Download - Kecacingan Di Indonesia
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Askariasis adalah infeksi soil-transmitted helminthiasis (STH) yang
disebabkan cacing Ascaris lumbricoides. Askariasis, salah satu dari infeksi STH
yang paling umum, mengenai hampir satu juta orang di dunia. Hampir setengah
populasi di daerah subtropik dan tropic terkena penyakit ini, yang mana
menyebabkan kematian hampir 20.000 jiwa per tahun. Gejala pada derajat ringan
penyakit ini tidak menunjukkan gejala, namun pada kasus berat dapat
menyebabkan penyumbatan pada usus dan gangguan pertumbuhan pada anak.1
Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,
salah satu di antaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan
ini dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan
produktivitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan
kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta
kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama
pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi terjangkit
penyakit ini.2
Dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010, Pembangunan Kesehatan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, pembangunan
tersebut mempunyai tujuan untuk mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan
2
mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah
bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan
yang berkualitas.2
Sesuai dengan Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
pada Pasal 3 dinyatakan bahwa: Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga dan
lingkungannya.2
Karenanya penting bagi kita, khususnya orang yang bekerja di bidang
kesehatan untuk tidak hanya mengetahui mengenai cacingan ini namun juga
bagaimana usaha pengobatan, dan terutama pencegahannya sehingga penyakit ini
dapat diberantas dan peningkatan sumber daya manusia pun terlaksana.
1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat guna meningkatkan nilai pretest pada Departemen Ilmu
Kesehatan Komunitas di samping pula menambah pengetahuan umum mengenai
kecacingan yakni masalah dan upaya penanggulangannya di Indonesia.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
2.1.1 Definisi
Askariasis adalah infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides,
yang merupakan nematode usus terbesar. Angka kejadiannya di dunia lebih
banyak dari infeksi cacing lainnya, diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di dunia
pernah terinfeksi dengan cacing ini. Infeksi paling sering pada anak prasekolah
atau umur sekolah awal. Askariasis berada paling banyak pada negara bermusim
panas. Meskipun demikian, didapati sekitar 4 juta individu, terutama anak, di
Amerika Utara.3,4
2.1.2 Epidemiologi
A.lumbricoides dijumpai di seluruh dunia dan diperkirakan 1,3 milyar
orang pernah terkena infeksi ini. Tidak jarang dijumpai infeksi dengan cacing
jenis lain, terutama Trichuris trchiura. Askariasis ditularkan melalui tanah,
tergantung pada penyebaran telur ke dalam keadaan lingkungan yang cocok untuk
pematangannya. Defekasi di tempat sembarangan dan menggunakan pupuk
manusia merupakan praktik tidak higienis yang menyebabkan endemisitas
askariasis. Manusia mendapat infeksi dengan cara tertelan telur cacing
A.lumbricoides yang mengandung larva. Prevalensi tertinggi askariasis di daerah
tropik pada usia 3-8 tahun.3,4
2.1.3 Manifestasi
Sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala, akan tetapi karena
tingginya angka infeksi; morbiditasnya perlu diperhatikan.
Gejala yang terjadi dapat disebabkan oleh3:
1. migrasi larva
2. cacing dewasa
4
1. Migrasi Larva
Walaupun kerusakan hati dapat terjadi sewaktu larva melakukan siklus dari usus
melalui hati ke paru, tetapi organ yang sering dikenai adalah paru, yang masa
semua larva Ascaris lumbricoides harus melalui paru-paru sebelum menjadi
cacing dewasa di usus. Hal ini terjadi sewaktu larva menembus pembuluh darah
untuk masuk ke dalam alveoli paru. Pada infeksi yang ringan, trauma yang terjadi
bisa berupa perdarahan, sedangkan pada infeksi yang berat, kerusakan jaringan
paru dapat terjadi, sejumlah kecil darah mungkin mengumpul di alveoli dan
bronkial yang kecil yang bisa mengakibatkan terjadinya edema pada organ paru.
