KRITIK SOSIAL
DALAM PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK”
KARYA ELZA PELDI TAHER
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Naila Mufidah
NIM 109013000054
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
ABSTRAK
Naila Mufidah, 109013000054, “Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia
Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen
Pembimbing: Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum.
Penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana
unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak?” 2. Bagaimana kritik sosial
dalam puisi esai “Manusia Gerobak”? 3. Bagaimana implikasi kritik sosial dalam
puisi esai “Manusia Gerobak” terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
di SMA? Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan unsur yang membangun
puisi esai “Manusia Gerobak”, menjelaskan kritik sosial dalam puisi esai
“Manusia Gerobak”, dan menjelaskan implikasi kritik sosial dalam puisi esai
“Manusia Gerobak” terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
untuk mendeskripsikan data berupa unsur-unsur pembangun puisi esai dan kritik
sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi
Taher. Teknik penelitian yang digunakan adalah analisis dokumen yaitu puisi esai
“Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan studi pustaka untuk mencari dan
mengumpulkan literatur yang mendukung penelitian mengenai kritik sosial dalam
puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.
Hasil penelitian yang diperoleh yakni unsur pembangun puisi esai
“Manusia Gerobak” terdiri dari tema, rasa, nada, amanat, diksi, imajeri, gaya
bahasa, rima, ritme, dan pusat pengisahan. Kritik sosial yang diperoleh berupa
kritik terhadap ketidakpedulian sosial yang dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, dan para pihak pengonversi lahan pertanian. Dari ketiga sasaran kritik
tersebut, pemerintah dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas
terciptanya permasalahan sosial sebagaimana yang ditampilkan dalam puisi esai
“Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher. Kritik sosial yang terdapat dalam
puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dapat diimplikasikan dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) di tingkat SMA kelas X semester 2 dalam aspek berbicara
dengan standar kompetensi mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui
diskusi dan kompetensi dasar menghubungkan isi puisi dengan realitas alam,
sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi.
Kata Kunci: Kritik Sosial, Puisi Esai, Manusia Gerobak
ii
ABSTRACT
Naila Mufidah, 109013000054, “Social Critic of Essay Poem “Manusia Gerobak”
by Elza Peldi Taher and Its Implications to Indonesian Language and Literature
Learning at High Schools”. Supervisor: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum.
The research of this essay poem has research questions: 1. How about the
building elements of essay poem “Manusia Gerobak”? 2. How about social critic
of essay poem “Manusia Gerobak?” 3. How about its implications to Indonesian
language and literature learning at high school? The purposes of this research to
explain the building elements of essay poem “Manusia Gerobak”, to explain
social critic of essay poem “Manusia Gerobak”, and to explain about its
implication to Indonesian language and literature learning at high school.
This research using qualitative method to describe things consist of the
building elements of essay poem and social critic of essay poem “Manusia
Gerobak” by Elza Peldi Taher. This technical research using analyting document
of essay poem “Manusia Gerobak” by Elza Peldi Taher and library study to
collect the supporting literature of this research.
The results of this research are essay poem “Manusia Gerobak” was
building of theme, feel, tone, message, diction, imagery, style, sound, rhythm, and
point of view. Result of social critic can be explainable from critic for goverment,
society, and the conversioner of villages areas. From the three targets of social
critic, goverment is the most responsibilities of the social problems message in
essay poem “Manusia Gerobak” by Elza Peldi Taher. This social critic is relevant
for Indonesian language and literature learning at high school grade X semester 2
based Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) in the sounding aspect with
the standard of competence: explain the argument about poem through class
discussion, and the base competence: related the message of poems with universal
reality, culture, and social through discussion.
Keywords: Social Critic, Essay poem, Manusia Gerobak
iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rezeki dan karunia sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi
berjudul Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi
Taher dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
SMA. Selawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta kerabat, keluarga, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Proses penulisan skripsi ini tidak luput dari berbagai hambatan, namun
dapat dilalui berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta;
3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi
penulis;
5. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen penguji I skripsi penulis;
6. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku dosen penguji II skripsi penulis;
7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan;
iv
8. Keluarga penulis yakni Ayahanda Eman Priyatna, Ibunda Saadaturoja
Irian Ningsih, Zulham Huda, Mutia Muthmainnah, Rino Santosa, dan
Syifa Maulida yang senantiasa mendukung dan memotivasi penulis dalam
proses penulisan skripsi ini;
9. Elza Peldi Taher, penulis puisi esai Manusia Gerobak yang telah
memberikan informasi dan dukungan terhadap penulis;
10. Ihda Auliaunnisa, Nurfayerni Hasan, dan Rahma Zul Prihatini Madrais
yang telah menjadi keluarga penulis selama menetap di Ciputat dan
banyak memberikan bantuan kepada penulis; Anti (Siti Hodijah Haeranti),
Aya (Siti Rokayah), Ochi (Rossita Sevtiyani), dan Dio Mohamad
Nurdiansah yang menjadi orang-orang terdekat bagi penulis dalam berbagi
cerita, pengalaman, dan pengetahuan yang berarti selama ini dan selama
penulisan skripsi ini;
11. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas
partisipasi dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga semua bantuan, bimbingan, ilmu, dan doa yang telah diberikan
mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan memberi sumbangsih bagi penelitian di bidang sastra serta bagi
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Penulis juga berharap adanya saran dan
kritik membangun terhadap karya tulis ini.
Wassalamualaikum wr.wb.
Jakarta, Maret 2014
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................ 4
C. Pembatasan Masalah ....................................................... 4
D. Rumusan Masalah ........................................................... 4
E. Tujuan Penelitian ............................................................ 5
F. Manfaat Penelitian .......................................................... 5
G. Metodologi Penelitian ..................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................... 9
A. Puisi ................................................................................. 9
B. Puisi Esai ......................................................................... 10
C. Unsur-unsur Pembangun Puisi ........................................ 13
D. Pendekatan Mimetik........................................................ 20
E. Kritik Sosial .................................................................... 22
F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA....... 26
G. Penelitian Yang Relevan ................................................. 28
BAB III PEMBAHASAN PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK” KARYA
ELZA PELDI TAHER ......................................................................... 31
A. Biografi Penulis ............................................................... 31
B. Sinopsis Puisi Esai “Manusia Gerobak” ......................... 32
vi
C. Unsur-unsur Pembangun Puisi Esai “Manusia Gerobak”
1. Tema .......................................................................... 35
2. Rasa ........................................................................... 35
3. Nada .......................................................................... 37
4. Amanat ...................................................................... 38
5. Diksi .......................................................................... 40
6. Imajeri ....................................................................... 43
7. Gaya Bahasa .............................................................. 48
8. Rima dan Ritme ........................................................ 58
9. Pusat Pengisahan ....................................................... 62
BAB IV KRITIK SOSIAL DALAM PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK”
KARYA ELZA PELDI TAHER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA ............ 65
A. Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza
Peldi Taher ...................................................................... 66
1. Kritik terhadap Pemerintah ....................................... 66
2. Kritik terhadap Masyarakat ....................................... 75
3. Kritik terhadap Pengonversi Lahan Pertanian........... 79
B. Implikasi Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak”
terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA
......................................................................................... 82
BAB V PENUTUP ............................................................................ 84
A. Simpulan ......................................................................... 84
B. Saran ................................................................................ 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ viii
vii
LAMPIRAN
Lampiran 1: RPP
Lampiran 2: Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher
Lampiran 3: Hasil Wawancara Peneliti dengan Elza Peldi Taher
Gambar 1 : Elza Peldi Taher
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra sebagai bentuk karya seni tulis yang indah terdiri dari tiga genre
yakni puisi, prosa, dan drama. Tiap genre tersebut memiliki kekhasan tersendiri
yang membuat ketiganya memiliki perbedaan yang signifikan. Prosa misalnya,
memiliki ciri khas adanya bentuk penarasian peristiwa dengan ragam-ragam
instrinsik yang membangunnya seperti penokohan, alur, dan sebagainya. Ada pula
genre puisi yang memiliki kekhasan lain, yakni struktur kata yang digunakan
cenderung padat namun menghasilkan nilai estetika dengan makna yang
mendalam. Terakhir, genre drama yang memiliki ciri khas adanya penaskahan
berupa dialog dan penanda gerak serta berkaitan pula dengan seni pertunjukkan
apabila dipentaskan.
Ketiga genre tersebut tentunya mengalami perkembangan. Perkembangan
puisi misalnya, dapat diamati dengan hadirnya perubahan dari puisi lama menuju
puisi baru. Hal ini bisa dilihat pada perkembangan syair, gurindam, soneta,
maupun puisi baru—yang pada kenyataannya masih belum membebaskan diri
dari nuansa puisi lama. Perkembangan yang bisa dilihat dari puisi-puisi karya
Chairil Anwar misalnya, mendobrak kebaruan puisi Indonesia yang sebelumnya
sarat dengan aturan-aturan mengikat yang ditandai dengan penggunaan rima
teratur, sedangkan apa yang diciptakan oleh Chairil pada saat itu, berusaha
membebaskan kata dari keterikatan bentuk.
Setelah era puisi baru di awal abad 20-an, berkembang berbagai subgenre
puisi di Indonesia seperti puisi pamflet maupun balada oleh WS Rendra, puisi
mantra oleh Sutardji Colzoum Bachri, serta ragam puisi naratif lainnya. Selain itu,
beberapa waktu ke belakang muncul sebuah penamaan baru pada jenis puisi di
Indonesia yakni puisi esai. Puisi esai ini disebut oleh pencetusnya, Denny JA,
sebagai jenis puisi yang memadukan aspek estetik dan juga kognitif—yang mana
2
penyebutannya terhadap aspek kognitif tersebut ditandai dengan adanya catatan
kaki. Aspek estetik tentu berhubungan dengan karaketeristik yang ada dalam
sebuah puisi, sedangkan dalam puisi esai diwajibkan adanya penambahan catatan
kaki. Penempatan catatan kaki sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam
perpuisian Indonesia. Beberapa penyair di Indonesia pernah menghadirkan atau
memanfaatkan catatan kaki dalam puisi yang mereka ciptakan. Catatan kaki pada
puisi esai sengaja ditulis sebagai penjelas realitas kehidupan atau fakta sosial yang
terkait dengan kisah dalam puisi esai tersebut. Realitas yang dihadirkan lewat
catatan kaki itulah yang dimaksud dengan aspek kognitif oleh Denny JA. Kedua
aspek tersebut diakuinya sebagai dua hal penting dalam puisi esai. Tidak ada satu
yang mendominasi atau yang memiliki nilai lebih.
Tujuan dari puisi esai yakni menyampaikan gagasan ataupun tanggapan
terhadap fakta sosial yang terjadi di dalam kehidupan. Salah satu gagasan yang
dihadirkan lewat puisi esai yakni kritik sosial. Kritik sosial tersebut misalnya
ditujukan terhadap permasalahan sosial yang ada seperti ketidakadilan,
penindasan, dan lain sebagainya yang benar-benar terjadi di tengah kehidupan
kita.
Salah satu puisi esai yang hadir setelah puisi esai karya Denny JA berjudul
Atas Nama Cinta adalah puisi esai berjudul “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi
Taher. Puisi esai tersebut merupakan salah satu puisi esai karya Elza Peldi Taher
yang dibukukan dengan judul buku yang sama yakni Manusia Gerobak.
Kumpulan puisi esai Manusia Gerobak terdiri dari lima buah puisi esai. Kelima
puisi esai tersebut masing-masing berjudul “Manusia Gerobak”, “Asih Bakar
Diri”, “Catatan Harian Ivon”, “Toga Hakim dan Kotak Amal”, serta “Zaka dan
Tato Gajah”.
Puisi esai “Manusia Gerobak” menggambarkan fenomena sosial di
Indonesia yang didominasi oleh sikap marjinalisasi dan ketidakadilan sebagian
pihak terhadap rakyat miskin. Ketidakadilan tersebut terjadi di berbagai wilayah,
baik pedesaan maupun perkotaan. Dengan pelataran baik tempat, suasana,
maupun waktu yang ada dalam puisi tersebut, menunjukkan bahwa kinerja
3
pemerintah semakin dipertanyakan dan rasa ketidakpedulian sosial pada
kenyataannya semakin tinggi.
Elza Peldi Taher berusaha mengangkat kisah nyata yang menjadi cerminan
dari kondisi masyarakat pinggiran. Sebutan manusia gerobak yang dipakai
olehnya ditujukan pada para tunawisma yang tetap berjuang untuk bertahan hidup
dengan bermodalkan gerobak. Fenomena manusia gerobak ini dapat ditemukan di
kota-kota besar dengan tingkat ketimpangan sosial yang tinggi. Elza Peldi Taher
ingin menyampaikan kritisisasinya terhadap beberapa pihak melalui satu tragedi
yang menimpa tokoh dalam puisi esainya ini. Puisi esai “Manusia Gerobak”
menyampaikan kritik sosial dengan tambahan informasi yang bisa diperoleh
pembaca lewat catatan kaki yang ditulisnya. Catatan kaki tersebut memberikan
manfaat lain, yakni kesadaran bahwa puisi esai yang diciptakannya tidak hanya
sekadar karya semata, tetapi juga gambaran mengenai kenyataan yang benar-
benar terjadi di tengah kehidupan kita.
Kemunculan puisi esai yang masih terbilang baru membuat jumlah
penelitian terhadap karya-karya berjenis puisi esai belum terlampau banyak.
Beberapa penelitian terhadap puisi esai muncul dalam artikel-artikel di media
massa baik elektronik maupun cetak. Penelitian berupa skripsi dapat menjadi
sumbangsih karya tulis ilmiah dalam mengkaji puisi esai.
Oleh karena itu, akan sangat menarik apabila diadakan penelitian lebih
mendalam terhadap kritik-kritik sosial yang ingin disampaikan lewat puisi esai
“Manusia Gerobak”. Tentu saja pengkajian terhadap kritik-kritik sosial ini
dilakukan setelah memahami terlebih dahulu unsur-unsur yang membangun puisi
esai “Manusia Gerobak”, sehingga bukan hanya pesan kritik sosial yang bisa
diperoleh, melainkan juga menambah pemahaman terhadap apa, bagaimana, dan
tujuan apa yang dimaksudkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak”.
Puisi esai dengan pesan-pesan fakta sosialnya seperti kritik sosial tentunya
akan membuka kesadaran bahwa permasalahan sosial yang banyak muncul di
negeri ini perlu mendapat perhatian lebih dan juga tindakan nyata dalam
menanganinya. Tindakan nyata untuk perubahan yang lebih baik tersebut tentunya
diawali oleh kesadaran. Kesadaran inilah yang perlu ditanamkan dan dilatih pada
4
putra-putri bangsa sejak dini, salah satunya lewat jalur pendidikan. Maka dari itu,
pengkajian terhadap kritik sosial akan memberi sumbangsih penting terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan menggambarkan realitas
kehidupan sebagai pengalaman yang bisa ditemui sehari-hari. Para pendidik bisa
memberikan warna baru untuk mengembangkan kreativitas pengajaran dalam
memaknai hidup melalui sastra.
Pesan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” dapat menjadi
salah satu pilihan bagi siswa untuk mengembangkan pemikiran kritis mereka.
Pembelajaran yang dapat mengembangkan pemikiran kritis tentu mampu
membentuk karakter-karakter unggul pada diri siswa di antaranya sikap toleransi,
peduli, komunikatif, kreatif, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan tujuan
pendidikan di Indonesia yang selalu berusaha dikembangkan agar lebih baik.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti paparkan sebelumnya,
maka identifikasi masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya pemahaman terhadap puisi esai.
2. Kurangnya penelitian karya ilmiah terhadap puisi esai.
3. Kurangnya penelitian kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai
serta pengimplikasiannya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di SMA.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah peneliti, maka penelitian ini dibatasi
pada pengkajian terhadap kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” dan
implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah peneliti, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
5
1. Bagaimana unsur-unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak”?
2. Bagaimana kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”?
3. Bagaimana implikasi kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah peneliti, maka tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan unsur yang membangun puisi esai “Manusia Gerobak”.
2. Menjelaskan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”.
3. Menjelaskan implikasi kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak”
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoretis maupun praktis.
1. Manfaat teoretis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan
sebagai pengembangan di bidang sastra dalam mengkaji kritik sosial.
Selain itu, diharapkan dapat memberikan sumbangsih penelitian ilmiah
terhadap kehadiran puisi esai.
2. Manfaat praktis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan
sebagai pengembangan ilmu bahasa dan sastra Indonesia di bidang
pendidikan baik bagi para pendidik dan mahasiswa kependidikan. Hal
tersebut dapat dilihat dari implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
6
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif dilakukan dengan cara memanfaatkan cara-cara penafsiran
dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi.1 Tujuan dari penelitian kualitatif
ini adalah untuk menyajikan penafsiran secara sistematis, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller pada mulanya
bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan
pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran
tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam
pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu
itu. Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua,
tiga, dan seterusnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan
diri pada perhitungan angka atau kuantitas.
Di pihak lain, kualitas menunjuk segi alamiah yang dipertentangkan
dengan kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah
maka penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang
tidak mengadakan perhitungan. Secara lebih jelas, penelitian kualitatif
adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam
kawasannya maupun dalam peristilahannya.2
Dari kajian tentang definisi penelitian kualitatif tersebut, dapat
disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh objek penelitian, misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara utuh dengan cara
pendeskripsian dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus
yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.3
2. Sumber Data
Sumber data untuk penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah puisi
esai berjudul “Manusia Gerobak” yang menjadi salah satu puisi dalam buku
1Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. 3, h. 46. 2Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda
Karya, 2011), Cet. 29, h.3. 3Ibid., h. 4.
7
kumpulan puisi esai dengan judul yang sama. Buku kumpulan puisi esai berjudul
Manusia Gerobak ini merupakan karya Elza Peldi Taher yang diterbitkan pada
Januari 2013 oleh PT Jurnal Sajak, Depok, Indonesia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah:
1. Teknik inventarisasi
Dalam teknik ini peneliti mengumpulkan beberapa judul puisi esai.
2. Teknik baca simak
Dalam teknik ini peneliti membaca, menelaah, memahami puisi-puisi
tersebut, dan mengidentifikasikan pesan dari setiap puisi tersebut.
3. Teknik pencatatan
Dalam teknik ini peneliti mencatat hal-hal penting yang mendukung
pesan dari setiap puisi tersebut dan menentukan satu pesan yang diteliti
dalam puisi esai yang terpilih, yakni kritik sosial dalam puisi esai
“Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan peneliti adalah:
1. Data dibaca
Peneliti melakukan pembacaan teks sastra secara terus menerus dan
bolak balik dari awal hingga akhir hingga memahami isi puisi esai
dalam puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.
2. Data ditandai
Setelah melakukan pembacaan, peneliti menandai hal-hal yang
berhubungan langsung dengan penelitian yang dipilih, yakni mengenai
unsur pembangun puisi esai dan kritik sosial yang terkandung dalam
puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.
8
3. Data dikelompokkan
Setelah melakukan penandaan, peneliti mengelompokkan data
berdasarkan unsur pembangun puisi esai dan kritik sosial dalam puisi
esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.
4. Data dianalisis
Setelah melakukan pengelompokkan, peneliti menganalisis data terkait
kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak”
karya Elza Peldi Taher. Setelah menganalisis kritik sosial tersebut,
peneliti menjabarkan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia di SMA.
5. Penyajian
Setelah data dianalisis, peneliti menyajikan uraian mengenai unsur
pembangun puisi esai dan kritik sosial dalam puisi esai “Manusia
Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra di SMA.
6. Data disimpulkan
Setelah melakukan penyajian, peneliti menyimpulkan hasil penelitian
mengenai unsur pembangun puisi esai dan kritik sosial dalam puisi
esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher dan implikasinya
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA.
9
BAB II
LANDASAN TEORI
Pemaparan mengenai landasan teori yang menjadi fondasi dalam
menganalisis penelitian tentu amat diperlukan. Landasan teori berguna agar
penelitian tetap berada pada jalur sistematika ilmiah dan terhindar dari kekeliruan
dalam pembuatan karya ilmiah. Maka dari itu, sangat penting untuk memaparkan
terlebih dahulu teori-teori yang menjadi landasan sebelum isi penelitian disajikan.
Teori-teori yang menjadi landasan dalam penelitian terhadap kumpulan puisi esai
“Manusia Gerobak” ini dapat dipaparkan sebagai berikut.
A. Puisi
Sebagai salah satu genre sastra, puisi merupakan suatu karya yang
memiliki nilai estetika yang tinggi. Melalui puisi, ekspresi pengalaman batin
(jiwa) penyair mengenai kehidupan manusia, alam, dan Tuhan sang pencipta
disampaikan dengan media bahasa yang estetik secara padat dan utuh.1 Meskipun
bermain dengan kata, puisi tetaplah berbeda dengan prosa, sebagaimana
penjelasan berikut ini, poetry squeezes meaning into a small number of words and
lines, while prose is often longer and looser.2 Dari pernyataan tersebut, dapat
dijelaskan bahwa puisi merupakan bangunan kata-kata yang padat. Hal tersebut
tentu saja berbeda dengan prosa yang memanfaatkan banyak kata dalam
penarasiannya.
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima
„membuat‟ atau poeisis „pembuatan‟, dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau
poetry. Puisi diartikan „membuat‟ dan „pembuatan‟ karena lewat puisi pada
dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi
1Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra, (Bandung: UPI Press, 2006),
h. 51. 2Cosmo F. Ferrara dkk., Introducing Literature, (New York: Glencoe/ McGraw-Hill
Educational Division, 1991), h. 73.
10
pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.3
Sedangkan dalam Kamus Istilah Sastra, puisi diartikan sebagai (1) ragam sastra
yang bahasanya terikat oleh rima dan tata puitika yang lain; (2) gubahan dalam
bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam
kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat
penataan bunyi, irama, dan makna khusus; (3) sajak.4
Teori lain mengenai puisi yakni teori yang dipaparkan oleh Hudson
sebagaimana berikut ini.
...puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-
kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi,
seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam
menggambarkan gagasan pelukisnya.5
Selain itu, Slamet Mulyana menyebutkan bahwa puisi adalah,
...sintesis dari berbagai peristiwa bahasa yang tersaring semurni-
murninya dan berbagai proses jiwa yang mencari hakikat pengalamannya,
tersusun dengan sistem korespondensi dalam salah satu bentuk.6
Waluyo mengemukakan pendapatnya mengenai puisi sebagai berikut.
...bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan
penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan struktur
fisik dan struktur batinnya.7
Dari beberapa penjelasan diatas, disimpulkan bahwa puisi merupakan
susunan kata-kata pilihan yang tajam dan murni sehingga tercipta padanan kata
yang padat serta indah sebagai gambaran dari perasaan yang kuat dan bersifat
imajinatif bahkan mewakili pengalaman kehidupan.
B. Puisi Esai
Denny JA yang tampil dengan karyanya Atas Nama Cinta,
memperkenalkan puisi esai sebagaimana yang diakuinya sebagai medium yang
tak lazim dari ekspresi kisah yang berangkat dari fakta sosial. Ia bukan esai dalam
format biasa, seperti kolom, editorial, atau paper ilmiah. Namun, ia bukan juga
3Drs. Aminuddin, M.Pd., Pengantar Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Sinar Baru, 1987), h.
134. 4Abd. Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. 3, h. 160.
5Aminuddin, op. cit., h. 134.
6Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 93.
7Dr. Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grassindo, 2008), h. 108.
11
puisi panjang atau prosa liris.8 Denny JA menjelaskan bahwa puisi esai bukan
puisi yang lazim karena terdapat catatan kaki mengenai data dan fakta di sana dan
di sini, serta panjang dan berbabak. Ia juga bukan esai yang lazim karena
dituliskan dengan larik, puitik, dan lebih mengeksplor sisi batin.9
Penjelasan lebih lanjut mengenai puisi esai oleh Denny JA adalah sebagai
berikut. Pertama, puisi esai mengeksplor sisi batin individu yang sedang berada
dalam sebuah konflik sosial. Jika Budi jatuh cinta kepada Ani, itu saja belum
cukup untuk menjadi sebuah puisi esai. Topik itu hanya menjadi puisi esai, jika
kondisinya diubah menjadi: Budi jatuh kepada Ani, tapi mereka berbeda agama,
atau berbeda kasta, atau berbeda kelas sosialnya sehingga menimbulkan satu
problema dalam komunitas tertentu. Ayah dan anak yang saling bertengkar saja
tak cukup untuk menjadi bahan sebuah puisi esai. Untuk menjadi puisi esai, kasus
ayah dan anak itu harus masuk dalam sebuah setting sosial. Misalnya sang ayah
pembela Orde Baru, sementara anaknya pembela Orde Reformasi. Mereka saling
menyayangi namun harus berhadapan frontal karena memilih jalan politik yang
saling bertentangan.10
Kedua, puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua
perangkat bahasa seperti metafor, analogi, dan sebagainya justru bagus untuk
dipilih. Namun, diupayakan anak SMA sekalipun cepat memahami pesan yang
hendak disampaikan puisi. Puisi Chairil Anwar atau Rendra dapat dijadikan
referensi dalam berbahasa. Puisi juga adalah medium komunikasi. Prinsip puisi
esai, semakin sulit puisi itu dipahami publik luas, semakin buruk puisi itu sebagai
medium komunikasi penyair dan dunia di luarnya. Jika kisah itu ditulis dalam
bahasa yang sulit, walaupun dengan atas nama “pencapaian estetik bahasa”, ia
melawan spirit puisi esai. Sejak awal puisi esai justru ingin mengembalikan puisi
agar mudah dipahami publik luas. Pencapaian estetik tidak harus dengan bahasa
8Denny Januar Ali, Atas Nama Cinta, (Jakarta: Renebook, Cet-1, 2012), h. 11.
9Ibid, h. 12.
10Ibid, h. 12.
