Download - KONSEP MARXISME
KONSEP MARXISME G.V. PLEKHANOV
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik SastraDosen Pengampu: Prof. Setya Yuwana
Oleh:Moh. Luthfi
14.062.101.10.06
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGANPROGRAM PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA2015
Teori Marxisme
Marxisme merupakan paham yang dicetuskan oleh Marx dan temannya Engels. Akan
tetapi, paham ini kemudian ditinjau oleh pemikir yang lain sehingga dari paham itulah timbul
beberapa pendapat mengenai marxisme menurut pemikir yang lain. Sementara itu, untuk
nonmarxisme adalah aliran yang begitu terkenal dengan kritikannya terhadap kapitalisme
Amerika Serikat. Kedua aliran ini juga merupakan pengkritik terhadap sistem kapitalisme.
Setiap aliran pasti memiliki tokoh yang mencetuskan aliran tersebut. Begitu juga
dengan aliran Marxisme. Aliran ini dipelopori oleh seorang tokoh dari Jerman, yaitu Karl
Marx dan Fredich Engels. Keduanya adalah seorang teman yang sama-sama berasal dari
Jerman. Dari tangan dan pemikiran merekalah aliran Marxisme ini ada di dunia. Buku yang
paling terkenal karangan dari keduanya adalah tentang manifesto komunis.
Setelah kedua penemu tersebut, aliran ini juga menimbulkan pendapat dari berbagai
pemikir yang lain sehingga untuk memahami tentang pemikir yang lain, maka perlu dikaji
lebih dalam aliran dari pencetusnya. Dengan demikian, akan mempunyai dasar untuk
memahami pemahaman yang lain. Jadi, pendapat dari aliran ini sebagai media utama untuk
mempelajari pemahaman yang lain.
Hal utama yang perlu diketahui dari Marxisme Karl Marx ini adalah tentang kelas
dalam ekonomi. Menurut Marx, aliran kelas ekonomi terbagi menjadi dua, yaitu kalangan
atas dan kalangan bawah. Kalangan bawah inilah yang menentukan kalangan bawah dalam
hal kultur, kehidupan sosial, intelektual, dan yang lainnya.
Pembedaan kelas ini tidak berlangsung lama. Kedua kalangan tersebut saling
bermusuhan dalam bermasyarakat. Setiap kalangan memiliki nama sendiri. Kalangan atas
sering disebut dengan borjuis, sedangkan kalangan bawah sering disebut dengan kalangan
proletar. Hal itu menimbulkan perubahan pada kalangan atas dan kalangan bawah.
Marx juga menambahkan bahwa hubungan ekonomi seperti itu sangat terkait dengan
karya sastra. Jadi, kedua hal tersebut saling berkaitan. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa
sastra sama dengan gejala-gejala dalam suatu kebudayaan. Keduanya merupakan satu
kesatuan yang harus dikaitkan dalam mempelajarinya.
Tokoh-Tokoh dan Konsep-Konsep Marxisme
Lenin
Penggerak Revolusi Bolsyevic Rusia,Vladimir I. Lenin, dianggap sebagai peletak
dasar kritik sastra marxis. Pandangan khas Lenin tentang itu dideskripsikan sebagai berikut.
(1) Sastra terikat dengan kelas-kelas yang terdapat dalam masyarakat tertentu. (2) Karya
sastra selalu mencerminkan realitas konflik kelas di masyarakat tertentu. (3) Setiap sastrawan
bertugas menjadikan karyanya agar turut menggerakkan perubahan sosial dalam
pembangunan masyarakatnya. (4) Setiap karya sastra harus memenuhi tiga syarat yang
ditetapkan partai, yakni: a) berfungsi sosial, b) mengabdi kepentingan rakyat banyak, dan c)
menjadi bagian dari aktivitas partai komunis. (5) Satu-satunya aliran sastra yang boleh diikuti
pengarang adalah realisme sosialis yang berprinsip: a) karya sastra menyajikan tafsir tentang
hubungan dialektis dalam masyarakat (realisme) dan b) karya sastra mendukung perjuangan
partai komunis untuk membangun masyarakat baru yang lebih adil yang menerapkan ideologi
sosialisme (Luxemburg et al., 1986).
Georg Lukacs
Georg Lukacs memandang estetika sastra dalam butir-butir prinsip sebagai berikut.
