KONFLIK PEMBANGUNAN DAN GERAKAN SOSIAL BARU(Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakan
dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”)
RINTO TAIB
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2010
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DANSUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Konflik Pembangunan danGerakan Sosial Baru (Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakan dari“Petani” menjadi “Masyarakat Adat”) adalah karya saya sendiri dengan arahankomisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruantinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yangditerbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teksdan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Rinto TaibNRP. A.152050031
iii
ABSTRACT
RINTO TAIB. Development Conflict and New Social Movement (An Effort toUnderstand the Changes of Movement Identity from Peasants to CustomCommunity Supervised by ENDRIATMO SOETARTO and FREDIAN TONNY.
Land conflict in Ternate have been in existence from the era of pre-independence to the present reform era. One example is the conflict over thedevelopment of Sultan Babullah Ternate Airport, which has victimized thepeasant communities in the village of Tafure. This srudy used a strategy ofqualitative method of research. It is intended to development of Sultan BabullahTernate Airport, examine the formation and development of new socialmovements in Ternate and its relation to the issues of environmental and socio-economic impacts as well as the issues of ulayat (custom) land and the rights ofcustom communities, and determine to what extent the peasants’ movementscould become a solution to win the peasants’ rights and at the same tme feasibleas the forum to struggle for better life of peasants.
This study found that the peasant communities initially launched proteststo get the financial compensation for the land used for the airport and then in thenext development they changed their movement identity from peasants to customcommunities. It was also found that there were some factors that triggered thebirth of the new social movement, for example lost farm land, lost housing land,disappearing acces to forest area, lost rights for custom land, lost houses orsettlement, lost sources of livelihood or incomes, lost plantation land andcemetery, etc. The emergence of the peasants’ social movement in Ternate ismotivated by equal feeling of poor life and strong desire for a change However,the management of organizational aspects have not yet fully run well such asfiling, financing, and work division. In its development, the peasant’s movementhas experienced some structural constraints, for example the weak position ofpeasants concerning the evidence of land ownership, while the cultural obstacle isthe presence of internal conflicts or divisions in the movement.
Keywords: Development conflict, New social movement, Peasant communities,Custom community.
iv
RINGKASAN
RINTO TAIB. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (UpayaMemahami Perubahan Identitas Gerakan dari “Petani” menjadi “MasyarakatAdat”). Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO dan FREDIAN TONNY.
Paradigma pembangunan yang bersandar pada prinsip ekonomi sematayang diarahkan pada strategi trickle down effects dan economic growth olehpemerintah, ternyata tidak dapat berjalan sebagaimana teorinya. Efek-efek yangmenetes ke bawah dimana diharapkan mampu menjunjung golongan miskinternyata malah sebaliknya. Dengan mengabaikan aspek sosial budaya lokalternyata memberikan rangsangan bagi tumbuhnya Gerakan Sosial Baru yangterkait dengan kepentingan-kepentingan masyarakat lokal tidak terkecuali petani.
Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metodepenelitian kualitatif guna memperoleh data dan informasi terutama yangberhubungan tentang konflik pembangunan dan gerakan sosial baru yang terjadidi Tafure Ternate. Penelitian dilaksanakan sejak tahun tanggal 1 Juni 2007 hingga1 Juni 2010. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk memahamifaktor-faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan perlawanan rakyatterhadap perluasan pembangunan Bandara Sultan Babullah Ternate ?,mengkaji dimensi proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosialbaru di Ternate serta kaitannya dengan isu-siu dampak dilingkungan,dampak sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-hakmasyarakat adat ?, serta untuk mengetahui sejauh mana gerakan petanidapat menjadi solusi dalam merebut hak-hak petani sekaligus diandalkansebagai wadah perjuangan nasib petani ?
Studi ini memperlihatkan bahwa masyarakat petani Tafure Ternate yangmelakukan protes untuk menuntut ganti rugi lahan bandara kemudian dalamperkembangannya memaksa petani mereka merubah bentuk identitas gerakan dari“Petani” menjadi “Masyarakat Adat” dengan mengusung isu tuntutan ataspengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Dari hasil penelitianini ditemukan beberapa faktor pendorong lahirnya gerakan sosial baru tersebutadalah karena berbagai potensi kerugian yang dialami masyarakat sehinggamemberi ruang bagi keberlangsungan gerakan sosial yang dilakoni. Beberapapotensi tersebut adalah hilangnya tanah pertanian, hilangnya kapling rumah,hilangnya akses ke tanah hutan, hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya rumahatau tempat tinggal, hilangnya sumber mata pencaharian/pendapatan, hilangnyalahan perkebunan, pemakaman, dll.
Proses terbentuknya gerakan sosial petani di Tafure didasarkan padapersamaan nasib dan keinginan untuk melakukan perubahan. Dalam ranah inimanajemen organisasi belum sepenuhnya berjalan dengan baik sepertipengarsipan, keuangan, dan pembagian tugas. Keberadaan organisasi gerakan inidari terbentuknya sampai perkembangan selanjutnya tidak lepas dari keterlibatankelompok pendamping non petani. Model atau tipe gerakan sosial yang dilakukanmasyarakat petani Tafure dapat dikategorikan ke dalam gerakan sosial baru.Selanjutnya dari sisi efektifitas, dalam jangka pendek organisasi gerakan petanibelum mendapat hasil yang maksimal. Tuntutannya atas pengembalian hak tanah
v
adat menemui kendala yaitu lemahnya posisi petani dalam segi bukti hakkepemilikan tanah, maupun perpecahan dalam struktur internal gerakan itusendiri. Meskipun demikian derajat radikalisme gerakan semakin mengalamipeningkatan ketika persoalan sengketa lahan tersebut digiring ke isu-isu tuntutanpengakuan dan perlindungan hak-hak atas tanah adat.
Secara strategis, penyelesaian konflik harus mengacu kepada usahauntuk memajukan, dan bukan untuk memenangkan satu pihak danmengalahkan pihak lain. Dalam konflik pembangunan bandara di Ternate,dijumpai metode penyelesaian yang mengandung bias kepentingan. Dalamkonteks ini pula maka semestinya, penyelesaian konflik patut menghindarkandiri dari berbagai bias kepentingan sebagaimana yang terjadi selama ini,sehingga resolusi merupakan keputusan yang demokratik, adil dan setara. Halini akan terwujud bila dibukanya ruang dialog bagi kedua belah pihak untukmencari jalan keluar dari persoalan yang terjadi karena hingga saat ini, prosespenyelesaiannyapun belum terwujud dan yang terjadi hanyalah “masa jedah”.
Kondisi ini dapat dipastikan bahwa pada suatu ketika konflik ini bisasaja terjadi dengan eskalasi yang lebih tinggi. Konflik yang dimaksudtersebut adalah terkait dengan tuntutan masyarakat adat untuk mendapatpengakuan dan perlindungan atas hak-hak ulayat termasuk juga hakpemilikan dan penguasaan atas tanah adat yang selama ini dipertahankan.Konflik ideologis seperti ini sulit dicari jalan keluarnya bahkan tidak akanmenemukan resolusinya kecuali oleh kehancuran ideologi salah satu pihak.Oleh sebab itu, manajemen kolaboratif merupakan pilihan pola pemgelolaanyang paling dianggap ideal bagi semua pihak.
Dinamika gerakan petani dari setiap masa menunjukkan perjalanan yanghampir senada. Pada masa Soeharto, pemerintah melakukan tekanan yang sangatkuat terhadap munculnya gerakan perlawanan petani. Tindakan ini menghambatperjuangan petani dalam menuntut hak kepemilikan atas tanahnya yang diambilalih negara sehingga setiap organisasi yang dibentuk di tingkat lokal dianggapsebagai bentuk perlawanan terhadap negara. Transformasi ideologi dan isu darituntutan ganti menjadi gerakan kultural (pengakuan hak ulayat) ini ternyatamampu mensikapi persoalan struktural yang dialami petani.
Kata Kunci : Konflik pembangunan, Gerakan sosial baru, Petani, Masyarakatadat.
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan ataumenyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atautinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentinganyang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vii
KONFLIK PEMBANGUNAN DANGERAKAN SOSIAL BARU
(Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakandari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”)
RINTO TAIB
TesisSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains padaProgram Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2010
ix
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya
Memahami Perubahan Identitas Gerakan dari “Petani”
menjadi “Masyarakat Adat”)
Nama Mahasiswa : Rinto Taib
NRP : A.152050031
Program Studi : Sosiologi Pedesaan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MAKetua
Ir. Fredian Tonny, MSAnggota
Diketahui,
Ketua Program StudiMayor Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc. Agr
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 12 Juli 2010 Tanggal Lulus :
x
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin !
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
Rahmat dan Karunia-Nya. Akhirnya penulisan tesis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan,
Sekolah Pasca Sarjana IPB selesai juga. Banyak pihak yang telah memberikan
kontribusi penyelesaian studi ini sehingga tesis dengan judul “Konflik
Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya Memahami Perubahan Identitas
Gerakan dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”) dapat diselesaikan.
Kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang setulusnya kepada bapak
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA dan Ir. Fredian Tonny, MS., sebagai ketua komisi
pembimbing dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan
dan bimbingan kepada penulis dari penyusunan proposal hingga selesainya tesis ini.
Penulis sadari bahwa mereka berdua dengan caranya masing-masing telah mengajarkan
penulis untuk belajar konsisten dan tertib dalam menggunakan paradigma atau teori
dalam ilmu-ilmu sosial.
Ucapan terimakasih dan penghargaan setulusnya kemudian penulis
sampaikan kepada kedua orang yang telah mendidik dan membesarkan penulis yaitu
ayah Taib Hi. A. Rachman dan Ibu Djaitun S. Petta. Lebih sekedar itu, mereka berdua
secara tidak langsung telah menanamkan prinsip-prinsip memahami makna hidup ini
dalam diri penulis. Jika diri penulis ini dianggap sebagai “buah”, maka sejatinya hal
itu merupakan hasil dari “benih” yang telah engkau tanam sejak lama. Atas seluruh
doa dan ridhonya itu, penulis bersimpuh sebagai wujud terima kasih yang tak
berujung. Rifanto, Rifon, dan Rifirda, yang selalu memahami kekurangan dan
keterbatasan kakaknya, semoga kebahagiaan dan kesuksesan selalu menyertai kalian.
Penulis juga ucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan,
MSc. Agr. sebagai Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana
IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa pada
program studi yang dipimpinnya. Kepada seluruh staf pengajar pada Program Studi
Sosiologi Pedesaan IPB, penulis ucapkan terimakasih atas ilmu yang diberikan
kepada penulis baik di dalam maupun di luar berlangsungnya perkuliahan.
xi
Tak lupa kepada Dr. Satyawan Sunito, penulis menaruh rasa hormat dan
simpatik atas kesediannya menjadi Penguji Luar Komisi dan memberikan
masukan dalam proses berlangsungnya Ujian Akhir tesis ini. Penulis juga
menyampaikan terimakasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku
Utara atas kesempatan belajar yang diberikan, dan kepada Pimpinan Sekolah
Pascasarjana IPB yang telah memungkinkan penulis memperoleh dukungan dana
BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional selama dua tahun.
Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada Baginda Sultan Ternate
Drs. H. Mudaffar Syah, MSi dan Permaisuri Ratu Boki Nita Budhi Susanty sebagai
guru keduanya dengan caranya sendiri telah memotivasi penulis selama menempuh
pendidikan S2. Penulis sadari ketika berinteraksi dengan beliau berdua banyak hal
yang penulis pelajari terutama bagaimana menjadi seorang intelektual praksis dan
bersahaja dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya. Demikian pun dengan Bung
Abdon Nababan, penulis ucapkan terimakasih atas diskusi-diskusinya selama penulis
bergabung di AMAN. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Bpk. Ir. Hein
Namotemo selaku Bupati Halmahera Utara dan sekaligus Ketua Dewan AMAN
wilayah Maluku Utara, Bpk. H. Burhan Abdurrahman, SH selaku Walikota Ternate,
Bpk. Ir. Arifin Djafar, MBA selaku Walikota Ternate sekaligus Ketua Dewan Pakar
Kesultanan Ternate, Bpk. H. Taslim Badarudin, SH. MM selaku Kabandara Sultan
Babullah Ternate, Dopolo Ngaruha Kesultanan Ternate, serta seluruh masyarakat adat
Kesultanan Ternate yang telah membantu dan berjuang bersama penulis.
Kepada informan dan responden penulis di Tafure, Tabam, Sango dan
Tarau diantaranya Bung Ely, Kimalaha Labuha, Kimalaha Payahe, Nyira Sanga
Isa, Nyira Tafure, Om Ade, Om Daud, Bung Sarmin, serta lainnya dengan tidak
menyebut satu per satu, ucapan terimakasih penulis sampaikan atas informasi dan
data yang diberikan sesuai kebutuhan penelitian. Terimakasih kepada Bapak Ilyas
Bayau beserta keluarga yang telah berkenaan meminjamkan satu kamar di
rumahnya sebagai tempat penulis untuk menyelesaikan catatan lapangan dan
beristirahat disaat merasa lelah. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih atas
segala dukungan dan bantuan langsung maupun tidak langsung dari kawan-kawan
Panpel Festival Legu Gam 2008-2010, diantaranya Bpk. Hi, Rusdi Huesn, Bung
Ridwan (Ahong), Rahmat Hidayat, Ko Min, Zain Tomagola, Marina, Opa Hama, dll,
yang tidak sempat penulis sebutkan semuanya.
xii
Begitupun penulis ucapkan terimakasih atas kebersamaan dan dukungannya
selama ini kepada teman-teman kuliah di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB (Siti
Masitoh, Awaludin Hamzah, Witra, Husen Asa’di, dan Septri). Kepada kawan-kawan
penulis yang berkiprah sebagai dosen di UMMU Ternate, serta Ucapan Terima Kasih
yang tidak terhingga kepada Bpk. Dr. Kasman H. Ahmad selaku Rektor UMMU
Ternate atas izinnya kepada penulis untuk melanjutkan studi selama ini.
Akhirnya, kepada teman-teman penulis yang tak dapat disebutkan satu per
satu, penulis ucapkan terima kasih atas masukan, saran, dan kritikannya saat bersama
penulis, terutama Bung Jusmun Moid, Msi. dll.
Last but not least, penulis ucapkan terima kasih setulusnya kepada sang
isteri tercinta beserta anak-anak kami: Nia dan Nanda (Almarhuma) Nando,
Widya, Putri, Intan, yang tidak saja memberi dukungan moril dan spirit yang
menyemangati penulis dalam melanjutkan studi di negeri seberang. Semoga
atmosfer seperti ini terus bertahan dan menjadi pijakan untuk meniti buih
perjalanan hidup yang masih panjang. Dan biarlah komitmen serta kesejatian
hidup yang akan menuntun arah perjalanan hidup ini.
Bogor, Agustus 2010
Rinto TaibNRP. A.152050031
xiii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Ternate, pada tanggal 23 Mei 1979 dari
Ayah Taib Hi. Abdurrachman, SPd dan Ibu Djaitun S. Petta, Am.Pd. Penulis
anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan dasar, hingga sekolah
menengah atas diselesaikan di Kota kelahiran. Pada tahun 1996 penulis
terdaftar sebagai Mahasiswa Sosiologi Fisipol pada Universitas Pattimura
Ambon. Tahun 1999 diterima sebagai Mahasiswa jurusan Sosiologi Fisipol
Universitas Sam Ratulangi Manado hingga memperoleh Gelar Sarjana
Sosiologi (S1) Unsrat Manado di tahun 2001.
Kegiatan penelitian ilmiah yang pernah dilakukan diantaranya:
Membangun Daerah Pasca konflik di Sulawesi Tengah, Maluku Utara &
Maluku, bersama Tim Peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta. Pernah terlibat dalam penelitian
Lapang Potensi Ekonomi (Baseline Economic Survey / BLS) dan penelitian
16 komoditi agroindusteri berorientasi ekspor (SIABE) atas kerjasama BI
bersama LP3M IPB).
Aktif menulis di berbagai media lokal diantaranya: surat kabar harian
Malut Post, Ternate Pos, tabloid kampus (Jelajah UMMU), jurnal ilmiah
ilmu-ilmu sosial (Kawasa UMMU), Cermin Reformasi serta aktif dalam
berbagai kajian, diskusi, dan seminar lokal, nasional dan internasional, baik
sebagai peserta maupun narasumber. Selain beberapa artikel yang telah
dipublikasi pada jurnal dan surat kabar juga telah di publikasi pada beberapa
buku yaitu antara lain: ”Petani dalam Pusaran Negara dan Penguasa: Catatan
Pendampingan atas Konflik Tanah Ulayat di Ternate Maluku Utara (dalam
Jalan Panjang Perdamaian: PTD-UNDP Maluku Utara, Ternate, 2007) serta
Ekspansi Kapitalisme dan Perlawanan Revolusioner Sultan Babullah (dalam
Jejak Portugis di Maluku Utara: Ombak, Yogyakarta, 2007). Menulis buku
Ternate: Sejarah, Kebudayaan dan Pembangunan Perdamaian Maluku Utara
(2008).
xiv
Di bidang seni, sebagai penanggungjawab Komunitas Seni Gumutu
(KSG) yang merupakan salah satu kelompok seni teater di Maluku Utara.
Selain aktif menjadi Tenaga edukatif (Dosen) pada Fisip UMMU Ternate,
pernah menjabat Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisip UMMU
Ternate, Anggota Tim Perumus Hari Lahir Kota Ternate, juga direktur
eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
(LEPPSEK–Maluku Utara).
Rutinitas tugas dalam lembaga Kesultanan Ternate yang pernah
dilakukan adalah sebagai Ketua Semiloka Nasional Legu Gam Moloku Kie
Raha 2008 pada tanggal 12 April di Amara International Hotel. Koordinator
Seminar dan Dialog Budaya utusan Kesultanan Ternate pada Festival Keraton
Nusantara VI Gowa-Makassar 14-17 November 2008, Narasumber dalam
Serasehan Nasional Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat
berkerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI, Departemen Sosial RI dan
KOMNAS HAM, dengan topik: Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat
Hukum Adat Melalui Pemenuhan Hak-hak Konstitusionalnya, Jakarta 13-14
Desember 2008. Selain itu, sebagai Koordinator Lembaga Kebudayaan
Rakyat-Moloku Kie Raha (LEKRA-MKR), Dewan Pakar Kesultanan Ternate
sekaligus Perumus Draft Ranperda No. 13 tentang Perlindungan Hak-hak
Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate.
xv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................... 7
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 9
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 10
2.1. Konflik Pertanahan dan Pembangunan di Indonesia ................................ 10
2.2. Karakteristik Petani .................................................................................... 16
2.3. Masyarakat Adat ........................................................................................ 20
2.4. Analisis tentang Gerakan Sosial Baru ........................................................ 28
2.5. Hipotesis Pengarah ..................................................................................... 39
2.6. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 39
METODE PENELITIAN................................................................................... 44
3.1. Strategi Penelitian ....................................................................................... 44
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 45
3.3. Penentuan Subjek Kasus ............................................................................. 47
3.4. Teknik Pengumpulan Data.......................................................................... 48
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ......................................................... 49
3.6. Kesulitan yang Dihadapi ............................................................................. 50
3.7. Sistimatika Penulisan .................................................................................. 50
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN.............................................................. 52
4.1. Gambaran Umum Provinsi Maluku Utara .................................................. 52
4.2. Kondisi Geografis dan Karakteristik Lokasi Penelitian.............................. 53
4.3. Struktur Sosial Penduduk ........................................................................... 56
xvi
KONFLIK PEMBANGUNAN DAN
GERAKAN SOSIAL BARU ............................................................................ 59
5.1. Akar Konflik Maluku Utara ....................................................................... 59
5.2. Faktor-faktor Penyebab Sengketa .............................................................. 66
5.2.1. Perubahan Struktur Soaial - Ekonomi ......................................... 71
5.2.2. Dampak Lingkungan .................................................................. 76
5.3. Ikhtisar ...................................................................................................... 80
TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN
DARI PETANI MENJADI MASYARAKAT ADAT ...................................... 82
6.1. Ideologi Utama dan Aktor Pentng Gerakan Petani ................................... 82
6.2. Isu-isu yang Diusung sebagai ”Roh” Perlawanan Petani ........................... 92
6.2.1. Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Tetap ........................................ 92
6.2.2. Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Sementara................................. 98
6.3. Posisi Petani ditengah Pusaran Negara dan Penguasa ............................... 102
6.4. Intervensi Pemerintah, Respon Petani dan Dampak Gerakan
di Tengah Arus Kepentingan ..................................................................... 112
6.5. Ikhtisar ...................................................................................................... 122
INVOLUSI GERAKAN AGRARIA
7.1. Masa Pra Kemerdekaan .............................................................................. 124
7.2. Masa Kemerdekaan .................................................................................... 130
7.3. Infolusi Gerakan Agraria ............................................................................ 137
PENUTUP
8.1. Kesimpulan ................................................................................................ 141
8.2. Saran ........................................................................................................... 143
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Matriks Gerakan Perlawanan Petani dari Masa ke Masa ............................. 87
2. Matriks Perubahan Identitas Gerakan
dari ”Petani” menjadi ”Masyatarakat adat” ................................................. 90
3. Matriks Kapasitas Gerakan Agraria Dalam Setiap
Episode Kekuasaan Rezim ........................................................................... 138
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah ......................................... 42
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Matrriks Kebutuhan Data ............................................................................. 149
2. Panduan Pertanayaan Wawancara ................................................................. 151
3. Kuesioner Terbuka ....................................................................................... 153
4. Panduan Observas ........................................................................................ 155
5. Panduan Diskusi Kelompok Terfokus .......................................................... 156
6. Surat Keterangan Hak Cocatu ...................................................................... 157
7. Peta Lokasi Penelitian .................................................................................. 158
xx
DAFTAR SINGKATAN
A M A N : Aliansi Masyarakat Adat NusantaraB R I : Bank Rakyat IndonesiaG S B : Gerakan Sosial BaruI P : Indegeneous PeoplesN I C A : Netherlands Indies Civil AdministrationN I T : Negara Indonesia TimurR I : Republik IndonesiaR M S : Republik Maluku SelatanR I S : Republik Indonesia SerikatT N I : Tentara Nasional IndonesiaV O C : Vereenigde Oost - Indische CompagnieC D : Community DevelopmentC O : Community OrganozationD P D : Dewan Perwakilan DaerahF G D : Focus Group DiscussionH A M : Hak Asasi ManusiaL B H : Lembaga Bantuan HukumL K B H : Lembaga Konsultasi dan Bantuan HukumL S M : Lembaga Swadaya MasyarakatN G O : Non Government OrganizationP E R D A : Peraturan DaerahP P : Peraturan PemerintahS D A : Sumber Daya AlamS A M M U R A I : Solidaritas Mahasiswa Maluku Utara Untuk
Rakyat IndonesiaT P A Tempat Pembuangan AkhirU U : Undang-UndangU U P A : Undang-Undang Pokok Pembaruan AgrariaU M M U : Universitas Muhammadiyah Maluku Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu konflik sosial yang mengemuka dan terjadi hampir diseluruh
pelosok republik ini adalah konflik tanah dan pembangunan, yang berkaitan
dengan penggunaan tanah untuk aktivitas pembangunan itu sendiri seperti
pembangunan lapangan terbang Sultan Babullah di Ternate Maluku Utara saat ini.
Tanah dan pembangunan merupakan dua entitas yang tak dapat dipisahkan.
Secara sederhana dapat dikatakan tak ada pembangunan tanpa tanah.
Pembangunan selalu membutuhkan tapak untuk perwujudan proyek-proyek, baik
yang dijalankan oleh instansi dan perusahaan milik pemerintah maupun
perusahaan swasta.
Dengan dalih bahwa proyek pembangunan itu adalah proyek kepentingan
nasional, maka kewajiban rakyat pemilik tanah termasuk petani dan masyarakat
adat untuk merelakan hak penguasaan mereka atas tanah demi berdirinya sebuah
proyek pembangunan. Slogan pembangunan yang masih akrab ditelinga kita
"berkorban untuk pembangunan" menjadi upaya untuk memotivasi rakyat
pemilik tanah agar rela mengorbankan, bahkan semacam kewajiban agar rakyat
tidak perlu menuntut ganti rugi yang tinggi terhadap tanah yang sudah
dicadangkan bagi sebuah proyek pembangunan. UUPA tahun 1960 telah
melegitimasi dan memberikan wewenang kepada negara untuk mengambil
keputusan, mengontrol, mengelola penggunaan dan peruntukkan tanah dan
membuat aturan mengenai hal tersebut termasuk untuk pembangunan sebuah
proyek.
Selain itu, berdasarkan ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam misalnya antara lain
menyebutkan bahwa pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: menghormati supremasi hukum
dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum,
mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia, mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi
2
dan optimalisasi partisipasi rakyat, mengupayakan keseimbangan hak dan
kewajiban negara, pemerintah, masyarakat dan individu, melaksanakan
desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi,
kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan
pengelolaan sumber daya agraria (SDA).
Idealnya, dalam mengimplementasikan wewenang negara dalam
suatu proyek pembangunan, aparatur negara tidak boleh berbuat
sewenang-wenang. Realitas kesewenag-wenangan ini sangatlah bertolak
belakang dengan kebijakan-kebijakan penyelenggaraan negara dalam
pembangunan nasional untuk membawa rakyat Indonesia kepada
masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana selama ini dicita-citakan
oleh mayoritas rakyat di negeri ini.
Mereka perlu mengutamakan kepentingan rakyat seperti kemakmuran
dan kesejahteraannya. Bila sebaliknya maka, masalah pembangunan sangat
sulit dilepaskan kaitannya dengan kepentingan dan kekuasaan. apabila yang
terlibat dalam konflik pembangunan tersebut melibatkan massa rakyat
(petani) disatu sisi dan pemerintah (Pemda) pada sisi yang lain, meskipun
secara hukum berada pada posisi yang kuat, tapi karena tak ada daya tawar
politiknya, maka kekalahan selalu menjadi hal yang diterima oleh masyarakat
(petani).1
Pembangunan sering disamakan dengan pertumbuhan ekonomi,
dimana modal diinvestasikan melalui siklus umum produksi – distribusi
– konsumsi. Dewasa ini kita menyaksikan implementasi dari model
pertumbuhan ekonomi ini – yang biasa dikenal dengan kapitalisme -
terjadinya pemusatan kepenguasaan atas tanah yang luar biasa. Ini
berlangsung melalui dua mekanisme utama: pasar dan intervensi negara.
Intervensi negara dalam kepenguasaan atas tanah ini dapat kita lihat
pada contoh kasus perluasan pembangunan lapangan terbang bandara
1Disinilah nampaknya titik pangkal dari semua soal vang muncul dalam masalah pertanahan (DadangJuliantara dan Angger Jati Wijaya, 1995: 85). Dalam kenyataannya masalah konflik tanah untukkepentingan proyek pembangunan, sering memicu timbulnya permasalahan yang cukup kompleksadalah masalah ganti rugi yang tidak adil yang ditentukan secara paksa dan sepihak dari negara.
3
Sultan Babullah di Ternate yang terus menimbulkan posisi lain dari
pemusatan ini adalah melepasnya akses dan kontrol masyarakat petani
lokal atas tanah yang dikuasai sebelumnya.
Pengendalian ide-ide dan pelaksanaan pembangunan yang didominasi
oleh negara akhirnya menempatkan masyarakat dalam posisi yang
bersebarangan dengan negara, baik dalam makna sebagai subjek dari
pembangunan ataupun sebagai korban dari pembangunan yang dirancang
oleh negara. Termasuk didalamnya adalah segala bentuk penerimaan,
perlawanan, dan atau penolakan terhadap ide-ide pelaksanaan pembangunan
itu maupun terhadap aparatur negara.
Model kepenguasaan oleh negara tidak semata berdasar pada persoalan
sosial - ekonomi yang terkait dengan ganti rugi, melainkan pula merupakan
wujud dari model pembangunan politik otoritarian yang berkonsekuensi pada
segala macam organisasi yang memiliki akses dan kontrol terhadap tanah harus
merubah diri agar tunduk terhadap pelbagai implementasi dari otoritarianieme.
Dalam hal ini, berbagai cara yang digunakan oleh institusi politik otoritarian
adalah penggunaan instrumen hukum, manipulasi dan kekerasan. Intinya adalah
bahwa ideologi "rapid growd economy" melalui pilar utama yakni modernisasi,
melakukan delegitimasi terhadap pemilikan tanah-tanah komunal sehingga
konflik tanah antara masyarakat petani vs pemerintah hingga saat inipun belum
menemukan solusi yang dipandang adil bagi masyarakat petani.
Fenomena inilah menunjukkan bahwa praktek pembangunan dengan
menggunakan negara sebagai alat legitimasi atas kepenguasaan tanah demi
pembangunan yang sebelumnya menjadi milik masyarakat akhirnya
melahirkan konflik pembangunan yang memicu protes dikalangan
masyarakat dan memberi peluang lahirnya perlawanan rakyat “social
movement”. Meskipun mendapat tantangan dan protes dari berbagai pihak,
dalam kenyataannya sampai sekarang baik pemerintah dan pelaku
pembangunan masih dirasakan kurang adanya keberpihakan kepada
masyarakat adat pemilik tanah sehingga seringkali melahirkan lahirnya
gerakan perlawanan rakyat yang berbasiskan kaum tani sebagaimana yang
terjadi pada beberapa komunitas masyarakat di Ternate Maluku Utara saat
4
ini untuk melawan kebijakan pemerintah daerah dalam aktivitas proyek
perluasan pembangunan lapangan terbang.
Memang disadari bahwa aktivitas perluasan pembangunan bandara tersebut
juga sebagai salah satu kebutuhan akan moda transportasi yang tidak dapat
dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang dikelola dalam sistem
transportasi nasional. Pentingnya moda transportasi tersebut tercermin dari
semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta
barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air bahkan antar negara. Di samping itu,
aktivitas perluasan pembangunan bandara tersebut juga berperan sebagai faktor
pendorong pertumbuhan daerah seperti Ternate Maluku Utara yang cukup
potensial untuk dikelola secara profesional dan optimal demi peningkatan kualitas
hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah ini tanpa mengabaikan aspek pelayanan
angkutan, keselamatan penumpang, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta
tidak menimbulkan dampak terjadinya konflik horizontal serta dampak ekologis
yang menyertainya. Dapat disebutkan beberapa dampak yang ditimbulkan akibat
aktivitas perluasan / pelebaran pembangunan Bandar Udara Sultan Babullah adalah
aspek sosial, budaya, ekologi dan kesehatan lingkungan bagi masyarakat adat
disekitar Bandara tersebut sehingga telah menyebabkan lahirnya gerakan sosial
sebagai manifestasi rasa ketidakpuasan masyarakat korban pembangunan tersebut.
Terkait dengan dampak ekologis dari perluasan / pelebaran pembangunan
Bandara ini, maka prinsip pembangunan berwawasan lingkungan merupakan salah
satu prinsip yang harus digunakan untuk mengukur dampak ekologis yang lebih
luas. Pengalaman pembangunan Bandar Udara di Indonesia selalu menunjukkan
bahwa setiap daerah memiliki karakteristik kewilayahan, kondisi sosial budaya
masyarakat setempat yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Sehingga perlu adanya kajian komprehensif atas setiap aspek kebijakan
pembangunan sebelum rencana pembangunan tersebut dilaksanakan. Hal ini
tentunya sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan dini bagi munculnya konflik
horizontal bahkan tidak tertutup kemungkinan bagi berlangsungnya konflik
vertikal (antara rakyat vs negara) yang pada akhirnya semakin memperburuk
situasi yang diinginkan dari tujuan pencapaian pembangunan itu sendiri. Termasuk
didalamnya adalah adanya perhatian terhadap aspek pemberdayaan masyarakat di
sekitar wilayah Bandara tersebut sehingga menciptakan iklim kerjasama dan
5
meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga stabilitas operasional
penerbangan serta ikut memiliki akan berbagai fasilitas Bandara Udara tersebut.
Kondisi seperti ini tentunya sangat diperlukan sebagai upaya meminimalisir
terjadinya konflik akibat pembangunan itu sendiri yang telah menimbulkan
kehilangan lahan untuk bertani dan hilangnya hak ulayat mereka. Hal ini tentunya
harus diperhatikan karena dalam konteks kehidupan masyarakat tani,
pembangunan adalah kondisi eksternal yang menekan mereka sehingga seringkali
menimbulkan pemberontakan-pemberontakan atau memunculkan gerakan-gerakan
petani. Seperti pernah dikataakan oleh Landberger atau Alexandrov bahwa
permulaan suatu gerakan petani tidak hanya dengan sendirinya mewakili suatu
perubahan, tetapi merupakan suatu konsekuensi dari perubahan yang
mendahuluinya seperti halnya setiap kejadian historis. (Fauzi, 1997: 69). Segala
bentuk penerimaan, perlawanan dan penolakan masyarakat terhadap pembangunan
proyek fisik tersebut menyangkut hubungan sekelompok orang dengan tanahnya
yang merupakan tanggapan atas kebijakan negara yang menimbulkan perubahan-
perubahan struktur penguasaan, pemilikan dan penyewaan tanah, perubahan dalam
distribusi pendapatan dan status sosial dikalangan masyarakat setempat.
Segala tanggapan itu bisa ditempatkan sebagai bentuk tanggapan
masyarakat lokal terhadap perkembangan sosial masyarakat yang lebih luas
dan telah dipenuhi unsur-unsur budaya, politik dan ekonomi dominan. Disini
negara berperan sebagai agen inovatif dari perubahan dan juga berperan
sebagai agen perantara dan penetrasi unsur-unsur budaya, politik dan ekonomi
dominan, atau negara dan aparatusnya memiliki suatu kepentingan tersendiri
atas perubahan tersebut yang tidak harus sejalan atau mencerminkan aspirasi
rakyat, malah seringkali bertentangan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat
sebagaimana yang terjadi di Ternate Maluku Utara.
Diketahui bahwa pihak pemerintah daerah propinsi dalam pembebasan
tanah tidak dilakukan secara jual beli biasa dengan berpatokan pada harga
umum yang berlaku merata di masyarakat, tetapi ditentukan secara sepihak
tanpa musyawarah dengan warga masyarakat pemilik tanah, dan dasar acuan
penetapan harga dasar tanah adalah harga dasar tanah yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah propinsi yang nilainya sangat rendah yaitu sebesar Rp.
15.000,00 (lima belas ribu per meter) dengan jumlah total luas tanah yang
6
disengketakan adalah seluas + 1. 400.53..666 Ha. (satu juta empat ratus lima
puluh tiga ribu enam ratus enam puluh enam hektar).
Hal ini dianggap masyarakat tidak sesuai dengan harga yang berlaku
umum dipasaran. Dan rakyat pemilik tanah tidak berdaya menghadapinya,
karena posisi mereka baik secara ekonomi maupun politik lemah dalam
negosiasi/tawar menawar. Meskipun demikian, mereka tetap menuntut
pengambilalihan hak atas tanah mereka melalui tuntutan ke lembaga
legislatif dan eksekutif, baik ditingkat daerah maupun ketingkat pusat
(Jakarta), selain melakukan aksi-aksi protes lainnya hingga mewujud
gerakan sosial yang mendapat dukungan perluasan jejaring antara warga
masyarakat setempat dengan gerakan-gerakan yang bertujuan sama yaitu
para aktivis Ornop dan elemen mahasiswa, (dalam terminologi Touraine
disebut sebagai gerakan sosial baru) 2.
Dengan demikian maka, proses berlangsungnya gerakan sosial
masyarakat adat sesungguhnya merupakan indikator bahwa masyarakat adat
kini semakin kritis terhadap gejala perubahan, serta makin tinggi kesadaran
kritisnya dalam setiap fenomena sosial disekelilingnya, maka pembangunan
yang berkesinambungan dapat terwujud apabila masyarakat dapat
mendukung sepenuhnya, dan dukungan itu muncul apabila mereka
merasakan manfaat positif dari pembangunan tersebut terutama yang terkait
dengan pemenuhan kebutuhan hidup mendasar.
Gejala ini sangat menarik untuk diteliti, karena terlihat adanya paradoks
antara gambaran ideal yang ingin dicapai dengan kenyataan yang terjadi
dalam masyarakat. Masyarakat yang seharusnya mendukung pembangunan
atau ikut bangga dengan adanya lokasi proyek pembangunan yang berada
2Touraine (dlm. Victor Silaen, 2006: 30) mendefinisikan gerakan sosial baru sebagai gerakan sejumlahwarga masyarakat yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial, yang tujuan dan strateginyamemiliki pertalian sosial dan rasionalitas sendiri. Fungsi mereka tak dapat dipahami dalam logikatatanaan kelembagaan yang ada, karena fungsinya yang menyimpaang benar-benar merupakantantangan bagi logika itu dan mentransformasikan hubungan sosial yang dicerminkan dandiperkuatnya. Sebagai perbandingan, Larana dkk. mengidentifikasi cirr-ciri gerakan sosial baru adalah:1). mentransendensikan struktur kelas; 2). memperlihatkan kemajemukan gagasan dan nilai-nilai; 3).memfokuskan pada isu budaya dan simbolik yang terkait dengan identitas daripada ekonomi; 4).hubungan antara individu dan ekonomi menjadi kabur; 5). melibatkan segi-segi pribadi dan keakrabanhidup manusia; 6). semangat anti kekerasan dan pembangkangan sipil; 7). terkait dengan krisiskredibilitas dan ruang partisipasi; 8). cenderung tersegmentasi, kabur dan terdesentralisasikan.
7
didaerahnya, ternyata bersikap sebaliknya, yaitu menentang secara terang-
terangan. Hal ini dapat ditelusuri dengan mengkaji faktor-faktor penyebab
konflik sosial apabila dikaitkan dengan rumusan masalah dalam penelitian
ini. Selain itu, yang menarik dari penelitian ini adalah peran lembaga adat
(Sultan) yang mampuh berperan sebagai figur netral ditengah upaya
masyarakat adat untuk mendapatkan hak-hak atas tanahnya. Sekali lagi perlu
diketahui bahwa tanah tersebut merupakan tanah milik Kesultanan (status
tanah adat) yang diberikan kepada masyarakat untuk diolah sebagai lahan
pertanian, sarana perumahan dan kebutuhan lainnya. Dalam posisinya
sebagai Sultan, rakyat seolah mendapatkan kekuatan khususnya dalam hal
penguasaan/pemilikan atas tanah, karena tidak ada pihak manapun termasuk
negara yang bisa mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya.
Hal ini terbukti ketika berlangsungnya beberapa bentuk aksi
masyarakat dalam menyuarakan aspirasi dan tuntutannya ke pihak
pemeerintah, terkesan seolah ”meminta restu” terlebih dahulu dari Sultan.
Namun disatu sisi, sang Sultan juga adalah anggota DPD-RI bersama
permaisurinya sebagai anggota DPR RI. Keberadaannya dalam instrumen
alat negara yang demikian, seringkali terkesan memperlemah corak
perlawanan dan pola hubungan yang terjalin diantara gerakan perlawanan
masyarakat lokal.
1.2. Perumusan Masalah
Berbagai penelitian telah dilakukan berbagai pihak untuk menemukan
penjelasan rasional dan ilmiah tentang latar munculnya gerakan masyarakat
adat. Sebuah pertanyaan besar yang selalu menjadi menarik atas persoalan
ini adalah mengapa masyarakat adat yang tinggal jauh dari daerah kota yang
sangat bersahaja dalam hidupnya menjadi kelas sosial yang sangat gigih dan
tak henti-hentinya melakukan gerakan perlawanan terhadap sistem
kekuasaan. Industrialisasi pembangunan ternyata turut menyumbang kepada
marjinalisasi masyarakat adat dan menaikkan jumlah masyarakat tani tak
berlahan. Dengan kata lain, hal ini tidak terlepas dari mekanisme
pelaksanaan kebijakan agraria yang bertumpu pada industrialisasi
pembangunan dan bersumber dari ideologi pertumbuhan ekonomi.
8
Pelaksanaan industrialisasi dan pembangunan tersebut akhirnya harus
berhadapan secara langsung dengan masyarakat adat yang memiliki basis
ekonomi bertani. Kebijaksanaan pembangunan selama ini telah menciptakan
adikuasa-adikuasa ekonomi dan persaingan bebas yang mengakibatkan
penindasan dari kelompok ekonomi kuat terhadap yang lemah, kecemburuan
sosial dan disparitas pendapatan yang tinggi di antara kelompok masyarakat.
Berbagai kebijakan negara dengan diterapkannya sistem yang sentralistis
dan yang menolak prinsip kerakyatan, telah mematikan semangat rakyat di
daerah untuk mampuh membuat keputusan sendiri; bahkan selanjutnya,
kebijaksanaan yang terpusat dan represif itu telah menciptakan rasa suka dan
tidak suka di antara rakyat, serta menimbulkan potensi konflik dikalangan
rakyat. Ekspresi konflik pembangunan di Ternate misalnya menunjukkan
bahwa dimensi persoalan pemanfaatan tanah demi pembangunan, sudah
tidak cukup hanya dipahami sebagai persoalan sengketa tanah “an sich”.
Sengketa tanah mengandung dimensi sistem ekonomi, politik, hukum dan
ekologi dalam akses dan kontrol atas tanah. Selain itu, konversi tanah pertanian
rakyat di Ternate yang menjadi lapangan terbang ini telah menyebabkan
perubahan struktur sosial ekonomi yaitu terhapusnya sumber mata pencaharian
dan perubahan struktur budaya lokal yang ditandai dengan hilangnya hak ulayat.
Dengan demikian maka lahirnya gerakan sosial juga merupakan wujud situasi
psikologis mereka ketika tatanan kehidupannya diperhadapkan dengan krisis
struktural dan kultural tersebut diatas. Atas dasar hal tersebut, maka
pertanyaan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana faktor-faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan
perlawanan masyarakat terhadap perluasan pembangunan Bandara Udara
Sultan Babullah Ternate ?
2. Bagaimana proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosial baru di
Ternate serta kaitannya dengan isu-isu dampak lingkungan, dampak
sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-hak masyarakat
adat ?
3. Sejauh mana gerakan petani dapat menjadi solusi untuk merebut hak-hak
petani sekaligus diandalkan sebagai wadah perjuangan nasib petani ?
9
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan penelitian tersebut, yaitu:
1. Memahami faktor-faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan
perlawanan rakyat terhadap perluasan pembangunan Bandara Udara
Sultan Babullah Ternate ?
2. Mengkaji dimensi proses terbentuk dan berkembangnya gerakan
sosial baru di Ternate serta kaitannya dengan isu-siu dampak
dilingkungan, dampak sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah
ulayat dan hak-hak masyarakat adat?
3. Mengetahui sejauh mana gerakan petani dapat menjadi solusi merebut
hak-hak petani sekaligus diandalkan sebagai wadah perjuangan nasib
petani ?
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan
penelitian tersebut, dengan harapan, apabila faktor-faktor penyebab
munculnya gerakan-gerakan perlawanan rakyat terhadap aktivitas
pembangunan sebagai respon atas permasalahan tersebut dapat dijawab,
maka konflik-konflik pembangunan berbasis masyarakat petani/adat versus
negara dikemudian hari dapat dikurangi.
Tujuan khusus penelitian ini ingin menjelaskan suatu gejala sosial yang
disebut gerakan sosial, baik dari segi struktur internal, proses terjadinya hubungan
dengan gerakan lainnya sehingga kita dapat menyelami kehendak masyarakat dan
pada gilirannya dapat lebih mengoptimalkan manfaat pembangunan bagi seluruh
lapisan masyarakat. Selain itu juga, dari sudut pandang akademik, kegiatan
penelitian ini juga bermaksud untuk mengembangkan teori-teori yang sudah ada
khususnya teori-teori gerakan sosial.
Peneliti akan berusaha membangun teori dari bawah tanpa melepaskan
dari kerangka teori yang sudah ada, sebab tanpa berpijak dari teori yang
sudah ada, maka peneliti bisa kehilangan arah. Bertolak dari teori gerakan
sosial yang sudah ada, peneliti berusaha membuat kategori, untuk melihat
apakah gerakan sosial masyarakat Tafure Ternate tersebut dapat dimasukkan
sebagai bentuk gerakan sosial baru atau bukan. Titik tolaknya adalah dengan
melihat ciri-ciri yang melekat pada gerakan sosial pada umumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konflik Pertanahan dan Pembangunan di Indonesia
Dalam penelitian Ngadisah tentang Gerakan Sosial Politik di Papua
digunakan alur kesinambungan sebuah gerakan sosial, dari adanya konflik, ke
gerakan protes/perlawanan menuju terbentuknya gerakan sosial dan selanjutnya
berkolaborasi dalam gerakan politik. Ngadisah mengibaratkan seperti pohon,
gerakan sosial berasal dari suatu kondisi ketegangan sosial yang berperan sebagai
“lembaga” yang berpotensi menjadi “pohon” dengan sistemnya sendiri, yang bias
timbul, berkembang, atau mati.
Dalam kasus Mimika, kondisi yang melandasi timbulnyagerakan sosial adalah konflik yang sudah ada sebelumPTFI berdiri, kemudian bertambah kompleks (rumit)dengan kedatangan perusahaan pertambangan tersebut.Konflik ini diibaratkan sebagai akar dari “pohon” gerakansosial, protes ibarat sebagai batang dan gerakan adat ibaratranting dan daun. Puncak pertumbuhan gerakan sosialadalah terbentuknya kelompok kepentingan atau gerakanpolitik.
Permasalahan sengketa tanah dalam kasus pembangunan bandara antara
masyarakat tani Tafure dengan pihak Bandara Sultan Babullah Ternate tidak
lepas dari terjadinya konflik antara dua pihak. Konsep tentang konflik akan
digunakan peneliti untuk secara mendalam mencermati apa saja hal yang menjadi
harapan-harapan petani dan bagaimana keterbatasan kemampuan mereka dalam
mewujudkan harapan tersebut, sehingga akan diketahui sumber penyebab
terbentuknya gerakan petani di sana. Berikut ini peneliti akan menguraikan
tentang teori konflik. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih
(individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-
sasaran yang tidak sejalan1.
1 Chris Mitchell dalam Simon, dkk., Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi UntukBertindak, Zed Books, Responding To Conflict (RTC), hal.4.
11
Teori transformasi konflik2 berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai
masalahmasalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini
adalah:
1. Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi.
2. Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-
pihak yang mengalami konflik.
3. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan
pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.
Teori konflik dialektis3 meliputi point-point berikut ini:
1. Kepincangan pada distribusi sumber daya akan mempengaruhi keleluasaan
bagian-bagian suatu sistem sosial untuk mengungkapkan konflik kepentingan.
2. Kesadaran bahwa keabsahan sistem yang ada tidak mampu memenuhi
kebutuhan mereka. Adanya rasa rugi pada suatu golongan dan golongan yang
lebih rendah menyadari bahwa ada konflik kepentingan dengan para pihak
yang menguasai sebagian besar sumber-sumber daya yang tersedia. Hal itu
menyebabkan ketegangan yang terjadi dalam situasi masyarakat yang
dirugikan, perasaan terasing, kemampuan warga masyarakat untuk saling
berhubungan, dan kemampuannya untuk mengembangkan suatu ideologi
yang mempersatukan. Faktor-faktor tersebut memungkinkan mereka bersatu,
diperkuat dengan konsentrasi ekologis dan kesempatan mendapatkan
pendidikan.
