Kecemasan dan Depresi pada Remaja dan Dewasa Muda Penderita Asma
Evagelia Kotrotsiou, Georgios Krommydas, Ioanna Papathanasiou, Stiliani Kotrotsiou,
Theodosios Paralikas, Eleni Lahana, Georgia Kiparissi
Health Science Journal 2011; 3: 229-236
Latar Belakang
Faktor psikologis mempengaruhi perjalanan penyakit asma dan melalui pengamatan klinis
menunjukkan bahwa asma dan stres berhubungan erat satu sama lain
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi prevalensi asma pada remaja dan
dewasa muda dan untuk menyelidiki hubungan antara asma, kecemasan dan depresi.
Bahan dan Metode
Sampel penelitian ini terdiri dari 1148 siswa berusia 15-25 tahun. Kuesioner pada asma
(Kuesioner Survei Komunitas Kesehatan Respirasi Eropa), depresi dan kecemasan (kuesioner
Bedford & Foulds) digunakan. Tingkat pentingnya adalah 0,05. SPSS for Windows, 8,0 versi
yang digunakan untuk pengolahan statistik.
Hasil
31,1% dari peserta adalah laki-laki dan perempuan sebesar 68,9%. Usia rata-rata adalah 18,9
tahun. Frekuensi asma sebesar 9,3%, sedangkan krisis asma tahun lalu (asma saat ini) sebesar
3,4%. Kecemasan dan depresi secara statistik lebih umum di kalangan orang-orang penderita
asma, dibandingkan dengan siswa tanpa asma dan sehat individu, p <0,005. 75% dan 50%
dari siswa dengan asma mencapai nilai di atas 6 dalam skala kecemasan dan depresi masing-
masing, sedangkan persentase non-asma anak adalah 12% dan 9% masing-masing.
Kesimpulan
Kecemasan dan depresi sering terjadi di kalangan anak muda dengan asma. Disarankan
adanya studi lebih lanjut mengenai hubungan antara asma dan sistem saraf pusat.
PENDAHULUAN
Adanya hubungan antara penyakit asma dan faktor psikologis pertama kali diamati di
masa lalu terpencil. Serangkaian pengamatan klinis menunjukkan bahwa asma dan stres
berhubungan erat satu dengan yang lain.1-5
1
Sebelum menjadi jelas bahwa dasar dari penyakit adalah peradangan saluran
pernafasan, asma dianggap penyakit yang disebabkan murni oleh faktor psikogenik dan
sering disebut "asma nervosa''. Kemudian, melalui pendekatan psikologis, diikuti penelitian
yang memberikan bukti nyata bahwa emosi berperan dalam asma. Meskipun hubungan antara
asma bronkial dan faktor psikologis dianggap ada, peran kedua dalam patofisiologi,
simtomatologi dan perkembangan penyakit masih belum jelas, karena banyak mekanisme
belum sepenuhnya dipahami.3, 4
Asma, sebagai penyakit kronis, memiliki dimensi psikologisnya sendiri. Di sisi lain,
situasi mental individu ikut mempengaruhi kesehatan tubuhnya dan perjalanan suatu
penyakit. Dalam kasus asma, mungkin terdapat pengaruh substrat genetik umum terhadap
penyakit kejiwaan yang diamati dalam keluarga, sehingga membuat latar belakang kejiwaan
individu dan keluarga mereka sebagai parameter penting untuk gejala dan tentu saja dari
asma bronkial.4, 5
Penelitian faktor psikologis saat ini dianggap penting mengingat faktor lingkungan
tradisional yang dianggap bertanggung jawab atas penyakit ini tidak menjelaskan mengapa
terjadi peningkatan prevalensi penyakit dalam tahun-tahun terakhir. Di sisi lain, dua dekade
terakhir telah terlihat eksplisit pentingnya sistem neuroendokrin dalam perkembangan
penyakit dimana proses inflamasi memainkan peran fundamental, seperti misalnya penyakit
rematik. Penelitian di bidang ini diharapkan dapat menjelaskan lebih patogenesis asma dan
hubungannya dengan saraf pusat dan sistem endokrin.4-6
BAHAN DAN METODE
1.148 orang mengambil bagian dalam studi ini. Sebuah sampel, acak bertingkat dari
sekolah tinggi di daerah perkotaan dan pedesaan wilayah Larissa serta sampel siswa TEI
sebanyak 1148 siswa secara total dipilih. Kuesioner dengan jenis pertanyaan tertutup
digunakan untuk pengumpulan data. 626 siswa akhirnya menanggapi (laju respon 54,5%).
