KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA
KEAGAMAAN MENURUT AGAMA SIKH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Muhamad Firmanullah
NIM: 1113032100060
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Firmanullah
Fakultas : Ushuluddin
Jurasan/Prodi : Studi Agama-agama
Judul Skripsi : Kedudukan Perempuan dalam Upacara Keagamaan
Menurut Agama Sikh
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain maka, saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 8 Juli 2020
Muhammad Firmanullah
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM UPACARA KEAGAMAAN
MENURUT AGAMA SIKH
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Muhammad Firmanullah
NIM: 1113032100060
Dosen Pembimbing
Dra. Halimah, SM, M.Ag
NIP: 19590413 199603 1 001
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2020 M
PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi berjudul Kedudukan Perempuan Dalam Upacara Keagamaan
Menurut Agama Sikhsudah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juli 2020. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada
program Studi Agama-Agama.
Jakarta, 17 Juli 2020
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Syaiful Azmi, MA Lisfa Sentosa Aisyah, MA
NIP. 19710310199703 1 005 NIP. 1975050506 200501 2 003
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si Siti Nadroh, M.Ag
NIP. 196511291994031002 NIP. 9920112687
Pembimbing,
Dra. Halimah SM., MA
NIP. 19590413 199603 2 001
iv
ABSTRAK
Feminisme menggabungkan posisi bahwa prioritas sudut pandang laki-laki
dan perempuan diperlakukan secara tidak adil. Dalam agama Sikh, tidak ada
pembedaan ruang lingkup kasta antara laki-laki dalam perempuan. Dimana
seorang perempuan berhak untuk memimpin serangkaian upacara peribadatan
dalam agama Sikh. Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk meneliti
kedudukan perempuan dalam agama Sikh. Dalam hal ini penulis kemudian
menjadikan objek penelitian kepada para perempuan yang ada di agama Sikh.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kedudukan dan peran konsep
feminisme dalam agama Sikh terutama pada upacara keagamaannya.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan
pendekatan historis dan pendekatan feminisme. Dalam metode penyajian dan
pembahasan data, penulis menggunakan objek penelitian dan kajian yang relevan.
Teknik pengumpulan data menggunakan metode Library Research (Penilitian
Kepustakaan) dan Observasi.
Dalam observasi penelitian, didapatkan hasil bahwa kedudukan antara
perempuan dan laki-laki adalah setara. Dimana agama Sikh adalah suatu agama
yang egaliter yang juga mendukung suatu adanya kedudukan setara bagi
perempuan dan laki-laki, hal tersebut terlihat dari peran seorang perempuan dalam
menjalankan upacara peribadatan. Seorang perempuan dalam agama Sikh
memiliki kesempatan untuk memimpin serangkaian sebuah upacara peribadatan
tersebut tanpa harus memandang sebuh gender.
Kata Kunci: Upacara peribadatan, Kedudukan Perempuan, Agama Sikh
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirah maanirahiim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Pengasih yang telah melimpahkan hidayahnya ehingga penuliss dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tecurah kepada Nabi
Besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan
hingga zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Segala upaya penulis lakukan dalam penyelesaian skripsi ini, hingga
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kedudukan
Perempuan Dalam Agama Sikh” sebagai tugas akhir akademis pada Jurusan Studi
Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah
Jakarta.
Semua ini berkat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak,
oleh karenanya perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih
serta penghargaan yang mendalam khususnya kepada:
1. Dra. Halimah, SM, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, saran serta perhatiannya kepada penulis dan dengan
sangat penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
2. Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Suparjo dan Ibu Pudji Lestari, S.Pd,
atas segala kasih sayang, perhatian dan dorongannya serta munajat doanya
di setiap waktu telah memberikan kekuatan lahir batin dalam mengarungi
semangat perjuangan hidup. Semoga selalu dalam lindungan-Nya.
3. Kakak-adik penulis, Gadis Ria Ambar Tari, SE, Lanang Prakoso, S.Th.i,
Dara Anggunian, Fauzi Abdullah Ramadhani, keponakan terlucu Nazla,
Shanum, Aca, Mesha dan Samudra yang selalu memberikan motivasi dan
keceriaan disaat kejenuhan menghampiri
4. Keluarga Prof. Dr. H. M. Ikhsan Tanggok, M.Si dan Dian Israliena SE.
Terimakasih atas pertolongan, arahan dan semangat. Yang telah sabar
memberikan segala nasihat baiknya. Semoga Allah membalas semua
kebaikannya.
vi
5. Heni Aulia, S.Ag tersayang yang baru dipertemukan kembali setelah
sekian lama berpisah. Tak pernah menyerah memberikan semangat
bersaing dan motivasi penuh sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Semoga apa yang kita niatkan bersama dapat tertunaikan. Semoga kita
berjodoh di dunia dan akhirat. Aamiin.
6. Bapak Syaiful Azmi, MA selaku ketua Jurusan Studi Agama-agama
Fakultas Ushuluddin dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA selaku sekretaris
Jurusan Studi Agama-agama. Serta seluruh dosen dan staff akademik
Fakultas Ushuluddin, khususnya Jurusan Studi Agama-agama yang telah
membagikan waktu, tenaga dan ilmu pengetahuan juga pengalaman
berharga kepada penulis.
7. Teman-teman mahasiwa Jurusan PA angkatan 2013 khususnya HIMTI
(Himpunan Mahasiswa Tholol Indonesia), Imam Wahyudi, M Najibbudin,
M Abudzar, Irfan Santoso, Wahid Muhammad, Ahmad Tedi Anwar, Nur
Fitri Barliana dan Qaffa Tahqiq. Dan temanku yang masih berjuang dalam
menyelesaikan tugas akhir. Love you guys!
8. Keluarga besar Puskesmas Tigaraksa terimakasih banyak atas segala
arahan, dukungan dan motivasi, sehingga penulis lebih bersemangat lagi
dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Keluarga Agency Of Escorting (Relawan Kemanusiaan), yang tidak
pernah bosan memberi semangat, keceriaan disetiap waktu. Tetap pada
moto kita guys! YOUR LIFE IS OUR MISSION.
10. Yunita, Ambar, Sherly, Jessica dan Heris terimakasih atas canda-tawa dan
semua waktu yang diberikan untuk setiap keluh kesah penulis selama
mengerjakan skripsi ini.
11. Muchamad Edy Irawan dan M Rifqi Ari kawan DoTaku like a my family.
The next level play. Duude !
12. Abdul Karim Habibullah dan Deby Aslamia. Thanks for everythings ma
bestiest!
13. Keluarga Ayah angkat R. Daraquthny terimakasih atas semangatnya.
Makasih abah !
14. Keluarga Besar FriendZone FC. Keep solid guys!
vii
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian dan
motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya
skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis
khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Aamiin.
Jakarta, Juli 2020
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 4
E. Metode Penelitian ....................................................................... 5
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 9
BAB II. SEJARAH AGAMA SIKH ............................................................. 10
A. Pengertian Agama Sikh .............................................................. 10
B. Sejarah Berdirinya Agama Sikh ................................................. 10
C. Konsep Agama Sikh ................................................................... 12
BAB III SKETSA SOSIOHISTORIS POSISI WANITA DALAM SIKH 16
A. Kondisi Sosio Historis Perempuan Pra- Sikh ............................ 16
B. Perempuan Dalam Teks Suci Sikh (Grand Sahib dan Para
Guru Sikh) ................................................................................... 19
C. Cita Perempuan dalam Tradisi Sikh dan Isu-Isu Gender
dalam Komunitas Sikh ................................................................ 21
ix
BAB IV. Kedudukan Perempuan dalam Upacara Keagamaan Sikh ....... 24
A. Upacara Keagamaan dalam Agama Sikh .................................... 24
B. Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Ritual Keagamaan
dan Kehidupan Sosial Keagamaan ............................................. 27
C. Analisa Kesetaraan dan Interpretasi Baru Sikh untuk
Kesetaraan Gender. ..................................................................... 31
BAB V. PENUTUP ......................................................................................... 35
A. Kesimpulan ................................................................................. 35
B. Saran ........................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 37
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada periode-periode tertentu dalam sejarah, perempuan tersembunyi
dari publik dan terpingit dalam rumah yang khusus diperuntukkan untuk
keluarga dan merupakan tempat terlarang bagi pria dewasa kecuali tuan
rumah atau kerabat dekat. Status seorang perempuan dalam sebuah
masyarakat menunjukan skenario sosial, budaya, agama, dan politik. Posisi
wanita melewati banyak fase, terbukti setelah mempelajari ajaran dasar dari
tradisi spiritual yang berbeda bahwa agama memberikan status tinggi kepada
kaum perempuan.
Dalam Islam mengungkapkan kesetaraan gender, amal perbuatan laki-
laki dan perempuan diberi pahala sama, dan kewajiban agama laki-laki dan
perempuan tidak berbeda karena keduanya merupakan bagian dari satu
kesatuan. Perbedaan satu-satunya adalah bahwa perempuan sekarang
mempunyai kesadaran lebih besar akan hak-haknya dan pengetahuan yang
lebih banyak. Perempuan akan memperoleh kesetaraan mutlak melalui
usahanya sendiri untuk dapat menghormati dan menghargai serta tidak
menolak hak-haknya dalam masyarakat.1
Allah menciptakan manusia, perempuan dan laki-laki dari unsur yang
sama tidak ada perbedaan kedudukan atau status antara perempuan dan laki-
laki. Di dalam Surat An-Nisa ayat 1 Allah berfirman yang artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”
Hawa dan Prakriti perempuan dimungkinkan untuk bermain setara dan
peran yang lebih bersemangat dalam bidang sosio-religius, politik dan
ekonomi karena pesan egaliter dan humanistik Sikh Gurus telah
1 Mai Yamani, Feminisme & Islam (Bandung: Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford
Foundation, 2000), h. 72.
2
memungkinkan terjadinya bias gender dan pemikiran sempit yang terkait
dengan masyarakat didominasi oleh laki-laki.2
Seperti agama-agama besar lainnya yang memiliki cara pandang untuk
mendeskripsikan sosok perempuan dalam berbagai aspek yang berbeda-beda.
Begitupun agama Sikh juga memiliki cara pandang yang berbeda pula dengan
agama lain. Hal itu seperti yang dipaparkan oleh Ghoul Rajj, agama Sikh itu
ada untuk menyederhanakan agama-agama yang sudah ada, maksud disini
adalah karena pada saat itu agama Islam dan agama Hindu sering bertikai
dengan mengatasnamakan agama, hal itulah yang mendorong Guru Nanak
untuk membuat sebuah ajaran baru sebagai antitesa dari kedua agama
tersebut, perkataan yang kemudian menjadi dasar ajaran agama Sikh adalah
“tidak ada Islam maupun tidak ada Hindu ” karena kita semua sama
dihadapan Tuhan hanya cara penyebutan dan cara mengabdikan diri saja yang
berbeda. Atas dasar itulah agama Sikh dikenal dengan agama universal,
agama yang boleh dikenal semua seluk beluknya oleh siapa pun dan dari
kalangan manapun.
Sebagaimana pentingnya pendekatan empatik terhadap suatu agama yang
didasarkan pada pengetahuan yang benar. Demikian pula, agama Sikh sangat
mementingkan konsep keperempuanan untuk menyadari perbedaan
pengalaman perempuan secara lintas agama, budaya dan waktu.
Di masa lalu, perhatian di tujukan kepada beberapa agama patrialkhal
yang sangat mempengaruhi perempuan dan memberikan pandangan satu
dimensi tentang hubungan agama dan perempuan sebagai yang di tindas.
