BPK
mengungkapkan adanya permasalahan dan isu strategis dalam bidang
kependudukan dan KB yang menjadi tanggung jawab BKKBN. Dalam
RPJMN 2015-2019 disebutkan bahwa dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian, pemantauan dan evaluasi pembangunan bidang
kependudukan dan KB diperlukan ketersediaan data dan informasi yang
akurat. Oleh karena itu, ketersediaan data yang tepat waktu dan berkualitas
menjadi penting untuk dapat digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian dan evaluasi pembangunan bidang Kependudukan dan KB.
BPK mengungkapkan bahwa kebijakan dan strategi terkait penguatan data
dan informasi KKBPK yang disusun oleh pemerintah belum menyeluruh
dan terintegrasi. Kriteria penilaian dalam pemeriksaan ini dapat dijabarkan
menjadi 3 yaitu:
1. Pemerintah telah menyusun kebijakan dan strategi secara menyeluruh
dan terintegrasi terkait penguatan data dan informasi KKBPK;
2. BKKBN telah melaksanakan pengelolaan data dan informasi KKBPK
secara memadai;
3. BKKBN telah melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan data
dan informasi KKBPK secara memadai.
Tanpa mengurangi upaya dan keberhasilan BKKBN dalam
melaksanakan penguatan data dan informasi KKBPK, BPK
mengungkapkan hal-hal yang harus menjadi perhatian bagi BKKBN sebagai
berikut:
1. Pemerintah belum mempunyai kebijakan dan strategi pengelolaan data
yang terintegrasi dan terpadu antar Kementerian/Lembaga yang
memadai;
2. Terdapat tumpang tindih variabel pendataan pada Pendataan Keluarga
dan Pemutkahiran Basis Data Terpadu (PBDT);
3. Kepala BKKBN belum menetapkan sistem, pedoman, dan standar
pelaksanaan Sistem Informasi Keluarga.
Pusat Kajian AKN | 77
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
1. Terjadi pemborosan keuangan negara akibat tumpang tindih
pelaksanaan pendataan khususnya pendataan keluarga miskin dan
variabel tentang informasi KB pada PBDT yang dilakukan oleh BPS dan
Pendataan Keluarga yang dilakukan oleh BKKBN;
2. Pelaksanaan Sistem Informasi Keluarga tidak terarah dan terpadu;
3. Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) belum
termanfaatkan secara optimal sebagai pedoman dan kebijakan untuk
mewujudkan target pembangunan kependudukan.
BPK menyimpulkan sesuai dengan lingkup pemeriksaan bahwa
pengelolaan data dan informasi KKBPK, tidak efektif untuk mencapai
tujuan pengelolaan data dan informasi KKBPK.
BPK merekomendasikan Kepala BKKBN agar berkoordinasi dengan
instansi terkait untuk:
1. Menetapkan kebijakan dan strategi serta menyempurnakan kebijakan
terkait penguatan data dan informasi Kependudukan dan KB yang
terpadu dan terintegrasi;
2. Segera menetapkan Peraturan tentang Sistem Informasi Keluarga dan
amanat peraturan lainnya sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 87
Tahun 2014;
3. Menyelaraskan GDPK dengan RPJMN Tahun 2015-2019 dan
peraturan-peraturan terkait dibidangnya.
Berdasarkan LHP atas LK BKKBN T.A. 2017, BPK mengungkap 10
temuan dengan 20 permasalahan. Uraian berikut ini merupakan temuan dan
permasalahan yang menjadi perhatian BPK baik dari sisi sistem
pengendalian intern maupun kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan:
78 | Pusat Kajian AKN
Sistem Pengendalian Intern
Sistem pembayaran klaim penggerakan pelayanan KB tidak
memadai.
Penggerakan pelayanan Keluarga Berencana Metode Kontrasepsi
Jangka Panjang (KB MKJP) merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh petugas KB untuk pemantapan calon peserta/peserta KB agar bersedia
menggunakan KB MKJP sampai dengan digerakkan ke tempat pelayanan
KB dan calon peserta/peserta KB menggunakan salah satu KB MKJP. Jenis
pelayanan KB MKJP tersebut adalah Metode Operasi Pria (MOP) atau
Vasektomi, Metode Operasi Wanita (MOW) atau Tubektomi, Pemasangan
lUD, Pemasangan Implan.
Selain pemasangan Implan terdapat juga pelayanan pencabutan Implan
yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh petugas KB untuk melakukan
Identifikasi atau pelacakan peserta KB Implan yang telah habis masa
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian Belanja
1. Sistem pembayaran klaim penggerakan pelayanan KB tidak
memadai
2. Penyusunan HPS kegiatan integrasi kampung KB bersama mitra dan KIE
Kreatif TA 2017 tidak didukung dokumen yang memadai
3. Pencatatan sisa uang LS Bendahara atas Belanja Barang sebesar
Rp1.229.210.553 dan Belanja Pegawai sebesar Rp93.819.456 Tahun 2017
tidak tertib
4. Penyedia tidak tertib dalam menyetorkan PPh Pasal 21 atas honorarium
narasumber kegiatan integrasi kampung KB bersama mitra kerja dan KIE
Kreatif TA 2017 sebesar Rp423.227.000
Sistem Pengendalian Aset
1. Penatausahaan dokumen sumber mutasi persediaan dan
penyusunan Berita Acara Stock Opname Persediaan belum
sepenuhnya memadai
2. Pelaksanaan rekonsiliasi aset dan penatausahaan aset tetap belum
sepenuhnya tertib
Pusat Kajian AKN | 79
pakainya sampai dengan digerakkan ke tempat pelayanan KB dan peserta
dicabut Implannya.
Pembiayaan penggerakan pelayanan KB bersumber dari APBN dan
dialokasikan di DIPA setiap Satuan Kerja BKKBN Provinsi. Pada Tahun
Anggaran 2017 BKKBN menyajikan realisasi kegiatan Penggerakan dan
Pemantapan Kesertaan ber-KB MKJP sebesar Rp149.253.226.672 atau
63,26% dari anggaran sebesar Rp235.944.057.000.
BPK telah melakukan pengujian mekanisme pembayaran klaim
penggerakan pelayanan KB melalui pemeriksaan secara uji petik atas
dokumen pertanggungjawaban dan konfirmasi kepada Kedeputian KBKR,
BKKBN Provinsi, SKPD KB Kabupaten/Kota, Kepala UPTD KB dan
Petugas KB dengan hasil sebagai berikut:
a. Pedoman mekanisme pembayaran klaim penggerakan pelayanan KB
bersifat umum
Peraturan Kepala BKKBN Nomor 14 Tahun 2017 tentang
Penggerakan Pelayanan KB serta Ayoman dan Kegagalan Kontrasepsi
tidak mengatur detail mekanisme klaim dan penggunaan dana klaim
penggerakan pelayanan KB. Hasil pemeriksaan implementasi di seluruh
BKKBN Provinsi diketahui terdapat ketidakseragaman dalam
implementasinya. Permasalahan tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1) Penerapan pemungutan pajak belum sesuai ketentuan
2) Terdapat biaya penggerakan pelayanan KB yang tidak ada di Harga
Satuan Pokok Kegiatan (HSPK) sebesar Rp5.188.250.144
3) Penerapan penggunaan klaim untuk medis dan nonmedis yang
tidak konsisten
b. BKKBN tidak memiliki prosedur verifikasi yang memadai terhadap
dokumen pertanggungjawaban biaya penggerakan pelayanan KB
Hasil analisis dokumen SPJ yang menjadi kelengkapan dokumen
pembayaran klaim biaya penggerakan pelayanan KB di BKKBN
Provinsi Jawa Barat menunjukkan data akseptor belum informatif,
antara lain:
1) Dokumen pengajuan klaim biaya penggerakan pelayanan KB
berupa daftar Akseptor KB tidak dilampiri KTP.
2) BKKBN tidak memiliki database akseptor pelayanan KB.
80 | Pusat Kajian AKN
c. Sistem pembayaran klaim dilakukan secara tunai
Hasil konfirmasi 33 Satker BKKBN Provinsi diketahui seluruhnya
melakukan pembayaran hasil klaim biaya penggerakan pelayanan KB
secara tunai kepada Satker KB Kabupaten/Kota. Selanjutnya dana
tersebut diberikan secara tunai kepada Kepala UPTD KB Kecamatan.
Pihak UPTD KB Kecamatan juga menyerahkan secara tunai kepada
Petugas KB (PLKB/Kader/Tenaga Medis).
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
a. Pencairan klaim biaya penggerakan KB tidak sesuai kondisi sebenarnya.
b. Nilai penerimaan klaim yang diterima petugas KB tidak sesuai haknya.
c. Belanja Barang berupa biaya klaim penggerakan pelayanan KB MKJP
tidak dapat dibedakan pembayaran atas peserta JKN atau non-JKN.
BPK merekomendasikan Kepala BKKBN agar memerintahkan Sestama
dan Deputi KBKR supaya:
a. Melakukan kajian tentang keberlangsungan "biaya penggerakan
pelayanan KB" di masa yang akan datang sehubungan dengan PLKB
dan PKB telah menjadi PNS BKKBN sejak Tahun 2018.
b. Menyusun perbaikan tata kelola atau mekanisme pembayaran biaya
penggerakan pelayanan KB dengan memperhatikan:
1) Dukungan sistem informasi dalam proses pengajuan klaim,
verifikasi dokumen pengajuan klaim, database akseptor.
2) Membangun atau menyempurnakan aplikasi untuk verifikasi
akseptor KB dari peserta JKN atau non-JKN.
3) Pembayaran hasil klaim secara nontunai kepada para pihak yang
berhak menerima.
c. Melakukan koordinasi dengan BPJS untuk menghindari adanya potensi
duplikasi pembayaran klaim biaya penggerakan pelayanan KB dari
BKKBN dan BPJS diantaranya dengan cara sharing data peserta JKN
BPJS guna proses verifikasi di BKKBN.
d. Menyusun Pedoman atau Petunjuk Teknis Penggerakan Pelayanan KB
antara lain memuat:
1) Hak dan kewajiban para pihak terkait secara jelas dan tegas.