Beberapa siswa tidak menjawab semua pertanyaan (umur, asma saat ini, atau bagian yang
mengacu pada depresi). Akibatnya jumlah akhir dari kuesioner tidak sama dalam semua
kasus. Kuesioner yang belum penuh ini tetap dilibatkan dalam penelitian, agar tidak
kehilangan informasi.
Estimasi asma: kuesioner ECRHS digunakan namun dimodifikasi, fase 2, versi
pendek. Kuesioner ini terdiri dari 10 pertanyaan dan digunakan sebagai tes skrining.
Perkiraan status psikologis (kuesioner cemas & depresi DSSI/SAD): kuesioner
DSSI/SAD dari Bedford dan Foulds7,8 meneliti gejala stres dan depresi. Kuesioner ini terdiri
2
dari empat belas pertanyaan, tujuh mengenai stres dan tujuh depresi. Dapat digunakan
sebagai tes skrining, bagi orang-orang dengan gejala kejiwaan untuk diidentifikasi, juga
sebagai indikator tingkat keparahan dari gejala stres dan depresi. Hasil tes memberikan
estimasi yang singkat dan cepat terhadap stres dan depresi. Tes ini secara eksklusif berfokus
pada simtomatologi saat tanpa terkait dengan struktur kepribadian atau komponen lainnya.
Kuesioner seperti itu, yang meneliti stres dan depresi tampaknya paling cocok digunakan
untuk penelitian pada pasien, karena sudah diketahui bahwa kedua entitas diperiksa bersama-
sama. Jumlah total untuk setiap skala (stres, depresi) adalah jumlah dari hasil di masing-
masing pertanyaan (rentang 0-21). Jumlah kritis untuk masing-masing kategori adalah 3.
Delapan puluh dua persen dari populasi umum memberikan hasil di bawah 3 dan mereka
harus dianggap bebas dari gejala. Sebelas persen dipindahkan antara 3 dan 6 dan dianggap
bahwa mereka memiliki beberapa bentuk simtomatologi kejiwaan marginal, sementara tujuh
persen yang ditemukan di atas 6 dan dianggap bahwa mereka mengalami psikopatologi yang
serius. Orang-orang ini dari sudut pandang kejiwaan bisa juga dianggap sebagai pasien.
Tabel 1. Karakteristik Demografi Sampel
Statistik: Sistem pengkodean dan pengobatan: awalnya variabel diberi kode, menurut
untuk urutan kemunculannya di kuesioner. Variabel derivatif juga dibuat dengan kode yang
sesuai, seperti misalnya dengan K2 untuk simtomatologi sedang dalam skala depresi, K3
untuk gejala yang serius dan sebagainya. Tabel frekuensi dibuat untuk karakteristik
epidemiologi umum berupa sampel dan karakteristik asma untuk tiap individu yang
mengambil bagian dalam studi ini.
Data diperiksa kemudian dengan tabel korelasi silang dan konstanta yang sesuai dari
korelasi silang (koefisien kontingensi) untuk variabel kualitatif dihitung. Tes Mann-Whitney-
U juga digunakan untuk distribusi non-parametrik. Hal ini juga dianjurkan untuk variabel
3
kuantitatif, ketika tidak mengikuti distribusi biasa. Kontrol yang terakhir itu dilakukan
dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Variabel kualitatif diperiksa dengan menggunakan x2 dari
Pearson dengan koreksi kontinuitas Yates, di mana mereka dibutuhkan. Tingkat kepentingan
adalah 0,05. SPSS for Windows, 8,0 versi yang digunakan untuk pengolahan statistik.
