KONSTRUKSI PEREMPUAN DALAM FILM BIDADARI-
BIDADARI SURGA
(Analisis Semiotik Perempuan dalam Film Bidadari-Bidadari Surga)
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1
(S-1) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Ilmu Komunikasi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh :
ADITYA YANUAR
2010 053 0039
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014
PENGESAHAN
Telah dipertahankan dan disahkan di depan Tim Penguji
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Pada :
Hari / Tanggal : Kamis, 21 Agustus 2014
Waktu : 09.30-11.00
Tempat : Ruang Multimedia
SUSUNAN TIM PENGUJI
Ketua Tim Penguji
Firly Annisa, S.IP., MA
Penguji I Penguji II
Ayu Amalia,S.Sos., M.Si Wulan Widyasari, S.Sos., MA
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana (S-1)
Tanggal : 21 Agustus 2014
Ketua Jurusan
Haryadi Arief, S.IP., M.Sc
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Aditya Yanuar
NIM : 20100530039
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik
Menyatakan dengan ini sebenar-benarnya bahwa penelitian yang penulis
tulis ini benar-benar merupakan hasil karya penulis sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggu manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks yang dicantumkan dalam daftar pustaka
di bagian akhir karya tulis ilmiah ini.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan penelitian ini hasil
jiplakan, maka penulis bersedia menerima saksi atas perbuatan tersebut.
Yogyakarta, 21 Agustrus 2014
Yang Membuat Pernyataan
Aditya Yanuar
ABSTRACT
Department / Department of Communication Studies
Muhammadiyah University of Yogyakarta
Aditya Yanuar (20100530039)
Construction of Women in Bidadari-Bidadari Surga Film
Thesis Year : 2014 + 120 Pages + 10 Tables + 22 Pictures + 31 Books Of
References
This study analyzed the construction of women in film Bidadari-Bidadari
Surga as one of Indonesian film produced in 2012. This film tells the life of a
family consisting of a mother and three sons and two daughters, they live their
lives in the mountains of North Sumatra province Lahambay valley. The
interesting thing about this movie is the construction of different roles in five
womens characters that are in this film, in which one of the characters his named
Laisa differently constructed from the other four. Laisa is constructed with
masculine nature, and the role that can be performed in parallel with men. So the
purpose of this study was to determine how the roles of women constructed with
different construction roles. This study used semiotic analysis methods to analyze
how construction happens to women in this film. From the analysis it was found
that apparently women with masculine traits related with brave nature, can appear
in the public domain and dominating men, are deemed to be negative, because in
the end Laisa required to return to his role as an ideal woman should look
beautiful, to be married, and heavily involved the domestic territory. On the other
hand it looks positive for the four other womens characters who serve as the ideal
woman with their feminine nature. With the construction of such authors conclude
that construction of women in BBS is pseudo-constructed. In this film where
womens are still constructed with the feminine nature of which remain in a weak
condition, and tend to be harmed by his role positions are always under male
superiority. Because of the filmmakers and crew are still influenced by men with a
strong patriarchal ideology.
Keywords: Construction, Women, Film
A. PENDAHULUAN
Media film merupakan salah satu media yang sangat populer dan dapat
membentuk konstruksi masyarakat akan suatu hal, selain itu film juga merupakan
rekaman realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang kemudian
memproyeksikannya ke atas layar. Graeme Turner juga mengungkapkan bahwa
film tidak hanya sekedar refleksi dari realitas. Sebaliknya ”Film lebih merupakan
konstruksi atau gambaran dari realitas, film membentuk dan menghadirkan
kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari
kebudayaannya” (Sobur, 2006:127). Pendekatan film sebagai konstruksi
berhubungan yang mengacu pada bagaimana makna atau pesan digunakan untuk
membenarkan kekuasaan kelompok berkuasa yang mencakup banyak kelas, juga
kelompok sosial yang didasarkan pada ras, gender, umur. Seringkali dalam
representasi tersebut banyak terkandung ideologi-ideologi dan kepentingan dari
kelompok-kelompok yang berkuasa.
Melalui film sang sutradara yang berperan sebagai komunikator dapat
menyampaikan pesan kepada komunikan atau penonton melalui cerita maupun
setiap adegan dalam sebuah film. Namun disisi lain film merupakan perpanjangan
dari pemikiran sang sutradara untuk menyampaikan suatu ide-ide, gagasan atau
propaganda yang mempunyai kepentingan kekuasaan. Dalam beberapa genre film
Indonesia, tak jarang tema-tema tentang perempuan juga sering diangkat untuk
penggarapan sebuah film. Seperti yang terlihat dalam contoh film Ayat-ayat cinta
dan Berbagi Suami dimana secara jelas bahwa perempuan masih menjadi
komoditas utama dari sebuah cerita film untuk dijual kepada masyarakat.