Oleh karena stereotip itu juga memiliki kadar kebenaran tertentu yang
mungkin memotret satu aspek paling ekstrim dari suatu agama ketika
mempelajari wanita perhatian kepada stereotip itu mungkin menjadi
katalisator penting untuk melakukan reformasi.3
Agama Sikh menekankan perempuan harus berani melihat permasalahan
secara konseptual. Apabila konsep perempuan diterapkan dengan
2 Sudarshan Singh, Sikh Religion Democratic Ideals and Institutions (London:
Encyclopaedia Britanica, 2009),Vol.VIII h. 126-127.
3 Arvind Sharma, Perempuan dalam Agama-Agama Dunia (Yogyakarta: Suka-Press,
1987), h. 4.
3
menggunakan teori yang tidak relevan bagi generasi mendatang, maka tidak
akan banyak membantu untuk kemajuan perempuan itu sendiri. Konsep
kesetaraan dalam agama Sikh sendiri menyadarkan bahwa bukan hanya laki-
laki yang dapat memimpin sembahyang ataupun upacara keagamaan di
Gurdwara, sebagai contoh perempuan menjadi pemandu pembacaan Granth
Sahib atau bisa dikatakan sebagai imam. Bukan hanya itu dalam setiap
upacara-upacaran sakral lainnya, perempuan tidak jarang diikut sertakan
untuk menjadi pemandu pembacaan kitab suci. Berbeda dengan agama Islam
yang memperbolehkan perempuan sebagai imam namun hanya dalam kondisi
semua jamaah atau makmumnya perempuan dan tak ada satupun laki-laki
ditempat tersebut4.
Penganut Sikh mengacu pada pedoman yang terdapat dalam kitab mereka
Sri Guru Granth Sahib lebih tepatnya pada potongan ayat (Guru Nanak
Dev,Var Asa,473) di jelaskan, tidak ada pembedaan posisi antara laki-laki
ataupun perempuan hanya saja perempuan disini lebih di hargai dan di hormati
sebab mereka berasumsi melalui perempuan peradaban berlanjut dan melalui
perempuan juga hukum dijaga.5
Berdasarkan latar belakang diatas, maka judul skripsi yang diangkut oleh
penulis yaitu : “Kedudukan Perempuan Dalam Upacara Keagamaan
Menurut Agama Sikh”.
Teknik penulisan skripsi ini penulis mengacu pada standar penulisan
skripsi yang didasarkan apada buku Pedoman Akademik yang diterbitkan oleh
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan mengacu pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah tahun 2013 yang diterbitkan oleh penerbit
CeQda (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut:
4 Soenarjati Djajarnegara, Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003), h. 15. 5 Arvind Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia (Yogyakarta: Suka-Press, 1987),
h. 11-13.
4
1. Bagaimana kedudukan perempuan dalam agama Sikh ?
2. Bagaimana peran perempuan dalam upacara keagamaan menurut agama
Sikh?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, dapat diketahui tujuan dari pada penulisan
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam agama Sikh
2. Untuk mengetahui peran perempuan dalam upacara keagamaan menurut
agama Sikh
Adapun manfaat dari penelitian ini dapat dilihat dari dua aspek sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran atau
memperkaya konsep-konsep mengenai pandangan tentang kedudukan
perempuan dalam agama Sikh.
2. Manfaat Akademik
Sebagai salah satu persyaratan akhir perkuliahan guna mendapatkan
gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada prodi Studi Agama-Agama Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai Kedudukan Perempuan Dalam Upacara
Keagamaan Menurut Agama Sikh belum ada ditemukan dalam buku, skripsi
maupun karya ilmiah yang lainnya. Untuk membuktikan orisinalitas
penelitian dan menguraikan penelitian sebelumnya yang memiliki objek
penelitian dan kajian yang relevan dengan penelitian ini. Dari hasil
penelusuran penulis, Penulis hanya menemukan satu karya ilmiah dalam
bentuk skripsi yang mengangkat objek kajian agama sikh. Skripsi itu berjudul
“Ajaran Ketuhanan dalam Agama Sikh”. Skripsi ini ditulis oleh Thari
Mayaratu dari UIN Syarif Hidayatullah tahun 2011. Dalam penelitian tersebut
dibahas tentang konsep kedudukan Tuhan di dalam agama Sikh dengan
menggunakan pendekatan teologis.
5
Perbedaan antara skripsi tersebut dengan penelitian yang akan penulis
lakukan adalah penulis hanya akan melakukan penelitian tentang kedudukan
perempuan dalam agama Sikh.
Persamaan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dengan
skripsi tersebut adalah sama-sama membahas agama Sikh secara garis besar,
akan tetapi disini penulis lebih menonjolkan tentang bagaimana agama Sikh
memandang dan memuliakan perempuan maupun kedudukan perempuan
dalam upacara keagamaannya sebagaimana judul yang penulis angkat.
Sejauh ini penulis belum menemukan judul yang sama ataupun yang
mendekati sebagaimana yang penulis angkat.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis terapkan yaitu penelitian kepustakaan
dan penelitian lapangan yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis dan lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.6Untuk memperoleh data dalam membangun dan memperkaya
tulisan ilmiah ini, penulis menggunakan studi kepustakaan (library
research), yaitu suatu penelitian untuk memperoleh data, baik untuk data
primer dan data sekunder, yang bersumber dari buku, majalah, artikel,
jurnal, dan lain-lain, berdasarkan hasil bacaan, catatan, dan bahan-bahan
lainnya yang diolah untuk dikumpulkan.7
Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang
dilakukan secara langsung di medan terjadinya gejala melalui
pengamatan/observasi maupun wawancara mendalam.8 Penelitian ini
menggunakan informasi yang diperoleh dari para responden melalui
wawancara, abstraksi, atau lainnya. Penelitian ini dilakukan Gurdwara
Pasar Baru Jakarta dan melakukan pengamatan lapangan serta
6 Lexy J. Meolong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007), h. 4. 7 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
cet. I, h. 3.
8 Nusa Putra, Penelitian Kualitatif: Proses dan Aplikasi (Jakarta: PT. Indeks, 2012) ,cet. II, h.
43.
6
wawancara, apa saja yang dilakukan oleh jemaat Sikh maupun yang
bukan jemaat Sikh dalam memandang kedudukan perempuan.
2. Sumber
Ada dua bentuk sumber data dalam penelitian ini yang akan
penulis jadikan sebagai pusat informasi bagi data yang dibutuhkan dalam
hal penelitian. Sumber data tersebut terbagi atas dua kelompok, yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah buku, artikel, jurnal, ceramah, arsip,
dokumen, majalah, dan surat kabar yang terkait langsung dengan topik
penelitian ini. Dalam hal ini, peneliti memperoleh data yang
diperlukan dengan melakukan wawancara terhadap mereka yang
bersangkutan, dengan penelitian ini diantaranya; Ghoul Rajj
(Merupakan salah satu pengurus Gurdwara Pasar Baru Jakarta) Selain
itu didukung oleh buku/dokumen yang ditulis langsung oleh kalangan
kaum sikh, diantaranya; Nyoman S. Pendit, Guru Nanak dan Agama
Sikh (Jakarta: Yayasan Gurdwara Mission, 1988), Hakim Choor
Singh, Agama Sikh, (Jakarta: Yayasan Sikh Gurdwara Mission: 2001),
Khustwant Singh, A History Of The Sikh, (Oxford University Press,
2004), Eleanor Nesbitt, A Guide to Sikhism, (Oxford University Press,
2005), Trilochan Singh, The Sacred Writing Of The Sikhs,(Ruskin
House, 1960), Kristina Myrvold, Inside The Guru’s Gate (Lund: Lund
University, 2008).
b. Sumber data Sekunder
Sumber data sekunder ialah yang biasanya tersusun dalam bentuk
dokumen. Jenis data ini adalah jenis data yang dapat dijadikan sebagai
pendukung data primer atau dapat diartikan sumber ini dapat
memberikan informasi atau data tambahan yang dapat memperkuat
data primer. Data sekunder dapat penulis peroleh dari dokumentasi
atau buku-buku yang berhubungan dengan penelitian, misalnya seperti
buku-buku yang terkait langsung dengan Kedudukan Perempuan
maupun agama Sikh. Sumber data sekunder sebagai berikut; Joesoef
7
Sou‟yb, Asal Mula Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Penerbit Pustaka
Alhusna, 1996), Siti Nadroh, Agama-Agama Minor, (Ciputat: UIN
JAKARTAPRESS: 2013), Mukti Ali, Ed.Romdhon dkk, Agama-
Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS,
1988), Agus Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam
Mengenai Kepercayaan Majusi, Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu,
Buddha, Sikh, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993).
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Teknik Mengolah dan Menganalisis Data
1. Studi kepustakaan (library research)
Suatu penelitian untuk memperoleh data, baik untuk data
primer dan data sekunder, yang bersumber dari buku, majalah,
artikel, jurnal, dan lain-lain, berdasarkan hasil bacaan, catatan,
dan bahan-bahan lainnya yang diolah untuk dikumpulkan. 9
Penulis menggunakan buku-buku pustaka yang terkait
dengan permasalahan yang dibahas. Buku-buku tersebut
merupakan buku-buku yang mayoritas ditulis langsung oleh kaum
Sikh sebagai sumber primer, dan juga buku-buku yang dapat
membantu dalam penyelesaian permasalahan yang
dibahas,adapun sebagai sumber penulis mengumpulkan data baik
dari Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun dari
perpustakaan yang lain.
2. Observasi
Observasi adalah salah satu metode utama yang terpenting
dalam penelitian sosial keagamaan terutama pada penelitian
kualitatif. Observasi merupakan metode pengumpulan data yang
paling alamiah dan paling banyak digunakan tidak hanya dalam
dunia keilmuan tetapi juga didalam berbagai aktifitas kehidupan.
Observasi bermakna umum yaitu pengamatan atau penglihatan
sedangkan secara khusus, dalam dunia penelitian ilmiah, observasi
adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami,
9 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), cet.
I, h. 3.
8
mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena sosial
keagamaan baik itu berupa kejadian-kejadian, benda maupun
simbol-simbol tertentu selama beberapa waktu tanpa
mempengaruhi fenomena yang diobservasi, dengan melakukan
kegiatan pencatatan, perekaman pemotretan sebagai hasil temuan
data analisis.10
4. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan historis dan
pendekatan feminisme. Pendeketan Historis adalah pendekatan yang
paling tua dan dipakai pertama kalinya untuk mempelajari, menyelidiki,
dan meneliti agama-agama baik sebelum agama menjadi disiplin yang
berdiri sendiri (otonom) atau sesudahnya.11
Sebelum penulis
menguraikan tentang kedudukan perempuan dalam agama Sikh, penulis
menguraikan terlebih dahulu kedudukan perempuan dari sudut pandang
historis.
Pendekatan feminsime adalah pendekatan tentang pola fikir dan
perilaku yang dipelajari secara sosial yang membedakan antara
maskulinitas dan feminitas.12
Dalam pendekatan ini penulis menyelidiki
posisi perempuan baik dalam agama maupun ruang lingkup sosial.
5. Analisis data
Setelah data penelitian terkumpul, maka langakah selanjutnya
penulis melakukan analisis data.13
Analisis data yang penulis gunakan
adalah metode desktiptif analitik, yaitu metode yang dilakukan dengan
cara menguraikan sekaligus menganalisis data-data yang menjadi hasil
pengkajian dan pendalaman atas bahan-bahan penelitian. Metode
deskriptif lebih banyak berkaitan dengan kata-kata, di mana semua data-
data hasil penelitian diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa, baik lisan
10
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003), h. 162. 11
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.