12
yang sulit. Jika bahasanya sulit dipahami itu bukan pencapaian estetik tapi
ketidakmampuan penyair berkomunikasi dengan baik.11
Ketiga, puisi esai adalah fiksi. Boleh saja puisi esai itu memotret tokoh riel
yang hidup dalam sejarah. Namun realitas itu diperkaya dengan aneka tokoh fiktif
dan dramatisasi. Yang dipentingkan oleh puisi esai adalah renungan dan
kandungan moral yang disampaikan lewat sebuah kisah, bukan semata potret
akurat sebuah sejarah. Puisi esai memang bukan biografi atau potongan sejarah
objektif.12
Keempat, puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi penyair tapi hasil riset
minimal realitas sosial. Ia merespon isu sosial yang sedang bergetar di sebuah
komunitas, apapun itu. Isu sosial yang direkam bisa soal diskriminasi,
pembaharuan agama, kemiskinan, huru hara, dan seribu isu lainnya. Walau puisi
esai itu fiksi, tapi ia diletakan dalam setting sosial yang benar. Catatan kaki
menjadi sentral dalam puisi esai. Catatan kaki itu menunjukkan bahwa fiksi ini
berangkat dari fakta sosial. Jika pembaca ingin tahu lebih detail soal fakta sosial
itu bisa mengeksplor lebih detail melalui catatan kaki. Fungsi catatan kaki tidak
sekedar asesori atau gaya saja, tapi bagian sentral puisi esai. Sejak awal puisi esai
ini memang menggabungkan fiksi dan fakta. Unsur fakta dalam puisi esai itu
diwakili oleh catatan kaki tersebut.13
Kelima, puisi esai berbabak dan panjang. Pada dasarnya puisi esai itu
adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Dalam sebuah puisi esai, selayaknya
tergambar dinamika karakter pelaku utama atau perubahan sebuah realitas
sosial.14
Jika dikuantifikasi, puisi esai ini harus diwujudkan minimal dengan
tulisan 10.000 karakter.15
Namun tentu saja kelima kriteria itu bukanlah sejenis
hukum agama yang berdosa jika seseorang membuat sebuah puisi esai. Ketika
11
Denny Januar Ali. “Puisi Esai: Apa dan Mengapa?” dalam Acep Zamzam Noor (ed),
Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (Depok: Jurnal Sajak, 2013), h. 40. 12
Ibid, h. 41. 13
Ibid, h. 41. 14
Ibid, h. 42. 15
Ibid, h. 43.
13
sebuah “movement” dan genre ingin dikemas, tak terhindari harus ada garis batas
yang memisahkan “what is” dengan “what is not”. Kelima kriteria itu adalah
“what is”.16
Puisi esai hanya satu variasi saja dari aneka bentuk puisi yang sudah
ada dan yang akan ada. Ia tidak diklaim lebih superior atau inferior. Ia juga tidak
dimaksudkan untuk mendominasi apalagi menyeragamkannya.17
Dari penjelasan
Denny JA tersebut, disimpulkan bahwa puisi esai adalah bentuk pengekspresian
suatu kisah fiksi yang bersumber dari realitas sosial yang disusun secara
komunikatif, panjang, berbabak, serta memiliki catatan kaki sebagai penjelas
realitas sosial.
C. Unsur-unsur Pembangun Puisi
Bangun struktur puisi menurut Aminuddin adalah unsur pembentuk puisi
yang dapat diamati secara visual. Unsur tersebut meliputi (1) bunyi, (2) kata, (3)
larik atau baris, (4) bait, dan (5) tipografi. Bangun struktur disebut sebagai salah
satu unsur yang dapat diamati secara visual karena dalam puisi juga terdapat
unsur-unsur yang hanya dapat ditangkap lewat kepekaan batin dan daya kritis
pikiran pembaca. Unsur tersebut pada dasarnya merupakan unsur yang
tersembunyi di balik apa yang diamati secara visual. Unsur yang tersembunyi di
balik bangun struktur disebut dengan istilah lapis makna.18
Lapis makna yang
disebut oleh Aminuddin tersebut berorientasi pada pembagian lapis makna dari
I.A. Richards, dengan pertimbangan bahwa pengidentifiksian pembagian lapis
makna menurut I.A. Richards tersebut lebih mudah.19
Paparan lebih lanjut tentang
pembagian lapis makna menurut I.A. Richards itu adalah sense, subject matter,
feeling, tone, totalitas makna, dan tema.20
Pendapat lain mengenai unsur pembangun puisi yakni sebagaimana yang
disampaikan oleh Marjorie Boulton berikut ini.
...tidak mungkin untuk membedakan bentuk fisik dengan bentuk
mental secara komplit karena kedua bentuk itu berinterrelasi satu dengan
yang lain. Bentuk fisik puisi mencakup penampilannya di atas kertas
16Ibid, h. 43.
17Ibid, h. 43.
18Aminuddin, op. cit., h. 136.
19Aminuddin, op.cit., h. 150.
20Aminuddin, op.cit., h. 150.
14
dalam bentuk nada dan larik puisi: termasuk ke dalamnya irama, sajak,
intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya. Bentul mental
terdiri dari tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang
dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi.21
Bentuk fisik dan mental
sebuah puisi pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai satu kesatuan yang
terdiri dari tiga lapisan. Pertama, lapisan bunyi, yakni lapisan lambang-
lambang bahasa sastra. Lapisan pertama inilah yang kita sebut sebagai
bentuk fisik puisi. Kedua, lapisan arti, yakni sejumlah arti yang
dilambangkan. Ketiga, lapisan tema, yakni suatu “dunia” pengucapan
karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penyair, atau suatu efek tertentu
yang didambakan penyair. Lapisan arti dan tema inilah yang dapat
dianggap sebagai bentuk mental sebuah puisi.22
Menurut Widjojoko dan Endang Hidayat, puisi sebagai salah satu karya
kreatif yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, mempunyai unsur-unsur yang
dapat ditelusuri. Unsur yang tergolong unsur intrinsik puisi itu adalah: (1) tema,
(2) rasa, (3) nada, (4) amanat, (5) diksi, (6) imajeri, (7) pusat pengisahan, (8) gaya
bahasa, (9) ritme, dan (10) rima.23
Menurut Siswanto, unsur pembangun puisi terdiri dari bentuk struktur fisik
puisi dan struktur batin puisi. Bentuk dan struktur fisik puisi sering disebut
metode puisi. Bentuk dan struktur fisik puisi mencakup (1) perwajahan puisi
(tipografi), (2) diksi, (3) pengimajian, (4) kata konkret, (5) majas atau bahasa
figuratif, dan versifikasi (rima, ritme, dan metrum).24
Terkait dengan struktur
batin puisi, Siswanto seperti halnya Aminuddin memaparkan teori yang
dikemukakan oleh I. A. Richards.
...struktur batin puisi terdiri atas empat unsur: (1) tema; makna (sense), (2)
rasa (feeling), (3) nada (tone), dan (4) amanat; tujuan; maksud
(intention).25
Dari beberapa teori yang dibangun untuk menentukan unsur-unsur
pembangun sebuah puisi, terdapat penjelasan dari Widjojoko dan Endang Hidayat
mengenai sepuluh unsur pembangun puisi yakni tema, rasa, nada, amanat, diksi,
imajeri, pusat pengisahan, gaya bahasa, ritme, dan rima. Adanya pusat pengisahan
sebagai salah satu unsur pembangun puisi tersebut dapat mempermudah penelitian
21
Semi, op. cit., h. 107. 22
Semi, op. cit., h. 108. 23
Widjojoko, op. cit., h. 61. 24
Siswanto, op. cit., h. 113. 25
Siswanto, op. cit., h. 124.
15
terhadap unsur pembangun puisi esai, sehingga penjelasan Widjojoko dan Endang
Hidayat tersebut dapat dijadikan sebagai landasan teori dalam penelitian ini.
Penjelasan lebih mendalam mengenai kesepuluh unsur tersebut dapat
dipaparkan sebagai berikut.
1) Tema
Tema adalah ide atau gagasan yang menduduki tempat utama di dalam
cerita. Penyair mengemukakan pokok persoalan di dalam puisinya. Pokok
persoalan itu mungkin disampaikan secara langsung mungkin juga secara
tidak langsung. Tema atau pokok persoalan hanya terdapat pada satu puisi.
jadi tidak bisa ada satu puisi mengandung dua tema betapa pun
panjangnya puisi tersebut.26
2) Rasa
Rasa disebut juga arti emosional. Dalam menghadapi suatu persoalan,
seorang penyair selain tersentuh secara rasional ia tersentuh dan terlibat
secara emosional. Ketika ia melihat suatu obyek, ia bisa saja merasa sedih
atau merasa heran. Makna emosional seperti itulah yang disebut dengan
rasa.27
3) Nada
Nada dalam puisi dapat ditangkap dari sikap penyair lewat intonasi puisi
tersebut. Penyair dapat terlihat menggurui, mencaci, merayu, merengek,
menyindir, mengajak, dan sebagainya terhadap pembaca atau
pendengarnya.28
4) Amanat
Amanat merupakan pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca, pendengar, atau penonton. Di dalam satu puisi bisa
terdapat beberapa amanat. Amanat ada yang diungkapkan secara langsung
ada juga yang terselubung. Melalui amanat inilah, penyair menyampaikan
sesuatu kepada pembaca. Mungkin ia mengharapkan pembaca marah,
benci, menyenangi sesuatu atau berontak dan berbuat sesuatu. Barangkali
26
Widjojoko, op.cit., h. 61. 27
Widjojoko, op.cit., h. 61. 28
Widjojoko, op.cit., h. 61.
16
juga penyair mengharapkan kita merenung dan menjadi bijak setelah
membaca puisi. itulah yang disebut amanat yang kadang-kadang juga
disebut pemecahan persoalan yang dikemukakan dalam tema.29
5) Diksi (Pilihan Kata)
Diksi atau pilihan kata di dalam puisi merupakan hal yang penting karena
keberhasilan puisi dicapai dengan mengintensifkan pilihan kata. Puisi-
puisi modern mencari kekuatan pada diksi yang tepat karena makna dan
keindahan puisi dibangun oleh seni kata. Seni kata merupakan pengalaman
batin atau jiwa ke dalam kata-kata yang indah. Setiap kata yang digunakan
dalam cipta sastra mengandung napas penciptanya, berisi jiwa dan
perasaan pikiran penyairnya. Kata merupakan unsur integral dan esensial
dalam puisi. Penggunaan kata-kata yang tepat oleh penyair akan
menunjukkan kemampuan intelektualnya dalam melukiskan sesuatu.30
Contoh diksi dapat dilihat dalam puisi esai “Toga Hakim dan Kotak
Amal” karya Elza Peldi Taher seperti berikut ini.
Kakek telah berpindah tinggal
Jauh dari rumah majikannya yang pengusaha permata
Bahkan, melintas batas kota
Menikmati hari tua
Bercengkerama bersama anak-cucu31
Diksi „batas‟ menunjukkan wilayah paling luar dari sebuah kota. Diksi
„batas‟ yang diawali dengan kata „melintas‟ menunjukkan tokoh „kakek‟
berpindah ke luar kota.
6) Imajeri
Imajeri atau daya bayang ialah suatu kata atau kelompok kata yang
digunakan utnuk mengungkapkan kembali kesan-kesan pancaindra dalam
jiwa kita. Berdasarkan indra yang dikenai rangsang, maka imajeri dapat
dikelompokkan menjadi imajeri pandang, imajeri dengar, dan imajeri
kecap.32
29
Widjojoko, op.cit., h. 61. 30
Widjojoko, op.cit., h. 61. 31
Elza Peldi Taher, Manusia Gerobak, (Depok: Jurnal Sajak, 2013), h. 125. 32
Widjojoko, op.cit., h. 62.
17
Contoh imajeri yang berasal dari kesan pancaindra tersebut dapat dilihat
pada puisi esai “Zaka dan Tato Gajah” karya Elza Peldi Taher dengan
penjabaran seperti berikut ini.
a. Imajeri pandang:
Tiba-tiba mata Zaka membelalak33
b. Imajeri dengar:
Hanya ada nyinyir dan cibir34
7) Pusat Pengisahan
Pusat pengisahan atau titik pandang (point of view) yaitu cara
penyampaian cerita, ide, gagasan, atau kisahan cerita. Puisi yang
mencakup siapa yang berbicara dan kepada siapa ditujukan (ia
berbicara).35
Contoh penggunaan sudut pandang dapat ditunjukkan dalam puisi esai
“Toga Hakim dan Kotak Amal” karya Elza Peldi Taher berikut ini.
Lega hatiku
Kembali ke rumah mungil
Di kaki bukit Ciragil
Dalam kehangatan anak-istri
Tiada bara kayu bakar
Tiada darah hitam pekat.36
Bait tersebut menunjukkan penggunaan sudut pandang orang pertama
(aku) sebagai pelaku utama dalam cerita dan kisahan berpusat pada tokoh
„aku‟ tersebut.
8) Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai
bahasa. Gaya bahasa digunakan oleh penyair untuk mencapai efek tertentu
misalnya mengintensifkan makna. Gaya bahasa umpamanya repetisi,
33
Taher, op. cit., h. 140. 34
Taher, op. cit., h. 139. 35
Widjojoko, op.cit., h. 62. 36
Taher, op. cit., h. 134.
18
pararelisme, perumpamaan, metafora, personifikasi, dan sebagainya.
Gaya-gaya bahasa itu sering digunakan oleh penyair.37
Penjelasan mengenai macam-macam gaya bahasa tersebut sebagai berikut.
a. Repetisi merupakan cara yang ditempuh dengan menunggunakan gaya
perulangan. Dengan mengulang bagian-bagian tertentu, diharapkan
bagian tersebut lebih mendapat perhatian, lebih ditekankan, dan lebih
jelas maknanya. Bermacam-macam ragam pengulangan: ada
pengulangan penuh, arti, kata, frasa, atau kalimat itu diulang
sepenuhnya, tanpa ada bagian yang hilang atau ditambah; ada pula
pengulangan sebagian, artinya frasa, ungkapan, atau kalimat yang
diulang itu hanya sebagian saja. Ditinjau dari posisi atau letak bagian
yang diulang itu pun bermacam-macam: ada pengulangan yang
terletak dalam satu baris, ada yang terletak pada baris yang berlainan,
ada yang terletak dalam satu bait, dan ada pula perulangan yang
beruntun, dan sebagainya. Contoh repetisi sebagai berikut.
KUPANGGILI NAMAMU
(Rendra)
...
Apakah engkau juga menjadi masa silamku?
Kupanggili namamu
Kupanggili namamu38
b. Paralelisme (penjajaran) merupakan penggunaan kata yang sama
artinya, seperti: halus lembut
Dapat pula menggunakan penjajaran kata-kata yang bebeda artinya
atau berlainan sifatnya, misalnya:
“Kujelajahi bumi dan alis kekasih” (Sitor Situmorang)
Penjajaran kata-kata semacam ini untuk mendapatkan efek puitis dan
intensitas makna.39
37
Widjojoko, op.cit., h. 62. 38
Semi, op.cit., h. 129. 39
Semi, op.cit., h. 124.
19
c. Perumpamaan merupakan perbandingan biasa yang menggunakan
kombinasi kata-kata yang menunjukkan benda-benda, perbuatan,
keadaan, dan sebagainya yang senapas, selingkungan, atau sejenis,
serta mempunyai sifat yang sama sebagai perbandingan.40
Perbedaan
perumpamaan dengan metafora hanyalah ditentukan oleh ada tidaknya
penggunaan kata-kata yang secara langsung berfungsi membandingkan
antara satu objek dengan objek yang lain. Perkataan yang berfungsi
demikian adalah bagai, seperti, laksana, macam, bak, seumpama.
“Wajahnya seperti bulan purnama” adalah perumpamaan. Bila kata
„seperti‟ dihilangkan, maka ungkapan itu menjadi:
“Wajahnya bulan purnama” ungkapan ini merupakan metafora.41
d. Metafora yakni pengucapan yang berhubungan dengan perbandingan
langsung, atau memindahkan sifat benda yang satu menjadi sifat benda
yang lain, misalnya:
TANAH AIR
(Ajip Rosidi)
Seorang putri cantik tidur
Rambutnya indah sepanjang katulistiwa membujur
...42
e. Personifikasi yaitu suatu cara pengimajian dengan memberikan sifat-
sifat manusia kepada benda mati, misal:
LAHIR SAJAK
(Subagio Sastrowardojo)
Malam yang hamil oleh benihku
Mencampakkan anak sembilan bulan
ke lantai bumi.
...43
9) Rima atau sajak
40
Semi, op.cit., h. 127. 41
Semi, op.cit., h. 128. 42
Semi, op.cit., h. 125. 43
Semi, op.cit., h. 126.
20
Rima atau sajak adalah persamaan bunyi. Persamaan bunyi bisa terjadi di
awal, tengah, atau akhir. Pada puisi lama, rima akhir sangat teratur,
misalnya dalam pantun (a-b-a-b), syair (a-a-a-a). Di dalam puisi modern,
rima tidak seteratur puisi lama. Walaupun demikian, bukan berarti tidak
berirama. Puisi modern pun menggunakan rima, hanya tidak berpola
seperti dahulu. Rima digunakan secara bebas sesuai dengan ekspresi yang
diinginkan penyair.44
Contoh rima dengan persamaan bunyi akhir a-a-a-a dapat ditunjukkan
dalam puisi esai “Toga Hakim dan Kotak Amal” karya Elza Peldi Taher
berikut ini.
Rasa keadilan terkoyak
Ingin rasanya berontak
Pada sistem yang retak
Nurani yang nihil watak45
10) Ritme
Ritme atau irama adalah totalitas tinggi rendahnya suara, panjang pendek,
dan cepat lambatnya suara saat membaca puisi. Ritme di dalam puisi
dibentuk oleh pengaturan larik, jumlah suku kata, dan pengaturan bunyi.
Di dalam puisi yang baik, ritme itu dapat memberi gambaran yang intensif
tentang nada, rasa, dan tema.46
D. Pendekatan Mimetik
Penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan mimetik untuk
melihat bagaimana kaitan karya dengan kenyataan yang ada. Pendekatan ini akan
sangat relevan dengan penelitian terhadap kritik sosial yang dapat dilihat pada
puisi esai “Manusia Gerobak”. Pendekatan mimetik itu sendiri dapat dijelaskan
berdasarkan pendapat Abrams sebagaimana penjelasan berikut ini.
Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang
menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan
44
Wijojoko, op.cit., h. 62. 45
Taher, op. cit., h. 129. 46
Widjojoko, op.cit., h. 62.
21
kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra
sebagai imitasi dari realitas.47
Kajian semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Plato
berpendapat bahwa seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada
dalam kenyataan yang tampak. Ia berdiri di bawah kenyataan itu sendiri. Wujud
yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya seni. Ini ada kaitannya
dengan pandangan Plato mengenai tataran tentang Ada. Yang nyata secara mutlak
hanya yang Baik. Derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat
kedekatannya terhadap Ada yang abadi. Dunia empirik tidak mewakili kenyataan
yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat mimetik, peneladanan,
pembayangan, atau peniruan. Bagi Plato tidak ada pertentangan antara realisme
dan idealisme dalam seni. Seni yang terbaik lewat mimetik. Seni yang baik harus
truthful, benar. Seniman harus modest, rendah hati. Bagi Aristoteles, seniman
tidak meniru kenyataan, manusia, dan peristiwa sebagaimana adanya. Seniman
menciptakan dunianya sendiri. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman masuk
akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu. Pada Abad Pertengahan, pendapat
bahwa seni harus seperti alam menjadi pandangan umum. Hal ini ada kaitannya
dengan anggapan tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Ciptaan manusia
hanya meneladani ciptaan Tuhan yang mutlak dan indah.48
Pandangan bahwa setiap karya sastra itu mencerminkan masyarakat dan
zamannya pada umumnya dianut oleh kritikus akademik. Pandangan ini, semata-
mata sering muncul dalam penelitian berupa skripsi, tesis, disertasi, dan sejumlah
penelitian kecil. Penelitian tersebut berusaha mengungkap karya sastra tertentu,
terutama novel karya penulis terkenal, untuk melihat refleksi masyarakat di
dalamnya. Bahkan, kadang-kadang ada yang mencoba merelevansikan dengan
zaman yang sedang berjalan.49
Karya sastra cenderung memantulkan keadaan masyarakat sehingga mau
tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang
ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat
47
Siswanto, op. cit., h. 188. 48
Siswanto, op .cit., h. 189. 49
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama,
2003), h. 87.
22
komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.50
Fungsi sastra dapat berbeda-
beda dari zaman ke zaman di belbagai masyarakat. Di suatu zaman dan
masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat menyebarluaskan
ideologi, di zaman lain dan masyarakat lain, sastra mungkin sekali dianggap
sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak
tertahankan. Bahkan mungkin saja bagi mereka—sastra dianggap mampu
memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi
pembacanya.51
E. Kritik Sosial
Pengertian kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kecaman
atau tanggapan untuk menilai baik buruknya suatu pendapat, hasil karya, dan
sebagainya.52
Berdasarkan Kamus Istilah Sastra, kritik adalah evaluasi dan
analisis dari segi bentuk dan isi melalui proses menimbang, menilai, dan
memutuskan. Kritik yang ilmiah mempertimbangkan keburukan dan kebaikan,
kebenaran dan kesalahan, serta memberikan penilaian yang masak dan tidak
mengobral pujian atau cacian.53
Kemudian menurut Adinegoro, kritik adalah salah
satu ciri dan sifat penting dari peristiwa otak manusia sehingga kritik dapat
dijadikan dasar untuk berpikir dan mengembangkan pikiran. Kritik tidak
dimaksudkan untuk meruntuhkan sesuatu, tetapi untuk memperbaiki hal yang
dianggap tidak sesuai dan akhirnya untuk mendapatkan kemajuan.54
Pengertian sosial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berkenaan
dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum.55
Dari beberapa
penjabaran mengenai pengertian kritik dan sosial tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa kritik sosial merupakan penilaian yang masak dengan
mempertimbangkan baik buruknya peristiwa yang terjadi di masyarakat.
50
Endraswara, op.cit., h. 89. 51
Endraswara, op.cit., h. 91. 52
Tim Pusat Bahasa, op. cit., h. 742. 53
Zaidan, op.cit., h. 109. 54
Djamaludin Adinegoro, Tata Kritik. (Djakarta: Nusantara, 1958), h. 10. 55
Tim Pusat Bahasa, op.cit., h. 1331.
23
Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang
bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial
atau proses bermasyarakat. Dalam konteks inilah, kritik sosial merupakan salah
satu variabel penting dalam memelihara sistem sosial. Berbagai tindakan sosial
ataupun individual yang menyimpang dari orde sosial maupun orde nilai moral
dalam masyarakat dapat dicegah dengan memfungsikan kritik sosial. Dengan kata
lain, kritik sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan
reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat.56
Kritik sosial juga dapat berarti
sebuah inovasi sosial. Artinya, kritik sosial menjadi sarana komunikasi gagasan-
gagasan baru—sembari menilai gagasan-gagasan lama—untuk suatu perubahan
sosial. Kritik sosial dalam kerangka yang demikian berfungsi untuk membongkar
berbagi sikap konservatif, status quo, dan vested interest dalam masyarakat untuk
perubahan sosial.57
Perspektif kritik sosial yang demikian lebih banyak dianut
oleh kaum kritis dan strukturalis. Mereka melihat bahwa kritik sosial adalah
wahana komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial.58
Kritik sosial dapat disampaikan melalui beberapa wahana, mulai dari cara
yang paling tradisional, ungkapan-ungkapan sindiran melalui komunikasi
antarpersonal dan komunikasi sosial, melalui berbagai pertunjukkan sosial dan
kesenian dalam komunikasi publik, seni sastra, dan melalui media massa.59
Menurut Astrid Susanto, kritik sosial itu sebenarnya merupakan
ssuatu yang positif karena ia mendorong sesuatu yang terjadi di dalam
masyarakat untuk kembali ke kriteria. Kritik sosial adalah penilaian ilmiah
atau pengujian terhadap keadaan masyarakat pada suatu saat. Dalam
bidang politik, istilah kritik sosial seringkali memperoleh konotasi negatif
karena diartikan mencari kelemahan-kelemahan pihak lain dalam
pertarungan politik sehingga arti yang substansial dari kritik sosial itu
menjadi kabur. Astrid menulis tentang arti kritik sosial ini lebih lanjut
sebagai:....penjabaran megenai suatu masyarakat, anggota atau elitenya
56
Akhmad Zaini Abar, “Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia” dalam Moh. Mahfud
MD, dkk (editor), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet.
2, h. 47. 57
Ibid., h. 49. 58
Ibid., h. 49. 59
Ibid., h. 49.
24
pada suatu saat, merupakan suatu analisa yang berbobot ilmiah dan
disertai pertanggungjawaban ilmiah pula.60
Hampir semua karya sastra Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga
dewasa ini, boleh dikatakan, mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan
tingkat intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat
bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya
sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik
sosial. Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya tersebut menjadi bernilai
bukan lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan oleh koherensi semua unsur
intrinsiknya. Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangun karya
fiksi saja, yang sebenarnya justru tidak mungkin terlihat dipaksakan dalam karya
yang baik, walau hal itu mungkin sekali sebagai salah satu pendorong ditulisnya
sebuah karya. Selain itu, pesan moral pun, khususnya yang berupa kritik sosial,
dapat memengaruhi aktualisasi karya yang bersangkutan.61
Wujud kritik sosial karya-karya sastra masa Balai Pustaka misalnya, lebih
banyak berkaitan dengan adat-istiadat dan dominasi golongan tua yang tampak
“tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan”, khususnya dalam hal mengatur dan
menentukan jodoh bagi anak-anak muda. Masalah tersebut memang aktual pada
waktu itu, namun tentunya tidak untuk masa sekarang. Ada berbagai aspek
kehidupan sosial yang lebih menarik, aktual, relevan untuk diceritakan dan
diamanatkan sesuai dengan derap kehidupan modern. Namun demikian,
sebenarnya terdapat berbagai aspek kehidupan sosial yang besifat hakiki, dan itu
bersifat langgeng dan universal, tidak hanya berlaku dan tidak terikat oleh batas
waktu dan tempat.62
Sastra yang mengandung pesan kritik—dapat juga disebut sebagai sastra
kritik—biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang
beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Paling tidak, hal itu ada dalam
penglihatan dan dapat dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka.
