KOMPARASI WASIAT WAJIBAH DI INDONESIA, MALAYSIA DAN
IRAK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah
Satu Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Nabil Asrof
NIM. 1112044100036
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
v
ABSTRAK
Nabil Asrof. NIM 1112044100036. KETENTUAN WASIAT WAJIBAH
DI INDONESIA, MALAYSIA DAN IRAK. Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2017 M. Ix + 66 halaman.
Wasiat ialah suatu pelepasan terhadap harta peninggalan yang dilaksanakan
sesudah meninggal dunia seseorang. Menurut asal hukum, wasiat adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apa pun. Beberapa
negara telah mengatur wasiat yang pemberiannya bukan lagi dengan kehendak
pewasiat tetapi didasarkan kepada perundang-undangan yang dibuat oleh pihak
berwenang yang berarti wasiat tersebut bersifat wajib, yang dikenal dengan nama
wasiat wajibah. Wasiat wajibah diberikan kepada pihak-pihak tertentu dan besarnya
tidak boleh lebih dari 1/3. Indonesia, Malaysia dan Irak merupakan negara yang
mengatur perihal wasiat wajibah ini.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan ketentuan wasiat wajibah di Indonesia, Malaysia dan Irak; untuk
mengetahui landasan hukum Islam wasiat wajibah; untuk mengetahui
perkembangan wasiat wajibah ketiga negara tersebut.
Metode yang digunakan adalah: Penelitian kualitatif, dengan jenis
penelitian kepustakaan, data yang digunakan adalah: Data primer yang diambil dari
kitab-kitab fikih dan UU, dan data sekunder yaitu yang berasal dari dokumen-
dokumen yang terdapat dalam majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dan artikel yang
relevan dengan tema dalam skripsi ini, kemudian dianalisis dengan metode analisis
komparatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wasiat wajibah adalah tindakan yang
dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa, atau
memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan
kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. adapun pihak-pihak yang berhak
menerima wasiat wajibah menurut peraturan yang berlaku yakni di Indonesia
diberikan kepada anak angkat dan orangtua angkat melalui KHI, di Malaysia
diberikan kepada cucu dari keturunan anak laki-laki melalui Enakmen Wasiat
Orang Islam dan di Irak diberikan kepada cucu dari keturunan laki-laki maupun
perempuan melalui Personal Status Law and amendments No. 188 of 1959.
Kata kunci : Ketentuan Wasiat Wajibah di Indonesia, Malaysia dan Irak
Pembimbing : Sri Hidayati, M.Ag
Daftar pustaka : 1972-2016
vi
KATA PENGANTAR
بسم ٱلله ٱلرهحمن ٱلرهحيم
Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih
dan Penyayang, penulis panjatkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala
limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya kepada penulis, sehingga dengan kudrat
dan iradatnya penulis dapat menyelasaikan skripsi ini dengan baik.
Salawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia untuk mengikuti
petunjuk dengan risalahnya yakni agama Islam, yang akan menyelamatkan dan
menghantarkan pemeluknya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dibalik selesainya skripsi yang berjudul “Komparasi Wasiat Wajibah di
Indonesia, Malaysia dan Irak”, yang merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar S1di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tentunya banyak kendala
dan cobaan yang penulis hadapi dalam proses penulisannya. Akan tetapi, dengan
penuh keyakinan dan ketabahan penulis mampu melewati segala persoalan tersebut.
Banyak pihak yang membimbing dan membantu penulis dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang tiada hingga
penulis sampaikan kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Asep
Saepudin Jahar, MA beserta seluruh staf jajarannya yang tidak bisa disebutkan
satu-persatu yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara
langsung maupun tidak langsung selama penulis menimba ilmu di Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Dr. H. Abdul Halim, M.Ag dan Indra Rahmatullah, SH.I,
MH selaku Sekretaris Prodi yang telah memberikan arahan kepada penulis baik
secara langsung maupun tidak langsung.
vii
3. Sri Hidayati, M.Ag pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan
bantuan, baik dari segi arahan, waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Pimpinan dan karyawan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan pimpinan, staf, karyawan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya, sehingga penulis
memperoleh informasi yang dibutuhkan.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menjalani masa pendidikan berlangsung. Semoga ilmu yang diberikan menjadi
ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat.
Semoga segala partisipasi, dukungan dan motivasi serta do’a yang diberikan
kepada penulis, mendapat ganjaran pahala oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda.
Harapan penulis semoga skripsi ini berguna bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT segala urusan
akan kembali dan kepada-Nyalah kita memohon hidayah dan taufiq serta ampunan.
Ciputat, 29 Oktober 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI..................................iii
LEMBAR PERNYATAAN..................................................................................iv
ABSTRAK...............................................................................................................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
DAFTAR ISI........................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.........................................5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................6
D. Metode Penelitian.......................................................................7
E. Tinjauan Kajian Terdahulu.........................................................9
F. Sistematika Penulisan...............................................................10
BAB II KETENTUAN WASIAT DALAM ISLAM
A. Pengertian Wasiat.....................................................................12
B. Dasar Hukum Wasiat................................................................14
C. Rukun dan Syarat Wasiat.........................................................18
D. Hal-Hal Yang Membatalkan Wasiat........................................21
E. Hukum Wasiat..........................................................................23
F. Wasiat Wajibah........................................................................25
BAB III KETENTUAN WASIAT WAJIBAH DI INDONESIA,
MALAYSIA DAN IRAK
A. Wasiat Wajibah di Indonesia....................................................30
ix
B. Wasiat Wajibah di Malaysia.....................................................37
C. Wasiat Wajibah di Irak.............................................................45
BAB IV KOMPARASI WASIAT WAJIBAH DI INDONESIA,
MALAYSIA DAN IRAK
A. Persamaan Wasiat Wajibah di Indonesia, Malaysia dan
Irak............................................................................................50
B. Perbedaan Wasiat Wajibah di Indonesia, Malaysia dan
Irak............................................................................................52
C. Analisis Perbandingan Wasiat Wajibah di Indonesia, Malaysia
dan Irak.....................................................................................55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................61
B. Saran-Saran..............................................................................62
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika pembaruan yang mewarnai sejarah umat Islam sejak beberapa
abad lalu, antara lain ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh cendikiawan muslim
yang menggagas pentingnya pembaruan Islam. Gagasan pembaruan yang
digulirkan meliputi hampir seluruh bidang-bidang pemikiran Islam, termasuk
hukum Islam. Gagasan pembaruan dalam hukum Islam muncul akibat adanya
kesenjangan antara materi hukum, seperti fikih, dengan kenyataan sosial dewasa
ini. Upaya pembaruan kemudian terwujud dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi
hukum Islam, khususnya hukum keluarga, sebagaimana ditempuh beberapa negara
muslim.1
Untuk konteks Indonesia, upaya penyusunan Undang-Undang Perkawinan
dan KHI dapat dinilai sebagai bagian dari upaya perumusan hukum Islam yang
bersifat khas Indonesia.2 Dengan demikian, KHI diharapkan dapat dijadikan
sebagai pedoman yang seragam bagi Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum
positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.3
KHI yang didasarkan pada Interuksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991, ini terdiri atas 3 Buku yakni Buku I memuat tentang Perkawinan, Buku
II tentang Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.
1 Asni, Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2012), h. 1.
2 Asni, Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia, h. 1.
3 Samsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan Dalam Hukum Islam Dan Implementasinya Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 217.
2
Secara umum dan keseluruhan, hukum kewarisan di dalam KHI tampak
sesuai dengan hukum faraid yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun,
tidak semua isi KHI memuat hukum Islam apa adanya dan kuranglah tepat bila
dikatakan isinya melulu hukum Islam. Paling tidak yang terkait dengan ihwal
batasan ahli waris pengganti di samping harta bersama/harta gono-gini dan terutama
hak kewarisan anak angkat.4
Dalam KHI Pasal 171 huruf h disebutkan bahwa “anak angkat adalah anak
yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan”. Pengangkatan anak menimbulkan
hubungan kewarisan melalui wasiat wajib.
Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke
orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam
saja yang mengatur, tetapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat.
Secara garis besar wasiat merupakan penghibahan harta dari seseorang kepada
orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya yang menghibah
tersebut. Wasiat ialah suatu pelepasan terhadap harta peninggalan yang
dilaksanakan sesudah meninggal dunia seseorang. Menurut asal hukum, wasiat
adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apa
pun. Karenanya, tidak ada dalam syariat Islam suatu wasiat yang wajib dilakukan
dengan jalan putusan hakim.5 Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan
terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang
apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya
atau pesan lain di luar harta peninggalan.6
4 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam: Dalam Pendekatan Teks &
Konteks, Cet.I, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), h. 100.
5 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fikih Mawaris, Cet.III, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 273.
6 Anwar Sitompul, Fara’id, Hukum waris Islam Dalam Waris Islam Dan Masalahnya, (Surabaya: Al Ikhlas, 1984), h. 60.
3
Dengan kata lain wasiat diberikan kepada penerima wasiat dengan adanya
kemauan dari si pewasiat ditandai dengan suatu perbuatan maupun perkataan untuk
diterima dan dilaksanakan dengan tidak adanya paksaan untuk berwasiat, dengan
salah satu syaratnya yaitu telah meninggalnya si pewasiat. Inilah yang membedakan
hibah dengan wasiat. Wasiat semacam ini telah banyak dijelaskan dalam kajian-
kajian fikih klasik yang pada dasarnya merujuk pada Al-Qur’an.
Di Indonesia aturan mengenai wasiat telah tertuang dalam KHI
sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yaitu dalam
Bab V Pasal 194 sampai dengan Pasal 209 dan dalam kitab-kitab fikih Islam. KHI
Pasal 171 huruf f menyebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris
kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal
dunia. Pasal 194 sampai dengan Pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa,
sedangkan dalam Pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk
anak angkat atau orang tua angkat. Dalam khazanah hukum Islam, wasiat tidak
biasa ini disebut wasiat wajibah.
Sayangnya, KHI tidak memberikan definisi dalam ketentuan umum tentang
wasiat wajibah tersebut. Secara teori, wasiat wajibah didefinisikan sebagai tindakan
yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau
memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang
diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.7
Wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung
kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik
diucapkan, atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi
pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut
diucapkan, dituliskan atau dikehendaki, tetapi pelaksanaanya didasarkan kepada
7 Destri Budi Nugraheni, dkk., Pengaturan dan Implementasi Wasiat Wajibah di Indonesia,
Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 2, Juni 2010, h. 311-312.
4
alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus
dilaksanakan.8
Ketentuan ini jelas berbeda dengan definisi wasiat yang dijelaskan di atas
yang mana pemberiannya harus didasari pada kesadaran pewasiat, artinya pewaris
harus melakukan perbuatan hukum untuk mewariskan hartanya. Sedangkan wasiat
wajibah yang telah diatur dalam KHI bisa terlaksana tanpa harus adanya kesadaran
dari si pewasiat dan diberikan kepada orang tertentu yang telah disebutkan dalam
KHI.
KHI di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat wajibah
dan berbeda dalam pengaturannya dari negara-negara Muslim yang lain. Konsep
KHI adalah memberikan wasiat wajibah terbatas kepada anak angkat dan orang tua
angkat. Sementara negara-negara lain seperti Mesir, Suriah, Maroko dan Tunisia
melembagakan wasiat wajibah untuk mengatasi persoalan cucu yang orang tuanya
meninggal lebih dahulu daripada kakek atau neneknya.9
Sekalipun secara normatif telah ditentukan demikian, namun dalam
perkembangannya ternyata wasiat wajibah diberikan kepada pihak-pihak di luar
anak angkat dan orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah
Agung ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama
non-Islam.
Selain di Indonesia negara tetangga yakni Malaysia pun mengatur tentang
wasiat wajibah ini, yang mana negara Malaysia merupakan negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam dan menganut mazhab Syafi’i sama seperti
di Indonesia, pengaturan tentang wasiat wajibah berbeda dengan yang diatur di
Indonesia. Dalam undang-undang yang berlaku di Malaysia diperuntukkan hanya
sebatas cucu yang tidak mendapatkan bagian harta waris karena terhijab.
8 Ahmad Kamil & M Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia,
Cet.II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 145.
9 Destri Budi Nugraheni, dkk., Pengaturan dan Implementasi Wasiat Wajibah di Indonesia, h. 312.
5
Negeri Selangor merupakan yang pertama mewujudkan Undang-Undang
Pentadbiran Hukum Syara’ di Malaysia. Di antara undang-undang yang
diwujudkan adalah Enakmen Wasiat Orang Islam. Enakmen ini telah dirumuskan
dan diberlakukan oleh pemerintahan negeri. Draft Enakmen tersebut dirumuskan
oleh pemerintah melalui Jabatan Kehakiman Syariah Negeri Selangor (JAKESS),
dan selanjutnya diajukan dalam rapat parlemen untuk dibahas bersama wakil rakyat
tersebut. Setelah disahkan dan mendapat persetujuan dari DiRaja, barulah
diundangkan dan diberlakukan. Enakmen Wasiat Orang Islam Negeri Selangor No.
4 Tahun 1999 diundangkan pada 30 September 1999, dan mulai diberlakukan sejak
1 Juli 2004.10
Dalam Seksyen 27 menetapkan bahwa cucu dari anak laki-laki, yang orang
tuanya meninggal terlebih dahulu, diberi wasiat wajibah maksimal 1/3 dari harta
warisan. Minimal disesuaikan dengan bagian yang bakal diterima oleh ayahnya
sekiranya ayah mereka masih hidup, selama tidak melebihi 1/3 dari harta pewaris.
Sedangkan di Irak ketentuan tentang waris yang di dalamnya terdapat pasal
tentang wasiat wajibah diatur dalam Personal Status Law and amendments No. 188
of 1959.
Dari pemaparan di atas, penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut
bagaimana ketentuan tentang wasiat wajibah di Negara Indonesia, Malaysia dan
Irak yang pada akhirnya penulis beri judul “Komparasi Wasiat Wajibah di
Indonesia, Malaysia dan Irak”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam memahami masalah yang akan
dibahas, dirasakan perlu untuk mengadakan pembatasan dan perumusan masalah
10 Hajar M, Hak Kewarisan Cucu (Analisis Yurisprudensi Mahkamah Tinggi Syariah di
Selangor, Malaysia dan Mahkamah Agung di Indonesia), Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Volume 21, Nomor 3, Juli 2014, h. 448.
6
tersebut sesuai dengan judul yang dimaksud, maka penulis membatasi masalahnya
hanya mencangkup wasiat wajibah di Indonesia, Malaysia dan Irak.
2. Perumusan Masalah
Agar lebih terarah, serta untuk memfokuskan tema permasalahan dan
terciptanya efektifitas dari tema penelitian ini, serta untuk merumuskan
permasalahan di atas, penulis memberikan perumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana persamaan dan perbedaan ketentuan wasiat wajibah di
Indonesia, Malaysia dan Irak?
b. Bagaimana landasan hukum Islam tentang wasiat wajibah?
c. Adakah perluasan peruntukannya di ketiga negara tersebut terkait wasiat
wajibah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Segala sesuatu yang ditulis oleh seseorang tentu memiliki tujuan tersendiri,
begitu halnya dalam pembahasan judul ini. Adapun hasil yang hendak dicapai dari
penelitian ini adalah terjawabnya semua permasalahan yang dirumuskan, yaitu:
a. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan ketentuan wasiat wajibah di
Indonesia, Malaysia dan Irak.
b. Untuk mengetahui landasan hukum Islam wasiat wajibah.
c. Untuk mengetahui perkembangan wasiat wajibah ketiga negara tersebut.
2. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian akan lebih berharga jika hasilnya memberikan manfaat bagi
setiap orang yang menggunakannya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Penulisan skripsi ini diharapkan mampu mengembangkan pengetahuan,
menambah khazanah keilmuan di bidang hukum keluarga khususnya di
bidang wasiat wajibah.
