Download - KEDUDUKAN HAK ISTIMEWA PERSONAL GUARANTOR …
1
KEDUDUKAN HAK ISTIMEWA PERSONAL GUARANTOR (PENJAMIN
PRIBADI) DALAM PERKARA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS
JURNAL
Oleh :
RIRIS F PANJAITAN
NIM : 140200325
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
2
CURRICULUM VITAE
A. Data Pribadi
Nama Lengkap Riris Fatmawati Panjaitan
Jenis Kelamin Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
Sitorang, 04 November 1996
Kewarganegaraan Indonesia
Status Belum Menikah
Identitas NIK KTP. 1212034411960001
Agama Kristen Protestan
Alamat Domisili
Jl. Jamin Ginting, Pasar 1 Padang
Bulan, Gang. Sedar No. 7 Medan,
Sumatera Utara.
Alamat Asal Sitorang, Kec. Silaen
Medan, Sumatera Utara.
No.Telp 085275573569
Email [email protected]
B. Pendidikan Formal
Tahun Institusi Pendidikan Jurusan IPK
2002 - 2008
SD 174556 Sitorang - -
2008 - 2011
SMP Negeri 1 Silaen - -
2011 – 2014
SMA Negeri 1 Silaen IPA -
2014 - 2018
Universitas Sumatera Utara Ilmu Hukum 3,62
C. Data Orang Tua
Nama Ayah/Ibu : Baktiar Panjaitan / Ampu Marpaung
Pekerjaan : Petani / Petani
Alamat : Sitorang, Kec. Silaen, Medan, Sumatera Utara.
3
ABSTRAK
KEDUDUKAN HAK ISTIMEWA PERSONAL GUARANTOR (PENJAMIN
PRIBADI) DALAM PERKARA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS
*) Riris F Panjaitan
**) Sunarmi
***) Tri Murti Lubis
Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan hak
istimewa personal guarantor (penjamin pribadi) dalam perkara kepailitan
Perseroan Terbatas. Dalam hal ini tidak ada pengaturan hukum yang secara jelas
mengatur hal tersebut. Adapun permasalahan yang di bahas dalam skripsi ini
adalah bagaimana pengaturan mengenai personal guarantor (penjamin pribadi) di
Indonesia, kemudian apa saja hak istimewa yang dimiliki oleh personal guarantor
(penjamin pribadi), dan yang terakhir bagaimana kedudukan hak istimewa personal
guarantor apabila terjadi kepailitan perseroan terbatas.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode hukum normatif dengan
dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang
dibutuhkan, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang terkait
dengan permasalahan. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan
menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Hasil penelitian
disajikan dengan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang
dibahas.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ketentuan mengenai
personal guarantor (penjamin pribadi) diatur dalam Pasal 1820 sampai Pasal 1850
KUHPerdata. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur
dalam Pasal 141, Pasal 164 dan Pasal 165. Hak-hak istimewa personal guarantor
(penjamin pribadi) terdapat pada Pasal 1430, 1431, 1821, 1831, 1833, 1837, 1843,
1847, 1848 dan 1849 KUHPerdata. Kedudukan hak istimewa Personal guarantor
(penjamin pribadi) dalam perkara kepailitan Perseroran Terbatas adalah penjamin
juga sama dengan debitor utama apabila telah melepaskan hak-hak istimewa yang
telah diberikan oleh Undang-Undang kepada dirinya. Oleh karena penjamin adalah
seorang debitor maka penjamin dapat dinyatakan pailit berdasarkan Undang-
Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Namun perlu
dilihat lagi syarat dari kepailitan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1.
Kata Kunci : Penjamin pribadi, Hak istimewa, Kepailitan
*) Mahasiswa Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
**) Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
***) Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4
ABSTRACT
THE POSITION OF PERSONAL GUARANTOR’S PRIVILEGE IN
BANKRUPTCY CASE OF LIMITED LIABILITY COMPANIES
*) Riris F Panjaitan
**) Sunarmi
***) Tri Murti Lubis
The objective of the research was to find out the position of a personal
guarantor’s privilage in bankruptcy case of a limited liability company. The research
problems are as follows: how about the regulation on personal guarantors in
Indonesia, what privilages owned by personal guarantors, and how about the
position of a personal guarantor’s privilage in the bankruptcy case of a limited
liability company.
The research used juridicial normative method. Library research was
conducted to obtain secondary data which included primary, secondary, and tertiary
legal materials related to the research problems. The whole data were ghatered by
conducting library research. The result of the research was presented descriptively in
order to obtain the explanation of the problems.
The result of the research showed that personal guarantor is regulated in
Article 1820 until Article 1850 of Civil Code, while Law No. 37/2004 on Bankruptcy
and the Postponement of the Obligation to pay off Debt is regulated in Article 141,
Article 164, and Article 165. Privileges of a personal guarantor’s is found in Articles
1430, 1431, 1821, 1831, 1833, 1837, 1843, 1847, 1848, and 1849 of the Civil Code.
The position of a personal guarantor’s privileges in the bankruptcy case of a limited
liability company is a guarantor that is similiar to a primary debtor when he has
released the privileges given by laws. Therefore, since a guarantor is also a debtor,
he can be considered as bankrupt based on Law on Bankruptcy and Postponement of
the Obligatuon to Pay off Debt, but the requirements for bankruptcy should be
reviewed as it stipulated in Article 2, paragraph 1.
