i
KEEFEKTIFAN KONSELING KELOMPOK
SOLUTION-FOCUSED BRIEF THERAPY
UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI AKADEMIK DAN
SELF-EFFICACY SISWA
SMA NEGERI 1 UNGARAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Pendidikan
Oleh
KUS HENDAR
0105516003
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
“JATUH DAN TERPURUK ADALAH PILIHAN TETAPI PILIHAN YANG
TERBAIK ADALAH MENEMUKAN SOLUSI UNTUK SEGERA BANGKIT”
(Kus hendar)
Persembahan:
Untuk
➢ Almamater Prodi Bimbingan dan
Konseling Universitas Negeri Semarang
v
Hendar, Kus. 2019. “Keefektifan Konseling Kelompok Solution Focused Brief
Therapy Untuk Meningkatkan Resiliensi Akademik dan Self-Efficacy
Siswa SMA Negeri 1 Ungaran”. Tesis. Program Studi Bimbingan dan
Konseling. Pascasarjana. Universitas Negeri Semarang.Pembimbing I Dr.
Awalya, M.Pd, Kons., Pembimbing II Sunawan, Ph. D.
Kata Kunci : resiliensi akademik, self-efficacy, konseling kelompok solution-
focused brief therapy
Resiliensi merupakan bagian penting yang menentukan keberhasilan diri
individu karena resiliensi menunjukan seberapa tangguh individu untuk bangkit
dan mampu bertahan dalam situasi apapun. Resiliensi akademik berhubungan
dengan pola adaptif individu untuk segera bangkit dari keterpurukan ketika
mengalami kegagalan atau penurunan prestasi akademik. Perkembangan resiliensi
pada remaja dilakukan dengan meningkatkan self-efficacy remaja ditunjukan
dengan siswa yang memiliki keyakinan untuk melakukan tugas atau tindakan
yang diperlukan untuk meningkatkan prestasi akademik. Salah satu pendekatan
yang menekankan asumsi bahwa individu memiliki sumber daya dan kekuatan
diri ialah pendekatan Solution Focused Brief Therapy. Tujuan penelitian ini untuk
menguji keefektifan konseling kelompok SFBT dalam meningkatkan resiliensi
akademik dan self-efficacy pada siswa SMA Negeri 1 Ungaran.
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen, desain pretest-
posttest control group dengan melibatkan subjek penelitian sebanyak 14 orang
yang dipilih secara purposive dari 138 siswa kelas XI SMA Negeri 1 Ungaran.
Instrumen penelitian diadopsi dari sub skala resiliensi DMF (Design My Future)
dan self-efficacy MSLQ (Motivated strategies for Learning Questionair). Hasil
analisis dengan menggunakan Uji Manova dan Wilcoxon menunjukkan bahwa
konseling kelompok pendekatan solution focused brief therapy dalam
meningkatkan resiliensi akademik (F(3.10) = 36.40; P<0.01, ῃp2 = 0.916) dan
self-efficacy (F(3.10) = 40.62; P<0.01 ῃp2 = 0.924). Hasil uji wilcoxon pada
kelompok eksperimen resiliensi menunjukan adanya peningkatan resiliensi
akademik (Z=-2.388; p- 0.01 <0.05) dan self-efficacy (Z=-2.410: p 0.01 <0.05).
Hasil penelitian menunjukan bahwa konseling kelompok pendekatan
Solution Focused Brief Therapy efektif untuk meningkatkan resiliensi akademik
dan self-efficacy. Hal tersebut didasarkan atas pengaruh yang signifikan yang
ditunjukan pada pendekatan yang diberikan. Temuan penelitian ini juga
menunjukan bahwa kelompok eksperimen menggunakan pendekatan solution
focused brief therapy mengalami peningkatan pada resiliensi akademik dan self-
efficacy secara signifikan. Sedangkan pada kelompok kontrol peningkatan terjadi
pada resiliensi akademik tetapi tidak pada self-efficacy.
Berdasarkan temuan penelitian ini, disarankan bagi konselor agar
menggunakan konseling kelompok pendekatan solution focused brief therapy
untuk meningkatkan resiliensi akademik dan self efficacy. Sedangkan bagi
penelitian selanjutnya, direkomendasikan untuk melakukan pengukuran sampai
follow-up karena penggunaan intervensi ini hanya diukur melalui hasil pretest dan
posttest saja serta dapat menggunakan desain penelitian yang melihat efek mediasi
antara resiliensi dan self-efficacy.
vi
Hendar, Kus. 2019. "The Effectiveness of Solution Focused Brief Therapy
Counseling Group To Increase Academic Resilience and Self-Efficacy
to the Students in SMA 1 Ungaran ". Thesis. Guidance and Counseling
Study Program. Graduate Program. Semarang State University. Advisor I
Dr. Awalya, M.Pd, Kons., Advisor II Sunawan, Ph. D.
Keywords: academic resilience, self-efficacy, solution-focused brief therapy
Counseling Group
Resilience is important part that determines the success of individual
because it showed how strong the individual was to rise up and able to survive in
any situation. Academic resilience related with individual adaptive patterns to rise
from the adversity immediately when faced the failured or decreasing the
academic achievement. The development of resilience in adolescents is done by
increasing adolescent self-efficacy that shown by the students who have the
confidence to carry out tasks or actions needed to improve their academic
achievement. One approach that emphasizes the assumption that individuals have
the resources and strength of themselves is the Solution Focused Brief Therapy
approach. The purpose of this study was to examine the effectiveness of SFBT
counseling groups in increasing academic resilience and self-efficacy to the
students in SMA 1Ungaran.
The research method used was an experimental design of the pretest-
posttest control group that involving 14 subjects who were chosen purposively
from 138 class XI students of SMA 1 Ungaran. The research instrument was
adopted from a sub-scale of the resilience of DMF (Design My Future) and
MSLQ self-efficacy (Motivated strategies for Learning Questions). The results
was obtained from the analysis that used Manova and Wilcoxon Tests. It showed
that the SFBT group counseling was increasing the academic resilience (F (3.10)
= 36.40; P <0.01, 2p2 = 0.916) and self-efficacy (F (3.10) = 40.62; P <0.01 2p2 =
0.924). The Wilcoxon test results in the resilience experimental group showed the
improvement in academic resilience (Z = -2,388; p-0.01 <0.05) and self-efficacy
(Z = -2,410: p 0.01 <0.05).
The results of the study showed that SFBT approach counseling group was
effective for increasing academic resilience and self-efficacy. This is based on the
significant influence that shown in the approach given. The findings of this study
also found that the experimental group which used SFBTapproach had a
significant improvenment in academic resilience and self-efficacy. Whereas in the
control group the increase occurred in academic resilience but not in self-efficacy.
Based on the findings of this study, it is advisable for counselors to use the
solution focused brief therapy counseling group approach to increase academic
resilience and self efficacy. As for further research, it is recommended to take
measurements until follow-up because the use of this intervention is only
measured through the results of the pretest and posttest and it can use research
designs that investigate the mediating effects of resilience and self-efficacy.
vii
PRAKATA
Segala puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah melimpahkan
rahmat-Nya. Berkat karunia-Nya, peneliti dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul “Keefektifan Konseling Kelompok Solution Focused Brief Thraphy
Untuk Meningkatkan Resiliesni Akademik dan Self-Efficacy Siswa di SMA
Negeri 1 Ungaran”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan meraih gelar
Magister Pendidikan pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang.
Penelitian ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, peneliti menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-
tinggi nya kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini.
Ucapan terimakasih peneliti sampaikan pertama kali kepada para pembimbing:
Ibu Dr. Awalya, M.Pd, Kons, (Pembimbing I) dan Bapak Sunawan, Ph. D.
(Pembimbing II)
Ucapan terimakasih peneliti sampaikan juga kepada semua pihak yang
telah membantu selama proses penyelesaian studi, diantaranya :
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum, Rektor Universitas Negeri Semarang
yang telah memberikan kesempatan peneliti untuk menyelesaikan studi di
Universitas Negeri Semarang
2. Prof. Dr. Achmad Slamet, M.Si, Direktur Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang, yang telah memberikan kesempatan serta arahan selama
pendidikan, penelitian dan penyusunan tesis.
3. Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons, Koordinator Program Studi
Bimbingan dan Konseling S2 dan S3 Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang yang telah memberikan kesempatan dan arahan selama proses
pendidikan, penelitian dan penelitian tesis ini.
4. Dr. Awalya, M.Pd., Kons, Sekertaris Program Studi Bimbingan dan Konseling
S2 dan S3 Pascasarjana Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan
kesempatan dan arahan dalam penelitian tesis.
viii
5. Bapak dan Ibu dosen Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, yang telah
banyak memberikan bimbingan dan ilmu kepada peneliti selama menempuh
pendidikan.
6. Orang tuaku tercinta, Bapak Yonson dan Ibu Rusdiana yang selalu
mendukung baik berupa do’a dan dukungan lainnya tanpa kurang sedikitpun.
7. Rekan-rekan sejawat PPs UNNES angkatan 2016 yang sudah banyak
membantu serta pihak-pihak lain yang telah membantu terselesainya
penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak terdapat
kekurangan, baik isi maupun tulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak sangat peneliti harapkan. Semoga hasil
penelitian ini bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Semarang, Januari 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................... iii
MOTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
ABSTRACT ........................................................................................................ vi
PRAKATA ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ............................................................................... 11
1.3 Cakupan Masalah ................................................................................... 11
1.4 Rumusan Masalah .................................................................................. 12
1.5 Tujuan Penelitian ................................................................................... 12
1.6 Manfaat Penelitian ................................................................................. 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KAJIAN TEORITIS, KERANGKA
BERPIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN .................................. 15
2.1 Kajian Pustaka ........................................................................................ 15
2.2 Kajian Teori ........................................................................................... 22
2.2.1 Resiliensi ........................................................................................... 22
2.2.2 Resiliensi Akademik ......................................................................... 27
2.2.3 Self-Efficacy ...................................................................................... 31
2.2.4 Konseling Kelompok ........................................................................ 36
2.2.5 Konseling Kelompok Solution Focused Brief Therapy /SFBT) ....... 47
2.3 Kerangka Berfikir................................................................................... 67
2.4 Hipotesis Penelitian ................................................................................ 72
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 73
3.1 Jenis dan Desain Penelitian .................................................................... 73
3.2 Prosedur Penelitian................................................................................. 75
3.3 Subjek Penelitian .................................................................................... 77
x
3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ........................................ 79
3.4.1 Variabel Penelitian ............................................................................ 79
3.4.2 Definisi Operasional.......................................................................... 80
3.5 Teknik, dan Instrumen dan Pengumpulan data ...................................... 80
3.5.1 Teknik pengumpulan data ................................................................. 80
3.5.2 Instrumen Pengumpulan data ............................................................ 81
3.6 Uji Instrumen Penelitian ........................................................................ 82
3.6.1 Validitas ........................................................................................... 82
3.6.2 Uji Reliabilitas ................................................................................. 84
3.7 Teknik Analisis Data .............................................................................. 85
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 87
4.1 Hasil Penelitian ...................................................................................... 87
4.1.1 Deskripsi Data ...................................................................................... 87
4.1.2 Data Skor Pretest Posttest Subjek Penelitian....................................... 89
4.1.3 Hasil Uji Asumsi .................................................................................. 92
4.1.3.1 Uji Normalitas ........................................................................... 92
4.1.3.2 Uji Homogenitas ....................................................................... 93
4.1.4. Uji Hipotesis ...................................................................................... 93
4.2 Pembahasan ............................................................................................ 95
4.2.1 Kondisi Self-Efficacy dan Resiliensi Akademik .................................. 95
4.2.2 Keefektifan Layanan Konseling Kelompok Solution-Focused Brief
Therapy Untuk Meningkatkan Resiliensi Akademik Self-efficacy
siswa SMA Negeri 1 Ungaran.............................................................. 98
4.2.3 Keterbatasan Penelitian ....................................................................... 104
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 105
5.1 Simpulan ................................................................................................ 105
5.2 Saran ....................................................................................................... 106
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Populasi Jumlah Siswa ........................................................................ 78
Tabel 3.2 Kategorisasi Data ................................................................................ 80
Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas Skala DMF ........................................................... 83
Tabel 3.4 Hasil Uji Validitas Skala Self-efficacy ................................................ 84
Tabel 4.1 Hasil penyebaran skala resiliensi DMF .............................................. 88
Tabel 4.2 Hasil penyebaran skala Self-Efficacy .................................................. 88
Tabel 4.3 Tabulasi Silang hasil pretest posttest kelompok eksperimen ............. 90
Tabel 4.4 Tabulasi Silang hasil pretest posttest kelompok kontrol .................... 91
Tabel 4.5 Hasil Uji Normalitas ........................................................................... 92
Tabel 4.6 Uji Manova dan Wilcoxon .................................................................. 94
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir ............................................................................ 71
Gambar 3.1 Randomized Pretest-Posttest Control Group Design...................... 74
Gambar 3.2 Prosedur Eksperimen ...................................................................... 75
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 SK Pembimbing ............................................................................... 107
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian dari Pascasarjana UNNES .............................. 108
Lampiran 3 Surat Izin Penelitian dari Provinsi ................................................... 110
Lampiran 4 Surat Keterangan dari SMA N 1 Ungaran ....................................... 113
Lampiran 5 Permohonan Validator Ahli ............................................................. 114
Lampiran 6 Hasil Validator Ahli......................................................................... 116
Lampiran 7 Hasil Back Translation ................................................................... 120
Lampiran 8 Skala Resiliensi .............................................................................. 223
Lampiran 9 Skala Self-efficacy............................................................................ 225
Lampiran 10 Hasil Uji Validitas ......................................................................... 227
Lampiran 11 Hasil Uji Reabilitas ........................................................................ 232
Lampiran 12 Panduan Perlakuan ....................................................................... 234
Lampiran 13 RPL Konseling Kelompok SFBT .................................................. 246
Lampiran 14 Prosedur Eksperimen Konseling Kelompok SFBT ....................... 276
Lampiran 15 Tabulasi Hasil Sebaran ................................................................. 286
Lampiran 16 Tabulasi Hasil Pretest dan Posttest ............................................. 293
Lampiran 17 Hasil Uji Asumsi ........................................................................... 297
Lampiran 18 Hasil Uji Hipotesis ........................................................................ 299
Lampiran 19 Dokumentasi .................................................................................. 308
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Resiliensi merupakan bagian penting yang menentukan keberhasilan diri
individu karena resiliensi menunjukan seberapa tangguh individu untuk bangkit
dan mampu bertahan dalam situasi apapun. Bobey (dalam Pulungan, 2014)
menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang dimiliki setiap orang
sejak lahir, berupa kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan,
kekecewaan atau tantangan. Resiliensi menjadi kapasitas kekuatan yang dimiliki
oleh setiap orang untuk dapat segera bangkit dari keterpurukan ataupun
ketidakberdayaan. Individu dianggap sebagai seseorang yang memiliki resiliensi
jika mereka mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma
dan terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif
(Reivich & Shatte, 2002). Berdasarkan pendapat diatas dapat diketahui bahwa
resiliensi merupakan kapasitas kemampuan seseorang untuk merespon hambatan
dan kesulitan dalam hidup serta seseorang yang mampu secara cepat bangkit dari
keterpurukan dan ketidakberdayaan.
Resiliensi dalam konteks akademik menurut Coronadao (2017) dipahami
sebagai suatu bentuk ketahanan yang dimiliki oleh setiap siswa ketika mengalami
kesulitan dalam aktivitas belajar termasuk penurunan prestasi akademik.
Resiliensi akademik juga mengarah pada pola adaptasi positif selama atau
sesudah individu menghadapi kesulitan atau kegagalan dalam akademik (Neal,
2017). Martin (2014) juga menjelaskan bahwa resiliensi akademik berhubun
2
dengan pola adaptif individu untuk segera bangkit dari keterpurukan ketika
mengalami kegagalan atau penurunan prestasi akademik.
Untuk menjadi siswa yang resilien individu harus mampu bertahan dan
bangkit ditengah kondisi yang sulit dikarenakan adanya protective factors yaitu
minat, motivasi harapan siswa untuk tetap mempertahankan kinerja akademik
(Pulungan 2014). Hal tersebut diidentifikasikan bahwa untuk menjadi individu
yang resilien siswa harus mampu mengembangkan kekuatan personal dari dalam
diri untuk merespon lingkungan atau situasi yang sulit sekalipun karena siswa
yang resilien memiliki ketertarikan khusus, tujuan hidup, dan motivasi untuk
meraih yang terbaik dalam sekolah. Secara khusus bila dihadapkan dengan
kesulitan, siswa yang resilien mampu menurunkan tingkat kemarahan, depresi,
dan kecemasan, mengendalikan reaksi fisik mereka terhadap kejadian yang
mengganggu (Yamamoto, 2017).
Dengan memiliki tingkat resiliensi yang tinggi juga remaja mampu
memecahkan masalah konkrit dengan cara mereka sendiri walaupun berada
dalam kondisi tertekan atau tidak menyenangkan (Sagone, 2013). Bernard (2009)
menyebutkan bahwa karakter anak yang resilien memiliki kompetensi sosial dan
life skill untuk mampu memecahkan masalah, berpikir kritis dan mampu untuk
mengambil inisiatif terhadap masalah yang dihadapi. Dapat diketahui bahwa
siswa yang resilien diidentifikasikan siswa yang memiliki kemampuan untuk
beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah akademik, mengatasi berbagai
hambatan pembelajaran, kegagalan akademik serta mengembangkan potensi
secara maksimal.
3
Namun dalam proses pendidikan ditemukan siswa yang memiliki tingkat
resiliensi yang rendah. Dibuktikan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh
Graff (2013) menunjukan bahwa siswa yang termasuk dalam golongan minoritas
atau Latinos memiliki tingkat resiliensi yang rendah. Hal ini ditunjukan pada
prestasi akademik, yaitu hanya 14% siswa Latina di Amerika Serikat yang telah
menyelesaikan 4 tahun kuliah atau lebih banyak bila dibandingkan dengan siswa
berkulit putih (29,3%), Hitam atau Negro (20,6%), dan Asia (49,3%).
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Neal (2017) menunjukan bahwa
rendahnya resiliensi siswa di sekolah, diidentifikasikan pada remaja asuh
cenderung memiliki tingkat prestasi akademik yang rendah.
Lai dan Yue (2014) mengembangkan instrumen (BRS) Brief Resilience
Scale sebagai upaya untuk melihat tingkat strees siswa Cina yang berada di
Hongkong, hasil menunjukan bahwa remaja Cina di Hongkong memiliki tingkat
resiliensi yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Poerwanto (2017)
menunjukan bahwa siswa SMP Muhammadiyah 10 dan SMPN 45 di Surabaya
hasil penelitian menunjukan bahwa hanya sedikit siswa yang memiliki tingkat
resiliensi yang tinggi.
