1
1
KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUS
PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK
DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI
SKRIPSIDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:ABDUL HALIM MAHMUDI
NIM: 104043101305
KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQHPROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1430 H/ 2009 M
2
2
”KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUS
PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK
DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI”
SKRIPSIDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
ABDUL HALIM MAHMUDINIM: 104043101305
Pembimbing:
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA.,SH.,MM.NIP. 150 210 422
KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQHPROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1430 H/ 2009 M
3
3
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ”KONSEP MASLAHAH MURSALAH PADA KASUS
PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN
AL-THUFI” telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 03 Maret
2009 M yang bertepatan dengan 06 Rabiul Awwal 1430 H. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) Konsentrasi Perbandingan
Mazhab Fiqh (PMF).
03 Maret 2009 M06 Rabiul Awwal 1430 H
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR.H.Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM.NIP. 150 210 442
Panitia Ujian
1. Ketua : Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA.,SH.,MM. (.............................. )
NIP. 150 210 4222. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. (
.............................. )NIP. 150 290 159
3. Pembimbing: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM. (.............................. )
NIP. 150 210 442
Jakarta,
4
4
4. Penguji I : H. Abd. Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA. (.............................. )
NIP. 150 238 774
5. Penguji II : Asmawi, M.Ag. (.............................. )
NIP. 150 282 394
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli, saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
03 Maret 2009 M06 Rabiul Awwal 1430 H
Abdul Halim Mahmudi
Jakarta,
5
5
بسم اهللا الرحمن الرحيمKATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt., atas segala rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya yang telah terlimpahkan, sehingga penulisan skripsi ini
selesai, berjalan dengan baik, sesuai dengan waktunya. Salawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw., hamba Allah pilihan yang telah
diutus untuk mengangkat derajat manusia dengan ilmu pengetahuan, amal dan takwa.
Dari relung hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya
penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat terselesaikan dengan mudah, dan
bukan semata-mata atas usaha dan perjuangan penulis sendiri, namun juga karena
bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menghaturkan
ucapan terima kasih terutama sekali kepada Bapak/Ibu:
1. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
sekaligus Dosen Pembimbing, yang telah memberikan perhatian penuh,
bimbingan, serta motivasi yang besar kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
2. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji., MA.,MH. dan Bapak Dr. Muhammad Taufiqi,
M.Ag., masing-masing Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6
6
3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang dengan penuh keikhlasan dan dedikasi yang tinggi
telah mencurahkan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidupnya yang perlu
dicontoh oleh penulis selama masa studi.
4. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, serta Perpustakaan
Umum Iman Jama, yang telah memberikan fasilitas yang terbaik kepada penulis
untuk mencari dan mengumpulkan data.
5. Ayahanda Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA.,MH. dan ibunda Hj. Siti Manis
Falahiyah, yang sangat penulis hormati dan sayangi, yang telah memberikan
curahan kasih, dukungan, dan motivasi dengan tulus ikhlas, sejak penulis di masa
balita hingga penulis menjalani pendidikan di Perguruan Tinggi terutama dalam
penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah swt. selalu memberikan limpahan rahmat
dan kasih sayang-Nya kepada keduanya. Amin.
6. Kakakku penulis tercinta, Syarifah Gustiawati Mukri, SHI.,MEI., dan H. Nur
Rohim Yunus, SHI., LLM., M.Phil. serta adik-adik penulis Ahmad Sofwan Fauzi,
dan Ahmad Farhan Habib yang selalu menemani, memotivasi dan membantu
penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Adinda Latifa Hanum, dengan tulus hati dan ikhlas membantu dan menemani
penulis dalam suka dan duka. Terimakasih atas segalanya, semoga Allah
membalas segala amal shaleh yang telah diberikan.
7
7
8. Para dewan guru Yayasan Pendidikan Islam An-Na’imuniyyah (YAPIA)
Darunna’im, Lembaga Pendidikan Al-Qur’an (LPQ) Nurul Hikmah, Ikatan Guru
Taman Al-Qur’an (IGTA) Kec. Parung, Persatuan Pemuda Parung ”Riyadhusy
Syabaab”, Pengajian Pemuda ”PERPUNJAS” yang telah banyak membantu
menyemangati penulis.
9. Keluarga Besar FCC@Net dan Farhan Copy Center (Ayud, Fa2t, Zie, Noeng2,
Nani, Aldy, Dian S.) yang telah membantu penulis dalam penyediaan sarana dan
prasarana, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
10. Rekan-rekan Tim Debat Bahasa Arab Tingkat ASEAN Tahun 2007 (Hisnu
Shobar, Lesmi Cahyani, Devita, Fajriati El-Jabhati, Furqon, Niwwari) Semoga
prestasi yang kita raih bermanfaat bagi kita semua.
11. Seluruh Ikhwani dan Akhwati fillah. Khususunya Edi Sumantri, Mukhtar Wijaya,
Dani Arsyad, Arif Rahman, Hidayatullah, dsb. semoga kebersamaan kita akan
tetap terjaga.
12. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum,
konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh (PMF) A & B serta Perbandingan Hukum
PH angkatan 2004 Fakultas Syariah dan Hukum, Khususnya: B’dul, Vie, Inang,
Tipah, Jefi, Domen, Anas, Dzue, Rusli, Bdur, Ndar, Habibie, Roby, Edi, Dien,
Ntonk, Muly, nDre, Jay, thofe, Fahrul, Adi, Jay, Ram, Eeng, H. Abul, Chay,
Syarki, Oneng, Delly, Romli, Fhitrie, Dayat, Indra, Dian S, dan semua teman
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan kepada
8
8
penulis dalam masa studi dan dalam menyelesaikan skripsi ini. Jazakumullah
kairan katsiran.
Akhirnya atas segala jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril
maupun materil, kiranya penulis tidak sanggup membalasnya, hanya kepada Allah
swt. jualah, penulis serahkan untuk membalasnya dengan imbalan pahala yang
berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir
pahalanya. Sekali lagi penulis ucapkan jazakumullah kairan katsiran.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua
pihak, khususnya bagi para pembaca ataupun peneliti yang ingin mengkaji tulisan
penulis ini. Amin.
03 Maret 2009 M06 Rabiul Awwal 1430 H
Penulis
Jakarta
9
9
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................ v
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................... 10
D. Metode Penelitian............................................................ 11
E. Review Kajian Terda hulu .............................................. 12
F. Sistematika Penulisan ..................................................... 13
BAB II : PANDANGAN UMUM MASLAHAH MURSALAH
A. Pengertian Maslahah Mursalah ...................................... 15
B. Kehujjahan Maslahah Mursalah ..................................... 20
C. Syarat-Syarat Keabsahan Maslahah Mursalah ............... 25
BAB III : RIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM
NAJAMUDDIN AL-THUFI SERTA KONSEP MASLAHAH
MURSALAHNYA
A. Biografi Imam Malik bin Anas r.a. .................................. 28
B. Biografi Imam al-Thufi .................................................... 42
C. Sisi Persamaan dan Perbedaan Kedua Tokoh .................. 61
10
10
BAB IV : APLIKASI MASLAHAH MURSALAH TERHADAP
PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM
AL-THUFI
A. Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Pemilihan Kepala
Negara ............................................................................. 65
B. Presiden Wanita Perspektif Fiqh Siyasah ....................... 67
C. Presiden Wanita Perspektif Imam Malik dan
Imam Al-Thufi ............................................................... 77
D. Persamaan dan Perbedaan Kedua Pendapat.................... 83
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 91
B. Saran-saran ....................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 95
11
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan utama disyariatkannya suatu hukum oleh Allah swt. - tidak ada
maksud lain - kecuali hanya untuk merealisir dan mewujud nyatakan kemaslahatan
bagi manusia di dunia dan kebahagian di akhirat kelak.1 Setiap perintah atau larangan
yang telah dituangkan oleh perumusnya (al-Syari`) melalui teks-teks hukum (al-
nusus al-tasyri`iyyah) dapat diketahui dan dipahami oleh para pelakunya (mukallaf)
tentang dampak positifnya yang mengacu kepada kepentingan dan kebutuhan mereka
itu sendiri.2 Kepentingan dan kebutuhan tersebut bertitik tolak kepada tiga kategori
tujuan syari`at (maqasid al-syari`ah) berdasarkan urutan prioritasnya, yaitu:
daruriyyat, hajjiyyat, dan tahsiniyyat.3
Dalam rangka mewujudkan eksistensi maqasid al-syari`ah pada diri setiap
individu mukallaf, maka setiap tindakan mereka mesti berdasar kepada sumber-
sumber pokok (al-masadir al-asliyyah), yaitu: al-Qur`an dan al-Sunnah.4 Di samping
itu, dinamika perubahan sosial dan strukturnya dari masa ke masa terus berkembang
dengan munculnya berbagai kasus dan perstiwa hukum yang jawabannya tidak
terdapat secara tegas dan khusus dalam sumber pokok tersebut. Hal ini memerlukan
1 Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwāfaqāt fī usūl al-Syari`ah, tahqīq: Abdullah Darraz,(Beirut: Dar al-Fikr,t.th.), vol. II, h. 6.
2 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I`lām al-Muwaqqi`īn, vol III, (Beirut: t.tp.,t.th.) h. 14.3 Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwāfaqāt, h.8.4 Muhammad Adib Salih, Masādir al-Tasyrī` al-Islāmī wa Manāhij al-Istimbāt,
(Damsyiq: Maktabah at-Ta`awuniyah, 1967), h. 437.
12
12
metode lain untuk menjawab kasus hukum tersebut dengan menggunakan masadir al-
far`iyyah antara lain melalui metode istihsan, istihsab, al-`urf, madzhab al-sahabi;
dan maslahat al-mursalah.5
Di dalam kitab suci al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw., baik
secara eksplisit maupun implisit, banyak sekali postulat yang menjelaskan bahwa
tujuan Allah swt. menurunkan hukum syari’at ke muka bumi adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup bagi umat manusia dan menghindarkan mereka dari
kerusakan. Kemaslahatan yang dimaksud bukan saja kemaslahatan duniawi, tetapi
juga kemaslahatan ukhrawi atau dalam istilah Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya
Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah: “Li Masālih al-‘Ibād fi al-‘Ajil wa al-Ajīl”,
artinya untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.6
Dalam konteks hukum Islam hal itu berarti hukum-hukum yang
disyariatkan Allah melalui al-Qur’an dan Hadist bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan bagi manusia. Pemberlakuan hukum-hukum tersebut betujuan untuk
menciptakan harmonisasi interaksi sosial manusia dalam kehidupan dunia dan
keselamatan akhirat
Meskipun kemaslahatan manusia merupakan tujuan utama diturunkannya
hukum ke muka bumi, namun tidak semua maslahat yang ada di tengah-tengah umat
manusia sejalan dengan hukum syari’at dan tidak semua maslahat yang berkembang
5 Muhammad Adib Salih, Masādir al-Tasyrī`, h. 437.6 Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwafaqat, h. 4.
13
13
di tengah-tengah masyarakat mempunyai dasar hukum yang akurat. Karena itu para
ulama membagi maslahat kepada beberapa bentuk.
Hujjatul Islam, Imam Ghazali membaginya kepada empat macam7:
1. Maslahat yang diakui nau’-nya oleh Syari’ karena ada kesamaan nau’ tersebut
dengan ashl dan far’.
2. Maslahat yang diakui jins-nya oleh Syari’ karena ada kesamaan jins tersebut
dengan ashl dan far’.
3. Maslahat yang bertentangan dengan syariat yang disebut dengan istilah maslahat
bathilah atau maslahat mulghah.
4. Maslahat yang tidak disebut-sebut oleh syariat’, tidak ada nas yang
mendukungnya dan tidak ada pula yang menentangnya. Maslahat semacam ini
disebut maslahat gharibah.
Dari keempat pembagian di atas, Imam Ghazali memasukkan al-maslahat
al-mursalah, ke dalam pembagian yang kedua, yaitu maslahat yang diakui jins-nya
oleh syara’ dan ini dapat diterima sebagai hujjah atau dalil hukum. Sedangkan al-
maslahat al-gharibah, dan al-maslahat al-bathilah atau al-maslahat al-mulghah
ditolak secara mutlak.8
Dari pembagian di atas nampaklah bahwa ada maslahat yang tidak
disinggung sama sekali oleh nash, baik al-Qur’an maupun Hadis. Dalam hubungan
ini, kemaslahatan tersebut tidak ditetapkan oleh syari’at hukum untuk
7 Husein Hamid Hassan, Nazāriyat al-Maslahat fī al-Fiqh al-Islāmī, (Cairo: Al-Mutanabbī, 1981), h. 18-19.
8 Ibid., h. 19.
14
14
mewujudkannya dan tidak terdapat pula dalil yang memerintahkan untuk
memperhatikan dan mengabaikannya. Maslahat tersebut dikenal dalam istilah ilmu
ushul al-fiqh dengan sebutan maslahat mursalah. Karena maslahat ini tidak
disinggung sama sekali oleh dalil maka para ahli ushul pun berbeda pendapat
mengenai keabsahan penggunaannya sebagai dalil ijtihad.9
Walaupun demikian di kalangan ahli Ushul terjadi beberapa perbedaan
pandangan tentang substansi dari maslahat mursalah, bagaimana keabsahan maslahat
mursalah sebagai salah satu sumber hukum dan bagaimana aplikasinya dalam
legislasi hukum Islam. Di antara ahli Ushul tersebut berbeda tersebut adalah Imam
Malik dan Imam Al-Thufi.
Imam Malik sebagai founding father teori maslahat mursalah ini10,
mengatakan bahwa maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ada
pembatalannya dari nash dan juga tidak disebutkan secara jelas oleh nash11. Akan
tetapi, pengambilan hukum berdasarkan maslahat mursalah, ini tidak boleh
bertentangan dengan nash sebagai sumber pokok. Beda halnya dengan Imam al-
Thufi, beliau menyatakan bahwa maslahat mursalah merupakan hujjah terkuat yang
secara mandiri dapat dijadikan landasan hukum sekali pun bertentangan dengan
nash.12
9 Yusuf al-Qaradhawi, Madkhal li Dirāsah al-Syarī’ah al-Islāmiah, (Cairo: MaktabahWahbah, tth.), h. 20.
10 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 27911 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 95.12 Mustafa Zaid, al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islâmi wa Najamuddin at-Tufi, (Mesir:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1954), h. 34.
15
15
Al-Thufi yang terkenal dengan konsep maslahatnya ini, bagi kalangan
peneliti Hukum Islam saat ini, bergerak sangat progresif dan inovatif yaitu
mempergunakan maslahat mursalah sebagai landasan hukum meskipun harus
mendahulukannya dari nash dan ijma jika terjadi pertentangan dengan nash dan ijma'.
Jadi maslahat menduduki tempat terkuat dalam berhujjah13.
Dari pemikiran dan konsep maslahat mursalah versi al-Thufi ini, akhirnya
melahirkan banyak polemik dalam kancah epistimologis, yang pada akhirnya konsep
maslahat mursalah al-Thufi ini dikategorikan oleh sebagian besar ulama sebagai
konsep yang terlalu liberalis dan bertentangan dengan ulama pada zamannya.
Pandangan al-Thufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang
maslahat.14 Dia berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) Al-
Qur’an, sunnah dan ijma' jika penerapan nas Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma' itu akan
menyusahkan manusia.15 Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya pola
maslahat tersebut hanyalah pada bidang muamalat dan adat istiadat.16
Maka dari paparan di atas jelas, bahwa maslahat mursalah adalah salah
satu landasan pengambilan (istinbat) hukum Islam yang hampir tiap-tiap ulama
madzhab memanfaatkannya. Namun ternyata, menurut sebagian ulama ushul,
metodologi istinbat hukum ini dieksplorasi secara bebas oleh Imam Najamuddîn al-
13 M. Zainal Abidin, “Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi DinamisasiHukum Islam”, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum VII, no. 1 (Juni 2007) h: 25.
14Ibid., 26.15Najmuddin at-Tufi, Syarh, h. 46.16Ibid, h. 48.
16
16
Thufi yang pada akhirnya melahirkan suatu konsep yang kini banyak diikuti
cendikiawan kontemporer.
Betapa urgennya kedudukan maslahat sebagai tujuan, kalau tidak malah
merupakan inti dari seluruh konstruksi legislasi Islam. Hal ini dapat dibuktikan dari
buku-buku ushul al-fiqh yang ditulis baik sejak masa-masa awal pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam, masa-masa pertengahan maupun pada masa akhir-akhir
ini, dapat dipastikan buku-buku tersebut memuat pembahasan tentang maslahat
sebagai tujuan tasyri' sekalipun porsi pembahasannya sangat bervariasi.
Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang pandangan Imam al-
Thufi dan Imam Malik tentang aplikasi maslahat mursalah yang mereka usung,
dengan inti uraian, sekilas riwayat hidup Imam Najamuddîn al-Thufi dan Imam Malik
bin Anas, pengertian dan pandangannya tentang konsep maslahat mursalah, serta
yang paling pokok adalah bentuk dari penerapannya “ijtihad tathbiqi” dan analisi
kedua pendapat tersebut. Sebab konsep maslahat mursalah yang dibawa kedua ahli
ushul tersebut terkesan saling bertentangan satu sama lainnya.
Salah satu aplikasi maslahat mursalah yang diangkat pada tulisan ini
adalah status presiden wanita dalam Islam. Presiden wanita atau kepala negara dari
kalangan wanita merupakan salah satu pembahasan yang masih kontroversial di
tengah-tengah para ulama, baik ulama klasik maupun ulama kontemporer. Kitab-kitab
17
17
fiqih politik (fiqh al-siyasah) klasik dan kitab-kitab fiqh kontemporer masih banyak
mempersoalkannya.17
Wahbah al-Zuhaili, seorang ahli fiqih modern dalam bukunya, Nidzam Al-
Islam, menyebutkan tujuh syarat untuk menjadi kepala pemerintahan. Ketujuh syarat
adalah: seorang Imam harus memiliki jiwa kepemimpinan sempurna, muslim,
merdeka, baligh, berakal, dan terakhir laki-laki.18 Menurut Al-Zuhaili, adanya syarat
laki-laki ( ةروكالذ ) semata-mata karena beban menjadi Imam membutuhkan
kemampuan yang besar yang tidak mungkin ditanggung seorang perempuan. Selain
itu, perempuan tidak mampu menanggung tugas-tugas berat lainnya, seperti ikut serta
dalam perang atau hal-hal lain yang beresiko tinggi. Di samping itu, ia mendasarkan
pendapatnya ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah,
أة امر وا أمرھم م ول و ق لح ف )رواه البخاري(لن یArtinya: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan semua persoalannya
kepada perempuan.” (H.R. Bukhari)19
Presiden wanita sering dipahami secara subyektif dan hitam putih. Hal ini
misalnya, tampak pada kasus Benazir Bhutto. Ketika Benazir Bhutto naik menjadi
Perdana Menteri Pakistan, banyak ulama di sana yang mengecam kedudukannya.
Oleh karena itu, ketika Nawaz Syarif berhasil menggulingkan kedudukan Benazir
Bhutto pada Pemilu 1997 di Pakistan, hal ini dijadikan senjata ampuh bagi kelompok
17 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanandalam Islam (Bandung: Mizan, 2001) h. 201.
