Download - KINETIKA FERMENTASI DI DALAM PRODUKSI MINUMAN VINEGAR_FELLYCIA DEVI PARAMITHA_12.70.0109_F5
Acara I
KINETIKA FERMENTASI DALAM
PRODUKSI MINUMAN VINEGAR
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh:
Fellycia Devi P. 12.70.0109
Kelompok F5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SEOGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1
1. HASIL PENGAMATAN
1.1. Kinetika Fermentasi pada Produksi Minuman Vinegar
Data hasil pengamatan kinetika fermentasi pada produksi minuman vinegar kloter F dapat dilihat pada Tabel 1. dibawah ini.
Tabel 1. Kinetika Fermentasi pada Produksi Minuman Vinegar
Kel Perlakuan Waktu Σ MO tiap petak Rata-rata/ Σ MO
tiap petak
Rata-rata/ Σ
MO tiap cc OD (nm) pH
Total Asam
(mg/ml) 1 2 3 4
F1 Sari Apel +
S. cerevisiae
N0 1 4 8 7 5 2 x 107 0,3162 3,82 16,32
N24 50 47 55 45 49,25 19,7 x 107 1,3558 3,24 19,20
N46 39 40 36 41 39 15,6 x 107 1,5890 3,35 14,40
N72 45 62 56 69 58 23,2 x 107 1,6233 3,37 14,59
N96 60 72 76 83 72,75 29,1 x 107 1,8378 3,40 14,02
F2 Sari Apel +
S. cerevisiae
N0 12 13 11 11 11,75 4,7 x 107 0,2721 3,24 16,51
N24 81 101 92 93 91,75 36,7 x 107 1,0991 3,22 17,28
N46 169 123 157 179 157 62,8 x 107 1,1038 3,33 14,40
N72 78 72 101 128 94,75 37,9 x 107 0,9060 3,42 13,82
N96 300 300 300 300 300 120 x 107 2,1425 3,43 13,63
F3 Sari Apel +
S. cerevisiae
N0 28 15 22 16 20,25 8,1 x 107 0,3192 3,27 17,09
N24 54 62 60 56 58 23,2 x 107 1,2458 3,22 17,28
N46 120 82 81 83 91,5 36,6 x 107 1,4917 3,33 16,32
N72 123 103 108 109 110,75 44,3 x 107 1,6415 3,34 15,55
N96 44 39 41 37 40,25 16,1 x 107 1,2932 3,42 14,02
F4 Sari Apel +
S. cerevisiae
N0 26 17 11 29 20,75 8,3 x 107 0,4084 3,30 16,32
N24 101 90 107 124 105,5 42,2 x 107 1,5120 3,25 19,20
N46 81 90 88 97 89 35,6 x 107 1,5583 3,13 14,40
N72 83 76 95 75 82,25 32,9 x 107 0,7487 3,34 14,59
N96 82 76 83 86 81,75 32,7 x 107 0,7845 3,48 13,82
2
F5 Sari Apel +
S. cerevisiae
N0 11 27 23 19 20 8 x 107 0,3352 3,32 15,74
N24 192 187 124 75 144,5 57,8 x 107 1,2911 3,23 17,28
N46 115 106 119 92 108 43,2 x 107 1,3860 3,35 14,40
N72 100 75 69 52 74 29,6 x 107 1,6958 3,54 15,17
N96 135 89 144 167 133,75 53,4 x 107 1,4069 3,46 12,86
Berdasarkan Tabel 1., dapat dilihat bahwa seluruh kelompok menggunakan sari apel yang ditambah dengan kultur Saccharomyces cerevisiae.
Dapat dilihat bahwa waktu fermentasi yang dilakukan adalah 5 hari yang di beri kode sebagai N0, N24, N48, N72 dan N96. Data rata-rata per jumlah
mikroorganisme tiap cc didapati memiliki hasil yang fluktuatif dan berbeda tiap kelompoknya. Pada data OD, dapat dilihat bahwa kelompok F1
memiliki nilai OD yang terus meningkat seiiring berjalannya waktu fermentasi, sedangkan untuk kelompok lainnya mengalami kenaikan dan
penurunan pada N72 dan N96. Kemudian, pada N48 mengalami penurunan pH menjadi semakin asam. Seiring berjalannya fermentasi, pH pada
N72 akan mengalami peningkatan kembali. Lalu, pada data total asam dapat dilihat bahwa , pada N48 mengalami kenaikan total asam menjadi
semakin asam. Seiring berjalannya fermentasi, pH pada N72 akan mengalami penurunan total asam.
3
1.2. Hubungan Nilai OD dengan Waktu Fermentasi
Data hasil pengamatan hubungan nilai OD dengan waktu fermentasi kloter F dapat dilihat pada Grafik 1. dibawah ini.
Grafik 1. Hubungan Nilai OD dengan Waktu Fermentasi
Berdasarkan Grafik 1., dapat dilihat bahwa hubungan antara nilai OD dengan waktu fermentasi pada tiap kelompok mengalami peningkatan
hingga N48. Kelompok F2 dan F4 mengalami penurunan pada N72, sedangkan kelompok F1, F3 dan F5 mengalami kenaikan. Pada N96, kelompok
F2 dan F1 mengalami kenaikan, sedangkan F3, F4 dan F5 mengalami penurunan.
0,0000
0,5000
1,0000
1,5000
2,0000
2,5000
N0 N24 N48 N72 N96
Ab
sorb
an
si
Waktu Fermentasi
F1
F2
F3
F4
F5
4
1.3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Waktu Fermentasi
Data hasil pengamatan hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan waktu fermentasi kloter F dapat dilihat pada Grafik 2. dibawah ini.