7
b. Sebagai wujud kontribusi positif penulis terhadap perkembangan hukum
khususnya mengenai wasiat wajibah.
c. Penelitian ini diharapkan menjadi pelengkap penelitian-penelitian
sebelumnya.
d. Memberikan sumbangan kepada mahasiswa atau siapa saja yang konsen
dengan permasalahan ini.
e. Memberikan satu karya ilmiah yang bermanfaat bagi civitas akademika
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta secara khusus, dan bagi masyarakat secara umum.
D. Metode Penelitian
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan metode penelitian ini
adalah adanya kesesuaian antar masalah dengan metode yang akan dipergunakan
dalam penelitian untuk hal yang akan diteliti. Adapun metode penelitian yang
penulis pakai sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah penelitian
kualitatif. Sedangkan penelitian ini bersifat kepustakaan (Library Research) yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur yang
ada relevansinya dangan judul skripsi ini. Hal ini sesuai dengan tujuan bahasan ialah
membandingkan undang-undang yang merupakan bentuk dari hasil
pengkodifikasian serangkaian aturan sehingga menjadi sebuah buku pedoman suatu
negara.
2. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek dari
mana data dapat diperoleh.11 Data-data yang penulis kumpulkan untuk menyusun
skripsi ini ada 2 kategori yakni:
11 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2006), h. 129.
8
a. Bahan hukum primer: yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti
(atau petugasnya) dari sumber pertamanya.12 bersumber dari kitab-kitab
fikih dan undang-undang yang dijadikan landasan undang-undang ketiga
negara terbahas yaitu Indonesia, Malaysia dan Irak. Yakni KHI, Enakmen
Wasiat Orang Islam dan Personal Status Law and amendments No. 188 of
1959.
b. Bahan hukum sekunder: yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti sebagai penunjang dari sumber pertama. Dapat juga dikatakan data
yang tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen.13 Berupa dokumen-
dokumen yang terdapat dalam majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dan
artikel yang relevan dengan tema dalam skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penentuan metode pengumpulan data tergantung pada jenis dan sumber data
yang diperlukan. Pada umumnya pengumpulan data dapat dilakukan dengan
beberapa metode, baik yang bersifat alternatif maupun kumulatif yang saling
melengkapi.14 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi
ini adalah dengan penelitian pustaka yaitu dengan menelusuri dan menemukan data-
data yang sesuai dan erat kaitannya dengan permasalahan dalam skripsi ini, sumber
data dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku yang erat kaitannya dengan
masalah yang penulis bahas.
4. Analisis Data
Analisa data yaitu suatu cara yang dipakai untuk menganalisa, mempelajari
serta mengolah kelompok data tertentu, sehingga dapat diambil kesimpulan yang
kongkret tentang permasalahan yang diteliti dan dibahas. Metode analisis data yang
penulis gunakan ialah analisis komparatif, yakni penelitian yang bersifat
12 Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 93.
13 Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, h. 94.
14 Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusun Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 65-66.
9
membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat
objek yang diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam penulisan skripsi ini, penulis juga merujuk pada karya ilmiah lain
yang sudah terdahulu dengan substansi dan pembahasan yang berbeda tentunya,
adapun yang penulis temukan di antaranya sebagai berikut :
Pertama, skripsi UIN Jakarta yang ditulis oleh Siti Maryam pada tahun 2016
yang berjudul “Studi Komparasi Wasiat Wajibah di Indonesia dan Malaysia
(Selangor)”.
Kedua, skripsi UIN Jakarta yang ditulis oleh Eti Sumiati pada tahun 2005
yang berjudul “Studi Tentang Wasiat Wajibah Dalam KHI Indonesia dan Wasiat
Wajibah di Mesir Dalam Perspektif Al-Quran”.
Ketiga, skripsi UIN Yogyakarta yang ditulis oleh Marsiani pada tahun 2016
yang berjudul “Wasiat Wajibah Untuk Anak Tiri (Analisis Terhadap Ketentuan
Dalam KHI)”.
Keempat, skripsi UIN Jakarta yang ditulis oleh Hilma Yuniasti pada tahun
2012 yang berjudul “Pembagian Wasiat Wajibah Kepada Ahli Waris Yang Berbeda
Agama”.
Kelima, artikel UIN Jakarta yang ditulis oleh Sri Hidayati pada tahun 2012
yang berjudul “Ketentuan Wasiat Wajibah di Berbagai Negara Muslim
Kontemporer”.
Dari karya ilmiah terdahulu penulis rasa tidak ada yang sama persis dalam
judul pembahasan, adapun dari skripsi yang pertama dirasa berbeda dari segi obyek
penelitian, yang ingin peneliti bahas yakni di Negara Malaysia (yang telah
mengamandemen ketentuan wasiat wajibah ini yakni di Selangor, Melaka dan
Negeri sembilan maupun yang belum mengamandemen) dan Negara Irak,
sedangkan skripsi tersebut hanya sebatas Negara Malaysia bagian Selangor.
Sedangkan pada skripsi yang kedua perbedaannya terletak pada obyek yang
10
dibahas, yakni penulis ingin meneliti di Negara Malaysia dan Irak sedangkan pada
skripsi terdahulu membahas Mesir. Sementara pada artikel yang kelima
perbedaannya terletak pada negara yang dibahas, pada artikel yang ditulis oleh Ibu
Sri Hidayati tidak membahas Malaysia, selain itu penulis ingin memaparkan lebih
lanjut mengenai wasiat wajibah ini.
F. Sistematika Penulisan
Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang,
penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Dalam skripsi ini
terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki subbab yang menjadi penjelasan dari
masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan kesimpulan hasil penelitian
dan saran bagi pembaca. Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai
berikut:
Bab pertama, bab ini membahas Pendahuluan yang di antaranya meliputi
latar belakang masalah yang memuat alasan penulis terhadap kajian ini, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelititan, metode penelitian, tinjauan
kajian terdahulu dan sistematika penulisan. Bab pertama ini sebagai acuan untuk
bab-bab selanjutnya, sehingga pemaparan dari bab yang selanjutnya tidak keluar
dari konteks.
Bab kedua, bab ini membahas Ketentuan Wasiat Dalam Islam, yang
meliputi pengertian wasiat, dasar hukum wasiat, rukun dan syarat wasiat, hal-hal
yang membatalkan wasiat, hukum wasiat dan wasiat wajibah.
Bab ketiga, bab ini membahas Ketentuan Wasiat Wajibah di Indonesia,
Malaysia dan Irak, yang meliputi wasiat wajibah di Indonesia, wasiat wajibah di
Malaysia dan wasiat wajibah di Irak.
Bab keempat, bab ini membahas Komparasi Wasiat Wajibah di Indonesia,
Malaysia dan Irak yang di antaranya meliputi persamaan wasiat wajibah di
Indonesia, Malaysia dan Irak, perbedaan wasiat wajibah di Indonesia, Malaysia dan
Irak serta analisis perbandingan wasiat wajibah di Indonesia, Malaysia dan Irak.
11
Bab kelima, bab ini merupakan bab Penutup yang berisi kesimpulan dan
saran-saran. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah menganalisa data yang
diperoleh dan merupakan jawaban pada rumusan masalah, sedangkan saran adalah
harapan penulis terhadap jalan keluar pada pokok permasalahan ini.
12
BAB II
KETENTUAN WASIAT DALAM ISLAM
A. Pengertian Wasiat
Definisi wasiat secara bahasa, wasiat berasal dari bahasa arab (الوصية) yang
artinya pesan.1 Sedangkan menurut istilah, wasiat adalah suatu sistem perpindahan
hak kepemilikan harta atau manfaatnya dari orang yang berwasiat secara sukarela,
dengan tidak melebihi harta peninggalan, yang berlaku setelah orang yang
berwasiat itu meninggal dunia.2 Wasiat juga dapat diartikan sebagai pemberian
seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah orang yang memberi wasiat mati.3
Orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia masih hidup untuk dilaksanakan
sesudah wafat.4
Beberapa pengertian wasiat di atas apabila dicermati pada prinsipnya tidak
terdapat perbedaan substansi akan tetapi antara satu dengan yang lainnya saling
melengkapi, karena apabila dikristalkan terdapat beberapa unsur yaitu:
Pertama, wasiat itu merupakan bentuk perikatan yang berkaitan dengan
harta benda atau manfaatnya. Kedua, wasiat itu perbuatan yang dilakukan atas
inisiatif atau kehendak sendiri secara sukarela. Ketiga, adanya perpindahan hak
kepemilikan dari orang yang berwasiat kepada yang menerima wasiat. Keempat,
1 A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, Cet.XIV, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 1563.
2 Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, Cet.I, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 48.
3 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Cet.I, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 353.
4 Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), h. 19.
13
pelaksanaan perpindahan hak kepemilikan terjadi setelah matinya orang yang
berwasiat.5
Substansi wasiat di atas berarti juga mengandung pernyataan kehendak oleh
seseorang mengenai apa yang dilakukan terhadap hartanya sesudah meninggal
kelak. Akan tetapi pelaksanaan wasiat itu harus tunduk kepada beberapa syarat dan
ketentuan yang harus dipenuhi.6
Dalam al-Qur’an, kata washiyyah diulang sebanyak 8 kali, belum/tidak
termasuk kata-kata yang seakar dengannya yang jumlahnya sekitar 24-an kali.
Ayat-ayat wasiat yang dimaksudkan, yang terpenting dari padanya adalah surah al-
Baqarah (2): 180-182.7
Pengertian wasiat berbeda dengan pengertian hibah. Wasiat termasuk
bentuk hibah. Namun, harta yang diserahkan baru menjadi milik orang yang
diserahinya setelah yang menyerahkan meninggal, serupa dengan harta waris.
Bedanya, pada wasiat penyerahan harta dilakukan atas kehendak si pemilik yang
diucapkan ketika ia masih hidup. Sedangkan pada harta waris semata-mata menurut
kehendak Allah, sama sekali bukan atas kehendak dari pemilik harta.8
Ketentuan wasiat ini sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Dengan adanya
wasiat dari seseorang ketika saat masih hidup, akan dapat menghindarkan
terjadinya sengketa dikemudian hari dari para ahli warisnya ketika ia meninggal.9
5 Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, h. 46.
6 Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, h. 47.
7 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam: Dalam Pendekatan Teks dan Konteks, Cet.I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 126.
8 Hassan Saleh, Kajian Fikih Nabawi & Fikih Kontemporer, Cet.I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 395.
9 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah Dan Wasiat di Indonesia, Cet.I, (Yogyakarta: Gadah Mada University Press, 2011), h. 84.
14
B. Dasar Hukum Wasiat
1. Al-Kitab
a. Al-Baqarah: 180
كمكتب د ح أ ض ل يكمإذ اح وتع اٱلم ي خ ينو ٱلو صيةإنت ر ك ل بي للو قر
ٱل عروف ب قا ح ٱلم
ٱلمتقي لع
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 180)
b. Al-Baqarah: 240
ين و ٱل ع إل ت جهمم زو ج و صيةل زو
أ رون ي ذ منكمو ٱل وليت و فون ر جن ف إنخ اج إخر ي غ
و عروف منم نفسهن فأ لن ع ل يكمفم ف ع جن ح ف ل زيز ٱلل كيم ع ح
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris
dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma´ruf terhadap diri
mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Baqarah: 240)
c. Al-Ma’idah: 106
ه ي أ ين ي نوا ٱل كمء ام د ح
أ ض ةب ينكمإذ اح د ه وتش ٱلم منكمٱثن نٱلو صيةحي دل اع ذ و
بتمف نتمض يكمإنأ انمنغ ر وء اخ
رضأ
صيب ةٱل ب تكمم ص
وتف أ ٱلم
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh
15
dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan
kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya
kematian." (Al-Ma’idah: 106)
d. An-Nisa’: 11
ين ود ......منب عدو صية يوصبه أ
Artinya: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (An-Nisa’: 11)
2. As-Sunnah
a. Hadits riwayat Abdullah bin Umar
ع رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال ماحق امرئ مسلم ل ووصى عن عبد هللا بن عمر انه س ه
ووصيوته عنده مكتووبة قال عبدهللا بن عمر ما م فيه بيت ثالث ليال ت ال س لة من على ليو ر
10.ال وعندى وصيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال ذلك
Artinya: Dari Abdullah bin Umar ra. Katanya, bahwa ia mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Seorang Islam yang memiliki suatu harta yang akan diwariskannya,
selalu sedia surat wasiat dari waktu kewaktu. Kata Abdullah, semenjak saya
mendengar hadits Rasulullah saw itu, senantiasa saya siap sedia dengan surat wasiat
dan tak pernah seharipun yang luput dari catatanku.”
b. Hadits riwayat Sa’ad bin Malik
ة الوداع من وج د بن مالك قال عادن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ف حج ع عن س فيت منه ا
بونة ل واحدة افأتصدق قلت يرسول هللا بولغن ماتورى من الوجع وان ذومال ول رثن ال افو على المو
10 Muslim bin al-Hajjaj al-Quraisyairi an-Naisaburi, Terjemahan Hadits Shahih Muslim,
Jilid II, Penerjemah A. Razak & Rais Lathief, Cet.I, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980), h. 279.
16
والثو بثولثى مال قال ل قال قولت افا تصدق بشطره قال ل الثول ر ورثوتك اننيا ثثيور انك ا ت ل
تغى با وجه هللا ا رهم عالة وتكففو الناس ولست تونفق نوفقة توبو با حت خيور من ا ت ل اجر
لها ف ف ام اللقمة 11.راتك ت
Artinya: Dari Sa’ad bin Malik ra. katanya: “Bahwa Rasulullah saw datang
menengok saya waktu sakit hampir mati pada haji wada’. Berkata saya kepada
beliau; inilah keadaan sakit saya seperti tuan lihat sendiri. Saya ini mempunyai
harta, sedangkan ahli waris saya hanya seorang anak perempuan. Apakah boleh
saya sedekahkan dua pertiga (2/3) harta saya itu? Jawab Rasulullah saw “Tidak”
Kata saya, seperduanya (1/2)? “Tidak”, jawab beliau pula. Sepertiganya (1/3)? “Ya”
jawab Rasulullah saw: Itupun telah banyak. Sebenarnya jika anda tinggalkan ahli
waris dalam keadaan kaya, lebih baik dari pada ditinggalkan dalam keadaan miskin,
mengemis kepada orang lain. Berkata pula beliau: “Tiap-tiap nafkah yang anda
keluarkan Lillahi Ta’ala, niscaya anda mendapat ganjaran Allah sehingga suap yang
anda letakkan di mulut isterimu pun.”
c. Hadits riwayat Ibnu Abbas
ال الربع فا رسول هللا صلى هللا ع ليه وسلم قال عن ابن عباس قال لوا الناس عضوا من الثول
ثثيور والثول 12.الثول
Artinya: Dari bin Abbas ra. Katanya: “Ada baiknya jika orang-orang memperkecil
harta yang diwasiatkan dari sepertiga (1/3) kepada seperempat (1/4), sebab
Rasulullah saw. telah berkata; sepertiga itu telah banyak.”
11 Muslim bin al-Hajjaj al-Quraisyairi an-Naisaburi, Terjemahan Hadits Shahih Muslim, h.
279.
12 Muslim bin al-Hajjaj al-Quraisyairi an-Naisaburi, Terjemahan Hadits Shahih Muslim, h. 280.
17
3. Al-Ijma’
Ijma’ dalam bahasa adalah ‘azm (tekad) untuk melakukan sesuatu dan
bersikeras terhadapnya. Sedangkan menurut istilah yakni kesepakatan para
mujtahid di kalangan umat Islam di setiap masa setelah wafatnya Nabi atas suatu
hukum syari’at.13
Umat Islam sejak dari zaman Rasulullah saw sampai sekarang banyak
menjalankan wasiat. Perbuatan yang demikian itu tidak pernah diingkari oleh
seorang pun. Ketiadaan ingkar seorang itu menunjukkan adanya ijma’.14 Oleh
karena itu, wasiat yang dilakukan oleh seseorang, sepanjang isi wasiatnya baik,
wajib dipenuhi, setelah dibayar hutangnya.15
4. Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala
kemampuan atau menghabiskan segala daya dalam berusaha. Sedang ijtihad
menurut istilah ialah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan
menggunakan segenap kemampuan yang ada dan dilakukan oleh orang (ahli
hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapatkan ketentuan hukum yang belum
jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.16
Misalnya, dalam pelaksanaan wasiat itu terdapat pemindahan hak
kepemilikan dari seseorang kepada orang lain. Dalam hukum Islam secara tersurat
tidak mengatur adanya penguasaan harta secara administratif, yang ada hanyalah
13 Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, Penerjemah M. Misbah, Cet.I, (Jakarta:
Rabbani Press, 2008), h. 247.