Budaya patriarki laki-laki tetap menjadi yang dominan diatas feminitas
perempuan, dan stereotip yang dibangun terhadap perempuan dalam kedua
contoh film tersebut tetap negatif yakni menjadi objek bukan subjek dari sebuah
film. Hal tersebut tentunya sangat berbeda dalam film Indonesia yang berjudul
“Bidadari-bidadari Surga” yang selanjutnya peneliti menyingkatnya BBS. Film
ini menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga yang ada di lembah
Lahambay yang ada di Provinsi Sumatra. Keluarga tersebut beranggotakan
seorang Mamak atau Ibu yang diperankan oleh Henidar Amroe dan kelima
anaknya yakni Laisa (Nirina Zubir), Dalimunte (Nino Fernandez), Yashinta
(Nadine Candrawinata), Ikanuri dan Wibisana. Diceritakan Laisa membantu sang
ibu dalam mendidik keempat adiknya, dan mencari nafkah untuk kelangsungan
hidup keluarganya.
Hal yang menarik dari film “BBS” ialah melalui karakter tokoh Laisa
seolah-olah ingin menunjukkan keberdayaan atau kekuatan perempuan, akan
tetapi sebenarnya film tersebut ingin memunculkan stereotip baru yang berbeda
dengan stereotip masyarakat, yakni bahwa seolah-olah perempuan yang ideal dan
positif itu seperti halnya laki-laki dengan sifat maskulinnya yaitu seperti yang
diperankan oleh tokoh Laisa. Realitanya dalam masyarakat seorang perempuan
yang ideal itu tidak harus seperti laki-laki yang kental dengan sifat maskulinnya,
justru terkadang stereotip yang sudah berkembang dalam masyarakat, perempuan
yang ideal ialah perempuan yang identik dengan sifat-sifat femininnya. Hal
tersebut juga terlihat dalam film BBS, dimana ada empat tokoh perempuan selain
Laisa, yakni Mamak, Yashinta, Cihuy dan Andini. Keempat perempuan tersebut
justru menjadi positif karena dia berperan sebagaimana layaknya seorang
perempuan ideal dengan sifat femininnya, Mamak yang hanya beraktifitas di
wilayah domestik dalam rumah tangga, dan bersifat lemah lembut, pasrah.
Sedangkan Yashinta, Cihuy, dan juga Andini secara fisik saja sudah positif yakni
memiliki wajah yang cantik, tubuh yang tinggi, seksi dan berkulit putih, serta
berpenampilan sebagai perempuan karir.
Fokus penelitian dari film ini ialah bahwa ada lima karakter perempuan
yang ditampilkan dengan konstruksi yang berbeda-beda, kemudian apa yang
terjadi dari konstruksi yang dibangun tersebut dengan pergulatan posisi-posisi dari
kelima perempuan, maka dari itu peneliti ingin menganalisa lebih lanjut tentang
persoalan bagaimana konstruksi perempuan dalam film Bidadari-Bidadari Surga.
Dengan tujuan ialah untuk mengetahui bagaimana peran perempuan dikonstruksi
dalam film Bidadari-bidadari surge dan mengetahui perbedaan peran perempuan
dalam film Bidadari-Bidadari Surga.
Dalam Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan analisis
semiotika Roland Barthes. Analisis semiotik Roland Barthes dalam praktik
analisisnya akan bersinggungan dengan sebuah mitos yang berhubungan dengan
ideologi yang terdapat dalam teks film. “Ada dua level makna yang berbeda, yaitu
Penandaan tingkat pertama (first-order signification) disebut denotasi yang pada
level ini tanda disebutkan terdiri dari signifier dan signified, menunjukkan makna
atau tanda yang nyata. Konotasi pada penandaan tingkat kedua (second-order
signification) menggunakan tanda denotasi (signifier dan signified) sebagai
signifier-nya” (Budiman, 2000:6).
B. PEMBAHASAN
1. Feminitas dan Maskulinitas pada Perempuan
Konstruksi maskulinitas dan feminitas merupakan salah satu bentuk
konstruksi sosial mengenai sebuah identitas gender yang melekat pada diri
manusia. Oleh karena itu sebenarnya dua istilah tersebut bukan disebabkan
karena perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, melainkan
sebuah produk suatu konstruksi sosial kultural yang ada sudah berkembang
dalam masyarakat ataupun hasil bentukan dari media massa.
Pada umumnya sifat, atau karakter perempuan yang ideal yang telah
berkembang dalam masyarakat selalu identik dengan kefeminimannya. Namun
dalam film ini, peneliti melihat ada sebuah pembentukkan realitas baru lewat
salah satu tokoh perempuan, yakni Laisa dalam kesehariannya ditampilkan
sebagai perempuan yang identik dengan sifat maskulinnya, yakni agresif, kuat,
pemberani, memimpin atau mendominasi. Kebiasaan Laisa dalam kehidupan
sehari-harinya.
Gb 3.1 & 3.2 Laisa selesai memotong kayu bakar
Pada penggalan scene gambar 3.1 & 3.2 di atas secara denotatif
menceritakan tentang rutinitas Laisa pada pagi hari sebelum dia pergi untuk
mengantarkan ke empat adiknya berangkat sekolah. Dalam scene diatas terlihat
Laisa dengan memakai stelan baju dan rok berwarna putih selutut sedang
berada di halaman rumahnya sambil mengerjakan aktivitasnya yakni
memotong batang pohon menjadi bagian yang lebih kecil dengan
menggunakan kapak, potongan-potongan batang pohon itu akan dijadikan kayu
bakar untuk keperluan memasak mamaknya ataupun dijual untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya.
