Download - KOMPRES DINGIN PAFDA NYERI.doc
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nyeri adalah suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya ( Tamsuri, 2007 )
Nyeri adalah rasa inderawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan jaringan baik secara aktual maupun potensial, atau
menggambarkan keadaan kerusakan seperti tersebut diatas (Corwin, 2007).
Menurut Tanra (Tahun 2007), Telah Dilaporkan, bahwa jumlah penderita
mengalami pembedahan di Amerika Serikat sekitar 25 juta orang pertahun. Dari
jumlah ini, mayoritas mereka masih mengalami penderitaan nyeri pasca bedah
karena pengelolaannya yang belum adekuat. Pengelolaan nyeri pasca bedah,
bukan saja merupakan upaya mengurangi penderitaan klien, tetapi juga
meningkatkan kualitas hidupnya. Telah terbukti bahwa tanpa pengelolaan nyeri
pasca bedah yang adekuat penderita akan mengalami gangguan fisiologis maupun
psikologis yang pada gilirannya secara bermakna meningkatkan angka morbiditas
dan mortalitas.
Berdasarkan data yang diperoleh di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
Makassar pada ruang perawatan Baji Kamase 1 terdapat 10 penyakit terbesar yang
mengalami pembedahan pada Tahun 2007 yaitu : T. Colli, Katarak, faraktur,
Hernia, Dyspepsia, Ca Mammae, T Mammae, Appendisitis, C Cerebris, Struma.
Salah satu tindakan pengobatan nyeri tanpa obat untuk bisa membantu
mengurangi nyeri setelah operasi adalah diberikan kompres dingin pada area
operasi.Terapi es dapat menurunkan prostaglandin,dengan menghambat proses
inflamasi (Lukman, 2008).
Menurut Tamsuri, 2007 Stimulasi kulit dalam hal ini pemberian kompres dingin
dipercaya dapat meningkatkan pelepasan endorfin yang memblok transmisi
stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut saraf berdiameter besar A-Beta
sehingga menurunkan transmisi implus nyeri melalui serabut kecil A-delta dan
serabut saraf C.
Banyaknya keuntungan dari penggunaan kompres dingin pada pasien post operasi,
menyebabkan perlunya pengkajian lebih lanjut tentang kompres dingin pada
pasien. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
pengaruh kompres dingin terhadap penurunan sensasi nyeri pada pasien post
operasi .
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan karena kompleksnya masalah yang berkaitan
dengan pengaruh kompres dingin terhadap penurunan rasa nyeri pada pasien post
operasi, maka masalah dirumuskan dalam bentuk pernyataan sebagai berikut : “
Apakah ada pengaruh kompres dingin terhadap penurunan sensasi nyeri
pada pasien post operasi Ruang Perawatan Bedah RSUD Labuang Baji
Makassar tahun 2009 “.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh kompres dingin terhadap penurunan sensasi nyeri pada pasien post operasi , Ruang Perawatan Bedah RSUD Labuang Baji Makassar Tahun 2009.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya tingkat nyeri pada pasien post operasi sebelum diberikan
kompres dingin (pre test) pada pasien post operasi, Ruang perawatan
Bedah RSUD Labuang Baji Makassar
b. Diketahuinya tingkat nyeri pada pasien post operasi setelah diberikan
kompres dingin (post test) pada pasien post operasi, Ruang Perawatan
Bedah RSUD Labuang Baji Makassar
c. Diketahuinya pengaruh kompres dingin terhadap penurunan sensasi nyeri
pada pasien post operasi Ruang Perawatn Bedah RSUD Labuang Baji
Makassar
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Institusi
Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak Rumah Sakit untuk
menjadi bahan pertimbangan dalam membantu kesembuhan pasien post operasi
.
2. Manfaat Ilmiah
Diharapkan dapat menjadi bahan pembanding dan menjadi sumber informasi
bagi penelitian selanjutnya tentang manfaat kompres dingin.
3. Manfaat Praktis
Menjadi pengalaman berharga bagi penulis dan menambah pengetahuan peneliti
tentang kompres dingin bagi pasien post operasi .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Nyeri
1. Defenisi Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual dan potensial.Nyeri
sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang-orang dibanding suatu
penyakit manapun (Brunner dan Suddarth, 2002).
Nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik, nyeri akut
biasanya berlangsung secara singkat misalnya nyeri pada patah tulang atau
nyeri pada pembedahan abdomen. Pasien yang mengalami nyeri akut biasanya
menunjukan gejala-gejala antara lain : respirasi meningkat, kecepatan jantug dan
tekanan darah meningkat dan kalor. Respon seseorang terhadap nyeri
bervariasi, ada yang sakit, nyeri kronik berkembang lebih lambat dan terjadi
dalam waktu lebih lama dan pasien sulit mengingat sejak kapan pasien mulai
merasakan. (Long C.B, 1996)
Nyeri juga dapat dinyatakan sebagai nyeri somatogenik atau psikogenik.
Nyeri somatogenik merupakan nyeri secara fisik, sedangkan nyeri psikogenik
merupakan nyeri psikis atau mental (Priharjo R, 2002).
Defenisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan
tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu
mengatakannya. Peraturan utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah
bahwa semua nyeri adalah nyata. Defenisi ini didasarkan pada dua pokok
penting, pertama, perawat percaya kepada pasien saat mereka menunjukan
bahwa mereka merasakan nyeri. Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada
penyebab fisik atau sumber yang dapat diidentifikasi.
Meskipun beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental atau status
psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal dan
tidak hanya membayangkan saja. Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat dari
stimulasi fisik dan mental atau stimulasi emosional. Oleh karena itu, mengkaji
nyeri individu mencakup pengumpulan informasi tentang penyebab fisik dan
nyeri juga factor mental atau emosional yang mempengaruhi persepsi individu
tentang nyeri, intervensi keperawatan diarahkan pada kedua komponen tersebut
(Priharjo.R,2002)
Menurut Brunner dan Suddarth tahun 2002, pokok penting yang harus diingat
adalah apa yang “ dikatakan “ tentang nyeri adalah tidak pada pernyataan verbal.
Beberapa pasien tidak dapat atau tidak akan melaporkan secara verbal bahwa
mereka mengalami nyeri. Karenanya perawat juga bertanggung jawab terhadap
pengamatan perilaku non verbal yang dapat terjadi bersama dengan nyeri
2. Proses Terjadinya Nyeri
Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf –saraf perifer. Zat
kimia (substansi p bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi
saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari area yang terluka ke
otak, dan menyusun tahap untuk penyembuhan (respon inflamasi). Sinyal nyeri
dari area yang terluka berjalan sebagai impuls electrokimia disepanjang nervus
kebagian dorsal spinal cord (area pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh
tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak dimana
sensasi seperti panas, dingin, nyeri dan sentuhan pertama kali dipersepsikan.
Pesan lalu dihantarkan ke cortex, dimana intensitas dan lokasi nyeri
dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai sinyal dari otak kemudian
turun kespinal cord. Dibagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan
untuk mengurangi nyeri diarea yang terluka (Carol dan Priscilla,1997).
Didalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat
gerbang terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa
ditutup, stimulasi saraf sensoris dengan menggaruk secara perlahan didekat
area nyeri dapat menutup gerbang sehingga mencegah transmisi impuls nyeri.
Impuls dari pusat juga dapat menutup gerbang, misalnya perasaan sembuh
dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan (Patricia dan
Walker, 1995).
Nyeri mempunyai fungsi protektif, anak-anak belajar untuk tidak mengulangi
perilaku tertentu yang akan menyebabkan mereka terluka dan mengalami nyeri
lagi misalnya menyentuh benda yang panas atau tajam. Nyeri hebat pada salah
satu bagian tubuh bisa menyebabkan penderitanya mencari bantuan kesehatan
untuk mengatasi penyebabnya. Profesi kesehatan menggunakan timbulnya nyeri
akut sebagai alat diagnostik, asal dan lokasinya pada beberapa kamus
menunjukan kondisi khusus. Perubahan derajat nyeri bisa menjadi indikasi
meningkat atau menurunnya penyebab nyeri. Keterampilan perawat dalam
mengobservasi bisa membantu manajemen yang efektif (Patricia dan Stanley,
1995).
3. Patofisiologi Nyeri
Menurut Husni Tanra tahun 1997, penelitian laboratorium menunjukan
bahwa menyusul suatu trauma atau operasi maka input nyeri dari perifer ke
sentral akan mengubah ambang reseptor nyeri baik diperifer maupun disentral
( Kornu posterior medulla Spinalis). Kedua reseptor nyeri tersebut diatas akan
menurun ambang nyerinya, sesaat setelah terjadi input nyeri.
