1
Pipit R. Kartawidjaja
2016
01. Memperkuat Sistem Presidensialisme Indonesia
02. Bagaimana Sistem Pemilu Jerman; Upaya Menghadirkan Alternatif Sistem Pemilu
03. Cara Mengalokasikan Kursi Parlemen
04. Daerah Pemilihan (DAPIL)
05. Perbandingan Metode Penghitungan Suara
Kompilasi Paper:
SERI PERTAMA
2
2016
Pipit R. Kartawidjaja
Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat
[email protected]│+621 3906072
www.spd-indonesia.com
3
Memperkuat Sistem
Presidensialisme Indonesia
4
Memperkuat Sistem Presidensialisme Indonesia
Penyederhanaan sistem kepartaian demi kuatnya sistem presidensialisme dan efektifnya
sistem keparlemenan (pengambilan keputusan tidak bertele-tele) tidak hanya dilakukan lewat
penetapan ambang terselubung (penciutan daerah pemulihan) dan ambang batas resmi,
namun juga harus menengok cara-cara lain seperti elemen teknis pemilu (simultanitas),
perluasan kewenangan presiden dan peningkatan efektivitas/efisiensi parlemen
(pembentukan legislator delegate atau tustee, perlengkapan yang memadai bagi legislator,
disiplin fraksi, syarat pembentukan fraksi,syarat pembentukan Komisi)
Penerapan Ambang Batas DPR (dikenal dengan PT atau Parliamentary Threshold) sejak pileg
(pemlihan legislatif) 2004 diharapkan dapat menciptakan sistem multikepartaian sederhana
dalam tubuh DPR. Sistem multikepartaian sederhana tersebut diperlukan
(a) Untuk Eksekutif demi terciptanya ‗ Pemerintah yang efektif dan produktif serta
stabilitas politik‖ (Penjelasan Pemerintah dalam PUTUSAN MK Nomor 51/PUU-
X/2012, hal. 36); ―Iklim pemerintahan yang kuat, tegas, bersih, berwibawa,
bertanggung jawab, dan transparan (Penjelasan Pemerintah dalam PUTUSAN MK
Nomor 51/PUU-X/2012, hal. 36): ― sistem presidensial yang efektif‘ (PUTUSAN
Mahkamah Konstitusi NOMOR 3/PUU-VII/2009, hal. 111);
(b) Untuk Legislatif (DPR) demi tercapai efisiensi dan efektivitas sistem keparlemenan
(Keterangan DPR dalam PUTUSAN MK Nomor 51/PUU-X/2012, hal. 46)
Dalam soal ketidak-efektivan dan ketidak efisienan sistem keparlemenan, pada tahun 2009
pihak pemerintah menyatakan sebagai berikut: „Perubahan sistem Pemilu dari electoral
threshol (ET) ke sistem parliamentary threshold (PT) merupakan upaya Pemerintah bersama
DPR untuk menciptakan sistem multi partai yang sederhana. Semangat perubahan sistem
tersebut antara lain adalah guna menciptakan sistem presidensial yang efektif. Oleh
karenanya sangat wajar apabila posisi Presiden yang sangat penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan, memperoleh dukungan politik yang memadai di parlemen. Sistem multi partai
yang ada saat ini, cenderung memperlemah tata kelola pemerintahan, serta mempersulit
dicapainya konsensus, baik di antara partai-partai maupun antara parlemen dan pemerintah.
Proses pengambilan keputusan dan kebijakan politik akan memerlukan waktu yang panjang
dan bahkan bisa bertele-tele di DPR (Dalam Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 tentang
Persyaratan Ambang Batas Perolehan Suara Dalam Pemilihan Umum Legislatif, hal. 130).
Sedangkan alasan DPR: „Ketentuan ambang batas (parlimentary threshold) yang tercantum
dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 adalah pilihan kebijakan untuk memperkuat sistem
presidensiil dan membangun sistem kepartaian yang sederhana. Pilihan kebijakan PT ini
untuk menggantikan pilihan kebijakan electoral thershold (ET) yang dianut dalam Undang-
Undang Pemilu sebelumnya yang ternyata tidak mampu memperkuat sistem presidensiil dan
menciptakan sistem kepartaian yang sederhana (Dalam Ikhtisar PutusanPerkara Pengujian
Undang-Undang Dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, Mahkamah Konstitusi 2008-
01
5
2009, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 24 Juni
2010, hal. 129-130).
"Presidential Threshold"
Jika orang berbicara tentang pemulihan umum tentang "presidential threshold" itu, maka
yang dimaksudkan adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden.
Misalnya di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal
beda 10% dari saingan terkuat; di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10% dari
saingan terkuat dan sebagainya 1.
Untuk Indonesia: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih
dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua
puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat 3 UUD 1945
Amandemen). Dalam hal tak kesampaian, seperti di Bolivia, untuk Indonesia berlaku: Dalam
hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih, dua pasangan calon
yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pasangan yang memperoleh, suara terbanyak dilantik
sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (Pasal 6A ayat 4 UUD 1945 Amandemen)
Jadi, apa betul penggunaan istilah presidential threshold untuk calon presiden yang boleh
turun ke arena pilpres?
Presidensialisme AS, Amerika Latin dan Indonesia
Perbedaan presidensialisme AS dan Amerika Latin
Presidensialisme Amerika Latin (secara umum) Presidensialisme AS
Berhak mengajukan RUU (la iniciativa legislativa) tidak berhak
Berhak mencampuri proses legislasi di parlemen
(ministers and the president wield important power in
setting the assembly's internal legislative agenda in Latin
America)
tidak berhak (but not in the U.S.)
Parlemen berhak menjatuhkan sangsi & mosi tidak
percaya terhadap kepala dan anggota kabinet (la
refrendación ministerial, la interpelación, la censura
ministerial, el Consejo de Ministros, el Primer Ministro):
Dari 18 presidensialisme, 6 negara tidak mengenalnya
(Brazil, Chile, Rep. Dominika, Honduras, Meksiko dan
Nikaragua
tidak berhak
whereas they can often sit in the assembly (practically
speaking) in Latin America and are often appointed with
an eye to solidifying assembly support
ministers cannot sit in the
assembly in the U.S. and
typically are not appointed with
an eye to building assembly
support;
1 J. Mark Payne, Daniel Zobatto G., Fenando Carrillo Flórez, Andrés Allamnd Zavala: "Democracies im
Development: Politics and Reform in Latin America", The Inter-American Development Bank and the
International Institue for Democracy and Electoral Assitance, The John Hopkins University Press, Washington
D.C 2002, hal. 73
6
the integration of the executive and legislative branches
of the parties is often greater in Latin America than in the U.S.
Menurut Gary Cox/Scott Morgenstern dan Pedro Planas dalam Detlef Nolte, Reform des
Präsidentialismus und Stärkung der Parlamente, Hamburg 2000, hal. 12 dan 14; Detlef
Nolte, Presidentialism revisited: Gewaltentrennung und Gewaltenverschraenkung in den
lateinamerikanischen Praesidialdemokratien, Lateinamerika Analysen 7, Februar 2004,
Hamburg: IIK, hal. 58
Dalam hal pembuatan RUU, presiden-presiden di Amerika Latin harus kawin dengan
legislatif (baik uni- maupun bikameral).
Oleh sebab itu, presidensialisme di Amerika Latin disebut Presidencialismo de coalizão
(Brazil) atau neopresidencialismo de compromiso (Uruguay) atau parlementarisasi
presidensialisme (Nolte). Di sana, logika sistem parlementer yang berjalan, seperti
perkawinan kekuasaan (convergence of power) dan perkawinan tujuan (convergence of
purpose). Dalam hal convergence of power dan convergence of purpose antara eksekutif dan
legislatif, maka orang kerap menyebutnya dengan united government.
Presidensialisme Amerika
Serikat
(Setelah 1945) *)
Presidensialisme Amerika Latin (secara umum)
Parlementarisasi Presidensialisme
presidencialismo de coalizão (Brazil)
neopresidencialismo de compromiso (Uruguay)
Check and Balance Check and Balance (partial)
Separation of Powers Convergence of Powers
Separation of Purpose Convergence of Purpose
Divided Government United Government
Sistem Pileg mayoritas Untuk DPR sistem Pileg proporsional (dan
campuran) demi representasi dan partisipasi
Jenis Legislatif: Legislature
Dgn Trustee
Jenis Legislatif: Parliament
dgn Delegate & Trustee & Katrolan
Demokrasi Mayoritan/Persaingan Demokrasi Konkordans/Konsensual
Maka, keharusan presiden RI (eksekutif) untuk kawin dengan DPR (legislatif, unikameral)
membuat presidensialisme Indonesia mirip dengan presidensialisme di Amerika Latin.
Oleh sebab itu, pengambilan contoh Amerika Serikat tidaklah cocok. Pengambilan contoh
presidensialisme Rusia seperti yang kadangkala diturunkan di media massa pun tidak tepat,
oleh sebab di Rusia, seorang presiden dapat membubarkan DUMA (DPR Rusia).
Yang menurut saya sangat penting untuk digaris bawahi adalah pilihan Indonesia untuk
berdemokrasi konkordans/konsensual. Artinya, ya perlu kesabaran yang luar biasa. Dalam hal
ini, mungkin presidensialisme di Amerika Latin menarik untuk dicermati, mana kala sejak
gelombang redemokratisasi, sistem pemilu legislatif proporsional atau campuran (terkecuali
Chile) banyak diterapkan. Peningkatan representasi dan partisipasi dalam sistem proporsional
7
atau campuran menjadi sasaran utama dan konsentrasi produk sistem mayoritan tidak
dihiraukan 2
Di negara-negara Amerika Latin yang pernah menggunakan system mayoritan macam di
Argentina, sistem kepartaian dwi-partai tokh tidak menjamin stabilitas dan efektivitas sistem
presidensialisme
Dwi-partai tidak menjamin presidensialisme yang efektif (Contoh Uruguay dan Argentina).
Uruguay 3 Argentina
4
Tahun ENPP Fragmentasi ENP Fragmentasi
1942 2,33
Dwi-
Partai 0,571 rendah Kudeta militer
1946 2,71
Dwi-
Partai 0,631 rendah 1,77 Dwi-Partai 0,435 rendah
1948 1,80 Dwi-Partai 0,444 rendah
1950 2,46
Dwi-
Partai 0,593 rendah 2,10 Dwi-Partai 0,524 rendah
1952 1,20 Dwi-Partai 0,167 rendah
1954 2,46
Dwi-
Partai 0,593 rendah 1,12 Dwi-Partai 0,106 rendah
1958 2,45
Dwi-
Partai 0,592 rendah 1,78 Dwi-Partai 0,438 rendah
1960 2,12 Dwi-Partai 0,528 rendah
1962 2,36
Dwi-
Partai 0,576 rendah
1963
2,97 Dwi-Partai 0,663 rendah
1965 3,34 Sederhana 0,701 rendah
1966 2,33
Dwi-
Partai 0,571 rendah
1971 2,31
Dwi-
Partai 0,567 rendah
1973 Kudeta milite 2,84 Dwi-Partai 0,648 rendah
Kudeta Militer
Ternyata, seperti di Uruguay, meski terbentuk dwi-partai, namun di dalam tubuh setiap partai
tumbuh sublema (fraksi/kelompok) yang saling berkelahi, dan lebih akrab dengan sublema
partai lain
2 Dieter Nohlen, ―Internationale Trends der Wahlsystementwicklung‖, Österreichische Zeitschrift für
Politikwissenschaft (ÖZP), 34 Jg. (2005) H. 1, 11.26 3 Bernhard Thibaut, „Praesidentialismus und Demokratie in Lateinamerka, Opladen 1996, hal. 171-173
4 Bernhard Thibaut, "Praesidentialismus und Demokratien in Latein Amerika", Leske+Budrich, Opladen 1996,
hal. 107
8
Pembagian Kursi Dalam DPR Uruguay 1942 – 1973 (dalam %)
1942 1946 1950 1954 1958 1962 1966 1971
Partido Colorado
(PC)
58,6 47,5 53,5 51,5 38,5 44,4 50,5 41,4
Sublema terkuat 34,3 (a) 11,1 41,4 (a) 33,3 (c) 26,3 (c) 28,3 (e) 25,3 (f) 28,3 (n)
Sublema terkuat kedua 14,1 (b) 11,1 21,2 (b) 15,2 (d) 12,2 (d) 7,1 (f) 18,2 (g) 12,1 (g)
Partido National
(PN)
23,2 31,3 31,3 35,4 51,5 47,5 41,4 40,4
Sublema terkuat - - - 22,2 (h) 25,3 (k) 20,2 (k) 19,2
(m)
30,3 (o)
Sublema terkuat kedua - - - 12,1 (i) 24,2 (l) 20,2 (l) 14,1 (k) 10,1 (h)
Jumlah PC dan PN 81,8 78,8 84,8 86,9 90 91,9 91,9 81,8
Parpol laen 18,2 21,2 15,2 13,1 10 8,1 8,1 18,2 (p)
ENPP 2,4 2,9 2,6 2,5 2,4 2,4 2,3 2,7
Nama Sublema (Fraksi) dan Grup
(a): Batllismo
(b): Libertad y Justicia
(c): Grup 15 (Fraksi Luis Battle Berres)
(d): Grup 14 (Fraksi Batllismo Tradisional)
(e): Por la Unión del Partido
(f): Unión Colorado y Batllista (tahun 1966: Fraksi
Gestido/
Pacheo
(g): Unidad y Reforma (Fraksi Jorge Battle; trahnya
Grup 15)
(h): Fraksi Herrera
(i): Moviemiento Popular
Nacionalista
(k): Unión Blancia Democrática
(l): Herrera – Por la Reformia
(m): Herrerismo-Ruralismo
(n): Unión Nacional Reeleccionista
(Fkasi Bordaberry/Pacheco)
(o): Por la Patria/Movimiento
Nacional Rocha (Fraksi Ferreira)
(p): Frente Amplio
(Tabel dikutip dari Bernhard Thibaut, „Praesidentialismus und Demokratie in Lateinamerka,
Opladen 1996, hal. 174)
Sejak tahun 1990an begitu, sistem kepartaian dwipartai mengalami keruntuhan. Umumnya,
kekuatan-kekuatan baru itu sempalan dari PLC dan PC, yang tampil pada pemilu dengan
gonta-ganti nama. Selaen itu tumbuh banyak parpol (sekitar 70 biji). Parpol-parpol ini lebih
banyak berfungsi sebagai kumpulan pemilu personal yang tak berbasis massa dengan struktur
keanggotaannya lemah 5. Perubahan sistem kepartaian dwipartai ini dimungkinkan oleh UUD
baru 1991, yang tujuannya memperluas partisipasi politik kelompok-kelompok lainnya.
Meskipun begitu, masih saja kubu Liberal dan Konservatif tetap berkuasa. Alternatif yang
berpengaruh pada akhir-akhir ini datang dari Polo Democrático Alternativo 6.
5 ―Kolumbien‖, Bertelsmann Transfo rmation Index 2003, hal. 6-7, http://bti2003.bertelsmann-transformation-
index.de/100.0.html 6 Viento de Popayán, Wahlen in Kolumbien, http://rothen.info/viento/2010/02/16/wahlen-in-kolumbien/
9
Basis Politik Pemerintah Sistem Presidensialisme di Amerika Latin:
Karena harus kawin itu, maka presiden perlu dukungan mayoritas parlemen, maka
berdasarkan pengamatan yang dibuat oleh Thibaut/Cindy Skach pada tahun 1996, maka basis
politik pemerintah di parlemen dapat diragakan sebagai berikut:
BASIS POLITIK PEMERINTAH SISTEN PRESIDENSIALISME AMERIKA LATIN
homogen (satu parpol)
heterogen
(koalisi/gabungan)
1
United government
(Mayoritas Pemerintahan
secara kelembagaan)
A C
Costa Rica (kerap sejak
1948, kontinyu 1982-1994)
Venezuela (kerap 1963-93)
Kolumbia (kerap sejak 1974)
Honduras (sejak 1982)
Bolivia (sejak 1985),
Chile (sejak 1989)
2
Divided Government
(Minoritas Pemerintahan
secara kelembagaan)
B D
Argentina (sejak 1983)
Guatemala (1990-93)
El Salvador (sejak 1986)
Brazil (sejak 1989)
Peru (1990-92)
Ekuador (sejak 1978)
Guatemala (sejak 1993)
Nikaragua (sejak 1990)
(dikutip dalam Bernhard Thibaut/Cindy Skach, „Parlamentarische oder praesidentielle
Demokratie?: Zum theoretischen Grenznutzen einer institutionellen Dichotomie in der
Regierungslehre― dalam Demokratieexport in die Länder des Südens?, Hamburg: Deutsches
Übersee-Institut, 1996 hal. 557, www.hcs.harvard.edu/~skach/docs/demo_in_die.pdf).
Ihtiar Penciptaan Sistem Kepartaian Sederhana di Amerika Latin:
Sistem kepartaian selalu bertolak dari jumlah efektif partai di parlemen (ENPP alias The
Effective Number of Parties Parliament atau ENP alias The Effective Number of Parties)
Dengan rumusan Sartori 7 yang diformulakan oleh Lakso dan Taagepera
8 diperoleh
n
ENPP = 1 / ( ∑ si) 2
i=1
Sistem multikepartaian dibagi ke dalam 9
7 Giovanni Sartori, ―Parties and Party Systems‖, Cambridge University Press, 1976; Prof. Dr. André Kaiser,
Artikulation, Aggregation, und Vermittlung gesellschaftlicher Interesse im politischen Prozess, Lehrtstuehl fuer
vergleichende Politikwissenschaft, Universitaet Koln, hal. 17, http://www.politik.uni-
koeln.de/kaiser/Studium/Lehre/WS%202006-2007/VL%20Kaiser/Block_4.pdf) 8 Patrick Dumont — Jean-François Caulier: THE ―EFFECTIVE NUMBER OF RELEVANT PARTIES‖:
How Voting Power Improves Laakso-Taagepera‘s Index, December 11, 2003, hal. 5;
Hermann Schmitt, „Multiple Parteienbindungen; Parteienbindungen der Schweizerinnen und Schweizer im
internationalen Vergleich―, Jahreskongress der SVPW in Balstahl, 2-3.11.2000, hal. 12. 9 Michael Coppedge, ―The Dymic Diversity of Latin American Party Systems‖, University of Notre Dame, hal.
11, www.nd.edu/~mcoppedg/crd/ddlpas.htm
10
Sistem Multikepartaian Dwi-Partai Moderat/Sederhana Ekstrim/Ultra
ENPP atau ENP 2 s/d 3 >3 s/d 5 Lebih dari 5
Alhasil, jumlah efektif partai dalam parlemen bukan jumlah riil berdasarkan hitungan jari.
Junlah efektif partai dalam parlemen itu sendiri berhubungan langsung dengan fragmentasi:
n Dalilnya
10: F = 1 - (si)
2 = 1 – 1/ENPP
i
1. Penerapan Dapil dan Ambang Batas, Penyelenggaraan Pileg dan Pilpres terpisah (kasus
Indonesia): Sebelum menengok Amerika Latin, Indonesia mencoba menyederhanakan sistem
kepartaian dalam tubuh DPR (a) tahun 2004 lewat penerapan dapil 3 s/d 12 (2004) dan (b)
tahun 2009 lewat kombinasi penerapan ambang parlemen resmi 2,5 persen dengan penerapan
dapil 3 s/d 10 dan cara penghitungan suara ―ajaib‖ (50 persen BPP untuk sisa kursi).