Selama hal ini disebut pneumonitis Ascaris. Pneumonitis Ascaris ini disebabkan
oleh karena proses patologis dan reaksi alergi berupa peningkatan temperature
sampai 39.5-400C, pernafasan cepat dan dangkal (tipe asmatik), batuk kering atau
berdahak (ditandai dengan Kristal Charcot-Leyden), ronki atau wheezing tanpa
krepitasi yang berlangsung 1-2 minggu, eosinofilia transien, infiltrate pada
gambaran radiologi (sindrom Loeffler) sehingga diduga sebagai pneumoni viral
atau tuberculosis.3
2. Cacing Dewasa
Cacing dewasa biasanya hidup di usus halus. Yokogawa dan Wakeshima
menyatakan bahwa pada anak yang terinfeksi dengan Ascaris lumbricoides,
pertumbuhan fisik dan mentalnya akan terganggu dibandingkan anak yang tidak
terinfeksi.3
Gejala klinis yang paling menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik
akut pada daerah epigastrium, gangguan selera makan, mencret. Ini biasanya
terjadi pada saat proses peradangan pada dinding usus. Pada anak kejadian ini bisa
diikuti demam. Komplikasi yang ditakuti adalah cacing migrasi dan menyebabkan
gejala akut. Pada keadaan infeksi berat, paling ditakuti bila terjadi muntah cacing
yang akan menimbulkan komplikasi penyumbatan saluran nafas usus oleh massa
cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi ileus oleh karena sumbatan pada
usus oelh massa cacing, atau apendiksitis sebagai akibat masuknya cacing ke
5
dalam lumen apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla Vateri ataupun
saluran empedu dan terkadang masuk ke jaringan hati.3
Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing menjadi
dewasa di dalam usus halus, yang mana hasil metabolism cacing dapat
menimbulkan fenomena sensitisasi seperti urtikaria, asma bronkial, konjungtivitis
akut, fotofobia dan terkadang hematuria. Eosinofilia 10%atau lebih sering pada
Ascaris lumbricoides tetapi hal ini tidak menggambarkan beratnya penyakit tetapi
lebih banyak menggambarkan proses sensitisasi dan eosinofilia ini tidak
patognomonis untuk infeksi Ascaris lumbricoides.3
2.1.4 Lingkaran Hidup
Telur A. lumbricoides A. lumbricoides
Cacing jantan berukuran 10-30 cm sedangkan betina 22-35 cm. Stadium
dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak
100.000-200.000 butir sehari; terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak
dibuahi.5
Telur yang dibuahi besarnya kurang lebih 60x45 mikron dan yang tidak
dibuahi 90x40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi
berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang dari 3 minggu. Bentuk
infektif ini bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus
dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe lalu dialirkan ke
jantung kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus
dinding pembuluh darah lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian
6
naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke
faring sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena
rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esophagus lalu menuju usus
halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang
tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan.5
2.1.5 Patofisiologi
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa
dan larva.5
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada
orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul
7
gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, eosinofilia. Pada foto
toraks tampak infiltrate yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini
disebut Sindrome Loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya
ringan. Kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual,
nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.5
Pada infeksi berat terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing ini
menggumpal dan terjadi obstruksi usus (ileus).4
Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu,
apendiks, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga
kadang-kadang perlu tindakan operatif.5
2.1.6 Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja
secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain
itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut
atau hidung karena muntah maupun melalui tinja.3,4
2.1.7 Pengobatan
Pada saat ini pemberian obat-obatan telah dapat mengeluarkan cacing dari
dalam usus. Obat-obatan yang dapat digunakan4:
Pirantel pamoat, dosis 10mg/kgBB/hari, dosis tunggal, memberikan hasil yang
memuaskan
Mebendazol, dosis 100mg, dua kali sehari, diberikan selama tiga hari berturut-
turut. Hasil pengobatan baik tetapi efek samping berupa iritasi terhadap
cacing, sehingga cacing dapat terangsang untuk bermigrasi ke tempat lain
harus di pertimbangkan
Oksantel-pirantel pamoat, dosis 10 mg/kgBB, dosis tunggal memberikan hasil
yang baik
Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet Albendazol
(400mg) atau 20 ml suspense, berupa dosis tunggal. Hasil cukup memuaskan.