Grafik 2. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Waktu Fermentasi
Berdasarkan Grafik 2., dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan waktu fermentasi pada seluruh kelompok
mengalami peningkatan pada N24. Kelompok F1, F4 dan F5 mengalami penurunan jumlah sel mikroorganisme pada N48, sedangkan kelompok
F2 dan F3 mengalami kenaikan. Untuk kelompok F3, jumlah sel mikroorganisme terus meningkat hingga N72. Pada N96, seluruh kelompok
kecuali F3 mengalami kenaikan jumlah sel mikroorganisme.
0
200000000
400000000
600000000
800000000
1000000000
1200000000
1400000000
N0 N24 N48 N72 N96
Ju
mla
h S
el M
ikro
org
an
ism
e
Waktu Fermentasi
F1
F2
F3
F4
F5
5
1.4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pH
Data hasil pengamatan hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan pH kloter F dapat dilihat pada Grafik 3. dibawah ini.
Grafik 3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pH
Berdasarkan Grafik 3., dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan pH pada seluruh kelompok mengalami memiliki
hasil yang berbeda-beda. Semakin basa pH yang diperoleh, maka semakin tinggi pula jumlah sel mikroorganismenya. Namun, dapat dilihat pada
kelompok F1 memiliki pH paling basa 3,8 pada N0 dimana jumlah mikroorganisme masih sedikit.
0
200000000
400000000
600000000
800000000
1000000000
1200000000
1400000000
3 3,1 3,2 3,3 3,4 3,5 3,6 3,7 3,8
Ju
mla
h S
el M
ikro
org
an
ism
e
pH
F1
F2
F3
F4
F5
6
1.5. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Nilai OD
Data hasil pengamatan hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan nilai OD kloter F dapat dilihat pada Grafik 4. dibawah ini.
Grafik 4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Nilai OD
Berdasarkan Grafik 4., dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan nilai OD pada seluruh kelompok memiliki hasil
yang berbeda-beda. Dapat dilihat bahwa semakin tinggi jumlah sel mikroorganisme, maka semakin tinggi pula OD / absorbansinya. Akan tetapi,
terdapat juga hasil jumlah sel mikroorganisme yang menurun diikuti dengan peningkatan nilai OD (kelompok F1, F4, dan F5).
0
200000000
400000000
600000000
800000000
1000000000
1200000000
1400000000
0,0000 0,5000 1,0000 1,5000 2,0000 2,5000
Ju
mla
h S
el M
ikro
org
an
ism
e
Absorbansi
F1
F2
F3
F4
F5
7
1.6. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total Asam
Data hasil pengamatan hubungan jumlah sel mikroorganisme dengan total asam kloter F dapat dilihat pada Grafik 5. dibawah ini.
Grafik 5. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total Asam
Berdasarkan Grafik 5., dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan total asam pada seluruh kelompok memiliki
hasil yang berbeda-beda. Dapat dilihat bahwa semakin rendah jumlah sel mikroorganisme, maka semakin tinggi pula total asamnya. Jumlah sel
mikroorganisme yang menurun atau meningkat tidak sama seiring dengan meningkatnya total asam.
0
200000000
400000000
600000000
800000000
1000000000
1200000000
1400000000
12 13 14 15 16 17 18
Ju
mla
h S
el M
ikro
org
an
ism
e
Total Asam
F1
F2
F3
F4
F5
8
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, praktikan akan membuat minuman vinegar dengan
menggunakan proses fermentasi pada sari apel malang. Menurut Fardiaz (1992),
fermentasi merupakan proses metabolisme suatu mikroorganisme dengan menggunakan
sumber karbon berupa gula yang nantinya diubah menjadi energi untuk dapat merombak
nutrisi kompleks menjadi lebih sederhana. Didapatkan pula produk samping pada proses
fermentasi, sehingga dapat menghasilkan produk yang diinginkan. Kwartiningsih &
Nuning (2005), menambahkan bahwa minuman vinegar adalah hasil fermentasi substrat
mengandung gula yang akan diubah menjadi alkohol. Teori dari Winarno et al., (1980)
menambahkan bahwa proses fermentasi dapat terjadi apabila terdapat aktivitas
mikroorganisme yang menyebabkan proses pemecahan gula menjadi alkohol dan CO2.
Nogueira et al., (2008) mengatakan bahwa cider atau fermentasi apel merupakan salah
satu produk fermentasi dengan kandungan alkohol yang rendah dan memiliki residual
sugar. Didukung pula oleh teori Utami et al. (2009) yang mengatakan bahwa kinetika
pembuatan minuman vinegar perlu diketahui, sehingga pertumbuhan dan pembentukan
produk dari suatu mikroorganisme dapat diketahui secara rinci. Tujuan dilakukannya
praktikum kali ini adalah untuk mengetahui hubungan OD dengan jumlah koloni sel
yeast, mengetahui metode penghitungan sel dengan menggunakan haemocytometer dan
dapat mengukur asam dalam produk minuman vinegar.