60
Moh. Mahfud MD, “Perspektif Politik dan Hukum tentang Kebebasan Akademik dan
Kritik Sosial” dalam Moh. Mahfud MD, dkk (editor), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan,
(Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet. 2, h. 73. 61
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2005), Cet. 5, h. 331. 62
Ibid., h. 331.
25
Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun
sifat-sifat luhur kemanusian yang lain. Ia tidak akan diam dan lewat karangannya
itu akan memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya. Hal-hal yang
memang salah dan bertentangan dengan sifat-sifat kemanusian tidak akan ditutup-
tutupinya, sebab terhadap nilai seni ia hanya bertanggung jawab kepada dirinya
sendiri. Sebaliknya, jika pengarang menerima paksaan dari luar (baca: mau
menulis tidak sesuai dengan keyakinan dan kata hatinya sendiri), padahal itu
diketahuinya tidak benar, misalnya sastra yang dipakai sebagai ajang main politik-
politikan seperti pada masa Lekra, ia akan menghasilkan karya seni yang rendah.
Menulis sebentuk karya yang tidak didukung oleh unsur isi yang sesuai dengan
keyakinan sendiri, atau yang diketahuinya palsu, adalah kosong. Hal itu juga
berarti pengarang telah membohongi dirinya sendiri.
Banyak karya sastra, jadi tidak hanya fiksi saja, yang memperjuangkan
nasib rakyat kecil yang menderita, nasib rakyat kecil yang memang perlu dibela,
rakyat kecil yang seperti dipermainkan oleh tangan-tangan kekuasaan, kekuasaan
yang kini lebih berupa menjadi korban kesewenangan, penipuan, atau yang selalu
dipandang, diperlakukan, dan diputuskan sebagai pihak yang selalu di bawah,
kalah, dan dikalahkan. Namun, apakah dengan adanya berbagai bentuk pembelaan
yang dilakukan oleh pengarang lewat karya-karya kreatifnya itu nasib rakyat
menjadi lebih baik, atau pihak yang dikritik menjadi menyadari kekeliruannya, itu
adalah masalah lain. Paling tidak mereka, para pengarang itu, telah merasa terlibat
dengan nasib rakyat, dan itu pantas menjadi bahan perenungan kita.63
Keterlibatan penulis puisi dalam kegiatan masyarakat secara otomatis akan
memberikan pengalaman sosial dan kepekaan terhadap isi-isu sosial yang terjadi.
Seperti yang dipaparkan Ajip Rosidi bahwa pada setiap masa, sejak awal
kebangkitannya, para penulis puisi (dan sastra umumnya) kita, selalu terlibat
dalam kegiatan kemasyarakatan. Yamin, Rustam Effendi, Sanusi Pane dan
Asmara Hadi, terlibat dalam gerakan kebangsaan yang bersifat politik. Chairil
Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin dan umumnya para penyair Angkatan 45 ikut serta
mengangkat senjata dalam perjuangan mengusir penjajah setelah proklamasi
63
Ibid., h. 334
26
kemerdekaan. Para penyair yang lain seperti Rendra, Taufiq Ismail, Mansur
Samin, Wahid Situmeang, Slamet Kirnanto dan lain-lain, terlibat dalam
perjuangan menumbangkan Orde Lama atau gerakan-gerakan kemasyarakatan
lainnya. Ada pula di antaranya yang pernah menduduki jabatan tinggi negara, baik
dalam bidang eksekutif maupun legislatif.64
Puisi semakin menyuarakan kritikan sosial tatkala berakhirnya Orde Lama
dan kemunculan Orde Baru. Seperti yang dijelaskan oleh Ajip Rosidi, sejak itu
puisi seakan-akan tidak terpisahkan dari perjuangan para mahasiswa yang bersifat
sosial-politik. Hampir dalam tiap demonstrasi mahasiswa, baik terhadap pimpinan
Orde Lama, maupun terhadap sementara pejabat Orde Baru, lahir sajak-sajak yang
ditulis dengan spontan, baik oleh para mahasiswa itu sendiri maupun oleh para
penyair yang sudah mempunyai nama.65
F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA
Pembelajaran sastra Indonesia di sekolah hingga saat ini masih menjadi
kesatuan dalam satu mata pelajaran yaitu pelajaran bahasa Indonesia. Program
pembelajaran apresiasi sastra Indonesia yang dipadukan dalam mata pelajaran
bahasa dan sastra Indonesia ini pada kenyataannya memang masih kurang
menarik bagi siswa. Penyebab kurang menariknya apresiasi sastra Indonesia
adalah kurang dapat dipahaminya karya sastra oleh mereka. Hal ini bisa
disebabkan oleh cara mengajar yang tidak memotivasi siswa dan kurang akrabnya
mereka dengan karya sastra. Ini membuktikan kurang terbinanya pengajaran
apresiasi sastra dengan baik.66
Ketidakberhasilan pengajaran apresiasi sastra juga disebabkan belum
ditetapkannnya alokasi waktu untuk pengajaran apresiasi sastra Indonesia sebagai
mata ajar yang mandiri. Sampai kini, sastra diajarkan sebagai sambilan dalam
mengajarkan bahasa Indonesia. Berdasarkan kenyataan di lapangan, tidak semua
guru bahasa Indonesia mampu menyajikan pengajaran apresiasi sastra dengan
64
Ajip Rosidi, Puisi Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2010), Cet. 5, h. 119. 65
Rosidi, op.cit., h. 107. 66
Widjojoko, op.cit., h, 98.
27
baik. Guru yang mahir mengajarkan bahasa Indonesia belum tentu mampu
memikat saat mengajar sastra. Misalnya saat menyajikan puisi, selain dituntut
menguasai materi ajar, guru harus memberikan contoh yang memikat dan sugestif.
Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa Indonesia yang kurang memiliki minat
serius yang cukup tentang sastra67
.
Dalam pembelajaran sastra pada khususnya, siswa bukan hanya dituntut
memahami teori-teori sastra saja, tetapi juga lebih dituntut untuk memiliki
kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra. Keterampilan proses komunikasi
diharapkan hadir dari hasil pemahaman membaca karya sastra yang baik yaitu
kemampuan merekonstruksi struktur bangun sastra secara faktual yang berwujud
pengalaman-pengalaman hidup yang berharga.68
Berlandaskan pada pengalaman
hidup inilah siswa akan menyadari pentingnya mempelajari dan mengapresiasi
karya sastra.
Untuk mewujudkan tujuan pembelajaran apresiasi sastra ini, kehadiran
buku-buku sastra mutlak harus dipenuhi. Pengalaman membaca sastra merupakan
penentu dalam mengapresiasi karya sastra. Sehingga, lewat pembelajaran
apresiasi sastra Indonesia, siswa diperkenalkan pada nilai-nilai yang terkandung
dalam karya sastra serta mengajak siswa menghayati pengalaman-pengalaman
yang disajikan. Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia bertujuan
mengembangkan nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan
nilai sosial, secara sendiri-sendiri, atau gabungan keseluruhan, seperti yang
tercermin dalam karya sastra.69
Penyampaian bahan ajar yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari
merupakan strategi pengajaran yang paling tepat. Strategi ini memerlukan cara
mengajar yang bervariasi. Strategi mengajar tersebut bukanlah strategi bagaimana
mengajar dengan mudah, praktis, dan dapat menyelesaikan bahan pembelajaran
secara tepat waktu, tetapi perlu dipikirkan pula bahwa strategi mengajar harus
67
Widjojoko, op.cit., h, 98. 68
Widjojoko, op.cit., h, 98. 69
Widjojoko, op.cit., h, 98.
28
berorientasi kepada tingkat keterpahaman dan pengalaman siswa terhadap bahan
pembelajaran yang dipersiapkan secara terencana.70
G. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan skripsi ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Prima Yulia Nugraha (NIM 106013000311) Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 yang berjudul Kritik Sosial dengan
Pendekatan Mimetik pada Kumpulan Puisi Potret Pembangunan dalam Puisi
karya W.S. Rendra. Penelitian tersebut menggunakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan analisis deskriptif. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui
kritik sosial yang terdapat dalam Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon dan Sajak
Sebotol Bir. Metode yang digunakan adalah metode dokumentasi, yaitu teknik
pengumpulan data atau dokumen untuk memperkuat informasi, seperti terdapat
dalam bacaan maupun internet, lalu dilanjutkan dengan menganalisis data sejarah
yakni pada dua puisi tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Pengkajian yang
dilakukan yakni pengkajian terhadap struktur batin dan fisik dalam puisi serta
pengaitan peristiwa sosial yang berlangsung di sekitar tahun penciptaan puisi
dengan peristiwa yang digambarkan oleh Rendra di dalam puisinya. Adapun
kesamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut yakni pendekatan mimetik
yang digunakan dalam menganalisis, pengkajian terhadap unsur pembangun puisi,
dan pengaitan fakta sosial yang terkandung dalam puisi. Perbedaan antara
penelitian ini dengan penelitian tersebut yakni puisi yang digunakan dalam
penelitian. Penelitian tersebut menggunakan puisi berjudul Sajak Seorang Tua di
Bawah Pohon dan Sajak Sebotol Bir karya WS Rendra, sedangkan penelitian ini
menggunakan puisi esai berjudul “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.
Penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi
berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji
Thukul (Kajian Resepsi Sastra), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakatya, tahun 2010. Adapun kesamaan penelitian
70
Widjojoko, op.cit., h. 97.
29
ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian terhadap kritik sosial dalam puisi,
sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah data yang
digunakan serta pendekatan yang digunakan. Penelitian ini menggunakan
pendekatan mimetik sastra sedangkan penelitian tersebut menggunakan
pendekatan kajian terhadap resepsi sastra. Kritik sosial dalam penelitian tersebut
meliputi: 1) kritik terhadap kesewenang-wenangan pemerintah, b) kritik terhadap
penderitaan kaum miskin, c) kritik terhadap perlawanan kaum miskin, d) kritik
terhadap perlindungan hak buruh, e) kritik terhadap fakta atau kenyataan sosial
yang dialami masyarakat.71
Penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi
berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Refrein di Sudut Dam karya D.
Zawawi Imron: Tinjauan Semiotik oleh Alexa Grevey A 310 040 079 Jurusan
Bahasa dan Sastra Indoensia Universitas Kristen Maranatha tahun 2011. Adapun
kesamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah kesamaan penelitian
terhadap kritik sosial dalam puisi. Sementara itu, perbedaan penelitian tersebut
dengan penelitian ini adalah pendekatan yang digunakan. Penelitian Alexa Grevey
A tersebut menggunakan pendekatan semiotik sastra, sedangkan penelitian ini
menggunakan pendekatan mimetik sastra. Selain itu, perbedaan lainnya yakni
penggunaan data yang berbeda. Alexa Grevey A dalam penelitian tersebut
menggunakan kumpulan puisi Refrein di Sudut Dam karya D. Zawawi Imron,
sedangkan penelitian ini menggunakan puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza
Peldi Taher. Penelitian ini mengemukakan pertama, kumpulan puisi Refrein di
Sudut Dam merupakan catatan perjalanan hidup yang mengungkapkan sikap kritis
terhadap masyarakat di sekelilingnya. Kedua, puisi Refrein di Sudut Dam
mengungkapkan perasaan penyair terhadap peristiwa sejarah akibat penjajahan
kolonialisme Belanda.
Penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi
berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
karya Taufiq Ismail oleh Nila Mega Marahayu Fakultas ISIP, UNSOED tahun
2011. Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah
71
www.digilib.fkip.uns.ac.id
30
penelitian terhadap kritik sosial dalam puisi. Sedangkan perbedaan penelitian ini
dengan penelitian tersebut adalah data yang digunakan. Nila Mega Marahayu
menggunakan puisi berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, sedangkan
penelitian ini menggunakan puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher.
31
BAB III
PEMBAHASAN PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK”
KARYA ELZA PELDI TAHER
A. Biografi
Elza Peldi Taher lahir di Muara Labuh, 18 Desember 1962. Dia
menempuh studi di FISIP Universitas Indonesia. Elza sudah mulai menulis artikel
sejak tahun pertama duduk di bangku perkuliahan. Artikel pertamanya yang
dimuat adalah artikel berjudul ―Modernisme Islam‖ di media cetak Panji
Masyarakat. Selain itu, Elza aktif menulis di berbagai media massa antara lain
Kompas, Media Indonesia, Matra, Femina, dan Republika. Selain berkecimpung
di dunia tulis-menulis, kepeduliannya terhadap kebudayaan dan isu-isu sosial
diwujudkan dengan mendirikan Kelompok Studi Proklamasi pada 1983—1988
bersama beberapa rekan-rekannya. Ia juga mendirikan Lembaga Kajian
Masyarakat Indonesia pada tahun 1988. Kemudian, pada tahun 1996, Elza Peldi
Taher bersama Komaruddin Hidayat dan Nurcholis Madjid mendirikan SMU
Madania.
Pekerjaan tetap pria yang bertempat tinggal di Pondok Cabe, Tangerang
Selatan ini adalah General Manager PT Duo Rajawali Proraga, FutsalCamp,
Ciputat, Tangerang Selatan. Elza juga menjadi editor beberapa buku, antara lain
Reaktualisasi Hukum Islam: 70 Tahun Munawir Sjadzali (Paramadina, 1993),
Mahasiswa dalam Sorotan, Indonesia dan Masalah Pembangunan, Agama dan
Kekerasan (Kelompok Studi Proklamasi, 1984), Pintu-pintu Menuju Tuhan
(Paramadina, 1994), Demokrasi dan Proses Demokratisasi Indonesia
(Paramadina, 1993), dan Soen‘an Hadi Poernomo, Birokrat Unik (LKMI, 2011).
Elza juga menyusun kutipan-kutipan Cak Nur yang dibukukan bersama rekannya
Budi Munawar-Rachman dengan judul Satu Menit Pencerahan Cak Nur.
Elza Peldi Taher menulis lima buah puisi esai yang disusun dalam
kumpulan puisi esai Manusia Gerobak. Puisi esainya tersebut sudah
32
.
diperbincangkan salah satunya lewat media televisi. Beberapa stasiun televisi
seperti TVRI dan SCTV pernah menjadikan isu sosial yang dihadirkan dalam
puisi esai tersebut sebagai topik utama talkshow mereka. TVRI mengangkat
perbincangan mengenai puisi esai ―Manusia Gerobak‖ dengan judul ―Manusia
Gerobak vs Pasal 34 UUD 1945‖. Pada Ramadhan tahun 2013 silam, SCTV
pernah mengangkat kisah dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ menjadi empat
buah film seri. Pria beralamat email [email protected] ini memiliki 5 buah
akun twitter, yakni @elzataher, @motivasiilmu, @tweetbijak, @filecaknur, dan
@kamu_perlutahu.
B. Sinopsis Puisi Esai “Manusia Gerobak”
Puisi esai berjudul ―Manusia Gerobak‖ mengisahkan kehidupan Atmo,
seorang petani yang terpaksa melakukan urbanisasi. Atmo hidup bersama istri dan
dua orang anaknya. Atmo tinggal di sepetak bangunan milik orang lain dengan
penghasilannya yang hanya cukup untuk makan sekadarnya.
Namun masa telah berubah, sawah garapan kini menjadi pabrik-pabrik
industri dan perumahan. Pembangunan semena-mena, sawah tergerus, buruh tani
kehilangan pekerjaan, dan para pemilik tanah ikut bimbang sehingga memutuskan
untuk menjual tanah mereka. Saat itulah, Atmo terpengaruh kabar dari orang lain
untuk pergi berurbanisasi. Mereka beranggapan bahwa di kota besar uang bisa
mengalir dengan derasnya, namun sayang Atmo tak pernah mendengar bahwa
aliran uang tersebut bukan untuk orang-orang sepertinya yang pergi berurbanisasi
tanpa bekal. Atmo tak punya pilihan, pekerjaan sebagai buruh tani bahkan kini
menjadi persaingan, karena itulah Atmo memutuskan untuk pergi ke Jakarta
beserta istri dan anak-anaknya.
Setibanya di Jakarta, Atmo hanya mampu menyewa kamar di tepi kali
Ciliwung. Dia lalu memutuskan untuk menjadi pemulung sampah karena
menyadari tidak ada keahlian yang dia miliki untuk bisa bekerja secara layak.
Dengan pekerjaan seperti itu, setidaknya Atmo mampu mengisi perut istri dan
anak-anaknya meskipun tak pernah ada uang yang tersisa untuk keperluan lain.
33
.
Keadaan ini akhirnya harus berubah menjadi lebih tragis tatkala Atmo
tidak mampu membayar sewa kontrak kamar dan akhirnya hidup menggelandang
bersama keluarganya. Gerobak sampahnya lalu menjadi tempat bernaung dan
mencari rezeki. Tidak ada alamat tepat, mereka berpindah-pindah, menyusuri
jalanan Jakarta, mengumpulkan sampah dan rongsokan.
Atmo tidak menyerah dalam menjalani kehidupan yang semakin sulit. Dia
harus tetap berjuang meskipun hanya makan dua hari sekali. Anak-anaknya masih
belum mengerti tentang sulitnya kehidupan, mereka masih bisa tertawa riang
asalkan kedua orangtuanya tetap bersama mereka. Namun, kesetiaan istri Atmo
ternyata goyah, dia meminta untuk berpisah. Atmo jelas tidak ingin berpisah,
hidup sulit dan senang ingin dijalaninya bersama-sama.
Istri Atmo kemudian memutuskan untuk kabur, meninggalkan suami dan
anak-anak yang masih membutuhkannya. Atmo terpukul, namun dia harus tetap
bertahan, entah ke mana harus mencari istrinya, anak-anaknya lebih penting.
Kondisi putri kecilnya yang masih membutuhkan ASI pun semakin mengenaskan.
Atmo lalu memberikan susu formula tak layak pakai yang dia temukan kepada
putrinya. Atmo tak paham susu itu berbakteri. Putrinya langsung jatuh sakit
terkena bakteri penyebab diare.
Atmo hilir mudik ke Puskesmas dan rumah sakit bermodalkan uang
sepuluh ribu rupiah. Dia berharap pihak Puskesmas atau rumah sakit mau
menerima dan menolong putrinya. Namun kenyataan yang dihadapi berbeda,
besar usahanya ternyata tidak membuahkan hasil, pihak Puskesmas atau pun
rumah sakit dengan tegas menolaknya.
Pertolongan yang tidak kunjung datang membantu malaikat maut
mencabut nyawa putri kecilnya. Atmo sangat terpukul. Ujian demi ujian
dijalaninya dengan tabah. Dia tidak ingin mengeluh, maka dari itu dia putuskan
untuk mengurus jenazah putrinya dengan layak di kampung halaman. Di tengah
keramaian Jakarta, ia memutuskan untuk pergi ke stasiun, menumpang kereta
ekonomi menuju kampung halamannya.
Perjuangan Atmo tidak berhenti di situ, sesampainya di stasiun, Atmo
memutar otak bagaimana caranya menumpang kereta secara gratis. Saat tekadnya
34
.
sudah bulat untuk menumpang duduk di atas gerbong kereta, petugas kereta api
menyadari keanehan gelagat Atmo. Petugas itu dengan penuh kecurigaan mulai
menginterogasi Atmo. Bentakan demi bentakan ditujukan pada Atmo. Kecurigaan
petugas bertambah tatkala mengetahui bahwa yang dibawa Atmo adalah jenazah
seorang balita. Petugas tetap tidak percaya meskipun Atmo telah menjelaskan
seterang-terangnya bahwa dia hanya ingin pulang kampung untuk menguburkan
jenazah putrinya. Akhirnya, Atmo dibawa ke kantor polisi.
Kesulitan tidak berakhir di situ saja, di kantor polisi petugas kepolisian
memerintahkan agar putri Atmo diautopsi. Atmo berusaha setegar mungkin untuk
kembali menjelaskan bahwa dia hanya ingin menguburkan putrinya karena tak
ada tanah pekuburan yang mampu disewanya di Jakarta. Kabar tentang seorang
pria gelandangan yang membawa jenazah putrinya ke mana-mana kemudian
menyebar di kalangan orang papa. Seorang tukang bajaj yang iba dengan nasib
Atmo lalu membantunya untuk menumpang bajaj. Dia bersedia mengantarkan
Atmo ke mana saja dia butuhkan.
Atmo kemudian pergi ke rumah pemilik kontrakannya yang dulu.
Setibanya di sana, dia menceritakan nasib yang menimpanya. Ibu Sri, sang
pemilik kontrakan tersebut tidak mampu menahan rasa ibanya. Sejurus kemudian,
lewat mulut Ibu Sri tersebarlah kabar tentang kemalangan Atmo kepada para
tetangganya. Mereka sepakat untuk mengumpulkan dana dan tenaga untuk
membantu Atmo. Jenazah putri kecilnya harus segera dikuburkan. Pada akhirnya,
warga bantaran sungai Ciliwung daerah Manggarai bahu membahu mengurusi
jenazah putri Atmo.
35
.
C. Unsur-unsur Pembangun Puisi Esai “Manusia Gerobak”
1. Tema
Tema dari puisi esai ini adalah ketidakpedulian sosial yang dilakukan oleh
beberapa pihak terhadap kaum papa. Beberapa kutipan puisi esai ―Manusia
Gerobak‖ yang menggambarkan ketidakpedulian tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut ini.
Dibawanya anaknya berobat
Ke Rumah sakit dan Puskesmas
Dengan selembar sepuluh ribu
Baik dokter maupun perawat
Tak menggubris wajahnya yang memelas
Menolak Atmo tanpa ragu1
Dihelanya gerobak menyusur Jakarta
Orang sibuk sendiri-sendiri
Padatnya jalanan tiada terhingga
Tapi tak ada yang peduli2
Sawah ladang kian menyempit
Kehidupan petani bertambah sulit
Perumahan dan pabrik industri
Mengusir petani setiap hari3
Kondisi ketidakpedulian sosial ditampilkan secara jelas sebagaimana
kutipan di atas. Kejelasan tersebut yakni dengan memanfaatkan kata ‗tak
menggubris wajahnya yang memelas‘; ‗menolak Atmo tanpa ragu‘; ‗orang sibuk
sendiri-sendiri‘; ‗tapi tak ada yang peduli‘; ‗mengusir petani setiap hari‘.
Ketidakpedulian sosial yang ditampilkan tersebut merujuk pada pemerintah,
sebagian masyarakat perkotaan, serta pengonversi lahan pertanian.
2. Rasa
Rasa yang muncul dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ adalah rasa tidak
adil atau diskriminasi yang diakibatkan oleh tingginya ketimpangan sosial yang
1Elza Peldi Taher, Manusia Gerobak, Depok: PT Jurnal Sajak Indonesia, h. 68.
2Ibid, h. 48.
3Ibid, h. 55.
36
.
terjadi di kota metropolitan dan di zaman industrialisasi seperti sekarang. Rasa
tersebut tercermin dari beberapa kutipan berikut ini.
Jenazah mungil dimasukkan gerobak
Hendak dikubur di mana anak tersayang
Bukankah kuburan telah penuh sesak
Yang sisa hanya buat yang beruang4
Atmo tahu mahalnya biaya pemakaman
Biaya ini dan itu tidak sedikit
Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan
Di Jakarta orang melarat jangan sakit5
Mencari kerja ternyata susah
Buruh bangunan dia tak bisa
Tanpa ilmu tanpa ijazah
Kerja kantoran, siapa mau terima?6
Terdapat beberapa kata yang mengandung rasa tidak adil atau diskriminasi
dalam kutipan-kutipan di atas. Hal tersebut bisa diamati pada larik ‗bukankah
kuburan telah penuh sesak‘; ‗yang sisa hanya buat yang beruang‘. Ketimpangan
sosial dalam larik-larik tersebut menunjukkan kondisi adanya diskriminasi
pelayanan publik. Hanya orang-orang mampu saja yang dapat menikmati fasilitas
publik sebagaimana larik tersebut yang menyebut tentang pemakaman umum.
Larik lainnya yakni ‗di Jakarta orang melarat jangan sakit‘ menampilkan
realitas hidup yang jarang berpihak pada rakyat miskin. Realitas tersebut
diperparah dengan adanya ketidakpedulian sosial. Larik selanjutnya yakni ‗tanpa
ilmu tanpa ijazah‘, ‗kerja kantoran, siapa mau terima?‘ menampilkan bukan
hanya sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan melainkan juga menampilkan
akar dari permasalahan tersebut yakni pendidikan masyarakat miskin yang masih
kurang tersentuh oleh pemerintah. Rendahnya perhatian pemerintah terhadap hak
memperoleh pendidikan bagi rakyat miskin berujung pada kurangnya
keterampilan, keahlian, maupun bekal akademis lainnya.
4Ibid, h. 48.
5Ibid, h. 52.
6Ibid, h. 58.
37
.
3. Nada
Puisi esai ―Manusia Gerobak‖ menampilkan nada kesedihan, perjuangan,
dan ketabahan seorang tokoh bernama Atmo yang disertai sindiran narator dalam
menampilkan dan menyikapi ketidakpedulian masyarakat terhadap kaum papa
yang semakin besar.
Ingin hatinya menangis
Tapi air mata terkuras habis
Tak ada satu pun yang peduli
Hanya anak lakinya yang menemani7
Larik-larik di atas menunjukkan kesedihan yang dialami oleh tokoh.
Kesedihan tersebut berkenaan dengan meninggalnya anak dari tokoh tersebut
yang diwarnai dengan ketidakberdayaannya untuk mengurus pemakaman sang
putri di kota Jakarta. Hal ini terlihat dengan adanya larik yang menyebutkan
bahwa ‗hanya anak lakinya yang menemani‘.
Bagai pipit dia mengembara
Mematuki remah-remah orang kota
Meski yang dipungut sampah tersisa
Tetap saja dia ditatap penuh curiga8
Tak tahan didesak tagihan uang
Atmo memilih menggelandang
Istri dan dua anaknya dibawa kerja
Dengan gerobak mengembarai Jakarta9
Nada perjuangan yang muncul dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖
merujuk pada daya juang tokoh untuk tetap berusaha menyambung hidup
meskipun dengan pekerjaan kasar. Halangan apa pun tidak menyurutkan
semangatnya untuk tetap berusaha menghidupi keluarga.
