1
KONSEP TASAWUF SAID NURSI:
SATU PENYEGARAN WACANA SUFISME KONTEMPORER1
Oleh : Muhammad Faiz
PENDAHULUAN
Said Nursi (1877-1960 M) yang dikenal dengan julukan Bediuzzaman (keajaiban zaman)
lahir dan besar di Desa Nurs, wilayah Isparit, sekitar kawasan Anatolia bagian Timur.
Dikenal dari kecil sebagai anak yang semangat dalam menimba ilmu ia mengawali belajar
dengan sang kakak Abdullah kemudian menuntaskan pelajaran dasar ilmu-ilmu agama
dengan ulama dan tokoh agama setempat. Anak ke-4 dari tujuh bersaudara pasangan dari
Mulla Mirza dan Nuriyah ini sudah akrab dengan nuansa sufistik dari semasa kecil, yakni
dari kalangan Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Di samping mempunyai
kecerdasan di atas rata-rata dan gairah yang kuat dalam mendalami ilmu, baik ilmu agama
maupun ilmu sains moderen, menjadikan Nursi sebagai tokoh yang diperhitungkan di Turki
pada masa-masa menjelang runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyyah dan masa peralihan
menjadi Republik Turki.
Tulisan singkat ini akan memberikan sorotan pada pemikiran dan gagasan-gagasan Said
Nursi di dalam wacana tasawuf yang dia tuliskan di dalam karya masterpiece-nya Risale-i
Nur. Terdapat satu kumpulan dari koleksi tulisan-tulisan Nursi yang terhimpun di dalam
satu buku saku yang berjudul “Anwar al-Hakikat” yang menjadi rujukan utama penulisan
artikel ini. Meski demikian buku kecil ini cukup lengkap mengumpulkan ide-ide dan
konsep Said Nursi tentang tasawuf, hal ini dapat dilihat dari cakupan kutipan-kutipan dan
pembahasan tema yang diambil dari beberapa koleksi Risale-i Nur tersebut. Di antaranya
pembahasan dari jilid al-kalimat, al-maktubat, al-lama’at, al-matsnawi al-arabi al-nuri,
dan al-malahiq.
Beberapa tema pembahasan yang akan diketengahkan di sini antara lain: a) Pengertian
dan makna tasawuf dari perspektif Said Nursi dan komentar-komentar Nursi tentang
amalan tarekat kesufian. b) Pemaknaan waliyullah (kewalian) dan sikap Said Nursi dalam
menyikapi masalah kewalian. c) Gagasan Said Nursi tentang ikram ilahi serta
perbedaannya dengan karamah dan istidraj. d) Sikap dan penjelasan Said Nursi mengenai
faham wahdatul wujud. e) Konsep jalan pintas menuju makrifat kepada Allah swt yang
menjelaskan ide-ide Said Nursi tentang empat langkah mendekatkan diri kepada Allah swt.
TASAWUF DALAM KONSEP SAID NURSI
Di dalam buku “Anwar al-Hakikat” Said Nursi memaparkan pemahaman dan pandangan-
pandangannya tentang tasawuf dengan memberikan sembilan catatan (al-talwihat al-tis’ah)
yang merumuskan konsep dan perspektifnya dalam memaknai tasawuf dan tarekat. Pada
catatan pertamanya (al-talwih al-awal) Nursi memberikan definisi tasawuf sebagai “jalan
untuk mengenal hakikat keimanan dan hakikat al-Quran melalui jalan ruhani di bawah
1 Makalah ini sebagai pemenang kedua, Lomba Karya Tulis al-Zehra oleh Dershane Mesir, pada 2015.
2
panduan sunnah Nabi Muhammad saw yang dimulai dari langkah hati sehingga mencapai
satu rasa (dzauq) yang mendekatkan diri pada tingkat penyaksian (syuhud) kepada Allah
swt”1.
Definisi tasawuf yang dijelaskan Said Nursi di atas menekankan pada objek dan target
ilmu tasawuf itu sendiri, yaitu tercapainya hakikat keimanan dan terkuaknya hakikat
kalamullah ( al-Quran) sebagai landasan dan panduan hidup umat manusia. Selain itu dapat
difahami pula bahwa sunnah Nabi saw merupakan guideline yang memandu perjalanan
sufistik seseorang hingga mencapai pada satu tingkat kedekatan kepada Allah Ta‟ala yang
dikenal di dalam lingkungan sufisme dengan istilah muraqabatullah dan ma’rifatullah.
Menurut pandangan Nursi, ruhani seseorang dapat tergerak dan terus hidup melalui
jalan zikir kepada Allah dan tafakur yang terus-menerus. Aktifitas tersebut akan dapat
melenyapkan kemurungan, ketakutan dan rasa keterasingan yang dahsyat yang dirasakan
oleh setiap jiwa manusia2. Zikir pada umumnya dimaknai sebagai perbuatan lisan
sedangkan tafakur adalah perbuatan fikiran, namun begitu pada dasarnya zikir tidak hanya
terbatas dilafalkan oleh lisan akan tetapi hati juga semestinya melantunkan amalan zikirnya
tersendiri3, yakni dengan selalu merasakan kebesaran dan kekuasaan Allah swt. Hal inilah
yang ditekankan Nursi melalui catatan keduanya (al-talwih al-tsani).
Sehubungan dengan aturan dan adat tarekat Nursi mengingatkan bahwa amalan zikir
atau wirid yang menghasilkan dzauq di dalam hati seyogyanya menjadi jalan pembuka
kepada suatu kesadaran yang tinggi dan mulia yakni untuk melaksanakan segala perintah
Allah swt (fardhu) dan mempraktikkan sunnah Rasulullah saw, bukan sebaliknya seperti
kebiasaan sebagian penganut awam tarekat yang lebih mengutamakan zikir dan wirid
tarekat dibandingkan amalan fardhu dan sunnah4.
Di dalam konsep Nursi, tasawuf dan tarekat merupakan wasilah (perantara) saja dan
bukan tujuan dalam perjalanan kesufian. Karena itu ia mengingatkan kembali bahwa
pelaksanaan satu amalan fardhu atas dasar kepatuhan terhadap syariat Allah swt adalah
lebih agung dan utama. Hal ini tidak bisa disamakan dengan praktik zikir dan amalan
tarekat apalagi meyakini bahwa amalan tarekat lebih utama daripada perintah agama
(syariat)5.