18 Wahbah Zuhaili, Nidzām Al-Islām, (Beirut: Dar Qutaibah, 1993), cet. III, h. 19. Lihatpula Al-Mawardi, Al-Ahkām al-Sulthāniyyah, ttp. H. 42.
19 HR. Bukhari
18
18
fundamentalis Islam untuk menyerang kemampuan perempuan dalam memegang
tampuk kepemimpinan20.
Di Indonesia pembahasan ini sempat mencuat kepermukaan menjelang
pemilihan umum (pemilu) tahun 1999 lalu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum
MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan
parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi presiden21.
Walaupun kalah pada Sidang Umum MPR dengan Abdurrahman Wahid
alias Gusdur, Megawati Soekarno Putri akhirnya terpilih juga menjadi presiden RI
periode 2001 – 2004.22 Kecaman demi kecaman dari para ulama pun datang silih
berganti. Namun Lain halnya dengan tokoh-tokoh parpol, yang pada mulanya
menolak mentah-mentah pencalonan Megawati, akhirnya ketika itu mereka mulai
merevisi kebijakan-kebijakan politisnya.23 Pada saat itu banyak pro dan kontra di
kalangan ulama dalam negeri. Para ulama yang menolak menyatakan bahwa dalam
ajaran Islam wanita tidak bisa menjadi seorang kepala negara. Sebagian yang
mendukungnya mendasarkan bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada negara
Islam saja, adapun Indonesia bukanlah negara Islam atau khilafah akan tetapi negara
yang berasaskan Pancasila.24
20 Wahbah Zuhaili, Nidzam Al-Islam, Ibid., h. 20.21 Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel ”Pemimpin Wanita Ditinjau dari Perspektif
Islam, Psikolog, dan Aktivis”, diselenggarakan oleh UKM FKSM (Forum Kajian dan StudiMahasiswa) Universitas Janabadra, makalah diakses pada tanggal 10 September 2008 darihttp://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam
22 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml23 Ibid., http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam24 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml
19
19
Imam Malik dalam kasus ini, secara eksplisit tidak memasukkannya ke
dalam ranah maslahat mursalah. Sebab kasus ini sudah bertentangan dengan nash
dan ijma sahabat. Apabila suatu kasus yang sudah ditetapkan dalam nash dan ijma ahl
madinah, kemudian terjadi pergesekan antara maslahat dan nash maka yang
didahulukan adalah nash. Sehingga dalam kasus ini, Imam Malik bisa dan lebih
cenderung melarang presiden dari kaum wanita, jikalau dilihat metode ijtihad Imam
Malik.
Lain halnya Imam al-Thufi, beliau menganggap apabila maslahat atau hajat
orang banyak ini bertentangan dengan nash atau ijma sahabat dan hal tersebut bukan
termasuk masalah ibadah, maka maslahat tersebut dapat didahulukan dari pada nash
dan ijma sekalipun. Sehingga dengan demikian konsep maslahat mursalahnya Imam
Al-Thufi dapat melegitimasi presiden wanita secara syar’i.
Oleh sebab itu, penulis merasa terpanggil untuk mengungkap sekilas
konsep maslahat mursalah menurut Imam Najamuddîn al-Thufi dan Imam Malik
dalam memahami kasus presiden wanita, dengan judul skripsi “KONSEP
MASLAHAT MURSALAH PADA KASUS PRESIDEN WANITA MENURUT
IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari judul skripsi, “Konsep Maslahat Mursalah Pada Kasus Presiden
Wanita Menurut Imam Malik Dan Imam Najamuddin Al-Thufi” dapat dibatasi
pada beberapa hal, yaitu:
20
20
1. Konsep maslahat mursalah menurut Imam Malik dan Imam Najamuddîn al-
Thufi.
2. Aplikasi maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi pada salah satu
ijtihad tathbiqi, yaitu pengangkatan presiden wanita.
3. Analisis pemikiran Imam Malik dan Imam al-Thufi dalam aplikasi maslahat
mursalah dalam pemilihan dan pengangkatan presiden wanita.
Setelah mempertimbangkan kemampuan penulis dan waktu yang terbatas,
sangat sulit apabila mengesplorasi semua masalah diatas. Oleh karena itu penulis
merasa perlu untuk memilih permasalahan mana yang menjadi fokus penulisan
skripsi ini. Lebih jelasnya dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep maslahat mursalah dalam istinbat hukum Islam menurut
Imam Al-Thufi dan Imam Malik ?
2. Bagaimana kedudukan maslahat mursalah menurut Imam Najamuddin al-Thufi
dan Imam Malik ?
3. Bagaimana aplikasi maslahat mursalah menurut kedua Imam tersebut dalam
pemilihan dan pengangkatan presiden wanita?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkaji konsep pemikiran Imam Najamuddin al-Thufi dan Imam Malik tentang
kedudukan maslahat mursalah sebagai metode istinbath hukum Islam.
2. Mengesplorasi faktor-faktor yang melatar belakangi konsep maslahat mursalah
Imam Malik dan Imam al-Thufi.
21
21
3. Meneliti pengaruh konsep maslahat mursalah dalam penerapan hukum Islam
(Ijtihad Al-Tathbiqi)
Manfaat khusus dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperkaya
khazanah keilmuan di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum. Selain itu,
manfaatnya secara umum adalah sebagai kontribusi pemikiran dalam khazanah ilmu
kajian Islam.
D. Metode Penelitian
Metode penulisan skripsi ini murni berdasarkan kajian penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu sebuah kajian yang mencari data-data yang
diperlukan untuk menjawab masalah penelitian ini di dalam dokumen atau bahan
pustaka, kegiatan ini dapat pula disebut sebagai studi dokumen atau literature study.25
Penulis berusaha mengumpulkan data sebanyak mungkin baik yang bersumber dari
buku maupun internet untuk kemudian dijadikan sebagai objek pembahasan.
Langkah selanjutnya adalah penulis berusaha untuk menganalisa masalah-
masalah yang ada dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Diawali dengan
menguraikan konsep maslahat maslahat mursalah sebagai metodologi istinbath
hukum Islam secara umum, biografi Imam Malik dan Imam Najamuddîn al-Thufi,
konsep maslahat mursalah menurut Imam Malik dan Imam Najamuddîn al-Thufi.
Kemudian penulis berusaha menganalisa pengaruh yang muncul dari konsep
25 Rianto Adi, Metode Penelitian Hukum dan Sosial, (Jakarta:Granit, 2004), h. 61
22
22
maslahat mursalah keduanya dalam ijtihad tathbiqi di zaman modern. Diantaranya
adalah pemilihan serta pengangkatan presiden wanita.
Selain itu, perlu dikemukakan pula bahwa yang menjadi pedoman dalam
penulisan skripsi ini adalah buku "Pedoman Penulisan Skripsi" yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cetakan tahun 2007.
E. Review Kajian Terdahulu
Dalam kajian ini penulis, mengangkat maslahat mursalah yang diusung
oleh Imam Malik bin Anas dan yang kemudian dimodifikasi oleh Imam Al-Thufi. Di
antara kedua maslahat ini saling kontradiktif dalam penerapannya pada ranah legislasi
hukum. Sehingga penulis terpanggil untuk mencari letak persamaan dan perbedaan di
antara kedua pandangan tentang maslahat tersebut. Serta aplikasinya dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti pemilihan dan pengangkatan presiden
wanita yang nota bene, diharamkan oleh para ulama.
Sebenarnya tulisan mengenai maslahat mursalah ini telah banyak dibahas
oleh peneliti atau mahasiswa. Di antaranya adalah tesis dari Wahidul Kahhar (UIN
Syarif Hidayatullah, 2003), dengan judul “Efektifitas Maslahat Mursalah dalam
Penetapan Hukum Syara’”, dan tesis Iim Fahimah (UIN Syarif Hidayatullah, 2003)
dengan judul “Konsep Maslahat Mursalah Imam Malik”. Kemudian terdapat tulisan
yang dimuat di jurnal hukum “Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi
Dinamisasi Hukum Islam” oleh M. Zaenal Abidin (Syariah: Journal Ilmu Hukum,
IAIN Antasari, 2005).
23
23
Selain itu penulis juga mereview kajian tentang presiden wanita, yaitu tesis
Afrizal Moetwa (UIN Syarif Hidayatullah, 2004) dengan judul “Presiden Perempuan
dalam Perspektif Fiqh Siyasah; Studi Terhadap Megawati Soekarno Putri Menjadi
Presiden Republik Indonesia.. Adapun karya ilmiah berupa skripsi, yang membahas
maslahah mursalah atau presiden wanita, sampai saat ini penulis belum
menemukannya di wilayah Universitas Islam Negeri. Dan dari beberapa judul karya
ilmiah tersebut, belum ada yang menjelajahi tema yang penulis angkat dalam skripsi
ini. Yaitu Aplikasi maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi dalam
menyikapi pengangkatan presiden wanita.
Penulis menyadari bahwa Imam al-Thufi dan Imam Malik belum ataupun
tidak pernah membahas secara khusus tentang presiden wanita. Akan tetapi dari
konsep maslahat yang dia wariskan ke generasi di bawahnya, pemikirannya kini
menjadi acuan untuk menjawab dinamisasi hukum Islam.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab satu ini berisi tentang pokok pikiran penulis yang akan dirumuskan
dan dicari pemecahannya. Selain itu, penulis juga berusaha untuk
menjelaskan langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk memecahkan
semua permasalahan tersebut serta faktor-faktor apa saja yang mendukung
penulisan skripsi ini. Semua itu terdapat di dalam Latar Belakang
Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat
24
24
Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Review Kajian Terdahulu
serta Sistematika Penulisan.
Bab II: Pandangan Umum Konsep Maslahat Mursalah
Pada bab ini, penulis memaparkan secara umum pengertian linguistik dan
terminologi dari maslahat mursalah. Kehujjahan dan perbedaan pendapat
dalam memahami maslahat mursalah. Serta syara-syarat keabsahannya.
Bab III : Riwayat Hidup Imam Najamuddin Al-Thufi Dan Imam Malik
Bab ini memberikan ikhtisar hal ihwal biografi sang tokoh yang diteliti,
yang meliputi tentang: latar belakang sosial dan intelektual, pendidikan,
pengalaman, kegiatan, karir dan karya-karyanya. Dan juga konsep
maslahah mursalahnya. Selain itu dipaparkan pula sisi persamaan dan
perbedaan kehidupan kedua tokoh tersebut.
Bab IV : Aplikasi Maslahat Mursalah Terhadap Presiden Wanita Menurut
Imam Malik Dan Imam Najamuddin Al-Thufi
Penulis menyajikan hal ihwal presiden wanita; pandangan politik Islam
dan pandangan umum tentang presiden wanita. Kemudian Menganalisa
pendapat Imam Najamuddin al-Thufi, dan Imam Malik tentang presiden
wanita ditinjau dari maslahah mursalah. Selain itu disajikan pula sisi
persamaan dan perbedaan kedua pendapat tersebut.
Bab V : Penutup
Berisi tentang kesimpulan penulisan skripsi ini dan beberapa saran dari
penulis.
25
25
BAB II
PANDANGAN UMUM MASLAHAH MURSALAH
G. Pengertian Maslahah Mursalah
1. Definisi Maslahah Mursalah secara etimologis
Secara etimologis term “Maslahah Mursalah” terdiri atas dua suku kata:
yaitu masalahah dan mursalah. Menurut Louis Ma`luf kata “Maslahah” berasal dari
akar kata salaha, yasluhu – salahan – suluhan - salahiyyah; artinya: Sesuatu yang
mendorong kepada kebaikan atau kelayakan; atau bisa juga diartikan: Sesuatu yang
mendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya
dan bagi kelompoknya.26 Ahmad Warson Munawwir, mengartikan kata maslahah
sebagai faedah, kepentingan, kemanfaatan, kemaslahatan27. Dari sudut pandang ilmu
sharaf (morfologi), kata “Maslahah” satu wazan (pola) dan makna dengan kata
manfa’ah. Kedua kata ini (maslahah dan manfa’ah) telah diindonesikan menjadi
“maslahat” dan “manfaat.” 28
Dalam buku Kamus Besar Indonesia disebutkan bahwa maslahat artinya
sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, dan guna. Sedangkan kata
“kemaslahatan” berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sementara kata
“manfaat”, dalam buku tersebut, diartikan dengan: guna, faedah. Kata “manfaat” juga
26 Louis Ma`luf, Kamus Munjid, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 528.27 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, Yogyakarta: Unit
Pengadaan buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984), h. 844.28 Asmawi, MA, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 101
26
26
diartikan sebagai kebalikan atau lawan kata “mudharat” yang berarti rugi atau
buruk.29
Kata maslahah adalah bentuk tunggal dari kata mashalih; selain itu dikenal
pula istilah istishlah yang berarti mencari maslahat, memandang maslahat atau baik,
mendapatkan maslahat atau kebaikan, dan kebalikannya adalah al-istisfad atau
memandang buruk atau rusak, mendapatkan keburukan atau kerusakan30. Maslahah
sama akarnya dengan kata shalih yang berarti “baik” menurut agama. Dalam Al-
Qur’an banyak ditemukan kata shalih, kata shalih ini pada umumnya berarti kebaikan
pada hakikatnya menguntungkan.31
Sedangkan kata “mursalah” merupakan bentuk isim maf`ul dari akar kata:
arsala - yursilu - irsal; artinya: `adam at-taqyid (tidak terikat); atau berarti: al-
mutlaqah (bebas atau lepas).32
2. Definisi maslahat mursalah secara terminologis
Secara terminologis, para ulama usul fiqh telah memberikan beberapa
definisi dengan versi yang berbeda, antara lain:
a. DR. Muhammad Adib Salih:
29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1996), h. 634.
30 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, h. 532.31 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, h. 100.32 Ibid., h. 259
27
27
ص م ل ا ح ل س ر م ال ة ل ي ھ ة ر ص ت ي ف ل خ د ت ي ت ال ات ف م و ع ار الش ق و ه د اص ی م ل م ق ن م ل ی ل د ع ع ر الش ھ ص و ص خ ا ب ھ ار ب ت ى اع ل 33.اھ آئ غ ل إ ب و ا أ
“Maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang termasuk ruang lingkuptindakan/kebijaksanaan dan tujuan Syari`; sementara tidak ditemukan dalilsyara` secara khusus baik yang mendukungnya maupun yang menolaknya”.
a. Muhammad Said Ramadan al-Buti:
“Maslahat mursalah itu adalah setiap manfaat yang termasuk di dalamruang lingkup tindakan/kebijaksanaan Syari` tanpa ada dalil yangmendukungnya atau menolaknya”.34
b. Al-Syatibi (salah seorang pengikut Madzhab Maliki)berpendapat:
“Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ditunjang oleh satunash tertentu; akan tetapi, kemaslahatan tersebut sesuai dengan jenistindakan syara`”.
c. Al-Khawarizmi memberikan pengetian:
ن ع د فاس دفع الم ب ارع الش د و ص لى مق محافظة ع ال ي ھ ة ل رس م ال مصلحة الق ل لخ 35.ا
“Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan (yang berusaha) untukmemelihara tujuan syara` dengan jalan menolak unsur kemafsadatan”.
d. Abdul Wahab Khallaf memberikan pengertian:
لشارع ع ا شر لم ی لحة مص ي ال ھ ة المرسلة ح ك ح المصل ق ی ق ح ت ل ما و , اھ م ل ل د ی ع ي ع ر ش ل ی ل د ھ ار ب ت ى اع ل ائ إ و ا أ غ 36.اھ ل
“Maslahat Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syari’dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di sampingtidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan ”.
33 Muhammad Adib Salih, Masadir at-Tasyri` al-Islami wa-Manahij al-Istimbath,Damsyid: Maktabah at-Ta`awujniyyah, 1967, h. 463.
34 Muhammad Said Ramadan al-Buti, Dhawabit al-Maslahat fi al-Syariat al-Islamiyyat,Damsyiq: 1967, h . 330.
35 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 36.
36 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Quwait: Dar al-Qalam, tth.), h. 84.
28
28
e. Muhammad Abu Zahrah
ا ة ھي ل مرس حة ال مصل ل ص م ل ا ح ل م ئ ال م ال ة م ل ة د اص ق ع ار الش ی ال و ي م ال س اإل د ھ ش ھ ل ار ب ت ع ال با اص خ ل ص ا أ و أ 37. اء غ ل اإل
“Maslahah mursalah menurut Abu Zahrah, “Maslahat-maslahat yangbersesuaian dengan tujuan-tujuan syariat Islam dan tidak ditopang olehsumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkanmaslahat tersebut”.
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat ditemukan beberapa unsur yang
terdapat dalam maslahat mursalah, yaitu: pertama: kemaslahatan tersebut berada di
dalam ruang lingkup tindakan/kebijaksanaan Al-Syari`; kedua: kemaslahatan tersebut
berada di dalam ruang lingkup maqasid al-syari`ah; ketiga: kemaslahatan tersebut
tidak ditunjang oleh dalil atau syahid; baik yang mendukungnya maupun yang
menolaknya; keempat: kemaslahatan tersebut ditempuh dengan maksud untuk
menghilangkan berbagai kemafsadatan.
Pada perkembangan selanjutnya penggunaan term maslahat mursalah telah
terjadi perbedaan di kalangan para ulama ushul fiqh, untuk term maslahat mursalah
sendiri dikenalkan oleh golongan Malikiyah. Selain itu Sebagian ulama ada yang
menyebutkannya dengan istilah: al-istislah oleh Imâm Ghazali, al-munasib al-mursal
al-mula’im oleh golongan Mutakallimin al-Ushuliyyin, al-istidlal oleh Imâm
37 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 279. Lihatpula: Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), h. 36.
29
29
Haramain dan Ibn Samani, al-istidlal al-mursal sebagian ulama ushul; sedang Imâm
Al-Tûfi menyebutnya dengan nama “Maslahah Al-Tûfi”.38
Berdasarkan definisi secara etimologis dan terminologis di atas, maka telah
diketahui bahwa maslahat mursalah atau istislah merupakan metode penetapan
hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Sehubungan dengan metode ini dalam ilmu ushul fiqh dikenal ada tiga macam
maslahah, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah mulgah, dan maslahat mursalah.39
Maslahah pertama adalah maslahah yang diungkapkan secara langsung
baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Sedangkan maslahah kedua adalah maslahah
yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber tersebut Di
antara kedua maslahah tersebut, ada yang disebut maslahah mursalah, yakni
maslahah yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut, dan tidak pula
bertentangan dengan keduanya.40
H. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Menurut Yusuf Qaradhawi, jumhur ulama fiqih menganggap maslahat
adalah dalil syari’i yang menjadi pondasi utama dalam legislasi hukum Islam,
38 Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, tth.), h. 85. Lihatpula: Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz; Antara Konsep dan Implementasi(Surabaya: Khalista, 2007), h. 288.
39 Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UIIPress Indonesia, 1999), h. 72.
40 Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 84.
30
30
pemberian fatwa, dan juga dalam ruang lingkup peradilan41. Menurutnya para sahabat
Rasulullah saw.-lah yang banyak memahami dan menggunakan maslahat sebagai
patokan dan sandaran utama legislasi hukum Islam42.
