KEABSAHAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI DIBAWAH TANGAN
PADA UTANG PIUTANG PERTANAHAN DI DKI JAKARTA
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 1621 K/Pdt/2012)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Lidiana Sulfi
NIM : 1113048000035
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI I L M U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438H/2017 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dengan ini menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayaullah Jakarta.
Jakarta, 14 November 2017
Lidiana Sulfi
iv
ABSTRAK
Lidiana Sulfi, NIM 1113048000035, “KEABSAHAN HUKUM PERJANJIAN
JUAL BELI DIBAWAH TANGAN PADA UTANG PIUTANG DI DKI
JAKARTA (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 1621 K/Pdt/2012)”,
Strata Satu (S1), Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2017 M,
viii+ 59 halaman + 9 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan perjanjian pengikatan
jual beli tanah dibawah tangan yang dilakukan secara paksa. Latar belakang
skripsi ini adalah berawal dari utang piutang antara Ibrahim dengan Andiani
Limbangan (AL), karena Ibrahim tidak mampu membayar utang yang harus
dibayarkan kepada AL maka AL secara sepihak membuat Perjanjian Pengikatan
Jual Beli tanah untuk membeli tanah Ibrahim dengan ganti rugi dan dipaksa untuk
menandatangani perjanjian tersebut namun hakim menolak dengan alasan putusan
Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum atau undang-
undang.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan bersifat
library research, mengkaji putusan Mahkamah Agung Nomor 1621 K/Pdt/2012
dan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
mendukung penelitian. Teknik Pengumpulan data mengunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan
pendekatan konsep (conceptual approach). Dalam penelitian ini menggunakan
tiga bahan hukum yang digunakan yakni, bahan hukum primer terdiri dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, putusan Mahkamah Agung Nomor 1621
K/Pdt/2012, dan aturan perundang-undangan lain yang terkait, bahan hukum
sekunder meliputi buku-buku teks, kamus hukum, dan prosiding.
Hasil penelitian mengemukakan bahwa jual beli yang dilakukan di bawah
tangan memiliki kekuatan hukum yang sempurna seperti Akta Jual beli (AJB)
apabila perjanjian tersebut diakui isinya oleh para pihak yang bersangkutan,
pengakuan di dalam pengadilan menjadikan alat bukti petunjuk oleh hakim
sehingga, seharusnya jual beli tersebut tidak sah dan tidak mempunyai hukum
mengikat.
Kata Kunci :Keabsahan, Jual Beli
Pembimbing : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H
Sumber Rujukan dari 1978 sampai 2015
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya yang
tidak terhingga. Shalawat serta salam kita curahkan pada Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Dengan mengucap Alhamdullilahi Robbil ‘alamin peneliti dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “KEABSAHAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI
DIBAWAH TANGAN PADA UTANG PIUTANG PERTANAHAN DI DKI
JAKARTA (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 1621
K/Pdt/2012)”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti dalam membuat penulisan ini mengalami
berbagai kesulitan, mengingat penulisan tersebut terbilang masih baru, namun hal
ini dijadikan motivasi untuk menggapai cita-cita lebih tinggi. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini ingin peneliti sampaikan dengan setulus hati ucapan terima
kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan para wakil Dekan.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan dan masukan
atas penyusunan skripsi.
3. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H Dosen Pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan arahan, saran
dan masukan dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Nahrowi, S.H., M.H. Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan dalam penulisan skripsi ini.
vi
5. M. Nuzul Wibawa, S.Ag., M.H. Dosen yang telah menyediakan waktu untuk
memberikan masukan dalam proses penulisan skripsi.
6. Kedua Orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi, Moh.Yasin, S.H., M.Kn
dan Nurhasanah yang menjadi motivasi dan turut mendukung, serta medoakan
untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Adik peneliti, Puji Aulia dan Ana Oktavia yang sangat saya sayangi dan
cintai telah mendukung, memberikan semangat dan mendoakan kepada
Peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan, khususnya kepada Riky Rizkian
Harahap, S.H, teman yang telah banyak membantu memberikan pendapat
dalam penyusunan skripsi ini untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum serta
mendoakan dan memberikan semangat dan dukungan kepada Peneliti hingga
penelitian ini terselesaikan.
Jakarta, 14 November 2017
Lidiana Sulfi
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .... Error! Bookmark not defined.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ..................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah ................ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 5
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ..................................................... 6
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ................................................... 7
F. Metode Penelitian............................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11
BAB II PENGATURAN HUKUM SUATU PERJANJIAN DALAM
TRANSAKSI JUAL BELI PERTANAHAN DI INDONESIA ........ 13
A. Perjanjian.......................................................................................... 13
B. Unsur-Unsur Dalam Suatu Perjanjian .............................................. 17
C. Asas-asas Dalam Suatu Perjanjian ................................................... 18
D. Jenis-Jenis dalam Suatu Perjanjian .................................................. 22
E. Berakhirnya Suatu Perjanjian ........................................................... 24
BAB III PEMBUKTIAN KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI DI
BAWAH TANGAN DI DKI JAKARTA ........................................... 29
viii
A. Pembuktian Keabsahan Jual beli Di Bawah Tangan di Masyarakat
Jakarta .............................................................................................. 29
B. Prinsip Umum Pembuktian Pada Perjanjian Jual Beli Tanah .......... 31
C. Beban Pembuktian Jual Beli Tanah di Bawah Tangan Yang Terdapat
Paksaan ............................................................................................. 32
D. Alat-Alat Bukti Perjanjian Jual Beli di Bawah Tangan Tentang
Tanah Yang Terdapat Unsur Paksa .................................................. 33
BAB IV KEABSAHAN JUAL BELI YANG DILAKUKAN SECARA
PAKSA PADA KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1621 K/Pdt/2012 ................................................................... 41
A. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
90/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst ................................................................ 41
B. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 373/Pdt/2011/PT. DKI ...... 45
C. Putusan Mahkamah Agung No. 1621 K/Pdt/2012 ........................... 47
D. Analisis Kasus Perjanjian Jual Beli Tanah di Bawah Tangan antara
Ibrahim dengan Andiana Limbangan (AL) Pada Putusan Mahkamah
Agung No. 1621 K/Pdt/2012 ........................................................... 49
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 55
A. Kesimpulan ...................................................................................... 55
B. Saran ................................................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 57
LAMPIRAN ........................................................................................................ 57
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan masalah perjanjian, yang dibuat oleh dua atau lebih
orang. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu
perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian
tersebut, penafsiran, dan pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut.1
Perjanjian adalah satu hal yang penting dalam hukum perdata, oleh
karena itu hukum perdata banyak mengatur peraturan hukum yang berdasar
atas janji-janji seseorang kepada orang lain. Perjanjian adalah satu peristiwa
ketika seorang berjanji kepada orang lain atau orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.
Pada umumnya suatu perjanjian itu dapat dibuat secara bebas, bebas
untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan
bentuknya maupun syarat-syarat, dan bebas untuk menentukan bentuknya,
yaitu tertulis atau tidak tertulis.
Dalam masyarakat, perolehan tanah lebih sering dilakukan dengan
pemindahan hak, yaitu melalui jual beli. Jual beli adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yang mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan,
demikian rumusan Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Berdasarkan pada rumusan yang diberikan tersebut dapat dilihat bahwa jual
beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau
perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam
1 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend
Recht) dalam Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.247
2
bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang
oleh pembeli kepada penjual.2
Sebelum jual beli dilakukan antara pemilik tanah dan calon pembeli,
tentunya sudah dicapai kata sepakat mengenai akan dilakukannya jual beli itu:
tanah mana yang akan dijual dan berapa harganya, bilamana jual belinya akan
dilakukan. Kata sepakat itu menimbulkan perjanjian, yang kiranya dapat
disebut perjanjian akan (melakukan) jual beli.3
Jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan
pemindahan hak, yang sifatnya tunai , riil dan terang. Sejak diberlakukannya
PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh
para pihak dihadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan
diberlakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan
perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).
Akta jual beli yang di tandatangani para pihak membuktikan telah terjadi
pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan diserta pembayaran
harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata
atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan.
Syarat jual beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil.
Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut,
setelah terpenuhinya syarat materiil maka PPAT (Pejabat Pembuat Akta
Tanah) akan membuat akta jual belinya. Dalam Yurisprudensi MA No.
123/K/Sip/1971, pendaftaran hanyalah perbuatan administrasi belaka, artinya
bahwa pendaftaran bukan merupakan syarat bagi sahnya atau menentukan saat
berpindahnya hak atas tanah dalam jual beli.4 Selain mengenai syarat sahnya
perjanjian dalam jual beli sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata, ketentuan lain dalam peralihan keabsahan jual beli perlu
diperhatikan. Karena dalam undang-undang mengatur perjanjian jual beli ada
yang memang diperbolehkan hanya secara dibawah tangan seperti perjanjian
2 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004)
h.7 3 Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, (Jakarta: Rajawali,1991) h. 17 4 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013) h. 77
3
kerja, sewa-menyewa dll. Adapula undang-undang yang mengatur harus
dibuat secara otentik seperti dalam jual beli tanah.
Mengingat pentingnya kepastian hukum dalam setiap peralihan tanah
sebagai akibat dari transaksi jual beli hak atas tanah maka oleh UUPA
diwajibkan untuk melakukan pendaftaran peralihan hak karena jual beli
tersebut. Dalam pelaksanaannya, hal tersebut senantiasa belum terpenuhi
karena adanya surat dan hal guna keperluan jual beli untuk dapat dilakukan di
hadapan PPAT maka dibuatlah perjanjian pengikatan jual beli atas tanah
secara dibawah tangan. Hal ini terjadi dalam perkara, para pihak yang
bersengketa adalah Ibrahim sebagai Pemohon Kasasi melawan Andiani
Limbungan (AL) sebagai Termohon Kasasi. Ibrahim mengaku sebagai
pemilik tanah di Jalan Salemba Tengah Gg IX No, 121 C Kelurahan Paseban
Kecamatan Senen (“tanah”). Permasalahan muncul ketika adanya utang
piutang antara Ibrahim dengan AL, yang kemudian Ibrahim belum mampu
membayar utang tersebut. Ibrahim telah sepakat menjual tanah itu kepada AL
berdasarkan Surat Perjanjian Jual Beli tanggal 26 Juli 2007. AL telah sepakat
membeli tanah tersebut dengan ganti rugi. Ibrahim mengakui bahwa ia benar
telah menandatangani surat itu namun isi pokok perjanjian tersebut telah
dibantah maka Surat Perjanjian 26 Juli 2007 cacat hukum karena
ditandatangani secara terpaksa dan tanpa kesadaran penuh.