Penggalan scene di atas secara konotatif dapat diidentifikasi pada scene
diatas ingin menunjukkan bahwa Laisa mempunyai sifat yang berbeda dari
sosok perempuan pada umumnya yakni sifat feminin, akan tetapi sifat Laisa
dikonstruksi secara berbeda yakni dengan sifat maskulin seperti layaknya laki-
laki, hal itu didukung dengan kapak yang digunakan Laisa untuk memotong
batang pohon. Alat tersebut pada umumnya biasanya identik dengan pekerjaan
dari sosok laki-laki. Sosok Laisa menunjukkan bahwa ternyata perempuan juga
bisa tampil dengan sifat maskulin, kuat secara fisik seperti halnya laki-laki,
dengan mengerjakkan pekerjaan yang seharusnya menjadi pekerjaan dari
seorang laki-laki atau menjadi tugas dari laki-laki. Terlebih dengan teknik
pengambilan gambar longshot dapat diartikan bahwa ada hubungan antara
karakter dan setting, disitu terlihat Laisa sedang memotong batang pohon di
luar rumah atau halaman dari rumahnya, itu berarti bahwa Laisa sebagai
perempuan selain memiliki sifat maskulin yang kuat seperti laki-laki, dia juga
bisa tampil untuk mengerjakan tugas laki-laki di ruang publik atau di luar
rumah.
Pada dasarnya sifat agresif dan kuat secara fisik ataupun batin yang
melekat pada diri Laisa tersebut termasuk ke dalam kriteria maskulin yang
diidentikkan dengan laki-laki. Adapun kriteria sifat maskulin menurut
Handayani dan Novianto dalam Bem Sex-Role Inventory (BSRI) ialah
Mempertahankan pendapat/keyakinan sendiri, berjiwa bebas/tidak terganggu
dengan pendapat orang, berkepribadian kuat, penuh kekuatan (fisik), mampu
memimpin atau punya jiwa kepimpinan, berani mengambil resiko, suka
mendominasi atau menguasai, punya pendirian atau berani bersikap, agresif,
percaya diri, berpikir analitis atau melihat hubungan sebab akibat, mudah
membuat keputusan, mandiri, egois atau mementingkan diri sendiri, bersifat
kelaki-lakian, berani bersaing atau kompetisi, dan bersikap/bertindak sebagai
pemimpin (Handayani dan Novianto, 2004:161).
Laisa yang mempunyai sifat yang maskulin yakni kuat dan agresif, tidak
hanya identik dengan femininnya saja, dari sifat yang muncul pada Laisa
tentunya seolah ingin mematahkan mitos yang selama ini berkembang dalam
masyarakat, yakni yang menganggap bahwa perempuan itu hanya bisa
melakukan pekerjaan hanya pada lingkup dalam rumah dan bukan pekerjaan
yang berat, selalu menganggap bahwa perempuan identik dengan
kelemahannya fisiknya dan kefeminimannya.
Akan tetapi sebenarnya jika dilihat lebih dalam lagi, apa yang
dikonstruksi pada diri Laisa dengan sifatnya yang maskulin merupakan sebuah
konstruksi semu, seolah apa yang ditampilkan dalam potongan scene di atas
merupakan wujud perlawanan mitos berupa ketidakadilan gender pada
perempuan, namun pada akhirnya sebenarnya Laisa tetap ditampilkan tetap
dalam lingkup femininnya sebagai seorang perempuan.
Potongan scene di atas walaupun Laisa tampil di ruang publik yakni di
luar rumahnya dengan mengerjakan pekerjaan yang semestinya dikerjakan oleh
laki-laki, jika dilihat dari segi pakaiannya Laisa dalam kedua scene tetap
berpenampilan feminin yakni dengan memakai stelan baju dan rok berwarna
putih selutut. Hal itu menandakan bahwa Laisa kodratnya ialah sebagai seorang
perempuan, yang secara kultural dan budaya dalam masyarakat meyakini
bahwa sudah sewajarnya perempuan ialah harus identik dengan penampilannya
yang feminin, bukan maskulin. Sifat maskulin pada diri dilemahkan kembali
dengan kefeminiman Laisa. Hal itu disebabkan karena adanya ideologi gender
yang dianut oleh pembuat film, dimana sang dibalik pembuat film ini ialah
para laki-laki, jadi ideologi gender yang dianut tetap berada dalam kacamata
dari laki-laki. Sehingga bisa dikatakan bahwa perempuan yang feminin tetap
menjadi ukuran ideal untuk seorang perempuan dimata para laki-laki,
perempuan tetap berada pada titik lemahnya yakni menjadi subjek pandangan
dari seorang laki-laki, dan tersubordinasi oleh kekuatan laki-laki.