DPR Jumlah Parpol di DPR
Threshold ENPP atau ENP
Sistem Kepartaian terselubung
(1/2m dan 1/(1+m) resmi
Inggeris 2005 12 (dgn 1 independen)
dapil kecil 2,46 Dwi
Brazil 2006 21 dapil provinsi 9,32 Ultra
DPR RI 1999 21 dapil provinsi 4,72 Sederhana
DPR RI 2004 17 dapil kecil/menengah/besar
7,07 Ultra
DPR RI 2009 9 dapil kecil/menengah 2,50% 6,21 ultra
Pengalaman Pileg 2004 dan 2009 memperlihatkan, bahwa Ambang Batas Parlemen dan
penciutan daerah pemilihan serta cara penghitungan suara yang ajaib itu belum tentu sanggup
menyederhanakan sistem kepartaian. Kegagalan tersebut terletak pada tidak mampunya
parpol yang mengaku besar meraup suara/kursi yang berarti (Tahun 1999 misalnya dua
parpol menguasai DPR yaitu 33% PDIP dan 26%GOLKAR, sedangkan pada pemilu
berikutnya minimal tiga parpol yang menguasai DPR)
2. Pileg dan Pilpres Simultan, Presidential Threshold rendah (kasus Amerika Latin):
penyederhanaan sistem kepartaian diraih lewat pilpres yang diselenggarakan simultan
dengan pileg. Simultan bisa berarti serentak hari penyelenggaraan dan bisa kartu pemulihan
capres menyatu dengan partai coblosan). Adapun efek penyederhanaan sistem kepartaian
dalam legislatif nasional makin sederhana, apabila syarat menjadi presiden tergantung pada
―plurality‖ (alias presiden terpilih asal mayoritas), runoff with reduced threshold (presiden
terpilih dengan ambang yang rendah, misalnya di Argentina cukup 45 persen suara atow 40
persen suara asal beda 10 persen dengan capres kedua), dan ―majority runoff‖ (presiden
terpilih dengan suara mutlak 50 persen plus 1).
10
Fragmentierung und Zahl der Parteien, hal. 64,
http://www.kpm.unibe.ch/ladner/dokumente/Seminar05/H_Kapitel3_Zahl_der_Parteien.pdf.
atow dapat dibacak dalam Pipit R. Kartawidjaja/Mulyana W. Kusumah, Editor: Sidik Pramono, „Kisah Mini
Sistem Kepartaian―, 7 Strategic Studies, hal. 62-63; atow Jan-Erik Lane & Svante Ersson, „Dimensions of Party
Sytems―, Chapter 5: Party System, London 1987, hal. 4)
11
Selain itu, lewat presidential threshold yang rendah, pilpres dapat dilakukan lewat satu
putaran.
Fragmentation of Party Systems according to Type of Presidential Election System
Country
Effective number of parties (lower house seats)
ENP atau ENPP = 1/∑ (si)222
FFFrrraaagggmmmeeennntttaaasssiii (((FFF))) === 1 – 1/ENPP
Plurality
Argentina (1983, 1989) 2,70
Colombia (1978, 1982, 1986, 1990) 2,33
Dominican Rep. (1978, 1982, 1986, 1990, 1994) 2,43
Honduras (1981, 1985, 1989, 1993, 1997) 2,10
Mexico (1982, 1988, 1994, 2000) 2,29
Nicaragua (1990) 2,05
Panama (1989, 1994, 1999) 3,77
Paraguay (1989, 1993, 1998) ,20
Uruguay (1984, 1989, 1994) 3,18
Venezuela (1978, 1983, 1988, 1993, 1998, 2000) 3,62
Average of country averages 2,67
Average for all elections 2,72
Reduced threshold
Argentina (1995, 1999) 2,64
Costa Rica (1978. 1982, 1986, 1990, 1994,
1998) 2,32
Ecuador (1998) 1 5,73
Nicaragua (1996) 2,79
Peru (1980) 2,46
Average of country averages 3,19
Average for all elections 2,74
Majority runoff
Bolivia 2
(1980, 1985, 1989, 1993, 1997) 4,40
Brazil (1982, 1986, 1989, 1994, 1998) 6,70
Chile (1989, 1993, 1999) 3 5,04
Colombia (1994, 1998) 2,95
Dominican Rep. (1996, 2000) 2,32
Ecuador (1978, 1984, 1988, 1992, 1996) 5,69
El Salvador (1984, 1989, 1994, 1999) 3,11
Guatemala (1985, 1990, 1995, 1999) 3,19
Peru (1985, 1990, 1995, 2000) 3,76
Uruguay (1999) 3,07
Venezuela (2000) 3,44
Average of country averages 4,02
Average for all elections 4,37
12
Note: The format for this table is based on Shugart and Carey (1992, Table 10.2), but different
data are used. 1 Ecuador´s system requiring 50 percent + 1 or 45 percent and a 10 percent
advantage over the next finisher is close in practical terms to a majority runoff system. So its
placement in this table is somewhat debateble. 2 In Bolivia, the congress selects the president if no candidate obtains a majority in the first round.
3 In Chile, a computation of the effective number of parties based on coalitions rather than
indviduals parties would result in much lower measure of fragmentation in the lower house
(J. Mark Payne, Daniel Zobatto G., Fenando Carrillo Flórez, Andrés Allamnd Zavala:
"Democracies im Development: Politics and Reform in Latin America", The Inter-American
Development Bank and the International Institue for Democracy and Electoral Assitance,
The John Hopkins University Press, Washington D.C 2002, hal. 73)
3. Pemisahan pemilu legislatif nasional dari pemilu legislatif daerah (termasuk pilkadal),
sekaligus mengijinkan parpol lokal
Di Brazil misalnya pileg lokal 2008, sedangkan pileg nasional 2010. Kegunaan pemisahan
adalah check and balances antara pusat dengan daerah, merapatkan disiplin fraksi koalisi
(pusat biasanya sama dengan daerah)
Kegunaan disiplin fraksi akan dibahas.
Selain itu, menurut saya, keberadaan partai lokal dapat dijadikan syarat buat pileg nasional
(misalnya, jika parpol duduk di 50 persen DPRD, maka parpol tersebut boleh ikutan pemilu
DPR)
4. Penciptaan kubu bipolar (kubu pemerintah dan oposisi)
Contoh Chile: presidensialisme di Chile tergolong presidensialisme yang stabil dan efektif di
Amerika Latin. Chile menerapkan system pemilu ―Binominal‖ dengan pemaksaan gabungan
parpol. Di sana, parpol yang bergabung itu tidak harus melebur atau berganti nama. Di sana,
gabungan parpol masih mencantumkan parpol-parpol asli
Tengok misalnya Pemilu Legislatif 2005:
Tampil dalam pemilu DPR Chile itu 10 parpol plus 5 jenis kubu inpendenden. Karena
kecilnya dapil (daerah pemilihan), lalu mereka bikin gabungan. Ambil Contoh gabungan B
(Concertación Democrática). Di situ ada bergabung parpol-parpol Partido Demócrata
Cristiano, Partido Por la Democracia, Partido Socialista de Chile, Partido Radical
Socialdemócrata dan kubu Independen.
LISTA/PACTO VOTOS Kursi % Kursi (% Kursi) 2
A. Fuerza Regional Independiente
Alianza Nacional de los
Independientes 20.075
Partido de Acción Regionalista de
Chile 26.405
Independientes Lista A 30.102
Total Lista/Pacto 76.582
13
B. Concertación Democrática
Partido Demócrata Cristiano 1.354.631 21 17,50% 3,06%
Partido Por la Democracia 1.006.480 22 18,33% 3,36%
Partido Socialista de Chile 653.692 15 12,50% 1,56%
Partido Radical Socialdemócrata 229.126 7 5,83% 0,34%
Independientes Lista B 130.936
Total Lista/Pacto 3.374.865 65 54,17%
C. Juntos Podemos Más
Partido Comunista de Chile 335.215
Partido Humanista 101.598
Independientes Lista C 45.694
Total Lista/Pacto 482.507
D. Alianza
Renovación Nacional 920.524 34 28,33% 8,03%
Unión Demócrata Independiente 1.456.430 20 16,67% 2,78%
Independientes Lista D 145.604
Total Lista/Pacto 2.522.558 54 45,00%
E. Independientes (Fuera de Pacto) 61.489 1 0,83% 0,01%
Válidamente Emitidos 6.518.001 0,19
ENPP Riil 5,22
(Praesidentschafts- und Parlamentswahlen in Chile vom 11. Dezember 2005, hal. 4-6,
http://www.kas.de/wf/doc/kas_7711-1522-1-30.pdf?051213171218)
Jika dihitung alokasi kursi per parpol, yang terjadi adalah sistem multikepartaian
ultra/ekstrim dengan ENPP 5,22. Namun dengan pamaksaan gabungan, yang terjadi bukan
hanya sistem kepartaian dwi-partai (ENPP 2,02), namun bipolarisme:
LISTA/PACTO VOTOS CALEG
TERPILIH % Kursi
(% Kursi) 2
A. Fuerza Regional Independiente
Alianza Nacional de los Independientes 20.075
Partido de Acción Regionalista de Chile 26.405
Independientes Lista A 30.102
Total Lista/Pacto 76.582
B. Concertación Democrática
Partido Demócrata Cristiano 1.354.631 21
Partido Por la Democracia 1.006.480 22
Partido Socialista de Chile 653.692 15
Partido Radical Socialdemócrata 229.126 7
Independientes Lista B 130.936
Total Lista/Pacto 3.374.865 65 54,17% 29,34%
C. Juntos Podemos Más
Partido Comunista de Chile 335.215
Partido Humanista 101.598
Independientes Lista C 45.694
Total Lista/Pacto 482.507
D. Alianza
Renovación Nacional 920.524 34
14
Unión Demócrata Independiente 1.456.430 20
Independientes Lista D 145.604
Total Lista/Pacto 2.522.558 54 45,00% 20,25%
E. Independientes (Fuera de Pacto) 61.489 1 0,83% 0,01%
Válidamente Emitidos 6.518.001 0,50
ENPP Gab 2,02
Disebut Bipolar, sebab di dalam DPR Chile hanya ada kubu pro pemerintah (dalam hal ini
Concertación Democrática) dan kubu oposisi (dalam hal ini Alianza).
Menariknya kala itu, Presiden Michelle Bachelet berasal dari Partido Socialista de Chile,
kekuatan ketiga dalam tubuh gabungan Concertación Democrática. Maklum, parpol terkuat
dalam gabungan tersebut „mengalah―.
Memperkuat Presidensialisme Lewat Pemerkasaan Presiden:
Kekuasaan presiden di Amerika Latin dibagi ke dalam:
Kekuasaan Presiden dalam Presidensialisme Amerika
Latin Catatan
1 constitunional
powers
legislative
powers
mengajukan RUU
mencampuri proses
pembuatan UU di parlemen
Misalnya menetapkan tempo
pembahasan
dekret Untuk meningkatkan disiplin fraksi
veto UU produk parlemen
inisiatif kebijakan
pemerintah
mengundang plebisit &
referendun Membobol kebuntuan komunikasi
non-
legislative
powers
membentuk kabinet atau
mengangkat pejabat-pejabat
negara
4 jurus maut presiden diukur lewat
Cabinet Coalitions Rate
Penciptaan jabatan penghubung
parlemen dengan kabinet (kepala
pemerintahan)
2 partisan
powers
tergantung pada banyak faktor, seperti
UU Pemilu dan sistem kepartaian,
kualitas presiden
UU Susduk (misalnya pembentukan
komisi), disiplin fraksi (tergantung
pada jenis legislator, diterapkannya
kontrol ex ante und kontrol ex post),
mendirikan kantor kepresidenan di
legislatif Disiplin fraksi RICE ij =
|%Pro - %Kontra|
Volatilitas V = ½ Ci, t+1 - Ci,
t (Argentina), pengorganisasian
parlemen
15
Dirangkum dari: J. Mark Payne, Daniel Zobatto G., Fenando
Carrillo Flórez, Andrés Allamnd Zavala: "Democracies im
Development: Politics and Reform in Latin America", The
Inter-American Development Bank and the International
Institute for Democracy and Electoral Assitance, The John
Hopkins University Press, Washington D.C 2002, hal. 189-190
Contoh non-legislative powers Presiden (jurus pembentukan kabinet)
Sistem Parlementer Sistem Parlementarsasi Presidensialisme
1 Tanpa Koalisi Tanpa Koalisi
2 Koalisi Formal Koalisi Formal
3 Kooptasi Parlemen
4 Kooptasi Non-Parlemen
Contoh Jurus Pembentukan Kabinet di Amerika Latin
Negara Presiden
Kurun
Waktu
Tanpa
Koalisi
Koalisi
Formal/Resmi
Kooptasi
Parlemen
Kooptasi
Non-
Parlemen
Argentinien Alfonsin 1983-89 X X
Menem 1989-95 X X
Menem 1995- X
Chile Aylwin 1990-94 X
Frei 1994- X
Brasilien Sarney 1985-90 X
Collor 1990-93 (X) X
Franco 1993-95 (X) X
Cardoso 1995- (X) X
Uruguay Sangwinetti 1985-90 X
Lacalle 1990-95 (X) X
Sangwinetti 1995- X
Penjelasan: tanda silang dobel misalnyaAlfonsin berarti selaen tanpa koalisi, Alfonsin juga merekrut
kubu non-parlemen (strategi ganda presiden). Strategi ganda ini dipakai sepanjang pemerintahannya buat
melengkapi strategi awal atow sepanjang pemerintahannya ganti strategi. Tidak dalam kurung berarti,
strategi yang umumnya dipakai.
Berhanrd Thibaut, "Praesidentialismus und Demokratien in Lateinamerika", Leske+Budrich, Opladen
1996, s. 284
16
Contoh Jurus Pembentukan Kabinet Brazil:
1
President Masa Jabatan Partai
Presiden
President
Election
Coalition
Initial Cabinet Composition*
Dutra 1945-1950 PSD PSD, PTB PSD(5), PTB (1)
Vargas 1950-1954 PTB PTB, PSP PSD(5), UDN (1), PTB (1), PSP
(1)
Kubitschek 1955-1960 PSD PSD, PTB PSD (4), PTB (2), PSP (1), PR (1)
Quadros 31.01.-
25.08.1961 PSP
UDN, PDC,
PL,
PTN UDN (3), PTB (3), PSD (1),
PSP (1), PR (1), PSB (1)
2
KABINET TAHUN Partai
Presiden KOALISI
SARNEY
Ia (03/85-02/86) PMDB PMDB –PTB—PFL-PDS
SARNEY
II (02/86-01/89) PMDB-PFL
SARNEY
III (01/89-03/90) PMDB-PFL
COLLOR
Ib (03/90-10/90) PRN PMDB-PFL-PRN
COLLOR
II (10/90-01/92) PFL-PDS-PRN
COLLOR
III (01/92-04/92) PFL-PDS (tanpa parpol presiden)
COLLOR
IV (04/92-10/92)
PSDB-PTB-PFL-PDS- PL (tanpa
parpol presiden)
FRANCO I (10/92-01/93) Non-Partisan PSB - PSDB-PMDB-PFL- PTB-
PDT
FRANCO
II (01/93-05/93)
PSB-PT - PSDB-PMDB- PTB-
PFL-PDT
FRANCO
III (05/93-09/93) PSB- PSDB-PMDB- PTB-PFL
FRANCO
IV (09/93-01/94) PSDB-PMDB- PTB-PFL-PP
FRANCO
V (01/94-01/95) PSDB-PMDB-PFL- PP
CARDOS
O I 01/95-04/96) PSDB PSDB-PMDB-PTB -PFL
CARDOS
O II (04/96-12/98) PPS-PSDB-PMDB-PTB -PFL-PPB
3 Rousseff 2011-2012 PT PT, PMDB, PP, PDT, PTB, PR &
partai-partai gurem
* The numbers in parentheses refer to the number of cabinet positions allocated to different parties
17
(1) Lúcia Hippólito, PSD: De Raposas e Reformistas (Rio de Janeiro: Paz e Terra, 1985), pp. 293-303;
Tribunal Superior Eleitoral
(2) Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, AND
COALITION DISCIPLINE IN BRAZIL * MARCH 2000
(3) Brasilien. Auswaertiges Amt, Maret 2012, http://www.auswaertiges-
amt.de/DE/Aussenpolitik/Laender/Laenderinfos/01-Laender/Brasilien.html
Memperkuat Presidensialisme Lewat Pengefektifan Parlemen:
Menengok Amerika Latin dan beberapa negara lain, maka efektifnya parlemen tergantung pada hal-hal sebagai berikut: 1. Profesionalisasi anggota dewan
Legislator, menurut ahli ketatanegaraan Inggeris Edmund Burke, dibagi ke dalam trustee dan delegate. Trustee adalah wakil yang secara politis bebas berpendapat dan menentukan, namun secara umum wajib bertanggungjawab kepada para pemilihnya. Trustee misalnya produk daftar terbuka baik dalam sistem pemilu proporsional maupun mayoritan. Sedangkan Delegate adalah utusan yang terikat pada kehendak para pemilihnya dan berperan sebagai pelaksana. Delegate merupakan produk daftar tertutup
11.
Umumnya, baik trustee maupun delegate amatiran tak bisa menggunakan kekuasaan berlegislasi. Kekhusuan ini biasanya dimiliki oleh politisi profesional. Politisi ini biasanya dibentuk oleh pengalaman berparlemen yang lama atau berpengalaman menduduki jabatan politisi. Keahlian ini dapatlah dipahami juga sebagai ressource kekuasan buat berlegislasi
12.
Keahlian itu umumnya diperoleh dari masa jabatan di DPR: Di Jerman misalnya, sejak tahun 1970, sekitar 80 persen anggota DPR terpilih kembali. Duapertiganya terpilih dua kali berturut-turut. Separuhnya tiga kali berturut-turut. Hampir 25 persen, sudah sejak tahun 1969 duduk di Bundestag (DPR Jerman), dengan catatan penelitian dibuat tahun 1999
13
Ini tentu berbeda dengan legislator di beberapa negara Amerika Latin yang tingkat keterpilihannya rendah:
Persentase terpilihnya legislator DPR - Pertengahan tahun 1990an
Argentina 1993-1995 20%
Argentina 1997 24%
Brazil 1994 61%
Brazil 1998 54%
Kolumbia 1998 47%
Meksiko tidak boleh dipilih secara berturut-turut (Sumber: Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, „Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerkas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 119)
11
Suzanne S. Schuettemeyer, Parlamentarische Demokratie, Informationen zur politischen Bildung, Nomor
295/2007, Bundeszentrale fuer politische Bildung, Bonn, hal. 29 12
Heinrich W. Krumwiede / Detlef Nolte: Die Rolle der Parlamente in den Paesidialdemokratien
Lateinamerikas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde – Hamburg 2000, Band 4, hal. 100 13
Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, „Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien
Lateinamerkas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 118
18
2. Dukungan infrastruktur/tenaga ahli bagi para anggota Dewan dan parpol pendukung
yang tergantung pada jenis parlemen Antara Legislature dan parliament Dalam membandingkan sistem pemerintahan Presidensialisme AS, Parlementarisme Inggeris dan Jerman, Winfried Steffani membedakan tipologi Parlemen ke dalam Rede- dan Arbeitsparlament (Parlemen Yang Berbicara dan Parlemen Yang Bekerja). Di Inggeris dikenal istilah „legislature“ dan „parliament“. Sebutan „legislature“ diberikan kepada dewan perwakilan rakyat di Amerika Serikat, dan sebutan „parliament“ diberikan kepada dewan perwakilan rakyat di benua Eropa (Barat). Pembedaan ini hendak memperjelas kedudukan antara Legislatif dan Eksekutif dalam sistem Presidensialisme AS dengan kedudukan antara Legislatif dan Eksekutif dalam sistem Parlementarisme Eropa (Barat). Di dalam sistem Parlementarisme Eropa (Barat), „parliament“ atau Redeparlement atau Parlemen Yang berbicara, mayoritas parlemen berfungsi buat mendukung pemerintahnya dalam meloloskan rancangan UU, segenap perencanaan dan persiapan program. „Parliament― dalam sistem parlementerisme Inggeris dan Jerman adalah „mesin perestuan― buat kebijakan pemerintah
14 -- misalnya RUU sodoran eksekutif.