(1) Tugas kesenian (termasuk sastra) adalah menampilkan kenyataan sebagai totalitas. (2)
Karya sastra menyajikan yang khas dan yang universal. (3) Karya sastra memiliki kekuatan
membongkar kesadaran palsu dalam pola pikir sehari-hari masyarakat. (4) Seorang sastrawan
mempunyai tanggung jawab dan karenanya harus terlibat dalam masalah yang sedang
dihadapi masyarakatnya; seorang sastrawan, kata Lukacs, hendaknya adalah seorang realis,
dan seorang realis hendaknya seorang sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan harus
tahu dan terlibat dalam masalah sosial masyarakatnya. (5) Dalam setiap karya sastra,
kepedulian sosial menjadi ukuran standar keindahan dan satu-satunya ukuran kebenaran
(Syaifullah, 2001).
Brecht
Pandangan-pandangan khas Bertolt Brecht mengenai sastra dan perjuangan golongan
proletariat buruh dideskripsikan sebagai berikut. (1) Seorang sastrawan harus memihak
kepentingan dan perjuangan kelas buruh; ia tidak boleh bersikap netral. (2) Karya sastra
hendaknya tidak sekadar mencerminkan realitas sosial, tetapi lebih penting dari itu adalah
mengubah kondisi ketidakadilan sosial di masyarakat. (3) Dalam endensinya turut mengubah
masyarakat, karya sastra yang baik harus mempu merangsang daya kritis pembaca, penonton,
untuk aktif berkesadaran dan memikirkan asalah masyarakatnya.
Zima
Zima memandang karya sastra apa pun sebagai berikut. (1) Karya sastra merupakan
reaksi terhadap konteks sosial kemasyarakatan yang sanggup membangkitkan kesadaran
masyarakat akan masalah sosial yang dihadapinya. (2) Reaksi tersebut diwujudkan dalam
bentuk ironi (pertentangan), parodi (sindiran), atau imitasi (peniruan). (3) Dalam
mengekspreikan reaksi tersebut, karya sastra tidak boleh melenceng dari garis partai
(Luxemburg, 1986; Saraswati, 2003).
Plekhanov
Plekhanov mempunyai pandangan khas tentang keterikatan sastra dengan kelas sosial
sebagai berikut. (1) Karya sastra mencerminkan kehidupan kelas sosial masyarakatnya. (2) Di
samping sebagai cermin, karya sastra juga mengandung unsur yang sama sekali non-sosial
dan tidak terikat dengan kelas sosial tertentu. (3) Seni sastra yang besar tidak dapat muncul
dari masyarakat yang dikuasai oleh pandangan borjuistik (Luxemburg et al., 1986).
Menurut Plekhanov (1957:149) masyarakat terbuat bukan untuk seniman, tetapi
seniman terbuat untuk masyarakat. Fungsi seni adalah membantu mengembangkan kesadaran
masyarakat untuk meningkatakan sistem sosial.
Marcuse
Tokoh neo-marxis Herbert Marcus berkeyakinan bahwa pandangan-pandangan
ortodoks marxis tentang keradikalan kelas proletar saat ini kurang sesuai. Maka, menurut
Marcus, dibutuhkan paradigma baru sosiologi marxis, juga dalam bidang kesenian, termasuk
sastra (Marwoto, 2001: 34). Adapun pandangan khasnya mengenai karya sastra dan jalan
pembebasan masyarakat sebagai berikut. (1) Karya seni (sastra) yang dapat diberdayakan
sebagai media pembebasan sebab karya sastra klasik belum terkontaminasi oleh teknologi
modern kapitalisme. (2) Karya seni klasik mempunyai dua karakter, yakni a) kekuatan
afirmatif-konservatif dan b) kekuatan negasi-progresif, yang menyajikan citra kebudayaan
tandingan (counter culture) terhadap realitas dominan sehari-hari. (3) Karya sastra tidak dapat
mengubah dunia, tetapi dapat menjembatani perubahan kesadaran manusia-manusia yang
pada akhirnya sanggup mengubah dunia (Marwoto, 2001).
Benjamin
Kekhasan pandangan Walter Benjamin sebagai pejuang neo-marxis terhadap sastra
dapat dideskripsikan sebagai berikut. (1) Karya seni sastra adalah ruang yang masih tersedia
bagi suatu usaha pembebasan manusia ketika masyarakat dikuasai oleh reifikasi
(pemberhalaan, pembendaan) total masyarakat kapitalistik. (2) Dalam dunia kapitalistik
sastra telah kehilangan aura kultis-ritual karena didesak oleh reproduksi mekanis karya seni,
termasuk sastra, tetapi justru karena itu sastra harus dikeluarkan dari dunia esoterisnya untuk
dibawa ke ruang eksoteris, yakni publik masyarakat, sehingga menjadi lebih demokratis. (3)
Karya sastra dengan bahasa eksoteris dapat menjadi media komunikasi politik di tengah-
tengah masyarakat yang dikuasi oleh modernisme kapitalistik (Hakim, 2001).