8
2.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
2.2.1 Definisi
Trikuriasis adalah infeksi yang disebabkan cacing Trichuris trichiura,
salah satu cacing yang paling banyak pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta
orang pernah terkena infeksi dengan cacing ini dan ini sama dengan cacing
tambang dan hanya sedikit di bawah askariasis. Penyakit ini sering dikaitkan
dengan terjadinya colitis dan sindrom disentri pada infeksi derajat sedang.3,4
2.2.2 Epidemiologi
Trikuriasis paling sering pada masyarakat pedesaan yang miskin yang
kekurangan fasilitas sanitasi. Manusia adalah hospes primer; prevalensi dan
intensitas infeksi paling tinggi terjadi pada anak. Umur yang paling rentan untuk
mendapat infeksi cacing ini adalah 5-15 tahun. Penularan telur yang mengandung
embrio terjadi melalui tangan, makanan atau minuman yang terkontaminasi. Telur
juga dapat dibawa oleh lalat atau insekta lain.3,4
2.2.3 Lingkaran Hidup
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan jantan kira-kira 4 cm.
Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina
bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan terdapat 1
spikulum. Cacing dewasa ini hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing
betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-10.000 butir.5
Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan
dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar
berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan
dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6
minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada daerah yang lembab dan tempat
yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larv dan merupakan bentuk
infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang.
9
Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah
menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon,
terutama sekum. Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan
mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-
kira 30-90 hari.5
2.2.4 Manifestasi
Mekanisme pasti bagaimana cacing cambuk menimbulkan kelainan pada
manusia tidak diketahui, tetapi paling tidak ada 2 proses yang berperan yaitu
trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma (kerusakan) pada dinding usus terjadi
10
oleh karena cacing ini membenamkan kepalanya pada dinding usus. Cacing ini
biasanya menetap di daerah sekum.4
Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya sedikit.
Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas humoral yang
ditunjukkan dengan adanya anafilaksis lokal yang dimediasi oleh IgE, akan tetapi
peran imunitas seluler tidak terlihat. Terlihat adanya infiltrasi lokal eosinofil di
submukosa dan pada infeksi berat ditemukan edema. Pada keadaan ini mukosa
akan mudah berdarah, namun cacing tidak aktif menghisap darah.4
Namun pada referensi yang berbeda, menyebutkan cacing ini memasukkan
kepalanya ke dalam mukosa dan menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa
usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya
cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.5
Gejala pada infeksi ringan dan sedang ialah anak menjadi gugup, susah
tidur, nafsu makan menurun, bisa dijumpai nyeri epigastrik atau nyeri perut,
muntah atau konstipasi, perut kembung, buang angin. Pada infeksi berat dijumpai
mencret yang mengandung darah, lender; nyeri perut; tenesmus (nyeri sewaktu
buang air besar); anoreksia; anemia dan penurunan berat badan. Pada infeksi yang
berat dapat terjadi prolapsus rekti.4
Telur T. trichiura
T. Trichiura
2.2.5 Diagnosis
Dengan pemeriksaan tinja, dijumpai telur Trichuris trichiura ataupun
cacing dewasa.3,4,5
11
2.2.6 Pengobatan
Pengobatan yang dapat diberikan antara lain:
Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut
Albendazol pada anak usia di atas 2 tahun diberikan dosis 400 mg (2tablet)
