KRITIK NURUDDIN AL-RANIRI TERHADAP HAMZAH FANSURI
DALAM KITAB “HUJJAH AL-SHIDDIQ LIDHAF’I AL-ZINDIQ”
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Muhammad Zainurrafiq
NIM: 1110033100039
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2017 M
ABSTRAK
Nuruddin ar-Raniri terkenal sebagai sosok pembaharu tradisi pemikiran
tasawuf di Aceh pada pertengahan abad ke-17. Nuruddin ar-Raniri berhasil
memberantas ajaran falsafi yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin as-Sumatrani. Banyak karya Nuruddin ar-Raniri yang ditujukan
untuk mengkritik ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri tentang. Tulisan ini
berupaya menjawab konsep tasawuf Nuruddin ar-Raniri, serta menelusuri landasan
pemikiran yang digunakan dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li daf’i al-Zindiq untuk
mengkritik ajaran falsafi Hamzah Fansuri.
Dengan menggunakan metode studi pustaka (library research) terhadap
kitab Hujjah al-Shiddiq li daf’i al-Zindiq dan berbagai karya ilmiah tentang
pemikiran Nuruddin ar-Raniri, penelitian ini menyimpulkan bahwa kitab Hujjah al-
Shiddiq li daf’i al-Zindiq merupakan karya Nuruddin ar-Raniri yang mampu
memberikan kerangka pemahaman yang melatari pertentangan ajaran tasawuf
antara Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri. Ajaran wahdatul wujud Hamzah
Fansuri banyak dipengaruhi oleh teori emanasi (al-faidh) Al-Farabi, bahwa Tuhan
berada dalam kandungan (imanen) alam ini. Ar-Raniri menolak ajaran wahdat al-
wujud itu karena dapat membawa kepada kekafiran, terutama ketika menggiring
pada pemikiran tentang manusia yang mampu memiliki sifat-sifat Tuhan. Selain
itu, teori emanasi dapat memunculkan pengakuan bahwa alam yang memiliki wujud
ketuhanan dipandang kekal seperti halnya hakikat Tuhan. Oleh karena itu, ar-Raniri
meneguhkan bahwa ajaran wahdat al-wujud dapat menjerumuskan umat Islam
kepada kemusyrikan.
KATA PENGANTAR
Segala puji dengan penuh rasa syukur yang dalam, penulis memanjatkan
doa yang tiada hentinya kepada Allah SWT, pencipta langit dan bumi serta apa yang
ada di antara keduanya, pemilik kesempurnaan, meliputi segala ilmu pengetahuan,
kesabaran, keimanan dan taqwa kepada penulis, serta sholawat dan salam selalu
senantiasa tercurahkan dari hati yang paling dalam kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai pembawa cahaya serta petunjuk kepada seluruh umat manusia hingga akhir
zaman.
Sehubungan dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menyadari
tanpa bimbingan, arahan serta dukungan yang sangat berharga dari berbagai pihak,
sulit rasanya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, melalui
penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr. Edwin Syarif, MA selaku pembimbing skripsi yang telah banyak
memberikan saran dan sumbangan pemikiran kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini
2. Dr. M Masri Mansoer M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dra. Tien Rohmatin, MA sebagai Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
dan Dr. Abdul Hakim Wahid, MA selaku Sekertaris Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam yang telah memberikan kesediaan waktu dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Para Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah
membimbing penulis selama menimba ilmu di Fakultas Ushuluddin.
5. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan serta iringan doa
siang dan malam yang tiada hentinya selalu terucap, terima kasih atas didikannya
selama ini, kasih sayang, menyalurkan semangat yang tiada hentinya sehingga
kalianlah yang menjadi satu-satunya alasan utama skripsi ini bisa dan harus
diselesaikan.
6. Teman-teman se-angkatan
7. Segenap karyawan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan pelayanan yang
baik dengan penulis.
Penulis sadar dan mengakui bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kata
sempurna, karena disebabkan keterbatasan kemampuan ilmu yang penulis kuasai.
Untuk itu, masukan dan saran yang dapat menyempurnakan karya ilmiah ini.
Penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan kontribusi positif
bagi perkembangan ilmu pengetahuan, dan peneliti akhiri dengan memanjatkan
do’a semoga segala amal baik kita diterima sebagai Ibadah dan senantiasa
menunjukan jalan yang benar. Amiiin.
Ciputat, 20 Oktober 2017
Muhammad Zainurrafiq
Pedoman Transliterasi
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
‘ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
, , ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
ā ā أ
ī ī إى
ū ū أو
i
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................
i ..................................................................................................
...................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN...........................................................................1
Latar Belakang Masalah ......................................................................................1
Pembatasan Masalah ...........................................................................................3
Rumusan Masalah ...............................................................................................4
A. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................4
B. Metode Penelitian ........................................................................5
1. Sumber Data ..........................................................................5
2. Teknik Pengumpulan Data ....................................................5
3. Jenis Penelitian ......................................................................6
4. Teknik Penulisan ...................................................................6
5. Tinjauan Kepustakaan ...........................................................6
C. Sistematika Pembahasan ............................................................7
BAB II : NURUDDIN AL-RANIRI: BIOGRAFI DAN
KARYAKARYANYA .................................................................... 9
A. Biografi Nuruddin Al-Raniri ....................................................... 9
B. Perjalanan Intelektual Al-Raniri ..................................................10
C. Peran Nuruddin Al-Raniri pada Masyarakat Aceh ......................15
1. Pergulatan Aliran Tasawuf di Aceh ......................................15
2. Nuruddin Al-Raniri sebagai Pembaharu Tasawuf di Aceh ...23
D. Karya-karya Nuruddin Al-Raniri ................................................29
ii
BAB III : PEMIKIRAN TASAWUF NURUDDIN AL-RANIRI ...............33
A. Tentang Ketuhanan ......................................................................33
B. Tentang Penciptaan .....................................................................35
C. Tentang Hubungan Syari’at dan Hakikat ....................................39
BAB IV : KRITIK NURUDDIN AL-RANIRI DALAM MENENTANG
AJARAN FALSAFI HAMZAH FANSURI .................................41
A. Kebenaran Ajaran Ahli Kalam ....................................................41
B. Dua Aliran Tasawuf: Yang Benar dan Yang Sesat .....................42
C. Kesesatan Ajaran Falsafi .............................................................44
1. Wahdatul Wujud ....................................................................44
2. Kekekalan Alam semesta ......................................................45
3. Pengingkaran terhadap Keberadaan Surga dan Neraka .........47
BAB V : PENUTUP .......................................................................................49
A. Kesimpulan ..................................................................................49
B. Saran dan Masukan......................................................................50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada pertengahan abad ke-17, sejarah mencatat fakta adanya kontroversi
dalam tradisi pemikiran keagamaan di Aceh, yang berujung pada pembunuhan
pemikiran ajaran tertentu. Ajaran yang dikembangkan Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin al-Sumatrani memperoleh permusuhan yang tragis dari Nuruddin ar-
Raniri. Perlawanan disulut oleh pertentangan ar-Raniri terhadap ajaran kedua
ulama penganut paham Ibnu Arabi tentang doktrin wujudiyyah. Seiring
perkembangan Islam di Indonesia, ajaran tasawuf tampaknya suatu hal yang tak
dapat dipisahkan dari misi Islam untuk membawa manusia menjadi umat yang
bertauhid. Hal itu bisa dilihat dari ajaran para sufi yang memberikan pemahaman
dan pengajaran mengenai hubungan dengan Allah dan syariat. Para sufi
memandang bahwa segenap hidupnya, dalam keadaan aktif maupun pasif, lahir
dan batin, seluruhnya bersumber dari cahaya kenabian.1
Al-Raniri oleh banyak kalangan serigkali diposisikan sebagai tokoh
“superior” yang diperlawankan dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-
Sumatrani. Oleh karena itu, para ahli memberinya predikat sebagai seorang
pelopor pembaharu (mujaddid) Islam di Nusantara. Anti tasawuf wujudiyyah yang
dikampanyekan oleh al-Raniri cukup sukses untuk mengamputasi laju
perkembangan tasawuf falsafi yang dibawa oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
1 Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1316),
hlm. 49.
2
al-Sumatrani. Ia merupakan tokoh penting dalam penyebaran Islam di Nusantara,
lebih-lebih di kawasan Aceh. Banyak kalangan menganggap pemikiran-
pemikirannya berhasil memantapkan dominasi dan pengaruh paham ahlus-sunnah
wa al-jama’ah, 2 fiqh bermadzhab Syafi’i. Bahkan Azyumardi Azra menyebut
kiprah dan peran al-Raniri sebagai mujaddid (tokoh pembaharu) paling penting di
Nusantara abad ke-17.3
Al-Raniri sebagai seorang sufi, diangap sebagai pelopor yang
merepsentasikan paham neo-sufisme. Istilah neo-sufisme sendiri sebagaimana
dijelaskan oleh Fazlur Rahman adalah tasawuf yang diperbarui, melucuti ciri dan
kandungan estatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak
lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam. 4 Tasawuf model ini menekankan dan
memperbarui faktor moral dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf yang
mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf yang menyimpang (unorthodox
sufism). Pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi moral dari masyarakat
muslim. Ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan
individu dan bukan masyarakat.5 Ia dikenal sebagai seorang ahli tasawuf atau
seorang sufi, politisi, ahli sejarah dan ilmu kalam, dan dianggap telah memenuhi
kriteria neo-sufisme. Ia pernah menjabat sebagai mufti (syekh al-islam) di
2 Alwi Syihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di Indonesai
(Jakarta: Pustaka Iman, 2009), hlm.78. Lihat juga Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian
Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.95 3 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII (Bandung: Mizan, cet. V, 1999), hlm. 169. Lihat juga tulisan Azra dalam bahasa
Inggris, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia ( Honolulu, Allen & Unwin and
University of Hawai’i Press, 2004), hlm. 52-86. 4 Lihat Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), hlm. 205-
206. 5 Fazlur Rahman, “ Revival and Reform”, dalam P.M Holt (peny.), The Cambridge
History of Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), hlm. 637. Lihat juga Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama....., hlm. 110.
3
Kerajaan Aceh pada era Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiatu al-Din.6
Menurut riwayat, al-Raniri tinggal di Aceh selama tujuh tahun (1637-1644)
menjadi seorang alim, mufti, dan penulis produktif yang menentang doktrin
wujudiyyah yang diyakininya sebagai ajaran sesat.7 Al-Raniri mengeluarkan fatwa
untuk memburu orang-orang yang dianggap sesat, serta mebakar buku-buku yang
dipandang berisi ajaran sesat.8
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah pada suatu penelitian harus dilakukan supaya tidak
membahas semua kemungkinan yang bisa muncul. Al-Raniri dianggap telah
memenuhi kriteria neo-sufisme, dengan banyaknya bidang yang digeluti, seperti
tasawuf, filsafat, ilmu kalam, sejarah, politik, maupun yang menyangkut hakikat
dan syari‘at. Namun tulisan ini dibatasi hanya kepada pembahasan tentang
kritikan al-Raniri tehadap Hamzah Fansuri dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li daf’i
al-Zindiq. Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin al-Sumatrani, dianggap
sesat karena menyebarkan paham wujudiyyah.9
Penelitian ini difokuskan kepada bagaimana kritik-kritik yang
dikemukakan oleh Al-Raniri dalam upaya mempertajam penolakannya terhadap
6 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara...., hlm. 98. 7 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara...., hlm. 98. 8 Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, hlm. 98-99. 9 Nama al-Raniri dan Fansuri serta muridnya (al-Sumatrani) merupakan nama yang saling
berkaitan dalam sejarah Tasawuf Nusantara. Ketiganya, dalam sejarah filsafat Islam, meminjam
istilah Alwi Shihab, seperti al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Al-Raniri bersikap keras sangat menentang
pendapat-pendapat Fansuri maupun al-Sumatrani. Dia bangkit atas nama ahlu al-sunnah wa al-
jama’ah dan atas nama tasawuf yang murni ini ia menolak tasawuf Fansuri dan al-Sumatrani yang
dinilainya sebagai tasawuf menyimpang dan kafir. Lihat Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan
Tasawuf Falsafi...., hlm. 148.