2) Pedoman verifikasi calon akseptor KB peserta JKN dan non-JKN.
3) Pemotongan dan pemungutan penggunaan biaya penggerakan
pelayanan KB yang menjadi objek pajak.
Pusat Kajian AKN | 81
Penatausahaan dokumen sumber mutasi persediaan dan penyusunan
berita acara stock opname persediaan belum sepenuhnya memadai.
Penatausahaan persediaan BKKBN dilakukan melalui pencatatan di
Aplikasi Persediaan yang selanjutnya diintegrasikan dengan Aplikasi SIMAK
dan Aplikasi SAIBA pada masing-masing satker. Meskipun penatausahaan
melalui aplikasi namun dokumen sumber transaksi seperti Kartu Persediaan,
dokumen bukti pendistribusian dan Berita Acara Stock opname tetap
digunakan sebagai dasar pencatatan ke aplikasi.
Dalam tahun berjalan, terdapat mutasi Persediaan antar satker di
BKKBN dengan pencatatan sebagai Transfer Masuk (satker penerima) dan
Transfer Keluar (satker pemberi). Sedangkan persediaan yang diberikan
kepada Kabupaten/Kota akan dicatat sebagai Beban Barang Untuk
Diserahkan Kepada Masyarakat/Pemda.
Hasil pemeriksaan terhadap pengelolaan persediaan melalui analisis
dokumen, analisis aplikasi persediaan, dan konfirmasi kepada pihak terkait
diketahui sebagai berikut:
a. Pedoman pengelolaan persediaan selain Alokon dan non-Alokon serta
pencatatan transaksi Transfer Masuk dan Transfer Keluar persediaan
antar satker belum disusun
1) Pengelolaan Persediaan satker Dalduk belum memadai
a) Pemakaian persediaan sebelum Tahun 2017 dicatat sebagai
Beban Barang Diserahkan kepada Masyarakat Tahun 2017
sebesar Rp1.555.332.970
b) Pencatatan persediaan per 31 Desember 2017 sebesar
Rp380,690.905 tidak berdasarkan BA Stock opname
2) Pengendalian atas barang persediaan selain alokon dan non-
alokon di satker pusat kurang memadai
3) Terdapat perbedaan saldo transfer keluar dan transfer masuk
sebesar Rp10.749.680 (selisih netto) atau Rp791.350.788 (selisih
absolut)
b. Proses penyusunan Berita Acara Stock opname satker tidak dilakukan
reviu secara memadai
82 | Pusat Kajian AKN
Hasil pengujian atas saldo Persediaan berdasarkan Berita Acara Stock
opname pada 40 satker dengan penyajian Persediaan di Neraca Unaudited
per 31 Desember 2017 diketahui terdapat perbedaan saldo Persediaan.
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
a. Beban Barang Diserahkan kepada Masyarakat Tahun 2017 tidak
menggambarkan kondisi sebenarnya sebesar Rp2.346.683.758.
b. Selisih Transfer Masuk dan Transfer Keluar secara netto sebesar
Rp10.749.680 atau secara absolut sebesar Rp791.350.788 tidak dapat
ditelusuri selisih saldonya.
BPK merekomendasikan Kepala BKKBN agar:
a. Segera menetapkan pedoman pengelolaan persediaan dan
mensosialisasikan kepada para pihak terkait di seluruh satker.
b. Memerintahkan Kuasa Pengguna Barang (KPB) dan UAKPB seluruh
satker lebih cermat dalam:
1) Mengadministrasikan dokumen sumber mutasi masuk dan mutasi
keluar Persediaan;
2) Melakukan pencatatan Transfer Masuk dan Transfer Keluar
persediaan alokon sesuai dokumen BAST.
c. Menginstruksikan seluruh Kuasa Pengguna Barang melakukan reviu
secara memadai terhadap proses stock opname dan menyusun Berita
Acara Stock opname sesuai pedoman pengelolaan persediaan yang telah
ada.
Pusat Kajian AKN | 83
Pelaksanaan rekonsiliasi aset dan penatausahaan Aset Tetap belum
sepenuhnya tertib.
BPK melakukan pengujian nilai buku di Sistem Akuntansi Instansi
Berbasis Akrual (SAIBA), Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi
Barang Milik Negara (SIMAK BMN), dan dokumen pendukung lainnya,
serta pengujian terhadap keberadaan dan pengamanan BMN di lapangan.
Hasil dari pengujian tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Terdapat perbedaan saldo akun Aset antara Neraca Konsolidasian dan
Berita Acara Rekonsiliasi dengan KPKNL sebesar Rp24.436.419.263
b. Pinjam pakai laptop di BKKBN Provinsi Jawa Tengah tidak didukung
dengan Berita Acara Pinjam Pakai Barang Milik Negara
c. Penatausahaan Aset Tetap Peralatan dan Mesin - Alat Angkatan Darat
Bermotor (Kendaraan Dinas) di Satker Sestama belum memadai
1) Data Kendaraan Dinas pada Kartu Identitas Barang (KIB) Alat
Angkutan dalam SIMAK BMN tidak update
2) Kendaraan Dinas belum seluruhnya didukung dengan Administrasi
"Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas" kepada Pengguna
Kendaraan
3) Terdapat kesalahan input identitas kendaraan di SIMAK BMN yang
tidak sesuai dengan identitas yang tertera di BPKB
4) Perbedaan jumlah BPKB dan jumlah kendaraan yang tercatat di
SIMAK
5) Sebanyak 13 unit kendaraan dinas roda empat belum teridentifikasi
dalam database SIMAK BMN
6) Pencatatan sebanyak dua kali di dalam SIMAK BMN atas satu unit
kendaraan roda dua dengan identitas produksi dan perolehan yang
sama
7) Sebanyak 9 (sembilan) unit kendaraan dinas sebesar Rp133.464.500
tidak ditemukan fisik dan dokumen kepemilikannya
8) Dua unit kendaraan roda empat senilai Rp433.116.000 sudah di
lakukan Transfer Keluar ke BKKBN Provinsi, namun masih
tercatat di SIMAK BMN Satker Sestama
9) Sebanyak 7 (tujuh) unit kendaraan roda empat sebesar
Rp334.030.000 sudah dilakukan lelang namun tidak didukung
dokumentasi yang memadai dan masih tercatat di SIMAK BMN
84 | Pusat Kajian AKN
d. Terdapat kurang saji sebesar Rp214.602.400 dan lebih saji sebesar
Rp1.520.000 atas nilai kapitalisasi Belanja Barang pada Neraca Tahun
2017
e. Terdapat Aset Tetap yang tidak layak dan tidak ditemukan berdasarkan
hasil IP yang belum ditindaklanjuti dengan langkah penertiban aset
sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebesar Rp3.411.619.531.
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
a. Dokumen dan data pendukung penyajian saldo aset konsolidasi
BKKBN tidak menggambarkan kondisi sebenarnya atas koreksi
pencatatan yang dilakukan setelah rekonsiliasi dengan KPKNL
Kemenkeu.
b. Informasi pada SIMAK BMN belum sepenuhnya menggambarkan
kondisi aset sebenarnya.
BPK merekomendasikan Kepala BKKBN agar:
a. Memerintahkan Kuasa Pengguna Barang (KPB) dan Unit Akuntansi
Kuasa Pengguna Barang (UAKPB) Satker Sestama, Latbang, Jawa
Barat, Jambi, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Utara
melakukan rekonsiliasi ulang dengan KPKNL.
b. Memerintahkan Kuasa Pengguna Barang (KPB) BKKBN Provinsi Jawa
Tengah melakukan pengendalian dan pengawasan penatausahaan BMN
dengan membuat Berita Acara pinjam pakai 53 unit laptop dan tujuh
unit notebook kepada para pegawai terkait.
c. Memerintahkan KPB dan UAKPB Satker Sestama melakukan
inventarisasi ulang atas penatausahaan Aset Tetap Peralatan dan Mesin
Kendaraan Dinas dengan melakukan:
1) Update KIB Alat Angkutan, input dan perbaikan identitas
kendaraan dalam SIMAK BMN sesuai dengan dokumen
kepemilikan BPKB yang ada.
2) Menyusun Berita Acara Serah Terima Kendaraan Dinas sebanyak
18 unit kepada para pengguna kendaraan.
3) Proses penghapusan atas 24 kendaraan dengan kondisi rusak.
4) Penelusuran perbedaan jumlah BPKB dengan jumlah kendaraan
yang tercatat di SIMAK BMN dan dilakukan update ke SIMAK
BMN.
Pusat Kajian AKN | 85
5) Penelusuran 9 unit kendaraan dinas sebesar Rp133.464.500 yang
tidak ditemukan fisik dan dokumennya dan dilakukan update ke
SIMAK BMN.
6) Inventarisasi bukti dukung dan penginputan Transfer Keluar dan
Transfer Masuk kendaraan dari Satker Sestama ke BKKBN Provinsi
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah di SIMAK BMN.
7) Melakukan inventarisasi 7 (tujuh) unit kendaraan roda empat
sebesar Rp334.030.000 yang telah dilakukan lelang namun tidak
didukung dokumentasi yang memadai dan dilakukan update ke
SIMAK BMN.
8) Input data identitas kendaraan dinas 13 unit ke SIMAK atas hasil
pengadaan 2017.
d. Memerintahkan Kuasa Pengguna Anggaran Satker yang memiliki Aset
Tidak Ditemukan hasil Inventarisasi 2017 untuk melakukan penelusuran
bersama-sama Inspektorat Utama dan diselesaikan melalui proses
penghapusan atau proses TGR sesuai ketentuan.
86 | Pusat Kajian AKN
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Kekurangan volume pada lima kontrak belanja barang sebesar
Rp615.715.075.
Berdasarkan pemeriksaan secara uji petik atas dokumen kontrak,
laporan pertanggungjawaban, konfirmasi, pemeriksaan fisik yang dilakukan
BPK bersama PPK, rekanan pelaksanan dan pengawas diketahui hal-hal
sebagai berikut:
a. Kekurangan volume pada pekerjaan pemeliharaan rumah dinas sebesar
Rp21.478.711
b. Kekurangan volume pada tiga kontrak harga satuan kegiatan Integrasi
Kampung KB Bersama Mitra Kerja sebesar Rp223.772.728
c. Kekurangan volume pada kontrak harga satuan kegiatan KIE Kreatif
sebesar Rp370.463.636.