Selain fisik yang kuat dan sifat yang agresif pada scene berikutnya Laisa
juga dikonstruksi dengan kemampuan dirinya yang bisa tampil mendominasi
terhadap sosok para laki-laki yang dihadapinya, hal itu terlihat dalam scene
atau gambar 3.5 & 3.6 berikut ini :
Gb 3.5 & 3.6 Laisa dan Warga sedang membuat Kincir Air
Penggalan scene gambar 3.5 dan 3.6 diatas secara denotatif
menceritakan adik Laisa yakni Dalimunte mengembangkan hasil penemuannya
kincir tenaga air. Dalam scene tersebut dengan teknik pengambilan gambar
longshot tampak para warga khususnya laki-laki dan Dalimunte bersama-sama
bekerja gotong royong membuat kincir dengan ukuran yang lebih besar. Hal itu
dapat diartikan bahwa adanya hubungan setting dan karakter dimana pekerjaan
tersebut dilakukan di alam luar, adanya penyatuan karakter antar warga untuk
saling membantu bergotong royong satu sama lain membuat kincir air tersebut,
kemudian dalam scene di atas juga terlihat Laisa dengan memakai sweater,
dan baju stelan rok selutut yang sedang berdiri di pinggir sungai dengan
dataran tanah yang lebih tinggi dari permukaan sungai dimana tempat laki-laki
sedang bekerja sambil membawa nampan untuk membawa makanan untuk
keperluan para warga yang sedang bekerja
Secara konotatif dalam scene di atas dapat diidentifikasi bahwa Laisa
mempunyai sifat maskulin dengan mampu tampil mendominasi atas para laki-
laki yang sedang bekerja, dengan cara memotivasi para laki-laki untuk pantang
menyerah gotong-royong mengerjakan kincir air. Hal tersebut didukung
dengan aspek visualnya yakni berupa posisi angle kamera dengan posisi low
angle yang berarti seolah ada kekuasaan atau kewenangan yang lebih tinggi
pada diri Laisa terhadap para laki-laki yang berada pada posisi kontur tanah
yang lebih rendah daripada kontur tanah tempat Laisa berdiri. Selain didukung
dari aspek visual, untuk mempertegas dominasi Laisa juga didukung dengan
penggalan aspek audio dialog yang terucap dari Laisa, yang bisa diartikan
bahwa Laisa dengan penuh keyakinan, optimis dan penuh ambisius, percaya
diri akan keberhasilan dari penemuan Dalimunte tersebut berusaha meyakinkan
kepada para laki-laki yang sedang bergotong-royong untuk jangan mudah
pantang menyerah mengerjakan kincir air tersebut.
Pada dasarnya sifat yang muncul dari Laisa seperti mendominasi,
optimis, ambisius dan percaya diri masuk ke dalam kriteria stereotip sifat
maskulin yang identik dengan laki-laki, karena pada umumnya seorang
perempuan selalu diidentikkan dengan sifat yang lemah lembut, kurang
percaya diri, tidak ambisius, tidak banyak ide dan pasif. Konstruksi sifat
maskulin Laisa seolah telah berhasil mematahkan mitos tentang stereotip
lemah yang menempel pada pribadi dari perempuan. Akan tetapi jika dilihat
lebih dalam sifat yang dikonstruksi pada Laisa ialah sebuah konstruksi semu,
karena pada kenyataannya Laisa kodratnya ialah seorang perempuan dimana
mitos yang sudah berkembang dalam budaya masyarakat bahwa seorang
perempuan tetap harus feminin dan tetap berada di dalam ranah domestiknya.
Dari segi pakaiannya Laisa tetap ditampilkan sebagaimana kodratnya
perempuan yakni dengan memakai pakaian yang feminin, kemudian pada saat
yang bersamaan sebenarnya juga dikonstruksi kembali sebagai perempuan
yang identik dengan domesifikasinya dimana Laisa terlihat membawa sebuah
nampan yang digunakan untuk membawa bekal makanan untuk para laki-laki
yang sedang bekerja bergotong-royong. Hal itu disebabkan adanya budaya
yang berkembang dalam masyarakat memang masih kental dengan budaya
patriarki yang memandang sebelah mata bagaimana hubungan antara
perempuan dan laki-laki, dimana perempuan hanya dilihat dari sisi lemahnya
dan menganggap laki-laki itu superioritas.
Selain Laisa bisa tampil dengan sifatnya yang tampil mendominasi atau
menguasai atas laki-laki, Laisa juga dikonstruksi dengan pribadinya yang
pemberani, dan berani mengambil resiko dalam menghadapi sesuatu, serta rela
berkorban.
Gb 3.7 & 3.8 Laisa masuk ke hutan mencari Ikanuri dan Wibisana
Potongan gambar 3.7 & 3.8 diatas secara denotatif menceritakan yakni
berawal ketika Ikanuri dan Wibisana hilang tersesat di tengah hutan. Warga
laki-laki memutuskan untuk berbagi tugas pencarian, kemudian dalam scene
diatas terlihat Laisa yang berdiri di depan rumahnya bersiap untuk segera
menyusul para warga laki-laki masuk ke dalam hutan, Laisa dengan memakai
pakaian yang sama yakni baju stelan rok putih dengan tambahan swetter,
membekali dirinya dengan membawa sebilah parang, dalam scene tersebut juga
terlihat Dalimunte yang berdiri dibelakang Laisa dengan memegang Obor.
Konotatif dapat diidentifikasi bahwa Laisa mempunyai sifat yang maskulin
yakni ditandai dengan sifatnya yang pemberani / berani mengambil resiko,
agresif, bertanggung jawab terhadap permasalahan. Pada potongan scene ini
juga didukung dengan aspek audio “Kau dirumah saja Dali, jaga mamak dan
Yashinta”, dari dialog tersebut dapat dimaknai bahwa Laisa tanpa bantuan dari
seorang laki-laki pun bisa sendiri masuk ke hutan, hal ini merupakan wujud
pendobrakan terhadap kaum laki-laki bahwa perempuan juga bisa dengan
berani tampil di area publik, tidak hanya identik dengan area domestik.