Selain itu, para ulama pun sepakat bahwa tidak ada peluang bagi qiyas,
istihsan, istishlah dalam masalah ibadah, karena ibadat adalah dikategorikan hukum
ta’abbudi43, sehingga akal tidak memiliki peluang untuk menentukan maslahat yang
rinci terhadap setiap hukumnya. Sama halnya dengan hukum ibadat, ialah semua
hukum had, hukum kafarat, batas prosentase warisan, iddah bulanan setelah
meninggal suami atau karena thalaq dan semua hukum yang ditetapkan batas tertentu,
karena Syari’ sendiri mengetahui maslahat apa yang terdapat pembatasan itu.44
Adapun kehujjahan maslahat mursalah terdapat tiga pendapat para ulama
yang berbeda.
1. Mayoritas ulama berpendapat maslahah mursalah tidak bisa diambil sebagai
hujjah secara mutlak. Ibnu Hajib mengatakan ini adalah pendapat terpilih. Imam
Amudi berkata, pendapat ini benar, sesuai dengan kesepakatan para ulama fiqh.45
41 Yusuf Qaradhawi, Madkhal li Dirasah al-Syari’ah al-Islamiah (Kairo: MaktabahWahbah, tth.) h. 158.
42 Ibid., h. 158.43 Ta’abbudi diartikan sebagai hukum-hukum dalam ibadah kepada Allah; seperti shalat,
puasa,dsb. yang mana rasio kita tidak mampu untuk memahami makna dibalik amaliah ritual tersebut,karean hanya Allah yang berhak mengetahuinya. Dengan demikian, qiyas serta maslahah mursalahdalam penentuan ibadah mahdah tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Beda halnya denganmaslahah mu’amalah; dimana masih bisa ada kemungkinan untuk diperdebatkan. Wahbah al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh ..., h. 39.
44 Ibid., h. 158.45 Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz. h. 288.
31
31
2. Imam Malik berpendapat, maslahat mursalah bisa dijadikan hujjah secara
mutlak. Pendapat ini didukung oleh Imam Haramain. Yang dimaksud Imam
Malik adalah maslahah yang manfaatnya lebih banyak dari pada bahayanya.46
Sumbernya dari nash (al-Qur’an dan al-Sunnah) atau dari petunjuk umum nash
yang biasa dikatakan maqasid syari’ah (tujuan hukum Islam), seperti firman
Allah:
م ... ع و ل ج اجع ر ح لدین من م في ا ك ی لحج ...(ل )78: 22/اArtinya: “Allah tidak menjadikan padamu dalam masalah agama suatu kesulitan”
(Q.S. Al-Hajj/22: 78)
Nabi bersabda:
أن رسول هللا صلى : عن أبي سعید سعد بن سنان الحدري رضي هللا عنھار ضر ال : هللا علیھ وسلم قال ر وال ض رواه ابن ماجھ , حدیث حسن(ر
عن عمر بن : ورواه مالك في الموطأ مرسال. والدارقطني وغیرھما مسنداولھ طرق , فأسقط أبا سعید, عن النبي صلى هللا علیھ وسلم, یحیى عن أبیھ
47)یقوى بعضھابعضا
Artinya: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan”.
Imam Malik menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil karena beberapa
argumen sebagai berikut:
Pertama, bahwa para sahabat banyak menggunakan maslahah mursalah di
dalam mengambil kebijakan dan istinbath hukum48, misalnya:
a. Pembukuan al-Qur’an menjadi mushaf oleh para sahabat, padahal Nabi tidak
memerintahkan kepada mereka untuk membukukannya. Inilah tindakan para
46 Ibid., 288.47 HR. Ibnu Majah48 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 280.-281
32
32
sahabat yang dikategorikan maslahah yang bertujuan untuk menjaga dan
melestarikan al-Qur’an dari kepunahan. Disisi lain banyaknya para huffadz
(penghafal al-Qur’an) yang gugur dalam berbagai peperangan;
b. Khulafa al-Rasyidin yang menerapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada
para tukang;
c. Umar Ibn Khattab r.a. yang memerintahkan para pejabat agar memisakan harta
kekayaan pribadinya dari kekayaan yang diperoleh karena jabatannya;
d. Umar Ibn Khattab yang sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air
guna memberi pelajaran kepada orang-orang yang mencampur susu dengan air;
e. Dan para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota
kelompok atau jama’ah yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang jika
mereka melakukan pembunuhan itu secara bersama-sama.49
Kedua, Perwujudan kemaslahatan itu sesuai dengan tujuan syari’at.
Mengambil maslahat berarti merealisasikan tujuan syari’at. Mengesampingkan
maslahat berarti mengesampingkan tujuan syariat.50
Ketiga, Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas
mengandung maslahat selama berada di dalam konteks maslahat syar’iyyah maka
orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan, padahal Allah swt.
49 Ibid., h. 281.50 Ibid., h. 282.
33
33
tidak menghendaki adanya kesulitan itu.51 Sebagaimana difirmankan Allah dalam
surat Al-Baqarah 185:
لعسر ... م ا بك رید ی ال و لیسر م ا ك ید هللا ب )185: 2/البقرة(...یرArtinya: ”... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu...” (Q.S. Al-Baqarah/2: 185)
dan dalam surat al-Hajj/22: 76.
مور األ جع تر إلى هللا م و اخلفھ م و دیھم ین أی ب ما لم )76: 22/الحج(یع
Artinya: “Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakangmereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan.”(Q.S.Al-Hajj/22: 76).
Meskipun Imam Malik merupakan tokoh dan pelopor maslahah mursalah
namun di dalam penerapannya, pendiri madzhab Maliki ini menerapkan syarat-syarat
adanya persesuaian antara maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang
berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at. Maslahah ini harus masuk akal dan
memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional. Penggunaan dalil
maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang biasa terjadi. Dalam
arti, jika maslahat itu tidak diambil manusia akan mengalami kesulitan.52
Para ulama yang tidak menerima maslahat mursalah sebagian dari syara’
juga mengemukakan alasan maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan
mengarah kepada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan hawa nafsu yang
cenderung mencari yang enak-enak saja, padahal prinsip Islam tidak demikian. Jika
maslahat dapat diterima (mu’tabarah) ia termasuk ke dalam kategori qias dalam arti
51 Ibid., h. 282.52 Ibid., h. 427.
34
34
luas. Tetapi Jika tidak mu’tabarah, ia tidak termasuk qias dan tidak bisa dibenarkan
suatu anggapan yang menyatakan bahwa pada suatu masalah terhadap maslahah
mu’tabarah, sementara maslahat itu tidak termasuk di dalam nash atau qias.
Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat
kepada suatu penyimpangan dari suatu hukum syari’at dan tindakan kelaliman
terhadap rakyat dengan dalil maslahat, sebagaimana dilakukan oleh raja-raja yang
lalim. Jika maslahat dijadikan sebagai sumber unsur pokok yang berdiri sendiri,
niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan
negara, bahkan perbedaan pendapat perorangan di dalam suatu perkara.53
Beda halnya dengan Husein Hamid Hasan, ia menyamakan maslahah
mursalah ini dengan qiyas Imam Syafi’i, ia menyatakan bahwa sesungguhnya
maslahat mursalah masuk ke dalam pengertian qias menurut pandangan Imam al-
Syafi’i r.a.54
Alasan yang dikemukakan Husein Hamid Hasan adalah ia memasukkan
maslahah mursalah atau maslahah mula’imah ke dalam qias. Sebab keduanya
memiliki persamaan unsur-unsur. Menurutnya, syarat qias ada 3, (1) adanya peristiwa
yang tidak ada nash hukumnya yang jelas; (2) adanya hukum yang dinashkan oleh
syar’i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui pengertian ma’nawi;
(3) peristiwa yang tidak ada nash hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang
mansus secara implisit. Ketiga syarat qias ini, menurutnya, sejalan dengan maslahah
53 Ibid., h. 431-433.54 Hassan, Husein Hamid, Dr., Nazâriyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Cairo: Al-
Mutanabbi, 1981.
35
35
mursalah atau maslahah mula’imah yaitu: (1) peristiwa yang ingin diketahui
hukumnya melalui maslahah adalah peristiwa yang tidak ada nashnya yang jelas,
seperti jaminan atau ganti rugi para pekerja apabila merusak barang yang
dikerjakannya; (2) ada hukum-hukum syari’at yang dinashkan oleh syari’ atas suatu
peristiwa yang maknanya dapat ditemukan oleh para mujtahid; (3) peristiwa yang
tidak ada nash tersebut memiliki makna yang sama dengan makna yang terkandung di
dalam peristiwa yang ada nashnya.55
I. Syarat-Syarat Keabsahan Maslahat Mursalah
Dalam menggunakan maslahat mursalah sebagai hujjah syar’iyyah, para
ulama bersikap sangat berhati-hati, sebab ditakutkan akan tergelincir kepada
pembentukan syari’at baru, berdasarkan nafsu dan kepentingan terselubung.
Berdasarkan hal itu, seperti yang ditulis oleh Abd Wahab Khallaf, dalam bukunya
ushul al-fiqh, ulama menyusun syarat-syarat kebolehan memakai maslahat
mursalah.56
Syarat-syaratnya ada tiga macam, yaitu:57
1. Maslahah harus benar-benar nyata dan bukan maslahah yang mengada-ngada.
Selain itu maslahah yang dihasilkan, harus sesuai dengan rasio sehingga
memudahkan seseorang menerimanya58. Dengan kata lain pengambilan maslahah
tersebut bertujuan untuk mengambil manfaat (jalbu manfa’ah) dan mencegah
55 Ibid., h. 324-325.56 Abd al-Wahab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh, Quwait: Dar al-Qalam, tth., h. 86.57 Ibid., h. 86.58 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), v. 2., h.
77.
36
36
madharat (daf’u madharrah). Jangan sampai maslahat tersebut hanya
memperhatikan jalbu manfa’ah saja tanpa diimbangi dengan aspek madharatnya.
Misalnya menyerahkan hak thalaq kepada hakim yang seharusnya hak suami.59
2. Maslahat itu diciptakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan
perseorangan. Dalam arti kata, maslahat yang dijadikan penyebab ketetapan
hukum haruslah mengedepankan aspek sosial dan kepentingan orang banyak
bukanlah kepentingan segelintir orang. Sebab hukum syari’ah itu diletakkan
untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi60. Misalnya
untuk kepentingan keluarga, pemimpin, saudara, dan lain-lain.
3. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan
dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash dan ijma’. Wahbah
Zuhaili menambahkan juga, agar maslahah tersebut sesuai dengan maqashid
syari’ah, dan tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang qat’i.61 Maka
menyamakan ratakan bagian anak laki-laki dan perempuan dalam warisan, adalah
bentuk maslahah yang bertentangan dengan syari’ah, dan tidaklah sah
pengamalannya.
59 Ibid., h. 77. Lihat pula Abdul Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh, h. 86.60 Ibid., h. 78.61 Ibid., h. 78.
37
37
BAB III
RIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI
SERTA KONSEP MASLAHAT MURSALAHNYA
A. Biografi Imam Malik, r.a.
1. Kelahiran Imam Malik
Imam Malik bin Anas salah satu Imam madzhab fiqh yang empat yaitu
madzhab Maliki, dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Dia lahir pada masa
pemerintahan Walid bin Abdul Mulk tepatnya tiga belas tahun sesudah kelahiran
Imam Abu Hanifah. dan meninggal pada masa kekuasaan Harun Al-Rasyid (179 H)62.
Dia berasal dari Kabilah Yamniah.63 Kedua orang tua beliau adalah keturunan Arab,
bapaknya bernama Anas bin Malik bin Abi ‘Amir al-Usbukhi dari Kabilah Yamniah
sedangkan ibunya bernama al-‘Aliyah binti Sariik al-Azdiyah dari keturunan al-
Azad.64
Imam Malik hidup pada periode setelah tabi’in dan dikenal sebagai ahli
dalam bidang hadis dan fiqih. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah pergi keluar
Madinah. Imam Malik sempat juga merasakan masa Dinasti Umayyah, tetapi lebih
62 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanandalam Islam (Bandung: Mizan, 2001) h. 103.
63 Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islamdalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h. 98. Lihat pula MahmudSaltuth, Al-Islam; Aqidah wa Syari’ah, (Beirut, Dar al-Qalam, 1966) h. 390.
64 Mahmud Saltut, Al-Islam, h . 390.
38
38
lama hidup di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu kekuasaan Islam
telah mencapai Cina dan Eropa, khususnya Spanyol.65
2. Perjalanan Intelektual
Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan,
sehingga sejak itu pula beliau telah hafal al-Qur’an. Pada mulanya dia belajar fiqih
kepada Rabi’ah ibn Abdurrahaman, seorang ulama yang sangat terkenal saat itu.
Beliau juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat66. Selain itu, guru-guru Imam
Malik adalah ‘Abdurrahman ibn Hurmûz, Nafi’ Maula ibn ‘Umar dan Ibn Syihab Al-
Zuhri.67
Beliau dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, yang didahuluinya
dengan meneliti hadist-hadist Rasulullah SAW., dan bermusyawarah dengan ulama
lain. Diriwayatkan, bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang yang biasa diajak
bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.68
Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah,
beliau mendengar tiga puluh satu hadis dari Ibn Syihab tanpa menuliskannya. Ketika
kepadanya diminta mengulangi seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya.69
Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam
ilmu hadis dan fiqih. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang
ilmu itu. Sebagai pengakuan atas kehebatan Sang Imam, Imam Syafi’i pernah
65 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan, h. 103.66 Suparman Usman, Hukum Islam, h. 98.67 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan, h. 103.68 Ibid., h. 104.69 Ibid., h. 104.
39
39
melontarkan kata-kata, “Malik adalah guruku, darinya aku menimba ilmu, dia adalah
hujjah antara aku dan Allah, dan tidak ada guru yang lebih banyak memberikan ilmu
kepadaku dibandingkan dengan Malik. Di tengah para ulama, Malik adalah bintang
yang cemerlang”.70
Dengan pemikirannya yang didasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi saw.,
ijma’ sahabat, amalan-amalan yang dilakukan penduduk Madinah, dan prinsip
menjaga kemaslahatan, Imam Malik banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang
berbagai masalah.71
Murid-muridnya tersebar di pelbagai wilayah Mesir, Afrika, dan Andalusia.
Murid-murid yang di Mesir adalah Abu Abdillah ibn Rahman Al-Qasim (w. 191 H),
yang belajar kepada Imam Malik selama 20 tahun dan juga belajar fiqh pada Al-Laits
ibn Sa’ad. Kemudian, Abu Muhammad Ibn ‘Abdullah ibn Wahab ibn Muslim (120-
197 H), Asyhab ibn Abd Al-Aziz Al-Qasi (150-203 H), Abu Muhammad Abdullah
ibn Abd Hakim (w. 214 H), Asybagh ibn Faraj, dan Muhammad ibn Ibrahim Al-
Iskandari ibn Ziyad (w. 269).72
Imam Malik telah menulis kitab Al-Muwaththa’, yang merupakan kitab
hadis dan fiqh. Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Madzhab Maliki,
70 Ibid. h. 104.71 Abdurrahman al-Syarqawi, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, terj. Al-Hamid al-Husaini,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000). h. 15072 Ibid., h. 152.
40
40
tersebar luar, dan dianut di banyak bagian penjuru dunia, seperti di Maroko, al-Jazair,
Mesir, Tunisia, Sudan, Kuwait, Qatar dan Bahrain.73
3. Sumber-Sumber Dalil Ijtihad Imam Malik
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Maliki adalah:
a. Al-Qur’an;
b. Sunnah;
c. Ijma Ulama Madinah
d. Fatwa Sahabat;
e. Qiyas;
f. Maslahah Mursalah74
4. Hujjah Imam Malik Dalam Penggunaan Maslahah Mursalah
Dalam menyikapi maslahah mursalah sebagai metode pengambilan hukum
(istinbath al-ahkam) para ulama berbeda-beda pandangan, sehingga terpecah menjadi
tiga kelompok, yaitu:
Kelompok pertama, berpegang teguh kepada ketentuan nash. Golongan ini
memahami nash hanya dari segi lahiriahnya semata (tekstual) dan tidak berani
memperkirakan adanya maslahat di balik suatu nash. Mereka yang dikenal dengan
julukan madzhab dzahiriyah ini juga tidak mau menerima dalil qiyas. Oleh karena itu,
73 Abdurrahman al-Syarqawi, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, h. 154.74 Suparman Usman, Hukum Islam, h. 98
41
41
mereka menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada maslahat kecuali yang telah jelas
disebut oleh nash, dan tidak perlu mencari-cari sesuatu kemaslahatan di luar nash.75
Kelompok kedua, mencari kemaslahatan dari nash yang diketahui tujuan
dan illatnya. Karenanya, mereka mengqiyaskan setiap kasus yang jelas mengandung
suatu maslahat, dengan kasus lain yang jelas ada ketetapan nashnya dalam maslahat
tersebut. Meskipun demikian, mereka tidak sekali-kali mengklaim sesuatu maslahat
kecuali apabila didukung oleh bukti dari dalil khas. Dengan demikian tidak terjadi
campur aduk antara sesuatu yang dianggap maslahat, karena dorongan hawa nafsu,
dengan maslahat yang hakiki (yang sebenarnya). Dengan demikian, tidak ada
maslahat yang dipandang mu’tabarah (dapat diterima), kecuali apabila dikuatkan
oleh nash khas atau sumber hukum pokok yang khas. Pada umumnya yang dijadikan
ukuran untuk menyatakan suatu maslahat ialah ‘illat qiyas.76
Kelompok ketiga, menetapkan setiap maslahah harus ditempatkan pada
kerangka kemaslahatan yang ditetapkan oleh syariat Islam, yaitu dalam rangka
terjaminnya keselamatan jiwa, keyakinan agama, keturunan, akal, dan harta benda.
Dalam hal ini tidak didukung oleh sumber dalil yang khusus sehingga bisa disebut
qiyas, tetapi dia dapat menjadi dalil yang mandiri, yang dinamakan maslahah
mursalah.77
Sementara itu, Imam Malik menjadikan maslahat mursalah sebagai salah
sumber dalil dengan alasan yang cukup rasional, yaitu:
75 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 279.76 Ibid., h. 279.77 Ibid., h. 279.
42
42
Pertama, Realitas obyektif membuktikan penggunaan paradigma pemikiran
maslahah mursalah terhadap persoalan yang terjadi, jauh sebelumnya, para sahabat
Nabi telah banyak menggunakan maslahat mursalah di dalam mengambil kebijakan
dan istinbath hukum, di antaranya sebagai berikut:
a. Pembukuan al-Qur’an menjadi mushaf. Ketika itu sahabat Umar r.a. menggagas
pembukuan al-Qur’an menjadi mushaf dan kemudian mendapat persetujuan dari
Khalifah Abu Bakar r.a.. Persetujuan Abu Bakar r.a. tersebut merupakan ijtihad
yang berdasarkan pendekatan maslahah mursalah, dengan pertimbangan akan
hilangnya ayat al-Qur’an.78 Ijtihad ini sebelumnya tidak pernah dilakukan
Rasulullah saw. namun ijtihad ini merupakan realisasi dari firman Allah:
كر الذ نا نزل حن ا ن ون إن ظ لحاف ھ ا ل إن )15:٩/الحجر(وArtinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Q.S. al-Hijr/15:9).
b. Umar Ibn Khattab pernah membagi atau memisahkan harta para pejabat atau
penguasa dengan wilayah kekuasaannya. Karena ada dugaan tercampurnya harta
pribadi dengan harta umum, dan juga dengan hartanya yang dipergunakan untuk
kepentingan rakyat. Menurutnya hal ini dilakukan untuk kebaikan bagi para
penguasa dan mencegah penumpukan harta oleh penguasa. Tapi sebenarnya yang
terbaik adalah harus ada pemaparan harta pribadi agar tidak terjadi kezaliman
antara penguasa dan rakyat79.