Ini jelas berbeda dengan „legislature“ atau Arbeitsparlament atau Parlemen Yang Bekerja dalam Sistem Presidensialisme AS. Di sana, wakil-wakil rakyat tak bisa menyentuh pemerintah dan karenanya lalu membangun politik secara mandiri. Wakil-wakil rakyat ini yang merancang UU dan mengendalikannya lewat proses parlemen. Alhasil, dalam „legislature―, wakil-wakil rakyat itu „bekerja―. Konggres AS (setara dengan MPR) merupakan salah satu prototyp dari „legislature―. Setiap wakil rakyat, baik di DPR maupun di Senat, merupakan pengusaha politik individual yang mandiri. Setiap wakil rakyat dilengkapi oleh sejumlah staf pembantu. Dengan bantuan mereka, setiap wakil rakyat dapat mengambil inisiatif merancang UU dan mempersiapkan langkah-langkah dan kerja detail dalam komisi-komisi. Komisi-komisi ini merupakan tempat penting guna merangkai koalisi-koalisi. Sebabnya ya tak ada mayoritas pemerintah di satu pihak dan oposisi di lain pihak. Biasanya, dalam sistem presidensialisme, ada aturan inkompatibiltas. Yaitu larangan rangkap jabatan antara mandat parlemen dan jabatan pemerintah, Di AS misalnya, presiden dilarang menjadi anggota DPR dan Senat. „Legislature― atau Arbeitsparlament atau Parlemen Yang Bekerja dalam sistem presidensialisme AS bukanlah „mesin perestuan― kebijakan pemerintah.
14
Suzanne S. Schuettemeyer, Die Logik der parlamentarischen Demokratie, Informationen zur politischen
Bildung, Bundeszentrale fuer politische Bildung alias Lembaga Pendidikan Politik Federal Jerman, Bonn 2007,
http://www.bpb.de/publikationen/U4940A,0,Die_Logik_der_parlamentarischen_Demokratie.html
19
Sebagai perbandingan Bantuan Negara Kepada Seorang Legislator:
Tunjangan Negara Untuk Seorang
Trustee Delegate Legislature AS Parliament Jerman s/d 15 Tenaga Ahli (DPR) dan antara 13 s/d 70 Tenaga Ahli (Senat)
s/d 4 atau 5 Tenaga Ahli
TA terdiri dari Legislative Assistants dan Administrative Assistants (di kantor legislatif) serta case worker (di saerah pemilihan)
TA terdiri dari 2 TA bidang Administratif dan sisanya lingkup kerja sang legislator
Data untuk tahun 1980. Untuk bisa membayangkan, TA DPR dan Senat AS tahun 1960an berjumlah 6.300 orang. Dua dasawarsa kemudian meningkat menjadi 15.000 orang (Sumber: Kurt L. Shell, Kongress und Praesident, dalam Willi Paul Adams/Peter Loesche (Hrsg.), Laenderbericht USA, Bundeszentrale fuer politische Bildung alias Lembaga Pendidikan Politik Federal Jerman, Band 357, Bonn 1998, hal. 213-214)
Sumber: Aufwandsentschädigung für die Abgeordneten des Deutschen Bundestages, http://www.bundestag.de/ bundestag/abgeordnete17/mdb_diaeten/1334d.html dan Suzanne S. Schuette-meyer, Parlamentarische Demokratie, Informationen zur politischen Bildung, No 295/2007, Bundeszentrale fuer politische Bildung, Bonn, hal. 23
Bantuan negara untuk legislator di beberapa negara Amerika Latin
Negara DPR Senat Badan Perlengkapan
Argentina 2 TA 10 TA Komisi 8 s/d 12 TA
Brazil Per bulan maksimal 20.000 US$,
per pos jabatan 4.000 US$
6 s/d 9
TA Baleg memiliki 188 TA)
Kolumbia 5 TA 5 TA
Meksiko tak ada tak ada TA per fraksi
Uruguay 5 TA (biasanya PNS Kementerian)
3. Pembentukan Fraksi Sebagai Cara Penciptaan Multikepartaian Sederhana
3.1. Di Jerman penggolongan anggota itu terdiri dari (a) fraksi, (b) kelompok anggota dan (c) legislator tanpa fraksi. Syarat pembentukan fraksi: 5 persen jumlah anggota DPR Jerman. Untuk kelompok anggota minimal 3 (tiga) orang legislator. Dalam tahun pemilu DPR Jerman 1990, parpol Gabungan 90/Hijau (Buendnis 90/Die Gruenen) dan PDS (Partai Demokrasi Sosialisme) masuk ke DPR Jerman. Bündnis 90/Die Gruenen dan PDS masing-msing mengirimkan 8 dan 17 wakil. Karena kedua parpol tersebut tidak memenuhi syarat pembentukan fraksi, maka keduanya hanya berstatuskan kelompok anggota. Dalam pemilu DPR 2002, PDS hanya berhak mengirimkan 2 (dua) wakilnya ke Bundestag (DPR Jerman). Akibatnya, kedua legislator tersebut hanya berstatuskan legislator tanpa fraksi
15.
Untuk pemilu DPR Jerman 2009, enam parpol masuk DPR, dan terdapat li,a fraksi, karena dua parpol membentuk fraksi gabungan
16.
15
Martin Fehndrich und Matthias Cantow, „Fraktion―, 27.10.2004
http://www.wahlrecht.de/lexikon/fraktion.html 16
German Bundestag, Official result for the 2009 Bundestag election
http://www.bundestag.de/htdocs_e/bundestag/elections/results/index.html
20
Tidak berfraksi itu ya susah. Antara lain ya tidak bias masuk ke Komisi untuk mengajukan RUU.
3.2. Syarat pembentukan fraksi dapat dijadikan instrumen buat penciptaan multi-kepartaian sederhana dalam tubuh parlemen. Misalnya ambang batas 5 persen bisa diterapkan buat pembentukan fraksi dalam DPR.
No. Partai Kursi DPR %
1 Demokrat 148 26,4 2 Golkar 106 18,92 3 PDI-P 94 16,78 4 PKS 57 10,17 5 PAN 46 8,21 6 PPP 38 6,78 7 PKB 28 5,00 8 GERINDRA 26 4,64 9 HANURA 17 3,04 Total 560 100,00
(Fraksi, http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/fraksi)
GERINDRA dan HANURA, apa boleh buat, tidak berhak membentuk fraksi (Bung Ger dan Bung Han, sorri ya!). Terkecuali jika keduanya bergabung atau bergabung dengan parpol lain. Bergabung itu bukan melebur!
4. Disipilin Fraksi:
4.1. Umumnya, trustee berdisiplin fraksi rendah; sedangkan delegate sebaliknya. 4.2. Dalam penelitiannya terhadap 31 negara
17, Kailitz menemukan, secara umum,
disiplin/kekompakan fraksi dalam sistem parlementerisme itu tinggi, sedangkan dalam sistem presidensialisme rendah rendah
18.
Dalam hal pengaruh sistem pemilu, kekompakan fraksi dalam sistem parlementerisme yang tak mengenal persaingan antar kandidat (misalnya lewat proporsional daftar tertutup/tetap) itu sangat tinggi. Sebaliknya, kekompakan fraksi dalam sistem presidensialisme yang mengenal persaingan antar kandidat (misalnya lewat proporsional daftar terbuka atau sistem mayoritas alias distrik) sangat lemah
19.
Dalam sistem presidensialisme itu sendiri, kekompakan fraksi berbeda-beda. Umumnya tergantung pada hak monopol pimpinan partai menetapkan kandidat. Di dalam sistem presidensialisme yang mengenal pemilihan calon legislator lewat persaingan dalam tubuh partai (demokrasi internal) seperti di AS, kekompakan fraksi sangat rendah. Sebaliknya, dalam sistem presidensialisme yang tidak mengenal pemilihan calon legislator lewat persaingan dalam tubuh partai, kekompakan fraksi sangat tinggi. Dalam sistem kepartaian yang lemah dengan disiplin partai dan fraksi rendah macam di Brazil ada jalan pintas buat pemerintah agar memperoleh dukungan mayoritas parlemen. Agar pemerintah memperoleh dukungan parlemen, maka jalan pintasnya ya membeli para legislator: Waktu kepresidenan Lula meletus satu skandal. Bos
17
Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und
Praesidentialismus―, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 302 18
Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und
Praesidentialismus―, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 293, 318 19
Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und
Praesidentialismus―, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 311
21
kabinet dan orang terkuat di pemerintahannya, José Dirceu, ternyata dengan dana gila-gilan telah ngenazaruddin dengan membeli para kutu loncat partai lain dan mengucurkan dana kepada partai-partai dan legislator-legislator parlemen
20.
Di Rusia, ampai tahun 2003, Rusia menerapkan sistem campuran: separoh dari 450 kursi DUMA (DPR Rusia), diperebutkan lewat sistem proporsional daftar tertutup/tetap (daftar partai)
21dan sisanya lewat sistem mayoritan. Dari sistem
mayoritannya, 8 persen legislator independen (Trustee) duduk di Duma 1994-1995, 16 persen legislator inndependen (Trustee) duduk di Duma 1996-1999 dan 4 persen legislator independen (Trustee) duduk di Duma 2000-2003
22.
Dalam pemilu DUMA 2007, sistem pemilunya diganti menjadi sistem proporsional daftar tertutup/tetap (daftar partai). Soalnya, dari sistem mayoritan, lahir legislator-legislator independen (Trustee) yang memiliki sumber dana kuat. Begitu legislator ini masuk ke Duma, legislator-legislator ini masuk ke salah satu fraksi partai. Tapi, kedudukannya di fraksi berbeda dengan Delegate, yaitu legislator yang meraup mandat lewat daftar partai (daftar tertutup/tetap). Lewat dananya yang kuat pula, legislator independen (Trustee) ini memperoleh keistimewaan yaitu semacam otonomi tersendiri, lepas dari jangkauan pimpinan partai yang dia masuki. Akibatnya, disiplin fraksi di parlemen melemah
23
Kehadiran legislator-legislator independen (Trustee) itu menimbulkan masalah baru, yaitu instabilitas politik dalam DUMA 1994-1995
24. Presiden Jelzin misalnya,
kesulitan memerintah oleh karena mayoritas parlemen tidak jelas. Fluktuasi antar fraksi sangat tinggi dengan kekaburan identifikasi partai para legislator tersebut
25.
Akibat sistem mayoritan dalam sistem pemilu campuran (hybrida) itu, tidak diherankan jika DUMA kemasukan tokoh-tokoh beken seperti seniman dan mantan olahragawan. Tentu saja, dengan dihapusnya sistem mayoritan itu, tak sedikit tokoh-tokoh beken seperti juara olimpiade tari es berulangkali Irina Rodnina atau pemain hockey es yang legendaris, Wladislaw Tretjak,pada berbondong-bondong masuk ke partai pemerintah, Jedinaja Rossija (Rusia Bersatu atau Persatuan Rusia)
26.
20
Wilhelm Hofmeister, Brasilien seit mehr als 100 Tagen im Bann der politischen Krise –
und kein Ende in Sicht, Focus Brasilien, Nr. 7 / 2005 – 23. August 2005, hal 1,
http://www.kas.de/wf/doc/kas_7083-1522-1-30.pdf?091015105645 21
Istilah daftar tertutup di Indonesia berasal dari bahasa Inggeris closed list. Di Jerman namanya starre Liste
atau daftar tetap. Penggunaan istilah daftar tertutup itu tidak menguntungkan. Sebab daftar tertutup di Indonesia
dipahami sebagai memilih kucing dalam karung, sebab yang dicoblos hanya gambar partai. Sementara itu, di
Jerman, di dalam kertas suara, selain nama partai, di bawahnya tertera nama calon legislatornya secara
berurutan. Dan jika nama partai itu dicoblos, maka terpilihlah caleg-caleg secara berurutan berdasarkan nomor
sesuai dengan persentase perolehan partai. Jadi, nama-nama caleg itu terbuka, hanya saja urutannya tetap, tidak
bisa dirubah-rubah. 22
Silvia von Steinsdorff, Die russische Staatsduma, Russlandanalysen 3/2003, hal. 4, http://www.laender-
analysen.de/russland/pdf/Russlandanalysen003.pdf 23
Grigorii V. Golosov, St. Petersburg, Die Novellierung von Partei- und Wahlgesetz in ihren Folgen fuer das
russische Parteiensystem. russlandanalysen 53/05, hal. 3, http://www.laender-
analysen.de/russland/pdf/Russlandanalysen053.pdf 24
Dieter Nohlen & Mirjana Kasapovic, Wahlsysteme und Systemwechsel in Osteuropa, Leske und Budrich,
Opladen 1996, hal. 78-79 25
Margareta Mommsen, Russlands politisches Systems des „Superpraesidentialismus― dalam Hans-Hermann
Hoehmann & Hans-henning Schroeder (Hrsg.), Russland unter neuer Führung, Bundeszentrale fuer politische
Bildung, Krips B.V. Meppel/NL 2001, hal. 49 26
Angelika Nußberger und Dmitry Marenkov, Wahlgesetz als Steuerungsmechanismus: Zu den neuen
rechtlichen Grundlagen der Duma-Wahlen im Dezember 2007, russlandanalysen Nr. 146, 26.10.2007, hal. 2,
http://www.laender-analysen.de/russland/pdf/Russlandanalysen146.pdf
22
Alexander Weschnjakow, Ketua KPU Rusia, mengatakan, perubahan sistem campuran ke sistem proporsional daftar tetap/tertutup di Rusia dimaksudkan buat memperkuat pembanguan sistem kepartaian. Wladimir Schirinowski, wakil ketua Duma (DPR) Rusia menyatakan, bahwa penghapusan sistem mayoritan dalam sistem campuran itu dimaksudkan buat menumpas korupsi. Dalam prakteknya katanya, dalam satu daerah pemilihan ongkosnya bisa mencapai setengah juta Dolar AS. Ini jelas membuat perbedaan kesempatan para kontestan. Katanya juga, legislator-legislator independen itu tidak jelas tujuan politiknya
27.
Kekompakan fraksi atau fraksi koalisi itu diukur lewat Rice-Index
28
untuk Fraksi i dalam voting j. Nilainya antara 0 s/d 100 atau 0 s/d 1. Interpretasinya: 0 berarti, 50 persen anggota fraksi setuju dan 50 persen sisanya tidak setuju. Jadi, fraksinya total terpecah. 100 atau 1 berarti fraksinya. Selain angka 0, maka penggolongan angka-angkanya sebagai berikut:
Rice Indeks Tingkat Disipilin/Kekompakan Fraksi
100-91 Sangat Tinggi/Langitan
90-81 Tinggi
80-61 Rendah
60-41 Sangat Rendah/Tiarap
di bawah 40 Tidak kompak/Ambrul-adul (Steffen Kailitz, „Ein Unterschied wie Tag und Nacht? – Fraktionsgeschlossenheit in Parlamentarismus und Praesidentialismus“, Zeitschrift fuer Politikwissenschaft Tahun ke 18, 2008, Nr. 3, hal. 306). Contoh kekompakan fraksi koalisi misalnya bisa ditengok kekompakan fraksi partai koalisi pendukung Susilo Bambang Yudoyono dalam kasus Kenaikan Harga BBM. Untuk mudahnya, hitungannya tanggal 30 Maret 2012 pas Golkar dan PKS menolak:
Parpol Pemerintah Kursi di DPR Koalisian % Akur BBM naik % Ogah BBM naik
GOLKAR 106 25,06%
DEMOKRAT 148 34,99%
PAN 46 10,87%
PKB 28 6,62%
PPP 38 8,98%
PKS 57 13,48%
JUMLAH 423 61,47% 38,53%
RICE-INDEX | %AKUR-%OGAH| 22,93% (Sumber: Golkar dan PKS Tolak Kenaikan Harga BBM, Kompas 30 Maret 2012; Manuver PKS Bikin Galau Koalisi, Gatra 11 April 2012, hal. 12-16)
27
Experten kommentieren geplante Abschaffung direkter Parlamentsmandate, russland.ru, 11. Nov. 2004,
http://russland.ru/rupol0010/morenews.php?iditem=2724 28
Erik Fritzsche. „Der Rice-Index, seine Varianten und andere Indizes zur Verdichtung des
Informationsgehaltes der Daten namentlicher Abstimmungen―. Oktober 2007, hal. 1. RICE-INDEX dinilai
tidak memuaskan. ―This index is not ideal, as it ignores abstentions and absences, but it probably provides a
good rank ordering, which in the narrow .6 to 1.0 range use here cannot be far off‖ (Michael Coppedge, „Party
Systems, Governability, and the Quality of Democracy in Latin America‖, Kellogg Institute, Hesburgh Center,
University of Notre Dame, June 7-8, 2001, hal. 8). Namun demikian, RICE-Index membantu buat menyimaki
disiplin fraksi, apalagi jika posisinya hanya pro dan kontra.
RICE ij = |%Akur - %Ogah|
23
Berdasarkan RICE-Index, kekompakan fraksi pemerentah SBY yang cuma 22,93% itu tergolong „ambrul-adul―. 4.3. Disiplin Fraksi atau Fraksi Koalisi yang tergantung pada ―tumbal‖ sistem presidensialisme itu sendiri.
Menurut Octavio Amorim Neto disiplin fraksi tergantung juga pada Cabinet
Coalescence Rate:
29
Mi= % menteri-menteri parpol i yang duduk di kabinet (Pos Kabinet)
Si= % kursi parpol i (parpol menteri) yang tergabung dalam koalisi (Kursi Koalisi)
Cabinet Coalescence Rate itu sama dengan 0 (nol). Artinya, pembagian pos jabatan
kabinet tidak proporsional dengan kekuatan koalisi di parlemen.
Yang disebut independen itu non-partisan. Jadi, kalau ada Jendral ikutan, oleh
Octavio Amorim Neto dikandangkan ke dalam independen 30
.