Berdasarkan studi pendahuluan terhadap salah satu sekolah di Kota
Semarang, yaitu di SMA N 1 Ungaran terdapat kecendrungan siswa yang
memiliki resiliensi yang rendah, dari hasil skala resiliensi yang diberikan kepada
117 siswa, terdapat 36 siswa yang memiliki resiliensi yang tinggi, 43 sedang dan
38 orang rendah. Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara dengan guru BK di
SMA N 1 Ungaran mengungkapkan bahwa kecenderungan anak yang memiliki
4
resiliensi yang rendah dibuktikan dengan anak yang menunjukan perilaku-
perilaku yang kurang adaptif baik dalam pelajaran berlangsung sampai dengan
aktivitas setelah jam pelajaran berlangsung, hal ini terlihat pada siswa yang
memiliki motivasi belajar yang rendah, sedih memikirkan tugas yang banyak dan
cenderung pesimis dengan hasil tugas yang diberikan. Permasalahan resiliensi
akademik diidentifikasikan pada siswa yang memiliki ambisi yang tinggi untuk
menjadi yang terbaik dan juara kelas, mengapa demikian karena ketika
mengalami kegagalan atau penurunan prestasi akademik mereka rentan terpuruk
dan terlalu terlarut dalam kesedihan, maka tingkat resiliensi akademik yang
rendah harus dipahami secara seksama. Berdasarkan hasil temuan penelitian di
atas dapat diidentifikasikan bahwa rendahnya resiliensi masih menjadi masalah
umum yang terjadi pada siswa di sekolah.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Permata dan Listiyandani (2015)
menunjukan bahwa rendahnya resiliensi siswa di sekolah juga berpengaruh pada
tingkat stress yang berdampak buruk pada performa akademik dan kehidupan
pribadi siswa. Chung et.al (2017) juga menunjukan bahwa rendahnya resiliensi
berpengaruh pada kesejahteraan siswa dan kesuksesan akademis. Maka untuk
menjadi siswa yang resilien menjadi hal penting yang harus dimiliki oleh siswa
dalam menghadapi tantangan, hambatan serta kesulitan dalam konteks akademik.
Dalam upaya menjadi individu yang resilien maka siswa harus memahami
apa saja hal-hal terkait yang berhubungan dengan upaya meningkatkan resiliensi.
Peningkatan resiliensi ini sendiri dipengaruhi oleh faktor personal dan eksternal
yaitu dukungan sosial dan self-efficacy (Wang et.al, 2017). Selanjutnya, Sosa
5
(2012) menyebutkan bahwa sumber personal yaitu self-efficacy juga
mempengaruhi meningkatkan resiliensi siswa. Smith (2008) menjelaskan bahwa
meningkatkan resiliensi dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor pelindung yaitu
faktor personal dan eksternal antara lain, dukungan sosial, optimisme dan active
coping. Sedangkan Gortberg (dalam Sisca, 2008) menyebutkan bahwa terdapat
tiga sumber resiliensi yaitu I am, I can dan I have yaitu siapakah saya, apa yang
dapat saya lakukan, dan apa yang saya miliki untuk dapat melakukan adaptasi
positif. Sumber kekuatan tersebut dari I am, I can dan I have merupakan
identifikasi dari sumber personal dari individu (Utami dan Helmi, 2017).
Sebagai suatu kapasitas yang selalu berkembang maka resiliensi maka
resiliensi yang rendah dapat ditingkatkan, karena resiliensi bukanlah suatu ciri
kepribadian yang secara khusus dimiliki seseorang tetapi suatu kapasitas yang
dapat ditingkatkan melalui aspek yang sangat penting yakni (protective factors)
faktor protektif (Reivich & Shatte, 2002). Oleh karena itu, penguatan faktor
protektif yang terkait dengan resiliensi akan memperkuat resiliensi itu sendiri.
Faktor protektif merupakan salah satu mekanisme yang dapat membantu
meningkatkan resiliensi (Carter et.al, 2017). Jackson dan Watkin (2004)
menjelaskan bahwa sel-fefficacy merupakan faktor personal yang ampuh dalam
meningkatkan resiliensi.
Self-efficacy diartikan sebagai kepercayaan diri bahwa individu mampu
untuk menyelesaikan masalah dan mampu untuk meraih keberhasilan. Bandura
(dalam Feist & Feist, 2011) menjelaskan bahwa self-efficacy merupakan hal
penting yang harus dimiliki setiap orang, karena efikasi diri akan menentukan
6
bentuk tindakan yang akan dipilih, sebanyak apa usaha yang akan dilakukan
dalam suatu aktivitas, sekuat apa dan selama apa untuk bertahan dalam
menghadapi rintangan atau kegagalan serta bagaimana kesuksesan dan kegagalan
dalam suatu tugas mempengaruhi perilaku di masa depan. Tingginya self-efficacy
menyebabkan meningkatnya ketekunana dalam meingkatkan kinerja akademik,
begitupun sebaliknya self-efficacy yang rendah menyebabkan rendahnya kinerja
akademik dan kemampuan untuk mencapai tujuan masa depan (Bandura, 2012).
Narayanan (2016) juga menyatakan bahwa self-efficacy mengarahkan
individu untuk mencapai tujuan tertentu dengan meningkatkan kinerja individu
agar tetap bertahan dalam menghadapi kesulitan. Menurut Wang et.al (2017)
menjelaskan bahwa untuk menjadi individu yang resilien salah satu faktor
penting ialah dengan meningkatkan self-efficacy atau keyakinan diri akan
kemampuan yang dimiliki. Hinduja (2017) Strategi perkembangan diri positif
atau peningkatan resiliensi memiliki keterkaitan antara resiliensi dan self-
efficacy. Perkembangan resiliensi pada remaja dilakukan dengan meningkatkan
self-efficacy remaja ditunjukan dengan siswa yang memiliki keyakinan untuk
melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk meningkatkan prestasi
akademik. Upaya peningkatan efikasi diri juga terbukti efektif dalam
meningkatkan resiliensi siswa yang rendah, hal ini sebagai upaya pencegahan
dalam mengatasi permasalahan akademik (Yamamoto, 2017).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Beightol (2012) ini juga
membuktikan bahwa efikasi diri merupakan variabel utama untuk meningkatkan
resiliensi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan self-efficacy siswa
7
juga secara efektif menunjukan peningkatan resiliensi atau siswa menjadi
resilience. Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan oleh Lai dan Yue (2014)
mengatakan bahwa analog ukuran self-efficacy menjadi bagian penting dalam
pengembangan skala, Skala ringkas Resiliensi (BRS) untuk melihat ketahanan
pada pelajar Cina, secara konseptual hal ini menunjukan bahwa untuk
meningkatkan resiliensi secara efektif dapat dilakukan melalui peningkatan self-
efficacy. Hal ini menunjukkan bahwa self-efficacy memberikan sumbangsih yang
cukup kuat terhadap resiliensi yang dimiliki seseorang. Dalam kondisi sulitpun
siswa yang resilien memiliki ketertarikan khusus, tujuan hidup, dan motivasi
untuk meraih yang terbaik dalam sekolah. Menjadi siswa yang resilien tentu
menjadi tugas yang penting bagi setiap siswa karena hal tersebut menjadi
pengalaman berharga dalam menghadapi permasalahan dalam konteks akademik.
Untuk membantu permasalahan bagaimana meningkatkan resiliensi
akademik yang rendah dan self-efficacy salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu
dengan menggunakan layanan konseling menggunakan pendekatan tertentu.
Pendekatan konseling yang digunakan ialah pendekatan Solution Focused Brief
Theraphy (SFBT). Pendekatan SFBT digunakan untuk mengetahui seberapa
efektif pendekatan tersebut mampu meningkatkan Resiliensi dan self-efficacy
pada permasalahan akademik siswa. Pemilihan pendekatan SFBT berpegang pada
keyakinan inti bahwa jika klien memfokuskan pada masalah, mereka menjadi
kehilangan semangat dan daya, sebaliknya klien diharapkan dapat menemukan
pengecualian atau solusi pada situasi problematis (Erford, 2016).
8
Alasan pemilihan pendekatan ini ialah bagaimana klien dapat
mengkonstruksikan diri untuk memiliki kemampuan personal dari dalam diri
dengan memiliki keyakinan diri (self-efficacy) untuk dapat menghadapi situasi
yang tidak menguntungkan atau dalam arti dapat membantu individu agar
menjadi individu yang resilien. Capuzzi (2016) mengatakan bahwa solution
focused brief theraphy merupakan pendekatan yang berusaha memotivasi klien
baik secara internal dengan membangkitkan perasaan harapan dari dalam diri.
Walter dan Peller dalam (Corey, 2013) juga mengatakan bahwa konseling
singkat berfokus solusi merupakan sebuah model konseling yang menjelaskan
bagaimana individu dapat berubah dan mampu mencapai tujuannya dengan
memanfaatkan kekuatan dan sumber daya yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan
tujuan yang ingin dilakukan peneliti dengan melihat bahwa pendekatan ini
menjadi strategi yang tepat digunakan untuk meningkatkan tingkat resiliensi dan
self-efficacy siswa ketika mengalami ketidakberdayaan atau kegagalan pada
konteks akademik.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan efektifitas konseling singkat
berfokus solusi terhadap resiliensi dan self-efficacy. Pada penelitian sebelumnya
menemukan bahwa SFBT banyak digunakan pada kasus non akademik seperti
pada penelitian Nicholas (2013) tentang penggunaan strategi SFBT terhadap anak
yang gagap, hasil dari penelitian ini bahwa SFBT mampu meningkatkan
ketahanan (resiliensi) siswa yang gagap dengan menumbuhkan keyakinan diri
bahwa ia mampu untuk berbicara dengan baik dan lancar. Sejalan pada penelitian
diatas penelitian yang dilakukan oleh lloyd (2006) mengatakan bahwa strategi
9
pendekatan SFBT cukup efektif digunakan untuk meningkatkan resiliensi dan
efikasi diri siswa yang mengalami gangguan belajar, upaya dilakukan dengan
memediasi dukungan orang tua pada anak yang mengalami gangguan belajar
(Intelectual disability).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Koob (2010) dengan menggunakan
dua pendekatan CBT dan SFBT, hasil menunjukan bahwa SFBT lebih efektif
digunakan pada permasalahan stabilitas penempatan anak asuh di Amerika
Serikat. Dari beberapa penelitian tersebut dapat dipahami bahwa strategi
pendekatan SFBT cukup efektif digunakan dalam upaya meningkatkan resiliensi
akademik dan self-efficacy pada kasus tertentu. Untuk itu berasal dari asumsi
bahwa pendekatan SFBT efektif pada kasus non akademik, maka peneliti ingin
mengujicobakan pendekatan SFBT terhadap resiliensi dan efikasi diri pada aspek
akademik.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan pada setting kelompok
menggunakan pendekatan SFBT. Pendekatan konseling kelompok memiliki
keunggulan dibandingkan konseling perorangan. Kelebihan menggunakan setting
kelompok bukan hanya dilihat pada aspek ekonomis dan efisiensi waktu
pemberian layanan, tetapi dengan layanan konseling kelompok terjadi interaksi
sosial yang khas dinamis dan intensif yang tidak mungkin terjadi pada konseling
perorangan (Prayitno, 2005).
Beberapa penelitian yang menggunakan Konseling kelompok
menggunakan pendekatan SFBT. Penelitian yang dilakukan Ates (2016)
menunjukan bahwa konseling kelompok berfokus solusi efektif pada siswa SMK
10
berjuang dengan burnout sekolah. Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan
oleh Joker dan Ghaderi (2015) menunjukkan bahwa konseling kelompok singkat
berfokus solusi dapat meningkatkan persepsi diri siswa disekolah dan
komponennya seperti harga diri dan persepsi diri. Penelitian yang dilakukan oleh
Wiyono (2015) menjelaskan bahwa Pendekatan konseling kelompok singkat
berfokus solusi terbukti efektif untuk meningkatkan motivasi berprestasi siswa
SMK. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelima konseli pada kelompok
eksperimen mengalami peningkatan motivasi berprestasi yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa dengan
mengunakan setting kelompok pendekatan SFBT terbukti efektif digunakan.
Dari beberapa hasil penelitian diatas SFBT disebutkan efektip dalam
mengatasi permasalahan resiliensi dan self-efficacy pada permasalahan anak yang
mengalami permasalah bicara, pada anak memiliki gangguan belajar, namun
dalam permasalahan resiliensi akademik dan menggunakan setting kelompok
belum dilakukan penelitian lanjutan. Menurut Kaharja (2016) konseling secara
konvensional biasa dilakukan selama ini ternyata kurang efektif karena
membutuhkan waktu yang relatif lama. Hal ini sesuai dengan konsep konseling
SFBT sebagai salah satu pendekatan konseling yang berfokus pada pendekatan
yang ringkas atau brief counseling.
Dari beberapa hasil penelitian diatas SFBT disebutkan efektip dalam
mengatasi permasalahan resiliensi dan self-efficacy, pada permasalahan anak
yang mengalami gangguan bicara (Nicholas, 2013) . Namun dalam permasalahan
resiliensi akademik dan menggunakan setting kelompok belum dilakukan
11
penelitian lanjutan. Berdasarkan temuan dan keterbatasan penelitian diatas maka
penelitian ini difokuskan dalam konteks belajar dan hal ini menjadi implikasi
sebagai temuan baru dalam pelaksanaan konseling kelompok pendekatan solution
focused brief therapy terhadap resiliensi dan self-efficacy.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat di identifikasi permasalahan
sebagai berikut :
1) Siswa pada umumnya mengalami masalah resiliensi dan sel-efficacy
2) Siswa yang permasalahan rendahnya resiliensi membuat mereka tidak
mampu untuk menghadapi permasalahan tersebut dan cenderung tidak bisa
melakukan apa-apa, hal tersebut berdampak pula pada rendahnya self-
efficacy yang berdampak pada penurunan situasi akademik dan prestasi
akademis siswa di sekolah.
3) Resiliensi dan self-efficacy berpengaruh dalam pembentukan konsep diri
pada siswa.
4) Intervensi konseling yang dilakukan oleh konselor belum optimal karena
masih menggunakan layanan konseling konvensional misalnya hanya
melakukan konseling diadakan hanya ketika salah satu dampak dari suatu
permasalahan barulah diberikan konseling
5) Layanan konseling kelompok yang dilakukan masih perlu dibenahi dari
segi kerangka kerja, pelaksanaan tahapan konseling, termasuk
pemanfaatan pendekatan konseling.
12
1.3 Cakupan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dari latar belakang yang telah dipaparkan
di atas, maka cakupan masalahnya berfokus pada permasalahan dalam penelitian
ini yang dibatasi pada upaya penerapan konseling kelompok dengan pendekatan
Solution Focused Brief Theraphy untuk meningkatkan resiliensi akademik dan
sel-efficacy siswa di SMA N 1 Ungaran.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah “Apakah Konseling kelompok dengan pendekatan Solution Focused Brief
Theraphy efektif untuk meningkatkan resiliensi akademik dan self-efficacy siswa
di SMA N 1 Ungaran. Agar lebih terfokus maka rumusan masalah yang sifatnya
umum akan dijabarkan secara spesifik sebagai berikut:
1) Bagaimana tingkat resiliensi akademik dan self-efficacy siswa di SMA N
1 Ungaran ?
2) Bagaimana keefektifan konseling kelompok pendekatan solution focused
brief therapy untuk meningkatkan resiliensi akademik siswa di SMA N 1
Ungaran ?
3) Bagaimana keefektifan konseling kelompok pendekatan solution focused
brief theraphy untuk meningkatkan self-efficacy siswa di SMA N 1
Ungaran ?
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, secara umum penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan dari konseling kelompok pendekatan
13
Solution Focused Brief Therapy untuk meningkatkan resiliensi akademik dan
self-efficacy siswa di SMA N 1 Ungaran. Sedangkan tujuan secara khusus dari
penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang:
1) Untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi resiliensi akademik dan
self-efficacy siswa di SMA N 1 Ungaran
2) Untuk menguji dan menganalisis keefektifan konseling kelompok dengan
pendekatan Solution Focused Brief Theraphy untuk meningkatkan resiliensi
akademik siswa di SMA N 1 Ungaran.
3) Untuk menguji dan menganalisis keefektifan konseling kelompok dengan
pendekatan Solution Focused Brief Theraphy untuk meningkatkan self-
efficacy siswa di SMA N 1 Ungaran.
1.6 Manfaat Penelitian
1.1 Manfaat Teoretis
Untuk memberikan sumbangan yang positif bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya dalam dunia pendidikan bidang bimbingan dan konseling
tentang penggunaan konseling kelompok pendekatan Solution Focused Brief
Therapy untuk meningkatkan resiliensi akademik dan self-efficacy siswa
disekolah menengah atas. Wujud dari sumbangan tersebut yaitu ditemukanya
hasil-hasil penelitian baru tentang konseling kelompok guna meningkatkan
pelayanan konseling di sekolah.
14
1.7 Manfaat Praktis
1) Manfaat Bagi Guru Bimbingan dan Konseling
Dalam hal ini guru bimbingan dan konseling mengetahui apa yang dialami
oleh siswa. Oleh sebab itu, dengan adanya penelitian ini, konselor dapat
mengaplikasikan layanan konseling kelompok pendekatan Solution Focused Brief
Therapy untuk meningkatkan resiliensi akademik dan self-efficacy.
2) Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
perluasan khasanah keilmuan tentang konsep dan praktik bimbingan dan
konseling khususnya mengenai konseling kelompok pendekatan Solution Focused
Brief Therapy untuk meningkatkan resiliensi akademik siswa dan self-efficacy.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORITIS, KERANGKA
BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Hasil penelitian yang relevan merupakan kajian penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya dan memiliki keterkaitan dengan penelitian yang sedang
dilakukan. Fokus kajian yang relevan dalam penelitian ini yaitu variabel,
pendekatan konseling Solution Focused Brief Therapy, Resiliensi dan Self-
efficacy. Adapun kajian hasil penelitian yang relevan dengan penilitian ini sebagai
berikut:
Haase et al (2016) penelitian ini menunjukan bagaimana tingkat resiliensi
berpengaruh pada tingkat strees. Hasil penelitian menunjukan bahwa seseorang
yang memiliki tingkat resiliensi yang rendah memiliki tingkat strees yang tinggi,
dicirikan dengan prilaku: mudah menyerah, tidak mampu secara cepat mengambil
keputusan, respon negatif dan berlebihan serta ketidakmampuan untuk
mengendalikan diri pada situasi yang dianggap tidak menyenangkan. Sebaliknya
seseorang yang memiliki resiliensi yang tinggi memiliki tingkat strees yang
rendah sehingga mampu merespon secara baik situasi yang dianggap tidak
menyenangkan. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa ketidakberdayaan
dan ketidakmampuan mengendalikan diri pada situasi yang tidak menyenangkan
yang dipengaruhi oleh tingkat stress seseorang terjadi pada orang yang memiliki
16
tingkat resiliensi yang rendah. Untuk itu resiliensi menjadi masalah penting yang
harus segera ditindak lanjuti.
