Download - KGD LBM 2 BUNGA
1. Mengapa pasien sesak nafas hebat setelah meminum obat dari dokter klinik? Beda Fixed Drug Eruption dan SSJ (sindrom Steven Jhonson) ?Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi.
Patofisiologi
Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul
yang kecil tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung
dengan bahan lain untuk bersifat sebagai allergen,Antigen yang bersifat tidak
lengkap seperti ini merupakan kompleks obat dan protein yang disebut sebagai
hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang
bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan
dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.
Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera,
ekstrak organ) dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang
sistem imun tubuh. Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif
rendah yang bersifat imunogenik tanpa bergabung dengan karier.
Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai
panjang.
Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang
pembentukan antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat
berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi
lebih singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh
melalui mekanisme pembentukan sel memori (reaksi anamnestik) .
Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi
4 tipe menurut Gell dan Coombs (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas).
Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut (Tabel 26-2). Bila
antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated)
maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk
adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi
adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah
respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV
merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui
pembentukan IgE (non IgE-mediated).Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi
alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam
obat secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme
tipe I dan IV. Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III
umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.
Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan
Coomb, yaitu :
Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau
metabolitnya berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan
berikatan dengan sel mast di jaringan atau sel basofil di sirkulasi. Reaksi tipe
I merupakan hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan
menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat
berupa urtikaria, edema laring, wheezing dan kolaps kardiorespiratorius.
Penyebab umum adalah molekul biologis dan beberapa obat, seperti
penisilin dan insulin.
Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM
yang mengenali antigen obat di membran sel. Dengan adanya komplemen
serum, maka sel yang dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan
oleh sistem monosit-makrofag. Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik
yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM
atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah
membran permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang
disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang
disebabkan oleh kuinidin. Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini
antara lain sefalosporin, sulfonamida dan rifampisin.
Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari
obat atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Pada reaksi tipe III
terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode
yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat
mengaktivasi komplemen. Reaksi terkadang baru timbul setelah obat
dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal
sebagai reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat
pada tempat antigen berada, misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini
terjadi oleh karena penderita telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi
sehingga terjadi presipitasi pada tempat masuk antigen yang terjadi dalam
waktu 2 sampai 5 jam setelah pemberian. Manifestasi utama berupa
demam, ruam, urtikaria, limfadenopati dan artralgia. Contoh obat tersebut
antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin, tiourasil, globulin
antilimfositik dan fenitoin.
Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity
reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang
spesifik obat. Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi
langsung dengan antigen, misalnya pada dermatitis kontak. Obat topikal
yang secara antigenik biasanya berbentuk hapten, bila berikatan dengan
protein jaringan kulit yang bersifat sebagai karier dapat merangsang sel
limfosit T yang akan tersensitisasi dan berproliferasi. Pada pajanan
berikutnya, sel T yang sudah tersensitisasi akan teraktivasi dan
mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat antigen berada
sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering menimbulkan
reaksi tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat merkuri, neomisin, nikel,
antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi lokal, serta
beberapa zat aditif yang sering terdapat pada obat topikal seperti parabens
atau lanolin.
Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu
obat,namun yang tersering melalui tipe I dan IV. Jenis obat penyebab alergi
sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang
dilakukan. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi
adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu asam
mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun demikian
yang paling sering dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan sulfa. Alergi
obat biasaya tidak terjadi pada paparan pertama. Sensitisasi imunologik
memerlukan paparan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten)
sebelum terjadi reaksi alergi.
Ikatan obat dengan protein jaringan dapat mengubah struktur dan sifat jaringan
sebagai antigen diri menjadi antigen yang tidak dikenal oleh sistem imun tubuh,
sehingga dapat terjadi reaksi autoimun. Contoh obatnya antara lain
klorpromazin, isoniazid, penisilamin, fenitoin dan sulfasalazin. Bila sel sasaran ini
adalah endotel pembuluh darah, maka dapat terjadi vaskulitis akibat aktivasi
komplemen oleh kompleks imun pada permukaan sel endotel (misalnya
pada serum sickness). Aktivasi komplemen ini mengakibatkan akumulasi sel
polimorfonuklear dan pelepasan lisozim sehingga terjadi reaksi inflamasi dan
kerusakan dinding pembuluh darah. Obat yang dapat menimbulkan reaksi
seperti ini antara lain penisilin, sulfonamid, eritromisin, salisilat, isoniazid, dan
lain-lain.
Reaksi alergi
Karena bentuk makromolekul beberapa obat, seperti hormon peptida, secara
intrinsik imunogenik. Banyak obat, memiliki massa molekul kurang dari 1000
dalton dan tidak mampu menginduksi respon imun di negara asal mereka. Untuk
agen-agen untuk menjadi immunogens efektif, mereka tidak hanya harus
mengikat secara kovalen ke tinggi-molekul protein berat badan tetapi juga harus
menjalani pengolahan antigen sukses dan presentasi.
Pemahaman kita tentang respon imun terhadap antigen obat didasarkan
terutama pada hipotesa hapten. Beberapa obat, seperti penisilin, dapat langsung
terjadi reaksi kimia sebagai akibat dari ketidakstabilan struktur molekul. Namun,
yang lain harus dimetabolisme, atau bioactivated, menjadi bentuk reaktif
sebelum respon imun dapat dimulai. Meskipun bioactivation biasanya dimediasi
oleh enzim sitokrom P450 di hepatosit hati, mungkin juga terjadi di lokasi lain,
seperti keratinosit kulit.
Bioactivation biasanya diikuti dengan proses bioinactivating. Dalam beberapa
kasus, faktor genetik atau lingkungan dapat mengganggu keseimbangan antara
kedua proses, yang menyebabkan terbentuknya ditambah atau dikurangi
eliminasi metabolit obat reaktif. Setelah terbentuk, spesies reaktif dapat
melakukan salah satu dari beberapa hal mengikat makromolekul dan
menyebabkan kerusakan sel langsung mengikat asam nukleat untuk
menghasilkan produk gen yang berubah mengikat secara kovalen dengan
target makromolekul yang lebih besar, membentuk sebuah kompleks
imunogenik, dan merangsang respon kekebalan tubuh.
http://allergycliniconline.com/2012/04/18/patofisiologi-terkini-alergi-obat/
Pada asma yang timbul akibat reaksi imunologik, reaksi antigen – antibody
menyebabkan lepasnya mediator kimia yang dapat menimbulkan kelainan patologi
tadi. Mediator kimia tersebut adalah:
a. Histamin
Kontraksi otot polosـ
Dilatasi pembuluh kapiler dan kontraksi pembuluh vena, sehingga terjadi edemaـ
Bertambahnya sekresi kelenjar dimukosa bronchus, bronkhoilus, mukosaa, hidungـ
dan mata
b. Bradikinin
Kontraksi otot polos bronchus
Meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
Vasodepressor (penurunan tekanan darah)
Bertambahnya sekresi kelenjar peluh dan ludah
c. Prostaglandin
bronkokostriksi (terutama prostaglandin F)
- Secara kimiawi, obat-obat ini biasanya dibagi dalam beberapa
kelompok, yaitu: Berdasarkan struktur kimianya obat antiradang
bukan steroid dibagi menjadi tujuh kelompok yaitu turunan salisilat,
turunan 5-pirazolidindion, turunan N-arilantranilat, turunan asam
arilasetat, turunan heteroarilasetat, turunan oksikam, dan turunan lain.