Tabel 2. Distribusi Sampel menurut Variabel Klinis
HASIL
31,1% dari siswa laki-laki dan perempuan 68,9%. Karakteristik epidemiologi dari
sampel tampak pada tabel 1. Rata-rata usia adalah 18,9 tahun. Didapatkan frekuensi asma
sebesar ke 9,3%, sedangkan krisis asma tahun lalu (asma saat ini) sebesar 3,4% ke (tabel 2).
Distribusi stres dan depresi pada individu penderita asma dan perbandingan mereka
dengan persentase yang diharapkan pada populasi umum ditunjukkan dalam tabel 3 dan
4. 75% dan 50% dari siswa dengan asma mnunjukkan nilai di atas 6 dalam skala cemas dan
depresi masing-masing, sedangkan persentase anak non-asma masing-masing untuk cemas
dan depresi sebesar 12% dan 9%, mendekati persentase yang diamati dalam populasi
umum. Perbedaan signifikan secara statistik ditunjukkan dalam tabel 5, dimana perbandingan
untuk nilai (skor) antara individu dengan asma dan individu tanpa asma mengenai kecemasan
dan depresi disajikan.
DISKUSI
Frekuensi asma yang ditentukan dalam penelitian ini adalah 9,1%, angka yang
mendekati hasil studi internasional yang dilaporkan tahun lalu.9 Frekuensi asma anak-anak di
Eropa berkisar antara 7% dan 11%. Frekuensi bersin, serta asma telah meningkat bertahap
dalam 30 tahun terakhir. Ditemukan bahwa peningkatan frekuensi asma ini jauh lebih besar
daripada frekuensi bersin.10,11 Ini memperkuat poin bahwa alasan penting terjadinya
peningkatan frekuensi dan istilah "asma" muncul lebih sering, dibandingkan istilah "asmatik"
4
atau "bronkitis alergi" yang digunakan di masa lalu. Perbedaan besar diamati dalam frekuensi
asma antara berbagai daerah, serta pada berbagai penelitian9. Metodologi yang berbeda dan
kriteria yang digunakan adalah bertanggung jawab kepada adanya perbedaan ini.
Tabel 3. Distribusi Stres pada Individu Penderita Asma (DSSI / SAD) dan Perbandingan
dengan Populasi Umum.
Tabel 4. Distribusi Stres pada Individu Penderita Asma (DSSI / SAD) dan Perbandingan
dengan Populasi Umum.