78 Al-Syatibi, al-I’tisham, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th), h. 115. Lihatpula Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 281
79 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 281.
43
43
c. Khulafa al-Rasyidin memutuskan adanya (bolehnya) tadhmin al-shanai’
(menanggung ganti rugi) tentang dalil yang mendasarkan amanah, tetapi
seandainya tidak ada jaminan mereka pasti meremehkan dan tidak memberikan
hak sebagaimana mestinya, dimana harta orang banyak berada dalam kekuasaan
mereka. Ali ibn Abi Thalib menerangkan bahwa asas tadmin adalah maslahah.
Karena hanya itu yang terbaik, jadi setelah tadhmin al-shana’i ditetapkan Ali ibn
Abi Thalib, maka bagi para pembuat barang memiliki kewajiban untuk mengganti
jika terjadi kerusakan atau kekeliruan pada barang yang dipesan.80
d. Umar Ibn Khattab yang sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air
guna memberi pelajaran dan pendidikan kepada para penipu berselubung penjual
susu yang mencampur susu dengan air. Langkah ini merupakan pendekatan
maslahah mursalah sebagai upaya preventif dari terjadinya penipuan.81
e. Para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota kelompok
atau jama’ah yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang jika mereka
melakukan pembunuhan itu secara bersama-sama. Karena menurut tinjauan
maslahah saat itu menuntuk demikian. Alasannya, orang yang dibunuh itu
ma’sum al-dam (darah yang terjaga).82 Selain itu, menurut penulis apabila
sekelompok orang yang membunuh itu tidak dikenakan qishas maka
dikhawatirkan bagi mereka yang ingin membunuh orang lain, agar terhindar dari
qishas, maka mereka melakukannya secara berjama’ah.
80 Al-Syatibi, al-I’tisham., h. 119.81 Ibid., h. 120.
82 Ibid., h. 125. Lihat pula: Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 181.
44
44
Kedua, paradigma maslahah seharusnya memiliki relevansi dengan tujuan
syara’, dengan asumsi, menggunakan maslahah sama dengan mengaplikasikan tujuan
syari’i (maqashid syari’ah), sebaliknya membiarkannya berarti membuang maqashid
syari’ah. Oleh karena itu, menurut Imam Malik mengambil maslahah sebagai sumber
hukum hukumnya wajib. Oleh karena itu, adalah wajib menggunakan dalil maslahah
atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber
hukum ini tidak keluar dari ushul atau sumber-sumber pokok, bahkan terjadi
sinkronisasi antara maslahah dan maqashid syari’ah.83
Ketiga, Kontroversi maslahah sebagai sumber hukum kondisional, akan
berimplikasi pada kemandulan ushul al-syari’ah dan prinsip dasar hukum Islam yang
sudah disepakati bersama (ijma’), sehingga mukallaf akan mengalami kesulitan dan
kesempitan84, padahal Allah swt. tidak menghendaki adanya kesulitan itu
sebagaimana dikemukakan Allah dalam surat Al-Baqarah 185:
لعسر ... م ا بك رید ی ال و لیسر م ا ك ید هللا ب )185: 2/البقرة(...یرArtinya: ”...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu...” (Q.S. al-Baqarah/2: 185).
dan dalam surat al-Hajj: 76.
ی◌ أ ن ابی م لم مور ع األ جع تر إلى هللا م و اخلفھ م و دیھم )76: 22/الحج(ی
Artinya: “Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakangmereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan”. (Q.S. al-Hajj/22: 76).
83 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 182.84 Ibid., 182.
45
45
Menurut penulis, dengan adanya justifikasi dari ayat-ayat diatas setidaknya
semakin mengukuhkan posisi maslahah sebagai salah satu sumber penggalian hukum,
yang menuntut pengkajian lebih kritis atas penerapannya di bidang hukum. Hal itu
disebabkan perkembangan persoalan kekinian di sektor sosial kemasyarakatan selalu
variatif dan dinamis, sehingga dibutuhkan jawaban hukum yang sesuai pula dengan
kasus hukumnya.
5. Kriteria Maslahah Mursalah Imam Malik
Menurut Imam Malik, maslahah mursalah merupakan dasar istinbath yang
berdiri sendiri. Menurutnya ada beberapa syarat untuk dapat dikategorikan sebagai
maslahat mursalah sebagai berikut.
Pertama, maslahah tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan
(munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.85
Kedua, maslahah tersebut dijadikan dasar untuk memelihara sesuatu yang
dharuri dan menghilangkan kesulitan (raf’ul haraj), dengan cara menghilangkan
masyaqat dan madarrat.86
Ketiga, maslahah tersebut harus sesuai dengan maksud disyari’atkan
hukum (maqasid al-syari’ah), dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang
qath’i.87
Dari syarat-syarat konsep maslahah murslahah Imam Malik di atas, penulis
memahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode maslahah mursalah dan
85 Al-Syatibi, al-I’tisham, h. 129.86 Ibid., h. 133.87 Ibid., h. 129.
46
46
maqasid syari’ah. Sehingga untuk menggunakan metode maslahah mursalah ini,
seorang ahli hukum Islam harus memperhatikan nilai-nilai maqasid syari’ah.
Selain menentukan syarat-syarat suatu maslahah mursalah dapat dijadikan
sumber, Imam Malik juga memberikan prinsip-prinsip universal dalam berijtihad
dengan maslahat mursalah. Husain Hamid Hasan, sebagaimana dikutip Wahbah al-
Zuhaili88, menyebutkan sebagai berikut:
a. Berlakunya dugaan kuat dalam hukum.
Artinya menegakkan dugaan kuat pada sesuatu dapat dijadikan sebagai
suatu kenyataan sebenarnya. Prinsip pertama inilah menurut Imam Malik sebagai
landasan syari’ah atau maslahah universal. Misalnya larangan berkhalwat (berbaur)
antar pria dan wanita yang bukan mahramnya. Larangan tersebut mengandung unsur
kecurigaan yang kuat terhadap perbuatan zina. Sehingga dugaan kuat pada sesuatu itu
menjadi hukum itu sendiri.89
b. Kewajiban mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
Prinsip kedua ini juga merupakan landasan syari’. Misalnya Larangan
Rasulullah terhadap jual beli talq rukban90. Larangan ini bertujuan memelihara
kemaslahatan pedagang secara pribadi karena dikhawatirkan akan terjadi ketidak
88 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 85-86.89 Ibid., 85.90 Talq Rukban adalah pedagang yang akan berjualan ke satu tempat (pasar) kemudian
dihadang oleh pembeli. Transaksi jual beli ini dilarang oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya, yaituhadis Ibn Abbas dengan lafadz “الركبان ”ال تلقو (HR. Al-Jama’ah)
47
47
tahuan harga yang berlaku diantara para pedagang, sekaligus menjaga kemaslahatan
orang banyak di pasar.91
c. Kebolehan menolak kemudharatan yang terberat diantara dua kemudharatan
Prinsip ketiga ini juga merupakan landasan syara’. Misalnya perintah
berjihad; walaupun perintah ini beresiko kehilangan nyawa, akan tetapi perintah ini
adalah untuk mencegah bahaya musuh yang menyerang untuk menjaga agama dan
negara dari serangan. Sebab eksistensi agama dan negara adalah lebih besar
mudharatnya dibandingkan nyawa seseorang.92
d. Kewajiban memelihara jiwa, yang termasuk prinsip-prinsip syara’ universal.
Prinsip keempat juga merupakan landasan syara’ yang universal. Misalnya
larangan tindakan pembunuhan, kewajiban sanksi qisash bagi pembunuh, penegakan
hukum dan peradilan, dan lain-lain, 93
6. Contoh-contoh Maslahah Mursalah Imam Malik
Ada beberapa fatwa Imam Malik yang memakai maslahah, atau bahkan
digunakan untuk mentakshis al-Qur’an dengan maslahah mursalah, yaitu:
a. Wanita-wanita terhormat tidak diwajibkan menyusui
Menurut Imam Malik, fatwa ini tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an,
yaitu:
91 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 86.92 Ibid., h. 86.93 Ibid., h. 87.
48
48
ضاعة لر ا م یت ن اد أ لمن أر ن لی ام ك ن لی دھن حو وال ضعن أ ر ی الدات و ... وال)233: 2/البقرة(
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan ....”
Menurut pengakuan Imam Malik, pendapat tersebut tidak bertentangan
dengan nash, karena ayat tersebut tidak menunjukkan wajib (tidak bermakna
perintah), seperti kesepakatan para mufassir. Yang menjadi sandaran Malik adalah
‘urf pada zamannya dimana menyusui tidak diharuskan untuk wanita terhormat,
dengan memberikan upah bagi orang yang akan menyusui anaknya.94 Dalam hal ini,
terlihat bahwa Imam Malik sangat memperhatikan kedekatan hubungan antara
maslahah mursalah dengan ‘urf sehingga mempengaruhinya dalam menetapkan suatu
hukum. Hukum yang diputuskan sebaiknya mempertimbangkan kondisi lingkungan
dan waktu.
b. Diterimanya kesaksian anak kecil dalam kasus pelukaan (al-jarah)
Selain bedasarkan maslahah yang tidak menyalahi Ushul al-Syari’ah,
seperti hifdz al-dima’ (menjaga terjadinya pertumpahan darah) ia juga berpegang
pada ijma ahl al-madinah dimana ia memposisikan sebagaimana hadist mutawatir.
Hal ini telah dilakukannya terhadap kasus diterimanya persaksian anak kecil untuk
mencegah terjadinya bahaya yang lebih besar.95
c. Masa iddah bagi wanita monopouse
94 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 89.95 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 90.
49
49
Menurutnya, iddah bagi wanita mononopose adalah satu tahun, atau tiga
bulan setelah masa suci dari haidh yang diperkirakan sembilab bulan. Dalam hal ini
dasar pemikirannya selain maslahah juga menggunakan ijma’ Ahl al-Madinah, dan
madzhab sahabat Umar ibn Abdul Aziz. Menurutnya, hal ini tidak berarti mentakhsis
ayat:
روء ة ق الث ث ھن نفس بأ صن رب یت ات لق مط )228: 2/البقرة(والArtinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'” (Q.S. Al-Baqarah/2: 228)
Pendapat Imam Malik ini, jelas lebih banyak melihat aspek kemaslahatan
dan ijma’ penduduk Madinah daripada makna dzahir nash tersebut.
d. Membunuh kaum atheis yang berpura-pura
Membunuh penganut atheis yang bersembunyi-sembunyi (pura-pura)
masuk Islam dan tidak diterima taubatnya. Fatwanya banyak mengedepankan aspek
maslahah, namun maslahah yang tidak bertentangan dengan nash, seperti yang
ditegaskan pada hadist:
قال رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم : عن أبي ھریرة رضي هللا عنھ قالأمرت أن أقاتل النفس حتى یشھد أن ال إلھ اال هللا فإذا قالوا ھا عصموا
96)رواه ابن ماجھ(مني دماءھم وأموالھم
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwasanya Rasulullah saw. bersabda“Saya disuruh untuk membunuh manusia sampai mereka menyaksikan diridengan mengucap ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah’.Apabila mereka telah mengucapkan sahadat tersebut maka telah terjagadarah mereka dan harta mereka”.
96 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh ..., h. 90.
50
50
Secara tekstual, pada hadist diatas dijelaskan bahwa orang yang telah
menyatakan dirinya Islam maka semua hak-haknya dilindungi, dan tidak boleh
dibunuh. Akan tetapi, menurut Imam Malik, apabila pernyataan keislamannya hanya
pura-pura maka orang tersebut tetap boleh dibunuh.97
Secara pribadi, penulis sangat respek terhadap keberanian Imam Malik
dalam memberikan fatwa yang belum pernah dilakukan oleh para mujtahid lainnya,
walaupun tidak ada jaminan kebenaran hukum terhadap apa yang telah difatwakan
dan diistinbathkan. Namun setidaknya, usaha terhadap penemuan-penemuan prinsip-
prinsip hukum baru harus tetap dilakukan, karena perubahan dalam struktur sosial
kemasyarakatan akan terus berevolusi dan dengan pola yang selalu berbeda. Jawaban
terhadap masalah tersebut adalah ketentuan yang sesuai dengan persoalan hukum,
baik keputusan maupun prinsip hukumnya yang telah dimodifikasi.
B. Biografi Imam al-Tufi
1. Kelahiran al-Tufi
Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar-Rabi' Sulaiman bin
Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa'id at-Tufi as-Sarsari al-Bagdadi al-Hanbali,
yang terkenal dengan nama at-Tufi. Kadang juga ia disebut dengan nama Ibn Abbas
97 Ibid., h. 90.
51
51
al-Hanbali Najamuddin. Sebenarnya Kata al-Tufi adalah nama sebuah desa di daerah
sarsara dekat Baghdad, dan di desa itulah tokoh ini dilahirkan. 98
Mengenai tahun kelahirannya pada ulama berbeda pendapat ada yang
mengatakan tahun 657 H (1259 M). Ada yang juga mengatakan tahun 675H99 dan
meninggal pada tahun 716 H (1318 M).100 Berdasarkan keterangan ini, jelaslah
bahwa tokoh ini lahir setahun setelah serbuan pasukan Mongol ke kota Baghdad yang
dipimpin oleh Khulagu Khan pada tahun 1258 M.101 Jatuhnya kota Baghdad oleh
serangan tentara Mongol tersebut merupakan peristiwa yang paling menentukan
dalam sejarah kaum muslimin, sebuah pertanda awal kehancuran kaum muslimin.
Jatuhnya Baghdad di atas dilukiskan sebagai seluruh dunia Islam gelap tak berdaya.
Tidak seorangpun yang dapat membayangkan bencana yang lebih dahsyat daripada
malapetaka ini. Akibatnya adalah integritas politik dunia Islam betul-betul
berantakan.102
2. Kondisi Sosial dan Ijtihad Pada Masa Imam al-Tufi
Di samping informasi bahwa tokoh yang menjadi obyek pembahasan
tulisan ini hidup dalam situasi integritas politik dunia Islam yang tercabik-cabik, juga
98Ibnu al-Imad, Syazarat al-Zahab fi Akhbari Man Zahab (Beirut : al-Maktabat-Tijari,t.t.), V: 39. Lihat pula Musthafa Zaid, Al-Maslahah fi al-Tasyri’ al-Islami wa Najmuddin al-Thufi (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954), h. 65.
99Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi at-Tasyri' al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, (Mesir: Daral-Fikr al-Arabi, 1959), h. 68.
100Abd. al-Wahhab Khallaf, Masadir at-Tasyri' fima la Nassa fih, (Kuwait:Daral-Qalam, 1972), h. 105.
101Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, terjemahan H.M. Muljadi Djojowartono,dkk.(Jakarta: Panitia Penerbit,1966), h.29.
102Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, terj. Anas Mahyuddin,(Bandung : Pustaka, 1983), h. 37-38.
52
52
at-Tufi hidup alam masa kemunduran Islam, terutama kemunduran hukum Islam.
Fase kemunduran hukum Islam berlangsung lama yaitu dari pertengahan abad
keempat Hijrah sampai akhir abad ketiga belas Hijrah. Pada fase tersebut para ulama
kurang berani berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali
hukum-hukum Islam langsung dari sumber-sumbernya yang pokok, yaitu Qur'an dan
Sunnah, atau mencari hukum suatu persoalan melalui salah satu dalil syara'. Mereka
merasa cukup mengikuti pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh Imam-Imam
mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan
Ahmad ibn Hambal. Berbagai faktor, baik politik, mental, sosial dan sebagainya telah
mempengaruhi kegiatan mereka dalam lapangan hukum, sehingga tidak mempunyai
fikiran independen, melainkan harus bertaklid.103
Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri Islam ketika
itu menjadi beberapa negeri kecil, dan negeri-negeri tersebut selalu sibuk dengan
peperangan, fitnah-memfitnah dan kehilangan ketenteraman masyarakat. Salah satu
implikasinya ialah kurangnya perhatian umat ketika itu terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan.104
Pada fase sebelumnya telah timbul mazhab-mazhab hukum Islam yang
mempunyai metode dan cara berpikir sendiri di bawah seorang Imam mujtahid.
Sebagai kelanjutannya ialah bahwa pengikut-pengikut mazhab-mazhab tersebut
berusaha membela mazhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar mazhab maupun
103Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Bulan Bintang,1984), h. 206.
104 Ibid., h. 207.
53
53
pendapat-pendapatnya, dengan cara mengemukakan kebenaran pendirian mazhabnya
dan menyalahkan pendirian mazhab lain atau dengan cara memuji-muji Imam pendiri
mazhab yang dianutnya. Dengan usaha-usaha tersebut, seseorang tidak lagi
mengarahkan perhatiannya kepada sumber hukum yang utama, yaitu Qur'an dan
Hadis, dan baru memakai nas-nas kedua sumber ini untuk memperkuat pendapat
Imamnya, meskipun kadang-kadang harus melalui pemahaman yang tidak
semestinya. Dengan demikian, kepribadian seseorang menjadi lebur dalam
golongannya dan kebebasan berpikir menjadi hapus. Orang-orang berilmu akhirnya
menjadi orang-orang awam yang mencukupkan dengan taqlid. Sudah barang tentu
fanatik terhadap suatu pikiran menyebabkan pikiran seseorang kaku dan baku.105
Pembukuan pendapat-pendapat mazhab menyebabkan orang mudah untuk
mencarinya. Pada fase-fase sebelumnya para fuqaha harus berijtihad karena
dihadapkan kepada hal-hal yang tidak ada hukumnya. Setelah ijtihad-ijtihad mereka
dibukukan, bagi orang-orang yang datang kemudian hanya mencukupkan dengan
pendapat yang telah ada.