2.1. Cara Pembuatan Minuman Vinegar
Pertama-tama, dilakukan penghancuran buah apel malang sebanyak 4 kg, lalu diambil
sari apelnya menggunakan juicer. Sari apel yang telah dipress dapat digunakan sebagai
bahan utama dalam fermentasi vinegar apel yang nantinya akan menghasilkan alkohol
dengan persentase yang kecil (Nogueira et al., 2008). Penggunaan juicer adalah untuk
memisahkan gula pada apel, sehingga pada saat fermentasi berlangsung, mikroorganisme
lebih mudah menguraikan gula tersebut (Ikhsan, 1997). Penggunaan sari apel malang
sudah sesuai dengan teori Winarno et al., (1980) bahwa substat yang digunakan pada
proses fermentasi harus memiliki kandungan karbon serta nitrogen yang nantinya
digunakan oleh mikroorganisme untuk menghasilkan alkohol dan CO2. Apel disini sudah
sesuai dengan teori karena apel memiliki kandungan gula yang tinggi sehingga dapat
9
mencukupi kebutuhan karbon dan nitrogen yang nantinya digunakan oleh
mikroorgansime saat proses fermentasi berlangsung. Kemudian, 250 ml sari apel malang
dimasukkan ke dalam botol kaca dan dilakukan sterilisasi selama 15 menit pada 121 oC.
Perlakuan sterilisasi telah sesuai dengan teori Fardiaz (1992) yang mengatakan bahwa
sterilisasi bertujuan untuk membunuh seluruh mikroorganisme dengan menggunakan
suhu 121 oC selama 15 menit.
Gambar 1. Penyaringan dan Sterilisasi Sari Apel Malang
Setelah itu, dilakukan pengkulturan biakan yeast ke dalam sari apel malang dengan secara
aseptis pada laminar air flow (LAF). Biakan yeast Saccharomyces cerevisiae yang
digunakan adalah sebanyak 30 ml dan kemudian dilakukan pengocokan hingga rata.
Pengkulturan harus dilakukan secara aseptis. Hal ini penting agar dapat menghindari
terjadinya kontaminasi pada media. Mikroorganisme luar yang tidak dikehendaki dapat
masuk melalui kontak langsung dengan permukaan atau tangan yang tercermar
(Hadioetomo, 1993). Gaman & Sherrington (1994) mengatakan bahwa yeast S.
cerevisiae dapat membentuk karbohidrat menjadi alkohol dan CO2. Kemampuan yeast
dalam memecah karbohidrat karena memiliki enzim zymase yang dapat memfermentasi
gula menjadi alkohol dan CO2. Lievense & Lim (1982) dalam Kulkarni et al., (2011)
mengakatan bahwa S. cerevisiae menggunakan glukosa, fruktosa, maltosa serta
maltotriosa sebagai sumber karbon untuk menghasilkan alkohol pada kondisi anaerob.
Querol & Fleet, (2006) dalam Lopez et al., (2009) menambahkan bahwa yeast berperan
penting dalam fermentasi yang dapat mempengaruhi kualitas dan flavor pada produk
akhir. Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces bayanus var. uvarum merupakan
yeast yang sangat berperan penting pada proses fermentasi. Azizah et al., (2012)
mengatakan bahwa S. cerevisiae memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
10
mikroorganisme lainnya, seperti mudah beradaptasi pada lingkungan, tahan pada kadar
alkohol dibawah 2,5% serta mudah didapatkan. Didukung pula oleh teori Sevda &
Rodrigues (2011) bahwa penggunaan S. cerevisiae sebagai starter yeast sudah dapat
diaplikasikan pada industri minuman, salah satunya produk minuman vinegar. Ruiz et al.,
(2003) dalam Kulkarni et al., (2011) menambahkan bahwa S. cerevisiae dapat digunakan
sebagai yeast pada produk bir, roti, wine, sake, ekstrak/vitamin yeast serta distilled spirits.
Setelah itu, diambil 25 ml sampel dan diletakkan ke dalam beaker glass untuk dijadikan
sampel pengujian jumlah biomassa dengan menggunakan haemocytometer pada
mikroskop, pengujian total asam dengan menggunakan metode titrasi, pengujian pH
dengan menggunakan pH meter dan pengujian pengukuran nilai optical density (OD)
dengan menggunakan spektrofotometer. Lalu, dilakukan inkubasi pada suhu ruang yaitu
sekitar 25-30 oC selama 5 hari dengan menggunakan shaker. Menurut Fardiaz (1992),
suhu optimum untuk pertumbuhan yeast adalah sekitar 25-30 oC. Sehingga, penggunaan
suhu inkubasi yang dilakukan pada praktikum kali ini sudah sesuai dengan teori. Said
(1987) menambahkan, shaker bertujuan untuk menyuplai O2 pada mikroorganisme
sehingga pertumbuhan yeast dapat berjalan dengan lancar. Stanburry & Whitaker (1984)
menambahkan bahwa pengadukan bertujuan untuk menurunkan gelembung udara serta
membantu mempertahankan kondisi yang stabil saat proses fermentasi berlangsung.
Setiap 24 jam dilakukan pengambilan 25 ml sampel untuk diuji jumlah biomassa, total
asam, pH serta nilai OD.
Gambar 2. Pengkulturan pada Laminar Air Flow dan Penginkubasian pada Shaker
2.1.1. Pengukuran Biomassa Sel dengan Haemocytometer
11
Pengukuran biomassa sel dilakukan dengan mengambil beberapa tetes sampel dengan
menggunakan pipet tetes. Sebelumnya, haemocytometer telah dibersihkan terlebih dahulu
dengan menggunakan alkohol. Penggunaan haemocytometer adalah untuk menghitung
jumlah viable cell mikroorganisme (Kulkarni et al., 2011; Sevda & Rodrigues, 2011).
Peletakan sampel diatas haemocytometer haruslah benar dan tidak boleh ada gelembung.