Permasalahan tersebut disebabkan:
a. Pejabat Pembuat Komitmen Pekerjaan (PPK) tidak optimal dalam
melakukan pengendalian dan pengawasan pelaksanaan kegiatan di
lingkungannya.
b. Pejabat Penerima Barang Jasa (PPBJ) dan Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan (PPHP) kurang cermat dalam melakukan pemeriksaan dan
pengujian hasil pekerjaan.
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-Undangan
1. Kekurangan volume pada lima kontrak Belanja Barang sebesar
Rp615.715.075
2. Kekurangan volume pada tiga kontrak Belanja Modal sebesar:
Rp84.082.389
3. Denda keterlambatan pengadaan videotron program KKBPK sebesar
Rp36.649.108
4. Biaya penggerakan pelayanan KB tidak seharusnya dibayarkan
sebesar Rp161.056.184 dan tidak disampaikan kepada yang berhak
sebesar Rp263.466.292
Pusat Kajian AKN | 87
Atas kelebihan pembayaran tersebut telah ditindaklanjuti dengan
menyetorkan ke Kas Negara sebesar Rp126.340.074, sehingga kurang setor
sebesar Rp489.375.001.
BPK merekomendasikan Kepala BKKBN agar memerintahkan KPA
untuk:
a. Menginstruksikan PPK supaya menarik dan menyetorkan kelebihan
pembayaran kepada rekanan atas kontrak belanja barang sebesar
Rp489.375.001 ke Kas Negara. Salinan bukti setor disampaikan kepada
BPK.
b. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada PPK, PPBJ dan PPHP
yang tidak optimal dalam menjalankan tugasnya.
Biaya penggerakan pelayanan KB tidak seharusnya dibayarkan
sebesar Rp161.056.184 dan tidak disampaikan kepada yang berhak
sebesar Rp263.466.292.
Berdasarkan hasil pengujian pertanggungjawaban kegiatan penggerakan
pelayanan KB secara uji petik, konfirmasi dan permintaan keterangan
kepada para pihak terkait di wilayah Jawa Barat diketahui sebagai berikut:
a. Pengajuan klaim biaya penggerakan pelayanan KB atas data akseptor
yang tidak seharusnya dibayarkan sebesar Rp161.056.184
Hasil uji petik pertanggungjawaban biaya penggerakan pelayanan KB di
Kabupaten Garut diketahui terdapat pengajuan klaim atas data 193
akseptor Metode Operasi Wanita (MOW) yang tidak riil sebesar
Rp161.056.184. Pemeriksaan lebih lanjut melalui konfirmasi kepada
RSU dr. Slamet Kabupaten Garut diketahui bahwa daftar nama 193
akseptor tersebut tidak ada di data pasien RSU dr. Slamet. Hal ini
menunjukkan tidak ada pelayanan KB MOW kepada 193 akseptor
tersebut.
Berdasarkan keterangan Kepala Bidang KB Dinas PPKBPPPA
Kabupaten Garut diketahui bahwa klaim biaya penggerakan pelayanan
KB telah diberikan kepada Kepala UPT KB Kecamatan Tarogong
Kidul (Sdri IA). Sdri IA memberikan keterangan bahwa telah membuat
daftar akseptor tidak riil untuk diajukan klaim sebanyak 193 akseptor
sebesar Rp161.056.184.
88 | Pusat Kajian AKN
b. Klaim biaya penggerakan pelayanan KB tidak disampaikan kepada yang
berhak sebesar Rp263.466.292
Hasil konfirmasi penyaluran dana hasil pencairan Penggerakan
Pelayanan KB kepada Faskes di Kabupaten Garut dan Kabupaten
Bandung diketahui sebagai berikut:
1) PKB/ PLKB dan RSU dr Slamet Kabupaten Garut tidak menerima
biaya penggerakan pelayanan KB MOW atas 422 akseptor sebesar
Rp245.383.936
2) RSUD Soreang Kabupaten Bandung tidak menerima biaya
dukungan pelayanan peserta KB MOW atas 137 akseptor sebesar
Rp18.082.356.
Permasalahan tersebut mengakibatkan pencairan klaim biaya
penggerakan pelayanan KB tidak sesuai kondisi sebenarnya sebesar
Rp424.522.476.
BPK merekomendasikan Kepala BKKBN agar memerintahkan Sestama
untuk memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada Kepala UPT KB
Kecamatan Tarogong Kidul Tahun 2017 yang saat ini telah menjadi pegawai
BKKBN.
Pusat Kajian AKN | 89
5. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
BPK belum melakukan pemeriksaan terhadap LK BPJS Kesehatan.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK terhadap BPJS Kesehatan berupa
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dan Pemeriksaan Kinerja. Berikut
gambaran mengenai jumlah temuan dan rekomendasi, serta status
pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK untuk Tahun Anggaran
2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di BPJS Kesehatan:
Bagan di atas menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir (2015-
2016) BPK mencatatkan 25 temuan dalam pemeriksaan yang dilakukan
terhadap BPJS Kesehatan, dan memberikan 63 rekomendasi untuk
ditindaklanjuti. Dari 63 rekomendasi, baru 28 (44,44%) rekomendasi telah
ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi BPK. Sedangkan 35 (55,56%)
tindak lanjut belum sesuai rekomendasi BPK.
Hasil Pemeriksaan BPK atas Kinerja BPJS Kesehatan pada Tahun
Anggaran 2015 s.d. Tahun Anggaran Semester I 2016, BPK mengungkapkan
bahwa penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada
BPJS Kesehatan belum sepenuhnya efektif untuk mencapai visi universal
health coverage yang ditetapkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih terdapat
beberapa permasalahan yang perlu mendapat perhatian antara lain sebagai
berikut:
1. Regulasi yang mengatur tentang pengumpulan dana JKN belum
memuat ketentuan terkait pemeriksaan kebenaran data yang
disampaikan oleh badan usaha oleh BPJS Kesehatan;
2015 2016 201715 10 0
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
14 14 0 12 23 0 0 0 0 0 0 0
Belum Tidak Dapat
Temuan25
Rekomendasi
63
Sesuai Rekomendasi Belum Sesuai
90 | Pusat Kajian AKN
2. Data peserta penerima bantuan iuran yang dikelola oleh BPJS
Kesehatan tidak akurat;
3. BPJS Kesehatan dalam merekrut peserta baru dari golongan PPU BU
tidak melakukan pengujian kebenaran data yang disampaikan oleh
perusahaan;
4. Sosialisasi dan promosi program JKN melalui media placement belum
efektif menarik minat badan usaha untuk mendaftarkan pekerjanya
menjadi peserta JKN, dan terdapat pemborosan sebesar
Rp762.475.262,84, serta kelebihan pembayaran sebesar
Rp106.620.937,50;
5. Terdapat 155 pemerintah daerah yang program jaminan kesehatan
daerahnya (jamkesda) belum terintegrasi dengan program JKN;
6. Penetapan indikator kinerja utama belum mewujudkan kemandirian
keuangan BPJS Kesehatan; dan;
7. Penempatan dana program JKN belum memberikan keuntungan yang
optimal.
Diantara permasalahan tersebut, yang dibahas lebih lanjut adalah yang
berdampak pada visi BPJS menjadi universal health coverage yaitu permasalahan
jaminan kesehatan daerah yang belum terintegrasi dengan JKN. Secara
jumlah, pada Tahun Anggaran 2015 masih terdapat 155 pemda yang
program jaminan kesehatan daerahnya belum terintegrasi dengan JKN BPJS
Kesehatan. Saat ini, semestinya lebih banyak pemda yang jamkesdanya
terintegrasi dengan JKN meskipun belum semuanya terintegrasi.
Berdasarkan hasil uji petik di daerah terdapat berbagai alasan yang
menyebabkan daerah enggan mengintegrasikan jamkesdanya ke JKN yaitu:
1. Terdapat keraguan dari pemda mengenai adanya penurunan pelayanan
kesehatan yang didapat warganya apabila didaftarkan sebagai peserta
JKN-KIS;
2. Adanya daerah yang memiliki jaminan kesehatan sendiri yang dirasa
lebih baik dari JKN-KIS;
3. Keterbatasan pemerintah daerah untuk integrasi karena besaran iuran
JKN-KIS dimana Pemda harus membayar iuran peserta JKN-KIS
kepada BPJS Kesehatan yang jumlahnya dapat menjadi lebih besar
daripada jumlah yang dibutuhkan untuk melaksanakan Program
Jamkesda;
4. Ketidaksiapan identitas data peserta yang valid.
Pusat Kajian AKN | 91
Kondisi tersebut berakibat pada visi BPJS menjadi universal health coverage
menjadi terhambat dan prinsip gotong royong asuransi sosial yang menjadi
Nawa Cita program pemerintah menjadi tidak terlaksana. BPK
merekomendasikan kepada Direksi BPJS Kesehatan agar berkoordinasi
dengan Pemerintah Daerah terkait integrasi program jamkesda dengan
program JKN. BPJS Kesehatan menyatakan sepakat atas permasalahan
tersebut dan akan meningkatkan upaya untuk melakukan percepatan proses
integrasi Program Jamkesda Pemerintah Daerah kepada Program JKN.
Selain permasalahan tersebut, BPK juga menyoroti belum mandirinya
Indikator Kinerja Utama (IKU) pada aspek keuangan BPJS Kesehatan.
Laporan Keuangan BPJS Kesehatan tahun 2015 menunjukkan bahwa aset
bersih Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan mengalami penurunan sebesar
Rp9.069.215.783.590,00. Penurunan aset bersih tersebut mengganggu
likuiditas BPJS Kesehatan dalam membayarkan beban jaminan kesehatan
sehingga pada tahun 2015 Pemerintah melalui Kementerian Keuangan
memberikan Penanaman Modal Negara sebesar Rp5.000.000.000.000,00
kepada BPJS Kesehatan untuk membantu likuiditas DJS Kesehatan.