15. 12
Abdul Karim, Feminisme: Sebuah Model Penelitian Kualitatif (Kudus: SAWWA, 2014),
h. 88. 13
Analisis data adalah proses penyusunan data agar data tersebut dapat ditafsirkan.
Lihat H. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000),
h. 102.
9
maupun tulisan. Kemudian, data-data yang berbentuk bahasa ini
dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian sehingga menghasilkan
kesimpulan.14
Dengan mendeskripsikan dan menganalisa, penulis berharap dapat
memberikan gambaran secara maksimal atas objek penelitian yang dikaji
dan di dalami dalam penelitian ini. Hasil kajian dan penelitian dalam
skripsi ini disajikan dalam bentuk narasi.
6. Teknik Penulisan
Penulis dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada prinsip-
prinsip yang diatur dan dibukukan dalam Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah(Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh Biro
Akademik dan Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2013/2014.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman isi dari skripsi ini, maka penulis
membagi dalam lima bab yang disusun secara sistematis secara berikut:
Bab Pertama, mendeskripsikan tentang Pendahuluan, Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kajian
Pustaka, Metode Penelitian, Sumber, Sistematika Penulisan.
Bab Kedua, mendeskripsikan tentang pengertian agama Sikh, sejarah
berdirinya agama Sikh di Indonesia dan sejarah berdirinya
agama Sikh di Gurdwara Pasar Baru Jakarta Pusat.
Bab Ketiga, mendeskripsikan tentang kedudukan perempuan dalam
upacara keagamaan menurut agama Sikh
Bab Keempat, tentang analisis Kedudukan sosiohistoris posisi wanita dalam
Sikh
Bab Kelima, sebagain bab terakhir atau bab penutup yang berisikan
tentang kesimpulan dari pokok permasalahan dalam kajian
skripsi ini, dan saran-saran yang sifatnya membangun dari
penulis.
14
Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora
Pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 337.
10
BAB II
SEJARAH AGAMA SIKH
A. Pengertian Agama Sikh
Kata Sikhisme berasal dari kata Sikh, yang berarti ”murid” atau “pelajar”
dan Sikha berarti ”pengikut Sikh”. Ada juga yang mengartikan Sikh sebagai
“suatu masyarakat agama di India dan Pakistan” atau suatu sekte keagamaan
yang berasal dari penyelewengan terhadap “Bramanis-Hinduisme”. Agama
Sikh juga dikatakan sebagai agama sinkretis, karena ia didirikan dengan
maksud “memperdamaikan antara Islam dan Hinduisme”.
Agama Sikh itu bermakna agama para Murid, yang dimaksudkan tersebut
ialah para Murid dari pembangunan agama Sikh itu. Oleh karena sang Guru
itu pada masa belakangan dikultuskan sebagai penjelmaan Tuhan di bumi
maka pengertian para Murid itu dimaknakan dengan Murid Tuhan.15
B. Sejarah Berdirinya Agama Sikh
Sikhisme adalah salah satu agama terbesar di dunia. Agama ini
berkembang terutamanya pada abad ke-16 dan 17 di India. Agama Sikh
didirikan oleh Guru Nanak. Guru Nanak dilahirkan di Punjab, India, pada
tahun 1469 M, begitu pula dengan ajarannya Sikhisme berasal dari daerah
Punjab India, walaupun mayoritas kaum Sikh lebih dominan di India, namun
kini pengikutnya juga dapat ditemukan di berbagai penjuru dunia yang
mempunyai komunitas India. Di Asia Tenggara, umat Sikh banyak ditemukan
di Malaysia dan Singapura. Umat Sikh dapat dikenali melalui namanya yang
banyak di akhiri Singh untuk pria dan Kaur untuk wanita. Sikhisme
dipengaruhi pergerakan perubahan dalam agama Hindu (misalnya Bhakti,
Monisme, metafisika Weda, Guru Ideal, dan Bhajan) serta Islam sufi. Agama
ini berangkat dari adat-adat sosial dan struktur dalam agama Hindu dan Islam
(contohnya sistem kasta dan Purdah). Filsafat dalam Sikhisme bercirikan
Logika, keseluruhan (bersifat komprehensif), dan pendekatan yang sederhana
terhadap masalah-masalah spiritual maupun material. Teologinya penuh
15
Jai Singh Yadev, Mengenal Agama Sikh (Jakarta: Yayasan Gudrwara Mission: 2001), h. 56-57.
11
kesederhanaan. Dalam etika Sikh, tidak ada konflik antara tugas pribadi
terhadap diri sendiri dengan masyarakat.16
Orang-orang Sikh adalah suatu ras yang luar biasa. Jumlah seluruhnya di
dunia ini kurang lebih ada 10 juta orang. Segala sesuatu tentang mereka ini
pun luar biasa, pakaian mereka, sejarah mereka, dan terutama sekali adalah
kelahiran mereka. Sebelum diadakan pemisahan India, kebanyakan orang
Sikh hidup di daerah Punjab (daerah yang mempunyai lima sungai), suatu
propinsi yang luas, terletak di bagian utara India. Sejak pemisahan India di
tahun 1974, lebih dari dua juta orang Sikh harus meninggalkan rumah,
kampung halaman dan kekayaan mereka di daerah yang diserahkan kepada
Pakistan. Mayoritas orang Sikh sekarang berada di Punjab Timur yang
menjadi milik India.17
Agama Sikh bermula di Sultanpur, berhampiran Amritsar di wilayah
Punjab, India. Selepas Guru Nanak (1469-1539) meninggal dunia pengganti
beliau pun diberi pangkat Guru. Sebanyak sepuluh Guru telah mengambil alih
tempat beliau dan secara perlahan-lahan. Rangkaian ini berakhir pada tahun
1708 selepas kematian Gobind Singh yang tidak meninggalkan pengganti
manusia tetapi meninggalkan satu himpunan skrip suci yang dipanggil Adi
Granth. Skrip ini kemudian diberi nama Guru Granth Sahib. Gobind Singh
juga telah menumbuhkan sebuah persatuan “persaudaraan Khalsa Sikh” dan
memulakan pemakaian seragam untuk lelaki Sikh yang taat kepada agamanya
yang diberi gelaran “Lima K” yaitu: Kesh (rambut dipotong; mana semua
Gurus disimpan), Kangha (sikat; untuk menjaga rambut yang bersih), Kada
(gelang logam atau keluli; untuk kekuatan dan selfrestrain), Kirpan (senjata;
untuk pertahan diri), Kacca(lutut panjang khas luar dalam untuk
ketangkasan), setiap Sikh sepatutnya untuk menjaga Lima „K yang juga
bertindak sebagai identitinya.
Agama Sikh lahir dan mulai berkembang bersamaan waktunya
dengan kelahiran agama Protestan di Eropa, yaitu di akhir abad ke- 19 M.
16
I Dewa Putu Sedana, Sikhisme Bukan Perpaduan Agama Hindu dan Islam (Denpasar:
Universitas Udayana Press, 2013), h.68. 17
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor (Tangerang selatan: UIN Jakarta
Press, 2015), h. 201.
12
Guru Nanak sendiri hanya 14 tahun lebih tua daripada Martin Luther, pendiri
agama Protestan itu. Motivasi kelahirannya juga senada dengan kelahiran
protestan. Kalau Protestan lahir sebagai reaksi terhadap eksistensi dan
kekuasaan Gereja Katolik Roma di daratan Eropa, maka agama Sikh lahir
sebagai reaksi terhadap agama Brahma atau Hinduisme.18
Agama Sikh semenjak kelahirannya sekitar lima abad yang lalu,
lalu sampai sekarang masih tetap menarik perhatian para peminat penelitian
agama. Hal ini bukan saja karena keunikan tokoh pendirinya, perjalanan
sejarah perkembangannya, dan seluk-beluk hubungannya dengan agama lain,
tetapi juga karena pertistiwa-peristiwa sejarah, baik yang bersifat keagamaan
maupun politik, yang langsung diperankannya.19
C. Ajaran Agama Sikh
Dalam konsep keagamaan penganut Sikh terdapat berbagai konsep yang
mereka dikuti dan berpegang pada konsep tersebut. Agama Sikh adalah
agama yang tidak terhad kepada bangsa Punjabi saja tetapi terbuka luas
kepada bangsa-bangsa lain atau kaum-kaum yang lain. Jika seseorang itu
ingin memeluk agama Sikh, harus melalui satu upacara yang disebut upacara
masuk agama yaitu Amrit Sanskar. Selain itu, mereka perlu meminum air
„Amrit‟. Air „Amrit‟ ini adalah dianggap sebagai tanda sebelum seseorang itu
memeluk masuk agama Sikh. Agama Sikh menyamakan Tuhan dengan
„kebenaran‟ atau „sach‟ dan berpegang kuat kepada kitab suci yaitu „Granth
Sahib‟ yang juga dikenali sebagai „Bani‟. Kepercayaan asas Sikhisme adalah
yang terdapat didalam „Japji‟ atau dikenal sebagai „mool mantra‟. Agama
Sikh menerima teori „Karma‟ sama seperti agama-agama yang mempercayai
teori tersebut. Teori karma adalah satu kepercayaan dimana apabila sesorang
itu membuat salah atau benar maka akan dibalas mengikut perbuatan yang
dilakukan. Penganut agama Sikh ini menafikan pemujaan sungai dan dewa.
Hal ini kerana penganut Punjabi ini mempercayai pada kitab-kitab mereka.
„Gurdawara‟ merupakan sebagai simbol suci Sikh. Upacara beribadat untuk
18
Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar Di Dunia( Jakarta: Al-Husna, 1966), h. 171. 19
Romdhon dkk, “Agama Sikh” dalam Mukti Ali, Ed., Agama-Agama Di Dunia
(Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988), h.183-185.
13
kaum sikh ini dilakukan pada setiap hari Ahad yaitu sekitar pukul 6.30 pagi
dan 6.00 petang hingga 7.00 petang di Temple yang berdekatan dan wajib
dilakukan oleh semua penganut Sikh.20
Agama Sikh menanamkan kepercayaan terhadap kesatuan dan
kemahakuasaan Tuhan serta menyamakan Tuhan dengan kebenaran. Para
Guru Sikh berkeyakinan bahwa manusia dapat memperoleh kebahagiaan
kekal tanpa harus mengabaikan tugas-tugas hariannya. Ajaran-ajaran para
Guru Sikh dilestarikan dalam buku suci Granth Sahib sesuai dengan aslinya.
Dalam himne-himne para Guru ini, Nirvan, atau kekhusyukan terhadap Tuhan
dijadikan tujuan tertinggi dari hasil aktivitas manusia dan orang-orang yang
diberkati mendapatkannya di firdaus yang disebut Sach Kand. Di firdaus itu
saling mengenal dan menikmati kebahagiaan kekal. Penyatuan kembali
dengan yang absolut merupakan tujuan tertinggi dari seluruh ketaatan dan
cita-cita kaum Sikh.21
Guru Nanak menyatakan bahwa tanpa selalu mengingat nama Tuhan
(Simiran), maka semua amal, penebusan dosa, ziarah, dan upacara keagamaan
lainnya akan sia-sia. Melalui semadi dan ibadah kepada Tuhan Doa Guru
yang tulus akan terkabul. Manusia yang sungguh-sungguh patuh kepada
kehendak Tuhan akan memperoleh kuasa Illahi dan rahmat Tuhan. Tujuan
hidup manusia adalah mengabdi kepada Tuhan dan penyatuan kembali
dengan Tuhan merupakan ajaran pokok keyakinan kaum Sikh. Penyatuan
kembali dengan Tuhan itu sekaligus juga merupakan tujuan tertinggi ketaatan
kaum Sikh.
