KEPEMIMPINAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PEMBANGUNAN DESA DI KAWASAN
PERBATASAN INDONESIA - MALAYSIA
(Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan,
Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat)
GUSTI MUHAMMAD FADLI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kepemimpinan dan Partisipasi
Masyarakat dalam Pembangunan Desa di Kawasan Perbatasan Indonesia dengan
Malaysia (Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan, Kecamatan
Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat) adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2010
Gusti Muhammad Fadli
NIM I353070121
ABSTRACT
Gusti Muhammad Fadli. Community Leadership And Participation Of Village
Development In Boundary Area Of Indonesia – Malaysia. Under the
Supervision of Titik Sumarti and Djuara P Lubis
Village government leadership has a role as the agency that responsible for
the development whether physical and non physical. In terms of community
service, village government leadership acts as a community facilitator. The
purpose of this study was to 1) Describing the mayor's leadership in formulating
and implementing development policies, 2) Describing community participation
in development. This study employed a qualitative descriptive method because it
is based on a particular object. The only research site is the village of Nanga
Bayan. The research result indicates that health development program was not
able to motivate community participation in village health center development
program. Begin with planning process, implementation and control. The
community participation is not optimal yet, especially in ideas and suggestions
and in decision making. The problems in village health center development,
mostly because of facilitator failure in socialization and facilitating the phase of
activities. Pattern and approach conducted were less providing space availability
for public to determine the program agenda. The form of community participation
observed in this program is only physic, i.e., cooperation that already becomes a
tradition in the village. Community participation in the village health center
development implementation majority empowered by motives that they require
village health center development. Thus, the program were not become an
empowerment process to improve the ability of village government in the
development activity.
Keyword: Leadership, Participation, Development.
RINGKASAN
Gusti Muhammad Fadli. Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan Desa di Kawasan Perbatasan Indonesia - Malaysia. Dibimbing
oleh Titik Sumarti dan Djuara P Lubis
Penelitian secara umum bertujuan untuk : (1) mendiskripsikan peran
kepemimpinan kepala desa dalam merumuskan kebijakan dan
mengimplementasikan pembangunan, (2) mendiskripsikan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan di Desa Nanga Bayan (3) menganalisis interaksi antara
kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat dalam program
pembangunan di Desa Nanga Bayan. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif karena berdasarkan fenomena tertentu, yaitu kasus program
pembangunan kesehatan di desa kawasan perbatasan.
Penelitian ini dilakukan di Desa Nanga Bayan. Pengumpulan data dengan
menggunakan tekhnik bola salju (snowball). Penggalian informasi secara umum
dengan mengadakan diskusi kelompok. Diskusi ini ditujukan untuk melihat
gambaran umum mengenai pemerintahan desa dan permasalahannya dari sudut
pandang subjek kasus yang terdiri dari: kepala adat, kepala dusun, ketua adat,
tokoh masyarakat, ketua RT, dan mantan kepala desa. Penggalian lebih dalam
mengenai informasi yang dibutuhkan dilakukan dengan wawancara mendalam.
Hasil penelitian di analisis dengan menggunakan model analisis interaktif.
Dalam penelitian ini di analisis bahwa pembangunan merupakan proses
yang membutuhkan kepemimpinan dan partisipasi. Kepemimpinan dan partisipasi
sulit dipisahkan, keduanya seperti dua sisi mata uang. Kepemimpinan yang bagus
tetapi dilandasi dengan partisipasi yang jelek tidak akan membawa proses
pembangunan mencapai hasil secara maksimal. Demikian juga sebaliknya,
partisipasi yang bagus tetapi kepemimpinan tidak mendukung juga membuat
tujuan pembangunan sulit dicapai sesuai harapan.
Di Desa Nanga Bayan terdapat kepemimpinan yang bersifat dualistik yang
masing-masing memiliki legitimasi dan pengaruh yang kuat terhadap masyarakat
dengan karakteristik yang berbeda yaitu kepemimpinan formal (kepala desa) dan
kepemimpinan informal (temenggung). Pemerintah desa memperoleh legitimasi
secara formal melalui surat pengangkatan dari Bupati sedangkan lembaga adat
memperoleh legitimasi secara informal dari masyarakat. Meskipun pemerintah
desa juga memperoleh legitimasi dari masyarakat melalui pemilihan langsung,
namun kedua komponen ini tidak saling berebut pengaruh melainkan yang terjadi
adalah pembagian fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Dalam hal ini,
pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-hal yang berkenaan dengan
masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan
untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti
penyelesaian perkara, ritual, perkawinan, termasuk aktivitas pertanian.
Pelaksanaan fungsi kedua tipe kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda
dimana pemerintah desa lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal
sedangkan lembaga adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat.
Dugaan sementara bahwa tipe kepemimpinan di desa Nanga Bayan baik
formal maupun informal cenderung lebih menunjukkan tipe kepemimpinan
demokratis dimana aspek pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama
dengan konstituen (masyarakat). Namun hasil analisis menunjukkan bahwa type
kepemimpinan yang ada di desa Nanga Bayan cenderung otoriter. Hal ini
tercermin lewat pembangunan pos kesehatan desa lebih didominasi oleh
pemerintahan desa dan mekanisme pelaksanaan pembangunannya secara umum
masih bersifat top down, mulai dari aspek perencanaan hingga pengawasan. Oleh
sebab itu partisipasi warga masih terbatas pada mobilisasi dalam kegiatan
pembangunan desa. Artinya warga berpartisipasi hanya pada saat ada kegiatan
pembangunan saja.
Dualisme kepemimpinan yang dijumpai di Desa Nanga Bayan tidak
dipandang sebagai masalah oleh masyarakat karena adanya aspek pembagian
fungsi sebagaimana diutarakan di atas. Dengan kata lain, meskipun pemerintah
desa dan lembaga adat memiliki konstituen yang sama namun hal ini tidak
menimbulkan benturan baik secara fungsi maupun pengaruh.
Adanya hubungan antara kepemimpinan dengan partisipasi masyarakat desa
dalam pembangunan pos kesehatan desa dilandasi oleh aspek sosial budaya yaitu:
Pertama, terdapat hubungan antara kepemimpinan kepala desa dengan
warga desa. Dalam hal ini, intensitas dalam memotivasi masyarakat, membimbing
dan interaksi komunikasi yang dilakukan kepala desa, serta pemberian
kesempatan kepada warga desa untuk berpartisipasi dalam sosialisasi perencanaan
kegiatan telah dan meningkatkan partisipasi warga desa dalam pembangunan
desa.
Kedua, nilai-nilai budaya tradisional tentang pola perilaku interaksi dalam
hubungan kekerabatan mempengaruhi hubungan antara kepemimpinan kepala
desa dengan partisipasi warga desa. Dalam hal ini, posisi otoritas kepala desa
dilegitimasi nilai-nilai tradisional telah menempatkan kepemimpinan kepala desa
dalam posisi ideal untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan desa.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
KEPEMIMPINAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PEMBANGUNAN DESA DI KAWASAN
PERBATASAN INDONESIA – MALAYSIA
(Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan,
Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat)
GUSTI MUHAMMAD FADLI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Tesis : Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan Desa di Kawasan Perbatasan Indonesia –
Malaysia ( Kasua Pembangunan Kesehatan di Desa
Nanga Bayan, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan
Barat)
Nama : Gusti Muhammad Fadli
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Titik Sumarti, M.S
Ketua
Dr. Ir. Djuara P Lubis, M.S
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor
Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 3 Februari 2010 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Kepemimpinan dan Partisipasi
Masyarakat dalam Pembangunan Desa di Kawasan Perbatasan Indonesia –
Malaysia (Kasus Pembangunan Kesehatan di Desa Nanga Bayan, Kecamatan
Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat).
Penghargaa dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Ir. Titik Sumarti, M.S dan Dr. Ir. Djuara P Lubis, M.S selaku komisi
pembimbing atas arahan dan wawasan yang telah diberikan selama penulisan
berlangsung.
2. Ir. Said Rusli, MA selaku penguji luar komisi
3. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Mayor
Sosiologi Pedesaan.
4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, dan
koordinator Mayor Sosiologi Pedesaan yang telah memberikan kesempatan
bagi penulis mengikuti pendidikan Strata 2 di IPB.
5. Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang yang telah memberikan kesempatan
bagi penulis mengikuti pendidikan Strata 2 di IPB.
6. Teman-teman seperjuangan di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten
Sintang atas dukungan kepada penulis selama mengikuti pendidikan.
7. Bapak Andreas kepala desa Nanga Bayan, masyarakat desa Nanga Bayan
Kecamatan Ketungau Hulu yang telah menerima penulis untuk melakukan
penelitian di daerahnya dan kepada seluruh informan yang telah bersedia
memberikan informasi untuk kepentingan penelitian ini.
8. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman
angkatan 2007 Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan yang tidak pernah
habis-habisnya memberikan dukungan dan semangat kepada penulis hingga
penulisan ini selesai.
9. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua Adi
Nurman Iskam (alm) dan Mas Rusmini (alm) serta ananda Mas Ashifa Vera
Fadila (alm) semoga mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada isteri Lisnawati dan anak Mas Sufefty
Febby Chairani, Gusti Alvi Ridho Fadhel dan Gusti Fatih Nurfadhel atas
segala pengertiannya dan pengorbanannya yang begitu besar sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas belajar pada Program Pascasarjana IPB.
Bogor, Februari 2010
Gusti Muhammad Fadli
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sintang tanggal 19 April 1967 dari pasangan Bapak
Adi Nurman Iskam (alm) dan Ibu Mas Rusmini (alm) sebagai putra pertama dari
empat bersaudara.
Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SD Negeri X Sintang, pendidikan
SLTP di SMP Purnama Sintang dan pendidikan SLTA di SMAN I Sintang. Pada
Tahun 2001 penulis lulus dari Universitas Kapuas Sintang pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Negara dan pada tahun 2007
diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Sekolah
Pascasarjana IPB melalui tugas belajar dari Pemerintah Daerah Kabupaten
Sintang.
Pada saat ini penulis bekerja di Pemerintahan Daerah Kabupaten Sintang
pada instansi Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang sebagai Pegawai Negeri Sipil
(PNS).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………………………………………………………… iii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… iv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………… v
I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 6
II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8
2.1. Tinjauan Pustaka 8
2.1.1. Konsep Pembangunan ..................................................... 8
2.1.2. Pemerintahan Desa .......................................................... 11
2.1.3. Kekuasaan dan wewenang .............................................. 13
2.1.4. Kepemimpinan (leadership) ............................................ 15
2.1.5. Type Kepemimpinan ....................................................... 18
2.1.6. Kepemimpinan formal dalam membangun
perekonomian desa ..........................................................
24
2.1.7. Kepemimpinan Informal Dalam Pembangunan Desa ..... 26
2.1.8. Beberapa Studi tentang Kepemimpinan .......................... 27
2.1.9. Partisipasi ……………………………….……………... 28
2.2. Kerangka Pemikiran ................................................................. 31
III METODE PENELITIAN …………………………………………. 36
3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 36
3.2.Pendekatan dan Strategi Penelitian ............................................ 37
3.3.Metode Pengumpulan Data ......................................................... 37
3.4.Metode Analisis Data ................................................................. 40
3.5.Definisi Konseptual ...................................................................... 43
IV GAMBARAN UMUM DESA …………………………………….. 44
4.1. Kondisi Geografis ............................................................................. 44
4.2. Kondisi Demografis ……..……………………................................ 47
4.3. Kondisi Perekonomian ………….………………………................ 48
4.4. Tradisi Masyarakat …………………………………………........... 52
4.5. Kelembagaan Desa ………………………………........................... 56
4.6. Kondisi Sarana dan Prasarana ………………..…………………… 60
V PROGRAM PEMBANGUNAN DI DESA NANGA BAYAN
DAN MEKANISMENYA ………………………………………….
63
5.1. Peningkatan Kualitas Pendidikan ................................................ 65
5.2. Peningkatan Sistem Pelayanan Kesehatan ................................... 68
5.3. Peningkatan dan Pemberdayaan Masyarakat ............................... 73
5.4. Pembangunan Infrastruktur .......................................................... 76
5.5. Mekanisme Perencanaan Program di Desa Nanga Bayan .......... 79
5.6. Pembangunan Pos Kesehatan Desa Sebagai Prioritas ............... 84
VI KEPEMIMPINAN DALAM PEMBANGUNAN POSKESDES 89
6.1. Situasi Kepemimpinan di Desa Nanga Bayan .................…...… 89
6.2. Kepemimpinan Formal (Pemerintahan Desa) .................…... 90
6.3. Kepemimpinan Informal (Pemerintahan Adat) ….................. 97
6.4. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Poskesdes ............. 101
6.5. Analisis Interaksi Kepemimpinan dengan Partisipasi
Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Pembangunan Desa
108
6.6. Manfaat Program Pembangunan Desa …..……........................... 118
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan ................................................................................. 122
7.2. Saran ........................................................................................... 122
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 124
LAMPIRAN ................................................................................................. 129
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jumlah informan dan subjek kasus................................................................ 38
2. Matriks Data Penelitian ................................................................................ 40
3. Jumlah Penduduk Desa Nanga Bayan berdasarkan jenis kelamin dan
dusun Tahun 2009 ..................................... 47
4. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan formal tahun 2009 ........ 48
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian................................................... 34
2. Lokasi Penelitian ....................................................................... 36
3. Model analisis interaktif ............................................................ 41
4. Hubungan antara lembaga desa dalam bekerja .......................... 79
5. Mekanisme Perencanaan Program di Desa Nanga Bayan ......... 83
6. Pola interaksi kepemimpinan dan partisipasi masyarakat .......... 111
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Pedoman wawancara .................................................................. 129
2. Form catatan harian .................................................................... 132
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Sintang merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang
berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Malaysia khususnya Negara
Bagian Sarawak. Kondisi ini membawa konsekwensi, baik dari segi ekonomi,
sosial dan politik terhadap Kabupaten Sintang pada khususnya dan kehidupan
nasional pada umumnya. Dari segi ekonomi, kawasan perbatasan akan memicu
pola hubungan yang diwarnai persaingan atau perbedaan ekonomi yang cukup
tajam. Dari segi sosial, kawasan perbatasan berpotensi melahirkan pola
interaksi berbagai dampak baik positif maupun negatif. Sedangkan dari segi
politik, kawasan perbatasan akan berimplikasi pada kadaulatan negara serta
harga diri bangsa di mata negara lain.
Keberadaan dan peranan pemerintahan desa sangat diperlukan untuk
memberikan kontribusi dalam pembangunan dan pengembangan kawasan
perbatasan tersebut sebagai kawasan prioritas, wilayah maju dan berkembang
sehingga menjadi “halaman depan” yang menentukan citra dan kedaulatan negara
dengan melaksanakan fungsi pemerintahan seperti yang termuat dalam UU No.
32/2004 bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari
sistem penyelenggaraan pemerintahan Nasional sehingga desa memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.
Secara teoritis, menurut Davey (1988). ada tiga fungsi utama yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu public
service funtion (fungsi pelayanan masyarakat), development function (fungsi
pembangunan) dan protection function (fungsi perlindungan). Fungsi pelayanan
masyarakat lebih berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah,
kegiatan pemberian berbagai pelayanan umum maupun fasilitas – fasilitas sosial
kepada masyarakat seperti penyediaan pendidikan, kesehatan, pengurusan
sampah, air minum, dan sebagainya. Fungsi pembangunan mendudukkan
pemerintah sebagai agen pembangunan, terutama dalam merangsang dan
mendorong pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup warganya. Pemerintah
2
mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi, mendirikan pasar-pasar,
mengeluarkan surat ijin berusaha, menyiapkan jaringan jalan dan jembatan serta
fasilitas-fasilitas lainnya yang menunjang pembangunan. Fungsi perlindungan
memberikan peran kepada pemerintah untuk melindungi warganya baik dari
gangguan alam maupun gangguan yang disebabkan oleh manusia.
Reformasi dan otonomi desa telah menjadi harapan baru bagi pemerintah
dan masyarakat di desa untuk membangun desanya sesuai dengan kebutuhan dan
aspirasi masyarakat. Bagi sebagian besar aparat pemerintahan desa, otonomi
adalah satu peluang baru yang dapat membuka ruang kreativitas bagi aparatur
desa dalam mengelola desa (Setiawan, 2008). Hal itu jelas membuat pemerintah
desa menjadi semakin leluasa dalam menentukan program pembangunan yang
akan dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa
tanpa harus didikte oleh kepentingan pemerintah daerah dan pusat. Sayangnya
kondisi ini ternyata belum berjalan cukup mulus. Sebagai contoh, aspirasi desa
yang disampaikan dalam proses musrenbang senantiasa kalah dengan kepentingan
pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dengan alasan bukan prioritas,
pemerataan dan keterbatasan anggaran.
Dalam pembangunan desa, hal yang perlu diketahui, dipahami dan
diperhatikan adalah berbagai kekhususan yang ada dalam masyarakat pedesaan.
Tanpa memperhatikan adanya kekhususan tersebut mungkin program
pembangunan yang dilaksanakan tidak akan berjalan seperti yang diharapkan.
Kekhususan pedesaan yang dimaksud antara lain adalah bahwa masyarakat desa
relatif sangat kuat keterikatannya pada nilai-nilai lama seperti adat istiadat
maupun agama.
Dalam pelaksanaan program pembangunan pedesaan, keberadaan pemimpin
informal bagi masyarakat desa di daerah perbatasan ini memiliki posisi strategis,
karena melalui mereka-lah berbagai informasi dan komunikasi dapat dialirkan
bagi kepentingan masyarakat. Segala bentuk perilaku dan sikap seringkali
bersumber dari seseorang yang dianggap sebagai panutan dan sumber
pengetahuan. Sosok sebagai figur panutan biasanya diperoleh seseorang melalui
berbagai cara yang secara otomatis dilekatkan oleh masyarakat setempat, seperti
karena pengaruh kewibawaannya, kepandaiannya, kekayaannya, keberaniannya
3
atau karena kekuasaannya. Jika seseorang telah mendapatkan predikat sebagai
panutan maka biasanya menjadi sumber segala perhatian masyarakat, yang secara
emosional menjadi acuan sikap dan perilakunya.
Melalui figur kepemimpinan informal tersebut, berbagai program
pemerintah dan missi pembangunan dapat diselenggarakan secara efektif dan
efisien. Oleh karena itu dalam berbagai kegiatan pembangunan masyarakat
tradisional, sosok pemimpin informal tidak bisa diabaikan peranannya. Meskipun
demikian, penggunaan saluran formal tetap berdaya guna, karena dengan cara
formal biasanya disertakan pula alat pemaksa berupa sanksi hukum formal.
Dengan demikian akan menjadi lebih baik jika digunakan kedua-duanya
sekaligus, sebab di satu sisi pemberdayaan masyarakat harus tetap berjalan, di sisi
yang lain penegakan hukum formal juga perlu terus ditegakkan.
Pembahasan mengenai pembangunan dalam kaitannya dengan aspek
kepemimpinan dan partisipasi menjadi sangat penting ketika dikaitkan dengan
kasus desa di daerah perbatasan. Hal ini mengingat desa-desa di perbatasan sangat
rentan dipengaruhi oleh negara lain melalui sentuhan pembangunan dan ketika
nilai manfaat pembangunan tersebut dirasakan oleh masyarakat bisa saja
mendorong mereka untuk cenderung menerima pengaruh yang lebih besar lagi.
Isu strategis konsultasi publik nasional di Jakarta, pada tanggal 18
Nopember 2007 (sumber Bappeda Kab. Sintang, 2007), mengemukakan bahwa
kondisi ketidakberdayaan masyarakat desa di kawasan perbatasan tersebut dapat
dilihat dari hal-hal sebagai berikut; pertama, aspek ekonomi ditandai dengan
suasana kehidupan masyarakat yang diliputi rendahnya taraf kesejahteraan
masyarakat terutama jika dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat negara
tetangga. Ada beberapa alasan mengapa penduduk pedesaan atau dari daerah
perbatasan Indonesia dan Malaysia lainnya seperti di kabupaten Sintang lebih
memilih berinteraksi ke seberang (baca Malaysia). Alasannya antara lain adalah,
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, mendapatkan penghasilan yang lebih
tinggi, dan sebagainya. Orientasi ekonomi masyarakat pada kawasan tapal batas
cenderung dominan pada negara tetangga Malaysia, hal ini disebabkan wilayah
negara tetangga tersebut lebih mampu memberikan kontribusi perkembangan
sektor perekonomian karena kelancaran proses perdagangan dan fasilitas lainnya
4
yang dapat mengakomodasikan masyarakat perbatasan. Berkaitan dengan bidang
ekonomi, kegiatan masyarakat di bidang koperasi, usaha kecil dan menengah serta
perdagangan belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal ini
masih terdapat Koperasi yang sudah dibentuk, akan tetapi tidak aktif, dan belum
semua jenis usaha termasuk perdagangan memiliki perizinan.
Kedua, aspek sosial yang disebabkan masih sangat minimnya sarana dan
prasarana transportasi seperti angkutan umum baik melalui jalan darat maupun
maupun melalui sungai. Selain itu minimnya sarana dan prasarana pendidikan di
daerah tersebut yang menyebabkan banyak anak-anak hanya lulusan sekolah dasar
serta relatif mahalnya biaya untuk memperoleh pendidikan dikarenakan jarak
antara sekolah dengan rumah penduduk sangat jauh. Disisi lain juga, untuk
melanjutkan ke tingkat lebih tinggi mereka harus ke ibukota kecamatan yang
merupakan satu-satunya SMP yang ada di kecamatan tersebut. Masyarakat di
Kawasan Perbatasan masih mengalami tingkat/derajat kesehatan yang rendah.
Kondisi kehidupan masyarakat khususnya anak-anak yang mengalami kekurangan
gizi dan lingkungan pemukiman yang kurang sehat. Selain itu sarana dan
prasarana atau fasilitas penunjang kesehatan masyarakat kurang memadai dan
terbatasnya tenaga kesehatan baik kualitas maupun kuantitasnya. Sampai akhir
tahun 2007 tercatat satu buah pondok kesehatan desa dengan satu orang tenaga
perawat/bidan. Sedangkan untuk sarana dan prasarana lainnya seperti pusling air
dan kendaraan operasional lainnya belum tersedia. (Bappeda Kabupaten Sintang,
2007).
Ketiga, aspek politik, akibat dari adanya permasalahan di bidang ekonomi
seperti tersebut di atas, secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada
kehidupan di bidang politik. Misalnya masyarakat di Kawasan Perbatasan lebih
mengetahui dan mengenal pemimpin atau pejabat di negara tetangga Malaysia
dibandingkan dengan di negara sendiri, ataupun cenderung lebih sering
menggunakan mata uang negara tetangga dari pada mata uang sendiri. Selain itu
stabilitas dan keamanan di Kawasan Perbatasan sangat rawan. Hal ini mengingat
belum jelasnya batas negara, sehingga rawan pencurian sumber daya alam,
penyelundupan barang-barang maupun keluar masuknya tenaga kerja ilegal,
masuknya budaya asing yang kurang sesuai dengan nilai dan adat istiadat maupun
5
agama, sehingga berpengaruh dan mengganggu ketertiban dan keamanan
masyarakat baik lahir maupun bathin.
Semua program pembangunan yang dilaksanakan pemerintahan desa di
kawasan perbatasan seakan tidak pernah ada hasilnya dalam mengatasi masalah
sosial, ekonomi dan politik. Hal ini tercermin dalam aktivitas perekonomian lebih
berorientasi bahkan terserap ke pusat-pusat perekonomian/perdagangan di negara
tetangga. Kurangnya nilai manfaat dari pembangunan yang bisa dirasakan oleh
masyarakat mengindikasikan adanya kesenjangan antara kebutuhan masyarakat
dan program-program pembangunan yang mereka terima. Salah satu sarana
penghubung kedua elemen tersebut adalah partsipasi masyarakat yang tidak lepas
dari peran-peran pemimpin lokal, baik pemimpin formal maupun informal dalam
menggerakkan partisipasi dimaksud.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti memandang penting dilakukan
penelitian yang fokus mengkaji keterkaitan antara kepemimpinan, partisipasi, dan
pembangunan sehingga fenomena kecenderungan masyarakat di desa perbatasan
menerima pengaruh dari negara lain bisa dijelaskan.
1.2. Rumusan Masalah
Pelaksanaan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 di seluruh wilayah
Republik Indonesia dimaksudkan untuk mewujudkan perangkat pemerintahan
desa yang mampu melayani dan mengayomi masyarakat, menggerakkan
partisipasi aktif masyarakat serta mampu melaksanakan fungsi pemerintahan
secara lebih efektif dan efisien.
Dalam konteks desa di perbatasan, keberadaan pembangunan yang
manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak
langsung sangat penting karena hal ini ada kaitannya dengan aspek
pengintegrasian, apakah masyarakat tersebut cenderung menerima pengaruh dari
Malaysia atau Indonesia. Dengan demikian konsep pembangunan yang diperlukan
adalah pembangunan yang berorientasi kebutuhan. Konsep semacam ini diyakini
bisa diwujudkan jika dalam proses pembangunan tersebut terdapat unsur
partisipasi masyarakat teruma dalam perencanaan, dengan tidak mengabaikan
partisipasi dalam pelaksanaan, monitoring, dan evalusasi. Jika pemimpin
6
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain, maka
untuk mengggerakkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan
sangat diperlukan peran-peran pemimpin lokal. Oleh karenanya penting untuk
dilihat lebih dalam mengenai peran-peran kepemimpinan lokal dalam
menggerakkan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan sehingga masalah
kurangnya nilai manfaat pembangunan yang dirasakan oleh masyarakat di daerah
perbatasan dapat dijelaskan.
Atas dasar uraian di atas, beberapa pertanyaan sebagai masalah penelitian
yang akan dijawab dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana peran kepemimpinan pemerintah desa dalam merumuskan
kebijakan dan mengimplementasikan pembangunan?
2. Bagaimana partisipasi masyarakat terhadap pembangunan di Desa Nanga
Bayan?
3. Bagaimana interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan
partisipasi masyarakat dalam program pembangunan Desa Nanga Bayan?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, penelitian ini bertujuan :
1. Mendiskripsikan peran kepemimpinan pemerintah desa dalam merumuskan
kebijakan dan mengimplementasikan pembangunan.
2. Mendiskripsikan partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Desa Nanga
Bayan.
3. Menganalisis interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan
partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di Desa Nanga Bayan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis yaitu sebagai berikut:
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi secara
ilmiah serta dapat memperkuat teori mengenai sosiologi pedesaan khususnya
dalam hal kepemimpinan pemerintahan desa dalam melaksanakan
pembangunan di kawasan perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
7
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa dalam pelaksanaan
pembangunan desa di kawasan perbatasan baik kepada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, maupun Pemerintah Kecamatan.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Konsep Pembangunan
Disadari bahwa pembangunan pedesaan telah dilakukan secara luas, tetapi
hasilnya dianggap belum memuaskan dilihat dari pelibatan peran serta masyarakat
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Rencana pembangunan desa
harus disusun berdasarkan pada potensi yang dimiliki dan kondisi yang ada
sekarang. Kondisi yang ada itu meliputi sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
sumberdaya modal, prasarana dan sarana pembangunan, kelembagaan, aspirasi
masyarakat setempat, dan lainnya. Karena dana anggaran pembangunan yang
tersedia terbatas, sedangkan program pembangunan yang dibutuhkan relatif
banyak, maka perlu dilakukan: (1) penentuan prioritas program pembangunan
yang diusulkan, penentuan prioritas program pembangunan harus dilakukan
berdasarkan kriteria yang terukur, dan (2) didukung oleh partisipasi masyarakat
untuk menunjang implementasi program pembangunan tersebut. Penentuan
program pembangunan oleh masyarakat yang bersangkutan merupakan bentuk
perencanaan dari bawah, dan akar rumput bawah atau sering disebut sebagai
bottom-up planning. Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu
bentuk pemberdayaan masyarakat (social empowering) secara nyata dan terarah.
Menurut pandangan Haq, (1985) tujuan pokok pembangunan adalah
memperluas pilihan-pilihan manusia. Pengertian ini mempunyai dua sisi.
Pertama, pembentukan kemampuan manusia seperti tercermin dalam kesehatan,
pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan yang
telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan atau untuk aktif dalam
kegiatan kebudayaan, sosial, dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang
disebut sebagai sebuah konsep yang holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni:
(1) peningkatan produktivitas; (2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan
pembangunan; serta (4) pemberdayaan manusia.
Pandangan bahwa pembangunan tidak seyogyanya hanya memperhatikan
tujuan-tujuan sosial ekonomi, berkembang luas. Masalah-masalah demokrasi dan
hak-hak asasi manusia menjadi pembicaraan seperti yang dikemukakan oleh
Goulet (1977) yang mengkaji falsafah dan etika pembangunan, misalnya,
9
mengetengahkan bahwa proses pembangunan harus menghasilkan (1) terciptanya
"solidaritas baru" yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah
(grassroots oriented), (2) memelihara keberagaman budaya dan lingkungan, dan
(3) menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat.
Nilai-nilai lama atau biasa disebut dengan budaya tradisional itu sendiri
menurut Dove (1985) sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi,
sosial dan politik dari masyarakat pada tempat di mana budaya tradisional tersebut
melekat. Dalam penelitian Dove (dikutip oleh Suwarsono, 1994) yang melakukan
penelitian tentang budaya lokal dan pembangunan di Indonesia, antara lain suku
Punan di pedalaman Kalimantan, suku Samin di pedalaman Jawa Tengah, suku
Wana di Sulawesi Tengah, penduduk Bima dan masyarakat Ngada di Flores. Hasil
penelitian Dove ini menyatakan bahwa budaya lokal dan agama di beberapa suku
tersebut ternyata sangat berperan dalam proses pembangunan dan dinamika sosial
perkembangan masyarakat. Karena bagaimanapun juga dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat tidak bisa dilepaskan dari agama dan budaya, bahkan nilai-nilai
budaya tersebut adalah merupakan faktor mental yang menentukan perbuatan
ataupun aktifitas seseorang maupun kelompok masyarakat (Koentjaraningrat,
1971).
Dalam era reformasi dilakukan perombakan dari sistem sentralistik menjadi
sistem desentralistik Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik
(clean and good governance) diterapkan tiga prinsip yang mendasar, yaitu :
transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (bertanggung jawab), dan resfonsivitas
(daya tanggap). Dalam perencanaan pembangunan, penerapan pendekatan yang
tadinya adalah bersifat top down digantikan oleh pendekatan bottom up. Dalam
pendekatan bottom up masih dirasakan pengaruh top down meskipun relatif kecil.
Demikian sebaliknya dalam perencanaan top down, harus tetap memperhatikan
aspirasi masyarakat bawah.
Memperhatikan kekurangan perencanaan pembangunan pedesaan pada masa
yang lalu, maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap pendekatan
pembangunan pedesaan yang sesuai dengan dinamika perkembangan dan
kompleksitas pembangunan serta aspirasi masyarakat. Konsep pendekatan
pembangunan yang lalu yang bersifat sentralistik harus direformasi menjadi
10
desentralistik, disesuaikan dengan masalah, potensi, kondisi, dan kebutuhan
masyarakat setempat, secara spasial dan terpadu, tetapi harus pula berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan. Setelah memperhatikan berbagai pendekatan
pembangunan pedesaan yang cukup banyak seperti dikemukakan di atas, maka
pendekatan perencanaan pembangunan pedesaan sekurang-kurangnya
menggunakan pendekatan bottom up, partisipatif dan berkelanjutan; dan
diantaranya adalah pendekatan partisipasi yang perlu mendapat penekanan.
Pembangunan pedesaan yang partisipatif merupakan suatu konsep
fundamental yang berlaku dan diterapkan sejak dahulu hingga sekarang dan tetap
relevan untuk masa depan. Partisipasi masyarakat itu mengikuti perkembangan
zaman dari sistem pemerintahan yang berlangsung dalam suatu kurun waktu.
Dalam sistem pemerintahan yang sentralistik, mekanisme perencanaan
pembangunannya adalah top down, dan partisipasi masyarakatnya adalah bersifat
mobilisasi atau pengerahan massa. Sedangkan dalam sistem pemerintahan yang
desentralistik (otonomi daerah), mekanisme perencanaan pembangunannya adalah
bottom up dan partisipasi rnasyarakatnya dilakukan dengan kesadaran dan
kebersamaan yang tinggi. Oleh sebab itu partisipasi masyarakat sangat diperlukan
sebagai kekuatan dinamis dan merupakan perekat masyarakat akar bawah
(pedesaan) untuk menunjang pembangunan pedesaan.
Dari sisi masyarakat, menurut (Setiawan, 2008) poin penting yang dirasakan
di dalam era otonomi adalah semakin transparannya pengelolaan pemerintahan
desa dan semakin pendeknya rantai birokrasi yang secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa. Ditambah lagi
oleh setiawan, dalam proses musrenbang keberadaan delegasi masyarakat desa
dalam kegiatan musrenbang di tingkat kabupaten/kota gagasannya adalah
membuka kran partisipasi masyarakat desa untuk ikut menentukan dan mengawasi
penentuan kebijakan pembangunan daerah. Namun demikian, lagi-lagi muncul
persoalan bahwa keberadaan delegasi masyarakat ini hanya menjadi kosmetik
untuk sekedar memenuhi qouta adanya partisipasi masyarakat dalam proses
musrenbang.
Menurut Kartasasmita (1997), menyebutkan bahwa kegagalan pembangunan
atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi
11
masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menentang upaya
pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal: 1). pembangunan
hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat
banyak bahkan pada sisi estrem dirasakan merugikan. 2). pembangunan meskipun
dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami
maksud tersebut. 3). pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat
dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan
pemahaman tersebut. 4). pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat
tetapi rakyat tidak diikutsertakan.
2.1.2. Pemerintahan Desa
Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat
Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya susunan organisasi
pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa
terdiri dari unsur staf, unsur pelaksana dan unsur wilayah. Unsur staf terdiri dari
Sekretaris Desa dan Kepala-kepala Urusan, sedangkan unsur pelaksana terdiri dari
Kepala-kepala Seksi dan unsur wilayah terdiri dari Kepala-kepala Dusun.
BPD dalam pemerintahan desa berkedudukan sebagai lembaga legislatif,
yaitu sebagai badan untuk tempat berdiskusi bagi para wakil masyarakat desa.
Dalam proses berdiskusinya itu, para anggota BPD berkedudukan sebagai wakil
dari kelompok masyarakat yang memilihnya. Dengan demikian, BPD berada
dalam posisi/kedudukan di pihak masyarakat, bukan di pihak lembaga eksekutif
desa, yaitu bukan sebagai pelaksana pemerintahan desa sebagaimana kedudukan
kepala desa beserta perangkatnya.
Pada masa berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang lalu,
Kepala Desa dan perangkatnya merupakan satu-satunya aktor penyelenggara
pemerintahan desa. Pada saat itu banyak mengandung kelemahan karena program-
program pembangunan seringkali berasal dari atas dan pengawasan terhadap
kepemimpinannya sangatlah lemah. Dalam kaitannya dengan desa Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999, ingin menutupi kelemahan-kelemahan yang ada
dalam UU. No.5 tahun 1979.
12
Kehadiran BPD dianggap sebagai penyeimbang dan mitra kerja.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka BPD diganti dengan
Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan
yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Badan Permusyawaratan
Desa ini diharapkan bisa mengurangi kelemahan penyelenggaraan pemerintahan
desa.
Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang bertugas
mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak pada warga
masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup hanya
memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi
yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan kinerja ekonomi. Legitimasi ini
harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara personal
di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang impersonal.
Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip
akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Pertama, akuntabilitas menunjuk
pada institusi dam proses checks and balances dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan
(account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah
desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang
diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila
menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak
berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan
seterusnya.
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul
dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan
berada di daerah Kabupaten (Wijaya, 2002). Rumusan defenisi Desa secara
lengkap terdapat dalam UU No.22/1999 adalah sebagai berikut:
“Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asalusul
yang bersifat istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal
18 UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa
adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat”.
13
Dengan adanya pengaturan desa diharapkan Pemerintah Desa bersama
masyarakat secara bersama-sama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian
tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam pasal
206, yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat.
2.1.3. Kekuasaan dan wewenang
Kekuasaan dengan wewenang (authority/legalized power) memiliki
pengertian yang berbeda, yaitu bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi
pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan
yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau
mendapat pengakuan dari masyarakat. Suatu masyarakat yang kompleks
susunannya dan sudah mengenal pembagian kerja yang terperinci, maka
wewenang itu biasanya terbatas mengenai hal-hal yang diliputinya, waktunya dan
cara menggunakan kekuasaan itu (Soekanto, 1973).
Menurut Max Weber (1947) kekuasaan itu dapat diartikan sebagai suatu
kemungkinan yang membuat seorang actor didalam suatu hubungan sosial berada
dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang
menghilangkan halangan. Walter Nord merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu
kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan
lainnya.
Secara sederhana, kepemimpinan adalah setiap usaha untuk mempengaruhi,
sedang kekuasaan diartikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seseorang
pemimpin tersebut. Adapun otoritas (Authority) dirumuskan sebagai suatu tipe
khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki oleh
pemimpin. Dengan demikian otoritas adalah kekuasaan yang disahkan
(legitimatized) oleh suatu peranan formal seseorang dalam suatu organisasi.
Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk
mencapai sesuatu dengan cara yang diinginkan. Karena kekuasaan merupakan
kemampuan mempengaruhi orang lain, maka mungkin sekali setiap interaksi dan
hubungan sosial dalam suatu organisasi melibatkan penggunaan kekuasaan. Cara
14
pengendalian unit organisasi dan individu di dalamnya berkaitan dengan
penggunaan kekuasaan. Kekuasaan selalu melibatkan interaksi sosial antar
beberapa pihak, lebih dari satu pihak. Dengan demikian seorang individu atau
kelompok yang terisolasi tidak dapat memiliki kekuasaan karena kekuasaan harus
dilaksanakan atau mempunyai potensi untuk dilaksanakan oleh orang lain atau
kelompok lain.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk bertindak atau memerintah sehingga
dapat menyebabkan orang lain bertindak, pengertian disini harus meliputi
kemampuan untuk membuat keputusan mempngaruhi orang lain dan mengatasi
pelaksanaan keputusan itu. Biasanya dibedakan antara kekuasaan yang berarti
dalam kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga dapat menyebabkan
orang lain tersebut bertindak dan wewenang yang berarti hak untuk memerintah
orang lain.
Wewenang (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau
memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar
tercapai tujuan tertentu. Penggunaan wewenang secara bijaksana merupakan
faktor kritis bagi efektevitas organisasi. Peranan pokok wewenang dalam fungsi
pengorganisasian, wewenang dan kekuasaan sebagai metoda formal, dimana
pemimpin menggunakannya untuk mencapai tujuan individu maupun organisasi.
Wewenang formal tersebut harus di dukung juga dengan dasar-dasar kekuasaan
dan pengaruh informal. Pemimpin perlu menggunakan lebih dari wewenang
resminya untuk mendapatkan kerjasama dengan bawahan mereka, selain juga
tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan
mereka.
Pengertian tentang wewenang dapat dipandang secara klasik dan juga secara
pengakuan. Secara klasik, wewenang dimiliki oleh atasan dan bawahan
berkewajiban mematuhinya. Kondisi ini dapat menimbulkan kekuasaan yang
sewenang-wenang. Pandangan pengakuan berdasarkan adanya pengakuan dari
seseorang yang dipengaruhi terhadap orang lain yang mempengaruhi mereka.
Dengan demikian, dalam lingkup sempit, wewenang yang sah belum tentu
memperoleh pengakuan orang lain. Weber menyebut wewenang sebagai
15
wewenang yang legal dan sah. Weber juga membagi wewenang menjadi
wewenang kharismatik, rasional, dan tradisional.
Indonesia kini menuju kepada pembagian kewenangan antara pusat dan
daerah, sehingga azas desentralisasi lebih tampak. Pembagian ini menuju kepada
pemberian wewenang kepada daerah lebih besar dengan hak mengelola sendiri
daerahnya untuk kegiatan-kegiatan tertentu, dan ada keseimbangan penerimaan
antara daerah dan pusat. Hal ini dilakukan untuk mencegah usaha pemisahan diri
oleh daerah-daerah.
2.1.4. Kepemimpinan (leadership)
Sekarang hampir setiap pemimpin dengan daya tarik yang sangat populer
disebut pemimpin kharismatik, seperti misalnya tokoh agama. Max Weber (1947),
seorang sosiolog besar menganalisis suatu kharisma melalui hubungan darah,
keturunan dan institusi. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kharisma adalah
kualitas tertentu dari seorang individu yang karenanya ia berbeda jauh dari orang-
orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan atau sifat supranatural. Kualitas ini
dianggap tidak bisa dimiliki oleh orang biasa dan atas dasar itu individu yang
bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan. Dalam
proses selanjutnya pemimpin ini menjadi seorang panutan, sehingga kecil
kemungkinan dia akan melakukan kesalahan.
Dalam demokrasi, seorang pemimpin yang tidak menyelewengkan
kekuasaan karena takut pada pengawasan, adalah pemimpin yang baik dan dia
tidak perlu berusaha menjual tampang bahwa dia tidak tertarik untuk
menyalahkan kekuasaannya. Kalau demokrasi sebagai sistem politik
mengandaikan bahwa pemerintahan harus berasal dari rakyat, dijalankan oleh
rakyat untuk kepentingan rakyat, maka pemimpin yang demokratis adalah
seseorang yang berasal dari rakyat, bukan karena faktor darah atau keturunan.
Akhirnya kita tidak hanya berharap pemimpin yang kharismatik tetapi lebih
daripada itu kita mengharapkan pemimpin yang demokratis. Atau pemimpin yang
kharismatik sekaligus demokratis
Harapan masyarakat terhadap seorang pemimpin tidak pernah
memperkirakan dan mempertimbangkan kesulitannya, namun hanya
16
permasalahannya tuntas. Pemimpin diharapkan menjadi tokoh yang selalu
menyediakan solusi. Dalam keadaan yang terjepit secara financial dan
kelembagaan dituntut untuk menjalankan program, kata-kata “tidak ada budget”
bisa diungkapkan oleh departemen keuangan, tetapi pemimpin tetap tidak bisa
mengelakkan kalau program harus dijalankan. Pemimpinlah yang harus putar otak
dan mengarahkan semua sumber daya untuk mencari solusi (Simbolon, 1994).
Hill dan Caroll (1997) berpendapat bahwa, kepemimpinan dapat diartikan
sebagai kemampuan mendorong sejumlah orang (dua orang atau lebih) agar
bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan
bersama. Struktur organisasi adalah kerangka atau susunan unit atau satuan kerja
atau fungsi-fungsi yang dijabarkan dari tugas atau kegiatan pokok suatu
organisasi, dalam usaha mencapai tujuannya. Setiap unit mempunyai posisi
masing-masing, sehingga ada unit yang berbeda jenjang atau tingkatannya dan ada
pula yang sama jenjang atau tingkatannya antara yang satu dengan yang lain.
Kepemimpinan akan berlangsung efektif bilamana mampu memenuhi
fungsinya, meskipun dalam kenyataannya tidak semua tipe kepemimpinan
memberikan peluang yang sama untuk mewujudkannya. Dalam hubungan itu sulit
untuk dibantah bahwa setiap proses kepemimpinan juga akan menghasilkan
situasi sosial yang berlangsung di dalam kelompok atau organisasi masing-
masing. Untuk itu setiap pemimpin harus mampu menganalisa situasi sosial
kelompok atau organisasinya yang dapat dimanfaatkan dalam mewujudkan fungsi
kepemimpinan dengan kerja sama dan bantuan orang-orang yang dipimpinnya.
Fungsi kepemimpinan menurut Hill dan Caroll (1997) memiliki dua dimensi
sebagai berikut: a). dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan
mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat
pada tanggapan orang-orang yang dipimpinnya; b). dimensi yang berkenaan
dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin
dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok atau organisasi, yang
dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijaksanaan-
kebijaksanaan pemimpin.
Ada tiga peran utama pemimpin menurut Mitzberg, (dikutip oleh Handoko
(2003) yaitu: (1) interpersonal role, yaitu sebagai tokoh, (2) informational role,
17
yaitu sebagai pemicara, dan (3) decisional role, yaitu sebagai pemecah masalah
dan pengambil keputusan. Dengan adanya keputusan berarti ada masalah yang
dapat dipecahkan sehingga organisasi selalu dinamis dan berkembang.
Menurut P. Hersey dan Blancard, (dikutip oleh Tohardi, 2002)
Kepemimpinan didefinisikan sebagai proses mempengaruh kegiatan individu dan
kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan. Siagian (2002) mengatakan
kepemimpinan dari seseorang atau sekelompok orang adalah antara lain untuk
memperoleh kepercayaan dari orang–orang yang dipimpin dan keterampilan
untuk menggerakkan orang–orang yang dipimpin, sehingga pencapaian tujuan
yang telah ditentukan dapat terlaksana dengan efisien, efektif dan ekonomis.
Mengacu kepada Weihrich and Koontz (1994:490) “Leadership is definied
as influence, that is, the art or process of influencing people so that they will
strive willingly and enthusiastically toward the achievement of group goals”
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dengan cara apapun, agar mampu
mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan
kehendaknya dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Kepemimpinan memainkan peran penting dalam perkuatan dan peningkatan
disiplin individu serta produktivitas tenaga kerja. Dalam sosiologi, bicara tentang
kepemimpinan berarti bicara tentang ”status” dan ”otoritas” menurut Marx
Weber, (dikutip oleh Syahyuti, 2006), ada 3 jenis kekuasaan atau otoritas
kepemimpinan, yaitu kekuasaan tradisional berdasarkan kepercayaan yang telah
ada, kekuasaan rasional berdasarkan hukum legal, dan kekuasaan kharismatis
berdasarkan individual.
Kepemimpinan ada dalam setiap sistem sosial, karena akan selalu ada inter-
relasi antara pihak yang mempengaruhi dan yang di pengaruhi, pada hakikatnya,
seseorang dapat disebut pemimpin jika ia dapat mempengaruhi orang lain dalam
mencapai suatu tujuan tertentu, meskipun tidak dalam ikatan formal sebuah
kelembagaan. Pencapaian yang tertinggi dari seseorang pemimpin adalah
memperoleh respek dan kepercayaan. Dalam kontek respek dan kepercayaan,
suatu ungkapan yang populer dari Dwight D. Eisenhower, (dikutip oleh Syahyuti,
2006) ”Kepemimpinan adalah seni mendapatkan orang lain untuk melakukan hal
lain yang ia ingingkan karena orang itu menginginkannya.
18
2.1.5. Type Kepemimpinan
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang
dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis
awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an,
memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders)
dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode
tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau
kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang
kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah
pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.
Dalam perkembangannya, type yang relatif baru dalam studi kepemimpinan
disebut sebagai type kepemimpinan transformasional. Type ini dianggap sebagai
type yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep
kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan
dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
(a). Watak Kepemimpinan ( Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba
meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti
misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara,
status sosial ekonomi mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill, 1974).
Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi
yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi,
tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Disamping itu, watak pribadi
bukanlah faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial
para pemimpin. Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka
pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang
tidak signifikan.
(b). Kepemimpinan Situasional ( Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak
kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu
kemampuan kepemimpinan. Studi-studi tentang kepemimpinan situasional
19
mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor
penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-
tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek
kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak
kepribadian pemimpin.
Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan
keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut
pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai
pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi.
Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus
yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel
(1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi
kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the
organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate),
karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan
(subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih
menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu.
Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini
tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang
mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.
(c). Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe
tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para
pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan
(initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur
kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin
mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian
tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan
kegiatan-kegiatan kelompok mereka.
Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan
kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin
memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya
20
kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi
kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan
adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah,
partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku
pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua
aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah
pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan
mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling
menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model
kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif
adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia
sekaligus dalam organisasinya.
(d). Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan
antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-
variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa
situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka
model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni
pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan
watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel, 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi
karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap
efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan
(leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang
dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi
kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan
pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan
(leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi
(position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana
pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk
21
mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana
tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana
definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur
yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau
kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam
organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-
tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh
mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan
hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).
Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa
efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin
dengan karakteristik situasi (House, 1971). Menurut House, tingkah laku
pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership
(menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim
kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja
sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative
leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan
achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang
dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan). Menurut Path-Goal Theory,
dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah
karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi
seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model
kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model
sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun
demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang
kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin
dan variabel situasional.
(e). Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational
Leadership)
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru
dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas
yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional.
22
Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model
kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model
kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada
otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada
hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang
perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping
itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian
tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan
tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada
sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.
Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan
transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu
memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari
yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan,
mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus
menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.
Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational
leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a
shared vision of the future, or going beyond the self-interest exchange of rewards
for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan
pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam
membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus
mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan
bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih
tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass
(1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya
melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi
kepentingan organisasi yang lebih besar.
Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan
transformasional mempunyai empat dimensi, idealized influence (pengaruh ideal),
inspirational motivation (motivasi inspirasi), intellectual stimulation (stimulasi
intelektual), dan individualized consideration (konsiderasi individu).
23
Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif
baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang
dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen
yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep
kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros
dan Butchatsky, 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini
mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan
watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan
transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu
yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (misalnya Weber, 1947) dan ahli-ahli
politik (seperti misalnya Burns, 1978)
Beberapa ahli menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan
kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik,
inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Bryman (1992) menyebut
kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new
leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai
pemimpin penerobos (breakthrough leadership).
Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai
kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap
individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali
(reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan
organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses
dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang
menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk
merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin
dilaksanakan.
Dari pendekatan type yang berbeda, yang berdasarkan kebutuhan terdapat
tiga type kepemimpinan yaitu : otokratik, demokratik, dan bebas terkendali. Type
kepemimpinan otokratik adalah memusatkan kuasa dan pengambilan keputusan
bagi dirinya sendiri. Mereka menata situasi kerja yang rumit bagi para bawahan
dan melakukan apa saja yang diperintahkannya. Kepemimpinan otokratik
umumnya negatif, yang berdasarkan atas ancaman dan hukuman (Kreitner, 1999).
24
Beberapa manfaat kepemimpinan otokratik adalah bahwa type ini sering
memuaskan pemimpin, memungkinkan pengambilan keputusan dengan cepat,
memungkinkan pendayagunaan bawahan yang kurang kompeten, dan
menyediakan rasa aman dan ketentuan bagi para bawahan. Kelemahan gaya ini
yang utama adalah bahwa orang-orang tidak menyukainya, terutama apabila
mencapai suatu titik yang menimbulkan rasa takut dan keputusasaan.
Kepemimpinan demokratik adalah mendesentralisasikan wewenang.
Keputusan partisipatif tidak bersifat sepihak, seperti pemimpin otokratik, karena
keputusan ini timbul dari upaya konsultasi dengan para pengikut dan
keikutsertaan yang dipimpin. Pemimpin dan kelompok bertindak sebagai suatu
sosial. Para pengikut memperoleh informasi dan pemimpin tentang kondisi yang
mempengaruhi pekerjaan mereka dan didorong untuk mengungkapkan gagasan
dan mengajukan saran. Kecenderungan yang umum adalah kearah penerapan
praktek partisipasi lebih luas karena konsisten dengan perilaku organisasi.
Pemimpin bebas kendali cenderung menghindari kuasa dan tanggung jawab.
Mereka sebagian besar bergantung pada kelompok untuk menetapkan tujuan dan
menanggulangi masalah sendiri. Pemimpin hanya memainkan peran kecil.
Kepemimpinan bebas kendali mengabaikan kontribusi pemimpin dengan cara
yang kurang lebih sama seperti kepemimpinan otokratik mengabaikan kelompok.
Kepemimpinan ini cenderung memungkinkan berbagai unit organisasi yang
berbeda untuk bergerak maju dengan tujuan yang bertentangan satu sama lain, dan
ini dapat menimbulkan kekacauan. Karena alasan inilah type bebas kendali tidak
digunakan sebagai type yang dominan, tetapi bermanfaat dalam situasi dimana
pemimpin dapat memberi peluang sepenuhnya kepada kelompok untuk
melakukan pilihan mereka sendiri.
2.1.6. Kepemimpinan formal dalam membangun perekonomian desa
Peran kepemimpinan sangat besar bagi kemajuan maupun kemunduran
perekonomian suatu masyarakat, terlebih pada masyarakat yang kandungan
semangat patronasenya kuat. Keberadaan seorang pemimpin yang kuat dalam
masyarakat pedesaan sangat menentukan peluang dan tingkat kemajuan ekonomi
masyarakat pedesaan.
25
Aspek kepercayaan (trust) dalam kepemimpinan untuk menggerakkan
masyarakat ke arah kemajuan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan akan
dihargai serta dihormati jika pemimpin tersebut memiliki keunggulan karena
mampu memecahkan dan mengatasi masalah masyarakat termasuk masalah
produksi dan ekonomi pertanian mereka. Hal ini penting untuk menghindarkan
munculnya sifat ‘manja’ dan ‘ketergantungan’ petani terhadap bantuan
pemerintah, yang akan menyebabkan kemerosotan daya kreatif petani dalam
mengelola sumberdaya pertanian di daerahnya.
Seorang pemimpin juga harus mampu merepresentasikan kepentingan
masyarakat dan menghilangkan sifat mementingkan diri dan golongannya semata.
Petani juga mengharapkan semangat “altruistik” (mau berkorban lebih dulu) dari
seorang pemimpin, agar memperoleh simpati dan kepercayaan masyarakat yang
otomatis tentu akan menjadi pendukungnya (misalnya, merintis jalur pemasaran
lintas desa/daerah, memperhatikan sarana dan prasarana pertanian, irigasi dan
mengembangkan usahatani). Seorang pemimpin diharapkan memiliki visi dan
misi yang jelas dan ditranparansikan ke petani, memiliki pemahaman local
knowledge yang baik, mampu menggerakkan inspirasi kekolektifitasan antar
petani dan terorganisir dengan baik, serta mentransmisi dan mendinamisasi
persaingan sehingga menjadi energi kolektif kemajuan masyarakat setempat.
Pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan tradisional merupakan
salah satu usaha dalam program pembangunan pedesaan (yang salah satunya
dengan partisipasi masyarakat lokal) untuk memperkuat jaringan perekonomian
masyarakat petani (agar tidak hanya sekedar subsisten dan agar mampu
berkelanjutan), agar dapat mendorong usaha pertanian petani untuk
berproduktivitas tinggi, meninggalkan konsep pertanian primitif subsistensi dan
menuju pertanian yang modern serta mampu memenuhi pasar komersial.
2.1.7. Kepemimpinan Informal Dalam Pembangunan Desa (Sosial Budaya)
Pemimpin informal tidak menjadi pemimpin karena faktor legalitas, tapi
terutama karena faktor ”legitimasi”. Artinya, walaupun tak ada kongres atau
muktamar yang menetapkan demikian, tapi rakyat dan umat dengan spontan
menerima dan memperlakukan yang bersangkutan sebagai pemimpin mereka.
26
Seorang menjadi, misalnya ”Temenggung”, bukan karena ketetapan sidang
atau melalui pemilu. Tapi masyarakat mencium tangannya dengan hormat yang
tulus. Padahal seorang temenggung ini tidak mengendarai kendaraan dinas dengan
bunyi sirene yang melengking-lengking. Tidak pula diiringi ajudan, yang siap
membawakan semua benda, dari tas sampai kaca mata atau korek api.
Orang dapat berencana dan kemudian berusaha untuk menjadi seorang
”pemimpin formal”. Tapi tidak untuk menjadi seorang ”pemimpin informal”.
Sebab seorang ”pemimpin informal” itu ditetapkan oleh masyarakat bukan dengan
surat suara, tapi dengan kata hati. Ikatan antar mereka tidak diatur secara resmi,
tapi lahir secara spontan karena ada rasa hormat dan cinta yang tidak dipaksa-
paksa.
Sebagian besar rakyat dan umat adalah orang-orang yang sangat sederhana.
Rendah tingkat pendidikan mereka. Polos penampilan mereka. Lurus ucapan bibir
dan cara berfikir mereka. Tapi mereka punya kepekaan tersendiri, untuk
mengenali siapa yang layak menjadi pemimpin mereka, dan siapa yang tidak.
Sebagaimana dikemukakan Thoha (2001) bahwa seorang pemimpin apapun
wujudnya, dimanapun letaknya akan selalu mempunyai beban untuk
mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Pemimpin lebih banyak bekerja
dibandingkan berbicara, lebih banyak memberikan contoh-contoh yang baik
dalam kehidupannya, dibandingkan berbicara besar tanpa bukti dan lebih banyak
berorientasi pada bawahan dan kepentingan umum dibandingkan kepentingan
pribadi.
Namun demikian dalam Kartono (2001) bahwa pemimpin informal atau
tradisional dapat berpengaruh positif atau negatif dalam peranan sosialnya di
tengah masyarakat. Status sosial itu pada umumnya dicapai karena faktor
keturunan, kekayaan, taraf pendidikan, pengalaman hidup, kharismatik, maupun
jasa-jasanya kepada masyarakat. Sehingga pemimpin informal atau tradisional
cirinya adalah tidak memiliki penunjukan formal legitimitas sebagai pemimpin,
masyarakat menunjuk dan mengakuinya sebagai pemimpinya, tidak mendapat
dukungan dari organisasi formal, tidak dapat di mutasikan atau promosi atau tidak
mempunyai atasan dan apabila melakukan kesalahan tidak dapat dihukum (hanya
saja akan ditinggalkan kelompoknya).
27
Keberadaan kepemimpinan informal di tengah-tengah kehidupan masyarakat
desa tidak saja memberikan manfaat di bidang keagamaan dan tradisi belaka.
Lebih dari itu, kehadiran kepemimpinan informal sebagai institusi yang bersifat
terbuka sangat efektif pula sebagai pelaksana pembangunan desa. Lewat lembaga
inipula berbagai komunikasi seputar pembangunan diterima masyarakat.
Selama ini, Lembaga tradisional adalah merupakan pusat komunikasi dan
informasi bagi masyarakat desa setempat dalam segala hal. Lewat Lembaga
tradisional ini mereka dapat memperoleh berbagai informasi dan pula dapat
menyampaikan informasi. Dalam forum seperti inilah masyarakat mendapatkan
berbagai informasi yang mengalir deras, baik yang disampaikan oleh para tokoh
mereka ataupun dari individu-individu yang saat itu berkumpul yang merupakan
informasi yang didapat diluar komunitas, dan merekapun bisa mengutarakan
segala uneg-uneg kepada pemimpinnya untuk disampaikan kepada pemerintah.
2.1.8. Beberapa Studi tentang Kepemimpinan
Penelitian mengenai kepemimpinan pemerintahan desa bukanlah hal yang
baru. Sebelumnya telah ada beberapa kajian/penelitian mengenai kepemimpinan
pemerintahan desa. Pencantuman penelitian terdahulu ini bertujuan untuk
memperlihatkan pada posisi penelitian yang akan dilakukan. Penelitian
kepemimpinan disebut bidang retak tangan yang menentukan di masyarakat Jawa
yakni negara-desa yang terpisah secara tradisional (Fagg dalam Nordholt, 1987).
Ditambahkan oleh Fagg, dalam hubungan ini negara, keraton, merupakan pusat
kekuasaan yang memancarkan pengaruhnya dalam ukuran yang semakin
berkurang ke lingkaran paling jauh dari kerajaan sampai ke mancanegara.
Menurut garis hirarki, dari “raja” sampai petani, pengaruh melalui banyak pejabat
dalam rangkaian pemerintahan tersebut semakin menipis.
Tetapi semua yang menganggap dirinya termasuk lingkungan negara, semua
pejabat menganggap dirinya pemimpin. Dan setiap orang yang termasuk
lingkungan desa dipandang sebagai pengikut.
Beberapa penelitian lain yang bertitik tolak dari pemikiran Fagg adalah
Nordholt (1987) yang mengaitkan antara pemimpin dan pengikut yang dapat
memberi pandangan lebih luas tentang perkembangan yang terjadi di pedesaan
28
Jawa. Dalam kajiannya antara pemimpin dan pengikut apabila yang berkedudukan
sosial lebih tinggi dalam sikap dan perkataannya dengan lebih jelas
memperlihatkan bahwa dia adalah atasan, maka yang berkedudukan sosial lebih
rendah itu akan merasa begitu tertekan dan terdesak, sehingga tak ada cara apapun
yang dapat digunakan untuk menyatakan pendapatnya yang mungkin bersifat
bertentangan. Karena atasan yang demikian itu sesungguhnya memang tidak mau
tahu pendapat yang lebih baik. Tindakan semacam itu membuat setiap informasi
dari bawah tertutup sama sekali.
Dapat dibayangkan, apabila pemimpin itu sendiri berada dibawah tekanan
untuk melaksanakan program-program dan proyek-proyek tertentu, maka ia akan
memaksakan secara kasar pelaksanaan tersebut dengan menggunakan kata-kata
yang bersifat intimidasi. Dengan cara demikian, ia yakin tidak akan di bantah.
Sikap pemimpin semacam itu lebih mirip dengan menipu dirinya sendiri dan tidak
ada hubungannya dengan each.....recognizes the other as valid, and legitimate
within its own spere (Nordholt, 1987).
2.1.9. Partisipasi
Dalam proses pembangunan, partisipasi masyarakat berfungsi sebagai
masukan dan keluaran, artinya mulai dari penerimaan informasi, pemberian
tanggapan terhadap informasi, perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan akhirmya
penerimaan kembali hasil pembangunan. Sebagai masukan (input) pembangunan,
partisipasi berfungsi untuk menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk
berkembang secara mandiri. Sedangkan sebagai keluaran (output), partisipasi
merupakan keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai upaya,
seperti lomba desa, subsidi desa, dan sebagainya. Apabila partisipasi yang
dilakukan itu meliputi semua tahap dalam proses pembangunan, maka disebut
partisipasi prosesional. Sebaliknya bila dilakukan hanya pada tahap-tahap tertentu
saja maka disebut sebagai partisipasi parsial (Ndraha, 1987).
Partisipasi memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar
masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap
perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa. Partisipasi harus
29
diartikan bahwa setiap masyarakat harus ikutserta dalam setiap tahap
pembangunan desa seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam
pembangunan. Dengan demikian masyarakat akan lebih terpanggil untuk ikut
serta dan merasa bertanggung jawab dalam pembangunan desa untuk kepentingan
bersama.
Merujuk kepada tulisan Cohen dan Uphoff (dalam Nordholt, 1987) bahwa
dalam pengertian partisipasi itu haruslah dibedakan antara dimensi ikutserta dalam
pengambilan keputusan, dan dimensi ikutserta dalam tahap pelaksanaan. Untuk
keadaan di Jawa dapat ditentukan bahwa dalam kedua dimensi tersebut
terkandung pengertian tradisional. Dengan demikian pengertian musyawarah
dapat dilihat sebagai suatu bentuk dimensi, pengambilan keputusan dan gotong
royong, sebagai suatu bentuk dimensi tahap pelaksanaan.
Dengan adanya partisipasi masyarakat maka keberhasilan pembangunan
akan tercapai. Jika dicermati maka manfaat partisipasi bagi pemerintah
diantaranya: (a) meningkatkan efesiensi pengadaan fasilitas, (b) mengurangi
beban kelembagaan dan pembiayaan pemerintah; (c) masyarakat dapat berperan
sebagai pelaksana pembangunan, (d) meningkatkan kepercayaan diri masyarakat.
Sedangkan bagi masyarakat adalah: (a) dapat menikmati pembangunan yang
sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya, (b) secara moral masyarakat merasa
memiliki dan merupakan bagian dari pembangunan yang selanjutnya akan
memelihara dengan suka rela.
Menurut Cohen dan Uphoff (dalam Nordholt, 1987), partisipasi dalam
pembangunan masyarakat pedesaan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana caranya,
keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program dan keputusan dengan
menyumbangkan beberapa sumber daya atau bekerjasama dalam organisasi
kegiatan tertentu, bagian manfaat dari program pembangunan, dan/atau
keterlibatan masyarakat dalam upaya evaluasi program. Oleh karena itu,
partisipasi dilakukan dengan melihat keterlibatan para pihak dalam proses
perencanaan dan pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pemeliharaan serta
pemanfaatan hasil kegiatan.
30
Namun demikian dalam implementasinya, kegiatan yang partisipatif
terkadang harus melalui proses yang panjang karena beberapa persoalan yang
harus diselesaikan terlebih dahulu. Conyers dalam Slamet (1993) menyatakan
bahwa seringkali kegiatan partisipatif terkendala oleh tidak adanya keinginan
masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan tersebut.
Menurut Ndraha (1982) partisipasi meliputi tiga hal, yaitu: 1) adanya
keterlibatan mental dan emosional, 2) adanya kesediaan untuk memberikan
sumbangan dalam pembangunan, 3) adanya kesediaan untuk bertanggung jawab.
Partisipasi masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan dan mutlak diperlukan untuk keberhasilan pembangunan. Dalam
hal ini Mubyarto (1988) menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan sampai pemanfaatan hasil-hasil pembangunan mutlak
diperlukan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa tanpa partisipasi masyarakat
setiap proyek pembangunan harus dinilai tidak berhasil.
Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan monitoring dan evaluasi mencerminkan
upaya mewujudkan kemandirian daerah yang transparan dan akuntabel antara
komponen pemerintah, masyarakat, yang dilandasi aturan kebijakan untuk
berpartisipasi sesuai proporsi dan kompetensi yang dimiliki secara terukur dan
berkelanjutan. Kondisi ini dapat berlangsung dengan mengedepankan prinsip-
prinsip dasar pemerintahan yang baik (good governance), yaitu: 1) partisipatif; 2)
tranparansi; 3) akuntabilitas. Partisipatif dalam proses pembangunan diantaranya
melalui berbagai program kebijakan pembangunan dimaksudkan agar dapat
menjembatani antara aspirasi dan kebutuhan masyarakat di pedesaan. Selain itu,
makna partisipatif juga diharapkan dapat menggugah kesadaran publik bahwa
terjadinya keberhasilan maupun kegagalan proses pembangunan di pedesaan
bukan tanggung jawab pemerintah semata, melainkan sangat bergantung pada
keberhasilan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan
tersebut, dari awal hingga akhir, yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ada
beberapa unsur penting dalam partisipasi yaitu:
31
1. Dalam partisipasi terdapat unsur keterlibatan mental dan emosional dari
individu yang berpartisipasi.
2. Dalam partisipasi terdapat unsur kesediaan secara sukarela untuk memberikan
kontribusi atau sumbangan untuk mencapai tujuan bersama.
3. Partisipasi diikuti adanya rasa tanggung jawab terhadap kegiatan yang
dilakukan dalam usaha mencapai tujuan bersama.
4. Partisipasi ditentukan oleh keterlibatan masyarakat untuk menentukan segala
sesuatunya sendiri, bukan ditentukan oleh pihak lain.
2.2. Kerangka Pemikiran
Prinsip penyelenggaraan pemerintah adalah efisiensi, transparasi dan
demokrasi. Sebuah mekanisme kontrol diperlukan agar mandat yang diberikan
kepada pejabat pemerintah, yang berasal dari rakyat, dapat diselenggarakan
dengan sesungguhnya.
Sejalan dengan RPJM Nasional 2005 – 2009, sasaran pokok pembangunan
daerah perbatasan dan daerah tertinggal sebagai fokus dan prioritas pembangunan
adalah untuk menciptakan kondisi ekonomi rakyat di pedesaan yang kukuh,
tercapainya keterkaitan perekonomian di pedesaan dan terwujudnya masyarakat
perdesaan yang sejahtera. Sedangkan dalam perspektif kelembagaan,
pembangunan desa ditujukan untuk semakin berfungsinya lembaga pemerintahan
desa dan lembaga kemasyarakatan desa untuk meningkatkan efektivitas
pelaksanaan pembangunan pedesaan, terjaminnya kepastian hukum bagi
masyarakat pedesaan yang sesuai dengan tradisi dan adat istiadat setempat.
Kebijakan program pembangunan desa, menitikberatkan pada aspek
partisipasi masyarakat, respon terhadap program pembangunan dan aspek
keberlanjutan program bagi masyarakat desa ditengah keberagaman kemampuan
dan kepentingan masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sangat terbatas
akan mewujudkan pengembangan program pembangunan yang tidak melahirkan
kelompok terpinggirkan baru, maka dalam upaya menyukseskan pelaksanaan
pembangunan diperlukan adanya partisipasi aktif dari masyarakat. Selain itu
dalam pelaksanaan pembangunan desa diharapkan partisipasi aktif masyarakat
32
untuk mengidentifikasi berbagai masalah pembangunan desa yang dihadapi
dengan alternatif pemecahannya yang secara utuh dilaksanakan oleh masyarakat.
Pemerintahan desa dalam menjalankan fungsi pembangunan tidak terlepas
dari ikatan-ikatan norma atau aturan yang berlaku, tata kelakuan atau pola
hubungan antara pemerintahan desa dengan masyarakat dalam membangun
kerjasama merupakan bagian dari kelembagaan dengan ciri diketahui, dipahami,
ditaati dan dihargai. Norma atau aturan tersebut ditaati sejalan dengan perilaku
yang memenuhi kebutuhan masyarakat serta telah mendarah daging. Sehingga
kepemimpinan memiliki peranan sebagai pedoman dalam berinteraksi.
Dalam situasi dan kondisi bagaimana pun, jika seseorang berusaha untuk
mempengaruhi perilaku orang lain, maka aktivitas seperti itu telah melibatkannya
ke dalam aktivitas kepemimpinan. Jika kepemimpinan tersebut terjadi dalam suatu
kelembagaan tertentu dan seseorang berupaya agar tujuan kelembagaan tercapai,
maka orang tersebut perlu memikirkan type kepemimpinannya. Type
kepemimpinan dapat dianggap sebagai “modalitas” dalam kepemimpinan, dalam
arti sebagai cara-cara yang disenangi dan digunakan oleh seseorang sebagai
wahana untuk menjalankan kepemimpinannya.
Berdasarkan dari beberapa type kepemimpinan yang ada, penelitian ini akan
mengevaluasi type kepemimpinan demokratis. Kepemimpinan demokratis dimana
aspek pengambilan dilakukan secara bersama-sama dengan konstituen
(masyarakat). Tipe kepimpinan demokratis memiliki kelebihan dalam hal
pengambilan keputusan yang lebih cermat/teliti namun lamban dalam mengambil
keputusan karena harus melibatkan dan mempertimbangkan pendapat orang
banyak.
Seorang pemimpin berfungsi untuk memastikan seluruh tugas dan
kewajiban dilaksanakan di dalam suatu organisasi. Fungsi kepemimpinan adalah
: 1) pemimpin sebagai penentu arah, 2) pemimpin sebagai wakil dan juru bicara
organisasi, 3) pemimpin sebagai komunikator yang aktif, 4) pemimpin sebagai
mediator, 5) pemimpin sebagai integrator (Sondang dalam Nawawi, 2003).