Pada masa-masa sebelumnya, hakim-hakim terdiri dari orang-orang yang
bisa melakukan ijtihad. Akan tetapi pada masa selanjutnya hakim-hakim diangkat
dari orang-orang yang bertaqlid, agar mereka memakai mazhab tertentu dan terputus
hubungannya dengan mazhab yang tidak dipakai di peradilan. Apalagi hakim-hakim
yang bisa berijtihad seringkali keputusannya menjadi sasaran kritik
penganut-penganut mazhab tertentu. Dengan terikatnya seorang hakim pada mazhab
105 Ibid., h. 209.
54
54
fiqh yang disukai oleh penguasa negara menjadi sebab orang banyak merasa puas
terhadap mazhab tersebut.106
Oleh karena kaum muslimin tidak mengadakan jaminan agar ijtihad jangan
sampai digunakan oleh orang-orang yang tidak berhak, timbullah kekacauan dalam
persoalan ijtihad dan mengeluarkan pendapat. Orang-orang yang tidak berhak berij-
tihad ikut melakukan ijtihad, dan orang-orang awam ikut-ikut memberikan fatwa, dan
dengan demikian mereka telah mempermainkan nash-nash Syari'at dan kepentingan
orang banyak. Akibatnya ialah banyak fatwa yang berbeda-beda dan bersim-
pang-siurnya keputusan-keputusan hakim, meskipun kadang-kadang masih di negeri
yang satu dan dalam persoalan yang sama, sedang kesemuanya dianggap sebagai
hukum-hukum syara'. Setelah melihat kekacauan dalam lapangan hukum tersebut,
para ulama pada akhir abad keempat Hijrah menetapkan penutupan pintu ijtihad dan
membatasi kekuasaan para hakim dan para pemberi fatwa dengan pendapat-pendapat
yang ditinggalkan oleh ulama-ulama sebelumnya. Akhirnya pintu ijtihad resmi
ditutup.107
Tanda-tanda kebekuan dan kemunduran yang panjang tersebut terlihat
pada kenyataan-kenyataan berikut: Sebagai akibat para fuqaha tidak melakukan
ijtihad, baik karena malas dan tidak adanya daya-kreasi baru, atau karena menerima
tertutupnya pintu ijtihad sebagai suatu keputusan ijma', kegiatan para fuqaha hanya
berkisar membahas pendapat-pendapat Imam-Imam mujtahid yang lalu, seperti
106Ibid., h. 207.107Ibid., h. 208.
55
55
penyusunan masalah-masalah yang sudah ada, memilah-milah antara
pendapat-pendapat yang kuat dengan pendapat yang lemah, dan menyusun
ikhtisar-ikhtisar kitab fiqh atau "matan-matan" yang kadang-kadang merupakan
rumus-rumus yang sukar dimengerti, kemudian diberikan penjelasan yang terkenal
dengan nama "syarah", dan penjelasan ini diberi penjelasan lagi, atau diberi
catatan-catatan yang terkenal dengan nama "hasyiah" atau "ta'liqat".108 Maka semakin
benar apa yang dikatakan oleh al-Jabiri bahwa pada masa itu pembacaan teks (turats)
itu hanya model al-qira’ah al-mutakarrirah109 belum beranjak pada ”al-qira’ah al-
muntijah”.
Corak lain dari cara penyusunan kitab dari masa kemunduran ialah
penghimpunan fatwa-fatwa dalam satu mazhab. Akan tetapi kitab-kitab fatwa ini
merupakan suatu perbendaharaan yang sukar dinilai dalam hukum Islam110.
Akibatnya hukum Islam menjadi terisolasi dari persoalan kehidupan,
karena persoalan kehidupan ini akan selalu muncul, sedang hukum-hukum Islam
harus dicukupkan pada ijtihad-ijtihad dari masa sebelumnya, dan hukum Islam hanya
bersifat teori semata dan tidak bisa merespons masalah-masalah baru dalam
kehidupan manusia. Dalam pada itu pusat ilmu-ilmu pada waktu itu terutama hukum
Islam berpindah-pindah, dari kota-kota Bagdad, Bukhara dan Naisabur, ke kota-kota
Mesir, Syam, India, Asia Kecil dan Afrika.
108 Ibid., h. 209.109 Model pembacaan yang hanya mengulang-ngulang dari tradisi yang terwariskan dari
generasi ke generasi yang seolah menjadi kekuatan yang paten yang tidak bisa diganggu gugat. Lihat:M. Abid al-Jabiri, Post Tradisionalime Islam, terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: L-KiS, 2000), h. 35.
110 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, h. 210.
56
56
Maka menjadi jelaslah bahwa secara historis al-Tufi lahir dari latar
belakang kemunduran Islam khususnya hukum Islam yang menuntut suatu
pembaharuan. Sedangkan secara sosio-politik terjadinya fenomena disintegrasi serta
fanatisme madzhab yang berlebihan, sehingga tidak jarang satu madzhab menghujat
madzhab yang lain. Al-Tufi lahir dalam keadaan masyarakat yang krisis, tidak
menentu setelah jatuhnya Baghdad pada pasukan mongol. Fenomena stagnasi hukum
Islam inilah tampaknya yang banyak memberikan pengaruh pada pemikiran al-Tufi,
yang untuk ukuran masanya bahkan sampai sekarang pun terlihat sangat liberal.111
Meskipun masa tersebut dinamakan masa kemunduran, pada masa ini
masih terdapat fuqaha-fuqaha bebas yang menentang taqlid dan menyerukan kembali
kepada Qur'an dan Hadis. Usaha-usaha mereka ini berhasil dan besar pengaruhnya
terhadap masa-masa berikutnya. Di antara fuqaha-fuqaha bebas adalah Ibnu Taimiyah
(wafat 728 H) yang mempunyai karya-karya baru. Di antaranya ialah
"fatwa-fatwanya" yang merupakan segi penerapan praktis hukum-hukum Islam,
karena fatwa-fatwanya tersebut merupakan jawaban-jawaban terhadap peristiwa yang
terjadi pada masanya. Tokoh lain ialah Ibnul Qayyim (wafat 751 H) yang menulis
buku-buku hukum Islam yang sangat bernilai, seperti ”I'lam al-Muwaqi'in”.112
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diduga bahwa at-Tufi hidup segenerasi
111 M. Zainal Abidin, Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi DinamisasiHukum Islam, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum, no. 1., v. 7, 7 Juni 2007.
112Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. h. 209, Lihat pula: AnwarAhmad Qadri, Islamic Jurisprudence in The Modern World, (Pakistan: SH. Muhammad AshrafKashmir Bazar Lahore, t.t.), h. 67-77.
57
57
dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Menurut suatu keterangan
memang bahwa at-Tufi adalah salah seorang murid Ibnu Taimiyah.113
Al-Thufi merupakan sosok yang terkenal sebagai seorang pecinta ilmu.
Selain terkenal cerdas ia juga dikenal dengan kekuatan hafalannya. Kecintaan
terhadap ilmu bisa dilihat dari ketekunannya untuk belajar pelbagai disiplin ilmu
pengetahuan di pelbagai tempat dan dari para alim ulama yang masyhur di zamannya.
Bidang-bidang kajian yang ia tekuni di antaranya ilmu tafsir, hadis, fiqih, mantiq,
sastra, teologi dan lain sebagainnya. Sedangkan tempat-tempat yang pernah
disinggahi dalam pembelajarannya Sarsari, Baghdad, Damaskus, Kairo, dan tempat-
tempat lainnya yang pada waktu itu dikenal sebagai bertempatnya ulama-ulama
masyhur.114
Karya-karya tulis al-Tufi dimaksud dapat diklasifikasikan kepada lima
bidang, yaitu kelompok ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Kelompok ilmu usuluddin
(teologi), kelompok fiqh, kelompok usul al-fiqh dan kelompok bahasa, sastra dan
lain-lain.
3. Dalil Syara’ menurut Imam Al-Thufi
Menurut at-Tufi bahwa, "Sesungguhnya dalil-dalil syari'at itu terdiri dari
sembilan belas macam. Setelah diadakan penelitian, semua pendapat ulama' telah
tercakup di dalam macam-macam tersebut. Sembilan belas dalil tersebut adalah :
113Mustafa Zaid, Al-Maslahah, h. 72-74.114 M. Zainal Abidin, Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi Dinamisasi
Hukum Islam, (Syariah; Jurnal Ilmu Hukum, no. 1., v. 7, 7 Juni 2007), h. 94.
58
58
(1).al-Kitab, (2). as-Sunnah, (3). Ijma' al-Ummah, (4). Ijma' ahl al-Madinnah, (5).
al-Qiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih al-Mursalah, (8). al-Istishab,
(9). al-Bara'ah al-Asliyyah, (10). al-'Awaid, (11).Istiqra',(12). Saddu az-Zara'i, (13).
Istidlal, (14). al-Istihsan, (15).al Akhzu bi al-Akhaffi (mengambil yang lebih
ringan),(16). al-'Ismah, (17). ijma' ahl al-kufah, (18). Ijma' ahl al-'Itrah (keluarga
Nabi), (19). Ijma' al-Khulafa' al-Rasyidin”.115
Dari sembilan belas dalil tersebut, dalil terkuat adalah nash dan ijma'.
Keduanya ini terkadang selaras dan terkadang bertentangan dengan maslahat. Jika
selaras dengan maslahat, tidak perlu dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya
kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yakni nash, ijma' dan maslahat,
yang diambil dari pengertian sabda Rasulullah saw. la dara wa la dirara. Jika antara
keduanya bertentangan, yang harus didahulukan adalah penggunaan maslahat
daripada nas dan ijma'. Caranya mengadakan takhsis atau tabyin terhadap pengertian
nas dan ijma', bukan membekukan berlakunya salah satu dari keduanya. Sama
halnya dengan penjelasan Sunnah terhadap ayat Alquran, kemudian mengamalkan
pengertian Sunnah.116
Pengertian sabda Rasul tersebut ialah menetapkan maslahat dan menafikan
(meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Jika dilarang oleh syari'at,
115Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi (Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), h.13-18.
116Ibid, h. 23-24.
59
59
maslahat haruslah dipertahankan karena keduanya merupakan dua hal yang
bertentangan bagai air dan minyak.117
Ringkasnya, nas dan ijma' itu terkadang tidak mengandung segi mudarat
dan mafsadat, atau memang mengandung mudarat. Jika tidak mengandung mudarat
sama sekali, berarti keduanya sama dengan maslahat. Akan tetapi jika mengandung
mudarat, terkadang mudarat itu bersifat menyeluruh atau sebagian. Jika mudarat
yang ada itu bersifat keseluruhan, hal itu termasuk pengecualian dari hadis
Rasulullah saw. la darara wa la dirara, seperti yang terdapat di dalam masalah hadd,
uqubat dan jinayat. Jika pengertian dararah (mudarat) hanya sebagian, jika terdapat
dalil yang menguatkan, hendaknya melakukan perbuatan sesuai dengan dalil yang
menguatkan tersebut. Apabila terdapat dalil khusus yang men-takhsis, wajib
di-takhsis dengan pengertian hadis Rasul la darara wa la dirarah, dengan pengertian
mengadakan kompromi antara dalil-dalil tersebut.118
4. Konsep Maslahah Mursalah Imam al-Thufi
Dalam pandangan at-Tufi bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan
maf'alatun dari kata shalah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai
dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan
untuk menulis (al-qalamu yakunu ala’ haiatihi shalihatun li al-kitabah). Pedang
dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal. Adapun batasnya,
117Ibid, h. 23.118Ibid, h.24.
60
60
sesuai kebiasaan (‘urf), yakni “al-sabab al-mu’addi ila al-shalah wa al-naf’u”),119
maksudnya bahwa sesuatu maslahah berarti ia dalam keadaan baik, lengkap,
berfungsi, dan berguna sesuai dengan tujuan barang itu diadakan dan tidak
menimbulkan kerusakan dan kebinasaan.
Dengan mempergunakan pengertian ini, maslahah kemudian didefinisikan
sebagai sarana yang berdimensi sebagai kausalitas yang menyebabkan adanya
maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai
keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab
untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat (al-sabab al-
mu’addi ila maqshud al-syar’i ibadatan wa adatan)120.
Kemudian, al-Tufi membagi maslahat menjadi dua bagian, yaitu perbuatan
yang memang merupakan kehendak syari' (Allah swt.), yakni ibadat dan apa yang
dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti
adat istiadat (muamalah).121
Pandangan at-Tufi tentang maslahat sebagaimana dikemukakan pada
bagian pendahuluan adalah berasal dari pembahasan (syarah) Hadis nomor 32 hadis
Arba'in Nawawi. Hadis dimaksud adalah berbunyi
ار ال ضر و رر ض الArtinya: "tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain".
119Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-Tufi(Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), h. 25
120 Ibid., h. 25.121 Ibid., h.25
61
61
Bahasan at-Tufi mengenai Hadis tersebut dikutip secara utuh dan lengkap
yang bersumber dari bahasan Syaikh Jamaluddin al-Qasimi seorang ulama Damaskus
yang telah berupaya memisahkan bahasan at-Tufi di dalam hadis tersebut, kemudian
menukilkannya sebagai risalah tersendiri. Ia juga berperan sebagai pensyarah di
dalam risalah tersebut. Kemudian majalah al-Manar No. IX/10, Oktober 1906
memuat risalah at-Tufi berikut syarahnya secara lengkap.122
Prof. Dr. Mustafa Zaid, guru besar pada Universitas Dar al-Ulum memilih
sebuah bahasan at-Tufi dan pendapatnya tentang maslahat sebagai judul risalahnya.
Referensi yang dijadikan rujukan untuk penelitian Mustafa Zaid, di samping untuk
memperkuat risalah at-Tufi, ia menggunakan dua manuskrip yang tersimpan di
perpustakaan at-Taimuria milik Dar al-Kutub al-Misriyah, yang memuat syarah
at-Tufi mengenai hadis Arba'in Nawawi, manuskrip pertama terdaftar pada nomor
328 kelompok hadis. dan kedua terdaftar pada nomor 446 kelompok hadis. Ia juga
menggunakan risalah Syaikh Jamaluddin al-Qasimi, majalah al-Manar No. IX/10,
1906. Dalam kaitan ini ia mengadakan studi komparatif dan penelitian di antara
sumber-sumber tersebut mengenai risalah at-Tufi sehingga karyanya tersebut
membuahkan tulisan mengenai risalah at-Tufi yang disunting secara bagus.123
Pandangan at-Tufi - tentang maslahat - nampaknya bertitik tolak pula dari
konsep maqasid at-tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk
122Al-Thufi, Syarh al-Arbain an Nawawiyah dalam Abdul Wahhab Khallaf, masadirat-Tasyri' al-Islami Fima la Nassa fih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h. 105.
123Ibid. dan lihat juga Ahmad Abd al-Rahim al-Sayih, Risalat fi Ri'ayat al-Maslahat li al-Imam at-Tufi (Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993), h.13-47.
62
62
mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh
para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup
populer,"Dimana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."124
Karena begitu pentingnya maqasid al-syariah tersebut, para ahli teori
hukum menjadikan maqasid al-syariah sebagai salah satu kriteria (di samping kriteria
lainnya) bagi mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari konsep maqasid
al-syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan
atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari
maqasid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam
harus bermuara kepada maslahat. untuk memahami hakikat dan peranan maqasid
al-syari'ah, berikut akan diuraikan secara ringkas teori tersebut.
Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama
usul al-fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al-syari'ah
dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak
dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami
benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.125
Kemudian al-Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al-syari'ah itu
dalam hubungannya dengan illat, asl dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: asl
yang masuk kategori daruriyat (primer), al-hajat al-ammah (sekunder), makramat
124 Muhammad Sa'id Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi as-Syariah al-Islamiyah,(Beirut: Mu'assasah ar-Risalah,1977), h.12.
125Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-Juwaini, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Kairo:Dar al-Ansar,1400 H),I:295.
63
63
(tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang
tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya.126 Dengan demikian pada prinsipnya
al-Juwaini membagi asl atau tujuan tasyri' itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat,
hajiyat dan makramat (tahsiniyah).
Pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya, al-Gazali.
Al-Gazali menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan
al-munasabat al-maslahiyat dalam qiyas127 yang dalam pembahasannya yang lain, ia
menerangkan dalam tema istislah.128 Maslahat menurut al-Gazali adalah memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.129 Kelima macam maslahat di atas bagi
al-Gazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi
tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier.130 Dari keterangan ini jelaslah
bahwa teori maqasid al-syari'ah sudah mulai tampak bentuknya.
Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus
membahas maqasid al-syari'ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan
Syafi'iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara
hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.131 Menurutnya,
maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas,
126Ibid, II: h. 923-930.127Al-Gazali, Syifa al-Gazalil fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil
(Bagdad: Matba’ah al-Irsyad, 1971), h. 159.128Al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul (Kairo: al-Amiriyah, 1412), h.250.129Ibid h.251.130Ibid.h. 252.131Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam (Kairo: al-Istiqamat,
t.t), h. 32.
64
64
yaitu: daruriyat, hajjiyat, dan takmilat atau tatimmat.132 Lebih jauh lagi ia
menjelaskan, bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik
di dunia maupun di akhirat.133 Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa
Izzuddin ibn Abd al-Salam telah berusaha mengembangkan konsep maslahat yang
merupakan inti pembahasan dari maqasid al-syari'ah.
Pembahasan tentang maqasid al-syari'ah secara khusus, sistematis dan jelas
dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al-Muwafaqat
yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya
mengenai maqasid al-syari'ah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun
menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan
bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya
maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam
bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum
tersebut.134 Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala
prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan
tahsiniyat.135 Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al-Gazali,
yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.136
Konsep maqasid al-syari'ah atau maslahat yang dikembangkan oleh
al-Syatibi di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad-abad
132Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam, h. 60 dan 62.133Ibid., h. 64134Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t,) h. 72135Ibid., h. 73136Ibid., h. 80.
65
65
sebelumnya. Konsep maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syari'ah
dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh nash. Sesuai dengan pernyataan
al-Gazali, al-Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan syari'ah adalah
untuk mewujudkan maslahat. Meskipun begitu, pemikiran maslahat al-Syatibi ini
tidak seberani gagasan at-Tufi.137
Al- Thufi membangun pemikiran tentang maslahah tersebut berdasarkan
atas empat prinsip138, yaitu:
1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan (istiqlal al-‘uqul bi idrak
al-mashalih wa al-mafasid). Untuk menentukan suatu kemaslahatan atau
kemafsadatan cukup dengan akal. Pendirian al-Tufi bahwa akal semata, tanpa
harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi
fondasi pertama dalam piramida pemikirannya. Akan tetapi, al-Tufi membatasi
kemandirian akal itu dalam bidang mu’amalah dan adat istiadat saja, dan ia
melepaskan ketergantungan atas petunjuk nash, maslahah atau mafsadah pada
kedua bidang itu. Pandangan ini bertolak belakang dengan mayoritas ulama yang
menyatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan kemafsadatan itu dapat dicapai
dengan akal, kemaslahatan itu harus mendapatkan justifikasi dari nash atau ijma’,
baik dari bentuk, sifat maupun jenisnya139.
137Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata HukumIndonesia (Medan: Pustaka Widyasarana, 1995), h. 34-35.
138 Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran..., h. 55. Lihat pula: MustafaZaid, Al-Maslahah fi at-Tasyri' al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1954), h.127-132 dan Husein Hamid Hasan, Nazariah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar an-Nahdahal-Arabiyah, 1971), h. 529.
139 Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran, h. 55.
66
66
2. Sebagai kelanjutan dari pendapatnya yang pertama di atas, al-Thufi berpendapat
bahwa maslahat merupakan dalil syar’i mandiri yang kehujjahannya tergantung
pada akal semata (al-maslahah dalilah syar’iyyah ‘an al-nash). Dengan
demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh
sebab itu, untuk kehujjahan maslahah tidak diperlukan dalil pendukung karena
maslahah itu didasarkan kepada pendapat akal semata. Bagi al-Tufi, untuk
menyatakan sesuatu itu maslahat atas dasar adat-istiadat dan eksperimen, tanpa
membutuhkan petunjuk nash140.