14 Musthafa Diib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap: Penjelasan Hukum-hukum Islam Mazhab Syafi’i, Penerjemah D.A Pakihsati, Cet.I, (Solo: Media Zikir, 2010), h. 302.
15 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet.I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 358.
16 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia), (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h. 104.
18
pembagian semata. Karena itu perkembangan hukum dewasa ini telah
mengakomodasikan hukum Islam dalam kerangka kemaslahatan.17
C. Rukun dan Syarat Wasiat
1. Rukun Wasiat
Fuqoha berselisih tentang rukun dan syarat-syarat wasiat sehingga wasiat
itu sah dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan kehendak syara’. Wahbah
Zuhaili mengutip dari kitab ad-Durrul Mukhtaar, rukun wasiat hanya ijab saja,
yakni perkataan tentang wasiat yang keluar dari pihak mushii (orang yang
berwasiat). Sedangkan qabul dari pihak mushaa lah (orang yang menerima wasiat)
hanya merupakan syarat bukan rukun. Yang dimaksud qabul adalah suatu ucapan
yang jelas atau terang-terangan, seperti qabiltu (aku terima), atau secara
isyarat/petunjuk. Qabul dalam wasiat hanya sah apabila dilakukan setelah
meninggalnya mushii.18
Namun pada umumnya fuqaha berpendapat bahwa rukun wasiat ada empat
macam yaitu, pewasiat (mushii), penerima wasiat (mushaa lah), barang wasiat
(mushaa bih), dan akad wasiat (shighat). Masing-masing rukun mempunyai
persyaratan tersendiri.19
2. Syarat Wasiat
a. Persyaratan pewasiat (mushii)
Menurut Wahbah Zuhaili syarat sah mushii itu adalah: 1. Berkopenten
melakukan tabarru’ yaitu mukallaf (balig dan berakal sehat), merdeka, baik laki-
laki maupun perempuan, dan muslim maupun kafir, 2. Dalam keadaan rela dan
dengan kehendak sendiri.20
17 Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, h. 63.
18 Wahbah Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, Jilid X, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Cet.I, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 160.
19 Wahbah Zuhaili, Fikih Imam Syafi’i: mengupas masalah fikihiyah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, Jilid 2, Penerjemah Muhammad Afifi, dkk., Cet.I, (Jakarta: almahira, 2010), h. 367.
20 Wahbah Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, h. 169.
19
Berakal adalah syarat yang sudah disepakati dalam hal wasiat. Karena itu,
wasiat yang dikeluarkan oleh orang gila, orang idiot dan orang epilepsi tidaklah sah
kerena perbuatan mereka tidak dianggap hukum. Para ulama fikih sepakat
mensyaratkan mushii harus orang yang merdeka. Maka wasiat yang keluar dari
seorang budak tidaklah sah. Golongan Hanafiyah sepakat dan golongan Syafi’iyah
satu pendapat yang lebih unggul dari dua pendapat yang ada mensyaratkan mushii
haruslah orang yang sudah balig. Artinya, tidaklah sah wasiat yang keluar dari anak
kecil yang sudah atau belum tamyiz. Golongan Malikiyyah dan Hanabillah
memperbolehkan wasiat yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz, yang sudah
berusia sepuluh tahun atau kurang sedikit, jika si tamyiz ini memikirkan qurbah
(mendekatkan diri kepada Allah SWT).21
b. Persyaratan penerima wasiat (mushaa lah)
Syarat sah bagi lembaga umum yakni bukan merupakan lembaga maksiat.
Sedang bagi personal atau manusia adalah: 1. Harus wujud, 2. Harus
diketahui/ma’lum, 3. Harus berkompeten menerima hak milik dan keberhakan.22
Mazhab empat sepakat bahwa tidak bolehnya wasiat untuk ahli waris,
kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Juga diperbolehkan seorang
dzimmi berwasiat untuk sesama dzimmi, juga untuk seorang muslim. Tetapi para
ulama berselisih pendapat tentang sahnya wasiat seorang Muslim untuk seorang
kafir harbi. Maliki, Hambali, dan mayoritas Syafi’i mengatakan bahwa wasiat
seperti itu sah, sedangkan mazhab Hanafi dan mayoritas Imamiyah mengatakan
tidak sah. Mereka juga sepakat tentang sahnya wasiat bagi anak yang masih berada
dalam kandungan, dengan syarat bahwa ia lahir dalam keadaan hidup. Dan
mengenai wasiat bagi kepentingan umum, semua mazhab sepakat akan sahnya,
21 Wahbah Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, h. 170.
22 Wahbah Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu, h. 172.
20
seperti kaum fakir miskin, para penuntut ilmu, masjid-masjid dan sekolah-
sekolah.23
c. Persyaratan barang wasiat (mushaa bih)
Objek yang diwasiatkan dapat berupa semua harta yang bernilai, baik
berupa barang ataupun manfaat, piutang dan manfaat seperti tempat tinggal atau
kesenangan. Tidak sah mewasiatkan yang bukan harta seperti bangkai, dan yang
tidak bernilai bagi orang yang mengadakan akad wasiat seperti khamar bagi kaum
muslimin.24
Wasiat hanya berlaku dalam batas sepertiga dari harta warisan, manakala
terdapat ahli waris, baik wasiat itu dikeluarkan ketika dalam keadaan sakit ataupun
sehat. Adapun jika melebihi sepertiga harta warisan, menurut kesepakatan seluruh
mazhab, membutuhkan izin dari para ahli waris. Jika semua mengizinkan, wasiat
itu berlaku. Tapi jika mereka menolak, maka batalah ia. Tapi jika sebagian dari
mereka mengizinkan, sedang sebagian lainnya tidak, maka kelebihan dari sepertiga
itu dikeluarkan dari harta yang mengizinkan, dan izin seorang ahli waris baru
berlaku jika ia berakal sehat, balig dan rasyid.25
d. Persyaratan akad wasiat (shighat)
Shighat wasiat adakalanya berupa ungkapan kata yang jelas dan ungkapan
kata kinayah. Ungkapan kata yang jelas seperti ucapan pewasiat, “Saya berwasiat
pada fulan dengan jumlah harta sekian.” Ungkapan kata kinayah ialah berupa
catatan tertulis sehingga wasiat dengan media semacam ini sah dengan disertai
niat.26
23 Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Penerjemah Afif Muhammad, dkk.,
Cet.XXVI, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 507-509.
24 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, h. 355.
25 Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, h. 513.
26 Wahbah Zuhaili, Fikih Imam Syafi’i: mengupas masalah fikihiyah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, h. 374.
21
Qabul wasiat tidak disyaratkan harus spontan karena penerimaan spontan
hanya disyaratkan dalam berbagai bentuk akad langsung yang di dalamnya harus
ada kesinambungan antara ijab dan qabul seperti jual beli. Ahli waris berwenang
meminta penerima wasiat untuk menerima atau menolak wasiat. Apabila dia
menghindarkan dirinya dari wasiat maka dia dianggap telah melakukan
penolakan.27
Apabila wasiat itu dikaitkan dengan persyaratan, dianggap sah bila
syaratnya itu syarat yang benar, yang mengandung kemaslahatan. Sepanjang tidak
dilarang atau bertentangan dengan tujuan syariat.28 Jika rukun dan syarat suatu
wasiat telah terpenuhi, maka wasiat tersebut bersifat mengikat dan mempunyai
kekuatan hukum untuk dilaksanakan ketika pewasiat telah meninggal dunia.29
D. Hal-Hal Yang Membatalkan Wasiat
Batal atau tidak sahnya wasiat tergantung dari apakah praktik wasiat sudah
memenuhi segala rukun dan persyaratan wasiat yang telah ditetapkan. Kalau wasiat
sudah memenuhi segala rukun dan persyaratannya maka wasiat dianggap sah dan
bisa dilaksanakan, sebaliknya jika tidak memenuhi segala rukun dan persyaratan,
atau tidak terpenuhi salah satu rukun dan persyaratannya maka wasiat dianggap
batal dan tidak sah, karenanya tidak menimbulkan akibat hukum apapun.30
Ulama fikih menetapkan beberapa hal yang dapat membatalkan wasiat.
Sebagiannya disepakati seluruh ulama fikih dan sebagian lainnya diperselisihkan.
Adapun hal-hal yang disepakati dapat membatalkan wasiat adalah:31
27 Wahbah Zuhaili, Fikih Imam Syafi’i: mengupas masalah fikihiyah berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadits, h. 375.
28 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, Cet.I, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 311.
29 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah Dan Fasiat di Indonesia, h. 89.
30 Ahmad Kamil & M. Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, Cet.II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 149.
31 Ahmad Kamil & M. Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, h. 149-150.
22
1. Dari aspek mushii
a. Mencabut wasiatnya, baik secara terang-terangan maupun melalui
tindakan hukum.
b. Yang berwasiat mewasiatkan yang bukan miliknya.
c. Yang berwasiat tidak cakap hukum
d. Yang berwasiat mencabut wasiatnya.
2. Dari aspek mushaa lah
a. Yang menerima wasiat menyatakan penolakannya terhadap wasiat
tersebut.
b. Tidak jelas orang yang menerima wasiat.
c. Yang menerima wasiat lebih dulu meninggal dari pada yang berwasiat.
d. Orang yang menerima wasiat membunuh pihak yang berwasiat.
e. Penerima wasiat menggunakan untuk perbuatan maksiat.
f. Penerima wasiat adalah ahli waris pemberi wasiat.
3. Dari aspek mushaa bih
a. Harta yang diwasiatkan musnah, seperti terbakar atau hancur ditelan
banjir.
b. Penerima wasiat meminta harta lebih dahulu sebelum yang berwasiat
meninggal.
c. Benda yang diwasiatkan adalah yang diharamkan atau tidak bermanfaat
secara syara’.
d. Wasiat lebih dari 1/3 harta mushii.
4. Syarat yang ditentukan dalam akad wasiat tidak terpenuhi. Misalnya, mushii
mengatakan, “Apabila sakit saya ini membawa kematian, maka saya
wasiatkan sepertiga harta saya untuk fulan.” Tetapi, ternyata mushii itu
sembuh dan tidak jadi wafat, maka wasiat itu batal.
23
Sedangkan hal-hal yang dapat membatalkan wasiat, tetapi diperselisihkan
ulama fikih seperti yang dikutip oleh Ahmad Kamil dan M. Fauzan adalah:32
1. Mazhab Hanafi, mushii kehilangan kecakapannya dalam bertindak hukum,
seperti gila. Tetapi menurut jumhur ulama tidak batal baik gila
berkelanjutan sampai wafat atau tidak. Menurut mereka, yang penting
adalah orang yang berwasiat itu cakap bertindak hukum (balig dan berakal)
ketika mengakadkan wasiat.
2. Menurut ulama mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i wasiat seseorang batal
apabila ia murtad, bahkan menurut mazhab Maliki apabila yang murtad
mushaa lah (penerima wasiat) wasiat itupun batal. Akan tetapi ulama
mazhab Hambali berpendirian bahwa murtad tidaklah membatalkan wasiat,
baik yang murtad itu mushii maupun mushaa lah.
3. Menurut mazhab Hanafi dan mazhab Hambali, wasiat batal jika mushaa lah
membunuh mushii, baik direstui ahli waris maupun tidak. Tetapi menurut
mazhab Syafi’i, apabila mushaa lah membunuh mushii, sekalipun dengan
sengaja wasiat tetap sah, tidak batal. Menurut mazhab Maliki wasiat tetap
sah bila mushaa lah membunuh mushii baik disengaja maupun tidak,
dengan syarat mushii mengatahui pembunuhnya dan tidak membatalkan
wasiat.
4. Ulama mazhab Maliki berpendapat wasiat kepada ahli waris hukumnya
batal. Akan tetapi ulama lain (mazhab Hanafi, mazhab Syafi’i dan mazhab
Hambali) berpendapat bahwa berwasiat kepada salah seorang ahli waris
adalah sah, apabila direstui oleh ahli waris lainnya.
E. Hukum Wasiat
Mardani mengutip beberapa beda pendapat para ulama tentang hukum
melakukan wasiat, di antaranya sebagai berikut:33
32 Ahmad Kamil & M. Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia,
h. 150-151.
33 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, h. 108.
24
1. Menurut az-Zuhri dan Abu Mijlaz, wasiat itu wajib hukumnya bagi setiap
Muslim yang meninggalkan harta banyak maupun sedikit dan bila wasiat itu
merugikan ahli waris maka hukumnya haram.
2. Menurut al-Imam Takiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al- Husain, pada
awal-awal Islam wasiat hukumnya wajib, tetapi setelah turunnya ayat
tentang kewarisan hukumnya menjadi boleh, tetapi tidak melebihi 1/3 atau
melebihi bagian ahli waris.
3. Menurut Ibnu Hazm, bahwa wasiat hukumnya fardhu ‘ain berdasarkan QS
An-Nisa: 11. Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa harta warisan baru
dapat dibagikan kepada ahli waris setelah dilaksanakan wasiat dan
dibayarkan hutang-hutangnya.
4. Menurut Abu Daud, Masruq, Thawus, Iyas, Qatadah dan Ibnu Jabir, bahwa
wasiat itu hukumnya wajib dilaksanakan kepada orangtua dan kerabat-
kerabat yang tidak mendapatkan warisan.
5. Menurut jumhur ulama dan fuqaha Zaidiyah, bahwa berwasiat kepada
orangtua dan karib kerabat tidak termasuk fardhu ‘ain dan wajib.
Jika diperhatikan dengan seksama hukum yang telah ditetapkan oleh ulama
dalam menentukan hukum wasiat sebagaimana tersebut di atas adalah semata-mata
hukum asal wasiat itu sendiri.
Hukum wasiat jika dihubungkan dengan keadaan-keadaan yang
mempengaruhinya, ia tidak terlepas dari ketentuan hukum wajib, sunnah, haram,
makruh dan mubah.34
1. Wasiat wajib, apabila berkaitan dengan penunaian hak-hak Allah SWT.,
seperti zakat, fidyah, nadzar, haji, kafarat, dan lain sebagainya. Atau sebagai
pemenuhan hak-hak sesama yang tidak diketahui selain oleh pewasiat
sendiri dan satu-satunya jalan dalam hal ini tidak lain kecuali memberikan
wasiat, oleh karena itu memberikan wasiat adalah wajib.
34 Asyhari Abta & Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum Islam
Praktis dan Terapan, Cet.I, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 227.
25
2. Wasiat sunnah, apabila ditujukan kepada karib kerabat yang tidak mendapat
bagian warisan, atau kepada orang-orang yang membutuhkan. Seperti
berwasiat kepada fakir miskin, anak-anak yatim dan lain sebagainya.
Dengan tujuan bertaqarrub kepada Allah, menambah amal, memberikan
sumbangan-sumbangan kepada kerabat-kerabat yang kekurangan dan
berderma kepada lembaga-lembaga sosial.
3. Wasiat haram, apabila wasiat tersebut untuk sesuatu maksiat, seperti
berwasiat untuk mendirikan tempat-tempat perjudian, pelacuran dan lain
sebagainya.
4. Wasiat makruh, jika wasiat tersebut ditujukan kepada orang yang fasik dan
orang ahli maksiat yang dengan berwasiat kepadanya akan menjadikan
mereka tambah fasik dan tambah maksiat. Tetapi jika diduga keras apabila
dengan wasiat tersebut mereka menjadi orang baik maka hukumnya menjadi
sunnah.