Menurunnya nilai aset bersih tadi disebabkan penetapan rasio biaya
pelayanan oleh BPJS Kesehatan yang selalu lebih besar daripada pendapatan
iuran dan rasio kolektabilitas iuran. Pada Tahun Anggaran 2016, BPJS
Kesehatan telah menyusun RKAT dengan mempertimbangkan realisasi
RKAT Tahun Buku 2015. Adapun target penerimaan iuran sebesar
Rp68.371.047.000.000,00 dengan tingkat kolektabilitas sebesar 96,17%
namun rasio klaim ditetapkan sebesar 104,82% dari pendapatan iuran
sehingga BPJS Kesehatan akan terus mengalami penurunan aset bersih.
Hasil wawancara dengan Grup Keuangan juga diketahui bahwa Grup
Keuangan menyusun target kolektibilitas iuran tidak didasarkan atas upaya
untuk mengurangi penurunan aset bersih DJS Kesehatan melainkan hanya
sebatas terkumpulnya iuran.
Hasil analisis perhitungan penetapan pendapatan iuran menunjukkan
hal sebagai berikut, yaitu BPJS Kesehatan dapat meningkatkan target
kepesertaan dari peserta Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU BU),
dimana PPU BU memiliki klaim rasio yang rendah yaitu 77,63% apabila
dibandingkan segmen peserta lainnya (PPU PNS, PPU Eks Jamkesmas, PBI,
PBPU, PP TNI/POLRI dan BP Perintis Kemerdekaan). Menurut data BPJS
Ketenagakerjaan diketahui bahwa market share yang ada untuk peserta PPU
BU adalah 48.144.986 peserta, namun BPJS Kesehatan baru menetapkan
92 | Pusat Kajian AKN
target peserta sebesar 39.643.595 peserta. Dengan demikian, jika target
peserta yang ditetapkan sebesar market share, maka BPJS Kesehatan dapat
memperoleh tambahan penerimaan bersih (setelah dikurangi dengan biaya
pelayanan kesehatan) sebesar Rp4.525.436.085.613,00
(Rp20.230.137.874.866,00-Rp15.704.701.789.253,00)1. Tambahan tersebut
mampu menutupi selisih antara penerimaan dan biaya pelayanan kesehatan.
BPK merekomendasikan Kepada Direksi BPJS Kesehatan agar dalam
menetapkan IKU memperhitungkan faktor-faktor yang mampu
mengakselerasi dalam mewujudkan kemandirian keuangan. Terhadap
tanggapan yang disampaikan oleh BPJS Kesehatan, dapat dijelaskan bahwa
kewenangan penetapan tarif dan iuran berada di regulator dalam hal ini
Kementerian Kesehatan, sedangkan BPJS Kesehatan berkewajiban
melaksanakan kebijakan dengan memanfaatkan sumber daya dan data
(informasi) yang tersedia secara optimal. Penetapan IKU dengan
mendasarkan market share, akan mendorong seluruh sumber daya yang ada
untuk lebih aktif dan proaktif.
1 Laporan Keuangan BPJS Tahun 2015
Pusat Kajian AKN | 93
6. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia
LK BNP2TKI telah berhasil mendapatkan opini WTP dalam tiga tahun
terakhir (2015-2017). Berikut gambaran mengenai jumlah temuan dan
rekomendasi, serta status pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK
untuk Tahun Anggaran 2015 sampai dengan Tahun Anggaran 2017 di
BNP2TKI:
Bagan di atas menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir (2015-
2017) BPK mencatatkan 64 temuan dalam pemeriksaan yang dilakukan
terhadap BNP2TKI, dan memberikan 141 rekomendasi untuk
ditindaklanjuti. Dari 141 rekomendasi, 61 (43,26%) rekomendasi telah
ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi BPK, dengan kata lain telah
selesai ditindaklanjuti. Sedangkan 40 (28,37%) tindak lanjut belum sesuai
rekomendasi BPK, 8 rekomendasi belum ditindaklanjuti dan 32 (22,70%)
rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti.
Hasil Pemeriksaan BPK atas Kinerja Pengelolaan Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Program Government to
Government (G to G) pada BNP2TKI, Kemenaker dan instansi terkait lainnya
Tahun 2014 s.d. Semester I 2016 yang dikeluarkan pada periode pemeriksaan
Semester II 2016 (terbit Januari 2017), BPK mengungkapkan permasalahan
signifikan terkait kinerja BNP2TKI dan Kemenaker yang bersifat lintas
sektoral antar Kementerian/Lembaga. Permasalahan tersebut menyangkut
penempatan dan perlindungan TKI pada program kerjasama dengan
Pemerintah negara lain (G to G) khususnya Korea Selatan dan Jepang sebagai
berikut:
1. Struktur organisasi dan tata kerja serta kewenangan antara Kemnaker
dan BNP2TKI belum sepenuhnya jelas;
2015 2016 2017
45 9 10
2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
44 17 0 17 3 20 7 0 1 32 0 0
Belum Ditindaklanjuti Tidak Dapat Ditindaklanjuti
Temuan
64
Rekomendasi
141
Sesuai Rekomendasi Belum Sesuai Rekomendasi
94 | Pusat Kajian AKN
2. Kemenaker belum menetapkan peraturan mengenai asuransi TKI
yang ditempatkan oleh Pemerintah. Selain itu, Juknis dan SOP
Penempatan TKI oleh Pemerintah belum mengatur tahapan dan
jangka waktu antar tahapan secara jelas;
3. Sistem informasi penempatan dan perlindungan TKI belum
sepenuhnya terintegrasi dan belum mampu menyediakan data dan
informasi yang akurat dan lengkap;
4. Program asuransi yang diselenggarakan oleh Konsorsium Asuransi
belum memberikan manfaat secara optimal kepada calon TKI dan
TKI;
5. Struktur biaya yang disusun oleh Kemenaker belum diperbaharui dan
tidak efektif;
6. Penyusunan kontrak kerja TKI dengan negara penempatan Korea
Selatan belum melindungi kepentingan TKI secara optimal;
7. Perwakilan RI di Jepang dan Korea Selatan masih perlu meningkatkan
pembinaan dan pengawasan serta pembelaan atas pemenuhan hak-hak
TKI Program G to G;
8. Identifikasi dan pendataan kepulangan TKI belum dilaksanakan secara
optimal dan data kepulangan TKI belum secara efektif dimanfaatkan
untuk pemberdayaan TKI.
BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan penempatan dan perlindungan
TKI Program G to G Tahun 2014 s.d. Semester I 2016 belum sepenuhnya
efektif dalam aspek kelembagaan, peraturan/kebijakan, sistem informasi,
serta pelaksanaan dan pengendalian pada tahap pra penempatan, masa
penempatan, dan purna penempatan.
Beberapa faktor penting pendorong diadakannya pemeriksaan ini
adalah:
1. Untuk mengukur pencapaian pemerintah dhi BNP2TKI yang sejak
2009 mentargetkan peningkatan kapasitas TKI secara formal dan juga
proporsinya yang harus lebih besar daripada TKI Informal. Salah satu
skema penempatan TKI formal ditempuh melalui program G to G;
2. Dalam pemeriksaan kinerja TKI G to G Tahun 2012, BPK telah
memberikan 19 rekomendasi kepada Kemenaker dan/atau BNP2TKI,
di mana s.d. Semester II 2015, telah ditindaklanjuti sebanyak 17
rekomendasi, sedangkan dua rekomendasi belum selesai
ditindaklanjuti. Selain itu, rekomendasi yang dinyatakan selesai
ditindaklanjuti masih sebatas pada dokumen administrasi saja, namun
Pusat Kajian AKN | 95
belum ada penilaian lebih lanjut atas pengaruh tindak lanjut tersebut
terhadap efektivitas program penempatan TKI G to G.
Latar belakang program G to G ini didasari suatu upaya mewujudkan
hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh
pekerjaan dan penghasilan yang layak, dengan tetap memperhatikan harkat,
martabat, hak asasi manusia, dan perlindungan hukum, sementara
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan lapangan kerja yang sesuai
dengan kebutuhan nasional belum mencukupi. Penempatan TKI dalam
skema program G to G sendiri adalah penempatan TKI keluar negeri yang
dilakukan oleh pemerintah yang dilakukan atas dasar perjanjian secara
tertulis antara pemerintah dengan pemerintah negara pengguna TKI atau
pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan TKI. Tujuan
penempatan dalam skema G to G ini tidak hanya dalam bentuk pengiriman
TKI sebagai respon atas permintaan dari pemerintah negara lain, namun juga
memberi pelayanan secara optimal kepada TKI, menjamin dan melindungi
calon TKI sejak di dalam negeri, pada saat bekerja di luar negeri dan sampai
dengan kembali ke daerah asal serta diharapkan mampu meningkatkan
kesejahteraan TKI dan keluarganya.
Permasalahan yang dibahas disini adalah yang belum selesai
ditindaklanjuti yaitu permasalahan calon TKI program G to G tujuan Korea
Selatan, dimana hasil permintaan keterangan secara uji petik kepada TKI di
Korea Selatan menunjukkan bahwa seluruh TKI tidak pernah diikutsertakan
dalam proses pembahasan dan reviu isi Standard Labor Contract (SLC) atau
Kontrak Kerja Standar baik oleh pemberi kerja, HRD Korea maupun
BNP2TKI. SLC ini juga tidak menjabarkan secara detail jabatan dan rincian
pekerjaan seperti apa yang nantinya akan dilaksanakan oleh TKI tersebut.
Kondisi tersebut berpotensi mengakibatkan TKI mendapatkan pekerjaan
tidak sesuai harapan dan pindah kerja secara ilegal. Peningkatan jumlah TKI
ilegal mempengaruhi keberlangsungan dan kuota penempatan TKI Program
G to G ke Korea Selatan yang mana hal tersebut tidak sejalan dengan target
yang dicanangkan BNP2TKI untuk meningkatkan proporsi TKI formal.