Perubahan ini akan menghasilkan suatu keadaan yang disebut sebagai
hipersensitifitas baik perifer maupun sentral. Perubahan ini dalam klinik dapat
dilihat, dimana daerah perlukaan dan sekitarnya akan berubah menjadi
hiperalgesia. Daerah tepat pada perlukaan akan berubah menjadi allodini artinya
dengan stimuli lemah, yang normal tidak menimbulkan rasa nyeri, kini dapat
menimbulkan nyeri, daerah ini disebut juga sebagai hiperalgesia primer. Dilain
pihak daerah sekitar perlukaan yang masih Nampak normal juga berubah
menjadi hiperalgesia, artinya dengan suatu stimuli yang kuat, untuk cukup
menimbulkan rasa nyeri, kini dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan
berlangsung lebih lama, daerah ini juga disebut sebagai hiperalgesia sekunder.
Menurut Husni Tanra tahun 1997, kedua perubahan tersebut diatas, baik
hiperalgesia primer maupun sekunder merupakan konsekwensi terjadinya
hipersensitivitas perifer dan sentral menyusul suatu input nyeri akibat suatu
trauma atau operasi, ini berarti bahwa susunan saraf sentral dapat berubah
sifatnya menyusul suatu input nyeri yang kontinyu.
a. Respon Lokal
Akibat terjadinya kerusakan sel dalam jaringan. Maka akan terlepas
substansi nyeri. Substansi nyeri ini berasal dari tiga tempat yakni, pertama
dari kerusakan sel itu sendiri yang akan melepas histamin, kalium, asetilkolin,
serotonin, dan ATP. Selain itu terjadi sintesa prostaglandin dari metabolisme
asam arakhidonat dengan bantuan siklooksigenase.
Yang kedua, substansi nyeri berupa bradikinin dilepaskan dari plasma
darah melalui pembuluh darah yang berubah permeabilitasnya. Yang ketiga,
substansi nyeri yang dilepaskan dari ujung-ujung saraf sendiri yang disebut
substan P.
Akibat dari terlepasnya substansi nyeri tersebut diatas menyebabkan
perubahan-perubahan lokal yang oleh Celcius, seorang dokter jaman
Romawi, menyebutkan sebagai tanda-tanda inflamasi berupa kemerahan
(rubor), hangat (Calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), dan gangguan
fungsi (functio laesa). Dalam klinik, perubahan itu tampak sebagai gejala
hiperalgesia atau allodini. (Handerworker dan Wolt 1991 dalam Husni Tanra
tahun 1997).
Gejala hiperalgesia dan allodini ini menjadi penting dalam klinik, sebab
sekali terjadi hal ini dibutuhkan dosis obat analgesik yang lebih tinggi untuk
menghilangkannya.
b. Respon Segmental
Input nyeri perifer yang dibawa oleh serabut saraf A delta dan serabut
C selain akan mengaktifkan kornu posterior medulla spinalis, juga
mengaktifkan kornu anterior dan lateralis dari medulla spinalis yang pada
gilirannya akan memberikan respon berupa spasme otot, yang terjadi pada
gilirannya menjadi sumber stimuli yang baru sehingga meningkatkan rasa
nyeri dan mengakibatkan terjadinya spasme otot yang lebih hebat lagi, jadi
merupakan siklus visiousus.
Demikian pula halnya dengan terjadinya spasme pembuluh darah
yang menyebabkan iskemia dan hipoksia setempat, yang menimbulkan
asidosis. Asidosis pada gilirannya menurunkan ambang nyeri sehingga rasa
nyeri makin meningkat dan seterusnys. Selain itu, akibat input nyeri dari kulit,
akan merangsang timbulnya refleks kutaneo visceral yang menyebabkan
menurunnya aktivitas (peristaltic usus), usus yang mengandung terjadinya
ileus pasca bedah. Oleh karena itu tanpa pengelolaan nyeri pasca bedah,
penderita cenderung mengalami ileus paralitikus hebat dari tertekannya
aktivitas usus, sehingga puasa pasca bedah lebih lama dan proses
penyembuhan memenjang (Bonica 1978 dalam Husni Tanra, 1997).