4
pemikiran Hamzah Fansuri yang ia cantumkan dalam kirab Hujjah al-Shiddiq li
dhaf’i al-Zindiq.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dalam penelitian ini penulis
akan mengajukan rumusan permasalahan sebagai berikut:
1) Bagaimana konsep Nuruddin al-Raniri dalam tasawuf ?
2) Apa kritikan Nuruddin al-Raniri terhadap Aajaran Falsafi Hamzah Fansuri
dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li dhaf’i al-Zindiq?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang pemikiran tasawuf Al-Raniri, terutama tentang kritikannya
terhadap Hamzah Fansuri yang ia cantumkan dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li
dhaf’i al-Zindiq.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai
berikut:
a. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
kepustakaan atau literatur di Indonesia khususnya tentang pemikiran
tasawuf Al-Raniri.
5
b. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terutama
sebagai masukan didalam menjadikan manusia semakin ber-taqwā kepada
yang Maha Kuasa, sehingga tidak mencederai antara satu kelompok dengan
kelompok lain yang mempunyai perbedaan pandangan.
E. Metode Penelitian
1. Sumber Data
Penelitian ini merupakan kajian pustaka (library research) yang
menggunakan referensi utama dari buku Nuruddin al-Raniri yang berjudul
Hujjah al-Shiddiq li Dhaf’i al-Zindiq, sebuah kitab berbahasa Melayu yang
membahas tentang pemikiran tasawufnya, terutama tentang kritikannya
terhadap pemikiran Hamzah Fansuri.
Adapun data sekunder yang digunakan adalah karya-karya para
pengamat Al-Raniri itu sendiri, terutama tentang gejolak pemikirannya
dengan Hamzah Fansuri.
2. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini termasuk penelitian studi pustaka (library
research), maka teknik pengumpulan data dilakukan di sebagian besar
perpustakaan, baik Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Iman Jama‘, Perpustakaan
Nasional, Perpustakaan Daerah Jakarta, serta maupun perpustakaan pribadi
yang menyediakan literatur atau referensi yang berkaitan dengan tema yang
6
diangkat pada penelitian ini. Semua buku yang berkaitan dengan pembahasan
penelitian ini dikumpulkan dan diklasifikasi berdasarkan relevansi terhadap
pembahasan penelitian ini. Setelah semua buku telah diklasifikasikan maka
langkah selanjutnya adalah dibaca, dipahami dan diteliti, dan pada akhirnya
dimasukkan pada pembahasan penelitian yang diangkat.
3. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis yaitu dengan mendeskripsikan
secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti kemudian
menganalisis setiap masalah untuk memeroleh pemahaman secara
komprehensif dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini berhasil maksimal
dan tercapai.
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan pada penelitian ini mengacu pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiyah tahun 2007 yang diterbitkan oleh penerbit CeQda.
Adapun transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan
oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin) tahun 2013.
5. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian seputar pemikiran Al-Raniri banyak ditemukan dan tidak asing
lagi, penelitian tersebut menyangkut persoalan falsafah, tasawuf, fiqh, dan
7
lain sebagainya. Berikut ada beberapa tulisan yang membahas pemikiran Al-
Raniri.
Pertama, artikel ilmiah yang ditulis Syaifan Nur yang berjudul “Kritikan
Terhadap Pemikiran Tasawuf Al-Raniri”. Artikel ini menjelaskan tentang
bagaimana kritikan Al-Raniri terhadap Hamzah Fansuri dan pengikutnya,
serta kondisi di Aceh yang amat memprihatinkan pada masa itu, karena
gejolak pemikiran antara Al-Raniri dan Hamzah Fansuri serta pengikutnya
tidak lepas dengan adanya unsur politik. Al-Raniri sendiri mengaggap paham
wujudiyyah yang di usung oleh Hamzah Fansuri adalah sesat dan
menyesatkan serta dapat membawa terhadap kekafiran. Ia berpandangan
bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, maka dapat dikatakan
bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh
makhluk sebagai Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik atau buruk,
Tuhan turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, maka manusia
mempunyai sifat-sifat Tuhan, dan al-Raniri sangat menentang pandangan ini.
F. Sistematika Pembahasan
Pembahasan penelitian ini disusun dalam lima bab: Bab I adalah
pendahuluan. Di dalamnya menjelaskan tentang latar belakang masalah dan
rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.
Pada Bab II, akan diuraikan tentang biografi Al-Raniri mulai dari
perjalanan intelektualnya yang mengalami beberapa macam orientasi pemikiran
dari pemikiran syari‘at, kalam, filsafat, sampai tasawuf, serta pandangan para
8
Ulama terhadap Al-Raniri. Tidak lupa pula pada bab ini akan membahas tentang
karya-karya Al-Raniri di mana dari uraian karya tersebut dapat diketahui secara
general pemikiran Al-Raniri khusnya tentang kritikannya terhadap Hamzah
Fansuri dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li Dhaf’i al-Zindiq.
Pada Bab III, akan diuraikan tentang konsep dan pemikirannya tentang
tasawuf. Pada bab ini juga akan menjelas-kan tentang status al-Raniri itu sendiri,
apakah ia adalah seorang pembaharu, filosof, atau seorang sufi?.
Pada Bab IV, akan menjelaskan tentang poin-poin yang menjadi bahan
kritikan al-Raniri terhadap Hamzah Fansuri dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li
Dhaf’i al-Zindiq.
Kesimpulan pada penelitian ini akan dibahas pada bab V. Bab ini akan
memberikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang dijelaskan oleh penulis
dari bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini pula akan memberikan jawaban terhadap
masalah yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini, yaitu “ Kritik Al-Raniri
terhadap Hamzah Fansuri dalam Kitab Hujjah Al-Shiddiq Li Dha’i Al-Zindiq”.
9
BAB II
NURUDDIN AL-RANIRI: BIOGRAFI DAN KARYA-KARYANYA
A. Biografi Nurrudin Al-Raniri
Nama lengkap Nuruddin Al-Raniri adalah Nuruddin Muhammad ibn Ali
ibn Hasanjii al-Hamid atau al-Humayd al-Syafi’ai al-Asya’ari al-Aydarusi al-
Raniri. Ia lahir di Kota Ranir (Rander), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai
Gujarat India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga
menurunkan Nabi Muhammad SAW. Tahun kelahiran Nuruddin tidak diketahui
pasti, hanya saja ada beberapa ahli yang menyebut tahun kelahiran Nuruddin Al-
Raniri pada 1600 M atau pada abad 10 Hijriah.
Nama Ayah Nuruddin Al-Raniri adalah Ali Al-Raniri. Dia adalah seorang
pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama. Sedangkan ibunya
keturunan Melayu. 1 Daerah asal Al-Raniri, yaitu Kota Ranir, sangat ramai
dikunjungi para pendatang atau imigran dari berbagai penjuru dunia,
sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain. Ada yang berasal dari
Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama
para pendatang tersebut adalah untuk melakukan aktivitas bisnis dan mencari
sumber-sumber ekonomi baru.
Di samping itu, banyak pendatang dari luar kota juga berdakwah dan
menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-
bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar
1 Harun Mat Piah, dkk., Traditional Malay Literature (Kuala Lumpur : Dewan Bahasa
dan Pustaka, 2002), hal. 59-60
10
kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan Hindia
untuk keperluan yang sama. Sehingga penduduk Kota Ranir dikenal sebagai
masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup
yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri
sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani bin Hasan Muhammad Al-
Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar
ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq (logika), dan retorika
(balaghah). Kebanyakan dari perantau biasanya menetap di kota-kota pelabuhan
di pantai samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia
lainnya.2
Kendati tanah kelahirannya di India, nama Nuruddin ar-Raniri lebih
dikenal pada masa kini sebagai seorang ulama Nusantara. Selanjutnya, ia dikenal
sebagai sosok negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting
dalam sejarah Melayu pada abad ke-17.3
B. Perjalanan Intelektual Nuruddin Al-Raniri
Pendidikan Nurrudin Al-Raniri mengikuti pola ulama Hadhrami. Dia
mendapatkan pendidikan awalnya di kota kelahirannya, Ranir. Kemudian ia
melanjutkan pelajarannya di wilayah Hadhramaut. Kemudian dia melanjutkan
perjalanannya ke Haramayn karena pada 1030 H/1620 M atau 1031 H/1621 M.
Nuruddin melaksanakan ibadah haji di Haramayn, yang kemungkinan besar ia
2 Dr Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Kencana: Jakarta, 2007, Hal. 203 3 Ahmad Taufiq, Sastra Kitab, UNS, Surakarta: 2007, hal. 35
11
menjalin hubungan dengan murid-murid jamaah haji dari Jawa yang berada di
sana sebelum kembali ke Gujarat.
Guru Nuruddin yang paling terkenal dari India adalah Abu Hafs Umar ibn
Abdullah Ba Syaiban at-Tamiri, yang juga dikenal di Gujarat sebagai Sayyid
Umar al-Aydarus. Melalui guru ini Nuruddin masuk ke dalam tarekat Rif˜iyah.
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Rifa’i. Ba Syaiban menunjuk Nuruddin sebagai
Khalifah-nya dalam tarekat itu dan karenanya Nuruddin bertanggung jawab untuk
menyebarkan tarekat Rifa˜iyah di wilayah Nusantara. Walaupun demikian
Nuruddin tidak hanya masuk dalam tarekat Rifa˜iyah saja, melainkan ia juga
mempunyai silsilah dari tarekat Aydarusiyah dan Qadiriyah.
Setelah membekali dirinya dengan pengalaman dan pengetahuan dari para
ulama sebelumnya, Nuruddin datang ke Aceh untuk mengikuti jejak pamannya.
Dalam perjalanannya menuju Aceh, ia singgah di Semenanjung Tanah Melayu.
Nuruddin berada di Semenanjung Tanah Melayu terutama di Malaka dan Pahang
pada 1618. Pada 1630 Nuruddin meneruskan perjalanan ke Aceh. Saat itu Aceh
dipimpin oleh Sultan Iskandar Meukuta Alam. Perjalanan Nuruddin ke Aceh
dianggap perjalanan yang pertama. Di Semenanjung Tanah Melayu Nuruddin
belajar bahasa dan sastra Melayu.
Nuruddin juga dikenal sebagai seorang polymath, yaitu orang yang
pengetahuannya tak terbatas dalam satu cabang pengetahuan saja.
Pengetahuannya sangat luas, meliputi bidang sejarah, politik, sastra, filsafat, fikih,
dan mistisisme. Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu
memperdalam pengetahuan agama ketika melakukan ibadah haji ke Mekah.
12
Sepulang dari Mekah, ia menemukan besarnya pengaruh Syamsuddin as-
Sumatrani di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah yang disebarkan
oleh Syamsuddin, Nuruddin pindah ke Semenanjung Melaka dan memperdalam
ilmu agama dan bahasa Melayu di sana. Dalam ilmu fikih, Nuruddin Al-Raniri
adalah penganut Mazhab Syafi’i, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-
mazhab yang lainnya. Dari segi akidah, Nuruddin Al-Raniri adalah pengikut
mazhab ahlus sunnah wal jama’ah yang berasal dari Syeikh Abul Hasan al-
Asy’ari dan Syeikh Abu Manshur al-Maturidi.