Permasalahan tersebut disebabkan kurangnya pengarahan dan sosialisasi
dari BNP2TKI kepada calon TKI terkait informasi yang tercantum dalam
SLC dan kondisi pekerjaan sebelum calon TKI menyetujui/menandatangani
SLC.
96 | Pusat Kajian AKN
Terkait permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Kepala
BNP2TKI agar:
1. Mendokumentasikan hasil reviu atas SLC;
2. Melakukan sosialisasi kepada calon TKI mengenai informasi yang
tercantum dalam SLC dan kondisi pekerjaan sebelum calon TKI
menyetujui SLC;
3. Mengupayakan perbaikan SLC sehingga memuat rincian jabatan dan
jenis pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh TKI.
BNP2TKI menanggapi permasalahan tersebut dengan kedepannya akan
lebih mengintensifkan pemberian penjelasan, pengarahan dan sosialisasi
terhadap SLC kepada calon TKI mengenai kondisi kerja, upah kerja, upah
lembur, dan fasilitas yang diberikan oleh perusahaan.
Selanjutnya, diketahui bahwa terdapat permasalahan calon TKI program
G to G tujuan Korea Selatan diwajibkan oleh Kemenakertrans berdasarkan
Kepmenakertrans Nomor: KEP.17/MEN/II/2011 untuk membayar premi
asuransi sebesar Rp760.000,00 untuk jangka waktu pertanggungan selama 5
tahun. calon TKI diharuskan untuk membayar premi asuransi ini sekaligus
pada saat mengikuti tahap preliminary training dimana yang bersangkutan
belum mendapatkan kepastian akan berangkat dan belum tentu nantinya
akan memperpanjang perjanjian kerja menjadi lima tahun. Atas
permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Menakertrans untuk
menyesuaikan nilai premi asuransi masa dengan masa kerja TKI namun
sampai dengan saat pemeriksaan berakhir (LHP ini terbit Januari 2017)
belum ditindaklanjuti oleh Kemenaker.
Hasil permintaan keterangan kepada konsorsium penyedia jasa asuransi,
diketahui bahwa untuk asuransi pada pra penempatan belum terdapat kasus
yang penyelesaiannya melibatkan konsorsium asuransi. Terdapat beberapa
kasus gagal berangkat bagi calon TKI yang telah menandatangani polis dan
membayar premi asuransi, namun hal ini diselesaikan dengan
mengembalikan seluruh biaya premi yang telah dibayarkan kepada calon
TKI. Konsorsium tidak pernah membayarkan risiko gagal berangkat sesuai
dengan biaya yang telah dikeluarkan oleh calon TKI atau sebesar maksimal
110% dari cost structure sesuai yang telah ditetapkan dalam polis. Lebih lanjut
diketahui bahwa Kemenaker dan BNP2TKI tidak pernah melakukan
evaluasi atas kinerja konsorsium asuransi atas pengelolaan klaim yang
diajukan oleh calon TKI/TKI. Permasalahan tersebut mengakibatkan:
Pusat Kajian AKN | 97
1. TKI dengan negara penempatan Korea Selatan yang tidak
memperpanjang kontrak kerja membayarkan premi asuransi melebihi
jangka waktu kerja;
2. Calon TKI yang gagal berangkat ke negara penempatan tidak
mendapatkan hak pertanggungan sesuai dengan polis.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Ketenagakerjaan dan Kepala
BNP2TKI baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan
kewenangan masing-masing agar:
1. Mengevaluasi besaran premi dan masa tertanggung asuransi agar sesuai
dengan kontrak kerja dan asuransi yang diikuti oleh TKI pada negara
penempatan;
2. Mengawasi pembayaran asuransi sehingga TKI menerima sesuai
dengan haknya;
3. Mengevaluasi pelaksanaan dan pembayaran klaim gagal berangkat
kepada calon TKI.
Menanggapi permasalahan tersebut, Kemenaker menyatakan bahwa hal
ini sedang dilakukan kajian dalam rangka pembenahan program asuransi
TKI melalui skema BPJS. Sedangkan BNP2TKI menyatakan akan
melakukan klarifikasi pembayaran klaim asuransi pra penempatan (gagal
berangkat) dan melakukan evaluasi terhadap konsorsium asuransi.
Berdasarkan LHP atas LK BNP2TKI T.A. 2017, BPK mengungkap
10 temuan dengan 16 permasalahan. Uraian berikut ini merupakan temuan
dan permasalahan yang menjadi perhatian BPK baik dari sisi sistem
pengendalian intern maupun kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan:
98 | Pusat Kajian AKN
Sistem Pengendalian Intern
Penyelesaian piutang biaya sewa, pajak, dan konsesi selapajang pada
BNP2TKI belum optimal.
Neraca pada Laporan Keuangan BNP2TKI (Audited) per 31 Desember
2017 dan 2016 menyajikan nilai Piutang Bukan Pajak masing-masing adalah
sebesar Rp2.573.110.780 dan Rp3.006.827.244. Saldo Piutang Bukan Pajak
per 31 Desember 2017 tersebut antara lain sebesar Rp2.562.141.500
merupakan biaya sewa, pajak, dan konsesi yang belum dibayarkan oleh pihak
ketiga atas kontrak sewa pemanfaatan Gedung Pendataan Kepulangan TKI
di Tehninal Kepulangan TKI di Selapajang, Bandara Soekamo Hatta pada
periode tahun 2011 sampai dengan 2012. Atas piutang dari biaya sewa, pajak,
dan konsesi Selapajang tersebut, BNP2TKI telah melakukan penyisihan
Piutang sebesar 100% dikarenakan masuk dalam kategori sebagai Piutang
dengan kualitas macet.
Hasil penelusuran atas dokumentasi pengeiolaan Piutang Sewa, Pajak,
dan Konsesi Selapajang di Biro Keuangan dan Umum Sekretariat Utama
BNP2TKI diketahui bahwa pada Tahun 2015, Biro Keuangan dan Umum
telah melakukan upaya penagihan atas Piutang Sewa, Pajak, dan Konsesi
Selapajang dengan mengirimkan surat tagihan kepada para debitur. Atas
penagihan tersebut diperoleh pembayaran dari beberapa debitur sebesar
Rp21.391.000 dari total saldo Piutang Sewa, Pajak, dan Konsesi Selapajang
per 31 Desember 2014 sebesar Rp3.019.132.500 sehingga saldo Piutang
menjadi sebesar Rp2.997.741.500. Namun upaya penagihan ataupun
Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian Belanja
1. Penyelesaian piutang biaya sewa, pajak, dan konsesi Selapajang pada
BNP2TKI belum optimal
2. Pengelolaan persediaan pada enam satker di lingkungan BNP2TKI belum
memadai
3. Penatausahaan BMN pada enam satker BNP2TKI tidak tertib
Pusat Kajian AKN | 99
penyelesaian Piutang tersebut sebagaimana telah direkomendasikan Laporan
Hasil Pemeriksaan BPK atas Sistem Pengendalian Intern BNP2TKI Tahun
2016, Nomor 39.B/HP/XVI/05/2017 tanggal 18 Mei 2017, tidak dilakukan
pada Tahun 2017.
Terdapat penurunan nilai Piutang per 31 Desember 2017 dibandingkan
dengan saldo per 31 Desember 2016 bukan karena pembayaran dari debitur
akan tetapi dikarenakan terdapat salah satu debitur yaitu Koperasi Pegawai
BNP2TKI yang menandatangani SKTJM, sehingga Piutang senilai
Rp435.600.000 direklasifikasi ke Piutang TGR.
Pengujian lebih lanjut menunjukkan bahwa pada Tahun 2018, Sekretaris
Utama BNP2TKI telah menyampaikan surat Nomor B153/SU/111/2018
tanggal 26 Maret 2018 kepada Kepala KPKNL Jakarta III perihal
Penyerahan Pengurusan Piutang Macet. Namun atas surat tersebut belum
ada tanggapan dari pihak KPKNL Jakarta III.
Hal tersebut mengakibatkan penyelesaian Piutang Bukan Pajak yang
berasal dari tunggakan biaya sewa, pajak, dan konsesi Selapajang menjadi
berlarut-larut.
BPK merekomendasikan kepada Kepala BNP2TKI agar
memerintahkan Sekretaris Utama BNP2TKI untuk berkoordinasi dengan
Ditjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan c.q KPKNL Jakarta III
terkait dengan penyelesaian Piutang Bukan Pajak yang berasal dari
tunggakan biaya sewa, pajak, dan konsesi Selapajang dalam rangka
menindaklanjuti surat Sekretaris Utama BNP2TKI Nomor
BI53/SU/III/2018 tanggal 26 Maret 2018 sesuai rekomendasi BPK.
Pengelolaan persediaan pada enam satker di lingkungan BNP2TKI
belum memadai.
Dari hasil pemeriksaan atas dokumen Persediaan pada enam satuan
kerja (Satker) di lingkungan BNP2TKI yaitu Sekretariat Utama, Deputi
Bidang Penempatan, Deputi Bidang Perlindungan, BP3TKI Jakarta,
BP3TKI Bandung, dan LP3TKI Surabaya, diketahui permasalahan sebagai
berikut:
100 | Pusat Kajian AKN
a. Stock opname pada akhir periode belum dilakukan dengan tertib di tiga
Satker yaitu BP3TKI Jakarta, BP3TKI Bandung, dan LP3TKI Surabaya
b. Persediaan tidak dapat dimanfaatkan pada lima Satker yaitu Sekretariat
Utama, Deputi Bidang Penempatan, BP3TKI Jakarta, BP3TKI
Bandung, dan LP3TKI Surabaya
c. Penatausahaan kartu Persediaan di BP3TKI Jakarta belum tertib
d. Mutasi pencatatan Persediaan dalam aplikasi Persediaan belum tertib
pada tiga Satker yaitu Sekretariat Utama, Deputi Bidang Perlindungan,
dan BP3TKI Jakarta
e. Penatausahaan Persediaan yang telah dihibahkan senilai Rp659.835.000
pada Sekretariat Utama belum tertib
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
a. Risiko kesalahan pencatatan saldo persediaan yang belum dikelola secara
tertib.
b. Pemanfaatan persediaan terkait e-KTKLN dan Buku tentang bahan
sosialiasi TKl di Luar Negeri tidak optimal.
c. Pencatatan persediaan di Aplikasi Persediaan tidak akurat.