Berangkat dari kasus Brazil, Octavio Amorim Neto berkesimpulan 31
:
(a) Semakin tinggi Cabinet Coalescence Rate atau The more coalescent the cabinet, makin tinggi pula tingkat kedisiplinan legislator parpol yang bergabung dalam kabinet dalam pemungutan suara.
(b) Menjelang berakhirnya masa kepresidenan, semakin rendah pula disiplin koalisi dalam pemungutan suara. Artinya, pada awal-awal pemerintahan, disiplin koalisi tinggi.
(c) Semakin lebar kesenjangan ideologi dalam kabinet, semakin rendah pula disipilin koalisi dalam pemungutan suara.
(d) Semakin bagus satu parpol terepresentasikan dalam tubuh kabinet, semakin tinggi pula dukungannya terhadap presiden dalam pemungutan suara
32.
(e) Semakin lebar kesenjangan ideologi satu parpol dengan presiden, semakin rendah pula dukungan parpol itu dalam pemungutan suara.
Dari formula di atas, kita dapat bandingkan dengan Kabinet Indonesia Bersepatu bentukan Oktober 2009.
29
Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, DISCIPLINE IN BRAZIL,
Rio de Janeiro Graduate Research Institute, MARCH 2000, hal. 5 30
Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, DISCIPLINE IN BRAZIL,
Rio de Janeiro Graduate Research Institute, MARCH 2000, hal. 6 31
Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, DISCIPLINE IN BRAZIL,
Rio de Janeiro Graduate Research Institute, MARCH 2000, hal. 13-14, 16-17 32
Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, DISCIPLINE IN BRAZIL,
Rio de Janeiro Graduate Research Institute, MARCH 2000, hal. 16
24
KABINET INDONESIA BERSEPATU (Oktober
2009)
Parpol DPR
Kursi di DPR
Koalisian
Pos Jabatan
Kabinet
%Kursi
DPR
%Pos
Kabinet |%Kursi-%PosKabinet|
PAN 46 3 10,87% 14,29% 3,41%
GOLKAR 106 4 25,06% 19,05% 6,01%
DEMOKRAT 148 6 34,99% 28,57% 6,42%
PKB 28 2 6,62% 9,52% 2,90%
PPP 38 2 8,98% 9,52% 0,54%
PKS 57 4 13,48% 19,05% 5,57%
Non-Partisan 0 13 0,00% 61,90% 61,90%
JUMLAH 423 34 1,00 ∑ 86,76%
kali 1/2 43,38%
Cabinet Coalescence Rate 1 - 0,5* ∑ |%Kursi-%PosKabinet| 56,62%
(sumber: rangkuman dari “Inilah 34 Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II & Catatannya”,
Oktober 21, 2009, http://nusantaranews.wordpress.com/2009/10/21/inilah-menteri-kabinet-
indonesia-bersatu-ii-catatannya/)
Cabinet Coalescence Rate Kabinet Indonesia Bersepatu 1 itu 0,57 atau tidak
mencerminkan kekuatan partai di DPR.
Kembali ke Brazil: jadi presiden-presiden Brazil itu setel berkuasanya ada yang acuh ama parlemen (dan tak selamat), ada yang berdamai lewat pengangkatan menteri-menteri dari parpol yang ada di dalam parlemen.
Dari hasil penghitungan, Octavio Amorim Neto menyimpulkan dari pengamatannya terhadap 57 presiden di 10 negara-negara presidensialisme Amerika Latin antara taon 1946-1995, bahwa tingginya Cabinet Coalescence Rate kayak jaman Cardoso itu punyak ―fungsi positif‖ terhadap ―size of the president‘s party‖ dan untuk Amerika Latin ―a negative function of whether the constitution grants the president the power to issue decree laws‖ alias karna harus berkompromi Presiden tidak seenaknya nurunkan dekrit
33.
Kita pusatkan saja pada fungsi positifnya. Jadi, dengan tingginya Cabinet Coalescence Rate, Presiden bisa menyederhanakan sistem kepartaian dalam parlemen.
5. Pembentukan Komisi Sebagai Cara Penciptaan Multikepartaian Sederhana
5.1. Kekuatan Fraksi Yang Tidak Jelas di DPR: Lantaran cara penghitungan perolehan kursi DPR itu melalui metoda kuota Hare/Hamilton dengan suara sisa terbanyak, maka cara ini pun selayaknya juga dipakai untuk menentukan susunan dan keanggotaan setiap Komisi DPR. Namun, kenyataannya tidak demikian. Tengok misalnya Komisi VII DPR yang beranggotakan 45 orang
34 itu:
33
Octavio Amorim Neto, PRESIDENTIAL CABINETS, ELECTORAL CYCLES, DISCIPLINE IN BRAZIL,
Rio de Janeiro Graduate Research Institute, MARCH 2000, hal. 8 34
http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-VIII
25
No. Fraksi Kursi DPR
% SEHARUSNYA REALITASNYA
1 FPD 148 26,4 11,88 12 13
2 FPG 106 18,92 8,51 8 7
3 FPDI-P 94 16,78 7,55 8 8 4 FPKS 57 10,17 4,58 5 5 5 FPAN 46 8,21 3,69 4 3 6 FPPP 38 6,78 3,05 3 3 7 FPKB 28 5 2,25 2 3
8 F-GERINDRA 26 4,64 2,09 2 2
9 F-HANURA 17 3,04 1,37 1 1 Total 560 100
45 45
Menariknya, dalam Komisi VIII yang beranggotakan 45 orang sebagai misal, Hanura dengan 1 (satu) legislatornya harus menangani 3 (tiga) ruang lingkup kerja atau 3 (tiga) Kementerian dan 3 (tiga) lembaga negara
35. Sungguh superman sang legislator
Hanura ini! Selain itu, Fraksi Demokrat seharusnya hanya berhak mengirimkan 12 orang wakil. Namun pada kenyataannya 13 legislator. Begitu juga FPKB, dari dua menjadi 3 wakil. Di pihak lain, fraksi-fraksi tertentu mengisi keanggotaan fraksi kurang dari jatahnya seperti FPG dan FPAN. Hal yang serupa terjadi dalam komisi-komisi yang beranggotakan 48
36 orang
No. Fraksi Kursi DPR
% SEHARU-SNYA
Realitas KOMISI I
Realitas KOMISI VII
Realitas KOMISI XI
1 FPD 148 26,4 12,67 13 13 11 12 2 FPG 106 18,92 9,08 9 10 10 10 3 FPDI-P 94 16,78 8,05 8 9 8 8 4 FPKS 57 10,17 4,88 5 6 4 5 5 FPAN 46 8,21 3,94 4 3 4 4 6 FPPP 38 6,78 3,25 3 2 4 3
7 FPKB 28 5 2,40 2 2 3 2
8 F-GERINDRA 26 4,64 2,23 2 2 2 2
9 F-HANURA 17 3,04 1,46 2 1 2 2
Total 560 100
48 48 48 48
35
http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-VIII 36
http://www.dpr.go.id/id/komisi
26
Atau dalam komisi-komisi yang beranggotakan 50 37
orang:
REALITAS KEANGGOTAAN
No. Fraksi Kursi DPR
% SEHARUSNYA KOMISI II
KOMISI III
KOMISI IV
1 FPD 148 26,4 12,67 13 15 14 12 2 FPG 106 18,92 9,08 10 9 10 10 3 FPDI-P 94 16,78 8,05 8 8 7 9 4 FPKS 57 10,17 4,88 5 5 5 4 5 FPAN 46 8,21 3,94 4 4 4 5 6 FPPP 38 6,78 3,25 3 3 4 4 7 FPKB 28 5 2,40 3 2 2 3
8 F-GERINDRA 26 4,64 2,23 2 2 2 2
9 F-HANURA 17 3,04 1,46 2 2 2 1 Total 560 100 50 50 50 50
Tidak menggunakan jatah sepenuhnya seperti FPD dalam Komisi IV yang beranggotan 50 itu (jatah 13, diisi hanya 12) masih tergolong lumrah. Namun mengisi kursi lebih dari jatah yang seharusnya, merupakan satu keanehan. Terkecuali jika terjalin koalisi resmi, misalnya fraksi pemerintah. Di antara anggota-anggota fraksi ini biasanya bisa saling tukar-menukar sesuai kesepakatan. Namun, fraksi pemerintah tidak pernah terdengar. Jika fraksi pemerintah itu tokh ada, maka kasus 30 Maret 2012 tentang BBM tidak mungkin terjadi. Atau, fraksi tersebut memang ada, hanya kekompakan fraksi lemah. 5.2. Jumlah Komisi Lebih Dari Jumlah Kementerian (kasus Jerman) Atau Setara Dengan Jumlah Kementerian: Untuk, setiap ruang lingkup kerja, terdapat satu Komisi. Untuk kasus Jerman, di sanalah setiap Legislator yang memenuhi syarat mengerjakan bagian dari politik. Misalnya menyiapkan rancangan UU sebelum disahkan di pleno. Di sana juga, fraksi-fraksi yang berkepentingan menyiapkan pembentukan mayoritas terhadap RUU tersebut. Dalam masa kerja periode ke 17, Bundestag (DPR Jerman) memiliki 22 Komisi dengan 22 ruang lingkup kerja Ke 22 Komisi ini berhadapan dengan 14 Kementerian (Catatan: di Jerman tidak dikenal Kementerian Koordinator). Hanya komisi-komisi tertentu, memiliki Subkomisi. Misalnya Komisi Urusan Luar Negeri dengan 4 Subkomisi. . Berbeda dengan alat-alat kelengkapan lainnya atau misalnya Komisi Penengah, Komisi Bersama, Komisi Penyelidikan, susunan dan keanggotaan ke 22 komisi DPR ini berdasarkan perimbangan dan pemerataan kekuatan fraksi di DPR
38.
Sebaliknya, di DPR Indonesia terdapat 11 komisi dan badan-badan kelengkapan. Susunan dan keanggotaan komisi ditetapkan oleh DPR dalam Rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang. 11 Komisi DPR ini harus mengerjakan 46 ruang lingkup kerja
39. Sedangkan jumlah
kementerian di Indonesia ada 31 (tanpa Kementerian Koordinator) 40
.
37
http://www.dpr.go.id/id/komisi 38
Bundestag, Staendige Ausschuesse, http://www.bundestag.de/bundestag/ausschuesse17/index.html 39
DPR, Komisi, http://www.dpr.go.id/id/komisi 40
Kementerian Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Kementerian_Indonesia
27
Artinya 1 komisi DPR harus menangani rata-rata 4 ruang lingkup kerja atau 3 kementerian -- dan belum badan/lembaga negara lainnya. Artinya, jumlah komisi di Indonesia lebih rendah ketimbang jumlah ruang lingkup kerja atau kementerian. Di Chile pada tahun 2002, terdapat 17 kementerian dan di DPR ada 18 komisi serta di Senat ada 19 komisi. 14 Ketua Komisi DPR dan 10 Ketua Komisi di Senat dipegang oleh kubu Concertación yang terdiri dari PDC, PPD, PS dan PRSD. Di DPR, 6 Ketua Komisi dipegang leh PDC, 4 oleh PPD, 3 oleh PS dan 1 oleh PSRD. Adapun anggota2 Komisi ditentukan berdasarkan kekuatan di DPR dan Senat parpol secara proporsional . Selaen itu, di sana ketua DPR-nya itu gantian, meskipun gak ada di SusDuknya. Aplosan antara koalisi pemerentah
41.
Argentina dan Meksiko berada di peringkat atas dalam soal jumlah komisi (38 dan 42). Memang, di Argentina dengan jumlah komisi yang mbludak itu, dimaksud buat memperbanyak pos jabatan politis seperti ketua dan wakil ketua komisi
42.
Negara Jumlah Komisi Masa Jabatan
Ditetapkan oleh
Argentina 38 2 tahun Pleno atau Ketua Parlemen
Bolivia 12 1 tahun Ketua Parlemen&Fraksi&Pleno
Brazil 16 tak ditetapkan Ketua Parlemen&Komisi Pengendalian
Chile 17 4 tahun Ketua Parlemen&Pleno
Ekuador 20 1 tahun Ketua Parlemen
Kolumbia 16 4 ahun Pleno
Meksiko 42 2 tahun Komisi Pengendalian&Pleno
Paraguay 22 1 tahun Pleno atau Ketua Parlemen
Peru 15 tak ditetapkan Ketua Parlemen&Fraksi&Pleno
Uruguay 15 tak ditetapkan Fraksi&Komisi Khusus
Venezuela 22 1 tahun Ketua Parlemen&Presidium
(Tabel dikutip dari: Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, „Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien Lateinamerkas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 97) Dari persandingan antara Jerman dan Indonesia itu, dapat disaksikan betapa tinggi beban yang harus dipikul seorang anggota dewan Indonesia itu. Maka, pantaslah jika pengambilan keputusan bertele-tele. Namun, bertele-telenya bukan akibat banyaknya parpol di DPR. Jadi tak ada urusannya dengan penerapan ambang batas parlemen (PT). 5.3 Pembentukan Komisi Berdasarkan Kekuatan Fraksi Lewat Cara Penghitungan Suara Pembentuk Mayoritas (Kasus DPRD di Jerman)
Memakai cara penghitungan suara pembentuk mayoritas parlemen lewat jurus divisor Jefferson/d Hondt. Contoh susunan anggota satu komisi di DPRD Jerman. Kasus ini terjadi pada tahun 2002 di DPRD Landsberg am Lech di provinsi Bavaria yang dipersengketakan di pengadilan Tata Usaha Negara Daerah Bavaria
43.
41
Ingrid Wehr, „Koalitionen im postautoritaeren Chile―, Lateinamerika Analysen 3, Oktober 2002, Hamburg:
IIK, hal. 142 42
Heinrich W. Krumwiede/Detlef Nolte, „Die Rolle der Parlamente in den Praesidialdemokratien
Lateinamerkas, Institut fuer Iberoamerika-Kunde, Hamburg 2000, hal. 96 43
Bayerischer Verwaltungsgerichtshof, fatwa nr. 4 BV 03.1159, 17. Maret 2004
28
Jumlah Parpol Yang Masuk ke DPRD 2002 Landsberg itu sebagai berikut: No Parpol Kursi 1 CSU 30 2 SPD 11 3 GAL 5 4 FW 5 5 UBV 4 6 BP 2 7 OeDP 2 8 FDP 1 JUMLAH 60
Di DPRD tersebut terdapat 6 komisi, dengan perincian sebagai berikut: Komisi Wilayah 12 anggota, Komisi Bantuan Sosial 12 anggota, Komisi Lingkungan Hidup 12 anggota, Komisi Bantuan Remaja 8 anggota, Komisi Pemeriksaan Anggaran 7 anggota dan Komisi Keuangan 7 orang. BP, OeDP dan FDP kemudian membentuk fraksi bersama, karena cara penghitungan suara yang dipakai adalah metoda divisor varian d`Hondt (di AS beken dengan nama Jefferson). Karena itu, untuk Komisi Wilayah yang berjumlah 12 anggota itu, pembagian kursinya tersusun sebagai berikut: No. Parpol Kursi Komisi Wilayah 1 CSU 7 2 SPD 2 3 GAL 1 4 FW 1 5 BP/OeDP/FDP 1 6 UBV - JUMLAH 12
Parpol UBV tidak memperoleh kursi. Dan sialnya, di setiap komisi, nasib UBV sama
KOMISI Jumlah kursi Komisi CSU SPD GAL FW BP/OeDP/FDP
Komisi Wilayah 12 7 2 1 1 1 Komisi Bantuan Sosial 12 7 2 1 1 1 Komisi Lingkungan Hidup 12 7 2 1 1 1 Komisi Bantuan Remaja 7 5 2 Komisi Pemeriksaan Anggaran
6 5 1
Komisi Keuangan 6 5 1 JUMLAH 36 10 3 3 3
\ Kita saksikan, CSU yang hanya memiliki 30 kursi di DPRD, berhak menduduki 36 kursi di seluruh komisi; SPD yang memiliki 11 kursi di DPRD itu hanya diperbolehkan mengisi 10 pos komisi; GAL dan FW, masing-masing dengan 5 anggota DPRD hanya boleh mengisi masing-masing 3 kursi komisi. Sedangkan Fraksi BP/OeDP/FDP yang totalnya memiliki 5 anggota DPRD mendapatkan jatah 6 kursi komisi. Dalam komisi yang beranggotakan 7 orang, parpol-parpol gurem bahkan pada berguguran. Kita melihat bahwa dalam komisi terjadi penyederhanaan sistem kepartaian.
29
6. Cara pengambilan keputusan
Sistem multi partai yang ada saat ini, cenderung memperlemah tata kelola pemerintahan, serta mempersulit dicapainya konsensus, baik di antara partai-partai maupun antara parlemen dan pemerintah (Dalam Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 tentang Persyaratan Ambang Batas Perolehan Suara Dalam Pemilihan Umum Legislatif, hal. 111) Lha kalau namanya konsensus, ya bertele-tele lumrah-lumrah saja. Kalau konsensus yang hendak digunakan, berarti Indonesia memilih demokrasi konkordans/konsensual dan bukan demokrasi persaingan/mayoritan. Jika begitu, ya harus tekun dan sabar. Barangkali kita mesti belajar dari Swis.
7. Kemandirian Birokrasi DPR
Di Jerman sana, unsur penunjang Bundestag (DPR) namanya Bundestagsverwaltung alias adminstrasi (negara) DPR (setara dengan Sekretariat Jenderal DPR. Pimpinannya disebut Direktor, diangkat dan dicopot oleh Ketua DPR dan langsung berada di bawahnya. Direktor ini setara dengan Sekretaris Negara dalam Kementerian-Kementerian Jerman (kalau di Indonesia barangkali Deputi Menteri). Di dalam Sekretariat Jenderal DPR Jerman pegawai negeri sipil (termasuk polisi DPR) dan pegawai publik (Angestellte) serta pegawai honrer. Khususnya pegawai negeri sipil di Sekretariat Jenderal DPR Jerman, yang ngangkat ya Ketua DPR. Untuk pegawai publik, cukup sang Sekjen. Adapun sumpah setia pegawai negeri DPR Jerman, sama halnya dengan pegawai negeri lainnya, adalah taat dan setia kepada negara (UUD dan segenap UU yang berlaku). Ini juga berlaku bagi pegawai publik. DPR Jerman mengurus dirinya dalam hal Perincian dan perumusan tugas, fungsi dan susunan organisasi serta tata kerja Sekretariat Jenderal
44.
Alhasil, dalam tubuh legislatif Jerman, sama sekali tidak berbau eksekutif. Alias, pemisahan tegas antara eksekutif dan legislatif. Benar-benar checks and balances. Ini jelas berbeda dengan di Indonesia. Sekretariat Jenderal DPR-RI merupakan unsur penunjang DPR, yang berkedududukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Negara yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR. Sekretaris Jenderal diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPR. Sekretariat Jenderal DPR RI personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil. Susunan organisasi dan tata kerja Sekretaris Jenderal ditetapkan dengan keputusan Presiden. Sekretaris Jenderal dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal dan beberapa Deputi Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Pimpinan DPR
45.
Yang aneh, Sekretariat Jenderal DPR-RI itu aparatur pemerintah: "Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia adalah aparatur pemerintah yang di dalam menjalankan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Pimpinan DPR-RI"
46.