5
Tabel 5. Perbandingan Cemas dan Depresi pada Individu dengan Asma dan Tanpa Asma
(tes Mann - Whitney - U)
Namun, tampaknya diluar pengenalan penyakit ini dan apapun masalah dalam
metodologi, kenaikan riil insiden tetap ada. Di Hong Kong, frekuensi asma meningkat hingga
71% dan mengi mencapai 24% dalam beberapa tahun.12 Di Finlandia peningkatan frekuensi
asma diamati dalam rentang antara 0,08% pada tahun 1961, hingga 0,29% pada tahun 1996
dan mencapai 1,79% pada tahun 1989. Jika peningkatan insiden didasarkan hanya pada fakta
bahwa diagnosis asma ditegakkan lebih sering, seharusnya terdapat 95% insiden sebelum
1966 telah menyelipkan diagnosis yang tepat.13 Penelitian lain pada dua tahun terakhir
memastikan terus terjadi peningkatan frekuensi asma.9 Di Amerika Serikat frekuensi asma
telah meningkat dari 3,1% pada tahun 1980 menjadi 5,4% pada tahun 1994, namun frekuensi
penyakit di kalangan anak-anak dari keluarga miskin jauh lebih banyak.14
Frekuensi serangan saat krisis kambuh sesuai dengan perkiraan yang diharapkan
yakni mengalami penurunan seiring dengan pertumbuhan pasien. Temuan serupa dilaporkan
dalam studi di Inggris dan merujuk kepada anak-anak yang berada dalam pengamatan dari
saat berusia 7 sampai mereka berusia 30 tahun. Persentase anak-anak yang terus mengalami
episode asma saat usia 17 tahun adalah 18%.15
Serupa juga temuan penelitian epidemiologi yang diadakan di Israel dan termasuk
studi sejumlah besar anak laki-laki dan perempuan dari usia 17 tahun. Anak-anak ini
diperiksa oleh dokter untuk bergabung dalam angkatan bersejata di negara mereka. Semua
anak-anak yang menunjukkan gejala asma atau melaporkan riwayat gejala yang sama,
diperiksa oleh ahli paru berpengalaman dan mereka diikutkan dalam tes fungsional dan tes
tantangan (challenge test). Ditemukan bahwa pada usia 17 tahun, 77,3% anak laki-laki dan
80,2% anak perempuan penderita asma, bebas dari gejala asma. Artinya, kira-kira 2 dari 10
6
anak-anak terus menunjukkan gejala asma.16 Di Yunani prevalensi asma pada usia 13-14
tahun dalam sampel 2.561 anak diperkirakan sekitar 5% (ISAAC studi), dari angka terendah
secara internasional9.
Mengenai asma dan faktor psikologis, penelitian menunjukkan tingginya prevalensi
gejala kejiwaan pada remaja dan dewasa muda. Stres dalam keluarga dan latar belakang
gangguan afektif yang dilaporkan dalam keluarga dengan anak-anak penderita asma.
Disfungsi keluarga dan masalah psikologis ibu ditambah dengan morbiditas yang tinggi pada
anak-anak penderita asma.17 Dalam kerabat para remaja penderita asma, didapatkan proporsi
insiden depresi, mania, penyalahgunaan zat dan kepribadian antisosial yang cukup tinggi.
Para penderita penyakit kronis seperti asma ternyata menjadi sumber stres bagi keluarga,
sebuah fakta yang bisa membebani secara serius, terlebih jika keluarga berada pada situasi
sosioekonomi yang buruk.18
Hal ini juga menarik mengenai fakta bahwa anak-anak dengan asma membawa lebih
banyak masalah bahkan ketika mereka dibandingkan dengan anak-anak dengan diabetes.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 93 anak dengan asma bronkial keparahan
sedang, ditemukan bahwa anak-anak tersebut mengalami gejala kejiwaan dalam persentasi
lebih besar, terutama gangguan kecemasan, dibandingkan dengan anak-anak yang menderita
penyakit diabetes juvenil yang dianggap menjadi penyebab meningkatnya kebutuhan dari
orang tua dan anak-anak.19
Kebanyakan penelitian berurusan dengan asma sedang atau sangat parah.20,21 Namun
tetap saja ada gangguan kejiwaan bahkan pada pasien dengan asma ringan.22 Stresor
memberikan kontribusi pada penurunan penyakit dan banyak bukti menunjukkan hubungan
antara stres dan penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh khususnya di pada hewan.23
Tampaknya bahwa hubungan biologi-genetik antara asma dan gangguan kejiwaan mungkin
ada, di luar hubungan tidak langsung melalui tekanan psikologis. Mungkin terdapat latar
belakang patogenetik yang membuat seorang penderita asma rentan terhadap penyakit
mental. Melampaui kemungkinan ikut berperannya dalam patogenisitas penyakit dan
kerusakan penyakit, emosional dan gangguan stres dianggap sebagai kendala dalam
pengobatan penyakit.