Adapun demikian yang termasuk kedalam konsep-konsep dari agama
Sikh, yaitu :
a. Konsep Ketuhanan
Berkaitan dengan konsep ketuhanan, definisi terbaik yang dapat
diberikan oleh orang-orang Sikh adalah konsep „mool mantra‟. Konsep
ini menjadi landasan fundamental agama Sikh yang termuat di dalam
bagian permulaan kitab Sri Guru Granth Shahib yang berbunyi “hanya
20
Eleanor Nesbitt, A Guide to Sikhism (Oxford University Press, 2005), h. 23-25. 21
Tan Sri Dato seri darshan singh gill, Sikh community in Malaysia (Malaysia: Geraksikh,
2009), h. 76-78.
14
ada Tuhan Yang Esa”. Dalam agama Sikh Tuhan itu disebut Dadru,
„Sang Pencipta‟ atau „Dia yang terbebas dari rasa takut dan rasa
kebencian‟, „Dia yang kekal‟ dan „Dia yang tidak dilahirkan‟. Agama
Sikh secara tegas menyatakan diri sebagai agama monotheisme dan
Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak tampak wujudnya itu disebut
‟EkOmkara‟, sedangkan Tuhan yang tampak wujudnya disebut
„Omkara‟.22
Dalam kitab Granth Shahib terdapat banyak nama untuk
menjelaskan sifat Tuhan misalnya „EkOmkara‟ ataru disebut „Kartar‟
(sang pencipta), „Akal‟ (yang abadi), „Satyanama‟ (yang maha suci),
„Shahib‟ (Tuhan), „Parvardigar‟ (sang pemelihara), „Rahim‟ (sang
pengasih), „karim‟ (yang mulia). Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan
„Wahe Guru‟ yang berarti satu Tuhan. Agama Sikh menentang konsep
„Avtarvada‟, yaitu konsep titisan (Inkarnasi) Tuhan, Tuhan tidak bisa
mengambil wujud seperti manusia, seperti bagaimana orang Kristen
menyebut Yesus sebagai titisan Allah (berkinosis). Mereka tidak percaya
bahwa Tuhan berkinosis dan melarang penyembahan berhala. Seperti
yang dipaparkan oleh Baldev Singh, „Setiap orang akan ingat kepada
Tuhannya tatkala ia dalam lilian masalah, tetapi lupa mengingatnya
dalam keadaan senang dan bahagia. Seseorang yang selalu mengingat
Tuhan tatkala berada dalam keadaan senang dan bahagia, bagaimana
mungkin ia akan jatuh keadalam masalah‟.23
b. Konsep Kemanusiaan
Bagi kaum laki-laki Sikh, diharamkan merokok, dan kebanyakan
memakai sorban. Umat Sikh paling pantang makan makanan yang
bernyawa, mereka hanya memakan sayur dan buah-buahan (vegetarian).
Guru Nanak mengajarkan bahwa seluruh umat manusia adalah satu
serta meletakan dasar bagi pengangkatan martabat manusia di kalangan
masyarakat Hindu bukan atas dasar kasta, akan tetapi atas dasar kodrat
22
Nyoman S. Pendit, Guru Nanak dan Agama Sikh (Jakarta: Yayasan Gurdwara Mission,
1988), h. 51-53 23
Wawancara Pribadi dengan Bapak Baldev Singh, Pada tanggal, 2 Maret 2018, di
Gurdwara, Pasar Baru, Jakarta Pusat.
15
dan kecenderungan manusia itu sendiri. Derajat seseorang ditentukan
oleh amal kebajikannya. Manusia harus hidup dengan mengutamakan
kesempurnaan moral, karena nilai manusia terletak pada tinggi rendahnya
moral. Di agama Sikh dalam pernikahan tidak diperbolehkan untuk
bercerai dan tidak diperbolehkan poligami.
Agama Sikh mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan
dirinya dari lima hal yang bisa disebut juga dengan setan bagi mereka,
namun sesunggguhnya mereka tidak mempercayai akan adanya makhluk
ghaib. Lima hal yang harus mereka jauhi ialah:
1. Krad (murka)
2. Lob (serakah)
3. Kam (nafsu)
4. Moh (bodoh)
5. Ahawar (ego yang berlebihan)24
c. Konsep Eskatologi (kehidupan setelah mati)
Kepercayaan agama Sikh akan kehidupan setelah mati hampir sama
dengan agama Islam. Adapun perbedaan yang mendasar di dalam ajaran
agama Sikh dengan agama Islam adalah tidak adanya kepercayaan di
tentang konsep surga-neraka dan hari akhir, akan tetapi mereka masih
mempercayai nirwana atau bersatunya dengan Tuhan yang diajarkan oleh
agama Hindu Brahmana.25
24
Nuhrison M Nuh dkk, “Eksistensi Agama Sikh di Jabodetabek” dalam Kustini,
Ed.,Baha’i, Sikh dan Tao: Penguatan Identitas dan Perjuangan Hak-hak Sipil (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Kementrian Agama RI, 2015), h. 215. 25
Gurdev Singh, Respective On Sikh Tradition (New Delhi: Patiala, 1996), h. 81.
16
BAB III
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM AGAMA SIKH
A. Kondisi Sosio Historis Perempuan Pra- Sikh
Agama Hindu dan Islam lahir jauh sebelum adanya agama Sikh. Pada
abad ke-15 kondisi perempuan pada saat itu sangat memprihatinkan, tertindas
dan tidak mendapatkan keadilan. Harkat dan martabat kaum perempuan sama
sekali tidak dihargai. Perempuan memegang posisi istri, ibu, petani, artisan,
dan biarawati, serta beberapa peran kepemimpinan penting seperti abbes atau
wali ratu.
Perempuan dalam pandangan agama Hindu memiliki peranan yang tidak
terpisahkan dengan kaum pria dalam kehidupan masyarakat. Sejak awal
peradaban agama Hindu yaitu pada zaman Veda perempuan memegang
peranan penting dalam kehidupan. Ditinjau dari konsepsi ajaran agama Hindu
dalam SiwaTattwa yang mengatakan adanya kehidupan makhluk terutama
manusia karena perpaduan antara unsure suklanita dan swanita. Tanpa
swanita tak mungkin ada dunia yang harmonis.
Namun dibalik itu semua agama Hindu memiliki pandangan buruk
tentang perempuan, dimana perempuan dianggap sebagai orang yang hilang
kehormatan, perempuan juga selalu dianggap memikirkan syahwat, suka
marah, bersikap palsu dan tidak jujur. Oleh karena itu, dalam agama Hindu
perempuan harus dijauhi. Ketika perempuan menjadi seorang istri kemudian
suaminya meninggal maka harus dibakar hidup-hidup. Hal tersebut karena
dianggap tabiat perempuan adalah selalu menggoda laki-laki. Seorang
perempuan Hindu diizinkan berbuat serong, kumpul kebo, kalau suaminya
merantau lebih dari enam bulan. Bahkan jika suaminya tidak mampu
memberi keturunan, seorang istri boleh bersatu badan dengan laki-laki lain
yang dapat memberi keturunan.
Saat seorang istri yang baru melahirkan menyediakan makanan maka
tidak boleh dimakan oleh suaminya karena dianggap najis. Di India, pada
waktu penduduk negeri itu berjumlah kurang lebih 70.000 jiwa, sedikitnya
3000 bayi perempuan yang baru lahir dibenamkan dalam tanah.
17
Fakta sejarah menunjukan bahwa secara umum kondisi perempuan pada
pra-Sikh adalah suram. Pada masa itu perempuan yang mempunyai jasa
melahirkan manusia di dunia ini dihina, diperlakukan kasar dan direndahkan
martabatnya. Kadang kala mereka dipaksa untuk mengabdi kepada suaminya
dan diperlakukan seenaknya, bahkan sering kali keberadaan mereka tidak
diakui sebagaimana mestinya, sehingga mereka tidak mempunyai hak dan
kedudukan apapun dalam masyarakat.
Perempuan pada masa itu tidak diberi kesempatan untuk
mengembangkan kepribadian dan menggunakan kemampuannya secara
penuh bagi kemaslahatan manusia. Bahkan hak kewarisan dan kepemilikan
yang dimiliki perempuanpun tidak diakui adanya. Kondisi tersebut juga
terjadi di Jazirah Arab sebelum agama Islam datang.26
Sejak akhir abad ke -18 hingga milenium ketiga ini, feminisme terus
digelorakan untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan hak kaum
perempuan dengan laki-laki. Tidak salah memang, karena faktanya
diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi dalam berbagai bidang.
Ideologi patriarki kerap dianggap sebagai kambing hitamnya, meskipun
permpuan memang memiliki kekhasan yang secara kodrati tidak mungkin
dipersamakan dengan laki-laki. Sebatas untuk melawan ketidakadilan dan
diskriminasi atas perempuan yang membuat perempuan marjinal dan
teraniaya, feminisme dapat diterima. Di luar itu, feminisme ala Barat perlu
disaring kembali karena tidak seluruhnya sejalan dengan pemikiran,
pandangan hidup, dan budaya masyarakat Timur.27
Terlebih diluar sana banyak yang beranggapan bahwa perempuan
dipandang rendah derajat kemanusiaannya dibandingkan laki-laki. Namun
para Guru menepis semua persepsi yang terkait tentang pemaknaan
perempuan bahwa derajat kemanusiaannya lebih rendah dari laki-laki, sebab
seorang perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama dengan laki-laki
26
Ulia Kencana, Wanita Dalam Pandangan Agama Dan Bangsa, An nisa‟a Vol 7 No.2:
2012 http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/annisa/article/download/844/717 artikel diakses pada
Tanggal 22 Juli 2020. 27
Hakim Choor Singh, Agama Sikh (Jakarta: Yayasan Sikh Gurdwara Mission: 2001), h. 67.
18
dalam kedudukannya sebagai Hamba, yakni sama sama mempunyai
kewajiban untuk mengabdikan diri kepada Tuhan.
Dalam Sikh, baik sebagai nama ataupun pemikiran feminisme
sesungguhnya bukan hal yang baru. Teks suci Sikh telah memaparkan
pemikiran tentang kemuliaan perempuan dan kesetaraannya dengan laki-laki.
Seperti yang dipaparkan Ghoul Rajj, “laki-laki dan perempuan sama karena
kewajibanpun sama, jadi siapa kita untuk membedakan satu sama lain”. Dari
apa yang dipaparkan Ghoul Rajj tersebut kita sudah sedikit mengerti bahwa
Sikh meniadakan kasta dalam konsep gender.28
Agama Sikh telah menegaskan bahwa perempuan memiliki derajat yang
sama dengan laki-laki hanya saja cara memuliakannnya yang berbeda. Sikh
memiliki asumsi bahwasanya perempuan akan berposisi lemah dalam budaya
patriarki, ketika dia tidak memiliki keunggulan yang bisa menaikan daya
tawar dirinya dalam berbagai ranah sosial. Atas dasar itulah feminisme Sikh
dapat dimaknai sebagai gerakan pemberdayaan perempuan sehingga memiliki
keunggulan diri yang dapat memosisikan dirinya sejajar dengan laki-laki. 29
Konsep penciptaan perempuan merupakan hal yang sangat mendasar
untuk dibahas. Berangkat dari hal ini, maka dapat ditarik benang merah
konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Granth Shahib tidak
menyebutkan secara rinci tentang asal-usul penciptaan perempuan tetapi
Granth Shahib menolak berbagai persepsi yang membeda-bedakan diantara
keduanya.
