1
KONTRIBUSI YUSUF AL-QARADHAWI
BAGI PENGEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
Studi atas Fatwa-fatwa Kontemporer yang Berkaitannya
dengan Tantangan Perubahan Perubahan Sosial
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Perubahan sosial dan masyarakat selalu menuntut adanya perubahan
hukum, sebaliknya perubahan hukum dapat menimbulkan perubahan sosial.
Dalam ajaran Islam perubahan hukum selalu inheren didalamnya, sekalipun
dalam Hukum Islam ada ajaran yang bersifat pasti (qat}’i), yang tidak
berubah sepanjang zaman, ada yang bersifat elastis (z}anni), dapat berubah
sesuai dinamika zaman.
Munculnya Yusuf al-Qaradhawi yang dikenal dengan fatwa-fatwanya
yang dapat dilacak melalui buku-buku yang ditulisnya seperti: al-Ijtihād al-
Mu’ās}ir baina al-Ind}ibāt} wa al-Infirāt}, al-Halāl wa al-Harām fi al-Islām
dan Min Hadyi al-Islām Fatāwa Mu’ās}irah, menunjukkan bahwa tokoh ini
memiliki konsep perubahan hukum dan kontribusinya bagi pengembangan
Hukum Islam saat ini.
2. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Formulasikan perubahan fatwa hukum yang dilakukan Yusuf al-
Qaradhawi dalam sejumlah karyanya di atas merupakan rumusan konsep
pembaruan pemikiran hukum Islam, karena itu masalah pokok penelitian ini:
1) Bagaimana pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hukum Islam yang
tidak bisa berubah (thabit) dan bisa berubah (mutaghayyir)?;
2) Bagaimana konsep perubahan fatwa menurut Yusuf al-Qaradhawi?;
3) Bagaimana fatwa-fatwa Yusuf al-Qaradhawi mengenai hukum yang
terkena perubahan sosial?;
4) Bagaimana implikasi pemikiran Yusuf al-Qaradhawi bagi
pengembangan hukum Islam?
3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui konsepsi al-Qarad}āwi:
2
1) Mengenai hukum Islam yang tidak bisa berubah (thabīt) dan bisa
berubah (mutaghayyir);
2) Konsep perubahan fatwa menurut pandangan Yusuf al-Qaradhawi;
3) Fatwa-fatwa al-Qarad}āwi mengenai hukum yang terkena perubahan
sosial; dan
4) Implikasi pemikiran dan kontribusinya bagi pengembangan hukum
Islam.
Hasil penelitian ini mempunyai arti penting dalam mengembangkan hukum Islam,
baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang, sehingga segala
permasalahan yang muncul dalam masyarakat akan dijawab oleh hukum
Islam secara adil dan realistis. Karena itu, kegunaan penelitian ini
diharapkan berguna bagi setiap upaya pengembangan pemikiran di bidang
hukum Islam.
Selain itu, penelitian ini diharapkan pula berguna bagi peningkatan
dan pengembangan potensi akademik penulis, sesuai dengan bidang dan
disiplin ilmu yang selama ini ditekuni.
4. Tinjauan Kepustakaan
Studi dan penelitian terhadap konsep perubahan hukum (taghayyur al-
Ah}kām) sebagai konsep dasar dinamisasi hukum Islam, memang bukan untuk yang
pertama kali dilakukan, tetapi sudah banyak dilakukan orang lain. Akan
tetapi, sekalipun objek studi dan penelitiannya sama, yang menjadi fokus penelitiannya
berbeda sebagaimana diuraikan dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas.
Mengawali studi ini, tentu terlebih meletakkan posisi penelitian ini di
antara beberapa studi dan penilitian yang dilakukan sebelumnya, baik yang
sama objek tokohnya maupun yang tidak sama, seperti diketahui bahwa telah
ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu, maka
penelitian-penelitian tersebut bagi penulis merupakan kajian awal untuk
mengetahui konsep pemikiran al-Qarad}āwi, yang selanjutnya menempatkan
penelitian ini sebagai kelanjutan atas penelitian-penelitian terdahulu, dan
sekaligus memformulasikan gagasan terutama metode yang ditempuh al-
Qarad}āwi dalam memberikan fatwa-fatwa hukumnya atas berbagai
perubahan sosial yang terjadi dewasa ini.
Adapun karya-karya penelitian tersebut antara lain sebagai berikut:
3
No Penulis Judul Teori Metode Hasil
1 Amru Abd
al-Karīm
Sa’dawi
Qad}āyā al-Ma-
rati fi fiqh al-
Qarad{āwi
Library
Research
Deskriptif
-Normatif
Menggambarkan pe-
mikiran al-Qarad{āwi
tentang wanita Islam,
baik dalam mengha-
dapi realitas kekinian
maupun kesesuaian
dengan ajaran Islam
2 Mus{tafa
Malaikah
Fi Us{ūl al-Da’-
wah Muqtabi-
sāt min Kutub
Yūsuf al-Qara-
d{āwi
Library
Research
Deskriptif
-Normatif
Menggambarkan so-
sok al-Qarad}āwi, se-
bagai ulama moderat
yang mampu me-
nguasai term-term
Islam modern
3 Ahmad bin
Muham-
mad bin
Mans{ūr al-
‘Udaini al-
Yamani
Raf’u al-Lithā-mi ‘an Mukha-
lāfat al-Qarad}ā-wi, li al-Sharī’at
al-Islām
Library
Research
Deskriptif
-Normatif
Buku kritik ini meng-
ungkap pemikiran al-
Qarad}āwi,yang me-
nyimpang dari tradisi
ulama salaf dan seka-
ligus menyimpang dari
ajaran Islam
4 Syukri Iska Pemikiran Fiqh
al-Aulawiyyat
Yūsuf al-
Qarad{āwi
Library
Research
Deskriptif
-Normatif
Menjelaskan pemikir-
an Yusuf al-Qaradhawi
tentang persoalan fiqh
yang perlu mendapat
prioritas dalam peng-
amalan umat
5 Abdurrahm
an Qadir
Pembaharuan
Hukum Islam:
Studi Pemikiran
Yūsuf al-Qara-
d}āwi, Tentang
Zakat Profesi
Library
Research
Deskriptif
-Normatif
Penelitian ini lebih ter-
fokus pada konsep
zakat dan penerapan
zakat profesi yang
dikemukakan Yusuf
al-Qaradhawi.
6 Bahar
Mukhlis
Metode Ijtihād
Yūsuf al-Qara-
d}āwi, dalam
Ma salah-
masalah
Library
Research
Deskriptif
-Normatif
Penelitian ini meng-
ungkapkan gagasan al-
Qarad}āwi, tentang
pentingnya membang-
an ijtihād dewasa ini
4
Kontemporer
7 Muhamma
d Atho
Mudzhar
Fatwa-fatwa
MUI: Sebuah
Studi ten-tang
Pemikiran Hk.
Islam di Indo-
nesia
Library
Research
Normatif-
Sosiologis
Mengungkap proses
pengambilan fatwa
hukum Islam di
lingkungan MUI
8 Badri
Khaeruman
Hukum Islam
dalam Perubah-
an Sosial: Kaji-an
Pemikiran Yūsuf
al-Qara-d}āwi,
dalam Fatwa-
fatwanya
Library
Research
Analitis-
kritis
Diharapkan menemu-
kan orisinalitas pemi-
kiran al-Qarad}āwi
dan relevansinya bagi
pengembangan hukum
Islam terutama dalam
menghadapi perubahan
sosial
5. Kerangka Teori
Pemikiran hukum Islam (ijtihād) pada hakikatnya, dilakukan oleh
ulama sebagai respon terhadap perubahan sosial dan perubahan alam yang
terjadi, melalui seperangkat metodologi dengan Al-Qur’ān dan al-Sunnah
sebagai sumber nilai (postulat). Segala bentuk ketetapan hukum harus
senantiasa dapat dikembalikan kepada kedua sumber itu melalui penalaran
yang cerdas, terutama dalam masalah-masalah yang sama sekali baru, yang
secara tekstual tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut. Karena, jika
tidak dapat dikembalikan kepada kedua sumbernya tersebut, maka produk
pemikiran hukum itu tidak memiliki legitimasi.
Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, orang pertama yang berani
berbeda pandangan (fatwa) dalam penetapan hukum adalah ‘Umar ibn al-
Khat}t}hāb (w. 23 H), yang kemudian diikuti oleh generasi umat
sesudahnya, misalnya Imām al-Shafi’i (150-204 H) yang terkenal dengan
qawl qadīm dan qawl jadīd-nya, pandangannya yang berubah karena
perubahan situasi dan kondisi. Bahkan kemudian Najm al-Dīn al-Thufi (675-
716 H) berpendapat bahwa kemaslahatan menjadi kunci (‘illat) bahwa
hukum boleh berubah. Mas}lah}at menurutnya merupakan dalil baru yang
paling kuat untuk dijadikan alasan dalam menentukan hukum shara’.
Demikian pula Ibn Qayim al-Jauziyah (691-751 H) yang menyatakan
bahwa fatwa hukum berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan,
5
kebiasaan dan niat. Fatwa ini kemudian dikenal dan diakui dalam khazanah
pemikiran Islam sebagai kaidah bagi perubahan hukum Islam.
Pandangan di atas kemudian dikukuhkan pula oleh Abū Ishāq al-
Shāt}ibī (730-790 H), dengan pendekatan maqās}id al-Sharī’ah, yakni
bahwa kemaslahatan hukum itu harus melindungi, agama, jiwa, harta dan
keturunan.
Dengan demikian rangkaian pemikiran tentang perubahan hukum
akibat perubahan sosial sebagai ‘illat hukum, sesungguhnya merupakan
suatu keharusan, sehingga hukum Islam tidak bersifat statis melainkan
mengikuti alur kehidupan umat manusia, yang dasar-dasar pemikirannya
telah dimulai oleh ulama terdahulu seperti yang telah dijelaskan di atas.
Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan kerangka teoritis yang akan
dijadikan panduan dalam penelitian ini, serta kaidah-kaidah us}ūl dalam
penetapan hukum yang telah ditawarkan oleh para ulama lainnya. Sedangkan
kerangka konseptualnya adalah pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang
metode ijtihād kontemporer dan fatwa-fatwanya, hubungan nash dengan
perubahan sosial dan prinsip-prinsip fiqh perubahan (fiqh al-taghyir) dan
fiqh realitas (fiqh al-waqi’) yang kesemuanya itu merupakan stimulan-
stimulan penting dalam perumusan konsep perubahan fatwa hukum Islam.
Karena itu yang menjadi sumber nilai (postulat) Hukum Islam dalam
tantangan perubahan sosial, adalah ayat-ayat Al-Qur’ān yang menyatakan
bahwa Islam adalah agama yang telah disempurnakan dan sekaligus sebagai
agama yang diridhai Allah (al-Maidah, 5: 3).
Dalam ayat lain dinyatakan bahwa Allah melarang umat Islam
membuat keputusan hukum yang mendahului keputusan hukum Allah dan
Rasul-Nya (al-Hujurat, 49: 1).