Potongan scene berikutnya yang secara denotatif terlihat Laisa tengah
berlari masuk hutan sambil memotong-motong ranting pohon yang
menghalangi jalannnya dengan parang yang dibawa ditangan kanannya dan
tangan kirinya membawa obor untuk menerangi jalannya, disitu juga tampak
dibelakang Laisa Dalimunte yang ikut menemani Laisa masuk ke hutan dengan
membawa sebilah bambu.
Potongan scene gambar kedua di atas, secara konotatif dapat diidentifikasi
bahwa Laisa yang pada awalnya mempunyai keberanian untuk memutuskan
masuk ke dalam hutan mencari kedua adiknya, akan tetapi seberani apapun itu
Laisa, dia tetap merupakan sosok perempuan yang di belakang dari keberanian
Laisa harus ada ikut campur atau peran serta dari sosok laki-laki, Keputusan
dari Laisa untuk masuk ke hutan diragukan oleh Dalimunte hal itu di dukung
dengan adanya aspek audio “Dali ikut kak, kemanapun kak Lais pergi, Dali
harus ikut”. Dari aspek audio tersebut semakin memperkuat mitos bahwa
semaskulin apapun Laisa, Laisa kodratnya tetap seorang perempuan yang tetap
harus berada dalam pantauan dan lindungan, serta harus bergantung pada sosok
laki-laki. Seperti yang dikatakan oleh Nunuk P Murniati dalam bukunya yang
berjudul Getar Gender, bahwa sangat sulit bagi perempuan untuk menjadi
pribadi yang mandiri, sebab masyarakat selalu menghubungkan perempuan
dengan pola ketergantungan (Murniati, 2004:111).
Jadi apa yang dikonstruksi dalam potongan scene di atas pada awalnya
merupakan wujud pendobrakan akan stereotip lemah yang selama ini melekat
pada diri perempuan, lewat tokoh Laisa membuktikan bahwa perempuan bisa
tampil sejajar dengan laki-laki, ingin mematahkan mitos berupa stereotip
lemah yang melekat pada diri seorang perempuan, akan tetapi ternyata
konstruksi tersebut ialah merupakan sebuah konstruksi semu yang pada
akhirnya mengatakan bahwa perempuan tetap berada dalam lingkup ideologi
patriarki.
2. Konstruksi Idealitas Perempuan
Konstruksi idealitas perempuan merupakan salah satu bentuk konstruksi
sosial maupun hasil konstruksi dari media massa mengenai bagaimana wujud
perempuan yang ideal yang semestinya.
a. Perempuan Ideal Ialah yang Tampil Cantik
Gb. 3.11, 3.12 Laisa sedang berdandan
Potongan gambar 3.11 & 3.12 secara denotatif menceritakan Laisa yang
sedang belajar berdandan setelah beberapa hari perkenalannya dengan Dharma.
Dengan memakai baju feminin berwarna putih dengan dibalut sweeter, Laisa
sedang berdiri di depan meja rias yang ada di dalam kamarnya, sambil
berusaha mengoleskan lipstik ke bibir, kemudian memakai ikat kepala yang
terbuat dari kain.
Scene di atas secara konotatif dapat diidentifikasi bahwa Laisa sebagai
layaknya perempuan yang wajar juga harus tampil cantik. Walaupun Laisa
dilekatkan dengan karakter sifatnya yang maskulin seperti layaknya laki-laki,
akan tetapi akhirnya dia mulai belajar memakai make up yang tujuannya tidak
lain ialah untuk tampil cantik, bersih dan menarik yang identik dengan
kefeminimannya ketika berhadapan dengan laki-laki. Hal tersebut tentunya
dapat diidentifikasi bahwa konstruksi maskulin yang melekat pada sosok Laisa
ialah hanya sebuah konstruksi semu semata, yang pada akhirnya dalam film ini
kembali lagi pada budaya atau mitos yang sama dengan budaya di dalam
masyarakat yakni bahwa ternyata perempuan yang ideal atau idaman di dalam
kacamata budaya masyarakat ialah perempuan yang feminin.“Mitos kecantikan
merupakan salah satu hasil belajar manusia untuk mengatur hubungan
manusia, yakni hubungan laki-laki dan perempuan, “Laki-laki melihat
perempuan. Perempuan harus menyadari bahwa ia menjadi objek yang dilihat
(laki-laki)” (Murniati,2004:184).
Selain harus berpenampilan cantik, Laisa sebagai layaknya sewajarnya
seorang perempuan yang secara kultural dan sosial harus dituntut mempunyai
pendamping hidup dan menikah kemudian mempunyai suatu keluarga sendiri
yang utuh. Hal tersebut seperti yang terlihat dalam aspek visual dan audio
berikut ini :
b. Perempuan Ideal ialah yang Menikah dan Berkeluarga
Gb. 3.15 Laisa yang dituntut untuk menikah & berkeluarga
Potongan gambar 3.15 menceritakan ketika Dalimunte hendak menikah
dengan Cihuy, akan tetapi dari pribadi Dalimunte tidak ingin melangkahi
Laisa, sedangkan dari diri Laisa menginginkan Dalimunte untuk segera
menikah dengan cihuy. Pada pagi harinya dengan bertempat di pinggir
perkebunan strawberry milik Laisa, Dalimunte mencoba membujuk dan
berunding dengan Laisa untuk kembali memikirkan mengenai pernikahan
dirinya, sebelum Dalimunte menikah.
