KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH:
STUDI KASUS DUKUNGAN LIGA ARAB PADA PIHAK
OPOSISI SURIAH TAHUN 2013
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Dhimas Ardhiyanto
1110113000069
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JAKARTA
2014
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH:
STUDI KASUS DUKUNGAN LIGA ARAB PADA PIHAK OPOSISI SURIAH
TAHUN 2013
1. Merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Desember 2014
Dhimas Ardhiyanto
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Dhimas Ardhiyanto
NIM : 1110113000069
Program Studi : Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH: STUDI KASUS
DUKUNGAN LIGA ARAB PADA PIHAK OPOSISI SURIAH TAHUN 2013
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 11 Desember 2014
Menyetujui Pembimbing,
A. Fuad Fanani, MA.
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi
KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH: STUDI KASUS
DUKUNGAN LIGA ARAB PADA PIHAK OPOSISI SURIAH TAHUN 2013
Oleh
Dhimas Ardhiyanto
1110113000069
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22
Desember 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua Sidang,
Debbie Affianty, MA
Penguji I, Penguji II,
Eva Mushoffa, MHSPS Andar Nubowo, DEA
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 22 Desember 2014
Ketua Program Studi
FISIP UIN Jakarta
Debbie Affianty, MA
v
ABSTRAKSI
Skripsi ini membahas mengenai kebijakan Liga Arab pada tahun 2013 untuk
mendukung kelompok oposisi Suriah yang sedang bertikai dengan rezim pemerintah
Suriah. Tujuan penulisan skripsi ini guna mengetahui alasan kebijakan Liga Arab
dalam memberi dukungan pada kelompok oposisi Suriah. Penulisan skripsi ini
didukung dengan data dari berbagai sumber yang diperoleh melalui studi
kepustakaan.
Kerangka teori yang digunakan untuk menganalisa sripsi ini adalah Liberal
Institusional dan Organisasi Internasional. Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan
bahwa kebijakan Liga Arab mendukung kelompok oposisi Suriah dipengaruhi oleh
kepentingan negara anggotanya. Liga Arab dipandang sebagai instrumen yang
digunakan oleh Arab Saudi dan Qatar untuk memaksimalkan kepentingan negaranya.
Kedua negara yang mendominasi Liga Arab tersebut juga mendapat tekanan dari
negara adidaya Amerika Serikat untuk mendukung kelompok oposisi Suriah.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil’alamin
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemampuan bagi hamba
sehingga mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan Liga Arab dalam
Konflik Suriah: Studi Kasus Dukungan Liga Arab pada Pihak Oposisi Suriah Tahun
2013”.
Skripsi ini di tulis dengan tjuan untuk memenuhi tugas akhir serta memenuhi
syarat wajib kelulusan bagi mahasiswa/i Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan dukungan serta bantuan
dari berbagai pihak. Maka penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Sang Maha Pengampun, Maha Pengasih dan pemberi kasih, Allah SWT.
2. Ibuku tercinta Tutik Sukayatiningsih.
3. Yang terhormat, Bapak A. Fuad Fanani, selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Yang terhormat, Ibu Debbie Affianty Lubis, selaku Kepala Prodi HI. Serta
seluruh dosen dan karyawan FISIP UIN yang memberikan bantuan selama
perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
5. Guruku, Mbah Amin, Pak Yoto, Mbah Nun.
6. Mbah Siti Khotijah (Mbah Diro), Mbah Tugiyo, Mbah Harti, Mbah Jamilah,
Mbah Mantri, serta sesepuh lainnya.
7. Yang turut membesarkan dan merawatku sampai besar, Lek Kasmani, Lek
Ngatmini, Lek Saryanto, Lek Menik, Bude Ginem, Pakde Gun.
8. Yang tersayang, Mbak Nonik Dhianggarani, Mas Lilik Ismul Fadli, Mas
Sudarso.
9. Saudariku, sahabat dalam belajar banyak hal mengenai kehidupan, Aufa Salimah.
10. Sahabat dalam nenimba ilmu di UIN, Siti Lutfi Jamilatul Wardah, Asri
Kusumastuty, Balqis Faradiba, Dara Amalia, Riko Febrian Eltari, M. Hafied
Noval, Sauri Susanto, Rahmi Kamilah, Thufeil Izzharuddin, Rifqi Fauzan,
Wildan Ramadhan, Sabana Putra Maka, Ray Putra Mahardika, Novian Dwi
Chayo, M. Faisal Akbar, Whisnu Mardiansyah, Rizal, Fatah, Fini, Eko, Rosyid,
Mas Ibad, Mas Qobul, Dede, Meli, Shofi, Fahmi, Dendy, atas segala bantuan,
dukungan, dan kenangan selama masa kuliah.
11. Seluruh teman-teman UIN.
vii
12. Dan kepada seluruh alam raya.
Dalam penulisan skripsi ini mungkin masih banyak kekurangan. Namun demikian,
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.
Jakarta, 11 Desember 2014
Dhimas Ardhiyanto
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian ................................................................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 6
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 7
E. Kerangka Teori.......................................................................................... 9
1. Liberal Institusional ............................................................................ 9
2. Organisasi Internasional ...................................................................... 13
F. Metodologi Penelitian ............................................................................... 16
G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 16
BAB II LIGA ARAB DAN PERANNYA DI TIMUR TENGAH ....................... 19
A. Sejarah dan Perkembangan Liga Arab ...................................................... 19
B. Stuktur dan Sistem Organisasi Liga Arab ................................................. 25
C. Peran Liga Arab Dalam Peta Politik Timur Tengah ................................. 30
BAB III KONFLIK DI SURIAH PADA ERA ARAB SPRING DAN
KONDISI DI TIMUR TENGAH .............................................................. 37
A. Sekilas Mengenai Negara Suriah .............................................................. 37
B. Konflik Antara Pemerintah dan Pihak Oposisi Suriah .............................. 44
C. Dampak Konflik Suriah Pada Era Arab Spring Terhadap Negara-
Negara di Timur Tengah ........................................................................... 53
BAB IV KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH PADA
ERA ARAB SPRING ................................................................................ 59
A. Dukungan Liga Arab Pada Kubu Oposisi Suriah ..................................... 59
1. Pemberrian Kursi Delegasi Suriah Kepada Kubu Oposisi Pada KTT
Liga Arab di Doha, Qatar 2013 ................................................................. 59
ix
2. Pemberian Hak oleh Liga Arab Kepada Anggotanya untuk Memasok
Senjata Kepada Pihak Oposisi Suriah ....................................................... 63
B. Alasan Liga Arab Mendukung Kubu Oposisi Suriah ............................... 66
C. Dampak Keputusan Liga Arab Mendukung Oposisi Suriah terhadap
Konflik di Suriah ............................................................................................ 71
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... xii
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Negara Anggota Liga Arab ......................................................... 21
Gambar 2. Peta negara Suriah dan aliran agama penduduk .................................. 39
Gambar 3. Kelompok-kelompok oposisi Suriah ................................................... 47
Gambar 4. Peta Konflik Suriah tahun 2013 .......................................................... 49
Gambar 5. Pengungsi Suriah di negara-negara sekitar tahun 2013 ...................... 55
xi
DAFTAR SINGKATAN
AFTAAAC Arab Fund for Technical Assistance to African and Arab
Countries
BADEA Bank for Economic Development in Africa
FSA Free Syrian Army
GAFTA Greater Arab Free Trade Area
GCC Gulf Cooperation Council
HAM Hak Asasi Manusia
ISIS Islamic State of Iraq and al-Sham
IM Ikhwanul Muslimin
JDEC Joint Defense and Economic Cooperation
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
NATO North Atlantic Treaty Organization
NBC National Coordinator Bureau
NC National Council
OAPEC Organization of Arab Petroleum Exporting Countries
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDB Produksi Domestik Bruto
SIF Syrian Islamic Front
SLF Syrian Liberation Front
SNC Syrian National Coalition
SMC Supreme Joint Military Command
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis yang terjadi di Suriah saat ini tidak terlepas dari fonemena Arab Spring,
yaitu suatu fenomena yang berawal dari peristiwa membakar diri yang dilakukan oleh
Mohamed Bouazizi pada 26 Desember 2010 di Tunisia. Bouazizi melakukan hal
tersebut sebagai protes atas penyitaan gerobak dagangannya untuk kesekian kalinya
oleh polisi. Kisah mengenai kemiskinan dan perjuangan tersebut bergaung diseluruh
negeri yang memicu demonstrasi besar untuk memprotes tingginya biaya hidup,
pengangguran dan pembatasan hak berserikat kepada diktator Tunisia, Zein El
Abidine Ben Ali. Peristiwa serupa kemudian menular ke Mesir, Libia, Yaman, dan
Suriah. Demonstrasi menuntut perubahan muncul dan mampu menumbangkan rezim-
rezim yang berkuasa di Tunisia, Mesir dan Libia. Sementara rezim penguasa Suriah,
Bashar al-Assad hingga permasalahan ini dibahas belum mampu ditumbangkan dan
demostrasi terhadap Assad berubah menjadi perang saudara.1
Perang saudara di Suriah berawal dari penahanan terhadap 15 anak-anak
sekolah yang menuliskan graffiti “rakyat ingin menggulingkan rezim” (al-sha’b yurid
isqat al-nizam) di kota Derra yang tidak jauh dari perbatasan Jordania. Protes
kemudian muncul pada 18 Maret 2011 yang menuntut pembebasan anak-anak
1 Mandel Daniel, ”False Dawn: The Arab Spring,” Institute of Public Affairs Review: A Quarterly
Review of Politics and Public Affairs, Volume 64, Issue 4, (Desember 2012), hal 25-27.
2
tersebut, peristiwa tersebut memicu unjuk rasa tidak hanya di kota Derra, namun juga
di kota lain seperti Damaskus, Homs, Hama, Idlib, dan Aleppo. Demonstrasi di
Suriah yang dimulai tahun 2011 tersebut kini menjadi peristiwa perang yang anarkis
antara pihak pemerintahan Bashar dan pihak oposisi. Warga sipil Suriah yang muncul
tanpa senjata saat demonstrasi kemudian beradaptasi dengan kondisi yang kacau
dengan membangun kekuatan militer sehingga menjadi aktor politik dan militer yang
bertarung dengan pemerintah yang berkuasa di Suriah.2
Suriah telah berubah menjadi medan tempur yang menyeramkan. Menurut
Komisioner tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bidang Hak Asasi Manusia
(HAM) Navi Pillay, pada awal 2013, perang saudara tersebut telah menewaskan lebih
dari 60.000 jiwa.3 Menurut Pillay, situasi di Suriah semakin memburuk dan
bertambahnya korban jiwa juga disebabkan oleh kelompok bersenjata antipemerintah
dan meluasnya kejahatan serius serta kejahatan perang, khususnya kejahatan
kemanusiaan oleh kedua belah pihak yang bertikai.4 Pejabat Komisi Tinggi PBB
Urusan Pengungsi, Antonio Guterres mengungkapkan pengungsi Suriah yang lari dari
negaranya menuju negara tetangga sudah mencapai 1 juta jiwa. Sedangkan pengungi
di dalam negeri mencapai 5 juta-10 juta jiwa. Selain itu, sistem medis di Suriah telah
2 Philippe Droz & Vincent. ““State of Barbary” (Take Two): From the Arab Spring to the Return of
Violence in Syria,” Middle East Journal, volume 68, no.1, (winter 2014), hal 57. 3“Data suggests Syria death toll could be more than 60,000, says UN human rights office,” UN News
Centre, 2 Januari 2013, tersedia di:
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=43866#.U3lY0tKSySo diunduh pada 19 Mei 2014.
4 Ibid.
3
ambruk dan sepertiga rumah sakit sudah tidak layak beroperasi, serta banyak tenaga
medis yang ditahan dan bantuan medis kerap tidak sampai tujuan.5
Sedangkan kondisi perekonomian Suriah menurut ekonom Suriah, Jihad
Yazigi telah berubah drastis, aktivitas perekonomian yang selama ini ada telah rusak
dan mengalami kekacauan. Para pelaku ekonomi juga telah hengkang karena
ketidakamanan, produksi terhenti total di banyak tempat karena aset serta
infrastruktur yang rusak parah. Pengangguran meningkat lebih dari 50 persen dan
setengah dari populasi berada dalam garis kemiskinan. Produksi Domestik Bruto
(PDB) Suriah anjlok 33 persen sejak tahun 2010. Hal ini diperburuk lagi dengan
sanksi internasional yang melarang transaksi internasional dengan Suriah serta
pembekuan asset-aset Suriah di luar negeri. Kerusakan ekonomi Suriah tersebut
membutuhkan sekitar 30 tahun untuk pulih seperti tahun 2010 dengan syarat
pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen.6
Menurut Yazigi, perekonomian yang ada saat ini adalah kegiatan ekonomi
perang yang berupa penyelundupan dan penjualan barang-barang kebutuhan dasar
dengan harga mahal. Selain itu, perampokan, penculikan, dan pungutan liar di pos-
pos pemeriksaan perbatasan. Penguasaan ladang-ladang minyak secara ilegal menjadi
penghidupan bagi mereka yang berkuasa di tengah negara yang berjalan dengan
hukum rimba. Hal ini membuka jaringan bisnis baru beberapa kelompok pengusaha
5 Musthafa Abd. Rahman, “Dua Tahun Revolusi Suriah: Politik Terseok, Derita Berlanjut”, Harian
Kompas, 10 Maret 2013, hal 10. 6 Jihad Yazigi, “Syria‟s War Economy,” European Council On Foreign Relations, Volume 97, (April
2014), hal 1.
4
maupun individu yang meraih keuntungan dari perang. Lembaga-lembaga baru
muncul dan berkembang serta meraih keuntungan dari perang.7
Berbagai usulan politik telah ditawarkan untuk mengakhiri perang saudara di
Suriah, namun upaya-upaya tersebut belum ada yang menuai hasil. Mantan Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan yang juga merupakan
Utusan Khusus PBB dan Liga Arab untuk Suriah, Maret-Agustus 2012, akhirnya
mengundurkan diri karena frustasi.8 Upaya mantan Menteri Luar Negeri Aljazair
Lakhdar Brahimi yang menggantikan Kofi Annan juga belum menuai hasil hingga
skripsi ini ditulis.9
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab di Doha, Qatar pada 26
Maret 2013 dalam salah satu rekomendasinya memutuskan untuk memberi hak
kepada setiap negara anggota Liga Arab memasok bantuan alat pertahanan diri serta
senjata kepada kubu oposisi Suriah. Pada KTT tersebut kursi delegasi pemerintah
Suriah juga diberikan kepada pihak oposisi yang dihadiri oleh ketua Koalisi Nasional
Suriah (SNC), Moaz al-Khatib.10
Keputusan Liga Arab ini menuai kritik dari Duta
Besar Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin yang mengatakan bahwa Liga Arab
menyimpang dari upaya penyelesaian politik di Suriah. Churkin juga menyayangkan
7 Ibid. hal 4-5.
8 “Dua Tahun Revolusi Suriah, Politik Terseok, Derita Berlanjut,” Harian Kompas, 10 Maret 2013, hal
10. 9 Ibid.
10 “Doha summit gives Arab states ‘right’ to arm Syria rebels,” Al Arabiya News, 26 Maret 2013,
tersedia di http://english.alarabiya.net/en/2013/03/26/Arab-league-member-states-have-the-right-to-provide-military-assistance-to-Syrian-rebels.html; diunduh pada 18 Mei 2014.
5
keputusan Liga Arab memberikan kursi delegasi Suriah pada SNC, menurutnya
keanggotaan Suriah di Liga Arab belum hilang, namun hanya dibekukan.11
Kebijakan Liga Arab tersebut bertentangan dengan upaya penyelesaian
konflik secara damai. Dari kondisi Suriah tergambar jelas bahwa tentara pemerintah
maupun oposisi sama-sama bertindak diluar rasa kemanusiaan. Hal ini terlihat dari
kerusakan dan kehancuran infrastruktur, bangunan rumah, sekolah, rumah sakit,
maupun fasilitas umum, demikian banyak tersebar di hampir seluruh penjuru kota
Suriah. Korban tewas dan kehancuran Suriah pun akan terus berlanjut selama perang
masih berkecamuk.12
Selain itu, jika pihak oposisi Suriah berhasil menggulingkan rezim yang
berkuasa dengan kekerasan maka tidak lantas permasalahan akan langsung selesai.
Profesor pada Naval Postgraduate School, Glenn Robinson berpendapat bahwa jika
pemberontak Suriah menang, maka mereka akan melakukan balas dendam dan
memalukan demokrasi serta liberalisme. Sejalan dengan Robinson, Peneliti senior
University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Study, Madhav
Joshi mengungkapkan bahwa kemenangan militer dalam perang sipil mempunyai
dampak yang sangat berbahaya. Menurut Joshi, pihak pemenang akan berusaha untuk
11
“Russia criticizes Arab League over Syria seat”, Aljazeera, 28 Maret 2013, tersedia di:
http://www.aljazeera.com/news/europe/2013/03/2013328173751138369.html diunduh pada 20 Mei
2014 12
Trias Kuncahyono, “Suriah Dua Tahun Berlalu,” Harian Kompas, 15 Maret 2013, hal 10.
6
menyingkirkan pihak lain dari pemerintahan dengan kekuatan militernya dari pada
berusaha untuk bekerja sama dengan musuhnya dalam perang.13
Dengan melihat fenomena seperti ini maka Liga Arab yang bertindak sebagai
organisasi regional yang salah satu anggotanya mengalami perang saudara yang
berlarut-larut menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai kebijakannya
untuk mendukung salah satu pihak yang bertikai. Mengapa Liga Arab memberi hak
kepada anggotanya untuk memasok senjata kepada pihak oposisi Suriah? Bukankah
ini akan memperburuk perang saudara yang tengah berkecamuk? Mengapa Liga Arab
memberikan dukungan pada salah satu pihak saja dalam penyelesaian konflik yang
terjadi di Suriah yang telah berlarut larut?
B. Pertanyaan Penelitian
Dari penjelasan pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang
akan diungkap dalam skripsi ini adalah: mengapa Liga Arab memberi dukungan
terhadap pihak oposisi Suriah dalam krisis politik yang terjadi di Suriah pada era
pemerintahan Bashar al Asad pada tahun 2013?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
13
Bilal Y.Saab dan Andrew J. Tabler, “No Settlement In Damascus: The Danger of a Negotiated
Peace,” Foreign Affairs, 2 Januari 2013, tersedia di
http://www.foreignaffairs.com/articles/138739/bilal-y-saab-and-andrew-j-tabler/no-settlement-in-
damascus diunduh pada 19 Mei 2014.
7
1. Mengetahui alasan kebijakan Liga Arab yang memberi dukungan
kepada pihak oposisi Suriah.
2. Mengetahui dinamika politik Timur-Tengah
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu memberi
perkembangan bagi studi hubungan internasional khususnya dalam
studi organisasi internasional.