Salah satu turunan asam arilasetat yaitu ketoprofen, digunakan untuk
mengurangi rasa nyeri akibat keradangan pada berbagai keadaan
rematik dan kelainan degeneratif pada sistem otot rangka Ketoprofen
merupakan suatu antiinflamasi non steroid dengan efek antiinflamasi,
analgesik dan antipiretik. Sebagai anti inflamasi bekerja dengan menghambat
sintesa prostaglandin. Pada pemberian oral kadar puncak dicapai selama 0,5–2
jam. Waktu paruh eliminasi pada orang dewasa 3 jam, dan 5 jam pada orang
tua.(Siswandono&Sukarjo, 2000).
- Efek samping yang paling umum adalah terhadap saluran cerna,
mulai dari dispepsia sampai pendarahan. Juga telah dilaporkan efek
samping yang melibatkan susunan saraf pusat, seperti nyeri kepala, tinnitus,
dan pusing.(Mycek, 2001)
-
- Karena ketoprofen mempunyai efek samping berupa hipersensifitas, dengan
hal tersebut akan memicu terjadinya reaksi alergi pada pasien yang alergi.
- Sumber: Farmakologi dan Terapi FKUI dan Buku Ajar Patologi Robin Kumar,
Vol2, Ed. 7.EGC
- Alergen terikat pada antibodi yang dikenal sebagai Imunoglobulin E (IgE),
kemudian menempel pada sel mast sehingga terjadi degranulasi. Dari degranulasi
tersebut keluarlah mediator-mediator yang sifatnya dapat bersifat langsung, tak langsung,
atau kombinasi keduanya. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien
yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi sesak napas
(Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 )
Suatu perasaan bernapas yang tidak nyaman. Orang normal hanya mengalami sesak napas
jika melakukan aktifitas.
(Sumber: buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid 2 edisi 3)
Ialah sukar bernafas yang dirasakan oleh pasien, jadi subyektif.
( sumber: buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, kepala, tenggorok dan leher, edisi 6)
Sesak napas berarti penderitaan mental yang diakibatkan oleh ketidakmampuan ventilasi
untuk memenuhi kebutuhan udara.
Guyton & Hall. Buku Ajar Fisiologi. Ed.11. EGC
Derajat sesak nafas
tingkat I : dipsnea tidak membatasi aktifitas
tingkat II : terjadi pembatasan ringan dari fungsi paru,pada saat beraktifitas terjadi dipsnea
tapi tidak saat istirahat
tingkat III : aktifitas fisik penderta sangat terbatas dan dengan aktifitas fisik yg ringan
sudah dpt menimbulkan dipsnea
tingkat IV : dipsnea terjadi saat istirahat,kerja yg ringan dapat memperberat dipsnea
Ilmu Penyakit Paru
Derajat sesak napas
Tingkat Derajat kriteria
0 Normal Tidak ada kesulitan bernapas kecuali dengan aktivitas
berat
1 Ringan Terdapat kesulitan bernapas,napas pendek-pendek
ketika buru-buru atau ketika berjalan menuju puncak
landai
2 Sedang Berjalan lebih lambat daripada kebanyakan orang
berusia sama karena sulit bernapas atau harus
berhenti berjalan untuk bernapas
3 Berat Berhenti berjalan setelah 90 meter untuk bernapas
atau setelah berjalan beberapa menit
4 Sangat berat Terlalu sulit untuk bernapas bila meninggalkan rumah
atau sulit bernapas ketika memakai baju atau
membuka baju
Sumber : Patofisiologi EGC,Silvia A.Price
2. Bagaimana patofisiologi
HIPERSENSITIVITAS TIPE I
1. Fase sensitisasi
Antigen sel B membentuk IgE dengan bantuan sel Th IgE diikat oleh
sel mastosit/basofil melalui reseptor Fc
2. Fase alergi
Paparan ulang sel tersensitisasi membentuk granul di sitoplasma
degranulasi pengeluaran mediator kimiawi.
Mediator kimiawi mempunyai efek:
Antigen
Sel BSel Th2
APC
Pelepasan mediator kimiawi
Melepaskan granula
AktivasiRecruitment eosinofil
IL-3IL-5GM-CSF
IL-4
IL-3IL-5
Fc
Sel MastIgE Sel mast
Sel tersensitisasi
Aktivasi enzim adenil siklase
cAMPATP
Enzim fosfodiesterase
5’-AMP
Spasme bronkus
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah
Peningkatan sekresi mucus
Pelepasan mediator kimiawi dipengaruhi oleh:
1. Kadar cAMP
2. Kadar cGMP
3. Ratio cGMP/cAMP
Siklus AMP (cAMP)
Sel tersensitisasi
Perubahan permeabilitas membrane sel terhadap Ca
↑ degranulasi
Prostaglandin Leukotrien
↑ produksi energi
Ca masuk ke sel mast
Rx enzimatik siklo-oksigenaseRx enzimatik lipooksigenase
Asam arakidonat
Pengaktivan fosfolipase A2 dinding sel
↑ mediator kimiawi
cAMP : meningkatkan pencegahan kontraksi sel otot polos dan mempertahankan
bronkodilatasi (menghambat pelepasan mediator kimiawi)
5’-AMP : mengurangi kerja cAMP
Siklus cGMP
Fungsi cGMP : berlawanan dengan fungsi cAMP, yaitu merangsang pengeluaran
mediator kimiawi
PENGELUARAN MEDIATOR KIMIAWI YANG LAINNYA
Aktivasi enzim adenilsiklase
Reseptor adrenergic β-2
GANGGUAN KESEIMBANGAN SARAF OTONOM
Kolinergik dan adrenergic α : mengkontraksi otot polos bronkus
Adrenergic β : relaksasi otot polos bronkus
PROSES INFLAMASI BRONKUS
Edema mukosa & dinding bronkus infiltrate sel radang (eosinofil) epitel
bersilia lepas saluran nafas terhambat
Mediator kimiawi fase awal:
1. Leukotrien : brinkokonstriksi, ↑ permeabilitas vascular dan ↑ sekresi musin
2. Prostaglandin : bronkokonstriksi dan vasodilatasi
3. Histamine : bronkospasme dan vasodilatasi
4. PAF (Platelet Activating Factor) : agregasi trombosit dan pembebasan
histamine
5. Triptase sel mast : inaktif peptide yang sebabkan bronkodilatasi normal
Mediataor untuk recruitment sel radang:
1. Kator kemotaktik eosinofilik dan neutrofilik
↑ cGMP & GTP
Enzim guanil siklase
↑ kolinergik
2. IL-4 dan IL-5 : memperkuat Th2 sel CD4+ (↑IgE dan proliferasi serta
kemotaksis eosinofilik)
3. PAF : kemotaktik eosinofilik jika ada IL-6
4. Factor nekrosis tumor : ↑ adhesi molekul di endotel vascular dan sel radang
Buku Ajar Patologi, Robbins & Kumar
1. Patofisiologi
terjadi obstruksi bronkus, karena 4 proses, yaitu:
1. Konstriksi otot polos bronkus (bronkospasme)
2. Sekresi mukus intraluminal bronkus, sifatnya lengket
3. Edema mukosa bronkus
4. Proses inflamasi
Bronkospasme dapat dikelompokkan berdasarkan cepat timbulnya spasme bronkus
(Kay):
1. Fase cepat (rapid spasmogenic)
Bronkospasme timbul segera (30-60 menit) dan berakhir setelah 1-2 jam, selanjutnya
menghilang dengan sendirinya atau disusul dengan fase lambat menetap. Mediator
utamanya adalah histamin
2. Fase lambat menetap (late sustained)