Keywords: Personal Guarantor, Privilege, Bankrupcty
*) Student of the Economic Law Department, Faculty of Law, University of Sumatera
Utara
**) Supervisor I, Lecturer of the Faculty of Law, University of Sumatera Utara
***) Supervisor II, Lecturer of the Faculty of Law, University of Sumatera Utara
5
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada umumnya penanggungan itu dapat timbul untuk menjamin perutangan
yang timbul dari segala macam hubungan hukum. Lazimnya hubungan hukum yang
bersifat keperdataan, namun dimungkinkan juga bahwa penanggungan diberikan
untuk menjamin pemenuhan prestasi yang lahir dari hubungan hukum yang bersifat
hukum publik. Asal prestasi dapat dinilai dalam bentuk uang. Dahulu penanggungan
juga lazim diberikan oleh seseorang tertentu yang tanpa mempunyai kepentingan
sesuatu dan murni atas dasar rasa persahabatan menanggung untuk memenuhi
pertanggungan orang lain. Namun perkembangannya sekarang penanggungan yang
diberikan atas dasar persahabatan demikian hampir tidak pernah terjadi.1
Keberadaan Undang-Undang Kepailitan membuat penjamin atau penanggung
yang memberikan personal guarantee seringkali mengalami hal yang kurang
menyenangkan sebagai akibat pihak kreditor meminta penetapan pengadilan untuk
memailitkan personal guarantee atau borgtocht.2 Dalam KUHPerdata, penjamin atau
penanggung diatur dalam Pasal 1820-1850.
Dari ketentuan-ketentuan di dalam KUHPerdata tersebut dapat disimpulkan
bahwa seorang penjamin atau penanggung adalah juga seorang debitor. Mengenai
penanggungan dijelaskan dalam Pasal 1820 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
penanggungan ialah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan
kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor, bila debitor itu tidak
memenuhi perikatannya. Dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit pada kasus
kepailitan, jaminan perorangan cukup berperan sebagai pihak yang turut bertanggung
1 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan Dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Of Fset, 1980), hlm. 80. 2 Luky Pangastuti, “Pertanggung Jawaban Pihak Personal Guarantee Yang dinyatakan
Pailit”, Jurnal Repertorium Fakultas Hukum UNS, Juli Vo. 2 No. 2 tahun 2015, hlm. 145.
6
jawab dalam pelunasan utang-utang debitor kepada kreditor. Pertanggungjawaban
Pihak Personal Guarantee yang dinyatakan Pailit.3
Praktek pengadilan menunjukkan belum adanya kesepakatan mengenai
apakah penjamin dapat secara langsung digugat dihadapan pengadilan atau
dimohonkan kepailitan tanpa terlebih dahulu menggugat debitor utama/debitor pokok
atau memailitkan terlebih dahulu debitor utama/debitor pokok. Dalam beberapa
gugatan yang dimajukan oleh kreditor terhadap penanggung, tanpa menggugat
debitor utama secara bersama-sama dalam satu gugatan, pengadilan menyatakan tidak
dapat menerima gugatan yang hanya diajukan terhadap penanggung saja. Hal ini
dapat terjadi karena untuk membuktikan bahwa seorang penanggung telah
berkewajiban untuk membayar dan melunasi kewajiban debitor, harus dinyatakan
terlebih dahulu bahwa debitor telah wansprestasi atau cidera janji.4
Pada dasarnya penjaminan merupakan “a second pocket to pay if the first
should be empty”. Penjamin merupakan pihak yang langsung diminta
pertanggungjawaban bila debitor tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka undang-undang memberikan beberapa hak
istimewa kepada penjamin dalam hubungan dengan kewajibannya terhadap kreditur.5
Dengan adanya hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penjamin pribadi
menjadi permasalahan apakah penjamin dapat diminta kepailitannya sehubungan
dengan utang yang dilakukan debitor dan dapatkah penjamin dipailitkan tanpa
terlebih dahulu debitor utama dipailitkan.
3 Ibid.
4 Gunawan Wijadja & Kartini Muljadi, Penanggungan Utang Dan Perikatan Tanggung
Menanggung, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 26. 5 Aria Suyudi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurhayanti, Kepailitan Di Negeri Pailit,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2003), hlm. 96.
7
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Defenisi Personal Guarantor (Penjamin Pribadi) Menurut Undang-Undang
dan Para Ahli
1. Menurut Undang-Undang
Perjanjian penanggungan utang diatur di dalam Pasal 1820 sampai dengan
Pasal 1850 KUHPerdata. Yang diartikan dengan penanggungan adalah:6 “Suatu
perjanjian dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya
untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannnya”.