Sherty (2015) penelitian ini mengemukankan bahwa permasalahan
resiliensi yang rendah umumnya dialami oleh para mahasiswa. Hal tersebut
ditunjukan dengan beberapa kesulitan atau hambatan yang terjadi pada
mahasiswa, yakni: sulit mengikuti jadwal kuliah yang padat, mudah kecewa ketika
yang direncanakan berbeda dengan kenyataan, sulitnya menjalin komunikasi
dengan orang yang baru dikenal dan tidak mudah menyesuaikan diri terhadap
lingkungan kampus serta tempat tinggal. Pada penelitian diatas letak perbedaan
peneliti terletak pada subjek yang berbeda, variabel self-efficacy serta perlakuan
yang diberikan yaitu pendekatan Solution Focused Brief Therapy.
Selanjutnya penelitian yang menunjukan bahwa permasalahan resiliensi
yang rendah yang dialami oleh siswa di sekolah menengah atas. Neal (2017) hasil
penelitian ini menunjukan bahwa siswa yang memiliki tingkat resiliensi yang
rendah di sekolah, berakibat pada rendahnya performa akademik sehingga
berpengaruh pada prestasi akademik. Perbedaan pada penelitian ini terletak pada
metode penelitian yaitu menggunakan penelitian survey.
Poerwanto (2017) Hasil penelitian ini menunjukan persentasi tingkat
resiliensi akademik pada siswa di sekolah. Penelitian ini menunjukan bahwa
hanya 15,89% siswa yang memiliki relisiensi tinggi, sisanya dalam kategori
sedang 82,24% dan 1,87% dalam kategori yang rendah. Hasil penelitian
menunjukan bahwa hampir rata-rata siswa disekolah menengah atas tidak
menunjukan tingkat resiliensi yang tinggi. Berbeda dengan penelitian yang
17
digunakan yaitu penelitain eksperimen, penelitian diatas merupakan penelitian
korelasi untuk mengetahui hubungan antara regulasi diri, religiusitas dengan
resiliensi akademik.
Selanjutnya penelitian Graff (2015) pada siswa minoritas latinos di
Amerika Serikat. Rendahnya resiliensi berakibat pada rendahnya prestasi
akademik siswa, yaitu hanya 14% siswa Latina di Amerika Serikat yang telah
menyelesaikan empat tahun kuliah atau lebih banyak bila dibandingkan dengan
siswa berkulit putih (29,3%), Hitam atau Negro (20,6%), dan Asia (49,3%).
Penelitian ini merupakan penelitian korelasi antara tingkat tingkat kesuksesan
akademik dengan resiliensi akademik yang terdiri dari, dukungan keluarga dan
self-efficacy pada siswa minoritas. Perbedaan terletak pada jenis penelitian dan
treatmen.
Peningkatan resiliensi menjadi lebih efektif melalui peningkatan efikasi
diri. Martin (2014) penelitian ini menunjukan bagaimana resiliensi akademik
mempengaruhi motivasi belajar siswa, penelitian ini juga menjelaskan bagaimana
self-efficacy membantu meningkatkan ketahanan atau resiliensi siswa terhadap
tekanan akademik sehingga siswa termotivasi untuk belajar dan siap menghadapi
kemunduran, hambatan dan tekanan akademik. Penelitian ini menunjukan
bagaimana self-efficacy berperan dalam peningkatan resiliensi akademik,
perbedaan terletak pada jenis penelitian peneliti yang menggunakan eksperimen
dan bentuk perlakuan.
Wang et,al (2017) penelitian ini menunjukan bahwa faktor personal dan
eksternal merupakan pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan resiliensi
18
siswa perawat pada tahun pertama. Faktor personal dan eksternal antara lain, self-
efficacy dan social support. Hasil penelitian ini juga menunjukan hubungan yang
signifikan antara self-efficacy dan resiliensi. Penelitian ini merupakan penelitian
survey, yang menjelaskan bagaimana hubungan antara self-efficacy, social
support dengan resiliensi karir mahasiswa perawat.
Sosa (2012) penelitian ini membahas hubungan keyakinan self-efficacy
guru dalam mempromosikan ketahanan siswa terhadap praktik mengajar dan
dukungan siswa minoritas Latino. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keyakinan
efikasi terkait ketahanan ada kaitannya untuk membangun hubungan penting
melalui hubungan dengan siswa, membangun pengalaman dan pengetahuan
mereka, dan memahami masalah yang mereka hadapi. Khususnya, penting untuk
memperkuat resiliensi akademik. Perbedaan peneliti terletak pada desain
penelitian, perlakuan yaitu ekperimen menggunakan pendekatan SFBT.
Goodman et al. (2015) penelitian ini menujukan bahwa sel-efficacy
mempengaruhi peningkatan resiliensi anak-anak yang beresiko memiliki
permasalahan internal seperti, kehilangan orang tua, permasalahan ekonomi dan
juga kesehatan, anak-anak di Kenya. Gejala internalisasi depresi, kegelisahan,
kesusahan, dan isolasi dapat diatasi dengan meyakinkan bahwa anak-anak tersebut
masih berpotensi untuk tetap maju dengan cara meningkatkan ketahan diri atau
resiliensi melalui keyakinan diri (self-efficacy). Letak perbedaan peneliti terletak
pada jenis penelitian yaitu penelitian survey a cross-sectional design.
Hinduja dan Patchin (2017) penelitian ini menjelaskan bahwa dengan
mengembangkan keyakinan diri yang positif (self-efficacy) berpengaruh
19
signifikan dalam peningkatan resiliensi para siswa terhadap intimidasi yang
dialami. Peningkatan resiliensi berperan sebagai faktor pelindung (protective
factor) juga berpengaruh pada peningkatan kompetensi internal diri seperti
menumbuhkan keterampilan sosioemosional seperti kepedulian, dan memberi
mereka makna bahwa ketika menghadapi kesulitan mereka tetap memiliki
kesempatan untuk dapat mengatasinya. Penelitain ini melihat resiliensi pada kasus
bullying dan cyberbullying, perbedaan juga pada jenis penelitian menggunakan
desain mixed method.
Beightol (2012) ini juga membuktikan bahwa efikasi diri merupakan
variabel utama untuk meningkatkan resiliensi akademik siswa. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa peningkatan resiliensi secara efektif meningkat melalui
peningkatan variabel self-efficacy. Artinya Self-efficacy merupakan strategi
intervensi yang efektif digunakan untuk meningkatkan ketahanan siswa yang
mengalami intimidasi, ditunjukan pada peningkatan tujuan dan aspirasi
pendidikan yang berdampak pada peningkatan prestasi akademik. Pada penelitian
ini menggunakan desain penelitian mixed method untuk melihat peran resiliensi
bagi siswa minoritas Latinos.
Penelitian selanjutnya berhubungan dengan keefektifan konseling
kelompok yang dilakukan oleh Wiyono (2015). Penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan motivasi berprestasi yang rendah pada siswa yang menggunakan
layanan konseling kelompok menggunakan pendekatan SFBT. Hasil analisis
menunjukkan bahwa subjek penelitian pada kelompok eksperimen mengalami
peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Dapat disimpulkan
20
disimpulkan bahwa pendekatan SFBT menggunakan dinamika kelompok cukup
efektif digunakan untuk meningkatkan motivasi berprestasi yang rendah pada
siswa. Penelitian eksperimen ini melihat keefektipan konseling kelompok SFBT
terhadap motivasi berprestasi, berbeda dengan peneliti yang mengukur resiliensi
akademik dan self-efficacy.
Nicholas (2015), intervensi pendekatan Solution Focuse Brief Theraphy
bagi anak dengan gangguan bicara atau gagap. Hasil dari penelitian ini
mengidentifikasikan bahwa dengan mengembangkan resiliensi melalui keyakinan
diri (self-efficacy) membuat siswa tetap optimis dan tanpa perlu cemas atau takut
bahwa ia akan mengalami kegagalan. Peningkatan kompetensi internal diri
membuat keyakinan baru bahwa siswa yang gagap juga memiliki potensi yang
baik di bidang akademik. Terapis mengkomunikasikan bahwa harapan sebagai
komponen penting untuk mengkonstruksi perubahan dan pertumbuhan psikologis
yang berfokus pada solusi bukan masalah. Perbedaan penelitian ini dari subjek
penelitian yaitu pada klien yang memiliki permasalahan pada bicara atau gagap.
Penelitian yang dilakukan oleh Newsome (2004) pendekatan SFBT
menggunakan desain kelompok terhadap siswa yang berprestasi rendah serta
memiliki sopan santun yang rendah pula. Dengan menggunakan quasi eksperimen
pretest dan posttest design terhadap 26 siswa yang menjadi sampel penelitian. Hasil
dari penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada
hasil intervensi pada kelompok kontrol dan eksperimen, sehingga menjadikan
pendekatan SFBT menggunakan desain kelompok perlu dilakukan kajian ulang dan
lebih mendalam untuk membuktikan keefektifan pendekatan SFBT menggunakan
21
desain kelompok. Perbedaan penelitian terletak pada variabel bebas yaitu resiliensi
akademik dan self-efficacy.
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Simon et al (2005).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pendekatan Solution Focused
Brief Therapy terhadap ketahanan keluarga (familiy resilience). Tujuan utama
pelaksanaan konseling SFBT untuk menemukan sumber unik dari setiap keluarga
agar terdorong untuk mampu menghadapi permasalahan serta tantangan di masa
depan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pendekatan SFBT cukup
efektif digunakan terhadap peningkatakan family resilience.
Berdasarkan temuan penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa
permasalahan resiliensi akademik dan self-efficacy masih menjadi masalah umum
yang terjadi pada siswa di sekolah dan khususnya hal tersebut harus menjadi
perhatian bagi guru bimbingan dan konseling karena pentingnya untuk memahami
bahwa setiap anak memiliki tingkat resiliensi akademik dan self-efficacy yang
berbeda. SMA Negeri 1 Ungaran sebagai salah satu sekolah unggulan yang ada di
kabupaten Semarang Jawa Tengah, permasalahan tersebut diidentifikasikan pada
siswa yang memiliki ambisi untuk menjadi juara kelas ataupun yang terbaik
sangat rentan terhadap penurunan tingkat resiliensi yang rendah yaitu ketika
mengalami kegagalan akademik ataupun penurunan prestasi dengan pendekatan
konseling kelompok SFBT diharapkan hal tersebut dapat dijadikan sebagai
strategi yang ampuh digunakan oleh guru bimbingan dan konseling dalam
meningkatkan resiliensi akademik dan self-efficacy.
22
2.2 Kajian Teoretis
2.2.1 Resiliensi
2.2.1.1 Pengertian Resiliensi
Resiliensi merupakan kapasitas internal yang dimiliki oleh setiap individu
dalam merespon suatu keadaan yang tidak menyenangkan respon tersebut
ditunjukan dengan kemampuan untuk segera bangkit dari keterpurukan atau
ketidakberdayaan. Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad
pertengahan ’resilire’ yang berarti ’kembali’. Dalam bahasa inggris, kata
’resiliency’ atau ’resilient’ biasa digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi
seseorang yang berhasil kembali dari kondisi terpuruk (Revich & Shatte, 2002).
Block (dalam Abidin, 2011) memformulasikan pertama kali istilah
resiliensi dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum
yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat
dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik, ego-
resilience merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi membentuk
konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, di mana sumber daya
tersebut memungkinkan individu untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara
mengekspresikan pengendalian ego yang biasa mereka lakukan.
Selanjutnya Siebert (dalam Ifdil, 2012) menjelaskan bahwa resiliensi
adalah suatu bentuk kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup
pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan,
bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara
23
yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi
permasalahan tanpa melakukan kekerasan.
Konsep resiliensi bukan hanya mengenai kemampuan bertahan yang
dialami individu tetapi bagaimana ia mampu segera bangkit dan pulih dari kondisi
yang tidak menyenangkan atau ketidakberdayaan. Hal tersebut diperkuat oleh
pendapat Widuri (2012) yang menyatakan bahwa resiliensi berarti
kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula
setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah
psikologi, resi1iensi adalah kemampuan individu untuk cepat pulih dari
perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan. Revith dan shatte (2002) juga
mengatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang bukan hanya
untuk dapat bertahan melainkan menjadikan individu tersebut dapat bangkit dan
menyesuaikan dengan kondisi yang sulit dan tidak menyenangkan. Pahlevi (2017)
menjelaskan bahwa resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk dapat
mengatasi kesulitan-kesulitan (adversities) yang dialami
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi
merupakan kapasitas kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat
bertahan, bangkit dan mampu menyesuaikan diri terhadap situasi yang tidak
menyenangkan ataupun merugikan. Individu yang dianggap memiliki resiliensi
atau individu yang resilien bukan hanya individu yang mampu bertahan dari
penderitaan, kekecewaan atau tantangan tetatpi individu yang dapat segera
bangkit dan pulih untuk belajar memaknai hambatan dan rintangan yang
dialaminya.
24
2.2.1.2 Aspek yang mempengaruhi Resiliensi
Resiliensi lebih akurat jika dilihat sebagai bentuk proses bagaimana
meningkatkan kemampuan internal yang ditunjukan dengan prilaku, tetap optimis,
tidak mudah menyerah dan memaknai setiap kegagalan dengan positif. Menurut
Block dalam (Widuri, 2012) resiliensi dikonseptualisasikan sebagai salah satu tipe
kepribadian dengan ciri-ciri, kemampuan penyesuaian yang baik, percaya diri,
mandiri, pandai berbicara, penuh perhatian, suka membantu dan berpusat pada
tugas. Studi resiliensi (resilience) mencoba mencari penjelasan mengapa sebagian
individu menunjukkan kemampuan beradaptasi yang positif pada konteks keadaan
yang menekan dan terdapat individu yang tidak mampu menghadapinya sehingga
terjebak pada perilaku yang patologis dan salah satu asfek dalam resiliensi disebut
dengan aspek personal (Suryawan, 2012).
Aspek resiliensi secara umum dikelompokan menjadi dua menurut Smith
(2008) yakni terdiri dari aspek personal dan eksternal mulai dari optimisme
dukungan sosial dan active coping. Sedangkan Sosa (2012) menyebutkan bahwa
faktor personal yang paling kuat dalam meningkatkan resiliensi disebut dengan
self-efficacy atau efikasi diri.
Menjadi individu yang resilien harus memahami aspek-aspeknya untuk itu
secara spesifik Revich & shatte menyebutkan bahwa aspek resiliensi terdiri dari :
25
(a) Regulasi emosi (emotional regulation) atau yang biasa disebut dengan
pengaturan emosi ini berarti kemampuan seseorang untuk tetap tenang dalam
kondisi yang penuh tekanan, (b) Pengendalian impuls {impulse control) adalah
kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang
muncul dari dalam diri seseorang, (c) Analisis penyebab masalah (causal
analysis) Maksud dari analisis kausal adalah bahwa adanya kemampuan dalam
diri seseorang untuk dapat mengidentifikasi penyebab-penyebab dari
permasalahan yang mereka hadapi, (d) Efikasi diri (self efficacy) Efikasi diri
menggambarkan keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu menyelesaikan
masalah yang sedang dihadapinya.
Keyakinan individu akan kemampuan diri lebih penting daripada
tindakannya karena keyakinan inilah yang akan mendorong individu untuk
berusaha agar tujuannya tercapai. Seseorang yang yakin akan dirinya akan
berusaha lebih giat lagi dan menunjukan kegigihan dalam meraih apa yang
diinginkan. Individu yang memiliki efikasi yang tinggi akan mudah menghadapi
tantangan karena Individu tersebut tidak merasa ragu karena memiliki
kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya.
2.2.1.3 Faktor yang mempengaruhi Resiliensi
Untuk memahami bagaimana seseorang menjadi resilien maka dipahami
terdapat faktor yang mempengaruhi. Resiliensi dipengaruhi oleh faktor internal
yang meliputi kemampuan kognitif, gender, dan keterikatan individu dengan
budaya, serta faktor eksternal dari keluarga dan komunitas. Menurut Widuri
(2012) Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan,
26
kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan.
Asumsi dasar dari resiliensi adalah bahwa dalam menghadapi suatu kesulitan atau
tantangan, ada individu yang berhasil mengatasinya dengan baik (kembali) dan
ada juga yang tidak berhasil (Abidin, 2011).
Secara spesifik menurut Everall, dkk (2006) mengatakan terdapat 3 faktor
yang mempengaruhi resiliensi yang dirumsukan sebagai berikut: (a) Faktor
individual, Faktor individual meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri,
harga diri, dan kompetensi sosial. Resiliensi dihubungkan dengan kemampuan
seseorang untuk melepaskan pikiran trauma dengan menggunakan harapan yang
ditumbuhkan dalam diri individu (b) Faktor Keluarga, berupa dukungan yang
diberikan oleh keluarga (orangtua atau pasangan) untuk memberikan kekuatan
bagi individu yang mengalami peristiwa traumatik ataupun peristiwa yang buruk.
(c) Faktor komunitas disini berarti faktor yang berasal dari lingkungan sekitar.
Faktor ini meliputi kemiskinan, keterbatasan kesempatan kerja, serta dukungan
dari orang- orang sekitar. Jika lingkungan sekitamya dapat mendorong individu
untuk bangkit dari keterpurukan, maka individu tersebut dapat lebih mudah pulih
dari keadaannya.
Berbeda dari pendapat diatas menurut Prince-Embury (2013) hanya
terdapat dua faktor yang mempengaruhi resiliensi seseorang yaitu: (1)Faktor
resiko adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu ataupun dari lingkungan
yang meningkatkan munculnya dampak negatif. Faktor resiko menggambarkan
pengaruh-pengaruh yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya
penyimpangan sehingga keadaan menjadi lebih rumit, (2) Faktor protektif adalah
27
karakteristik-karakteristik individual dan kondisi lingkungan yang membantu
individu untuk melawan atau menetralisasi resiko yang muncul pada individu
yang mengalami masalah. Faktor protektif berperan penting dalam resiliensi
karena melibatkan respon individu saat dihadapkan pada situasi yang beresiko
tinggi.
2.2.2 Resiliensi Akademik
2.2.2.1 Pengertian Resiliensi Akademik
Resiliensi akademik merupakan suatu bentuk ketahanan yang ditinjau dari
karakteristik akademik seseorang. Menurut Corsini (dalam Oloan, 2015) resiliensi
akademik ialah ketangguhan seseorang dalam menghadapi berbagai tugas
akademik dalam lingkungan pendidikan. Sari dan Indrawati (2016) menjelaskan
bahwa resiliensi akademik adalah kemampuan mahasiswa untuk bertahan pada
kondisi yang sulit, bangkit kembali dari keterpurukan, mengatasi kesulitan, dan
beradaptasi secara positif terhadap tekanan dan tuntutan akademik. Resiliensi di
bidang pendidikan menyajikan sebuah kerangka kerja untuk memahami mengapa
beberapa anak-anak yang beresiko dapat berhasil di sekolah, sedangkan yang
lainnya tidak Geste (dalam Styaningrum, 2014).