atau 20 ml suspense berupa dosis tunggal. Sedangkan di bawah 2 tahun
diberikan separuhnya
Gabungan pirantel pamoat dan Mebendazol
2.3 Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
2.3.1 Definisi
Ankilostomiasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing
tambang yakni Ancylostoma duodenale sedangkan nekatoriasis adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh cacing Necator americanus. Kedua parasit ini diberi
nama cacing tambang karena pada zaman dahulu cacing ditemukan di Eropa pada
pekerja pertambangan, yang belum mempunyai fasilitas yang memadai.4,5
2.3.2 Epidemiologi
Cacing tambang adalah penyakit yang penting pada manusia. Necator
americanus maupun A.duodenale ditemukan didaerah tropis dan subtropics
seperti Asia dan Afrika. Di Indonesia, N.americanus lebih sering dijumpai
daripada A.duodenale. Infeksi pada manusia umumnya dapat terjadi oleh
pengaruh beberapa faktor yaitu:4
1. Adanya sumber infeksi yang kuat di dalam populasi
2. Kebiasaan buang air besar yang jelek, yang mana tinja yang mengandung
telur cacing tambang ikut mencemari tanah
3. Kondisi setempat yang menguntungkan untuk dapat terjadinya
perkembangan telur menjadi larva
4. Kesempatan larva berkontak dengan manusia
Manusia merupakan tuan rumah utama infeksi cacing tambang.
Endemisitas infeksi tergantung pada kondisi lingkungan untuk menetaskan telur
dan maturasi larva. Kondisi yang optimal ditemukan di daerah pertanian di negara
12
tropis. Morbiditas dan mortalitas infeksi cacing tambang terutama pada anak-
anak. Dari suatu penelitian di peroleh bahwa separuh dari anak-anak yang telah
terinfeksi sebelum 5 tahun, 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas meningkat
sampai usia 6-7 tahun dan kemudian stabil.3,4
2.3.3 Lingkaran Hidup
Cacing dewasa kecil, silinder. Cacing jantan berukuran 5-11mm x 0.3-
0.45mm dan cacing betina 9-13mm x 0.35-0.6mm, sedangkan A.duodenale sedikit
lebih besar dari N.americanus. N. americanus menghasilkan 10.000-20,000 telur
setiap harinya sedangkan A. duodenale 10.000-25.000 telur per hari. Ukuran telur
N. americanus 64-76mm x 36-40 mm dan A. duodenale 56-60 mm x 36-40 mm.
Telur cacing tambang terdiri dari satu lapis dinding yang tipis dan adanya ruangan
yang jelas antara dinding dan sel di dalamnya. Telur cacing tambang dikeluarkan
bersama tinja dan berkembang di tanah.4,5
Telur A. duodenale A. duodenale
Ancylostoma duodenale
13
Dalam kondisi kelembaban dan temperature yang optimal (23-330C), telur
akan menetas dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform yang berukuran
250-300µm. Setelah dua kali mengalami perubahan, akan terbentuk larva
filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform adalah 5-10 hari.
Kemudian larva menembus kulit manusia dan masuk ke sirkulasi darah melalui
pembuluh darah vena dan sampai di alveoli. Setelah itu larva bermigrasi ke
saluran nafas atas yaitu bronkiolus ke bronkus, trakea, faring, kemudian tertelan,
turun ke esophagus dan menjadi dewasa di usus halus.4,5
Daur hidup adalah sebagai berikut:
telur larva rabditiform larva filariform menembus kulit kapiler darah
jantung kanan paru bronkus trakea laring usus halus.5
Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A. duodenale
juga mungkin dengan menelan larva filariform.5
N. americanus
N. americanus
14
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam
tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk membedakan spesies N.
americanus dan A. duodenale dilakukan biakan tinja misalnya dengan cara
Harada-Mori.5
2.3.5 Manifestasi
Migrasi Larva
1. Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik dapat terikut masuk pada saat
larva menembus kulit, menimbulkan rasa gatal pada kulit (ground itch).
15
Creeping eruption (cutaneus larva migrans) umumnya disebabkan larva
cacing tambang yang berasal dari hewan seperti kucing ataupun anjing
yang kadang disebabkan oleh larva N. americanus ataupun A. duodenale.