Terdapat spasme bronkus dan akumulasi neutrofil. Sedangkan mediator kimianya
adalah leukotrien, prostaglandin, tromboksan, dll. Fase ini berlangsung 6-8 jam atau
lebih
3. Fase subakut/kronik
Adanya proses inflamasi pada dinding bronkus dengan infiltrasi sel-sel eosinofil dan
sel-sel mononukleus
Gangguan fungsional pada obstruksi bronkus adalah:
1. Adanya hambatan aliran udara nafas, merupakan gangguan ventilasi
(hipoventilasi)
2. Adanya distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru
(V/Q imbalance)
3. Adanya gangguan difusi gas di tingkat alveoli
Adanya ketiga faktor di atas akan mengakibatkan:
Hipoksemia, Hiperkapnea, Asidosis respiratoir tahap yang sangat lanjut
Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru (Pumonologi) Buku ke-2, dr. Pasiyan Rachmatullah, FK
UNDIP
3. Mengapa di kedua kelopak mata terdapat angiodema dan urtikaria hamper diseluruh tubuh?Urtikaria (kaligata, gidu, nettle rash, hives) adalah erupsi kulit yang menonjol, berbatas tegas, berwarna merah, umumnya berbentuk bulat, gatal, dan berwarna putih di bagian tengah bila ditekan. Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinkes edema) adalah sebuah lesi yang sama dengan urtikaria tetapi pada angioedema meliputi jaringan subkutan yang lebih dalam , tidak gatal, namun biasanya disertai dengan rasa nyeri dan terbakar.Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun non-imunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria secara imunologik (Tipe I atau II). Contohnya ialah obat-obatan golongan penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon, dan diuretik. Ada pula obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.
Urtikaria disebabkan karena pelepasan histamin, bradikinin, leuketrien C4,
prostaglandin D2, dan substansi vasoaktif lainnya lainnya dari sel mast dan basofil di
kulit. Substansi-substansi tersebut menyebabkan ekstravasasi cairan ke kulit,
mengakibatkan timbulnya lesi urtikaria. Intensitas pruritus dari urtikaria adalah hasil
dari pelepasan histamin ke kulit. Aktivasi reseptor histamin H1 pada sel-sel endotel
dan otot polos menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Sedangkan aktivasi
reseptor histaminH2 menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venula.
Proses ini disebabkan oleh beberapa mekanisme. Respon alergi tipe I IgE diinisiasi
oleh kompleks imun antigen-mediated IgE yang mengikat dan cross-link reseptor Fc
pada permukaan sel-sel mast dan basofil, hal tersebut menyebabkan pelepasan
histamin. Respon alergi tipe II dimediasi oleh sel-sel T sitotoksik, menyebabkan
deposit Ig, komplemen, dan fibrin di sekitar pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
vaskulitis urtikaria. Penyakit kompleks imun tipe III berhubungan dengan SLE dan
penyakit autoimun lainnya yang dapat menyebabkan urtikaria.
Komplemen-mediated urtikaria disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus, serum
sickness, dan reaksi transfusi. Reaksi transfusi urtikaria terjadi ketika substansi
alergenik dalam plasma dari produk darah donor bereaksi dengan antibodi Ig E
resipien. Beberapa obat-obatan (opioids, vecuronium, succinylcholine, vancomycin,
dan lain-lain) juga agen-agen radiokontras menyebabkan urtikaria karena
degranulasi sel mast melalui mekanisme mediasi non-Ig E. Urtikaria fisik pada
beberapa stimulus fisik yang menyebabkan urtikaria meliputi immediate pressure
urticaria, delayed pressure urticaria, cold urticaria, dan cholinergic
urticaria. Terakhir, urtikaria kronik dimana penyebabnya tidak dapat ditemukan
secara signifikan, merupakan idiopatik.
Sumber : Soter, Allen. Urticaria and Angioedema. Dalam : Freedberg, Eisen, Wolff,
Austen. Fitzpatrick’s Dermatology In Genereal Medicine. Edisi 6. New York : McGraw-
Hill Inc. 2003: 122-45.
Kulszicky, Anthony. 2010. Urticaria and Angioedema. Immuno VI 05/10. Halaman 1-12.
4. Mengapa didapatkan vital sign RR 40x/menitdan 80/40 mmHg, nadi 130x/menit, danakraldingin?Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Plateletactivatingfactor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keadaan syok
Gejala hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas dinding
kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume relatif).
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu :Fase KompensasiPenurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.Fase ProgresifTerjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea
5. Mengapa pada pemeriksaan fisik didapatkan stridor, wheezing, retraksi subcostal, dan fase ekspirasi memanjang dan muka kebiru-biruan?
Wheezing adalah penyempitan saluran napas dari bronki dan bronkiolus yang dapat disebabkan
oleh bronkokonstriksi, edema mukosa, kompresi eksternal, atau obstruksi parsial oleh tumor,
benda asing, atau cairan kental.
Wheezing yang terjadi akibat obstruksi saluran napas intrathorakal terutama pada ekspirasi
karena saluran napas, sesuai dengan perubahan intrathorakal , cenderung melebar pada
inspirasi dan menyempit pada ekspirasi .Peningkatan resistensi intrathorakal biasanya
terjadi akibat penyempitan atau penyumbatan bronkus karena tekanan dari luar,
kontraksi otot bronkus, penebalan lapisan mukus, atau sumbatan lumen oleh mucus, hal
ini benyak terjadi pada asma atau bronchitis kronis.
Obstruksi intrathorakal terutama mengganggu proses ekspirasi karena saat inspirasi tekanan
intrathorakal menurun sehingga melebarkan jalan pernapasan. Perbandingan waktu ekspirasi
dan inspirasi akan meningkat. Ekspirasi yang terhambat akan melebarkan duktulus alveolus
(emfisema sentrilobular) menurunkan elastisitas paru (peningkatan komplians), dan bagian
tengah pernapasan akan terdorong kearah inspirasi (barrel chest). Hal ini meningkatkan kapasitas
residu fungsional dan dibutuhkan tekanan intrathorakal untuk melakukan ekspirasi karena
komplians dan resistensi meningkat. Akibatnya, terjadi penekanan bronkiolus sehingga tekanan
jalan napas semakin meningkat. Obstruksi akan menurunkan kapasitas pernapasan maksimal (V
max) dan FEV1 .