Dalam hal Perincian dan perumusan tugas, fungsi dan susunan organisasi serta tata kerja Sekretariat Jenderal DPR, ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal, setelah terlebih dahulu
44
Bundestag, http://www.bundestag.de/bundestag/verwaltung/index.html; Pasal 64 dan Pasal 129
Bundesbeamtengesetz (UU Pegawai Negeri Federal) 05.02.2009 dengan perubahan terakhir 15.03.2012) 45
Dewan Perwakilan Rakyat, http://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat 46
Pasal 1 Perpres RI No. 23 Tahun 2005 Tentang Sekretariat Jenderal DPR
30
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Negara yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara dan Menteri Negara Sekretaris Negara
47.
Bahwa Sekretariat Jenderal DPR-RI itu aparatur pemerintah dipertegas oleh asalnya Sekretariat Jenderal yang pegawai negeri sipil
48 dan pegawai negeri sipil itu unsur
aparatur Pemerintahan, harus setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah
49.
Alhasil, loyalitas pegawai negeri sipil DPR itu ya kepada eksekutif.
Pada Akhirnya: Penciptaan sistem presidensialisme yang kuat (apalagi dalam demokrasi konkordans/konsensual) , perlu pembahasan yang menyeluruh. Tidak parsial seperti sekarang: UU pemilu legislatif gonta ganti dan hanya terpusatkan pada penciptaan multikepartaian sederhana berdasarkan hitungan jari – tanpa memperkuat kewenangan presiden dan mengefektifkan DPR.
Tabik, Pipit Kartawidjaja Jakarta, 12 Oktober 2012
47
Pasal 28 Keputusan Presiden RI Nomor 23 Tahun 2005 tentang Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia 48
Pasal 393 ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD 49
UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian;
Pasal 3 ayat 3 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2010
TENTANG DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL
31
Bagaimana Sistem Pemilu
Jerman (Upaya Menghadirkan Alternatif Sistem Pemilu)
32
Bagaimana sistem pemilu DPR Jerman?
Contoh sistem Jerman yang paling komplit adalah pemilu resmi tahun 1994. Sebab hasil
pemilu 1994 bisa menjelaskan sistem pemilu Bundestag (DPR Jerman). Sistem kombinasinya
(orang Jerman bilang sistem personalisierte Verhaeltniswahl alias sistem proporsional nan
personal) mengalami perubahan dalam cara penghitungan suara.
Sebelum tahun 2009, cara penghitungan suaranya memakai metoda Hare/Hamilton Sisa
Suara Terbanyak (persis di tanah Nuswantoro).
Setelah diketemukannya paradoks „negatives Stimmgewicht― (alias „nilai suara negatif― atau
„nilai suara termehek-mehek― produk metoda kuota Hare/Hamilton Sisa Suara Terbanyak),
setelah tahun 2009 diganti oleh metoda divisor Sainte-Laguë/Schepers dengan divisor 1, 3, 5
dst. Kenapa kok ada embel-embel Schepers, ahli fisika Jerman? Oleh karena divisor Sainte-
Laguë itu tak lain adalah metoda kuota yang pendistribusian sisa suara dengan pembulatan ke
atas (Method of Major Fractions). Pendistribusain pembulatan ke atas ini dapat menyisakan
kursi. Dan jika hal ini terjadi, dilakukan penghitungan tahap kedua seperti yang Schepers
perlihatkan (Tentang hal ini lihat catatan di belakang).
1. Sistem Pemilu Kombinasi Jerman 1994
Jumlah anggota
DPR Jerman 1994 656 orang
Cara Pemilihan
328 orang
(disebut Suara
Pertama)
dipilih melalui sistem mayoritan sederhana single
district
328 orang
(disebut Suara
Kedua)
dipilih melalui sistem proporsional daftar tertutup/tetap
Jenis legislator Bisa asal partai Bisa independen (non-partisan)
Cara pemberian
suara seorang pemilih memiliki dua suara
Ambang Batas
Parlemen
5 persen Untuk proporsional daftar Tertutup/tetap
3 kandidat
Jika satu partai gagal menembus ambang batas parlemen,
tapi 2 calegnya terpilih, maka caleg itu boleh duduk di
parlemen, tapi gak berhak membikin fraksi.
Jika satu partai gagal menembus Ambang Batas
Parlemen, tapi 3 calegnya terpilih dalam sistem
mayoritan, maka partai tersebut berhak duduk di
parlemen beserta 3 calegnya. Tapi gak berhak
membentuk fraksi, sebab persyaratan pembentukan
fraksi itu minimal 5 persen
Cara Penghitungan
Suara
prinsip
proporsional untuk suara kedua (proporsional daftar
tertutup/tetap) dengan cara pendistribusian kursi 656 ke
masing-masing partai, baru kemudian ke partai-partai di
provinsi.
formula metoda kuota Hare/Hamilton Sisa Suara Terbanyak
02
33
2. Kertas suara sistem kombinasi Jerman pemilu 1998 (juga gak beda dengan yang 1994
dan yang aktual):
Turun ke arena
pemilu 25 partai.
Yang dicoblos adal
partai. Meski daftar
tertutup/closed list,
tapi nama-nama
caleg tercantumkan
secara berurutan.
Jadi istilah
mencoblos gambar
atau memilih
kucing dalam
karung itu salah
kaprah!! Yang
bener, mencoblos
caleg sarungan
Kertas suara di
dapil 99 kota
Muenster
Suara Pertama
Untuk milih
legislator
individual (bisa
caleg partai, bisa
independen).
Dalam kertas
suara pertama ini
yang nyalonin
hanya 11 caleg
34
3. Hasil pemilu Bundestag (DPR Jerman) 1994:
Dari 60.452.009 warganegara yang berhak memilih, 47.737.99 makhluk ada mencoblos.
Suara sah suara pertama tercatut 46.949.356, sedangkan suara sah suara kedua 47.105.174.
Dalam pemilu Bundestag 1994, terjun ke arena pemilu sebanyak 33 peserta pemilu (partai,
Waehlergruppe alias grup-grup pemilih dan calon independen). Tidak semua partai itu
berlaga di setiap negara bagian (setara provinsi). Contohnya Partai Uni Kristen Sosial CSU
yang hanya tampil di satu provinsi saja, yaitu di provinsi Bavaria. Partai Komunis Jerman
KPD hanya berlaga di dua provinsi, yaitu Berlin dan Thueringen. Begitu juga, calon
independen hanya tampil di beberapa provinsi seperti Berlin, Hamburg, Sachsen, Bavaria
atau Nordrhein-Westfalen.
No. PARTAI/KUBU
PEMILIH/INDEPENDEN
Suara Pertama
(Mayoritan)
Kedua (Prop.
Closed List)
Suara Sah % Suara Sah %
1
Sozialdemokratische Partei Deutschlands
(SPD)
17.966.813 38,3 17.140.354 36,4
2
Christlich Demokratische Union
Deutschlands (CDU)
17.473.325 37,2 16.089.960 34,2
3 Christlich-Soziale Union in Bayern (CSU) 3.657.627 7,27 3.427.196 7,3
4 Bündnis 90/Die Grünen (GRÜNE) 3.037.902 6,5 3.424.315 7,3
5 Freie Demokratische Partei (F.D.P.) 1.558.185 3,3 3.258.407 6,9
6
Partei des Demokratischen Sozialismus
(PDS)
1.920.420 4,1 2.066.176 4,4
7 Die Republikaner (REP) 787.757 1,7 875.239 1,9
8 Die Grauen – Graue Panther (GRAUE) 178.450 0,4 238.642 0,5
9 Ökologisch-Demokratische Partei (ÖDP) 200.138 0,4 183.715 0,4
10 Naturgesetz Partei (NATURGESETZ) 59.087 0,1 73.193 0,2
11
Partei Mensch Umwelt Tierschutz (Die
Tierschutzpartei)
– – 71.643 0,2
12 Partei Bibeltreuer Christen (PBC) 26.864 0,1 65.651 0,1
13 Statt Partei 7.927 0 63.354 0,1
14 Bayernpartei (BP) 3.324 0 42.491 0,1
15
Autofahrer- und Bürgerinteressenpartei
Deutschlands (APD)
1.654 0 21.533 0
16 Christliche Mitte (CM) 3.559 0 19.887 0
17
Partei der Arbeitswilligen und Sozial
Schwachen (PASS)
489 0 15.040 0
18
Marxistisch-Leninistische Partei
Deutschlands (MLPD)
4.932 0 10.038 0
19 Bürgerrechtsbewegung Solidarität (BüSo) 8.032 0 8.103 0
20 Christliche Liga (LIGA) 3.788 0 5.195 0
21 Deutsche Zentrumspartei (ZENTRUM) 1.489 0 3.757 0
22 Bund Sozialistischer Arbeiter (BSA) 1.285 0
23 Freie Bürger Union (FBU) 8.193 0
24 Deutsche Soziale Union (DSU) 2.395 0
35
25 Deutsche Kommunistische Partei (DKP) 693 0
26 Deutsche Volkspartei (DVP) 606 0
27
Freisoziale Union – Demokratische Mitte
(FSU)
467 0
28
Kommunistische Partei Deutschlands
(KPD)
426 0
29 Unabhängige Arbeiter-Partei (UAP) 302 0
30 Liberale Demokraten (LD) 221 0
31 Bund für Gesamtdeutschland (BGD) 107 0
32 Die Demokraten (DEMOKRATEN) 104 0
33
Wählergruppen/Einzelbewerber (Kubu
Pemilih/Independen) 8 0,1
Total 46.915.284 47.105.174
4. Lantas bagaimana ngitungnya?
Tahap pertama:
Syaratnya harus lolos ambang batas parlemen 5 persen atau jika perolehan suara partai
hendak disertakan dalam hitungan, maka partai harus berhasil meloloskan 3 kandidat
langsung dalam sistem mayoritan.
Dari 33 partai peserta pemilu (partai, Waehlergruppe alias grup-grup pemilih dan calon
independen), lolos ambang batas parlemen 5 persen hanya lima partai. Yaitu: Partai Sosdem
SPD, Partai Uni Kristen Demokrat CDU, Partai Uni Kristen Sosial CSU, Partai Hijau
Bundnis 90/Die Gruenen dan Partai Libral FDP.
Namun gara-gara partai Demokrasi Sosialisme PDS yang berbasiskan di mantan Jerman
Timur merebut langsung 4 kursi dalam sistem mayoritan (suara pertama), maka PDS yang
total hanya meraup 4,4 persen suara (ambang batas parlemen 5 persen) diikutkan ke dalam
pendistribusian kursi DPR yang proporsional daftar tertutup/tetap (Catatan: kalau pakai data
pemilu aktual yaitu 2013, gak ada parpol di bawah 5 persen tapi 3 kandidatnya merebut
mandat langsung dalam sistem mayoritannya)
Tahap kedua:
Mula-mula yang dihitung adalah persentase suara proporsional closed list (suara kedua) dari
total kursi Bundestag, yaitu 656 (bukan 328! – hal yang yang membedakannya dengan sistem
kombinasi jenis paralel seperti di Jepang atau pernah diterapkan di Rusia). Dasar filsafatnya
gampang: menjaga asas proporsionalitas, maka amatlah proporsional jika satu partai
memperoleh kursi setara yang suara yang diraupnya.
36
Karena itu, distribusi kursi berdasarkan proporsional closed sbb:
No. PARTAI
Suara Kedua (Prop. Closed List)
Suara Sah Kuota
Kursi Kuota Kursi
1
Sozialdemokratische Partei Deutschlands
(SPD)
17.140.354 247,63 248
2
Christlich Demokratische Union
Deutschlands (CDU)
16.089.960 232,46 232
3 Christlich-Soziale Union in Bayern (CSU) 3.427.196 49,51 50
4 Bündnis 90/Die Grünen (GRÜNE) 3.424.315 49,47 49
5 Freie Demokratische Partei (F.D.P.) 3.258.407 47,08 47
6
Partei des Demokratischen Sozialismus
(PDS)
2.066.176 29,85 30
Total 45.406.408 656
Oleh sebab partai Demokrasi Sosialisme PDS hanya bisa mengirimkan 30 legislator, maka
partai PDS tidak berhak membentuk fraksi di Bundestag. Syarat pembentukan fraksi
samadengan 5 persen. Dengan cara ini, maka dalam parlemen, dapat dibikin penyederhanaan
sistem kepartaian
Tahap Ketiga: Setelah diketahui perolehan kursi secara nasional itu, barulah kursi dibagikan
ke setiap provinsi. Contoh Partai Sosdem SPD yang secara nasional meraup 17.140.354 suara
dan 248 kursi.
PEROLEHAN SUARA PARTAI SOSIALDEMOKRAT SPD BERDASARKAN PROVINSI
Total Suara 17.140.354, Total Kursi 248
No. PROVINSI Suara Kedua (Prop. Closed List)
Suara Sah Kuota Kursi Kursi
1 Baden-Württemberg 1.742.592 (1.742.592/17.140.354) x 248 =
25,2131791443747 25
2 Bavaria 1.983.979 28,7058 29
3 Berlin 663.081 9,5940 9
4 Brandenburg 617.362 8,9325 9
5 Bremen 179.311 2,5944 3
6 Hamburg 389.857 5,6408 6
7 Hessen 1.296.788 18,7629 19
8 Mecklenburg-Vorpommern 283.029 4,0951 4
9 Niedersachsen 1.938.321 28,0451 28
10 Nordrhein-Westfalen 4.534.820 65,6133 66
11 Rheinland-Pfalz 955.383 13,8232 14
12 Saarland 329.287 4,7644 5
13 Sachsen 621.620 8,9941 8
14 Sachsen-Anhalt 502.193 7,2661 7
15 Schleswig-Holstein 670.791 9,7055 10
16 Thüringen 431.940 6,2496 6
Total Suara Partai Sosdem 17.140.354 248
37
Pendistribusian kursi partai-partai lainnya ke provinsi dilakukan dengan cara yang sama.
Cara pendistribusian tanah Jerman, yaitu kursi provinsi tergantung pada perolehan suara itu
(tanpa kursi provinsi ditetapkan terlebih dahulu), memaksa partai buat bekerja keras
memobilisasi pemilih. Di tanah Nuswantoro umpamanya, suara sah di SUMUT I 36,07
persen tapi kursi boleh 10 alias 1.907.627 suara, sedangkan di MADURA (DAPIL XI
JATIM) suara sahnya mencapai 67,88 persen alias 2.621.413 suara tapi kursinya tetap 8 saja
atau di PAPUA suara sahnya mencapai 70,15 persen alias 2.963.280 suara tapi kursinya
cumak 10 doang –panteslah PAPUA mintak merdeka.
Tahap keempat: Jika pendistribusian kursi ke setiap provinsi telah dilakukan, barulah peroleh
suara pertama produk sistem mayoritan ditengok dan disandingkan. Ambilah contoh provinsi
Brandenburg, yang dapil sistem mayoritannya ada 13 biji. Dari 13 dapil itu, caleg Partai
Sosdem SPD berhasil memenangkan 12 kursi secara langsung. Namun secara proporsional,
SPD provinsi Brandenburg hanya boleh memperoleh 9 kursi. Oleh sebab kandidat langsung
lebih dihormati, maka Partai Sosdem Provinsi Brandenburg berhak memperoleh 12 kursi.
Alhasil, kelebihan 3 kursi ini (12 minus 9) disebut sebagai Ueberhangsmandat alias mandat
surplus.
Dalam pemilu Bundestag 1994 tercatat 16 Mandat Surplus (12 ke Partai Uni Kristen
Demokrat, 4 ke Partai Sosdem). Akibatnya, kursi Bundestag naek dari 656 menjadi 672. Dan
kursi Bundestag pada prinsipnya selalu bisa naek, tapi gak mungkin berkurang.
Prinsip ini dipertahankan meski kursi Bundestag saat ini berjumlah 598 dan cara
penghitungan suaranya berubah.
5. Lalu apa yang membedakan sistem kombinasi Jerman dengan Jepang atau Rusia atau
Meksiko yang disebut sistem paralel? Ambilkan saja contoh dari kasus Jerman di atas dengan
segenap syarat ambang batas sama dan cara penghitungan secara nasional duluan.
Ngitungnya sendiri-sendiri. Jadi, untuk yang proporsional closed list, porsi suaranya
berdasarkan kursi closed list yang 328. Begitu pula yang mayoritan 328 itu. Lantas keduanya
dijumlahkan. Kalau disandingkan, hasilnya seperti bagan dibawah ini:
38
Sistem Kombinasi Jerman Sistem Paralel Jepang/Rusia/Meksiko
PARTAI Suara
Kedua
Kursi
secara prop
(suara
kedua)
Mandat
langsung dari
Mayoritan
(Suara Pertama)
Mandat
Surplus
Kursi
Total
Kursi secara
prop (suara
kedua)
Mandat
langsung dari
Mayoritan
(Suara
Pertama)
Kursi Total
Sosial Demokrat SPD 17.140.354 248 103 4 252 124 103 227
Uni Kristen Demokratik CDU 16.089.960 232 177 12 244 116 177 293
Uni Kristen Sosial CSU 3.427.196 50 44 50 25 44 69
Hijow (Bündnis 90/Die Grünen) 3.424.315 49 0 49 25 25
Libral FDP 3.258.407 47 0 47 23 23
Sosialisme Demokratik PDS 2.066.176 30 4 30 15 4 19
Total Jindralnya Jindral 45.406.408 656 328 672 328 328 656
Setahu saya, sistem kombinasi Jerman ini ditiru sama Selandia Baru.
Catatan: sistem paralel di Rusia cumak berlaku sampek
pemilu DUMA (DPR Rusia) 2003. 225 mayoritan dan
225 closed list Setelah itu sistem proporsional closed list.
Dan rencananya, mau ganti sistem paralel kembali
Di Meksiko: 300 mayoritan dan 200 prop. closed list
Jepang (sejak 1994): 300 mayoritan, 180 prop. closed
list.
39
6. Lantas mana yang lebih baik? Kalau ukuran ciamik dan jebloknya itu proporsionalitas, maka berdasarkan Indeks Disproporsionalitas
Galagher, sistem kombinasi Jerman lebih bagus ketimbang sistem kombinasi Jepang & Rusia (paralel). Galagher-Index sistem Jerman 0,69 %
jauh lebih kecil ketimbang Jepang/Rusia yang 8,19 %.