c. Suprasegmental
Menurut Husni Tanra tahun 1997, respon suprasegmental ini
bersumber dari stimulasi dan pusat saraf di hypothalamus yang pada
gilirannya menimbulkan hiperventilasi atau takipnu dan meningkatkan
aktivitas saraf simpatis yang pada gilirannya akan meningkatkan denyut
jantung, isi sekuncup jantung, dan curah jantung semenit. Selain itu
meningkatkan aktivitas simpatis menyebabkan vasokontriksi dan pelepasan
hormon steroid dari glandula suprarenal yang pada gilirannya menimbulkan
gejala hipertensi.
d. Respon Kortikal
Respon kortikal merupakan respon psikodinamik seseorang terhadap
suatu pembedahan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya mekanisme
psikodinamik yang akan menghasilkan perasaan cemas, takut dan gelisah.
Hal ini akan mengundang umpan balik yang pada gilirannya menurunkan
ambang nyeri penderita, sehingga penderita akan merasa lebih nyeri lagi
( Bonica JJ tahun 1991 dalam Husni Tanra, tahun 1997).
Dari keempat respon tubuh diatas dapat disimpulkan bahwa respon
tubuh terhadap suatu pembedahan atau nyeri yang akan menghasilkan
reaksi endokrin, dan immunologik, yang secara umum disebut sebagai
respon stres. Respon stres ini sangat merugikan penderita karena selain
akan menurunkan cadangan dan daya tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan
oksigen otot jantung, mengganggu fungsi respirasi dengan segala
konsekwensinya, juga akan mengundang resiko terjadinya tromboemboli
yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasca bedah.
(Kehelt 1998 dalam Husni Tanra, 1998).
4. Faktor yang mempengaruhi persespsi Nyeri
Saat seseorang mengalami nyeri, banyak faktor yang dapat
mempengaruhi nyeri yang dirasakan dan bagaimana cara mereka meresponnya.
Faktor tersebut antara lain :
a. Etnik dan Nilai Budaya
Karena norma budaya mempengaruhi sebagian besar sikap, perilaku,
dan nilai keseharian kita, wajar jika dikatakan budaya mempengaruhi reaksi
individu terhadap nyeri.Bentuk ekspresi nyeri yang dihindari oleh satu budaya
mungkin ditunjukan oleh budaya yang lain (Taylor, 1997)
b. Umur
Usia dan tahap perkembangan seseorang merupakan variable
penting yang akan memengaruhi reaksi dan ekspresi terhadap nyeri. Dalam
hal ini, anak-anak cenderung kurang mampu mengungkapkan nyeri yang
mereka rasakan dibandingkan dengan orang dewasa, dan kondisi ini dapat
menghambat penanganan nyeri untuk mereka. Disisi lain prevalensi nyeri
pada individu lansia lebih tinggi karena penyakit akut atau kronis yang
mereka derita. Walaupun ambang batas nyeri tidak berubah karena
penuaan.( Perry & Potter, 1997 ).
c. Lingkungan dan dukungan orang terdekat
Banyak orang yang merasakan, lingkungan pelayanan kesehatan yang
asing khususnya cahaya, kebisingan, aktivitas yang sama diruang perawatan
intensive, dapat menambah nyeri yang dirasakan. Beberapa klien
menggunakan nyerinya untuk memperoleh perhatian khusus dan pelayanan
dari keluarganya.(Perry & Potter, 2007).
d. Kecemasan dan stressor lain
Nyeri biasanya bertambah parah saat cemas, otot menegang dan
kelelahan muncul. Studi menunjukan bahwa klien yang diajarkan sebelum
operasi tentang apa yang dihadapi setelah operasi, tidak membutuhkan
analgetik sebanyak orang-orang yang menjalani prosedur operasi yang sama
tapi tidak diberikan pendidikan sebelum operasi.(Carol dan Priscilla, 1997).
e. Pengalaman Nyeri Yang Lalu
Beberapa klien yang tidak pernah mengalami nyeri hebat, tidak
menyadari seberapa hebatnya nyeri yang akan dirasakan nanti, umumnya,
orang yang sering mengalami nyeri dalam hidupnya, cenderung
mengantisipasi terjadinya nyeri yang lebih hebat (Carol dan Priscilla, 1997).