Mereka seolah sepakat dan kuat
Melihat anaknya terbaring sekarat
Akhirnya dengan lesu ia berangkat
Di atas gerobak anaknya coba dirawat10
Nada kecewa dalam bait tersebut akhirnya berubah menjadi ketabahan
tokoh yang tetap merawat anaknya yang sakit. Nada ketabahan ini
7Ibid, h. 53.
8Ibid, h. 60.
9Ibid, h. 61.
10Ibid, h. 68.
38
.
memperlihatkan watak tokoh yang lebih memilih mencari solusi dengan caranya
sendiri dibanding bersusah payah menuntut keadilan.
Gerobaknya adalah istana
Tempat bermukim sampah semesta
Di puncak tumpukan barang-barang sisa
Kedua anaknya duduk bertahta
Berkuasa penuh dan digjaya
Lambang kemiskinan umat manusia11
Orang-orang yang baru keluar dengan bahagia
Wajahnya kenyang tiada terkira
Dari rumah makan siap saji
Restoran bergambar daging di tengah roti
Bundar dan besar, nikmat tampaknya
Maka mereka semua ceria
...12
Nada sindiran terlihat dalam larik-larik di atas. Larik seperti ‗berkuasa
penuh dan digjaya‘/ ‗lambang kemiskinan umat manusia‘ menyindir adanya
kondisi kemiskinan yang semakin parah dan tidak teratasi oleh pihak yang
berwenang. Larik selanjutnya seperti ‗orang-orang yang baru keluar dengan
bahagia‘/ ‗wajahnya kenyang tiada terkira‘ menyindir pula ketidakpedulian
masyarakat menengah ke atas dengan kondisi di sekitar mereka. Mereka seolah
terlena dengan suka ria sementara banyak kaum papa yang membutuhkan
perhatian.
4. Amanat
Amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis adalah semakin
tingginya ketidakpedulian sosial yang menjadi ciri bahwa bangsa kita tengah
mengalami krisis sosial. Hal ini dapat diwakili oleh beberapa larik dalam puisi
esai ―Manusia Gerobak‖ berikut ini.
Kendaraan melintas pulang pergi
Mobil mulus warna-warni
Di dalamnya orang berbaju rapi
Tak satu pun dari mereka yang peduli
Atmo, anak-anak, dan istri
Termangu-mangu sendiri13
11
Ibid, h. 63. 12
Ibid, h. 65. 13
Ibid, h. 64.
39
.
Suasana perkotaan yang diwarnai dengan berbagai macam perbedaan taraf
hidup masyarakat tergambar jelas dalam larik-larik tersebut. Larik-larik tersebut
menjelaskan salah satu kondisi masyarakat kota kelas menengah dan atas yang
tidak memedulikan orang-orang yang kesusahan di sekitar mereka. Masyarakat
yang tidak peduli tersebut cenderung semakin individualis.
Selain ketidakpedulian masyarakat tersebut, larik lainnya menunjukkan
pula ketidakpedulian bahkan kesemena-menaan pihak pegawai instansi
pemerintahan terhadap masyarakat miskin.
Dibawanya anaknya berobat
Ke Rumah sakit dan Puskesmas
Dengan selembar sepuluh ribu
Baik dokter maupun perawat
Tak menggubris wajahnya yang memelas
Menolak Atmo tanpa ragu14
Pegawai stasiun mencegatnya
Ada syakwasangka di matanya
Tubuh kecil kaku ditengoknya
Orang mati dibawa kemana-mana
Terpejam diam tak bergerak
Tak bernafas tak bersuara
Si pegawai curiga, membentak
Orang mati dibawa kemana-mana15
Amanat atau pesan ketidakpedulian sosial lainnya yang muncul dalam
puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini adalah ketidakpedulian pemerintah dan pihak-
pihak yang berkepentingan di bidang industri maupun properti yang menggerus
hak-hak hidup di pedesaan.
Sawah ladang kian menyempit
Kehidupan petani bertambah sulit
Perumahan dan pabrik industri
Mengusir petani setiap hari16
Seluruh larik yang disebutkan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa puisi
esai ―Manusia Gerobak‖ ini mengusung pesan ketidakadilan yang dialami rakyat
miskin. Ketidakadilan tersebut beberapa di antaranya dilakukan oleh masyarakat,
14
Ibid, h. 68. 15
Ibid, h. 51. 16
Ibid, h. 55.
40
.
pemerintah, dan pemegang kepentingan ekonomi seperti para pengonversi lahan
pertanian.
5. Diksi
Diksi yang digunakan penulis didominasi oleh pilihan kata yang
menunjukkan suasana kemiskinan dan ketidakadilan. Banyak pula pemilihan kata
yang menunjukkan nilai keagamaan di antaranya bentuk kerelaan terhadap
ketetapan Tuhan. Hal-hal tersebut dapat ditunjukkan lewat beberapa kutipan
berikut.
Sarung kumal membungkus jenazah
Tubuh mungil diam dan pasrah
Ditutup rapi, diselempangkan menyilang
Di depan dadanya yang datar kerontang17
Diksi ‗datar kerontang‘ memperkuat penokohan salah seorang tokoh
dalam kisahan yakni seseorang yang miskin dan kelaparan. Selain itu, terdapat
banyak diksi lainnya yang menunjukkan kemiskinan seperti berikut ini.
Matahari mulai meninggi
Atmo terkenang kampungnya yang rindang
Tapi sakunya kosong dan sepi
Jenazah tak bisa dibawa pulang18
Penggunaan ‗kata kosong‘ dan ‗sepi‘ menunjukkan tidak sepeser pun uang
yang dimiliki tokoh bernama Atmo tersebut. Hal ini menguatkan situasi
kemiskinan yang dialaminya.
Diksi yang lain menunjukkan pula kurangnya rasa ketidakpedulian
masyarakat terhadap kaum papa yang layak membutuhkan bantuan, misalnya
ditunjukkan dalam bait berikut ini.
Gerobak dan Atmo sekeluarga
Bagaikan etalase belaka
Sekadar pajangan di pinggir jalan
Sesekali ditoleh lalu dilupakan19
Diksi ‗etalase‘ menyindir kecenderungan masyarakat kelas menengah dan
atas yang cenderung memilih gaya hidup hedonis. Kecenderungan ini berimbas
pada rasa ketidakpedulian. Masyarakat umum sebagaimana yang tersirat dalam
17
Ibid., h. 47. 18
Ibid., h. 49. 19
Ibid, h. 64.
41
.
bait tersebut hanya memandang kaum papa sebagai pajangan di pinggiran jalan
perkotaan.
Rasa ketidakpedulian ditunjukkan pula dengan diksi ‗syakwasangka‘ yang
memadukan Bahasa Arab dan Indonesia, yakni dalam bait berikut ini.
Pegawai stasiun mencegatnya
Ada syakwasangka di matanya
Tubuh kecil kaku ditengoknya
Orang mati dibawa ke mana-mana
...20
Diksi ‗syakwasangka‘ memiliki arti ragu-ragu dan sangka, dengan
penjabaran sebagai berikut: dalam Kamus Bahasa Arab—Indonesia, syak21
شك )
(شكا -يشك – berarti ‗ragu-ragu‘, wa22
(و) berarti ‗dan‘. Kata-kata dari
bahasa Arab itu kemudian digabung dengan kata ‗sangka‘. Diksi ini mewakili
sikap sebagian masyarakat yang banyak menaruh kecurigaan pada pemulung
sampah maupun barang rongsok hingga berdampak pada kurangnya rasa
kepedulian.
Terkait dengan gaya hidup masyarakat perkotaan yang semakin
mencirikan hedonisme, dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini pun secara jelas
menggunakan diksi-diksi sindiran untuk menunjukkan hal tersebut seperti dalam
bait berikut ini.
Orang-orang yang baru keluar dengan bahagia
Wajahnya kenyang tiada terkira
Dari rumah makan siap saji
Restoran bergambar daging di tengah roti
Bundar dan besar, nikmat tampaknya
Maka mereka semua ceria
Tak ada yang peduli pada Atmo sekeluarga
Yang perutnya nyaris tiada isinya23
Pendeskripsian tentang restoran internasional yang menyediakan menu
daging di tengah roti, bundar dan besar tersebut menunjukkan kecenderungan
20
Ibid, h. 51. 21
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab—Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya
Agung, 1989), h. 201 22
Ibid., h. 490. 23
Taher, op. cit., h. 65.
42
.
gaya hidup masyarakat kelas menengah dan atas sebagai sebuah gengsi. Di
tengah-tengah suka ria tersebut mereka lupa bahwa masih banyak kaum papa yang
kelaparan.
Diksi lain yang banyak digunakan terlebih di akhir-akhir pembabakan
adalah diksi yang menunjukkan keagamaan. Di antaranya yakni, banyaknya
pengulangan diksi ‗adzan‘ pada beberapa larik, misalnya dalam bait-bait berikut
ini.
Hari hampir malam
Jenazah dikebumikan
Di liang makam
Dikumandangkan adzan
Adzan bergema
Di kuburan indah syahdu24
Adzan yang mengiring manusia dilahirkan
Adzan berselimut kain kafan
Adzan memanggil ingatan
Akhir manusia di kuburan
Terdengar iqomah
Seruan agar manusia pasrah
Berbaris mendirikan shalat
Dengan tulus dan
Hati tulus doa pekat
Menghadap Ilahi
Bersembahyang
Menyerahkan diri25
Selain diksi ‗adzan‘, pengucapan kalimat bercirikan keagamaan juga
muncul di beberapa bait, seperti bait berikut ini.
―Inna lilahi wa inna ilaihi rojiun‖
Atmo terpekur dalam-dalam
―Inna lilah wa inna ilaihi rojiun‖
Atmo tersedu diam-diam26
Diksi bernilai keagamaan tersebut mencirikan karakteristik tokoh yang
religius. Nilai keagamaan ini erat kaitannya dengan kesadaran mengenai takdir
Tuhan yang hakiki yang disampaikan oleh narator maupun pengucapan oleh
tokoh.
24
Taher, op. cit., h. 73. 25
Taher, op. cit., h. 74 26
Taher, op. cit., h. 74
43
.
6. Imajeri
Salah satu unsur yang membangun kekhasan puisi adalah adanya
penggunaan imajeri atau pencitraan. Puisi sebagai karya sastra yang padat kata
dan penuh makna tentu saja menggunakan imajeri untuk memperkaya daya
bayang pembaca terhadap puisi. Terdapat beberapa penggunaan imajeri dalam
puisi esai ini. Penjabaran dari penggunaan imajeri tersebut sebagai berikut:
a. Imajeri pandang
Kalbu Atmo luluh lantak
Mulut membisu tidak bicara
Awan di langit berarak-arak
Langit biru alangkah indahnya27
Imajeri pandang yang ada dalam larik ‗Awan di langit berarak-arak‘ dan
‗Langit biru alangkah indahnya‘ menimbulkan daya bayang suasana siang hari
yang cerah. ‗Awan di langit berarak-arak‘ dan ‗Langit biru alangkah indahnya‘
mengibaratkan keironisan yang muncul karena keindahan alam tersebut berbeda
jauh dengan kondisi Atmo yang tengah berduka. Oleh karena itu, daya bayang
yang muncul sengaja bukan sekadar ingin menampilkan keindahan alam semata,
tetapi tampak lebih ingin menampilkan bentuk keironisan nasib tokoh.
Ia mesti waspada, mesti berhati-hati
Menunggu kereta ekonomi, kereta rakyat
Untuk duduk merdeka di atap gerbong28
Imajeri pandang pada larik pertama yakni ‗Ia mesti waspada, mesti
berhati-hati‘ menimbulkan daya bayang seseorang yang tengah mengendap-
endap. Daya bayang ini berkaitan dengan suasana yang timbul yakni suasana
menegangkan yang dialami tokoh. Daya bayang ini menunjukkan maksud lain
yakni, bukan hanya mengenai situasi tokoh yang sedang mengendap-endap,
melainkan juga dimaksudkan untuk membangkitkan sikap kritis pembaca untuk
memahami penyebab dari situasi tersebut. Hal yang tergambar dari bait tersebut
menunjukkan bahwa masih ada orang-orang yang berusaha menumpang kereta
secara gratis. Hal ini tentu saja berhubungan dengan kemiskinan yang masih
melanda di Indonesia.
27
Taher, op. cit., h. 69. 28
Taher, op. cit., h. 50.
44
.
Pegawai stasiun mencegatnya
Ada syakwasangka di matanya
Tubuh kecil kaku ditengoknya
Orang mati dibawa kemana-mana
Terpejam diam tak bergerak
Tak bernafas tak bersuara
Si pegawai curiga, membentak
Orang mati dibawa kemana-mana29
Imajeri pandang yang terdapat pada larik ‗Ada syakwasangka di matanya‘;
‗Tubuh kecil kaku ditengoknya‘; ‗Orang mati dibawa kemana-mana‘; dan
‗Terpejam diam tak bergerak‘ menciptakan daya bayang kecurigaan saat melihat
hal yang tidak wajar terjadi. Pegawai di stasiun menaruh rasa curiga karena
melihat seseorang menggendong anak kecil yang tubuhnya sudah kaku dan tak
bergerak. Pegawai stasiun tersebut harus sigap dan tegas ketika melihat hal yang
tidak wajar terjadi di area stasiun. Namun demikian, sikap tegas sebagai seorang
pegawai disalahartikan dengan malah membentak orang yang belum tentu
bersalah.
Atmo kini menetap berempat
Di padat Manggarai, milik Ibu Sri
Di tepi Ciliwung berair coklat
Mandi mencuci di tepi kali30
Imajeri pandang pada larik ‗Di padat Manggarai, milik Ibu Sri‘; ‗Di tepi
Ciliwung berair coklat‘; dan ‗Mandi mencuci di tepi kali‘ menciptakan daya
bayang pemukiman padat dan kumuh di tepi Sungai Ciliwung sebagaimana
realitas yang terjadi di Jakarta saat ini. Penggambaran salah satu keadaan Jakarta
ini menegaskan latar kemiskinan dan ketidakpedulian masyarakat terhadap
lingkungan karena telah menyalahgunakan fungsi sungai dan bantarannya.
Saat tiba malam Atmo mencari tempat
Kadang di pinggir jalan Pondok Indah
Gerobak diparkir di trotoar terdekat
Menjadi bagian dari perumahan mewah31
Imajeri pandang pada larik ‗Saat tiba malam Atmo mencari tempat‘ dan
‗Kadang di pinggir jalan Pondok Indah‘ menciptakan daya bayang suasana
malam hari, dan dalam suasana seperti itu ada seseorang yang masih mencari
29
Taher, op. cit., h. 51. 30
Taher, op. cit., h. 58. 31
Taher, op. cit., h. 63.
45
.
tempat beristirahat. Tokoh tersebut tampak tidak memiliki tempat tinggal karena
memilih untuk beristirahat di pinggir jalan. Larik selanjutnya yakni ‗Gerobak
diparkir di trotoar terdekat‘ dan ‗Menjadi bagian dari perumahan mewah‘
menciptakan daya bayang ketimpangan yang jelas antar kemiskinan dan
kemewahan. Gerobak yang diparkir di dekat deretan rumah mewah menampilkan
keironisan yang terjadi di kota besar seperti Jakarta.
Orang-orang yang baru keluar dengan bahagia
Wajahnya kenyang tiada terkira
Dari rumah makan siap saji
Restoran bergambar daging di tengah roti
Bundar dan besar, nikmat tampaknya
Maka mereka semua ceria
Tak ada yang peduli pada Atmo sekeluarga
Yang perutnya nyaris tiada isinya32
Imajeri pandang yang terdapat pada larik ‗Wajahnya kenyang tiada
terkira‘ menggambarkan ketimpangan yang dialami oleh tokoh. Orang-orang
yang dilihatnya tampak puas dan tidak terlihat sengsara karena kelaparan dan hal
tersebut berbeda jauh dengan kondisinya. Larik ‗Restoran bergambar daging di
tengah roti‘ dan ‗Bundar dan besar, nikmat rasanya‘ menggambarkan kondisi
tokoh yang berada di dekat pusat perbelanjaan. Narator mengungkapkan
pendapatnya seolah-olah sebagai pemikiran tokoh. Pendapat narator yang paling
menonjol adalah kesan nikmat sebagai sebuah penilaian gambar makanan di
restoran tersebut. Namun, di luar pendapat itu bait tersebut menekankan
ketidakpedulian sosial yang ditunjukkan dengan adanya sikap acuh terhadap
orang kelaparan yang ada di sekitar.
b. Imajeri dengar
Kalbu Atmo luluh lantak
Mulut membisu tidak bicara
Awan di langit berarak-arak
Langit biru alangkah indahnya33
Imajeri dengar yang terdapat pada larik ‗Mulut membisu tidak bicara‘
menunjukkan keheningan yang terjadi pada diri tokoh. Larik dengan imaji dengar
ini seolah menciptakan ketegasan sendiri bahwa tokoh utama tak mampu
32
Taher, op. cit., h. 65. 33
Taher, op. cit., h. 47.
46
.
mengeluarkan lebih banyak daya lagi untuk mengaduh, dia lebih memilih untuk
bertindak langsung dalam menyelesaikan permasalahannya.
Pegawai stasiun mencegatnya
Ada syakwasangka di matanya
Tubuh kecil kaku ditengoknya
Orang mati dibawa ke mana-mana
Terpejam diam tak bergerak
Tak bernafas tak bersuara
Si pegawai curiga, membentak
Orang mati dibawa ke mana-mana34
Imajeri dengar pada larik ‗Si pegawai curiga, membentak‘ mengesankan
ketegasan pegawai stasiun bercampur dengan sikap memandang sebelah mata
terhadap orang yang berpenampilan kumuh, sehingga pegawai stasiun menaruh
curiga pada orang tersebut.
Dua anaknya bermain di dalam gerobak
Atmo duduk istirahat di sebelahnya
Kadang mereka turun dan berteriak
Bercengkerama memanggili ibunya35
Imajeri dengar pada larik ‗Bercengekrama memanggili ibunya‘
mengesankan suasana riang.
Pagi hari Atmo mencari-cari
Hilang lenyap jejak sang istri
Anaknya menangis meraung-raung
Membuat Atmo semakin bingung36
Imajeri dengar pada larik ‗Anaknya menangis meraung-raung‘
mengesankan suasana kesedihan.
Hari hampir malam
Jenazah dikebumikan
Di liang makam
Dikumandangkan adzan
Adzan bergema
Di kuburan
Indah syahdu37
Imajeri dengar pada larik ‗Dikumandangkan adzan‘ dan ‗Adzan bergema‘
yang mengiringi prosesi pemakaman menekankan hadirnya nilai keagamaan.
Nilai keagamaan tersebut menjadikan penggambaran terhadap prosesi pemakaman
34
Taher, op. cit., h. 51. 35
Taher, op. cit., h. 63. 36
Taher, op. cit., h. 67. 37
Taher, op. cit., h. 73.
47
.
semakin sakral. Penghayatan terhadap iringan suara adzan menambah kesan
suasana haru dan penuh takzim atas prosesi pemakaman yang digambarkan dalam
bait tersebut.
c. Imajeri sentuh
Lengan satunya mengapit jemari mungil
Anak lelakinya yang berbaju lusuh
Tertatih mengejar dengan langkah kecil
Mengiringi bapaknya tanpa mengaduh38
Jenazah mungil dimasukkan gerobak
Hendak dikubur di mana anak tersayang
Bukankah kuburan telah penuh sesak
Yang sisa hanya buat yang beruang39
Atmo meraih jasad putrinya
Diselimuti sarung kumal, lalu pelan dibopongnya
Diraihnya lengan mungil anak lelakinya
Agar selalu ada disampingnya40
Imajeri sentuh pada larik ‗Lengan satunya mengapit jemari mungil‘;
‗Jenazah mungil dimasukkan gerobak‘; ‗Atmo meraih jasad putrinya‘
menimbulkan kesan sentuhan halus namun kuat. Tokoh mengapit jemari anaknya
sebagai upaya agar sang anak tidak tertinggal sementara dia juga tengah risau
mencari cara mengurus jenazah putrinya.
Sampah kotoran kota Jakarta
Diangkut keranjang di punggungnya
Benarkah hanya sampah belaka
Persembahan orang kaya bagi yang papa?41
Imajeri sentuh pada larik ‗Diangkut keranjang di punggungnya‘
mengesankan sentuhan yang kuat dan pasti karena sampah maupun barang
rongsok memiliki nilai berharga bagi tokoh tersebut.
Rezeki pas-pasan
Rela mereka sisihkan
Untuk disisipkan
Di tangan Atmo
Tapi tak cukup
38
Taher, op. cit., h. 47. 39
Taher, op. cit., h. 48. 40
Taher, op. cit., h. 50. 41
Taher, op. cit., h. 59.
48
.
Untuk menyewa ambulans42
Imajeri sentuh pada larik ‗Untuk disisipkan‘ dan ‗Di tangan Atmo‘
mengesankan sentuhan lembut, kuat, dan pasti. Kesan sentuhan itu muncul atas
pemahaman bahwa para penderma tersebut dengan penuh keikhlasan bersedia
membantu Atmo meskipun sama-sama miskin.
7. Gaya Bahasa
Penggunaan gaya bahasa banyak dimanfaatkan dalam puisi esai ini. Gaya
bahasa tersebut menunjang penggambaran terhadap fakta sosial yang dihadirkan.
Beberapa gaya bahasa yang digunakan adalah sebagai berikut.
a. Repetisi
Gaya repetisi atau pengulangan dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini
beberapa terdiri dari pengulangan kata maupun kalimat yang bertujuan untuk
lebih menekankan pesan. Gaya repetisi yang digunakan dalam puisi ini antara lain
sebagai berikut.
Pegawai stasiun mencegatnya
Ada syakwasangka di matanya
Tubuh kecil kaku ditengoknya
Orang mati dibawa ke mana-mana
Terpejam diam tak bergerak
Tak bernafas tak bersuara
Si pegawai curiga, membentak
Orang mati dibawa ke mana-mana43
Bait tersebut memiliki gaya repetisi dengan bermacam ragam.
Pengulangan kalimat sepenuhnya terjadi pada larik keenam. Kalimat tersebut
sebelumnya pernah hadir pada larik keempat yakni ‗Orang mati dibawa ke mana-
mana‘. Pengulangan ini menekankan pesan dalam bait yakni kecurigaan pegawai
stasiun terhadap ketidakwajaran seseorang yang membawa jenazah dengan tangan
kosong. Bait di atas juga memiliki ragam repetisi dengan pengulangan sebagian
yakni kata ganti –nya pada kata ‗mencegatnya‘; ‗matanya‘; ‗ditengoknya‘ untuk
menegaskan sosok pegawai stasiun yang sangat menaruh curiga.
42
Taher, op. cit., h. 71. 43
Taher, op. cit., h. 51.
49
.
Atmo tahu mahalnya biaya pemakaman
Biaya ini dan itu tidak sedikit
Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan
Di Jakarta orang melarat jangan sakit44
Gaya repetisi dalam bait di atas ditunjukkan dengan bentuk pengulangan
kata ‗tak‘ di larik ketiga yakni ‗Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan‘.
Pengulangan tersebut untuk menegaskan bahwa tokoh bernama Atmo benar-benar
dilanda kemiskinan. Kemiskinan tersebut berimbas pada ketidakberdayaannya
untuk mengurus jenazah putrinya secara layak.
Atmo terdesak Atmo terjepit
Kebutuhan hidup kian meningkat
Anak menangis makan pun sulit
Perut yang kosong makin melekat45
Pengulangan kata Atmo dan awalan ter- yang menyertai kata kerja ‗desak‘
dan ‗jepit‘ memiliki makna ‗tertimpa‘. Pengulangan tersebut bertujuan untuk
menegaskan nasib Atmo yang sudah dilanda kemiskinan dan kemalangan yang
bertubi-tubi.
Lalu kota mulai menggoda
Kata orang di sana lah surga
Semua barang di sana tersedia
Uang datang dengan mudahnya
Di Jakarta, kata orang
Mencari uang lebih gampang
Karena di sana semua uang berdiam
Bertumpuk-tumpuk siang dan malam46
Pengulangan susunan kata ‗Kata orang...‘ pada dua bait tersebut
menegaskan adanya kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih mudah
diperdaya oleh suatu hal yang tidak pasti, misalnya meyakini bahwa kehidupan di
perkotaan lebih baik dibanding pedesaan.
Jalanan demi jalanan
Rumah demi rumah
44
Taher, op. cit., h. 52. 45
Taher, op. cit., h. 56. 46
Taher, op. cit., h. 57.
50
.
Sampah demi sampah
Memulung dengan tabah
Sisa nasib dan remah-remah47
Pengulangan kata ‗demi‘ menegaskan daya juang tokoh dalam mencari nafkah
begitu kerasnya.
Mandi kalau ada air
Makan kalau dapat uang
Dengan gerobak hidup mengalir
Pada langit tiada berhutang48
Pengulangan kata ‗kalau‘ menegaskan keadaan tak menentu yang dialami tokoh.
Kala siang terik menyengat
Pohonan kota tempat berteduh
Kala hujan menetes deras
Pohonan kota tempat berteduh
Kala malam kedinginan
Kepada siapa mesti mengaduh?49
Pengulangan kata ‗Kala‘ menegaskan bahwa di setiap waktu yang dilalui
tokoh penuh dengan kesengsaraan. Pengulangan kata ‗Pohonan‘ menegaskan pula
bahwa tokoh merupakan seorang tunawisma. Dia tidak memiliki tempat
berlindung kecuali apa yang ditemukannya, misalnya bernaung di bawah pohon.
Hari ini makan
Hari ini cara makan lagi
Besok mungkin makan
Besok harus mencari lagi50
Pengulangan kata ‗Hari‘ dan ‗Besok‘ sama seperti pengulangan kata
‗Kala‘ sebelumnya. Pengulangan kata-kata tersebut semakin menegaskan bahwa
setiap waktu yang dihadapi tokoh digambarkan sebagai kehidupan yang keras dan
berat.