3. Kelompok subordinat dalam sebuah sistem menyadari tentang kepentingan
kolektif dan upaya besar menjamin keabsahan pada distribusi sumber daya
yang terbatas, maka mereka bergabung dalam konflik terbuka melawan
kelompok dominan. Hal itu disebabkan oleh tidak adanya kemampuan
kelompok dominan untuk memanifestasikan kepentingan kolektif,
kesenjangan pada kelompok subordinat dari landasan absolut ke landasan
yang relatif, dan kemampuan kelompok subordinat untuk mengembangkan
struktur kepemimpinan politik.
2 Ibid., Simon Fisher, hal. 9.3 Baca uraian menurut Jonathan H. Turner dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini,
Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi, Sinar Grafika, 1988,hal.66-67.
12
4. Peningkatan kesatuan ideologi anggota kelompok subordinat pada sebuah
sistem, akan lebih mengembangkan struktur kepemimpinan politik mereka,
dan lebih dapat menentang kelompok dominan dan menundukkan sistem.
5. Upaya menentang dominan dan menundukkannya, meningkatkan kekerasan
dalam konflik.
6. Kehebatan konflik, akan mengakibatkan perubahan struktur dalam sistem dan
kemajuan pada redistribusi kelangkaan sumber daya.
Selanjutnya Georg Simmel mengembangkan teori konflik fungsional,
menurutnya terjadinya konflik tidak terelakkan dalam masyarakat. Simmel lebih
mengutamakan akibat-akibat konflik daripada perubahan sosial. Simmel menganggap
konflik sebagai pencerminan dari pertentangan kepentingan maupun naluri untuk
bermusuhan. Naluri demikian dapat meningkat karena ada pertentangan atau kurang
karena hubungan serasi maupun kasih sayang4.
Dalam proposisi-proposisi mengenai intensitas konflik, Simmel menyatakan
bahwa hakekat organisasi kelompok dan konteks struktural yang lebih luas dari
konflik akan mempengaruhi intensitas konflik. Namun dalam proposisi-proposisi
mengenai fungsi konflik. Simmel menyatakan bahwa intensitas konflik menyebabkan
terjadinya perubahan pada organisasi kelompok-kelompok yang bertikai, sehingga
meningkatkan perbedaan pola-pola organisasi dalam keadaan yang berbeda5.
Dalam sebuah paradigma gerakan yang semakin berkembang saat ini.
Proposisi-proposisi dari Simmel akan membantu dalam memahami realita pergeseran
karakteristik maupun orientasi gerakan akibat konflik dalam suatu sistem sosial.
Penguatan intensitas konflik akan mendorong terjadinya perubahanperubahan
paradigma gerakan untuk merealisasikan esensi dan tujuan gerakan. Simmel juga
mengadakan visualisasi terhadap suatu proses umpan balik resiprokal, suatu
organisasi kelompok pada titik tertentu menentukan intensitas konflik, yang
mempengaruhi organisasi kelompok, yang kemudian mempengaruhi konflik-konflik
selanjutnya, sehingga salah satu pihak atau pihak ketiga mampu mengakhiri konflik
tersebut. Dalam proses yang merupakan siklus umpan balik itu, suatu taraf intensitas
konflik yang tinggi menyebabkan terjadinya demarkasi batas-batas kelompok yang
jelas, kepemimpinan despotis apabila sebelumnya terjadi disintegrasi kelompok.
4 Ibid, Soerjono Soekanto, hal. 70.5 Ibid, Soerjono Soekanto, hal. 73.
13
Kecuali itu juga akan terjadi solidaritas internal apabila kelompok itu kecil dan
merupakan minoritas, serta kalau kelompok itu dalam posisi mempertahankan diri6.
Teori konflik dalam sosiologi mendapat banyak pengaruh dari tesis-
tesis oleh Marx tentang perkembangan masyarakat. Marx memandang
perkembangan masyarakat sebagai sebuah keniscayaan sejarah yang disebut
Materialisme Historis (Giddens, 1986). Di dalam doktrin materialisme
historis dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat merupakan dialektika
(thesis-antiteis-sintesis) dari pertentangan-pertentangan internal yang berasal
dari mode of production. Mode of production inilah yang disebut sebagai
basis material yang terdiri dari dua tiang (Johnson dlm. Agusta, 2000).
Pertama, relation of production yang berupa hubungan sosial ekonomi yang
terjadi antara produsen dan non produsen dalam produksi ekonomis. Kedua,
Force of Production yang meliputi bahan mentah, perkakas dan instrumen,
dan pembagian kerja teknis. Jika tidak ada pembagian kerja teknis maka
disebut Means of production (alat-alat produksi).
Konflik dalam masyarakat terbentuk karena distribusi kewenangan:
(autaority) yang tidak merata. Kewenangan tidak melekat pada pribadi tetapi
pada sejumlah posisi. Atas dasar asusmsi tersebut maka, masyarakat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok super ordinat dan subordinat.
Proses sosial berlangsung atas kontrol dan paksaan pihak yang sedang
berkuasa terhadap yang subordinat. Kepentingan kelompok ordinat ialah
memelihara status quo sedangkan bagi kelompok subordinat adalah
perubahan. Semua orang yang berada dalam kelompoknya mempunyai
kepentingan dan perasaan yang sama untuk melakukan perubahan.
Dalam pandangan sosiologi Marx, konflik agrarian yang tersebar
merata di Indonesia sejak masuknya bangsa eropa yang dipahami sebagai
sengketa antar cara produksi di dalam formasi sosial kapitalis. Nuansa
konflik agrarian merupakan determinasi konflik cara produksi kapitalis
dengan subsisten manakala alat produksi yang dikuasai petani, yaitu tanah,
diambil alih oleh pihak pemerintah ataupun swasta untuk usaha komersial.
6 Ibid, Soerjono Soekanto, hal. 73.
14
Pemilikan dan penguasaan tanah merupakan faktor penting dalam setiap
masyarakat, apa pun model sistem sosial-ekonomi-politik yang dianut di
dalamnya. Kenyataan ini mendorong masyarakat untuk mempertahankan
hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak luar termasuk negara. Dengan
dasar ini maka, seringkali terjadi persoalan pembangunan dan sengketa tanah
di Indonesia dengan melibatkan berbagai elemen negara baik pusat maupun
daerah. Dengan sendirinya setiap usaha pihak luar termasuk negara untuk
memiliki atau menguasai hak atas tanah di dalam suatu wilayah komunitas
lokal maka akan mendapat perlawanan dari masyarakat setempat, dan konflik
secara terbuka atau tersembunyipun tidak dapat dielakkan.
Mengenai lingkup agrarian, Sitorus membedakan menjadi objek agraria
dan subjek agrarian (Sitorus dalam Suhendar et al, 2002: 34-39). Objek
agrarian terdiri dari tanah, air, hutan, bahan tambang, dan udara. Dengan
objek inilah hubungan sosial ekonomi terbentuk menjadi kegiatan pertanian,
perikanan, perhutanan, pertambangan, dan kedirgantaraan. Sedangkan subjek
agrarian adalah pemanfaat sumber-sumber agrarian yang terdiri dari
komunitas (rumah tangga), pemerintah (wakil Negara), dan swasta
(perusahaan).
Ketiga subjek tersebut diatas merupakan gejala umum yang
menggambarkan bagaimana struktur anatomi permasalahan konflik
pembangunan dan sengketa agraria di Indonesia. Akan tetapi untuk kasus
Ternate, perlu kami tambahkan satu unsur lagi dalam pemerintahan (wakil
negara) yaitu pemerintahan kerajaan atau kesultanan sebagai insrumen
terpisah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara (dalam arti formal).
Pemisahan ini perlu dilakukan karena secara de jure maupun de facto,
eksistensi penyelenggaraan pemerintahan kesultanan Ternate dalam tatanan
masyarakat lokal hingga kini masih terus berlangsung pada segi yang lain,
terdapat juga peran negara.
Kenyataan ini seolah menunjukkan bahwa praktek negara bayangan
(shadow state)7 melalui penyelenggaraan pemerintahan kesultanan disatu sisi
7baca, Latar Historis: Otoritas Kesultanan Ternate dan Model Birokrasi Negara Bayangan
”shadow state”.
15
dan pemerintahan negara (RI) menjadi penyebab meluasnya dimensi
permasalahan petani dan masyarakat adat di daerah ini. Hubungan sosial
diantara unsur-unsur (subjek) tersebut membuahkan sengketa yang bernuansa
budaya, sosial, ekonomi dan politik, bahkan secara ideologis. Sebagaimana
dijelaskan oleh Aditjondro (Aditjondro dlm. Fauzi, 1999: 7-8) bahwa
ekspansi konflik agrarian sudah tidak bisa dipahami sebagai sengketa tanah
an sich. Sengketa tanah adalah akumulasi sengketa yang mendasar berupa
sengketa antar sistem ekonomi, mayoritas-minoritas, rakyat versus negara.
Menurut Fauzi (1997), bahwa pengambilan tanah-tanah rakyat demi
pembangunan, dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran
dengan menggunakan kekerasan, penaklukan dan manipulasi ideologis
dengan cara-cara yang melanggar HAM. Beberapa cara yang sering
dilakukan untuk melepaskan hak penguasaan dan pemilikan tanah rakyat
antara lain adalah: a). Membuat kecelakaan massal seperti kebakaran, yang
kemudian wilayah tersebut tidak diijinkan lagi untuk dibangun oleh penghuni
yang lama; b). Mengembangkan calo-calo tanah yang beroperasi dari rumah
ke rumah yang lain, yang berisiko pada rendahnya perolehan harga pelepasan
hak atas tanah; c). Melakukan intimidasi, teror dan kekerasan fisik secara
langsung maupun tidak langsung, seperti menjadikan lokasi daerah yang akan
dibebaskan sebagai lokasi latihan perang-perangan bagi militer atau
melakukan tindak kekerasan pada salah satu tokoh masyarakat yang paling
keras mempertahankan hak-hak mereka atas tanah; d). Pemancangan pelang,
pematokan tanah, perataan tanah, dan pembuldoseran yang akan dijadikan
area proyek; e). Melakukan delegitimasi penguasaan tanah yang tidak
mempunyai bukti sertifikat formal atau mendelegitimasi sertifikat yang telah
dimiliki warga; f). Menetapkan ganti rugi tanah secara sepihak; g).
Memanipulasi tanda tangan persetujuan untuk pelepasan hak atas tanah; h).
Memberikan stigma sosial dan politik (seperti pemberian kode ET-Eks Tapol
atau PKI) dan mematikan hak-hak perdata rakyat yang berusaha
mempertahankan tanah yang akan diambil untuk kepentingan proyek; i).
Mengembangkan program bedol desa atau transmigrasi massal mereka yang
tanahnya diperluaskan untuk proyek-proyek raksasa.
16
2.2. Karakteristik Petani
Petani adalah seseorang, laki-laki maupun perempuan, yang secara sendiri,
sebagai bagian dari sebuah rumah tangga yang selanjutnya disebut sebagai
keluarga batih dan yang ikut tinggal satu atap dan makan satu dapur, sebagai
bagian dari paguyuban, maupun kelompok masyarakat hak adat, baik yang diam
di negara RI sebelum beradanya - sebagai kesatuan administrasi dan politik
maupun sesudahnya, memiliki maupun menguasai, mengawasi maupun
mengelola dan mengerjakan sebagai buruh, mengolah maupun mengembangkan
sumber-sumber daya agraria dengan tenaga kerja serta daya cipta pikirannya dan
asupan-asupan lainnya, sehingga menghasilkan sebagian maupun seluruh
kebutuhan-kebutuhan hidup, yang digunakan untuk melangsungkan maupun
mengembangkan diri dan keturunannya, dengan cara dikonsumsi, disimpan
maupun ditukarkan dengan berbagai kebutuhan lainnya, agar semakin
meningkatkan kelayakan hidupnya, semakin memberikan arti akan keberadaannya
sebagai manusia, serta menjaga kelestarian lingkungan dan keanekaragaman
hayati karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Pembagian petani di Indonesia dalam berbagai pengertian, sebagai berikut:
1. Petani pemilik penggarap, yang memiliki mengelola sendiri (dengan
tenaga keluarga dan/atau tenaga upahan dari luar) lahan pertaniannya.
2. Petani penyewa penggarap, yang menguasai lahan pertanian dari menyewa
dan mengelola sendiri (dengan menggunakan tenaga keluarga dan/atau
tenaga upahan dari luar) lahan pertaniannya tersebut.
3. Petani penggarap, yang menguasai lahan-pertanian berdasarkan hak
menggarap (menyakap) dengan perjanjian “bagi hasil” yang telah
disepakati dengan pemilik dan mengelola sendiri (dengan tenaga keluarga
sendiri dan/atau tanpa tenaga upahan dari luar) lahan pertaniannya
tersebut.
4. Petani pemilik bukan penggarap, yang memiliki lahan pertanian tetapi
tidak mengelolanya sendiri karena beberapa sebab seperti: disewakan,
digadaikan, disakapkan atau dibagi-hasilkan.
17
5. Buruh tani atau petani tak bertanah, yang hidup atau mata pencaharian
pokoknya dari sektor pertaniannya tetapi ia sendiri tidak memiliki dan/atau
menguasai sebidang tanah pun8.
Sejarah pemilikan tanah di Indonesia modern setidaknya telah dimulai
kira-kira abad ke-19. Itu menyangkut sejarah negosiasi di antara negara dan
masyarakat tentang pemilikan dan pengelolaan tanah. Pihak lain yang semakin
banyak mempengaruhi negosiasi ini adalah perusahaan-perusahaan transnasional
dalam era Orde Baru. Pemerintah Indonesia, meminjam perspektif James C. Scott
dengan ‘simplifikasi negara’ negara cenderung melegalisasi dan meregulasi
pengelolaan dan penguasaan tanah yang terlalu ketat dan seragam untuk
kepentingan sendiri, di tengah kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-
beda karena pluralitas kebudayaan9.
Dalam konteks struktural, Scott mengkaji tentang hubungan negara
dengan gerakan perlawanan petani sebagai berikut: “struktur agraris yang rapuh
dan eksplosif pada umumnya merupakan produk interaksi antara tiga kekuatan:
perubahan demografis, produksi untuk pasar, dan pertumbuhan negara. Arah
perkembangan demografis-pertambahan penduduk, okupasi semua tanah
pertanian-memperlemah kedudukan petani terhadap orang-orang yang menguasai
tanah…peranan negara sebagai pemaksa-kekuatan untuk memaksa pelaksanaan
kontrak-kontrak melalui pengadilan dan untuk mematahkan perlawanan kaum
tani-memungkinkan para pemilik tanah dan rentenir untuk merenggut
keuntungan-keuntungan yang sebesar-besarnya dari kedudukan mereka yang lebih
kuat10.
Peristiwa perlawanan petani di berbagai daerah pada era Orde Baru maupun
sesudahnya menunjukkan petani bukan masyarakat yang diam dan pasif. Revolusi
dapat mengalir dan berkekuatan besar di kalangan petani pedesaan dan menentukan
arah perubahan masyarakat. Kegagalan teori modernisasi pembangunan dalam
8 Totok Mardikanto, dan Sri Sutami, Pengantar Penyuluhan Pertanian:Dalam teori danPraktek, Lembaga Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (LSP3), Hapsara, Surakarta,1982, hal. 54-55
9 Dalam Anu Lounela dan R. Yando Zakaria, Berebut Tanah: Beberapa Kajian BerprespektifKampus dan Kampung, Insist, Jurnal Antropologi UI, Karsa (Lingkar untuk Pembaruan Desadan Agraria), 2002, hal.7
10 James Scott, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, LP3ESJakarta, 1981, hal. 300.
18
menjalankan tugasnya sebagai pemicu gerakan adalah akar pemikiran sosial untuk
memahami revolusi dan realitas politik petani (sebagai kekuatan di masyarakat yang
acap diandaikan terbelakang tersebut).11
Penelitian mengenai gerakan petani menggunakan tiga pendekatan, yaitu
pendekatan moral-ekonomi, pendekatan historis dan pendekatan ekonomi-politik.
Pendekatan perspektif moral-ekonomi dipelopori oleh Wolf (1969), Scott
(1976), dan Migdal (1974). Pendekatan moral ekonomi menghubungkan gerakan
perlawanan petani dengan ancaman terhadap subsistensi atau keamanan
kesejahteraan mereka selama periode perubahan berlangsung. Pendekatan ini
secara jelas menginterpretasikan gerakan perlawanan petani yang dianggap
sebagai reaksi definitif terhadap penetrasi kapitalis untuk melindungi struktur
sosial ekonomi prakapitalis yang mereka miliki, secara nyata memberikan
kesejahteraan dan ketentraman kepada mereka. Masuknya kapitalisme pada suatu
komunitas petani ditentang keras, karena selain dianggap mengancam kepentingan
ekonomi mereka, juga dianggap akan mengancam pranata-pranata sosial budaya
yang mereka miliki. Menurut Wolf12:
“Peasant are averse to risk and focus on avoiding drops, noton maximizing profits. Opportunities for gain will beeschewed if such opportunities even slightly increase thechance of failing below the subsistence line”
Konsep yang tidak kalah pentingnya digunakan oleh pendekatan moral
ekonomi dalam menjelaskan gerakan petani adalah konsep struktur sosial dan
relasi social ekonomi yang terdapat pada masyarakat ini secara horizontal ditandai
oleh homogenitas yang tinggi dan secara vertikal ditandai oleh struktur yang
berbentuk kerucut. Dalam struktur kerucut ini, posisi puncak strata sosial diduduki
oleh kaum elit yang berjumlah sedikit, sedangkan struktur bawah yang jumlahnya
cukup banyak diduduki oleh petani penggarap dan buruh tani.
11Robert H. Bates dalam Zainuddin Maliki, Penaklukan Negara Atas Rakyat: Studi ResistensiPetani Berbasis Religio Politik Santri Terhadap Negarisasi, Gadjah Mada University Press,1999,hal. 33.
12 Wolf, E.J., Peasant Wars of Twentieth Century, New York: Harper & Rowy, 1969, hal 280,dalam Basrowi dan Sukidin, Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, InsanCendikia, 2003, hal. 2.
19
Dalam struktur masyarakat seperti ini, faktor kepemimpinan memegang
peranan penting, sedangkan jabatan pemimpin diduduki kelompok elit yang
berada pada posisi puncak dari struktur sosial vertikal yang ada tersebut.
Mengingat pentingnya faktor kepemimpinan dalam gerakan perlawanan petani ini
diasumsikan tidak akan dapat terjadi bila tidak ada pemimpin yang
menggerakkannya13.
Menurut Azhar bahwa status kepemilikan tanah merupakan kepemilikan
komunal atau kolektif. Status kepemilikan ini sebenarnya hanya ada pada tingkat
ideasional semata, sedangkan dalam praktiknya sebagian besar tanah yang ada
dikuasai oleh para tuan tanah. Namun karena hubungan produksi yang terjalin
antara tuan-tuan tanah dengan para petani penggarap dan buruh tani tidak
didasarkan pada perhitungan ekonomis semata, tetapi juga melibatkan aspek
spiritual, sosial, dan kultural di dalamnya, maka status kepemilikan tanah menjadi
kabur. Kekaburan inilah yang kemudian dipersepsikan sebagai milik bersama.
Dari penjelasan yang telah dikemukakan, dapat dilihat terdapat dua aspek pokok
yang menjadi pemicu gerakan petani menurut pendekatan moral ekonomi, yaitu:
1). gerakan ini merupakan reaksi defensif terhadap perubahan yang dianggap akan
mengancam kelangsungan hidup para petani yang berbeda dalam kondisi
subsisten dan 2) dalam gerakan petani, faktor pemimpin gerakan merupakan
faktor kunci dan pemimpin gerakan ini biasanya berasal dari kalangan elit desa
atau patron. Tanpa adanya pemimpin ini, gerakan para petani sulit terjadi14.
Dalam berbagai konflik pertanahan yang terjadi, umumnya rakyat yang
kehidupannya sangat tergantung sepenuhnya pada sumber daya alam
sekitarnya, seperti petani selalu berada pada posisi yang lemah. Fenomena
persoalan pembangunan dan konflik pertanahan di Indonesia hingga saat ini,
menurut Scott (1989, seperti dikutip Endang Suhendar & Yohana Budi
Winarni, 1998: 5) ialah munculnya kekuasaan negara serta semakin
merasuknya jeratan kapitalisme dan komersialisasi yang merupakan ancaman
terhadap pola subsistensi petani. Sementara kekuatan politik masyarakat
masih sangat lemah, akan menyebabkan konflik kepentingan untuk
menguasai sumber daya agraria.
13 Ipong S. Azhar, Radikalisme Petani…, Op.Cit., hal. 16-17.14 Ibid., hal.18.
20
Kondisi inilah yang mendorong lahirnya berbagai bentuk protes dalam
wujud gerakan sosial masyarakat petani sebagai perlawanan terhadap
kekuatan elit-elit pembangunan dan dominasi “negara”. Peran lainnya dari
aktor elit ditingkat lokal adalah LSM dan gerakan mahasiswa yang
menjadikan isu-isu pembangunan dan globalisasi sebagai alat untuk
membangkitkan kesadaran rakyat dari dominasi kekuatan dominan dan
eksploitasi kaum marginal.
Analisis sosial yang dijadikan pintu masuk penyadaran masyarakat tani
diarahkan pada kepentingan menganalisis kebijakan politik dan ekonomi
lokal yang berdampak pada meluasnya dimensi persoalan yang dihadapi.
Nilai-nilai yang ditanamkan pada masyarakat lokal melalui LSM dan gerakan
mahasiswa ini adalah ide-ide advokasi hukum, HAM dan pembebasan dari
jeratan kapitalisme yang menindas. Dengan demikian maka dapat
digambarkan bahwa anatomi dan pola hubungan antara elit pembangunan
baik ditingkat lokal maupun nasional cenderung bersifat konfliktual yang
melibatkan masyarakat petani lokal sebagai korban yang selalu dirugikan.
2.3. Masyarakat Adat
Masyarakat adat adalah istilah yang dipopulerkan oleh Ornop
(organisasi non pemerintah) di Indonesia untuk menterjemahkan kosa kata
"indigenous peoples / IP", sebuah istilah yang digunakan oleh ILO sebagai
sebutan bagi entitas "penduduk asli". ILO memang telah menaruh
perhatian terhadap isu IP sejak 1950-an. Dan perbincangan tentang
indigenous peoples semakin mendunia, setelah World Bank (WB) mulai
menjadikannya sebagai salah satu isu pokok dengan mengeluarkan
Operational Manual Statement (1982) serta Operational Directive (1991).
World Bank mendefenisikan indigenous peoples sebagai: "spektrum
kelompok sosial yang luas (meliputi indigenous ethnic minorities, tribal
groups, dan schedules tribes), yakni kelompok yang memiliki sebuah
identitas sosial dan kultural yang dapat dibedakan dari masyarakat
dominan, yang membuat mereka tidak diuntungkan dalam proses
pembangunan."
21
Di Indonesia, istilah indigenous peoples mulai diperkenalkan pada
pertemuan bertajuk "Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum
Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam di dalam
Kawasan Hutan", tanggal 25 - 29 Mei 1993 di Toraja, Sulawesi Selatan.
Lokakarya menyepakati "masyarakat adat" sebagai terjemahan indigenous
peoples, serta merumuskan defenisi "masyarakat adat" sebagai "kelompok
masyarakat yang memiliki asal-usul (secara turun temurun) di wilayah
geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya dan wilayah sendiri". Rumusan defenisi inilah yang
digunakan kalangan Ornop sampai sekarang.
Akan tetapi belakangan, defenisi tersebut nampaknya mulai mendapat
kritikan, karena: Pertama, defenisi itu dinilai terlampau umum sehingga
menyulitkan pemakaiannya secara deduktif dalam pengalaman empirik;
Kedua, defenisi tersebut terkesan memahami masyarakat adat sebagai sesuatu
yang statis dan final, sehingga seolah-olah tidak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan; Ketiga, dengan mengedepankan karakteristik "ketersendirian"
(sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosbud dan wilayah sendiri),
gerakan masyarakat adat bisa terjebak pada orientasi yang netral, yakni tidak
adanya orientasi keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu, misalnya keadilan
dan demokrasi.
Dari perspektif sosio-ekologis, kritik diatas cukup logis, karena entitas-
entitas masyarakat adat di Indonesia yang tergabung dalam jaringan Gerakan
Masyarakat Adat di bawah payung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), ternyata cukup beragam dan menunjukkan dinamika perkembangan
yang berbeda-beda. Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam 4 tipe:
Pertama, kelompok Masyarakat Kanekes di Banten dan Masyarakat
Kajang di Sulawesi Selatan, yang menempatkan diri sebagai "pertapa bumi".
Mereka percaya bahwa mereka adalah kelompok masyarakat "terpilih" yang
bertugas memelihara kelestarian bumi dengan berdoa dan hidup prihatin.
Pilihan hidup prihatin mereka dapat dilihat dari adat bertani, berpakaian, pola
konsumsi, dan lain-lain;
22
Kedua, kelompok masyarakat Kasepuhan dan masyarakat Suku Naga.
Kelompok ini pada dasarnya cukup ketat dalam memelihara dan menerapkan
adat-istiadat, tetapi masih membuka ruang yang cukup luas bagi adanya
hubungan-hubungan "komersil" dengan dunia luar;
Ketiga, kelompok masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam
(hutan, sungai, laut, dan lain-lain) dan mengembangkan sistem pengelolaan
sumber daya alam yang unik, tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat
untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan
masyarakat Kanekes maupun Kasepuhan. Masuk dalam kelompok ketiga ini,
antara lain: Masyarakat Dayak dan Penan di Kalimantan; Masyarakat Pakava
dan Lindu di Sulawesi Tengah; Masyarakat Dani dan Deponsoro di Papua
Barat; Masyarakat Krui di Lampung; dan Masyarakat Haruku di Maluku;
Keempat, kelompok masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan
pengelolaan sumber daya alam yang "asli" sebagai akibat dari penjajahan
yang telah berkembang selama ratusan tahun. Termasuk dalam kategori
kelompok ini adalah Masyarakat Melayu Deli yang bermukim di wilayah
perkebunan tembakau di Sumatera Utara. Mereka menyebut dirinya sebagai
rakyat penunggu.
Dari empat tipe kelompok masyarakat adat tersebut, tiga tipe kelompok
yang disebut pertama, boleh dibilang adalah kelompok masyarakat yang oleh
UU Kehutanan No. 41/1999 disebut sebagai "Masyarakat Hukum Adat",
yakni kelompok masyarakat yang masih memenuhi unsur-unsur: (a)
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechts-gemeenschap); (b)
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; (c) ada wilayah
hukum adat yang jelas; (d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya
peradilan adat, yang masih ditaati; (e) masih mengadakan pemungutan hasil
hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-
hari.17)
Sedangkan khusus untuk masyarakat adat yang masuk dalam tipe
kelompok ketiga, oleh Keputusan Presiden No. 111/1999 dan Keputusan
Mensos No. 67/2000, disebut sebagai "Komunitas Adat Terpencil" (KAT),
yakni kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang
23
atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi
maupun politik. Ciri-cirinya: (a) berbentuk komunitas kecil, tertutup dan
homogen; (b) pranata sosial bertumpu pada lembaga kekerabatan; (c) pada
umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau; (d) pada
umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten; (e) peralatan dan
teknologi sederhana; (f) ketergantungan kepada lingkungan dan sumber daya
alam setempat relatif tinggi; (g) terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi
dan politik. Eksistensi komunitas adat sesungguhnya telah tercantum dalam
sejumlah instrumen hukum nasional, meskipun disadari masih mengundang
banyak tafsir. Karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang secara eksplisit
mengatur berbagai hak yang melekat pada komunitas adat sebagai bagian
dari warga negara Indonesia.
Negara haruslah melindungi hak-hak masyarakatnya atas tanah. Dalam
kaitan ini, Prof. Dr. Soentandyo Wignjosoerbroto menulis ”Pengakuan oleh
negara atas hak-hak tanah masyarakat tani/adat pada hakekatnya adalah suatu
refleksi kesediaan para pengemban kekuasaan negara untuk mengakui
eksistensi masyarakat adat yang otonom. Dan kemudian juga untuk mengakui
hak-hak masyarakat itu atas tanah dan segenap sumber daya alam yang ada
diatas dan / atau di dalam tanah itu yang bernilai vital, untuk menjamin
kelestarian fisik dan non fisik masyarakat tersebut. 15
Jelas bahwa hak-hak ulayat setiap persekutuan hidup lokal demikian
merupakan basis materi dari hak-hak adat. Jadi bukan pada satu “kategori
kebudayaan”, atau “sub kebudayaan”, atau “etnisitas”, sebagaimana yang
banyak disalahtafsirkan selama ini. Dengan demikian, pengakuan dan
perlindungan atas hak-hak masyarakat adat tidaklah akan mengancam
kedaulatan Negara terlebih jika dikhawatirkan selama ini akan mengancam
keutuhan Negara atau menciptakan disintegrasi bangsa adalah merupakan
sebuah asumsi yang keliru karena hak masyarakat adat tidak terkait pada unit
otonomi kedaerahan, kategori budaya tertentu maupun etnisitas tertentu.
15Prof. Dr. Soentandyo Wignjosoerbroto (2003), Kebijakan Negara untuk mengakui atau tidakmengakui Eksistensi Masyarakat Adat. Berikut Hak-hak atas Tanahnya. Dalam Yando Zakaria(2003), Gelombang Perlawanan Rakyat: kasus-kasus gerakan sosial di Indonesia, Jogyakarta-Insist Press.
24
Dengan demikian, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa
pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat atas tanah akan
mengancam integrasi nasional. Malah, jika mencermati gejala-gejala gerakan
sosial ditingkat akar rumput sebagai protes atas berbagai bentuk kebijakan
pertanahan oleh Negara dalam beberapa kurun waktu belakangan semenjak
bergulirnya era reformasi demokrasi 1998. Dalam konteks ini, penegasian
hak-hak masyarakat adat itulah yang menjadi titik pangkal munculnya
sentiment “anti Negara” seperti yang selama ini terjadi di beberapa daerah
bahkan di Jakarta sehingga pada taraf lebih lanjut seiring dengan menguatnya
peran sipil ketika berhadapan dengan Negara maka akan menjadi sebuah
kesadaran politik bersama di tingkat etnis yang bukan saja menjadi “bom
waktu” bagi munculnya konflik antara “masyarakat etnis” sebagai wujud
konflik horizontal melainkan juga menguatnya jaringan “melawan” Negara
yang merupakan manifestasi akumulasi konflik vertikal selama ini. Tentunya
kondisi seperti ini harus dihindari. Dengan kata lain, masyarakat adat telah
memiliki modal sosial dari budayanya sendiri. Baik untuk mempertahankan
kehidupannya, bahkan untuk menciptakan masa depan yang lebih sejahtera
dimasa-masa yang akan datang.
Maka, penegasian orgaisasi desa yang sejati dalam upaya menciptakan
masa depan yang lebih sejahtera sebagaimana dipraktekkan sejak
berkuasanya rezim Orba dalam program pembangunan hingga saat ini adalah
merupakan sebuah bentuk penghancuran terhadap berbagai sistem sosial
budaya lokal yang merupakan modal sosial sekaligus sebagai kekuatan
pembangunan itu sendiri sehingga jelas-jelas merugikan bagi eksistensi
masyarakat adat pada umumnya.
Jika realitas ini terus berlangsung maka, akan terbukti kekhawatiran
Prof. Soetandyo, bahwa “pembangunan” sebagai upaya menjadikan the old
tradisional societies (komunitas-komunitas masyarakat adat) sebagai a new
modern state (Negara-bangsa Indonesia) haruslah lebih berorientasi pada
upaya transformatif dan tidak transplantatif) misalnya, sebagaimana yang
dicirikan oleh penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa)
Sebab, transplantasi yang bukan transformatif ini serta merta
25
mensubordinasikan the old societies itu ke bawah kontrol-kontrol the new
state, yang dengan segala tindakannya hampir selalu bermuatan politik dan
ekonomi daripada bermuatan motif sosial dan kultural. Akibatnya,
“pembangunan” yang hakekatnya untuk menciptakan kehidupan (seluruh
warga) menjadi lebih sejahtera, berjalan tanpa peduli pada dampak-dampak
yang destruktif pada tatanan-tatanan sosial dan budaya komunitas-komunitas
lokal. Terutama sekali komunitas masyarakat Adat.16 Dari segi kepentingan
pemerintah pusat, UU No. 5 Tahun 1979 tersebut jelas-jelas membawa
manfaat. Penetrasi pemerintahan pusat pada daerah-daerah pedesaan di
Indonesia, khususnya pada desa-desa di luar Jawa menjadi sangat nyata.
Keseragaman struktur desa bagi seluruh desa juga menguntungkan
pemerintahan pusat. Karena keseragaman itu memudahkan pemerintah pusat
untuk melakukan pembinaan dan fungsi pengawasan terhadap pemerintah
desa di seluruh Indonesia tanpa terkecuali. Sementara itu, masyarakat adat
justeru merasakan dampak perubahan yang begitu hebat akibat penerapan
Undang-undang tersebut, diantaranya:
1 Corak kesatuan territorial wilayah; hal ini kemudian terkait pada
property right; dan wewenang pengaturannya (misalnya pelepasan
hak berada ditangan Kepala Desa, manipulasi dan perseteruan antara
Kepala Desa dengan pimpinan adat atau dengan warga desa bukan
suatu yang jarang terjadi).
2 Corak persekutuan dan kesatuan sosialnya pun berubah. Ini secara
langsung berpengaruh pada mekansme sosial bagi penciptaan
solidaritas sosial.
3 Karena sebagai mesin sosial, desa mengalami perubahan nilai,
norma, hukum yang menjadi pedoman warga (dulu diciptakan
sendiri, sekarang menggunakan sesuatu yang sebenarnya asing,
sehingga tidak dimengerti, masyarakat menjadi teralienasi dan
menjadi warga yang merasa inferior-karena pengetahuan sendiri
ternyata tidak baik, terbukti dari tidak diakuinya dalam sistem
16Ibid
26
pemerintahan dan proses-proses pembangunan yang berlangsung.
Kondisi seperti ini jelas menimbulkan sikap-sikap “ekstrim” seperti
apatis, dispartisipatif, dan radikal kritis terhadap pembangunan dan
pemerintah, baik yang ada di daerah maupun di pusat. Sikap-sikap
tersebut biasa muncul secara terbuka dan mudah ditengarai atau
tersembunyi, yang sewaktu-waktu muncul sebagai persolan yang
sulit untuk dikendalikan.
4 Sistem nilai yang dipaksakan berlaku dan diterima oleh masyarakat
adat berdasarkan hukum nasional (tertulis) dirasakan tidak
memberikan rasa keadilan. Misalnya, program pemukiman kembali
dan regrouping (desanisasi) yang memberikan tanah bagi
pendatang, yaitu 2 ha untuk berkebun, 0,25 Ha untuk tapak rumah, 6
x 6 m Rumah, 0,25 lahan pertanian pangan. Pembagian ini dirasa
tidak adil karena masyarakat adat harus merelakan tanah-tanah
pribadi dan komunal yang lebih luas dan menjamin kelangsungan
hidupnya. Sementara luas tanah bagian yang baru tidak cukup untuk
memberikan jaminan atas kelangsungan hidupnya. Sebaliknya para
pendatang umumnya dari petani miskin di pulau Jawa yang tidak
memiliki tanah dianggap oleh masyarakat adat memperoleh tanah
yang bukan miliknya tetapi berasal dari kepemilikan adat atau
pertuanan.
5 Corak organisasi sosial desa khususnya dari aspek pemerintahannya,
perangkat pengaturannya, kepemimpinan, corak mekanisme-
mekanisme pengambilan keputusan dalam berbagai hal, termasuk
dalam penyelesaian perselisihan antara warganya.
6 Proses pemilihan pemimpin (termasuk persyaratannya); perangkat
pemerintahan; mekanisme / orientasi pertanggungjawaban (dulu ke
bawah berubah menjadi keatas); dan implikasinya pada corak /
sumber legitimasi pemimpin dalam komunitasnya.
7 Hilangnya pengetahuan-pengetahuan (termasuk sistem pengobatan)
dan teknologi yang arif terhadap lingkungan; akibatnya tekanan
pada SDA menjadi besar. Hal ini diperparah oleh kebijakan
27
pembangunan dalam pengadaan pangan yang “bias padi”. Sehingga,
karena dianggap inferior, bahan makanan non padi yang dikenal
masyarakat ditinggalkan (seperti ladang Sagu, dll).
Sebagai konsekuensi logis dari terjadinya perubahan tersebut maka, hal
ini sering menimbulkan konflik yang terus bergulir hingga mewujud pada
sebuah gerakan sosial. Gerakan sosial selalu dipahami sebagai wujud
perubahan dari bawah dimana dimulai antara tanggapan rakyat luas dari elit
sosial dan politik. Bagaimanapun gerakan sosial bisa juga digerakkan oleh
pimpinan untuk menciptakan solidaritas serta komitmen. Tipe gerakan sosial
menurut Harper adalah gerakan secara umum serta gerakan spesifik. Dalam
hal ini Harper ingin mengatakan bahwa salah satu variabel penyebab
perubahan sosial dalam suatu masyarakat adalah melalui gerakan sosial.
Gerakan perlawanan rakyat terkadang juga kurang memberi kesan akan
pentingnya peranan sebuah organisasi gerakan dalam mewujudkanya
melainkan bisa terjadi secara spontan dan sporadis. Hal ini merupakan
sebuah reaksi atas terganggunya struktur sosial, ekonomi dan kultur dalam
masyarakat. Secara sepintas, protes yang timbul hanya berkisar pada motif
ekonomi, khususnya mengenai ganti rugi tanah. Namun tidak mustahil bahwa
dibalik motif tersebut, ada terkandung motif sosial dan budaya. Akhirnya,
sasaran pembangunan yang mestinya mendatangkan kebahagiaan dan
kesejahteraan masyarakat malah melahirkan kesengsaraan, penderitaan, dan
ketdakpuasan yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan protes,
atau gerakan-gerakan perlawanan sebagai respon terhadap persoalan-
persoalan yang lahir dari proyek pembangunan sebagaimana lahirnya gerakan
sosial baru (GSB) masyarakat adat Tafure Ternate dalam sengketa
pembangunan dan perluasan terminal bandara Sultan Babullah Ternate saat
ini. Singkat kata, jika persalan konflik tanah yang selalu melekat dengan isu-
isu pembangunan tidak segera dituntaskan secara serius maka, rakyat negeri
ini akan terus berada pada kondisi ketidakstabilan sosial, politik dan
ekonomi.
28
2.4. Analisis tentang Gerakan Sosial Baru
Konon, menurut “ramalan” para futurolog, bahwa awal abad XXI ini
adalah era kebangkitan gerakan-gerakan rakyat. Artinya arus perubahan tidak
lagi tergantung kepada kepiawaian para agen perubahan yang senantiasa
merujuk pada kelompok elit suatu masyarakat melainkan melalui aksi-aksi
perlawanan gerakan rakyat yang terorganisasikan. Hal ini tentu saja bukan
tak berdasar.
Paling tidak, sejak dasawarsa 70-an pada abad XX silam, gerakan-
gerakan rakyat menandai perubahan-perubahan yang terjadi terutama di
Amerika Latin, Afrika dan Asia. Bangkitnya kekuatan rakyat kulit hitam di
Afrika Selatan dibawah Nelson Mandela berhasil mentransformasikan negeri
itu dari rezim apartheid yang dikutuk dunia, menjadi negara yang
menjunjung tinggi rekonsiliasi antara ras-ras yang bertentangan. Di Asia,
kekuatan rakyat menentang rezim otoriter telah menghadirkan Korea Selatan
yang maju dan demokratis, diikuti oleh people power yang menumbangkan
diktator Marcos dan mengubah wajah Filipina. Di ndonesia, kendati
reformasi masih bergulir setengah hati, Soeharto dengan Orbanya bisa
ditumbangkan oleh reaksi kolektif gerakan rakyat hingga kini beragam
agenda reformasi tersebut masih terus diperjuangkan termasuk diantaranya
agenda reforma agraria.
a. Definisi gerakan sosial
Blumer menyatakan gerakan sosial sebagai suatu kegiatan bersama untuk
menentukan suatu tatanan baru dalam kehidupan17. Kemunculan gerakan sosial
ditandai adanya kegelisahan akibat kesenjangan antara nilai-nilai harapan dan
kenyataan hidup sehari-hari. Maka itu, suatu kelompok masyarakat mendambakan
tatanan hidup yang baru, dengan membentuk sebuah gerakan yang terorganisir.
David F. Aberle mengatakan gerakan sosial adalah suatu usaha yang
terorganisir oleh sekelompok manusia untuk menimbulkan perubahan di hadapan
tekanan manusia lainnya. Hal ini dibedakan dari usaha-usaha individu secara murni
serta dibedakan pula dari aksi kerumunan. Gerakan yang demikian ini
17 Herbert Blumer, Social Movements, dalam Studies in Social Movements, edited by BarryMcLaughlin, New York: The Free Press, 1969, hal.8.
29
diklasifikasikan menurut jumlah perubahan (total atau parsial) serta menurut tempat
perubahan tertentu (pada sistem individu atau pada sistem supra induvidu tertentu) 18.
Ritzer dan kawan-kawannya19 mengidentifikasi bahwa ada lima karakteristik
yang terdapat pada suatu gerakan, yaitu:
1. Suatu gerakan melibatkan sebagian besar individu yang berusaha memprotes
suatu keadaan. Agar dapat dikategorikan sebagai suatu gerakan, maka usaha
sejumlah individu tadi harus memiliki persyaratan dasar dari suatu
organisasi.
2. Suatu gerakan harus mempunyai skope yang relatif luas. Gerakan tersebut
mungkin berawal dari skope yang kecil, tetapi akhirnya harus mampu
mempengaruhi sebagian warga masyarakat.
3. Gerakan tersebut dapat menggunakan berbagai macam taktik untuk
mencapai tujuannya. Taktik-taktik tadi bervariasi dari yang sifatnya tidak
menggunakan kekerasan sampai dengan yang menggunakan kekerasan.
4. Meskipun dalam gerakan didukung oleh individu-individu tertentu, namun
tujuan akhir dari gerakan tersebut adalah merubah kondisi yang ada pada
masyarakat.
5. Gerakan tersebut merupakan suatu usaha yang secara sadar dilakukan untuk
mengadakan perubahan, dan bagi mereka yang terlibat didalamnya mungkin
tidak menyadari segala tindakannya tetapi mereka tetap mengetahui tujuan
utama dari gerakan tadi.
Untuk memperinci suatu reaksi kolektif tergolong gerakan sosial
digunakan empat analisis, yaitu:
1). Tingkat kesadaran bersama tentang nasib yang dialami.;
2). Tingkat kolektivitas aksi baik dalam keluasan lingkup maupun
tingkat koordinasi dan organisasi aksi. Ukuran yang diajukan adalah
“kurang lebih“ tersebar meluas dan dimulai dari tingkat koordinasi
rendah sampai organisasi kompleks;
3). Memiliki orientasi instrumental dan ekspresif. Orientasi
instrumental berupa tujuan definitif diluar realitas aksi itu sendiri
18 David F. Aberle, A Clasification Of Social Movement, Aldine Publishing AberleCo;Chicago, 1996, hal 315 lihat juga Tom Bottomore, Sosiologi Politik, Bina Aksara, Jakarta,1983, hal 29-30.19
Dalam Haryanto, Gerakan Sosial Politik, Op.Cit.
30
seperti dalam penguasaan tanah. Orientasi ekspresif merupakan
wujud orisinil setiap aksi, seperti pembakaran sertifikat tanah.
Kedua orientasi itu melekat secara bersamaan dalam sebuah gerakan
sosial masyarakat serta kondisi yang memperlancar gerakan;
4). Tingkat eksklusifitas atas kerendahan status sosial, ekonomi dan
politik. Basis kerendahan status ini terkadang bercampur dengan motif
etnisitas/keagamaan yang kemudian menjadi ideologi anutannya.
Gerakan sosial sebagai kombinasi prinsip identitas, oposisi, dan
totalitas, dimana aktor sosial mengindentifikasikan diri mereka secara sosial.
Identifikasi diri ini menurut Laclau & Mouffe melihat bahwa hegemoni akan
muncul dalam situasi antagonisme dan menciptakan pertarungan hegemonik
di antara kelompok sosial yang melakukan resistensi. Langkah selanjutnya
adalah setiap aktor akan memahami identitas mereka melalui hubungan
antagonistik, karena antagonisme mengidentifikasikan musuh mereka.
Sebagai contoh, fakta bahwa masyarakat petani yang memiliki karakteristik
kultural yang cukup kental (adat) yang ”dirampas” tanahnya oleh negara
telah melahirkan hubungan antagonisme sehingga membuat masyarakat
petani (masyarakat adat) tersebut menganggap institusi “negara” beserta
aparaturnya sebagai musuh mereka, dan mengonstruksi identitas mereka.
Menurut CL Harper, (1989) bahwa gerakan sosial dapat dibedakan dari
bentuk-bentuk sosial lain sebab: (1) mereka selalu berada di luar kerangka
kelembagaan dalam kehidupan sehari-hari serta (2) terdapat beberapa
orientasi cara ke arah sebuah tingkat perubahan sosial.
b. Tahap perkembangan gerakan sosial
Dalam membahas muncul dan berkembangnya suatu gerakan digunakan konsep
‘value-added’ yang kemukakan oleh Smelser. Smelser menyatakan bahwa terdapat
enam tahapan dalam perkembangan suatu gerakan, meliputi: a) structural
conduciveness, b) structural strain, c) growth and spread of a generalized belief, d)
precipitating factors, e) mobilization of participants for action, and f) application of
social control. Enam tahap tersebut menunjukkan tahapan dari awal kemunculan
suatu gerakan sampai dengan berhasil atau tidaknya gerakan tersebut.
31
Berdasarkan konsep Smelser, enam tahapan tersebut dipadatkan menjadi lima
tahapan sebagai berikut: 20
Pertama: Pernyataan spontan tentang ketidakpuasan bersama. Suatu gerakan
berawal ketika orang merasa tidak puas terhadap struktur sosial yang ada. Sebagian di
antara mereka kemudian mengelompokkan diri dan menyatakan pandangannya
tentang ketidakpuasannya. Pada tahap ini suatu gerakan masih menampakkan diri
sebagai tindakan bersama yang bersifat spontan. Fungsi esensial dari tahap ini adalah
untuk menarik perhatian massa yang diharapkan dapat memberikan dukungan bagi
berlangsungnya suatu gerakan.
Kedua: Pemilihan pimpinan gerakan. Tahap ini berawal ketika beberapa
individu menyatakan bahwa perubahan yang diusulkan mempunyai peluang untuk
berhasil. Mereka ini biasanya akan berperan sebagai pimpinan gerakan, dan sebagai
pimpinan mereka mulai memberi arah bagi mempengaruhi tindakan para
pengikutnya. Adapun fungsi yang essensial dari tahap ini adalah diterimanya
beberapa individu sebagai pimpinan gerakan.
Ketiga: Transformasi tindakan tidak berstruktur menjadi tindakan terorganisir.
Tahap ini juga sering disebut sebagai periode pengorganisasian dan perencanaan.