Formula Galagher Index (GHI) atau least squares index (LSq)
Sistem Kombinasi Jerman Sistem Paralel Jepang/Rusia/Meksiko
PARTAI Suara Kedua %Vote Kursi
Total %Seat
(%Vote-
%Seat) 2
Kursi
Total %Seat (%Vote-%Seat)
2
Sosial Demokrat SPD 17.140.354 37,75% 252 37,50% 0,0006% 227 34,60% 0,0989%
Uni Kristen Demokratik CDU 16.089.960 35,44% 244 36,31% 0,0076% 293 44,66% 0,8518%
Uni Kristen Sosial CSU 3.427.196 7,55% 50 7,44% 0,0001% 69 10,52% 0,0882%
Hijow (Bündnis 90/Die Grünen) 3.424.315 7,54% 49 7,29% 0,0006% 25 3,81% 0,1392%
Libral FDP 3.258.407 7,18% 47 6,99% 0,0003% 23 3,51% 0,1347%
Sosialisme Demokratik PDS 2.066.176 4,55% 30 4,46% 0,0001% 19 2,90% 0,0274%
Total Jindralnya Jindral 45.406.408 100,00
% 672 Ʃ 0,0094% 656 Ʃ 1,3401%
0,5 Ʃ 0,0047%
0,5 Ʃ 0,6701%
GHI=LSq 0,69% GHI=LSq 8,19%
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
40
7. Tentu saja jika tanah Nuswantoro mau niru sistem kombinasi, baik ala Jerman ataupun ala
Jepang/Rusia/Meksiko, maka kursi provinsi atau dapil bisa ditetapkan terlebih dahulu. Variannya juga
banyak. Umpamanya Jakarta yang berkusi 21 dengan 3 dapil. Bisa pendapilan model sekarang. Dapil
berkursi 6 dibagi 3 closed list dan 3 mayoritan dst. Bisa juga 11 mayoritan dengan 11 dapil (single
district) dan 10 satu dapil (dapil provinsi). Bedanya, single district itu lebih mengurangi korupsi
ketimbang dapil berkursi 3, 4, 5 dst. Sebab caleg tahu, peluangnya susah. Single district
memungkinkan lebih akuntabilitas. Dengan closed list satu dapil, jadinya ada dua macam legislator:
legislator dapil dan legislator provinsi (buat keterwakilan perempuan dan memperkuat sistem
kepartaian dan menyertakan caleg-caleg pinter yang gak populer). Yang saya paparkan ini cumak
gambaran umum saja, yang hendak mengilustrasikan, bahwa penerapan satu sistem pemilu di tanah
Nuswantoro itu mintaknya rakus.
Catatan Tentang Metoda Scheppers:
Diketahui: perolehan suara parpol (lihat tabel) dan jumlah kursi yang diperebutkan 8.
Langkah pertama: Dicari kuota sementara = 17.500/8 = 2.187,50
Parpol Suara Kuota Alokasi
Pertama
Sisa
Kursi
Kursi Final (Pembulatan Ke
atas)
A 10.000 10.000 ⁄2.187,50 = 4,57 4 0,57 5
B 6.000 6.000 ⁄ 2.187,50 = 2,74 2 0,74 3
C 1.500 1.500⁄ 2.187,50 = 0,69 0 0,69 1
Jumlah 6 9
Oleh sebab jumlah kursi (9) melebihi jumlah kursi yang diperebutkan, maka dicari kuota baru dengan
cara menaikkan divisor dari 2.187,50 menjadi 2.300
Langkah kedua:
Parpol Suara Kuota Alokasi
Pertama
Sisa
Kursi
Kursi Final (Pembulatan Ke
atas)
A 10.000 10.000 ⁄2.300 = 4,35 4 0,35 4
B 6.000 6.000 ⁄ 2.300 = 2,61 2 0,61 3
C 1.500 1.500⁄ 2.300 = 0,66 0 0,66 1
Jumlah 6 8
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
41
(Sumber: Der Bundeswahlleiter, „Einführung der Berechnungsmethode Sainte-Laguë/Schepers für die
Vertei-lung der Sitze bei Bundestags- und Europawahl―,
https://www.bundeswahlleiter.de/de/aktuelle_mitteilungen/downloads/Kurzdarst_Sitzzuteilung.pdf )
Metoda Schepers ini tak berbeda dengan metoda Webster, yang menghasilkan perolehan sama dengan
metoda divisor Sainte-Laguë.
Perbandingan dengan metoda divisor Sainte-Laguë
A B C
Suara 10.000 6.000 1.500
Divisor
1 10.000 6.000 1.500
3 3.333 2.000 500
5 2.000 1.200 300
7 1.429 857 214
9 1.111 667 167
Kursi 4 3 1
Pengetahuan bahwa metoda Schepers dan metoda Webster dengan metoda divisor Sainte-Laguë
itu sama, sangatlah penting. Alasan: di kalangan para pengusul cara penghitungan pengganti
cara penghitungan yang saat ini dipakai (metoda kuota Hare/Hamilton dengan sisa suara
terbanyak) beranggapan, bahwa yang menjadi persoalan dalam metoda yang dipakai saat ini
terletak pada sisa suara. Dan karenanya, guna menghindari persoalan sisa suara diusulkan
metoda divisor. Satu anggapan yang keliru.
Tabik,
Pipit R. Kartawidjaja
Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi
Berlin 26/7/2016, Selasa Pahing, hari yang suka membuat perkara, keberuntungannya jatuh
belakangan. Kalow mau duluan, sebaiknya bersesajen nasi uduk dang-dangan berlaukan ayam
dilembaran.
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
42
Cara Mengalokasikan Kursi
Parlemen
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
43
CARA MENGALOKASI KURSI PARLEMEN
Pipit Rochijat Kartawidjaja50
1. Metoda Kuota Hare/Hamilton Dengan Sisa Suara Terbanyak
Guna menghitung pengalokasian, baik kursi parlemen di dapil (daerah pemilihan) maupun perolehan
kursi partai di parlemen, di Indonesia digunakan metoda kuota Hare dengan sisa suara terbanyak
(Largest Remainder atau LR). Metoda ini juga disebut sebagai Largest remainder method. Penemunya
adalah Thomas Hare (1806-1891), pengacara, bekerja sebagai pimpinan sistem kesejahteraan kerajaan
Inggeris Raya. Tergugah oleh kepentingan massa, Hare menciptakan sistem representasi proporsional.
Sama dengan metoda Thomas Hare, setengah abad sebelumnya juga ditawarkan oleh Alexander
Hamilton (1755-1804), salah seorang Founding Vaters AS, Menteri Keuangan pertama di bawah
Presiden George Washington. Hanya saja, metoda Hamilton buat mengalokasi kursi United States
House of Representatives (DPR AS) diveto oleh Presiden George Washington.
Dalam buku-buku pustaka kepemiluan, yang selalu disebut adalah nama-nama penemu metoda
penghitungan suara/kursi yang berasal dari Eropa – dan bukan dari Amerika Serikat, yang
sesungguhnya mendahului Eropa 51
Karena metoda kuota Hare sama dengan metoda kuota Hamilton, maka saya menyebutnya sebagai
metoda kuota Hare/Hamilton.
Formula Metoda Kuota Largest Remainder (LR)52
Langkah pertama: menetapkan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) dengan cara membagi total suara
partai di dapil dengan total kursi dapil. Hasilnya dibulatkan.
BPP = V ∕ S V : Jumlah perolehan suara partai di satu dapil
S : Jumlah kursi di satu dapil
Langkah kedua: mencari perolehan kursi satu partai i di satu dapil. Caranya membagi perolehan suara
partai I tersebut dengan BPP. Sisa kursinya dibagikan kepada partai-partai yang mmeiliki sisa suara
terbanyak secara berurutan
50
Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD). Materi disampaikan sebagai bahan peningkatan kapasitas internal bagi Staf dan
CPNS Biro H2PI Badan Pengawas Pemilu. Selasa, 22 Maret 2016. 51
Friedrich Pukelsheim, Guru Besar Matematika pada Universitas Augsburg Jerman, ―Die drei in Deutschland verwendeten
Mandatszuteilungsmethoden und ihre Namenspatrone‖, http://www.math.uni-
augsburg.de/stochastik/pukelsheim/2002g.html 52
Dr. Martin Fehndrich, (Ahli Fisika yang bekerja pada Bagian Penelitian dari satu Perusahaan di Bochum, Jerman),
―Hare/Niemeyer‖, 01.09.2013, http://www.wahlrecht.de/verfahren/hare-niemeyer.html
03
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
44
Si = (Vi ∕ BPP) + LR Si kursi partai i
Vi perolehan suara partai i
Untuk alokasi kursi di satu dapil, perolehan suara partai dan perolehan kursi partai digantikan dengan
jumlah penduduk dan perolehan kursi di satu dapil.
2. IHWAL SISA SUARA TERBANYAK:
Simak Tabel tentang data penduduk dunia di bawah ini
PENDUDUK DUNIA 1975 53
BENUA Juta % Berdasar Pembulatan
(dalam %)
Berdasar Sisa Suara
Terbanyak
Asia tanpa Uni Soviet 2.295 57,289 57 57
Eropa dengan Uni Soviet 734 18,323 18 18
Amerika 540 13,480 13 14
Afrika 417 10,409 10 10
Australia, Oskania 20 0,499 0 1
JUMLAH 4.006 100,000 98 100
Tidak mencapai 100% Mencapai 100%
Lewat pembulatan, persentase tidak mencapai 100% (Kolom IV) seperti dalam Kolom III. Hal ini
berbeda, jika diterapkan cara Sisa Suara Terbanyak.
53
Klaus Kopfermann, Guru Besar Matematika Universitas Hannover (Jerman), "Mathematische Aspekte der
Wahlverfahren", Wissenschaftsverlag Mannheim/Wien/Zuerich, 1991, hal. 109
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
45
3. CONTOH CARA PENGHITUNGAN SUARA DAN KURSI PARTAI54
Dalam tahap pertama, hanya 5 (lima) kursi yang teralokasikan langsung keempat partai (PKB, PDIP,
GOLKAR dan GERINDRA), sebab perolehan suaranya melewati BPP (16.166). Karena itu, masih
tersisa 6 (enam) kursi. Pada tahapan ini ditemui sisa suara dari setiap partai.
Sisa suara jenis pertama adalah sisa suara keempat partai (PKB, PDIP, GOLKAR dan GERINDRA)
yang tidak habis terbagi oleh BPP, sedangkan sisa suara jenis kedua adalah sisa suara yang tidak
melampaui BPP (NASDEN, PKS, Demokrat, PAN, PPP, HANURA, PBB dan PKPI).
Kemudian dicari secara berurutan sisa suara terbanyak yang berhak memperoleh 6 (enam) sisa kursi.
Penerima sisa kursi adalah Demokrat, PDIP, GERINDRA, PKS, PPP dan PAN.
Kemudian kursi perolehan tahap pertama (melewati BPP) dan kursi perolehan tahap kedia (sisa suara
terbanyak) dijumlahkan dan hasilnya sbb: PKB (1), PKS (1), PDIP (3), GOLKAR (1), GERINDRA
(2), Demokrat (1), PAN (1), PPP (1)
54
KPU Kota Semarang, BUKU HASIL PEMILU LEGISLATIF 2014, BAB III: PROSES PEMILU ANGGOTA DPRD
KOTA SEMARANG, ttp://kpu-semarangkota.go.id/BUKU-HASIL-PEMILU-LEGISLATIF--2014
V = 177.829 S = 11 BPP = S ∕ V =177.829/11 = 16.166 SPKB = VPKB ∕BPP = 18.782 ∕16.166 PKB memperoleh 1 kursi dan bersisa suara 2.616 SPDIP = VPDIP ∕BPP = 45.586 ∕16.166 PDIP memperoleh 2 kursi dan bersisa suara a 13.354 Dan seterusnya
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
46
4. CONTOH CARA PENGHITUNGAN ALOKASI KURSI DPRD 2014-2019 KOTA
CILEGON 55
*)
Kursi dapil di satu wilayah dialokasikan dengan cara yang sama.
No DAERAH PEMILIHAN PEN-
DUDUK
JUMLAH
PDK
GABUNGAN
KURSI
I
SISA
SUARA
KURSI
II
KURSI
FINAL
1 DP KOTA CILEGON 1 Meliputi
Kecamatan:
90.651 8 2.579 8 1.1 CIBEBER 47.809
1.2 CILEGON 42.842
2 DP KOTA CILEGON 2 Meliputi
Kecamatan:
107.903 9 8.822 1 10 2.1 CIWANDAN 43.798
2.2 CITANGKIL 64.105
3 DP KOTA CILEGON 3 Meliputi
Kecamatan:
85.841 7 8.778 1 8 3.1 PULOMERAK 47.855
3.2 GEROGOL 37.986
4 DP KOTA CILEGON 4 Meliputi
Kecamatan:
100.919 9 1.838 9 4.1 JOMBANG 62.308
4.2 PURWAKARTA 38.611
J U M L A H PENDUDUK (V) 385.314 385.314 33 2 35
KURSI (S) 35 BPP = V/S = 385.314/35 = 11.009
55
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Lampiran II.11.72 No. 108/Kpts/KPU/TAHUN 2013, 9 MARET 2013
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
47
5. Metoda Proporsi Matematika Dengan Sisa Suara Terbanyak
Metoda kuota Hare atau Hare/Hamilton, juga kerap disebut dengan metoda Niemeyer atau Metoda
Proporsi Matematika. Horst Nemeyer (*1931- 2007) adalah guru besar matematika di Universitas
Teknik Aachen Jerman, Horst F. Niemeyer. Selain itu, Samuel F. Vinton (1806-1891), politisi
Amerika Serikat, dan George Pólya (1887–1985), pakar matematika dari Swis juga disebut sebagai
penggagas Metoda Proporsi Matematika56
.
FORMULANYA:
Karena BPP = V ∕ S, maka Si = (Vi ∕ BPP) + LR
= [Vi ∕ (V ∕ S)] + LR
= [(Vi ∕ V ) x S] + LR
56
Friedrich Pukelsheim, Guru Besar Matematika pada Universitas Augsburg Jerman, ―Die drei in Deutschland verwendeten
Mandatszuteilungsmethoden und ihre Namenspatrone‖, http://www.math.uni-
augsburg.de/stochastik/pukelsheim/2002g.html; Martin Fehndrich (Pakar Fisika) ―Hare/Niemeyer‖, 01.09.2013,
http://www.wahlrecht.de/verfahren/hare-niemeyer.html
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
48
CONTOH CARA PENGHITUNGAN SUARA DAN KURSI PARTAI DI KABUPATEN
TALIABU (PROVINSI MALUKU) PADA PEMILU LEGISLATIF 2014
Maka, tersusunlah tabel perolehan suara dan kursi partai politik sebagai berikut::
NO. PARPOL SUARA
SAH
KUOTA
KURSI KURSI I
SISA
SUARA
KURSI
II
KURSI
FINAL
1 NASDEM 2.459 1,73 1 0,73 1 2
2 PKB 126 0,09
0,09
3 PKS 991 0,70
0,70 1 1
4 PDIP 6.645 4,67 4 0,67 1 5
5 GOLKAR 9.690 6,80 6 0,80 1 7
6 GERINDRA 1.561 1,10 1 0,10
1
7 DEMOKRAT 2.304 1,62 1 0,62
1
8 PAN 1.104 0,78
0,78 1 1
9 PPP 161 0,11
0,11
10 HANURA 1.529 1,07 1 0,07
1
14 PBB 1.050 0,74
0,74 1 1
15 PKPI 865 0,61
0,61
TOTAL
SUARA 28.485 20,00 14
6 20
TOTAL
KURSI 20 Sisa Kursi 6
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
49
Menariknya, jumlah kursi di Kabupaten adalah 20 (duapuluh), yang berbeda dengan ketentuan
jumlah kursi maksimal 12 (duabelas) 57
.
6. CONTOH ALOKASI KURSI DPR 2014-2019 PROVINSI BANTEN
57
Menurut Pasal 27 ayat 2 UU No. 8 TAHUN 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD.
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
50
Jika berangkat dari data penduduk KPU tanggal 9 Maret 2013, maka terdapat perbedaan antara Alokasi
Kursi Anggota DPR 2014-2019 Provinsi Banten dengan alokasi ketetapan UU seperti yang dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini..
Jumlah Kursi di Dapil Banten bukan 6-6-10 seperti dalam Lampiran UU No. 8 TAHUN 2012 Tentang
Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD, melainkan 5-5-12.
Tentu saja, dapil berkursi 12 harus dipecah menjadi dua. Atau DAPIL Provinsi Banten tetap 3 DAPIL,
namun dengan alokasi kursi mesti disusun baru.
DAPIL ANGGOTA DPR 2014-2019 PROVINSI BANTEN
MENURUT
UU 58
* SEHARUSNYA
N
o DAERAH PEMILIHAN
JUMLAH
POPULAS
I 59
JUMLAH
POPULASI
GABUNGA
N
KURSI
KUOT
A
KURSI
KURSI
1 DAPIL BANTEN I Meliputi
Kab/Kota:
2.240.759 6 4,96 5 1.1 LEBAK 1.050.591
1.2 PANDEGLANG 1.190.168
2 DAPIL BANTEN II
Meliputi Kab/Kota:
2.357.567 6 5,22 5 2.1 KOTA CILEGON 385.314
2.2 KOTA SERANG 565.641
2.3 SERANG 1.406.612
3 DP BANTEN III Meliputi
Kab/Kota:
5.340.494 10 11,82 12 3.1 TANGERANG 2.484.641
3.2 KOTA TANGERANG 1.631.198
3.3 KOTA TANGERANG
SELATAN 1.224.655
JUMLAH POPULASI 9.938.820 9.938.820 22 22
JUMLAH KURSI 22
58
Menurut LAMPIRAN UU No. 8 TAHUN 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD. 59
Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum, 108/Kpts/KPU/TAHUN 2013, 9 MARET 2013
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
51
Dari contoh di atas, kita dapat menyaksikan, bahwa ketetapan dalam UU tidak sesuai dengan realitas
yang ada. Hal ini tentu berakibat pada perolehan kursi parpol.
Kita hitung saja perolehan kursi parpol di Dapil Banten I dan Dapil Banten II yang masing-masing
seharusnya berkursi 5 (lima). Untuk DAPIL Banten III sengaja tidak dihitung, sebab data perolehan
suara di masing-masing Kabupaten/Kota tidak diketahui, sehingga tidak memungkinkan penghitungan
perolehan kursi apabila DAPIL Banten III dipecah menjadi 2 (dua) Dapil
PEROLEHAN SUARA & KURSI PARPOL DI DAPIL PROVINSI BANTEN DALAM PILEG
2014 ANTARA HAIL PEMILU LEGISLATIF 2014 DENGAN JIKA KURSI DAPL
DIALOKASI ULANG
DAPIL BANTEN I (KURSI MENURUT UU dan KURSI JIKA ALOKASI ULANG)
Jika DAPIL Banten I berkursi 5 (lima), maka NASDEM tidak mendapatkan kursi
PARPOL SUARA*) KURSI KUOTA KURSI KURSI SELISIH
NASDEM 103.015 1 0,45 1
PKB 82.575 0,36
PKS 85.277 0,37
PDIP 174.580 1 0,76 1
GOLKAR 192.641 1 0,84 1
GERINDRA 141.161 1 0,62 1
DEMOKRAT 138.046 1 0,60 1
PAN 37.898 0,17
PPP 138.003 1 0,60 1
HANURA 50.402 0,22
SUARA SAH LOLOS
PT 1.143.598 6 5,00 5
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
52
DAPIL BANTEN II (KURSI MENURUT UU dan KURSI JIKA ALOKASI ULANG)
Jika DAPIL Banten II berkursi 5 (lima), maka PKS tidak mendapatkan kursi.