Setelah itu, haemocytometer ditutup dengan penutup objek steril dan diamati dengan
menggunakan mikroskop. Jumlah sel dihitung dengan menggunakan bantuan hand
counter. Menurut Hadioetomo (1993), haemocytometer merupakan salah satu alat untuk
menghitung jumlah sel dengan menghitung sel dalam petak kecil yang dilihat dengan
menggunakan mikroskop. Pada haemocytometer terdapat 9 kotak besar yang dibatasi
dengan 3 garis pada tiap sisinya. Sel yang berada pada luar petak tidak termasuk dalam
hitungan. Pada praktikum kali ini, terdapat 4 petak untuk menghitung jumlah sel. Jumlah
sel mikroorganisme yang telah dihitung menggunakan haemocytometer dapat dihitung
tiap cc nya dengan menggunakan rumus berikut.
Jumlah sel tiap cc =1 cm3
volume petak× rata − rata jumlah sel tiap petak
Keterangan:
Volume petak = 0,05 mm x 0,05 mm x 0,1 mm
Gambar 3. Petak Haemocytometer dan Penggunaan Haemocytometer pada Mikroskop
2.1.2. Pengukuran Total Asam
Pertama-tama, 10 ml sampel dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Buret dan statif
disiapkan terlebih dahulu. Buret diisi dengan menggunakan NaOH 0,1 N sebanyak 50 ml.
Sesaat akan dilakukan titrasi, sampel diteteskan dengan indikator phenolpthalein (PP)
sebanyak 2 tetes. Menurut teori Chang (1991), penggunaan indikator harus sesuai dengan
jenis titran yang digunakan. Penggunaan indikator PP dapat bereaksi dengan basa yang
12
nantinya akan menghasilkan warna merah muda. Maka, penggunaan PP dan NaOH telah
sesuai dengan teori yang ada. Petrucci & Suminar (1987) menambahkan bahwa titrasi
pada umumnya menggunakan asam atau basa kuat. Titrasi dihentikan ketika terbentuk
warna merah muda pada sampel. Banyaknya NaOH yang digunakan kemudian dicatat
dan dilakukan penghitungan total asam dengan menggunakan rumus berikut.
Total asam = ml NaOH × Normalitas NaOH × 192
10 ml sampel
Gambar 4. Titrasi
2.1.3. Pengukuran pH
Pertama-tama, 10 ml sampel dimasukkan ke dalam beaker glass. Kemudian sampel
diukur pHnya dengan menggunakan pH meter. Nilai pH yang telah didapatkan, kemudian
dicatat. Menurut Tranggono et al., (1989), pH merupakan konsentrasi ion H+ dan
merupakan ukuran suatu asam. Martoharsono (1994) menambahkan bahwa pH larutan
dapat diukur dengan menggunakan metode titrasi, kertas lakmus serta pH meter. Day &
Underwood (1992) menambahkan bahwa prinsip penggunaan pH meter adalah dengan
mencelupkan elektroda pH meter pada sampel. Pencelupan elektroda tidak diperbolehkan
menyentuh wadah, karena dapat mengurangi ketelitian pengukuran pH tersebut.
Gambar 5. pH meter
2.1.4. Pengukuran Nilai OD / Absorbansi
13
Pertama-tama, sampel dimasukkan ke dalam cuvet yang sisi-sisinya sudah dibersihkan
dengan menggunakan tissue. Setelah itu, cuvet dimasukkan ke dalam spektrofotometer
dengan panjang gelombang 660 nm. Penggunaan panjang gelombang 660 nm sudah
sesuai dengan teori Sevda & Rodrigues (2011) bahwa pengukuran OD yang digunakan
untuk mengetahui jumlah S. cerevisiae adalah 660 nm. Nilai OD yang telah didapatkan,
kemudian dicatat. Ewing (1976) menambahkan bahwa nilai absorbansi akan semakin
tinggi apabila konsentrasi larutan semakin tinggi yang ditandai dengan kekeruhan pada
larutan sampel.
Gambar 6. Mengukur nilai OD dengan Spektrofotometer
2.2. Hasil Pengamatan
Berdasarkan Tabel 1., dapat dilihat bahwa seluruh kelompok menggunakan sari apel yang
ditambah dengan kultur S. cerevisiae. Dapat dilihat bahwa waktu fermentasi yang
dilakukan adalah 5 hari yang di beri kode sebagai N0, N24, N48, N72 dan N96. Data rata-
rata per jumlah mikroorganisme tiap cc didapati memiliki hasil yang fluktuatif dan
berbeda tiap kelompoknya. Pada data OD, dapat dilihat bahwa kelompok F1 memiliki
nilai OD yang terus meningkat seiiring berjalannya waktu fermentasi, sedangkan untuk
kelompok lainnya mengalami kenaikan dan penurunan pada N72 dan N96. Kemudian, pada
N48 mengalami penurunan pH menjadi semakin asam. Seiring berjalannya fermentasi, pH
pada N72 akan mengalami peningkatan kembali. Lalu, pada data total asam dapat dilihat
bahwa, pada N48 mengalami kenaikan total asam menjadi semakin asam. Seiring
berjalannya fermentasi, pH pada N72 akan mengalami penurunan total asam. Faktor yang
dapat mempengaruhi hasil menurut Fardiaz (1992) yaitu faktor lingkungan seperti suhu,
kelembaban, pH lingkungan serta O2. Didukung oleh teori Fardiaz (1992), suhu optimal
untuk pertumbuhan yeast adalah sekitar 25-30 oC.