Sehubungan dengan hal tersebut peran pemimpin pada tahap ini menjadi sangat
penting. Pimpinan harus mampu merumuskan tujuan gerakan secara menyeluruh, dan
mampu pula merumuskan tujuan-tujuan antara yang membimbing tercapainya tujuan
akhir dari suatu gerakan. Pada tahap ini pimpinan harus mampu merubah tindakan
yang spontan dan tidak terorganisir menjadi suatu gerakan yang teratur dan terarah
dengan baik. Selama periode ini pimpinan harus mampu memperkirakan berapa besar
dukungan yang diperlukan bagi berhasilnya gerakan, harus mampu
mengidentifikasikan masalah-masalah yang diperkirakan akan muncul sepanjang
perjalanan gerakan dan menetapkan strategi dalam menyelesaikannya, menetapkan
peran dan posisi dalam gerakan beserta orang-orang yang bertanggungjawab dalam
peran tadi, dan lain-lain tindakan yang dapat memberikan jaminan bagi berhasilnya
gerakan yang dipimpinnya. Ada pun esensi dari tahap ini adalah upaya yang
dilakukan oleh pimpinan gerakan untuk mentransformasikan tindakan yang spontan
dan tidak berstruktur menjadi tindakan yang lebih terarah dan terorganisir.
20 Haryanto, Ibid., hal.7.
32
Keempat: Konfrontasi dengan ‘lawan’ gerakan. Pada tahap ini gerakan sampai
pada puncak keseriusan dalam mengajukan tuntutan dan kepentingannya, serta
berupaya demi diterimanya tuntutan tadi. Pada periode ini gerakan berada dalam
posisi aktif melakukan tindakan untuk berhadapan dengan ‘lawannya’, yaitu pihak-
pihak yang akan mengalami kerugian apabila kondisi ‘status quo’ yang ada
diguncang oleh gerakan. Tahap ini dapat merupakan suatu periode yang singkat
apabila gerakan dan ‘lawannya’ dapat dengan segera menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi; dan merupakan periode yang panjang apabila keduanya sama-sama
mempunyai kekuatan yang seimbang dan tidak ada pihak yang bersedia untuk
mengolah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Esensi yang ada pada
tahap ini adalah bahwa gerakan dalam posisi ‘action’ berhadapan dengan ‘lawannya’
dan berupaya memaksakannya untuk memenuhi tuntutan dan kepentingannya.
Kelima: Pencapaian hasil. Tahap ini merupakan periode di mana dapat
disaksikan apakah gerakan mampu atau tidak mencapai sasaran tujuan yang telah
dicanangkan sebelumnya. Dengan berakhirnya suatu gerakan, masyarakat akan
mengadaptasi pola tindakan yang baru yang muncul dari ‘persaingan’ antara gerakan
dan ‘lawannya’. Jika gerakan sukses biasanya diperlukan waktu yang cukup untuk
menyebarluaskan pola tindakan yang baru ke seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi
jika gerakan tidak berhasil, biasanya akan diikuti dengan tindakan pembubaran diri
dari para partisipan gerakan, dan tidak tertutup kemungkinan mereka akan
merumuskan kembali tujuan yang telah ditetapkan serta mencoba meraihnya melalui
gerakan yang baru sama sekali. Ringkasnya, tahap ini merupakan periode di mana
gerakan mampu atau tidak mencapai tujuannya.
Dalam perkembangan gerakan sosial hingga saat ini, terdapat tiga tipe
gerakan sosial. Singh21 menjelaskan secara garis besar tipe gerakan sosial, yaitu tipe
klasik, neo-klasik dan gerakan sosial baru. Pertama: Tipe klasik. Gerakan sosial tipe
klasik dilatarbelakangi oleh adanya pertentangan ideologi yaitu antara ideologi
Kapitalis dan Marxis. Faktor pendorong utama gerakan ini adalah dominasi para
pemilik modal atas kaum buruh, di mana berbagai sarana produksi dikuasai oleh
kaum pemodal. Dominasi ini melahirkan kemiskinan dan kesengsaraan bagi kaum
buruh. Tokoh gerakan ini, Karl Marx menganjurkan cara revolusi untuk memulihkan
hak-hak kaum proletar. Sasaran akhir perjuangannya adalah terciptanya masyarakat
21 Dalam Ngadisah, ibid., hal. 297.
33
tanpa kelas. Kedua: Tipe Neo-klasik, beberapa ciri menonjol dalam gerakan sosial
tipe ini adalah:
1. Berada dalam kerangka dialektis Marxis, yang dielaborasi dalam formasi
kelas, historis materialistis dan materialisme deterministis.
2. Gerakan dilandasi oleh rangsangan–rangsangan emosional seperti:
kegelisahan, kegembiraan, stress dan ketergantungan, sehingga melahirkan
perilaku spontan.
3. Ada nuansa politis, karena ada unsur perlawanan terhadap kelas tertentu.
4. Para aktor yang melibatkan diri dalam gerakan bukan orang-orang yang
secara objektif kekurangan.
Faktor pendorong terjadinya gerakan adalah ketimpangan kekuasaan yang
telah melahirkan ketegangan struktural. Ketimpangan terjadi karena ada dominasi
dari salah satu pihak yang melahirkan pula ketegangan status dan perasaan terampas
secara relatif (deprivasi relatif). Isue perjuangan yang dikembangkan adalah: harga
diri, revitalisasi dan munculnya “Ratu Adil”. Metode perjuangannya adalah dengan
pengerahan massa (crowd, riot, rebellion) atau aksi kolektif
Ketiga: Tipe gerakan sosial baru (New Social Movement). Sasaran
perjuangannya adalah membangun “Civil Society”, sedangkan faktor pendorong
utama gerakan ini adalah kontrol atau campur tangan negara yang terlalu besar atas
rakyatnya. Kontrol yang ketat yang telah mempersempit ruang publik dan untuk
membukanya perlu dikembangkan wacana otonomi dan kebebasan individu,
kolektivitas dan identitas. Beberapa ciri yang melekat pada gerakan ini antara lain:
1. Tidak mengikatkan diri pada ideologi tertentu.
2. Bersifat transnasional.
3. Menghasilkan “ends”
4. Aktor-aktor non-segmental, berasal dari grass root segala segmen.
5. Menolak pendekatan “collective behavior”
6. Organisasi dan komunikasi canggih (information is power).
7. Melawan diskriminasi
34
Merujuk pada Pichardo dan Singh, Menurut Suharko22 bahwa Ciri
menonjol GSB yang dianggap membedakannya dari gerakan sosial “lama”
atau tradisional, dapat diformulasikan sebagai berikut:
1. Ideologi dan Tujuan: GSB menanggalkan orientasi ideologis yang
kuat melekat pada gerakan sosial lama, sebagaimana sering
terungkap dalam ungkapan-ungkapan “anti kapitalisme”, “revolusi
kelas”. GSB menepis semua asumsi Marxian bahwa semua
perjuangan dan pengelompokan didasarkan atas konsep kelas.
Dengan penekanan pada isu-isu spesifik dan non materialistik, GSB
tampil sebagai perjuangan lintas kelas. Singh (2001) menambahkan
bahwa GSB pada dasarnya merupakan bentuk respon terhadap hadir
dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk ke hampir
semua relung kehidupan warga, yakni negara dan pasar. Karena itu,
GSB membangkitkan isu “pertahanan diri komunitas dan
masyarakat untuk melawan ekspansi aparat negara dan pasar yang
makin meningkat. Ekspresi terjelasnya mewujud dalam lahirnya
agen-agen yang memperjuangkan pengawasan dan kontrol sosial,
kaum urban marginal, aktivis lingkungan, kelompok anti otoritarian,
kaum anti rasisme, dan juga para feminis. GSB melawan tata sosial
dan kondisi yang didominasi oleh negara dan pasar dan menyerukan
sebuah kondisi yang lebih adil dan bermartabat.
2. Taktik dan Pengorganisasian: GSB umumnya tidak lagi mengikuti
model pengorganisasian serikat buruh industri dan model politik
kepartaian. GSB lebih memilih saluran diluar politik normal,
menerapkan taktik yang mengganggu, dan memobilisasi opini
publik untuk mendapatkan daya tawar politik. Para aktivis GSB juga
cenderung mempergunakan bentuk-bentuk demonstrasi yang sangat
dramatis dan direncanakan matang sebelumnya, lengkap dengan
kostum dan representasi simboliknya.
22Fadillah Putra (2006), Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan, dan TantanganGerakan Sosial di Indonesia, Averroes Press. Hal. vii-x.
35
3. Struktur: GSB berupaya membangun struktur yang merefleksikan
bentuk pemerintah representatif yang mereka inginkan. GSB
mengorganisir diri dalam gaya yang mengalir dan tidak kaku untuk
menghindari bahaya oligarkisasi. Mereka berupaya merotasi
kepemimpinan, melakukan pemungutan suara untuk semua isu, dan
memiliki organisasi ad hoc yang tidak permanen. Mereka juga
mengembangkan format yang tidak birokratis sambil berargumen
bahwa birokrasi modern telah membawa kepada kondisi
dehumanisasi. Singkatnya, mereka menyerukan dan menciptakan
struktur yang lebih responsif kepada kebutuhan-kebutuhan individu,
yakni struktur yang terbuka, terdesentralisasi, dan non khirarkhis.
4. Partisipasi atau Aktor: Partisipan GSB berasal dari berbagai basis
sosial yang melintasi kategori-kategori sosial seperti gender,
pendidikan, okupasi dan kelas. Mereka tidak terkotakkan pada
penggolongan tertentu seperti kaum proletar, petani, dan buruh,
sebagaimana aktor-aktor gerakan sosial lama yang biasanya
melibatkan kaum marginal dan teralienasi. Para aktor GSB juga
berbeda dari gerakan sosial lama yang biasanya melibatkan kaum
marginal dan teralienasi. Ada kesan yang kuat bahwa partisipan
GSB umumnya berasal dari kalangan kelas menengah baru sebuah
strata sosial yang muncul belakangan yang bekerja di sektor-sektor
non-produktif (baca bukan industri pabrikan). Mereka yang
termasuk dalam kelompok ini umumnya tidak terikat oleh motif-
motif keuntungan korporasi. Mereka umumnya bekerja di sektor-
sektor yang sangat bergantung pada belanja negara seperti kaum
akademisi, seniman, agen-agen pelayanan kemanusiaan, dan mereka
umumnya merupakan kaum terdidik (Pichardo, 1997). Aktor-aktor
GSB sebagaimana dikemukakan oleh Claus Offe (1985), dicirikan
secara jelas oleh penolakan mereka terhadap basis identifikasi diri
yang mapan, yang dalam bahasa politik disebut sebagai “kiri” atau
“kanan”. “Liberal” atau “konservatif”.
36
5. Medan atau Area: Medan atau area aksi-aksi GSB juga melintasi
batas-batas region dari arus lokal hingga internasional. Isu-isu yang
menjadi kepedulian GSB melintasi sekat-sekat bangsa dan
masyarakat. Dalam hal ini GSB menunjukkan wajah trans manusia
dengan mendukung kelestarian alam dimana manusia merupakan
salah satu bagiannya. Ini secara jelas terpantul dari gerakan-gerakan
anti nuklir, ekologi, perdamaian, dan sebagainya, yang
menghemparkan kebersamaan warga dari beragam nasionalitas,
kebudayaan dan sistem politik (Singh, 2001).
Dengan ciri-ciri tersebut diatas, GSB menampakkan wajah gerakan
sosial yang plural. Pluralitas ini terpantul jelas dari bentuk-bentuk aksi GSB
yang menapaki banyak jalur, mencita-citakan beragam tujuan, dan
menyuarakan aneka kepentingan.
Baik gerakan sosial versi lama maupun GSB memiliki dasar-dasar
tujuan yang sama, yakni keinginan untuk melahirkan perubahan sosial
sebagaimana yang dicita-citakan. Namun demikian dari perkembangan
zaman, kemunculan GSB dianggap bisa mengisi ruang-ruang kosong yang
tidak terperhatikan oleh agenda-agenda gerakan sosial lama. GSB secara
prinsip bisa dilakukan tidak saja dalam kerangka global, melainkan penting
untuk mendesakkan isu-isu lokal yang kurang mendapat perhatian. Misalnya
isu tentang lingkungan sampai pada pengelolaan sumber alam yang timpang.
Gerakan sosial masyarakat Tafure Ternate misalnya memprotes
tentang proses pembangunan dan perluasan bandara sehingga mendapat
tanggapan luas dari elemen gerakan mahasiswa dan LSM secara luas.
Faktanya, tak ayal bahkan gerakan ini juga berujung pada penggunaan cara-
cara kekerasan. Tuntutan pengakuan hak ulayat, dan keadilan ekonomi juga
menjadi isu penting dibalik gerakan sosial tersebut. Rajendra Singh, Prasetyo
(2006) menyatakan beberapa karakteristik umum dalam GSB, yaitu23:
1. GSB menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa
masyarakat sipil tengah meluruh, ruang sosialnya mengalami
23Ibid. Hal. 65-68.
37
penciutan dan aspek masyarakat sipil tengah digerogoti oleh
kemampuan kontrol negara. Karenanya, GSB membangkitkan isu
“pertahanan diri” komunitas dan masyarakat guna melawan
meningkatnya ekspansi aparatus negara agen-agen pengawasan dan
kontrol sosial. Beberapa isu yang sering diagendakan ke dalam GSB
adalah hamparan beragam perjuangan urban, ekologis, anti
otoritarian, anti institusionalitas, feminisme, anti rasis, etnik dan
regional. Dalam konteks ini maka medan perjuangannya bisa
bergerak melintasi wilayah kerja tradisional dari industri dan pabrik,
pertanian, dan peternakan. GSB menyerukan sebuah kondisi yang
adil dan bermartabat bagi konsepsi kelahiran, kedewasaan, dan
reproduksi mahluk manusia yang kreatif dan berseiring dengan
alam.
2. Secara radikal, GSB mengubah paradigma Marxis yang menjelaskan
konflik dan kontradiksi dalam istilah “kelas” dan konflik kelas.
Pikiran akademis kiri mengajukan gugatan pada sistem paparan
Marxis materialis tentang gerakan dan perubahan dalam masyarakat.
Sebuah gugatan atas disingkirkannya isu-isu gender, ekologi, ras,
kesukuan, dsb. Marxisme memandang semua bentuk perjuangan
kelas dan semua bentuk pengelompokan manusia sebagai
perkelompokan kelas. Banyak perjuangan kontemporer seperti anti
rasisme, perlucutan senjata, gerakan feminis dan lingkungan
bukanlah perjuangan kelas dan bukan cerminan sebuah gerakan
kelas. Ada penolakan umum “paradigma kelas” sebagai “general
theory” dalam ilmu-ilmu sosial. GSB mencari jawaban atas
pertanyaan yang terkait dengan perdamaian, perlucutan senjata,
polusi nuklir, perang nuklir; yang berhubungan dengan ketahanan
planet (bumi), ekologi, lingkungan, dan HAM. Komitmen mereka
melintasi paradigma kelas dan melampaui ketidakmampuan
penjelasan materialistik Marxis untuk menjawab gerakan baru
kontemporer ini.
38
3. Mengingat latar belakang kelas tidak menentukan identitas aktor
ataupun penopang aksi kolektif. GSB pada umumnya mengabaikan
model organisasi serikat buruh industri (Corz, 1982) dan model
politik kepartaian (Arato, 1981). Dengan beberapa pengecualian
seperti Kelompok Hijau Jerman dan partai Hijau, GSB umumnya
melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi akar rumput, kerap
memprakarsai gerakan-mikro kelompok-kelompok kecil, membidik
isu-isu lokal dengan sebuah dasar institusi yang dibatasi. Dengan
demikian, GSB umumnya merespon isu-isu yang bersumber dari
masyarakat sipil, mereka membidik domain sosial “masyarakat
sipil” daripada perekonomian atau negara, membangkitkan isu-isu
sehubungan demoralisasi struktur kehidupan sehari-hari dan
memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk komunikasi dan identitas
kolektif.
4. Berbeda dengan gerakan sosial klasik, struktur GSB didefinisikan
oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak, orientasi dan oleh
heterogenitas basis sosial. Merujuk Touraine, dimasa lalu, kapasitas
sebuah masyarakat untuk memproduksikan dirinya adalah terbatas.
Ia dibatasi oleh atas perhitungan sebuah jaminan meta sosial
mengenai tatanan sosial, aturan ilahiah, hukum-hukum alam, evolusi
sejarah, termasuk meta sosial yang menandai pengertian modernitas.
Bentuk-bentuk aksi dan gerakan sosial menjadi plural, menapaki
banyak jalur, mencita-citakan beragam tujuan, dan menyuarakan
aneka kepentingan.
Lebih lengkap Offe menyatakan bahwa aktor atau partisipan GSB
berasal dari tiga sektor utama, yaitu24:
1. Kelas menengah baru;
2. Unsur-unsur kelas menengah lama (petani, pemilik toko, dan
penghasil karya seni) dan
24Ibid, Hal.68.
39
3. Orang-orang yang menempati posisi pinggiran yang tidak terlalu
terlibat dalam pasar kerja, seperti mahasiswa, ibu rumah tangga dan
para pensiunan.
Memahami tipologi aktor dan karakteristik GSB diatas, bagaimanapun
juga bisa dinyatakan bahwa GSB adalah sebuah tipe gerakan sosial.GSB
hadir untuk mengisi ruang-ruang kosong yang luput dari perhatian agenda
gerakan sosial klasik. Adanya prinsip visi, motivasi, dan tujuan berbeda
dibandingkan dengan gerakan sosial lama pada akhirnya juga melahirkan
strategi dan aksi yang baru dalam fenomena GSB ini.
2.5. Hipotesis Pengarah
Untuk sampai pada analisis tentang gerakan sosial masyarakat adat,
penelitian ini menggunakan hipotesis pengarah sekaligus sebagai pedoman
peneliti untuk menggali fakta dan data dilapangan, sesuai dengan pertanyaan
penelitian yang dirumuskan.
1. Lahirnya gerakan sosial mempunyai kaitan dengan kebijakan
perencanaan dan aktivitas pembangunan yang berjalan secara “linear”
dan “top down”.
2. Konteks sosial, ekonomi dan dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-
hak masyarakat adat menyumbang sebagai reaksi atas persoalan
pembangunan yang berpengaruh terhadap dimensi permasalahan hidup
petani yang kemudian.
3. Karakter perlawanan masyarakat lokal terkait erat dengan konteks
permasalahan dan paradigma pembangunan skala nasional dan global.
2.6. Kerangka Pemikiran
Studi tentang gerakan sosial pada hakekatnya merupakan salah satu
bentuk kajian mengenai realitas konflik yang ada dalam masyarakat. Gerakan
sosial adalah suatu bentuk perilaku kolektif dimana ada sekelompok orang
yang penuh dedikasi, mengorganisasikan diri untuk meningkatkan atau
menentang perubahan (Ngadisah, 2003).
40
Agar diperoleh gambaran yang utuh tentang gerakan sosial, dengan
mengikuti Lofland, ada tujuh pertanyaan pokok yang perlu dikaji yaitu: aspek
kepercayaan (beliefs), organisasi (organization), sebab-sebab (causes), para
pengikut (participant), strategi (stategies), reaksi (reaction), dan akibat-
akibat (effects) (Lofland, 1996:99, dlm Ngadisah 2003:31). Dengan demikian
kesatuan analisis dalam penelitian ini adalah “lingkungan” situasi dimana
gerakan itu timbul yang meliputi lingkungan proyek pembangunan
(perluasan) lapangan terbang dan kelompok-kelompok masyarakat yang
terkena dampak proyek. Disamping menggambarkan sosok gerakan secara
internal, peneliti juga bermaksud melihat interaksi antara proyek
pembangunan bandara dengan masyarakat.
Dalam hubungan ini, Loffland (1996: 21) menjelaskan adanya prosedur
khusus yang terdiri dari 4 langkah dalam melakukan studi kasus tentang
gerakan sosial, yaitu : a). memilih kasus atau kasus-kasus apapun yang akan
dipelajari (diteliti); b). berpkir secara luas tentang bentuk-bentuk
pengumpulan atau kasus-kasus; c). mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmu
sosial tentang data; d). menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dari perspektif
sosiologis.
Ada gerakan sosial yang timbul dengan latar belakang konflik,
pertentangan atau ketegangan, ada pula karena adanya keinginan untuk
melakukan perubahan dari keadaan yang biasa. Namun demikian, kejadian
sosial dalam bentuk gerakan pada umumnya disebabkan karena konflik antara
kelompok masyarakat atau antara penguasa dengan rakyat. Konflik yang
gejalanya dapat ditangkap melalui pemunculan gerakan-gerakan sosial atau
bentuk-bentuk perilaku kolektif yang lain tidak dapat dijelaskan dengan
model linier karena banyak faktor didalamnya.
Faktor-faktor tersebut diantaranya bersumber dari dalam diri individu
maupun diluar diri individu “supra individual”. Hal ini sangat tergantung
pada momentum atau konteks sosial yang meliputinya. Konteks sosial yang
dimaksud adalah dampak dari pelaksanaan pembangunan proyek yang
berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap tatanan
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat adat.
41
Dampak positif yang dirasakan secara langsung misalnya: meningkatnya
pendapatan masyarakat melalui terbukanya lapangan kerja baru karena
keterlibatannya dalam pembangunan proyek tersebut sehingga hal ini dapat
mengurangi ketergantungan masyarakat adat terhadap sumber daya alam.
Meskipun lapangan kerja tersebut lebih bersifat temporer karena berdasarkan
waktu penyelesaian proyek pembangunan tersebut. Sedangkan dampak negatifnya
adalah terjadinya krisis dalam struktur sosial-ekonomi dan budaya yang ditandai
dengan terbentuknya beberapa tipe baru kelompok sosial, munculnya elit baru
yang bermuara pada kesenjangan politik lokal, melemahnya peran lembaga adat
serta hilangnya mata pencaharian pokok keluarga yang sebelumnya bersumber
dari hasil pertanian dan perkebunan.
Perubahan ini tidak semata menimbulkan krisis ekonomi ditingkat
masyarakat, tidak juga sekedar menimbulkan krisis sosial politik ditingkat
lokal yang pada akhirnya bermuara pada terjadinya kerusuhan sosial berupa
konflik horizontal dikalangan masyarakat, tetapi juga telah menimbulkan
krisis kebudayaan lokal. Kondisi ini disebabkan oleh kelemahan struktural
serta menguatnya peran negara dalam ruang-ruang publik.
Kelemahan struktural ini berangkat dari kebijakan pemerintah dan
paradigma pembangunan yang dirasakan semakin jauh keberpihakannya dari
kepentingan masyarakat lokal. Lemahnya struktur sosial-politik ini juga
merupakan akibat dari penekanan pendekatan keamanan dengan penciptaan
kestabilan sosial-politik yang dipaksakan penguasa. Kestabilan ini dicapai
melalui cara-cara represip, menghilangkan semua unsur yang berpotensi
menjadi pesaing dari penguasa dan negara dengan cara apapun. Hal ini secara
sengaja dilakukan oleh penguasa untuk menciptakan kestabilan sosial-politik
negara. Kestabilan yang tercapai dengan rekayasa ini merupakan kestabilan
semu yang justru terus menyemai bibit perlawanan masyarakat itu sendiri.
Analisis dan kajian perlawanan masyarakat tani dapat dilakukan dengan
menggunakan tiga pendekatan yaitu bagaimana, mengapa, dan dalam kondisi
apakah sebuah gerakan sosial bisa muncul. Dalam konteks ini maka,
komunitas dipandang sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga
tingkat, yaitu ekonomi, politik, dan ideologi dimana kontradiksi berkembang
di dalam maupun antar aras.
42
Dimensi
Masalah
Petani
Secara
Umum
POLITIK : Tekanan struktural Akses Terhadap Input
Pertanian Peningkatan terhadap
Eksploitasi Kemerosotan Status
Sosial
Pengakuan danperlindungan atashak petani /masyarakat adat
Organisasi yangdibentuk dari produksiatas isu : Menggunakan isu
ganti rugi Menggunakan isu
hak ulayat Mengsistimatisasi
gerakan rakyat Memisahkan diri
dari strukturpemerintah
Membangkitkankesadaran budaya
EKONOMI :Pola Pertaniankonvensionalmenujudiversifikasijenis profesi
Pola pengelolaansumber-sumberagrarian
Ketergantunganpada kekuataneksternal (pasar,input pertanianmahal)
Dipengaruhi kontekspolitik Negara/global
Dipengaruhiideologi aktivis
Terkait konteks sosio-ekonomi dan politik(permasalahan) petani
Dipicukrisismoneter
Bentuk-bentukperjuangan : Pendekatan kultural Pendekatan
transformasigerakan rakyat
Mengubahperlawanan radikalmenjadi supremasihukum
Mempertahankanlogika dan asumsigerakan komunitas
Organisasimengalamikontinumperkembangan,focus pada isuadvokasi hakatas tanah
SOSIAL : Kehilangan tanah
pertanian Kehilangan
kapling rumahdan tempat rumah
Segregasi wilayahdan pudarnyasolidaritas sosial
BUDAYA, RELIGI : Kehilangan
identitas budayadan hak ulayat
Kehilangan tanahpemakaman dantempat ibadah
Memperkuat posisipetani menghadapidominasi negara dalamberbagai kebijakan,baik ekonomi danpolitik dalam bentukakses dan kontrol
GERAKAN PETANIMENJADI
MASYARAKATADAT
Melawan di bawahpayung slogan-sloganhak ulayat sambilmendefinisikan kembalislogan tersebut ke dalampengertian paradigmayang lebih berorientasike arah struktur keadilanhukum, HAM,partisipasi dantransparansi
People center Development
Production CenterDevelopment
Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah
43
Dari uraian diatas, pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana faktor-
faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan perlawanan masyarakat
setempat terhadap perluasan pembangunan bandara udara Sultan Babullah
Ternate ? Bagaimana proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosial
baru tersebut serta kaitannya dengan isu-isu dampak dingkungan, dampak
sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-hak masyarakat adat
? dan Bagaimana bentuk-bentuk penyelesaian terhadap berkembangnya
gerakan perlawanan rakyat terhadap perluasan pembangunan bandara udara
Sultan Babullah Ternate ?
Penelitian ini bermaksud memperdalam atau mengkaji dampak
pembangunan daerah (proyek fisik) dengan mengarahkan pada reaksi sosial
masyarakat adat terhadap dampak yang ditimbulkan dari proyek
pembangunan tersebut, khususnya dampak negatif.25 Jalinan aspek ekonomi,
politik dan ideologi harus dipahami sebagai basis pijakan untuk menganalisa
konteks sosial lahirnya gerakan sosial baru tersebut.
Penelitian ini akan mengkaji penyebab dan kemunculan lahirnya
gerakan, tujuan, strategi dan aktivitas jaringan yang dibangun serta
implikasinya terhadap persoalan yang dihadapi. Selain itu, karena konflik ini
bukan bersifat single variable, maka kajiannya tidak mungkin hanya dari satu
aspek saja. Misalnya aspek ekonomi semata (terkait dengan ganti rugi atas
konversi lahan), melainkan juga aspek sosial dan budaya lokal yang terkait
antara satu dengan yang lain. (Gambar 1).
25 Baik dampak negatif dan positif keduanya dilihat dari sudut pandang masyarakat setempat.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Strategi Penelitian
Mengingat penelitian ini mengambil tema “Konflik Pembangunan dan
Gerakan Sosial Baru (Upaya Memahami Perubahan Identitas Perjuangan dari
“Petani” menjadi “Masyarakat Adat)”, maka pembahasan dalam tulisan ini
menggunakan metode penelitian ilmu sosial yang terdiri atas beberapa
tahapan diantaranya adalah pengumpulan data (heuristik), kritik data,
interpretasi sumber, dan penulisan yang dilakukan dengan cara deskriptif
analisis. Penggunaan metode tersebut juga didukung dengan pendekatan ilmu
sosiologi, politik, antropologi dan ilmu hukum (hukum adat). Dengan
menggunakan analisis sosiologi, antropologi, ilmu politik dan ilmu hukum
dalam penulisan sejarah kritis, oleh Sartono Kartodirdjo disebut sebagai
pendekatan multidimensional yang memungkinkan tulisan dapat memberikan
keterangan yang lebih jelas dan realistis. Penelitian ini menggunakan jenis
pendekatan kualitatif dan strategi studi kasus karena kekhasan masalah dan
kemampuannya untuk menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam
(Babie 2004).
Studi kasus merupakan salah satu kerangka kerja yang digunakan dalam
penelitian kualitatif. Sebagai suatu kategori desain penelitian, studi kasus
tidak mudah untuk dispesifikasi dari segi akurasi dan generalisasi. Meskipun
dari dua aspek itu masih bisa diperdebatkan, akan tetapi bila diikuti
pembahasan para ahli dalam metode kualitatif, nampak jelas bahwa
pemahaman atas makna, proses pemaknaan dan produksi makna sebagaimana
dibicarakan oleh interaksionisme simbolik, ethnometodologi dan ethnografi
praktis, semuanya mengarah pada penentuan objek yang spesifik. Hal ini
hanya dapat dipenuhi dengan penelitian studi kasus.
Studi kasus terdiri dari dua jenis yakni intrinsik dan instrumental.
Intrinsik menunjuk pada penelitian dimana obyek telah ada dan ditentukan
sebagai misal evaluasi program. Jika dalam penelitian itu terdapat pertanyaan
penelitian (research question) yang dibangun dari rumusan masalah,
45
sehingga perlu dipilih kasus tertentu, maka disebut studi kasus instrumental
(Stake 1995; 3). Dengan demikian karena penelitian ini terdapat pertanyaan
penelitian juga dibangun konsep secara jelas untuk menganalisis fakta sosial,
maka dapat dikategorikan sebagai studi kasus instrumental.
Dalam hubungan dengan studi kasus gerakan sosial di Ternate, model
studi kasus tunggal1 lebih cocok untuk diterapkan, karena kasus ini bersifat
spesifik, dimana pemunculannya terkait dengan keberadaan suatu proyek.
Disamping itu, sifat dari suatu gerakan sosial adalah berjalan menurut logika
sendiri, keluar dari realitas umum, sehingga untuk memahaminya perlu
melakukan interpretasi terhadap gejala-gejala yang muncul dengan
menggunakan “frame” orang-orang yang ada dalam gerakan.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Maluku Utara, khususnya
pada masyarakat Tafure Ternate. Lokasi Penelitian jelasnya di kecamatan
Ternate Utara, Kota Ternate, yang dilakukan secara bertahap dari tahun 2005
hingga 2010. total waktu yang digunakan untuk melakukan penelitian lapang
berlangsung sekitar tiga tahun yaitu dimulai sejak 1 Juni 2007 hingga 1 Juni
2010. Dipilihnya Ternate sebagai lokasi penelitian karena alasan lemahnya
posisi rakyat dalam persoalan pertanahan merupakan hal yang historis, sejak
zaman pra kemerdekaan, kemerdekaan hingga kini.
Masyarakat adat Ternate terdiri dari 4 komunitas yakni Soa Sio,
Sangaji, Heku dan Cim yang tersebar pada 41 Soa (Kampung). Dengan
menggunakan kriteria terdapat masyarakat hukum adat yang masih taat
menerapkan hukum adat, terdapat institusi / lembaga adat, serta memiliki
wilayah masyarakat hukum adat sebagai tempat mencari kebutuhan hidup
sehari-hari.
1 Ada beberapa pilihan model studi kasus yang dapat diikuti, seperti yang dikemukakan olehRagin (1994: 93-103), dlm. Ngadiah, (2003: 26). Cara kerja penelitian kualitatif menekankanpada tiga macam model yaitu: induksi analitik, sampel teoritik dan studi kasus tunggal. Studikasus tunggal, bertujuan untuk membuat interpretasi terhadap fakta-fakta secara tepat.Interpretasi dan fakta adalah ”double fitted”, yakni suatu keadaan saling mempengaruhiantara interpretasi peneliti dengan fakta-fakta. Setiap interpretasi yang berbeda dilandasi olehkerangka pikir (frame) yang berbeda pula, sehingga banyak cara untuk memperkaya data gunamembantu peneliti menggali interkoneksi gagasan-gagasan melalui ”frame” yang berbeda,
46
Sebagaimana diketahui bahwa dalam aturan masyarakat lokal, tanah
merupakan milik raja yang diberikan secara cuma-cuma kepada rakyat tanpa
diperjualbelikan untuk dikelola dan dijaga secara otonom oleh setiap anggota
masyarakat lokal demi kelangsungan hidup mereka. Pada zaman dulu, tanah
juga menjadi sumber pendapatan kerajaan yang diambil dari upeti. Upeti
dalam pengertian umum dimaksudkan sebagai pemberian yang diberikan oleh
seseorang kepada raja, dapat bersifat mengikat.
Mengikat artinya menjadi kewajiban atas dasar kesetiaan/loyalitas
karena mendapatkan hak mengelola sumber daya tanah, atau karena
bersangkutan berada dalam perlindungan raja / Sultan. Hal ini berlanjut
ketika dominasi negara mulai memasuki ruang-ruang publik dimana semua
SDA diatur oleh negara termasuk tanah. Posisi rakyat yang lemah ini menjadi
semakin lemah dengan kurangnya dukungan perangkat hukum negara atau
peraturan perundang-undangan, bahkan sejumlah aturan main saling tumpang
tindih, tidak sesuai satu sama lain, dan tidak jarang menyimpang dari aturan
dasar yang di atasnya.
Apalagi dalam penerapannya dominasi kekuasaan dan otoritas negara
menjadi Iebih diutamakan. Karenanya berbagai perangkat yang ada seringkali
kehilangan vitalitasnya ketika berhadapan dengan birokrasi negara. Kondisi
ini tidak saja melahirkan perubahan struktur sosial dan perubahan struktur
budaya masyarakat lokal melainkan juga telah melahirkan tindakan progresif
massa melalui gerakan sosial ketika berhadapan dengan otoritas “negara”.
Dengan demikian pilihan terhadap Ternate sebagai daerah
penelitian sangat tepat karena adanya kekhasan masalah dengan kerangka
teoritis yang dibangun. Selain itu, permasalahan yang diteliti menjadi
semakin menarik karena telah berlangsung lama sejak tahun 1970 hingga
kini. Dalam penelitian ini peneliti terkosentrasi pada desa Tafure yang
bersentuhan langsung dengan lokasi proyek pembangunan bandar udara
Sultan Babullah Ternate. Selain itu, beberapa lembaga pendidikan baik
SD, SMP dan SMU bahkan 2 perguruan tinggi yang berada di bibir / sisi
bandara mengalami dampak yang sangat berpengaruh terhadap proses
belajar mengajar terlebih ketika pesawat mengalami landing dan take off.
47
3.3. Penentuan Subyek Kasus
Kelompok masyarakat petani sebagai unit analisis dipilih berdasarkan
kriteria ada tidaknya kegiatan yang berbasis konflik, dengan merujuk pada
tipe kelompok yang terbentuk karena anggota masyarakat petani tersebut
dihadapkan pada isu persoalan pembangunan dan konflik agraria. Subyek
kasus dipilih berdasarkan kesesuaian antara masalah yang akan diteliti
dengan subyek yang menjadi sumber informasi. Data digali dari sejumlah
informan kunci yang dianggap mengetahui keadaan dilokasi penelitian.
Pengumpulan informan dalam penelitian ini dilaksanakan dengan
menempatkan dua macam narasumber yaitu informan dan responden.
Informan adalah orang-orang yang dimintai keterangan tentang berbagai hal
yang diketahui tentang gerakan sosial dan setting sosialnya, sedangkan
responden adalah orang-oramg yang dimintai keterangan tentang pandangan,
sikap, persepsi, dan harapannya serta keterlibatannya dalam gerakan dan
ditetapkan secara “purposive“ dengan mencari orang-orang kunci“ yang
berada di “lingkaran“ gerakan. Mulai dari penggerak inti, pendukung dan
partisipan, simpatisan dan penentang.
Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 11 orang dan responden 47
orang. Responden dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa kategori
menurut intensitas keterlibatannya dalam gerakan tersebut. Kelompok
responden terdiri atas: a). Para pemimpin gerakan (kelompok inti), terdiri
dari ketua lembaga adat, 3 orang; b). Orang-orang kepercayaan (pendukung
setia), pengurus lembaga adat, 3 orang; c). Pengikut biasa (partisipan), warga
masyarakat yang mendukung secara aktif, 8 orang; d). Orang marginal
(simpatisan), warga masyarakat yang mendukung secara pasif, 19 orang.
Di luar lingkaran orang-orang termasuk dalam kategori tersebut, turut
diwawancarai kelompok-kelompok masyarakat yang berada diluar lingkaran
terdiri atas: a). Kelompok orang yang tidak peduli terhadap gerakan dan
bersikap kompromistis dengan pihak proyek, 5 orang; b). Para penentang
gerakan 3 orang; c). Pendukung dari luar (LSM) 3 orang; d). Pemerintah +
pengelola bandara, 5 orang.
48
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam,
wawancara bebas dan mengamati secara langsung fenomena sosial. Hal ini
dilakukan untuk memperoleh data primer tentang dinamika masyarakat. Data-
data ini selanjutnya dituliskan langsung menjadi catatan harian yang akan
dijadikan bahan dasar untuk analisa. Wawancara mendalam dilakukan dengan
subyek kasus sebagai informan kunci yang telah ditentukan sebelumnya.
Wawancara dilakukan dengan dengan beberapa orang untuk satu topik dan
diulang kembali untuk mencocokkan data. Penyebaran koesioner untuk
mengetahui hal-hal yang bersifat umum yang berisi pertanyaan terbuka dalam
tujuan untuk menangkap data-data kualitatif.
Koesioner ini juga ditujukan kepada para responden yakni anggota
masyarakat yang terkena dampak secara langsung dari proyek perluasan
bandara di lokasi penelitian yang berisikan antara lain tentang status
kepemilikan tanah, proses ganti rugi pembebasan tanah, dampak sosial,
ekonomi dan budaya yang ditimbulkan sebagai dampak aktivitas
pembangunan / bandara tersebut. Sedangkan koesioner yang ditujukan untuk
narasumber (Pemda Propinsi dan Kota) berisi alasan pengembangan bandara,
mekanisme ganti rugi, hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses
perluasan bandara, upaya yang dilakukan Pemda.
Data primer diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian yang
terdiri dari panduan pertanyaan dan kuesioner singkat yang disusun
berdasarkan kebutuhan data. Selain data primer, juga dilakukan telaah
dokumen dari sejarah wilayah juga sejarah sosial ekonominya. Sejarah
berguna untuk menelusuri perkembangan desa dan wilayah penelitian.
Untuk data sekunder, peneliti mengambil laporan-laporan kegiatan
organisasi sekaligus untuk melakukan cross-cek data tersebut dengan data
lapang. Data sekunder juga diperoleh dari media komunikasi massa lokal
yang meliput aktivitas-aktivitas masyarakat tani Tafure dan aktivitas lembaga
kesultanan Ternate selama kurun waktu tertentu. Berbagai teknik dan strategi
pengambilan data ini dipergunakan untuk lebih mengarahkan dan
mempertajam informasi yang ingin diperoleh.
49
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya diproses melalui kegiatan
penyusunan satuan atau pemilahan data dalam bidang masing-masing. Data
yang telah tersusun tersebut selanjutnya diolah berdasarkan pada kerangka
analisis / kerangka pemikiran yang telah dirumuskan. Pengujian keabsahan
data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi yaitu, check, recheck,
and cross check terhadap data yang diperoleh.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang ada untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut (Moleong, 1998:178).
Teknik triangulasi merupakan prosedur pencocokan data melalui beberapa
sumber yang dan dapat dilakukan pada beberapa aspek penting dari data
yakni sumber data, metode, penyidik dan teori. Triangulasi menggunakan
sumber data yang dilakukan dengan jalan :
(1) membandingkan data hasil penelitian dengan hasil wawancara;
(2) membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi;
(3) membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakan orang sepanjang waktu;
(4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan pendapat
dan pandangan orang lain;
(5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
Pemeriksaan metode dilakukan melalui pengecekan pada data pertama,
kedua, dicocokkan dengan data ketiga dan seterusnya dengan data pertama
untuk memastikan kebenaran dari data. Hal itu dapat dilakukan melalui :
1). membandingkan fakta lapangan dengan data hasil wawancara;
2). membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen yang
saling berkaitan;
3). mengecek keabsahan data yang diberikan antara informan-informan
yang datanya saling berkaitan.
50
3.6. Kesulitan yang Dihadapi
Bentuk kesulitan yang dihadapi seperti para narasumber yang sering
meninggalkan daerah untuk melakukan perjalanan dinas keluar daerah,
kesulitan untuk bertemu secara langsung dengan orang yang berkompeten
menjelaskan jalannya perluasan bandara dan dampaknya, ciri usaha perluasan
bandara dan problematikanya dan lain-lain sehingga peneliti harus berusaha
menemui staf yang diserahi tugas atau membidangi staf perencanaan
pelaksanaan proyek untuk memberikan keterangan seputar materi yang
ditanyakan.
3.7. Sistimatika Penulisan
Rancangan tesis ini terdiri atas tujuh bab dalam usahanya
menggambarkan Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya
Memahami Perubahan Identitas Perjuangan dari “Petani” menjadi
“Masyarakat Adat”). Masing-masing bab mewakili fokus pembahasan yang
berbeda sehingga mempermudah pemahaman peneliti dan proses penelitian
ini.
Bab 1 “Pendahuluan” berisi pemaparan mengenai latar belakang,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
Bab II “Tinjauan Pustaka” sarat dengan pendekatan teori tentang aspek
yang akan dikaji dalam kegiatan penenlitian ini. Gerakan sosial menjadi
bagian dari basis ide kesadaran kolektif yang melahirkan perilaku kolektif.
Perspektif perilaku kolektif ini mencoba untuk memperlihatkan bahwa
munculnya gerakan masyarakat petani adalah sebagai respon atas intervensi
pemerintah (negara) yang berdampak terhadap dimensi kehidupan
masyarakat petani secara umum. Bab ini memaparkan kerangka pemikiran
sebagai panduan analisis dalam penelitian tesis.
Bab III “Metode Penelitian” merupakan uraian tentang langkah-langkah
metodologis atau pendekatan lapang yaitu menyangkut: strategi penelitian, lokasi
dan waktu penelitian, unit analisis, teknik pengambilan data, dan teknik
pengolahan dan analisis data. Bab ini menggambarkan kearah mana alur
penelitian ini akan dibawa melalui rumusan pertanyaan penelitian.
51
Bab IV “Desktipsi Daerah Penelitian”. Bab ini menguraikan tentang
Gambaran umum Maluku Utara, Kondisi Geografis dan Karakteristik Lokasi
Penelitian, dan Struktur Sosial Penduduk.
Bab VI “Transformasi Identitas Gerakan dari Petani menjadi
Masyarakat Adat”. Bab ini mengetengahkan tentang Ideologi Utama dan
Aktor Penting Gerakan, Isyu-isyu yang diusung sebagai “Roh” Perlawanan
Petani, Posisi Petani di tengah Pusaran Negara dan Penguasa, Intervensi
Pemerintah, Respon Petani dan Dampak Gerakan di tengah Arus
Kepentingan.
Bab VII “Involusi Gerakan Agraria” Bab ini menguraikan tentang
analisis perjuangan atas nasib petani dalam setiap episode kekuasaan rezim
dan pengaruhnya terhadap perubahan prinsip-prinsip struktur agraria yang
berkeadilan.
Bab VII berjudul “Penutup”, menguraikan tentang rangkuman (review)
atas pokok penelitian dan hasil-hasil analisanya yang telah diuraikan pada
setiap bab sebelumnya, dan akhirnya ditutup dengan kesimpulan dan saran.
BAB IV
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Provinsi Maluku Utara
Sebagai salah satu provinsi kepulauan di Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang dibentuk sejak dikeluarkan Undang-undang No. 46 Tahun
1999 tentang pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan
Kabupaten Maluku Tenggara Barat serta diresmikan pada tanggal 12 Oktober
1999.1 kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2003,
Tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan
Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Provinsi Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan, yang terdiri dari
395 buah pulau besar dan kecil, sebanyak 64 pulau yang dihuni dan 331
pulau tidak dihuni dengan luas wilayah secara keseluruhan 140.366,32 Km2
dimana luas wilayah daratan 33.278 Km2 (23,72%). Luas wilayah perairan
seluas 106.977,32 Km2 (76,28%). Pulau-pulau yang tergolong besar antara
lain pulau Halmahera, (18.000 Km2), pulau Obi (3.900 Km2), pulau Taliabu
(3.195 Km2), pulau Bacan (2.878 Km2) dan pulau Morotai (2.325 Km2).
Jumlah penduduk provinsi Maluku Utara tahun 2002 adalah 794.024
jiwa, tahun 2003 sebanyak 849.346 jiwa, dengan rata-rata laju pertumbuhan
penduduk sebesar 2,16% / tahun. Dari jumlah penduduk tersebut, maka yang
tergolong Penduduk Usia Kerja (PUK) yang didefinisikan sebagai penduduk
yang berumur 15 tahun ke atas di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2004
berjumlah 562.653 jiwa yang terdiri dari perempuan 280.214 jiwa atau 49,8%
dan laki-laki berjumlah 282.439 jiwa atau 50,2%. Tahun 2006 berdasarkan
hasil proyeksi SUPAS2 2005 adalah 919.160 jiwa yang tersebar di 8
kabupaten/kota, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 180.354 jiwa yang
mendiami di kabupaten Halmahera Selatan.
1 Rencana Strategis (Renstra) Propinsi Maluku Utara tahun 2003/2007.
2 BPS Propinsi Maluku Utara dan Bappeda Propinsi Maluku Utara. Maluku Utara DalamAngka, 2007. p. 45.
53
Untuk transportasi udara, selain untuk membuka isolasi daerah
terpencil, juga mempertinggi aksesibilitas antar kota-kota penting inter dan
antar wilayah Maluku Utara. Keseluruhan jumlah bandara di Maluku Utara
sebanyak 11 buah yang terdiri dari Bandara Babullah dan bandara perintis
lainnya yaitu Kao, Galela, Bacan, Sanana, Morotai, Gebe, Buli, Gosowong,
Lili (Halmahera) dan Falabisahaya (P. Taliabu). Armada penerbangan yang
digunakan untuk melayani penumpang internal Maluku Utara adalah pesawat
kecil jenis Cassa. Beberapa masalah yang dihadapi oleh penerbangan perintis
ini adalah disamping rendahnya frekwensi penerbangan, kondisi bandara
perintis cukup memprihatinkan.
Dengan adanya bandara ini, kelancaran roda pemerintahan, mobilitas
pelaku ekonomi dan masyarakat dapat terselenggara sesuai dengan tingkat
kebutuhannya. Hal ini dapat dilihat pada frekuensi penerbangan dari dan ke
Bandar Babullah yang dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan dengan
frekuensi penerbangan tertinggi ke Manado dan Makassar yaitu rata-rata 20
kali per minggu, disusul Ambon dengan 6 kali perminggu dan Sorong 2 kali
perminggu.
4.2. Kondisi Geografis dan Karakteristik Lokasi Penelitian
Dasar hukum terbentuknya Kota Ternate adalah Undang-undang Nomor 11
tahun 1999, tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Ternate. Jumlah
kecamatan di wilayah administratif pemerintahan Kota Ternate pada saat
pembentukan adalah hanya 3 Kecamatan dengan 58 Desa/Kelurahan. Wilayah Kota
Ternate dengan luas wilayah 249,75 km2. Seluruh wilayah ini dikelilingi laut. Batas-
batas Kota Ternate adalah: a). sebelah Utara dengan laut Maluku; b). sebelah Selatan
dengan laut Maluku; c). sebelah Timur dengan selat Halmahera; d). sebelah Barat
dengan laut Maluku.