Seseorang yang secara resmi diangkat menjadi pemimpin dalam suatu
kelembagaan/organisasi bisa saja ia berfungsi atau mungkin tidak berfungsi
sebagai pemimpin. Tidak semua pemimpin dapat mencapai tujuan
33
kelembagaan/organisasi. Sebagai pemimpin malah membawa kemunduran untuk
sebuah kelembagaan/organisasi yang dipimpinnya. Artinya seorang pemimpin itu
seseorang yang unik dan tidak diwariskan secara otomatis tetapi seorang
pemimpin haruslah memiliki karekteristik tertentu yang timbul pada situasi-situasi
yang berbeda. Keberadaan fungsi-fungsi kepemimpinan sebagaimana
dikemukakan di atas merupakan kekuatan dalam menumbuhkan partisipasi
masyarakat, khususnya partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan.
Pembangunan merupakan proses yang membutuhkan peran kepemimpinan
dan partisipasi masyarakat. Kepemimpinan dan partisipasi merupakan dua elemen
yang memiliki keterkaitan yang erat. Kepemimpinan yang tidak mampu
menumbuhkan partisipasi masyarakat tidak akan membawa proses pembangunan
mencapai hasil secara maksimal. Demikian juga sebaliknya, partisipasi
masyarakat akan minim dalam proses pelaksanaan pembangunan tanpa adanya
peran kepemimpinan.
Kepemimpinan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku atau kode
etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota masyarakat yang
membuat orang saling mendukung dan bisa menghasilkan sesuatu karena ada
keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya yang didukung oleh
peraturan dan penegakan hukum serta kemauan yang kuat untuk mentaati aturan.
Tidak ada manusia atau institusi yang bisa hidup tanpa interaksi dengan
masyarakat atau institusi lain yang saling mengikat.
Menurut Kartasasmita (1997), kegagalan pembangunan atau pembangunan
tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan banyak
kasus menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat
terjadi karena beberapa hal: 1). pembangunan hanya menguntungkan segolongan
kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi estrem
dirasakan merugikan. 2). pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan
rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut. 3). pembangunan
dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara
pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut. 4). pembangunan
dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan. Hal-hal
yang digambarkan di atas diduga ada empat kemungkinan interaksi antara
34
kepemimpinan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa secara
skematis dapat dilihat pada (gambar 1)
Gambar 1.
Alur Pikir Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat dalam pembangunan desa
Dari gambar diatas dapat diuraikan bahwa pada garis vertikal terdapat
sumbu Y yang menjelaskan arah partisipasi yang semakin tinggi, sementara garis
vertikal pada sumbu Y yang mengarah ke bawah menjelaskan partisipasi masih
lemah. Pada garis horizontal terdapat sumbu X yang menjelaskan tipe
kepemimpinan pemerintahan desa yang semakin mengarah pada type demokratis,
sedangkan sumbu X arah ke kiri menjelaskan kepemimpinan pemerintahan desa
pada type masih otoriter sementara partisipasi baru tumbuh sampai pada
pelaksanaan maka interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa belum
mampu mendorong pembangunan.
Untuk menyamakan persepsi dalam memahami alur pemikiran kiranya perlu
dijelaskan beberapa hal :
Kemumgkinan I menggambarkan kondisi “ideal”. Kepemimpinan
pemerintah desa bekerja dengan baik karena adanya partisipasi masyarakat dalam
bekerjasama secara sinergis melaksanakan pembangunan. Baik kepemimpinan
maupun masyarakat desa telah melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing
sesuai porsi. Dengan demikian kepemimpinan pemerintahan desa secara efektif
dapat melaksanakan pembangunan bersama seluruh masyarakat.
Partisipasi
Kepemimpinan
I
Ideal
(kerjasama)
II
Kurang baik
(lemah)
IV
Kepemimpinan
Sangat dominan
III
Kegagalan
kepemimpinan
Y
X
35
Kemungkinan II menggambarkan kondisi kepemimpinan dan partisipasi
masyarakat yang “kurang baik” dalam melaksanakan pembangunan. Hal ini
karena kepemimpinan yang ada kurang dapat mendorong partisipasi atau
bekerjasama dengan masyarakat desa dalam pembangunan. Secara umum, baik
kepemimpinan desa maupun masyarakat desa sudah mempunyai tugas dan
kewajiban masing-masing. Akan tetapi masyarakat desa dalam bekerja seringkali
melampaui kewenangan kepemimpinan pemerintahan desa. Masyarakat desa turut
melibatkan diri dalam urusan administrasi pemerintahan yang telah menjadi tugas
wewenang aparat desa. Pada satu sisi campur tangan masyarakat desa dalam
urusan administrasi pemerintahan cukup mengganggu kinerja pemerintah desa.
Namun disisi lain kepemimpinan pemerintahan desa berhasil mengelola fungsi-
fungsi pemerintahan sehingga kelembagaan pemerintahan desa dapat efektif
dalam melaksanakan pembangunan di desa.
Kemungkinan III menggambarkan kondisi “kegagalan kepemimpinan”
pemerintahan desa dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Baik
kepemimpinan desa maupun masyarakat desa telah gagal melaksanakan fungsi,
tugas, dan kewajiban masing-masing. Kegagalan kelembagaan pemerintahan desa
ini memiliki tiga karakter dalam proses sosialnya: 1) Pemerintahan desa dalam
pelaksanaan pembangunan desa sudah keluar dari aturan yang seharusnya,
sehingga ketegangan kerap kali muncul dalam tubuh pemerintahan desa karena
masing-masing pihak mengedepankan egoisme dan kepentingan pribadi atau
kelompoknya; 2) Pemerintahan desa dominan dalam pelaksanaan pembangunan
desa, sehingga ketegangan muncul manakala salah satu pihak menyalahkan dan
menuntut kepada pihak lain agar melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajibannya
secara transfaran, meskipun secara riil pihak yang menuntut juga tidak mampu
melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajibannya secara transfaran.
Kemungkinan IV menggambarkan meskipun kepemimpinan pemerintahan
desa bekerjasama dengan masyarakat hampir dalam banyak urusan pemerintahan
namun partisipasi masyarakat lemah sehingga kepemimpinan pemerintahan desa
sangat dominan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajiban. Dengan
demikian pelaksanaan pemerintahan desa tidak dapat menghasilkan pelayanan
yang ekonomis, efektif, dan akuntabel kepada masyarakat.
36
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Nanga Bayan Kecamatan Ketungau Hulu
Kabupaten Sintang. Lokasi penelitian secara geografis disajikan pada (gambar 2).
(sumber: Bappeda Kabupaten Sintang, 2009).
Gambar 2. Lokasi penelitian yang berbatasan langsung dengan Malaysia
Desa Naga Bayan dipilih sebagai lokasi penelitian atas pertimbangan bahwa
desa Naga Bayan merupakan salah satu desa yang terletak pada daerah perbatasan
Indonesia – Malaysia. Di samping itu, Desa Naga Bayan merupakan desa asli
yang sudah berinteraksi dengan para pendatang dan akses masyarakatnya sangat
tinggi ke wilayah Malaysia. Atas dasar pertimbangan ini, Desa Naga Bayan dinilai
relevan untuk dijadikan lokasi penelitian ini.
Penelitian lapangan dilaksanakan selama kurang lebih 3 (tiga) bulan yaitu
pada tanggal 28 Juni – 25 Agustus 2009.
Lokasi Penelitian
37
3.2. Pendekatan dan Strategi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi
kasus, dengan pertimbangan bahwa : (1) pertanyaan penelitian berkenaan dengan
“bagaimana” dan “mengapa”, (2) penelitian ini memberikan peluang yang sangat
kecil bagi peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti, dan
(3) menyangkut peristiwa atau gejala kontemporer dalam kehidupan yang riil
(Yin, 1996).
Pendekatan kualitatif dipilih karena lebih menekankan pada proses-proses
dan makna-makna yang tidak diuji/diukur secara ketat dari segi kuantitatif, serta
mencari jawaban atas pertanyaan yang menekankan pada pengalaman yang
dibentuk dan diberi makna oleh tineli. Sementara, strategi studi kasus digunakan
karene sesuai dengan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan strategi ini
akan memungkinkan untuk memahami permasalahan penelitian secara lebih
mendalam, karena yang dipelajari adalah aspek-aspek yang spesifik. Strategi studi
kasus mensyaratkan adanya interaksi antara peneliti dengan tineliti dalam posisi
subjek to subjek sehingga kesepahaman bersama diantara mereka dapat
terbangun. Dengan kata lain pencarian jawaban atas pertanyaan penelitian akan
melibatkan interaksi antara peneliti dan tineliti dalam posisi yang sejajar.
Sesuai dengan pendapat Sitorus (1998) yang menyatakan bahwa studi
kasus (case study) adalah studi tentang kekhasan dan sekaligus kompleksitas dari
satu atau sejumlah kasus, guna memahami kegiatan subjek tineliti dalam kondisi
tertentu, dengan menerapkan sejumlah metode pengumpulan data yang saling
melengkapi. Pemilihan studi kasus sebagai strategi penelitian didasari atas
keutamaan yang dimiliki oleh strategi ini yaitu kemampuannya mengungkap
kedua tujuan utama penelitian kualitatif yaitu “kekhasan” dalam arti “mendalam”
dan “kompleksitas” dari suatu kejadian atau gejala sosial.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data
primer dikumpulkan dengan metode pengamatan langsung di lapangan serta
wawancara mendalam (in-depth interview) dengan subyek kasusu (tineliti) dan
informan. Data sekunder berasal berasal dari kajian literatur dan dokumen terkait,
38
berfungsi sebagai pendukung terhadap data primer. Data sekunder ini berupa
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan kewenangan
pemerintahan desa, monografi desa, skripsi, tesis, jurnal, disertasi, dan media
massa. Berikut adalah rincian informan dan subjek kasus yang akan dimintai
keterangan:
Tabel 1. Jumlah informan dan subjek kasus
No Informan Jumlah
1 Kepala Desa
seorang kepala wilayah yang berpengaruh
dalam pelaksanaan pembangunan dan
pemerintahan Desa
1 orang
2 Kepala Adat
merupakan seorang yang memiliki pengaruh
dalam urusan adat dan dihormati oleh warga
1 orang
Subyek kasus/tineliti
3 Ketua BPD
merupakan orang yang mengawasi dan
memberi pertimbangan kepada Kepala Desa
tentang langkah-langkah yang dapat dilakukan
dalam pelaksanaan pembangunan.
1 orang
4 Sekretaris Desa Nanga Bayan
orang yang mengurus kegiatan administrasi.
1 orang
5 Kepala Urusan Pemerintahan Desa
merupakan orang yang membantu Kepala
Desa dalam pelaksanaan urusan pemerintahan
di desa.
1 orang
6 Kepala Urusan Pembangunan
merupakan orang yang membantu Kepala
Desa dalam pelaksanaan urusan pembangunan
desa
1 orang
7 Ketua adat 6 orang
8 Kepala dusun 5 orang
9 Ketua RT 12 orang
10 Tokoh masyarakat
- tokoh agama (Islam & Kristen)
- tokoh pemuda,
- tokoh perempuan,
- Bidan Desa
- pengusaha,
- petani,
- pedagang,
- tokoh masyarakat kecil
2 orang
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
Jumlah 38 orang
39
Untuk pengumpulan data dan informasi yang diperlukan, pertama-tama
dilakukan penggalian informasi secara umum dengan mengadakan diskusi
kelompok. Diskusi ini ditujukan untuk melihat gambaran umum mengenai
pemerintahan desa dan permasalahannya dari sudut pandang subjek kasus yang
terdiri dari: ketua adat, tokoh masyarakat, sekretaris desa, kepala urusan
pemerintahan desa, dan mantan kepala desa.
Setelah pendapat para subyek kasus dapat dikelompokan, maka penggalian
lebih dalam mengenai informasi yang dibutuhkan dilakukan dengan wawancara
mendalam. Wawancara mendalam juga dilakukan dengan pejabat pemerintah
Kecamatan Ketungau Hulu dan Kepala Desa Nanga Bayan, yang bertujuan ntuk
mendapatkan informasi umum mengenai pemerintahan desa di Kecamatan
Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang.
Pemilihan subyek kasus dilakukan dengan menggunakan tekhnik bola salju
(snowball). Sesuai dengan yang dikatakan oleh Creshwell (2002) bahwa ide
penelitian kualitatif adalah dengan sengaja memilih informan yang dapat
memberikan jawaban terbaik pertanyaan penelitian. Subyek kasus merupakan
orang-orang yang dipilih dan diyakini mampu memberikan pemahaman atas
permasalahan yang sedang diteliti. Sementara informan adalah pihak yang
memberikan keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya.
Jumlah informan dan tineliti diatas, sesuai dengan teknik bola salju yang
digunakan, maka dari tokoh-tokoh yang ditetapkan di atas selanjutnya ditelusuri
tokoh-tokoh lain yang dianggap mampu memberikan informasi yang diperlukan
dalam penelitian ini.
Selanjutnya pengamatan berperanserta dilakukan agar penulis dapat
melihat, merasakan dan memaknai ragam peristiwa dan gejala sosial di dalamnya
sebagaimana subjek penelitian melihat, merasakan dan memaknainya sehingga
memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama. Pengamatan
berperanserta ini dilakukan terbatas pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti
pengamatan atas kegiatan di kantor desa. Berikut adalah matriks data penelitian
(lihat tabel 2).
40
Tabel 2. Matriks Data Penelitian
No Subtopik Data Sumber data
1 Gambaran umum
desa
- Sejarah desa
- Batas desa
- Jumlah penduduk
- Mata pencaharian
masyarakat
- dan lain-lain
Data primer
• Wawancara
mendalam kepada
aparat desa
Data sekunder
• Monografi desa
2 Kepemimpinan desa
dalam melaksanakan
pembangunan desa
- Kepemimpinan Desa
- Program-program
pembangunan desa
- Perencanaan program
pembangunan desa
- Pelaksanaan program
pembangunan desa
Data primer & sekunder
• Kajian literatur
• Wawancara mendalam
Dengan aparat desa,
BPD, kepala distrik
• Pengamatan
berperanserta
• FGD
3 Menggambarkan
peran kepemimpinan
dalam pelaksanaan
pembangunan desa
- Gambaran perilaku
pemimpin
- Gambaran peran
kepemimpinan
- Gambaran hubungan
pemimpin dengan
masyarakat
Data primer & sekunder
• Kajian literatur
• Wawancara mendalam
dengan kepala desa,
kepala adat,
• Pengamatan
berperanserta
4. Partisipasi
masyarakat terhadap
pemerintahan desa
dalam pembangunan
desa
- Ikutserta dalam Perenc.
Pemb. desa
- Ikutserta dalam Pelaks
pembangunan desa
- Ikutserta dalam Evaluasi
pembangunan desa
Data primer & sekunder
• Kajian literatur
• Wawancara mendalam
• Tokoh masyarakat
• Pengamatan
berperanserta
Pengumpulan data dan informasi juga dilakukan melalui penelusuran
dokumen yang dilakukan pada institusi-institusi pemerintahan yang memuat data
tentang peraturan pemerintahan desa. Monografi desa menjadi salah satu sumber
yang dibutuhkan karena memuat informasi mengenai daerah penelitian seperti
data jumlah penduduk, keadaan lokasi penelitian, dan lain-lain.
3.4. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata data secara sistematis
untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan
menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Proses analisis data dalam
penelitian kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari
berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam
41
catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, photo dan
sebagainya. Catatan dibedakan menjadi dua, yaitu yang deskriptif dan yang
reflektif (Muhadjir, 2000). Catatan deskriptif lebih menyajikan kejadian daripada
ringkasan. Catatan reflektif lebih mengetengahkan kerangka pikiran, ide dan
perhatian dari peneliti. Lebih menampilkan komentar peneliti terhadap fenomena
yang dihadapi.
Data yang telah dikumpulkan terlebih dahulu dilakukan klasifikasi,
verifikasi, interpretasi data, dianalisis sampai pada pembahasan hingga diperoleh
kesimpulan sementara atas jawaban-jawaban dari informan sebagai pedoman.
Analisis mencakupi penafsiran semua data yang dikumpulkan sehingga menjadi
informasi yang jelas tentang kepemimpinan dan partisipasi masyarakat. Dalam
menganalisis data peneliti menggunakan Model Interaktif. Pada Model Analisis
Interaktif ini, mempunyai tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data,
dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992). Peneliti mengumpulkan
berbagai data yang dikumpul pada lokasi penelitian, kemudian direduksi dan
selanjutnya di sajikan, bila terdapat kekurangan data dalam mereduksi dan
penyajian data, maka dilengkapi lagi dengan pengumpulan data yang menunjang
kemudian selanjutnya dibuat kesimpulan-kesimpulan. (lihat gambar 3).
Gambar 3. Model analisis interaktif
Sumber : Miles & Huberman (1992) Model Analisis Interaktif
PPPeeennnggguuummmpppuuulllaaannn
DDDaaatttaaa
PPPeeennnyyyaaajjjiiiaaannn
DDDaaatttaaa
RRReeeddduuukkksssiii
DDDaaatttaaa
KKKeeesssiiimmmpppuuulllaaannn---
KKKeeesssiiimmmpppuuulllaaannn
42
Setelah data terkumpul dilakukan reduksi dengan tujuan untuk penajaman,
menggolongkan mengarahkan dan membuang yang tidak perlu. Proses reduksi ini
dilakukan selama penelitian berlangsung. Selanjutnya data dikelompokkan sesuai
dengan subtopik dalam penelitian. Sebelum data diolah maka kembali diadakan
diskusi kelompok untuk tujuan pengecekan data. Setelah proses pengecekan ulang
kepada tineliti, maka proses selanjutnya adalah menyajikan data dalam bentuk
teks naratif yang menggambarkan lokasi penelitian dan bentuk pemerintahan desa
di kawasan perbatasan.
Kegiatan pengamatan dalam penelitian ini dibagi dalam dua tahap. Pada
tahap pertama kegiatan penelitian pada pengumpulan data sekunder tentang profil
desa, serta berbagai data dan informasi perkembangan kelembagaan formal
maupun kelembagaan informal. Wawancara langsung pada pelaku di pedesaan
pada tahap ini adalah untuk mengumpulkan informasi yang bersifat garis besar
dan dilakukan secara relative cepat dan tidak begitu mendalam.
Pada tahap kedua dilakukan penggalian data dengan cara wawancara secara
mendalam. Wawancara dilakukan dengan panduan daftar pertanyaan ringkas yang
sudah dipersiapkan sebelum peneliti melakukan kegiatan pengamatan lapangan.
Hasil wawancara dan pengamatan lapangan direkam dalam daftar pertanyan dan
catatan harian lapangan. Pengumpulan data dan informasi yang digali melalui
wawancara dan pengamatan langsung di lapangan, baik secara individu maupun
kelompok, ditujukan untuk dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini.
Untuk menjawab tujuan penelitian pertama, maka data disajikan dalam
bentuk periodesasi. Periodesasi didasarkan atas faktor yang mendorong timbulnya
perubahan dalam pemerintahan desa yaitu bentuk kelembagaan yang ada di desa.
Periode pertama adalah gambaran mengenai kepemimpinan pemerintahan desa
sebelum adanya program pembangunan desa. Periode kedua memuat informasi
mengenai kepemimpinan pemerintahan desa dengan melihat rumusan kebijakan
dan program pembangunan desa. Terakhir periode ketiga menyajikan data atau
informasi mengenai interaksi kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi
masyarakat.
43
3.5. Definisi Konseptual
1. Pembangunan adalah perubahan untuk kemajuan, artinya pembangunan
pada hakekatnya adalah proses perubahan yang terus menerus, yang
merupakan kemajuan dan perbaikan menuju ke arah tujuan yang ingin
dicapai (Nordholt, 1987).
2. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mendorong sejumlah orang (dua
orang atau lebih) agar bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang terarah pada tujuan bersama (Hill dan Caroll, 1997).
3. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana caranya
(Cohen dan Uphoff dalam Nordholt, 1987).
4. Yang dimaksud kekuasaan (power) dalam penelitian adalah kemampuan
untuk bertindak atau memerintah sehingga dapat menyebabkan orang lain
bertindak, pengertian disini harus meliputi kemampuan untuk membuat
keputusan mempengaruhi orang lain dan mengatasi pelaksanaan keputusan
itu. kekuasaan itu dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang
membuat seorang aktor didalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu
jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang
menghilangkan halangan (Weber, 1947).
5. Yang dimaksud kewenangan (authority) dalam penelitian ini adalah
kekuasaan yang di legitimasi oleh hukum. Wewenang (authority) adalah
hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu
(Weber, 1947).
6. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (UU
No.22/1999).
44
IV. GAMBARAN UMUM DESA
4.1. Kondisi Geografis
Masyarakat yang hidup di kawasan perbatasan Kabupaten Sintang –
Serawak sebagian besar adalah keturunan Suku Dayak. Pada bagian wilayah yang
termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Sintang suku Dayak tersebut dapat
dikelompokan menjadi: Dayak Iban, Dayak Desa, Dayak Sebaruk, Dayak Bugau,
dan Dayak Kumpang.
Desa Nanga Bayan adalah desa sekitar hutan, memiliki luas wilayah 2138,2
kilometer persegi yang terletak di wilayah Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten
Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Desa Nanga Bayan merupakan salah satu dari
tujuh desa yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga Malaysia. Desa lain
adalah Desa Wana Bakti dan Desa Gut Jaya Bakti di wilayah Ketungau Tengah,
Desa Nanga Bayan, Desa Jasa, Desa Rasau, Desa Senaning dan Desa Sungai Seria
di wilayah Kecamatan Ketungau Hulu. Jarak desa Nanga Bayan dengan ibukota
Kecamatan sekitar 59 kilometer atau lebih kurang sepuluh jam bila ditempuh
dengan jalan kaki, sedangkan jarak antara Desa Nanga Bayan dengan Desa Gua
Dungat, Seriaman-Malaysia sekitar 10 kilometer atau memakan waktu lebih
kurang dua jam bila ditempuh dengan jalan kaki, serta jarak dari Ibukota
Kabupaten Sintang 189 kilometer.
Desa Nanga Bayan yang ada di wilayah perbatasan dengan Malaysia
menjadi lokasi penelitian, dengan posisi wilayah perbatasan di lindungi oleh Bukit
yang agung "Bukit Kelingkang" yang membatasi kedua negara. Masyarakat suku
Dayak Kumpang adalah yang mendiami desa tersebut sangat memegang teguh
aturan-aturan dan norma-norma adat-istiadat dan budaya nenek moyang mereka
yang telah dilakukan secara turun-temurun mulai dari upacara kelahiran,
mengelola sumber daya alam sampai pada masa kematian yang mereka lakukan
sesuai dengan tradisi adat istiadat di dalam masyarakat Suku Dayak Kumpang.
Sumber daya alam hutan yang luas dan kaya telah menjadikan alamnya
sebagai tempat tinggal dan bertahan hidup (survival) dari alam yang bersahabat
dengan mereka, misalnya dalam mengelola hutan dan alam, pengobatan, upacara,
maupun dalam berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Dengan berpenghasilan
dari berladang (padi dan karet) sebagai mata pencaharian utama, mereka sangat
45
tergantung dengan alam dan hutan, yang mana menurut masyarakat Kumpang,
berladang itu bukanlah sekedar pekerjaan rutinitas melainkan suatu pekerjaan
yang sudah sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Artinya
dalam kehidupan suku dayak, Berladang (uma) bukan sekedar untuk hidup tapi
ladang turut membentuk peradaban orang Dayak. Karena dari membuka lahan
hingga akhir panen ada aturan yang hatus ditaati, ini terbukti dari mata
pencaharian mereka bersumber dari hutan (berladang), semua unsur kehidupannya
juga bersumber dari hutan seperti bahan-bahan untuk membuat rumah panjang
(betang), semua didapat dari hutan. Maka tidaklah mengherankan jika ada
ungkapan oleh Kepala Adat yang mengatakan bahwa hancurnya hutan akan
menghancurkan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Dayak.
Dalam perkembangannya mereka juga berinteraksi dengan warga negara
Malaysia yang lebih dekat jaraknya dibandingkan dengan pusat pemerintahan
kecamatan. Hubungan itu lambat laun berjalan timpang sehingga menimbulkan
ketergantungan. Pasalnya, kini sebagian besar kebutuhan pokok warga seperti
pupuk untuk pertanian, makanan dan minuman dalam kemasan, gula, susu, terigu,
pakaian, hingga peralatan elektronik misalnya tape, televisi, radio, mesin speed
boat, termasuk juga pasokan bahan bakar minyak dipasok dari Malaysia melalui
pos pelintas batas tradisional. Jauhnya jarak dari pusat perdagangan di kawasan
Indonesia dan minimnya infrastruktur dasar yang memadai menyebabkan
tersendatnya distribusi kebutuhan pokok ke kawasan itu. Kalaupun tersedia,
harganya sangat mahal sehingga tidak ada pilihan kecuali mendatangkannya dari
Malaysia.
Pada kenyataannya di kawasan perbatasan, banyak sekali ditemukan fakta
yang menyedihkan bahkan ironis. Setidaknya itulah yang terjadi di kawasan
perbatasan darat yang memisahkan antara negara Indonesia dengan negara
Malaysia di pulau Kalimantan. Bayangkan, untuk mencapai Kecamatan Ketungau
Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, membutuhkan waktu hampir 14 jam
perjalanan darat dari Pontianak (Ibu Kota Kalbar). Sulitnya akses ke daerah
perbatasan membuat kawasan ini sering luput dari pengawasan aparat, sehingga
banyak ditemukan kasus pelanggaran keimigrasian, dan pencurian sumber daya
alam.
46
Secara geografis batas wilayah desa Nanga Bayan sebagai berikut :
a. Sebelah Timur, berbatasan dengan Desa Gut Jaya Bakti Kec. Ket. Tengah
b. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Desa Sebetung Palu Kec. Ket. Hulu
c. Sebelah Barat, berbatasan dengan Desa Jasa Kec. Ket. Hulu
d. Sebelah Utara, berbatasan dengan Malaysia Timur (Sarawak)
Kawasan perbatasan, seperti di Desa Nanga Bayan dan Desa Gut Dungat
Seriaman-Malaysia, kesenjangan sarana dan pra-sarana wilayah antara kedua
wilayah Negara, telah menjadi pemicu orientasi perekonomian masyarakat
perbatasan ke Negara tetangga. Jalan menuju ke Malaysia ternyata jauh lebih
mudah bilamana dibandingkan dengan Ibukota Kecamatan/Kabupaten di wilayah
tersebut. Sedangkan jalan yang menghubungkan Desa Nanga Bayan dengan
Ibukota Kecamatan Ketungau Hulu merupakan jalan tanah dengan lebar enam
meter, dan tidak setiap harinya angkutan umum (angkutan pedesaan) melintasi
jalan tersebut. Kondisi demikian mempersulit kegiatan administrasi, arus
informasi dan komunikasi pemerintahan desa dengan pemerintahan kecamatan.
Komunikasi antara pihak pemerintahan desa dengan pihak kecamatan tidak dapat
dilakukan secara langsung, apabila ada hal penting yang menyangkut
penyelenggaraan tugas pemerintahan, maka baik pihak desa mendatangi pihak
kecamatan maupun pihak pemerintahan kecamatan mendatangi pihak desa.
Dengan jarak tempuh yang dekat merupakan suatu resiko sekaligus
keunikan bagi Desa Nanga Bayan sebagai salahsatu daerah di Kalimantan Barat
yang berbatasan langsung dengan negara lain. Desa Nanga Bayan - Desa Gut
Dungat memiliki kedekatan dari sisi letak geografis. Kehidupan warga di
perbatasan bahkan seolah sudah tanpa batas identitas negara, seperti yang dialami
warga di Desa Nanga Bayan yang kerap saling kunjung mengunjungi ke Desa Gut
Dungat, Seriaman-Malaysia. Sisi keunikan letak geografis dan sosial itu bukan
berarti tidak mengandung resiko, sebab ancaman besar tetap ada menyangkut
keutuhan negara dalam hal batas wilayah. Juga akses keluar masuknya manusia
dan barang di kedua negara tersebut, perambahan hutan serta kejahatan trans
internasional.
Dalam beberapa tahun terakhir di Nanga Bayan sering di jumpai mobil-
mobil asing Malaysia dalam berbagai jenis dan merk produksi. Mobil tersebut
47
memang gampang masuk tetapi lebih banyak yang tak kembali ke negara asalnya.
Ada yang masih asli berplat Malaysia dan ada pula yang diragukan plat
kendaraannya setelah dimodifikasi. Belakangan ini, mobil-mobil asing tersebut
tidak kelihatan lagi seiring gencarnya razia mobil asing.
Lebih dari 70 persen wilayahnya merupakan tanah perhutanan, sekitar 20
persen berupa tanah pertanian, dan selebihnya adalah daerah pemukiman dan
bangunan umum. Di samping itu Desa Nanga Bayan terdapat Bukit Keburau
sebagai sumber sarana air bersih desa. Dari bukit itulah warga desa memperoleh
air bersih dengan membangun jaringan dari bukit untuk disalurkan kepada rumah-
rumah warga. Jumlah rumah tangga yang memanfaatkan sebagai sumber air
bersih sebanyak 114 Rumah Tangga. Sarana dan prasarana lain seperti listrik dari
pemerintah belum ada sama sekali, adapun keluarga yang telah memanfaatkan
energi listrik (menggunakan genset) sebanyak 59 rumah tangga, sedangkan
sisanya menggunakan lampu minyak (petromak), serta lampu lentera dan pelita.
4.2. Kondisi Demografis
Jumlah penduduk Desa Nanga Bayan berdasarkan kepala keluarga dan jenis
kelamin yang terbagi dalam lima dusun pada tahun 2009.
Tabel 3 : Jumlah Penduduk Desa Nanga Bayan berdasar jenis kelamin dan dusun.
Jumlah Jumlah Jiwa
No
Nama Dusun KK L (%) P (%)
Total
Jumlah
Penduduk
1 Keburau 102 204 26,22 224 29,99 428
2 Lubuk Ara 104 214 27,51 189 25,30 403
3 Belubu 61 99 12,72 105 14,06 204
4 Idai 77 149 19,15 130 17,40 279
5 Semujan 63 112 14,40 99 13,25 211
Jumlah 407 778 100 % 747 100 % 1.525
Sumber : Monografi Desa Nanga Bayan
Jumlah penduduk Desa Nanga Bayan berdasarkan tingkat pendidikan formal
sebanyak 904 Orang. Sebagian besar penduduk berpendidikan tamat Sekolah
Dasar (SD) Sedangkan jumlah penduduk yang berlatar belakang tamat pendidikan
48
perguruan tinggi (S1) relatif masih sedikit (hanya 6 orang), di antaranya penduduk
yang tamat perguruan tinggi adalah kepala desa, mantan kepala desa, mantan
ketua BPD, kepala sekolah menengah pertama, satu orang tenaga pengajar (guru)
di sekolah menengah pertama Desa Nanga Bayan dan kepala dusun Keburau,
sehingga akan mempengaruhi proses pengembangan masyarakat di desa Nanga
Bayan. Kondisi demikian secara umum mempengaruhi pengetahuan dan
ketrampilan yang dimiliki, tingkat pendapatan, dan jenis pekerjaan yang bisa
dikerjakan serta mempengaruhi pemahaman masyarakat terhadap informasi
mengenai pembangunan (lihat Tabel 4).
Tabel 4 : Jumlah penduduk Desa Nanga Bayan berdasarkan tingkat pendidikan
formal dan dusun tahun 2009.
Pendidikan
No
Nama
Dusun Tamat
SD
(%)
Tamat
SMP
(%)
Tamat
SMA
(%)
Tamat
PT
(%)
1 Keburau 191 28,85 56 40,87 49 49,49 2 33,33
2 Lubuk Ara 189 28,55 54 39,42 41 41,41 3 50,00
3 Belubu 87 13,14 7 5,11 4 4,04 1 16,67
4 Idai 104 15,71 11 8,03 3 3,03 - -
5 Semujan 91 13,75 9 6,57 2 2,02 - -
Jumlah 662 100% 137 100% 99 100% 6 100%
Sumber : Data Monografi Desa Nanga Bayan tahun 2009
4.3. Kondisi Perekonomian
Beban dirasakan masyarakat justru berbuah menjadi pola hubungan ekonomi
masyarakat kedua wilayah menjadi lebih membebani masyarakat dan sekaligus
juga, secara nilai ekonomis, antara pemasukan dan pengeluaran menjadi tidak
berimbang. Misalnya, sebelum ada Pos Lintas Batas semua transaksi hasil
pertanian dan perkebunan dapat dilakukan di wilayah perbatasan Tengkulak dari
Malaysia atau dapat pergi ke wilayah Desa Gut Dungat. Kelancaran komunikasi
bisnis seperti itu memang saling menguntungkan kedua pihak oleh karena dengan
transaksi langsung harga dan penggunaan nilai tukar dapat dilakukan dengan
kesepakatan atau cara-cara yang sudah lazim. Penggunaan uang rupiah atau
ringgit Malaysia tidak menjadi hambatan.
49
Kegiatan perdagangan lintas batas yang terjadi sebagian besar adalah
perdagangan kebutuhan alat-alat pertanian (pupuk), rumah tangga dan bahan
makanan lainnya yang tersedia di kawasan perdagangan atau di Desa Gut Dungat
Seriaman-Malaysia. Kegiatan lintas batas lainnya adalah kunjungan kekerabatan
antar keluarga karena perkawinan dan menjadi warga Negara Malaysia sedangkan
warga lainnya yang berkunjung ke Serawak-Malaysia adalah dalam rangka
melakukan kegiatan perdagangan bahan makanan dan komoditi lainnya.
Dari Desa Nanga Bayan masyarakat biasa menjual hasil bumi seperti lada,
pisang, ketimun, sayur-sayuran, buah-buahan, anyam-anyaman serta hasil bumi
lainnya, sebaliknya dari Sarawak mereka menjual berbagai kebutuhan hidup
seperti gula, susu, terigu, makanan dan minuman dalam kemasan, pakaian, juga
barang elektronik berupa tape, radio, televise serta barang lainnya.
Dari hasil pengamatan peneliti, produk dominan yang terdapat pada toko di
Desa Nanga Bayan hanya obat-obatan, pakaian dan rokok, sedangkan bahan
pokok lainnya lebih banyak dari Malaysia termasuk juga kartu telepon seluler.
Sebagai gambaran gula asal Malaysia di Desa Nanga Bayan harganya Rp. 7.000,-
(tujuh ribu rupiah) sementara gula dari Indonesia harganya Rp. 10.000,- (sepuluh
ribu rupiah) dengan demikian masyarakat di Desa Nanga Bayan lebih memilih
produk dari luar dengan harga yang murah serta mudah didapat daripada memilih
produk dari dalam tetapi harus menempuh jarak yang jauh serta harga yang tinggi.
a. Ekonomi Rumah Tangga dan Mata Pencaharian
Sejak dari dahulu sebagian besar mata pencaharian penduduk desa Nanga
Bayan adalah sebagai petani ladang berpindah. Mereka dapat berkomunikasi
untuk menukarkan hasil produksi pertanian dan perkebunan dengan kebutuhan
sehari-harinya, sehingga bernilai ekonomi tinggi mengindikasikan kemampuan
atau kesejahteraan rumahtangga yang bersangkutan. Lahan, terutama lahan
pertanian sebagai asset produktif untuk menghasilkan produksi pertanian, contoh
adalah lahan kering yang berbasis komoditas palawija dan perkebunan, maka
lahan dominan yang diusahakan adalah ladang dan kebun. Di lokasi penelitian
rata-rata petani memiliki perkebunan karet dan lada, tujuan dari perkebunan karet
dan lada ini dominan untuk investasi jangka panjang.