3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu’amalah dan adat kebiasaan,
sedangkan dalam bidang ibadah (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan
syara’, seperti shalat Dzuhur empat raka’at, Puasa Ramadhan selama satu bulan,
dan thawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek maslahat karena
masalah-masalah tersebut merupakan hak Allah semata. Bagi al-Tufi, maslahat
ditetapkan sebagai dalil syara’ hanya dalam aspek mu’amalah (hubungan sosial)
dan adat istiadat. Sedangkan dalam ibadah dan muqaddarat, maslahat tidak dapat
dijadikan dalil. Pada kedua bidang tersebut nash dan ijma’-lah yang dijadikan
referensi harus diikuti. Perbedaan ini terjadi karena dalam pandangan al-Tufi
ibadah merupakan hak prerogratif Allah, karenanya, tidak mungkin mengetahui
jumlah, cara, waktu dan tempatnya kecuali atas dasar penjelasan secara resmi
langsung dari Allah swt. Sedangkan lapangan mu’amalah dimaksudkan untuk
memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan kepada manusia. Oleh karena itu,
140 Ibid., h. 56
67
67
dalam masalah ibadah, Allah lebih mengetahui, dan karena itu kita harus
mengikuti nash dan ijma’ dalam bidang ini. Mengenai masalah hubungan sosial,
manusialah yang lebih mengetahui kemaslahatannya. Karenanya mereka harus
berpegang pada maslahah ketika kemaslahatan itu bertentangan dengan nash dan
ijma’.141
4. Maslahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat. Oleh karena itu, al-Thufi
menyatakan apabila nash dan ijma’ bertentangan dengan maslahah, didahulukan
maslahah dengan cara pengkhususan (takhsis) dan perincian (bayan) nash
tersebut. Dalam pandangan al-Thufi secara mutlak maslahat itu merupakan dalil
syara’ yang terkuat, itu bukan hanya merupakan dalil ketika tidak adanya nash
atau ijma’, juga hendaklah lebih diutamakan dari nash dan ijma’ ketika terjadi
pertentangan antara keduanya. Pengutamaan maslahah atas nash dan ijma’
tersebut dilakukan al-Thufi dengan cara bayan dan takhsis, bukan dengan cara
mengabaikan atau meninggalkan nash sama sekali, sebagaimana mendahulukan
sunnah atas Al-Qur’an dengan cara bayan. Hal demikian bersumber dari sabda
Nabi saw.,”tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan”. Pengutamaan dan
mendahulukan atas nash ini ditempuh baik nash itu qath’i dalam sanad dan
matannya atau zhanni keduanya.142
141 Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran., h. 57142 Amir Mua’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran, h. 58.
68
68
Ada beberapa alasan yang dikemukakan Imam al-Thufi dalam mendukung
pendapatnya, yaitu:143
a. Firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah, 2: 179:
ولي األل ة یا أ ا ی قصاص ح م في ال لك ون و ق تت لعلكم اب )179: 2/البقرة(بArtinya: ”dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah/2:179)
b. Firman Allah swt. dalam surah al-Ma’idah, 5: 38:
الس و اال من هللا وهللا ك ا ن ا كسب م زاء ب ا ج دیھم طعوا أی ق ة فا ارق الس و ارقیم ك زیز ح )38: 5/المائدة(ع
Artinya: ”laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangankeduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dansebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. al-Ma’idah/5: 38).
c. Firman Allah swt. dalam surah al-Nur, 24:2
ة جلدة ائ م ا منھم احد و دوا كل ي فاجل الزان و یة ان )2: 24/النور(الزArtinya: ”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, ...”.
Menurut al-Thufi, semua ayat ini mengandung pemeliharaan kemaslahatan
manusia, yaitu jiwa, harta, dan kehormatan mereka. Oleh sebab itu, tidak satupun ayat
yang tidak mengandung dan membawa kemaslahatan bagi manusia.
d. Sabda Rasulullah saw.
ض ع ب یع لى ب بعضھم ع ع بی اد , ال ی ب یع حاضر ل ب ی ى , وال أة عل لمر نكح ا تـ والا خ و ا أ تھ م م , لتھاع ك ام رح م أ ت طع ق ك ذل تم عل ن ف إ م نك )رواه البخاري(إ
Artinya: ”Seseorang jangan membeli barang yang telah ditawar orang lain, danjangan pula orang kota (para pedagang) membeli barang dagangannya
143 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), h. 126-127.
69
69
dengan mendatangi para petani desa, dan jangan dinikahi seorangperempuan (sekaligus) dengan bibi (saudara kandung ayah atau ibu yangperempuan); karena apabila kamu lakukan itu, maka kamu telahmemutuskan hubungan tali silaturrahmi sesama kamu”. (HR. Bukhari)
Larangan-larangan Rasulullah dalam hadist ini, menurut al-Thufi,
dimaksudkan untuk kemaslahatan umat. Larangan membeli barang yang sudah
ditawar orang lain adalah untuk memelihara kemaslahatan penawar barang pertama;
larangan mendatangi para petani ke desa untuk membeli komoditi mereka adalah
untuk memelihara kemaslahatan petani desa dari kemungkinan terjadinya penipuan
harga, dan larangan menikahi wanita sekaligus dengan bibinya, juga untuk
memelihara kemaslahatan isteri, dan keluarga. Oleh sebab itu menurut al-Thufi, pada
dasarnya baik firman Allah maupun sabda Rasulullah saw. bertujuan untuk
kemaslahatan manusia. Dengan demikian, keberadaan maslahah sebagai landasan
hukum tidak diragukan lagi dan bisa dijadikan dalil mandiri. 144
C. Sisi Persamaan dan Perbedaan Kedua Tokoh
Imam Malik r.a. dan Imam al-Thufi memiliki kesamaan dan perbedaan
karakteristik, baik dari segi riwayat kehidupan, perjuangan mencari ilmu, karya-karya
ilmiah, dan lain sebagainya.
1. Sisi Persamaan
a. Intelektualitas
Secara intelektual, Imam Malik sejak kecil telah hafal al-Qur’an dan
hadits-hadits Rasulullah saw. sebab beliau memiliki kecerdasan dan ingatann
144 Ibid., h. 128.
70
70
sangat kuat. Ia juga adalah seorang yang aktif dalam mencari ilmu, sehingga
beliau banyak belajar dari ulama-ulama terkemuka ketika itu. Beliau sering
mengadakan pertemuan dengan para ahli hadits dan ulama.145 Akhirnya beliau
dinobatkan sebagai ulama terkemuka dalam bidang ilmu Hadis dan fiqh.
Sepanjang hidupnya, Imam Malik tidak pernah keluar dari kawasan Madinah.
Imam Al-Thufi pun, adalah seorang yang cinta terhadap ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat dipahami dari petualangannya belajar dalam
berbagai disiplin ilmu di berbagai tempat dan dari beberapa para alim ulama
yang masyhur di zamannya. Menurut Musthafa Zaid, dalam kitabnya al-
Maslahah, al-Thufi dikenal sebagai seorang yang sangat cerdas dan memiliki
ingatan yang sangat kuat dan ketekunannya yang tinggi.
b. Pengakuan akan Maslahat Mursalah
Kedua tokoh ini telah menjadikan maslahah mursalah sebagai salah
satu metodologi dalam melakukan penetapan suatu hukum, baik muamalah
maupun adat.
2. Sisi Perbedaan Kedua Tokoh
a. Tempat, dan Tahun Kelahiran
Imam Malik dilahirkan di suatu tempat bernama Zulmarwah di
sebelah Utara al-Madinah al-Munawwarah yang dikenal dengan markaz
ulama ahl al-hadits (kaum literalis). Sedangkan Imam al-Thufi dilahirkan di
145 Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab terj. Drs. SabilHuda, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1991), h. 74.
71
71
Sarsar, nama sebuah desa di Baghdad, yaitu kawasan ahl al-ra’yi (kaum
rasionalis).
Tahun kelahiran Imam Malik, bagi ahli sejarah, terdapat perbedaan
pendapat. Ada setengah pendapat yang mengatakan pada tahun 90, 94, 95, 97
Hijriah146 dan wafat pada tahun 180 H dalam usia 90 tahun. Adapun Imam Al-
Thufi dilahirkan pada tahun 657 H (1259 M) dan wafat pada tahun 716 (1318
M) dalam usia 59 tahun.
Perbedaan tempat dan tahun kelahiran ini, berpengaruh terhadap
pola pemikiran hukum kedua tokoh tersebut.
b. Situasi Sosial Politik dan Ijtihad
Imam Malik dalam riwayat kehidupannya, mengalami dua corak
pemerintahan, Umayyah dan Abbasiyyah di mana terjadi perselisihan hebat di
antara dua pemerintahan tersebut. Beliau hidup pada masa tabi’in dan dikenal
sebagai Imam Darul Hijrah.
Adapun Imam al-Thufi lahir setahun setelah serbuah pasukan
Mongol ke kota Baghdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan Pada 1928 M.
Ketika itu situasi integritas politik dunia Islam tercabik-cabik. Sehingga
negeri Islam terpecah-pecah menjadi negara kecil.
Selain itu Imam al-Thufi hidup dalam masa kemunduran Islam,
terutama kemunduran semangat berijtihad. Pada saat itu ulama kurang berani
146 Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab terj. Drs. SabilHuda, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1991), h. 72.
72
72
berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali hukum-
hukum Islam langsung dari sumber pokoknya, yaitu al-Qur’an dan Al-
Sunnah. Kegiatan para ulama ketika itu hanya bertaklid kepada pendapat-
pendapat Imam terdahulu.
Stagnasi hukum Islam inilah tampaknya yang banyak memberikan
pengaruh pemikiran Al-Thufi, yang untuk ukuran masanya bahkan sampai
sekarang terlihat sangat liberal.
c. Popularitas
Bagi sebagian besar umat Islam, nama Najamuddin al-Thufi masih
terasa asing di telinga. Sedangkan Imam Malik r.a., namanya lebih popular
dan familiar di telinga mayoritas muslim. Mungkin hal tersebut dikarenakan
pengaruh yang ditimbulkan dari pemikiran-pemikiran kedua tokoh ini.
Namun, di kalangan tokoh muslim dan peminat hukum Islam,
ketokohan ulama asal Baghdad, Irak, ini banyak diperhitungkan. Namanya
disejajarkan dengan nama besar Ibnu Taimiyyah, sang guru Al-Thufi.147
d. Dalil Syara’
Dalam berijtihad Imam Malik, mengambil dari dalil yang
representatif baginya, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma Ulama Madinah, Fatwa
Sahabat, Qiyas, Maslahah Mursalah
147 Najamuddin Al-Thufi; Pencetus Dalil-Dalil Umum, (Islam Digest: Republika terbit:18 Januari 2009.
73
73
Sedangkan Imam Al-Thufi mengatakan bahwa dalil-dalil syariat
baginya adalah (1).al-Kitab, (2). as-Sunnah, (3). Ijma' al-Ummah, (4). Ijma'
ahl al-Madinnah, (5). al-Qiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih
al-Mursalah, (8). al-Istishab, (9). al-Bara'ah al-Asliyyah, (10). al-'Awaid,
(11).Istiqra',(12). Saddu az-Zara'i, (13). Istidlal, (14). al-Istihsan, (15).al
Akhzu bi al-Akhaffi (mengambil yang lebih ringan),(16). al-'Ismah, (17). ijma'
ahl al-kufah, (18). Ijma' ahl al-'Itrah (keluarga Nabi), (19). Ijma' al-Khulafa'
al-Rasyidin”.
74
74
BAB IV
APLIKASI MASLAHAH MURSALAH
TERHADAP PRESIDEN WANITA MENURUT
IMAM MALIK DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI
E. Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Pemilihan Kepala Negara
Dalam pandangan politik hukum Islam tidak semua orang yang baik dapat
menjadi seorang kepala negara. Karena jabatan ini adalah posisi yang memiliki tugas
dan tanggungjawab yang sangat urgen. Sehingga Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-
Sulthaniyyah, sebagaimana dikutip Cholil Nafis, menegaskan bahwa pemerintahan
yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu negara adalah wajib, baik
menurut akal maupun syara’.148
Menurut akal, tidak mungkin ada suatu negara tanpa pemerintahan yang
dipimpin oleh kepala negara. Sebab kalau tidak ada masyarakat akan hidup tanpa ada
pihak yang mencegah terjadinya kedzaliman (tazhalim) dan tidak ada pihak yang
menyelesaikan perselisihan dan persengketaan (tanazu’ dan takhasum). Sedangkan
menurut syara’, kepala negara diperlukan untuk mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan tapi juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk melestarikan yang
sah dalam suatu negara membutuhkan proses pemilihan dan suksesi.149
148 HM. Cholis Nafis, Fiqh Politik, ed., Fiqh Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas,(Jakarta: FKKU, 2003), h. 138.
149 Ibid., h. 138.
75
75
Ada banyak cara yang dapat dilakukan dalam proses penggantian
kepemimpinan. Pada zaman primitif proses perebutan kekuasaan ditempuh dengan
cara perang fisik dan adu kekuatan otot, sehingga untuk merebut kekuasaan harus
jago perang dan pandai bertempur. Namun pada era modern memilih metode
pemilihan umum sebagai alternatif yang paling rasional dan aman dalam perebutan
kekuasaan.
Dalam politik Islam, pemilihan kepala negara menggunakan beberapa
metode yang harus diterapkan. Paling tidak Ada tiga tahap yang harus dilalui dalam
pemilihan kepala negara atau khalifah.150
Pertama, tahap pencalonan kepala negara. Sehubungan dengan ini, kepala
negara atau khalifah terdahulu atau salah satu dari ahlu al-ra’yi mencalonkan seorang
Imam yang layak menduduki jabatan ini. Misalnya pencalonan Abu Bakar kepada
Umar atau Abu Ubaidah di dalam peristiwa Saqifah.
Kedua, tahap pemilihan dan penerimaan calon. Pada tahap ini, jika calon
yang diajukan lebih dari satu, anggota majelis syura’ memilih seorang saja dari
mereka. Atau menyetujui saja pencalonan tersebut jika calonnya hanya satu.
Misalnya, kesepakatan kaum muslimin terhadap pencalonan Abu Bakar setelah
keputusan Abu Bakar dibacakan dan pemilihan, Abdurrahman bin ’Auf kepada
Usman bin Affan yang disusul dengan persetujuan seluruh kaum muslimin.
150 Sa’id Harra, Al-Islam; Sistem Bermasyarakat dan Bernegara, Jakarta: Al-IslahyPress,tth.,h. 137-145.., h. 170-172.
76
76
Ketiga, tahap pembaiatan. Marhalah ini sebenarnya merupakan realisasi
dan pembuktian dari tahap pemilihan. Karena itu tahap ini menyatu dengan tahap
pemilihan.
Sementara syarat-syarat menjadi imam (pemimpin), menurut al-Mawardi,
ada tujuh. Pertama, mampu bersikap adil. Kedua, mampu melakukan ijtihad dalam
menyikapi peristiwa-peristiwa yang muncul. Ketiga, tidak cacat panca indra.
Keempat, tidak cacat fisik yang menyebabkan tidak bisa bergerak dan tidak cepat
berdiri. Kelima, mampu mengatur rakyat dan kebaikan-kebaikan. Keenam, memiliki
jiwa pemberani. Dan ketujuh, memiliki jalur keturunan dari suku Quraisy.
F. Presiden Wanita Dalam Perspektif Fiqh Siyasah
Dalam Islam kepala negara adalah orang yang mewakili umat dalam urusan
pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum syara’. Islam
menjadikan pemerintahan atau kekuasaan tersebut sebagai milik umat. Dalam teori
manajemen modern, seorang pemimpin adalah orang yang mampu
mengorganisasikan semua elemen yang terdapat dalam lingkup manajemen. Di sana
ada manusia, aset, pasar, dan unsur-unsur pendukung lainnya. Seorang pemimpin
negara yang berhasil adalah pemimpin yang mampu menggunakan elemen-elemen di
atas secara efektif.151
’Aisyah r.a. istri Rasulullah saw. adalah salah satu pemimpin wanita yang
dikenal dalam Islam. Sebab dia pernah memimpin pasukan pada sebuah peperangan
yang dikenal dengan perang Jamal. Ketika itu ’Aisyah memutuskan berangkat ke
151 Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan, h. 201.
77
77
Basrah dari Madinah, memimpin pasukan tentara yang di dalamnya terdapat kaum
laki-laki. Di antara laki-laki tersebut adalah generasi Sahahat Rasulullah, bahkan dua
di antaranya termasuk dalam daftar sepuluh orang yang dijamin masuk surga, mereka
adalah Thalhah dan Zubair152.
Taatkala Amar bin Yasir berusaha menentang keberangkatan Aisyah,
karena kekhawatiran muncul fitnah besar, tampak disini perbedaan persepsi antara
kedua kelompok generasi awal Islam mengenai kepemimpinan wanita. Untuk
menghalau kepergian Aisyah ke medan Perang, Ummu Salamah pun mengirim surat
kepada Aisyah berisi nasehat agar ia tidak keluar dalam kekacauan situasi waktu itu.
Jawaban Aisyah yang ia kirim lewat surat balasan adalah, ”Tak ada celanya aku
tinggal di rumah, tetapi yang aku lakukan ini adalah untuk kebaikan manusia.”153
Abu Bakrah tampak berbeda pendapat secara tajam dengan kelompok
’Aisyah, kendati pun ia tidak berpihak kepada Khalifah Ali r.a. Ia berkata,
ل ل جم ل ا م أیـا مة ل ي هللا بك ن فع ن أن , قد م ل وس علیھ ى هللا بي صل الن غ ل ا ب م لال رى ق س ة ك ن كوا اب سا مل : فر أة امر وا أمرھم م ول و ق لح ف رواه (لن ی
)البخاريArtinya: ”Sungguh Allah telah memberikan pelajaran yang bermanfaat bagiku dari
satu kalimat yang muncul pada perang Jamal, yaitu ketika sampai beritakepada Rasullah saw. bahwa orang persia mengangkat putri Kisra sebagairaja, maka Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak akan pernah berhasil suatukaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita” (HR. Bukhari)154
152 Cahyadi Takariawan, Fiqih Politik Perempuan, (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 102.153 Ibid., 102.154 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Maktabah al-Syamilah
78
78
Abu Bakrah tampaknya cenderung memahami larangan dalam Hadis ini
secara kontekstual, yaitu segala bentuk kepemimpinan wanita atas laki-laki. Akan
tetapi ijtihad ’Aisyah r.a. memimpin pasukan tersebut menunjukkan pemahaman
yang berbeda dengan apa yang dipahami Abu Bakrah.155
Perbedaan pendapat antara Aisyah r.a. dan Abu Bakrah, menurut penulis,
akhirnya menjadi warisan kontroversial dalam kancah pemikiran politik Islam,
bahkan menjadi asal muasal terjadinya ikhtlaf diantara para ulama tentang status
kepemimpinan perempuan sebagai kepala negara, sehingga paradigma ini oleh para
ulama digolongkan kepada wilayah khilafiah. Ada pendapat yang melarang dan ada
pula pendapat yang membolehkannya.
a. Pendapat Yang Tidak Memungkinkan Wanita Menjadi Presiden
Pendapat pertama ini diprakarsai oleh jumhur ulama dan Syi’ah
Zaidiyyah156. Mereka melihat bahwa kepemimpinan suatu negara hanya terbatas
untuk kaum lelaki tanpa wanita, karena lelaki dianggap mempunyai kelebihan dalam
mengatur, kelebihan berpendapat, dan kelebihan kekuatan jiwa, dan tabiatnya.