Wilayah Kota Ternate merupakan daerah kepulauan karena wilayahnya terdiri
dari delapan buah pulau, dimana lima pulau berukuran sedang, tiga pulau lainnya
berukuran kecil hingga sekarang belum dihuni penduduk. Pulau-pulau tersebut
adalah:
54
a. Pulau Ternate (110,7 km2 / dihuni)
b. Pulau Hiri (12,4 km2 / dihuni)
c. Pulau Moti (24,6 km2 / dihuni)
d. Pulau Mayau (78,4 km2 / dihuni)
e. Pulau Tifure (22,1 km2 / dihuni)
f. Pulau Maka (0,5 km2 / tidak dihuni)
g. Pulau Mano (0,5 km2 / tidak dihuni)
h. Pulau Gurida (0,55 km2 / tidak dihuni)
Pulau-pulau di wilayah kota Ternate terletak dalam lingkup yang
bergerak melalui kepulauan Filipina, Sangihe Talaud, dan Minahasa yang
dilingkupi lengkung Sulawesi dan Sangihe yang berwatak vulkanis.
Pertumbuhan penduduk Kota Ternate pada tahun 2000 berjumlah 152.097
jiwa dengan ratsio jenis kelamin laki-laki 76.347 jiwa dan perempuan 75.750
jiwa sedangkan pada tahun 2002 jumlah penduduk menjadi menurun
mencapai 120.865 jiwa, dengan ratsio jenis kelamin laki-laki 59.803 jiwa dan
perempuan 61.062 jiwa.
Terjadinya penurunan jumlah penduduk disebabkan karena program
repatriasi (pemulangan) pengungsi ke masing-masing daerah asal pasca
konflik horizontal bernuansa SARA yang terjadi pada akhir tahun 1999,
sedangkan angka pertumbuhan selama 10 tahun (1990-2000) mencapai 5,45 /
tahun.3 Angka kepadatan penduduk Kota Ternate adalah 4.323 jiwa Km2
(dengan jumlah kepadatan terbesar berada di wilayah Kecamatan Ternate
Selatan (1.832 orang/Km2) diikuti kecamatan Ternate Utara (2.111
orang/Km2), Kecamatan Pulau Ternate (169 orang/Km2) dan Kecamatan Moti
(211 orang/Km2).
Program prioritas pembangunan Kota Ternate adalah “Catur Program”
atau empat program prioritas, yaitu: a). reformasi administrasi pemerintahan;
b). peningkatan kualitas sumber daya manusia; c). pemberdayaan masyarakat;
d). peningkatan infrastruktur perkotaan. Sebagai daerah kepulauan, sumber
pendapatan kota Ternate bertumpuh pada sektor jasa (lebih 50% PDRB),
3 Profil Kabupaten/Kota, 2004. “Wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua” KementrianLingkungan Hidup. Hal 308.
55
disamping potensi sumber daya alam yang dimiliki. Penyebaran pendapatan
daerah meliputi sektor pertanian 13,34%; pertambagan galian 0,90%; industri
pengolahan 6,26%; listrik, gas dan air bersih 1,57%; bangunan 4,98%;
perdagangan, hotel/restoran 32,55%; pengangkutan dan komunikasi 13,77%;
keuangan, persewahan dan jasa perusahan 6,87%; dan jasa lainnya 19,76%.
Sektor pertanian kota Ternate didominasi oleh subsektor tanaman
perkebunan cengkih (komoditi ekspor) luas lahan 1578 ha dengan hasil
produksi 734 ton/tahun; kelapa dengan luas lahan 1373 ha dengan hasil
produksi 1.500 ton/tahun; tanaman pala dengan luas lahan 789 ha
menghasilkan 375 ton/tahun; subsektor perikanan dengan potensi luas
wilayah perairan atau laut 903,73 km2, memiliki potensi ekonomis tinggi,
yaitu ikan cakalang/tuna 5.038,73 ton produksi/tahun, ikan tongkol 1.309,3
ton/tahun, ikan layar/selar 1.027,3 ton/tahun, dan ikan kakap 219,4 ton.
Sedangkan subsektor kehutanan dikota Ternate tidak terdapat hutan produksi,
yang ada hanya area hutan lindung seluas 2.500 ha/tahun dan hutan konversi
seluas 13.000 ha.
Sebagai daerah penelitian, masyarakat Tafure Ternate memiliki
falsafah hidup yang dikenal ”Adat se Atorang” (sesuai dengan adat dan
aturan), memiliki institusi sosial dan budaya yang ditaati oleh anggota
masyarakatnya. Kewenangan institusi adat sampai saat ini masih eksis
terutama terhadap persoalan-persoalan perdata seperti perkawinan,
perceraian, pembagian waris, hibah, tanah yang diwakafkan dan bahkan ada
kasus pidana sebelum diselesaikan oleh peradilan formal, terlebih dahulu
diselesaikan oleh Sultan melalui perangkat adatnya.
Hal inilah yang mendorong kami untuk meneliti pada komunitas
masyarakat tani Tafure yang dikenal cukup kuat dalam mempertahankan
tradisi dan nilai-nilai adat yang dianut dimana masyarakatnya merupakan
komunitas masyarakat adat yang menjadi korban pembangunan dan perluasan
bandar udara Sultan Babullah.
56
4.3. Struktur Sosial Penduduk
Awal keberadaan masyarakat Tafure terbagi dalam susunan
masyarakat yang tradisional, meskipun penggolongan masyarakat tidak
setajam pembagian kasta-kasta, namun ada penggolongan yang bertolak atas
dasar keturunan. Dangan kata lain pembagian atau stratifikasi masyarakat
Ternate pada umumnya tidak bersifat fungsional. Soelarto4 melihat
stratifikasi sosial Masyarakat Ternate terdiri dari:
1. Golongan Jou: Golongan ini merupakan golongan istana yang terdiri
dari Sultan dan keluarganya sampai pada keturunan ketiga.
2. Golongan Dano-Dano: Yaitu golongan cucu Sultan dan anak-anak
yang dilahirkan dari putri sultan dan dengan orang dari luar istana.
3. Golongan Rakyat: Mereka yang berada diluar golongan diatas
4. Golongan budak (berlaku pada masa dahulu)
Disamping ketiga golongan diatas terdapat golongan budak pada saat
itu karena belum beragama islam, serta mereka yang pernah melakukan
pemberontakan terhadap sultan tapi akhirnya dapat dikalahkan juga. Selain
stratifikasi diatas, juga terdapat pembagian masyarakat berdasarkan
kelompok kekerabatan berdasarkan marga atau Soa yang merupakan
kekerabatan murni masyarakat Ternate. Kelompok ini terdiri 4 suku yakni:
Soa Sio, Sangaji, Pembagian struktur kekerabatan masyarakat tersebut lebih
didasarkan pada kelompok Soa/Suku serta untuk menunjukan asal-usul
keberadaan mereka dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya Soa
melayu dan Soa Jawa sebagai representasi bahwa moyang mereka berasal
dari Melayu dan suku Jawa. Sebagai catatan5 asal usul Soa Jawa berasal dari
para ulama Jawa dan Tuban atau Gresik yang pada saat Sultan Zainal Abidin
(1484-1500) menuntut ilmu agama di pulau Jawa dan kembali ke Ternate
membawa mubaliq yang berasal dari daerah tersebut. Demikian halnya
dengan Soa Melayu, mereka dibawa oleh Sultan terdahulu ke Ternate dengan
jalan asimilasi melalui pernikahan dengan warga Ternate.
4 B. Soelarto, Sekelumit Monografi Daerah Ternate. Penerbit, Proyek Pengembangan MediaKebudayaan Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia,(tanpa tahun),, p. 52.
5 B. Soelarti, Seelumit Monografi....,, op. c it. p. 55.
57
Selain itu ada Soa/marga tertentu yang memiliki tugas dan tanggung
jawab dalam kerajaan Ternate. Mereka memiliki fungsi khusus seperti Soa
Heku dan Soa Cim yang mempunyai tugas kemiliteran dalam kerajaan,
namun mereka tidak mamiliki hak-hak khusus/istimewa (hak privelage).
Walaupun demikian, pada saat-saat tertentu seperti upacara-upacara adat
mereka diberikan pengutamaan seperti memberikan kesempatan untuk makan
bersama, sebagai pemangku adat dan tokoh agama ditempatkan pada bagian
ujung meja (bagian utama).
Pada sisi lain, Abdul Hamid6 menyebutkan bahwa stratifikasi
masyarakat adat Ternate terdiri dari empat kelompok besar yang berjumlah
42 suku bangsa dalam kedudukan di Gam Raha atau empat kekuasan besar.
Bilangan empat puluh dua dipilih menjadi angka empat dan dua dengan
pengertian filosofinya: empat merupakan empat pilar rumah besar, rumah
tempat hunian manusia dan dua adalah dua sosok manusia lelaki perempuan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini
masyarakat adat Tafure Ternate masih menghormati dan mengakui sistem
kekerabatan yang telah turun temurun berlaku dalam masyarakat. Begitu juga
dengan pengakuan terhadap para golongan Jou dan Dano sebagai kelompok
elit atau memiliki kedudukan atau kelompok terhormat dalam masyarakat.
Sedangkan kelompok budak sejak lama, serta akibat perkembangan
masyarakat, telah dihapus atau tidak di kenal lagi dalam masyarakat.
Desa Tafure didirikan tahun 1964, yang terdiri dari tiga dusun, yaittu
dusun Tafure, Akehuda, dan Tubo. Pada saat didirikan, Tafure merupakan
pusat pemerintahan dari tiga dusun tersebut dengan kepala desa pertamanya
adalah H. Achmad Ici yang menjabat sejak tahun 1964 hingga tahun 1984,
dengan jumlah peduduknya hingga tahun 2007 telah mencapai 7739 jiwa dan
di tahun 2008 menurun menjadi 4214 jiwa. Secara administratif Desa Tafure
berada dalam wilayah kecamatan Ternate Utara Kota Ternate. Desa Tafure
terletak di bagian Utara kota Ternate. Penamaan Tafure adalah berasal dari
Pulau Tifure yang merupakan sebuah kerajaan kecil di zaman dahulu namun
hingga kini telah “tenggelam”” oleh zaman. Dengan demikian maka
6 Abdul Hasan Hamid, Aroma Sejarah...., op. cit. p. 30.
58
masyarakat desa Tafure awal adalah hasil relokasi penduduk yang melarikan
diri dimasa kolonial Belanda dari Pulau Tifure ke Kerajaan Ternate. Menurut
pengakuan Madjid Bayau sebagai tokoh Adat setempat (Fanyira Tafure)
bahwa keberanian seorang Ratu Kerajaan Tifure yang membunuh pimpinan
Belanda diwilayah kerajaannya menimbulkan serangan balik yang
mengancam keselamatan diri dan warganya. Menghadapi ancaman tersebut,
sang Ratu terus meminta warga kerajaannya untuk exodus dan menetap di
Ternate dan hingga akhirnya mereka tetap bertahan hingga saat ini.
Wilayah desa Tafure terletak di pesisir pantai, sebelah Utara
berbatasan dengan desa Tabam, sebelah selatan berbatasan dengan desa
Akehuda, sebelah Timur berbatasan dengan desa Tubo, sebelah Barat
berbatasan dengan selat Halmahera. Luas keseluruhan wilayah Tafure 4050
km2. Kondisi jalan darat cukup baik dengan jarak tempuh 5 km menjadikan
Tafure mudah dijangkau, dari dan ke pusat kota Ternate sebagai pusat
ekonomi dan perdagangan di propinsi Maluku Utara.
Hal ini memberi peluang bagi masyarakat setempat dalam melakukan
segala bentuk aktivitas ekonomi. Dekatnya jarak dengan pusat kota serta
tersedianya sarana transportasi umum membuka kesempatan bagi penduduk desa
untuk melakukan interaksi dengan desa-desa sekelilingnya. Dengan kondisi tanah
yang cukup subur, menyebabkan mayoritas penduduk Tafure memiliki mata
pencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 735 orang/jiwa.
Kondisi tingkat pendidikan penduduk pada tahun 2009 berdasarkan
pendidikan SD/sederajat yang tamat 600 tidak tamat adalah 12 orang, Jumlah
penduduk yang tamat SLTP/sederajat 600 orang, tamat SLTA/sederajat 600
orang, tamat D I berjumlah 10 orang, D II 42 orang, D III 15 orang, SI 600 orang,
S2 15 orang. Rata-rata tingkat dan kualitas pendidikan masyarakat sangat rendah7.
Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan,
kualitas sumber daya tenaga pendidik yang rendah serta terbatasnya sarana dan
prasarana penunjang. Tentunya ini semua tidak terlepas dari kurangnya peran dan
perhatian pemerintah daerah setempat dalam memajukan dunia pendidikan,
kesehatans, dan lainnya.
7 Ibid.
BAB V
KONFLIK PEMBANGUNAN DAN GERAKAN SOSIAL BARU
Salah satu konflik yang terjadi di Indonesia pasca runtuhya
pemerintahan orde baru adalah yang terjadi di Maluku Utara. Akibat dari
konflik tersebut, baik dilihat dari jumlah korban langsung akibat kekerasan
telah menimbulkan ribuan korban jiwa manusia yang tak berdosa, (kematian
dan cacat badan), kerusakan sarana dan prasarana sosial-ekonomi (Rumah
penduduk, tempat ibadah dan sarana perekonomian), maupun trauma
psikologis yang diakibatkan. Selain itu juga telah terganggu sistem
pendidikan, mandeknya aktivitas ekonomi masyarakat, rusaknya hubungan-
hubungan sosial yang selama ini berkembang dalam masyarakat.
5.1. Akar Konflik Maluku Utara
Dampak negatif pelaksanaan pembangunan yang dirasakan pada era
reformasi adalah terjadinya konflik dibeberapa daerah serta menguatnya
gejala konflik baru, baik yang bersifat sosial-horisontal maupun yang
bersifat politik-vertikal, termasuk yang terjadi di Kota Ternate propinsi
Maluku Utara. Menguatnya gejala konflik ini harus dipandang sebagai salah
satu implikasi negatif dari kebijakan pembangunan dan hubungan pusat-
daerah yang tersentralisasi pada era terdahulu, serta melemahnya hubungan
sosial masyarakat.
Kerusuhan yang berkempanjangan dengan akar konflik yang selalu
berkembang secara eksplisit memberi indikasi bahwa potensi konflik internal
yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Maluku Utara telah
melemahkan kearifan budaya lokal. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh para peneliti, akar persoalan sumber konflik di Maluku Utara
tidaklah tunggal. Persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam
serta pertikaian elit politik dan birokrasi merupakan faktor pembungkus
”konflik agama” yang selama diyakini oleh sebagian besar masyarakat.
60
Dalam konteks lokal, setidaknya ada dua faktor penting yang mendasari
konflik di wilayah ini yaitu : (1) Rivalitas elit dalam merebutkan pengelolaan
sumberdaya alam dan jabatan-jabatan birokrasi serta politik, (2) Menguatnya
etnosentrisme sebagai alat untuk merebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik.
Agusalim Bujang menyebutkan akar masalah konflik Maluku Utara karena (1)
Adanya Upaya Kristenisasi di Maluku Utara, (2) Perebutan Wilayah Agama (3)
Perebutan sumberdaya Ekonomi/Tambang Emas PT. NHM, (4) Perebutan Kursi
Gubernur Maluku Utara (5) Keterlibatan Negera-Negara Luar.1
Tamrin Amal Tomagola menyebutkan 3 akar masalah konflik Maluku
Utara, yang meliputi kompetisi memperebutkan territorial agama; perebutan
tambang emas di Malifut dan perebutan jabatan Gubernur Maluku Utara.
Sedangkan Sri Yanuarti, dkk. Penyebab konflik meliputi: 2 (1) perseturuan
antara Ternate dan Tidore; (2) Eksistensi Wilayah Adat; (3) ketegangan
masalah agama; dan (3) Perebutan sumberdaya. Dari berbagai pendapat
terhadap diatas, menurut penulis akar penyebab konflik Maluku Utara
meliputi; a) Persaingan etnis; b) Perebutan wilayah dan sumberdaya alam; c)
Persaingan antara agama; d) Pemerataan distribusi sumberdaya
pemerintahan; e) Perebutan sumber daya politik (kekuasaan); f)
Ketidakadilan; g) Lemahnya peran lembaga adat lokal serta kearifan lokal
yang selama ini menjadi modal sosial. Melemahnya sosial capital, kemudian
dimanfaatkan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab (provokator)
melalui cara-cara yang sistematis dengan berbagai kepentingan oleh aktor
intelektual yang hampir dapat dipastikan sulit dijamah hukum.
Dengan demikian, maka menurut penulis bahwa konflik Maluku Utara
umumnya dan kota Ternate khususnya bukan semata-mata konflik agama,
akan tetapi terjadi dinamika konflik yang berawal dari perebutan (pengakuan)
wilayah adat dan sumberdaya politik (kekuasaan) dan ekonomi yang terbatas.
Salah satu konflik di Maluku Utara yang telah berlangsung lama hingga kini
adalah konflik pembangunan bandara Sultan Babullah Ternate.
1 Kasman Hi. Ahmad dan Herman Oesman (penyunting), Damai Yang Terkoyak, CatatanKelam Dari Bumi Halmahera. Podium-Madani Press. Ternate, 2000, Hlm. 120-123.
2 Yuniarti, Sri, dkk. 2004. Konflik Maluku Utara, Penyebab, Karakteristik dan PenyelesaianJangka Panjang. LIPI, Jakarta, 2004, hlm. 86-110.
61
Indikasi kuat dari pernyataan ini karena bagian Utara kota Ternate
dengan struktur sosial yang terkesan homogen dengan kultur masyarakat adat
yang cenderung menguat sehingga merupakan kawasan dengan tingkat
heterogenitas penduduk yang cukup rendah. Meskipun demikian, sejarah
sosial di kota ini menunjukkan bahwa konflik sosial merupakan hal yang
selalu muncul dalam bentuk perang suku maupun sengketa dalam bentuk
yang lain, terutama dengan kalangan yang dianggap “berlawanan” dengan
perangkat hukum adat setempat.
Berlangsungnya proyek pembangunan lapangan terbang sejak tahun
1970-an dengan demikian memanfaatkan tanah milik petani lokal untuk
proyek tersebut telah menjadi sumber konflik antara masyarakat sekitar
dengan pihak pelaksana proyek (Pemda). Disamping itu, operasi proyek
pembangunan tersebut juga menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan
budaya yang luar biasa, sehingga masyarakat yang terkena dampaknya
merasa dirugikan.
Kenyataan ini menyebabkan konflik semakin menjadi meluas terutama
yang terkait dengan dampak yang ditimbulkan tersebut, dan untuk meredam
konflik dan protes yang dilakukan oleh petani dan masyarakat korban
pembangunan bandara tersebut maka pihak Pemerintah Daerah Propinsi
menyediakan dana untuk pembayaran ganti rugi bagi para pemilik tanah yang
telah dikonversi untuk proyek pembangunan tersebut. Kebijakan ini ternyata
tidak mampuh mengatasi konflik, karena model pengelolaannya tidak pernah
memuaskan semua pihak.
Meskipun model pengelolaan sudah diperbaiki, dari pengelolaan oleh
Pemda propinsi sampai dengan model pengelolaan dengan melibatkan tokoh
masyarakat setempat, ternyata belum memuaskan masing-masing pihak
bahkan melahirkan perpecahan dikalangan masyarakat sehingga
menimbulkan konflik-konflik baru (konflik budaya). Secara kultural,
pertemuan dua orientasi nilai budaya yang sangat kontras diwilayah seputar
proyek pembangunan juga menjadi sumber konflik budaya. Pada satu sisi ada
masyarakat sangat taat pada sistem hukum adat setempat, pada sisi yang lain
ada pelaksana proyek pembangunan dengan budaya industri modern dan
62
dalam perkembangannya lebih mendapat dukungan dari sebagian masyarakat
korban proyek pembangunan yang memilih sikap untuk menerima proses
ganti rugi dengan nilai yang dianggap tidak wajar dengan syarat adanya
pengakuan negara tentang status tanah sengketa sebagai tanah adat.
Sementara korban lainnya yang menolak ganti rugi karena dianggap ada
unsur manipulasi data dan dugaan pelanggaran hukum (KKN) yang dilakukan
oleh perwakilan masyarakat penyelesaian ganti rugi (Tim 6) dalam peoses
pembayaran ganti rugi tersebut. Bab ini membahas beberapa sumber konflik
baru yang bersumber dari proyek pembangunan bandara tersebut, yaitu
diantaranya terkait dengan dampak perubahan sruktur ekonomi dan kultural,
dampak lingkungan, dll.
Konflik bagi masyarakat Ternate khususnya di bagian Utara merupakan hall
yang biasa, yang ditunjukkan dengan kebiasaan perang dimana sebagian besar
pasukan tentara kerajaan Ternate berdomisili di wilayah ini. Kehadiran proyek
pembangunan bandara merupakan sumber konflik baru bagi beberapa desa seperti
yang telah disebutkan (Tafure, Tabam, Sango dan Tarau). Kegiatan proyek
pembangunan bandara sejak tahun 1970 telah menimbulkan perubahan sosial
yang sangat cepat dikawasan beberapa daerah sekitar bandara. Ini berarti faktor-
faktor material nampak lebih nyata pengaruhnya terhadap perubahan sosial karena
memerlukan penyesuaian sikap mental manusianya. Apalagi dengan adanya
perubahan lingkungan hidup yang berpengaruh langsung terhadap sumber mata
pencaharian penduduk sekitar bandara tersebut sehingga diperlukan kemampuan
adaptasi secara signifikan agar masyarakat tetap bisa bertahan hidup.
Perubahan yang begitu cepat melahirkan konflik-konflik sosial yang
begitu tajam, karena ketegangan meningkat. Meningkatnya ketegangan lebih
disebabkan karena situasi sosial yang telah ada yaitu selain karena perubahan
mata pencaharian penduduk disekitar bandara, juga karena dampak kebisingan
suara akibat penerbangan pesawat terbang yang berlangsung pada setiap saat.
Sebagai perusahaan modern pihak pengelola bandara dituntut untuk bertindak
secara rasional dalam menghadapi segala bentuk tuntutan masyarakat sekitar
sedangkan pihak masyarakat sekitar sangat lekat dengan nilai-nilai
tradisionalnya.
63
Sementara itu perubahan-perubahan tidak terhindarkan sehingga
masyarakat adat terasa makin sulit beradaptasi dengan situasi maupun
nilai-nilai baru. Akhirnya, perubahan dan konflik berjalan beriringan
sebagai suatu kenyataan yang tidak terhindarkan, yang dipicu oleh
kehadiran pembangunan proyek bandara Sultan Babullah Ternate yang
berdampak pada beberapa desa sekitar lokasi bandara tersebut.
Bagaimana konflik itu berproses? dapat dilihat dari tahap awal
perencanaan pembangunan bandara sampai tahap operasional dari
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan setelah proyek berjalan. Dalam
kaitannya dengan masyarakat sekitar bandara, dengan segala pasang
surutnya perusahaan ini seolah-olah tidak peduli terhadap masyarakat
korban pembangunan proyek bandara disekitarnya.
Baru setelah ada peristiwa aksi pemblokiran dan boikot aktivitas
penerbangan pada tanggal 01 Februari 2005 dan kemudian berulang
kembali pada tanggal 05 Desember 2006, kebijakan-kebijakan pihak
departemen perhubungan sebagai pengelola bandara mulai diarahkan
pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat khususnya
untuk mengakomodir tuntutan-tuntutan ganti rugi bagi masyarakat
pemilik lahan yang telah dijadikan sebagai lahan beroperasinya aktivitas
bandara. Langkah nyata ini ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan
penyediaan dana ganti rugi bagi pihak penduduk sekitar yang menuntut
adanya ganti rugi atas lahan penduduk yang digunakan sejak awal
pembangunan proyek bandara hingga mengalami perluasan pada tahun-
tahun belakangan ini.
Peran lembaga adat kesultanan Ternate sangatlah lemah dalam
menanggapi persolan penyelesaian ganti rugi bagi masyarakat korban
pembangunan bandara tersebut. Indikasi ini dapat dibuktikan dengan
berbagai surat yang dikeluarkan oleh Sultan Ternate yang sekedar berupa
surat himbauan, baik kepada masyarakat korban untuk tidak terprovokasi
dengan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab maupun himbauan
kepada pihak pengelola bandara (kepala bandara).
64
Hal ini dapat dibuktikan dengan surat himbauan yang
ditandatangani oleh Sultan Ternate tertanggal 5 Mei 2009 No. 109/MKR-
KT/V/2009 perihal himbauan kepada Kepala Bandara Sultan Babullah
Ternate beserta pihak-pihak terkait agar menangguhkan pembayaran
ganti rugi lahan bandara dalam batas waktu yang belum ditentukan,
karena persoalan ini sedang diproses secara hukum. Semestinya lembaga
adat kesultanan melakukan negosiasi-negosiasi konkrit yang tidak
merugikan masyarakat sekitar bandara sembari aktif meciptakan
perdamaian.
Dalam perkembangannya, persoalan sengketa lahan bandara
tersebut ternyata tidak semata-mata terkait dengan tuntutan ganti rugi
semata melainkan tuntutan masyarakat adat yang menginginkan adanya
kejelasan atas pengakuan dan perlindungan atas hak-hak ulayatnya
(tanah). Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan sikap kelompok
masyarakat yang menamakan diri sebagai Aliansi Masyarakat Peduli
Korban Pembangunan Bandara Sultan Babullah Ternate pada tanggal 30
Juli 2009 lalu. Lebih lengkapnya tentang isi dari pernyataan sikap
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan Perda No. 13 tahun 2009, Lembaran Daerah No. 45tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat AdatKesultanan Ternate serta mengacu pada kesepakatan bersama antarapemerintah dan masyarakat tertanggal 1 Februari 2005 bahwa lahanbandara Sultan Babullah Ternate adalah tanah “Kaha Kie se Kolano”(tanah adat), oleh karena itu maka pemerintah RI cq. PemerintahDaerah harus mengakui hak-hak masyarakat adat yang termasukpenyelesaian ganti rugi lahan bandara. Kepala Bandara harusmelibatkanSultanTernatesebagaipemangku adat.
2. Pihak bandara Sultan Babullah Ternate segera menangguhkansurat perintah membayar (SPM) sampai selesainya proses hukumdi pengadilan.
3. Pemerintah RI cq. Dirjen Perhubungan Udara bersama masyarakatpemilik lahan segera merevisi data dan kesepakatan bersama(MoU) yang sangat merugikan masyarakat pemilik lahan danmelecehkan lembaga adat Kesultanan ternate.
4. Polres kota Ternate bersama Polda Maluku Utara segeramenangkap oknum-oknum Tim 6 dan kroninya yang diduga kuatmelakukan penipuan, pembohongan dan penggelapan uang
65
berdasarkan laporan polisi No. Pol: LPB/331/V/2009/SPKtertanggal; 14 Mei 2009.
5. Ganti rugi lapangan sepak bola Ganefo harus segera direalisasi.6. Rekruitmen CPNS di lingkup Perhubungan Udara harus
transparan dan harus memprioritaskan anak daerah sekitarterutama masyarakat (Tafure, Tabam, Sango dan Tarau).
7. Setiap kegiatan proyek pembangunan Bandara harus melibatkantenaga kerja (buruh) dari masyarakat tersebut.
8. Apabila poin 1-7 tidak diakomodir maka kami akanmemboikot aktifitas bandara dengan melibatkan masyarakatadat kesultanan Ternate.
Demikian surat pernyataan sikap para demonstran yang ditujukan
kepada Menteri Perhubungan RI Cq. Dirjen Perhubungan Udara di Jakarta
yang ditandatangani oleh penanggungjawab aksi Ilyas Bayau. Sebulan
sebelumnya aksi tersebut diatas dilakukan tepatnya tanggal 15 Juni 2009,
Tim 4 penyelesaian ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate Bpk.
Ilyas Bayau selaku koordinator tim tersebut menyurat kepada Kapolres Kota
Ternate cq. Kasat Reskrim Polres Kota Ternate tentang laporan tindak pidana
Kriminal untuk menindak proses penyidikan kasus manipulasi dan
penggelapan uang ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate tahap I
yang berasal dari dana DIPA. T.A. 2006 Rp. 1.500.002.000,- (satu milyar
lima ratus juta dua ribu rupiah), yang berimbas pada 53 orang yang dirugikan
sebesar Rp. 149.250.000,- (seratus empat puluh sembilan juta dua ratus lma
puluh ribu rupiah).
Pembayaran tahap II berasal dari DIPA T.A. 2008 Rp.5.000.000.000,-
(lima milyar rupiah) yang menyebabkan 20 orang dirugikan dengan nilai
kerugian sebesar Rp.148.125.000,- (seratus empat puluh delapan juta seratus
dua puluh lima ribu rupiah). Hingga kini, proses penyidikan kasus manipulasi
dan penggelapan uang ganti rugi lahan bandara yang bersumber dari dana
DIPA tahap I dan II tersebut masih ditangani oleh pihak Polres Kota Ternate
yang telah melakukan pemanggilan terhadap beberapa oknum anggota
masyarakat yang diduga terlibat dalam tindakan kriminal tersebut bahkan
terindikasi juga kasus ini akan menyeret nama beberapa pejabat birokrasi
setempat.
66
5.2. Faktor-faktor Penyebab Sengketa
Faktor penyebab sengketa sumber daya alam berbasis tanah disebabkan
karena multi interpretasi dan ketidakadaan pegangan bersama dari berbagai
pihak tentang siapa yang berhak menguasai tanah dan sumber daya alam,
siapa yang berhak memanfaatkan, dan siapa pula yang berhak dalam
pengambilan keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber
daya alam tersebut3. Akibat dari ketidakjelasan tersebut sehingga masing-
masing pihak, pemerintah, perusahaan, saling mengklaim bahwa merekalah
yang lebih berhak dari pihak lain.
Dari hasil penelitian ini ditemukan berbagai potensi kerugian yang
dialami masyarakat sehingga melahirkan gerakan sosial di daerah penelitian
ini adalah hilangnya tanah pertanian, hilangnya kapling rumah, hilangnya
akses ke tanah hutan, hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya rumah atau
tempat tinggal, hilangnya sumber mata pencaharian/pendapatan, hilangnya
lahan perkebunan, pemakaman, dll.
Kaitan dengan terjadinya konflik sumber daya alam, menurut Nyoman
Nurjaya bersumber dari persoalan-persoalan seperti:
1). Penguasaan, pemanfaatan, dan distribusi sumber daya alam yang
menjadi pendukung kehidupan manusia;
2). Ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelompok;
3). Kegiatan ekonomi masyarakat;
4). Kepadatan penduduk.
Sumber konflik tersebut sejalan dengan realitas konflik perebutan
sumberdaya alam (tanah) pada masyarakat hukum adat Tafure di Ternate
dengan pihak pengelola Bandara Sultan Babullah Ternate. Tanah-tanah yang
dimiliki sebagai tempat penghidupan sehari-hari telah diambil oleh pihak
Departemen Perhubungan sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam
sengketa tanah bandara tersebut dengan tidak memberikan ganti rugi
yang layak, akibatnya taraf kehidupan masyarakat secara ekonomi justru
menjadi terpuruk dan menjadi tidak sejahtera.
3 Iksan Malik, et. al. Op cit p. 337.
67
Kejadian ini semakin diperburuk dengan tidak adanya payung
hukum yang berpihak pada kepentingan masyarakat adat setempat
sehingga seolah tidak ada landasan hukum bagi masyarakat adat dalam
memperjuangkan dan menuntut pengakuan atas hak-hak ulayatnya.
Menurut masyarakat, keberadaan Bandara telah merampas hak tanah adat
mereka. Masyarakat adat Tafure merasa diperlakukan secara tidak adil
dan membuat mereka merasa terganggu karena bunyi rutinitas
penerbangan pesawat pada setiap harinya, yang diekspresikan dengan
berbagai aksi protes. Pihak bandara dianggap tidak menghargai hak-hak
adat mereka. Kompensasi ganti rugi yang diberikan dianggap tidak
sepadan dengan yang diharapkan. Ketidakberesan dalam merespon
tuntutan masyarakat telah ikut mendorong tindakan kolektif masyarakat
untuk merebut apa yang diklaim sebagai hak ulayat mereka selama ini.
Tuntutan pengakuan dan perlindungan keberadaan hak masyarakat
hukum adat mereka telah dilakukan dengan berbagai cara. Pilihan hukum
yang ditempuh baik berdasarkan hukum adat, maupun hukum negara telah
lama diperjuangkan dan terus dilakukan hingga saat ini demi
mempertahankan sejengkal tanah yang telah dikuasai. Perjuangan inipun tak
menjadi sia-sia dengan disahkannya Perda No. 13 tahun 2009 tentang
Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan
Ternate.
Upaya perjuangan tersebut karena adanya harapan bahwa bentuk
penyelesaian yang ditempuh akan memberikan hasil yang memuaskan dengan
kembalinya tanah adat mereka yang selama ini digunakan untuk bertani dan
bercocok tanam sebagai sumber utama mata pencaharian mereka yang
mendiami daerah sekitar bandara. Pemerintah sering memperhadapkan
masyarakat dalam setiap konflik pembangunan yang berbasis pada
penguasaan dan pemilikan sumber daya tanah dengan bukti-bukti yang
bersifat formal jika terjadi sengketa antara masyarakat dengan pemerintah
atau perusahaan, akibatnya komunitas masyarakat adat selalu berada pada
posisi yang dirugikan dan menjadi kalah karena harus diakui penguasaan
sumber daya tanah oleh masyarakat adat dilakukan secara tidak tertulis.
68
Pembuktian secara formal hak atas tanah menyebabkan nilai tawar
masyarakat adat dalam proses ganti rugi tanah semakin lemah, karena jika
masyarakat dan pihak bandara tidak mencapai kata sepakat, maka pemerintah
dalam hal ini secara yuridis dalam konteks hukum positif melalui berbagai
macam produk Undang-undang yang berpihak dan cenderung memperkuat
otoritas kewenangan negara dalam mengatur penguasaan dan pemilikan atas
tanah. Dengan demikian, maka pemberian ganti rugi kepada masyarakat
korban seolah mengedepankan peran pemerintah sebagai alat negara yang
cenderung memaksa masyarakat untuk tunduk dan takluk terhadap segala
bentuk kebijakan negara.
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Adat, dan lebih lanjut diperjelas dengan Surat Menteri Agraria/Kepala BPN
No. 400-2626 tanggal 21 Juni 1999 tentang Penyampaian Pedoman dan
Penjelasan Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, pemerintah berusaha untuk
memahami hal-hal yang berkaitan dengan hak ulayat. Menurut ketentuan
tersebut, yang dimaksud hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum
adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya
alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun
temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan. Definisi ulayat menurut (versi) pemerintah ini
menunjukkan bahwa pemerintah memberikan persyaratan tertentu dalam
menentukan masih ada tidaknya hak ulayat dalam suatu daerah tertentu.
Peraturan ini menetapkan ada tiga syarat (unsur) yang harus dipenuhi
dalam menentukan masih ada atau tidaknya hak ulayat. yaitu:
a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang
masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan
menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam kehidupannya sehari-
hari;
69
b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan
tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari;
c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu
terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan
dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh
para warga persekutuan tersebut.
Persyaratan di atas menunjukkan, pemerintah tidak secara tegas atau
bersifat setengah hati dalam mengakui keberadaan hak ulayat. Ini merupakan
dampak pola pikir masa lalu yang masih sentralistik, yaitu upaya ke arah
unifikasi hukum tanah masih sangat dominan. Upaya penyeragaman sistem
hukum tidaklah senantiasa buruk, namun tidak seharusnya pemerintah
memaksakan kehendaknya tanpa memperdulikan realitas yang ada di dalam
masyarakat adat di sejumlah daerah, terutama di luar pulau Jawa yang
selama Orde Baru telah dirusak dan dihancurkan.
Meskipun di dalam peraturan tersebut, memberikan wewenang kepada
daerah untuk mengadakan penelitian mengenai ada tidaknya hak ulayat atas
dasar tiga unsur dimaksud dengan cara mengikut sertakan pihak-pihak yang
berkepentingan dan pihak-pihak yang dapat menyumbangkan pemikiran dan
peranannya, seperti para ketua adat, para pakar adat, wakil lembaga swadaya
masyarakat dan wakil instansi yang bertanggung jawab mengenai
pengelolaan sumberdaya alam (misalnya instansi kehutanan dan perkebunan
yang berkaitan dengan tanah ulayat di kawasan hutan, begitu pula instansi
pertambangan, apabila tanah ulayat tersebut diperkirakan didalamnya
terkandung bahan pertambangan).
Pelaksanaan dari ketentuan tersebut di atur lebih lanjut dengan
peraturan daerah (Perda). Kebijakan pemerintah reformasi di bidang
pertanahan ini memang agak selangkah lebih maju dibandingkan pada era
Orde Baru. Akan tetapi ketentuan kebijakan ini tetap saja memposisikan hak
ulayat masyarakat adat pada posisi yang lemah, karena pengakuan ada
tidaknya hak ulayat ditentukan oleh penguasa di daerah.
70
Apalagi penguasa/pejabat beserta aparat di daerah sebagian besar masih
diduduki oleh orang-orang yang anti terhadap masyarakat adat. Meskipun
demikian, upaya pemerintah ini perlu disikapi secara arif oleh
penguasa/pejabat beserta aparat di daerah. Jika ini dapat dilakukan secara
baik dan penuh kearifan maka akan dapat mengurangi muncul konflik
pertanahan di masa mendatang.
Persoalan lain yang tidak kalah rumit dan kompleksnya, adalah
persoalan hak ulayat yang selama Orde Baru sebagian besar telah dikuasai
oleh negara dan swasta. Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999 antara lain menetapkan bahwa pelaksanaan hak ulayat
masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam peraturan tersebut
tidak lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkan
peraturan daerah sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum
dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA 1960, juga atas bidang-bidang
tanah yang pada saat ditetapkan peraturan daerah, merupakan bidang-bidang
tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan
hukum atau perseorangan, sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.
Ketentuan ini tentunya menimbulkan persoalan bagi masyarakat adat
untuk memperoleh keadilan terhadap tanahnya yang dirampas secara paksa
oleh negara sehingga konflik menjadi sesuatu yang sulit dihindari antara
masyarakat adat versus negara sebagaimana terjadi pada masyarakat adat
Tafute Ternate. Meskipun kebijakan ganti rugi telah ditempuh oleh pihak
pengelola bandara atau Departemen perhubungan propinsi Maluku Utara
sebagai upaya berdamai dengan masyarakat sekitar namun ternyata kebijakan
ini ternyata belum mampuh meredam konflik yang sudah lama terpendam,
bahkan menjadi sumber konflik baru.
Dari hasil penelitian ini juga ditemukan faktor-faktor lainnya selain
yang disebutkan diatas yang menjadi sumber penyebab terjadinya konflik
pertanahan yang merugikan masyarakat petani sekitar proyek pembangunan
bandara Sultan Babullah Ternate, yaitu :
71
5.2.1. Perubahan Struktur Sosial-Ekonomi
Berbicara mengenai dampak sosial ekonomi, sangat erat kaitannya
dengan dampak lingkungan fisik yaitu yang terkait dengan perubahan alih
fungsi lahan pertanian masyarakat yang diperuntukkan bagi proyek
pembangunan bandara, karena perubahan-perubahan sosial yang terjadi,
disamping karena pengaruh ide-ide, pengaruh fisik juga tidak dapat diabaikan
peranannya. Bahkan kehidupan sosial masyarakat Ternate secara keseluruhan
pada kawasan tertentu dipengaruhi langsung oleh perubahan lingkungan fisik.
Salah satu pengaruh nyata terhadap perubahan sosial ekonomi
masyarakat adat setempat adalah perubahan pola dan struktur mata
pencaharian mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu dengan
cara menjadi PKL di pasar-pasar tradisional bagi sebagian besar kaum
perempuannya sedangkan para lelaki harus terpaksa beralih profesi menjadi
buruh bangunan, supir angkot maupun truk, dll. Kondisi ini jelas sangat
berbeda dengan keadaan sebelumnya dimana sebagian besar dari kaum petani
perempuan bersama suaminya secara bersama-sama bekerja di kebun untuk
mengolah lahan pertanian mereka dengan beragam tanaman terutama yang
berhubungan dengan bahan-bahan makanan seperti singkong, buah-buahan
dan sayur-sayuran yang langsung dikonsumsi saat tibanya waktu panen guna
memenuhi kebutuhan pokok kehidupan mereka dan sebagiannya lagi untuk
dijual di pasar-pasar tradisional. Kehidupan mereka sangat tergantung pada
alam yang menyediakan bahan-bahan makanan untuk diambil secara
langsung pada saat itu.
Sebelum digunakan sebagai lahan proyek pembangunan bandara, lahan
itu adalah kebun singkong, pala, cengkeh, kelapa, serta beberapa tanaman
holtikultura lainnya. Dengan keberadaan hutan seperti inilah memungkinkan
mereka melakukan pola hidup peramu. Kebiasaan hidup masyarakat setempat
dengan ketegantungannya terhadap SDA seperti diatas misalkan singkong,
daunnya dimanfaatkan sebagai bahan sayur-sayuran sedangkan buahnya
untuk membuat makanan pokok yang disebut sagu, dan dari sagu ini pula
dapat diproses menjadi –popeda yang hingga kini masih menjadi makanan
khas masyarakat Ternate khususnya bahkan Maluku pada umumnya.
72
Sementara dari tumbuh-tumbuhan hutan diperoleh buah-buahan, obat-obatan,
serta kayu pembuat rumah. Bahan kayu pembuat rumah ini diperoleh dari
sumber tanaman pohon kelapa yang buahnya diproses menjadi minyak
goreng untuk dikonsumsi maupun untuk dijual.
Setelah proyek pembangunan bandara itu dilaksanakan maka sejak
tahun 1970, sebagian besar hutan primer tersebut menjadi disfungsional bagi
pemenuhan kebutuhan rakyat sekitar dan seluruh aktivitas tradisional
masyarakat sekitar berubah drastis. Secara fisik hutan rakyat (kebun) tersebut
telah berubah menjadi landasan pacu pesawat terbang sehingga tak dapat
digunakan lagi oleh masyarakat seperti semula. Padahal lahan tersebut
merupakan hak ulayat masyarakat dan mereka tahu betul akan hal tersebut.
Melihat hamparan luasnya lapangan terbang yang memusnahkan
tanaman, bagi masyarakat sekitar merupakan bencana yang akan mengganggu
kehidupan mereka dalam kurun waktu yang relatif lama. Tidak mudah bagi
mereka yang sudah demikian akrab dengan kehidupannya dengan alam tiba-
tiba beralih kebiasaan dan mata pencaharian. Oleh karena itu dalam
penelitian ini terlihat bahwa kesedihan mereka cukup dalam sehingga muncul
tuntutan untuk memulihkan tanah mereka seperti sedia kala meskipun hal ini
diakui mereka sangatlah sulit bahkan tak mungkin untuk dilakukan.
Sedikitnya terdapat beberapa dampak sosial yang dapat diidentifikasi
dari pembangunan proyek bandara Sultan Babullah Ternate, yaitu:
1.Akses masyarakat sekitar bandara ke hutan yang menjadi terhalang.
Oleh karena hak ulayat masyarakat sekitar masih terpelihara namun
diperhadapkan dengan kekuatan dominan negara yang begitu
menguat maka pendudukpun tak kuasa menerima resiko bahwa
sumber kehidupan mereka dari bertanam menjadi hilang sedangkan
untuk berganti mata pencaharian hal ini sangat sulit untuk dilakukan
karena terbatasnya ketrampilan dan wawasan. Disamping itu, upaya
untuk beradaptasi dengan lingkungan baru sangat lambat karena
terkait dengan orientasi nilai budaya dan kebiasaan hidup masyarakat
bersangkutan sehingga butuh proses yang sangat lama bagi mereka
untuk beradaptasi dengan lingkungan baru serta segala resikonya.
73
2. Ketergantungan terhadap alam bergeser kearah ketergantungan
terhadap proyek bandara. Salah satu resiko bahwa sumber kehidupan
mereka dari bertanam menjadi hilang sedangkan untuk berganti mata
pencaharian hal ini sangat sulit untuk dilakukan karena terbatasnya
ketrampilan dan wawasan, maka satu-satunya jalan yang dapat
dilakukan adalah menggantungkan kehidupan mereka pada profesi
sebagai buruh bagasi di bandara atau menjadi supir taxi bagi sebagian
besar kaum laki-laki penduduk sekitar sedangkan lainnya adalah
menjadi tukang jual karcis, dll. Meskipun kondisi ini dianggap bukan
jaminan pekerjaan yang ideal bagi mereka akan tetapi bagi sebagian
dari mereka merupakan pilihan hidup yang harus dijalani.
Ketergantungan kepada orang luar bagi masyarakat Tafure merupakan
perubahan sosial yang cukup signifikan karena secara tradisional
mereka adalah orang-orang bebas yang pada dasarnya mampuh
menentukan sendiri apa yang diinginkan. Sedangkan kini, mereka
terpaksa harus bersabar untuk menerima kesempatan dan peluang
pekerjaan yang memang sangat terbatas seperti jenis profesi yang
disebutkan diatas. Kekesalan yang bertumpuk sesungguhnya
merupakan sumber konflik antara penduduk sekitar dengan pihak
bandara.
3. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Tafure dan
sekitarnya karena pengaruh alam yang bergeser kearah
ketergantungan terhadap pihak luar yang menyebabkan jati diri
penduduk setempat menjadi luntur bahkan terasing. Nilai-nilai
spritual yang berpengaruh sangat besar terhadap hakekat keberadaan
mereka sebagai manusia sangat terpengaruh oleh perubahan-
perubahan fisik dilingkungan mereka. Identitas mereka sebagai
komunitas masyarakat adat yang menyatu dengan alam menghilang
karena pemukimannya berpencar (dipindahkan dari lokasi asal)
seperti yang terjadi pada masyarakat Tafure yang harus terpecah
antara Akehuda dan Tubo yang secara spasial dipisahkan oleh batas
areal bandara yang begitu luas.
74
Dengan adanya pemisahan wilayah geografis seperti ini justeru turut
berpengaruh terhadap pola hubungan atau relasi sosial yang dulunya
bersifat berdekatan dengan sistem kekerabatan menjadi terpecah belah
dan cenderung mengedepankan individualisme sebagai manifestasi
perubahan spasial lingkungan pemukiman tersebut. Kondisi ini jelas
berpengaruh pada perubahan sosial budaya komunitas setempat.
5. Konsekuensi langsung dari perubahan spasial atau pemukiman yang
berpencar tersebut adalah memudarnya solidaritas organik atau sistem
kekerabatan komunitas sehingga menjadikan mereka sebagai pribadi-
pribadi yang “modern” meskipun prosesnya mengalami loncatan yang
begitu jauh sehingga dapat menimbulkan keputusasaan dan
ketidakpuasan yang berkepanjangan. Manifestasi dari kondisi ini
adalah timbulnya perilaku negatif dengan mengharapkan pemberian
terus-menerus untuk memperoleh materi secara gampang.
Dengan demikian, dampak yang ditimbulkan akibat perluasan Bandar
Udara Sultan Babullah Ternate sangat beragam dengan dilakukannya penggusuran
terhadap lahan masyarakat di sekitar lokasi bandara yang tidak semata
menimbulkan dampak lingkungan hidup melainkan juga melahirkan dampak
sosial dan gejolak politik dengan munculnya gerakan sosial baru di daerah
tersebut. Mulai dari dampak kesehatan, sosial budaya, politik, keamanan,
hilangnya kesempatan kerja dan lapangan kerja, perubahan pola konsumsi, akibat
tanah masyarakat digusur tingkat kebisingan pesawat terbang yang selalu
mengganggu kenyamanan hidup masyarakat sekitar.
