KONSENTRASI HORMON KORTISOL PADA SAPI YANG
DISEMBELIH DENGAN METODE KONVENSIONAL DAN
RESTRAINING BOX MARK IV
FIKRI MUKHLISINA LATIEF
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konsentrasi Hormon
Kortisol pada Sapi yang Disembelih dengan Metode Konvensional dan
Restraining Box Mark IV adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Fikri Mukhlisina Latief
NIM B04100018
ABSTRAK
FIKRI MUKHLISINA LATIEF. Konsentrasi Hormon Kortisol pada Sapi yang
Disembelih dengan Metode Konvensional dan Restraining Box Mark IV.
Dibimbing oleh HADRI LATIF dan CHAERUL BASRI.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsentrasi hormon kortisol
sapi yang disembelih tanpa didahului dengan pemingsanan dengan metode
konvensional dan dengan menggunakan Restraining Box Mark IV. Sampel darah
diambil dari Sapi Brahman cross yang telah dikastrasi (steer) masing-masing 15
ekor (n=30) di beberapa RPH di Jawa Barat dan Banten. Sampel darah dikoleksi
dari arteri carotis communis 1 menit setelah penyembelihan. Kadar hormon
kortisol di dalam serum diukur dengan metode radioimmunoassay (RIA). Rata-
rata kadar hormon kortisol sapi yang disembelih dengan metode konvensional
adalah 44.9 ng/ml dan kadar hormon kortisol sapi yang disembelih dengan
menggunakan Restraining Box Mark IV adalah 24.88 ng/ml. Ada korelasi
signifikan (p<0.05) antara kadar kortisol dengan metode penyembelihan yang
dilakukan. Penggunaan Restraining Box Mark IV dapat mengurangi efek stres
pada sapi. Ditinjau dari aspek kesejahteraan hewan, penyembelihan dengan
menggunakan Restraining Box Mark IV lebih baik daripada metode konvensional.
Kata kunci: kortisol, metode konvensional, radioimmunoassay, Restraining Box
Mark IV
ABSTRACT
FIKRI MUKHLISINA LATIEF. Cortisol Concentrations in Cattle which were
Slaughtered by Conventional and Restraining Box Mark IV Methods. Supervised
by HADRI LATIF and CHAERUL BASRI
The aim of this study was to analyze the cortisol concentrations in cattle
which were slaughtered by conventional and Restraining Box Mark IV methods
without pre-slaughter stunning. Blood samples were taken from Brahman cross
steer 15 each groups (n=30) in several abattoirs in West Java and Banten
provinces. Blood samples were collected from carotis communis artery 1 minute
post-slaughtering. Cortisol concentrations in serum were measured using
radioimmunoassay (RIA). The average of cortisol concentrations in cattle which
were slaughtered by conventional method is 44.85 ng/ml and cattle which were
slaughtered using Restraining Box Mark IV is 24.88 ng/ml. There was significant
correlation (p<0.05) between cortisol concentrations and slaughtering methods.
Restraining Box Mark IV appeared to reduce stress in cattle. Slaughtering by
using Restraining Box Mark IV was better than conventional method from animal
welfare viewpoint.
Keyword: conventional method, cortisol, radioimmunoassay, Restraining Box
Mark IV
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
KONSENTRASI HORMON KORTISOL PADA SAPI YANG
DISEMBELIH DENGAN METODE KONVENSIONAL DAN
RESTRAINING BOX MARK IV
Oleh
FIKRI MUKHLISINA LATIEF
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan
Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini
berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan Juli 2013 ini ialah kesejahteraan hewan, dengan judul Konsentrasi Hormon
Kortisol pada Sapi yang Disembelih dengan Metode Konvensional dan
Restraining Box Mark IV.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Hadri Latif, M.Si dan
Drh Chaerul Basri, M.Epid selaku pembimbing. Penghargaan juga penulis
sampaikan kepada Ibu Ida dari Laboratorium Terpadu Fisiologi, yang telah
membantu selama pengujian sampel dan pengumpulan data. Ungkapan terima
kasih penulis sampaikan kepada teman-teman satu tim penelitian Drh. Anis Trisna
Fitrianti dan Drh. Karunia Maghfiroh yang merupakan mahasiswa S2 Program
Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) serta Tri Handoko Lasrianto dan
Nadhear Nadadyanha Dannar yang telah memberikan banyak bantuan sehingga
penelitian ini dapat selesai dengan baik. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada keluarga baru di kampus ungu yaitu DPM Agregat, DPM
Avicenna, An Nahl dan Acromion yang telah mewarnai hari-hari perkuliahan
selama 3 tahun. Tak lupa juga ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada
Papa, Mama, serta adikku tersayang Syifa Afiifah, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014
Fikri Mukhlisina Latief
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Potong Hewan (RPH) 3
Metode Penyembelihan Sapi di RPH 4
Restraining Box Mark IV dan Penggunaannya di RPH 5
Kejadian Stress pada Hewan 6
Pengaruh Stress terhadap Hormon Kortisol 7
Deteksi Hormon Menggunakan Radioimmunoassay 9
METODE
Waktu dan Tempat 10
Alat dan Bahan 10
Metode Penelitian 10
Analisis Data 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 16
Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 16
DAFTAR TABEL
1 Konsentrasi kortisol dalam serum darah sapi pada penyembelihan tanpa
pemingsanan 12
DAFTAR GAMBAR
1 Restraining Box Mark IV 5
2 Model konsep stres pada hewan 6 3 Mekanisme pengaruh rasa takut pada peningkatan kadar kortisol di
darah 8 4 Tipikal kurva standar RIA untuk pengujian kortisol 12
5 Distribusi kadar hormon kortisol pada dua kelompok sapi 13
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan penduduk paling banyak keempat di
dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 237 juta jiwa (BPS 2012). Banyaknya
jumlah penduduk Indonesia ini menyebabkan pemerintah harus mengawal
ketahanan dan ketersediaan pangan. Selain itu juga pemerintah harus menjaga
keamanan dan kelayakan pangan yang akan beredar di masyarakat sesuai dengan
standar yang berlaku di masyarakat. Banyak hal telah dilakukan pemerintah dalam
menjaga ketahanan pangan Indonesia, terutama pada ketersediaan pangan sumber
protein hewani yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Salah satunya dengan
pengadaan rumah potong hewan (RPH) di setiap kota dan kabupaten. Hal ini
ditegaskan dalam PP no 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner
dan Kesejahteraan Hewan pasal 8 ayat 1 yang menyebutkan bahwa hewan yang
dagingnya akan diedarkan harus disembelih di RPH.
Sesuai dengan fungsi pengadaan RPH yang sudah ditetapkan pada
Peraturan Menteri Pertanian No.13/Permentan/OT.140/2010 tentang persyaratan
rumah pemotongan hewan dan unit penanganan daging, pemotongan hewan di
RPH menjamin keamanan dan kelayakan daging yang akan diedarkan. Hal ini
dikarenakan pemotongan hewan dilakukan dengan benar (sesuai dengan
persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah
agama) dan dilakukan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-
mortem inspection) serta pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection)
untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia. Walaupun demikian,
adanya peraturan-peraturan ini tidak dibarengi dengan penyeragaman standarisasi
RPH di setiap daerah. Perbedaan penegakan peraturan pemerintah pada setiap
RPH menyebabkan kondisi RPH di setiap daerah berbeda-beda.
Sebagian besar penyembelihan hewan di Indonesia menggunakan metode
konvensional yaitu penyembelihan di lantai tanpa pemingsanan terlebih dahulu.