Menurut Rietveld et al.,24 sangat penting dilakukan penilaian awal terhadap masalah
emosional. Ketika seorang pasien datang dengan gejala yang tidak khas atau mereka kurang
berespon terhadap pengobatan, maka dokter harus menduga adanya masalah psikologis-
fungsional. Estimasi kejiwaan bisa mengkonfirmasi masalah ini. Jika asma berdampingan
dengan gangguan stres, konfrontasi asma datang pertama, karena setidaknya saat dimulai
7
krisis asma dapat mengakibatkan kejadian panik. Sebaliknya, jika asma berdampingan
dengan depresi, konfrontasi depresi menjadi prioritas, karena jika konfrontasi asma telah
dibuktikan bahwa tidak terlalu berpengaruh.24
Berdasarkan hal diatas, studi tentang faktor psikologis, dapat diterapkan dalam
individual, serta di tingkat massa. Dalam kasus pasien, pengaruh psikologis awalnya dicari
dengan menggunakan kuesioner spesifik seperti kuesioner Beck, Bedford dan Foulds et al.8,25
Jika stres yang menonjol, masa tindak lanjut berlangsung, di mana kita mengharapkan respon
klinis dalam pengobatan antiasma dan kemudian tingkat stres yang direvaluasi. Dalam kasus
di mana simtomatologi kejiwaan metetap, sebaiknya dirujuk ke ahlinya. Dalam hal gejala
depresi terdeteksi, konfrontasi segera dilakukan. Dalam setiap kasus orang tua anak harus
mendapat evaluasi psikologis. Dalam tingkat massa, studi parameter psikologis penyakit
dapat diterapkan di sekolah-sekolah, yang disebut sekolah asma, di mana orang tua diberitahu
adanya kontribusi stres terhadap munculnya gejala.
Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan. Yang paling penting adalah kehilangan
saat pengumpulan kuesioner. Itu pelaksanaan instruksi Komite Etis Institut Pedagogik untuk
orang tua 'dalam menulis (karena perlindungan data pribadi), tetapi juga setiap orang tua
untuk membaca kuesioner di rumah dan mengisinya di sana, mengakibatkan lamanya waktu
penyelesaian - pengembalian kuesioner yang mencapai waktu seminggu, disertai juga
bertambahnya kehilangan. Perlu dicatat juga bahwa direktur sekolah diminta untuk
memastikan waktu pengumpulan yakni pada hari terakhir dalam minggu, agar tidak
mengganggu jam mengajar lebih lanjut. Sebuah kelemahan dari protokol adalah bahwa tidak
termasuknya konfirmasi diagnosis dari catatan riwayat kesehatan siswa. Diperkirakan bahwa
hal ini akan lebih menghambat pengumpulan data, sementara itu mungkin akan mengarah
pada kesimpulan tidak dapat diandalkan, jika tidak ada komunikasi langsung dengan dokter
pribadi siswa. Dalam kondisi tertentu fungsi dari sistem kesehatan nasional di negara kita dan
tanpa lembaga dokter keluarga, pendekatan semacam itu dikecualikan. Juga komposisi akhir
dari sampel meliputi 31,1% laki-laki, hal ini terutama karena hanya sedikit laki-laki yang
tergabung dalam departemen keperawatan. Banyak parameter dan kesalahan yang mungkin
harus dipertimbangkan dalam penelitian ini. Jawaban dari orang tua yang disebut riwayat
kesehatan keluarga mereka mungkin tidak dapat diandalkan. Asma sering dibingungkan
dengan penyakit seperti penyakit paru-paru obstruktif kronis atau gagal jantung. Juga, banyak
yang tidak tahu bahwa bronkitis alergi atau spastik merupakan persamaan asma. Masih ada
kemungkinan bahwa jawaban yang diberikan tidak benar, karena ada bias dalam keparahan
penyakit. Mungkin beberapa orang menganggap beberapa pertanyaan yang terlalu pribadi
8
dan mereka tidak menjawab dengan terus terang. Akhirnya, karena ukuran sampel kecil dari
siswa, tidak dapat ditarik kesimpulan yang pasti.