Sedangkan dalam tasawuf, Nuruddin Al-Raniri adalah pengikut tasawuf
yang mu’tabarah dan pengamal berbagai-bagai thariqah sufiyah. Berbeda dengan
Hamzah Fansuri yang mengikuti paham Wahdatul Wujud, Ar-Raniri mengikuti
paham Wahdat al-Syuhud, yaitu menunggalnya makhluk dengan al-khalik bukan
dalam wujud, tetapi hanya dalam kesaksian. Paham ini sama dengan pandangan
kalangan sufi sunni pada umumnya. 4 Kerumitan pandangan yang berseteru
tersebut dari upaya sederhana untuk memahami keterjalinan Tuhan, alam dan
manusia.5
Wahdat al-syuhud dapat dikatakan sebagai argumentasi yang kontras
sekaligus muncul sebagai reaksi atas konsep wahdatul wujud. Jika dalam
wahdatul wujud dinyatakan bahwa Tuhan dan alam semesta itu satu, maka
4 H.M Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta: 2009, hal. 665. 5 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis, Jakarta: Mizan
2002, hal. 57.
13
sebaliknya wahdat al-syuhud mengatakan bahwa Tuhan dan alam semesta
berbeda. Keberadaan alam semesta semata-mata hanya refleksi dari Tuhan.6
Secara bahasa wahdat al-syuhud dapat diartikan sebagai kesaktuan
penyaksian. Pandangan ini menyatakan, satu-satunya yang benar-benar ada
hanyalah Wujud yang satu, yakni Tuhan, sedangkan kesan kita mengenai ragam
wujud hanyalah artifak dari cara pandang kita terhadap realitas yang satu. 7
Sekilas, pandangan tersebut mirip dengan wahdatul wujud. Namun jika dipelajari
lebih mendalam, kita akan menemukan perbedaan mendasar, di mana dalam
wahdat al-syuhud dinyatakan bahwa ciptaan tidak identik dengan Tuhan atau
Penciptanya. Ciptaan, baik itu berupa manusia maupun alam semesta beserta
isinya hanya pantulan dari Pencipta sehingga tidak identik dengan-Nya. Yang
Ilahi bersifat abadi, sedangkan alam semesta dan isinya bersifat sementara.8
Jika wahdatul wujud lebih dekat dan identik dengan tasawuf falsafi,
konsep wahdat al-syuhud lebih dekat dengan tasawuf sunni serta lebih banyak
diterima oleh kalangan ulama di dunia Islam. Sebagaimana diketahui, tasawuf
akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi moral dari seorang hamba
dalam rangka melakukan taqorrub kepada tuhannya, dengan cara
mengadakan riyyadhah.9
Pengaruh Ar-Raniry dalam bidang sejarah tidak kalah besarnnya. Selama
tinggal di Semenanjung, Nuruddin menulis beberapa buah kitab. Ia juga membaca
6 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis, Jakarta: Mizan
2002, hal. 11. 7 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hal. 56. 8 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hal.57. 9Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf, Yogyakarta:
Aura Media, 2009 hal 65.
14
Hikayat Sri Rama dan Hikayat Inderaputera, yang kemudian dikritiknya dengan
tajam, serta Hikayat Iskandar Zulkarnain. Ia juga membaca Taj as-Salatin karya
Bukhari al-Jauhari dan Sulalat as-Salatin yang populer pada masa itu. Kedua
karya ini memberi pengaruh yang besar pada karya utamanya sendiri, yaitu
Bustan as-Salatin.10 Dialah penulis pertama di tanah Melayu yang menyajikan
sejarah dalam konteks universal, yang memprakarsai suatu bentuk baru penulisan
sejarah Melayu. Bustan al-Salathin merupakan salah satu buku terpenting tentang
sejarah awal Melayu-Indonesia. Ia merupakan sumber yang tak tergantikan untuk
rekontruksi sejarah awal Islam di wilayah Melayu-Indonesia. Makna pentingnya
semakin jelas mengingat kenyataan, bahwa sejarah Islam di wilayah ini
kebanyakan ditulis berdasarkan sumber-sumber Barat.
Pada tahun 1637, ia kembali ke Aceh dan tinggal di sana selama tujuh
tahun. Saat itu Syeh Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan
pengetahuannya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641) mempercayainya untuk
mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Syamsuddin. Nuruddin menjabat sebagai
Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syeikh di Masjid Bait al-Rahman. Pada saat
ia berjaya sebagai pejabat kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf
Singkel, ia melakukan gerakan pemberantasan aliran wujudiyah yang diajarkan
oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi
itu dibakar dan para penganut aliran wujudiyah diapandang sebagai kelompok
yang murtad.
10 Harun Mat Piah, dkk., 2002, hal. 60
15
C. Peran Nuruddin Al-Raniri pada Masyarakat Aceh
1. Pergulatan Aliran Tasawuf di Aceh
Penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara, termasuk Aceh,
tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ajaran tasawuf. Tasawuf menjadi
bagian tak terpisahkan dari misi Islam dalam rangka membimbing manusia
menjadi umat yang bertauhid. Ajaran tasawuf memperdalam syariat dalam
rangka hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hal itu erat dengan ajaran
para sufi yang memberikan pemahaman dan pengajaran mengenai hubungan
dengan Allah dan syariat-syariatnya. Para sufi memandang bahwa segenap
hidupnya, dalam keadaan aktif maupun pasif, lahir dan batin seluruhnya
bersumber dari cahaya kenabian.11
Pada perkembangannya, tasawuf terbagi dalam dua aliran besar, yakni
tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Tasawuf sunni dikembangkan pada abad
ke-3 dan ke-4 H yang disusul Al-Ghazali dan para pengikutnya dari syaikh-
syaikh tarekat. Salah satu tokoh tasawuf sunni terkenal di Aceh yakni Nur Al-
Din Al-Raniri. Dalam perjalanannya, antara kedua aliran ini kerap dijumpai
adanya pertentangan dan perbedaan pendapat maupun pandangan.
Pertentangan dari dua aliran ini meluas dan terjadi pula di nusantara, seperti
di Aceh sebagaimana terjadi antara Nuruddin Al-Raniri dengan Hamzah
Fansuri. Perbedaan pandangan ini kian memanas karena sering melibatkan
pihak-pihak yang memangku kekuasaan.
11 Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, Dar Al-Ma’arif, Kairo: 1316, hal.
49.
16
Di antara tokoh terkemuka yang mengajarkan konsep wahdatul wujud
adalah Mansur Al-Hallaj dan Ibnu ‘Arabi. Paham Wahdat al-Wujūd adalah
paham yang menyatakan bahwa tiada wujud selain Tuhan, hanya ada satu
wujud hakiki yaitu Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan tidak ada pada dirinya
sendiri, ia hanya ada sejauh menampakkan wujud Tuhan. Alam adalah lokus
penampakan diri Tuhan dan manusia sempurna adalah penampakan diri
Tuhan yang paling sempurna. Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud
Ibn Arabi mengungkapkan bahwa wujud ini satu, namun dia memiliki
penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang
dikenal dengan asma yang memiliki pemisah yang disebut dengan barzah
atau menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang di sebut
dengan insan kâmil.12
Konsep Wahdatul Wujud identik dengan tasawuf falsafi, yakni
tasawuf yang banyak terpengaruh pemikiran-pemikiran filsafat. Tasawuf
falsafi memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya serta
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi
falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa
tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat.
Tasawuf falsafi muncul pada sekitar adad ke 6 dan 7 H, ditandai
dengan diperkenalkannya tokoh-tokoh pemikiran sufi yang filsuf dan filsuf
12 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
Jakarta: Mizan, 2003, hal 97.
17
yang sufi ketika tasawuf bercampur dengan filsafat menyerap beragam
pemikiran filsafat asing di luar Islam dari Yunani, Persia, India, Mesir,
Yahudi, dan Kristen tanpa kehilangan keautentikan Islam sebagai agama.
Salah satu kerangka umum tasawuf falsafi adalah bahwa tasawufnya tidak
jelas, mempunyai bahasa-bahasa tersendiri dan memahaminya memerlukan
daya rasa yang tidak biasa, dan sebab itu tasawuf falsafi tidak dianggap
filsafat karena dilandaskan pada intuisi, juga bukan tasawuf murni karena
diungkapkan dengan bahasa-bahasa filsafat yang mengarah pada
pembentukan aliran pemikiran dalam pembahasan ‘wujud’.13
Pergulatan antara aliran tasawuf falsafi dan sunni terlihat jelas di
lingkungan Kerajaan Aceh pada Abad 17, yang mana ada empat ulama besar
silih berganti, yaitu Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-
Sumatrani keduanya merupakan tokoh ahli Tasawuf yang beraliran Wihdatul
Wujud (Aliran Wujudiyah). Mereka mengajarkan semacam sinkretisme antara
Allah (Khalik) dengan manusia (Makhluk). Ulama ketiga di Aceh Syekh
Nuruddin Al-Raniri sangat menentang ajaran Hamzah dan muridnya.
Kemudian ulama keempat, yaitu Abdur Rouf Al-Sinkili, berusaha mengambil
jalan tengah dalam pertentangan antara pengikut Nuruddin dengan kedua
pengikut ulama terdahulu. Hamzah Fansuri dan Symsuddin Ass-Sumaterani
juga guru Syekh Abdur Rouf, walau pendapat dalam bidang tasawufnya
berbeda.
13 Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i
ustmani, Bandung: Pustaka, 1985, hal.187.
18
a. Hamzah Fansuri
Dalam sejarah perkembangan tasawuf Indonesia, Fansuri
dipandang sebagai ahli sufi pertama di Indonesia yang menuliskan buku-
buku tentang tasawuf Islam. Dia juga pemimpin yang mengenalkan
tasawuf falsafi di Indonesia.14 Hamzah Fansuri sangat giat mengajarkan
ilmu tasawuf menurut keyakinannya. Ada riwayat yang mengatakan
bahwa ia pernah sampai ke seluruh semenanjung dan mengembangkan
tasawuf di Perlak, Perlis, Kelantan, dan sebagainya.15
Di antara ajaran-ajaran tasawuf falsafi Hamzah Fansuri adalah
sebagai berikut:
1) Tentang wujudiyyah. Menurut Fansuri, wujud itu hanyalah satu
walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu itu, ada yang
merupakan kulit (kenyataan lahir) ada yang berupa isi (kenyataan
batin). Wujud yang hakiki itulah yang disebut Allah.
2) Allah adalah dzat yang mutlak dan qodim, sebab Allah yang pertama
dan yang menciptakan alam semesta.
3) Tentang Penciptaan. Menurut Fansuri, hakikat dari dzat Allah itu
adalah mutlak dan la ta’ayyun. Dzat yang mutlak itu mencipta dengan
cara menyatakan diri-Nya dalam suatu proses penjelmaan (emanasi).
4) Tentang manusia. Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari
penjelmaan, akan tetapi manusia adalah tingkat yang paling penting
dan merupakan penjelmaan yang paling sempurna. Manusia adalah
14 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, hlm. 143 15 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, cet. II, 2010) hlm. 342.
19
pancaran langsung dari dzat yang mutlak, sehingga menunjukkan
adanya semacam kesatuan antara Allah dan manusia.
5) Tentang kelepasan. Manusia sebagai makhluk penjelmaan yang
sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil, namun karena
lalainya maka pandangannya kabur dan tidak sadar bahwa seluruh
alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.16
Adapun karya-karya Hamzah Fansuri yang dapat kita temui
diantaranya: kitab Asrarul ‘Arifin, Syarabul ‘Asyiqin, dan Al-Muntaha.
Semua bukunya berbicara tentang tauhid, ma’rifat, dan suluk. Unsur-unsur
penting dalam buku Fansuri adalah pendapatnya yang diambil dari
perkataan kaum sufi klasik. Karya-karya Hamzah Fansuri ada yang
berbentuk syair dan ada yang berbentuk prosa. Syair-syair Hamzah bersifat
mistik dan melambangkan perhubungan Tuhan dan manusia. Syair-
syairnya penuh dengan kata-kata Arab dan menunjukkan pengaruh syair
Persia.17 Karya yang berbentuk syair di antaranya adalah Syair Perahu,
Syair Dagang, dan Syair Burung Pingai.18 Karya-karya Hamzah Fansuri
yang berbentuk prosa di antaranya Syarab al Asyiqin (minuman segala
orang birahi), Asrar al `Arifin fi Bayan llm al Suluk wa`l Tauhid
(keterangan mengenai pelajaran ilmu suluk dan kesatuan Tuhan), serta Al
Muntahi.