Kurangnya fasilitas yang memenuhi standar kesejahteraan hewan di sebagian
besar RPH yang menerapkan metode penyembelihan tersebut dapat membuat sapi
merasa tidak nyaman dan stres. Penyembelihan dengan metode konvensional juga
seringkali didahului oleh penanganan dan pengekangan yang kasar serta
berlebihan dari petugas RPH. Semua perlakuan yang diterima sapi mulai dari
kandang penampungan sampai dengan sebelum disembelih menyebabkan sapi
mengalami stres. Stres pada sapi sebelum penyembelihan dapat meningkatkan
kadar hormon kortisol darah dan dapat menurunkan kualitas daging serta
menurunkan harga jual.
Berbagai inovasi dan teknologi telah diciptakan para ilmuwan untuk
memudahkan manusia dalam bidang penyembelihan hewan agar tetap sesuai
dengan konsep kesejahteraan hewan, sebagaimana dicanangkan pertama kali oleh
Roger Brambell pada tahun 1965 dan saat ini dikenal dengan konsep 5 kebebasan
(five freedom). Para ilmuwan dan pemerhati kesejahteraan hewan telah
menciptakan teknologi yang dapat meminimalisir rasa sakit, cidera dan penyakit
serta rasa takut dan cekaman dalam penyembelihan. Teknologi tersebut
2
diantaranya adalah metode pemingsanan dan restraining box yang menjaga hewan
agar tidak bergerak ketika akan disembelih.
Metode penyembelihan yang banyak digunakan di negara-negara maju
seperti Inggris dan Australia adalah pemingsanan sebelum penyembelihan. Akan
tetapi, metode ini masih banyak diperdebatkan kehalalannya oleh beberapa
kalangan walaupun sudah diperbolehkan oleh MUI (MUI 2006). Selain itu risiko
kematian dan kesalahan stunning sangat tinggi apabila fasilitas pendukung minim
serta petugas tidak kompeten dalam menggunakan alat stunning. Beberapa
pertimbangan ini membuat penggunaan restraining box dapat menjadi alternatif
yang dapat mengurangi pengekangan hewan tetapi hewan tetap sadar sebelum
disembelih.
Perumusan Masalah
Penyembelihan sapi dengan menggunakan metode konvensional sangat
membuat hewan stres karena adanya penanganan dan pengekangan yang
berlebihan serta perlakuan yang kasar. Penggunaan restraining box dapat
mengurangi penanganan dan pengekangan sehingga dapat menurunkan tingkat
stres pada sapi sebelum disembelih. Tingkat stres pada sapi dapat diketahui
dengan mengukur kadar hormon kortisol pada serum darah.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan
membandingkan kadar hormon kortisol sapi yang disembelih dengan
menggunakan metode penyembelihan konvesional dan yang menggunakan
Restraining Box Mark IV.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada pengelola dan
petugas RPH mengenai pengaruh metode penyembelihan terhadap tingkat stres
pada sapi dan manifestasi dari konsep kesejahteraan hewan pada praktek
penyembelihan sapi serta dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan
kebijakan bagi pemerintah.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Potong Hewan
Rumah potong hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain
dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higene tertentu
serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi
konsumsi masyarakat (BSN 1999). Perangkat hukum yang mengatur RPH dan
operasionalisasinya diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian
No.13/Permentan/OT.140/2010 tentang persyaratan rumah pemotongan hewan
dan unit penanganan daging, serta telah ditetapkan pula Standar Nasional
Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang rumah pemotongan hewan yang
pelaksanaannya masih bersifat sukarela bagi pelaku usaha RPH. RPH didirikan
hampir di setiap kota dan kabupaten dalam rangka memenuhi aspek higiene dan
sanitasi sebagaimana telah diatur di PP tahun 1995 tentang Kesejahteraan Hewan
dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fungsi utama dari RPH adalah selain
sebagai tempat pemotongan hewan ternak selain unggas juga sebagai pusat
peredaran daging dan jeroan yang akan dipasarkan. Maka dari itu, RPH yang ada
harus memenuhi standar yang telah ditetapkan, baik dari segi fasilitas maupun
kegiatan di dalamnya.
Ketentuan sanitasi dan higiene diatur dalam SNI 01-6159-1999 tentang
rumah pemotongan hewan, namun sifat penerapannya masih sukarela sehingga
semua RPH tidak dapat dipaksa menerapkannya. Hal ini seharusnya dikoreksi
dengan mewajibkan RPH memenuhi persyaratan minimal dalam program higiene
dan sanitasi. Fasilitas yang baik dan lengkap serta penanganan hewan sebelum
dan sesudah dipotong yang baik sesuai dengan kaidah kesejahteraan hewan
(animal welfare) dapat menjamin daging dan jeroan yang akan diedarkan
memiliki kriteria makanan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).
Daging berkualitas yang dihasilkan dari suatu RPH tidak terlepas dari
penanganan hewan sebelum pemotongan. Hewan yang akan dipotong, baik sapi,
kambing, domba maupun babi harus diperlakukan secara tidak kasar. Penanganan
sapi sebelum penyembelihan meliputi penggiringan baik penggiringan dari
kendaraan pengangkut maupun dari kandang penampungan dan perubuhan sapi.
Penanganan ini sebaiknya sesuai dengan kaidah dan ketentuan kesejahteraan
hewan dan perilaku alamiahnya sehingga tidak membuat sapi stres. Penanganan
dan pengekangan hewan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, apalagi
menyiksa karena hewan yang mengalami stres sebelum pemotongan dan bersikap
sangat aktif melawan akan mempunyai daging yang keras dan gelap (Grandin
2000).
Pelatihan petugas RPH untuk meningkatkan keterampilan dan pemahaman
sangat penting dilakukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hewan di suatu
RPH. Secara umum, untuk mengurangi tingkat stres pada hewan RPH sebaiknya,
memiliki lantai yang kasar pada jalur penggiringan, tidak gaduh, mempunyai
pencahayaan yang cukup, selalu bersih dari darah setelah penyembelihan. Selain
itu pada tempat penampungan hewan sebaiknya tidak mencampur hewan yang
berasal dari peternakan yang berbeda karena dapat menimbulkan perkelahian
antar hewan dan hewan menjadi stres (Grandin 2000).
4
Metode Penyembelihan Sapi di RPH
Penyembelihan atau pemotongan hewan adalah menyembelih hewan pada
bagian leher dengan cara memutus/memotong tiga saluran yaitu saluran
pernafasan, saluran darah, dan saluran makan. Tujuan pemotongan hewan pada
umumnya adalah untuk mempercepat pengeluaran darah secara sempurna
dan/atau untuk memenuhi persyaratan agama tertentu seperti pemotongan halal
pada agama Islam dan pemotongan kosher pada agama Yahudi untuk hewan yang
akan dikonsumsi dagingnya oleh manusia seperti sapi, domba, dan ayam (PP No.
95 Tahun 2012). Metode penyembelihan terbagi menjadi dua jenis yaitu
konvensional (tanpa pemingsanan) dan pemingsanan. Metode konvensional
merupakan metode yang paling banyak digunakan di RPH di Indonesia.
Penyembelihan dengan metode konvensional merupakan penyembelihan
yang dilakukan di lantai tanpa alat pengekang khusus. Metode ini masih banyak
dipertahankan di beberapa kabupaten di Indonesia terutama kabupaten-kabupaten
kecil dan berkembang karena memiliki beberapa kelebihan yaitu praktis, tidak
perlu banyak peralatan dan murah. Akan tetapi, metode ini memiliki banyak
kelemahan yaitu penanganan dan pengekangan yang berlebihan pada hewan serta
perlakuan petugas RPH yang cenderung kasar dan tidak memahami kaidah
kesejahteraan hewan. Kondisi ini juga diperburuk dengan keengganan pemerintah
daerah memperbaiki dan memperhatikan kondisi RPH. Akan tetapi, sejak tahun
2000 kondisi RPH konvensional di beberapa daerah sudah mulai diperbaiki
dengan pengadaan restraining box (Whittington dan Hewitt 2009).