Dikenangnya senyum putrinya
Rengekannya
47
Taher, op. cit., h. 59. 48
Taher, op. cit., h. 62. 49
Taher, op. cit., h. 62. 50
Taher, op. cit., h. 66.
51
.
Tangisannya
Tawanya
Raut wajahnya51
Pengulangan kata ganti –nya yang merujuk pada sang putri menegaskan
bahwa tokoh sangat kehilangan putrinya. Kenangan-kenangan bersama putrinya
mengiri saat-saat di mana tokoh tersebut harus mengurus jenazah putrinya.
―Inna lilah wa inna ilaihi rojiun‖
segenap hatinya tiba-tiba jadi malam
―Inna lilah wa inna ilaihi rojiun‖
hati Atmo seolah karam52
...
Orang-orang miskin
Orang-orang susah
Sama-sama miskin
Sama-sama susah
...53
Adzan yang mengiring manusia dilahirkan
Adzan berselimut kain kafan
Adzan memanggil ingatan
...54
Bentuk pengulangan pada bait-bait di atas menegaskan nilai keagamaan
yang terkandung dalam puisi ―Manusia Gerobak‖.
b. Paralelisme
Penggunaan gaya paralelisme atau kata-kata dengan makna yang sama
juga dimanfaatkan dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ sebagaimana yang dapat
ditunjukkan dalam bait-bait berikut ini.
Kalbu Atmo luluh lantak
Mulut membisu tidak bicara
Awan di langit berarak-arak
Langit biru alangkah indahnya55
51
Taher, op. cit., h. 69. 52
Taher, op. cit., h. 70. 53
Taher, op. cit., h. 73. 54
Taher, op. cit., h. 74.
52
.
Paralelisme terlihat dengan adanya penggunaan kata membisu diikuti
dengan tidak bicara. Mulut yang membisu jelas dalam keadan tidak berbicara.
Penggunaan gaya ini untuk menekankan keadaan tokoh yang begitu terpukul
hingga tidak bisa berbicara apa-apa.
Pohon-pohon segar menghijau
Bunga mekar kuning dan jingga
Kalbu Atmo sangatlah kacau
Pedih jiwa tiada terhingga56
Kata ‗menghijau‘ sama maknanya dengan ‗segar‘. Larik ‗Pohon-pohon
segar menghijau‘ tetap dapat dibayangkan dalam kondisi segar tanpa harus
menggunakan kata ‗menghijau‘, begitu pula sebaliknya tanpa menggunakan kata
‗segar‘ pun larik tersebut tetap dapat dibayangkan dalam kondisi segar karena
adanya penggunaan kata ‗menghijau‘. Hal ini dapat dibandingkan, misalnya
dengan penggunaan kata ‗menguning‘ untuk menunjukkan keadaan daun yang
akan gugur.
Sarung kumal membungkus jenazah
Tubuh mungil diam dan pasrah
Ditutup rapi, diselempangkan menyilang
Di depan dadanya yang datar kerontang57
Kata ‗diselempangkan‘ dipertegas dengan kata ‗menyilang‘ dalam larik
‗Ditutup rapi, diselempangkan menyilang‘. Benda yang diselempangkan tentu
dalam posisi menyilang. Penggunaan gaya ini untuk menekankan kenyataan
bahwa tokoh hanya mampu mengandalkan dirinya sendiri untuk mengurus
jenazah sang putri.
Matahari mulai meninggi
Atmo terkenang kampungnya yang rindang
Tapi sakunya kosong dan sepi
Jenazah tak bisa dibawa pulang58
55
Taher, op. cit., h. 47. 56
Taher, op. cit., h. 47. 57
Taher, op. cit., h. 47. 58
Taher, op. cit., h. 49.
53
.
Kata ‗kosong‘ yang diikuti dengan sertaan ‗sepi‘ memiliki makna yang
sama yaitu ‗tak ada apa-apa‘. Dua kata yang sama maknanya sebagaimana bait di
atas muncul pula dalam dua bait di bawah ini.
Mereka ikut iba
Meski mereka semua
Miskin dan papa
Tiada berlimpah harta59
Kata ‗miskin‘ disejajarkan dengan kata ‗papa‘. Penggunaan kata-kata
tersebut bertujuan untuk menekankan keadaan yang menimpa tokoh yakni
kemiskinan.
c. Perumpamaan
Penggunaan gaya perumpamaan dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini
menggambarkan perbandingan suatu keadaan maupun benda dengan hal lain yang
memiliki sifat yang sama. Gaya perumpamaan ini ditampilkan untuk memperkuat
penggambaran tentang kondisi yang dialami tokoh utama. Penggambaran tersebut
dapat ditujukan seperti berikut.
Anak mungil, lincah, dan lucu
Diremas lapar setiap hari
Tak ada nasi, tempe, dan tahu
Wajahnya kering sepucat jerami60
Perumpamaan dalam larik ‗Wajahnya kering sepucat jerami‘
menggambarkan kemiskinan yang dialami tokoh utama yang mewakili kenyataan
masyarakat miskin di sekitar kita. Bait lainnya yang menunjukkan perumpamaan
yakni sebagaimana berikut ini.
Kini sawahnya seluas kota
Dengan gancok mencangkul sawah
Panennya plastik, bukannya padi61
Bait tersebut menggambarkan kegagalan tokoh utama dalam berurbanisasi.
Perumpamaan ‗Kini sawahnya seluas kota‘ menampilkan tidak sepadannya
kemampuan tokoh yang hanya bisa mengolah sawah dengan realitas hidup di
59
Taher, op. cit., h. 71. 60
Taher, op. cit., h. 56. 61
Taher, op. cit., h. 60.
54
.
perkotaan, sehingga mau tidak mau tokoh tersebut menjadi pekerja kasar sebagai
pemulung barang-barang bekas. Bait yang lain juga menunjukkan perumpamaan
sebagai berikut.
Bagai pipit dia mengembara
Mematuki remah-remah orang kota
Meski yang dipungut sampah tersisa
Tetap saja dia ditatap penuh curiga62
Bait tersebut menggambarkan kedukaan dalam menjalankan kewajiban
mencari nafkah sebagai seorang pemulung. Pekerjaan memulung sampah
meskipun ditujukan untuk mencari barang rongsok yang masih dapat
dimanfaatkan tetap membawa kecurigaan segolongan orang yang menganggap
para pemulung dapat melakukan hal menyimpang seperti mencuri barang-barang.
Gaya mengumpamakan kerasnya pekerjaan memulung digambarkan dengan
penggunaan kata ‗Bagai pipit mengembara‘. Pekerjaan memulung sampah tentu
saja harus melewati banyak tempat di antaranya adalah jalanan, sehingga tidak
ubahnya seperti sebuah pengembaraan.
Sampai tibalah suatu malam
Kala Atmo dan dua anaknya terlelap
Sang istri pergi diam-diam
Lantas menghilang bagai sulap63
Bait tersebut menggambarkan tragedi saat istri Atmo mengkhianati
keluarganya dengan cara kabur di tengah kemiskinan yang melanda mereka.
Kepergian sang istri tersebut diperbandingkan dengan sulap karena caranya yang
begitu tiba-tiba sebagaimana larik ‗Sang istri pergi diam-diam/ Lantas
menghilang bagai sulap‘.
Gerobak dan Atmo sekeluarga
Bagaikan etalase belaka
Sekadar pajangan di pinggir jalan
Sesekali ditoleh lalu dilupakan64
62
Taher, op. cit., h. 60. 63
Taher, op. cit., h. 67. 64
Taher, op. cit., h. 64.
55
.
Gaya perumpamaan yang ditunjukkan larik ‗Gerobak dan Atmo
sekeluarga/ Bagaikan etalase belaka‘ memperbandingkan nasib Atmo yang tak
ubahnya seperti pajangan. Pengibaratan dengan pajangan tersebut bukan
dimaksudkan seperti barang-barang mewah yang dipajang dalam etalase,
melainkan dimaksudkan untuk menekankan kecenderungan barang-barang
pajangan yang hanya dilihat sesekali dan kadang dilupakan begitu saja.
d. Metafora
Metafora dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini misalnya dapat
ditunjukkan dalam bait-bait seperti berikut.
Bertiga mereka memendam duka
Sirnanya kasih ibu memang terasa
Hilang sudah sang payudara
Tempat menyusu putri bungsunya65
Bait tersebut menunjukkan adanya pengibaratan secara langsung makna
‗ibu‘ dengan menggunakan kata ‗sang payudara‘.
Semuanya ia nikmati
Dua buah hati dan cinta istri
Anak-anaknya bermain riang
Meski segalanya serbalah kurang66
Penggunaan kata ‗buah hati´ menjadi perbandingan langsung untuk
menunjukkan makna ‗anak‘.
e. Personifikasi
Personifikasi banyak dimaanfaatkan untuk menggambarkan latar baik
tempat, waktu, maupun suasana. Personifikasi untuk menggambarkan latar waktu
misalnya ada dalam bait berikut ini.
Petang datang
Malam menjelang
Tak mungkin lagi
65
Taher, op. cit., h. 68. 66
Taher, op. cit., h. 54.
56
.
Atmo berjalan jauh67
Kata ‗Petang datang‘ mengimajinasikan latar waktu yakni petang. Bait
tersebut menggambarkan pula suasana di petang hari yang pada umumnya
digunakan oleh sebagian orang untuk beristirahat dari pekerjaannya.
Selain gaya personifikasi yang menggambarkan latar waktu seperti di atas,
penggunaan yang lain dimanfaatkan pula untuk menciptakan latar tempat di
antaranya seperti bait berikut ini.
Sawah ladang kian menyempit
Kehidupan petani bertambah sulit
Perumahan dan pabrik industri
Mengusir petani setiap hari68
Larik-larik tersebut menggunakan personifikasi untuk menggambarkan
kondisi pedesaan yang sudah tidak berpihak kepada petani. Larik ‗Perumahan
dan pabrik industri/ Mengusir petani setiap hari‘ menunjukkan semakin
maraknya pendirian bangunan permanen di bidang industri maupun properti
mengubah fungsi lahan pedesaan yang umumnya digunakan untuk pengolahan
sawah. Bait selanjutnya menegaskan akibat dari kondisi tersebut yakni
kecenderungan untuk berurbanisasi.
Lalu kota mulai menggoda
Kata orang di sanalah surga
Semua barang di sana tersedia
Uang datang dengan mudahnya69
Larik ‗Lalu kota mulai menggoda‘ menggambarkan jalan pikiran sebagian
masyarakat yang hingga kini masih menganggap bahwa kesempatan kerja di
perkotaan terbuka lebar tanpa mereka sadari perlu bekal yang banyak sebagai
persiapan bekerja di perkotaan.
Di Jakarta, kata orang
Mencari uang lebih gampang
Karena di sana semua uang berdiam
Bertumpuk-tumpuk siang dan malam70
67
Taher, op. cit., h. 71. 68
Taher, op. cit., h. 55. 69
Taher, op. cit., h. 57. 70
Taher, op. cit., h. 57.
57
.
Larik ‗Karena di sana semua uang berdiam‘ seolah-olah menunjukkan
bahwa perputaran uang maupun kegiatan yang menghasilkan harta yang
melimpah banyak terjadi di daerah perkotaan.
Lalu mereka berempat bersama-sama
Menikmati nasi bungkus berlauk sekadarnya
Tak ada kerat daging atau ayam
Untuk mengusir lapar semalaman71
Larik ‗Tak ada kerat daging atau ayam/ Untuk mengusir lapar
semalaman‘ menggambarkan ‗daging atau ayam‘ mampu ‗mengusir lapar‘. Larik
tersebut juga menyampaikan pesan bahwa mereka sulit untuk memperoleh
kenikmatan dari hal yang lebih dari sederhana.
Hari sudah jauh petang
Kendaraan masih berderet panjang
Orang-orang yang bergegas pulang
Suara klakson berteriak lantang
Di pinggir jalan Atmo duduk memandang72
Larik ‗Suara klakson berteriak lantang‘ menggambarkan suasana riuh
dengan personifikasi ‗klakson‘ yang mampu ‗berteriak lantang‘. Larik tersebut
juga bermakna arogansi orang-orang perkotaan yang semakin bersikap egois,
sehingga kurang memiliki rasa ketidakpedulian sosial.
Berbagai gaya bahasa yang digunakan tersebut memperkuat kesan suasana
ironis dari ketidakpedulian sosial, ketimpangan keadaan hidup antarmasyarakat,
serta sikap diskriminatif yang tergambar dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖.
Penggunaan repetisi dan paralelisme menjadi penting untuk menekankan
peristiwa kesengsaraan yang seolah hadir bertubi-tubi. Penggunaan
perumpamaan, metafora, dan personifikasi sengaja dipakai pula sebagai bentuk
perbandingan antara kenyataan yang ada dengan hal lain yang akhirnya
memunculkan keironisan bahkan sindiran.
71
Taher, op. cit., h. 64. 72
Taher, op. cit., h. 64.
58
.
8. Rima dan Ritme
Puisi esai ―Manusia Gerobak‖ menggunakan beragam bentuk rima.
Adanya rima beraturan dan tidak beraturan menjadi ciri dari keberagaman
tersebut. Penggunaan jumlah larik dalam satu bait pun beragam, dapat berupa
empat larik dalam satu bait, tiga larik, delapan larik, dan lain-lain. Penggunaan
rima dalam setiap puisi termasuk puisi esai ―Manusia Gerobak‖ erat kaitannya
dengan ritme yang muncul dalam puisi.
Ritme tersebut menciptakan totalitas bunyi baik cepat lambat, pendek
panjang, dan tinggi rendahnya suara saat membaca puisi esai ―Manusia Gerobak‖.
Ritme menciptakan pula gambaran tersendiri tentang nada, rasa, dan tema yang
terkandung di dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖. Beragam rima dan ritme
dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ diantaranya adalah sebagai berikut.
Kalbu Atmo luluh lantak a
Mulut membisu tidak bicara b
Awan di langit berarak-arak a
Langit biru alangkah indahnya73
b
a. Pengaturan larik
Pengaturan larik pada bait tersebut terdiri dari 4 larik dalam satu bait. Tiap
larik dalam bait ditulis sejajar dan tampak menggunakan jumlah kata maupun
frasa yang hampir sama pada setiap larik, sehingga kecepatan dalam membaca
setiap larik cenderung akan sama.
b. Jumlah suku kata
Jumlah suku kata dalam bait tersebut yakni larik pertama terdiri dari 7
suku kata: Kal/bu// At/mo// lu/luh// lan/tak// dengan penjedaan pada suku kata
terakhir yakni –tak. Larik kedua terdiri dari 10 suku kata: Mu/lut// mem/bi/su//
ti/dak// bi/ca/ra// dengan penjedaan suku kata terakhir yakni –ra. Larik ketiga
terdiri dari 10 suku kata: A/wan// di// la/ngit// ber/a/rak/a/rak// dengan penjedaan
pada suku kata terakhir yakni –rak. Larik keempat terdiri dari 10 suku kata:
73
Taher, op. cit., h. 47.
59
.
La/ngit// bi/ru// a/lang/kah// in/dah/nya// dengan penjedaan pada suku kata
terakhir yakni -nya.
c. Pengaturan bunyi
Pengaturan bunyi dalam bait tersebut menggunakan rima akhir berpola a-
b-a-b yakni pada suku kata –tak, -ra, -rak, -nya. Pengulangan bunyi terjadi di larik
kedua yakni suku kata Mu-, lut- pada kata Mulut dan –su pada kata membisu.
Pengulangan bunyi juga terjadi di larik keempat yakni suku kata -kah pada kata
alangkah dan -nya pada kata indahnya.
Totalitas suara yang dihasilkan dari pengaturan larik tersebut yakni
penggunaan suara yang lambat dan pendek karena jumlah suku kata yang sedikit
pada tiap larik serta pengulangan rima akhir yang berulang. Selain itu, rendahnya
suara berhubungan pula dengan pilihan kata yang yang menampilkan kesedihan
seperti ‗Kalbu luluh Atmo luluh lantak‘. Pilihan kata yang menunjukkan
kesedihan tersebut memang dapat menggunakan ritme-ritme dengan suara tinggi,
tetapi dengan pilihan kata selanjutnya yakni ‗Mulut membisu tidak bicara‘
menegaskan bahwa adanya penggunaan suara rendah sebagai bentuk penghayatan
terhadap pesan dalam puisi. Kemudian, pilihan kata ‗Awan di langit berarak-
arak‘ dan ‗Langit biru alangkah indahnya‘ menegaskan pula bahwa nada yang
hadir adalah kesedihan yang ada di tengah-tengah ketenangan latar waktu dan
suasana, sehingga dari nada tersebut tercipta ritme dengan penggunaan suara
rendah dan lambat.
Pengkajian rima dan ritme lainnya dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖
dapat dilihat pada bait berikut ini.
Pegawai stasiun mencegatnya
Ada syakwasangka di matanya
Tubuh kecil kaku ditengoknya
Orang mati dibawa ke mana-mana
Terpejam diam tak bergerak
Tak bernafas tak bersuara
Si pegawai curiga, membentak
60
.
Orang mati dibawa ke mana-mana74
a. Pengaturan larik
Pengaturan larik dari puisi tersebut terdiri dari 8 larik dalam satu bait. Tiap
larik dalam bait tersebut ditulis secara sejajar dengan penggunaan gaya repetisi di
beberapa larik. Sama seperti pembahasan terhadap bait sebelumnya, jumlah kata
maupun frasa yang digunakan dalam setiap larik pada bait di atas hampir sama,
sehingga kecepatan dalam membaca setiap larik tersebut pun cenderung akan
sama.
b. Jumlah suku kata
Jumlah suku kata dalam bait tersebut yakni larik pertama terdiri dari 10
suku kata: Pe/ga/wai/ sta/si/un// men/ce/gat/nya// dengan penjedaan pada suku
kata –nya. Larik kedua terdiri dari 10 suku kata: A/da/ syak/wa/sang/ka// di/
ma/ta/nya// dengan penjedaan pada suku kata –nya. Larik ketiga terdiri dari 10
suku kata: Tu/buh/ ke/cil// ka/ku// di/te/ngok/nya// dengan penjedaan pada suku
kata -cil, -ku, dan –nya. Larik keempat terdiri dari 12 suku kata: O/rang/ ma/ti//
di/ba/wa/ ke/ ma/na/ma/na// dengan penjedaan pada suku kata -na. Larik kelima
terdiri dari 9 suku kata: Ter/pe/jam// di/am// tak/ ber/ge/rak// dengan penjedaan
pada suku kata –jam, -am, dan –rak. Larik keenam terdiri dari 9 suku kata: Tak/
ber/na/fas// tak/ ber/su/a/ra// dengan penjedaan pada suku kata –fas dan –ra.
Larik ketujuh terdiri dari 10 suku kata: Si/ pe/ga/wai/ cu/ri/ga// mem/ben/tak//
dengan penjedaan pada suku kata –ga dan –tak. Larik kedelapan terdiri dari 12
suku kata: O/rang/ ma/ti// di/ba/wa/ ke/ ma/na/ma/na// dengan penjedaan pada
suku kata -na.
c. Pengaturan bunyi
Pengaturan bunyi dalam bait tersebut menggunakan rima akhir a-a-a-a-a-a-
a-a yakni pada suku kata –nya, -nya, -nya, -na, -rak, -ra, -tak, -na. Bait tersebut
juga memiliki beberapa pengulangan bunyi. Pengulangan bunyi yang terjadi
74
Taher, op. cit., h. 51.
61
.
dalam satu larik misalnya pada larik keenam yakni suku kata tak- pada frasa ‗Tak
bernafas‘ dan ‗tak bersuara‘. Pengulangan bunyi yang terjadi dalam larik yang
berbeda misalnya pada larik keempat dan kedelapan yakni pengulangan penuh
susunan kata ‗Orang mati dibawa ke mana-mana‘.
Totalitas suara yang dihasilkan dari pengaturan larik tersebut yakni
penggunaan suara yang tinggi, cepat, dan pendek. Pada bait tersebut, ritme yang
muncul adalah tingginya suara dengan menggunakan pilihan kata yang yang
menampilkan kecurigaan dan kemarahan seperti ‗Ada syakwasangka di matanya‘;
‗Orang mati dibawa ke mana-mana‘; ‗Si pegawai curiga, membentak‘. Pilihan
kata mati menunjukkan nada kasar sehingga ritme yang muncul yakni dengan
suara tinggi. Jumlah suku kata yang sedikit pada tiap larik serta pengulangan
bunyi untuk penegasan sehingga menghasilkan suara yang pendek dan cepat.
Bait selanjutnya,
Atmo di depan menghela gerobak
Istri di belakang mengawasi
Beriringan di tengah deru kendaraan
Pagi
Siang
Malam75
a. Pengaturan larik
Pengaturan larik dari puisi tersebut terdiri dari 6 larik dalam satu bait. Tiap
larik dalam bait tersebut ditulis sejajar. Larik keempat, kelima, dan keenam hanya
terdiri dari dua satu kata. Perbedaan jumlah kata dalam tiap larik menciptakan
totalitas suara yang berbeda dari awal larik menuju akhir.
b. Jumlah suku kata
Jumlah suku kata dalam bait tersebut yakni larik pertama terdiri dari 11
suku kata: At/mo/ di/ de/pan/ meng/he/la/ ge/ro/bak// dengan penjedaan pada suku
kata terakhir yakni –bak. Larik kedua terdiri dari 10 suku kata: Is/tri/ di
be/la/kang/ me/nga/wa/si// dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni –si.
75
Taher, op. cit., h. 63.
62
.
Larik ketiga terdiri dari 13 suku kata: Ber/i/ri/ngan/ di/ te/ngah/ de/ru/
ken/da/ra/an// dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni -an. Larik keempat
terdiri dari 2 suku kata: Pa/gi// dengan penjedaan pada suku kata terakhir -gi.
Larik kelima terdiri dari 2 suku kata: Si/ang// dengan penjedaan pada suku kata
terakhir -ang. Larik keenam terdiri dari 2 suku kata: Ma/lam// dengan penjedaan
pada suku kata terakhir -lam.
c. Pengaturan bunyi
Pengaturan bunyi dalam bait tersebut menggunakan rima awal a-b-c-a-b-a
yakni pada suku kata awal at-, is-, ber-, pa-, si-, ma-, dan rima akhir a-b-a-b-a-a
yakni pada suku kata –bak, -si, -an, -gi, -ang, -lam. Totalitas suara yang
dihasilkan dari pengaturan larik, jumlah suku kata, dan pengaturan bunyi tersebut
yakni penggunaan nada panjang menuju pendek. Nada-nada pendek pada larik-
larik akhir ini mengesankan suasana yang dramatis.
9. Pusat Pengisahan
Pusat pengisahan dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini menggunakan
pengamatan orang ketiga di luar cerita. Pengisah ini mampu menjelaskan
peristiwa, suasana, dan pikiran para tokoh. Pengisah sekaligus sebagai pengamat
ini memiliki sudut pandang serba tahu terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam
pengisahan. Penggunaan pusat pengisah tersebut dapat ditunjukkan sebagaimana
bait di bawah ini.
Jalanan demi jalanan
Rumah demi rumah
Sampah demi sampah
Memulung dengan tabah
Sisa nasib dan remah-remah76
Daya juang tokoh untuk bisa bertahan hidup di kota besar seperti Jakarta
dikisahkan melalui pengamatan terhadap aktivitas tokoh. Pembaca dapat
mengimajinasikan penggambaran dalam bait tersebut, misalnya upaya tokoh yang
begitu keras mengumpulkan barang-barang yang sebagian besar tidak dianggap
berharga oleh pihak lain.
76
Taher, op.cit., h. 59.
63
.
Pengisah dalam puisi ini juga menggambarkan perasaan serta pemikiran
tokoh sebagai masyarakat yang tertindas. Hal tersebut dapat ditunjukkan lewat
larik-larik berikut ini.
Kini desa tak seperti dulu
Sawah luas hijau membentang
Alam yang tenteram sudah berlalu
Pabrik datang sawah menghilang77
Larik ‗Kini desa tak seperti dulu/ .../ Alam yang tenteram sudah berlalu‘
menunjukkan kondisi para petani yang sudah tidak mungkin melanjutkan
pekerjaan dalam mengolah sawah. Keadaan tersebut menjadikan hilangnya
ketenteraman kehidupan di desa. Hal ini lah yang mendorong tokoh utama dalam
puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini pergi berurbanisasi.
Sawah ladang kian menyempit
Kehidupan petani bertambah sulit
Perumahan dan pabrik industri
Mengusir petani setiap hari78
Petani sawah kian terjepit
Lebih baik menjual sawah
Lalu pergi untuk berdagang
Buat Atmo semuanya rumit
Tanpa sawah hidupnya susah
Mau berdagang tak punya uang79
Bait-bait di atas menunjukkan pengisah serba mengetahui karakteristik
tokoh berupa sikap dan cara berpikir sebagai seorang petani. Hal seperti ini dapat
pula dilihat pada bait berikut ini.
Sampah kotoran kota Jakarta
Diangkut keranjang di punggungnya
Benarkah hanya sampah belaka
Persembahan orang kaya bagi yang papa?80
Larik-larik tersebut menggambarkan situasi yang dihadapi tokoh lengkap
dengan cara berpikirnya. Dua larik pertama mengilustrasikan kegiatan tokoh dan
dua larik terakhir menyampaikan cara berpikir dan perasaan tokoh tersebut.
77
Taher, op. cit., h. 55. 78
Taher, op. cit., h. 55. 79
Taher, op. cit., h. 56. 80
Taher, op. cit., h. 59.
64
.
Kisah ironis dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini dengan sangat jelas
tergambar dengan memanfaatkan pusat pengisah yang serba tahu. Pembaca dapat
mengetahui perasaan tokoh dan bukan sekadar membayangkan hasil pengamatan
dari pengisah. Pusat pengisah ini berpengaruh terhadap unsur-unsur lain yang
membangun puisi esai ―Manusia Gerobak‖.