2. Sewaktu larva melewati paru, dapat terjadi pneumonitis, tetapi tidak
sesering larva A. lumbricoides.4
Cacing Dewasa
Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga bagian atas usus halus dan melekat
pada mukosa usus. Gejala klinis yang sering terjadi tergantung pada berat
ringannya infeksi; makin berat infeksi manifestasi klinik yang terjadi semakin
mencolok seperti:4
1. Gangguan gastro-intestinal yaitu anoreksia, mual, muntah, diare,
penurunan berat badan, nyeri pada daerah sekitar duodenum, jejunum dan
ileum
2. Pada pemeriksaan laboratorium umumnya dijumpai anemia hipokromik
mikrositik
3. Pada anak dijumpai adanya korelasi positif antara infeksi sedang dan berat
dengan tingkat kecerdasan anak
Bila penyakit berlangsung kronis akan timbul gejala anemia,
hipoalbuminemia dan edema. Hemoglobin kurang dari 5 gr/dl dihubungkan
dengan gagal jantung dan kematian yang tiba-tiba. Patogenesis anemia pada
infeksi cacing tambang tergantung 3 faktor yaitu:4
1. kandungan besi dalam makanan
2. status cadangan besi dalam tubuh pasien
3. intensitas dan lamanya penyakit
Ketiga faktor ini bervariasi di negara tropis. Di Nigeria, dimana masukan
besi tinggi (20-30 mg per hari), perdarahan yang disebabkan oleh cacing tambang
tidak menunjukkan berkurangnya besi meskipun didalam tubuhnya terdapat
sampai 800 cacing tambang dewasa. Pada infeksi cacing tambang, kehilangan
darah yang terjadi adalah 0.03-0.05 ml darah/cacing/hari pada N. americanus dan
0.16-0.34 ml darah/cacing/hari pada A. duodenale.4
16
2.3.6 Pengobatan
Pengobatan yang dapat dilakukan antara lain:4
1. Creeping eruption: krioterapi dengan liquid nitrogen atau kloretilen spray,
tiabendazol topical selama 1 minggu. Coulaud dkk (1982) mengobati 18 kasus
cutaneus larva migrans dengan albendazol 400 mg selama 5 hari berturut-
turut, mendapatkan hasil yang memuaskan
2. Pengobatan terhadap cacing dewasa: di bangsal anak RS Pirngadi di Medan,
pengobatan yang digunakan adalah gabungan pirantek-pamoat dengan
mebendazol, dengan cara pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB
diberikan pada pagi harinya diikuti dengan pemberian mebendazol 100 mg
dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Hasil pengobatan ini sangat
memuaskan, terutama bila dijumpai adanya infeksi campuran dengan cacing
lain
Obat-obat lain yang dapat digunakan:4
1. Pirantel pamoat dosis 10 mg/kgBB
2. Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut
3. Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 400 mg (2 tablet)
atau setara dengan 20 ml suspense, sedangkan pada anak yang lebih kecil
diberikan dengan dosis separuhnya, dilaporkan cukup memuaskan
17
2.4 Dampak Cacingan pada Masyarakat
2.4.1 Prevalensi dan Intensitas Infeksi
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Angka infeksi tinggi, tetapi infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil
survey cacingan di Sekolah Dasar di beberapa Provinsi di Indonesia pada tahun
1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60-80 % sedangkan untuk semua
umur berkisar antara 40-60%. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan
2003 pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2.2-
96.3%.2
18
2.4.2 Kerugian Akibat Cacingan
Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaaan (digestif),
penyerapan (absorbsi) dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi
cacing atau cacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan
protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,