Restraining box ini dikembangkan oleh Meat and Livestock Association
(MLA) dan Livecorp. Restraining box yang banyak digunakan di beberapa RPH
di Indonesia adalah Restrainng Box Mark I, copy box (box yang dikembangkan di
Indonesia dan meniru desain Restraining Box Mark I) dan Restraining Box Mark
IV (Jones 2011). Penilaian yang dilakukan oleh AVCO (2011) menyatakan
penggunaan Restraining Box Mark I tidak sesuai dengan standar internasional
yang ditetapkan oleh OIE (2013) pada Kode OIE—Bab 7.5 mengenai
penyembelihan hewan karena desain yang mempunyai ujung yang tajam serta
lantai yang licin, menimbulkan suara benturan yang keras saat memutar hewan,
pengekangan yang berlebihan, dan sering menimbulkan luka memar dan lecet
pada hewan. Pengamatan yang dilakukan oleh AVCO juga menunjukkan
penggunaan restraining box ini menghasilkan kesejahteraan hewan yang rendah
dan diperburuk oleh kurangnya kompetensi dalam penanganan hewan dan
infrastruktur yang kurang baik dalam prosedur opersional, peralatan, dan pelatihan.
Sedangkan, penggunaan Restraining Box Mark IV dinilai AVCO (2011) sesuai
dengan ketentuan OIE pada Kode OIE—Bab 7.5 mengenai penyembelihan hewan.
Sehingga penggunaan Restraining Box Mark IV merupakan alternatif terbaik
dalam pemilihan restraining box.
Metode penyembelihan dengan pemingsanan dibagi menjadi tiga yaitu
secara mekanis dengan penggunaan captive bolt stun gun; secara elektris dengan
menggunakan aliran listrik yang dialirkan melalui penjepit, penjepitan ini bisa
dilakukan hanya di kepala atau di kepala dan tubuh; dan menggunakan gas CO2
dalam kadar tertentu dan waktu tertentu (EFSA 2006). Metode pemingsanan
utama yang digunakan untuk sapi adalah penetrating captive bolt stunning, non-
5
penentrative stunning dan electrical stunning. Akan tetapi penetrating captive bolt
stunning dan penyetruman hewan pada kepala dan badan tidak sesuai dengan
kaidah halal dalam Islam (Nakyinsige et al. 2013).
Restraining Box Mark IV dan Penggunaannya di RPH
Restraining Box Mark IV adalah kotak untuk membatasi gerak hewan
ternak terutama sapi saat akan disembelih yang dimodifikasi dengan bentuk
miring, dilengkapi dengan kerangka seperti gunting penjepit untuk menahan
hewan sebelum dan pada saat perputaran berlangsung. Ketika kotak sudah
berputar seluruhnya, hewan berada pada kemiringan 90o dari sisi vertikal (Jones
2011). Contoh dari Restraining Box Mark IV dapat dilihat pada Gambar 1.
Restraining Box Mark IV merupakan teknologi restraining box yang
dikembangkan oleh MLA dan Livecorp, Australia pada tahun 2010. Menurut
DAFFAU (2013) restraining box ini pada awalnya dikembangkan untuk
memfasilitasi penyembelihan sapi Australia yang sedikit didomestikasi di
Indonesia. Sebagaimana pre-stunning tidak banyak diadaptasi di Indonesia,
Restraining Box Mark IV menawarkan pengembangan dalam penanganan dan
pengekangan hewan sehingga penyembelihan dapat dilakukan dengan lebih
mudah.
Restraining Box Mark IV dikembangkan untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan sapi yang akan dipotong sesuai dengan konsep kesejahteraan hewan.
Konsep kesejahteraan hewan pertama kali dicanangkan oleh Roger Brambell pada
tahun 1965 dalam laporannya mengenai kesejahteraan hewan ternak yang
dipelihara secara intensif, lalu disempurnakan pada tahun 1970 menjadi suatu
konsep yang saat ini dikenal dengan Five Freedom (Lima Kebebasan) yaitu
freedom from hunger and thirst (kebebasan dari rasa lapar dan haus), freedom
from discomfort (kebebasan dari ketidaknyamanan), freedom from pain, injury, or
disease (kebebasan dari rasa sakit, cidera, dan penyakit), freedom from fear and
Gambar 1 Restraining Box Mark IV. Sumber: http://rph-
karawaci.com/_content/restraining.jpg (2014).
6
Gambar 2 Model konsep stres pada hewan
distress (kebebasan dari rasa takut dan cekaman), freedom to express normal
behavior (kebebasan mengekpresikan perilaku alamiah) (FAWC 2009).
Pengendalian sapi menggunakan restraining box ini setidaknya memberikan sapi
kebebasan dari rasa takut dan sakit serta kebebasan berperilaku secara alamiah.
Kejadian Stres pada Hewan
Stres dalam kehidupan sehari-hari sering didefinisikan sebagai suatu
kondisi fisiologi yang akan terjadi ketika suatu individu berada dalam keadaan
yang sulit dan mengalami banyak tuntutan. Akan tetapi, stres pada hewan
memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Chourousos dan Kino (2005) stres
didefinisikan sebagai keadaan ketika homeostasis tubuh terancam atau terasa
seperti terancam, homeostasis dinormalkan kembali dengan repertoar yang
kompleks dari respon adaptasi perilaku dan psikologis suatu organisme.
Salah satu model yang banyak menjadi acuan mengenai stres dan
bagaimana hal itu mempengaruhi kesejahteraan hewan adalah model yang
disampaikan oleh Moberg (2000 dalam Rushen et al 2008) yang disajikan pada
Gambar 2.
Respon stres pada hewan didapatkan dari beberapa tahapan. Tahap awal
dari proses ini didahului oleh adanya stressor (sumber stres) yang harus dirasakan
dan dievaluasi oleh hewan. Kemudian, perilaku dan respon fisiologis muncul
sebagai reaksi pertahanan yang ditunjukkan pada saat berhubungan dengan
stressor. Ketika kedua hal ini terlalu sering dialami dan diterima oleh otak hewan
maka kondisi prepatologi dapat terjadi dan apabila diteruskan maka akan
mengakibatkan penyakit yang berkepanjangan (kondisi patologi). Terdapat dua
kunci respon fisiologis yang ditimbulkan ketika hewan mendapatkan gangguan
dari lingkungannya yaitu symphathetic-adrenal-medullary (SAM) dan
hyptothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Respon dari SAM dan HPA axis
bersama-sama menghasilkan suatu keadaan yang biasa disebut sebagai stres
respon yang merupakan salah satu dari mekanisme tubuh dalam mengatasi
gangguan lingkungan (Möstl dan Palme 2002).
7
Secara singkat, aktivasi dari SAM axis karena suatu masalah akan terjadi
dalam beberapa detik dan terutama terdiri dari aktivasi sistem saraf otonom dan
menyebabkan terjadinya sekresi katekolamin, adrenalin dan noradrenalin. Respon
fisiologis kedua, yaitu HPA axis meliputi sekresi hormon kortikosteroid yang
pengeluarannya tergantung pada hewan itu sendiri. Fase akut dari respon HPA ini
dapat bertahan beberapa menit sampai beberapa jam setelah hewan mendapatkan
gangguan dari lingkungannya. Aktivasi dari SAM dan HPA axis dapat menjadi
mekanisme efektif untuk membantu hewan dalam beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan karena proses fisiologis seperti penyesuaian dalam laju metabolisme,
fungsi jantung, tekanan darah, sirkulasi perifer, pernafasan, ketajaman penglihatan,
dan ketersediaan energi serta pemakaiannya. Semua hal ini menyebabkan sapi
menghadapi tantangan secara fisik dan emosi (Hemsworth et al. 2011).