BPK merekomendasikan kepada Kepala BNP2TKJ agar:
a. Menyempumakan peraturan internal terkait dengan penatausahaan
Persediaan dengan mewajibkan kepada setiap Satker untuk melakukan
stock opname secara berkala minimal setiap akhir tahun.
b. Memerintahkan Kepala Satker untuk menatausahakan Persediaan secara
tertib termasuk melakukan stock opname secara berkala.
c. Memerintahkan Sestama untuk menyelesaikan proses hibah sesuai
ketentuan yang berlaku.
Penatausahaan BMN pada enam satker BNP2TKI tidak tertib.
Pada Tahun 2017, jumlah BMN pada BNP2TKI meningkat antara lain
karena adanya transfer masuk BMN dari pengalihan status kepemilikan
Kementerian Ketenagakerjaan senilai Rp71.136.521.774 berdasarkan Berita
Acara Serah Terima (BAST) BMN Nomor BA.02/SJ/I/2017 danNomor
BA.14/SU/I/2017 tanggal 3 Januari 2017. Transfer masuk BMN dari
Kementerian Ketenagakerjaan ke BNP2TKI dalam bentuk tanah, peralatan
dan mesin, serta gedung dan bangunan yang tersebar pada 19 Satker di
lingkungan BNP2TKI.
Pusat Kajian AKN | 101
Berdasarkan wawancara dengan KPB di Sekretariat Utama dhi. Kabiro
Keuangan dan Umum BNP2TKI diketahui bahwa BAST BMN dari
Kementerian Ketenagakerjaan ke BNP2TKI hanya berdasarkan pada
pencatatan BMN tanpa tidak disertai dengan berita acara fisik atas
keberadaan barang tersebut.
Hasil pemeriksaan atas penatausahaan BMN pada BNP2TKI
menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern atas penatausahaan BMN
belum tertib dengan penjelasan sebagai berikut.
a. BMN terkait fiingsi penerbitan e-KTKLN sudah dihentikan
penggunaannya
b. Empat Satker belum melakukan penomoran dan labelisasi inventaris
BMN sesuai ketentuan
c. Lima Satker belum memutakhirkan beberapa DBR sesuai kondisi terkini
d. Pencatatan BMN pada Aplikasi SIMAK BMN pada dua Satker tidak
akurat
e. LP3TKI Surabaya belum memutakhirkan klasifikasi beberapa BMN
yang rusak maupun dihentikan penggunaarmya ke Aset Lain-lain
f. Terdapat BMN berupa Peralatan dan Mesin tidak dicatat pada SIMAK
BMN LP3TKI Surabaya dan tidak jelas status kepemilikannya
g. Terdapat BMN berupa Peralatan dan Mesin tidak dapat ditelusuri
keberadaannya sebesar Rp2.737.689.250.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a. Risiko kesalahan klasifikasi Aset Tetap terkait e-KTKLN.
b. BMN yang tidak dilengkapi kode/nomor inventaris barang dan belum
didukung pemutakhiran Daftar Barang Ruangan sulit untuk ditelusuri
keberadaannya.
c. Pencatatan BMN dalam Aplikasi SIMAK BMN tidak akurat.
d. Indikasi kehilangan BMN berupa Peralatan dan Mesin senilai
Rp2.737.689.250.
BPK merekomendasikan kepada Kepala BNP2TKI agar;
a. Melakukan inventarisasi dan penilaian kembali bersama Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan difasilitasi oleh Kementerian
Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan BPKP
khususnya atas BMN yang diserahkanterimakan dari Kemnaker.
102 | Pusat Kajian AKN
Apabila BMN hilang/tidak ditemukan, maka mengenakan TGR sesuai
ketentuan yang berlaku kepada yang bertanggungjawab.
b. Memerintahkan Kepala Satker supaya melakukan penomoran, labelisasi,
dan pemutakhiran DBR secara berkala.
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Penerimaan Negara Bukan Pajak
1. Penetapan nilai sewa ruangan pada BP3TKI Jakarta dan BP3TKI Bandung
tidak sesuai ketentuan
Belanja Pegawai
1. Kelebihan pembayaran uang lembur dan uang makan ASN BP3TKI
Bandung dan LP3TKI Surabaya sebesar Rp8.844.819
Belanja Barang
1. Pertanggungjawaban Belanja Perjalanan Dinas Pegawai pada lima satker
pusat BNP2TKI5 BP3TKI Bandung dan LP3TKI Surabaya tidak sesuai
kondisi sebenarnya sebesar Rp400.119.407
2. Pelaksanaan Belanja Barang pada enam kegiatan di BP3TKI Jakarta tidak
sesuai ketentuan
3. Pembayaran atas Jasa Outsourcing di Lingkungan BNP2TKI tidak sesuai
ketentuan sebesar Rp174.165.773
4. Kelebihan pembayaran uang saku Rapat di Dalam Kantor BNP2TKI dan
BP3TKI Jakarta sebesar Rp89.537.500
5. Pertanggungjawaban pembelian alat tulis kantor di BP3TKI Jakarta tidak
sesuai dengan nilai sebenarnya sebesar Rp7.544.950
Belanja Modal
1. Kemahalan harga paket pengadaan peralatan dan mesin dan software di
Settama BNP2TKI dan BP3TKI Bandung tanpa melalui e-Purchasing
Sebesar Rp103.514.869
Pusat Kajian AKN | 103
Penetapan nilai sewa ruangan pada BP3TKI Jakarta dan BP3TKI
Bandung tidak sesuai ketentuan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas dokumen pertanggungjawaban
PNBP atas sewa ruang BMN Tahun 2017 pada BP3TKI Jakarta dan
BP3TKI Bandung diketahui bahwa penetapan nilai sewa ruangan Tahun
2017 tidak sesuai dengan ketentuan.
Realisasi pendapatan sewa BP3TKI Jakarta sebesar Rp146.602.894
berasal dari enam perjanjian sewa Tahun 2017. Sedangkan realisasi
pendapatan sewa BP3TKI Bandung Tahun 2017 sebesar Rp32.050.982
berasal dari empat perjanjian sewa Tahun 2017 dan dua perjanjian sewa
Tahun 2016 yang menjadi piutang PNBP 2016 dan dibayarkan Tahun 2017.
Hasil pemeriksaan atas pemanfaatan BMN berupa sewa ruang di
BP3TKI Jakarta dan BP3TKI Bandung Tahun 2017 menunjukkan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1) Kuasa Pengguna Barang (KPB) selaku Pengguna Barang belum
mengajukan usulan persetujuan sewa atas BMN kepada Pengelola
Barang yang dalam hal ini (dhi) Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
dan Lelang (KPKNL) setempat.
2) Penyewaan ruangan BMN belum memperoleh persetujuan dari
KPKNL selaku Pengelola Barang.
3) Penetapan besaran atau harga sewa ruangan belum mendapat
persetujuan dari KPKNL selaku Pengelola Barang.
4) Perhitungan penetapan harga sewa ruang Tahun 2017 di BP3TKI
Jakarta menggunakan dasar perhitungan Tahun 2014. Sedangkan di
BP3TKI Bandung menggunakan dasar perhitungan Tahun 2015.
Permasalahan tersebut mengakibatkan penerimaan nilai sewa ruangan
senilai Rp178.653.876 (Rp 146.602.894 + Rp32.050.982) pada BP3TKI
Jakarta dan BP3TKI Bandung Tahun 2017 tidak sesuai ketentuan.
BPK merekomendasikan kepada Kepala BNP2TKI agar
menginstruksikan seluruh KPB di lingkungan BNP2TKI untuk
berkoordinasi dengan KPKNL di wilayah masing-masing dalam
menentukan nilai sewa atas pemanfaatan BMN sebagaimana diatur dalam
104 | Pusat Kajian AKN
Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang
Milik Negara.
Kelebihan Pembayaran Uang Lembur dan Uang Makan ASN
BP3TKI Bandung dan LP3TKI Surabaya sebesar Rp8.844.819.
Berdasarkan Laporan Keuangan (Audited) BNP2TKI Tahun 2017,
realisasi Belanja Pegawai dinyatakan sebesar Rp104.342.056.885 dari
anggaran sebesar Rp112.051.162.000. Hasil pemeriksaan secara uji petik atas
Belanja Pegawai pada BP3TKI Bandung dan LP3TKI Surabaya diketahui
hal sebagai berikut:
a. Kelebihan pembayaran uang lembur ASN BP3TKI Bandung dan
LP3TKI Surabaya sebesar Rp5.033.919
b. Belanja uang makan ASN LP3TKI Surabaya lebih bayar sebesar
Rp3.810.900.
Permasalahan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran Uang
Lembur dan Uang Makan ASN BP3TKI Bandung dan LP3TKI Surabaya
sebesar Rp8.844.819 (Rp5.033.919 + Rp3.810.900).
BPK merekomendasikan kepada Kepala BNP2TKI agar:
a. Membuat kebijakan mengenai pedoman pelaksanaan lembur bagi ASN
dan Pegawai Tidak Tetap yang juga mengatur tentang penggunaan data
kehadiran elektronik (finger print) sebagai bukti kehadiran lembur
pegawai di lingkungan BNP2TKI.
b. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada:
1) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) BP3TKI Bandung dan PPK
LP3TKI Surabaya yang kurang cermat dalam menguji bukti
pertanggungjawaban belanja uang lembur dan uang makan sebagai
hak tagih negara;
2) Kasubbag Tata Usaha LP3TKI Surabaya yang tidak cermat dalam
pengelolaan pembayaran uang makan ASN;
3) Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai (PPABP)
BP3TKI Bandung dan PPABP LP3TKI Surabaya yang kurang
cermat dalam mengelola administrasi bukti pembayaran belanja
uang lembur dan uang makan;
Pusat Kajian AKN | 105
4) KPA BP3TKI Bandung dan KPA LP3TKI Surabaya yang kurang
optimal dalam pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan
Lembur.