5. Wasiat mubah, Misalnya seseorang itu kaya, ahli warisnya juga adalah
orang-orang yang mampu. Atau harta warisannya sedikit, akan tetapi ahli
warisnya bukanlah orang yang membutuhkan.35
F. Wasiat Wajibah
Pada dasarnya memberikan wasiat merupakan tindakan ikhtiyariyah, yakni
suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan
bagaimanapun. Dengan demikian, pada dasarnya seseorang bebas apakah membuat
atau tidak membuat wasiat.36
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim
sebagai aparat negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi
35 Asyhari Abta & Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum Islam
Praktis dan Terapan, h. 227.
36 Moh. Muhibbin & Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 148.
26
orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan
tertentu. 37
Jadi wasiat wajibah merupakan bentuk pemberian wasiat yang dilakukan
berdasarkan perintah penguasa, dalam hal ini adalah hakim sebagai aparat negara,
melalui putusannya yang diberikan pada orang tertentu.
Istilah wasiat wajibah dipergunakan pertama kali di Mesir melalui Hukum
Waris 1946 untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim.38 Ketentuan
hukum ini bermanfaat bagi anak-anak dari anak laki-laki yang meninggal atau anak
laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah. Sedangkan untuk garis anak perempuan
hanya berlaku untuk anak dari anak perempuan saja (tidak lanjut sampai generasi
selanjutnya). Pemberian wasiat wajibah ini harus tidak melebihi dari sepertiga dari
harta yang ditinggalkan.39
Di dalam ketentuan wajibnya wasiat wajibah tidak membutuhkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam wasiat yang dilakukan secara sukarela
(Ikhtiyariah), karena wasiat wajibah tidak membutuhkan ijab dari orang yang
memberi wasiat dan kabul dari orang yang menerima wasiat, maka wasiat wajibah
dalam hal ini menyerupai pembagian warisan.40 Dalam hal yang terkait harta wasiat
dan hal-hal yang membatalkan wasiat, kaidah umum wasiat biasa berlaku dalam
pelaksanaan wasiat wajibah.41 Pembagian wasiat wajibah dilakukan setelah
37 Musthofa, Pengangkatan Anak: Kewenangan Peradilan Agama, Cet.I, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 131.
38 Atho Mudhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000), h. 163.
39 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), h. 88.
40 Muchit A. Karim, ed., Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, Cet.I, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012), h. 275.
41 Destri Budi Nugraheni, dkk., Pengaturan Dan Implementasi Wasiat Wajibah di Indonesia, h. 329.
27
dikurangi dengan biaya pengurusan jenazah pewaris, biaya pengobatan, dan
hutang-hutang pewaris.42
Adapun disebut wasiat wajibah karena:43
1. Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur
kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa
tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima
wasiat.
2. Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam
penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Menurut Ibn Hazm, ada wasiat yang wajib dan ada yang sunah (ikhtiariyah).
Wasiat wajib deperuntukkan bagi kerabat yang tidak mewarisi, sedang wasiat
ikhtiariyah terserah kepada keinginan si pewasiat.44
Teoritisi hukum Islam (klasik dan kontemporer) berbeda pendapat dalam
menetapkan hukum wasiat wajib. Jumhur ulama berpendapat bahwa sifatnya hanya
dianjurkan, bukan wajib, dengan tujuan untuk membantu meringankan yang
bersangkutan dalam menghadapi kesulitan hidup. Akan tetapi sebagian ulama fikih
lainnya, seperti Ibnu Hazm (tokoh Mahzab azh-Zhahiri), Imam Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir at-Tabari (225 H/839 M-390 H/923 M; mufassir), dan Abu
Bakr bin Abdul Aziz (tokoh fikih mazhab Hambali) berpendapat bahwa wasiat
seperti ini hukumnya wajib, dengan alasan Surat al-Baqarah (2) ayat 180. Menurut
mereka, perintah untuk berwasiat dalam ayat tersebut adalah untuk para ahli waris
yang terhalang mendapat warisan.45
42 Destri Budi Nugraheni, dkk., Pengaturan Dan Implementasi Wasiat Wajibah di
Indonesia, h. 316.
43 Destri Budi Nugraheni, dkk., Pengaturan Dan Implementasi Wasiat Wajibah di Indonesia, h. 131.
44 Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta: INIS, 1998), h. 193.
45Andi Syamsu Alam & M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Cet.I, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 80.
28
Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pendapat
pula, yakni apakah ayat al-Qur’an tersebut dimansukh oleh ayat-ayat al-Qur’an
dalam bidang kewarisan atau tidak. Jumhur ulama berpendapat kewajiban berwasiat
telah dimansukh. Sedangkan ulama yang mewajibkan wasiat untuk kerabat dekat
yang tidak mendapat warisan berpendapat bahwa ayat tersebut tidak mansukh oleh
ayat-ayat kewarisan karena tidak ada pertentangan antara ayat-ayat yang
mewajibkan wasiat dengan ayat-ayat kewarisan.46
Menurut Fatchur Rahman yang dikutip oleh Ahmad Rofiq, Orang yang
berhak menerima wasiat wajibah adalah cucu-cucu laki-laki maupun perempuan
baik pancar laki-laki maupun pancar perempuan yang orangtuanya mati
mendahului atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya.47 Dan harus
memenuhi dua syarat: 48
1. Anak yang wajib wasiat untuknya, bukan waris. Kalau dia berhak menerima
pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
2. Orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan
kepada anak yang wajib dibuat wasiat untuknya, jumlah yang diwasiatkan
untuknya dengan jalan yang lain, seperti hibah umpamanya. Dan jika dia
telah memberikan kurang dari pada jumlah wasiat wajibah, maka wajiblah
disempurnakan wasiat itu.
Adapun dasar hukum wasiat wajibah ini diambil secara kompromi terhadap
pendapat para ulama salaf dan ulama khalaf, yakni:49
46 Moh. Muhibbin & Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, h. 149.
47 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 371.
48 Hasbi Ash-Shiddiqy, Fikih Mawaris: Untuk Warisan Dalam Syari’at Islam, Cet.I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 295.
49 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet.I, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 166-167.
29
1. Tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak menerima
warisan ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha, tabi’in, ahli fikih dan
hadits antara lain Tawus, Imam Ahmad dan Ibnu Hazm.
2. Pemberian sebagian harta si mati kepada kerabat-kerabat yang tidak
menerima pusaka yang berfungsi adalah wasiat wajibah, bila si mati tidak
berwasiat. Pendapat ini adalah diambil dari Ibnu Hazm yang dinukilkan dari
pendapat tabi’in dan dari pendapat madzab Imam Ahmad.
3. Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada
cucu-cucu dan pembatasan penerimaan wasiat sebesar sepertiga harta
peninggalan adalah didasarkan pendapat madzab Ibnu Hazm dan
berdasarkan kaidah syariah, "Pemegang kekuasaan mempunyai wewenang
memerintahkan perkara yang mubah, karena ia berpendapat bahwa hal itu
akan membawa kemaslahatan umum bila penguasa memerintahkan
demikian wajib ditaati”.
30
BAB III
KETENTUAN WASIAT WAJIBAH DI INDONESIA, MALAYSIA DAN
IRAK
A. Wasiat Wajibah di Indonesia
Sebagian besar umat Islam Indonesia merupakan penganut tradisi Islam
teologi Asy’ariyah dan mazhab fikih Syafi’i, dengan sifatnya yang akomodatif,
mazhab Syafi’i mampu “masuk” ke dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang
mengutamakan harmonisasi antara nilai-nilai ajaran Islam dan tradisi-tradisi yang
berkembang dalam masyarakat. Ini membuat mazhab Syafi’i mudah diterima oleh
masyarakat.1
Dengan seiring waktu kebutuhan akan pembaruan hukum Islam di
Indonesia dirasa perlu, maka kelompok yang terlalu berpegang teguh pada mazhab
Syafi’i tentu sangat sulit diamalkan. Banyak pendapat-pendapat dalam mazhab
Syafi’i sudah tidak relavan dengan masa sekarang. Selain itu pesatnya
perkembangan masalah hukum pada masa Imam Syafi’i mungkin belum terjadi atau
belum terpikirkan, menuntut umat Islam untuk mencari solusi jawabannya. Ini tentu
tidak mencukupi bila hanya berpegang pada pendapat-pendapat masa lalu.2
Dengan semakin kompleksnya permasalahan yang timbul di zaman modern
dan belum terjadi di zaman klasik mendorong kita untuk mencari solusi melalui
ijtihad. Sebelum terbentuknya KHI yang bermuatan hukum Islam bercorak
keIndonesiaan, masyarakat Indonesia bila bersengketa bidang perdata Islam
seringkali hakim yang satu dengan hakim yang lain berbeda dalam putusannya.
1 Muhammad Iqbal, Hukum Islam Modern: Dinamika Pemikiran Dari Fikih Klasik Ke Fikih
Indonesia, Cet.I, (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009), h. 195.
2 Muhammad Iqbal, Hukum Islam Modern: Dinamika Pemikiran Dari Fikih Klasik Ke Fikih Indonesia, h. 197.
31
Hal ini karena dasar keputusan Peradilan Agama adalah kitab-kitab fikih.
Ini membuka peluang bagi terjadinya pembangkangan atau setidaknya keluhan,
ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakaian kitab/pendapat yang
tidak menguntungkannya itu, seraya menunjuk kitab/pendapat yang menawarkan
penyelesaian yang berbeda. Situasi hukum seperti ini mendorong Mahkamah
Agung untuk mengadakan KHI.3
Kitab-kitab yang dipakai untuk merumuskan KHI tidak hanya terbatas pada
kitab-kitab fikih Syafi’i saja, akan tetapi dari mazhab lain bahkan dari pemikiran
aliran pembaharu seperti buku-buku Ibn Taimiyah. Salain itu juga mengambil
fatwa-fatwa yang berkembang di Indonesia, seperti hasil fatwa MUI, Majlis Tarjih
Muhammadiyah, NU dan sebagainya.4
Di Indonesia aturan mengenai wasiat telah tertuang dalam KHI
sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yaitu dalam
Bab V Pasal 194 sampai dengan Pasal 209. KHI Pasal 171 huruf f menyebutkan
wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Pasal 194 sampai dengan Pasal
208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan dalam Pasal 209 mengatur tentang
wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orangtua angkat. Dalam
khasanah hukum Islam, wasiat tidak biasa ini disebut wasiat wajibah. Sayangnya,
KHI tidak memberikan definisi dalam ketentuan umum tentang wasiat wajibah
tersebut.
Wasiat merupakan salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama tersebut diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan
3 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Cet.I, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992), h. 23.
4 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 41.
32
kemudian perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.5 Pada
kenyataannya belum ada hukum materiil dalam bentuk undang-undang yang
mengaturnya. Satu-satunya peraturan yang mengatur wasiat adalah KHI, yang
termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. KHI yang mengatur wasiat
dalam Pasal 194 sampai Pasal 209 dipandang sebagai hukum materiil dan
diberlakukan di peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama.6 Tetapi jika dilihat
dari sudut hirarki peraturan perundang-undangan, KHI tidak memiliki otoritas
untuk diberlakukan sebagai hukum materiil.7
Wasiat wajibah secara tegas dinyatakan dalam KHI pada Pasal 209 yang
secara lengkap adalah sebagai berikut:8
1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan
Pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orangtua angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
wasiat anak angkatnya.
2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya.
Dari pasal tersebut, ada beberapa ketentuan yang dapat disimpulkan
mengenai wasiat wajibah, yaitu sebagai berikut:9
1. Ketentuan mengenai pihak yang berhak mendapatkan wasiat wajibah.
Dalam Pasal 209 KHI tersebut, ada dua pihak yang berhak atas wasiat
wajibah, yaitu orangtua angkat dan anak angkat.
2. Ketentuan mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh penerima wasiat
wajibah. Orangtua angkat atau anak angkat yang berhak menerima wasiat
wajibah adalah mereka yang tidak diberi wasiat oleh pewaris.
5 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001), h. 148.
6 Destri Budi Nugraheni, dkk., Pengaturan Dan Implementasi Wasiat Wajibah di Indonesia, Mimbar Hukum Volume 22, Nomor 2, Juni 2010, h. 311.
7 Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, Cet.I, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 125.
8 Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (1) dan (2).
9 Destri Budi Nugraheni & Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet.I, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), h. 62.
33
3. Ketentuan mengenai bagian yang dapat diterima. Pasal ini mengatur kadar
maksimal wasiat wajibah yang diberikan yakni sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan pewaris.
Dalam syariat Islam tindakan pengangkatan anak sangat dianjurkan dengan
catatan tidak sampai mengadopsinya secara total, sehingga menganggapnya mereka
bernasab kepada dirinya. Karena persoalan nasab merupakan masalah yang sangat
penting dalam rangka membina dan memelihara keutuhan umat manusia serta
merupakan salah satu unsur pokok yang harus dijaga kemurniannya. Serta di antara
tujuan disyariatkannya ajaran hukum Islam adalah untuk memelihara dan menjaga
keturunan atau nasab.10
Kesadaran beragama masyarakat muslim yang semakin meningkat telah
mendorong semangat untuk melakukan koreksi terhadap hal-hal yang bertentangan
dengan syariat Islam, antara lain masalah pengangkatan anak. Dengan lahirnya KHI
sebagai pedoman hukum materil Pengadilan Agama mengakui eksistensi lembaga
pengangkatan anak dengan mengatur anak angkat dalam rumusan Pasal 171 huruf
h. Bunyi isi Pasal 171 huruf h “anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan
untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung
jawab dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan
pengadilan.”11
Anak angkat memiliki dua jenis yaitu, pertama seseorang yang memelihara
anak orang lain yang kurang mampu untuk dididik dan disekolahkan pada
pendidikan formal, pemeliharaan seperti ini hanyalah sebagai bantuan biasa, dan
sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan hubungan pewarisan antara mereka tidak
ada. Kedua, mengangkat anak yang dalam Islam disebut Tabanni atau dalam hukum
10 M. Nurul Irfan, Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam, Cet.I, (Jakarta: Amzah, 2013),
h. 10.
11 Ria Ramdhani, Pengaturan Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat Menurut Hukum Islam, Lex et Societatis, Vol.III/No.1/Jan-Mar/2015, h. 59.
34
positif disebut sebagai adopsi. Orangtua yang mengangkat anak ini menganggap
sebagai keluarga dalam segala hal.12
Walau secara normatif telah ditentukan demikian, namun dalam
perkembangannya ternyata wasiat wajibah diberikan kepada pihak-pihak di luar
anak angkat dan orangtua angkat. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung
ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non-Islam.
Diantaranya yakni Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368.K/AG/1995 serta
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51.K/AG/1999.13 Yurisprudensi dilakukan
karena belum ada ketentuan hukum yang pasti, atau spesifik terhadap suatu kasus
yang kemudian diikuti oleh hakim yang lain, dan merupakan hasil ijtihad.14 Dan
merupakan bagian atau salah satu dari sumber hukum dalam tata hukum di
Indonesia yang sering menjadi rujukan dalam pengambilan suatu keputusan oleh
hakim. Dan tidak mengherankan bila yurisprudensi tetap bertahan dalam beberapa
tahun.15
Dalam menangani perkara wasiat wajibah bagi ahli waris non-Muslim
Mahkamah Agung telah melakukan ijtihad di satu sisi, yang mana berdasarkan teks
yang ada baik menurut al-Qur’an maupun al-Hadits ahli waris non-Muslim
terhalang untuk memperoleh warisan dari pewaris yang Muslim dan dalam KHI
aturan wasiat wajibah hanya diperuntukkan bagi orangtua angkat yang sudah
meninggal begitu juga sebaliknya.16
Dalam kontek ke-Indonesiaan wasiat wajibah bagi ahli waris non-Muslim
dipihak lain berkaitan dengan nilai dan masyarakat Indonesia merupakan
12 Ria Ramdhani, Pengaturan Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat Menurut Hukum
Islam, h. 59.
13 Destri Budi Nugraheni, dkk., Pengaturan dan Implementasi Wasiat Wajibah di Indonesia, h. 312.
14 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Cet.IV, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 37.