Meskipun demikian Said Nursi memberikan apresiasi yang cukup tinggi terhadap
tarekat sufi, apalagi dengan melihat fakta sejarah yang tak dapat dinafikan bahwa
ukhuwwah (persaudaraan) antarumat Islam yang terbangun dengan peran besar
persaudaraan tarekat dapat mempertahankan markas khilafah Islamiyyah yang mampu
bertahan lebih dari 550 tahun pada masa Dinasti Utsmaniyyah berkuasa di Istanbul
berhadapan dengan imperium besar Nasrani yang memusuhi Islam6.
Di samping hal itu pada catatan terakhirnya (al-talwih al-tasi’) dalam membahas isu
tasawuf dan tarekat Nursi juga menyebutkan beberapa faedah dan manfaat kelompok
tarekat yang lebih berkesan spiritual dan berdampak positif secara sosial, di antaranya:
1 Lihat Anwar al-Hakikat, hlm. 59.
2 Ibid, hlm. 60.
3 Lihat Abd Bari, Bayna al-tasawwuf wa al-hayat. hlm. 55.
4 Lihat Anwar al-Hakikat, hlm. 83.
5 Ibid, hlm 81-82.
6 Ibid, hlm. 65.
3
a. Melalui organisasi tarekat akan lebih mudah menguak hakikat keimanan dan
membebaskan diri dari kebingungan dan syubhat-syubhat. Hal Ini akan mengantarkan diri
ke tingkat ain al-yaqin (keyakinan inti), akan tetapi dengan syarat harus melalui tarekat
yang benar dan tidak menyimpang.
b. Seseorang akan mampu menyadari hakikat wujud (eksistensi) dirinya yang hakiki
dengan cara mengerahkan setiap bagian tubuh dan panca indranya untuk melaksanakan
tugas yang karenanya dia diciptakan, yaitu untuk beribadah kepada Allah swt semata-mata.
c. Melalui tarekat orang akan dapat membebaskan dirinya dari keterasingan dalam
perjalanan menuju Allah swt. Dia akan dapat merasakan pertautan hati dengan saudara satu
kafilah perjalanan (sufistik) dengan rasa persahabatan hakiki dan nuansa kasih sayang yang
tulus ketika menuju alam yang kekal abadi (alam akhirat).
d. Tarekat dapat membebaskan jiwa manusia dari belenggu duniawi dan dapat
mengantarkannya keluar dari alam keterasingan yang menyakitkan yang dia rasakan
terhadap alam semesta ini.
e. Seseorang akan dapat merasakan hakikat taklif (beban) syariat yang dipikulnya. Dia
akan dapat merasakan kesan yang tepat terhadap hukum syara‟ melalui hatinya yang hidup
dan berdenyut dengan zikir kepada Allah swt.
f. Melalui pendidikan tarekat yang benar, tingkatan tawakkal (menyerahkan diri kepada
Allah swt sepenuhnya) dan tingkat ridha akan mudah dicapai. Tingkatan-tingkatan ini
adalah jalan perantara kepada kelezatan dan kebahagiaan yang hakiki dan hiburan sejati
yang kekal di akhirat.
g. Tarekat sufi dapat menyelamatkan manusia dari syirik khafiy (tersembunyi) atau pun
riya' (sifat pamer), kepura-puraan dan sifat-sifat yang tercela lainnya. Oleh karena itu,
keikhlasan adalah syarat dan juga merupakan hasil terpenting amalan setiap tarekat. Hal itu
juga dapat membimbing serta membebaskan diri dari belenggu dan bahaya nafsu amarah
yang senantiasa mendorong orang kepada kejahatan, di samping itu tarekat juga membantu
membersihkan jiwa dari segala sikap mementingkan diri yang amat hina.
h. Seorang penganut tarekat akan berhati-hati dan senantiasa berusaha menjadikan setiap
kebiasaan dan kesehariannya sebagai ibadah dan setiap urusan dunianya menjadi urusan
akhirat.
i. Tarekat adalah amalan yang dapat membentuk al-insan al-kamil (manusia paripurna)
dengan cara ber-tawajjuh (menghadapkan hati) kepada Allah swt selama perjalanan
ibadahnya dalam usaha meningkatkan kehidupan maknawinya. Tarekat yang benar adalah
jalan dalam mencapai tahap mukmin yang hakiki dan muslim yang sejati.
Pandangan dan komentar-komentar di atas1 merupakan hasil buah fikir dari pengalaman
panjang Said Nursi dalam membaca sejarah tasawuf dan buah dari interaksi dengan wacana
sufisme pada masanya. Pada bagian ini lebih menunjukkan sikap penerimaan dan permisif
Nursi terhadap aliran tarekat secara umum selama ia tidak bertentangan dengan syariat.
Namun begitu, perlu sekiranya dilihat bagian lain dari pemikiran Nursi yang memberikan
warning atau peringatan tegas bagi orang yang akan memasuki dunia tarekat.
Beberapa hal yang Nursi jelaskan sebagai penyeimbang pandangannya tentang sufisme
dan sekaligus menunjukkan objektifitasnya dalam masalah tarekat adalah ketegasan dan
1 Lihat penjelasan lengkapnya dalam Anwar al-Hakikat, hlm. 94-97.
4
keseriusan Nursi dalam menjauhkan umat Islam dari praktik tarekat yang tidak sesuai
syariat. Di sini Nursi menjelaskan tantangan dan sisi negatif tarekat sebagaimana
dituangkan dalam catatan kedelapan (al-talwih al-tsamin) dalam Anwar al-Hakikat1, yaitu:
a. Jika seseorang bertarekat tanpa mengikuti panduan sunnah Nabi saw dalam jalan
keruhanian maka akan beresiko terjebak pada sangkaan bahwa derajat wali adalah lebih
tinggi dari Nabi. Padahal telah tercapai kesepakatan di kalangan para ulama tentang
keutamaan tingkatan nubuwwah atau kenabian daripada kewalian2.
b. Apabila ahli tarekat dan tasawuf telah memuliakan para wali lebih dari para sahabat
Rasulullah saw, atau bahkan terhadap kedudukan para Nabi itu sendiri.
c. Apabila ada di kalangan ahli tarekat yang ta’asub (fanatik) mengutamakan wirid-wirid
tarekat dan mendahulukan disiplin amalan tarekat lebih daripada sunnah Nabi saw.