16 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, hlm. 74-75 17 Wnstedt, R.O, Some Malay Mystics, Heretical and Ortodox, JMBRAS. Vol. 1. April.
Singapore, 1923. hal. 313. 18 Yock Fang, Liaw, Sejarah Kesusesteraan Melayu Klassik, Singapura: Pustaka
Nasional, 1982, hal. 189.
20
b. Syamsuddin al-Sumatrani
Syamsuddin al-Sumatrani adalah seorang sufi yang pernah
mendapat gelar tetinggi untuk ulama, Qadli, imam atau syekh, penasehat
raja, imam kepala, anggota tim perunding dan juru bicara kerajaan Aceh
Darussalam, dan cukup lama berperan sebagai orang penting dalam
lingkungan istana, lebih dari dasawarsa dan boleh jadi penuh atau bahkan
lebih dari empat dasawarsa. Dia sudah mulai berperan dalam Istana pada
awal dasawarsa terakhir abad ke-16 dan wafat pada akhir abad ke-17.
Pemikiran tasawufnya Syamsuddin Al-Sumatrani membahas
tentang martabat tujuh yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada
dalam alam semesta, termasuk manusia, adalah aspek lahir dari hakikat
yang tunggal yaitu Tuhan. Tuhan sebagai Yang Mutlak tidak dapat dikenal
baik oleh akal, indera, maupun khayal. Dia baru dapat dikenal sesudah ber-
tajalli sebanyak tujuh martabat, sehingga tercipta alam semesta beserta
isinya termasuk manusia sebagai aspek lahir dari Tuhan. Di antara
ajarannya adalah bahwa Tuhan saja yang wujud. Hal ini di dasarkan pada
ayat Al-Qur’an:
هو الأول والأخر والظاهر والباطن
“Dialah Yang awal, Yang akhir, Yang Dhahir (tampak), dan Yang batin
(tersembunyi)”.
Menurut al-Sumatrani, Yang al-awal adalah martabat ahadiyyah,
Yang al-akhir adalah martabat Wahidiyyah, Yang al-batin adalah martabat
21
wahdah, dan Yang al-dhohir adalah martabat-martabat alam arwah, ‘alam
al-mitsal, alam al-ajsam, ‘alam al-insan.19[4]
Selain itu, Syamsuddin al-Sumatrani juga menekankan pentingnya
Syari’at di jalan Sufistik. Karena menurutnya, ada keterkaitan antara
Syari’at dan Tasawuf di antara berbagai tahap pengalaman sufistik dan
Syari’at. Meski demikian, Syamsuddin al-Sumatrani pada umumnya tidak
dikenal seperti kaum sufi ortodok yang sangat menekankan supremasi
syari’at dalam dalam praktek sufistik kaum Muslim. Akan tetapi beliau
pada umumnya dipandang sebagai kaum sufi “wujuddiyah”, yang
menganut gagasan panteistik tentang Tuhan. Pendapat sufistik beliau
menekankan sifat imanensi Tuhan dalam makhluk-Nya daripada sifat
transesndensi-Nya.20
Karya-karya Syamsuddin Sumatrani yang terkenal di antaranya
Miratul Mukminin (cermin orang-orang mukmin), Miratul Muhaqqiqin
(cermin orang benar). 21 Miratul Mukminin ditulis kira-kira pada tahun
1601, isinya tentang ajaran ahlussunah dan tentang ilmu-ilmu agama.
Miratul Muhaqqiqin di dalamnya dibicarakan tentang makrifat, hakikat
Tuhan, zikir dalam mencari Tuhan, dan ilmu rahasia.
19 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 37-38. 20 Aztumardi Azra, Islam Nusantara, (Bandung:Mizan,2002), hlm. 119-120 21 Yock Fang, Liaw, Sejarah Kesusesteraan Melayu Klassik, Singapura: Pustaka
Nasional, 1982, hal. 191.
22
c. Abdul Rauf as-Sinkili
Abdur Rauf ‘Ali al-Fansuri adalah seorang Melayu dari Fansur,
Sinkil, di wilayah pantai barat Laut Aceh. Pendidikannya dimulai dari
ayahnya di Simpang Kanan (Sinkil). Setelah itu, dia belajar agama kepada
kurang lebih 15 guru, 27 ulama terkenal dan 15 tokoh mistik terkenal di
Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al-Faqih, dan tempat-tempat lain.
Ajaran Abdurrauf As-Sinkili antara lain:
1) Ajarannya sama dengan ajaran Syamsuddin dan Nuruddin yang
menganut paham satu-satunya wujud hakiki yaitu Allah, sedangkan
alam ciptaan-Nya bukan merupakan wujud hakiki melainkan bayangan
dari yang hakiki.
2) Dzikir, alam pandangan as-Sinkili merupakan usaha untuk melepaskan
diri dari sifat lalai dan lupa. Tujuan dzikir adalah mencapai fana (tidak
ada wujud selain wujud Allah).
3) Martabat perwujudan, menurutnya ada tiga perwujudan
Tuhan. Pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yaitu alam pada
waktu itu masih merupakan hakikat gaib yang masih berada di dalam
ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal yaitu sudah
tercipta hakikat muhammad yang potensial bagi terciptanya
alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun tsani, disebut juga
dengan ‘ayan tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta.22
22 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 348-349
23
Adapun karya-karyanya adalah Mir’at Ath-Thullab (fiqh Syafi’I di
bidang muamalah), Hidayat Al-Balighah (fiqh tentang sumpah, kesaksian,
peradilan, pembuktian, dan lain-lain), ‘Umdat Al-Muhtajin (tasawuf),
Syam Al-Ma’rifah (tasawuf ma’rifat), dan Kifarat Al-Muhtajin (tasawuf).
2. Nuruddin Al-Raniri sebagai Pembaharu Tasawuf di Aceh
Kedatangan Nuruddin ke Aceh yang pertama tampaknya tidak
mendapat sambutan dan penerimaan yang layak dari pihak istana Sultan
Iskandar Muda. Nuruddin tidak mendapatkan posisi politik apapun. Ia hanya
dipercaya untuk mengajar para kanak-kanak. Maka dari itu ia meneruskan
perjalanan ke daerah lain. Pada waktu Sultan Iskandar Muda berkuasa, ulama
yang berpengaruh dalam pemerintahan adalah Syamsuddin Sumatrani.
Saat Syamsuddin dan Sultan Iskandar Muda berturut-turut meninggal,
Nuruddin datang kembali ke Aceh. Dia segera ditunjuk sebagai syekh Islam
menggantikan kedudukan Syamsuddin. Kedudukan ini didapat Nuruddin
karena pengganti Sultan Iskandar Muda adalah Sultan Iskandar Tsani, yang
juga merupakan muridnya ketika masih kanak-kanak. Karena kedudukannya
itu, Nuruddin menjadi orang kedua setelah Sultan.
Walaupun pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda Nuruddin
Al-Raniri tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas, dengan ketegasan dan
keberaniannya serta penguasaan berbagai bidang ilmu agama Islam, Nuruddin
Al-Raniri sangat cepat menonjol pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar
Tsani. Akhirnya Nuruddin Al-Raniri naik ke puncak yang tertinggi dalam
kerajaan Aceh, karena beliau mendapat sokongan sepenuhnya dari sultan.
24
Beliau memang ahli dalam bidang ilmu mantiq (logika) dan ilmu balaghah
(retorika).
Setelah mendapat kedudukan terhormat dalam pemerintah dan pijakan
kuat di istana sultan Aceh, Nuruddin mulai melancarkan pembaharuan
Islamnya di Aceh. Menurutnya Islam di Aceh telah dikacaukan
kesalahpahaman atas doktrin mistisisme. Nuruddin dengan tulisannya
membantah ajaran wujudiyah dari para pengikut Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin Sumatrani. Setelah hidup setahun di Aceh, atas perintah Sultan
Iskandar Tsani, Nuruddin mulai menulis Bustan-Sal˜thon. Menurut Sultan
Iskandar Tsani karya ini termasuk karya terbesar Nuruddin.
Pada masa Sultan Iskandar Muda, telah berkembang ajaran wujudiyah
yang menurut Nuruddin akan membahayakan umat Islam Aceh di bidang
akidah. Ia berusaha meluruskan dan mengembalikan kepala ajaran yang
menurutnya benar. Usaha itu dilakukan dengan mengadakan diskusi terbuka
dengan pengikut-pengikut ajaran tasawuf yang salah. Nuruddin mengetahui
bahwa ajaran tasawuf yang sesat ini disebarkan oleh ulama pendahulunya,
yaitu Hamzah Fansuri dan Syamsuddin.
Sikap keras Nuruddin ini juga terlihat pada waktu menentang ajaran
falsafi yang telah berkembang pesat di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17 M.
Penentangan Nuruddin terhadap ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin al-Sumatrani tertuang di dalam kitab-kitab karanganya yang
kurang lebih berjumlah 30 judul. Kitab-kitab tersebut antara lain berjudul
Tibyan fi Ma’rifatil-Adyan, Ma’ul-Chaya li Ahli-Mamat, Fatchul-Mubin
25
‘alal-Mulchidin, Chujjatus-Shiddiq li Daf’iz-Zindiq, Syifaul-Qulub,
Jawahirul-‘Ulum fi kasyil-Ma’lum, Chilluzh-Zhill, dan lain sebagainya.23
Menurut cacatan Azyumardi Azra, Al-Raniri merupakan tokoh
pembaruan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaharuan Islam di Aceh
setelah mendapat pijakan yang kuat di Istana Aceh. Pembarun utamanya
adalah memberantas aliran wujudiyah yang dianggapnya sebagai aliran sesat.
Pada mulanya, Al-Raniri dikenal sebagai Syekh Islam yang mempunyai
otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang Aliran wujudiyah. Bahkan
lebih jauh lagi ia mengeluarkan fatwa yang mengarah pada perburuan
terhadap orang-orang sesat.24 Dengan karya-karya polemiknya melawan apa
yang dianggapnya sebagai aliran wujudiyyah yang sesat”, Al-Raniry
merupakan orang pertama di Nusantara yang menjelaskan perbedaan antara
penafsiran dan pemahaman yang salah maupun yang benar atas doktrin-
doktrin dan praktik-praktik sufi.
Kebiasaan Al-Raniry dalam mengutip banyak tokoh ahli terkenal dan
karya-karya standar untuk mendukung argumen-argumennya di seluruh
tulisannya yang merupakan sarana penting bagi penyebaran gagasan
pembaruannya. Dengan cara ini, ia memperkenalkan para tokoh ahli kepada
kaum Muslim di Nusantara. Lebih jauh lagi, dengan memperkenalkan dan
menyebarkan ke Nusantara penafsiran Islam yang dipegang aliran utama
kaum ulama dan sufi di pusat-pusat pengetahuan dan keilmuan Islam, dia
memberikan daya dorong yang kuat untuk lahir dan berkembangnya
23 Sangidu, Wachdatul Wujud, Gama Media, Yogyakarta, hal. 32-33. 24 Azyumardi Azra, Jaringan Ulma Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke
XVII dan XVIII, Bandung: Mizan 1995, hal. 177.
26
pembaruan di kalangan Muslim Melayu. Penguasaan Ar-Raniry atas bahasa
Arab, Persia, Urdu, Melayu dan Aceh sangat membantunya dalam
membangun reputasi ilmiahnya.
Sebagai Syaikh Al-Islam Kesultanan, tugas al-Raniry adalah memberi
nasihat kepada Sultan Iskandar Tsani dalam berbagai masalah, baik yang
bersifat religius maupun politis. Dalam karyanya Bustan al-salathin, dia
mengungkapkan bagaimana dia menasihati Sultan dalam fungsinya sebagai
penguasa dan khalifah Tuhan di bumi. Dengan mengutip ayat al-Qur’an, dia
menjelaskan kepada Sultan tanggung jawab dan kewajibannya kepada rakyat;
melindungi yang lemah dan mendatangkan kebaikan bagi rakyat akan
membuatnya dilindungi dan dirahmati Tuhan. Barangkali karena
nasihatnasihatnya, Sultan Iskandar Tsani menghapuskan hukuman-hukuman
yang tidak Islami bagi para penjahat, seperti “mencelup minyak” dan
“menjilat besi”.