Pertanggungjawaban belanja perjalanan dinas pegawai pada lima
satker pusat BNP2TKI, BP3TKI Bandung dan LP3TKI Surabaya
tidak sesuai kondisi sebenarnya sebesar Rp400.119.407.
Dalam rangka meyakini pelaksanaan perjalanan dinas, BPK telah
melakukan pemeriksaan secara uji petik atas dokumen pertanggungjawaban
belanja perjalanan dinas biasa dan diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Pertanggungjawaban Belanja Perjalanan Dinas Pegawai pada BNP2TKI
(Sekretariat Utama, Deputi Bidang Penempatan, Deputi Bidang
Perlindungan, Deputi Bidang Kerjasama Luar Negeri dan Promosi,
Inspektorat) tidak sesuai kondisi sebenarnya sebesar Rp378.327.607
b. Pertanggungjawaban Belanja Perjalanan Dinas Pegawai pada BP3TKI
Bandung tidak sesuai kondisi sebenarnya sebesar Rp9.054.000
c. Pertanggungjawaban Belanja Perjalanan Dinas Pegawai pada LP3TKI
Surabaya tidak sesuai kondisi sebenarnya sebesar Rp12.737.800.
Permasalahan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran biaya
perjalanan dinas di Lima Satker Pusat BNP2TKI, BP3TKI Bandung dan
LP3TKI Surabaya sebesar Rp400.119.407.
BPK merekomendasikan kepada Kepala BNP2TKI agar:
a. Membuat kebijakan mengenai pedoman pelaksanaan perjalanan dinas
bagi ASN dan Pegawai Tidak Tetap di lingkungan BNP2TKI yang juga
mengatur tentang pemberian sanksi atas pelaksanaan perjalanan dinas
yang tidak sesuai ketentuan;
b. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada:
1) Pegawai yang melaksanakan perjalanan dinas yang tidak
mempertanggungjawabkan biaya sesuai dengan nilai riil;
2) PPK pada Sekretariat Utama, Deputi Bidang Penempatan, Deputi
Bidang Perlindungan, Deputi Bidang Kerjasama Luar Negeri dan
Promosi, Inspektorat, BP3TKI Bandung dan LP3TKI Surabaya
yang tidak mempedomani ketentuan yang berlaku terkait
pertanggungjawaban kegiatan perjalanan dinas melewati batas kota;
106 | Pusat Kajian AKN
3) KPA pada Sekretariat Utama, Deputi Bidang Penempatan, Deputi
Bidang Perlindungan, Deputi Bidang Kerjasama Luar Negeri dan
Promosi, Inspektorat, BP3TKI Bandung dan LP3TKI Surabaya
yang kurang optimal dalam melakukan pengendalian atas
pelaksanaan kegiatan.
Pelaksanaan Belanja Barang pada enam kegiatan di BP3TKI Jakarta
tidak sesuai ketentuan.
Berdasarkan Laporan Keuangan (Audited) Balai Pelayanan Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Jakarta Tahun 2017,
realisasi Belanja Barang (Kode MAK 52) sebesar Rp8.723.747.723 dari
anggaran sebesar Rp9.268.890.000 atau 94%.
Pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban Belanja Barang di BP3TKI
Jakarta diketahui permasalahan sebagai berikut:
a. Keterlambatan pelaksanaan pekerjaan
b. Pembayaran Pekerjaan Pemeliharaan Gedung (rehab) PAP Belum
Dipungut PPN
c. Kurang Volume pada Pekerjaan Rehabilitasi Gedung.
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
a. Denda Keterlambatan belum dipungut sebesar Rp572.057 (Rp262.800
+ Rp309.257);
b. PPN belum dipungut sebesar Rp9.416.912;
c. Kelebihan Pembayaran atas kurang volume pekerjaan dari Belanja Biaya
Pemeliharaan Gedung dan Bangunan sebesar Rp16.360.649
(Rp5.474.812 + Rp2.831.200 + Rp3.993.297+ Rp4.061.340).
Sebagai tindak lanjut dari temuan, Kepala BP3TKI Jakarta telah
melakukan hal sebagai berikut:
a. Menarik denda keterlambatan dari rekanan pelaksana pekerjaan dan
telah disetorkan ke Kas Negara sebesar Rp262.800 tanggal 24 April 2018
dengan NTPN 65FE3008KH7QLA26 dan sebesar Rp309.257 tanggal
24 April 2018 dengan NTPN 5ACBC008V9QM5726.
b. Memerintahkan pada pihak pelaksana pekerjaan untuk segera
melakukan penyetoran PPN dan pelaksana telah menyetorkan
Pusat Kajian AKN | 107
kesanggupannya, dan apabila sudah dilakukan pembayaran, bukti akan
segera disampaikan kepada BPK.
c. Menarik kelebihan pembayaran atas kekurangan volume dari rekanan
pelaksana pekerjaan dan telah menyetorkan ke Kas Negara sebesar
Rp5.474.812 pada tanggal 24 April 2018 dengan NTPN
C3096008CCF5RE26, sebesar Rp2.830.144 pada tanggal 24 April 2018
dengan NTPN 830260073KJTQ226, sebesar Rp3.993.297 pada tanggal
24 April 2018 dengan NTPN C5F000083BOBQ726, sebesar
Rp4.061.340 pada tanggal 24 April 2018 dengan NTPN
7C3BC0070J5JAA26.
BPK merekomendasikan kepada Kepala BNP2TKI agar:
a. Menginstruksikan kepada PPK BP3TKI Jakarta untuk memungut dan
menyetorkan ke Kas Negara atas PPN yang belum disetorkan oleh
penyedia barang.
b. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada:
1) PPK yang tidak cermat dalam menetapkan rencana pelaksanaan
pengadaan barang/jasa, menguji kebenaran perhitungan
tagihan/kontrak dan mengendalikan pelaksanaan kontrak;
2) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan yang tidak cermat dalam
melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan penyedia barang/jasa;
3) Kuasa Pengguna Anggaran yang tidak optimal dalam pengendalian
dan pengawasan kegiatan belanja barang.
108 | Pusat Kajian AKN
Pembayaran atas jasa outsourcing di lingkungan BNP2TKI tidak
sesuai ketentuan sebesar Rp174.165.773.
Pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban Belanja Barang di Kantor
Pusat BNP2TKI diketahui permasalahan sebagai berikut:
a. Satuan Kerja Sekretariat Utama
Realisasi Belanja Keperluan Perkantoran (MAK 521111) pada unit kerja
Sekretariat Utama (Settama) sebesar Rp7.193.017.909, diantaranya
digunakan untuk pembayaran pekerjaan jasa kebersihan dan pekerjaan
jasa keamanan.
1) Pekerjaan Jasa Keamanan Security Kantor BNP2TKI
Dari pemeriksaan atas dokumen pertanggungjawaban pekerjaan jasa
keamanan Tahun 2017 diketahui permasalahan sebagai berikut:
a) Komponen upah dibayarkan tidak sesuai kontrak sebesar
Rp56.080.386
b) Komponen Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan dibayarkan tidak sesuai ketentuan sebesar
Rp11.602.085
c) Komponen Tunjangan Hari Raya (THR) dibayarkan tidak sesuai
ketentuan sebesar Rp10.487.500
2) Pekerjaan Jasa Kebersihan (Cleaning Service)
a) Komponen upah tenaga kerja dibayarkan tidak sesuai kontrak
sebesar Rp7.686.154
b) Komponen biaya BPJS Kesehatan dibayarkan tidak sesuai
ketentuan sebesar Rp4.830.016
c) Komponen biaya perlengkapan kerja, biaya peralatan habis pakai
dan bahan kimia pembersih dibayarkan tidak sesuai kontrak
sebesar Rp3.174.059.
b. Satuan Kerja Deputi BidangPerlindungan
Realisasi Belanja Jasa Lainnya (MAK 522191) Tahun 2017 pada unit
kerja Deputi Bidang Perlindungan sebesar Rp3.767.294.652.
Diantaranya digunakan untuk pembayaran pekerjaan jasa pelayanan
Hotline Service petugas operator Crisis Center Tahun 2017.
Dari pemeriksaaan atas dokumen pertanggungjawaban pekerjaan jasa
pelayanan Hotline Service petugas operator Crisis Center Tahun 2017
diketahui permasalahan sebagai berikut:
Pusat Kajian AKN | 109
1) Penghasilan pegawai dibayarkan tidak sesuai kontrak sebesar
Rp19.046.298
2) Komponen biaya BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan tidak sesuai
ketentuan sebesar Rp40.066.401
3) Komponen biaya BPJS Kesehatan dibayarkan tidak sesuai ketentuan
sebesar Rp21.192.874.
Permasalahan tersebut mengakibatkan:
a. Kekurangan pembayaran atas hak pegawai outsourcing jasa keamanan
sebesar Rp78.169.971;
b. Kekurangan pembayaran atas hak pegawai outsourcing jasa kebersihan
sebesar Rp12.516.170 dan kekurangan perlengkapan kerja, peralatan
habis pakai dan bahan kimia pembersih senilai Rp3.174.059;
c. Kekurangan pembayaran atas hak pegawai outsourcing jasa pelayanan
Hotline Service operator Crisis Center sebesar Rp80.305.573.
BPK merekomendasikan kepada Kepala BNP2TKI agar:
a. Menginstruksikan kepada PPK Satker Sekretariat Utama yang
mengelola kontrak Jasa Keamanan Security Kantor BNP2TKI dan
kontrak Pekerjaan Jasa Kebersihan (Cleaning Service) dan PPK Satker
Deputi Bidang Perlindungan yang mengelola Kontrak Jasa Outsourcing
Crisis Center untuk menarik kekurangan pembayaran hak pegawai jasa
outsourcing dari perusahaan penyedia jasa sebesar Rp170.991.714
(Rp78.169.971 + Rp12.516.170 + Rp80.305.573) dan membayarkan
kekurangan tersebut kepada masing-masing pegawai jasa outsourcing.