kecerdasan dan produktivitas kerja, dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga
mudah terkena penyakit lainnya. Kerugian kalori/protein dan darah tersebut bila
dihitung dengan jumlah penduduk 220.000.000 dapat diperkirakan sebagai
berikut.2
Kerugian Akibat Cacing Gelang
Di Indonesia dengan jumlah penduduk 220.000.000, prevalensi cacingan 60% dan
jumlah rata-rata cacing per orang 6 ekor cacing maka kerugian karbohidrat karena
cacing gelang sehari diperkirakan dengan rumus (Jumlah Penduduk x Prevalensi x
Rata-rata jumlah cacing/orang x kehilangan karbohidrat oleh 1 ekor cacing/hari)
(220.000.000 x 60% x 6 x 0.14 gram) : 1.000 =
110.880 kg karbohidrat per hari
Karena 0.8 gram karbohidrat setara dengan 1 gram beras, maka kerugian beras
setara dengan 138.660 kg beras per hari. Bila dihitung dalam Rupiah dengan
harga beras Rp 3.000/kg maka kerugian keuangan yang diperkirakan adalah:
138.660 kg x 365 x Rp 3000=
Rp 151.767.000.000 per tahun
Jika seekor cacing menghabiskan 0.035 gram protein maka perkiraan protein yang
hilang untuk seluruh penduduk:
(220.000.000 x 60% x 6 x 0.035 gram) :1.000=
27.720 kg protein per hari
Karena 1 gram daging sapi mengandung 0.19 gram protein maka kerugian daging
sapi adalah 145.895 kg per hari. Bila dihitung dengan Rupiah, dimana harga
daging sapi Rp 30.000 per kg maka kerugian uang yang diperkirakan:
145.895 kg x 365hr x Rp 30.000=
Rp 1.597.550.250.000 per tahun
19
Jumlah anak usia sekolah tingkat dasar diperkirakan 21% dari jumlah penduduk
dengan demikian kerugian yang diakibatkan oleh Cacingan pada anak usia
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Karbohidrat = 21% x Rp 151.767.000.000 = Rp 31.871.070.000
2. Protein = 21% x Rp 1.597.550.250.000 = Rp 335.485.552.500
Kerugian Karena Cacing Tambang
Perkiraan jumlah kehilangan darah yang disebabkan oleh cacing tambang perhari
adalah
220.000.000 x 10% x 0.2 ccx 50 ekor=
220.000.000 cc darah = 220.000 liter darah per hari
Untuk satu tahun penderita Cacingan akan kehilangan darah sebanyak:
220.000 liter x 365 hari= 80.300.000 liter darah per tahun
Jumlah anak usia sekolah tingkat dasar diperkirakan 21% dari jumlah penduduk
dengan demikian kerugian yang diakibatkan oleh Cacingan pada anak usia
tersebut adalah
21%x 80.300.000 ltr = 16.863.000 liter darah per tahun
Kerugian Karena Cacing Cambuk
Perkiraan jumlah kehilangan darah disebabkan cacing cambuk sehari sebanyak:
220.000.000 x 40% x 0.005 cc x 100 =
44.000.000 cc darah = 44.000 liter darah per hari
Kehilangan darah selama setahun:
44.000 ltr x 365 hari = 16.060.000 ltr darah per tahun
Jumlah anak usia sekolah tingkat dasar diperkirakan 21% dari jumlah penduduk,
dengan demikian kerugian yang diakibatkan oleh Cacingan pada anak usia
tersebut adalah:
21% x 16.060.000 ltr = 3.372.600 ltr darah per tahun
20
2.5 Pengendalian Penyakit Cacingan
2.5.1 Tujuan Umum
Pengendalian penyakit Cacingan bertujuan untuk menurunkan prevalensi
dan intensitas Penyakit Cacingan sehingga dapat menunjang peningkatan mutu
sumber daya manusia, guna mewujudkan manusia Indonesia yang sehat. Dasar
utama untuk pengendalian cacingan adalah memutuskan mata rantai lingkaran
hidup cacing.2
2.5.2 Tujuan Khusus
1. Turunnya Prevalensi Cacingan menjadi < 10% pada tahun 2010
2. Meningkatkan kemitraan dalam penanggulangan Penyakit Cacingan di
masyarakat dengan melibatkan LP/LS/LSM/Swasta/masyarakat secara
aktif
3. Meningkatnya cakupan Program Pengendalian Penyakit Cacingan pada
