KETENTUAN
PIDANA
DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI Oleh
IPTU HADI WALUYO, S.H.
KAURBINOPSNAL SATRESKRIM
Satreskrim
Polres Banyuwangi
Asal kata dari bahasa latin corruptio atau corruptus Dari bahasa latin turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris:
corruption, corrupt; Perancis corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie)
Dari bahasa belanda itulah turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi
Arti harfiah kata tersebut ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral.
Menurut kamus umum bahasa Indonesia Purwadarminta, korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dsb.
Di Malaysia dipakai istilah resuah yang diambil dari bahasa Arab riswah yang sama artinya dengan korupsi.
3
Ps. 1 UU 30 /2002 tentang KPK
Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam UU 31 / 1999 jo
UU 20 / 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Didalam undang-undang tersebut kita dapat
melihat berbagai-bagai delik yang dirumuskan
sebagai tindak pidana korupsi
Sekilas tentang Korupsi :
PENGERTIAN KORUPSI UU 31/1999 jo UU 20/2001
Delik yg terkait dgn kerugian
keuangan negara
Pasal 2 (1) ; 3
Delik pemberian sesuatu/janji
kpd Peg. Neg/PN (Penyuapan)
Pasal 5 (1) a,b ; Ps 13 ; Ps 5
(2) ; Ps 12 a, b ; Ps 11 ; Ps 6
(1) a.b ; Ps 6 (2) ; Ps 12 c, d
Delik penggelapan dlm
jabatan
Pasal 8 ; Ps 9, Ps 10 a, b, c
Delik perbuatan pemerasan Pasal 12 huruf e, f, g
Delik perbuatan curang Pasal 7 (1) huruf a, b, c, d ;
Ps 7 (2) ; Ps 12 huruf h
Delik benturan kepentingan
dalam pengadaan
Pasal 12 huruf i
Delik gratifikasi Pasal 12B jo. Pasal 12C
Korupsi yang secara langsung terkait dengan kerugian keuangan negara hanya
sebagian kecil dari jenis korupsi yang ada (2 pasal), 28 pasal lain lebih terkait
aspek PERILAKU
Merupakan
delik-delik yang
diadopsi dari
KUHP (berasal
dari Pasal 1 ayat
1 sub c UU No.
3/1971
Pasal 8 ; Ps 9, Ps 10 a, b, c : Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja menggelapakan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain menggelapkan atau membantu dalam perbuatan tersebut itu berupa uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya (Pasal 8):
contoh : Bendahara Desa yang menggunakan uang milik Desa tanpa seijin dan sepengetahuan dari Kepala Desa dan PTPKD untuk keperluan pribadi dari Bendahara Desa tersebut, kemudian untuk mempertanggungjawabkan keuangan tersebut menggunakan nota/bon fiktif (pasal 9).
Pasal 12 huruf e, f, g : Masyarakat yang mengajukan pengurusan surat-surat tanah atau
surat-surat kependudukan di Desa dimintai uang oleh perangkat Desa dengan alasan bahwa sesuai peraturan dikenakan biaya administrasi, padahal diketahui bahwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuan yang mengatur untuk pengurusan surat-surat tanah dan surat-surat kependudukan di ringkat Desa dikenakan biaya administrasi, dan apabila tidak membayar biaya administrasi, maka untuk pelayanan surat-surat tanah dan surat – surat kependudukan tidak dibuatkan dan tidak diberikan.
Pasal 7 (1) huruf a, b, c, d ; Ps 7 (2) ; Ps 12 huruf h :
pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan melakukan perbuatan curang, pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan yang dapat membahayakan keamanan orang atau keamanan negara dalam keadaan perang.
Pasal 12 huruf i : Pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan sengaja
langsung atau tidak langsung turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
contoh : Kepala Desa dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di
Desa tidak boleh merangkap sebagai tim pelaksana yang mendapatkan honor dari anggaran ADD dan DD
Pasal Pasal 12B jo. Pasal 12C Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah ulang tahun berupa 1 (satu) unit mobil Avanza, dan tidak melaporkan hadial yang diterimanya tersebut selama 30 hari kerja kepada KPK.