Demikianlah defenisi yang diberikan oleh Pasal 1820 KUHPerdata tentang
penanggungan utang. Apabila diperhatikan defenisi tersebut, maka jelaslah bahwa
ada 3 pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu pihak
kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Kreditur disini berkedudukan sebagai pemberi
kredit atau orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang yang
mendapat pinjaman uang atau kredit atau kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang
akan menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur manakala debitur tidak
memenuhi prestasinya.7
Tiada penanggungan, jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun
dapatlah seorang mengajukan diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan,
biarpun perikatan itu dapat dibatalkan dengan suatu tangkisan yang hanya
mengenai dirinya si berutang, misalnya dalam halnya kebelum dewasaan (Pasal
1821 KUHPerdata). Ketentuan Pasal tersebut menunjukkan bahwa penanggungan
itu adalah suatu “perjanjian accesoir” seperti halnya dengan perjanjian hipotik,
yaitu perjanjian yang pemenuhannya ditanggung atau dijamin dengan perjanjian
6 Pasal 1820 KUHPerdata
7 H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 217.
8
penanggungan itu. Kemudian dapat dilihat dengan adanya kemungkinan (artinya
diperbolehkan) diadakannya suatu perjanjian penanggungan terhadap suatu
perjanjian pokok, yang dapat dimintakan pembatalannya (vernietigbaar, voidable)
misalnya suatu suatu perjanjian (pokok) yang diadakan oleh seorang yang belum
dewasa. Hal itu dapat diterima dengan pengertian, bahwa apabila perjanjian pokok
itu dikemudian hari dibatalkan, maka perjanjian penanggungan juga ikut batal.8
2. Menurut Para Ahli
Istilah jaminan perseorangan berasal dari kata bortgtoch. Ada juga yang
menyebutkan dengan istilah jaminan immateril. Pengertian jaminan perorangan
dapat dilihat dari berbagai pandangan dan pendapat para ahli. Sri soedewi
masjchoen sofwan, mengartikan jaminan immateril (perorangan) adalah:
Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu,
hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan
debitur utamanya.
Unsur jaminan perorangan, yaitu:
a. Mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu;
b. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;
c. Terhadap harta kekayaan debitur umumnya.9
Soebekti mengartikan jaminan perorangan adalah:
Suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang
ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan
dapat diadakan di luar (tanpa) si berhutang tesebut”.10
Soebekti mengkaji jaminan perorangan dari dimensi kontraktual antara
kreditur dengan pihak ketiga. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa maksud
8 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit. 82.
9 H.Salim, Op.Cit, hlm. 217.
10 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.164.
9
adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang, yang dijamin
pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda si
penanggung (penjamin) dapat disita dan dilelang menurut ketentuan perihal
pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.11
Menurut J.satrio, S.H., jaminan perorangan adalah hak yang memberikan
kepada kreditur suatu kedudukan yang lebih baik, karena adanya lebih dari seorang
debitur yang dapat ditagih. Lebih baik disini adalah lebih baik daripada kreditur
yang tidak mempunyai hak jaminan (khusus), atau lebih baik dari jaminan umum.12
Adanya lebih dari seorang debitur, bisa karena ada debitur serta tanggung
menanggung atau karena adanya orang pihak ketiga yang mengikatkan dirinya
sebagai borg. Hak jaminan tampak sekali mempunyai arti pentingnya, kalau
kekayaan yang dimiliki oleh debitur tidak mencukupi guna melunasi semua
hutangnya atau dengan perkataan lain passivanya melebihi aktivanya.13
Kalau kekayaan debitur cukup untuk menutup semua hutangnya maka
berdasarkan Pasal 1131 semua kreditur akan menerima pelunasan, karena pada
prinsipnya semua kekayaan debitor dapat diambil untuk pelunasan hutang. Paling-
paling dalam hal seperti itu ada kreditur yang lebih muda dalam mengambil
pelunasannya, tetapi semuanya mempunyai kesempatan untuk terpenuhi.
Sutarno dalam bukunya menjelaskan bahwa penjamin ialah cadangan
artinya penjamin baru membayar hutang debitur jika debitur tidak memiliki
kemampuan lagi atau debitur sama sekali tidak mempunyai harta benda yang dapat
disita. Kalau pendapatan lelang sita atas harta benda debitur tidak mencukupi untuk
melunasi utangnya, barulah tiba gilirannya untuk menyita harta benda penjamin.
11
Ibid. 12
J.Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan kebendaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2007), hlm. 13. 13
Ibid.
10
Tegasnya apabila seorang penjamin dituntut untuk membayar utang debitur (yang
ditanggung olehnya), ia berhak untuk menuntut supaya dilakukan lelang sita lebih
dahulu terhadap kekayaan debitur.14
Jaminan perorangan atau yang disebut
personal guarantee merupakan pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh pihak
ketiga untuk menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitor kepada kreditor
apabila debitor yang bersangkutan wanprestasi.15
Suatu perjanjian jaminan harus secara tegas diberikan atau dinyatakan, dan
tidak boleh secara ragu-ragu. Pada perjanjian ini pihak penjamin harus membuat
pernyataan tegas bahwa ia akan menanggung apabila yang dijamin tidak membayar
hutangnya tepat pada waktunya, maka penjamin akan melunasinya, dan penjamin
berubah kedudukannya menjadi orang yang berpiutang.16
Ketentuan yang mengatur tentang penjaminan diatur dalam Pasal 1820
sampai Pasal 1850 KUHPerdata. Pasal 1820 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Penjamin atau penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak
ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan
si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.
Maka ada 3 pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu
pihak kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Kreditur disini berkedudukan sebagai
pemberi kredit atau orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang
yang mendapat pinjaman uang atau kredit atau kreditur. Pihak ketiga adalah orang
yang akan menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur manakala debitur
tidak memenuhi prestasinya
14
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm.
239. 15
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 2. 16
Wan Sadjaruddin Baros, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, (Medan: USU Press, 1992),
hlm. 77.
