Download - Kelompok 5 perizinan di daerah (1)
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pembukaan UUD 1945 menetapkan dengan tegas tujan kehidupan bernegara yang
berdasarkan hukum, hal ini berarti bahwa hukum merupakan supermasi atau tiada kekuasaan lain
yang lebih tinggi selain hukum. Upaya merealisasi Negara berdasarkan hukum dan mewujudkan
kehidupan bernegara maka hukum menjadi pengarah, perekayasa, dan perancang bagaimana
bentuk masyarakat hukum untuk mencapai keadilan. Berkaitan dengan hal tersebut perlu adanya
pembentukan peraturan dimana harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat serta tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu regulasi yang
dapat membantu peran kehidupan bernegara adalah aspek perizinan yang diberikan oleh Negara
kepada masyarakat. Hukum perizinan mengatur beberapa aturan terkait izin yang dikeluarkan
oleh Negara kepada rakyatnya. Hukum perizinan adalah merupakan bagian dari Hukum
Administrasi Negara. Adapun yang dimaksud dengan perizinan adalah: melakukan perbuatan
atau usaha yang sifatnya sepihak yang berada di bidang Hukum Publik yang berdasarkan
wewenang tertentu yang berupa penetapan dari permohonan seseorang maupun Badan Hukum
terhadap masalah yang dimohonkan. Sebelum adanya kebijakan Otonomi Daerah, maka
kewenangan pemberian perizinan bidang usaha hampir seluruhnya menjadi otoritas Pemerintah
Pusat yang sentralisasi. Disamping itu dalam suasana sentralisasi tersebut para pemohon peizinan
(dunia usaha) juga harus menghadapi birokrasi yang berbelit-belit serta dibebani lagi dengan
pungutan biaya yang tidak tentu jumlahnya. Keadaan ini telah menimbulkan keluhan dan
kemandekan dalam dunia usaha yang tentunya secara langsung atau tidak langsung akan
berpengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan pembangunan perekonomian bangsa.
Munculnya berbagai peraturan (regulasi) yang diterbitkan ditingkat pusat telah
membawa dampak negartif dalam menimbulkan kegairahan dunia usaha dan investasi di
Indonesia. Birokrasi yang berbelit-belit dan berbagai persyaratan yang memberatkan telah
menimbulkan ekonomi biaya tinggi (hight cost economic) hampir dalam setiap sektor kegiatan
usaha. Hal ini mengakibatkan efek negatif yang cukup besar seperti lambatnya perkembangan
dunia usaha yang diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan guna mengatasi jumlah
pengangguran yang terus membengkak. Selain itu ketersediaan produk barang dan jasa di pasar
juga sangat terbatas dengan harga yang cukup tinggi, yang pada gilirannya semua ini akan
mengakibatkan beban ekonomi dan hidup bagi masyarakat luas.
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimana fungsi dari perizinan di daerah?
2. Apakah tujuan dari perizinan di daerah?
3. Bagaimana implementasi hukum perizinan terhadap kegiatan usaha yang dilakukan oleh
masyarakat di daerah ?
BAB II LANDASAN TEORI
IZIN (verguning), adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-
undang atau Peraturan Pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-
ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Jadi izin itu pada prinsipnya adalah sebagai
dispensasi atau pelepasan/ pembebasan dari suatu larangan (Adrian Sutedi, 2010, 168). Jadi
perizinan adalah suatu bentuk pelaksaanaan fungsi pengaturan dan fungsi pengaturan dan
bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat.Perizinan ini dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan
kuota dan izin untuk melakukan suatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh oleh
suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu
kegiatan atau tindakan.
Definisi izin menurut beberapa ahli, yaitu :
1. Ateng Syarifudin
Izin adalah sesuatu yang bertujuan menghilangkan larangan, hal yang dilarang menjadi
boleh.“Als opheffing van een algemene verbodsregel in het concrete geval” yang artinya sebagai
peniadaan ketentuan larangan umum dalam peristiwa konkret. (Adrian Sutedi, 2010, hal. 168).