2. Penelitian ini juga diharapkan mampu memahami perkembangan Liga
Arab dan Timur-Tengah.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum skripsi ini ditulis, sebelumnya telah terdapat penelitian yang terkait
dengan skripsi ini. Pertama, tulisan Bruce Maddy-Weitzman yang berjudul The Arab
League Comes Alive. Artikel tersebut memuat mengenai suatu hal yang berada diluar
ekspektasi, yaitu adanya perubahan dalam Liga Arab yang di sangsikan oleh banyak
pihak sebagai organisasi yang tak bergigi menjadi organisasi yang anggotanya
menjadi kesatuan dalam manuver diplomatik dalam beberapa hal.14
Maddy-Weitzman memberikan contoh perubahan tersebut yakni ketika Liga
Arab memberikan legitimasi kepada Barat untuk mengintervensi penggulingan rezim
14
Bruce Maddy-Weitzman, “The Arab League Comes Alive”, Middle East Quarterly, Volume 19,
Issue 3, (Summer 2012), hal 71-78.
8
Muammar al-Qaddafi di Libia. Liga Arab juga memberikan dukungan terhadap Gulf
Cooperation Council’s (GCC) yang sukses menekan Presiden Yaman, Ali Abdullah
Saleh untuk menyerahkan kekuasannya. Selain itu, Liga Arab telah secara aktif dalam
upaya penyelesain krisis di Suriah.15
Kedua, artikel jurnal yang ditulis oleh Philippe Droz-Vincent yang berjudul
“State of Barbary (Take Two): From the Arab Spring to the Return of Violence in
Syria”. Artikel ini membahas serangkaian protes oleh warga sipil terhadap
pemerintah yang berkuasa di Suriah yang berubah menjadi perang saudara.
Kekacauan di Suriah juga dipengaruhi oleh faktor regional dan internasional sehingga
menjadikan kekacauan semakin pelik. Hal tersebut dikarenakan Suriah berada di
tengah-tengah persaingan stategis di Timur Tengah, Suriah berbatasan langsung
dengan wilayah penting di wilayah Timur Tengah, yaitu: Irak, Lebanon, Israel,
Palestina dan Turki. Internasional dan regional faktor telah memperburuk
pertentangan yang terjadi di Suriah, yaitu: pertentangan perdamaian vs angkatan
bersenjata, nasionalis vs pergerakan sekte (anti Alawi), kemunculan pemberontakan
Arab vs Kurdi, secular vs pergerakan agama, dan lain sebagainya.16
Ketiga, thesis yang ditulis oleh Jacob M. Maddox yang berjudul Building
Peace In A Post- Assad Syria pada Naval Postgraduate School, Monterey, California
pada tahun 2013. Thesis tersebut membahas perang sipil di Suriah antara pemerintah
15
Ibid., 16
Philippe Droz-Vincent, “State of Barbary (Take Two): From the Arab Spring to the Return of
Violence in Syria”, Middle East Journal, Volume 68, no. 1, (winter 2014), hal 33-58.
9
dengan berbagai macam kelompok oposisi yang terus berlanjut. Konflik berlanjut dan
berdampak pada negara-negara tetangga dan memperluas konflik dan meningkatkan
beban ekonomi yang disebabkan dari korban pengungsi. Thesis ini menganalisis
rencana pasca konflik yang penting bagi stabilitas regional dan bagi Suriah. Selain
itu, menjelaskan suatu skenario setelah konflik usai menuju perdamaian.17
Perbedaan antara penelitian-penelitian di atas dengan skripsi ini adalah skripsi
ini lebih memfokuskan pada kebijakan Liga Arab dalam konflik Suriah yang lebih
khusus lagi pada dukungan Liga Arab terhadap pihak oposisi Suriah. Sehingga
permasalahan yang akan dibahas lebih spesifik dan mempunyai ruang lingkup yang
lebih sempit dibanding dengan penelitian yang telah dilakukan di atas.
E. Kerangka Teori
Untuk membantu menganalisis Kebijakan Liga dalam memberi dukungan
kepada pihak oposisi Suriah digunakan teori Liberal Institusional dan Organisasi
internasional.
1. Liberal Institusional
Menurut David Baldwin Liberal Institusional atau neo-liberal institutional
mempunyai pengaruh terhadap hubungan internasional pada masa kini. Liberal
Institusional dipercaya oleh para peneliti untuk melawan pemikiran Realis dan neo-
17 Jacob M. Maddox, Building Peace In A Post- Assad Syria, (California : Naval Postgraduate School
2013), hal 1-81.
10
realis. Liberal Institusional mempunyai asumsi bahwa jalan menuju perdamaian dan
pencapaian keuntungan adalah dengan membuat negara independen mengumpulkan
segala sumber yang ada dalam kedaulatannya untuk menciptakan komunitas yang
terintegrasi. Hal tersebut guna mempromosikan pertumbuhan ekonomi atau merespon
masalah regional.18
Liberal Institusional memiliki asumsi mengenai interdependensi internasional,
yaitu suatu deskripsi tentang hubungan antara aktor negara dan aktor non negara
dalam lingkungan anarki pada dunia politik. Ide inti dari Liberal Institusional adalah
kompleks interdependen, yang menurut Keohane dan Nye merupakan suatu dunia
dimana aktor selain negara berpartisipasi langsung dalam dunia politik dan tidak ada
hirarki isu yang jelas serta kekuatan militer menjadi instrument kebijakan yang tidak
efektif.19
Para peneliti berpendapat bahwa dunia telah berubah menjadi pruralis akibat
bentuk aktor yang terlibat dalam interaksi internasional dan aktor yang terlibat
tersebut lebih bergantung satu dengan yang lainnya. Kompleks interdependen
mempunyai asumsi bahwa dunia identik pada empat karakteristik yaitu: pertama,
peningkatan hubungan antara aktor negara dan aktor non-negara. Kedua, agenda baru
dalam isu-isu internasional dengan tanpa pembedaan antara high politics dan low
politics. Ketiga, terdapatnya berbagai jaringan guna berinteraksi antar aktor lintas
18
John Baylis & Steve Smith, The Globalization of World Politics, An introduction to international
relations, Third Edition, (New York: Oxford University Press Inc. 2001), hal 213. 19
Junita Elias & Peter Sutch, The Basic International Relation, (New York: Routledge, 2007), hal 72.
11
batas negara. Keempat, penurunan penggunaan kekuatan militer sebagai alat negara.
Kompleks interdependen juga memunyai anggapan bahwa globalisasi menghasilkan
suatu peningkatan dalam jaringan untuk berinteraksi, sebagaimana jumlah
interkoneksi.20
Liberal Institusional atau Institutional theory mempunyai banyak kesamaan
asumsi dengan Neo-realis. Neo-realis memberikan fokus lebih terhadap konflik dan
kompetisi serta meminimalkan peluang kerjasama sekalipun dalam sistem
internasional yang anarki. Sedangkan Neo-liberal Institutional melihat institusi
sebagai mediator guna menghasilkan kerjasama antar aktor dalam sistem. Liberal
Institutional memiliki fokus pada isu global governance serta penciptaan dan
pemeliharaan institusi yang berkaitan dengan manajemen proses globalisasi.21
Dengan berakhirnya perang dingin, negara-negara mengubah haluan
keamanan pada ancaman terorisme, pengembangan senjata pemusnah masal,
peningkatan konflik internal yang mengancam keamanan regional maupun global.
Graham Allison mengungkapkan, konsekuensi dari globalisasi adalah keamanan dari
terorisme, penjualan obat terlarang yang merupakan masalah yang tidak dapat
diselesaikan oleh satu negara. Kesuksesan dalam merespon ancaman keamanan
membutuhkan penciptaan tatanan regional dan tatanan global yang mempromosikan
20
Baylis & Smith. The Globalization, hal 213. 21
Ibid.
12
kerjasama antar negara dan koordinasi kebijakan untuk merespon ancaman keamanan
tersebut.22
Kaum Liberal Institusional menganggap bahwa peran institusi akan
membantu menekan kekacauan anarki internasional, melalui institusi yang dibentuk
maka setiap negara memiliki kewajiban untuk mematuhi aturan yang berlaku di
antara mereka.23
Robert Keohane berpendapat bahwa akibat peristiwa serangan
teroris 9/11 di Amerika Serikat telah menciptakan koalisi besar melawan terorisme
yang melibatkan banyak negara dan institusi penting regional dan global. Liberal
Institusioanl mendukung kerjasama multilateral dan mengkritik preemptive dan
uniteralism penggunaan militer.24
Menurut Baylis dan Smith terdapat beberapa asumsi inti dari Liberal
Institusional, yaitu:
1. Negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional, akan tetapi
bukan merupakan satu-satunya aktor yang signifikan. Negara merupakan
aktor atau instrumen rasional yang selalu berusaha memaksimalkan
kepentingannya dalam segala isu.
2. Dalam lingkungan yang kompetitif, negara berusaha memaksimalkan
absolute gains melalui kerjasama. Perilaku rasional mengarahkan negara
22
Ibid. 23
Rachamawati, Iva. 2012. Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta:
Aswaja Pressindo. hal 86. 24
Baylis & Smith, The Globalization, hal 213.
13
untuk melihat nilai dalam perilaku kerjasama. Negara sedikit
memperhatikan pada keuntungan yang didapat dari negara lain dalam
kerjasama.
3. Tantangan terbesar untuk menyukseskan kerjasama adalah ketidakpatuhan
atau kecurangan yang dilakukan oleh negara.
4. Kerjasama merupakan suatu hal yang tidak pernah tidak bermasalah, akan
tetapi negara akan memberikan loyalitas dan sumber daya kepada institusi
jika hal tersebut dilihat sebagai sesuatu yang saling menguntungkan dan
meningkatkan kesempatan kepada negara untuk mengamankan
kepentingan internasionalnya. 25
Perspektif Liberal Institusional lebih relevan dalam area isu dimana negara-
negara saling memiliki kepentingan. Institusi diciptakan untuk mengatur perilaku
internasional. Pandangan tersebut mungkin kurang relevan dalam area di mana
negara-negara tidak saling mempunyai kepentingan.26
2. Organisasi Internasional
Selain Liberal Institusional perlu juga dipahami mengenai konsep organisasi
internasional. Menurut Michael Hass yang dikutip oleh James N. Rosenau, organisasi
internasional memiliki dua pengertian yaitu: pertama, sebagai suatu lembaga atau
struktur yang mempunyai serangkaian aturan, anggota, jadwal, tempat, dan waktu
25
Baylis & Smith, The Globalization , hal 213-124. 26
Ibid. hal 214.
14
pertemuan; kedua, organisasi internasional merupakan pengaturan bagian-bagian
menjadi satu kesatuan yang utuh di mana tidak ada aspek non-lembaga dalam istilah
organisasi internasional ini.27
Organisasi internasional memiliki tujuan untuk mengkoordinasikan kegiatan-
kegiatan dengan metode melangsungkan koordinasi secara rutin dengan teknik seperti
pembagian tugas-tugas khusus. Hal tersebut dilakukan secara formal dalam struktur
resmi beserta aparat lembaga atau secara informal dengan sistem praktek yang tidak
tertulis di mana unit-unit dalam sistem mempunyai peranan yang berbeda seperti
peranan sebagai pemimpin dan yang dipimpin.28
Menurut Clive Archer, organisasi internasional setidaknya memiliki tiga
peranan, yaitu:
1. Organisasi internasional sebagai instrumen yang digunakan oleh negara-
negara anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan kepentingan
negaranya.
2. Organisasi internasional sebagai arena atau tempat bertemu bagi anggota-
anggotanya untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi. Organisasi
internasional digunakan oleh negara-negara untuk berdiskusi, mengangkat
masalah dalam negerinya, ataupun masalah dalam negeri orang lain.
27
James N. Rosenau, International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research Theory, (New
York: The Free Press, 1969), hal 131. 28
Ibid., hal 132.
15
3. Organisasi internasional sebagai aktor independen yang dapat membuat
keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan atau paksaan
dari luar organisasi.29
Sedangkan menurut A. Le Roy Bennet yang juga dikutip oleh Perwita dan
Yani, organisasi internasional memiliki setidaknya dua fungsi, yaitu:
1. Menyediakan hal-hal yang dibutuhkan bagi kerjasama yang dilakukan antar
negara dimana kerjasama itu menghasilkan keuntungan yang besar bagi
seluruh bangsa.
2. Menyediakan banyak saluran-saluran komunikasi antar pemerintahan
sehingga ide-ide dapat bersatu ketika masalah muncul ke permukaan.30
Dalam aktivitas organisasi internasional dapat terlihat beberapa peran yang
signifikan, yaitu organisasi inetrnasional sebagai inisiator, fasilitator, mediator,
rekonsiliator dan determinator. Dalam isu-isu tertentu organisasi internasional
muncul sebagai aktor independen dengan hak-hak sendiri untuk
mengimplementasikan, memonitor, dan menengahi perselisihan yang timbul dari
adanya keputusan-keputusan yang dibuat oleh negara.31
Teori Liberal Instutional dan teori organisasi internasional merupakan dua
teori yang tepat untuk memahami fenomena kebijakan Liga Arab di Suriah pada
29
Archer Clive, International Organizations, (London: Allen & Unwin Ltd. 1983), hal 130-141. 30
Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan Yani, Pengantar Hubungan Internasional (Bandung: Rosda
Karya, 2006), hal 97. 31
Ibid. hal 95.
16
tahun 2013. Kedua teori tersebut dapat digunakan untuk memahami perilaku Liga
Arab serta negara-negara anggotanya dalam mengambil kebijakan. Pertama-tama
akan dijelaskan permasalahan yang ada, kemudian dielaborasi dengan kedua teori
yang ada guna mendapatkan analisis yang tepat.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualititatif. Penelitian kualitatif menurut W. Lawrence Neuman menggunakan suatu
bahasa dari kasus dan konteks, dengan memperhatikan proses sosial serta kasus
dalam konteks sosial, dan juga melihat interpretasi atau pemberian makna pada
sesuatu hal yang spesifik. Selain itu juga melihat kehidupan sosial dari berbagai sudut
pandang berbeda dan menjelaskan bagaimana manusia mengkonstruksi identitas.32
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah penyebab Liga Arab dalam memberi
dukungan kepada pihak oposisi Suriah.
Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitian adalah data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber, yakni buku, jurnal, skripsi, surat kabar dan media
elektronik. Penulis mengumpulkan data dari berbagai sumber, yakni Perpustakaan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, dan internet.
G. Sistematika Penulisan
32
Laurence W. Neuman, Basic of Social Research Qualitative and Quantitative Approaches, (Second Edition. Pearson Education, Inc. 2007), hal 88.
17
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Teori
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II LIGA ARAB DAN PERANNYA DI TIMUR TENGAH
A. Sejarah dan Perkembangan Liga Arab
B. Stuktur dan Sistem Organisasi Liga Arab
C. Peran Liga Arab Dalam Peta Politik Timur Tengah
BAB III KONFLIK SURIAH PADA ERA ARAB SPRING DAN
KONDISI DI TIMUR TENGAH
A. Sekilas Mengenai Negara Suriah
B. Konflik Antara Pemerintah dan Pihak Oposisi Suriah
C. Dampak Konflik Suriah Pada Era Arab Spring Terhadap
Negara-Negara di Timur Tengah
BAB IV KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH
PADA ERA ARAB SPRING DAN ALASANNYA
18
A. Dukungan Liga Arab Pada Kubu Oposisi Suriah
1. Pemberian Kursi Delegasi Suriah Kepada Kubu Oposisi
Pada KTT Liga Arab di Doha, Qatar 2013
2. Pemberian Hak oleh Liga Arab Kepada Anggotanya untuk
Memasok Senjata Kepada Pihak Oposisi Suriah
B. Alasan Liga Arab Mendukung Kubu Oposisi Suriah
C. Dampak Keputusan Liga Arab Mendukung Oposisi Suriah
terhadap Konflik di Suriah
BAB V KESIMPULAN
19
BAB II
LIGA ARAB DAN PERANNYA DI TIMUR TENGAH
Pada bab ini akan dijelaskan dinamika Liga Arab sebagai organisasi regional
serta kontribusinya bagi negara-negara anggotanya. Pertama akan dijelaskan
mengenai awal mula terbentuknya Liga Arab serta perkembangan yang terjadi
didalam Liga Arab. Dilanjutkan dengan pembahasan struktur dan sistem organisasi
Liga Arab. Kemudian diakhir bab akan dibahas kontribusi Liga Arab dalam
dinamika politik kawasan Timur Tengah.
A. Sejarah dan Perkembangan Liga Arab
Organisasi regional Liga Arab (Al-Jami’a al-Arabiyah) didirikan pada 22
Maret 1945. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk mengkoordinasikan kebijakan
negara-negara anggota serta mempersatukan kebijakan politik mereka serta
membangun masa depan bersama yang lebih baik. Liga Arab berkoordinasi tidak
hanya dalam bidang politik, namun juga dalam bidang pendidikan, keuangan, hukum,
keamanan, budaya, sosial dan komunikasi.33
Regionalisme yang dibangun Liga Arab
tidak hanya berdasar pada letak geografis yang berdekatan, namun juga pada aspek
identitas dan budaya.34
33
Cris E. Toffolo, Global Organizations: The Arab League, (New York: Chelsea House, 2008), hal 7 34
Ziyad Falahi, ”Prospek Regionalisme Timur Tengah Pasca-Arab Spring: Telaah terhadap Identitas
Kolektif Liga Arab,” Jurnal Kajian Wilayah. Volume 3, nomor 2 (2012), hal 193
20
Ketika Liga Arab didirikan, organisasi regional ini hanya beranggotakan tujuh
anggota, yaitu: Mesir, Suriah, Irak, Jordania, Arab Saudi, dan Yaman. Persiapan
pembentukan Liga Arab secara formal dimulai pada 6 Oktober 1994 di Alexandria,
Mesir. Dari pertemuan tersebut dihasilkan Protokol Alexandria yang intinya berisi
mengenai pembentukan Liga Arab, kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya
serta bidang lainnya, dan upaya perlindungan terhadap Palestina. Pasca dihasilkan
Protokol Alexandria, terdapat serangkaian negosiasi yang kemudian melahirkan
Piagam Liga Arab yang secara formal menandakan berdirinya organisasi Liga Arab
pada 22 Maret 1945.35
Keanggotaan Liga Arab semakin bertambah ketika negara-negara di kawasan
tersebut merdeka dari penjajahan serta melihat keuntungan dalam bergabung
organisasi tersebut. Selain itu dalam Liga Arab juga terdapat beberapa negara
pengamat, yaitu: Armenia, Chad, Turki, Venezuela, India, Eritia. Hingga saat ini
negara anggota Liga Arab memiliki luas daerah mencapai 13,5 juta kilometer persegi.
Di bawah ini disajikan gambar mengenai keanggotaan Liga Arab dan negara
pengamat serta tahun negara tersebut bergabung dalam Liga Arab36
:
35
Amitav Acharya dan Alastair Iain Johnston, Crafting Cooperation: Regional International
Institutions in Comparative Perspective, (New York: Cambridge University Press, 2007), hal 190. 36
Toffolo, Global Organizations, hal 10.
21
Gambar 1. Peta Negara Negara Anggota Liga Arab
Sumber: Global Organizations: The Arab League, (New York: Chelsea House, 2008), hal 7.