Penanganan sapi sebelum penyembelihan meliputi penggiringan baik
penggiringan dari kendaraan pengangkut maupun dari kandang penampungan dan
perubuhan sapi. Penanganan ini sebaiknya sesuai dengan kaidah dan ketentuan
kesejahteraan hewan dan perilaku alamiahnya sehingga tidak membuat sapi stres.
Hewan terutama sapi dapat mengalami stres ketika ia dihadapkan pada sesuatu
yang membuatnya takut atau tidak nyaman seperti transportasi sapi dengan
menggunakan truk, perlakuan yang kasar ketika vaksinasi, mencap, kastrasi,
dehorning, implantasi hormon, adapatasi yang lemah terhadap pakan baru,
keadaan kandang atau lingkungan yang panas, banyak lalat dan debu, banyak
suara berisik, manajemen kandang yang tidak benar, terserang penyakit dan
parasit, serta perlakuan kasar sebelum penyembelihan. Rasa takut pada sapi dapat
terlihat dari defekasi secara involunteer, meningkatnya detak jantung, tekanan
darah serta kadar kortisol dalam plasma meningkat, menolak untuk bergerak,
kepala menunduk dengan dagu yang terlihat memanjang, kepala menggeleng dan
melenguh. Sedangkan ketidaknyamanan pada sapi dapat terlihat ketika ia
mengibaskan ekornya dengan kuat, kepalanya menggeleng-geleng, inkontensia,
lubang hidung melebar, tubuh gemetar secara tidak teratur, mata berkedip-kedip,
kepala ditarik kedalam dan mata menutup (Gregory 1998).
Pengaruh Stres terhadap Hormon Kortisol
Kortisol atau glukokortikoid merupakan hormon steroid yang dihasilkan
oleh kelenjar adrenal bagian korteks pada zona reticularis. Sama seperti hormon
steroid yang lain, kortisol tidak disimpan tetapi disintesis berdasarkan perubahan
akut yang bisa memacu hormon ini disintesis. Sebagian besar hormon kortisol
yang beredar di pembuluh darah diikat oleh cortisol binding globulin (CBG).
Kortisol bebas hanya terjadi ketika memasuki organ target. Sirkulasi hormon
kortisol pada darah diatur oleh corticotropin-releasing hormon (CRH) yang
dilepaskan dengan ritme kira-kira 2-3 kali setiap jam sesuai dengan siklus
sirkadian dan memiliki ritme amplitudo yang lebih besar pada awal pagi (Tsigos
dan Chrousos 2002).
Fungsi utama dari hormon ini adalah meningkatkan asam lemak bebas dan
glukosa pada sirkulasi darah. Kortisol cenderung meningkatkan kadar glukosa
darah dengan cara mendorong terjadinya glukoneogenesis, meningkatkan
pelepasan glukosa hepatik dan menghambat penyerapan glukosa pada otot serta
8
Gambar 3 Mekanisme pengaruh rasa takut pada peningkatan kadar
kortisol di darah
lemak. Hormon kortisol mempunyai peran yang berbeda-beda pada setiap organ.
Peran kortisol pada kulit yaitu menghambat pembelahan keratinosit dan sintesis
kolagen. Kortisol mempunyai efek katabolik sehingga pada otot, kortisol
menyebabkan atrofi karena mengurangi sintesis protein. Lalu pada tulang
menyebabkan perubahan osteoblas menjadi osteoklas yang mengakibatkan
osteoporosis. Peran hormon ini pada sistem syaraf sangat kompleks, disesuaikan
dengan potensi kortisol untuk menyebabkan selang dari gejala emosi, mulai dari
euphoria sampai depresi. Kortisol juga mempunyai efek anti-inflamasi yang
banyak dimanfaatkan untuk pengobatan. Kortisol menyebabkan limfosit-T dan
eosinofil yang bersirkulasi menjadi menurun, akan tetapi neutrofil meningkat.
(Holt dan Hanley 2007).
Tingginya kadar kortisol dalam darah dapat menyebabkan penyerapan
glukosa tidak maksimal, kelemahan otot dan tulang karena glikogen dalam otot
dirombak menjadi glukosa, ketidakseimbangan nitrogen karena perubahan asam
amino menjadi glukosa pada proses glukoneogenesis di hati, dan meningkatkan
9
ekskresi air (Cunningham dan Klein 2007). Kadar kortisol dalam darah akan
meningkat ketika hewan mengalami stres psikologis (Grandin 2000), sehingga
hormon ini dapat menjadi indikator stres yang sering digunakan dalam penilaian
kesejahteraan hewan pada aspek transportasi dan penanganan hewan sebelum
penyembelihan (Shaw dan Tume 1992). Proses dan pengaruh stres pada
peningkatan kadar kortisol diterangkan oleh Gregory (1998) melalui Gambar 3.
Pengukuran dan pembandingan kadar kortisol antar individu hewan harus
memperhatikan beberapa pertimbangan. Hal ini karena kadar kortisol dapat
bervariasi pada beberapa individu hewan. Sapi yang menunjukkan tanda-tanda
perilaku yang aktif biasanya mempunyai kadar kortisol yang lebih tinggi
dibandingkan hewan yang tenang (Grandin 2000). Kadar kortisol pada beberapa
hewan juga dipengaruhi oleh siklus sirkadian. Sekresi dari hormon kortisol dan
pemicunya seperti CRH dan adrenocortcotropic hormon (ACTH) diatur oleh
berbagai input dari sistem saraf pusat menuju pusat jam biologis yang berada di
nukleus suprachiasmic dari hipotalamus. Hewan yang aktif pada siang hari seperti
sapi, babi, domba, dan kuda memiliki kadar kortisol beberapa kali lipat lebih
tinggi pada awal hari dibandingkan pada malam hari. Begitu pula hewan yang
aktif di malam hari mempunyai keadaan sebaliknya (Martin dan Crump 2003).
Deteksi Hormon menggunakan Radioimmunoassay
Radioimmunoassay (RIA) adalah suatu uji immunoassay ‘sejati’ yang
menggunakan isotop radioaktif sebagai label atau tracer seperti iodin-125 (125
I)
yang menghasilkan sinyal kuantitatif untuk uji ini. Metode dari uji ini didasarkan
pada observasi pertama kali yang dilakukan oleh Yalow dan Berson pada tahun
1959 (Ashkar 1983) bahwa ada kompetisi antara antigen yang dilabel radioaktif
dan yang tidak untuk antibodi spesifik (binding protein) yang berhubungan
dengan fungsi kuantitatif. Uji ini memiliki inhibisi kompetitif antara ikatan dari
antigen yang dilabel (Ag*) dan antigen yang tidak dilabel (Ag) dengan antibodi
spesifik (Ab). Semakin tinggi konsentrasi dari antigen yang tidak dilabel (Ag)
maka radioaktifitas dari kompleks ikatan antigen dan antibodi semakin rendah
(Ag*-Ab) dan konsentrasi dari antigen dilabel yang bebas pun semakin tinggi
(Ag*). Kompleks ikatan antigen yang dilabel dipisahkan dari antibodi yang tidak
dilabel, sehingga fraksi dapat dihitung dan juga dapat dibandingkan dengan kurva
standar.