PARPOL SUARA 60
KURSI KUOTA KURSI KURSI SELISIH
NASDEM 73.425 0,35
PKB 73.477 0,35
PKS 91.247 1 0,44 1
PDIP 117.960 1 0,56 1
GOLKAR 148.768 1 0,71 1
GERINDRA 169.466 1 0,81 1
DEMOKRAT 76.324 0,37
PAN 130.641 1 0,62 1
PPP 105.439 1 0,50 1
HANURA 58.676 0,28
SUARA SAH LOLOS
PT 1.045.423 6 5,00 5
PROBLEM METODA KUOTA DENGAN SISA SUARA TERBANYAK:
Dalam tabel di bawah ini, tercatat perolehan suara partai A, B dan C masing-masing 52, 35 dan 13
untuk memperbutkan 5 kursi. Partai B dan C berkoalisi.
Hasil penghitunganj suara:
PARTAI SUARA % SUARA KUOTA
KURSI KURSI % KURSI
A 52 52% 2,60 2 40%
B 35 35% 1,75 2 40%
C 13 13% 0,65 1 20%
JUMLAH 100 100% 5
KURSI 5
60
KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR: 411/Kpts/KPU/TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN
HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN/KOTA SECARA NASIONAL DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014, 9 Maret 2016
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
53
Masalahnya, partai A sang peraup mayoritas suara (52%) dan 2 (dua) kursi (40%), tapi ―dijajah‖ oleh
minoritas B dan C (48%) dengan 3 (tiga) kursi (60%)..
Oleh sebab itu,tatkala Jerman memakai metoda kuota dengan sisa suara terbanyak (1987-2005), dalam
UU-nya dibubuhi ketetapan yang menyatakan bahwa dalam keadaan serupa di atas, partai mayoritas
berhak memperoleh mayoritas kursi.
Oleh sebab itu juga, tak sedikit negara yang menggunakan metoda divisor d‘ Hondt/Jefferson yang
memang dirancang buat menciptakan mayoritas,
Tentang metoda ini, akan dijelaskan pada lain kesempatan.
TAMAT
Tabik
Pipit rochijat kartawidjaja
Jakarta 22 Maret 2016
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
54
Daerah Pemilihan
(DAPIL)
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
55
DAERAH PEMILIHAN (DAPIL)
Daerah Pemilihan (Dapil) merupakan perangkat sistem pemilu yang terpenting dan kerap menjadi
persoalan. Penetapan dapil berpengaruh langsung terhadap satu sistem pemilu, hubungan antara jumlah
penduduk/suara dengan kursi, jumlah wakil rakyat yang pantas mewakili satu dapil dan peluang satu
partai politik untuk memperoleh kursi. Lewat dapil bisa pula diarahkan dan dikendalikan pembagian
representasi politik, keterwakilan perempuan, sistem kepartaian, efektivitas pemerintahan, money
politics dan sebagainya. Maka, daerah pemilihan selayaknya menjadi bahan perdebatan penting
manakala merancang, merevisi, mengawasi atau menilai satu sistem pemilu.
Yang terpenting, kata begawan pemilu dunia, Dieter Nohlen, dapil tidak dapat kekal ditetapkan.
Migrasi penduduk/pemilih, pemekaran wilayah, prinsip keterwakilan dan sebagainya, menuntut
penyesuaian dapil atau modifikasi jumlah kursi parlemen. Biasanya, alasan klasik penganak emasan
satu dapil berangkat dari pengedepanan daerah pedalaman (malapportionment), yang tentunya
bertabrakan dengan prinsip demokrasi (satu orang satu suara satu nilai) 61
.
Jika ditengok jumlah kursi DPR sejak reformasi -- bahkan ada yang sejak tahun 1971-- dan sampai
sekarang, bak warisan yang keramat, kursi DPR satu provinsi tidak boleh berkurang, meski
mencederai perimbangan alokasi kursi dengan provinsi lain. Hal ini tentu sangat berbeda misalnya
dengan di Amerika Serikat. Kursi DPR negara bagian (setara provinsi) New York misalnya, menyusut
dari 43 kursi (1950) menjadi hanya 27 kursi (2010) atau negara bagian Illinois berkurang dari 25
(1950) menjadi 18 (2010) 62
.
Mungkin Belanda dan Israel merupakan negara-negara yang menerapkan konsep NKRI, sebab di sana
dapilnya hanya satu, yakni Dapil Nasional.
Dengan demikian, kritik terhadap dapil itu bertolak dari dua hal: (a) manipulasi secara aktif demi
keuntungan satu parpol, provinsi atau paham politik dan (b) mengabaikan keharusan reformasi dapil
DAPIL TERBAGI KE DALAM
Lingkup dapil: administrasi negara/pemerintahan, malapportionment (perwakilan berproporsi
berbeda), gerrymandering (tipu-tipu penetapan perbatasan dapil), jumlah
penduduk/pemilih, kekompakan (a.l. haram berbentuk pisang atau terpotong oleh
rintangan alam) , persamaan kepentingan, latar belakang sejarah, ikatan
pertetanggaan, identitas komunitas, komunikasi, transportasi dan sebagainya.
61
Dieter Nohlen, ―Wahlrecht und Parteiensysteme: Zur Theorie und Empirie der Wahlsysteme‖, Cetakan ke VI, Verlag
Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI, hal. 86-87 62
Kristin D. Burnett, Congressional Apportionment, 2010 Census Briefs, United States Census Bureau, November 2011.
Table 1
04
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
56
Besaran Dapil: Jumlah kursi daerah pemilihan (District Magnitude), dihuni oleh Ambang
Terselubung/Matematikal/Gaib
Lapisan Dapil: Dipakai untuk cara penghitungan suara/kursi.
Lingkup dapil:
Untuk DPR 2014 tidak disebutkan kriterianya. Dapil DPR 2014 bertolak dari Dapil DPR 2009. Dan
Dapil 2009 bertolak dari Dapil DPR 2003, yang menyebutkan lingkup adalah administrasi
negara/pemerintahan (provinsi, kabupaten, kota, gabungan kabupaten atau gabungan kabupaten/kota),
perbedaan representasi (malapportionment), minimal dan maksimal jumlah kursi dalam dapil.
Hanya saja, ketika kursi DPR 2003 bertambah menjadi 560 dalam DPR 2009 dan besaran dapil
diciutkan dari 3 s/d 12 menjadi 3 s/d 10, tercipta Gerrymandering (DPR 2009 & 2014)
Misalnya DAPIL DPR 2009 dan 2014:
Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur (DAPIL JABAR III)
Kota Depok dengan Kota Bekasi (DAPIL JABAR VI), Kota Bekasi terpisah dari kabupaten
Bekasi
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
57
Gerrymandering
Sebutan berasal dari Gubernur Elbridge Gerry (salah seorang
penandatangan pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat).
Pada tahun 1812, Ia menandatangani UU Pemilu yang
memuat daerah pemilihan serupa salamander. Akibatnya,
Ketetapan UU No. 10 Tahun 2008 dan No, 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Legislatif
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
58
kaum Federalis yang menguasai mayoritas dalam pemilu 1912 (51% suara), hanya memenangkan 11
calon legislatifnya di 40 dapil (daerah pemilihan) 63
.Gerrymandering has been condemned because it
violates two basic tenets of electoral apportionment—compactness and equality of size of
constituencies. A U.S. Supreme Court ruling of 1964 stated that districtsshould be drawn to reflect
substantial equality of population.
However, using studies of regional voting behaviour, the majority parties in certain state legislatures
continue to set district boundaries along partisan lines without regard for local boundaries or even
contiguity. For example, in some states, representatives from rural and small town districts seek to limit
the representation of more densely populated urban centres 64
.
CONTOH:
A B Pemenang
Suara 5 4 A
Kursi (Skenario I) 2 1 A
Kursi (Skenario 2) 1 2 B
Martin Fehndrich, ―Wahlkreisgeometrie, Gerrymandering‖, http://www.wahlrecht.de/lexikon/gerrymander.html, 01.07.2006
63
Martin Fehndrich, ―Wahlkreisgeometrie, Gerrymandering‖, http://www.wahlrecht.de/lexikon/gerrymander.html,
01.07.2006
64 http://www.britannica.com/topic/gerrymandering
Skenario1 Skenario 2
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
59
Gerrymandering DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota 2014
Untuk DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, guna mencegah Gerrymandering misalnya, KPU menurunkan
Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2013. Pasal 3 menyebutkan bahwa »Dalam penyusunan daerah
pemilihan Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, memperhatikan prinsip :
1. Kesetaraan nilai suara yaitu mengupayakan nilai suara (harga kursi) yang setara antara satu
daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lainnya dengan prinsip satu orang-satu suara-satu nilai.
2. Ketaatan pada Sistem Pemilu yang Proporsional yaitu mengutamakan pembentukan daerah
pemilihan dengan jumlah kursi yang besar agar persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap partai
politik setara mungkin dengan persentase suara sah yang diperolehnya,
3. Proporsionalitas yaitu memperhatikan kesetaraan alokasi kursi antar daerah pemilihan agar tetap
terjaga perimbangan alokasi kursi setiap daerah pemilihan.
4. Integralitas wilayah yaitu beberapa kabupaten/kota atau kecamatan yang disusun menjadi satu
daerah pemilihan harus saling berbatasan, dengan tetap memperhatikan keutuhan dan keterpaduan
wilayah, mempertimbangkan kondisi geografis, sarana perhubungan dan aspek kemudahan
transportasi.
5. Berada dalam cakupan wilayah yang sama (Coterminous) yaitu penyusunan daerah pemilihan
Anggota DPRD Provinsi yang terbentuk dari satu, beberapa dan/atau bagian kabupaten/kota, harus
tercakup seluruhnya dalam suatu daerah pemilihan Anggota DPR; begitu pula dengan daerah pemilihan
anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terbentuk dari satu, beberapa dan/atau bagian kecamatan harus
tercakup seluruhnya dalam suatu daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi.
6. Kohesivitas yaitu penyusunan daerah pemilihan memperhatikan sejarah, kondisi sosial budaya, adat
istiadat dan kelompok minoritas.
7. Kesinambungan yaitu penyusunan daerah pemilihan dengan memperhatikan daerah pemilihan yang
sudah ada pada pemilu tahun 2009, kecuali apabila alokasi kursi pada daerah pemilihan tersebut
melebihi 12 (dua belas) kursi atau apabila bertentangan dengan keenam prinsip di atas «.
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
60
Namun, dalam kenyataannya, tidaklah begitu.
CONTOH DAPIL LONCAT: DAPIL 9 dan 10 DPRD PROVINSI JAKARTA 2014
CONTOH DAPIL LONCAT-LONCAT: DAPIL 4 DPRD KABUPATEN YAKUHIMO 2014
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
61
Besaran Daerah Pemilihan: Jumlah kursi daerah pemilihan
Dalam Pemilu DPR 2014, Indonesia dibagi ke dalam 77 dapil:
NO DAPIL POPULASI KURSI KUOTA KUOTA THD.
RATA-RATA
KUOTA THD.
TERENDAH
1 KEP. RIAU 1.895.590 3 631.863 140,51% 195,49%
2 RIAU I 3.728.536 6 621.423 138,19% 192,26%
3 JABAR VI 3.691.500 6 615.250 136,82% 190,35%
4 RIAU II 2.727.786 5 545.557 121,32% 168,79%
5 LAMPUNG II 4.908.385 9 545.376 121,28% 168,73%
6 NTB 5.398.573 10 539.857 120,05% 167,02%
7 SULTRA 2.691.623 5 538.325 119,71% 166,55%
8 BANTEN III 5.340.494 10 534.049 118,76% 165,23%
9 SULBAR 1.589.162 3 529.721 117,80% 163,89%
10 SUMUT I 5.288.928 10 528.893 117,61% 163,63%
11 LAMPUNG I 4.678.107 9 519.790 115,59% 160,82%
12 KALTIM 4.154.954 8 519.369 115,50% 160,69%
13 KALBAR 5.193.272 10 519.327 115,49% 160,67%
14 JABAR VII 5.182.247 10 518.225 115,24% 160,33%
15 SUMSEL II 4.612.743 9 512.527 113,97% 158,57%
16 JAMBI 3.532.126 7 504.589 112,21% 156,11%
17 SUMUT III 5.029.627 10 502.963 111,85% 155,61%
18 BENGKULU 1.996.538 4 499.135 111,00% 154,43%
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
62
19 JATENG X 3.462.794 7 494.685 110,01% 153,05%
20 SUMUT II 4.909.164 10 490.916 109,17% 151,88%
21 SUMSEL I 3.915.976 8 489.497 108,85% 151,44%
22 SULTENG 2.935.343 6 489.224 108,79% 151,36%
23 JABAR VIII 4.355.716 9 483.968 107,62% 149,73%
24 JATIM XI 3.861.686 8 482.711 107,34% 149,34%
25 JABAR IX 3.837.116 8 479.640 106,66% 148,39%
26 DKI III 3.805.032 8 475.629 105,77% 147,15%
27 Bali 4.227.705 9 469.745 104,46% 145,33%
28 MALUKU 1.866.248 4 466.562 103,75% 144,35%
29 DKI I 2.721.996 6 453.666 100,89% 140,36%
30 JATIM VI 4.074.531 9 452.726 100,68% 140,07%
31 JABAR II 4.512.574 10 451.257 100,35% 139,61%
32 KEP. BABEL 1.349.199 3 449.733 100,01% 139,14%
INDONESIA 251.824.296 560 449.686 100,00% 139,13%
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
63
NO DAPIL POPULASI KURSI KUOTA KUOTA THD.
RATA-RATA
KUOTA THD.
TERENDAH
INDONESIA 251.824.296 560 449.686 100,00% 139,13%
33 JATENG I 3.588.609 8 448.576 99,75% 138,78%
34 JATENG VII 3.133.087 7 447.584 99,53% 138,48%
35 JATIM I 4.468.134 10 446.813 99,36% 138,24%
36 JATIM III 3.089.416 7 441.345 98,15% 136,55%
37 KALTENG 2.640.070 6 440.012 97,85% 136,13%
38 JATENG VI 3.516.302 8 439.538 97,74% 135,99%
39 DKI II 3.076.389 7 439.484 97,73% 135,97%
40 YOGYAKARTA 3.458.029 8 432.254 96,12% 133,73%
41 SULUT 2.583.511 6 430.585 95,75% 133,22%
42 NTT II 3.008.559 7 429.794 95,58% 132,97%
43 JATIM VIII 4.282.801 10 428.280 95,24% 132,50%
44 JABAR XI 4.261.942 10 426.194 94,78% 131,86%
45 JATENG IX 3.397.980 8 424.748 94,45% 131,41%
46 JATIM IV 3.380.900 8 422.613 93,98% 130,75%
47 PAPUA 4.224.232 10 422.423 93,94% 130,69%
48 JATENG II 2.945.374 7 420.768 93,57% 130,18%
49 JATENG V 3.357.939 8 419.742 93,34% 129,86%
50 MALUT 1.258.354 3 419.451 93,28% 129,77%
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
64
51 SUMBAR II 2.507.792 6 417.965 92,95% 129,31%
52 SULSEL I 3.326.769 8 415.846 92,47% 128,66%
53 JATIM II 2.906.153 7 415.165 92,32% 128,45%
54 JATIM V 3.278.797 8 409.850 91,14% 126,80%
55 JATIM X 2.457.712 6 409.619 91,09% 126,73%
56 JATENG III 3.630.795 9 403.422 89,71% 124,81%
57 JATENG VIII 3.216.662 8 402.083 89,41% 124,40%
58 JATIM VII 3.213.896 8 401.737 89,34% 124,29%
59 SULSEL III 2.775.251 7 396.464 88,16% 122,66%
60 ACEH II 2.372.474 6 395.412 87,93% 122,34%
61 BANTEN II 2.357.567 6 392.928 87,38% 121,57%
62 JABAR X 2.749.479 7 392.783 87,35% 121,52%
63 JABAR I 2.728.679 7 389.811 86,69% 120,60%
64 NTT I 2.335.343 6 389.224 86,55% 120,42%
65 SUMBAR I 3.110.185 8 388.773 86,45% 120,28%
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
65
NO DAPIL POPULASI KURSI KUOTA KUOTA THD.
RATA-RATA
KUOTA THD.
TERENDAH
65 SUMBAR I 3.110.185 8 388.773 86,45% 120,28%
66 JABAR V 3.489.223 9 387.691 86,21% 119,95%
67 KALSEL I 2.300.949 6 383.492 85,28% 118,65%
68 GORONTALO 1.147.528 3 382.509 85,06% 118,34%
69 ACEH I 2.642.760 7 377.537 83,96% 116,81%
70 JATIM IX 2.255.859 6 375.977 83,61% 116,32%
71 BANTEN I 2.240.759 6 373.460 83,05% 115,54%
72 KALSEL II 1.844.894 5 368.979 82,05% 114,16%
73 JABAR IV 2.192.819 6 365.470 81,27% 113,07%
74 PAPUA BARAT 1.091.171 3 363.724 80,88% 112,53%
75 SULSEL II 3.266.087 9 362.899 80,70% 112,28%
76 JATENG IV 2.328.815 7 332.688 73,98% 102,93%
77 JABAR III 2.908.979 9 323.220 71,88% 100,00%
Dapil JABAR III adalah Dapil ―overrepresented‖ (keterwakilan anak emas), sedangkan Dapil
Kepulauan Riau ―underrepresented‖ (keterwakilan anak tiri). Perbedaannya amat mencolok: kuota di
dapil kepulauan Riau (631.863) itu 195,49%-nya kuota di dapil JABAR III (323.220) – alias hampir
dua kali lipatnya.
Perbedaan kesetaraan dalam satu provinsipun amat mencolok, misalnya antara dapil JABAR VI yang
berkuota 615.250 dengan JABAR III yang berkuota 323.220 -- alias hampir dua kali lipatnya, demi
NKRI.
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
66
JENIS DAPIL
JENIS DAPIL BERWAKIL BANYAK 65
DAPIL DPR 2014
Besaran Dapil (Jumlah Kursi Dapil) Jenis Dapi Jumlah Dapil Jumlah Kursi Porsi
2 s/d 5 teri 10 38 7%
6 s/d 9 menengah 55 402 72%
10 dan lebih kakap 12 120 21%
Di provinsi-provinsi yang dapilnya dua atau lebih, umumnya berdapil menengah. Di provinsi besar
misalnya SUMUT, BANTEN, JABAR dan JATIM ditemui dapil kakap. Hanya SUMUT yang
memiliki 3 dapil kakap yang homogen (masing-masing berkursi 10).
AMBANG TERSELUBUNG:
Karena besaran dapil berbeda, maka peluang parpol untuk meraup kursipun berbeda pula – bahkan
dalam satu provinsi atau kabupaten/kota. Pasalnya, setiap dapil memiliki Ambang Terselubung
(Tterselubung).
Dalilnya: Ambang Terselubung Atas (Tupper) = 100% / (m+1)
Ambang Terselubung Bawah (T lower) = 100% / 2m
m: jumlah kursi
65
Dieter Nohlen, ―Wahlrecht und Parteiensysteme: Zur Theorie und Empirie der Wahlsysteme‖, Cetakan ke VI, Verlag
Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI, hal. 92
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
67
Untuk metoda kuota Hare/Hamilton/Niemeyer. parpol yang melewati Ambang Terselubung Atas
(Tupper) dipastikan meraup kursi. tapi parpol yang bersuara lebih dari Ambang Terselubung Bawah (T
lower) boleh mengharapkan kursi. Bahkan kadangkala, yang kurang dari itu pun bisa meraup kursi.