Prinsip pokok dalam ajaran agama Sikh tentang hakikat penciptaan
perempuan adalah persamaan antar manusia. Perbedaan yang patut
digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang
di mata Tuhannya hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran agama Sikh tidak membataskan perempuan untuk bebas bergerak
dalam menjadi bagian dari sebuah masyarakat. Sebab kaum perempuanpun
28
Nyoman S Pendit, Guru Nanak dan Agama Sikh (Jakarta: Yayasan Sikh Gurdwara
Mission: 1988), h. 76-81. 29
Agus Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), h. 216.
19
memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan serta kondisi sosialnya. Posisi
tersebut menuntut peranan seorang perempuan, tidak hanya dalam privat
tetapi juga kehidupan politik. Hal tersebut saling mengakomodasi dalam
menjalankan tanggung jawab. Selain perempuan harus cakap dalam
mengambil langkah-langkah praktis yang dibutuhkan dalam menghadapi
perubahan di tengah-tengah masyarakat, perempuan juga dibutuhkan dalam
kiprahnya untuk berdakwah di tengah masyarakat. 30
B. Perempuan Dalam Teks Suci Sikh (Grand Sahib dan Para Guru Sikh)
Pada dasarnya Guru Nanak menekankan bahwa seluruh umat manusia
adalah satu dan ia sangat menentang ajaran tentang kasta. Sebab, manusia
harus hidup dengan mengutamakan kesempurnaan moral karena nilai
manusia terletak pada tinggi rendahnya moral itu. Guru Nanak mengajarkan
bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan, dan tidak abadi. Yang kekal
abadi hanya Tuhan, karena Tuhan adalah realitas mutlak. Dengan kodrat dan
iradat Tuhan seluruh alam ini terjadi, dan melalui hukum Tuhan alam ini
menjalani kehidupannya. Tidak ada sesuatu yang bisa berjalan di luar
kehendak dari hukum Tuhan.
Dalam ajaran Sikh perempuan sangat dimuliakan dan dijaga
kehormatannya. Sikh mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan
agar keduanya dapat menjalani kehidupan yang harmonis. Sikh memandang
bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi antara
satu dengan yang lain bukan untuk dibandingkan dari keduanya mana yang
lebih utama. Karena yang lebih utama adalah yang lebih bertaqwa dari
keduanya. Hal ini menunjukan adanya prinsip keadilan antara laki-laki dan
perempuan.31
Guru Nanak mengajarkan perempuan untuk lebih di hargai dan di
muliakan, bukan karena derajat perempuan lebih tinggi dari laki-laki, tetapi
keistimewaan yang dimiliki perempuanlah harus lebih dimuliakan. Sebab,
perempuan diberi tanggung jawab sedikit lebih dari laki-laki, sebagai contoh
Tuhan menciptakan dengan bentuk tubuh yang berbeda, pastinya beda pula
30
Khustwant Singh, A History Of The Sikh (Oxford University Press, 2004), h. 86-90. 31
Wawancara Pribadi dengan Bapak Ghoul Raj pada tanggal 23 Mei 2018, di Gurdwara,
Pasar Baru, Jakarta Pusat.
20
peran dan tugas dari keduanya dalam menjalani kehidupan. Maka, akan
menjadi ketidak adilan jika peran dan tugas yang mereka emban adalah sama.
Misalnya, Sikh membebankan memberi nafkah kepada laki-laki bukan
perempuan. Akan tetapi sebaliknya, Sikh membebankan pengasuhan anak,
mengurus rumah tangga dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya
adalah kewajiban perempuan bukan laki-laki. Inilah aturan yang mengatur
dua jenis manusia dengan kadar masing-masing. Hal tersebutlah yang
menunjukan bahwa perempuan harus lebih dimuliakan karena tanggung
jawab perempuan tidak bisa dianggap remeh atau sebelah mata, karena tugas
ini sangat penting dalam menentukan bentuk kepribadian yang baik.
Kepribaian yang luhur itu ditentukan oleh generasi dan kehidupan keluarga.
Beginilah, Sikh memuliakan perempuan dengan tugas pokoknya.32
ayat dalam Granth Sahib yang bertutur tentang perempuan telah
dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris. Di antara ayat-ayat tersebut adalah
sebagai berikut:
“Of Woman are we born, of woman conceived. To Woman engaged, to
woman married. Woman we be a friend, by woman is the civilization
continued. When woman dies, woman is sought for: It is by woman that order
is maintained. Then why call her evil. From whom great men are born, from
woman is woman born. And without woman none would exist. The enternal
lord is the only one, o Nanak Who Depeds not on woman.” (Guru anak Dev,
Var Asa, pg. 473).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
“Dari perempuan kita dilahirkan, dalam perempuan kita dikandung;
Dengan perempuan kita terikat, dengannya kita menikah; Perempuan menjadi
sahabat kita, melalui perempuan peradaban berlanjut; Ketika perempuan
meninggal, dia dirindukan: Melalui perempuan hukum dijaga. Lalu mengapa
kita menyebutnya si jahat? Dari padanya orang-orang besar dilahirkan; dari
perempuan, perempuan lahir. Dan tanpa perempuan, tak seorangpun ada.
Tuhan yang abadi hanya satu, Ya Nanak Yang tidak tergantung perempuan.”
Prinsip penghormatan terhadap perempuan juga diwujudkan Sikh ketika
merespon tradisi-tradisi lokal yang sangat mendiskreditkan perempuan.
Tradisi yang berlaku di India pada masa itu yang mengharuskan seorang istri
membakar dirinya manakala suaminya meninggal. Sikh sangat mengutuk
tradisi yang kejam ini.
Disebutkan dalam sebuah ayat: “They cannot be called satis, who burn
the selves with their dead husbands. They can onlt be called satis, if they bear
the shock of separation. They may also be known as satis, who live character
and contentment and always show veneration to their husbands by
remembering them.”
“Mereka tidak dapat disebut satis, yang membakar diri mereka bersama
dengan suami-suami mereka yang sudah mati. Mereka hanya dapat disebut
32
Kristina Myrvold, Inside The Guru’s Gate (Lund: Lund University, 2008), h. 57-58.
21
satis, jika mereka menanggung beban perpisahan. Mereka juga boleh
dianggap satis, yang tinggal dengan katakter dan rasa cukup dan selalu
memperlihatkan rasa hormat kepada suami-suami mereka dengan mengenang
mereka.” (Guru Amar Das, Var Suhi, pg. 787).
C. Cita Perempuan Dalam Tradisi Sikh dan Isu-Isu Gender dalam
Komunitas Sikh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Feninisme adalah gerakan
perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
perempuan dan laki-laki, sedangkan Feminis berarti orang yang menganut
paham feminisme.33
Istilah konsep feminisme diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk
menjelaskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat bawaan
sebagai ciptaan Tuhan dan merupakan sebuah tuntunan budaya yang
dikontruksikan, dipelajari dan disosialisasikan.
Pembedaan itu sangat penting, karena selama ini sering kali mencampur-
adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah dengan ciri-
ciri manusia yang bersifat non kodrat (Gender) yang sebenarnya bisa
berubah-ubah atau diubah.
Pembedaan peran gender ini membantu untuk memikirkan kembali
tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada
perempuan dan laki-laki. Perbedaan gender dikenal sebagai sesuatu yang
tidak tetap, tidak permanen, memudahkan kita untuk membangun gambaran
tentang realitas relasi perempuan dan laki-laki yang dinamis yang lebih tepat
dan cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.34
Di lain pihak, alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas,
analisis diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama
ini digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas
adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat
berpotensi menumbuhkan penindasan. Dengan begitu analisis gender
sebenarnya menggenapi sekaligus mengoreksi alat analis sosial yang ada dan
33
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/feminis artikel diakses pada Tanggal 25 Juli 2020. 34
Sushil Mittal And Gene Thursby, Religions of South Asia, (New York: First Published,
2006), h. 91-92.
22
yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi sosial laki-laki dan
perempuan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran
perempuan dan laki- laki dalam masyarakat. Secara umum adanya gender
telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang
tempat dimana manusia beraktifitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender
itu melekat pada cara pandang masyarakat, sehingga masyarakat sering lupa
seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi
sebagaimana permanen dan abadinya ciri-ciri biologis yang dimiliki oleh
perempuan dan laki-laki.
Seperti yang dijelaskan dalam Granth sahib bahwa laki-laki dan
perempuan itu sama tidak ada bedanya hanya saja perempuan harus lebih
dimuliakan karena perempuan memiliki tanggung jawab sedikit lebih berat
dibanding laki-laki. Bapak Ghoul Rajj pun memantapkan konsep feminis
dalam ajaran Sikh, pada pembukaan ayat Granth Sahib dijelaskan “mulai dari
Allah, Cahaya di upaya. Kodrat dan manusia Dia yang ciptakan. Kita tidak
punya hak untuk menghakimi (membanding-bandingkan) satu sama lain”.
Maksud dari kutipan ayat tersebut ialah, sesama ciptaan Tuhan alangkah
baiknya kita saling menghargai, menghormati dan menjaga hubungan baik.
Granth Sahib menekankan dari apa yang Tuhan berikan apapun wujudnya kita
harus tetap mensyukuri dan menganggap itu sebagai nikmat dari-Nya.35
Dalam Sikh, hal pertama yang harus disadari kaum Sikh adalah
eksistensinya dan siapa dirinya. Dan untuk mengenal diri serta dari mana
asalnya, maka Sikh berinteraksi dengan melalui keyakinan dan ketetapannya.
Ketetapan Sikh tidak lain hanya akan diperoleh dalam Guru Granth Sahib.
Dengan demikian, manusia akan lebih mengenal eksistensinya di balik semua
ilmu, moral dan amal yang dilakukan. Sedikit banyaknya Granth Sahib
sendiri membahas masalah laki-laki dan perempuan. Dari hubungan antara
satu dengan yang lain, keserasian serta perbedaan mendasar antara keduanya,
baik dalam hal yang berkaitan dengan hak maupun kewajiban masing-
masing.
35
I Dewa Putu Sedana, Sikhisme Bukan Perpaduan Agama Hindu dan Islam (Denpasar:
Universitas Udayana Press, 2013), h.73-75.
23
Guru Granth Sahib sebagai kitab suci yang merupakan petunjuk bagi
kaum Sikh, senantiasa menempatkan manusia sesuai dengan porsinya.
Manusia sebagai makhluk yang sama dihadapan Tuhan, namun berbeda
beberapa hal, yang mana perbedaan tersebut merupakan bukti keserasian
antara keduanya. Hal ini bisa dilihat dari kutipan ayat diatas yang
menjelaskan posisi kesetaraan khususnya dihadapan Tuhan. Namun
kesetaraan tersebut bukan sebagai bukti mereka adalah makhluk yang sama
dalam segala hal, seperti yang banyak disuarakan para feminis. Contoh
kesetaraan dalam Sikh yang di paparkan oleh bapak Ghoul Rajj adalah
bagaimana antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang lebih diutamakan
antara keduanya, dalam kebebasan, kewajiban dan hak. Hanya saja, Sikh
lebih memuliakan perempuan dikarenakan tanggung jawabnya yang lebih
sedikit lebih berat dari laki-laki.
Granth Sahib juga menegaskan bahwa, sistem relasi antara laki-laki dan
perempuan dimasyarakat sesuai dengan norma ajaran agama Sikh.
Ketimpangan gender yang sering dianggap sebagai permasalahan sebenarnya
telah selesai. Maka dari itu Sikhlah yang mengangkat kaum perempuan sesuai
dengan fungsi serta perannya.36
36
Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar Di Dunia (Jakarta: Al-Husna, 1966), h. 176-179.