Pengikatan antigen dengan antibodi mengikuti hukum kesetimbangan dan
dapat ditulis secara sederhana seperti berikut :
[Ag] + [Ab] k1
[Ag – Ab]
k2
Sensitivitas dari reaksi tergantung pada energi dari ikatan antara antigen dengan
antibodi atau aviditas (K) sebagaimana digambarkan dalam rumus K = [Ag-Ab] /
[Ag] [Ab].
Antigen yang digunakan untuk pengukuran dan pendeteksian hormon
adalah hormon dalam serum yang akan diuji. Isotop radioaktif yang biasa
digunakan adalah 125
I, 131
I, 3H, dan
14C. Radioisotop
125I lebih banyak digunakan
karena merupakan isotop pilihan dari semua isotop yang bisa digunakan untuk
emiter gamma karena karakteristik fisik yang dimilikinya. Radioisotop 125
I
10
memiliki waktu paruh yang panjang dan memiliki kemampuan untuk dideteksi
dengan sensitivitas yang tinggi dengan gamma counter (Hunter dalam Ashkar
1983). Pengukuran radioaktivitas 125
I juga lebih mudah karena menggunakan
metode solid scintillation counting (SSC) yaitu menghitung endapan sedangkan
radioisotop 3H penghitungannya menggunakan metode liquid scintillation
counting (LSC) (Gosling 1994)
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel di beberapa RPH di
wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Karawang, Kota Depok, Kota
Tangerang dan Kabupaten Bogor dari bulan Juli 2013 sampai bulan Februari 2014.
Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu Fisiologi, Departemen
Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian adalah tabung reaksi dan penutup, rak,
tabung Eppendorf, cool box, spidol, pipet, stopwatch, mikropipet, shaker plate,
alat sentrifuse, dan Automatic Gamma Counter A 6.24 (Vienna, Austria).
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serum darah sapi, kit
radioimmunoassay (RK-240CT, Izotop Budapest), kantung plastik, kertas saring,
label, dan kertas tissue. Kit RIA terdiri dari 1 vial tracer 55 ml/vial berisi <260
kBq 125
I –Cortisol dalam buffer 0.1% NaN3, 6 vial standar 0.5 ml/vial berisi 0.4,
100, 250, 650, 1600 nmol/l kortisol dalam serum dengan 0.1% NaN3, 1 vial
antiserum 55 ml/vial berisi polyclonal anti-Cortisol (kelinci) IgG dalam buffer
0.1% NaN3 , 1 vial serum kontrol berisi serum lyophilised manusia dengan 0.1%
NaN3, dan 2 kotak berisi tabung yang sudah dilapisi (coated tube) 2x50 pcs, 12x75
mm.
Metode Penelitian
Pengambilan dan koleksi sample
Sampel darah diambil dari 30 ekor sapi Brahman Cross yang telah dikastrasi
(steer). Sebanyak 15 sampel masing-masing diambil dari sapi yang disembelih
dengan menggunakan metode konvensional dan dari sapi yang disembelih dengan
menggunakan Restraining Box Mark IV. Darah ditampung dari arteri carotis
communis 1 menit setelah sapi disembelih. Selanjutnya darah dibiarkan pada suhu
ruang selama minimal 1 jam, kemudian darah disimpan dalam refrigerator selama
24 jam sampai serum terpisah. Setelah itu, serum dipindahkan ke tabung
Eppendorf dan disentrifus sebelum diuji dengan kit RIA.
11
Deteksi hormon kortisol dalam serum
Penelitian ini menggunakan RIA untuk mengukur konsentrasi hormon
kortisol dalam serum sapi. Uji ini berdasarkan pada kompetisi antara kortisol yang
tidak dilabel dan kortisol yang dilabel 125
I (tracer) dalam jumlah yang tetap pada
tempat pengikatan antibodi spesifik kortisol yang terbatas. Sebelum sampel diuji,
reagen penguji dibuat terlebih dahulu. Serum kontrol lyophilised ditambah dengan
500 μl akuades lalu dihomogenkan dengan pelan-pelan. Setelah air dan serum
tercampur merata, larutan dikalibrasi pada suhu ruangan minimal 20 menit.
Metode pengujian sampel adalah sebagai berikut:
1. Sampel yang akan diuji dikalibrasi di suhu ruang selama satu jam.
2. Coated tube diberi label standar (S1-S6), kontrol (C), sampel (Sx), tabung
yang belum dilapisi untuk jumlah total (T).
3. Semua reagen dan sampel dihomogenisasi dengan dikocok secara pelan-
pelan untuk menghindari terbentuknya buih.
4. Selanjutnya setiap standar, kontrol, dan sampel dimasukkan sebanyak 10 μl
ke dalam tabung sesuai dengan labelnya.
5. Tracer dimasukkan pada semua tabung masing-masing sebanyak 500 μl.
6. Antiserum dimasukkan pada semua tabung kecuali tabung T sebanyak 500
μl.
7. Semua standar dan sampel dibuat menjadi dua tabung. Rak tabung-tabung
yang akan diuji kemudian difiksasi pada shaker plate. Semua tabung ditutup
dengan menggunakan plastik. Kemudian dihomogenkan.
8. Setelah selesai, tabung-tabung diinkubasi selama 2 jam pada suhu ruang.
9. Supernatan dari setiap tabung diaspirasi atau dituang dengan cara membalik
rak lalu dialasi kertas saring dan didiamkan selama 2 menit. Selanjutnya
setiap endapan pada tabung dihitung dengan gamma counter selama 60
detik.
Analisis Data
Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan
ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Perbandingan konsentrasi hormon
kortisol pada dua kelompok sapi yang diperoleh diuji dengan menggunakan Uji
Mann Whitney dan dianalisis menggunakan software SPSS 21. Uji Mann
Whitney merupakan uji signifikansi hipotesis komparatif variabel numerik yang
tidak menyebar normal pada dua rata-rata sampel yang tidak berpasangan
(Sugiyono 2011). Uji ini digunakan untuk membuktikan apakah penggunaan
Restraining Box Mark IV memberikan perbedaan yang bermakna pada kadar
kortisol sapi yang disembelih.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode RIA merupakan metode gold standard untuk mengukur konsentrasi
kortisol pada serum (Proverbio et al. 2013). Pengukuran kadar kortisol dengan
12
menggunakan metode RIA mengacu pada kurva tipikal standar sehingga B/B0%
yang didapatkan dari sampel disesuaikan dengan kurva tersebut untuk mengetahui
konsentrasi kortisol. Tipikal kurva standar dapat dilihat pada Gambar 4.
Limit deteksi dari RIA adalah 1.05 ng/ml. Pengukuran kadar kortisol dalam
serum darah sangat baik digunakan sebagai metode untuk mengevaluasi tingkat
stres yang dialami hewan secara akut, seperti penanganan dan pengekangan
(Siegel dan Gross 2000). Kadar kortisol akan mencapai puncaknya pada 15-20
menit setelah hewan mengalami stres dan akan kembali pada konsentrasi basal
setelah 1 jam (Lay et al. 1998; Veissier dan Le Neindre 1988).