Setiap unsur pembangun dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ pada
dasarnya saling berkaitan dan saling mendukung. Pesan kritik sosial menjadi
terlihat jelas tanpa perlu pemaknaan yang rumit. Hal tersebut terlihat dari
pemilihan kata, imajeri, dan gaya bahasa yang sederhana. Rima serta ritme yang
muncul saat puisi ini dibaca pun menguatkan rasa dan nada dalam menyampaikan
kritik-kritik sosial dalam puisi esai ―Manusia Gerobak‖ ini. Penjabaran mengenai
unsur pembangun ini memperlihatkan bahwa kritik sosial dalam puisi esai
―Manusia Gerobak‖ disampaikan dengan amat nyata yang diwakili oleh
penyampaian ketidakadilan berupa sikap diskriminatif, ketimpangan
kesejahteraan, dan marjinalisasi kaum yang lemah.
65
BAB IV
KRITIK SOSIAL DALAM PUISI ESAI
“MANUSIA GEROBAK” KARYA ELZA PELDI TAHER
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA DI SMA
Kritik sosial sebagai salah satu bentuk komunikasi mempunyai peran
penting untuk menjadi kontrol sosial proses bermasyarakat. Kritik sosial dapat
diwujudkan dengan mengamati dan membandingkan secara teliti kondisi-kondisi
yang berbeda dalam suatu lingkup masyarakat serta melakukan penilaian terhadap
kondisi tersebut. Tindakan mengkritik dapat dilakukan oleh siapapun, hal ini
karena setiap orang selalu dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu dalam
kehidupan bermasyarakat.
Puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher menunjukkan kritik
sosial untuk pemerintah, masyarakat, dan para pihak yang terkait dengan konversi
lahan pertanian. Kritik-kritik sosial yang dihadirkan pun beragam sesuai dengan
sasaran kritik. Misalnya, kritik terhadap pemerintah dengan kebijakan yang tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada, sikap masyarakat yang tak acuh, serta para
pengonversi lahan pertanian yang bersikap oportunis. Semuanya dihadirkan untuk
menampilkan realitas yang terjadi di tengah masyarakat kita.
Fakta-fakta sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” tersebut berupa
sikap memarginalisasikan dan mendiskriminasikan sebagian pihak oleh pihak
lain. Fakta-fakta sosial yang menjadi sorotan penting adalah kritik yang sebagian
besar ditujukan kepada pemerintah karena kinerja mereka yang kurang maksimal
dalam menyejahterakan masyarakat. Kinerja dalam menyejahterakan bukan
berarti hanya berkutat di bidang ekonomi, melainkan juga dalam mencerdaskan
masyarakat. Banyaknya kritik terhadap pemerintah tersebut menjadikan
pemerintah sebagai pihak yang dipandang paling bertanggung jawab atas
66
terciptanya kehidupan masyarakat yang penuh dengan permasalahan sosial seperti
yang ditampilkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak” ini.
A. Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya
Elza Peldi Taher
Puisi esai “Manusia Gerobak” menampilkan kritik-kritik sosial yang
ditujukan kepada beberapa pihak. Penjelasan mengenai pihak-pihak yang menjadi
sasaran kritik sosial sekaligus kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai
“Manusia Gerobak” tersebut sebagai berikut.
1. Kritik terhadap Pemerintah
a. Kritik terhadap Sikap Diskriminatif Pemerintah
Kritik terhadap sikap diskriminatif pemerintah salah satunya dapat dilihat
pada bait berikut ini.
Jenazah mungil dimasukkan gerobak
Hendak dikubur di mana anak tersayang
Bukankah kuburan telah penuh sesak
Yang sisa hanya buat yang beruang1
Setelah penolakan yang dilakukan oleh pihak Puskesmas dan rumah sakit,
Atmo harus menerima kenyataan bahwa putrinya meninggal dunia. Di tengah
kedukaannya tersebut, Atmo harus menerima kenyataan bahwa dirinya tidak
mampu untuk menguburkan jenazah putrinya di Jakarta. Biaya pengobatan saja
tidak dapat terpenuhi, apalagi harus membayar sejumlah uang untuk mengurus
jenazah seperti sewa lahan pemakaman.
Peristiwa ini diperkuat dengan realitas mengenai sulitnya menguburkan
jenazah di Jakarta seperti yang ditunjukkan pada catatan kaki kedua dalam puisi
esai “Manusia Gerobak” berikut ini.
Jakarta mengalami krisis lahan pemakaman. Dari 589,65
hektar luas pemakaman, lahan yang siap pakai untuk pemakaman
baru di seluruh wilayah Jakarta hanya 31,8 hektar. Di atas kertas,
lahan itu diperkirakan cukup hingga 2013. Biaya pemakaman
jenazah baru sebenarnya sangat murah dan sudah diatur secara
1Elza Peldi Taher, Manusia Gerobak, (Depok: Jurnal Sajak, 2013), h.48.
67
jelas oleh Pemerintah Jakarta. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2007 Tentang Pemakaman, pemerintah menetapkan
retribusi pelayanan pemakaman yang besarnya sesuai Peraturan
Daerah Nomor 1 Tahun 2006. Biaya pemakaian tempat
pemakaman bervariasi dari nol sampai paling mahal seratus ribu
rupiah untuk jangka waktu tiga tahun. Tetapi kenyataannya, biaya
taka resmi pemakaman bisa mencapai Rp2,5 juta.
Pada tahun 2000, Dinas Pemakaman memproyeksikan
penduduk Jakarta berjumlah 8.385.639 jiwa, rata-rata pelayanan
jenazah 100 jiwa per hari atau 36.500 jiwa per tahun. Artinya,
tingkat kematian penduduk pada tahun itu adalah 0,44 persen.
Lima tahun kemudian, jumlah penduduk meningkat menjadi
8.699.600 jiwa dengan rata-rata pelayanan 110 jenazah per hari
atau 40.150 jiwa per tahun. Tingkat kematian juga naik menjadi
0,46 persen. Angka ini kembali naik menjadi 0,50 persen pada
tahun 2007. Proyeksi penduduk Jakarta saat itu berjumlah
8.814.000 jiwa dengan rata-rata pelayanan 120 jenazah per hari
atau 43.800 per tahun.
Dari ketiga data tersebut, Dinas Pemakaman menarik
kesimpulan, persentase tingkat pelayanan kematian di Jakarta
mencapai 0,46 persen per tahun.
Jika diasumsikan tiap tahun tingkat kematian mencapai 40
ribu jiwa dan orang harus mengeluarkan biaya pemakaman sekitar
dua juta per satu jenazah, jumlah uang yang beredar mencapai 80
miliar per tahun. Uang ini berasal dari akumulasi retribusi sewa
lahan, biaya ambulans, penyewaan tenda, pembuatan batu nisan,
pengadaan rumput, pemeliharaan makam, dan upah para
penggali).2
Kebijakan atas biaya sewa lahan yang ditetapkan oleh pemerintah pada
kenyataannya masih disalahgunakan oleh oknum-oknum dalam pemerintahan.
Ketidaktegasan pemerintah terhadap para pegawainya ini tidak mewujudkan tekad
pemerintah untuk bersikap adil. Lahan pemakaman yang memang sudah sangat
terbatas dijadikan lahan komersial sehingga merugikan masyarakat yang kurang
mampu. Larik tersebut mewakili kenyataan perlakuan diskriminatif yang harus
dihadapi oleh masyarakat miskin. Entah disadari atau tidak oleh pemerintah,
masyarakat dengan tingkat finansial tinggi cenderung selalu diutamakan dalam
segi pelayanan. Atmo sebagai salah satu contoh masyarakat miskin
metropolitan—seperti halnya dengan orang-orang yang senasib dengannya—
selalu mendapatkan perlakuan setengah hati.
2Taher, op. cit., h. 51.
68
Perlakuan seperti inilah yang salah satunya terjadi pada kisah nyata yang
dialami oleh seorang pria bernama Supriono pada tahun 2005 yang lalu. Pada
tanggal 6 Juni 2005 pertama kali muncul di harian Warta Kota dan Kompas,
seorang pria bernama Supriono menggendong jenazah anaknya yang berusia tiga
tahun bernama Khaerunnisa, pria tersebut diperiksa setelah petugas KRL ekonomi
jurusan Jakarta Bogor menuju Citayam, melihat gelagatnya yang membawa
jenazah. Awalnya, petugas KRL mengira jenazah tersebut adalah korban
pembunuhan. Padahal, Supriono hendak pergi ke tempat kerabatnya di Citayam
untuk mengurus jenazah putrinya tersebut.3 Hal tersebut dikarenakan Supriono
yang tidak mampu membiayai pemakaman putrinya, Khaerunisa. Dia hanya
mampu membawa putrinya tersebut dengan gerobak yang dimilikinya.
b. Kritik terhadap Ketidakseriusan Pemerintah dalam Menangani
Pelayanan Fasilitas Publik
Ketegasan pemerintah dalam menangani pelayanan fasilitas publik terlihat
kurang serius. Bait berikut ini mewakili gambaran terhadap kritik tersebut.
Ia mesti waspada, mesti berhati-hati
Menunggu kereta ekonomi, kereta rakyat
Untuk duduk merdeka di atap gerbong4
Tekad Atmo untuk membawa jenazah putrinya ke kampung halaman dia
wujudkan dengan memilih cara menumpang kereta ekonomi secara gratis. Tentu
saja hal ini dikarenakan Atmo tidak mampu untuk membeli karcis. Kondisi seperti
ini membuatnya berinisiatif untuk duduk di atap gerbong seperti yang sering
dilakukan oleh segelintir masyarakat yang tidak tertib maupun yang memang
tidak mampu membeli karcis. Ketersediaan fasilitas umum, dalam hal ini
transportasi massal yang terjangkau dan layak pakai, rupanya tetap menjadi
tantangan bagi pemerintah. Hal ini sejalan dengan keterangan bahwa pertumbuhan
penduduk kota jauh lebih pesat dari kemampuan pemerintah di negara sedang
berkembang seperti Indonesia untuk menyediakan fasilitas pelayanan yang
memadai. Semakin besar suatu kota, masalah yang dihadapinya lebih banyak dan
3 Iskandar Zulkarnaen, Peristiwa Tragis Supriono Itu Sudah Lama Terjadi,
www.kompas.com, 22 Juni 2011. 4Taher, op. cit., h. 50.
69
lebih sulit. Terbukti bahwa pencemaran udara, kebisingan, kemacetan lalu lintas,
kejahatan, dan kurangnya perhatian terhadap kesehatan tumbuh lebih pesat
daripada perkembangan wilayah kota-kota besar.5 Selain itu, gambaran mengenai
ketidakdisiplinan masyarakat yang ditunjukkan oleh bait tersebut perlu menjadi
perhatian lebih bagi instansi pemerintahan khususnya Dinas Perhubungan.
Ketidakdisiplinan ini merupakan dampak dari ketidaktegasan pemerintah untuk
menertibkan masyarakat pengguna transportasi massal.
Selain itu, catatan kaki pertama dalam puisi esai “Manusia Gerobak” ini
juga menunjukkan beberapa kecenderungan terkait penggunaan kereta ekonomi
yang masih kurang maksimal dalam pelayanan dan juga dalam segi penggunaan,
seperti yang dapat ditunjukkan berikut.
KRL Jabotabek adalah jalur kereta rel listrik yang dioperasikan
oleh PJKA sejak 1976, melayani rute komuter di wilayah Jakarta,
Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Serpong. KRL yang melayani
jalur ini terdiri dari dua kelas, yaitu kelas ekonomi dan kelas ekspress
yang menggunakan pendingin udara. Kereta kelas ekonomi selalu
padat setiap pagi hari dan sore hari. Bahkan sampai di atap gerbong.
Banyak penumpang kelas ekonomi tak memiliki karcis.6
c. Kritik terhadap Sikap Antipati Pemerintah
Sikap pemerintah yang cenderung antipati salah satunya dikarenakan
prasangka buruk terhadap masyarakat kelas bawah sebagaimana ditampilkan
dalam bait beirkut ini.
Pegawai stasiun mencegatnya
Ada syakwasangka di matanya
Tubuh kecil kaku ditengoknya
Orang mati dibawa ke mana-mana
Terpejam diam tak bergerak
Tak bernafas tak bersuara
Si pegawai curiga, membentak
Orang mati dibawa kemana-mana 7
Atmo yang berpenampilan lusuh—dengan gerak-geriknya yang penuh
waspada membawa jenazah putrinya agar bisa duduk di atap gerbong—membuat
pegawai stasiun curiga. Hal ini tentu wajar terjadi, namun perlakuan kasar yang
5Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 28.
6Taher, op. cit., h. 50.
7Taher, op. cit., h. 51.
70
dilakukan oleh pegawai stasiun tidak mencerminkan sikap kewibawaan aparatur
pemerintah. Perlakuan seperti ini sangat sering diterima oleh masyarakat kelas
bawah. Pandangan kriminalitas seolah menjadi dugaan awal apabila seseorang
dengan penampilan kumuh bersikap tidak wajar misalnya mengendap-endap
sebagaimana tingkah yang ditampilkan Atmo. Kecurigaan pegawai pemerintahan
dalam puisi esai ini ditampilkan dengan sikap kasar yang mereka berikan pada
masyarakat kelas bawah. Penertiban yang mereka lakukan pun terkesan pandang
bulu. Hal ini diperkuat dalam bait berikut ini.
Jakarta hanya untuk orang berpunya
Tak ada belas kasihan
Pegawai stasiun tak percaya
Ia ditangkap jadi tawanan8
d. Kritik terhadap Kebijakan Pemerintah Yang Merugikan Masyarakat
Pedesaan
Berbagai macam kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada
kenyataannya tidak semua berpihak untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Hal ini
terlihat bukan hanya dari sistem sentralisasi yang secara implisit masih terjadi di
Indonesia, melainkan juga pembangunan wilayah pedesaan yang disalahartikan
dengan banyaknya pendirian pabrik industri maupun perumahan. Pembangunan
seperti ini tidak cocok dilakukan di wilayah pedesaan sebagai penghasil
komoditas pertanian. Kondisi seperti ini digambarkan dalam beberapa bait dalam
puisi esai “Manusia Gerobak” seperti berikut ini.
Kini desa tak seperti dulu
Sawah luas hijau membentang
Alam yang tenteram sudah berlalu
Pabrik datang sawah menghilang
Sawah ladang kian menyempit
Kehidupan petani bertambah sulit
Perumahan dan pabrik industri
Mengusir petani setiap hari9
Atmo menjadi saksi bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah yang bekerja
sama dengan para pengusaha terus menggerus matapencahariannya sebagai
8Taher, op. cit., h. 53.
9Taher, op. cit., h. 55.
71
petani. Kebijakan-kebijakan pemerintah untuk meloloskan izin pendirian
bangunan malah berimbas pada ketidakstabilan ekonomi di pedesaan. Hal ini
bukan saja merugikan para petani, melainkan juga berdampak pada kemandirian
bangsa yang semakin melemah untuk memproduksi komoditas pertanian dalam
negeri. Kebijakan pemerintah di Indonesia terkesan banyak yang tumpang tindih,
misalnya tekad untuk meningkatkan produksi pertanian dalam negeri terhalang
dengan kebijakan lain di sektor industri besar. Bisa ditemukan dengan mudah
bahwa banyak pihak-pihak yang melakukan proyek pembangun di wilayah
penghasil komoditas pertanian. Proyek tersebut mulai dari pendirian pabrik-pabrik
industri hingga usaha properti. Hal ini ternyata tidak disikapi dengan bijak oleh
pemerintah demi kesejahteraan rakyat. Pemerintah bahkan cenderung membiarkan
pembangunan proyek-proyek tersebut secara sepihak. Kondisi seperti ini jelas
merugikan masyarakat pedesaan.
Masyarakat pedesaan cenderung hanya memiliki keterampilan bercocok
tanam. Umumnya, mereka terbagi menjadi dua pengelompokkan yakni para tuan
tanah dan para petani sewaan/ penyewa yang mengolah lahan pertanian. Situasi
yang tidak stabil jelas akan muncul apabila pembangunan proyek di bidang
industri, properti, dan sebagainya tetap berlangsung. Hal buruk yang terjadi
adalah makin banyak masyarakat pedesaan yang kehilangan matapencaharian.
Kecenderungan masyarakat Asia terutama di negara-negara berkembang
adalah hidup dalam lingkup masyarakat maritim, petani, pedesaan, hutan, dan
lingkungan nonindustrial lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa peran pedesaan
sangat besar bagi sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Sebagaimana
pernyataan dalam buku Urban Sociology yang menyebutkan: Asia is a continent
of contradictions. Over 50 percents of the worlds population and one third of its
urban population are in Asia. Yet many Asian countries, Pakistan, Thailand,
Indonesia, and the Philipppines, are only about 10 percent urbanied. In Asia are
located some of the leas affluent countries in the world (Sri Lanka and
Bangladesh) and one of the world’s most affluent countries, Japan. Some
72
countries in Asia are low jungles and swamps, some are mountainous, and other,
particularly in Asia Minor, are desert.10
.
e. Kritik terhadap Ketidakseriusan Pemerintah dalam Program
Mencerdaskan Rakyat
Kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan rakyatnya juga semakin
dipertanyakan dengan melihat pesatnya pertumbuhan migrasi masyarakat
pedesaan ke wilayah kota atau biasa disebut dengan urbanisasi. Kondisi ini
tergambar dalam puisi esai “Manusia Gerobak” pada bait-bait berikut ini.
Lalu kota mulai menggoda
Kata orang di sana lah surga
Semua barang di sana tersedia
Uang datang dengan mudahnya
Di Jakarta, kata orang
Mencari uang lebih gampang
Karena di sana semua uang berdiam
Bertumpuk-tumpuk siang dan malam
Tekad Atmo seteguh karang
Ke Jakarta hendak menjelang
Ia tinggalkan desa yang tenteram
Hijrah ke kota dan ketidakpastian
Membawa uang tak seberapa
Istri dan dua anak dibawa serta
Tekad membatu jiwa membara
Berharap lebih nanti di kota11
Kondisi Atmo yang memilih berurbanisasi pada dasarnya memang dapat
dimaklumi. Hal ini karena pemerintah belum mampu menangani masalah di
pedesaan. Pemerintah malah cenderung membuat permasalahan baru dengan
menggerus wilayah pedesaan dengan industrialisasi yang tidak terkontrol. Apabila
kesempatan bekerja di desa sudah tidak memungkinkan, salah satu pilihan
masyarakat adalah berurbanisasi. Tantangan baru yang sebagian besar dari mereka
belum sadari adalah pentingnya bekal keterampilan yang umumnya diperlukan di
10
John W. Bardo, Urban Sociology, (USA: Peacock Publisher, 1982), h. 300. 11
Taher, op. cit., h. 57.
73
perkotaan. Iming-iming kesuksesan dan penghasilan besar yang bisa diperoleh di
wilayah kota hanya akan menjadi angan-angan kosong apabila mereka tidak
dibekali dengan keterampilan yang mumpuni. Maka dari itu, penduduk yang
hendak melakukan urbanisasi dengan segala macam latar belakang keterampilan
pedesaannya seharusnya mampu untuk menyiapkan diri sebelum berurbanisasi.
Tentu saja hal ini tidak terlepas dari tanggung jawab pemerintah dalam mendidik
masyarakat. Peran pemerintah amat diperlukan dalam mencerdaskan pola pikir
masyarakat pedesaan.
Kecenderungan untuk berurbanisasi tentu saja terkait dengan kebijakan
yang mementingkan industri dan mengabaikan pertanian, ditambah pula dengan
kecenderungan mementingkan kota atau sentralisasi. Hal ini akan semakin
mendesak dan merangsang kaum miskin di desa untuk pindah ke kota dengan
segala konsekuensi ekonomi dan sosial di kota-kota besar.12
Jalan keluar dari
kemelut ini, menurut Todaro dan Stilkind yakni:
...pembangunan yang lebih mementingkan fasilitas sosial di daerah
pedesaan, mengalokasikan lebih banyak dana untuk pembangunan
pertanian dan khususnya petani kecil, mengadakan pembukaan
lahan, dan mengembangkan industri kecil di desa.13
Ketidaksiapan masyarakat yang melakukan urbanisasi pada akhirnya
hanya akan menjadi permasalahan baru di daerah perkotan. Hal ini ditandai
dengan meningkatnya jumlah tunawisma maupun pekerja yang bersifat parasit
seperti pengemis, pelacur, pencuri, dan sebagainya. Kritik terhadap hal tersebut
diperkuat dengan catatan kaki keempat dalam puisi esai “Manusia Gerobak”
sebagaimana berikut ini:
Pada tahun 2009 diperkirakan Manusia Gerobak mencapai
1.000 orang. Mereka biasanya berada di kawasan Senen, Tanah
Abang, Kemayoran, dan sejumlah pemukiman padat di Jakarta.
Manusia Gerobak mengacu pada kemiskinan yang membawa
orang-orang di desa mencari nafkah di kota. Mereka membawa
keluarganya dalam suatu gerobak. Gerobak inilah yang menjadi
rumah sekaligus alat angkut dan mencari makan dengan memulung
sampah serta barang rongsokan sekaligus mengemis. Manusia
gerobak menjadi alternatif orang miskin mempertahankan hidup di
12
Hans-Dieter Evers dan Rudgiger Korff, Urbanisme di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan
Obor, 2002), h. 1. 13
Ibid., h. 2.
74
kota Jakarta. Dengan cara tersebut mereka memiliki risiko kecil
tapi memberikan nilai ekonomis yang lumayan dengan rata-rata
pendapatan per hari Rp 25—30 ribu dari hasil memulung.14
Ini menjadi kritik bagi pemerintah untuk mencerdaskan rakyat agar bisa
hidup mandiri dengan cara misalnya memberikan pengarahan dan fasilitas baik
materi maupun nonmateri untuk mengembangkan keterampilan mereka. Hal ini
karena modernisasi memang akan dan selalu tetap menjadi tantangan zaman.
Kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mendorong orang untuk
tetap tinggal di desa dengan perhatian lebih terhadap wilayah-wilayah tersebut.
Kebijakan yang masih menguntungkan daerah pusat akan semakin membuat
ketimpangan sosial dan permasalahan sosial yang sedikit banyaknya akan
berpengaruh pula pada wilayah perkotaan.
f. Ketidakseriusan Pemerintah dalam Memperhatikan Kesehatan
Masyarakat
Tekad pemerintah untuk menyejahterakan rakyat menjadi hal yang ironis
dengan banyaknya kasus ketidakpedulian pemerintah terutama di bidang
kesehatan. Kurangnya perhatian pemerintah di bidang kesehatan ini dapat dilihat
pada bait dalam puisi esai “Manusia Gerobak” berikut ini.
Dibawanya anaknya berobat
Ke Rumah sakit dan Puskesmas
Dengan selembar sepuluh ribu
Baik dokter maupun perawat
Tak menggubris wajahnya yang memelas
Menolak Atmo tanpa ragu15
Atmo harus menguatkan dirinya setelah menghadapi perlakuan pegawai
Puskesmas dan rumah sakit yang menolak memberikan pertolongan kepada
anaknya. Penolakan ini tak lain karena Atmo tak mampu membiayai pengobatan.
Nurani mereka sebagai pihak yang wajib menolong orang-orang seperti Atmo
selalu saja tertahan karena permasalahan uang. Meskipun pemerintah
menyediakan beragam jenis jaminan kesehatan, pada kenyataannya proses dalam
14
Taher, op. cit., h. 59. 15
Taher, op. cit., h. 68.
75
mengurus jaminan kesehatan itu pun tetap menyulitkan masyarakat yang kurang
mampu. Ketidakseriusan pemerintah pun ditegaskan kembali pada bait berikut ini.
Rezeki pas-pasan
Rela mereka sisihkan
Untuk disisipkan
Di tangan Atmo
Tapi tak cukup
Untuk menyewa ambulan16
Atmo yang memperoleh pertolongan seadanya dari masyarakat pinggiran
tetap harus menghadapi kenyataan bahwa pertolongan tersebut tidak mencukupi
untuk menyewa fasilitas kesehatan seperti ambulans. Hal ini menunjukkan bahwa
segala bentuk layanan kesehatan pun masih dikomersialkan oleh pemerintah.
2. Kritik terhadap Masyarakat
a. Kurangnya Kepedulian Masyarakat terhadap Kaum Tertindas
Kritik terhadap ketidakpedulian masyarakat beberapa dapat dilihat dalam
bait-bait berikut ini.
Dihelanya gerobak menyusur Jakarta
Orang sibuk sendiri-sendiri
Padatnya jalanan tiada terhingga
Tapi tak ada yang peduli
Mobil dan motor cuma melintas
Tak satu pun yang bertanya
Hidup di kota memanglah keras
Tapi bukankah mereka manusia?17
Larik-larik tersebut menggambarkan Atmo mau tidak mau harus berjalan
di tengah kota dengan gerobak yang ditariknya. Dia berusaha mencari
peruntungan untuk mengurus jenazah putrinya. Jenazah yang tergeletak di dalam
gerobak hanya menjadi pemandangan bagi orang-orang di sekitar Atmo.
Masyarakat kota tetap hilir mudik mengutamakan kepentingan pribadi. Kerasnya
kehidupan Jakarta menjadikan masyarakat semakin bersikap individualis dan
pandangan mereka terbatas hanya pada pemuasan kebutuhan diri sendiri.
16
Taher, op. cit., h. 71. 17
Taher, op. cit., h. 48.
76
b. Kritik terhadap Sikap Hedonis Masyarakat Perkotaan
Kritik berupa sindiran terhadap gaya hidup masyarakat perkotaan yang
semakin hedonis ditunjukkan pada bait berikut.
Orang-orang yang keluar dengan bahagia
Wajahnya kenyang tiada terkira
Dari rumah makan siap saji
Restoran bergambar daging di tengah roti
Bundar dan besar, nikmat tampaknya
Maka mereka semua ceria
Tak ada yang peduli pada Atmo sekeluarga
Yang perutnya nyaris tiada isinya18
Kecenderungan gaya hidup hedonis mencirikan kepentingan individu telah
menjadi segalanya dibanding dengan kepentingan kelompok. Kepentingan pribadi
dan kelompok ini pada dasarnya harus berjalan beriringan dan saling mendukung,
bukan malah mendiskreditkan. Gaya hidup mewah, bersaing hanya untuk gengsi
semata, serta pandangan yang terlampau bebas telah mengubah tingkah laku
masyarakat yang berdampak pada sikap yang tidak acuh pada sesama. Jelas
terlihat kesenjangan sosial yang sangat memprihatinkan dari larik-larik di atas.
