PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IV
PERENCANAAN WILAYAH DAN
KOTA II
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI
Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI
Editor: Dr. Guspika, MBA., dkk.
PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IV
PERENCANAAN WILAYAH DAN
KOTA II
Sanksi Pelanggaran Pasal 72Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta
Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau denda pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Direktori Mini Tesis-Disertasi
Perencanaan Wilayah dan Kota II
©2019 oleh Bappenas
Jangan menggandakan dan / atau menggandakan semua dan / atau bagian dari buku ini tanpa izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
Penanggung Jawab : KapusbindiklatrenEditor : Dr. Guspika, MBA, Wignyo Adiyoso, S.Sos., MA, Ph.D., Ali Muharram, S.IP., M.SE,
MA., Rita Miranda, S.Sos., M.PA., Wiky Witarni, S.Sos., M.A., Epik Finilih, Sofa Nurdiyanti, Paskalina O.
Kontributor : Aulia Akhmad, Dwi Trias Windi Firmantyo, Jimmy MP. Sitanggang, Tira Puspitasari, Ari Anggono, Amalia Azimah, Nadia Oktinova, Sukamto, Eko Purwanto, Suryani Tajuddin, Lutfi Diana Wati, Sukmawati, Yuliana, Asra Eka Daeng Ngai, Syamsul Bahri
Exterior & Interior Design : Den Binikna dan Rizka Alifia
Cetakan pertama, September 2019
ISBN: 978-623-91602-4-1
Di terbitkan oleh
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Republik Indonesia
Jalan Proklamasi Nomor 70, Jakarta Pusat, 10320
v
Daftar Isi01 COMMUNITY’S COPING MECHANISMS FOR DISASTER MITIGATION IN
URBANIZED FLOOD PRONE AREA: A CASE STUDY IN CABENGE, SOPPENG, INDONESIAAULIA AKHMAD – 001
02 IMPACT OF DEVELOPMENT ON THE RIVERBANK COMMUNITY OF SUKAMARA CITYDWI TRIAS WINDI FIRMANTYO – 009
03 FACTORS UNDERLYING MOTORCYCLE USAGE BY URBAN FRINGE COMMUNITY. CASE STUDY IN PEKANBARU, RIAU PROVINCEJIMMY MP. SITANGGANG – 017
04 ANALISIS LOKASI TRANSIT-ORIENTED DEVELOPMENT POTENSIAL UNTUK PENENTUAN RUTE UTAMA ANGKUTAN UMUM MASSAL DI KOTA PANGKALAN BUNTIRA PUSPITASARI – 027
05 KAJIAN KESESUAIAN WILAYAH PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN DI KABUPATEN WONOGIRIARI ANGGONO – 037
06 KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WISATA MINA PADUKUHAN BOKESAN DI KAWASAN MINAPOLITAN NGEMPLAK KABUPATEN SLEMANAMALIA AZIMAH – 053
07 KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN HARGA LAHAN DI SEKITAR KAWASAN BUKIT SEMARANG BARUNADIA OKTINOVA – 067
08 MODEL PROYEKSI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN KORIDOR JALAN UTAMA PADA SKALA DETAIL 1:10.000 BERBASIS CELLULAR AUTOMATA DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (STUDI KASUS: KAWASAN SEPANJANG KORIDOR JALAN SOLO—YOGYA DI KABUPATEN KLATEN)SUKAMTO – 079
09 PENILAIAN PEMANFAATAN TROTOAR SEBAGAI PENDUKUNG BRT TRANS SEMARANG KORIDOR I DI BWK I KOTA SEMARANGEKO PURWANTO – 089
vi
10 PENGELOLAAN PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN SOMBA OPU KABUPATEN GOWASURYANI TAJUDDIN – 103
11 EFEKTIVITAS PENGELOLAAN INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH KOMUNAL BERBASIS MASYARAKAT DI KOTA MAKASSARLUTFI DIANA WATI – 115
12 ANALISIS PENGARUH PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN SOPPENGSUKMAWATI – 127
13 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATANYULIANA – 139
14 ANALISIS IMPLEMENTASI BANTUAN ALAT DAN MESIN PERTANIAN DI KABUPATEN BULUKUMBAASRA EKA DAENG NGAI – 151
15 ADAPTASI TERHADAP BANJIR DI KOTA MAKASSARSYAMSUL BAHRI – 163
vii
Kata Pengantar
Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Kementerian
PPN/Bappenas secara berkala membuka kesempatan bagi para ASN yang bekerja
di Kementerian PPN/Bappenas, unit perencanaan di kementerian/lembaga, Bappeda
atau instansi setingkat yang menangani perencanaan, unit perencanaan di organisasi
pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota dan/atau unit kerja lainnya untuk mengikuti
Program Beasiswa yang meliputi pendidikan gelar jenjang S2, baik program dalam negeri,
linkage, maupun luar negeri, serta jenjang S3 dalam negeri. Tujuan pemberian beasiswa
Pusbindiklatren Bappenas adalah meningkatkan kompetensi sumber daya manusia
aparatur pemerintah yang bertugas pada bidang perencanaan pembangunan baik di
pemerintah pusat maupun di pemerintah provinsi, kota dan kabupaten.
Selama tugas belajar para penerima beasiswa dituntut untuk melakukan pendalaman
pengetahuan terkait pembangunan melalui penelitian yang bersifat konkret dan dapat
diterapkan di daerah asalnya masing-masing yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
tesis atau desertasi. Agar hasil-hasil penelitian tersebut dapat tersebar luas maka sangat
relevan jika tesis/disertasi tersebut diterbitkan ulang dalam bentuk ringkasan (anotasi)
yang termuat pada sebuah buku Direktori Mini Tesis-Disertasi.
Penerbitan buku Direktori Mini Tesis-Disertasi bertujuan agar hasil-hasil penelitian
tersebut dapat dibaca, dimanfaatkan, dan diterapkan secara nyata sesuai dengan ruang
lingkup kerja penerima beasiswa di lingkungan instansinya dan juga oleh pihak lain secara
umum. Selain itu, hal ini juga merupakan upaya untuk mendokumentasikan hasil karya
dan hasil kajian penerima beasiswa pendidikan gelar dari Pusbindiklatren, Kementerian
PPN/Bappenas.
Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa Pendidikan Gelar Tema: Perencanaan Wilayah dan Kota II ini merupakan buku keenam dari sepuluh buku yang
akan diterbitkan pada tahun 2019, sebagai salah satu upaya mendiseminasikan karya tulis
ilmiah yang telah diselesaikan oleh karya siswa penerima beasiswa pendidikan gelar dari
Pusbindiklatren, Kementerian PPN/Bappenas.
Serial buku ini diharapkan dapat menggambarkan manfaat dan kontribusi positif
dari program beasiswa pendidikan gelar terhadap peningkatan kompetensi sumber daya
manusia aparatur pemerintah yang bertugas pada bidang perencanaan pembangunan
baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten, baik
viii
dari sisi keterampilan teknis, manajerial, dan kepemimpinan aparat pemerintah, maupun
dalam melaksanakan reformasi birokrasi di instansi masing-masing.
Jakarta, September 2019
Kapusbindiklatren
01COMMUNITY’S COPING MECHANISMS FOR DISASTER MITIGATION IN URBANIZED FLOOD PRONE AREA: A CASE STUDY IN CABENGE, SOPPENG, INDONESIA
► Nama : Aulia Akhmad
► Unit Organisasi : Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
Pemkab Soppeng
► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota
► Negara Studi : Indonesia - Jepang
► Universitas : Universitas Gadjah Mada
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI002
ABSTRAKCabenge sebagai kawasan urban terletak di daerah rawan banjir. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui mekanisme penanganan masyarakat dalam menghadapi banjir.
Penelitian ini bertujuan untuk menangkap persepsi dan respons masyarakat terhadap
berbagai tingkat banjir. Menggambarkan jenis mekanisme penanganan terhadap berbagai
tahap banjir adalah tujuan utama penelitian ini. Tujuan lain dari penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi jenis mekanisme penanganan yang memiliki pengaruh kuat
di masyarakat dalam upaya mengatasi bencana banjir. Penelitian ini terutama melihat
perilaku masyarakat. Bagaimana masyarakat hidup dengan risiko banjir dan bagaimana
perasaan mereka terhadap hal itu. Seberapa besar pengaruh aktivitas masyarakat terhadap
kemampuan masyarakat dalam mengatasi banjir musiman. Sekitar seratus responden dari
4 Kelurahan yang berada di daerah rawan banjir dipilih dengan menggunakan purposive
multi stage area sampling. Metodologi pemilihan sampel ini dimaksudkan untuk sampai ke
unit analisis yang diinginkan. Responden diwawancarai dengan menggunakan kuesioner
tentang bagaimana mereka merasakan banjir di daerah mereka. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa perilaku masyarakat terhadap banjir dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti persepsi masyarakat terhadap risiko banjir, besarnya tingkat risiko banjir
dan kapasitas masyarakat setempat untuk mengatasi dampaknya. Hasil penelitian
ini juga mengungkapkan sejumlah faktor penting tentang interaksi antara manusia
dan banjir. Pengalaman dengan banjir memengaruhi ancaman dan kekhawatiran yang
dirasakan terkait dengan mereka. Penelitian ini menyoroti bahwa nilai solidaritas di
antara masyarakat masih tinggi, dan jenis aktivitas sosial ini dapat bermanfaat terutama
pada saat kejadian banjir. Kegiatan masyarakat seperti Gotong Royong dan kebiasaan
masyarakat untuk membantu orang lain dapat dijadikan masukan bagi pemerintah daerah
dalam menyusun program mitigasi bencana terutama untuk mengatasi banjir musiman di
daerah pedalaman.
► Kata Kunci: Banjir, Mekanisme Penanganan, Mitigasi Bencana, Persepsi Risiko
003 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTCabenge as urbanized area is located in a flood prone area. The study aims to know the
community’s coping mechanisms in dealing with floods. This research aims to capture
community’s perception and response to different level of flood. Describing the types
of coping mechanisms against different stage of floods is the main objective of this
research. The second main objective of this research is to identify which kinds of coping
mechanism have a strong influence in the community in an effort to overcome flood
disaster. This research primarily looks into the attitude and behavior of the community.
How do communities live with flood risks and how do they feel about that. How much
influence community activities have on the community’s ability to cope with seasonal
floods. About a hundred respondents from 4 Kelurahan located within flood-prone
area were selected using purposive multi stage area sampling. This methodology of
sample selection intended to get to the desired unit of analysis. The respondents were
interviewed using questionnaires about the way they perceived flood in their area. Result
of this research shows that the community’s behavior towards flood is influenced by some
factors, such as: flood risk perception, the magnitude degree of the flood (flood level and
flood duration) and their capacity to cope with its impacts. The result of this research
also revealed that a number of important factors about the interaction between people
and floods. Experience with floods influences the perceived threat and concerns related
to them. The research highlights that the solidarity values among the community are still
high, and this kind of social can be useful especially during the flood events. Traditional
community activities such as Gotong Royong and people’s habits to help others can be
used as input for local government in preparing disaster mitigation program especially to
overcome seasonal flood in cabenge area.
► Keywords: Flood, Coping Mechanism, Disaster Mitigation, Risk Perception
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI004
COMMUNITY’S COPING MECHANISMS FOR DISASTER MITIGATION IN URBANIZED FLOOD PRONE AREA: A CASE STUDY IN
CABENGE, SOPPENG, INDONESIAA. BackgroundThe research was conducted in Cabenge-Soppeng Regency, Indonesia, which suffer from
frequent flooding. Floods -occurred in several areas in Soppeng- was an annual disaster
that occur in every rainy season comes.
Community-based approaches to disaster risk management have become
increasingly important in a society faced with complex and uncertain change. Grassroots
action can provide the local knowledge and social capital needed to identify the root
causes of human vulnerability and generate adaptive solutions to confront livelihood risk
and enhance resilience (Maskrey, 1989; Blaikie et al., 1994; Cannon, 2000; Burby, 2003;
Pearce, 2005; Allen, 2006).
This study is focused on identifying the community’s coping mechanisms and the
effectiveness of any type of coping mechanism related to negative impacts after flooding
in Cabenge, Soppeng regency. The knowledge generated from this study can be useful
information for the local government of the city of Cabenge, Soppeng to undertake an
effective Disaster Management Program in order to minimize the impact of flooding. This
research emphasizes on identifying the community’s response to different flood level and
its mechanism to the effects of the floods. The concept of coping mechanism emphasizes
on the positive aspects and actions of people to cope with the adverse effects of floods in
the study area. There are two main objectives of this research, which are
1. To identify local community’s perceptions of the seasonal flood risk that they
face each year.
2. To identify the coping mechanisms among the community in relation to flood
risk reduction
Based on the two main objectives as mentioned above, four sub objectives can be
derived following:
1. To map the community’s perception about flooding risk.
005 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
2. To identify community’s coping mechanisms in study area.
3. To identify and describe the factors influencing the selection of coping
mechanisms.
4. To identify and analysis effectiveness of community’s coping mechanisms in
study area.
B. MethodologyThis study is focused on identifying the type of coping mechanism which are applied
by community to cope with floods threat. In order to achieve the goals of this research,
the methodology used in this research is divided into three main phases: (1) Pre-Field, (2)
Fieldwork, (3) Post-Field. Secondary data, such as base map, flood-prone area map and
quick bird imagery were collected from a number of sources and related organizations. The
important secondary data about the flood prone area were collected from the planning
agency (Bappeda).
The location of this research is Cabenge Urbanised area, in Soppeng Regency, South
Sulawesi Province, Indonesia. The distance of Cabenge from provincial capital is about 160
km. Geographically, Cabenge is located along the river (flood plains area) with relatively flat
topography conditions. The area of inundation in Soppeng Regency reached 2,273.211 sqm.
Where the largest percentage is in Lilirilau sub-district reached 56.69% (1,286,317 sqm) total
area of inundation in Soppeng Regency. This is due to the deluge of floods coming from the
upstream Walanae river crossed the Cabenge area.
C. Data Analysis and ResultsKnowledge of the risk among those who are exposed is defined as awareness and control
over the risk as preparedness (Slovic et al., 1984). These characteristics will be used
throughout this thesis analysis, and are defined in the remainder of this section.
Information on risk perception was collected with the help of on-site interviews.
According to Van der Veen (2005) the diagram conditions are included in the Control
type category. When an individual in community feels prepared, then they have a sense
of control over the risk, as a consequence, they feel less worried.
From the results of analysis, it can inferred that damage level variable (impact
level of flood) is influenced the community to do all type of coping mechanism. We can
analyzed that having positive relationship with the coping mechanism means that the
higher impact of flood perceived by community, the higher effort for them to apply some
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI006
coping mechanism or activity in order to reduce the impact of flood. In order to find out
whether the community activity had a significant effect on the Cabenge community,
grouping of communities based on the level of location vulnerability to flood.
Analysis Zone 1
High Risk Area
Figure 5.2 Graphic analysis cross tabulation in Zone-1 (source: Data Analysis)
Analysis Zone 2
Medium Risk Area
Figure 5.3 Graphic analysis cross tabulation in Zona-2 (source: Data Analysis)
007 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Analysis Zone 3
Low Risk Area
Figure 5.4 Graphic analysis cross tabulation in Zona-3 (source: Data Analysis)
D. Conclusion1. Community’s Perception Related to Flooding Risk
People who living in flood prone area dominant have awareness and
preparedness. They are aware of the consequences they face in living in flood-
prone areas, and they traditionally have preparations and ways to mitigate the
effects of floods.
2. Community’s Coping Mechanism
One finding related to traditional activities employed by people in the study
area. The respondents mentioned that they have a social responsibility that is
hereditary and become a tradition in community. They usually clean up their
environment (the river and drainage) and their neighborhood before the flood
season is coming and also clean up the mud and debris left by the flood together,
called Gotong Royong. The head RT and RW in each Kelurahan usually lead and
coordinate this activity among the community.
3. Influencing Factors of Coping Mechanism
Damage level variable (impact level of flood) is influenced the community to do
all type of coping mechanism. We can analyzed that having positive relationship
with the coping mechanism means that the higher impact of flood perceived
by community, the higher effort for them to apply some coping mechanism or
activity in order to reduce the impact of flood.
4. Effectiveness of Coping Mechanism
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI008
Community activities (social coping mechanism) have a strong influence in the
community in an effort to overcome flood disaster. Compared with the other
two coping mechanism types, social activity becomes the most effective and
dominant in community as a result of this research.
E. Recommendations 1. For further study, the factor of flood velocity should be included as a factor that
is considered to have influence to the selection of type of coping mechanisms.
2. Disaster mitigation and coping with disaster can only works if the two groups
affected (local government and the community) co-operate together.
02IMPACT OF DEVELOPMENT ON THE RIVERBANK COMMUNITY OF SUKAMARA CITY
► Nama : Dwi Trias Windi Firmantyo
► Unit Organisasi : Bappeda Pemkab Sukamara
► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota
► Negara Studi : Indonesia-Jepang
► Universitas : Universitas Gadjah Mada
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI010
ABSTRAKKabupaten Sukamara mengalami pemekaran dari kabupaten lama, Kabupaten
Kotawaringin Barat, pada tahun 2002. Pembangunan melalui pemekaran akan
meningkatkan tingkat pelayanan dan menarik pendatang baru yang mencari kesempatan
lebih baik dalam memperbaiki ekonomi mereka untuk bermigrasi ke kota. Oleh karena
itu, perlu untuk mengetahui bagaimana pembangunan akan mempengaruhi masyarakat
di tepian sungai, yaitu komunitas asal di daerah tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Deskriptif kualitatif dan kuantitatif untuk menggambarkan
perkembangan di Kabupaten Sukamara dan dampaknya terhadap masyarakat di wilayah
tepian sungai.
Setelah subdivisi, pembangunan di Kabupaten Sukamara telah meningkat.
Infrastruktur dan fasilitasnya telah meningkat. Dari segi perubahan fisik, proyek
pembangunan yang dilaksanakan telah membuat daerah ini menjadi lebih baik. Meski
demikian, degradasi lingkungan juga terjadi di daerah tersebut. Produk Domestik
Regional Bruto dan HDI semakin membaik sejak pemekaran. Pembangunan juga
menurunkan jumlah orang miskin di Sukamara. Namun, meskipun mereka mengakui
manfaat pembangunan, sebagian besar masyarakat di masyarakat sungai merasa bahwa
semakin sulit bagi mereka dalam hal ekonomi. Pertumbuhan kota yang disebabkan oleh
pembangunan tersebut juga mempengaruhi pekerjaan, pendapatan dan pengeluaran
mereka.
► Kata Kunci: Pengembangan, Pemekaran, Tepi sungai
011 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTSukamara Regency were subdivided from its old regency, Kotawaringin barat Regency in
2002. The development through subdivision will increase the level of service and attract
new people who seek better opportunity to improve their economy to migrate into
the city. Hence, it is necessary to find out how development will affect community in
riverbank, which is origin community in the area. This research done using Descriptive
qualitative and quantitative approach to describe the development in Sukamara Regency
and the development effect to the people in the riverbank area.
After the subdivision, the development in Sukamara Regency has boosted.
Infrastructures and facilities has improved. In terms of Physical changes, the projects
have make the area better. Nevertheless, environmental degradation also occur in the
area. Gross Regional Domestic Product and HDI is getting better since the subdivision.
The development also decreases the number of poor people in Sukamara. However,
even though they acknowledge the benefit of the development, most of the people in
riverbank community feel that it is getting harder for them economically. The growth of
the city caused by the development also affect their jobs, income and expenses.
► Keywords: Development, Subdivision, Riverbank
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI012
IMPACT OF DEVELOPMENT ON THE RIVERBANK COMMUNITY OF SUKAMARA CITYA. BackgroundDecentralization policies were meant to spread development in Indonesia. By transferring
funds from the central government to the regencies in order to give them greater
freedom and control, development was to become more efficient and responsive. This
policy brought good news to Sukamara as in 2002 they were subdivided from the old
regency and became a new, independent regency.
Sukamara District is the Capital of Sukamara Regency and also has the biggest
population in the Regency which almost cover half of total population of the regency. As
the capital city of Sukamara Regency, it becomes the center of distribution for services
and goods, and it will attract people to migrate to the city, not only for the service level,
but also the job opportunity it provides.
Population in Sukamara City is consists several traditional communities such as
Malay who stay in the riverbank and Dayak who lives in the jungle. New opportunities
will affect local communities in the area. Not only because of better chances of creating
new income sources, but also because they have to compete for those new people who
come into Sukamara.
Therefore, it is interesting to research how local people, who have already been
there for a long time, are impacted by the development that has occurred in Sukamara
City. The objectives of this research are:
1. To describe the development of Sukamara City after subdivision from the old
regency
2. To identify the physical and socio-economic impact of city development on the
communities who live in riverbank area.
B. Research Problem and MethodologyDecentralization through subdivision in Sukamara Regency will bring development to
the regency especially in Sukamara city. The development can also bring positive and
negative impact to the local communities. Thus the research questions of this study are:
1. How is the development of Sukamara Regency after subdivided from the old
regency in 2002-2017?
013 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
2. What is its physical and socio-economic impact on the communities who live
in the riverbank area?
This research will use a deductive quantitative and qualitative approach (mixed
Methods). This research using deductive methods where the government activities in
providing infrastructures and facilities for its resident become the base of the research.
Both quantitative and qualitative were used in order to complement each other and gives
better result if there is any unsastisfaction result from one method.
Location of this research in general is in Sukamara District where it become the
capital of the regency. Research of the impact is the community in Padang Ward which
located alongside the mapam river. The location is chosen because this ward is where
the city started. And its inhabitants are origins of Sukamara City. The location is shown
in Figure 3.1. below.
C. Data Analysis and Results
1. Development in Sukamara
After 15 years of subdivision, Sukamara in general is acknowledged to be in a better
condition than before. The development made by the local government is satisfying.
As said by the head of a Padang subdistrict during one of the research interviews:
“Sukamara in the present is better than it was. Because there is no longer flooding and
better access to anywhere outside the regency. Thus it is easier to find more kinds of
goods.”
The same idea also told by a person who was born in Sukamara and a resident
of Kampung Jawa: “Right now Sukamara is really developed. In the past, Sedawak (5 km
from the center of the town, near the new municipal area) was considered far enough.
But right now that area is getting crowded, many houses were built there.”
2. Development in Sukamara City
The development of a city can be seen from its ability to provides facilities and
infrastructures. It also can be seen from the welfare of its resident. In Sukamara city,
the facilities and infrastructures has been adequate. The number of education and
health facilities in Sukamara city is improving overtime..
In terms of Economic development, the GRDP in Sukamara is increasing
overtime. The growth rate of income per capita and the low inflation rate should
provide better economy to the people. Sukamara City also providing better welfare
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI014
to its resident, which shown by the low poverty level, better job opportunity, and
increasing in the human resource.
3. Impact of Development in Riverbank areaa. Positive impact
1. Better living condition
The government project such as road network opened access of
transportation of goods and men. It encourages the economy and
enable people to find new type of goods. Other public work projects
such as Drainage makes the area no longer flood prone compare to
the past. Meanwhile, the installation of pathway bridges gives better
looking to the area.
2. Better job opportunities
There are increasing number of family member in a household who
works. It means that other members of family have no problem in
joining breadwinner to gather income to assist their finance.
3. Better access to the education and health facilities.
The number of education facilities has improved in order to facilitate
every community to a better education. Free 12-years schooling and
free health also give household more freedom to allocate their budget
into different sector.
b. Negative impact
1. Water pollution
Increasing number of palm oil plantation has polluted the river. It
resulting in decreasing number of fish in the river. Meanwhile, most of
the people in riverbank rely on the river as their income.
2. Job opportunity is mainly only in informal sector
Informal sector cannot give steady income compared to the formal
sector. Most of the people are depends on natural resources. Moreover,
they only rely on their physical strength and limited skill. Hence,
whenever something happens with the natural resources, they will
struggle finding another source of income.
3. Higher price in commodity.
015 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
People’s expenditure has been increasing compare to the past. Which
leads to higher expenditure.
4. Less social interaction.
Higher expense in household makes people must work extra hard. The
pursuit of better income makes people sacrifice their free time in the
weekend to work ekstra time.
4. Discussion
In terms of economy, as well of the whole regency, the impact of the development
has brought better opportunity for the people in riverbank area. This can be seen
from the people who work in the house. Most of of family has addition in person
who works and gives contribution towards family expenses. However, most of
the breadwinner in the family are having trouble in recent time. Unstable job
and fluctuative incomes make them working harder to fulfill their needs. This
phenomenon happened to the family which has low education and limited skill
and mainly depends on natural resource. It is in line with Hope and Timmel (1995)
in Eade (1995) that said the lack of access to educational opportunities places a
major constraint on people’s life chances, as well as on their capacity to participate
in the social, economic and political processes affecting them. In a wider case,
education (especially ‘non-formal’, ‘popular’ or ‘social education’) is also a means for
marginalized people to develop their critical and organizational capacities, and so
contribute to transforming their societies.
However, even though the government already has effort to increase the
quality of human resources and giving access to the education, but most of the
people in riverbank area has low education. The focus on fulfillment of education
needed seems only focused only on formal education. Usually parents only focused
on generating money for their need and their children’s education but they neglect
that they also need to improve their capacity. It is also shown by their proposal in
development participation where they only focus on material thing.
D. ConclusionThe Resident benefit from development by receiving higher income and have better
selection of goods. Even though economically Sukamara is growing, for the people in the
riverbank, it is getting harder for them because the households’ expenses are increasing
caused by the increasing price of some commodities.
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI016
Most people in the riverbank area are working in the private sector, some of them
work for other people and depend on natural resources. The growth of the City has
depleted resources like timber and fish. The prohibition of illegal logging and timber
transport has decimated the logging industry. Meanwhile, pollution from the palm oil
plantation almost eradicate fish in Jelai and Mapam Rivers. These rivers are the main
resources for fishermen in Sukamara, especially Padang Sub-district. Therefore, the
people affected by the negative impacts of development are those with low education
and limited skills and knowledge. These people do not realize that the resources will
be depleted and are not prepared to counter this. Local people have suffered from the
growth of the city because they have low capacity. In order to avoid this problem, the new
regency subdivided from the old regency should increase technical training and education
for its people. Not only improve formal education, but it should also improve non-formal
training, especially for those who rely on natural resources and have low education. They
must be encouraged to improve themselves before resources are depleted.
E. Recommendations Local people have suffered from the growth of the city because they have low capacity.
In order to avoid this problem, the new regency subdivided from the old regency should
increase technical training and education for its people. Not only to improving formal
education, but it should also improving non-formal training, especially for those who
rely on natural resources and have low education. They must be encouraged to improve
themselves before resources are depleted.
03FACTORS UNDERLYING MOTORCYCLE USAGE BY URBAN FRINGE COMMUNITY. CASE STUDY IN PEKANBARU, RIAU PROVINCE
► Nama : Jimmy MP. Sitanggang
► Unit Organisasi : Badan Perencanaan Pembangunan Pemerintah
Kabupaten Siak
► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota
► Negara Studi : Indonesia-Jepang
► Universitas : Universitas Gadjah Mada
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI018
ABSTRAKJumlah sepeda motor telah menjadi masalah transportasi darat utama di Pekanbaru, baik
di pusat kota maupun di pinggiran kota. Pada tahun 2015, rasio sepeda motor terhadap
populasi adalah 0,997, yang berarti hampir setiap orang memiliki sepeda motor di
Pekanbaru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab tingginya
kepemilikan sepeda motor di pinggiran kota. Tiga kategori data digunakan untuk
analisis data, yang meliputi rumah tangga, transportasi umum, dan peraturan daerah
tentang transportasi umum yang secara berurutan dianalisis dengan menggunakan
partial least square, analisis buffer GIS, dan analisis sebelum-sesudah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 4 variabel faktor rumah tangga yang berpengaruh positif
terhadap kepemilikan sepeda motor, yang paling signifikan adalah pendapatan keluarga.
Akses rumah tangga terhadap angkutan umum di pinggiran kota masih sangat rendah,
ditunjukkan dengan indeks transportasi umum yang rendah, hanya satu kecamatan yang
lebih baik dalam pelayanan transportasi umum. Pelaksanaan peraturan daerah No. 15
Tahun 2001 tentang transportasi darat di Pekanbaru telah memengaruhi 41% penurunan
jumlah transportasi umum, dampak tidak langsungnya adalah peningkatan jumlah sepeda
motor sebesar 674% dalam 15 tahun terakhir.
► Kata Kunci: Kepemilikan Sepeda Motor, Pinggir Kota, Rumah Tangga, Transportasi
Umum, Pekanbaru
019 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTNumber of motorcycle has become major land transportation problem in Pekanbaru,
either in city center or in urban fringe. In 2015, the ratio of motorcycle toward people
was 0,997, which means almost every people has motorcycle in the city. This study
aims to identify factors causing big number of motorcycle ownership in urban fringe.
Three categories data were collected covering household, public transportation, and
local regulation on public transportation proceeded using partial least square analysis,
GIS buffer analysis, and before-after analysis consecutively. The results show that there
are 4 variables of household factor which positively influence motorcycle ownership, the
most significant one is family income. Household access to public transportation in urban
fringe is very low showed by low public transportation index, only one sub-district is
considered developed in terms. The implementation of Local Regulation No. 15 Year 2001
on land transportation in Pekanbaru has effected to 41% of decreasing number of public
transportation, the reciprocal impact is to 674% of increasing number of motorcycle
during 15 years.
► Keywords: Motorcycle Ownership, Urban Fringe, Household, Public Transportation,
Pekanbaru
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI020
A. BackgroundCongestion, pollution, and accident by motorcycle have become major street problems in
Pekanbaru. Accident for example, during 2015, dead accident by motorcycle had occured
92 times (BPS, 2016), this number fluctuates every year but the occurrence always happen.
According to Soehodo (2007), accident by motorcycle related to the number of vehicle
itself.
Motorcycle has increased massively in Pekanbaru. Based on BPS data (BPS, 2001,
2010, 2016), number of motorcycle in Pekanbaru grew very rapidly in the last 15 years. In
2001, number of motorcycle in Pekanbaru was only 130 thousand units, but at the end
of 2015 number of motorcycle jumped very high, around 1.034,972 units were registered.
Number of motorcycle was almost same with number of population at that time which
were 1,038,118 inhabitants.
The population distribution in Pekanbaru differs from other cities in Indonesia.
Generally, city center is a dense area and has big population, but for case of Pekanbaru,
this condition is different. Area with big populations in Pekanbaru is urban fringe, ie the
sub-districts surrounding Pekanbaru. In each of these urban fringe areas, number of
population exceeds 70 thousand inhabitants with annual average population growth rate
between 2-3%. The urban fringe residents make up about 83% of Pekanbaru population
(BPS, 2015). Number of population can be used as one hint to show that large number of
motorcycles is in urban fringe.
Besides motorcycle, other type of transportation used by people in urban fringe to
travel is public transportation. In Pekanbaru, available public transportations are Oplet,
City Bus, and TransMetro Pekanbaru (hereinafter called TMP). Oplet and City Buses have
served transportation of Pekanbaru residents for years, while TMP had just introduced as
Public Mass Transit System (SAUM) in 2009. Currently, number of public transportations
is 798 units, mostly constituted by Oplet around 737 units.
This study aims to explore the cause of high number of motorcycles ownership in
urban fringe of Pekanbaru. Is the high number of motorcycles caused by demographic
factors alone, or because lack of public transpotation, or are there other factors that
support it?
B. Research Problem and MethodologyThe main problem of research is the high number of motorcycles in Pekanbaru, especially
in urban fringe. The high number of motorcycles became one of the contributors of
congestion, accident, and pollution in Pekanbaru, and the community is a direct victim of
021 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
these short-term impacts. Although public transportations available in urban fringe, but
they are unable to suppress the growing rate of motorcycles. The long-term impacts people
will experience are high fuel prices as a result of government subsidy reduction policies,
as well as social exclusion. The community’s dependence on motorcycles is a matter of
concern to the local government to reduce its adverse impacts. Research on factors causing
high number of motorcycles in urban fringe of Pekanbaru has not been done so much, thus
relevant studies need to conduct to contribute academically.
Data collection for research was conducted during fieldwork carried out from
February 3 to 26, 2017. The objective is to collect primary and secondary data. Primary data
were obtained through household questionnaires. Data of questionnaire include: number of
motorcycle and demographic data of family. Sample collected amounted to 78 households,
with details: 26 samples in Payung Sekaki sub-district, 27 samples in Tampan sub-district, 25
samples in Marpoyan Damai sub-district.
Collection of secondary data are administrative maps, regulations and publications
published by local government, and public transportation data in Pekanbaru. Another
important supporting thing was quick appraisal of urban fringe conditions, this was
conducted by exploring several areas, observing and using public transportation within the
area, the goal is to experience directly the real condition.
To analyze the high number of motorcycle ownership in urban fringe, i group the
analysis into 3 parts: household data is analyzed statistically using statistical software,
household access to public transportation is analyzed spatially using GIS help, and impact
of local regulation toward public transportation is analyzed using before and after method.
The analyses are explained in detail as below:
C. Data Analysis and Results
1. Household Demographic Factors Contributing to Motorcycle Usage
This part presents result of household questionnaire analysis using partial least
square. There are 8 independent variables set as causative factors to motorcycle
ownership in household as the dependent variable. The independent variables are:
Area of Activity, Combination of Jobs, Family Income, House Ownership, Number
of Family Member, Number of Schooling Children, Number of Workers, and Way
of Buying Motorcycle. The final product of this analysis is model of motorcycle
ownership in household scale which also shows influential factors. To know how
good the built model is, the model should be tested by explaining R2 and Q2 values.
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI022
The R2 value of number of motorcycle is 0.368 or 36,8%, means that 8 independent
variables explain 36.8% of the variance in number of motorcycle, meanwhile the rest
63.2% is contributed by other variables which are not used in this model. For Q2, the
value is 0,9109, the value shows that observed value had been reconstructed well
because Q2 value range is between 0 and 2 in path analysis, it shows that the model
has relevance predictive.
To know the effect of one independent variable toward dependent variable,
the number of motorcycle, the model uses significant test or path diagram. The
weight of different path coefficients enables us to rank their relative statistical
importance. Results of path diagram are marked with coefficient (plus or minus).
Path diagram or significant test produces 4 positive variables and 4 negative
variables. The positive influential variables are: way of buying motorcycle, number
of family member, family income, and area of activity, while the negative variables
are: number of worker, number of schooling children, house ownership, and
combination of jobs. The negative variable in this analysis does not mean the
independent variable reduces number of motorcycle in household, rather, in PLS
analysis, it indirectly influences number of motorcycle through positive variable
which known as indirect effect. Based on path diagram, the model for motorcycle
ownership in household is shown as below:
Y1 = 0.221 X1 – 0.031 X2 – 0.113 X3 + 0.263 X4 – 0.102 X5 + 0.304 X6 – 0.011 X7 + 0.173 X8, where Y1 is number of motorcycle in household.
a. Affordability of Household or Better Family Income
Family income is the most significant factor (T value = 2,654; coefficient
= 0,304) of affecting motorcycle ownership in urban fringe. The higher
the income of households, the more they have motorcycle in their house.
When income gets higher, household is entitled by their capital to buy and
own motorcycle. Aggravated with poor transportation service in urban
fringe, household choice on motorcycle for fulfilling their transportation
needs with affordable price and maintenance is high and inevitable.
b. More Inside Urban Fringe Motorcycled-Activities
Areas of activity positively influences motorcycle ownership in urban fringe
household, but not significant (T value = 1,305; coefficient = 0,173). Areas
of activity is defined as areas traveled by household in doing their daily
chores, in this study, it is limited going to workplace, market, and school or
education place only. Areas of activity is categorized into: inside sub-district,
outside, city center, and outside of city (Pekanbaru). Since statistical data
023 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
of motorcycle usage by household shows that their motorcycled-activities
are mostly inside sub-district, then, this is one of the reasons of why high
number of motorcycle ownership is in urban fringe.
c. Household Coping Strategy in Adding Number of Motorcycle
Number of motorcycles in a household is also determined by how or the
way they bought it. Influence of way of buying motorcycle toward number
of motorcycle is positive but not significant (T value = 1,708, coefficient
= 0,221). In general, the way of household bought motorcycle can be
categorized into 4 (four) groups: by cash 29.5%, by credit 53.8%, by cash and
credit 14.1%, and others (family gift or as asset) 2.6%. The high number of
household which bought motorcycle by credit showing that credit is as one
of coping strategies by household in fulfilling their transport needs whilst
still able to cover their daily needs expenditure
d. Motorcycle Needs as the Size of Number of Family Member
Influence of number of family member toward number of motorcycle in
household is positive but not significant (T value = 1,892; coefficient =
0,263). When family members increase, the possibility of increasing the
number of motorcycle is high eventhough not linear with the increase
of family members. The presence of family member in urban fringe is
described with different structure of number of worker and or schooling
children in household.
e. Other Household Factor Contributing to Motorcycle Ownership Model
This part discusses other household variables which possibly contribute
to the performance of model of number of motorcycle in household and
add the lack of the model in explaining the household causative factors.
The discussed variables related to household activities and urban fringe,
as explained followed: First, distance of residence from workplace.
Distance of residence from workplace is considered influences motorcycle
ownership by urban fringe resident. Second, trips made in the day. Due to
the advantages of motorcycle which gives benefit for multi-stop trips and
complex-trip journeys, the number of trips made per day by motorcyclist
is important. Third, low density area of residence. People are more likely
to choose low-density areas for their residence when they choose riding
motorcycles for daily activities. Fourth, number of car in household.
Study by Prabnasak and Taylor (2009) proposes that if income is greater, a
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI024
household is likely to own more cars, and then the number of motorcycles
in that household is likely to decrease.
2. Un-accomodating Public Transportation Services toward Settlement Pattern
There are 3 (three) kinds of public transportation services in Pekanbaru: Oplet (mini
bus which can load 9 passengers), City Bus (small bus which can load 20 passengers),
and Transmetro Pekanbaru or TMP (hereinafter TMP, which can load 40 passengers.
Lack of number of service routes depicts that not so many routes available
from 832 units of available public transportations, which means there is still limited
or lack of choices provided by public transports. Number of public transports and its
routes in urban fringe are also limited. Oplet routes mostly found in the city center
and immediate sub-districts, while in the urban fringe area very limited routes are
found (1 – 2 routes only). City bus route show that this kind of public transports
only service Kota, Marpoyan Damai, Tampan, Payung Sekaki, Rumbai and Rumbai
Pesisir sub-district, while Tenayan Raya sub-district does not have access to city bus
service at all. TMP route show that the serviced area only covers Kota, Senapelan,
Payung Sekaki, Tampan, Marpoyan Damai, Bukit Raya, and Tenayan Raya, mostly
areas located in the middle and sounthern part of Pekanbaru, while the northern
part like Rumbai, and Rumbai Pesisir sub-district do not have access to TMP at all.
Many immediate areas to city center – Kota, such as Lima Puluh, Sail, and Sukajadi
sub-district have limited access to TMP service.
Household access to public transportation is also limited in urban fringe
due to previous data, the low access area is then known as TDA or Transport
Disadvantaged Area. Rosier (2011) defines TDA as area with no or lack of access to
public transport.
TDA uses IPT index (public transportation index) to identify area with low
access to public transportation. Based on TDA analysis using GIS software helps,
city center and immediate sub-districts have high IPT value (high and very high),
while urban fringe areas / sub-districts have low IPT value (low and very low).
Among urban fringe areas, Marpoyan Damai sub-district has medium IPT value
compare to others, this explains that Marpoyan Damai is more develop in term of
public transportation in urban fringe area, hence Marpoyan Damai is not considered
as TDA in this terms, while other sub-districts with low and very low IPT index is
categorized as transport disadvantaged areas (TDAs).
025 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Transportation disadvantaged occurs in the area where there is lack of or no
access to public transportations, hence leads to motorcycle ownership, this is also
compounded by number of population in the area. Based on trade-off of IPT value
with number of population in each sub-district, the most areas likely to occur the
high number of motorcycle ownership are, discerningly, in Tampan, and Tenayan
Raya sub-district, then followed by Payung Sekaki, and Bukit Raya sub-district, and
last by Rumbai and Rumbai Pesisir sub-district. In those areas, it is presumed to
affect motorcycle ownership and usage. There are 688,382 (not include Marpoyan
Damai, BPS 2015) people living with limited access to public transportations, these
area are classified as TDA. In this study, for the case, three sub-districts are choose
as samples: Payung Sekaki, Tampan, and Marpoyan Damai. Two sample represents
as TDA, Tampan and Payung Sekaki sub-district, while Marpoyan Damai sub-district
is considered more develop in term of public transportation.
3. Local Policy Limiting Public TransportationIn 2001 Government of Pekanbaru issued Local Regulation Number 15 Year 2001
which aims to regulate traffic and road transportation. The implementation of local
regulation number 15 Year 2001 is still in force to date. In practice, operation of
some vehicles which could not meet minimum requirements has to be discontinued,
making number of Oplet and City bus keep decreasing because of unroadworthy
condition. Eventhough route permit for passenger vehicle is regulated, but in fact,
as published by BPS and Transportation Agency of Pekanbaru Municipality, there
were no additional vehicles made for substitution of the replaced / unroadworthy
vehicles. This fact can be seen from number of Oplet and City bus over years for the
last 15 year since the local regulation was implemented.
In 2009 Pekanbaru Government officially introduced Transmetro Pekanbaru
in purpose for better public transportation in Pekanbaru. When TMP was being
introduced, the implementation of local regulation number 15 Year 2001 was more
strict, leads to decreasing number of Oplet and City bus.
At the same time, from 2000 to 2010, when people needs on public
transportations got higher, but in other sides number of public transport was
keep decreasing, the gap occurs, the gap what we call as transportation demand
gap. Reaction of this condition is people try to find another way of fulfilling their
transportation needs, and one of available choice is motorcycle. As impact, number
of motorcycle increased 145.74% or 194,772 units from 2000 to 2010. In 2009,
when TMP was introduced but the number could not cover the people transport
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI026
needs while number of Oplet and City Bus keep decreasing, number of motorcycle
increased again for 215.14% or 706,553 units from 2010 to 2015. Impact of local
regulation to motorcycle ownership is clear, it has indirect effect to increasing
number of motorcycle statistically.
The ratio of motorcycle toward population also increased greatly. From 2001
to 2010 the ratio increased from 0.224 to 0.366 or 63.68%, from 2010 to 2015 it
increased again from 0.366 to 0.997 or 172.53%. The ratio in 2015 was 0.997, almost 1.
This depicts that almost every person in Pekanbaru has motorcycle. The high number
of motorcycle hence effect to road problems in Pekanbaru, such as congestion,
pollution and accident. Therefore, the impact of Local Regulation Number 15 Year
2001 not only effect to decreasing number of public transport, but also to high
number of motorcycle and to congestion, pollution, and accident problems.
D. ConclusionThe model still lacks in explaining the cause of motorcycle ownership in household scale,
a more comprehensive study on household motorcycle ownership is required. Perhaps,
accounting some other variables, e.g trips made by household, built environment
surrounding household, and land use change in sub-district, may enhance the motorcycle
ownership model performance. The spatial analysis of household access to public
transport shows that urban fringe still lack of public transport service. It is predicted that
in the future most of motorcycle ownership increase will occur in the urban fringe area
with big population, such as Tampan, Tenayan Raya, Payung Sekaki, and Bukit Raya due
to the lack of household access to public transportations. The local regulation number 15
Year 2001, indirectly, affect to the cause of motorcycle ownership. The presence of TMP
is considered fail or does not contribute to shifting of public behavior activity from using
private vehicle to public transport as its initial purpose when introduced.