Trotsky
Mengenai akar dan fungsi sosial sastra, pandangan Trotsky dideskripsikan sbb. (1)
Setiap karya sastra hendaknya menyuarakan penderitaan dan harapan golongan yang paling
lemah-tertindas. (2) Dalam mengekspresikan penderitaan tersebut, bahasa sastra hendaknya
menggunakan bahasa paling spontan dan langsung. (3) Terstimulasi oleh faktor ekonomi,
kelas proletar harus memiliki ekspresi yang berasal dari cara pandang baru mereka sendiri
dan sastrawan harus membantunya dengan memberi wadah (Trotsky, 2003).
Analisis Teks Lagu Bento Karya Iwan Fals
Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku bos eksekutive
Tokoh papan atas atas s’galanya. Asyik . . .
Syair ini tidak terlalu sulit untuk dipahami, karena hampir semua kata dalam puisi ini
dapat dimaknai secara referensial. Pada pembacaan pertama sudah dapat dikenali bahwa puisi
ini berisi pengakuan “aku lirik,” sebagai seorang yang bernama Bento. Ia tinggal di rumah
real estate. Real estate mengacu pada penamaan perumahan elite dan mewah. Istilah yang
juga mengacu pada kalangan berstatus sosial atas. Pada larik kedua, aku lirik memberi
pengakuan tentang materi yang dimilikinya, mobil yang banyak dan harta berlimpah. Ia juga
mengaku dirinya seorang bos eksekutif. Kata bos secara denotatif dapat dimaknai sebagai
atasan, pemilik modal, atau penguasa. Seorang bos memiliki kekuasaan dan lazimnya
memiliki bawahan-bawahan yang membantu pekerjaan-pekerjaannya. Kata eksekutif
memperkuat wilayah kekuasaan tempat si aku lirik berada, yaitu golongan atas dan berkelas.
Tokoh papan atas atas s’galanya, dapat dipahami sebagai penguat makna sebelumnya, bahwa
ia seorang tokoh dari kalangan atas, bahkan paling atas, paling berkuasa, dan paling
berpengaruh.
Kekuasaan aku lirik pun seolah-olah tidak terbatas karena berada di tempat yang
paling tinggi kelasnya. Kata asyik di akhir bait menyiratkan makna sesuatu yang
menyenangkan, memberikan kegembiraan dan kenyamanan. Aku lirik menikmati
keberadaanya dalam lingkungan tersebut.
Wajahku ganteng banyak simpanan
Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal jagal apa saja
Yang penting aku menang aku senang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik. Sekali lagi asyik . . .
Aku lirik mengaku dirinya berwajah ganteng dan memiliki banyak simpanan.
Pengakuan wajah ganteng memperlihatkan kepercayaan diri aku lirik. Kepercayaan diri ini
dikuatkan lagi dengan banyaknya simpanan yang dimiliki. Simpanan dapat dimaknai sesuatu
yang disembunyikan. Konotasi kata simpanan mengacu pada sesuatu yang negatif, yang
dalam larik ini dapat diartikan sebagai perempuan atau bisa juga harta atau materi lain karena
ia berasal dari golongan atas. Dalam larik sekali lirik oke sajalah terlihat bahwa kekuatan
lirikan si aku membuat “perempuan” yang diinginkannya, atau apa saja yang diinginkannya
mudah diperoleh. Pada dua bait tersebut, fisik aku lirik menjadi salah satu modal untuk
mendapatkan yang diinginkannya, meskipun secara implisit, kekuatan fisik saja tidak cukup.
Tetapi, kekayaan yang dimiliki si aku liriklah yang menambah kepercayaan dirinya yang
semakin besar dan memungkinkannya mendapatkan banyak hal.
Pada bait berikutnya, aku lirik memberi pengakuan mengenai profesi yang
dijalaninya, yaitu bisnis menjagal. Sebuah profesi yang memberi konotasi negatif, sesuatu
yang mengerikan, dan penuh kekerasan. Kata-kata jagal apa saja menyiratkan aku lirik
melakukan aktifitas menjagal, tanpa berpikir siapa yang akan jadi korban. Sifat egoistik aku
lirik terlihat pada larik-larik tersebut. Penguatan makna bahwa aku lirik sangat mementingkan
kesenangan dirinya, terdapat pada bait berikutnya „yang penting aku menang, aku senang‟.