Pada tahun 1970, karena pembangunan landasan pacu bandara Sultan
Babbullah Ternate dimulai maka penduduk beberapa Desa sekitar (Tafure,
Tabam, Sango, Tarau) pada saat itu menjadi terpecah pada beberapa wilayah
sekitar yang kemudian secara administratif pemerintahan disederhanakan oleh
pemerintah Kota Ternate. Akibat dari relokasi ini maka anggota masyarakat
penduduk sekitar menjadi terpecah belah menjadi beberapa desa yang pada waktu
sebelumnya mereka hidup bermukim secara bersatu padu, penuh kekeluargaan
dan kini terjadi pemekaran atau pemencaran dan letaknya relatif berjauhan satu
sama lainnya.
75
Situasi ini secara sosial budaya selain mengubah pola pemukiman, juga
berpengaruh terhadap organisasi sosial mereka. Akibat lebih lanjut adalah
makin memudarnya identitas diri sebagai orang adat Ternate. Salah satu bukti
memudarnya identitas diri orang Ternate adalah bahwa sebagian diantara
mereka tidak lagi bergantung atau mengikuti petunjuk-petunjuk dari para
pemangku adat di masing-masing desa setempat yang sebelumnya adalah
seratus persen tuntuk dan takluk mendengar, menghormati dan menghargai
para pemangku adat setempat.
Orang yang dianggap pemimpin adalah kepala desa, camat dan
walikota. Meskipun demikian, pada sebagian besar anggota masyarakatnya
masih tetap mengakui peran dari perangkat adat lokal dalam tatanan
kehidupan sosial politik masyarakat sehingga tidak mengherankan ketika
dalam praktek pemerintahan masyarakat seolah memperlihatkan adanya
dualisme model pemerintahan negara dengan model pemerintahan negara
bayangan (baca: shadow state).
Perubahan ikatan sosial juga terjadi yang ditunjukkan oleh makin
longgarnya ikatan solidaritas antara seluruh lapisan masyarakat setempat.
Mereka jarang sekali saling mengunjungi seperti yang pernah dilakukan
sebelumnya karena faktor segregasi wilayah sehingga berpengaruh pada
intensitas pertemuan diantara mereka. Melonggarnya ikatan sosial didalam
dan antar masyarakat sekitar juga disebabkan oleh makin luasnya pegaulan
mereka dengan kelompok sosial dari luar suku/etnis penduduk asli Tafure
Ternate yang beragam seperti suku Jawa, Bugis, Gorontalo, dan sebagainya
yang tinggal sementara di Tafure dan umumnya Mahasiswa dan pedagang.
Dari perspektif masyarakat, hilangnya tanah ulayat yang digunakan
untuk pembangunan bandara juga telah turut memperlemah lembaga sosial.
Bagi masyarakat Tafure yang bercorak agraris yang berpusat pada tanah,
sungguh berat beban psikologis mereka yang harus beralih profesi dan
mengganti mata pencaharian yang sudah dijalaninya secara turun temurun.
Sebagian orang Tafure justeru merasa stress dan kondisi seperti ini
tidak jauh berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya yang secara tiba-
tiba harus beralih mata pencaharian dan sistem budaya yang menyertainya.
76
Mata pencaharian terutama hasil alam terutama dari hutan / kebun secara
musiman, membawa kebiasaan ikutan seperti berkemah didaerah kebun
mereka pada waktu tertentu.
Kini mereka diarahkan untuk mengikuti kebiasaan hidup yang
diperkenalkan sebagai kebudayaan modern, yang berarti harus mengubah
cara-cara hidup yang lama dan tercerabut dari akar budaya yang menyatu
dengan alam. Budaya bertani modern mengharuskan adanya “treatment”
khusus bagi tanah agar menghasilkan, sedangkan budaya asli mereka tinggal
mengambil apa yang sudah disediakan atau tersedia di alam sekitarnya.
Ini berarti ada “keharusan” untuk memperlakukan tanah sebagai sumber
penghidupan mereka secara berbeda. Konsekuensinya, kebiasaan dan budaya
mereka juga harus berubah. Perubahan budaya sebenarnya satu gejala yang
umum terjadi pada setiap masyarakat namun bagi masyarakat Tafure,
perubahan ini menjadi beban yang sangat berat karena terjadi tanpa
diinginkan bahkan cenderung terjadi secara cepat dan radikal sehingga
hampir merubah semua tatanan kehidupan masyarakat.
Proses industrialisasi dimanapun selalu menjadi pendorong perubahan
sosial, dimana ada pihak-pihak yang memerintah setengah hati, ada pula yang
menolak. Bahkan, dampak sosial berupa perubahan-perubahan fisik maupun
struktur sosial ditanggapi oleh masyarakat disekitar areal pembangunan
bandara dengan rasa putus asah karena ketidakmampuannya mengikuti
perputaran roda industrialisasi menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
5.2.2. Dampak Lingkungan
Dampak adalah sebuah perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu
aktivitas yang bersifat alamiah, baik kimia, fisik maupun biologi. Dampak
adalah pengaruh sesuatu yang menimbulkan akibat benturan, benturan yang
cukup hebat sehingga menyebabkan perubahan.4 Dalam kajian tentang studi
pembangunan, dampak menjadi sebuah masalah yang bisa berkepanjangan
terlebih bila terkait dengan dampak negatif dari pembangunan itu sendiri.
4Hazairin (Lihat Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Eem Zulfajri, edisi revisi. Hal 234
77
Hal ini tentunya lebih disebabkan karena perubahan yang disebabkan
oleh pembangunan selalu lebih luas daripada yang menjadi sasarannya yang
direncanakan. Dampak lingkungan hidup yang dirasakan oleh penduduk
sekitar dari pembangunan bandara ini adalah pengaruh perubahan pada
lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan dari
aktivitas pembangunan yang menimbulkan pengaruh negatif berupa gangguan
pernapasan yang dialami oleh mayoritas penduduk sebagai akibat angkutan
material bandara. Tanah-tanah yang digunakan untuk dalam proses
penimbunan di areal bandara diangkut dari hasil galian sekitar areal kebun
rakyat yang diangkut ke bandara dengan menggunakan truk-truk angkutan
besar dengan kapasitas angkutan yang melebihi daya muat sehingga hampir
setiap hari selama beberapa tahun ini sangat meresahkan masyarakat yang
berada disekitar bandara maupun yang berada sepanjang jalur jalan raya.
Kegiatan pembangunan bandara tersebut yang semakin meningkat
mengandung resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga
struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat
mengalami kerusakan sehingga turut menimbulkan dampak sosial lainnya.
Misalnya penggalian tanah dari beberapa areal kebun rakyat yang berada di
perbukitan menimbulkan bahaya longsor pada musim hujan terutama pada
beberapa titik yang menjadi lokasi pemukiman masyarakat.
Oleh karena itu, dalam aktivitas pembangunan seperti ini, perhatian
terhadap lingkungan hidup haruslah menjadi bahan pertimbangan utama
dalam melaksanakan sebuah perencanaan pembangunan. Pengelolaannya
mesti dilaksanakan dengan prinsip melestarikan fungsi lingkungan hidup
yang serasi, selaras dan seimbang untuk menunjang pembangunan
berwawasan lingkungan hidup bagi peningkatan mutu hidup manusia yang
berada dilokasi pembangunan tersebut. Hal ini perlu diantisipasi sejak dini
karena disadari bahwa makin meningkatnya upaya pembangunan yang
dilaksanakan saat ini telah menyebabkan makin meningkatnya dampak
ekologis bagi masyarakat luas. Langkah antisipatif ini sangat diperlukan
karena pada dasarnya semua kegiatan pembangunan akan menimbulkan
dampak terhadap lingkungan hidup.
78
Perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus
memuat perkiraan dampaknya terhadap lingkungan hidup guna dijadikan
pertimbangan apakah untuk rencana tersebut perlu dibuat analisis mengenai
dampak lingkungan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih
rinci tentang dampak negatif dan dampak positif yang akan timbul dari usaha
atau kegiatan tersebut, sehingga sejak dini telah dapat dipersiapkan langkah
untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkannya tersebut.
Meskipun setiap rencana pelaksanaan pembangunan wajib dilengkapi
dengan analisis mengenai dampak lingkungan, namun tetap ada
pengecualiannya karena hanya beberapa kegiatan tertentu saja yang
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Yang dimaksud dengan
dampak penting tersebut adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar
yang diakibatkan oleh suatu kegiatan pembangunan sebagaimana yang terjadi
pada masyarakat Tafure dan sekitarnya saat ini.
Analisis mengenai dampak lingkungan ini merupakan bagian dari
proses perencanaan kegiatan yang menjadi pangkal tolak pengaturan dalam
prosedur perizinan lingkungan. Dalam upaya melestarikan kemampuan
lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan bertujuan untuk menjaga
agar kondisi lingkungan tetap berada pada suatu derajat mutu tertentu demi
menjamin kesinambungan pembangunan. Dari hasil penelitian ini,
diidentifikasi beberapa dampak yang penting untuk ditentukan antara lain:
a. Besarnya manusia yang terkena dampak: Suatu kegiatan umumnya
mempunyai sasaran, berapa jumlah manusia yang akan menikmati
dampak tersebut. Suatu kegiatan mempunyai dampak penting bila
jumlah manusia yang terkena dampak tetapi tidak termasuk yang
menikmati manfaat tersebut, jumlahnya sama atau lebih besar dari
yang menikmatinya. Kriteria lain adalah bila jumlah manusia yang
terkena dampak baik yang tidak maupun yang menikmati sasaran
manfaat kegiatan jumlahnya sama atau lebih besar dari yang tidak
terkena dampak. Hasil penelitian ini memperlihatkan banyaknya
jumlah penduduk yang terkena dampak negatif pembangunan
bandara tersebut.
79
b. Luas wilayah penyebaran dampak: Dampak lingkungan dari suatu
kegiatan pembangunan bandara ini menjadi penting untuk
dikemukakan bahwa sesungguhnya dampak tersebut tidak hanya
dirasakan oleh masyarakat Tafure saja melainkan dirasakan pula
oleh warga desa sekita proyek bandara lainnya seperti Tabam,
Sango Tarau, Akehuda dan Tubo, bahkan lebih luas lagi dampaknya
dirasakan pula oleh seluruh pemukiman masyarakat yang dilalui
oleh setiap kendaraan angkutan material yang diperlukan dalam
proyek pembangunan bandara tersebut. Debu yang mengganggu
masyarakat di sepanjang jalur yang dilalui angkutan kendataan milik
pihak bandara yang mengangkut material bangunan tersebut. Selain
itu juga, becek sebagai akibat dari tanah yang terlepas dari setiap
kendaraan angkutan material sangat meresahkan masyarakat
sepanjang jalan yang dilalui kendaraan tersebut.
c. Lamanya dampak berlangsung: Dampak kegiatan pembangunan
bandara ini menjadi penting untuk dilihat dampak tersebut
berlangsung pada seluruh tahap kegiatan pembangunan, baik pada
tahap prakonstruksi maupun tahap konstruksi ataupun pasca
konstruksi atau bila berlangsung minimal selama separuh dari umur
kegiatan. Hingga saat ini berbagai kondisi yang diuraikan tersebut
diatas masih terus terjadi dan diperkirakan akan memerlukan waktu
yang cukup lama bagi masyarakat sekitar untuk terbebas dari
dampak tersebut diatas.
d. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena
dampak: Dampak aktivitas pembangunan bandara tersebut menjadi
penting untuk dikemukakan karena dari hasil penelitian ini
ditemukan banyaknya komponen atau aspek lingkungan yang
terkena dampak, baik komponen sosial budaya, komponen abiotik,
maupun komponen biotik. Selain itu juga, sifat kumulatif dampak
tersebut: terkadang menjadi sangat berbahaya. Fenomena ini terjadi
karena dampak-dampak tersebut ditingkatkan derajat bahayanya
seiring dengan rutinitas aktivitas proyek bandara tersebut.
80
5.3. Ikhtisar
Paradigma pembangunan yang bersandar pada prinsip ekonomi semata
dengan mengabaikan aspek sosial budaya tempatan (lokal) ternyata
memberikan rangsangan bagi tumbuhnya perlawanan rakyat yang terkait
dengan kepentingan petani dan isu hak ulayat masyarakat adat. Ini artinya
bahwa faktor yang menyebabkan ketertindasan petani dan memicu lahirnya
perlawanan petani adalah ekonomi dan politik. Dua faktor ini dalam sejarahnya
menciptakan deretan permasalahan yang harus diselesaikan oleh petani. Disisi
lain, keberadaan dua faktor ini ternyata mampu memunculkan motivasi petani
untuk membangun aksi kolektif dan mengakumulasikan energi kolektif melalui
sebuah gerakan sosial baru.
Dalam beberapa peristiwa gerakan sosial sebagai langah protes
terhadap pembangunan dan perluasan areal bandara Sultan Babullah Ternate,
seolah memperlihatkan bahwa praktek pembangunan saat ini, sarat dengan
persengketaan (konflik). Konflik ini lebih didasarkan pada akar konflik
perebutan sumber daya agraria yang terbatas (tanah). Konflik inipun telah
berlangsung cukup lama, baik terjadi pada tataran persepsi, pengetahuan, tata
nilai, kepentingan dan akuan terhadap hak kepemilikan atas tanah yang
menjadi objek sengketa selama ini. Artinya bahwa spektrum sengketa itu
tidak hanya terbatas pada akuan hak-hak kepemilikan (penguasaan) dan
batas-batas yuridisnya. Intensitas konflik pun terjadi secara beragam
dikalangan masyarakat yang berangkat dari ketidaksetujuan, protes,
penentangan, perusakan sampai dengan pemboikotan aktivitas penerbangan
pesawat.
Konflik pembangunan yang berawal dari persoalan tanah sebagai
penyulut lahirnya Gerakan Sosial Baru memiliki tata nilai yang jika
diterjemahkan sebagai pemaknaan, maka tanah memiliki nilai yang berbeda
di mata setiap stakeholder. Bagi masyarakat adat (setempat), tanah
merupakan habitat tempat mereka menggantungkan kehidupan
perekonomiannya serta mengejewantahkan kehidupan budaya dan
spritualnya. Karena itu, mereka akan menjaganya karena hal demikianlah
yang dianggap akan menjamin keutuhan identitas masyarakatnya.
81
Sebenarnya otonomi daerah adalah jawaban untuk membangun
kepercayaan publik atas penyelenggaraan negara. Namun, bergesernya sistem
politik yang sentralistik ke desentralistik yang juga ternyata diikuti dengan
perilaku pejabat publik yang ada di daerah yang korup. Otonomi daerah telah
melahirkan “otoritarianisme” baru di daerah yang kemudian menjelma
menjadi ancaman kekerasan politik dan terjadinya akumulasi modal kepada
kelompok-kelompok tertentu.
Pembangunan yang digulirkan oleh pemerintah pusat dalam label
otonomi daerah tetapi dalam pelaksanaannya masih berkarakter top down
aprouch meski masih membuka ruang partisipasi yang “berlebihan” sehingga
lahirlah gerakan sosial baru. Munculnya gerakan-gerakan sosial yang terjadi
di Tafure Ternate pada khususnya, hampir memiliki pemicu dan inspirasi
gerakan yang serupa. Adapun pemicu konfliknya lebih disebabkan karena
berbagai potensi kerugian yang dialami masyarakat sehingga melahirkan
gerakan sosial yaitu hilangnya tanah pertanian, hilangnya kapling rumah,
hilangnya akses ke tanah hutan, hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya
rumah atau tempat tinggal, hilangnya sumber mata pencaharian/pendapatan,
hilangnya lahan perkebunan, pemakaman, dampak kebisingan, polusi udara,
dll.
BAB VI
TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN DARI PETANI
MENJADI MASYARAKAT ADAT
Studi ini difokuskan untuk melihat secara lebih rinci tentang dinamika
gerakan agraria yang menggunakan strategi perubahan identitas perjuangan dari
”petani” menjadi ”masyarakat adat” sebagai strategi utamanya yang diharapkan
mampu menjadi suatu upaya untuk melakukan perubahan. Selain itu, studi ini
juga hendak melihat bagaimana mereka–sebagai kelompok gerakan–menghadang
gelombang pengaruh-pengaruh dari luar, khususnya kebijakan Negara, yang
dianggap merugikan hak-hak masyarakat tani dan masyarakat adat setempat.
6.1. Ideologi Utama dan Aktor Penting Gerakan Petani
Melemahnya otoritas tradisional yang diharapkan mampuh menjembatani
persoalan struktural yang dihadapi petani memaksa mereka untuk merubah bentuk
perjuangan dari petani menjadi masyarakat adat. Secara umum tujuan utama
petani ikut dalam sebuah gerakan sosial lebih bersifat pragmatif dan berorientasi
material, yakni hanya terpaku pada motif penguasaan tanah pertanian semata.
Tindakannya cenderung pada upaya paksa mengambil-alih tanah pertanian
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha terhadap
petani pada umumnya.
Wujud nyata dari derasnya tuntutan petani adalah unjuk rasa, maupun
aksi-aksi protes lainnya yang dilakukan dengan secara damai maupun dengan cara
kekerasan. Dalam banyak kasus unjuk rasa yang dilakukan oleh para petani yang
kehilangan tanahnya karena digunakan sebagai areal pembangunan bandara
Sultan Babullah di Tafure Ternate, para petani sering melaksanakan aksi
demonstrasi ke Polres Kota Ternate, DPRD Kota Ternate, Polda Maluku Utara,
dll. Mereka menuntut ganti rugi lahan yang dikuasai pemerintah daerah, seolah
memberi penjelasan aktual yang terkait dengan transformasi struktur gerakan
sosial petani.
83
Berbagai simbol perjuangan petani diproduksi berbasis pada rasa
ketidakadilan, sebagai bentuk reaksi terhadap stigma-stigma politik (tuduhan eks
PKI), tekanan fisik dan sosial-psikologis yang dialami oleh para orang tuanya
serta berbagai bentuk praktek-praktek yang merugikan petani lainnya. Dalam
kasus ini pula para petani selalu memegang teguh atas janji dan berbagai bentuk
kesepakatan penyelesaian sengketa pembangunan bandara tersebut yang telah
dibuat baik tertulis maupun tidak tertulis. Kerelaan sebagian petani untuk
memberikan tanahnya yang dijadikan sebagai bandara tersebut sejak awal adalah
karena mereka dijanjikan bahwa anak-anak mereka akan dipekerjakan sebagai
tenaga kerja PNS dilingkungan bandara tersebut. Namun seiring berjalannya
waktu mereka justeru dikhianati karena kebanyakan dari penduduk sekitar
bandara tak terkecuali masyarakat desa Tafure tidak diakomodir secara
memuaskan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang telah disebutkan diatas.
Selain itu juga, masyarakat sekitar bandara yang umumnya adalah
masyarakat adat Ternate merasa seolah telah diabaikan keberadaan institusi adat
dan nilai-nilai budaya mereka yang selama ini dipelihara sebagai akibat dari
hilangnya hak mereka atas tanah ulayat yang menurut mereka tidak saja memiliki
nilai ekonomis semata melainkan juga nilai sosial dan spritual, kondisi ini
akhirnya memaksa mereka untuk merubah identitas gerakan dari perlawanan
masyarakat tani menjadi masyarakat adat.
Hal ini tidak membuat semangat perjuangan petani semakin surut. Secara
internal, kondisi diri petani sudah semakin siap melakukan mobilisasi kolektif.
Berkembangnya konflik petani menjadi gerakan sosio-politik akibat dari berbagai
kesalahan pembangunan yang menyengsarakan petani. Cerita pilu tentang petani
yang kehilangan tanahnya semakin terdengar biasa di telinga para pemegang
otoritas karena sesunggunya petani merupakan tumbal dan menjadi bantalan
jalannya roda pembangunan. Perlakuan demikian justru menciptakan situasi
sengketa dan konflik pertanahan struktural yang akut. Kesadaran petani yang
semakin meningkat ditandai oleh upaya kolektif di berbagai komunitas dalam
menyelesaikan konflik agraria yang mereka alami selama ini melalui tahapan
kelompok-kelompok kepentingan berkembang menjadi gerakan tradisional yang
pada akhirnya menjadi gerakan sosial politik.
84
Terbukanya struktur peluang politik nasional dan lokal yang memberi
ruang bagi munculnya perubahan identitas perjuangan tersebut diatas pada
hakekatnya tidak terlepas dari :peran gerakan mahasiswa yang didukung oleh
segenap elemen organisasi masyarakat sipil (NGO). Ada persinggungan yang kuat
antara agenda gerakan reformasi mahasiswa dengan keinginan perjuangan lanjut
rakyat petani. Gerakan reformasi merupakan pintu pembuka berkembangnya
gerakan sosio-politik petani. Negara juga dihadapkan pada posisi kontrol politik
yang lemah terhadap setiap aksi terlebih ketika aksi kekerasan menjadi salah satu
bentuk bagian. Peluang politik ini dengan cepat direspon petani, karena mereka
sudah memiliki rasa kepekaan konfliktual sekaligus berperan sebagai oposisi.
Seiring bergulirnya reformasi yang merupakan era perubahan politik
penuh keterbukaan dari masa sebelumnya yang bercorak otoriter ke demokrasi,
ternyata tidak membawa dampak berarti bagi masyarakat petani Tafure untuk
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Baik para elit politik, elit agama,
kalangan intelektual dan berbagai organisasi rakyat ternyata cenderung
membiarkan para petani bergerak dengan semangatnya sendiri dalam menuntut
hak yang selama ini diabaikan. Meskipun demikian hanya sedikit saja organisasi
mahasiswa (SAMURAI) dan sebuah lembaga bantuan hukum (LKBH UMMU)
yang melakukan advokasi dan pendampingan hukum bagi para petani dalam
perjuangan mereka. Sehingga seiring berjalannya waktu, semakin lama intensitas
perlawanan inipun semakin menurun.
Hasil kajian ini menemukan bahwa ketika sistem politik yang ada tidak
terbuka terhadap tuntutan-tuntutan rakyat, maka aktivitas gerakan sosial mungkin
agak kecil skalanya, tetapi radikal hal ini terlihat dari kronologis aksi demonstasi
yang mereka lakukan seringkali juga menggunakan kekerasan berupa
menghancurkan fasilitas bandara bahkan pernah menaburkan pecahan botol dan
gelas sepanjang landasan pacu bandara. Ketika struktur politik membuka peluang
bagi gerakan sosial mereka, aktivitas gerakannyapun cenderung menjadi lebih
besar, tetapi dan semakin radikal.
Pada masa Orde Baru tekanan politik sangat kuat sehingga petani yang
berani melawan benar-benar militan. Perilaku militansi petani dan kontrol politik
negara masih ada hingga saat ini membuat reaksi petani justru cenderung terbuka
85
dan lebih berani dibanding pada waktu-waktu sebelumnya. Ini jelas mungkin
berbeda dengan komunitas petani di berbagai wilayah konflik lainnya yang
beragam dalam merespon peluang-peluang politik yang ada. Hal ini terkait dengan
perbedaan pandangan tentang situasi yang mereka hadapi, kemungkinan resiko
yang akan mereka tanggung dan kemungkinan hasil yang akan mereka capai.
Dengan demikian, kalkulasi peta politik dan mengukur partisipasi bukan hanya
mempertimbangkan faktor obyektif (eksternal) tetapi juga dipengaruhi oleh faktor
subyektif. Faktor inipula dipertimbangkan petani korban pembangunan bandara
sehingga mengubah strategi dan taktik mereka untuk bagaimana melakukan
sebuah gerakan sosial yang dianggap lebih tepat dalam mencapai tujuannya.
Pertama, perubahan peluang politik di dalamnya masih tidak bebas dari
tekanan yang dapat menjadi mendorong atau menghambat berkembangnya
gerakan-gerakan petani. Fenomena di Tafure menunjukkan masih adanya tekanan-
tekanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam perjuangan petani. Hal ini
memberi tanda masih belum terbuka sepenuhnya peluang politik, yang dalam
beberapa kasus oleh petani masih dianggap memiliki konsekuensi negatif dan
bahkan mampu melemahkan gerakan-gerakan mereka.
Kedua, tekanan-tekanan politik berpengaruh terhadap menurunnya
aktivitas gerakan petani selanjutnya, khususnya terhadap petani yang ingin
memperoleh ganti rugi atas tanah mereka, identitas mereka didata oleh pihak
bandara untuk dipersulit dalam proses pembayaran ganti rugi sementara yang
tidak melakukan protes akan dimudahkan dalam segala bentuk pelayanan.
Fenomena ini memunculkan situasi perpecahan dalam tubuh anggota gerakan itu
sendiri. Mencermati gejala perpecahan yang terjadi dari dalam gerakan tersebut,
kesadaran sosial konfliktual petani berkembang menjadi kesadaran politik secara
umum dengan mengubah identitas gerakan dari gerakan petani menjadi gerakan
masyarakat adat. Hal ini dilakukan untuk mendapat simpati dan dukungan dari
komunitas petani diluar Tafure yang lahannya juga diambil alih untuk proyek
pembangunan bandara tersebut. Dengan adanya perubahan identitas gerakan
tersebut maka mulai bergulir dukungan para aktivis non petani (Mahasiswa:
SAMURAI dan HMI, LKBH) yang sudah memiliki kesadaran politik yang
matang, berdasarkan pengalaman praksis mereka.
86
Melalui proses pendampingan dan penyadaran bersama para pelaku non
petani, kesadaran politik rakyat petani dapat dibangun. Kerja bersama ini
merupakan proses dimana para petani dapat melakukan penilaian kembali atas
dirinya sendiri, pengalaman subyektif, peluang-peluang, dan kepentingan bersama
di antara mereka. Kesadaran politik petani tidak hanya memahami posisi marginal
rakyat petani baik secara sosial maupun secara politik sehingga memberi peluang
untuk mencari alternatif strategi gerakan lain untuk mencapai tujuan mereka.
Termasuk dengan mengubah identitas gerakan itu sendiri dari ”petani” menjadi
”masyarakat adat”.
Menurut Tilly1, kelompok-kelompok berbagai kekuatan identitas dalam
menjalin jaringan antar pribadi, antar anggota yang menunjukkan tingginya
organisasi dan kesiapan untuk dimobilisir. Dengan adanya solidaritas dan
komitmen awal antar organisasi petani di tingkat basis, maka jaringan di antara
mereka menyediakan dasar berlakunya insentif kolektif yang mereka harapkan
bersama. Konsep "bloc recruitment' ini dengan tersedianya solidaritas antar
kelompok/organisasi basis merupakan bentuk yang sangat efisien dari rekruitmen
dan nampak menjadi tipikal dari gerakan perubahan institusional skala besar.
Penguatan kesadaran politik petani dan aktualisasinya dalam mobilisasi
konsensus, formasi konsensus dan mobilisasi tindakan dalam gerakan petani tidak
terlepas dari peran utama para aktivis non petani. Sebelum era reformasi bergulir,
gerakan-gerakan para aktivis non petani masih dikonsentrasikan pada upaya
menjatuhkan kekuatan rezim Orde Baru. Pada waktu itu gerakan-gerakan mereka
juga melibatkan berbagai elemen rakyat bawah termasuk di dalamnya rakyat
petani. lsu persoalan petani disuarakan dalam ruang-ruang publik, tetapi upaya
untuk membantu gerakan rakyat petani secara langsung dalam penyelesaian
berbagai konflik pertanahan dan mengubah nasib mereka belum menghasilkan
cita-cita yang diimpikan. Lebih jelasnya tentang nasib petani dan perlawanannya
sepanjang sejarah negeri ini ikuti gambaran dalam tabel dibawah ini:
1 Bert Klandermans.1989. Social Movements and Resource Mobilization: The Europeanand the American Approach. In International Journal of Mass Emengencies and DisasterVol.4.
87
Tabel 1. Matriks Gerakan Perlawanan Petani dari Masa ke Masa
PeriodeWaktu
StatusTanah
KebijakanAgraria
Krisis Agraria Isu UtamaOrganisasiGerakan
Petani
FeodalismeTanah milikraja/bangsa
wan
Upeti(pajaktanah)
Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan ;konflik/perlawananrakyat (vertikal)
Eksploitasipetani
Tidakterorganisir(individual)
KolonialBelanda(1870-1941)
TanahmilikNegaradan ataudikuasaiperusahaan swasta
Tanampaksa;pajak tanahperkebunan
Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan;konflik/perlawananrakyat (vertikal)
Eksploitasipetani
Organisasilokal, informaldan sementara
KolonialJepang(1942-1945)
Tanahdikuasaisecara
individual
Redistribusitanah
Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan;konflik/perlawananrakyat (vertikal)
Eksploitasipetani
Organisasilokal, informaldan sementara
Orde Lama
Tanahdikuasaisecara
individual
Nasionalisasi perusahanasing
Land reform
Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan;konflik petanimiskin vs petanikaya (horizontal)
Antikolonialisme
Land reform
Organisasiformal, dibentukoleh partaipolitik (BTI,RTI, SAKTI,PETANI, STII)
Orde Baru
TanahmilikNegaradan ataudikuasaiperusahaan swasta
HPH,PMA/PMDN, PIR,HTI, dll
Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan;konflik tanah(vertikal)
Kemiskinanstruktural
Organisasiformal, dibentukdan didukungNegara (HKTI)
MasaReformasi
TanahmilikNegaradan ataudikuasaiperusahaan swasta
HPH,PMA/PMDN, PIR,HTI, dll
Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan ;konflik tanah(vertikal)
Kemiskinanstruktural
Organisasiformal, dibentukdan didukungOrnop,mahasiswa danpendukungdemokrasilainnya (SPI,PETANIMANDIRI,API, AGRA,SERTANI, dll)
88
Agenda gerakan reformasi pasca jatuhnya presiden Soeharto memang
sudah mereka siapkan karena telah diprediksi kuat bahwa Soeharto dalam waktu
dekat akan benar-benar jatuh. Termasuk di dalam agenda reformasi tersebut
adalah penguatan kesadaran sosial-konfliktual ke dalam kesadaran politik, karena
pelaku ini yang paling berpengaruh terhadap kemungkinan dilakukan mobilisasi
tindakan. Setelah presiden Soeharto lengser dan rezim Orde Baru dapat
dijatuhkan, kemudian para aktivis non petani mulai beralih pada pentingnya
membantu rakyat petani melalui gerakan-gerakan sosial petani. Dalam konstruksi
gerakan dari bawah, pada tahap awal dibuka "Pos Pengaduan" kasus rakyat petani
di berbagai lokasi. Pertama di LKBH UMMU dan kemudian di buka juga oleh
organ-organ mahasiswa di berbagai kampus sebagai pintu masuk (entry point)
untuk dapat melakukan advokasi lebih jauh terhadap rakyat petani.
Upaya ini yang oleh Klanderman (1984, 1988) disebut dengan "mobilisasi
konsensus' yang berbeda dengan "mobilisasi tindakan" dan Formasi konsensus".
Mobilisasi konsensus merupakan upaya sengaja yang dilakukan oleh para pelaku
non petani untuk menciptakan konsensus di antara berbagai komunitas petani
wilayah konflik untuk melakukan gerakan petani, atau sebagai prakondisi
dilakukanya "mobilisasi aksi". Mobilisasi konsensus dibagi dua, yakni dalam
konteks formasi potensial mobilisasi dalam masyarakat dan dalam konteks
mobilisasi tindakan. Konteks pertama menunjuk pada bangkitnya sekumpulan
predisposisi individual untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial, sedangkan
konteks kedua menunjuk pada aktivasi partisipan di dalam tindakan kolektif2.
Dalam gerakan sosio-politik petani, pandangan di atas pada dasarnya
menjelaskan keterkaitan antara sistem sosio-kultural oposisional petani dengan
mobilisasi sumber daya gerakan. Tetapi, peluang sistem sosio-kultural oposisional
petani tidak akan berarti dalam mobilisasi sumberdaya gerakan jika tidak
didukung oleh kesadaran politik petani, meskipun era reformasi sedang bergulir.
Hal ini secara umum terjadi karena kuatnya hegemoni dan dominasi, serta
pengalaman traumatik pada masa Orde Baru. Oleh karena itu unsur-unsur
sumberdaya gerakan sosio-politik harus dibangun terlebih dahulu dengan cepat
2Charles Tilly. 1978. Op.Cit.
89
melalui pengembangan unsur-unsur sistem sosio-kultural oposisional yang sudah
dimiliki petani termasuk system kelembagaan adat setempat yang perlu untuk
diperkuat peran dan fungsinya dalam tatanan kehidupan masyarakat luas.
Seperti yang dilakukan oleh SAMURAI pada awal tahun 2005 yang
melakukan pendampingan bersama petani untuk melakukan aksi boikot aktivitas
bandara Ternate sehingga merugikan pihak pengelola bandara ratusan juta rupiah.
Demikian pula yang dilakukan LKBH UMMU dengan menindaklanjuti berbagai
pengaduan rakyat petani yang dapat ditampung kemudian direspon dan
ditindaklanjuti dengan melakukan pendampingan dan penyadaran secara langsung
turun ke tengah-tengah rakyat, yakni ke wilayah komunitas petani konflik.
Beragam upaya dilakukan oleh LKBH UMMU, baik pada konstruksi
gerakan dari bawah maupun dari atas, di wilayah Komunitas rakyat petani
dilakukan diskusi identifikasi dan analisis kasus, perumusan tuntutan petani,
penyadaran sosial-politik melalui kegiatan pendampingan hukum bagi masyarakat
korban pembangunan bandara, selain itu juga melakukan aktivitas “diskusi
kampong” pada beberapa desa lainnya diluar Tafure untuk mengidentifikasi dan
merumuskan strategi bersama.
Disini petani dan non petani (sebagian masyarakat adat) mendiskusikan
berbagai hal yang mengakibatkan penderitaan petani dan tidak terselesainya
konflik pertanahan yang dialami selama ini. Kemudian dilakukan artikulasi
pemecahan masalah petani yang berhasil diidentifikasi, paling tidak berupa
rencana dan strategi tindakan kolektif yang dianggap dapat menyelesaikan
persoalan konflik pertanahan yang menguntungkan rakyat petani. Disinilah
kemudian muncul penguatan dan bahkan perubahan rumusan tuntutan-tuntutan
petani atas persoalan pertanahan yang dihadapi dan cara-cara yang tepat untuk
memperjuangkan tuntutan tersebut yaitu dengan merubah identitas gerakan dari
“petani” menjadi “masyarakat adat”. Oleh karena itu, peran para aktivis non
petani dalam peningkatan kesadaran politik dan mobilisasi sumberdaya petani
menjadi sangat menentukan. Ketika identitas kolektif petani tersebut sudah masuk
pada ranah gerakan sosio-politik dan mengalami perubahan identitas gerakan dari
“petani” menjadi “masyarakat adat” maka akan menjadi politik identitas yang
memungkinkan para petani untuk masuk dalam aktivitas sosial-politik.
90
Tabel 2. Matriks Perubahan Identitas Gerakan dari Petani menjadi MasyarakatAdat:
Ciri TaksonomiGerakan
Gerakan Petani Gerakan Masyarakat Adat
Basis Gerakan - Petani - Masyarakat adat
Semangat yangdisusung
- Menata kembalirelasi negara danmasyarakat,petani.
- Kearifan lokal, penegakan hukum adat- Pengakuan dan Perlindungan hak-hak
masyarakat adat- Kesadaran bahwa perubahan sosial yang
menjadi cita-cita gerakan sosial sangatditentukan oleh mobilisasi sumber dayayang meliputi faktor struktural, ketersediaansumber daya khusus, jaringan relasi, dll.
Ideologi Utama - Land reform - Hak ulayat dan hukum adat tempatan
Aktor-aktorpenting
- Petani - Petani, Masyarakat adat, Mahasiswa, LKBH
Respon terhadappemerintah
- Frustrasi kolektif- persamaan nasib
(susah, miskin,dll).
- Frustrasi kolektif- persamaan nasib (susah, miskin, dll).- Berjuang untuk otonomi, pluralitas dan
kebebasan tanpa menolak prinsip-prinsipegalitarian formal dari demokrasi,partisipasi politik, representasi publik padastruktur yuridis.
Isyu-isyu yangdiusung
- Menata kembalirelasi negara danmasyarakat petani
- Menata kembali relasi negara danmasyarakat adat
- Menciptakan ruang publik dalam wacanademokrasi.
- Pengakuan dan Perlindungan hak-hakmasyarakat adat.
Arena Konflik - Aksi Protes(Demonstrasi)
- Aksi Protes (Demonstrasi)
ModaGerakan/Tipe
Gerakan
- ReformistMovement:(mengubah istitusidan nilai)
- Reactonary Movement (berusahamengembalikan keadaan kedudukansebelumnya karena kecewa dengan keadaansosial yang sedang berjalan)
- Gerakan Ekspresif Gerakan Regresif- Gerakan Progresif- Gerakan Konservatif- Gerakan Utopian
DerajatRadikalisme
- Mempertimbang-kan keberadaanformal negara danekonomi pasar.
- Memperjuangkan otonomi kolektivitasidentitas dan orientasi.
Dampak Gerakan - Ganti rugi lahan - Terbitnya Perda No. 13 tentangPerlindungan Hak-hak adat dan BudayaMasyarakat Adat Ternate
Tabel diatas menunjukkan bahwa kesadaran politik petani dapat berkembang
dalam kerangka identitas kolektif, karena dikonstruksi dan dipelihara melalui
interaksi dalam komunitas gerakan petani itu sendiri kemudian berubah sesuai
peluang politik dan kemampuan mobilisasi sumber daya yang tersedia dan
peluang bagi perubahan identitas sebuah gerakan.
91
Studi ini menunjukkan bahwa gerakan petani dengan strategi utama dan
pertamanya pendudukan tanah yang dilakukan pada tahun 2005 telah
menunjukkan keberhasilan untuk membangun kekuatan sebuah gerakan sosial
baru yang sekaligus memperlihatkan kekuatan politik tertentu sehingga terdorong
untuk mengembangkan strategi berikutnya yang mereka sebut dengan merubah
strategi dan isu gerakan dari ”petani” menjadi masyarakat adat, yakni strategi
untuk memobilisasi opini publik yang mayoritasnya adalah masyarakat adat.
Untuk tahap pertama, kelompok gerakan ini memulainya dengan berusaha
menjadikan anggota-anggota dan pengurus aliansi mereka adalah para tokoh adat
setempat untuk menarik simpati khalayak dalam memperjuangkan isu hak ulayat
sebagai bentuk lain dari tuntutan ganti rugi atas tanah yang diperuntukkan bagi
pembangunan lahan bandara tersebut.
Merebut dukungan kepemimpinan informal di desa dianggap penting karena
dalam perhitungan mereka hal itu dapat “menyelamatkan” kepentingan mereka
dari persoalan tanah yang selama ini terjadi khususnya untuk memperoleh
dukungan masyarakat adat secara luas atas tanah-tanah yang sekarang tidak lagi
mereka kuasai.
Perubahan strategi perjuangan dari ”petani” menjadi ”masyarakat adat”
tersebut ditargetkan dapat memberikan perubahan kehidupan sosial di pedesaan,
dan lebih jauh lagi dalam rangka pembentukan komunitas dengan watak baru di
pedesaan. Diasumsikan bahwa pemimpin informal di desa-desa yang berasal dari
tokoh-tokoh adat akan dapat memberikan arahan atau dianggap lebih memiliki
kapasitas dalam memobilisasi opini publik terkait dengan nilai dari perjuangan
mereka bahwa sesungguhnya adalah benar adanya perjuangan mereka tidak
semata-mata memperjuangkan tuntutan ganti rugi semata melainkan upaya
memperjuangkan nilai kultural dan spritual dari tanah tersebut yang dikuasai
mereka selama ini. Ini sama halnya dengan orang Papua yang menyebut tanah
mereka seperti susu Ibu yang memiliki kedalaman dan hubungan batiniah3..
3Lihat Noer Fauzi. 2006. (Penyunting), Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Resist Book.Yogyakarta.
92
6.2. Isu-isu yang Diusungsebagai “Roh” Perlawanan Petani
Frame tindakan kolektif dalam gerakan petani dengan demikian
merupakan tindakan yang diorientasikan pada seperangkat kepercayaan, nilai-
nilai, dan makna-makna kultural yang mendukung berkembangnya kesadaran
politik, dan yang mengilhami sekaligus meligitimasi gerakan sosial baru tersebut.
Dalam kerangka ini pula maka isu-isu hak-hak tanah adat (ulayat) masyarakat adat
menjadi isu lain dari isu ekonomi seperti ganti rugi, dll. Isu tentang hak ulayat ini
dalam perkembangannya justeru lebih populer sehingga mampuh menggiring
opini publik ketimbang isu lainnya. Untuk memahami secara utuh tentang hak
penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan hukum adat, berikut penjelasannya:
6.2.1 Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Tetap
Aha Kolano dan Raki Kolano
Aha Kolano secara terminologi berasal dari kata kaha yaitu tanah /
areal, sedangkan aha adalah hak atas tanah atau areal. Pada masyarakat adat
Ternate, hak Sultan atas sumber daya alam terdiri atas aha kolano (hak
sultan), raki kolano. Aha Kolano adalah hak Sultan atau areal tanah yang
ditanami tanaman sagu. Pada aha ini tidak ada tanaman lain selain tanaman
sagu4.
Sedangkan raki kolano merupakan hak yang dikuasai oleh raja dimana
diatas tanah tersebut ditanami dengan tanaman tahunan selain sagu, seperti
pala, cengkih, coklat, durian, bambu, kelapa, mangga, dll. Raki Jo ou
merupakan hak yang diberikan/dikuasai khusus oleh keluarga/keturunan
Sultan. Di atas tanah Raki Jo ou dapat ditanami oleh berbagai macam
tanaman yang dikehendaki oleh keluarga Sultan, misalnya dibuat dengan
batu, gunung dan pada umumnya dengan pohon yang disebut pohon galala
kuning. Terjadinya aha kolano dan raki kolano berdasarkan pewarisan
secara turun-temurun semenjak zaman dahulu kala hingga sekarang.
4 Wawancara dengan Bpk. Nyong Umar Mantan Kepala Desa Sango. Tgl. 13 Maret 2008.
93
Pihak yang dapat memanfaatkan aha kolano dan raki kolano harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Masyarakat yang ingin memanfaatkan tanah tersebut harus merupakan
masyarakat hukum adat Ternate.
2. Masyarakat hukum adat yang dimaksud dan harus co ou ikhlas kie se
kolano (harus mempunyai pengabdian secara ikhlas kepada negeri dan
pemerintahan).
3. Harus mendapatkan izin oleh Sultan dalam bentuk Idin (fatwa) yang
dilafalkan secara lisan dihadapan partada dan yang bersangkutan
Jangka waktu pemanfaatan aha kolano dan raki kolano tidak dibatasi,
sepanjang eksistensi masyarakat hukum adat dan institusi kerajaan masih
ada, maka hal tersebut tetap melekat menjadi hak Sultan, yang
pengelolaannya diserahkan kepada partada. Jika partada yang diberikan
amanah untuk menjaga tanah tersebut meninggal dunia, maka keturunannya
dapat melanjutkan dengan status sama seperti pendahulunya yakni sebagai
penjaga tanah. Aha kolano dan raki kolano dapat dialihkan dengan cara
pemberian kepada Soa (marga) yang dikena dengan aha soa atau kepada
individu yang mempunyai pengabdian di kesultanan dengan nama aha
cocatu.
Terhadap aha kolano yang telah diberikan dengan aha soa, maka
tanah tersebut dilarang untuk diperjualbelikan, karena tanah tersebut hanya
diberikan kepada seseorang karena jabatannya (sangaji), sehingga jika yang
bersangkutan tidak lagi menduduki jabatan sebagai sangaji dalam soa
tersebut, maka hak pemanfaatan tanah beralih kepada Sangaji yang baru
ditunjukan beserta keturunannya. Sedangkan aha cocatu kepada pemegang
hak diberikan hak untuk menjual atas seizin Sultan. Aha Kolano dan Raki
Kolano juga dapat dialihkan (fuku se fodi) atau diperjual belikan kepada
pihak lain, jika tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum,
terutama pembangunan bagi masyarakat hukum adat yang berada dalam
wilayah adat Tafure-Ternate.
94
Aha Soa (Hak Marga)
Aha Soa (hak marga) adalah hak bersama (ulayat) yang diberikan
kepada suatu komunitas yang secara hukum tata negara adat diakui wilayah
hukum dan teritorial Soa. Soa dalam pengertian masyarakat adat Ternate
adalah suatu kelompok kekerabatan yang hidup dalam suatu daerah. Aha soa,
juga dapat diartikan sebagai hak meguasai yang ada pada masyarakat dan
bukan sebagai hak milik. Karena tanah memiliki fungsi sosial yang dikuasai
oleh pemimpin adat guna kemaslahatan masyarakat. Tanah yang dialihakan
haknya kepada Soa berfungsi untuk memenuhi hajat hidup orang banyak
(anggota Soa). Sebagai kepala Soa dia mempunyai tugas untuk melindungi
wilayah hukum hak Soa, terhadap penguasaan dari pihak manapun.
Batas Soa (bati) adalah wilayah yang telah ditetapkan oleh Sultan atas
wilayah kekuasaan yang diberikan. Saat ini menimbulkan kesulitan dalam
penentuan batas-batas Soa satu dengan lainnya disebabkan karena kebijakan
pemerintah yang telah membentuk sistem pemerintahan dengan
menyeragamkan Soa dengan desa. Pada masing-masing Soa memiliki norma,
pemimpin, anggota dan harta bersama yang diberikan oleh Sultan atas
pengabdiannya dalam melayani masyarakat serta kesetiaannya dalam
menjalankan perintah Sultan. Salah satu bentuk harta bersama adalah tanah
yang dikenal masyarakat dengan Aha Soa (tanah marga).
Bila dilihat dari mekanisme pengaturan aha Soa, maka hak adat atas
tanah ini sama dengan hak ulayat, dimana tanah dengan hak bersama yang
diatur penggunaannya oleh kerajaan melalui Sangaji/Fanyira sebagai
penguasa mewakili masyarakat.
Dengan demikian, tanah dalam wilayah Soa berada dalam kekuasaan
Kesultanan atau pemerintahan kerajaan yang diberikan kewenangan untuk
mengurusnya yaitu kepada Sangaji dan Fanyira ditingkatan Soanya, untuk
itu apapun yang dilakukan warga Soa atas tanah Soa, maka hak yang
diperoleh lebih bersifat sementara atau hak pakai. Karena hak Soa hanya
diberikan kepada Sangaji dan warganya (keturunan) yang bersifat sementara.
Jika yang bersangkutan tidak lagi memangku jabatan Sangaji, maka hak
mengaturnya ikut beralih kepada Sangaji yang telah ditunjuk oleh Sultan.
95
Uraian hak atas tanah yang dikuasai dengan istilah aha soa pada
masyarakat adat Tafure-Ternate terungkap, bahwa seluruh tanah yang ada
dalam wilayah masyarakat adat Ternate adalah tanah kesultanan, yang
diberikan kepada bala (rakyatnya) untuk dimanfaatkan bagi kehidupan
mereka. Tanah-tanah tersebut telah didistribusiakan berdasarkan hak yang
dimiliki, sehingga bagi mereka tidak ada tanah dalam wilayah Tafure bahkan
Ternate adalah tidak bertuan, artinya seluruh tanah yang ada, telah dikuasai
oleh pemiliknya berdasarkan jenjang hak yang diberikan. Walaupun dalam
kenyataannya batas-batas antara satu soa dengan soa yang lain semakin lama
terhapus akibat kebijakan pemerintah yang menyeragamkan sistem
pemerintahan desa, namun masyarakat percaya bahwa pada setiap Soa
memiliki batas teritorial satu dengan yang lain. Penentuan batas-batas Soa
tersebut dikembalikan kepada proses pemufakatan antar Soa yang berbatasan
tersebut, dan disaksikan oleh para pemuka adat dalam wilayah adatnya.