E. RecommendationsThis study suggests local government to conduct short-term actions for public
transportation improvement as follows: a). Financing. Increase subsidy for TransMetro
Pekanbaru (TMP) operational cost will increase number of TMP operating bus, and; 2).
Service. Re-manage TMP service area will also effect to reduce number of motorcycle,
especially in urban fringe.
04ANALISIS LOKASI TRANSIT-ORIENTED DEVELOPMENT POTENSIAL UNTUK PENENTUAN RUTE UTAMA ANGKUTAN UMUM MASSAL DI KOTA PANGKALAN BUN
► Nama : Tira Puspitasari
► Unit Organisasi : Bappeda Pemkab Kotawaringin Barat
► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Diponegoro
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI028
ABSTRAKBerdasarkan 6 prinsip TOD, diketahui kondisi wilayah perkotaan Pangkalan Bun saat ini
belum siap menerapkan TOD, dengan masalah utama ketersediaan layanan transportasi
umum. Perlu dilakukan pembenahan agar Pangkalan Bun layak menerapkan TOD.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penentuan lokasi potensial TOD sebagai dasar
penentuan rute utama angkutan umum massal di wilayah perkotaan Pangkalan Bun.
Prioritas lokasi dinilai berdasarkan prinsip TOD, yang diolah dengan metode analytical
hierarchy process (AHP). Rumusan prioritas lokasi divalidasi kepada narasumber untuk
mendapatkan feedback. Pembenahan dimulai dari kriteria distance, diikuti diversity,
demand management, design, destination, dan density. Fokus utamanya menyediakan
pilihan transportasi umum, yang berakar dari masalah layanan transportasi publik,
meliputi cakupan, jadwal dan rute. Bundaran Pancasila menempati ranking tertinggi
lokasi potensial TOD dengan nilai 0,306, diikuti Antasari (0,184), Pasanah (0,175), Udan
Said (0,169) dan Sutan Syahrir (0,166). Bundaran Pancasila dianggap paling menarik
untuk dikembangkan karena mampu mengakomodasi kebutuhan beraktivitas orang yang
datang ke lokasi tersebut. Jaringan rute utama berupa 2 loop rute dan 1 rute terbuka
yang melintasi seluruh ruas jalan utama di Pangkalan Bun. Rute ini menghubungkan 3
lokasi pusat perdagangan/jasa, kantong permukiman dengan kawasan pendidikan, serta
memberikan akses menuju terminal Natai Suka.
► Kata Kunci: TOD, Prioritas Prinsip, Prioritas Pembenahan Kondisi, Prioritas Lokasi,
Rute Utama Angkutan Umum Massal
029 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTBased on 6 TOD principles, Pangkalan Bun urban area is unproper to implement TOD
yet, with main problem of public transportation service availabilities uneven service
coverage and routes and schedules uncertainty. To proper in apply TOD, it needs to
be mend based on TOD principlespriority.This research conducted to determine of
potential TOD location as basis for determining main mass public transportation route
in Pangkalan Bun, assessed by analytical hierarchy process (AHP).Location priority was
validated to resources person for feedback. Improving the condition of Pangkalan Bun
started from mending distance criteria, followed by diversity, demand management,
design, destination and density. Main focus is provide public transportation services.
Bundaran Pancasila occuppy main priority of TOD site, followed by Antasari, Pasanah,
Udan Said and Sutan Syahrir. Bundaran Pancasila considered able to accommodate the
needs of community activities coming to this site. The main route network consists of
two loops route and 1 open route that crosses all the main roads in Pangkalan Bun. This
route connects 3 locations of trade/service centers, residential with educational areas,
and provides access to the Natai Suka bus station.
► Keywords: TOD, Principle Priority, Priority for Improvement of Condition, Location
Priority, Main Route of Mass Public Transport
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI030
ANALISIS LOKASI TRANSIT-ORIENTED DEVELOPMENT POTENSIAL UNTUK
PENENTUAN RUTE UTAMA ANGKUTAN UMUM MASSAL DI KOTA PANGKALAN BUN
A. Latar BelakangWilayah perkotaan Pangkalan Bun telah menunjukkan kecenderungan sprawl, di mana
pusat aktivitas tumbuh acak dan mengarah ke pinggiran (Blackwell, 1999 and Mosammam,
2016). Hal ini menyebabkan pola guna lahan perkotaan tidak efisien (Milan and Creutzig,
2016), akibatnya pergerakan untuk mengakses pusat aktivitas menjadi tidak efisien
(Cervero and Day, 2008; Litman, 2010; Wunas, 2011; Miro, 2012; Ewing, 2015). Kondisi
ini mendorong terbentuknya travel behaviour ketergantungan terhadap penggunaan
kendaraan pribadi yang sangat tinggi (Cervero and Day, 2008; Litman, 2010; Wunas, 2011;
Mu and de Jong, 2012; de Vos et al, 2014).
Pendekatan smart growth adalah salah satu pendekatan yang populer untuk
membenahi kondisi ini, melalui integrasi sistem transportasi dan guna lahan dalam konsep
transit-oriented development (TOD) (TOD in the US, 2004; TOD: Developing a Strategy to
Measure Success, 2005; Wunas, 2011; Mu and de Jong, 2012). TOD dinilai tidak hanya tepat
diterapkan di kota besar, melainkan juga pada wilayah perkotaan dan suburban. Sebagai
wilayah perkotaan yang berkembang pesat, Pangkalan Bun sudah selayaknya mengadopsi
konsep smart growth dalam praktik perencanaan dan pembangunannya, sebagai antisipasi
munculnya permasalahan perkotaan yang lebih kompleks. Untuk itu perlu diketahui
apakah kondisi Pangkalan Bun telah layak/siap mengadopsi TOD? Penelitian ini dilakukan
di wilayah Perkotaan Pangkalan Bun, untuk mengetahui prioritas lokasi TOD potensial
sebagai dasar penentuan rute utama angkutan umum massal.
B. Metode PenelitianPenelitian ini dilakukan dengan menilai prioritas prinsip TOD, meliputi destination, diversity,
distance, design, density dan demand management serta alternatif lokasi TOD potensial
melalui kuisioner, yang selanjutnya diolah dengan metode analytic hierarchy process (AHP)
untuk mendapatkan rumusan prioritas prinsip TOD dan prioritas lokasi potensial TOD.
Rumusan tersebut kemudian divalidasi kepada narasumber dengan teknik wawancara,
031 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
untuk mendapatkan feedback dan masukan. Selanjutnya hasil validasi tersebut digunakan
untu menentukan alternatif rute utama angkutan.
C. Pembahasan
1. Identifikasi Karakteristik Wilayah Perkotaan Pangkalan Bun
Berdasarkan identifikasi lapangan, dapat disajikan karakteristik wilayah perkotaan
Pangkalan Bun sebagai berikut
a. Jaringan jalan dibangun dengan kecenderungan pola grid, baik di pusat kota
maupun di pinggiran perkotaan.
b. Guna lahan di pusat kota didominasi oleh fungsi perdagangan/jasa dan
permukiman, didukung pendidikan, sedangkan guna lahan di pinggiran
perkotaan didominasi fungsi permukiman. Secara umum variasi campuran
guna lahan lebih tinggi pada pusat kota dibandingkan pinggiran kota.
c. Wilayah perkotaan Pangkalan Bun memiliki kontur yang cukup bervariasi.
Secara fisik, kondisi ini cukup memberatkan bagi masyarakat untuk
berpindah mengakses satu lokasi ke lokasi aktivitas yang lain dengan
berjalan kaki, jika tidak didukung desain yang nyaman.
d. Tersedia layanan transportasi umum dengan cakupan layanan yang
terbatas, yakni rute Jalan Antasari-Pasar Tembaga Mas, Pasar Indra Sari-
Terminal Natai Suka dan Pasar Indra Sari-Bamban. Layanan transit tidak
memiliki kepastian mengenai frekuensi layanan, kecepatan perjalanan serta
ketepatan dan kepastian jadwal kedatangan dan keberangkatan moda
transit (waktu tunggu).
e. Kepadatan bangunan yang paling tinggi berada di Kelurahan Raja, sebagian
Kelurahan Baru dan Mendawai yang dekat dengan pusat kota, Kelurahan
Mendawai Seberang dan Raja Seberang. Kelurahan Sidorejo memiliki
kepadatan sedang, sementara kepadatan paling rendah adalah di Kelurahan
Madurejo.
f. Berdasarkan data demografi, kepadatan penduduk tertinggi berada di pusat
kota, sementara kelurahan di pinggiran perkotaan memiliki kepadatan lebih
rendah.
g. Fasilitas perkotaan tersebar kurang merata. Kelurahan Madurejo memiliki
fasilitas terlengkap, yakni terdapat universitas, mal dan rumah sakit daerah.
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI032
h. Terdapat titik transit berupa halte yang pemanfaatannya kurang maksimal.
i. Berdasarkan sebaran fasilitas dan guna lahan mengarahkan terbentuknya
simpul-simpul pergerakan di wilayah perkotaan Pangkalan Bun, meliputi:
area sekitar Udan Said, area sekitar Jalan Antasari, area sekitar Bundaran
Pancasila, area sekitar permukiman di Kelurahan Madurejo, area sekitar
permukiman di Kelurahan Baru, area sekitar Jalan Sutan Syahrir dan area
sekitar Jalan Pasanah.
2. Identifikasi Lokasi Potensial TOD Berdasarkan Prasyarat TOD
Dalam penelitian ini, ketujuh lokasi pusat aktivitas di atas ditawarkan kepada
responden kemudian responden memberikan masukan lokasi lain yang potensial
menurut perspektif responden. Dari hasil wawancara, didapat tambahan 8 (delapan)
alternatif lokasi, yakni Karang Anyar ke Kumpai Batu Bawah, Bhayangkara ke
Pertigaan Pinang Merah (Pasir Panjang), Bundaran Tudung Saji, Bundaran Pangkalan
Lima, Bundaran Pramuka, sekitar Sport Center, Batu Belaman dan Sungai Sintuk,
sehingga total terdapat 15 alternatif lokasi potensial TOD. Selanjutnya, identifikasi
potensial TOD dilakukan dengan menyaring karakteristik wilayah Perkotaan
Pangkalan Bun menggunakan 6 kriteria prasyarat TOD (Mu and de Jong, 2012).
Setelah disesuaikan dengan kondisi lokal, hanya 4 kriteria yang akan digunakan,
meliputi: a) Desain perkotaan, seperti tersedianya ruang publik, walkable zone
dan desain yang memenuhi unsur estetika; b) Penggunaan lahan (mixed use); c)
Pengaturan parkir; d) Layanan transit perkotaan. Lokasi yang memenuhi minimal 3
kriteria, dianggap berpotensi untuk dikembangkan dengan konsep TOD.
Berdasarkan hasil penyaringan kriteria prasyarat pengembangan TOD,
diperoleh 5 (lima) alternatif lokasi potensial pengembangan TOD di wilayah
perkotaan Pangkalan Bun meliputi: 1) Area sekitar Jalan Udan Said, 2) Area sekitar
Jalan Antasari, 3) Area sekitar Jalan Pasanah/Bundaran Gentong, 4) Area sekitar
Jalan Sutan Syahrir, dan 5) Area sekitar Bundaran Pancasila.
3. Analisis Lokasi Potensial TOD sebagai Dasar Penentuan Rute Utama Angkutan Umum Massal di Wilayah Perkotaan Pangkalan Bun
a. Analisis Kondisi Wilayah Perkotaan Pangkalan Bun Berdasarkan Prinsip TOD
033 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Berdasarkan hasil kuisioner, diketahui urutan/ranking terhadap prinsip
TOD yaitu Distance (0,278), Diversity (0,209), Demand Management (0,174),
Design (0,148), Destination (0,104), Density (0,087). Urutan tersebut dapat
didefinisikan bahwa untuk menjadikan wilayah Perkotaan Pangkalan Bun
layak/siap mengadopsi konsep TOD, perlu dilakukan pembenahan kondisi
wilayah perkotaan dengan prioritas sebagai berikut:
• Distance: Fokus utama dalam aspek ini adalah aksesibilitas suatulokasi
berdasarkan ketersediaan layanan angkutan umum, yakni apakah suatu
lokasi dapat dijangkau dengan angkutan umum perkotaan atau tidak.
• Diversity: Fokus utama adalah mendorong pengunaan lahan campuran,
sebab menurut responden, guna lahan campuran akan membuat suatu
lokasi lebih menarik karena dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan
perjalanan.
• Demand Management: Fokus utama dalam kriteria ini adalah mendorong
kesediaan untuk menggunakan kendaraan umum.
• Design: Fokus utama pada aspek ini adalah integrasi pembangunan fisik
dengan layanan transportasi umum dan urban realm.
• Destination: Prioritas pertama adalah menyediakan layanan transit
terlebih dahulu, setelah itu baru dilakukan peningkatan demand
terhadap transit.
• Density: Aspek ini menjadi prioritas terakhir, karena secara eksisting,
wilayah perkotaan Pangkalan Bun masih dinilai relatif longgar, sehingga
aspek kepadatan menjadi aspek yang akan dipikirkan paling akhir.
Dari hasil validasi yang dilakukan kepada para responden, disimpulkan sebagian
besar responden menilai rumusan prioritas di atas sudah sesuai dengan kebutuhan
pembangunan wilayah perkotaan Pangkalan Bun, berdasarkan kondisi eksisting dan
kecenderungan perkembangan perkotaan.
b. Penilaian Prioritas Lokasi Potensial TOD Berdasarkan Prinsip TOD
Dalam 6 kriteria yang dinilai, Kawasan Bundaran Pancasila dan sekitarnya
secara konsisten menempati prioritas pertama di seluruh kriteria, sementara
empat (4) lokasi lainnya menempati prioritas di bawahnya secara acak. Hal ini
menunjukkan bahwa Bundaran Pancasila dipandang sebagai lokasi yang paling
menarik untuk dikembangkan, telah menunjukkan karakteristik yang mendekati
kondisi smart growth, sebagaimana yang dinilai pada masing-masing kriteria,
meliputi guna lahan yang menunjukkan fungsi campuran (diversity dan density);
dukungan public realm yang dengan desain cukup baik seperti pedestrian dan
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI034
ketersediaan public space (design); jaringan jalan yang cukup lebar dan nyaman
dilalui dan dapat diakses dari berbagai arah serta kepadatan lalu lintas yang
masih terkendali (distance); sehingga menjadikan kawasan ini mendukung
untuk tujuan aktivitas yang beragam (destination), meskipun belum terlayani
oleh rute transportasi umum (demand management). Orang yang datang ke
Bundaran Pancasila tidak perlu lagi melakukan pergerakan ke lokasi lain karena
semua aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya dapat diakomodasi pada satu
lokasi tersebut.
Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dirangkum pada matriks dan
diagram di atas, dapat diketahui urutan prioritas lokasi potensial TOD sebagai
berikut:
• Bundaran Pancasila (0,306)
• Jalan Antasari (0,184)
• Jalan Pasanah (Bundaran Gentong) (0,175)
• Jalan Udan Said (0,169)
• Jalan Sutan Syahrir (0,166)
Hasil validasi kepada para responden terhadap prioritas lokasi potensial
TOD ini, seluruh responden menyatakan sepakat dengan rumusan prioritas
alternatif lokasi pengembangan TOD, di mana Bundaran Pancasila menempati
prioritas utama.
c. Penentuan Rute Utama Angkutan Umum Massal di Wilayah Perkotaan
Pangkalan Bun Berdasarkan Lokasi Potensial TOD
Rumusan alternatif rute angkutan umum di wilayah perkotaan Pangkalan
• Rute yang menghubungkan seluruh lokasi potensial TOD, melalui ruas
jalan sebagai berikut: Jalan Pemuda (Bundaran Pancasila)-Jalan Iskandar-
Jalan Sutan Syahrir-Jalan Hasanudin-Jalan Antasari-Jalan Udan Said-
Jalan Pakunegara-Jalan Diponegoro-Jalan Kawitan I-Jalan Pasanah-Jalan
Malijo-Jalan Pemuda.
• Rute yang menghubungkan seluruh lokasi potensial TOD dan terminal
Natai Suka, melalui ruas jalan sebagai berikut: Jalan Pemuda (Bundaran
Pancasila)-Jalan Iskandar-Jalan Sutan Syahrir-Jalan Hasanudin-Jalan
Antasari-Jalan Udan Said)– Jalan Sukma Arianingrat–Jalan Matnor–Jalan
Natai Arahan-Jalan Pasanah-Jalan Malijo-Jalan Pemuda.
• Rute yang menghubungkan pusat perdagangan: dimulai dari Antasari,
menuju ke Udan Said, berakhir di Bundaran Pancasila, melalui ruas jalan
035 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
sebagai berikut: Jalan Antasari-Jalan Udan Said-Jalan Pakunegara-Jalan
Diponegoro-Jalan Iskandar-Jalan Pemuda (Bundaran Pancasila).
• Rute menuju kawasan pendidikan di Jalan Pasanah, dimulai dari Antasari,
melalui ruas jalan berikut: Jalan Antasari-Jalan Hasanudin–Jalan Sutan
Syahrir– Jalan Iskandar-Jalan Diponegoro–Jalan Kawitan I-Jalan Pasanah.
• Rute menuju kawasan pendidikan di Jalan Pasanah, dimulai dari
Bundaran Pancasila, melalui ruas jalan berikut: Jalan Pemuda (Bundaran
Pancasila)–Jalan Iskandar–Jalan Sutan Syahrir–Jalan Diponegoro–Jalan
Kawitan I–Jalan Pasanah.
Jaringan rute di atas terdiri dari 2 loop rute dan 1 rute terbuka,
menghubungkan 3 lokasi pusat perdagangan dan jasa (Bundaran pancasila,
Pasar Indra Sari/Udan Said dan Pasar Saik-Indra Kencana/Antasari),
memberikan akses dari kantong-kantong permukiman menuju kawasan
pendidikan, menghubungkan lima lokasi potensial TOD, serta memberikan
akses menuju Terminal Natai Suka. Berdasarkan pemetaan rute di atas,
diketahui terdapat 8 titik pertemuan rute, yang terletak pada lima titik
potensial TOD, 1 terminal serta 2 perpotongan jalan.Titik-titik pertemuan
rute tersebut selanjutnya dapat ditetapkan sebagai titik perpindahan moda
transit, dilengkapi dengan fasilitas pendukung berupa halte dan ruang
tunggu.
D. KesimpulanWilayah perkotaan Pangkalan Bun secara umum menunjukkan kondisi degraded city,
ditandai dengan kecenderungan perkembangan kota yang mengarah ke pinggiran dan
pusat aktivitas yang tumbuh secara acak, menyebabkan pola guna lahan yang tidak
efisien. Diperparah dengan buruknya layanan transportasi umum, menjadikan masyarakat
sangat tergantung pada kendaraan pribadi untuk mengakses pusat-pusat aktivitas.
Dari hasil analisis 6 prinsip TOD terhadap kondisi wilayah perkotaan Pangkalan Bun,
diketahui bahwa kondisi wilayah perkotaan Pangkalan Bun saat ini belum mendukung
untuk diterapkannya konsep TOD. Untuk menuju kondisi siap atau memenuhi syarat
guna mengadopsi konsep TOD, perlu dilakukan pembenahan terhadap kondisi eksisting
wilayah perkotaan Pangkalan Bun. Urutan prioritas dalam membenahi kondisi wilayah
Perkotaan Pangkalan Bun dimulai dari pembenahan kriteria distance, diikuti diversity,
demand management, design, destination, dan terakhir density.
Hasil penilaian terhadap prioritas lokasi potensial TOD dengan menggunakan 6
prinsip TOD, menunjukkan kawasan Bundaran Pancasila memperoleh bobot tertinggi,
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI036
yang menunjukkan lokasi ini yang paling menarik untuk beraktivitas karena dinilai mampu
mengakomodasi berbagai kebutuhan beraktivitas orang yang datang ke lokasi tersebut.
Kawasan ini meraih nilai tertinggi di semua aspek karena menunjukkan karakteristik
yang mendekati kondisi smart growth. Masing-masing lokasi potensial TOD memiliki
fungsi yang berbeda dan cenderung mengarah pada spesialisasi fungsi kawasan.
Kondisi ini berpeluang untuk menciptakan kawasan TOD terspesialisasi, dengan tetap
memperhatikan pengembangan aktivitas campuran yang mendukung fungsi utama
kawasan.
Jaringan rute utama angkutan umum dirumuskan melintasi seluruh ruas jalan utama
di wilayah perkotaan Pangkalan Bun. Rute ini menghubungkan guna lahan yang berbeda,
yang diharapkan dapat membentuk pergerakan yang efisien. Lebih jauh, rute utama ini
diharapkan dapat memfasilitasi pengumpulan permintaan pergerakan di sekitar lokasi
potensial TOD, sehingga ke depan diharapkan tercipta pergerakan yang semakin efektif.
Pembenahan wilayah Perkotaan Pangkalan Bun menjadi lokasi yang siap mengadopsi
TOD, dapat dilakukan dengan strategi redevelopment site. Sementara, tipe koridor yang
tepat apabila kelak wilayah perkotaan Pangkalan Bun telah siap mengadopsi konsep
TOD, dapat diarahkan pada tipe district circulator. Tipe ini menghubungkan antartitik
TOD, agar setiap titik dapat berkembang secara paralel. Penelitian ini memberikan
kontribusi terhadap penerapan konsep TOD, dengan memberikan gambaran perbedaan
antara proses penerapan TOD pada kota besar/metropolis di negara maju dan pada kota
kecil/wilayah perkotaan di negara berkembang. Pada kota besar/metropolis di negara
maju, jalur angkutan umum dalam TOD diciptakan untuk mengumpulkan permintaan
pergerakan di sekitar titik transit, sehingga tercipta pergerakan yang efektif dan efisien.
Sementara pada kota kecil/wilayah perkotaan di negara berkembang, penerapan TOD
dilakukan dengan sebaliknya, di mana lokasi titik TOD ditetapkan terlebih dulu, baru
kemudian dirancang jalur angkutan umum massal.
05KAJIAN KESESUAIAN WILAYAH PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN DI KABUPATEN WONOGIRI
► Nama : Ari Anggono
► Unit Organisasi : Bappeda Pemkab Kotawaringin Barat
► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Diponegoro
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI038
ABSTRAKKabupaten Wonogiri merupakan salah satu kabupaten sebagai sentra peternakan di
Provinsi Jawa Tengah, dengan populasi ternak di Kabupaten Wonogiri terbesar kedua se-
Provinsi Jawa Tengah hingga tahun 2014. Diperkirakan subsektor peternakan di Kabupaten
Wonogiri akan berkembang dengan pesat di masa depan, sehingga membutuhkan alokasi
ruang sebagai kawasan peternakan yang baru untuk mendukung perkembangan subsektor
tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya ketersediaan ruang yang sesuai bagi kawasan
peternakan di Kabupaten Wonogiri semakin berkurang seiring dengan bertambahnya
kebutuhan masyarakat terhadap lahan sebagai kawasan budi daya nonpertanian sehingga
menggeser lokasi pemeliharaan ternak oleh masyarakat ke beberapa wilayah yang kurang
sesuai untuk pengembangan peternakan. Melihat situasi tersebut di atas maka penting
untuk dilakukan kajian terhadap kesesuaian wilayah sebagai kawasan peternakan di
Kabupaten Wonogiri dan strategi pengembangan kawasan tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kesesuaian wilayah bagi pengembangan
kawasan peternakan guna memberikan suatu rekomendasi arahan pengelolaan dan
strategi perwilayahan bagi pengembangan kawasan peternakan dan penataan ruang
kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri dengan menggunakan analisis kesesuaian
ekologis lahan untuk ternak, analisis kesesuaian ekologis lahan untuk tanaman pakan
ternak, analisis potensi pakan dan kapasitas tampung ternak, analisis kepadatan ternak,
analisis sarana prasarana pendukung kawasan peternakan, analisis komoditas ternak basis,
serta analisis kesesuaian tata ruang wilayah dan kesesuaian wilayah sebagai kawasan
peternakan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriptif kuantitatif dan
pendekatan Sistem Informasi Geografi (SIG) menggunakan aplikasi ArcGis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat wilayah yang sangat sesuai (S1)
untuk pengembangan kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri. Kabupaten Wonogiri
masih memiliki potensi wilayah bagi pengembangan kawasan peternakan terdiri atas
wilayah primer pengembangan kawasan peternakan, yaitu wilayah yang cukup sesuai
(S2) seluas 40.774 Ha yang berada di wilayah beberapa kecamatan meliputi Kecamatan
Jatisrono, Puh Pelem, Bulukerto, Girimarto, Purwantoro, Wonogiri dan Ngadirojo, serta
wilayah sekunder pengembangan kawasan peternakan, yaitu wilayah yang mempunyai
kesesuaian marginal (S3) seluas 60.025 Ha yang berada di wilayah beberapa kecamatan
meliputi Kecamatan Baturetno, Batuwarno, Jatipurno, Jatiroto, Nguntoronadi, Selogiri,
Sidoharjo, Slogohimo, Manyaran, Tirtomoyo, dan Karang tengah.
Strategi untuk pengembangan kawasan peternakan yang dapat dilakukan oleh
pemerintah Kabupaten Wonogiri antara lain melalui penyediaan lahan untuk peternakan
sesuai agroekologis dan penataan ruang bagi kawasan peternakan, meningkatkan populasi
039 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
dan mutu bibit ternak serta perbaikan sistem pemeliharaan ternak, meningkatkan
kuantitas dan kualitas pakan ternak, menyusun regulasi tentang kawasan peternakan,
meningkatkan sarana prasarana wilayah pendukung peternakan dan pengolahan hasil
ternak, meningkatkan kualitas sumber daya peternak dan kapasitas kelembagaan
kelompok tani ternak, meningkatkan konsumsi masyarakat akan produk peternakan,
mendorong iklim investasi di bidang peternakan.
► Kata Kunci: Kesesuaian Wilayah, Penataan Ruang, Kawasan Peternakan, Sistem
Informasi Geografi (SIG)
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI040
ABSTRACTWonogiri Regency is one of regencies livestock centers in Central Java province, with the
second largest livestock population in Central Java province until 2014. It is estimated
that livestock sub-sector in Wonogiri will grow rapidly in the future, thus requiring the
allocation of space as a new area of farms to support the development of the sub-sector.
But in reality, the availability of appropriate space for livestock area in Wonogiri reduced
along with the increasing of public demand for land of non-agricultural cultivated areas,
thus resulting in a location’s shifting of the maintenance of livestock to areas which are
less suitable for livestock development. Based on the situation above, it is important
to do the study on the suitability of the area as an area of farms in Wonogiri and the
development strategy of the region.
The purpose of this research is to assess the suitability of the area for the
development of the livestock area to provide a recommendation of the direction of
the management and strategy of zoning for the development of the livestock area and
spatial planning of the livestock area in Wonogiri Regency. The analysis used were the
analysis of the suitability of ecological land for livestock, the analysis of the suitability of
ecological land for forage crops, the analysis of the potential and capacities of livestock
feed, the analysis of livestock density, the analysis of supporting infrastructure for
livestock area, the analysis of livestock commodities base, and the analysis of spatial
suitability and referrals of area suitability as a livestock area. This method of analysis used
are a descriptive quantitative approach and the Geographic Information System (GIS)
approach using ArcGIS applications.
The results showed that in Wonogiri Regency, there are no highly suitable area
(S1) for the development of the livestock area. Wonogiri still has the potential areas
for development of the livestock area consisting of primary area of development of
the livestock area that are fairly suitable (S2) covering an area of 40 774 hectares in the
several of districts area include : Jatisrono, Puh Pelem, Bulukerto, Girimarto, purwantoro
and Ngadirojo, as well as the secondary area of development of the livestock area that
has the suitability of marginal (S3) covering an area of 60 025 hectares in the several of
districts area include: Baturetno, Batuwarno, Jatipurno, Jatiroto, Nguntoronadi, Selogiri,
Sidoharjo, Slogohimo, Manyaran, Tirtomoyo and Karang Tengah.
The strategy for the development of the livestock area that can be done by the
government of Wonogiri Regency, including through the provision of livestock land
suitable with agro-ecological and spatial planning for the livestock area, increasing the
population and the quality of livestock breeds as well as the improvement of the system
of raising livestock, increasing the quantity and quality of forage, prepare regulations
041 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
on farms area, improve the infrastructure supporting livestock area and processing of
livestock products, improve the resources quality of stock farmers and institutional
capacity of stock farmer groups, increase the community’s consumption of dairy products,
encouraging investment in livestock.
► Keywords: Land Suitability, Spatial Planning, Livestock Area, Geographical
Information Systems (GIS)
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI042
KAJIAN KESESUAIAN WILAYAH PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN
DI KABUPATEN WONOGIRIA. Latar BelakangPenataan kawasan peternakan di masa sekarang harus mampu menjadi solusi bagi
permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh limbah dari peternakan itu sendiri
maupun dari limbah yang dihasilkan oleh sektor petanian lainnya sehingga integrasi
antara kawasan peternakan dengan kawasan pertanian baik tanaman pangan,
perkebunan dan hortikultura diharapkan mampu menjawab tantangan permasalahan
lingkungan. Selain itu dengan penataan ruang terhadap kawasan peternakan akan
mempermudah dalam menyusun perencanaan program pembangunan peternakan
dan perencanaan pembangunan fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh
pemerintah, mempermudah dalam implementasi kebijakan-kebijakan terkait sektor
pertanian, mendukung keberhasilan proses produksi dan pemasaran hasil ternak serta
penanggulangan wabah penyakit pada ternak berbasis spasial. Berdasarkan hal tersebut
maka fungsi penataan ruang bagi pengembangan kawasan peternakan sangat penting
untuk dilakukan baik pada skala nasional hingga tingkat provinsi maupun kabupaten/
kota di Indonesia.
Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki populasi beberapa
komoditas ternak yang banyak sebagai salah satu sentra peternakan di Indonesia.
Berdasarkan data stastistik peternakan yang dirilis oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan (2015), Provinsi Jawa Tengah memiliki populasi ruminansia antara lain ternak
kambing terbanyak pertama se-Indonesia dengan populasi 3.997.917 ekor, populasi ternak
sapi potong dan ternak domba terbanyak kedua se-Indonesia dengan populasi 1.628.093
ekor sapi potong dan 2.458.619 ekor ternak domba. Selain itu Provinsi Jawa Tengah juga
merupakan wilayah sebagai sumber komoditas beberapa jenis ternak unggas di Indonesia
seperti ayam buras dengan populasi 42.471.433 ekor (Ditjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan, 2015). Menurut penjelasan tersebut maka beberapa wilayah kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah merupakan sentra peternakan di provinsi tersebut.
Salah satu kabupaten sebagai sentra peternakan di Provinsi Jawa Tengah adalah
Kabupaten Wonogiri. Kabupaten yang berada di bagian tenggara Provinsi Jawa Tengah
dan memiliki kondisi geografi yang berbukit-bukit memiliki potensi untuk memelihara
beberapa komoditas jenis ternak. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya populasi
043 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
komoditas ternak di kabupaten tersebut dengan pesat. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (2015d), populasi komoditas ternak kambing tercatat hingga tahun 2014 tercatat
510.812 ekor yang merupakan jumlah populasi terbanyak di Provinsi Jawa Tengah. Selain
itu juga populasi komoditas ternak sapi sejumlah 157.037 ekor, merupakan terbesar kedua
se-Provinsi Jawa Tengah hingga tahun 2014.
Di sisi lain subsektor peternakan di Kabupaten Wonogiri juga berpengaruh terhadap
Pendapatan Domestik Regional Bruto di Kabupaten Wonogiri. Berdasarkan data dari
Badan Pusat statistik, konstribusi subsektor peternakan terhadap Pendapatan Domestik
Regional Bruto Kabupaten Wonogiri pada tahun 2011 hingga 2015 mengalami kenaikan
setiap tahunnya. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa subsektor peternakan
memberikan andil terhadap peningkatan pendapatan masyarakat Kabupaten Wonogiri
khususnya para peternak maupun pengusaha yang bergerak di bidang peternakan maupun
pengolahan hasil ternak sehingga diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.
Subsektor peternakan di Kabupaten Wonogiri diperkirakan akan berkembang
dengan pesat di masa depan, sehingga membutuhkan alokasi ruang sebagai kawasan
peternakan yang baru untuk mendukung perkembangan subsektor tersebut. Akan
tetapi pada kenyataannya ketersediaan ruang yang sesuai bagi kawasan peternakan
di Kabupaten Wonogiri semakin berkurang seiring dengan bertambahnya kebutuhan
masyarakat terhadap lahan sebagai kawasan budi daya nonpertanian sehingga menggeser
lokasi pemeliharaan ternak oleh masyarakat ke beberapa wilayah yang kurang sesuai
untuk pengembangan peternakan karena tidak mampu menyediakan kebutuhan pakan,
air minum, kondisi temperatur udara maupun sarana prasarana peternakan lainnya
yang mencukupi akibat tidak adanya informasi kepada masyarakat terhadap kesesuaian
wilayah bagi kawasan peternakan dan hal ini juga dapat menjadi penyebab timbulnya
permasalahan sosial maupun kerusakan lingkungan di masyarakat peternak yang dapat
menghambat perkembangan subsektor peternakan di Kabupaten Wonogiri.
Melihat situasi tersebut di atas, penting untuk dilakukan kajian terhadap kesesuaian
wilayah sebagai kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri dan strategi pengembangan
kawasan tersebut sehingga diharapkan dapat memberikan informasi dan arahan bagi
peternak maupun pemangku kebijakan dalam mengembangkan peternakan sehingga
tercipta kawasan peternakan yang memiliki daya dukung lahan yang mampu menjamin
keberlangsungan peternakan dan usaha pengolahan produk peternakan serta tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan. Keberadaan kawasan peternakan tersebut
diharapkan mampu menjamin kelangsungan budi daya ternak di Kabupaten Wonogiri
karena kawasan peternakan tersebut mampu menyediakan kebutuhan bibit ternak,
pakan dan sarana prasarana pendukung suatu kawasan peternakan di wilayah tersebut.
Selain itu kawasan peternakan tersebut memungkinkan dapat bersinergi dengan kawasan
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI044
pertanian yang ada di Kabupaten Wonogiri sehingga diharapkan terbentuk suatu
keterpaduan antara peternakan dengan pertanian atau dikenal dengan istilah sistem
pertanian terpadu (intergrated farming).
Aplikasi sistem pertanian terpadu ini dapat diterapkan secara lintas sektoral dan
ramah lingkungan melalui konsep Low External Inputs Sustainable Agriculture (LEISA).
Atas dasar hal tersebut maka tidak semua ternak menjadi sasaran dalam penelitian ini
tapi hanya beberapa ternak yang dapat menghasilkan produk yang Aman, Sehat, Utuh
dan Halal (ASUH) untuk dikonsumsi, menjadi komoditas ternak unggulan di Kabupaten
Wonogiri dan kotoran ternaknya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk lahan
pertanian, yaitu sapi potong, kambing, domba, serta unggas yang meliputi ayam dan itik,
sehingga kawasan peternakan tersebut ramah lingkungan tanpa limbah (zero waste).
B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisKabupaten Wonogiri merupakan kabupaten berada di bagian tenggara Provinsi Jawa Tengah
yang berbatasan langsung dengan dua provinsi lain di Pulau Jawa, yaitu Provinsi Jawa Timur
dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki kondisi geografi yang berbukit-bukit
memiliki potensi untuk memelihara beberapa komoditas jenis ternak yang cukup besar. Hal
ini ditandai dengan besarnya populasi beberapa jenis komoditas ternak yang dipelihara di
kabupaten tersebut sehingga usaha peternakan memberikan andil terhadap peningkatan
pendapatan masyarakat Kabupaten Wonogiri khususnya para peternak maupun pengusaha
yang bergerak di bidang peternakan maupun pengolahan hasil ternak sehingga diharapkan
bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.
Di sisi lain melihat besarnya populasi beberapa komoditas ternak diperkirakan bahwa
subsektor peternakan di Kabupaten Wonogiri akan berkembang dengan pesat di masa
depan, sehingga membutuhkan alokasi ruang sebagai kawasan peternakan yang baru untuk
mendukung perkembangan subsektor tersebut. Namun kenyataannya ketersediaan ruang
yang sesuai bagi kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri semakin berkurang seiring
dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap lahan sebagai kawasan budi daya
nonpertanian sehingga menggeser lokasi pemeliharaan ternak oleh masyarakat ke beberapa
wilayah yang kurang sesuai untuk pengembangan peternakan.
Hal ini sebagai akibat belum adanya informasi kepada masyarakat terhadap
kesesuaian wilayah bagi kawasan peternakan sekaligus strategi pengembangan kawasan
tersebut sehingga menjadi penyebab timbulnya permasalahan di masyarakat maupun
kerusakan lingkungan yang dapat menghambat perkembangan subsektor peternakan di
Kabupaten Wonogiri. Dengan demikian maka penting untuk melakukan kajian lebih lanjut
terhadap wilayah mana saja yang sesuai sebagai lokasi pengembangan kawasan peternakan
045 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
serta arahan pengelolaan dan strategi pengembangan kawasan peternakan yang menjadi
prioritas bagi pengembangan wilayah sebagai kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri.
Berdasarkan penjelasan di atas maka pertanyaan penelitian yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Wilayah-wilayah manakah di Kabupaten Wonogiri yang sesuai untuk
dikembangkan menjadi kawasan peternakan?
2. Apa saja arahan pengelolaan dan strategi pengembangan kawasan peternakan
yang diperlukan bagi wilayah untuk pengembangan kawasan peternakan di
Kabupaten Wonogiri sesuai dengan hasil kajian penelitian ini?
Penelitian ini menggunakan pendekatan positivistik. Menurut Hughes (2001 dalam
Mukherji & Albon, 2010), pendekatan positivistik merupakan pendekatan penelitian
yang mengunakan dasar hukum universal dan memandang bahwa segala sesuatu yang
terjadi di dunia dapat dijelaskan oleh pengetahuan tentang hukum-hukum yang universal.
Selanjutnya dijelaskan oleh Mukherji & Albon, (2010) pendekatan positivistik bergantung
pada pengumpulan data empiris; fakta atau informasi yang telah diperoleh melalui
observasi atau percobaan dengan menggunakan sistematis, pendekatan ilmiah untuk
penelitian. Di samping itu digunakan pula pendekatan sistem informasi geografi (SIG)
menggunakan software ArcGis untuk membantu dalam pengolahan dan penyajian hasil
penelitian.
C. Pembahasan
1. Arahan Pengelolaan dan Strategi Pengembangan Kawasan Peternakan
Arahan pengelolaan dan strategi pengembangan kawasan peternakan
dimaksudkan untuk membantu dalam penentukan usaha pengelolaan dan strategi
program kegiatan pembangunan subsektor peternakan terhadap lokasi yang
direkomendasikan untuk pengembangan kawasan peternakan yang sesuai dengan
kondisi ekologi ternak, lingkungan dan sarana prasarana pendukung sehingga
menjadi wilayah yang ideal bagi kawasan peternakan. Arahan ini didasarkan pada
kesesuaian wilayah yang diperoleh dari hasil analisis di atas berdasarkan hasil skoring,
pembobotan dan overlay dengan menggunakan software ArcGis yaitu wilayah yang
cukup sesuai (S2) sebagai wilayah primer pengembangan kawasan peternakan dan
wilayah yang sesuai marjinal (S3) sebagai wilayah sekunder untuk pengembangan
kawasan peternakan.
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI046
2. Arahan Pengelolaan Wilayah Primer Pengembangan Kawasan Peternakan
Berdasarkan hasil analisis, kecamatan yang termasuk dalam wilayah primer
pengembangan kawasan peternakan meliputi tujuh kecamatan, yaitu Jatisrono,
Puh Pelem, Bulukerto, Girimarto, Purwantoro, Wonogiri, Manyaran, dan Ngadirojo.
Wilayah ini pada umumnya sebagian besar memiliki agroekologis yang sesuai
(S2) bagi budi daya ternak dan tanaman hijauan makanan ternak. Sebagian besar
wilayah ini juga masih mempunyai potensi ketersediaan pakan ternak, kapasitas
tampung ternak, kepadatan ternak, dan sarana prasana pendukung yang cukup
sesuai bagi suatu kawasan peternakan. Wilayah ini menjadi prioritas pertama
untuk lokasi pengembangan kawasan peternakan. Sistem pemeliharaan yang dapat
diterapkan bagi pengelolaan ternak pada kawasan ini minimal dapat menerapkan
sistem pemeliharaan ternak semi intensif. Sistem pemeliharaan ternak semi intensif
merupakan sistem pemeliharaan ternak dengan cara digembalakan di lahan rumput
atau lahan pertanian secara terkendali (integrasi tanaman ternak) pada siang
hari dan dikandangkan pada malam hari (Syamsu, 2006). Beberapa kecamatan
yang mempunyai potensi ketersediaan pakan yang rendah, sumber pakan dapat
diusahakan melalui upaya peningkatan budi daya tanaman pakan ternak maupun
diperoleh dari wilayah di sekitarnya yang memiliki potensi sumber pakan ternak
yang lebih tinggi. Di samping itu wilayah ini masih memerlukan peningkatan sarana
prasarana dan fasilitas pendukung peternakan oleh pemerintah maupun pihak
swasta untuk meningkatkan produk hasil ternak seperti, peningkatan kualitas jalan,
peningkatan sarana prasarana pasar hewan dan tempat pelayanan kesehatan hewan,
dan peningkatan kemampuan sumber daya peternak dan peningkatan kelembagaan
kelompok tani ternak.
3. Arahan Pengelolaan Bagi Wilayah Sekunder Pengembangan Kawasan Peternakan
Berdasarkan hasil analisis, kecamatan yang termasuk dalam wilayah sekunder
pengembangan kawasan peternakan meliputi beberapa kecamatan, yaitu Baturetno,
Batuwarno, Jatipurno, Jatiroto, Nguntoronadi, Sidoharjo, Slogohimo, Tirtomoyo,
dan Karang Tengah. Wilayah ini pada umumnya memiliki kesesuaian agroekologis
marjinal (S3) dan hanya memiliki lokasi yang sesuai (S2) agroekologis tidak terlalu
luas. Adanya faktor pembatas ekologis lahan yang masih dapat ditoleransi bagi budi
daya ternak dan tanaman hijauan makanan ternak dengan melakukan perbaikan
tata laksana pemeliharaan ternak dan tanaman. Di samping itu beberapa lokasi
kecamatan di kawasan ini masih mempunyai potensi ketersediaan pakan ternak,
047 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
kapasitas tampung ternak, kepadatan ternak dan sarana prasana pendukung
yang masih sesuai bagi suatu kawasan peternakan. Wilayah ini menjadi kawasan
pendukung bagi wilayah primer pengembangan kawasan peternakan dan prioritas
kedua sebagai lokasi pengembangan peternakan. Sistem pemeliharaan yang
sesuai untuk diterapkan bagi tata laksana budi daya peternakan pada kawasan ini
adalah sistem pemeliharaan secara intensif. Sistem pemeliharaan intensif pada
ternak merupakan sistem pemeliharaan ternak dengan cara mengandangkan
ternak sepanjang hari pada kandang (Syamsu, 2006), sehingga sistem tata laksana
perkandanganya telah ditentukan bentuk, ukuran, dan prosedur pengelolaannya,
dengan mengatur pemberian pakan serta melakukan manajemen terhadap
kesehatan ternak oleh peternak. Sumber bahan pakan ternak dapat berasal dari
tanaman pakan ternak hasil pemotongan (defoliasi) tanaman hijaun pakan ternak,
dari pengolahan limbah pertanian (fermentasi) dan pemberian pakan konsentrat
hasil olahan industri pakan ternak. Beberapa kecamatan yang mempunyai potensi
ketersediaan pakan yang rendah, sumber pakan dapat di usahakan dari wilayah
di sekitarnya yang memiliki potensi sumber pakan ternak yang lebih tinggi. Di
samping itu pembangunan dan peningkatan kualitas sarana prasarana dan fasilitas
pendukung peternakan oleh pemerintah maupun pihak swasta wajib dilakukan di
wilayah ini untuk mengoptimalkan produktivitas ternak seperti, peningkatan kualitas
jalan, peningkatan sarana prasarana pasar hewan dan tempat pelayanan kesehatan
hewan, dan peningkatan kemampuan sumber daya peternak dan peningkatan
kelembagaan kelompok tani ternak. Kegiatan konservasi lahan dengan penanaman
vegetasi yang mampu memperkuat struktur tanah perlu dilakukan pada wilayah ini
dengan kondisi lahan dengan kemiringan >15% sehingga dapat mencegah erosi dan
menjaga ketersediaan air tanah serta menyediakan tempat penampungan air hujan
seperti embung untuk menampung air hujan yang diperlukan terutama bagi solusi
kemungkinan terjadi kekurangan air.