24
BAB IV
Kedudukan Perempuan dalam Upacara Keagamaan Sikh
A. Upacara Keagamaan dalam Agama Sikh
Apa yang membedakan suatu praksis historis kesetaraan yang sekuler
dengan yang relijius adalah, bahwa yang terakhir berlandaskan pada teks-teks
suci, wahyu, yang diimani; sementara praksis kesetaraan sekuler didasarkan
pada sumber selain wahyu; pada poin ini, pembedaan bahwa watak praksis
historis kesetaraan itu rasional sementara yang relijius irasional perlu
dikoreksi, wahyu dapat dikatakan memiliki sumber ilham yang non-rasional,
tetapi dalam praktiknya, ia memiliki logika yang tidak kurang rasional dan
historis. Dalam kasus Sikh, pendapat ini secara positif dapat diafirmasi.
Gagasan kesetaraan Sikh berdasarkan pada suatu teks sakral (Guru Granth
Sahib) dan dalam praktiknya berwatak historis karena menjawab suatu
permasalahan sosial konkret yang terjadi di masyarakat, yaitu sistem kasta
secara khusus.
Maka, untuk mengawali suatu gambaran sekaligus analisis sosial dari
Sikh, alangkah baiknya merujuk kepada teks-teks sakral dan bukti historis
yang dapat mengafirmasi prinsip ini. Guru Nanak menyampaikan:
"Kita terlahir dari wanita, kita tumbuh dalam rahim wanita. kita
ditunangkan dan dinikahkan dengan wanita. Kita berteman dengan
wanita dan garis keturunani ini berlanjut karena wanita. Ketika seorang
wanita meninggal, kita menikahi wanita lainnya, faktanya kita terikat
dengan dunia melalui wanita. Mengapa kita harus meremehkannya, ia
yang melahirkan raja-raja? Wanita lahir dari wanita; tidak ada apa-apa
tanpanya. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang ada tanpa wanita."37
Bai Ghurdas, sang penyair dari periode awal Sikh, berkata:
"Seorang wanita, di rumahnya begitu dicintai oleh ayah dan ibunya.
Di rumah mertuanya, ia adalah tiang dari keluarga, penjamin
keberuntungannya... sama-sama memiliki kebijaksanaan dan
pencerahan spiritual, serta sifat-sifat mulianya, sang wanita, belahan
jiwa sang pria, mengantarkannya menuju pintu kebebasan."38
37
Jaspreet Kaur. Position of Women In Sikhism. KAAV International Journal of Arts,
Humanities & Social Science, Jan-Mar 2017, Vol. 4. h. 46 38
Ibid, h. 47
25
Keduanya menyatakan posisi mereka berhadapan dengan situasi abad
pertengahan di India, di mana sistem kasta benar-benar menempatkan wanita
pada posisi yang rendah. Prinsip kesetaraan Sikh tidak hanya berlaku bagi
lelaki, tetapi juga bagi wanita. Perkembangan dari suatu masyarakat dapat
dilihat dari bagaimana posisi wanita dilihat secara sosio-relijius di dalamnya;
artinya, suatu agama yang meyakini kesetaraan mengharuskan suatu
penempatan posisi yang jelas dan tegas, bahwa wanita tidak berada di bawah
laki-laki, keduanya sama-sama merupakan manusia yang memiliki hak dan
kewajiban yang saling melengkapi di masyarakat. Dalam perkara dunia
maupun perkara akhirat, wanita dan laki-laki memiliki posisi yang sama-sama
penting. Meskipun begitu, tidak selalu suatu teks suci dari suatu agama yang
mendukung kesetaraan secara relijius, terlaksana dalam praktiknya.39
Dengan
memahami hal ini, kita dapat melihat betapa Sikh merupakan suatu agama
yang mendukung kesetaraan. Maka pertama-tama, mari kita melihat lebih
lanjut bagaimana Sikh secara relijius menempatkan posisi wanita, setelah itu,
fakta historis umum mengenai prinsip ini diteliti.
Dalam kutipan pertama, Guru Nanak menyampaikan suatu fakta yang
umum diketahui oleh kita. Peran wanita sebagai ibu, istri, sebagai “pencipta
kehidupan”, dan hanya Tuhan-lah yang tidak memerlukan wanita untuk ada.
Pada poin bahwa wanita adalah ibu dan istri, tidak ada yang dapat menolak,
ini merupakan fakta biologis, tapi dengan menyatakan kalimat selanjutnya,
bahwa hanya Tuhan yang tidak bergantung kepada wanita, Guru Nanak telah
menyematkan posisi relijio-filosofis yang begitu penting. Wanita adalah
sumber dari eksistensi; pernyataan ini secara implisit memiliki suatu
konsekuensi sosial: salah besar jika eksistensi wanita, keberadaannya,
dinomorduakan dalam masyarakat; sebagaimana terjadi, bahkan hingga hari
ini. Posisinya secara sosial harus pula diturunkan dari posisi relijio-
filosofisnya. Dalam kutipan kedua, wanita dalam Sikh dipandang memiliki
signifikansi relijius yang sama sebagaimana laki-laki. Hal ini harus dilihat
dari fakta historis kasus kerahiban, misalnya, di mana wanita dipandang
sebagai penghalang jalan spiritual laki-laki mencapai kebenaran ilahiah. Sikh
39
Dharmjit Singh, Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru Nanak.
International Journal of Research in Social Sciences. Vol. 8 Issue 6, Juni 2018. h. 726
26
menganggap bahwa wanita bukanlah penghalang menuju kebenaran spiritual,
ia sama-sama merupakan hamba Tuhan yang juga dikaruniai kesucian dan
pencerahan spiritual. Para guru tidak membedakan antara jenis kelamin dalam
perkara sangat, sewa, pangat dan yang paling penting, proses inisiasi Sikh.40
Argumen yang paling sering diajukan di masyarakat adalah bahwa
wanita ada di kelas yang lebih rendah; mereka dianggap kurang cerdas, plin-
plan, kurang kreatif, berbadan lemah, dan cenderung emosional.41
Posisi ini
dilanggengkan dari berabad-abad lalu, mulai dari Sokrates hingga agama-
agama besar seperti Hindu, Islam, Kristen, Yahudi. Sikh membedakan diri
dalam hal ini, dalam keyakinan bahwa wanita bukanlah godaan menuju jalan
spiritual; kita dapat melihat bagaimana para biksu, para pastur, dan para zahid
melihat bahwa wanita adalah godaan duniawi, yang menghalangi mereka
menuju kebenaran. Ini merupakan praktik historis dari institusi agama-agama
tersebut, dari sanalah kita dapat melihat apakah suatu agama benar-benar
mendukung kesetaraan secara penuh atau hanya sebagian saja.
Sikh menolak anggapan bahwa wanita itu lemah dan rendah, bahkan,
para Guru memberi nama “singhni” bagi para wanita yang secara fisik dan
mental lemah, kata ini bermakna “ke-singa-an”.42
Artinya, untuk menilai
posisi seorang wanita, tolok ukurnya bukan hanya badan dan mentalnya
semata. Untuk memperkuat poin ini, kita dapat merujuk kepada fakta bahwa
Guru Nanak dan Guru Arjun Dev menulis suatu tulisan bernama "Baramaha"
yang di dalamnya mereka menggambarkan rasa sakit dan penderitaan dari
hati ketika menjadi seorang wanita,43
hal ini menunjukkan bahwa secara
psikologis-spiritual, beban yang ditanggung oleh seorang wanita begitu besar,
sehingga, konsekuensinya, wanita adalah makhluk yang begitu kuat.
Untuk merangkum pendapat dalam bagian ini, kita dapat menegaskan
bahwa Sikh meyakini prinsip kesetaraan semua manusia, baik laki-laki dan
wanita dalam prinsip teologis-spiritual mereka; pertama, Sikh menempatkan
40
Jaspreet Kau, Position of Women In Sikhism. KAAV International Journal of Arts,
Humanities & Social Science, Jan-Mar 2017, Vol. 4. h. 46 41
Dharmjit Singh, Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru Nanak.
International Journal of Research in Social Sciences. Vol. 8 Issue 6, Juni 2018. h. 727 42
Jaspreet Kau, Position of Women In Sikhism. KAAV International Journal of Arts,
Humanities & Social Science, Jan-Mar 2017, Vol. 4.h. 47 43
Ibid. h. 47
27
secara filosofis-spiritual bahwa hanya Tuhan yang tidak membutuhkan
wanita, ini artinya signifikansi dari keberadaan wanita begitu penting; kedua,
secara spiritual, wanita tidak dinomorduakan, tidak seperti praktik institusi
agama secara umum yang menganggap wanita sebagai godaan menuju jalan
spiritual, Sikh menganggap bahwa wanita dan laki-laki sama-sama
merupakan agen spiritual yang setara; hal ini akan terbukti jelas ketika kita
merujuk praktik-praktik yang menomorduakan wanita dalam institusi agama,
seperti anjuran untuk menjadi petapa dan berselibat, penggunaan cadar, dan
konsepsi patriarkal lain atas wanita; ketiga, Sikh mendefinisikan kekuatan
dan kelemahan tidak dalam konsepsi umumnya, yang biasanya berujung pada
pandangan bahwa perempuan lebih lemah dan rendah dibandingkan dengan
laki-laki. Poin-poin filosofis-spiritual ini akan lebih jelas jika kita melihat
bagaimana Sikh secara sosio-historis menempatkan wanita dalam praksisnya.
B. Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Ritual Keagamaan dan
Kehidupan Sosial Keagamaan
Sebelum berbicara mengenai penerapan prinsip kesetaraan sosial bagi
wanita dalam Sikh, sekilas kita akan membahas mengenai posisi Sikh secara
umum perihal kesetaraan. Sikh memiliki tiga tujuan sosial utama: untuk
membangun suatu masyarakat setara, untuk menjadikan masyarakat yang
setara ini sebagai dasar perlawanan atas penindasan relijius dan politis, dan
merengkuh kekuasaan politis melalui Khalsa. Ketiganya merupakan bagian
utama dari prinsip Sikh bahwa ketidakadilan, ketidaksetaraan dan hirarki
dalam bentuk apapun harus dilawan.44
Pembahasan mengenai kasta
merupakan bagian penting yang harus dijelaskan, sebab ini merupakan salah
satu bentuk ketidaksetaraan yang laing jelas dan paling kuat, dan yang secara
historis dilawan oleh para Guru.
Kasta merupakan suatu peringkat sosial yang dibenarkan melalui
pemaknaan relijius dan ritual. Berbeda dengan pembedaan atau
ketidaksetaraan lain seperti perbedaan kelas ekonomis yang lebih lentur, kasta
merupakan suatu peringkat yang begitu kukuh mengakar dalam masyarakat.
44
Jagjit Sing, The Sikh Revolution: A Perspective View. New Delhi: Bahri Publications,
1998. h. 115.