anak SD menjadi 75% pada tahun 20102
2.5.3 Sasaran
Populasi sasaran pengendalian Penyakit Cacingan adalah masyarakat
dengan resiko tinggi terhadap infeksi cacing yaitu masyarakat yang sering
berhubungan dengan tanah antara lain yaitu:2
1. Anak usia sekolah dasar (7-15 tahun )
2. Petani, nelayan, pekerja perkebunan dan pekerja pertambangan
3. Anak balita (1-5 tahun) dan pra sekolah
4. Masyarakat resiko tinggi lain (ibu hamil, tenaga kerja perusahaan)
Sedangkan sasaran lokasi antara lain meliputi daerah pertanian, perkebunan,
pertambangan, daerah pantai dan pariwisata.2
2.6 Kebijakan dan Strategi Pemerintah Mengendalikan Cacingan
2.6.1 Kebijakan
Kebijakan pembangunan nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
21
Nasional (RPJMN) 2004-2005, Bab 28 tentang Peningkatan Aksesibilitas
Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas, ditetapkan antara program pencegahan
dan pemberantasan penyakit.2
Penyakit Cacingan merupakan salah satu penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama dikalangan anak
usia sekolah dasar. Hal ini dapat merugikan proses belajar-mengajar, oleh karena
itu Kebijakan Program Pengendalian Penyakit Cacingan diarahkan untuk:2
1. Meningkatkan upaya pengendalian dengan menggali sumber daya secara
kemitraan, lintas program dan sector
2. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan program
yang lebih professional
3. Mengembangkan dan menyelenggarakan metode tepat guna
4. Meningkatkan upaya pencegahan yang efektif bersama program dan sector
terkait
5. Melaksanakan bimbingan, pemantauan dan evakuasi
2.6.2 Strategi
Strategi Pengendalian Penyakit Cacingan yang dilakukan adalah memutus
mata rantai penularan baik dalam tubuh maupun luar tubuh manusia.
Dalam memutus rantai penularan ini ada dua program yang dilakukan yaitu:
1. PROGRAM JANGKA PENDEK
Tujuan program ini untuk memutus rantai penularan di luar tubuh manusia,
dengan demikian dapat menurunkan prevalensi dan intensitas infeksi
Cacingan dengan cara pengobatan (oelh sector kesehatan).
2. PROGRAM JANGKA PANJANG
Tujuan program ini untuk memutus rantai penularan di luar tubuh manusia,
yaitu dengan melaksanakan upaya pencegahan yang efektif.
Untuk mencapai hal-hal tersebut di atas yaitu program jangka pendek dan jangka
panjang ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan yaitu:
a. Penentuan prioritas lokasi sasaran maupun penduduk sasaran
22
b. Penegakkan diagnosis dengan melakukan pemeriksaan tinja secara
langsung dengan menggunakan metode Kato-katz
c. Penanggulangan
Menurut rekomendasi WHO bahwa dalam penanggulangan penyakit
cacingan ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu:
1) Pengobatan
Pengobatan dilakukan dengan dua cara pendekatan yaitu “Blanket
Treatment” dan “Selective Treatment” dengan menggunakan obat
yang aman dan berspektrum luas, efektif, tersedia dan terjangkau
harganya serta dapat membunuh cacing dewasa, larva dan telur.
Pada awal pelaksanaan kegiatan pengobatan harus didahului
dengan survey untuk mendapat data dasar. Bila pemeriksaan tinja
dilakukan secara sampling dan hasil pemeriksaan tinja
menunjukkan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan
massal, sebaliknya bila < 30% maka dilakukan pemeriksaan tinja
secara menyeluruh (total screening). Apabila hasil pemeriksaan
total screening menunjukkan prevalensi > 30% dilakukan
pengobatan massal dan prevalensi < 30% dilakukan pengobatan
selektif yaitu yang positif saja.