4. Strategi Pengembangan Kawasan Peternakan
Guna mewujudkan kawasan peternakan yang memiliki daya dukung wilayah yang
mampu menjamin keberlangsungan peternakan dan usaha pengolahan produk
peternakan serta tetap memperhatikan kelestarian lingkungan di Kabupaten
Wonogiri, maka kawasan peternakan tersebut diharapkan mampu menyediakan
kebutuhan bibit ternak, pakan dan sarana prasarana pendukung suatu kawasan
peternakan di wilayah tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan
strategi bagi wilayah yang menjadi sasaran pengembangan kawasan peternakan dan
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI048
yang mampu diaplikasikan pada kedua kawasan tersebut di atas. Adapun strategi
bagi pengembangan kawasan peternakan tersebut antara lain
a. Penyediaan lahan untuk peternakan sesuai agroekologis dan penataan ruang
bagi kawasan peternakan.
b. Meningkatkan populasi dan mutu bibit ternak serta perbaikan sistem
pemeliharaan ternak.
c. Peningkatan kuantitas dan kualitas pakan ternak.
d. Penyusunan regulasi tentang kawasan peternakan
e. Peningkatan sarana prasarana wilayah pendukung peternakan dan pengolahan
hasil ternak.
f. Peningkatkan kualitas sumber daya peternak
g. Meningkatkan konsumsi masyarakat akan produk peternakan.
h. Mendorong iklim investasi di bidang peternakan
D. KesimpulanBerdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut.
1. Wilayah di Kabupaten Wonogiri secara kesesuaian ekologis lahan sebagian
besar memiliki wilayah sesuai untuk budi daya ternak. Wilayah yang memiliki
kondisi agroekologis sesuai untuk hidup ternak dengan luas area 126.432 Ha,
dan wilayah yang tidak memiliki kesesuaian agroekologis untuk hidup ternak
seluas 55.804 Ha.
2. Seluruh wilayah di Kabupaten Wonogiri memiliki kesesuaian ekologis untuk
tanaman pakan ternak paling tidak sesuai untuk satu jenis tanaman pakan
ternak. Luas wilayah yang sesuai (S) untuk menanam tanaman pakan ternak
65.324 Ha, sedangkan luas wilayah yang sesuai bersyarat (SB) untuk menanam
tanaman pakan ternak 116.912 Ha yang tersebar di beberapa kecamatan yang
masih memungkinkan untuk diperbaiki, sehingga kawasan pengembangan
ternak di Kabupaten Wonogiri dapat diarahkan pada pengembangan kawasan
budi daya ternak terintegrasi dengan lahan pertanian seperti tanaman ubi kayu.
3. Potensi ketersediaan pakan ternak di Kabupaten Wonogiri diprediksi sebanyak
447.012 ton/tahun yang terdiri dari rumput 15.267 ton/tahun dan limbah
tanaman pertanian 431.745 ton/tahun dengan total pemanfaatan hijauan
049 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
makanan ternak hingga saat ini masih sebesar 241.170 ton/tahun sehingga
masih terdapat surplus 205.842 ton/tahun yang masih mungkin dimanfaatkan
sebagai pakan bagi ternak sejumlah 180.563 Satuan Ternak (ST) atau memiliki
indeks potensi kapasitas tampung ternak tinggi (1,85). Beberapa wilayah yang
memiliki potensi pakan yang tinggi, akan tetapi wilayah tersebut tidak sesuai
untuk budi daya ternak. Oleh karena itu, potensi pakan yang ada dapat untuk
mensuplai kekurangan kebutuhan pakan di wilayah sekitarnya yang sesuai
untuk memelihara ternak.
4. Sebaran populasi ternak di Kabupaten Wonogiri, baik ternak sapi, domba
kambing maupun unggas masih sangat jarang, rata-rata kepadatan ekonomi
ternak sapi dan unggas di wilayah Kabupaten Wonogiri tergolong sedang,
sedangkan rata-rata kepadatan ekonomi ternak kambing domba di wilayah
Kabupaten Wonogiri rata-rata hampir semua termasuk klasifikasi padat, rata-
rata kepadatan usaha tani bagi peternakan sapi dan unggas termasuk dalam
klasifikasi sedang yaitu 1,26 ST/Ha dan 24,88 ST/ha, sedangkan untuk kepadatan
usaha tani ternak kambing dan domba termasuk dalam klasifikasi padat yaitu
5,14 ST/Ha, sehingga ditinjau dari kepadatan ternak Kabupaten Wonogiri masih
sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan peternakan, baik skala
agroindustri maupun peternakan rakyat.
5. Ditinjau dari ketersediaan sarana prasaran pendukung peternakan ada
15 kecamatan yang memiliki sarana prasarana yang mendukung untuk
pengembangan kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri. Akan tetapi
ketersediaan sarana prasarana pendukung pembangunan peternakan di
beberapa wilayah yang secara agroekologis sesuai untuk pengembangbiakan
ternak seperti di Kecamatan Girimarto, Puh Pelem, Jatipurno, Tirtomoyo,
dan Karang Tengah. Kecamatan lainya ternyata masih belum terpenuhi, di
antaranya fasilitas puskeswan, toko obat hewan, rumah pemotongan hewan,
sarana prasarana pasar hewan, sehingga masih membutuhkan pembangunan
sarana prasarana tersebut.
6. Setiap kecamatan di Kabupaten Wonogiri memiliki komoditas ternak basis
tersediri. Ada kecamatan yang hanya merupakan wilayah penghasil satu jenis
komoditas ternak basis dan ada kecamatan yang mampu menjadi wilayah bagi
dua komoditas ternak basis. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa seluruh
wilayah di Kabupaten Wonogiri mampu menjadi basis komoditas ternak bagi
pengembangan kawasan peternakan.
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI050
7. Di Kabupaten Wonogiri tidak terdapat wilayah yang sangat sesuai (S1) untuk
pengembangan kawasan peternakan, akan tetapi Kabupaten Wonogiri masih
memiliki wilayah yang cukup sesuai (S2) untuk pengembangan kawasan
peternakan seluas 40.774 Ha dan sesuai marginal (S3) untuk pengembangan
kawasan peternakan seluas 60.025 Ha. Wilayah yang tidak sesuai (N) untuk
pengembangan kawasan peternakan seluas 81.437 Ha.
8. Arahan wilayah bagi kawasan pengembangan peternakan di Kabupaten
Wonogiri terdiri atas wilayah primer pengembangan ternak, yaitu wilayah
yang cukup sesuai (S2) antara lain Jatisrono, Puh Pelem, Bulukerto, Girimarto,
Purwantoro, Wonogiri, dan Ngadirojo sebagai wilayah prioritas pertama lokasi
pengembangan peternakan, serta wilayah sekunder pengembangan peternakan
yaitu wilayah yang mempunyai kesesuaian marginal (S3) antara lain Kecamatan
Baturetno, Batuwarno, Jatipurno, Jatiroto, Nguntoronadi, Selogiri, Sidoharjo,
Slogohimo, Manyaran, Tirtomoyo, dan Karang Tengah sebagai wilayah
prioritas kedua lokasi pengembangan peternakan sebagai wilayah pendukung
bagi wilayah primer pengembangan kawasan peternakan. Wilayah yang tidak
sesuai (N) diarahkan sebagai wilayah konservasi dan wilayah pengembangan
konsumen produk peternakan.
E. Saran KebijakanBeberapa rekomedasi yang dapat dilakukan dan diaplikasikan bagi pengembangan
peternakan antara lain:
1. Arahan pengelolaan bagi pengembangan kawasan peternakan di Kabupaten
Wonogiri yaitu pengembangan kawasan peternakan prioritas pertama dilakukan
pada wilayah primer pengembangan kawasan peternakan dan wilayah sekunder
pengembangan peternakan sebagai kawasan pendukung wilayah primer menjadi
prioritas kedua. Pengelolaan ternak pada wilayah primer pengembangan
kawasan peternakan minimal dapat dilakukan dengan menggunakan sistem
pemeliharaan ternak semi intensif yaitu sistem pemeliharaan ternak dengan
cara digembalakan di lahan rumput atau lahan pertanian secara terkendali
(integrasi tanaman ternak) pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari.
Pengelolaan ternak bagi wilayah sekunder pengembangan kawasan peternakan
adalah dengan menggunakan sistem pemeliharaan secara intensif yang
merupakan sistem pemeliharaan ternak dengan cara mengandangkan ternak
sepanjang hari pada kandang yang telah ditentukan bentuk, ukuran serta syarat
051 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
manajemen tata laksana perkandangannya, dengan mengatur pemberian pakan
serta melakukan manajemen terhadap kesehatan ternak oleh peternak.
2. Di samping itu, guna mengoptimalkan produktivitas wilayah bagi pengembangan
kawasan peternakan maka perlu dilakukan pembangunan dan peningkatan
jumlah maupun kualitas sarana prasarana dan fasilitas pendukung peternakan
oleh pemerintah maupun pihak swasta seperti peningkatan kualitas jalan,
peningkatan kualitas sarana prasarana pasar hewan dan tempat pelayanan
kesehatan hewan, dan peningkatan kemampuan sumber daya peternak dan
peningkatan jumlah dan kualitas kelembagaan kelompok tani ternak melalui
pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pendampingan.
3. Strategi pengembangan kawasan peternakan yang dapat dilakukan oleh
pemerintah Kabupaten Wonogiri antara lain melalui penyediaan lahan
untuk peternakan sesuai agroekologis dan penataan ruang bagi kawasan
peternakan, meningkatkan populasi dan mutu bibit ternak serta perbaikan
sistem pemeliharaan ternak, meningkatkan kuantitas dan kualitas pakan
ternak, menyusun regulasi tentang kawasan peternakan, meningkatkan
sarana prasarana wilayah pendukung peternakan dan pengolahan hasil ternak,
meningkatkan kualitas sumber daya peternak dan menguatkan kelembagaan
kelompok tani ternak, meningkatkan konsumsi masyarakat akan produk
peternakan, dan mendorong iklim investasi di bidang peternakan.
06KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WISATA MINA PADUKUHAN BOKESAN DI KAWASAN MINAPOLITAN NGEMPLAK KABUPATEN SLEMAN
► Nama : Amalia Azimah
► Unit Organisasi : Pemerintahan Kabupaten Sleman
► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Diponegoro
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI054
ABSTRAKPadukuhan Bokesan terletak di Kawasan Minapolitan Ngemplak Kabupaten Sleman
dikembangkan sebagai kawasan pengembangan wisata mina. Keberhasilan pengelolaan
wisata memerlukan kapasitas masyarakat dalam mengelola kegiatan wisata. Sementara
itu kondisi kapasitas masyarakat di Padukuhan Bokesan masih belum diketahui, sehingga
diperlukan kajian terkait kapasitas. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kapasitas
masyarakat dalam pengelolaan wisata mina Padukuhan Bokesan di Kawasan Minapolitan
Ngemplak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa munculnya kapasitas masyarakat dalam kegiatan wisata dipengaruhi
oleh motivasi ekonomi dan sosial. Hasil kajian menunjukkan bahwa kapasitas individu yang
mampu mendukung kegiatan wisata adalah kapasitas pelaku usaha kuliner, pemancingan,
kolam renang, dan pemandu. Kajian kapasitas organisasi menunjukkan bahwa kapasitas
organisasi P2MKP Mina Ngremboko lebih kuat dibandingkan dengan kapasitas organisasi
POKDARWIS Bokesan. Hal tersebut dipengaruhi oleh kepemimpinan dari organisasi.
Pada organisasi P2MKP Mina Ngremboko kepemimpinan ketua mampu mengarahkan
anggotanya dengan baik, sehingga anggota memiliki komitmen dan koordinasi yang baik
dalam pengelolaan wisata. Dalam organisasi POKDARWIS Bokesan, pemimpin belum
mampu mengarahkan bawahan dengan baik, sehingga komitmen dari anggota menjadi
lemah. Bentuk upaya peningkatan kapasitas masyarakat di Padukuhan Bokesan berupa
pelatihan, pendampingan, pengembangan sarana wisata, kerja sama, rekrutmen, serta
keikutsertaan dalam asosiasi maupun forum komunikasi.
► Kata Kunci: Wisata Mina, Kapasitas Individu, Kapasitas Organisasi, Kapasitas
Masyarakat
055 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTBokesan village is included in the minapolitan area which is set as a development area for
mina tourism. The success of tourism management needs the capacity of the community
to manage tourism activities. However, its capacity is still unknown, so there is a need to
study the capacity of the existing community. The research aims to assess the capacity
of the community in managing tourism at Bokesan district in the Minapolitan area of
Ngemplak region. The research method used was qualitative method.The results of the
study show that the emergence of community capacity in tourism activities is influenced
by economic and social motivation. The results of community capacity studies at the
individual level indicate that the capacity of individuals who are able to support tourism
activities in Bokesan district are the capacity of those in culinary, fishing spot, swimming
pools owner and tour guides. While the study of organizational capacity shows that the
capacity of P2MKP Mina Ngremboko organization is stronger than the capacity of Bokesan
POKDARWIS organization. It is influenced by the leadership factor of the chairman of
the organization. In the P2MKP Mina Ngremboko, the chairman’s’ leadership was able
to direct their subordinates to have good commitment and coordination in tourism
management. Whereas in the POKDARWIS Bokesan, the chairman have not been able
to direct the subordinates well, so that the commitment of members becomes weak.
The form of capacity building in Bokesan Village was carried out in the form of training,
assistance, tourism facilities development, cooperation, recruitment, and participation in
associations and communication forums.
► Keywords: Mina Tourism, Individual Capacity, Organization Capacity, Community
Capacity
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI056
KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WISATA MINA PADUKUHAN
BOKESAN DI KAWASAN MINAPOLITAN NGEMPLAK KABUPATEN SLEMAN
A. Latar BelakangMasyarakat di Padukuhan Bokesan telah melakukan kegiatan budi daya perikanan secara turun-temurun sejak tahun 1976. Keberlanjutan kegiatan budi daya di padukuhan Bokesan didukung oleh peran kelompok pembudi daya ikan Mino Ngremboko. Berbagai penghargaan telah diperoleh Padukuhan Bokesan dalam kegiatan budi daya baik dalam skala regional maupun nasional. Keberhasilan pengembangan kegiatan budi daya perikanan di Padukuhan Bokesan melalui kelompok pembudi daya ikan Mino Ngremboko mampu menjadi best practice sehingga hal tersebut memunculkan adanya kunjungan dari masyarakat lokal maupun masyarakat luar daerah baik yang berasal dari kelompok pembudi daya, institusi, akademisi dan masyarakat umum yang ingin belajar budi daya perikanan serta mempelajari bagaimana kegiatan budi daya sebagai mata pencaharian masyarakat di Padukuhan Bokesan dapat berkembang dengan baik.
Keberhasilan kegiatan budi daya perikanan yang mampu memunculkan adanya kunjungan, memberikan peluang bagi masyarakat lokal untuk menjadi pelaku usaha di bidang pariwisata. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Aref dan Gill (2009) yang mengungkapkan bahwa keberadaan kegiatan pariwisata perdesaan mampu membuka kesempatan kerja bagi masyarakat lokal dan dapat menjadi alternatif penghasilan sekunder bagi masyarakat. Pengunjung yang datang, baik perorangan maupun kelompok, tentunya membutuhkan fasilitas dan layanan dari masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan selama masa kunjungan. Hal tersebut membutuhkan kesiapan dari masyarakat lokal yang pada awalnya adalah petani ikan untuk mampu menjadi pelaku usaha dalam kegiatan pariwisata. Perubahan dinamika masyarakat yang awalnya hanya petani ikan kemudian bertambah aktivitasnya menjadi pelaku wisata membutuhkan adanya suatu pengembangan kapasitas. Pendekatan dalam model peningkatan kapasitas menurut Floridi, et al. (2009), Milèn (2001), dan Soeprapto (2006), memiliki tiga tingkatan, yaitu tingkat individu (perilaku, motivasi, keterampilan dan
057 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
pengetahuan), institusional atau organisasi (strategi kepemimpinan, pengelolaan sumber daya, kerja sama), maupun dalam suatu sistem sosial yang lebih luas (penciptaan kerangka kerja hukum dan kelembagaan). Kapasitas masyarakat memiliki dua kata kunci dalam pendefinisiannya, yaitu (1) kapasitas masyarakat merupakan kumpulan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh komunitas itu sendiri, (2) pengetahuan dan kemampuan yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan dan pilihan yang berasal dari dalam masyarakat (Moscardo, 2008). Sehingga kapasitas masyarakat merupakan prasyarat dalam pengembangan aktivitas lain dalam masyarakat. Peningkatan kapasitas masyarakat merupakan suatu proses yang ditujukan untuk memperkuat kapasitas individu dan organisasi dalam mengembangkan dan menjaga keberlanjutan sehingga mendukung semua aspek dalam kehidupan masyarakat (Koutra dan Edwards, 2012).
Kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan mulai dirintis sejak tahun 2005 dengan atraksi yang ditawarkan adalah edukasi perikanan bagi masyarakat atau kelompok pembudi daya, akademisi maupun instansi. Meskipun begitu, perkembangan wisata dalam kurun waktu lebih dari satu dekade, nyatanya masih belum menunjukkan kemajuan yang berarti, hal tersebut terlihat dari masih terbatasnya jumlah kunjungan di Padukuhan Bokesan di mana dari data statistik pengunjung pada tahun 2016 baru mencapai 2.250 orang (Dinas Pariwisata DIY, 2017). Berdasarkan kajian potensi pariwisata oleh Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2015, Padukuhan Bokesan masuk dalam kategori tumbuh dari tiga tingkatan kategori, yaitu tumbuh, berkembang, dan maju. Pada kategori tumbuh ditandai dengan indikator berupa pemanfaatan daya tarik potensi masih digunakan oleh masyarakat lokal dan sekitarnya, pengembangan fasilitas wisata masih terbatas, dan belum memiliki organisasi kepengurusan wisata. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa perkembangan kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan masih memerlukan dukungan dari semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat agar mampu berperan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Sleman melalui Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2015–2025 telah menetapkan pengembangan kawasan minapolitan sebagai kawasan daya tarik wisata, sehingga pengembangan kawasan minapolitan telah menjadi bagian dalam perencanaan. Sebagai upaya untuk mencapai pengembangan potensi wisata agar lebih terarah, berkelanjutan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat dengan menciptakan jumlah dan jenis pekerjaan seperti diungkapkan oleh Blakely dan Leigh (2010) maka perlu dilakukan kajian
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI058
kapasitas masyarakat untuk dijadikan pedoman dalam pengembangan potensi wisata yang ada di Padukuhan Bokesan. Yang terjadi sekarang adalah kapasitas masyarakat dalam pengelolaan potensi wisata di Padukuhan Bokesan masih belum diketahui, sehingga kajian kapasitas masyarakat menjadi penting untuk dilakukan. Kondisi kapasitas masyarakat dalam mengembangkan wisata dapat dijadikan pedoman untuk mengembangkan program peningkatan kapasitas yang diperlukan sehingga program pengembangan kapasitas bisa tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat berdasarkan kepada potensi dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat di Padukuhan Bokesan.
B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan latar belakang tersebut, rumusan permasalahan di atas maka dapat ditarik pertanyaan penelitian, yaitu: “Bagaimana kondisi kapasitas masyarakat terhadap upaya pengelolaan wisata mina Padukuhan Bokesan di Kawasan Minapolitan Ngemplak?”.
Penelitian terkait kapasitas masyarakat telah banyak dilakukan seperti penelitian mengenai identifikasi kapasitas komunitas lokal (Imran, 2012), pengorganisasian komunitas (Andini, 2013), strategi pengembangan kapasitas (Damayanti, Soeaidy, & Ribawanto, 2014), kapasitas kelembagaan (Prafitri dan Damayanti, 2016) serta kapasitas pengelolaan (Noho, 2014) di mana hasil penelitian tersebut mampu memberikan gambaran tentang kapasitas masyarakat terutama dalam pengembangan wisata. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kapasitas masyarakat merupakan salah satu kunci penting keberhasilan pengembangan desa wisata. Sementara pada saat ini, kondisi kapasitas masyarakat dalam pengembangan kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan masih belum diketahui sehingga diperlukan kajian terhadap kondisi kapasitas masyarakat terkait wisata yang ada di Padukuhan Bokesan. Selain itu, pendalaman terhadap upaya peningkatan kapasitas baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh masyarakat dalam mewujudkan desa wisata diperlukan untuk dapat memberikan gambaran kondisi kapasitas serta permasalahan kapasitas yang dihadapi dalam pengembangan kegiatan wisata. Hal tersebut yang kemudian melatarbelakangi peneliti untuk menggali lebih dalam terhadap kapasitas masyarakat yang ada di Padukuhan Bokesan dalam pengelolaan kegiatan wisata dengan kajian kapasitas masyarakat sebagai fokus penelitian.
Kajian kapasitas masyarakat dalam pengelolaan wisata mina Padukuhan
059 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Bokesan ini bertujuan untuk mengkaji kapasitas masyarakat dalam pengelolaan wisata mina Padukuhan Bokesan di Kawasan Minapolitan Ngemplak. Metode yang digunakan dalam melakukan kajian adalah metode deskriptif kualitatif, dengan proses pengambilan narasumber secara purposive, kemudian proses pengambilan subjek menggunakan snowball sampling.
C. Pembahasan
1. Identifikasi Karakteristik Wisata Mina
Identifikasi karakteristik wisata mina dilakukan untuk memberi gambaran karakteristik wisata mina yang ada di Padukuhan Bokesan. Kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan bermula dari keberhasilan kegiatan budi daya perikanan yang ada di Padukuhan Bokesan yang menjadi daya tarik wisata yang lebih mengarah kepada edukasi mina (ikan) dan rekreasi. Kegiatan wisata yang ada di Padukuhan Bokesan masuk dalam kategori Minatourism yang mengadopsi dari istilah Agritourism atau Agricultural Tourism. Agritourism menurut Lamb (2008) dan Ezung (2011) merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menarik wisatawan atau pengunjung ke daerah pertanian (kondisi di Padukuhan Bokesan adalah daerah perikanan) dengan tujuan pendidikan dan rekreasi. Hal tersebut terlihat dari atraksi yang ditawarkan di Padukuhan Bokesan yang lebih menitikberatkan ke arah edukasi yang kemudian berkembang ke arah rekreasi seperti outbound, kegiatan pemancingan dan kolam renang. Atraksi wisata yang ada di Padukuhan Bokesan adalah
1. Edukasi Mina (Ikan)
Padukuhan Bokesan memiliki daya tarik dan atraksi wisata yang lebih
menitikberatkan pada edukasi mina (ikan). Berdasarkan hasil wawancara dan
observasi lapangan terlihat bahwa atraksi yang berkembang di Padukuhan
Bokesan lebih mengarah pada edukasi dengan ikan sebagai tema utama.
2. Kolam Renang dan Pemancingan
Kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan mulai mengalami perkembangan dengan
munculnya partisipasi masyarakat untuk mengembangkan daya tarik wisata.
Daya tarik wisata yang dikembangkan masyarakat antara lain kolam renang dan
pemancingan. Usaha kolam renang dan pemancingan dikembangkan secara
individu dan mulai dibangun pada tahun 2017. Usaha tersebut dibangun oleh
masyarakat lokal dengan melihat peluang perkembangan kegiatan wisata di
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI060
Padukuhan Bokesan. Berdirinya kolam renang “Bona” dan pemancingan “Mbah
e Kaela” dapat menambah atraksi wisata yang ada di Padukuhan Bokesan.
3. Budaya Masyarakat
Masyarakat Padukuhan Bokesan merupakan masyarakat yang menggantungkan
kehidupan pada kegiatan budi daya perikanan. Keseharian masyarakat dalam
melakukan kegiatan budi daya perikanan menjadi salah satu atraksi yang
menarik untuk dijadikan salah satu daya tarik wisata. Mengikuti keseharian
masyarakat Padukuhan Bokesan dalam budi daya ikan, ataupun kegiatan
memanen ikan menjadi pengalaman yang menarik untuk wisatawan. Selain itu,
wisatawan juga dapat membeli benih ikan yang terdapat di pasar ikan yang ada
di Padukuhan Bokesan. Pemandangan berupa kolam-kolam ikan dengan latar
belakang Gunung Merapi menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang
datang di Padukuhan Bokesan. Area pemukiman masyarakat di Padukuhan
Bokesan memang dikelilingi oleh persawahan yang dijadikan sebagai tempat
budi daya ikan oleh masyarakat di Padukuhan Bokesan.
2. Proses Pembentukan Kapasitas dalam Pengelolaan Wisata
Kapasitas masyarakat di Padukuhan Bokesan pada awalnya didominasi oleh kapasitas
masyarakat sebagai pembudi daya ikan. Munculnya kapasitas masyarakat dalam
kegiatan wisata dimulai saat kegiatan budi daya di Padukuhan Bokesan berhasil
memperoleh penghargaan tingkat nasional pada tahun 2001 sebagai Juara I kegiatan
Intensifikasi Pembenihan Rakyat (INPERAK). Setelah memperoleh penghargaan
tingkat nasional tersebut, Padukuhan Bokesan menjadi percontohan bagi kelompok
pembudi daya, dinas atau instansi yang ingin belajar terkait kegiatan budi daya dan
manajemen kelompok. Adanya kunjungan tersebut kemudian memunculkan ide
untuk mengembangkan kegiatan kelompok tidak hanya fokus pada budi daya namun
mulai dikembangkan untuk kegiatan wisata, sehingga kemudian dikembangkan
konsep wisata mina sebagai konsep yang mampu memberikan ciri khas tersendiri
dari kegiatan wisata yang berkembang di Padukuhan Bokesan.
Tokoh yang melakukan inisiasi terhadap kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan
adalah Pak Saptono. Beliau mulai merintis kegiatan wisata berupa pelatihan budi
daya perikanan mulai tahun 2005. Hal tersebut didasari oleh keinginan untuk
berbagi ilmu terkait budi daya ikan serta keinginan untuk membantu program
pemerintah dalam bidang perikanan serta membantu masyarakat sehingga
mampu meningkatkan pendapatan dan membuka lapangan pekerjaan sehingga
berdampak pada peningkatan kesejahteraan. Pembentukan kapasitas wisata yang
061 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ada di Padukuhan Bokesan dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakat melalui
kegiatan pertemuan warga maupun kelompok
3. Kapasitas Individu dalam Pengelolaan Wisata Mina
Kapasitas individu masyarakat dalam pengelolaan wisata mina di Padukuhan
Bokesan merujuk pada kapasitas individu menurut Floridi, Corella, dan Verdecchia
(2009) adalah keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan yang dimiliki oleh
individu masyarakat dalam pengelolaan wisata mina. Kapasitas individu masyarakat
dalam pengelolaan wisata mina di Padukuhan Bokesan terdiri dari kemampuan
individu masyarakat dalam mengelola usaha wisata homestay, pemancingan, kolam
renang, jasa kuliner, dan jasa pemandu.
4. Kapasitas Organisasi dalam Pengelolaan Wisata Mina
Kapasitas organisasi mengacu pada Soeprapto (2006) dan Floridi et al. (2009) adalah
identitas dan struktur organisasi, efektivitas dan efisiensi managemen, jaringan
organisasi, kepemimpinan organisasi serta pengelolaan sumber daya (manusia,
alam, teknologi, budaya dan keuangan). Dalam penelitian ini, kapasitas organisasi
lebih ditekankan pada kemampuan organisasi pengelola wisata dalam melakukan
kepemimpinan organisasi, pengelolaan sumber daya manusia organisasi, dan kerja
sama, baik secara vertikal maupun horizontal.
a. P2MKP Mina Ngremboko
b. POKDARWIS Bokesan
5. Upaya Peningkatan Kapasitas dan Keberlanjutan Upaya Peningkatan Kapasitas
Upaya peningkatan kapasitas individu yang dilakukan oleh masyarakat di Padukuhan
Bokesan ada yang memberikan hasil yang baik sehingga usaha tersebut mampu
bertahan bahkan berkembang sehingga mampu mendukung kegiatan wisata mina di
Padukuhan Bokesan. Namun, ada juga yang belum memberikan hasil yang optimal
sesuai yang diharapkan dari program peningkatan kapasitas. Upaya peningkatan
kapasitas masyarakat yang mampu menunjang keberlanjutan usaha peningkatan
kapasitas yang dilakukan oleh usaha kuliner pengolahan hasil perikanan, kolam
renang, pemancingan dan jasa pemandu yang awalnya sudah memiliki embrio usaha.
a. Tingkatan Individu
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI062
Beberapa hal yang menjadi catatan dari upaya peningkatan kapasitas
individu terhadap keberlanjutan usaha wisata yang dilakukan masyarakat
Padukuhan Bokesan adalah
1. Program peningkatan kapasitas yang diberikan kepada usaha yang telah
memiliki embrio kegiatan lebih efektif dan mampu memberikan hasil yang
lebih optimal, intensitas kegiatan peningkatan kapasitas yang dilakukan
secara berkelanjutan memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan usaha
hal tersebut juga diungkapkan oleh Victurine (2000) dalam penelitian yang
dilakukan di Uganda di mana peningkatan kapasitas dengan mengupayakan
peningkatan keterampilan dan memperkuat kelembagaan dalam kegiatan
pariwisata terutama kepada masyarakat yang berada di sekitar lokasi
wisata, memiliki keterkaitan yang erat dengan keberlanjutan dari kegiatan
pariwisata itu sendiri.
2. Jumlah keterlibatan dalam kegiatan peningkatan kapasitas memberikan
pengaruh terhadap jumlah personel yang memiliki keterampilan/
kemampuan/pengetahuan meskipun terdapat sharing dari perwakilan
yang mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas namun terdapat
keterbatasan kemampuan dalam melakukan transfer knowledge. Muatan
peningkatan kapasitas yang sesuai dengan kebutuhan individu masyarakat
memberikan hasil yang lebih optimal karena kebutuhan terhadap program
peningkatan kapasitas berbeda-beda di setiap lokasi hal tersebut sejalan
dengan pendapat Wu dan Tsai (2016) yang mengungkapkan bahwa
program peningkatan kapasitas yang dilakukan harus disesuaikan dengan
kebutuhan para pelaku dan budaya masyarakat yang ada dalam sistem
tersebut.
3. Bentuk upaya peningkatan kapasitas yang beragam dan menyesuaikan
kebutuhan masyarakat memberikan hasil yang lebih optimal. Hal tersebut
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Blackwell dan Colemenar (2000),
bahwa peningkatan kapasitas masyarakat berfungsi dalam memperkuat
kapasitas individu dan organisasi dalam mengembangkan dan
mempertahankan kondisi yang mendukung dalam semua aspek kehidupan
yang terdapat dalam masyarakat.
b. Tingkatan Organisasi
Kapasitas pada tingkatan organisasi, faktor kepemimpinan memiliki
pengaruh yang besar terhadap kinerja organisasi. Hasil analisis sebelumnya
menunjukkan bahwa kapasitas organisasi P2MKP Mina Ngremboko lebih
063 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
kuat dibandingkan dengan kapasitas organisasi POKDARWIS Bokesan. Hal
tersebut dipengaruhi oleh kepemimpinan dari organisasi. Kepemimpinan
yang dilakukan oleh Pak Saptono telah mampu mengarahkan bawahannya
sehingga berpengaruh terhadap pengelolaan sumber daya manusia
dalam organisasi. Koordinasi yang dilakukan secara rutin dan terjadwal
juga mempermudah pemimpin untuk melakukan evaluasi terhadap
kinerja bawahannya. Selain itu kepemimpinan yang baik juga membuka
peluang kerja sama, baik kerja sama yang dilakukan dengan pelaku usaha
wisata, pemerintah maupun swasta. Meskipun kerja sama yang dibangun
masih terbatas dan perlu ditingkatkan. Hal sebaliknya yang terlihat
pada kepemimpinan POKDARWIS Bokesan, lemahnya kepemimpinan
memberikan pengaruh terhadap lemahnya koordinasi dan komitmen
dari anggota. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya manusia masih
belum dilakukan secara optimal, dapat berakibat pada pembagian kerja
dalam kepengurusan menjadi tumpang tindih. Selain itu masih lemahnya
kepemimpinan memberikan pengaruh terhadap masih terbatasnya
hubungan kerja sama organisasi dengan stakeholder terkait. Minimnya
kerja sama mempersempit peluang dalam pengembangan kegiatan wisata
yang hendaknya bisa dijadikan evaluasi bagi pengelola wisata khususnya
POKDARWIS Bokesan.
1. P2MKP Mina Ngremboko
Dalam meningkatkan kapasitas organisasi terutama dalam
pengelolaannya, P2MKP Mina Ngremboko mengikuti kegiatan
pelatihan dari BPSDM Kelautan Perikanan selain itu pengelola P2MKP
juga aktif didalam mengikuti Forum Komunikasi Perikanan Sleman.
Forum Komunikasi tersebut merupakan ajang untuk bertukar pikiran,
pengalaman, serta permasalahan yang berhubungan dengan kegiatan
budi daya perikanan maupun kendala dalam hal pengelolaan kegiatan
pelatihan. Pelaksanaan kegiatan Forkom Perikanan dilakukan setiap
3 bulan sekali dan penyelenggaraan forum tersebut mendapatkan
fasilitasi dari Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan
Kabupaten Sleman.
2. POKDARWIS Bokesan
Pengembangan kapasitas organisasi POKDARWIS Bokesan dilakukan
dengan mengikuti kegiatan pelatihan dan Forkom Desa Wisata
se-Kabupaten Sleman yang diselenggarakan setiap 3 bulan sekali
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI064
dengan fasilitasi dari Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman. Forkom
yang dilaksanakan tiap tiga bulan sekali bertujuan untuk saling tukar
informasi tentang perkembangan dan permasalahan di masing-masing
desa wisata, tempat belajar pengelolaan organisasi, pengelolaan wisata
sekaligus ajang silaturahmi antardesa wisata yang ada di Kabupaten
Sleman. Selain melalui forkom upaya peningkatan kapasitas organisasi
POKDARWIS Bokesan dilakukan dengan mengikuti pelatihan.
POKDARWIS Bokesan masih tergantung sepenuhnya kepada peran
pemerintah sebagai pihak yang melakukan kegiatan peningkatan
kapasitas organisasi
Beberapa catatan terhadap kapasitas organisasi dan keberlanjutan
organisasi adalah
a. Kepemimpinan memiliki pengaruh terhadap pengelolaan sumber
daya manusia dan kerja sama yang dibangun organisasi. Hal tersebut
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Langaas et al., (2013)
yang menyebutkan bahwa keberlanjutan suatu organisasi terletak
kepada kepemimpinan yang mampu mengatur dan mengelola sumber
daya yang dimiliki baik sumber daya manusia maupun keuangan serta
komitmen terhadap organisasi.
b. Koordinasi diperlukan untuk mempermudah evaluasi dari kinerja
organisasi, hal tersebut sejalan dengan pendapat Noho (2014)
yang menyebutkan bahwa permasalahan organisasi wisata di Desa
Bongo muncul akibat kurangnya kesadaran pengelola wisata dalam
melakukan koordinasi;
c. Keikutsertaan organisasi melalui forum komunikasi berpengaruh
terhadap peningkatan kapasitas organisasi.
D. KesimpulanPengembangan wisata di Padukuhan Bokesan memunculkan bentuk kapasitas baru
dalam masyarakat sebagai upaya untuk mendukung perkembangan kegiatan wisata.
Kapasitas masyarakat di Padukuhan Bokesan awalnya didominasi oleh keterampilan dan
kemampuan dalam melakukan budi daya ikan, namun seiring munculnya kegiatan wisata
mina, kapasitas masyarakat di Padukuhan Bokesan ikut mengalami perkembangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa munculnya kapasitas masyarakat dalam kegiatan wisata
didorong oleh dua faktor yaitu dorongan ekonomi dan sosial. Dorongan ekonomi berupa
keinginan untuk meningkatkan pendapatan dan memperoleh pekerjaan. Sedangkan
065 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
dorongan sosial berupa keinginan untuk membagi pengetahuan terkait keberhasilan
kegiatan budi daya kepada masyarakat yang membutuhkan serta mendukung upaya
pemerintah dalam program budi daya perikanan.
Kapasitas individu dalam pengelolaan kegiatan wisata berkembang menyesuaikan
usaha wisata yang muncul di Padukuhan Bokesan. Hasil kajian kapasitas masyarakat pada
tingkatan individu menunjukkan bahwa kapasitas individu yang mampu mendukung
kegiatan wisata yang ada di Padukuhan Bokesan adalah kapasitas pelaku jasa kuliner,
pemancingan, kolam renang dan pemandu. Sementara untuk kapasitas pengelola
homestay, kapasitas yang dimiliki masih terbatas sehingga belum mampu mendukung
kegiatan wisata yang ada di Padukuhan Bokesan.
Kapasitas organisasi yang memiliki pengaruh terhadap pengelolaan organisasi wisata
adalah kapasitas kepemimpinan. Pada organisasi P2MKP Mina Ngremboko kepemimpinan
ketua mampu menggerakkan anggota untuk merintis kegiatan wisata dan mengarahkan
bawahannya sehingga anggota memiliki komitmen dan koordinasi yang baik dalam
pengelolaan wisata sehingga mampu meningkatkan kerja sama dengan pemerintah.
Kerja sama dengan pelaku usaha juga terjalin meskipun belum secara keseluruhan dan
sudah memiliki kerja sama dengan swasta meskipun masih terbatas. Dalam organisasi
POKDARWIS Bokesan, pemimpin belum mampu mengarahkan bawahan dengan baik,
sehingga komitmen dari anggota menjadi lemah dan berakibat terjadinya tumpang tindih
pekerjaan dalam organisasi. Upaya peningkatan kapasitas individu dan organisasi yang
dilakukan dan diikuti oleh masyarakat yang ada di Padukuhan Bokesan dalam bentuk
pelatihan, pengembangan sarana wisata, kerja sama, rekrutmen, pendampingan berupa
peralatan dan penguatan modal serta keikutsertaan dalam asosiasi maupun forum
komunikasi.
Program peningkatan kapasitas yang mampu mendukung kegiatan wisata adalah
program peningkatan kapasitas yang tepat sasaran dan berkesinambungan karena
memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan usaha. Oleh karena itu,
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pelaku peningkatan kapasitas di Padukuhan
Bokesan adalah program peningkatan kapasitas wisata yang dilakukan sebaiknya yang
berhubungan dengan mina (ikan), selain itu beberapa kegiatan pelatihan masih diperlukan
seperti kegiatan pelatihan manajerial pengelolaan wisata, pengelolaan homestay, dan
pelatihan pemanduan. Fasilitasi kegiatan berupa pendampingan, pembinaan, monitoring
dan evaluasi terhadap program peningkatan kapasitas juga diperlukan sehingga
keberlanjutan program peningkatan kapasitas dapat terwujud. Adapun pengelola wisata
yang ada di Padukuhan Bokesan perlu mendorong masyarakat untuk dapat berperan
aktif dalam mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas yang diselenggarakan oleh pelaku
peningkatan kapasitas (pemerintah maupun swasta), selain itu anggota pengelola wisata
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI066
perlu meningkatkan komitmen dalam berorganisasi serta menjalin kerja sama yang baik
dengan pemerintah, swasta dan institusi pendidikan dalam penyelenggaraan peningkatan
kapasitas bagi masyarakat dalam pengelolaan wisata di Padukuhan Bokesan.
07KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN HARGA LAHAN DI SEKITAR KAWASAN BUKIT SEMARANG BARU
► Nama : Nadia Oktinova
► Unit Organisasi : Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional
► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Diponegoro
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI068
ABSTRAKAgama Hindu sebagai agama yang pertama kali masuk ke wilayah Bali mengubah ruang-
ruang adat di Bali menjadi ruang-ruang adat religious Hindu. Keberadaan komunitas
Muslim kawasan perkotaan Tabanan sejak jaman kerajaan Tabanan merubah ruang-
ruang adat religius Hindu menjadi ruang-ruang religius Muslim. Perkembangan pesat
komunitas Muslim di kawasan perkotaan Tabanan pada tahun 1970an berdampak pada
pemanfaatan bersama ruang-ruang religius. Kondisi ini terjadi melalui jalan damai hingga
pemerintah setempat meraih penghargaan atas kerukunan antar-umat beragama yang
terjalin. Dengan berlatarbelakang adanya akulturasi keruangan pada ruang-ruang religius
Muslim dan Hindu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses akulturasi
keruangan komunitas Muslim di perkotaan Hindu Bali Tabanan dan menemukan faktor-
faktor pendorong proses akulturasi keruangan tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yang dapat mengkaji proses
akulturasi keruangan secara naturalistik, holistik, dan fenomenologis. Penelitian ini
mengambil lokasi kasus komunitas Muslim Kampung Jawa dan Banjar Pasekan Belodan
yang merupakan komunitas Muslim yang cukup besar dan kuat di kawasan perkotaan
Tabanan. Ruang lingkup penelitian ini adalah pada proses akulturasi keruangan dan
faktor-faktor pendorong proses akulturasi keruangan dengan batasan waktu mulai
perkembangan pesat komunitas Muslim hingga penelitian ini berlangsung. Pengumpulan
data dilakukan melalui wawancara, observasi, pengumpulan data sekunder, dan focus
group discussion. Selanjutnya data tersebut dilakukan analisis proses akulturasi keruangan
dan analisis faktor pendorong proses akulturasi keruangan yang keduanya dimulai dari
analisis per ragam, kemudian analisis per unit kasus dan berakhir pada analisis untuk
lokasi penelitian dengan menggunakan analisis deret waktu dan analisis penjodohan pola.
Dari hasil analisis proses akulturasi keruangan ditemukan bahwa proses akulturasi melalui
tahapan pemahaman migran terhadap kondisi fisik lingkungan serta karakter dan aktivitas
pribumi yang terjadi setelah tahapan interaksi. Selain itu juga adanya tahapan pemahaman
pribumi terhadap aktivitas migran yang berlangsung setelah tahapan adaptasi. Penelitian ini
juga menemukan adanya kejelasan mengenai peningkatan kedalaman akulturasi yang terjadi
dalam hal pergeseran ruang akulturasi yang semakin mengarah ke ruang dengan tingkat
religiusitas yang lebih tinggi. Kejelasan perluasan akulturasi keruangan adalah dalam hal
ragam, ruang, dan pelaku akulturasi keruangan. Faktor pendorong proses akulturasi keruangan
berupa aturan adat Hindu dan ajaran Hindu tentang toleransi menjadi faktor unik yang tidak
ditemukan di tempat lain. Sementara itu, faktor politik di sini merupakan faktor eksternal yang
hanya diterima dampaknya oleh para pelaku akulturasi keruangan di wilayah penelitian.