15 Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet.I, (T.tp., Kementerian Agama RI, 2011), h. 100.
16 Dian Khairul Umam, Fikih Mawaris, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 60.
35
masyarakat yang telah mengadakan kontrak sosial untuk hidup rukun, damai, saling
hormat menghormati dan tidak saling merendahkan martabat kemanusiaan atas
dasar apapun juga, baik karena perbedaan suku, budaya maupun agama.17
Pada awalnya ketentuan tentang wasiat wajibah hanya diperuntukkan untuk
dua kelompok penerima wasiat yakni anak angkat atau orangtua angkat melalui
KHI dan ahli waris yang tidak beragama Islam melalui yurisprudensi Mahkamah
Agung, tetapi melalui hasil rapat kerja nasional Mahkamah Agung RI, ketentuan
wasiat wajibah mengalami perluasan, yaitu:18
1. Anak tiri yang dipelihara sejak kecil bukan sebagai ahli waris, tetapi dapat
diberikan bagian dari harta warisan melalui wasiat wajibah (Keputusan
Rakernas MA-RI Komisi II Bidang Peradilan Agama tanggal 31 Oktober
2012).
2. Orangtua biologis wajib memberikan bagian dari harta peninggalannya
untuk anaknya yang lahir di luar nikah melalui wasiat wajibah, sebagai
ta’zir. (Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 Jo
Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012 dan Keputusan
Rakernas MA Komisi II Bidang Peradilan Agama tanggal 31 Oktober
2012).
3. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat oleh pejabat yang
berwenang, berhak untuk memperoleh nafkah dan wasiat wajibah dari
ayahnya tersebut (Keputusan Rakernas MA-RI Komisi II Bidang Peradilan
Agama tanggal 31 Oktober 2012).19
Di Indonesia wasiat wajibah nampaknya merupakan hasil dari dua sistem
hukum, yakni hukum Islam yang sama sekali tidak mengenal anak angkat dan
17 Muchit A. Karim, ed., Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia,
Cet.I, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012), h. 285.
18 Destri Budi Nugraheni & Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, h. 79.
19 A. Mukti Arto, Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 215-216.
36
hukum adat yang memperlakukan anak angkat sebagai anak kandung. Meskipun
dalam hukum adat pengangkatan anak mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu,
yakni:20
1. Anak angkat dapat menjadi anak sah (kandung) sehingga berhak mewarisi.
Misalnya di Bali dan di Batak Karo.
2. Pengangkatan anak tidak menyebabkan putusnya hubungan sama sekali
dengan orangtua kandung. Misalnya di Jawa.
3. Pengangkatan anak hanya sebatas pemeliharaan sehingga tidak berlaku
baginya hukum sebagaimana anak kandung. Misalnya di Lampung.
Keberadaan konstruksi hukum wasiat wajibah di Indonesia juga terinspirasi
dari peraturan perundang-undangan Mesir. Hukum wasiat Mesir tentang wasiat
wajibah tertuang dalam UU No. 71 Tahun 1365 H atau Tahun 1946 M. Dalam
undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah
ialah cucu laki-laki atau perempuan pancar perempuan (anak-anak dari anak
perempuan yang meninggal) atau kepada cucu laki-laki atau perempuan pancar
laki-laki (anak-anak dari anak laki-laki pewaris yang meninggal).21 Tidak diketahui
pasti mengapa KHI di Indonesia mengubah konsep wasiat wajibah hanya sebatas
kepada anak angkat dan orangtua angkat saja.22
Pemberian harta warisan dalam Pasal 209 KHI, pada umumnya bukan
didasarkan pada landasan syariat (qath’iy al-dilalah), tetapi lebih didasarkan pada
logika hukum dan pertimbangan kemanusiaan.23
Akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa wasiat wajibah mempunyai
tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu memberikan bagian kepada ahli
20 B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat
Hukumnya di Kemudian Hari, Cet.I, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 171-172.
21 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah Dan Wasiat di Indonesia, Cet.I, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), h. 99.
22 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet.II, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 168.
23 Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, h. 170.
37
waris yang mempunyai pertalian darah namun nash tidak memberikan bagian yang
semestinya, atau orangtua angkat dan anak angkat yang mungkin sudah banyak
berjasa kepada si pewaris namun tidak diberi bagian dalam ketentuan hukum waris
Islam. Jalan keluar yang dapat ditempuh, yakni dengan menerapkan wasiat wajib
sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta si pewaris.24
Sebagai contoh, seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari 1
isteri, 1 anak laki-laki dan 1 anak angkat. Harta warisan yang ditinggalkan sebesar
Rp. 100.000.000 bagian masing-masing adalah:
Harta warisan Rp. 100.000.000
Akar Masalah (AM) = 24
Ahli waris Saham Saham Bagian
1 isteri 1/8 3/24 100.000.000 x 3 : 24 = 12.500.000
1 anak laki-laki Ashabah 13/24 100.000.000 x 13 : 24 = 54.166.667
1 anak angkat 1/3 8/24 100.000.000 x 8 : 24 = 33.333.333
100.000.000
B. Wasiat Wajibah di Malaysia
Secara administratif Malaysia terbagi menjadi 13 negeri bagian dan 3
wilayah persekutuan. yaitu Johor, Kedah, Kelantan, Melaka, Negeri Sembilan,
Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Selangor, Terengganu, Sabah, Serawak, dan
wilayah persekutuan meliputi: wilayah persekutuan Labuan, wilayah persekutuan
Putrajaya dan wilayah persekutuan Kuala Lumpur.25
Di Asia Tenggara, Malaysia tercatat sebagai negara yang juga melakukan
pembaruan hukum Islam, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan
hukum-hukum keluarga. Malaysia merupakan negara federal, yang sampai
24 Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, h. 169.
25Diakses dari https://id.m.Wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_bagian_dan_wilayah_ persekutuan_di_Malaysia. Pada pukul 07.15 tanggal 5 September 2017.
38
sekarang belum mempunyai undang-undang keluarga yang berlaku secara nasional.
Akibatnya hukum-hukum keluarga yang berlaku berbeda-beda antara negara bagian
yang satu dengan negara bagian yang lain. Usaha penyeragaman undang-undang
hukum keluarga Islam pernah dilakukan, tetapi tidak semua negara bagian mau
menerima usaha penyeragaman tersebut.26
Di Malaysia pedoman utama merumuskan perundang-undangan bertitik
tolak pada mazhab Syafi’i. Sekiranya tidak terdapat dalam mazhab Syafi’i terhadap
persoalan yang akan dirujuk atau tidak sesuai dengan keadaan masa sekarang dan
kepentingan umum, maka barulah pandangan mazhab yang lain dapat
dipertimbangkan.27
Negeri Selangor merupakan yang pertama mewujudkan Undang-Undang
Pentadbiran Hukum Syara’ di Malaysia. Di antara undang-undang yang
diwujudkan adalah Enakmen Wasiat Orang Islam. Enakmen ini telah dirumuskan
dan diberlakukan oleh pemerintahan negeri. Draft Enakmen tersebut dirumuskan
oleh pemerintah melalui Jabatan Kehakiman Syariah Negeri Selangor (JAKESS),
dan selanjutnya diajukan dalam rapat parlemen untuk dibahas bersama wakil rakyat
tersebut. Setelah disahkan dan mendapat persetujuan dari DiRaja, barulah diundang
dan diberlakukan. Enakmen Wasiat Orang Islam Negeri Selangor ini No. 4 Tahun
1999 yang telah diundangkan pada 30 September 1999, dan mulai diberlakukan
sejak 1 Juli 2004.28 Hingga kini hanya Negeri Selangor (1999), Negeri Sembilan
(2004), dan Malaka (2005) saja yang telah membuat undang-undang khusus
mengenai wasiat orang Islam.29
26 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Cet.III, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), h. 249.
27 Hajar M, Hak Kewarisan Cucu (Analisis Yurisprudensi Mahkamah Tinggi Syariah di Selangor, Malaysia dan Mahkamah Agung di Indonesia), Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 21 JULI 2014, h. 447-448.
28 Hajar M, Hak Kewarisan Cucu (Analisis Yurisprudensi Mahkamah Tinggi Syariah di Selangor, Malaysia dan Mahkamah Agung di Indonesia), h. 448.
29 Muhammad Fathullah Al Haq Muhamad Asni & Jasni Sulong, Fatwa Berhubung Wasiat Wajibah dan Keseragaman Peruntukannya dalam Fatwa Negeri-Negeri di Malaysia, Al-Qanatir Internasional Journal of Islamic Studies. Vol.5. No. 1 (2016), h. 6.
39
Di Malaysia, terdapat 14 negeri yang mempunyai kekuasaan eksekutif
dalam menentukan undang-undang mengenai agama Islam yang diketuai oleh Raja
atau Tuanku Sultan. Dengan kekuasaan eksekutif tersebut, masing-masing negeri
berhak untuk membuat undang-undang mengenai hal ehwal agama Islam.
Akibatnya menyebabkan berlakunya ketidakseragaman dalam memutuskan fatwa
dan undang-undang dalam suatu persoalan di negeri-negeri.30
Oleh karena itu, diantara yang diperselisihkan oleh negeri-negeri adalah
berkaitan dengan wasiat wajibah di mana ada negeri yang memperuntukkan
Enakmen khusus mengenai wasiat wajibah, terdapat pula negeri yang mengeluarkan
fatwa yang berbeda dengan negeri yang lain dan terdapat juga negeri yang tidak
mengeluarkan fatwa mengenai wasiat wajibah.31
Tidak semua negeri-negeri di Malaysia memperuntukkan undang-undang
khusus mengenai wasiat wajibah, tetapi jika terjadi sengketa perihal wasiat wajibah
masyarakat masih boleh menuntut apabila terdapat negeri yang mengeluarkan fatwa
yang mensahkan wasiat wajibah. Misalnya keputusan fatwa yang telah dikeluarkan
oleh Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Islam (MUFK), Negeri
Sembilan, Johor, Perak, Pulau Pinang, Wilayah Persekutuan, Selangor,
Terengganu, dan Kelantan mengenai wasiat wajibah. Dan terdapat pula negeri yang
menolak konsep wasiat wajibah melalui fatwanya sebagaimana yang diputuskan
oleh Jawatankuasa Fatwa Negeri Perlis.32
Negeri-negeri bagian yang mengatur masalah wasiat wajibah tertuang
dalam undang-undang dengan nama Enakmen Wasiat Orang Islam yakni Negeri
Selangor diatur dalam Enakmen Wasiat Orang Islam (Selangor) Nomor 4 Tahun
1999, Negeri Melaka diatur dalam Enakmen Wasiat Orang Islam (Melaka) Nomor
30 Muhammad Fathullah Al Haq Muhamad Asni & Jasni Sulong, Fatwa Berhubung Wasiat
Wajibah dan Keseragaman Peruntukannya dalam Fatwa Negeri-Negeri di Malaysia, h. 8.
31 Muhammad Fathullah Al Haq Muhamad Asni & Jasni Sulong, Fatwa Berhubung Wasiat Wajibah dan Keseragaman Peruntukannya dalam Fatwa Negeri-Negeri di Malaysia, h. 8.
32 Muhammad Fathullah Al Haq Muhamad Asni & Jasni Sulong, Fatwa Berhubung Wasiat Wajibah dan Keseragaman Peruntukannya dalam Fatwa Negeri-Negeri di Malaysia, h. 7-8.
40
4 Tahun 2004 dan Negeri Sembilan diatur dalam Enakmen Wasiat Orang Islam
(Sembilan) Nomor 5 Tahun 2005. Tetapi dalam Enakmen tersebut tidak
memberikan definisi secara umum tentang wasiat wajibah.
Dalam Enakmen Wasiat Orang Islam baik di Negeri Selangor (Enakmen 4
Tahun 1999), Melaka (Enakmen 4 Tahun 2005), maupun di Sembilan (Enakmen 5
Tahun 2004) dalam Bahagian VIII tentang wasiat wajibah Seksyen 27, dijelaskan
bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah ialah cucu baik laki-laki maupun
perempuan dari garis keturunan anak laki-laki dari generasi pertama yang ayahnya
mati terlebih dahulu atau diduga matinya dalam waktu bersamaan daripada
kakeknya, maka cucu tersebut berhak untuk mendapatkan wasiat wajibah. Untuk
kadar wasiat wajibah yang diberikan kepada cucu tidak boleh lebih dari satu pertiga
bagian dari harta warisan minimal disesuaikan dengan bagian yang bakal diterima
oleh ayahnya sekiranya ayah mereka masih hidup, selama tidak melebihi satu
pertiga bagian dari harta pewaris.
Cucu dari keturunan anak laki-laki itu dianggap tidak berhak mendapat
wasiat wajibah apabila ia adalah ahli waris atau ia adalah orang yang berhak
mewarisi harta tersebut, ia juga tidak berhak mandapat wasiat wajibah jika nenek
atau kakeknya ketika hidup telah membuatkan wasiat atau memberikan harta
kepada mereka dengan kadar wasiat wajibah, jika wasiat yang diberikan oleh kakek
atau nenek melebihi satu pertiga bagian maka pelaksanaan kelebihannya harus
dengan persetujuan ahli waris. Adapun Seksyen 27 Enakmen Wasiat Orang Islam
(Selangor) yang mengatur perihal wasiat wajibah yakni:33
1) Jika seseorang mati tanpa membuat apa-apa wasiat kepada cucunya daripada
anak lelakinya yang telah mati terlebih dahulu daripadanya atau mati serentak
dengannya, maka cucunya itu hendaklah berhak terhadap satu pertiga wasiat
dan sekiranya cucu itu diberi dengan kadar yang kurang dari satu pertiga,
haknya hendaklah disempurnakan mengikuti kadar wasiat wajibah yang
diperuntukkan di bawah seksyen ini.
33 Lihat Enakmen Wasiat Orang Islam (Selangor) No. 4 Tahun 1999 Pasal 27 ayat (1), (2)
dan (3). Lihat pula Enakmen Orang Islam (Melaka) No. 4 Tahun 2005 dan (Sembilan) No. 5 Tahun 2004 Pasal 27 ayat (1), (2) dan (3).
41
2) Kadar wasiat wajibah untuk kanak-kanak yang disebut dalam subseksyen (1)
hendaklah setakat kadar di mana ayahnya berhak daripada harta pusaka
datuknya sekiranya diandaikan ayahnya itu mati selepas kematian datuknya;
dengan syarat wasiat itu tidak melebihi satu pertiga daripada harta pusaka
simati.
3) Kanak-kanak tersebut hendaklah tidak berhak kepada wasiat sekiranya dia telah
mewarisi daripada datuk atau neneknya semasa hayatnya, dan tanpa menerima
apa-apa balasan, telah membuat wasiat kepada mereka atau telah memberi
kepada mereka harta yang bersamaan dengan apa yang mereka sepatutnya
menerima menurut wasiat wajibah; dengan syarat sekiranya wasiat yang dibuat
oleh datuk atau nenek itu kurang daripada bahagian yang sepatutnya dia berhak,
haknya hendaklah ditambah sewajarnya dan jika bahagian tersebut adalah
melebihi bahagian yang ia berhak, bahagian yang lebih itu hendaklah menjadi
wasiat sukarela dengan tertakluk kepada persetujuan waris.
Wasiat wajibah merupakan isu nasional yang mana bila terdapat isu nasional
penyelesaiannya diserahkan kepada Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM).