14
Gambar 7. Hasil Produk Minuman Vinegar
2.2.1. Hubungan Nilai OD dengan Waktu Fermentasi
Berdasarkan Grafik 1., dapat dilihat bahwa hubungan antara OD dengan waktu fermentasi
pada tiap kelompok mengalami peningkatan hingga N48. Kelompok F2 dan F4 mengalami
penurunan pada N72, sedangkan kelompok F1, F3 dan F5 mengalami kenaikan. Pada N96,
kelompok F2 dan F1 mengalami kenaikan, sedangkan F3, F4 dan F5 mengalami
penurunan. Hasil yang didapatkan sangatlah fluktuatif.
Jomdecha & Prateepasen (2006) mengemukakan bahwa waktu fermentasi berbanding
lurus dengan nilai absorbansi yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah sel
yeast selama fermentasi akan semakin meningkat, akan tetapi pada akhir fermentasi akan
mengalami penurunan karena telah berada pada fase kematian. Laily et al., (2004)
menambahkan bahwa peningkatan nilai OD menunjukkan sel yeast ada pada fase
pertumbuhan. Berdasarkan teori diatas, dapat dilihat bahwa data kelompok F1 telah
sesuai dengan teori karena semakin lama waktu fermentasi, maka nilai OD akan semakin
tinggi. Sedangkan utnuk kelompok F2, F3, F4 dan F5 masih kurang sesuai dengan teori
yang ada. Pada N72, nilai OD kelompok F2 dan F4 mengalami penurunan dan kemudian
pada N96 mengalami kenaikan nilai OD. Berbeda dengan kelompok F3 dan F5, nilai OD
hingga N72 mengalami kenaikan, akan tetapi, pada N96 mengalami penurunan. Menurut
Ewing (1976) dan Khopkar (2002), penurunan jumlah sel yeast dikarenakan penempatan
cuvet yang kurang tepat, kotornya cuvet, serta adanya zat pengotor pada sampel yang diuji
sehingga dapat mempengaruhi pembacaan spektrofotometri.
2.2.2. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Waktu Fermentasi
Berdasarkan Grafik 2., dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme
dengan waktu fermentasi pada seluruh kelompok mengalami peningkatan pada N24.
Kelompok F1, F4 dan F5 mengalami penurunan jumlah sel mikroorganisme pada N48,
15
sedangkan kelompok F2 dan F3 mengalami kenaikan. Untuk kelompok F3, jumlah sel
mikroorganisme terus meningkat hingga N72. Pada N96, seluruh kelompok kecuali F3
mengalami kenaikan jumlah sel mikroorganisme. Hasil yang didapatkan sangatlah
fluktuatif. Menurut Fardiaz (1992), sewaktu inkubasi, mikroorganisme akan ada pada
fase lag. Fase lag merupakan fase adaptasi sel pada lingkungan. Selanjutnya akan
memasuki fase log atau fase akselerasi, pada fase ini pertumbuhan mikroorganisme
sangat pesat. Triwahyuni et al., (2012) menambahkan bahwa pada proses fermentasi, sel
yeast mengalami pertumbuhan yang cepat pada inkubasi 24-48 jam. Pada jam ke-48,
pertumbuhan yeast berada pada fase log atau akselerasi, dimana jumlah yeast akan
menjadi sangat tinggi. Setelah jam ke-48, yeast akan memasuki fase stasioner yang
dikarenakan substrat yang ada sudah semakin sedikit. Setelah fase stasioner, sel yeast
akan memasuki fase kematian atau death phase yang menyebebakan sel yeast dalam
mengalami penurunan atau tidak tumbuh kembali karena media sudah habis. Berdasarkan
teori diatas, data yang sesuai dengan teori hanyalah kelompok F2 dan F3 dimana sel yeast
mengalami penurunan pada N72 dan N96, sedangkan pada kelompok F1, F4 dan F5
didapati penurunan sel yeast mulai dari N48.
Penurunan sel pada N48 kurang sesuai dengan teori Triwahyuni et al., (2012) yang telah
disebutkan tadi. Ketidaksesuaian pada praktikum kali ini terjadi karena saat pengambilan
jumlah sampel yang tidak merata serta kemudian kesalahan pada waktu melakukan
penghitungan jumlah sel yeast. Hal ini didukung oleh teori Atlas (1984) yang mengatakan
bahwa penghitungan jumlah sel dengan haemocytometer akan dipengaruhi saat waktu
pencampuran sampel. Pada saat penetesan sampel, tidak diperbolehkan adanya
gelembung udara pada plat. Clark (2007) menambahkan bahwa peningkatan jumlah sel
akan berbanding lurus dengan waktu fermentasi, namun pada waktu N96 akan mengalami
penurunan jumlah sel yeast karena telah berada pada fase kematian.
Gambar 8. Fase Pertumbuhan Mikroorganisme
16
Gambar 9. Sel Yeast pada Plat Haemocytometer
2.2.3. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan pH
Berdasarkan Grafik 3., dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme
dengan pH pada seluruh kelompok mengalami memiliki hasil yang berbeda-beda.
Semakin basa pH yang diperoleh, maka semakin tinggi pula jumlah sel
mikroorganismenya. Namun, dapat dilihat pada kelompok F1 memiliki pH paling basa
3,8 pada N0 dimana jumlah mikroorganisme masih sedikit. Pada praktikum kali ini, pH
yang dihasilkan adalah sekitar 3,13 hingga 3,82. Menurut teori Roukas (1994), S.
cerevisiae tumbuh optimum pada pH 3,5-6,5. Berdasarkan hasil yang diperoleh,
seharusnya semakin banyak jumlah sel yeast dan semakin lama waktu fermentasi, pH
yang diperoleh akan semakin asam. Hal ini dapat terjadi karena S. cerevisiae dapat
mengubah glukosa menjadi alkohol dan CO2 (Gaman & Sherrington, 1994); Lievense &
Lim, 1982 dalam Kulkarni et al., 2011). Yalcin & Ozbas (2008) menambahkan bahwa
pH dapat mempengaruhi proses fermentasi. Apabila pH terlalu tinggi, laju produksi sel
yeast akan semakin menurun karena sel tersebut tumbuh optimal pada pH 4.