069 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTHinduism as the first religion entered Bali formed traditional religious spaces. The
Muslim community existence in the Tabanan urban area since the days of the Tabanan
empire transformed it into Muslim religious spaces. The rapid development growth of
the Muslim community in the Tabanan urban area in 1970s had an impact on the shared
use of religious spaces. This condition occurred through peaceful means until the local
government won an award for the harmony between the religious communities that
were intertwined. With the background of spatial acculturation in Muslim and Hindu
religious spaces, this study aimed to describe the process of the spatial acculturation of
Muslim communities in Hindu Bali Tabanan’s urban area and to find the driving factors
for the spatial acculturation process.
This study used a case study approach that could study the spatial acculturation
process in a naturalistic, holistic, and phenomenological manner. This research took place
in the case of the Muslim community in Kampung Jawa and Banjar Pasekan Belodan
which was the large and strong Muslim community in the Tabanan urban area. This
research scope was on the process of spatial acculturation and the driving factors of
the spatial acculturation process with time limits starting from the rapid growth of the
Muslim community until this research takes place. Data collection was done through
interviews, observation, secondary data collection, and focus group discussions.
Furthermore, the data was analyzed by spatial acculturation process and by the drivers
of spatial acculturation processes, both of which began from analysis per variety, then
analyzed per unit case and ended in the analysis for the research location using time
series analysis and pattern match analysis.
The analysis results of spatial acculturation processes was found that the
acculturation process through the stages of migrant understanding of the physical
condition of the environment as well as the host character and activities that occur after
the interaction stage. In addition there are also stages of host understanding of migrant
activities that took place after the stages of adaptation. The study also found clarity
regarding the increase in the depth of acculturation that occurred in terms of shifting the
acculturation space which increasingly leads to space with a higher level of religiosity.
The clarity of the expansion of spatial acculturation was in terms of variety, space and
actors in spatial acculturation. The driving factor for spatial acculturation such as f Hindu
traditional rules and Hindu teachings about tolerance was a unique factor that is not
found elsewhere. Meanwhile, the political factors here was an external factors which was
the only accepted by the actors of spatial acculturation in research areas.
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI070
KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN HARGA LAHAN DI SEKITAR KAWASAN
BUKIT SEMARANG BARUA. Latar BelakangPeningkatan jumlah penduduk tanpa diiringi peningkatan ketersediaan lahan telah
memicu terjadinya urbanisasi yaitu perkembangan perkotaan ke arah pinggiran. Hal ini
terjadi karena peningkatan jumlah penduduk tersebut akan berdampak pada peningkatan
kebutuhan akan lahan untuk menampung berbagai aktivitas penduduk. Dengan
demikian proses ini akan memicu terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan non
terbangun menjadi lahan terbangun. Seperti diungkapkan oleh Gu et al (2016) bahwa
terjadinya perubahan penggunaan lahan dipengaruhi adanya pembangunan ekonomi
serta perubahan lingkungan dan sosial dimana terjadi peningkatan industrialisasi,
urbanisasi, pertumbuhan jumlah penduduk serta reformasi ekonomi. Pada kenyataannya
urbanisasi akan memengaruhi perubahan penggunaan lahan pada kawasan lainnya
melalui transformasi keterkaitan desa kota (Lambin et al, 2001).
Pembangunan kota baru di Semarang diawali dengan pembangunan Bukit Semarang
Baru (BSB) oleh PT. Karyadeka Alam Lestari (PT. KAL) di Kecamatan Mijen. Kawasan
ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai kota baru sebagai pendukung kehidupan
masyarakat Kota Semarang. Dengan pembangunan BSB diharapkan dapat memecah
konsentrasi penduduk yang hanya berada pada pusat Kota Semarang saja karena ke
depannya sekitarnya dapat berkembang menjadi kawasan perkotaan. Kawasan BSB ini
sebelumnya merupakan sebuah perkebunan karet yang sangat luas kemudian dijadikan
perumahan serta rencananya akan terus dikembangkan berbagai macam fasilitas seperti
perdagangan, industri, perkantoran, pendidikan dan sebagainya. Selain itu wilayah di
sekitar BSB dulunya merupakan kawasan pedesaan yang terhitung masih sepi dan jauh
dari pusat kota. Oleh karena itu BSB memberikan pengaruh yang besar baik bagi kawasan
sekitar dan Kota Semarang itu sendiri, salah satunya yaitu adanya perubahan penggunaan
lahan di sekitar kawasan tersebut yaitu dari kawasan non terbangun menjadi kawasan
terbangun.
Adanya perubahan penggunaan lahan tersebut telah memicu terjadinya
perkembangan perkotaan di kawasan BSB dan sekitarnya. Hal ini terlihat dari peningkatan
jumlah lahan terbangun setiap tahunnya. Dengan pengembangan kota baru BSB,
diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat Kota Semarang khususnya
071 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Selain itu juga pemerintah telah mendukung
pengembangan BSB dengan meningkatkan akses jalan dan transportasi dari dan menuju
BSB. Akibatnya sekitar kawasan BSB telah berkembang menjadi perkotaan yang ramai
dengan berbagai macam aktivitas penduduknya. Wilayah yang awalnya sepi telah berubah
menjadi kawasan yang diminati penduduk Kota Semarang.
Akibat dari perkembangan perkotaan tersebut telah berdampak terhadap
peningkatan harga lahan di sekitar kawasan BSB. Seperti diungkapkan oleh Sharif & Esa
(2014) bahwa adanya perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi penggunaan
lahan perkotaan di wilayah pinggiran kota akan memicu perubahan harga lahan yang
disebabkan karena adanya peningkatan fasilitas dan aksesibilitas di sekitar kawasan
tersebut (Sharif & Esa, 2014). Ketersediaan infrastruktur telah dapat memberikan potensi
keuntungan dalam hal ini adanya peningkatan harga lahan di suatu wilayah (Dowal et al,
1991). Pengembangan BSB menjadi kawasan perkotaan dengan konsep menggabungkan
kawasan hunian, perkantoran, industri, komersial dan rekreasi ini dapat menjadi daya
tarik masyarakat untuk bermukim baik di kawasan BSB maupun di kawasan sekitarnya.
Hal ini mengakibatkan meningkatnya pemintaan akan lahan di sekitar kawasan tersebut
sehingga dapat memicu peningkatan harga lahan. Wilayah yang terletak lebih dekat
dengan BSB menjadi lebih berkembang sehingga harga lahan di wilayah tersebut menjadi
lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang lokasinya lebih jauh.
Penelitian mengenai kajian perubahan penggunaan lahan dan harga lahan di sekitar
kawasan BSB ini didasarkan pada perubahan penggunaan lahan yang terjadi sebagai
akibat dari pengembangan BSB yang kemudian akan memengaruhi perkembangan
perkotaan di kawasan tersebut. Selanjutnya perkembangan perkotaan yang terjadi akan
dapat menimbulkan perubahan harga lahan ke depannya. Permasalahan yang terjadi dari
tahun ke tahun harga lahan akan semakin tinggi terlebih lagi dengan adanya spekulan-
spekulan menjadikan tingginya harga lahan ini akan semakin tidak dapat terbendung.
Terkait dengan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang
tahun 2011—2031 dengan menjadikan Kecamatan Mijen sebagai kawasan kantor pelayanan
publik, pemerintah membutuhkan lahan untuk mewujudkan rencana tersebut. Kenaikan
harga lahan yang terjadi dari tahun ke tahun ini menjadi kendala dalam program pengadaan
lahan untuk pelayanan publik. Apabila harga lahan semakin tidak terkendali, anggaran
dalam pembebasan lahan tersebut juga menjadi semakin tinggi sehingga akhirnya akan
menghambat terwujudnya recana tersebut. Selain itu juga tingginya harga lahan dapat
menghambat investor dalam membeli lahan sebagai perumahan. Hal ini menjadi bertolak
belakang dengan kebijakan lain dalam rencana pola ruang pada RTRW tahun 2011—2031
yang menjadikan Kecamatan Mijen sebagai kawasan peruntukan perumahan. Akibatnya
rencana tersebut juga dapat terhambat.
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI072
B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisTingginya harga lahan pada akhirnya juga akan memengaruhi rencana pengembangan kota
baru BSB di Kecamatan Mijen karena dengan harga lahan yang semakin tinggi ini membuat
investor menjadi enggan untuk berinvestasi disana. Akibatnya perkembangan BSB sendiri
cenderung lambat padahal telah berjalan selama dua puluh tahun tetapi baru beberapa
tahun terakhir berkembang. Selain itu, dengan harga lahan yang semakin tinggi ini telah
membuat masyarakat asli di sekitar BSB ini tidak mampu dalam membeli lahan di sana
sehingga keberadaannya menjadi tergeser oleh masyarakat dari luar yang lebih mampu
untuk membeli lahan. Terlebih lagi terkait dengan pembiayaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), dengan harga lahan yang semakin tinggi menjadikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
menjadi semakin tinggi juga. Oleh karena itu, masyarakat menjadi semakin terbebani harus
membayar PBB yang semakin tinggi dari tahun ke tahun.
Dengan demikian, penelitian ini penting dilakukan untuk dapat mengetahui seberapa
besar perubahan penggunaan lahan yang dapat memicu perkembangan perkotaan serta
seberapa besar kenaikan harga lahan yang terjadi di sekitar kawasan BSB. Oleh karena itu,
ke depannya penelitian ini dapat membantu dalam mengendalikan kenaikan harga lahan
yang terjadi serta membendung adanya spekulan-spekulan yang telah memengaruhi harga
pasar.
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini, yaitu data survei penggunaan
lahan di lokasi penelitian. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu: Citra
satelit Kota Semarang tahun 2013, 2015, dan 2017 yang diperoleh dari citra Digital Globe,
data dan peta penggunaan lahan tahun 2013, 2015 dan 2017, data Nilai Jual Objek Pajak
Tahun 2013, 2015 dan 2017 yang diperoleh dari Badan Pendapatan Daerah Kota Semarang,
peta administrasi dan peta RTRW Kota Semarang tahun 2011—2031, peta jaringan jalan
serta peta Kawasan Bukit Semarang Baru.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan
kuantitatif dengan pendekatan spasial. Hal ini didasarkan pada tulisan Creswell (2010)
bahwa penelitian kuantitatif dirancang dengan menguji suatu teori untuk menjawab
rumusan masalahnya. Dalam pelaksanaannya penelitian ini menggunakan pendekatan
spasial yang bertujuan untuk melakukan pengolahan data spasial gambaran kondisi wilayah
studi. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan dan
harga lahan di sekitar kawasan Bukit Semarang Baru secara time series pada tahun 2013—
2015 dan 2015-2017 dengan pendekatan spasial.
C. Pembahasan
073 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
1. Analisis Penggunaan Lahana. Analisis Perkembangan Perkotaan di Sekitar Kawasan Bukit Semarang Baru
Pada penelitian ini analisis perkembangan perkotaan di sekitar kawasan
BSB dilihat dari perkembangan penggunaan lahan terbangun yang terdiri
dari perdagangan dan jasa, industri dan permukiman dari tahun 2013, 2015
dan 2017. Dari luas wilayah penelitian sebesar 3.815,57 hektare, penggunaan
lahan terbangun di wilayah ini pada tahun 2013, 2015 dan 2017 masih kurang
dari 30% total luas wilayah. Hal ini terjadi karena sebelum dilaksanakan
pengembangan kawasan BSB, wilayah ini merupakan wilayah pinggiran Kota
Semarang yang masih berupa pedesaaan dengan didominasi penggunaan
lahan pertanian (perkebunan karet dan persawahan). Akan tetapi, setelah
dilaksanakan pengembangan kawasan BSB yang direncanakan untuk
dijadikan sebagai sebuah kota baru, penggunaan lahan terbangun di sekitar
kawasan BSB dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Peningkatan
luas lahan terbangun pada tahun 2013—2015 sebesar 61,3 hektare (6%)
dan tahun 2015—2017 sebesar 41,29 hektare (4%). Adanya peningkatan
luas lahan terbangun dari tahun 2013, 2015 sampai dengan tahun 2017 ini
mengindikasikan bahwa sekitar kawasan BSB mengalami perkembangan
perkotaan dari tahun 2013, 2015, dan 2017.
Pola perkembangan perkotaan di sekitar kawasan BSB itu sendiri
dapat dilihat dari arah perkembangan penggunaan lahan terbangunnya
yang didasarkan pada teori Zahnd (1999). Pada penelitian ini telah dianalisis
bahwa perkembangan perkotaan yang terjadi yaitu perkembangan
horizontal, luas lahan terbangun pada subpusat tetap tetapi wilayah di
sekitar kawasan tersebut mengalami peningkatan luas lahan terbangun
sehingga luas kawasan perkotaan menjadi bertambah. Dengan adanya
subpusat yang berada pada Central Business Distric dari BSB di mana
didominasi penggunaan lahan perdagangan dan jasa sebagai pusat kegiatan
perkotaan telah berpengaruh dalam peningkatan luas penggunaan lahan
terbangun di wilayah sekitarnya.
Berdasarkan teori perkembangan kota wilayah ini berkembang
secara konsentris seperti teori yang dikemukakan oleh Burgess (1925).
Perkembangan kota yang terjadi cenderung ke arah ke luar pada seluruh
bagiannya yang pola keruangannya membentuk lingkaran dengan intinya
(sub pusat) berada pada kawasan CBD BSB sebagai pusat kegiatan. Pada
perencanaan Pemerintah Kota Semarang sendiri menjadikan kawasan BSB
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI074
ini sebagai kota satelit untuk menampung arus urbanisasi yang cenderung
ke pusat kota Semarang. Dengan demikian seluruh wilayah di sekitar
kawasan BSB tersebut dapat ditingkatkan fungsinya dalam mendukung
terciptanya kota satelit tersebut.
Perembetan areal perkotaan pada wilayah ini cenderung berjalan
lambat yang terlihat dari peningkatan luas lahan terbangun dari tahun 2013,
2015, dan 2017 yang tidak terlalu besar. Peningkatan luas lahan terbangun
tersebut cenderung berada pada Kelurahan Pesantren dan Kedungpani
yang merupakan wilayah pengembangan dari BSB itu sendiri. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa dengan adanya BSB ini telah membawa pengaruh
dalam perkembangan perkotaan di sekitarnya
b. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Sekitar Kawasan Bukit Semarang
Baru
Analisis perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan BSB ini dilakukan
dengan membandingkan penggunaan lahan pada tahun 2013, 2015, tahun
2017.
Penggunaan lahan yang mengalami perubahan luas paling besar pada
tahun 2013 hingga tahun 2015 yaitu pertanian yang mengalami penurunan
sebesar 98,27 hektare, hal ini juga terjadi pada tahun 2015 hingga tahun 2017
yaitu mengalami penurunan sebesar 63,18 hektare. Akan tetapi penggunaan
lahan yang mengalami peningkatan luas yang paling besar, yaitu terjadi
pada penggunaan lahan permukiman dimana pada tahun 2013 hingga tahun
2015 meningkat 48,18 hektare dan tahun 2015 hingga tahun 2017 meningkat
34,07 hektare.
Dari tahun 2013, 2015 hingga 2017 di sekitar kawasan BSB telah
terjadi peningkatan luasan lahan danau/waduk sebesar 36,45 hektare.
Penggunaan lahan hutan tidak mengalami perubahan karena hutan yang
ada di wilayah ini merupakan hutan produksi tetap yang tidak boleh berubah
penggunaannya. Pada penggunaan lahan industri terjadi peningkatan
seiring dengan pembangunan kawasan industri Candi oleh Pemerintah Kota
Semarang. Lahan kosong di wilayah ini juga terus mengalami peningkatan
seluas 22,41 hektare karena banyak lahan-lahan yang belum dimanfaatkan
oleh pemiliknya.
Penggunaan lahan perdagangan dan jasa juga mengalami peningkatan
seluas 5,37 hektare. Selain itu juga lahan permukiman mengalami
peningkatan yang paling besar dibandingkan dengan penggunaan lahan
075 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
lainnya sebesar 82,25 hektare. Hal ini mengindikasikan telah terjadi
peningkatan kebutuhan akan lahan untuk berbagai macam aktivitas seperti
perindustrian, perdagangan dan jasa serta permukiman.
2. Analisis Harga Lahan
Berdasarkan data harga lahan yang telah dianalisis pada masing-masing koridor
terdapat perbedaan harga lahan pada masing-masing koridor jalan dan perumahan.
Pada tahun 2013, 2015 dan 2017 harga lahan tertinggi terjadi pada sepanjang koridor
JL. RM. Hadi Soebono. Jalan ini merupakan jalan utama yang menghubungkan
antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal yang melewati wilayah Mijen
sehingga harga lahan sepanjang jalan ini menjadi tinggi. Harga lahan yang tinggi
juga terdapat pada perumahan Grha Taman Bunga, Grha Taman Pelangi, Ivy Park,
Puri Arga Golf dan Beranda Bali yang mana merupakan milik pengembang dari BSB
dan letaknya yang dekat dengan jalan utama.
Semakin jauh dari jalan utama, harga lahan akan semakin menurun seperti
misalnya pada Kecamatan Jatibarang, koridor jalan yang dekat dengan jalan utama
harganya akan semakin tinggi, yaitu pada koridor Jl. Jatibarang dan Jl. Sidodadi Raya.
Akan tetapi pada koridor jalan yang lebih jauh dari jalan utama yaitu pada Jl. Dukuh
Kaligetas dan Jl. Raya Kaligetas harganya semakin rendah. Hal ini juga terjadi pada
koridor jalan di kecamatan-kecamatan lainnya. Kecamatan Purwosari yang posisinya
jauh dari jalan utama memiliki harga lahan yang paling rendah, yaitu berkisar antara
Rp27.000,00 hingga Rp103.000,00.
Semakin dekat dengan jalan utama tingkat aksesibilitas juga semakin
meningkat karena memudahkan masyarakat untuk beraktivitas sehingga masyarakat
cenderung untuk memilih bermukim dan beraktivitas lainnya pada wilayah yang
lebih dekat dengan jalan utama. Oleh karena itu, kebutuhan akan lahan pada
wilayah tersebut juga semakin meningkat pula yang kemudian dapat mendorong
tingginya harga lahan. Begitu pula sebaliknya, wilayah yang aksesnya jauh dari jalan
utama cenderung menjadi kurang menarik masyarakat sehingga harga lahan pada
wilayah tersebut menjadi lebih rendah.
3. Analisis Hubungan Penggunaan Lahan dan Harga Lahan
Penggunaan lahan dan harga lahan di sekitar kawasan BSB ini dianalisis
keterkaitannya dengan kawsan BSB yaitu jarak dari lokasi lahan dengan pusat BSB
yang diletakkan pada pusat kegiatan BSB yaitu Central Business Distric (CBD) atau
pusat perdagangan dan jasa BSB sesuai dengan masterplan dari BSB itu sendiri.
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI076
Berdasarkan pembagian jarak dari pusat BSB, wilayah ini dibagi menjadi 15 zona
yang masing-masing zona berjarak 500 meter. Pusat BSB berada pada Kelurahan
Pesantren dan Kedungpani, sedangkan wilayah terjauh dari subpusat berada di
Kelurahan Tambangan sejauh 7.500 meter.
Dengan mengacu pada teori sewa lahan, dalam penelitian ini dapat dianalisis
bahwa harga lahan pada sekitar kawasan BSB cenderung meningkat apabila semakin
dekat dengan kawasan BSB yang telah direncanakan sebagai pusat perdagangan
dan jasa. Pada pusat BSB didominasi oleh penggunaan lahan perdagangan dan jasa
karena kegiatan ini dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan kegiatan
lainnya. Oleh karena itu, permintaan lahan pada zona ini menjadi semakin besar
sehingga harga lahan cenderung semakin tinggi. Hal ini terlihat dari tidak adanya
lahan pertanian ataupun lahan non terbangun lainnya yang terletak pada pusat kota.
Penggunaan lahan industri yang terletak dekat dengan kawasan BSB juga
memiliki harga lahan yang paling tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lebih
jauh dari kawasan BSB karena industri yang dekat dengan subpusat tersebut
juga dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan penggunaan lahan
lainnya. Pada penelitian ini terdapat temuan dimana pada zona 11 dan 12 harga
lahan perdagangan dan jasa menjadi lebih tinggi lagi dibandingkan dengan zona
sebelumnya. Selain itu juga dari tahun 2013 hingga 2017 pada zona ini penggunaan
lahan tersebut juga mengalami kenaikan kembali. Padahal berdasarkan teori yang
ada seharusnya harga lahan dan luas penggunaan lahan pada zona 11 dan 12 menjadi
semakin berkurang karena lokasinya yang semakin jauh dari pusat BSB. Pada zona
11 terdapat perumahan Jatisari yang merupakan salah satu pengembangan dari BSB
dengan dilengkapi fasilitas perdagangan dan jasa dan pada zona 12 juga terdapat
pusat pemerintahan Kecamatan Mijen. Hal ini dapat memicu adanya peningkatan
luas penggunaan lahan perdagangan dan jasa serta dapat meningkatkan harga lahan
pada zona ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kawasan
BSB telah memengaruhi harga lahan di wilayah sekitarnya baik pada kawasan BSB
Mijen maupun pada kawasan BSB Jatisari.
D. KesimpulanBerdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dari tahun 2013 hingga tahun telah
terjadi perkembangan perkotaan di sekitar kawasan BSB ini. Seiring dengan pengembangan
BSB sebagai sebagai kota baru di Semarang telah berpengaruh pada perkembangan
perkotaan di sekitar kawasan tersebut yang terlihat dari peningkatan luasan penggunaan
lahan terbangun pada wilayah penelitian ini. Perkembangan perkotaan yang terjadi
077 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
memusat pada kawasan BSB kemudian menyebar ke seluruh bagian wilayah sekitarnya
sehingga dapat dikatakan bahwa tidak hanya kawasan BSB saja yang berkembang tetapi
wilayah sekitarnya juga turut mengalami perkembangan. Perembetan areal perkotaan
dari tahun 2013, 2015 hingga 2017 cenderung melambat yang terlihat dari peningkatan luas
lahan terbangun yang tidak terlalu besar. Dari tahun 2013 hingga tahun 2017 penggunaan
lahan danau/waduk, industri, lahan kosong, perdagangan dan jasa, permukiman dan
pertanian mengalami peningkatan luasan tetapi pada penggunaan lahan pertanian
mengalami penurunan luasan.
Dari tahun 2013 hingga tahun 2017 di sekitar kawasan BSB peningkatan harga lahan
paling besar terjadi pada lahan yang terletak di jalan utama dan koridor perumahan-
perumahan besar yang terletak berdekatan dengan jalan utama dan pusat perkotaan
BSB. Hal ini dapat disimpulkan bahwa aksesibilitas berpengaruh terhadap harga lahan
yang terletak di jalan utama dan berdekatan dengan jalan utama mengalami peningkatan
harga lahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang berada pada lokasi yang
jauh dari jalan utama.
Hubungan penggunaan lahan dan harga lahan di sekitar kawasan Bukit Semarang
Baru menunjukkan bahwa kawasan BSB telah memberikan pengaruh terhadap variasi
harga lahan pada masing-masing wilayah. Kawasan BSB yang telah dijadikan sebagai
pusat kegiatan perkotaan seperti perdagangan dan jasa, industri dan permukiman untuk
melayani masyarakat di sekitarnya ini memicu semakin tingginya harga lahan yang terjadi
karena lahan yang terletak berdekatan dengan pusat kegiatan perkotaan cenderung
lebih diminati dan menguntungkan. Hal ini sesuai dengan teori dari Von Thunen bahwa
harga lahan akan semakin tinggi apabila mendekati pusat kegiatan dan akan semakin
rendah apabila menjauh dari pusat kegiatan. Selain itu juga, harga lahan yang terjadi juga
tergantung pada penggunaan lahannya. Penggunaan lahan untuk kegiatan perkotaan
seperti perdagangan dan jasa, industri serta permukiman memiliki harga lahan yang lebih
tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya.
08MODEL PROYEKSI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN KORIDOR JALAN UTAMA PADA SKALA DETAIL 1:10.000 BERBASIS CELLULAR AUTOMATA DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (STUDI KASUS: KAWASAN SEPANJANG KORIDOR JALAN SOLO—YOGYA DI KABUPATEN KLATEN)
► Nama : Sukamto
► Unit Organisasi : Kantor Pertanahan Kota Tanjungpinang
► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Diponegoro
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI080
ABSTRAKDampak negatif dari pertumbuhan ekonomi yang pesat adalah adanya alih fungsi lahan
yang tidak terkontrol. Model perubahan penggunaan lahan bisa menjadi perangkat
dalam rangka memahami dinamika konversi lahan serta variabel yang menjadi faktor
pendorongnya. Pemodelan simulasi perubahan penggunaan lahan dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan pendekatan cellular automata pada skala detail 1:10.000
dengan memperhatikan tren perubahan penggunaan lahan di sepanjang koridor jalan
Solo—Yogyakarta di Kabupaten Klaten pada kurun waktu tahun 2007—2017.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis penerapan model Cellular Automata
dalam menganalisis perubahan penggunaan lahan pada wilayah penelitian skala 1:10.000
di sepanjang koridor jalan Solo—Yogyakarta di Kabupaten Klaten khususnya perubahan
lahan sawah menjadi lahan terbangun.
Hasil analisis pola perubahan penggunaan lahan dari tahun 2007 sampai dengan
2017 pertumbuhan dengan perkembangan terbesar adalah penggunaan perumahan
yang mengalami kenaikan luas sebesar 217,41 ha, sedangkan jenis penggunaan tanah
yang mengalami konversi lahan menjadi penggunaan lain adalah sawah yang mengalami
penurunan luas sebesar 365,76 ha. Hasil analisis peta proyeksi penggunaan lahan tahun
2031 menunjukkan kecenderungan arah perkembangan lahan terbangun masih berkutat
di daerah yang dekat dengan pusat Kota Klaten. Komparasi Peta proyeksi tahun 2031
telah sesuai dan terakomodasi dalam Peta Rencana Pola Ruang RTRW Kabupaten Klaten
dengan tingkat kesesuaian pemanfaatan ruang yaitu 94,42%.
► Kata Kunci: Perubahan Penggunaan Lahan, Permodelan, Cellular Automata
081 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTEconomic growth in a region has a positive or negative impact. The negative impact of
a rapid economic growth is the uncontrolled land conversion. The negative impact of
converting agricultural land to non-agricultural is a loss not only in economic aspect but
also in social one. The modeling of land use change can be used as a tool to understand
the dynamics of land conversion and the variables of driving factors. In this research,
the simulation model of land use change was created by using cellular automata on a 1:
10,000 scale by considering the trend of land use changes along Solo-Yogyakarta road
corridor in Klaten regency from 2007 to 2017.
The purpose of this research is to investigate how cellular automata model analyzes
the land use change in a research area of 1: 10.000 scale along Solo-Yogyakarta road
corridor in Klaten Regency, especially the change of paddy field into developed land.
The model is a spatial analysis of the pattern of land use change within the determined
period of time based on the land change trends and is influenced by factors driving land
use change.
The results show that there were 13 types of land use changes from 2007 until
2017. The biggest development was the use of housing which experienced an increase
of 217.41 Ha, whereas land use type which converted land into another usage is paddy
field, decreased by 365.76 Ha. The cellular automata model included two models as
comparisons, the 2007-2012 usage change model and the land use change model of 2012-
2017, where the accuracy of the 2007-2012 model was 98.41% and the 2012-2017 model
was 98.78%.
The analysis of the projected land use growth in 2031 shows that there will be 7 classes
of land use change, namely trade services, housing, industry, warehousing, temporary
open land, mixed crops, and fields. The results of the analysis of land use prediction in
2031 showed that the tendency of land development direction is still concentrated in the
area close to Klaten city center in 10 sub-districts of Klaten Utara, Klaten Tengah, Klaten
Selatan, Kalikotes, Jogonalan, Kebonarum, Ngawen, Wonosari, Ceper, and Delanggu. The
comparison evaluation results between RTRW Map of Klaten Regency Year 2011-2031 and
Land Use Prediction in 2031 with cellular automata modeling shows hight level of landuse
conforming at 94.42%.
► Keywords: Land Use Change, Modelling, Cellular Automata
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI082
MODEL PROYEKSI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN KORIDOR JALAN UTAMA PADA SKALA DETAIL 1:10.000 BERBASIS CELLULAR AUTOMATA DAN SISTEM
INFORMASI GEOGRAFI (STUDI KASUS: KAWASAN SEPANJANG KORIDOR JALAN SOLO—YOGYA DI KABUPATEN KLATEN)
A. Latar BelakangPenggunaan lahan adalah hasil dari kegiatan manusia baik yang berlangsung secara
siklus atau permanen pada sumber daya lahan alami maupun buatan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup manusia (Setiady dan Danoedoro, 2014). Dalam pemenuhan
kebutuhannya, manusia membutuhkan ruang berupa tanah untuk melakukan berbagai
aktivitas kehidupan. Penggunaan lahan pada suatu wilayah dipengaruhi juga oleh
keberadaan sarana dan prasaran, khususnya prasarana dan sarana transportasi (Rudiarto
et al, 2015). Persaingan terhadap pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya
tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu keterbatasan sumber daya lahan, pertambahan
penduduk dan pertumbuhan ekonomi (Irawan, 2008). Tingginya aktivitas ekonomi yang
terjadi mengakibatkan permintaan terhadap lahan sebagai penunjang kegiatan ekonomi
juga mengalami peningkatan. Perubahan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh
aktivitas manusia yang dilakukan karena sifat lahan yang tetap sedangkan aktivitas manusia
berubah-ubah dan cenderung meningkat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Alih fungsi lahan atau perubahan penggunaan lahan diakibatkan oleh semakin
meningkatnya permintaan yang tinggi karena aktivitas manusia. Alih fungsi lahan terjadi
khususnya pada lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi nonpertanian. Lahan sawah
memegang peranan penting dalam penyediaan kebutuhan beras. Produksi beras di
Indonesia 94% dihasilkan dari usaha tani padi sawah, sisanya dihasilkan dari usaha tani
padi lahan kering. Pulau Jawa masih menjadi penyumbang produksi beras terbesar yaitu
mencapai 53% dari total produksi beras nasional (Ambarwulan et al, 2014). Kabupaten
Klaten adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang secara geografis
terletak pada koridor penghubung dua kota besar antarprovinsi, yaitu Kota Surakarta dan
083 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Kota Yogyakarta. Perkembangan di Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta secara langsung
maupun tidak langsung memberikan pengaruh dalam perkembangan yang terjadi di Kota
Klaten terutama di sepanjang koridor jalan Solo—Yogyakarta.
Perubahan penggunaan lahan dapat dianalisis dengan membangun suatu model.
Model merupakan salah satu pendekatan untuk mempelajari sesuatu yang terjadi di
alam ini dan dapat memprediksi keadaan yang akan datang (Munibah, 2008). Pemodelan
Cellular Automata adalah model yang sangat popular digunakan untuk melakukan
simulasi pola perubahan penggunaan lahan dan sudah digunakan dalam banyak penelitian.
Dalam penelian ini, penulis mencoba untuk mengembangkan model analisis perubahan
penggunaan lahan pada wilayah sepanjang koridor jalan Solo—Yogyakarta kurun waktu
tahun 2007–2017 dengan menggunakan pendekatan model cellular automata. Pemodelan
yang dibangun mempunyai tujuan untuk mengetahui trend perubahan lahan yang
terjadi berdasarkan faktor-faktor yang menjadi pendorong perubahan lahan yang sudah
ditentukan sebelumnya dan membuat simulasi prediksi penggunaan lahan pada masa
yang akan datang. Hasil dari pemodelan berupa peta prediksi penggunaan lahan tahun
2031 yang digunakan dalam melakukan analisis perbandingan penggunaan lahan untuk
mengetahui kesesuaian pemanfaatan ruang dalam rencana pola ruang wilayah RTRW
Kabupaten Klaten tahun 2011—2031.
B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisDampak negatif dari konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian tidak hanya terlihat
dari kerugian segi ekonomi saja tetapi juga pada aspek sosial. Kerugian pada aspek sosial
terjadi karena keberadaan lahan sawah selama ini memberikan manfaat yang luas dari segi
sosial bagi masyarakat dan sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya
pada sektor pertanian dan lingkungan.
Model perubahan penggunaan lahan bisa menjadi perangkat dalam rangka memahami
dinamika konversi lahan serta variabel yang menjadi faktor pendorongnya. Pemodelan
perubahan penggunaan lahan dilakukan secara dinamis dalam rentang waktu yang
sudah ditentukan untuk mendapatkan informasi berupa trend atau pola perubahan lahan
berbasis informasi spasial termasuk lokasi dan luas perubahan yang mungkin terjadi. Model
perubahan penggunaan lahan dan prediksi perubahan penggunaan lahan dipergunakan
untuk tujuan antisipasi terhadap perubahan fungsi pemanfaatan ruang dalam penetapan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
Pemodelan simulasi perubahan penggunaan lahan dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan cellular automata pada skala detail 1:10.000 dengan
memperhatikan trend perubahan penggunaan lahan di sepanjang koridor jalan Solo—
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI084
Yogyakarta di Kabupaten Klaten pada kurun waktu tahun 207—2 017. Dalam membangun
model diperhitungkan juga faktor yang menjadi pendorong terjadinya perubahan
penggunaan lahan. Faktor pendorong perubahan lahan dalam penelitian ini melibatkan
faktor fisik, sosial dan ekonomi, aksesibilitas dan faktor ketetanggan yang kemudian
dilakukan analisis secara spasial. Untuk mendapatkan hasil simulasi dengan alokasi dan
proyeksi yang lebih akurat dilakukan pembobotan pada masing-masing faktor pendorong
dengan analisis AHP. Dari uraian yang telah disampaikan di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana proyeksi penggunaan lahan
di sepanjang koridor jalan SoloY ogyakarta di Kabupaten Klaten tahun 2031 berdasarkan
alghoritma Cellular Automata dan SIG?”
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif
berbasis spasial dengan data spasial berupa data raster dan unit cell yang digunakan sebagai
input dalam membangun model proyeksi penggunaan lahan tahun 2031. Objek penelitian
adalah perubahan penggunaan lahan di koridor jalan Solo—Yogyakarta di Kabupaten Klaten
pada kurun waktu tahun 2007—2012 dan tahun 2012—2017. Simulasi perubahan penggunaan
lahan di masa depan diolah dengan menggunakan algorithma Cellular Automata.
Penelitian ini difokuskan pada wilayah sepanjang koridor jalan Solo—Yogyakarta
dengan luas batasan wilayah adalah 14.673,50 ha. Daerah penelitian di fokuskan pada daerah
sepanjang koridor alan Solo—Yogyakarta yang berada di Kabupaten Klaten yang terkena
pengaruh dari jalur utama tersebut. Daerah penelitian terdiri 16 kecamatan yang tersebar
sepanjang koridor jalan. Kecamatan yang menjadi lokasi penelitian adalah Kecamatan
Ceper, Delanggu, Gantiwarno, Jogonalan, Juwiring, Kalikotes, Karanganom, Kebonarum,
Klaten Selatan, Klaten Tengah, Klaten Utara, Ngawen, Polanharjo, Prambanan, Trucuk, dan
Wonosari.
C. Pembahasan
1. Interpretasi dan Identifikasi Distribusi Penggunaan Lahan Tahun 2007, 2012, dan 2017
Interpretasi penggunaan lahan berdasarkan ketiga citra tahun pengamatan tersebut
dilakukan dengan metode On Screen Digitazing dengan menggunakan klasifikasi
penggunaan lahan sesuai dengan NSPK Tematik BPN RI Tahun 2012. Software yang
digunakan dalam proses digitasi adalah ArcGIS 10.3 dan interpretasi penggunaan
lahan menggunakan skala 1:10.000 dengan proyeksi geografis WGS 1986 dan UTM
49S sesuai dengan lokasi penelitian. Hasil interpretasi diperoleh 29 jenis penggunaan
lahan, yaitu aneka industri, danau/situ/telaga, hutan kota, jalan arteri, jalan kereta
085 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
api, jalan kolektor, jalan lokal, jasa pemerintah, jasa kesehatan, jasa lainnya, jasa
pariwisata, jasa pendidikan, jasa perdagangan, jasa perhubungan, jasa peribadatan,
kebun campuran, kolam air tawar, kuburan/pemakaman, lapangan olahraga, padang
rumput, pergudangan, pertambanagan terbuka, perumahan, sawah, semak, sungai,
taman umum, tanah terbuka sementara dan tegalan/ladang.
Dari hasil analisis perubahan penggunaan lahan dari tahun 2007 sampai
dengan 2012 dapat dilihat adanya penambahan dan pengurangan luas pada kelas
penggunaan tanah. Penggunaan tanah yang terbesar dan signifikan di sepanjang
koridor jalan Solo—Yogyakarta adalah sawah. Pada tahun 2007 luas sawah adalah
8.609,64 ha atau 58,67 dari total luas keseluruhan daerah penelitian, tetapi pada
tahun 2012 terjadi penurunan luas sawah sebesar 1,43% atau seluas 209,10 ha.
Penggunaan tanah terbesar kedua adalah perumahan. Luas penggunaan tanah
perumahan pada tahun 2007 adalah 4.476,11 ha atau sebesar 30,50%. Pada tahun
2012 luas perumahan ini mengalami kenaikan seluas 144,69 ha menjadi 4620,80 ha
(31,49%).
2. Pola Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2007—2012 dan Tahun 2012—2017
Identifikasi laju perubahan penggunaan lahan digunakan dalam melakukan simulasi
proyeksi pola perubahan penggunaan lahan di masa yang akan datang. Pola
perubahan penggunaan lahan dapat dilihat dari laju perubahan suatu penggunaan
lahan satu menjadi penggunaan lahan yang lainnya. Pola perubahan penggunaan
lahan dilakukan dengan melakukan overlay dengan metode intersect pada perangkat
lunak ArcGIS 10.3 sehingga dapat diketahui pola penggunaan lahan beserta luasnya.
3. Analisis Peta Potensi Transisi Perubahan Lahan
Analisis peta aturan transisi berupa peta yang menunjukkan kecenderungan
perubahan penggunaan lahan di dalam lokasi penelitian yang sudah ditentukan
aturannya terlebih dahulu. Aturan yang dimaksud didasarkan pada faktor pendorong
perubahan lahan, bobot masing-masing faktor pendorong dan atau bisa disertai
dengan faktor penghambat perubahan penggunaan lahan apabila ada skenario yang
akan dibangun.
Sebagai contoh adalah potensi perkembangan perumahan juga ditunjukkan
dengan semakin terang rona cell maka semakin besar kemungkinan daerah tersebut
mengalami perkembangan perumahan. Sebaliknya semakin gelap rona cell maka
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI086
semakin tidak berpotensi untuk mengalami perkembangan perumahan di lokasi
tersebut.
4. Model Cellular Automata dalam Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan
Input dalam analisis model cellular automata adalah hasil analisis yang sudah
dilakukan sebelumnya yaitu analisis penggunaan lahan dalam time series, proyeksi
perkembangan penggunaan lahan tahun 2031 dari trend perubahan lahan tahun
sebelumnya, analisis peta potensi transisi dan analisis filter ketetanggan dan variabel
pembatas. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat proyeksi penggunaan tanah
untuk tahun 2031 di sepanjang jalan koridor Solo—Yogyakarta di Kabupaten Klaten.
Sebelum model bisa digunakan untuk memproyeksi penggunaan lahan tahun
2031 maka harus divalidasi terlebih dahulu. Dalam penelitian ini analisis validasi
dilakukan pada 2 waktu tahun pemodelan, yaitu simulasi penggunaan lahan tahun
2012 dengan pengamatan tahun awal (t0) adalah penggunaan lahan tahun 2007 dan
simulasi penggunaan lahan tahun 2017 dengan pengamatan tahun awal (t0) adalah
penggunaan lahan tahun 2012.
Nilai validitas model proyeksi penggunaan lahan tahun 2017 di cari dengan
membandingkan dengan penggunaan lahan tahun 2017 hasil interpretasi citra
satelit dengan menggunakan analisis tabulasi silang (crosstab) untuk mencari nilai
Kappa. Dari analisis crostab proyeksi tahun 2017 dengan interpretasi citra tahun 2017
diperoleh nilai Kappa sebesar 0,987 Nilai Kappa rata-rata antara model proyeksi
tahun 2012 dan tahun 2017 adalah 0,986 dan artinya model proyeksi yang dibangun
bias digunakan untuk memproyeksi dan meproyeksi penggunaan lahan di masa
yang akan datang.
5. Analisis Skenario Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2031
Analisis proyeksi penggunaan lahan tahun 2031 dilakukan dalam skenario, yaitu
bussines as usual. Skenario ini menggambarkan kondisi di mana alokasi penggunaan
lahan kurang mendapat kontrol kebijakan. Penggunaan lahan yang kurang terkontrol
akan cenderung mengabaikan kesesuaian lahan karena masyarakat diberikan akses
seluas-luasnya untuk melakukan aktivitas dalam rangka kegiatannya termasuk
melakukan konversi lahan.
Arah perkembangan Kota Klaten melihat dari hasil proyeksi penggunaan lahan
tahun 2031 berdasarkan skenario 1 bahwa alih fungsi lahan pertanian sawah menjadi
lahan terbangun (aneka industri, jasa perdagangan, pergudangan dan perumahan)
087 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
dan lahan nonterbangun yang diskenariokan berubah (Kebun Campuran, Tanah
Terbuka Sementara dan Tegalan/Ladang) masih terkonsentrasi di pusat perkotaan
Kota Klaten. Kecamatan yang berpotensi mengalami pertumbuhan adalah
Kecamatan Klaten Utara, Klaten Tengah, Klaten Selatan, Kalikotes, Jogonalan,
Kebonarum, Ngawen, Wonosari, Ceper, dan Delanggu.
6. Komparasi Peta Rencana Pola Ruang dengan hasil Peta Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2031
Dalam analisis komparasi antara pola ruang RTRW kabupaten Klaten dengan peta
proyeksi penggunaan lahan tahun 2031, maka harus dilakukan reklasifikasi kelas
penggunaan lahan peta proyeksi tahun 2031 disesuaikan dengan kelas penggunaan
lahan di rencana pola ruang RTRW. Sebelum proses overlay dilakukan maka kedua
peta harus mempunyai kelas peruntukan penggunaan yang sama.
Komparasi distribusi pemanfaatan lahan sesuai dengan pola ruang dengan
kelas pemanfaatan lahan berupa kawasan lindung dan kawasan budi daya antara
Peta Rencana Pola Ruang dengan Peta proyeksi penggunaan lahan tahun 2031
dengan pembatasan kawasan konservasi. Persentase kesesuaian kelas pemanfaatan
ruang hasil analisis antara peta proyeksi tahun 2031 dengan rencana pola ruang
RTRW adalah sebesar 94,42%.
D. KesimpulanHasil analisis pola perubahan penggunaan lahan dari tahun 2007 sampai dengan 2017
ada 13 jenis penggunaan lahan yang mengalami perkembangan, yaitu jasa pemerintahan,
jasa perhubungan, taman umum, pertambangan terbuka, jasa kesehatan, jasa
pendidikan, tegalan/ladang, kebun campuran, pergudangan, tanah terbuka sementara,
jasa perdagangan, aneka industri dan perumahan dengan perkembangan terbesar
adalah penggunaan perumahan yang mengalami kenaikan luas sebesar 217,41 ha. Jenis
penggunaan tanah yang mengalami konversi lahan menjadi penggunaan lain adalah
sawah yang mengalami penurunan luas sebesar 365.76 ha.