d. Memahami secara salah mengenai ilham (petunjuk Allah), seperti menyangkanya
sebagai wahyu kemudian terjebak ke dalam lubang kesesatan yang berbahaya. Sebab
wahyu hanya diperuntukkan para Nabi yang mana teramat suci dan mulia daripada ilham.
e. Tarekat bukanlah tujuan utama dalam perjalanan tasawuf. Akan tetapi bagi anggota
tarekat yang tidak memahami rahasia ini, maka akan mudah terjebak dengan fitnah
karamah, dzauq dan nur. Kemudian berlomba-lomba mendapatkannya, sedangkan semua
hal tersebut sejatinya adalah anugerah Allah swt bukan untuk dikejar-kejar dan
diperebutkan.
f. Terdapat sekumpulan pengamal tasawuf yang mengalami kerancuan dan kebingungan
kemudian mengira bahwa maqam atau tingkatan wali dan segala gambaran (alam) yang
terlihat adalah maqam yang hakiki dan sebenarnya. Bahkan terdapat segelintir dari mereka
yang merasakan dirinya lebih hebat dan lebih tinggi dari derajat wali-wali besar, bahkan
terkadang merasa lebih tinggi derajatnya dari para Nabi.
g. Jurang kebinasaan dan kerusakan ini menjerumuskan segelintir anggota tarekat yang
telah mencapai sedikit dzauq, kemudian mereka berbangga-bangga dan membusungkan
dada dengan apa yang mereka capai. Mereka mulai menyebarluaskan keajaiban atau
syatahat3 yang terjadi dan lupa bahwa asas dan rahasia sebuah penghambaan sejati ialah
rasa tadharru’ (rendah hati), tahmid (memuji Allah), doa, khusyuk, al-ajz (lemah di
hadapan Allah), al-Faqr (butuh pada Allah), dan tidak mengharapkan kepada manusia.
h. Terdapat pengamal tarekat dan tasawuf yang ingin mencapai taraf dan derajat wali ketika
di dunia. Mereka lalai bahwa satu hasil di akhirat lebih utama dari seribu kebaikan di dunia.
Namun lain masalahnya jika derajat itu diberikan Allah swt tanpa diminta, maka hal itu
harus diterima dengan penuh adab dengan rasa syukur dan pujian kepada Allah swt serta
tidak sama sekali menganggapnya sebagai suatu upah.
1 Ibid, hlm. 89-93.
2 Lihat Zahir Syafiq al-Kabby, Fiqh al-Tasawwuf li Syaikh al-Islam Ibn al-Taymiyyah, hlm. 128.
3 Syatahat ialah ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut seseorang yang mungkin mengandungi
makna-makna yang menyalahi ajaran-ajaran Islam (rujuk Yusri, Indahnya Tasawuf dan Hidup Sufi, 2011).
5
KEWALIAN MENURUT SAID NURSI
Jalan kewalian menurut Said Nursi sebagaimana ia jelaskan dalam catatan keempat (al-
talwih al-rabi’) adalah merupakan jalan mudah yang diiringi kepayahan, jalan pintas yang
amat panjang, jalan ketinggian dan kemuliaan yang penuh marabahaya serta jalan luas yang
amat sempit. Sejatinya rahasia perjalanan tersebut amat halus sehingga mengakibatkan
banyak pengamal tarekat kesufian yang tenggelam, ada yang tersiksa karenanya, ada pula
yang berpatah balik ke dunia asalnya lantas menyesatkan orang lain1.
Untuk memahami permasalahan ini, menurut Nursi perlu difahami dua macam jalan
kewalian seperti berikut. Pertama: al-Sair al-Anfusiy (perjalanan jiwa), yaitu jalan
taqarrub (pendekatan) kepada Allah swt melalui pembersihan jiwa. Melalui perantaraan
jalan ini seseorang akan dapat memfokuskan kepada hati dan menjauhkan pandangan dari
dunia luar. Sehingga dia akan menembus alam di luar setelah hatinya bersih dan dapat
melihat tanpa hijab (penutup) dari hakikat keimanan. Sedangkan dunia luar hanya
membenarkan apa yang telah dilihat di dalam hatinya. Ini adalah jalan sebagian besar ahli
tasawuf yang berlandaskan kepada usaha untuk meruntuhkan sifat madzmumah (tercela)
kemudian merekonstruksi sifat mahmudah (terpuji) di atas reruntuhan tadi.
Jalan kedua: al-Sair al-Afaqiy (perjalanan semesta) ialah jalan taqarrub melalui
pemerhatian terhadap alam (ayat kauniyyah). Melalui metode ini pengamal tasawuf dapat
melihat ketinggian Asma al-Husna pada setiap penjuru alam. Setelah hanyut lebur dalam
kebesaran Allah swt, maka apa yang dilihat di alam maya ini akan kembali ke dalam
hatinya rasa kewajiban untuk menghambakan diri secara total kepada Allah swt. lalu
merintih atas segala kealpaan yang pernah diperbuatnya. Kehebatan ayat-ayat Allah swt di
segenap penjuru alam yang besar ini mulai disaksikan di dalam hatinya yang kecil. Dia
akan dapat merasakan bahawa hatinya adalah cermin dari keagungan Allah swt.
Pengakuan kewalian atau syatahat yang mungkin terjadi pada seseorang bisa dimaafkan
dan dianggap sebagai sesuatu di luar batas kontrol, jika ia terjadi pada seseorang yang
benar-benar memegang syariat dan dikenal sebagai orang yang menyisihkan diri dari tipu
daya dunia dan terkenal dengan kelembutan akhlak dan ketakwaannya. Maka dia bisa
dianggap terlepas cakap dan tidak perlu dipersoalkan2. Namun jika hal ini terjadi pada
seseorang yang masih berambisi besar terhadap dunia maka itu sesuatu yang buruk dan
akan mengantar ke jurang kehinaan serta menyebabkan kebaikan yang pernah
dilakukannya menjadi sia-sia. Lebih buruk dari itu ia akan menyebabkan dua akibat yang
sering terjadi pada kalangan anggota tarekat dan tasawuf yaitu menjadi gila nama atau
menjadi ajaran sesat karena mengakui dirinya setaraf dengan para wali.
Jalan kewalian yang lurus dan aman untuk dilewati menurut Said Nursi memiliki tiga
persyaratan, yaitu pertama: berpegang teguh kepada Sunnah Nabi saw, yakni apabila
seseorang itu memahami sunnah Nabi kemudian menjadikannya landasan dalam segenap
tindakan dan perilaku, dia juga menjadikan syariat sebagai panduan dalam muamalah dan
segala tindak tanduknya.