Di lain ayat Allah berfirman bahwa perubahan kehidupan umat manu-
sia harus dilakukan oleh manusia yang bersangkutan, bukan oleh pihak lain-
nya termasuk oleh Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam al-Ra’d, 13: 11:
Demikian pula Sabda Nabi, seperti terungkap dalam banyak kitab
hadith, yang menyatakan bahwa Nabi berpesan untuk berpegang teguh pada
6
al-Qur’ān dan al-Sunnah, agar tidak tersesat dalam kehidupan. Dalam
riwayat Malik bin Anas redaksi hadith tersebut:
Al-Qur’ān telah selesai diturunkan, demikian pula al-H}adith telah
selesai disabdakan bersamaan dengan wafatnya Nabi SAW, namun
persoalan sosial akan terus bermunculan hingga akhir zaman, hal ini tentu
menuntut penyelesaian hukum atas persoalan yang baru itu dengan melalui
ijtihād.
Karena itu dalam mengurai Hukum Islam dalam tantangan perubahan
sosial dengan spesifikasi pemikiran al-Qarad}āwi, maka digunakan Grand
Theory yang diangkat pemikiran al-Syahrastani, yakni:
������� ��� �� ����� �� ���� � Kaidah tersebut mengisyaratkan bahwa nas}-nas} agama dari ayat-
ayat al-Qur’ān dan al-H}adith adalah terbatas, sementara kehidupan sosial
akan terus bergulir hingga akhir zamān.
Karena itu, Middle Theory Hukum dalam tantangan perubahan sosial
adalah kaidah us}ūl, yang diangkat dari pemikiran Ibnu Qayim al-Jauziyah
yang menyatakan bahwa fatwa hukum itu bisa berubah karena perubahan
waktu, tempat, keadaan, kebiasaan (adat) dan niat (motivasi). Kaidah ini
memberi jawaban hukum atas tantangan perubahan sosial, apapun
bentuknya, dan merupakan solusi atas terhentinya nas}-nas} al-Qur’ān dan
al-Sunnah seperti yang telah dijelaskan. Kaidah yang dimaksud adalah:
����� ����� ���� � ������� � � � ���! �� "��#�� � $�%��� � &
Kaidah ini memberi jalan yang seluas-luasnya bagi penyelesaian hukum
atas berbagai perubahan yang ada, baik terdapat nas} maupun tidak ada nas}.
Applicative theory yang digunakan dalam membedah ijtihād dan
pemikiran al-Qarad}āwi dalam menjawab perubahan sosial adalah teori
qiyās, yakni penalaran deduktif dan induktif ( ������� ���� �� ) dan t{arīqat al-
jam’i atas berbagai aliran pemikiran Islam baik dalam fiqh maupun kalam.
Dengan begitu, diharapkan dapat tergambar pemikiran hukum Islam
al-Qarad}āwi dan relevansinya bagi pengembangan hukum Islam dewasa
ini.
'()* + (, -. �(/ + 0� $�)* -. 1��2 �34 '�%56 �� .�(7� 8 89:�; '% < �2:�
7
الكليه والجزئية: تكامل والتضم
�������� �������� ������� ������� ������ �� �! "��#���� $
%��� �� &����� :(����
8
6. Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat studi pustaka (library research). Karena itu
untuk mensistematisasikan langkah-langkah penelitian ini digunakan metode Analitis-
Kritis, sebagai suatu cara mengelola data yang relevan dengan objek yang dipaparkan dan
kemudian dianalisis implikasinya hingga mencapai tujuan yang hendak
dicapai.
Berpegang pada metode analitis-kritis ini, langkah pertama
mendeskripsikan gagasan primer pemikiran Yusuf al-Qaradhawi. Kedua,
membahas gagasan primer tersebut yang pada hakikatnya adalah
memberikan penafsiran terhadap gagasan yang telah dideskripsikan tersebut.
Jadi, analisis kritis itu adalah mendeskripsikan, membahas, dan
mengeritik gagasan primer yang selanjutnya “dikonfrontasikan” dengan
gagasan primer yang lain dalam upaya melakukan studi yang berupa
perbandingan, hubungan, dan pengembangan model.
B. TEORI DAN METODOLOGI PERUBAHAN FATWA DALAM
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam yang terdiri dari rangkaian kata “hukum” dan “Islam”,
secara tegas tidak terdapat dalam Al-Qur’ān. Hukum Islam merupakan
terjemahan dari Sharī’ah Islam atau hukum Shar’i, yang memiliki
pengertian adalah tuntutan shar’i (Allah) yang berhubungan dengan
perbuatan orang dewasa yang berupa perintah, pilihan atau hubungan
sesuatu dengan yang lain. Sedangkan menurut Fuqaha adalah bekas atau
pengaruh yang dikehendaki oleh khitab Allah dan terwujud dalam bentuk
perbuatan, seperti wājib, harām, dan mubah}.
�(%=� "�!<�� >(!�=� ?:@ � A�BC �� DE �/�� FGB/� H �,:@ � '%I� �!J� �� �0(K D
L� � +�:I� � A�M� �2 N!� � H ?O�@ � A�BC +E 7E�P� �Q � :R�� ��< S��P�( �$#��
Definisi ini menegaskan bahwa hukum Islam adalah seperangkat
peraturan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat untuk semua yang
beragama Islam.
9
Dilihat dari segi objek dan pembahasannya, hukum Islam dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu Ibadah dan Mu’amalah.
Termasuk ke dalam ibadah ialah shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji serta
hal-hal yang berkaitan dengannya. Termasuk ke dalam mu’amalah ialah
munakahat (pernikahan), jual beli, dan segala macam transaksi keuangan,
jinayat (‘uqūbat, hudūd, hukum pidana) mawaris, qada’ (peradilan),
khilafah,dan jihad.
Dari pembagian di atas terlihat perbedaan antara Sharī’at dan fiqh.
Sharī’ah seperti Sharī’at ibadah bersifat konstan, tidak terpengaruh oleh
ruang dan waktu (tidak berubah). Sedangkan Hukum Islam dalam bidang
mu’amalah menerima interpretasi, sejauh tidak bertentangan dengan maksud
dan tujuan Shara’ dan bersifat menerima perubahan, maka sifat menerima
perubahan dan menerima interpretasi inilah disebut fiqh, untuk kepentingan
memahami, menafsirkan, dan menerapkan Sharī’at dalam suasana tertentu.
2. Hukum Islam dan Perubahan Sosial
Perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat merupakan
hal yang pasti terjadi. Karena alam semesta tempat hidup manusia ini adalah
baru, yang ada setelah tiada yang selalu bergerak dan berubah-ubah, tumbuh
dan berkembang. Oleh sebab itu sebenarnya perubahan itu merupakan salah
satu ciri bahwa masyarakat itu ada dan hidup. Bahkan berfirman Allah
mengisharatkan bahwa manusia harus berubah jika ingin mencapai
kehidupan yang lebih baik:
“... Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum, hingga
mereka merubah keadaan yang ada pada mereka sendiri.. “. ( al-Ra’du: 11)
Perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya pada aspek tertentu,
tetapi bersifat menyeluruh, meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat
baik secara material, maupun immaterial. Karena itu definisi perubahan
sosial itu menjadi luas, namun secara umum dapat ditafsirkan bahwa pada
prinsipnya perubahan sosial adalah sebuah proses. Yakni sebuah proses yang
melahirkan perubahan-perubahan di dalam struktur dan fungsi suatu sistem
kemasyarakatan.
Dalam ilmu sosial, faktor-faktor pendukung perubahan sosial menjadi
tiga yakni; 1) adanya penemuan baru; 2) pertumbuhan penduduk; dan 3)
10
kebudayaan. Faktor ketiga ini secara timbal balik dapat mendorong
perubahan pada bentuk dan hubungan sosial kemasyarakatan.
Terkait dengan perubahan sosial, maka hukum Islam yang berfungsi
sebagai pagar pengaman sosial atau pranata sosial, memiliki dua fungsi;
pertama, sebagai control sosial, dan kedua, sebagai nilai baru dan proses
perubahan sosial. Jika fungsi yang pertama ditempatkan sebagai “cetak biru”
Tuhan selain sebagai kontrol sosial juga sekaligus sebagai social engineering terhadap
keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, lebih
merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan
sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, baik dalam budaya
dan maupun politik. Karena itu perubahan sosial akan berjalan pincang jika
tidak ada alat kontrol terhadap proses interaksi sosial.
3. Teori Perubahan Fatwa Hukum dalam Pemikiran ‘Umar bin al-
Khat}t}āb hingga para Ulama
Ada beberapa tokoh yang mempelopori dan telah melakukan
perubahan hukum Islam dalam bentuk fatwa, ijtihād maupun konseptualisasi
teori hukum Islam. Di antaranya yang menjadi referensi adalah apa yang
dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khat}t}āb yang dikenal sebagai sahabat Nabi
yang berilian dan sekaligus kontroversial dalam berijtihād karena selalu
mengacu pada ruh Sharī’at. Kemudian Imām Shāfi’i sebagai tokoh peletak
dasar ilmu Us}ūl fikih dengan Qawl Qadīm dan Qawl Jadīd-nya
memberikan kontribusi akan pleksibilitasnya hukum Islam dan perlu juga
dimasukkan al-T}ūfi dengan konsep mas}lah}ah-nya, dan Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah seorang pemikir pertama yang secara eksplisit menyebutkan
kaidah perubahan fatwa karena adanya perubahan zaman, pelbagai keadaan,
adat dan niat dalam karyanya I’lām al-Muwaqi’īn. Yang terakhir adalah al-
Shāt}ibī dengan konsep Maqās}id al-Sharī’ah-nya yang sangat terkenal
dalam pemikiran hukum Islam.
11
C. PEMIKIRAN HUKUM ISLAM AL-QARAD}ĀWI DALAM
MENJAWAB TUNTUTAN PERUBAHAN SOSIAL
1. Metode al-Qarad}āwi untuk Pemahaman Hukum Islam
Kontemporer
Al-Qarad}āwi menempatkan dirinya sebagai kelompok moderat di
antara sikap ekstrem dan liar, dengan alasan sebagai sikap yang terbaik dan
merupakan jalan tengah antara dua titik antara kelompok pemikiran yang
ekstrem yakni antara kelompok tekstualis yang mengabaikan ruh dan asrar
Sharī’at dan kelompok liberalis yang sebaliknya yang cenderung
mengabaikan nash. Sikap moderat tersebut merupakan kebenaran yang
realistis dan merupakan pijakan pemikiran Ibnu Taymiah yang menyatakan
bahwa kebenaran itu pada yang riil bukan dalam angan-angan:
Moderasi dan toleransi al-Qarad}āwi tersebut terlihat jelas ketika ia
memunculkan istilah baru dalam diskursus ijtihād kontemporer, yakni istilah
“Ijtihād Intiqāiy” dan “Ijtihād Inshāiy”.
a) Ijtihād Intiqāiy/Tarjih
T+EE� S�EE7P � �U ��EE��( V9:EE! � WEE�P� � �EE�R�:� X $EE �P�=� S�OY� �EE#U O�EE �C� :W�EEP���� [�EE��M��
�:C�� "������ S�OY� 8� \�] �(, + �^ M:�
Memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat
pada warisan fiqh Islam.
b) Ijtihād Inshāiy
_ TN�5=� 8� $ `5� X �9�M '%# a�0��)� :+� b!�< W�@�L� [���M�� ��U 8� �#U +� NP9
�� W�@�L� [���M�� &U �Q� c!�� Td�9�M eU $f�� $ `5=� ���2 S��) TDP��5 � N3@9
8, NP�9 _ �9�M gUO �� < :/�!=� ���h3( ��09 &`� $f�P � N�5=� V!� S�3(,i(5 �
Adapun yang dimaksud dengan Ijtihād Inshāiy adalah pengambilan
istinbāt} hukum dari suatu persoalan yang baru, yang belum pernah
dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik istinbāt} itu menyangkut masalah
lama (dengan ’illat baru) atau masalah yang betul-betul baru. Itulah yang
dimaksud Ijtihād Inshāiy, yang mencakup persoalan lama di mana seseorang
12
mujtahid kontemporer bekerja keras untuk mendapat istinbāt} hukum yang
baru, yang belum ditemukan di dalam pendapat ulama salaf.