Scene di atas secara konotatif dapat diidentifikasi bahwa walaupun Laisa
mempunyai sifat yang maskulin yang bisa dikatakan bukan merupakan seorang
perempuan yang dikonstruksikan media selama ini, akan tetapi semaskulin
apapun Laisa, Laisa ialah tetap sebagai seorang perempuan normal yang pada
akhirnya dia harus untuk menjadi seorang perempuan yang ideal, yakni untuk
menikah dan mempunyai sebuah keluarga. Tuntutan Laisa untuk menikah juga
didukung pada aspek audio potongan gambar 3.15 yang terdengar dialog dari
Laisa “Tentu pernah kakak memikirkannya, tidak ada wanita yang tidak
pernah memikirkannya. Sekarang usia kakak sudah tidak muda lagi dali, tapi
apa yang harus kakak lakukan?”.
Menurut Sri Suhanjati Sukri dan Ridin sofwan (2001:6) bahwasanya tugas
utama seorang istri ialah macak (berhias untuk menyenangkan suami), masak
(memasak), dan manak (melahirkan). Laisa yang mempunyai sifat yang
maskulin pun pada akhirnya akibat dari adanya mitos yang berkembang dalam
masyarakat, Laisa dituntut untuk menjadi seorang perempuan yang ideal yakni
yang menikah, mempunyai suami, dan berkeluarga. Setelah menikah dan
mempunyai keluarga yang utuh, tahap selanjutnya seorang perempuan
mempunyai tugas yang harus dijalaninya yaitu sanggup menjalankan
kewajiban peran sebagai seorang istri dalam kehidupan sebuah keluarga yang
kental dengan domestiknya, seperti yang terlihat dari aspek visual maupun
audio dalam scene gambar 3.17 yang memperlihatkan cihuy sedang
membuatkan teh untuk dalimunte dan gambar 3.18 Laisa sedang memasak di
dapur :
Dalam potongan scene 3.17 terlihat dalimunte dan istrinya yakni cihuy
yang sedang berada di ruang keluarga yang lengkap dengan dengan
perabotannya berupa meja makan yang lengkap dengan cangkir, piring, dan
teko untuk menyajikan minuman dan makanan yang tertata di atas meja makan,
kemudian sofa dan meja tempat Dalimunte duduk. Disitu nampak cihuy yang
berdandan cantik dengan kulitnya yang putih dan rambutnya yang hitam
panjang dan terurai dengan memakai pakaian yang rapih layaknya seorang ibu
rumah tangga yang modern, yakni dengan rok ¾ dibawah lutut dan baju
berwarna putih sedang membuatkan secangkir teh untuk Dalimunte yang
tengah bersiap-siap untuk berangkat kerja dengan memakai kemeja dilengkapi
dengan dasi, memakai sepatu pantoefel dan celana kain.
Pada gambar 3.18 secara denotatif terlihat bahwa Laisa dan mamak sedang
berada di dapur rumahnya tengah meracik bahan makanan untuk dimasak.
Secara konotatif dari potongan kedua scene di atas menandakan bahwa seorang
perempuan yang ideal ialah yang tidak jauh dari area domestik atau hanya
berkutat dalam area rumah tangga. teknik pengambilan gambar long shot dapat
diartikan bahwa ada hubungan setting dengan karakter. Scene diatas settingnya
berada di ruang keluarga Disitu terlihat cihuy yang sedang membuatkan
Dalimunte minuman berupa teh diatas meja makan. Hal tersebut menandakan
bahwa ada hubungan setting dengan karakter dimana Cihuy walaupun
berpenampilan sebagai layaknya wanita karir, akan tetapi cihuy sebagai
seorang perempuan setelah menikah melekat karakternya sebagai seorang istri
dan juga ibu rumah tangga yang harus juga menjalankan kewajiban
domestiknya seperti menyiapkan makanan atau minuman buat suaminya.
Hal tersebut didukung dengan aspek audionyanya ada dialog dari cihuy
“Kamu sarapan dulu ya” juga dapat diidentifikasi bahwa menyiapkan
makanan dan minuman buat suaminya ialah sebagai hal yang wajib dilakukan
oleh seorang istri tanpa harus suaminya yang memintanya. Pada scene
berikutnya juga dapat diidentifikasi bahwa ketika Laisa sudah mulai mengenal
seorang laki-laki, pada akhirnya dia dituntut untuk kembali lagi pada area
domestiknya, karena dia sadar bahwa kelak dia akan menjadi istri dari seorang
laki-laki dimana budaya yang telah berkembang di dalam masyarakat meyakini
bahwa istri yang ideal dan idaman bagi seorang laki-laki ialah yang pintar
memasak. Laisa seolah mewakili perempuan yang memiliki beban kerja ganda,
dimana disatu sisi Laisa seorang pemimpin atau owner perusahaan kebun
strawberry, disatu sisi Laisa juga dituntut untuk tetap menjalankan pekerjaan
domestiknya.