Berdasarkan hal ini JAKIM telah dipertanggungjawabkan untuk berperan sebagai
penyelaras dalam isu-isu undang-undang Islam dan kefatwaan. Oleh karena itu,
salah satu peranan JAKIM adalah untuk menyamakan dan melaksanakan arahan
Majlis Raja-Raja mengenai urusan agama Islam melalui Majlis Kebangsaan Bagi
Hal Ehwal Agama Islam Malaysia (MKI) bagi penyeragaman undang-undang Islam
seluruh Malaysia.34
Oleh karena itu dalam hal isu yang berkaitan dengan wasiat wajibah maka
JAKIM telah mengeluarkan keputusan resmi diperingkat Kebangsaan. Langkah
yang dijalankan sangat penting karena isu wasiat wajibah merupakan isu nasional
yang mana telah disetujui oleh semua negeri apabila melibatkan isu-isu nasional,
maka ia perlu diselesaikan secara bersama melalui JAKIM sebagaimana yang diatur
dalam Enakmen Pentadbiran Negeri yang terdapat di delapan negeri yaitu Perlis,
Selangor, Perak, Johor, Pulau Pinang, Melaka, Sabah, dan Sarawak. Adapun negeri
yang tidak mengatur seksyen tersebut, dalam prakteknya menerima fatwa yang
34 Muhammad Fathullah Al Haq Muhamad Asni & Jasni Sulong, Fatwa Berhubung Wasiat
Wajibah dan Keseragaman Peruntukannya dalam Fatwa Negeri-Negeri di Malaysia, h. 10.
42
dikeluarkan oleh Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan sebagaimana di wilayah
Persekutuan, Terengganu, Kelantan, dan negeri-negeri yang lainnya. 35
Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal
Agama Islam Malaysia Kali Ke-83 yang bersidang pada 22-24 Oktober 2008 telah
membahas mengenai hukum pelaksanaan wasiat wajibah. Muzakarah menegaskan
bahwa Islam sangat menitikberatkan kebenaran dan kesempurnaan hidup umatnya,
terutama anak-anak yang kehilangan ahli keluarga mereka. Oleh karena itu,
Muzakarah berpandangan bahwa dalam melaksanakan wasiat wajibah harus
mengambil pandangan yang menyatakan bahwa berwasiat kepada ahli-ahli waris
(seperti cucu) yang tidak mendapat warisan merupakan suatu kewajiban yang perlu
dilaksanakan.36
Adapun syarat-syarat pelaksanaan wasiat wajibah yakni sebagai berikut:37
1. Anak laki-laki dan perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuan
(cucu) ke bawah adalah layak untuk menerima wasiat wajibah.
2. Hendaklah kedua ibu bapa mereka meninggal dunia terlebih dahulu
daripada kakek atau nenek, atau ibu atau bapak meninggal dunia serentak
dengan kakek atau nenek dalam kejadian yang sama atau berlainan.
3. Cucu laki-laki atau perempuan bukan merupakan ahli waris yang berhak
atas harta pusaka kakek. Sekiranya mereka merupakan ahli waris ke atas
secara fardhu atau ta’sib maka mereka tidak berhak untuk mendapat wasiat
wajibah walaupun bagiannya sedikit dibandingkan wasiat wajibah.
4. Sekiranya anak laki-laki atau anak perempuan berlainan agama dengan ibu
atau bapak, atau terlibat dengan pembunuhan ibu atau bapak, maka dia tidak
berhak untuk mendapatkan wasiat wajibah.
35 Muhammad Fathullah Al Haq Muhamad Asni & Jasni Sulong, Fatwa Berhubung Wasiat
Wajibah dan Keseragaman Peruntukannya dalam Fatwa Negeri-Negeri di Malaysia, h. 10.
36 Manual Pengurusan Wasiat Islam, diterbitkan oleh Jabatan Wakaf, Zakat dan Haji (JAWHAR) dan Jabatan Perdana Menteri, h. 20.
37 Himpunan Keputusan Mazakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan: Berhubung Dengan Isu-Isu Muamalat yang diterbitkan oleh Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, h. 56.
43
5. Sekiranya kakek atau nenek telah memberikan harta kepada cucu melalui
hibah, wakaf, wasiat dan sebagainya dengan kadar yang sepatutnya diterima
oleh anak laki-laki atau anak perempuan sekiranya mereka masih hidup,
maka cucu tidak lagi berhak untuk mendapatkan wasiat wajibah. Sekiranya
pemberian tersebut kurang dari pada hak yang sepatutnya diterima oleh cucu
daripada bagian anak laki-laki atau anak perempuan, maka hendaklah
disempurnakan bagian tersebut.
6. Anak akan mengambil bagian faraid bapak atau ibu yang meninggal dunia
terlebih dahulu daripada kakek atau nenek dan kadar tersebut tidak melebihi
kadar 1/3 daripada harta pusaka. Sekiranya bagian tersebut adalah 1/3 atau
kurang daripada 1/3, maka pembagian tersebut dilaksanakan pada kadar
tersebut. Sekiranya bagian tersebut melebihi 1/3 maka hendaklah
dikurangkan pada kadar 1/3 melainkan setelah mendapat persetujuan ahli
waris yang lain.
7. Pembagian wasiat wajibah boleh dilaksanakan setelah didahulukan urusan
berkaitan mayat, wasiat ikhtiyariah dan hutang piutang.
8. Pembagian wasiat wajibah kepada cucu-cucu yang berhak adalah
berdasarkan pada prinsip faraid yaitu seorang laki-laki menerima bagian 2
orang perempuan.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan jika dilihat
dari segi perundang-undangan maka fatwa tersebut tidak mengikat bagi negeri-
negeri untuk menerimanya, fatwa tersebut hanya bersifat pandangan hukum/fatwa
dalam menyelesaikan suatu isu yang berkaitan dengan masalah umat Islam,
semuanya bergantung kepada tidakan pihak negeri-negeri ingin menerima fatwa
tersebut dan mewartakannya atau sebaliknya.38 Setelah dibuatkan fatwa oleh
Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan maka fatwa tersebut disalurkan kepada pihak
berkuasa fatwa negeri untuk difatwa dan diwartakan.39 Fatwa yang diwartakan oleh
38 Zaini Nasohah, Undang-undang Penguatkuasaan Fatwa di Malaysia, ISLAMIYYAT 27 (1)
(2005), h. 33.
39 Zaini Nasohah, Undang-undang Penguatkuasaan Fatwa di Malaysia, h. 32.
44
masing-masing negeri mempunyai kekuatan hukum yang harus dipatuhi dan
bersifat mengikat. Kemudian perihal pelaksanaannya diserahkan kepada negeri
masing-masing. Bila ada orang Islam yang melanggar fatwa tersebut maka akan
diberlakukan sanksi, semua negeri mempunyai undang-undang dalam masalah
fatwa, tetapi sanksi yang diberlakukan dibeberapa negeri terdapat perbedaan.40
Walaupun keputusan fatwa yang dibuat di peringkat Kebangsaan itu
merupakan keputusan mayoritas ataupun keputusan bersama para mufti yang
menjadi anggota, namun perubahan masih berlaku apabila ia dirumuskan
diperingkat negeri.41
Dapat disimpulkan yang menerima fatwa yang dikeluarkan oleh
Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan ialah Negeri Sembilan, Johor, Perak, Pulau
Pinang, Wilayah Persekutuan, Selangor, Terengganu, dan Kelantan. Sedangkan
yang menolak fatwa Kebangsaan ialah Perlis yang dalam fatwanya tidak mengenal
yang namanya wasiat wajibah menurut al-Qur’an dan Sunnah.42 Sedangkan negeri-
negeri yang lainnya tidak mengeluarkan fatwa tentang wasiat wajibah.
Wasiat wajibah ini diambil dari pendapat Ibn Hazm al-Zahiri yang
berpendapat bahwa wajib berwasiat kepada kaum kerabat yang tidak mendapat
bagian harta pusaka. Menurut Ibn Hazm, penurunan ayat pusaka yang menerangkan
hak faraid bagi waris-waris tidak menasakhkan kewajiban berwasiat bahkan
peruntukan ayat wasiat tersebut dikhususkan bagi ahli-ahli waris yang tidak
mendapatkan harta pusaka disebabkan terhijab. Dengan kata lain, berwasiat kepada
ahli keluarga terdekat yang tidak mendapatkan harta pusaka merupakan suatu
kewajiban. Dalam hal ini Ibn Hazm menegaskan bahwa kewajiban itu tidak akan
gugur meskipun ia telah meninggal dan menjadi kewajiban ahli waris atau penyalur
40 Zaini Nasohah, Undang-undang Penguatkuasaan Fatwa di Malaysia, h. 39.
41 Zaini Nasohah, Undang-undang Penguatkuasaan Fatwa di Malaysia, h. 32.
42 Fatwa Negeri Perlis Tentang Wasiat Wajibah dapat diakses di http://mufti.perlis.gov.my
45
harta untuk menyempurnakan tanggung jawab tersebut menurut kadar yang
sepatutnya tanpa menimbulkan kesusahan kepada ahli waris yang ditinggalkan.43
Sebagai contoh, seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri 2 anak
laki-laki dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Harta warisan sebesar
Rp. 100.000.000 bagian masing-masing adalah:
Harta warisan Rp. 100.000.000
Akar Masalah (AM) = 3
Ahli waris Saham Saham Bagian
2 anak laki-laki Ashabah 2/3 100.000.000 x 2 : 3 = 66.666.667
per 2 orang
Cucu perempuan dari
keturunan laki-laki
1 1/3 100.000.000 x 1 : 3 = 33.333.333
100.000.000
C. Wasiat Wajibah di Irak
Kota Kuffah di Irak merupakan tempat kelahiran Imam Abu Hanifah dan di
kota itu pulalah Madrasah Ra’yu yang merupakan corak pemikiran Abu Hanifah
berkembang. Oleh karena itu tidaklah heran apabila pada awalnya hukum Islam
yang berkembang dan dominan di Iraq adalah hukum fikih bercorak mazhab
Hanafi.44
Namun pada masa berikutnya di Irak berkembang pula Syi’ah Imamiyah.
Aliran Syi’ah Ja’fariyah atau Syi’ah dua belas imam ini menyebar luas di Irak.
Perkembangan itu mencapai jumlah yang seimbang antara keduanya, sehingga pada
akhirnya dua mazhab ini memiliki pengaruh yang sama-sama kuat dalam
perkembangan hukum di Irak. Meskipun sistem hukum Irak mengadopsi kedua
43 Himpunan Keputusan Mazakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan: Berhubung Dengan
Isu-Isu Muamalat, h. 58.
44 Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, (New Delhi: The Indian Law Institute, 1972), h. 136.
46
mazhab di atas, namun agama yang diakui sebagai agama resmi negara adalah Islam
tanpa menyebutkan aliran.45
Di Irak yang mengatur perihal hukum keluarga tertuang dalam Personal
Status Law (Qanun al-Ahwal Shakhsiyah al-Iraqiyyah) No. 188 of 1959, yang
diperbaharui dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1963, No. 21 Tahun 1978, No.
72 Tahun 1979, No. 57 Tahun 1980, No. 156 Tahun 1980, No. 189 Tahun 1980,
No. 125 Tahun 1981, No. 34 Tahun 1983, Dekrit No. 1708 Tahun 1981, No. 147
Tahun 1982, No. 1000 Tahun 1983 dan No. 11 Tahun 1984.46
Perundang-undangan yang diberlakukan di Negara Irak sekarang adalah
Undang-Undang tahun 1959 (The Irak Law of Personal Status) (Law No. 188/1959)
dan amandemennya.47
Hingga tahun 1983 undang-undang hukum perdata yang diperbaharui
adalah:48
1. Peraturan perizinan pengadilan bagi suami yang hendak berpoligami
(kecuali dengan janda).
2. Aturan hukum bagi kawin paksa.
3. Hukum bagi perkawinan di bawah tangan.
4. Peraturan kembali talak.
5. Peraturan kembali formulasi pengucapan talak berdasarkan syariah serta
pengaturan registrasi ke pengadilannya.
6. Keputusan perceraian bagi pasangan suami isteri.
7. Penambahan hak asuh anak bagi ibu yang dicerai hingga anak berusia 15
tahun.
8. Pengenalan persamaan posisi cucu dalam hal bagi waris dalam kasus wasiat
wajibah.
45 Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, h. 136.
46 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata Islam (keluarga) dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Cet.I, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2009), h. 174.
47 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata Islam (keluarga) dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, h. 174.
48 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), h. 53-54.
47
9. Persamaan laki-laki dan perempuan dalam bagian waris.
10. Penerapan bagi semua muslim prinsip dasar waris Syi’ah Imam dua belas.
11. Pengaturan waris bagi anak perempuan.
Adapun Personal Status Law atau Qanun al-Ahwal Shakhsiyah No. 188 of
1959 prinsip-prinsip dasar hukum keluarga di bawah undang-undang tersebut
diatur berdasarkan keberagaman mazhab fikih, antara Sunni dan Syi’ah, dan
diakomodasi pula hukum keluarga dari Mesir, Jordan dan Hukum Legal Siria.49
Secara garis besar Personal Status Law and amendments Law No. 188 of
1959 terdapat 94 Article terdiri dari 9 chapter yang mengatur tentang: chapter 1 dan
chapter 2 mengatur tentang perkawinan, chapter 3 mengatur tentang hak-hak
suami-isteri dan hukumnya chapter 4 mengatur tentang gugurnya akan pernikahan,
chapter 5 mengatur tentang iddah, chapter 6 mengatur tentang melahirkan dan
hukum-hukum yang diakibatkan, chapter 7 mengatur tentang menafkahi anak,
orangtua dan sanak kerabat, chapter 8 mengatur tentang wasiat, chapter 9 mengatur
tentang warisan.
Di irak perihal wasiat wajibah diatur dalam Personal Status Law and
amendments No. 188 of 1959, terdapat pada Article 74 alenia (1) dan (2). alenia (1):
Apabila seorang anak meninggal dunia, laki-laki maupun perempuan, sebelum
bapak atau ibunya meninggal, maka sesungguhnya dia dikatagorikan sebagai
hukum orang hidup saat meninggalnya salah seorang diantara keduanya, dan hak
warisnya berpindah kepada anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan, sesuai
hukum syariat sebagai wasiat wajibah, dengan syarat tidak melebihi sepertiga harta
waris.
Pada alenia (2) disebutkan bahwa pembagian wasiat wajibah didahulukan
dari pada wasiat-wasiat yang lain dalam pemenuhan sepertiga harta waris. Adapun
teks lengkapnya dari Article 74 alenia (1) dan (2) yaitu:50
1) If the child, male or female, dies before his father or mother, he shall be
considered as alive upon the death of any of them. He share of the legacy shall
be handed down to his own children, male or females, according to Shari’a law.
49 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative
Analysis), h. 50-51.
50 Lihat Personal Status Law and amandement No. 188 Tahun 1959 Article 74 (1) & (2).
48
It shall be regarded as a binding will provided that it won’t exceed one third of
the legacy.
3) The binding will, by virtue of paragraph 1 of this article, shall gain priority over
other wills in the settlement of one third of the estate.
Pada tahun 1963 dibuat amandemen hukum perdata tahun 1959. Hukum
perdata yang baru tersebut mencabut Article 74 Qonun al-Ahwal al-Syakhshiyyah
1959 yang diadopsi dari kode sipil diganti dengan hukum waris Islam.51
Berdasarkan Undang-Undang Personal Status Law and amendments No.
188 of 1959, Article 64 sampai Article 74 Chapter 8 Secsion 1 telah digantikan
dengan amandement No. 11 Tahun 1963, dan pada article 74 yang mengatur wasiat
wajibah telah dicabut, dan ditambahkan dalam amendment No. 72 Tahun 1979 yang
mana peruntukkannya masih diberikan kepada cucu baik laki-laki ataupun
perempuan dari keturunan laki-laki ataupun perempuan yang orangtuanya
meninggal terlebih dahulu dan banyaknya bagian yang didapat tidak boleh lebih
dari 1/3 dari harta warisan serta pembagiannya didahulukan dari pada wasiat-wasiat
lainnya.
يعتبر بحكم الحي عند وفاة اي اذا مات الولد, ذكرا كان ام انثى, قبل وفاة ابيه اوامه, فانه )1
منهما, وينتقل استحقاقه من االرث الى اوالده ذكورا كانوا ام اناثا, حسب االحكام الشرعية,
ال تتجاوز ثلث التركة. واجبة, على انباعتباره وصية
من هذه المادة, على غيرها من الوصايا االخرى, 1تقدم الوصية الواجبة, بموجب الفقرة )2
52فى االستيفاء من ثلث التركة.Artinya:
1. Apabila seorang anak meninggal dunia, laki-laki maupun perempuan, sebelum
bapak atau ibunya meninggal, maka sesungguhnya dia dikatagorikan sebagai
hukum orang hidup saat meninggalnya salah seorang diantara keduanya, dan
hak warisnya berpindah kepada anak-anaknya baik laki-laki maupun
perempuan, sesuai hukum syariat sebagai wasiat wajibah, dengan syarat tidak
melebihi sepertiga harta waris.