Sedangkan menurut Martin dan Marsh (dalam Poerwanto 2017) bahwa
resiliensi akademik adalah kemampuan yang secara efektif untuk menghadapi
kemunduran/penurunan, stress dan distress dalam situasi akademik. Martin dan
Marsh (dalam Hartuti & Mangunsong, 2009), menjelaskan bahwa mahasiswa
yang resilien secara akademik adalah mahasiswa yang mampu secara efektif
menghadapi empat keadaan, yaitu kejatuhan (setback), tantangan (challenge),
28
kesulitan (adversity), dan tekanan (pressure) dalam konteks akademik (Sari &
Indrawati, 2016).
Coronado (2016) menjelaskan bahwa academic resilience atau ketahanan
akademik sebagai kemampuan seseorang atau siswa untuk bangkit segera bangkit
kembali dan berhasil mengatasi faktor resiko kesulitan belajar. Menurut Bandura
(dalam Oloan, 2015) bahwa siswa yang resilien secara akademik, tak akan mudah
putus asa dalam menghadapi kesulitan akademik. Ia akan merasa optimis dan
berpikir positif, meskipun ia sedang berada dalam suatu kesulitan akademik, Ia
percaya bahwa ada jalan keluar atau solusi. Menurut Wagner (dalam Jowkar,
2011) bahwa resiliensi akademik sebagai kapasitas siswa untuk mencapai
keberhasilan akademis di sekolah sekalipun ketika menghadapi kesulitan pribadi
dan lingkungan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi
akademik merupakan suatu bentuk kapasitas kemampuan yang dimiliki oleh siswa
untuk segera bangkit dan tidak terlarut dalam keterpurukan ketika mengalami
kesulitan, hambatan, tekanan dan tuntutan dalam bidang akademik, siswa yang
memiliki resiliensi yang tinggi atau siswa yang resilien ialah siswa yang mampu
untuk tetap optimis untuk mencapai keberhasilan akademik serta tidak mudah
putus asa ketika menghadapi kesulitan akademik.
2.2.2.2 Aspek-aspek dalam Resiliensi Akademik
Resiliensi dalam konteks akademik dilihat sebagai suatu aspek yang
dilihat dari sudut pandang sebagai ketahanan akademik. Menurut Block (dalam
Widuri, 2012) resiliensi dikonseptualisasikan sebagai salah satu aspek tipe
29
kepribadian dengan ciri-ciri, kemampuan penyesuaian yang baik, percaya diri,
mandiri, pandai berbicara, penuh perhatian, suka membantu dan berpusat pada
tugas.
Resiliensi dalam pendidikan menurut Conor dan Davidson (2003)
menyebutkan bahwa terdapat lima aspek resiliensi pada siswa yang dirumuskan
sebagai berikut: (a) Kompetensi pribadi, kompetensi pribadi memperlihatkan
bahwa seseorang merasa sebagai orang yang mampu mencapi tujuan dalam situasi
kemunduran atau kegagalan. (b) Percaya pada diri sendiri yakni, memiliki
toleransi terhadap afek negatif, aspek ini berhubungan dengan ketenangan, cepat
melakukan coping terhadap stres, berpikir secara hati-hati dan tetap focus
sekalipun sedang dalam menghadapi masalah. (c) Menerima perubahan secara
positif yakni, dapat membuat hubungan yang aman (secure) dengan orang lain,
Aspek ini berhubungan dengan kemampuan beradaptasi atau kemampuan
beradapasi jika menghadapi perubahan (d) Kontrol diri, dalam mencapai tujuan
dan bagaimana meminta atau mendapatkan bantuan dari orang lain. (e) Pengaruh
spiritual yaitu yakin pada Tuhan atau kehendak takdir yang kuasa.
2.2.2.3 Faktor yang mempengaruhi Resiliensi Akademik
Seperti resiliensi pada umumnya dalam konteks akademik terdapat pula
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peningkatkan resiliensi dalam konteks
akademik. Siswa yang resilien cenderung untuk melakukan segala hal dengan
baik di sekolah. Keberhasilan akademik tidak hanya menjadi hasil dari resiliensi,
tetapi juga mempengaruhi kesukesan hidup di masa depan siswa dapat menjadi
resilien jika memiliki tempramen positif termasuk di dalamnya tingkat aktivitas
30
tinggi dan respon positif terhadap orang lain, motivasi berprestasi, memperoleh
dukungan yang tinggi dan hubungan sosial yang baik dari keluarga, guru dan
teman sebaya (Setyaningrum, 2014).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor untuk
meningkatkan resiliensi akademik. Martin dan Marsh (dalam Sari dan Indrawati,
2016), menjelaskan bahwa mahasiswa yang resilien secara akademik adalah
mahasiswa yang mampu secara efektif menghadapi empat keadaan, yaitu
kejatuhan (setback), tantangan (challenge), kesulitan (adversity), dan tekanan
(pressure). Sedangkan secara spesifiki Ibeaghad (2004) menyebutkan bahwa
terdapat bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi resiliensi bagi siswa yakni
faktor resiko dan faktor protektip yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Faktor Resiko
Faktor resiko sebagai variabel yang berkemungkinan memberikan dampak
negatif dari kejadian yang dialami individu. Faktor resiko yang melibatkan
siswa dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu faktor genetik
seperti kemunduran mental, faktor prenatal seperti masalah kesehatan saat
berada dalam kandungan, faktor prenatal yang berkaitan dengan
penanganan kesehatan dan faktor yang berasal dari lingkungan seperti
kemiskinan, wilayah konflik, bencana alam, atau perceraian.
2. Faktor Protektif
Faktor protektif adalah hal-hal yang membuat individu bertahan dari
dampak yang diakibatkan oleh tekanan yang diterima, membantu
31
mengatasi keadaan tidak menyenangkan tersebut dan mampu
menyesuaikan diri dalam keadaan mengancam tersebut.
Berdasarkan pendapat diatas dapat diketahui bahwa untuk menjadi seorang
yang resilien pada siswa dapat diidentifikasikan melalui dua faktor utama yakni
faktor resiko yang dilihat dari permasalahan apa yang menyebabkan seseorang
tersebut menjadi individu yang resilien mulai dari permasalahan personal sampai
eksternal, selanjutnya faktor protektif sebagai suatu kapasitas internal individu
untuk dapat mengatasi faktor resiko dan faktor protektiv inilah yang menjadi
wadah dalam melihat aspek apa saja yang terdapat dalam resiliensi akademik
siswa.
2.2.3 Self Efficacy
2.2.3.1 Pengertian Self Efficacy
Self-efficacy merupakan aspek penting yang harus dimiliki oleh setiap
individu karena membantu seseorang untuk yakin dan mampu dalam bertindak
dan bagaimana menghadapi tantangan dan hambatan yang akan dihadapi.
Menurut Bandura dalam Alwisol (2009) bahwa self-effication atau efikasi diri
merupakan keyakinan atau harapan diri yang dimiliki seseorang. Sedangkan
harapan hasilnya adalah ekspektasi hasil. Bandura juga mengatakan dalam.
Mughid (2009) bahwa self-efficacy sebagai judgement seseorang atas
kemampuannya untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah
pada pencapaian tujuan tertentu. Self-efficacy berakar pada aspek kognitif
seseorang. Efikasi diri juga menurut Bandura mengacu pada keyakinan (beliefs)
32
tentang kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan dan melaksanakan
tindakan untuk pencapaian hasil.
Efikasi diri berperan sebagai bentuk penilaian untuk melakukan tindakan
yang tepat, baik atau buruk dan keyakinana terhadap respon yang diwaspadai.
Rosmayati (2017) menjelaskan bahwa self-efficacy sebagai keyakinan individu
terhadap kemampuannya untuk bertindak dalam pengambilan keputusan sehingga
tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Keyakinan individu akan menjadi
kemampuan yang lebih penting daripada tindakannya karena keyakinan inilah
yang akan mendorong individu untuk berusaha agar tujuannya tercapai. Seseorang
yang yakin akan dirinya akan berusaha lebih giat lagi dan menunjukan kegigihan
dalam meraih apa yang diinginkan. Maka penting sekali dipahami bagaimana
memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi.
Selain daripada itu dalam konteks akademik efikasi diri juga dapat
memprediksi emosi akademik seseorang yakni kesenangan, kemarahan, dan
kebosanan secara langsung, serta kecemasan secara tidak langsung (Sunawan
et.al,2017). Hal tersebut menjelaskan bahwa efikasi memiliki keterkaitan dalam
kapasitas internal seseorang. Mughid (2009) mengatakan self-efficacy yang tinggi
membantu seseorang untuk membuat perasaan tenang dalam mendekati tugas dan
kegiatan yang sulit. Sebaliknya, orang yang meragukan kemampuan dirinya,
mereka bisa percaya bahwa sesuatu itu lebih sulit daripada yang sesungguhnya.
Efikasi menjadi komponen penting yang harus dimiliki setiap orang karena
berpengaruh pada tindakan dan keputusan seseorang. siswa yang memiliki self-
efficacy yang tinggi memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk melakukan
33
tugas apa pun. Selain itu, mereka juga punya stabilitas dan komitmen dalam
mencapai tujuan yang diinginkan dan sebaliknya (Muzamil, 2018). Bandura
(dalam Hapsari, 2016) menyatakan bahwa self-effcacy yang dimiliki seseorang
merupakan hal yang kuat dalam menentukan seseorang akan bertindak, berpikir,
dan bereaksi sewaktu menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan.
Mughid (2009) mengatakan bahwa perasaan efficacy yang kuat dapat
meningkatkan kecakapan seseorang dan kesejahteraan (well-being) dalam cara
yang tak terbayangkan. Individu yang confident, memandang tugas-tugas yang
sulit sebagai tantangan untuk dikuasai daripada sebagai ancaman untuk dihindari.
Self-efficacy adalah hal penting bagi setiap seseorang untuk menghadapi suatu
permasalahan yang harus dihadapi. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa self-
efficacy sangat mempengaruhi kehidupan kita (Ana, 2017).
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bagaimana peran efikasi diri yang
sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan hidup welll being seseorang,
bagaimana menghadapi tindakan dan untuk tetap bertahan pada situasi yang tidak
menguntungkanpun, dengan memiliki karakteristik tingkat efikasi diri yang tinggi
maka membuat seseorang memiliki keyakinan yang tinggi untuk maju dalam
bertindak agar tercapai hasil yang diharapkan, khususnya bagi siswa pada aspek
akademiknya.
2.2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self-efficacy
Siswa yang memiliki efikasi diri termasuk dalam individu yang mampu
berpikir positif bahwa dirinya memiliki keyakinan akan kompetensi,
meningkatkan motivasi dan meyakinkan diri mampu untuk mengatasi semua
34
permasalahan akademik. Sebaliknya individu atau siswa yang memiliki efikasi
diri rendah dalam mengerjakan tugas misalnya akan cenderung menghadapi tugas
tertentu, karena alasan terlalu sulit dan lemahnya motivasi diri (Sadewi dan
Sugiharto, 2012). Self-efficacy menjadi sumber internal yang harus ditingkatkan
oleh siswa, maka dari itu perlu memahami faktor apa saja yang menyebabkan
peningkatan efikasi diri. Menurut Bandura ada empat sumber utama yang
mempengaruhi self-efficacy, yaitu penguasaan atau pengalaman yang menetap,
pengalaman yangn dirasakan sendiri, bujukan sosial, dan keadaan psikologis atau
emosi (Mughid, 2009).
Sedangkan menurut Sadewi dan Sugiharto (2012) terdapat empat sumber
efikasi diri yakni: (a) pengalaman keberhasilan, semakin besar seseorang
mengalami keberhasilan maka semakin tinggi self-efficacy nya (b) pengalaman
orang lain yang dihasilkan dari social model (c) persuasi sosial, misalnya
dukungan sosial (d) keaadaan fisiologis dan emosional yang mempengaruhi
efikasi diri. Efikasi diri atau keyakinan kebiasaan diri dapat diperoleh,
diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat
sumber, secara spesifik Alwisol (2009) merumuskan empat faktor efikasi diri
yaitu:
1. Pengalaman Performansi (Performance Accomplishment)
Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu.
Sebagai sumber, performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang
paling kuat pengaruhnya. Semakin tinggi kepercayaan terhadap efikasi
personal seseorang meningkat, maka performanya akan semakin baik.
35
2. Pengalaman Vikarius (Vicarious Experience)
Efikasi akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain,
sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang
kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kapabilitas
seseorang tidak hanya dapat dipelajari melalui pengalaman-pengalaman
keberhasilan yang telah dicapai. Memperbandingkan pengalaman pribadi
dengan penglaaman orang lain yang memiliki kemiripan dapat membentuk
efikasi diri pada individu.
3. Persuasi Sosial (social persuation)
Efikasi juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui
persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang
tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Informasi
yang didapat dari luar dapat meningkatkan keyakinan akan kemampuan
diri seseorang. Seseorang yang diberi keyakinan dari luar akan
menunjukan usaha yang lebih besar dibandingkan yang tidak dan juga
dapat menghilangkan ketidak percayaan terhadap kemampuan diri dan
kerentanan diri ketika masalah muncul.
4. Pembangkitan Emosi (emotionall physiological states)
Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi
efikasi di bidang kegiatan itu misalnya dalam proses belajar. Jika emosi
seseorang sedang labil maka efikasi yang dimiliki akan sulit untuk
36
dinaikkan atau dikuatkan. Namun, jika emosi seseorang sedang semangat
maka efikasi yang muncul akan semakin meningkat. Seseorang yang diberi
keyakinan dari luar akan menunjukan usaha yang lebih besar dibanding
yang tidak dan juga dapat menghilangkan ketidak percayaan terhadap
kemampuan diri dan kerentanan diri ketika masalah muncul.
Perkembangan Efikasi dalam diri manusia berkembang sesuai dengan
masa perkembangan manusia. Sesuai dengan masa perkembangannya, manusia
diberikan beban tanggung jawab perkembangan yang bertahap, semakin tinggi
semakin sulit. Oleh karena itu, efikasi dalam diri seseorang pun tidak akan statis,
efikasi dapat berkurang maupun bertambah sesuai denganbagaimana individu
melakukan evaluasi terhadap setiap fase kehidupan yang telah dijalaninya.
2.2.4 Konseling Kelompok
2.2.4.1 Pengertian Konseling Kelompok
Konseling kelompok merupakan salah satu layanan dalam bimbingan dan
konseling. Istilah konseling kelompok mengacu kepada penyesuaian rutin atau
pengalaman perkembangan dalam lingkup kelompok, yang difokuskan untuk
mengatasi problem mereka lewat penyesuaian diri dan perkembangan kepribadian
sehari-hari (Gibson, 2011). Selanjutnya Gladding (2012) menyatakan bahwa
konseling kelompok merupakan suatu praktik profesional yang dikenal sebagai
kelompok pemecahan masalah antar pribadi yang berusaha menolong peserta
kelompok untuk memecahkan masalah kehidupan melalui dukungan antar pribadi
dan pemecahan masalah. Keunikan dari konseling kelompok terletak pada
37
dinamika kelompok yang mempertemukan bukan hanya konselor tetapi para
anggota dari latar belakang yang berbeda.
Myrick (2011) menyatakan bahwa konseling kelompok merupakan
pengalaman pendidikan yang unik, dimana siswa dapat bekerja bersama untuk
mengungkapkan ide, perilaku, perasaan, dan sikap, pengembangan kepribadian
dan peningkatan kinerja di sekolah. Winkel dan Hastusi (2010) menjelaskan
bahwa dalam konseling kelompok terdapat wawancara konseling antara konselor
professional dengan beberapa orang secara bersamaan yang tergabung dalam satu
kelompok kecil. Peran konselor sebagai fasilitator yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk membentuk suatu hubungan dalam kelompok yang dibentuk
seperti interaksi terbuka, para anggota saling mengungkapkan ide, gagasan,
perasaan dan saling berbagi informasi terkait isu dan topik yang dibahas dalam
dinamika kelompok.
Wibowo (2005) menjelaskan bahwa dalam konseling kelompok upaya
bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan
penyembuhan, dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam rangka
perkembangan dan pertumbuhannya. Setiap pelaksanaan layanan memberikan
pengalaman baru bagi anggota kelompok terkhusus pada langkah pengentasan
masalah yang terjadi pada masing anggota kelompok. Konseling kelompok juga
merupakan suatu proses interpersonal yang dinamis memusatkan pada kesadaran
berfikir dan tingkah laku, melibatkan fungsi terapeutik, berorientasi pada
kenyamanan, rasa saling percaya, pengertian, penerimaan dan bantuan (Wibowo
2005).
38
Corey (2012) menjelaskan bahwa konseling kelompok menjadi, layanan
yang memfasilitasi kepada anggota kelompok untuk mengekspresikan perasaan
saling bertentangan, explore keraguan diri, berbagi keprihatinan dengan rekan-
rekan mereka. Dalam kelompok memungkinkan para anggota untuk secara
terbuka mempertanyakan nilai-nilai mereka dan memodifikasi perasaan mereka
yang perlu diubah, para anggota dapat saling mendengarkan saling berinteraksi,
komunikasi terbuka dengan rekan-rekan mereka dan dapat membantu satu sama
lain menuju pemahaman diri dan penerimaan diri.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa konseling
kelompok merupakan layanan yang diberikan oleh konselor kepada konseli yang
terdiri dari beberapa orang dalam dinamika kelompok, konselor memfasilitasi
para anggota untuk saling terlibat melalui komunikasi yang terbuka pada masing-
masing anggota, konselor memfasilitasi para anggota untuk dapat mendiskusikan
dan mengentaskan isu atau suatu permasalahan yang terjadi dalam dinamika
kelompok.
2.2.4.2 Tujuan Konseling Kelompok
Setiap layanan yang dilaksanakan selalu memiliki tujuan yang akan
dicapai, begitu pula dengan konseling kelompok. Tujuan yang ingin dicapai dalam
konseling kelompok, yaitu pengembangan pribadi, pembahasan dan pemecahan
masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok, agar
terhindar dari masalah dan masalah terselesaikan dengan cepat melalui bantuan
anggota kelompok yang lain (Wibowo, 2005). Berikut adalah beberapa tujuan
bagi anggota dalam konseling kelompok menurut (Corey, 2013) yang dirumuskan
39
sebagai berikut : Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan diri, Untuk
mengenali kesamaan kebutuhan dan masalah anggota dan untuk mengembangkan
rasa keterhubungan, membangun hubungan, menemukan sumber daya,
penerimaan diri, kepercayaan diri, kasih sayang serta dalam upaya menentukan
piliha.