50
Pada dasarnya kebutuhan bahan pokok dipenuhi oleh lingkungannya. Seperti
yang dikatakan sebelumnya bahwa Orang Dayak berburu dan berladang. Tanaman
padi adalah suatu yang paling penting dalam kehidupan masyarakat Dayak.
Masyarakat Dayak terdiri dari petani ladang berpindah. Ladang baru dipilih
dengan izin kepala adat. Pada umumnya hanya ladang yang ditanam setidaknya
tujuh atau sepuluh tahun sebelumnya digunakan lagi. Tanah hutan yang semakin
lama tidak digunakan untuk ladang semakin subur. Keuntungan lain dari ladang
berpindah bagi masyarakat dayak adalah karena setelah tanah bekas ladang
(bawas) cukup lama tidak digunakan menjadi hutan lagi sehingga tidak banyak
rumput yang tetap hidup. Itu berarti ladang tidak perlu digarap secara intensif
setelah padi muncul dan tumbuh.
Biasanya padi ladang di tanam pada bulan Agustus dan September setelah
ladang di bakar dan dibersihkan. Masyarakat tidak menggunakan alat-alat canggih
dan juga tidak menggunakan tenaga hewan seperti kerbau atau sapi. Mereka
hanya menggunakan parang, kampak, cangkul dan tenaga manusia untuk
mempersiapkan ladang. Petani-petani menggunakan abu dari kayu yang dibakar
sebagai pupuk yang sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan padi di ladang.
Seandainya ladang sudah siap untuk disebarkan bibit padi, petani membuat lubang
dengan tongkat, beberapa bibit padi dimasukkan dan lubang ditutupi.
Ada upacara pada saat bibit padi ditanam dengan gaya melingkar dan
memberi korban ayam sebagai sesajen. Selama masa tumbuh padi ada ritual
dengan memberi korban sesajen supaya roh jahat dan baik merasa puas dan panen
tidak gagal tetapi berlimpah. Pada waktu ritual sesajen ada pantangan makanan
pada keluarga sesuai dengan yang disuruh oleh kepala adat, misalnya tidak boleh
makan rusa atau rebung selama beberapa minggu. Sedangkan pesta besar bernama
Gawai yang dilaksanakan pada waktu panen. Pesta gawai yang dilaksanakan pada
saat panen raya bukan hanya dilakukan oleh suku dayak yang ada di Desa Nanga
Bayan, tetapi pada umumnya merupakan pesta adat suku dayak yang ada di
Kalimantan Barat. Hal ini dilakukan setiap tahun pada musim panen tiba, yang
jadwal pelaksanaannya disesuaikan oleh masing-masing suku. Bagi suku dayak
kegiatan ini merupakan kegiatan wajib yang harus dilakukan untuk mengucapkan
rasa syukur atas rezeki yang diberikan oleh sang dewata.
51
b. Ekonomi Desa
Potensi desa yang dihitung berdasarkan keseluruhan sumber daya yang
dimiliki atau yang digunakan oleh desa baik sumber daya alam, penduduk,
kelembagaan, dan sarana/prasarana, maka desa ini termasuk dalam kategori
sedang, sedangkan apabila ditinjau dari segi potensi pengembangan, maka desa ini
mempunyai prospek dalam potensi pengembangan pekerbunan khususnya
perkebunan karet dan lada.
Ditinjau dari faktor pendukung wilayahnya, pada prasarana jalan, Desa
Nanga Bayan mempunyai jalan sepanjang 59 kilometer yang menghubungan desa
dengan ibukota kecamatan dalam kondisi rusak dan rusak berat, sedangkan jalan
desa yang melintasi desa ini yang menghubungkan dengan Desa Gut Dungat
Malaysia sepanjang kurang lebih 10 km kondisinya relative baik, namun untuk
jalan yang menghubungkan antar dusun masih jalan tanah dan batu. Sedangkan
jalan-jalan yang menghubungkan rumah mereka dengan kebunnya kondisinya
masih jalan setapak dan jalan tersebut hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki.
Kehidupan masyarakat di Desa Nanga Bayan tergantung pada musim dan
lokasinya. Pada musim kemarau bulan April sampai bulan Agustus masyarakat
sibuk di perkebunan karet atau di ladang. Pada waktu hujan warga desa jarang di
perkebunan karet. Seandainya tidak hujan, sebelum matahari terbit tukang sadap
masuk perkebunan karet menggunakan lampu minyak tanah yang diikat di dahi
supaya mereka bisa melihat dan tetap bisa menggunakan dua tangan untuk
menyadap karet. Proses penyadapan itu dimulai dengan mendekati tiap pohon
untuk memotong kulit pohon supaya getah mengalir ke tempat yang terletak di
samping pohon. Tukang sadap sanggup memotong beberapa ratus pohon pada
waktu pagi, tergantung kemampuannya dan lokasi pohon. Setelah memotong
kulit, tukang sadap kembali ke pohon pertama dan mengambil air getah yang tadi
mengalir ke tempat yang sudah disediakan di bawah. Setelah semua getah
terkumpul, tukang sadap kemudian memasukkan ke dalam ember dan kemudian
ember yang sudah berisi penuh dengan getah dibawa ke tempat khusus. Dalam
beberapa jam getah tidak cair lagi dan setelah dibekukan kemudian direndam di
sungai. Getah itu hanya bisa dipanen pada waktu tidak hujan, artinya bisa panen
getah selama sekitar delapan bulan.
52
Pada musim hujan dari bulan September sampai Januari getah jarang bisa
didapatkan, dan petani sibuk di ladang memotong rumput dan memelihara kebun.
Pada waktu itu warga dusun menebang pohon untuk dibuat papan atau mencari
sejenis rotan supaya bisa dibuat keranjang, dan sejenis tikar (bidai). Aktivitas
tersebut dilaksanakan oleh perempuan maupun laki-laki, mereka bersama-sama
membuat kerajinan tangan. Pada bulan Juni sampai Oktober, musim mencari ikan
arwana (Siluk) di sungai, khususnya di sungai Ketungau yang mengalir lewat
dusun Keburau. Ikan Siluk memang unik, pada waktu anaknya masih kecil
mereka dipelihara di mulut induknya. Di Desa Nanga Bayan perantara membeli
ikan Siluk untuk dijual di pasar lokal atau diekspor. Ikan Siluk bisa dijual oleh
masyarakat Dayak sampai seratus lima puluh ribu rupiah per ekor.
Pada bulan Pebruari sampai Mei petani sibuk memanen padi dan setelah
panen ada pesta besar-besaran yang dinamakan Gawai. Pada bulan itu memang
musim pesta seperti pernikahan, sunatan dan niat atau dalam bahasa Indonesia
syukuran. Pada bulan Juni dan Juli masyarakat sibuk di kebun memanen kacang
tanah, ketimun dan mempersiapkan ladang kembali. Khususnya bulan Juli dan
Agustus masyarakat memilih lokasi ladang yang baru, menebang pohon dan
membakar hutan untuk dijadikan ladang. Pada umumnya di Desa Nanga Bayan
petani membakar ladangnya sebelum bulan Agustus, sebelum musim hujan mulai
lagi. Kemudian setelah itu ladang ditanami supaya abu dari pembakaran dapat
menyuburkan tanah dan ini bersamaan dengan datangnya musim hujan, saat yang
baik untuk menanam bibit.
4.4. Tradisi Masyarakat
Dari aspek kehidupan beragama, kesadaran melakukan ibadah keagamaan
telah berkembang dengan baik. Hal ini antara lain didukung oleh menguatnya
kesadaran di kalangan pemuka agama untuk membangun harmonisasi sosial dan
hubungan intern dan antar umat beragama guna menciptakan rasa aman, damai
dan saling menghargai di antara umat beragama melalui wadah seperti Lembaga
Adat yang telah memberikan kontribusi cukup besar dalam menjamin kerukunan
hidup umat beragama. Selain pertumbuhan secara spiritual, pertumbuhan fisik
berupa sarana dan prasarana peribadatan yang dibangun atas swadaya masyarakat
maupun melalui dukungan dari pemerintah desa juga tercatat meningkat seiring
53
dengan pertumbuhan jumlah umat beragama. Dari 1 buah gedung gereja dan 741
pemeluk agama Kristen Protestan pada tahun 2008. Pertumbuhan serupa dalam 1
dekade terakhir juga terjadi pada agama Kristen Katolik dan Islam. Pada tahun
2009, tercatat sebanyak 2 buah gedung gereja dan 669 orang pemeluk agama
Kristen Katolik. Sementara untuk agama Islam, pada periode yang sama jumlah
masjid sebanyak 1 buah dan surau 1 buah dengan 109 orang pemeluk agama
Islam.
Dari aspek adat, Desa Nanga Bayan memiliki aneka ragam adat dan nilai-
nilai tradisi yang potensial dikembangkan. Aneka adat dan tradisi itu masih
terpelihara di tengah kehidupan masyarakat. Sejumlah upacara tradisional antara
lain Upacara Adat Sengkelan Batu, upacara adat pengobatan dan kesenian daerah
lainnya sangat menunjang tumbuhnya rasa nasionalisme dan pembangunan
ekonomi daerah (misalnya, melalui sektor pariwisata).
a. Upacara Adat
Upacara Adat Sengkelan Batu merupakan salah satu khazanah kebudayaan
lokal ataupun tradisi turun-temurun masyarakat suku Dayak Kumpang di Desa
Nanga Bayan. Adat Sengkelan Batu adalah istilah yang digunakan masyarakat
Dayak di Desa Nanga Bayan untuk menyebut ritual upacara ataupun pesta setelah
panen raya. Upacara ini dilakukan masyarakat Dayak Kumpang sebagai wujud
ungkapan syukur atas hasil panen. Disebut Adat Sengkelan Batu karena upacara
ini dilakukan selama lima sampai tujuh hari dengan melibatkan warga desa, baik
dari desa dalam maupun desa luar seperti Desa Gut Dungat Seriaman-Malaysia.
Upacara ini juga melibatkan aparat pemerintahan sebagai tamu undangan mulai
dari pejabat pemerintahan setempat juga melibatkan pejabat pemerintahan dari
desa lain dan kecamatan.
Dalam sejarahnya, tidak diketahui secara pasti kapan tradisi Adat Sengkelan
Batu ada dan resmi sebagai ritual yang terlembagakan di masyarakat Dayak di
Desa Nanga Bayan. Namun, apabila melihat latar belakang dan substansi upacara
Adat Sengkelan Batu, upacara ini diduga lahir bersamaan dengan dikenalnya
tradisi berladang ataupun bercocok tanam masyarakat Dayak di Desa Nanga
Bayan. Jadi ini merupakan tradisi yang usianya sama tuanya dengan aktivitas
(berladang) di Desa Nanga Bayan.
54
Pelaksanaan prosesi upacara Adat Sengkelan Batu biasanya dilakukan
setahun sekali yakni sesudah musim panen berakhir, antara Juli dan Agustus.
Upacara ini dilaksanakan di Balai Adat, tempat utama seluruh pelaksanaan acara
adat suku Dayak Kumpang. Upacara Adat Sengkelan Batu dipimpin seorang
dukun, tokoh spiritual dan ritual yang dikenal memiliki pengetahuan luas akan
seluk beluk adat dan tradisi.
Sebelumnya, prosesi tradisi masyarakat ini diawali dengan musyawarah
warga desa yang dipimpin ketua adat (temenggung). Dalam musyawarah adapt itu
mereka warga desa dan ketua adat, membicarakan hasil panen dan kemungkinan
diadakannya Adat Sengkelan Batu. Karena itu, jadi dan tidak dilangsungkannya
upacara Adat Sengkelan Batu terkait dengan hasil panen yang diperoleh warga
suku Dayak Kumpang. Apabila hasil panennya dalam jumlah besar dan dianggap
cukup memuaskan, musyawarah membahas penentuan hari pelaksanaan upacara,
tamu-tamu undangan, dan persiapan peralatan upacara. Sebaliknya, jika hasil
panennya mengecewakan, upacara Adat Sengkelan Batu secara otomatis
dibatalkan.
Peralatan yang digunakan dalam ritual Adat Sengkelan Batu adalah alat-alat
khusus yang wajib dipersiapkan seluruh warga atas petunjuk seorang dukun. Alat-
alat seperti ancak, tali rotan, dan kelungkong merupakan peralatan upacara yang
tidak pernah ketinggalan ketika upacara itu dilaksanakan. Langatan merupakan
induk ancak dan sajian yang disusun lima tingkat berdasarkan besar dan kecilnya
ukuran sesajian. Biasanya, sajian dalam ukuran terkecil yang berada di tingkat
teratas. Sajian ini memiliki nama-nama tertentu, seperti Ancak ka Gunung (tidak
bertingkat) dan Ancak Balai Perau (berbentuk perahu). Nama-nama ancak
tersebut merupakan simbol yang disesuaikan dengan isi dan tujuan upacara.
lungkong adalah alat-alat berjumlah tiga buah dibuat sebagai simbol dari nama-
nama dewa ataupun nenek moyang suku Dayak Kumpang. Sementara itu, tali
rotannya berfungsi untuk mengikat sajian yang digantungkan di tengah balai adat.
Setelah peralatan upacara lengkap, sempurna, dan siap digunakan, seorang
dukun kemudian memimpin jalannya ritual upacara Adat Sengkelan Batu.
Rangkaian acara itu meliputi bersemanang (berdoa dengan membaca mantra-
mantra), bakanjat (tarian menyerupai burung elang oleh para pemuda).
55
Hal yang menarik sekaligus menjadi puncak dari rentetan rangkaian upacara
tersebut adalah diselenggarakannya tarian-tarian khas suku Dayak Kumpang yang
mereka sebut dengan Bekondan. Tarian ini dibawakan seluruh warga desa, baik
laki-laki maupun perempuan, muda ataupun tua. Mereka membaur jadi satu,
tenggelam dalam gerakan tarian khas dengan membentangkan tangan seperti
burung terbang.
b. Nilai Relegius
Bagi masyarakat Dayak Kumpang, upacara Adat Sengkelan Batu merupakan
puncak ritual religius yang dilakukan secara kolektif. Lebih dari itu, ritual ini
diyakini sebagai salah satu medium paling utama untuk memperkuat tali
persaudaraan. Dengan kata lain, ritual Adat Sengkelan Batu merupakan tradisi
yang menyimpan nilai-nilai religius dan sosial.
Nilai religius dan sosial dalam upacara Adat Sengkelan Batu ini bermula
dari pemahaman filosofis yang dianut masyarakat Dayak Kumpang. Dalam
masyarakat Dayak, pemahaman filosofis berkenaan dengan pemaknaan akan
seluruh aktivitas keseharian mereka. Misalnya, dalam aktivitas ekonomi yang
meliputi aktivitas berladang ataupun bercocok tanam. Menurut filosofis orang
Dayak Kumpang, berladang tidak semata-mata sebagai sebuah aktivitas ekonomi
yang terlepas dari pemaknaan nilai-nilai ketuhanan.
Selain itu, Adat Sengkelan Batu juga menyimpan nilai sosial. Nilai ini
terletak pada fungsi dan tujuan sosial dari upacara itu. Bagi masyarakat Dayak
Kumpang, upacara Adat Sengkelan Batu seolah menjadi ajang paling efektif
untuk menumbuhkan rasa solidaritas, saling mengenal pribadi atau individu lain.
Hal itu tecermin dari aktivitas mereka dalam mempersiapkan peralatan upacara
dan pemberian hasil panen kepada warga lain yang kurang mampu. Dengan
senang hati dan penuh kesadaran mereka mempersiapkan peralatan agar upacara
dapat berlangsung dengan baik. Tanpa kerja sama yang sehat, upacara Adat
Sengkelan Batu mustahil dapat diselenggarakan. Oleh karena itu, dalam upacara
tersebut sangat dibutuhkan tenaga manusia dalam jumlah yang besar.
Selain nilai-nilai di atas, upacara Adat Sengkelan Batu juga menyimpan nilai
politik. Nilai itu tecermin pada tradisi mengundang tamu dari desa lain dan dari
aparat pemerintah. Tradisi undangan pada dasarnya bertujuan agar eksistensi
56
tradisi komunitas suku Dayak Kumpang tetap diakui di kalangan lain. Artinya,
dengan upacara Adat Sengkelan Batu, masyarakat Dayak Kumpang ingin
memperlihatkan kepada komunitas lain bahwa eksistensi mereka sebagai manusia
yang berada dalam ruang lingkup komunitas terbatas juga dianggap dan tidak
dimarginalkan. Meskipun masyarakat Dayak Kumpang mayoritas berdomisili di
pedalaman yang terpisah dari komunitas luar, mereka tidak seharusnya dikucilkan.
Sebab, bagaimanapun mereka tetaplah warga negara Indonesia yang berhak atas
hak-hak mereka sebagai warga negara, seperti hak mendapatkan pengakuan,
pendidikan, dan kesejahteraan. Setidaknya, lewat tradisi upacara Adat Sengkelan
Batu, masyarakat Dayak Kumpang di Desa Nanga Bayan berusaha menjalin
interaksi dengan masyarakat luar. Sudah sewajarnya, semua pihak merespons
positif usaha yang mereka lakukan.
4.5. Kelembagaan Desa
Kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di Desa Nanga Bayan, baik
berasal dari inisiatif warga maupun kelembagaan bentukan pemerintah merupakan
wahana dalam menampung aspirasi warga dan pemenuhan kebutuhan hidup
masyarakat. Kelembagaan yang mempunyai kegiatan rutin mengadakan
pertemuan warga masyarakat seperti lembaga adat, Posyandu, Kelompok Remaja
Masjid, Remaja Gereja dan Karang Taruna merupakan potensi kelembagan untuk
dijadikan media pembelajaran masyarakat dalam pengembangan masyarakat.
Kelembagaan yang muncul atas prakarsa pemerintah dengan penggalian
potensi kelembagaan lokal dapat dijumpai pada Koperasi Simpan Pinjam, BPD,
PKK/ Posyandu. Kelembagaan ini diharapkan berkembang menjadi wadah
perjuangan masyarakat miskin untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui
program-program pengembangan masyarakat yang telah berjalan di Desa Nanga
Bayan, seperti JPS, RASKIN, BLT, dan PNPM. Dalam perkembangannya
kelembagaan ini belum secara optimal memberikan kontribusi yang besar bagi
pembangunan desa berkaitan dengan sumberdaya manusia yang ada di Desa
Nanga Bayan masih perlu untuk ditingkatkan, terutama untuk mengolah sumber
daya alam yang ada di Desa Nanga Bayan. Lembaga-lembaga kemasyarakatan
penting yang ada pada komunitas desa di Desa Nanga Bayan sebagai berikut.
57
4.5.1. Lembaga Pemerintahan Desa
Pemerintahan desa merupakan lembaga pelayanan publik tingkat pedesaan
yang meliputi pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Lembaga pemerintahan ini sangat berperan atas proses perencanaan pembangunan
desa. Berdasarkan peranan tersebut, pemerintah dalam memberikan pelayan
publik sangat dirasakan oleh masyarakat.
Pemerintah Desa terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, beberapa kepala
urusan (Kaur), beberapa Kepala Dusun. Pada proses pelayanan ini pemerintahan
desa memiliki perpanjangan tangan disetiap wilayahnya yang terbagi dalam lima
dusun yaitu : Dusun Keburau, Dusun Lubuk Ara, Dusun Idai, Dusun Semujan,
dan Dusun Belubu yang dipimpin oleh Kepala Dusun dalam menjalankan roda
pemerintahan desa. Pada pelaksanaan pemerintahan desa di Desa Nanga Bayan
memiliki pengawas yaitu, Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Secara umum tugas dan fungi BPD
adalah mengawasi jalannya pemerintahan desa. Selain itu tugas BPD adalah
menampung aspirasi warga masyarakat baik berupa kritik yang membangun,
usulan/ masukan maupun keluhan atas ketidak puasan pelayanan ataupun jalannya
pemerintahan desa yang tidak baik, seperti masalah pelayanan kepada masyarakat,
dan kebijakan yang tidak memihak pada kepentingan masyarakat desa, serta
masalah-masalah sosial yang ada.
BPD dan masyarakat adalah aktor yang melakukan kontrol untuk
mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa. Dalam melakukan kontrol, BPD
mempunyai kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat,
bertanya, dan memanggil pamong desa. Ketika ruang BPD ini dimainkan dengan
baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa
terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan dalam
peraturan, masyarakat juga mempunyai ruang untuk melakukan kontrol dan
meminta pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa, wajib
menyampaikan pertanggungjawaban tidak hanya kepada BPD, melainkan juga
kepada masyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana tidak hanya
digunakan untuk membangun legitimasi simbolik, tetapi juga sebagai arena untuk
menyampaikan pertanggungjawaban.
58
4.5.2. Lembaga Kemasyarakatan
Sebelum di bentuk berbagai institusi lokal atau lembaga kemasyarakatan
oleh Pemerintah semisal LKMD, PKK, Kelompok Tani dan lembaga
kemasyarakatan lainnya, sebagai akibat dari masuknya program pembangunan ke
pedesaan demi percepatan pelaksanaan pembangunan pedesaan, serta di
berlakukannya sistem birokrasi modern secara nasional (Suyanto:1996). Selama
ini di desa telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari
inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus
dipenuhinya. Umumnya lembaga-lembaga lokal ini masih bersifat sangat
tradisional dengan berbagai kekurangan-kekurangan yang ada dari segi
organisasi/kelembagaan modern.
Namun walaupun demikian adanya, ternyata lembaga tradisional khususnya
lembaga adat yang ada di desa Nanga Bayan mampu berkiprah dalam kehidupan
masyarakat desa, khususnya dalam pembangunan masyarakat desa itu sendiri bila
dibandingkan dengan lembaga-lembaga buatan pemerintah. Hal ini merupakan
sebuah fenomena yang unik dimana keberadaan lembaga adat yang masih begitu
tradisional dengan berbagai keterbatasan yang ada bila dibandingkan dengan
lembaga modern ternyata masih bisa bertahan di tengah proses modernisasi
pedesaan dan bahkan mampu untuk berkiprah.
Dalam praktek masyarakat Dayak di Desa Nanga Bayan memang tingkat
sanksi adat didasarkan pada tingkat pelanggarannya. Pelanggaran adat besar
seperti menghilangkan nyawa seseorang, pelanggaran kesusilaan (menghamili
tanpa nikah) (ngampang) biasanya dikenai sanksi dengan keharusan menyembelih
babi dan denda-dendanya. Misalnya, seorang yang melakukan perbuatan salah,
tetapi tidak mau minta maaf atau malah sombong dan menyepelekan tuntutan
adat, maka ketua adat dapat menjatuhkan sanksi yang mewajibkan membeli
seekor babi yang mahal. Terkadang penjatuhan sanksi menjadi berat karena harga
tempayan, guci sangat antik dan langka karena itu harganya menjadi mahal.
4.5.3. Lembaga Ekonomi
Pada bidang ekonomi ini ditandai dengan suasana kehidupan masyarakat
yang diliputi rendahnya taraf kesejahteraan masyarakat terutama jika
dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat negara tetangga. Orientasi
59
ekonomi masyarakat pada kawasan tapal batas cenderung dominan pada negara
tetangga Malaysia, hal ini disebabkan wilayah negara tetangga tersebut lebih
mampu memberikan kontribusi perkembangan sektor perekonomian karena
kelancaran proses perdagangan dan fasilitas lainnya yang dapat
mengakomodasikan masyarakat perbatasan. Berkaitan dengan bidang ekonomi,
kegiatan masyarakat di bidang koperasi, usaha kecil dan menengah serta
perdagangan belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal ini
masih belum semua jenis usaha termasuk perdagangan memiliki perizinan.
Demikian juga kegiatan lain yang menunjang perkembangan sektor perekonomian
masyarakat di kawasan perbatasan seperti pertanian dan perkebunan belum
berkembang sebagaimana yang diharapkan.
Tidak seperti daerah lainnya, di desa ini tidak dijumpai pasar untuk
memasarkan produk pertanian mereka. Padahal lokasi ini merupakan salah satu
desa penghasil lada bagi Kecamatan Ketungau Hulu dan Kabupaten Sintang.
Lembaga perekonomian yang dijumpai di lokasi studi ini hanya koperasi,
sedangkan bank atau lembaga keuangan lainnya serta pasar sebagai sarana
perekonomian terpenting tidak ditemukan di kawasan ini.
Walaupun demikian aktivitas perekonomian tetap berjalan dengan pelaku
utamanya para tauke atau pedagang pengusaha. Tauke yang merupakan
kelembagaan ekonomi informal sangat berperan di dalam menentukan roda
perekonomian di kawasan ini. Peran tauke sangat dominan mulai dari menampung
hasil pertanian, mensuplay pupuk dan kebutuhan sehari-hari sampai pemberian
pinjaman modal kepada para petani dengan imbalan semua produksi pertanian
lada dijual kepada tauke dengan harga yang telah ditentukan.
4.5.4. Lembaga Kesejahteraan dan Pemuda
a. PKK atau Posyandu. Tugas dan fungsi PKK atau Poyandu secara umum, yaitu
mengadakan penyuluhan mengenai pentingnya program keluarga berencana,
kesehatan ibu dan anak, pendataan akseptor KB, Penimbangan Balita, dan
lain-lain. PKK atau Posyandu inipun kegiatannya tidak hanya terfokus pada
masalah kesehatan ibu dan anak, tetapi juga mengenai pentingnya bagaimana
60
cara mendidik anak yang baik pada usia balita. Program ini sudah berjalan
dengan baik secara menyeluruh dan berkelanjutan dengan anggota 21 orang.
b. Karang Taruna. Karang Taruna adalah wadah pengembangan generasi muda
non partisipan yang tumbuh atas dasar dan rasa tanggung jawab sosial dari,
oleh, dan untuk masyarakat, khusunya generasi muda, di wilayah desa atau
komunitas sosial yang sederajat, bergerak dibidang kesejahteraan sosial.
Fungsi Karang Taruna di desa Nanga Bayan adalah memelihara dan memupuk
kesadaran dan tanggung jawab sosial, semangat kebersamaan, jiwa
kekeluargaan, dan rasa kesetiakawanan sosial, memupuk kreativitas generasi
muda untuk dapat mengemban tanggung jawab sosial kemasyarakatan,
melaksanakan usaha-usaha pencegahan kenakalan remaja, penyalahgunaan
obat-obat terlarang, dan menangani masalah-masalah sosial lainnya
sepertimengadakan kegiatan olah raga.
4.6. Kondisi sarana dan prasarana
Pembangunan prasarana fisik merupakan upaya dalam mendukung dan
memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk menumbuhkembangkan
kegiatan ekonomi produktif dan pelayanan sosial, serta interaksi antara pelaku
ekonomi diberbagai daerah. Dengan adanya pembangunan prasarana fisik yang
memadai dapat menjadi faktor pendorong terciptanya pertumbuhan perekonomian
yang dinamis.
Sampai dengan akhir tahun 2009 ini, prasarana jalan yang menghubungkan
Desa Nanga Bayan dengan ibukota kecamatan yakni Senaning dengan jarak lebih
kurang 59 km masih merupakan jalan tanah berbatu. Sarana transportasi yang
demikian sangat mempengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat Desa
Nanga Bayan terutama dari segi sosial ekonomi. Hal yang demikian karena
kurang lancarnya hubungan dengan ibukota kecamatan yang merupakan pusat
pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sektor kehidupan lainnya. Musim hujan
merupakan saat yang sulit bagi masyarakat untuk berhubungan dengan desa lain
maupun ibukota kecamatan, hal ini mengakibatkan terganggunya aktivitas
sebagian masyarakat untuk pergi ke sekolah maupun melaksanakan aktivitas
sosial ekonomi antar desa maupun ke ibukota kecamatan.
61
4.6.1. Perumahan
Layaknya typologi pemukiman masyarakat desa lainnya, perumahan
penduduk yang ada di Desa Nanga Bayan mengelompok dan terpusat terletak di
kaki bukit yang mengeliling perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Dari hasil
pengamatan diketahui bahwa kepemilikan rumah responden terdiri dari milik
sendiri. Rumah dibangun di sepanjang kaki bukit dengan type rumah panggung.
Bahan dasar rumah sebagian besar berasal dari bahan kayu dengan atap sirap,
seng atau rumbia.
Jika dilihat dari kondisi rumah yang ada dapat digolongkan ke dalam
kategori rumah sangat sederhana terutama dilihat dari jenis bahan bangunan
perumahan tersebut. Sangat sedikit perumahan masyarakat yang menggunakan
atap sirap dikawasan ini walaupun harganya sedikit lebih murah daripada atap
seng dikarenakan jenis atap sirap apabila ada kerusakan lebih sulit untuk
menggantikannya. Sedangkan yang paling nyaman dan murah adalah atap daun
tetapi lebih cepat rusak.
Penerangan atau listrik merupakan suatu hal yang menjadi kebutuhan
manusia yang sangat vital bagi aktivitas sehari-hari. Hal ini bergantung kepada
kemampuan ekonomi masyarakat dan kebutuhan masyarakat terhadap sumber
energi tersebut. Sumber penerangan yang umum digunakan masyarakat Desa
Nanga Bayan adalah mesin listrik diesel (genset). Pada umumnya genset
digunakan oleh masyarakat yang memiliki fasilitas rumah tangga untuk hiburan
(sekunder) seperti televisi, radio tape, kulkas serta sarana hiburan lainnya. Selain
itu masyarakat juga ada yang menggunakan sumber penerangan lampu petromax
dan pelita.
4.6.2. Kesehatan
Bidang kesehatan masyarakat di Kawasan Perbatasan masih mengalami
tingkat/derajat kesehatan yang rendah. Kondisi kehidupan masyarakat khususnya
anak-anak yang mengalami kekurangan gizi dan lingkungan pemukiman yang
kurang sehat. Selain itu sarana dan prasarana atau fasilitas penunjang kesehatan
masyarakat kurang memadai dan terbatasnya tenaga kesehatan baik kualitas
maupun kuantitasnya. Sarana kesehatan utama yang terdapat di lokasi penelitian
62
adalah Poliklinik Desa (Polindes) dan Posyandu. Tenaga kesehatan yang ada
adalah satu orang bidan desa. Sedangkan dalam melayani masalah yang
berhubungan dengan kelahiran bayi selain dilakukan oleh bidan desa, dapat juga
menggunakan dua orang bidan kampung yang terlatih serta empat orang dukun
kampung yang belum terlatih. Dukun-dukun bayi yang ada di desa tersebut dilatih
untuk membantu bidan dalam persalinan.
Dukun merupakan orang-orang yang memegang peranan penting dalam
pelayanan kesehatan di daerah terpencil, terutama dukun terlatih setelah adanya
kerjasama dengan pihak puskesmas. Hal ini sejalan dengan penelitian Rygh dan
Hjortdahl (2007) yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan di daerah
terpencil yang berkesinambungan berjalan dengan baik jika adanya kerjasama
antara petugas kesehatan dengan komunitas lokal untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sekitar. Pendapat lain yang mendukung penggunaan pengobatan
tradisional adalah sebagai berikut, bahwa mengerti perbedaan latar belakang
kebudayaan dan pengobatan tradisional akan membantu bidan dalam memberikan
pelayanan yang lebih baik kepada pasien.
4.6.3. Pendidikan
Bidang Pendidikan Masyarakat di Kawasan Perbatasan pada umumnya
memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah. Selain itu minimnya sarana dan
prasarana pendidikan, terbatasnya tenaga pengajar baik kualitas maupun
kuantitasnya dan relatif mahalnya biaya untuk memperoleh pendidikan. Sarana
pendidikan yang ada di Desa Nanga Bayan hanya sarana pendidikan Sekolah
Dasar (SD) serta Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dengan jumlah guru,
prasarana belajar, dan kondisi gedung yang sangat terbatas. Bagi mereka yang
ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi terpaksa harus ke
daerah lain seperti ke Ibukota Kecamatan ataupun ke Ibukota Kabupaten.
63
V. PROGRAM PEMBANGUNAN DI DESA NANGA BAYAN
DAN MEKANISMENYA
Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan, tingkat
kesejahteraannya relatif rendah yang disebabkan oleh kendala eksternal yaitu
karena ketidakberdayaan masyarakat untuk memanfaatkan potensi sumberdaya
alam karena kurang atau tidak adanya sarana transportasi untuk pemasaran di
wilayah Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan maraknya pencurian kayu di
kawasan perbatasan yang dilakukan masyarakat setempat tertentu yang hasilnya
dijual ke Malaysia, mengingat transportasi ke Malaysia lebih mudah. Kendala
internal berupa rendahnya kualitas sumberdaya manusia di kawasan karena
minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tersedia, akan mengakibatkan
kreativitas masyarakat menggali potensi-potensi ekonomi sangat terbatas
selanjutnya pertumbuhan ekonomi, tingkat kesejahteraan, kondisi keseharian dan
produktivitas masyarakat menjadi rendah.
Memberdayakan ekonomi rakyat dengan mengembangkan pelaku ekonomi
yang mampu memanfaatkan keunggulan potensi lokal akan lebih baik dalam
konteks mengatasi masalah di perbatasan. Sedangkan fokus pembangunan sumber
daya manusia (SDM) dilaksanakan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan
kesehatan guna memperbaiki indeks pembangunan manusia di wilayah
perbatasan. Meningkatkan pendidikan yang berkualitas, relevan, efisien dan
efektif yang dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat termasuk meningkatkan
derajat dan kualitas kesehatan masyarakat melalui pelayanan yang dapat
dijangkau seluruh masyarakat merupakan pilihan tepat bagi warga di perbatasan.
Sementara pembangunan prasarana wilayah terutama berkaitan dengan
aksesibilitas wilayah dan prasarana pendukung ekonomi, kesehatan dan
pendidikan warga perbatasan. Infrastruktur yang memadai dimaksudkan agar
masyarakat dapat memiliki aksesibilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
layak. Dengan demikian masyarakat yang berada di kawasan perbatasan
khususnya di Desa Nanga Bayan merasa berkecukupan.
Seperti yang dikemukakan pada Bab IV, maka permasalah utama
masyarakat desa di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia memerlukan
penanganan dalam hal :
64
1. Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan untuk membuka
keterisolasian masyarakat di perbatasan Desa Nanga Bayan.
2. Pembangunan prasarana dan sarana pelayanan dasar bagi masyarakat
perbatasan (pendidikan, kesehatan, air bersih, pemukiman, dan
kelistrikan).
3. Pemberdayaan masyarakat perbatasan dengan pendekatan peningkatan
sumberdaya manusia melalui pelatihan tenaga kerja.
Legitimasi pemerintah desa dalam menentukan kebijakan harus disandarkan
pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas.
Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dan proses checks and
balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti
menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau
kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban
amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang,
pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik,
tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas
desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya.
Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan
dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak
yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan
pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi
yang memadai disediakan untuk dipahami dan dapat dipantau atau menerima
umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu mengurangi tingkat
ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan
desa. Sebagai sebuah media akuntabilitas, transparansi dapat membantu
mempersempit peluang korupsi di kalangan pamong desa karena terbukanya
segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
Ketiga, responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa. Pemerintah desa
dan BPD harus mampu dan tanggap terhadap aspirasi maupun kebutuhan
masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan
keputusan di desa. Responsif bukan hanya berarti pamong desa selalu siap sedia
memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan dan
65
pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan
kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan
dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah desa yang
mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar
pada keinginan kepala desa sendiri, berarti pemerintah desa itu tidak responsif.