28
Dan politik relijius kasta, secara singkat dapat dilihat sebagai pengukuhan
kelas Brahman di atas semua kelas dalam masyarakat. Dalam politik kasta,
tidak terdapat kesetaraan, yang ada ialah bahwa satu kasta lebih unggul dari
yang lain, dan ini merupakan hal yang mutlak.Guru Nanak menyerang
ideologi kasta dan menyebutnya sebagai penyimpangan. Hindu menyebut
kasta yang rendah tidak dapat menyucikan diri, dan ibadah mereka tidaklah
diterima. Guru Nanak menyanggahnya, dengan mempraktikkan kesetaraan, ia
bergabung dengan kelompok dari kasta terendah. Bai Ghurdas menyebut
bahwa Guru Nanak telah "menyempurnakan Dharma dengan meleburkan
empat kasta menjadi satu. Menganggap raja dan orang miskin sederajat, dan
ketika bertemu saling memegang kaki (menganggap dirinya lebih rendah
dibandingkan yang lain), dan menjadikannya budi pekerti.”45
Pembahasan mengenai kasta secara merinci tidak dimungkinkan di sini,
kami hanya akan membahas satu anasir dari sistem kasta yang masih bertahan
dalam masyarakat non-kasta, yang dengannya kesetaraan antara laki-laki dan
wanita menjadi hampir mustahil, yaitu gagasan pencemaran. Menurut Nikky-
Guninder Kaur Singh, Para sarjanawan secara umum begitu banyak mengutip
Guru Granth perihal penolakan atas kasta dan kelas, namun hampir lupa
perihal penolakannya atas seksisme.46
Ia menyiratkan bahwa para sarjanawan
lupa bahwa kesetaraan antar manusia dengan hilangnya kasta juga tidak boleh
melupakan kesetaraan antara wanita dan laki-laki. Ketika berbicara mengenai
ketidaksetaraan dalam sistem kasta, akan merujuk kepada suatu praktik
pengucilan dan perendahan derajat spiritual bagi „golongan rendah‟, yang
secara umum ditandai dengan istilah “tidak suci”.
Gagasan mengenai pencemaran, mengenai pembatasan kebersamaan
adalah ungkapan yang paling tersebar luas, yang menggambarkan watak
ketertutupan dan elitis dari sistem kasta. "Seorang yang kastanya di bawah
Brahmin, ketika melihat makanan dari sang Brahmin, ia secara ritual
45
Jagjit Singh, The Sikh Revolution: A Perspective View. New Delhi: Bahri Publications,
1998. h. 118. 46
Nikki-Guninder Kaur Singh, A Feminist Interpretation of Sikh Scripture dalam The
Oxford Handbook of Sikh Studies. Pashaura Singh, Louis E. Fenech (ed.). (Oxford: Oxford
University Press, 2014), h. 612.
29
mencemari sang Brahmin"47
hanya melalui kontak fisik dengan mereka yang
kastanya lebih rendah, seseorang akan tercemar, dan 'Kasta yang lebih rendah
dari Brahmin secara umum lebih mudah tercemar, tetapi prinsipnya sama,
kontak dengan kasta selalu berhubungan dengan gagasan penyingkiran
pencemaran'.48
“Jika gagasan mengenai pencemaran diterima, maka terdapat
pencemaran di mana-mana. Terdapat cacing dalam tinja sapi dan kayu; Tidak
ada sebutir jagung tanpa kehidupan. Pada mulanya, terdapat kehidupan di air
yang karenanya segala sesuatu menjadi hijau. Bagaimana kita dapat
menghindari pencemaran? Ia jatuh di atas dapur kita. Ucap Nanak,
pencemaran itu tidaklah disucikan, ia tersucikan oleh pengetahuan Ilahi.
Pencemaran terdiri dari takhayul dan ketergantungan kepada hal-hal duniawi.
Makanan dan minuman yang dikirim Tuhan bagi kita untuk bertahan hidup
itu suci.”49
Dalam himne di atas, sudah jelas bahwa Sikh menolak gagasan mengenai
ketidaksucian, pencemaran, suatu gagasan pengkelasan antara yang suci dan
yang tercemar. Guru Nanak sepenuhnya menolak gagasan Hindu bahwa
seorang wanita yang melahirkan tercemar selama beberapa hari, dan bahwa
rumah di mana ia melahirkan juga ikut tercemar. Tidak pula bahwa
menstruasi setiap bulan membuat ia tercemar.50
Dari gagasan inilah
ketidaksetaraan wanita dan laki-laki menjadi sesuatu yang dibenarkan.Dalam
masyarakat kita, pandangan terhadap darah wanita secara umum -entah darah
menstruasi setiap bulan atau darah nifas - begitu menakutkan, dipandang
sebaagai yang privat, proses yang memalukan; menstruasi kerap disamakan
dengan penyakit atau kelemahan. Secara sosial, wanita yang sedang dalam
periode mereka dilarang turut serta dalam ibadah relijius. Guru Granth secara
dramatis menolak tabu umum perihal tercemarnya wanita. Sebab darah nifas
47
Jagjit Singh, Caste System and the Sikh dalam Gurdev Singh (ed.) (Perspectives on the
Sikh Tradition. Amritsar: Singh Brother, 1996), h. 316. 48
Jagjit Singh, The Sikh Revolution: A Perspective View (New Delhi: Bahri Publications,
1998), h. 126. 49
Jagjit Singh, Caste System and the Sikh dalam Gurdev Singh (ed.), (Perspectives on the
Sikh Tradition. Amritsar: Singh Brother, 1996), h. 317 50
Dharmjit Sing, Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru Nanak
(International Journal of Research in Social Sciences. Vol. 8 Issue 6, Juni 2018), h. 731-732.
30
adalah darah yang begitu penting, suatu hal yang alami, hidup dimulai
darinya.51
Di sini jelas perbedaan pendapat dari Sikh dan Hindu serta Islam
berkenaan dengan darah wanita.
Perbedaan Sikh lainnya berkenaan dengan kritik Guru Nanak atas purdah
dan sati. Purdah, menurut Nikki, bukan hanya sepotong kain yang dengannya
wanita Muslim menutupi rambut, wajah dan badannya, tetapi sekumpulan
norma kompleks yang melibatkan kendali patriarkal atas seksualitas wanita.
Gagasan purdah dan aurat ini juga berkaitan dengan gagasan bahwa wanita
yang tidak menutup dirinya dengan purdah adalah penggoda yang
menjauhkan seseorang dari jalur spiritual. Begitu pula adat Hindu bernama
sati. Sati secara literal bermakna istri yang suci atau baik; secara historis, ini
adalah perintah menjanda bagi seorang wanita yang kehilangan suaminya
karena meninggal sebagai bentuk kepatuhan bagi suaminya, baik ia masih
hidup atau telah meninggal.52
Sikh menolak semua bentuk dominasi dan
kendali atas wanita yang menyiratkan ketergantungan, kelemahan serta
posisinya yang rendah secara sosio-relijius.
Untuk mempertegas prinsip kesetaraan ini, kita dapat merujuk kepada
praktik yang lebih umum, yang bahkan masih ada sampai hari ini, yakni
pandangan yang meremehkan kehidupan dalam rumah vis a vis luar rumah,
yaitu kerja domestik dan kerja di luar rumah, membedakan antara wanah
spiritual dan empiris. Pernyataan bahwa kerja dalam rumah adalah sesuatu
yang rendah, yang konsekuensinya, karena kerja dapur,kasur, sumur, dalam
masyarakat patriarkis dinilai sebagai pekerjaan khusus bagi wanita; adalah
bahwa wanita yang mengerjakannya juga berstatus lebih rendah dibandingkan
laki-laki. Maka, di sini kritik Guru Nanak atas praktik selibat, praktik
pertapaan dan ahimsa menjadi lebih terang, semuanya berkaitan dengan
gagasan kesetaraan. Wanita dianggap lebih rendah, dan semata-mata milik
ayah, suami dan anaknya, fungsinya hanyalah untuk memperbanyak ras,
51
Nikki-Guninder Kaur Singh, A Feminist Interpretation of Sikh Scripture dalam The
Oxford Handbook of Sikh Studies. Pashaura Singh, Louis E. Fenech (ed.) (Oxford: Oxford
University Press, 2014), h. 612. 52
Nikki-Guninder Kaur Singh. A Feminist Interpretation of Sikh Scripture dalam The
Oxford Handbook of Sikh Studies. Pashaura Singh, Louis E. Fenech (ed.) (Oxford: Oxford
University Press, 2014), h. 613-614.
31
untuk melakukan kerja rumah dan melayani anggota laki-laki dari
keluarganya, mereka dianggap sebagai penggoda dan penghalang dari jalur
spiritual laki-laki. Sementara lelaki diperbolehkan melakukan poligami, janda
tidak diperbolehkan untuk menikah kembali.53
C. Analisa Kesetaraan dan Interpretasi Baru Sikh untuk Kesetaraan
Gender
Kriteria untuk menentukan apakah suatu agama atau ideologi mendukung
prinsip kesetaraan atau menentang dapat diukur dengan sejauh mana seorang
wanita dapat mengendalikan diri dan hidupnya, bagaimanakah perihal akses
pengetahuan, sumber pendapatan dan kekuasaan politis, seberapa tinggi
kemandiriannya menentukan keputusan pada hal-hal yang penting dalam
kehidupannya. Maka, dengan adanya kriteria tersebut dapat menentukan
apakah Sikh secara khusus mendukung atau menentang prinsip kesetaraan
ini.54
Dalam teks-teks suci Sikh, tersurat pembelaan terhadap posisi wanita
yang selama ini dinomorduakan, "Yang Ilahi itu sendiri adalah ibu, adalah
ayah" begitu yang terdapat dalam Guru Granth.55
Konsepsi teologis semacam
ini merupakan dasar yang penting bagi praksis kesetaraan dalam suatu
masyarakat relijius; sebab, diskriminasi kasta dan perendahan perempuan
disebabkan oleh teks suci yang secara tersurat atau tersirat mendukung
ketidaksetaraan. Dari awal, Guru Nanak sudah menekankan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan, semisal dalam pemilihan istilah-istilah yang
sematkan bagi perempuan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang
cendekiawan wanita, Upinder Jit Kaur mengenainya:
Guru Nanak, pendiri keimanan Sikh, menyerukan suaranya untuk
keadilan bagi para wanita dan menyediakan dasar skriptural bagi
kesetaraan yang tidak akan dapat ditemukan dalam teks-teks suci dari
agama-agama India lainnya. Perlu dicatat bahwa ia membela wanita dan
berjuang untuk pembebasan mereka di abad kelima belas, sementara
53
Dharmjit Singh, Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru Nanak
(International Journal of Research in Social Sciences. Vol. 8 Issue 6, Juni 2018), h. 730. 54
Dharmjit Singh, Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru Nanak
(International Journal of Research in Social Sciences. Vol. 8 Issue 6, Juni 2018), h. 726. 55
Nikki-Guninder Kaur Singh, A Feminist Interpretation of Sikh Scripture dalam The
Oxford Handbook of Sikh Studies. Pashaura Singh, Louis E. Fenech (ed.) (Oxford: Oxford
University Press, 2014), h. 607.