1 Lihat Anwar al-Hakikat, hlm. 65-66.
2 Muh Mahfudz al-Tarmasy, Bughyat al-Adzkiya fi al-Bahts an Karamat al-Awliya, hlm. 116)
6
Syarat kedua: ikhlas, sebagai landasan yang sangat penting ketika melalui jalan
kewalian dan aliran semua tarekat. Hal ini karena hanya ikhlas saja yang mampu
menghindarkan seseorang dari jebakan syirik khafiy, yakni sifat riya‟.
Syarat ketiga: dunia ini harus disadari sebagai tempat beramal dan memperoleh hikmah
sebagai hamba Tuhan (ubudiyyah), bukan tempat balasan baik dan buruk. Ganjaran baik
dan balasan buruk di dunia hanya akan diterima di alam barzakh dan akhirat. Di sanalah
tempat memetik dan menuai amalan selama di dunia.
Seseorang yang ingin menyusuri jalan kewalian dan tarekat dalam waktu yang sama
memimpikan ganjaran kewalian dalam perjalanan ini (seperti karamah, kasyaf, dzauq,) atau
dia senantiasa mengharapkan hasilnya di dunia maka anugerah itu akan menjadi suatu hasil
yang bernilai keduniawian juga, oleh karena itu dia akan kehilangan ikhlas dan ketulusan
dalam segala amal ibadahnya.
Di dalam permasalahan kewalian menurut pengamatan Nursi terdapat perkara khilaf
atau perselisihan di kalangan umat Islam, yaitu apakah kewalian hanya dapat muncul dari
golongan Ahlussunnah saja atau tidak? Masalah ini menurut Nursi telah menyebabkan
pandangan umat terpola kepada tiga kelompok: Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa
kewalian hanya dapat muncul dari golongan Ahlussunnah saja. Pendukung utama
kelompok ini adalah dari kalangan ahli zhahir.
Kelompok kedua menganggap bahwa kebenaran bukan saja milik Ahlussunnah.
Konsekuensi pendapat seperti ini akan mendorong terbentuknya aliran bid'ah yang
menyeret kepada kesesatan. kelompok ini lupa bahwa orang yang memberi petunjuk
kepada dirinya sendiri tidak selalu mampu memberi petunjuk kepada orang lain. Meskipun
gurunya (syekh) mungkin dimaafkan atas kesalahan yang dilakukan tanpa sadar, namun
murid tidak akan dimaafkan jika mengikuti kesalahan guru dengan sengaja.
Kelompok ketiga adalah yang mengambil jalan tengah. Mereka tidak menolak
munculnya kewalian dari golongan di luar Ahlussunah dan tidak juga menolak sifat
kesalehan mereka, namun demikian mereka tidak bisa menerima kesesatan mazhab dan
tarekat yang mereka ikuti. Hujah mereka tentang kesesatan itu adalah bahwa apa yang
disebut dengan ucapan yang bertentangan dengan syara‟ mungkin disebabkan seseorang itu
tenggelam dalam ahwal (keadaan) di luar kontrol sehingga menjadikan mereka salah. Atau
mungkin juga karena munculnya syatahat yang tidak difahami makna dan hakikatnya.
Melihat perbedaan pandangan tersebut Nursi mempunyai pendirian bahwa sebagian
para wali meskipun kelihatan seperti waras dan normal serta mereka mempunyai
kemampuan akal yang memahami logika, namun mereka terkadang juga mudah ditarik ke
alam yang mereka tidak mampu mengontrol diri (majzub). Sebagian mereka ini ada yang
mengalami kebingungan dan tidak mampu membedakan antara dua hal yang serupa tetapi
tidak sama. Apa yang dilihatnya ketika mabuk makrifat (fana’) digunakan ketika mereka
dalam keadaan sadar sehingga kadang lupa tentang dirinya dan orang atau keadaan di
sekelilingnya1. Golongan majzubin ini terpelihara di sisi Allah swt, sebab mereka bukanlah
dari golongan sesat seperti sesatnya golongan lain. Mereka sama seperti orang gila yang
baik-baik bahkan diberkati. Hukum gila itu menempel kepada mereka sehingga bebaslah
1 Yusri, Indahnya Tasawuf dan Hidup Sufi, hlm. 101.
7
melakukan apa yang dianggap sebagai di luar batas manusia yang waras karena sebenarnya
mereka tidak lagi mukallaf.
Dikarenakan status mukallaf tidak lagi menempel pada diri mereka, maka mereka tidak
boleh dijadikan ukuran hukum atau dihukum1. Hal itu karena kewalian mereka adalah
kewalian yang tidak normal seperti mendukung golongan ahli bid'ah bahkan melakukan
perbuatan bid'ah itu sendiri. Inilah yang menjadi sebab mengapa banyak pendukung
kebenaran dan orang yang beriman merasa kebingungan lantas tanpa sadar terlibat dengan
jalan yang salah ini2.
PERBEDAAN KARAMAH, IKRAM ILAHI DAN ISTIDRAJ
Pengertian karamah menurut para ulama adalah munculnya perkara luar biasa dari seorang
yang shalih yang tidak diikuti dengan pengakuan kenabian, maka jika tidak disertai dengan
perbuatan baik akan berupa istidraj sedangkan jika disertai risalah kenabian disebut
mukjizat3. Karamah merupakan kemuliaan yang Allah swt anugrahkan kepada hamba-
hamba pilihan-Nya yang memegang teguh syariat, dan bukanlah menjadi syarat utama
bahwa kemunculan karamah berupa kejadian di luar nalar manusia atau mempunyai wujud
dan sifat-sifat kejadian tertentu4.
Para ulama membagi karamah menjadi dua macam, iaitu karamah yang zahir
(hissiyyah) dan karamah yang bersifat batin (maknawiyyah)5. Karamah yang zahir adalah
jenis karamah yang umum diketahui orang awam, yakni berupa kejadian luar biasa pada
diri orang-orang shalih yang nampak secara kasat mata. Contohnya seperti riwayat masyhur
tentang sahabat Rasul saw Umar bin Khattab yang memberi suara peringatan yang
terdengar oleh Sariyah yang ketika itu berada di medan pertempuran agar menaiki gunung
menghindari musuh, sedangkan jarak keduanya seperti perjalanan satu bulan jauhnya6.