Bahwa dengan demikian sangat jelas seharusnya perjanjian jual beli
yang dilakukan di bawah tangan tersebut tidaklah sah karena didalam Pasal
1320 telah KUH Perdata sudah jelas syarat sahnya suatu perjanjian yaitu harus
adanya kesepakatan para pihak. Berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata juga
menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan
atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Suatu proses perkara perdata Hakim yang memeriksa perkara
memerlukan bukti-bukti yang diajukan oleh pihak Penggugat yang menuntut
hak dan kepentingan hukumnya maupun dari pihak yang menyangkal/
membantah dari Tergugat yang juga mempertahankan dan membuktikan hak
4
dan kepentingannya. Para pihak yang masing-masing ingin mengajukan bukti-
bukti untuk dirinya itu hanya mungkin dilakukan dengan cara pembuktian.5
Berdasarkan kasus tersebut masih ada penegak hukum yang tidak
memperhatikan perjanjian yang dilakukan didalam kehidupan masyarakat
yang berkaitan dengan jual beli tanah dibawah tangan, maka peneliti merasa
perlu untuk melakukan penelitian Skripsi yang berjudul “Keabsahan Hukum
Perjanjian Jual beli di Bawah Tangan Pada Utang Piutang Pertanahan di DKI
Jakarta (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1621
K/Pdt/2012)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Tinjauan umum mengenai hukum perjanjian
2. Pembuktian dalam hukum acara perdata di Indonesia
3. Kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli dibawah tangan
4. Keabsahan perjanjian yang dilakukan secara paksa
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembatasan dimaksudkan untuk mempertegas dan mempersempit
ruang lingkup masalah yang akan dibahas, sehingga lebih terarah, dan tidak
menyimpang dari pokok permasalahan sesungguhnya. Dalam penelitian ini
akan difokuskan kepada keabsahan perjanjian pengikatan jual beli tanah
dibawah tangan.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka dapat dirumuskan
pokok permasalahan yaitu:
5 Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, (Bandung: Mandar Maju,
20015), h.111
5
a. Bagaimana pengaturan mengenai hukum suatu perjanjian dalam
transaksi jual beli pertanahan di Indonesia?
b. Bagaimana keabsahan perjanjian jual beli piutang pertanahan di bawah
tangan di DKI Jakarta?
c. Bagaimana kekuatan hukum jual beli tanah yang dilakukan secara
paksa dalam kasus putusan Mahkamah Agung No. 1621K/Pdt/2012?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah, yaitu:
a. Untuk mengetahui mengenai hukum suatu perjanjian dalam transaksi
jual beli pertanahan di Indonesia.
b. Untuk mengetahui kebasahan perjanjian jual beli piutang pertanahan di
bawah tangan di DKI Jakarta.
c. Untuk mengetahui kekuatan hukum jual beli tanah yang dilakukan
secara paksa dalam kasus putusan Mahkamah Agung No. 1621
K/Pdt/2012.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian hukum yang telah diketahui maka
secara garis besar, manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua
yaitu:
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi
pengembangan Ilmu Hukum khususnya mengenai keabsahan jual beli
dibawah tangan.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pedoman
yang komprehensif bagi para praktisi atau penegak hukum.
6
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Penelitian ini berdasarkan pada teori kepastian hukum (legal certainty)
dan teori keadilan, menurut Utrecht: hukum bertugas menjamin adanya
kepastian hukum dalam pergaulan masyarakat. Ada dua macam kepastian
hukum:
a. Kepastian oleh karena hukum:
Contohnya: kepastian hukum yang diadakan oleh karena hukum adalah
“daluarsa” Pasal 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menjamin kepastian ini menjadi tugas daripada hukum.
b. Kepastian dalam atau dari hukum:
Kepastian dalam hukum tercapai apabila hukum itu, sebanyak 6 -
banyaknya hukum undang-undang, dalam undang-undang tersebut
tidak ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan undang-undang itu
dibuat berdasarkan hukum yang sungguh-sungguh dalam undang-
undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan
secara berlain-lainan. Dengan memperhatikan pendapat-pendapat para
sarjana hukum tersebut di atas, maka pada pokoknya dapat ditarik
kesimpulan bahwa tujuan itu adalah dua, yakni:“harus menjamin
keadilan dan wajib membawa kefaedahan dalam masyarakat”.
2. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep
khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan, dengan
istilah yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah. 7
Berkenaan dengan uraian diatas, maka kerangka konseptual dalam
penelitian ini menggunakan definisi sebagai berikut:
6 Mudjiono, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1991),
h. 21 7 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 96
7
1) Perjanjian, dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan
secara tertulis atau lisan yang dibuat dua pihak atau lebih dimana
masing-masing berjanji untuk mentaati apa yang tersebut dalam
kesepakatan bersama.
2) Jual beli, menurut KUHPerdata Pasal 1457 adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu benda dan pihak lain membayar harga yang telah di janjikan.
3) Hak atas tanah, menurut Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria
merupakan hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang
yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas
menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
F. Tinjauan Studi Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul peneliti ajukan dalam skripsi ini perlu
kiranya peneliti lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan
pertimbangan, antara lain:
1. Skripsi yang berjudul “TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP
JUAL BELI TANAH HAK MILIK MELALUI AKTA DI BAWAH
TANGAN DI KABUPATEN SOPPENG” oleh Nur Hidayani Alimuddin
mahasiswa Universitas Hasanuddin. Dalam skripsi ini membahas
mengenai dampak jual beli tanah hak milik melalui akta di bawah tangan
di Kabupaten Soppeng sedangkan peneliti membahas mengenai keabsahan
perjanjian jual beli tanah di bawah tangan.
2. Skripsi yang berjudul “ PENGGUNAAN SURAT KUASA DALAM
JUAL BELI TANAH UNTUK KEPERLUAN PENDAFTARAN TANAH
DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN JEPARA” oleh Selamet
Riyadi mahasiswa Universitas Muria Kudus. Dalam skripsi ini membahas
mengenai penggunaan surat kuasa dalam jual beli tanah untuk keperluan
8
pendaftaran tanah di kantor Pertanahan Kabupaten Jepara, dan kendala-
kendala dalam rangka penggunaan surat kuasa dalam jual beli tanah untuk
keperluan pendaftaran tanah tersebut sedangkan peneliti membahas
mengenai keabsahan perjanjian jual beli tanah di bawah tangan.
3. Buku yang berjudul “ PERALIHAN HAK ATAS TANAH DAN
PENDAFTARANNYA” oleh Adrian Sutedi. Buku ini membahas
mengenai peralihan ha katas tanah yang dilakukan dengan Jual Beli Tanah
dalam Hukum Adat, Jual Beli Tanah dalam UUPA, penghibahan Tanah,
Pewarisan Tanah dan Pewakafan Tanah serta permaslahan yang ada dalam
peralihan ha katas tanah sedangkan peneliti membahas mengenai
keabsahan perjanjian jual beli tanah di bawah tangan.
4. Jurnal yang berjudul ”KEKUATAN HUKUM PEMINDAHAN HAK
ATAS TANAH MELALUI JUAL BELI DIBAWAH TANGAN” oleh
Made Dwi Yoga Prasanta. Dalam jurnal ini membahas mengenai kepastian
hukum pemindahan hak atas tanah melalui jual beli dibawah tangan
sedangkan peneliti membahas mengenai keabsahan perjanjian jual beli
tanah di bawah tangan.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan Investigasi sistematik (berdasarkan pada
langkah-langkah yang telah di desain) yang terkendali dan bersifat empiris
atau berdasarkan fakta. Penelitian dibimbing teori atau hipotesis mengenai
hubungan-hubungan yang diduga sebelumnya tentang fenomena tersebut.
Selain itu penelitian merupakan usaha memecahkan masalah serta
mengikuti langkah-langkah yang logis, terorganisasi, dan ketat untuk
mengidentifikasi masalah, mengumpulkan data, menganalisa, data serta
menarik kesimpulan yang valid.8
8 Fahmi Muhammad Ahmadi dan jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Citra Karya Mandiri, 2010) h. 5
9
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu
dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permaslahan-
permasalahan yang timbul didalam gejala bersangkutan.9
Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji
dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan
hukum adalah kaidah atas norma yang ada dalam masyarakat), maka tipe
penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penetapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif 10 yang terdapat pada peraturan
perundang-undangan serta kasus yang terkait dalam penelitian ini.
2. Bahan Hukum
Untuk memecahkan permasalahan hukum yang peneliti bahas,
diperlukan sumber-sumber penelitian hukum sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas
(autoritatif). Bahan hukum terdiri atas: (a) peraturan perundang-
undangan (b) catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu
peraturan perundang-undangan (c) putusan hakim. Dalam penelitian
ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah Undang-Undang
tentang pendaftaran tanah dan aturan perundang-undangan lain yang
terkait dengan pokok permasalahan penelitian ini.
b. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tersebut terdiri
atas: (a) buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/ atau beberapa
permasalan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum, (b)
9 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003) h. 38 10 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006, Cet-2), h. 295
10
kamus-kamus hukum (c) jurnal-jurnal hukum, dan (d) komentar-
komentar atas putusan hakim.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 11 Bahan
hukum tersier dapat berupa ensiklopedia, buku-buku mengenai
mengenai filsafat atau laporan-laporan penelitian non hukum
sepanjang mempunyai relevansi dengan topik.
3. Teknik Pengumpulan data
Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian
yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pedekatan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan tersebut melakukan
pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
tema sentral penelitian. Selain itu juga digunakan pendekatan lain yang
diperlukan guna memperjelas analisis ilmiah yang di perlukan guna
mempelajari analisis ilmiah yang diperlukan dalam penelitian normatif,12
yakni pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konsep
(conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dalam
penelitian ini untuk meneliti peraturan yang berkaitan dan terkait dengan
keabsahan perjanjian pengikatan jual beli dibawah tangan.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun
sumber non-hukum yang telah dikumpulkan berdasarkan topik
permasalahan yang telah di rumuskan dan di klasifikasi menurut sumber
dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif13.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian, baik aturan
perundang-undangan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
11 Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum , (Jakarta: UI-Press, 1986) 12 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006, Cet-2), h. 295 13 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . h. 392
11
maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa,
sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan
hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang
dihadapi.14
Penelitian dalam menganalisis menggunakan metode kualitatif
yaitu melakukan penelitian memahami keabsahan perjanjian jual beli
tanah, melakukan pengumpulan data dengan menggunakan studi putusan,
menghasilkan data analitis dari data yang diperoleh.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam
skripsi ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat
dalam “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi kedalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna lebih memperjelas
ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang di teliti. Adapun urutan dan
tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN. Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang
berisikan latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : PENGATURAN HUKUM SUATU PERJANJIAN DALAM
TRANSAKSI JUAL BELI PERTANAHAN DI INDONESIA.
Pada bab ini akan membahas mengenai Pengertian Perjanjian,
14 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006, Cet-2), h. 393
12
Unsur-unsur dalam Perjanjian, Asas-asas Perjanjian, Jenis-Jenis
Perjanjian, dan Berakhirnya Perjanjian.
BAB III : PEMBUKTIAN KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI
PIUTANG PERTANAHAN DI BAWAH TANGAN DI DKI
JAKARTA. Pada bab ini akan membahas mengenai Pembuktian
Keabsahan Jual Beli di Bawah Tangan di Masyarakat Jakarta,
Prinsip Umum Pembuktian Pada Perjanjian Jual Beli di Bawah
Tangan Yang Dipaksakan, dan Alat Bukti Perjanjian Jual beli di
Bawah Tangan Yang Terdapat Unsur Paksa.
BAB IV : KEKUATAN HUKUM JUAL BELI TANAH YANG
DILAKUKAN SECARA PAKSA DALAM KASUS PUTUSAN
NO. 1621 K/Pdt/2012. Pada bab ini akan membahas hasil analisis
penelitian mengenai Putusan Pengadilan Negeri Jakarta No.
90/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.
373/Pdt/2011/PT.DKI., Putusan Mahkamah Agung No. 1621
K/Pdt/2012, dan Analisis Putusan MA No. 1621 K/Pdt/2012.
BAB V : PENUTUP. Pada bab ini berisi Kesimpulan dan Saran yang
diberikan oleh peneliti.
13
BAB II
PENGATURAN HUKUM SUATU PERJANJIAN DALAM TRANSAKSI
JUAL BELI PERTANAHAN DI INDONESIA
A. Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian
melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau
lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor
dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian
untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari
perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah
disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari
perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut.15 Hal ini pun diajarkan oleh
Allah SWT melalui firman-Nya:
يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah
disepakati tersebut, maka kreditor berhak untuk menuntut pelaksanaan
kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau atau tidak sama
sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau
tidak sesuai dengan diperjanjikan, dengan atau tidak tidak disertai dengan
penggantian berupa bunga, kerugian dan biaya yang telah dikeluarkan oleh
kreditor.
Secara umum pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata
adalah suatu perbuatan secara tertulis atau lisan yang dibuat dua pihak atau
lebih dimana masing-masing berjanji untuk mentaati apa yang tersebut
15 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta:
PT Grafindo Persada, 2004 Cet-2), h.91
14
dalam kesepakatan bersama.16 Adapula pengertian perjanjian menurut R.
Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.17
Perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak
(dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang
bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi). Dengan
demikian, dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu
perikatan dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik.
Pembeli pada satu sisi menjadi penjual pada sisi yang lain pada saat yang
bersamaan. Ini merupakan karakteristik khusus dari perikatan yang lahir
dari undang-undang, hanya ada satu pihak yang menjadi pembeli dan
pihak lain yang menjadi penjual yang berhak atas pelaksanaan prestasi
pembeli.18
Berdasarkan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dimana dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”, maka
dapat dilihat bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sangat
menekankan pada kewajiban pemenuhan perikatan, yang dikelompokkan
menjadi 3 macam, yaitu dalam bentuk kewajiban untuk memberikan
sesuatu, melakukan sesuatu dana tau untuk tidak melakukan sesuatu.19
2. Keabsahan Perjanjian
Pasal 1320 BW merupakan instrument pokok untuk menguji
keabsahan perjanjian yang dibuat para pihak. Dalam Pasal 1320 BW
16 R. Soetojo Prawiro Hamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, (Surabaya:
Bina Ilmu,1978), h. 84 17 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta;Intermedia,1990), h. 13 18 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend
Recht) dalam Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.249 19 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2004, Cet-2), h. 19
15
tersebut terdapat empat syarat yang harus di penuhi untuk sahnya suatu
perjanjian, yaitu:
1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Maksud dari kata sepakat adalah kedua belah pihak setuju
mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian. Menurut ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, secara a contrario,
dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi
pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan
bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan
maupun penipuan, seabagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari
kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang
mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya,
kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada
dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal
tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan
menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa
yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan
yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para
pihak.20
2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Menurut 1329 KUHPerdata kedua belah pihak harus cakap
menurut hukum. Cakap melakukan perbuatan hukum adalah setiap orang
yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa
menurut KUHPerdata yakni, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 19
tahun bagi wanita.
20 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. h.91
16
3) Adanya suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi
(pokok perjanjian). Artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban kedua belah pihak. Prestasi ini terdiri dari perbuatan
positif dan negatif, yang terdiri dari :
a. Memberikan sesuatu
b. Berbuat sesuatu, dan
c. Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata).
4) Adanya sebab yang halal
Sebab yang dimaksud adalah isi dari perjanjian tersebut atau tujuan
dari para pihak mengadakan sebuah perjanjian, yaitu memiliki dasar yang
sah dan patut atau pantas. Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Terpenuhinya atau tidaknya
syarat sebab yang halal, ditentukan oleh isi atau objek perjanjian.21
Dua syarat yang pertama dan kedua dinamakan syarat-syarat
subjektif dari suatu perjanjian, karena kedua syarat tersebut mengenai
orang-orangnya atau subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua
syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif, karena mengenai
objek dari perjanjian. Apabila kedua syarat ini tidak terpenuhi maka suatu
perjanjian akan batal demi hukum, artinya suatu perjanjian yang dibuat
dianggap tidak pernah ada.22
Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat sah sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 1320 BW, baik syarat subjektif maupun syarat
objektif akan mempunyai akibat-akibat, sebagai berikut:
a. “Noneksistensi”, apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul
perjanjian;
21 Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas,Pokok-Pokok Hukum Bisnis, (Jakarta:
Salemba Empat, 2014), h. 26 22 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h. 23-24
17
b. Vernietigbaar atau dapat dibatalkan, apabila perjanjian tersebut lahir
karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena
ketidakcakapan (onbekwaamheid).23
B. Unsur-Unsur Dalam Suatu Perjanjian
Unsur-unsur yang terdapat dalam suatu perjanjian adalah :
a. Ada pihak yang saling berjanji;
Dalam hal ini kata sepakat dapat dimaknakan sebagai pernyataan
kehendak. Suatu perjanjian hanya akan terjadi apabila terdapat dua
pihak atau lebih yang saling menyatakan kehendak untuk berbuat
sesuatu. Inilah yang menjadi perbedaan pokok antara perjanjian dengan
perbuatan hukum sepihak. Pada perbuatan hukum sepihak pernyataan
kehendak hanya berasal dari satu pihak. Sehingga perbuatan hukum
sepihak, seperti membuat surat wasiat dan mengakui anak luar kawin
tidak termasuk ke dalam perjanjian.
b. Ada persetujuan;
Kehendak dari para pihak saja tidak cukup untuk melahirkan suatu
perjanjian. Kehendak tersebut harus dinyatakan. Sehingga setelah para
pihak saling menyatakan kehendaknya dan terdapat kesepakatan di
antara para pihak, terbentuklah suatu perjanjian di antara mereka.
c. Ada tujuan yang hendak di capai;
Suatu janji atau pernyataan kehendak tidak selamanya menimbulkan
akibat hukum. Terkadang suatu pernyataan kehendak hanya
menimbulkan kewajiban sosial atau kesusilaan. Misalnya janji di
antara beberapa orang untuk menonton bioskop. Apabila salah satu di
antara mereka tidak dapat menepati janjinya untuk hadir di bioskop,
maka ia tidak dapat digugat di hadapan pengadilan.
23 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, (Jakarta: Kencana, 2010), h.160
18
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan atau kewajiban untuk
melaksanakan objek perjanjian;
Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat
perjanjian.
e. Ada bentuk tertentu ( lisan atau tertulis);
Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau
tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan
bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai
kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
f. Ada syarat tertentu yaitu syarat pokok dari perjanjian yang menjadi
objek perjanjian serta syarat tambahan atau pelengkap. Syarat menurut
undang-undang, agar suatu perjanjian atau kontrak menjadi sah.24
C. Asas-asas Dalam Suatu Perjanjian
Asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau
merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan
di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundangan
dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan
dengan mencari sifat-sifat hukum dan peraturan yang konkrit tersebut. 25
Dalam hukum perjanjian terdapat lima asas perjanjian, yakni :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan bagi para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian
dan pelaksanaan serta persyaratan dalam menentukan bentuk perjanjian
yang tertulis dan lisan. Abdulkadir Muhammad berpendapat, kebebasan
berkontrak dibatasi dalam :26
24 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), h.8 25 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Bandung: Alumni,
1994), h. 33 26 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990), h.
84
19
a) Tidak dilarang oleh undang-undang
b) Tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan
c) Tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.27
Asas kebebasan berkontrak yang terdapat pada Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, yaitu:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang -
undang bagi mereka yang membuatnya”.
Sebagai suatu kesatuan maka penerapan asas kebebasan berkontrak
sebagaimana dijelaskan diatas harus juga dikaitkan dengan kerangka
pemahaman pasal-pasal atau ketentuan yang lain, yaitu:
a. Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai syarat sahnya perjanjian
b. Pasal 1335 KUHPerdata, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa
kausa, atau dibuat berdasarkan suatu kausa yang palsu atau yang
terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan
c. Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
bertentangan dengan kesusilaan, atau ketertiban umum
d. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa kontrak
harus dilaksanakan dengan itikad baik
e. Pasal 1339 KUHPerdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat,
kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud
27 Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), h. 9
20
dalam Pasal 1339 KUHPerdata bukanlah kebiasaan tertentu selalu
diperhatikan
f. Pasal 137 KUHPerdata, mengatur mengenai hal-hal yang menurut
kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan
dalam kontrak (bestandig gebruklijk beding).28
2. Asas Konsensualisme
Arti asas konsensualisme ialah bahwa perjanjian itu terjadi (lahir)
setelah tercapainya kesepakatan di antara para pihak. Hal ini sesuai dalam
ketentuan Pasal 1320 (1) KUHPerdata. Di dalam asas ini terkandung
kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan
kepercayaan di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian
Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUHPerdata –kesepakatan- di mana menurut asas ini perjanjian itu
telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat.29
Sehubungan dengan kata sepakat, maka dalam ilmu hukum
ditemukan tiga teori kata sepakat yaitu:30
1) Teori Kehendak (WiIIstheorie)
Menurut teori ini bahwa kehendak para pihak telah bertemu
dan mengikat, maka telah terjadi suatu perjanjian.
2) Teori Pernyataan (ultingstheorie)
Menurut teori ini dinyatakan bahwa apa yang dinyatakan oleh
seseorang dapat dipegang sebagai suatu perjanjian. Jadi tidak perlu
dibuktikan apakah pernyataannya sesuai dengan kehendaknya ataukah
tidak. Karena itu, dengan pernyataan dari seseorang, maka telah ada
suatu konsensus. Teori ini merupakan kebalikan dari teori kehendak.
28 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial. h.117-118 29 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1995), h.195
21
3) Teori Kepercayaan (Vertrauwenstheorie)
Menurut teori ini apa yang secara wajar dapat dipercaya dari
seseorang manusia yang wajar, dapat dipegang sebagai suatu
persetujuan. Dengan demikian apa yang secara wajar dapat dipercaya
dari seseorang akan menimbulkan kata sepakat.
3. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat perjanjian, terikat untuk memenuhi
perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang
harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana
mengikatnya undang-undang. Dalam rumusan Pasal 1338 (1) KUHPerdata
menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa undang-undang melihat
posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat undang-undang
dan undang-undang sendiri mengakuinya.31
4. Asas Itikad Baik
Ketentuan tentang asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 (3)
KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
Pengertian dari Pasal 1338 (3) KUHPerdata ini maksudnya
perjanjian harus dilaksanakan menurut kejujuran, kepatutan dan
keadilan.32
Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi
debitur maupun bagi kreditur. Itikad baik meliputi segala tahap hubungan
perjanjian, baik fase pra perjanjian, fase perjanjian, dan fase pasca
perjanjian.
31 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, h.127 32 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, h.135
22
Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam
hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian
seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif). 33
Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih.
Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak
mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang
dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya.
D. Jenis-Jenis dalam Suatu Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai kriteria, sebagai berikut :
a. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan
kewajiban pokok bagi kedua belah pihak yang membuat. Misalnya
perjanjian jual beli.
b. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang
memberikan keuntungan bagi salah satu pihak. Kemudian Perjanjian
atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu
selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua
prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
c. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama
Perjanjian bernama (Khusus) adalah perjanjian yang
memiliki nama sendiri, maksudnya suatu perjanjian yang disebut dan
diatur di dalam Buku III KUHPerdata atau didalam KUHD,
misalnya perjanjian asuransi dan lain sebagainya. suatu perjanjian
yang disebut dan diatur di dalam Buku III KUHPerdata atau didalam
KUHD, misalnya perjanjian asuransi dan lain sebagainya.34
33 Subekti, Hukurn Pembuktian, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001), h. 42 34 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan,
(Yogyakarta: Liberty, 1984), h. 36
23
Perjanjian tidak bernama adalah suatu perjanjian yang tidak
disebut dalam KUHPerdata dan KUHD, misalnya perjanjian jual beli
dengan angsuran/cicilan. Didalam prakteknya, perjanjian ini lahir
adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengadakan
perjanjian.
d. Perjanjian campuran
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung
berbagai unsur perjanjian, misal pemilik hotel menyewakan kamar
(sewa-menyewa), tetapi menyajikan makanan (jual-beli) dan juga
memberikan pelayanan.
e. Perjanjian obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara para pihak yang
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada orang lain.
Misalnya perjanjian jual beli, pihak penjual diwajibkan untuk
menyerahkan barang sesuai perjanjian dan pihak pembeli diwajibkan
untuk membayar sesuai dengan harganya.
f. Perjanjian kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda
dialihkan atau diserahkan kepada pihak lain.
g. Perjanjian konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian di antara kedua pihak
yang telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan
perikatan. Menurut KUHPerdata, perjanjian ini sudah mempunyai
kekuatan mengikat.35
h. Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya
1) Perjanjian liberatoir : Perjanjian para pihak yang membebaskan
diri dari kewajiban yang ada. Misalnya pembebasan hutang
2) Perjanjian pembuktian : Perjanjian antara para pihak untuk
menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
3) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi
35 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h.19
24
4) Perjanjian publik : Perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak
sebagai penguasa. Misalnya, perjanjian ikatan dinas dan
perjanjian pengadaan barang pemerintah.36
E. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1381, Perikatan yang tercipta karena
perjanjian itu dapat berakhir karena:37
1. Pembayaran;
Pembayaran merupakan bentuk pelunasan dan suatu perjanjian berakhir
dengan adanya pembayaran sejumlah uang, atau penyerahan benda.