Pengujian kadar kortisol pada serum darah dapat menunjukkan tingkat stres
pada sapi. Hal ini karena kortisol merupakan hormon indikator stres selain
katekolamin dan β endorfin (Grandin 2000). Pengujian kadar kortisol pada
kelompok sapi yang disembelih dengan menggunakan metode konvensional
memiliki rata-rata kadar kortisol 44.85 ng/ml dan kelompok sapi yang disembelih
dengan menggunakan Restraining Box Mark IV memiliki rata-rata kadar kortiol
24.88 ng/ml. Hasil pengujian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Distribusi kadar hormon kortisol pada dua kelompok sapi dideskripsikan
dengan menggunakan diagram box plot yang menggunakan quartil sebagai
Gambar 4 Tipikal kurva standar RIA untuk pengujian kortisol (1 nmol/l = 0.362
ng/ml)
Tabel 1 Perbandingan konsentrasi kortisol dalam serum darah sapi
Metode n (ekor) Kadar Kortisol (ng/ml)
Rerata maks min ±sd
Konvensional 15 44.85 99.61 11.4 26.59
Mark IV 15 24.88 61.71 6.38 18.76
13
pembagi distribusi frekuensi data menjadi empat sama besar (Harinaldi 2005).
Gambar diagram box plot ditunjukkan pada Gambar 5.
Diagram box plot konsentrasi kortisol pada penyembelihan dengan metode
konvensional menunjukkan kadar kortisol memiliki nilai minimum 11.4 ng/ml,
25% distribusi data kadar kortisol berada di bawah nilai Q1 yaitu 20.7 ng/ml, 50%
distribusi data dibagi oleh nilai median yaitu 45.05 ng/ml, 75% distribusi data
dibatasi oleh nilai Q3 yaitu 56.23 ng/ml dan nilai maksimum 99.61 ng/ml. Melalui
diagram ini diketahui sebagian besar kadar kortisol sapi yang disembelih dengan
metode konvensional memiliki nilai di bawah rata-rata. Kemudian diagram box
plot konsentrasi kortisol pada penyembelihan dengan metode Restraining Box
Mark IV menunjukkan kadar kortisol memiliki nilai minimum 6.4 ng/ml, 25%
distribusi data kadar kortisol berada di bawah nilai Q1 yaitu 8.97 ng/ml, 50%
distribusi data dibagi oleh nilai median yaitu 18.18 ng/ml, 75% distribusi data
dibatasi oleh nilai Q3 yaitu 39.67 ng/ml dan nilai maksimum 61.72 ng/ml.
Berbanding terbalik dengan metode konvensional sebagian besar kadar kortisol
sapi yang disembelih dengan metode restraining box Mark IV memiliki nilai di
atas rata-rata.
Hasil analisis data dengan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa kadar
kortisol pada sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark
IV nyata lebih rendah (p<0.05) daripada sapi yang disembelih dengan metode
konvensional. Hal ini menunjukkan penggunaan Restraining Box Mark IV
signifikan dalam menurunkan kadar hormon kortisol.
Kadar kortisol pada sapi yang disembelih dengan metode konvensional
menunjukkan angka yang tinggi dengan rata-rata 44.85 ng/ml. Kadar ini melebihi
kadar normal plasma kortisol pada sapi yang sehat yaitu 6.74 sampai 56.30
nmol/L atau 2.44 sampai 20.38 ng/ml (Proverbio et al. 2013). Peningkatan ini
Gambar 5 Distribusi kadar hormon kortisol pada dua kelompok sapi
14
terjadi terutama karena stres yang dialami sapi sebelum pemotongan. Sapi yang
disembelih dengan metode konvensional cenderung mendapatkan perlakuan yang
kasar dari petugas RPH sehingga menimbulkan rasa takut pada sapi. Ketakutan ini
merupakan stresor yang dapat membuat sapi merasa stres dan meningkatkan
kadar kortisol dalam plasma darah. Sapi yang disembelih di RPH konvensional
umumnya mendapatkan perlakuan kasar dari petugas yang meliputi penarikan
paksa, pemukulan, hentakan, dan perubuhan sebelum penyembelihan. Penelitian
yang dilakukan Hemsworth et al. (2011) membuktikan peningkatan interaksi
petugas RPH dengan suara seperti berbicara dan berteriak pada sapi serta interaksi
sentuhan seperti tekanan, pemukulan dan penggunaan tongkat sebelum
penyembelihan berasosiasi dengan peningkatan kadar kortisol sapi setelah
penyembelihan.
Perlakuan petugas yang kasar membuat sapi yang sudah gelisah semakin
stres. Penelitian yang dilakukan Lensink et al. (2001) menunjukkan bahwa
kehadiran manusia dapat menjadi penyebab utama hewan stres selama
pemeliharaan dan penyembelihan. Selain perlakuan kasar, kondisi RPH yang tidak
memenuhi standar seperti kandang penampungan yang sempit, pencampuran
dengan sapi dari peternakan lain, kurangnya pencahayaan, lantai yang licin, dan
banyaknya suara juga dapat membuat sapi stres dan meningkatkan kadar kortisol.
Luas ruang minimum yang pada kandang penampungan yang dibutuhkan ketika
menampung sapi kurang dari 24 jam adalah 1.6 m2 untuk sapi yang tidak
bertanduk dan 1.85 m2 untuk sapi yang bertanduk (Grandin 2000). Walaupun
demikian tidak semua RPH yang menggunakan metode konvensional
memperlakukan sapi dengan kasar sebelum penyembelihan, ada juga yang tetap
memperhatikan kaidah kesejahteraan hewan sehingga hewan tidak stres. Hal ini
dapat terlihat pada konsentrasi kortisol minimum sapi yang disembelih dengan
cara konvensional yaitu 11.4 ng/ml.
Kadar kortisol sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining
Box Mark IV memiliki rata-rata kadar kortisol yang cukup rendah bila
dibandingkan dengan metode konvensional. Kadar kortisol rata-rata pada sapi
yang disembelih dengan metode ini adalah 24.88 ng/ml. Meskipun kadar kortisol
sapi yang disembelih menggunakan Restraining Box Mark IV relatif rendah,
namun kadar ini lebih tinggi dari kisaran maksimal kadar normal. Meningkatnya
kadar kortisol ini dapat terjadi karena bisingnya RPH akibat pergerakan
restraining box pada saat memutar hewan 90o
dan proses pemutaran itu sendiri.
Kebisingan dan pemutaran ini adalah salah satu kelemahan dari Restraining Box
Mark IV. Menurut Grandin (2000) suara dengan nada tinggi dari sistem hidrolik
sangat mengganggu sapi. Baik suara mesin maupun suara manusia merupakan
stressor bagi sapi. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Waynert et al.
(1999) membuktikan bahwa sapi lebih terganggu dan kaget oleh suara manusia
daripada suara mesin. Kebisingan ini dapat diatasi dengan penambahan bantalan
karet pada sisi-sisi restraining box, pemutaran musik pada RPH atau
pembangunan dinding yang dapat meredam suara (Grandin 2000).
Proses pemutaran sapi pada restraining box dapat membuat sapi terkejut
dan berpotensi menimbulkan stres. Menurut Grandin (2014) sapi melawan
pembalikan, terutama perputaran 180o. Dunn (1990) juga menyatakan sapi yang
disembelih pada restraining box yang membalikan posisi sapi mempunyai rata-
rata kadar kortisol 93 ng/ml. Walaupun demikian pemotongan sapi dalam posisi
15
90o mempunyai kelebihan dibandingkan posisi berdiri yang dilakukan pada
metode pemotongan kosher yaitu mengurangi aspirasi darah pada saluran
pernafasan dan mempercepat hewan kehilangan kesadaran sehingga mengurangi
penderitaan sapi saat penyembelihan (Gregory et al. 2008; Velarde et al. 2014)
Kadar kortisol pada hewan dengan kondisi normal diatur dan dibatasi oleh
sistem feedback negatif pada hipotalamus. Akan tetapi, ketika hewan mengalami
stres sistem feedback tidak terjadi. Corticotropic releasing factor (CRF) atau
corticotropic relasing hormon (CRH) adalah hormon utama yang mengatur
respon hewan terhadap stres. Semua bentuk stres, baik karena fisik, kimia, suhu,
mikroba dan faktor lainnya menimbulkan efek mendalam yang menstimulasi
hipotalamus mensekresikan CRH. Sekresi CRH yang diinduksi oleh stres dapat
meningkatkan kadar kortisol sampai 20 kali lipat. Hal ini menandakan bahwa
peningkatan CRH dan kortisol dapat mengesampingkan feedback negatif basal
pada hipotalamus dan kelenjar pituitari sepenuhnya serta mengacaukan ritme
diurnal dan nokturnal dalam pengaturan kadar kortisol (Martin dan Crump 2003).