Dalam praktiknya, kedua metode Ijtihād tersebut menurut al-
Qarad}āwi terdapat beberapa aturan dan ketentuan pokok:
1) Tidak ada Ijtihād tanpa mencurahkan kemampuan;
2) Tidak ada Ijtihād dalam masalah-masalah yang bersifat qat}’i;
3) Tidak boleh menjadikan yang zhanni menjadi qat}’i;
4) Menggabungkan antara fiqh dan H}adīth, sekaligus menghilangkan
jurang pemisah antara fuqaha dan muh}adīthin;
5) Waspada agar tidak mudah tergelinsir oleh tekanan realitas;
6) Mengantisipasi pembaruan yang bermanfaat dengan tidak menerima atau
menolak hal-hal yang bersifat asing, tetapi menyeleksi terlebih dahulu;
7) Tidak mengabaikan perkembangan zaman;
8) Melakukan transformasi dari ijtihād individu kepada ijtihād kolektif;
9) Bersifat lapang dada terhadap kekeliruan mujtahid.
c) Metode Masālik al-’Illat dalam Intiqāiy dan Inshāiy
Dari uraian di atas belum terlihat secara jelas bagaimana rumusan
masālik al-’illat dipakai serta bagaimana tekniknya dalam proses
menentukan ’illat hukum untuk menetapkan suatu fatwa yang dilakukan oleh
al-Qarad}awi dalam metode Intiqāiy maupun Inshāiy-nya. Namun ketika
melihat contoh-contoh fatwa yang dikemukakannya tampak terlihat bahwa
al-Qarad}awi berpegang pada rumusan masālik al-’illat sebelum ia
menetapkan fatwanya. Hal ini seperti dalam disimak dalam kasus siapa yang
berkewajiban membayar zakat, apakah pemilik tanah atau penyewa tanah?
Jika berpegang pada pendapat H}anafi, maka pemilik tanahlah yang wajib
membayar zakat. Menurut H anafi, berdasarkan ketentuan bahwa zakat
adalah kewajiban tanah yang memproduksi, bukan kewajiban tanaman. Dan
bahwa zakat adalah beban tanah yang sama kedudukannya dengan kharaj.
Maka dalam hal sewa tanah yang seharusnya diinvestasi dalam bentuk
pertanian lalu diinvestasi dalam bentuk sewa, berarti sewa tersebut sama
kedudukannya dengan hasil tanaman. Demikian juga pendapat Ibrāhim al-
Nakhhai.
Mālik, Shāfi’i, al-Thaurī, Ibn al-Mubārak dan jumhur ulama fiqh
berpendapat bahwa zakat wajib atas orang yang menyewa, karena zakat
adalah beban tanaman bukan beban tanah. Pemilik tanah bukanlah penghasil
13
biji-bijian dan buah-buahan yang karenanya tidak mungkin mengeluarkan
zakat hasil tanaman yang bukan miliknya. Menurut Ibn Rushd perbedaan
pendapat disebabkan tidak ada kepastian apakah zakat tersebut merupakan
beban tanah, beban tanaman atau beban keduanya. Sementara al-Mughni
menilai bahwa pendapat Jumhur lebih kuat, zakat diwajibkan atas hasil
tanaman. Sedangkan al-Rāfi’i berpendapat bahwa penyewa tanah
mempunyai dua kewajiban yakni membayar sewa dan membayar zakat.
Setelah mempelajari pendapat para ulama tersebut maka al-Qarad}āwi
mengemukakan pendapat bahwa yang adil adalah baik penyewa maupun
pemilik harus secara bersama-sama menanggung zakat itu masing-masing
sesuai dengan perolehannya. Pemilih tanah juga diwajibkan mengeluarkan
zakat dari hasil sewa, sedangkan pendapat tersebut belum pernah
dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu. Ijtihād yang demikian disebut
Ijtihād Inshāiy. Pendapat tersebut sangat adil dan sangat realistis diterapkan
di zaman sekarang. Atas fatwa ini menunjukkan bahwa al-Qarad}āwi
menggunakan metode al-Munāsabah, yakni menentukan ’illat dari yang
paling pantas dan sesuai dengan pensharī’atan suatu hukum. Menurut al-
Ghazali, metode al-Munāsabah ini ialah penetapan ’illat yang cocok dan
memang terdapat persesuaian ketika dihubungkan pershari’atan hukum
padanya.
Metode al-Munāsabah ini merupakan langkah ke-4 dari 8 langkah
dalam penetapan ’illat (masālik al-’illat) yang dirumuskan oleh para ahli
Us}ūl klasik, yang diistilahkan oleh al-Ghazali dengan isbāt al-’illat, yakni
yang membawanya kepada makna hukum yang dikehendaki (liannahā
tawassul ila al-ma’na al-matlūb).
Adapun delapan metode dalam masālik al-’illat tersebut yang telah
dirumuskan ulama adalah sebagai berikut:
Pertama, dengan menggunakan nas} al-Qur’ān dan al-Sunnah (dalil
naqli). Terhadap ‘illat yang sarih} dapat dengan mudah diketahui, karena
secara lafz}iyah disebutkan langsung oleh nas. ‘Illat yang sarih} biasanya
diungkapkan atau ditunjukan dengan lafaz}-lafaz}: Liajli, min Ajli (demi
untuk, karena untuk) dan lafal kay (agar, supaya).
Kedua, melalui al-Imā’. Yang dimaksud dengan cara ini ialah upaya
yang ditempuh untuk menemukan ‘illat dengan memperhatikan hubungan
antara suatu ketetapan hukum dengan sesuatu sifat yang mendasarinya.
Dengan kata lain, sifat ‘illat yang mendasari suatu ketetapan hukum tersebut
14
diperoleh melalui tanda yang disebut secara beriringan (bersama-sama)
dengan ketetapan hukum dimaksud. Penyebutan sifat secara beriringan ini
dipandang sebagai dasar (alasan) atas penetapan hukum tersebut, karena jika
tidak demikian, tentu tidak disebutkan secara beriringan. Contoh:
Sesungguhnya kucing itu bukanlah hewan yang najis karena ia selalu
berada di sekeliling manusia.”(Sunan Ibn Majah, Juz I: 131).
Dari h}adīth ini tidak tampak dengan jelas dan tegas apa yang menjadi
‘illat-nya. Akan tetapi, bisa dipahami bahwa pernyataan kucing ‘tidak najis’
(innaha laisat binajasin) dan dihubungkan dengan pernyataan bahwa kucing
itu merupakan hewan yang selalu berada di sekeliling manusia, maka hal ini
—yang disebut terakhir ini—mengindikasikan bahwa ia adalah sebagai
‘illat. Sebab, jika tidak demikian tentu tidak ada gunanya disebutkan secara
beriringan.
Ketiga, menetapkan ‘illat dengan Ijmā’. Berdasarkan praktek yang
berkembangan di kelangan ulama Us}ūl, bahwa sesuatu yang sudah
disepakati dapat dijadikan alasan (hujjah) untuk menentukan ‘illat, dengan
melihat sifat atau keadaan yang mempunyai pengaruh terhadap penetapan
hukum. Contoh yang sering dirujuk oleh ulama Us}ūl dalam persoalan ini
ialah jika seorang perempuan mempunyai dua orang saudara laki-laki, yang
salah satunya saudara kandung dan yang lainnya saudara seayah, maka
saudara laki-laki kandung lebih utama (didahulukan) dalam soal wali nikah.
‘Illat-nya ialah karena saudara laki-laki kandung lebih utama dari saudara
laki-laki seayah dalam hak penerimaan harta waris.
Keempat, menetapkan ‘illat melalui al-munāsabah. Yang dimaksud
dengan cara ini ialah menentukan ‘illat apa yang paling pantas dan sesuai
dalam penshari’atan suatu ketentuan hukum. Artinya, ‘illat (sifat)
penshari’atan hukum itu didasarkan pada sesuatu yang dapat menciptakan
kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemadaratan. Tegasnya,
seperti dijelaskan oleh al-Ghazali bahwa al-munasabah ialah penetapan ‘illat
yang cocok dan memang terdapat persesuaian ketika dihubungkan
pershariatan hukum itu padanya.
Kelima, dengan al-Daurān. Yang dimaksud dengan istilah ini ialah
meneliti dan melihat hubungan hukum dengan sifat (‘illat) yang menjadi
dasar dari suatu ketentuan hukum. Artinya penshari’atan tidak terlepas dari
adanya ‘illat yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain, cara ini, seperti
dijelaskan oleh Sabiq Hasan Khan, bahwa hukum itu ada karena ada ‘illat
15
dan hukum menjadi tidak ada karena ketiadaan ‘illat (Wa huwa an yujad al-
hukm al-wasf wa yartafi’ bi irtifa’ihi).
Keenam, dengan cara apa yang disebut dengan al-sabr wa taqsīm.
Yang dimaksud dengan cara ini ialah menghimpun sejumlah sifat yang
terdapat pada suatu ketentuan hukum dan kemudian memilih mana yang
paling tepat untuk dijadikan ‘illat. Al-Ghazali menegaskan bahwa cara ini
adalah cara yang paling tepat untuk menentukan ‘illat hukum. Contoh:
Ddalam sebuah hadīth disebutkan bahwa penukaran. (barter) pada enam
macam benda (emas, perak, gandum, shair, kurma dan gandum) dengan cara
yang tidak sama akan menimbulkan riba fadal. Menyatakan riba pada
penukaran barang sejenis dengan cara tidak sama pada contoh yang
disebutkan ini, ‘illat-nya tidak jelas. Sebab, gandum sebagai salah satu jenis
dari enam macam benda—kadang-kadang sebagai makanan pokok dan
makanan biasa. Jika gandum dianggap sebagai makanan biasa tidaklah tepat,
karena riba bisa pula terjadi pada garam yang bukan makanan pokok. Jika
gandum dianggap makanan pokok, juga tidak cocok karena riba terjadi pula
pada emas dan perak yang bukan makanan pokok.
Akhirnya, setelah meneliti semua sifat yang ada satu persatu secara
seksama maka mujtahid berkesimpulan bahwa ‘illat yang paling tepat adalah
takaran atau timbangan. Dengan demikian, penukaran (barter) pada enam
macam benda dengan cara yang tidak sama jumlah atau takarannya—yang
bisa menimbulkan riba fadal tersebut, ‘illat-nya ialah takaran atau
timbangan.
Ketujuh, dengan cara al-Shabah. Yang dimaksud dengan cara ini ialah
upaya mencari kesamaan atau keserupaan ‘illat dengan yang lainnya.