Aha Cocatu (Hak Individu)
Aha Cocatu adalah bidang tanah yang diperoleh karena pemberian
langsung Kolano. Biasanya diberikan kepada orang-orang yang telah berjasa
dalam menjalankan tugas-tugas kerajaan. Cocatu hanya diberikan oleh
Kolano, berdasarkan suatu izin dari Kolano. Aha Cocatu adalah hak yang
diperoleh seseorang atas tanah, yang hampir mendekati hak eidendom
menurut hukum perdata barat, kecuali bahwa Soa berhak menolak bila aha
cocatu itu dipindah tangankan pada orang asing. Anggota-anggota
memperoleh prioritas dalam meberi aha cocatu dan tidak harus atas izin
kepala Soa. Tapi kalau yang memberi itu orang diluar Soa maka harus
mendapat persetujuan kepala Soa.
Umumnya aha cocatu diberikan/dialihkan dalam bentuk tertulis yang
isinya membuat sejarah asal-usul tanah. Pemberian aha cocatu ini dapat
berbentuk penyerahan hak maupun dalam bentuk jual beli yang ditegaskan
dalam surat cocatu. Batas-batas serta luas tanah termasuk bagian yang tidak
terpisahkan dalam pemberian atau pelepasan hak. Bentuk surat cocatu dapat
dilihat sebagai berikut:
96
Bahwa paduka yang maha mulia As Sultan Tadjul Mashul biInajatillahil Mannan Siradjul Mulku Amiruddin IskandarMunnawarus Sadik wahua Minal Adlilin Syah Putra HadjiMuhammad Usman Chalifatul Rasul, Ku memegang urusanpemerintahan di daerah Maluku Istana Kerajaan Ternate, setelahku ijinkan kepada sekretaris imam juru tulis lamo haji Ismailuntuk membubuhi cap Maha Mulia diatas surat ini menjadi tandabukti kebenaran pada hari kemudian anak cucu sekalian tak dapatmerombak lagi.
Yaitu Kadhi tuan haji Asad telah beritahukan kepada juru tulislamo (sekretaris) minta ganti surat dari sebidang tanah yangterletak di belakang kampong Sangaji yang ia dapat beli padaSaharbadun (bibi sultan) dengan harga Rp. 60.Asal tanah tersebut bibi Sultan dapat kekasih dari bapaknyaSultan Al Mahfuds bi Inajatullahil Manan Siradjul MulkiAmiriddin Iskandar Muhammad Arsyad wahua minal adilinaSyah.
Tetapi tanah itu asalnya dahulu kepunyaan bapak muda dari datuksaya Kapten Laut Kecil Mudaffar ia beli pada tukang Abdjal laluia berikan kepada anaknya Dano Abdal, kemudian Dano Abdaljual kembali tanah itu kepada datukku Sultan Tadjul MulkuAmiriddin Iskandar Kaolaini syah dengan harga Rp. 48. hargamana Dano Abdal telah terima lalu ia (datukku) memeritahkankepada ngofanyira Tolangara Kamari, Chatib Sangaji bahran jurutulis Jusuf, Soseba batae Dano Abdal Dano Engge turut bersamauntuk ukur tanah itu, pula telah dipanggil kepada semua orangyang mempunyai tanah yang berbatasan dengan tanah itu untukmenerangkan batas-batas tanah tersebut, terdapat pada sebelah:Timur panjangnya 40 depa bersifat dengan tanah beli pada DanoKodja, Dano Abdal dan Chatif juru tulis Itji, sebelah utarapanjang 176, 5 depa bersifatan dengan barangka, baratpanjangnya 106 depa bersifatan dengan tanah beli pada bekasSadaha Kie, dan selatan panjang 158,5 depa bersifatan denganbarangka.
Kemudian waktu teteku Chalifat menjadi Sultan antara 4 bulanlebih menghadap Sultan dan angkat sumpah jual tanah itu kepadateteku sudah serahkan pada nenekku Boki Maryam sudah terimadengan sempurna. Kemudian baru teteku berikan tanah itu kepadabibi saya seperti tersebut diatas dan bibi saya setelah menerimapemberian dan sudah menguasai tanah itu dan telah serahkanharganya kepada bibiku Saharbanun yang telah menerima dengansempurna, hanya pergantian surat tanah belum dibuat pada waktuitu. Sampai saat aku dinobatkan menjadi sultan antara 10 tahunbaru Kadli tua minta ganti surat tanah tersebut.
97
Jadilah tanah tersebut tetap selama-lamanya menjadi milikKadli tua haji As Ad tersebut, sampai pada anak cucu. Bilapada hari kemudian anak cucu dari bibiku Saharbanun, baiklaki-laki maupun perempuan menaruh kecurigaan danmenyebut-nyebut nama tanah itu tidak boleh sekali-kali danmenjadi harga mutlak karena penjualan dan pembelian telahsempurna dengan bukti tanda cap Sultan yang tercantun diatassurat ini dan yang si penjual dan bertanda tangan pada akhirsurat ini menjadi tanda kerajaan pada hari kemudian anak cucusekalian tak dapat merombak lagi sampai hari kiamat.Surat aha cocatu ini dikeluarkan pada hari ahad tanggal 2 Safartahun 1335 dan cap dan ditandatangani oleh Imam Juru tulisLamo atas nama Sultan.
Dari penjelasan-penjelasan tentang Aha Soa, Aha Kolano dan Raki
Kolano, maka disimpulkan bahwa hak menguasai ada pada masyarakat
melalui pengawasan Sultan. Walaupun pemanfaatan tanah telah diatur
penggunaan dan pemanfaatan menurut hukum adat sebagai pedoman
tingkah laku warga masyarakat, namun dalam kehidupan keseharian
tidak menutup kemungkinan terjadi ketidakharmonisan. Kondisi ini
mengharuskan warga masyarakat untuk kembali pada falsafah adat se
atorang, guna menjalin tali silaturrahmi kekerabatan yang terganggu
tersebut, karena keharmonisan dalam hubungan sosial merupakan
harapan yang harus dijaga oleh siapapun.
Keharmonisan hubungan masyarakat ini juga tercermin dalam
penguasaan hak atas tanah yang dikenal dengan Aha Cocatu.
Walaupun dalam masyarakat adat Ternate mengenal hak komunal (aha
kolano dan aha soa) terhadap anggota masyarakat diberikan hak
individu untuk mengolah atau membuka tanah. Untuk memperoleh aha
cocatu maka yang bersangkutan harus mempunyai pertalian darah atau
mempunyai hubungan kekerabatan dengan kelompok masyarakat adat,
namun tidak menutup kemungkinan aha cocatu ini diberikan kepada
orang luar pertalian darah seperti pendatang untuk memperoleh hak.
Orang luar dapat memperoleh cocatu dengan cara jual-beli, tukar-
menukar, sewa-menyewa, kerjasama pengolahan maupun pemberian
kepada yang bersangkutan karena dianggap telah melakukan pengabdian
atau berjasa dalam masyarakat adat maupun kesultanan.
98
6.2.2. Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Sementara
Selain hak atas tanah yang bersifat tetap, pada masyarakat adat Tafure
juga dikenal dengan hak-hak yang bersifat sementara. Walaupun demikian
hak tersebut dapat menjadi hak yang bersifat tetap, jika pemegang hak
memanfaatkan dan memelihara secara terus-menerus. Pada hak yang bersifat
sementara dapat terjadi secara bertahap yakni diawali dengan kegiatan
melakukan tolagumi, kemudian hak safa, ruba banga dan pada akhirnya
menjadi hak jurame. Namun pada kondisi tertentu pentahapan memperoleh
hak diatas dapat ditiadakan, misalnya langsung mengusahakan tanah tersebut
dan menjadi hak safa atau ruba banga. Adapun hak-hak yang bersifat
sementara tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Hak Tolagumi (hak memotong tali)
Hak tolagumi merupakan hak yang bersifat sementara yang dapat
diperoleh oleh masyarakat hukum adat. Hak ini biasanya dilakukan pada saat
seseorang yang menolak membongkar hutan dengan hak safa atau hak ruba
banga. Tolagumi ini dilakukan karena diyakini oleh masyarakat, bahwa
hutan yang hendak dimanfaatkan tersebut memiliki kekuatan magis, sehingga
diperlukan izin dari penguasa hutan. Untuk menghormati penghuni atau
penjaga hutan tersebut, maka masyarakat menyiapkan sesajian dan
pembacaan doa agar penghuni hutan tersebut tidak marah dan mengganggu
kegiatan perombakan hutan tersebut. Sesajian biasanya dibuat dari nasi
kuning dan telur, dimasukkan kedalam tempat yang terbuat dari tanah liat,
kemudian pemuka agama atau adat membacakan doa-doa agar dalam
melakukan pembukaan hutan tidak ada kendala maupun gangguan dari
makhluk halus.
Hak tolagumi selain dapat dilakukan oleh warga masyarakat adat
setempat, juga dapat dilakukan oleh orang lain diluar komunitas. Namun jika
orang luar yang akan melakukan pembongkaran hutan maka yang
bersangkutan harus mendapatkan izin dari pemuka adat dimana wilayah
hutan itu berada dengan catatan yang bersangkutan harus tinggal bersama
dengan komunitas masyarakat adat dalam wilayah hutan tersebut, serta harus
memanfaatkan tanah tersebut dengan sebaik-baiknya.
99
Hak Safa
Safa dalam bahasa Indonesia berarti sayat, menyayat, mengupas, mengiris,
sedangkan hak safa adalah hak yang diberikan kepada masyarakat adat maupun
orang luar untuk membuka hutan atau mengambil hasil hutan. Menurut Rusli
Andi Atjo, hak safa adalah hak utama (mengenai damar) yang ditandai dengan
cara safa yaitu pohon-pohon damar dihikal/dikuliti/dikupas/disayat. Orang yang
pertama memberi tanda itulah yang mempunyai hak untuk mengambil/memiliki
hasil damar, demikian pula keluarganya berhak atas hasil damar tersebut5
Bagi orang pertama yang membuka tanah atau melakukan safa, maka
ia mempunyai hak pertama. Yang diperoleh disini bukan disebabkan karena
membuka tanah, tetapi dengan melakukan safa, maka seseorang telah
meletakkan dasar hukum bagi dirinya untuk menguasai sebidang tanah yang
dinamakan hak safa. Berdasarkan hak safa inilah seseorang memperoleh hak
pertama mengolah sebidang tanah. Bila seseorang menemukan tanda safa
diatas sebidang tanah maka dengan sendirinya dia mengetahui bahwa telah
ada orang lain yang membuka tanah di tempat tersebut, akan tetapi jika hak
safa seseorang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, maka hak itu
kembali kepada Soa. Bagi yang memiliki hak safa hanya ada dua jalan, yakni
mengolah tanah dengan hak safa yang ada padanya, atau menyerahkan
kepada anggota Soa yang lainnya.
Ruba Banga (membuka lahan)
Ruba banga berarti membuka lahan. Hak ini terjadi bila seorang
warga dengan seizin kepala persekutuan, dengan maksud untuk membuka
lahan yang belum dipunyai hak orang lain (hutan belukar). Dalam hutan
tersebut kemudian dengan cara memotong tali atau kayu sebagai tanda, maka
yang bersangkutan telah memiliki hak safa. Sedangkan dari hak safa
tersebut, lantas yang bersangkutan melakukan penebangan pohon dan
sekaligus membersihkan areal tersebut untuk menanami tanaman, maka ia
telah diberikan hak ruba banga. Dengan demikian maka ruba banga adalah
hak untuk membuka hutan/lahan dengan cara ditebang.
5 Rusli Andi Atjo, Kamus....., op. cit. pp. 136
100
Untuk menghindari sengketa dalam komunitas, maka ruba banga hanya
diberikan kepada seseorang setelah yang bersangkutan telah melakukan tolagumi
dan hak safa. Ruba banga dapat diberikan atau dialihkan kepada pihak lain, jika ada
izin dari orang yang melakukan tolagumi atau hak safa. Pada hak ruba banga
dikenal batas waktu atau dikenal dengan kadaluarsa. Untuk pemegang hak ruba
banga tidak memanfaatkan lahan dengan menanami tanaman perkebunan atau tidak
mengerjakan tanah/lahan yang telah dibuka tersebut, maka yang bersangkutan dapat
hilang hak ruba banganya. Tanda terjadinya kadaluarsa hak ruba banga bila lahan
yang telah dibuka (lahan kosong) tersebut kembali ditumbuhi semak belukar atau
pepohonan. Sebagai catatan, bahwa terjadinya hak ruba banga dapat dilakukan
tanpa melalui proses perolehan hak melalui tata cara yang dilakukan pada hak safa.
Hak Jurame
Jurame adalah hak seseorang atau sebidang tanah yang pernah
diusahakan dan telah ditanam dengan tanaman musiman seperti kacang,
jagung, ubi, pisang, dll. Terjadinya hak jurame disebabkan karena orang
yang membuka lahan (ruba banga) yang meninggalkan atau tidak melakukan
proses penanaman dan menyebabkan tumbuhnya pohon-pohon diatas
tanah/lahan. Ditinggalkannya tanah dengan hak jurame oleh pemiliknya
dimaksudkan agar tanah tersebut memiliki kesuburan dengan cara
ditinggalkan ditumbuhi rumput dan pepohonan. Sistem pemulihan lahan yang
dipraktekkan pada masyarakat adat Tafure dilakukan secara tradisional, tanpa
menggunakan zat kimia seperti pupuk dan sebagainya, namun dengan cara
meninggalkan tanah tersebut maka kesuburan tanah akan kembali normal.
Masyarakat percaya bahwa penyuburan tanah dengan menggunakan
zat-zat kimia akan dapat merusak lingkungan sekitarnya. Menurut Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Maluku Utara6, hak jurame merupakan
sebidang tanah yang telah tumbuh pohon-pohon kecil, sebagai bekas kebun
tanaman bulanan oleh seseorang. Jadi jurame adalah tanah yang sementara
diistrahatkan untuk pemulihan kesuburannya. Tanah jurame ini ditandai
dengan adanya:
6 Ibid, op. cit. hal. 71-72.
101
1. Songa, yaitu suatu tanda melekatkan rumput pada pohon-pohon di
dalam lokasi tersebut.
2. Tolagumi: yaitu memotong tali pada pohon untuk membuka lahan.
3. Tamako Maace: bekas kapak pada pohon besar sebagai tanda
4. Ruba banga, adalah hak melakukan pembongkaran hutan.
Setelah terjadinya Songa, Tolagumi, Tamako Maace dan Ruba banga,
maka orang yang melakukan kegiatan tersebut harus melaporkan kepada
kepala Soa/kampung bahwa ia pernah melakukan songa, tolagumi atau
tamako maace diatas tanah atau hutan dimaksud. Adapun hak songa,
tolagumi dan tamako maace tersebut hanyalah berlaku selama 3 bulan dan
apabila telah melewati 3 bulan yang bersangkutan tidak melanjutkan
usahanya, maka batal hak-hak tersebut.
Terjadinya hak jurame pertama-tama setelah melakukan ruba banga,
diatas tanah tersebut ditanami dengan tanaman bulanan seperti padi tadah
hujan, kacang, jagung, ubi sebanyak 2 sampai dengan 3 kali panen (kurun
waktu 1 tahun – 11/2 tahun setelah membuka lahan), kemudian pemegang hak
jurame meninggalkan tanah tersebut agar kembali memiliki kesuburan. Di
atas tanah jurame selain dapat ditanami dengan tanaman bulanan, juga
tanaman jangka panjang seperti kelapa, cengkih, pala dll. Hak jurame yang
dikerjakan secara terus-menerus, maka tanah tersebut menjadi hak milik dari
orang yang melakukan jurame, dan dapat juga hak tersebut kembali kepada
Soa, jika si pemilik meninggal dunia dan tidak meninggalkan keturunan, atau
tanah tersebut diperlukan Soa seperti untuk membangun fasilitas umum, dll.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanah adat adalah tanah
persekutuan, setiap anggota dapat memperoleh hak untuk menggunakannya,
serta terhadap tanah-tanah tertentu (aha cocatu) dapat diwariskan kepada
keturunannya, dan dalam mewujudkan haknya ia terikat pada aturan-aturan
yang sudah ada. Dengan kata lain bahwa tanah adat merupakan suatu
konsepsi abstrak karena dalam kenyataan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan adanya jenis hak ini cukup beragam, karena hak ini
berhubungan dengan jenis tanah yang dikuasai, status tanah, jenis tanaman
yang tumbuh, siapa yang memiliki, cara memperoleh, dan diakui atau
tidaknya hak tersebut dalam masyarakat.
102
6.3. Posisi Petani di Tengah Pusaran Negara dan Penguasa
Pada masa Orde Baru7, kelompok-kelompok kepentingan petani di Ternate
menurut ciri-cirinya cenderung berupaya menyelesaikan persoalan konflik
pembangunan sesuai dengan prosedur yang ada dan berhubungan dengan para
pemegang otoritas negara. Kelompok-kelompok kepentingan tersebut berpeluang
berkembang menjadi gerakan sosial ketika mampu menggerakkan anggotanya
dalam bentuk perilaku atau tindakan-tindakan kolektif namun itu terjadi secara
spontan dan sangat bersandar pada momentum sehingga proses kejadiannya
terjadi secara tiba-tiba tanpa ada koordinasi dan konsolidasi yang matang diantara
para elit dan pelaku gerakan. Tindakan kolektif yang dilakukan cenderung keluar
dari tata aturan dan proses normal atau lebih mengandalkan pada aksi massa untuk
mencapai tujuannya8.
Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok kepentingan tersebut
menjadi gerakan tradisional, karena berbagai upaya penyelesaian persoalan tanah
yang dilakukan melalui mekanisme institusional termasuk melalui bantuan
advokasi hukum dari LSM meskipun hal ini berakhir dengan tidak memuaskan,
memakan waktu lama dan tidak ada kejelasan dan kepastian. Upaya lobbi dan
negosiasi dengan pemerintah kabupaten Maluku Utara (sebelum daerah ini
dimekarkan menjadi Provinsi) dan perusahaan (penerbangan) untuk dapat
mengakomodir warga sekitar bandara sebagai PNS namun tetap tidak
diperbolehkan.
7Pada mass Orde Baru banyak komunitas petani di Ternate termasuk Tafure yang tidak maumembentuk kelompok kepentingan hingga melakukan gerakan perlawanan. Hal inidisebabkan karena pendekatan represif yang dipraktekkan oleh negara menimbulkan rasatakut dikalangan petani untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan sehingga yangterjadi hanyalah perlawanan ”tersamar” melalui forum-forum diskusi terbatas. Sebaliknya,banyak juga kelompok kepentingan yang sudah terbentuk kemudian bubar sehinggaperjuanganya menjadi mentah dan berhenti tanpa hasil karena tanpa dukungan yang nyata..
8Menurut Michael Schwartz dan Shuva Paul, terdapat dua faktor kunci yang membedakanantara kelompok kepentingan dan gerakan sosial. Pertama, kelompok kepentinganselalu berhubungan dengan para pemegang otoritas yang diberi mandat secarainstitusional dan mengikuti prosedur institusional yang ada untuk mencapai tujuannya.Sedangkan gerakan sosial dapat melakukan itu, tetapi juga melakukan tindakantindakankolektif yang merusak aturan dan mengacaukan proses normal dalam upaya untukmencapai tujuanya. Kedua, kelompok kepentingan dapat menyerukan konstituennyauntuk aktif mendukung, tetapi modus operandi utamanya (dan barangkali eksklusif)adalah interaksi antara pemimpinya dengan para pemegang otoritas institusional.Sedangkan gerakan sosial lebih mengandalkan mobilisasi massa konstituen untuk mencapaitujuannya (Aldon D. Morris dan Carol McClurg Mueller (editor's). 1992. Op.Cit., hal. 221).
103
Artinya, para pemegang otoritas cenderung menolak dan mempertahankan
status quo dengan tetap memperkuat hegemoni dan mengandalkan pendekatan
keamanan. Situasi tersebut memungkinkan kesadaran kolektif petani untuk
melakukan perlawanan atau berkembang menjadi kesadaran konfliktual-
oposisional9. Kegagalan petani menggunakan pendekatan institusional
memungkinkan beralih menggunakan pendekatan non institusional yang
diwujudkan dalam gerakan tradisional. Sebagai gerakan tradisional berarti masih
mengandalkan tara cara, model kepatutan terhadap tokoh informal, struktur
organisasi, data-data dan strategi sederhana serta diwarnai oleh menejeman
otoritas tradisi lokal yaitu lembaga adat setempat.
Gerakannya masih berskala lokal atau dilokalisir secara terpisah-pisah
dalam batas wilayah komunitas tertentu, lebih didasarkan pada kesadaran sosial
konfliktual (belum sampai pada kesadaran politik) dan lebih ditujukan untuk
mencapai kepentingan material daripada untuk merubah kebijakan agraria.
Perilaku kolektif tradisional ini cenderung terpaksa dilakukan sebagai upaya
bertahan (seperti keinginan memperoleh ganti rugi yang adil dan transparan dalam
proses pembayaran ganti rugi tersebut, dll.
Pada sisi lain terdapat indikasi semakin menguatnya ikatan solidaritas,
loyalitas dan komitmen moral yang semuanya menjadi pertanda telah disituasikan
identitas kolektif petani. Dalam gerakan tradisional, antar petani di masing-masing
wilayah komunitas konflik semakin kuat dalam pendefinisian bersama tentang
siapa "kita (in-groups)" dan siapa "pihak lawan (out-groups)"10. Mereka telah
melakukan proses interaktif dan dalam pendefinisian bersama (konstruksi,
negosiasi, aktivasi dan formasi) berkaitan dengan orientasi aksi kolektif,
menginterpretasikan peluang dan tekanan-tekanan dimana aksi kolektif tersebut
dilakukan11.
9 Aldon D. Morris dan Carol McClurg Mueller (editors). 1992. Ibid., hal. 55.10 Hank Johnston dan Bert Klandermans (editors). 1995. Op.Cit., hal.44.
11Pada mass Orde Baru banyak komunitas petani di Ternate termasuk Tafure yang tidak maumembentuk kelompok kepentingan hingga melakukan gerakan perlawanan. Hal inidisebabkan karena pendekatan represif yang dipraktekkan oleh negara menimbulkan rasatakut dikalangan petani untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan sehingga yangterjadi hanyalah perlawanan ”tersamar” melalui forum-forum diskusi terbatas. Sebaliknya,banyak juga kelompok kepentingan yang sudah terbentuk kemudian bubar sehinggaperjuanganya menjadi mentah dan berhenti tanpa hasil karena tanpa dukungan yang nyata..
104
Selain itu juga perasaan curiga terhadap partisipasi kelompok luar justeru
menjadi semakin lebih besar karena dilandasi oleh rasa takut ketika
diperhadapkan pada kenyataan jikalau ada intervensi pihak asing yang merugikan
eksistensi keberlanjutan komunitasnya. Berkembangnya kelompok kepentingan
menjadi gerakan sosial tradisional -nenunjukkan kepercayaan (belief) bersama
tentang hak penguasaan atas tanah secara adat dan non adat) diperkuat, semakin
kuatnya ikatan solidaritas dan komitmen moral, formasi dan aktivasi konfliktual,
upaya reaktif petani dalam bentuk aksi-aksi perlawanan dari cara damai hingga
amuk massa (expressive violence). Kepercayaan kolektif tersebut selalu
direkonstruksi selama konflik berlangsung hingga dalam gerakan petani secara
massive dikemudian hari. Dalam konteks waktu, sesuai dengan pandangan
Smelser, kepercayaan umum (generalized beliefs) menurut alas hak yang diyakini
benar oleh petani sudah ada dalam jangka waktu lama dan selalu diaktifkan sesuai
dengan perkembangan kondisi yang memungkinkan12. Ini berarti bahwa sandaran
sebuah gerakan tak luput dari momentum yang dianggap tepat untuk diwujudkan.
Kepercayaan kolektif atau collective belief (menurut istilah Klandermans)
tersebut berkembang dalam berbagai ruang seperti melalui proses interaksi antar
pribadi, di dalam ruang-ruang publik setempat, dan dalam proses meningkatnya
kesadaran selama episode tindakan kolektif13. Berangkat dari logika dan asumsi
gerakan sosial ”tradisional” maka partisipan dalam perilaku kolektif petani Tafure
tidak selalu berasal dari anggota komunitas wilayah terkena dampak
pembangunan bandara melainkan juga oleh para pelaku non petani dan para
anggota masyarakat dari luar desa Tafure yang disatukan secara kultural.
Terdapat banyak kelompok kepentingan dalam proses pengadaan
tanah untuk perluasan bandara Sultan Babullah Ternate, disini dapat
diketahui bahwa pembentukan panitia pengadaan tanah tidak sesuai
dengan yang ditetapkan dalam Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 1 tahun 1993.
12Niel Smelser. 1962. Theory of Collective Behavior. New York: Free Press, Collier-MacmillanLimited, London, hal.292.
13Bert Klandermans dalam Aldon D. Morris dan Carol McClurg Mueller (editor’s). 1992.Op.Cit, hal. 99.
105
Dalam peraturan ini ditetapkan bahwa syarat pembentukan panitia
pengadaan tanah sebanyak 9 (sembilan) orang yang terdiri dari berbagai
unsur/instansi, namun dengan otonomi daerah melalui kewenangan yang
diberikan dalam Kepres No. 34 tahun 2003, Pemerintah daerah justru
membentuk tim kerja (bukan panitia) pengadaan tanah yang unsur-
unsurnya tidak terkait dengan proses pengadaan tanah yang akan
dilakukan.
Bahkan keterlibatan BPN Kota sebagai instansi teknis yang
memiliki pengetahuan terhadap status tanah di daerah tidak dilibatkan.
Akibatnya pasca pembangunan/perluasan bandara Sultan Babullah
tersebut menimbulkan konflik dikalangan masyarakat adat serta tuntutan
ganti rugi atas tanah yang telah diambil.14 Contoh lain adalah proses izin
lokasi, sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur atau
mengganti proses dan format administrasi yang berkaitan dengan
pemberian izin lokasi, namun Pemda dalam proses pemberian izin lokasi
sering membuat format sendiri, tidak berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, padahal format yang berlaku masih
menggunakan ketentuan yang ditetapkan oleh BPN yakni PMNA/KBPN
No. 3 tahun 1999 tentang izin lokasi. Dapat dikatakan bahwa, dengan
Kepres 34 tahun 2003 permasalahan bidang pertanahan menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah, namun peraturan tekhnis untuk
penjabaran lebih lanjut masih mengacu pada ketentuan perundang-
undangan yang selama ini ditetapkan oleh BPN, dimana secara struktural
BPN merupakan lembaga vertikal non departemen.
Melalui surat Keputusan Kepala BPN No. 2 tahun 2003 yang
dikeluarkan pada tanggal 28 Agustus 2003 memberikan penjabaran
melalui Norma Standar dan Mekanisme Ketata-laksanaan Kewenangan
Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota. Khusus terhadap penetapan dan penyelesaian tanah
ulayat, dinyatakan bahwa hak ulayat dan yang serupa dengan itu dari
14 Hasil wawancara Kepala BPN, pada tanggal 2 Agustus 2007 di Kantor BPN Kota Ternate.
106
masyarakat hukum adalah kewenangan yang menurut hukum adat
dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu atau wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan para warga yang mengambil manfaat dari sumber
daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan
hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah,
batiniah, turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan yang diklaim sebagai tanah
adat oleh masyararakat.
Tanah yang dimaksud adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat
hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat. Begitu pula masyarakat
yang dimaksud adalah sekelompok orang yang terkait dalam tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Untuk
mengantisipasi tuntutan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat atas
tanah mereka, maka pemerintah dengan Keputusan Kepala BPN No. 3 tahun
2003 mengeluarkan standar penyelesaian masalah hak ulayat (hak-hak adat).
Mengacu pada UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA dan Peraturan Mentri
Negara Agraria / KBPN Nomor 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesian
masalah hak ulayat masyarakat hukum adat, dengan mekanisme standar
melalui tiga tahap, yakni tahap persiapan, pelaksanaan dan pelaporan.
Pada tahap persiapan, Walikota menerima permohonan dari
masyarakat yang memenuhi standar adanya hak ulayat, kemudian
membentuk panitia peneliti yang keanggotannya terdiri dari para pakar
hukum adat, masyarakat hukum adat, LSM dan instansi terkait; Pada
tahap pelaksanaan, Waikota dan panitia peneliti melakukan
rapat/pertemuan persiapan, melaksanakan penelitian yang meliputi
keberadaan masyarakat adat, adanya wilayah dan hubungan antara
masyarakat adat dengan wilayahnya. Setelah itu mempublikasikan hasil
penelitian, dan menampung saran pendapat melalui seminar, lokakarya,
dan lain-lain. Melaksanakan dengar pendapat umum dalam rangka
penyiapan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang penetapan
tanah ulayat.
107
Menerbitkan Perda tentang tanah ulayat, mengusulan pemetaan dan
pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor BPN Kota,
menangani masalah tanah ulayat melalui musyawarah/mufakat, serta apabila
tidak terjadi kata sepakat, permasalahan diselesaikan melalui jalur
pengadilan. Tahap pelaporan, hasil penelitian kemudian Bupati/Walikota
menyampaikan laporan kepada Pemerintah Pusat cq. BPN Pusat melalui BPN
Provinsi Maluku Utara.
Pada tingkat lokal, sampai saat ini pemerintah Kota Ternate belum
memiliki produk hukum daerah dalam bidang pertanahan, terutama yang
berkaitan dengan hak-hak masyarakat hukum adat. Masing-masing
instansi yang mengurus masalah pertanahan, bekerja secara sektoral
tanpa ada koordinasi satu dengan yang lain, padahal permasalahan hak
atas tanah masyarakat hukum adat melibatkan berbagai instansi terkait.
Asumsi ini bukanlah berangkat dari logika yang tidak berdasar karena
pada kenyataannya sebagaimana yang terjadi dilapangan.
Hingga kini, belum ada satu Perdapun yang mengatur tentang
bidang pertanahan di Maluku Utara secara umum maupun Ternate
khususnya. Menurut Dr. Husen Alting: “Ada anggapan dalam kalangan
pemerintah daerah, jika tanah adat diidentifikasi, maka akan
bermunculan klaim tanah adat oleh masyarakat adat yang akhirnya akan
menghambat proses pembangunan di Kota Ternate terutama bagi
investor”15 Realitas polemik bandara yang selama ini terjadi seolah
membenarkan asumsi ini, bahkan polemik bandara seolah menjadi
representasi persolan sengketa tanah adat yang terjadi di Maluku Utara.
Berbeda halnya dengan institusi pemerintah daerah yang memiliki
kewenangan mengimplementasi otonomi pertanahan belum dilakukan secara
nyata, namun BPN Kota Ternate sebagai lembaga vertikal yang berada di
daerah, tetap melakukan pelayanan administrasi pertanahan, termasuk
terhadap permohonan/penetapan hak atas tanah yang berasal dari masyarakat
hukum adat.
15 Hasil wawancara dengan Dr. Husen Alting, (Direktur Lembaga Mitra Lingkungan / LMLMaluku Utara, tanggal 11 Ferbruari 2008.
108
BPN Kota Ternate sebagai lembaga teknis cukup memberikan
apresiasi terhadap perlindungan hak masyarakat hukum adat. Misalnya dalam
hal pengakuan aha cocatu, BPN tetap mengakui adanya tanah hak
masyarakat hukum adat, karena dari sejarah pemerintahan sebelumnya Kota
Ternate merupakan daerah kerajaan dengan sistem pemerintahan swapraja,
dimana pemberian hak atas tanah umumnya berdasarkan hukum adat.
Walaupun demikian, pada kasus tertentu diterapkan perlindungan
hukum yang bersyarat terhadap hak masyarakat adat, terutama setelah
berlakunya UUPA, maka BPN Kota Ternate tunduk kepada peraturan
perundang-undangan yang mengatur pemberian tanah. Terhadap tanah
masyarakat hukum adat, pemberian hak dilakukan dengan dua cara,
yakni pemberian berdasarkan ketentuan pemberian hak atas tanah negara
(Kepmen Agraria/KBPN No. 9 tahun 1999), dan terhadap tanah yang
berdasarkan hukum adat menggunakan ketentuan konversi dalam UUPA
dan Peraturan Mentri Agraria No. 2 tahun 1981.
Tanah adat yang dikonversi terlebih dahulu dilakukan penelitian
terhadap data fisik dan data hukum yang terdapat pada surat pemberian
hak, yang dikeluarkan oleh pemerintah swapraja maupun oleh Sultan.
Jika ditemukan data dilapangan sesuai dengan keterangan yang termuat
dalam surat tersebut, maka dalam proses pemberian hak, BPN akan
melakukan berdasarkan ketentuan konversi.
Namun pada umumnya surat cocatu yang dijadikan dasar bagi
masyarakat hukum adat untuk mendapatkan tanah, tidak memiliki
kejelasan dari segi luas tanah dan batas-batasnya. Luas tanah dalam
cocatu umumnya tidak menggunakan ukuran meter, akan tetapi
menggunakan ukuran depa (bentang tangan), hal ini menyebabkan terjadi
kesulitan dalam menentukan luas tanah berdasarkan ukuran meter. Bagi
BPN Kota Ternate, tanah yang dikuasai masyarakat hukum adat dengan
surat cocatu tetap diakui, sepanjang surat tersebut dikeluarkan sebelum
tahun 1960 dan jika setelah tahun 1960 maka tanah tersebut dianggap
sebagai tanah negara.
109
Seiring dengan tuntutan kepastian hak bagi masyarakat berdasarkan
hukum negara, termasuk tanah yang dikuasai berdasarkan hukum adat,
langkah yang dilakukan oleh BPN sebelum dilakukan proses permohonan
sertifikat tanah adat, terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan pihak
kesultanan atau pemuka adat, guna memperjelas status tanah, sekaligus
memberikan informasi adanya tanah adat yang akan dilakukan proses
sertifikat. Koordinasi ini dilakukan untuk menghindari timbulnya
permasalahan dikemudian hari. Akibat banyak tanah dikuasai dengan sistem
hukum adat, menyebabkan kewajiban bagi masyarakat untuk melakukan
pendaftaran tanah yang dikuasai, karena mereka masih memegang prinsip
bahwa tanah tersebut adalah tanah bersama, sehingga terlebih dahulu harus
mendapat izin dari Sultan atau pemuka adat setempat.
Ide pendaftaran tanah melalui proses sertifikasi selama ini telah
menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat adat. Pihak yang
mendukung pendaftaran ini berpendapat, bahwa dengan adanya kepastian hak
atas tanah adat (melalui proses sertifikasi) dapat menghilangkan sumber
konflik serta sesuai dengan tuntutan institusi hukum negara maupun
perkembangan zaman modern. Sebaliknya dari pihak yang menolak
berpendapat, bahwa jika tanah adat didaftarkan, maka tindakan ini
merupakan awal kehancuran bagi masyarakat hukum adat dan hak-hak
tradisionalnya termasuk sistem kekerabatannya.16
Masyarakat adat tidak memiliki sejarah dalam proses pendaftaran
tanah. Salah satu ciri yang menonjol dari masyarakat hukum adat adalah
sebagai hukum yang tidak tertulis. Karena itu, Sihombing menyebutkan
bahwa hukum tanah adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah
yang hidup dalam masyarakat hukum adat pada masa lampau dan masa kini,
serta ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara otentik
(berdasarkan hukum negara) atau tertulis, kemudian pula ada yang
didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis.17
16 Erizal Jamal, Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan Pada Komunitas Lokalhttp://www.psedeptan.go.id/hasil%20penelitian struktur dan dinamika.htm
17 Sihombing. Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia. Toko GunungAgung. Jakarta, 2005, p. 67.
110
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat adat Tafure,
sertifikat bukanlah suatu alat untuk dijadikan sebagai jaminan perlindungan
terhadap hak-hak adat. Bagi mereka selama tidak ada kekuasaan yang lebih
tinggi dalam masyarakat hukum adat, maka perlindungan dan pertahanan
kedudukan dan hak-hak tersebut (wilayah hukum) diperoleh dari kekuatan
pembelaan sendiri atau melalui saling hormat-menghormati hak masing-
masing.
Pengakuan sesama masyarakat telah memberikan kepastian hukum
dalam penguasaan hak atas tanah. Masyarakat hukum adat beranggapan
bahwa di samping kekuatan yang dimiliki dalam masyarakat, terdapat
pemuka adat (tokoh adat) yang ditugaskan untuk melindungi hak-hak
mereka. Pada segi yang lain, perlindungan hukum yang diberikan BPN
kepada masyarakat hukum adat atas tanah, selain melalui ketentuan konversi
hak, juga dilakukan dengan berdasarkan pada ketentuan pemberian hak atas
tanah negara.
Hal ini dilakukan, karena keterbatasan pembuktian hak masyarakat
adat, terutama berkaitan dengan batas dan luas tanah yang kurang jelas dalam
surat pemberian hak atas tanah adat, serta prosedur pemberian hak dengan
menggunakan ketentuan konversi hak melalui Kepmen Agraria/KBPN No. 9
tahun 1999, dimana tanah yang dikuasai dengan hukum adat dianggap
sebagai tanah negara, dengan maksud agar perlindungan hak masyarakat
hukum adat melalui hukum negara dapat diberikan dan tidak mendapatkan
hambatan.
Berbelitnya proses pemberian hak atas tanah masyarakat hukum adat
dalam konteks hukum negara, ini menunjukkan bahwa negara/pemerintah
masih setengah hati untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap
hak masyarakat adat. Baik konstitusi, Undang-undang maupun peraturan
pelaksanaan yang lebih rendah, memberikan pengakuan dan perlindungan
bersyarat, berlapis serta bertentangan dengan peraturan satu dengan yang
lainnya. Kekacauan substansi peraturan perundang-undanagan dalam bidang
agraria, telah menepatkan masyarakat adat pada posisi yang lemah dan tidak
berdaya ketika berhadapan dengan negara.
111
Menurut Husen Alting, upaya menciptakan rasa aman dalam
pemilikan dan penguasaan tanah masyarakat hukum adat, maka harus segera
memberikan jaminan kepastian hak dan perlindungan hukum bagi
pemiliknya. Perlu dilakukan sinkronisasi dan perubahan perundang-undangan
yang berpihak pada perlindungan hak masyarakat hukum adat, sebelum
meluasnya tuntutan-tuntutan politis yang akan mengancam keutuhan NKRI.
Bentuk pengakuan yang harus diberikan dengan cara, mengukuhkan
masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak atas tanah dan memberikan
kesempatan memanfaatkan sumberdaya tanah berdasarkan kearifan yang
dimiliki.
Pengukuhan tersebut dilakukan terhadap semua jenis hak-hak atas
tanah yang saat ini telah dikuasai oleh masyarakat hukum adat; (baik yang
sudah terputus hubungan hukumnya maupun yang masih eksis), baik
terhadap hak-hak individu, maupun hak-hak komunitas (hak ulayat). Dengan
kata lain, perlu mewujudkan pula hubungan yang seimbang antara negara
dengan masyarakat hukum adat, dalam pengelolaan sumber daya alam
sekaligus memberikan kepastian hukum atas pola-pola penguasaan dan
pemanfatan yang telah dilakukan.18
Prinsip-prinsip kearifan adat yang berbasis komunitas haruslah
dipandang sebagai social capital dan memiliki potensi sosial-budaya yang
perlu dipertahankan dan dikembangkan, diperkaya, serta diperkuat melalui
perlindungan dalam penataan sebagai landasan baru menuju perubahan
kebijakan yang tepat untuk tujuan keberlanjutan ekologis. Melalui peran dan
tindakan yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat adat dengan
kearifan lokal yang dimiliki dalam pengelolaan sumberdaya alam, maka tidak
berlebihan untuk mengatakan bahwa masa depan keberlanjutan hidup kita
sebagai bangsa berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara
kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah
terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai
komunitas dan sekaligus menyangga layanan alam untuk kebutuhan makhluk
lainnya secara lebih luas.
18 Husen Alting, Pengakuan....., op. cit. pp. 352-353.
112
6.4. Intervensi Pemerintah, Respon Petani dan Dampak Gerakandi Tengah Arus Kepentingan
Fenomena penyelesaian ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah
Ternate yang buntutnya terjadi aksi boikot aktifitas penerbangan dibandara
Sultan Babullah Ternate pada tanggal 01 Pebruari 2005 kemudian ditanggapi
pemerintah dengan mengakomodir tuntutan masyarakat, namun
penyelesaiannya, tidak memenuhi keinginan dan tuntutan kalangan
masyarakat itu sendiri yang mana dengan diterbitkannya nota kesepakatan
(MoU) tertanggal 01 Pebruari 2005 dimana tim (wakil masyarakat) yang
dibentuk bukan atas ditunjuk berdasarkan musyawarah dari masyarakat, telah
ikut menandatangani MoU tersebut tanpa mengetahui lebih dulu isi dari
kesepakatan itu, sehingga dapat merugikan masyarakat ahli waris misalnya
didalam pasal 5 MoU ayat (1) “Cara pembayaran harga tanah sebagaimana
tersebut pada pasal 2 dan 3 dilakukan secara bertahap dan dimulai pada tahun
anggaran 2006 serta dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Ayat (2)
pembayaran sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan tahapan-tahapan
selanjutnya akan diprogramkan / diusulkan oleh pemerintah sampai terlunasi
seluruh harga tanah.”
Menurut pemahaman masyarakat korban bahwa pengertian dari dua
ayat tersebut diatas adalah penafsirannya tidak jelas jangka waktu sampai
kapan. Belakangan diketahui oleh masyarakat pemilik tanah maka
dipertanyakan hal itu kepada tim dan oleh tim memberikan penjelasan bahwa
pada saat terjadinya penandatanganan MoU, mereka (Tim) diarahkan ke
Terminal bandara disaat Dirjen Tekhnik Perhubungan Udara beserta
rombongannya akan berangkat dengan pesawat kembali ke Jakarta.19 Menurut
masyarakat korban bahwa satu hal yang lebih janggal lagi didalam MoU
adalah bahwa ternyata pihak Kesultanan tidak dilibatkan didalam
penyelesaian ganti rugi pembayaran, justru melibatkan anggota Komisi II
DPR RI, Komisi A DPRD Propinsi dan Komisi A DPRD II Kota Ternate.
19 Penjelasan Hi. Jailan Habsi (Ketua Tim 6) pada saat wawancarai penulis tgl 3 Agustus 2007 dikediamannya Tabam-Ternate.
113
Realisasi dari pembayaran ganti rugi yang telah dilaksanakan
walaupun belum tuntas, ditinjau dari kelayakannya berdasarkan hak maka
perlu menyimak UU. PA No. 5 Tahun 1960 pasal 18 sebagai berikut; Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentigan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang. belumlah sepadan dengan apa yang diterima oleh masyarakat
pemilik lahan secara bertahap tanpa jelas jangka waktunya.
Semakin berlarut-larutnya penyelesaian ganti rugi dan ketidak-pastian
sehingga oleh masyarakat pemilik tanah telah membuat pernyataan sikap
penolakan kepada tim kuasa dan pembentukan tim kuasa yang baru,
selanjutnya memberi kuasa kepada Sultan Ternate untuk mengurus sampai
tuntas. Perihal pernyataan sikap tersebut, dilampirkan dengan surat
pemberitahuan kepada Menteri Perhubungan cq Dirjen Perhubungan Udara di
Jakarta tertanggal 20 Juni 2006 dengan tembusan-tembusannya meliputi
Gubernur Maluku Utara, ketua DPRD Propinsi, Walikota Ternate, Ketua
DPRD II Kota, Camat Kota Ternate Utara, dll.
Kecemasan masyarakat dengan ketidakpastian akan sangat rentan
sekali berpotensi terjadinya pertkaian dalam masyarakat. Namun
kenyataannya kepala bandara berdasarkan koordinasinya dengan pemerintah
Kota telah nekad mengambil untuk melakukan pembayaran secara bertahap
dan entah alokasi besar kecilnya jumlah uang yang diterima oleh tiap pemilik
berdasarkan apa? Sebelumnya diterbitkannya surat perintah membayar (SPM)
oleh kepala bandara (Kabandara), sekelompok masyarakat mendatangi
kabandara di ruang kerjanya menyampaikan persoalan data yang tidak valid
yang diusulkan oleh tim dengan maksud pembayaran ditangguhkan dulu
sebelum merevisi data dan mempertanyakan legitimasi tim yang
mengusulkan data tersebut. Inilah awal dari terpecahnya tim masyarakat yang
dikenal dengan tim 6 disatu sisi dan tim 4 pada sisi yang lain yang masing-
masing dari keduanya adalah sama-sama merupakan perwakilan dari
masyarakat petani.
114
Masyarakat juga mempertanyakan soal dasar dari pembayaran tersebut
dilakukan, namun tidak mendapatkan jawaban yang pasti dan oleh Kabandara
masyarakat dipersilahkan mempertanyakan kepada pihak pemerintah kota.
dari pemerintah kota yang diwakili oleh H.Amas Dinsie (Wakil Walikota
Ternate) memberikan keterangan bahwa pembayaran tersebut bukan atas
dasar dari petunjuk baik dari Dirjen Perhubungan maupun menteri
Perhubungan, akan tetapi Pemerintah Kota dan Kabandara berkoordinasi
dengan Dinas Perhubungan mengembil kebijakan untuk melakukan
pembayaran. Lanjut kata H.Amas bahwa ini adalah seperti rezeki jatuh dari
langit, jadi harus mengambilnya, kata beliau pula tidak usah mempersoalkan
tentang data fiktif dan pemotongan ilegal yang dilakukan oleh tim, karena
persoalan itu adalah urusan akhirat. 20
Mencermati kronologis pembayaran yang dilakukan, terkesan adanya
unsur pemaksaan oleh pihak tertentu, oleh karena itu kelompok masyarakat
melakukan presure ke Polda Maluku Utara dan mendapat respon sangat baik
dengan membuat surat pemblokiran ke kantor BRI dan KPKN untuk
dipending pembayaran sampai batas waktu yang belum ditentukan.
kecurigaan tentang adanya unsur pemaksaan dalam pembayaran itu sangat
beralasan karena pada saat Kapolda berkunjung ke luar negeri, kesempatan
itu tidak disia-siakan untuk dilakukan pembayaran di Bank Mandiri.
Pada hari pertama dilakukan pembayaran di Bank Mandiri telah
terjadi sedikit pertikaian mulut diantara masyarakat pemilik lahan dengan tim
yang memaksakan untuk melakukan pemotongan dari bagian yang diterima.
Melihat situasi yang rentan sekali terjadinya pertikaian yang lebih besar
maka pembayaran kemudian ditunda oleh pimpinan Bank Mandiri dan
selanjutnya pembayaran dilakukan ke secara bergiliran dengan membuka
rekening kartu ATM. Giliran hari pertama ke masyarakat Sango sempat
terjadi pertikaian diantara warga karena terkait dengan orang yang bukan
pemilik ikut mendapatkan jatah bagian sementara ada pemilik ahli waris yang
tidak didaftarkan oleh tim.