Selain melakukan diskusi dan membakar buku tasawuf wujudiyah
yang sesat itu, Nuruddin juga menggunakan penanya untuk membantah dan
menyanggah tasawuf wujudiyah yang sesat. Untuk itu ia menulis ajaran-
ajaran tasawuf yang benar dalam pelbagai karya. Tasawuf yang menurutnya
benar disebut wujudiyah muwahhid, sedangkan yang menurutnya salah
adalah wujudiyah mulhidah. Sementara menurut Dr. Hadi W.M dalam
bukunya Tasawuf Yang Tertindas, disebutkan bahwa tuduhan al-Raniri
terhadap Hamzah Fansuri hanya berdasarkan buku al-Muntahi dan syair-
sayair Fansuri di dalam Syarah Ruba’I Hamzah Fansuri karangan Syams al-
27
Din Pasay. Dan ia menafsirkan symbol-simbol syair tersebut secara harfiah.
Bahkan tuduhan al-Raniri mengenai syariat tidaklah terbukti, karena Hamzah
Fansuri telah mengatakan didalam kitab Asrar, “Hubaya-hubaya jangan
keluar dari kandang syari’at, karena (syari’at upama) kulit, haqiqat (upama)
otak; jika tiada kulit binasa otak….”25
Namun, keadaan berbalik melawan Nuruddin ketika Sultan Iskandar
Tsani mangkat dan digantikan oleh istrinya, Sultanah Safiatuddin Johan
Berdaulat (1641-1675). Polemik antara Nuruddin dan aliran wujudiyah
bangkit kembali. Kali ini yang menang adalah seorang tokoh yang namanya
sama dengan salah satu karya Hamzah Fansuri, yaitu Saif ar-Rijl, yang
berasal dari Minangkabau dan baru kembali ke Aceh dari Surat.26 Saif ar-Rijl
mendapat dukungan sebagian besar kalangan Aceh, yang merasa tidak senang
dengan besarnya pengaruh orang asing di Istana Aceh. Untuk menyelesaikan
pertikaian itu mereka mencari nasihat sang ratu, tetapi sang ratu menolak
dengan dalih tidak berwenang dalam soal ketuhanan.
Setelah perlindungan Sultan berakhir, Nuruddin tiba-tiba
meninggalkan Aceh dan menuju kota kelahirannya Ranir pada 1054 H./1644
M, dan tidak sempat menyelesaikan karangannya yang berjudul Jawahir al-
‘Ulum fi Kasyfi al-Ma‘lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek
Pengetahuan). 27 Peristiwa itu dicatat oleh seorang murid Nuruddin dalam
kolofon salah satu karya Nuruddin. Sebagaimana disebutkan dalam karyanya
25 Abdul Hadi W.M, Tasawuf yang Tertindas : Kajian Hermenetika terhadap Karya-
Karya Hamzah Fansuri, hlm. 163 26 Braginsky, K.I., Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad
7-19. Jakarta: INIS: 1998, hal. 473 27 Braginsky, K.I.: 1998, hal. 474.
28
Nuruddin kembali ke Ranir pada 1054 H./1644 M. Ia menghabiskan sisa
umurnya selama empat belas tahun di kota kelahirannya. Meski ia jauh dari
Aceh dan Nusantara, ia mempertahankan kepeduliannya terhadap orang-
orang Islam di negeri di bawah kedatangan Nuruddin sedikitnya penulis tiga
karya yang berkaitan dengan masalah-masalah yang sering dihadapi
masyarakat Aceh. Nuruddin meninggal pada 22 Zulhijah 1069 H./21
September 1658 M.28
Dari semua murid al-Raniri, hanya satu muridnya yang menonjol di
Nusantara, yaitu al-Makassari yang menulis buku berjudul Safinat Al-Najah.
Dalam tulisannya itu ia menyatakan bahwa al-Raniri adalah syaikh dan
gurunya. Dan terdapat kemungkinan besar bahwa orang yang melanjutkan
karya al-Raniri yang berjudul Jawahir Al-Ulum fi Kasyf Al-Ma’lum. Selain
al-Makassari, disebutkan juga bahwa murid pernah belajar kepada al-Raniri
adalah Syaikh Yusuf, meski kebenarannya masih diperdebatkan, karena saat
Syaik Yusuf berada di Aceh pada 1644, al-Raniri telah kembali ke Gujarat.
Tampaknya, Nur al-Din al-Raniri yang juga memperkenalkan Syaikh Yusuf
kepada gurunya sendiri, Sayyid Abu Hafsh Umar Bin. Abd Allah Ba Syaiban
(Syaikh Tarekat Rifa’iyyah) yang dalam sebagian besar masa hidupnya
tinggal di Bijapur, India.29
28 Harun Mat Piah, dkk., 2002: hal. 60 29 Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, hlm. 102
29
D. Karya-Karya Nuruddin Al-Raniri
Selama masa hidupnya, Al-Raniri menulis banyak karya di berbagai
bidang yang ia kuasai dan menjadi fokusnya. Karya-karya Al-Raniri ditulis, baik
berbahasa Arab ataupun Melayu, termasuk kitab Hujjah al-Shiddiq li Daf’i al-
Zindiq yang dibahas dalam penelitian ini. Sedikitnya ada 29 karya selama karir
intelektual Al-Raniri, dan tiga karya di antaranya dikerjakannya di Ranir.
Berikut adalah karya-karya Nuruddin: 30
1. Ṣirāt al-Mustaqīm (Jalan yang lurus), yaitu ilmu fiqih yang berkatian dengan
ibadat.
2. Hidāyat al-Ḥabīb fī’l-Taghrīb wa’l-Tarhīb (Petunjuk kekasih perihal yang
menggembirakan dan menakutkan), yang ditulis dalam bahasa Melayu dan
Arab (1636M) dan mengandungi kumpulan hadis.
3. Bustān al-Salāṭīn fī Dhikr al-Awwalīn wa’l-Ākhirīn (1637M). Karya ini
dianggap sebagai magnum opus pengarang ini.
4. Akhbar al Ākhirah fī Ahwal al-Kiyāmah (Berita akhirat perihal kiamat).
Karya ini terbahagi kepada tujuh bab: kejadian Nur Muhammad, kejadian
Adam, kejadian maut, tanda kiamat dan barang yang takluk padanya, aḥḥwāl
al-kiyāmah, neraka dan segala isinya, sifat syurga dan segala isinya.
5. Asrār al-Insān fī Ma‘rifat al-Rūḥ wa’l-Raḥmān (Rahasia manusia peri
mengetahui ruh dan Tuhan, 1642-44M). Dikarang dalam bahasa Melayu dan
Arab, mengenai manusia, terutama hal-ehwal ruh, sifat dan hakikatnya, serta
30 Dr. Edwar Djamaris dan Drs. Saksono Prijano, Hamzah Fansuri dan Nurrudin Ar-
Raniri, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan, Depdikbud: 1996, hal. 25
30
hubungan manusia dengan Tuhan. Terbahagi kepada dua bab: Bab I
mengenai nama-nama Rūḥ al-A‘dzam, Bab II membincangkan martabat
jisim-jisim, pengaruh ruh atas badan dan semua rahasia yang diletakkan Haqq
Ta’ala pada manusia dan kelebihannya daripada segala makhluk. Kisah Nabi
Adam, malaikat dan iblis, dan segala martabat ruh.
6. Tibyān fī Ma‘rifat al-Adyān (uraian dalam memahami agama-agama).
Seperenam dari kandungan kitab ini merupakan kecaman yang ditujukan
kepada kedua tokoh Wujudiyyah Hamzah Fansuri dan Syamsud-Din. Dalam
kata pengantar dijelaskan tentang kesesatan ajaran tersebut sehingga para
ulama mengeluarkan fatwa tentang kekafiran aliran wujudiyah dan halal
dibunuh.
7. Nubdhah fī Da‘wa al-Dzill ma‘a Ṣāḥibihi (uraian ringkas tentang penjelasan
antara bayang-bayang dan sahabatnya). Kitab ini dimaksudkan untuk
menentang ajaran Wujudiyyah Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsud-
Din.
8. Ma‘al-Ḥayāt lī Ahl al-Mamāt (Air kehidupan bagi orang yang mati).
Kandungannya menentang ajaran wujudiyyah Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin yang menyatakan kesatuan alam dan manusia dengan Tuhan.
9. Ḥill al-Dzill (Menguraikan bayang-bayang). Dikarang dalam bahasa Melayu
dan Arab. Mengenai bayang-bayang dan yang mempunyai bayang dalam
pengertian sufi yang bertujuan menentang paham Wujudiyyah yang
disebarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsu‟d-Din Pasai.
31
10. ‘Umdat al-I‘tiqād (Pohon I’tikad), yang membincangkan kalimah syahadat
dan mengandungi karangan-karangan yang menentang mereka yang
mempunyai pandangan keliru terhadap Tuhan.
11. Syifa’ al-Qulūb (Obat segala hati), mengenai pengertian kalimah syahadat
dan kepercayaan kepada Tuhan yang telah dicemarkan oleh kaum
Wujudiyyah.
12. Hujjat al-Ṣiddīq lī Daf‘al-Zindīq (Bukti orang yang benar untuk menentang
orang yang sesat), mengenai akidah dan madzhab-madzhab mutakallimin,
ahli sufi, ahli falsafat dan kaum Wujudiyyah. Sebagian besarnya bertujuan
menentang kaum Wujudiyyah dan mencela kaum Zindik, yaitu penganut
tasawwuf Aceh yang menganggap Hamzah Fansuri dan Syamsudin.
13. Kifāyat al-Ṣalāt (Cara mendirikan sembahyang), merupakan saduran dari
Ṣirāt al-Mustaqīm.
14. Hidāyat al-Imān bi Fadhl al-Mannān, menjelaskan pengertian agama yang
terdiri atas iman, Islam, ma’rifat dan tauhid.
15. Fatḥ al-Mubīn ‘ala’l-Mulḥidīn (Kemenangan yang nyata atas orang yang
mulhid). Dikarang setelah Syeikh Nurud‟din ar-Raniri kembali ke India
(1657M). Dalam karya ini pengarang meriwayatkan dengan lengkap peristiwa
hukuman mati yang dijatuhkan atas kaum Wujudiyyah dan pembakaran
kitab-kitab yang dikarang oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin di halaman
Masjid Baitur-Rahman.
16. Ṣawārim al-Ṣiddīq li Qaṭi‘ al-Zindīq (Pedang orang salih untuk memenggal
kaum zindik). Karya ini dimaksudkan untuk menentang kaum Wujudiyyah.
32
17. Lathai if al-Asrar.
18. Dzurrah al-faraizh bi Syarh al-Aqa’id.
19. Jawahir al-‘Ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
20. ‘Ain al-Alam qabla an Yukhlaq.
21. Al-lama’an fi takfir Man Qala bi Khalq al-Qur’an.
22. Bad’u Khalq al-Samawat wa al-Ardh.
23. Kaifiyah al-Shalah.
24. Muhammadah al-I’tiqad.
25. Tanbih al-Amil fi Tahqiq al-Kalam fi al-Nawafil.
26. Al-Fath al-wadudu fi Bayan Wahdah al-Wujud.
27. ‘Ain al-Jawwad fi Bayan Wahdah al-Wujud.