Dengan kata lain, al-shabah ialah mencari hubungan keserupaan ‘illat di
antara dua hukum pokok yang berbeda—di mana satu sama lainnya
mempunyai persamaan dalam hal tujuannya. Seperti soal wud}u’ dan
tayamum adalah dua hal yang berbeda, tetapi mempunyai persamaan, yaitu
menghilangkan najis (izlat al-najasat).
Kedelapan, dengan cara Tanqīh al-manāt. Prosedur ini ialah memilih
dan mengambil salah satu dari sejumlah sifat ‘illat yang ditunjukan oleh
nas} dan pengenyampingkan (membuang) yang lainnya, sehingga sifat ‘illat
yang terakhir dijadikan sebagai ‘illat penetapan hukum. Misalnya, seperti
yang dikemukakan oleh Zaki al-Dīn Sha’ban bahwa dalam hadīth
diceritakan, seorang laki-laki Arab telah menggauli isterinya pada siang hari
16
bulan Ramadan. Terhadap kasus ini Rasulullah menetapkan hukuman agar
laki-laki Arab tersebut memerdekakan budak.
Dalam kasus ini timbul masalah, yaitu apa yang menjadi ‘illat
penetapan hukuman memerdekakan budak tersebut. Dari kasus ini ada
beberapa kemungkinan sifat yang dapat dijadkan sebagai ‘illat, yaitu laki-
laki Arab yang bersetubuh, menyetubuhi isteri dan bersetubuh di siang hari
di bulan Ramadhan. Ternyata dua sifat yang pertama—laki-laki Arab yang
bersetubuh dan menyetubuhi isteri—tidak dapat diterima, sebab hukum tidak
hanya berlaku untuk orang Arab yang bersetubuh dan menggauli isterinya,
tetapi berlaku bagi semua orang mukallaf dimana pun ia berada, tanpa
membedakan jenis bangsa.
Oleh karena itu, terhadap kasus yang disebut terakhir ini, maka
alternatif terakhir yang bisa dijadikan sebagai ‘illat ialah bersetubuh di siang
hari di bulan Ramadan inilah yang paling mungkin dijadikan sebagai ‘illat
penetapan hukum yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dengan
memerdekakan budak. Sebab, jika tidak demikian tentu tidak akan ada
ketentuan hukum yang mewajibkan untuk memerdekakan budak. Dengan
kata lain, persetubuhan di siang hari bulan Ramadan itulah yang menjadi
sebab lahirnya ketetapan hukum wajibnya memerdekakan budak, karena jika
persetubuhan tersebut dilakukan di malam hari tidak dilarang.
Kedelapan langkah masālik al-‘illat di atas yang ditetapkan para ulama
Us}ūl klasik kemudian diringkas menjadi 4 langkah oleh Us}ūl kontemporer
dan dirumuskan secara sederhana dan praktis, seperti oleh Abu Zahrah,
Abdul Wahab Khalaf, Zaki al-Din Sha’ban, Khudari Beik dan Abd al-Karim
Zaidan menetapkan hanya tiga cara, yaitu dengan nas} al-Kitab dan al-
Sunnah, dengan Ijmā’ dan al-Munasabah, yang di dalamnya tercakup apa
yang disebut dengan tahqiq al-manat, tanqih al-manat dan takhrij al-manat.
Hanya saja, Khudari Beik menambahkan satu cara, yaitu al-daurān dan ia
tidak menyebut al-munasabah, tetapi ia gunakan al-sabr wa al-taqsim.
Selanjutnya, apakah al-Qarad}āwi dalam memberikan fatwa-fatwanya
terlebih dahulu mengacu pada masālik al-‘illat sebagaimana yang telah
dirumuskan ulama Us}ūl baik yang klasik maupun yang kontemporer? Maka
jawabannya tentu harus ditelusuri terlebih dahulu, dan fatwa-fatwa tersebut
disampaikan bukan dalam forum ilmiah melainkan kepada masyarakat
umum, yang terkadang langsung disampaikan kepada mustafti (peminta
fatwa) ketika acara TV berlangsung maupun dalam forum pengajian, atau
siaran radio.
17
2. Orientasi Pemikiran Hukum al-Qarad}āwi dalam Menjawab
Persoalan-Persoalan Kontemporer
Adapun fiqh yang berorientasi pada persoalan-persoalan kontemporer,
yang diistilahkan oleh al-Qarad}āwi sebagai Fiqh Jadid, bercirikan:
a) Fiqh al-Muwazanah (fiqh keseimbangan), metode yang dilakukan
dalam mengambil keputusan hukum, pada saat terjadinya pertentangan
dilematis antara mashlahat dan mafsadat, atau antara kebaikan dan
keburukan. Menurutnya, sebuah kemadaratan kecil boleh dilakukan untuk
mendapatkan kemashlahatan yang lebih besar, atau kerusakan temporer
boleh dilakukan untuk mempertahankan kemash-lahatan yang kekal, bahkan
kerusakan besar pun dapat dipertahankan jika dengan menghilangkannya
akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
b) Fiqh Waqi’i (Fiqh realitas), metode yang digunakan untuk
memahami realitas dan persoalan-persoalan yang muncul di hadapan umat,
sehingga dapat menerapkan hukum sesuai tuntutan zaman.
c) Fiqh al-Aulawiyat (Fiqh Prioritas), metode untuk menyusun
sebuah sistem dalam menilai sebuah pekerjaan, mana yang seharusnya
didahulukan atau diakhirkan. Salah satunya adalah bagaimana mendahu-
lukan Ushūl daripada furu’, mendahulukan ikatan Islam dari ikatan lain-nya,
ilmu pengetahuan sebelum beramal, kualitas daripada kuantitas, agama
daripada jiwa serta mendahulukan tarbiyah sebelum berjihad.
d) Fiqh al-Maqāshid al-Sharī’ah, metode ini ditujukan bagaimana
memahami nas}-nas} shar’i yang juz’i dalam konteks maqās}id al-Sharī’ah
dan mengikatkan sebuah hukum dengan tujuan utama ditetapkannya untuk
melindungi kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik dunia maupun akhirat.
e) Fiqh al-Taghyīr (Fiqh Perubahan), metode untuk melakukan
perubahan terhadap tatanan masyarakat yang tidak Islami dan mendorong
masyarakat untuk melakukan perubahan.
Kelima orientasi hukum Islam yang sangat luwes, yang menekankan
prinsip kemudahan dan keringanan tersebut, dinilai oleh banyak ahli sebagai
gagasan asli Yusuf al-Qaradhawi dalam upayanya melakukan pembaruan
pemikiran hukum, terutama dalam upaya menyikapi perubahan kemajuan
zaman dewasa ini. Dalam Fiqh Waqi’ misalnya, al-Qaradhawi (1997)
menjelaskan bahwa fiqh waqi’ ialah pengetahuan mengenai realitas yang
sebenarnya, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Realitas ini
penting dipahami karena, menurut al-Qaradhawi, pemahaman atas realitas
18
akan menjadi pertimbangan tentang bagaimana kita berhubungan dengan
realitas: apakah realitas itu akan kita terima atau kita tolak?
Menurut al-Qaradhawi, dalam Sirah Nabi Saw kita akan menemukan
hukum yang tidak sama penerapannya dalam berbagai situasi, yang terjadi
karena perbedaan realitas yang melatarbelakanginya. Misalnya, sikap Nabi
Saw yang keras terhadap Yahudi Bani Quraizhah dengan sikap beliau yang
lembut terhadap kaum musyrik Makkah saat Fathu Makkah. Karena itu,
menurut al-Qaradhawi, para ulama menetapkan, fatwa itu bisa berubah
karena perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat-istiadat, mengutip
kaidah yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyah.
Latar belakangnya menurut al-Qaradhawi, bahwa sejak tahun 1950-an
dan 1960-an, telah terjadi dua aliran paham yang tidak menguntungkan bagi
upaya kebangkitan umat: pada satu sisi ada sikap berlebihan (ifrâth),
sedangkan pada sisi lain ada sikap meremehkan (tafrîth). Sikap berlebihan,
misalnya, tidak mengakui pendapat lain, keras, dan suka mengkafirkan.
Sebaliknya, sikap meremehkan ialah sikap kaum liberal yang berfatwa tanpa
landasan agama dan hanya mengikuti hawa nafsu. Karena itulah, perlu
dihidupkan prinsip moderatisme (tawassuth) yang berintikan dua prinsip: (1)
berasaskan kemudahan (taysîr) dan kabar gembira; (2) perpaduan salafiyah
dan pembaruan (tajdîd). Maksud salafiyah adalah mengikuti sumber pokok,
yakni al-Quran dan al-Sunnah; sedangkan pembaruan, maksudnya, adalah
menyatu dan mengikuti za-man, tidak jumud (beku) atau taklid buta. Dalam
rangka pembaruan itu, digagaslah fiqh al-wâqi‘.
Menurut M. Siddiq, (2010), bahwa landasan fiqh al-wâqi‘ dapat
dicermati dari manhaj al-Qaradhawi dalam berfatwa, yang diuraikannya
dalam Al-Fatwa bayna al-Indhibâth wa al-Tasayyub (Ikut Ulama Yang
Mana?, 1994). Dapat dilihat juga dari segi ushul fikihnya dalam kitab Taysîr
al-Fiqh (Fikih Praktis, 2003). Manhaj al-Qaradhawi dalam berfatwa adalah:
(1) melepaskan diri dari fanatisme mazhab dan taklid buta; (2) memberikan
kemudahan (taysîr) dan keringanan (takhfîf), bukan memberikan keketatan
(tasydîd) dan mempersulit (tas‘îr); (3) berfatwa dengan bahasa yang populer;
(4) tidak menyibukkan diri kecuali untuk hal-hal yang bermanfaat; (5)
mengedepankan ruh moderat (tawassuth), antara ifrâth dan tafrîth; (6)
berfatwa dengan penjelasan dan syarh.
Dalam kitab Taysîr al-Fiqh (2004), al-Qaradhawi menjelaskan dalil-
dalil syariat yang melandasi fatwanya. Selain berpegang dengan 4 (empat)
19
dalil pokok (Al-Quran, al-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas), al-Qaradhawi
juga berpegang dengan dalil al-Istihsân dan al-Mashâlih al-Mursalah. Al-
Qaradhawi berpegang pula pada kaidah, “Adanya perubahan fatwa
berdasarkan berubahnya zaman, tempat, dan kondisi.” Kaidah ini tampaknya
sangat diutamakan dan ditonjolkan oleh al-Qaradhawi, yang bahkan secara
khusus beliau jelaskan menjadi satu kitab tersendiri, yaitu kitab Keluasan
dan Keluwesan Hukum Islam (‘Awâmil as-Sâ’ah wa al-Murûnah fî al-
Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 1993).
Orientasi pemikiran hukum Islam yang terkesan ringan dan mudah
tersebut bukan tanpa kritik. Bahkan Ahmad ibn Muhammad ibn Mansur al-
‘Adini, ulama salaf dari Yaman, mengeritik al-Qaradhawi dengan memakai
judul buku yang tidak pantas: Raf’u al-Litsami ‘an Mukhalafati al-
Qaradhawi li Syariat Islam, 2001, (Mengungkap Tabir Kebusukan al-
Qaradhawi dalam bukunya Syari’at Islam). Sebelumnya, Syeikh Shalih ibn
Fauzan dari Saudi Arabia, mengeritik buku al-Halal wa al-Haram fi al-Islam
karya al-Qaradhawi, dengan bukunya: al-I’lam bi Naqd Kitab al-Halal wa
al-Haram fi al-Islam, 1975.