2. Wasiat wajibah harus didahulukan sesuai dengan alenia pertama (1) dari materi
ini atas wasiat-wasiat lainnya dalam pemenuhan sepertiga harta waris.
51 Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, h. 138.
52 Diakses dari http://iraq-law.hooxs.com/t2-topic. Pada pukul 20.10 tanggal 22 September 2017.
49
Pada Article 92 Personal Status Law and amendments No. 188 of 1959
disebutkan tentang ditetapkannya undang-undang tersebut. Dikatakan bahwa semua
ketentuan perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut
yang dibuat dalam perundang-undangan ini dicabut.
Ketentuan wasiat wajibah yang diatur di Irak sesuai dengan pandangan Ibn
Hazm yang berhubungan peruntukan mengenai wasiat wajibah yakni memberikan
wasiat kepada kerabat yang tidak menerima warisan hukumnya wajib. dengan
diaturnya wasiat wajibah ini memberikan peluang yang besar terhadap cucu untuk
mendapatkan harta warisan.
Sebagai contoh, seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari 1
anak laki-laki, 1 anak perempuan dan cucu perempuan dari keturunan anak
perempuan. Harta warisan sebesar Rp. 100.000.000 bagian masing-masing adalah:
Harta warisan Rp. 100.000.000
Akar Masalah (AM) = 4
Ahli waris Saham Saham Bagian
1 anak laki-laki Ashabah 2/4 100.000.000 x 2 : 4 = 50.000.000
1 anak perempuan Ashabah 1/4 100.000.000 x 1 : 4 = 25.000.000
Cucu perempuan
keturunan perempuan
1 1/4 100.000.000 x 1 : 4 = 25.000.000
100.000.000
50
BAB IV
ANALISIS WASIAT WAJIBAH DI INDONESIA, MALAYSIA DAN IRAK
A. Persamaan Wasiat Wajibah di Indonesia, Malaysia dan Irak
Menurut catatan Tahir Mahmood, pembaruan dan praktek hukum keluarga
di negara-negara Muslim dapat dilihat dalam beberapa bentuk, yaitu:1
1. Negara yang secara prinsipil menggunakan produk hukum klasik sebagai
hukum positifnya, tanpa melakukan perubahan atau kodifikasi.
2. Negara-negara Muslim yang secara utuh meninggalkan dan menggantikan
hukum keluarga klasik menjadi hukum modern yang ditetapkan secara legal
kepada seluruh warga negara.
3. Negara-negara yang secara umum telah mereformasi hukum keluarga klasik
melalui peraturan perundang-undangan dengan menggunakan banyak
pandangan aliran fikih, atau juga melalui kebijakan institusi kenegaraan.
Negara-negara Muslim yang menganut metode pembaruan model pertama
terdapat di teritorial jazirah Arab dan beberapa negara Afrika yaitu: Saudi Arabia,
Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia dan lain-
lain. Adapula yang menganut metode pembaruan model kedua yakni: Turki,
Albania, Tanzania, minoritas Muslim Philipina dan Uni Soviet. Negara-negara
Muslim yang menganut metode pembaruan dan praktik hukum keluarga pada
bentuk ketiga meliputi negara di Asia Tenggara di antaranya: Indonesia, Malaysia
dan Brunei Darussalam. Yang merupakan mayoritas Muslim. Adapula Singapura
dan Sri Lanka yang minoritas Muslim. Bentuk ketiga ini juga tergambar pada
negara-negara lainnya seperti: Sudan, Jordan, Syria, Tunisia, Maroko, Algeria, Irak,
1 Tahir mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, (New Delhi: The Indian Law
Institute, 1972), h. 2.
51
Iran dan Pakistan.2 Di negara Indonesia dan Malaysia sama-sama menggunakan
mazhab Syafi’i sebagai salah satu sumber pandangan aliran fikih yang dijadikan
pedoman dalam merumuskan peraturan perundang-undangan. Dan Irak
menggunakan mazhab Hanafi dan Syi’ah.
Indonesia, Malaysia dan Irak termasuk negara dengan pembaruan hukum
keluarga yang mereformasi fikih klasik ke dalam peraturan perundang-undangan
yang memasukkan pandangan fikih lain. Dengan begini hukum keluarga yang
diterapkan tidak hanya menggunakan satu pandangan fikih saja.
Dalam konteks persamaan sepertinya dalam hal definisi ketiga negara tidak
menjelaskan secara tertulis dalam peraturannya, tetapi jika diperhatikan pada pasal
wasiat wajibah dapat disimpulkan bahwa wasiat wajibah diberikan tanpa harus
pewasiat berwasiat terlebih dahulu tetapi didasarkan pada aturan yang dibuat oleh
penguasa atau hakim dan diberikan kepada pihak tertentu dalam keadaan tertentu.
Sedangkan untuk kadar atau jumlah yang harus diberikan kepada pihak yang
berhak menerima wasiat wajibah ketiga negara memiliki persamaan bahwa wasiat
wajibah yang diberikan tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta warisan, hal ini
didasarkan pada kadar maksimal wasiat biasa.
Wasiat wajibah yang diatur ketiga negara dalam peraturannya memiliki
tujuan dan manfaat untuk memberikan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi karib
kerabat yang dalam nash tidak diberikan bagian yang semestinya atau orangtua
angkat dan anak angkat yang mungkin sudah banyak berjasa kepada si pewaris
namun tidak diberikan bagian dalam ketentuan hukum waris Islam, karena dengan
diberlakukannya wasiat wajibah ini akan memberikan bagian dari harta warisan
kepada pihak yang terhalang menerima warisan.
Adapun persamaan wasiat wajibah di ketiga negara dalam bentuk tabel
yakni:
2 Tahir mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, h. 3-8.
52
No Hal Persamaan
1 Definisi Wasiat yang diberikan dan ditetapkan
berdasarkan peraturan yang dibuat oleh
penguasa atau hakim dan diberikan kepada
pihak tertentu dalm keadaan tertentu.
2 Kadar/jumlah Tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta
warisan.
3 Tujuan dan manfaat Untuk memberikan kemaslahatan dan
kesejahteraan.
B. Perbedaan Wasiat Wajibah di Indonesia, Malaysia dan Irak
Malaysia merupakan negara federal, yang sampai sekarang belum
mempunyai undang-undang keluarga yang berlaku secara nasional. Akibatnya
hukum-hukum keluarga yang berlaku berbeda-beda antara negara bagian yang satu
dengan negara bagian yang lain. Usaha penyeragaman undang-undang hukum
keluarga Islam pernah dilakukan, tetapi tidak semua negara bagian mau menerima
usaha penyeragaman tersebut.3
Belanda misalnya, menerapkan sistem hukum Kontinental di Indonesia, dan
Inggris (British) mempraktikkan sistem hukum common law di Brunei Darussalam,
Malaysia dan Singapura.4 Sedangkan Irak menganut sistem hukum agama.
Indonesia sendiri merupakan negara demokrasi yang memiliki sistem hukum yang
terpadu berupa undang-undang yang berlaku secara keseluruhan. Karena perbedaan
dari penerapan sistem hukum penjajah di negara jajahannya dengan segala akibat
3 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Cet.III, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
h. 249.
4 Muhammad Amin Suma, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 204.
53
yang ditimbulkan mempengaruhi pula pemberlakuan hukum Islam negara-negara
Islam dan atau negara yang berpenduduk Muslim.
Adapun perbedaan ketentuan wasiat wajibah di ketiga negara yakni dalam
hal pihak yang berhak untuk menerima wasiat wajibah, sumber hukum ketentuan
wasiat wajibah dan kedudukan hukum peraturan ketiga negara.
Di Indonesia pengaturan wasiat wajibah diatur di dalam KHI Pasal 209 yang
menyebutkan bahwa orangtua angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat
wajibah dari harta anak angkatnya dan anak angkat yang tidak menerima wasiat
diberikan wasiat wajibah dari harta orangtua angkatnya. Di Malaysia yang
mengatur wasiat wajibah dalam undang-undang hanya negeri Selangor, Melaka dan
Sembilan yang diatur dalam Enakmen Wasiat Orang Islam Seksyen 27
memperuntukkan hanya bagi cucu dari garis anak laki-laki saja baik itu cucu laki-
laki maupun perempuan yang ayahnya mati terlebih dahulu sedangkan di Irak diatur
pada Article 74 dalam Personal Status Law and amendments No. 188 of 1959 yang
di perbaharui oleh amendment law No. 72 of 1979 mengatur wasiat wajibah
diberikan kepada cucu laki-laki maupun perempuan dari keturunan laki-laki
maupun perempuan yang orangtuanya meninggal terlebih dahulu sebelum cucu.
Sumber hukum yang dipakai di Indonesia dalam menetapkan konsep wasiat
wajibah berbeda dengan yang dipakai di Malaysia dan Irak. Di Indonesia yang
memberikan hak kepada anak angkat dan orangtua angkat didasarkan pada ijtihad
para ulama Indonesia dengan tidak mengenyampingkan adat atau kebiasaan di
masyarakat dalam melakukan adopsi anak dan mengacu pada maslahah mursalah.
Berbeda dengan Malaysia dan Irak yang memberikan hak kepada cucu ini di
dasarkan pada pendapat ulama yakni Ibn Hazm yang mewajibkan memberikan
wasiat kepada kerabat yang tidak menerima harta warisan.
KHI yang merupakan pedoman para hakim dalam memutus perkara dalam
bidang hukum keluarga yang di dalamnya diatur pula terkait wasiat jika dilihat dari
segi kedudukan perundang-undangan KHI tidak termasuk ke dalam hirarki
perundang-undangan karena hanya ditetapkan melalui instruksi presiden maka KHI
54
bersifat tidak mengikat (namun KHI merupakan hukum materiil dan sebagai
pedoman para hakim dalam memutus perkara). Di Malaysia wasiat diatur dalam
Enakmen Wasiat Orang Islam (negeri Selangor, Melaka dan Sembilan) dan di Irak
yang diatur dalam Personal Status Law and amendments No. 188 of 1959
merupakan sebuah undang-undang yang bersifat mengikat dan dipakai oleh hakim
dalam memutus suatu perkara.
Adapun perbedaan wasiat wajibah di ketiga negara dalam bentuk tabel
yakni:
No Hal Perbedaan
1 Penerima wasiat wajibah Di Indonesia diperuntukkan bagi:
Anak angkat dan orangtua angkat yang
tidak menerima wasiat.
Di Malaysia diperuntukkan bagi:
Cucu laki-laki maupun perempuan dari
keturunan anak laki-laki yang ayahnya mati
terlebih dahulu.
Di Irak diperuntukkan bagi:
Cucu laki-laki maupun perempuan dari
keturunan laki-laki maupun perempuan
yang orangtuanya meninggal terlebih
dahulu.
2 Sumber hukum Konsep wasiat wajibah di Indonesia
merupakan hasil ijtihad para Ulama
Indonesia yang mengacu pada maslahah
mursalah sedangkan konsep wasiat wajibah
di Malaysia dan Irak mengacu pada
pandangan dari Ibn Hazm.
3 Kedudukan hukum Di Indonesia KHI ditetapkan melalui
instruksi presiden yang bersifat tidak
mengikat, sedangkan di Malaysia, Enakmen
55
Wasiat Orang Islam (negeri Selangor,
Melaka dan Sembilan) dan di Irak, Personal
Status Law and amendments No. 188 of
1959 adalah sebagai undang-undang dan
bersifat mengikat.
C. Analisis Perbandingan Wasiat Wajibah di Indonesia, Malaysia dan Irak
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris
atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari pewaris karena
adanya ketentuan yang menghalanginya secara syara’. Misalnya berwasiat kepada
ibu dan ayah yang non Muslim, karena perbedaan agama merupakan penghalang
dari seseorang untuk mendapatkan harta warisan. Kemudian cucu yang terhalang
mendapatkan hak waris karena keberadaan paman, dan juga anak angkat atau
orangtua angkat yang tidak termasuk dalam ahli waris tetapi jasa dan
keberadaannya sangat berjasa bagi pewaris.5
Menurut jumhur ulama berwasiat kepada ahli waris hukumnya sunnah,
wasiat tidak menjadi wajib bagi seseorang melainkan karena hak baik itu ditujukan
kepada Allah maupun ke sesama hamba seperti fidyah, zakat, hutang. Menurut
sebagian ulama fikih seperti Ibnu Hazm azh-Zhahiri, ath-Thabari dan Abu Bakar
bin Abdul Aziz dari golongan Hambali berpendapat, wasiat ialah kewajiban yang
bersifat hutang dan pemenuhan untuk kedua orangtua serta kerabat yang tidak bisa
mewarisi karena mereka terhalang untuk bisa mewarisi atau karena adanya sesuatu
yang menghalangi mereka.6
Apabila pendapat Ibn Hazm dibandingkan dengan jumhur ulama, maka
terlihat perbedaan terkait dengan wasiat wajib yang mana menurut Ibn Hazm wasiat
wajibah berkenaan dengan anggota kerabat yang tidak berhak mewarisi, baik karena
5 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Cet.I,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 79.
6 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 80.
56
terhijab maupun terhalang. Sedangkan menurut jumhur wasiat wajib tersebut
berkenaan dengan kewajiban yang belum ditunaikan seperti hutang, zakat dan
kewajiban keibadatan lainnya.7
Dan pendapat tentang wasiat wajib dijadikan dasar oleh perundang-
undangan Mesir yang kemudian juga diikuti oleh beberapa negara Muslim, dan
wasiat ini secara resmi disebut dengan istilah al-wasiyyah al-wajibah (wasiat
wajib), berdasarkan Undang-Undang Mesir Nomor 71 Tahun 1946 lebih tepatnya
pada Pasal 76, yang menyebutkan:8
1) Sekiranya seorang pewaris (al-mayyit) tidak berwasiat untuk keturunan dari
anak yang telah meninggal sebelum dia (pewaris), atau meninggal bersamaan
dengan dia, sebesar saham yang seharusnya diperoleh anak itu dari warisan,
maka keturunannya tersebut akan menerima saham itu melalui wasiat (wajib)
dalam batas sepertiga harta dengan syarat: (a) keturunan tersebut tidak mewarisi
dan (b) orang yang meninggal (pewaris) belum pernah memberikan harta
dengan cara-cara yang lain sebesar sahamnya itu. Sekiranya telah pernah diberi
tapi kurang dari saham yang seharusnya dia terima, maka kekurangannya
dianggap sebagai wasiat wajib.
2) Wasiat ini menjadi hak keturunan derajat pertama dari anak laki-laki dan
perempuan serta keturunan seterusnya menurut garis laki-laki.
Pembentukan undang-undang tersebut mengambil pendapat Ibn Hazm
dikarenakan kebutuhan sosial masyarakat Mesir, di sisi lain juga adanya keluhan
dan pengaduan terkait anak yatim yang hidup dalam kemiskinan yang karena
kematian ayahnya tidak mendapat warisan karena terhijab oleh saudara-saudara
ayahnya.9
Ketentuan tersebut banyak diikuti oleh negara-negara lainnya di antaranya
Indonesia, Malaysia dan Irak. Seperti di Indonesia diatur di dalam KHI di Malaysia
7 Al-Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta: INIS, 1998), h. 193.
8 Al-Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, h. 193.
9 Al-Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, h. 194.
57
diatur di dalam Enakmen Wasiat Orang Islam dan di Irak diatur di dalam Personal
Status Law and amendments No. 188 of 1959.