20 Penjelasan Ilyas Bayau, SE (Ketua Tim 4) pada saat wawancarai penulis tgl 5 Agustus 2007 dikediamannya Tabam-Ternate.
115
Berlanjut pada hari kedua giliran masyarakat Tabam dan terjadi
perkelahian yang menyebabkan dua orang warga menjadi korban
penganiayaan. Oleh karena situasi semakin memanas maka masyarakat
Tafure mendapat giliran pada hari berikut dibatalkan, namun ternyata
pengalihan pembayaran dilakukan dari rumah ke rumah secara sembunyi-
sembunyi. Ada kesan terburu-buru dalam pelaksanaan pembayaran ganti rugi
lahan Bandara yang mengharuskan tahap pertama harus tuntas sebelum tahun
2007, sehingga pentahapan selanjutnya diprogramkan kembali pada tahun
anggaran berikutnya, demikian hingga kini pembayaran ganti rugi tersebut
masih belum pasti karena tidak ada ketegasan didalam MoU sebagaimana
disebutkan sebelumnya. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa realisasi
pembayaran pada tahap pertama, uang yang sudah diterima oleh sebagian
besar masyarakat berfariasi antara Rp 2 juta sampai dengan yang paling
tertinggi Rp 5 juta per pemilik lahan. Oleh pemilik lahan uang itu kemudian
dibagikan lagi per keluarga ahli waris didalam keluarganya.
Menurut penjelasan Bapak Abdul Madjid Bayau yang merupakan
seorang pemangku adat Tafure menyatakan dalam sebuah wawancara dengan
penulis bahwa:
“Uang yang kami peroleh tersebut sangatlah kecil biladibandingkan dengan luas lahan yang dimiliki masyarakat.Uang tersebut jangankan dibagikan kepada sanak saudaraahli waris, dipakai buat hajatan Tahlilan sebagai bentukritual keagamaan demi keselamatan keluarga itupun tidakcukup sehingga wajar bila masyarakat korban pembangunanbandara yang rela menerima ganti rugi secara pasrah tidakmau bila proses pembayarannya dilakukan secara bertahapmelainkan secara langsung lunas. Apakah artinya uangsebesar itu diterima bila dibandingkan dengan kehilangantanah dan kebun pertaniannya sebagai penunjang hiduphari-hari. 21
21 Penjelasan Bpk. Madjid Abdullah (Fanyira / tokoh adat masyarakat Tafure) pada saat wawancaraipenulis tgl 2 Juni 2007 di kediamannya Tafure Ternate.
116
Polemik ganti rugi lahan Bandara Sultan Babullah yang memicu aksi
boikot aktifitas penerbangan pada tanggal 5 Desember 2006 yang lalu sampai
saat ini belum ada tindak lanjut dari pemerintah. Ada 8 butir tuntutan yang
telah disampaikan dalam aksi tim 4 yang dilaksanakan pada tanggal 5
Desember 2006 tersebut tampaknya hingga kini belum ada follow up dari
pemerintah yang memuaskan bagi masyarakat. Menurut tim 4 bahwa Indikasi
tindak pidana yang telah dilakukan oleh tim 6 beserta “konco-konconya” pun
tidak ada presure dari polres selaku aparat penegak hukum di kota Ternate.
Dalam konteks ini pula maka supremasi hukum yang menjadi
kewenangan utama intitusi penegak hukum di daerah mestilah proaktif dalam
merespon persolan ini sesulit apapun keputusan/ketegasan hukum yang akan
diambil adalah merupakan bentuk pembelajaran dan penyadaran kepada
masyarakat agar taat kepada equality before the law (persamaan di hadapan
hukum). Dengan demikian konsekuensi logisnya adalah efek jera yang
dirasakan oleh pelaku yang akan menjadi teladan dan contoh masyarakat luas
untuk turut menegakkan kepastian hukum (due of law).
Polres kota Ternate menurut Ilyas Bayau sepertinya mandul, padahal
instansi tersebut merupakan lembaga pengayom hukum dalam masyarakat.
Banyak data yang merupakan bukti disertai para saksi yang menunggu untuk
dimintai keterangan seperti dilaporkan oleh tim 4 hingga saat ini belum ada
tanda-tanda penyelidikan. Dari pihak pemerintah sendiri terkesan
mengabaikan inti dari permasalahan yang sebenarnya. Misalnya pertemuan
tertutup yang telah diadakan di kedaton kesultanan Ternate yang dihadiri
oleh para pejabat pemerintah kota Ternate, Badan Pertanahan Negara (BPN),
Polda Maluku Utara, kepala Bandara Sultan Babullah Ternate hanya
membicarakan ganti rugi yang selanjutnya diserahkan kepada Sultan Ternate.
Sedangkan tuntutan masyarakat seperti yang tertuang dalam surat
pernyataan sikap, ketidak absahan Nota Kesepahaman (MoU) dan
pembayaran secara bertahap yang dipaksakan yang mana telah menimbulkan
banyak masalah, tidak disinggung sama sekali oleh pihak pemerintah dalam
rapat tertutup tersebut. Untuk lebih jelasnya di sini dicantumkan isi dari
pernyataan sikap sbb:
117
1. Berdasarkan kesepakatan bersama antara pemerintah dan masyarakat
pada tgl 1 februari 2005, butir a. Tentang lahan Bandara Sultan
Babullah Ternate adalah tanah “Aha Kie Se Kolano”, oleh karena itu
pemerintah RI, Cq. Pemerintah Daerah harus mengakui hak-hak
masyarakat adat sesuai dengan undang-undang.
2. Segera Tim Ditjen Perhubungan Udara bersama pemerintah Kota
Ternate dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk duduk satu
meja bersama Kesultanan Ternate dalam menyelesaikan soal ganti
rugi hak ulayat masyarakat adat pada lahan Bandara Sultan Babullah
Ternate.
3. Segera dilakukan revisi kesepakatan bersama (MoU).
4. Kepada Polda Maluku Utara untuk sergera menangkap oknum-
oknum Tim 6 yang diduga kuat melakukan penipuan data dan
pemerasan kepada masyarakat dengan dalih pemotongan 10% dan
pungutan-pungutan lainnya.
5. Pembangunan terminal baru harus mengakomodir Tenaga Kerja di
sekitar Bandara.
6. Segera tertibkan taksi yang beroperasi di bandara dan jangan ada
pungutan-pungutan liar terhadap para sopir taksi.
7. Dishub Kota Ternate harus menempatkan petugas/warga korban
pembangunan bandara sebagai juru parkir.
8. Tenaga honorer pada bandara agar segera diangkat menjadi PNS.
9. Bila poin 1 s/.d 8 tidak diakomodir maka kami akan boikot bandara
dalam batas waktu yang tidak ditentukan.
Menurut Ilyas Bayau22, bahwa hasil dari pertemuan tertutup tgl 28
desember 2006 tersebut, pihak pemerintah kota maupun BPN bungkam atau
aksi tutup mulut pada saat dikejar oleh wartawan. Sehari setelah pertemuan
itu ahirnya Drs.Hi.Amas Dinsie (wakil walikota) dan Isnain Hi.Ibrahim
(kabag pemerintahan Pemkot Ternate) memberikan penjelasan sekitar hasil
pertemuan.
22 Ibid.
118
Lebih lanjut Menurut Ilyas Bayau23 bahwa latar belakang status tanah
sengketa tersebut mengandung berbagai kejanggalan bila dikaji secara
cermat. Hal ini berdasarkan sertifikat dengan nomor 03 tahun 1991 tertanggal
27 juni 1991, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pertama : Tanah yang digunakan oleh bandara Sultan Babullah adalah
sejak tahun 1970, sedangkan sertifikat dengan nomor 03 tahun 1991
dikeluarkan pada tahun 1991. Nah selama kurang lebih 21 tahun hak
masyarakat atas tanah tersebut dimana ?
Kedua : Dasar status sertifikat tersebut adalah Hak Pakai. Berbicara hak
pakai berarti ada hak miliknya. Jika tanah tersebut mutlak milik rakyat,
seharusnya ada perjanjian jual beli atau hibah dari masyarakat selaku pemilik
tanah. Atau jika tanah tersebut milik Kolano maka koordinasinya dengan
Kolano selaku Sultan Ternate. Namun setelah dikonfirmasi dengan Sultan
Ternate, ternyata Sultan tidak mengetahui keberadaan sertifikat tersebut.
Ketiga : kepemilikan hak pakai sertifikat tersebut adalah Departemen
Perhubungan RI berkedudukan di Jakarta. Apakah patut sebuah Departemen
tanpa ganti rugi yang layak telah mengambil hak rakyat yang sebelumnya
menjadi sumber dan penunjang kehidupan sehari-hari seperti yang
diamanatkan didalam UUPA Nomor 5 tahun 1960? Lebih lanjut Menurut
Ilyas Bayau bahwa:
”........Seharusnya Isnain Ibrahim selaku pejabat pemerintahmemihak kepada kepentingan rakyat, bukan memberikankomentar yang memojokkan rakyat turut membodohi rakyatyang nota bene jauh dari jangkauan hukum. Bila ternyata parapejabat pemerintah masih bersikukuh mempertahankan egonyamelalui MoU yang merupakan sebuah pembohongan publikdan jebakan disertai penjelasan tentang status tanah yangmembingungkan masyarakat maka membuka peluang untukaksi babak selanjutnya yang akan lebih dahsyat dari aksisebelumnya. Instrumen yang dimainkan oleh oknum pejabatpemerintah terkesan mengadu domba masyarakat adat, terlebihlagi mengabaikan Sultan Ternate selaku pemangku adat.
23 Ibid.
119
Konflik yang melibatkan pemerintah daerah, pengelola bandara dan
masyarakat adat Tafure tersebut telah diupayakan berbagai upaya negosiasi oleh
Pemda setempat dengan masyarakat adat, namun negosiasi tersebut tidak
membawa perubahan sikap pemerintah untuk dapat memenuhi tuntutan
masyarakat. Berbagai upaya protes terhadap kebijakan pembangunan dan
perluasan areal bandara hingga kini terus dilakukan baik melalui aksi ekstra
parlementer hingga berbagai upaya hukum lainnya terus dilakukan.
Diantaranya, penuntutan untuk dilibatkannya lembaga adat kesultanan
Ternate dalam polemik konflik pembangunan tersebut hingga pada persoalan
penyelesaian ganti rugi yang dinilai sarat dengan penyelewenagan dana dan
dugaan manipulasi data hingga dugaan korupsi yang dilakukan oleh
sebagaian tim perwakilan penyelesaian ganti rugi lahan bandara tersebut dan
hingga kini proses legal action tersebut sedang ditangani Polres Kota Ternate
yang dalam perkembangan proses penyidikannya dinilai tidak transparan oleh
masyarakat pelapor (Tim 4) selaku perwakilan masyarakat penyelesian ganti
rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate.
Hal ini terbukti dengan hasil riset kami yang menemukan sejumlah
dokumentasi melalui pemberitaan media lokal yang memperlihatkan
ketidakjelasan penyelesaian proses hukum di Polres Ternate bagi pihak
pelapor yang dalam hal ini masyarakat korban pembangunan dan perluasan
areal lahan bandara tersebut.
Terkait dengan persoalan tersebut, Tim 4 penyelesian ganti rugi lahan bandara
Sultan Babullah Ternate pernah melayangkan sebuah press release tentang dugaan
manipulasi dan penggelapan dana ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate ke
Malut Post sebuah koran lokal terkemuka di Maluku Utara yang kemudian diterbitkan
beritanya pada sehari kemudian edisi Kamis tanggal 21 Januari 2010 bahwa Tim 6
melakukan pembohongan publik dengan mencantumkan nama Sultan Ternate
kedalam komposisi Tim diserta tanda tangan dan cap Kolano (Kesultanan). Hal
ini dilakukan agar pertama: untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka
masih diakui karena Yang Mulia Sultan telah bergabung dalam Tim 6 meskipun
hal ini tidak benar, kedua: untuk meyakinkan kepada pihak bandara unruk
mengurus pencairan dana ganti rugi lahan bandara tahap ketiga.
120
Oleh karenanya, kami Tim 4 selaku Tim yang didukung oleh Sultan
Ternate menghimbau kepada kepala bandara Sultan Babullah Ternate untuk
menghentikan pencairan dana tahap ketiga penyelesaian ganti rugi lahan bandara
Sultan Babullah Ternate sampai proses hukum ini selesai. Sebelumnya, Tim 4
juga pernah menyurat ke Kapolres Ternate perihal pelimpahan laporan tertanggal
11 Januari 2010 sebagai wujud ketidakpuasan mereka terhadap kinerja Polres
Ternate yang dianggap lamban bahkan terkesan “dipolitisir” karena perkara
tersebut melibatkan beberapa elit pejabat eksekutif dan legislatif pusat maupun
daerah sehingga proses penyidikan tersebut sengaja dihambat.
Menanggapi surat tersebut, pihak polres Ternate langsung memanggil
Tim 4 perwakilan masyarakat dalam penyelesaian ganti rugi lahan bandara
Sultan Babullah Ternate untuk membicarakan permohonan pelimpahan
laporan yang mereka ajukan. Dalam pertemuan tersebut, pihak polres Ternate
meminta kepada pelapor untuk menangguhkan niatnya melimpahkan kasus
tersebut ke Polda Maluku Utara. Pihak Polres meminta kepada Tim 4 untuk
membuat laporan dugaan korupsi ke Polda Maluku Utara terkait manipulasi
dan penggelapan dana ganti rugi yang dilakukan oleh Tim 6 pada
pembayaran tahap pertama sebesar 1, 5 milyar rupiah pada tahun 2006 dan
tahap kedua pada tahun 2009 sebesar 5 milyar rupiah.
Banyak penduduk lokal lainnya yang membawa ingatan kebencian dan
ketidakpercayaan terhadap pihak pengelola bandara. Selain itu juga kondisi
ini diperburuk dengan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat lokal
manakala tuntutan mereka agar pihak bandara bersedia untuk mengangkat
status honorer beberapa pegawainya yang berasal dari masyarakat sekitar
lokasi bandara untuk diangkat sebagai pegawai tetap (PNS) yang
diperjuangkan pada tahun-tahun terakhir melalui jalur dialog bahkan hearing
bersama DPRD Kota Ternate dengan pemerintah kota Ternate pada tahun
2003 hingga berlanjut kemudian pada tahun 2004 akan tetapi tidak
membuahkan hasil apapun. Faktor-faktor inilah yang turut memberi warna
dan mempengaruhi proses pembentukan gerakan sosial sebagaimana yang
terjadi pada tahun 2005 sebagai manifestasi ketidakpuasan yang dihadapi
oleh masyarakat petani.
121
Menurut Kepala bandara Sultan Babullah Ternate dalam sebuah
wawancara menyatakan bahwa24:
“......peristiwa awal terjadinya protes ganti rugi lahan bandaraSultan Babullah Ternate adalah ketika dalam sebuah undanganhajatan masyarakat, mantan kepala bandara (sebelumnya)pernah menjajanjikan kepada masyarakat Tafure bahwa beliauakan memperjuangkan putra daerah selitar Bandara yangsedang honor di kantor Bandara untuk segera diangkat menjadiPNS. Namun seiring berjalannya waktu dan setiap momenrekrutmen CPNS, tak seorangpun yang dijanjikan lolos dalampengangkatan CPNS tersebut. Hal ini memicu kemarahanwarga sekitar bandara yang bermula dari Tafure hingga meluaspada beberapa tempat sekitar lainnya seperti Sango, Tarau danTabam.
Dalam konteks inilah perilaku kolektif mulai muncul secara
spontanitas meskipun diakui bersandar pada momentum yakni disaat
rekrutmen CPNS tersebut. Gerakan sosial baik yang bersifat sementara atau
permanen, didahului oleh perilaku kolektif (colektive behavior) sebagai
wujud adanya ketidakpuasan terhadap kondisi sosial. Namun demikian,
orang-orang yang bergabung kedalam tindakan massa tidak selalu
mempunyai tujuan yang sama. Motivasi mereka terjun dalam gerakan sangat
beragam pula, ada yang benar-benar dilandasi idealisme yang yang tinggi
untuk suatu tujuan yang bersifat non materi, ada pula yang mencari
keuntungan materi. Diatas motivasi yang beraneka ragam itu, sumber
persoalan timbulnya gerakan sosial di Ternate adalah kehadiran Bandara.
Jika di masa Orde Baru terjadinya konflik pertanahan umumnya antara
rakyat dengan pemerintah pusat dan pemilik modal nasional/asing, maka kini
telah bergeser menjadi konflik pertanahan antara rakyat dengan pemerintah
daerah dan pemilik modal. Keadaan ini kemungkinan di masa depan ada
kecenderungan pihak pemerintah daerah untuk meniadakan hak ulayat.
Mengapa demikian, pemerintah daerah dipacu untuk mendapatkan sumber
pendapatan sebanyak mungkin, sehingga adanya hak ulayat dan sistem
pemerintahan adat dirasakan sebagai penghalang.
24 Wawancara dengan Bpk. Taslim Badarudin di ruang kerjanya pada tanggal 16 Desember 2010.
122
Apa yang telah dilakukan pemerintah menyangkut kasus-kasus atau
konflik pertanahan antara masyarakat adat dengan pemerintah dan swasta (pemilik
modal), baik kasus konflik pertanahan peninggalan Orde Bam maupun kasus
konflik tanah yang muncul pada era reformasi; belum mendapat penanganan yang
serius. Karenanya kasus-kasus konflik/sengketa/perkara tanah di Indonesia pada
era reformasi masih tetap semarak dan masih tetap mengundang perhatian.
Studi ini juga menemukan data perkara tanah di Pengadilan Negeri
Ternate sejak tahun 1998 sampai dengan bulan Januari 2010 menangani
perkara perdata tanah sebagai berikut: Pada tahun 1998 jumlah perkara
perdata yang masuk 11 kasus tanah; kemudian pada tahun 1999 jumlah
perkara perdata yang masuk 14 kasus tanah; berikutnya tahun 2000 jumlah
perkara perdata yang masuk 8 kasus perkara tanah; Tahun 2001 jumlah
perkara yang masuk 9 kasus tanah; dan pada tahun 2002 jumlah perkara
perdata yang masuk 7 kasus tanah, pada tahun 2003 jumlah perkara perdata
yang masuk 8 kasus tanah, pada tahun 2004 jumlah perkara perdata yang
masuk 2 kasus tanah, pada tahun 2005 jumlah perkara perdata yang masuk 3
kasus tanah, pada tahun 2006 jumlah perkara perdata yang masuk 5 kasus
tanah, pada tahun 2007 jumlah perkara perdata yang masuk 1 kasus tanah
yang sementara diproses di tingkat kasasi. pada tahun 2008 jumlah perkara
perdata yang masuk 10 kasus tanah, dan sementara diproses ditingkat
Banding/kasasi berjumlah 4 perkara. Sedangkan pada tahun 2009-2010
jumlah perkara perdata yang masuk 10 kasus tanah, dan sementara diproses
ditingkat Banding/kasasi berjumlah 1 perkara. Sejumlah sumber perkara
tersebut diatas lebih didominasi oleh persoalan warisan keluarga serta
sertifikat ganda yang menempatkan BPN sebagai tergugat.
6.5. Ikhtisar
Hak penguasaan atau pemilikan atas tanah bagi petani merupakan
insentif bagi masyarakat adat yang diberikan pihak kesultanan Ternate yang
didasarkan pada pertimbangan latar belakang budaya, sejarah, maupun bukti
nyata kinerja yang telah ditunjukkan oleh masyarakat petani setempat
terhadap otoritas tradisional selama ini.
123
Namun demikian, dalam sebarang pola hak penguasaan atau
pemilikan, sumber daya alam termasuk tanah pada kenyataannya juga selalu
melekat hak-hak publik yang tidak dapat ditransfer kepada kelompok
masyarakat tertentu, misalnya tanah untuk pembangunan bandara, sekolah,
RSU, dll. Karena itu, tidak ada satu pihak pun (termasuk negara, swasta, dan
masyarakat adat) yang berhak menampik atau meniadakan hak-hak publik
tersebut. Sehingga perlu dikaji strategi penyelesian konflik secara dini untuk
tidak terulang terjadi dimasa-masa akan datang.
Secara strategis, penyelesaian konflik harus mengacu kepada usaha
untuk memajukan, dan bukan untuk memenangkan satu pihak dan
mengalahkan pihak lain. Dalam konflik pembangunan bandara di Ternate,
dijumpai metode penyelesaian yang mengandung bias kepentingan. Dalam
konteks ini pula maka semestinya, penyelesaian konflik patut menghindarkan
diri dari berbagai bias kepentingan sebagaimana yang terjadi selama ini,
sehingga resolusi merupakan keputusan yang demokratik, adil dan setara. Hal
ini akan terwujud bila dibukanya ruang dialog bagi kedua belah pihak untuk
mencari jalan keluar dari persoalan yang terjadi karena hingga saat ini, proses
penyelesaiannyapun belum terwujud dan yang terjadi hanyalah “masa jedah”.
Kondisi ini dapat dipastikan bahwa pada suatu ketika konflik ini bisa
saja terjadi dengan eskalasi yang lebih tinggi. Konflik yang dimaksud adalah
mengenai tujuan dan / atau ideologis, yaitu terkait dengan tuntutan
masyarakat adat untuk mendapat pengakuan dan perlindungan atas hak-hak
ulayat termasuk juga hak pemilikan dan penguasaan atas tanah adat yang
selama ini dipertahankan. Konflik ideologis seperti ini sulit dicari jalan
keluarnya bahkan tidak akan menemukan resolusinya kecuali oleh
kehancuran ideologi salah satu pihak. Oleh sebab itu, manajemen kolaboratif
merupakan pilihan pola pemgelolaan yang paling dianggap ideal bagi semua
pihak. Dalam manajemen kolaboratif, masyarakat petani bertindak sebagai
pelaku yang mendayagunakan dan sekaligus memelihara sumber daya,
sedangkan pemerintah mestinya memfasilitasinya secara bijaksana.
BAB VII
INVOLUSI GERAKAN AGRARIA
Menurut Geertz konsepsi “Involusi” mengandung arti kiasan sekaligus
perbandingan sebagaimana digambarkan Sayogyo1, involusi terjadi karena adanya
gerak realitas yang mandeg atau macet yang ditunjukkan tidak adanya kemajuan
hakiki. Jika pun ada gerak, misalnya orang berjalan, berlari atau menunjukkan
gerakan lain di dalam lingkungan air, tidak ada gerakan yang menghasilkan
kemajuan. Orang tetap berada di tempat yang sama, misalnya di perairan, berenang
di tempat menjaga diri agar tidak tenggelam tanpa mencapai tujuan lain.
Gerakan-gerakan petani di Ternate sejak zaman pra kemerdekaan, hingga
reformasi saat ini masih terus berada pada kondisi yang involutif. Gerakan-
gerakan petani tersebut terus dilakukan baik ketika menghadapi sistem
kolonilaisme bangsa asing, rezim orde lama, orde baru hingga era reformasi saat
ini yang membuka peluang begitu besar namun hasilnya tetap saja tidak
mengubah nasib petani. Memang disadari bahwa setiap rezim kondisi iklim
politik berbeda antara satu sama lainnya yang dapat meningkatkan atau
menurunkan derajat radikalisme, isu yang diusung, tipe/model gerakan serta
dampak gerakannya. Tetapi perbedaan itu hanyalah sebatas bentuk adaptasi petani
dengan gerakan agrarianya dalam setiap ruang politik dan waktu yang berbeda.
Nasib petani tetap saja menjadi pihak yang dimarginalkan.
7.1 Masa Pra Kemerdekaan
Awal kedatanganya, Portugis dianggap pihak Ternate sebagai sekutu yang
akan membantunya melakukan ekspansi politik ekonomi terhadap daerah
sekitarnya. Pada tahun 1512, Portugis di bawah pimpinan Antonio Abrew dan
Fransisco Serrao, tiba di Banda dan Hitu. Hal ini terdengar oleh Kolano Ternate,
Bayan Sirullah, yang dengan segera mengutus adiknya, Kaicil Darwis, ke Hitu
untuk mengundang orang Portogis ke Ternate. Fransisco Serrao kemudian
1 Clifford Geertz, 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta. BhrataraKrya Aksara., hal. xxiii.
125
menetap di Ternate setelah ia diangkat oleh Kolano Ternate menjadi Kapitan
Jenderal dan penasihat Sultan. 2
Kericuhan mulai terjadi pada waktu Portugis campur tangan urusan
pemerintahan dalam negeri, termasuk dalam hal penataan hubungan produksi,
distribusi atas tanah dan sumber daya agraria lainnya dengan harapan kedudukan
mereka akan lebih teguh dan dapat mendominasi situasi politik-ekonomi terutama
penguasaan atas sumber daya alam di seluruh wilayah kerajaan ini.3
Sultan Khairun (1537-1570), Kolano ke-25 atau Sultan ke-7 Ternate, yang
selama ini sangat toleran dalam beragama dan banyak memberi kemudahan pada
misi Jesuit, dikhianati oleh Portugis, dibunuh secara keji di dalam benteng
Gamlamo. Akibatnya sangat tragis, bukan hanya bagi keberadaan Portugis di
Maluku, tetapi juga pada misi Jesuit. Ketika Sultan Babbullah (1570-1584), anak
Sultan Khairun dilantik menggantikan bapaknya, ia bersumpah menuntut balas
pada Portugis atas kematian bapaknya. Sultan Babullah bertekad akan berjuang
hingga tak seorang Portugis pun ada di Ternate.
Setelah berhasil mengusir orang Portugis pada tanggal 29 Desember 1575,
Sultan Babbulah pindah ke benteng Gam Lamo yang diubahnya menjadi istana
kerajaan. Ia hidup dan memerintah di sana dalam keadaan penuh kecemerlangan.
Dibawah Sultan Babbullah, wilayah Kesultanan Ternate meliputi 92 pulau (belum
lagi terhitung pulau-pulau karang dan pulau lain-lain yang tidak didiami orang)
yang membentang luas, di sebelah utara meliputi pulau Mindanao dan Saranggani;
di sebelah Selatan, sampai dengan pulau Solor; di sebelah Barat meliputi seluruh
pesisir Timur Sulawesi dari bagian Utara hingga Selatan Tenggara; bagian pesisir
Timur berbatasan dengan Irian Barat. Pada waktu itu Sultan Baabullah telah
mempersatukan hampir seluruh Maluku. Kehidupan para petani diwilayah
kekuasaan kesultanan Ternate menjadi lebih baik tanpa ada intervensi dari
Portugis lagi dalam tata kelola sumber daya agraria. Inilah zaman keemasan
Kesultanan Ternate yang dipimpin oleh Sultan Babulah.
2 Willard, Hanna dan Des Alwi. 1996. Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh Gejolak. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, hal. 12
3 Irza Arnyta Djafaar. 2007. Jejak Portugis di Maluku Utara, Ombak, Yogyakarta, hal. 32
126
Berakhirnya kekuasaan politik kolonial Portugis di Ternate, Spanyol
kemudian meneruskan jejak Portugis untuk melakukan penjajahan kepada
masyarakat Ternate hingga pada tahun 1606 Spanyol menyerang Ternate dari
tempat bercokolnya di Tidore yang menyebabkan Sultan Said Barakati ditangkap
dan diasingkan ke Manila. Untuk menghadapi kekuatan Spanyol maka Sultan
Ternate (Sultan Mudaffar I) mengadakan perjanjian dengan Belanda yang tiba
kemudian pada tanggal 26 Juni 1607. Isi perjanjian tersebut adalah4:
1. Belanda berkewajiban membantu Ternate mengusir Spanyol dan diberi
wewenang penuh untuk mengatur perencanaan dan pelaksanaannya.
Semua biaya perang akan ditentukan besarnya oleh Dewan Hindia dan
akan dibebankan kepada Ternate.
2. Garnisum Belanda yang dibentuk akan ditempatkan dalam daerah
kekuasaan Kesultanan dan akan dibiayai oleh Kesultanan.
3. Belanda berjanji akan melindungi kawula Kesultanan Ternate, baik yang
ada di Ternate maupun di daerah seberang laut yang masuk ke dalam
lingkup kerajaan - seperti Buru, Kambelo, Mau, Sangir Talaut, Moro dan
Mindanao – serta mencegah agar rakyat Ternate tidak memberikan
kepatuhannya kepada Spanyol.
4. Kesultanan Ternate tidak akan menjual rempah-rempahnya kepada bangsa
manapun atau kepada siapapun, kecuali kepada Belanda.
5. Tanpa persetujuan kedua belah pihak, tidak boleh diadakan perdamaian
dengan Spanyol, termasuk Kesultanan Tidore.
6. Belanda diizinkan membangun benteng di dekat perkampungan Melayu;
Untuk memperkuat dan memperbesar kekuatan Belanda maka dalam tahun
1609 diadakan lagi suatu perjanjian guna memerkuat dan memperbaharui
perjanjian tahun 16075. Perjanjian lain juga dilakukan pada 1638, dimana untuk
bisa mengetatkan monopolinya VOC bersedia mengakui kedaulatan Ternate atas
semua daerah Islam di Maluku (Seram, Hitu, dan Ulias) serta menggaji raja
Ternate sebesar 4000 real per tahun, dengan imbalan sebuah persetujuan agar
4 Francois Valentijn dalam M. Adnan Amal, 2007. “Menelusuri Kelahiran Kota Ternate”,Laporan Rumusan Hasil Seminar Sejarah Lahirnya Kota Ternate 2003, Tim Perumus, Ternate8-9 Juli 2003, hlm. 65.
5 Ibid, hal. 44
127
”penyelundupan” cengkih dihentikan, semua saudagar dari Jawa dan Makassar
dilarang beroperasi di wilayahnya, dan VOC diberi kekuasaan de facto atas
Maluku Selatan6. Dalam perundingan tanggal 31 Januari 1652 antara Sultan
Mandar Syah beserta pembesar-pembesar kesultanan dengan VOC dan
pejabatnya tentang penebangan dan pemusnahan pohon-pohon cengkih ditolak
oleh beberapa Sangadji di Halmahera Utara yang masih berada dalam lingkup
wilayah adat kesultanan Ternate, sepanjang yang menyangkut daerah mereka.
Alasan penolakannya sederhana; mereka tidak dilibatkan dalam
perundingan yang menghasilkan persetujuan itu. Mereka menuntut agar suatu
perundingan bilateral yang menyangkut dengan mereka kembali dibuka dan
pesertanya cukup antara para Sangadji itu dengan VOC, tanpa perlu melibatkan
Sultan Ternate. Selain itu, Sultan Mandar Syah7 juga membuat pejanjian dengan
VOC pada tanggal 31 Januari 1653 yang isinya adalah8:
1. Kesultanan Ternate tidak boleh mengangkat Salahakan baru untuk
kawasan Hoamoal, dan sejak perjanjian ini ditandatangani, wilayah
tersebut langsung berada di bawah pemerintahan VOC di Ambon.
2. Sultan Ternate memberi izin kepada VOC untuk menebang semua pohon
cengkih yang terdapat dalam Wilayah Kesultanan Ternate, termasuk di
Hoamoal dan pulau-pulau sekitarnya.
3. VOC kan membayar ganti rugi setiap tahun kepada Sultan dan Pejabat-
pejabat Kesultanan Ternate, dengan rincian sebagai berikut: a). Untuk
Sultan: 2.000 ringgit; b). Kaicil Kalamata 500 ringgit; c). Para pembesar
Kesultanan sebesar 1.500 ringgit (dibagi rata diantara mereka); d). Para
Sangadji Makian sebesar 500 ringgit (dibagi rata diantara mereka).
4. Kompeni akan melakukan pelayanan untuk menebang pohon-pohon
cengkih, dan sebagai ganti rugi Kesultanan Ternate akan memperoleh
12.000 ringgit tiap tahun.
5. Pulau Mayau dan Tifure akan dikembalikan kepada Kesultanan Ternate.
6 Djoko Sunaryo et al, “Bulan Sabit di Bawah Rerimbunan Cengih: Islamisasi Ternate atauTernateisasi Islam? dalam Sukardi Syamsudin dan Basir Awal (Editor), Moejarahloku KieRaha Dalam Perspektif Bufaya dan Sejarah Masuknya Islam. HPMT, 2003, hal. 147.
7 Sultan ini pada tahun 1950 dikudeta sehingga melarikan diri ke benteng VOC dan kemudiandiamankan di Batavia, lihat Djoko Sunaryo et al, Ibid, hal. 170.
8 Francois Valentijn dalam M. Adnan Amal, loc. cit....hal. 65.
128
Pada tanggal 12 Oktober 1676, dibawah pemerintahan Sultan Kaicil Sibori
Amsterdam dilakukan perundingan dengan VOC tentang daerah seberang laut
Ternate di kepulauan Ambon dan Maluku Tengah. Isi perjanjian tersebut adalah:
a). Wilayah seberang laut Kesultanan Ternate di Kepulauan Ambon di gabungkan
kedalam Propinsi; b). Akan diangkat penguasa-penguasa khusus di Pulau Buru,
Ambalau, Buano dan Kelang. Pada masa Sultan Kaicil Sibori Amsterdam,
dilakukan pertempuran melawan Belanda namun berhasil dipadamkan oleh
Belanda. Sebagai akibatnya, Sultan terpaksa menandatangani persetujuan dengan
Belanda yang isinya9: a). Hak Gubernur VOC untuk duduk dalam Dewan
Kerajaan Ternate; b). Semua eksekusi hukuman mati harus dengan persetujuan
VOC; c). Setiap pergantian Sultan harus dengan persetujuan VOC. Sejak
berlakunya perjanjian tersebut, Ternate praktis kehilangan kedudukannya.
Kewenangan dasar kerajaan ini dalam pengangkatan Sultan, penarikan dan
penentuan, telah dikuasai oleh Kompeni. Dengan demikian, status de jure
Kesultanan ini tidak lebih dari sebuah kerajaan vazal Pemerintahan VOC10.
Setelah traktat London 1824 dilakukan reorganisasi pemerintahan oleh
Belanda yang didasarkan pada persetujuan antara Sultan Ternate dan Sultan
Tidore dengan Belanda (G.J. van der Capellen) pada tanggal 3 mei 1817 yang
dilangsungkan di benteng Oranje. Dalam persetujuan ini antara lain dinyatakan
bahwa11: a). Kesultanan Ternate dan Tidore mengakui kekuasaan tertinggi dan
kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda yang berlaku atas kedua Kesultanan
Tersebut; b). Kedua Kesultanan itu menyatakan seluruh wilayah Kesultanannya
menjadi wilayah Pemerintah Hindia Belanda, dan berjanji membantu Gubernemen bila
terjadi perang dengan menyediakan sarana dan personil secara bersama; c). Kedua
Kesultanan berjanji tidak akan membuat perjanjian atau perikatan apapun tanpa
izin Gubernemen dan keduanya tidak akan membuat peraturan-peraturan
perdagangan dalam negeri; d). Kedua Kesultanan itu mengakui hak-hak
Gubernemen atas pegawai-pegawai pribumi yang berada dibawah kewenangan
Sultan. Dalam keadaan darurat. Sultan harus membantu Gubernemen dengan
tenaga dan sarana yang diperlukan.
9 Ibid....hal. 85.10 Ibid....hal. 85.11 Ibid....hal. 93.
129
Dengan penandatanganan perjanjian tersebut, Ternate – demikian pula
Tidore – resmi menjadi Kesultanan dalam lingkungan kekuasaan pemerintah
kolonial hindia Belanda, dan kemerdekaan serta kedaulatan keduanyapun
berakhir12. Meskipun demikian, dalam urusan penerapan hukum adat yang terkait
dengan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah masih terus berlangsung
digunakannya instrumen hukum adat setempat. Sebelum tahun 1912 terdapat hak
atas tanah yang disebut dengan eto. Eto berarti bagian. Eto adalah tanah yang
diberikan oleh Sultan kepada Pejabat Kesultanan seperti Sangadji, Kimalaha, dan
Fanyira dalam kedudukan mereka selaku pembantu Sultan. Oleh para pejabat
tersebut tanah itu dibagikan kepada rakyat yang dianggap berjasa. Hak eto ini
tidak berlaku turun-temurun karena sewaktu-waktu dapat dicabut kembali
apabila13: a). Pemegang eto terbukti menanam tanaman umur panjang; b).
Pemegang eto terbukti membuat kesalahan, malas atau berkhianat; c). Eto tersebut
hendak dimanfaatkan/digarap oleh para pejabat pembantu Sultan
Pada tahun 1912 diadakan rapat para Sultan dari keempat Kesultanan yang
ada (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo). Hasil keputusan dari rapat tersebut
adalah bahwa tanah-tanah eto yang masih kosong dan tidak digarap dinyatakan
hapus. Tanah tersebut diserahan kepada pemerintah Desa untuk kepentingan desa,
yaitu dijadikan kebun-kebun desa bersangkutan. Tanah-tanah yang ditanami
dengan umur panjang maka oleh pemerintah diberikan kepada rakyat penggarap
dengan semacam hak pakai14. Selain itu, diwilayah Swapraja terdapat tanah-tanah
bekas hier contract (HC) yaitu tanah yang disewakan kepada orang-orang Cina
dan Arab. Tanah-tanah yang disewakan tersebut berada di wilayah Swapraja
Ternate tetapi oleh yang menguasainya minta didaftarkan kepada pemerintah
Belanda sebagai HC dengan masa sewa selama 10 tahun. Masa sewa HC ini
umumnya berakhir pada tahun 1930 dan 195715.
12 Ibid....hal. 94.13 Masyhud Ashari, 2008. Laporan Hasil Penelitian: Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate di
Provinsi Mluku Utara, “Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional”. DPPM-UII, Yogyakarta,hal. 54-55.
14 Ibid......hal. 55.15 Ibid......hal. 56.
130
7.2. Masa Kemerdekaan
Pada masa awal Orde Lama situasinya telah berubah dari situasi
sebelumnya yang berada di masa penjajahan bangsa asing. Pada masa awal
kemerdekaan secara nasional terjadi proses nasionalisasi perkebunan kolonial.
Tetapi secara substantif terpinggirkannya akses petani miskin di pedesaan dalam
penguasaan sumber-sumber agraria tetap tidak jauh berbeda dengan suasana
dizaman kolonialisme. Persoalan agraria di awal kemerdekaan merupakan periode
transisi dari kolonialisme ke developmentalisme.
Masa transisi ini bersamaan dengan periode revolusi Indonesia dengan
kebijakan agraria yang masih didominasi oleh kepentingan elit politik
(pertarungan partai politik) dan elit ekonomi. Konflik kepentingan antar para elit
menyebabkan munculnya konflik agraria vertikal dan kemudian bergeser menjadi
konflik horizontal antar petani miskin dan tuan tanah. Proses perebutan tanah
pertanian pada masa ini merupakan bentuk dari Vandreform spontan' yang
dilakukan oleh petani yang dahulunya tergusur16.
Kemudian berhasil disahkan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang oleh
banyak pihak berbasis pada semangat land reform yang populis. Tetapi, dalam
praktek masih dianggap gagal karena masih banyak tanah pertanian yang belum
didistribusikan dan masih banyak rakyat petani miskin yang tidak memiliki tanah.
Program land reform nampaknya merupakan bagian dari permainan panggung
sandiwara dari skenario pihak luar yang dimainkan oleh para elit politik yang
berwujud perang tanding saling berebut kekuasaan dengan basis ideologi yang
berbeda secara diametral antara sosialisme dan kapitalisme.
Pada masa Orde Lama, dengan disahkannya UUPA Nomor 5 Tahun 1960
merupakan upaya memodernisir kebijakan agraria nasional dengan tidak
mengabaikan keberadaan kepemilikan tanah ulayat masyarakat adat. Skenario
struktur legitimasi hukum ini lebih dekat dengan sosialisme, dan karena itu
mendapat dukungan dari PKI. Sebaliknya, justru skenario tersebut merupakan
penghalang bagi jalannya kapitalisme.
16 Mansour Fakih. 1995. Tanah, Rakyat dan Demokrasi, Yogyakarta: Forum LSM, hat. 5.
131
Setelah keluarnya UUPA, meskipun dinyatakan bahwa tanah-tanah
Swapraja atau bekas Swapraja dinyatakan sebagai tanah negara, namun dalam
praktek penggunaan tanah oleh pemerintah kota Ternate dilakukan dengan
meminta Izin kepada Sultan. Beberapa contoh dapat dikemukakan seperti
pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA). Selain itu pembangunan beberapa
fasilitas umum seperti Universitas Khairun dan beberapa Mesjid serta Gereja di
Ternate juga dilakukan dengan meminta izin kepada Sultan. Atas pembangunan
tersebut Sultan meminta agar diberikan ganti rugi tanaman kepada masyarakat
yang telah melakukan penggarapan diatas tanah tersebut17.
Selain itu, kewenangan Sultan atas tanah-tanah Swapraja tersebut masih
terlihat dalam hal pemberian tanah kepada pihak tertentu. Contohnya adalah
pemberian tanah oleh Sultan kepada adik kandungnya seluas lebih kurang 11 ha.
Tanah diberikan melalui Cocatu lisan pada tahun 2005 terletak di Salero (Jere
Madehe) Kecamatan Ternate Utara. Penyelesaian tanah-tanah bekas Swapraja
Ternate sebagaimana diatur dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Di dalam PP tersebut diatur bahwa tanah-tanah bekas
Swapraja peruntukannya dibagi 318:
a. Sebagian untuk kepentingan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah;
b. Sebagian untuk penguasa atau ahli waris penguasa dari Swapraja atau
bekas Swapraja tersebut; dan
c. Sebagian diberikan kepada rakyat yang membutuhkan melalui program
redistribusi tanah.
Dalam kenyataannya tanah-tanah bekas Swapraja tersebut tidak ada yang
diberikan kepada ahli waris penguasa dari Swapraja. Sebagian dari tanah tersebut
ada yang diretribusikan kepada masyarakat setempat, yaitu retribusi tahun 1984 di
desa Hate Bicara Halmahera Barat; tahun 1992 di desa Susupu Tacim. Balisoang
Jailolo Halmahera Barat; tahun 1993 di Mandowong di Bacan Halmahera Selatan
dan tahun 1994 di Falabisahaya di Kabupaten Kepualauan Sula.
17 Masyhud Ashari, 2008. Laporan Hasil Penelitian: Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate diProvinsi Mluku Utara, “Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional”. DPPM-UII, Yogyakarta,hal. 58.
18 Ibid....hal. 58-59
132
Setelah berlakunya UUPA maka tanah-tanah yang terdapat Cocatu (surat
pemberian hak oleh Sultan) dikonversi menjadi hak milik. Pelaksanaan konversi
tersebut tidak terdapat di pulau Ternate dan hanya ditemukan di pulau Tidore.
Keterangan lain mengatakan bahwa di Halmahera Barat, pendaftaran hak atas
tanah yang memiliki Cocatu- yang dikeluarkan sebelum tahun 1960 diproses
melalui penegasan hak, sementara itu Cocatu yang dikeluarkan setelah tahun 1960
diproses melalui pemberian hak.
Pemberian hak atas tanah di wilayah Kesultanan Ternate dilakukan dengan
mengkategorikan tanah-tanah Kesultanan Ternate sebagai tanah negara – sebagian
ditempuh melalui Konversi atau kegiatan proyek yaitu PRONA pada tahun 1982
di desa Moya Ternate dan di desa Tafure sebagai tempat dilakukannya penelitian
ini pada tahun 1984. Kedua kegiatan tersebut yaitu Redistribusi dan PRONA
meskipun dilakukan pada tanah-tanah kesultanan Ternate namun tidak meminta
izin kepada Sultan Ternate.
Sultan dalam Sistem hukum tanah Ternate merupakan kepala
pemerintahan yang memiliki kewenangan publik sehingga proses penyelesaian
tanah-tanah yang berada dalam kewenangannya tunduk pada Diktum keempat
UUPA jo PP Nomor 224 tahun 1961. Mengingat ketentuan PP Nomor 224 tahun
1961 yang menegaskan bahwa tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang dengan
ketentuan Diktum IV huruf A UUPA beralih kepada negara diberi peruntukkan
sebagian untuk kepentingan pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung
dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian itu
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan, menururt ketentuan dalam peraturan
ini; maka perlu dilakukan kompensasi dimaksud kepada pihak kedaton Ternate19.
Soa sebagai persekutuan adat memberikan kewenangan publik kepada Soa
untuk melakukan pengaturan penguasaan dan pemanfaatan atas tanah di masing-
masing Soa. Oleh karena itu Aha Soa merupakan tanah ulayat bagi masing-masing
Soa dan pengaturannya tunduk pada hukum tanah adat setempat. Dalam sistem
hukum tanah nasional, Soa dumungkinkan sebagai subjek hak atas tanah,
meskipun untuk itu perlu dilakukan pengaturan tentang keberaan Soa sebagai
subjek hak atas tanah.
19 Ibid....hal. 63-64
133
Tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan memberikan kewenangan
perdata kepada yang menguasainya. Oleh karena itu proses pendaftaran hak-hak
atas tanah tersebut ditempuh melalui konversi hak (penegasan hak) jika memiliki
Cocatu, dan tanah-tanah yang dikuasai tanpa memiliki Cocatu diproses melalui
pengakuan hak, perorangan maupun kelompok yang memungkinkan sebagai
subjek hak atas tanah sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam pengaturan
penguasaan hak atas tanah oleh perorangan. Pada kenyataannya telah banyak
tanah-tanah kesultanan Ternate yang diberikan kepada pemerintah daerah Maluku
Utara dan pemerintah Kota Ternate, oleh karena itu penyelesaian hak atas tanah
tersebut perlu dilakukan sesuai ketentuan hukum tanah nasional yang berlaku.
Demikian pula atas perorangan yang diberikan oleh kedatonTernate.
Praktek kapitalisme yang ditandai dengan developmentalisme di Ternate
lebih terlihat mulai tahun 1970-an yaitu ketika dilaksanakannya pembangunan
lahan bandara Sultan Babullah Ternate yang telah berakibat pada hilangnya hak
atas tanah yang dikuasai dan dikelola masyarakat lokal secara turun temurun
kemudian diambil alih oleh para penguasa negara hingga akhirnya mulai lahirlah
protes dan perlawanan yang berlangsung sejak tahun 1970-an hingga saat ini.
Perlawanan rakyat terjadi secara akumulatif dan menyebar di beberapa wilayah
areal bandara tersebut. Selama masa Orde Baru, perlawanan rakyat petani selalu
menimbulkan ketakutan dan dampak yang sangat merugikan bagi rakyat bahkan
nyawa bisa menjadi taruhan sehingga kondisi rakyat petani benar-benar tertekan.
Sementara itu, upaya untuk menyelesaikan persoalan tanah pertanian yang
memperhatikan kepentingan kehidupan rakyat petani semakin diabaikan dan tidak
diselesaikan secara tuntas. Gerakan rakyat petani pada masa ini hanya sebatas
gelombang-gelombang kecil yang tclah mampu menyentuh pusat kekuasaan
sehingga tidak mampu merubah struktur dominasi negara yang hegemonik
Dampak negatif pelaksanaan pembangunan yang dirasakan pada era reformasi
adalah terjadinya konflik agraria dibeberapa daerah serta menguatnya gejala
konflik baru, baik yang bersifat sosial-horisontal maupun yang bersifat politik-
vertikal, termasuk yang terjadi di Ternate Maluku Utara.
134
Menguatnya gejala konflik ini harus dipandang sebagai salah satu
implikasi negatif dari kebijakan pembangunan dan hubungan pusat-daerah yang
tersentralisasi pada era orde baru, serta melemahnya hubungan sosial masyarakat.