Dengan dilakukannya pembayaran, pada umumnya perikatan/ atau
perjanjian menjadi hapus akan tetapi ada kalanya bahwa perikatannya
tetap ada dan pihak ketiga menggantikan kreditur semula.
Pembayaran dalam hal ini harus dilakukan oleh si berpiutang (kreditur)
atau kepada orang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada orang yang
dikuasakan oleh Hakim atau undang-undang untuk menerima pembayaran
bagi si berpiutang.
3. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
merupakan salah satu cara jika si berpiutang tidak ingin dibayar secara
tunai terhadap piutang yang dimilikinya. Dengan sistem ini barang yang
hendak dibayarkan itu diantarkan kepada si berpiutang. Selanjutnya
penawaran tersebut harus dilakukan secara resmi, misalnya dilakukan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Maksudnya adalah agar si berpiutang
dianggap telah dibayar secara sah atau siberutang telah membayar secara
sah. Supaya pembayaran itu sah maka diperlukan untuk memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :38
36 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h.21-22 37 Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Tanya Jawab Pokok-Pokok Hukum Perdata dan
Hukum Agraria, (Bandung: CV. Armico, 1987), h.81 38 Surajiman, Perjanjian Bernama, (Jakarta: Pusbakum, 2001), h.22
25
1) Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya;
2) Dilakukan oleh debitur yang berwenang membayar;
3) Mengenai semua uang pokok, bunga, biaya yang telah ditetapkan;
4) Waktu yang ditetapkan telah tiba;
5) Syarat yang mana hutang dibuat telah dipenuhi;
6) Penawaran pembayaran dilakukan ditempat yang telah ditetapkanatau
ditempat yang telah disetujui;
7) Penawaran pembayaran dilakukan oleh Notaris atau juru sita, disertai
oleh 2 orang saksi
3. Pembaruan Utang;
Pembaharuan hutang adalah suatu persetujuan yang menyebabkan
hapusnya suatu perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan
lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula, maksudnya
bahwa pembaharuan hutang ini terjadi dengan jalan mengganti hutang
lama dengan hutang baru, debitur lama dengan debitur baru atau kreditur
lama dengan kreditur baru.
4. Perjumpaan utang atau kompensasi;
Perjumpaan utang ada, apabila utang piutang debitur dan kreditur
secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan ini utang
piutang lama berakhir. Dalam Pasal 1425 KUHPerdata diterangkan, "Jika
kedua orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara
mereka suatu perjumpaan, dengan mana hutang-hutang antara kedua orang
tersebut, dihapuskan.”
5. Percampuran utang;
Menurut Pasal 1436 KUHPerdata percampuran hutang terjadi
apabila kedudukan seorang yang berpiutang (kreditur) dan orang yang
berhutang (debitur) itu menjadi satu, maka menurut hukum terjadilah
percampuran hutang. Dengan adanya percampuran itu, maka segala hutang
piutang tersebut dihapuskan.39
39 R. Subekti, Hukum Perjanjian, h.47
26
6. Pembebasan utang;
Pasal 1439 KUHPerdata menerangkan bahwa jika si berpiutang
dengan sukarela membebaskan segala hutang-hutangnya si berhutang.
Dengan adanya suatu pembebasan maka hal ini tidak dapat dipindah
alihkan kepada hak milik.
7. Musnahnya barang yang terutang;
Bila obyek yang diperjanjikan adalah merupakan barang tertentu
dan barang tersebut musnah, maka tidak lagi dapat diperdagangkan atau
hilang sama sekali, maka apa yang telah diperjanjikan adalah
hapus/berakhir.
8. Kebatalan atau pembatalan;
Menurut Subekti meskipun disebutkan batal dan pembatalan, tetapi
yang benar adalah pembatalan. 40 Sesuai dengan ketentuan pasal 1446
KUHPerdata bahwa ketentuan-ketentuan disini semuanya mengenai
pembatalan meminta pembatalan perjanjian karena kekurangan syarat
subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1) Secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian didepan
hakim;
2) Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat didepan hakim
untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan
kekurangannya perjanjian itu.
9. Berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini;
Syarat batal dalam Pasal 1265 KUHPerdata adalah suatu syarat
yang apabila dipenuhi menghentikan perjanjian dan membawa segala
sesuatu, kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
suatu perjanjian. Dengan demikian apabila peristiwa itu benar-benar
terjadi, maka si berhutang wajib mengembalikan apa yang diterimanya.
40 R. Subekti, Hukum Perjanjian. h.49
27
10. Lewat waktu,
Lewat waktu atau kadaluarsa dalam Pasal 1946 KUHPerdata
diartikan sebagai suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Selain sebab-sebab perikatan yang ditentukan oleh Pasal 1381 KUH
Perdata tersebut, ada beberapa penyebab lain untuk hapusnya suatu perikatan,
yaitu:
1) Berarkhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian;
2) Meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian;
3) Meninggalnya orang yang memberikan perintah;
4) Karena pernyataan pailit dalam perjanjian maatschap;
5) Adanya syarat yang membatalkan perjanjian.41
F. Perjanjian Utang Piutang
Perjanjian utang piutang uang termasuk kedalam jenis perjanjian
pinjam-meminjam, hal ini sebagaimana telah diatur dan ditentukan dalam
pasal 1754 KUHPerdata yang secara jelas menyebutkan bahwa: ”Perjanjian
pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula”.
Kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang memberikan pinjaman
(kreditur), sedang pihak yamg lain adalah pihak yang menerima pinjaman
uang tersebut (debitur). Dimana uang yang dipinjam itu akan dikembalikan
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang diperjanjikannya.
41 P.N.H. Simanjutak, Pokok- Pokok Hukum Perdata Indonesia (Jakarta:Djambatan,
2009), h. 234
28
Utang piutang sebagai sebuah perjanjian menimbulkan hak dan
kewajiban kepada kreditur dan debitur yang bertimbal balik. Inti dari
perjanjian utang piutang adalah kreditur memberikan pinjaman uang kepada
debitur, dan debitur wajib mengembalikannya dalam waktu yang telah
ditentukan disertai dengan bunganya. Pada umumnya, pengembalian utang
dilakukan dengan cara mengangsur setiap bulan.
Dalam pemberian pinjaman uang (utang) yang tertuang dalam suatu
perjanjian utang piutang oleh kreditur kepada debitur bukanlah tanpa resiko,
karena resiko mungkin saja terjadi khususnya karena debitur tidak wajib
membayar utangnya secara lunas atau tunai, melainkan debitur diberi
kepercayaan untuk membayar belakangan secara bertahap atau mencicil.
Resiko yang umumnya merugikan kreditur, sehinga dalam proses pemberian
kredit diperlukan keyakinan kreditur atas kemampuan dan kesanggupan dari
debitur untuk membayar hutangnya sampai dengan lunas.
Sejumlah uang yang dilepaskan/diberikan oleh kreditur perlu diaman-
kan/dilindungi. Tanpa adanya pengamanan/perlindungan, kreditur sulit
mengelakkan resiko yang akan datang, sebagai akibat tidak berprestasinya
debitur. Untuk mendapatkan kepastian dan keamanan dari debitur dalam
pembayaran cicilan/angsuran, kreditur melakukan tindakan-tindakan
pengamanan/perlindungan dan meminta kepada debitur agar mengikatkan
suatu barang tertentu sebagai jaminan dalam perjanjian utang piutang
tersebut.42
42 Amin Palas Sari, Tinjauan Yuridis Terhadap wanprestasidalam Perjanjian Hutang
Piutang dengan Jaminan Sertifikat Tanah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo No.
75/Pdt.G/2014/PN.SKH), h. 77
29
BAB III
PEMBUKTIAN KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI DI BAWAH
TANGAN DI DKI JAKARTA
A. Pembuktian Keabsahan Jual beli Di Bawah Tangan di Masyarakat
Jakarta
Hukum Pembuktian dalam berperkara merupakan bagian yang sangat
kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit,
karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian
atau peristiwa masa lalu sebagai suatu kebenaran. Meskipun kebenaran yang
dicari dan diwujudkan dalam dalam proses peradilan perdata, bukan
kebenaran bersifat absolut, tetapi bersifat kebenaran relative atau bahkan
cukup bersifat kemungkinan.43
Didalam proses pembuktian dimuka persidangan penggugat wajib
membuktikan gugatannya dan tergugat wajib membuktikan bantahannya.
Suatu putusan harus selalu berdasarkan bukti-bukti yang ada selama proses
persidangan. Sehingga menang dan kalahnya suatu pihak dalam perkara
bergantung pada kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang dimilikinya.
Baik secara tertulis maupun lisan, tetapi harus diiringi atau disertai dengan
bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya.
Dengan demikan, yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian
alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu
perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
dikemukakan didepan persidangan.44
Perjanjian merupakan suatu hal menyebabkan terjadinya perikatan.
Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui
43 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan), (Jakarta: Sinargrafika, 2009, cet-9), h. 496 44 Ridwan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), h.83
30
landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena
undang-undang.”45
Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa :
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengkatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”
Dengan rumusan yang demikian Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata hendak dinyatakan bahwa di luar perjanjian dan karena hal-hal yang
ditetapkan oleh Undang-Undang tidak ada perikatan. Perikatan melahirkan
hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan. Dengan demikian
berarti perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan
hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu
menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan
pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai
harganya. 46 Untuk terjadinya sutau perjanjian adalah apabila kedua belah
pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harganya.
Hal tersebut berbeda dengan jual beli tanah yang memerlukan akta
otentik. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang. Dalam proses jual beli tanah, akta tersebut dibuat oleh
Notaris/PPAT. Jual beli yang dilakukan dengan perjanjian dibawah tangan
tidaklah sah, dan tidak menyebabkan beralihnya tanah dari penjual kepada
pembeli.
Sahnya jual beli ditentukan oleh terpenuhinya syarat-syarat materiil
bagi jual beli:
45 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. h. 1 46 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), h. 161-162
31
1) Syarat-syarat umum bagi sahnya suatu perbuatan hukum (Pasal 1320 KUH
Perdata);
2) Pembeli memenuhi syarat bagi pemegang hak atas tanahnya;
3) Tidak dilanggar ketentuan Landreform;
4) Dilakukan secara tunai, terang, dan nyata. (Kpts MA 123/K/1970)
B. Prinsip Umum Pembuktian Pada Perjanjian Jual Beli Tanah
1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil
Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat
stelsel negatif menurut undang-undang ( negatief wettelijk stelsel ), seperti
dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran.
Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana,
selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal
pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang
disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-
benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran
itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki.47
Proses Pembuktian yang dianut dalam proses Peradilan Perdata
hanya kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim, cukup kebenaran
formil formiel waarhied. 48 Pada dasarnya tidak dilarang Pengadilan
Perdata mencari untuk menemukan kebenaran materiil, akan tetapi bila
tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan
berdasarkan kebenaran formil.49
2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara
Pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak
memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok
perkara. Apabila terguggat mengakui secara murni dan bulat atas materi
pokok yang di dalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan
47 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007), h. 9. 48 Efrida Gultom, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Literata, 2010), h. 55 49 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), h. 498
32
telah selesai, karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan
diselesaikan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak.50
C. Beban Pembuktian Jual Beli Tanah di Bawah Tangan Yang Terdapat
Paksaan
Persoalan menyangkut kepada siapa pada salah satu pihak dibebani
pembuktian tersebut adalah masalah “beban pembuktian” (bewijslast).