2) Preventif
Tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian faktor
resiko yang meliputi kebersihan lingkungan, keberhasilan pribadi,
penyediaan air bersih yang cukup, semenisasi lantai rumah,
pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, menjaga
kebersihan makanan, pendidikan kesehatan di sekolah baik untuk
guru maupun murid.
3) Promotif
Pendidikan kesehatan dapat diberikan melalui penyuluhan kepada
masyarakat pada umumnya atau kepada anak-anak sekolah yaitu
melalui program UKS seadangkan untuk masyarakat dapat
23
dilakukan penyuluhan secara langsung atau melalui media massa
baik cetak maupun media elektronik.
d. Kemitraan
Pengendalian Penyakit Cacingan bukan semata-mata merupakan tugas
Departemen Kesehatan melainkan menjadi tanggung jawab bersama baik
pemerintah, masyarakat ataupun sector lain sebagai mitra. Dalam
pelaksanaan program UKS telah diupayakan Surat Keputusan Bersama
(SKB) 4 menteri yaitu Departemen Kesehatan, Departemen Agama,
Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pendidikan Nasional. Untuk
itu peningkatan kerjasama dan koordinasi lintas program dan lintas sector
sangat penting dalam Pengendalian Penyakit Cacingan.
Kemitraan dapat digolongkan dalam tiga kelompok:
1) Kemitraan antar instansi pemerintah baik lintas program (dalam satu
departemen) dan lintas sector (lebih dari satu departemen)
2) Kemitraan di luar instansi pemerintah adalah swasta seperti LSM,
Industri, Perkebunan, Pertambangan dan Perusahaan yang pekerjanya
banyak terinfeksi cacing
3) Kemitraan masyarakat mandiri (peran serta aktif masyarakat sesuai
dengan keadaan social budaya setempat) Hal ini adalah program
jangka panjang (merubah perilaku) yang dapat dimulai dari murid
sekolah dasar
e. Peningkatan sumber daya manusia
Peningkatan Sumber Daya Manusia dapat dilakukan baik melalui
pendidikan formal maupun tidak formal misalnya melalui pelatihan.
Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan bagi petugas kesehatan sangat
diperlukan baik pengetahuan mengenai penyakitnya maupun ketrampilan
dalam bidang laboraturium, hal ini sangat menunjang pelaksanaan
Program Pengendalian Penyakit Cacingan.
24
BAB 3
KESIMPULAN
Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah
satu di antaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini
dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan
produktivitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan
kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta
kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama
pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi terjangkit
penyakit ini.
Penyakit Cacingan merupakan salah satu penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama dikalangan anak
usia sekolah dasar. Hal ini dapat merugikan proses belajar-mengajar, oleh karena
itu Kebijakan Program Pengendalian Penyakit Cacingan diarahkan untuk:
1. Meningkatkan upaya pengendalian dengan menggali sumber daya secara
kemitraan, lintas program dan sector
2. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan program
yang lebih professional
3. Mengembangkan dan menyelenggarakan metode tepat guna
4. Meningkatkan upaya pencegahan yang efektif bersama program dan sector
terkait
5. Melaksanakan bimbingan, pemantauan dan evakuasi
25
REFERENSI
1. Roundworm: Ascariasis downloaded from:
http://www.neglecteddiseases.gov/target_diseases/soil_transmitted_helminthias
is/roundworm/index.html#top available at 12nd March 2013 19.00 wib
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
424/MENKES/SK/VI/2006 tentang Pedoman Pengendalian Cacingan.
3. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15. 2000.
Jakarta: EGC. 1220-1230.
4. Soedarmo, S. Garna, H. Hadinegoro, S. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Jakarta: FKUI. 370-383
5. Gandahusada. 1998. Parasitologi Kedokteran Edisi 3. Jakarta: FKUI.8-23