Terjadinya kesenjangan tersebut memang menjadi hal umum di negara-negara
berkembang seperti Indonesia.
Di banyak negara berkembang, struktur sosial masing-masing lapisan
masyarakat berkembang ke arah yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan
semakin lebarnya jurang kaya-miskin. Fenomena ini disebut entwicklung der
unterentwicklung (perkembangan negatif). Proses perkembangan negatif ini dapat
terjadi meskipun pertumbuhan ekonominya positif.19
Fenomena tersebut memang ironis. Hal ini bisa dibuktikan dengan
pengakuan pemerintah Indonesia mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
meningkat sebagaimana yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat meskipun dalam kondisi krisis
18
Taher, op. cit., h. 65. 19
Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, (Jakarta: Cidesindo, 1999), h. 1.
77
ekonomi global.20
Namun pada kenyataannya, pertumbuhan ekonomi tersebut
tidak tercermin dari kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Bentuk kesenjangan lainnya juga dapat diamati lewat perubahan sosial
yang ditunjukkan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat kelas
menengah. Kecenderungan masyarakat kelas menengah yang biasanya hanya
mampu mengonsumsi produk ekonomis pada akhirnya dihadapkan dengan sikap
konsumtif mereka sendiri yang semakin tinggi. Ketidaksiapan mental masyarakat
wajar terjadi mengingat adanya perubahan sistem tata kota metropolitan di negara
berkembang seperti Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan dan juga pusat
ekonomi negara.
Tipografi kota Jakarta memang mencerminkan kesan kuat globalisasi. Hal
ini bisa dilihat dalam bentuk gedung-gedung tinggi apartemen dan kantor, hotel,
dan pusat perbelanjaan yang dilengkapi dengan gerai-gerai restoran cepat saji
kelas dunia, dengan gaya arsitektur postmodern terbaru. Sehingga mau tidak mau,
masyarakat perkotaan dengan berbagai latar belakang harus mengubah pula gaya
hidup mereka.21
c. Ketidakpedulian Masyarakat terhadap Lingkungan
Ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan semakin
mengkhawatirkan. Kondisi seperti ini bisa dikaitkan juga dengan ketidakpedulian
sosial. Apabila kelestarian lingkungan tidak menjadi perhatian bagi tiap individu,
jelas kepedulian sosial pun akan dikesampingkan. Kondisi masyarakat Indonesia
yang semakin apatis terhadap lingkungan maupun sosial ini salah satunya dapat
ditunjukkan dalam bait berikut ini.
Atmo kini menetap berempat
Di padat Manggarai, milik Ibu Sri
Di tepi Ciliwung berair coklat
Mandi mencuci di tepi kali22
20
Berdasarkan pidato kenegaraan di gedung MPR/DPR RI dalam rangka HUT ke-68
Proklamasi Indonesia pada tanggal 16 Agustus 2013 yang lalu, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat di kisaran 5—6
persen meskipun di tengah krisis ekonomi global. (sumber: Humas/DAR, www.setneg.go.id). 21
Evers, op. cit., h. 3. 22
Taher, op. cit., h. 58.
78
Sikap ketidakpedulian masyarakat kota terhadap lingkungan salah satunya
disebabkan adanya pendirian pemukiman di bantaran sungai. Hal ini dijelaskan
pada catatan kaki keempat dalam puisi esai “Manusia Gerobak”. Catatan kaki
tersebut menyebutkan bahwa banyaknya pemulung sampah yang yang menempati
rumah dengan kondisi semipermanen ataupun permanen di daerah pemukiman
padat.
Pada tahun 2009 diperkirakan Manusia Gerobak mencapai 1.000
orang. Mereka biasanya berada di kawasan Senen, Tanah Abang,
Kemayoran, dan sejumlah pemukiman padat di Jakarta...23
Pemukiman padat baik yang terdiri dari rumah permanen maupun
semipermanen banyak didirikan di bantaran sungai-sungai. Pendirian pemukiman
di daerah seperti itu berimbas pada rusaknya kelestarian sungai. Sungai bahkan
beralih fungsi menjadi bak sampah raksasa di kota besar seperti Jakarta.
d. Pandangan Stereotip Masyarakat terhadap Pemulung
Pandangan stereotip masyarakat terhadap pekerjaan memulung sampah
dan barang bekasmenunjukkan pula sikap individualis yang berdampak pada
ketidakpedulian sosial. Pandangan tersebut ditunjukkan dalam bait berikut ini.
Bagai pipit dia mengembara
Mematuki remah-remah orang kota
Meski yang dipungut sampah tersisa
Tetap saja dia ditatap penuh curiga24
Pandangan sinis seperti ini memang sering dilakukan oleh masyarakat.
Anggapan masyarakat terhadap pemulung pada umumnya adalah bentuk
kewaspadaan agar para pemulung tersebut tidak mengambil barang-barang yang
sebenarnya masih terpakai oleh mereka. Hal yang lebih ekstrem dipandang oleh
masyarakat pada umumnya adalah anggapan bahwa pekerjaan sebagai pemulung
sedikit banyaknya rentan pada aktivitas kriminal seperti pencurian.
23
Taher, op. cit., h. 59. 24
Taher, op. cit., h. 60.
79
3. Kritik terhadap Pengonversi Lahan Pertanian
a. Kritik atas Proyek Industrialisasi Yang Merugikan Masyarakat
Maraknya industrialisasi dan kegiatan pembangungan di bidang properti
kini tidak bisa dipungkiri lagi telah merambah ke wilayah pedesaan. Namun
demikian, kegiatan konversi lahan seperti ini jelas hanya mementingkan
keuntungan pihak yang terkait dengan menyampingkan kesejahteraan masyarakat
daerah. Pembangunan wilayah yang seyogianya untuk meningkatkan
kemakmuran masyarakat, misalnya di daerah pedesaan pada kenyataannya malah
menggerus kemakmuran itu sendiri. Hal tersebut dapat ditunjukkan kembali
seperti pada bait berikut ini.
Kini desa tak seperti dulu
Sawah luas hijau membentang
Alam yang tenteram sudah berlalu
Pabrik datang sawah menghilang
Sawah ladang kian menyempit
Kehidupan petani bertambah sulit
Perumahan dan pabrik industri
Mengusir petani setiap hari25
Seperti pada pembahasan sebelumnya, yakni kritik terhadap pemerintah,
bait tersebut pun ditunjukkan untuk mengkritik pola kerja pihak para pengonversi
lahan pertanian. Lahan-lahan pertanian yang diganti dengan proyek-proyek
pembangunan pabrik industri dan perumahan membuat para petani mau tidak mau
mencari sumber pendapatan lain. Para petani yang cenderung hanya berkompeten
dalam mengolah lahan pertanian pasti mengalami kesulitan untuk beralih profesi.
Jumlah pengangguran di pedesaan akan semakin meningkat apabila hal ini tetap
dibiarkan. Kebijakan pembangunan yang mengabaikan sektor pertanian
menimbulkan kemandekan atau terhambatnya pertumbuhan pendapatan di daerah
pedesaan. Gejala ini menyebabkan mereka berusaha menyelamatkan diri dengan
pindah ke kota, tetapi apa yang diidam-idamkan, yaitu keadaan hidup yang lebih
25
Taher, op. cit., h. 55.
80
baik, ternyata tidak dapat terwujud.26
Hal inilah yang menjadi realitas seperti yang
dihadirkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak”.
Beberapa kritik yang dapat ditemukan dalam puisi esai “Manusia
Gerobak” mengindikasikan bahwa rasa kepedulian sosial semakin tergerus.
Penelitian terhadap karya ini menunjukkan bahwa penulis lewat puisi esainya
banyak menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Beberapa kegagalan pemerintah
dalam menjalankan regulasi negara ini ditampilkan dengan beragam bentuk rasa
oleh penulis, misalnya sikap ketidakadilan, marginalisasi, ketidaktegasan dalam
pelayanan publik, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang malah merugikan
masyarakat.
Berkaitan dengan pengisahan “Manusia Gerobak”, dapat dilihat salah satu
fenomena sosial yang menjadi bentuk kegagalan pemerintah dalam menangani
urbanisasi. Fenomena ini jelas memiliki sebab yang mengarah pada kurangnya
usaha pemerintah dalam mencerdaskan rakyat. Hal ini berdampak pada semakin
tingginya tingkat kemiskinan baik di perkotaan maupun pedesaan.
Urbanisasi memang membawa dampak yang beragam. Masyarakat yang
melakukan urbanisasi dihadapkan pada situasi perkotaan yang sangat berbeda
dengan lingkungan asli mereka. Sebagian dari mereka yang beruntung memang
memiliki penghasilan yang lebih besar dibanding penghasilan mereka sebelumnya
di desa. Ini terkait dengan adanya kebijakan UMR ataupun UMP yang diberikan
oleh perusahaan-perusahaan dengan para pekerja yang sedikit banyaknya berasal
dari pedesaan atau pinggiran kota. Tenaga mereka sebagai buruh memang
diperlukan di kota-kota metropolitan seperti Jakarta. Akan tetapi, persaingan
dalam mencari pekerjaan pun jelas sangat besar. Sehingga bagi mereka yang tidak
beruntung atau yang kurang berusaha, tentu mau tidak mau memilih pekerjaan
yang tidak produktif atau malah bersifat parasit, seperti pedagang kaki lima,
tukang parkir, pengamen, pelacur, pengemis, dan lain-lain.
Untuk mengatasi urbanisasi yang pesat, pemerintah di negara sedang
berkembang, salah satunya Indonesia, pertama-tama harus mengubah atau
mengurangi kebijakan-kebijakan yang mendorong pertumbuhan penduduk di kota
26
Evers, op. cit., h. 6.
81
maupun ke kota. Kebijakan-kebijakan industrialisasi yang tidak
mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat tidak hanya gagal mendorong
masyarakat keluar dari keterbelakangan, tetapi bahkan menyebabkan makin
parahnya masalah pengangguran, kemiskinan, migrasi besar-besaran, dan
pertumbuhan penduduk kota yang tak terkendali.27
Selanjutnya, perlu dirumuskan kebijakan-kebijakan yang mendorong
terciptanya good governance dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan
kebenaran.28
Integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum harus
ditingkatkan melalui peningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana,
hukum, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Sebagai pemegang jalannya pemerintahan, pemerintah juga harus terus
berlandas pada undang-undang, terutama terkait dengan penggunaan lahan.
Keuntungan finansial yang diterima jangan hanya menjadi tujuan utama dalam
bekerjasama dengan para pengusaha maupun investor. Penyejahteraan kehidupan
masyarakat harus menjadi tujuan utama.
Fakta-fakta sosial yang ditampilkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak”
menuntut agar diakui dan dihormatinya hak-hak asasi manusia. Pemerintah dalam
hal ini hendaknya secara bijak dan transparan meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat tanpa kecenderungan sentimen tertentu. Ini semua bertujuan untuk
memulihkan kepercayaan masyarakat dalam hal kesamaan hak untuk memperoleh
kesempatan dalam meningkatkan taraf hidup.
Faktor utama yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah
ketidakpedulian sosial. Hal tersebut jelas merupakan salah satu masalah sosial
terbesar. Rakyat negara berkembang seperti di Indonesia memang semakin
sengsara dan dapat ditunjukkan dengan angka pengangguran yang semakin
menjulang.29
Oleh sebab itu, pemerintah harus mendorong adanya usaha
pemecahan masalah dan perubahan ke arah perbaikan. Namun demikian, dari
paparan tersebut tentu saja berhadapan dengan realitas yang bertolak belakang.
Pemerintah dan masyarakat cenderung belum memaksimalkan usaha pengentasan
27
Evers, op. cit., h. 32. 28
Nugroho, op. cit., h. 135. 29
Evers, op. cit., h. 3.
82
masalah sosial, sehingga permasalahan sosial seperti kemiskinan tetap menjamur
di kota-kota besar khususnya Jakarta.
Upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan masih perlu
ditingkatkan. Kebijakan-kebijakan dalam mengentaskan kemiskinan tersebut
merupakan komitmen semua bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
masyarakat. Dengan demikian, usaha menghapus kemiskinan dapat dikatakan
sebagai upaya mencapai keadilan sosial.
B. Implikasi Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia
Gerobak” terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di SMA
Dari berbagai macam judul puisi esai yang sudah ada, puisi esai “Manusia
Gerobak” karya Elza Peldi Taher bisa menjadi salah satu pilihan bahan ajar dalam
pembelajaran puisi. Fenomena manusia gerobak atau para tunawisma dengan
pekerjaannya sebagai pemulung—yang semakin banyak muncul akan melatih
siswa untuk mengembangkan pemikiran yang kritis. Fakta sosial tersebut tentu
banyak ditemui oleh siswa di sekitar mereka. Sehingga, tujuan pembelajaran yang
memusatkan pada pengalaman sehari-hari bisa lebih diterapkan.
Selain itu, lewat pesan yang terkandung dalam puisi esai “Manusia
Gerobak”, kesadaran siswa untuk memiliki kepedulian sosial akan semakin
meningkat. Peran guru sangat dibutuhkan untuk menyugesti dan menginspirasi
siswa lewat puisi esai Manusia Gerobak tersebut. Setelah proses pembelajaran
terhadap kesadaran atas kepedulian sosial, melalui puisi esai ini guru bisa melatih
siswa untuk memikirkan penyebab permasalahan sosial yang ada di sekitar
mereka maupun yang lebih luas, yakni mengenai permasalahan sosial di negeri
ini.
Setelah melakukan penelitian terhadap puisi esai “Manusia Gerobak”,
hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang sastra melalui pengalaman belajar. Tujuan pembelajaran pada kegiatan ini
adalah siswa mampu memahami pembelajaran sastra serta memberikan
pengalaman belajar kepada siswa dengan mengaitkannya dengan kehidupan
83
sehari-hari. Banyaknya fenomena di kota besar seperti para tunawisma, pemulung,
gaya hidup yang cenderung hedonis, ketimpangan antara si kaya dan si miskin,
serta kurangnya perhatian pemerintah dapat dengan mudah dilihat oleh mereka.
Pendekatan melalui pengalaman akan sangat membantu siswa untuk memahami
bahan ajar yang pada akhirnya tentu saja akan meningkatkan apresiasi mereka
terhadap karya sastra.
Penjabaran mengenai pentingnya mempelajari sastra dan bagaimana
strategi pengajarannya yang baik tentu saja perlu didorong oleh minat guru
sebagai pengajar terhadap sastra. Seorang guru yang mampu menyampaikan
pengajaran sastra dengan komunikatif, sugestif, dan inspiratif tentu akan membuat
siswa semakin mengapresiasi kehadiran sastra. Sehingga, siswa mampu
mengaitkan dan menerapkan pembelajaran bahasa yang baik ke dalam
pembelajaran sastra, begitu pula sebaliknya. Ini semua akan membuat siswa tidak
memandang sebelah mata pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia ataupun
beranggapan bahwa mempelajari bahasa dan sastra Indonesia sekadar untuk
mempersiapkan ujian semata.
Sesuai dengan implikasi yang diharapkan dari penelitian skripsi mengenai
kritik sosial “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher ini, hasil penelitian
relevan dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tingkat SMA kelas X semester 2 dalam
aspek berbicara dengan standar kompetensi mengungkapkan pendapat terhadap
puisi melalui diskusi dan kompetensi dasar menghubungkan isi puisi dengan
realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi. Maka dari itu, dapat
dirumuskan sebuah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia tingkat SMA kelas X semester II sebagaimana
terlampir.
84
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan terhadap puisi esai “Manusia Gerobak” karya
Elza Peldi Taher, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Penelitian terhadap unsur pembangun dalam puisi esai “Manusia Gerobak”
ini menggunakan sepuluh unsur pembangun puisi yang terdiri dari tema,
rasa, nada, amanat, diksi, imajeri, gaya bahasa, rima, ritme, dan pusat
pengisahan. Tema dalam puisi esai ini adalah gambaran tentang semakin
tingginya ketidakpedulian sosial. Rasa yang terkandung dalam puisi ini
yakni rasa tidak adil atau diskriminasi yang diakibatkan oleh tingginya
ketimpangan sosial. Puisi esai ini memiliki nada-nada kesedihan,
perjuangan, ketabahan, dan sindiran dalam menyikapi ketidakpedulian.
Amanat atau pesan yang ditunjukkan yakni rasa ketidakpedulian yang
semakin mengkhawatirkan seolah menjadi ciri bahwa bangsa kita tengah
mengalami krisis sosial. Diksi dalam puisi ini didominasi oleh pemilihan
kata yang berhubungan dengan kemiskinan, kesengsaraan, ketabahan, serta
keagamaan. Imajeri yang menjadi daya bayang dari puisi esai ini adalah
imajeri pandang, imajeri dengar, dan imajeri sentuh. Gaya bahasa yang
digunakan dalam puisi ini yakni repetisi, paralelisme, perumpamaan,
metafora, dan personifikasi. Rima dan ritme dalam puisi esai ini beragam,
keterkaitan rima dan ritme ini diantarnya menghasilkan totalitas suara
yang rendah, tinggi, cepat, lambat, pendek, dan panjang yang berhubungan
dengan rasa, nada, serta tema dalam puisi ini. Pusat pengisahan yang
digunakan dalam puisi ini adalah pengisah di luar cerita yang serba tahu.
2. Kritik sosial merupakan salah satu bentuk komunikasi yang mempunyai
peran penting dalam mengontrol kondisi sosial. Kritik sosial diwujudkan
dengan mengamati, membandingkan, dan menilai kondisi-kondisi sosial
yang terjadi. Kritik sosial yang diperoleh yakni kritik yang ditujukan untuk
pemerintah, masyarakat, dan para pihak pengonversi lahan pertanian. Dari
85
ketiga sasaran kritik sosial tersebut, pemerintah dipandang sebagai pihak
yang paling bertanggung jawab atas terciptanya kehidupan masyarakat
yang penuh dengan permasalahan sosial. Kritik terhadap pemerintah antara
lain yakni sikap diskriminatif, kurangnya ketegasan, kecenderungan
berprasangka negatif, kebijakan yang merugikan masyarakat, kurangnya
keseriusan dalam mencerdaskan rakyat dalam menghadapi perubahan
sosial, dan kurangnya keseriusan untuk menyejahterakan rakyat.
Sedangkan kritik terhadap masyarakat yakni semakin tingginya rasa
ketidakpedulian sosial, kecenderungan masyarakat kota yang semakin
memilih gaya hidup mewah dan mementingkan diri sendiri,
ketidakpedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan, dan
pandangan stereotip masyarakat umum terhadap kaum miskin. Selain
kritik yang ditujukan terhadap dua golongan tersebut, sasaran kritik yang
ketiga yakni ditujukan kepada pihak pengonversi lahan pertanian. Pihak ini
memanfaatkan industrialisasi dan pembangunan di bidang properti untuk
mementingkan keuntungan mereka dengan mengenyampingkan
kesejahteraan masyarakat pedesaan. Penelitian ini menunjukkan cerminan
atau gambaran terhadap kehidupan sosial baik pemerintahan, kehidupan
bermasyarakat, maupun pola kerja pihak berkepentingan finansial—yang
terjadi di Indonesia—yang secara keseluruhan belum mengoptimalkan
peran untuk saling berkoordinasi dalam mewujudkan kesejahteraan
bangsa.
3. Penelitian mengenai kritik sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” ini
dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SMA kelas X
semester 2. Standar Kompetensi yang sesuai yakni aspek berbicara dengan
mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi. Kompetensi
Dasar yang sesuai yakni menghubungkan isi puisi dengan realitas alam,
sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi. Kegiatan menganalisis
puisi esai ini di samping menambah pengetahuan terhadap puisi esai, juga
melatih kepekaan siswa terhadap realitas yang terjadi di sekitarnya.
86
Dengan pengalaman sehari-hari, kesadaran terhadap pentingnya
pembelajaran sastra akan semakin diminati oleh siswa.
B. Saran
1. Khazanah sastra di Indonesia semakin bergeliat dan memunculkan pribadi-
pribadi kreatif yang sesungguhnya.
2. Kehadiran puisi esai semoga bisa mendorong sarana-sarana baru dalam
memperjuangkan nasib orang-orang terpinggirkan yang selama ini menjadi
realitas di negeri ini.
3. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia semakin diminati oleh siswa
karena memiliki banyak manfaat untuk menumbuhkan sikap kemanusian,
menambah wawasan sosial dan budaya, serta mengasah kepekaan mereka
terhadap realitas yang terjadi sehingga sikap kritis siswa dapat semakin
berkembang.
87
DAFTAR PUSTAKA
Adinegoro, Djamaludin. Tata Kritik. Jakarta: Nusantara. 1958.
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Sinar Baru. 1987.
Ali, Denny Januar. Atas Nama Cinta. Jakarta: Renebook. 2012.
Bardo, John W. Urban Sociology. USA: Peacock Publisher. 1982.
D., Mahfud M. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangungan. Yogyakarta: UII
Press. Cet. 2, 1999.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama. 2003.
Evers, Hans-Dieter dan Korff, Rudgiger. Urbanisme di Asia Tenggara. Jakarta:
Yayasan Obor. 2002.
Ferarra, Cosmo F. Introducing Literary. New York: Glencoe/ McGraw-Hill
Educational Division. 1991.
Humas/ DAR. http://www.setneg.go.id. “Presiden Sampaikan Pidato Kenegaraan
di Depan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI”. 16 Agustus 2013.
Diunduh pada 20 November 2013 pukul 11:12.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Cet.
29, 2011.
Noor, Acep Zamzam (ed). Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia.
Depok: PT Jurnal Sajak. 2013.
Nugoroho, Iwan dan Dahuri, Rokhmin. Pembangunan Wilayah. Jakarta: LP3ES.
2012.
88
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. Cet. 5, 2005.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Cet. 3, 2007.
Rosidi, Ajip. Puisi Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya. Cet. 5, 2010.
Semi, Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. 1988.
Setiadi, Elly M. dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. 2008.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grassindo. 2008.
Soekanto, Suryono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali. 1988.
Soetomo. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. 1995.
Strahm, Rudolf H. Kemiskinan Dunia Ketiga. Jakarta: Cidesindo. 1999.
Syafi’ie, Inu Kencana. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bandung: PT
Refika Aditama. Cet. 2, 2006.
Taher, Elza Peldi. Manusia Gerobak. Depok: PT Jurnal Sajak. 2013.
Tim Penerjemah: Jean Jacques Rousseau, Kontrak Sosial. Jakarta: Dian Rakyat,
Forum Jakarta—Paris & Universitas Padjadjaran. 2010.
Tim Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. 6,
2008.
Widjojoko dan Hidayat, Endang. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:
UPI Press. 2006.
Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: PT Buku Kita.
Cet. 2, 2008.
www.digilib.fkip.uns.ac.id
89
Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab—Indonesia. Jakarta: PT Hidakarya Agung.
1989.
Zaidan, Abd. dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 2007.
(Lampiran 1)
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
SEKOLAH : SMA.....................
MATA PELAJARAN : Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS : X
SEMESTER : 2
A. STANDAR KOMPETENSI:
Berbicara : 14. Mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi
B. KOMPETENSI DASAR:
14.2 Menghubungkan isi puisi dengan realitas alam, sosial budaya, dan
masyarakat melalui diskusi
C. MATERI PEMBELAJARAN:
Puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher (hubungan isi puisi
dengan kondisi masyarakat)
D. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI:
No Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya Dan
Karakter Bangsa
Kewirausahaan/
Ekonomi Kreatif
1 Mengidentifikasi unsur-unsur yang
membangun puisi esai “Manusia Gerobak”
karya Elza Peldi Taher.
Bersahabat/
komunikatif
Kreatif
Kepemimpinan
Keorisinilan
2 Mendiskusikan kritik sosial yang
terkandung dalam puisi esai “Manusia
Gerobak” karya Elza Peldi Taher.
3 Mengaitkan unsur-unsur pembangun puisi
esai “Manusia Gerobak” dengan kritik
sosial yang terkandung dalam puisi esai
tersebut.
E. TUJUAN PEMBELAJARAN:
Siswa-siswi dapat:
Mengidentifikasi unsur-unsur yang membangun puisi esai “Manusia
Gerobak” karya Elza Peldi Taher.
Mendiskusikan kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia
Gerobak” karya Elza Peldi Taher
Mengaitkan unsur-unsur pembangun puisi esai “Manusia Gerobak”
dengan kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai tersebut.
F. METODE PEMBELAJARAN:
Ceramah
Diskusi
Unjuk Kerja
Tanya Jawab
Penugasan
G. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN:
No. Kegiatan Belajar Nilai Budaya Dan
Karakter Bangsa
1. Kegiatan Awal :
Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran hari ini.
Bersahabat/
komunikatif
2. Kegiatan Inti :
Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi :
Membaca puisi esai
Mengidentifikasi unsur pembangun puisi esai
“Manusia Gerobak” yang telah dibaca
Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi,
Mendiskusikan isi puisi esai yang berhubungan
dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat.
Di antaranya kritik sosial yang terkandung dalam puisi
esai “Manusia Gerobak” dengan kehidupan sehari-hari
Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa-siswi:
Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui
Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.
Tanggung jawab
3. Kegiatan Akhir :
Refleksi
Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini.
Penugasan
Bersahabat/
komunikatif
H. ALOKASI WAKTU:
4 x 45 menit
I. SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN:
Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kamus Istilah Sastra
J. EVALUASI DAN PENILAIAN :
Jenis Tagihan:
tugas individu
ulangan
Bentuk Instrumen:
uraian
Tangerang Selatan,
Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran
…………………………… ………………………………
NIP. NIP.