22
Liga Arab merupakan organisasi regional pertama yang didirikan, bahkan
sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan secara resmi pada 24 Oktober
1945. Organisasi ini muncul dari ide mengenai Pan-Arabisme, yakni suatu gagasan
yang memandang bahwa negara-negara Arab harus bersatu untuk menghentikan
dominasi bangsa Eropa. Salah satu upaya Liga Arab untuk merealisasikan ide Pan-
Arabisme tersebut adalah dengan membentuk Kerjasama Keamanan dan Ekonomi
(JDEC) yang bertujuan untuk melarang penggunaan senjata dalam penyelesaian
konflik antar anggota Liga Arab dan saling membantu ketika terjadi serangan dari
luar Liga Arab.37
Gagasan Pan-Arabisme tersebut kemudian mengalami
perkembangan dalam Liga Arab yang terejawantah dalam mempromosikan
kepentingan-kepentingan negara Arab dalam bidang politik, ekonomi, militer,
keamanan, dan budaya.38
Organisasi regional yang dibentuk dengan kerangka Pan-Arabisme ini juga
ditujukan untuk menjaga kedaulatan negara dan berkomitmen untuk membuat aturan
bersama secara konsensus dengan negara-negara anggotanya. Pada tahun 1950an
hingga 1960an Liga Arab berupaya menyelesaikan permasalahan serta bekerjasama
dengan dilandasi nilai-nilai yang berkaitan dengan Pan-Arabisme yang
mengedepankan persatuan negara-negara Arab. Pada masa ini negara-negara anggota
37
Toffolo, Global Organization, hal 18 38
Wan Chen & Jun Zhao, “The Arab League‟s Decision-making System and Arab Intergration”,
Journal of Middle Eastern and Islamic Studies (in Asia), Volume 3, no. 2 (2009), hal 59.
23
Liga Arab mulai mengupayakan pembangunan negara dan berusaha mempertahankan
keamanan negara mereka.39
Tujuan lain didirikannya Liga Arab adalah untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan negara Arab di PBB dan organisasi dunia lainnya.
Organisasi regional ini juga berusaha untuk menyelesaikan konflik yang muncul di
antara negara anggota maupun antara negara anggota dengan negara lain. Hal ini
dapat dilihat dari upaya Liga Arab menyelesaikan konflik antara Lebanon dan Suriah
yang juga melibatkan Israel. Selain itu, terdapat upaya penyelesaian masalah yang
juga dilakukan pada peristiwa genosida di Darfur, Sudan yang menewaskan ratusan
ribu jiwa dan mengakibatkan jutaan orang mengungsi. Hal serupa juga dilakukan oleh
Liga Arab di Somalia yang mengalami perang sipil serta invasi dari Ethiopia.40
Pada awal pembentukan organisasi, Liga Arab memandang bahwa terdapat
kesamaan masalah yang dihadapi oleh wilayah-wilayah negara berkembang, yaitu
perjuangan untuk menghentikan penjajahan dan peningkatan pembangunan ekonomi.
Melihat permasalahan tersebut kemudian Liga Arab mendirikan institusi-institusi
yang diharap mampu membantu pembangunan ekonomi negara-negara anggota Liga
Arab. Sebagai contoh didirikannya Dana Arab untuk Bantuan Teknik kepada Afrika
dan negara-negara Arab (AFTAAAC).41
39
Acharya dan Johnston, Crafting Cooperation, hal 213. 40
Toffolo, Global Organization, hal 20. 41
Ibid., hal 20.
24
Selain itu juga terdapat Bank Arab untuk Pembangunan Ekonomi di Afrika
(BADEA). Bank ini dibentuk untuk menindaklanjuti Konfersensi Tingkat Tinggi
Liga Arab di Aljazair pada 28 November 1973 dan bank tersebut mulai beroperasi
pada Maret 1975. BADEA didirikan untuk memperkuat perekonomian, keuangan dan
kerjasama antara Arab dan Afrika serta mempererat hubungan antara negara-negara
yang terlibat didalamnya. Hal tersebut dilakukan dengan cara memberikan bantuan
keuangan guna mengembangkan ekonomi serta memberikan bantuan teknis untuk
negara-negara Afrika.42
Kemudian pada perkembangannya, Liga Arab juga membentuk institusi lain
di bawahnya, program-program, serta mengeluarkan kebijakan regional guna
membantu pembangunan negara-negara anggota. Hal ini terlihat pada pembentukan
Dewan Sosial dan Ekonomi serta pembentukan Bank Pembangunan Arab yang kini
dikenal sebagai Arab Financial Organization. Kemudian pada tahun 1965 dibentuk
Arab Common Market guna membebaskan pajak, memberikan bantuan keuangan,
dan perpindahan pekerja secara bebas antar negara anggota Liga Arab. Di bidang
perminyakan dibentuk Organisasi Pengekspor Minyak Negara Arab (OAPEC) yang
bertujuan untuk memformulasi kebijakan dalam produksi dan penjualan minyak.
Terdapat juga Greater Arab Free Trade Area (GAFTA) sebagai kebijakan pasar
bebas di wilayah Liga Arab yang berlaku pada tahun 2005.43
42
“Introduction”, Arab Bank for Economic Development in Africa, tersedia di:
http://www.badea.org/introduction.htm diunduh pada 22 september 2014. 43
Toffolo, Global Organization, hal 23-24.
25
B. Stuktur dan Sistem Organisasi Liga Arab
Dalam organisasi Liga Arab terdapat struktur yang komplek yang terdiri dari
beberapa dewan spesial, komite permanen, agensi spesial, dan badan-badan lain.
Secara struktur Liga Arab memiliki dua badan yang menjadi pusat dari badan-badan
lain, yaitu Dewan Liga Arab dan Komite Spesial Permanen.44
Dewan Liga
keanggotaannya terdiri dari perwakilan setiap negara anggota yang biasanya diwakili
oleh masing-masing menteri luar negeri negara anggota Liga Arab. Dewan ini
melakukan pertemuan dua kali dalam setahun di markas besar Liga Arab di Kairo,
Mesir setiap bulan Maret dan September. Pertemuan tambahan juga dapat digelar jika
terdapat dua atau lebih anggota atau Sekretaris Jenderal yang ingin menggelar
pertemuan dan mendapat persetujuan dari sepertiga negara anggota. Pada pertemuan
yang dilaksanakan setiap bulan Maret tiap tahunnya juga akan dihadiri oleh para
kepala negara anggota Liga yang akan membahas mengenai isu-isu regional.45
Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Liga Arab memunyai sedikitnya lima
fungsi utama, yaitu46
:
1. Sebagai pengambil keputusan untuk menerima anggota baru Liga Arab
dan pengeluaran anggota Liga Arab;
44
Marco Pinfari, “Nothing but Failure? The Arab League and the Gulf Cooperation Council as
mediators in Middle Eastern Conflicts”. Crisis State Research Center, Working Paper no. 45 (Maret
2012) hal 3. 45
Toffolo, Global Organization, hal 46. 46
Andreas Kettis, “EU-League of Arab States relations: Prospects for closer parlementary
cooperation”, Policy Briefing European Parliament, (Mei 2013) hal 6-7.
26
2. Sebagai penentu dalam mengawali amandemen piagam atau pakta Liga
Arab;
3. Melakukan mediasi guna menyelesaikan permasalahan yang dapat
mengakibatkan perang antara negara anggota Liga Arab maupun
negara anggota dengan negara non-anggota;
4. Membentuk badan-badan pendukung dan yang berafiliasi dengan Liga
Arab;
5. Menetapkan Sekretaris Jenderal.
Dewan Liga Arab juga bertugas untuk membuat laporan dan menyusun
agenda pertemuan serta membuat kebijakan dan memastikan implementasinya.47
Selain itu Dewan Liga Arab juga bertanggung jawab untuk menyelesaikan konflik
tanpa penggunaan senjata serta pengambilan keputusan yang oleh Dewan Liga Arab
didasarkan pada suara mayoritas dalam voting. Dewan juga bertugas melindungi
negara yang mendapatkan agresi, dan mengkoordinasikan kerjasama dengan
organisasi internasional lain.48
Dewan Liga Arab memiliki penasihat dalam melaksanakan tugasnya,
penasihat tersebut merupakan Komite Spesial Permanen. Komite ini terdiri dari
beberapa menteri dari negara anggota dan ditambah dengan beberapa staf teknis.
Selain memberikan nasihat terhadap Dewan Liga Arab, komite ini juga memberi
nasihat kepada badan badan lain pada Liga Arab dan membantu dewan dalam
mengimlementasikan kebijakan yang dihasilkan oleh Liga Arab. Selain itu juga
47
Toffolo, Global Organization, hal 48. 48
Pinfari, “Nothing but Failure?” hal 3.
27
terdapat Dewan Menteri Spesial dari setiap negara anggota yang bekerja untuk
memformulasikan kebijakan dan bekerjasama di bidang-bidang tertentu.49
Untuk menjalankan roda organisasi secara baik dan berkesinambungan Liga
Arab membentuk Sekretariat Jenderal. Dalam sekretariat tersebut terbagi menjadi
beberapa departemen yang dipimpin oleh asisten Sekretaris Jenderal. Terdapat empat
departemen utama di bawah pimpinan Sekretaris Jenderal yang saat ini dipimpin oleh
Nabil El Araby, yaitu departemen ekonomi, departemen militer, departemen
Palestina, dan departemen administrasi dan keuangan. Sekretaris Jenderal dipilih oleh
Dewan Liga Arab dengan menggunakan voting setiap lima tahun sekali. Sekretaris
Jenderal bertugas mewakili Liga Arab dalam forum internasional dan
mengkoordinasikan posisi Liga Arab dalam isu-isu utama pada tataran internasional
serta memediasi konflik yang terjadi antara anggota Liga Arab.50
Berdasarkan fungsi dan tugas dari masing-masing posisi dalam struktur Liga
Arab maka dapat juga di gambarkan bahwa Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab
sebagai acuan organisasi dalam tataran makro. Sedangkan Dewan Liga Arab dan
Komite sebagai pembangun kerangka kebijakan yang lebih spesifik. Sementara
Dewan Menteri sebagai pemberi nasihat dan saran dalam pembuatan kebijakan.51
Pada tahun 2005 Liga Arab membentuk Parlemen Liga Arab yang disisi oleh
empat perwakilan dari masing-masing negara anggota. Parlemen ini menangani isu-
49
Toffolo, Global Organization, hal 48 50
Ibid., hal 49. 51
Chen & Zhao, “The Arab Leagu‟s Decision”, hal 61.
28
isu sosial, ekonomi, dan budaya. Badan ini dipandang lemah karena tidak mempunyai
kekuatan untuk mencitpatakan peraturan atau hukum yang mengikat.52
Meski
demikian dengan seiring berjalannya waktu Parlemen ini diharapkan dapat
memainkan peran penting dalam Liga Arab seperti halnya Parlemen Uni Eropa yang
pada awal berdirinya juga memiliki kelemahan. Parlemen memiliki potensi untuk
tumbuh menjadi institusi yang lebih kuat dengan adanya momentum Arab Spring
dengan menyuarakan demokrasi, HAM dan keadilan sosial pada negara-negara
Arab.53
Pada proses penentuan kebijakan pada Liga Arab terdapat sistem voting yang
dimiliki oleh setiap negara anggota, yaitu satu suara untuk setiap negara anggota.
Dibutuhkan dua pertiga suara dalam menentukan sebuah kebijakan yang akan diambil
oleh dewan, namun untuk hal-hal yang dianggap penting dibutuhkan konsensus guna
menentukan kebijakan tersebut.54
Selain prinsip konsensus juga terdapat prinsip
hukum domestik yang mengisyaratkan bahwa negara anggota memunyai keputusan
final dalam isu-isu penting. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses pengambilan
keputusan dalam Liga Arab didasarkan pada negosiasi di antara anggota Liga Arab.55
Organisasi ini tidak memunyai mekanisme untuk memaksa atau mengikat anggotanya
52
Toffolo, Global Organization, hal 51. 53
Kettis, “EU-League of Arab States relations”, hal 8-9. 54
Toffolo, Global Organization, hal 48. 55
Chen & Zhao, “The Arab League‟s decision”, hal 61.
29
dengan resolusi yang telah dibuat. Selain itu, kedaulatan nasional negara anggota
yang harus lebih dihargai dibanding dengan kebijakan Liga Arab.56
Dengan demikian kepentingan negara-negara anggota Liga Arab sangat
menentukan proses pembuatan kebijakan organisasi. Suatu kebijakan dapat dibuat
dan diimplementasikan bergantung pada kepentingan negara-negara anggota Liga
Arab. Jika kepentingan negara-negara anggota Liga Arab memiliki kesamaan maka
kebijakan akan mudah untuk diciptakan dan diimplementasikan. Namun jika terdapat
perbedaan kepentingan antara negara-negara anggota maka kebijakan akan sulit
untuk di buat dan dilaksanakan pada Liga Arab.57
Badan-badan dalam Liga Arab mempunyai tujuan utama untuk bekerjasama
guna menyelesaikan masalah anggotanya dan membantu anggotanya tumbuh menjadi
kuat dan independen. Tujuan tersebut diupayakan melalui beberapa tugas Liga Arab
yaitu58
:
1. Mempromosikan keamanan negara-negara Arab;
2. Mendukung Palestina;
3. Membantu negara-negara Arab independen dari penjajahan Barat;
4. Mengkoordinasi kebijakan luar negeri anggota Liga Arab;
56
Jonathan Masters, “The Arab League”, Council of Foreign Relations, 26 Januari 2012, tersedia di
http://www.cfr.org/middle-east-and-north-africa/arab-league/p25967 diunduh pada 19 September
2014. 57
Chen & Zhao, “The Arab League‟s decision”, hal 62. 58
Toffolo, Global Organization, hal 44
30
5. Melarang anggota untuk menggunakan kekerasan di antara anggota
dan membantu menyelesaikan konflik di antara anggota dengan
damai;
6. Meningkatkan perekonomian dan pengembangan keuangan serta
berintegrasi;
7. Mengembangkan pertanian dan industri;
8. Mengembangkan komunikasi dan transportasi;
9. Memelihara budaya dan membangun pendidikan;
10. Mengesampingkan isu-isu nasionalisme (paspor, visa, dan ekstradisi
kriminal);
11. Mempromosikan kesehatan publik.
C. Peran Liga Arab Dalam Peta Politik Timur Tengah
Liga Arab yang telah dibentuk sejak tahun 1945 telah turut andil dalam
dinamika hubungan regional di kawasan Timur-Tengah. Pada masa awal
eksistensinya, Liga Arab telah aktif dalam pembebasan negara-negara Arab dari
penjajahan. Organisasi kawasan ini juga berupaya menguatkan kerjasama di bidang
ekonomi, keuangan, dan perdagangan walau hasilnya dinilai oleh sebagian kalangan
tidak begitu memusakan.59
Pendirian Liga Arab memunyai berbagai tujuan guna memenuhi kepentingan
negara-negara anggotanya di berbagai bidang. Akan tetapi dalam perjalanannya aspek
politik memunyai andil yang sangat penting dalam dinamika Liga Arab. Hal ini dapat
59
Marina Sapronova, “The New Role of the Arab League in Regional and International Relations”,
New Eastern Outlook, 17 Maret 2013, tersedia di http://journal-neo.org/2013/03/17/the-new-role-of-
the-arab-league-in-regional-and-international-relations/ diunduh pada 17 September 2014.
31
dilihat dari masalah terusan Suez tahun 1967 dan perang Yom Kippur tahun 1973
yang berpengaruh terhadap dinamika ekonomi politik internasional. Selain itu,
pemberhentian keanggotaan Mesir dari Liga Arab karena mengadakan perjanjian
damai dengan Israel juga memperlihatkan bahwa aspek politik merupakan aspek yang
sangat berperan penting dalam Liga Arab.60
Sebagian kalangan menilai bahwa Liga Arab sebagai organisasi yang kurang
efektif dan efisien. Organisasi ini kurang tanggap dan sigap dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan penting di kawasannya. Hal ini dikarenakan sistem
Dewan Liga Arab yang menggunakan sistem konsensus untuk melakukan segala
tindakan yang dianggap penting. Sistem tersebut memperlambat proses pembuatan
kebijakan dan implementasinya serta memperkecil kemungkinan kebijakan dapat
dihasilkan karena terdapat perbedaan pendapat di antara anggota Liga Arab.61
Liga Arab juga dipandang sebagai organisasi yang tidak mampu menjalin
kerjasama yang baik dalam bidang politik dan militer dalam mencegah konflik
maupun menyelesaikan konflik yang telah terjadi. Menurut Zacher yang dikutip oleh
Pinfari, berdasarkan data konflik yang terjadi antara tahun 1946-1977, Liga Arab
hanya mampu memediasi 12% konflik yang terjadi di wilayah negara-negara anggota
60
Falahi, “Prospek Regionalisme Timur-Tengah”, hal 93. 61
Toffolo, Global Organization, hal 121.
32
Liga Arab. Sedangkan menurut Ibrahim Awad, Liga Arab hanya mampu
menyelesaikan enam konflik dari 77 konflik ada antara tahun 1945-1981. 62
Sementara dari sejumlah data yang dikumpulkan oleh Pinfari sejak tahun
1945-2008 Liga Arab memediasi 19 konflik dari 56 konflik yang terjadi dan berhasil
menyelesaikan lima dari 19 konflik yang dimediasi. Berdasarkan upaya-upaya yang
dilakukan oleh Liga Arab dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di
kawasannya, Liga Arab sangat mengecewakan, khususnya dalam masalah perang
sipil. Hal tersebut terlihat dari keterlibatan Liga Arab yang hanya menjadi mediator
pada lima perang sipil dari 22 perang sipil berskala besar yang terjadi di kawasan
Timur-Tegah sejak tahun 1945.63
Di sisi lain, sejak tahun 1945 hingga tahun 1980an Liga Arab telah
menghasilkan lebih dari 4000 resolusi, namun sekitar 80% dari resolusi tersebut tidak
pernah terimplementasi. Oleh sebab itu Michael Barnet dan Etel Soligen yang dikutip
oleh Acharya, menjuluki Liga Arab “be seen but not heard”. Hal tersebut
dikarenakan negara-negara anggota Liga Arab berupaya untuk memaksimalkan
kepentingan negaranya masing-masing seperti mengedepankan keberlangsungan
hidup negaranya dan aliansi politiknya masing-masing.64
Dalam debat regional yang diselenggarakan oleh Qatar Foundation tahun
2006, kandidat Presiden Lebanon pernah mengatakan bahwa Liga Arab sebagaimana
62
Pinfari, “Nothing but Failure?”, hal 6. 63
Ibid., hal 10. 64
Acharya dan Johnston, Crafting Cooperation, hal 213.