11
Sementara dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mengatur penjaminan dengan istilah penanggungan, yaitu
dalam Pasal 141, 164 dan Pasal 165.
B. Hak Istimewa Personal Guarantor (Penjamin Pribadi) Menurut
KUHPerdata
Dalam melaksanakan kewajibannya oleh Undang-undang si penanggung
diberikan hak-hak tertentu yang sifatnya memberikan perlindungan bagi si
penanggung. Hak tersebut antara lain: 17
1. Hak agar kreditur menuntut terlebih dahulu (Vorrect van erdere uitwining= prior
exhaustian or remedias againts the debtor), sebagaimana dimuat dalam pasal
1831 KUHPerdata. Hak istimewa ini memungkinkan bahwa kekayaan penjamin
hanya merupakan cadangan untuk menutup sisa hutang yang tidak dapat ditutup
dengan kekayaaan debitor. Kewajiban penjamin hanya sebatas kekurangan yang
tidak dapat dilunasai debitor. Dalam pasal 1831 KUHPerdata menentukan bahwa
penjamin tidak diwajibkan membayar kepada kreditor, kecuali jika debitor lalai,
sedangkan benda-benda debitor ini harus terlebih dahulu disita dan dijual untuk
melunasi hutangnya. Namun, dalam hal ini penjamin tidak dapat menggunakan
hak istimewanya bila ia telah melepaskan hak istimewanya tersebut.
2. Hak untuk meminta pemecahan utang (voorrecht van schuldplitsing=benefit of
division of debt), sebagaimana dimuat dalam pasal 1837 KUHPerdata). Hak
istimewa ini hanya penting apabila terdapat lebih dari satu orang penjamin.
Apabila terdapat lebih dari satu penjamin, maka lazimmnya para penjamin
diminta untuk melepaskan hak istimewanya tersebut sehingga dalam hal ini
diberlakukan ketentuan pasal 1836 KUHPerdata yang mengatur bahwa masing-
17
Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: PT Softmedia, 2010), hlm. 196.
12
masing penjamin terikat untuk seluruh utang yang mereka jamin (jointly and
sevellay liable).
3. Hak untuk dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya kreditor,
sipenjamin tidak dapat mmenggantikan hak-haknya hipotik/Hak tanggungan dan
hak-hak istimewa yang dimiliki kreditor (pasal 1848 dan 1849 KUHPerdata).
Hak istimewa pertama merupakan hak terpenting adalah hak untuk
menuntut lebih dahulu (vorrect van uitwinning) agar aset debitur disita dan dilelang
terlebih sebelum diminta melaksanakan kewajibannya selaku penjamin bila terjadi
wanprestasi.18
Hal ini diatur di dalam pasal 1831 KUHPerdata yang berbunyi:19
“si
penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selainnya jika
berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan
dijual untuk melunasi utangnya”.
Hak istimewa kedua adalah hak untuk meminta pembagian kewajiban di
antara para penjamin secara pro-rata bila penjamin lebih dari satu. Pada dasarnya
masing-masing penjamin terikat untuk memenuhi seluruh jumlah kewajiban yang
telah dijaminnya bersama-sama.20
Prinsip ini diatur dalam pasal 1837 KUHPerdata
yang berbunyi: “Namun itu masing-masing dari mereka, jika ia tidak melepaskan
hak istimewanya untuk tidak meminta pemecahan utangnya, pada pertama kalinya
ia digugat di muka hakim, dapat menuntut supaya si berpiutang lebih dahulu
membagi piutangnya, dan menguranginya hingga bagian maisng-maising
penanggung utang yang terikat secara sah”.21
Hak istimewa ketiga adalah hak untuk menggunakan semua eksepsi atau
tangkisan yang dimiliki oleh debitur (declinatoire exeptie ataupun dilatoire
18
Asrul Sani, Tinjauan Hukum Mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan
Jaminan Perusahaan”, (Jakarta: Varia Peradilan ), hlm. 147. 19
Pasal 1831 KUHPerdata 20
Asrul Sani, Op.Cit. hlm. 148 21
Pasal 1837 KUHPerdata
13
exeptie), kecuali yang berhubungan dengan keadaan pribadi debitur sewaktu
mengadakan perjanjian pokok.22
Hal ini diatur dalam pasal 1847 yang berbunyi:23
“Si penanggung utang dapat menggubakan terhadap si berpiutang segala
tangkisan yang dapat dipakai oleh si berutang utama dan mengenai utangnya yang
ditanggung itu sendiri. Namun tidak boleh mengajukan tangkisan-tangkisan yang
melulu mengenai pribadi si berutang”.
C. Kedudukan Hak istimewa Personal Guarantor (Penjamin Pribadi) dalam
Perkara Kepailitan
Penjamin/guarantor tidak dapat menuntut supaya barang debitor disita
terlebih dahulu dan dijual untuk melunasi hutangnya jika penanggung telah
melepaskan hak istimewanya yang diatur dalam Pasal 1831 KUHPerdata (Pasal
1832 KUHPerdata). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1832 KUHPerdata yang
menentukan bahwa guarantor tidak dapat menuntut supaya benda-benda Debitor
telebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya;24
1. Apabila Guarantor telah melepaskan hak istimenya untuk menuntut supaya
benda-benda debitor terlebih dahulu disita dan dijual;
2. Apabila Guarantor telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitor
utama secara tanggung menanggung dalam hal mana akibat-akibat perikatannya
diatur menurut asas-asas yang ditetakan untuk hutang-hutangnya secara tanggung
renteng;
3. Jika debitur dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya
sendiri secara pribadi;
4. Jika debitur berada dalam keadaan pailit;
22
Asrul Sani, Op.Cit. hlm. 148. 23
Pasal 1847 KUHPerdata 24
Djoko Prakoso, Bambang Riadi Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia,
(Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), hlm. 202.