Didalam proses acara perdata, Hakim terikat kepada perundang-undangan,
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 163 HIR/283 RBg yang
menentukan setiap orang yang menyatakan mempunyai suatu hak atau
peristiwa guna meneguhkan haknya atau untuk menyangkal/membantah hak
orang lain, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak tersebut atau adanya
peristiwa tersebut.
Jika proses perkara sudah menginjak pada masalah soal pembuktian ,
kemudian diperintahkan oleh Hakim kepada salah satu pihak agar
membuktikan suata hal atau peristiwa, berarti ia berkewajiban untuk
membuktikannya suatu hak atau peristiwa yang diperintahkan tersebut, dan
hal ini merupakan suatu resiko baginya untuk mau atau tidak mau harus
membuktikannya, kecuali jikalau pihak itu telah mengakui saja apa yang
dikemukakan pihak lawan atau menyerahkan kepada kebijaksanaan Hakim.51
Dalam soal beban pembuktian, hakim akan menentukan kepada pihak
mana yang akan memikul resiko tentang beban pembuktian itu, apakah kepada
Penggugat atau kepada Terguggat atau kedua-duanya masing-masing juga
memikul resiko dibebani pembuktian dalam perkara tersebut.
Masalah resiko dalam beban pembuktian ini Hakim dituntut untuk
tidak berat sebelah, artinya dalam hal ini Hakim harus bertindak adil dan
memperhatikan segala keadaan secara konkrit.
Hakim dituntut agar tidak hanya membebankan kepada salah satu
pihak saja, tetapi harus berpijak kepada keadaan yang senyatanya dari kasus
50 Efrida Gultom, Hukum Acara Perdata. h. 59 51 Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, (Bandung: Mandar Maju,
20015), h.113-114
33
per kasus. Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan, bahwa persoalan beban
pembuktian tersbut pada umumnya dibebankan pada pihak yang paling sedikit
diberatkan atau dirugikan vide Putusan MA-RI No. 549.K/ Sip/ 1971, tanggal
15 Maret 1972.52
Apabila perjanjian jual beli di bawah tangan dilakukan dengan paksaan
dan kekhilafan, maka hal ini mengakibatkan suatu perikatan menjadi tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat, dalam arti seketika batal demi hukum
dan dianggap tidak pernah ada perikatan tersebut karena tidak lagi memenuhi
unsur-unsur Pasal 1320 KUH Perdata yaitu tidak ada kehendak yang bebas.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yaitu:
”Semua persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
kedua belah pihak, atau. karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
D. Alat-Alat Bukti Perjanjian Jual Beli di Bawah Tangan Tentang Tanah
Yang Terdapat Unsur Paksa
Alat bukti merupakan unsur penting di dalam pembuktian persidangan,
karena hakim menggunakannya seagai bahan pertimbangan untuk memutus
perkara. Alat bukti adalah alat atau upaya yang diajukan pihak berperkara
yang digunakan hakim sebagai dasar dalam memutus perkara. Dipandang dari
segi pihak yang berperkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang digunakan
untuk meyakinkan hakim di muka sidang pengadilan.53 Menurut sistem HIR
dan RBg. Hakim terikat dengan alat-alat bukti yang sah, yang diatur oleh
undang-undang. Ini berarti hakim hanya boleh mengambil putusan
berdasarkan alat-alat bukti yan telah diatur oleh undang-undang. Menurut
ketentuan Pasal 164 HIR-284 RBg, ada lima macam alat bukti dalam perkara
52 Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. h.115 53 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
(Surabaya: Pustaka Pelajar, 2004), h.25
34
perdata54 yaitu : alat bukti surat, alat bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan
sumpah.55
1. Bukti Surat
Alat Bukti surat diatur dalam pasal 165, 167 HIR dan Stb. 1867-29,
Pasal 285 s/d 305 RBg. Surat merupakan alat bukti tertulis yang memuat
tulisan untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti. Menurut
bentuknya alat bukti tertulis itu dibagi menjadi dua yaitu surat akta dan
surat bukan akta. Surat akta ialah surat yang bertanggal dan diberi tanda
tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak
atau perikatan yang digunakan untuk pembuktian. Surat akta ini ada dua
macam, yaitu Surat Akta Otentik dan Surat Akta Dibawah Tangan.
Menurut ketentuan Pasal 165 HIR- 285 R.Bg. Akta Otentik yaitu
akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk
itu, merupakan bukti yang lengkap bagi kedua belah pihak dan ahli
warisnya serta orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal
yang tersebut dalam surat itu dan bahkan tentang apa yang tercantum
dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang disebutkan terakhir
ini hanya sepanjang yang diberitahukan itu langsung berhubungan dengan
pokok dalam akta itu. Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk membuat akta otentik itu misalnya Notaris, Pegawai Catatan Sipil
Hakim, Panitera, Juru sita dan sebagainya. Akta otentik dikenal tiga
macam kekuatan bukti, yaitu kekuatan bukti lahir, kekuatan bukti formil
dan kekuatan bukti materiil.56
Selain akta otentik ada lagi Akta di bawah tangan adalah akta yang
sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari
seorang pejabat pembuat akta, dengan kata lain Akta dibawah tangan
54 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia. h. 133 55 Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinargrafika, 2013, cet- 7),
h. 233 56 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia. h. 133-134
35
adalah akta yang dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi
tidak dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum Pembuat Akta.57
Agar akta di bawah tangan dapat dijadikan alat bukti maka harus
memenuhi syarat formil dan materiil. Menurut M. yahya Harahap, SH
syarat formil dan materiil akta di bawah tangan sebagai berikut:
1) Syarat formil akta di bawah tangan:
a). Bersifat partai
b). Pembuatannya tidak di hadapan pejabat.
c). Harus bermaterai
d). Ditanda tangani kedua belah pihak
2) Syarat materiil akta di bawah tangan:
a). Isi akta di bawah tangan berkaitan langsung dengan apa yang
diperkarakan
b). Isi akta di bawah tangan itu tidak bertentangan dengan hukum,
kesusilaan, agama dan ketertiban umum
c). Sengaja diperbuat untuk alat bukti.
Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan adalah sama dengan
akta otentik. Jika isi dan tanda tangan diakui oleh pihak lawan. Hanya
dapat disingkirkan jika isinya bertentangan dengan hukum, ada unsur
paksaan dalam pembuatan atau ada penipuan. Jika isi dan tangan yang ada
dalam akta di bawah tangan itu disangkal oleh pihak lawan, maka akta di
bawah tangan itu mempunyai nilai kekuatan yang sama dengan bukti
permulaan. Akibat dari penyangkalan ini secara berdiri sendiri tidak cukup
membuktikan dalil gugat, harus disempurnakan dengan alat bukti yang
lain seperti saksi atau sumpah tambahan.58
Jika ada sangkalan atau bantahan pihak lawan yang menyatakan
bahwa tanda tangan dalam akta tersebut adalah palsu, maka pihak yang
57 Victor M Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di
Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1991), h.60 58 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. h.
162
36
mengajukan akta di bawah tangan itu dapat meminta pengadilan untuk
memeriksa keabsahan tanda tangan yang ada dalam akta di bawah tangan
itu. Berdasarkan pasal 154 ayat (4) HIR Ketua Pengadilan atau Hakim
yang menyidangkan perkara tersebut sama sekali tidak perlu terikat
dengan hasil tes tersebut jika terjadi perlawanan dengan keyakinannya.
Jadi dalam menilai hasil tes tanda tangan itu, diserahkan sepenuhnya
kepada keyakinan hakim.
Pihak yang menyangkal akta di bawah tangan dan tidak mengakui
secara tegas akan kebenaran isi dan tanda tangan akta di bawah tangan
tersebut, maka akta di bawah tangan tersebut dianggap benar dan pihak
yang bersangkutan dianggap telah mengakuinya.59
Suatu surat perjanjian di bawah tangan yang memuat hutang
sepihak untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan suatu benda
yang harganya dapat ditentukan dengan sejumlah uang, harus ditulis
seluruhnya dengan tangan sendiri oleh orang yang menandatangan, atau
setidak-tidaknya selain tanda tangan harus ditulis pula oleh yang menanda
tangani sendiri dengan huruf-huruf, jumlah uang atau benda yang harus
dibayar atau diserahkannya. Jika syarat itu tidak dipenuhi, maka surat akta
yang ditanda tangani itu hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti
tertulis (begin van schriftelijk bewijs, the beginning of written evidence,
Pasal 4 Stb. 1867-29, Pasal 291 R.Bg.).60 Pada umumnya akta di bawah
tangan tidak mempunyai kekuatan bukti lahir, karena tanda tangan dapat
dimungkiri. Sedangkan kekuatan bukti formil dan materiil sama dengan
akta otentik.
2. Bukti dengan saksi-saksi;
Menurut ketentuan Pasal 1895 BW dinyatakan “Pembuktian
dengan saksi diperkenankan dalam segala hal kecuali oleh peraturan
perundang ditentukan lain. Misal: adanya perjanjian asuransi harus
dibuktikan terlebih dahulu dengan akta (bukti surat) yaitu Polis.
59 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
h.162 60 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia. h. 137
37
Dalam pembuktian dengan saksi hendaknya digunakan lebih dari
satu orang saksi, karena menurut Pasal 169 HIR – 306 R.Bg. keterangan
seorang saksi saja tanpa alat bukti lain, tidak dapat dipercaya. Peribahasa
hukumnya ialah “unus testis nullus testis” artinya satu saksi dianggap
bukan saksi. Ini berarti bahwa satu peristiwa dianggap tidak terbukti
apabila hanya didasarkan pada keterangan seorang saksi saja. Supaya
peristiwa itu terbukti dengan sempurna menurut hukum, keterangan
seorang saksi itu harus dilengkapi dengan alat bukti lain tidak ada,
pembuktian baru dianggap sempurna jika ada dua orang saksi atau lebih.
Namun demikian, meskipun ada dua atau beberapa orang saksi, suatu
peristiwa belum dapat dikatakan meyakinkan, apabila hakim tidak
mempercayai kejujuran saksi-saksi itu, misalnya karena keterangan saksi
satu sama lain sangat bertentangan.
3. Persangkaan;
Didalam hukum acara perdata persangkaan-persangkaan atau
vermoedens adalah alat bukti yang bersifat pelengkap atau accessory
evidence. Artinya persangkaan-persangkaan bukanlah alat bukti yang
mandiri. Persangkaan-persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan
merujuk pada alat bukti lainnya dengan demikian juga satu persangkaan
saja bukanlah merupakan alat bukti. Pada praktik peradilan, ada dua
macam persangkaan yaitu sebagai berikut:61
1) Persangkaan menurut kenyataan atau persangkaan Hakim.
Disini hakim yang menentukan. Sehingga pengertian persangkaan
disini meliputi hal yang amat luas yang dapat ditarik oleh Hakim.
2) Persangkaan menurut Undang-undang
Persangkaan disini memang ditentukan menurut ketentuan undang-
undang, dihubungkan dengan perbuatan atau peristiwa-peristiwa
tertentu. Misalnya Pasal 1916-1921 BW.
61 Salim H.S, Perancangan kontrak & Memorandum Of Understanding (MOU), (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), h. 26
38
4. Pengakuan
Telah diatur didalam Pasal 174-176 HIR/ 311-313 RBg.
Dibedakan: Pengakuan di muka sidang dan Pengakuan di luar sidang.