KESIMPULAN
Temuan dari penelitian ini menggarisbawahi peran penting dari lingkungan psikologis
dalam perkembangan asma dan beban psikologis individu penderita asma. Tingkat korelasi
asma dan psikopatologi pada penderita, menunjukkan hubungan umum antara asma, sistem
saraf pusat dan gangguan psikologis. Pada saat yang sama, dikonfirmasi adanya
kecenderungan augmentatif dalam insiden asma selama tahun terakhir.
RESUME
Penelitian yang ini membahas tentang hubungan antara angka kejadian asma dengan
kecemasan dan depresi pada remaja dan dewasa muda. Adapun yang melatarbelakangi
dilakukannya penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh faktor psikologis terhadap
perjalanan penyakit asma dan melalui pengamatan klinis untuk menunjukkan bahwa asma
dan stres berhubungan erat satu sama lain. Penelitian dilakukan pada total sampel 1148 siswa
berusia 15-25 tahun. Pengambilan data dilakukan melalui kuesioner yakni kuesioner pada
asma berupa Kuesioner Survei Komunitas Kesehatan Respirasi Eropa, sedangkan untuk
depresi dan kecemasan digunakan kuesioner Bedford & Foulds. Sampel penelitian terdiri atas
31,1% siswa laki-laki dan 68,9% perempuan. Rata-rata usia sampel adalah 18,9 tahun.
Didapatkan frekuensi asma sebesar ke 9,3%, sedangkan krisis asma tahun lalu (asma saat ini)
sebesar 3,4% . Terdapat 75% dan 50% dari siswa dengan asma mnunjukkan nilai di atas 6
dalam skala cemas dan depresi masing-masing, sedangkan persentase anak non-asma masing-
masing untuk cemas dan depresi sebesar 12% dan 9%, mendekati persentase yang diamati
dalam populasi umum. Sangat penting dilakukan penilaian awal terhadap masalah emosional.
Jika asma berdampingan dengan gangguan stres, konfrontasi asma datang pertama, karena
setidaknya saat dimulai krisis asma dapat mengakibatkan kejadian panik. Sebaliknya, jika
asma berdampingan dengan depresi, konfrontasi depresi menjadi prioritas, karena jika
konfrontasi asma telah dibuktikan bahwa tidak terlalu berpengaruh. Penelitian ini memiliki
beberapa kelemahan. Kehilangan saat pengumpulan kuesioner, tidak termasuknya konfirmasi
diagnosis dari catatan riwayat kesehatan siswa, tidak ada komunikasi langsung dengan dokter
pribadi siswa, komposisi akhir dari sampel meliputi 31,1% laki-laki, masih ada kemungkinan
bahwa jawaban yang diberikan tidak benar, karena ada bias dalam keparahan penyakit.
Akhirnya, karena ukuran sampel kecil dari siswa, tidak dapat ditarik kesimpulan yang pasti.
9
Daftar Pustaka
1. Vamos M, Yolbe J. Psychological factors in several chronic asthma. Aust N Z J
Psychiatry 1999:33: 538-44
2. Bussing R, Halfon N, Bernadette B, Kenneth WB. Prevalence of behavior
problems in US children with asthma. Arch Pediatr Adolesc Med 1995:149: 565-572
3. Van Lieshout RJ, Bienenstock J, MacQueen GM. A review of candidate pathways
underlying the association between asthma and major depressive disorder. Psychosom
Med. 2009 ;71:187-95
4. Miller G, Chen E, Cole SW. Health psychology: developing biologically plausible
models linking the social world and physical health. Annu Rev Psychol. 2009;60:501-24