(Price dan Wilson, 2006).
Wheezing
BUKU AJAR DIAGNOSTIKFISIKOLEH MARK H. SWARTZ HAL. 174
Muka kebiruanSianosis merupakan indikasi dari kurangnya oksigen di aliran darah yang disebabkan oleh kelainan jantung kongenital atau racun (seperti CO). Penyebab sianosis adalah Hb yang tidak mengandung O2 , jumlahnya berlebihan dalam dalam pembuluh darah kulit, terutama dalam kapiler. Hb yang tidak mengandung O2 memiliki warna biru gelap yang terlihat melalui kulit. Pada umumnya sianosis muncul apabila darah arteri berisi lebih dari 5 gram Hb yang tidak mengandung O2 dalam setiap desiliter darah.
Sianosis
Sianosis terjadi akibat darah yang beredar ke seluruh tubuh mengandungdarah kotor
yang rendah oksigen. Bila kadar oksigen yang beredar teralurendah (pasien biru
sekali), bisa terjadi gangguan otak dengan manifestasigelisah, menangis merintih,
lemas bahkan sampai kejang
sianosis adalah suatu klinis atau gejala dari adanya gangguan pada
tubuhseseorang, warna kebiru-biruan pada kulit dan selaput lendir yang
terjadiakibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tak
berkaitandengan O2).
dalam arti sebenarnya sianosis adalah kebiruan pada bagiantubuh seseorang.
biasanya karena kekurangan oksigen yang dibawa olehdarah. Sianosis dapat tanda
insufisiensi pernapasan, meskipun bukanmerupakan tanda yang dapat
diandalkan.
Ada dua jenis sianosis: sianosissentral dan sianosis perifer
Sianosis sentral disebabkan oleh insufisiensioksigenasi Hb dalam paru, dan
paling mudah diketahui pada wajah, bibir,cuping telinga, serta bagian bawah
lidah. Sianosis biasanya tak diketahuisebelum jumlah absolut Hb tereduksi
mencapai 5g per 100 ml atau lebih padaseseorang dengan konsentrasi Hb yang
normal (saturasi oksigen [SaO2]kurang dari 90%). Jumlah normal Hb tereduksi
dalam jaringan kapiler adalah 2,5 g per 100 ml. Pada orang dengan konsentrasi
Hb yang normal, sianosisakan pertama kali terdeteksi pada SaO2 kira-kira 75%
dan PaO2 50 mmHgatau kurang. Penderita anemia (konsentrasi Hb rendah)
mungkin tak pernahmengalami sianosis walaupun mereka menderita hipoksia
jaringan yang beratkarena jumlah absolut Hb tereduksi kemungkinan tidak
dapat mencapai 5 gper 100 ml. Sebaliknya, orang yang menderita polisitemia
(konsentrasi Hbyang tinggi) dengan mudah mempunyai kadar Hb tereduksi 5 g
per 100 mlwalaupun hanya mengalami hipoksia yang ringan sekali.
Faktor -faktor lainyang menyulitkan pengenalan sianosis adalah variasi
ketebalan kulit,pigmentasi dan kondisi penerangan.
sianosis perifer bila aliran darah banyak berkurangsehingga sangat
menurunkan saturasi darah vena, dan akan menyebabkansuatu daerah
menjadi biru. Sianosis perifer dapat terjadi akibat insufisiensijantung,
sumbatan pada aliran darah, atau vasokonstriksi pembuluh darahakibat suhu
yang dingin. Sejumlah kecil methemoglobin atau sulfhemoglobindalam sirkulasi
dapat menimbulkan sianosis, walaupun jarang terjadi
Sianosis : Sianosis adalah berubahnya warna kulit menjadi kebiruan akibat meningkatnya jumlah
Hb terreduksi dalam kapiler (Price dan Wilson, 2006).
merupakan indikasi dari kurangnya oksigen di aliran darah yang disebabkan oleh kelainan
jantung kongenital atau racun (seperti CO). Penyebab sianosis adalah Hb yang tidak mengandung
O2 , jumlahnya berlebihan dalam dalam pembuluh darah kulit, terutama dalam kapiler. Hb yang
tidak mengandung O2 memiliki warna biru gelap yang terlihat melalui kulit. Pada umumnya
sianosis muncul apabila darah arteri berisi lebih dari 5 gram Hb yang tidak mengandung O2
dalam setiap desiliter darah.
fase ekspirasi memanjang
Mengi yang terjadi akibat obstruksi saluran napas intrathorakal terutama pada ekspirasi
karena saluran napas, sesuai dengan perubahan intrathorakal , cenderung melebar pada
inspirasi dan menyempit pada ekspirasi (Stark, 1990). Peningkatan resistensi intrathorakal
biasanya terjadi akibat penyempitan atau penyumbatan bronkus karena tekanan dari luar,
kontraksi otot bronkus, penebalan lapisan mukus, atau sumbatan lumen oleh mucus, hal ini
benyak terjadi pada asma atau bronchitis kronis (Lang, 2007:76).
Obstruksi intrathorakal terutama mengganggu proses ekspirasi karena saat inspirasi tekanan
intrathorakal menurun sehingga melebarkan jalan pernapasan. Perbandingan waktu ekspirasi
dan inspirasi akan meningkat. Ekspirasi yang terhambat akan melebarkan duktulus alveolus
(emfisema sentrilobular) menurunkan elastisitas paru (peningkatan komplians), dan bagian
tengah pernapasan akan terdorong kearah inspirasi (barrel chest). Hal ini meningkatkan
kapasitas residu fungsional dan dibutuhkan tekanan intrathorakal untuk melakukan ekspirasi
karena komplians dan resistensi meningkat. Akibatnya, terjadi penekanan bronkiolus
sehingga tekanan jalan napas semakin meningkat. Obstruksi akan menurunkan kapasitas
pernapasan maksimal (V max) dan FEV1 (Lang, 2007:76). Kejadian ini penting dimengerti
pada penderita (misal) asma karena pasien dengan penyakit asma ketika asma kambuh, pasien
akan gugup karena merasa sesak napas dan makin berusaha inspirasi sebanyak-banyaknya,
oleh karena itu bagi dokter atau perawat harus bisa menenangkan terlebih dahulu kejiwaan
pasien, karena ketika gugup dan inspirasi kuat makin memperburuk kondisi mereka.
http://eprints.undip.ac.id/12582/1/2006PPDS4843.pdf
6. Mengapa pasien dielevasikan kedua tungkainya? Apatujuannya?
tendelern burgPosisi syok adalah posisi orang yang terbaring di punggungnya dengan kaki terangkat sekitar 8-12 inci. Ini digunakan ketika seorang pasien menunjukkan tanda-tanda syok. posisi syok juga digunakan untuk pasien yang mengalami keadaan darurat terkait panas..
Tujuan dari posisi syok adalah untuk mengangkat kaki di atas jantung dengan cara yang akan sedikit membantu aliran darah ke jantung. (meninggikan tungkai memungkinkan darah mengalir dari tungkai kembali ke jantung). membantu lebih banyak mengalirkan oksigen melalui darah dan membantu menghilangkan hipoksia yang dapat menyebabkan shock.