Kadar kortisol yang beragam pada setiap individu sapi, baik pada sapi
yang disembelih dengan metode konvensional maupun dengan menggunakan
Restraining Box Mark IV dapat terjadi karena perbedaan respon dan adaptasi
setiap individu terhadap stressor. Menurut McEwen et al. (1997) kemampuan
hewan untuk menanggapi suatu situasi sebagai situasi yang membuat stres
tergantung pada pengalaman-pengalaman yang dirasakan sebelumnya dan riwayat
perkembangannya terhadap situasi tersebut. Kombinasi dari kedua hal itu
membuat hewan peka atau melindungi hewan dari perubahan tertentu.
Penggunaan Restraining Box Mark IV untuk penyembelihan dapat
mengurangi stres pada hewan dan meningkatkan kesejahteraan hewan. Penelitian
yang dilakukan oleh Wicaksono (2010) menunjukkan penggunaan restraining box
juga meningkatkan kualitas daging. Daging yang dihasilkan dari sapi yang
disembelih menggunakan restraining box memiliki pH yang relatif lebih rendah
daripada sapi yang disembelih dengan metode konvensional walaupun tidak
berbeda nyata. Nilai pH ini akan berkaitan dengan kualitas daging yang lain
seperti daya ikat air dan keempukkan. Daya ikat air daging dari yang disembelih
dengan menggunakan restraining box lebih tinggi melalui pengujian cooking loss
dan drip loss daripada daging yang dihasilkan dari sapi yang disembelih tanpa
restraining box. Cooking loss adalah pengerutan daging saat dimasak akibat
denaturasi protein dan pengeluaran air, adapun drip loss adalah cairan atau
eksudat yang keluar dari daging tanpa aplikasi/penerapan tekanan dari luar
(Lukman et al. 2012). Daging dengan nilai cooking loss yang rendah memiliki
kualitas daging relatif lebih baik karena kehilangan nilai nutrisi yang lebih rendah
pada saat pemasakan, sehingga daging tetap terasa juicy dan segar (Warris 2004).
Daging yang berasal dari sapi yang disembelih dengan menggunakan
restraining box mempunyai tekstur yang lebih empuk. Stres yang dialami sapi
sebelum penyembalihan akan mengakibatkan peningkatan kortisol dan
menyebabkan deplesi glikogen. Deplesi dari glikogen otot menyebabkan pH
daging menjadi tinggi, daging berwarna gelap dan keras (Mounier et al. 2006).
Selain kortisol, hormon indikator stres yang lain seperti katekolamin juga
mempengaruhi keempukkan daging. Soeparno (2011) menyatakan pada ternak
yang mengalami stres sebelum pemotongan, terjadi pembebasan katekolamin
16
dengan cepat dan mengakibatkan deplesi glikogen otot. Daging yang dihasilkan
oleh sapi yang stres ini adalah dark- cutting beef (DCB).
Daging yang dihasilkan dari RPH konvensional seringkali memiliki nilai
sensorik yang kurang baik akibat adanya memar pada bagian tubuh yang terbentur
ketika proses perubuhan sebelum disembelih dan penanganan yang tidak baik
sebelum penyembelihan. Daging yang memar dinilai sebagai daging berkualitas
buruk sehingga mengurangi harga jual karkas (Jarvis et al. 1995).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Konsentrasi kortisol pada sapi yang disembelih dengan metode
konvensional lebih tinggi daripada sapi yang disembelih dengan menggunakan
Restraining Box Mark IV. Tingginya kadar kortisol pada sapi yang disembelih
dengan metode konvensional menggambarkan tingkat stres pada sapi yang
disembelih dengan metode tersebut lebih tinggi daripada sapi yang disembelih
dengan menggunakan Restraining Box Mark IV. Ditinjau dari aspek kesejahteraan
hewan, penyembelihan dengan menggunakan Restraining Box Mark IV lebih baik
daripada metode konvensional.
Saran
Aspek kesejahteraan hewan pada penyembelihan di RPH harus
diperhatikan terutama pada RPH yang masih menggunakan metode konvensional.
Sosialisasi penggunaan Restraining Box Mark IV di RPH konvensional sebaiknya
dilakukan untuk mengurangi tingkat stres pada sapi sebelum penyembelihan.
DAFTAR PUSTAKA
Ashkar FS. 1983. Radiobioassay. Florida (US): CRC Pr.
[AVCO] Australian Chief Veterinary Officer. 2011. An assessment of the
ongoing appropriateness of Mark I and IV restraint boxes. [Internet]. [diunduh
pada 2014 Jul 2]. Tersedia pada http://www.daff.gov.au/_data/
assets/pdf_file/0010/1999099/acvo-assessment-of-restraining-boxes.pdf. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Penduduk Indonesia menurut provinsi 1971,
1980, 1990, 2000, 2010. [Internet]. [diacu 2014 Mei 20]. Tersedia pada
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=12.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1999. SNI 01-6159-1999 Rumah
Pemotongan Hewan. BSN (ID): Jakarta.
Chrousos GP, Kino T. 2005. Interactive functional specificity of the stress and
immune responses: the Ying, the Yang, and the defense against 2 major classes
of bacteria. J Infect Dis. 192 (4):551–555.
17
Cunningham JG, Klein BG. 2007. Textbook of Veterinary Physiology. St. Louis,
Missouri (US): Elsevier Science.
[DAFFAU] Department of Agricultural, Fisheries, and Forestry Australia. 2013.
Review of modified and copy Mark IV type restraint boxes. [Internet]. [diacu
2013 Sept 19]. Tersedia pada http://www.daff.gov.au/_data/ assets/ pdf_file/
0007/2328208/mark-iv-review.pdf.
Dunn CS. 1990. Stress reaction of cattle undergoing ritual slaughter using two
methods of restraining. Vet Rec. 126 (21):522-525.
[EFSA] European Food Safety Authority. 2009. The welfare aspects of the main
systems of stunning and killing applied to commercially farmed deer, goats,
rabbits, ostriches, ducks, geese, and quail. EFSA J. 326:1-18.
[FAWC] Farm Animal Welfare Council. 2009. Farm animal welfare in Great
Britain: past, present and future. [Internet].[diunduh 2014 Agust 24].Tersedia
pada https://www.gov.uk/government/ uploads/ system/ uploads/
attachment_data/file/319292/Farm_Animal_Welfare_in_Great_Britain_-
_Past__Present_and_Future.pdf.
Gosling JP. 1994. Á la carte immunoassay. Biochem Educ. 22 (4):174-191.
Grandin T. 2000. Handling and welfare of livestock in slaughter plants. Di dalam
Grandin T, editor. Livestock Handling and Transport 2nd Edition. New York
(US): CABI Publishing.
Grandin T. 2000. Improving welfare and reducing stress on animals in slaughter
plants. Di dalam Grandin T, editor. Livestock Handling and Transport 4th
Edition: Theories and Applications. Boston (US): CABI Publishing.
Gregory NG. 1998. Animal Welfare and Meat Science. New York (US): CABI
Publishing.