5. Krommydas G, Gourgoulianis KI, Angelopoulos NV, Andreou G, Molyvdas PA.
Left-handedness and parental psychopathology in the course of bronchial
asthma in childhood. Pediatr Asthma Aller 2002:15:145-152
6. Burney PG, Luczynska C, Chinn S, Jarvis D. The European Community Respiratory
Health Survey. Eur Resp J. 1994: 7:954-60
7. Bedford A, Foulds GA, Sheffield BF. A new personal disturbance scale:
DSSI/sAD. Br J Soc Clin Psychol 1976: 15: 387 – 94
8. Bedford A, Deary IJ. The personal disturbance scale (DSSI/sAD):development,
use and structure. Person Individ Diff 1997; 22 : 493-510
9. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Steering
Committee. Worldwide variation in prevalence of symptoms of asthma, allergic
rhinoconjunctivitis and atopic eczema: ISAAC. Lancet 1998: 351:1225-32
10. Bauman A. Has the prevalence of asthma symptoms increased in Australian children? J
Pediatr Child Health 1993: 29: 424-428
11. Pearce N, Weiland S, Keil U, Langridge P, Anderson HR, Strachan D, et al. Self-
reported prevalence of asthma symptoms in children in Australia, England,
Germany and New Zealand: an international comparison using the ISAAC
protocol. Eur Respir J. 1993 Nov;6(10):1455-61.
12. Leung R, Wong G, Lau J, Ho A, Chan JK, Choy D, et al. Prevalence of asthma and
allergy in Hong Kong schoolchildren: an ISAAC study. Eur Respir J. 1997
Feb;10(2):354-60.
13. Haahtela T, Lindholm H, Biorksten F, Koskenvuo K, Caitinen LA. Prevalence of
asthma in finnish young men. BMJ 1990: 301:266-301.
10
14. Sly RM. Changing prevalence of allergic rhinitis and asthma. Asthma Allergy
Immunol: 1999;82: 233-48.
15. Burke C, Power CK, Norris A, Condez A, Schnekel B, Poulter CW.Lung function and
immunopathological changes after inhaled corticosteroid therapy in asthma. Eur
Respir J. 1992; 5:73-79.
16. Godfrey S. Natural history of childhood asthma. In Clark TJH, Godfrey S and Lee
TH ,eds. Asthma,3rd ed, Chapman and Hall, London 1992: 559-563.
17. Morey PJ, Jones K. Past maternal experience of asthma. Childhood
morbidity and the psychosocial impact of the disorder. J Asthma 1993;:30:271-6.
18. Hamlett KW, Pellegrim DS, Katz KS. Childhood chronic illness as a family
stressor. J Pediatr Psychol 1992: 17: 33- 47.
19. Vila G, Nollet-Clemenson C, Vera M, Robert JJ, de Blic J, Jouvent R, et al .
Prevalence of DSM-IV disorders inchildren and adolescents with asthma v. diabetes
Can J. Psychiatry 1999: 44:562-9.
20. Yellowlees P, Haynes S, Potts N, Ruffin R. Psychiatric morbidity in patients with life
threatening asthma: initial report of a controlled study. Med J Aust 1988;146: 246 – 249.
21. Fritz GK, Rubestein S, Lewiston NJ. Psychological factors in fatal childhood
asthma. Am J Orthopsychiatry 1987; 57: 253 – 257.
22. Krommydas GC, Gourgoulianis KI, Κotrotsiou E, Raftopoulos V, Molyvdas
PA: Depression and pulmonary function in outpatients with asthma. Respiratory
Medicine 2004;98:220-22.