f. Nilai Agama
Pada beberapa agama ,individu menganggap nyeri dan penderitaan
sebagai cara untuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu individu
menghadapi nyeri dan menjadikan sebagai sumber kekuatan (Taylor ,1997)
5. Mengkaji Persepsi Nyeri
a. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon
fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri .( Tamsuri, 2007)
Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1 . Skala intensitas nyeri deskriktif
1 2 3 4 5
Tidak Nyeri ringan Nyeri Nyeri berat Nyeri Tidak
Nyeri Sedang terkontro Terkontrol
2 . Skala identitas nyeri numeric
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri Nyeri sedang
nyeri
Hebat
3. Skala Analog Visual
Tidak Nyeri
Nyeri sangat
Hebat
4. Skala Nyeri menurut Bourbanis
Keterangan :
0 : Tidak Nyeri
1-3 : Nyeri Ringan (Secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik)
4-6 : Nyeri Sedang (Secara objektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri Berat (Secara objektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan
alih posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri Sangat Berat ( Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Skala Deskriktif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang
lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal, merupakan sebuah garis yang terdiri
dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama
disepanjang garis.Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai
“nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukan klien skala tersebut dan
meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat
juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa
jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Skala analog visual (Visual analog
scale,VAS) tidak melebel subsidi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili
intensitas nyeri yang terus menerus dan mendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini member klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih
sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian. (Potter,
2005)
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan
dan tidak mengkonsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat.
Skala deskriktif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat
keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat
dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk
atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter,
2005).
b. Karakteristik Nyeri
Menurut Brunner dan Suddarth, tahun 2002,alat-alat pengkajian nyeri dapat
digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri seseorang. Agar alat-alat
pengkajian nyeri dapat bermanfaat, alat tersebut harus memenuhi kriteria
berikut : (1) Mudah dimengerti dan digunakan, (2) Memerlukan sedikit upaya
dengan pihak pasien, (3) Mudah dinilai, dan (4) Sensitif terhadap perubahan
kecil dalam intensitas nyeri. Alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk
mendokumentasikan kebutuhan intervensi, untuk mengevaluasi efektivitas
intervensi dan untuk mengidentifikasi kebutuhan akan intervensi alternatife
dan tambahan jika intervensi sebelumnya tidak efektif dalam meredakan nyeri
individu.
Nyeri sukar digambarkan, saat pasien mengeluh nyeri, dengarkan
(lakukan sesuatu) karena nyerinya adalah apa yang ia rasakan meskipun ia
mungkin kesulitan menggambarkannya. Observasi objektif yang bisa ditemui
yakni (Brunner dan Suddarth,2002)
1) Kulit menjadi pucat, dingin dan lembab saat nyeri hebat dan lama
2) Ekspresi wajah kening mengernyit, mulut dan gigi terkatup rapat, pasien
mungkin meringis.
3) Mata tertutup rapat atau terbuka, pupil mungkin dilatasi
4) Nadi mungkin meningkat atau menurun dengan beragam intensitas
5) Perspirasi,frekwensinya meningkat dan berubah karakternya
C.Strategi Penatalaksanaan Nyeri
Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik pendekatan farmakologis
dan Non farmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan
dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat berhasil bila
dilakukan sebelum nyeri menjadi lebih parah, dan keberhasilan terbesar sering
dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara simultan. (Brunner dan
Suddarth)
Tujuan utama dari suatu pengelolaan nyeri pasca bedah adalah selain
untuk memberi kenyamanan (Tanpa nyeri = pain free) terhadap penderita juga
untuk mencegah terjadinya respon stress (stres free) guna mencegah terjadinya
komplikasi yang pada gilirannya dapat mempercepat penyembuhan,
memendekan waktu hospitalisasi dan menekan biaya. (Kehelt H 1996 dalam
Husni Tanra, 1997)
a. Intervensi Farmakologis
Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis
dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi pelayanan lainnya
pada pasien. Obat-obat tertentu untuk penatalaksanaan nyeri mungkin
diresepkan atau kateter epidural mungkin dipasang untuk memberikan dosis
awal (Brunner dan Suddarth, 2002)
Meskipun pengobatan untuk penyembuhan nyeri adalah alat yang
penting, tapi itu bukanlah satu-satunya jalan untuk mengatasi nyeri. Perawat
yang baik secara cermat akan mengkaji pasien dan mencari penyebab
masalahnya. (Janice dan Elizabeth, 1985)
b. Intervensi Non Farmakologis
Penatalaksanaan Non farmakologis terdiri dari berbagai tindakan
penanganan nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif.