2. Sjachran Basah
Izin adalah perbuatan hukum administrasi Negara bersegi satu yang mengaplikasikan
peraturan dalam hal konkrit berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan (Syahran Basah, 1995, hal. 3).
3. E. Utrecht
Bekenaan dengan izin ini beliau berpendapat bahwa “ Bila pembuat peraturan umumnya
tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara
yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, keputusan administrasi Negara yang
memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning) (E. Utrecht, 1957, hal.
187).
4. Pasal 1 ayat (8,9) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006
Ayat (8), Izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan
peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan
syah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan
tertentu.
Ayat (9), perizinan adalah pemberian legalitas kepada sesorang atau pelaku usaha
kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin maupun daftar usaha.
Dari uraian tentang izin diatas, yang pada dasarnya adalah sebagai keputusan
pejabat/badan tata usaha Negara yang berwenang, yang isinya atau sustansinya mempunyai
berbagai sifat, antara lain :
1. Izin yang bersifat bebas.
2. Izin yang bersifat terikat.
3. Izin yang bersifat menguntungkan.
4. Izin yang bersifat memberatkan
5. Izin yang segera berakhir
6. Izin yang berlangsung lama
7. Izin yang bersifat pribadi
8. Izin yang bersifat kebendaan
Perbedan dan Hubungan antara Izin, Lisensi, Konsesi dan Dispensasi
1. Lisensi
Pengertian lisensi secara umum adalah memberi izin, misalnya, izin menggunakan nama.
Kalau dizaman dahulu, di Eropa misalnya izin untuk mengelola jembatan.Ada juga izin untuk
tidak membayar pajak.Seperti itulah pengertian lisensi secara umum.
Lisensi itu bisa untuk produk atau merek di industry apapun.Jika dulu, lisensi
hanya sebatas produksi, sekarang sudah berkembang di semua industry.Industrinya mulai
pakaian, barang-barang elektronik, obat-obatan dan termasuk jasa sekalipun dapat dilisensikan
(Adrian Sutedi, 2010, hal. 176).
2. Konsesi
Konsesi dalam kamus bahasa mengandung pengertian kelonggaran atau kemudahan
setelah melawati proses diplomasi atau diskusi. Oleh karena itu, politik konsesi menjadi bagian
wajar dari seni berpolitik itu sendiri ( Garin Nugroho, 2008, hal. 2).
Dalam hal ini Van Vollenhoven juga berpendapat bahwa :
“Konsesi adalah bilamana orang-orang partikulir setelah berdamai dengan pemerintah,
melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah”
Tujuan pemberian konsesi adalah untuk kesejahteraan umum, suatu usaha yang
dapat memenuhi kebutuhan rakyat banyak yang karena sesuatu dan lain sebab Pemeintah tidak
dapat melaksnakannya sendiri, misalnya karena kurangnya tenaga ahli yang imiliki oleh fihak
pemerintah untuk melaksanakan pembangunan suatu proyek dan sebagainya.
Konsesi Menurut H.D. van Wijk, disampaikan berikut :
“ De concessive figuur wordt gebruikt voor activiteiten van openbaar belang die de overhead
nietzelf verricht maar overlaat aan particuliere ondernemingen”. (H.D. van Wijk en Willem
Konijnenbelt, 1995, hal. 224). = “Bentuk konsesi terutama digunakan untuk berbagai aktivitas
yang menyangkut kepentingan umum, yang mampu dijalankan sendiri oleh pemerintah, lalu
diserahkan kepada perusahaan-perusahaan swasta”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konsesi merupakan penetapan
yang memungkinkan konsensionaris mendapat dispensasi, izin, lisensi, dan juga semacam
wewenang pemerintahan yang memungkinkannya, misalnya membuat jalan, jembatan layang,
dan sebagainya. Pemberian konsesi haruslah dengan penuh kewaspadaan dan penghitungan yang
matang agar supaya tidak salah sasaran dan sejalan dengan tujuan pemberian konsesi.