Berdasarkan teori diatas, maka dapat dilihat bahwa hasil praktikum yang sesuai ada pada
kelompok F3 yang jumlah sel yeastnya mengalami peningkatan hingga N72 dan
mengalami penurunan pada N96. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat pula pH
kelompok F3 pada N0 memiliki pH 3,27. Lalu selama fermentasi hingga N72, pH akan
menjadi semakin asam seiring dengan banyaknya jumlah sel yeast. Untuk kelompok
selain F3 masih kurang sesuai dengan teori yang ada. Hal ini dapat terjadi karena S.
cerevisiae merupakan yeast yang dapat menghasilkan alkohol yang memiliki sifat asam.
17
Maka, sewaktu proses fermentasi, alkohol dan CO2 akan semakin banyak dan
menyebabkan pH semakin asam (Kartohardjono et al., 2007).
2.2.4. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Nilai OD
Berdasarkan Grafik 4., dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme
dengan OD pada seluruh kelompok memiliki hasil yang berbeda-beda. Dapat dilihat
bahwa semakin tinggi jumlah sel mikroorganisme, maka semakin tinggi pula OD /
absorbansinya. Akan tetapi, terdapat juga hasil jumlah sel mikroorganisme yang menurun
diikuti dengan peningkatan nilai OD (kelompok F1, F4, dan F5). Jomdecha &
Prateepasen (2006) mengemukakan bahwa jumlah sel yeast berbanding lurus dengan nilai
absorbansi yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah sel yeast selama
fermentasi akan semakin meningkat, akan tetapi pada akhir fermentasi akan mengalami
penurunan karena telah berada pada fase kematian. Laily et al., (2004) menambahkan
bahwa peningkatan nilai OD menunjukkan sel yeast ada pada fase pertumbuhan.
Triwahyuni et al., (2012) menambahkan bahwa pada proses fermentasi, sel yeast
mengalami pertumbuhan yang cepat pada inkubasi 24-48 jam. Pada jam ke-48,
pertumbuhan yeast berada pada fase log atau akselerasi, dimana jumlah yeast akan
menjadi sangat tinggi. Setelah jam ke-48, yeast akan memasuki fase stasioner yang
dikarenakan substrat yang ada sudah semakin sedikit. Setelah fase stasioner, sel yeast
akan memasuki fase kematian atau death phase yang menyebebakan sel yeast dalam
mengalami penurunan atau tidak tumbuh kembali karena media sudah habis. Berdasarkan
teori diatas, data yang sesuai dengan teori hanyalah kelompok F2 dan F3 dimana sel yeast
mengalami penurunan pada N72 dan N96, sedangkan pada kelompok F1, F4 dan F5
didapati penurunan sel yeast mulai dari N48. Namun, pada N96 seharusnya didapati jumlah
sel yeast dan nilai OD yang semakin menurun, bukan semakin meningkat. Hal ini
disebabkan karena sel yeast sudah memasuki fase kematian, sehingga alkohol dan CO2
tidak diproduksi kembali karena substrat yang digunakan semakin habis.
2.2.5. Hubungan Jumlah Sel Mikroorganisme dengan Total Asam
Berdasarkan Grafik 5., dapat dilihat bahwa hubungan antara jumlah sel mikroorganisme
dengan total asam pada seluruh kelompok memiliki hasil yang berbeda-beda. Dapat
dilihat bahwa semakin rendah jumlah sel mikroorganisme, maka semakin tinggi pula total
18
asamnya. Jumlah sel mikroorganisme yang menurun atau meningkat tidak sama seiring
dengan meningkatnya total asam. Sreeramulu et al., (2000) mengatakan total asam
berbanding lurus dengan jumlah sel yeast yang ada. Maka, semakin tinggi jumlah sel
yeast, total asam akan semakin tinggi pula. Berdasarkan teori diatas, data yang sesuai
dengan teori hanyalah kelompok F2 dan F3 dimana sel yeast mengalami penurunan pada
N72 dan N96, sedangkan pada kelompok F1, F4 dan F5 didapati penurunan sel yeast mulai
dari N48. Namun, pada N96 seharusnya didapati jumlah sel yeast dan total asam yang
semakin menurun, bukan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena sel yeast sudah
memasuki fase kematian, sehingga alkohol dan CO2 tidak diproduksi kembali karena
substrat yang digunakan semakin habis. Ketidaksesuaian hasil dengan teori dapat
disebabkan karena ketidakakuratan sewaktu melakukan titrasi. Hal ini diperkuat oleh Day
& Underwood (1992) bahwa titrasi dilakukan secara perlahan agar titran yang digunakan
tidak menempel pada dinding buret, sehingga pada sewaktu proses pembacaan volume
tidak salah.
19
3. KESIMPULAN
Produk minuman vinegar adalah hasil fermentasi dari sari apel sebagai media dan S.
cerevisiae sebagai yeast yang mengubah gula menjadi alkohol dan CO2.
Faktor yang mempengaruhi proses fermentasi ialah suhu, pH, kelembaban dan jumlah
O2.
Haemocytometer merupakan salah satu metode untuk menghitung viable cells dengan
cara menghitung petak-petak dibawah mikroskop.
Keasaman vinegar dapat diuji dengan menggunakan metode titrasi dan pH meter.