Pasal 5
Jenis kegiatan dalam pelaksanaan persiapan PTSL meliputi :
a. kegiatan penyiapan dokumen;
b. kegiatan pengadaan patok dan meterai;
c. kegiatan operasional petugas kelurahan/desa.
Pasal 8
Pembiayaan kegiatan operasional petugas kelurahan/desasebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5huruf c berupa pembiayaan kegiatan yang meliputi :
a. penggandaan dokumen pendukung;
b. pengangkutan dan pemasangan patok;
c. Petugas Kelurahan/Desa dari kantor kelurahan/desa ke Kantor ATR/BPNdalam
rangka perbaikan dokumen yang diperlukan
Pasal 9
Besaran biaya yang diperlukan untukpersiapan pelaksanaan PTSLsebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8 yaitu sebesar Rp150.000,00
(seratus lima puluh ribu rupiah).
PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 11 TAHUN 2018 TENTANG
PEMBIAYAAN PERSIAPAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP YANG
DIBEBANKAN KEPADA MASYARAKAT
Pasal 10
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak termasuk biaya
pembuatan akta, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak
Penghasilan (PPh)
MEKANISME PEMBAYARAN
Pasal 11
1) Besaran biayauntuk pelaksanaan persiapan PTSL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dibayarkan/disetorkankepada Pemerintah Desa/Kelurahan melalui bendahara desa atau bendahara
kelurahan.
2) Bendaharadesa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Desa.
3) Bendahara kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pegawai Negeri Sipil pada Kelurahan
yang ditetapkan oleh Bupatiberdasarkan usulan dari Lurah.
4) Terhadap pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bendahara desa/bendahara
kelurahanmenyelenggarakan pengadministrasian keuangan denganmemberikan bukti pembayaran.
PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 12
1) KepalaDesa dan Lurahwajib melaporkan penggunaan biaya untuk pelaksanaan persiapan PTSL kepada
Bupati melalui Camat dengan tembusan kepada Kepala Kantor ATR/BPN.
2) Kepala Desadan Lurahbertanggung jawab atas penggunaan biaya pelaksanaan persiapan PTSL sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 11 TAHUN 2018 TENTANG
PEMBIAYAAN PERSIAPAN PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP YANG
DIBEBANKAN KEPADA MASYARAKAT
Grand Strategi KEPOLISIAN RI : Pencegahan Terintegrasi, Penindakan Terintegrasi, Pencegahan dan Penindakan Terintegrasi dengan Pelibatan Peran serta Masyarakat
PERAN SERTA
MASYARAKAT
UU 31 TAHUN 1999
PS. 41 & 42
TUGAS POLRI PASAL
14 AYAT (1) HURUF C
& D
TUGAS POLRI PASAL
14 AYAT (1) HURUF G
membina masyarakat untuk
meningkatkan partisipasi
masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga
masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan
LAPORAN INFORMASI
ADUAN
turut serta dalam pembinaan
hukum nasional
PENYELIDIKAN
PENYIDIKAN PENCEGAHAN
PENINDAKAN
Peran serta Masyarakat
PP No. 71 Tahun 2000
Pasal 1 ayat (1) : Peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Korupsi
Sumber-sumber Pendapatan Desa dari APBN
Pendapatan Desa
yang bersumber
dari APBN 2017 :
± Rp. 100 Trilyun
Alokasi Dana Desa :
± 40,4 T
(10% DAU + DBH-DAK) (sebelum dilakukan pemotongan)
Alokasi dari APBN
(Dana Desa : Rp. 61 T)
Baik dana yang bersumber dari DAU + DBH maupun
alokasi dari APBN yang diperuntukan untuk Desa
dialokasikan ke Desa melalui Kabupaten
APBN
Dana Transfer ke Daerah KL
Kabupaten/
kota
KEUANGAN DESA
PROVINSI
6. Program K/L 4. Dana Desa
1. ADD ; 10% dari DAU + DBH 2. 10 % dari bagian pajak & Retribusi 3. Hibah
5. PA Des 6. Sumber Lain
RPJM Des & APB Des
Monitoring &