Gregory NG, Grandin T. 2007. Animal Welfare and Meat Production 2nd ed.
Oxfordshire (GB): CABI.
Gregory NG, von Wenzlawowicz M, von Holleben K. 2008. Blood in the
respiratory tract during slaughter with and without stunning in cattle. Meat Sci.
82:13–16.
Harinaldi. 2005. Prinsip-prinsip Statistik untuk Teknik dan Sains. Jakarta (ID):
Erlangga
Hemsworth PH, Rice M, Karlen MG, Calleja L, Barnett JL, Nash J, Coleman GJ.
2011. Human–animal interactions at abattoirs: Relationships between handling
and animal stress in sheep and cattle. Appl Anim Behav Sci. 135:24-33.
Holt, RIG, Hanley NA. 2007. Essential Endocrinology and Diabetes.
Massachusetts (US): Blackwell Publishing.
Jarvis AM, Selkirk L, Cockram MS. 1995. The influence of source, sex class and
pre-slaughter handling on the bruising of cattle at two slaughterhouses. Livest
Prod Sci. 43:215-224.
Jones B. 2011. The slaughter of Australian cattle in Indonesia: an observational
study. [Internet]. [diacu pada 2013 Okt 24]. Tersedia pada www.rspca.org.au.
Lay DC, Friend TH, Randel RD, Bowers CL, Grissom KK, Neuendorff DA,
Jenkins OC. 1998. Effects of restricted nursing on physiological and behavioral
reactions of Brahman calves to subsequent restraining and weaning. Appl Anim
Behav Sci. 56:109-119.
18
Lensink BJ, Fernandez X, Cozzi G, Florand L, Veissier I. 2001. The influence of
farmers’ behavior on calves’ reactions to transport and quality of veal meat. J
Anim Sci. 79:642–652.
Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono
RR. 2012. Penuntun Praktkum Higiene Pangan Asal Hewan. H Pisestiyani,
editor. Bogor (ID): IPB Pr.
Martin PA, Crump MH. 2003. McDonald’s Veterinary Endocrinology and
Reproduction 5th ed. M H Pineda dan MP Dooley, editor. Iowa (US) :
Blackwell Publishing.
McEwen BS, Biron CA, Brunson KW, Bulloch K, Chambers WH, Dhabhar FS,
Goldfarb RH, Kitson RP, Miller AH, Spencer RL, Weiss JM. 1997. The role of
adrenocorticoids as modulators of immune function in health and disease:
neural, endocrine and immune interactions. Brain Res Rev. 23(1-2):79–133.
Möstl E, Palme R. 2002. Hormones as indicators of stress. Domest Anim
Endocrinol. 23 (2002):67–74.
Mounier L, Dubroeucq H, Andanson S, Veissier I. 2006. Variations in meat pH of
beef bulls in relation to conditions of transfer to slaughter and previous history
of the animals. J Anim Sci. 84:1567-1576.
[MUI] Majelis Ulama Indonesia. 2006. Keputusan ijtima’ ulama komisi fatwa se-
Indonesia kedua. [Internet]. [diunduh pada 2014 Jul 1]. Tersedia pada
http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/05/Ijtima-Ulama-Lampiran1.pdf.
Nakyinsige K, Che Man YB, Aghwan ZA, Zulkifli I, Goh YM, Abu Bakar F, Al-
Kahtani HA, Sazili AQ. 2013. Stunning and animal welfare from Islamic and
scientific perspectives. Meat Sci 95:352–361.
[OIE] Office des International Epizooties. 2013. Slaughter Animal. [Internet].
[diunduh 2014 Jul 10]. Tersedia pada http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/
Health_standards/tahc/2010/chapitre_1.7.5.pdf.
Proverbio D, Perego R, Spada E, de Giorgi GB, Belloli A, Pravettoni D. 2013.
Comparison of VIDAS and Radioimmunoassay Methods for Measurement of
Cortisol Concentration in Bovine Serum. Sci World J. 2013:1-5.
Rumah Potong Hewan Karawaci. Restraining box. [Internet]. [diunduh 2014 Sept
2]. Tersedia pada http://rph-karawaci.com/_content/restraining.jpg.
Rushen J, de Passile AM, von Keyserlingk MAG, Weary DM.. 2008. The Walfare
of Cattle. Dordrecht (NL): Springer Publishing.
Shaw FD, Tume RK. 1992. The assesment of pre-slaughter dan slaughter
treatments of livestock by measurement of plasma constituent-a review of
recent work. Meat Sci. 32:311-329.
Siegel PB, Gross WB. 2000. General principles of strss and well-being. Didalam
Grandin T, editor. Livestock Handling and Transport 2nd Edition. New York
(US): CABI Publishing.
Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Yogyakarta (ID): Gajah Mada
Univ Pr.
Sugiyono. 2011. Statistik Nonparametris. Bandung (ID): CV Alfabeta
Tsigos C, Chrousos GP. 2002. Hypothalamic-pituitaryadrenal axis,
neuroendocrine factors and stress. J Psychosom Res. 53( 4):865–871.
Veissier I, Le Neindre P. 1988. Cortisol responses to physical and
pharmacological stimuli in heifers. Reprod Nutr Dev. 28:553–562.
19
Velarde A, Rodriguez P, Dalmau A, Fuentes C, Llonch P, von Holleben KV, Anil
MH, Lambooij JB, Pleiter H, Yesildere T, Cenci-Goga BT. 2014. Religious
slaughter: Evaluation of current practices in selected countries. Meat Sci.
96:278–287.
Warris PD. 2004. Meat Science: An Introductory Text. Cambridge (US): CABI
Publishing.
Waynert DF, Stookey JM, Schwartzkopf-Genswein KS, Watts JM , Waltz CS.
1991. The response of beef cattle to noise during handling. Appl Anim Behav
Sci. 62(1):27-42.
Whittington P dan Hewitt L. 2009. Review of the Mark I, II and III cattle
restraining boxes. [Internet].[diunduh pada 2014 Jul 2]. Tersedia pada:
http://www.livecorp.com.au/sites/default/files/rd_report/project_file/w.liv_.037
1_review_of_the_mark_i_ii_and_iii_cattle_restraining_box.pdf.
Wicaksono A. 2010. Penggunaan restraining box dalam pemotongan sapi di RPH
dan karakteristik fisik daging [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
20
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumedang, 17 Desember 1991. Penulis adalah anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Mahbudin Latief dan Tuti Martini
Hidayat.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Pupuk Kujang Cikampek,
pada tahun 2005, pendidikan menengah pertama di SMPIT Yayasan Perguruan
Islam Darul Hikmah (YAPIDH) Bekasi, Jawa Barat pada tahun 2008 dan
pendidikan menengah atas di MA. Husnul Khotimah Kuningan, Jawa Barat pada
tahun 2010.
Penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanaian Bogor
pada tahun 2010 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum
mata kuliah Pelarajaran Agama Islam (PAI), Pengelolaan Kesehatan Hewan dan
Lingkungan (PKHL), Pengelolaan Kesehatan Ternak Tropis (PKTT), Ektoparasit,
dan Patologi Sistemik II. Penulis juga aktif sebagai staf Departemen
Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa BEM TPB IPB periode 2010-2011,
Bendahara 2 Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FKH periode 2011-2012,
Bendahara umum DPM FKH periode 2012-2013 dan Kadiv. Keputrian Lembaga
Dakwah Fakultas (LDF) An-Nahl periode 2013-2014. Penulis merupakan 10
besar mahasiswa berprestasi Fakultas Kedokteran Hewan IPB 2014 dan menulis
PKM P yang didanai oleh DIKTI pada tahun 2013.