Pemerintah desa bisa disebut responsif jika membuat kebijakan dan
mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat hidup rumah
tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif rumah tangga.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka pemerintahan desa menyusun
suatu kebijakan pembangunan desa dengan empat prioritas yaitu : a) peningkatan
kualitas pendidikan, b) peningkatan sistem pelayanan kesehatan, c) peningkatan
dan pemberdayaan masyarakat, dan d) pembangunan infrastruktur.
5.1. Peningkatan Kualitas Pendidikan
5.1.1. Kebijakan
Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
yang siap pakai. Melalui kebijakan penyediaan sarana dan prasarana yang
memadai, penyediaan tenaga pendidik yang memadai baik secara kuantitas
maupun kualitas, peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik. Pembangunan
Pendidikan diarahkan untuk meningkatkan harkat, martabat dan kualitas
pelayanan pendidikan dengan penyediaan sarana pendukung pembelajaran yang
memadai serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu dan terjangkau untuk semua jenis, jalur, jenjang
pendidikan maupun pembebasan biaya pendidikan bagi peserta didik yang berasal
dari keluarga miskin.
5.1.2. Jenis program yang dilaksanakan
Kegiatan pokok dari Program Peningkatan Kualitas pendidikan, meliputi :
a. Penambahan ruang kelas
Kebijakan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan dengan
program penambahan ruang kelas untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)
sebanyak 3 (tiga) lokal merupakan hal yang penting karena setiap tahun ajaran
66
peserta didik semakin bertambah. Hal ini dikarenakan di Desa Nanga Bayan
hanya memiliki satu-satunya sekolah lanjutan pertama, sedangkan sarana dan
prasarana yang ada tidak mampu untuk menampung siswa yang akan melanjutkan
pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Seperti yang dituturkan
oleh Mrt (kepala SMP Nanga Bayan berusia 43 tahun) bahwa:
“Sejak dua tahun ini jumlah siswa tamat Sekolah Dasar semakin meningkat
sehingga ruang kelas pada SMP Nanga Bayan yang hanya tiga lokal
termasuk ruang guru tidak cukup untuk menampung siswa yang melanjutkan
pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP)”
b. Rehabilitasi rumah guru.
Program rehabilitasi rumah dinas guru sangat didambakan oleh tenaga
pendidik dalam menjalankan tugasnya. Keberadaan sekolah yang begitu jauh dari
tempat tinggal, menyebabkan terjadinya hambatan akan proses pembelajaran dan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah tersebut. Dimana rumah dinas guru yang
ada saat ini tidak layak dihuni lagi karena rumah tersebut merupakan exs-rumah
dinas guru Sekolah Dasar (SD) yang dibangun pada masa orde baru. Banyaknya
pihak pendidik karena alasan tempat tinggal yang tidak nyaman dan jauh dari
sekolah ataupun kendala transportasi, tidak menjalankan tugas sebagaimana yang
telah ditentukan. Akibat dari keadaan tersebut, maka pendidikan yang telah
dicanangkan untuk kemajuan anak bangsa menjadi terhambat atau dapat dikatakan
bahwa kualitas pendidikan bermutu rendah di suatu daerah, karena hambatan
kondisi geografis. Keadaan geografis secara nyata telah menjadi salah satu faktor
yang menghambat pembangunan manusia melalui jalur pendidikan.
5.1.3. Pelaksanaan Program
Program-program dibidang pendidikan ini dilaksanakan oleh instansi terkait
yaitu Dinas Pendidikan Kabupaten selaku pengguna anggaran dan pihak swasta
(kontraktor) sebagai pelaksana kegiatan terutama yang berkaitan dengan
pembangunan prasarana dan sarana yang berbentuk fisik seperti rehabilitasi rumah
guru dan penambahan ruang kelas untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Namun demikian dalam pelaksanaan tersebut, kepemimpinan pemerintahan desa
mengambil langkah-langkah agar masyarakat berpartisipasi dalam pelaksanaan
dengan cara semua tenaga kerja untuk pembangunan tersebut berasal dari desa
67
dan juga bahan material yang digunakan berasal dari desa kecuali bahan-bahan
yang tidak ada di desa disiapkan oleh pihak kontraktor seperti semen, atap seng
dan lainnya. Seperti yang dituturkan oleh Mhd (warga dusun Semujan berusia 46
tahun) bahwa :
“Dalam pelaksanaan pembangunan penambahan ruang kelas untuk SMP di
Nanga Bayan, masyarakat ikut berpartisipasi dengan menjadi buruh (tenaga
tukang) serta penyiapan bahan material yang dibutuhkan oleh pihak
kontraktor untuk keperluan pembangunan tersebut”.
Namun demikian, dari program bidang pendidikan yang telah diuraikan
diatas, yang telah dilaksanakan adalah penambahan ruang kelas untuk Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Hal tersebut disebabkan seperti yang dituturkan
oleh kepala desa setelah mengadakan koordinasi dan negosiasi dengan Instansi
terkait bahwa :
“Program-program lain di bidang pendidikan belum dapat terlaksana karena
menyangkut pembiayaan yang ada di dalam anggaran Dinas Pendidikan
Nasional Kabupaten, oleh sebab itu pemerintahan desa mengambil kebijakan
untuk melaksanakan program penambahan ruang kelas untuk SMP karena
ruang kelas yang ada sekarang tidak dapat untuk menampung siswa”.
5.1.4. Penerima Manfaat Program
Manfaat dari pelaksanaan program ini diharapkan akan diperoleh oleh
Pemerintahan Desa dan Masyrakat. Manfaat yang dimaksud dalam hal ini adalah
suatu hasil yang dapat dirasakan setelah program ini selesai dilaksanakan, hal
tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pertama, manfaat bagi pemerintahan desa antara lain adalah: a) adanya
peningkatan pembangunan dalam aspek pengelolaan pemerintahan desa maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat desa, dengan adanya pembagunan
penambahan ruang kelas sebayak 3 (tiga) lokal untuk Sekolah Menengah Pertama
(SMP), berarti pemerintahan desa sudah memberikan pelayanan kepada
masyarakat terkait dengan tugas-tugas umum pemerintahan dengan menyediakan
fasilitas-fasilitas sosial kepada masyarakat seperti penyediaan pendidikan dengan
pembangunan penambahan ruang kelas untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP).
b) memberikan stimulasi bagi pemerintahan desa untuk meningkatkan aktivitas-
aktivitas di dalam melaksanakan program-program pembangunan desa di bidang
68
pendidikan. Dalam bidang pendidikan, aktivitas-aktivitas pemerintahan desa
dalam melaksanakan program-program pembangunan di bidang pendidikan dapat
diupayakan seperti menyelenggarakan pendidikan kesetaraan meliputi program
Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA. Program ini
ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung,
tidak sekolah dan putus sekolah, serta usia produktif yang ingin meningkatkan
pengetahuan dan kecakapan.
Kedua, manfaat bagi masyarakat antara lain adalah: a) Akses untuk
menjangkau sarana pendidikan sudah lebih mudah terutama bagi kaum miskin, hal
ini sangat dirasakan sekali manfaatnya bagi masyarakat karena sebelum
dibangunnya fasilitas pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa
Nanga Bayan, masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke
jenjang yang lebih tinggi harus keluar dari desa tersebut karena harus melanjutkan
ke kecamatan atau ke kabupaten, dan itupun dilakukan oleh masyarakat yang
mampu, sedangkan untuk masyarakat miskin, dengan terpaksa anak-anaknya tidak
dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena mahalnya biaya
untuk mendapatkan pendidikan. b) masyarakat akan dapat menerima program-
program pendidikan. Upaya pemerintahan desa dalam meningkatkan program-
program pendidikan kesetaraan seperti yang telah diuraikan diatas, dapat diikuti
oleh semua lapisan masyarakat karena akan menjamin penyelesaian pendidikan
dasar yang bermutu bagi anak yang kurang beruntung (putus sekolah, tidak pernah
sekolah), khususnya perempuan, dan anak yang bermukim di desa terbelakang,
miskin, terpencil, atau sulit dicapai karena letak geografis, dan atau keterbatasan
transportasi.
5.2. Peningkatan Sistem Pelayanan Kesehatan
5.2.1. Kebijakan
Kebijakan sistem pelayanan kesehatan desa berupaya untuk melakukan
proses memandirikan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatannya melalui peningkatan kesadaran, kemauan dan
kemampuan, serta pengembangan lingkungan yang sehat melalui penyuluhan
kesehatan.
69
Upaya meningkatkan kualitas masyarakat Desa Nanga Bayan juga
diselenggarakan melalui kebijakan setiap bayi yang lahir harus dalam keadaan
sehat dan cerdas secara alami. Implikasinya pelayanan kesehatan harus diberikan
sejak bayi dalam kandungan. Kebijakan tersebut mampu meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat Desa Nanga Bayan.
Meningkatkan standarisasi pelayanan kesehatan diiringi pula dengan
pengadaan, serta perbaikan sarana dan prasarana kesehatan desa, dan sarana
penunjang lainnya seperti puskesmas keliling (pusling), maka kebutuhan
kesehatan masyarakat di Desa Nanga Bayan dapat terwujud.
5.2.2. Jenis program yang dilaksanakan
1. Program Peningkatan sarana dan prasaran Kesehatan
a. Pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes)
Program pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) merupakan salah
satu program yang sejak lama telah direncanakan oleh masyarakat di Desa Nanga
Bayan. Hal ini mengingat kondisi daerah tersebut terlalu mahal untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan khususnya kaum perempuan, dan anak yang
bermukim di desa terbelakang, miskin, terpencil, sulit dicapai karena letak
geografis, dan keterbatasan transportasi. Sehingga bagi masyarakat yang mampu
mereka lebih memilih mendapatkan pelayanan kesehatan di negara tetangga
Malaysia. Kondisi kesehatan masyarakat seperti yang diutarakan oleh Lyn (bidan
desa berusia 22 tahun) bahwa :
“Demam merupakan kasus yang paling tinggi di derita oleh masyarakat
setempat. Kemudian diikuti oleh batuk-batuk, flu, malaria, typus, diare.
Untuk menyembuhkan penyakit, kebanyakan masyarakat berobat ke polindes
setempat, atau bahkan membeli obat-obatan yang bebas terjual di toko-toko
atau warung terdekat.”
b. Pengadaan poskesdes KIT
Dengan di bangunnya Pos Kesehatan Desa (poskesdes) maka untuk
kelancaran pelayanan kesehatan kepada masyarakat dilaksanakan program
pengadaan peralatan kesehatan seperti peralatan medis, instrumen medis dan
peralatan non-medis. Program pengadaan peralatan pos kesehatan desa ini
merupakan satu paket dengan pembangunan pos kesehatan desa. Peralatan ini
merupakan peralatan penunjang untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
70
5.2.3. Program peningkatan sistem pelayanan kesehatan
Kegiatan pokok Program peningkatan sistem pelayanan kesehatan, meliputi:
a. Program Perbaikan gizi keluarga
Walaupun masyarakat di daerah pedesaan atau pedalaman bisa menikmati
makan tiga kali setiap hari tapi menjadi pertanyaan dari aspek mutu makanannya.
Pada umumnya makanan terdiri dari nasi, sayuran dan lauk pauk tersedia. Untuk
meningkatkan mutu makanan program ini diarahkan untuk mempromosikan
masyarakat untuk memelihara ternak seperti ayam dan menanam sayuran dengan
cara yang lebih intensif untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga dan
memungkinkan peningkatan pendapatan keluarga dengan menjualnya ke pasar.
b. Program Peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan balita
Program ini bertujuan untuk upaya pemeliharaan kesehatan bagi keluarga
miskin dengan melaksanakan pemberian makanan tambahan (PMT) bagi anak
balita, dan ibu hamil dan menyusui, dan pelayanan kesehatan bagi keluarga
miskin.
c. Program Peningkatan kesehatan masyarakat
Dalam program peningkatan sistem pelayanan kesehatan, telah diupayakan
pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) melalui sekolah dan
masyarakat, pelaksanaan imunisasi dasar lengkap terhadap ibu hamil, dan siswa
SD. Pemberantasan penyakit demam berdarah melibatkan peran serta masyarakat
dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Di samping itu dilakukan
kerjasama dengan desa-desa lainnya agar setiap informasi kasus demam berdarah
yang diderita warga desa dapat diketahui dan direspon dengan cepat, sehingga
kasus demam berdarah dapat ditangani maksimal selama tiga hari, serta
melaksanakan fogging focus pada kawasan yang terjadi kasus demam berdarah.
5.2.4. Pelaksanaan Program
Kebijakan Peningkatan sarana dan prasaran Kesehatan diarahkan melalui
program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana kesehatan
dengan kegiatan pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) dan pengadaan
sarana dan prasarana puskesmas keliling (pusling) serta pengadaan poskesdes.
71
Program pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) dan pengadaan
poskesdes KIT dilaksanakan oleh instansi terkait yaitu Dinas Kesehatan
Kabupaten selaku pengguna anggaran dan pihak swasta (kontraktor) sebagai
pelaksana kegiatan pembangunan tersebut dengan mengacu kepada petunjuk
teknis pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kesehatan.
Namun demikian dalam pelaksanaan tersebut, kepemimpinan pemerintahan
desa memberi ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan
pembangunan poskesdes dengan menggunakan tenaga kerja dari desa dan
menggunakan bahan material dari desa. Seperti yang dituturkan oleh Kdg (kepala
dusun Lubuk Ara berusia 45 tahun) bahwa :
“sebagai penanggungjawab dalam pelaksanaan pembangunan poskesdes,
pemerintahan desa telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pelaksanaan dengan pembagian pekerjaan kepada warga
untuk menyiapkan bahan-bahan material yang diperlukan dalam
pembangunan poskesdes”
Hal serupa dituturkan juga oleh Kdr (Ketua BPD berusia 36 tahun) bahwa:
“apabila ada pembangunan yang masuk ke desa kami, kepemimpinan
pemerintahan desa selalu melibatkan masyarakat untuk menyiapkan bahan
material yang diperlukan, dengan cara seperti itu kepemimpinan
pemerintahan desa bisa mensejahteraan masyarakat dan memberdayakan
sumberdaya manusia yang ada di desa”
Sedangkan untuk program pengadaan peralatan poskesdes KIT
pemerintahan desa tidak bisa mengambil alih karena untuk pekerjaan pengadaan
tersebut sifatnya teknis yang tidak bisa di sub kan kepada kontraktor manapun
kecuali kontraktor yang memiliki kualifikasi badan usaha pengadaan alat-alat
kesehatan. Dalam pelaksanaan kegiatan peningkatan sistem pelayanan kepada
masyarakat, pemerintahan desa bekerjasama dengan instansi terkait mulai dari
lembaga-lembaga yang ada didesa seperti polindes dan posyandu serta puskesmas
dan tim dari kabupaten dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten selaku
pengguna anggaran. Dari uraian diatas pemerintahan desa sudah
mengimplentasikan kegiatan tersebut melalui kerjasama dan koordinasi dengan
instansi teknis mulai dari tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten. Dengan
demikian pelaksanaan program bidang kesehatan dapat terlaksana dengan baik
dan sesuai dengan perencanaan yang telah di rencanakan dalam musyawarah
desa.
72
5.2.5. Penerima Manfaat Program
Manfaat dari pelaksanaan program ini diharapkan akan diperoleh oleh
Pemerintahan Desa dan Masyrakat. Manfaat yang dimaksud dalam hal ini adalah
suatu hasil yang dapat dirasakan setelah program ini selesai dilaksanakan :
Pertama, manfaat bagi desa antara lain adalah: a) adanya peningkatan
pembangunan dalam aspek pengelolaan Pemerintahan Desa maupun dalam
hubungannya dengan masyarakat desa, dengan adanya pembagunan pos kesehatan
desa (poskesdes), berarti pemerintahan desa sudah memberikan pelayanan kepada
masyarakat terkait dengan tugas-tugas umum pemerintahan dengan menyediakan
fasilitas-fasilitas sosial kepada masyarakat seperti penyediaan fasilitas kesehatan
dengan pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes). Dengan demikian
kesehatan masyarakat akan lebih terjaga dan tidak merasa cemas apabila ada
keluhan sakit. b) Program-program kesehatan akan dapat terlaksana dengan baik
oleh pemerintah desa dengan terus menggalang kerjasama dengan pihak terkait
mulai dari desa, kecamatan dan kabupaten. Sehingga program-program akan
terlaksana dengan baik dan diterima dengan baik juga oleh masyarakat. c)
memberikan stimulasi bagi Pemerintahan Desa untuk meningkatkan aktivitas-
aktivitas di dalam melaksanakan program-program pembangunan desa. Dalam
bidang kesehatan, aktivitas-aktivitas pemerintahan desa dalam melaksanakan
program-program pembangunan di bidang kesehatan tidak akan berjalan dengan
baik dan lancar apabila tidak didukung oleh partisipasi masyarakat. Berbagai
pihak perlu terlibat secara terpadu seperti posyandu dan polindes. Oleh sebab itu
perlu menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat dengan melibatkan
masyarakat secara aktif pada berbagai tahapan pelaksanaan program kesehatan.
Kedua, manfaat bagi masyarakat antara lain adalah: a) Akses bagi
masyarakat miskin dan kaum perempuan lebih terjangkau, mengingat petugas
kesehatan yang ada di pos kesehatan desa (poskesdes) sudah semakin komplit
karena selain tenaga bidan, ada tenaga perawat, tenaga analis dan tenaga higiene
sanitasi (HS) atau kesehatan lingkungan. sehingga kesehatan masyarakat akan
lebih terjaga dan tidak merasa cemas apabila ada keluhan sakit. b) masyarakat
akan semakin mengerti dengan kesehatan terutama dengan pola hidup bersih dan
sehat, seperti untuk menghindari serangan aneka penyakit, terapkanlah pola hidup
73
bersih dalam kehidupan sehari-hari. Kunci utamanya adalah kebersihan, terutama
sanitasi lingkungan. Hal ini bisa dimulai dengan: Menghilangkan kebiasaan
menyiram tanaman dan jalanan dengan air comberan karena hal ini justru
membuat kuman gampang menyebar, sediakan selalu dalam kotak obat di rumah:
obat penurun panas, antiseptik, oralit, minyak kayu putih dan obat-obatan lainnya
yang biasa dikonsumsi sebagai pertolongan pertama. d) masyarakat akan dapat
menerima program-program kesehatan, seperti yang telah diuraikan diatas
sehingga antara pemerintahan desa dengan masyarakat terjalin kerjasama yang
sinergis dalam menjalankan program peningkatan sistem pelayanan kesehatan.
5.3. Peningkatan dan Pemberdayaan Masyarakat
5.3.1. Kebijakan
Kebijakan ini diarahkan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia
yang dilakukan dengan upaya penambahan tenaga guru, penambahan dan
peningkatan fasilitas pendidikan, serta pelatihan keterampilan bagi penduduk
setempat untuk dapat mengelola sumberdaya alam yang dimiliki. Upaya
peningkatan sumberdaya manusia harus didukung dengan peningkatan kesehatan
masyarakat. Kondisi yang ada saat ini memperiihatkan bahwa sarana dan
prasarana kesehatan dan tenaga medis sangat minim, bahkan sebagian masyarakat
yang mampu akan mencari kota-kota terdekat di Malaysia (Sarawak) untuk
memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan sumberdaya manusia yang handal dan
didukung dengan pelayanan kesehatan masyarakat yang memadai, pengembangan
kawasan pusat pertumbuhan di sepanjang perbatasan akan berjalan lancar karena
produktivitas masyarakat dan koordinasi antar pelaku pembangunan.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan mengarah kepada
peningkatan kemampuan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya
alam yang ada, sehingga bila tidak tercipta koordinasi antar pelaku pembangunan
dalam pengelolaan sumberdaya alam, maka akan terjadi eksploitasi sumberdaya
alam yang tidak sinkron antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Oleh sebab
itu program dilakukan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat dengan
menggelar kursus-kursus agar masyarakat dapat memanfaatkan sumberdaya alam
yang ada.
74
5.3.2. Jenis program yang dilaksanakan
1. Program Pemberdayaan Masyarakat. Kegiatan pokok dari Program
Pemberdayaan Masyarakat, meliputi :
a. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia
Memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan produktif yang dapat
didayagunakan untuk mengelola potensi sumberdaya lokal, sehingga memiliki
nilai manfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Melalui kursus-kursus seperti
kursus meubel, mekanik, menjahit, perkebunan, pertanian, peternakan dan lain
sebagainya yang dilaksanakan oleh pemerintahan desa merupakan wujud
implementasi program Peningkatan kualitas sumberdaya manusia di lingkungan
pedesaan dengan maksud untuk mengembangkan sumberdaya manusia dan
lingkungan yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya dan pemanfaatan potensi lokal.
Melalui kursus-kursus yang disediakan oleh pemerintahan desa kepada
masyarakat diharapkan warga masyarakat dapat belajar dan berlatih menguasai
keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk bekerja atau menciptakan lapangan
kerja sesuai dengan sumberdaya yang ada di wilayahnya, sehingga taraf hidup
masyarakat semakin meningkat.
b. Pemberdayaan lembaga-lembaga di desa.
Program pemberdayaan masyarakat di Desa Nanga Bayan dilaksanakan
pemerintahan desa melalui lembaga-lembaga yang ada di desa. Dari lembaga-
lembaga tersebut di prioritaskan untuk ikut dalam program peningkatan kualitas
sumberdaya manusia melalui kursus-kursus dan keterampilan yang di fasilitasi
oleh pemerintahan desa. Jenis keterampilan yang dikembangkan merupakan
keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola dan meningkatkan produksi serta
nilai tambah potensi atau unggulan lokal pedesaan, sehingga berdampak langsung
terhadap peningkatan produktivitas dan penghasilan masyarakat desa. Selain
mengikuti kursus dan keterampilan, ada beberapa lembaga yang pada saat ini
mendapat bantuan untuk menindaklanjuti hasil dari keikutsertaan wakil-wakil dari
lembaga dalam kursus tersebut adalah : karang taruna dan PKK masing-masing
mendapat bantuan dari pemerintahan desa sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah). Bantuan itu berupa uang tunai untuk kepentingan pengembangan
organisasi.
75
2. Program Pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup. Kegiatan pokok dari
Program Pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup, meliputi :
a. Pelestarian hutan
Tanggung jawab pelestarian hutan tidak pernah terlepas dari peran
pemerintah dan masyarakat, terutama masyarakat desa yang tinggal di sekitar
hutan. Peran pemerintah sebagai regulator tidak dapat dikesampingkan karena
pemerintah memiliki kewenangan yang memungkinkannya untuk merumuskan
dan menetapkan kebijakan pengelolaan hutan secara tepat, sementara masyarakat
desa sebagai struktur sosial terdekat dengan hutan tidak bisa dilepaskan dari
interaksinya dengan hutan yang sedemikian intensif.
Pemerintah desa dapat mewujudkan komitmennya terhadap pelestarian
hutan dengan menciptakan suatu regulasi yang mencegah pemanfaatan hutan
secara tidak bertanggung jawab. Di sisi lain, pemerintah desa juga harus
memberikan ruang yang cukup untuk mengakomodasi partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan hutan. Hal ini dikarenakan hutan adalah merupakan bagian
integral dari kebudayaan masyarakat lokal sehingga tidaklah mungkin bagi
masyarakat untuk merusak hutan.
b. Pembinaan dan penyuluhan terhadap bahaya pencemaran dan
kerusakan lingkungan.
Menjadi suatu kenyataan bahwa terdapat kegiatan penambangan rakyat skala
kecil di Desa Nanga Bayan. Pada umumnya kegiatan-kegiatan tersebut
dikelompokan sebagai pertambangan tanpa ijin atau PETI dan sering diartikan
dengan pertambangan liar. Banyak kasus kegiatan-kegiatan semacam itu tidak
mengikuti prosedur keselamatan yang standar apalagi analisis dampak
lingkungan. Akibatnya adalah terjadi pencemaran dan merusaknya sumberdaya
alam. Pada sisi lain kegiatan-kegiatan tersebut juga sangat mengandung resiko
atau bahkan tidak memberikan sumbangsih terhadap peningkatan pendapatan
keluarga juga terhadap tidak sehatnya lingkungan. Pembinaan dan penyuluhan
perlu dilakukan oleh pemerintahan desa untuk mengatasi permasalahan tersebut
agar tanah dan air perlu dikelola secara baik dan ramah lingkungan sehingga
lingkungan yang bersih selalu tersedia untuk semua orang. Program-program lain
yang berkaitan dengan lingkungan perlu dipromosikan.
76
5.3.3. Pelaksanaan Program
Dalam upaya melaksanakan program peningkatan pemberdayaan
masyarakat, telah diupayakan kegiatan-kegiatan berupa pembinaan dan pelatihan
untuk meningkatkan keterampilan masyarakat desa. Di samping itu juga guna
meningkatkan keterampilan tenaga kerja dilaksanakan pelatihan tenaga kerja
melalui pelatihan institusional di BLK berupa pelatihan pembibitan tanaman
karet, jahit, bordir dan tata rias, serta pelatihan mekanik mobil, bangunan kayu, las
karbit, reparasi TV dan lainnya.
Program peningkatan pemberdayaan masyarakat ini dilaksanakan oleh
pemerintahan desa selaku pengguna anggaran dengan mengirimkan anak-anak
remaja yang memiliki minat untuk pelatihan keterampilan pada Balai Latihan
Kerja (BLK) di Kabupaten selama tiga bulan.
5.3.4. Penerima Manfaat Program
Manfaat dari pelaksanaan program ini diharapkan akan diperoleh oleh
Pemerintahan Desa dan Masyrakat. Manfaat yang dimaksud dalam hal ini adalah
suatu hasil yang dapat dirasakan setelah program ini selesai dilaksanakan :
Pertama, manfaat bagi desa antara lain adalah: a) adanya peningkatan
kualitas sumberdaya manusia dalam hubungannya dengan pengelolaan
sumberdaya alam di desa, b) Program-program peningkatan pemberdayaan
masyarakat ini dapat terlaksana dengan baik oleh pemerintah desa. c) memberikan
stimulasi bagi Pemerintahan Desa untuk meningkatkan aktivitas-aktivitas di
dalam melaksanakan program-program peningkatan sumberdaya manusia.
Kedua, manfaat bagi masyarakat antara lain adalah: a) Akses untuk mengelola
sumberdaya alam yang ada akan semakin mudah, b) keterampilan masyarakat
akan lebih bermanfaat apabila dikembangkan di desa, c) masyarakat akan semakin
mengerti dengan keterampilan yang dimiliki, d) masyarakat akan dapat menerima
program-program untuk peningkatan sumberdaya manusia.
5.4. Pembangunan Infrastruktur
5.4.1. Kebijakan
Kebijakan ini diarahkan melalui penyediaan sarana dan prasarana yang
memadai, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rendahnya pelayanan
77
infrastruktur wilayah yang meliputi aspek transportasi, aspek sumber daya air,
listrik perdesaan harus segera diatasi. Pada aspek transportasi ditunjukkan belum
optimalnya tingkat pelayanan jaringan jalan. Sedangkan aspek listrik pedesaan
yang belum ada di desa tersebut harus segera diatasi, karena akses listrik
masyarakat di daerah pedesaan masih menggunakan mesin genset secara
individual.
5.4.2. Jenis program yang dilaksanakan
2. Program Peningkatan infrastruktur. Kegiatan pokok dari Program Peningkatan
infrastruktur ini, meliputi : (a) Peningkatan jalan poros desa; (b) Penggantian
jembatan jalan poros desa; (c) Rehabilitasi jalan dan jembatan, (d)
Pembangunan Balai Dusun, (e) Rehabilitasi pagar kantor desa.
3. Program Pengembangan Listrik Pedesaan. Kegiatan pokok dari Program
Pengembangan Listrik Pedesaan, meliputi : (a) Pemasangan jaringan; (b)
Pemasangan sambungan rumah.
5.4.3. Pelaksanaan Program
Kebijakan pembangunan infrastruktur ditempuh melalui program
peningkatan infrastruktur dengan kegiatan peningkatan/rehabilitasi jalan dan
jembatan, pembangunan balai dusun dan pembangunan pagar kantor balai desa.
Program peningkatan infrastruktur untuk peningkatan/rehabilitasi jalan dan
jembatan tidak dapat dilaksanakan karena tidak di anggarkan oleh instansi terkait
yaitu Dinas Kimpraswil Kabupaten selaku pengguna anggaran, sedangkan untuk
pembangunan balai dusun dan pembangunan pagar kantor desa dilaksanakan oleh
pemerintahan desa selaku pengguna anggaran dengan melibatkan masyarakat desa
sebagai tenaga kerja.
Dalam pelaksanaan pembangunan tersebut masalah tenaga kerja bukanlah
masalah yang rumit karena masyarakat sendirilah yang melakukan kegiatan
tersebut mulai dari tenaga tukang sampai tenaga kasar. Masyarakat dalam hal ini
menerapkan sistem gotong royong, jadi warga desa yang ada kesemuanya akan
secara suka rela untuk membantu sesuai dengan waktu yang mereka bisa. Dengan
demikian penjadwalan perlu dilakukan agar setiap warga secara merata dapat
menyumbangkan tenaganya.
78
Dalam melaksanakan program pembangunan desa, pemerintahan desa selalu
bersama-sama dengan masyarakat. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Kns
(warga desa berusia 48 tahun) sebagai berikut :
”Pemerintahan desa selama ini dalam hal pelaksanaan pembangunan desa
selalu mengkoordinasikan kegiatan dari atas desa dilakukan atau
dijalankannya dengan baik, tujuannya agar kegiatan dapat berjalan dengan
lancar. Dan juga pemerintahan desa mengajak masyarakat agar terlibat
langsung pada kegiatan tersebut yang dilakukan dengan kerjasama dan
gotong royong”.
Hal yang sama juga yang dituturkan oleh Mly (warga desa berusia 42 tahun)
bahwa :
”Selama ini pemerintahan desa dalam melaksanakan program pembangunan
desa, yang dibantu oleh kepala dusun dan ketua RT selalu terlibat dan
langsung turun tangan sendiri dalam pelaksanaan kegiatan tersebut bersama
dengan warga desa”.
Sedangkan untuk pembangunan balai dusun dilaksanakan secara bergulir
oleh pemerintahan desa dengan tenaga kerja berasal dari dusun yang mendapat
giliran. Untuk tahun ini dusun yang mendapat giliran pembangunan balai dusun
adalah Dusun Idai dan Dusun Semujan.
5.4.4. Penerima Manfaat Program
Manfaat dari pelaksanaan program ini diharapkan akan diperoleh oleh
Pemerintahan Desa dan Masyrakat. Manfaat yang dimaksud dalam hal ini adalah
suatu hasil yang dapat dirasakan setelah program ini selesai dilaksanakan :
Pertama, manfaat bagi desa antara lain adalah: a) adanya peningkatan
pembangunan dalam aspek pengelolaan Pemerintahan Desa maupun dalam
hubungannya dengan masyarakat desa, b) Program-program pembangunan
infrastruktur ini dapat terlaksana dengan baik oleh pemerintah desa. c)
memberikan stimulasi bagi Pemerintahan Desa untuk meningkatkan aktivitas-
aktivitas di dalam melaksanakan program pembangunan desa.
Kedua, manfaat bagi masyarakat antara lain adalah: a) balai dusun sebagai
tempat kegiatan masyarakat di dusun, b) Balai dusun sebagai perekat hubungan
kekerabatan di dusun, c) masyarakat akan dapat menerima program-program
pembangunan desa.
79
Keberlanjutan dan keberhasilan program pembangunan di desa secara umum
tentu saja sangat bergantung pada dukungan Pemerintahan desa dan masyarakat.
Namun demikian bahwa keberhasilan program pembangunan senantiasa tidak
akan pula cukup efektif manakala dalam implementasinya tanpa dukungan dan
keterlibatan kelompok warga miskin sebagai penerima manfaat (beneficieries)
langsung. Oleh karena pemerintahan desa sebagai lembaga yang dikhususkan
untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan dan mekanisme monitoring dan
evaluasi terkait dengan program pembangunan maka perlu terus didorong untuk
menjadi “penggerak” dalam memperluas dukungan stakeholders lainnya.
5.5. Mekanisme Perencanaan Program di Desa Nanga Bayan
Dalam desa tidak hanya kelembagaan pemerintah desa dan Badan
Perwakilan Desa saja yang ada, tapi ada satu lembaga lagi yaitu Lembaga
Kemasyarakatan (lembaga ekonomi dan lembaga sosial).
Kelembagaan ekonomi terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang
berorientasi profit (keuntungan) dan dibentuk di desa berbasiskan pada
pengelolaan sektor produksi dan distribusi. Contoh dari kelembagaan ekonomi
adalah koperasi, kelompok tani, kelompok pengrajin, dan sebagainya yang ada di
desa. Kelembagaan sosial meliputi pengelompokan sosial yang dibentuk oleh
warga dan bersifat sukarela. Contoh dari kelembagan sosial adalah karang taruna,
arisan, lembaga adat, forum Rt/Rw, organisasi masyarakat, (gambar 4)
Gambar : 4
Hubungan antara lembaga desa dalam bekerja
Pemerintahan
Desa
Kelembagaan
Politik (BPD)
Kelembagaan
Sosial
Kelembagaan
Ekonomi
Pembagian
Kekuasaan
80
Dalam hubungan kerja, keempat lembaga tersebut berinteraksi secara
dinamis (bisa merenggang maupun merapat) sesuai dengan kekuatan dan posisi
yang dimiliki masing-masing lembaga pada waktu tertentu, dimungkinkan adanya
satu lembaga yang lebih dominan dibandingkan dengan ketiga lembaga lainnya
dalam interaksi sosial. Sebagai contoh dimana pada masa Orde Baru, Pemerintah
Desa lebih dominan dibandingkan dengan lembaga politik masyarakat, ekonomi,
dan masyarakat sipil.
Oleh karena itu, mekanisme kerja kelembagaan pemerintahan desa yang
ideal dalam kehidupan ditingkat desa adalah keempat lembaga tersebut dilibatkan
dalam proses pembangunan desa. Dengan kalimat lain perlu dibangun adanya
partisipasi yang menyeluruh dan saling menguatkan antar lembaga-lembaga yang
ada di desa. Dalam bahasa akademis hubungan yang saling menguatkan tersebut
dikenal dengan istilah Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance).
Untuk memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat dalam
kegiatan pembangunan sarana kesehatan di desa Nanga Bayan serta adanya tekad
yang kuat dan sungguh-sungguh untuk mencerdaskan masyarakat, Pemerintah
Desa membuat program prioritas untuk mengusulkan pelaksanaan kegiatan
pembangunan desa. Dengan pola (bottom up planning) ini masyarakat dilibatkan
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan di mana khusus untuk
tahap perencanaan masyarakat sudah mulai terlibat dalam penetapan skala
prioritas kegiatan yang diusulkan oleh pemerintahan desa dan kemudian
dirumuskan bersama masyarakat.
Dalam pelaksanaan musrenbang, semua elemen masyarakat terlibat
didalamnya mulai dari perangkat desa, anggota BPD, ketua RT/RW, kepala
dusun, kelompok perempuan (PKK), kelompok pemuda, organisasi sosial
kemasyarakatan, tokoh adat/agama, pengusaha serta perwakilan dari kelompok
buruh dan kelompok masyarakat miskin/masyarakat kurang mampu.
Mekanisme perencanaan dari bawah (bottom up planning) yang selama ini
dilaksanakan perlu dimodifikasi dan diadakan penyesuaian seperlunya. Modifikasi
dan penyesuaian dimaksud hanya bersifat instrumental yang disesuaikan dengan
kondisi daerah dan masyarakat. Pada prinsipnya mekanisme perencanaan
pembangunan pedesaan ini lebih menekankan pada peran aktif masyarakat dalam
81
penentuan skala prioritas berdasarkan kebutuhan masyarakat, kemampuan teknis
manajerial masyarakat serta kemampuan pendanaannya.