3. Dispensasi
Pengertian Dispensasi ini disampaikan oleh W.K. Prins bahwa :
“ Dispensasi adalah tindakan pemerintahan yang menyebabkan suatu peraturan
perundang-undangan menjadi tidak berlaku bagi sesuatu hal yang istimewa (relaxation legis)”
( W.F. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, 1983, hal. 72).
Demikian pula menurut Ateng Syafrudin, beliau menegaskan bahwa, dispensasi bertujuan
untuk menembus rintangan yang sebetulnya secara normal tidak diizinkan, jadi dispensasi berarti
menyisihkan pelarangan dalam hal yang khusus ( relaxation legis).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dispensasi (pelepasan/pembebasan) adalah
pernyataan dari pejabat administrasi yang berwenang, bahwa suatu ketentuan undang-undang
tertentu memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan seseorang di dalam surat
permintaannya.
Kalau kita amati akan tampak jelas bahwa dispensasi ini memang dimaksudkan sebagai
perkecualian yang sungguh-sungguh atas larangan sebagai aturan umum, yang diperkenankan
berhubungan erat dengan keadaan atau peristiwa secara khusus. Misalnya, diperkenankannya
seorang pegawai/ karyawan untuk tidak mengikuti apel pagi karena sakit, padahal apel pagi ini
adalah sesuatu yang diwajibkan oleh atasannya.
Elemen/ Unsur Perizinan
Dari pemaparan panjang lebar tentang perizinan di atas dapat disimpulkan bahwa izin
adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
diterapkan pada peristiwa konkrit menurut prosedur dan persyaratan tertentu.
Dari pengertian tersebut Nampak adanya beberapa unsur dalam perizinan, yaitu :
1. Wewenang;
2. Sebagai bentuk ketetapan;
3. Lembaga Pemerintah;
4. Peristiwa konkrit;
5. Proses dan prosedur;
6. Persyaratan tertentu;
7. Waktu penyelesaian izin;
8. Biaya perizinan;
9. Pengawasan penyelenggaraan izin;
10. Penyelesaian pengaduan dan sengketa;
11. Sanksi, dan Hak dan kwajiban
Untuk lebih jelasnya berikut kami uraikan masing-masing unsur tersebut sebagai berikut :
1. Wewenang
Setiap tindakan hukum oleh pemerintah, utamanya dalam Negara hukum, baik itu dalam
menjalankan fungsi pengaturan maupun pelayanan, harus didasarkan pada wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga tanpa wewenang jelas
bahwa tidak akan pernah dapat dibuat keputusan konkrit secara yuridis.
2. Sebagai bentuk ketetapan
Dalam Negara hukum modern, tugas dan kewenangan pemerintah tidak hanya sekedar
menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde), tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum
(bestuurszorg).Tugas dan kewenangan pemerintah untk menjaga ketertiban dan keamanan
merupakan tugas klasik yang sampai kini masih dipertahankan.
Dalam rangka tugas inilah maka epada pemerintah diberikan wewenang dalam bidang
pengaturan, yang dari fungsi pengatran ini muncul beberpa instrument yuridis untk menghadapi
peristiwa individual dan konkrit, ketetapan ini merupakan ujung tombak dari instrumen hukum
dalam penyelenggaraan pemerintahan. (Sjachran Basah, 1995, hal. 2).
3. Lembaga Pemerintah
Lembaga atau kelembagaan, secara teoritis adalah suatu rule of the game yang mengatui
dapat r tindakan dan menentukan apakah suatu organisasi dapat berjalan secara efisien dan
efektif (North, 2009, hal. 49). Dengan demikian tata kelembagaan dapat menjadi pendorong
(enabling) pencapaian keberhasilan dan sekaligus juga bila tidak tepat dalam menata, maka akan
menjadi penghambat (Contraint) tugas-tugas termasuk tugas penyelenggaraan perizinan
tehadapa segala sesuatu yang memerlukan izin dari pemerintah/ Negara.
4. Peristiwa konkrit
Disebutkan bahwa izin merupakan instrument yuridis yang berbentuk ketetapan, yang
digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa konkrit dan individual.