28. Awzhah al-Sabil wa al-Dala’il laisa li Abathil al-Mulhidin.
29. Syadzar al-Mazid.
30. Rahiq al-Muhammadiyah fi Thariq al-Shufiyah.
33
Karya Ar-Raniry tersebut di atas, sebagian besar berhubungan dengan
masalah Tasawuf. Di antaranya berkaitan dengan penolakannya terhadap paham
panteisme yang di nilainya sesat dan uraian lengakap tentang perdebatan melawan
pengikut Fansuri yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa “hukuman mati”
kepada mereka. Nubzah fi Da’wah az-Zil, misalnya memuat topik pemaparan
tentang tasawuf dan merupakan penegasan aliran pemikirannya yang menilai
konsep panteisme sesat. Begitu pula At-Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan fi at-
Tashawwuf, berisi uraian lengkap tentang perdebatan melawan pengikut Fansuri
yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa “hukuman mati” kepada mereka.31
31 Muzakkir, Studi Tasawuf; Sejarah, Pemikiran, Tokoh dan Analisis, (Bandung:
CitaPusaka Media, 2009), hlm. 148
33
BAB III
PEMIKIRAN TASAWUF NURUDDIN AL-RANIRI
A. Tentang Ketuhanan
Pendirian Al-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat
kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakalimmin dengan paham para
sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi.1 Ia berpendapat bahwa ungkapan” wujud Allah dan
Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang
batin, yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn ‘Arabi. Namun, ungkapan itu
pada hakikatnya menjelaskan bahwa alam ini tidak ada, yang ada hanyalah wujud
Allah Yang Esa. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu
dengan Allah. Pandangan Al-Raniri hampir sama dengan Ibn ‘Arabi bahwa alam
ini merupakan tajalli Allah. Namun, tafsiranya di atas membuatnya terlepas dari
label panteisme Ibn ‘Arabi.2
Al-Raniri dalam Hidāyat al-Imān bi Fadhl al-Mannān, membagi Sifat
Allah menjadi dua bagian. Pertama, sifat khusus Zat, yaitu al-wahdaniyah
(kemahaesaan), al-qidam (tiada wujud mendahului), al-baqā’ (abadi), dan
mukhālafah li al-hawādits (bebeda dengan setiap makhluk ciptaan). Kedua, sifat
al-ma’āni (sifat yang dipahami secara maknawi), yaitu alhayah (kehidupan), al-
‘ilm (pengetahuan), al-qudrah (kekuasaan), alirādah (kehendak), al-sami’
(pendengaran), al-bashār (penglihatan), alkalām (perkataan), dan seterusnya.
1 Ahmad, Daudy, Syaikh Nurruddin ar-Raniri; Sejarah, Karya, dan Sanggahan terhadap
Wujudiyyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang 1983, hal. 82 2 Syekh Naquib Al- Attas, Raniri and the Wujudiyyah of 17 th, Century Aceh, Singapore,
MMBRAS III, 1996, hal. 83
34
Membandingkan keterangan al-Raniri di sini, menurut Alwi Shihab, dapat
disimpulkan bahwa pandangan al-Raniri sepenuhnya sesuai dengan ahlu al-
sunnah wa al-jamā’ah. Ajaran wujudiyyah yang berpusat pada wahdat al-wujud,
menurut Al-Raniri, dapat membawa kepada kekafiran. Al-Raniri berpandangan
bahwa jika benar Tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa
manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh mahluk
sebagai Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Allah turut
serta melakukanya. Jika demikian halnya, maka manusia mampu mempunyai
sifat-sifat Tuhan, sebagaimana dalam pandangan panteisme.3
Namun, Amsal Bakhtiar menjelaskan bahwa wahdat al-wujud adalah suatu
paham yang berbeda dengan pandangan panteisme. Dalam panteisme alam adalah
Tuhan dan Tuhan adalah alam, sedangkan dalam wahdatul wujud alam bukan
Tuhan tetapi bagian dari Tuhan. Karena itu, dalam paham wahdatul wujud, alam
dan Tuhan tidak identik, berbeda dengan pandangan panteisme yang memahami
Tuhan dan alam sebagai identik. Bagi penganut panteisme, ketika melihat pohon,
dia mengatakan “Itu Tuhan”, sedangkan bagi penganut wujudiyyah dia
berkomentar “dalam pohon itu ada aspek ketuhanan”.4
3 Ahmad, Daudy, hal. 227. 4 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 94.
35
B. Tentang Penciptaan
Al-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajalli. Ia
menolak teori emanasi (al-faidh) Al-Farabi karena hal itu dapat memunculkan
pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga menjerumuskan pada kemusyrikan.5
Teori emanasi yang dikemukakan al-Farabi menjelaskan bahwa dari wujud Tuhan
memancarkan alam semesta. Pemancaran ini terjadi melalui tafakkur (berfikirnya)
Tuhan tentang diri-Nya ini menjadi sebab adanya alam semesta, tafakkur Tuhan
tentang dirinya adalah ilmu tentang diri-Nya dan ilmu itu adalah daya (al-qudrah)
yang menciptakan segala sesuatu.6 Menurut al-Raniri, alam dan falak merupakan
wadah tajalli (manifestasi) dari asma dan sifat Allah dalam bentuk yang kongkret.
Sifat ilmu ber-tajalli pada alam akal; Nama Rahman ber-tajalli pada arsy; Nama
Rahim ber-tajalli pada kursy; Nama Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh; dan
seterusnya.7
Al-Raniri berpendapat bahwa Tuhan itu Khalik dan alam semesta beserta
isinya adalah makhluk. Hubungan antara keduanya merupakan hubungan sebab
akibat. Artinya adanya alam semesta beserta isinya menunjukkan adanya Allah
karena alam semesta beserta isinya merupakan ciptaan-Nya. Alam semesta dan
seluruh isinya adalah baru karena diciptakan Allah secara langsung dari yang
tidak ada. Penciptaan alam semesta seisinya dari yang tidak ada, tidak akan
menimbulkan akibat perubahan Dzat Allah, karena iradah Allah yang kadim
5 Syekh Naquib Al- Attas, Raniri and the Wujudiyyah of 17 th, Century Aceh, Singapore,
MMBRAS III, 1996, hal. 227 6 Fuad Ramli (dkk.), Studi Filsafat Umum, (Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-
Raniry, 2003), hlm. 206 7 Ahmad, Daudy, Syaikh Nurruddin ar-Raniri; Sejarah, Karya, dan Sanggahan terhadap
Wujudiyyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang 1983, hal 128.
36
memang menghendaki penciptaan seperti itu. 8 Apabila seorang hamba Allah
melakukan hubungan dengan-Nya dan dia dapat merasa bersatu dengan-Nya,
maka persatuannya tetap ada jarak antara keduanya atau dikenal dengan istilah
Wachdatusy-Syuhud.
Manusia, menurut Ar-Raniri, merupakan mahluk Allah yang paling
sempurna di dunia, sebab manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang
dijadikan dengan citra-Nya. Juga, karena ia mazhar (tempat kenyataan asma dan
sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan kamil, katanya, pada
dasarnya hampir sama dengan apa yang telah digariskan Ibnu ‘Arabi.9 Konsepsi
Insan Kamil menurut Ar-Raniry tidak jauh berbedah dengan yang dipahami oleh
sebagian sufi, bahwa manusia yang telah memiliki hakikat Muhammad (Nur
Muhammad) atau ruh Muhammad, merupakan tempat penjelmaan nama-nama
dan sifat Tuhan sehingga ia dipanadng sebagai khalifah. Nur Muhammad
memiliki dua bentuk relasi sebagai sebab lahirnya segala yang ada. Yang pertama
tentang dimensi kealaman dimana dimensi sebagai asas pertama bagi penciptaan
alam, yang kedua adalah dimensi kemanusian yaitu sebagai hakikat manusia.10
Dalam proses penciptaan yang dilakukan oleh Allah harus mencapai
sebuah pencapai-tujuan. Pencapaian-tujuan tersebut memiliki relasi dengan Nur
Muhammad sebagai sebab dijadikannya alam. Dalam dimensi pertama yang
disebutkan di atas (dimensi kealaman), mengandung hakikat tentang Nur
Muhammad yang meyimpan kenyataan-kenyataan yang diciptakan oleh Allah
8 Sangidu, Wachdatul Wujud, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 33-34. 9 Ahmad, Daudy, Syaikh Nurruddin ar-Raniri; Sejarah, Karya, dan Sanggahan terhadap
Wujudiyyah di Aceh, hal. 183. 10 Raharjo M.Dawan, Insan Kamil, hal 104
37
lewat proses kun. Dalam dimensi kealaman ini proses kun belum mencapai makna
pencapaian tujuan dari apa yang menjadi tujuan diciptakannya kenyataan yang
ada. Ini disebabkan karena kenyataan-kenyataan masih merupakan tempat
penampakan diri yang masi kabur, sampai ia belum cukup dalam memantulkan
asma dan sifat Tuhan yang ditajallikan kepadanya. Melalui dimensi kemanusian
maka hakikat Muhammad merupakan Insan Kamil yang di dalam dirinya
terkandung himpunan realitas. Pada dimensi inilah penghimpunan Asma-asma
dan sifat Tuhan menjadi sempurna. Hakikat Muhammad yang telah dijadikan
sebelum alam ini, sebelum adanya dalam bentuk seseorang Nabi Insani. Hakikat
itu qadim dan azali. Hakikat Muhammad inilah yang selalu berpindah dari
generasi ke generasi berikutnya dalam bentuk para anbiya: Adam, Nuh, Ibrahim,
Musa, dan lain-lainnya, kemudian dalam bentuk nabi penutup, Muhammad Saw.
Jadi, Insan kamil merupakan cermin bagi Allah untuk melihat
kesempurnaan diri-Nya. Selanjutnya Insan Kamil juga sebagai pengikat semesta
alam: dari alam malk dan alam falak, dari alam jisim dan alam ruh, juga alam
tabi`at, jamadat, nabatat dan hayawanat. Ringkasnya, pada Insan Kamil
terhimpun segala sifat-sifat yang Ilahi dan yang alami. Manusia, merupakan
realisasi dari kehendak Tuhan untuk ber-tajalli pada bukan-diri-Nya
dengan tajalli yang paling jelas. Dengan artian bahwasannya manusia berpotensi
untuk dapat membayangkan lebih terang atau lebih banyak sifat-sifat ketuhanan
melalui dirinya. Dan merupakan sebuah kesimpulan (para sufi) bahwa Insan
38
kamil ”Manusia Sempurna” merupakan cermin bagi Allah untuk melihat
kesempurnaan diri-Nya.11
Dalam penolakannya terhadap paham wujudiyah, al-Raniri
mengugnkapkan bahwa ruh adalah sesuatu yang baru (tidak qadim). Menurutnya,
jika ruh merupakan bagian yang bercerai dari yang qadim (Allah) maka yang
qadim itu akan menjadi berkurang, lemah, dan berkehendak pada yang lain. Sifat
demikian tidak patut ada pada diri Tuhan. Jika ruh merupakan bagian yang
bercerai darinya, maka segala perbuatan buruk manusia adalah merupakan
perbuatan-Nya pula. Namun, di kesempatan yang lain al-Raniri melemahkan
sendiri pendapatnya dengan menganggap Ruh Muhammad itu diciptakan dari zat
Allah, karena pendapatnya demikian maka kaum wujudiyah tetap menganggap
bahwa Ruh Muhammad yang dimaksudkan oleh Syekh Nuruddin tersebut
merupakanj nilai-nilai keilahian yang dimiliki oleh manusia, karena mengandung
nali-nilai keilahian yang qadim, maka ruh yang ada pada manusia bersifat
qadim.12
Ruh merupakan hakikat daripada manusia, keberadaan ruh ada di dalm diri
manusia. Ruh yang dimaksud Al-Raniry adalah nafs nathiqah, yang dengannya
manusia dapat mengetahui. Ruh ini berasal dari alam arwah yang kemudian
masuk ke dalam jasad manusia dan menjdikan manusia dapat mengetahui Dzat
yang menciptanya. Selain ruh dan jasad yang membentuk manusia, ada pula jiwa.