Contoh dari penanganan fisik adalah stimulasi kulit salah satunya yaitu
dengan cara kompres menggunakan kantong es. yang fungsinya adalah
untuk menghilangkan nyeri. Cara kerja khusus stimulasi kulit masih belum
jelas. Salah satu pemikiran adalah bahwa dengan cara ini menyebabkan
pelepasan endorfin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri (Meek, 1993
dalam Potter dan Perry 2006)
B. Kerangka Kerja Penelitian
1. Kerangka Konsep
Peningkatan sensasi nyeri merupakan masalah yang sering dijumpai pada
pasien yang baru saja mengalami operasi. Bila sensasi nyeri tidak ditangani dengan
benar akan mengakibatkan timbul berbagai komplikasi yang dapat terjadi misalnya
saja terjadinya gangguan pada penderita itu sendiri. Berbagai upaya dapat
dilakukan untuk penurunan sensasi nyeri dan salah satunya adalah pemberian
kompres dingin. Penatalaksanaan pada penurunan sensasi nyeri yang dapat
dilakukan meliputi penatalaksanaan non farmakologis dan farmakologis. Kompres
dingin merupakan salah satu bentuk non farmakologis dan tindakan ini merupakan
tindakan mandiri perawat yang perlu dipertimbangkan terutama pada pasien yang
baru saja dioperasi.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka dirumuskan kerangka kerja penelitian
sebagai berikut :
Intensitas Nyeri Post Test
Intensitas Nyeri Pre Test
Dependent
Tingkat Nyeri
Kelompok Perlakuan
Independent
Kompres Dingin
Tingkat Nyeri
Tidak dilakukan
kompres
Kelompok Kontrol
· Usia
· Jenis kelamin
· Budaya
· Analgetik
·
2.
Defenisi Operasional
Variabel Perancu
a.Kompres Dingin
Yang dimaksud dengan kompres dingin dalam penelitian adalah meletakkan
kompres diarea sekitar luka dengan menggunakan kantong es yang suhunya
berkisar antara 12 - 18 derajat celcius, diberikan pada 12 - 24 jam pertama
pada daerah sekitar luka operasi. selama 15 – 20 menit perhari dengan cara :
Membuat butiran- butiran es batu yang dimasukkan kedalam handuk tipis
kemudian masukan dalam plastik tertutup.
b. Sensasi Nyeri
Yang dimaksud dengan nyeri dalam penelitian adalah tingkat nyeri yang
didapat dari klien dengan mengobservasi dan mengukur dengan cara skala
analog (Smeltzer 2007). Nyeri yang diukur sebelum dan setelah tindakan
kompres dengan kriteria evaluasinya :
1 = Tidak nyeri
2 = Nyeri ringan
3 = Nyeri sedang
4 =Nyeri Berat
5 = Sangat Berat
Dikatakan ada pengaruh jika terjadi penurunan satu poin dari nyeri yang
dirasakan sebelum dilakukan kompres, dan dikatakan tidak ada pengaruh jika
nyeri tetap atau terjadi peningkatan pada saat setelah dilakukan kompres.
3. Hipotesis Penelitian
1. Hipotesis Nol (Ho)
Tidak ada pengaruh kompres dingin terhadap penurunan sensasi nyeri pada pasien post
operasi Ruang Perawatan Bedah RSUD Labuang Baji Makassar.
2. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada pengaruh kompres dingin terhadap penurunan sensasi nyeri pada pasien
post operasi Ruang Perawatan Bedah RSUD Labuang Baji Makassar tahun
2009.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen (eksperimen semu), dimana kelompok eksperimental diberikan perlakuan kompres dingin sedangkan kelompok kontrol tidak. Pada kedua kelompok diawali dengan pre tes,dan setelah pemberian perlakuan pada kelompok eksperimental diadakan pengukuran nyeri kembali (post tes), begitu juga pada kelompok yang tidak diberikan perlakuan.