Namun soal pro-kontra dalam dunia pemikiran nampaknya soal yang
lumrah dan biasa. Bahkan pikiran-pikiran al-Qaradhawi banyak diterima dan
juga fatwanya dinanti oleh dunia Islam Internasional. Al-Qaradhawi
misalnya membenarkan sistem demokrasi dan tidak dianggap bertentangan
dengan Islam, dan membolehkan bergabung dengan pemerintahan yang
bukan Islam. Mengapa Islam dapat menerima demokrasi? Sebab, menurut
al-Qaradhawi, substansi demokrasi adalah suatu proses pemilihan yang
melibatkan orang banyak untuk mengangkat seseorang (kandidat) yang
berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Ini, menurutnya, sejalan
dengan Islam, dan bahkan, berasal dari Islam itu sendiri. Sebab, Islam
menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai makmum. Jika
dalam shalat saja demikian, apa lagi dalam urusan politik. Prinsip kedaulatan
rakyat, kata al-Qaradhawi, tidak mesti dipertentangkan dengan kedaulatan
Allah, selama tidak ada pertentangan di antara keduanya.
Menurut M. Siddiq al-Jawi (2010), bolehnya bergabung dengan
pemerintahan bukan Islam, menurut al-Qaradhawi, hukum dasarnya
sebenarnya tidak boleh. Akan tetapi, al-Qaradhawi lalu keluar dari hukum
dasar ini dan kemudian membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu.
Alasannya: (1) tuntutan meminimalkan kejahatan dan kezaliman adalah
menurut kesanggupan; (2) itu dilakukan untuk memilih kemadaratan yang
20
paling ringan; (3) karena melepaskan nilai tertinggi lalu turun ke realitas
terendah; (4) ada prinsip pentahapan (tadarruj).
Di kalangan umat Islam, ada yang mengharamkan demokrasi, seperti
Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Maududi, dan Abdul Qadim Zallum; ada pula
menghalalkan demokrasi, seperti Fahmi Huwaidi, Sulaiman ath-Thamawi,
dan Abdul Hamid Mutawalli. Al-Qaradhawi cenderung pada yang mudah
dan ringan, yakni yang menghalalkan demokrasi, yang sedang mendominasi
realitas. Di kalangan umat ada ulama yang menghalalkan bergabung dengan
sistem pemerintahan bukan Islam (yang menjadi realitas di tengah umat),
ada pula ulama yang mengharamkannya. Al-Qaradhawi cenderung pada
yang mudah dan gampang, yakni yang menghalalkannya, walaupun
menurutnya pada dasarnya tidak boleh.
3. Fatwa-fatwa al-Qarad}āwi di Seputar Masalah Perubahan Sosial
Dalam empat bidang yang diamati, yakni fatwa bidang sosial-budaya,
sosial ekonomi, ilmu pengetahuan dan kedokteran, serta bidang sosial
politik, pemikiran al-Qarad}āwi tersebut dengan memberikan ruang yang
sangat dinamis bagi kemajuan hukum Islam dan kehidupan umatnya, seperti
dapat dijelaskan sebagai berikut: (TERLAMPIR)
21
D. KONTRIBUSI YUSUF AL-QARADHAWI BAGI
PENGEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
Al-Qarad}āwi memandang bahwa teks hukum tidak boleh berubah,
tetapi ‘illat hukum secara alami akan terus berubah dan bahkan bisa kembali
kepada asalnya semula, maka fatwa hukum pun seharusnya demikian. Itu
sebabnya, ulama fiqh sejak dulu telah mengusulkan bahwa hukum akan
berlaku bersama ‘illat hukum itu sendiri (al-hukm yaduru ma’a ‘illatihi).
Kaidah ini tampak dipegangi oleh al-Qarad}āwi dalam memberikan
fatwa-fatwanya. Bahkan al-Qarad}āwi tampak mengikuti apa yang telah
dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khaththāb yang berpegang pada ruh Sharī’at
Islam, maupun mengikuti sikap al-Shāfi’i dengan konsep qawl qadim dan
qawl jadid-nya, dan pandangan al-Shāthibi yang berpegang pada maqāshid
al-Sharī’ah. Hal ini terlihat misalnya dalam memberikan fatwa tentang
bolehnya wanita bepergian dengan tanpa ditemani oleh muhrimnya. Karena
semula larangan itu karena ‘illat hukumnya keadaan sosial yang tidak
memungkinkan seorang perempuan bepergian jauh karena keamanan tidak
terjamin. Namun sekarang kondisi sosial telah berubah dan terjamin
keamanannya. Karena itu dengan sendirinya larangan bepergian itu harus
berubah pula bersamaan dengan berubahnya ‘illat hukum.
Demikian pula al-Qarad}āwi mengikuti jejak dan pemikiran Najm al-
Dīn al-Thūfi yang berpegang pada mashlahat dan berpegang kepada Ibnu
Qayyim al-Jauziyah tentang adanya perubahan kondisi sosial yang
dipandang sebagai ‘illat baru dalam menentukan suatu hukum. Hal ini
terlihat dalam memberikan fatwa tentang asuransi maupun fatwa-fatwa
lainnya yang betul-betul baru seperti tentang transpalansi organ tubuh
manusia.
Karena itu kemunculan metode ijtihād kontemporer melalui metode
intiqaiy dan inshaiy, yang disodorkan al-Qarad}āwi sekaligus sebagai kontribusi
beliau bagi pengembangan hukum Islam kontemporer saat ini, tentu
memunculkan manfaat yang sangat besar, baik dari segi metode maupun
substansi pengembangan hukum, antara lain sebagai berikut:
1. Adanya metode Intiqāiy dan Inshāiy, yang kemudian disusul dengan
lahirnya fatwa-fatwa al-Qarad}āwi yang merespon atas munculnya ‘illat
baru dalam hukum Islam sebagai akibat dari adanya kemajuan zaman,
maka dilihat dari aspek pengembangan ilmu Sharī’at, pemikiran al-
Qarad}āwi di atas sangat relevan dengan kebutuhan kehidupan umat
22
Islam dewasa ini yang semakin kompleks dan membutuhkan justifikasi
baru atas berbagai persoalan baru maupun persoalan lama dengan
kondisi dan ‘illat yang baru.
2. Dari aspek teori, metode Intiqāiy dan Inshāiy mampu menghilangkan
perbedaan madhhab, baik perbedaan madhhab empat yang dominan
dalam internal Sunni, maupun perbedaan antar Suni-Shi’ah. Karena
dalam praktik atas kedua metode tersebut, sebelum mengambil istinbat}
hukum, terlebih dahulu diharuskan menggali khazanah hukum yang
telah ada dalam fiqh terdahulu, baik yang ada dalam fiqh suni maupun
shi’ah. Dengan begitu, kedua metode tersebut akan mampu
menggabungkan seluruh prinsip fiqh yang ada, yang terkadang berbeda-
beda.
3. Munculnya kedua metode tersebut, tentu akan melahirkan kaidah us}ūl yang baru, atau menguatkan kembali kaidah lama sesuai dengan adanya
‘illat baru atas hukum itu.
4. Adanya nilai-nilai komprehensif, yang terkandung dalam metode
Intiqāiy dan Inshāiy ini, jelas menempatkan perubahan sosial sebagai
wujud dari kemajuan teknologi dewasa ini, bukan merupakan ancaman
bagi keterasingan hukum Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat,
melainkan sebagai anugerah kehidupan yang harus dishukuri. Karena
kemajuan identik dengan kemudahan.
5. Terkait dengan kontribusi al-Qarad}āwi bagi pengembangan ilmu
berfatwa, terutama berkaitan dengan penentuan ’illat (masālik al-’illat)
sehingga fatwa itu kemudian diputuskan, al-Qarad}āwi mengisyaratkan
berpegang pada rumusan yang telah dibuat oleh para ahli Us}ūl yang
menetapkan sekurang-kurangnya pada tiga cara yaitu dengan nas} al-
Kitab dan al-Sunnah, dengan Ijmā’ dan dengan al-Munasabah, yakni
penetapan ‘illat yang cocok dan memang terdapat persesuaian ketika
dihubungkan dengan penetapan hukum itu kepadanya.
23
E. PENUTUP
Berbagai persoalan yang perlu mendapat pengujian kembali atas fatwa
masa lalu maupun persoalan baru yang memerlukan fatwa-fatwa baru,
sebagaimana mengacu pada pemikiran al-Qaradawi di atas antara lain:
1. Mengabaikan rukhsah karena tidak diperlukan lagi.
Aturan tentang rukhsah (keringanan) yang ditetapkan Allah bagi
musafir, seperti salat bisa di-jama’ dan qasar, serta wudhu’ bisa diganti
dengan tayamum. Rukhsah ini berlaku jika memang perjalanan itu ‘illat-nya
seperti perjalanan yang terjadi dizaman al-Qur’an turun, yang penuh dengan
kesulitan. Jika perjalanan yang dilakukan oleh manusia modern dewasa ini
yang dalam faktanya penuh dengan kemudahan, bisa sambil tidur dan setiap
saat bisa istirahat di setiap tempat, maka tampak tidak ada ‘illat yang
bernama kesulitan itu, dan dengan begitu seharusnya hukumnya kembali ke
asal.
Jika bepergian dianggap sebagai ‘illat hukum, baik bepergian yang
menyenangkan atau penuh kesulitan, sehingga bisa diberlakukan hukum
rukhsah, maka tindakan ini dipandang tidak adil dan tidak rasional. Sebab
sosial zaman lalu berbeda dengan sekarang. Zaman dulu bepergian itu
identik dengan adanya unsur kesulitan, sementara sekarang, zaman telah
jauh berubah.
Demikian pula rukhsah bagi wanita yang melahirkan di mana pada
zaman Rasul ditetapkan dan dibolehkan untuk meninggalkan salat selama 40
hari. Jika ketetapan ini terus berlaku, maka tampaknya ketetapan ini tidak
rasional, sebab penanganan kelahiran dewasa ini jauh lebih maju dibanding
pada zaman Nabi.
2. Peninjauan kembali ketentuan membayar zakat fitrah.
Masyarakat muslim Indonesia secara tradisi, yang mungkin
merupakan fatwa ulama tempo dulu, membayar zakat fitrah dengan ukuran
beras, sebagai Qiyas dari makanan pokok gandum. Pengiyasan seperti itu
dipandang kurang tepat karena yang dinyatakan dalam teks Syari’at zakat
fitrah itu terlebih dahulu disebutkan dengan kurma, seperti Hadit Nabi
menyatakan:
“Zakat fitrah itu satu sa’ kurma, atau satu sa’sha’ir dari setiap kepala,
atau satu sa’ bur atau gandum antara dua orang…” Riwayat Ahmad dan
Abu Dawud dari Abd Allah bin Ta’labah.
24
Bahkan Hadith-hadith tentang zakat fitrah yang diriwayatkan dan
dijadikan dasar hukum oleh Imam al-Shafi’i dalam memberikan fatwanya,
tidak menyebutkan bahwa zakat fitrah itu dengan gandum, melainkan
dengan makanan secara umum (ta’am).