Dinamika dalam konseling kelompok terjadi ketika para anggota
menemukan apa arti dari memberi dan menerima dukungan emosional dan
pemahaman dalam jenis yang berbeda dan lebih positif. Bagi siswa, konseling
kelompok dapat bermanfaat sekali karena melalui interaksi dengan anggota-
anggota kelompok mereka memenuhi beberapa kebutuhan psikologis, seperti
kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya dan diterima
oleh mereka; kebutuhan untuk bertukar pikiran dan berbagi perasaan; kebutuhan
menemukan nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan; dan kebutuhan untuk
menjadi lebih independen serta lebih mandiri (Berg dan Fall, 2006).
Berdasarkan penjelasan dapat disimpulkan bahwa tujuan konseling
kelompok ialah bagaimana membantu individu untuk dapat mengekspresikan diri,
saling mendengarkan, saling memahami, belajar menyesuaikan diri, memaknai
nilai-nilai kehidupan serta pemecahan masalah dalam dinamika kelompok.
2.2.4.3 Tahapan Konseling Kelompok
Konseling kelompok sebagai salah satu jenis layanan dalam bimbingan
dan konseling dalam pelaksanaannya tentu memiliki berbagai langkah atau
tahapan yang menjadi pedoman. Pengistilahan tahapan tidak dimaksudkan untuk
memberikan kesan bahwa dalam kegiatan konseling kelompok terdapat berbagai
40
kegiatan yang berdiri sendiri, semua tahapan dalam kegiatan konseling kelompok
menjadi satu kesatuan, dimana antara kegiatan yang satu dengan yang lain
merupakan kegiatan yang utuh, yang dalam praktiknya tidak dibatasi oleh jeda
waktu, yang merupakan kegiatan yang saling terkait antara satu dengan yang
lainnya.
Menurut Gladding (Wibowo, 2005) mengelompokkan proses konseling
menjadi empat tahap yaitu: tahap pembentukan kelompok tahap peralihan dalam
kelompok, tahap bekerja dalam kelompok dan tahap terminasi kelompok. Sejalan
dengan pendapat diatas Wibowo (2005) juga merumuskan tahapan-tahapan
konseling kelompok yang meliputi empat tahap yang secara spesifik disebutkan
sebagai berikut:
1. Tahap Permulaan (Begining Stage)
Tahap ini dilakukan upaya untuk menumbuhkan minat bagi
terbentuknya kelompok yang meliputi pemberian penjelasan tentang adanya
layanan konseling kelompok bagi para siswa, penjelasan pengertian, tujuan dan
kegunaan konseling kelompok, ajakan untuk memasuki dan mengikuti
kegiatan, serta kemungkinan adanya kesempatan dan kemudahan bagi
penyelenggaraan konseling kelompok.
Pertemuan awal adalah penting bagi konselor untuk membentuk
kelompok dan menjelaskan tujuan konseling kelompok dengan istilah-istilah
yang mudah dipahami oleh siswa yang ada dalam kelompok. Kegiatan awal ini
akan membuahkan suasana yang memungkinkan siswa untuk memasuki
kegiatan kelompok. Tahap permulaan ini disebut pula tahap pembentukan
41
(forming) karena seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dalam tahap ini
dilakukan pembentukan kelompok. Gladding (2012) mengatakan bahwa pada
tahap pembentukan (forming), biasanya diletakkan pondasi untuk apa yang
dilakukan kemudian dan siapa yang dianggap di dalam atau di luar dari
pertimbangan kelompok.
Pembentukan kelompok secara konseptual dimulai dari ide konselor
dan berakhir setelah ide-ide baru yang lain diungkapkan, dan selanjutnya para
anggota mulai bekerja. Setelah pembentukan kelompok dilakukan, isu-isu yang
lebih produktif dapat dihadapkan secara individual maupun secara kolektif.
Kormanski & Mozenter dalam Mungin Eddy Wibowo (2005:86) menyatakan
bahwa kelompok dapat berkembang dari kesadaran, lalu berlanjut pada
pertentangan, kerjasama, produktivitas dan berakhir dengan pemisahan.
Dengan memahami tahapan sebuah kelompok, sangat mungkin bagi konselor
untuk mengetahui tujuan dan kemajuan kelompok.
2. Tahap Transisi (Transition Stage)
Tahap transisi merupakan masa setelah proses pembentukan dan
sebelum masa bekerja (kegiatan). Dalam suatu kelompok, tahap transisi
membutuhkan 5% sampai 20% dari keseluruhan waktu kelompok
(Gladding, dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:89). Tahap ini yang merupakan
proses dua bagian, yang ditandai dengan ekspresi sejumlah emosi dan interaksi
anggota.
Transisi mulai dengan masa badai, yang mana anggota mulai bersaing
dengan yang lain dalam kelompok untuk mendapatkan tempat, kekuasaan
42
dalam kelompok. Masa badai adalah masa munculnya konflik atau kegelisahan
saat kelompok beralih dari ketegangan primer (kejanggalan dalam situasi yang
aneh) ke ketegangan sekunder (konflik antar kelompok). Selama masa ini,
kelompok berada diambang ketegangan dan mencapai keseimbangan antara
terlalu banyak dan terlalu sedikitnya ketegangan. Anggota kelompok dan
pemimpin kelompok mengupayakan penyelesaian masalah yang berkaitan
dengan struktur, arah, kontrol, dan hubungan antar pribadi (Hershenson &
Power; Maples dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:90).
Masa transisi dari masa dari tahap permulaan ke tahap berikutnya
menurut Yalom dalam Mungin Eddy Wibowo (2005:92) merupakan saat
"perebutan kekuatan" diantara anggota kelompok dengan pemimpin
kelompok. Perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan/kekuatan terjadi setelah
anggota kelompok mengorientasikan dirinya ke dalam formasi kelompok.
3. Tahap Kegiatan (Working Stage)
Pada tahap ini, hubungan antar anggota sudah mulai ada kemajuan.
Sudah terjalin rasa saling percaya antara sesama anggota kelompok, rasa
empati, saling mengikat dan berkembang lebih dekat secara emosional, dan
kelompok tersebut akan menjadi kompak (kohesif). Kedekatan emosional akan
terjadi jika anggota kelompok dapat mengenali satu sama lain dan telah
berhasil dalam pekerjaannya melalui perjuangan mereka bersama-sama.
Kelompok yang kohesif menunjukkan adanya penerimaan yang mendalam,
keakraban, pengertian, disamping itu juga mungkin berkembang eksperesi
bermusuhan dan konflik. Pada kelompok kohesif yang paling penting adalah
43
adanya saling ketergantungan dari setiap terhadap kelompok akan meningkat
sehingga sering terjadi katarsis yang memudahkan konselor untuk memahami
anggota kelompok.
Penekanan utama pada tahap ini adalah produktivitas, baik hasilnya
dapat dilihat langsung maupun tidak langsung. Anggota kelompok
menfokuskan pada meningkatkan diri mereka sendiri dan/atau dalam mencapai
tujuan individu atau kelompok yang spesifik. Anggota kelompok harus lebih
produktif dalam menyelesaikan tugas pribadi atau masalah dengan melakukan
kerjasama yang dinamis dan kondusif. Melalui kerjasama, anggota kelompok
akan dapat juga menyadari nilai-nilai dari kelompok dalam kehidupan mereka
dan mengingat saat-saat penting dalam kelompok berkaitan dengan apa yang
dikatakan atau dilakukan mereka dan anggota kelompok, serta akan
menghasilkan pengalaman-pengalaman, keterampilan, sikap, dan pembentukan
kepribadian sesuai dengan apa yang diharapkan atau yang menjadi tujuan
masing-masing anggota kelompok.
4. Tahap Pengakhiran (Termination)
Pada tahap ini, Corey Wibowo (2005) mengemukakan bahwa sesudah
berakhirnya pertemuan kelompok, fungsi utama dari anggota kelompok adalah
merencanakan program dari apa yang pernah dia pelajari yang harus diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, melakukan evaluasi kelompok, dan melakukan
tindak lanjut melalui pertemuan yang telah ditetapkan jika diperlukan. Secara
umum dapat dikatakan bahwa pengakhiran kegiatan konseling kelompok tepat
dilakukan pada saat-saat tujuan-tujuan individual anggota kelompok dan tujuan
44
kelompok telah dicapai dan perilaku baru telah dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari di luar kelompok. Namun bisa juga konseling kelompok itu diakhiri
dalam kondisi yang lain.
Tahapan-tahapan pelaksanaan yang dilakukan haruslah dilaksanakan
secara sistematis. Kemudian setelah semua tahapan pelaksanaan konseling
kelompok dilaksanakan secara keseluruhan, Tugas utama dari konselor, selaku
pemimpin kelompok, adalah memberikan penguatan-penguatan kembali atau
merefleksikan kembali hal-hal positif yang telah dipelajari oleh para anggota
kelompok dalam kegiatan kelompok.
Selanjutnya hal yang tidak kalah penting dilakukan adalah
membicarakan follow Up atau tindak lanjut yang akan dilakukan setelah ini.
Setelah semua tahap di atas telah terlaksana, kemudian diadakan evaluasi dan
follow up. Follow up dapat dilaksanakan secara kelompok maupun secara
individu. Pada kegiatan tindak lanjut ini para anggota kelompok dapat
membicarakan tentang upaya-upaya yang telah di tempuh. Mereka dapat
melaporkan tentang kesulitan-kesulitan yang mereka temui, berbagai kesukacitaan
dan keberhasilan dalam kelompok.
Para anggota kelompok menyampaikan pengalaman mereka dan hasilnya
selama mengikuti kegiatan konseling kelompok dalam kehidupan sehari-hari.
Pernimpin kelompok dapat mengadakan evaluasi dengan memberikan pertanyaan
atau wawancara dengan batas tertentu dan melihat kondisi anggota sudah dapat
menguasai topik yang dibicarakan atau belum. Hal tersebut dapat memberi
gambaran akan keberhasilan kegiatan kelompok.
45
2.2.4.4 Kelebihan dan Keterbatasan Konseling Kelompok
Konseling kelompok sebagai salah satu layanan tentunya memiliki
kelebihan dan keterbatasan didalam penggunaanya. Kelebihan dan keterbatasan
dalam layanan merupakan dinamika yang terjadi dalam strategi layanan, seperti
dalam proses pelaksanaan, terlalu berfokus pada tahapan sampai dengan
permasalahan peran pemimpin kelompok.
Gibson (2011) mengungkapkan ada beberapa hal yang harus disadari
mengingat keterbatasan dari pelaksanaan konseling kelompok, diantaranya yaitu
sebagai berikut: (1) setiap orang tidak merasa aman dalam kelompok dan
akibatnya individu-individu tertentu tidak siap untuk berinvestasi secara
emosional dalam kelompok; (2) dalam menentukan kelompok harus
memperhatikan rentang usia, terutama untuk kelompok yang melibatkan anak-
anak dan remaja; (3) beberapa individu dapat menggunakan konseling kelompok
sebagai tempat untuk bersembunyi dan menolak hubungan emosional yang
menghasilkan keterbukaan; (4) konseling kelompok mungkin cocok untuk satu
orang, tetapi tidak untuk orang lain. Selanjutnya menurut W.S. Winkel (2012)
kelemahan konseling kelompok dirumuskan beberapa bagian yang harus dipahami
yaitu :
1. Suasana dalam kelompok boleh jadi dirasakan oleh satu–dua anggota
kelompok sebagai paksaan moral untuk membuka isi hatinya seperti
banyak teman yang lain
2. Persoalan pribadi, anggota kelompok mungkin kurang mendapat perhatian
dan tanggapan sebagaimana mestinya, karena perhatian kelompok terfokus
46
pada suatu masalah umum atau karena perhatian kelompok terpusat pada
persoalan pribadi konseli yang lain,
3. Bagi konselor sendiri lebih sulit memberikan perhatian penuh pada
masing-masing konseli dalam kelompok,
4. Khusus di Indonesia konselor dapat menghadapi kendala budaya yang
mempersulit kedudukannya sebagai partisipan dalam diskusi kelompok,
5. Para anggota kelompok kesulitan untuk mengungkapkan perasaan dan
pikirannya secara terbuka (self-assertiveness) bila hadir seseorang yang
secara spontan dipandang sebagai pemegang otoritas (authority figure).
Selain mempunyai kelemahan, konseling kelompok juga mempunyai
beberapa kelebihan. W.S. Winkel (2012) menjelaskan terdapat dua kelebihan
konseling kelompok yaitu : (1) terpenuhinya kebutuhan untuk menyesuaikan diri
dengan teman-teman sebaya dan dapat diterima oleh mereka, kebutuhan untuk
bertukar pikiran dan berbagai perasaan, kebutuhan menemukan nilai-nilai
kehidupan sebagai pegangan; dan kebutuhan untuk menjadi lebih independen
serta lebih mandiri, (2) dalam suasana konseling kelompok a lebih mudah
membicarakan persoalan mendesak yang mereka hadapi daripada dalam konseling
individual. Adapun kelebihan konseling kelompok menurut Prayitno (2004)
terdiri dari tiga komponen yaitum meliputi
1. Menyangkut aspek ekonomi efisiensi yaitu dengan adanya kelompok akan
semakin banyak orang yang dibantu, relatif membutuhkan waktu yang
lebih cepat.
47
2. Dalam konseling kelompok adanya interaksi dalam intensif dan dinamis,
diharapkan tujuan konseling dapat tercapai secara lebih mantap;
3. Dinamika yang terjadi dalam kelompok mencerminkan suasana kehidupan
nyata yang dapat dijumpai di masyarakat, hal ini karena tiap-tiap pribadi
yang terlibat dalam interaksi akan membawa kondisi pribadinya masing-
masing.
Konseling kelompok memiliki kelebihan karena diharapkan bisa
menyelesaikan permasalahan konseli secara bersamaan sehingga waktu yang
diperlukan tidak terlalu lama. Selain itu, dinamika yang terjadi didalam kelompok
juga memperkaya solusi yang bisa diberikan kepada konseli yang mengalami
permasalahan.
2.2.5 Konseling Kelompok SFBT
2.2.5.1 Pengertian Konseling Kelompok SFBT
Terapi singkat berfokus solusi (SFBT) awalnya dikembangkan oleh Steve
de Shazer dan Insoo Kim Berg di Brief Therapy Family Center di Milwaukee
pada awal 1980-an. Pendekatan ini menggeser fokus dari pemecahan masalah
untuk penekanan pada solusi. SFBT menekankan kekuatan dan resiliensi individu
dengan berfokus pada pengecualian untuk masalah mereka dan solusi mereka
dikonsep. Melalui serangkaian intervensi, terapis mendorong klien untuk
meningkatkan perilaku mereka yang telah bekerja untuk mereka di masa depan
(De Shazer & Dolan dalam Corey, 2013).
Menurut Corey (2013) terapi singkat berfokus solusi didasarkan pada
asumsi yang optimistik bahwa manusia itu sehat dan kompeten dan memiliki
48
kemampuan untuk membangun solusi yang dapat meningkatkan hidupnya. Lepas
dari berbentuk seperti apapun klien yang terlibat dalam terapi adalah diarahkan
agar klien mampu untuk mandiri. SFBT percaya bahwa klien berkompeten dan
peran konselor ialah membantu klien agar menyadari bahwa ia mempunyai
kemampuan tersebut. Menurut Mulawarman (2017) dalam pendekatan ini ketika
seorang konselor mengajak seorang anak untuk berfokus pada solusi, kesempatan
untuk bekerja sama dengan fokus pada solusi daripada masalah menjadikan
hasilnya lebih positif dan meminimalisiir bentuk menghakimi dan mungkin tidak
merusak rasa rapuh klien untuk tetap mengembangkan diri.
Proses terapi menyediakan suatu keadaan yang menjadikan individu
memfokuskan diri pada pemulihan dan penciptaan solusi ketimbang
membicarakan problem mereka satu kunci untuk efektivitas SFBT adalah fokus,
sementara solusi dianggap sebagai tujuan dasar dari SFBT. Pichot & Dolan
(dalam Reiter dan Chenail, 2016) menjelaskan bahwa kunci untuk terapi yang
efektif terletak di fokus relasional. Artinya, fokus terapis harus pada fokus klien
(biasanya keluhan) yang kemudian memungkinkan klien untuk mengalihkan fokus
mereka ke fokus terapis pada pengecualian dan membangun solusi, atau
mengkonstrukkan problem ke arah solusi yang ada.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan solution focused
brief therapy adalah pendekatan yang berfokus pada solusi dan mencari yang
dapat bekerja atau kekuatan klien yang mengarahkan untuk mencari solusi. Dalam
konseling kelompok solution focused brief therapy difokokuskan untuk
49
bagaimana meningkatkan resiliensi akademik dan self-efficacy siswa di sekolah
menegah atas.
2.2.5.2 Konsep dasar Konseling Kelompok SFBT
Solution Focused Brief Therapy berbeda dari terapi tradisional
karena mengabaikan masa lampau dan lebih setuju dengan masa sekarang dan
masa yang akan datang. Menurut Walter dan Peller konseling singkat berfokus
solusi merupakan sebuah model konseling yang menjelaskan bagaimana individu
dapat berubah dan mampu mencapai tujuannya dengan memanfaatkan kekuatan
dan sumber daya yang dimiliki (Corey, 2013).
Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution Focused Brief Counseling)
adalah bentuk konseling singkat yang dibangun di atas kekuatan konseli dengan
membantunya memunculkan dan mengkonstruksikan solusi pada masalah yang
dihadapinya. Konseling ini lebih menekankan pentingnya masa depan ketimbang
masa lalu atau masa kini. Dalam pendekatan berfokus solusi ini, konsoler dan
konseli mencurahkan sebagian besar waktunya untuk mengkonstruksi ketimbang
mengeksplorasi masalah. Konselor dan konseli mencoba mendefinisikan sejelas
mungkin hal yang ingin dilihat konseli di dalam kehidupannya (Palmer, 2011:
549) .
Konseling singkat berfokus solusi membangun rasa kerja sama antara
konselor dan konseli. Konseli dipandang kompeten dan berdaya. Konseling
singkat berfokus solusi hanya menaruh sedikit perhatian pada ‘akar atau
penyebab’ masalah yang dihadapi konseli. Peran itu bisa diibaratkan saat
mengendarai mobil kadang-kadang kita harus menengok ke spion mobil, namun
50
disarankan untuk lebih banyak melihat ke depan. Konselor berfokus solusi hanya
melakukan konseling minimal dalam kehidupan konseli, tugasnya adalah
memunculkan pemicu perubahan yang akan dilanjutkan setelah konseling.
Konselor bernegosiasi dengan konseli untuk mengidentifikasi masalah prioritas
yang tujuannya bisa dicapai.
Terapi ini memberi penekanan yang besar pada kemungkinan sedikit atau
tidak adanya ketertarikan untuk memperoleh pemahaman terhadap masalah.