Dalam lingkup hukum di Indonesia juga sudah diatur mengenai kewajiban
seorang istri yakni dalam pasal 31 ayat 3 UU No 1 tentang Perkawinan yang
mengatakan bahwa “Suami adalah kepala keluarga dan Istri ibu rumah
tangga”, kemudian dalam pasal 34 ayat 2 juga dijelaskan bahwa “Istri wajib
mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”.
3. Konstruksi Tubuh Perempuan
Konstruksi tubuh perempuan oleh media massa berupa eksploitasi
kecantikan dari fisik perempuan yakni seperti kulitnya yang putih, rambutnya
yang lurus panjang, tubuhnya yang langsing dan tinggi adapula yang berupa
konstruksi tubuh perempuan dari sisi erotisme tubuh perempuan dengan tujuan
hanya seksualitas semata, dengan tujuan hanya untuk kenikmatan para
konsumen atau penonton laki-laki.
Gb. 3.21 Kecantikan adik perempuan Laisa yang bernama Yashinta.
Potongan scene gambar 3.21 bercerita ketika pada akhirnya wak Burhan
membawa kabar gembira untuk Laisa bahwa ada seorang duda tua yang
bernama Harun yang bersedia untuk menikah dengan Laisa. Kemudian hari
perjodohan Laisa dengan duda tersebut tiba, akan tetapi sedikit terjadi miss
komunikasi antara wak Burhan dengan Cak Harun, cak Harun mengira bahwa
yang akan dinikahkan dengan dirinya ialah Yashinta. Disitu terlihat Yashinta
yang keluar dari dalam rumah dengan kulitnya yang putih dan rambutnya yang
terurai panjang sedikit pirang memakai kebaya berwarna kuning dan
berkerudung warna putih.
Secara konotatif dapat diidentifikasi bahwa perempuan yang feminin, ialah
perempuan yang memiliki fisik wajah yang cantik dan berkulit putih bersinar,
serta memiliki rambut yang panjang teurai seperti Yashinta. Hal itu juga
didukung dengan aspek audio dari dialog Cak Harun : “Waahhhh!! Cantik nian
calon pengantinku..”, dari dialog cak Harun mengira bahwa calon istrinya dia
ialah Yashinta yang memiliki fisik yang sempurna, padahal yang akan menjadi
calon istrinya dia ialah Laisa yang memiliki fisik jauh dari kata sempurna jika
dibandingkan dengan Yashinta.
Dari dialog di atas juga menandakan bahwa ternyata dimata masyarakat
terutama para laki-laki, perempuan dengan fisik sempurna seperti yang dimiliki
oleh Yashinta tetap menjadi primadona. Dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat muncul mitos berupa tuntutan untuk tampil feminin berupa
kecantikan tubuh bagi perempuan ialah hal yang terpenting, bahkan suatu
keharusan dalam hidup perempuan.
Gb. 3.22
Potongan scene di atas secara denotatif menceritakan seolah itu merupakan
arwah Laisa yang tampak cantik, dengan kulitnya yang putih bersih dan dengan
memakai baju muslimah dilengkapi kerudung, kemudian rambut Laisa yang
tadinya terlihat pendek dan keriting mendadak menjadi lurus dan hitam terurai.
Secara konotatif, scene di atas dapat diidentifikasi bahwa Laisa ialah
seorang sewajarnya perempuan yang akhirnya juga harus berpenampilan
sebagai perempuan dengan wajahnya yang cantik, kulitnya yang putih bersih,
rambutnya yang hitam terurai panjang, dan bajunya yang tampak lebih feminin.
Hal itu menandakan bahwa ternyata perempuan dengan sifat, karakter dan
penampilan yang maskulin tetap dianggap negatif, hal yang positif justru
terjadi pada perempuan dengan sifat yang feminin dan memiliki fisik tubuh
yang sempurna. Hal itu dikarenakan secara konteks sosial budaya Masyarakat
tetap memegang teguh terhadap mitos tentang makna kecantikan tubuh bagi
seorang perempuan.
C. Penutup
Konstruksi Kemaskulinan dari Laisa dalam film BBS ini merupakan sebuah
wujud konstruksi terhadap identitas baru seorang perempuan yakni perempuan
dengan sifat maskulinnya yang pemberani, mampu tampil di wilayah publik, serta
mampu tampil mendominasi laki-laki. Akan tetapi identitas baru tersebut kalah
dengan stereotip tentang identitas perempuan yang telah berkembang dalam
masyarakat sejak dulu yakni bahwa wajarnya atau idealnya seorang perempuan
yang harus tampil cantik, harus menikah, harus berada dalam wilayah
domestiknya seperti yang terlihat dalam peran dari tokoh-tokoh perempuan yang
lainnya seperti Mamak, Cihuy, Yashinta dan Andini.
Laisa yang mempunyai sifat maskulin pada akhirnya tetap dianggap negatif
dan ditarik kembali ke dalam stereotip identitas lama seorang perempuan yakni
yang feminin dan identik dengan domestiknya. Adanya ideologi patriarki dalam
masyarakat yang diteruskan oleh para pembuat film menjadikan konstruksi
kefeminiman perempuan tetap berada dalam kondisi yang lemah, dan ditampilkan
dengan perspektif yang tidak ramah serta bahkan cenderung dirugikan dengan
posisi-posisi perannya yang selalu diberada di bawah superioritas laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
Althusser, lousi. 2000. Tentang Ideologi. Yogyakarta. Jalasutra.