Dengan pengakuan, berarti dalil gugatan dianggap benar, Hakim
tidak perlu meneliti kebeneran tersebut (kebenaran formil), perkara
menjadi selesai. Dengan pengakuan tergugat terhadap dalil-dalil dalam
posita, yaitu suatu pengakuan yang murni (bulat), merupakan bukti
sempurna dan mempunyai kekuatan bukti menentukan. Kalau terjadi
demikian, maka Penggugat menang perkara. Suatu pengakuan tidak boleh
dipisah-pisah atau dipecah-pecah, jadi pengakuan harus utuh atau bulat:
Pasal 176 HIR/ 313 RBg. Jika pengakuan di sidang bersifat menentukan,
maka pengakuan diluar sidang masih boleh ditarik (dicabut) kembali.
Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi tiga yaitu:
pengakuan murni, pengakuan kualifikasi dan pengakuan dengan klausula.
Pengakuan murni adalah pengakuan terhadap tuntutan pihak lawan
sep 62 enuhnya sesuai dengan tuntutan tanpa ada tambahan apa pun;
sedangkan pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan klausula
merupakan pengakuan dengan tambahan. Pengakuan dengan kualifikasi
adalah pengakuan disertai dengan penyangkalan sebagian. Pengakuan
klausula adalah pengakuan disertai keterangan tambahan yang bersifat
membebaskan.
5. Sumpah
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat,
diberikan atau diucapkan pada waktu memberikan janji atau keterangan
dengan mengingat sifat maha kuasa dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa
yang memberi keterangan atau janji atau keterangan yang tidak benar akan
dihukum oleh Tuhan.
Secara garis besar sumpah dibagi menjadi dua, yaitu sumpah
promisoir dan sumpah confirmatoir. Sumpah promisoir adalah sumpah
yang diucapkan oleh seseorang ketika akan menduduki suatu jabatan atau
62 Salim H.S, Perancangan kontrak & Memorandum Of Understanding (MOU). h. 27
39
ketika akan bersaksi di pengadilan. Sementara itu, sumpah confirmatoir
adalah sumpah sebagai alat bukti.
HIR menyebutkan 3 (tiga) sumpah sebagai alat bukti, yaitu:
1) Sumpah Supletoir/Pelengkap (Pasal 155 HIR)
Sumpah supletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh
Hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi
pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar
putusannya.
Jadi untuk dapat diperintahkan melakukan sumpah ini, harus
ada pembuktian permulaan lebih dahulu, tapi bukti yang telah ada
tersebut belum cukup/sempurna sehingga dengan melakukan sumpah
ini pemeriksaannya menjadi selesai sehingga Hakim dapat
menjatuhkan putusannya.
Tanpa adanya bukti sama sekali, Hakim tidak boleh
memerintahkan atau membebani sumpah supletoir ini, demikian pula
apabila alat buktinya telah cukup lengkap.63
2) Sumpah Aestimatoir/ Penaksir (Pasal 155 HIR)
Sumpah penaksir yaitu sumpah yang diperintahkan oleh Hakim
karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang
ganti kerugian.
Sumpah penaksir ini barulah dapat dibebankan oleh Hakim
kepada penggugat apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya
atas ganti kerugian, tapi jumlahnya belum pasti. Maka cara untuk
menentukan jumlah kerugian tersebut, ditaksir dengan melalui sumpah
ini. Kekuatan pembuktian sumpah ini sama dengan sumpah supletoir
yaitu bersifat sempurna dan masih dimungkinkan diterobos bukti
lawan.
63 Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.45
40
3) Sumpah Decisoir/Pemutus (Pasal 156 HIR)
Sumpah decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas
permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Berlainan dengan
sumpah supletoir, maka sumpah decisoir ini dapat dibebankan
meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, sehingga sumpah decisoir
dapat dilakukan setiap saat selama pemeriksaan.
Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak
tanpa perantara seorang pejabat umum. 64 Tulisan di bawah tangan
membutuhkan pengakuan kebenaran atas tulisan tersebut dari para pihak
dan saksi-saksi lain. Namun jika tanda tangan dalam tulisan di bawah
tangan itu sudah diakui oleh para pihak, maka tulisan tersebut berkekuatan
mengikat dan sempurna sebagai alat bukti.
Perjanjian tertulis otentik juga disebut akta otentik. Pengertian
akta otentik secara teoritis adalah surat atau akta yang sejak semula dengan
sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian apabila suatu hari terjadi
suatu sengketa,65
Suatu akta otentik memberikan bukti yang sempurna tentang apa
yang dimuat di dalamnya kepada :
1. Para pihak beserta ahli waris mereka atau;
2. Orang-orang yang mendapat hak daripada mereka tersebut diatas.
Kelebihan dari akta otentik dibandingkan dengan akta yang dibuat
dibawah tangan ialah grosse dari akta otentik dalam beberapa hal
mempunyai kekuatan pembuktian eksekutorial seperti putusan hakim,
sedangkan akta yang dibuat dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan
pembuktian eksekutorial.66
64 Salim H.S, Perancangan kontrak & Memorandum Of Understanding (MOU). h. 29 65 Asri Diamitri Lestari, “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik yang di Buat Oleh Notaris
Dalam Pembuktian Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Sleman, 2014, h. 5 66 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1996, Cet 3), h.
54
41
BAB IV
KEABSAHAN JUAL BELI YANG DILAKUKAN SECARA PAKSA PADA
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1621 K/Pdt/2012
A. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 90/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst
1. Posisi Kasus
Para Pihak dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1621
K/Pdt/2012 antara lain Ibrahim, bertempat tinggal di Jalan Salemba
Tengah Gg.IX No.121 C RT.03/RW.04, Kelurahan Paseban, Kecamatan
Senen, Jakarta Pusat, dalam hal ini memberi kuasa kepada Rudy Fajar,
Advokat, Pengacara pada Kantor Law Firm Rudy Fajar, SH & Associates,
beralamat tinggal di Jalan Jatinegara Kaum Utara Km 18 No.2
Pulogadung, Jakarta Timur, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6
Januari 2012 sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding. Para
pemohon mengajukan perlawanan terhadap Putusan No.
373/Pdt/2011/PT.DKI. Adapun pihak terlawannya adalah Andiani
Limbangan (AL), bertempat tinggal di Jalan Salemba Tengah Gg. IX
No.155 C, RT.08/RW.04, Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen, Jakarta
Pusat, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Rangga B.Rikuser, SH. dan
kawan-kawan, Advokat-Penasehat Hukum pada Kantor HPS &
Associates, bertempat tinggal di Jalan Tebet Barat Dalam I No.42 Tebet
Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 7 Maret 2012;
sebagai Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding.
Pemohon mengaku telah meminjam uang Rp. 80.000.000,00
(delapan puluh juta) pada Termohon. Jangka waktu utang piutang tersebut
adalah 3 (tiga) bulan. Bunga yang dikenakan pada utang piutang tersebut
adalah 10% (sepuluh persen). Utang piutang tersebut terjadi hanya dengan
lisan pada September 2007.
Setelah lewat 3 (tiga) bulan, Pemohon belum dapat melunasi utang.
Tiba-tiba Ibrahim disuruh menandatangani kwitansi tanggal 3 Februari
42
2008 dan di paksa menandatangani Surat Perjanjian Jual Beli di bawah
tangan tanggal 26 Juli 2007 yang dibuat secara sepihak oleh Termohon.
Menurut Ibrahim, kwitansi tanggal 3 Februari 2008 dan Surat
Perjanjian Jual Beli tanggal 26 Juli 2007 tersebut cacat hukum. Cacat
hukum terjadi karena Pemohon dipaksa menandatanganinya dan perjanjian
tersebut dibuat AL sepihak.
2. Keterangan Saksi
Penggugat dan Tergugat masing-masing mengajukan 1 (satu)
orang saksi atas sumpah di persidangan menerangkan pada pokoknya.
Penggugat selain mengajukan surat bukti juga mengajukan 1 (satu) orang
saksi yang bernama NOVIANTI dibawah sumpah pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
1. Bahwa saksi kenal dengan Penggugat namun tidak ada hubungan
keluarga
2. Bahwa saksi tidak kenal dengan Tergugat hanya kenal dengan istri
Tergugat
2. Bahwa saksi kenal dengan Penggugat sejak tahun 2007 pada saat saksi
bekerja dirumah Penggugat sebagai pembantu rumah tangga
3. Bahwa saksi sejak tahun 2008 sudah tidak bekerja dengan Penggugat
4. Bahwa saksi pernah mendengar kalua istri Tergugat akan menjual
rumahnya kepada Penggugat yang di Jl. Salemba pada saat dirumah
Penggugat
5. Bahwa benar saksi mendengar dari Penggugat kalua rumah Tergugat
jadi dibeli oleh Penggugat dan sekarang rumah ditempati oleh
Tergugat.
Selanjutnya Tergugat selain mengajukan surat bukti juga
mengajukan 1 (satu) orang saksi yang bernama SULAIMAN.S, dibawah
sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1) Bahwa saksi kenal dengan Tergugat dan Penggugat karna saksi
pengurus Rukun Warga
43
2) Bahwa yang saksi tahu Tergugat ada proyek di Menado, lalu
menggadaikan sertifikat rumahnya untuk meminjam uang kepada
Penggugat sebesar antara Rp.30.000.000,-s/d Rp.50.000.000,-
3) Bahwa benar saksi tidak tahu ada tidaknya perjanjian dalam
peminjaman uang tersebut
4) Bahwa saksi hanya dapat laporan dari Tergugat, kalau Tergugat dapat
pinjaman uang dari Penggugat, saksi juga pernah melihat kwitansi
yang jumlahnya Rp.30.000.000,-
5) Bahwa rumah tersebut sekarang yang menempati Tergugat
3. Pembuktian
Karena gugatan Penggugat disangkal oleh Tergugat, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 163 HIR Penggugat berkewajiban untuk
membuktikan kebenaran dalil gugatannya. Maka untuk menguatkan dalil-
dalil gugatannya Penggugat telah mengajukan foto copy surat bukti yang
telah dibubuhi materai secukupnya sebagai berikut:
1) Fotocopy sesuai dengan aslinya Sertifikat Hak Milik No.721
Kel.Paseban atas nama ENTONG, diberi tanda bukti P-1
2) Fotocopy sesuai dengan aslinya Kwitansi Tanda Pembayaran dari Ibu
Andhiani Limbangan kepada Ibrahim senilai Rp.150.000.000,-
(serratus lima puluh juta rupiah) tanggal 25 April 2008, diberi tanda
bukti P-2
3) Fotocopy sesuai dengan aslinya Surat Perjanjian Jual Beli Sebidang
Tanah berikut segala yang ada diatasnya terletak di Jl. Salemba
Tengah Gg. IX No.121 C, Kel. Paseban Senen Jakarta Pusat antara
Andhiani Limbangan dengan Ibrahim, tertanggal 26 Juli 2007, diberi
tanda bukti P-3
4) Fotocopy sesuai dengan aslinya Surat Perjanjian Jual Beli Sebidang
Tanah berikut segala yang ada diatasnya terletak di Jl. Salemba
Tengah Gg. IX No.121 C, Kel. Paseban Senen Jakarta Pusat antara
Andhiani Limbangan dengan Ibrahim, tertanggal 27 Januari 2002,
diberi tanda bukti P-4
44
5) Fotocopy sesuai dengan aslinya Tanda Pengenal (Kartu Tanda
Penduduk) dengan Nomor. 09.5004.581269.0265 a.n. Andhiani
Limbangan, diberi tanda bukti P-5
Selanjutnya untuk menyangkal dalil-dalil Penggugat, maka
Tergugat mengajukan foto copy surat yang telah dibubuhi materai
secukupnya yang diberi tanda T-1 yaitu:
1. Fotocopy Kwitansi tertanggal 3 Februari 2008 sejumlah
Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) diberi tanda bukti
Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Bahwa terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
melalui putusan No. 90/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst. tanggal 1 Oktober 2009
diantaranya memutuskan delapan hal, yang amarnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah ingkar janji (wanprestasi);
3. Menyatakan perjanjian yang tertuang dalam surat perjanjian jual beli
antara Penggugat dengan Tergugat, tanggal 26 Juli 2007 sah dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan kepada Penggugat sebidang
tanah seluas 55 M² berikut sebuah bangunan rumah tempat tinggal dan
turutan-turutannya yang berada diatas tanah tersebut yang menurut
sifat maksud dan tujuan serta peruntukannya maupun menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dianggap
sebagai benda-benda tetap hanya pengecualian, yang terletak atau
dikenal Jalan Salemba Tengah Gg.IX No. 121 C, Kelurahan Paseban,
Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, sesuai dengan Sertifikat Hak Milik
No.721 Tahun 1999 atas nama Entong;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada
Penggugat sebesar Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sebagai
konpensasi sewa pakai rumah tempat tinggal yang terletak di Jalan
45
Salemba Tengah Gg.IX No. 121 C, Kelurahan Paseban, Kecamatan
Senen, Jakarta Pusat sejak tanggal 26 Juli 2007 secara tunai seketika;
6. Menyatakan sah dan berharga sita penyesuaian (revindicatoir beslag)
terhadap obyek sengketa berupa : sebidang tanah seluas 55 M² berikut
sebuah bangunan rumah tempat tinggal dan turunan-turunannya yang
berada diatas tanah tersebut yang terletak atau dikenal Jalan Salemba
Tengah Gg. IX No. 121 C, Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen,
Jakarta Pusat sesuai dengan Sertifikat Hak Milik No. 721 Tahun 1999
atas nama Entong;
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp761.000,- (tujuh ratus enam puluh satu ribu rupiah);
7. Menolak gugatan selain dan selebihnya;
B. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 373/Pdt/2011/PT. DKI
1. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta
Dalam pertimbangan putusan No. 373/Pdt/2011/PT.DKI, Majelis
Hakim mempertimbangkan bahwa permohonan banding dari Pembanding
semula Tergugat telah diajukan dalam tenggang waktu dan menurut tata
cara serta memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang, maka
permohonan banding tersebut secara formal dapat diterima.