Konseling kelompok menggunakan pendekatan SFBT menjadi pendekatan yang
efektip bukan hanya terhadap permasalahan belajar tetapi pada pemahaman karir
siswa seperti penelitian yang dilakukan oleh Fitriyah (2018) terhadap siswa di
SMA N 4 Pamekasan terhadap pemilihan karir siswa menggunakan strategi
konseling kelompok SFBT. Hal ini menjadi keunggulan dari pendekatan ini,
dengan memahami pelaksanaan dan prinsip yang digunakan. Prinsip dasar dalam
konseling kelompok solution focused brief therapy menurut Corey (2013)
dirumsukan sebagai berikut:
1. Orientasi Positif
Terapi singkat yang berfokus solusi, didasarkan pada asumsi optimis
bahwa individu mempunyai sumberdaya, kompetensi serta memiliki
kemampuan untuk membangun solusi yang dapat mengubah arah kehidupan
mereka. Peran konselor adalah membantu klien mengenali sumber yang
sudah mereka miliki, seperti ketahanan, keberanian, dan kecerdikan.
2. Fokus Pada Solusi bukan Masalah
51
Terapi singkat yang berfokus solusi berbeda dari terapi tradisional,
menghindari masa lalu dalam mendukung baik saat ini dan masa depan Masa
lalu adalah pertimbangan hanya untuk mengidentifikasi saat-saat ketika
masalah yang diajukan terjadi kurang sering. Filosofi berfokus solusi
bertumpu pada asumsi bahwa orang bisa menjadi terperosok di masa lalu
yang belum terselesaikan konflik dan berhenti ketika mereka fokus pada
masalah masa lalu atau sekarang bukan pada solusi masa depan. Klien
memilih tujuan mereka ingin capai, dan sedikit perhatian diberikan kepada
diagnosis, sejarah, analisis interaksi disfungsional, atau eksplorasi dari
masalah.
3. Mencari Apa yang Berfungsi atau kebemanfaatan
Konseling singkat berfokus solusi menekankan bagaimana menemukan
apa yang dapat dilakukan hal tersebut bekerja dan bermanfaat sebaliknya
meninggalkan sesuatu yang dianggap tidak bermanfaat sama sekali bagi
dirinya kemudian konselor membantu mereka untuk menerapkan
pengetahuan ini untuk menghilangkan masalah-masalah dalam waktu yang
tidak lama.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan konsep kunci SFBT terdapat
beberapa poin penting yaitu berorientasi positif yang didasarkan pada asumsi
optimis, berfokus pada mencari solusi bukan masalah dan mencari apa yang
berfungsi pada siswa yang nantinya akan sebagai kekuatan siswa yang
berpengaruh dalam mencari solusi.
2.2.5.3 Tujuan Konseling
52
Solution Focused-Brief Counseling bertujuan mengidentifikasikan dan
memanfaatkan sepenuhnya kekuatan dan kompetensi yang dibawa konseli untuk
mengenali dan membangun pengecualian-pengecualian pada masalah, menolong
konseli berfokus pada hal-hal yang jelas dan spesifik yang mereka anggap sebagai
solusi masalah. Salah satu tujuan utama dalam SFBC adalah membantu konseli
mengidentifikasikan dan membangun pengecualian. Pengecualian merujuk ketika
konseli dapat secara efektif menyelesaikan masalah atau ketika masalah tidak
terjadi (Gutterman, 2013: 5).
Cunanan (2003: 8) berpendapat bahwa tujuan Konseling Singkat Berfokus
Solusi adalah untuk mengatasi masalah yang saat ini dihadapi konseli dengan
menekankan pada exception problem dan mengidentifikasi segala sumber daya
dan kekuatan konseli yang belum digunakan untuk mengatasi masalah yang
sedang dihadapi. Selain itu, Palmer (2011: 556) mengungkapkan bahwa tujuan
SFBT adalah tujuan yang dibawa konseli, asalkan tujuan tersebut lega dan etis.
Peran konselor adalah membantu klien menuju kearah yang diinginkan dengan
membantu ; (1) Mengidentifikasikan dan memanfaatkan sepenuhnya kekuatan dan
kompetensi yang dibawa konseli (2) Membantu konseli mengenali dan
membangun pengecualian-pengecualian pada masalah, yaitu saat-saat ketika
konseli telah melakukan (memikirkan, merasakan) sesuatu yang mengurangi atau
membatasi dampak masalah (3) Menolong konseli berfokus pada hal-hal yang
jelas dan spesifik yang mereka anggap sebagai solusi masalah
SFBT mencerminkan beberapa gagasan dasar tentang perubahan, tentang
interaksi, dan mencapai tujuan. Prochaska (Corey 2013: 403) menyatakan SFBT
53
percaya bahwa individu memiliki kemampuan untuk menentukan tujuan pribadi
yang berarti dan memiliki sumber daya yang diperlukan untuk memecahkan
masalah mereka. Tujuan unik untuk setiap konseli dan dibangun oleh konseli
untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Dari kontak terlebih dulu dengan
konseli, konselor berusaha untuk menciptakan iklim yang akan memfasilitasi
perubahan dan mendorong konseli untuk berpikir dalam berbagai kemungkinan.
Pendekatan Solution-Focused Brief Counseling (SFBC), melalui
pendekatan ini siswa akan berkolaborasi dengan konselor untuk berfokus
menemukan solusi sehingga bisa melakukan perubahan pada diri menjadi individu
yang memiliki konsep diri positif (Nugroho, 2018). Walter dan Peller (Corey,
2013) menekankan pentingnya membantu konseli dalam menciptakan tujuan yang
jelas, dalam menciptakan tujuan konseli membutuhkan bantuan agar dapat
mendefinisikan tujuan dengan baik. Beberapa hal penting dalam mendefinisikan
tujuan sebagai berikut; (a) dinyatakan secara positif dalam bahasa konseli, (b)
berorientasi proses, (c) berfokus pada disini dan sekarang, (d) dapat dicapai,
konkrit, dan spesifik, (e) dapat dikontrol oleh konseli.
Dalam konseling ini terdapat beberapa bentuk tujuan, yakni; mengubah
pandangan tentang situasi masalah dan mengarahkan kemampuan konseli
(O’Hanlon dan Weiner-Davis dalam Corey, 2013: 404). Tujuan utamanya adalah
membantu konseli dengan mengalihkan perhatian pembicaraan konseling dari
masalah kepada solusi. Segera individu akan berbicara dalam pegertian yang
mereka mampu lakukan secara kompeten sesuai dengan sumber daya yang
mereka miliki dan yang telah berhasil mereka lakukan.
54
2.2.5.4 Prinsip Pendekatan Konseling SFBT
Ada sejumlah prinsip yang digunakan dalam memandu pendekatan SFBC
ini, prinsip-prinsip tersebut diterapkan pada bagaimana konselei sebaiknya
mendekati masalah, dan bagaimana konselor sebaiknya melakukan konseling.
Menurut Palmer (2011: 558- 559) adalah sebagai berikut :
1. Jika tidak rusak jangan diperbaiki
Koseling singkat berfokus solusi menekankan bahwa orang-oranglah yang
memiliki masalah, bukannya orang-orang adalah masalah. SFBC menghindari
pandangan bahwa konseli itu sakit atau rusak, dan justru mencari hal yang
sehat atau yang bias berfungsi didalam kehidupan mereka.
2. Perubahan kecil bisa mengakibatkan perubahan besar
Perubahan dianggap sebagai hal yang konstan dan tak bisa dielakkan.
Memantik daya perubahan malah bisa berbalik melebihi titik awalnya.
Mengalami perubahan malah bisa mengembalikan perasaannya memilih dan
mengendalikan pada diri konseli didalam kehidupannya dan mendorong
perubahan lebih jauh.
3. Jika bisa berfungsi terus lakukan
Klien didorong untuk terus melakukan hal yang telah bisa dilakukannya.
Perilaku konstruktif bisa bermula sebelum konseling. Konseli terus
melanjutkan pola perilaku baru sebelum ia merasa yakin bisa
mempertahankannya.
4. Jika tak berfungsi, jangan teruskan
Konseli SFBC didorong untuk melakukan sesuatu yang berbeda untuk
55
menghancurkan lingkaran kegagalan. Itu mungkin berlawanan dengan aturan
yang biasa kita kenal, ‘jika awalnya anda tidak berhasil, coba, coba, coba
lagi.’
5. Lakukan konseling sesederhana mungkin
Jika keyakinan konselor menuntut ditemukannya penjelasan tersembunyi dan
factor-faktor bawah, keyakinan tersebut akan memperumit dan memperlama
terjalinnya relasi
Dalam konseling singkat berfokus solusi konseli diajak untuk
memfokuskan diri pada solusi tidak banyak dihabiskan untuk membicarakan
permasalahan dan penyebab permasalaha (Zalfa, 2014). Tetapi meskipun
demikian identifikasi identifikasi solusi permasalahan tersebut tetap menjadi
tujuan utama. Walter dan Peller (Corey, 2013: 401-402) berpikir mengenai
konseling berfokus solusi sebagai model yang menerangkan bagaimana orang
berubah dan bagaimana mereka dapat meraih tujuan mereka. Berikut ini beberapa
asumsi dasar SFBT:
1. Individu-individu yang datang konseling telah mempunyai kemampuan
berperilaku efektif, meskipun keefektifan tersebut mungkin untuk sementara
terhambat oleh pikiran negatif. Pikiran berfokus masalah mencegah orang dari
mengenali cara efektif mereka dalam menangani masalah.
2. Ada keuntungan untuk fokus positif pada solusi dan di masa depan. Jika
konseli dapat mereorientasi diri mereka dengan mengarahkan kekuatan
mereka menggunakan “solution –talk”, merupakan suatu kesempatan bagus
dalam konseling singkat.
56
3. Proses konseling diorientasikan pada peningkatan kesadaran eksepsi (harapan-
harapan yang menyenangkan) terhadap pola masalah yang dialami dan
pemilihan proses perubahan.
4. Konseli sering mengatakan satu sisi dari diri mereka. SFBT mengajak konseli
untuk memerika sisi lain dari cerita hidupnya yang disampaikan.
5. Perubahan kecil membuka jalan bagi perubahan besar. Seringkali, perubahan
kecil adalah semua yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang
dibawa konseli ke konseling.
6. Konseli ingin berubah, memiliki kemampuan untuk berubah, dan melakukan
yang terbaik untuk membuat perubahan terjadi. Konseli harus mengambil
sikap kooperatif dengan konseli daripada merancang strategi sendiri untuk
mengendalikan hambatan. Ketika konselor mencari cara untuk kooperatif
dengan konseli, maka perlawanan/ resistensi tidak akan terjadi.
7. Konseli bisa percaya pada niat mereka untuk menyelesaikan masalah mereka.
Tidak ada solusi yang “benar” untuk masalah spesifik yang dapat
diaplikasikan pada semua orang. Setiap individu unik dan begitu juga pada
setiap penyelesaian masalahnya.
2.2.5.5 Asumsi dasar Pedoman Proses Konseling Kelompok SFBT
Solution Focused Brief Therapy didasarkan pada asumsi yang optimistik
bahwa manusia itu sehat dan kompeten serta memiliki kemampuan untuk
membangun solusi yang dapat meningkatkan hidupnya. Terlepas dari berbentuk
seperti apapun konseli yang terlibat dalam terapi ia dianggap mampu dan
berkompeten terhadap dirinya sendiri. Klien adalah kompeten dan peran konselor
57
adalah membantu konseli agar menyadari bahwa ia mempunyai kemampuan itu.
Proses terapi menyediakan suatu keadaan yang menjadikan individu
memfokuskan diri pada pemulihan dan penciptaan solusi ketimbang
membicarakan problem mereka.
Walter dan Peller (Corey, 2012) menjelaskan bahwa terapi singkat
berfokus solusi sebagai model yang menjelaskan bagaimana orang dapat berubah
dan bagaimana mereka dapat mencapai tujuan mereka. Tahapan Solusi Focused
Brief Counselling (SFBC) yang diimplementasikan meliputi membangun
hubungan, mengidentifikasi keluhan yang dapat dipecahkan, menetapkan tujuan,
Merancang dan Implementasi Intervensi, dan penghentian, evaluasi, dan tindak
lanjut (Mulawarman, 2016). Berikut adalah beberapa asumsi dasar mereka
tentang pendekatan SFBT sebagai memodifikasi untuk konteks konseling
kelompok (Corey, 2013):
1. Ada keuntungan untuk fokus positif pada solusi dan pada masa depan. Jika
anggota kelompok dapat reorientasi diri ke arah kekuatan mereka
menggunakan berbicara dan fokus hanya pada solusi maka ada
kesempatan menuju keberhasilan serta manfaat perubahan yang
diinginkan
2. Individu yang datang ke konseling kelompok memiliki kemampuan
prilaku efektif, meskipun efektivitas ini dapat dihentikan sementara oleh
kognisi negatif dan bahasa yang negatif. Masalah-fokus pemikiran orang
dari mengenali cara efektif mereka telah berurusan dengan masalah.
58
3. Ada pengecualian untuk setiap masalah, atau saat-saat ketika masalah
sangat minim atau bahkan tidak ada. Iklim pengecualian ini
memungkinkan untuk menciptakan solusi dengan peserta kelompok
mengembangkan perspektif baru atau solusi dari pada situasi mereka.
4. Peserta sering hadir hanya satu sisi dari diri mereka sendiri. Pemimpin
kelompok yang berfokus solusi mengundang anggota untuk memeriksa sisi
lain dari cerita yang mereka sajikan.
5. Tidak ada masalah konstan, dan perubahan tidak bisa dihindari. Perubahan
kecil membuka jalan bagi perubahan yang lebih besar. Setelah perubahan
telah dibuat, hal itu akan menyebabkan perubahan kecil lainnya. Setiap
masalah diselesaikan satu langkah pada satu waktu.
6. Anggota kelompok dapat dipercaya dalam niat mereka untuk menciptakan
solusi untuk masalah mereka. Tidak ada solusi universal spesifik masalah
yang dapat diterapkan untuk semua orang. Setiap individu adalah unik dan
begitu juga, adalah setiap solusi.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa asumsi dasar pedoman
praktek konseling kelompok solution focused brief therapy yaitu fokus positif
pada solusi dan masa depan, individu memiliki kemampuan, melihat sisi lain dari
anggota kelompok, tidak ada malasalah yang konstan dan anggota kelompok
dapat di percaya, dari asumsi SFBT tersebut sebagai acuan pelaksanaan konseling
kelompok SFBT terhadap siswa.
59
2.2.5.6 Peran dan Fungsi Pemimpin Kelompok SFBT
Secara umum pemimpin dalam kelompok adalah bertanggungjawab dalam
menggerakkan aktivitas dan motivasi anggota kelompok untuk mencapai tujuan
bersama, begitupun dalam pendekatan SFBT. Pemimpin kelompok memiliki
pengaruh yang kuat dalam proses kelompok, tidak terkecuali dalam konseling
atauterapi kelompok. Setiap konseling atau terapi merupakan suatu proses yang
kompleks, termasuk konseling kelompok solution focused brief therapy. Berbeda
dengan orentasi pendetan lain, dalam pendekatan berfokus solusi, klien dibantu
untuk menemukan pengecualian saat tidak mengalami trauma dan diarahkan untuk
fokus pada masa depannya (Sugara, 2017).
Dalam pendekatan ini, terapis-sebagai-ahli digantikan oleh klien-sebagai-
ahli, terutama ketika datang untuk mencari apa yang dia inginkan. Hal ini
dilakukan oleh konselor dalam kelompok kelompok untuk terus memberikan
pertanyaan yang diajukan kepada anggota kelompok yang lain. Adapun peran dan
fungsi pemimpin konseling kelompok solution focused brief therapy, menurut
Corey (2013) yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Posisi Tidak Mengetahui
Konselor dalam konseling SFBT mengadopsi posisi "tidak tahu"
sebagai rute untuk menempatkan anggota kelompok dalam posisi menjadi
ahli tentang kehidupan mereka sendiri. Tugas kelompok pemimpin adalah
mengikuti jejak para anggota kelompok. Meskipun peserta kelompok
dipandang sebagai ahli pada kehidupan mereka sendiri, mereka sering
terjebak dalam pola yang tidak bekerja untuk mereka. Praktisi SFBT
60
memilih sikap yang lebih kolaboratif atau konsultatif dan melihat
pekerjaan mereka sebagai menciptakan kesempatan bagi klien untuk
melihat diri mereka sebagai ahli dalam hidup mereka.
2. Menciptakan Kemitraan Terapeutik
Kualitas hubungan terapeutik berada di jantung dari efektifitas
SFBT. Berkaitan dengan kemitraan kolaboratif antara anggota kelompok
dan fasilitator kelompok. Banyak konselor kelompok memberikan
peningkatan perhatian untuk menciptakan hubungan kolaboratif dengan
anggota karena keyakinan mereka bahwa melakukan hal itu membuka
berbagai kemungkinan perubahan sekarang dan masa depan.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa peran dan fungsi pemimpin
kelompok dalam konseling kelompok SFBT yaitu posisi tidak mengetahui dan
menciptakan hubungan terapeutik, yang pada pelakasanaannya pemimpin
kelompok mampu memfokuskan siswa untuk mengeksplor permalasahannya.
2.2.6 Prosedur Konseling Kelompok SFBT
Secara filosofis, pendekatan SFBT didasari oleh suatu pandangan bahwa
sejatinya kebenaran dan realitas bukanlah suatu yang bersifat absolut namun
realitas dan kebenaran itu dapat dikonstruksikan. Seperti pendekatan konseling
kelompok pada umumnya dalam proses konseling kelompok solution brief
focused therapy menekankan pada tahapan-tahapan perubahan yang dialami oleh
kelompok selama menjalani konseling. Tujuan perubahan bukan hanya pencapain
hasil dari pelaksanaan konseling tapi bagaimana proses konseling yang berhasil
61
dimaknai oleh konseli. Berikut beberapa proses dalam konseling SFBT yang
dirumuskan oleh Corey (2013) sebagai berikut:
1. Langkah-langkah dalam proses perubahan
Model kelompok yang berfokus pada solusi memiliki makna filosofis
bahwa konselor menerima klien di mana mereka berada dan membantu mereka
dalam menciptakan solusi. Dalam proses perubahan terdapat hal yang harus
diperhatikan dalam proses konseling yaitu: (1) Mulai tetapkan tujuan,. (2)
Mencari pengecualian untuk masalah, (3) Para anggota kelompok terlibat
dalam mengidentifikasi pengecualian satu sama lain..(5) Mendorong motivasi
dan harapan (6) Membantu anggota kelompok dengan menugaskan pada akhir
setiap percakapan bangunan solusi, pemimpin menawarkan anggota umpan
balik ringkasan, memberikan dorongan, dan menyarankan apa yang mungkin
mereka amati dan inginkan.