Sumber : Irwin, Richard S.; Rippe, James M. (January 2003). Intensive Care Medicine dan first aid Pertolongan Pertama Ed 5 (American College of Emergency Physicians)
Meletakkan penderita dalam posisi syok :- Kepala setinggi atau sedikit lebih tinggi daripada dada- Tubuh horizontal atau dada sedikit lebih rendah- Kedua tungkai lurus diangkat 20 derajat ; literature lain ada yang menyebutkan
15-30 cm jika tidak dicurigai cidera spinal)
Kedaruratan medik, agus purwadianto dan budi sampurna
7. Bagaimana penilaian ABCDE padapasien?8. Bagaimana prinsip pemeriksaan ECG?9. Bagaimana prinsip dari pulse oxymetri?10. Apa diagnosis dari scenario dan klasifikasinya?
Tanda gejala syokManifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari
reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam
setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam
setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah
terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-
kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam
derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan
perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi
kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair.
Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat
sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan
edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan,
hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama
dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak
dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan
diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea
berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare,
dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat
disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada
satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal,
kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain.
Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam
mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak,
mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
Pada rhinitis alergi dapat dijumpaiallergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra
inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang
alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan
menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk
menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis
melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari
pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung
diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip
hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria,
kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume
tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat
sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika
edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran
napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga
terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi
koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular
terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung
(angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula
dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang
mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan
GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu
terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan
elektrolit pada urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos,
berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai
perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi
trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada
sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi
insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi
perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan
asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel
membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
HAUPT M T, CARLSON R W. ANAPHYLACTIC AND ANAPHYLACTOID REACTIONS. DALAM BUKU: SHOEMAKER W C, AYRES S, GRENVIK A EDS, TEXBOOK OF CRITICAL CARE. PHILADELPHIA
11. Apa saja pemeriksaan penunjangnya?Beberapa tujuan dari penggunaan EKG adalah :1. Untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan irama jantung/disritmia2. Kelainan-kelainan otot jantung3. Pengaruh/efek obat-obat jantung4. Ganguan -gangguan elektrolit5. Perikarditis6. Memperkirakan adanya pembesaran jantung/hipertropi atrium dan ventrikel7. Menilai fungsi pacu jantung.
Indikasi dari penggunaan EKG
Merupakan standar emas untuk diagnosis aritmia jantung
EKG memandu tingkatan terapi dan risiko untuk pasien yang dicurigai ada infark otot jantung akut
EKG membantu menemukan gangguan elektrolit (mis. hiperkalemiadan hipokalemia)
EKG memungkinkan penemuan abnormalitas konduksi (mis. blok cabang berkas kanan dan kiri)
EKG digunakan sebagai alat tapis penyakit jantung iskemik selama uji stres jantung
EKG kadang-kadang berguna untuk mendeteksi penyakit bukan jantung (mis. emboli paru atau hipotermia)
Penunjang diagnostik EKG untuk mengetahui gambaran jantung ( biasanya pada gambar EKG gelombang T mendatar dan terbalik ), aritmia.SUNDANA K, 2008, INTERPRETASI EKG, 2008
Pulse oxymetry
Merupakan suatu alat untuk mengukur saturasi oksigen dalam darah secara
non-invasif. Alat ini memancarkan cahaya ke jaringan seperti jari, jempol kaki,
atau pada anak kecil, seluruh bagian tangan atau kaki. Saturasi oksigen diukur
pada pembuluh arteri kecil, oleh sebab itu disebut arterial oxygen
saturation (SaO2). Ada yang dapat digunakan berulang kali hingga beberapa
bulan, adapula yang hanya sekali pakai.
Nilai saturasi oksigen yang normal pada permukaan laut pada anak adalah
95–100%; pada anak dengan pneumonia berat, yang ambilan oksigennya
terhambat, nilai ini menurun. Oksigen biasanya diberikan dengan saturasi <
90% (diukur dalam udara ruangan). Batas yang berbeda dapat digunakan
pada ketinggian permukaan laut yang berbeda, atau jika oksigen menipis.
Reaksi yang timbul dari pemberian oksigen dapat diukur dengan
menggunakan pulse oxymeter, karena SaO2 akan meningkat jika anak
menderita penyakit paru (pada PJB sianotik nilai SaO2 tidak berubah walau
oksigen diberikan). Aliran oksigen dapat diatur dengan pulse oxymetry untuk
mendapatkan nilai SaO2 > 90% yang stabil, tanpa banyak membuang oksigen.
Px penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil
darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering
kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-
immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun
memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu
dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling
sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita
termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain
sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal,
feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
SYOK ANAFILAKSIS
Definisi
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh IgE
(hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan COP dan tekanan arteri yang menurun
hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu Reaksi Antigen-Antibodi yang timbul
segera setelah suatu antigen yang sensitif untuk seseorang telah masuk dalam
sirkulasi.
Secara harafiah, anafilaktik berasal dari kata ana = balik; phylaxis = perlindungan.
Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak
jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis =
anaphylaxis). Istilah ini pertama kali digunakan oleh Richet dan Portier pada tahun
1902 untuk menerangkan terjadinya renjatan yang disusul dengan kematian pada
anjing yang disuntik bisa anemon laut. Pada suntikan pertama tidak terjadi reaksi,
tetapi pada suntikan berikutnya sesudah beberapa hari terjadi reaksi sistemik yang
berakhir dengan kematian.
Renjatan anafilaktik merupakan salah satu manifestasi reaksi anafilaktik yang berat
dengan tanda-tanda kolaps vaskular dengan atau tanpa penurunan kesadaran.
Reaksi ini terjadi akibat pengeluaran mediator mastosit jaringan atau basofil darah
perifer yang mengakibatkan vasodilatasi umum pembuluh darah perifer dan
peningkatan permeabilitas. Akibatnya terjadi kebocoran cairan ke jaringan sehingga
volume darah efektif menurun, disamping hipoksemia dan disfungsi ventrikel.
Reaksi anafilaktik terjadi akibat pajanan ulang alergen yang sama yang dimediasi
oleh IgE spesifik yang melekat pada dinding mastosit dan basofil. Reaksi ini dapat
diperberat dan diperpanjang oleh mediator sekunder yang dikeluarkan oleh sel-sel
radang yang tertarik ke lokasi reaksi. Kadar IgE total yang umumnya dipakai di
laboratorium, yaitu :
UMUR (μg/dl) (IU/ml)
Neonatus <> <>
1 tahun <> <>
2-5 tahun <14,4 <>
6-9 tahun <> <>
10-15 tahun <> <>
Dewasa <> <>
Reaksi anafilaktik timbulnya tiba-tiba, tidak terduga dan potensial mematikan, serta
memerlukan penanganan yang cepat dan tepat. Oleh karena itu harus dimengerti
dan selalu diwaspadai.
Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu :
1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar
dengan alergen
2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar dengan
alergen
3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi > 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Etiologi Syok Anafilaksis
Banyak material yang dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaksis, yaitu :
1. Protein heterolog dalam bentuk hormon seperti :
Insulin, vasopressin, paratohormone
2. Enzim
Tripsin, kimotripsin, penisilinase, streptokinase
3. Bahan-bahan tumbuhan
Alang-alang, rumput, pohon
4. Bahan-bahan bukan tumbuhan
Kutu, bulu anjing dan kucing, dan hewan uji coba laboratorium
5. Makanan
Susu, telur, ikan laut, kacang,padi-padian, biji-bijian, gelatin pada kapsul
6. Antiserum
Antilimsofitik Gamma Globulin
7. Protein yang berhubungan dengan pekerjaan
Bahan latex karet
8. Racun serangga
Sengatan lebah penyengat, lebah madu,semut api
9. Polisakarida seperti dextram dan thiomerosal pada bahan pengawet
10. Golongan protamin dan antibiotika
Golongan Penisilin, amfotericin B, nitrofurantoin, golongan kuinolon
11. Anastesi lokal
Prokain, lidokain
12. Relaksan otot
Suxamethonium, gallamine, pancuronium
13. Vitamin
Thiamin, asam folat
14. Agen untuk diagnostik
Sodium dehidrokolat, sulfobromophthalein
15. Bahan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan
Etilen oksida
Dengan melihat ada begitu banyak alergen yang dapat menyebabkan atau
mencetuskan syok anafilaksis, maka dari itu, khusus untuk pemberian terapi (obat-
obatan) sebaiknya dilakukan ’skin test’ terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya
syok anafilaksis tersebut. Teknik pelaksanaan skin test, antara lain :
a. Fiksasi daerah follar antebrachi
b. Suntikkan 0,02 ml intra-kutan, obat yang akan digunakan dalam pengobatan
nantinya
c. Lalu buat lingkaran dengan diameter ± 2 cm mengelilingi daerah suntikan
d. Tunggu ± 15 menit untuk melihat apakah terjadi pembesaran melebihi daerah
lingkaran yang dibuat (dianggap dapat mengkibatkan anafilaksis bila lingkaran
kemerahan akibat suntikan mencapai 1 inci = 2,54 cm)
Patogenesis
Berbagai manifestasi klinis yang timbul dalam reaksi yang muncul dalam reaksi
anafilaktik pada umumnya disebabkan oleh pelepasan mediator oleh mastosit/
basofil baik yang timbul segera (yang timbul dalam beberapa menit) maupun yang
timbul belakangan ( sesudah beberapa jam).
Dari berbagai perangsang yang dapat menyebabkan pelepasan mediatornya,
mekanismenya dapat melalui reaksi yang dimediasi IgE (IgE mediated anaphylaxis).
Pada pajanan alergen, alergen ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) seperti
makrofag, sel dendritik, sel langerhans, atau yang lain. Kemudian antigen tersebut
dipersembahkan bersama beberapa sitokin ke sel T-Helper melalui MHC kelas II. Sel
T-Helper kemudian aktif dan mengeluarkan sitokin yang merangsang sel B
melakukan memori, proliferasi dan peralihan menjadi sel plasma yg kemudian
menghasilkan antibodi termasuki IgE lalu melekat pada permukaan basofil, mastosit
dan sel B sendiri. Apabila di kemudian hari terjadi pajanan ulang dengan alergen
yang sama maka alergen itu akan ditangkap oleh IgE terutama yang melekat pada
mastosit/basofil, ikatan alergen dengan IgE spesifiknya ini akan merangsang
mastosit/basofil mengeluarkan mediator, baik yang segera maupun yang lambat.
Mediator tersebut menyebabkan dilatasi venula, peningkatan permeabilitas kapiler,
bronkospasme, kontraksi otot polos dan dilatasi arteriol sehingga timbul manifestasi
klinik reaksi anafilaktik berupa urtikaria, angioedema, edema laring, asma,
mual/muntah, kram usus, dan renjatan yang bisa menyebabkan kematian tiba-tiba.
Reaksi inilah yang sebenarnya disebut reaksi anafilaktik.
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit
dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan
ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut
kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke
dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut
dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase
Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada
organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos.Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang
berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan
syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis
Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari
reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam
setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam
setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah
terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-
kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam
derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan
perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi
kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair.
Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat
sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan
edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan,
hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama
dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak
dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan
diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea
berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare,
dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat
disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada
satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal,
kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain.
Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam
mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak,
mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
Pada rhinitis alergi dapat dijumpaiallergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra
inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang
alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan
menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk
menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis
melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari
pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung
diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip
hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria,
kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume
tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat
sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika
edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran
napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga
terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi
koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular
terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung
(angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula
dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang
mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan
GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu
terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan
elektrolit pada urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos,
berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai
perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi
trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada
sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi
insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi
perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan
asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel
membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil
darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering
kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-
immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun
memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu
dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling
sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita
termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain
sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal,
feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih
setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis
maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu
kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya
(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,
pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan
PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga
beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-
uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan
darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan
gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen
yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi
dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan
darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik
kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan
darah awal.
DIAGNOSA BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak
spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan
penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis
mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan
berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator
tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ.
Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah
reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid
syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada
reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan
darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti
anafilaktik.Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada,
dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak
tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada
nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.
Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah
kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada
reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau
sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan
tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala,
diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat
dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit
setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa
menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan
tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan
suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti
debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis
alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal
hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus
seperti debu, terutama di udara dingin.
PENATALAKSANAAN
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena,
dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak
ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher
diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan,
dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. Circulation support, yaitu bila
tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan
kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati
syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah,
menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas
otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan
mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP
dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta
pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai
kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer
dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga
menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar
lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok
anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler.
Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik
dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk
orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa
kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu
saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada
saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi
intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam
injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi
adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika
respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1
ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena
lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus
kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya
perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada
kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela,
adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang
sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan
mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan
bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit,
antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam
waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin
harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat
diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit),
diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid
tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan
pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau
mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi
efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan
tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam),
atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6
jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7
mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau
aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9%
dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator
aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain
sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan
vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250
ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan
sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau
levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan
2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrosa 5%.
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan
utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan
tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis
cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan
larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume
plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan
cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat
diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa
melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan
pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma
berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim
ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan,
maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai
dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter.
Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari
jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi
harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai
keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis
(keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah,
elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok
dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan
cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark
miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah
mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.2,9,12
Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi
penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor
risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang
mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi
terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit
negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat
tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis.
Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai
kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya
reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian
dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi
selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan
tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat
penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya
menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama
adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis
serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik
adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat
kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu
dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi
kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang
akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen,
atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan
asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE
Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan
reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.
KESIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E
yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok
anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat
tinggi.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu
makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat
meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat,
riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan
dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung
pada vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak, keaadaan ini disebut syok
anafilaktik.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala
prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang
dapat terjadi pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan laboratorium
diperlukan dan sangat membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal,
dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengobatan dan
mendeteksi komplikasi lanjut. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang
baik akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen
yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat
lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru;
pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan
hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi
keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan
tepat sesuai dengan kaidah kegawat daruratan, reaksi anafilaksis jarang
menyebabkan kematian.
Gambaran klinik
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi maupun
luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik atau menit
sesudah terpajan alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam meskipun
diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan
antigen, yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain
kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan
sistem saluran kencing. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Gejala yang timbul pada organ ialah :
- Kardiovaskuler
Dapat terjadi sentral maupun perifer. Gangguan pada sirkulasi perifer dapat dilihat
dari pucat dan ekstremitas dingin. Selain itu kurangnya pengisian vena perifer lebih
bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. Dapat pula terjadi tekanan darah
rendah, vena perifer kolaps, CVP rendah, palpitasi, takikardi, hipotensi, aritmia,
penurunan volume efektif plasma, nadi cepat dan halus sampai tidak teraba,
renjatan, pingsan, pada EKG dapat ditemukan aritmia, T mendatar atau terbalik,
irama nodal, fibrilasi ventrikel sampai asistol.
- Respirasi
Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung, batuk ,
sesak, mengi, stridor, suara serak, gawat napas, takipnea sampai apnea, kongesti
hidung, edema dan hiperemi mukosa, obstuksi jalan napas, bronkospasme,
hipersekresi mukus, wheezing dispnea, dan kegagalan pernafasan.
- Gastrointestinal
Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual, muntah, sakit
perut, diare.
- Kulit
Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.
- Mata
Gatal , lakrimasi, merah, bengkak.
- Susunan saraf pusat
Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma.
- Sistem saluran kencing
Produksi urin berkurang.
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang
irreversible.
Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem organ, Manifestasi klinik syok
Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat ringannya, yaitu sebagai berikut :
a. Ringan
1. Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.
2. Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, mata
berair.
3. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.
b. Sedang
1. Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan
edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
2. Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.
3. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
c. Parah
1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang
sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat
kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat dan sianosis.
2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.
3. Henti jantung dan koma jarang terjadi.
Secara sederhana gajala & tanda syok anafilaktik tertera pada tabel dibawah ini :
Tanda dan gejala Keterangan
Tekanan darah Turun sampai sangat turun
Tekanan nadi Turun sampai sangat turun
Denyut nadi Meningkat sampai sangat
meningkat
Isi nadi Normal atau kecil
Vasokonstriksi
perifer
Meningkat
Suhu kulit Dingin
Warna Normal atau pucat
Tekanan vena
sentral
Normal atau rendah
Diuresis Tidak ada
EKG Normal
Foto paru Normal
Diagnosis Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti :
1. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada
reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan
darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti
anafilaktik.
2. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau
tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-
tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
3. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.
Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah
kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
4. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau
sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan
tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
5. Carsinoid syndrome
Pada syndrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala,
diare, serangan sesak napas seperti asma.
6. Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa
menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5gr bisa
menyebabkan asma.Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan
tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
7. Asma bronchial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang
berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu,
aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
8. Rhinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung
yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus, mis. debu,
terutama di udara dingin.dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA.
Terapi Syok Anafilaksis
1. Penderita langsung dibaringkan.
2. Pemberian oksigen dimana dapat dipertimbangkan intubasi endotrakheal.
3. Diberikan larutan salin (cairan IVFD Ringer Laktat atau NaCl 0,9%) untuk mengisi
kekurangan cairan pada pembuluh darah yang melebar. Juga ditambahkan nutrisi
dengan Dextrosa 5%.
4. Diberikan suntikan adrenalin IM/SK 0,3 – 0,5 ml larutan 1:1000 bila keadaan ringan,
ulangi setiap 5 – 10 menit bila keadaan parah.
5. Dapat juga diberikan adrenalin secara IV yaitu 3 – 5 ml IV larutan 1 : 10000
6. Bisa diberikan obat alternatif seperti :
a. Aminofilin bila ada bronkospasme dengan dosis 5 – 6 mg/kg perinfus selama
20 menit dan dilanjutkan 0,4 – 0,9 mg/kg/jam.
b. Kortikosteroid/hidrokortison , IV 100-200 mg untuk mencegah relaps.
c. Antihistamin IV seperi difenhidramin 50 – 100 mg IM/IV, namun kurang
efektif terlebih apabila penanganan syok sudah teratasi.
Profilaksis Syok Anafilaksis
Pencegahan syok anafilaksis merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian
obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang
dapat kita lakukan, antara lain :
1. Pemberian obat harus benar – benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai
riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap
kemungkinan terjadinya syok anafilaksis.
3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat
mentoleransi pemberian obat – obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita
tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan
mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anfilaksis atau anafilaktoid serta
adanya alat –alat bantu resusitasi kegawatan
HAUPT M T, CARLSON R W. ANAPHYLACTIC AND ANAPHYLACTOID REACTIONS. DALAM BUKU: SHOEMAKER W C, AYRES S, GRENVIK A EDS, TEXBOOK OF CRITICAL CARE. PHILADELPHIA
12. Bagaimana alur penatalaksanaan pada pasien tersebut?PENATALAKSANAAN
BUKU AJAR BEDAH OLEH DAVID C. SABISTONHARRISON: PRINSIP-PRINSIP ILMU PENYAKIT DALAM
Loading cairanutk masukkan cairan IV. Kristaloid dan koloid. Tujuan: utk mengembalikan cairan yg ada di tubuh seharusnya yg sudah merembes ke jaringanBila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka
diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.HAUPT M T, CARLSON R W. ANAPHYLACTIC AND ANAPHYLACTOID REACTIONS. DALAM BUKU: SHOEMAKER W C, AYRES S, GRENVIK A EDS, TEXBOOK OF CRITICAL CARE. PHILADELPHIA
Inotropik vasopresor
Saat terjadi keadaan hipotensi meskipun pemberian cairan telah kita lakukan, agent vasopressor sering kita gunakan. Tujuan penggunaan agent vasopressor adalah untuk meningkatkan mean arterial pressure (MAP). Indikasi pemberian agent vasopressor adalah pada keadaan septik syok yang refrakter terhadap resusitasi volume yang adekuat. Indikasi lainnya meliputi penanganan vasodilatory shock saat cardiopulmonary bypass, anaphylaxis,vascular surgery (carotid endarterectomy), drug overdoses (tricyclic antidepressant) dan spinal cord trauma. Sedangkan agent inotropik merupakan agent yang memiliki efek meningkatkan kontraktilitas jantung. Kontraktilitas jantung yang terganggu dapat menurunkan cardiac output sehingga tidak dapat memberikan perfusi maupun hantaran oksigen yang cukup ke jaringan.VINCENT, J.L. (2008), HEMODYNAMIC SUPPORT OF THE CRITICALLY ILL PATIENT, IN:ANESTHESIOLOGY. LONGNECKER, D. E., EDITOR. UNITED STATES OF AMERICA: THE MCGRAW-HILL COMPANIES, INC.Phenylephrine
Phenylephrine merupakan noncatecholamine sintetik yang menstimulasi terutama
reseptor α adrenergik secara langsung, hanya sebagian kecil bekerja secara tidak
langsung melalui pelepasan norepinephrine. Karena bukan derivat derivat catechol,
tidak diinaktifkan oleh COMT, memiliki masa kerja yang lebih panjang dibandingkan
dengancatecholamine. Phenylephrine ini bekerja langsung pada reseptor.