33
banyak orang Arab melihat organisasi regional tersebut “inefficient, counter-
productive, a sham and corrupt.” Liga Arab juga dipandang gagal dalam melindungi
hak asasi manusia dan tidak mampu melawan tindakan yang semena-mena. Namun
beberapa pihak mengatakan bahwa kegagalan-kegagalan ini disebabkan oleh berbagai
masalah yang dihadapi, seperti permasalahan konflik Arab dengan Israel, intervensi
kekuatan asing, kepentingan minyak, dan perang melawan terorisme yang
digaungkan oleh Amerika Serikat.65
Pandangan lain mengatakan bahwa kegagalan
tersebut disebabkan oleh adanya ambisi dari masing-masing negara anggota yang
menghambat kebijakan-kebijakan dalam berbagai bidang penting dalam Liga Arab.66
Walaupun terdapat banyak kritik mengenai keefektifan dan efisiensi dalam
menjalankan roda organisasinya, Liga Arab telah berperan penting dalam
meningkatkan perhatian diantara negara-negara anggotanya, di PBB dan organisasi
regional lain. Hal ini dapat dilihat dari kerjasama ekonomi yang kuat pada tataran
regional. Selain itu, Liga Arab juga telah membuat standar pendidikan dan kurikulum
regional serta memfasilitasi pelatihan bagi para guru dan pelestarian kebudayaan.
Lebih lanjut pemimpin-pemimpin di kawasan tersebut juga telah menyetujui
kolaborasi dalam penelitian dan meningkatkan pendanaan untuk pengembangan ilmu
dan teknologi. Pandangan lain yang juga melihat bahwa Liga Arab merupakan suatu
65
Toffolo, Global Organization, hal 121-122. 66
Sapronova, “The New Role of the Arab League”.
34
organisasi yang penting untuk mengkoordinasikan negara-negara di kawasan pada
tingkat yang lebih tinggi seperti di PBB.67
Lebih lanjut, Bruce Maddy dan Weitzman memandang bahwa telah terjadi
perubahan yang signifikan dalam Liga Arab. Liga Arab telah menjadi bagian yang
penting dalam proses diplomatik dalam berbagai isu di kawasan. Hal ini dapat dilihat
pada pemberian legitimasi terhadap intervensi Barat dalam penggulingan rezim
Mu‟ammar al-Qaddafi di Libia. Liga Arab juga mendukung Dewan Kerjasama
negara-negara Teluk (GCC) dalam mendorong Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh
untuk mundur dari jabatannya. Selain itu, hingga saat ini Liga Arab juga aktif dalam
upaya penyelesaian konflik di Suriah.68
Perubahan siginifikan yang terjadi pada Liga Arab di atas tidak luput dari
pandangan negatif. Armenak Tokmajyan misalnya, dia memandang bahwa
Organisasi regional ini rawan berubah menjadi alat legal bagi intervensi pada politik
regional serta masalah internal negara-negara anggota Liga Arab. Tokmajyan
memandang bahwa Liga Arab saat ini menjadi alat politik bagi negara-negara seperti
Qatar dan Arab Saudi untuk memengaruhi wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.
Selain itu Organisasi regional ini kini menjadi penting bagi pemerintahan baru
67
Toffolo, Global Organization, hal 122. 68
Bruce Maddy dan Weitzman, ”The Arab League Comes Alive,” Middle East Quarterly. Volume 72,
(Summer 2012), hal 71.
35
negara-negara yang dilanda Arab Spring dan Koalisi Nasional Suriah (SNC) sebagai
sumber legitimasi mereka.69
Sementara Marina Sapronova memandang bahwa Liga Arab mencoba untuk
kembali eksis dengan berupaya untuk mempengaruhi kondisi dan situasi yang terjadi
pada fenomena Arab Spring yang dimulai pada tahun 2010 lalu. Akan tetapi Liga
Arab tidak bertindak sesuai dengan kebiasaan kolektivitasnya, melainkan hanya
mengedepankan kepentingan negara-negara tertentu saja. Hal ini terlihat dari
penggulingan rezim Muamar Gadhafi di Libia yang mengindahkan resolusi
penyelesaian masalah dengan damai dan Liga Arab memilih Barat untuk
mengintervensi secara militer. Hampir serupa dengan kasus Libia, Liga Arab
menghentikan keanggotaan Suriah dan memberikan sanksi politik dan ekonomi
walaupun mendapat tentangan dari Lebanon dan Yaman.70
Selain itu, menurut Hamid yang dikutip oleh Masters, fenomena Arab Spring
dan Sekretaris Jendreal Liga Arab yang baru yaitu Nabil el Araby membawa angin
segar perubahan. Araby dipandang mampu memahami dan menyerap aspirasi
masyarakat Arab serta menghargai para aktivis Arab, para demonstran, dan juga
pihak oposisi. Selain itu Araby juga dianggap bukan bagian dari rezim terdahulu dan
mampu membawa perubahan.71
69
Armenak Tokmajyan, “A Brand New Arab League”, Middle East Online, 23 Mei 2013, tersedia di
http://www.middle-east-online.com/english/?id=58941 diunduh pada 25 September 2013. 70
Sapronova, “The New Role of the Arab League”. 71
Masters, “The Arab League”.
36
Menurut Tokmajyan, Liga Arab dengan berbagai perkembangannya di atas
diperkirakan akan memunyai peran penting dalam penyelesaian konflik dan
penciptaan perdamaian di masa yang akan datang. Pandangan tersebut didasarkan
pada peningkatan kapasitas dan kemampuan Liga Arab. Lebih jauh, Tokmajyan
beranggapan bahwa Liga Arab saat ini menjadi organisasi yang lebih fleksibel
dibandingkan dengan PBB.72
Dinamika hubungan internasional memang dapat berubah dengan sangat
cepat, begitu juga yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Fenomena Arab Spring
yang bermula pada tahun 2010 oleh sebagian kelompok dipandang sebagai suatu
momentum yang baik guna kemajuan Liga Arab di kawasan tersebut. Kelompok
tersebut memandang bahwa penggulingan rezim-rezim otoriter akan merubah negara-
negara di kawasan menjadi lebih demokratis. Namun sebagian kelompok lain
memandang bahwa Arab Spring sebagai ancaman terhadap Liga Arab yang
disebabkan instabilitas politik yang terjadi di kawasan. Kelompok ini memandang
bahwa instabilitas politik di kawasan tersebut tidak akan mudah untuk dipulihkan
seperti sedia kala, terlebih lagi dengan adanya intervensi dari negara lain.73
72
Tokmajyan, “A Brand New Arab League”. 73
Falahi, “Prospek Regionalisme Timur-Tengah”, hal 190.
37
BAB III
KONFLIK SURIAH PADA ERA ARAB SPRING DAN KONDISI DI TIMUR
TENGAH
Pada bab ini akan dijelaskan kondisi Suriah yang mengalami konflik yang
berdampak ke negara-negara tetangganya. Dimulai dengan menjelaskan negara
Suriah secara umum. Dilanjutkan dengan permulaan konflik di Suriah pada tahun
2011 dan perkembangannya. Kemudian dijelaskan akibat konflik yang terjadi di
Suriah terhadap negara-negara tetangganya.
A. Sekilas Mengenai Negara Suriah
Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah singkat Suriah yang akan
dimulai pada tahun 1946. Uraian mengenai sejarah Suriah ini dibatasi dengan tahun
dan pembahasan yang berkaitan dengan skripsi ini saja karena Suriah memunyai
sejarah yang cukup panjang dan kaya. Pembatasan tahun tersebut dipilih karena pada
tahun itulah Suriah merdeka dari okupasi yang dilakukan oleh Perancis dan berubah
menjadi negara moderen hingga kini. Kemerdekaan yang diraih oleh Suriah tersebut
kemudian dipimpin oleh Blok Nasional yang kemudian menunjuk al-Quwatli sebagai
kepala negara Suriah untuk pertama kalinya.74
Radwan Ziadeh menilai bahwa Suriah merupakan negara yang demokratis
dan pruralis. Hal ini dapat dilihat pada proses kemerdekaan Suriah pada tahun 1946
74
Robert G. Rabil, Syria, The United States, and The War on terror in The Middle East, (London:
Praeger Security International, 2006), hal 15.
38
mengedepankan diplomasi diantara para elit politik dan partai politik yang memunyai
ideologi bermacam-macam. Suriah juga telah memunyai spesial konstitusi pada tahun
1950 yang diantaranya berisi mengenai kesetaraan pria dan wanita, kebebasan publik,
menghormati hak dasar masyarakat dan hak asasi manusia. Di Suriah pada tahun
1949 juga telah memberikan hak pada kaum wanita untuk memilih dalam pemilihan
umum serta pada tahun 1953 wanita mempunyai hak untuk dipilih.75
Namun situasi kondusif tersebut tidak bertahan lama, menurut Barry Rubin
negara Suriah pada rentang tahun 1949 hingga 1970 berubah menjadi negara yang
sangat tidak stabil. Pada rentang waktu tersebut juga terjadi banyak kudeta dalam
pemerintahan di Suriah. Pada tahun 1946-1956 saja Suriah memunyai dua puluh
kabinet yang berbeda serta empat konstitusi yang berbeda pula. Hal ini disebabkan
karena Suriah belum mampu menemukan identitas negara, paradigma, atupun sistem
yang koheren.76
Selain itu juga terdapat faktor perbedaan etnisitas dan aliran-aliran
penduduk Suriah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya ketegangan sosial
yang terjadi pada masyarakat Suriah. Faktor-faktor tersebut juga dipandang menjadi
penghambat kesuksesan integrasi masyarakat Suriah menuju suatu negara moderen
pada awal kemerdekaan negara tersebut pada tahun 1946.77
75
Radwan Ziadeh, Power and Policy in Syria: Intelligence Services, Foreign Relations and
Democracy in The Modern Middle East, (London: I.B. Tauris, 2011) hal 33. 76
Barry Rubin, The Truth About Syria, (New York: Palgrave Macmillan, 2007), hal 36. 77
Flynt Leverett, Inheriting Syria: Bashar Trial by Fire, (Washingon DC: The Brookings Institution,
2005), hal 2.
39
Pada tahun 2012 Suriah memiliki penduduk yang berjumlah sekitar 22 juta
jiwa dan memunyai wilayah terbesar ketiga di Liga Arab. Sekitar 90% penduduk
Suriah adalah Muslim. Penduduk Muslim tersebut terdiri dari 74 Sunni, dan
kelompok Syiah, Alawi, Druze, serta Islamili berjumlah sebanyak 16%. Sedangkan
10% sisanya terdiri dari pemeluk agama Kristen Protestan, ortodok serta aliran
lainnya.78
Sementara berdasarkan etnisitas, Suriah terdiri dari etnis Arab yang
berjumlah 90%, suku Kurdi 9%, dan sisanya suku Armenia, Circassia, serta
Turkoman.79
Lebih lanjut, kelompok-kelompok diatas tinggal berkelompok-
kelompok pada suatu wilayah tertentu. Hal ini menyebabkan semakin bertambah
besar potensi ketegangan sosial di Suriah.80
Dibawah ini disajikan peta negara Suriah
beserta persebaran aliran-aliran yang dianut oleh penduduk Suriah:
78
Margaret K. Nydell, Understanding Arabs: A Contemporary Huide to Arab Society, (Boston:
Intercultural Press, 2012), hal 174. 79
Leverett, Inheriting Syria, hal 2. 80
Rubin, The Truth about Syria, hal 28.
40
Gambar 2. Peta negara Suriah dan aliran agama penduduk.
Sumber: Flynt Leverett, Inheriting Syria: Bashar’s Trial By Fire, hal 3
Setelah sekian lama mengalami instabilitas dalam negeri, kepemimpinan
Suriah diambil alih oleh Hafiz al Assad pada tahun 1970. Hafiz menjanjikan stabilitas
dalam negeri serta kejayaan di dunia internasional. Namun menurut Barry Rubin hal
tersebut tidak dapat direalisasikan oleh Hafiz, bahkan menurutnya Suriah termasuk
kedalam jajaran negara yang sangat kacau di dunia. Hal tersebut dikarenakan masih
terjadinya ketidakpastian identitas serta kompleksitas masyarakat Suriah. Selain itu
41
juga masih terdapat masalah pembangunan yang belum jelas dan ditambah dengan
letak Suriah yang berada di kawasan yang tidak stabil.81
Setelah berhasil menduduki kursi kepemimpinan Suriah yang baru, Hafiz
memimpin Suriah secara otoriter. Pemerintahnya hanya mengijinkan satu partai yang
berdiri di Suriah dan selalu berusaha menekan munculnya oposisi. Sebagai presiden,
Hafiz juga memunyai kekuasaan atas militer dan aparat kemanan Suriah. Partai Ba‟th
yang merupakan partai tunggal di Suriah juga berada di bawah kontrol Hafiz. Selain
itu, dia juga mengotrol dewan menteri, parlemen, serta pengadilan.82
Hafiz mampu mempertahankan kekuasaan yang digenggamnya hingga akhir
hayat pada 10 Juni 2000. Kekuasaan yang mampu digenggam selama 30 tahun
tersebut dipertahankan dengan cara mengkondisikan para pendidik, jurnalis, intelek,
serta budayawan guna mempengaruhi masyarakat guna patuh dan mencintai
pemimpinnya. Hafiz bersama partai Ba‟th mengontrol hampir semua lini kehidupan
rakyatnya seperti dalam hal perekonomian, militer, media, pendidikan, agama, dan
lain sebagainya guna menjaga kekuasaannya tetap aman di genggamannya.83
Selain
itu Hafiz juga melakukan restrukturisasi dan membuat sistem politik formal yang
81
Rubin, The Truth about Syria, hal 32. 82
Janis Berzins, “Civil War in Syria: Origin, Dynamics, and Possible Solutions”, National Defence
Academy of Latvia, Strategic Review, no 7, (Agustus 2013), hal 1. 83
Rubin, The Truth about Syria, hal 44-45.
42
dapat melegitimasi pemerintahannya dengan tujuan untuk mengontrol masyarakat
Suriah.84
Partai Ba‟th mempunyai peran penting dalam mendukung langgengnya
kekuasaan Hafiz. Partai Ba‟th memiliki anggota sekitar 65,000 orang pada tahun
1970 saat Hafiz memulai kekuasaannya di Suriah. Namun dengan seiring berjalannya
waktu partai tersebut mengalami peningkatan jumlah anggota yang signifikan yaitu
mencapai satu juta anggota pada tahun 1992 dan pada tahun 2005 total anggotanya
berjumlah 1,8 juta anggota. Partai ini juga bertugas untuk memastikan berbagai pihak
untuk tunduk dan loyal terhadap kepemimpinan Hafiz yang mendominasi partai
tersebut.85
Setelah berkuasa sekian lama, Hafiz mempersiapkan anak laki-laki tertuanya
Basil untuk meneruskan kepemimpinannya kelak ketika ia telah berpulang. Namun
rencana hanyalah tinggal rencana, Basil mengalami kecelakaan yang mengakibatkan
ia meregang nyawa pada Januari tahun 1994. Akibat peristiwa tersebut Bashar adik
Basil yang tidak memunyai latar belakang di bidang politik kemudian dipersiapkan
dengan sedemikian cara untuk menjadi pemimpin Suriah kelak menggantikan
ayahnya. Hafiz mengkondisikan Bashar sehingga ia mendapat dukungan dari militer
84
Rabil, Syria, The United State, and The War on Terror, hal 28. 85
Rubin, The Truth about Syria, hal 45.
43
dan aparat keamanan. Selain itu Hafiz juga membangun citra baik Bashar di kalangan
rakyat Suriah, serta mendidiknya untuk menjadi pemimpin masa depan Suriah.86
Ketika Hafiz wafat pada 10 Juni 2000 berdasarkan konstitusi maka wakil
presiden Khaddam menjadi presiden sementara. Tidak lama dari waktu tersebut
Bashar menjadi sekretaris jenderal partai Ba‟th dan kemudian mencalonkan diri
sebagai kandidat presiden Suriah. Pada 10 Juli 2000 dilakukan referendum guna
menentukan Presiden Suriah sepeninggal Hafiz. Referendum tersebut kemudian
memenangkan Bashar dengan suara sebesar 97,3% sebagai presiden terpilih
menggantikan ayahnya.87
Pada saat Bashar telah menjadi presiden, ia mempunyai agenda untuk
membuka perekonomiannya bagi pasar internasional serta menyesuaikan negaranya
dengan globalisasi yag telah merebak. Bashar memiliki prioritas untuk mempercepat
moderenisasi para kader serta memperkuat institusi negara melalui reformasi
administrasi. Selain itu, pemerintah menginisiasi prinsip jalan tengah dengan cara
ekspansi sektor swasta dan pada waktu yang bersamaan pemerintah melakukan
reformasi pada sektor publik. Lebih lanjut pemerintah melakukan perlindungan sosial
selama liberalisasi ekonomi berjalan.88
86
Leverett, Inhereting Syria, hal 61. 87
Ibid., hal 65-67. 88
Raymond Hinnebusch, “Syria: From „Authorian Upgrading‟ to Revolution?”, International Affairs,
Volume 88, No. 1 (2013), hal 98.
44
Fenomena Arab Spring yang dimulai pada 2010 oleh sebagian kalangan
dinilai tidak akan menghampiri Suriah. Bashar pun mengklaim bahwa negaranya
terlindungi oleh identitas yang tidak dapat dipengaruhi serta terlindungi oleh
kebijakan luar negeri yang populer. Selain itu, Bashar juga meyakini bahwa reformasi
yang dilakukannya telah mampu mengantisipasi kemarahan rakyat. Pemerintahan
Suriah telah meningkatkan subsidi pada perminyakan dan membatalkan rencana
pemotongan subsidi di berbagai bidang lain.89
Bashar nampak percaya diri terhadap stabilitas negaranya pada awal-awal
fenomena Arab Spring mulai merebak dan mengulingkan rezim-rezim penguasa di
negara-negara tetangganya. Selain itu ketika bulan Maret 2011 mulai terlihat
mobilisasi masyarakat Suriah yang mengarah pada aksi demonstrasi dan kemudian
demostrasi mulai bergulir, Bashar menawarkan reformasi yang lebih subtantif serta
menghentikan kekerasan. Namun upaya Bashar tersebut tidak berbuah hasil.
Sedangkan di dunia maya para aktivis berupaya membentuk opini bahwa Suriah telah
terjangkit fenomena Arab Spring walau kenyataannya masih sangat sedikit aksi
demostrasi yang terjadi di negaranya. Bergulirnya waktu membuat demonstrasi
berkembang menjadi besar dan meluas hampir di seluruh wilayah Suriah.90
B. Konflik Antara Pemerintah dan Pihak Oposisi Suriah
89
March Lynch, The Arab Uprising: The Unfinished Revolutions of The Middle East, (New York:
Public Affairs, 2012) hal 443-444. 90
Ibid., hal 448.
45
Gambaran konflik yang terjadi antara pemerintah Suriah dan pihak oposisi
Suriah secara singkat telah digambarkan pada BAB 1. Konflik ini tidak terlepas dari
fonomena yang disebut sebagai Arab Spring yang melanda negara-negara di kawasan
Timur Tengah dan Afrika. Sebagian negara yang dilanda Arab Spring telah mampu
menggulingkan rezim-rezim penguasa baik dengan cara militer, demonstrasi, maupun
tekanan pihak-pihak tertentu. Namun tidak demikian dengan Suriah, hingga skripsi
ini ditulis rezim di Suriah masih bersikukuh mempertahankan kekuasaannya walau
mendapatkan berbagai perlawanan dan tekanan baik secara militer maupun non
militer dari berbagai pihak.