14
5. Dalam hal penjaminan yang diperintahkan oleh hakim;
Dalam hal seorang Guarantor melepaskan hak istimewa yang dimilikinya
oleh berdasarkan Pasal 1831, dapat dimintakan kepailitannya, tanpa harus
dimintakan terlebih dahulu kepailitan dari debitornya. Sebab, dengan melepaskan
hak-hak istimewanya yang dimiliki oleh Guarantor itu sebenarnya sama saja
kedudukannya dengan seorang debitor, sekalipun secara formal ia tetap dinamakan
sebagai Penjamin/Guarantor.
Dalam melaksanakan kewajibannya oleh Undang-Undang si Penanggung
diberikan hak-hak tertentu yang sifatnya memberikan perlindungan bagi si
penanggung. Hak-hak penanggung tersebut menurut ketentuan Undang-Undang
berupa: 25
a. Hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning)
Dalam hal si debitur lalai memenuhi prestasi, si penanggung baru wajib
membayar hutang kepada kreditur setelah menuntut agar harta benda si debitur
lebih dahulu disita dan dilelang/dijual untuk melunasi hutangnya (Pasal 1831
KUHPerdata). Jadi si penanggung baru wajib bertindak sebagai borg jika barang-
barang debitur setelah disita dan dijual lebih dahulu, namun tidak mencukupi untuk
membayar hutang.
Sebagai pengecualian dari hak si penanggung untuk menuntut lebih dulu
penjualan harta debitur demikian ialah:
1. Apabila telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda
si berhutang lebih dahulu disita dan dijual. Pelepasan hak yang demikian
biasanya diminta oleh kreditur agar ia dapat menuntut langsung pada
penanggung untuk pemenuhan piutangnya, demi kepentingan si kreditur.
25
Sri Soedewi Masjchoen, Op.Cit, hlm. 92.
15
2. Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama si berhutang utama secara
tanggung-menanggung. Dalam hal demikian akibat-akibat perutangannya diatur
menurut asas-asas yang ditetapkan untuk perutangan tanggung menanggung.
3. Jika si berhutang dapat mengajukan suatu tangkisan yang mengenai dirinya
secara pribadi.
4. Jika si berhutang berada dalam keadaan pailit.
5. Jika penanggungan itu diperintahkan oleh hakim.
Dalam keadaan-keadaan tersebut si penanggung tidak dapat mengemukakan
haknya untuk menuntut lebih dahulu, melainkan wajib langsung memenuhi
membayar hutang debitur kepada kreditur.
Hak untuk menuntut lebih dulu dari penanggung ini dalam hal-hal tertentu
baru ada artinya, jika har tersebut dengan tegas-tegas tercantum dalam perjanjian
penanggungan. Penanggung yang menuntut hak penjualan lebih dulu harus
menunjuk barang-barang tertentu dari debitur yang akan dijual dan membayar lebih
dulu ongkos-ongkosnya untuk pensitaan dan penjualan. Penanggung tidak boleh
menunjuk barang-barang debitur yang masih dalam sengketa, barang-barang yang
menjadi tanggungan hipotik, barang-barang yang diluar wilayah Indonesia.
b. Hak untuk membagi hutang
Jika dalam perjanjian penanggungan terdapat beberapa orang yang
mengikatkan diri sebagai penanggung untuk suatu hutang dan untuk seorang
debitur yang sama, maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh hutang
(Pasal 1836 KUHPerdata). Namun ketentuan Undang-Undang memberikan hak
bagi masing-masing penanggung ini untuk membagi hutangnya. Yaitu pada waktu
digugat untuk pemenuhan hutang dapat menuntut agar si kreditur terlebih dahulu
membagi-bagi piutangnya untuk bagian-bagian dari para penanggung (Pasal 1837
KUHPerdata). Adanya pengaturan demikian oleh Undang-Undang agak
membingungkan, pada satu pihak menentukan bahwa masing-masing penanggung
16
terikat untuk seluruh hutang namun pada lain pihak memberi hak kepada para
penanggung untuk membagi-bagi utang tersebut, sehingga masing-masing hanya
bertanggung jawab untuk bagiannya.
Dalam prakteknya, terhadap hak untuk membagi hutang juga senantiasa
diperjanjikan agar sipenanggung melepaskan haknya untuk membagi hutang.
Dalam hal terjadi pelepasan hak untuk membagi hutang oleh para penanggung,
maka di sini terjadi “hoofdelijkheid” perutangan tanggung menanggung para
penanggung.
Oleh karena dianggap terhadap hoofdelijkheid maka berlakulah ketentuan
perutangan tanggung menanggung, misalnya Pasal 1280, 1283, 1284 KUHPerdata
ialah:
1. Masing-masing debitur dapat dituntut untuk seluruh hutang, dan pemenuhan
utang oleh salah seorang debitur membebaskan debitur-debitur lainnya terhadap
si berhutang.