Adapun wanita kebanyakan lemah lembut. Selama lelaki memiliki hak
kepemimpinan terhadap wanita, wanita tidak dapat memiliki kekuasaan umum yang
menjadikannya sebagai pemegang kekuasaan, dan juga tidak boleh berpartisipasi
dengan kaum lelaki dalam memegang kekuasaan. Menurut pendapat kelompok ini,
nash al-Qur’an al-Karim itu sangat jelas menerangkan bahwa kepemimpinan adalah
155 Ibid., h. 103.156 Huzaemah Tahido, Muhadharat fi al-fiqh al-Muqarin, (Jakarta: t.p., 1997), juz II, h.
69.
79
79
امو و قن
امو و قن
milik kaum lelaki tanpa wanita. Mereka melihatnya sebagai hujjah yang harus tetap
ditegakkan.157
Pendapat-pendapat yang melarang perempuan tampil menjadi presiden atau
jabatan publik, bertumpu pada landasan-landasan dan hujjah-hujjah sebagai berikut:
i. al-Qur’an al-Karim
Al-Qur’an yang dijadikan dasar bagi supremasi pria atas wanita antara lain
dalam surat:
1). Surat Al-Nisa’ ayat 34:
قوا نف بمآأ و ض لى بع ع م ضھ ع ب فضل هللا بما آء س ن على ال امون و ل ق ا لرج ام الھ ن أمو )4/34/النساء(.…م
Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allahtelah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dariharta mereka ...”
Kalimat dalam ayat tersebut di atas menyatakan bahwa pria adalah
pemimpin bagi perempuan. Kata inilah yang memiliki interpretasi berbeda di
kalangan mufassirin,158 apakah boleh diterjemahkan dengan “Mitra Sejajar”,
sehingga pria adalah mitra sejajar bagi kaum perempuan, kalau tidak boleh diartikan
demikian, memang terkesan Islam memandang pria lebih tinggi dari wanita.
157 Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, terj. Bahruddin Fannani(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), h. 106. Lihat pula: Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkamal-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 1978), h. 72. Perludicatat di sini bahwa al-Mawardi tidak menunjukkan kompetensi wanita untuk memegang kekuasaankecuali kekuasaan yang khusus berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
158Lihat Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.), h. 45.
80
80
امو و قن
ام و قون
Mufassir Rasyid Ridha, dalam tafsir “Al-Manar” mengartikan kata
ss sebagai pemimpin, tetapi cara yang ditempuh bukanlah pemaksaan tapi
bimbingan dan penjagaan. Selanjutnya ia mengemukakan kelebihan pria atas wanita,
karena ada dua sebab, fitri dan kasbi.159 Sebab fitri (bawaan) sudah ada sejak
penciptaan. Menurutnya, perempuan sejak penciptaannya diberi fitrah untuk
mengandung (al-hamalah), melahirkan (al-wiladah), dan mendidik anak (tarbiyah al-
athfal). Sedangkan pria semenjak penciptaan sudah diberikan kelebihan kekuatan (al-
quwwah) dan kemampuan (al-qudrah), menurutnya akibat kesempurnaan pria itu
tentu akan berdampak kelebihan kasbi yaitu pria telah mampu berinovasi dan
berusaha di segala bidang.160
Dari pendapat mufassir di atas dapat disimpulkan bahwa hanya
ada pada kaum pria maka berarti prialah penanggung jawab, pendidik, pengatur,
penguasa, dan lain-lain yang semakna atas isteri atau wanita dalam rumah tangga.
Dan isteri atau wanita pihak yang dikuasai, yang dipimpin pria mempunyai
superioritas dan wanita inferioritas. Sebab laki-laki diciptakan Allah swt. sebagai
pemimpin bagi urusan wanita, penjaga atas kehormatannya, dan pemenuh kebutuhan
nafkah ruhiyah serta badaniah.161
2). Surat Al-Baqarah ayat 228:
و ... رجة د ن یھ ل جال ع )228: 2/البقرة... (للرArtinya: ”...akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya...”
159 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr,1973), v. 7, h. 69-70.160 Ibid., h. 71.
161 Huzaemah Tahido, Muhadharat fi al-fiqh al-Muqarin, h. 69.
81
81
Allah swt. menyatakan kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita,
sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain yakni
karena pria lebih utama dari wanita, dan pria lebih baik dari wanita. Karena itulah
kenabian hanya dikhususkan bagi laki-laki, begitu juga kekuasaan yang tertinggi
berdasarkan sabda Nabi. Demikian pula halnya dengan posisi hakim, kepala negara,
dan lain-lain.
ii. Hadist
Selain itu terdapat Hadis yang menguatkan larangan wanita menjadi
presiden:
ال (حدثنا عثمان بن الھیثم حدثنا عوف عن اللحسن رة ق ك ي ب ب أ :عن ل د ق ن ة م ل ك ب هللا ي ن ع ف , ل م ج ال ام ـ یأ ا ب م ل غ ل ص ي ب الن ع ى هللا ل س و ھ ی ل م ل ن أ ا س ر ف م ن ا اب و ك ل ر س ك ة ل: ال ى ق أة امر وا أمرھم م ول و ق لح ف 162رواه البخاري(ن ی (
Artinya: ”Menceritakan kepada Usman bin Husaem dan Auf dari Hasan dari AbiBakrah, beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah telah memberikanmanfa’at kepada saya dengan suatu kalimat pada waktu perang jamal,(bahwa Nabi Muhammad saw. telah bersabda) ketika ada berita sampaikepada Nabi Muhammad saw. bahwa bangsa persia telah mengangkatanak perempuan rajanya untuk menjadi penguasa, maka Nabi Muhammadsaw. bersabda”Sesuatu kaum tidak akan mendapatkan kemenangan kalaumereka menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”(HR. Al-Bukhari).
Lafaz Hadis diatas menunjukkan umum, lafadz ”qaumun” yang
digarisbawahi mencakup setiap kaum, dan lafaz ”imro’ah” (wanita) itu mencakup
162 Shahih Bukhari, Kitab Maghazi, Bab Kitab al-Nabi saw. Ila Qisra wa Qasyhar, juz 7,Hadis 4425, h. 732.
82
82
setiap wanita. Maka setiap kaum atau kaum manapun yang menyerahkan
kepemimpinan mereka kepada wanita, maka mereka tidak beruntung.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa wanita tidak diperbolehkan memegang
jabatan publik apapun termasuk di dalamnya jabatan presiden, karena akan berakibat
pada ketidaksejahteraan dan ketidakberhasilan. Dipimpin wanita adalah mudarat,
sedangkan mudarat itu harus dihindari. Di samping itu, hadits ini dari segi riwayah
tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari
segi dirayah (pemahaman makna); dalalah Hadits ini menunjukkan dengan pasti
haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar -
dilihat dari sighatnya - Hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab,
parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum
wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan
sighatnya (bentuk kalimatnya).163
Latar belakang turunnya Hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat
Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi,
walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita
menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan
makna umum (’aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk
kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan
kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi
menggunakan kata-kata umum, yakni qaumun. Selain itu, tidak ada satupun riwayat
163 Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, h. 120.
83
83
yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam yabqa fi
‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish (Lafadz umum tetap dalam keumumannya
selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya).
Sedangkan latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula
bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz
hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil
syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang
sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh
karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis
dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi
‘umum al-lafzhi la bi khususi al-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya lafadz
bukan khususnya sebab).164
iii. Qiyas
Dengan berpijak pada qiyas, pendukung pendapat ini mencatat adanya
perbedaan antara pria dan wanita, yang dapat dijadikan patokan pengqiyasan.
Contoh-contoh perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Perempuan tidak diperbolehkan mengimami khalayak umum dalam shalat lima
waktu, shalat jum’at, dan shalat ‘ied.
b. Perempuan tidak memiliki hak cerai menurut ketetapan syari’at, berbeda dengan
pria.
164 Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dan Tayyib Tizini, Finding Islam: DialogTradisionalisme-Liberalisme Islam, terj. Ahmad Mulyadi dan Zuhairi Misrawi, (Jakarta: Erlangga,2002), h. 127.
84
84
ام و قى ون ون عل ام قو ال الرج
آء س الن
c. Perempuan tidak diperbolehkan berpegian sendiri tanpa didampingi muhrim atau
teman sesama jenis yang dapat dipercaya.
d. Perempuan tidak diwajibkan melaksanakan shalat Jum’at berjama’ah,
sebagaimana tersebut di dalam Hadis.
e. Perempuan tidak diperbolehkan menjadi qadhi; Al-Mawardi menerangkan bahwa
jumhur berpendapat bahwa: qadhi tidak boleh perempuan, Imam Abu Hanifah
membolehkan seorang perempuan menjadi qadhi, dalam masalah kesaksiannya
diterima, tidak boleh perempuan menjadi qadhi bagi kesaksiannya yang tidak
diterima.165
b. Pendapat Yang Membolehkan Wanita Menjadi Presiden
Para ulama yang berpendapat bahwa wanita boleh menjadi presiden
dibangun atas dasar-dasar hujjah sebagai berikut:
i. Al-Qur’an
Pendapat ulama kontemporer yang membolehkan wanita menjadi presiden,
melihat surat al-Nisa’ ayat 34 ditafsirkan bahwa kata dalam ayat
oooooooooooooooooooolllllobukan berarti pria secara umum, tetapi suami karena
konsideran perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah mereka
(para suami) menafkahkan sebagian harta untuk isteri-isteri mereka. Seandainya yang
dimaksud dengan kata lelaki adalah kaum pria secara umum, tentu konsiderannya
165 Abu Hasan Ali Mawardi, Abu al-Hasan al-, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayatal-Diniyyah, Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 1978.
85
85
tidak demikian. Terlebih lagi ayat tersebut secara jelas membicarakan para isteri dan
kehidupan keluarga.166
Ayat 34 surat al-Nisa’ tersebut diatas tidak tepat dijadikan alasan untuk
menolak wanita menjadi pemimpin di dalam masyarakat atau presiden. Muhammad
Abduh sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar167 bahwa tidak memutlakkan
kepemimpinan pria terhadap wanita, karena ayat tersebut tidak menggunakan
tetapi menggunakan kata
Selain itu jalinan antara lelaki dan wanita di dalam masalah-masalah umum
merupakan jalinan hubungan ’kekuasaan’. Penyebutan kelebihan derajat dan
kepemimpinan di dalam Al-Qur’an tidak lain hanyalah dalam konteks pembicaraan
tentang kehidupan suami istri yang seharusnya dikaitkan dengan satu persoalan ini
saja.168
ii. Al-Sunnah
Hadis Abu Bakrah “lan yufliha qaumun wallau amruhum imra’atan”
tersebut diatas, menurut kelompok ini tidak bisa dijadikan hukum mengharamkan
perempuan menjadi presiden, sebab Hadist tersebut mempunyai asbabul wurudnya.
Hibbah Rauf Izzat mengomentari bahwa sesungguhnya Hadis tersebut
harus dipahami dan dirujukkan kepada sejarah tentang Persia dan Kisra, yaitu orang-
166 Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politik Pandangan Islam, h. 106.167Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an,
(Jakarta:Paramadina, 1999), h. 150-151.168 Hibbah, Wanita dan Politik ..., h. 107.
86
86
orang Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja mereka169. Ibn
Hajar al-Asqalani sebagaimana dikutip oleh Hibbah, di dalam syarah Shahih al-
Bukhari, menyebutkan bahwa Hadis ini merupakan bagian terakhir dari kisah Kisra
yang merobek-robek surat Nabi saw.. Kemudian Kisra menyerahkan kekuasaannya
kepada anaknya dan anaknya membunuhnya, kemudian anak itu membunuh saudara-
saudaranya. Dan ketika anak ini meninggal dunia karena diracun, sampailah
kekuasaan ke tangan anak wanitanya yang bernama Bavaran binti Syirawiyah bin
Kisra. Maka hilang dan hancurlah kerajaan mereka, sebagaimana yang didoakan
Nabi saw.170
Pada zaman Nabi Muhammad saw., Siti Aisyah (istri Nabi) saja pernah
menjadi pemimpin perang. Sekitar abad ke-13 dan ke-17, ada sekitar lima belas
penguasa perempuan yang menguasai tahta di berbagai wilayah muslim. Di antara
para penguasa Mamluk yang berasal dari Turki, terdapat dua pemegang mahkota
kerajaan, yaitu Sultanah Radhiyah dan Sulthanah Syajarat al-Durr juga terdapat enam
ratu dari lingkungan penguasa dinasti Abbasiyyah.
G. Presiden Wanita Perspektif Imam Malik dan Imam Al-Thufi
a. Pandangan Imam Malik tentang presiden Wanita
Telah dijelaskan di atas bahwa telah terjadi perbedaan pendapat antar para
ulama, cendikiawan Islam tentang status presiden wanita perspektif Islam. Diantara
pendapat tersebut ada yang dinilai ekstrim melecehkan norma dan rambu-rambu
169 Hibbah, Wanita dan Politik ..., h. 108.170 Ibid., 209. Lihat pula: Ahmad Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-
Bukhari, (Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turast, t.th.) juz. 7., h. 735.
87
87
ilahiyyah, pihak lainnya eksterim dalam kekakuan mereka terhadap pemahaman nilai-
nilai ajaran Islam171.
Dalam kasus presiden wanita, Imam Malik r.a. yang dikenal sangat berhati-
hati sekali memutuskan suatu perkara, sediakalanya seperti ulama jumhur yang
lainnya berpendapat bahwa bahwa tidak boleh wanita menjadi hakim atau top
leader172, hal itu berdasarkan al-Nisa’ ayat 34:
قوا نف بمآأ و ض لى بع ع م ضھ ع ب فضل هللا بما آء س ن على ال امون و ل ق ا لرج ام الھ ن أمو )4/34/النساء(.…م
Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allahtelah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dariharta mereka ...”
Dan Hadist Abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’i,
dan Turmudzi, bahwa Rasulullah saw.
ال (یثم حدثنا عوف عن اللحسن حدثنا عثمان بن الھ رة ق ك ي ب ب أ قد : عن لل جم ل ا م أیـا مة ل ي هللا بك ن فع ا , ن رس ف أن م سل لیھ و لى هللا ع ص بي الن غ ما بل ل
ال رى ق س ة ك ن كوا اب مر : مل ا رھم وا أم م ول و ق ح ل یف لن )رواه البخاري(أة
Dari nash al-Qur’an surat al-Nisa ayat 34 tersebut, jumhur ulama
beragrumentasi bahwa Allah swt. telah menjadikan laki-laki pemimpin bagi kaum
wanita. Baik dalam urusan atau perkara wanita, pemberitan nafkah lahiriah dan
bathiniah serta juga segala kerhormatannya. Dan sebaliknya seandainya wanita
171 Cahyadi Takariawan, Fiqih Politik Perempuan, (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 53.172 Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,
2001), h. 75.
88
88
menjadi kepala negara atau hakim maka yang akan terjadi adalah timbulnya banyak
masalah.173
Selain itu pula larangan terhadap kepemimpinan wanita dalam negara
dikuatkan dengan Hadis Rasulullah dari Abi Bakrah. Hadis ini berbentuk khabar
(berita) kepada para sahabat dimana kepemimpinan wanita diatas lelaki akan
berimplikasi kepada kerugian, kehancuran, dan ketidakbahagiaan. Menurut
Huzaemah Tahido, inilah peringatan yang keras, tidak akan terjadi peringatan ini
kecuali disebabkan suatu perkara yang sangat urgen174.
Dalam pandangan maslahat mursalah Imam Malik, mengangkat presiden
dari golongan wanita dikategorikan maslahat yang mulgah, yaitu maslahat yang telah
dibatalkan oleh nash al-Qur’an yaitu dalam surat al-Nisaa’ ayat 34 dan Hadis Abu
Bakrah yang berkualitas shahih. Selain itu terdapat ijma’ sahabat yang menyatakan
bahwa wanita tidak diperbolehkan memegang tampuk kekuasaan sebagai al-imamah
al-kubra.175
b. Pandangan Imam al-Thufi tentang Presiden Wanita
Banyak sekali pendapat para ulama yang melarang wanita untuk menjadi
pemimpin atau presiden suatu negara. Alasan yang diutarakan seperti yang telah
dijelaskan diatas adalah terdapat dukungan nash yang kuat dalam larangan presiden
wanita; baik nash al-Qur’an maupun Hadis. Diantaranya adalah:
173 Huzaemah Tahido, Muhadharat fi al-fiqh al-Muqarin, h. 69174 Ibid., h. 69.175 Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd,
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 243.
89
89
امو و جال ق لر قوا ا نف بمآأ و ض لى بع ع م ضھ ع ب فضل هللا بما آء س ن على ال ن م الھ ن أمو )4/34/النساء(.…م
Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allahtelah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dariharta mereka ...”
Dan Hadist Rasulullah saw.
... رجة د ن یھ ل جال ع للر )2:228/البقرة... (وArtinya: ”...akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya...”
Dari ayat-ayat yang penulis garis bawahi, mayoritas ulama melarang wanita
menjadi presiden, karena Allah swt. telah menentukan bahwa lelaki adalah pemimpin
wanita dan pada ayat kedua pula dinyatakan bahwa lelaki mempunyai satu tingkatan
derajat kelebihan daripada wanita.
Selain itu terdapat Hadist shahih yang melarang wanita untuk menjadi
pemimpin negara (Lan yufliha wallu Amrahum Imroatan).176 Mengenai Hadis Abu
Bakrah di atas, dari segi metodologi kritik Hadis, ia adalah sahih. Pertanyaan yang
harus dijawab ialah bagaimana Imam al-Thufi memahami ayat dan Hadis ini.
Terdapat satu pendapat bahwa Hadis-Hadis dapat dikategorikan sebagai
termasuk umurud dunya dan keuniversalannya tidak didukung oleh kenyataan harus
ditafsirkan menurut semangatnya dan dalam konteks sosio-historisnya. Kalau tidak ia
akan menjadi kering, memosil dan tidak bermakna. Untuk itu jika preseden-preseden
176Imâm Bukhari menerima Hadis tersebut dari Usman bin Hasyim dari Auf dari Hasanal-Bisri dari Abu Bakrah, Matn al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, (Bandung: Syirkah al-Ma'arif, t.t.),III: 90-91.
90
90
historis terutama dari kebijaksanaan-kebijaksanaan177. Umar r.a. seperti mengenai
masalah kharaj di mana ia mengubah praktek Rasulullah yang memberikan
tanah-tanah kepada para prajurit yang mendapatkannya yang kemudian oleh Umar,
r.a. praktek itu dirubah di mana tanah-tanah tidak ia berikan kepada prajurit.178 Umar
r.a. tidak memahami Hadis-Hadis Rasulullah dalam arti harfiyahnya melainkan dalam
semangatnya. Dengan kalimat yang lebih teknis, Hadis-Hadis itu harus dipahami
menurut illatnya, sekalipun illat-illat itu harus dicari melalui ijtihad (artinya tidak
dinaskan).