Jumlah sel yeast berbanding lurus dengan pH, nilai OD dan total asam.
Waktu fermentasi tergantung pada kurva pertumbuhan S. cerevisiae.
Jumlah sel yeast akan semakin meningkat hingga N48, lalu akan menurun saat N72.
Semarang, 10 Juli 2015
Praktikan, Asisten Praktikum
- Bernardus Daniel H.
- Chaterine Meilani
- Metta Meliani
Fellycia Devi Paramitha
(12.70.0109)
20
4. DAFTAR PUSTAKA
Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Applications. Mac Millard
Publishing Company. New York.
Azizah, N. A.; N. Al-Baarri & S. Mulyani. (2012). Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap
Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol dari Whey
dengan Substrat Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, Vol. 1 (2) : 72-77.
Semarang.
Chang, R. (1991). Chemistry. MC Graw Hill. USA.
Clark, J. (2007). Hukum Beer-Lambert. http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/
instrumen_analisis/spektrum_serapan_ultraviolet-tampak-uv-vis/
hukum_beer_lambert. Diakses tanggal 9 Juli 2015.
Day, R. A. & A. L. Underwood. (1992). Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Kelima Jilid 2.
Erlangga. Jakarta.
Ewing, G. W. (1976).Instrumental Methods of Chemical Analysis. Mc Growhill Book
Company. USA.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Gaman, P. M. dan K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Hadioetomo, R. S., (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka.
Jakarta.
Ikhsan, M. B. (1997). Pengaruh Media Starter dan Cara Penambahan Gula Terhadap
Kualitas Anggur Pisang Klutuk. Stiper Farming. Semarang.
Jomdecha, C. & A. Prateepasen. (2006). The Research of Low Ultrasonic Energy Affects
to Yeast Growth in Fermentation Process. Asia Pacific Conference on NDT.
Auckland, New Zealand.
Kartohardjono, S.; Anggara; Subihi & Yuliusman. (2007). Absorbsi CO2 dari
Campurannya dengan CH4 atau N2 melalui Kontaktor Membran Serat Berongga
Menggunakan Pelarut Air. Jurnal Teknologi, Vol. 11 (2): 97-102.
21
Khopkar, S. M. (2002). Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Pers.
Jakarta.
Kulkarni. 2011. Effect of Additives on Alcohol Production and Kinetic Studies of
S.cereveciae for Sugar Cane Wine Production. International Journal of Advanced
Biotechnology and Research ISSN 0976-2612, Vol 2, Issue 1, 2011, pp 154-158.
Kwartiningsih, E & L. Nuning S. M. (2005). Fermentasi Sari Buah Nanas Menjadi
Vinegar. Ekuilibrium, Vol. 4 (1) : 8-12.
Laily, N.; Atariansah; D. Nuraini; S. Istini; I. Susanti & L. Hartono. (2004). Kinetika
Fermentasi Produksi Selulosa Bakteri oleh Acetobacter pasteurianum Pada Kultur
Kocok. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lievense J.C. and Lim H.C. (1982). The growth and dynamics of Saccharomyces
cerevisiae. Annu. Rep. Ferment. Proc. 5, 211–261.
Lopez, F. N. A., S. Orlic., A. Querol., dan E. Barrio. (2009). Effects of temperature, pH
and sugar concentration on growth parameters of Saccharomyces cerevisiae, S.
kudriavzevii and their interspecific hybrid. International Journal of Food
Microbiology 131: 120-127.
Martoharsono, S. (1994). Biokimia Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Nogueira, A; J. M. Le Quere; P. Gestin; A. Michel; G. Wosiacki & J. F. Drilleau. (2008).
Slow Fermentation in French Cider Processing due to Partial Biomass Reduction.
Journal Inst. Brew., Vol. 114 (2) : 102-110.
Petrucci, R & Suminar. (1987). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi Keempat
Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Querol, A., Fleet, G., (2006). Yeasts in Food and Beverages. Springer-Verlag, Berlin,
Germany.
Roukas, T. 1994. Continous ethanol productions from carob pod extract by immobilized
Saccharomyces cereviseae in a packed bed reactor. Journal Chemical Technology
Biotech. 59: 387-393.
Ruiz, L. C., N. Pérez-Guerra and R.Pérez Roses (2003). Factors affecting the growth of
Saccharomyces cerevisiae in batch culture and in solid sate fermentation, Electronic
journal of Environmental, agriculture and food chemistry, 2 (5) pp 531-542
22
Said, E. G. (1987). Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Mediyatama
Sarana Perkasa. Jakarta.
Sevda SB, Rodrigues L (2011) Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains During
Guava (Psidium Guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava Wine
Production. J Food Process Technol 2:118.
Sreeramulu; Guttapadu; Y. Zhu & W. Knol. (2000). Kombucha Fermentation and Its
Antimicrobial Activity. Journal Agriculture Food Chem., Vol. 48 (6) : 2589-2594.
Stanburry, P. F. & Whitaker. (1984). Principles of Fermentation Technology. Pergamon
Press. New York.
Tranggono; B. Setiaji; Suhardi; Sudarmanto; Y. Marsono; A. Murdiati; I. S. Utami &
Suparmo. (1989). Petunjuk Laboratorium Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas
– Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Triwahyuni, E.; N. Ariani; H. Hendarsyah & T. idiyanti. (2012). The Effect of Dry Yeast
Saccharomyces cereviceae Concentration on Fermentation Process for Bioethanol
Production from Palm Oil Empty Fruit Bunches. Proceeding of ICSEEA 31-34.