Sedangkan karamah maknawiyyah merupakan kelebihan yang Allah swt berikan kepada
hamba-hamba pilihan-Nya yang berupa petunjuk dan taufik-Nya dalam menjaga syariat
Islam, istiqamah dijalan-Nya secara lahir batin dan terjaganya akhlak dan perilakunya serta
berupa perkara-perkara lain yang bersifat maknawi7. Seperti dipaparkan al-Qusyairi di
dalam al-Risalah nya bahwa jenis karamah ini merupakan karamah teragung yang Allah
swt berikan dalam bentuk konsistensi seseorang dalam ketaatan kepada-Nya dan senantiasa
terjaga dari perbuatan maksiat dan perkara dosa lainnya.
Sedangkan dalam pandangan Said Nursi karamah juga terbagi kepada dua macam,
pertama adalah karamah biasa (i’tiyadiyyah) yang pengertiannya lazim diketahui orang
awam. yakni kemuliaan dan kehormatan yang Allah swt berikan kepada sebagian hamba-
hamba shalih-Nya yang terkadang berupa kejadian di luar kewajaran (khawariq lil ‘adah)
yang wajib ditutupi dan disembunyikan dari penglihatan orang banyak agar terhindar dari
fitnah nafsu amarah ataupun egoisme dan tipudaya diri (al-ananiyyah wa al-ghurur)
sehingga dikhawatirkan berubah menjadi istidraj.
1 Ibid, hlm. 102.
2 Lihat Said Nursi, al-maktubat, hlm. 426-428.
3 Muh Abdullah al-Tarmasy, hlm. 62.
4 Umar abdullah, al-Tasawwuf bayna al-Ifrath wa al-Tafrith, hlm. 98.
5 Ibid, hlm. 100.
6 Lihat al-Thusi, al-luma’, hlm 277 dan al-Qusyairy, al-risalah al-Qusyairiyyah, hlm. 521.
7 Umar abdullah, hlm. 100.
8
Jenis karamah kedua menurut Nursi adalah karamah yang aman dan selamat (salimah)
dari tipudaya dan fitnah yang terjadi pada kalangan mukmin yang sejati (shiddiqin) yang
muncul tanpa sadar dan tanpa sepengetahuan dirinya sendiri. Contohnya seperti seseorang
yang dicerca pertanyaan namun tiba-tiba terbersit di dalam hatinya semua jawaban demi
mempertahankan kebenaran. Jenis karamah ini tidaklah berbahaya sehingga seseorang yang
mendapatinya tidak wajib menyembunyikannya akan tetapi dia perlu berhati-hati agar tidak
timbul kesombongan dan kebanggaan pada diri, hal itu karena perkara yang di luar
kebiasaan ini pada lahirnya terdapat sedikit peran diri di dalamnya sehingga dikhawatirkan
timbul rasa ujub1.
Sedangkan ikram ilahi adalah jenis karamah yang lebih halus dan tinggi dari jenis
karamah yang kedua di atas. Perbedaannya di sini, ikram ilahi tidak wajib ditutup-tutupi
bahkan menampakkannya merupakan upaya mensyukuri nikmat Allah swt (tahadduts bi al-
ni’mah). Hal ini karena di dalam ikram ilahi tidak terdapat peran seseorang dalam
kemunculannya dan nafsu bukanlah sandarannya2. Sebagai contoh adalah seperti apa yang
Nursi paparkan bahwa penulisan buku Risale-i Nur adalah ikram ilahi yang Allah swt
berikan sebagai pengukuhan atas upaya Nursi dalam menyelamatkan keimanan dan
menguak hakikat keimanan melalui penafsiran maknawi al-Quran al-karim. Bahkan
kemuliaan ini menurut Nursi dapat dirasakan pada setiap aktifitas yang berhubungan
dengan penulisan risalahnya, seperti penyalinan, penyebaran bahkan dalam pemahaman
buku-bukunya terdapat banyak cerita luar biasa yang seakan menjadi pembenaran atas
segala upaya Nursi dalam menjaga dan menyelamatkan keimanan umat Islam3.
PANDANGAN SAID NURSI TENTANG WAHDATUL WUJUD
Di dalam catatan kelima (al-talwih al-khamis) Said Nursi memaparkan makna wahdatul
wujud sebagai “penumpuan hati kepada wujud Allah swt yang wajibul wujud (wajib
adanya) dan melupakan yang lain. Setiap makhluk adalah bayangan atau khayalan yang
tidak mempunyai sifat wujud hakiki dan tidak layak diberikan sifat wujud dalam konteks
wajibul wujud Allah swt. Ia tidak lebih dari refleksi sifat-sifat Allah swt yang agung
melalui Asma al-Husna”. Wahdatul wujud yang merangkum wahdatus syuhud (kesatuan
penyaksian) adalah suatu persinggahan tasawuf yang amat penting4. Hakikat pemahaman
wahdatul wujud adalah meyakini setiap benda dan setiap makhluk (mumkinat) akan
diluluhkan dari pandangan sehingga semua yang nampak ini sebenarnya tiada, maknanya di
sini terdapat pengingkaran terhadap kewujudan selain dari Allah swt.
Adapun bahaya pemahaman ini menurut Nursi dapat mempengaruhi keyakinan
terhadap rukun iman yang enam. Di dalam rukun iman selain keimanan kepada Allah swt,
terdapat juga rukun lain yang wajib diimani seperti adanya hari akhirat yang menunjukkan
wujudnya yang mumkinat yang tidak boleh dibangun atas dasar khayalan dan bayangan
semata-mata. Lantaran itulah seseorang yang mengalami tahap wahdatul wujud tidak boleh
melakukan apa-apa dengan keyakinan menafikan wujud selain Allah swt ketika sadar
(bukan dalam keadaan fana’) agar tidak menyelisihi hukum syara‟. Begitu pun juga tidak
boleh mencampuradukkan tahap pengalaman jiwa ini dengan dasar-dasar logika ilmiah dan
1 Lihat al-maktubat, hlm. 39-40
2 Ibid, hlm. 40.
3 Ibid, hlm. 465.
4 Anwar al-Hakikat, hlm. 72.
9
terjemahan makna. Sebab disiplin ilmu dan logika yang berdasarkan al-Quran dan al-
Sunnah tidak mampu menjelaskan hal ini apa lagi untuk mempraktikkannya secara jasmani.