32
gerakan emansipasi wanita di Eropa berlangsung jauh hari setelahnya,
di abad kedelapan belas dan sembilan belas. Dalam suatu zaman di
mana perendahan wanita dianggap norma dan pembunuhan bayi wanita
serta adat purdah dan sati secara umum diterapkan, Guru Nanak
bersuara menentangnya dengan suara nalar dan kewarasan.56
Parveen Kaur, dalam salah satu artikelnya, The Relationship Between
Gender Ideology and Division of Labour in Sikh Households menguji
persoalan antara gagasan dan praktik kesetaraan gender dalam keluarga Sikh
dalam rentang waktu akhir 1999 hingga awal 2000 di 197 keluarga Sikh di
Perak, Malaysia. Kriteria kesetaraan terpenuhi jika terdapat penekanan atas
kesetaraan gender dan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki,
sementara ketidaksetaraan berarti terdapatnya kecenderungan kepada relasi-
relasi gender dan kesempatan yang tidak setara. Dalam tulisan ini, Parveen
Kaur membedakan antara persepsi kesetaraan dan praktik kesetaraan. Suatu
ideologi atau agama mungkin memiliki ideal kesetaraan namun tidak pada
praktiknya, begitu pula, seseorang mungkin memiliki persepsi kesetaraan
tetapi tidak dalam praktiknya.57
Parveen menggunakan kategori Kegiatan Dalam Rumah yang terdiri dari
persiapan masak, memasak, membersihkan rumah, mencuci baju,
menyeterika dan mencuci piring; Kegiatan Luar Rumah seperti membeli
sayuran, dan marketing; Kegiatan Merawat Anak terdiri dari memberi makan
anak-anak, memandikan anak-anak, membantu tugas anak-anak, mengantar
anak-anak ke sekolah, menjemput anak-anak dari sekolah dan mengawasi
kesehatan mereka. Dengan kategori ini, Parveen ingin meneliti pembagian
tugas ibu dan ayah dalam suatu keluarga, dan darinya menentukan seberapa
jauh persepsi kesetaraan mereka dibandingkan dengan praktiknya.58
56
Nikky-Guninder Kaur Sing, The Feminine Principle in the Sikh Vision of the
Transcendent (Cambridge: Cambridge University Press. 1993), h. 31. 57
Parveen Kaur, The Relationship Between Gender Ideology and Division of Labour in
Sikh Households (International Journal of Sociology of the Family. Vol. 38, No. 1, Musim Semi
2012), h. 106. 58
Parveen Kaur, The Relationship Between Gender Ideology and Division of Labour in
Sikh Households (International Journal of Sociology of the Family. Vol. 38, No. 1, Musim Semi
2012), h. 109.
33
Kesimpulan dari penelitian Parveen Kaur adalah bahwa kesetaraan dalam
ideologi relijius dan kultural Sikh telah menyumbang besar kepada persepsi
kesetaraan relijius dan kultural dari pemeluk Sikh. Meskipun pada akhirnya
tidak menyumbang banyak bagi kesetaraan dalam peran gender sebagaimana
terungkap dalam preferensi pilihan kerja berdasrkan jenis kelamin, khususnya
dalam kegiatan yang dilakukan di dalam rumah. Parveen menyimpulkan
bahwa timpangnya hubungan antara persepsi dan praktik ini disebabkan
beberapa variabel seperti lokasi yang berbeda, gagasan bahwa laki-laki adalah
penyokong finansial dari keluarga, dan juga pengaruh budaya berbeda dalam
konteks Malaysia yang secara umum patriarkal.59
Agama Sikh memiliki dasar-dasar kesetaraan dalam teks sucinya, yaitu
secara teologis, dalam sub-bab kedua telah dipaparkan beberapa praktik
historis gerakan Sikh menentang beberapa jenis ketidaksetaraan pada
masanya, secara persepsional, keluarga Sikh pada umumnya mendukung
kesetaraan, meskipun tidak dalam praktiknya. Agama Sikh merupakan suatu
agama yang mendukung kesetaraan, suatu agama yang mendukung
kesetaraan bermakna menyediakan dasar skriptural dan catatan historis, maka
Sikh adalah agama yang mendukung kesetaraan.
Perbedaan antara suatu ideologi sekuler dengan agama, yang
membedakan keduanya adalah bertumpu dan bertujuan kepada hal-hal
spiritual. Dalam Agama Sikh, antara yang profan dan yang sakral telah
diminimalisir, akan tetapi, Sikh tetaplah suatu keyakinan yang tidak dapat
dinilai dengan semata kriteria empiris. Dalam hal kesetaraan yang telah
dibahas, kriteria untuk mengukur apakah Sikh dapat disebut sebagai agama
yang mendukung atau menentang kesetaraan, tentu tidak bijak jika menilai
tidak egaliter dengan landasan data kuantitatif yang dipaparkan, misalnya
oleh Parven Kaur. Justru di sinilah keunikan Sikh. Dalam permasalahan
kesetaraan gender ini harus merujuk kepada ajaran Miri-Piri; meskipun ajaran
ini pada generasi selanjurnya cenderung memiliki konotasi militeristik, miri-
piri pada dasarnya adalah dilampauinya jurang antara yang temporal dan yang
59
Parveen Kaur, The Relationship Between Gender Ideology and Division of Labour in
Sikh Households (International Journal of Sociology of the Family. Vol. 38, No. 1, Musim Semi
2012), h. 120.
34
sakral, yang duniawi dan yang ukhrawi; implikasi logis dari ini adalah tidak
adanya dominasi dari kerja, entah kerja dalam rumah atau luar rumah.
Dengan institusi Langar, Sikh telah menyucikan urusan dalam rumah tangga,
sebagai yang mulia, bukan yang lebih rendah daripada kerja di luar rumah,
bukan pula suatu pekerjaan yang menyiratkan kelemahan dan inferioritas.
35
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Kedudukan Perempuan
Dalam Upacara Keagamaan Menurut Agama Sikh” maka penulis
mengambil kesimpulan bahwa:
Konsep gender menurut feminisme, bukan suatu sifat yang kodrati atau
alami, tetapi suatu suatu konsep yang mengacu pada perbedaan peran, fungsi,
sifat, posisi, akses, kontrol dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-
laki. Konsep gender dipengaruhi oleh budaya, agama, sosial, politik,
ekonomis, hukum dan pendidikan serta dapat berubah sesuai perkembangan
zaman. Ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai ketentuan Tuhan yang
bersifat kodrati yang membedakan seseorang hanyalah tingkat ketakwaan
kepada Tuhan.
Perbedaan antara perempuan dan laki-laki berpengaruh terhadap suatu
Agama. Pada awal mulanya perempuan mendapatkan sisi pandang yang
negatif, namun didalam Agama kedudukan perempuan sangatlah dimuliakan,
tidak lagi dianggap hina maupun ditindas. Perempuan telah mendapatkan
keadilan akan hak-haknya.
Dalam agama Sikh penolakan Guru Nanak kepada setiap ketidaksetaraan
sangat menyeluruh, yaitu dengan memberi dasar teologis dari konsep
kesetaraan. Guru Nanak merumuskan suatu teologi yang menyatakan bahwa
Tuhan itu satu, dan setiap manusia merupakan saudara, karenanya,
permusuhan antara saudara sendiri adalah hal yang tidak masuk akal. Bukan
hanya kesetaraan antara manusia, tetapi antara laki-laki dan perempuan.
Konsep kesetaraan dalam agama Sikh bukan hanya laki-laki yang dapat
memimpin sembahyang ataupun upacara keagamaan di Gurdwara, sebagai
contoh perempuan menjadi pemandu pembacaan Granth Sahib atau bisa
dikatakan sebagai imam. Bukan hanya itu dalam setiap upacara-upacaran
sakral lainnya, perempuan tidak jarang diikut sertakan untuk menjadi
36
pemandu pembacaan kitab suci. Agama Sikh adalah suatu agama egaliter
yang mendukung kesetaraan gender.
B. Saran
Setelah melakukan penelitian dan analisis data. Maka penulis mencoba
untuk memberikan saran atau masukan untuk bahan kajian studi agama,
yaitu:
1. Tidak dapat dipungkiri bahwa di zaman sekarang ini isu kesetaraan
gender telah banyak menjadi pusat perhatian terutama bagi kaum
feminisme yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membangun dan
mencapai kesetaraan gender. Maka penulis berharap kesetaraan gender
ini bisa diterapkan sebagaimana mestinya agar tidak ada lagi kaum
perempuan yang ditindas.
2. Perlu adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di dalam suatu
agama, karena sesungguhnya kedudukan diantara keduanya adalah
setara, yang membedakan seseorang hanyalah tingkat ketakwaan kepada
Tuhan.
3. Diharapkan kedudukan perempuan bisa setara dengan laki-laki agar tidak
ada lagi kaum perempuan yang terbelakang, ditindas dan direndahkan
lagi.
37
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Media Zainul. 2015. Wajah Studi Agama-agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Djajarnegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gill, Tan Sri Dato seri darshan singh. 2009. Sikh community in Malaysia.
Malaysia: Geraksikh.
Hakim, Agus. 1993. Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai
Kepercayaan Majusi, Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh.
Bandung: CV. Diponegoro.
Kahmad, H. Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama, Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Kaur, Jaspree. 2017. Position of Women In Sikhism. KAAV International Journal
of Arts, Humanities & Social Science.
Kaur, Parveen. 2012. The Relationship Between Gender Ideology and Division of
Labour in Sikh Households. International Journal of Sociology of the
Family.
Meolong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
M, Nuh Nuhrison dkk. 2015. Eksistensi Agama Sikh di Jabodetabek dalam
Kustini, Ed.,Baha’i, Sikh dan Tao: Penguatan Identitas dan Perjuangan
Hak-hak Sipil, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementrian
Agama RI.
Myrvold, Kristina. 2008. Inside The Guru’s Gate. Lund: Lund University.
Nadroh, Siti dan Syaiful Azmi. 2015. Agama-Agama Minor. Tangerang selatan:
UIN Jakarta Press.
Nesbitt, Eleanor. 2005. A Guide to Sikhism. Oxford University Press.
Pendit, Nyoman S. 1988. Guru Nanak dan Agama Sikh. Jakarta: Yayasan Sikh
Gurdwara Mission.
Putra, Nusa. 2012. Penelitian Kualitatif: Proses dan Aplikasi. Jakarta: PT. Indeks.
38
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Romdhon, dkk. 1988. Agama Sikh dalam Mukti Ali, Ed., Agama-Agama Di
Dunia. Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS.
Sedana, I Dewa Putu. 2013. Sikhisme Bukan Perpaduan Agama Hindu dan Islam.
Denpasar: Universitas Udayana Press.
Sharma, Arvind. 1987. Perempuan dalam Agama-Agama Dunia, Yogyakarta:
Suka-Press.
Singh, Dharmjit. 2018. Status of Woman in the Medieval Sikh Society and Guru
Nanak. International Journal of Research in Social Sciences.
Singh, Gurdev. 1996. Respective On Sikh Tradition. New Delhi: Patiala.
Singh, Hakim Choor. 2001. Agama Sikh. Jakarta: Yayasan Sikh Gurdwara Mission.
Singh, Sudarshan. 2009. Sikh Religion Democratic Ideals and Institutions,
London: Encyclopaedia Britanica.
Singh, Khustwant. 2004. A History Of The Sikh. Oxford University Press.
Singh, Nikki-Guninder Kaur. 2014. A Feminist Interpretation of Sikh Scripture
dalam The Oxford Handbook of Sikh Studies. Pashaura Singh, Louis E.
Fenech (ed.). Oxford: Oxford University Press.
Singh, Nikky-Guninder Kaur. 1993. The Feminine Principle in the Sikh Vision of
the Transcendent. Cambridge: Cambridge University Press.
Sou‟yb, Joesoef. 1966. Agama-Agama Besar Di Dunia. Jakarta: Al-Husna.
Suprayogo, Imam. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Thursby, Sushil Mittal And Gene. 2006. Religions of South Asia. New York: First
Published.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Baldev Singh. Jakarta, 2 Maret 2018.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Ghoul Raj. Jakarta, 23 Mei 2018.
Yadev, Jai Singh. 2001. Mengenal Agama Sikh. Jakarta: Yayasan Gudrwara Mission.
Yamani, Mai. 2000. Feminisme & Islam. Bandung: Yayasan Adikarya IKAPI dan
The Ford Foundation.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
39
Sumber Internet
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesi. Di
ambil dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/feminis (25 Juli 2020)
Kencana Ulia, 2012, Wanita Dalam Pandangan Agama Dan Bangsa. Di ambil
dari
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/annisa/article/download/844/717
( 22 Juli 2020).