Evaluasi
Perencanaan: RPJMdes, RKPdes,
APBdes
Rawan: Elit capture, rencana
penggunaan anggaran tidak sesuai
aturan 70% (pembangunan-30%
(operasional); kick back kepada
oknum di Pemda untuk pencairan
Pelaksanaan
kegiatan:
pembangunan,
pemberdayaan
& pemerintahan
Rawan: nepotisme,
tidak transparan,
korupsi
barang/jasa
Penyaluran &
pengelolaan dana Rawan: mark up, tidak
transparan, rekayasa,
korupsi, tidak dilakukan
dengan swakelola,
partisipasi masy rendah
Rawan: Formalitas,
administratif,
terlambat dalam
mendeteksi korupsi
Pertanggung
jawaban
(minimal 2 kali)
Rawan: rekayasa
laporan/fiktif, tidak
transparan
Potensi Korupsi dan Strategi Perbaikan :
KEUANGAN DAERAH
SEKTOR KORUPSI
POTENSI KORUPSI
STRATEGI
KEUANGAN DAERAH
DANA ALOKASI UMUM/ DANA ALOKASI KHUSUS/ DANA DEKONSENTRASI
MASUK KE APBD: PENYALAHGUNAAN WEWENANG, PENGGELAPAN
PERBAIKAN SISTEM PENGANGGARAN, TRANSPARANSI, PENGAWASAN, AKUNTABILITAS PELAPORAN
SISTEM PELAPORAN PELAKSANAAN DAK/DAU TIDAK MEMILIKI STANDARDISASI
ALOKASI PENGGUNAAN DANA TIDAK TRANSPARAN
PUNGUTAN DAERAH PERDA TIDAK MENGACU KEPADA PERUNDANGAN YANG LEBIH TINGGI
PENERTIBAN PERDA DAN TRANSPARANSI & AKUNTABIILITAS PENGGUNAAN PUNGUTAN
DIJADIKAN SUMBER PENGHASILAN APARAT DI DAERAH
PENINDAKAN
Upaya Pemberantasan Korupsi oleh
KEPOLISIAN di Daerah
o Penanganan Korupsi dalam PBJ
(pengadaan barang & Jasa)
o Perbaikan Layanan Publik
o Pengawasan Pengelolaan Bansos di
Daerah
o Pengawasan Aset daerah
o Pengawasan Perda Bermasalah
o Pengawasan Pemanfaatan SDA : Alih
Status Hutan, Illegal Logging, Kuasa
Pertambangan
o Penanganan Gratifikasi penempatan dana
APBD di Bank Pembangunan Daerah
Membangun Pencegahan Pengelolaan
Keuangan Desa
• Kajian Pengelolaan
Keuangan di Desa
(on going)
•Penyusunan
Rencana Aksi
Bersama
Stakeholder Terkait
2015
•Mendorong Sosialisasi
Pencegahan Korupsi di
Tingkat Desa
•Mendorong Peran serta
masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Korupsi
2016
Koordinasi dan
Pengawasan terkait
Pencegahan Korupsi
Pelaksanaan
Pengelolaan dana desa
bersama STAKE
HOLDER
2017
Langkah Membangun
Budaya Anti Korupsi Bersama-sama
PERBAIKAN
SISTEM
Aturan /
Perundangan
Lembaga/Kewena
ngan
Tata Kelola
Sarana/Prasarana
Lingkungan
Pendukung
PERUBAHAN
PERILAKU
Definisi Nilai
Pembakuan Nilai
Transformasi Nilai
Internalisasi Nilai
Pemeliharaan
Perbuatan
Baik dan Terpuji
PEMBANGUNAN
BUDAYA
Pendidikan
Pengetahuan
Etika Sosial
Pembiasaan
Perilaku –
Tradisi
Pendekatan Agama
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
bahwa Seorang Kepala Desa tidak dapat dilakukan penyidikan oleh Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang,
sebelum mendapat persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota setempat. Kecuali hal-hal seperti
tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan dan diduga telah melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana mati. Maka penyidikan tersebut akan diberitahukan secara
tertulis oleh Atasan Penyidik kepada Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari (Pasal 23 Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005 tentang Desa).
Akan tetapi, setelah diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005
tentang Desa dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Setelah dicabutnya Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005 tentang
Desa, maka para Penyidik boleh melaksanakan penyidikan terhadap
Kepala Desa tanpa harus adanya persetujuan secara tertulis dari
Bupati/Walikota setempat
DASAR HUKUM PEMANGGILAN
KADES TANPA IJIN BUPATI/WALI KOTA