Karena hal itu golongan sahabat dan khulafa al-rasyidin (empat sahabat utama
Rasulullah: Abu Bakar, Umar, Uthman dan Ali) tidaklah menyusuri perjalanan ini. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahawa wahdatul wujud bukanlah suatu keistimewaan dan puncak
dalam perjalanan tasawuf1. Itu juga menunjukkan pemandangan seketika yang nampak
luhur namun ia timpang dalam kebenaran, meski begitu banyak juga penganut tarekat yang
menganggap wahdatul wujud suatu tingkatan tasawuf yang tinggi.
Menurut Nursi, jalan wahdatul wujud ini hanya boleh dilalui oleh “khawashul
khawash” (orang-orang khusus) di kalangan ahli tasawuf2. Itu pun ketika seseorang dalam
suasana diluar kesadaran sepenuhnya yakni ketika seseorang ingin menyisihkan jiwa dari
kotoran materialisme dan keduniaan. Dalam keadaan itu dia telah memutuskan hubungan
dengan selain Allah swt, cuma apabila ajaran kejiwaan ini terlepas dari ahli tasawuf
kepada mereka yang menganut pemahaman logika dan mantiq maka akan mudah terseret
dalam jerat tobi’iyyah (naturalisme) dan materialisme yang jauh dari sudut pandang Islam3.
Golongan yang meyakini konsep tobi’iyyah dan mempercayai sebab dan musabbab
(cause and effect) sebagai satu-satunya tolok ukur setiap kebenaran ditambah rasa tamak
akan dunia, maka akan membuatnya mulai meletakkan kepercayaan bahwa dunia ini kekal.
Sebab terlalu sulit bagi mereka untuk melihat dunia ini lebur dan hancur di depan matanya.
Bermula dengan konsep wahdatul wujud tadi mereka pun akan meletakkan dunia ini
sebagai sesembahan dan puncak kelangsungan hidup. Maka ketika itu terbukalah ruang di
hadapan mereka untuk mengingkari Allah swt sedikit demi sedikit.
Golongan materialisme (maadiyyah) menurut Nursi berhujah di depan orang-orang
beriman (ahlul iman) dengan menyatakan bahwa mereka juga mempercayai wahdatul
wujud. Kenyataan ini tentu tidak benar karena pemikiran materialisme bertentangan dengan
wahdatul wujud. Mereka yang mengalami keadaan wahdatul wujud beriman kepada Allah
swt dengan iman yang amat mendalam sehingga menganggap tiada wujud sesuatupun di
hati mereka selain-Nya. Wujud Allah telah menafikan wujud yang lain, sedangkan faham
materialisme mempertuhankan kebendaan dan menafikan wujud Allah swt.
Maka dari itu orang yang melewati jalan wahdatul wudud ini jika jiwanya benar-
benar kosong dari hubungan kebendaan, ia akan dapat menghancurkan tirai asbab (sebab-
sebab) dan membebaskan diri dari ikatan tersebut lalu dia mengalami maqam syuhud
(tingkat penyaksian hati) yang menenggelamkan keseluruhan akalnya. Pengamal tasawuf
seperti ini bisa sampai ke tingkat wahdatul wujud yang bersifat pengalaman dan bukan
yang berlandaskan ilmu.
Dalam pendirian Nursi sebenarnya jalan yang lurus hanyalah jalan para Sahabat,
Tabiin dan golongan Sholihin yang lurus akidahnya dan senantiasa melihat bahwa hakikat
segala sesuatu itu adalah tetap. Itulah kaidah umum dalam perjalanan (thariqah atau suluk)
tasawuf. Mereka ini tahu bahwa adab yang tertinggi dalam memahami zat Allah swt adalah
keyakinan bahwa tiada satu pun yang seumpamanya (al-Syura:11). Dengan demikian
1 Lihat kautsar Azhari, Tasawuf Perennial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm. 147.
2 Lihat juga Zakaria Stapa, Pendekatan Tasawuf dan Tarekat Wadah Pemerkasaan Jati Diri Umma, hlm 15.
3 Anwar al-Hakikat, hlm. 75.
10
jelaslah bahwa ungkapan „tiada yang wujud selain Dia‟ adalah tidak tepat. Sebaliknya yang
tepat adalah „tiada yang wujud melainkan dari-Nya‟, sebab segala yang terjadi kemudian
itu tidaklah qadim (terdahulu) sifatnya seperti qadim nya sifat Allah swt, artinya segala
sesuatu selain dari Allah bukan bersifat azali1.
Oleh karena itu mengajak dan mengajar khalayak awam tentang faham wahdatul
wujud pada waktu kini akan membawa kemudharatan yang amat besar apalagi jika ajaran
ini berpindah dari tangan golongan khusus kepada golongan awam atau berpindah dari
tangan ilmuwan kepada tangan kejahilan maka tersesatlah hakikatnya. Atas dasar itulah
Nursi mengkhawatirkan akan timbul tiga mudharat besar sebagaimana dia jelaskan dalam
al-lama’at2. Yaitu pertama: faham wahdatul wujud secara umum mempunyai maksud
pengingkaran terhadap wujud alam dan makhluk lain di samping wujud zat Allah swt.
Namun apabila faham ini menyebar sampai ke tangan orang-orang yang lalai (ahlul
ghaflah) khususnya mereka yang hanyut dalam materialisme akan menjadikan mereka
mengingkari ketuhanan dan mengagungkan materi saja.
Kemudharatan kedua: faham wahdatul wujud menolak dengan keras ketuhanan
selain dari Allah swt sehingga sampai menolak wujud selain-Nya dan juga menolak wujud
nafsu amarah dan apa saja selain itu. Akan tetapi pada zaman sekarang ini faham
kebendaan (materialistik) telah mencengkram dunia Islam dan nafsu amarah pula semakin
menggila khususnya bagi mereka yang sudah mulai menjadikan nafsu amarah nya sendiri
untuk disembah selain Allah swt.
Kemudharatan ketiga: faham ini akan melahirkan bibit-bibit pemikiran dan
khayalan yang tidak layak bagi zat Allah swt, sedangkan Zat Allah ini adalah terbersih dan
tertinggi serta paling kudus dari perubahan, penggantian, pembagian dan pemihakan. Maka
pemikiran seperti inilah yang menjadi sebab kepada munculnya aliran sesat.