Dalam proses penyusunan dan pengusulan rencana program atau proyek
dilakukan dengan dua tahapan yaitu, tahap sosialisasi dan tahap perencanaan
sebagai berikut :
5.5.1. Tahap Sosialisasi
a. Forum Antar Desa I
Forum ini merupakan forum sosialisasi pada tingkat kecamatan yang
bertujuan untuk menyebarluaskan informasi mengenai program yang dapat
dikembangkan di tingkat desa pada kecamatan yang bersangkutan. Pertemuan ini
difasilitasi oleh Kepala Seksi Pelaksana Program (KPP) selaku penanggungjawab
operasional kegiatan dipimpin oleh camat dan dihadiri oleh seluruh Kepala
Cabang Dinas Tingkat Kecamatan atau Unit Pelaksana Teknis, para kepala desa
atau Lurah, seluruh Ketua Badan Perwakilan Desa, tokoh masyarakat, tokoh
agama, cendekiawan di tingkat kecamatan. Salah satu hasil dari forum ini
diantaranya adalah ditetapkannya jadwal pelaksanaan musayawarah pembangunan
desa I.
b. Musyawarah Pembangunan Desa I
Forum ini merupakan forum tahap sosialisasi lanjutan di tingkat desa. Forum
ini dipimpin oleh kepala desa dan dihadiri oleh seluruh kepala dusun, tokoh
masyarakat, anggota BPD, tokoh agama, tokoh pemuda, cendekiawan di tingkat
desa, kepala seksi pelaksana program kecamatan yang bersangkutan.
Dalam forum ini kepala desa menyampaikan seluruh informasi hasil
sosialisasi tingkat kecamatan yang berupa program-program pembangunan desa
yang dapat diusulkan dalam forum antar desa I. Dari musyawarah ini
tersosialisasinya program–program pembangunan desa kepada masyarakat, fungsi
dan peranan kepala dusun selanjutnya adalah menginfomasikan kepada
masyarakat dan mengkoordinasi usulan kebutuhan prioritas masyarakat pada
tingkat dusun, serta penetapan jadwal pelaksanaan musyawarah pembangunan
dusun.
82
c. Musyawarah Pembangunan Dusun
Merupakan forum sosialisasi program kepada masyarakat oleh kepala
Dusun, pemilihan kegiatan yang cocok di tingkat dusun serta penggalian gagasan
atau usulan dari masyarakat yang akan diperjuangkan pada musayawarah
pembangunan desa II. Pesertanya adalah warga dusun, dihadiri oleh kepala desa
sebagai nara sumber. Dari musyawarah ini menghasilkan daftar usulan kebutuhan
masyarakat, serta disepakatinya wakil-wakil dusun dan kelompok masyarakat
(Pokmas) untuk menghadiri musayawarah pembangunan Desa II.
5.5.2. Tahap Perencanaan
a. Musyawarah Pembangunan Desa II
Merupakan forum musyawarah tingkat desa tahap dua untuk menyeleksi
gagasan atau usulan program atau kegiatan hasil musayawarah pembangunan
dusun dari tiap-tiap dusun secara demokratis. Forum dipimpin oleh kepala desa
dengan bimbingan camat dan dibantu oleh kepala seksi pelaksana program
kecamatan. Peserta forum adalah para kepala dusun atau wakil dusun, wakil
pokmas, tokoh masyarakat, fasilitator desa. Kesepakatan yang dihasilkan dalam
musyawarah ini adalah: a). Daftar usulan rencana program atau proyek baik yang
dibiayai oleh dana swadaya masyarakat, maupun yang diusulkan untuk dibiayai
oleh DAU, DAK dan APBN/BLN dan b). Daftar usulan hasil ketetapan
musyawarah diteruskan oleh kepala desa atau lurah kepada camat untuk dibahas
dalam forum antar desa II.
b. Forum Antar Desa II
Forum ini dipimpin oleh Camat dengan bimbingan kepala Bappeda untuk
membahas kembali usulan hasil musayawarah pembangunan desa dari masing-
masing desa untuk menghasilkan usulan program atau kegiatan yang benar-benar
relevan untuk dilaksanakan. Peserta forum adalah seluruh kepala desa, ketua
badan permusyawaratan desa, lima orang wakil yang ditunjuk melalui
musyawarah desa, penanggung jawab operasional kegiatan atau kasi pelaksana
program, cabang dinas atau pelaksana teknis operasional. Forum antar desa ini
menghasilkan beberapa usulan seperti: a) usulan yang dibiayai oleh dana swadaya
dikembalikan ke desa atau kelurahan yang bersangkutan dan b) usulan hasil
83
seleksi yang dibiayai oleh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK) dan APBN diteruskan ke Bupati untuk selanjutnya dibahas dalam Forum
Antar Kecamatan.
Dalam proses mekanisme perencanaan Program yang dilakukan dengan dua
tahapan sebagai berikut (lihat gambar 5).
Gambar : 5. Mekanisme Perencanaan Program di Desa Nanga Bayan
Proses perencanaan pada program pembangunan desa Nanga Bayan diawali
dengan penggalian gagasan di tiap Dusun. Pada proses tersebut, masyarakat
memperoleh pengalaman mengenai tahapan perumusan usulan kegiatan. Bahwa
kegiatan yang diusulkan semestinya mendasarkankan pada permasalahan yang
dihadapi masyarakat khususnya permasalahan sarana kesehatan. Mendasarkan
pada tahapan tersebut, usulan kegiatan tiap-tiap dusun merupakan upaya
pemecahan masalah mereka yang diperoleh dari penggalian gagasan secara
partisipatif dan dilakukan bersama. Selanjutnya, usulan kegiatan tersebut
dimusyawarahkan di tingkat desa melalui forum Musyawarah Desa (MD) yang
akan menghasilkan usulan kegiatan program pembangunan Desa Nanga Bayan.
Proses musyawarah pembangunan desa merupakan penggalian gagasan pada
kegiatan Musrenbang Desa di lokasi penelitian, sesuai dengan penjelasan para
TAHAP
SOSIALISASI
PROGRAM
TAHAP
PERENCANAAN
TINGKAT
KECAMATAN
TINGKAT
DESA
TINGKAT
DUSUN
FORUM ANTAR
DESA I
MUSRENBANG
DESA I
MUSYAWARAH PEMBANGUNAN DUSUN
MUSRENBANG
DESA II
FORUM ANTAR
DESA II
84
informan yang telah beberapa kali mewakili dusun-nya, pada forum Musrenbang
Desa, pemerintah desa telah menyiapkan rancangan program pembangunan yang
akan dibiayai dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Rancangan program tersebut kemudian ditawarkan kepada para peserta. Para
peserta musyawarah, yang terdiri dari aparat desa, BPD, tokoh masyarakat,dusun,
perwakilan RT dan RW, akan memberikan tanggapan serta persetujuan mereka
atas usulan program pemerintah desa, dengan kriteria kemanfaatannya bagi
masyarakat serta kemampuan desa untuk membiayai usulan tersebut. Kriteria itu
pula yang digunakan untuk menentukan prioritas usulan forum Musrenbang Desa.
Selain proses di atas, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah usulan desa
melalui forum Musrenbang Desa masih harus melalui forum Musrenbang
Kecamatan dan Rakorbang Kabupaten. Dengan demikian, tidak semua usulan
Musrenbang Desa disetujui dan memperoleh pembiayaan melalui APBDes.
5.6. Pembangunan Pos Kesehatan Desa Sebagai Prioritas
Hasil Musrenbang tingkat desa yang menetapkan pembangun Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes) di Desa Nanga Bayan sebagai prioritas utama dinilai
sudah sangat tepat oleh masyarakat mengingat jumlah penduduk yang cukup
banyak dan letak desa yang berdekatan dengan negara tetangga (Malaysia).
Besarnya jumlah penduduk maka kecenderungan penduduk yang sakit juga lebih
besar. Namun demikian pemanfaatan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) akan lebih
optimal lagi jika pelayanan yang disediakan lebih lengkap dan tidak ada batasan
waktu untuk mengaksesnya.
Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan sudah semakin bertambah
seiring dengan masalah kesehatan yang dihadapinya. Penelitian menggambarkan
masih terbatasnya pelayanan yang disediakan oleh Pondok Bersalin Desa
(polindes) saat ini yang hanya ditempati oleh seorang paramedis (bidan desa),
sehingga masyarakat hanya dapat memanfaatkan pelayanan yang ada terutama
pelayanan pengobatan. Sedangkan kebutuhan masyarakat tidak saja pada upaya
kuratif tetapi juga upaya promotif dan preventif.
Bertambahnya permintaan terhadap pelayanan kesehatan dikarenakan
masyarakat semakin mengetahui akan kebutuhan kesehatannya. Hasil wawancara
85
dengan bidan Lay di polindes Nanga Bayan diketahui sebagian besar pasien yang
memanfaatkan pelayanan polindes adalah kelompok dewasa. Hal ini dapat
diasumsikan bahwa pada kelompok dewasa proporsinya lebih besar diantara
kelompok yang lain dan mempunyai risiko lebih besar terjadinya gangguan
kesehatan.
Beberapa kebijakan pemerintah telah memperhitungkan perbedaan antara
daerah pedesaan dan perkotaan dan bagaimana perbedaan tersebut dapat
berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan. Hal itu dapat mendorong terjadinya
perbedaan pada hasil kebijakan antara desa dan kota sebab satu kebijakan tidak
bisa untuk semua daerah (one size does not fit all). Kebijakan kesehatan lebih
menguntungkan bagi daerah pedesaan jika pembuat kebijakan memperhatikan isu-
isu tertentu yang timbul pada masyarakat, seperti program dan kebijakan
kesehatan.
Dengan menggunakan sudut pandang masyarakat pedesaan untuk
mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan serta program diperlukan
fleksibilitas rancangan kebijakan sehingga masyarakat dapat meningkatkan
aksesnya ke sumber-sumber pelayanan kesehatan. Kebijakan pembangunan Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes) menjadi salah satu pilihan atau solusi yang tepat
untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat di Desa Nanga Bayan. Kebijakan
tersebut yang efektif mampu memenuhi tujuan kebijakan dalam ukuran waktu dan
hasil yang diharapkan. Walaupun saat ini baru Pos Kesehatan Desa (Poskesdes))
yang di bangun, namun mempunyai potensi yang besar dapat dimanfaatkan secara
optimal dan ditingkatkan menjadi puskesmas yang ideal bagi masyarakat.
Pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) di Desa Nanga Bayan sebagai
prioritas untuk mengatasi berbagai permasalahan di bidang kesehatan seperti: (1)
peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sekitar kawasan perbatasan; (2)
meningkatkan akses kesehatan terutama bagi penduduk miskin dan kaum
perempuan.
Dalam pelaksanaannya, pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) untuk
memprioritaskan upaya promotif dan preventif yang dipadukan secara seimbang
dengan upaya kuratif dan rehabilitatif. Langkah-langkah yang ditempuh untuk
mengatasi berbagai masalah adalah :
86
a. Peningkatan akses masyarakat kurang mampu terhadap pelayanan
kesehatan
Pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) di desa Nanga Bayan
dilakukan untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Rendahnya status
kesehatan penduduk miskin dan kaum perempuan terutama disebabkan oleh
terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala biaya. Sedangkan
bagi warga desa Nanga Bayan yang mampu mereka lebih memilih mendapatkan
pelayanan ke negeri seberang (Malaysia) apabila penyakit yang di derita tidak
kunjung sembuh ketika mendapat pelayanan di polindes. Diantara penyakit-
penyakit yang di derita diantaranya penyakit tidak menular seperti penyakit
jantung, diabetes mellitus, dan kanker. Hal ini terjadi karena akses untuk menuju
kesana lebih lancar ketimbang harus mendapat rujukan dari polindes untuk
mendapat pelayan yang lebih intensif di puskesmas ataupun di rumah sakit.
Seperti yang dituturkan oleh Jel (warga Dusun Semujan berusia 42 tahun) bahwa:
”untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di Serawak-Malaysia warga desa
Nanga bayan hanya cukup mengantongi surat keterangan berobat ke
Malaysia dari kepala desa untuk melewati pos lintas batas dengan jangka
waktu yang tidak di tentukan (sampai sembuh)”
Meskipun pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dan kaum perempuan
telah tersedia, belum semua penduduk miskin dan kaum perempuan
memanfaatkan pelayanan ini karena mereka tidak mampu menjangkau fasilitas
pelayanan kesehatan akibat kendala biaya, jarak dan kondisi geografis. Oleh
karena itu kebanyakan penduduk lebih memilih cara pengobatan tradisional
ketimbang harus menempuh jarak yang jauh.
Dengan dibangunnya prasana dan sarana pos kesehatan desa secara kualitas
dan kuantitas pelayanan kesehatan akan semakin lancar dengan tenaga paramedis
yang terampil. Akses terhadap pos kesehatan desa sebagai upaya kesehatan
berbasis masyarakat (UKBM) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
sekitar kawasan perbatasan umumnya dan desa Nanga Bayan khususnya. Dengan
demikian masyarakat dapat menjangkau sarana kesehatan dalam jarak dan waktu
tempuh yang pendek sehingga secara tidak langsung membangun masyarakat
yang sehat jasmani dan rohani.
87
b. Penanggulangan penyakit
Dalam pelaksanaan program pembangunan poskesdes akan membuat
masyarakat semakin mudah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Selain
sarana dan prasarana, secara kualitas dan kuantitas ditempatkan tenaga kesehatan
seperti tenaga paramedis (perawat dan bidan), tenaga gizi dan tenaga analis.
Permasalahan penting yang masih dihadapi oleh masyarakat Desa Nanga
Bayan dalam program pembangunan pos kesehatan desa saat ini adalah
terbatasnya aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas terutama
pada kelompok penduduk miskin, mengingat Desa Nanga Bayan merupakan
daerah tertinggal, terpencil dan yang berada di kawasan perbatasan Indonesia-
Malaysia. Hal ini, antara lain, disebabkan kendala jarak, biaya dan kondisi
fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan jaringannya yang belum
sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat. Sedangkan fasilitas yang ada di
Desa Nanga Bayan saat ini hanya polindes dengan satu orang petugas yaitu bidan
desa. Selain itu, beberapa permasalahan lainnya seperti yang dituturkan oleh Lyn
(bidan desa berusia 22 tahun) bahwa :
” terjadinya beban ganda penyakit (double burden of diseases), yaitu suatu
keadaan ketika penyakit menular masih merupakan masalah, di lain pihak
penyakit tidak menular menunjukkan kecenderungan meningkat, masih
rendahnya akses masyarakat kurang mampu terhadap pelayanan kesehatan,
dan terbatasnya sarana/prasarana”
Ditambahkan lagi oleh Lyn, bahwa :
”berdasarkan keparahan penyakit, demam merupakan kasus yang paling
tinggi diderita oleh masyarakat stempat. Kemudian di ikuti oleh batuk-batuk,
flu, malaria, thypus dan diare”
Untuk menyembuhkan penyakit, kebanyakan masyarakat berobat ke
polindes setempat atau bahkan membeli obat-obatan yang bebas terjual di toko
atau warung terdekat. Beberapa dari mereka mengungkapkan bahwa mereka takut
terserang oleh beberapa penyakit seperti cholera, malaria, dan demam berdarah.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penyakit-penyakit tersebut diatas juga
dipengaruhi lingkungan yang kotor dan tercemar. Pada tingkat rumah tangga,
studi ini menemukan tidak cukupnya ketersediaan obat-obatan dasar pada saat
dibutuhkan. Begitupun dengan obat-obatan tradisional juga tidak tersedia dan
biasanya baru mencari pada saat dibutuhkan.
88
Sejalan dengan dibangunnya fasilitas pelayanan kesehatan di Desa Nanga
Bayan, keadaan kesakitan beberapa penyakit menular akan dapat diatasi.
Demikian pula, dengan kematian dan kecacatan akibat penyakit menular akan
dapat ditekan. Penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi masalah dan
prioritas dalam penanggulangannya adalah Tuberculosis (TB), Malaria, Demam
Berdarah.
89
VI. KEPEMIMPINAN DALAM PEMBANGUNAN
POS KESEHATAN DESA
6.1. Situasi Kepemimpinan Di Desa Naga Bayan
Di Desa Naga Bayan terdapat kepemimpinan yang bersifat dualistik yang
masing-masing memiliki legitimasi dan pengaruh yang kuat terhadap masyarakat
dengan karakteristik yang berbeda yaitu kepemimpinan formal (pemerintah desa)
dan kepemimpinan informal (lembaga adat). Pemerintah desa memperoleh
legitimasi secara formal melalui surat pengangkatan dari Bupati sedangkan
lembaga adat memperoleh legitimasi secara informal dari masyarakat. Meskipun
pemerintah desa juga memperoleh legitimasi dari masyarakat melalui pemilihan
langsung, namun kedua komponen ini tidak saling berebut pengaruh melainkan
yang terjadi adalah pembagian fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Dalam hal
ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-hal yang berkenaan dengan
masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan
untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti
penyelesaian perkara, ritual, perkawinan, termasuk aktivitas pertanian.
Pelaksanaan fungsi kedua tipe kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda
dimana pemerintah desa lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal
sedangkan lembaga adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat. Hal
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soekanto (1982) yang menyebutkan
bahwa kepemimpinan resmi di dalam pelaksanaannya selalu harus berada diatas
landasan-landasan atau peraturan-peraturan resmi sehingga daya cakupnya agak
terbatas. Kepemimpinan informal, mempunyai ruang lingkup tanpa batas-batas
resmi karena didasarkan atas pengakuan dan kepercayaan masyarakat.
Dualisme kepemimpinan yang dijumpai di Desa Naga Bayan tidak
dipandang sebagai masalah oleh masyarakat karena adanya aspek pembagian
fungsi sebagaimana diutarakan di atas. Dengan kata lain, meskipun pemerintah
desa dan lembaga adat memiliki konstituen yang sama namun hal ini tidak
menimbulkan benturan baik secara fungsi maupun pengaruh. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat Desa Naga Bayan memiliki mekanisme adaptasi
terhadap munculnya sistem kepemimpinan baru paska diberlakukannya UU No.
5/19979 tentang Pemerintahan Desa.
90
Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa tipe kepemimpinan di
desa Nanga Bayan baik formal maupun informal lebih cenderung menunjukkan
tipe kepemimpinan demokratis dimana aspek pengambilan dilakukan secara
bersama-sama dengan konstituen (masyarakat). Tipe kepimpinan demokratis
memiliki kelebihan dalam hal pengambilan keputusan yang lebih cermat/teliti
namun lamban dalam mengambil keputusan karena harus melibatkan dan
mempertimbangkan pendapat orang banyak.
6.2. Kepemimpinan Formal
Pembangunan Desa sebagai upaya dalam proses modernisasi dan memacu
laju pembangunan secara menyeluruh dan berencana, menjadi pusat perhatian
negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia pada tahun-tahun terakhir
ini. Usaha untuk menggalakkan pembangunan desa yang dimaksudkan untuk
memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup serta kondisi sosial masyarakat desa
yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat, melibatkan tiga pihak, yaitu
pemerintah, swasta dan warga desa. Dalam prakteknya, peran dan prakarsa
pemerintah masih dominan dalam perencanaan dan pelaksanaan maupun untuk
meningkatkan kesadaran dan kemampuan teknis warga desa dalam pembangunan
desa.
Kasus pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) di latar belakangi oleh
rendahnya status kesehatan penduduk miskin dan kaum perempuan terutama
disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala
geografis dan kendala biaya dan juga terbatasnya tenaga kesehatan yang ada di
desa Nanga Bayan. Sedangkan bagi warga Desa Nanga Bayan yang mampu
mereka lebih memilih mendapatkan pelayanan ke negeri seberang (Malaysia)
apabila penyakit yang di derita tidak kunjung sembuh ketika mendapat pelayanan
di polindes. Hal ini terjadi karena akses untuk menuju kesana lebih lancar
ketimbang harus mendapat rujukan dari polindes untuk mendapat pelayan yang
lebih intensif di puskesmas ataupun di rumah sakit kabupaten, karena kendala
jarak dan waktu tempuh yang jauh.
Keberadaan kepemimpinan desa sebagai ujung tombak pembangnan
mendudukkan pemerintah sebagai agen pembangunan, terutama dalam
91
merangsang dan mendorong pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup
warganya. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan pembangunan
desa meliputi seluruh aspek kehidupan terkait pengembangan wilayah perbatasan
seperti bidang kesehatan, masyarakat di kawasan perbatasan di desa Nanga Bayan
masih mengalami derajat kesehatan yang rendah. Kondisi kehidupan masyarakat
khususnya anak-anak yang mengalami kekurangan gizi dan lingkungan
pemukiman yang kurang sehat. Selain itu sarana dan prasarana atau fasilitas
penunjang kesehatan masyarakat kurang memadai dan terbatasnya tenaga
kesehatan baik kualitas maupun kuantitasnya.
Lemahnya berbagai perhatian dan pengawasan pemerintah tersebut
berdampak pula dengan lemahnya berbagai peraturan dan norma yang berlaku di
desa. Sementara pada sisi yang lain, di Malaysia mampu memberikan jaminan
pelayanan kesehatan yang memadai bagi masyarakat. Hal ini ditunjang dengan
semakin mudahnya masyarakat untuk mendapatkan ijin surat keterangan sakit dari
Kepala Desa. Sedangkan aturan pemerintahan dan norma-norma adat setempat
tidak pernah bisa mengatur permasalahan ini. Akibatnya banyak dari masyarakat
yang mampu mendapat pelayanan kesehatan ke Malaysia. Sebagian yang lain
(masyarakat yang tidak mampu) hanya pasrah dengan pelayanan kesehatan yang
ada di desa.
Dalam pembangunan pos kesehatan desa kepala desa berperan dalam hal: a)
perencanaan b) pelaksanaan dan c) pengawasan terhadap pembangunan pos
kesehatan desa, dan dibantu oleh aparat desa, kepala dusun dan ketua RT. Peran
kepala desa sangat menentukan arah untuk kemajuan desa, karena maju
mundurnya desa ada ditangan kepala desa.
6.2.1. Kepemimpinan Formal dalam Perencanaan Pembangunan Poskesdes
Hasil musrenbang telah menetapkan pembangunan poskesdes sebagai
prioritas utama. Peran kepala desa selanjutnya adalah penentuan lokasi
pembangunan poskesdes yang diputuskan bersama dengan masyarakat. Pada saat
proses perencanaan lokasi pembangunan pos kesehatan desa Nanga Bayan diawali
dengan penggalian gagasan di tiap dusun. Bahwa lokasi yang diusulkan
semestinya mendasarkan pada permasalahan yang dihadapi masyarakat,
92
khususnya permasalahan di bidang kesehatan yang lokasinya mudah dijangkau
oleh masyarakat. Mendasarkan pada tahapan tersebut, usulan kegiatan tiap-tiap
dusun merupakan upaya pemecahan masalah mereka yang diperoleh dari gagasan
secara partisipatif dan dilakukan bersama. Selanjutnya, usulan kegiatan tersebut
dimusyawarahkan di tingkat desa melalui forum musyawarah desa yang akan
menghasilkan usulan lokasi perencanaan pembangunan pos kesehatan desa.
Proses musyawarah melalui forum musyawarah desa pada akhirnya gagal
mencapai mufakat. Hal tersebut disebabkan masing-masing dusun berusaha
mempertahankan dan menganggap bahwa usulannya yang perlu diprioritaskan
karena menyangkut kepentingan warga dusun. Pada akhirnya, pemilihan usulan
lokasi kegiatan perencanaan pembangunan pos kesehatan desa ditentukan melalui
voting. Perwakilan dusun yang hadir dalam musyawarah desa dipersilahkan
memilih usulan lokasi yang memenuhi kriteria yang mudah dijangkau oleh
masyarakat. Berdasarkan proses tersebut, pada akhirnya usulan lokasi
dibangunnya pos kesehatan desa berada di kompleks kantor desa Nanga Bayan.
6.2.2. Kepemimpinan Formal dalam Pelaksanaan Pembangunan Poskesdes
Pada kasus pelaksanaan pembangunan poskesdes ini, masyarakat
berpartisipasi hanya pada saat membersihkan lokasi tempat dibangunnya pos
kesehatan desa (poskesdes). Sedangkan untuk fisik bangunannya dilaksanakan
oleh instansi terkait, dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan Kabupaten selaku
pengguna anggaran dan selaku pelaksana administrasi terhadap pembangunan
poskesdes.
Dalam pelaksanaannya pemerintah desa hanya menyiapkan lokasi tempat
dibangunnya pos kesehatan desa. Seharusnya, Pelaksanaan kegiatan tersebut dapat
dilaksanakan oleh masyarakat yang bertindak sebagai pengguna utama.
Pendanaan dan bantuan teknis dapat diberikan oleh proyek maupun pemerintah
kabupaten/propinsi jika diperlukan. Apabila ada kegiatan tertentu yang tidak
dapat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat misalnya pembangunan fisik yang
nilainya diatas seratus juta rupiah. Sedangkan kegiatan yang berbentuk fisik
seperti pembangunan poskesdes saat ini yang nilainya tidak mencapai seratus juta
rupiah dapat dilaksanakan dengan pemilihan langsung atau penunjukan langsung
93
mengingat kondisi desa yang terisolir. Hal ini sangat erat sekali kaitan dengan
proses dan mekanisme serta prosedur yang berlaku dalam Kepres No 80 tahun
2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah serta
perubahannya bahwa, untuk kegiatan proyek harus ada legalitas hukum
(perusahaan) baik kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari Dana
Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Alokasi Umum (DAU), serta yang
dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa. Kegiatan
dalam rencana pengelolaan dapat disesuaikan sesuai kebutuhan dan perubahan
yang terjadi di desa. Penyesuaian ini harus dilakukan secara terbuka dan atas
persetujuan masyarakat dan kelompok pengelola bersama-sama dengan
pemerintah desa.
6.2.3. Kepemimpinan Formal dalam Pengawasan Pembangunan Poskesdes
Sebagai kontrol terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan desa tidak
berjalan oleh masyarakat untuk menilai kegiatan dan hasil capaian dari setiap
kegiatan. Oleh sebab itu kelambagaan informal selaku jalur masyarakat untuk
berpartisipasi terhadap setiap kegiatan pembangunan di desa baik dalam
perencanaa, pelaksanaan maupun pengawasan. Dalam hal ini, pemerintah desa
lebih berfungsi untuk hal-hal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi
sedangkan lembaga adat lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang
berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual,
perkawinan, termasuk aktivitas pertanian. Pelaksanaan fungsi kedua
kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa lebih
dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga adat lebih
dominan merujuk pada hukum-hukum adat. Berkaitan dengan fungsi tersebut
kelembagaan informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi tidak mau
terlibat terlalu jauh dalam urusan formal mengingat pemerintah desa merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk melaksanakan pembangunan di
desa.
Tidaklah mengherankan bila kepemimpinan pemerintahan desa Nanga
Bayan mempunyai peranan yang begitu dominan di dalam pelaksanaan
pembangunan desa yang secara geografis letak desa Nanga Bayan berada di
94
perbatasan Indonesia dan Malaysia, terutama proses pengambilan keputusan
dalam pembangunan seperti mengeluarkan kebijakan pembangunan prasarana dan
sarana kesehatan dengan program pembangunan pos kesehatan desa yang
dilakukan untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Selain itu juga
kepemimpinan pemerintahan desa Nanga Bayan mempunyai peran sebagai
penanggung jawab terhadap pembangunan yang bersifat fisik seperti
pembangunan kesehatan, sedangkan yang bersifat non fisik kepemimpinan
pemerintahan desa berperan untuk membangun mental warganya yang dilakukan
dengan usaha-usaha yang betujuan untuk membuat agar warganya memiliki
mental yang baik.
Hasil pengamatan langsung di lapangan menunjukan bahwa peranan
pemimpin informal tidak sebesar pemimpin formal. Namun ia tetap dipandang
penting peranannya didalam menggerakan masyarakat, karena ia adalah patner
kepala desa. Hubungan antara pemimpin informal dengan kepala desa adalah
baik, hingga tidak ada pemimpin formal yang menarik diri dari perannya dalam
proses pengambilan keputusan terhadap perencanaan pembangunan desa,
terutama dalam pembangunan pos kesehatan desa.
Dalam pembangunan pos kesehatan desa kepala desa berperan dalam hal: a)
mengkomunikasikan; b) memotivasi; c) mengkoordinasi; dan d) pengambilan
keputusan terhadap pembangunan pos kesehatan desa, dan dibantu oleh aparat
desa, kepala dusun dan ketua RT. Peran kepala desa sangat menentukan arah
untuk kemajuan desa, karena maju mundurnya desa ada ditangan kepala desa.
Oleh sebab itu dalam pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes) kepala desa
berperan dalam :
a. Mengkomunikasikan
Di Desa Nanga Bayan, dimana kepala desanya selalu menyampaikan
informasi kegiatan-kegiatan pembangunan desa kepada warga desa, terutama
lewat musyawarah desa, pertemuan dusun dan pertemuan RT masing-masing.
Peran kepala desa tersebut seperti dalam kasus pembangunan pos kesehatan desa
yang merupakan bagian dari kegiatan pembangunan di desa yang ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat dalam hal kesehatan.
95
Kenyataan ini menunjukan bahwa peran kepala desa mengkomunikasikan
untuk memberikan informasi kepada masyarakat cukup berperan karena : 1)
kepala desa lebih mengutamakan kepentingan orang banyak, 2) kepala desa
dihormati oleh masyarakat desa. Hal ini seperti yang dituturkan oleh salah seorang
warga Desa Nanga Bayan Rd (masyarakat Desa Nanga Bayan, berusia 51 tahun).
”Seperti kita lihat selama ini dalam pelaksanaan setiap kegiatan yang masuk
ke desa, kepala desa sangat bertanggung jawab sekali dalam ikut serta sampai
pelaksanaan kegiatan tersebut selesai. Dan dia yang turun tangan sendiri
untuk memberitahukan/menginformasikan kepada warga desa tentang
pelaksanaan kegiatan, agar masyarakat mau ikut terlibat membantu dengan
sukarela tanpa adanya paksaan”.
Peran kepala desa terlihat juga pada saat hadir dalam pertemuan-
pertemuan baik di tingkat dusun maupun tingkat RT. Kepala desa
menyempatkan hadir untuk memberikan informasi mengenai pelaksanaan
yang akan dilaksanakan dalam pemerintahan desa. Penyampaian informasi
kegiatan-kegiatan yang akan dilakkan di desanya dilakukan pada saat
pertemuan desa, dusun dan pertemuan RT. Keaktifan kepala desa tersebut,
tidak hanya dilihat dari satu sisi, yaitu anggota masyarakat tetapi beberapa
pemimpin informal seperti lembaga adat, dan lembaga lainnya memberikan
informasi yang sama dengan mayoritas pendapat tersebut.
b. Memotivasi
Hasil penelitian di Desa Nanga Bayan bahwa kepala desa menggerakan atau
mendorong warganya untuk ikut dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan pos
kesehatan desa. Kerjasama terjalin dengan baik antara warga desa dengan kepala
desa, tujuannya supaya pelaksanaan kegiatan berjalan dengan baik seperti yang
diharapkan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Mrt (tokoh masyarakat kecil
berusia 40 tahun) bahwa :
”Di desa kami kepala desa selalu aktif di setiap kegiatan dan selalu mengajak
masyarakat desa supaya ikut terlibat dalam kegiatan pembangunan poskesdes
dan dia juga banyak menyumbangkan baik sumbangan berupa materi maupun
tenaga yang ia berikan untuk kemajuan desa”.
Selanjutnya penuturan Jpg (tokoh pemuda berusia 36 tahun) bahwa: ”Kepala desa kami sangat aktif di dalam setiap kegiatan apapun, seperti kasus
pembagunan poskesdes saat ini, dan kepala desa sendiri yang turun tangan
untuk mengajak warga desa agar bersama-sama ikut dalam kegiatan
pembangunan poskesdes”.
96
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa peran kepala desa
memotivasi masyarakat desa di dalam pembangunan pos kesehatan desa, dengan
jalan terlebih dahulu melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan supaya
pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa berjalan lancar. Warga desa diajak
oleh kepala desa agar ikut terlibat dalam kegiatan pembangunan pos kesehatan
desa melalui lembaga-lembaga yang ada di desa, yang dibantu oleh kepala dusun
dan ketua RT selaku perpanjangan tangan dari kepala desa.
c. Mengkoordinasi
Peran kepala desa dalam mengkoordinasi pada desa penelitian tidak berbeda
juga dimana pada kasus pembangunan pos kesehatan desa, kepala desa sangat
berperan mengkoordinasikan dalam kegiatan pembangunan poskesdes. Ini terlihat
pada pembangunan pos kesehatan desa yang secara aklamasi masyarakat
menyatakan bahwa masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan yang bermutu.
Hal ini seperti yang dituturkan oleh Kns (warga desa berusia 48 tahun) sebagai
berikut :
”Peran kepala desa selama ini dalam mengkoordinasikan kegiatan
pembangnan desa dilakukan atau dijalankannya dengan baik, tujuannya agar
kegiatan dapat berjalan dengan lancar. Dan juga kepala desa mengajak
masyarakat agar terlibat langsung pada kegiatan tersebut yang dilakukan
dengan kerjasama dan gotong royong”.
Kepala desa yang dibantu oleh aparat desa, kepala dusun dan ketua RT
untuk mengkoordinasi dalam pembangunan pos kesehatan desa untuk memenuhi
kebutuhan di desa dan pembangunan desa. Kepala desa selalu terlibat dan
langsung turun tangan sendiri dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.
d. Pengambilan Keputusan
Bila peranan pemimpin formal dan pemimpin informal sebagai pemimpin di
dalam proses pengambilan keputusan. Peranan kepemimpinan desa lebih
ditujukan kepada partisipasi masyarakat di dalam pengambilan keputusan, yaitu
kepada dukungannya terhadap kepemimpinan kepala desa, kesediaannya untuk
hadir dan mengeluarkan pendapat di dalam rapat-rapat desa. Ternyata bahwa
partisipasi masyarakat secara tidak langsung, yaitu kesediaannya untuk
mendukung keputusan desa cukup besar, tetapi partisipasi masyarakat secara
97
langsung, yaitu hadir dalam rapat-rapat desa dan mengeluarkan pendapat di dalam
rapat-rapat desa sangat kecil.
Pengambilan keputusan dapat dilihat sebagai salah satu fungsi seorang
pemimpin . Dalam perencanaan kegiatan untuk menerjemahkan berbagi keputusan
berbagai alternatif dapat dilakukan dan untuk itu pemilihan harus dilakukan.
Pengambilan keputusan merupakan persoalan yang berat karena sering
menyangkut kepentingan banyak orang. Tidak ada sesuatu yang pasti dalam
pengambilan keputusan. Pemimpin harus memilih diantara alternatif yang ada dan
kemungkianan implikasi atau akibat suatu pengambilan keputusan tertentu.
6.3. Kepemimpinan Informal
Peran tokoh adat sangat kuat dan mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap masyarakat yang ia pimpin bahkan dalam hal-hal tertentu kedudukan
seorang tokoh adat “Temenggung” lebih kuat dari seorang kepala desa atau camat
sekalipun. Hal ini terlihat di saat perencanaan pembangunan di desa, masyarakat
lebih menghormati dan mempercayai kepemimpinan adat dalam setiap urusan
sosial kemasyarakatan. Apabila pemimpin adat setuju dengan perencanaan
kegiatan pembangunan di desa, maka masyarakat ikut setuju. Oleh sebab itu
dalam menggerakan partisipasi masyarakat peran pemimpin adat lebih dominan.