Dari pemaparan sebelumnya, secara vertikal dapat diambil
perbandingannya sebagai berikut:
Pertama, sasaran wasiat menurut al-Qur’an dalam surah al-Baqarah ayat 180
yang mana diwajibkan atas kamu jika ada tanda-tanda kematian maka berwasiatlah
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf ini adalah kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kerabat
diartikan sebagai yang dekat (pertalian keluarga), sedarah sedaging, keluarga, sanak
saudara, keturunan dari induk yang sama yang dihasilkan dari gamet yang berbeda.
Dari ketiga negara, Indonesia berbeda dengan dua negara lainnya, memberikan
wasiat wajibah kepada anak angkat dan orangtua angkat yang di antara keduanya
dihubungkan dengan ikatan batin bukan oleh hubungan darah sedangkan di
Malaysia dan Irak diberikan untuk cucu, yang masih mempunyai hubungan darah
dengan pewaris.
Kedua, wasiat wajibah ini merupakan pendapat dari Ibn Hazm yang
menyatakan bahwa wasiat wajib berkenaan kerabat yang terhalang hak
kewarisannya, sedangkan menurut jumhur ulama menyatakan wasiat wajib itu
berkenaan dengan kewajiban dalam hal ubudiyah (ibadah) seperti zakat, fidyah, dll.
Jadi terdapat perbedaan pendapat tentang wasiat wajib (wasiat wajibah) antara para
ulama fikih. Di Indonesia yang didominasi mazhab Syafi’i dalam merumuskan
konsep wasiat wajibah mengacu pada maslahah mursalah. Hal ini menunjukkan
dalam merumuskan wasiat wajibah Indonesia telah menggunakan penafsiran baru
terhadap nash yang ada untuk memenuhi kebutuhan sosial. Malaysia yang
didominasi mazhab Syafi’i dan Irak yang didominasi mazhab Hanafi dan Syi’ah
dalam merumuskan konsep wasiat wajibah mengacu pada pandangan Ibn Hazm
dari mazhab azh-Zhahiri, dengan demikian kedua negara telah menggabungkan
beberapa mazhab atau mengambil pandangan dari mazhab lain selain yang
mendominasi.
58
Secara horizontal, pertama, secara hirarki kedudukan KHI sangat lemah
karena hanya berbentuk instruksi presiden yang bersifat tidak mengikat, dan
Enakmen merupakan bagian dari undang-undang pada tiap negeri di Malaysia dan
bersifat mengikat di setiap negeri-negeri di Malaysia adapun Personal Status Law
juga merupakan bagian dari undang-undang di Irak dan bersifat mengikat. Jadi
secara yuridis Enakmen Wasiat Orang Islam dan Personal Status Law and
amendments No. 188 of 1959 lebih tinggi dibandingkan dengan KHI.
Kedua, wasiat wajibah di ketiga negara dapat dilihat dalam tabel:
No. Negara Peraturan Ketentuan wasiat
wajibah
Bagian
1 Indonesia Kompilasi Hukum
Islam.
Anak angkat dan
orangtua angkat.
Maksimal
1/3.
2 Malaysia Enakmen Wasiat
Orang Islam (negeri
Selangor, Melaka
dan Sembilan).
Cucu laki-laki
maupun perempuan
dari garis keturunan
laki-laki generasi
pertama.
Sama dengan
bagian yang
seharusnya
orangtua
mereka
terima jika
hidup,
maksimal 1/3.
3 Irak Personal Status Law
and amendments
No. 188 of 1959.
Cucu laki-laki
maupun perempuan
dari garis keturunan
laki-laki maupun
perempuan generasi
pertama.
IDEM
Dari tabel di atas terlihat jika pengaturan wasiat wajibah di Indonesia sangat
berbeda dibanding yang lain, ini merupakan terobosan yang revolusioner yang mau
tidak mau mengabaikan prinsip yang sudah mapan dalam kewarisan, yakni
59
hubungan darah adalah syarat yang sah bagi pembagian harta warisan dan sangat
bertentangan dengan mazhab Syafi’i maupun dalam mazhab-mazhab lainnya yang
ada di dunia Islam. Malaysia yang dalam pengaturannya tetap mengakui laki-laki
lebih utama dari perempuan sebagaimana penafsiran ulama-ulama klasik yang
meganut paham patrialistik. Terakhir ialah Irak yang sudah mengakui kesamaan
derajat antara laki-laki dengan perempuan dalam bidang kewarisan.
Dari tabel di atas Indonesia memberikan wasiat wajibah kepada anak angkat
dan orangtua angkat, berbeda dengan Malaysia dan Irak yang memberikannya
kepada cucu. Di kedua negara tersebut cucu diberikan hak untuk menerima harta
warisan dari si pewaris, dan di Indonesia cucu pun diberikan hak untuk menerima
harta warisan melalui ahli waris pengganti yang diatur dalam KHI Pasal 185.
Adanya perluasan sasaran wasiat wajibah, yakni sebagai berikut:
No Negara Perluasan wasiat wajibah Pengaturan wasiat wajibah
1 Indonesia 1. Ahli waris non muslim
2. Anak tiri
3. Anak yang tidak tercatat oleh
pejabat yang berwenang
4. Anak zina/biologis
1. Yurisprudensi
2. Keputusan Rakernas
MA-RI Komisi II
Bidang Peradilan
Agama tanggal 31
Oktober 2012
3. IDEM
4. Putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010
tanggal 17 Februari
2012 Jo Fatwa MUI
Nomor 11 Tahun 2012
tanggal 10 Maret 2012
dan Keputusan
Rakernas MA Komisi II
Bidang Peradilan
60
Agama tanggal 31
Oktober 2012
2 Malaysia Cucu laki-laki maupun
perempuan dari garis keturunan
laki-laki maupun perempuan
kebawah
Fatwa ke-83 Jawatankuasa
Fatwa Majlis Kebangsaan
Bagi Hal Ehwal Agama
Islam Malaysia.
3 Irak Perlu dikaji
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari serangkaian hasil penelitian kepustakaan yang penulis susun di atas,
maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Wasiat wajibah di Indonesia, Malaysia dan Irak mempunyai persamaan
maupun perbedaan, dalam hal persamaan terdapat tiga hal yaitu definisi,
kadar/jumlah serta tujuan dan manfaat. Sedangkan perbedaannnya terdapat
tiga hal yaitu penerima wasiat wajibah, sumber hukum serta kedudukan
hukum.
2. Dalam menetapkan hukum wasiat ulama berbeda pendapat hal ini
dikarenakan perbedaan tentang ayat wasiat apakah dimansukh oleh ayat-
ayat kewarisan, ada sebagian minoritas ulama yang berpendapat bahwa
wasiat hukumnya wajib diberikan kepada kerabat yang terhalang menerima
warisan karena terhijab maupun karena ketentuan syara’ di antara ulama
yang berpendapat demikian di antaranya Ibn Hazm (tokoh mazhab azh-
Zhahiri), imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari (mufassir), dan
Abu Bakr bin Abdul Aziz (tokoh fikih mazhab Hambali) sedangkan
menurut mayoritas ulama imam mazhab, berwasiat hukumnya wajib jika
berkaitan dengan penunaian hak-hak Allah SWT., seperti zakat, fidyah,
nadzar, haji, kafarat, dan lain sebagainya. hal ini yang menjadi dasar bagi
negara Mesir yang merupakan negara pertama mengatur dan memberi nama
wasiat wajibah yang kemudian banyak diikuti oleh negara Islam lainnya
termasuk Indonesia, Malaysia dan Irak. Dalam menetapkan wasiat wajibah
Indonesia mengacu pada maslahah mursalah, sedangkan di Malaysia dan
Irak mengacu pada pandangan Ibn Hazm dari mazhab azh-Zhahiri yang
62
mewajibkan wasiat kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta warisan
baik karena terhijab maupun terhalang dalam hukum kewarisan Islam.
3. Selain yang telah diatur di dalam peraturan masing-masing negara, wasiat
wajibah mengalami perluasan dalam pemberiannya. Di Indonesia selain
yang telah ditetapkan dalam KHI yang peruntukkannya diberikan kepada
orangtua angkat dan anak angkat, wasiat wajibah ini diberikan pula kepada
ahli waris non-Muslim, anak tiri, anak yang tidak tercatat oleh pejabat yang
berwenang dan anak zina/biologis. Malaysiapun memperluas melalui Fatwa
Majlis Kebangsaan, diberikan kepada cucu laki-laki maupun perempuan
dari garis keturunan laki-laki maupun perempuan, yang sebelumnya hanya
diberikan sebatas cucu laki-laki maupun perempuan dari garis keturunan
laki-laki (Enakmen Wasiat Orang Islam Negeri Selangor, Melaka dan
Sembilan). Dan Irak di dalam Personal Status Law and amendments No.
188 of 1959 memperuntukkan bagi cucu dari garis keturunan laki-laki
maupun perempuan.
B. Saran-Saran
Akhir kata dari skripsi ini, penulis mengharapkan adanya manfaat bagi kita
semua. Sebelum mengakhiri tulisan ini penulis ingin memberikan sedikit saran pada
pihak yang berkompeten dalam bidang ini, kepada para pembaca khususnya pada
seluruh umat Muslim. Semoga dapat menjadi masukan yang membangun dan dapat
diterima. Adapun saran lainnya yang dapat penulis berikan sebagai berikut:
1. KHI selalu menjadi rujukan dalam mengambil keputusan di lingkungan
Peradilan Agama kapan dan di manapun, maka para pejabat hukum di
Indonesia perlu menjadikan KHI sebagai undang-undang.
2. Para hakim dalam memberikan putusan harus sesuai dengan hukum yang
berlaku baik dari al-Qur’an dan hadist maupun dari sumber hukum yang
lain.
3. Bagi umat Islam Indonesia harus bersyukur dengan adanya pengaturan
wasiat wajibah dalam KHI yang menjadi kompetensi Peradilan Agama.
63
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Cet.I. Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992.
Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur. Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum
Islam Praktis dan Terapan. Cet.I. Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana,
2005.
Abubakar, Al Yasa. Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab. Jakarta: INIS, 1998.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Al-Bugha, Musthafa Diib. Fikih Islam Lengkap: Penjelasan Hukum-hukum Islam
Mazhab Syafi’i. Penerjemah D.A Pakihsati. Cet.I. Solo: Media Zikir, 2010.
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di
Indonesia). Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000.
Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam.
Cet.I. Jakarta: Kencana, 2008.
Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum Hibah Dan Wasiat di Indonesia. Cet.I.
Yogyakarta: Gadah Mada University Press, 2011.
An-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj al-Quraisyairi. Terjemahan Hadis Shahih
Muslim. Jilid II. Penerjemah A. Razak & Rais Lathief. Cet.I. Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1980.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2006.
Arto, A. Mukti. Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim. Cet.I.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Asni. Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Kementrian Agama
Republik Indonesia, 2012.
Asni, Muhammad Fathullah Al Haq Muhamad dan Jasni Sulong. Fatwa Berhubung
Wasiat Wajibah dan Keseragaman Peruntukannya dalam Fatwa Negeri-
Negeri di Malaysia. Al-Qanatir Internasional Journal of Islamic Studies.
Vol.5. No. 1 (2016).
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Fikih Mawaris. Cet.III. Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001.
64
______________ Fikih Mawaris: Untuk Warisan Dalam Syari’at Islam. Cet.I.
Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Bisri, Cik Hasan. Penuntun Penyusun Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi
Bidang Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah. Cet.I. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995.
Enakmen Wasiat Orang Islam (Selangor) No. 4 Tahun 1999.
Enakmen Wasiat Orang Islam (Melaka) No. 4 Tahun 2005.
Enakmen Wasiat Orang Islam (Sembilan) No. 5 Tahun 2004.
Habiburrahman. Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Cet.I. T.tp.,
Kementerian Agama RI, 2011.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.
Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Hasan, Ali. Hukum Warisan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.
Himpunan Keputusan Mazakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan: Berhubung
Dengan Isu-Isu Muamalat yang diterbitkan oleh Jabatan Kemajuan Islam
Malaysia.
http://iraq-law.hooxs.com/t2-topic.
https://id.m.Wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_bagian_dan_wilayah
persekutuan_di_Malaysia.
http://mufti.perlis.gov.my.
Iqbal, Muhammad. Hukum Islam Modern: Dinamika Pemikiran Dari Fikih Klasik
Ke Fikih Indonesia. Cet.I. Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009.
Irfan, M. Nurul. Nasab & Status Anak Dalam Hukum Islam. Cet.I. Jakarta: Amzah,
2013.
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan. Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di
Indonesia. Cet.II. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Karim, Muchit A. ed., Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di
Indonesia. Cet.I. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2012.
Kompilasi Hukum Islam
Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries (History, Text and
Comparative Analysis). New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987.
______________ Family Law Reform In The Muslim World. New Delhi: The
Indian Law Institute, 1972.
65
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet.I. Jakarta:
Kencana, 2008.
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Cet.III. Jakarta: Rajawali
Pers, 2013.
Manual Pengurusan Wasiat Islam, diterbitkan oleh Jabatan Wakaf, Zakat dan Haji
(JAWHAR) dan Jabatan Perdana Menteri.
Mudhar, Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi.
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fikih Lima Mazhab. Penerjemah Afif Muhammad,
dkk. Cet.XXVI. Jakarta: Lentera, 2010.
Muhibbin, Moh. dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. Cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Munawir, A.W. Kamus Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia. Cet.XIV. Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997.
Musthofa. Pengangkatan Anak: Kewenangan Peradilan Agama. Cet.I. Jakarta:
Kencana, 2008.
M, Hajar. Hak Kewarisan Cucu (Analisis Yurisprudensi Mahkamah Tinggi Syariah
di Selangor, Malaysia dan Mahkamah Agung di Indonesia). Jurnal Hukum
IUS QUIA IUSTUM, Volume 21, Nomor 3, Juli 2014.
Nasohah, Zaini. Undang-undang Penguatkuasaan Fatwa di Malaysia.
ISLAMIYYAT 27 (1) (2005).
Nasution, Khoiruddin. Hukum Perdata Islam (keluarga) dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim. Cet.I. Yogyakarta: Academia & Tazzafa,
2009.
Nugraheni, Destri Budi, dkk. Pengaturan dan Implementasi Wasiat Wajibah di
Indonesia. Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 2, Juni 2010.
Nugraheni, Destri Budi dan Haniah Ilhami. Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia. Cet.I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014.
Personal Status Law and amandement No. 188 Tahun 1959.
Ramdhani, Ria. Pengaturan Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat Menurut
Hukum Islam. Lex et Societatis, Vol.III/No.1/Jan-Mar/2015.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet.I. Jakarta: Rajawali Pers,
2013.
Salihima, Samsulbahri. Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan Dalam
Hukum Islam Dan Implementasinya Pada Pengadilan Agama. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015.
66
Saleh, Hassan. Kajian Fikih Nabawi & Fikih Kontemporer. Cet.I. Jakarta: Rajawali
Pers, 2008.
Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia.
Cet.I. Jakarta: Kencana, 2010.
Sitompul, Anwar. Fara’id, Hukum waris Islam Dalam Waris Islam Dan
Masalahnya. Surabaya: Al Ikhlas, 1984.
Suryabrata, Sumadi. Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali, 1987.
Suma, Muhammad Amin. Keadilan Hukum Waris Islam: Dalam Pendekatan Teks
dan Konteks. Cet.I. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
______________ Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2005.
Tafal, B. Bastian. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat
Hukumnya di Kemudian Hari. Cet.I. Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
Tono, Sidik. Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan.
Cet.I. Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012.
Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Cet.IV.
Jakarta: Kencana, 2014.
Umam, Dian Khairul. Fikih Mawaris. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
Zaidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Syari’at. Penerjemah M. Misbah. Cet.I.
Jakarta: Rabbani Press, 2008.
Zuhaili, Wahbah. Fikih Islam Wa Adillatuhu. Jilid X. Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk. Cet.I. Jakarta: Gema Insani, 2011.
______________ Fikih Imam Syafi’i: mengupas masalah fikihiyah berdasarkan Al-
Qur’an dan Hadits. Jilid II. Penerjemah Muhammad Afifi, dkk. Cet.I.
Jakarta: almahira, 2010.