2. Bahwa si debitur yang dipilih kreditur dapat ditagih, dengan tidak ada
kemungkinan bagi debitur untuk minta agar hutangnya dipecah (1283).
3. Tuntutan yang ditujukan pada salah seorang debitur tak menjadi halangan bagi si
kreditur untuk melaksanakan haknya terhadap debitur lainnya (1284).
Ketentuan-ketentuan tersebut berlaku pada perutangan tanggung
menanggung pasif (hoofdelijkheid yang pasif, yaitu terdapat beberapa debitur) dan
berlaku juga terhadap para penanggung yang melepaskan haknya untuk memecah
hutang.
Jika si kreditur secara sukarela telah memecah hutang tersebut bagi para
penanggung, maka ia tidak adapat menarik kembali pemecahan itu, meskipun
ternyata bahwa beberapa penanggug telah berada dalam keadaan tidak mampu
pada saat ia memecah hutang tersebut.
c. Hak untuk mengajukan tangkisan gugat
17
Penanggung dalam menjalankan kewajibannya berwenang untuk
mengajukan tangkisan-tangkisan yang dapat dipakai oleh debitur terhadap kreditur,
kecuali tangkisan-tangkisan yang dapat dipakai oleh debitur terhadap kreditur,
kecuali tangkisan yang bertalian dengan pribadi debitur sendiri.
Hak untuk mengajukan tangkisan dari penanggung lahir dari perjanjian
penanggungan, jadi merupakan hak dari penanggung sendiri. Di samping itu juga
lahir karena sifat accessoir dari perjanjian penanggungan, maka penanggung juga
dapat mengajukan tangkisan-tangkisan yang dipakai oleh debitur terhadap kreditur
yang lahir dari perjanjian pokok. Tangkisan yang lahir dari perjanjian
penanggungan misalnya jika perjanjian terjadi karena kesesatan, jika perjanjian
dibuat dengan syarat atau dibuat dengan ketentuan waktu.
d. Hak untuk diberhentikan dari penanggungan karena terhalang melakukan
subrogasi akibat perbuatan/kesalahan kreditur.
Penanggung berhak untuk diberhentikan dari penanggungan jika karena
perbuatan kreditur penanggung menjadi terhalang atau tidak dapat lagi bertindak
terhadap hak-haknya, hipotiknya dan hak-hak utama dari kreditur (Pasal 1848
KUHPerdata). Hak demikian itu timbul sebagai akibat adanya ketentuan bahwa
bagi penanggung yang telah membayar karena hukum akan menggantikan semua
hak-hak kreditur terhadap debitur. Jika ini tidak terlaksana karena kesalahan dari
kreditur, maka akibatnya penanggung akan diberhentikan sebagai penanggung dan
perjanjian penanggungannya itu akan gugur.
Dalam praktek adanya hak untuk diberhentikan dari penanggung yang
demikian itu sangat merugikan kreditur. Karena biasanya jika suatu piutang
dijamin dengan jaminan-jaminan yang lain selain penanggungan, maka untuk
pemenuhannya kreditur akan berusaha untuk terlebih dahulu menjual barang-
barang jaminan itu, baru kemudian memuntut kepada penanggung, jadi tidak
langsung menuntut kepada penanggung. Bahkan sekalipun terjadi pelepasan hak
18
untuk menuntut lebih dahulu dari debitur, adakalanya kreditur masih
mengutamakan untuk menjual benda-benda jaminan lebih dahulu.
Berkaitan dengan pemberian guarantee yang biasanya diminta oleh
perbankan dalam pemberian kredit bank, dengan Undang-Undang ini seorang
penjamin atau penanggung yang memberikan personal guarantee dapat
dimohonkan untuk dinyatakan pailit. Selama ini sering tidak disadari baik oleh
bank maupun para pengusaha bahwa seorang personal guarantor dapat mempunyai
konsekuensi hukum yang jauh apabila personal guarantor itu tidak melaksanakan
kewajibannya. Konsekuensinya adalah bahwa guarantor dapat dinyatakan pailit.
Banyak bankir merasa bahwa personal guarantee hanya memberikan ikatan moral
dari penjamin (guarantor) nya. Hal ini tidak benar. Menurut Pasal 24 UUK-PKPU,
dengan pernyataan pailit, debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk
menguasai kekayaannya yang dimasukkan dalam harta pailit sejak hari pernyataan
pailit diputuskan. Dengan demikian, seorang penjamin yang dinyatakan pailit oleh
pengadilan tidak dapat lagi melakukan bisnis untuk dan atas nama pribadinya26
.
Dalam KUHPerdata, penjaminan atau penanggungan diatur dalam Pasal
1820 sampai Pasal 1850. Dari ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata dapat
disimpulkan bahwa sorang penjamin atau penanggung adalah juga seorang debitur.
Penjamin atau penanggung adalah seorang debitor yang berkewajiban melunasi
utang debitor kepada kreditur atau para krediturnya apabila tidak membayar utang
yang telah jatuh waktu dan atau dapat ditagih27
. Oleh karena penjamin atau
penanggung dapat dinyatakan pailit berdasarkan UUK-PKPU.
UUK-PKPU mengatur mengenai penjaminan, dalam istilah UUK-PKPU
disebut penanggungan, dalam Pasal 141 Pasal 164 dan Pasal 165. Dari bunyi Pasal-
26
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), hlm. 97. 27
Ibid, hlm. 98.