Salah satu konflik agraria yang menguat di Indonesia pada pasca runtuhya
pemerintahan orde baru adalah yang terjadi pada masyarakat tani Tafure.
Akibat dari konflik tersebut adalah masyarakat menjadi kehilangan lahan
dan kehilangan sumber mata pencaharian serta hilangnya hak ulayat masyarakat
adat, maupun trauma psikologis yang diakibatkan. Selain itu juga telah terganggu
sistem pendidikan, mandeknya aktivitas ekonomi masyarakat, rusaknya
hubungan-hubungan sosial, kekerabatan dan kemanusiaan yang selama ini
menjadi referensi bersama dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di Tafure dan
sekitarnya akibat segregasi wilayah pemukiman yang dibatasi oleh talud bandara.
Konflik agraria (tanah) yang terjadi di Maluku Utara secara umum dan
terjadi besar-besaran yang berdampak luas bagi masyarakat Maluku Utara
umumnya dan Kota Ternate di era reformasi adalah konflik perebutan lahan
pertambangan pada tahun 1999 antara Suku Kao dan Malifut (Makian) di daerah
beroperasinya perusahaan pertambangan Nusa Halmahera Mineral (NHM).
Konflik ini awalnya terjadi di teluk Kao, Halmahera Utara pada tahun 1999,
dengan puncaknya ketika pada tanggal 26 Mei tahun 1999 pemerintah pusat
mengeluarkan PP 42 tahun 1999 tentang Pembentukan Kecamatan
Makian/Malifut dimana dalam PP tersebut menggabungkan 16 Desa pendatang
dari suku Makian digabungkan dengan 5 Desa asli suku Kao dan Jailolo.
Permasalahan yang muncul dengan pemberlakukan PP 42, warga Kao
merasa sebagai bentuk pencaplokan wilayah/tanah adat mereka, karena wilayah
Malifut merupakan bagian dari wilayah adat yang dipinjamkan sementara kepada
warga Malifut akibat meletusnya Gunung Kie Besi di Pulau Makian yang
kemudian pada tahun 1975 Pemerintah Tk II Maluku Utara dengan persetujuan
DPRD memindahkan warga Makian Pulau dengan cara bedol pulau ke Daerah
Malifut. Sedangakan warga Malifut menganggap bahwa tanah yang mereka
duduki selama mengungsi merupakan hak miliknya, karena diberikan oleh
pemerintah pada saat ancaman meletus Gunung Berapi Kie Besi yang berada di
pulau Makian tersebut.
135
Respon warga Kao dan Malifut terhadap PP 42 sangat beragam,
masyarakat Kao mendesak pencabutan terhadap PP 42 karena dianggap seabagai
suatu bentuk pencaplokan hak atas tanah adat, sedangkan warga Malifut
memaksakan untuk diberlakukan peraturan tersebut sebagai salah satu bentuk
kepastian hak atas tanah dan sumberdaya alam. Realitas ini menunjukan bahwa
pemerintah dalam menetapkan suatu kebijakan kurang memperhatikan masyarakat
kecil yang hidup disekitar wilayah pembangunan tersebut. Realitas ini sama
halnya dengan yang dialami oleh masyarakat tani Tafure Ternate yang hingga kini
berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Konflik agrarian yang terkait dengan pembangunan bandara di Ternate
sedang berlangsung hingga saat ini dan konflik ini telah menoreh berbagi luka dan
kesedihan. Masyarakat berharap ke depan yang situasi harus lebih lebih baik dan
menjadi kesadaran bersama untuk berdamai serta menghargai nilai-nilai tradisi
lokal termasuk hak ulayat mereka. Namun harapan masyarakat, tidak semudah
membalik telapak tangan, tantangan selalu dihadapi dengan terjadinya perubahan
konstalasi hubungan sosial dan politik didaerah yang pada akhirnya akan selalu
menghantui masyarakat.
Konflik sumberdaya agraria ini akan terus berlangsung seiring dengan
banyaknya kuasa aktivitas pembangunan yang berlangsung di Maluku Utara tidak
terkecuali di daerah penelitian ini sehingga perubahan tersebut telah menghilangkan
hak-hak masyarakat disekitarnya dengan pemberian ganti rugi yang tidak
manusiawi. Penciptaan situasi yang kondusif pasca konflik tidak terlepas dari
bantuan berbagai lembaga nasional mapun internasional di Maluku Utara. UNDP
sebagai salah satu lembaga donor internasional selama ini sangat konsen dan
berperan untuk mengupayakan pemulihan dan pencegahan konflik di Maluku Utara
dengan berbagai program yang dilaksanakan, salah satunya melalui program Peace
Trough Development (perdamaian melalui pembanguan).
Sebagai fasilitator, PTD dilaksanakan dengan tujuan pengembangan
kapasitas pemerintah dan masyarakat madani dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan dan program dibidang pembangunan yang tanggap krisis.
Tindaklanjut dari tujuan tersebut maka PTD berupaya untuk memberikan penguatan
kepada pemerintah dalam perencanaan yang sensitif konflik guna menuju pada tata
136
pemerintahan yang lebih baik. Tentunya apa yang telah dilakukan sangat besar
manfaatnya dan menyentuh langsung akar permasalahan dalam kehidupan
masyarakat, termasuk pada masyarakat petani di Tafure Ternate yang pernah
diberikan pelatihan dan pendampingan hukum terkait dengan konflik bandara yang
hingga kini belum selesai.
Sebagaimana diketahui bahwa persoalan tanah pertanian yang
disengketakan oleh masyarakat Tafure terjadi secara akumulatif, massive dan
menyebar di seluruh wilayah sekitar bandara tersebut. Bahkan terjadi gerakan
sosio-politik petani yang dilakukan secara terorganisir dengan baik yang berbeda
dengan gerakan petani sebelumnya dan terjadi peningkatan kualitatif gerakan. Ini
berarti bahwa pintu jalan masuk landreform atas inisiatif rakyat sudah mulai
terbuka.
Akan tetapi sangat disayangkan bahwa kekuatan kapasitas gerakan
tersebut tidak berlangsung lama. Pasca upaya ganti rugi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah, kapasitas gerakan dan organisasi gerakan petani menjadi
melemah dan para pelaku strategis gerakan mulai menurun derajat
radikalismenya. Tujuan ideologis gerakan yang sangat berpihak pada perbaikan
nasib petani semakin dibuat berjarak dengan tujuan politik dan ekonomi yang
menjadi kepentingan sesaat para pelaku strategis gerakan. Tujuan pragmatis
sebagian petani dalam memperoleh biaya ganti rugi menimbulkan perpecahan
dikalangan anggota gerakan. Akibatnya, dimana-mana terjadi pembagian ganti
rugi lahan yang kacau, muncul para “raja” kecil, dll. Semua itu membawa suatu
kondisi bahwa konflik agraria masih rentan terjadi.
Suatu fenomena yang masih kuat muncul di permukaan adalah selain
belum nampak adanya tanda-tanda upaya penyatuan persepsi antar pelaku
strategis petani dan pemerintah daerah, juga belum nampak adanya upaya
menyatukan gerak langkah antar pelaku strategis organisasi gerakan petani itu
sendiri. Semakin menurunnya kapasitas organisasi gerakan petani bukan hanya
berdampak pada kacaunya pembagian ganti rugi lahan, tetapi juga berdampak
pada semakin menurunnya ikatan solidaritas, komitmen moral dan jaringan
(networks) gerakan antara para pelaku strategis petani dan non petani.
137
7.3. Involusi Gerakan Agraria
Secara lebih jelas kapasitas gerakan agraria di Ternate dari setiap episode
kekuasaan rezim yang satu ke episode kekuasaan rezim berikutnya sebagaimana
tampak pada Tabel 7.1. Fenomena yang terjadi di Ternate tidak meskipun
memiliki karakteristik khusus tetap tidak terlepas dari fenomena sirkuit kekuasaan
agraria secara nasional, karena terdapat keterkaitan antara fenomena makro
nasional dan mikro daerah. Fenomena feodalisme masa kejayaan kesultanan
Ternate tempo dulu kondisinya justru lebih baik dengan otoritas tradisionalnya
dan hasil pertanian ekspor (cengkih dan pala) dibanding yang terjadi di Jawa
dengan sistem pertanian sawah dan hasil pertanian tanaman pangan.
Meskipun di Ternate terjadi dua lapis struktur kekuasaan (kesultanan dan
adat) tetapi daya tekannya secara ekonomi terhadap rakyat tidak sampai
menyentuh pada ranah kebutuhan ontologis petani. Perlawanan petani Ternate
pada masa kekuasaan kesultanan Ternate tempo dulu nyaris tidak terjadi sama
sekali hingga masa kolonialisme Portugis, Belanda dan Jepang justeru yang
terjadi adalah lebih tampak pada perlawanan untuk mengembalikan posisi otoritas
tradisional (adat) Kesultanan yang diintervensi oleh pihak kolonial itu sendiri.
Perlawanan Sultan Babullah adalah jawaban atas hal ini sebagaimana dijelaskan
pada bagian sebelumnya.
Fenomena gerakan rakyat menjalang berakhirnya kekuasaan kolonial
Belanda sudah mengarah pada fenomena yang lebih umum dialami oleh
masyarakat tingkat nasional, seperti menentang kolonialisme, feodalisme (sistem
marga stelsel) dan kapitalisme (perusahaan perkebunan modal asing).
Menyimak fenomena gerakan rakyat petani dalam memperoleh kesetaraan
dan keadilan agraria yang terjadi dalam Setiap episode kekuasaan rezim
sebagaimana tampak pada Tebel 7.1 di bawah ini seolah menunjukkan bahwa
penyelesaian persoalan agraria (tanah) bagi rakyat petani tidak cukup hanya
diatasi dengan gerakan-gerakan rakyat bawah yang berjalin secara sinergis antara
petani dan non petani. Peran lembaga negara dalam hal ini sangat menentukan
karena otoritas dalam struktur dominasi agraria adalah berada padanya.
138
Tabel 3. Matriks Kapasitas Gerakan Agraria Dalam Setiap Episode KekuasaanRezim.
Periode
Waktu
Status Tanah Kebijakan
Agraria
Krisis
AgrariaIsu Utama Gerakan
Petani
NasibRakyatPetani
Feodalisme Tanah dikua- Upeti (pajak Rakyat tidak Eksploitasi Kolektif tradi- Tidak adasai Sultan dan tanah dan memiliki kon- petani dan sional, radikal berubahanotoritas hasil bumf) trol atas tanah; kooptasi dan lokal. yang berartimasyarakat kemiskinan; otoritas terhadapadat konflik
horizontal danvertikal
tradisional kesejahteraan petani
Kolonialism Tanah milik Tanam pak- Rakyat tidak Eksploitasi Kolektif Tidak adanegara danatau dikuasai
sa; pajaktanah Per-
memiliki kon-trol atas tanah;
petani dankooptasi
tradisional,radikal dan
perubahanyang berarti
perusahaan kebunan kemiskinan: otoritas lokal. terhadapswasta konflik
horizontal (adudomba) danvertikal
tradisional Kesejahteraan petani
Orde Tanah dikua- Nasionalisa Rakyat tidak Anti koloni- Organisasi for- Tidak adaLama sai secara si perusa- memiliki alisme; Land mal bentukan perubahan
individual haan asing: kontrol atas reform Partai Politik yang berartiLand reform tanah; kemiskinan; (nasional); terhadap
Konflik horizontal Kolektiftradisional danlokal.
kesejahteraanpetani
Orde Tanah dikua- HPH, Rakyat tidak Kemiskinan Kolektif Tidak adaBaru sai oleh nega-
ra dan atauperusahaan
PMA,FMDN, memiliki struktural;PIR, HTI, dll. kontrol atas tanah; Pengakuan
Kemiskinan; hak atas tanah
tradisional danlokal.
perubahanyang berartiterhadap
swasta Konflik vertikal kesejahteraanpetani
Reformasi/ Tanah dikuasai HPH, Rakyat tidak Kemiskinan Kolektif Tidak adaTransisidemokrasi
oleh negaradan atau
PMA/PMDN,PIR, HTI, dll.
Memiliki kontrol
atas tanah;Struktural;Pengakuan
tradisionaldan lokal;
perubahanyang berarti
perusahaan Kemiskinan hak atas Organisasi terhadapswasta Structural; tanah; Mar- gerakan Kesejahteraan
Konflik vertikal ginalisasi; moderen petaniDiskriminasi (nasional)
Peran lembaga negara dalam posisinya secara politik harus konsisten
dengan terbukanya peluang-peluang politik bagi partisipasi para pelaku strategis
elemen subyek agraria baik dari masyarakat petani maupun dari perusahaan.
Partisipasi politik para pelaku strategis dalam ranah institusi negara harus bisa
berjalan mengarah pada hubungan simbiosis dalam merekonstruksi sifat-sifat
struktur signifikasi, struktur dominasi dan struktur legitimasi. Struktur signifikasi
agraria diwujudkan melalui praktek komunikasi dialogis, struktur dominasi
sumberdaya otoritatif (politik) dan alokatif (ekonomi) agraria diwujudkan melalui
praktek kekuasaan, dan struktur legitimasi agraria diwujudkan melalui kebijakan
agraria.
139
Semua gerakan agraria yang terjadi di Ternate dalam setiap episode
kekuasaan rezim dengan jelas tidak menunjukkan kapasitasnya dalam merubah
sifat-sifat struktural SSA sesuai persyaratan di atas. Persoalan pertanahan dan
gerakan-gerakan agraria nampaknya bukan hanya menyangkut persoalan lokal
melainkan merupakan persoalan nasional bahkan global. Oleh karena itu,
persoalan petani dan gerakan agraria di Ternate paling tidak secara historis dalam
bebeberapa hal dapat ditarik dalam skala persoalan dan dalam ruang yang lebih
luas, yakni pada gerakan agraria tingkat nasional.
SSA pada masa feodalisme dalam potret historis di Ternate tidak
mencengkeram kehidupan petani sebagaimana daerah kesultanan lainnya di
Indonesia dimana tanah pertanian dIkuasai oleh Sultan, para bangsawan dan para
pemuka adat. Bahkan rakyat sewaktu-waktu dapat dimobilisir harta kekayaan dan
tenaganya untuk kepentingan para penguasa. Semakin banyak lapisan kekuasaan
supra lokal maka semakin besar (berlipat) pula beban rakyat yang harus
ditanggung untuk memenuhi kepentingan penguasa. Semakin kuatnya hubungan
antara otoritas tradisional lokal dengan otoritas supra lokal, maka semakin lebar
pula ruang pemisah SSA dan gerakan petani semakin sulit untuk merubahnya.
Kondisi di Ternate menunjukkan sebaliknya, Sultan, para bangsawan dan
para pemuka adat mengatur dan mendistribusikan hak penguasaan dan pemilikan
atas tanah berdasarkan hokum adat setempat kepada seluruh masyarakat petani di
setiap kampong (Soa) sehingga pemanfaatan atas sumber-sumber agrarian (tanah)
menjadi terbagi habis secara merata pada seluruh lapisan masyarakat petani dalam
masing-masing wilayah adatnya (Soa).
Meskipun demikian, menghadapi politik dan hukum agraria yang begitu
hebat pada masa kolonial, masyarakat tidak selalu bersikap adaptif terhadap
keberlakuan SSA dominan dan bahkan bersikap reaktif melawan. Mereka secara
terns menerus melakukan perlawanan melalui ideologi tandingan melawan
dominasi kolonialisme dan kapitalisme di pedesaan. Menurut Sartono (1984)
terdapat empat unsur ideologis dalam setiap pemberontakan kaum petani, yaitu
millerianisme (ajaran akan datangnya jaman keemasan), mesianisme (kepercayaan
kepada ratu adil), nativisme (gerakan kembali ke abad kuno) dan perang suci
(ajaran untuk berjihad).
140
Pemberontakan petani atas dasar perang suci tidak saja terjadi di Jawa,
terkait dengan jumlah penduduk yang memeluk agama Islam dan banyaknya
penjajah yang beragama lain. Peristiwa perlawanan masyarakat Ternate mengusir
Portugis dan Belanda misalnya merupakan salah satu contoh perlawanan
masyarakat atas dasar ideologi agama yang didengungkan sebagai perang
melawan kaum kafir. Di Ternate nampaknya perlawanan terhadap kolonial lebih
karena dorongan ideologi nativisme, yakni kembalinya tata kehidupan masyarakat
berdasarkan sistem adat yang telah lama dikoyak-koyak oleh spirit dan praktek
kolonialisme dan kapitalisme agraria.
Setelah kemerdekaan, eksistensi petani menjadi sangat penting artinya bagi
keberlangsungan hidup masyarakat karena peranannya sebagai penyokong
ekonomi dan kemandirian bangsa di bidang pangan maupun sebagai lumbung
suara dalam setiap momen pesta demokrasi (pemilu). Meskipun demikian, di era
Orde Lama, para petani masih tetap tidak memiliki akses dan kontrol yang berarti
terhadap penguasaan dan pemilikan atas tanah. Gerakan petani berhasil
dilumpuhkan, karena terjebak pada ideologi kelas yang dikembangkan oleh partai
politik dan petani berhasil menjadi instrumen mobilisasi untuk kepentingan partai.
Kondisi tersebut terus terjadi hingga pada masa Orde Baru kondisi petani
semakin tertekan, sumber daya tanah sebagai tumpuan kehidupan utama
masyarakat petani banyak yang diambilalih/ dibebaskan oleh para penguasa
negara dengan dalih untuk kepentingan "pembangunan" sebagaimana yang
dialami oleh masyarakat Tafure Ternate saat ini. Proses pengambil-alihan tanah
masyarakat (adat) untuk kepentingan usaha perkebunan para pemodal asing sudah
terjadi pada kolonial Portugis, Belanda hingga Jepang. Pemindahan penguasaan
atas tanah menjadi lebih hebat pada era “developmentalisme” dibawah rezim
Orde Baru hingga era reformasi saat ini.
PENUTUP
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Gerakan petani Tafure Ternate yang tergabung dalam AMPKB (Aliansi
Masyarakat Peduli Korban Bandara) lahir pasca runtuhnya Orde Baru. Terbukanya
katup demokrasi dan kebebasan menyuarakan berbagai tuntutan kepentingan
merupakan kondisi yang mendukung bagi bangkitnya masyarakat petani untuk
mengorganisir diri mlakukan gerakan sosial politik. Faktor penyebab munculnya
gerakan sosial masyarakat petani Tafure adalah karena berbagai potensi kerugian
yang dialami masyarakat sehingga melahirkan gerakan sosial yaitu hilangnya
tanah pertanian, hilangnya kapling rumah, hilangnya akses ke tanah hutan,
hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya rumah atau tempat tinggal,
hilangnya sumber mata pencaharian/pendapatan, hilangnya lahan
perkebunan, pemakaman, dampak kebisingan, polusi udara, dll.
Fenomena gerakan petani Tafure Ternate disebabkan oleh: Pertama, kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Kondisi ekonomi yang terbatas disebabkan hilangnya
penghasilan dan mata pencaharian mereka yang mayoritas sebagai petani.
Ketidakmampuan itu menyebabkan masyarakat tidak dapat mengakses pendidikan
yang lebih tinggi, kesehatan, pemukiman yang layak, dan untuk mempunyai alternatif
usaha lain selain bekerja sebagai buruh bangunan, supir angkutan, PKL, dll. Keadaan
ekonomi yang kurang menimbulkan pola sosial di masyarakat khususnya kaum
perempuan menjadi “berhutang”, adanya pola tersebut menunjukkan masyarakat
memang sangat tergantung aktivitas pertanian yang selama ini menyokong kehidupan
mereka, namun kini mereka kehilangan semua itu.
Kedua, ketika krisis melanda Indonesia, kebutuhan petani Tafure akan tanah
pertanian semakin tinggi akibat hilang atau menyempitnya kesempatan-kesempatan
kerja lain di perkotaan. Sebelum krisis, kadang-kadang persoalan kebutuhan akan
tanah ini sedikit teredam, karena kesempatan kerja dan peluang berusaha di kota
sebagai pekerjaan sampingan selain bertani dapat dijadikan pengganti atas kehilangan
atau makin kecilnya kesempatan kerja di desa mereka.
142
Proses terbentuknya gerakan sosial petani di Tafure didasarkan pada persamaan
nasib dan keinginan untuk melakukan perubahan. Dalam ranah ini manajemen
organisasi belum sepenuhnya berjalan dengan baik seperti pengarsipan, keuangan,
dan pembagian tugas. Keberadaan organisasi gerakan ini dari terbentuknya sampai
perkembangan selanjutnya tidak lepas dari keterlibatan kelompok pendamping non
petani, diantaranya dari masyarakat adat Kesultanan Ternate umunya, LKBH UMMU
dan kelompok mahasiswa (SAMURAI dan HMI). Kelebihan kedua kelompok yang
disebutkan terakhir adalah mempunyai jaringan yang kuat sehingga mempermudah
mereka dalam menjalankan gerakan protes (ke pihak-pihak terkait) dan penyelesaian
kasus, selain itu mereka mempunyai militansi perjuangan yang diperlukan.
Model atau tipe gerakan sosial yang dilakukan masyarakat petani Tafure dapat
dikategorikan ke dalam tipe antara neo-klasik menuju gerakan sosial baru.
Selanjutnya dari sisi efektifitas, dalam jangka pendek organisasi gerakan petani
belum mendapat hasil yang maksimal. Tuntutannya atas pengembalian hak tanah adat
menemui kendala yaitu lemahnya posisi petani dalam segi bukti hak kepemilikan
tanah, maupun perpecahan dalam struktur internal gerakan itu sendiri. Meskipun
demikian derajat radikalisme gerakan semakin mengalami peningkatan ketika
persoalan sengketa lahan tersebut digiring ke isyu-isyu tuntutan pengakuan dan
perlindungan hak-hak atas tanah adat sebagai implikasi dari transformasi ideologi
gerakan dari “petani” menjadi “masyarakat adat”.
Dinamika gerakan petani dari setiap masa menunjukkan perjalanan yang
hampir senada. Pada masa Soeharto, pemerintah melakukan tekanan yang sangat kuat
terhadap munculnya gerakan perlawanan petani. Tindakan ini menghambat
perjuangan petani dalam menuntut hak kepemilikan atas tanahnya yang diambil alih
negara sehingga setiap organisasi yang dibentuk di tingkat lokal dianggap sebagai
bentuk perlawanan terhadap negara. Transformasi ideologi dan isyu dari tuntutan
ganti menjadi gerakan kultural (pengakuan hak ulayat) ini ternyata mampuh
mensikapi persoalan struktural yang dialami petani. Meskipun demikian, hingga saat
ini kondisi nasib petani Tafure belum juga berubah. Ini juga merupakan fenomena
umum yang berlaku bagi setiap gerakan perlawanan petani di negeri ini, dimana
masih banyak gerakan petani yang hasilnya masih tetap mengambang.
143
Saran
Gerakan petani merupakan bagian dari gerakan sosial. Seiring waktu tipologi
gerakan petani mengalami perubahan corak perjuangan. Awal mula gerakan
perlawanan bersifat insidental, tidak terorganisir, tidak sistematis, individual, dengan
derajat radikalisme yang tidak menimbulkan akibat-akibat revolusioner. Selanjutnya
gerakan perlawanan mulai menemukan jati dirinya untuk bergerak secara
terorganisir, kolektif dan mempunyai visi dan misi yang mampu membawa perubahan
atas nasib mereka, termasuk perubahan sikap kebijakan pihak yang berkuasa. Dari
aspek ini;
Kepada kelompok gerakan petani penulis mengharapkan militansi yang
dibangun bukan saja terbentuk karena perjuangan pemenuhan tuntutan pada pihak
Pemda atau pengelola bandara tapi lebih dari itu militansi untuk pemberdayaan
anggota gerakan tentang kemandirian organisasi secara bertahap dan menjadikan
wadah gerakan sebagai sarana pendidikan politik unruk mengawal aspirasi mereka,
demokratisasi, pendidikan, dan partisipasi politik untuk mewujudkan civil society di
level desa. Hal pertama, kemandirian ekonomi dapat dilakukan dengan membangun
usaha produktif seperti home industry, usaha simpan pinjam yang bekerjasama
dengan pemerintah maupun LSM. Hal kedua dilakukan dengan upaya melibatkan
partisipasi anggota dalam mekanisme demokratisasi di tingkat desa, dan membuka
diri terhadap peran lembaga tradisional (kesultanan) terutama dalam fungsinya di
level desa (Soa) yang bukan hanya menggiring massa petani yang nota bene
masyarakat adat untuk dimobilisasi secara politis ketika tiba momen Pemilu.
Fungsi dan peran lembaga kesultanan dan pranata lembaga adat lainnya
mestinya: 1) sebagai representasi kelompok kepentingan di masyarakat yang
mengartikulasikan kepentingan masyarakat petani; 2) kelompok mediasi antara
pemerintah dan masyarakat untuk menggolkan tuntutan, mengontrol kinerja
pemerintah, dan mendorong kebijakan agar sampai ke masyarakat petani; 3)
melakukan pengkaderan politik dan rekrutmen untuk membina kader pemimpin yang
berkualitas yang berasal dari kalangan masyarakat petani sehingga mereka memiliki
akses yang lebih terhadap penentuan masa depan nasib mereka.
144
Kepada pemerintah, hal yang perlu dilakukan adalah pembaruan politik hukum
agraria yang tidak mengundang high social cost, di mana konflik-konflik agraria
banyak bermunculan yang dikhawatirkan sebagai bibit persemaian disintegrasi
bangsa. Sudah saatnya pembangunan agraria mempunyai keberpihakan kepada rakyat
kecil, dengan melakukan pemerataan penguasaan, penggunaan, pemanfaatan dan
pemeliharaan tanah dan kekayaan alam untuk pembangunan sosial.
Pemerintah perlu menciptakan dan mendukung program pengembangan
ekonomi untuk masyarakat termarginal yaitu masyarakat adat yang merasa
kehilangan nilai-nilai yang dulu mereka miliki dan nilai-nilai harapan, termasuk
memperhatikan dan memperbaiki kondisi sosial ekonominya. Pemerintah daerah
dalam konteks otonomi daerah seharusnya memberikan kompensasi atas lahan yang
disengketakan berupa pembayaran ganti rugi atas tanah yang wajar serta memberi
insentif permodalan sehingga masyarakat petani dapat hidup mandiri melalui jenis
diversifikasi usaha produktif non pertanian lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Araf, Al & Puryadi Aman. 2002. Perebutan Tanah. Lappera. Yogyakarta.
Afrizal, MA. 2006. Sosiologi Konflik Agraria. Andalas University Press.
Alting, Husen. 2006. Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat AdatAtas Tanah di Maluku Utara. Disertasi Univ. Brawijaya, Malang.
Andi, Rusli Atjo, 1996. Kamus Ternate Indonesia. Ambon.
Ashari, Masyhud. 2008. Laporan Hasil Penelitian: Status Tanah-tanah KesultananTernate di Provinsi Mluku Utara. DPPM-UII, Yogyakarta.
Budiman, A. 1995. Teori-Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia. Jakarta.
Babie, E. 2004. The Practies Of Social Research, Wadsworth, Belmonth
Bakri, Muhammad. 2007. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara. Citra MediaHukum, Jakarta.
Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. New Jersey: Prentice Hall.
Clammer, John. 2003. Neo-Marxisme Antropologi. Sadasiva. Yogyakarta.
Djafaar, Irza Arnyta. 2007. Jejak Portugis di Maluku Utara, Ombak, Yogyakarta.
Fauzi, Noer. (editor). 2005. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga. ResistBook, Yogyakarta.
……….., Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Insist Press,Yogyakarta.
……….., (penyunting). 1997. Tanah dan Pembangunan. Pustaka SinarHarapan, Jakarta.
Fakih, Mansour, 1998. Petani dan Penguasa. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
............... 1995. Tanah, Rakyat dan Demokrasi. Forum LSM. Yogyakarta.
Geerzt, C. 1976. Involusi Pertanian “Perubahan Ekologis Pertanian DiIndonesia. Terdj. IPB, Bogor.
Gunanegara, SH, Dr. 2008. Rakyat & Negara dalam Pengadaan Tanah untukPembangunan. PT. Tatanusa, Jakarta.
Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. New Jersey: Prentice Hall.
Harsoyo, 2010. Involusi Gerakan Agraria dan Nasib Petani. Disertasi IPB,Bogor.
146
Jamal, Erizal. Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan Pada Komunitas Lokalhttp://www.psedeptan.go.id/hasil penelitian struktur dan dinamika.htm
Kartodirdjo, S. 1984. Pemberontakan Petani Banten. Pustaka Jaya, Jakarta.
Kartodirdjo, S dan Suryo J., 1991, Sejarah perkebunan di Indonesia, Adityamedia, Jogjakarta.
Klandermans. Bert. 1989. Social Movements and Resource Mobilization: TheEuropean and the American Approach. In International Journal of MassEmengencies and Disaster Vol.4.
Lauer, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta:Penerbit Rineka Cipta.
Laclau, Ernesto & Mouffe, Chantal, 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis.Resist Book, Yogyakarta.
Lofland, John. 2003. Protes: Terdj. Insist Press, Yogyakarta.
Maleong, Lexi J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung, PenerbitRemaja Rosda Karya.
Maliki, Zainudin. 1999. Penaklukan Negara Atas Rakyat. Gadjah MadaUniversity Press.
Mahardika, Timur. 2000. Gerakan Massa. Lappera, Yogyakarta.
Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial. Resist Book, Yogyakarta.
Nader, L. Dan Todd, H.F, 1978. The Disputing Procces Law in ten Societies.Colombia University Press. New York.
Nirwana, Irwan. 2003. Landreform di Desa. Read Book, Yogyakarta.
Ngadiah, MA. Dr. 2003. Konflik Pembangunaan dan Gerakan Sosial Politikdi Papua. Pustaka Raja, Yogyakarta.
Putra, Fadillah, dkk. (2006), Gerakan Sosial. Averroes Press.
Purwandari, Heru, 2006. Perlawanan Tersamar Organisasi Petani. ThesisIPB, Bogor.
Puryadi, Awan & Al Araf. 2002. Perebutan Tanah. Lappera, Yogyakarta.
Roxborough, 1986, Teori-teori Keterbelakangan, LP3ES, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. 2005. (Makalah). Hukum Adat dalam Negara KesatuanRepublik Indonesia. Lokakarya Nasional Inventarisasi MasyarakatAdat, Kerjasama Mahkamah Konstitusi, Komnas HAM, Depdagri,4-6 Juni 2005, Jakarta.
Ritzer George, 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.Rajawali, Jakarta.
147
Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
.............., 1994. The Sociology of Social Change. Oxford: BlackwellPublishers.
Sihombing. 2005. Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum TanahIndonesia. Toko Gunung Agung. Jakarta.
Sumardjono, Maria S.W. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosialdan Budaya. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Suhendar, Endang, dkk. (penyunting). 2002. Menuju Keadilan Agraria.Yayasan Akatiga Bandung..
Suharko, Ph. D.2006. Gerakan Sosial. Averroes Press, Malang.
Simarmata, Rikardo. 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep PemilikanTanah Oleh Negara. Insist Press, Yogyakarta.
Silaen, Victor. 2006. Gerakan Sosial Baru. Ire Press, Yogyakarta.
Sodiki, Achmad. 1999. Politik Hukum Agraria; Univikasi ataukah PluralismeHukum. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang.
Suhendar, Endang dan Winarni, Bud, Yohana. 1998. Petani dan KonflikAgrari. Yayasan Akatiga, Bandung.
Stake, R., E., 1995, The Art of Case Study Research, Sage Publication
Saifudin, Fedyani, Achmad. 1986. Konflik dan Integrasi. CV. Rajawali,Jakarta.
Soelarto, B. (tanpa tahun). Sekelumit Monografi Daerah Ternate. Penerbit,Departemen Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia.
Stake, R., E. 1995. The Art of Case Study Research, Sage Publication.
Sihombing. Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia. TokoGunung. Jakarta
Sumardjono, S.W. Maria, Dr. 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya. Kompas, Jakarta.
Smelser. Niel. 1962. Theory of Collective Behavior. New York: Free Press,Collier-Macmillan Limited, London.
Triwibowo, Darmawan, (editor). 2006. Gerakan Sosial: Wahana CivilSociety bagi Demokratisasi. LP3ES Jakarta.
Tjondronegoro, S. M. P. dan Wiradi, Gunawan, penyunting. 2008. Dua AbadPenguasaan Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. YOI. Jakarta.
Untoro dan Masruschah. 1995. (editor) Tanah Rakyat dan Demokrasi.Yogyakarta. Forum LSM – LPSM DIY.
148
Wertheim, W.F. 1999, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, StudiPerubahan Sosial. Yogjakarta, Tiara Wacana.
Wiradi, G. 2001. Tonggak-Tonggak perjalanan Kebijakan Agraria diIndonesia. Lappera, Jogjakarta.
Wolf. Eric R. 1966. Petani “Suatu Tinjauan Antropologis” Terdj., YIIS,Jakarta.
Wahyudi, Dr. 2005. Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani. UMMPress, Malang.
............., 2004. Perang Petani. Insist Press, Yogyakarta.
Wahono, Francis et al. 2003. Gelombang Perlawanan Rakyat. Insist Press,Yogyakarta.
Willard, Hanna dan Des Alwi. 1996. Ternate dan Tidore: Masa Lalu PenuhGejolak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Zakaria, R. Yando & Loumela Anu, (editor). 2002. Berebut Tanah. InsistPress, Yogyakarta.
149
Lampiran: 1. Matriks Kebutuhan Data: Konsep, Panduan Wawancara, Metodedan Sumber Data.
No. Kebutuhan Data :Konsep
Rincian Pertanyaan Carapengambilan data
1.
2.
3.
4.
Sejarah GerakanPetani
Tujuan gerakan
Kemandirian gerakan
Konflik & Perpecahandalam gerakan.
- Tahun dan teampat deklarasi.- Aktor Pemrakarsa (petani, non petani).- Sebab-sebab munculnya gerakan.- Sumberdaya, mobilisasi, materi & non
materi.- Faktor pendukung & penghambat
gerakan.- Perkembangan jaringan dengan
organisasi non petani.
- Apa saja tujuan jangka pendek danjangka panjang yang ingin dicapai.
- Bagaimana tujuan itu dirumuskan- Apa alasan yang mendasari perumusan
tujuan.- Apakah pernah terjadi perubahan
rumusan tujuan.- Siapa saja aktor utama yang terlibat
dalam setiap perumusan tujuan.- Apa saja faktor pendukung dan
penghambatnya.- Posisi-posisi sosial apa saja yang akan
dan sudah dicapai.- Sumberdaya ekonomi apa saja yang
akan dan sudah dicapai.
- Siapa saja yang menentukan dalampengambilan keputusan
- Adakah pihak lain yang berperandalam pengambilan keputusan.
- Siapa saja konstituen yang berperandalam gerakan.
- Dari mana saja dana diperoleh untukmenunjang aktivitas gerakan.
- Apakah pernah terjadi konflik dalamgerakan.
- Siapa saja yang terlibat dalam konflik.- Bagaimana konflik tersebut
berlangsung.
- Wawancaramendalampenelusurandokumen sejarahpendirianorganisasi.
- Sumber data:para aktor,pelaku sejarahyang terlibatdalamperkembangangerakan petani,
- Wawancara:mendalampenelusurandokumen sejarahpendirianorganisasi.
- Sumber data:para aktor,pelaku gerakanpetani,
Metode:Wawancara,dokumentasi.Sumber data:- Utama: pengurus
organisasipetani.
- Pendukung:Ornop,organisasipetani,Mahasiswa
Metode:Wawancara,dokumentasi.Sumber data:- Utama: pengurus
organisasipetani.
- Pendukung:Ornop,
150
5. Perubahan IdentitasGerakan
- Faktor apa saja yang menyebabkanterjadinya perubahan identitasgerakan.
- Apakah terjadi perubahan jumlahanggota gerakan.
- Semangat yang diusung.- Ideologi utama.- Aktor-aktor penting.- Respon terhadap pemerintah.- Isu-isu yang didukung.- Arena konflik.- Tipe gerakan.- Derajat radikalisme.- Dampak gerakan.
organisasipetani,Mahasiswa
Metode:Wawancara,dokumentasi.Sumber data:- Utama: pengurus
organisasipetani.
- Pendukung:Ornop,organisasipetani,Mahasiswa
151
Lampiran: 2. Panduan Pertanyaan Wawancara
I. Faktor Penyebab dan Proses Gerakan Sosial Petani1. Apa yang diangap benar itu digunakan untuk menentang realitas. Termasuk
dalam pengertian kepercayaan adalah: ideologi, doktrin, pandangan, harapan,kerangka berpikir, wawasan dan perspektif.- Realitas apa yang mereka tuntut/pertentangkan- Siapa yang dianggap lawan dan siapa yang diteladani- Perubahan sosial secara total atau parsial- Pada tingkat individual atau supra individual (politik, ekonomi & budaya).
2. Bagaimana cara orang-orang yang mempunyai “pandangan” yang sama, yangdiarahkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.- Bagaimana orang-orang diorganisasikan/cara-cara mengorganisasikan.- Bagaimana proses pengambilan keputusan (sentralistik/desentralistik)- Adakah pembagian kerja didalam organisasi gerakan- Kriteria apa yang digunakan untuk menentukan orang-orang yang ditangani- Cara memelihara agar orang-orang tetap melaksanakan tugasnya.- Cara-cara memperoleh dana bagi gerakannya- Organisasi bersifat sementara atau permanen
3 Sebab-sebab atau variabel-variabel apa yang berpengaruh terhadap gerakan sosial.- Bagaimana dan kapan gerakan sosial dimulai/dibentuk- Mengapa gerakan itu muncul. Secara teoritik ada 16 variabel yang
berpengaruh, yaitu :a. Perubahan dan Ketimpangan Sosialb. Kesempatan politikc. Campur tangan negara terhadap kehidupan wargad. Kemakmuran (yang menimbulkan deprivasi ekonomi)e. Konsentrasi geografis dan Identitas kolektiff. Persepsi-persepsi ketidakadilang. Solidaritas antar kelompokh. Krisis kekuasaani. Melemahnya kontrol kelompok yang dominanj. Adanya pemimpink. Jaringan komunikasil. Integrasi jaringan diantara para pembentuk potensialm. Adanya situasi yang memudahkan para pembentuk potensialn. Kemampuan memprsatukan
II. Proses Gerakan Perlawanan Rakyat serta isu-isu yang diusung1. Bagaimana keikutsertaan keanggotaan gerakan dalam arti yang paling lemah,
sampai yang paling kuat.- Mengapa orang ikut dalam gerakan- Sampai seberapa jauh keterlibatannya dalam organisasi- Siapa yang menjadi pendukung gerakan- Bagaimana menyosialisaikan gerakan kepada pengikutnya.
2. Hubungan yang terjalin diantara gerakan-gerakan perlawanan rakyat:- Siapa yang berinisiatif membangun gerakan- Karakteristik kelompok seperti apa yang dapat menjadi anggota gerakan
152
- Bentuk hubungan antara gerakan perlawanan rakyat (kerjasama, anggota)- Keuntungan yang diperoleh diantara organisasi gerakan dari hubungan yang terbina- Pola hubungan yang dikembangkan dan alasan mengapa pola tersebut yang dipilih- Adakah potensi konflik yang kemungkinannya akan muncul dari pola hubungan
antara gerakan3. Sejarah pembentukan afiliasi dan bentuk ”sumbangan” dari setiap organisasi terafiliasi
- Siapa yang berinisiatif- Bagaimana profil dari masing-masing organisasi- “sumbangan” berbentuk materil- “sumbangan” berbentuk non materil
III. Perubahan identitas gerakan bila dikaitkan dengan Solusi PermasalahanPetani
1. Strategi apa yang digunakan untuk melakukan sesuatu dalam rangkamencapai tujuan gerakan.- Usaha-usaha apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan gerakan- Apa tujuan utama dari setiap strategi yang digunakan- Dalam mencapai tujuan itu, lebih menekankan pada perubahan institusi-
institusi sosial ataukah dengan mengubah identitas gerakan.- Strategi yang digunakan bersifat terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.- Menggunakan taktik serangan frontal atau pengkisan- ”Pendirian” mereka dinyatakan secara halus melalui aksi protes atau kekerasan- Mekanisme taktik yang digunakan terhadap kelompok sasaran persuasi,
negosiasi atau paksaan.2. Bagaimana tanggapan atau reaksi kalangan luar terhadap perubahan identitas
gerakan.- Reaksi penguasa (pemerintah)- Reaksi elit lokal (tokoh adat)- Reaksi media- Reaksi sesama antara anggota gerakan (petani dan non petani).
153
Lampiran: 3. Kuesioner Terbuka
Kuesioner No:...................A DATA DIRI Kode1. Nama dan Alamat Organisasi2. Waktu didirikan : Tgl. Bln. Tahun.3. Legal Status formal terdafatar di pemerintah
InformalKeterangan lain:
4. Bentuk organisasi lainnya, sebutkan :1. jaringan2. asosiasi3. federasi
5. Juamlah anggota : OrganisasiDusunDesa
6. Jumlah anggota PeroranganRumah Tangga
7. Bagaimana ciri anggota gerakan (dapat lebih dari satu)Organisasi Pok tani dalam konflikOrganisasi Pok tani kegiata produksi/ekonomiOrganisasi Pok tani perempuanLain-lain
Keterangan : .............B PROSES PEMBENTUKAN8. Mengapa organisasi ini didirikan, apa latar belakangnya9. Apakah ada peran pendamping dalam proses pembentukan
10. Siapa pendamping tersebut11. Kendala yang dihadapi dalam proses pembentukanC TUJUAN ORGANISASI
12. Apa tujuan awal pembentukan orgaanisasi ini13. Apakah ada perubahan tujuan semenjak organisasi ini dibentuk & sebab
perubahan: Tidak ada perubahanAda perubahan
14. Kapan perubahan tersebut terjadi:15. Apa peruabahan tujuan tersebut:16. Mengapa terjadi perubahan tujuan:D KEGIATAN ORGANISASI
17. Apa sajakah kegiatan organisasi saat ini:Teknologi produksi Kesehatan masyarakatPermodalan/simpan-pinjam Pendidikan hukum & politikPemasaran produk Advokasi kepentingan petaniPendidikan & Pelatihan Mempengaruhi kebijakan
Aksi massa untuk hak petaniLain-lain
Keterangan :18. Apakah terjadi perubahan aktivitas gerakan, terangkan19. Mengapa terjadi perubahan kegiatan20. Apakah ada bentuk kegiatan yang memperbesar partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam21. Apakah ada bentuk kegiatan dalam rangka memperkuat hak masyarakat terhadap
tanah dan sumber daya alam
154
E STRATEGI ORGANSISASI &PERUBAHAN IDENTITAS GERAKAN
22. Strategi apa saja yang dikembangkan untuk mencapai tujuan23. Perubahan strategi yang terkait dengan perkembangan gerakan petani24. Kapan terjadi perubahan strategi tersebut25. Mengapa terjadi perubahan strategi tersebutF HUBUNGAN ANTARA ORGANISASI GERAKAN PETANI DENGAN
JARINGAN GERAKAN LAINNYA26. Peran gerakan non petani (lembaga adat)
(Bisa lebih dari satu)Manajemen JejaringDana Legitimasi PolitikTeknologi & Informasi Pendampingan hukumPendidikan hukum Advokasi kepentingan petaniLain-lain Organisator & Koordinator
Keterangan :27. Apa kewajiban organisasi gerakan lainnya bila bergabung dengan organisasi
gerakan petani28. Apakah kelompok tani mempunyai mekanisme formal untuk menyalurkan
aspirasinya29. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan di tingkat organisasi petani dan
hubungannya dengan afiliasi kelompok lain dalam sebuah gerakan bersamaG KERJASAMA & NET-WORKING30. Apakah organisasi gerakan petani mengembangkan jaringan pergerakannya
dengan pihak lain ?Ya Tidak
31. Bagaimana bentuk hubungan dengan pihak-pihak tersebut32. Apa pengaruh jaringan gerakan rakyat lainnya dengan organisasi gerakan petani33. Apa pengaruh jaringan terhadap aktivitas gerakan petaniH DAMPAK GERAKAN34. Apakah ada contoh-contoh nyata dari hasil gerakan ?35. Prmasalahan yang dihadapi di dalam organisasi petani ?36. Permasalahan yang dihadapi dari dalam maupun dari luar ?37. Apa hambatan struktural dan hambatan kultural yang dihadapi ?
155
Lampiran: 4. Panduan Observasi
PANDUAN OBSERVASI
A. Petunjuk : Observasi dilakukan oleh peneliti secara langsung dilokasikajian, selanjutnya peneliti diharuskan melakukan pencatatanhasil observasinya dengan alat pencatatan manual maupun alatbantu yang dapat merekam serta mencatat kejadian yangberkaitan dengan substansi kajian yang dilakukan. Catatansingkat ditulis dalam lembaran yang kosong dibawah kotakaspek-aspek yang diobservasi, untuk dikembangkan kemudianmenjadi laporan.
B. Observasi Partisipasi :Hasil Observasi :Hari / Tanggal :
Aspek-aspek yang diamati:
1. Kondisi Fisik Responden :a. Kondisi rumah / tempat tinggalb. Perlengkapan rumah tangga yang dimilikic. Kondisi kesehatan fisik / jasmanid. Kondisi lingkungan
2. Kondisi Ekonomi Responden :a. Ketersediaan Makananb. Luas kepemilikan lahan pertanianc. Jenis dan jumlah tanamand. Aktivitas kerja sehari-hari / produktivitas kerja
3. Kondisi Sosial Respondena. Hubungan dengan tetanggab. Hubungan dengan sesama anggota keluargac. Hubungan dengan aparat pemerintahan
5. Potensi dan Sumber Daya yang dimiliki
156
Lampiran: 5. Panduan Diskusi Kelompok Terfokus
PANDUAN DISKUSI KELOMPOK TERFOKUS(FOCUS GROUP DISCUSSION)
A. Petunjuk : FGD dilakukan dipimpin oleh peneliti termasuk ketikamengajukan pertanyaan, hasilnya dicatat oleh enumerator.Catatan singkat ditulis dalam ruangan yang kosong dibawahkotak pernyataan kemudian dikembangkan menjadi laporan.
B. Lokasi Wawancara :Hari / Tanggal :Status dan jabatan yang hadir :
Subjek Kajian : ....... orangTokoh masyarakat :Aparat pemerintah :
Petugas Diskusi :
Tugas Nama Instansi Tanda TanganPemimpin DiskusiPencatat Diskusi
Aspek-aspek yang didiskusikan:1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi sikap petani terhadap pembangunan
proyek tersebut ?2. Langkah-langkah apa yang dilakukan petani untuk mencapai tujuan yang
diinginkan sebagai bentuk reaksi terhadap pembangunan proyek tersebut ?3. Kondisi yang dirasakan petani selama pembangunan proyek tersebut
berlangsung ?4. Variabel–variabel apa yang berpengaruh terhadap perubahan identitas
gerakan ?5. Bagaimana mengikutsertakan seluruh massa rakyat petani untuk
mendukung aksi protes tersebut ?6. Bagaimana cara atau metoda sebagai bentuk strategi gerakan yang dipakai
untuk mencapai tujuan yang diinginkan ?7. Bagaimana tanggapan atau reaksi pihak luar terhadap gerakan sosial petani
tersebut ?8. Kendala atau hambatan yang dihadapi petani dalam melakukan
perlawanan terhadap pembangunan proyek tersebut ?