Berdasarkan peta proyeksi penggunaan lahan tahun 2031 bahwa arah perkembangan
perubahan penggunaan lahan masih berkutat di daerah yang dekat dengan pusat kota di
10 (sepuluh) kecamatan, yaitu Kecamatan Klaten Utara, Klaten Tengah, Klaten Selatan,
Kalikotes, Jogonalan, Kebonarum, Ngawen, Wonosari, Ceper, dan Delanggu. Aspek yang
berpengaruh terhadap perkembangan 10 Kecamatan di masa yang akan datang adalah
faktor kepadatan penduduk yang tinggi sehingga menyebabkan kebutuhan akan lahan
semakin meningkat. Jarak ke pusat perkotaan juga menjadi alasan perkembangan Kota
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI088
Klaten di 10 Kecamatan tersebut sehingga pertumbuhan didominasi di lokasi sekitar
pusat Kota Klaten di mana sarana dan prasarana fasilitas umum dan sosial tersedia secara
lengkap.
Hasil komparasi peta proyeksi dengan Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten
Klaten menunjukkan hasil yang cukup sesuai dengan tingkat kesesuaian sebesar 94,42%.
Pemodelan alghoritma Cellular Automata dapat digunakan dalam menganalisis perubahan
penggunaan lahan pada skala detail 1:10.000 didasarkan pada trend perubahan lahan,
yaitu trend perubahan lahan dan dapat dibuat dalam beberapa skenario perubahan
penggunaan lahannya.
E. Saran Kebijakan1. Hasil analisis pemodelan perubahan penggunaan lahan tahun 2031 menunjukkan
perkembangan penggunaan lahan didominasi pada daerah di kawasan pusat
perkotaan yang memiliki kepadatan tinggi, aksesibilitas yang memadai, dan
sarana prasarana yang mendukung. Pada kawasan pusat perkotaan harus tetap
memperhatikan kebutuhan dan fasilitas ruang terbuka hijau.
2. Dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan makam pengendalian
pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan zoning regulation sehingga
pemanfaatan ruang menjadi teratur seperti yang sudah ditetapkan dan bukan
atas dasar keinginan pasar.
09PENILAIAN PEMANFAATAN TROTOAR SEBAGAI PENDUKUNG BRT TRANS SEMARANG KORIDOR I DI BWK I KOTA SEMARANG
► Nama : Eko Purwanto
► Unit Organisasi : Biro Umum Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional dan Bappenas
► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Diponegoro
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI090
ABSTRAKBus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang Koridor I (Mangkang-Penggaron) merupakan
salah satu moda transportasi umum berbasis kendaraan (motorized transportation) yang
ada di Bagian Wilayah Kota (BWK) I Kota Semarang. Keberadaan BRT belum didukung
penyediaan trotoar sebagai prasarana berjalan kaki (non motorized transportation)
yang aman dan nyaman di sepanjang koridor. Kondisi fisik trotoar yang belum ideal
dan penyalahgunaan fungsi trotoar untuk kegiatan selain berjalan kaki masih menjadi
permasalahan bagi pejalan kaki pengguna BRT. Oleh karena itu, kualitas trotoar yang ada
saat ini masih dipertanyakan dalam mendukung keberadaan BRT Trans Semarang.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai pemanfaatan trotoar sebagai pendukung
BRT terkait keamanan dan kenyamanan bagi pengguna BRT Trans Semarang Koridor I di
BWK I Kota Semarang. Sasaran dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi karakteristik
pejalan kaki yang menggunakan BRT, menganalisis penilaian trotoar terkait keamanan
dan kenyamanan berdasarkan preferensi pejalan kaki yang menggunakan BRT serta
kualitas trotoar dengan pendekatan Pedestrian Environmental Quality Indeks (PEQI).
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dan kualitatif
dengan metode Importance Performance Analysis (IPA) untuk mengetahui penilaian
trotoar terkait aspek keamanan dan kenyamanan berdasarkan preferensi pejalan kaki
yang menggunakan BRT dan menggunakan beberapa kriteria Pedestrian Environmental
Quality Index (PEQI) untuk mengetahui kualitas trotoar bagi pejalan kaki.
Berdasarkan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa secara umum kinerja
trotoar terkait keamanan dan kenyamanan bagi pengguna BRT di BWK I belum seluruhnya
optimal. Hal tersebut diindikasikan dari hasil penilaian berdasarkan preferensi pejalan
kaki yang menggunakan BRT bahwa tingkat kesesuaian antara kenyataan dan harapan
zona 1 sebesar 85,69 %, zona 2 sebesar 88,93 % dan zona 3 sebesar 80,25%. Variabel lampu
penerangan di ketiga zona dan pagar pengaman di zona 2 dan 3 menjadi variabel keamanan
yang sangat penting dan menjadi prioritas utama, sementara keberadaan pelindung cuaca,
keberadaan tempat duduk dan kemiringan (ramp) permukaan di zona 1 menjadi variabel
kenyamanan yang sangat penting dan menjadi prioritas utama. Berdasarkan pendekatan
PEQI menunjukkan bahwa trotoar di BWK I belum seluruhnya memiliki kualitas ideal.
Mayoritas trotoar di BWK I hanya memiliki trotoar dengan kualitas yang dapat diterima
oleh pejalan kaki, bahkan masih terdapat trotoar dengan kualitas basis/dasar, buruk dan
tidak cocok bagi pejalan kaki.
Penilaian kinerja pemanfaatan trotoar bagi pengguna BRT di BWK I memberikan
gambaran bahwa kualitas trotoar belum sepenuhnya memberikan keamanan dan
kenyamanan bagi pejalan kaki yang menggunakan BRT. Dengan demikian, penyediaan
091 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
pagar pengaman, lampu penerangan, penyediaan pelindung cuaca, tempat duduk dan
kemiringan permukaan (ramp) dapat dijadikan rekomendasi kepada pemerintah untuk
meningkatkan kualitas trotoar bagi pengguna BRT.
► Kata Kunci: BRT, Pejalan Kaki, Kualitas Trotoar, Keamanan dan Kenyamanan
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI092
ABSTRACTBus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang Corridor I (Mangkang-Penggaron) is one
of the modes of public transportation based on vehicles (motorized transportation)
in City Region (BWK) I Semarang City. The existence of BRT has not been supported
by the provision of sidewalks as a safe and convenient non-motorized transportation
infrastructure along the corridor. The physical condition of the sidewalks is not ideal yet
and the misuse of the sidewalk function for activities other than walking is still a problem
for pedestrians. Therefore, the quality of the existing sidewalk is still questionable in
supporting the existence of BRT Trans Semarang.
This study aims to assess the utilization of sidewalks as a support BRT related
security and comfort for users of Trans Semarang Corridor BRT I at BWK I Semarang
City. The objectives of this study were to identify the characteristics of pedestrians using
BRT, analyzing sidewalks assessments related to safety and comfort based on pedestrian
preference using BRT and sidewalks quality with Pedestrian Environmental Quality Index
(PEQI) approach.
The research method used is descriptive quantitative and qualitative with
Importance Performance Analysis (IPA) method to know the sidewalk assessment related
to safety and comfort aspects based on pedestrian preference. It also uses some of the
Pedestrian Environmental Quality Index (PEQI) criteria to determine the quality of
sidewalks for pedestrians.
Based on the analysis, it is found that in general the performance of the sidewalks
related to safety and convenience for BRT users in BWK I has not been fully optimal. It
is indicated from the assessment results based on pedestrian preference using BRT that
the level of conformity between reality and expectation zone 1 is 85,69%, zone 2 is 88,93%
and zone 3 is 80,25%. Lighting variables in the three zones and the guardrails in zones 2
and 3 become a very important security variable and a top priority, while the presence of
weather protection, the presence of the seating and the surface ramp in zone 1 becomes a
very important comfort variable and becomes main priority. Based on the PEQI approach
indicates that the pavement in BWK I has not been entirely of ideal quality. The majority
of the sidewalks at BWK I only have sidewalks of acceptable quality by pedestrians, and
there are even sidewalks with basic/poor quality, and are not suitable for pedestrians.
The assessment of the performance of the sidewalk utilization for BRT users in
BWK I illustrates that the quality of the sidewalks has not fully provided the safety and
convenience of pedestrians using BRT. Thus, the provision of safety fences, lighting,
weather protection, seating and ramp can be recommended to the government to
improve the quality of the sidewalk for BRT users.
093 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
► Keywords: BRT, Pedestrian, Quality of Sidewalks, Security and Comfort.
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI094
PENILAIAN PEMANFAATAN TROTOAR SEBAGAI PENDUKUNG BRT TRANS
SEMARANG KORIDOR I DI BWK I KOTA SEMARANG
A. Latar BelakangBRT Trans Semarang sebagai sarana transportasi kendaraan bermotor massal di Kota
Semarang, mulai dioperasikan sejak tahun 2009 dengan rute pertama kali yaitu Terminal
Mangkang–Terminal Penggaron (Koridor I). Keberadaan jenis moda ini didukung dengan
kelengkapan prasarana seperti jalan yang sudah diaspal, halte untuk menunggu bus,
penerangan jalan, jalur pedestrian dan prasarana lainnya. Beroperasinya sistem BRT
Trans Semarang sebagai sarana transportasi angkutan umum di Kota Semarang yang
terintegrasi dengan sarana dan prasarana pengumpan (feeder) menjadikan pelayanannya
tidak hanya berakhir pada pintu masuk atau keluar halte. Orang harus dapat mencapai
halte BRT jika ingin menggunakan layanan BRT Trans Semarang. Untuk itulah maka
dalam rangka mendukung pelayanan BRT Trans Semarang, maka perlu adanya prasarana
seperti trotoar sebagai akses bagi pejalan kaki yang aman dan nyaman menuju halte BRT
Trans Semarang.
Sebagaimana BRT di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Solo,
operasional BRT di Kota Semarang dilakukan dengan menaikturunkan penumpang di halte
khusus yang disediakan. Namun sayangnya, halte-halte yang sudah berhasil memaksa
penumpang untuk naik dan turun di tempat yang ditentukan tersebut belum didukung
dengan prasarana pejalan kaki yang baik seperti trotoar dan fasilitas pendukung lainnya
sebagai suatu sistem transportasi yang terintegrasi (http://m.harianjogja.com, 2013).
Trotoar di Kota Semarang merupakan prasarana transportasi bagi pejalan kaki
untuk melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya. Di samping itu trotoar
juga berfungsi sebagai prasarana penghubung bagi pejalan kaki menuju halte untuk
melanjutkan perjalanan berikutnya menggunakan kendaraan umum atau ke tempat
tujuan. Fungsi trotoar sebagai prasarana pendukung atau sebagai feeder ini sangat penting
bagi pengguna layanan transportasi umum seperti BRT. Untuk dapat mengembangkan
sistem transportasi yang berkelanjutan maka transportasi berbasis kendaraan maupun
nonkendaraan seperti trotoar harus difungsikan untuk dapat saling melengkapi dan
terintegrasi menuju keseimbangan antarmoda (Saliara, 2014).
095 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Rute BRT Trans Semarang Koridor I melintasi beberapa ruas jalan utama Kota
Semarang baik yang ada di pusat kota maupun yang di wilayah pinggiran. Dari keseluruhan
panjang ruas jalan (27,35 km) BRT Trans Semarang Koridor I Mangkang-Penggaron, belum
seluruhnya sepanjang koridor jalan terdapat trotoar di kanan kirinya, terutama dalam
mendukung aksesibilitas menuju halte BRT. Sebagian besar trotoar terdapat di ruas jalan
yang berada di kawasan pusat kota yaitu Bagian Wilayah Kota (BWK) I Kota Semarang
terutama kawasan Central Bussines District (CBD) dan penyediaannya lebih bertujuan
untuk mempercantik wajah kota.
Keberadaan BRT Trans Semarang juga dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti
halte dan trotoar. Trotoar di beberapa titik bahkan sudah dilengkapi dengan peneduh
(pergola) yang ditumbuhi oleh tanaman rambat (Suara Merdeka, 2016). Meskipun beberapa
ruas jalan di kawasan ini sudah ada yang dilengkapi trotoar, namun ketersediaan trotoar
sebagai fasilitas pejalan kaki masih belum optimal (Hidayati dan Febriharjati, 2016). Selain
itu integrasi BRT dengan fasilitas pengumpan (feeder) terutama yang berbasis bukan
kendaraan bermotor (non motorized) seperti trotoar bagi pejalan kaki yang menggunakan
BRT juga belum maksimal. Trotoar yang ada saat ini, dalam pemanfaatannya banyak
yang beralih fungsi seperti tempat berdagang PKL, parkir liar dan digunakan sebagai
jalur kendaraan, (Suara Merdeka, 2016). Di samping itu juga terdapat beberapa halte BRT
Trans Semarang yang didirikan di atas trotoar dan menutup akses pejalan kaki sehingga
mengganggu kelancaran pejalan kaki.
Ketersediaan trotoar yang mampu mendukung moda transportasi BRT Trans
Semarang sangat dibutuhkan di kawasan pusat Kota Semarang terutama kawasan
CBD. Prasarana trotoar yang ideal tersebut diharapkan dapat memberikan kemudahan
masyarakat dalam melakukan aktivitasnya. Kualitas trotoar yang ideal bagi pejalan kaki
atau pengguna BRT Trans Semarang sangat dipengaruhi oleh aspek keamanan dan
kenyamanan. Keamanan dalam hal ini dapat dilihat dari terhindarnya kemungkinan
kontak fisik dengan pejalan kaki lain atau kendaraan bermotor, terhindar dari jebakan
seperti lubang yang menimbulkan bahaya, dan terhindar dari tindak kriminal, sedangkan
kenyamanan dapat dilihat dari adanya lintasan dan jarak tempuh terpendek, tidak adanya
rintangan, adanya fasilitas penunjang, adanya pelindung dari cuaca, dan kemudahan
aksesibilitas bagi pejalan kaki (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun
2014). Oleh karena itu, berdasarkan kondisi tersebut menjadikan peneliti tertarik untuk
mengetahui kualitas pemanfaatan trotoar terkait keamanan dan kenyamanan bagi pejalan
kaki yang menggunakan BRT Trans Semarang Koridor I di kawasan BWK I Kota Semarang.
B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI096
BWK I merupakan pusat kota yang menjadi tempat tujuan masyarakat untuk melaksanakan
aktivitas perkantoran maupun perdagangan dan jasa. Pusat aktivitas perkantoran,
perdagangan dan jasa terlihat di beberapa ruas jalan di Kawasan Simpang Lima hingga
Tugu Muda mulai dari aktivitas formal maupun informal. Aktivitas informal tersebut di
antaranya adalah PKL yang melakukan kegiatan perdagangan di atas trotoar sebagai tempat
berdagang. Munculnya aktivitas informal (PKL) yang berjualan menggunakan trotoar
seperti yang terlihat di kawasan pusat oleh-oleh Jl. Pandanaran mengakibatkan sebagian
ruang untuk berjalan kaki menjadi berkurang. Di sisi lain, keberadaan perkantoran, mal,
pusat perbelanjaan dan pertokoan yang terpusat di kawasan CBD serta padatnya aktivitas
perdagangan dan jasa menjadikan kawasan ini tidak dapat terhindar dari dampak lainnya
seperti keberadaan parkir di atas trotoar.
Selain itu trotoar di ruas jalan penghubung menuju kawasan CBD dan ruas jalan yang
bersimpangan dengan jalan utama tersebut, belum seluruhnya memberikan pelayanan
yang baik bagi pejalan kaki pengguna BRT. Kondisi trotoar masih terkesan seadanya
dengan permukaan yang tidak rata seperti lubang ataupun permukaan keramik/paving
yang mengelupas sehingga membahayakan bagi pejalan kaki. Penerangan di trotoar yang
sangat kurang di malam hari, tidak adanya pepohonan sebagai peneduh dari cuaca panas
di beberapa ruas jalan, kurangnya fasilitas kebersihan seperti tempat sampah menjadikan
hilangnya keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Berdasarkan dari uraian di atas,
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Kondisi trotoar di sepanjang rute BRT Trans Semarang Koridor I belum aman
dan nyaman bagi pejalan kaki pengguna BRT.
2. Belum optimalnya fungsi trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki atau pengumpan
(feeder) bagi penumpang atau pengguna layanan BRT Trans Semarang Koridor
I di BWK I terutama aspek keamanan dan kenyamanan.
3. Belum berhasilnya integrasi sistem transportasi perkotaan antara BRT Trans
Semarang dengan feeder non motorized yaitu fasilitas trotoar yang berada di
sekitar halte (shelter) sebagai fasilitas pengumpan bagi pengguna BRT Trans
Semarang.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian yang akan
dikemukakan adalah “Seperti apa kualitas pemanfaatan trotoar sebagai pendukung BRT
terkait keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki yang menggunakan BRT Trans
Semarang Koridor I di BWK I Kota Semarang?”
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang sering
digunakan untuk menganalisis data berupa angka (numerik) dan bentuk kualitatif yang
097 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
dikuantitatifkan agar dapat diproses lebih lanjut dengan cara mengklasifikasikan ke dalam
bentuk skala ordinal. Skala ordinal adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kategori,
namun posisinya tidak sama derajatnya karena dinyatakan dalam skala peringkat (Tabachnick
& Fidell dalam Kuncoro, 2001). Penelitian dapat berlangsung dengan ketersediaan data
sehingga pada tahap selanjutnya dapat dilakukan analisis. Dalam penelitian ini, pengumpulan
data terhadap objek yang diteliti dilakukan dalam rangka mendapatkan gambaran mengenai
suatu keadaan atau permasalahan di lokasi penelitian. Data tersebut terdiri dari data primer
dan data sekunder.
C. PembahasanBerdasarkan hasil analisis dan penilaian yang telah dilakukan sebelumnya didapatkan
temuan-temuan sebagai berikut
1. Pergerakan pejalan kaki yang menggunakan BRT Trans Semarang Koridor I di
Bagian Wilayah Kota (BWK) I rata-rata adalah untuk perjalanan pendidikan
(49%), ekonomi (35%), rekreasi (15%), dan sosial (1%). Keberadaan bangunan
untuk aktivitas perkantoran, perdagangan dan jasa serta pendidikan di kawasan
BWK I yang dilintasi oleh BRT Koridor I membuat masyarakat dapat mengakses
kawasan ini dengan menggunakan moda transportasi BRT. Mayoritas pengguna
BRT adalah pelajar, mahasiswa, PNS, karyawan swasta, dan wiraswasta.
2. Moda transportasi yang digunakan untuk menuju halte BRT didominasi dengan
berjalan kaki sebesar 88%, sepeda motor sebesar 8% dan angkutan umum
lainnya sebesar 4%. Lokasi asal perjalanan yaitu sekolah, kantor, toko, mall dan
lainnya yang berada tidak jauh dengan halte BRT dan ketersediaan trotoar di
sekitar halte BRT menjadi alasan pengguna BRT untuk berjalan kaki menuju
halte
3. Kondisi trotoar di ketiga zona secara umum sudah sesuai dengan harapan
dari pengguna. Trotoar di Zona 1 memiliki tingkat kesesuaian sebesar 85,96%
yang artinya pengguna BRT yang berjalan kaki di trotoar sangat puas dengan
kondisi trotoar yang ada saat ini sehingga berdasarkan preferensi pejalan
kaki yang menggunakan BRT kondisi trotoar tersebut dianggap sangat sesuai
atau sangat baik, sedangkan nilai kesenjangan/selisih (gap) sebesar 0,59 yang
artinya perbedaan nilai (gap) antara tingkat kinerja/kenyataan dengan tingkat
kepentingan/harapan dinilai baik. Namun demikian kondisi trotoar di BWK I yang
berfungsi sebagai feeder bagi pengguna BRT masih membutuhkan perbaikan
kinerja. Demikian juga trotoar di Zona 2 yang memiliki tingkat kesesuaian
sebesar 88,93% yang artinya pengguna BRT yang berjalan kaki di trotoar sangat
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI098
puas dengan kondisi trotoar yang ada saat ini sehingga berdasarkan preferensi
pejalan kaki yang menggunakan BRT kondisi trotoar tersebut dianggap sangat
sesuai atau sangat baik, sedangkan nilai kesenjangan/selisih (gap) sebesar 0,46
yang artinya perbedaan nilai (gap) antara tingkat kinerja/kenyataan dengan
tingkat kepentingan/harapan dinilai sangat baik, namun masih membutuhkan
perbaikan kinerja. Sementara trotoar di Zona 3 memiliki tingkat kesesuaian
sebesar 80,25% yang artinya pengguna BRT yang berjalan kaki di trotoar puas
dengan kondisi trotoar yang ada saat ini sehingga berdasarkan preferensi pejalan
kaki yang menggunakan BRT kondisi trotoar tersebut dianggap sesuai atau baik,
sedangkan nilai kesenjangan/selisih (gap) sebesar 0,85 yang artinya perbedaan
nilai (gap) antara tingkat kinerja/kenyataan dengan tingkat kepentingan/
harapan dinilai cukup baik namun juga masih membutuhkan perbaikan kinerja.
4. Aspek keamanan yang menjadi sangat penting dan prioritas utama dalam
meningkatkan kualitas trotoar menurut pejalan kaki yang menggunakan
BRT di ketiga zona di antaranya adalah keberadaan pagar pengaman dan
lampu penerangan. Selain itu di Zona 3, perbedaan ketinggian lantai trotoar
dan permukaan yang rata juga menjadi prioritas utama. Sementara di sisi lain
yang harus dipertahankan kondisinya adalah ketersediaan lebar trotoar dan
permukaan yang tidak licin.
5. Aspek kenyamanan yang menjadi sangat penting dan prioritas utama dalam
meningkatkan kualitas trotoar di Zona 1 di antaranya adalah keberadaan
pelindung dari cuaca dan tempat duduk. Sementara untuk prioritas rendah di
ketiga zona rata-rata adalah ramp di persimpangan, penunjuk arah/rambu-rambu
dan jarak dengan sisi gedung, sedangkan di sisi lain yang harus dipertahankan
adalah keberadaan pohon peneduh di Zona 2 dan Zona 3.
6. Dilihat dari perbandingan antara kenyataan dan harapan pejalan kaki, tingkat
kesesuaian dan kesenjangan/selisih (gap) antara kenyataan dan harapan
menunjukkan bahwa Zona 2 sebagai pusat kota lebih baik jika dibandingkan
dengan Zona 1 dan Zona 3 yang merupakan wilayah penyangga. Meskipun
kondisi yang ada saat ini dapat diterima oleh pejalan kaki, namun kondisi trotoar
yang ideal masih belum tersedia.
7. Kualitas trotoar di ketiga zona wilayah studi berbeda seiring fungsi dan aktivitas
kawasan masing-masing. Zona 2 atau kawasan CBD memiliki kualitas trotoar
yang lebih baik dibandingkan Zona 1 dan Zona 3 yang merupakan kawasan
penyangganya. Mayoritas kualitas trotoar zona 2 adalah trotoar dengan kualitas
yang dapat diterima (56,89%), sedangkan Zona 1 mayoritas trotoar hanya
099 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
kualitas basis/dasar (64,29%) dan Zona 3 mayoritas adalah trotoar dengan
kualitas yang dapat diterima (34,16%). Kualitas trotoar tersebut sebagian besar
terdapat pada jalan-jalan utama dimana halte BRT berada, sedangkan untuk
jalan-jalan persimpangan mayoritas kualitas trotoar adalah buruk dan tidak
cocok untuk pejalan kaki.
8. Penyediaan trotoar yang baik masih terkonsentrasi di wilayah pusat kota
atau CBD dan masih fokus pada jalan-jalan utama atau protokol, sedangkan
jalan-jalan persimpangan maupun wilayah sekitar CBD belum mendapatkan
perhatian yang baik. Di sisi lain bahkan masih terdapat ruas jalan yang belum
tersedia trotoar sehingga integrasi antara trotoar sebagai pendukung layanan
BRT belum optimal.
D. KesimpulanPenyediaan moda transportasi BRT Trans Semarang Koridor I di BWK I telah didukung
dengan fasilitas pendukung seperti halte dan trotoar sebagai feeder (pengumpan) bagi
pengguna BRT. Keberadaan bangunan perkantoran, perdagangan dan jasa serta fasilitas
pendidikan di sepanjang rute BRT Koridor I di BWK I memengaruhi aktivitas pergerakan
masyarakat terutama pengguna BRT Koridor I. Pergerakan pengguna BRT Koridor I di BWK I
sangat didominasi oleh perjalanan dengan maksud untuk pendidikan dan ekonomi seperti
sekolah, bekerja atau belanja. Mayoritas pengguna BRT menjadikan berjalan kaki sebagai
moda transportasi dari tempat asal menuju halte BRT, sehingga berjalan kaki merupakan
bagian atau salah satu komponen dari seluruh perjalanan yang dilakukan pengguna BRT
sesuai dengan Wardianto (2016). Hal ini terjadi karena lokasi asal perjalanan berada tidak
jauh dari halte BRT dan masih dalam jangkauan kemampuan orang untuk berjalan kaki
yaitu 400-500 meter serta didukung dengan ketersediaan trotoar di sepanjang rute BRT
Koridor I di BWK I. Namun, jika lokasi asal perjalanan jauh dari halte, pengguna BRT akan
menggunakan moda transportasi kendaraan lain seperti sepeda motor atau angkutan
umum lainnya sebagai sarana menuju halte BRT sebagaimana yang terjadi di stasiun
kereta Ipanema di Kota Rio de Jeneiro, Brasil (Monteiro dan Campos, 2012).
Pemanfaatan trotoar sebagai prasarana untuk berjalan kaki menuju halte BRT
atau pengumpan (feeder) menunjukkan bahwa trotoar sebagai prasarana transportasi
pendukung bagi pengguna BRT tidak dapat dipisahkan dari sistem transportasi itu sendiri.
Oleh karena itu, keberadaan trotoar sebagai fasilitas pengumpan (feeder) bagi pengguna
BRT menjadi bagian yang terintegrasi dan tidak dapat terlepas dari keberadaan halte BRT
di BWK I. Sementara di sisi lain pejalan kaki yang menggunakan BRT Koridor I di BWK I
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI100
membutuhkan trotoar yang memadai dan memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan
untuk berjalan kaki menuju halte BRT.
Kondisi trotoar di BWK I saat ini belum optimal dalam memberikan keamanan dan
kenyamanan bagi pengguna BRT yang berjalan kaki karena masih memiliki kesenjangan
antara tingkat kenyataan dan harapan. Pengguna BRT yang menggunakan trotoar
di BWK I menganggap masih terdapat beberapa variabel dari aspek keamanan dan
kenyamanan yang belum sesuai antara kenyataan dan harapan sehingga perlu menjadi
prioritas perbaikan di antaranya adalah keberadaan pagar pengaman, lampu penerangan,
keberadaan pelindung cuaca, keberadaan tempat duduk dan penyediaan kemiringan
(ramp) di setiap persimpangan. Fasilitas trotoar tersebut dianggap sangat penting dalam
memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna BRT yang berjalan kaki di trotoar.
Kondisi trotoar di BWK I tersebut tidak berbeda dengan penelitian lain yang dilakukan
sebelumnya oleh Widodo (2013) bahwa kualitas keamanan dan kenyamanan trotoar di
jalan protokol Kota Semarang yaitu Jalan Pandanaran termasuk dalam kriteria kurang baik
dalam pemanfaatannya sebagai jalur pejalan kaki. Di samping itu tingkat kenyamanan,
keselamatan dan keamanan pejalan kaki menjadi faktor utama (deterministik) dalam
menentukan kualitas trotoar.
Sementara kualitas trotoar di BWK I secara keseluruhan belum ideal bagi pejalan kaki
pengguna BRT. Kualitas trotoar di ketiga zona BWK I menunjukkan kualitas yang berbeda
seiring tata guna lahan dan aktivitas kawasan masing-masing, di mana kualitas trotoar di
pusat kota atau CBD cenderung lebih baik daripada di wilayah sekitarnya atau penyangga.
Selain itu penyediaan trotoar dengan kualitas basis/dasar bahkan ideal terkonsentrasi
pada jalan-jalan utama koridor BRT atau jalan protokol yang menjadi wajah atau citra
Kota Semarang, sedangkan jalan-jalan persimpangan memiliki kualitas yang buruk bahkan
tidak cocok bagi pejalan kaki dan belum mendapatkan perhatian yang baik. Perbedaan
kualitas tersebut menunjukkan bahwa penyediaan trotoar masih memprioritaskan
pada wilayah pusat kota dibandingkan wilayah sekitarnya atau penyangga serta belum
terintegrasi secara baik dengan layanan BRT.
E. Saran KebijakanRekomendasi bagi Pemerintah Kota Semarang terkait dengan pemanfaatan trotoar
sebagai pendukung bagi pengguna BRT Trans Semarang yaitu meningkatkan kualitas
trotoar yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki yang menggunakan BRT dengan
melakukan perbaikan terkait aspek keamanan dan kenyamanan sebagai berikut:
1. Perlunya penyediaan atau pemasangan pagar pengaman di setiap persimpangan
(driveway) dan penyediaan lampu penerangan di trotoar yang terpisah dari
101 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
lampu penerangan jalan untuk meningkatkan keamanan pejalan kaki pengguna
BRT.
2. Perlunya penyediaan kemiringan permukaan (ramp) di setiap persimpangan,
pelindung cuaca yang dapat melindungi dari panas maupun hujan bagi pejalan
kaki serta penyediaan tempat duduk terutama di trotoar sekitar halte BRT
untuk meningkatkan kualitas kenyamanan.
3. Perlunya penyediaan trotoar di beberapa ruas jalan persimpangan yang belum
tersedia trotoar dan peningkatan kualitas trotoar di jalan persimpangan
yang kondisinya kurang baik agar konektivitas trotoar menjadi lebih baik dan
terintegrasi dengan layanan BRT Trans Semarang.
10PENGELOLAAN PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN SOMBA OPU KABUPATEN GOWA
► Nama : Suryani Tajuddin
► Unit Organisasi : Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Rua Pemkab
Gowa
► Program Studi : Perencanaan dan Pengembangan Wiilayah
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Hasanuddin
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI104
ABSTRAKPertambahan jumlah penduduk di daerah Kecamatan Somba Opu sebagai lokasi ibu
kota Kabupaten Gowa, yang secara administratif berbatasan dengan Kota Makassar,
memiliki pertumbuhan perekonomian di tahun 2014 sebesar 6,94% sehingga mendorong
urbanisasi. Namun, keterbatasan lahan pada daerah perkotaan dan masalah pemenuhan
kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah mengakibatkan
munculnya permukiman kumuh perkotaan di Kecamatan Somba Opu. Penelitian ini
bertujuan (1) mendeskripsikan karakteristik prasarana permukiman kumuh di Kecamatan
Somba Opu, Kabupaten Gowa; (2) mengukur tingkat kekumuhan dan permasalahan
spesifik permukiman kumuh di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa; dan (3)
merumuskan perencanaan penanganan permukiman kumuh di Kecamatan Somba
Opu, Kabupaten Gowa dari aspek peningkatan kualitas permukiman. Penelitian ini
menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif, pembobotan, dan
analisis development (AHP). Data diperoleh melalui penelitian yang dilakukan dengan
teknik survei, pengamatan langsung, dan wawancara terhadap responden yang berada
dalam kawasan permukiman kumuh di Kecamatan Somba Opu dan para ahli permukiman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) karakteristik permukiman kumuh di Kecamatan
Somba Opu merupakan permukiman kumuh yang berada di perkotaan, namun memiliki
kondisi sarana dan prasarana yang tidak sesuai standar teknik, baik dari jangkauan
pelayanan, kualitas, maupun tidak tersedianya sarana dan prasarana; (2) tingkat kumuh di
Kelurahan Bontoramba (Lingkungan Bontobaddo, RT 13/04) dan Kelurahan Batangkaluku
(Lingkungan Karetappa, RT 04/04) adalah tingkat kumuh sedang, sedangkan Kelurahan
Tamarunang (Lingkungan Pagentungang, RT 01/03) adalah tingkat kumuh ringan.
Permasalahan di lokasi penelitian yang memberikan skor tinggi dalam penilaian tingkat
kumuh adalah sampah, air bersih, drainase, dan proteksi kebakaran; (3) arahan penanganan
permukiman kumuh dari peningkatan kualitas didasari oleh karakteristik dan tingkat
kumuh. Model penanganan yang paling tepat berdasarkan preferensi ahli menggunakan
AHP adalah on site upgrading, dalam bentuk program perbaikan kampung. Ketiga lokasi
penelitian berada dalam lokasi yang legal sehingga arahan untuk tingkat kumuh sedang
(Kelurahan Bontoramba dan Kelurahan Batangkaluku) adalah peremajaan, dan untuk
tingkat kumuh ringan (Kelurahan Tamarunang) adalah pemugaran.
► Kata Kunci: Sarana Prasarana, Arahan Penanganan, AHP
105 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTThe increase of population in Somba Opu Sub district as the capital of Gowa Regency,
administratively adjacent to Makassar City, has an economic growth of 6.94% in 2014,
which encourages urbanization, but limited land in urban areas and the problem of
housing needs for the community low income resulted in the emergence of urban slums
in Somba Opu Subdistrict. This study aims to: (1) describe the characteristics of slum
housing infrastructure in Somba Opu Subdistrict, Gowa Regency; (2) measure the slum
level and slum-spesific problems in Somba Opu Subdistirct, Gowa Regency; and (3)
formulate slum settlement planning in Somba Opu Subdistrict, Gowa Regency from the
aspect of settlement quality improvement. The research used quantitative descriptive
and qualitative analysis technique, weighting, and development (AHP) analysis. The data
were obtained through a survey, direct observation, and interviews with respondents
in slum areas in Somba Opu Subdistrict and settlement experts. The result show that:
(1) the slum settlements in Somba Opu Subdistrict are located in urban areas, but the
condition of facilities and infrastructure is not in accordance with technical standards in
terms of range of services, quality, or availability of facilities and infrastructure; (2) slums
in Bontoramba (Bontobaddo neighbourhood, RT 13/04) and Batangkaluku (Karetappa
Neighbourhood, RT 04/04) are at the moderate level, while those in Tamarunang
(Paggentungan Neighbourhood, RT 01/03) are at a milder level. Problems in the study
location that provide the highest score in the assessment of slums level are garbage, clean
water, drainage, and fire protection; (3) the direction of slum area management is based
on the characteristics and slum level. The most appropriate model of management based
on expert preference using AHP is on-site upgrading in the form of Village Development
Program. The three research sites are in legal locations, so that the direction for
moderate-level slum (Bontoramba and Batangkaluku) is rejuvenation, and the direction
for mild-level slum (Tamarunang) is restoration.
► Keywords: Infrastructure, Management Direction, AHP
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI106
PENGELOLAAN PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN SOMBA OPU KABUPATEN GOWAA. Latar BelakangPertambahan penduduk pada daerah perkotaan mengakibatkan kebutuhan
perumahan ikut meningkat, namun keterbatasan lahan pada daerah perkotaan dan
masalah pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah
mengakibatkan munculnya permukiman kumuh perkotaan. Kenaikan laju pertumbuhan
penduduk memiliki dampak pada tingginya akses terhadap kebutuhan-kebutuhan
primer salah satunya adalah kebutuhan akan rumah tinggal. Hal tersebut merupakan
salah satu pemicu munculnya permukiman kumuh (Wimardana & Setiawan, 2016).
Terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang berlebihan pada daerah perkotaan akan
mengakibatkan perluasan pemukiman kumuh, sedangkan pemukiman kumuh yang telah
dilakukan rehabilitasi dapat kembali menjadi kumuh (Koestoer dkk., 2001).
Berdasarkan data Susenas tahun 2013, permukiman kumuh di Indonesia tercatat
terdapat 38.431 Ha kawasan kumuh di 4.108 kawasan yang tersebar di kota/kabupaten
seluruh Indonesia, Rumah Tangga Kumuh Perkotaan 10,1% atau 9,6 juta rumah tangga yang
masih membutuhkan peningkatan kualitas kawasan permukiman melalui peningkatan
pelayanan infrastruktur (Direktorat Keterpaduan Infrastruktur Permukiman, 2016).
Menurut Sulestianson dalam Anindy (2015), permukiman kumuh adalah permukiman
yang tidak layak huni, karena kurang teraturnya bangunan, kepadatan bangunan tinggi
dan kualitas bangunan/rumah serta sarana dan prasarana yang tidak memadai atau
memenuhi syarat. Permukiman kumuh jika dibiarkan dapat menyebabkan kualitas
lingkungan akan terus menurun dan derajat kesehatan masyarakat akan tetap rendah,
sedangkan rumah adalah kebutuhan sangat mendasar bagi kesejahteraan fisik, psikologi,
sosial dan ekonomi penghuninya (Wunas, 2003).
Pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Gowa tahun 2014 sebesar 6,94%, dan
pertambahan penduduk pada tahun 2015 meningkat 3,72% dengan kepadatan penduduk
5.605 jiwa/km2 (BPS, 2016). Kabupaten Gowa secara administratif berbatasan dengan Kota
Makassar, sehingga mendorong terjadinya urbanisasi serta mengakibatkan pertambahan
jumlah penduduk di daerah perkotaan, terutama di Kecamatan Somba Opu. Hal ini
menyebabkan munculnya permukiman kumuh di Kecamatan Somba Opu, berdasarkan
SK Penetapan Lokasi Perumahan dan Permukiman Kumuh di Kabupaten Gowa Tahun
2015, No. 175/ II/ 2015, ditetapkan 19 lingkungan permukiman kumuh pada 14 kelurahan di
Kecamatan Somba Opu dengan total luasan 196,15 Ha.
107 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Beberapa program pemerintah dalam upaya penanganan permukiman kumuh telah
dilakukan, salah satunya adalah program Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas
Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP), Menuju Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) tahun
2019. Tujuan umum program KOTAKU, adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur
dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan guna mendukung terwujudnya
permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan. Pemerintah
Kabupaten Gowa melakukan pencanangan Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), berupa program
pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat untuk mempercepat penanganan
kumuh perkotaan. Program Kotaku Kabupaten Gowa dimulai dari penanganan sampah,
melalui program Gowa Kota Tanpa Sampah. Dibentuk 25 orang Satuan Petugas Peduli
Lingkungan di setiap kelurahan yang bertugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat
terkait penataan lingkungan, hidup bersih dengan melakukan pengelolaan persampahan.
Namun untuk mengatasi permukiman kumuh sebaiknya terlebih dahulu ditentukan
karakteristik prasarana dari permukiman kumuh yang ada, dan kesesuaian penggunaan
lahan terhadap RTRW, agar dapat dirumuskan strategi penanganan yang tepat.
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan perencanaan penanganan permukiman
kumuh sesuai dengan karakteristik permukiman kumuh dan tingkat kekumuhan di
Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa.
B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana karakteristik prasarana permukiman kumuh di Kecamatan Somba
Opu Kabupaten Gowa?
2. Bagaimana tingkat kumuh dan permasalahan spesifik permukiman kumuh di
Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa?
3. Bagaimana perencanaan penanganan permukiman kumuh di Kecamatan Somba
Opu Kabupaten Gowa dari aspek peningkatan kualitas permukiman?
Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa yaitu
pada permukiman kumuh di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Bontoramba (Lingkungan
Bontobaddo, RT 13/04) dan Kelurahan Tamaruang (Lingkungan Paggentungang, RT 01/03),
dan Kelurahan Batangkaluku (Lingkungan Karetappa, RT 04/04).
Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang bersifat deskriptif
dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang karakteristik
permukiman dan tingkat kumuh di lokasi penelitian yang berada di Kecamatan Somba
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI108
Opu. Berdasarkan metodenya, penelitian ini merupakan penelitian survei, menggunakan
kuesioner dan observasi langsung terhadap prasarana yang ada di lokasi penelitian. Populasi
dalam penelitian ini adalah masyarakat di permukiman kumuh pada tiga Kelurahan, yaitu
Kelurahan Bontoramba, Kelurahan Tamarunang dan Kelurahan Batangkaluku dengan
total jumlah penduduk 305 KK. Sampel yang akan digunakan adalah 41 KK di Kelurahan
Bontoramba, 10 KK di Kelurahan Tamarunang, dan 24 KK di Kelurahan Bontoramba.
Tahapan analisis dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis deskriptif
kualitatif dan kuantitatif untuk menganalisis karakteristik prasarana permukiman kumuh,
dibantu dengan alat analisis scoring atau pembobotan untuk mengetahui tingkat
kekumuhan. Perencanaan penanganan permukiman kumuh menggunakan metode analisis
development, yaitu analisis AHP menggunakan tools atau software pendukung yaitu
Expert Choise Versi 11. Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan metode pengambilan
keputusan berkriteria majemuk (Saaty, 1993). AHP dapat melakukan analisis secara simultan
dan terintegrasi antara parameter-parameter yang kualitatif atau bahkan yang intangible
dan yang kuantitatif (Baja, 2012).
C. Pembahasan
1. Karakteristik Prasarana Lingkungan
Permukiman kumuh yang ada di lokasi permukiman berada di lahan legal, yang sesuai
dengan pola ruang RTRW Kab. Gowa Thn. 2012-2032, peruntukan permukiman.
Berdasarkan parameter untuk tingkat kepadatan bangunan, ketiga lokasi penelitian
memiliki tingkat kepadatan rendah, ≤200 unit/Ha, dengan kepadatan tertinggi
hanya 28,24% di Kelurahan Bontoramba.
Untuk melihat kondisi bangunan terkait penataan bangunan harus memenuhi
ketentuan tata bangunan RDTR dan tata kualitas lingkungan RTBL, namun Kab.
Gowa belum mensahkan RDTR sebagai peraturan daerah. Oleh karenanya, untuk
melihat penataan bangunan dalam penelitian ini melihat dari kepemilikan IMB,
dengan pertimbangan bahwa untuk memiliki IMB maka bangunan harus memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan oleh Bidang Tata Ruang, Dinas Pekerjaan Umum
dan Penataan Ruang Kab. Gowa. Di Kelurahan Bontoramba, dari total 41 responden,
39 responden tidak memiliki IMB, dengan persentase 95,12%. Responden yang
memiliki IMB sebanyak 2 responden dengan persentase 4,88%. Dari hasil analisis
tersebut diketahui bahwa kebanyakan rumah yang berada di lokasi penelitian tidak
memiliki IMB, hal ini menjadi indikasi kurangnya pengawasan terhadap penataan
bangunan di lokasi penelitian, meskipun berada di kawasan perkotaan yang mudah
109 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
dijangkau untuk dilakukan pengawasan. Di Kelurahan Tamarunang, dari total 10
responden yang menjadi sampel, terdapat 7 responden yang tidak memiliki IMB,
dengan persentase 70%. Responden yang memiliki IMB sebanyak 3 responden dari
10 responden sebagai sampel, dengan persentase 30%. Sebesar 75% responden di
Kelurahan Batangkaluku tidak memiliki IMB, dan berdasarkan pengamatan langsung
di lokasi penelitian terlihat bahwa kondisi hunian tidak teratur, karena tidak dibatasi
oleh garis sempadan bangunan serta aturan terkait orientasi bangunan. Sebesar 6%
dari responden yang memiliki IMB, selanjutnya tidak memiliki IMB untuk renovasi
rumah yang mereka lakukan. Sebagai contoh, rumah yang awalnya dimiliki oleh
orang tua mereka memiliki IMB, telah direnovasi dengan membagi rumah tersebut
menjadi beberapa unit rumah. Dari kondisi bangunan, rumah permanen paling
sedikit dijumpai di Kelurahan Bontoramba (4,88%), dan paling banyak berada di
Kelurahan Tamarunang (70%). Bangunan semi permanen di Kelurahan Bontoramba
(46,34%).