19
Pasal tersebut tidak tertulis bahwa penjamin atau penanggung tidak dapat diajukan
permohonan pernyataan pailit terhadapnya.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 1832 angka 1 KUHPerdata, pengajuan
permohonan pernyataan pailit terhadap seorang penjamin atau penanggung dapat
diajukan tanpa mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada debitor apabila
penjamin atau penanggung telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut
supaya benda-benda atau harta kekayaan debitot disita dan dijual terlebih dahulu.28
Apabila tidak terpenuhi ketentuan Pasal 1832 KUHPerdata, sehingga
dengan demikian berlaku ketentuan Pasal 1831 KUHPerdata, maka permohonan
pernyataan pailit tidak boleh diajukan tanpa mengajukan pula permohonan
pernyataan pailit terhadap debitor. Terhadap penanggung bahkan tidak dapat
diajukan permohonan pernyataan pailit sebelum terbukti bahwa dari hasil penjualan
harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit itu masih terdapat sisa utang yang
belum dapat dilunasi dalam beberapa hal dapat saja diminta oleh penanggung.29
Tanggung jawab penanggung/penjamin sehubungan dengan ketentuan Pasal
165 UUK-PKPU menurut Pasal 168 UUK-PKPU, walaupun sudah ada
perdamaian, para kreditor tetap mempunyai hak terhadap para penanggung. Lebih
lanjut Pasal 165 UUK-PKPU menentukan, hak yang dapat dilakukan terhadap
barang-barang pihak ketiga tetap ada pada para kreditur solah-olah tidak terjadi
perdamaian. Dengan kata lain, terjadinya perdamaian antara debitor dengan para
kreditornya tidaklah menghapus tanggung jawab penanggung. Pasal ini tidak boleh
diartikan bahwa sekalipun telah terjadi perdamaian para kreditor dapat mengajukan
permintaan kepada penjamin atau penanggung agar melunasi utang debitor yang
28
Ibid. 29
Ibid.
20
dijaminnya itu, yang pada kenyataannya telah disepakati oleh para kreditur untuk
dijadwal ulang atau direstrukturisasi berdasarkan suatu perjanjian perdamaian.30
Jika penjamin (guarantor) telah melepaskan hak-hak istimewa yang telah
diberikan oleh Undang-undang kepada dirinya, maka kedudukan debitur utama
dengan personal guarantor adalah sama-sama seorang debitor. Penjamin atau
penanggung adalah debitor yang berkewajiban melunasi utang debitor kepada
kreditor atau para kreditornya. Oleh karena penjamin adalah seorang debitor maka
penjamin dapat dinyatakan pailit berdasarkan Undang-Undang Kepailitan. Namun
perlu dilihat lagi syarat dari kepailitan tersebut sebagaimana di syaratkan dalam
Pasal 2 ayat 1, yaitu: debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas
permohonan seorang atau lebih kreditornya.
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, dapat disimpulkan bahwa
permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor hanya dapat diajukan
apabila memenuhi syarat, debitor harus mempunyai paling sedikit dua kreditor,
atau dengan kata lain harus lebih dari satu kreditor, debitor tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditornya, dan utang yang tidak dibayar
itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.
30
Ibid.
21
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pentingnya keberadaan Personal Guarantor (penjamin pribadi) dalam perkara
kepailitan merupakan upaya guna memperkecil risiko apabila debitur wanprestasi
atau cidera janji. Jaminan merupakan sarana perlindungan bagi keamanan
kreditor yaitu kepastian hukum akan pelunasan utang debitor atau pelaksanaan
suatu prestasi oleh debitor atau oleh Personal Guarantor (penjamin pribadi)
tersebut. Pengaturan mengenai Personal Guarantor (penjamin pribadi) dapat
dilihat pada pasal 1820 sampai pasal 1850 KUHPerdata. Serta Pada Undang-
Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada Pasal
141, Pasal 164, dan pasal 165. Pasal 1820 KUHPerdata menyebutkan bahwa
penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga
(penjamin) guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.
Demikianlah defenisi yang diberikan oleh pasal 1820 KUHPerdata tentang
penanggungan utang. Apabila diperhatikan defenisi tersebut, maka jelaslah
bahwa ada 3 pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu
pihak kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Kreditur disini berkedudukan sebagai
pemberi kredit atau orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang
yang mendapat pinjaman uang atau kredit atau kreditur. Pihak ketiga adalah
orang yang akan menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur manakala
debitur tidak memenuhi prestasinya. Pasal 1821 ayat 1 KUHPerdata
menunjukkan sifat assesoir dari penanggungan, karena disitu dengan tegas
dinyatakan, bahwa tidak mungkin ada penanggungan jika tidak ada perjanjian
pokok yang sah. Pasal 1822 KUHPerdata menjelaskan lebih lanjut sifat-sifat
assesoir dari penanggungan yaitu bahwa keterikatan si penjamin terhadap hutang
debitor tidak bisa lebih besar atau dengan syarat-syarat yang lebih memberatkan
22
daripada keterikatan si debitur terhadap hutang yang dijamin. Penanggungan tak
terbatas terhadap perikatan pokok meliputi semua akibat dari adanya hutang,
bahkan sampai pada biaya dari gugatan terhadap si debitur, termasuk juga segala
biaya yang dikeluarkan setelah penjamin diperingatkan. Jika si penjamin
meninggal maka penanggungannya beralih kepada ahli warisnya (pasal 1825
KUHPerdata).