Berger, Arthur Asa. 2000. Media Analysis Technique. (Second Edition. Alih
bahasa Setio Budi HH). Yogyakarta. Universitas Atma Jaya.
Budiman, Kris. 2000. Semiotika Visual. Yogyakarta. Buku Baik
Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media massa : Konstruksi dan makna realitas sosial
iklan televisi dalam masyarakat kapitalistik. Yogyakarta. Jendela.
Barthes, Roland. 2012. Elemen-elemen semiologi. Yogyakarta: IRCiSoD
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta.
PT LKiS Pelangi Aksara
Faqih, Mansour. 1996. Analisis gender dan transformasi sosial. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar
Guyton C, Arthur dan John E. Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
11. Jakarta. Buku Kedokteran EGC
Handayani, Christina S. dan Ardhian Noviani. 2004. Kuasa Wanita Jawa.
Yogyakarta. LKis
Ibrahim, Idy Subandy dan Hanif Suranto (ed). 1998. Wanita dan Media
Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung. Remaja
Rosdakrya
Junaedi, Fajar. 2007. Komunikasi Massa:Pengantar Teoritis.Yogyakarta.
Santusta.
littlejohn, Stephen W. 2005. Theories Of Human Communication. 8 ed. Canada:
Wadsworth.
Murniati, Nunuk P. 2004. Getar Gender : Perempuan Indonesia dalam Perspektif
Agama, Budaya dan Keluarga. Magelang. Indonesia Tera
Nugroho, Garin dan Dyna Herlina S. 2013. Krisis Paradoks Film Indonesia.
Jakarta. Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta Press
Paul, Cobley dan Litza. 1999. Introduction Semiotic. Bandung. Mizan Media
Peter L berger dan Thomas Luckman. 1990.“Sosial Construction of Reality: A
Treatise in The Sociology of Knowledge”:”Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta. LP3ES.
Prabasmoro, Aquarini, Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh,
Sastra,dan Budaya Pop. Bandung. Jalasutra
Ratna Saptari dan Brigitte M Holzner. 1997. Perempuan, kerja, dan perubahan
sosial: Sebuah pengantar studi perempuan. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti
Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda Tetapi Setara:Pemikiran Tentang Kajian
Perempuan. Jakarta. PT. Kompas Media Nusantara
Sastriyani, Siti Hariti. 2008. Women In Public Sector (Perempuan di Sektor
Publik). Yogyakarta. Tiara Wacana
Sen, K. 1994. Indonesian Cinema, Framing the New Order. London: Zed Books
ltd.
Siregar, Ashadi. 1985. Film, Suatu Pengantar. Yogyakarta.UGM
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Cetakan Ke empat, Bandung: Remaja
Rosdakarya
Synnott, Anthony. 2003. Tubuh Sosial, Simbolisme diri dan Masyarakat.
Yogyakarta. Jalasutra
Suwarno, Marseli. Dasar-dasar Apresiasi film, Grasindo, Jakarta. 1996
Suryadi, Ace, dan Ecep Idris. 2001. Kesetaraan Gender dalam Bidang
Pendidikan. Bandung. PT. Genesindo
Thwaites, LIoyd Davis, dan Warmick Mules.2009. Introducing Cultural and
Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik. Yogyakarta. Jalasutra
Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought, Pengantar paling
komprehensif kepada arus utama pemikiran Feminis, Yogyakarta: Jalasutra.
Undang-Undang Republik Indonesia nomer 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Yulianto, Ita Vissia. 2007. Pesona Barat di Indonesia : Analisis Kritis-Historis
tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia. Bandung. Jalasutra
Website :
www.tabloidBintang.com/Kampanye-tak-membuat-rieke-dyah-pitaloka-
kehilangan-momen-keluarga /22 Februari 2013/ diakses tanggal 2-12-2013/ 19.56
WIB
(http://m.detik.com/hot/read/2013/06/21/152144/2280346/230/nikahi-gadis-muda-
impian-ki-daus-terwujud /diakses 25/06/2014 pukul 23:42 WIB)
http://klikstarvision.com/?page_id=63/ (diakses pada tanggal 8/3/2014, 09.23 WIB)
Jurnal Penelitian :
Rina Budiarti. Representasi Peran Gender Dalam Komedi Siuasi “Office Boy”.
2008. Yogyakarta. Fakultas ISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Yeni Karlina. 2008. Dekonstruksi Stereotip Perempuan Dalam Sinetron Komedi
“Suami-suami Takut Istri”. Yogyakarta. Fakultas ISIPOL Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Dewi Candraningrum dalam Jurnal Perempuan Vol 18 No.1. 2013. Superwoman
Syndrome & Devaluasi Usia : Perempuan dalam Karier dan Rumah Tangga.
Jakarta.
Nurul Arifin dalam jurnal Vol. 2 Nomor 2. 2001. Wajah Perempuan dalam Media
Massa : Wajah Perempuan dalam Sinetron. Jakarta