Pertentangan sebagian masyarakat Suriah dengan pemerintah yang telah
berubah menjadi perang tersebut kini menjadi suatu perang rumit. Menurut Broto
Wardoyo, setidaknya konflik di Suriah dapat dipetakan menjadi tiga kelompok
utama. Kelompok tersebut terdiri dari kelompok pemerintah beserta kelompok
pendukung. Kemudian kelompok penentang pemerintahan tersebut atau pihak oposisi
yang terdiri dari beberapa kelompok didalamnya. Kelompok yang terakhir adalah
kelompok milisi-milisi Kurdi yang menentang pemerintahan yang berkuasa namun
tidak benar-benar bergabung dengan pihak oposisi.91
Kelompok pemerintah beserta pendukungnya merupakan kelompok yang
solid dalam konflik yang terjadi di Suriah. Hal ini dikarenakan oleh berbagai sebab,
91
Broto Wardoyo, “Anatomi dan Penyelesaian Konflik Internal di Suriah”, Analisis CSIS, volume 43,
no. 2, (Juni 2014), hal 183.
46
diantaranya karena rezim yang dipimpin oleh Bashar telah menguasai militer Suriah
sejak kepemimpinan ayahnya Hafiz. Selain itu terdapat juga kelompok menengah
Sunni atau kelompok aristrokat Sunni yang berkoalisi dengan pemerintah sejak
zaman Hafiz. Koalisi tersebut dibentuk sejak Hafiz berkuasa dengan tujuan kelompok
aristrokasi Sunni tersebut tidak melakukan perlawanan kepada pemerintah yang
berkuasa.92
Menurut Joshua Landis, Presiden Hafiz telah mempersiapkan kemungkinan
terburuk yang akan terjadi pada kekuasaan yang digenggamnya. Hafiz berupaya
mengontrol militer dengan mengisi jabatan-jabatan penting di bidang militer dengan
anggota keluarganya. Dia melatih anak-anaknya serta keluarganya sehingga ahli
militer dan dapat mengamankan negaranya. Hal tersebut dilakukan Hafiz karena dia
percaya bahwa hanya keluarga terdekat yang dapat dipercaya.93
Sementara kelompok kedua adalah milisi-milisi Kurdi yang terpecah menjadi
dua kelompok yang berbeda. Pecahan pertama bergabung dengan koalisi oposisi
penentang pemerintah Bashar. Sedangkan pecahan kedua memilih tetap berdiri
sendiri tanpa menunjukkan dukungan pada kedua belah pihak yang bertikai.
Kelompok Kurdi merupakan kelompok yang diberi perlakuan khusus di Suriah oleh
pemerintah yang berkuasa. Perlakuan spesial tersebut diberikan oleh rezim penguasa
92
Ibid, hal 184. 93
Joshua Landis, “The Syrian Uprising of 2011: Why The Asad Regime Is Likely to Survive to 2013”,
Middle East Policy, Volume XIX, no. 1, (Spring 2012) Landis, hal 73.
47
karena kelompok ini dianggap dapat dimanfaatkan guna memengaruhi negara
Turki.94
Kelompok oposisi penentang pemerintah terdiri dari berbagai kelompok-
kelompok kecil yang tidak begitu solid. Kubu ini terdiri dari Koalisi Nasional Suriah
(SNC), Tentara Pembebasan Suriah (FSA), Badan Koordinator Nasional (NBC), serta
kelompok-kelompok kecil yang berada di daerah. Kelompok oposisi ini mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu dengan munculnya pemain-pemain baru maupun
terjadi perpecahan dalam kelompok tersebut. Sebagai contoh adalah kemunculan
Koalisi Nasional (NC) yang merupakan bentukan dari SNC. Selain itu juga terdapat
Supreme Joint Military Command (SMC), Syrian Liberation Front (SLF), serta
Syrian Islamic Front (SIF).95
SNC sebagai kelompok oposisi utama di Suriah, SNC mengklaim bahwa
mereka merupakan pemimpin dari kelompok-kelompok oposisi di Suriah. Akan tetapi
pada kenyataannya kelompok-kelompok tersebut masih terpecah dan tidak benar-
benar berada dalam kontrol SNC. Hal tersebut nampak pada klaim SNC yang
menyatakan bahwa FSA berada dibawah kontolnya, namun di lapangan mereka
bertempur secara independen. Selain itu FSA yang dipimpim oleh Colonel Asaad pun
tidak terorganisir dan terkomando dengan baik.96
94
Wardoyo, “Anatomi dan Penyelesaian Konflik”, hal 185-186. 95
Ibid., hal 186-187. 96
Landis, “The Syrian Uprising of 2011”, hal 75.
48
Selain kelompok-kelompok diatas juga muncul kelompok yang dipandang
radikal dalam melawan rezim pemerintahan, yaitu ISIS dan Al-Nusra. Islamic State
of Iraq and Syria (ISIS) merupakan kelompok organisasi yang dibentuk di Iraq pada
tahun 2006 yang kemudian melebarkan sayapnya hingga ke Suriah dengan tujuan
mendirikan negara Islam. Sedangkan Al-Nusra merupakan kelompok yang berafiliasi
kuat dengan al-Qaeda yang dibentuk pada tahun 2012. Al-Nusra diperkirakan
mempunyai lebih dari enam ribu anggota.97
Kelompok oposisi Suriah juga dapat dipetakan berdasarkan ideologi yang
diusung serta cara yang digunakan untuk memperjuangkan cita-citanya di Suriah
seperti pada gambar dibawah ini:
Gambar 3. Kelompok-kelompok oposisi Suriah
Sumber: Wardoyo, “Anatomi dan Penyelesaian Konflik”, hal 188
97
Berzins, “Civil War in Syria”, hal 4.
ISIS, Al-Nusra
IM SIF
SLF
SNC, NC FSA
Islamis
s
Sekuler
Gerakan Politik
Militeristik
49
Pada gambar diatas digambarkan bahwa terdapat kelompok yang
memperjuangkan cita-citanya di Suriah dengan jalur politik, yaitu kelompok
Ikhwanul Muslimin (IM), SNC, dan NC. Namun dari tiga kelompok tersebut
mempunyai perbedaan ideologi yang diusung, IM mengusung ideologi Islam,
sedangkan SNC dan NC mengusung ideologi sekuler. Pada sisi lain terdapat
kelompok yang memperjuangkan cita-citanya dengan cara militer, yaitu ISIS, Al-
Nusra, SIF, SLF, FSA. Kelompok yang memperjuangkan cita-citanya dengan cara
militer ini memiliki dua ideologi yang berbeda juga, ISIS, Al-Nusra, SIF mengusung
ideologi Islami, sedangkan SLF dan FSA mengusung ideologi sekuler.
Perang sipil yang terjadi di Suriah terus berkembang kearah yang semakin
buruk dari waktu ke waktu. Pada awal peperangan hanya terjadi perang antara rezim
pemerintah dengan pihak oposisi. Seiring berjalannya waktu kelompok oposisi pun
terpecah, bahkan saling perang di antara mereka. Dibawah ini disajikan peta konflik
antara rezim Bashar dengan kelompok-kelompok oposisi Suriah yang menggunakan
cara militer:
50
Gambar 4. Peta Konflik Suriah tahun 2013.
Sumber: http://www.polgeonow.com/2013/12/syria-civil-war-map-december-2013-12.html
diunduh pada 26 Oktober 2013.
Dari peta konflik diatas dapat dilihat bahwa konflik antara rezim Bashar
dengan kelompok-kelompok oposisi hampir terjadi di seluruh kawasan di Suriah.
Namun diantara kelompok oposisi yang melawan rezim pemerintah, kelompok ISIS
dan Al-Nusra sebagain besar tentaranya terdiri dari negara lain yang ikut serta
berperang dengan tujuan mendirikan negara Islam. Sedangkan kelompok oposisi
51
lainnya hampir seluruh anggotanya adalah rakyat Suriah. ISIS dan Al-Nusra
dipandang sebagai kelompok radikal yang tidak hanya berperang melawan rezim
pemerintah, namun juga dengan kelompok oposisi lain. Hal tersebut mengakibatkan
perebutan kekuasan di wilayah-wilayah Suriah tidak hanya terjadi antara pihak
oposisi dengan rezim pemerintah, namun juga diantara kolompok oposisi yang
berbeda.98
Dengan kondisi yang sedemikian kacau di Suriah, rezim pemerintah
beranggapan bahwa negaranya merupakan objek yang menjadi sararan oleh Israel,
Barat serta negara-negara Arab yang pro-Barat. Upaya penggulingan rezim
pemerintah ditujukan untuk memenuhi kepentingan Barat dan Israel di kawasan
Timur Tengah. Bashar melihat bahwa munculnya kubu oposisi radikal di Suriah
merupakan bentuk dari upaya Arab Suadi dan Qatar yang merupakan aliansi Barat
untuk menumbangkan rezim pemerintahannya.99
Pernyataan rezim pemerintah tersebut bukan hanya bualan semata untuk
memerangi para ekstrimis. SMC yang berupaya mengkoordinir pasukan bersenjata
kelompok-kelompok oposisi didukung oleh Amerika beserta sekutunya. Negara-
negara seperti Arab Saudi, Qatar, Mesir, Uni Emirate Arab, Turki, Inggris, Perancis,
Jerman, dan Itali yang merupakan sekutu Amerika Serikat turut membantu SMC
98
“Syria Civil War Map: December 2013”, Political Geography Now, 15 Desember 2013, tersedia di:
http://www.polgeonow.com/2013/12/syria-civil-war-map-december-2013-12.html; diunduh pada 28
Maret 2014. 99
Muriel Asseburg dan Heiko Wimmen, “The Civil War and the Impotence of International Politics”,
Peace Report, (2013), hal 72.
52
dalam hal pendanaan serta mensuplai persenjataan. Dukungan tersebut kemudian
disalurkan kepada kelompok-kelompok yang tergabung dalam SMC seperti FSA
yang merupakan kelompok oposisi bersenjata terbesar dan SLF. Sedangan kelompok
SIF yang berideologi Islamis didukung oleh para konglomerat Arab Saudi, Qatar,
serta negara-negara teluk lainnya.100
Namun dalam menghadapi kubu oposisi Bashar tidak sendirian, rezimnya
juga didukung dari pihak luar. Salah satu pendukungnya setianya adalah Iran yang
berupaya mendukung rezim pemerintah dengan segala cara. Iran mendukung suplai
energi, militer, dan ekonomi guna mempertahankan rezim pemerintah supaya tidak
dapat digulingkan oleh kubu oposisi. Selain itu juga ada Rusia dan China yang
memperkuat rezim pemerintah baik secara sekonomi, militer, dan secara politik pada
tataran internasional dalam menghadapi Amerika Serikat dan sekutunya.101
Melihat paparan perkembangan konflik Suriah di atas terlihat semakin
memburuk dan rumit. Fenomena demokratisasi di Timur Tengah yang banyak
digaungkan oleh Barat akan membawa perbaikan telah berubah menjadi perang sipil
yang berkepanjangan. Kepentingan-kepentingan pihak eksternal pun juga turut
memperburuk konflik yang terjadi di Suriah. Hal tersebut tidak hanya menimbulkan
dampak buruk bagi negara Suriah, namun juga berpengaruh terhadap negara-negara
di sekitar Suriah bahkan secara global.
100
Ken Sofer dan Juliana Shafroth, “The Structure and Organization of the Syrian Opposition”, Center
for American Progress, (14 May 2013), hal 5-7. 101
Asseburg dan Wimmen, “The Civil War”, hal 73.
53
C. Dampak Konflik Suriah Pada Era Arab Spring Terhadap Negara-Negara di
Timur Tengah
Pergolakan dan konflik di Suriah sesungguhnya tidak terlepas dari pengaruh
dari lingkungan eksternal Suriah. Penggulingan rezim-rezim otoriter di wilayah
Timur Tengah dan Afrika turut memicu hal serupa di Suriah. Pada era global ini
memang tidak ada satu negarapun yang mampu berdiri sendiri tanpa hubungan
dengan negara-negara lain. Hubungan tersebut sering kali menimbulkan pengaruh
bagi negara-negara yang berinteraksi. Begitu juga dengan konflik Suriah yang juga
dimulai karena mendapat pengaruh dari luar, kemudian juga kembali memengaruhi
negara-negara tetangga Suriah bahkan mempunyai pengaruh yang lebih luas secara
global.
Sekretaris Jenderal Liga Arab, Nabil al-Arabi senada dengan para pengamat
melihat bahwa perang sipil di Suriah akan memberikan pengaruh signifikan terhadap
negara-negara tetangga Suriah.102
Hal tersebut dapat dilihat dari negara Suriah yang
memiliki wilayah strategis yang berada di tengah-tengah persaingan di Timur Tengah
mengakibatkan kondisi yang terjadi di Suriah sangat mempengaruhi negara-negara di
sekitarnya. Letak negara Suriah bersinggungan langsung dengan Irak, Lebanon,
Israel, Palestina, Turki beserta permasalahan Kurdi dan Iran yang keseluruhan sangat
mempengaruhi dinamika Timur Tengah. Secara langsung mapun tidak langsung,
102
Andrew Spath, “Opposition Groups in Syria: Myths and Realities”, Foreign Policy Research
Institute, Januari 2012, tersedia di: http://www.fpri.org/articles/2012/01/opposition-groups-syria-
myths-and-realities; diunduh pada 4 Nopember 2014.
54
konflik yang terjadi di Suriah juga memengaruhi stabilitas serta hubungan di antara
negara-negara tetangga Suriah.103
Menurut Daniel L. Byman dan Kenneth M. Pollack, perang sipil di Suriah
yang awalnya hanya mencakup wilayah domestik Suriah dapat menjadi bencana bagi
negara-negara tetangga Suriah. Hal tersebut dikarenakan perang sipil yang
berkepanjangan biasanya akan berdampak kepada lingkungan sekitar. Bencana akan
muncul dari berbagai sebab seperti permasalahan pengungsi, terorisme, intervensi,
dan separatisme yang dapat menimbulkan berbagai dampak multidimensi. Besar
kecilnya dampak tersebut bergantung pada jangka waktu dan parahnya konflik yang
terjadi di Suriah.104
Dampak secara langsung dari perang sipil yang terjadi di Suriah telah
dirasakan oleh negara-negara tetangga Suriah sejak perang mulai pecah antara rezim
pemerintah dengan kubu opposisi. Turki yang mempunyai wilayah yang
bersinggungan dengan Suriah pada 3 Oktober 2012 terkena dampak bom yang
berasal dari konflik di Suriah yang menewaskan lima orang penduduk sipil di
perkampungan Akcakale. Dari peristiwa tersebut Turki meningkatkan keamanan
perbatasan negaranya yang dekat dengan Suriah dengan mengirim tank dan
103
The State of Barbary, hal 57. 104
Daniel L. Byman dan Kenneth M. Pollack, “The Syrian Spillover: Is anyone prepare for the
unintended consequences of the war for Syria?”, Foreign Policy, 10 Agustus 2012, tersedia di:
http://www.foreignpolicy.com/articles/2012/08/10/the_syrian_spillover; diunduh pada 6 Nopember
2014.
55
perlengkapan militer guna mengamankan wilayahnya.105
Kemudian pada Januari
2013 Turki meminta bantuan beberapa anggota NATO yaitu Jerman, Amerika Serikat
dan Belanda untuk menjaga perbatasan Turki dengan Suriah.106
Pada bulan yang sama dengan tewasnya lima orang di Turki akibat perang di
Suriah, beberapa bom juga meledak di dataran tinggi Golan yang dikuasai oleh Israel.
Peristiwa tersebut mempengaruhi Israel untuk meningkatkan keamanan wilayah
tersebut dengan mengirimkan tank ke wilayah yang seharusnya bebas dari militer
tersebut. Israel khawatir dengan konflik Suriah yang dapat meluas ke Israel. Rezim
Suriah dikhawatirkan melibatkan Hizbullah dari Libanon serta Hamas dari Gaza
dalam perang di Suriah. Negara tetangga Suriah yang lain, yaitu Libanon juga sering
terkena dampak ledakan bom yang berasal perang di Suriah yang mengakibatkan
kerusakan. Sementara di Jordania, dampak bom dari Suriah mengakibatkan beberapa
penduduk terluka. Sedangkan Irak yang merupakan salah satu tetangga terdekat
Suriah menjadi salah satu negara yang penduduknya ikut mendukung peperangan
sipil baik di sisi pemerintah maupun sisi oposisi.107
Selain itu, dampak yang dirasakan oleh negara-negara tetangga Suriah sejak
awal konflik di Suriah diantaranya adalah permasalahan pengungsi Suriah yang
mengungsi ke negara-negara tetangga. Diantara negara-negara tetangga yang menjadi
105
“How Syria‟s Civil War is Spilling Over”, Aljazeera, 12 November 2012, tersedia di:
http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2012/11/20121112193038751565.html; diunduh pada 4
Nopember 2014. 106
Asseburg dan Wimmen, “The Civil War”, hal 79. 107
“How Syria‟s Civil War is Spilling Over”.
56
tujuan utama pengungsi adalah Lebanon, Yordania, Turki, Irak, dan Mesir.
Permasalahan pengungsi tersebut tidak hanya menjadi perhatian bagi negara-negara
tetangga yang dituju oleh pengungsi, namun juga telah menjadi perhatian PBB
sehingga meluncurkan program darurat kemanusian bagi pengungsi Suriah.108
Pengungsi tersebut dapat menjadi permasalahan yang sulit bagi negar-negara
tujuan pengungsi. Para pengungsi dapat menjadi sumber konflik pada negara yang
menerima mereka. Lebih dari itu para pengungsi yang mayoritas warga sipil kerap
kali menjadi target dalam perang sipil.109
Di bawah ini disajikan gambar para
pengungsi Suriah yang mengungsi ke negara-negara tetangga:
Gambar 5. Pengungsi Suriah di negara-negara sekitar tahun 2013.
108
Henriette Johansen, “A Humanitarian Tragedy for Syrian Refugees”, Memo Middle East Monitor,
(Januari 2014), hal 4-5. 109
Byman dan Pollack, “The Syrian Spillover”.
57
Sumber: http://unhcr.org/51b0a56d6.pdf diunduh pada 25 Oktober 2014.
Dari data yang dikumpulkan oleh UNHCR di atas hingga Mei 2013 total
warga Suriah yang mengungsi ke negara-negara tetangga mencapai lebih dari satu
setengah juta jiwa. Pada gambar di atas terlihat bahwa warga Suriah paling banyak
mengungsi ke Lebanon dengan jumlah total 500.654 jiwa, kemudian disusul
Yordania sebanyak 472.764 jiwa, Turki sebanyak 372.326 jiwa, Irak 154.372 jiwa,
dan Mesir 75.442 jiwa. Data tersebut merupakan jumlah pengungsi yang telah terdata
dalam UNHCR, namun masih terdapat banyak pengungsi yang belum terdaftar.