2. Menciptakan Tujuan Anggota
SFBT memiliki beberapa gagasan dasar tentang perubahan, interaksi,
dan bagaimana mencapai tujuan. Konselor sebagai fasilitator percaya bahwa
setiap orang memiliki kemampuan untuk mendefinisikan makna tujuan pribadi
dan menyakini bahwa mereka berada dalam posisi terbaik untuk memilih
tujuan yang ingin mereka capai dalam kelompok karena mereka mengenal
dirinya lebih baik daripada orang lain. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
penting bagi anggota untuk dapat mencapai apa yang mereka inginkan dan
kekhawatiran yang terjadi dipahami sebagai suatu keaadan yang dapat diatasi.
Menurut de Shazer (Seligman, 2006: 417) SFBT bisanya berlangsung
62
dalam tujuh tahap:
a. Mengidentifikasi keluhan (Identifying a Solvable Complain)
Mengidentifikasi keluhan yang bisa dipecahkan merupakan langkah awal
yang penting dalam konseling. Tidak hanya memfasilitasi pengembangan tujuan
dan intervensi, tetapi mempromosikan perubahan. Konseli dan konselor
berkolaborasi untuk membuat gambar dari keluhan yang menempatkan solusi
mereka ditangan konseli. Pertanyaan frase konselor sehingga mereka
berkomunikasi secara optimis dan harapan untuk perubahan. Kesulitan manusia
dipandang sebagai normal dan dapat diubah.
Konselor menggunakan empati, ringkasan, mengartikan, pertanyaan
terbuka, dan keterampilan mendengarkan aktif untuk memahami situasi konseli
dengan jelas dan spesifik.
b. Menetapkan Tujuan (Establishing Goals)
Menetapkan tujuan melanjutkan proses konseling. Konselor berkolaborasi
dengan konseli untuk menentukan tujuan yang spesifik, dapat diamati, diukur, dan
konkret. Tujuan biasanya mengambil salah satu dari tiga bentuk: mengubah dari
situasi problematis; mengubah tampilan situasi atau kerangka acuan, dan
mengakses sumber daya, solusi, dan kekuatan (O’Hanlon (ST Weiner-Davis, 1989
dalam Seligman 2006). Pertanyaan mengandaikan sukses: “Apa yang akan
menjadi tanda pertama dari perubahan”, Bagaimana Anda akan tahu kapan terapi
ini berguna bagi Anda”, Bagaimana saya bisa tahu?” Diskusi rinci perubahan
positif didorong untuk memperoleh pandangan yang jelas dari apa yang terlihat
seperti solusi ke konseli. Salah satu cara yang paling berguna untuk solusi yang
63
berfokus pada klinisi untuk menetapkan tujuan terapi adalah dengan
menggunakan pertanyaan keajaiban (miracle question).
c. Merancang Intervensi (Designing An Intervention)
Ketika merancang intervensi, konselor menggambar pada pemahaman
mereka tentang konseli dan penggunaan kreativitas strategi terapi untuk
mendorong perubahan, tidak peduli seberapa kecil. Pertanyaan khas selama tahap
ini termasuk “Perubahan apa yang telah terjadi?”, “Apa yang berhasil di masa lalu
ketika Anda berurusan dengan situasi yang sama?”, “Bagaimana Anda membuat
hal itu terjadi?”, dan “Apa yang akan Anda lakukan untuk memiliki itu terjadi
lagi? “.
d. Pemberian Tugas (Strategic Task)
Tugas strategis kemudian mempromosikan perubahan. Biasanya ini ditulis
sehingga konseli dapat memahami dan menyetujuinya. Tugas secara hati-hati
direncanakan untuk memaksimalkan kerjasama konseli dan sukses. Orang dipuji
atas upaya keberhasilan dan kekuatan mereka untuk menggambar di dalam
menyelesaikan tugas.
e. Perilaku Baru Positif (Positive New Behavior and Changesare Identifying and
Emphazed)
Perilaku baru yang positif dan perubahan diidentifikasi serta ditekankan
ketika konseli kembali setelah diberi tugas. Pertanyaan fokus pada perubahan,
kemajuan, dan kemungkinan dan mungkin termasuk “Bagaimana Anda membuat
hal itu terjadi?”, “Siapa yang melihat perubahan?”, dan “Bagaimana sesuatu yang
berbeda ketika Anda melakukan itu?” Masalahnya dipandang sebagai “itu” atau
64
“itu” dan sebagai eksternal untuk konseli; ini membantu orang melihat
keprihatinan mereka sebagai setuju untuk berubah, bukan sebagai bagian integral
dari diri mereka sendiri.
f. Stabilisasi (Stabilization)
Stabilisasi penting dalam membantu orang mengkonsolidasikan
keuntungan dan secara bertahap beralih perspektif ke arah yang lebih efektif dan
penuh harapan. Selama tahap ini, konselor mungkin benar-benar menahan
kemajuan dan kemunduran konseli. Ini memberikan orang waktu untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan mereka, mempromosikan keberhasilan lebih
lanjut, dan mencegah berkecil hati jika perubahan tidak terjadi secepat yang
mereka inginkan.
g. Pengakhiran (Termination)
Pengakhiran konseling terjadi, sering diprakarsai oleh konseli yang kini
telah mencapai tujuan mereka. Karena SFBT berfokus pada penyajian keluhan
bukan resolusi masalah masa kecil atau perubahan kepribadian yang signifikan, ia
mengakui bahwa orang dapat kembali untuk terapi tambahan, dan konseli
diingatkan pilihan itu. Pada saat yang sama, SFBT tidak hanya berusaha untuk
membantu orang menyelesaikan masalah segera. Melalui proses mengembangkan
rasa percaya diri, merasa mendengar dan memuji bukan menyalahkan, dan
menemukan kekuatan dan sumber daya, orang yang diterapi melalui SFBT dapat
menjadi lebih mandiri dan mampu mengatasi kesulitan di masa depan mereka
sendiri.
65
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan proses konseling kelompok
solution brief focused therapy mengarahkan pada perubahan-perubahan klien
dalam kelompok serta memfokuskan pada tujuan anggota kelompok dan proses
konseling kelompok solution brief focused therapy menjadi pedoman untuk
pemimpim kelompok dalam melaksanakan konseling kelompok solution brief
focused therapy.
2.2.7 Teknik yang digunakan dalam Konseling Kelompok SFBT
SFBT mencerminkan beberapa gagasan dasar tentang perubahan, tentang
interaksi, dan mencapai tujuan. Terapis berfokus solusi percaya bahwa individu
memiliki kemampuan untuk menentukan tujuan pribadi yang berarti dan memiliki
sumber daya yang diperlukan untuk memecahkan masalah mereka. Beberapa
teknik kunci bagi praktisi kelompok solution focused brief therapy yang termasuk
mencari perbedaan dalam proses inetraksi atau exception, pertanyaan
pengecualian, pertanyaan scaling dan pertanyaan keajaiban.
Murphy (Corey, 2012) mengingatkan kita bahwa teknik yang berfokus
solusi ini harus digunakan fleksibel dan disesuaikan dengan keadaan yang unik
dari para anggota. Proses konseling kelompok terbaik dipandu oleh tujuan,
persepsi, sumber daya, dan umpan balik anggota. Teknik tidak boleh diberikan
lebih menonjol daripada anggota dalam kelompok. Berikut beberapa teknik dalam
konseling kelompok SFBT menurut Corey (2012) :
1. Pertanyaan
Pertanyaan menjadi alat komunikasi utama dan intervensi utama.
pemimpin kelompok yang berfokus pada solusi menggunakan pertanyaan
66
sebagai cara untuk lebih memahami pengalaman anggota kelompok bukan
hanya untuk mengumpulkan informasi. Pemimpin kelompok tidak
menimbulkan pertanyaan yang mereka pikir mereka tahu jawabannya.
Pertanyaan diminta dari posisi hormat, rasa ingin tahu yang asli, ketertarikan
untuk tulus, dan keterbukaan.
2. Pertanyaan Pengecualian
SFBT didasarkan pada gagasan bahwa ada saat-saat dalam kehidupan
individu ketika masalah terjadi mereka mengidentifikasi bahwa hal tersebut
sebenranya bukanlah permasalahan hal ini disebut dengan pengecualian.
Teknik pengecualian ialah teknik yang diasumsikan bahwa semua masalah
memiliki pengecualian yang dapat digunakan untuk memfasilitasi solusi.
3. Pertanyaan Keajaiban
Pertanyaan keajaiban merupakan cara untuk menemukan tujuan klien
yang menyampaikan menghormati situasi klien dan membantu individu dalam
identitas orang yang lebih kecil, tujuan lebih mudah. Pertanyaan keajaiban
memfasilitasi klien untuk mempertimbangkan apa yang betul-betul mereka
inginkan, bukan sekedar apa yang tidak mereka inginkan, sehingga berubah
dari persfektif terfokus-masalah ke persfektif yang menghasilkan solusi.
4. Pertanyaan Scaling
Scalling (penskalaan) adalah teknik yang membantu konselor maupun
klien untuk membuat masalah kompleks tampak lebih konkret Murphy (Erford,
2016).Terapis berfokus solusi menggunakan skala pertanyaan ketika perubahan
manusia tidak mudah diamati, seperti perasaan, suasana hati, atau komunikasi.
67
Penskalaan digunakan untuk mengidentifikasikan sasaran atau mebantu klien
untuk menuju kesasaran yang telah ditetapkan.
5. Formula Pertama Sesi Tugas
Rumus sesi pertama tugas adalah bentuk pekerjaan rumah dari pemimpin
kelompok dengan memberikan anggota penjelasan apa yang mereka capai
dalam sesi monseling antara sesi pertama dan sesi kedua (Corey, 2012). Pada
sesi kedua, para anggota dapat bertanya apa yang mereka amati dan apa yang
mereka ingin capai atau terjadi di masa depan. Mereka juga dapat menanggapi
pengamatan masing-masing sebagai anggota kelompok.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan proses konseling kelompok
solution brief focused therapy ini menggunakan beberapa teknik yaitu:
pertanyaan, pertanyaan keajaiban, pertanyaan pengecualian, pertanyaan scalling
dan format sesi tugas. Teknik-teknik tersebut yang digunakan pemimpin
kelompok dalam konseling kelompok solution brief focused therapy untuk
meningkatkan resiliensi akademik dan self-efficacy siswa sekolah menegah atas.
2.3 . Kerangka Berpikir
Resiliensi merupakan kapasitas kemampuan yang dimiliki oleh setiap
orang untuk dapat bertahan dan segera bangkit dari ketidakberdayaan maupun
keterpurukan. Maka dari itu resiliensi menjadi sumber kekuatan internal yang
dimiliki setiap orang untuk dapat bertahan dalam keadaan tertekan atau bahkan
kesengsaraan (adversity). Resiliensi bukanlah suatu trait, akan tetapi bersifat
kontinum, sehingga tiap individu dapat meningkatkan resiliensinya karena
kemampuan seseorang untuk menyembuhkan diri, beradaptasi, atau bangkit
68
kembali ke kondisi normal (resilien) bervariasi sepanjang hidup mereka (Reivich
& Shatte, 2002). Dalam konteks akademik resiliensi disebut dengan resiliensi
akademik.
Resiliensi akademik ialah ketangguhan seseorang dalam menghadapi
berbagai tugas akademik dalam lingkungan pendidikan. Seorang siswa yang
resilien secara akademik, tak akan mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan
akademik. Ia akan merasa optimis dan berpikir positif, meskipun ia sedang berada
dalam suatu kesulitan akademik. Ia percaya bahwa ada jalan keluar atau solusi.
Siswa yang resilien juga merasa tertantang untuk memecahkan berbagai kesulitan
akademik karena berbagai kesulitan tersebut mendorong seseorang untuk
mengerahkan segenap potensi dan kompetensi akademiknya (Oloan, 2015).
Self-efficacy merupakan kekuatan internal yang dimiliki seseorang berupa
keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki. Menurut Bandura (dalam Hapsari,
2016) menyatakan bahwa self-effcacy yang dimiliki seseorang merupakan hal
yang menentukan seseorang akan bertindak, berpikir, dan bereaksi sewaktu
menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan. Efikasi diri juga menurut
Bandura mengacu pada keyakinan (beliefs) tentang kemampuan seseorang untuk
mengorganisasikan dan melaksanakan tindakan untuk pencapaian hasil (Mughid,
2009).
Peran efikasi diri yang sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan hidup
welll being seseorang, bagaimana menghadapi tindakan dan untuk tetap bertahan
pada situasi yang tidak menguntungkan dengan memiliki karakteristik tingkat
efikasi diri yang tinggi maka membuat seseorang memiliki keyakinan yang tinggi
69
untuk maju dalam bertindak agar tercapai hasil yang diharapkan, khususnya bagi
siswa pada aspek akademiknya.
Untuk itu dalam penelitian ini akan di uji cobakan satu pendekatan
konseling yaitu pendekatan Solution Focused Brief Therapy (SFBT). Pendekatan
ini didasarkan pada asumsi yang optimistik bahwa manusia itu sehat dan
kompeten serta memiliki kemampuan untuk membangun solusi yang dapat
meningkatkan hidupnya. SFBT percaya bahwa klien adalah kompeten dan peran
konselor adalah membantu klien agar menyadari bahwa ia mempunyai
kemampuan itu. Proses terapi menyediakan suatu keadaan yang menjadikan
individu memfokuskan diri pada pemulihan dan penciptaan solusi ketimbang
membicarakan problem mereka.
Menurut Lines (dalam Taathadi, 2014) Brief Counseling pada dasarnya
bukanlah model pendekatan yang spesifik pada teori dan praktik, melainkan
bagaimana menggambarkan terapi atau konseling pada waktu yang terbatas
sebagai kekuatan layanan, memahami konteks di mana masalah terjadi, fokus
pada masa sekarang dan masa depan. Berdasarkan hal tersebut sesuai dengan
prinsip dalam pendekatan SFBT maka peneliti menggunakan pendekatan
konseling pada setting kelompok. Konseling kelompok digunakan peneliti dalam
rangka meningkatkan ketahanan (resiliensi) agar siswa menjadi pribadi yang kuat
dan mampu mengatasi serta dapat segera bangkit untuk dapat melewati semua
permasalahan akademik, kesulitan akademik, penurunan prestasi dll.
Peningkatan resiliensi akademik dan self-efficacy akan menjadi efektif
menggunakan pendekatan SFBT hal ini didasarkan bahwa setiap siswa memiliki
70
keyakinan terhadap kemampuan serta potensi yang dimiliki. Dengan memiliki
keyakinan (self-efficacy) akan kemampuan yang dimiliki maka diharapkan siswa
dapat memiliki ketahanan yang kuat terhadap permasalahan akademik atau agar
menjadi siswa yang resilien sebagai individu yang optimis dalam menghadapi
permasalahan dan selalu menemukan solusi atas permasalahan tersebut.
71
Dalam penelitian ini alur penelitian yang akan dilaksanakan sebagai
berikut:
Gambar 2.2
Alur penelitian Keefektifan Layanan Konseling Kelompok SFBT untuk
meningkatkan resiliensi akademik dan self-efficacy
Landasan Teori
Berdasarkan temuan
peneliti dari jurnal-jurnal
serta penelitian terdahulu
Studi Pendahuluan
Terdapat kecenderungan siswa
yang memiliki resiliensi dan
efikasi diri yang rendah di
SMA N 1 Ungaran
Treatment dengan menggunakan
pendekatan konseling kelompok SFBT
untuk meningkatkan resiliensi akademik
dan self-efficacy
Harapannya
Kecendurngan Resiliensi akademik
Meningkat
Identifikasi Masalah
1. Rendahnya resiliensi akademik masih menjadi
masalah umum yang terjadi di sekolah
2. Rendahny motivasi,sikap optimis dalam belajar
dikarenakan rendahnya resiliensi dan efikasi diri
3. Hal tersebut berdampak pada prestasi dan kinerja
akademik.
72
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan permasalahan
penelitian dimana rumusan penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan
(Sugiyono, 2013). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
1. Konseling kelompok Pendekatan Solution Focused Brief Therapy efektif
untuk meningkatkan resiliensi akademik siswa di SMA N 1 Ungaran.
2. Konseling kelompok Pendekatan Solution Focused Brief Therapy efektif
untuk meningkatkan self efficacy siswa di SMA N 1 Ungaran.
105
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap siswa SMA Negeri 1
Ungaran menguji keefektifan konseling kelompok SFBT untuk meningkatkan
resiliensi akademik dan self-efficacy siswa, maka didapatkan kesimpulan
penelitian sebagai berikut:
1. Konseling kelompok pendekatan Solution Focused Brief Therapy terbukti
efektif dalam meningkatkan resiliensi akademik siswa SMA N 1 Ungaran.
2. Konseling kelompok pendekatan Solution Focused Brief Therapy terbukti
efektif dalam meningkatkan self-efficacy siswa SMA N 1 Ungaran.
3. Konseling kelompok pendekatan Solution Focused Brief Therapy terbukti
efektif dalam meningkatkan resiliensi akademik dan self-efficacy siswa SMA
N 1 Ungaran.
106
5.2 Saran
Beberapa hal yang menjadi saran berdasarkan hasil dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagi konselor profesional dapat menggunakan pendekatan SFBT sebagai
strategi yang efektif dalam upaya meningkatkan resiliensi dan self-efficacy
siswa.
2. Hasil dari intervensi ini dapat dijadikan batu pijakan oleh peneliti selanjutnya
untuk menyempurnakan keterbatasan penelitian seperti penggunaan subjek
penelitian yang lebih besar serta dengan desain penelitian yang melihat efek
mediasi antara resiliensi dan self-efficacy. Sehingga direkomendasikan kepada
para peneliti selanjutnya untuk merancang penelitian yang lebih baik dari yang
telah peneliti lakukan.
107
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. (2014). Pengaruh Pelatihan Resiliensi terhadap Perilaku Asertif pada
Remaja. Pamator Journal, 2(3), 78–90.
Retrieved from http://infestasi.trunojoyo.ac.id/pamator/article/view/2451
Alwisol, (2009), Psikologi Kepribadian, Malang: UMM Press
Aranda, K & Hart, A. (2015). Resilient Moves: Tinkering with Practice Theory to
Generate New Ways of Thinking about Uing Resilience. Health (London,
England : 1997), 19(4), 355371. https://doi.org/10.1177/1363459314554318
Ana, A., Wibowo, M. E., & Wagimin, W. (2017). Bimbingan Kelompok dengan
Teknik Role Playing untuk Meningkatkan Self-Efficacy dan Harapan Hasil
(Outcome Expectations) Karir Siswa. Jurnal Bimbingan Konseling, 6(1),
49-53.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jubk/article/view/17434
Ates, B. (2016) Effect of Solution Focused Group Counseling for High School
Students In Order to Struggle with School Burnout. Journal of Education
and Training Studies. 4(4), 27-34. 10.11114/jets.v4i4.1254
http://www.redfame.com/journal/index.php/jets/article/view/1254
Azwar, Saifuddin. (2016) Reliabilitas dan Validitas edisi 4. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar
Bandura, A (2011) Self-Efiicacy: The Exercise of Control. New York: W.H
Freeman and Company.