EMPAT LANGKAH MENUJU ALLAH
Di sepanjang proses bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt yang dikenal di
dalam wacana tarekat sufisme sebagai tahap menapaki tangga ma‟rifatullah mempunyai
banyak bentuk dan aturan masing-masing. Beberapa di antaranya yang disebutkan Said
Nursi di dalam Risale-i Nur adalah konsep langkah sepuluh (al-lathaif al-‘asyr) dan konsep
martabat tujuh3.
Al-lathaif al-Asyr merupakan satu istilah yang digunakan di dalam metode
penyucian jiwa dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah swt yang lazim dipraktikkan
oleh aliran tarekat tasawuf, terutama tarekat Naqsyabandiyah4. Konsep ini seperti disebut
oleh Imam al-Rabbani5 terdiri dari al-qalb (hati), al-ruh (ruh), al-sirr (rahasia), al-khafiy
1 Lihat al-maktubat, hlm. 108-109.
2 Lihat al-Lama’at, hlm. 407-408.
3 Ibid, hlm. 157.
4 Didirikan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaysi al-Bukhari (1318-1389M) pertama kali
tersebar di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Syria, Afghanistan dan India (Sri Mulyati, hlm. 90) 5 Ahmad bin Abd Ahad al-Sirhindi al-Faruqi (971-1034H) merupakan sosok ulama yang memiliki peran besar
dalam mengubah ideologi Daulah Mongol dari Komunis dan Brahma menjadi ideologi Islam. Dia mendapat julukan pembaharu milenium kedua. (Al-Lama’at, hlm. 548).
11
(tersembunyi) dan al-akhfa (lebih tersembunyi)1. Menurut Nursi, konsep ini merupakan
pemanfaatan potensi-potensi jiwa yang bertingkat-tingkat yang terdapat pada setiap insan.
Penyebutan sepuluh tingkatan di sini karena hitungan ini yang paling dikenal oleh kalangan
ahli tasawuf dan menjadi dasar atas bentuk potensi lainnya, misalnya: panca indra yang
zahir merupakan cermin terhadap lima indra batin2.
Sebagaimana potensi yang diketahui oleh orang awam yang terdapat pada tubuh
manusia seperti al-wujdan (perasaan), al-a’sab (saraf), al-hiss (indra), al-
‘aql (akal), al-
hawa (hawa nafsu), al-quwwah al-syahawiyyah (potensi syahwat) dan al-quwwah al-
ghadhabiyyah (dorongan amarah) juga berhubungan dengan al-lathaif al-asyr dalam
wacana ilmu tasawuf sehingga memunculkan potensi dalam bentuk lainnya seperti al-
saiqah, alsyaiqah dan al-hiss qabla al-wuqu’ (menebak peristiwa sebelum terjadi)
3.
Sedangkan martabat tujuh merupakan tahap perjalanan jiwa untuk mengenal lebih
dekat hakikat Allah swt4 yang sesuai dengan tujuh tingkatan jiwa manusia. Konsep
penyucian jiwa ini mendapat pengaruh dari faham wujudiyah atau wahdat al-wujud5.
Dalam wacana tasawuf di Nusantara martabat tujuh merupakan doktrin penting bagi
pengamal tasawuf falsafi, konsep ini mendapat pengaruh utamanya dari buku karangan
Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri al-Hindi yang bertajuk “al-tuhfah al-mursalah
ila ruh al-Nabi” pada sekitar abad ketujuh belas Masehi6 dan disebarkan juga melalui buku
buku ulama tasawuf setelahnya yaitu Abd Shamad al-Palimbani (w. 1788M) melalui
bukunya yang berjudul “sair al-salikin”7 dan Daud Fathani melalui karyanya al-manhal al-
al-shofi8.
Di antara isi kandungan ajaran martabat tujuh adalah dikenalnya tingkatan jiwa yang
berjumlah tujuh tingkat, yaitu martabat al-ahadiyyah (Indeterminasi/ke-Esa-an absolut), al-
wahdah (hakikat al-Muhammadiyyah), al-wahidiyyah (hakikat al-insaniyyah), ruh (nur
muhammad), ide (alam misal), kebendaan (alam ajsam), dan martabat manusia (alam al-
insan/martabat al-jami’ah)
9.
Dalam komentarnya Nursi menyatakan bahwa langkah sepuluh (al-lathaif al-asyr) yang
dipraktikkan oleh para salik (pengamal) tarekat tasawuf melalui cara tersembunyi, maupun
martabat tujuh yang diamalkan melalui jalan nyata merupakan tahapan dan jalan yang amat
sulit dilewati oleh orang awam, oleh karena itu Nursi menggagas empat langkah untuk
mencapai hakikat Allah s.w.t. yang dapat dengan mudah dilalui oleh orang awam karena
lebih dekat kepada hakikat syariah (al-haqiqah al-syar’iyyah) daripada hakikat tasawuf10
.
Keempat jalan itu adalah al-ajz, al-faqr, al-syafaqah dan al-tafakkur.
1 Sebagian ulama Naqsyabandiyah juga menambahkan dua lagi potensi, yaitu: al-nafs al-nathiqah dan kull
al-jasad (Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. ,hlm. 108; Thubbash, Rihlah al-Haq Min al-Iman ila al-Ihsan, hlm. 94-95). 2 al-Lama’at, hlm. 157.
3 Ibid, hlm. 157.
4 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Indonesia, hlm. 94.
5 Mohd Nidzam, Tasawuf Kontemporari: Implementasi Tasawuf dalam Dunia Kini, hlm. 200.
6 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf Falsafi, hlm. 171.
7 Lihat M. Sholihin , hlm .94
8 Lihat Mohd Nidzam, hlm 201.
9 Alwi shihab, hlm 119-121 ; M. Sholihin, hlm. 94-95.
10 Lihat al-Kalimat, hlm. 549.
12
Said Nursi menjelaskan makna dan keistimewaan empat jalan yang pintas dan aman
membawa salik kepada hakikat Allah swt tersebut, seperti berikut:
Jalan pertama: al-ajz yang mempunyai arti lemah, merupakan sifat yang dapat
membawa seorang hamba kepada Allah swt, jalan ini berupa laluan yang amat singkat dan
selamat, karena al-ajz ini akan membawa hamba kepada "yang tercinta" melalui wadah
ubudiyyah. Sifat ini sejatinya seperti al-ishq (rasa rindu) yang mencerminkan sifat ((al-
Qadir)) Allah swt.