Kondisi permukaan jalan di Kelurahan Batangkaluku lebih baik jika dibandingkan
dengan lokasi penelitian lainnya, pada umumnya adalah paving blok (79,17%), dan
20,83% rumah responden yang masih dialui jalanan tanpa perkerasan (tanah). Di
Kelurahan Tamarunang kondisi permukaan jalan sangat memprihatinkan, 90%
dari tanah. Kondisi permukaan jalan di Kelurahan Bontoramba sudah baik, dengan
51,22% dari paving blok, meskipun masih ada jalan tanah tanpa perkerasan, dan
beberapa rumah tidak dilalui akses jalan lingkungan (19,51%). Untuk aspek air bersih,
responden dari lokasi penelitian tidak mengakses jaringan PDAM, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan akan air bersih mereka membeli air siap minum kemasan
galon yang telah diolah, namun depot air minum kemasan tersebut tidak berada di
lokasi penelitian.
Dari pengamatan di lokasi penelitian masih terdapat rumah yang tidak
terhubung dengan jaringan drainase, persentase paling banyak terdapat di
Kelurahan Bontoramba, yaitu 78,05%, dan Kelurahan Tamarunang 70%, sedangkan
Kelurahan Batangkaluku terendah 29,17%. Di Kelurahan Batangkaluku dan
Kelurahan Tamarunang 100% responden memiliki MCK sendiri di rumah masing-
masing. Hal ini memperlihatkan tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya
MCK dalam sebuah hunian. Di Kelurahan Bontoramba masih ada responden yang
belum memiliki MCK di rumah sendiri (7,32%).
Aspek pengelolaan sampah, tidak tersedianya bak/kontainer sampah di 3
lokasi penelitian, semakin diperparah dengan tidak adanya petugas kebersihan
untuk mengambil sampah yang ada di permukiman. Pada Kelurahan Batangkaluku,
lebar jalan yang sempit, 79,17% lebar ≥ 0,8 - 2,0 meter, ukuran lebar jalan demikian
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI110
menyebabkan sulitnya akses mobil damkar jika terjadi musibah kebakaran, selain itu
di Kelurahan Batangkaluku tidak tersedia Hidran, yang seharusnya tersedia di tepi
jalan setiap jarak 200 meter, atau tersedia tandon air (kolam, air mancur, reservoar,
dan sebagainya) untuk proteksi kebakaran.
2. Identifikasi Tingkat Kumuh
Tingkat kekumuhan ditinjau dari komponen penilaian terhadap prasarana
permukiman. Penilaian diberikan nilai 5 untuk kumuh berat, 3 untuk kumuh sedang,
dan 1 untuk kumuh ringan, yang kemudian dijumlahkan. Kumuh berat bila memiliki
nilai 71-95, kumuh sedang bila memiliki nilai 45-70, kumuh ringan bila memiliki nilai
19-44. Hasilnya, lokasi penelitian yang termasuk dalam kategori tingkat kumuh
sedang adalah Kelurahan Bontoramba (total skor 63), dan Kelurahan Batangkaluku
(total skor 47), sedangkan Kelurahan Tamarunang (total skor 44) digolongkan ke
dalam kategori tingkat kumuh ringan.
3. Penanganan Permukiman Kumuh
Perencanaan tersebut juga ikut mempertimbangkan hasil AHP menggunakan
Expert Choice Versi 11 dalam penentuan model penanganan permukiman kumuh,
menggunakan hierarki. Dari hasil analisis menggunakan AHP, untuk tiga lokasi
penelitian, preferensi model penanganan terpilih adalah bentuk on site upgrading,
Kelurahan Bontoramba (skor 0,513), Kelurahan Tamarunang (skor 0,545), Kelurahan
Batangkaluku (skor 0,541).
Model on site upgrading yaitu penataan kembali atau peremajaan permukiman
kumuh tanpa memindahlokasikan tempat tinggal yang terdapat di permukiman
tersebut, bisa berupa land sharing, atau program perbaikan kampung. Untuk
memilih alternatif, dilakukan perbandingan antara persyaratan alternatif on site
upgrading dan alternatif program perbaikan kampung dengan kondisi eksisting di
lokasi penelitian, sehingga alternatif yang dapat diterapkan untuk ketiga lokasi
penelitian adalah Program Perbaikan Kampung.
Skema umum perumusan konsep dan strategi peningkatan kualitas
permukiman kumuh berupa kegiatan peremajaan permukiman kumuh dapat
dilakukan di Kelurahan Bontoramba (Lingkungan Bontobaddo, RT. 13/04) dan di
Kelurahan Batangkaluku (Lingkungan Karetappa, RT. 04/04), sedangkan kegiatan
pemugaran permukiman kumuh dilakukan di Kelurahan Tamarunang (Lingkungan
Paggentungang, RT. 01/03).
111 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
4. Pembahasan
Penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik permukiman adalah permukiman
kumuh perkotaan yang sesuai dengan fungsi permukiman dan berada di lahan
yang legal namun kondisi sarana dan prasarana masih kurang memadai. Ketiga
lokasi penelitian dilihat dari lingkup kelurahan saling berbatasan satu sama lainnya,
sehingga memiliki karakteristik dan permasalahan yang hampir serupa. Tahapan
identifikasi karakteristik permukiman kumuh dengan cara identifikasi secara
mendalam, langkah identifikasi ini sangat penting untuk dilakukan sebelum proses
perumusan arahan dalam penelitian (Fitria & Setiawan, 2014).
Hasil skor untuk menentukan tingkat kumuh memperlihatkan bahwa
permasalahan yang paling parah terjadi di Kelurahan Bontoramba (total skor 63).
Hal ini disebabkan karena luas permukiman yang besar (5,95 Ha) dan jumlah unit
rumah yang banyak (168 unit) jika dibandingkan lokasi penelitian lainnya. Kelurahan
Tamarunang (total skor 44) termasuk kumuh ringan meskipun memiliki skor yang
berada di ambang batas maksimal untuk kategori kumuh ringan (skor 19-44). Hal
ini memperlihatkan bahwa Kelurahan Tamarunang jika tidak segera dilakukan
penanganan peningkatan kualitas permukiman, dapat menyebabkan kategori
tingkat kumuh ringan meningkat menjadi kumuh sedang. Kelurahan Batangkaluku
(total skor 47) berada dekat dengan ambang batas minimum untuk kategori kumuh
sedang (skor 45-70), sehingga jika dilakukan penanganan yang tepat dapat dengan
mudah menurunkan kategori tingkat kumuh menjadi kumuh ringan, dan jika
dilakukan upaya lebih maksimal dapat membuat permukiman ini menjadi bebas
kumuh.
Untuk permasalahan spesifik, penelitian ini menunjukkan bahwa permukiman
kumuh di Kelurahan Bontoramba dan Kelurahan Batangkaluku terkait dengan
5 apsek prasarana dasar permukiman, yaitu bangunan, pengelolaan sampah,
drainase, air bersih, dan proteksi kebakaran. Yang menjadi permasalahan spesifik
permukiman kumuh di Kelurahan Tamarunang terkait dengan 6 aspek prasarana
dasar, yaitu bangunan, jalan lingkungan, air bersih, drainase, pengelolaan sampah,
dan proteksi kebakaran. Menurut Haryanto (2006), permukiman kumuh adalah
tempat rumah dan kondisi hunian masyarakat di permukiman tersebut sangat
buruk, rumah dan sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang
berlaku, baik standar kebutuhan kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat,
kebutuhan air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan,
ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya. Oleh karenanya untuk
mengatasi permukiman dengan peningkatan kualitas, digunakan hasil alternatif
yang merupakan preferensi utama dari analisis AHP, yaitu model penanganan on
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI112
site upgrading dengan program perbaikan kampung, ditentukan jenis kegiatan yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas permukiman kumuh berdasarkan
permasalahan spesifik yang ada di tiap permukiman.
D. KesimpulanKarakteristik permukiman kumuh di Kecamatan Somba Opu, merupakan permukiman
kumuh yang berada di perkotaan, namun memiliki kondisi sarana dan prasarana yang
tidak sesuai standar teknis baik dari jangkauan pelayanan, kualitas, bahkan tidak tersedia
sarana dan prasarana. Di ketiga lokasi penelitian tingkat kepadatan bangunan rendah.
Hal ini dapat menjadi peluang lahan yang memadai untuk menempatkan prasarana
dasar. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat kumuh sedang di Kelurahan Bontoramba dan
Kelurahan Batangkaluku, sedangkan Kelurahan Tamarunang termasuk kumuh ringan.
Aspek yang paling sering menjadi permasalahan dan memberikan skor tinggi dalam
penilaian tingkat kumuh adalah sampah, air bersih, drainase, proteksi kebakaran. Aspek
pengelolaan air limbah di ketiga lokasi penelitian tidak menjadi permasalahan spesifik.
Di ketiga lokasi penelitian layanan pengelolaan sampah dan air minum (PDAM) tidak
menjangkau permukiman kumuh, sedangkan kondisi drainase buruk, tanpa material
pelapis, jaringan tersumbat, kotor dan berbau, menyebabkan permukiman tidak sehat.
Skala lingkungan penelitian maupun unit rumah itu sendiri, tidak menyediakan proteksi
kebakaran. Arahan penanganan permukiman kumuh dari peningkatan kualitas didasari
oleh karakteristik dan tingkat kumuh. Model penanganan yang paling tepat berdasarkan
preferensi expert menggunakan AHP adalah on site upgrading, dalam bentuk Program
Perbaikan Kampung. Ketiga lokasi penelitian berada dalam lokasi yang legal, sehingga
arahan untuk tingkat kumuh sedang (Kelurahan Bontoramba dan Kelurahan Batangkaluku)
adalah peremajaan, dan untuk tingkat kumuh ringan (Kelurahan Tamarunang) adalah
pemugaran.
E. Kebijakan1. Lokasi permukiman yang berada di perkotaan dapat dijadikan peluang
untuk memperluas akses sarana dan prasarana permukiman yang lebih baik.
Pemerintah perlu memperluas layanan sarana dan prasarana untuk menjangkau
permukiman kumuh, terutama pengelolaan sampah dan jaringan air minum
(PDAM). Kondisi permukiman di lokasi penelitian termasuk dalam tingkat
kepadatan bangunan kategori rendah, sehingga lahan yang masih ada, sebaiknya
dimanfaatkan sebaik mungkin, dapat dijadikan fasilitas bersama sehingga dapat
meningkatkan kualitas permukiman dan kualitas hidup masyarakat, dengan
113 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
menata sarana dan prasarana permukiman, selain itu dapat dijadikan RTH
yang dikelola dengan baik berupa taman bermain ataupun lapangan olahraga,
pemerintah dapat melibatkan pihak swasta, misalnya dalam bentuk program
CSR.
2. Pemerintah perlu melakukan penanganan permukiman kumuh berdasarkan
tingkat kumuh dan permasalahan spesifik yang ada di masing-masing lokasi
permukiman kumuh, terutama sarana dan prasarana sampah, air minum
(jaringan PDAM), drainase, proteksi kebakaran. Proteksi kebakaran merupakan
hal yang baru dimasukkan dalam aspek penilaian permukiman kumuh di Permen
PUPR No.2/PRT/M/2016. Oleh karenanya pemerintah perlu meningkatkan
sosialisasi terkait proteksi kebakaran.
3. Kualitas permukiman di Kelurahan Batangkaluku perlu segera diperbaiki maka
besar kemungkinan untuk menurunkan kategori tingkat kumuh menjadi kumuh
ringan dan harapan selanjutnya adalah menjadikan Kelurahan Batangkaluku
bebas kumuh. Pemerintah dapat melaksanakan penanganan permukiman
kumuh di lokasi penelitian melalui on site upgrading dalam bentuk Program
Perbaikan Kampung.
4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melengkapi dan menyempunakan
hasil penelitian ini melalui rumusan strategi penanganan permukiman kumuh,
dengan menambahkan analisis terkait aspek sosial ekonomi.
11EFEKTIVITAS PENGELOLAAN INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH KOMUNAL BERBASIS MASYARAKAT DI KOTA MAKASSAR
► Nama : Lutfi Diana Wati
► Unit Organisasi : Badan Lingkungan Hidup Daerah Pemerintah Kota
Makassar
► Program Studi : Perencana dan Pengembangan Wilayah
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Hasanuddin
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI116
ABSTRAKPengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar masih belum berjalan
seperti yang diharapkan terutama dalam menjamin keberlanjutannya. Penelitian ini
bertujuan untuk menilai tingkat efektivitas pengelolaan instalasi pengolahan air limbah
komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar dan memberikan arahan pengelolaan
IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar. Penelitian dilaksanakan pada 81
unit IPAL komunal di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengumpulan data
dilakukan melalui observasi, wawancara, kuisioner, dan telaah dokumen. Data dianalisis
secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
efektivitas pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar terkategori
tinggi dan sedang. Arahan pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota
Makassar adalah meningkatkan pemahaman pada masyarakat proyek IPAL komunal
berbasis partisipatif, meningkatkan kerja sama dengan lembaga nonpemerintah dalam
pengelolaan IPAL komunal dan mengembangkan kapasitas dan kelembagaan pengelola
IPAL komunal.
► Kata Kunci: IPAL Komunal, Efektivitas Pengelolaan IPAL, Arahan Pengelolaan
117 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTCommunity-based communal Installation of the waste water management in Makassar
is still not working as expected especially in ensuring its sustainability. This study aimed
to assess the effectiveness of the community-based communal installation of the waste
water management in Makassar and to provide direction of communal Installation of
the waste water management in Makassar. The study was conducted in 81 locations
of communal WWTP in Makassar, South Sulawesi Province. The data were collected
using observation, interviews, questionnaires and document review. The communal
Community Based IPAL in Makassar City was analyzed using the descriptive quantitative
and qualitative analysis. Research results indicated that the level of effectiveness of
the communal community-based communal management in Makassar City could be
categorized as high level and moderate level of effectiveness. The directions was to inform
the community that the development of communal project of IPAL is a participative
project, to increase cooperation with the non-governmental institutions and to increase
capacity and institutional management of communal IPAL manager.
► Keywords: Communal IPAL, Effectiveness of IPAL Management, Management
Direction
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI118
EFEKTIVITAS PENGELOLAAN INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH KOMUNAL
BERBASIS MASYARAKAT DI KOTA MAKASSARA. Latar BelakangCapaian akses sanitasi di Indonesia tahun 2015 baru mencapai 62,41% (BPS Provinsi Sulsel,
2016). Sementara RPJMN 2015—2019 mengamanatkan target akses universal sanitasi
pada tahun 2019 harus mencapai 100%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya percepatan
pembangunan di bidang sarana sanitasi mutlak harus dilakukan sebagai upaya pencapaian
tujuan penting pembangunan berkelanjutan (Sustain Development Goal/SDGs) yakni
menyangkut sanitasi lingkungan. Salah satu kegiatan sanitasi lingkungan yang tengah
dipromosikan adalah pembangunan IPAL komunal.
Hingga tahun 2015 sudah terdapat 103 Unit IPAL komunal dengan kapasitas 30-100
Sambungan Rumah yang dikelola oleh masyarakat yang dibangun dari berbagai sumber
dana dan program antara lain APBN (Sanimas, SLBM, Pamsimas, USRI) dan APBD Kota
Makassar (Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengelolaan Air Limbah, 2016). Bahkan sebanyak
29 unit IPAL komunal akan dibangun pada beberapa kelurahan yang tersebar Kota
Makassar pada tahun 2017. Dari 103 unit prasarana yang telah dibangun hanya sekitar
40% yang dimanfaatkan. Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh UPTD PAL
Tahun 2016 mencatat bahwa hanya sekitar 26 unit yang berfungsi baik, 30 unit dalam
kondisi rusak ringan, 30 unit dalam kondisi rusak berat, dan 17 unit tidak difungsikan. Hal
ini mengindikasikan bahwa terjadi masalah yang serius dalam pengelolaan IPAL komunal
terutama dalam menjamin keberlanjutan sistem pengelolaannya.
Kendala teknis pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar adalah kondisi saluran
yang tersumbat dikarenakan tidak adanya pemeliharaan lanjutan oleh masyarakat
pengelola sehingga IPAL komunal yang sudah di bangun menjadi terbengkalai. Dalam
aspek pemanfaatan, pengelolaan IPAL komunal tidak efektif dikarenakan adanya perilaku
masyarakat yang belum percaya sepenuhnya akan manfaat IPAL komunal bagi dirinya dan
lingkungannya. Dalam aspek kelembagaan, kurangnya partisipasi masyarakat pengguna
hingga kurangnya koordinasi beberapa pihak yang berkepentingan seperti dinas terkait,
fasilitator dan masyarakat menjadi penyebab pengelolaan IPAL komunal tidak berjalan
efektif. Dalam aspek keuangan, adanya ketidakseimbangannya jumlah penerimaan dan
pengeluaran keuangan menjadi penyebab pengelolaan IPAL komunal berjalan tidak
efektif dan aspek peran serta masyarakat disebabkan kurangnya peran masyarakat dari
119 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
awal perencanaan hingga pemeliharaan IPAL komunal. Program IPAL komunal dianggap
hanya mementingkan penyediaan sarana fisik semata tanpa memperhatikan kesiapan
masyarakat dalam mengelola sarana tersebut. Disisi lain, harapan stakeholders adalah
adanya keberlanjutan kegiatan dengan diadopsinya program
tersebut oleh pemerintah daerah dan masyarakat, sehingga sistem pengelolaan
IPAL komunal dapat berjalan dengan baik.
Afandi dkk (2013), telah melakukan penelitian tentang Status Keberlanjutan Sistem
Pengelolaan Air Limbah Domestik Komunal Berbasis Masyarakat Di Kota Probolinggo.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek pembiayaan merupakan aspek yang sensitif
di kedua lokasi penelitian yang disebabkan oleh dominasi pemerintah dalam investasi
pembangunan sangat tinggi dibandingkan peran masyarakat. Suardi (2010), telah
melakukan penelitian tentang Efektivitas Pelaksanaan Program Penyediaan Air Minum
dan Sanitasi Berbasis Masyarakat Di Kelurahan Totoli, Kecamatan Banggae, Kabupaten
Majene. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelibatan seluruh komponen masyarakat
berpengaruh besar pada proses perencanaan kegiatan. Penelitian tentang partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan IPAL komunal juga dilakukan oleh Ifrah (2013), yang
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat partisipasi masyarakat di Kelurahan
Layang dengan Kelurahan Maradekaya Utara, yaitu masyarakat Kelurahan Layang
memiliki antusias yang tinggi untuk ikut terlibat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan,
pemeliharaan, dan pemanfaatan. Masyarakat Kelurahan Maradekaya Utara memiliki
antusias yang rendah karena kurangnya sosialisasi dari Badan Keswadayaan Masyarakat
(BKM). Faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat ditinjau dari sisi internal
adalah faktor kesehatan, peran BKM/KSM/KPP dan peran ketua RW, sedangkan ditinjau
dari sisi eksternal adalah kondisi saluran drainase, peran Dinas PU, peran fasilitator/
konsultan dan kesalahan pelaksanaan konstruksi.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat efektivitas pengelolaan IPAL komunal
berbasis masyarakat di Kota Makassar ditinjau dari aspek teknis, aspek pemanfaatan,
aspek kelembagaan, aspek keuangan dan aspek peran serta masyarakat dan untuk
memberikan arahan pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar.
B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat efektivitas pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat
di Kota Makassar ditinjau dari aspek teknis, aspek pemanfaatan, aspek
kelembagaan, aspek keuangan dan aspek peran serta masyarakat?
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI120
2. Bagaimana arahan pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota
Makassar?
Tipe penelitian adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan
tentang efektivitas pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar
ditinjau dari aspek teknis, pemanfaatan, kelembagaan, keuangan dan peran serta
masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei
dilakukan terhadap IPAL komunal yang dibangun oleh Program SPBM-USRI di Kota
Makassar. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif.
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menggambarkan tanggapan responden terhadap
objek berdasarkan kuesioner yang diberikan. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif
digunakan untuk menentukan arahan pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar.
Lokasi penelitian adalah lokasi IPAL komunal Program SPBM-USRI yang ada di Kota
Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan dari bulan
Januari—Maret 2017. Proses pengambilan data dilakukan pada masing-masing lokasi IPAL
komunal, Kantor Bappeda Kota Makassar, Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kota Makassar,
Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar dan UPTD. Pengelolaan Air Limbah Kota
Makassar.
C. Pembahasan
1. Aspek Teknis
Penilaian aspek teknis pengelolaan IPAL komunal adalah penilaian terhadap kondisi
fisik IPAL komunal, pengoperasian dan pemeliharaan IPAL komunal. Hasil penelitian
mengenai kondisi fisik IPAL ditemukan bahwa sebanyak 45,7% IPAL dalam keadaan
berfungsi tapi tidak terawat dengan kondisi inlet dan outlet adalah sebanyak 43,2%
dan 45,7% dalam keadaan berpenutup tapi tersumbat. Sementara itu, pada variabel
pengoperasian tentang pengoperasian IPAL komunal, sebanyak 48,1% responden
menyatakan mudah sementara sistem penyaluran air limbah kadang tersumbat
dengan persentase 35,8%. Pada variabel pemeliharaan menyatakan bahwa
pemeliharaan jaringan pipa air limbah dilakukan hanya jika terjadi gangguan dengan
persentase 64,2% dan responden yang telah menerima SOP pengoperasian dan
pemeliharaan SPAL dan secara tertulis dengan persentase 53,1%. Sebanyak 66,7%
IPAL komunal belum pernah dilakukan pengurasan lumpur tinja. Pengoperasian
dan pemeliharaan IPAL komunal dan jaringannya tidak dilakukan berdasarkan SOP
yang ada. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap SOP pengoperasian dan
pemeliharaan menyebabkan masyarakat pengguna tidak mengetahui secara jelas
121 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
pemeliharaan IPAL komunal dan jaringannya. Berdasarkan rata-rata hasil penilaian
aspek teknis pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar berada pada tingkat
efektivitas sedang.
2. Aspek Pemanfaatan
Penilaian pada aspek pemanfaatan pengelolaan IPAL komunal adalah penilaian
terhadap kondisi selokan/got, kondisi lingkungan sekitar, dan pengembangan
Sambungan Rumah (SR) setelah adanya IPAL komunal. Sebanyak 77,8% menyatakan
bahwa kondisi selokan/got di sekitar IPAL komunal menjadi tidak berbau, mengalir
dan tidak ditemukan endapan dan tinja. Sementara itu kondisi lingkungan di sekitar
IPAL komunal juga tidak ditemukan sampah, banyak terdapat pohon penghijauan/
tanaman serta penataan lingkungan yang asri dengan persentase 38,3%. Namun
sebanyak 81,5% IPAL komunal tidak ada penambahan sambungan rumah. Sebagian
masyarakat masih ragu untuk menyambungkan saluran air limbahnya ke jaringan
perpipaan IPAL komunal karena takut jika suatu saat terjadi kebuntuan yang
menimbulkan terjadinya aliran balik. Berdasarkan rata-rata hasil penilaian aspek
pemanfaatan pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar berada pada tingkat
efektivitas sedang.
3. Aspek Kelembagaan
Penilaian pada aspek kelembagaaan pengelolaan IPAL komunal adalah penilaian
terhadap fungsi kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan
dan sinergitas stakeholder dalam pengelolaan IPAL komunal. Pada variabel fungsi
kelembagaan masyarakat menyatakan masyarakatlah yang menunjuk pengelola
IPAL dengan persentase 60,5% masyarakat juga yang membuat keputusan terkait
dengan permasalahan pengelolaan IPAL dengan persentase 54,3%. Sementara itu,
pelayanan operasional dan pemeliharaan/perbaikan oleh pengelola telah dilakukan
dengan baik dengan persentase 50,6% dan sebanyak 76,5% responden pernah
mendapatkan pelatihan tentang pengelolaan sanitasi berupa seminar dan sosialisasi
dan Pemerintah Kota Makassar telah menyelenggarakan kegiatan pelatihan/
penyuluhan terkait pengelolaan air limbah setahun sekali dengan persentase 63,0%.
Selanjutnya pada variabel sinergitas stakeholders tentang peran dari instansi terkait
yakni UPTD PAL dalam rangka pembinaan pengelolaan IPAL komunal, sebanyak
65,4% menyatakan baik. Demikian pula sinergitas pemerintah kota (UPTD PAL-Pokja
AMPL-Kecamatan-Kelurahan-RW-RT) terkait pengelolaan IPAL komunal sudah baik
dengan persentase 48,1%. Dapat dikatakan bahwa Dinas Pekerjaan Umum Kota
Makassar telah melakukan upaya peningkatan kapasitas dalam pengelolaan IPAL
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI122
komunal di Kota Makassar. Berdasarkan rata-rata hasil penilaian aspek kelembagaan
pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar berada pada tingkat efektivitas tinggi.
4. Aspek Keuangan
Penilaian aspek keuangan pengelolaan IPAL komunal adalah penilaian terhadap
biaya operasional, pemeliharaan, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam
pengelolaan IPAL komunal. Mekanisme pembiayaan dalam pengoperasian dan
pemeliharaan IPAL komunal dilakukan dengan iuran bulanan dengan persentase
54,3% dan mekanisme penetapan biaya operasional dan pemeliharaannya sebanyak
63,0% dilakukan oleh masyarakat. Sebanyak 53,1% responden menyatakan besaran
iuran tersebut cukup apabila dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk
operasional dan pemeliharaan. Pada variabel kemauan dan kemampuan masyarakat
sebanyak 51,9% anggota KPP memiliki kemampuan membayar iuran tersebut setiap
bulan. Masyarakat menilai bahwa besaran iuran pemanfaatan sarana sudah sesuai
dengan kemampuan dan kemauan masyarakat dalam membayar namun apabila
terjadi gangguan pada IPAL komunal, masyarakat masih mengharapkan peran
pemerintah untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut. Berdasarkan rata-
rata hasil penilaian aspek keuangan pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar
berada pada tingkat efektivitas sedang.
5. Aspek Keuangan
Penilaian aspek peran serta masyarakat dalam pengelolaan IPAL komunal adalah
penilaian terhadap peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan,
perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan IPAL komunal. Sebanyak 35,8%
masyarakat berinisiatif dalam program pembangunan IPAL komunal dan
sebanyak 65,4% responden menyatakan bahwa anggota KPP terlibat dalam setiap
pertemuan yang membahas program tersebut. Keterlibatan anggota KPP terlibat
dalam pembangunan IPAL komunal sebanyak 64,2%. Sebanyak 74,1% responden
menyatakan bahwa anggota KPP terlibat dalam pemeliharaan IPAL komunal.
Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan IPAL tidak dapat diwujudkan dalam
bentuk in cash mengingat keterbatasan perekonomian masyarakat. Berdasarkan
rata-rata hasil penilaian aspek peran serta masyarakat dalam pengelolaan IPAL
komunal di Kota Makassar berada pada tingkat efektivitas sedang.
6. Pembahasan
123 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Penelitian ini menunjukkan tingkat efektivitas pengelolaan IPAL komunal berbasis
masyarakat berada dalam tingkat sedang dan tinggi. Aspek teknis, pemanfaatan,
keuangan dan peran serta masyarakat berada dalam tingkat efektivitas sedang,
sedangkan aspek kelembagaan berada dalam tingkat efektivitas tinggi.
Pada aspek teknis, hanya 22 IPAL saja yang berfungsi dan terawat. Kurangnya
pemeliharaan IPAL menyebabkan IPAL tidak dapat berfungsi dengan efektif.
Bahkan hanya 9 unit IPAL yang pernah melakukan penyedotan berkala dalam kurun
2-3 tahun. Padahal menurut Petunjuk Teknis Operasi dan Pemeliharaan Sanitasi
Perkotaan Berbasis Masyarakat USRI, pengguna dan operator wajib melakukan
pemeliharaan berkala. Sebanyak 51,9% responden menyatakan sulit mengoperasikan
IPAL komunal. Selain itu, saluran sering tersumbat oleh sampah popok bayi, plastik
dan sampah lainnya. Hal ini karena masyarakat masih memiliki kebiasaan membuang
sampah sembarangan, sehingga diperlukan adanya sosialisasi lebih lanjut mengenai
operasi IPAL dalam skala rumah tangga (Haris, 2007).
Efektivitas pengolahan air limbah tidak dapat berjalan dengan efektif apabila
bak IPAL komunal penuh dengan lumpur yang mengendap. Rata-rata volume
lumpur tinja yang dihasilkan manusia adalah sebesar 0,5 liter/orang/hari (Johannis
dkk., 2009). Jika rata-rata satu IPAL komunal di Kota Makassar memiliki 50 SR (1
SR = 5 orang), timbulan lumpur yang dihasilkan selama 2 tahun adalah 91,25 m3.
Sedangkan untuk 50 KK, dimensi bak pengendapan IPAL komunal hanya (1,5 x 1,85 x
2,5) m ~ 7 m3. Apabila tidak dilakukan pengurasan selama 2 tahun, air limbah tidak
akan melalui proses pengolahan melainkan hanya melintas di atas endapan lumpur
saja. Oleh karena itu, diperlukan pengadaan sarana pemeliharaan IPAL komunal
terutama armada pengurasan lumpur tinja.
Pada aspek pemanfaatan, 77,8% menyatakan bahwa program IPAL komunal
memberikan dampak positif terhadap lingkungan sekitar terutama kondisi got/
selokan dikarenakan IPAL komunal mampu menurunkan zat pencemar dalam air
limbah. Hanya sebanyak 18,5% IPAL yang menambah Sambungan Rumah. Hal ini
disebabkan adanya aliran balik air limbah yang disebabkan oleh kemiringan pipa
yang tidak tepat, kesalahan konstruksi maupun penyumbatan saluran. Aliran balik
dari luar ke dalam kloset tidak akan terjadi jika pemasangan pipa dilakukan secara
benar, memperhatikan kontur yang ada dan memastikan tidak ada sumbatan. Sejalan
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Ifrah (2013), juga menyatakan bahwa
kesalahan pelaksanaan konstruksi merupakan faktor eksternal yang memengaruhi
partisipasi masyarakat terhadap program. Padahal konsep pembangunan IPAL
komunal adalah berbasis masyarakat yang menitikberatkan pada keterlibatan
masyarakat dalam setiap tahap pembangunan mulai dari tahap perencanaan,
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI124
pembangunan hingga operasional dan pemeliharaan sehingga diharapkan timbul
rasa memiliki dari masyarakat terhadap fasilitas yang ada (Afandi dkk., 2013).
Pada aspek kelembagaan, instansi terkait yaitu Dinas Pekerjaan Umum Kota
Makassar telah melakukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan melalui
Bidang Prasarana dan Bangunan Pemerintah dengan melakukan sosialisasi tentang
pemeliharaan bak kontrol pada masing-masing rumah dan UPTD PAL dengan
sosialisasi langsung ke lokasi IPAL komunal. Kegiatan tersebut terbukti efektif untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pengelolaan IPAL komunal.
Menurut Fatnasari & Hermana (2010), hal-hal yang perlu dilakukan pemerintah
untuk menunjang program sanitasi, terutama pengelolaan air limbah permukiman
adalah melakukan sosialisasi melalui penyuluhan-penyuluhan terkait bidang sanitasi
pada masyarakat, memberikan sanksi yang sepadan bagi masyarakat yang tidak
mengelola air limbah permukimannya serta melibatkan masyarakat pada tahap
perencanaan, pembangunan, operasional dan pemeliharaan dalam program sanitasi.
Sinergitas stakeholders, yaitu pemerintah kota (UPTD PAL-Pokja AMPL-Kecamatan-
Kelurahan-RW-RT) terkait pengelolaan IPAL komunal dan peran instansi terkait
yaitu UPTD PAL dalam rangka pembinaan pengelolaan IPAL komunal juga sudah
baik. Menurut Kurniawan & Wawan (2013), agar pengelolaan air limbah berjalan
dengan baik, maka koordinasi yang solid dan intensif dari masing-masing lembaga
pemerintah terkait pengelolaan air limbah mutlak harus dilakukan.
Ditinjau dari aspek keuangan, hanya 54,3% IPAL komunal yang menerapkan
iuran bulanan, 14,8% hanya membayar iuran ketika ada perbaikan dan 30,9%
berharap pemerintah membiayai pengelolaan IPAL komunal. Padahal kemampuan
warga untuk membayar berhubungan dengan aspek lain dalam pengelolaan IPAL
komunal (Puspita, 2008). Hal ini membuktikan bahwa masyarakat belum sadar
dan memahami sepenuhnya prinsip dasar program SPBM dimana masyarakat
menentukan, merencanakan, membangun dan mengelola sistem yang mereka pilih
sendiri dan pemerintah hanya berperan memfasilitasi inisiatif kelompok masyarakat,
bukan sebagai pengelola sarana. Iuran pemanfaatan sarana juga dapat dialokasikan
sebagai kas dana atau tabungan untuk pengembangan jangka panjang demi
meningkatkan kualitas IPAL (Farahdiba dkk., 2014). Dalam konteks ini, maka peran
pemerintah sangat diperlukan untuk mengadakan sosialisasi tentang pentingnya
sanitasi lingkungan sehingga masyarakat memiliki kemauan untuk membayar iuran
(Oktiawan & Amalia, 2012).
Ditinjau dari aspek peran serta masyarakat, hanya sekitar 35,8% responden
menyatakan bahwa inisiatif program pembangunan IPAL komunal berasal dari
masyarakat selebihnya menyatakan bahwa inisiatif program berasal dari tokoh
125 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
masyarakat dan pemerintah. Hal ini disebabkan karena memang pemerintah
telah menunjuk titik-titik tertentu sebagai sasaran sesuai dengan arahan program.
Dalam tahap pembangunan, dipastikan tidak ada dana masyarakat yang digunakan.
Sebanyak 42% masyarakat hanya memberikan bantuan berupa tenaga/material
saja. Keterbatasan perekonomian menjadi kendala utama anggota KPP untuk
menyumbangkan materi (in cash) sehingga bantuan yang diberikan hanya berupa
tenaga saja (in kind). Alternatif bentuk partisipasi masyarakat menurut Kustiah
(2005), dapat diwujudkan dalam bentuk lahan, sambungan rumah, fasilitas di dalam
rumah (jamban dan kamar mandi), dan tenaga kerja. Menurut Massoud & Akhram
(2010), faktor sumber daya manusia yang meliputi kemauan dan kemampuan
masyarakat dapat memengaruhi efektivitas sistem pengelolaan limbah domestik.
Dalam tahap pemeliharaan IPAL, sebanyak 74,1% responden menyatakan
bahwa anggota KPP bersedia melakukan pemeliharaan IPAL namun kenyataannya
43,2% inlet dan 45,7% outlet dalam keadaan tersumbat. Kendala dalam pemeliharaan
adalah penutup IPAL komunal yang terbuat dari beton cor sehingga berat untuk
dibuka dan tidak adanya alat gelontor pipa yang menyebabkan pipa tersumbat.
Padahal penggelontoran harus dilakukan yaitu menambahkan air dengan debit dan
kecepatan tertentu ke dalam saluran dengan syarat air penggelontoran tidak boleh
mengotori saluran (Ilmi, 2009). Air penggelontor dapat berasal dari air tanah, air
hujan, air minum dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), air sungai, danau,
dan sebagainya.
Selain itu, kebanyakan masyarakat menyerahkan secara penuh pembangunan
IPAL komunal kepada Dinas yang berwenang yaitu Dinas Pekerjaan Umum Kota
Makassar, sehingga rasa ikut memiliki masyarakat terhadap IPAL komunal juga
rendah. Padahal inti konsep pendekatan masyarakat meliputi upaya pendekatan
fundamental dan strategis yang dapat diuraikan secara makro dan mikro sehingga
dengan memahami kondisi masyarakat akan dapat diketahui kebutuhan dan
keinginan masyarakat untuk menunjang keberhasilan program yang dilaksanakan
dengan kemitraan yang terjalin antara pemerintah dan masyarakat dalam
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan Medawaty (2011). Dengan
berpartisipasi terhadap program, lambat laun akan membantu tumbuhnya sense
of community (perasaan kemasyarakatan) di kalangan warga yang pada gilirannya
akan memberi makna terhadap eksistensi mereka sebagai manusia dan mendorong
integrasi sosial (Zubaedi, 2014). Harapannya, pelibatan warga secara aktif dalam
pengorganisasian dan pelaksanaan program bisa mewujudkan dua hasil. Di satu
sisi akan menciptakan program berjalan secara efisien dan sesuai kebutuhan
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI126
masyarakat serta sisi lain akan mentradisikan semangat berdemokrasi di kalangan
mereka (Zubaedi, 2014).
D. KesimpulanKesimpulan penelitian ini adalah tingkat efektivitas pengelolaan IPAL komunal berbasis
masyarakat di Kota Makassar terkategori tinggi dan sedang. Kategori efektivitas
tinggi disebabkan oleh faktor-faktor antara lain Standard Operating Procedure (SOP)
pengoperasian dan pemeliharaan IPAL, dampak positif keberadaan IPAL terhadap kondisi
got/selokan, peran UPTD. Pengelolaan Air Limbah yang sudah melakukan pembinaan
pengelolaan IPAL komunal, pelibatan masyarakat dalam penentuan iuran pemanfaatan
sarana dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pemeliharaan IPAL komunal.
Kategori efektivitas sedang disebabkan oleh faktor-faktor antara lain kondisi saluran
IPAL yang tersumbat, pemeliharaan yang hanya dilakukan pada saat terjadi gangguan,
pengurasan lumpur tinja yang tidak dilakukan secara berkala, belum adanya penambahan
Sambungan Rumah, penyelenggaraan pelatihan/sosialisasi hanya berupa seminar, bukan
pelatihan khusus, iuran pemanfaatan sarana yang belum mencukupi biaya operasi
dan pemeliharaan IPAL komunal dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan
IPAL komunal. Agregat ke semua faktor tersebut menjadi komponen utama dalam
merumuskan arahan pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar.
Arahan pengelolaan IPAL komunal Berbasis Masyarakat di Kota Makassar antara lain
meningkatkan pemahaman pada masyarakat proyek IPAL komunal berbasis partisipatif,
meningkatkan kerja sama dengan lembaga nonpemerintah dalam pengelolaan IPAL
komunal dan mengembangkan kapasitas dan kelembagaan pengelola IPAL komunal.
E. Saran KebijakanBerdasarkan hasil penelitian, berikut ini peneliti kemukakan saran yang dapat dijadikan
pertimbangan antara lain :
1. Dinas Pekerjaan Umum Kota Makassar sebagai leading sector pengelolaan air
limbah di Kota Makassar harus terus-menerus proaktif mengampanyekan dan
menyosialisasikan program IPAL komunal khususnya pada daerah PAKUMIS
(Padat, Kumuh dan Miskin) dan senantiasa melakukan monitoring dan evaluasi
terkait pelaksanaan pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar.
2. Diharapkan muncul komunitas-komunitas berbasis masyarakat yang terpadu
misalnya menggabungkan komunitas pengelola IPAL dan pengelola bank
sampah maupun dengan komunitas kemasyarakatan yang lainnya.
12ANALISIS PENGARUH PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN SOPPENG
► Nama : Sukmawati
► Unit Organisasi : Dinas Pekerjaan Umum & Penataan Ruang Kab.
Soppeng
► Program Studi : Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Hasanuddin
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI128
ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi infrastruktur di Kabupaten
Soppeng, menganalisis pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan
ekonomi di Kabupaten Soppeng, dan merumuskan arahan kebijakan pembangunan
infrastruktur di Kabupaten Soppeng.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif untuk
mendeskripsikan kondisi infrastruktur, regresi linear berganda untuk menganalisis
pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan untuk
merumuskan arahan kebijakan pembangunan infrastruktur digunakan pendekatan
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan kondisi infrastruktur jalan di Kabupaten Soppeng
55,45% dari 898,881 km dalam kondisi rusak, 26,94% dari 193 unit jembatan dalam kondisi
rusak, 26,18% dari 9.708 Ha luas daerah irigasi dalam kondisi rusak, persentase panjang
sungai yang sudah direhabilitasi adalah 38,19%, penambahan luas lahan sawah 339,9
Ha, kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah 1,27%. Anggaran
Infrastruktur jalan dan pengembangan sumber daya air berpengaruh positif signifikan
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Soppeng, anggaran
Infrastruktur jembatan, irigasi, pertanian dan pariwisata tidak berpengaruh terhadap
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Soppeng. Kebijakan penganggaran
diarahkan pada infrastruktur jalan dan infrastruktur pengembangan sumber daya air
yang memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan diprioritaskan pada
wilayah yang membutuhkan.
► Kata Kunci: Anggaran Infrastruktur, PDRB, Pertumbuhan Ekonomi
129 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTThis research aims to (1) Describe the state of infrastructure in Soppeng Regency (2)
Analyze the infrastructure development and its influence on economic growth (3)
Formulate policy direction for respective infrastructure development in Soppeng Regency.
The research method used is quantitative descriptive method to describe the
state of infrastructure, to analyze the effect of infrastructure development on economic
growth is multiple linear regression and to formulate policy direction used qualitative
descriptive method.
The research reveal the results that road infrastructure found 55.45% out pf 898,881
km was poor condition, 26,94% out of 193 bridge was poor condition, 26.18% out of
9708 Ha coverage area for irrigation was also poor condition, 38.19% out of the length
of river banks was rehabilitated, there was 339.9 Ha new area for padi field and share
of tourism sector to local own revenue was 1.27%. In addition allocation fund for road
infrastructure and water supply development have a positive significant on Regional
Domestic Bruto. Futher, fund allocation for bridge, irrigation, agricultural extensification
and tourism promotion statistically were not significant on Regional Domestic Bruto.
Budgeting policy for road infrastructure and water supply expantion both have a positive
contribution on economic growth.
► Keywords: Budget for Infrastructure, Regional Domestic Bruto, Economic Growth
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI130
ANALISIS PENGARUH PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN SOPPENG
A. Latar BelakangPembangunan infrastruktur menjadi isu nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014—2019 yaitu membangun
infrastruktur dasar dan membangun konektivitas nasional dan antarwilayah, di dalamnya
termasuk 46 proyek strategis yang dilakukan untuk menggenjot pembangunan
infrastruktur. Selain itu arah pembangunan jangka menengah sesuai amanat RPJMD
Kabupaten Soppeng 2016—2021 salah satunya menekankan pada pembangunan
infrastruktur. Pentingnya infrastruktur diharapkan mampu membawa kesejahteraan
dan mempercepat pertumbuhan ekonomi sehingga kegiatan ekonomi dapat berjalan
lebih efisien. Banyaknya infrastruktur seperti adanya akses jalan, listrik, dan air bersih di
perlukan untuk mempermudah aktivitas ekonomi yang pada akhirnya akan memengaruhi
pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki prasarana yang
memadai mampu menarik para investor untuk berinvestasi ke daerahnya dan mampu
berkembang cepat dibandingkan dengan wilayah yang memiliki prasarana minim.
Salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi suatu
daerah adalah PDRB. PDRB menggambarkan struktur perekonomian suatu wilayah. Dalam
komposisi PDRB dapat dilihat peranan masing-masing sektor dalam pembentukan PDRB,
yang juga merupakan gambaran pengaruh sektor-sektor ekonomi dalam pengembangan
perekonomian daerah.
Struktur perekonomian di Kabupaten Soppeng masih didominasi oleh sektor
pertanian walaupun memperlihatkan kecenderungan yang menurun. Jika pada tahun
2010, peranan sektor pertanian sebesar 31,95%, pada tahun 2016 sumbangannya turun
menjadi 29,12%. Struktur perekonomian masyarakat Kabupaten Soppeng mulai mengalami
pergeseran ditandai dengan besaran kontribusi sektor lainnya pada tahun 2016 seperti
pedagangan, hotel dan restoran sebesar 15,76%, bangunan/konstruksi sebesar 12,08% dan
sektor jasa-jasa sebesar 14,61%. Selain itu juga ditandai dengan peningkatan kontribusi
sektor industri pengolahan dari 8,54% pada tahun 2010 menjadi 10,16% pada tahun 2016.