Peristiwa konkrit artinya yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu,
dan fakta hukum tertentu.Karena peristiwa konkrit ini beragam, izinpun juga beragam. Izin yang
jenisnya beragam itu dibuat dalam proses yang cara prosedurnya tergantung dari kewenangan
pemberi izin, macam izin dan struktur organisasi instansi yang menerbitkannya.
5. Proses dan prosedur
Proses dan prosedur perizinan dapat meliputi prosedur pelayanan perizinan,
proses penyelesaian perizinan yang merupakan proses penyelesaian perizinan yang dilakukan
oleh aparat/petugas. Dalam setiap tahapan pekerjaan tersebut, masing-masing pegawai dapat
mengetahui peran masing-masing dalam proses penyelesaian perizinan. (Andrian Sutedi,
SH,MH, hal. 185)
Secara umum permohonan izin itu harus menempuh prosedur tertentu yang
ditentukan oleh pemerintah, selaku pemeri izin.Di samping itu pemohon juga harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan oleh pemerintah/ penguasa sebagai pemberi
izin yang ditentukan secara sefihak.Prosedur dan persyaratan perizinan itu berbeda-beda
tergantung jenis izin, tujuan izin dan instansi pemberi izin, yaitu instansi mana, bisa pemerintah
daerah atau pusat.
Selanjutnya beberapa hal yang yang berhubungan dengan pelaksanaan perizinan,
lack of competencies akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Proses perizinan membutuhkan adanya pengetahuan tidak hanya sebatas aspek legal dari
proses perizinan, tetapi lebih jauh dari itu. Misalnya untuk memberi izin, pihak pelaksana juga
harus mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari izin tersebut.
b. Proses perizinan memerlukan dukungan keahlian aparatur tidak hanya dalam hal
mengikuti tata urutan prosedurnya, tetapi juga hal-hal lain yang sangat mendukung kelancaran
proses perizinan itu sendiri.
c. Proses perizinan tidak terlepas dari interaksi antara pemohon dengan pemberi izin. Dalam
interaksi tersebut terkadang muncul perilaku yang menyimpang, baik yang dilakukan oleh
aparatur maupun yang dipicu oleh kepentingan bisnis pelaku usaha, sehingga aparatur pelaksana
perizinan dituntut untuk memiliki perilaku yang positif dengan tidak memanfaatkan situasi demi
kepentingan pribadi. Ini semata-mata demi terciptanya good governance.
Dari uraian diatas jelas bahwa, inti dari regulasi dan deregulasi prose perizinan adlah
pada tata cara dan prosedur perizinan. Untuk itu maka isi regulasi dan deregulasi haruslah
memenuhi nilai-nilai :
1. Sederhana;
2. Jelas;
3. Tidak melibatkan banyak fihak
4. Meminimalkan kontak fisik antar fihak yang melayani dengan fihak yang dilayani
5. Memliki prosedur operasional standar, dan wajib dikomunikasikan secara luas.
6. Persyaratan Tertentu
Persyaratan merupakan hal yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk meperoleh izin
yang dimohonkan.Persyaratan-persyaratan tersebut beupa dokumen atau surat-surat
kelengkapan. Dalam regulasi dan deregulasi, persyaratan dalam proses perizinan setidaknya
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Tertulis dengan jelas
Regulasi akan sulit terlaksana dengan baik tanpa tertulis dengan jelas.
b. Memungkinkan untuk dipenuhi
Karena itulah maka perizinan harus berorientasi pada pada azas kemudahan untuk dilaksanakan
oleh si pemohon izin.
c. Berlaku universal
Perizinan hendaknya tidak menimbulkan efek diskriminatif, tapi harus inklusif dan universal.
b. Memperhatikan spesifikasi teknis dan aspek lainnya yang terkait.
7. Waktu penyelesaian izin
Waktu penyelesaian izin harus ditentuakan oleh instansi yang bersangkutan.Waktu
penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan perizinan sampai dengan
penyelesaian izin.
8. Biaya perizinan
Untuk penetapan besarnya biaya pelayanan izin, harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Rincian biaya harus jelas untuk setiap perizinan, khususnya yang memerlukan tindakan
seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran serta pengajuan.
b. Ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan atau dan memperhatikan prosedur sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembiayaan menjadi hal yang mendasar dari pengurusan perizinan.Namun , perizinan sebagai
bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengatur aktivitas masyarakat sudah seharusnya
memenuhi sifat-sifat sebagai public good. Dengan demikian, meskipun terdapat pembiayaan,
sesungguhnya bukan untuk sebagai alat budgetaire Negara. Oleh karena itulah, maka harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Disebutkan dengan jelas;
b. Terdapat (mengikuti) standar nasional;
c. Tidak ada pengenaan biaya lebih dari sekali untuk setiap obyek (syarat) tertentu;
d. Perhitungan didasarkan pada tingkat real cost (biaya yang sebenarnya);
e. Besarnya biaya diinformasikan secara luas (Andrian Sutedi, SH,MH, hal. 188)
9. Pengawasan Penyelenggaraan Izin
Mencermati kondisi saat ini, bahwa kinerja pelayanan perizinan ternyata masih perlu
ditingkatkan agar menjadi lebih baik.Itu artinya bahwa pelayanan perizinan pemerintah masih
buruk.Mengapa ?.
Buruknya pelayanan perizinan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
a. Tidak ada system insentif untuk malakukan perbaikan;
b. Buruknya tingkat pengambilan inisiatif dalam pelayanan perizinan, yang ditandai dengan
dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada aturan formal (rule driven) dan petunjuk
pimpinan.
c. Budaya aparatur yang masih kurang disaiplin dan sering melanggar aturan;
d. Budaya paternalistic yang tinggi, artinya aparat menempatkan pimpinan sebagai prioritas
utama, bukan kepentingan masyarakat.
10. Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa
a. Pengaduan
b. Sengketa
11. Sanksi
Sebagai produk kebijakan public, regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia ke depan
perlu memperhatikan materi sanksi dengan criteria sebagai berikut :
a. Disebutkan secara jelas terkait dengan unsure-unsur yang dapat diberi sanksi dan sanksi
apa yang akan diberikan;
b. Jangka waktu pengenaan sanksi disebutkan;
c. Mekanisme penggunaan sanksi (Adrian Sutedi, SH.,MH. Hal. 192)
12. Hak dan Kewajiban
Hak dan Kewajiban antara pemohon dan instansi pemberi izin harus tertuang dalam
regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia.
Dalam hal ini harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Tertulis dengan jelas.
b. Seimbang antar para pihak.
c. Wajib dipenuhi oleh para pihak.
Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009, tentang Pelayanan Publik juga
dikemukakan hak dan kewajiban masyarakat (yang memohon izin) dan instansi pemberi
pelayanan perizinan.
BAB III PEMBAHASAN MASALAH
Fungsi Pemberian Izin
Ketentuan tentang perizinan mempunyai dua fungsi, yaitu :
a. Fungsi penertib
b. Fungsi pengatur.
Tujuan Pemberian Izin
Secara umum tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian dari pada
aktivitas pemerintah dalam hal-hal tertentu dimana ketentuannya berisi pedoman-pedoman yang
harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh pejabat yang berwenang.
Adapun tujuan Perizinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu :
a. dari sisi pemerintah;
b. dari sisi masyarakat.
Lebih lanjut untuk masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Dari Sisi Pemerintah
Dari sisi pemerintah, tujuan pemberian izin itu adalah sebagai berikut :
Untuk melaksanakan peraturan
Apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan
kenyataan dalam praktiknya atau tidak, dan sekaligus untuk mengatur ketertiban.
Sebagai sumber pendapatan daerah.
Dengan adanya permohonan izin , maka secara langsung pendapatan pemerintah akan
bertambah, karena setiap izin yang dikeluarkan, pemohon harus membayar retribusi lebih
dahulu. Dampaknya semakin banyak pula pendapatan dibidang retribusi yang tujuan akhirnya
akhirnya adalah untuk biaya pembangunan.
b. Dari Sisi Masyarakat
Dari sisi masyarakat, tujuan pemberian izin itu adalah sebagai berikut :
Untuk adanya kepastian hukum;
Untuk adanya kepastian hak
Untuk mudahnya mendapatkan fasilitas.
Suatu misal dalam hal Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tujuan dari Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) ini adalah untuk melindungi kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat
yang ditujukan atas kepentingan hak atas tanah.
Berkaitan dengan hal-hal yang terlah dipaparkan di atas, pelaksanaan otonomi daerah
dimaksudkan untuk memberikan ruang yang cukup besar bagi daerah baik tingkat Provinsi
maupun daerah Kabupaten/Kota untuk mengembangkan potensi daerah, serta pelayanan
masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan yang nyata bagi masyarakat. Dengan otonomi
daerah maka terjadi perubahan paradigma dari pemerintahan yang sentralistik menjadi
paradigma desentralisasi.
Penguatan otorisasi Pemerintah Daerah melalui kebijakan otonomi daerah akan menghasilkan
kemajuan demokrasi di tingkat lokal, yang menciptakan suasana keterbukaan informasi dan
pelayanan Pemerintah Daerah kepada masyarakat. Di samping itu paradigma desentralisasi juga
telah menumbuhkan kepekaan masyarakat untuk menuntut kualitas pelayanan publik (Public
Service) yang merupakan kewajiban dari Pemerintah Daerah yang diimplementasikan melalui
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di setiap lingkungan Pemerintah Daerah.
Melalui penerbitan regulasi peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar otonomi daerah
yang dimulai sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang
selanjutnya dirubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan saat ini juga telah
mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menjadi landasan yuridis
formal dalam pengelolaan Pemerintah Daerah.
Salah satu hal penting dalam pelaksanaan otonomi daerah yang sering menjadi sorotan adalah
sejauh mana kebijakan otonomi daerah dapat memberikan peningkatan kualitas dan efektivitas
fungsi-fungsi pelayanan publik termasuk pelayanan perizinan usaha dapat mendorong
perkembangan kehidupan investasi dan dunia usaha di daerah.
Otonomi Daerah dan Pelayanan Publik
Amanat konstitusi (UUD 1945) bahwa tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik indonesia,
antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umun dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Melalui amanat tersebut dapat dimaknai bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap
warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan
pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap
warga negara atas barang publik, jasa publik, dan pelayanan administratif.
Secara yuridis formal program pelayanan publik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.25 Tahun 2009 yang
dimaksud dengan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik.
Penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi,
lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang untuk kegiatan pelayanan
publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Harus diakui bahwa permasalahan pelayanan publik masih sesuatu yang perlu pembenahan
secara serius dan terus-menerus. Penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada
kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan pembahasan di berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan
untuk merespon terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai
masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia
dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi dan perdagangan.
Terjadinya perubahan dan pergeseran nilai yang cukup dinamis dalam masyarakat maka perlu
adanya respon dan penyikapan yang tepat dan bijak melalui langkah kegiatan yang terus-
menerus dan berkesinambungan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan
tujuan pembangunan nasional.
Melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, maka penyelenggaraan pelayanan publik
diselenggarakan berasaskan yaitu
a. Asas Kepentingan Umun, artinya bahwa pemberian pelayanan publik tidak boleh
mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.
b. Asas Kepastian Hukum, artinya bahwa pemberian pelayanan publik harus memberikan
jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaran pelayanan.
c. Asas Kesamaan Hak, artinya bahwa pemberian pelayanan publik tidak membedakan suku,
ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
d. Asas Keseimbangan Hak dan Kewajiban, artinya bahwa pemberian pelayanan publik
dilaksanakan dengan pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus
dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima layanan.
e. Asas Keprofesionalan, artinya bahwa pelaksanaan pelayanan harus memiliki kompetensi
yang sesuai dengan bidang tugas.
f. Asas Partisipatif, artinya bahwa pemberian pelayanan publik harus memperhatikan
peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan
memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
g. Asas Persamaan Perlakuan / Tidak Diskriminatif, artinya bahwa etiap warga negara berhak
memperoleh pelayanan yang adil.
h. Asas Keterbukaan, artinya bahwa setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah
mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
i. Asas Akuntabilitas, artinya bahwa proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
j. Asas Fasilitas dan Perlakuan Khusus bagi Kelompok Tertentu, artinya bahwa perlu adanya
pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam
pelayanan.
k. Asas Ketepatan Waktu, artinya bahwa penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat
waktu sesuai dengan standar pelayanan.
l. Asas Kecepatan, Kemudahan, dan Keterjangkauan, artinya bahwa setiap jenis pelayanan
dilakukan secara cepat, mudah dan terjangkau.
Pelayanan Perizinan dan Otonomi Daerah
Deregulasi perizinan di Indonesia pasca otonomi daerah sebenarnya telah dilakukan
melalui berbagai instrumen kebijakan. Namun disadari bahwa dalam tubuh birokrasi, khususnya
menyangkut pelaksanaan pelayanan perizinan masih ada beberapa permasalah yang ditemukan
yang secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi tingkat kualitas pelayanan
perizinan kepada masyarakat (dunia usaha). Beberapa kelemahan tersebut antara lain
menyangkut kualitas pelayanan, pengeluaran biaya yang tidak pasti, budaya elitis lokal,
rendahnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM) dan terbatasnya sarana dan prasarana.
Disamping itu masih ditemukan adanya peraturan yang tumpang tindih, moral hazard,
dan masih terciumnya aroma bahwa dalam setiap urusan pelayanan perizinan selalu terkait
dengan praktek suap (KKN) dan inkonsistensi dalam pelaksanaan prinsi-prinsip Good
Governance secara komprehensif. Oleh karena itu dalam mengatasi berbagai permasalahan dan
kelemahan-kelemahan tersebut diatas, maka penyempurnaan pengaturan pelayanan perizinan
oleh pemerintah daerah.
Salah satu contoh, Sejak Tahun 1999 melalui otonomi daerah terjadi penguatan
kewenangan daerah dalam pemberian izin penanaman modal di daerah. Namun melalui Keppres
Nomor 29 Tahun 2004 pemerintah pusat melakukan tindakan inkosisten dengan menarik
kembali kewenangan pemberian pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal
dalam rangka PMA dan PMDN kembali ditangani pemerintah pusat pada BKPM melalui sistem
Pelayanan Satu Atap.
Menurut Pasal 6 Keppres Nomor 29 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kepala BKM dalam
melaksanakan sistem Pelayanan Satu Atap berkoordinasi dengan instansi yang membina bidang
usaha penanaman modal. Dengan dikeluarkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, maka kewenangan daerah di bidang penanaman modal adalah dalam penyelenggaraan
pelayanan administratif penanaman modal, dan ketentuan tersebut tidak ada penjelasan secara
detail. Permasalahan yang membelit birokrasi pelayanan perizinan di daerah akan memberikan
resistensi yang semakin besar apabila tidak diperbaiki secara menyeluruh. Hal ini juga akan
berpengaruh dampak besar kepada rendahnya keinginan dunia usaha untuk menanamkan modal
atau berinvestasi di suatu daerah.
BAB IV PENUTUP
Permasalahan yang membelit birokrasi pelayanan perizinan yang terjadi sebelum dan
sesudah otonomi daerah seharusnya dapat diatasi untuk menumbuhkan iklim investasi yang sehat
dan dinamis guna mendorong perkembangan pembangunan perekonomian bangsa.
Seiring dengan era otonomi daerah, maka seygianya urusan pelayanan perizinan
sepenuhnya dilimpahkan kepada pemerintah daerah sebagai daerah tujuan investasi dunia usaha
sehingga kehadiran dunia usaha di daerah juga dapat mendorong kemajuan ekonomi dan
kesejahteraan kehidupan masyarakat di daerah.