Mahkamah Agung Swis menggunakan Ambang Terselubung Atas (T lower) untuk cara penghitungan
Kuota Hagenbach-Bischoff (Droop Quota) 66
66
FRIEDRICH PUKELSHEIM/ CHRISTIAN SCHUHMACHER, Das neue Zürcher Zuteilungsverfahren für
Parlamentswahlen, AJP/PJA 5/2004, hal. 507
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
68
CONTOH Perolehan Suara dan Kursi dalam Pemilu DPRD 2014 Provinsi Jakarta*): Peraup kursi adalah parpol-parpol yang lolos
Ambang Terselubung Bawah (Tlower)
JAKARTA I JAKARTA II JAKARTA III JAKARTA IV JAKARTA V
PARTAI vi % vi si vi % vi si vi % vi si vi % vi si vi % vi si
NASDEM 29.463 6,23% 1 24.493 6,76% 1 24.018 6,65% 1 12.539 2,90%
15.351 3,35%
PKB 24.555 5,19% 1 16.851 4,65% 20.330 5,63% 1 74.264 17,18% 2 14.736 3,22%
PKS 41.788 8,83% 1 43.814 12,08% 1 24.326 6,74% 1 41.053 9,50% 1 52.291 11,42% 1
PDIP 137.938 29,15% 3 92.582 25,53% 2 128.539 35,60% 3 93.801 21,69% 2 105.346 23,02% 2
GOLKAR 37.952 8,02% 1 43.641 12,04% 1 14.178 3,93%
32.153 7,44% 1 39.541 8,64% 1
GERINDRA 62.434 13,19% 2 38.657 10,66% 1 49.667 13,76% 1 42.290 9,78% 1 50.501 11,03% 1
DEMOKRAT 47.987 10,14% 1 22.930 6,32% 1 25.167 6,97% 1 35.090 8,12% 1 48.145 10,52% 1
PAN 16.847 3,56% 14.007 3,86% 10.953 3,03%
18.980 4,39%
23.783 5,20% 1
PPP 33.882 7,16% 1 29.991 8,27% 1 15.303 4,24%
43.782 10,13% 1 70.259 15,35% 2
HANURA 29.189 6,17% 1 25.103 6,92% 1 41.448 11,48% 1 23.411 5,41% 1 27.566 6,02% 1
PBB 5.161 1,09% 6.064 1,67% 4.274 1,18% 8.217 1,90%
4.852 1,06%
PKPI 5.970 1,26% 4.456 1,23% 2.835 0,79% 6.784 1,57%
5.349 1,17%
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
69
V 473.166 12 362.589 9 361.038 432.364 10 457.720 10
S 12 9 9 10 10
BPP 39.431 40.288 40.115 43.236 45.772
T lower 4,17% 5,56% 5,56% 5,00% 5,00%
*) KPU Provinsi DKI Jakarta, ―Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah dan Kursi Partai Politik Dalam Pemilu Anggota DPRD Provinsi
Tahun 2014‖, Jakarta 12 Mei 2014
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
70
CONTOH Perolehan Suara dan Kursi dalam Pemilu DPR 2014 Provinsi ACEH DAN PAPUA BARAT*): Kendati PDIP di PAPUA
BARAT hanya meraup 16,03% dan tak melampaui T lower 16,67%,
tapi PDIP terhibahi kursi.
PEMILU DPR 2014 ACEH I ACEH II PAPUA BARAT
PARPOL SUARA %Suara Kursi SUARA %Suara
Kurs
i
PAPUA
BARAT %Suara
Kurs
i
NASDEM 151.121 12,67% 1 120.453 11,77% 1 27.401 4,92%
PKB 92.905 7,79% 1 44.751 4,37% 18.174 3,26%
PKS 105.868 8,88% 1 73.940 7,23% 13.961 2,51%
PDIP 35.419 2,97% 110.281 10,78% 1 89.334 16,03% 1
GOLKAR 140.954 11,82% 1 91.546 8,95% 1 160.242 28,76% 1
GERINDRA 184.538 15,47% 1 181.847 17,77% 1 30.175 5,42%
DEMOKRAT 209.598 17,57% 1 142.411 13,92% 1 143.869 25,82% 1
PAN 151.996 12,74% 1 89.200 8,72% 45.242 8,12%
PPP 76.785 6,44% 123.946 12,11% 1 11.325 2,03%
HANURA 43.414 3,64% 44.768 4,38% 17.430 3,13%
Pipit Rochijat Kartawidjaja, SPD (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi)
71
SUARA SAH LOLOS PT 1.192.598 100,00% 7
1.023.14
3
100,00
% 6 557.153
100,00
% 3
KURSI 7
7 6
6 3
3
T lower 7,14%
8,33%
16,67%
T upper 12,50% 14,29% 25%
*) KEPUTUSAN KPU NOMOR: 411/Kpts/KPU/TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI,
DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA SECARA NASIONAL DALAM PEMILIHAN UMUM
TAHUN 2014
Ambang Terselubung Efektif (Teff) 67
Di samping Ambang Atas Terselubung dan Ambang Bawah Terselubung, Arend Lipjhart
menawarkan Ambang Terselubung Efektif dengan formula:
Teff = 75% / (m+1) m = jumlah kursi dapil
Formula ini berasal dari
Formula Teff tidak cocok untuk pendistribusian kursi ke parpol Pemilu DPR & DPRD 2014
akibat cara penghitungan metoda kuota Hare/Hamilton/Niemeyer + LR
Hubungan antara Besara Dapil, Ambang Terselubung dan Proporsionalitas 68
Besaran Dapil Ambang Terselubung Proporsionalitas
Dapil teri tinggi rendah
Dapil menengah sedang sedang
Dapil kakap rendah tinggi
67
Arendt Lipjhart, ―Electoral Systems and Party Systems, Oxford University Press 1994, hal. 27, 182-183 68
Dikutip dari: Dieter Nohlen, ―Wahlrecht und Parteiensysteme: Zur Theorie und Empirie der Wahlsysteme‖,
Cetakan ke VI, Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI. hal. 94
75%
1/m dapat diabaikan, sehingga Teff = ————
(m + 1)
Pencampuran besaran dapil, menciptakan disproporsionalitas di tingkat provinsi atau nasional
– yang bertentangan dengan misi UU Pemilu Legislatif.
Proporsionalitasnya keterwakilan dicegah oleh dapil teri dan menengah. Konsentrasi partai
(pengurangan jumlah partai) dijegal oleh dapil kakap. Pencampuran besaran dapil
menciptakan persyaratan berbeda bagi partisipasi politik. Umumnya, di dapil-dapil teri dan
menengah, parpol gurem tak berpeluang, terkecuali di tempat basis massanya.
CONTOH PERGADO-GADOAN DAPIL DPRD PROVINSI & KABUPATEN/KOTA
SUMUT 2014
Perbedaan Ambang Terselubung Bawah (T lower) untuk DPRD Kabupaten Batu Bara
umpamanya amat njomplang: 16,67 % untuk Dapil 5 sebab berkursi 3 dan hanya 5,00 %
untuk Dapil tetangganya, Dapil 4, karena berkursi 10. Proporsionalitas dalam
Provinisi/Kabupaten/Kota dicederai.
KURSI DAPIL DPRD 2014 *)
PROVINSI SUMUT 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
DPRD PROVINSI SUMUT 10 7 12 5 10 8 10 6 9 8 5 10
KAB. DELI SERDANG 12 10 10 7 4 7
KAB. NIAS SELATAN 8 3 7 7 7 3
KAB. SAMOSIR 12 8 5
KAB. BATU BARA 9 5 8 10 3
KAB. PADABG LAWAS UTARA 11 9 7 3
KOTA TEBING TINGGI 5 9 11
*) Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 94/Kpts/KPU/TAHUN 2013, Tanggal 9
MARET 2013
CONTOH PERGADO-GADOAN DAPIL DPRD PROVINSI & KABUPATEN/KOTA
PAPUA 2014
Perbedaan Ambang Terselubung Bawah (T lower) untuk DPRD Kabupaten/Kota Mimika
umpamanya sangat njomplang: 16,67 % untuk Dapil 4 yang berkursi 3 dan hanya 5,00 %
untuk Dapil 3 yang berkursi 10. Proporsionalitas dalam Provinsi/Kabupaten/Kota dicederai.
KURSI DAPIL 2014*)
PROVINSI PAPUA 1 2 3 4 5 6 7
DPRD PROVINSI PAPUA 10 5 10 9 7 8 6
KAB/KOTA JAYAPURA 12 4 4 5
KAB/KOTA MIMIKA 9 7 10 3 6
KAB/KOTA MAPPI 12 8 5
KAB/KOTA PUNCAK 10 5 10
*) Nomor Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 124/Kpts/KPU/TAHUN 2013,
Tanggal 9 MARET 2013
DAPIL GANJIL DAN GENAP
Selain itu, ke 77 dapil DPR 2014 itu terbagi ke dalam dua kelompok:
DAPIL GANJIL 32
DAPIL GENAP 45
Biasanya, di dapil ganjil, partai terkuat diuntungkan, sedangkan di dapil genap partai yang
lebih lemah. Dampak ini melemah dengan semakin besarnya dapil 69
.
Dapil DPR 2014 JATIM misalnya, terdiri dari 3 dapil ganjil dan 8 dapil genap atau JABAR
memiliki 5 dapil ganjil dan 6 dapil genap. DAPIL DPRD 2014 PROVINSI SUMUT terdiri
dari 4 dapil ganjil dan 8 dapil genap. Sedangkan DAPIL 2014 KABUPATEN NIAS
SELATAN terdiri atas 5 dapil ganjil dan 1 dapil genap
LAPISAN DAPIL 70
Akibat perbedaan besaran kursi secara nasional atau dalam satu provinisi atau
kabupaten/kota, maka guna memproporsionalkan atau mempertahakan asas umum dan adil
atau menciptakan derajat keterwakilan yang tinggi, di beberapa negara dikenal tingkatan
penghitungan suara. Bahkan, tingkatan ini juga dipakai guna mengakali masalah yang
69
Dieter Nohlen, ―Wahlrecht und Parteiensysteme: Zur Theorie und Empirie der Wahlsysteme‖, Cetakan ke VI,
Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI, hal. 94-96 70
Dieter Nohlen, ―Wahlrecht und Parteiensysteme: Zur Theorie und Empirie der Wahlsysteme‖, Cetakan ke VI,
Verlag Barbara Budrich, Opladen & Farmington Hills, MI, hal. 97-98, 124-126, 187-188, 259; Dieter Nohlen,
―Wahlrecht und Parteiensysteme‖, Verlag Leske+Budrich GmbH, Opladen 2000, hal. 309-311; FRIEDRICH
PUKELSHEIM/ CHRISTIAN SCHUHMACHER, ―Das neue Zürcher Zuteilungsverfahren für
Parlamentswahlen‖, AJP/PJA 5/2004, hal. 505-522
ditimbulkan oleh cara penghitungan suara metoda kuota Hare/Hamilton/Niemeyer serta
sekaligus menciptakan konsentrasi parpol. Misalnya:
Denmark mengenal dapil berlapis dua. Lapis pertama (lapis terendah) terdiri atas 17 dapil dan
lapis kedua terdiri dari hanya 1 dapil di tingkat nasional. Dari 175 kursi DPR, 135
dipertandingkan di dapil lapisan bawah, dan 40 kursi yang tak diperebutkan, dipakai buat
memproporsionalkan hasil pemilu DPR. Cara perhitungan yang dipakai adalah metoda
divisor gaya Denmark.
Di Austria dapilnya berlapis tiga (dapil, provinsi dan nasional). Di lapisan pertama dan kedua
dipergunakan metoda kuota Hare. Di lapisan ketiga dipakai metoda divisor d‘ Hondt guna
membagi sisa suara. Mirip dengan Austria adalah Eslandia. Perkawinan Denmark dan
Austria adalah Hongaria.
Nikaragua juga mengenal dua lapisan dapil. Lapis pertama di tingkat dapil lewat metoda
kuota Hare, sisa suara didistribusikan di tingkat nasional. Hanya saja, sisa suara itu dibagi
oleh satu Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yang diperoleh dari jumlah sisa suara dibagi BPP
rata-rata segenap dapil.
Jerman mengenal dua lapisan dapil. Kursi DPR provinsi tidak ditetapkan dari awal. Pada
lapisan pertama, perolehan kursi parpol dihitung secara nasional. Pada lapisan kedua,
dihitung porsi perolehan suara parpol di dapil terhadap perolehan suara parpol secara
nasional. Cara penghitungan yang dipakai St. Lague/Webster. Cara ini memaksa parpol buat
ikut berperan dalam menjaga/meningkatkan partisipasi pemilih.
DPRD Kota Swiss menerapkan sistem pemilu Biproporsional. Mula-mula dihitung perolehan
kursi parpol di dapil, yang kemudian dikoreksi oleh penghitungan suara di tingkat kota.
Adapun soal cara penghitungan suara, akan disampaikan pada kesempatan mendatang
TAMAT
Tabik,
Pipit Rochijat Kartawidjaja
Perbandingan Metode
Penghitungan Suara
Perbandingan Metoda penghitungan suara
05
Komentar:
Sesuai UU Pemilu No. 8/2012 misalnya, azas dan misinya
adalah proporsionalitas, derajat keterwakilan tinggi atow
keadilan
Mengukur Proporsionalitas:
(a) Indeks Disproporsionalitas
(1) Loosemore-Handby-Index (LHI)
Indeks ini dipakai resmi oleh Independent The
Independent Commission on
the Voting System
(2) Gallagher-Index LSq atow GHI
(b) Swara Hangus
Mengukur Derajat Keterwakilan Tinggi atow Keadilan:
Formula Pukelsheim:
Deviasi Keadilan =|(si/vi)/(S/V) – 1
Berdasarkan hasil penghitungan „Naskah Akademik Draft
RUU Kitab Hukum Pemilu― yang sama dengan hasil
penghitungan Kemendagri dan hitungannya benar, perolehan
kursi parpol menurut Hare, St. Laguë, D´Hondt dan St. Laguë
modifikasi
82
Indeks Disporporsionalitas & Swara Hangus Hare:
No Parpol vi si %vi %si |%vi - %si| (%vi -
%si)2
Suara
Hangus
1 A 31.484
3,63% 0,00% 3,63% 0,13% 31.484
2 B 41.028
4,74% 0,00% 4,74% 0,22% 41.028
3 C 103.617 1 11,96% 16,67% 4,71% 0,22%
4 D 79.846 1 9,22% 16,67% 7,45% 0,56%
5 E 31.436
3,63% 0,00% 3,63% 0,13% 31.436
6 F 222.213 1 25,65% 16,67% 8,98% 0,81%
7 G 88.418 1 10,20% 16,67% 6,46% 0,42%
8 H 81.935 1 9,46% 16,67% 7,21% 0,52%
9 I 186.477 1 21,52% 16,67% 4,86% 0,24%
Jumlah 866.454 6 Jumlah 51,66% 3,24% 103.948
LHI 25,83% 1,62% 12,00%
GHI (LSq) 12,74%
Indeks Disporporsionalitas dan Swara Hangus St. Laguë sama, sebab alokasi kursi sama dengan
Hare
83
Indeks Disporporsionalitas & Swara Hangus St. Laguë modifikasi:
Indeks Disporporsionalitas dan Swara Hangus D´Hondt sama, sebab alokasi kursi sama dengan
St. Laguë modifikasi
No Parpol vi si %vi %si |%vi - %si| (%vi - %si)2
Swara
Hangus
1 A 31.484
3,63% 0,00% 3,63% 0,13% 31.484
2 B 41.028
4,74% 0,00% 4,74% 0,22% 41.028
3 C 103.617 1 11,96% 16,67% 4,71% 0,22%
4 D 79.846
9,22% 0,00% 9,22% 0,85% 79.846
5 E 31.436
3,63% 0,00% 3,63% 0,13% 31.436
6 F 222.213 2 25,65% 33,33% 7,69% 0,59%
7 G 88.418 1 10,20% 16,67% 6,46% 0,42%
8 H 81.935
9,46% 0,00% 9,46% 0,89% 81.935
9 I 186.477 2 21,52% 33,33% 11,81% 1,40%
Jumlah 866.454 6 Jumlah 61,34% 4,86% 265.729
LHI 30,67% 2,43% 30,67%
GHI (LSq) 15,58%
84
Derajat Keterwakilan atow Keadilan Hare
No Parpol vi si si/vi S/V (si/vi)/(S/V) |(si/vi)/(S/V)-
1|
1 A 31.484 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000
2 B 41.028 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000
3 C 103.617 1 0,000010 0,000007 1,393681 0,393681
4 D 79.846 1 0,000013 0,000007 1,808594 0,808594
5 E 31.436 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000
6 F 222.213 1 0,000005 0,000007 0,649867 0,350133
7 G 88.418 1 0,000011 0,000007 1,633253 0,633253
8 H 81.935 1 0,000012 0,000007 1,762482 0,762482
9 I 186.477 1 0,000005 0,000007 0,774406 0,225594
Jumlah 866.454 6 6,173737
Derajat Keterwakilan atow Keadilan St. Laguë sama, sebab alokasi kursi sama dengan Hare
85
Derajat Keterwakilan atow Keadilan St. Laguë modifikasi:
No Parpol vi si si/vi S/V (si/vi)/(S/V) |(si/vi)/(S/V)-
1|
1 A 31.484 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000
2 B 41.028 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000
3 C 103.617 1 0,000010 0,000007 1,393681 0,393681
4 D 79.846 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000
5 E 31.436 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000
6 F 222.213 2 0,000009 0,000007 1,299735 0,299735
7 G 88.418 1 0,000011 0,000007 1,633253 0,633253
8 H 81.935 0,000000 0,000007 0,000000 1,000000
9 I 186.477 2 0,000011 0,000007 1,548813 0,548813
Jumlah 866.454 6 6,875482
Derajat Keterwakilan atow Keadilan D´Hondt sama, sebab alokasi kursi sama dengan St. Laguë
modifikasi
86
Perbandingan Indeks Disporporsionalitas, Swara Hangus dan Derajat Keterwakilan atow
Keadilan
Hare St. Lague D'Hondt Mod. St. Lague
No Parpol Suara Kursi Kursi Kursi Kursi
1 A 31.484 - - - -
2 B 41.028 - - - -
3 C 103.617 1 1 1 1
4 D 79.846 1 1 - -
5 E 31.436 - - - -
6 F 222.213 1 1 2 2
7 G 88.418 1 1 1 1
8 H 81.935 1 1 - -
9 I 186.477 1 1 2 2
866.454 6 6 6 6
LHI 25,83% 25,83% 30,67% 30,67%
Lsq 12,74% 12,74% 15,58% 15,58%
Deviasi keadilan 6,17 6,17 6,88 6,88
Jumlah
87
Berbeda dengan kesimpulan „Naskah Akademik Draft RUU Kitab Hukum Pemilu“, metoda
Hare dan St. Laguë lebih proporsional dan lebih berderajat keterwakilan tinggi/lebih adil,
sebab Indeks Disporporsionalitas, Swara Hangus dan Deviasi Keadilan lebih kecil ketimbang
D´Hondt dan St. Laguë modifikasi.
Salah!