23. Wright JR, Rodriguez M, Cohen S. Review of psychosocial stress and asthma: an
intergrated biopsychosocial approach. Thorax 1998; 53:1066 – 1074
24. Rietveld S, Creer TL: Psychiatric factors in asthma: implications for diagnosis and
therapy: Am J Respir Med :2003;2:1-10
25. Beck AT, Rial W Y, Rickets K. Short form of Depression Inventory: Cross-validation:
Psychological-Reports. 1974;34:1184-1186
11
Kecemasan dan Depresi pada Remaja dan Dewasa Muda Penderita Asma
Evagelia Kotrotsiou, Georgios Krommydas, Ioanna Papathanasiou, Stiliani Kotrotsiou,
Theodosios Paralikas, Eleni Lahana, Georgia Kiparissi
Health Science Journal 2011; 3: 229-236
Latar Belakang
Serangkaian pengamatan klinis menunjukkan bahwa asma dan stres berhubungan erat satu
dengan yang lain. Situasi mental individu ikut mempengaruhi kesehatan tubuhnya dan
perjalanan suatu penyakit. Penelitian faktor psikologis saat ini dianggap penting mengingat
faktor lingkungan tradisional yang dianggap bertanggung jawab atas penyakit ini tidak
menjelaskan mengapa terjadi peningkatan prevalensi penyakit dalam tahun-tahun terakhir.
Faktor psikologis mempengaruhi perjalanan penyakit asma dan melalui pengamatan klinis
menunjukkan bahwa asma dan stres berhubungan erat satu sama lain.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi prevalensi asma pada remaja dan
dewasa muda dan untuk menyelidiki hubungan antara asma, kecemasan dan depresi.
Bahan dan Metode
Sampel penelitian ini terdiri dari 1148 siswa berusia 15-25 tahun. Kuesioner pada asma
digunakan kuesioner ECRHS (Kuesioner Survei Komunitas Kesehatan Respirasi Eropa),
dimodifikasi, fase 2, versi pendek. Kuesioner ini terdiri dari 10 pertanyaan dan digunakan
sebagai tes skrining. Sedangkan untuk perkiraan status psikologis (kuesioner cemas &
depresi DSSI/SAD): kuesioner DSSI/SAD dari Bedford dan Foulds meneliti gejala stres dan
depresi. Kuesioner ini terdiri dari empat belas pertanyaan, tujuh mengenai stres dan tujuh
depresi. Dapat digunakan sebagai tes skrining, bagi orang-orang dengan gejala kejiwaan
untuk diidentifikasi, juga sebagai indikator tingkat keparahan dari gejala stres dan depresi.
Hasil tes memberikan estimasi yang singkat dan cepat terhadap stres dan depresi. Tingkat
pentingnya adalah 0,05. SPSS untuk Windows, 8,0 versi yang digunakan untuk pengolahan
statistik.
Hasil
31,1% dari sampel penelitian adalah laki-laki dan 68,9% adalah perempuan. Usia rata-rata
adalah 18,9 tahun. Frekuensi asma sebesar 9,3%, sedangkan krisis asma tahun lalu (asma saat
ini) sebesar 3,4%. Kecemasan dan depresi secara statistik lebih umum di kalangan orang-
orang penderita asma, dibandingkan dengan siswa tanpa asma dan sehat individu, p <0,005.
12
75% dan 50% dari siswa dengan asma mencapai nilai di atas 6 dalam skala kecemasan dan
depresi masing-masing, sedangkan persentase non-asma anak adalah 12% dan 9% masing-
masing. Ketika seorang pasien datang dengan gejala yang tidak khas atau mereka kurang
berespon terhadap pengobatan, maka dokter harus menduga adanya masalah psikologis-
fungsional. Estimasi kejiwaan bisa mengkonfirmasi masalah ini. Jika asma berdampingan
dengan gangguan stres, konfrontasi asma datang pertama, karena setidaknya saat dimulai
krisis asma dapat mengakibatkan kejadian panik. Sebaliknya, jika asma berdampingan
dengan depresi, konfrontasi depresi menjadi prioritas, karena jika konfrontasi asma telah
dibuktikan bahwa tidak terlalu berpengaruh.
Kesimpulan
Kecemasan dan depresi sering terjadi di kalangan anak muda dengan asma. Disarankan
adanya studi lebih lanjut mengenai hubungan antara asma dan sistem saraf pusat.
13