Bahwa keberatan Pembanding semula Tergugat sebagaimana
diuraikan dalam memori bandingnya tidak memuat fakta hukum baru dan
telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim tingkat Pertama dengan tepat
dan benar, oleh karenanya tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut oleh
Majelis Hakim tingkat banding;
Bahwa setelah membaca dan mempelajari secara seksama berkas
perkara, Salinan resmi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No.90/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST. tanggal 1 Oktober 2009 yang
dimohonkan banding a quo, memori banding berpendapat bahwa alasan,
pertimbangan dan putusan Majelis hakim tingkat pertama yang pokoknya
dalam gugatan Konvensi mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
46
dan menolak gugatan selainnya atau selebihnya serta gugatan Rekovensi
menolah gugatan Rekovensi dari Penggugat Rekovensi untuk seluruhnya
yang selengkapnya termuat dalam putusan Majelis Hakim tingkat pertama
telah tepat dan benar, karena itu dapat disetujui serta dijadikan
pertimbangan Majelis Hakim tingkat banding dalam mengadili dan
memutus perkara ini dalam tingkat banding, serta untuk mempersingkat
uraian putusan dianggap termuat dalam putusan ini;
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
maka putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No.90/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST. tanggal 1 Oktober 2009 yang
dimohonkan banding a quo, dapat dipertahankan untuk dikuatkan;
Bahwa putusan pengadilan tingkat pertama dikuatkan dan
Pembanding semula Tergugat tetap sebagai pihak yang kalah berperkara,
maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat
pengadilan.
2. Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta
Bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat putusan
Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta
dengan putusan No. 373/Pdt/2011/PT.DKI. tanggal 22 September 2011;
1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2) Menyatakan Tergugat telah ingkar janji (wanprestasi);
3) Menyatakan perjanjian yang tertuang dalam surat perjanjian jual beli
antara Penggugat dengan Tergugat, tanggal 26 Juli 2007 sah dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4) Menghukum Tergugat untuk menyerahkan kepada Penggugat sebidang
tanah seluas 55 M² berikut sebuah bangunan rumah tempat tinggal dan
turutan-turutannya yang berada diatas tanah tersebut yang menurut
sifat maksud dan tujuan serta peruntukannya maupun menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dianggap
sebagai benda-benda tetap hanya pengecualian, yang terletak atau
47
dikenal Jalan Salemba Tengah Gg.IX No. 121 C, Kelurahan Paseban,
Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, sesuai dengan Sertifikat Hak Milik
No.721 Tahun 1999 atas nama Entong;
5) Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada
Penggugat sebesar Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sebagai
konpensasi sewa pakai rumah tempat tinggal yang terletak di Jalan
Salemba Tengah Gg.IX No. 121 C, Kelurahan Paseban, Kecamatan
Senen, Jakarta Pusat sejak tanggal 26 Juli 2007 secara tunai seketika;
6) Menyatakan sah dan berharga sita penyesuaian (revindicatoir beslag)
terhadap obyek sengketa berupa : sebidang tanah seluas 55 M² berikut
sebuah bangunan rumah tempat tinggal dan turunan-turunannya yang
berada diatas tanah tersebut yang terletak atau dikenal Jalan Salemba
Tengah Gg. IX No. 121 C, Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen,
Jakarta Pusat sesuai dengan Sertifikat Hak Milik No. 721 Tahun 1999
atas nama Entong;
7) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp761.000,- (tujuh ratus enam puluh satu ribu rupiah);
8) Menolak gugatan selain dan selebihnya;
C. Putusan Mahkamah Agung No. 1621 K/Pdt/2012
1. Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia
Dalam pertimbangan putusan Nomor 1621 K/Pdt/2012, Majelis
Hakim mempertimbangkan bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat
dibenarkan, oleh karena Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum,
putusan dan pertimbangannya telah tepat dan benar yaitu mengabulkan
gugatan konvensi karena Penggugat Konvensi dapat menunjukkan bukti-
bukti sah berupa surat-surat dan saksi yang menunjukkan bahwa
Penggugat telah membeli tanah sengketa dari Tergugat secara sah dan
telah membayar lunas harga pembelian, sedangkan Tergugat tidak dapat
48
menunjukkan bahwa ketika menandatangani surat jual beli Tergugat
melakukannya secara terpaksa atau tanpa kesadaran penuh yang
menyebabkan jual beli cacat secara hukum, lagi pula alasan-alasan selain
dan selebihnya hanyalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang
bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya
kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau
melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan
ditambah dalam Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009;
Majelis hakim mempertimbangkan bahwa berdasarkan
pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam
perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang,
maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : Ibrahim
tersebut harus di Tolak.
2. Putusan Hakim Mahkamah Agung Repuplik Indonesia
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka Majelis hakim
memutuskan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Ibrahim tersebut;
2. Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu
rupiah).
49
D. Analisis Kasus Perjanjian Jual Beli Tanah di Bawah Tangan antara
Ibrahim dengan Andiana Limbangan (AL) Pada Putusan Mahkamah
Agung No. 1621 K/Pdt/2012
Perjanjian lisan sebenarnya sudah memenuhi unsur sepakat dalam
perjanjian. Namun dalam hal tertentu, perjanjian disyaratkan dibuat secara
tertulis. Karena untuk kepentingan pembuktian, guna menjamin suatu
kepastian hukum dan memperkecil resiko sengketa. Perjanjian tertulis adalah
persetujuan yang dibuat para pihak tidak di hadapan atau oleh pejabat umum
yang berwenang dan bentuknya ditentukan para pihak sendiri. Ditentukan
secara bebas oleh para pihak karena memang tidak disyaratkan oleh undang-
undang atau karena para pihak melanggar ketentuan undang-undang. Lalu,
Bagaimana kekuatan hukum surat perjanjian jual beli tanah yang dilakukan
tidak dihadapan Notaris atau di bawah tangan?
Perjanjian semacam itu disebut tulisan di bawah tangan. Aka di bawah
tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa perantara seorang
pejabat umum.67Tulisan di bawah tangan membutuhkan pengakuan kebenaran
atas tulisan tersebut dari para pihak dan saksi-saksi lain. Namun jika tanda
tangan dalam tulisan di bawah tangan itu sudah diakui oleh para pihak, maka
tulisan tersebut berkekuatan mengikat dan sempurna sebagai alat bukti.
Perjanjian tertulis otentik juga disebut akta otentik. Pengertian akta
otentik secara teoritis adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja
secara resmi dibuat untuk pembuktian apabila suatu hari terjadi suatu
sengketa,68
Suatu akta otentik memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang
dimuat di dalamnya kepada :
1) Para pihak beserta ahli waris mereka atau;
2) Orang-orang yang mendapat hak daripada mereka tersebut diatas.
67 Salim H.S, Perancangan kontrak & Memorandum Of Understanding (MOU), (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), h. 29 68 Asri Diamitri Lestari, “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik yang di Buat Oleh Notaris
Dalam Pembuktian Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Sleman, 2014, h. 5
50
Kelebihan dari akta otentik dibandingkan dengan akta yang dibuat
dibawah tangan ialah grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai
kekuatan pembuktian eksekutorial seperti putusan hakim, sedangkan akta
yang dibuat dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian
eksekutorial.69
Bahwa kekuatan hukum pembuktian akta di bawah tangan atau PPJB
menurut M. Yahya Harahap secara formil bergantung pada orang yang
menandatangani perjanjian tersebut, secara rinci kekuatan pembuktian Akta di
Bawah Tangan (ABT) meliputi:
1. Dianggap benar menerangkan seperti apa yang dijelaskan dalam akta
2. Berdasarkan kekuatan formil yang demikian,, meski dianggap terbuktu
tentang adanya pernyataan dari penandatangan; surat keterangan yang saya
tanda tangani benar-benar berisi keterangan saya;
3. Dengan demikian kekuatan pembuktian ABT tersebut meliputi:
a. Kebenaran identitas penanda tangan.
b. Menyangkut identitas orang yang memberi keterangan.
Berarti, setiap ada tulisan yang di tandatangani seseorang yang berisi
perbuatan hukum, secara formil identitas orang yang bertanda tangan dan
membuat keterangan, sama dengan identitas tandatangan tersebut. Pada Akta
Otentik penandatanganan akta, bersifat mutlak untuk keuntungan pihak lain,
karena penandatanganan dilakukan dan disahkan oleh penjabat umum. Tidak
demikian dengan ABT. Daya oembuktian formilnya tidak bersifat mutlak,
karena daya formilnya itu sendiri tidak dibuat dihadapan penjabat umum.
Dengan demikian, keterangan yang dicantum di dalamnya tidak mutlak untuk
keuntungan pihak lain. Kemungkinan dapat menguntungkan dan merugikan
para pihak, atas alasan:
69 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1996, Cet-3), h.
54
51
1. Karena isi keterangan yang tercantum di dalam ABT belum pasti
merupakan persesuaian keterangan para pihak.70
2. Sebab tanpa melalu bantahan atas kepalsuan ABT, masing-masing pihak
berhak dan dapat dibenarkan hukum untuk mengingkari isi dan tanda
tangan.
Kebolehan mengingkari isi dan tandatangan, diatur dalam Pasal 1876
KUHPerdata 186 R.Bg. yang menegaskan, barang siapa yang diajukan akta
dibawah tangan diwajibkan secara tegas mengakui atau mengingkari tanda
tangannya. Ini berarti kalau diakui memiliki keuntungan pihak lawan namun
apabila dipungkiri, yang terjadi bukanlah menguntungkan bahkan
mendatangkan kerugian. Itu sebabnya pada dasarnya akta dibawah tangan itu:
1. Mengandung kerawanan dan ketidakpastian
2. Selama tidak diingkari, eksistensinya sebagai akta atau alat bukti, dan
dapat dikatakan aman, namun apabila isi dan tanda tangan dimungkiri,
hilang kepastian dan keamanannya sebagai akta atau alat bukti. Sebagai
contoh goyahnya atau rawannya akta dibawah tangan sebagaimana dalam
yurisprudensi atau putusan Mahkamah Agung No. 167K/Sip/1959.