Ia seolah-olah menghalalkan segala cara untuk memperoleh keinginannya dan yang
terpenting adalah kesenangan dirinya. Egosentris aku lirik semakin diperkuat dalam larik
persetan orang susah karena aku. Aku lirik tidak peduli kesenangannya akan menyusahkan
orang lain. Baginya yang penting adalah dirinya sendiri di atas segalanya. Dalam pemaknaan
bait ini, terlihat sikap arogansi yang ditunjukkan oleh aku lirik, karena kekayaan dan
kekuasaan yang dimiliki. Pada bait kedua ini muncul kontradiksi-kontradiksi. Pada awal bait
aku lirik yang memiliki wajah ganteng, yang berkonotasi positif, sebagai ungkapan yang
menguatkan makna positif lainnya di bait satu, yaitu kekayaan, kemewahan, dan pimpinan
yang berpengaruh. Wajah ganteng berasosiasi dengan kekayaan yang dimiliki, tinggal di
rumah mewah, menggambarkan sesuatu yang ideal dan positif. Namun demikian, terlihat
kontradiksi saat ia menyatakan profesinya sebagai pebisnis menjagal. Wajah ganteng dan
penjagal, dua hal yang dipahami memiliki konotasi positif-negatif dan bertentangan.
Kontradiksi yang lain terlihat dari pilihan kata senang dan susah. Aku lirik mencari
kesenangan dengan tidak mempedulikan kesusahan orang lain. Pertentangan secara tersirat
juga terlihat pada kata menjagal dan asyik. Menjagal yang dapat dipahami sebagai kekerasan
seolah-olah dilakukan dengan enteng, tanpa hati dan dianggap sebagai hiburan yang
menyenangkan. Repetisi kata asyik dengan penekanan melalui kata-kata sekali lagi
menegaskan sikap aku lirik yang egosentris dan arogan.
Khotbah soal moral omong keadilan sarapan pagiku
Aksi tipu-tipu lobbying dan upeti woh . . . jagonya . .
Maling kelas teri bandit kelas coro, itu kan tong sampah
Siapa yang mau berguru, datang padaku
Sebut tiga kali namaku: Bento . . . .Bento . . . . Bento . . . . .
Asyik . . . . . . . ! ! ! ! ! ! Asyik . . . . . .
Pada bait ini aku lirik memberi pengakuan atas kebiasaan dirinya, yaitu berkotbah
masalah moral dan keadilan. Aktivitas kotbah lazimnya dilakukan oleh para ulama atau
pemuka agama. Demikian pula dengan penyampaian pesan-pesan moral biasanya dilakukan
oleh para pemuka agama. Dalam bait di atas aku lirik, yang menyebut dirinya bernama
Bento, mengambil alih peran tersebut dan mendudukkan dirinya sebagai seorang yang
memahami persoalan moral dan menjadi agen penyampai kepada orang lain. Kotbah tidak
ditempatkan pada makna yang sebenarnya, karena pada larik berikutnya terlihat adanya hal
yang bertentangan. Aku lirik mengakui kelihaian dalam hal tipu-menipu, dan memberikan
(mendapatkan) upeti. Terdapat kontradiksi pada kata-kata kotbah soal moral dan omong
keadilan dengan aksi tipu-tipu, lobbying dan upeti. Pertentangan ini memperlihatkan adanya
makna aksi manipulatif aku lirik. Ia memperlihatkan diri sebagai seorang moralis, padahal
kelihaiannya adalah menipu. Ia juga menyukai lobbying yang sebenarnya lebih dekat ke
pemaknaan negatif kasak-kusuk, dan upeti yang dapat dimaknai sebagai sogokan, yang
diterima maupun diberikan saat ia ingin mencapai keinginan-keinginannya. Ironi dalam larik-
larik tersebut sangat jelas. Persoalan moralitas yang dipertentangkan dengan aksi tipu-tipu
memperlihatkan sebuah ironi.
Pada larik berikutnya secara tersirat tampak sebuah perbandingan yang dibuat oleh
aku lirik, saat menyebut maling kelas teri bandit kelas coro sebagai tong sampah. Hal yang
tidak berarti dibandingkan dirinya, yang ia sebut sebagai jagoan. „Maling dan bandit‟ yang
berkelas teri dan coro bukan apa-apa dibanding dirinya yang dapat ditafsirkan sebagai
penjahat dengan kelas yang lebih tinggi. Kata sampah diartikan sebagai sesuatu yang tidak
berharga, demikian pula dengan kata teri jenis ikan kecil dan coro, binatang yang berasosiasi
dengan sesuatu yang tidak berharga, kotor, dan rendahan.