Bukti pembayaran ke masing-masing pegawai disampaikan ke BPK.
b. Menginstruksikan kepada PPK Satker Sekretariat Utama yang
mengelola kontrak Pekerjaan Jasa Kebersihan (Cleaning Service) untuk
menarik kekurangan pembayaran perlengkapan kerja, peralatan habis
pakai dan bahan kimia pembersih senilai Rp3.174.059 dari perusahaan
penyedia jasa dan menyetorkan ke Kas Negara. Bukti setor disampaikan
ke BPK.
c. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada:
1) PPK Satker Sekretariat Utama yang mengelola kontrak Jasa
Keamanan Security Kantor BNP2TKI dan kontrak Pekerjaan Jasa
Kebersihan (Cleaning Service) serta PPK Satker Deputi Bidang
Perlindungan yang mengelola kontrak Jasa Outsourcing Crisis
110 | Pusat Kajian AKN
Center yang tidak cermat dalam menguji kebenaran perhitungan
tagihan/kontrak dan mengendalikan pelaksanaan kontrak;
2) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan Satker Sekretariat Utama
yang mengelola kontrak Jasa Keamanan Security Kantor BNP2TKI
dan kontrak Pekerjaan Jasa Kebersihan (Cleaning Service) serta PPK
Satuan Kerja Deputi Bidang Perlindungan yang mengelola kontrak
Jasa Outsourcing Crisis Center yang tidak cermat dalam melakukan
pemeriksaan hasil pekerjaan penyedia barang/jasa;
3) KPA Satker Sekretariat Utama yang mengelola kontrak Jasa
Keamanan Security Kantor BNP2TKI dan kontrak Pekerjaan Jasa
Kebersihan (Cleaning Service) serta KPA Sattker Deputi Bidang
Perlindungan yang mengelola kontrak Jasa Outsourcing Crisis
Center yang kurang optimal dalam pengendalian dan pengawasan
kegiatan belanja barang.
Kelebihan pembayaran uang saku rapat di dalam kantor BNP2TKI
dan BP3TKI Jakarta sebesar Rp89.537.500.
Hasil pemeriksaan secarauji petik terhadap realisasi uang saku RDK TA
2017 padaBNP2TKI sebesar Rp482.150.000 dan pada BP3TKI Jakarta
sebesar Rp38.800.000 diketahui bahwa RDK yang diselenggarakan telah
didukung antara lain dengan dokumen berupa undangan peserta RDK, surat
perintah tugas peserta RDK, notulen hasil RDK, daftar hadir peserta RDK
(tanda tangan peserta), dan tanda terima uang saku peserta RDK.
Berdasarkan dokumen tersebut, diketahui bahwa RDK yang dilaksanakan
oleh suatu satuan kerja dihadiri atau melibatkan peserta dari eselon II atau
eselon I lainnya.
Hasil pengujian secara uji petik terhadap dokumen daftar hadir peserta
RDK (tanda tangan peserta) dengan bukti kehadiran pegawai sesuai sistem
kehadiran elektronik (menggunakan finger print ASN peserta RDK) pegawai
peserta RDK diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Kelebihan pembayaran uang saku Rapat di Dalam Kantor BNP2TKI
(Satuan Kerja Sekretariat Utama, Deputi Bidang Penempatan, Deputi
Bidang Perlindungan, Deputi Bidang Kerjasama Luar Negeri dan
Promosi, Inspektorat dan BP3TKI Jakarta) sebesar Rp80.712.500
Pusat Kajian AKN | 111
1) Pembayaran uang saku RDK kepada pegawai dengan kondisi
kehadiran perjalanan dinas, cuti, tidak masuk kantor
2) Pembayaran uang saku RDK kepada pegawai yang tidak mengisi
kehadiran elektronik atau pulang sebelum waktu kerja berakhir
b. Kelebihan pembayaran uang saku Rapat di Dalam Kantor BP3TKI
Jakarta Sebesar Rp8.825.000
1) Pembayaran uang saku RDK kepada pegawai dengan kondisi
kehadiran sedang melaksanakan perjalanan dinas luar kota
2) Pembayaran uang saku RDK kepada pegawai yang tidak mengisi
kehadiran elektronik atau pulang sebelum waktu kerja berakhir.
Permasalahan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran uang saku
RDK kepada pegawai BNP2TKI dan BP3TKI Jakarta sebesar
Rp89.537.500.
Menindaklanjuti temuan tersebut, seluruh KPA pada satuan kerja Pusat
telah menarik kembali pembayaran uang saku RDK yang tidak sesuai
ketentuan dari masing-masing pegawai sebesar Rp80.712.500.
Sedangkan KPA BP3TKI Jakarta telah menarik kembali pembayaran
uang saku RDK yang tidak sesuai ketentuan dari masing-masing pegawai
sebesar Rp8.825.000 dan telah disetorkan ke Kas Negara pada tanggal 24
April 2017 dengan NTPN 5CFDD01N7GSPSL26.
BPK merekomendasikan kepada Kepala BNP2TKI agar:
a. Membuat kebijakan mengenai petunjuk pelaksanaan dan pembayaran
RDK bagi ASN dan Pegawai Tidak Tetap di lingkungan BNP2TKI yang
juga mengatur tentang penggunaan data kehadiran elektronik (finger
print) sebagai bukti kehadiran RDK pegawai di lingkungan BNP2TKI.
b. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada:
1) KPA pada Satuan Kerja Sekretariat Utama, Deputi Bidang
Penempatan, Deputi Bidang Perlindungan, Deputi Bidang
Kerjasama Luar Negeri dan Promosi, Inspektorat dan BP3TKI
Jakarta yang tidak mempedomani ketentuan yang berlaku terkait
pengendalian belanja kegiatan RDK;
2) PPK pada Satuan Kerja Sekretariat Utama, Deputi Bidang
Penempatan, Deputi Bidang Perlindungan, Deputi Bidang
Kerjasama Luar Negeri dan Promosi, Inspektorat dan BP3TKI
112 | Pusat Kajian AKN
Jakarta yang kurang cermat dalam memverifikasi dan menyetujui
pembayaran belanja kegiatan RDK;
3) Bendahara Pengeluaran pada Satuan Kerja Sekretariat Utama,
Deputi Bidang Penempatan, Deputi Bidang Perlindungan, Deputi
Bidang Kerjasama Luar Negeri dan Promosi, Inspektorat dan
BP3TKI Jakarta selaku petugas verifikasi dokumen pencairan dana
yang belum optimal dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Pertanggungjawaban pembelian alat tulis kantor di BP3TKI Jakarta
tidak sesuai dengan nilai sebenamya sebesar Rp7.544.950.
Hasil pemeriksaan secara uji petik atas dokumen pertanggungjawaban
belanja ATK BP3TKI Jakarta dengan bukti kuitansi dari Toko "AKR"
diketahui bahwa kuitansi pembelian ATK tersebut tidak tertera tanda
stempeP LUNAS" dibayar sesuai tanggal pembayaran, tetapi hanya tertera
stempel nama "Toko AKR". Berdasarkan penjelasan dari pegawai BP3TKI
Jakarta (Sdri. DR), bahwa pada saat pembelian ATK tidak meminta stempel
lunas dibayar sesuai tanggal pembayaran, tetapi hanya stempel toko yang
tertulis Toko "AKR".
Selanjutnya terkait dengan harga pembelian, Sdri. DR telah melakukan
rekapitulasi harga ATK sesuai dengan SPJ harga riil ATK dari Toko "AKR".
Berdasarkan rekapitulasi tersebut, diketahui bahwa terdapat selisih lebih
harga antara bukti pertanggungjawaban dibandingkan dengan bukti kuitansi
riil sebesar Rp7.544.950. Atas selisih tersebut, PPK telah membuat
pemyataan bersedia untuk mengembalikan ke Kas Negara.
Permasalahan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar
Rp7.544.950.
BPK merekomendasikan kepada Kepala BNP2TKI agar memberikan
sanksi sesuai ketentuan kepada:
a. Pegawai BP3TKI Jakarta yang membeli ATK yang tidak
mempertanggungjawabkan biaya sesuai dengan nilai riil;
b. PPK BP3TKI Jakarta yang tidak cermat dalam melakukan pengujian
atas pertanggungjawaban belanja ATK;
c. Kuasa Pengguna Anggaran BP3TKI Jakarta yang kurang optimal dalam
melakukan pengendalian atas pelaksanaan kegiatan.
Pusat Kajian AKN | 113
Kemahalan harga paket pengadaan peralatan dan mesin dan software
di Settama BNP2TKI dan BP3TKI Bandung tanpa melalui e-
Purchasing Sebesar Rp103.514.869.
Hasil pemeriksaan secara uji petik atas dokumen pertanggungjawaban
Belanja Modal pada Settama BNP2TKI dan BP3TKI Bandung diketahui hal
sebagai berikut:
a. Kemahalan harga tiga paket pengadaan peralatan dan mesin dan software
di Settama BNP2TKI tanpa melalui e-Purchasing sebesar Rp84.361.333
b. Kemahalan harga tiga paket pengadaan peralatan dan mesin di BP3TKI
Bandung tanpa melalui e-Purchasing sebesar Rp19.153.536
Permasalahan tersebut mengakibatkan pemborosan atas kemahalan
harga paket pengadaan peralatan dan mesin dan software melalui pengadaan
langsung tanpa melalui e-Purchasing pada Settama BNP2TKI dan BP3TKI
Bandung sebesar Rp103.514.869 (Rp84.361.333 + Rp19.153.536).
BPK merekomendasikan kepada Kepala BNP2TKI agar:
a. Membuat kebijakan mengenai pedoman pengadaan barang dan jasa
melalui e-Purchasing di lingkungan BNP2TKL
b. Memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada:
1) PPK dan Pejabat Pengadaan Barang pada Settama BNP2TKI dan
BP3TKI Bandung yang tidak melaksanakan tugas dan kewenangan
terkait Pengadaan Barang/Jasa sesuai ketentuan Pengadaan
Barang/Jasa yang berlaku;
2) KPA pada Settama BNP2TKI dan BP3TKI Bandung kurang
cermat mengawasi pelaksanaan anggaran belanja modal pengadaan
peralatan dan mesin dan software.