Venokonstriksi yangterjadi lebih besar daripada arterial konstriksi.
Efek terhadap reseptor β adrenergik minimal.Pada dosis yang sangat tinggi, baru
terlihat adanya aktivitas β. Phenylephrine merupakan
vasokonstriktor yang sangat poten, namun menyebabkan risiko penurunan aliran
darah danperfusi jaringan. Pada pasien syok sepsis, phenylephrine menyebabkan
penurunan alirandarah splanchnic dan hantaran oksigen.
Epinephrine (Adrenaline)
Epinephrine tergolong vasokonstriktor yang sangat kuat dan cardiac stimulant.
Epinephrine merupakan catecholamine endogen yang dihasilkan oleh
medulla adrenal dengan aktivitas α dan β1 yang poten, dan efek β2 yang sedang.
Pada dosis yang rendah, efek βmenunjukkan dominasi. Pada dosis yang lebih tinggi,
efek α menjadi lebih signifikan. Epinephrine merupakan aktivator reseptor α
adrenergik yang paling kuat.Pada hipotensiyang akut seringkali epinephrine lebih
disukai dibandingkan dengan norepinephrine karena efek β adrenergik yang lebih
kuat berperan dalam mempertahakan maupun meningkatkancardiac output.
Fungsi alamiah dari epinephrine bekerja pada (a) kontraktilitas jantung, (b) heart
rate,(c) tonus otot polos vaskular dan otot bronkus, (d) sekresi kelenjar, (e) proses
metabolismeseperti glikogenolisis dan lipolisis. Pemberian secara oral tidak efektif,
karena epinephrinedimetabolisme secara cepat pada mukosa gastrointestinal dan
hepar. Absorpsi epinephrinesetelah pemberian secara subkutan kurang baik, karena
epinephrine menyebabkanvasokonstriksi pada tempat suntikan. Epinephrine juga
kurang larut dalam lemak, sehinggamencegah masuknya obat ke susunan saraf pusat
dan minimnya pengaruh langsung padaotak.
Epinephrine menstimulasi reseptor β1 yang menyebabkan peningkatan
tekanansistolik, heart rate, dan curah jantung. Terjadi sedikit penurunan tekanan
diastolik, hal inimencerminkan adanya vasodilatasi pada vaskularisasi otot rangka
sebagai akibat stimulasireseptor β2
Sebagai hasil akhir adalah peningkatan tekanan nadi dan perubahan minimalpada
tekanan arteri rerata. Karena perubahan tekanan arteri rerata minimal maka
kecilkemungkinan untuk terjadinya refleks bradikardi akibat aktivasi baroreseptor.
Epinephrinemeningkatkan heart rate dengan meningkatkan laju depolarisasi fase 4,
yang juga dapatmeningkatkan resiko terjadinya disritmia. Peningkatan curah jantung
yang terjadi merupakanakibat dari meningkatnya heart rate, kontraktilitas jantung,
dan aliran darah balik. Epinephrine menstimulasi reseptor α1 secara dominan pada
kulit, mukosa, vaskularhepar dan ginjal menghasilkan vasokonstriksi kuat.
Pada vaskular otot rangka, epinephrinemenstimulasi reseptor β2 secara dominan,
menghasilkan vasodilatasi. Hasil akhirnya adalahdistribusi curah jantung ke otot
rangka dan menurunkan tahanan vaskular sistemik. Alirandarah ginjal akan
menurun, walau tanpa perubahan pada tekanan darah sistemik. Sekresirenin akan
meningkat karena adanya stimulasi reseptor beta di ginjal. Pada dosis
terapi,epinephrine tidak memiliki efek vasokonstriksi yang signifikan pada arteri
serebral. Alirandarah koroner akan meningkat setelah pemberian epinephrine,
walaupun pada dosis yangtidak merubah tekanan darah sistemik
Dopamine
Dopamine merupakan immediate metabolic precursor dari norepinephrine
yangmengaktifkan reseptor D1 di vaskular sehingga menyebabkan vasodilatasi.
Aktivasi reseptorprasinaptik D2 mampu menekan release norepinephrine. Dopamine
dapat mengaktifkan
reseptor β1 di jantung. Pada dosis rendah, tahanan perifer dapat menurun. Namun
pada pemberian infus dengan kecepatan tinggi, dapat mengaktifkan reseptor α pem
buluh darah,menyebabkan vasokonstriksi, termasuk di vaskuler ginjal, sehingga
menyerupai efek epinephrine.
Dopamine memiliki efek dopaminergik dominan pada dosis sangat rendah
(<3µ/kg/menit intravena) dan mampu menimbulkan dilatasi pada sirkulasi
hepatosplanchnic danrenal. Efek adrenergik dopamine bervariasi berdasarkan dosis.
Pada dosis rendah, 3-10µ/kg /menit intravena, efek β adrenergik mendominasi
sehingga aliran darah meningkat secara
bersama-sama dengan tekanan darah. Pada dosis yang lebih tinggi,
efek α adrenergik menjadi sangat poten, sehingga sangat berperan pada kasus-kasus
hipotensi berat. Dopaminemeningkatkan tekanan arterial terutama dengan
meningkatkan cardiac index, sebagaikonsekuensi meningkatnya stroke volume dan
heart rate, dengan efek tahanan vaskulersistemik yang minimal. Dopamine juga
memiliki kekurangan, diantaranya adalah dopaminetergolong agen yang relatif
lemah, sehingga membutuhkan epinephrine atau norepinephrineuntuk mengontrol
keadaan hipotensi. Dopamine dapat meningkatkan aliran darah lebihefektif
dibandingkan dengan vasopressor lainnya, namun juga meningkatkan heart rate.
1
Stimulasi dopaminergik menyebabkan efek endokrin yang tidak diharapkan
padakelenjar hipotalamopituitari, sehingga terjadi efek imunosupressan akibat
menurunnyapelepasan prolactin.
Ephedrine
Ephedrine merupakan non katekolamin sintetik yang bekerja secara tidak
langsungmerangsang reseptor α dan β
adrenergik. Efek farmakologinya secara tidak langsungberkaitan dengan pelepasan
norepinephrine endogen, atau secara langsung denganmerangsang reseptor
adrenergik. Ephedrine tidak dimetabolisme oleh MAO di saluran cernasehingga
memungkinkan untuk diabsobsi utuh oleh sirkulasi sistemik setelah pemberian
oral.Pemberian ephedrine intramuskuler memungkinkan, namun dapat
mengakibatkanvasokontriksi lokal sehingga menghambat absorbsi sistemik