Dengan demikian seorang temenggung mempunyai peranan yang sangat
menentukan baik dalam urusan upacara keagamaan, adat istiadat ataupun proses
pengambilan keputusan apabila ada perselisihan antara warga serta keputusan
menyangkut hal-hal baru kedalam sistem sosial yang dipimpinnya. Suatu cara
baru yang tidak pernah dilakukan oleh nenek moyang mereka, tidak mau mereka
lakukan dan apabila ia terima, dianggap itu suatu hal yang tabu (mali) yang
menurut kepercayaan mereka akan mendapat kutukan dari leluhurnya. Oleh sebab
itu masyarakat sangat mematuhi aturan dan keputusan yang di ambil oleh adat.
Dibandingkan dengan sistem pemerintahan desa yang berlaku sekarang ini,
sistem kepala adat lebih demokratis dari segi proses pengambilan keputusan untuk
kepentingan bersama. Namun, dari segi proses pengangkatan pemimpin di desa
dapat dikatakan pemilihan kepala desa yang berdasarkan pada pemilihan langsung
lebih demokratis, karena dari jabatan kepala adat (Temenggung) sifatnya turun
98
temurun. Dalam pembangunan pos kesehatan desa, temenggung selaku
kepemimpinan kelembagaan informal juga mempunyai peran dalam perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan.
6.3.1. Kepemimpinan Informal dalam Perencanaan Pembangunan Poskesdes
Dalam perencanaan pembangunan pos kesehatan desa, keberadaan
kepemimpinan informal yang terdiri dari elemen masyarakat sebagai peserta
musyawarah dalam merencanakan penentuan lokasi tempat dibangunya pos
kesehatan desa. Keberadaan kepemimpinan informal di tengah-tengah kehidupan
masyarakat desa Nanga Bayan tidak saja memberikan manfaat di bidang
keagamaan dan tradisi belaka. Tetapi lebih dari itu dalam perencanaan penentuan
lokasi pembangunan pos kesehatan desa, kepemimpinan dalam hal ini yang lebih
kepemimpinan adat berperan sebagai penengah terhadap apabila ada ketegangan
masing-masing dusun yang berusaha mempertahankan dan menganggap bahwa
usulannya tentang lokasi pembangunan pos kesehatan desa yang perlu
diprioritaskan karena menyangkut kepentingan warga dusun. Namun keputusan
akhir tetap ada pada pemerintahan desa karena menyangkut tanggung jawab
terhadap laporan keberhasilan pembangunan yang ada di desa tersebut.
6.3.2. Kepemimpinan Informal dalam Pelaksanaan Pembangunan Poskesdes
Dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa, kepemimpinan
formal menggerakan masyarakat untuk berpartisipasi melalui kelembagaan
informal pada lokasi yang telah disepakati untuk pembangunan pos kesehatan
desa. Karena kelembagaan informal adalah mitra kerja pemerintah desa yang
merupakan pusat komunikasi dan informasi bagi masyarakat desa setempat dalam
segala hal. Lewat lembaga ini mereka dapat memperoleh berbagai informasi dan
pula dapat menyampaikan informasi.
Dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa ini, kepemimpinan
informal mendukung setiap langkah yang diambil oleh pemerintahan desa
mengingat pembangunan adalah untuk kepentingan masyarakat, walaupun
pelaksanaan pembangunannya dilakukan oleh instansi terkait selaku pengguna
anggaran yaitu Dinas Kesehatan, yang didalam pelaksanaannya harus melalui
99
proses administrasi dan sesuai dengan aturan tentang pengadaan barang/jasa milik
pemerintah yaitu kepres 80 tahun 2003 tentang tata cara pelaksanaan pengadaan
barang/jasa milik pemerintah.
6.3.3. Kepemimpinan Informal dalam Pengawasan Pembangunan Poskesdes
Kelambagaan informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi terhadap
setiap kegiatan pembangunan di desa baik dalam perencanaa, pelaksanaan
maupun pengawasan. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi dalam hal-
hal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat
lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan
kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan,
termasuk aktivitas pertanian. Pelaksanaan fungsi kedua kepemimpinan ini
memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa lebih dominan
berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga adat lebih dominan
merujuk pada hukum-hukum adat. Berkaitan dengan fungsi tersebut kelembagaan
informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi sangat mendukung karena
pemerintah desa merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk
melaksanakan pembangunan di desa.
Namun demikian, bukan berarti kepemimpinan informal lepas tangan
terhadap pembangunan di desa, lebih dari itu kepemimpinan informal sangat
mendukung karena menyangkut kesejahteraan masyarakat. Karena apabila
masyarakat merasa terpenuhi segala kebutuhannya di desa tersebut, maka
masyarakat tidak akan meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan guna
mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi.
Ada beberapa aspek yang mempengaruhi ketaatan masyarakat terhadap
legitimasi kekuasaan lembaga adat antara lain :
a. Aspek politik
Secara perlahan-lahan kebiasaan sistem adat diakui kembali seperti semula.
Beberapa Temenggung mulai dipilih secara demokratis namun kebanyakan posisi
Temenggung yang berlaku secara turun-temurun nampaknya lebih disukai.
Dengan perkataan lain, posisi Raja yang turun-temurun lebih memberikan
legitimasi dari pada pemilihan Raja secara demokratis.
100
Posisi Temenggung benar-benar ditakuti dan dihormati. Karena masyarakat
meyakini bahwa kekuasaan Temenggung mewakili seluruh kekuasaan para
leluhur, dengan demikian dalam kasus tertentu bila ada indivudu dalam
masyarakat yang ingin merebut kekuasaan Temenggung yang bukan berasal dari
keturunan Temenggung, maka diyakini akan mendatangkan kemalangan keluarga
tersebut dan akan menimpa masyarakat.
Namun demikian bukan berarti posisi kekuasaan Temenggung berlaku
otoriter dan sewenang-wenang. Temenggung adalah gelar adat yang diberi
legitimasi oleh masyarakat untuk memelihara dan menyelenggarakan keamanan
dan kesejahteraan masyarakat adat, ini berarti lembaga adat bertugas mengawasi
dan menjamin pelaksanaan adat, karena hanya dengan cara demikian – menurut
keyakinan, kemurahan dan bantuan arwah para leluhur dapat dipikat dan
kesejahteraan masyarakat dapat terjamin. Temenggung dianggap sebagai wakil
hidup dari para leluhur, karenanya pemenuhan adat harus diawasi.
b. Aspek Hukum
Dalam konteks penyelesaian sengketa menurut mekanisme informal,
keberadaan institusi lokal dapat menjadi salah satu pintu yang dapat membantu
masyarakat untuk mengakses keadilan. Secara umum, penyelesaian sengketa di
tingkat komunitas di Sintang, kuhususnya di Desa Nanga Bayan terkonsentrasi
pada posisi Temenggung. Lazimnya, Temenggung yang menjadi penyelesai
utama sengketa di tingkat komunitas. Memang benar, selain Temenggung,
terdapat pula Panglima Adat, Imam dan Pendeta sebagai pemimpin agama serta
Ketua Adat yang dalam kesehariannya ikut membantu menyelesaikan persoalan
yang terjadi di komunitas. Namun apabila kasus tak dapat diselesaikan maka
Temenggung-lah yang akan mengambil keputusan.
Penerimaan keputusan Temenggung dan hukum adat didasarkan pada
penghormatan masyarakat terhadap mereka, keberadaan Temenggung bahkan
dihubungkan dengan sesuatu yang mistik atau kekuatan supranatural. Pada saat
yang bersamaan, Temenggung berperan menjadi pendamai pihak yang
bersengketa. Dasar pengambilan keputusan terhadap kasus yang ditangani
Temenggung dan perangkatnya tidak mengacu kepada suatu sumber tertulis.
Temenggung hanya mengklaim bahwa dirinya menerapkan hukum adat. Denda
101
adalah sanksi yang sangat banyak dijatuhkan dalam keputusan akhir penyelesaian
sengketa. Denda biasanya cukup beragam, dimana adatnya masih kuat dianut,
denda dapat berupa Tempayan besar dan peralatan serta benda-benda yang
berhubungan dengan adat misalnya kain tenun, binatang piaraan (babi), mandau
(parang) dan tawa’ (gong).
Masyarakat pada umumnya mempercayai dan mematuhi hasil putusan
penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh perangkat adat/Suku. Sehingga apabila
kepala suku, perangkat Adat/Desa dan pemimpin agama memberikan putusan atas
kasus yang dialami, masyarakat pada umumnya mematuhi putusan tersebut.
Mekanisme adat sampai saat ini merupakan pilihan utama dalam penyelesaian
kasus yang terjadi di tingkat masyarakat.
c. Aspek sosial
Aspek sosial yang sangat kuat di Desa Nanga Bayan adalah Suku. Suku ini
merupakan lembaga tradisional yang mengharuskan adanya kontak sosial secara
teratur antara dua kelompok masyarakat. Misalnya ketika kelompok muslim
membantu kelompok kristen anggota suku, atau sebaliknnya. Bantuan ini
merupakan pernyataan komitmen tidak hanya kepada sekutu utama seseorang
tetapi juga untuk kepentingan persaudaraan masyarakat secara keseluruhan.
6.4. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan di Desa Nanga Bayan
Kebijakan program pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes),
menitikberatkan pada aspek partisipasi masyarakat, respon terhadap program
pembangunan dan aspek keberlanjutan program bagi masyarakat desa ditengah
keberagaman kemampuan dan kepentingan masyarakat yang hidup dalam
lingkungan yang sangat terbatas akan mewujudkan pengembangan program
pembangunan yang tidak melahirkan kelompok terpinggirkan baru, maka dalam
upaya menyukseskan pelaksanaan pembangunan diperlukan adanya partisipasi
aktif dari masyarakat. Selain itu dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan
desa (poskesdes) diharapkan partisipasi aktif masyarakat untuk mengidentifikasi
berbagai masalah pembangunan desa yang dihadapi dengan alternatif
pemecahannya yang secara utuh dilaksanakan oleh masyarakat.
102
Salah satu partisipasi masyarakat dalam pembangunan Pos kesehatan desa
Nanga Bayan di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia adalah keberadaan
kelembagaan Kemasyarakatan, salah satu contoh adalah lembaga adat.
Keberadaan Lembaga Adat di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa Nanga
Bayan tidak saja memberikan manfaat di bidang adat dan tradisi belaka. Lebih
dari itu, kehadiran Lembaga Adat sebagai institusi yang bersifat grassroot (akar
rumput) sangat efektif juga untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan desa. Seperti yang
dituturkan oleh Jg (tokoh pemuda berusia 41 tahun) bahwa:
”Lembaga Adat adalah merupakan pusat komunikasi dan informasi bagi
masyarakat desa setempat dalam segala hal. Lewat Lembaga ini kami dapat
memperoleh berbagai informasi dan pula dapat menyampaikan informasi.
Keunggulan yang bisa menjadikan Lembaga Adat sebagai pusat komunikasi
dan informasi adalah tersedianya forum komunikasi bagi warga yang
dilaksanakan setiap hari sabtu malam minggu”.
Didalam sebuah kelembagaan atau organisasi para individu juga
dimungkinkan untuk bekerjasama satu dengan yang lain dalam rangka pemenuhan
kebutuhan, kerjasama itu sendiri juga didasarkan atas faktor saling suka satu sama
lain serta bersedia untuk bekerjasama. Alasan lain individu berpartisipasi dalam
lembaga-lembaga lokal adalah adanya kebanggaan dari seseorang untuk menjadi
bagian dari suatu lembaga serta juga harapan bahwa keterlibatannnya melalui
lembaga akan memberikan kemudahan baginya untuk mencapai tujuan
pribadinya.
Dalam hal ini kedudukan kepala desa dalam pemerintahan desa adalah
sebagai opinion leaders yang merupakan unsur pokok yang berperan sebagai
saluran komunikasi dalam pembangunan desa. Lewat opinion leaders inilah pesan
dari tingkat atas diterjemahkan untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat
bawah, apakah itu berupa inovasi-inovasi ataupun pesan-pesan pembangunan.
Sebaliknya, masyarakat bawah pun akan menyampaikan informasi mengenai
masalah-masalah yang berhubungan dengan kebutuhan hidup masyarakat lewat
komunikasi antar pribadi yang biasa terjalin antar sesama warga. Dalam hal
pemerintah desa merupakan titik sentral dalam mengembangkan komunikasi dua
arah, dengan kata lain pemerintah desa adalah sebagai lembaga yang diandalkan
untuk proses penyampaian informasi atau sebagai penerima informasi.
103
Lebih lanjut Hubungan antara lembaga tradisional, partisipasi, dan
pembangunan desa dengan jelas dapat kita lihat dari catatan Darling (1977) bahwa
Faktor penduduk asli adalah penentu utama pembangunan. Apa yang
dikemukakan Steive (1977) dalam pelaksanaan program Minimum Package
Project (MPP) oleh Bank Dunia, USAID dan SIDA di Ethiopia yang lebih
memilih menciptakan organisasi baru dari pada memanfaatkan organisasi
tradisional yang ada yang akhirnya mengalami kegagalan adalah merupakan
contoh betapa sangat pentingnya kedudukan organisasi asli dalam keberhasilan
pembangunan itu sendiri.
Dari penemuan di lokasi penelitian, bahwa partisipasi masyarakat adalah
dilakukan lewat jalur kelembagaan bukan secara pribadi. Lembaga
kemasyarakatan, adalah sarana bagi mereka untuk melakukan partisipasi dalam
setiap pembangunan. Walaupun didapati bahwa lembaga kemasyarakatan ini
merupakan lembaga tradisional dan non formal tapi tidak menutup kemungkinan
masyarakat untuk berpartisipasi. Karena pada dasarnya partisipasi masyarakat
juga dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya yang ada.
Pada umumnya warga masyarakat setempat berpartisipasi dalam
pembangunan sangat variatif. Dari data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti
dilapangan menunjukkan, bahwa bentuk partisipasi masyarakat dalam
pembangunan desa di wujudkan melalui berbagai bentuk yang meliputi:
sumbangan tenaga, sumbangan material yang meliputi bahan bangunan dan uang
serta sumbangan ide.
Partisipasi dalam bentuk tenaga dalam hal ini diwujudkan lewat keikut
sertaan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan. Mereka menyumbangkan tenaga untuk pembangunan seperti ikut
serta membuat jalan, membuat jembatan, membangun rumah dan yang lainnya
secara ikhlas tanpa upah. Bahkan tak jarang demi keikut sertaannya mereka rela
untuk tidak pergi kesawah. Bentuk partisipasi semacam ini adalah merupakan
bentuk partisipasi yang paling tinggi. Kontribusi mereka lewat sumbangan tenaga
dalam hal ini juga bisa dikatakan sebagai aspek dominan dalam keberhasilan
pembangunan. Umumnya mereka semuanya ikut terlibat dalam pelaksanaan
pembangunan tanpa kecuali. Secara teknis sumbangan tenaga demikian ini
104
biasanya dilakukan secara gradual ataupun terjadwal sehingga tidak ada satupun
anggota masyarakat yang tertinggal dalam menyumbangkan tenaganya. Andaikata
ada udzur ataupun tidak bisa menyumbangkan tenaganya, biasanya masyarakat
memberikan ganti rugi yang berwujud pemberian makan ataupun uang sesuai
dengan kesepakatan yang ada.
Dari sisi partisipasi yang lain, adalah partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dengan bentuk uang ataupun material (bahan bangunan).
Sedangkan untuk partisipasi dalam wujud bahan material, adalah dilakukan oleh
orang-orang yang notabene-nya adalah yang berkemampuan cukup dalam segi
finansial. Seperti perangkat desa ataupun orang-orang yang dipandang kaya dalam
masyarakat desa setempat. Mereka umumnya dimintai atau dengan suka rela
menyumbangkan material bahan bangunan.
Bentuk partisipasi yang terakhir adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk
ide. Yang dimaksud dengan partisipasi dalam bentuk ide ini adalah sumbangan-
sumbangan masyarakat dalam pembangunan yang berupa usul-usul, ide-ide
ataupun pemikiran yang disampaikan. Model dari pembangunan yang dilakukan
oleh lembaga adat adalah didasarkan pada usulan-usulan anggota. Apa yang
menjadi keinginan dan kebutuhan yang dirasa para anggota ataupun masyarakat
itulah yang kemudian dimusyawarahkan dalam pertemuan desa.
Dengan demikian dapat disimpulkan mengenai bentuk dan jenis partisipasi
tersebut, maka secara umum partisipasi dapat di kategorikan dua bentuk yaitu: 1)
partisipasi dalam bentuk fisik seperti tenaga, barang dan uang, 2) partisipasi dalam
bentuk non-fisik seperti sumbangan pemikiran atau ide dan dukungan.
Terdapat dua alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat
yang sangat penting; pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna
memperoleh suatu informasi mengenai kondisi kebutuhan dan sifat masyarakat
yang tanpa kehadirannya, program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
Kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai kegiatan atau program
pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya,
karena akan lebih mengetahui seluk beluk kegiatan tersebut.
Dilihat dari kualitas perencanaan yang dibuat oleh Pemerintahan Desa
Nanga Bayan dimana rencana kegiatan yang dibuat sudah sesuai dengan tujuan
105
yang direncanakan semula yaitu kegiatan pembangunan Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) yang tujuannya untuk mensejahteraan masyarakat itu sendiri. Namun,
bila dilihat dari sumbangan yang diberikan ternyata masyarakat desa Nanga
Bayan bersedia menyediakan tenaga (tanpa upah) untuk pelaksanaan kegiatan
pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes. Hal ini menunjukkan bahwa
partisipasi masyarakat desa Nanga Bayan sudah tinggi dalam membangun
desanya dari perencanaan dan pelaksanaan.
6.4.1. Tahap Perencanaan
Hasil penelitian menunjukan bahwa partisipasi masyarakat Desa Nanga
Bayan sangat baik. Hal tersebut terlihat dari kegiatan dalam pertemuan yang
diadakan oleh kelembagaan pemerintahan desa terlihat bahwa kehadiran
masyarakat desa Nanga Bayan lebih banyak. Hal ini menunjukan bahwa
masyarakat memang berkeinginan untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan
Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang akan dilaksanakan dan ini dapat dijadikan
bukti bahwa partisipasi masyarakat desa Nanga Bayan menunjukan bahwa
masyarakat menginginkan pembangunan. Kegiatan yang dilaksanakan ini adalah
sosialisasi program-program pembangunan desa. Dalam hal ini masyarakat
terlibat dalam forum musyawarah mulai dari musyawarah tingkat dusun sampai
kepada musyawarah tingkat desa. Partisipasi masyarakat dalam tahap perencanaan
ini dilakukan dengan menyampaikan usulan-usulan tentang berbagai jenis
program pembangunan yang telah direncanakan oleh pemerintah desa pada saat
sosialisasi di tingkat kecamatan.
Keadaan ini juga didukung oleh respon-respon atau keaktifan masyarakat
untuk mengemukakan pendapat dalam pertemuan yang ada. Dari respon-respon
yang diberikan terhadap permasalahan yang dikemukakan terlihat bahwa pada
tahap merumuskan perencanaan program, respon yang diberikan oleh masyarakat
desa sangat baik dan bersemangat, yaitu masyarakat desa sangat antusias untuk
memberikan masukan. Dilihat dari ide-ide yang dikemukan oleh masyarakat,
nampak bahwa masyarakat betul-betul menginginkan pembangunan.
Untuk memulai rencana program pembangunan desa diperlukan kelompok
inti yang merupakan perwakilan masyarakat yang akan merumuskan rencana
106
pembangunan tersebut. Sebelum kelompok inti ini bekerja mereka dibekali
terlebih dahulu dengan pelatihan penyusunan rencana pengelolaan dan mencoba
membuat draft rencana program pembangunan yang akan menjadi pemicu dan
dasar diskusi konsultasi dengan masyarakat dan pemerintah desa. Hasil dari draft
rencana program ini kemudian disosialisasikan kepada masyarakat lewat
pertemuan dan konsultasi baik secara formal dan informal untuk mendapatkan
masukan, tambahan dan koreksi dari masyarakat, pemerintah desa dan stakeholder
yang ada di desa.
6.4.2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan, partisipasi masyarakat dalam tahap ini dapat kita
lihat dari swadaya yang di sumbangkan oleh masyarakat dalam pelaksanaan
program ini. Dengan demikian masyarakat Desa Nanga Bayan dapat
memanfaatkan hasil program dengan sebaik-baiknya agar dapat keluar dari
lingkaran kesehatan (maksudnya pelayanan tenaga kesehatan yang tidak maksimal
yang hanya dilakukan oleh seorang bidan dengan jumlah warga mencapai 1.525
orang dan dengan kondisi geografis yang sulit ditempuh) sehingga program
tersebut benar-benar sesuai dari tujuan awal yaitu menjadikan masyarakat yang
sehat.
Dalam tahap pelaksanaan, ternyata masyarakat desa Nanga Bayan masih
tetap antusias mengemukakan pendapat dan pertanyaan sebagai respon terhadap
permasalahan yang disampaikan. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat desa
Nanga Bayan masih ingin tetap terlibat dalam pelaksanaan kegiatan yang
direncanakan karena masyarakat sangat membutuhkan pembangunan pos
kesehatan desa.
Umumnya para masyarakat setempat berpartisipasi dalam pembangunan
sangat variatif. Dari data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti dilapangan
menunjukkan, bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan pos kesehatan
desa di wujudkan melalui berbagai bentuk yang meliputi: sumbangan tenaga,
sumbangan material yang meliputi bahan bangunan, uang serta sumbangan ide.
Partisipasi dalam bentuk tenaga dalam hal ini diwujudkan lewat keikut
sertaan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan seperti
107
pembangunan Pos kesehatan desa (poskesdes) yang sedang dilaksanakan saat ini.
Dalam hal kegiatan pembangunan lainnya, mereka menyumbangkan tenaga untuk
pembangunan seperti ikut serta membuat jalan, membuat jembatan, membangun
rumah dan yang lainnya secara ikhlas tanpa upah. Dalam pelaksanaan kegiatan
masyarakat lebih cenderung gotong royong tetapi sebatas apabila ada kegiatan
saja. Artinya, pemerintah desa baru menggerakan warga untuk berpartisipasi
apabila setiap ada kegiatan kepemimpinan desa baru memberi pengumuman
kepada warga bahwa besok misalnya ada kegiatan gotong royong di balai desa.
Oleh karena itu partisipasi masyarakat desa Nanga Bayan dalam pembangunan
pos kesehatan desa hanyalah partisipasi dalam bentuk fisik yakni gotong royong
yang memang sudah menjadi tradisi di desa.
6.4.3. Tahap Pengawasan
Monitoring dari pelaksanaan rencana pengelolaan ini dilakukan oleh
masyarakat dan pemerintah desa untuk menilai kegiatan dan hasil capaian dari
kegiatan pembangunan pos kesehatan desa. Proses dan pelaksanaan monitoring ini
telah diintegrasikan dalam rencana pembangunan desa.
Ada dua hal penting dalam akses keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan
keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik
tekannya. Inclusion menyangkut siapa yang terlibat, sedangkan involvement
berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat.
Dari data yang dikumpulkan oleh peneliti dilapangan menunjukkan, bahwa :
a. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan kegiatan pembangunan pos
kesehatan desa berjalan dengan baik. Terutama dari kegiatan dalam pertemuan
yang diadakan oleh pemerintahan desa terlihat bahwa kehadiran masyarakat
desa Nanga Bayan lebih banyak. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat
memang berkeinginan untuk terlibat dalam kegiatan perencanaan
pembangunan pos kesehatan desa karena masyarakat sangat membutuhkan
pembangunan di desa. Keterlibatan masyarakat melalui kelembagaan informal
di dalam tahap perencanaan ini dilakukan dengan menyampaikan usulan-
usulan tentang sosialisasi program pembangunan desa yang telah
disosialisasikan kepala desa pada forum antar desa I.
108
b. Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan pos kesehatan desa, partisipasi
masyarakat hanyalah partisipasi dalam bentuk fisik yakni gotong royong yang
memang sudah menjadi tradisi di desa. Apalagi dengan kasus pembangunan
pos kesehatan desa ini yang dilaksanakan oleh pihak swasta. Oleh karena itu
keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan pos
kesehatan desa lebih banyak di dorong oleh motif bahwa masyarakat
membutuhkan pembangunan karena hal ini menyangkut kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian program ini belum menjadi sebuah proses
untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan pemerintah desa dan
partisipasi masyarakat dalam mensejahteraan masyarakat. Artinya program
pembangunan ini hanya bersifat fisik dan belum ada sumberdaya manusia
yang menempatinya karena masih menunggu keputusan pemerintah diatasnya.
c. Partisipasi masyarakat dalam tahap pengawasan program pembangunan pos
kesehatan desa ini dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah desa untuk
menilai kegiatan dan hasil capaian dari kegiatan pembangunan pos kesehatan
desa. Proses dan pelaksanaan monitoring ini telah diintegrasikan dalam
rencana pembangunan desa sehingga apabila pemerintah desa maupun
masyarakat tidak puas dengan hasilnya, maka masyarakat dapat menghentikan
pembangunan saat itu juga karena masyarakat merupakan alat kontorl untuk
setiap pembangunan. Namun hal ini hanya dilakukan oleh kepala desa sampai
kegiatan selesai, dan kemudian dengan kekuasaan yang dimilikinya setelah
kegiatan selesai, kepala desa mengeluarkan surat keterangan menyatakan
bahwa pekerjaan sudah selesai dilaksanakan.
6.5. Analisis interaksi Kepemimpinan dengan Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan Pos Kesehatan Desa
Jika dilihat dari interaksi kepemimpinan dengan partisipasi masyarakat di
desa Nanga Bayan yang ada, menggambarkan kondisi yang menganut nilai-nilai
kekerabatan yang sangat kuat. Nilai-nilai kekerabatan tersebut dapat dilihat dari
aktivitas budaya seperti pernikahan dan acara adat di desa Nanga Bayan yang
mana partisipasi masyarakat cukup baik dalam membantu proses kegiatan
tersebut. Perbedaan suku yang ada di desa Nanga Bayan tidak serta merta menjadi
masalah antar masyarakat yang tergambar dari interaksi sosial di lingkungan
109
masyarakat, penguatan nilai-nilai kekerabatan tersebut terbentuk melalui
hubungaan antar kelompok sosial di masyarakat yang bertujuan dalam hal
pembangunan desa. Kelompok sosial tersebut merupakan lembaga informal yang
dapat mempererat kekerabatan dan solidaritas antar masayarakat.
Dalam pelaksanaan program pembangunan desa yang dimaksudkan untuk
memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup serta kondisi sosial masyarakat desa
yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat Indonesia, melibatkan
pemerintah dan warga desa. Dalam prakteknya, peran dan prakarsa pemerintah
masih dominan dalam perencanaan dan pelaksanaan maupun untuk meningkatkan
kesadaran dan kemampuan teknis warga desa dalam pembangunan pos kesehatan
desa.
Dalam perkembangannya mereka juga berinteraksi dengan warga negara
Malaysia yang secara geografis lebih dekat jaraknya dibandingkan dengan pusat
pemerintahan kecamatan. Hubungan itu lambat laun berjalan timpang sehingga
menimbulkan ketergantungan. Pasalnya, kini sebagian besar masyarakat di desa
Nanga Bayan yang mampu lebih memilih mendapatkan pelayanan di negara
tetangga itu melalui pos pelintas batas tradisional. Jauhnya jarak dari pusat
kesehatan yang memadai untuk mendapatkan rujukan seperti ke puskesmas dan
rumah sakit di kawasan Indonesia dan minimnya fasilitas yang ada di desa
tersebut menyebabkan tersendatnya pelayanan kesehatan di desa Nanga Bayan.
Kalaupun tersedia, harganya sangat mahal sehingga tidak ada pilihan kecuali
menyeberang ke Malaysia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Berbagai persoalan dalam pembangunan fisik pos kesehatan desa
(poskesdes) persepsi masyarakat tersebut di atas, seperti derajat kesehatan yang
rendah, kondisi kehidupan masyarakat khususnya anak-anak yang mengalami
kekurangan gizi dan lingkungan pemukiman yang kurang sehat, serta
keterisolasian telah menyebabkan orientasi kesehatan yang cenderung ke negara
tetangga terjadi di Kawasan Perbatasan Kabupaten Sintang dan Serawak. Secara
langsung maupun tidak langsung masyarakat di desa Nanga Bayan tersebut
terpengaruh pada kehidupan di Negara Malaysia. Misalnya masyarakat lebih
sering menggunakan obat-obatan dari Malaysia, mereka umumnya lebih
mengetahui dan mengenal obat-obatan di negara tetangga Malaysia dibandingkan
110
negara sendiri, ataupun cenderung lebih sering menggunakan pelayanan
kesehatan di negara tetangga dari pada di negara sendiri.
Kesadaran dan partisipasi warga desa menjadi kunci keberhasilan
pembangunan pos kesehatan desa. Sedangkan untuk menumbuhkan kesadaran
warga desa akan pentingnya usaha-usaha pembangunan sebagai sarana untuk
memperbaiki kondisi sosial dan dalam meningkatkan partisipasi warga desa
dalam pembangunan banyak tergantung pada kemampuan kepemimpinan desa
khususnya kepemimpinan pemerintah desa. Sebab pada tingkat pemerintahan
yang paling bawah, Kepala Desa sebagai pimpinan pemerintah desa atau aktor
dalam menjalankan kepemimpinan pemerintah desa, menjadi ujung tombak
pelaksanaan dan terlaksananya pembangunan desa maupun dalam menumbuhkan
kesadaran warga desa untuk berperan serta dalam pembangunan desa.
Untuk mencapai kepemimpinan pemerintah desa yang ideal dalam
menggerakkan dan meningkatkan partisipasi warga desa dalam melaksanakan
pembangunan, paling sedikit ada tiga aspek pokok yang penting diperhatikan.
Pertama, intensitas dan kualitas aspek fungsional kepemimpinan, yaitu
memberi dorongan, pengarahan, bimbingan, interaksi komunikasi dan pelibatan
warga dalam pembuatan keputusan. Kedua, perilaku kepemimpinan yang
digunakan dalam menjalankan aktivitas dan peranan kepemimpinan. Ketiga, agar
dalam menjalankan aktivitas fungsi dan peranan kepemimpinan yang ideal untuk
mempengaruhi atau meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan desa, maka perlu diperhatikan aspek nilai sosial dan budaya,
khususnya tuntutan nilai-nilai budaya tradisional tentang pola perilaku interaksi
hubungan kemasyarakatan dalam sistem hubungan kekerabatan di mana
kepemimpinan itu berlangsung yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi perilaku interaksi kepemimpinan desa dan warga desa.
Diduga adanya hubungan antara kepemimpinan dengan partisipasi
masyarakat desa dalam pembangunan pos kesehatan desa yang dilandasi oleh
aspek sosial budaya/nilai budaya, yaitu:
Pertama, terdapat hubungan antara kepemimpinan dengan partisipasi warga
desa. Interaksi yang dilakukan kepala desa dengan memberi kesempatan yang luas
kepada warga desa untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam
111
pembangunan pos kesehatan desa. Dengan kata lain, kepemimpinan yang bagus
dilandasi juga dengan partisipasi yang baik.
Kedua, nilai-nilai budaya tradisional tentang perilaku interaksi dalam
hubungan kekerabatan mempengaruhi hubungan antara kepemimpinan
pemerintah desa dengan partisipasi warga desa. Di sini, jika posisi
kedudukan/otoritas kepemimpinan pemerintah desa dilegitimasi nilai-nilai
tradisional dan kepemimpinan menempatkan posisi perilakunya dalam hubungan
sistem kekerabatan dalam berinteraksi dengan masyarakat desa, maka
kepemimpinan relatif ideal dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam
pembangunan pos kesehatan desa (lihat gambar : 6).
Gambar : 6
Pola interaksi kepemimpinan dan partisipasi masyarakat
Uraian di atas dapat menjadi sebuah gambaran bahwa kondisi interaksi
antara kepemimpinan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pos
kesehatan desa. Lemabaga formal dan informal merupakan kondisi yang saling
bekerjasama dalam pembangunan pos kesehatan desa, dimana melalui pendekatan
partisipasi masyarakat yang dikembangkan, agar dapat menyusun program
pembangunan desa yang sesuai dengan kondisi masyarakat dalam mewujudkan
pembangunan kesejahteraan melalui program pembanguan pos kesehatan desa.
Dari gambar diatas menunjukkan bahwa hubungan antara kepemimpinan
formal dan informal berjalan dengan baik dalam melaksanakan pembangunan
desa dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Dalam konteks pembangunan,
Masyarakat Lembaga
Formal
Lembaga
Informal
Poskesdes
112
kepemimpinan formal lebih mendominasi dalam menggerakan masyarakat.
Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-hal yang berkenaan
dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat lebih cenderung
difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan kehidupan sosial di
desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan, termasuk aktivitas
pertanian. Pelaksanaan fungsi kedua kepemimpinan ini memiliki landasan yang
berbeda dimana pemerintah desa lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan
formal sedangkan lembaga adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat.
6.5.1. Analisis Perencanaan Pembangunan Poskesdes
Kepemimpinan pemerintah desa dengan partisipasi masyarakat desa dalam
perencanaan pembangunan pos kesehatan desa memiliki keterkaitan yang erat.
Partisipasi warga desa dalam perencanaan pembangunan pos kesehatan desa
ternyata disebabkan oleh intensifnya kepala desa memberikan dorongan,
pengarahan, dan diberikannya kesempatan kepada warga desa untuk ikutserta
dalam pembuatan keputusan desa yang berhubungan dengan perencanaan
pembangunan pos kesehatan desa.
Keberhasilan kepala desa menggerakkan partisipasi warga desa dalam
perencanaan pembangunan desa tidak terlepas dari dukungan atau legalitas dan
ligitimasi dari pernimpin informal desa khususnya pemimpin informal tradisional.
Pemerintah desa memperoleh legitimasi secara formal melalui surat pengangkatan
dari Bupati sedangkan lembaga adat memperoleh legitimasi secara informal dari
masyarakat. Meskipun pemerintah desa juga memperoleh legitimasi dari
masyarakat melalui pemilihan langsung, namun kedua komponen ini tidak saling
berebut pengaruh melainkan yang terjadi adalah pembagian fungsi pelayanan
terhadap masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-hal
yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat
lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan
kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan,
termasuk aktivitas pertanian.
Dalam perencanaan program pembangunan pos kesehatan desa, pemahaman
pemerintah sebagai pelayan masyarakat merupakan fundamen pengembangan
113
partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi. Karena menempatkan pemerintah
sebagai pelayan masyarakat maka masukan, pandangan dan pendapat masyarakat
haruslah diposisikan sebagai masukan yang bernilai untuk mewujudkan keputusan
yang responsif. Dengan konsep kemitraan, partisipasi masyarakat didayagunakan
sebagai instrumen penting untuk mendapatkan masukan berupa informasi dari
kelompok masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Sebenarnya proses pembuatan kebijakan perencanaan program
pembangunan bersifat elitis, artinya pemerintahlah yang menjadi penentu
kebijakan pembangunan, sedangkan masyarakat berperan memberikan masukan
kepada pemerintah tentang apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Apabila hal ini
diterapkan dalam upaya implementasi partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan, maka yang diperlukan adalah keterbukaan pemerintah untuk
menjadikan masukan masyarakat sebagai dasar dalam menyusun perencanaan
pembangunan desa.