131 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Ini menandakan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi dii Kabupaten Soppeng mulai
bergeser ke sektor lain, yaitu sektor perdagangan dan jasa.
Terkait kondisi infrastruktur, selama ini kendala yang dihadapi adalah masalah
pendanaan. Alokasi belanja pemerintah daerah Kabupaten Soppeng untuk pembangunan
infrastruktur dalam tujuh tahun terakhir cenderung berfluktuasi dengan rata-rata 18,63%
APBD. Penganggaran infrastruktur sangat bergantung kepada dana perimbangan dari
pusat. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk memilih kegiatan prioritas
dalam mengalokasikan dana yang terbatas.
Tingkat ketergantungan pada Dana Perimbangan masih relatif tinggi hal ini dapat
dilihat dari proporsi PAD terhadap total APBD masih relatif kecil, yaitu hanya 6,98%
pada tahun 2016. Pemerintah daerah harus lebih meningkatkan kemandirian fiskalnya
dengan menggembangkan sumber-sumber penghasil PAD seperti sektor pariwisata dan
perdagangan.
Dalam upaya mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
pemerintah daerah sebagai otoritas pembangunan dituntut untuk menerapkan kebijakan
yang tepat dalam mengalokasikan pendapatan daerah untuk membiayai berbagai
sektor kehidupan masyarakatnya termasuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Berdasarkan hal tersebut menjadi menarik untuk melihat seberapa besar pengaruh
anggaran pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
Soppenng.
B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan pada latar belakang pemikiran di atas, relevan dilakukan kajian mengenai
bagaimana pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di
Kabupaten Soppeng. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat mendukung penentuan
prioritas pembanguan infrastruktur. Berangkat dari persoalan tersebut, maka penulis
merumuskan masalah yang akan diungkapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kondisi infrastruktur di Kabupaten Soppeng?
2. Bagaimana pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan
ekonomi di Kabupaten Soppeng?
3. Bagaimana arahan kebijakan dalam pembangunan infrastruktur di Kabupaten
Soppeng?
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mendeskripsikan kondisi infrastrutur
di Kabupaten Soppeng dan mengetahui besarnya pengaruh pembangunan infrastruktur
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI132
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Soppeng dan pendekatan kualitatif untuk
menyusun arahan kebijakan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Soppeng. Lokasi
penelitian ini mencakup wilayah dalam lingkup Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi
Selatan. Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Juni 2018 sampai dengan bulan Agustus
2018.
C. Pembahasan
1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Soppeng periode 2016—2021
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) adalah dokumen perencanaan
daerah yang menjadi landasan dan pedoman bagi pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan dan melaksanakan pembangunan selama 5 (lima) tahun. RPJMD
Kabupaten Soppeng tahun 2016—2021 merupakan pelaksanaan periode ketiga
RPJPD Kabupaten Soppeng tahun 2005—2025, ini ditujukan untuk memantapkan
pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan
percepatan pembangunan dan roda perekonomian daerah dipacu melalui penerapan
sistem agribisnis dan agroindustri berlandaskan sumber daya lokal.
Pelaksanaan lebih lanjut RPJMD dijabarkan dalam Rencana Strategi (Renstra)
SKPD lima tahunan. Dokumen Renstra juga dipakai untuk memperkuat landasan
penentuan program dan kegiatan tahunan daerah secara strategis dan berkelanjutan.
Rencana Strategis SKPD dapat dikategorikan sebagai dokumen manajerial wilayah
yang bersifat komprehensif karena mampu memberikan program-program strategis
sesuai dengan kebutuhan masing-masing bidang dalam lingkup SKPD. Keberhasilan
usaha pemerintah daerah untuk mempertemukan antara keinginan masyarakat
dengan fakta kondisi daerah diukur melalui indikator perencanaan strategis dari
program dan kegiatan yang tercantum di dalam Renstra yang dievaluasi melalui
evaluasi kinerja Kepala daerah.
Arah Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten
Soppeng untuk pembangunan infrastruktur sasarannya meliputi peningkatan
kapasitas dan kualitas infrastruktur transportasi, peningkatan kapasitas jaringan
irigasi dalam mendukung peningkatan produksi pertanian, peningkatan jumlah
kunjungan wisata. Adapun permasalahan pembangunan infrastruktur yang menjadi
isu strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten
Soppeng meliputi kondisi jalan, jembatan, prasarana, dan sarana irigasi dalam kondisi
baik masih rendah, aksesibilitas transportasi belum merata, drainase jalan belum
133 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
berfungsi optimal, penurunan produktivitas hasil pertanian karena bencana banjir
dan kekeringan, pengelolaan jaringan irigasi pertanian masih kurang, terbatasnya
sarana dan prasarana pariwisata, berkurangnya pengunjung objek wisata dan
partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata.
Pembangunan infrastruktur transportasi dalam hal ini jalan dan jembatan
menjadi objek vital dalam pengembangan wilayah. Dalam RPJMD terdapat target
yang diharapkan dicapai pada akhir periode dan merupakan visi misi dari pemerintah
daerah terpilih.
Kebijakan pembangunan infrastruktur jalan adalah peningkatan dan
pemeliharaan jalan diprioritaskan untuk mendukung akses dari dan ke wilayah
sekitarnya, menghubungkan akses dari dan ke pusat-pusat kegiatan, mendukung
kelancaran akses ke daerah terpencil dan pembangunan jembatan di prioritaskan
pada daerah yang terisolasi.
Kebijakan pembangunan infrastruktur irigasi adalah peningkatan/
pembangunan konstruksi saluran dan penambahan panjang saluran sehingga dapat
menambah luasan sawah yang teraliri meningkatkaan keterlibatan petani melalui
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam pengelolaan jaringan irigasi. Kebijakan
pembangunan infrastruktur pengembangan sumber daya air adalah mengembangkan
sumber daya air melalui pembuatan sumur-sumur resapan, rehabilitasi waduk dan
embung. Kebijakan pembangunan infrastruktur pertanian adalah pengembangan
sumber-sumber air alternatif untuk mencegah kekeringan dan mengatur pola
tanam koordinasi dengan stakeholder lain yang menangani masalah banjir. Kebijakan
pembangunan infrastruktur pariwisata meliputi peningkatan sarana dan prasarana
serta penataan fasilitas kawasan objek wisata.
2. Arahan Kebijakan Pembangunan Infrastruktur
Keterbatasan anggaran merupakan permasalahan utama pembangunan infrastruktur
di Kabupaten Soppeng. Agar infrastruktur di Kabupaten Soppeng mampu
menggerakkan roda perekonomian dan dapat memicu pertumbuhan ekonomi
diperlukan skala prioritas dalam pembangunan infrastruktur dan pemerintah daerah
dituntut untuk mengoptimalkan perencanaan dengan melibatkan semua stakeholder
yang berkepentingan.
Rasio panjang jalan dibagi jumlah penduduk menurut kecamatan dan
alokasi anggaran jalan tahun 2017. Rasio jalan terendah adalah Kecamatan Citta,
ini menunjukkan bahwa panjang jalan yang sudah terbangun masih sangat
kecil. Sementara alokasi anggaran untuk wilayah tersebut juga rendah. Wilayah
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI134
Kecamatan Citta sebagian besar masih terisolasi karena akses jalan masih minim.
Untuk menggerakkan perekonomian masyarakat di wilayah terpencil, pemerintah
seharusnya menganggarkan porsi dana yang lebih untuk mengurangi ketimpangan
pembangunan dan potensi sumber daya yang dimiliki bisa menjadi pendukung
pembangunan perekonomian Kabupaten Soppeng secara menyeluruh.
Wilayah kecamatan lainnya seperti Lalabata, Marioriwawo, Liliriaja, Lilirilau,
Ganra merupakan daerah perkotaan dan menjadi pusat-pusat perekonomian.
Kecamatan Lalabata sebagai ibu kota kabupaten merupakan pusat pemerintahan,
sedangkan Kecamatan Marioriwawo, Liliriaja, Lilirilau, dan Ganra selain sebagai
daerah perkotaan dan pusat perdagangan juga menjadi simpul konektivitas
antarwilayah dan wilayah di luar Kabupaten Soppeng.
Wilayah Kecamatan Marioriawa dan Kecamatan Donri-donri mendapatkan
alokasi anggaran proporsional dengan kondisi aksesibilitas jalan. Kebijakan
yang diambil oleh pemerintah daerah dalam pengalokasian dana pembangunan
jalan sudah sesuai dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan
menunjang mobilitas dan mendukung aktivitas perekonomian di wilayah tersebut.
Mengingat dari hasil analisis sebelumnya bahwa anggaran infrastruktur jalan
berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB, maka kebijakan pembangunan
jalan sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Soppeng. Untuk itu
pengalokasian anggaran jalan seharusnya mempertimbangkan aspek kebutuhan
masyarakat, kondisi eksisting jalan yang sudah terbangun, dan aspek potensi
pengembangan wilayah.
Rasio antara luas daerah irigasi dan luas lahan sawah menurut kecamatan
di Kabupaten Soppeng dan rata-rata alokasi anggaran infrastruktur irigasi tahun
2015—2017. Kecamatan Lalabata memiliki rasio tertinggi, yaitu 1 artinya semua lahan
sawah di Kecamatan Lalabata sudah diairi dengan irigasi teknis sehingga alokasi
anggarannya seharusnya hanya meliputi pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan saja.
Rasio terendah adalah Kecamatan Lilirilau, di wilayah ini yang paling luas lahan
sawah yang belum terairi dengan baik dan masih banyak sawah tadah hujan. Untuk
mengoptimalkan potensi pertanian di Kecamatan Lilirilau seharusnya anggaran
irigasi di wilayah ini lebih besar. Namun permasalahaannya di wilayah ini sangat
kurang sumber air yang bisa dijadikan sumber pengairan, ini menjadi tantangan bagi
perencana untuk mendapatkan solusi bagaimana mengembangkan potensi lahan
yang tersedia menjadi lebih produktif.
Salah satu solusinya adalah membangun waduk buatan yang mampu
menampung air hujan dan mengalirkan langsung ke areal pertanian. Teknik waduk
135 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
buatan ini sudah berhasil diterapkan di beberapa daerah yang sering mengalami
kekeringan di musim kemarau dan terbukti mampu meningkatkan produktivitas
pertanian.
Di wilayah lainnya, yaitu Kecamatan Marioriawa, Liliriaja, Citta, dan Ganra,
alokasi anggaran cukup proporsional dengan rasio kondisi irigasinya. Di Kecamatan
Marioriwawo dan Donri-donri terdapat daerah irigasi kewenangan pusat dan
provinsi, yaitu DI. Langkemme dan DI. Tinco. Anggaran pemeliharaan jaringan
irigasi lebih banyak dialokasikan di pemerintah provinsi dan pusat.
Agar infrastruktur irigasi ini dapat menunjang peningkatan produktivitas
pertanian secara optimal yang akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi
maka kebijakan yang harus ditempuh adalah memaksimalkan perencanaan dan
koordinasi antar-stakeholder. Dari hasil estimasi regresi menunjukkan anggaran
infrastruktur irigasi berpengaruh tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,
sehingga kebijakan ini seharusnya dikaji ulang. Hal ini menunjukkan ada masalah
dalam penganggaran infrastruktur irigasi, karena infrastruktur irigasi merupakan
pendukung utama sektor pertanian sementara sektor pertanian merupakan
penyumbang kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
Soppeng.
Persentase panjang sungai yang sudah dinormalisasi/tidak membutuhkan
penanganan dan rata-rata alokasi anggaran pengembangan sumber daya air tahun
2015—2017. Persentase terendah adalah Kecamatan Ganra, wilayah ini merupakan
daerah rawan banjir. Kecamatan lainnya yang juga rawan banjir adalah Marioriawa
dan Donri-donri. Ketiga wilayah ini yang menjadi prioritas penanganan sungai,
karena seringnya terjadi bencana di daerah ini. Kegagalan panen akibat banjir paling
sering terjadi di wilayah ini, sehingga alokasi anggaran sebagian besar ditujukan
untuk normalisasi sungai di tiga kecamatan ini.
Persentase kebutuhan penanganan sungai pada tiap kecamatan bervariasi
dan proporsi alokasi anggaran tiap kecamatan tidak berdasarkan pada kebutuhan
penanganan sungai. Yang menjadi kendalanya karena data kebutuhan penanganan
sungai hanya perkiraan sementara, belum ada data akurat yang dimiliki pemerintah
daerah tentang kondisi sungai yang berada di wilayah Kabupaten Soppeng.
Pengalokasian anggaran didasarkan pada kondisi kerentanan mengakibatkan
bencana atau lokasi pascabencana. Untuk menghasilkan perencanaan yang lebih
baik, pemerintah daerah seharusnya memiliki dokumen lengkap tentang kondisi
sungai dan daerah aliran sungai di wilayah Kabupaten Soppeng. Arahan kebijakan
pengembangan sumber daya air diprioritaskan untuk normalisasi sungai di wilayah
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI136
rawan banjir untuk mengamankan lahan pertanian dan pemukiman penduduk serta
memperbaiki kualitas daerah aliran sungai.
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya bahwa hasil estimasi regresi
menunjukkan anggaran infrastruktur sumber daya air meliputi anggaran normalisasi
sungai berpengaruh positif signifikan tehadap pertumbuhan ekonomi. Kebijakan
pemerintah dalam pengalokasian anggaran infrastruktur sumber daya air seharusnya
dilakukan perencanaan yang matang agar diperoleh hasil pembangunan yang lebih
baik.
Anggaran infrastruktur pertanian dilaksanakan oleh dinas pertanian. Arahan
kebijakan infrastruktur pertanian termuat dalam Renstra dan Renja Dinas Pertanian
Kabupaten Soppeng. Dalam implementasinya sebaiknya ada koordinasi antarinstansi
seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Bappelitbangda, dan instansi
lainnya yang berkepentingan agar terbentuk sinergi antarinstansi dalam mendukung
sasaran pembangunan sektor pertanian.
Sektor pariwisata menjadi prioritas kebijakan yang termuat dalam RPJMD.
Walaupun kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah dan Produk Domestik
Regional Bruto masih rendah, tetapi jika sektor ini dikelola dengan baik akan
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi perekonomian di Kabupaten
Soppeng. Arahan kebijakan pembangunan infrastruktur pariwisata harus terkait
dengan kebijakan pembangunan infrastruktur transportasi untuk mendukung akses
ke lokasi objek wisata. Perbaikan sarana, prasarana objek wisata diprioritaskan pada
objek wisata potensial.
D. KesimpulanBerdasarkan uraian dan analisis, maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut.
1. Kondisi infrastruktur jalan di Kabupaten Soppeng 55,45% dari 898,881 km dalam
kondisi rusak, 26,94% dari 193 unit jembatan dalam kondisi rusak, 26,18% dari
9.708 ha luas daerah irigasi dalam kondisi rusak, persentase panjang sungai
yang sudah direhabilitasi adalah 38,19%, penambahan luas lahan sawah 339,9
ha, kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah 1,27%.
2. Anggaran Infrastruktur jalan dan anggaran infrastruktur pengembangan sumber
daya air berpengaruh positif signifikan terhadap Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) di Kabupaten Soppeng, anggaran infrastruktur irigasi, anggaran
infrastruktur pertanian, anggaran infrastruktur pariwisata tidak berpengaruh
137 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten
Soppeng.
3. Kebijakan penganggaran diarahkan pada infrastruktur jalan dan infrastruktur
pengembangan sumber daya air yang memberikan kontribusi positif bagi
pertumbuhan ekonomi dan diprioritaskan pada wilayah yang membutuhkan.
E. Saran KebijakanBerdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka dapat dikemukakan saran-saran
sebagai berikut.
1. Memprioritaskan perencanaan dan penganggaran pemerintah Kabupaten
Soppeng untuk membiayai kegiatan infrastruktur jalan dan infrastruktur
pengembangan sumber daya air karena terbukti meningkatkan PDRB.
2. Meninjau kembali kebijakan penganggaran infrastruktur jembatan, infrastruktur
pertanian dan infrastruktur pariwisata yang berpengaruh tidak signifikan,
sehingga kebijakan tersebut perlu diteliti kembali tingkat keefektifannya dan
faktor-faktor lain yang memengaruhinya.
3. Kepada peneliti yang akan datang disarankan agar menambahkan variabel
lainnya agar memberikan temuan yang lebih komprehensif atau meneliti faktor-
faktor lain yang menyebabkan penganggaran infrastruktur tidak produktif.
13FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
► Nama : Yuliana
► Unit Organisasi : BAPPELITBANG PEMKAB HULU SUNGAI UTARA
► Program Studi : Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Hasanuddin
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI140
ABSTRAKKemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai dengan
adanya pengangguran dan keterbelakangan yang membutuhkan penanggulangan dan
pendekatan sistematis, terpadu dan komprehensif untuk memenuhi hak-hak dasar
warga negara melalui pengembangan yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan untuk
mencapai kehidupan yang bermartabat. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis
kondisi kemiskinan; (2) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan;
dan (3) menganalisis implementasi strategi penanggulangan kemiskinan. Penelitian ini
dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri dari 13 Kabupaten/Kota. Metode
Penelitian yang digunakan untuk menganalisis kondisi kemiskinan dengan pendekatan
deskripftif kualitatif, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan dengan
regresi data panel menggunakan eviews 7.0 dan menganalisis implementasi strategi
penanggulangan kemiskinan dengan konsep value for money yang terdiri dari ekonomi,
efisien, dan efektivitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, tingkat kemiskinan
Provinsi Kalimantan Selatan menempati posisi ke-3 terendah walaupun ketimpangan
pendapatan masih tinggi. Pendidikan penduduk miskin terbanyak pada kelompok SD/SMP
(54,16%). Pekerjaan penduduk miskin cenderung bekerja pada sektor Informal (42,26%), dan
penduduk miskin yang tidak bekerja sebesar 37,73%. Perempuan penduduk miskin dalam
penggunaan alat KB sudah lebih baik (80,88%), sedangkan fasilitas perumahan penduduk
miskin dalam penggunaan air layak masih rendah (47,83%). Adapun penggunaan jamban
sendiri/bersama sudah lebih baik (73,01%). Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi secara
signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan adalah belanja langsung,
pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan pengeluaran perkapita, sedangkan
rata-rata lama sekolah tidak berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Ketiga,
program penanggulangan kemiskinan sudah berjalan ekonomis karena realisasi anggaran
lebih kecil daripada target anggaran walaupun secara efisien dan efektivitas masih ada
beberapa program yang belum mencapai output dan outcome maksimum
► Kata Kunci: Faktor Kemiskinan, Penduduk Miskin, Program Penanggulangan
Kemiskinan
141 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTThis research aims to (1) Describe the state of infrastructure in Soppeng Regency (2) Analyze
the infrastructure development and its influence on economic growth (3)Poverty is a
development issue in many areas characterized by unemployment and underdevelopment
that requires a systematic, integrated and comprehensive approach to fulfill the basic
rights of citizens through inclusive, equitable and sustainable development to achieve
a dignified life. The research aimed to (1) analyze the condition of poverty; (2) analyze
the factors affecting poverty; and (3) Analyze the implementation of poverty reduction
strategies. The research was conducted in South Kalimantan Province consisting of 13
Regencies/Cities The method used analyze poverty condition was descriptive qualitative
analysis, the method use to analyze the implementation of poverty reduction strategies
with value for money were economy, efficiency, and effectiveness. The results of the
research indicate that (1) poverty level in South Kalimantan Province is the third to the
lowest position although it still has a high income. The poorest population is Primary
and Junior High School graduates (54.16%). The poor tend to work in the informal sector
(42.26%). The unemployed poor is 37.73%. The Poor women using family planning (KB)
contraception is better (80.88%). The facilities of poor housing to use decent water are
still low (47,83%). The use of latrines individually/collectively is better (73.01%). (2) Factors
significantly affecting poverty in South Kalimantan Province are direct expenditure,
economic growth, the rate of unemployment and per capita expenditure. The average
length of school period does not affect the number of the poor. (3) Poverty reduction has
run economically since budget realization is smaller than budget target although there
are some programs that have not achieved maximum output and outcome efficiently and
effectively.
► Keywords: Poverty Factors, The Poor, Poverty Reduction Program
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI142
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DAN STRATEGI
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
A. Latar BelakangKemiskinan merupakan masalah pembangunan diberbagai bidang yang ditandai dengan
adanya pengangguran dan keterbelakangan yang membutuhkan penanggulangan
dan pendekatan sistematis, terpadu dan komprehensif untuk memenuhi beban dan
memenuhi hak-hak dasar warga negara melalui pengembangan yang inklusif, berkeadilan
dan berkelanjutan untuk mencapai kehidupan yang bermartabat (Fikri & Saleh, 2015).
RPJMD Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2016—2021, target untuk angka
kemiskinan tahun 2021 adalah 3,96-4,01%. Dilihat dari perkembangan tingkat kemiskinan
di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 0,21% (tahun 2016
4,52%) menjadi 4,37% tahun 2017, dengan jumlah penduduk miskin meningkat sebanyak
9.760 Jiwa (Tahun 2016 184.160 Jiwa menjadi 193.920 Jiwa tahun 2017). Target RPJMD
Provinsi Kalimantan Selatan tidak mudah untuk diselesaikan terutama jika melihat
peningkatan kemiskinan yang cukup signifikan.
Penelitian Novianti dkk (2013) bahwa faktor-faktor yang dianggap memengaruhi
tingkat kemiskinan yaitu sarana kesehatan, sarana pendidikan, jumlah kepala keluarga
yang tidak bekerja dan jumlah keluarga yang memperoleh bantuan kredit mikro.
Menurut Hanna & Karlan (2016) Kebijakan pemerintah daerah yang berorientasi pada
program pengentasan kemiskinan sudah seharusnya didasarkan pada faktor-faktor
yang memengaruhi kondisi kemiskinan tersebut. Semakin tinggi jumlah dan persentase
penduduk miskin disuatu daerah akan menjadi tinggi beban pembangunan yang
mengakibatkan semakin besar peran pemerintah dan alokasi dana APBD untuk program-
program penanggulangan kemiskinan.
Pembangunan dikatakan berhasil apabila jumlah dan persentase penduduk
miskinnya turun atau bahkan tidak ada, namun tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan
Selatan belum mencapai maksimal dan sesuai dengan target pemerintah daerah Provinsi
Kalimantan Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa perlu dicermati dan dikaji ulang
atas strategi program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan pemerintah daerah
serta faktor-faktor yang dapat memengaruhi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan
143 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
melalui pemahaman terhadap akar penyebab kemiskinan (Churchill & Smyth, 2017). Mai &
Mahadevan (2015) bahwa penelitian harus berfokus pada efektivitas program pengentasan
kemiskinan, seberapa baik program-program ini mengatasi berbagai bentuk kemiskinan
untuk mengejar pendekatan pada target yang lebih spesifik. Berdasarkan latar belakang
di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kondisi kemiskinan dan
bentuk program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan serta faktor-
faktor apa yang memengaruhi terjadinya kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.
B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisKemiskinan merupakan masalah multidimensi yang sangat kompleks, banyak faktor yang
memengaruhi baik dari segi ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan mata pencaharian,
selain itu juga menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang,
baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Cara pandang yang berbeda
akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan konteks kemiskinan, bagaimana
sebab-sebab kemiskinan dapat diidentifikasi, dan bagaimana masalah kemiskinan dapat
diatasi. Kemiskinan juga merupakan salah satu tolak ukur sosial ekonomi dalam menilai
keberhasilan pembangunan yang dilakukan suatu pemerintah daerah. Berdasarkan uraian
latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kondisi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan?
2. Apa faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Kalimantan
Selatan?
3. Bagaimana implementasi strategi program penanggulangan kemiskinan di
Provinsi Kalimantan Selatan?
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif untuk mendeskripsikan kondisi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan dan
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan dan strategi penanggulangan
kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri atas 13
kabupaten/kota. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu bulan Februari—April 2018.
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh melalui survei
institusional dan studi literatur terhadap beberapa dokumen antara lain data time series
(tahun 2011—2016), data Cross Section berupa data Belanja Langsung, Pertumbuhan
Ekonomi, Pengangguran, Pengeluaran Per kapita dan Rata-rata Lama Sekolah, selain itu
data diperoleh dari dokumen perencanaan, Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan
Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (LAKIP), Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI144
Daerah (SPKD), laporan/buku statistik, dan arsip atau jenis dokumen lainnya tentang
anggaran program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.
C. Pembahasan
1. Kondisi Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan
Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan
dari tahun 2011—2017 mengalami tren fluktuatif, dalam 6 tahun terakhir terjadi
penurunan kemiskinan sebesar 0,59% (tahun 2011 sebesar 5,29% menjadi sebesar
4,70% di tahun 2017). Sementara itu sebaran penduduk miskin di Provinsi Kalimantan
Selatan pada tahun 2011—2017 seperti halnya dengan tingkat kemiskinan juga
cenderung fluktuatif, dalam 6 tahun terakhir terlihat jumlah penduduk miskin tidak
jauh beda antara tahun 2011 (194.620 Jiwa) dengan tahun 2017 (194.560 Jiwa), akan
tetapi jika dilihat dari pertambahan jumlah penduduk Kalimantan Selatan tahun 2011
(3.714.340 Jiwa) hingga tahun 2017 (4.119.794 Jiwa) terjadi pertambahan penduduk
sebesar 405.454 Jiwa.
Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan
Selatan selama 6 tahun terakhir (2011—2017) terjadi penurunan indeks kedalaman
kemiskinan sebesar 0,07 (tahun 2011 sebesar 0,81 menjadi sebesar 0,74 tahun
2017), sedangkan indeks keparahan mengalami penurunan sebesar 0,03 (tahun 2011
sebesar 0,20 menjadi sebesar 0,17 tahun 2017). Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan
tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan juga diikuti dengan kesenjangan
pengeluaran antarpenduduk miskin yang makin jauh dari garis kemiskinan dan
makin menyebar.
Pendidikan penduduk miskin usia 15 tahun ke atas berdasarkan pendidikan
yang ditamatkan di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2017 paling besar pada
kelompok tamat SD/SLTP (54,16%), disusul SD ke bawah (35,15%) dan SLTA ke
atas (10,69%), sedangkan berdasarkan status bekerja tahun 2017, sebagian besar
penduduk miskin bekerja di sektor Informal (46,26%), sektor informal (16,03%) dan
masih banyak penduduk miskin dengan status tidak bekerja (37,73%). Berdasarkan
status bekerja penduduk miskin di sektor pertanian di Provinsi Kalimantan Selatan
tahun 2017 sebesar 32,15% dan bekerja di sektor bukan pertanian (30,12%).
Perempuan berstatus miskin usia 15-49 tahun yang menggunakan alat KB di
Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2013—2017 mengalami peningkatan sebesar
2,14% (tahun 2013 sebesar 78,74% menjadi sebesar 80,88% tahun 2017). Fasilitas
145 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
perumahan penduduk miskin yang terdiri atas penggunaan air layak dan penggunaan
jamban bersama/sendiri tahun 2016 sebesar 73,01% dan 47,83%.
2. Analisis Implementasi Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan
Pengukuran kinerja program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan
Selatan dalam penelitian ini pada tahun 2014 ada 17 program (83 kegiatan), tahun
2015 terdapat 16 program (78 kegiatan), dan tahun 2016 ada 14 program (77 kegiatan).
3. Pengukuran Ekonomi Program Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan
Hasil analisis pengukuran kinerja ekonomi menunjukkan bahwa realisasi anggaran
pada program penanggulangan kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan untuk
tahun 2014 Rp32.842.385.407,00 atau 92,14 %, tetapi output (keluaran) mencapai
lebih dari 100% (101,82%). Realisasi anggaran untuk tahun 2015 adalah sebesar
Rp29.774.261.070,00 atau 86,13%, tetapi output (keluaran) mencapai lebih dari 100%
(103,21%). Realisasi anggaran untuk tahun 2016 adalah sebesar Rp37.755.844.945,00
dengan capaian (86,31%), tetapi output (keluaran) mencapai lebih dari 100%
(103,64%). Hasil analisis ekonomi dari tahun 2014, 2015, dan 2016, dapat disimpulkan
bahwa program penanggulangan kemiskinan selama 3 tahun tersebut sudah
berjalan ekonomis karena realisasi anggaran lebih kecil dari yang telah dianggarkan
dan dapat mencapai output maksimum.
4. Pengukuran Efisien Program Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan
Hasil pengukuran kiterja untuk efisiensi program penanggulangan kemiskinan pada
Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014—2016 diketahui rata-rata rasio efisiensi
program ini pada tahun 2014 mencapai 112,15%. Periode tahun 2015 terlihat nilai
efisensi lebih dari 100% yaitu 122,76%. Tahun 2016 yaitu sebesar 122,67%. Dari data
tersebut dapat disimpulkan program penangggulangan kemiskinan di Provinsi
Kalimantan Selatan tahun 2014—2016 sudah efisien karena semua program
mencapai output maksimum (100%).
5. Pengukuran Efektivitas Program Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI146
Berdasarkan hasil pengukuran efektivitas program penanggulangan kemiskinan
Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2014—2016 secara keseluruhan sudah efektif
karena mencapai nilai 100%, yaitu tahun 2014 (112,74%), tahun 2015 (113,86%), dan
tahun 2016 (137,38%).
6. Pembahasan
Pertambahan jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Selatan juga mempunyai
peranan penting dalam meningkatkan jumlah penduduk miskin. Penelitian Sari &
Natha (2016) bahwa pertumbuhan penduduk berbanding lurus terhadap kemiskinan,
artinya semakin besar pertumbuhan penduduknya maka semakin besar pula jumlah
masyarakat miskin.
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat miskin di Provinsi Kalimantan
Selatan mengakibatkan rendahnya produktivitas dan kesempatan memperoleh
pekerjaan yang layak. Penduduk miskin di Kalimantan Selatan banyak yang belum
mempunyai pekerjaan dan adanya peningkatan pengangguran sebesar 1,21%
berpotensi dalam meningkatkan tingkat kemiskinan. Kondisi ini sangat mungkin
terkait dengan rendahnya kualifikasi mereka seperti pendidikan, modal dan
keterampilan sehingga tidak mampu bersaing di sektor formal. Hal ini perlu menjadi
perhatian pemerintah daerah dalam meningkatkan akses lapangan pekerjaan
terutama bagi penduduk miskin. Semakin banyak tenaga kerja yang terserap dalam
dunia kerja seyogianya dapat berkontribusi untuk menurunkan kemiskinan apalagi
jika diikuti dengan meningkatnya kualitas tenaga kerja. (Fahar, 2015).
Rumah tangga miskin belum memiliki kehidupan layak khususnya jika
ditinjau dari fasilitas perumahan, masih rendahnya masyarakat dalam penggunan
air layak dan kurangnya fasilitas air layak untuk masyarakat Kalimantan Selatan.
Pembangunan infrastruktur merupakan hal sangat urgen dalam pengentasan
kemiskinan, karena tanpa infrastruktur yang memadai pembangunan akan sulit
untuk dilakukan meskipun dengan SDM yang kuat dan pintar (Leasiwal, 2013).
Hasil analisis regresi data panel dengan menggunakan eviews 7.0 menunjukkan
besarnya pengaruh perubahan belanja langsung terhadap jumlah penduduk
miskin di Provinsi Kalimantan Selatan di mana hasil estimasi nilai p-value adalah
0.0313 dengan nilai koefisien -0.007137 dan tingkat kepercayaan 95% (0.05), maka
dapat disimpulkan bahwa H1 diterima dan H0 ditolak, artinya belanja langsung
berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Hal ini
berarti setiap kenaikan belanja langsung sebesar satu juta rupiah akan mengurangi
jumlah penduduk miskin sebesar 0.007137 Jiwa.
147 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu antara lain penelitian Dardiri (2014)
& Minggu dkk (2015) tentang belanja langsung berpengaruh siginifikan dan nilai
koefisien negatif terhadap jumlah KK. Alokasi belanja langsung sangat berpengaruh
terhadap kondisi pembangunan daerah, dimana akan memberikan peluang
tersedianya berbagai program dan kegiatan yang akan dirasakan oleh masyarakat,
menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat (Dardiri, 2014).
Dari hasil estimasi untuk pertumbuhan ekonomi diketahui nilai p-value adalah
0.0761 dan nilai koefisien sebesar -0.458777 dengan tingkat kepercayaan 90%
(0.1), maka dapat disimpulkan bahawa H1 diterima dan H0 ditolak yang artinya
pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap jumlah
penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Selatan, dan setiap kenaikan pertumbuhan
ekonomi sebesar satu persen maka akan mengurangi jumlah penduduk miskin
sebesar 0.458777 Jiwa. Hasil ini sesuai dengan penelitian Adinugraha (2016), Finkayana
& Dewi (2016) bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap jumlah penduduk miskin. Semakin besar pertumbuhan yang tercipta akan
mampu menekan jumlah penduduk miskin yang ada secara keseluruhan.
Tingkat pengangguran dari hasil estimasi diperoleh nilai p-value adalah
0.0030 dan nilai koefisien sebesar 1,408656 dengan tingkat kepercayaan 99%
(0.01), maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengangguran berpengaruh positif
secara signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di provinsi Kalimantan Selatan
dan kenaikkan tingkat pengangguran sebesar satu persen akan menambah jumlah
penduduk miskin sebesar 1,408656 jiwa. Demikian pula dengan penurunan satu
persen tingkat pengangguran maka akan menurunkan jumlah penduduk miskin
sebesar 1,408656 jiwa.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Adinugraha (2016), Prasetyo (2010)
& Nainggolan (2017) bahwa jumlah pengangguran berpengaruh positif dan signifikan
terhadap jumlah penduduk miskin. Secara teori, jika masyarakat tidak menganggur
berarti mempunyai pekerjaan dan penghasilan, dan dengan penghasilan yang
dimiliki dari bekerja diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Jika kebutuhan
hidup terpenuhi, tidak akan msikin, sehingga dapat dikatakan dengan jumlah
pengangguran rendah (kesempatan kerja tinggi), maka tingkat kemiskinan juga
rendah (Adinugraha, 2016).
Berdasarkan hasil estimasi regresi diperoleh nilai p-value pengeluaran
per kapita adalah 0.0000, dan nilai koefisien sebesar -0.001614 dengan tingkat
kepercayaan 99% (0.01), artinya pengeluaran per kapita berpengaruh secara negatif
dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Selatan dan
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI148
setiap adanya kenaikan pendapatan per kapita sebesar 1000 rupiah per tahun, maka
dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.001614 jiwa. Hal ini sesuai
dengan hipotesis penelitian bahwa variabel pengeluaran per kapita berpengaruh
secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hasil penelitian ini sejalan
(Finkayana & Dewi, 2016) bahwa pengeluaran per kapita signifikan dan berpengaruh
negatif secara statistik terhadap jumlah penduduk miskin. Semakin meningkatnya
pengeluaran per kapita dapat memberikan dampak pada jumlah penduduk miskin
di suatu daerah sebab semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita menunjukkan
adanya peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan.
Variabel Rata-rata lama sekolah dari hasil estimasi memperoleh nilai p-value
adalah 0.3039 dengan tingkat kepercayaan 90% (0.1), maka 0.3039>0.1, sehingga
dapat disimpulkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak artinya Rata-rata Lama
Sekolah tidak siginifikan secara statistik terhadap Jumlah Penduduk Miskin di
Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan hasil estimasi tersebut tidak sesuai
dengan hipotesis penelitian bahwa variabel rata-rata lama sekolah berpengaruh
terhadap kemiskinan dan tidak selaras dengan penelitian Iswara & Indrajaya (2014).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Handayani (2017) & Fahmi (2015)
menghasilkan nilai pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.
Berdasarkan tingkat pendidikan penduduk miskin dari tahun 2011–2016 terjadi
peningkatan ke jenjang yang lebih tinggi. Tahun 2011 tingkat pendidikan SLTA ke
atas hanya sebesar 6,03% menjadi 11,84% di tahun 2016, terjadi peningkatan sebesar
5,81% selama 5 tahun terakhir. Begitu juga tingkat pendidikan penduduk miskin
SD ke bawah dalam 5 tahun terakhir sudah berkurang sebesar 7,64% (tahun 2011
sebesar 41,07% menjadi sebesar 33,43% tahun 2016). Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan penduduk miskin sudah lebih baik dari tahun ke tahun, akan
tetapi semakin baiknya tingkat pendidikan ini tidak memengaruhi dalam penurunan
kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.
Hal ini disebabkan pendidikan yang belum mengarah kepada keterampilan
terutama keterampilan hidup (life skills), sehingga walaupun tingkat pendidikan
relatif tinggi namun belum tentu dapat bekerja karena kurangnya keterampilan dan
keahlian sehingga menjadi penggangguran, yang berakibat tidak ada pendapatan dan
menjadi miskin (Fahmi, 2015). Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin
lama mencari kerja terkait dengan tingginya aspirasi untuk memperoleh pekerjaan
yang sesuai dan sebanding dengan return biaya pendidikannya (Nainggolan, 2017).
Berdasarkan hasil pengukuran kinerja secara ekonomis, ada anggaran
yang memiliki realisasi terendah, karena adanya belanja barang dan jasa yang
149 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
tidak terealisasikan terutama belanja Jasa Kantor dan Belanja Perjalanan Dinas.
Anggaran Jasa Kantor tidak terserap karena ada honorarium yang tidak dibayarkan,
dan kelebihan dana perjalanan dinas karena menyesuaikan standar biaya yang
ditetapkan daerah (kebijakan at cost). Berdasarkan data tersebut diharapkan untuk
perencanaan dan penetapan anggaran harus konkret, tepat sasaran dan jumlah,
diperlukan perencanaan yang baik dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan selalu
dilaksanakan koordinasi.
D. KesimpulanTingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan menempati posisi ke-3 terendah
walaupun ketimpangan pendapatan masih tinggi. Pendidikan penduduk miskin terbanyak
pada kelompok SD/SMP (54,16%), pekerjaan penduduk miskin cenderung bekerja pada
sektor informal (42,26%), tidak bekerja sebesar 37,73%. Perempuan penduduk miskin
dalam penggunaan alat KB sudah lebih baik (80,88%), sedangkan fasilitas perumahan
penduduk miskin dalam penggunaan air layak masih rendah (47,83%), dan penggunaan
jamban sendiri/bersama sudah lebih baik (73,01%). Faktor-faktor yang memengaruhi
secara signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan adalah
belanja langsung, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan pengeluaran per
kapita, sedangkan rata-rata lama sekolah tidak berpengaruh terhadap jumlah penduduk
miskin. Program penanggulangan kemiskinan sudah berjalan ekonomis karena realisasi
anggaran lebih kecil daripada target anggaran walaupun secara efisien dan efektivitas
masih ada beberapa program yang belum mencapai output dan outcome
maksimum. Anggaran Program Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan
diprioritaskan pada program yang memihak kepentingan dan kebutuhan masyarakat
dengan memperhatikan kondisi penduduk miskin, faktor-faktor yang memengaruhi
kemiskinan dan penggunaan belanja daerah lebih dioptimalkan untuk kepentingan
masyarakat miskin dengan tetap mengedepankan ekonomis, efisiensi dan efektivitas
yang relevan dengan substansi kebijakan pemerintah dalam mempercepat pengurangan
kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.
14ANALISIS IMPLEMENTASI BANTUAN ALAT DAN MESIN PERTANIAN DI KABUPATEN BULUKUMBA
► Nama : Asra Eka Daeng Ngai
► Unit Organisasi : Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan
Perkebunan
► Program Studi : Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Hasanuddin
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI152
ABSTRAKPenelitian ini bertujuan menganalisis implementasi bantuan alat dan mesin pertanian di
Kabupaten Bulukumba, dan untuk mengetahui status keberlanjutan bantuan alat dan
mesin pertanian dalam mendukung pembangunan pertanian keberlanjutan di Kabupaten
Bulukumba. Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis implementasi bantuan
alat dan mesin pertanian dengan pendekatan deskriptif kualitatif berdasarkan aspek
yang memengaruhi implementasi, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur
birokrasi, dan untuk mengetahui status keberlanjutan bantuan alat dan mesin pertanian
menggunakan metode Multidimensional Scaling (MDS) dengan software Rapfish.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi bantuan alat dan mesin
pertanian sudah terlaksana. Namun, secara keseluruhan beberapa komponen aspek
komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi yang memengaruhi implementasi
belum bekerja secara maksimal. Status keberlanjutan bantuan alat dan mesin pertanian
terhadap dimensi ekonomi dan lingkungan diperoleh kategori cukup berkelanjutan
untuk seluruh kecamatan, sedangkan dimensi sosial diperoleh dua kategori, yaitu kurang
berkelanjutan, meliputi Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, Kajang, dan Bulukumpa,
serta kategori cukup berkelanjutan meliputi Kecamatan Gantarang, Ujungloe, Herlang,
Rilau Ale, dan Kindang
► Kata Kunci: Implementasi, Keberlanjutan
153 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTThis study aims to analyze implementation the assistance of agricultural tools and
machinery in Bulukumba Regency, and to determine the sustainability status of
agricultural equipment and machinery assistance in supporting sustainable agricultural
development in Bulukumba regency. The research method was a qualitative descriptive
approach based on factors influencing the implementation of communication, resources,
disposition and bureaucratic structure, and to determine the sustainability status of
agricultural equipment and machinery assistance with Multidimensional Scaling (MDS)
method employing Rapfish software.
The results of this study indicate that the implementation of agricultural equipment
and machinery assistance has been carried out but overall several components factor that
affect implementation have not worked optimally. The sustainability status of agricultural
machinery funding for the economic and environmental dimensions was obtained quite
sustainable categories for all districts, while the social dimension obtained two categories
of less sustainable are: Bontobahari, Bontotiro, Kajang and Bulukumpa sub-districts, and
quite sustainable are: Gantarang, Ujungloe, Herlang, Rilau Ale and Kindang
► Keywords: Implementation, Sustainability
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI154
ANALISIS IMPLEMENTASI BANTUAN ALAT DAN MESIN PERTANIAN DI KABUPATEN
BULUKUMBAA. Latar BelakangAlat dan mesin pertanian (alsintan) merupakan bagian dari modernisasi memiliki peran
yang penting dalam dalam kegiatan usaha tani. Penggunaan alat dan mesin pertanian
dapat menimbulkan dampak positif di antaranya dapat mempercepat pekerjaan petani
sehingga mendorong sistem tanam serentak dan dapat meningkatkan produksi pertanian.
Dalam rangka mendukung pertanian berkelanjutan, maka prospek penggunaan alat dan
mesin pertanian ke depan selain mendorong petani agar meningkat secara ekonomi,
kondisi sosial yang lebih baik juga mampu mendorong penggunaan alat dan mesin
pertanian yang ramah lingkungan.
Kementerian Pertanian meyakini bahwa penerapan alsintan begitu penting agar
petani lebih berdaya saing dalam menghadapi pasar bebas, sehingga jumlah bantuan
alsintan mengalami peningkatan 600% dari periode tahun 2010—2014, yaitu kurang dari
50 ribu unit menjadi 321 ribu unit pada periode tahun 2015—2017. Bantuan alsintan yang
diberikan, di antaranya traktor roda dua dan empat, transplanter, combine, pompa air,
dryer, power thresher, dan corn seller, ke seluruh daerah penghasil pertanian termasuk
Kabupaten Bulukumba.