2. Hak-Hak istimewa yang dimiliki oleh Personal Guarantor (penjamin pribadi),
yaitu:
a. Hak agar kreditur menuntut terlebih dahulu (Vorrect van erdere uitwining=
prior exhaustian or remedias againts the debtor), sebagaimana dimuat dalam
pasal 1831 KUHPerdata.
b. Hak untuk meminta pemecahan utang (voorrecht van schuldplitsing=benefit of
division of debt), sebagaimana dimuat dalam pasal 1837 KUHPerdata).
c. Hak untuk dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya kreditor,
sipenjamin tidak dapat mmenggantikan hak-haknya hipotik/Hak tanggungan
dan hak-hak istimewa yang dimiliki kreditor (pasal 1848 dan 1849
KUHPerdata).
3. Kedudukan hak istimewa Personal Guarantor (Penjamin Pribadi) dalam
perkara kepailitan Perseroan Terbatas adalah seorang penjamin atau
penanggung adalah sama-sama seorang debitor. Penjamin atau penanggung
adalah juga seorang debitor yang berkewajiban melunasi utang debitor kepada
kreditor atau para kreditornya apabila tidak membayar utang yang telah jatuh
waktu dan atau dapat ditagih. Oleh karena penjamin atau penanggung adalah
debitor, maka penjamin atau penanggung dapat dinyatakan pailit berdasarkan
UU Kepailitan. UUK-PKPU mengatur penjaminan, dalam istilah
penanggungan, dalam pasal 141 pasal 164 dan pasal 165. Apabila penjamin
atau penanggung tidak memiliki lebih dari satu kreditor, sehingga tidak
23
terpenuhi asas concursus creditorum sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 2
ayat (1) UUK-PKPU, maka terhadap penjamin atau penanggung itu tidak dapat
diajukan permohonan pernyataan pailit. Sejalan dengan ketentuan pasal 1832
angka 1 KUHPerdata, pengajuan permohonan pernyataan pailit pula kepada
debitor hanyalah apabila penjamin atau penanggung telah melepaskan hak
istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda atau harta kekayaan debitor
disita dan dijual terlebih dahulu. Sejalan dengan ketentuan Pasal 1832 angka
2,3,4, dan 5 KUHPerdata, terhadap penjamin atau penanggung dapat diajukan
permohonan pernyataan pailit, selain karena telah melepaskan hak
istimewanya, apabila:
a. Penjamin telah melepaskan hak untuk menuntut supaya harta dari debitur
disita terlebih dahulu.
b. Penjamin telah bersama-sama dengan debitor mengikatkan dirinya secara
tanggung renteng.
c. Debitor dapat mengajukan tangkisan yang hanya menyangkut dirinya sendiri
secara pribadi.
d. Debitor dalam keadaan pailit.
e. Penjaminan (penanggungan) tersebut telah diberikan berdasarkan perintah
pengadilan.
B. Saran
1. Dalam perjanjian yang dibuat antara debitur dengan Personal Guarantor
(penjamin pribadi), penjamin harus secara tegas menyatakan dirinya
melepaskan atau tidak hak-hak istimewa yang telah diberikan Undang-Undang
kepadanya.
2. Apabila Perseroan Terbatas menjadi debitur, yang sifat managemennya
cenderung ke arah perseroan firma. Sebaik-baiknya kreditur mensyaratkan
jaminan oleh atau orang-orang yang menduduki posisi penting menurut
24
struktur kekuasaan dalam perseroan tersebut. Karena sifat managemen yang
“oligarkhis” itu, dimana hidup matinya perseroan bergantung pada
kebijaksanaan dan tindakan-tindakan dari orang-orang tertentu yang
menguasai perseroan tersebut.
3. UU Kepailitan harus mengatur secara tegas apakah kreditor dapat mengajukan
Kepailitan kepada penjamin/guarantor, tanpa terlebih dahulu mengajukan
permohonan kepailitan kepada debitur utama.
25
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bahsan, M., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Prakoso, Djoko Bambang Riyadi Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di
Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan,
Bandung: Sumur Bandung, 1987.
Sadjaruddin, Wan Baros, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, Medan: USU Press,
1992.
Salim, H.HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Sani, Asrul, Tinjauan Hukum Mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan
Jaminan Perusahaan”, Jakarta: Varia Peradilan, 2003.
Satrio, J, Hukum Jaminan Hak Jaminan kebendaan, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2007.
Sjahdeini, Sutan Remi, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta: Grafiti, 2009.
Soebekti, R., Aneka Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok
Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Liberty Of Fset: Yogyakarta,
1980.
Sunarmi, Hukum Kepailitan, Jakarta: PT Softmedia, 2010.
Suyudi, Aria, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurhayanti, Kepailitan Di Negeri
Pailit, Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2003.
Wijadja, Gunawan & Kartini Muljadi, Penanggungan Utang Dan Perikatan
Tanggung Menanggung, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999.
B. Peraturan-Peraturan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
26
C. Jurnal
Pangastuti, Luky. “Pertanggung Jawaban Pihak Personal Guarantee Yang
dinyatakan Pailit”, Jurnal Repertorium Fakultas Hukum UNS, Juli Vo. 2
No. 2 tahun 2015.