Beightol. (2012). Adventure Education and Resilience Enhancement. Journal of
Experiential Education, 35(2), 307–325.
https://doi.org/10.1177/105382591203500203
Berg, R.C., Landreth, G.L. & Fall, K.A. (2006) Group Counseling Concepts and
Procedures. NY: Taylor & Francis Group.
Bernard, B., & Slade, S. (2009). Listening to Students: Moving
from Resilience Research to Youth Development Practice and
school connectedness. In M. Furlong, R. Gilman, & S. Heubner
(Eds.), Handbook of positive psychology in schools (pp. 353-370).
New York, NY: Routledge.
Carter, A., Breen, L., Yaruss, J. S., & Beilby, J. (2017). Self-efficacy and Quality
of Life in Adults who Stutter. Journal of Fluency Disorders 54(June),14-23.
108
https://doi.org/10.1016/j.jfludis.2017.09.004
Capuzzi, D., & Stauffer, M. D. (2016). Counseling and Psychotherapy: Theories
and Interventions. John Wiley & Sons.
Chung, E., Turnbull, D., & Chur-hansen, A. (2017). Differences in Resilience
between University Students.
https://doi.org/10.1177/1469787417693493
Connor, K. M., & Davidson, J. R. T. (2003). Development of A New Resilience
scale: The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Depression and
Anxiety, 18(2), 76–82.
https://doi.org/10.1002/da.10113
Corey, G. (2012). Theory and Practice of Group Counseling. Belmont, CA:
Brooks/Cole.
Coronado-Hijón, A. (2017). Academic Resilience: A Transcultural Perspective.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 237(June 2016), 594–598.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2017.02.013
Creswell, J. (2015). Riset Pendidikan Perencanaan, dan Evaluasi Riset Kualtatif
dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cunanan, E.D. (2003). What Works When Learning Solution Focused Brief
Therapy: A Qualitative Analysis Of Trainees Experiences. Thesis Master of
Science, Virginia Polytechnic Institute and State University.
http://scholar.lib.vt.edu/.
Erford, B.T. (2016) 40 Teknik yang Harus Diketahui Setiap Konselor.
Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Everall, R.D., et all. (2006) Creating a Future: A Study Of Resilience in Suicidal
Female Adolascent. Journal of Counseling and Developmental. Vol 84,
461-470
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/j.1556-
6678.2006.tb00430.x
Feist & Feist (2011) Teori Kepribadian. Thoriest of Personality, Jakarta: Salemba
Humanika
Fitriyah, F., Wibowo, M. E., & Japar, M. (2018). The Effectiveness of Counseling
Group Solution Focused Career to Increase Career Maturity Students of
SMA Negeri 4 Pamekasan. Jurnal Bimbingan Konseling, 7(1), 81-87.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jubk/article/view/22655
109
Gibson L. Roberth (2011) Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Gladding, S.T. (2012) Konseling Profesi yang Menyeluruh (Winarno & Lilian
Yuwono, Trans). Jakarta Barat: Indeks.
Goodman, M (2016). Factors Associated with General Self-efficacy and
Resilience Among Youth Heads of Households in Kenya. Journal of Health
Psychology, 21(10), 2229–2246.
https://doi.org/10.1177/1359105315573443
Graff, C. S., (2013). Latina Resilience in Higher Education: Contributing Factors
Including Seasonal Farmworker Experiences. Journal of Hispanic Higher
Education, 12(4), 334–344.
https://doi.org/10.1177/1538192713494212
Guterman, Jeffrey. T. (2013).Master The Art of Solution Focused Counseling.
Second Edition.United Stated of America: Wiley American Counseling
Association.
Haase, L., Stewart. (2016). When the Brain Does Not Adequately Feel the Body:
Links between Low Resilience and Interoception. Biological Psychology,
113, 37–45.
https://doi.org/10.1016/j.biopsycho.2015.11.004
Hapsari, E. W. (2016). Self Efficacy Pengerjaan Skripsi Prokrastinasi Akademik
pada Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya. EXPERIENTIA: Jurnal Psikologi Indonesia, 4(2), 75-84.
http://journal.wima.ac.id/index.php/EXPERIENTIA/article/view/898
Hartuti, H., & Mangunsong, F. M. (2009). Pengaruh Faktor-faktor Protektif
Internal dan Eksternal pada Resiliensi Akademis Siswa Penerima Bantuan
Khusus Murid Miskin (BKMM) di SMA Negeri di Depok. Jurnal Psikologi
Indonesia, 6(2).
http://id.portalgaruda.org/
Henderson, N., & Milstein, M. M. (2003). Resiliency In Schools: Making it
Happen for Students and Educators. Thousand Oaks, Corwin Press, CA
Hinduja, S., & Patchin, J. W. (2017). Cultivating Youth Resilience to Prevent
Bullying and Cyberbullying Victimization. Child Abuse and Neglect,
73(August), 51–62.
https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2017.09.010
Ibeagha and Adejuwon. P. B. S. A. (2004). Resiliency of Inner-city Yoruba
University Undergraduates In South Western Nigeria. TT - . Studies of
Tribes and Tribals, 2(2), 125–129.
110
Retrieved from http://www.krepublishers.com/KRE-New-J/index.html.
Ifdil dan Taufik . (2012). Urgensi Peningkatan Dan Pengembangan Resiliensi
Siswa Di Sumatera Barat. Pedagogi I Jurnal Ilmiah Ilmu Pendiidikan,
XII(Urgensi Peningkatan dan Pengembangan Resiliensi Siswa di Sumatera
Barat), 115–121.
http://pedagogi.ppj.unp.ac.id/index.php/pedagogi/article/view/255
Jackson, R., & Watkin, C. (2004). The Resilience Inventory : Seven Essential
Skills for Overcoming Life’s Obstacles. Selection & Development Review,
20(6), 13–17.
https://www.manageris.com/article-the-resilience-inventory-seven-essential-
skills-for-overcoming-23516.html
Joker, H. & Ghaderi, Z. (2015) Efeectiveess of a Solution Based Counseling on
Students Self Perception. Academic Journals. 10(15), 2141-2145.· 1990-
3839. 10.5897/ERR2015.2332.
http://www.academicjournals.org/journal/ERR/article-full-text-
pdf/29B642154596.
Jowkar, B., Kohoulat, N., & Zakeri, H. (2011). Family Communication Patterns
and Academic Resilience. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 29,
87–90.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2011.11.210
Kaharja. (2016). Pengaruh Konseling Islam Solution Focused Brief Therapy
Terhadap Self Esteem Siswa MTSn Bantul Tahun 2015/2016. Jurnal
Pendidikan Islam. Vol.XIII, No.1 Juni.
http://ejournal.uin-suka.ac.id/tarbiyah/index.php/jpai/article/view/1409
Kumi-Yeboah, A. (2016). Educational Resilience and Academic Achievement of
Immigrant Students From Ghana in an Urban School Environment. Urban
Education, 1–30. https://doi.org/10.1177/0042085916660347
Koob, J. J., & Love, S. M. (2010). The Implementation Of Solution-Focused
Therapy to Increase Foster Care Placement Stability. Children and Youth
Services Review, 32(10), 1346–1350.
https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2010.06.001
Lloyd, H., & Dallos, R. (2006). Solution-Focused Brief Therapy With Families
Who Have a Child With Intellectual Disabilities: A Description of the
Content of Initial Sessions and the Processes. Clinical Child Psychology and
Psychiatry, 11(3), 367–386.
https://doi.org/10.1177/1359104506064982
Lai, J. C. L., & Yue, X. (2014). Using the Brief Resilience Scale to Assess
111
Chinese People’s Ability to Bounce Back From Stress. SAGE Open, 4(4).
https://doi.org/10.1177/2158244014554386
Lisbeth (2010). The Effect of A Solution-Focused Approach to Improve Self-
efficacy In Socially Withdrawn School Children: A Non-Randomized
Controlled Trial. International Journal of Nursing Studies, 47(11), 1389–
1396.
https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2010.05.001
Martin, A. (2002). Motivation and Academic Resilience: Developing A Model
For Student Enhancement. Australian Journal of Education. Sage Open
Vol. 46 No (I), 34–49.
https://doi.org/10.1177/000494410204600104
Magio, I. D (2016) Development and Validation of an Instrument to Assess
Future Orientation and Resilience in Adolescence. Journal of Adolescence.
51, 114-122
https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2016.06.005
Mulawarman, M., Munawaroh, E., & Nugraheni, E. P. (2016). Effectiveness of
Solution Focus Brief Counseling Approach (SFBC) In Developing Student
Career Adaptability. COUNS-EDU: The International Journal of
Counseling and Education, 1(1), 9-14.
DOI: 10.23916/10-15.0016.11-i33b
Mulawarman, U. (2014). Brief Counselling In Schools: A Solution-Focused Brief
Counselling (SFBC) Approach For School Counsellor in Indonesia. Journal
of Education and Practice, 5(21), 68-72.
https://iiste.org/Journals/index.php/JEP/article/view/14517
Mughid, A. (2009). Self-efficacy (Perspektif Teori Kognitif Sosial dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan). Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, 4(1).
DOI: http://dx.doi.org/10.19105/jpi.v4i1.247
Muzamil, A., Wibowo, M. E., & Purwanto, E. (2019). The Effectivenes of Group
Guidance with Problem Solving Technique to Improve Self-Efficacy and
Task Value. Jurnal Bimbingan Konseling, 8(1), 6-10.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jubk/article/view/26615
Myrick, R.D. (2011) Developmental Guidance and Counseling : A Practical
Approach Fifth Edition. Minneapolis: Educational Media Corporation.
Narayanan, S. S., & Alexius Weng Onn, C. (2016). The Influence of Perceived
Social Support and Self-Efficacy on Resilience Among First Year
Malaysian Students. Kajian Malaysia, 34(2), 1–23.
https://doi.org/10.21315/km2016.34.2.1
112
Newsome, W. S. (2004). Solution-Focused Brief Therapy Groupwork with At-
Risk Junior High School Students: Enhancing the Bottom Line. Research on
Social Work Practice, 14(5), 336–343.
https://doi.org/10.1177/1049731503262134
Neal, D. (2017). Academic Resilience and Caring Adults: The Experiences of
Former Foster Youth. Children and Youth Services Review, 79, 242–248.
https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2017.06.005
Nicholas, A. (2015). Solution Focused Brief Therapy with Children Who Stutter.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 193, 209–216.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.03.261
Nugroho, A. H., Puspita, D. A., & Mulawarman, M. (2018). Penerapan Solution-
Focused Brief Counseling (SFBC) untuk Meningkatkan Konsep Diri
Akademik Siswa. Bikotetik (Bimbingan dan Konseling: Teori dan
Praktik), 2(1), 93-99.
http://dx.doi.org/10.26740/bikotetik.v2n1.p93-99
Oloan, R., & Dariyo, A. (2015). Pengaruh Iklim Kelas Terhadap Resiliensi
Akademik , Mastery Goal Orientation dan Prestasi Belajar, 978–979.
http://mpsi.umm.ac.id/files/file/262-268%20Raja%20Oloan.pdf.
Palmer, S. (2011). Konseling dan Psikoterapi, terj. Haris H. Setadjid, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pahlevi, R., Sugiharto, D. Y. P., & Jafar, M. (2017). Prediksi Self-Esteem, Social
Support dan Religiusitas terhadap Resiliensi. Jurnal Bimbingan
Konseling, 6(1), 90-93.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jubk/article/view/17445
Permata D.C &.Listiyandini R. A (2015). Peranan Pola Asuh Orangtua dalam
Memprediksi Resiliensi Mahasiswa Tahun Pertama Yang Merantau Di
Jakarta. Universitas Gunadarma: Depok , Proseding Pesat
Vol. (6) 10.2017
http://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/pesat/article/view/1332.
Pintrich, P. R. (1991). A Manual For the Use of the Motivated Strategies for
Learning Questionnaire (MSLQ).
Purwanto, Edi (2016) Metode Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Poerwanto, A. (2017) Analisis Prediktor Resiliensi Akademik Siswa Sekolah
Menegah Atas di Kota Surabaya. Jurnal Psikosains.
12(1), 45–57.
113
http://journal.umg.ac.id/index.php/psikosains/article/download/140/118
Prayitno (2005) Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta
Prince-Embury, S & Saklofske, D.H. (2013) Resilience in Children Adolancents
and Adults. Translating Reseach Into Practice: New York: Springer.
Pulungan, Ahmad, J.S (2012) Gambaran Resiliensi Siswa Putus Sekolah di
Pesisir. Fakultas Psikologi: USU. Predicara: Jurnal Ilmiah Kajian Prilaku.
1(2) 2012
https://jurnal.usu.ac.id/index.php/predicara/article/view/532
Reiter, M.D. & Chenail, R.J. 2016. Defining the Focus in Solution Focused Brief
Therapy. International Journal of Solution-Focused Practices. 1(4), 1-9.. 10.14335/ijsfp.v4i1.27.
https://www.solutionfocused.org.au/
Reivich, K & Shatte, A. (2002) The Resiliece Factor. New York: Broadway
Book.
Riza, M., & Herdiana, I. (2013). Resiliensi pada Narapidana Laki-laki di Lapas
Klas 1 Medaeng. Jurnal Psikologi Kepribadian Dan Sosial, 2(1), 1–6.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/jpksfbd660cc7a2full.pdf.
Rosmayati, R., Sunawan, S., & Saraswati, S. (2017). Self-Efficacy dan
Konformitas dengan Prokrastinasi Akademik Mahasiswa. Indonesian Journal
of Guidance and Counseling: Theory and Application, 6(4).
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jbk/article/view/18105
Samsudi (2009). Desain Penelitian Pendidikan. Semarang: UNNES Press
Sari, PKP dan Indrawati (2016). Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman
Sebaya dengan Resiliensi Akademik Pada Mahasiswa Tingkat Akhir
Jurusan X Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, 5(April), 177–182
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/article/view/14979
Sagone, E., & Caroli, M. E. De. (2013). Relationships Between Resilience, Self-
Efficacy, and Thinking Styles in Italian Middle Adolescents. Procedia -
Social and Behavioral Sciences, 92(Lumen), 838–845.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.08.763
Sadewi, A. I., Sugiharto, D. Y. P., & Nusantoro, E. (2012). Meningkatkan Self
Efficacy Pelajaran Matematika Melalui Layanan Penguasaan Konten Teknik
Modeling Simbolik. Indonesian Journal of Guidance and Counseling:
Theory and Application, 1(2).
114
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jbk/article/view/1606
Selvia, Putri (2016) Keefektifan Teknik Cognitive Restructuring dan Tought
Stopping dalam Konseling Kelompok Untuk Mengurangi Prilakuk Bullying
pada siswa SMA. Tesis . Semarang: Program Pascasarjana
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jubk/article/view/17430
Seligman, L. (2006) Theories of Counseling and Psychotherapy. Columbus, Ohio:
Pearson Merril Prentice Hall.
Sherty Amelia (2014). Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama
Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Volume 1 No. 2, oktober 2014.
JOM Journal, 10(2), 31–40.
https://www.neliti.com/publications/189043/
Sisca.H & Moningka C (2008) Resiliensi Perempuan Dewasa Muda Yang Pernah
Mengalami Kekerasan Seksual di Masa Kanak-kanak. Jurnal Psikologi. Vol
2(1) 61-69.
http://www.ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/view/245
Simon, J. B., Murphy, J. J., & Smith, S. M. (2005). Understanding and Fostering
Family Resilience. The Family Journal, 13(4), 427–436.
https://doi.org/10.1177/1066480705278724
Smith, B. W,. Dalen, J., Wiggins, K (2008). The Brief Resilience Scale :
Assessing the Ability to Bounce Back, 194–200.
https://doi.org/10.1080/10705500802222972
Sugara, G. S. (2017). Integrasi Terapi Sandtray Dengan Pendekatan Konseling
Berfokus Solusi Pada Anak Yang Mengalami Trauma. Jurnal Fokus
Konseling, 3(1), 32-46.
https://doi.org/10.26638/jfk.287.2099
Suryaman, M. A. (2013). Pengaruh Religiusitas terhadap Resiliensi pada Pasien
Rehabilitasi Narkoba Yayasan Rumah Damai Semarang.. Developmental
and Clinical Psychology, 2(1).
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/INTUISI/article/view/13319
Sugiyono (2013) Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta
Sosa, T., & Gomez, K. (2012). Connecting Teacher Efficacy Beliefs in Promoting
Resilience to Support of Latino Students, 2048(Mc 057).
https://doi.org/10.1177/0042085912446033
Styaningrum, I. R. (2014). Pengaruh School Engagement, Locus Of Control, dan
115
Social Support Terhadap Resiliensi Akademik Remaja. TAZKIYA Journal of
Psychology, 1, 19.
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya
Taathadi,S (2014). Application of Solution-Focused Brief Therapy (SFBT) to
Enhance High School Students Self-Esteem: An Embedded Experimental
Design. International Journal of Psychological Studies, 6(3), 96–105.
https://doi.org/10.5539/ijps.v6n3p96
Yamamoto, T., Matsumoto, Y., & Bernard, M. E. (2017). Effects of the
Cognitive-Behavioral You Can Do It! Education Program on the Resilience
of Japanese Elementary School Students: A Preliminary Investigation.
International Journal of Educational Research, 86(March), 50–58.
https://doi.org/10.1016/j.ijer.2017.08.006
Utami, C. T., Helmi, A. F., (2017). Self-Efficacy dan Resiliensi : Sebuah tinjauan
Meta-Analisis, Psikologi, F., & Gadjah, U. Buletin Psikologi 25(1), 54–65.
https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.18419
Wang, L, Tao, H. (2017). Influence of Social Support and Self-Efficacy on
Resilience of Early Career Registered Nurses. Western Journal of Nursing
Research
https://doi.org/10.1177/0193945916685712
Widuri, E. L. (2012). Regulasi Emosi dan Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun
Pertama. Humanitas, IX(2), 147–156.
https://doi.org/10.22146/JPSI.6967
Wibowo, M.E. (2005) Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: UNNES
Press.
Winkel & Sri H. (2012) Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.
Yogyakarta: Media Abadi.
Wiyono, B. D. (2015). Keefektifan Solution-Focused Brief Group Counseling
Untuk Meningkatkan Motivasi Berprestasi Siswa Sekolah, 1(1), 36–46
https://doi.org/10.21067/jki.v1i1.854
Zalfa, K. (2014). Penerapan Konseling Singkat Berfokus Solusi(Solution-Focused
Brief Counseling) Untuk Mengembangkan Resiliensi Santri (Doctoral
dissertation, Universitas Pendidikan Indonesia).