Selain itu diperkirakan jumlah pengungsi akan semakin bertambah dengan semakin
parah konflik yang terjadi di Suriah.110
Dengan semakin bertambahnya pengungsi dari Suriah ke negara-negara
tetangga seperti telah digambarkan diatas, maka semakin bertambah pula potensi
permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara yang menjadi tujuan pengungsi. Para
pengungsi tersebut memberikan beban secara ekonomi maupun politik terhadap
negara-negara tujuan pengungsi. Ancaman instabilitas juga hadir karena semakin
bertambahnya populasi pada negara tetangga Suriah yang berkaitan sumber daya
pada negara-negara tersebut.111
110
“Syria Regional Respon Plan: January to December 2013”, United Nation, tersedia di:
http://unhcr.org/51b0a56d6.pdf; diunduh pada 25 Oktober 2014. 111
Shiva Pedram, “Syrian refugee Crisis Treathens Stability in the Middle East”, Center for American
Progress, 12 Agustus 2014, tersedia di:
http://www.americanprogress.org/issues/security/news/2014/08/12/95595/syrian-refugee-crisis-
threatens-stability-in-the-middle-east/; di unduh pada 4 Nopember 2014.
58
Dampak konflik Suriah yang dijelaskan diatas terlihat bahwa pengaruh
perang sipil yang terjadi semakin hari semakin bertambah dan meluas. Dampak
konflik Suriah diprediksi akan terus berkembang jika perang sipil di tersebut terus
berlanjut dan semakin parah. Lebih dari itu terbuka peluang perang sipil tersebut
juga akan berdampak ke negara-negara tetangga Suriah.
59
BAB IV
DUKUNGAN LIGA ARAB PADA KUBU OPOSISI SURIAH PADA ERA
ARAB SPRING DAN ALASANNYA
Pada bab ini akan dijelaskan inti dari penelitian yang membahas kebijakan
Liga Arab untuk mendukung pihak oposisi Suriah pada tahun 2013. Awalnya akan
dijelaskan kebijakan dukungan Liga Arab terhadap kelompok oposisi Suriah.
Kemudian penjelasan motif Liga Arab dalam mendukung kelompok oposisi, serta
dampak kebijakan tersebut bagi perkembangan kondisi di Suriah.
A. Dukungan Liga Arab Pada Kubu Oposisi Suriah
1. Pemberian Kursi Delegasi Suriah Kepada Kubu Oposisi Pada KTT
Liga Arab di Doha, Qatar 2013
KTT ke-24 Liga Arab yang diselenggarakan di Doha pada 21-27 Maret 2013
memberikan dampak yang signifikan bagi legitimasi kelompok oposisi Suriah pada
tataran internasional. Pada KTT tersebut Liga Arab memberikan kursi delegasi
pemerintah Suriah yang dibekukan sementara sejak bulan November 2011 pada pihak
koalisi oposisi.112
Pembekuan keanggotaan Suriah di Liga Arab tepatnya dilakukan
pada 12 November 2011 ketika pertemuan para Menteri negara anggota Liga Arab.
112
“24th
Arab Summit Issues Doha Declaration” Arab League 24th
Summit, 27 Maret 2013, tersedia di:
http://arableaguesummit2013.qatarconferences.org/news/news-details-17.html; diunduh pada 23
November 2014.
60
Kebijakan tersebut dilakukan karena pemerintah Suriah dinilai gagal untuk
menghentikan kekerasan terhadap rakyatnya.113
Setelah lebih dari satu tahun keanggotaan Suriah dibekukan, kemudian
keanggotaan Suriah di Liga Arab di berikan pada pihak oposisi. Kebijakan tersebut
diprakarsai oleh Qatar dan Arab Saudi. Pihak oposisi Suriah diundang oleh Emir
Qatar, Hamad bin Khalifa Al Thani selaku tuan rumah KTT Liga Arab. Undangan
tersebut dihadiri oleh pemimpin SNC, Moaz al-Khatib yang kemudian menduduki
kursi delegasi Suriah guna menggantikan delegasi pemerintah Bashar.114
Keputusan Liga Arab tersebut bermula dari usulan menteri luar negeri Arab
Saudi kepada Qatar sebagai tuan rumah KTT tersebut untuk mengundang kelompok
oposisi Suriah. Usulan tersebut disampaikan oleh Pangeran Saud al-Faisal kepada
Qatar satu minggu sebelum KTT Liga Arab di selenggarakan di Qatar.115
Sementara
dalam keterangannya, Al Thani menyampaikan bahwa Qatar mengundang SNC
dengan alasan kelompok tersebut mendapatkan pengakuan yang kuat di Suriah dan
juga pengakuan yang luas dalam tataran internasional. Selain itu, Al Thani
113
Mujge Kucukkeles, “Arab league‟s Syrian Policy”, SETA Policy Brief, No. 56 (April 2012), hal 9. 114
“Arab League Welcomes Syria Opposition”, Aljazeera, 27 Maret 2013, tersedia di:
http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2013/03/20133262278258896.html; diunduh pada 23
November 2014. 115
“Saudi Arabia warns of Syria crisis regional spilover”, Al Arbiya News, 26 Maret 2013, tersedia di:
http://english.alarabiya.net/en/2013/03/26/Saudi-Arabia-warns-of-Syria-crisis-regional-spillover.html;
diunduh pada 30 November 2014.
61
memandang bahwa SNC berperan penting dalam memimpin revolusi serta
mempersiapkan masa depan Suriah.116
Dalam forum tersebut al-Khatib meminta negara-negara Liga Arab untuk
memberikan dukungan penuh terhadap upaya kelompok oposisi Suriah. Ia juga
berusaha menggalang dukungan dari negara-negara Barat yang mempunyai perhatian
terhadap masa depan Suriah. Lebih lanjut al-Khatib juga meminta bantuan secara
khusus pada Amerika Serikat untuk melawan rezim Bashar. Selain itu ia menyatakan
keinginan kelompok oposisi untuk dapat menggantikan perwakilan rezim Bashar di
PBB serta organisasi-organisasi internasional lainnya.117
Kebijakan yang diambil oleh Liga Arab di atas telah mengubah tradisi nilai-
nilai yang dianut dalam Liga Arab yang selama ini dijalankan. Kebijakan untuk
mencampuri permasalahan di Suriah misalnya bertentangan dengan nilai yang dianut
oleh Liga Arab untuk tidak mencampuri permasalahan dalam negeri negara anggota.
Selain itu Liga Arab juga mengambil kebijakan yang dilakukan dengan tidak
mengunakan prinsip konsensus dalam memberhentikan keanggotaan pemerintah
Suriah dari organisasi regional tersebut. Karena dalam pemberhentian keanggotaaan
Suriah tersebut tidak di setujui oleh Lebanon dan Yaman.118
Pemerintah Lebanon
menolak sanksi yang ke Suriah karena hal tersebut tidak hanya berdampak buruk
116
M. Nasir Jawed. “King Abdullah Warns of Syria Spilover”, The Muslim World League Journal,
volume 41, no. 5&6, (April-Mei 2013), hal 5. 117
Jawed, “King Abdullah warns of Syria Spilover”, hal 6-7. 118
Martin Beck, “The Arab League: A New Policy Approach in the Making?”, Center for
Mellemoststudier, (April 2013), hal 2.
62
kepada pemerintah Suriah, namun juga pada rakyat Suriah.119
Liga Arab juga
memberikan kursi delegasi Suriah kepada pihak oposisi yang merupakan bentuk
intervensi terhadap permasalahan dalam negeri Suriah.120
Terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh Liga Arab tersebut pemerintahan
Suriah melontarkan kecaman keras. Melalui saluran televisi negara Suriah yang
dikutip oleh The National Abu Dhabi, pemerintah Suriah mengatakan bahwa Qatar
telah merusak tatanan Liga Arab dengan memberikan kursi pemerintah Suriah kepada
kelompok oposisi yang merupakan kaki tangan Amerika Serikat dan negara-negara
teluk.121
Pada kesempatan lain Bashar mengungkapkan bahwa Liga Arab tidak
berhak memberikan legitimasi terhadap kelompok oposisi. Bashar menilai bahwa
legitimasi pemerintahan suatu negara terletak pada rakyat, bukan pada negara lain
maupun organisasi internasional.122
Dukungan yang diberikan Liga Arab terhadap kelompok oposisi Suriah tidak
hanya dalam bentuk diplomasi dengan memberikan kursi delegasi pemerintah Suriah
kepada pihak oposisi. Dalam KTT yang diselenggarakan di Doha tersebut juga
melahirkan kebijakan yang memberikan kesempatan terhadap anggota Liga Arab
119
Zoi Constantine, “Lebanon Divided over Syrian Suppoort”, The National, 16 November 2011,
diakses dari: http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/lebanon-divided-over-syrian-support;
diunduh pada 29 Desember 2014. 120
Beck, “The Arab League”, hal 2. 121
Elizabeth Dickinson, “Rebel leader al-Khatib takes Syria‟s seat at the Arab League. The National,
27 Maret 2013, diakses dari: http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/rebel-leader-al-khatib-
takes-syrias-seat-at-the-arab-league; diunduh pada 27 November 2014. 122
“Assad: Arab League lacks legitimacy after handing Syrias seat to opposition”, The National, 5
April 2013, tersedia di: http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/assad-arab-league-lacks-
legitimacy-after-handing-syrias-seat-to-opposition#ixzz3KGRRzZnY; diunduh pada 26 November
2014.
63
untuk memberikan dukungan dalam bentuk persenjataan untuk memperkuat pasukan
militer kelompok oposisi Suriah.
2. Pemberian Hak oleh Liga Arab Kepada Anggotanya untuk Memasok
Senjata pada Pihak Oposisi Suriah
Hasil dari KTT Liga Arab di Doha tahun 2013 salah satunya adalah
memberikan hak kepada anggota Liga Arab untuk memberikan persenjataan kepada
kubu oposisi Suriah.123
Dalam dokumen KTT tersebut yang diterjemahkan dari
bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris oleh Deutsche Welle tertulis bahwa “every
state’s right, acording to its desire, to present all kinds of measures for self-defense,
including military ones, to support the steadfastness of the Syrian people and the
Free Army”, yang dapat diartikan setiap negara memunyai hak berdasarkan
keinginan untuk memberikan segala jenis alat pertahanan serta persenjataan untuk
mendukung rakyat Suriah dan tentara pembebasan Suriah (kubu oposisi).124
Sebelum KTT Liga Arab ke-24 Liga Arab digelar di Qatar serta menghasilkan
kebijakan untuk mensuplai senjata ke kubu oposisi Suriah, ternyata juga telah ada
izin dari Liga Arab mengenai hal serupa. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris
Jenderal Liga Arab, Nabil al-Araby pada konferensi pers di Kairo tanggal 6 Maret
123
“Doha summit gives Arab states „right‟ to arm Syria rebels”, Al Arabiya News, 26 Maret 2013,
tersedia di: http://english.alarabiya.net/en/2013/03/26/Arab-league-member-states-have-the-right-to-
provide-military-assistance-to-Syrian-rebels.html; diunduh pada 24 November 2014. 124
“Arab League agrees members have right to arm Syrian rebels”, Deutsche Welle, 26 Maret 2013,
tersedia di: http://www.dw.de/arab-league-agrees-members-have-right-to-arm-syrian-rebels/a-
16700903; diunduh pada 24 November 2014.
64
2013. Pada kesempatan tersebut al-Araby menyampaikan pesan bahwa anggota Liga
Arab diizinkan untuk memberikan bantuan senjata kepada pihak oposisi Suriah. Al-
Arabi berkilah hal tersebut dilakukan karena uapaya-upaya penyelesaian konflik
secara politik belum membuahkan hasil.125
Bahkan menurut Philippe Droz-Vincent awal kemunculan oposisi militer di
Suriah pada tahun 2012 dan 2013 di dukung oleh aliran dana dari Qatar, Arab Saudi,
dan Libia. Dukungan dari negara-negara tersebut dalam bentuk persenjataan yang
didatangkan melalui Lebanon dan Turki. Dalam mendapatkan persenjataan tersebut
kelompok oposisi Suriah juga mendapat dukungan dari negara-negara Barat serta
jaringan salafi internasional.126
Pendapat Vincent diatas juga diperkuat oleh pernyataan Menteri Luar Negeri
Arab Saudi, Pangeran Saud al-Faisal pada awal tahun 2012 yang mengatakan bahwa
bantuan kemanusiaan saja tidak cukup untuk membantu pihak oposisi. Dia
mengatakan bahwa pihak oposisi perlu diberikan bantuan senjata untuk dapat
menciptakan stabilitas serta dapat memilih pemimpin yang mereka kehendaki.
Kemudian pada 27 Februari 2012 Perdana Menteri Qatar, Hamad bin Jassim al-Thani
125
“Arab League allows member states to arm Syrian opposition”, Al Arabiya News, 6 Maret 2013,
tersedia di: http://english.alarabiya.net/en/News/2013/03/06/Arab-League-denies-giving-Syrian-
National-Coalition-a-seat.html; diunduh pada 24 November 2014. 126
Vincent, “The State Barbary (take two)”, hal 57.
65
menyampaikan pernyataan yang intinya Qatar akan membantu oposisi Suriah dengan
segala cara termasuk dengan memberikan dukungan senjata.127
Arab Saudi dan Qatar dalam laporan penelitian Melani De Groof merupakan
negara pensuplai senjata terbesar kepada pihak oposisi Suriah. Pada Maret 2013
kedua negara tersebut mengirim 160 kargo militer dengan berat mencapai 3500 ton
pada pihak oposisi Suriah. Dukungan militer tersebut disalurkan ke pihak oposisi
melalui Turki dan Yordania. Sedangkan jenis senjata yang dikirim mayoritas adalah
senjata serang AK-47, roket, dan granat. Sebagian senjata tersebut dibeli Arab Saudi
dan Qatar dari Kroasia dengan bantuan Amerika Serikat dan aliansinya di Eropa
untuk mendapatkannya. Selain itu juga terdapat senjata yang diselundupkan melalui
Libia ke Suriah untuk disalurkan ke kelompok oposisi yang didanai oleh Qatar.128
Kebijakan yang diambil Liga Arab untuk mendukung kelompok oposisi
Suriah diatas tidaklah mendapat persetujuan dari semua anggota. Aljazair dan Irak
merupakan anggota yang menentang kebijakan tersebut. Selain itu juga terdapat
anggota yang memilih untuk tidak mengambil sikap mengenai kebijakan tersebut,
127
Jonathan Schanzer, “Saudi Arabia is Arming Syrian Opposition”, Foreign Policy, 27 Februari 2012,
tersedia di:
http://www.foreignpolicy.com/articles/2012/02/27/saudi_arabia_is_arming_the_syrian_opposition; di
unduh pada 30 November 2014. 128
Melanie De Groof, “Arms Transfers to The Syrian Arab Republic: Practice and Legality”, Raport
Du Grip, no: 9, (2013), hal 40.
66
yaitu Lebanon. Namun demikian kebijakan tersebut tetap berlaku walaupun tidak
mendapat dukungan dari seluruh anggota.129
B. Alasan Liga Arab Mendukung Kubu Oposisi Suriah
Pada sub bab ini akan dibahas mengenai penyebab Liga Arab mendukung
kelompok oposisi di Suriah. Dalam sub bab sebelumnya telah diungkap bahwa
ternyata tidak semua anggota Liga Arab mendukung kebijakan untuk mendukung
oposisi Suriah, misalnya negara Aljazair dan Irak yang menolak untuk mendukung
kelompok oposisi tersebut. Selain terhadap dukungan di atas, Liga Arab nampak
terpecah dalam dua pandangan terhadap rencana intervensi militer Barat di Suriah.
Pada satu sisi Arab Saudi dan Qatar sangat mendukung intervensi oleh Barat di
Suriah. Sementara Irak, Lebanon, Mesir, dan Libia menentang usulan intervensi
militer negara Barat di Suriah.130
Kebijakan Liga Arab terhadap Suriah menurut Martin Beck didasari oleh
nilai-nilai HAM. Pemerintah Suriah dinilai telah melakukan pelanggaran HAM
terhadap rakyatnya. Namun demikian kebijakan tersebut dipandang mempunyai
standar ganda, khususnya terhadap negara-negara yang sangat aktif dalam
merumuskan kebijakan Liga Arab terhadap Suriah. Negara-negara yang menjadi
aktor utama dalam kebijakan tersebut adalah Arab Saudi dan Qatar yang mempunyai
129
“Arab League to the Syrians: Fight on”, Alakhbar, 7 Maret 2013, http://english.al-
akhbar.com/node/15173; diunduh pada 25 November 2014. 130
“Arab League split over Syria crisis”, Press TV, 3 September 2013, tersedia di:
http://www.presstv.com/detail/2013/09/03/321808/arab-league-split-over-syria-crisis/; diunduh pada
30 November 2014.
67
rekam jejak yang buruk dalam masalah HAM. Selain itu standar ganda juga dapat
dilihat ketika Bahrain menangani demonstrasi dengan cara militer pada tahun 2011,
namun Liga Arab tidak mengambil tindakan yang berarti.131
Menurut Clive Archer yang telah tertulis dalam bukunya yang berjudul
Internationl Organizations, organisasi internasional merupakan suatu instrumen yang
digunakan oleh negara-negara anggota untuk mencapai tujuan tertentu berdasar
tujuan politik luar negerinya.132
Pada kebijakan Liga Arab sebagaimana dijelaskan di
atas dapat terlihat bahwa tidak semua negara setuju dengan kebijakan yang
mendukung kelompok oposisi Suriah. Di sisi lain negara seperti Arab Saudi dan
Qatar sangat mendukung upaya-upaya yang ditujukan untuk menggulingkan
pemerintahan Bashar di Suriah.
Selain itu, Liga Arab menurut Armenak Tokmajyan telah mengalami
perubahan dominasi kepemimpinan oleh negara anggota. Sebelum Arab Spring
menerpa kawasan Timur Tengah, Liga Arab didominasi oleh Mesir dan Suriah,
namun setelah Arab Spring melanda negara-negara Timur Tengah termasuk Mesir
dan Suriah, pada saat itu juga secara tidak langsung kepemimpinan Liga Arab
berpindah ke negara Arab Saudi dan Qatar. Kedua negara tersebut mendominasi Liga
Arab dengan didukung ekonomi dalam negeri yang kuat. Selain itu, Tokmajyan
memandang bahwa Qatar mempunyai kontrol yang besar terhadap masalah konflik
131
Beck, “The Arab League”, hal 3. 132
Archer, International Organizations, hal 130.
68
Suriah di Liga Arab. Qatar juga memasukkan kepentingan negaranya dalam setiap
aksinya menangani konflik di Suriah.133
Tokoh oposisi Suriah Haytam Manna juga mengungkapkan keterlibatan Qatar
dalam menghentikan sementara keanggotaan pemerintah Suraih di Liga Arab dan
menggantikannya dengan kelompok oposisi Suriah. Lebih jauh, Haytam mengatakan
bahwa hal tersebut dilakukan Qatar karena motif kebencian Hamad terhadap Bahsar
serta posisi Qatar yang berseberangan dengan Suriah.134
Dengan melihat kondisi seperti dijelaskan di atas, maka patut diduga kuat
bahwa motif Liga Arab untuk mendukung kelompok oposisi Suriah adalah karena
Liga Arab sebagai organisasi internasional merupakan instrumen yang digunakan
oleh negara-negara anggotanya untuk mencapai kepentingan negara sebagaimana
yang diungkapkan oleh Clive Archer. Dari uraian di atas juga dapat terlihat bahwa
negara yang menyisipkan kepentingannya dalam Liga Arab untuk mendukung
kelompok oposisi Suriah adalah Qatar dan Arab Saudi.