Sebagai contoh bagaimana goyah dan rawannya akta di bawah tangan,
dapat dilihat putusan MA No.167 K/Sip/1959. Dalam kasus ini meskipun
tanda tangan diakui, namun isi disangkal, daya kekuaan formilnya sebagai
ABT, runtuh dan anjlok menjadi bukti permulaan tulisan.71
Sehingga peneliti menyatakan dengan tegas bahwa hakim MA keliru
dan kurang berhati-hati dalam memberikan keputusan karena dalam kasus ini,
tanda tangannya diakui akan tetapi isinya disangkal, karena Ibrahim sama
sekali tidak membaca tanda tidak mengakui isi dari PPJB tersebut, sehingga
ini merupakan perjajian yang dilakukan dengan tidak adanya itikad baik
70 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata; Tentan Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
pembuktian dan putusan pengadilan, (Jakarta: sinar grafika cet-13 2013), h. 591 71 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata; Tentan Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
pembuktian dan putusan pengadilan. h. 592
52
karena terdapat tipu muslihat dan terdapat kehilafan, hal ini bertentangan
dengan yang dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun
2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah
Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan, sebagai berikut:
1. Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur
dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan
perundang-undangan yaitu:
a. Pembelian tanah melalui pelelangan umum atau;
b. Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 atau;
c. Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang
dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat yaitu:
d. dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui Kepala
Desa/Lurah setempat).
e. didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan
berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual
beli adalah milik penjual.
f. Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.
2. Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek
tanah yang diperjanjikan antara lain:
a. Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang
menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya, atau;
b. Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita,
atau;
c. Tanah objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak
tanggungan, atau;
d. Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari
BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan
pemegang sertifikat.
53
Syarat angka 1 dan 2 di atas bersifat kumulatif, jadi harus dilaksanakan
dua-duanya, tidak boleh hanya salah satu saja. Undang-undang
memerintahkan bahwa jual beli tanah dan bangunan memang harus dilakukan
dengan Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh Notaris/PPAT karena Setiap
perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu
hak baru atas tanah, menggadaikan tanah, atau meminjam uang dengan hak
atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang
dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta tanah
dan akta jual beli harus dibuat oleh dan dihadapan Notaris/PPAT karena
merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang. Pendaftaran tanah hanya
dapat dilakukan berdasarkan akta otentik yang dibuat oleh PPA, Sehingga
Notaris/PPAT dalam transaksi jual beli adalah suatu yang mutlak khususnya
bagi pembeli.
Bahwa menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Akta Jual Beli (AJB) merupakan bukti sah
(selain risalah lelang, jika peralihan haknya melalui lelang) bahwa hak atas
tanah dan bangunan sudah beralih kepada pihak lain. AJB dibuat di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau camat untuk daerah tertentu yang
masih jarang terdapat PPAT. Secara hukum, peralihan hak atas tanah dan
bangunan tidak bisa dilakukan di bawah tangan. Sehingga daya kekuatan
pembuktiannya sebagai akta dibawah tangan dalam kasus ini ada PPJB adalah
tidak sesuai dengan memnuhi unsur pembeli yang bertikad baik dan
melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah sehingga menurut hukum bukti
tersebut harus dinayatakan lemah menjadi bukti permulaan tulisan.
Bahwa hakim Mahkamah Agung dalam hal ini tidak mengindahkan
Undang-Undang sebagai aturan yang menjadi landasan hakim memutuskan
perkara, bahwa hakim dalam memutuskan pekara harus bersifat objektif dan
tidak memihak, oleh karena itulah aturan hukum dibuat agar terciptanya
masyarakat yang adil dan tertib. Undang-undang sebagai kepastian hukum
menjamin itu, sehingga apabila hakim tidak objektif dan mengabaikan
Undang-Undang maka keadilan yang di idam-idamkan para pencari keadilan
54
tidak tercapai. Bahwa Allah SWT memerintahkan agar manusia berbuat adil,
hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT:
يأمركم أن تؤدوا المانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا ب ا يعظكم به إن للا نعم العدل إن للا
كان سميعا بصيرا إن للا
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat. [Q.S An-Nisa ayat 58].
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia memerintahkan agar amanat-
amanat itu disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Hal ini merupakan
perintah Allah Swt. yang menganjurkan menetapkan hukum di antara manusia
dengan adil. Karena itulah maka Muhammad ibnu Ka'b, Zaid ibnu Aslam, dan
Syahr ibnu Hausyab mengatakan bahwa ayat ini diturunkan hanya berkenaan
dengan para umara, yakni para penguasa yang memutuskan perkara di antara
manusia. (Tafsir Ibnu Katsir).
Bahwa menurut peneliti berdasarkan Undang-Undang sudah
seharusnya jual beli tersebut yang terjadi antara Ibrahim dengan Andiani
Limbanan ini selain tidak sah karena mengandung unsur paksaan dan
kekhilafan dan dilakukan tidak sesuai dengan yang diperintahkan dalam
Undang-Undang sehingga demi keadilan dan kepastian hukum perjanjian
semcama ini harus dianggap batal demi hukum dan PPJB yang dilakukan
bertentangan dengan undang-undang dan tidak memiliki kekuatan hukum.
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan Hukum Suatu Perjanjian Dalam Transaksi Jual Beli
Pertanahan di Indonesia. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata perjanjian
adalah suatu perbuatan secara tertulis atau lisan yang dibuat dua pihak atau
lebih dimana masing-masing berjanji untuk mentaati apa yang tersebut
dalam kesepakatan bersama. Pada dasarnya syarat sahnya suatu perjanjian
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yakni: Kesepakatan, Kecakapan,
Suatu hal tertentu dan Sebab yang halal. Maka para pihak yang terlibat
dalam perjanjian harus sepakat mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian.
2. Pembuktian Keabsahan Perjanjian Jual Beli Piutang Pertanahan di Bawah
Tangan. Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah yang dilakukan
antara Pemohon dengan Termohon adalah tidak sah, karena didalam Pasal
1320 KUHPerdata sudah jelas bahwa syarat sahnya suatu perjanjian yaitu
dengan adanya kesepakatan, artinya para pihak yang terlibat dalam
perjanjian harus sepakat mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian
tersebut. Dalam putusan ini, dijelaskan bahwa surat perjanjian jual beli
dibuat secara sepihak dan Pemohon dipaksa untuk menandatangani surat
tersebut. Di dalam Pasal 1321 KUHPerdata menentukan bahwa kata
sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh
dengan paksaan atau penipuan. Maka sebagai pihak yang dirugikan
perjanjian jual beli yang dilakukan antara Pemohon dengan Termohon
dapat dimintakan pembatalannya karena tidak terpenuhinya syarat
subjektif dari syarat sah perjanjian, yaitu adanya sepakat para pihak.
3. Kekuatan Hukum Jual Beli Tanah Yang Dilakukan Secara Paksa dalam
Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1621
K/Pdt/2012. Kekuatan hukum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah
yang dilakukan. Adapun untuk akta dibawah tangan, maka secara lahir
akta tersebut sangat berkait dengan tanda tangan, jika tanda tangan diakui,
56
akta dibawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
Kekuatan pembuktian formal pada akta otentik memiliki kepastian hukum,
karena penjabatlah yang menerangkan kebenaran dari apa yang dilihat,
didengar, dan dilakukan penjabat. Sedangkan untuk akta dibawah tangan,
pengakuan dari pihak yang bertanda tangan menjadi kekuatan pembuktian
secara formal. Hal ini sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1876
KUHPerdata186 R.Bg. yang menegaskan, barang siapa yang diajukan akta
dibawah tangan diwajibkan secara tegas mengakui atau mengingkari tanda
tangannya. Dalam kasus ini, yang terjadi perjanjian jual beli tanah antara
Pemohon dengan Termohon dilakukan secara paksaan dan kekhilafan,
surat tersebut dibuat secara sepihak. Walaupun pihak pemohon mengakui
tanda tangan tersebut namun isi perjanjiannya tidak diakui karena
dilakukan dengan paksaan. Maka perjanjian tersebut secara undang-
undang dapat dibatalkan dan secara pembuktian surat lemah dimata
hukum.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka peneliti ingin
memberikan saran kepada penegak hukum agar kiranya dapat menerapkan
hukum sesuai berlandaskan pada Peraturan Perundang-Undangan agar
terwujudnya cita-cita dan tercapainya keadilan, maka dengan ini penulis
memberikan saran agar:
1. Diharapkan adanya kesadaran dari masyarakat, agar tidak melakukan jual
beli di bawah tangan, karena pada akhirnya akan merugikan para pihak.
2. Diharapkan para penegak hukum, agar menerapkan kepastian hukum
sebagai pedoman dalam menimbang karena pembuktian dalam hukum
perdata dilakukan secara formil namun tidak menutup kemungkinan
melalui materiil. Namun hukum formillah yang digunakan sebagai
pembeda pembuktian antara hukum perdata dan pidana.
57
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum.
Ciputat: Citra Karya Mandiri, 2010
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif, Surabaya: Pustaka Pelajar, 2004
Asri, Benyamin dan Thabrani Asri, Tanya Jawab Pokok-Pokok Hukum Perdata
dan Hukum Agraria. Bandung: CV. Armico, 1987
Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994
Budiono, Herlien. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di
Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009
Budiono, Herlien. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di
Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010
Fakhriah, Efa Laela. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Cet ke-
2. Bandung: PT Alumni, 2013
Gultom, Efrida. Hukum Acara Perdata. Literata: Jakarta, 2010
Hadisoeprapto, Hartono. Pokok-Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan.
Yogyakarta: Liberty, 1984
Hamidjojo, R. Soetojo Prawiro dan Marthalena Pohan. Hukum Perikatan,
Surabaya: Bina Ilmu,1978
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta, Sinar Grafika, 2005
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan). Jakarta: Sinargrafika
cet-9 2009
Harahap, M. Yahya. Hukum Acaara Perdata; Tentan Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, pembuktian dan putusan pengadilan. Jakarta: sinar grafika cet-
13 2013
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial. Jakarta: Kencana, 2010
58
H.S, Salim. Perancangan kontrak & Memorandum Of Understanding (MOU).
Jakarta: Sinar Grafika, 2011
H.S, Salim. Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak). Jakarta:
Sinar Grafika, 2003
H.S, Salim. Perkembangan Hukum Kontak Innominaat Di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Sinar Grafika, 2004
Ibrahim. Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, Cet-II 2006
Komariah, Hukum Perdata. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Al Hikmah, 2001
Mertokusumo,Sudikno. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Bandung: Alumni,
1994
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Citra Aditya Bakti,
Bandung
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian,
Cet-2. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004
Rambe, Ropaun. Hukum Acara Perdata Lengkap. Jakarta: Sinargrafika, cet- 7
2013
Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1995
Silondae, Arus Akbar dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis. Jakarta:
Salemba Empat, 2014
Simanjutak, P.N.H. Pokok- Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta:Djambatan,
2009
Situmorang, Victor M dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan
Sipil Di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 1991
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta;Intermedia,1990
Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta : Penerbit Intermasa, 1998
Subekti, Hukurn Pembuktian. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001
Subekti, R. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradya Paramita, 1979
59
Subekti, R. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradya Paramita, 2007
Soekanto, Soerjono. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986
Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Bandung: Mandar Maju,
2015
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003
Surajiman. Perjanjian Bernama. Jakarta: Pusbakum, 2001
Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar
Grafika, 2013
Syahrani, Ridwan. Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004
Tobing, G.H.S Lumban. Peraturan Jabatan Notaris, Cet 3. Jakarta: Erlangga,
1996
Perangin, Effendi. Hukum Agraria di Indonesia. Jakarta: Rajawali,1991
Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, Jual beli, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004
Widjaja, Gunawan. Seri Hukum Bisnis: Memahami Prinsip Keterbukaan
(Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook)