Download - Kelompok Revisi 2013 TOEFL
HUBUNGAN ANTARA METAKOGNISI DAN MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN KREATIVITAS
BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian atau keberhasilan seseorang di dalam
bidang akademik. Namun pada penelitian ini peneliti akan meneliti peranan dan kaitan antara
metakognisi, afektif dan sosial terhadap prestasi TOEFL dengan motivasi sebagai variable intervening.
Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan memainkan peran yang sangat penting di dalam
mempengaruhi keberhasilan akademik di kalangan mahasiswa di dalam pencapaian nilai TOEFL yang
diinginkan.
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun
tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 keterampilan menyimak (listening
skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills), dan
keterampilan menulis (writing skills). Keempat keterampilan tersebut sebagai sarana intelektual.
Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbahasa maka semakin
cerah dan jelas jalan pikirannya. Salah satu tujuan pembelajaran bahasa Inggris di universitas adalah
agar siswa memahami bahasa Inggris dari segi bentuk, fungsi, serta menggunakannya dengan tepat
dan kreatif untuk bermacam-macam keperluan salah satunya adalah pencapaian prestasi nilai TOEFL.
Tujuan ini mengimplikasikan bahwa di dalam suatu pembelajaran, siswa membutuhkan suatu strategi
untuk memahami bahasa Inggris dengan baik dan benar dari berbagai segi. Strategi belajar merupakan
langkah-langkah yang diambil oleh para siswa untuk meningkatkan pembelajaran mereka sendiri.
Strategi belajar digunakan dosen untuk mencapai tujuan tertentu. Penggunaan strategi belajar ini
tampak pada tindakan-tindakan atau perilaku-perilaku khusus yang dilakukan seorang dosen untuk
meningkatkan kemampuan bahasanya. Misalnya dengan cara meniru, mengulang-ulang,
menterjemahkan ke dalam bahasa lain, memperbaiki tuturan, meminta klarifikasi, dan lain-lain.
Sebagai contoh seorang siswa memperbaiki tuturan teman yang diketahuinya salah atau kurang baik.
Menurut Oxford (1990) mengklasifikasikan strategi belajar menjadi dua kategori umum, yaitu strategi
langsung dan strategi tidak langsung. Strategi belajar dikatakan strategi langsung jika dalam
penerapannya melibatkan penggunaan bahasa target secara langsung dan strategi tidak langsung jika
dalam penerapannya tidak berkenaan dengan penggunaan secara langsung dengan penggunaan bahasa
target. Strategi langsung terdiri dari tiga kategori strategi yaitu strategi memori, kognitif dan
kompensasi. Adapun strategi tidak langsung terdiri dari tiga kategori yaitu strategi metakognitif,
afektif dan sosial.
Hamalik (2008 : 55) mengatakan bahwa pengajaran adalah upaya atau cara menyampaikan
pengetahuan kepada peserta didik yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk
mengetahui sejauh mana tujuan itu telah tercapai, metode pengajaran haruslah direncanakan. Karena
itu metode atau sistem pengajaran selalu mengalami dan mengikuti tiga tahap, yakni tahap analisis
(menentukan dan menrumuskan tujuan), tahap sintesis (perencanaan proses yang akan di tempuh), dan
tahap evaluasi (memberikan tes tahap pertama dan kedua) (Hamalik, 2008:56).
Sedangkan pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi,
material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan
pembelajaran, yang dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, belajar di kelas, interaksi antara
berbagai komponen yang saling berkaitan, untuk membelajarkan peserta didik (Hamalik, 2008:57).
Oleh karena itu, mengajar dan belajar adalah dua peristiwa yang berbeda tetapi terdapat hubungan
yang erat, bahkan terjadi kaitan dan interaksi yang saling pengaruh dan mempengaruhi dan saling
menunjang sati sama lain.
Pranata dan Kristianto dalam Johanna (2007:1) mengemukakan bahwa proses belajar – mengajar
merupakan suatu proses komunikasi antara guru dengan murid, yaitu bagaimana materi disampaikan,
kurikulum sebagai rangkaian materi kuliah, serta hasil proses tersebut.
Ukuran sukses dari hasil proses belajar - men gajar adalah keberhasilan belajar, yaitu berupa
penguasaan atas materi yang telah dipelajari.
Oleh karena itu, agar tercapai tujuan pembelajaran, dosen sebagai sumber utama bagi para pembelajar
dalam proses pembelajaran, harus mampu mendorong motivasi para pembelajar untuk mengikuti
pelajaran yang diberikan. Menurut Hamalik (2008 : 68), hal ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu :
a) Daya tarik ; pembelajar lebih menyukai belajar, bila perhatiannya tertarik oleh penyajian yang
menyenangkan atau menarik.
b) Aktif dalam latihan ; pembelajar lebih senang belajar bila mereka dapat berperan aktif dalam
latihan / praktek dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran.
c) Latihan yang terbagi ; pembelajar lebih menyukai belajar bila latihan – latihan dilaksanakan dalam
jangka waktu yang pendek.
d) Keadaan yang menyenangkan ; pembelajar lebih menyukai belajar bila kondisi belajaran
menyenangkan bagi mereka.
1.2 Rumusan Permasalahan
Sehubungan dengan beberapa hal yang telah diungkapkan sebelumnya, penulis bermaksud
untuk meneliti apakah strategi pembelajaran strategi tidak langsung yang terdiri dari tiga kategori
yaitu strategi metakognitif, afektif dan sosial.berpengaruh terhadap prestasi TOEFL dengan
menggunakan motivasi sebagai variabel intervening.
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan
Penelitian ini dilakukan atas dasar pentingnya faktor penggunaan strategi pembelajaran secara
tidak langsung dengan metode metakognitif, afektif dan sosial. Penelitian ini dilakukan untuk
membuktikan apakah ada korelasi antara penggunaan strategi metakognitif, afektif dan sosial dengan
kemampuan mahasiswa terhadap prestasi nilai TOEFL dengan motivasi sebagai variabel intervening
terhadap mahasiswa STIESIA Surabaya.
Mengapa Strategi Belajar Diperlukan?
1. Mencapai pembelajaran yang lebih efektif
a. Aktif, terarah, dan mandiri
b. Lebih bertanggung jawab dalam belajar
2. Memenuhi kebutuhan persona
3. Membentuk pebelajar sepanjang hayat
4. Terbukti secara empiris berkaitan dengan gaya belajar yang diterapkan
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan umum penelitian ini dapat diketahui dari masalah-masalah yang akan dibahas,
diungkap, dan dibuktikan dalam penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan
apakah ada korelasi antara penggunaan strategi metakognitif, afektif dan sosial dengan prestasi nilai
TOEFL dengan motivasi sebagai variabel intervening di STIESIA Surabaya. Tujuan khusus penelitian
ini dapat diketahui dari masalah-masalah yang akan dibahas, diungkap dan dibuktikan dalam
penelitian ini yaitu adalah untuk mendeskripsikan secara objektif tentang hasil prestasi TOEFL
penggunaan strategi metakognitif, afektif dan sosial mahasiswa STIESIA Surabaya, mendeskripsikan
secara objektif tentang hubungan antara penggunaan strategi metakognitif, afektif dan sosial dengan
prestasi nilai TOEFL mahasiswa STIESIA Surabaya.
Manfaat yang didapat adalah bisa menjadikan alternatif pembelajaran bagi dosen bahasa Inggris
dengan menggunakan strategi pembelajaran melalui metakognitive, afektif dan sosial bagi anak
didiknya untuk bisa mendapatkan nilai yang baik di dalam nilai prestasi TOEFL sehingga nilai yang
ditargetkan tercapai.
BAB 2
DAFTAR PUSTAKA
2.1 Pengertian Strategi Belajar
Strategi belajar dipersepsi dan diartikan secara berbeda-beda. Ada yang menggambarkan strategi
belajar sebagai sifat, tingkah laku yang tidak teramati, atau langkah nyata yang dapat diamati. Dari segi
ruang lingkupnya, sebagian ahli beranggapan bahwa strategi belajar hanya mencakup hal-hal yang berkaitan
dengan proses internalisasi sistem bahasa; namun ada sebagian yang beranggapan bahwa strategi belajar
juga mencakup proses pemakaian bahasa untuk berkomunikasi. Strategi belajar dapat digambarkan
sebagai sifat dan tingkah laku. Joan Rubin (1975) misalnya melakukan kajian tentang perbedaan antara
sifat-sifat pembelajar bahasa yang berhasil dan sifat-sifat pembelajar bahasa yang tidak berhasil. Oxford
mendefinisikan strategi belajar sebagai "tingkah laku atau tindakan yang dipakai oleh pembelajar agar
supaya pembelajaran bahasa lebih berhasil, terarah, dan menyenangkan" (Oxford, 1989:235). Pengertian
yang diberikan oleh Oxford lebih bersifat perbuatan yang dapat diamati, walaupun pengertian tersebut
dapat pula mencakup tindakan kognitif yang tidak teramati. Oxford memandang strategi belajar sebagai
tindakan dan sekaligus sebagai sifat pribadi pembelajar. Dia menyatakan bahwa strategi belajar adalah "the
specific techniques or activities a learner uses to facilitate learning and are a very important attribute to
the learner" (Oxford-Carpenter, tanpa tahun a). Pengertian yang disajikan oleh Brown (1987)
menekankan konsep strategi belajar sebagai tingkah laku yang tidak teramati di dalam diri pembelajar.
Brown membedakan antara strategi belajar (learning strategy) dan strategi komunikasi (communication
strategy). Strategi belajar berkaitan dengan pemrosesan, penyimpanan, dan pengambilan (retrieval)
masukan pemerolehan bahasa; sedangkan strategi komunikasi ber-kenaan dengan keluaran pemerolehan
bahasa (bagaimana menyatakan arti dan bertindak tentang apa yang telah diketahui atau dianggap
diketahui). Di dalam kepustakaan istilah strategi belajar dan strategi komunikasi seringkali dipakai untuk
menyatakan konsep yang sama. Seperti halnya Brown, definisi yang diberikan oleh Stern (1983) juga
menekankan pada aspek kognitif yang tidak teramati. Stern memandang strategi belajar sebagai
kecenderungan atau sifat-sifat umum dari pendekatan yang digunakan oleh pembelajar bahasa kedua
(Stem, 1983:405). Dia memisahkan strategi belajar dari teknik belajar. Teknik belajar mengacu kepada
tingkah laku yang teramati.
2.2 Penggolongan Strategi Belajar
Oxford-Carpenter (tanpa tahun b) menggolongkan strategi belajar atas 2 kelompok besar, yaitu
strategi langsung atau utama dan strategi tidak langsung atau pendukung. Strategi utama terdiri atas 9 butir
dan tiap butir kemudian dirinci lagi menjadi beberapa strategi spefisik. Kesem-bilan butir tersebut ialah
inferensi, Bahasal-Bahasa2, mnemonik, ingatan umum, penekanan dan peringkasan, latihan fungsional,
latihan dengan bunyi dan aturan, klarifikasi dan verifikasi, dan sumber. Sedangkan strategi pendukung terdiri
atas 8 butir dan tiap butirkemudian dirinci lagi. Kedelapan butir tersebut adalah penguat perhatian,
manajemen pribadi, afektif, perencanaan dan penetapan tujuan, produksi dan persepsi, belajar, pen-
ciptaan latihan, dan kerjasama.
Oxford (1990) mengajukan struktur strategi belajar yang agak berbeda, walaupun masih
membedakan strategi langsung {direct) dengan strategi tidak langsung {indirect). Kedua jenis strategi ini
saling mendukung dan membantu.
2.2.1 Strategi langsung
Oxford (1990) strategi yang secara langsung berhubungan dengan bahasa dalam berbagai tugas
dan situasi. Strategi ini adalah "pelaku" didalam kegiatan belajar dan mengembangkan kemampuan
bahasa. Strategi langsung terdiri atas strategi ingatan (memory) yang bertugas untuk menyimpan dan
memanggil informasi dalam otak, strategi kognitif yang bertugas memahami dan memproduksi bahasa,
dan strategi kompensasi yang bertugas menggunakan bahasa walaupun terdapat celah-celah pengetahuan
dalam otak.
2.2.2 Strategi tidak langsung
Oxford (1990) kelompok kedua adalah strategi tidak langsung yang secara umum bertugas
mengatur jalannya kegiatan belajar dalam otak. Strategi ini terdiri atas strategi metakognitif yang
bertugas mengkoordinasi proses belajar, strategi afektif yang bertugas mengatur emosi, dan strategi
sosial yang bertugas untuk membina kerjasama dengan orang lain dalam proses belajar. Menurut Oxford
(1990), jika proses belajar diibaratkan sebagai pertunjukan drama, maka strategi langsung dapat
diibaratkan sebagai pemainnya, sedangkan strategi tidak langsung sebagai sutradaranya. Sutradara
mempunyai sejumlah tugas mengatur seperti pemusatan sasaran pertunjukan, menyusun organisasi,
mengarahkan, mengecek, membetulkan, melatih, mendorong, dan menggembirakan pemain serta
meyakinkan pemain agar mau dan bisa bekerjasama dengan pihak lain (Oxford, 1990:15). Masing-
masing kelompok strategi seperti yang tercakup di dalamnya terdiri atas beberapa strategi belajar yang
lebih spesifik. Disini peneliti akan menggunakan strategi pembelajaran tidak langsung, maka penulis
akan membahas lebih dalam tentang strategi pembelajaran tidak langsung ini.
2.2.2.1 Strategi Metakognitif
Metakognisi merupakan kata yang dewasa ini sering diperdengarkan oleh para pemuka
pendidikan. Bagaimana para ahli mendefinisikan kata“metakognisi” ini?. Menurut Winn dan
Snyder (1998), Metacognition is an important concept in cognitive theory. It consists of two
basic processes occurring simultaneously, monitoring your progress as you learn, and making changes and
adapting your strategies if you perceive you are not doing so well It’s about self-reflection, self-responsibility
and initiative, as well as goal setting and time management
Sementara itu, Ridley, dkk. mendefinisikan kata metakognitif sebagai berikut: “Metacognitive skills
include taking conscious control of learning, planning and selecting strategies, monitoring the progress
of learning,correcting errors, ana lyzing the effectiveness of learning strategies,
and ch ang ing l ea rn i ng be ha v io r s an d s t ra t eg i e s wh en ne ce s sa ry ”
(R id l ey ,D.S.,Schutz, P.A., Glanz, R.S. & Weinstein, C.E., 1992).
De ngan me tak og n i t i f ad a l a h ke sad a ra n be rp i k i r t en t a ng apa ya ng diketahui
dan apa yang tidak diketahui. Dalam konteks pembelajaran, siswa mengetahui bagaimana untuk
belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang dimiliki, dan mengetahui strategi belajar
terbaik untuk belajar efektif.
Dalam menjelaskan konsep metakognitif, Flavel (dalam Susantini: 5) mendefiniskannya
sebagai pengetahuan seseorang yang berkenaan dengan proses dan produk kognitif orang itu
sendiri atau segala sesuatu yang berkaitan dengan proses dan produk tersebut. Metakognitif diartikan
juga pengetahuan tentang kognisi sebagaimana disampaikan Meichenbaum (dalamSusantini: 5). Dari
dua definisi ini metakognitif dapat disimpulkan sebagai pengetahuan yang dihasilkan oleh seseorang
dari proses (aktivitas) yang dilakukannya.
G a g n e d a n B e r l i n e r ( d a l a m S u s a n t i n i : 6 ) m e n y a t a k a n
b a h w a me takog n i t i f t e rma suk ke mamp ua n be r t a nya pa da d i r i s en d i r i
de ng an pertanyaan-pertanyaan
:a.Apa yang saya ketahui mengenai obyek ini?
b.Berapa banyak waktu yang saya perlukan untuk mempelajari materi ini?
c.Rencana tindakan apa yang baik untuk memecahkan masalah ini?
d.Bagaimana saya merevisi langkah-langkah yang saya tempuh?
e B a g a i m a n a s a y a d a p a t m e n i n g g a l k a n k e s a l a h a n s a y a j i k a
s a y a melakukannya?
2.2.2.2
Strategi Afektif
2.3 Penelitian Terdahulu
Hasil penelitan terdahulu oleh Rubin (1975) menemukan 7 strategi, yaitu pembelajar:
1) memiliki kemauan untuk menebak dengan teliti;
2) memiliki dorongan kuat untuk berkomunikasi;
3) sering tidak merasa takut dan mau membuat kekeliruan;
4) memfokuskan pada bentuk dengan mencari pola-pola dan melakukan analisis;
4) memanfaatkan kesempatan untuk berlatih;
5) memonitor pembicaraannya sendiri dan pembicaraan orang lain
6) memberikan perhatian kepada makna.
Peneliti lain juga melakukan upaya serupa seperti Stem (1975 dan 1983) dan Naiman, Frohlich, dan Todesco
(1975) yaitu dengan membandingkan mahasiswa yang pandai yang memiliki prestasi nilai skor TOEFL diatas
500 ke strategi belajar yang digunakan oleh mahasiswa yang kurang pandai yaitu mahasiswa dengan prestasi skor TOEFL
dibawah 500. Pembandingan dilakukan tidak hanya pada jenisnya, tetapi juga terhadap jumlahnya, dan pola-pola
gabungan dari strategi-strategi yang digunakan. Salah satu temuan dari kajian ini yang patut dikemukakan bahwa
pemakaian strategi belajar yang tepat membantu peningkatan kemahiran berbahasa dan kemampuan secara umum
dan kemampuan padahal-hal yang bersifat khusus (lihat Oxford dan Crookal, 1989). Selain itu, pembelajar yang
pandai cenderung menggunakan banyak strategi belajar dan mampu memadukan sejumlah strategi secara efektif.8
Strategi kognitif acap kali dipadukan dengan strategi metakognitif.
Mahasiswa yang kurang pandai dengan skor TOEFL dibawah 500 cenderung menggunakan sedikit
strategi belajar, ia tidak tahu strategi apa yang dia pergunakan, walaupun di antara mereka ada yang
menggunakan strategi belajar secara sadar dan jenis maupun jumlah strategi tersebut tidak jauh berbeda
dengan strategi yang dipakai oleh mahasiswa yang pandai (lihat Oxford, 1993). Berpijak dari kajian
tentang strategi belajar yang dipergunakan oleh mahasiswa yang pandai dengan nilai skor TOEFL lebih
dari 500 dan kurang pandai dengan prestasi skor TOEFL dibawah 500, fokus kajian diarahkan pada upaya
menyusun sistematika (taksonomi atau tipologi) strategi belajar. Sejumlah sistematika telah berhasil
disusun. Ada yang mendasarkan sistematika tersebut pada aspek fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif,
metakognitif, afektif misalnya:
O'Malley dan Chamot, 1990). Ada yang mendasarkan sistematikanya pada kajian
psikolinguistik seperti inferensi, monitoring, latihan formal, latihan fungsional
(misalnyaBialystok, 1978 dan 1981). Ada pula sistematika yang disusun berdasarkan jenis-jenis
ketrampilan berbahasa kedua (menyimak, berbicara, belajar kosakata, membaca pemahaman, dan
mengarang) misalnya sistematika Cohen (1990). Di antara sistematika yang terdapat dalam
kepustakaan, sistematika yang disusun menggunakan kriteria gabungan, khususnya yang disusun
oleh Oxford (1990) banyak menarik perhatian (lihat bagan). Sistematika ini telah dijadikan dasar
untuk menyusun alat identifikasi strategi belajar yang banyak digunakan oleh para peneliti.
sejumlah kajian tentang strategi belajar difokuskan pada faktor-faktor yang berperan dalam
pemakaian strategi belajar. Faktor- faktor yang banyak diteliti antara lain ialah motivasi, jenis
kelamin, latar belakang budaya, jenis tugas, umur, tahapan belajar bahasa, dan gaya belajar
(Oxford, 1993). Beberapa temuan yang patut diketahui antara lain bahwa pembelajar yang
bermotivasi tinggi menggunakan lebih banyak strategi daripada yang bermotivasi rendah (Oxford
dan Nyikos, 1989); wanita lebih banyak menggunakan strategi daripada pria (Green, 1991);
kelompok etnis berbeda menggunakan strategi yang berbeda (Lengkanawati, 1997) dan lebih
spesifik lagi, kelompok etnis Asia banyak menggunakan strategi hafalan mekanis {rote) (misalnya,
Chang, 1989 dan Huda, 1997); pembelajar yang lebih tua cenderung menggunakan strategi belajar
yang lebih rumit (Bialystok, 1981), dan pembelajar yang memiliki gaya belajar berbeda cenderung
menggunakan strategi belajar yang berbeda (Ely, 1989). Keterampilan bahasa
sesuai dengan yang dikatakan Ziliang dan Renfu dalam Tjahjadi (1996:165) di dalam
pengajaran bahasa Inggris dibagi menjadi empat keterampilan dasar untuk menguasai TOEFL
yaitu menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing),
sehingga mahasiswa mempunyai keterampilan berbahasa yang menyeluruh dan lengkap dan
prestasi TOEFL pun menjadi meningkat.
Sedangkan menurut Oxford (1995 : 6) dikatakan bahwa:
“ Dalam pembelajaran bahasa asing berkaitan dengan membangun kemampuan
berbahasa dan mengkombinasikan berbagai macam keterampilan yaitu, mendengar,
membaca, berbicara, dan menulis. Di antara pengajar bahasa asing pola inidiketahui sebagai empat keterampilan bahasa. Ada yang menyebut budaya maupuntata bahasa sebagai suatu keterampilan, namun empat keterampilan bahasa inisedikit berbeda. Intinya budaya dan tata bahasa dalam bentuk yang spesifik yaknimenyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Istilah keterampilan memiliki artibukan hanya sekedar keterampilan, dan menguasai, tetapi keterampilan bahasaadalah hal yang dipelajari secara perlahan dalam proses meningkatkan
kemampuan bahasa” .
9
berbicara, membaca, dan menulis, sehingga pemelajar mempunyai keterampilan
berbahasa yang menyeluruh dan lengkap.
Penelitian tentang Kreativitas, metakognisi, dan Motivasi Berprestasi
Ada beberapa penelitian tentang kreativitas diantaranya yang dilakukan oleh DeCharm dan Moeler, Hakim, dan Suharnan. DeCharm dan Moeler serta Hakim pernah meneliti hubungan motivasi berprestasi dengan kreativitas. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan kreativitas (Suharnan, 2011). Suharnan pada tahun 1998 melakukan penelitian tentang kreativitas dalam hubungannya dengan motivasi intrinsik-ekstrinsik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa motivasi intrinsik berperan penting di dalam proses-proses kreatif (Suharnan, 2011).
Penelitian tentang metakognisi sejauh yang diketahui penulis belum sebanyak penelitian tentang kreativitas dan motivasi berprestasi. Peneliti yang telah melakukan penelitian dengan mengambil metakognisi sebagai variabel bebas antara lain Coutinho (2006 dan 2007), Lee dan Bergin (2009), Rahman dan Masrur (2011).
Coutinho (2006) melakukan penelitian dengan judul The Relationship between the Need for Cognition, Metacognition, and Intellectual Task Performance dengan responden 417 mahasiswa Northern Illionis University. Variabel need for cognition diukur menggunakan the 18-item need for cognition scale, variabel metakognisi diukur menggunakan the 34-item trait metacognitive inventory sedangkan untuk mengukur variable task performance dipakai problem solved GRE analytical items. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara variable need for cognition dengan task performance dan tidak ada korelasi antara metacogniton dengan task performance. Kemudian pada tahun 2007 Coutinho melakukan penelitian lagi tentang metakognisi namun dalam hubungan dengan variable lainnya, pencapaian tujuan (achievement goals) dan keberhasilan akademik (academic success). Subjek yang diteliti adalah 179 mahasiswa Midwestern University, Amerika Serikat. Instumen penelitian yang mereka pakai untuk mengukur variabel achievement goals adalah 25-item Goals Inventory sedangkan untuk mengungkap metakognisi mereka menggunakan the 52-item Metacognitive Awareness Inventory dari Schraw dan Dennison. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, terdapat hubungan positif achievement goals dengan metacognition, kedua, ada hubungan positif metacognition dengan academic success (Coutinho, 2007).
Lee dan Bergin (2009) melakukan penelitian tentang penggunaan metakognisi oleh anak-anak dalam pemecahan masalah sehari-hari. Subjek yang diteliti adalah murid sekolah dasar kelas V di wilayah Asia Fasifik. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variable adalah 25 item yang diseleksi dari 52-item metacognitive awareness inventori dari Schraw dan Dennison. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan penggunaan metakognisi dengan pemecahan masalah sehari-hari.
Penelitian lain tentang metakognisi dilakukan oleh Rahman dan Masrur. Mereka telah melakukan survai dengan judul Is Metacognition a Single Variabel? Subjek yang mereka teliti 200 pelajar yang berusia 15 – 16 tahun. Instumen penelitian yang mereka pakai untuk mengukur variabel metakognisi adalah the 52-item Metacognitive Awareness Inventory dari Schraw dan Dennison.Hasil penelitian menyatakan bahwa metakognisi bukan merupakan variabel tunggal melainkan variabel jamak. Mereka selanjutnya merekomendasikan bahwa diperlukan penelitian untuk mengidentifikasi karakteristik metakognisi pada pelajar (Rahman dan Masrur, 2011).
Penelitian tentang motivasi berprestasi sudah banyak dilakukan dan kebanyakan menempatkan variabel ini sebagai variabel tergantung. Ada 3 penelitian tentang motivasi berprestasi yang dipaparkan pada uraian berikut, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Zenzen (2002), Garliah dan Nasution (2005), dan Chaturvedi (2009).
Zenzen pada tahun 2002 melakukan penelitian untuk memperoleh gelar Master of Science Degree dengan judul Achievemen Motivation. Subjek penelitian adalah murid program Industrial Technology Kellogg Middle School, Minnesota. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa tidak ada hubungan motivasi berprestasi dengan performansi siswa (students performance) (Zenzen, 2002).
Garliah dan Nasution pada tahun 2005 melakukan penelitian dengan judul Peran Pola Asuh Orangtua dalam Motivasi Berprestasi dengan subjek 100 mahasiswa Universitas Sumatra Utara. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ada perbedaan motivasi berprestasi mahasiswa pada berbagai bentuk pola asuh orang tua (Garliah dan Nasution, 2005).
Chaturvedi pada tahun 2009 melakukan penelitian tentang motivasi berprestasi dalam hubungannya dengan lingkungan sekolah dan pencapaian akademik (academic achievement) 300 pelajar di Bhopal, India. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa ada hubungan lingkungan sekolah dengan motivasi berprestasi dan pencapaian academik (Chaturvedi, 2009).
Berdasarkan paparan di atas dapat dinyatakan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara penelitian yang akan penulis lakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya sebagaimana dipaparkan di atas. Persamaannya adalah, kreativitas diteliti dalam hubungannya dengan motivasi berprestasi. Adapun perbedaannya adalah dalam penelitian ini kreativitas akan diteliti dalam hubungannya dengan metakognisi dan motivasi berprestasi. Perbedaan juga terjadi dalam hal subjek yang diteliti serta skala untuk mengukur variabel penelitian. Subjek penelitian ini adalah Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri dan skala yang dipergunakan untuk mengukur variabel adalah skala kreativitas yang diadopsi dari skala C.O.R.E., skala metakognisi dan skala motivasi berprestasi yang dikembangkan oleh peneliti.
Penelitian ini diharapkan mendatangkan manfaat, baik bagi pengembangan ilmu, khususnya psikologi. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan temuan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kajian teoritis tentang kreativitas, metakognisi, dan motivasi berprestasi. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna, yang dapat dijadikan acuan bagi upaya pengembangan kreativitas, metakognisi, dan motivasi berprestasi peserta didik, khususnya mahasiswa.
Tinjauan Pustaka
Kreativitas
Menurut Sternberg (2008), kreativitas sebagai proses memproduksi sesuatu yang orisinal dan bernilai. Solso dkk. (2008) mendefinisikan kreativitas sebagai aktivitas kognitif yang
menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunaannya).
Suharnan (2011), setelah mengkaji berbagai pendapat dari para ahli tentang kreativitas selanjunya menyatakan bahwa kreativitas sering disebut berpikir kreatif (creative thinking), berpikir inovatif (innovative thinking), jika dikaitkan dengan kemampuan seseorang, kreativitas sebagai daya cipta, dan dalam konteks pemecahan masalah, kreativitas juga dapat disebut sebagai kecerdasan kreatif atau creative intelligence. Selanjutnya Suharnan (2011) mengidentifikasi substansi kreativitas, yang disebutnya sebagai bagian pokok dari definisi kreativitas, yaitu: proses berpikir, menemukan, baru atau orisinal, dan berguna atau bernilai. Karakteristik pokok kreativitas, menurut European University Association (EUA) (2007), khususnya untuk konteks pendidikan tinggi adalah: originality, appropriateness, future orientation, problem-solving ability.
Berkenaan dengan karakteristik pribadi yang kreatif, Ormrod (2009) menyatakan bahwa individu yang kreatif memiliki karakteristik : menafsirkan masalah dan situasi secara fleksibel, memiliki banyak informasi yang relevan dengan suatu tugas, mengombinasikan informasi dan ide-ide yang ada dengan cara-cara yang baru, mengevaluasi pencapaian diri menurut standar yang tinggi, dan memiliki gairah dan karenanya menginvestasikan banyak waktu dan usaha dalam apa saja yang sedang mereka kerjakan.
Setelah melakukan pengkajian pendapat para ahli tentang karakteristik pribadi yang kreatif, Suharnan (2011), menyatakan bahwa secara umum karakteristik penting dari pribadi yang kreatif adalah: kebebasan, imajinasi, kecerdasan (ketajaman pandangan), rasa ingin tahu yang tinggi, mencintai pekerjaan, ketahannan fisik dan mental dalam bekerja, ambisi, dan toleran terhadap resiko (gagal).
Kreativitas seseorang, menurut Directorate-General for Education an Culture, the European Commission (2009), dipengaruhi oleh 6 faktor, yaitu: faktor genetis atau faktor bawaan; faktor personality (kepribadian) yang meliputi intelligence, motivation, divergent thinking, cultural dan capital; faktor Psycho-analysis (unconscious atau faktor ketidak sadaran); konteks di mana seseorang berada yang meliputi : policies, education/knowledge, cultural/social environment, constraints/references, working environment, dan geography/location; proses manajemen, yang meliputi: collaboration, system of relationship, dan organization; faktor kognitif, mencakup process to create thoughts dan technical skills.
Membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas juga dapat didasarkan pada teori investasi (The investment Theory of Creativity) yang dikembangkan oleh Sternber dan Lubart. According to the investment theory, creativity requires a confluence of six distinct but interrelated resources: intellectual abilities, knowledge, styles of thinking, personality, motivation, and environment (Sternberg, 2006).
Keberhasilan proses-proses kreatif, menurut Suharnan (2011) tidak akan terlepas dari keterlibatan kemampuan kognitif, yang sering disebut sebagai kemampuan berpikir atau intelektual. Pengaruh kemampuan kognitif terhadap kreativitas juga dipertegas oleh Reed (2009) bahwa kreativitas membutuhkan kemampuan kognitif, seperti kontrol yang efektif dari memori kerja, perhatian berkelanjutan, fleksibilitas kognitif, dan penilaian kesesuaian yang biasanya berasal dari korteks prefrontal.
Kreativitas seseorang, menurut Directorate-General for Education an Culture, the European Commission, sebagimana divisualisasikan dalam bentuk bagan diatas dipengaruhi pula oleh motivasi. Membahas hubungan motivasi dengan kreativitas, Woolfolk (2009) menyatakan bahwa motivasi, persistensi, dan dukungan sosial juga berperan penting dalam proses kreatif. Motivasi berprestasi yang merupakan salah satu jenis motivasi, menurut hasil penelitian DeCharms dan Muller serta hasil penelitian Hakim (Suharnan, 2011), berkorelasi positif secara signifikan dengan kreativitas. Hubungan motivasi dengan kreativitas juga sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Sternberg. Menurut Strenberg (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas seseorang, diantaranya adalah motivasi yang sangat tinggi untuk menjadi kreatif di bidang tertentu.
Metakognisi
Livingstone (1997) mendefinisikan metakognisi sebagai thinking about thinking. Metakognisi, menurut tokoh tersebut adalah kemampuan berpikir di mana yang menjadi objek berpikirnya adalah proses berpikir yang terjadi pada diri sendiri. Sementara itu Margaret W. Matlin (1998) dalam bukunya yang diberi judul Cognition, menyatakan : “Metacognition is our knowledge, awareness, and control of our cognitive process”. Papaleontiou-Louca (2008), setelah menelaah beberapa definisi metakognisi selanjutnya menyatakan : ‘Metacognition’ refers to all processes about cognition, such as sensing something about one’s own thinking, thinking about one’s thinking and responding to one’s own thinking by monitoring and regulating it.
Flavell (dalam Livingstone, 1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge), dan pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive experiences or regulation). Kedua komponen metakognisi, yaitu pengetahuan metakognitif dan regulasi metakognitif, masing-masing memiliki sub komponen-sub komponen sebagaimana disebutkan berikut ini (Lee dan Bergin, 2009 dan Woolfolk, 2009).
1) Pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition), yang terdiri dari sub kemampuan-sub kemampuan sebagai berikut : a) declarative knowledge, b) procedural knowledge, dan c) conditional knowledge.
2) Regulasi tentang kognisi (regulation about cognition), yang terdiri dari sub kemampuan-sub kemampuan sebagai berikut: a) planning (perencanaan), b) monitoring (pemantauan), dan c) evaluation (evaluasi).
Declarative knowledge, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pembelajar serta strategi, keterampilan, dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar dan memecahkan masalah. Procedural knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan apa saja yang telah diketahui dalam
declarative knowledge tersebut dalam aktivitas belajar atau menyelesaikan suatu tugas. Conditional knowledge, adalah pengetahuan tentang bilamana menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau strategi dan bilamana hal-hal tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari pada prosedur-prosedur yang lain.
Planning, adalah kemampuan memutuskan seberapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu tugas, strategi mana yang akan digunakan, bagaimana memulainya, sumber daya apa yang akan digunakan, urutan apa yang akan diikuti dan apa yang perlu diberi perhatian, dan sebagainya (Woolfolk, 2009). Monitoring, merupakan real – time awareness tentang bagaimana saya bekerja (Woolfolk, 2009). Evaluation, adalah kemampuan membuat judgement tentang proses dan hasil berpikir dan belajar (Woolfolk, 2009).
Metakognisi berperan penting dalam pemecahan masalah. Menurut Gardner dan Karmiloff-Smith, sebagaimana pendapatnya dikutip oleh Lee dan Bergin (2009), metakognisi merupakan dimensi penting dari pemecahan masalah karena kemampuan tersebut mencakup kesadaran akan masalah yang relevan dengan yang dipikirkan, pemantauan terhadap proses kognitif serta penerapan strategi yang tepat.
Motivasi Berprestasi
Konsep tentang motivasi berprestasi menjadi terkenal stelah McClelland mengemukakan hasil pemikirannya tentang kebutuhan untuk berprestasi (need of achievement), yang sering disingkat dengan n-Aach. Menurut Klose (2008), motivasi berprestasi, khususnya pada peserta didik, terdiri dari komponen-komponen: social comparison, ability and effort, reward salience, dan task preference. Dengan perbandingan sosial (social comparison), orientasi motivasi yang positif akan diwakili oleh keyakinan bahwa perkembangan pribadi dan penguasaan terhadap suatu tugas atau pekerjaan lebih penting daripada membandingkan kinerja seseorang kepada orang lain. Kemampuan dan usaha (ability and effort) berhubungan erat. Prestasi dapat dicapai jika ada usaha untuk mencapainya dan usaha tersebut harus didukung oleh adanya kemampuan.
Arti penting suatu hadiah (reward salience) adalah orientasi prestasi yang mencerminkan keyakinan siswa tentang perhargaan dari kelas dan sekolahnya.
Komponen-komponen motivasi berprestasi, berdasarkan A Tripartite Model of Motivation for Achievement yang dikembangkan oleh Tuckman (1999: http://dennislearningcenter.osu.edu/all-tour/apa99paper.htm), terdiri dari tiga variabel generik, yaitu 1) attitude (sikap), 2) drive (dorongan), dan 3) strategy (startegi).
1) Attitude
Berdasarkan model tripartite, sikap yang dimaksud dalam dalam hubungannya dengan motivasi berprestasi adalah self-efficacy, atau bagaimana keyakinan seseorang akan kemampuannya sendiri. Ada bukti yang cukup untuk mendukung pendapat bahwa self-efficacy berkontribusi pada dicapainya prestasi akademik (Tuckman,1999: Error! Hyperlink reference not valid.).
2) Drive
Keyakinan bahwa ada kemampuan untuk melakukan suatu saja masih belum cukup untuk bisa mencapai keberhasilan. Diperlukan energi agar keyakinan tersebut berkembang menjadi suatu tindakan. Dalam konteks inilah drive (dorongan) diperlukan. Tanpa dorongan yang kuat seseorang enggan untuk berbuat, takut menghadapi tantangan persaingan, dan mudah putus asa.
3) Strategy
Strategi dibutuhkan berkenaan dengan usaha melakukan tindakan yang efektif. Tanpa strategi tidak ada acuan untuk membantu memilih dan membimbing tindakan yang diperlukan. Dengan adanya strategi selain percaya pada kemampuan sendiri, dan memiliki keinginan untuk mencapai hasil tertentu, mampu melaksanakan strategi tertentu dapat mencapai sukses dalam berbagai bidang, misalnya penulis, atlet, musisi, dan seterusnya (Tuckman, 1999: http://dennislearningcenter.osu.edu/all-tour/apa99-paper. htm.).
Motivasi berprestasi, khususnya pada pelajar atau mahasiswa dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, sebagaimana pernyataan Klose (2008) berikut: “Several internal and external factors contribute to a student’s motivational in the classroom, these include recognizing the relationship between effort and ability, understanding the classroom reward structures, balancing academic mastery and social competence, and choosing tasks of appropriate difficulty”
Dasar Teori
Berdasarkan pendapat tentang kreativitas dari beberapa ahli sebagaimana dipaparkan dalam tinjauan pustaka dapat dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk menemukan sesuatu yang baru dan unik serta berdaya guna. Dan apa yang ditemukan melalui proses kreatif merupakan sesuatu yang memiliki nilai.
Kreativitas seseorang berdasarkan pendapat para ahli dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: faktor-faktor yang pembawaan; faktor-faktor kepribadian yang di dalamnya terdapat kecerdasan, motivasi, kemampuan berpikir divergen, dan sebagainya; faktor-faktor yang bersumber dari ketidak sadaran; faktor-faktor kontekstual seperti lingkungan sosial, kebijakan suatu lembaga, letak geografis, dan seterusnya; faktor-faktor proses manajemen mencakup kerjasama, sistem hubungan sosial, dan organisasi; faktor-faktor kognitif diantaranya proses untuk menciptakan pikiran-pikiran dan keterampilan teknis.
Bahwa setiap individu memiliki potensi kreatif yang dapat dikembangkan. Pengembangan potensi kreatif individu mestinya dilakukan sejak usia dini. Pengembangan kreativitas dapat dilakukan berdasarkan model C.O.R.E. sebagai kerangka kerja dan sasaran pengembangan, yang meliputi : Curiousity (rasa ingin tahu), Openness to experiences (terbuka pada pengalaman), Risk tolerance (berani menghadapi resiko) dan Energy (energi fisik dan mental).
Kreativitas sebagaimana digambarkan dinyatakan oleh para ahli, dipengaruhi oleh faktor kognitif, diantaranya adalah process to create thoughts. Keberhasilan proses-proses kreatif, membutuhkan keterlibatan kemampuan kognitif. Kreativitas membutuhkan kemampuan kognitif, seperti kontrol yang efektif dari memori kerja, perhatian berkelanjutan, dan fleksibilitas kognitif. Salah satu kemampuan kognitif yang memberikan kontribusi pada kreativitas adalah metakognisi.
Keberhasilan proses-proses kreatif, menurut para ahli tidak akan terlepas dari keterlibatan kemampuan kognitif, yang sering disebut sebagai kemampuan berpikir atau kemampuan intelektual. Dan salah satu kemampuan kognitif tingkat tinggi yang memberikan kontribusi terhadap lahirnya karya-karya kreatif adalah metakognisi. Metakognisi antara lain terdiri dari pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif dapat meningkatkan pemikiran kreatif dengan hanya memberikan informasi faktual. Pengetahuan prosedural menyediakan ketentuan-ketentuan untuk berpikir strategis.
Berdasarkan pendapat para ahli ada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas seseorang, diantaranya adalah motivasi yang sangat tinggi untuk menjadi kreatif di bidang tertentu. Orang yang memiliki motivasi berprestasi menurut A Tripartite Model of Motivation for Achievement, dapat dikenali dari 3 aspek, yaitu: attitude (sikap) yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep sef-efficacy, drive (dorongan) yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep incentive value, dan strategy (strategi) yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep self-regulation.
Individu yang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi berdasarkan model di atas ditandai dengan : memiliki pandangan positif tentang tugas yang dihadapi dan kayakinan bahwa dirinya mampu melakukan suatu tugas atau pekerjaan tertentu, memiliki memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, dan berusaha mencari jalan yang efektif untuk berhasil menyelesaikan tugasnya.
Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka dan landasan teori selanjutnya dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Ada hubungan positif metakognisi dan motivasi berprestasi dengan kreativitas.
2. Ada hubungan positif metakognisi dengan kreativitas.
3. Ada hubungan positif motivasi berprestasi dengan kreativitas.
Metode Penelitian
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa semester I 2011 / 2012 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI yang terdiri dari 4 kelas, Kelas A, B, E, dan F yang berjumlah 180 orang. Untuk mahasiswa kelas C dan D yang mahasiswa berjumlah 88 tidak dimasukkan dalam populasi penelitian karena karena dijadikan subjek untuk ujicoba instrumen penelitian. Pemilihan kelas C dan D untuk ujicoba instrumen dilakukan secara acak.
Teknik sampling dilakukan dengan menggunakan formula empiris yang dianjurkan oleh Isaac dan Michael (Sukardi, 2008), jika jumlah populasi 180 sampel minimal 123 orang (68,33 %). Berdasarkan ketentuan tersebut sampel diambil dari setiap sub populasi sebasar 69 % secara acak dengan cara undian. Dengan demikian teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional random sampling.
Pengukuran terhadap tiga variabel penelitian dilakukan dengan skala kreativitas, skala metakognisi, dan skala motivasi berprestasi. Pada setiap pernyataan, baik yang favourable maupun yang unfavourable disertai dengan 4 pilihan jawaban, yaitu: sangat sesuai dengan kenyataan pada diri saya, sesuai dengan kenyataan pada diri saya, tidak sesuai dengan kenyataan pada diri saya, dan sangat tidak sesuai dengan kenyataan pada diri saya dan skor 4, 3, 2, dan 1 untuk pernyataan yang favourable serta 1, 2, 3, dan 4 untuk pernyataan yang unfavourable.
Sebelum dipergunakan untuk mengukur variabel, masing-masing skala diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas skala dilakukan dengan korelasi teknik corrected Item – Total Correlation (Koefisien korelasi item – total), yaitu dengan mengkorelasikan antara skor tiap item dan skor total dan melakukan koreksi terhadap koefisien korelasi yang overestimasi. Teknik analisis untuk uji validitas dilakukan dengan program SPSS Versi 19. Sebagai kriteria pemilihan item berdasarkan item total, biasanya digunakan batasan r¡x ≥ 0,30 (Azwar, 2007). Namun untuk uji validitas skala digunakan kriteria 0,75 dengan pertimbangan agar item yang lolos jumlahnya masih mendekati jumlah keseluruhan item yang diujicobakan. Keputusan tersebut didasarkan pada pendapat Azwar apabila jumlah item yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, batas kriteria dapat diturunkan dari 0,30 menjadi 0,25 misalnya, sehingga jumlah item yang diinginkan tercapai (Azwar, 2007).
Butir-butir skala yang dinyatakan valid, selanjutnya diuji reliabilitasnya menggunakan metode alpha dari Cronbach yang teknik perhitungannya dilakukan menggunakan program SPSS 19. Untuk mengetahui reliabilitas skala pengukuran reliabel, dasar yang dipergunakan adalah kriteria indeks reliabilitas sebagaimana dipaparkan oleh Arikunto (dalam Agung, 2010) sebagaimana disajikan dalam bentuk tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Kriteria Indeks Reliabilitas
NO.
INTERVAL KRITERIA
1. < 0,200 Sangat rendah2. 0,200 – 0,399 Rendah3. 0,400 – 0,599 Cukup4. 0,600 – 0,799 Tinggi5. 0,800 – 1,00 Sangat tinggi
Sumber: Agung (2010)
Subjek untuk uji validitas instrumen penelitian adalah mahasiswa Semester I 2011/2012 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri Kelas C dan D yang terpilih secara acak dari 6 kelas yang ada (Kelas A s/d F). Dari mahasiswa kelas C dan D yang masing-masing berjumlah 44 selanjutnya diambil secara acak masing-masing sebesar 50%. Dengan demikian jumlah subjek yang dijadikan responden untuk keperluan uji validitas berjumlah 44 orang mahasiswa.
Skala yang akan dipakai untuk mengukur variabel kreativitas diadopsi dari skala C.O.R.E. yang dikembangkan oleh Suharnan. Suharnan (2002) mengembangkan alat ukur kreativitas berdasarkan empat karakteristik kepribadian yang dibutuhkan untuk bagi usaha-usaha di bidang kreativitas, yaitu: 1. rasa ingin tahu (C: curiousity), 2. keterbukaan atas pengalaman dan informasi baru (O: Openness to experience), 3. tolerasi terhadap resiko (R: risk tolerance), dan 4. energi fisik dan psikis (E: energy).
Setelah dilakukan uji validitas, dari 45 item skala kreativitas, 13 item dinyatakan gugur karena nilai corrected item-total correlation lebih kecil dari 0,75. Item yang gugur sebanyak 13 tersebut mencakup semua indikator dari konsep C.O.R.E. Dengan gugurnya 13 item maka tinggal 32 item untuk skala kreativitas yang nantinya dipergunakan untuk mengukur variabel kreativitas.
Butir-butir skala yang dinyatakan valid, yang berjumlah 32 selanjutnya diuji reliabilitasnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Alpha sebesar 0,882. Berdasarkan kriteria indeks reliabilitas, nilai Alpha sebesar 0,882 mengandung arti bahwa reliabilitas skala kreativitas sangat tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa butir-butir skala kreativitas telah memenuhi syarat sebagai alat ukur yang reliabel.
Berdasarkan komponen pengetahuan metakognisi yang terdiri dari tiga sub-komponen, yaitu: 1) pengetahuan deklaratif, 2) pengetahuan prosedural, dan 3) pengetahuan kondisional serta komponen keterampilan metakognisi yang juga terdiri dari tiga sub-komponen, yaitu: 1) perencanaan, 2) pemantauan, dan 3) evaluasi selanjutnya disusun skala metakognisi dengan menempatkan keenam sub-komponen tersebut sebagai indikator dan dari setiap indikator ada 5 item yang terdiri dari pernyataan yang vafourable dan unvafourable. Dengan demikian jumlah item ada 30.
Uji validitas skala metakognisi juga dilakukan menggunakan korelasi teknik corrected Item – Total Correlation (Koefisien korelasi item – total). Setelah dilakukan uji validitas, dapat diidentifikasi ada 5 item yang harus dikeluarkan (gugur), karena nilai corrected item-total correlation lebih kecil dari 0,75. Butir-butir skala yang dinyatakan valid selanjutnya diuji reliabilitasnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Alpha sebesar 0,895. Berdasarkan kriteria indeks reliabilitas sebagaimana yang terdapat pada tabel 1, nilai Alpha sebesar 0,895 menunjukkan bahwa reliabilitas skala metakognisi sangat tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa butir-butir skala metakognisi telah memenuhi syarat sebagai alat ukur yang reliabel.
Pengembangan skala motivasi berprestasi berdasarkan pada model yang dikembangkan oleh oleh Tuckman (1999), yaitu A Tripartite Model of Motivation for Achievement (Error! Hyperlink reference not valid. apa99paper.htm.). Menurut A Tripartite Model of Motivation for Achievement, motivasi berprestasi mencakup tiga indikator, yaitu : sikap khususnya efikasi diri (self-efficacy), dorongan (drive), dan strategi. Berdasarkan model tersebut dikembangkan skala yang terdiri dari berjumlah 33 butir pernyataan.
Setelah dilakukan analisis menggunakan teknik corrected item-total correlation, dari 33 item pada skala motivasi berprestasi, 6 item dinyatakan gugur karena nilai corrected item-total correlation lebih kecil dari 0,75 sebagaimana norma yang juga digunakan untuk uji validitas skala kreativitas. Butir-butir skala yang dinyatakan valid selanjutnya diuji reliabilitasnya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Alpha sebesar 0,886. Nilai Alpha sebesar 0,886 menunjukkan bahwa reliabilitas skala motivasi berprestasi sangat tinggi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa butir-butir skala motivasi berprestasi telah memenuhi syarat sebagai alat ukur yang reliabel.
Syarat yang harus dipenuhi untuk menggunakan analisis regresi adalah terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas, uji liniaritas, uji mulitikoliniaritas, dan uji autokorelasi. Uji normalitas dilakukan untuk apakah populasi data berdistribusi normal atau tidak. Jika analisis data menggunakan metode parametrik, maka persyaratan normalitas harus terpenuhi, yaitu data berasal dari berdistribusi yang normal (Priyatno, 2009). Pengujian normalitas dilakukan dengan uji Kolmogorov – Smirnov dan teknik perhitungan menggunakan program SPSS Versi 19. Data dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 5% atau 0,05 (Priyatno, 2009). Dari hasil uji normalitas dapat diketahui bahwa Signifikansi (sig.) untuk data tentang kreativitas
sebasar 0,052 data tentang metakognisi sebesar 0,052 dan untuk data tentang motivasi berprestasi sebesar 0,190. Karena signifikansi dari ketiga jenis data tersebut lebih besar dari 0,05 maka ketiga jenis data tersebut berdistribusi normal sehingga memenuhi syarat untuk dilakukan analisis regresi.
Untuk keperluan uji linearitas digunakan test for linearity pada progam SPSS dengan taraf signifikansi 0,05. Dua variabel dinyatakan mempunyai hubungan yang linear bila signifikansi (linearity) kurang dari 0,05 (Priyatno, 2009). Dari output SPSS 19 dapat diketahui bahwa nilai signifikansi pada linearity sebasar 0,000. Karena nilai linearity kurang dari 0,05. Berdasarkan hasil uji linearitas terhadap variabel metakognisi dan variable kreativitas serta variabel motivasi berprestasi dan variabel kreativitas dapat syarat linearitas untuk analisis regresi terpenuhi.
Uji multikoliniaritas digunakan untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan asumsi klasik multikolinearitas, yaitu adanya hubungan linear antar variabel independen dalam model regresi. Prasyarat yang harus dipenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya multikolinearitas (Priyatno, 2009). Metode yang dipergunakan untuk menguji multikolenearitas adalah dengan meilihat nilai variance inflation factor (VIF). Jika nilai VIF lebih besar dari 5, maka ada multikolinearitas antar variabel independen (Priyatno, 2009). Nilai variance inflation factor kedua variabel, yaitu metakognisi dan motivasi berprestasi sebasar 1,513. Nilai tersebut lebih kecil dari 5, sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas.
Untuk memenuhi syarat bahwa tidak terdapat autikorelasi dalam model regresi, maka dilakukan uji autokorelasi menggunakan metode Durbin – Watson. Jika nilai Durbin – Watson berada pada rentang – 2 ≤ Durbin – Watson ≤ 2, maka tidak terjadi autokorelasi (Agusyana dan Islandscript, 2011). Hasil perhitungan menggunakan program SPSS 19 menunjukkan nilai Durbin – Watson sebesar 1,999. Nilai Durbin – Watson yang dihasilkan dari model regresi adalah 1,999, yang berarti berada diantara – 2 dan + 2, maka tidak terkadi autokorelasi dalam model regresi.
Data hasil penelitian akan dianalisis dengan analisis regresi. Teknik perhitungan dilakukan dengan program SPSS Versi 19 dengan norma pengujian sebagai berikut. Jika pada tabel ANOVA nilai probabilitas ≤ nilai alfa (0,05) maka hipotesis pertama diterima. Sebaliknya, jika pada tabel ANOVA nilai probabilitas ˃ nilai alfa (0,05) maka hipotesis pertama ditolak. Jika pada tabel korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat nilai probabilitas ≤ nilai alfa (0,05) maka hipotesis kedua dan ketiga diterima. Sebaliknya jika pada tabel korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat nilai probabilitas ˃ nilai alfa (0,05) maka hipotesis kedua dan ketiga ditolak.
Hasil Penelitian
Jumlah responden semula 126, namun ada 1 responden yang merespon skala pengukuran variabel secara tidak lengkap dengan demikian jumlah responden untuk penelitian tinggal 125. Dari tabel ringkasan ANOVA atau F test, diperoleh nilai F sebesar dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05 maka model regresi dapat dipergunakan untuk memprediksi kreativitas atau dengan kata lain metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama-sama berkorelasi dengan kreativitas. Dengan demikian hipotesis
pertama yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Untuk mengetahui seberapa besar sumbangan pengaruh variabel metakognisi dan motivasi terhadap kreativitas dapat dilihat dari nilai R Square. Nilai R Square (R²) adalah 0,508. Hal tersebut menunjukkkan bahwa koefisien determinasi sebesar 0,508. Artinya prosentase sumbangan pengaruh variabel bebas (metakognisi dan motivasi berprestasi) secara bersama terhadap variabel kreativitas sebesar 50,8 % sedangkan sisanya, sebesar 49,2 % dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini.
Berdasarkan output viewer SPSS yang terjadi dalam bentuk tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai signifikansi antara variabel metakognisi dengan variabel kreativitas dan variabel motivasi dengan variabel kreativitas ternayata sama yaitu sebesar 0,000. Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari nilai r kritis (0,05), artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kedua variabel bebas secara terpisah dengan variabel terikat. Dengan demikian hipotesis kedua dan ketiga, ada hubungan positif metakognisi dengan kreativitas dan ada hubungan positif motivasi berprestasi dengan kreativitas diterima.
Pembahasan
Hasil uji hipotesis pertama menunjukkan bahwa secara bersama-sama metakognisi dan motivasi berprestasi berhubungan secara positif dengan kreativitas. Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam teori investasi (The Investment Theory of Creativity dari Sternberg dan Lumbart), bahwa kreativitas membutuhkan 6 sumber penting, diantaranya keterampilan intelektual dan motivasi (Sternberg, 2006). Begitu pula apa yang dinyatakan oleh Directorate-General for Education an Culture, the European Commission (2009), bahwa kreativitas dipengaruhi oleh 6 faktor, diantaranya kemampuan kognitif dan motivasi. Bahwa metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama-sama mempengaruhi kreativitas sesuai pula dengan apa yang dinyatakan oleh Suharnan (2011) bahwa sinergi dari beberapa sumber, termasuk metakognisi, sebagai keterampilan intelektual, dan motivasi berprestasi melahirkan kreativitas.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut kreativitas dapat dikembangkan melalui peningkatan metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama. Nilai R² sebasar 0,508 memiliki arti bahwa prosentasi sumbangan pengaruh metakognisi dan motivasi berprestasi terhadap kreativitas sebasar 50,8%. Hal demikian berarti ada variabel-variabel lain yang memberikan kontribusi yang hampir sama besarnya (49,2%) untuk pengembangan kreativitas.
Pengujian hipotesis kedua membawa hasil bahwa metakognisi berkorelasi positif secara kuat dengan kreativitas. Fakta ini mendukung pernyataan yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini. Suharnan (2011), menyatakan bahwa keberhasilan proses-proses kreatif tidak akan terlepas dari keterlibatan kemampuan kognitif, yang sering disebut sebagai kemampuan berpikir atau intelektual. Menurut Suharnan (2005) kreativitas atau berpikir kreatif adalah proses kognitif untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru yang berguna. Kreativitas sebagai proses kognitif, kreativitas tidak lepas dari pengaruh kemampuan kognitif terutama metakognisi. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Solso dkk. (2008), bahwa kreativitas merupakan bentuk aktivitas kognitif, yang tentu saja peranan peranan metakognisi.
Diterimanya hipotesis kedua juga menunjukkan adanya kesesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh Fasko (2000) bahwa pengetahuan deklaratif dapat meningkatkan kreativitas dengan menyediaan informasi-informasi yang faktual, dan pengetahuan prosedural mempengaruhi kreativitas dengan menyediakan petunjuk-petunjuk untuk strategi berpikir. Kemampuan metakognisi seseorang dapat mengontrol kemampuan kognitifnya melalui pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional dan menerapkannya dengan merencanakan, memantau, dan mengevaluasi aktivitas kognitifnya sehingga mampu menghasilkan kemampuan kognitif yang baik yang pada akhirnya berpengaruh juga pada perilaku kreatifnya.
Hasil pengujian hipotesis ketiga menyatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara motivasi berprestasi dengan kreativitas. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh DeCharms dan Moeller serta hasil penelitian Hakim (Suharnan, 2011) bahwa motivasi berprestasi berkorelasi positif secara signifikan dengan kreativitas. Adanya korelasi positif antara motivasi berprestasi dengan kreativitas sejalan pula dengan apa yang dinyatakan oleh Sternberg (2008), bahwa ada beberapa faktor yang berhubungan dengan individu yang kreatif diantaranya adalah motivasi yang tinggi untuk menjadi kreatif di bidang tertentu. Diterimanya hipotesis ketiga juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Directorate-General for Education an Culture, the European Commission (2009), bahwa salah satu aspek kepribadian yang mempengaruhi kreativitas adalah motivasi, termasuk di dalamnya motivasi berprestasi. Teori investasi, yang berisi pernyataan bahwa untuk menjadi kreatif, seseorang perlu bertindak dengan mensinergikan 6 sumber yang berbeda tetapi saling terkait dan salah satu sumber adalah motivasi, termasuk motivasi berprestasi (Suharnan, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut kreativitas dapat dikembangkan melalui peningkatan metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama. Nilai R² sebasar 0,508 memiliki arti bahwa prosentasi sumbangan pengaruh metakognisi dan motivasi berprestasi terhadap kreativitas sebasar 50,8%. Hal demikian berarti ada variabel-variabel lain yang memberikan kontribusi yang hampir sama besarnya (49,2%) untuk pengembangan kreativitas, yaitu: pemberdayaan kecerdasan intelektual, peningkatan kuantitas dan kualitas pengetahuan, pelatihan kemampuan berpikir divergen, pembuatan kebijakan yang memberikan toleransi pada perbedaan pendapat dan temuan-temuan baru, dan penciptaan lingkungan sosial budaya yang kondusif.
Kesimpulan
Kreativitas adalah salah satu kemampuan intelektual manusia yang sangat penting, karena dengan kreativitasnya manusia mampu memecahkan berbagai masalah dan menciptakan berbagai hal seperti konsep, teori, perangkat teknologi, dst. yang sangat diperlukan bagi kehidupan. Substansi kreativitas menurut para ahli adalah proses berpikir, menemukan sesuatu yang baru dan orisinil, serta bermanfaat.
Kreativitas peserta didik harus dikembangkan mengingat besarnya peranan kreativitas dalam kehidupan. Pengembangan kreativitas mengacu pada fakta bahwa kreativitas berhubungan dengan beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dua faktor internal yang menarik untuk diteliti dalam hubungannya dengan kreativitas adalah metakognisi dan motivasi
berprestasi. Bahwa sinergi kedua faktor tersebut dapat mendorong timbulnya tindakan-tindakan kreatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis penelitian pertama diterima, yaitu kreativitas seseorang berhubungan dengan metakognisi dan motivasi berprestasi. Keberhasilan proses-proses kreatif, tidak akan terlepas dari kemampuan mensinergikan berbagi sumber yang saling berhubungan diantaranya kemampuan kognitif, dan salah satu kemampuan kognitif tingkat tinggi yang memberikan kontribusi terhadap lahirnya karya-karya kreatif adalah metakognisi serta motivasi, termasuk di dalamnya motivasi berprestasi. Jika kedua kemampuan tersebut diberdayakan maka memunculkan berbagai tindakan kreatif.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hipotesis kedua diterima, yang artinya metakognisi berhubungan dengan kreativitas. Keberhasilan proses-proses kreatif, membutuhkan keterlibatan kemampuan kognitif. Salah satu kemampuan kognitif yang memberikan kontribusi pada kreativitas adalah metakognisi. Dengan pengetahuan deklaratif , tersedia berbagai informasi yang dibutuhkan untuk tindakan-tindakan kreatif dan dengan pengetahuan presedural yang dimiliki, seseorang memiliki pedoman tentang langkah-langkah yang perlku dilakukan untuk bisa bertindak secara kreatif.
Hipotesis ketiga penelitian ini juga diterima. Pendapat bahwa kreativitas seseorang dipengaruhi pula oleh motivasinya untuk berprestasi sesuai dengan hasil penelitian ini. Ada teori yang menyatakan bahwa kreativitas seseorang dipengaruhi oleh motivasi berprestasi yang tinggi untuk menghasilkan sesuatu, yang ditandai dengan adanya kayakinan bahwa dirinya mampu melakukan suatu tugas atau pekerjaan tertentu, adanya dorongan yang kuat untuk berhasil mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, dan adanya usaha mencari jalan yang efektif untuk berhasil menyelesaikan tugasnya.
Saran-saran
Berdasarkan apa yang dipaparkan dalam perumusan masalah dan hasil penelitian, berikut dikemukakan saran bagi beberapa pihak.
1. Bagi para staf dosen khususnya untuk prodi Bimbingan Bimbingan Konseling UNP Kediri
1. Hendaknya peran dosen sebagai motivator diintensifkan terutama dalam memotivasi mahasiswa untuk menjadi pribadi-pribadi yang memiliki motivasi untuk berprestasi yang tinggi.
2. Hendaknya pembelajaran yang menekankan aktivitas dan kreativitas mahasiswa yang selama ini sudah dilakukan diintensifkan. Model-model pembelajaran konstruktivistik seperti pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran inquiry and discovery, dan pembelajaran kooperatif merupakan pilihan yang tepat bagi upaya pengembangan kreativitas mahasiswa.
3. Hendaknya menciptakan suasana belajar dan pembelajaran yang kondusif bagi pengembangan kreativitas dengan cara mengembangkan tolerasi pada perbedaan
pendapat, prosedur-prosedur dan produk-produk yang tidak lazim pada saat pelaksanaan pembelajaran di kelas.
1. Bagi institusi, baik di tingkat program studi, fakultas, maupun universitas 1. Hendaknya menciptakan situasi yang kompetitif, situasi mahasiswa berlomba
untuk menjadi yang terbaik, dengan memberikan insentif berupa beasiswa yang memperoleh prestasi tinggi baik dalam bidang akademik/kurikuler maupun ekstrakulikuler.
2. Pengembangan kreativitas mahasiswa dalam berbagai bidang yang selama ini sudah dilakukan ditingkatkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif..
Daftar Pustaka
Agung, Wahyu. (2010) Panduan SPSS 17.0 Untuk Mengolah Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta: Garailmu.
Agusyana, Yus dan Islandscript. (2011) Olah Data Skripsi dan Penelitian dengan SPSS 19. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Azwar, Saifuddin. (2007) Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Chaturvedi, M. (2009) School Environment, Acievement Motivation, and Academic Achievement. Indian Journal of Social Science Researches, Vol. 6, No, 2, October 2009, pp. 29 – 37.
Coutinho, Savia A. (2006) The Relationship between the Need for Cognition, Metacognition, and Intellectual Task Perfomance. Educational Research and Review Vo. 1 (5) pp. 162- 164, Agustus 2006.
________________ (2007) The Relationship between Goals, Metacognition, and Academic Success. Educate – Vol.7, No.1, 2007, pp. 39-47
Directorate-General for Education and Culture. (2009) The Impact of Culture on Creativity. Berlin: KEA.
European University Association. (2007) Creativity in Higher Education: Report on the UEA Creativity Project 2006 – 2007. Brussels: EUA.
Fasko, Daniel Jr. (2000) Education and Creativity. Creativity Research Journal 2000 – 2001, Vol. 13, Nos. 3 & 4.
Garliah, Lili dan Nasution, Fatma Kartika Sari. (2005) Peran Pola Asuh Orangtua dalam Motivasi Berprestasi. Psikologia, Volume 1, Nomor 1, Juni 2005.
Klose, Laurie McGarry. (2008) Understanding and Fostering Achievement Motivation. Principial Leadership, December 2009, 12.
Lee, Chwee Beng dan Bergin, David. (2009) Children’s Use of Metacognition in Solving Everyday Problems: An Initila Study from an Asian Context. The Australian Educational Researcher, Volume 36, Number 3, December 2006, 89 – 103.
Livingstone, Jennifer A. (1997) “Metacognition: An Overview”. Tersedia pada: http: //www. gse.buffalo.edu/fas/shuell/CEP564/Metacog.html.)
Matlin, Margaret W. (1998) Cognition. Orlando: Harcourt Brace & Company.
Mulbar, Usman. (2008) “Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika”.Tersedia pada: http//www.usmanmulbar.files. wordpress. com. Diakses pada 8 Mei 2008.
Munandar, Utami. (2009) Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Naiman, Linda. (2010) What is Creativity. Tersedia pada: Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2011.
Ormrod, Jeane Ellis. (2009) Psikologi Pendidikan : Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. (Penterjemah: Wahyu Indianti dkk.). Jakarta: Erlangga.
Papaleontiou-Louca, Eleonora. (2008) Metacognition and Theory of Mind. Newcastle: Cambridge Scholars Publishing.
Priyatno, Dwi. (2009) Mandiri Belajar SPSS. Yogyakarta: MediaKom.
Rahman, Fazalur dan Masrur, Rehana. (2011) Is Metacognition a Single Variable? International Journal of Business and Social Science Volume 2 No. 5 / Special Issue – March 2011.
Reed, Stephen K. (2009) Kognisi: Teori dan Aplikasi. (Penterjemah: Smita Prathita S.). Jakarta: Salemba Humnika.
Solso, Robert L. et al. (2008) Psikologi Kognitif. (Penterjemah: Mikael Rahardanto dan Kristianto Batuaji). Jakarta: Erlangga.
Sternberg, Robert J. (2006) The Nature of Creativity. Creativity Research Journal Vol. 18, No. 1, 87 – 98.
_______________ (2008) Psikologi Kognitif (Penterjemah: Yudi Santoso) Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Suharnan. (2011) Kreativitas: Teori dan Pengembangan. Laras: Surabaya.
Sukardi. (2008) Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Tuckman, Bruce W. (1999). “A Tripartite Model of Motivation for Achievement: Attitude, Drive, Strategy”. Paper Paper presented in the Symposium, Motivational Factors Affecting Student Achievement – Current Perspectives. Annual Meeting of the American Psychological Association, Boston. Retrieved February 17, 2005. Tersedia pada: http://dennislearningcenter.osu.edu/all-tour/apa99paper.htm. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2011.
Woolfolk, Anita. (2009) Educational Psychology: Active Learning Edition. (Penterjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zenzen, Tohmas G. (2002) Achievement Motivation. Tesis (Tidak dipublikasikan).