Subyek Pre Test Perlakuan Post TestKasus
Kontrol
0
0
X
-
0
0
Keterangan
Pre Test : Sebelum Perlakuan
Perlakuan : Kompres dingin selama 2 hari pada 12 -24 jam pertama
Post Test : Setelah adanya perlakuan dengan kompres dingin selama 2 hari setelah operasi
B. Populasi dan Sampela. Populasi
Populasi adalah seluruh pasien post
operasi yang dirawat diruang Perawatan
Bedah RSUD Labuang Baji Makassar.
b. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien post operasi laparatomi yang dirawat
diruang Perawatan Bedah RSUD Labuang Baji dengan tehnik pengambilan sampel
adalah Convinience sampling dengan cara mencari subjek atas dasar hal-hal yang
menyenangkan atau mengenakkan peneliti.
Sampel pada penelitian ini adalah pasien pasien bedah laparatomi yang dirawat di
ruang perawatan bedah Rumah Sakit Umum daerah Labuang Baji Makassar.
Adapun kriteria sampel adalah sebagai berikut :
1. Kriteria inklusi meliputi :
a. Pasien yang dalam keadaan sadar
b. Pasien yang dapat diajak komunikasi
c. Pasien yang pertama kali dilakukan pembedahan
2. Kriteria Eksklusi Meliputi :
a. Pasien yang tidak dapat diajak komunikasi
b. Pasien yang telah dibedah 2 hari sebelum penelitian berlangsung
C. Pengumpulan Data1. Data primer diambil dengan cara :
1. Melakukan observasi berdasarkan kompres dingin yang dilakukan pada
pasien dalam hal ini observasi dilakukan atau tidak dilakukannya kompres
dingin pada kelompok kontrol (X) dan kelompok kasus (Y).
2. Setelah pengumpulan data yang diperoleh dari hasil lembar observasi
yaitu intervensi kompres dingin selama 2 hari berturut-turut.
3. Hasil yang telah didapat kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi
disertai narasi
2. Data Sekunder diperoleh dari instansi terkait, arsip-arsip serta beberapa
dokumen pendukung
D. Alur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi tempat penelitian
b. Mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari institusi FIK UIT Kepada
direktur RSUD Labuang Baji mendapatkan izin penelitian
c. Setelah memperoleh surat penelitian, peneliti memilah dan memisahkan
pasien yang dapat disertakan dalam kelompok kasus maupun kelompok
kontrol
d. Melakukan pendekatan pada pasien dan tetap menjaga harga diri pasien
e. Dengan menggunakan alat bantu skala deskriktif penilaian tingkatan nyeri,
maka peneliti melakukan penelitian sebagai penelitian pre test, dengan
menilai tingkatan nyeri secara objektif
f. Melakukan tindakan kompres dingin pada kelompok kasus selama 2 hari
setelah pembedahan dengan waktu pemberian kompres adalah 15-20
menit sekali
g. Mencatat kembali respon pasien setelah 2 hari perlakuan dengan menilai
tingkatan nyeri secara objektif pada pasien kasus dan kelompok kontrol
G. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala pendeskripsian
verbal (Verbal Descriptor Skale,VDS). Adapun observasi respon pasien ditinjau dari
perhatian, ansietas, prespirasi, suara, ketegangan otot dan ekspresi wajah.
H. Pengolahan dan Penyajian Data
Pada pasien yang dalam keadaan sadar, kemudian dilakukan pengukuran intensitas
nyeri sebelum dilakukan kompres dingin dengan menanyakan bagaimana rasa nyeri
yang dialami oleh pasien. Dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama kemudian
lakukan intervensi dengan kompres dingin.
Pengolahan dan penyajian data dilakukan dengan menggunakan kalkulator dan
program komputer SPSS Versi 11,5 yang akan dipaparkan dalam bentuk tabel dan
narasi
I. Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang diuji adalah Ha dengan batas confidence level yang dipilih adalah 95 %
sedangkan uji statistik yang digunakan adalah Kolmogorov – Smimov Test. Dengan
asumsi bahwa Ha diterima jika ada perbedaan yang signifikan antara pre test dan post
test. Tingkat kemaknaan (a) : 0,05 dan analisa dengan SPSS 11,5 H.
J. Masalah Etika Penelitian
Kepada setiap pasien yang akan dilakukan dalam penelitian ini diberikan penjelasan
dan tujuan serta diminta kesediaannya untuk persetujuan secara tertulis dan selalu
mengindahkan tata cara etika yang berlaku meliputi :
1. Informed Consent (Lembar persetujuan)
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang
memenuhi kriteria inklusi disertai judul penelitian, manfaat penelitian