Selain itu di atas juga telah dijelaskan bahwa sejak awal kemunculannya pada
tahun 2012, pihak oposisi telah dibantu oleh Arab Saudi dan Qatar. Sehingga
kebijakan yang dikeluarkan oleh Liga Arab untuk mendukung kelompok oposisi
dengan memberikan hak kepada anggota untuk membantu persenjataan adalah upaya
Arab Saudi dan Qatar untuk melegitimasi dukungan mereka kepada oposisi melalui
133
Tokmajyan, “A Brand New Arab League”. 134
Ibid.,
69
Liga Arab. Kebijakan tersebut juga dapat dilihat sebagai upaya bagi pendukung
kelompok oposisi Suriah untuk menggalang dukungan internasional secara lebih luas.
Argumen di atas juga sejalan dengan asumsi inti Liberal Institusional yang
dikemukakan oleh Baylis dan Smith. Menurut mereka, negara merupakan aktor
utama dalam hubungan internasional serta bersifat rasional. Sebagai aktor yang
dominan dan rasional negara selalu berusaha memaksimalkan kepentingan negaranya
dalam segala isu.135
Dalam hal ini Qatar dan Arab Saudi berusaha memaksimalkan
kepentingan negaranya di tengah konflik yang terjadi di Suriah melalui Liga Arab
yang mereka dominasi.
Analisa tersebut juga diperkuat oleh pandangan Jonathan Schanzer yang
mengatakan bahwa Qatar dan Arab Saudi yang dikuasai oleh kelompok Sunni
menginginkan Bashar yang juga aliansi negara Iran yang dipimpin oleh Syiah segera
dapat digulingkan. Hal tersebut disebabkan Iran merupakan ancaman bagi kawasan
Timur Tengah karena dipandang sebagai sarang teroris dan memiliki nuklir yang
mengancam keamanan kawasan Timur Tengah dan lebih luas secara global. Salah
satu cara untuk melemahkan Iran adalah melemahkan aliansinya terlebih dahulu yaitu
Suriah.136
Lebih jauh jika melihat tindakan yang diambil oleh Qatar dan Arab Saudi
dalam mempengaruhi kebijakan Liga Arab, maka kebijakan tersebut tidak semata-
135
Baylis & Smith, The Globalization, hal 213. 136
Schanzer, “Saudi Arabia is Arming Syrian Opposition”.
70
mata hanya karena kepentingan Qatar dan Arab Saudi. Menurut Zachary Laub,
Amerika Serikat dengan kekuasaan yang dimilikinya mendesak negara-negara teluk
untuk turut andil dalam mendukung kelompok oposisi Suriah dari segi pendanaan,
persenjataan maupun diplomasi. Lebih lanjut Laub mengatakan bahwa negara yang
mempunyai andil besar dalam memdukung kelompok oposisi adalah Arab Saudi dan
Qatar. Kedua negara yang memiliki aliansi kuat dengan negara adikuasa tersebut
mendapatkan desakan untuk memberikan dukungan kepada kelompok ekstrimis
terkait persenjataan yang salah satunya melalui SMC.137
Pandangan Laub diatas juga diamini oleh Ken Sofer dan Juliana Shafroth dari
Center for American Progress yang telah diuraikan pada BAB III. Kelompok militer
oposisi seperti SMC dan SLF mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat
dan sekutunya, termasuk Arab Saudi dan Qatar. Lebih spesifik Sofer dan Shafroth
mengatakan bahwa konglomerat Arab Saudi dan Qatar memberikan dukungan
kepada kelompok Islam radikal SIF.
Jika dilihat lebih jauh, maka keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik di
Suriah bukanlah tanpa sebab. Riki Rahman dan Zarina Othman mengungkapkan
kebijakan Amerika Serikat merupakan wujud dari pengejawantahan kepentingan
nasionalnya. Amerika Serikat akan melakukan respon dengan cepat, melakukan
tekanan, hingga intervensi militer terhadap negara-negara yang didalamnya Amerika
137
Zachary Laub, “Syria‟s Crisis and the Global response”, Council on Foreign Relation, 11
September 2013, tersedia di: http://www.cfr.org/syria/syrias-crisis-global-response/p28402; diunduh
pada 25 November 2014.
71
Serikat memiliki kepentingan. Menurut Rahman dan Othman Amerika Serikat
mempunyai fokus penguasaan pada bidang politik, ekonomi dan militer di Timur
Tengah guna mempertahankan hegemoni serta kepentingan negaranya.138
Dari paparan Rahman dan Othman diatas, dapat diduga kuat bahwa di balik
kebijakan Liga Arab untuk mendukung kelompok oposisi juga terdapat kepentingan
Amerika Serikat. Amerika Serikat berupaya untuk meraih kekuasaan politik, ekonomi
dan militer di kawasan Timur Tengah, dalam kasus ini di Suriah. Hal tersebut
dilakukan baik secara langsung maupun melalui tekanan yang diberikan terhadap
Qatar dan Arab Saudi untuk mendukung kelompok oposisi Suriah.
Analisa keterlibatan Amerika Serikat dalam mendukung kelompok oposisi
Suriah tersebut juga di sampaikan oleh Berzins. Amerika Serikat menurut Berzins
mempunyai tujuan yang jelas dalam mendukung kelompok oposisi Suriah. Salah satu
tujuannya adalah untuk menyebarkan demokrasi yang dianut oleh Amerika Serikat
serta menguasai perekonomian Suriah. Selain itu Amerika mendukung kelompok
oposisi karena Suriah selama ini merupakan aliansi Rusia dan Cina yang
menghalang-halangi hegemoni Amerika Serikat.139
C. Dampak Kebijakan Liga Arab Mendukung Oposisi Suriah terhadap Konflik
di Suriah
138
Riki Rahman dan Zarina Othman, “Kepentingan Amerika Serikat Terhadap Isu Nuklir Iran”,
Analisis CSIS, volume 43, no.2, (Juni 2014), hal 202-203. 139
Berzins, “Civil War in Syria”, hal 5.
72
Dukungan yang diberikan oleh Liga Arab kepada kelompok oposisi Suriah
hingga skripsi ini ditulis belum mampu menggulingkan rezim Bashar serta
menyelesaikan konflik di Suriah yang menjadi tujuan dari kebijakan Liga Arab
tersebut. Upaya yang dilakukan Liga Arab secara diplomasi maupun kebijakan yang
mengarah pada dukungan militer belum mampu membuahkan hasil yang diinginkan.
Sementara konflik yang terjadi di Suriah terus berlanjut hingga kini dan belum juga
dapat diprediksi masa depannya.
Konflik di Suriah sering kali dipandang hanya sebagai konflik antara rezim
pemerintahan Bashar dengan kelompok oposisi. Namun pada faktanya konflik yang
terjadi di Suriah sangatlah rumit. Kelompok oposisi misalnya, yang terpecah dalam
beberapa bagian dan tidak jarang diantara kelompok oposisi saling berperang. Data
yang tercatat pada Institute for the Study of War menunjukan bahwa anggota dalam
satu kelompok oposisi saja mencapai lebih dari seribu orang. Kelompok-kelompok
oposisi tersebut juga sulit untuk diajak berunding untuk mencari solusi perdamaian.
Hal ini dikhawatirkan akan memperpanjang durasi konflik di Suriah, bahkan lebih
jauh jika kelompok oposisi saling terpecah dan rezim dapat digulingkan, maka
konflik dapat dipastikan akan berlanjut di antara kelompok oposisi.140
Jonah Schulhofer-Wohl memandang bahwa bantuan militer yang diberikan
kepada pihak oposisi hanya mempertahankan keberadaan kelompok oposisi di
140
Fotini Christia, “What Can Civil War Scholars Tell Us About the Syrian Conflict”, Project on
Middle East Political Science, (18 Desember 2013), hal 9.
73
beberapa wilayah Suriah. Namun kelompok oposisi dengan bantuan tersebut belum
mampu mengalahkan pemerintahan Bashar. Sehingga bantuan militer yang diberikan
kepada kelompok oposisi Suriah hanya memperpanjang masa serta memperburuk
konflik yang terjadi. Wohl mengatakan bahwa bantuan militer terhadap pihak oposisi
mampu meningkatkan kesempatan untuk menggulingkan Bashar. Akan tetapi
kemenangan tersebut menurutnya hanya akan memperburuk perang di Suriah atau
memunculkan pemerintahan baru yang ekstrim. Hal tersebut ia kemukakan didasari
dengan fakta bahwa kelompok oposisi yang terpecah.141
Argumen Jonah di atas juga sejalan dengan pendapat Cristia yang menyatakan
bahwa dukungan yang diberikan oleh Arab Saudi, Qatar, serta kelompok jihad hanya
akan membuat konflik semakin buruk.142
Sementara Alexander B. Downes
menyatakan bahwa bantuan militer terhadap kelompok oposisi yang moderat
sekalipun juga berbahaya. Jika kelompok rezim Bashar mampu digulingkan oleh
kelompok oposisi moderat, maka kelompok oposisi moderat akan tetap menghadapi
pertempuran dengan kaum Alawi pendukung Bashar yang tersisa dalam pertempuran
maupun dengan kelompok oposisi radikal yang sebagain berafiliasi dengan al-
Qaeda.143
141
Jonah Schulhofer-Wohl, “Fighting Betwen Allies and the Civil War in Syria”, Project on Middle
East Political Science, (18 Desember 2013), hal 43. 142
Christia, “What Can Civil War Scholars Tell Us”, hal 10. 143
Alexander B. Downes, “Why Regime Change is Bad Idea in Syria”, Project on Middle East
Political Science, (18 Desember 2013), hal 62.
74
Menurut Barbara F. Walter suatu perang sipil tidak akan berakhir dengan
cepat. Walter menjelaskan bahwa perang sipil memiliki durasi rata-rata 10 tahun
untuk berakhir. Perang sipil yang terjadi di Suriah menurutnya baru memasuki tahap
awal dari perang sipil. Konflik ini menurutnya diperdiksi akan berlangsung di atas
rata-rata perang sipil yang pernah terjadi dikarenakan kelompok oposisi yang
mencapai setidaknya 13 kelompok berbeda. Selain itu, Walter juga memprediksi
dengan kerumitan yang terjadi pada perang sipil di Suriah, konflik tersebut tidak akan
selesai dalam meja perundingan, melainkan melalui perang yang berkelanjutan.144
Dari analisa di atas dapat dikatakan bahwa alasan Liga Arab mendukung
kelompok oposisi Suriah dapat dikatakan tidak tepat. Hal ini diperkuat dengan data
yang menunjukkan kelompok oposisi juga melakukan pelanggaran HAM serta
melakukan kejahatan perang. Human Right Wacth mencatat bahwa pada Maret 2012
FSA melakukan pelanggaran HAM karena melakukan penangkapan, penganiayaan
serta pembunuhan terhadap warga sipil Suriah. Selain itu Amnesti Internasional pada
25 Juli 2012 melaporkan bahwa kelompok oposisi Suriah telah melakukan
pembunuhan yang tidak berlandaskan hukum terhadap pihak lawan.145
Kebijakan Liga Arab tersebut juga dinilai tidak tepat karena kelompok oposisi
yang terpecah. Menurut Cunningham, kompleksitas kubu oposisi dalam konflik di
144
Barbara F. Walter, “The Four Things We Know About How Civil Wars End”, Project on Middle
East Political Science, (18 Desember 2013), hal 29. 145
“The Crisis in Syria”, International Coalition for The Responsibility to Protect, tersedia di:
http://www.responsibilitytoprotect.org/index.php/crises/crisis-in-syria; diunduh pada 26 November
2014.
75
Suriah sangat mempengaruhi kredibilitas serta kemampuannya dalam penyelesaian
konflik yang sedang terjadi. Cunningham juga melihat bahwa kelompok oposisi
sangat sulit untuk bersatu baik kelompok yang bertempur di medan perang maupun
kelompok oposisi yang berjuang melalui diplomasi. Sehingga dukungan yang
diberikan pada kelompok oposisi, terlebih dalam pemberian bantuan persenjataan
sangat tidak tepat.146
Wendy Pearlman mengatakan bahwa terdapat resiko besar ketika memberikan
bantuan pada kelompok oposisi Suriah yang terpecah tersebut. Pihak oposisi dapat
menyalahgunakan bantuan tersebut ataupun bantuan akan jatuh terhadap kelompok
ekstrimis yang berbahaya.147
Sementara Mehdi Hasan juga mengingatkan mengenai
bahaya bantuan senjata yang diberikan oleh sekutu Amerika Serikat kepada pihak
oposisi. Menurut Hasan, tidak ada jaminan senjata yang dikirim ke Suriah untuk tidak
jatuh ke tangan kelompok opsosisi yang beraliansi pada al-Qaeda. Jika hal tersebut
terjadi maka dapat menjadi bumerang terhadap Amerika dan sekutunya.148
Amerika Serikat berserta aliansinya seharusnya memberikan solusi untuk
penyelesaian masalah Suriah, bukan nenambah kekacauan dengan mendukung
kelompok oposisi. Negara-negara Barat dapat melakukan diplomasi dengan
146
Kathleen Gallagher, “Actor Fragmentation and Conflict Processes”, Project on Middle East
Political Science, (18 Desember 2013), hal 34. 147
Wendy Pearlman, “Understanding Fragmentation in the Syrian revolt”, Project on Middle East
Political Science, (18 Desember 2013), hal 40. 148
Mehdi Hasan, “If we arm the Syrian rebels, how do we stop British bombs and bullets getting to al-
Qaeda?”, New Statesman, 1 Mei 2013, tersedia di: http://www.newstatesman.com/middle-
east/2013/05/if-we-arm-syrian-rebels-how-do-we-stop-british-bombs-and-bullets-getting-al-qaed;
diunduh pada 9 Desember 2014.
76
memberikan insentif terhadap Rusia untuk tidak lagi mendukung Bashar dalam
perang sipil tersebut. Selain itu Amerika Serikat juga dapat menekan negara-negara
aliansinya di Timur-Tengah untuk mengontrol kelompok-kelompok ekstrimis yang
mereka dukung. Salah satu kunci penyelesaian perang sipil di Suriah berada pada
Amerika Serikat. Sehingga segala kebijakan untuk menyelesaikan konflik di Suriah
membutuhkan persetujuan Amerika Serikat.149
Pada BAB I juga telah dipaparkan bahwa kalaupun pihak oposisi yang
didukung oleh Liga Arab mampu menggulingkan rezim Bashar secara militer maka
tidak seketika itu pun konflik akan selesai. Glenn Robinson dan Madhav Joshi telah
mengungkapkan penelitiannya yang memprediksi konflik yang lebih berbahaya jika
pihak oposisi dapat menggulingkan pemerintah Suriah. Hal ini juga didukung oleh
data pada BAB III yang menjelaskan kompleksitas kelompok oposisi Suriah.
Kelompok-kelompok oposisi tersebut memiliki tujuan dan cara yang berbeda-beda
untuk mencapai tujuannya dan tak jarang diantara kelompok oposisi saling berperang.
Pada pertengahan tahun 2013 Masami Nishino mengungkapkan bahwa
terdapat tiga skenario mengenai masa depan Suriah. Skenario yang pertama ialah
Bashar mampu membasmi para pemberontak. Jika skenario ini terjadi diprediksi
membutuhkan waktu lama dan biaya besar untuk mengembalikan stabilitas Suriah.
Skenario kedua adalah kelompok oposisi mampu mengalahkan Bashar. Namun jika
hal ini terjadi, maka konflik tidak akan langsung berhenti karena kamu Alawi yang
149
Ibid.,
77
tersisa akan melakukan balas dendam. Belum lagi banyaknya kelompok oposisi yang
terdiri berbeda akan menimbulkan konlifk yang diprediksi meluas ke negara tetangga.
Sedangkan skenario ketiga adalah perang sipil terus berlanjut, hingga kini skenario
inilah yang sedang terjadi.150
Sedangkan Philipp Holtmann mempunyai analisa bahwa masa depan Suriah
masih sulit untuk diprediksi. Menurutnya penyelesain konflik di Suriah secara politik
akan berhasil jika melibatkan Amerika Serikat, Rusia, Iran, Turki, Qatar, dan Arab
Saudi. Holtmann menilai salah satu solusi politik terbaik yang pernah diajukan untuk
menyelesaikan konflik Suriah adalah usulan pada konvensi Genewa dua. Dalam
konvensi tersebut terdapat himbauan kepada semua pihak yang terkait dalam konflik
untuk berkomitmen terhadap “keutuhan wilayah Suriah, menyelenggarakan transisi
politik, menghentikan kekerasan, menghentikan militerisasi, dan memberikan
bantuan kemanusiaan”.151
Usulan lain yang juga dipandang mampu menyelesaikan konflik di Suriah
dengan melibatkan semua pihak yang bertikai dalam suatu negosiasi. Dalam
negosisasi tersebut semua pihak harus rela untuk berbagi kekuasaan dalam berbagai
bidang di pemerintahan, khususnya di bidang politik dan militer. Hal ini setidaknya
dilakukan hingga pemilu yang damai dapat diselenggarakan. Keseimbangan pada
150
Masami Nishino, “The Security Situation in Syria: Present Conditions and Future Prospects”, The
National Institute for defense Studies News, Issue 177, (Juni 2013), hal 3. 151
Philipp Holtmann, “Syria – a Best Case, a Worst Case and two Most Likely Scenarios”, Perspective
on Terrorism, volume 7, issue 3, (Juni 2013), hal 141.
78
kursi-kursi pemerintahan Suriah diperlukan untuk menekan perilaku semena-mena
pihak militer serta guna menciptakan stabilitas.152
Upaya penyelesaian konflik di Suriah yang telah diupayakan maupun yang di
wacanakan di atas menurut David E. Cunningham sulit mencapai tujuan. Hal tersebut
karena terdapat begitu banyak pemegang hak veto dalam konflik Suriah. Veto yang
dimaksud oleh Cunningham merupakan kekuatan yang dimiliki oleh pihak-pihak
yang bertikai untuk menggagalkan atau menolak penyelesaian konflik. Dalam hal ini
veto melekat pada pemerintah Suriah dan kelompok oposisi yang sedang bertikai
dalam penyelesaian konflik. Di pihak oposisi, veto tersebut tidak hanya digenggam
oleh satu pihak karena kelompok oposisi memiliki banyak cabang yang berbeda. Hal
tersebut ditambah lagi dengan keterlibatan negara asing yang juga memegang veto
dalam penyelesaian konflik di Suriah. Penyelesaian konflik hanya akan berhasil jika
melibatkan seluruh pihak pemegang hak veto tersebut.153
Dari penjelasan di atas maka dapat terlihat bahwa kebijakan Liga Arab untuk
mendukung kelompok oposisi bukanlah kebijakan tepat dalam upaya penyelesaian
konflik. Kebijakan tersebut tidak didasari dengan landasan yang tulus untuk
menyelesaikan kekacauan di Suriah. Konflik di Suriah hingga skripsi ini ditulis masih
berlanjut dan diprediksi akan terus berlangsung. Sedangkan upaya penyelesaian
konflik hanya akan dapat tercapai jika semua pihak, baik yang terlibat secara
152
James D. Fearon, “Syria‟s Civil War”, Project on Middle East Political Science, (18 Desember
2013), hal 13. 153
David E. Cunningham, “Veto Players and Civil War in Syria”, Project on Middle East Political
Science”, (18 Desember 2013), hal 26.