Jiwa dalam hal ini, menururt Al-Raniry, merupakan sumber akhlak tercela, karena
adanya sumber akhlak tercela pada manusia sehingga manusia terombang ambing
11 Raharjo M.Dawan, Insan Kamil, hal 94 12 M.Dawan Raharjo, Insan Kamil, hal. 100
39
dalam kehidupan yang dilaluinya. Itu semua dikarnakan didalam diri manusia
terdapat dua kekuatan yang saling bertarung yakni ruh dan jiwa. Dimana ruh
sebagai sumber akhlak yang mulia, sedangkan jiwa adalah sumber ahlak yang
tercela. Nafs (jiwa) yang merupakan sumber akhlak tercela menurut Ar-Raniry, di
sisi lain juga merupakn pendorong tingkah-laku manusia. Tingkah-laku tersebut
dalam konsep psikologi merupakan efek dari jiwa. Dalam tingkah-laku tersebut
Ar-Raniry memberikan sebuah mengklasifikasikan sifat yang terkandung di dalam
jiwa itu sendiri, yakni sebagai berikut:
1) Nafsu Amarah, yaitu nafsu yang selalu mendorong manusia untuk berbuat jahat
dan membujuk manusia untuk menyenangi perbuatan keji, nafsu inilah
kemudian disebut sumber kejahatan.
2) Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang sedikit mendapatkan pancaran sinar hati
dan mampu menyadarkan manusia dari perbuatan keji untuk kemudian
bertobat.
3) Nafsu Muthmainnah, yaitu nafsu yang sarat akan cahaya hati dan merupakan
sumber amal kebajikan.13
13 Raharjo M.Dawan, Insan Kamil, hal 102
40
C. Tentang Hubungan Syari’at dan Hakikat
Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut Ar-Raniri, merupakan
sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan
beberapa pendapat pemuka sufi, diantaranya adalah Syeikh Abdullah Al-Aidarusi
yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah, kecuali melalui syari’at
yang merupakan pokok dan cabang Islam.14
Menurut al-Raniry, penerapan syariat tidak dapat ditingkatkan tanpa
pengetahuan lebih mendalam mengenai hadis Nabi. Karena itu dia mengumpulkan
dalam karyanya Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tartib sejumlah hadis yang
ditrjemahkannya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu agar penduduk
Muslim mampu memahaminya secara benar. Dalam risalah ringkas ini, dia
menginterpolasikan hadis-hadis dengan ayat-ayat Alquran untuk mendukung
argumen-argumen yang melekat pada hadis-hadis tersebut. karya ini merupakan
rintisan dalam bidang hadis di Nusantara dan karenanya, menunjukkan pentingnya
hadis dalam kehidupan kaum Muslim.15
Dalam hal tulisan-tulisan Ar-Raniry mengenai syariat dan fiqih (kitab:
Shirath Al-Mustaqim), ia adalah ‘alim pertama di Nusantara yang mengambil
inisiatif menulis semacam buku pegangan standar mengenai kewajiban-kewajiban
agama (fiqih) yang mendasar bagi semua orang.
14 Ahmad Daudi, "Tinjauan atas Karya Al-Fath Al-Muhlidin karya Syaikh Nuruddin Ar-
Raniri", dalam A. Rifa’I Hasan (Ed.), Warisan intelektual Muslim Indonesia, Bandung: Mizan
Bandung, 1990, hlm. 35. 15 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VII
dan XVII, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 184-186
41
Meskipun aturan-aturan syariat atau fiqih dalam batas-batas tertentu telah
terkenal dan dipraktikkan sebagian kaum Muslim Melayu-Indonesia, tidak satu
pun karya Melayu yang dapat diacu sebelum munculnya karya al-Raniry. Karena
itu, tidak sulit memahami mengapa karya ini menjadi sangat populer dan masih
digunakan sampai hari ini di beberapa bagian dunia Melayu-Indonesia.
42
BAB IV
KRITIK NURUDDIN AL-RANIRI
DALAM MENENTANG AJARAN FALSAFI HAMZAH FANSURI
A. Kebenaran Ajaran Ahli Kalam
Al-Raniri membangun pandangan ahli Kalam untuk dijadikan landasan
dalam mengkritik pandangan kesatuan wujud (wahdatul wujud). Menurut al-
Raniri, Konsep ketuhanan ahli kalam ini tidak bertentangan dengan paham para
sufi, terutama yang dianut Ibn ‘Arabi.1 Para ahli kalam berpandangan bahwa
alam semesta merupakan manifestasi dari hakikat Allah. Menurut para ahli kalam,
wujud ada dua macam, yaitu wujud hakiki dan wujud alam. Keberadaan Allah
merupakan wujud pasti, sedangkan keberadaan alam adalah wujud mumkīn
(ketergantungan). Allah menciptakan alam menjadi wujud empiris, sehingga
keberadaan alam tergantung kepada Allah. Karena itu, hakekat kedua wujud itu
berbeda; yang pertama qadim (keberadaan awal yang tidak didahului wujud apa
pun), dan yang kedua tercipta dan baru. Karena itu, setiap yang percaya bahwa
Allah dan alam merupakan satu wujud, berarti dia telah kafir mengingat wujud
Allah dan wujud alam bukan satu wujud.2
Menurut Al-Raniri, ajaran ahli kalam tersebut dengan ajaran para sufi,
misalnya konsep tajalli yang dikemukakan Ibn ‘Arabi, bahwa alam semesta
merupakan bayangan atau refleksi dari wujud Allah, sehingga tidak dapat
1 Ahmad, Daudy, Syaikh Nurruddin ar-Raniri; Sejarah, Karya, dan Sanggahan terhadap
Wujudiyyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang 1983, hal. 82 2 Syekh Naquib Al-Attas, Raniri and the Wujudiyyah of 17 th Century Aceh, Singapore,
MMBRAS III, 1996, hal. 83
43
dinyatakan berbeda atau bersatu dengan Allah. Meski demikian, tafsiran Nuruddin
Al-Raniri terhadap ajaran Ibn ‘Arabi berbeda dengan sebagian kalangan yang
memandang Ibn ‘Arabi sebagai penyanut panteisme atau emanasi. 3 Meski
demikian, ajaran itu memiliki kesamaan bahwa pada hakikatnya alam tidak ada,
yang ada hanyalah wujud Allah Yang Esa. Alam semesta hanyalah bayangan dari
wujud Allah, dan karenanya alam semesta dapat berubah dan musnah.
B. Dua Aliran Tasawuf: Yang Benar dan Yang Sesat
Al-Raniri pada prinsipnya tidak menolak ajaran wujudiyah seutuhnya.
Dalam kitab Hujjah al-Shiddiq li dhaf’i al-Zindiq, Al-Raniri membagi ajaran
wujudiyah dalam dua aliran: Wujudiyah Mulhidah (sesat) dan Wujudiyah
Muwahhidah (benar). 4 Ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani
dimasukkan ke dalam aliran Aliran Wujudiyah Mulhidah.
Wujudiyah Mulhidah identik dengan tasawuf falsafi, yakni tasawuf yang
banyak terpengaruh pemikiran-pemikiran filsafat. Tasawuf falsafi memadukan
antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya serta menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa tasawuf falsafi merupakan tasawuf
yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Salah satu kerangka umum tasawuf falsafi adalah bahwa tasawufnya tidak
jelas, mempunyai bahasa-bahasa tersendiri dan memahaminya memerlukan daya
3 Syekh Naquib Al-Attas, Raniri and the Wujudiyyah of 17 th, Century Aceh, Singapore,
MMBRAS III, 1996, hal. 83 4 Nuruddin Al-Raniri, Hujjatussidiq li Daf Azzindiq, hal. 9
44
rasa yang tidak biasa, dan sebab itu tasawuf falsafi tidak dianggap filsafat karena
dilandaskan pada intuisi, juga bukan tasawuf murni karena diungkapkan dengan
bahasa-bahasa filsafat yang mengarah pada pembentukan aliran pemikiran dalam
pembahasan kesatuan wujud (wahdatul wujud).5
Jika Wujudiyah Mulhidah lebih dekat dan identik dengan tasawuf falsafi,
konsep Wujudiyah Muwahhidah lebih dekat dengan tasawuf sunni serta lebih
banyak diterima oleh kalangan ulama di dunia Islam. Wujudiyah Muwahhidah
memiliki argumentasi yang kontras sekaligus muncul sebagai reaksi atas konsep
wahdatul wujud. Jika dalam wahdatul wujud dinyatakan bahwa Tuhan dan alam
semesta itu merupakan kesatuan dalam esensinya, maka sebaliknya aliran
Wujudiyah Muwahhidah mengatakan bahwa Tuhan dan alam semesta berbeda.
Keberadaan alam semesta semata-mata hanya refleksi atau bayangan dari Tuhan.6
Berbeda dengan konsep wahdatul wujud, aliran Wujudiyah Muwahhidah
menyatakan bahwa ciptaan tidak identik dengan Tuhan atau Penciptanya. Ciptaan,
baik itu berupa manusia maupun alam semesta beserta isinya hanya pantulan dari
Pencipta sehingga tidak identik dengan-Nya. Yang Ilahi bersifat abadi, sedangkan
alam semesta dan isinya bersifat sementara.7
5 Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad far’i
ustmani, Bandung: Pustaka, 1985, hal.187. 6 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis, Jakarta: Mizan
2002, hal. 11. 7 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hal.57.
45
C. Kesesatan Ajaran Falsafi
1. Wahdatul Wujud
Ajaran wujudiyyah yang berpusat pada wahdat al-wujud, menurut Al-
Raniri, dapat membawa kepada kekafiran. Al-Raniri berpandangan bahwa jika
benar Tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah
Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh mahluk sebagai Tuhan.
Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Allah turut serta
melakukanya. Jika demikian halnya, maka manusia mampu mempunyai sifat-sifat
Tuhan. 8 Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-Sumatrani merupakan
tokoh yang memiliki pandangan Wahdatul Wujud, yang mengajarkan semacam
sinkretisme antara Allah (Khalik) dengan manusia (Makhluk). Menurut Fansuri,
hakikat dari dzat Allah itu adalah mutlak dan la ta’ayyun. Dzat yang mutlak itu
mencipta dengan cara menyatakan diri-Nya dalam suatu proses penjelmaan
(emanasi).9 Oleh karena Tuhan dan dunia adalah satu zat, maka hubungan antara
Tuhan dan dunia tidaklah merupakan hubungan antara sebab dan akibat, atau
hubungan antara pencipta dan ciptaan sebagai yang diyakini ahli ilmu kalam.
Selain itu, kesesatan Hamzah Fansuri juga disebabkan karena melantunkan
ungkapan-ungkapan syathiyat seperti al-Hallaj dan Bayazid dalam keadaan tidak
mabuk dan fana. Dalam ajaran falsafi Hamzah Fansuri, manusia merupakan
tingkat terakhir dari penjelmaan, yakni penjelmaan yang paling penuh dan
sempurna. Manusia adalah pancaran langsung dari Dzat yang mutlak. Sehingga
menurut Hamzah Fansuri, terdapat kesatuan antara manusia dan Allah. Ar-Raniri
8 Ahmad, Daudy, hal. 227. 9 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, hlm. 74-75
46
mengkritik bahwa penyatauan makhluk dengan Khalik bukan dalam wujud, tetapi
hanya dalam kesaksian.10 Ciptaan, baik itu berupa manusia maupun alam semesta
beserta isinya hanya pantulan dari Pencipta sehingga tidak identik dengan-Nya.
Yang Ilahi bersifat abadi, sedangkan alam semesta dan isinya bersifat sementara.11
Fenomena Hulul yang dialami al-Hallaj dan Bayazid masih dapat dibenarkan
sebab terjadi dalam keadaan tidak sadar, berbeda dengan Fansuri dan As-
Sumatrani mengkonsepsikannya dalam keadaan sadar.