Jalan kedua: al-faqr yang mempunyai maksud rasa fakir (bergantung dan butuh
kepada Allah) merupakan sifat yang bisa membawa hamba sampai kepada makna sifat ((al-
Rahman)) Allah swt. Adapun yang dimaksud dengan al-ajz dan al-faqr di sini adalah
mempersembahkan perasaan itu di hadapan Allah swt dan bukan menampakkannya di
hadapan manusia (makhlukNya).
Jalan ketiga: al-syafaqah mempunyai arti kasih sayang, merupakan sifat yang akan
membawa seorang hamba ke jalan yang luas dan lengang menuju Allah Ta‟ala, karena
dengan sifat ini salik akan sampai kepada sifat Allah swt yang berupa ((al-Rahim)).
Jalan keempat: al-tafakkur yakni berfikir dan menggunakan potensi akal untuk
beribadah secara maksimal hanya kepada Allah swt. Sifat ini memunculkan rasa asyiq yang
lebih menonjol, lebih bercahaya dan luas jalannya. Sifat ini akan membawa seorang salik
kepada sifat Allah swt ((al-Hakim)).
Sedangkan tatacara zikir dalam konsep Said Nursi ini adalah mengamalkan segala
sunnah-sunnah Nabi Muhammad saw, melakukan semua perintah Allah swt yang bersifat
fardhu seperti melaksanakan ibadah shalat dengan memenuhi syarat dan rukunnya,
dilanjutkan dengan membaca zikir seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw
serta dengan meninggalkan dosa-dosa besar1.
Langkah yang mudah diamalkan oleh orang awam ini merupakan tarekat yang umum
dan berbeda dengan tahapan dalam tarekat tasawuf yang panjang dan sukar dilewati.
Konsep Said Nursi yang digagas di sini adalah jalan yang aman, tidak mengandung
syatahat, atau pengakuan yang di luar batas kuasa insani karena manusia sudah pasti akan
menemui sifat-sifat al-ajz, al-faqr dan al-taqsir (kekurangan) dalam dirinya yang tidak
mungkin dihindari.
Jalan ini seumpama jalan tol yang mudah disusuri yang tidak memerlukan anggapan
keyakinan bahwa makhluk ini tidak wujud sama sekali seperti yang disangka oleh
golongan penganut wahdat al-wujud, yang mengatakan: "Tiada yang maujud kecuali Allah
swt" yang mana hal ini semata-mata ditunjukkan untuk mencapai ketenangan
ubudiyyahnya dan mencapai kesadaran hati (al-hudhur al-qalbiy). Demikian juga golongan
penganut wahdat al-syuhud apabila mereka menyisihkan makhluk ke alam nisyan (alam
lupa/ketidaksadaran) untuk memperoleh ketenangan keyakinannya yang merupakan jalan
sulit dan membingungkan bagi orang awam2.
1 Lihat al-Kalimat, hlm. 549.
2 Ibid, hlm. 552.
13
PENUTUP
Gagasan, ide-ide dan pandangan baru Bediuzzaman Said Nursi turut menyegarkan wacana
tasawuf dan tarekat di masa moderen sekarang ini. Di mana tantangan kaum agamawan
(ulama) khususnya semakin besar dalam menghadapi zaman yang serba materialistis
bahkan atheis. Nursi ikut menyumbangkan konsep tasawufnya yang moderat mudah
dicerna dan diikuti oleh orang awam, karena dalam prinsip Nursi menyelamatkan keimanan
umat di masa kini lebih penting daripada amalan tarekat yang bersifat eksklusif dan nyaris
menjadi hidangan mewah bagi khalayak awam umat Islam.
Hakikat keimanan dalam prinsip Nursi adalah seperti nasi atau makanan pokok lainnya,
sedangkan amalan tasawuf dan tarekat seumpama buah-buahan yang menjadi suplemen
pelengkap saja. Hal ini karena realita masyarakat muslim dunia saat ini lebih membutuhkan
asupan pokok ruhani daripada makanan tambahan (vitamin) bagi jiwa. Nursi berusaha
mengembalikan paradigma muslim kontemporer untuk merujuk langsung kepada nilai-nilai
dasar al-Quran dan sunah Rasulullah saw.
Dengan demikian kajian tentang konsep dan pandangan Said Nursi dalam wacana
tasawuf di sini perlu terus digali dan dikembangkan agar praktik amalan tasawuf di era
moderen sekarang ini lebih aplikatif dan mengenai sasaran. Risale-i Nur sebagai sumber
utama yang mendokumentasikan pemikiran, gagasan dan pembaharuan Nursi perlu terus
didiskusikan agar wacana penggalian hakikat cahaya al-Quran terus memandu dan
menerangi umat pada zaman penuh fitnah ini.
Bibliografi
al-Kabby, Zahir Syafiq.1993. Fiqh Al-tashawwuf li Shaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah. Beirut:
Dar al-fikr al-arabi.
Alwi Shihab. 2009. Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf
Falsafi. Depok: Pustaka IIMaN.
al-Nadwi, Abdul Bari. 1963. Bayna al-Tasawuf wa al-Hayat. Damaskus : Dar al-fath
al-Thusi, Abdullah Ibn Ali al-Sarraj. 2001. al-Luma’ fi Tarikh al-Tasawwuf al-Islamiy.
Beirut: Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim. 2003. al-Risalah al-Qusyairiyyah. Damaskus: Dar al-Khair.
Mohd Nidzam, Abd Kadir. 2010. Tasawuf Kontemporari: Implementasi Tasawuf dalam
Dunia Kini. Kuala Lumpur: Telaga Biru Sdn. Bhd.
Muhammad Mahfudz Bin Abdullah Al-Tarmasiy. 2008. Bughyat al-Adzkiya fi al-Bahts An
Karamat al-Awliya. Jakarta : Kementerian Agama Republik Indonesia.
M. Solihin. 2005. Melacak Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
14
Said Nursi. 2011. Kulliyyat Rasail al-Nur (al-Kalimat, al-Maktubat & al-Lama’at).
Terj.Kaherah: Syarikat Sozler.
Said Nursi. 2002. Anwar al-Hakikat: Mabahits fi al-Tasawwuf wa al-Suluk. Terj. Ihsan
Qasim. Kairo: Sozler Publication.
Sri Mulyati (et.al). 2011. Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
Thubbash, Utsman Nuri. 2012. Rihlah al-Haq Min al-Iman Ila al-Ihsan. Terj. Istanbul:
Mathba‟ah Dar al-Arqam.
Yusri Abd Karim. 2011. Indahnya Tasawuf dan Hidup Sufi. Selangor: Yamani Angle.