Hadis-Hadis semacam ini cukup banyak terutama dalam masalah
kemasyarakatan dan politik (mu'amalah), seperti Hadis al-Aimmah min Quraisy yang
oleh Ibn Khaldun dipahami melalui teori sejarahnya yang terkenal itu, yaitu teori
asabiyah. Secara singkat menurut Ibn Khaldun Nabi menyerahkan Imamah kepada
kaum Quraisy karena pada waktu itu hanya merekalah yang memiliki asabiyah yang
diperlukan bagi kelangsungan sebuah tata politik. Teori Ibn Khaldun ini dapat
diperluas lagi dengan menyatakan : karena orang-orang Quraisylah yang memiliki
pengalaman dan pengetahuan tentang masalah-masalah politik dan ekonomi waktu itu
wajarlah Rasul menyerahkan Imamah kepada mereka.179
177 Nasikun, “Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan”, Makalah DiskusiIlmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember 1988, h.8
178Abu Yusuf, al-Kharaj, (Beirut: Dar al-Ma'arifah,1979), hlm. 26 dts.179Syamsul Anwar, "Imâmah Wanita dalam Pandangan Ulama Fiqh Siasah", Makalah
Diskusi Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember1988, hlm.6.
91
91
Hadist Abu Bakrah di atas pun kiranya dapat ditafsirkan dengan cara yang
sama. Secara historis pada zaman Rasulullah wanita tidak begitu beruntung, bahkan
anak wanita yang lahir dikubur hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk
membebaskan kaum wanita. Walapun beliau telah banyak berhasil, suatu struktur
sosial yang sudah begitu kokoh dan melembaga tidak dapat dirubah total seratus
persen dalam waktu singkat, seperti lembaga perbudakan misalnya. Bahkan sampai
beberapa abad kemudian posisi kaum wanita belum begitu menguntungkan. Mereka
dikurung di rumah dengan sangat ketat. Apabila seorang lelaki hendak
meninggalkannya, ia mengutus seorang wanita pemantau untuk melihat dan
menyelidiki kelayakannya, sedangkan si lelaki itu tidak akan pernah dapat melihatnya
sebelum akad nikah. Wanita-wanita itu hanya dapat dipandang oleh mata keluarga
mereka.180
Dari segi pendidikan mereka juga kurang beruntung. Kaum lelaki malah
lebih tertarik untuk mendidik dan mengajar budak karena faktor komersial, sebab
budak yang terampil terutama pandai tulis baca akan mahal harganya. Hanya
kalangan amat terbatas saja yang mendidik wanita.181 Pendek kata wanita tidak keluar
dari tembok-tembok rumah suami atau orang tuanya. Artinya mereka tidak tahu
menahu mengenai urusan masyarakat. Jadi dengan demikian wajarlah Rasulullah
menyatakan bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kepada orang
180 Ibid., h. 7.181Ahmad Amin, Duha al-Islam, (Kairo:Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, t.t.), I:98.
92
92
yang tidak banyak memahami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami
kegagalan182.
Akan tetapi sekarang situasi telah jauh berubah dan wanita telah banyak
yang pandai dan terlibat secara inten dalam berbagai lapangan kehidupan. Jadi
mereka sudah tahu seluk beluk masalah. Karena menurut teori hukum Islam, hukum
itu berlaku menurut ada-tidaknya illatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa tidak
melanggar hukum Islam, wanita yang karena kecakapannya menjadi kepala
pemerintahan, karena illat mengapa Rasulullah dulu melarang telah hilang.183
Dengan mempergunakan pandangan at-Thufi nampak Hadis yang tidak
memperbolehkan wanita menjadi pemimpin negara tersebut bersifat kondisional,
artinya larangan Nabi dalam Hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan
sekitarnya, sehingga bila adat berubah, illat larangan hilang; syarat-syarat yang
ditunjuk dalam nas terpenuhi dan situasi tertentu memungkinkan, larangan tersebut
dapat berubah menjadi sesuatu yang dibolehkan.184
H. Persamaan dan perbedaan Kedua Pendapat
1. Persamaan Pendapat Antara Imam Malik dan Imam Al-Thufi
Dari uraian pandangan kedua tokoh di atas, terdapat beberapa sisi
persamaan yang perlu dicermati dan cukup menarik untuk dikaji, yakni sebagai
berikut:
182Syamsul Anwar, Imâmah, h.7183Ibid., h.7184Nasikun, Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan, Makalah Diskusi
Ilmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember 1988, h.8
93
93
a. Kedua tokoh fiqh ini, mengakui keberadaan maslahat atau kepentingan umum
yang secara eksplisit maupun implisit dalam nash al-Qur’an dan al-Hadis.
b. Pandangan maslahat bertitik tolak pula dari konsep maqasid at-tasyri' yang
menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memeli-
hara maslahat umat manusia.
c. Pengambilan maslahah tersebut bertujuan untuk mengambil manfaat (jalbu
manfa’ah) dan mencegah madharat (daf’u madharrah).
d. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu’amalah dan adat kebiasaan,
sedangkan dalam bidang ibadah (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan
syara’.
2. Perbedaan Pendapat Antara Kedua Tokoh
i. Batasan Penggunaan Dalil Maslahat
Menurut Imam Malik, Pengambilan suatu maslahat orang banyak yang
secara eksplisit tidak tercantum dalam nash Al-Qur’an maupun al-Sunnah
menjadi hukum, harus sesuai dengan ruh tasyri’ yaitu sesuai nash Al-Qur’an dan
Al-Sunnah. Apabila terjadi pertentangan, maka wajib mendahulukan nash
dibandingkan maslahat.
Sedangkan menurut al-Thufi, bahwa apabila terjadi pertentangan antara
nash al-Qur’an dan al-Sunnah, maka maslahat boleh didahulukan dibandingkan
nash. Namun hal itu dapat dilakukan dengan cara bayan atau takhsis. Pandangan
at-Tufi tentang maslahat sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan
adalah berasal dari pembahasan (syarah) Hadis nomor 32 Hadis Arba'in Nawawi.
94
94
Hadis dimaksud adalah berbunyi "la darara wa la dirara" artinya "tidak
memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain".
ii. Eksistensi Maslahat
Imam Malik menekankan bahwa pembentukan hukum dengan
mengambil kemaslahatan yaitu dengan menggunakan rasio, tidak boleh
kontrakdiktif dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash dan ijma’.
Beda halnya Imam Al-Thufi berpendapat bahwa Akal bebas
menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan (istiqlal al-‘uqul bi idrak al-
mashalih wa al-mafasid).
iii. Hadis Abu Bakrah ” Lan yufliha wallu Amrahum Imroatan”
Hadis di atas oleh tiga kalangan imam madzhab yaitu Imam Malik,
Imam Syafi’ie dan Ahmad, menjadi dasar hukum yang tidak memungkinkan
wanita menjadi hakim ataupun yang lebih tinggi lagi derajatnya yakni kepala
negara.
Adapun at-Thufi menilai bahwa Hadis tersebut bersifat kondisional,
artinya larangan Nabi dalam Hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan
sekitarnya, sehingga bila adat berubah, illat larangan hilang; syarat-syarat yang
ditunjuk dalam nas terpenuhi dan situasi tertentu memungkinkan, larangan
tersebut dapat berubah menjadi sesuatu yang dibolehkan.185
3. Pandangan Penulis
185Nasikun, Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan, Makalah DiskusiIlmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11, 1988/1989, 23 Desember 1988, h.8
95
95
Pada hakikatnya umat manusia itu, ditinjau dari hakikat penciptaan, tidak
ada perbedaan satu sama lain. Mereka semuanya sama, yakni sama-sama keturunan
Nabi Adam a.s. Disamping itu, umat manusia seluruhnya, tanpa memandang latar
belakang etnis, ras, bahasa, gender, dan lain-lain, termasuk agama dan keyakinannya,
adalah khalifah-khalifah Allah swt. di muka bumi ini. Firman Allah swt.:
ض ... ر األ اء خلف م لك جع )27:٦٢/النمل(...ویArtinya: “....dan Dia (Allah) yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di
bumi...”
Pada ayat lain Allah swt. Berfirman:
وق ف كم ض بع فع ر و ض كم خالئف األر ل ع ذي ج ل و ا ھ ات و ج عض در بم آتاك في ما م وك ل ب )6:١٦٥/األنعام(لی
Artinya: "Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Diameninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapaderajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.”
Kata ”kum”, yang termaktub pada ayat diatas, menurut jumhur mufassirin
(mayoritas ahli tafsi) adalah manusia seluruhnya, baik lelaki maupun wanita186.
Sedangkan yang dimaksud dengan ”menjadikan manusia sebagai khalifah” ialah
menjadikan manusia berkuasa di bumi.
Fungsi kekhalifahan manusia di bumi selain sebagai penghuni, ia juga
sebagai pengelola, atau pengatur kehidupan di muka bumi. Hal-hal yang diatur itu,
antara lain meliputi aspek sosial, politik, hubungan intenasional, ekonomi, dan lain-
lain.
186 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negar: Ajaran, Siyasah dan Pemikiran, (Jakarta:UI Press, 1990). H. 176.
96
96
Selain itu, 14 abad yang silam, al-Qur’an telah menghapuskan berbagai
macam diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, al-Qur’an memberikan hak-hak
kepada kaum perempuan sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada kaum laki-
laki. Diantaranya dalam masalah kepemimpinan. Yang dijadikan bahan pertimbangan
dalam hal ini hanyalah kemampuannya dan terpenuhinya kriteria untuk menjadi
pemimpin.
Huzaemah Tahido dalam bukunya Fiqih Perempuan Kontemporer,
menyatakan bahwa kepemimpinan itu bukan monopoli kaum laki-laki, tetapi juga
bisa diduduki dan dijabat oleh kaum perempuan bahkan bila perempuan itu mampu
dan memenuhi kriteria maka ia boleh menjadi hakim dan top leader (Perdana Mentri
atau Kepala Negara)187. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.:
ون نھ ی روف و مع ل ا ن ب و مر ض یأ ع ب لیاء و أ م بعضھ ات ؤمن الم و والمؤمنوناة ك الز ون ت ؤ ی ة و ال ون الص یقیم و كر ن الم ن ئك ع لھ أول سو ر و ون هللا ویطیع
یم ك زیز ح ع إن هللا هللا م ھ حم ر )9:٧١/التوبة(سیArtinya: ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikanshalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah MahaPerkasa lagi Maha Bijaksana”.
Dalam ayat tersebut diatas, Allah swt. mempergunakan kata ”auliya”
(pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada pihak laki-laki saja, tetapi keduanya
(laki-laki dan wanita) secara bersamaan. Berdasarkan ayat ini, perempuan juga bisa
187 Huzaemah Tahido Yanggo, Prof.Dr.Hj.,MA., Fiqih Perempuan Kontemporer,(Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001), cet. I., h. 73.
97
97
menjadi pemimpin, yang penting dia mampu dan memenuhi syarat menjadi
pemimpin, yang penting dia mampu dan memenuhi kriteria sebagai seorang
pemimpin.
Sebab, menurut penulis, kekuasaan umum seperti jabatan kepala negara,
menteri, gubernur, bupati dan lain-lain, mengharuskan adanya suatu kompetensi yang
khusus, dan sesungguhnya kita tidak bisa menafikan bahwa wanita juga banyak yang
memiliki kompetensi tersebut serta berhak untuk mengemban beban tanggungjawab
fardu kifayah ini.
Selain itu juga, penulis menilai bahwa makna kekhawatiran kerugian,
kegoncangan dan dampak negatif lainnya dari Hadis Abu Bakrah yang mengatakan
bahwa kepemimpinan wanita itu akan mengalami kegoncangan atau kerugian, pada
saat ini mungkin sudah dapat teratasi dengan baik dalam sistem ketatanegaraan masa
kini, sebab jabatan presiden atau kepala negara saat ini, tidaklah menjadi kekuasaan
yang tertinggi. Akan tetapi saat ini sudah dikenal lembaga perwakilan rakyat yang
dikenal di Indonesia sebagai DPR, yaitu lembaga yang bertugas untuk membentuk
Undang-undang, mengontrol roda perjalanan pemerintahan. Disamping itu juga
terdapat pembantu-pembantu presiden yaitu menteri-menteri yang telah diamanati
untuk memegang salah satu kewajiban-kewajiban presiden.
Sehingga saat ini wanita memungkinkan untuk menjadi sosok top leader
atau kepala negara dikarenakan beban amanat yang diserahkan oleh masyarakat
kepadanya, kini dikerjakan secara berjama’ah. Dari sinilah nampaknya teori maslahat
mursalah Imam al-Thufi sesuai dengan asumsi penulis. Bahwa Imam al-Thufi dengan
98
98
dengan pendekatan teori maslahah mursalahnya membolehkan wanita menjadi
seorang pemimpin suatu negara. Sebab al-Thufi menilai bahwa maslahah terbagi
menjadi maslahah duniawi dan ukhrawi. Pada maslahah yang duniawi menurut al-
Thufi, seorang mujthaid, dapat mendahulukannya walaupun bertentangan dengan
nash dan ijma’ seperti pada kasus kepala negara wanita yang merupakan urusan
duniawi. Sedangkan urusan ukhrawi atau ibadah, manusia tidak bisa ikut campur
tangan dalam menentukan aturan, dan batasan-batasannya, seperti perintah shalat
lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, dsb.
Disisi lain, penulis juga setuju dengan pendapat Imam Malik yang
tergabung dalam jumhur ulama yang mengatakan bahwa wanita tidak boleh
memegang kekuasaan sebagai imamah al-kubra. Hal itu dikarenakan imamah al-
kubra’ hanya terdapat pada pemerintahan khilafah; yaitu pemerintahan yang
memegang kekuasaan atas negara dan agama. Dan kini pemerintahan dengan sistem
khilafah tersebut tidak ada, hanya berupa negara-negara berbasis Islam atau mayoritas
Islam, tanpa menggunakan nama khalifah lagi. Wallahu a’alam bisshawab.
99
99
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Adi, Rianto, Metode Penelitian Hukum dan Sosial, Jakarta: Granit, 2004.
Asmani, Jamal Ma’mur &, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz; Antara Konsep danImplementasi, Surabaya: Khalista, 2007.
Asmawi, MA, Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Asqalani, Ahmad Ibn Hajar al-, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Kairo:Dar al-Rayyan li al-Turast, t.th.) juz. 7.
Buthi, Sa’id Ramadhan Al-, Dr. M., Dawâbit al-Maslahah, cetakan ke-6, Beirut:Muassasah Risalah, 1992.
Buthi, Muhammad Said Ramadhan al- dan Tizini, Tayyib Finding Islam: DialogTradisionalisme-Liberalisme Islam, terj. Ahmad Mulyadi dan ZuhairiMisrawi, Jakarta: Erlangga, 2002.
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (al-Madinah al-Munawwarah: Majma’Khadim al-Haramain al-Syarifain Malik Fadh li Thiba’ah al-Mushaf al-Syarif,1971.
Ghazali, Al-, Syifa al-Gazali fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil,Baghdad: Matba’ah al-Irsyad, 1971.
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang,1984.
Harra, Sa’id, Al-Islam; Sistem Bermasyarakat dan Bernegara, Jakarta: Al-IslahyPress,tth
Hassan, Husein Hamid, Dr., Nazâriyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Cairo: Al-Mutanabbi, 1981.
Haroen, Nasrun, Drs.,H., MA., Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996.
Ibn Ali al-Rabiah, Abd al-Aziz Ibn Abd Rahman, Dr., Adillah al-Tasyri’ al-Mukhtalaf fi al-Ihtijaj bi ha, Birut: Muassasah al-Risalah, 1979.
100
100
Ibn Abd al-Salam, Izzuddin, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Kairo:al-Istiqamat, t.t..
Ibn Rusyd, Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad,Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Kairo: Dar al-Hadis, 2004.
Imad, Ibnu al-, Syazarat az-Zahab fi Akhbari Man Zahab, Beirut : al-Maktabat-Tijari,t.t.
Izzat, Hibbah Rauf, Wanita dan Politik Pandangan Islam, terj. Bahruddin FannaniBandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997.
Jabiri, M. Abid al-, Post Tradisionalime Islam, terj. Ahmad Baso, Yogyakarta: L-KiS, 2000.
Jauziyyah, Ibn al-Qayyim Al-, I`lam al-Muwaqqi`in, juz III, Beirut: t.tp.,t.th.
Juwaini, Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh,Kairo: Dar al-Ansar,1400 H.
Katsir, Ibn, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, Bairut: Dar al-Fikr, tt.
Khallaf, Abdul Wahhab, Masâdir at-Tasyri'i al-Islâmi fi ma la Nassa fihi, Quwait:Dar al-Qalam,1972.
-------, Ilmu Ushul al-Fiqh, Quwait: Dar al-Qalam, tth.
Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah, terj. Anas Mahyuddin,Bandung : Pustaka, 1983.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
Ma`luf, Louis, Kamus Munjid, Beirut: Dar al-Masyriq, 1977.
Mawardi, Abu al-Hasan al-, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah,Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 1978.
Mu’allim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta:UII Press Indonesia, 1999.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, Yogyakarta:Unit Pengadaan buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984.
101
101
Nafis, HM. Cholis, Lc., Fiqh Politik, ed., Fiqh Progresif: Menjawab TantanganModernitas, (Jakarta: FKKU, 2003), h. 138.
Qadri, Anwar Ahmad, Islamic Jurisprudence in The Modern World, Pakistan: SH.Muhammad Ashraf Kashmir Bazar Lahore, t.t.
Qardhawi, Yusuf, Madkhal li Dirasah al-Syari’ah al-Islamiah, Cairo: MaktabahWahbah, tth.
Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
Salih, Muhammad Adib, Masadir al-Tasyri` al-Islami wa Manahij al-Istimbat,Damsyid: Maktabah at-Ta`awujniyyah, 1967.
Sayih, Ahmad Abd al-Rahim al-, Risalah fi Ri'ayat al-Maslahah li al-Imam at-TufiMesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993.
Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam, terjemahan H.M. Muljadi Djojowartono,dkk.Jakarta: Panitia Penerbit,1966.
Syatibi, Abu Ishak Al-, al-I’tisham, Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th
---------, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari`ah, tahqiq: Abdullah Darraz, Beirut: Dar al-Fikr,t.th. juz II.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Siyasah dan Pemikiran,Jakarta: UI Press, 1990. H. 176.
Syarqawi, Abdurrahman al-, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, terj. Al-Hamid al-Husaini,Bandung: Pustaka Hidayah, 2000.
Takariawan, Cahyadi, Fiqih Politik Perempuan, Solo: Era Intermedia, 2003
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an,Jakarta:Paramadina, 1999.
Usman, Suparman, Prof.Dr.H.,SH., Hukum Islam; Asas-Asas dan Pengantar StudiHukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama,2001.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 2005.
102
102
Zahrah, Muhammad Abu, Ibn Hanbal wa Asaruhu Arauhu wa Fiqhuhu, Mesir: Daral-Fikr al-Arabi, t.t.
---------, Ushul Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Prof.Dr.Hj.,MA., Fiqih Perempuan Kontemporer,Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001, cet. I.
Zaid, Mustafa, al-Maslahah fi at-Tasyri'i al-Islâmi wa Najamuddin at-Tufi, Mesir:Dar al-Fikr al-Arabi, 1954.
MAKALAH
Nasikun, Bolehkah Wanita Menjadi Pemimpin Pemerintahan, Makalah DiskusiIlmiah Dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, Th. ke-11, 1988/1989, 23Desember 1988, h.8
SUMBER INTERNET
http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/depthnews_13.shtml