Zakat fitrah dengan memakai ukuran kurma seperti dijelaskan dalam
Hadith di atas, jelas akan membedakan nilai harganya, jika dibanding
dengan memakai ukuran gandum. Harga kurma yang standar, tidak terlalu
tinggi dan tidak terlalu rendah harganya, misalnya yang dijual di pasar-pasar
di Indonesia yaitu: 40.000/kg x 2,5 kg (1 sa’) = 100.000/perorang, untuk
setiap zakat fitrah. Sebaliknya, jika bersandar pada ukuran beras (gandum),
adalah: 6.000/kg x 2,5 (1 sa’) = 15.000/perorang, untuk setiap zakat fitrah.
Perbedaan ini jauh sekali, dan tentunya memiliki kadar paling rendah nilai
‘ubudiyah-nya.
Alasan para ulama atas pengiyasan kepada beras dari gandum itu
karena dipandang sebagai makanan pokok. Hal ini juga dipandang tidak
tepat, sekalipun beras dan gandum memiliki kesamaan sebagai makanan
pokok yang dapat mengenyangkan perut, tetapi makanan ini memerlukan
makanan pendamping lainnya ketika dikonsumsi seperti lauk pauk dan
sayuran, yang tentunya penyediaannya memerlukan biaya. Sementara jika
diqiyaskan kepada kurma, yang sesungguhnya disebutkan paling awal dalam
teks Hadith tersebut, maka makan kurma tidak memer-lukan makanan
pendamping lainnya, seperti ikan dan sayuran, ia hanya cukup ditemani oleh
segelas air. Demikian pula nilai gizi yang dikandung kurma jauh lebih tinggi
dibanding dengan yang terdapat dalam gandum.
Jadi, zakat fitrah dengan memakai ukuran kurma jauh lebih
mendekatkan pada maqasid al-Syari’at zakat fitrah itu sendiri dibanding
dengan zakat dengan memakai ukuran gandum. Apalagi sekarang berzakat
fitrah dengan memakai ukuran kurma dan gandum sama-sama dalam
praktiknya bisa dinilaikan kepada harga kedunya (diuangkan). Bukan dengan
kedua jenis makanan itu sendiri.
3. Peninjauan kembali ketentuan ‘iddah wanita yang dicerai.
Para ulama dengan segala otoritas yang dimilikinya telah menetapkan
bahwa masa menunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai suaminya adalah 3
bulan. Ketetapan ini berdasarkan tafsiran dari kata quru’, yang diartikan
dengan tiga kali suci dari mestruasi (haid). Kata tersebut dinyatakan ayat:
“Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan din (menunggu) tiga kali
25
quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya…” (Q.S. al-Baqarah, 2: 288).
Padahal kata quru’ bersifat ambigus atau mushtarakah (mempunyai
arti lebih dan satu). Kata tersebut dapat berarti menstruasi (haid) dan dapat
pula berarti dalam keadaan suci (tuhr). ‘Umar ibn al-Khattab, Ali ibn Abi
Talib, ibn Mas’ud, dan Abu Musa al-Ash’ari, menafsirkan kata “aqra’“,
yakni bentuk tunggal, mufrad dan kata quru’ itu dengan tafsiran menstruasi
(haid). Tafsiran ini dipegangi pula oleh Sa’id al-Musayyab, Ata’, dan
beberapa kelompok tabi’in serta sejumlah ahli hukum. Sementara itu,
‘Aishah, Zayd ibn Tabit dan Ibnu ‘Umar diriwayatkan bahwa mereka
menafsirkan kata “aqra’” yang terdapat pada ayat di atas dengan tafsiran
masa suci serta di antara menstruasi (athar).
Perbedaan tafsiran mengenai ayat hukum di atas menyebabkan
perbedaan dalam penentuan ‘iddah bagi wanita yang dicerai. Menurut
tafsiran pertama masa menunggu bagi wanita yang dicerai (‘iddah) itu
adalah setelah selesai menstruasi ketiga. Sedangkan menurut tafsiran kedua,
‘iddah selesai dengan dimulainya menstruasi ketiga.
Jadi, tafsiran pertama mengharuskan wanita menyelesaikan masa
‘iddah-nya itu selama tiga bulan penuh. Sedangkan tafsiran kedua
menyatakan tidak harus selama tiga bulan penuh, yakni cukup pada waktu
dimulai mestruasi ketiga saja. Bahkan Hadith da’if menyatakan bahwa
‘iddah wanita yang dicerai itu cukup dua kali mestruasi saja.
Ketentuan ‘iddah ini ‘illat hukumnya untuk mengetahui apakah wanita
yang dicerai itu sedang mengandung janin dari suaminya atau tidak dalam
keadaan mengan-dung. Jika diketahui sedang mengandung, ‘Umar bin
Khattab melarang suami men-ceraikan istrinya dalam keadaan mengandung.
Jika pun harus terpaksa bercerai, maka ‘iddah wanita yang dicerai dalam
keadaan mengandung itu adalah hingga melahirkan.
‘illat tersebut sesungguhnya sudah bisa diketahui melalui bantuan
teknologi kedokteran atau alat USG, apakah wanita itu mengandung atau
tidak mengandung, dengan tidak harus menunggu hingga tiga kali quru’.
Namun hikmah dibalik ketentuan itu, bisa jadi Tuhan masih memberi
kesempatan kepada pasangan yang bercerai itu untuk bisa kembali lagi
sebagai suami istri sebagaimana semula. Namun jika perceraian itu telah tiga
kali dilakukan di mana telah terjadi talaq ba’in, yang tentunya tidak bisa
kembali menikah, maka dengan bantuan teknologi kedokteran atau alat USG
26
untuk mengetahui apakah istri yang dicerai itu dalam keadaan hamil atau
tidak hamil, sepertinya tidak perlu menunggu hingga tiga kali mestruasi,
melainkan cukup satu kali saja untuk membuktikan kebenaran diagnosis
kedokteran yang menyatakan ketidak-hamilan perempuan yang dicerai itu.
Tentu kecanggihan alat kedokteran ini akan berhadapan dengan teks ayat
yang menyatakan tiga kali quru’ seperti di atas, yang sesungguhnya ‘illat
hukumnya untuk mengetahui keadaan rahim wanita yang dicerai itu apakah
dalam keadaan hamil atau tidak hamil.
Dalam fatwa tersebut terlihat bahwa al-Qaradawi mendukung
kemajuan teknologi kedokteran. Karena itu seharusnya pula ketetapan
tentang masa ‘iddah wanita yang dicerai itu pun yang ‘illat-nya untuk
mengetahui hamil dan tidaknya wanita yang dicerai itu tidak bisa secara
mutlak ditentukan harus selama tiga kali haid. Karena rahasia rahim wanita
yang menjadi ‘illat bagi masa ‘iddah telah diketahui secara gamlang oleh
teknologi kedokteran. Lagi pula bagi manusia modern sekarang yang lebih
rasional, dalam memutuskan untuk bercerai biasanya didahului dengan
proses pisah ranjang yang berbulan-bulan, yang tentunya tidak melakukan
persetubuhan (junub) antara pasangan itu, yang bisa menyebabkan
kehamilan.
Pemikiran-pemikiran al-Qaradawi tersebut di atas merupakan wacana
bagi reformasi pemahaman di bidang hukum Islam di masa mendatang, yang
lebih arif dan bijaksana sebagai respon positif atas berbagai kemajuan
teknologi yang telah dicapai manusia modern, terutama yang dialami dunia
Barat dewasa ini, yang imbasnya tentu dialami pula oleh masyarakat muslim
di mana pun berada.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
27
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, HM., Abstrak Disertasi: Telaah terhadap Kriteria al-Hakim dalam Me-
nentukan Status H}adīth, Jakarta: Pascasarjana, IAIN Sharif Hidayatullah, 1995.
Abdullah, M. Amin., Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Abu Zahrah, Muhammad., Us}ūl al-Fiqh, Kairo: Dār al-Fikr al-Arābi, t.th.
’Abd al-Rahman al-’Ak, Shekh Khalid., Us}ūl al-Tafsīr wa Qawā’iduhu, Beirut: Dār al-
Nafāis, 1986.
Ali, Abdullah., Model Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam, Bandung: Puslit IAIN
Sunan Gunung Djati, 1998.
Ali, Abdul Karim.,dkk., “Faktor Perubahan pendapat Imām al-Shāfi’i dari Qawl Qa-dim
kepada Qawl Jadid,” dalam: Jurnal Sharī’ah. Vol. 16, No. 2, tahun 2008.
Athao Mudhhar, Muhammad., Fatwa-fatwa MUI: Sebuah Studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993.
Ali Engineer, Asghar., Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici
Farkha, Yogyakarta: LSPPA, 2000.
Anonimous, CD Hadīth al-Sharīf, Kutub al-Tis’ah, 2000.
Anonomous, Himpunan Fatwa MUI, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Haji, Depag RI,
2003.
Al-'Abadi, Abī T}ayyib Muhammad Shams al-Haqq al-Az}īm., 'Aun al-Ma'bud Sharh
Sunan Abī Dawūd, jilid XI, Beirut: Dār al-Fikr, 1979.
Al-Jurjani, Abi al-Hasan al-Husaeni., al-Ta'rifat, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi,
1938.
Al-Qattan, Manna Khalil., Mabāhis fi ’Ulūm al-Qur’ān, terj. Mudhakir AS, Jakarta:
Pustaka Lentera Antarnusa , 1992.
Al-Shāfi’i, Abū ‘Abd Allāh Muhammad bin Idrīs., al-Um, Mahmud Matraji, (ed.),
Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiah, jld I, cet. II. 2009.
Al-Shāt}ibī, Abū Ishāq., al-Muwāfaqāt fi Us}ūl al-Sharī’ah, jilid II, Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiah, 1991.
Al-Fatah, ‘Abd., Tarikh al-Tashri’ al-Islāmi, Kairo: Dār al-Ittihād al-‘Arābi, 1990.
Al-Bukhāri, Abū ‘Abd Allāh Muhamamd bin Ismā’īl bin bin Ibrāhīm., Shahīh al-
Bukhāri, Juz VIII, Semarang: Maktabah Wamathba’ah Usaha Keluarga, T.th.
Al-Tirmīdhi, Abū Isa., Sunan al-Tirmīdhi, Yordan: Bait al-Afkār al-Dauliyah, 1999.
Al-Nasāi, Abi Abd Allāh Ahmad ibn Shua’ib ibn Ali., Sunan al-Nasāi, Pentahqīq:
Muhammad ibn Shalīh al-Rajikhi, Yordan: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1999.
Al-Shais, Ali., Nash`atu al-Fiqh al-Ijtihād wa at-T}awaruh, Beirut: Lajnah Buhūth al-
Islāmiyah, 1980.
Al-‘Arābi, Abū Bakr bin ‘Abd Allāh bin., Ah}kām al-Qur’ān, juz III, Beirut: Dār al-Fikr,
t.th.
Al-Ghazāli, Abū Hamīd., al-Mustashfa min ‘Ilm al-Usūl, jilid II, Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiah, 1983.
Al-Shaukani, Irhād al-Fuhūl ila Tahqīq al-Haq min ‘Ilmi al-U}sūl, Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
28
Al-Fayumi, al-Misbah al-Munīr al-Gharib; al-Sharh al-Kabīr li al-Rāfī’i, Kairo:
Maktabah al-Amiriyyah, cet. VI, 1965.