79
langsung mapun tidak langsung bersedia untuk berunding dan rela menempatkan
perdamaian Suriah diatas kepentingan masing-masing.
80
BAB V
KESIMPULAN
Krisis yang terjadi di Suriah sejak tahun 2011 hingga akhir 2014 pada saat
skripsi ini ditulis telah mengalami perkembangan yang semakin buruk. Suriah
berubah menjadi arena perang sipil yang sangat rumit. Konflik tersebut melibatkan
berbagai kelompok berbeda serta memiliki cara dan tujuan meraih cita-cita yang juga
berbeda-beda. Konflik di Suriah juga telah menyedot perhatian negara-negara Timur
Tengah bahkan perhatian masyarakat global. Lebih jauh konflik di Suriah menjadi
semakin rumit karena dicampuri dengan kepentingan negara-negara penguasa seperti
Amerika Serikat dan Rusia beserta sekutunya.
Berbagai upaya penyelesaian konflik telah diupayakan, mulai dengan
menggunakan cara diplomasi, bantuan senjata, hingga rencana intervensi militer.
Salah satu rencana penyelesaian masalah intervensi militer melalui PBB gagal
dilakukan karena mendapatkan tentangan dari Rusia dan Cina. Sedangan upaya
diplomasi pada konvensi Genewa dua yang dipandang merupakan cara terbaik untuk
menyelesaikan konflik di Suriah juga belum mampu mencapai hasil karena tidak
semua pihak sepakat dengan usulan tersebut.
Salah satu harapan yang tersisa untuk menyelesaikan permasalahan konflik di
Suriah adalah melalui Liga Arab. Akan tetapi Liga Arab memilih untuk hanya
mendukung salah satu pihak saja yang terlibat dalam konflik. Kebijakan yang diambil
81
oleh Liga Arab tersebut telah bertentangan dengan fungsi dan tugas Liga Arab yang
salah satunya adalah membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh
anggota Liga Arab secara damai.
Liga Arab telah mengalami perubahan dalam tubuh organisasinya. Fenomena
Arab Spring telah merubah dominasi kepemimpinan Liga Arab yang sebelumnya
berada pada tampuk Mesir dan Suriah ke tangan Qatar dan Arab Saudi. Hal tersebut
diakibatkan Mesir dan Suriah yang fokus terhadap permasalahan yang melanda dalam
negeri mereka. Pada sisi lain Qatar dan Arab Saudi yang didukung dengan ekonomi
dalam negeri yang kuat mengambil alih dominasi mereka di Liga Arab. Pada momen
tersebut Liga Arab juga meninggalkan norma untuk tidak mencampuri urusan dalam
negeri negara anggota. Organisasi kawasan ini mencoba untuk aktif dalam
mencampuri permasalahan yang terjadi pada negera anggotanya, khususnya pada
konflik di Suriah. Namun demikian Liga Arab masih menerapkan standar ganda
dalam menangani permasalahan yang dialami oleh negara anggotanya.
Sebagai organisasi internasional, Liga Arab mestinya bersifat netral. Namun
demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa anggota-anggota Liga Arab mempunyai
kepentingan masing-masing. Liga Arab dalam kasus konflik di Suriah ini telah
dijadikan alat oleh anggotanya, terutama oleh Arab Saudi dan Qatar yang memiliki
dominasi didalamnya untuk mencapai kepentingan negaranya. Akan tetapi jika dilihat
lebih jauh, Liga Arab tidak semata-mata dijadikan alat oleh Arab Saudi dan Qatar
82
untuk memenuhi kepentingannya saja. Kedua negara tersebut juga mendapat tekanan
dari Amerika Serikat yang juga memiliki kepentingan di kawasan Timur Tengah.
Para analis telah mengungkapkan seperti yang telah dijelaskan pada
pembahasan bahwa upaya dipolomasi sangat sulit untuk menyelesaikan perang sipil
yang terjadi di Suriah. Namun kebijakan untuk mendukung kelompok oposisi secara
militer juga hanya akan memperparah konflik yang terjadi. Sehingga solusi terbaik
untuk menyelesaikan perang sipil yang terjadi di Suriah adalah melalui jalur
diplomasi dengan melibatkan semua pihak baik yang terlibat secara langsung di
Suriah maupun pendukung dari masing-masing kelompok yang berada di luar Suriah.
Upaya ini memang tidak akan mudah dan dapat segera tercapai, namun upaya
diplomasi tersebut merupakan upaya terbaik yang perlu ditempuh untuk
menyelesaikan perang sipil di Suriah.
xii
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Acharya, Amitav dan Alastair Iain Johnston. Crafting Cooperation: Regional
International Institutions in Comparative Perspective. New York: Cambridge
University Press, 2007.
Baylis, John & Steve Smith. The Globalization of World Politics, An introduction to
international relations. Third Editon, New York: Oxford University Press Inc,
2001.
Clive, Archer. International Organization. London: Allen & Unwin Ltd, 1983.
K. Nydell, Margaret.Understanding Arabs: A Contemporary Huide to Arab Society.
Boston: Intercultural Press, 2012.
Leverett, Flynt. Inheriting Syria: Bashar Trial by Fire. Washingon DC: The
Brookings Institution, 2005.
Lynch, March. The Arab Uprising: The Unfinished Revolutions of The Middle East.
New York: Public Affairs, 2012.
Neuman, W. Laurence. Basic of Social Research Qualitative and Quantitative
Approaches. Second Edition, Pearson Education, Inc, 2007.
Perwita, Anak Agung & Yanyan Yani. Pengantar Hubungan Internasional.
Bandung: Rosda Karya, 2006.
Rachamawati, Iva. Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012.
Rosenau, James N. International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research
Theory. New York: The Free Press, 1969.
Robert G. Rabil, Syria, The United States, and The War on terror in The Middle East.
London: Praeger Security International, 2006.
Rubin, Barry. The Truth About Syria, New York: Palgrave Macmillan, 2007.
Toffolo, Cris E. Global Organizations: The Arab League. New York: Chelsea House,
2008.
xiii
Ziadeh, Radwan. Power and Policy in Syria: Intelligence Services, Foreign Relations
and Democracy in The Modern Middle East. London: I.B. Tauris, 2011.
Tesis:
Maddox, Jacob M. Building Peace In A Post- Assad Syria, California, Naval
Postgraduate School, Monterey, 2013.
Artikel Jurnal:
Asseburg, Muriel dan Heiko Wimmen. “The Civil War and the Impotence of
International Politics”, Peace Report, (2013): 72.
Beck, Martin. “The Arab League: A New Policy Approach in the Making?”, Center
for Mellemoststudier, (April 2013): 1-4.
Berzins, Janis. “Civil War in Syria: Origin, Dynamics, and Possible Solutions”,
National Defence Academy of Latvia, Strategic Review, no 7, (Agustus 2013):
1-10.
Bruce, Maddy-Weitzman. “The Arab League Comes Alive”. Middle East Quarterly,
volume 19, issue 3, (Summer 2012): 71-78.
Chen, Wan & Jun Zhao, “The Arab League‟s Decision-making System and Arab
Intergration”, Journal of Middle Eastern and Islamic Studies (in Asia),
Volume 3, no. 2 (2009): 59-66.
Cunningham, David E. “Veto Players and Civil War in Syria”, Project on Middle
East Political Science”, (18 Desember 2013): 26-28.
Christia, Fotini. “What Can Civil War Scholars Tell Us About the Syrian Conflict”,
Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 8-10.
Daniel, Mandel. “False Dawn: The Arab Spring”. Institute of Public Affairs Review:
A Quarterly Review of Politics and Public Affairs. Volume 64, issue 4,
(Desember 2012): 25-27.
De Groof, Melanie. “Arms Transfers to The Syrian Arab Republic: Practice and
Legality”, Raport Du Grip, no: 9, (2013): 1-54.
xiv
Downes, Alexander B. “Why Regime Change is Bad Idea in Syria”, Project on
Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 61-63.
Droz, Philippe & Vincent.” “State of Barbary” (Take Two): From the Arab Spring to
the Return of Violence in Syria”. Middle East Journal, volume 68, no.1,
(winter 2014): 33-58
Falahi, Ziyad. ”Prospek Regionalisme Timur Tengah Pasca-Arab Spring: Telaah
terhadap Identitas Kolektif Liga Arab,” Jurnal Kajian Wilayah. Volume 3,
nomor 2 (2012): 189- 205.
Fearon, James D. “Syria‟s Civil War”, Project on Middle East Political Science, (18
Desember 2013): 13-18.
Gallagher, Kathleen. “Actor Fragmentation and Conflict Processes”, Project on
Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 34-36.
Hinnebusch, Raymond. “Syria: From „Authorian Upgrading‟ to Revolution?”,
International Affairs, Volume 88, No. 1 (2013): 95-113.
Holtmann, Philipp. “Syria – a Best Case, a Worst Case and two Most Likely
Scenarios”, Perspective on Terrorism, volume 7, issue 3, (Juni 2013): 135-
146.
Jawed, M Nasir. “King Abdullah Warns of Syria Spilover”, The Muslim World
League Journal, volume 41, no. 5&6, (April-Mei 2013): 1-48.
Johansen, Henriette. “A Humanitarian Tragedy for Syrian Refugees”, Memo Middle
East Monitor, (Januari 2014): 4-5.
Kettis, Andreas. “EU-League of Arab States relations: Prospects for closer
parlementary cooperation”, Policy Briefing European Parliament, (Mei
2013): 6-7.
Kucukkeles, Mujge. “Arab league‟s Syrian Policy”, SETA Policy Brief, No. 56 (April
2012): 1-18.
Landis, Joshua. “The Syrian Uprising of 2011: Why The Asad Regime Is Likely to
Survive to 2013”, Middle East Policy, Volume XIX, no. 1, (Spring 2012): 73.
Nishino, Masami. “The Security Situation in Syria: Present Conditions and Future
Prospects”, The National Institute for defense Studies News, Issue 177, (Juni
2013): 3.
xv
Pearlman, Wendy. “Understanding Fragmentation in the Syrian revolt”, Project on
Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 40-42.
Pinfari, Marco. “Nothing but Failure? The Arab League and the Gulf Cooperation
Council as mediators in Middle Eastern Conflicts”. Crisis State Research
Center, Working Paper no. 45 (Maret 2012): 1-24.
Rahman, Riki dan Zarina Othman, “Kepentingan Amerika Serikat Terhadap Isu
Nuklir Iran”, Analisis CSIS, volume 43, no.2, (Juni 2014): 202-203.
Sofer, Ken dan Juliana Shafroth, “The Structure and Organization of the Syrian
Opposition”, Center for American Progress, (14 May 2013): 5-7.
Schulhofer-Wohl, Jonah. “Fighting Betwen Allies and the Civil War in Syria”,
Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 42-44.
Walter, Barbara F. “The Four Things We Know About How Civil Wars End”,
Project on Middle East Political Science, (18 Desember 2013): 28-29.
Wardoyo, Broto. “Anatomi dan Penyelesaian Konflik Internal di Suriah”, Analisis
CSIS, volume 43, no. 2, (Juni 2014): 180-198.
Yazigi, Jihad, “Syria‟s War Economy,” European Council On Foreign Relations,
Volume 97, April (2014): 1-7.
Surat Kabar Cetak:
Kuncahyono, Trias. “Suriah Dua Tahun Berlalu.” Harian Kompas, 15 Maret 2013,
hal 10.
Rahman, Mustafa Abd. “Dua Tahun Revolusi Suriah, Politik Terseok, Derita
Berlanjut.” Harian Kompas, 10 Maret 2013, hal 10.
“Dua Tahun Revolusi Suriah, Politik Terseok, Derita Berlanjut,” Harian Kompas, 10
Maret 2013, hal 10.
Internet:
xvi
“Arab League agrees members have right to arm Syrian rebels”, Deutsche
Welle, 26 Maret 2013, tersedia di: http://www.dw.de/arab-league-agrees-members-
have-right-to-arm-syrian-rebels/a-16700903; diunduh pada 24 November 2014.
“Arab League allows member states to arm Syrian opposition”, Al Arabiya
News, 6 Maret 2013, tersedia di:
http://english.alarabiya.net/en/News/2013/03/06/Arab-League-denies-giving-Syrian-
National-Coalition-a-seat.html; diunduh pada 24 November 2014.
“Arab League Welcomes Syria Opposition”, Aljazeera, 27 Maret 2013,
tersedia di:
http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2013/03/20133262278258896.html;
diunduh pada 23 November 2014.
“Arab League to the Syrians: Fight on”, Alakhbar, 7 Maret 2013,
http://english.al-akhbar.com/node/15173; diunduh pada 25 November 2014.
“Arab League split over Syria crisis”, Press TV, 3 September 2013, tersedia
di: http://www.presstv.com/detail/2013/09/03/321808/arab-league-split-over-syria-
crisis/; diunduh pada 30 November 2014.
“Assad: Arab League lacks legitimacy after handing Syrias seat to
opposition”, The National, 5 April 2013, tersedia di:
http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/assad-arab-league-lacks-
legitimacy-after-handing-syrias-seat-to-opposition#ixzz3KGRRzZnY; diunduh pada
26 November 2014.
Byman, Daniel L. dan Kenneth M. Pollack, “The Syrian Spillover: Is anyone
prepare for the unintended consequences of the war for Syria?”, Foreign Policy, 10
Agustus 2012, tersedia di:
http://www.foreignpolicy.com/articles/2012/08/10/the_syrian_spillover; diunduh
pada 6 Nopember 2014.
Constantine, Zoi. “Lebanon Divided over Syrian Suppoort”, The National, 16
November 2011, diakses dari: http://www.thenational.ae/news/world/middle-
east/lebanon-divided-over-syrian-support; diunduh pada 29 Desember 2014.
“Data suggests Syria death toll could be more than 60,000, says UN human
rights office,” UN News Centre, 2 Januari 2013, tersedia di
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=43866#.U31Y0tKSySo diunduh
pada 19 Mei 2014.
“Doha summit gives Arab states „right‟ to arm Syria rebels,” Al Arabiya
News, 26 Maret 2013, tersedia di http://english.alarabiya.net/en/2013/03/26/Arab-
xvii
league-member-states-have-the-right-to-provide-military-assistance-to-Syrian-
rebels.html; diunduh pada 18 Mei 2014.
Dickinson, Elizabeth. “Rebel leader al-Khatib takes Syria‟s seat at the Arab
League. The National, 27 Maret 2013, diakses dari:
http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/rebel-leader-al-khatib-takes-
syrias-seat-at-the-arab-league; diunduh pada 27 November 2014.
Hasan, Mehdi. “If we arm the Syrian rebels, how do we stop British bombs
and bullets getting to al-Qaeda?”, New Statesman, 1 Mei 2013, tersedia di:
http://www.newstatesman.com/middle-east/2013/05/if-we-arm-syrian-rebels-how-do-
we-stop-british-bombs-and-bullets-getting-al-qaed; diunduh pada 9 Desember 2014.
How Syria‟s Civil War is Spilling Over”, Aljazeera, 12 November 2012,
tersedia di:
http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2012/11/20121112193038751565.html;
diunduh pada 4 Nopember 2014.
“Introduction”, Arab Bank for Economic Development in Africa, tersedia di:
http://www.badea.org/introduction.htm diunduh pada 22 september 2014.
Laub, Zachary Laub. “Syria‟s Crisis and the Global response”, Council on
Foreign Relation, 11 September 2013, tersedia di: http://www.cfr.org/syria/syrias-
crisis-global-response/p28402; diunduh pada 25 November 2014.
Masters, Jonathan. “The Arab League”, Council of Foreign Relations, 26
Januari 2012, tersedia di http://www.cfr.org/middle-east-and-north-africa/arab-
league/p25967 diunduh pada 19 September 2014.
Pedram, Shiva. “Syrian refugee Crisis Treathens Stability in the Middle East”,
Center for American Progress, 12 Agustus 2014, tersedia di:
http://www.americanprogress.org/issues/security/news/2014/08/12/95595/syrian-
refugee-crisis-threatens-stability-in-the-middle-east/; di unduh pada 4 Nopember
2014.
“Russia criticizes Arab League over Syria seat”, Aljazeera, 28 Maret 2013,
tersedia di
http://www.aljazeera.com/news/europe/2013/03/2013328173751138369.html
diunduh pada 20 Mei 2014.
Saab, Bilal Y. dan Andrew J. Tabler, “No Settlement In Damascus: The
Danger of a Negotiated Peace,” Foreign Affairs, 2 Januari 2013, tersedia di
http://www.foreignaffairs.com/articles/138739/bilal-y-saab-and-andrew-j-tabler/no-
settlement-in-damascus diunduh pada 19 Mei 2014.
xviii
“Saudi Arabia warns of Syria crisis regional spilover”, Al Arbiya News, 26
Maret 2013, tersedia di: http://english.alarabiya.net/en/2013/03/26/Saudi-Arabia-
warns-of-Syria-crisis-regional-spillover.html; diunduh pada 30 November 2014.
Sapronova, Marina. “The New Role of the Arab League in Regional and
International Relations”, New Eastern Outlook, 17 Maret 2013, tersedia di
http://journal-neo.org/2013/03/17/the-new-role-of-the-arab-league-in-regional-and-
international-relations/ diunduh pada 17 September 2014.
Schanzer, Jonathan Schanzer, “Saudi Arabia is Arming Syrian Opposition”,
Foreign Policy, 27 Februari 2012, tersedia di:
http://www.foreignpolicy.com/articles/2012/02/27/saudi_arabia_is_arming_the_syria
n_opposition; di unduh pada 30 November 2014.
Spath, Andrew. “Opposition Groups in Syria: Myths and Realities”, Foreign
Policy Research Institute, Januari 2012, tersedia di:
http://www.fpri.org/articles/2012/01/opposition-groups-syria-myths-and-realities;
diunduh pada 4 Nopember 2014.
“Syria Civil War Map: December 2013”, Political Geography Now, 15
Desember 2013, tersedia di: http://www.polgeonow.com/2013/12/syria-civil-war-
map-december-2013-12.html; diunduh pada 28 Maret 2014.
“Syria Regional Respon Plan: January to December 2013”, United Nation,
tersedia di: http://unhcr.org/51b0a56d6.pdf; diunduh pada 25 Oktober 2014.
Tokmajyan, Armenak. “A Brand New Arab League”, Middle East Online, 23
Mei 2013, tersedia di http://www.middle-east-online.com/english/?id=58941 diunduh
pada 25 September 2013.
The Crisis in Syria”, International Coalition for The Responsibility to Protect,
tersedia di: http://www.responsibilitytoprotect.org/index.php/crises/crisis-in-syria;
diunduh pada 26 November 2014.
“24th
Arab Summit Issues Doha Declaration” Arab League 24th
Summit, 27
Maret 2013, tersedia di:
http://arableaguesummit2013.qatarconferences.org/news/news-details-17.html;
diunduh pada 23 November 2014.