Upaya mendukung kebijakan tersebut pemerintah Kabupaten Bulukumba,
mengalokasikan beberapa program untuk mendukung keberhasilan target capaian
program kegiatan khususnya pertanian tanaman pangan. Program bantuan untuk
masyarakat tani mencakup beberapa hal di antaranya bantuan sarana dan prasarana dan
bantuan penguatan kelembagaan (Dinas Pertanian, 2016).
Dengan bantuan alsintan diharapkan selain efisiensi dan produktivitas penggunaan
sumber daya dapat ditingkatkan, aktivitas pertanian dapat diselesaikan dengan lebih
tepat waktu (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian-Kementerian Pertanian,
2016), meningkatkan produksi pertanian, juga dapat memberdayakan masyarakat pelaku
usaha tani penerima manfaat. Hanya saja Timmer, Falcon dan Pearson (Simatupang, 2003)
mengungkap bahwa sifat umum kebijakan pertanian agak paradoksal, ada di mana-mana
namun selalu kontroversial, di satu sisi kebijakan pertanian sangat dibutuhkan tetapi di sisi
lain setiap kebijakan selalu menghasilkan pertentangan dan dampaknya selalu dilematis.
155 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Sifat yang paradoksal tersebut yang menjadi alasan mengapa kebijakan pertanian harus
dirancang secara hati-hati melalui analisis yang lebih komprehensif.
Produktivitas komoditas tanaman pangan di Kabupaten Bulukumba seperti padi
mengalami peningkatan, tetapi padi cenderung mengalami penurunan dari tahun 2013—
2017. Seharusnya dengan banyaknya bantuan alsintan yang diberikan, maka produktivitas
tanaman pangan khususnya padi mengalami peningkatan. Tahun 2017, komoditas padi
justru mengalami penurunan, yaitu sebesar (-27,19) poin. Hal ini menunjukkan ada masalah
dalam pelaksanaan program kegiatan yang diberikan kepada petani.
Jika penurunan produktivitas terus berlangsung, di masa datang akan terjadi
kerawanan pangan khususnya di masyarakat perdesaan. Mellor (Gollin, 2010) menyatakan
bahwa dampak pertumbuhan produktivitas pertanian di antaranya akan berpengaruh
terhadap pendapatan, profitabilitas pertanian, peningkatan kesejahteraan petani, dan
jumlah masyarakat miskin di pedesaan.
Padahal berdasarkan hasil survei Indef, kepuasan petani terhadap kebijakan dan
program kementerian Pertanian (Pertanian, 2016) pada bulan Maret 2016, mengemukakan
bahwa sebagian besar responden menyatakan bantuan alsintan, baik prapanen dan
pascapanen dirasakan penting oleh petani. Oleh karena itu, penelitian ini diperlukan
untuk mengetahui bagaimana implementasi bantuan alsintan dan status keberlanjutan
bantuan alsintan dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan, agar diperoleh
informasi dalam mengarahkan perencanaan dan kebijakan pertanian daerah secara lebih
baik.
B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisPembangunan pertanian di Kabupaten Bulukumba pada dasarnya adalah mendukung
mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana termaktub dalam visi Kabupaten
Bulukumba tahun 2011—2015 dan 2016—2021, yaitu mewujudkan masyarakat Bulukumba
yang sejahtera. Berbagai program dan kegiatan dilakukan pemerintah khususnya
sektor pertanian tanaman pangan sebagai sektor andalan di antaranya bantuan sarana
dan prasarana, berupa bantuan alat dan mesin pertanian. Masalahnya adalah capaian
produksi tanaman pangan masih rendah, PDRB per kapita masih sangat rendah dibanding
PDRB per kapita Provinsi Sulawesi Selatan yang berimplikasi pada masih tingginya
angka kemiskinan. Bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) sudah terlaksana, tetapi
belum menyentuh persoalan secara menyeluruh baik secara ekonomi, sosial, maupun
lingkungan. Persoalannya termasuk di antaranya implementasi bantuan alat dan mesin
pertanian (alsintan) ditingkat lapangan terhadap komoditi padi yang seharusnya dapat
meningkatkan produktivitas pertanian tetapi justru mengalami penurunan. Oleh karena
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI156
itu perlu dilakukan penelitian mengenai implementasi bantuan terkait pembangunan
pertanian berkelanjutan, sehingga pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana implementasi bantuan alsintan didaerah penelitian?
2. Bagaimana status keberlanjutan bantuan alsintan dalam rangka mendukung
pembangunan pertanian didaerah penelitian?
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan bagaimana pelaksanaan
pemberian bantuan alat dan mesin pertanian kepada petani. Pendekatan kualitatif dilakukan
untuk mengetahui implementasi bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), sedangkan
pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mengetahui status keberlanjutan program tersebut
terhadap petani. Pendekatan kualitatif dilakukan selain melalui studi dokumentasi dan
observasi langsung ke lapangan serta wawancara terhadap narasumber yang berkompeten
agar dapat membantu peneliti untuk menampilkan realitas secara lebih komprehensif,
sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan
wawancara terstruktur terhadap sampel yang dipilih.
Penelitian ini termasuk penelitian kebijakan dengan salah satu kegunaannya adalah
untuk mengetahui implementasi program bantuan kebijakan dan mengukur perubahan
yang terjadi sosial, dan ekonomi lingkungan serta adaptasi teknologi sebagai akibat
kebijakan serta membuat proyeksi sebagai dasar membuat kebijakan. Penelitian akan d
laksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei tahun 2017 dan dilaksanakan di Kabupaten
Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan.
C. Pembahasan
1. Deskripsi Program/Kegiatan Stakeholder Terkait bantuan Alat dan Mesin Pertanian
Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Bulukumba
merupakan stakeholder kunci dalam pemberian bantuan alsintan di Kabupaten
Bulukumba. Dinas tersebut dipimpin oleh seorang kepala dinas dan memiliki tiga
bidang dan satu sekretariat yang berkaitan langsung dengan kegiatan tersebut
dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Bantuan alat dan mesin pertanian merupakan kegiatan Dinas Tanaman
Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Bulukumba selaku stakeholder
utamanya. Sumber anggarannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) kabupaten, provinsi maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional
157 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
(APBN). Bantuan diberikan berupa barang yang diserahkan ke kelompok tani
melalui Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Alokasi bantuan
alsintan pada tahun 2015 di Kabupaten Bulukumba sebanyak 164 unit, tahun 2016
sebanyak 264 unit, dan tahun 2017 sebanyak 98 unit. Bantuan alsintan ini terdiri atas
traktor roda dua, traktor roda empat, dan mesin tanam atau transplanter. Apabila
dikalkulasi dalam rupiah, jumlah anggaran yang dialokasikan untuk bantuan alsintan
dari tahun 2015 adalah Rp3.000.756.000,00 tahun 2016 sebesar Rp4.261.020.000,00
dan tahun 2017 sebesar Rp2.327.323.000,00 Estimasi harga yang digunakan adalah
harga satuan terendah yang diperoleh dari katalog lembaga kebijakan pengadaan
barang/jasa pemerintah. Bantuan tersebut diperuntukkan bagi kelompok tani yang
bertujuan meningkatkan produktivitas, mempercepat waktu tanam, menurunkan
biaya produksi, meningkatkan indeks pertanaman dan meningkatkan kesejahteraan
petani. Melalui pemanfaatan teknologi mekanisasi/alsintan diyakini meningkatkan
produksi hasil panen yang berdampak terhadap kesejahteraan petani penerima
bantuan. Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia, pengggunaan
alsintan berkontribusi terhadap peningkatan produksi padi sebesar 14,9%, dan
terhadap produksi jagung 47,1%.
2. Status Keberlanjutan Dimensi ekonomi
Beberapa atribut yang berpengaruh terhadap analisis keberlanjutan pada dimensi
ekonomi antara lain (1) pendapatan rumah tangga petani, (2) produksi, (3)
produktivitas, (4) harga produksi, (5) wilayah pemasaran, (6) penyerapan tenaga
kerja, dan (7) keuntungan. Keberlanjutan dimensi ekonomi sangat penting untuk
diketahui apakah bantuan yang diberikan memberikan hasil sesuai yang diharapkan
yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Jika kesejahteraan petani
meningkat, akan berimplikasi dan memberikan nilai positif terhadap Pendapatan
Domestik Regional Brutto (PDRB) per kapita daerah.
Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai terendah hingga tertinggi
secara berurut adalah Kecamatan Bontotiro sebesar 42,85, Kecamatan Kajang,
Bulukumpa dan Kindang masing-masing sebesar 45,94, Kecamatan Bontobahari
sebesar 46,29, sedangkan indeks tertinggi adalah Kecamatan Gantarang, Ujungloe,
dan Rilau Ale sebesar 54,98.
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa rata-rata
produktivitas padi terendah diperoleh di Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, dan
Kajang, yaitu adalah sekitar 24,57 kuintal gabah kering panen untuk luas lahan satu
hektare. Produktivitas tertinggi diperoleh pada Kecamatan Gantarang, yaitu sebesar
58,06 karung atau sekitar 58,06 kuintal atau 5,8 ton gabah kering panen. Berdasarkan
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI158
informasi harga rata-rata yang diperoleh, yaitu sebesar Rp400.000,00 per karung,
maka rata-rata perolehan hasil kotor petani di Kabupaten Bulukumba, yaitu antara
Rp9.828.000,00 hingga Rp23.224.000,00 per hektare. Apabila biaya produksi untuk
satu musim tanam itu sekitar 35 % dari pendapatan produksi dan satu musim tanam
adalah 90 hari atau 3 bulan, rata-rata pendapatan petani berkisar Rp2.129.400,00
hingga Rp5.031.867,00 per bulan dalam satu musim tanam.
Kaitannya dengan keberlanjutan bantuan alat dan mesin pertanian, terlihat
bahwa peningkatan produksi dan produktivitas sebagaimana tujuan pemberian
bantuan adalah meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan,
yaitu padi belum menunjukkan hasil yang signifikan terhadap keseluruhan jumlah
produksi dan produktivitas padi kabupaten, tetapi dari segi penghasilan petani,
dengan bantuan alsintan, maka biaya produksi bisa dikurangi sehingga penghasilan
petani bertambah. Oleh karena itu, peningkatan produksi dan produktivitas perlu
didorong untuk meningkatkan indeks keberlanjutan ekonomi bantuan alat dan
mesin pertanian.
3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial
Beberapa atribut yang berpengaruh terhadap analisis keberlanjutan pada dimensi
ekonomi antara lain (1) kepemilikan Lahan, (2) luas Lahan, (3) tingkat pendidikan formal
petani, (4) sistem kelembagaan, (5) peran anggota kelompok dalam pengelolaan
alsintan, (6) frekuensi konflik kerja, dan (7) ketersediaan bengkel alsintan. Kecamatan
yang memiliki ordinasi indeks keberlanjutan dimensi sosial dengan kategori kurang
berkelanjutan adalah Kecamatan Bontobahari (39,57), Kecamatan Bontotiro (39,57),
dan Kecamatan Kajang (39,57), sedangkan kecamatan yang memiliki nilai ordinasi
indeks berkelanjutan dengan kategori cukup berkelanjutan adalah Kecamatan
Herlang (43,87), Kecamatan Kindang (42,70), Kecamatan Gantarang (51,15),
Kecamatan Ujungloe (51,15), dan Kecamatan Rilau Ale (51,13).
Peran anggota kelompok tani memperoleh nilai ordinasi paling rendah.
Harus diakui, di lapangan memang banyak ditemui anggota kelompok tani tidak
terlibat dalam aktivitas kelompok dan merasa bahwa bukan bagian dari kelompok.
Oleh karena itu, peran pendampingan oleh penyuluh dan peningkatan kapasitas
petani dan petugas perlu ditingkatkan untuk mendukung meningkatnya status
keberlanjutan selain tiga atribut pengikut tersebut.
4. Status Keberlanjutan Dimensi Lingkungan
159 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Beberapa atribut yang berpengaruh terhadap analisis keberlanjutan pada dimensi
ekonomi antara lain (1) adaptasi teknologi terhadap pelestarian lingkungan, (2)
pengetahuan pertanian ramah lingkungan, (3) aktivitas petani melakukan konservasi,
dan (4) dampak negatif alsintan terhadap lahan/lingkungan.
Seluruh kecamatan memiliki ordinasi indeks keberlanjutan dimensi lingkungan
dengan kategori cukup berkelanjutan dengan nilai ordinasi secara berurut adalah
Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, Herlang, dan Kajang, masing-masing memiliki
nilai indeks sebesar 40,47, Kecamatan Bulukumpa, Rilau Ale, dan Kindang masing
masing memiliki nilai indeks sebesar 47,44, sedangkan Kecamatan Gantarang dan
Ujungloe masing-masing memiliki nilai indeks sebesar 47,47.
Atribut dengan nilai ordinasi terendah adalah pengetahuan petani terhadap
pertanian ramah lingkungan. Petani sudah diberikan pemahaman dengan sistem
pertanian ramah lingkungan melalui kegiatan sosialisasi dan penyuluhan, walaupun
materi yang diberikan hanya secara umum saja. Kenyataan dilapangan, masih
banyak petani yang tidak memedulikan kelestarian lingkungan, misalnya setelah
menggunakan traktor, biasanya traktor disimpan di lahan sawah sambil menunggu
penggunaan keesokan harinya, padahal selain kandungan zat besi pada roda
traktor, juga akan kembali memadatkan tanah, juga tidak menutup kemungkinan
adanya kebocoran bahan bakar yang jatuh ke tanah. Hal ini disebabkan kurangnya
kepedulian terhadap lingkungan di masa datang karena kurangnya pengetahuan
akan dampak dari sistem pertanian secara ramah lingkungan. Oleh karena itu,
perlu dilakukan sosialisasi atau peningkatan pengetahun dan kompetensi petani
dan penyuluh terkait sistem pertanian ramah lingkungan melalui pengelolaan dan
penggunaan bantuan alat dan mesin pertanian.
D. Kesimpulan1. Implementasi berdasarkan faktor komunikasi sudah terlaksana, namun dalam
prosesnya beberapa aspek belum bekerja secara sempurna.
a. Aspek komunikasi yaitu konsistensi perintah belum maksimal karena masih
minimnya petunjuk teknis pelaksanaan sehingga berpengaruh terhadap
kualitas verifikasi dan validasi sasaran penerima bantuan.
b. Aspek sumber daya yaitu ketersediaan jumlah staf sudah cukup tetapi
proporsional dan penempatan staf tidak didasarkan atas latar belakang
jabatan yang tercantum dalam formasi kebutuhan staf dalam analisis
kebutuhan pegawai sehingga bisa dipastikan bahwa beberapa staf tidak
kompeten di bidangnya.
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI160
c. Aspek disposisi yaitu adanya intervensi politik dalam penentuan alokasi
sasaran penerima bantuan alat dan mesin pertanian serta pegawai belum
bekerja maksimal disebabkan oleh rendahnya insentif yang diberikan.
d. Aspek struktur birokrasi bekerja cukup baik dengan adanya perubahan
struktur organisasi. Namun, standar operasional prosedur teknis
pelaksanaan pemberian bantuan alat dan mesin pertanian belum ada.
2. Status keberlanjutan bantuan alat dan mesin pertanian di Kabupaten Bulukumba
yaitu 1) untuk dimensi ekonomi dan lingkungan, seluruh kecamatan memiliki
status keberlanjutan dengan kategori cukup berkelanjutan, dan 2) untuk dimensi
sosial, Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, Kajang, dan Bulukumpa dengan
status kategori kurang berkelanjutan, sedangkan Kecamatan Gantarang,
Ujungloe, Herlang, Rilau Ale, dan Kindang dengan kategori status cukup
berkelanjutan.
E. Saran Kebijakan1. Untuk meningkatkan keberhasilan implementasi bantuan alat dan mesin
pertanian maka pemerintah daerah perlu melakukan beberapa hal berikut.
a. Peningkatan kualitas komunikasi khususnya pengembangan sosialisasi, dan
sosialisasi pengawasan, petunjuk teknis, konsistensi informasi jenis bantuan
agar bantuan yang diditerima kelompok tani sesuai kebutuhan dan sesuai
spesifik lokasi.
b. Penempatan staf sesuai kompetensi, pemberian intensif yang cukup dan
perlunya staf/pegawai yang memililki kompetensi sebagai pengawas alat
dan mesin pertanian di lapangan.
c. Transparansi dalam penentuan alokasi sasaran penerima bantuan alat dan
mesin pertanian sesuai petunjuk teknis yang memuat survei investigasi
lapangan agar meningkatkan kualitas verifikasi dan validasi oleh pelaksana
implementasi. Intervensi politik dalam pemberian bantuan alat dan mesin
pertanian dibolehkan, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tertuang
dalam pedoman umum, petunjuk teknis dan survei investigasi petugas di
lapangan.
d. Menyiapkan standar operasional prosedur teknis pelaksanaan pemberian
bantuan alat dan mesin pertanian.
161 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
2. Untuk meningkatkan status keberlanjutan bantuan alat dan mesin pertanian
pemerintah daerah perlu memacu kelompok tani untuk membentuk asosiasi
petani tanaman pangan tiap kecamatan, sehingga dapat mempermudah kerja
sama dengan daerah lain. Selain itu memudahkan petani menjual produksinya,
juga untuk menjaga kestabilan harga, sehingga petani dengan sendirinya akan
aktif karena permintaan pasar yang cukup baik, perlu dilakukan verifikasi semua
kelompok terkait kepemilikan bantuan alsintan untuk mengetahui jumlah
kebutuhan alsintan tiap kelompok dan sangat perlu dilakukan penguatan
kelembagaan untuk di Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, Kajang, dan
Bulukumpa.
3. Perlu penelitian lanjutan mengenai evaluasi kegiatan pemberian bantuan
alsintan dan keberlanjutan pembangunan pertanian di daerah tampak luas.
15ADAPTASI TERHADAP BANJIR DI KOTA MAKASSAR
► Nama : Syamsul Bahri
► Unit Organisasi : Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan
► Program Studi : Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
► Negara Studi : Indonesia
► Universitas : Universitas Hasanuddin
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI164
ABSTRAKBesarnya risiko banjir dan variabilitas iklim diperkirakan akan meningkat di masa depan
sebagai akibat dari perubahan iklim. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan
persepsi masyarakat terhadap banjir dan adaptasi yang dilakukan (2) menganalisis
kebijakan/program Pemkot Makassar untuk meminimalkan dampak banjir, dan (3)
memberikan arahan adaptasi yang dapat dilakukan oleh Pemkot Makassar. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif kualitatif, dilakukan di daerah paling terdampak banjir
(sembilan kelurahan di empat kecamatan) di Kota Makassar. Pengumpulan data dilakukan
melalui observasi, dokumentasi, wawancara dan studi dokumen. Data dianalisis dengan
analisis kualitatif. Analisis kebijakan/program dengan menggunakan kriteria efektivitas,
efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa (1) karakteristik banjir di lokasi kajian mulai ketinggian 0,5 hingga 1,5 m, surut paling
cepat 1 hari dan paling lama hingga lebih 10 hari. Banjir berdampak terhadap kondisi
sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan. Masyarakat melakukan adaptasi seperti
meninggikan pondasi/lantai rumah, membuat tanggul depan pintu rumah, membuat
tempat penyimpanan barang sementara saat banjir, mengubah rumah batu manjadi
rumah kayu, membuat penutup sumur bor yang tinggi, menyipakan kebutuhan konsumsi
dan perahu menjelang musim hujan. (2) program pembangunan dan normalisasi drainase
oleh Dinas PU belum memenuhi kriteria kecukupan dan responsivitas. (3) arahan adaptasi
dapat dilakukan dengan meningkatkan penyebarluasan informasi peringatan dini,
membangun tempat pengungsian di lokasi jumlah terdampak tinggi dan mempercepat
proses penyerahan fasum/fasos perumahan di lokasi rawan banjir.
► Kata Kunci: Adaptasi, Banjir, Drainase, Peringatan Dini
165 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
ABSTRACTThe magnitude of the floods risk and variability of climate that are suspected will
increase in the future as a result of the climate change. This study aims to (1) to describe
the perceptions of the community towards flood and their adaptation towards flood;
(2) to analyze the policies/programs on Makassar Local Government to minimize the
impact of flood; and (3) to over an adaptation directives, which could be implemented
by Makassar Local Government. This research was a descriptive-qualitative research, and
was conducted in the most affected by floods (9 villages in 4 sub-districts) in Makassar
City. The data collection was done through observation, documentation, interviews and
document studies. The data were analyzed using qualitative analysis, while the analysis
of the policy / program was conducted using the criteria of effectiveness, adequacy,
leveling, responsiveness and accuracy. The research result indicated that (1) the flood
characteristics in the study location started from 0.5 to 1.5 meters high, recede most
quickly after 1 day and most lately after 10 days. The floods had impact on the social,
economic, health and environmental conditions, while the community tried to adapt by
doing things, such as to raise the foundations / floors of their houses, to build dikes in
front of the house doors, to build a temporary places to keep their goods when flood
arrive, to even change their concrete houses into wooden houses, to elevate the cover
of the drilled wells, to prepare the needed consumption supply, and boats before the
rainy season. (2) The program and normalization of drainage by PU Office had not met
the criteria of adequacy and responsiveness. (3) The direction for adaptation could be
done by increasing the spread of the early warning, by contracting the asylum in the safe
locations, and by accelerating the process of transferring of the house fasos in the flood-
sensitive locations.
► Keywords: Adaptation, Flood, Drainage, Early Warning
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI166
ADAPTASI TERHADAP BANJIR DI KOTA MAKASSAR
A. Latar BelakangPerubahan iklim yang cukup ekstrem saat ini meningkatkan berbagai macam permasalahan
seperti meningkatnya tren bencana. Sebagian besar kejadian yang terjadi merupakan
bencana yang terkait perubahan iklim (hydrometeorological related disasters) antara lain
banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Tren data bencana ini menggambarkan bahwa
kejadian bencana akan mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas. Menurut data
BNPB, secara umum tren bencana di Indonesia meningkat sejak tahun 2002. Besarnya
risiko banjir dan variabilitas iklim diperkirakan akan meningkat di masa depan sebagai
akibat dari perubahan iklim. Karenanya, kerentanan negara berkembang juga akan
meningkat (Haque et al., 2010).
Hasil penelitian yang dirilis oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika
Serikat (USAID) menyebutkan total biaya yang ditanggung oleh Indonesia pada tahun
2050 karena dampak perubahan iklim mencapai 132 triliun rupiah. Jika tidak dilakukan
aksi adaptasi dari sekarang, selain kerugian ekonomi dampaknya akan dirasakan langsung
oleh masyarakat yang menjadi korban (Kartika & Wibi, 2016). Adaptasi perubahan iklim
merupakan hal yang sangat penting dan harus segera dilakukan, mengingat rentannya
Indonesia terhadap dampak perubahan iklim dan rendahnya kapasitas dalam beradaptasi
(Marpaung dkk., 2008).
Di Kota Makassar, bencana yang dominan adalah banjir. Banjir dengan skala besar
terjadi pada awal tahun 2013, melanda sebanyak 24 kelurahan di 6 kecamatan dan luas
wilayah mencapai 2761,84 ha. Jumlah penduduk yang terdampak banjir mencapai 101.972
jiwa (BPBD Kota Makassar, 2014). Banjir kembali terjadi di akhir tahun 2017 yang melanda
beberapa kelurahan dan yang terparah di Kelurahan Katimbang, Batua, Tamangapa, dan
Manggala.
Hasil penelitian Nandini (2010), ditemukan bahwa adanya kendala terhadap
pelaksanaan strategi pengendalian banjir di Kota Makassar antara lain karakteristik aliran
permukaan yang besar, saluran drainase yang belum memadai, pemanfaatan lahan-lahan
yang rawan banjir, perubahan fungsi kawasan, dan kelembagaan. Sehingga adaptasi oleh
masyarakat untuk meminimalkan dampak banjir menjadi hal penting.
Menurut hasil penelitian Rachmat & Pamungkas (2014), banjir di Kota Makassar,
terutama di Kecamatan Manggala diperparah karena adanya faktor kerentanan yang
167 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
berpengaruh seperti faktor kondisi drainase yang tidak memadai, dekatnya jarak bangunan
dengan sungai, lokasi permukiman di daerah akumulasi genangan, penurunan daya
infiltrasi tanah, konstruksi jalan yang rentan kerusakan akibat genangan, dan tingginya
potensi penduduk terdampak.
Daerah-daerah rawan banjir di Kota Makassar merupakan daerah yang berada di
DAS Sungai Tallo dan Sungai Pampang, seperti Kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea,
Panakukang, dan Manggala. Aliran kedua sungai tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang
surut air laut. Umumnya banjir besar terjadi saat curah hujan yang tinggi bersamaan
dengan pasang air laut.
Sebagian besar daerah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim menurut
data SIDIK KLHK juga merupakan daerah yang rawan bencana banjir menurut data BPBD
Kota Makassar. Karena adanya kerentanan yang tinggi di daerah yang rawan bencana
menyebabkan daerah tersebut perlu mendapat perhatian untuk mengurangi dampak
yang lebih besar. Untuk itu diperlukan kajian tentang adaptasi yang dilakukan masyarakat
di daerah rawan banjir tersebut.
B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka rumusan permasalahan yang diteliti
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik banjir di Kota Makassar dan upaya adaptasi apa yang
dilakukan masyarakat?
2. Program-program apa saja yang telah dilaksanakan oleh Pemkot Makassar
untuk meminimalkan dampak banjir?
3. Bagamana arahan adaptasi yang dapat dilakukan Pemkot Makassar untuk
meminimalkan dampak banjir?
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan deskriptif kualitatif, yang
memberikan gambaran secara menyeluruh dengan mengkaji persepsi masyarakat terhadap
banjir meliputi karakteristik, dampak dan upaya adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat
di lokasi kajian.
Ruang lingkup wilayah adalah wilayah administratif Kota Makassar yang terfokus pada
9 kelurahan yang paling terdampak banjir di 4 kecamatan, yaitu Kelurahan Batua, Bangkala,
Manggala, dan Tamangapa di Kecamatan Manggala; Kelurahan Buntusu, Tamalanrea
Indah dan Tamalanrea Jaya di Kecamatan Tamalanrea; Kelurahan Katimbang di Kecamatan
Biringkanaya; dan Kelurahan Panaikang di Kecamatan Panakkukang. Pelaksanaan kegiatan
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI168
penelitian mulai dari tahap persiapan hingga selesai membutuhkan waktu dari bulan Maret
sampai dengan bulan Juni 2018.
Data primer dikumpulkan dari masyarakat dan pihak kelurahan di lokasi kajian serta
instansi/pemerintah Kota Makassar melalui OPD Dinas PU, BPBD dan Dinas Sosial. Data
diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat, dan instansi terkait serta observasi secara
langsung di lokasi kajian. Data sekunder diperoleh melalui laporan tertulis yang diperoleh
dari Renstra, Renja dan Lakip OPD terkait serta laporan kegiatan lainnya.
Teknik analis data menggunakan analisis deskriptif melalui reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan menyederhanakan dan
mengabstraksi catatan lapangan. Penyajian data dilakukan dengan menyusun informasi
dalam bentuk teks naratif maupun tabel/matriks yang merupakan jawaban atas pertanyaan
penelitian, dan penarikan kesimpulan dengan menginterpretasikan data.
C. Pembahasan
1. Karakteristik dan Dampak Banjir di Lokasi Kajian
Persepsi masyarakat terhadap banjir di lokasi kajian merupakan pendapat masyarakat
terhadap kejadian banjir meliputi karakteristik banjir berupa ketinggian dan lama
banjir serta dampak yang dirasakan. Banjir terparah pada Desember 2017 terjadi
di kompleks Kodam Tiga, Kelurahan Katimbang, Kecamatan Biringkanaya; Romang
Tangaya, Kelurahan Tamangapa, dan Swadaya, Kelurahan Batua, Kecamatan
Manggala. Ketinggian air lebih lebih dari 1 m dan surut paling lama hingga 10 hari
(Romang Tangaya).
Dampak banjir di lokasi kajian berupa dampak sosial, ekonomi, kesehatan,
dan lingkungan. Dampak ekonomi seperti terganggunya aktivitas sehari-hari,
akses jalan, tempat ibadah atau masjid, sektor pendidikan (sekolah), dan sektor
kesehatan (puskesmas/pustu). Dampak ekonomi berupa kerusakan properti rumah
tangga akibat banjir seperti lemari, kursi, meja, tempat tidur dan barang-barang
elektronik serta kerusakan motor. Aktivitas ekonomi juga terganggu, beberapa
pasar tradisional, RPH tidak berfungsi, dan layanan perbankan serta pemadaman
listrik (BPBD Kota Makassar, 2014).
Munculnya keluhan kesehatan pada hari ke-2 atau ke-3 terjadinya banjir
hingga beberapa hari setelah banjir. Keluhan tersebut terutama berupa gatal-gatal
dan diare. Dampak lingkungan seperti kondisi rumah dan lingkungan yang kotor
pascabanjir akibat sampah dan lumpur. Lingkungan tercemar, sumber air minum
169 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
berupa sumur timba atau sumur bor yang tergenang banjir tidak dapat digunakan
karena bercampur air kotor sehingga kenyamanan lingkungan menurun.
2. Adaptasi yang Dilakukan Masyarakat
Adaptasi yang dilakukan masyarakat secara individu untuk antisipasi dampak banjir
yaitu pertama, meninggikan pondasi/lantai rumah, atau membangun rumah 2 lantai,
adaptasi ini efektif untuk meminimalkan dampak banjir, terutama untuk menghindari
kerusakan properti akibat banjir. Kedua, membuat tanggul atau penahan banjir di
depan pintu rumah, sebagai bentuk antisipasi masuknya air sehingga kerusakan
properti dan kondisi rumah yang kotor pascabanjir dapat dihindari. Ketiga, membuat
tempat peyimpanan barang sementara yang lebih tinggi pada saat banjir. Keempat,
mengubah rumah batu menjadi rumah kayu, karena rumah panggung dianggap
paling adaptif untuk lokasi yang rawan banjir.
Adaptasi masyarakat di Roman Tangaya, RT 4 RW 6 Kelurahan Manggala yang
merupakan daerah paling terdampak banjir dengan membuat sumur bor dengan
penutup yang lebih tinggi dari permukaan tanah. Selain itu juga menampung air
hujan untuk kebutuhan konsumsi, menyediakan bahan makanan seperti beras, mi,
garam, ikan kaleng, dan berbagai kebutuhan lainnya sebelum memasuki musim
hujan. Untuk rumah kayu atau rumah panggung dilengkapi dengan perahu sebagai
alat transportasi saat banjir
3. Arahan Adaptasi
Hasil identifikasi permasalahan di lokasi kajian, lebih banyak berhubungan dengan
kewenangan Dinas PSDA Provinsi dan Balai Besar Pompengan-Jeneberang atau
PUPR. Khusus untuk OPD lingkup Pemerintah Kota Makassar, beberapa hal yang
perlu perbaikan sebagai bentuk arahan. Pertama, pembangunan tempat atau fasilitas
untuk pengungsian. Kapasitas tempat pengungsian yang disediakan tidak sesuai
dengan jumlah korban terdampak, sehingga perlu disediakan tempat pengungsian
seperti di Kelurahan Katimbang, Batua, dan Manggala. Tempat pengunsian yang
disediakan dapat berupa gedung serbaguna atau lapangan/ruang terbuka hijau
(RTH) yang dapat digunakan untuk mendirikan tenda pengungsian.
Kedua, informasi peringatan dini tidak sepenuhnya sampai ke masyarakat.
Informan mengetahui kalau akan terjadi banjir bedasarkan pengalaman selama
ini, misalnya jika hujan berturut-turut selama lebih dari 4 hari dan dengan melihat
ketinggian air di sekitar mereka. Hal tersebut tidak berlaku untuk banjir kiriman
dari Kabupaten Maros dan Gowa yang tiba-tiba datang. Oleh karena itu, peran
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI170
pemerintah untuk menginformasikan peringatan dini jika curah hujan tinggi di
daerah hulu kepada masyarakat sangat diperlukan. Saat ini, fasilitas untuk informasi
dari pemerintah ke masyarakat, khususnya semua ketua RT/RW se-Kota Makassar
sudah sangat bagus dengan adanya fasilitas smart phone yang disediakan oleh
pemerintah kota. Hali ini dapat dimaksimalkan untuk penyebarluasan informasi
peringatan dini khususnya untuk daerah rawan banjir.
Ketiga, percepatan penyerahan fasum/fasos perumahan yang sudah tidak
melakukan pengembangan. Adanya fasilitas umum dan sosial yang dimiliki
perumahan di daerah rawan banjir dan belum diserahkan ke pemerintah kota,
menyebabkan pemerintah kota tidak bisa melakukan perbaikan infrastruktur jalan
dan drainase di lokasi tersebut. Sementara hal tersebut sudah menjadi kebutuhan
mendesak untuk dilakukan perbaikan dalam rangka meminimalkan dampak banjir
yang dialami masyarakat. Pihak kelurahan di masing-masing lokasi sebaiknya
mengupayakan percepatan proses penyerahan fasum/fasos perumahan.
4. Pembahasan
Penelitian ini menunjukkan bahwa kawasan yang termasuk rawan banjir berada di
daerah rendah, sebagian masih merupakan daerah aliran sungai (DAS) Tallo yang
dijadikan permukiman, sehingga ketinggian banjir mencapai 1–2 meter. Waktu yang
dibutuhkan banjir hingga surut bervariasi mulai dari 3 hingga 5 hari, bahkan di Romang
Tangaya, Kelurahan Tamangapa, banjir umumnya surut 5–10 hari dan berulang
2–3 kali dalam rentan waktu Desember–Februari tiap tahun. Menurut Douglas et
al (2008) dalam Fatti & Patel (2013) meski curah hujan merupakan faktor utama,
namun curah hujan bukan satu-satunya penyebab banjir. Bencana banjir diperburuk
oleh peningkatan kepadatan permukiman, tempat tinggal di dataran banjir, dan
saluran pembuangan yang tersumbat yang semuanya sering terkonsentrasi di
daerah perkotaan. Salah satu penyebab banjir di lokasi kajian adalah daerah tersebut
merupakan daerah yang dipengaruhi oleh air pasang sehingga banjir diperparah saat
bersamaan dengan pasang air laut.
Dampak tidak langsung terdiri dari kerusakan, yang terjadi sebagai konsekuensi
lebih lanjut dari banjir dan gangguan kegiatan ekonomi dan sosial. Kerusakan
ini dapat memengaruhi area yang sedikit lebih besar daripada yang sebenarnya
terendam. Misalnya, hilangnya produksi ekonomi karena fasilitas yang hancur atau
terendam seperti pasar tradisional, kurangnya pasokan energi dan telekomunikasi
(pemadaman listrik), gangguan pasokan dengan barang, dan hilangnya waktu dan
keuntungan karena gangguan lalu lintas, serta terganggunya layanan publik.
171 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
Haque et al (2010), mengungkapkan beberapa dampak banjir terhadap
lingkungan khususnya terhadap pencemaran atau kontaminasi air permukaan seperti
perubahan tingkat PH, perubahan jumlah oksigen terlarut, perubahan permintaan
oksigen biologis (kehadiran sel mati, bakteri dan polutan biologis lainnya), kehadiran
klorida, padatan, padatan terlarut, kekeruhan, kehadiran segala jenis coliform dan
kontaminasi air tanah. Bahkan juga menyebabkan polusi udara berupa bau yang
tidak sedap dari bekas kotoran dan limbah.
Upaya adaptasi yang dilakukan masyarakat terutama bertujuan untuk
meminimalkan dampak banjir yang diderita. Liang et al (2017), mengemukakan
bahwa lebih dari 90% dari penduduk akan mengambil tindakan adaptasi teknik
atau non-teknik untuk melindungi aset pribadi mereka terhadap banjir. Tindakan
yang paling banyak dilakukan yaitu menjauhkan atau mengamankan barang-barang
mereka selama banjir. Sama halnya dengan di lokasi kajian, berbagai upaya adaptasi
dilakukan masyarakat untuk melindungi aset pribadi dan meminimalkan dampak
yang diderita.
Yuliadi (2017), adaptasi yang dapat dilakukan di daerah rawan banjir yaitu
meninggikan lantai rumah, pembuatan rumah panggung, dan pembuatan rumah
lantai 2. Menurut Nitivattananon dkk (2015), meninggikan lantai adalah langkah-
langkah adaptasi yang paling sukses di Surabaya. Ada banyak faktor yang
memengaruhi keberhasilan. Salah satunya adalah biaya. Misalnya masyarakat
setempat menggunakan uang mereka sendiri untuk meningkatkan lantai mereka
untuk menghindari banjir. Karena ukuran adaptasi ini berada di household level
sehingga mudah untuk pemeliharaan atau menerapkan. Masyarakat setempat
memiliki kesadaran yang cukup untuk menghadapi banjir. Mereka tidak lagi
merasakan banjir sebagai salah satu ancaman, tetapi mereka dianggap sebagai
batasan masalah yang mereka hadapi setiap tahun (Nitivattananon dkk., 2015).
Selain itu, adaptasi yang dilakukan masyarakat bertujuan mengurangi
sensitivitas terhadap banjir. Menurut Adger et al (2005), adaptasi dapat dilakukan
dengan mengurangi sensitivitas sistem yang terkena dampak, misalnya dengan
memastikan bangunan di kawasan banjir dibangun dengan lantai dasar yang tahan
banjir. Lantai rumah yang rendah lebih sensitif terhadap banjir dibanding rumah
dengan lantai yang lebih tinggi dan rumah batu atau berlantai 1 lebih sensitif
terhadap banjir dibandingkan rumah kayu yang berlantai 2.
Selain adaptasi secara pribadi, idealnya masyarakat juga melakukan upaya
adaptasi secara kolektif atau adaptasi berbasis komunitas. Menurut informan,
upaya adaptasi yang dilakukan secara kolektif sangat terbatas, atau hampir
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI172
tidak ada. Masyarakat hanya membuat perahu atau rakit yang digunakan untuk
mengangkut kendaraan seperti motor pada saat banjir yang merupakan adaptasi
reaktif. Hal yang sama diungkapkan Rachmat & Pamungkas (2014), bahwa upaya
adaptasi yang dilakukan masih reaktif berupa upaya tanggap darurat saat terjadi
banjir. Partisipasi masyarakat sebagai salah satu stakeholder masih sangat kurang
dan peran pemerintah masih sangat dominan.
Peringatan dini merupakan pemberitahuan akan timbulnya kejadian alam
seperti bencana. Deteksi dini pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan
memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat. Dalam
keadaan kritis, secara umum deteksi dini yang merupakan penyampaian informasi
tersebut diwujudkan dalam bentuk sirine, kentongan dan lain sebagainya (Yuliadi,
2017). Dengan kemajuan teknologi, peringatan dini juga dapat disampaikan melalui
media informasi seperti mengirim pesan ke telepon genggam masyarakat, penyiaran
informasi melalui radio, televisi, internet atau media sosial dan bahkan dengan
mengeluarkan surat edaran kepada departemen terkait (Liang et al., 2017).
Harapannya adalah agar masyarakat dapat merespons informasi tersebut
dengan cepat dan tepat. Semakin dini informasi yang disampaikan, semakin
longgar waktu bagi masyarakat untuk meresponsnya. Kesigapan dan kecepatan
reaksi masyarakat diperlukan untuk meminimalkan dampak. Karena keterlambatan
dalam menangani bencana dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar bagi
masyarakat. Serra-LLobet et al (2013) dalam Sagala dkk (2014) menemukan bahwa
besarnya kerugian akibat bencana disebabkan oleh rendahnya kesiapsiagaan
masyarakat dan tidak adanya sistem peringatan dini yang memadai. Dengan adanya
peringatan dini, masyarakat dapat melakukan berbagai upaya penyelamatan jiwa
dan harta bendanya.
Di samping itu, kesiapsiagaan masyarakat dalam mengenali gejala alam
akan terjadinya banjir merupakan hal yang diperlukan. Masyarakat yang tinggal
di daerah rawan banjir harus diberdayakan dan merespons gejala tersebut agar
pengurangan jumlah korban dan kerugian akibat banjir dapat dihindari (Yuliadi,
2017). Oleh karena itu, perlu peningkatan pemahaman kesadaran masyarakat dan
aparat terhadap kondisi daerahnya yang rawan, serta terhadap gejala-gejala awal
terjadinya banjir dan tindakan darurat. Sagala dkk (2014) bahwa sebagian besar
tindakan kesiapsiagaan yang dilakukan oleh penduduk bukan berasal dari pelatihan
atau pemberitahuan dari pemerintah melainkan pengalaman mereka yang telah
lama mengalami bencana banjir.
173 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II
D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian tentang kajian adaptasi terhadap banjir di Kota Makassar,
maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Karakteristik banjir di lokasi kajian mulai ketinggian 0.5 hingga 1.5 m, surut paling
cepat 1 hari dan paling lama hingga lebih 10 hari. Banjir berdampak terhadap
kondisi sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan. Masyarakat melakukan
adaptasi seperti meninggikan fondasi/lantai rumah, membuat tanggul depan
pintu rumah, membuat tempat penyimpanan barang sementara saat banjir,
mengubah rumah batu menjadi rumah kayu, membuat penutup sumur bor yang
tinggi, menyiapkan kebutuhan konsumsi, dan perahu menjelang musim hujan.
2. Program pembangunan dan normalisasi drainase (Dinas PU), belum memenuhi
kriteria kecukupan dan responsivitas. Program BPBD dan Dinas Sosial
memenuhi kriteria.
3. Arahan yang dapat dilakukan oleh Pemkot Makassar untuk meminimalkan
dampak banjir adalah membangun tempat pengungsian berupa gedung
serbaguna atau lapangan (RTH), meningkatkan penyebaran informasi
peringatan dini banjir ke masyarakat melalui media pesan ke level RT/RW dan
mempercepat proses penyerahan fasum/fasos perumahan yang berada di lokasi
rawan banjir dan sudah tidak melakukan pengembangan.
E. Saran KebijakanAdapun beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai saran dalam penelitian ini adalah
1. Rencana kontijensi banjir Kota Makassar tahun 2014 yang dibuat berdasarkan
data kejadian banjir 2013. Dokumen tersebut berlaku selama 3 tahun dan
seharusnya sudah direvisi. Namun hingga tahun 2018 dokumen tersebut
belum direvisi. Adanya perbedaan beberapa lokasi banjir tahun 2013 dengan
tahun 2017 menyebabkan adanya perbedaan data seperti lokasi banjir, jumlah
korban terdampak dan lain-lain sehingga perlu dilakukan revisi dokumen. Revisi
dokumen dapat difasilitasi oleh BNPB atau dengan menggunakan anggaran
BPBD Kota Makassar.
2. Peningkatan dan perbaikan infrastruktur jalan di beberapa lokasi rawan banjir
dengan ketinggian banjir di bawah 1 m seperti Bontoa, Kelurahan Tamangapa,
Bangkala, Tamalanrea Indah, dan Katimbang sebaiknya diprioritaskan oleh
Dinas PU Kota Makassar dengan menggunakan material yang tahan terhadap
air seperti jalan beton. Karena hal tersebut secara langsung meningkatkan
DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI174
kemampuan adaptasi masyarakat. Saat banjir terjadi, walaupun lokasi mereka
terendam banjir, tapi jika infrastruktur jalan bagus dan lebih tinggi maka
aktivitas tetap berjalan (kendaraan masih bisa digunakan).
3. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang prediksi atau perkiraan banjir di Kota
Makassar untuk masa yang akan datang, mengingat adanya berbagai faktor
yang berpotensi meningkatkan kejadian banjir seperti perubahan iklim dan alih
fungsi lahan, sehingga dapat diproyeksikan dampak dan adaptasi antispasi yang
dapat dilakukan.