Al-Nawāwi, al-Majmu’ Sharh al-Muhadhdhab, Kairo; Maktabah Zakaria Ali Yūsuf, t.th.
Al-Maqdisi, Faidullah al-Husni., Fath al-Rahmān, Beirut: Mathba’ah Ahliyah, 1323 H.
Al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim., I’Iām al-Muwāqqi’īn ‘an Rabb al-‘Alamīn, Beirut; Dār al-
Fikr, 1977.
-----------------, Manhaj Fikih Yusuf al-Qaradhawi, terj. Samson Rahman, Pustaka Al-
Kausar: 2001.
Al-’Asqalāni, Ibn Hajar., Fath al-Bāri, juz II, Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
----------------, Bulūgh al-Marām, Beirut: Dār al-Fikr, T.th.
Anderson, JND., Law Reform in The Muslim Word, London: Univ; Of London The
Athlon Press, 1976.
Al-Suyūthi, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahman., al-Asbah wa Al-Nadhāir fi al-Furu’, Dār al-
Fikr: tth.
-----------, Jāmi’ al-Shaghīr fi Ah}adīth al-BaShīr al-Nad}īr, Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
-------------, Tārikh al-Khulafā, Mesir: Dār al-Sha’bi, T.th.
Al-Qasimi, Jamaluddin., al-Fatāwa fil Islām, Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiah, t.tt.
Amīn, Muhammad., al-Ijtihād fi al-Sharī’at al-Islamīyah, dalam: http: //www.
shareah.com/ index.php?/records/view/action/view/id/2483/
Al-Thu’alabi al-Fasi, Muhammad al-Hijawi ibn al-Hasan., al-Fikr al-Samīy fi Tarīkh al-
Fiqh al-Islāmi, Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1977.
Al-Zarqa,Muhammad.,Sharah al-Qawā’id al-Fiqhiyyat, Damaskus: Dār al-Qalam, 1989.
Al-Halawi, Muhammad Abd al-‘Aziz., Fatawa wa Aqdhiyat Amiril Mukminin ‘Umar Ibn
al-Khat}t}ab, terj. Zubeir Suryadi Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 1999.
A-Nawawi, Muhyi al-Din Abu Zakariya., al-Majmu’ Sharh al-Muhadhdhab, Beirut: Dār Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 2001.
Al-Majdub,Muhammad.,'Ulamā wa Mutafakkirūn 'Araftuhum, Beirut: Dār al-Nafāis, 1977.
Al-Khan, Mustafa Said., al-Kafi al-Wafi fī Us}ūl al-Fiqh al-Islāmi, Beirut: Mu'assah al-
Risālah; 2000.
Al-Shaukāni, Muhammad., Irshād al-Fuhūl ila Tahqīq al-Haq min Ilmi al-Usūl, Beirut:
Dār al-Fikr, t.th.
Arshad, M. Nathir., Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, bandung: Mizan, 1995.
Al-Khatib, M. Ajaj., Us}ūl al-H}adīth ‘Ulumuhu wa Mus}t}alah}uhu, Beirut: Dār al-Fikr, 1989.
Anas, Mālik bin., al-Muwat}t}ā’, jilid II, Dār al-Fikr. T.th.
Al-Manawi, Muhammad Abd al-Rauf.,Faid} al-Qadīr, juz IV, Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
Al-Ghazāli, Muhammad., al-Sunnah Nabawiyyah, Kairo: Dār al-Shuruq, 1989.
Al-Zarqa, Musthafa Ahmad., al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, al-Fiqh al-Islāmi fi Thaubihi
al-Jadīd, Damaskus: Dār al-Fikr, 1968.
Al-Bukhāri, Muhammad bin Ismāil., Shahīh al-Bukhāri, jilid II, Tahqīq: Muhammad Dib
al-Bugha, Beirut: Dār al-Ibn Kathīr, cet, III,1987.
Al-Halawi, Muhammad ‘Abd al-‘Azīz., Fatāwa wa Aqdiyah Amīr al-Mu’minīn ‘Umar
ibn al-Khaththtāb, terj. Wasmukan & Zubeir Suryadi Abdullah, Jakarta: Risalah
Gusti, cet. I, 1999.
29
Al-Albāny, Nāshir al-Dīn., Ghāyat al-Marām fi Takhrīj Ah}ādīth Halāl wa al-Harām,
Dimshiq: al-Maktab al-Islāmi, cet. I, 1980.
Al-T}ūfi, Najm al-Dīn., Risalah fi Ri’ayat al-Mas}lah}at, pentahqiq: Ahmad Abd al-
Rahīm Sayikh, Mesir: al-Dār al-Mishriyah al-Lubnaniyah, cet. I, 1993.
Al-Khurasyi, Sulaimān bin Shalīh., al-Qarad}āwi fī al-Mizan, Saudi Arabia: Dār al-Jawāb,
1999.
Ash-Shiddiqi, T.M. Hasbi., Pokok-pokok Pegangan Imām Madhhab dalam Membina
Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Anwar, Shamsul., Epistemologi Hukum Islam Probabilitas dan Kepastian, Ke Arah Fiqh
Indonesia: Mengenang Jasa Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, Yogyakarta: Forum
Studi Hukum Islam Fakultas Sharī’ah IAIN Sunan Kali Jaga, 1994.
Al-Amīdi, Saif al-Dīn., al-Ih}kām fi Us}ūl al-Ah}kām, jilid III, Beirut: Dār al-Fikr, 1996.
Al-Zuhaili, Wahbah., Us}ūl al-Fiqh al-Islāmi, Beirut: Dar al-Fikr, 1417 H/1986 M.
Al-Qarad}āwi, Yūsuf., Al-Ijtihād wa al-Tajdīd Baina D}awābit} al-Sharī’yyah wa al-
Hayat al-Mu'ās}irah, Majallat al-Ummah, No. 45, 1985.
-------------, Silsilah Rasāil Tarshīd al-Shahwat: Mustaqbal al-Us}ūliyah al-Islamīyah,
Beirut: al-Maktab al-Islamī, cet. III, 1418 H/1998 M.
-------------, al-Ijtihād fi al-Sharī’at al-Islāmiyah, dalam: http://www.scribd.com/
doc/28241941/ ا�س�مية-الشريعة- فى- ا�جتھاد-القرضاوي-يوسف
-------------, al-Ijtihād fi al-Sharī’at al-Islāmiyah, ma’a Naz}rāt Takhlīliyat fi al-Ijtihād
al-Mu’ās}ir, Kuwait: Dār al-Qalam li al-Nashr wa al-Tauzī’, cet.III, 1999.
------------, Awāmil al-Sittah wa al-Murunah fi al-Sharī’ah al Islāmiyyah, Kairo: Dār al-
Shahwah, 1985.
------------,Tafsīr al-Fiqh, Kairo: Dār al-Fadilah, 1987.
------------, Nahwa Wahdah Fikrah li al-Islām, Kairo: Maktabah Wahbah, 1991.
------------, Al-Marja'iyah al-'Ulya fi al-Islām li al-Qur'ān wa al-Sunnah, Kairo: Mak-
tabah Wahbah, 1992.
-------------, Al-Fatwa Bainal Ind}ibāt} wa al-Tasayyub, Maktabah Wahbah: cet. III, 1993.
------------, Ijtihād al-Mu'ās}ir Baina al-Ind}ibāt} wa al-Infirāt}, Dār al-Tauzi wa al-
Nashr al-Islāmiyah, 1994.
------------, Taisīr al-Fiqh li al-Muslim al-Mu'ās}ir, Kairo: Maktabah Wahbah, 1999.
-------------, Madkhal li al-Dirāsat al-Sharī’ah al-Islāmiyah, Kairo: Maktabah Wahbah,
2001.
------------, Min Hadyi al-Islam: Fatāwa Mu’ās}irah, 3 jilid, Kuwait: Dār al-Qalam: 2005.
------------, Al-Halāl wa al-Harām, Kairo: Maktabah Wahbah: 2007.
------------, Mujibat Taghayyur al-Fatwa fi ‘Asrina, Ttp: Dār al-Shurūq, cet. II, 2008.
------------, Al-Siyāsah al-Shar’iyyah fi D}aui’ Nus}ūs} al-Sharī’ah wa Maqās}idiha,
Kairo: Maktabah Wahbah: t.th.
------------, Al-Fiqh al-Islāmy Bain al-As}alah wa al-Tajdīd, Kairo: Maktabah Wahbah, 2003.
------------, Kaifa Nata’āmalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, terjemahan M. al-Baqir,
Bandung: Karisma, 1993.
------------, Umat Islam Menyongsong Abad ke-21, Solo: Era Intermedia, cet.I, 2001.
------------, MaSharakat Berbasis Sharī’ah Islam, Akidah, Ibadah, Akhlak, Alih bahasa
oleh Abdus Salam MaShkur (Solo: Era Intermedia, cet. I, 2003.
30
------------, Perjalanan Hidupku I, Penterjemah: Cecep Taufikurrahman, Jakarta: Pustaka
al-Kauthar, 2003.
------------, Ijtihād Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, alih bahasa
oleh Abu Barzani, Surabaya: Risalah Gusti 1995.
Baiquni, Achmad., makalah seminar: Etos Kerja dan Iptek Masa Depan, Bandung: IAIN
Sunan Gunung Djati, 1993.
Baz, Abd Allāh bin., Fatāwa Islāmiah, Riyadh: Dār al-Wathan li al-NaShr, 1413 H.
Cawang, Robert M. Z., Materi Pokok Sosiologi, Jakarta: Dekdikbud, 1985.
Cowan, J. Milton., (ed.), Hens Wehr, Dictionary of Modern Writen Arabic, London:
George Allen and Unwin, Cet.III, 1997.
Dawis, Muhammad.,& Hamid Shadiq, Mu'jam Lughat al-Fuqaha,Tp: Dār al-Nafāis, 1985.
Dāwūd, Abū., Sunan Abī Dāwūd, tahqīq: Muhammad Muhyi al-Dīn Abd al-H}amīd,
Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
Dahlan, Abdul Aziz., (Eds.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid. I, Jakarta: Ichtiar Baru Han
Hoeve, Cet. IV, 2000.
Djazuli, A., dan I. Nurol Aen, Us}ūl Fiqh, Jakarta: Rajawali Press, 2000.
Djamil, Fathurrahman., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos: 1997.
----------------, “Hukum Perjanjian Sharī’ah,” dalam Komplilasi Hukum Perikatan,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
----------------, “The Muhammadiyah and The Theory of Maqashid al- Sharī’ah”, Studia
Islāmika, II, I, 1995.
Faidullah, Muhammad Fu'ad Fauzi., al-Ijtihād fi al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, Kuwait:
Maktabah Dār al-Turāth, 1988.
Fauzan, Shalīh bin., al-I’lām bi Naqdi Kitab al-Halāl wa al-Harām, (Riyādh; Mathba’ah
Imām Muhammad bin Sa’ud al-Islāmiyyah; 1396 H.
Ghazāli, Abdurrahman., Ijtihād Kontemporer dalam Pandangan Yusuf al-Qaradhawi,
Tesis Magister Agama, Jakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Sharif
Hidayatullah,1996.
Hassan, Ahmad., The Early Development of Islāmic Juriprudence, Edisi Indonesia, Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka Salman, 1984.