Selama ini permasalahan yang ditemukan adalah bukan karena kualitas dan
kuantitas partisipasi masyarakat rendah tetapi justru terletak pada praktek-praktek
pemerintah yang mengabaikan usulan masyarakat. Padahal partisipasi masyarakat
merupakan syarat mutlak dan sangat penting untuk mencapai keberhasilan
program. Masyarakat harus ikut serta didalam proses penyusunan perencanaan
program hingga mengevaluasi keberhasilannya sehingga masyarakat tidak hanya
dijadikan objek tetapi diikut sertakan sebagai subjek (pelaku).
Keterlibatan masyarakat desa dalam proses perencanaan itu selesai di tingkat
kecamatan, sehingga implementasi perencanaan tersebut dikritisi mengandung
banyak kelemahan. Misalnya, partisipasi masyarakat selaku penerima manfaat
sangat lemah, hasil berbagai forum koordinasi di tingkat lebih rendah tidak
digubris oleh pemerintah yang lebih tinggi, mekanisme perencanaan hanya
bersifat mencatat daftar kebutuhan masyarakat ketimbang sebagai proses
perencanaan yang partisipatif, Yang nampak di permukaan adalah perencanaan
dari bawah (bottom up), tetapi sebenarnya proses itu sentralistis (top down).
Akibatnya program yang turun tidak menjawab permasalahan di desa. Hal ini
mengindikasikan perencanaan pembangunan ternyata belum diterapkan, dan
hanya bersifat formalitas. Setelah program pembangunan pos kesehatan desa
114
sebagai prioritas, maka hal lain yang menjadi kendala adalah lokasi tempat
dibangunnya pos kesehatan desa tersebut.
6.5.2. Analisis Pelaksanaan Pembangunan Poskesdes
Dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa, peran kepala desa
sangat dominan. Hal ini disebabkan dalam pelaksanaan pembangunan pos
kesehatan desa tidak melalui anggaran dana desa dan swadaya masyarakat tetapi
proses pelaksanaannya melalui instansi terkait yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten
Sintang selaku pengguna anggaran. Dan selaku pengguna anggaran juga bukan
sebagai pelaksana dilapangan, tetapi sebagai fasilitator untuk mempersiapkan
administrasi yang berkaitan dengan pembangunan pos kesehatan desa. Oleh sebab
itu sebagai pelaksana dilapangan adalah pihak kedua/swasta (kontraktor).
Untuk membuka peluang bagi komponen masyarakat untuk terlibat dan
berperan serta dalam proses pembangunan pos kesehatan desa dengan
mengadakan musyawarah desa untuk menentukan lokasi tempat dibangunnya pos
kesehatan desa. Pemerintah desa melibatkan semua elemen masyarakat untuk
menentukan lokasi, dengan demikian keterlibatan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan pos kesehatan desa tetap terlaksana walaupun hanya sebatas
penentuan lokasi dan pembersihan lokasinya tetapi nilai kebersamaan itu yang
harus dibangun terus menerus karena menyangkut kesejahteraan masyarakat. Hal
ini akan berakibat apabila masyarakat merasa tidak sejahtera, maka akan
membawa dampak negatif pada masyarakat desa itu sendiri, sehingga dalam
waktu lambat atau cepat masyarakat akan keluar dari desa untuk mencari
pekerjaan dan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Apalagi desa Nanga
Bayan berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, yang membawa
konsekwensi baik dari aspek ekonomi, sosial maupun politik. Oleh sebab itu
setiap kebijakan dan program pembangunan yang direncanakan betul-betul dapat
mensejahterakan masyarakat setempat.
6.5.3. Analisis Pengawasan Pembangunan Poskesdes
Kelambagaan informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi terhadap
setiap kegiatan pembangunan di desa baik dalam perencanaa, pelaksanaan
115
maupun pengawasan. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk hal-
hal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan lembaga adat
lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang berkenaan dengan
kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara, ritual, perkawinan,
termasuk aktivitas pertanian. Pelaksanaan fungsi kedua kepemimpinan ini
memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa lebih dominan
berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga adat lebih dominan
merujuk pada hukum-hukum adat. Berkaitan dengan fungsi tersebut kelembagaan
informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi tidak mau terlibat terlalu
jauh dalam urusan formal mengingat pemerintah desa merupakan perpanjangan
tangan dari pemerintah pusat untuk melaksanakan pembangunan di desa.
Namun demikian, bukan berarti kepemimpinan informal lepas tangan
terhadap pembangunan di desa, lebih dari itu kepemimpinan informal sangat
mendukung karena menyangkut kesejahteraan masyarakat. Karena apabila
masyarakat merasa terpenuhi segala kebutuhannya di desa tersebut, maka
masyarakat tidak akan meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan guna
mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi.
Kondisi ini menyebabkan baik kepemimpinan desa maupun masyarakat desa
telah gagal melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajiban masing-masing. Karena
kepemimpinan pemerintahan desa dalam pelaksanaan pembangunan pos
kesehatan desa sudah keluar dari aturan yang seharusnya. Akibatnya, minim ruang
bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi secara optimal dalam proses
pengawasan pembangunan pos kesehatan desa yang justru menyangkut hidup
mereka sendiri. Maka sudah dapat ditebak, pelaksanaan pembangunan pos
kesehatan desa yang dihasilkan tersebut akhirnya tidak berpihak pada desa atau
tidak menjawab permasalahan yang ada di desa. Hal ini menjadikan pemerintahan
desa selalu mendominasi, sehingga dengan demikian pelaksanaan pemerintahan
desa tidak dapat menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis,
efektif, dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa makna bahwa interaksi
antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi masyarakat belum
optimal:
116
a. Kepemimpinan pemerintahan desa dan masyarakat dalam perencanaan
pembangunan pos kesehatan desa lebih banyak mengacu kepada program-
program perencanaan yang diterima kepemimpinan pemerintahan desa pada
saat sosialisasi forum antar desa I. Oleh sebab itu keikutsertaan masyarakat
dalam perencanaan pembangunan pos kesehatan desa lebih dipengaruhi oleh
kepemimpinan formal yang lebih dominan dalam menggerakan masyarakat
untuk berpartisipasi. Sehingga dalam perencanaan pembangunan pos
kesehatan desa partisipasi masyarakat dilakukan melalui peran kelembagaan
formal. Oleh karena itu kepemimpinan pemerintahan desa lebih dominan
dalam perencanaan pembangunan pos kesehatan desa sehingga ruang yang
diberikan kepada masyarakat sangat kecil hanya memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dalam sosialisasi program pembangunan dan
dalam pengambilan keputusan.
b. Dalam pelaksanaan pembangunan pos kesehatan desa, komponen masyarakat
untuk terlibat dan berperan serta dalam proses pembangunan pos kesehatan
desa tidak begitu menonjol sehingga partisipasi masyarakat tidak berjalan
dengan baik. Hal ini disebabkan kepemimpinan pemerintahan desa hanya
memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi sangat kecil,
karena partisipasi masyarakat dilakukan hanya bersifat momental. Artinya
masyarakat hanya berpartisipasi pada saat membersihkan lokasi tempat
dibangunnya poskesdes.
c. Kelambagaan informal selaku jalur masyarakat untuk berpartisipasi terhadap
setiap kegiatan pembangunan di desa baik dalam perencanaa, pelaksanaan
maupun pengawasan. Dalam hal ini, pemerintah desa lebih berfungsi untuk
hal-hal yang berkenaan dengan masalah/urusan administrasi sedangkan
lembaga adat lebih cenderung difungsikan untuk masalah/urusan yang
berkenaan dengan kehidupan sosial di desa seperti penyelesaian perkara,
ritual, perkawinan, termasuk aktivitas pertanian. Pelaksanaan fungsi kedua
kepemimpinan ini memiliki landasan yang berbeda dimana pemerintah desa
lebih dominan berlandaskan pada aturan-aturan formal sedangkan lembaga
adat lebih dominan merujuk pada hukum-hukum adat. Berkaitan dengan
fungsi tersebut kelembagaan informal selaku jalur masyarakat untuk
117
berpartisipasi tidak mau terlibat terlalu jauh dalam urusan formal mengingat
pemerintah desa merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk
melaksanakan pembangunan di desa. Namun demikian, bukan berarti
kepemimpinan informal lepas tangan terhadap pembangunan di desa, lebih
dari itu kepemimpinan informal sangat mendukung karena menyangkut
kesejahteraan masyarakat. Karena apabila masyarakat merasa terpenuhi segala
kebutuhannya di desa tersebut, maka masyarakat tidak akan meninggalkan
desa untuk mencari pekerjaan guna mendapatkan penghasilan yang lebih
tinggi. Sedangkan untuk partisipasi masyarakat yang bersifat langsung, sangat
minim atau dapat dikatakan tidak ada, karena partisipasi masyarakat yang
paling dasar, yaitu sebagai kontrol terhadap pelaksanaan kegiatan
pembangunan pos kesehatan desa tidak berjalan, dengan baik. Kekurangan
lain yang masih tampak pada tahapan dan bentuk partisipasi pada masyarakat
di lokasi penelitian adalah tidak berlanjut pada tahapan evaluasi dan
pemeliharaan. Sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang elit desa dan
dibenarkan oleh informan lainnya, bahwa seolah telah mencapai klimaksnya,
setelah selesai pelaksanaan pembangunan fisik, selesailah proyek tersebut.
Tahapan lebih lanjut masih sangat kurang.
Kondisi ini telah membawa baik kepemimpinan desa maupun masyarakat
telah melaksanakan fungsi, tugas, dan kewajiban masing-masing. Karena
kepemimpinan pemerintahan desa dalam pelaksanaan pembangunan pos
kesehatan desa sudah mengacu kepada aturan. Dengan demikian, ruang akses
sangat terbuka bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi secara optimal dalam
proses pengawasan pembangunan pos kesehatan desa karena menyangkut hidup
mereka sendiri. Maka sudah dapat ditebak, pelaksanaan pembangunan pos
kesehatan desa yang dihasilkan tersebut berpihak pada masyarakat atau sudah
menjawab permasalahan yang ada di desa. Walaupun tidak sepenuhnya sudah
menjawab kebutuhan masyarakat karena belum adanya sumberdaya manusia yang
menempati pos kesehatan desa tersebut.
Dari uraian diatas bahwa interaksi kepemimpinan pemerintahan desa dengan
partisipasi masyarakat dalam melaksanakan program pembangunan pos kesehatan
desa belum optimal. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepemimpinan
118
pemerintahan desa dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan belum
mampu menggerakan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan pos
kesehatan desa. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
Partisipasi masyarakat masih belum optimal, terutama dalam bentuk ide dan
gagasan dan dalam pengambilan keputusan. Belum optimalnya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan poskesdes, sebagian besar disebabkan oleh
kegagalan fasilitator dalam mensosialisasi dan dalam memfasilitasi tahapan-
tahapan kegiatan tidak transparan. Pendekatan yang dilakukan kurang memberi
ruang bagi publik untuk menentukan agenda program karena masih di dominasi
oleh pemerintah sedangkan masyarakat hanya berpartisipasi dalam sosialisasi
kegiatan. Bentuk partisipasi masyarakat yang terlihat dalam program ini hanyalah
partisipasi dalam bentuk fisik yakni gotong royong yang memang sudah menjadi
tradisi masyarakat di desa. Keikutsertaan warga dalam pelaksanaan pembangunan
pos kesehatan desa lebih banyak didorong oleh motif bahwa masyarakat
membutuhkan pembangunan pos kesehatan desa. Dengan demikian program ini
belum menjadi sebuah proses untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan pos kesehatan desa karena pemerintah lebih dominan dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Oleh sebab itu type kepemimpinan
pemerintahan desa masih otoriter dan partisipasi masyarakat masih lemah.
Sehingga interaksi antara kepemimpinan pemerintahan desa dengan partisipasi
masyarakat dapat disimpulkan ada di ruang tiga (III) yaitu kepemimpinan
pemerintah desa sangat dominan dalam melaksanakan pembangunan, maka type
kepemimpinannya adalah otoriter.
6.6. Manfaat Program Pembangunan Pos Kesehatan Desa
Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat kurang
mampu, pemerintahah desa telah mengambil kebijakan dengan program
pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes). Program itu dapat meningkatkan
akses penduduk miskin untuk menikmati fasilitas kesehatan yang ada di desa.
Dari kebijakan tersebut nampak sudah menjawab kebutuhan masyarakat dalam
jangka panjang, karena yang diinginkan masyarakat sebagai prioritas utama
adalah program pembangunan pos kesehatan desa.
119
Namun dalam jangka pendek, permasalahan yang masih dihadapi dalam
pembangunan pos kesehatan desa saat ini adalah belum optimalnya layanan
kesehatan karena petugas paramedis seperti tenaga gizi, tenaga analis
(laboratorium), paramedis (mantri), tenaga kesehatan lingkungan (higiene
sanitasi) belum menempati bangunan pos kesehatan Nanga Bayan tersebut. Oleh
sebab itu masyarakat belum dapat menerima manfaat pelayanan kesehatan pada
saat ini, selain pelayanan yang diberikan bidan desa di lokasi penelitin. Dengan
demikian sampai akhir tahun 2009 ini masyarakat masih melakukan pelayanan
kesehatan seperti biasa yaitu di polindes. Hal itu antara lain, untuk masyarakat
yang mampu, mereka tetap memilih pelayanan kesehatan di negara Malaysia,
karena sampai saat ini belum ada surat pelarangan resmi dari Malaysia, mengingat
masyarakat yang mendapat pelayanan disana (Malaysia) tidak memiliki pasport
tetapi hanya mengantongi surat keterangan berobat dari kepala desa dengan waktu
yang tidak ditentukan (sampai sembuh).
Kesejahteraan itu sendiri sifatnya relatif, artinya bahwa peningkatan
kesejahteraan dalam kurun waktu tertentu akan berbeda kualitas dan coraknya di
banding dengan peningkatan yang akan terjadi dikurun waktu yang lain. Dengan
demikian yang terpenting dalam pembangunan adalah keberhasilan yang dapat
memberikan perbedaan keadaan yang dinilai lebih baik, sempurna, lebih sehat,
lebih manusiawi dan bermanfaat.
Persepsi jauh dalam kemanfaatan pembangunan berarti bahwa orang
tersebut tidak melihat kemanfaatan yang segera atau yang dalam jangka pendek
dapat diperoleh. Dalam hal semacam ini biasanya orang-orang menjadi tidak atau
kurang responsive untuk ikut serta dalam pembangunan. Contohnya setelah pos
kesehatan desa sudah melayani masyarakat dengan rutin dan tenaga-tenaga
paramedis sudah siap ditempat, maka program-program kesehatan mulai
dilaksanakan seperti misalnya program penyuluhan gizi yang mengajak
masyarakat untuk memakan sayur-sayuran berdaun hijau guna memberantas atau
mencegah kekurangan vitamin A. Kemanfaatan proyek pembangunan pos
kesehatan desa (poskesdes) barangkali lebih “dekat” terlihat dan terasa. Karena itu
tidaklah mengherankan bila banyak warga desa yang menyambutnya dan ingin
agar dapat cepat merasakannya dan memanfaatkannya.
120
Memang wajar bila orang yang menikmati hasil pembangunan seyogyanya
juga ikut menyumbang bagi pembangunan. Namun demikian dalam program-
program pembangunan tertentu tidak perlu yang memanfaatkan hasil
pembangunan harus ikut menyumbang secara langsung bagi pembangunan,
karena dengan ikut memanfaatkan berarti mereka sudah ikut mensukseskan
pembangunan. Masyarakat yang memanfaatkan pelayanan kesehatan pada Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes) dapat dikatakan sudah berpartisipasi, sebab bila
masyarakat tidak mau memanfaatkan maka pembangunan Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) itu dapat dikatakan tidak berhasil karena yang menikmati hasil dari
pembangunan itu adalah masyarakat itu sendiri.
Manfaat dari pelaksanaan program ini diharapkan akan diperoleh oleh
Pemerintahan Desa dan Masyrakat. Manfaat yang dimaksud dalam hal ini adalah
suatu hasil yang dapat dirasakan setelah program ini selesai dilaksanakan, hal
tersebut dapat simpulkan sebagai berikut :
Pertama, manfaat bagi desa antara lain adalah: a) adanya peningkatan
pembangunan dalam aspek pengelolaan Pemerintahan Desa maupun dalam
hubungannya dengan masyarakat desa, dengan adanya pembagunan pos kesehatan
desa (poskesdes), berarti pemerintahan desa sudah memberikan pelayanan kepada
masyarakat terkait dengan tugas-tugas umum pemerintahan dengan menyediakan
fasilitas-fasilitas sosial kepada masyarakat seperti penyediaan fasilitas kesehatan
dengan pembangunan pos kesehatan desa (poskesdes). Dengan demikian
kesehatan masyarakat akan lebih terjaga dan tidak merasa cemas apabila ada
keluhan sakit. b) Program-program kesehatan akan dapat terlaksana dengan baik
oleh pemerintah desa dengan terus menggalang kerjasama dengan pihak terkait
mulai dari desa, kecamatan dan kabupaten. Sehingga program-program akan
terlaksana dengan baik dan diterima dengan baik juga oleh masyarakat. c)
memberikan stimulasi bagi Pemerintahan Desa untuk meningkatkan aktivitas-
aktivitas di dalam melaksanakan program-program pembangunan desa. Dalam
bidang kesehatan, aktivitas-aktivitas pemerintahan desa dalam melaksanakan
program-program pembangunan di bidang kesehatan tidak akan berjalan dengan
baik dan lancar apabila tidak didukung oleh partisipasi masyarakat. Berbagai
pihak perlu terlibat secara terpadu seperti posyandu dan polindes. Oleh sebab itu
121
perlu menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat dengan melibatkan
masyarakat secara aktif pada berbagai tahapan pelaksanaan program kesehatan.
Kedua, manfaat bagi masyarakat antara lain adalah: a) Akses bagi
masyarakat miskin dan kaum perempuan lebih terjangkau, mengingat petugas
kesehatan yang ada di pos kesehatan desa (poskesdes) sudah semakin komplit
karena selain tenaga bidan, ada tenaga perawat, tenaga analis dan tenaga higiene
sanitasi (HS) atau kesehatan lingkungan. sehingga kesehatan masyarakat akan
lebih terjaga dan tidak merasa cemas apabila ada keluhan sakit. b) masyarakat
akan semakin mengerti dengan kesehatan terutama dengan pola hidup bersih dan
sehat, seperti untuk menghindari serangan aneka penyakit, dengan menerapkan
pola hidup bersih dalam kehidupan sehari-hari. Kunci utamanya adalah
kebersihan, terutama sanitasi lingkungan. Hal ini bisa dimulai dengan contoh
menghilangkan kebiasaan menyiram tanaman dan jalanan dengan air comberan
karena hal ini justru membuat kuman gampang menyebar, sediakan selalu dalam
kotak obat di rumah obat penurun panas, antiseptik, oralit, minyak kayu putih dan
obat-obatan lainnya yang biasa dikonsumsi sebagai pertolongan pertama.
122
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap fokus masalah
yang ada dalam penelitian ini, maka selanjutnya dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Terdapat dualistik kepemimpinan yang masing-masing memiliki legitimasi
dan pengaruh yang kuat terhadap masyarakat dengan karakteristik yang
berbeda yaitu kepemimpinan formal (kepala desa) dan kepemimpinan
informal (temenggung).
2. Kepemimpinan yang ada di desa Nanga Bayan cenderung otoriter. Hal ini
tercermin lewat pembangunan pos kesehatan desa lebih didominasi oleh
pemerintahan desa dan mekanisme pelaksanaan pembangunannya secara
umum masih bersifat top down, mulai dari aspek perencanaan hingga
pengawasan. Oleh sebab itu partisipasi warga masih terbatas pada mobilisasi
dalam kegiatan pembangunan desa. Artinya warga berpartisipasi hanya pada
saat ada kegiatan pembangunan saja.
3. Tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan lebih dominan
bersumber dari peran-peran kepemimpinan formal dibandingkan peran-peran
kepemimpinan informal serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan
lebih terpusat pada aspek perencanaan.
4. Interaksi antara kepemimpinan dengan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan pos kesehatan desa dilandasi oleh aspek sosial budaya.
7.2. S A R A N
1. Secara teoritis, pembangunan dalam aspek apapun sangat diperlukan oleh
masyarakat di kawasan perbatasan baik berupa pembangunan fisik maupun
non fisik dan keduanya memerlukan adanya keseimbangan. Oleh sebab itu,
disarankan agar di dalam menentukan kebijakan program pembangunan,
pemerintah harus melihat apa yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga
masyarakat dapat merasakan pembangunan itu benar-benar memberi
manfaat dalam kehidupan masyarakat setempat.
123
2. Secara praktis, kepemimpinan informal merupakan salah satu komponen
yang mendorong proses dinamika kehidupan sosial melalui peran-perannya.
Dalam hal ini, dipandang perlu untuk memberikan ruang bagi keterlibatan
kepemimpin informal di Desa Nanga Bayan dalam ikut menumbuhkan
partisipasi masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, disarankan agar
pemerintah desa membangunan kerjasama dengan kepemimpinan informal
di Desa Nanga Bayan agar pembangunan dapat dilaksanakan sesuai dengan
arahan dan tujuan yang ingin dicapai.
3. Dalam perencanaan program pembangunan desa diharapkan pemahaman
pemerintah sebagai pelayan masyarakat merupakan fundamen
pengembangan partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi. Karena
menempatkan pemerintah sebagai pelayan masyarakat maka masukan,
pandangan dan pendapat masyarakat haruslah diposisikan sebagai masukan
dalam pengembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat di kawasan
perbatasan Indonesia dengan Malaysia khususnya di Desa Nanga Bayan.
124
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Antlov, H. 2002. Negara dalam Desa. Lappera Pustaka Utama. Yogyakarta.
Bass, B.M. and Avolio, B.J. 1994, Improving Organizational Effectiveness
through Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks.
Bass, B.M. 1990. Bass and Stogdill’s Hand Book of Leadership. New York:
FreePress.
Berkes, F. 2001. Managing Small-scale Fisheries: Alternative Directions and
Methods. Ottawa: International Development Research Centre.
Bilton, Tony, Kevin Bonnet, Philip Jones, Michelle Stanworth, Ken Sheard, dan
Andrew Webster. 1981. Introductory Sociology. Hong Kong: The
Macmillan Press.
Creshwell, John W. 2002. Reseach Design. Qualitative and Quantitative
Approaches. Chrishnanda DI dan Bambang Hastobroto (editor). KIK. Press.
Jakarta.
Conyers, Diana, 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Cohen, John M dan Uphoff, Norman T, 1977. Rural Development Participation:
Conceptsand Measures for Project Design, Implementation and Evaluation.
Cornell University, Ithaca. New York.
Davey, K.J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek Internasional
dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. UI-Press. Jakarta.
Dove, Michael. 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam
Modernisasi. Yayasan Obor Jakarta. Jarkarta.
Esman, Milton. J. 1972, dalam Eaton, Joseph. W., Institution Building and
Development From Concep to Aplication. Sage Publication. London .
Fiedler, F.E., 1967, A Theory of Leadership Effectiveness. McGraw-Hill. New
York.
Goulet, Denis. 1977. The Cruel Choice: A New Concept in the Theory of
Development. New York: Atheneum.
Handoko T. Hani. 1992. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi ke–2.
Yogyakarta: BPFE
Halpin, A.W. 1966. Theory and Research in Administration. Macmillan. New
York.
Hasibuan, Malayu SP. 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT. Gunung
Agung, Jakarta.
125
Hayami, Y. and W. Ruttan. 1984. Agricultural Development, an International
Perspevtive. The John Hopkins university Press. Baltimore and London.
Hencley, S.P. 1973. Situational behavioral approach to the study of educational
leadership', in L.C. Cunningham and W.J. Gephart (eds.). Leadership: The
Science and Art Today, Peacock Publishers. Itaska.
Hill, Tosi., Caroll, SJ. 1997. Organisational Theory and management. A Macro
Approach. John willey and Sons Inc. New York.
Hoy, W.K. and Miskel, C.G. 1987. Educational Administration. Theory, Research
and Practice. Third Edition, Random House. New York.
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1984. Sociology. Sixth Edition. McGraww-
Hill Book Company. Sidney. Tokyo.
Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. Cidesindo. Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono (Penyunting) 1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial.
Jakarta. LP3ES
Kartono, Kartini. 2001. Pemimpin dan Kepemimpinan (Apakah pemimpin
abnormal itu) (edisi baru). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1964. Pengantar Antropologi. Cetakan kedua. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Korten, David, dan Sjahrir. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Maskun, Sumitro. 1993. Pembangunan Masyarakat Desa. Media Widya Mandala.
Yogyakarta.
Miles, Mattew B dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Moleong, L. J. 2001. Metologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosydakarya.
Bandung.
Nawawi. 2003. Kepemimpinan mengefektifkan organisasi, Penerbit Gajah Mada
University Yogyakarta. Yogyakarta.
Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat
Tinggal Landas. Rineka Cipta. Jakarta
Noeng Muhadjir. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Rake Sarasin.
Yogyakarta.
Nordholt, Nico Schulte. 1987. Ojo Dumeh. Kepemimpinan Lokal Dalam
Pembangunan Pedesaan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
126
Rasyid, R. Dan Djohermansyah Djohan. 2004. Pengembangan Aparatur
Pemerintah Daerah dalam menyongsong Era Otonomi Daerah.
Rogers, Everett M & Soemaker, F.Floy, 1981, Memasyarakatkan Ide Baru.
Usaha Nasional. Surabaya.
Sa’id, G dan Intan, A.H. 2001. Manajemen Agribisnis. Ghalia Indonesia.
Sarwono,Solita. 2004. Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep Beserta
Aplikasinya. Gadjah Mada Press. Yogyakarta
Sirigne, M. Ndiaye. 1999. Promoting Rural Community Development in Africa:
States Versus Grassroots Organizations. Centres for Disease Control and
Prevention. Atlanta.
Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. IPB Press.
Bogor
Siagian, Sondang. 1989. Teori Dan Praktek Kepemimpinan. Cetakan Ke–3,
Rineka Cipta, Jakarta.
Sitorus, MT, Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Diterbitkan oleh
Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial IPB Bogor.
Suwarsono & Alvin Y So. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. LP3ES.
Jakarta.
Suyanto, Bagong. 1996. Perangkap Kemiskinan: Problem dan Strategi
Pengentasannya Dalam Pembangunan Desa. Aditya Media. Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono. 1973. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grapindo Persada.
Jakarta.
Stogdill, R.M. 1974. Handbook of Leadership: A Survey of Theory and Research.
The Free Press. New York.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian.
PT. Bina Rena Pariwara. Jakarta.
Thoha, Miftah. 2001. Kepemimpinan dalam Manajemen (Suatu pendekatan
perilaku). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tohardi Ahmad. 2002. Pemahaman Praktis Manajemen Sumber Daya Manusia.
Edisi I. CV. Mandar Maju. Bandung.
Ul Haq, Mahbub. 1985. Human Development Report. New York. Oxford
University Press.
Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical
Sourcebook With Cases. Kumarian Press.
Weber, M. 1947. The Theory of Social and Economic Organization (A.N.
Henderson and T Parsons, eds. and trans). The Free Press. Glencoe.
127
Weihrich Heinz and Koontz Harold, 1994. Management A Global Perspective.
Tenth Edition. New York. McGraw Hill Inc.
Wijaya, HAW. 2002. Pemerintahan Desa/ Marga: Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (Suatu Telaah
Administrasi Negara). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Yadov, R.P. 1980. People’s Participation, Focus on Rural Poor Level Planning
and Rural Development. Concept Publishing. Co. New Delhi.
Yin, Robert K. 1996. Studi Kasus (Desain dan Metode) PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Yukl, Gary. 1998. Kepemimpinan dalam organisasi, Edisi ke-3. PT. Prenhallindo.
Jakarta.
Jurnal dan Working Paper:
Bass, B.M. 1997. Does Transactional – Transformational Leadership Paradigm
Transcend Organizational and National Boundaries. Journal American
Psychologist.
Darling, Roger. 1977. A Return to Valid Development Priciples, International
Development Review.
Hater, J.J. and Bass, B. 1988. 'Supervisors' evaluations and and subordinates
perceptions of transformational and transactional leadership. Journal of
Applied Psychology.
Howell, J.M., and Hall-Merenda, K.E. 1999. The Ties That Bind: The Impact of
Leader-Member Exchange, Transformational and Transactional Leadership,
and Distance on Predicting Follower Performance. Journal of Applied
Psychology.
House, R.J. 1971. A path goal theory effectiveness. Administration Science
Quarterly.
Nasdian, Fredian Tonny. 2004. Pengembangan Masyarakat (Community
Development). Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Rygh & Hjortdahl. 2007. Continues and Integrated Health Services in Rural
Areas. A literature study. Rural and Remote Health Journal.
Seltzer, J., and Bass, B.M. 1990. Transformational Leadership: Beyond Initiation
and Consideration. Journal of Management.
Setiawan, D. 2008. Pelembagaan Partisipasi Masyarakat Desa melalui
Pembangunan BKM. Artikel Field Coordinator DMC Pangandaran.
Tichy, N.M. and Devanna, M.A. 1986. The Transformational Leader. John Wiley.
New York.
128
Stieve, Benedict. 1977. Social Soundness Analysis of Ethopia’s Minimum People
Program II. Paper Prapares for USAID. Washington DC. Sarros, J.C. and Butchatsky, O. 1996. Leadership, Australia's Top CEOs: Finding
Out What Makes Them the Best. Harper Business. Sydney.
Yammarino, F.J. and Bass, B.M. 1990. Longterm forecasting of transformational
leadership and its effects among naval officers: some preliminary findings.
in K.E. Clark and M.B. Clark (eds). Measures of Leadeship. Leadership
Library of America. West Orange.
Skripsi, Tesis, dan Desertasi:
Hartati. 1999. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pemukiman Kumuh:
Studi Kasus Kelurahan Karang Anyar. Tesis, PPS UGM. Yogyakarta.
Intania, Ogi I. 2003. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Skripsi. Jurusan
Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian IPB.
Simbolon, E.J.A. 1994. Peranan Kepala Desa dan Pemimpin lainnya untuk
mengembangkan Partisipasi Masyarakat dalam kegiatan pembangunan.
Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Romadon, M.HE. 2004. Kepemimpinan dan lapisan Tengger di Daerah Bromo
(Studi tentang kompetisi kepemimpinan Tradisional dan Pemerintahan Desa
Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo). Tesis. Program
Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya.
Lainnya:
Petunjuk Teknis Pengembangan dan Penyelenggaraan Pos Kesehatan Desa, Ditjen
Bina Kesmas. tahun 2006.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tetang Pemerintahan Daerah. Sinar Grafika.
Jakarta.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Restindo
Mediatama. Jakarta.
129
Lampiran : 1
PEDOMAN WAWANCARA
c. Gambaran Umum Desa
1. Bagaimanakah sejarah desa Nanga Bayan ?
2. Bagaimanakah Gambaran sosial kemasyarakatan Kawasan Perbatasan
dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan dan keluarga berencana,
keamanan serta kehidupan beragama di desa Nanga Bayan?
3. Bagaimanakah Gambaran geografi desa Nanga Bayan seperti Luas, dan
batas desa yang berbatasan langsung dengan negara bagian Serawak
(Malaysia Timur)?
4. Bagaimanakah Gambaran demografi desa Nanga Bayan dilihat dari
Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga?
5. Bagaimanakah efektifitas ekonomi Perusahaan/Usaha Industri Kecil dan
Menengah Di Kawasan Perbatasan seperti perindustrian, perdagangan, dan
perkoperasian di desa Nanga Bayan?
6. Bagaimanakah gambaran sumber daya alam di Kawasan Perbatasan
seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, pariwisata,
pertambangan, dan kehutanan di desa Nanga Bayan?
d. Kelembagaan Pemerintahan Desa
1. Apakah peraturan desa dapat diterima oleh masyarakat secara luas?
2. Bagaimanakah peraturan desa itu di sosialisasikan kepada masyarakat?
3. Bagaimana jika ada masyarakat yang tidak menerima peraturan desa
tersebut?
4. Mengapa program pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)
menjadi prioritas utama dalam menyusun RPJMD?
5. Sejauhmana pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) menjamin
kesejahteraan masyarakat?
6. Kelembagaan apa saja yang ada di desa ini yang terlibat dalam
menentukan program pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)?
130
7. Bagaimanakah keterlibatan kelembagaan tersebut dalam menentukan
program pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)?
8. Mengapa dalam Musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) tingkat
desa selalu mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah desa
(RPJMD)?
9. Apakah Kelembagaan Pemerintahan Desa membentuk panitia untuk
melaksanakan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)?
10. Bagaimanakah panitia pelaksanaan pembangunan Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) bekerja?
11. Siapakah yang mengangkat panitia pelaksanaan pembangunan Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes)?
12. Faktor-Faktor apa saja yang menghambat proses Kelembagaan
Pemerintahan Desa dalam menentukan pembangunan Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes)?
13. Upaya-upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi faktor-faktor
penghambat tersebut?
e. Kepemimpinan
1. Mengapa pengambilan keputusan menerapkan prinsip transparansi dalam
bentuk kejelasan informasi dan argumentasi yang digunakan?
2. Bagaimana asas akuntabilitas, dalam bentuk bisa dipertanggungjawabkan,
diterapkan dalam setiap pengambilan keputusan?
3. Apakah keputusan yang diambil mengikuti asas rasionalitas yang jelas?
4. Mengapa keputusan yang diambil mengikuti asas rasionalitas yang jelas?
5. Apakah pengambilan keputusan merepresentasi kepentingan bersama dan
dilakukan secara demokratis?
6. Mengapa setiap pengambilan keputusan merepresentasi kepentingan
bersama dan dilakukan secara demokratis?
7. Apakah setiap keputusan yang diambil dapat dilakukan koreksi (diaudit
secara terbuka) disesuaikan dengan perkembangan lingkungan
masyarakat?
131
8. Mengapa setiap keputusan yang diambil dapat dilakukan koreksi (diaudit
secara terbuka) disesuaikan dengan perkembangan lingkungan
masyarakat?
9. Bagaimana jika keputusan yang diambil tidak dapat dilakukan koreksi
(diaudit secara terbuka)?
10. Faktor-Faktor apa saja yang menghambat proses pengambilan keputusan
Kepemimpinan Desa?
11. Upaya-upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi faktor-faktor
penghambat tersebut?
f. Partisipasi
1. Sejauhmana partisipasi masyarakat terlibat dalam menentukan program
pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)?
2. Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan
Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)?
3. Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan
perekonomian desa?
4. Mengapa masyarakat di ikutsertakan dalam perencanaan pembangunan
Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)?
5. Mengapa masyarakat di ikutsertakan dalam pelaksanaan pembangunan
Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)?
6. Mengapa masyarakat di ikutsertakan dalam mengevaluasi hasil
pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)?
7. Mengapa masyarakat di ikutsertakan dalam Musyawarah rencana
pembangunan (Musrenbang) tingkat desa?
8. Faktor-Faktor apa saja yang menghambat partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)?
9. Upaya-upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi faktor-faktor
penghambat tersebut?
132
Lampiran 2. Form Catatan Harian
No Kode
Nama Informan
Usia/Pendidikan
Status dalam Desa
Tanggal/Hari
Tempat Wawancara
Topik yang di bahas
1, ............................
2, ............................
:
: .......................................................
: .......................................................
: .......................................................
: .......................................................
: .......................................................
: .......................................................
Uraian tineliti terkait dengan topik yang dibahas
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
Interpretasi tineliti
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
Kesan terhadap tineliti
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
Deskrifsi fisik bangunan dan lingkungannya
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
Informasi yang perlu didalami lagi
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................