Aku lirik melihat dunia di luarnya sebagai sesuatu yang tidak sebanding dengan
dirinya yang besar dan memiliki banyak kelebihan. Tampak makna arogansi aku lirik
diperkuat melalui larik-larik tersebut. Pada larik berikutnya, aku lirik menawarkan dirinya
untuk menjadi guru kepada siapa saja yang ingin belajar. Guru bermakna seseorang yang
memberikan ilmu kepada orang lain dalam arti yang sangat positif. Dalam konteks bait ini
ada sebuah pertentangan (ironi) yang sangat jelas, ketika makna guru dipakai untuk
menggambarkan seseorang yang mengajarkan hal negatif, seperti menipu, memanipulasi dan
mencuri.
Pada larik berikutnya sebut tiga kali namaku: Bento…Bento…Bento…. menunjukkan
adanya penegasan akan pentingnya diri aku lirik, sehingga seseorang yang ingin
menjadikannya guru harus menyebut namanya tiga kali. Penyebutan nama tiga kali tidak
hanya dapat dimaknai adanya penegasan akan pentingnya sosok aku lirik, tetapi juga dapat
bermakna bahwa Bento adalah nama ganjil, dalam pengertian tidak lazim, lebih menyerupai
akronim, dan misterius.
Pengulangan kata asyik di akhir larik juga merupakan penegasan atas sikap aku lirik
yang suka bersenang-senang dan menikmati keberadaan dirinya yang kaya dan berkuasa.
Terlihat pula Bento yang senang, bangga, dan menikmati cara-cara mencapai keinginannya
yang tampak tidak selaras, bahkan menyimpang dari ajaran moral dan agama.
Setelah memperhatikan makna dalam teks, pemaknaan yang lebih luas dapat
dilakukan dengan memperhatikan konteks penciptaan karya. Pada bait pertama, nama Bento
bukanlah nama yang lazim dipakai untuk orang Indonesia. Nama tersebut lebih menyerupai
sebuah akronim, yang kemudian dikaitkan dengan kekuasaan zaman orde baru. Bento juga
terkesan sebagai nama yang misterius dan lebih bermakna samaran alias dari identitas
seseorang yang sengaja disembunyikan. Orang kemudian mengaitkan nama Bento dengan
orang-orang yang berada di lingkaran Suharto, dengan menyebutnya benteng Suharto, Beny
Suharto, atau besan Suharto. Bento juga bermakna bodoh dalam ungkapan Jawa Timur.
Apabila makna tersebut dikaitkan dengan teks, akan tampak jelas bahwa gambaran tokoh
Bento dalam syair di atas juga memiliki kaitan yang logis.
Bento yang digambarkan dalam teks terlihat sebagai seorang yang memiliki materi
berlimpah, tetapi secara intelektual tidak berkelas. Hal ini terlihat dari kata- kata yang
disampaikannya menyerupai preman, dengan pengakuan dirinya yang bangga pada
keburukan dan kekerasan. Bento mengabaikan kemanusiaan dan etika untuk mencapai
keinginan-keinginannya. Aksi menjagal, tipu-menipu, dan munafik terlihat pada
pengakuannya yang lugas.
Bento memunculkan imaji tentang seorang preman, manusia pasar atau mungkin
orang yang berpendidikan rendah yang kemudian memiliki kekayaan materi dan kekuasaaan.
Muncul ironi-ironi yang menunjukkan pertentangan, antara hal yang disampaikan dengan
kenyataan yang mendasari. Terdapat oposisi-oposisi makna yang timbul dari kata-kata dalam
larik yang menimbulkan kesan ironis dan sarkasme.
Bilamana kita menghubungkan aku dalam teks dengan latar belakang sosial
penciptanya, yakni Iwan Fals. Hal ini tentu bertolak belakang. Kita tahu bahwa Iwan Fals
adalah lahir dari masyarakat perdesaan yang jauh dari gelimang kemewahan seperti yang
tersurat dalam lirik yang diciptakannya. Hal ini sesuai dengan pandangan Plekhanov bahwa
seni membantu mengembangkan kesadaran masyarakat untuk meningkatakan sistem sosial.
Kita dapat menerka bahwa lirik lagu ini sama sekali tidak menggambarkan kehidupan asli
pengarang namun pengarang lebih menekankan bahwa dalam menjalankan kehidupannya
beserta masyarakat sekelilingnya dada sekelompok orang yang berkelakuan seperti halnya
tokoh Bento dalam lirik lagu yang diciptakannya. Pengarang ingin agar masyarakat umum
menyadarinya.