Hassan, A., Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, 4 jilid, Bandung: CV.
Diponegoro, 1997.
--------------“Risalah Riba” dalam Kumpulan Risalah A. Hassan, Bangil: Pustaka Elbina,
2005.
Hassan, Abdul Qadir., Kata Berjawab: Soal Jawa Berbagai Masalah Agama, jilid 1-5,
Bangil: Yayasan Almuslimun, 1991.
Haroen, Nasrun., Ijtihad Ibnu Qayyim Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: Perpustaka-an
Pascasarjana UIN Jakarta, 1995.
Hakim, Abdul Hamid., Mabadi Awaliyah, Padang Panjang: Penerbit Shamsial, t.th.
Hornby, A.S., Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, (Oxford:
Oxford Uneversty Press, 1980.
Hidayat, Komaruddin., Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta:
Paramadina, 1996.
Hooker, HB., Islam Madhhab Indonesia, Bandung: Mizan, 2003.
31
Haekal, Muhammad., Hayah Muhammad, Jakarta: Tinta Mas, 1984.
Hosen, Ibrahim., “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru”, dalam Haidar Baqir dan
Shafiq Basri (Eds.), Ijtihād dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1988.
Hazm, Ibn., al-Muhālla, juz VII, Kairo: Maktabah Jumhuriyyah al-’Arābiyyah, 1968.
Ibnu Kathīr, Abū al-Fida Ismā’īl., Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm, Jilid I, (Pentahqīq: Sami
bin Muhammad al-Salamah), Ttp: Dār al-Thayyibah, tth. T.th.
Iska, Shukri., "Pemikiran Fiqh al-Auliyyat Yusuf al-Qaradhawi " Tesis Magister Agama,
Jakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Sharif Hidayatullah,1996.
Ismail, Shuhudi., H}adīth Nabi Menurut Pembela, Pengikar dan Pemalsunya, Jakarta
Gema Insani Press, 1995.
Iqbal, Muhammad., Reconstruction of Religious Thought Islam, New Delhi: Kitab
Bhavan, 1981.
Khaeruman, Badri., Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’ān, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
-------------------, dkk, “Responsible Citizen’s Democracy”, lihat Bab 1: Demokrasi
sebagai Sistem Sosial Politik MaSharakat Dunia, Bandung: Iris Press, 2008.
Ka’bah, Rifyal., Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yasri, 1996.
Kontjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: UI Prees, 1964.
Khallaf, Abd al-Wahab., ’Ilm al-Us}ūl al-Fiqh al-Islāmi, Kuwait: Dār al-Qalam, 1978.
Khaldun, Ibnu., Al-Muqaddimah, Mesir: al-Bahaiyah, t.th.
Mahmas}ani, Subhi., Falsafat al-Tashrī’ al-Islāmi, Beirut: Dār al-Malayyīn, 1961.
Malaikah, Musthafa., Fi Us}ūl al-Da’wah Mustaqimat min Kitab Yusuf al-Qaradhawi,
terjemah Samson Rahman, Jakarta Timur: Pustaka al-Kaisar, cet. I, 2001.
Masud, Muhammad Khalid., Filsafat Hukum Islam, terjemah Ahsin Muhammad,
Bandung: Pustaka, 1996.
Mubarok, Jaih., Modifikasi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
-----------, Ijtihād Kemanusiaan, di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani QuraiSh, 2005.
Mūsa, Yūsuf., al-Fiqh al-Islāmi Madkhal li-Dirāsatih, tt.: t.p., 1958.
Mahfudh, Sahal., Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKS, 1994.
Mamun, Sukron., Studi Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang Ide-ide Demokrasi
Dalam Islam, Tesis Magister Agama Islam, Jakarta: Perpustakaan Pascasa-rjana
UIN Sharif Hidayatullah, 2005.
Magestari, Noerhadi., “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Budaya” dalam:
Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antradisiplin Ilmu, Mastuhu
(Eds), Jakarta: Pusjarlit, 1998.
Madjid, Nurkholish., “Konsep Asbāb al-Nuzūl Relevansinya bagi Pandangan Histo-risis
Segi-segi Tertentu Ajaran Keagamaan,” dalam Budhy Munawar Rachman (ed.),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1994.
Muhammad, Afif., Model Penelitian tentang Pemikiran, Bandung: Puslit IAIN Sunan
Gunung Djati, T.th.
Madani, Muhammad., Mawathin al-Ijtihād fi al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, Kuwait: al-
Maktabah al-Manār, t.th..
32
Mukhlis, Bahar., Metode Ijtihād Yusuf al-Qaradhawi dalam Masalah-masalah Kon-
temporer, Disertasi Doktor, Jakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Sharif
Hidayatullah, 2001.
Nuswantari, Dyah., (ed.), Kamus Saku Kedokteran Dorland, Jakarta: EGC,1998.
Manz}ur, Ibn., Lisān al-'Arāb, Juz IV, Mesir: Dār al-Mishriyyah, t.th.
Nuruddin, Amiur., Ijtihad ‘Umar Ibn Al-Khat}t}ab, Jakarta: CV Rajawali, 1991.
Nasution, Harun., Kedudukan Akal dalam Islam, Jakarta: Yayasan Idayu, 1979.
Nu’man, Farid., al-Ikhwan al-Muslimin, Sebuah Koreksi Bijak dan Tuntas atas Tuduhan
Fitnah dan Celaan tak Pantas terhadap Manhaj dan Tokoh-tokohnya, Depok:
Pustka Nauka, 2004.
Praja, Juhaya S., Teori-teori Hukum, Suatu Telaah Perbandingan dengan Pendekatan
Filsafat, Bandung: Pascasarjana, UIN, 2009.
-----------------, Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya: Latihifa Press, 2009.
-----------------, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia,
Jakarta: Teraju, 2002.
Quthb, Sayid., Nahwa Mujtami' al-Islāmi, Bandung, terjemahan Mu'ti Nurdin,
Masyarakat Islam, PT Alma'arif, cet. Ke-3, 1983.
Qadir, Abdurrahman., "Pembaharuan Hukum Islam: Studi Pemikiran Yūsuf al- Qara-
d}āwi tentang Zakat Profesi", Tesis Magister Agama, Jakarta: Perpustakaan Pasca
Sarjana UIN Sharif Hidayatullah,1990.
Rusli, Nasrun., Konsep Ijtihad Al-Shaukani, Jakarta: Logos, 1999.
Rofiq, Ahmad., Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Rahman, Fazlur., Muhammad Iqbal, The Recontruction of Religious, Thaought in Islam,
New Delhi: Ktab Bavan, 1981.
Ramali, Ahmad., dan K. St. Pamoentjak, Ensiklopedi Indonesia I, Abortus, Jakarta:
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1980.
--------------, dan K. St. Pamoentjak, Kamus Kedokteran, Jakarta: Djambatan, cet. XXI,
1996.
Rakhmat, Jalaluddin., Rekayasa Sosial: Reformasi, Refolusi atau Manusia Besar?, Cet.
II, Bandung: Rosda Karya, 2000.
-----------, Dahulukan Akhlak di atas Fiqh, Bandung: Muthahari Press. 2002.
Sharīf al-Dīn, Abd al-Azīm., Ibn Qayyim al-Jauziyah Asruhu wa Arā’uhu fi al-Fiqh wa
al-Aqā’id wa al-Tas}awuf, Mesir: Maktabah al-Kulliyah al-Azar, 1967.
Shaltūt, Mahmud., al-Islām ’Aqīdatu wa Sharī’atu, Beirut: Dār Shuruq, 1983 Cet, 11.
--------------, al-Fatāwa, Kairo: Dār al-Shurūq, cet. Ke-18, tahun 2004.
Shani, Abdul., Sosiologi dan Perubahan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
-----------------, Sosiologi, Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
Sugihen, Bahrein T., Sosiologi Pedesaan, Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
Sa’dawi, Amru Abd al-Karim., Qad}āya al-Mar’ati fi Fiqh al-Qarad}āwi, terjemahan
Muhyiddin Mas Rida, Jakarta Timur: Pustaka al-Kauthar, 2009.
Suramatputra, Ahmad Munif., Problematika Hukum Islam Kontemporer, edt. Chuzaimah
T. Yanggo, Jakarta: LSIK, 1997.
33
Sukarja, Ahmad., Problematika Hukum Islam Kontemporer, editot: Chuzaimah T.
Yanggo, Jakarta: LSIK, 1997.
Suma, Muhammad Amin., Ijtihād Ibnu Taimiyah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Suriasumantri, Yuyun S., “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari
Paradigma Baru”, dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan
Antradisiplin Ilmu, Mastuhu (Eds.), Jakarta: Pusjarlit, 1998.
Sharifuddin, Amir., Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa
Raya, 1990.
Suyatman, Ujang., Konsep Qath’i dan Zahnni dalam Hukum Islam, Jurnal Spektrum, No.
1, tahun 2003.
Shihab, Quraish., Membumikan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1996.
Shafruddin, Rif'an., Ijtihād Kontemporer dalam Perspektif Yusuf al-Qaradhawi,
Antasari: Tesis IAIN Antasari, 2004.
Soekanto, Soerjono., Beberapa Permasalahan dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia, Jakarta: UI Press, 1975.
----------------, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia, 1986.
----------------, Sosiolog Hukum, Jakarta: UI Prss, 1988.
Schacht, Joseph., Studia Problems of Modern Islāmic Legislation Islāmica, vol.12,1960.
-----------------, An Introduction to Islāmic Law, London: Oxfrod at the Clerendon Press,
1971.
Siradj, Said Aqiel., Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka
Ciganjur, 1999.
Taymiah, Ibnu., Majmū’u Fatāwa, juz 30, Jami’ wa tartib: Abd al-Rahman bin
Muhammad bin Qāsim dan Sa’ad bin Muhammad, Madinah al-Munawarah:
Waqaf Raja Fahd, 1425 H./2004.
Talimah, Isham., al-Qarad}āwi Faqihan,Tp: Dār al-Tauzi wa al-Nashar al-Islāmiyyah, T.th.
Thahhān, Musthafa Muhammad., Menuju Gerakan Islam Modern, terj. Jasiman, Jakarta:
Gramedia, 2000.
Uways, Abdul Halim., Fikih Statis Dinamis, terj. A. Zarkasi Humaidi, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1998.
Wensink, A.J., Mu’jam al-Mufah}ras li Alfaz} al-H}adīth al-Nabawi, jilid V, Leiden:
Maktabah Brill, 1969.
Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Studi Pemikiran
Najmuddin al-Thūfi, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Yamani, Ahmad Zaki., al-Sharī’ah al-Khalidat wa Mushkilat al-‘Ashr, terjemahan KMS.
Agustjik, Sharī’ah Islam yang Kekal dan Persoalan Masa Kini, Jakarta:
Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan, 1977.
Zaid, Mushtafa., al-Mas}lah}at fi al-Tashrī al-Islāmi wa Najm al-Dīn al-T}ūfi, Ttp: Dār al-Fikr al-‘Arabi, cet. II, 1964.
Zahrah, Abū., Ibn Taimiyah; Hayatuh wa 'Asruhu Arauhu wa Fiqhuhu, Kairo: Dār al-
Fikr al-'Arābi, t.th.
------------------, Us}ūl Fiqh, Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1957.