Utami, R.; Andriani, M.A.M.; dan Putri, Z.A. 2009. Kinetika Fermentasi Yoghurt Yang
Diperkaya Ubi Jalar (Ipomea Batatas). fp.uns.ac.id/jurnal/caraka%20XXV_1-51-
55.pdf
Winarno, F. G.; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pertanian. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yalcin & Ozbas. (2008). Effects of Ph and Temperature on Growth and Glycerol
Production Kinetics of Two Indigenous Wine Strains of Saccharomyces cerevisiae
from Turkey. Brazilian Journal of Microbiology, Vol. 39 : 325-332.
23
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
5.1.1. Perhitungan Jumlah Biomassa dengan Haemocytometer
Rumus :
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎/ 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑠𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑐𝑐 =
1
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘× 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑠𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘
Kelompok F1
- N0 = 1
2,5×10−7 × 5 = 2 × 107
- N24 = 1
2,5×10−7 × 49,25 = 19,7 × 107
- N48= 1
2,5×10−7 × 39 = 15,6 × 107
- N72 = 1
2,5×10−7 × 58 = 23,2 × 107
- N96= 1
2,5×10−7 × 72,75 = 29,1 × 107
Kelompok F2
- N0 = 1
2,5×10−7 × 11,75 = 4,7 × 107
- N24= 1
2,5×10−7 × 91,75 = 36,7 × 107
- N48= 1
2,5×10−7 × 157 = 62,8 × 107
- N72= 1
2,5×10−7 × 94,75 = 37,9 × 107
- N96= 1
2,5×10−7 × 300 = 120 × 107
Kelompok F3
- N0 = 1
2,5×10−7 × 20,25 = 8,1 × 107
- N24= 1
2,5×10−7× 58 = 23,2 × 107
- N48 = 1
2,5×10−7 × 91,5 = 36,6 × 107
- N72= 1
2,5×10−7 × 110,75 = 44,3 × 107
- N96= 1
2,5×10−7 × 40,25 = 16,1 × 107
Kelompok F4
- N0= 1
2,5×10−7 × 20,75 = 8,3 × 107
- N24= 1
2,5×10−7× 105,5 = 42,2 × 107
- N48= 1
2,5×10−7 × 89 = 35, 6 × 107
- N72= 1
2,5×10−7 × 82,25 = 32,9 × 107
- N96= 1
2,5×10−7 × 81,75 = 32,7 × 107
Kelompok F5
- N0= 1
2,5×10−7 × 20 = 8 × 107
- N24 = 1
2,5×10−7 × 144,5 = 57,8 × 107
- N48= 1
2,5×10−7 × 108 = 43, 2 × 107
- N72= 1
2,5×10−7 × 74 = 29,6 × 107
- N96= 1
2,5×10−7 × 133,75 = 53,4 × 107
24
5.1.2. Perhitungan Total Asam Selama Fermentasi
Rumus perhitungan Total Asam
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 𝑚𝑙 𝑁𝑎𝑂𝐻 × 𝑛𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑁𝑎𝑂𝐻 × 192
𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Kelompok F1
- N0
Volume titrasi = 8,5 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 8,5 × 0,1 × 192
10
= 16,32
- N24
Volume titrasi = 10 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 10 × 0,1 × 192
10
= 19,20
- N48
Volume titrasi = 7,5 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,5 × 0,1 × 192
10
= 14,40
- N72
Volume titrasi = 7,6 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,6 × 0,1 × 192
10
= 14,59
- N96
Volume titrasi = 7,3 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,3 × 0,1 × 192
10
= 14,02
Kelompok F2
- N0
Volume titrasi = 8,6 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 8,6 × 0,1 × 192
10
= 16,51
- N24
Volume titrasi = 9 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 9 × 0,1 × 192
10
= 17,28
- N48
Volume titrasi = 7,5 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,5 × 0,1 × 192
10
= 14,40
- N72
Volume titrasi = 7,6 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,6 × 0,1 × 192
10
= 13,82
- N96
Volume titrasi = 7,1 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,1 × 0,1 × 192
10
= 13,63
25
Kelompok F3
- N0
Volume titrasi = 8,9 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 8,9 × 0,1 × 192
10
= 17,09
- N24
Volume titrasi = 9 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 9 × 0,1 × 192
10
= 17,28
- N48
Volume titrasi = 8,5 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 8,5 × 0,1 × 192
10
= 16,32
- N72
Volume titrasi = 8,1 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 8,1 × 0,1 × 192
10
= 15,55
- N96
Volume titrasi = 7,3 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,3 × 0,1 × 192
10
= 14,02
Kelompok F4
- N0
Volume titrasi = 8,5 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 8,5 × 0,1 × 192
10
= 16,32
- N24
Volume titrasi = 10 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 10 × 0,1 × 192
10
= 19,20
- N48
Volume titrasi = 7,5 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,5 × 0,1 × 192
10
= 14,40
- N72
Volume titrasi = 7,6 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,6 × 0,1 × 192
10
= 14,59
- N96
Volume titrasi = 7,2 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,2 × 0,1 × 192
10
= 13,82
Kelompok F5
- N0
Volume titrasi = 8,2 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 8,2 × 0,1 × 192
10
= 15,74
- N24
Volume titrasi = 9 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 9 × 0,1 × 192
10
= 17,28
26
- N48
Volume titrasi = 7,5 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,5 × 0,1 × 192
10
= 14,40
- N72
Volume titrasi = 7,9 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 7,9 × 0,1 × 192
10
= 15,17
- N96
Volume titrasi = 6,7 ml
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 = 6,7 × 0,1 × 192
10= 12,86
5.2. Laporan Sementara
5.3. Jurnal