2. Kekekalan Alam Semesta
Ajaran Falsafi Hamzah Fansuri dikritik oleh Al-Raniri karena mengajarkan
bahwa Tuhan berada dalam kandungan (imanen) alam ini, yang merupakan
pandangan panteisme dalam ajaran falsafi. Dalam pandangan panteisme, Tuhan
adalah sumber sekaligus hakikat fenomena alam empiris yang karenanya
dipandang tidak fana. Menurut Nuruddin Ar-Raniri, menyatakan emanasi Tuhan
sama saja dengan menyamakan Tuhan dengan alam/makhluk adalah sesat. Karena
dalam pandangannya, Tuhan adalah Transenden yang tidak mungkin dapat ber-
maqam dalam diri makhluk, sehingga Ia sama sekali berbeda dengan makhluk.
Menurut al-Raniri, pandangan whdatul wujud sama dengan pandangan yang
dianut orang-orang kafir. Kelompok Sumayyah yang berasal dari Majusi
mempunyai tradisi beribadah kepada segala jenis cahaya yang memancar dari
matahari, bulan, bintang-bintang, api, dan sejenisnya. Mereka berkeyakinan
bahwa cahaya itu sudah tercipta sejak azali. Pandangan ini juga dianut golongan
10 H.M Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya, dan
Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Gelegar Media Indonesia, Jakarta: 2009, hal. 665. 11 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hal.57.
47
wathaniyah yang merupakan cabang dari Barahimah dan Samiah di gunung Tibet
India.12
Ajaran falsafi berpandangan bahawa ruh-ruh dan semua yang ada di alam
ini merupakan bagian dari Allah, karena Ia yang menciptakan segala sesuatu dan
segala sesuatu itu pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Keyakinan inilah
yang dianut oleh Fansuri dan Sumaterani, sehingga menurutnya keduanya sesat,
sebab meyakini pendapat ini, berarti menyamakan antara ciptaan dengan Sang
Pencipta. Fansuri dalam bukunya al-Muntahā mengisyaratkan sebuah hadis
Rasulullah, yang berbunyi: “Siapa yang mengenal dirinya berarti telah mengenal
Tuhannya”. Ini artinya, jiwa manusia dan sekalian makhluk bertempat atau
mengambil bagian dalam Tuhan diumpamakan dengan hubungan pohon dan biji.
Keluarnya alam ini dari Allah seumpama keluarnya pohon dari biji.13 Keyakinan
seperti ini menurut al-Raniri adalah inti kekufuran.
Al-Raniri sangat menentang aliran panteisme, yang menurutnya sesat
bahkan ateis, dalam ajaran-ajaran falsafi Hamzah Fansuri, tuduhan-tuduhannya
bersandar pada dasar-dasar pemikiran sebagi berikut:
1. Hubungan antara khalik dan makhluk bagi panteisme, persis sama dengan
filosof, agama Zoroaster, dan ajaran Reinkarnasi. Hal ini tercermin dalam
ungkapan mereka, “Tiada perbedaan antara Khaliq dan makhluk.”
2. Percaya bahwa Tuhan berada “di dalam makhluk” adalah pemikiran panteisme.
Paham wujudiyyah Hamzah Fansuri sama dengan pemahaman panteisme
12 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi,
hlm. 93-94 13 Ibid, hlm. 148-152.
48
karena dia melihat Tuhan sepenuhnya immanen (tasbih), padahal Tuhan itu
transenden (tanzih).
3. Panteisme mengikuti aliran Mu’tazilah yang menganggap “Al-Qur’an adalah
sebuah makhluk”.
4. Sama halnya seperti sebagian filosof, panteisme percaya bahwa “alam bersifat
qadim.”
5. Panteisme percaya bahwa wujud Allah Swt, adalah basith (simple).14
3. Pengingkaran terhadap Keberadaan Surga dan Neraka
Dalam kitab Muntahi, Hamzah Fansuri mengatakan bahwa nyawa berasal
dari Tuhan dan akan kembali bersatu dengan-Nya, seperti ombak kembali ke laut.
Hamzah menulis sebagai berikut: “Yä ayyatuha’l-nafsu l-muthmainnah, irj’I ilä
rabbika rädhiyatan mardhiyyah; fadkhuli fi’ibädi wa dkhuli jannati” (Q.S 2:
156). Artinya, wahai segala makhluk yang bernyawa muthmainnah! Pulanglah
kamu kepada Tuhan kamu yang ridha akan kamu. Maka masuklah surga-Ku, hai
hamba-hamba-Ku! Apa yang dikatakan oleh Hamzah dalam masalah ini sesuai
dengan ajaran mistik yang dianutnya. Jika Tuhan memang imanen dalam alam
empiris, maka kematian manusia berarti kepulangannya bersatu dengan
Tuhannya, sebagaimana ombak yang berasal dari laut juga kembali bersatu
dengan laut. Dari itu wajarlah apabila Hamzah menafsirkan ayat-ayat Alquran
seperti di atas secara berbeda dengan pengertian yang dianut dalam kalangan
ahlussunnah.
14 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf
Falsafi, hlm. 89
49
Oleh karena itu, sanggahan al-Raniri terhadap persoalan ini merupakan
lanjutan dari sanggahannya terhadap ajaran wahdatul wujud. Bagi Nuruddin, yang
ada hanyalah Tuhan, sedangkan yang selain-Nya tidak ada. Karena itu mustahil
manusia yang tidak ada akan bersatu dengan Tuhan yang maha ada. Al-Raniri
mengatakan bahwa penafsiran yang dilakukan Hamzah Fansuri terhadap ayat
tersebut (Q.S 2: 156) dapat menimbulkan pengingkaran adanya surga dan neraka
seperti yang diajarkan dalam agama. al-Raniri menulis, “Maka dimaknakan oleh
kaum Wujudiyyah yang zindik itu seperti makna pada ayat “inna li’l-lähi wa innä
ilaihi räji’ün’, adalah maksud mereka itu bahwa alam itu keluar daripada Wujud
Allah dan kembali ia jua menjadi bersatu dengan Dia. Karena pada mereka itu
tiada surga dan neraka dan tiada ada pada mereka itu Tuhan, hanya ia
bertuhankan dirinya sendiri.” Sedangkan arti yang diberikan oleh para mufassirin
terhadap ayat-ayat tersebut, menurut Nuruddin, adalah bahwa manusia itu milik
Allah dan jua segala amalnya akan kembali kepada-Nya. Jika amalnya baik, ia
akan dimasukkan ke dalam surga, dan jika buruk dimasukkan ke dalam neraka.15
15 Ahmad Daudy, Syekh Nuruddin Ar-Raniry; Sejarah Hidup, Karya, dan Pemikirannya,
hlm. 215-220.
50
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana para ahli kalam sunni, Nuruddin Al-Raniri berpandangan
bahwa alam semesta merupakan refleksi dari wujud Allah yang hakiki, sehingga
wujud Allah dan alam memiliki eksistensi yang berbeda. Wujud Allah bersifat
qadim (keberadaan awal yang tidak didahului wujud apa pun), sedangkan alam
tercipta dan baru. Menurut Al-Raniri, ajaran ahli kalam tersebut tidak
bertentangan dengan ajaran para sufi tentang konsep tajalli, bahwa alam semesta
merupakan manifestasi dari wujud Allah, sehingga tidak dapat dinyatakan berbeda
atau sama dengan wujud Allah.
Dalam ajaran penciptaan itulah Al-Raniri mengkritik ajaran tasawuf falsafi
tentang wahdatul wujud, khususnya yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri.
Ajaran wahdatul wujud yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri serupa dengan
teori emanasi (al-faidh) Al-Farabi, bahwa Tuhan berada dalam kandungan
(imanen) alam ini. Artinya, alam memiliki hakikat Tuhan. Menurut Al-Raniri,
menyatakan emanasi Tuhan sama saja dengan menyamakan Tuhan dengan
makhluk ciptaan-Nya. Aliran wujudiyyah yang mengembangkan konsep wahdat
al-wujud, menurut Al-Raniri, dapat membawa kepada kekafiran, sebab ajaran
wahdat al-wujud ini berpandangan bahwa manusia tidak hanya mampu memiliki
sifat-sifat Tuhan, tetapi juga memunculkan pengakuan bahwa alam bersifat kekal
51
seperti halnya hakikat Tuhan. Oleh karena itu, ajaran wahdat al-wujud dapat
menjerumuskan umat Islam kepada kemusyrikan.
B. Saran dan Masukan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka penulis
menyampaikan beberapa saran, yaitu:
1. Bagi Pihak Universitas
Literatur tentang kitab-kitab klasik tasawuf yang dikarang oleh tokoh-
tokoh sufi masih belum banyak tersedia di perpustakaan sehingga menyulitkan
para pelajar tasawuf untuk menggali ajaran-ajaran tasawuf dari sumber-sumber
aslinya. Oleh karenanya, pihak kampus perlu berupaya memperbanyak karya-
karya tasawuf baik dalam bahasa asli maupun terjemahannya.
2. Bagi Pelajar Tasawuf
Para pelajar perlu lebih aktif mempelajari perbandingan ajaran-ajaran
tasawuf sehingga mampu menemukan kekayaan khazanah keislaman yang
diwariskan oleh tokoh-tokoh sufi terdahulu.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, perlu kiranya bagi peneliti yang
ingin mendalami persoalan ini lebih lanjut untuk mengembangkan kajian
perbandingan di antara ajaran-ajaran tasawuf dan pengaruhnya terhadap
masyarakat luas, sehingga mampu memperkaya khazanah pengetahuan
keislaman.
52
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syekh Naquib, Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Aceh,
Singapore, MMBRAS III, 1996.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Munqidz min Al-Dhalal, Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1316.
Al-Raniri, Nuruddin, Hujjatussidiq li Daf Azzindiq, tt.
At-Taftazani, Abu Al-wafa’ Al-ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad
Far’i Ustmani, Bandung: Pustaka, 1985.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, cet. V, 1999.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Braginsky, K.I., Yang Indah, Berfaedah dan Kanal Sejarah Sastra Melayu Dalam
Abad 7-19. Jakarta: INIS: 1998.
Daudy, Ahmad, Syaikh Nurruddin ar-Raniri; Sejarah, Karya, dan Sanggahan
terhadap Wujudiyyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang 1983.
_____________, "Tinjauan atas Karya Al-Fath Al-Muhlidin karya Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri", dalam A. Rifa’I Hasan (Ed.), Warisan intelektual
Muslim Indonesia, Bandung: Mizan Bandung, 1990.
Djamaris, Edwar dan Drs. Saksono Prijano, Hamzah Fansuri dan Nurrudin Ar-
Raniri, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan,
Depdikbud: 1996.
Hadi, Abdul, Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Jakarta: Mizan, 1995.
Hadi, Mukhtar, Memahami Ilmu Tasawuf: Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf,
Yogyakarta: Aura Media, 2009.
Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam; Sebuah Pendekatan Tematis, Jakarta:
Mizan 2002.
Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta:
Kencana, 2006.
Muzakkir, Studi Tasawuf; Sejarah, Pemikiran, Tokoh dan Analisis, Bandung:
CitaPusaka Media, 2009.
53
Nasr, Seyyed Hossein, dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
Jakarta: Mizan, 2003.
Piah, Harun Mat (dkk.), Traditional Malay Literature, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2002.
Raharjo, M. Dawam, Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta:
Grafitipers. 1987.
Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979
_____________, “Revival and Reform”, dalam P.M Holt (peny.), The Cambridge
History of Islam, Cambridge: Cambridge University Press, 1970.
Ramli, Fuad, Studi Filsafat Umum, Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-
Raniry, 2003.
Sangidu, Wachdatul Wujud, Yogyakarta: Gama Media, 2003.
Suprapto, H.M Bibit, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Riwayat Hidup, Karya, dan
Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta: Gelegar Media
Indonesia, 2009.
Syihab, Alwi, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar Tasawuf di
Indonesai, Jakarta: Pustaka Iman, 2009.
Taufiq, Ahmad, Sastra Kitab, UNS, Surakarta: 2007
Wnstedt, R.O, Some Malay Mystics, Heretical and Ortodox, JMBRAS. Vol. 1.
April. Singapore, 1923.
Yock Fang, Liaw, Sejarah Kesusesteraan Melayu Klassik, Singapura: Pustaka
Nasional, 1982.