(Lampiran 2)
MANUSIA GEROBAK Karya Elza Peldi Taher
1
Kalbu Atmo luluh lantak
Mulut membisu tidak bicara
Awan di langit berarak-arak
Langit biru alangkah indahnya
Pohon-pohon segar menghijau
Bunga mekar kuning dan jingga
Kalbu Atmo sangatlah kacau
Pedih jiwa tiada terhingga
Atmo terus ayunkan langkah
Susuri Jakarta yang ramai
Hatinya remuk kalbunya gundah
Tiada tentram tiada damai
Sarung kumal membungkus jenazah
Tubuh mungil diam dan pasrah
Ditutup rapi, diselempangkan menyilang
Di depan dadanya yang datar kerontang
Lengan satunya mengapit jemari mungil
Anak lelakinya yang berbaju lusuh
Tertatih mengejar dengan langkah kecil
Mengiringi bapaknya tanpa mengaduh
2
Baru sesaat lalu, Mawar, si putri bungsu
Terbaring bisu untuk selamanya
Jantung Atmo terkapar, termangu
Tersedu-sedu tanpa suara
Tubuh kecil Mawar ditutupnya diam-diam
Terselimut hangat kain rombengan
Kakak laki-laki belum terlalu mengerti
Adiknya, Mawar, terbaring mati
Jenazah mungil dimasukkan gerobak
Hendak dikubur di mana anak tersayang
Bukankah kuburan telah penuh sesak
Yang sisa hanya buat yang beruang
Dihelanya gerobak menyusur Jakarta
Orang sibuk sendiri-sendiri
Padatnya jalanan tiada terhingga
Tapi tak ada yang peduli
Mobil dan motor cuma melintas
Tak satu pun yang bertanya
Hidup di kota memanglah keras
Tapi bukankah mereka manusia?
Matahari mulai meninggi
Atmo terkenang kampungnya yang rindang
Tapi sakunya kosong dan sepi
Jenazah tak bisa dibawa pulang
Untuk hidup di sini susah
Untuk mati pun ternyata tak mudah
Mesti ada tempat di kampungnya yang indah
Untuk membaringkan satu jenazah
Kampung halaman Atmo yang tentram
Jauh dari hiruk-pikuk Jakarta
Di sana bisa dibuat makam
Berhiaskan pohon kemboja
Di depan stasiun Atmo berhenti
Hatinya resah kepalanya pepat
Tak sepeser pun uang di kantong
Ia mesti waspada, mesti berhati-hati
Menunggu kereta ekonomi, kereta rakyat
Untuk duduk merdeka di atap gerbong1
Ia ingin naik kereta diam-diam
Menuju ke pinggiran kota Citayam
Tanpa karcis tak usah bayar
Kepergok kondektur bisa digampar
3
Atmo meraih jasad putrinya
Diselimuti sarung kumal, lalu pelan dibopongnya
1KRL Jabodetabek adalah jalur kereta listrik yang dioperasikan oleh PJKA sejak 1976,
melayani rute komuter di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Serpong. KRL
yang melayani jalur ini terdiri dari dua kelas, yaitu kelas ekonomi dan kelas ekspres yang
menggunakan pendingin udara. Kereta kelas ekonomi selalu padat setiap pagi hari dan sore hari.
Bahkan sampai di atap gerbong. Banyak penumpang kelas ekonomi tak memiliki karcis.
Diraihnya lengan mungil anak lelakinya
Agar selalu ada di sampingnya
Gerobak yang setia menemaninya
Ditinggalkan begitu saja
Tak ada harta tak ada apa-apa
Barang yang berguna di dalamnya
Pegawai stasiun mencegatnya
Ada syakwasangka di matanya
Tubuh kecil kaku ditengoknya
Orang mati dibawa ke mana-mana
Terpejam diam tak bergerak
Tak bernafas tak bersuara
Si pegawai curiga, membentak
Orang mati dibawa ke mana-mana
Atmo menjawab sembari bingung
Hendak memakamkan anaknya di kampung
Dia tahu betapa sulitnya di kota Jakarta
Untuk menguburkan jasad manusia2
Apalagi tanpa KTP tanpa harta
Tempat tinggal pun tiada menentu
Menggelandang tak punya apa-apa
Sudah untung tak makan batu
2Jakarta mengalami krisis lahan pemakaman. Dari 589,65 hektar luas pemakaman, lahan
yang siap pakai untuk pemakaman baru di seluruh wilayah Jakarta hanya 31,8 hektar. Di atas
kertas, lahan itu diperkirakan cukup hingga 2013. Biaya pemakaman jenazah baru sebenarnya
sangat murah dan sudah diatur secara jelas oleh Pemerintah Jakarta. Dalam Peraturan Daerah
Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pemakaman, pemerintah menetapkan retribusi pelayanan
pemakaman yang besarnya sesuai Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006. Biaya pemakaian
tempat pemakaman bervariasi dari nol sampai paling mahal seratus ribu rupiah untuk jangka waktu
tiga tahun. Tetapi kenyataannya, biaya taka resmi pemakaman bisa mencapai Rp2,5 juta.
Pada tahun 2000, Dinas Pemakaman memproyeksikan penduduk Jakarta berjumlah
8.385.639 jiwa, rata-rata pelayanan jenazah 100 jiwa per hari atau 36.500 jiwa per tahun. Artinya,
tingkat kematian penduduk pada tahun itu adalah 0,44 persen. Lima tahun kemudian, jumlah
penduduk meningkat menjadi 8.699.600 jiwa dengan rata-rata pelayanan 110 jenazah per hari atau
40.150 jiwa per tahun. Tingkat kematian juga naik menjadi 0,46 persen. Angka ini kembali naik
menjadi 0,50 persen pada tahun 2007. Proyeksi penduduk Jakarta saat itu berjumlah 8.814.000
jiwa dengan rata-rata pelayanan 120 jenazah per hari atau 43.800 per tahun.
Dari ketiga data tersebut, Dinas Pemakaman menarik kesimpulan, persentase tingkat
pelayanan kematian di Jakarta mencapai 0,46 persen per tahun.
Jika diasumsikan tiap tahun tingkat kematian mencapai 40 ribu jiwa dan orang harus
mengeluarkan biaya pemakaman sekitar dua juta per satu jenazah, jumlah uang yang beredar
mencapai 80 miliar per tahun. Uang ini berasal dari akumulasi retribusi sewa lahan, biaya
ambulans, penyewaan tenda, pembuatan batu nisan, pengadaan rumput, pemeliharaan makam dan
upah para penggali.
Atmo tahu mahalnya biaya pemakaman
Biaya ini dan itu tidak sedikit
Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan
Di Jakarta orang melarat jangan sakit
Apalagi kalau sampai mati
Hidup susah tak henti-henti
Semasa hidup begitu pahit
Kembali kepada-Nya pun masih dipersulit
Jakarta hanya untuk orang berpunya
Tak ada belas kasihan
Pegawai stasiun tak percaya
Ia ditangkap jadi tawanan
Atmo digelandang ke pos polisi
Dia ditanya itu dan ini
Jenazah anaknya harus diotopsi
Penyebab matinya mesti diselidiki
4
Atmo tercenung di pintu kamar jenazah
Rumah duka bagi orang yang kehilangan
Hatinya gundah hatinya resah
Tak cukupkah ini kemalangan
Niat Atmo hanya sederhana
Ingin menguburkan anak tercinta
Di tanah gembur kampung sana
Ternyata sulit tiada terkira
Ingin hatinya menangis
Tapi air mata terkuras habis
Tak ada satu pun yang peduli
Hanya anak lelakinya yang menemani
Terkenang ia masa lalunya
Ketika masih bersama sang istri
Keinginan Atmo sangat sederhana
Tak harus bergelimang materi
Cita-citanya hidup di desa
Bersama sang istri yang tercinta
Rukun, damai, bersahaja
Dengan sang anak belahan jiwa
Anaknya dua lengkaplah sudah
Satu lelaki satu perempuan
Kasih sayangnya selalu tercurah
Setiap pagi, siang, dan malam
Semuanya ia nikmati
Dua buah hati dan cinta istri
Anak-anaknya bermain riang
Meski segalanya serbalah kurang
Tak tamat sekolah dasar
Atmo hanyalah buruh tani
Sawah yang digarap tidaklah besar
Tetapi selalu ia tekuni
Hidup bergantung pemilik sawah
Bekerja keras setengah mati
Meski tekun mengolah tanah
Hasilnya sedikit tiada berarti
Sang istri mengurusi dua anaknya
Berumah sempit bukan miliknya
Dapur dan tempat tidur menyatu
Atmo harus mencukupi keluarga
Mencari nafkah ala kadarnya
Untuk beras, tempe, dan tahu
5
Kini desa tak seperti dulu
Sawah luas hijau membentang
Alam yang tentram sudah berlalu
Pabrik datang sawah menghilang
Sawah ladang kian menyempit
Kehidupan petani bertambah sulit
Perumahan dan pabrik industri
Mengusir petani setiap hari3
Petani sawah kian terjepit
Lebih baik menjual sawah
Lalu pergi untuk berdagang
Buat Atmo semuanya rumit
Tanpa sawah hidupnya susah
3Menurut Kementerian Pertanian, tingkat konversi lahan menjadi peruntukkan lain sudah
mengkhawatirkan. Rata-rata konversi setiap tahun mencapai 140 ribu hektare untuk berbagai
kepentingan seperti perumahan, industri, dan lainnya.
Mau berdagang tak punya uang
Atmo hanya bisa mencangkul
Menggarap sawah menanam padi
Tanpa tanah hidupnya terpukul
Penghidupannya tak ada lagi
Buruh tani kian bertambah
Persaingan kian tajam
Pemilik tanah semakin pongah
Jalannya nasib semakin kejam
Atmo terdesak Atmo terjepit
Kebutuhan hidup kian meningkat
Anak menangis makan pun sulit
Perut yang kosong makin melekat
Anak mungil, lincah, dan lucu
Diremas lapar setiap hari
Tak ada nasi, tempe, dan tahu
Wajahnya kering sepucat jerami
Lalu kota mulai menggoda
Kata orang di sanalah surga
Semua barang di sana tersedia
Uang datang dengan mudahnya
Di Jakarta, kata orang
Mencari uang lebih gampang
Karena di sana semua uang berdiam
Bertumpuk-tumpuk siang dan malam
Tekad Atmo seteguh karang
Ke Jakarta hendak menjelang
Ia tinggalkan desa yang tenteram
Hijrah ke kota dan ketidakpastian
Membawa uang tak seberapa
Istri dan dua anak dibawa
Tekad membatu jiwa membara
Berharap lebih nanti di kota
6
Satu yang pasti di kota harus ada papan
Sandang tak jadi persoalan
Setelah itu barulah pangan
Atmo tak punya kerabat
Untuk menumpang barang sejenak
Kamar sepetak untuk berempat
Bersewa murah di tempat sesak
Atmo kini menetap berempat
Di padat Manggarai, milik Ibu Sri
Di tepi Ciliwung berair coklat
Mandi mencuci di tepi kali
Atmo tak punya pilihan
Dia butuh papan untuk berlindung
Ikhtiar siang istirahat malam
Mati-matian mencari untung
Mencari kerja ternyata susah
Buruh bangunan dia tak bisa
Tanpa ilmu tanpa ijazah
Kerja kantoran, siapa mau terima?
Atmo kumpulkan barang rongsokan
Botol dan gelas air mineral
Kata orang, di kota apa saja bisa jadi uang
Barang bekas bisa dijual
Dia berjalan dari rumah ke rumah
Dikoreknya kotak dan tong sampah
Barang-barang yang dibuang orang
Siapa tahu bisa dijadikan uang
Jalanan demi jalanan
Rumah demi rumah
Sampah demi sampah
Memulung dengan tabah
Sisa nasib dan remah-remah
Sampah kotoran kota Jakarta
Diangkut keranjang di punggungnya
Benarkah hanya sampah belaka
Persembahan orang kaya bagi yang papa?
Sampah sedikit sampah yang banyak
Dijualnya segera ke lapak
Orang yang kaya menghitung untung
Sampahnya jatah si pemulung4
Kadang ia didera kenangan lama
Mengolah tanah mencangkul sawah
Meski bukan sawah sendiri
Kini sawahnya seluas kota
Dengan gancok mencangkul sampah
Panennya plastik, bukannya padi
Dikenangnya burung-burung pipit
Yang mematuki remah-remah padi
Sawah luas terasa sempit
Di tengah kecurigaan para petani
Bagai pipit dia mengembara
Mematuki remah-remah orang kata
Meski yang dipungut sampah tersisa
Tetap saja dia ditatap penuh curiga
7
Sang istri mulai gelisah, nyalinya kuncup
Uang yang dibawa suami tak pernah cukup
Tapi ia tak bisa apa-apa, tak bisa bergerak
Ingin membantu suami terlantarlah anak
Sang istri mulai berkeluh kesah
Sudah datang tagihan kontrakan
Meski di kota berserakan sampah
Sampah tidak bisa jadi simpanan
Hasil sehari hanya cukup untuk makan
Itu pun bukannya makanan idaman
Tagihan datang setiap hari
Sangat mengusik ketenteraman hati
Tak tahan didesak tagihan uang
Atmo memilih menggelandang
4Pada tahun 2009 diperkirakan Manusia Gerobak mencapai 1.000 orang. Mereka
biasanya berada di kawasan Senen, Tanah Abang, Kemayoran, dan sejumlah pemukiman padat di
Jakarta. Manusia Gerobak mengacu pada kemiskinan yang membawa orang-orang di desa mencari
nafkah di kota. Mereka membawa keluarganya dalam suatu gerobak. Gerobak inilah yang menjadi
rumah sekaligus alat angkut dan mencari makan dengan memulung sampah serta barang
rongsokan sekaligus mengemis. Manusia gerobak menjadi alternatif orang miskin
mempertahankan hidup di kota Jakarta. Dengan cara tersebut mereka memiliki risiko kecil tapi
memberikan nilai ekonomis yang lumayan dengan rata-rata pendapatan per hari Rp 25—30 ribu
dari hasil memulung.
Istri dan dua anaknya dibawa kerja
Dengan gerobak mengembarai Jakarta
Kini gerobaknya menjadi rumah
Tetangganya berubah-ubah
Jangan tanya alamat tepat
Setiap hari berpindah tempat
Saat kantuk menggayut datang
Gerobak menjadi tempat tidur
Beratap langit luas dan lapang
Atmo bisa lelap mendengkur
Mandi kalau ada air
Makan kalau dapat uang
Dengan gerobak hidup mengalir
Pada langit tiada berhutang
Kala terik menyengat
Pohonan kota tempat berteduh
Kala malam kedinginan
Kepada siapa mesti mengaduh?
Setiap hari Atmo menghela gerobak
Jalan beriring anak-beranak
Sambil memulung, memilih sampah
Plastik dan kardus bertumpuk megah
Gerobaknya adalah istana
Tempat bermukim sampah semesta
Di puncak tumpukan barang-barang sisa
Kedua anaknya duduk bertahta
Berkuasa penuh dan digjaya
Lambang kemiskinan umat manusia
8
Atmo di depan menghela gerobak
Istri di belakang sambil mengawasi
Beriringan di tengah deru kendaraan
Pagi
Siang
Malam
Saat tiba malam Atmo mencari tempat
Kadang di pinggir jalan Pondok Indah
Gerobak di parkir di trotoar terdekat
Menjadi bagian dari perumahan mewah
Dua anaknya bermain di dalam gerobak
Atmo duduk istirahat di sebelahnya
Kadang mereka turun dan berteriak
Bercengkrama memanggil ibunya
Lalu mereka berempat bersama-sama
Menikmati nasi bungkus berlauk sekadarnya
Tak ada kerat daging atau ayam
Untuk mengusir lapar semalaman
Hari sudah jauh petang
Kendaraan masih berderet panjang
Orang-orang yang bergegas pulang
Suara klakson berteriak lantang
Di pinggir jalan Atmo duduk memandang
Kendaraan melintas pulang pergi
Mobil mulus warna-warni
Di dalamnya orang berbaju rapi
Tak satu pun dari mereka yang peduli
Atmo, anak-anak, dan istri
Termangu-mangu sendiri
Gerobak dan Atmo sekeluarga
Bagaikan etalase belaka
Sekedar pajangan di pinggir jalan
Sesekali ditoleh lalu dilupakan
Atmo sekeluarga dan gerobaknya
Sang raja yang bertahta di sampah kota
Sama sekali tak dipedulikan rakyatnya
Yang bermobil mewah, makmur, dan bahagia
Sang raja pucat, lapar, dan termangu
Di samping gerobaknya dia membisu
Ia berharap rakyatnya membuang sisa-sisa
Dari kehidupan mereka barang yang lebih berharga
Orang-orang yang baru keluar dengan bahagia
Wajahnya kenyang tiada terkira
Dari rumah makan siap saji
Restoran bergambar daging di tengah roti
Bundar dan besar, nikmat tampaknya
Maka mereka semua ceria
Tak ada yang peduli pada Atmo sekeluarga
Yang perutnya nyaris tiada isinya
Manusia gerobak
Anak-beranak
Nasib berderak
Membuat koyak
9
Atmo pasrah jalani hidupnya
Tapi tidak bagi istrinya
Sang istri mulai lelah mendampingi
Kehidupan manusia gerobak yang tak pasti
Di tengah terik diterpa hujan
Disergap dingin angin malam
Hari ini makan
Hari ini cari makan lagi
Besok mungkin makan
Besok harus mencari lagi
Kalau tidak dapat apa-apa?
Lantas harus makan apa?
Kedua anaknya sungguh kasihan
Tumbuh serba kekurangan
Tidak ada masa depan
Sang istri bergelut bimbang
Akhirnya ia pun bilang
Ingin berpisah
Mencari kehidupan lain
Ia telah lelah
Jalani kehidupan rutin
Berjalan seharian
Ia sudah tak tahan
Tapi Atmo masih bertahan
Dengan istri enggan dipisahkan
Atmo masih tetap berkeras
Dengan sang istri tak mau lepas
Sampai tibalah suatu malam
Kala Atmo dan dua anaknya terlelap
Sang istri pergi diam-diam
Lantas menghilang bagaikan sulap
Pagi hari Atmo mencari-cari
Hilang lenyap jejak sang istri
Anaknya menangis meraung-raung
Membuat Atmo semakin bingung
Di mana sang istri harus dicari
Di tengah belantara kota Jakarta
Bagaimana luka sang anak bisa diobati
Dia sendiri tiada berdaya
10
Atmo pasrah
Hatinya miris
Atmo menelan serapah
Hatinya menangis
Percuma menyesali diri
Dua buah cintanya lebih utama
Istri yang hilang bagaimana dicari
Dua anaknya mau makan apa?
Bertiga mereka memendam duka
Sirnanya kasih ibu memang terasa
Hilang sudah sang payudara
Tempat menyusu putri bungsunya
Susu ibu tiada gantinya
Apalagi di tengah sampah kota
Putri bungsu mulai merana
Susu sisa pun akhirnya terbiasa
Dalam gelimang kotor kehidupan
Diare menyerbu sang putri bungsu
Mati-matian Atmo mencari bantuan
Tak kunjung ada yang datang membantu
Dibawanya anaknya berobat
Ke Rumah sakit dan Puskesmas
Dengan selembar sepuluh ribu
Baik dokter maupun perawat
Tak menggubris wajahnya yang memelas
Menolak Atmo tanpa ragu
Mereka seolah bersepakat dan kuat
Melihat anaknya terbaring sekarat
Akhirnya dengan lesu ia berangkat
Di atas gerobak anaknya coba dirawat
Putri bungsunya tercinta
Semakin lemah tak berdaya
Di tengah-tengah gemerlap kota
Akhirnya dia meregang nyawa
Putrinya membeku tak lagi bergerak
Matanya terkatup rapat-rapat
Atmo ingin sekuatnya berteriak
Namun seucap pun ia tak dapat
Atmo memeluk putrinya erat-erat
Agaknya telah datang sang malaikat
Mengambil anaknya tersayang
Dari atas gerobaknya yang malang
“Inna lilah wa inna ilaihi rojiun”
Atmo terpekur dalam-dalam
“Inna lillah wa inna ilaihi rojiun”
Atmo tersedu diam-diam
Dikenangnya senyum putrinya
Rengekannya
Tangisnya
Tawanya
Raut wajahnya
“Inna lilah wa inna ilaihi rojiun”
Segenap hatinya tiba-tiba jadi malam
“Inna lilah wa inna ilaihi rojiun”
Hati Atmo seolah karam
11
Di depan kamar jenazah
Atmo menerima kembali jasad putrinya
Seolah seribu gundah
Dia raih dengan kedua tangannya
Dipeluknya jasad itu
Dengan hati tersedu-sedu
Hari sudah petang
Malam segera menjelang
Atmo tertatih menyeret langkah
Sambil terhuyung menggendong jenazah
Cerita tentang Atmo pun tersebar
Di kalangan pedagang asongan
Tukang parkir
Penjual buah
Pengamen
Anak jalanan:
Ada manusia gerobak
Membawa jasad anaknya
Keliling kota
Mereka ikut iba
Meski mereka semua
Miskin dan papa
Tiada berlimpah harta
Rezeki pas-pasan
Rela mereka sisihkan
Untuk disisipkan
Di tangan Atmo
Tapi tak cukup
Untuk menyewa ambulan
Sopir bajaj mau mengantar
Ke mana pun Atmo mau
Baik lama maupun sebentar
Kan diantar ke tempat tuju
Petang datang
Malam menjelang
Tak mungkin lagi
Atmo berjalan jauh
Mengubur putrinya
Di kampung halamannya
Nun jauh di sana
Jasad anaknya mesti dikubur segera
Dalam bajaj Atmo memeluk jasad putrinya
Sambil menggandeng lengan anak lakinya
Ia kembali ke rumah yang pernah dikontraknya
Kepada Ibu Sri, Atmo bercerita
Membawa jasad putrinya ke mana-mana
Ibu Sri tak tahan mengurai air mata
Cerita segera tersebar ke tetangga
Sesama orang miskin dan papa
Terguncang hati mereka
Mendengar kisah orang tua
Membawa jasad putrinya ke mana-mana
Tapi mereka peduli
Mereka bersatu hati
Bukankah mengurus jenazah
Menjadi kewajiban orang Islam?5
Jenazah putri Atmo pun lantas dimandikan
Dikafankan
Dishalatkan
Diurus dimakamkan
Bunga-bunga disiapkan
Semerbak
Semarak
Jenazah pun diarak
Beramai-ramai
Orang-orang miskin
Orang-orang susah
Sama-sama miskin
Sama-sama susah
Mengiringi Atmo
Ke pekuburan
12
Hari hampir malam
Jenazah dikebumikan
Di liang makam
Dikumandangkan adzan
Adzan bergema
Di kuburan
Indah syahdu
Adzan yang mengiring manusia dilahirkan
Adzan berselimut kain kafan
Adzan memanggil ingatan
Akhir manusia di kuburan
Terdengar iqomah
Seruan agar manusia pasrah
Berbaris mendirikan shalat
5Kewajiban muslim dalam mengurus jenazah adalah fardhu kifayah.
Dengan tulus dan
Hati tulus doa pekat
Menghadap ilahi
Bersembahyang
Menyerahkan diri
Mendengar adzan dan iqomah
Mata Atmo berair membasah
Mayat kecil berkain kafan ditutup papan
Tanah-tanah berhamburan
Membentuk sebuah gundukan
Bermahkota nisan:
“Mawar binti Atmo”
Bertaburkan bunga
Mewangi di dada
Seiring gelapnya hari
Satu per satu pengiring pergi
Atmo masih terpaku sendiri
Menyusun doa dalam hati
Penuh harap tak henti-henti
Semoga arwah sang putri
Diasuh oleh bidadari
Dalam sunyi
Adzan Magrib menghampiri
Bunga-bunga bermekaran di hati
Atmo tafakur
Atmo bersyukur
Saat di kalbunya
Ia merasa
Bunga surgawi
Pelan-pelan mekar
Buat sang putri
Di alam sana
Merona
Beribu warna.
(Lampiran 3)
Wawancara penulis dengan Elza Peldi Taher.
Hari, tanggal : Selasa, 31 Desember 2013
Waktu : 17.00 s.d 18.30 WIB
Tempat : Kantor Futsal Camp, Ciputat
Wawancara dimulai dengan memperkenalkan diri penulis kepada narasumber.
Penulis : Saya sudah membaca riwayat pendidikan Anda di jenjang
perguruan tinggi. Saya rasa pasti di institusi inilah Anda mengasah kepekaan
sosial Anda. Bisa Anda ceritakan riwayat Anda terjun di dunia aktivis sosial?
Elza Peldi Taher : S-1 di FISIP UI dan ikut mendirikan lembaga sosial
bersama Cak Nur. Sejak di tahun pertama kuliah, Alhamdulillah saya sudah mulai
menulis di Panji Masyarakat tentang “Modernisme Islam” kemudian dari batu
loncatan itu saya mulai aktif menulis di KOMPAS, REPUBLIKA. Selain itu saya
juga mulai mengeditori buku. Sejak tahun lalu saya beserta teman mengeditori
rangkaian buku yang berisi kutipan-kutipan pendek dari buku-buku Cak Nur yang
kami beri judul Satu Menit Pencerahan Nurcholis Madjid
Penulis : Total pekerjaan Anda saat ini ada berapa Pak dan apa
sajakah itu?
Elza Peldi Taher : Saya lebih suka berbisnis, itu mungkin karena saya
cenderung memiliki pola kerja yang tidak ingin diatur-atur atasan. Saat ini
pekerjaan saya adalah pengusaha futsal (Futsal Camp, Ciputat)
Penulis : Apa yang mendorong Anda menulis puisi esai “Manusia
Gerobak?”
Elza Peldi Taher : Obsesi kami terhadap manusia gerobak besar sekali. Pasal
34 UUD ‟45 menyebutkan bahwa rakyat miskin, gelandangan, dan anak-anak
telantar diasuh oleh pemerintah. Akan tetapi, pada kenyataannya kita tidak
menemukan realisasi terhadap undang-undang tersebut. Kejadian kisah nyata di
tahun 2005 ini bahkan sempat menjadi berita hangat beberapa kali di KOMPAS.
Alhamdulillah, puisi “Manusia Gerobak” sudah menjadi pembicaraan di beberapa
media televisi, di antaranya di TVRI selama 1 jam penuh, kemudian di SCTV.
Bahkan, pada Ramadhan kemarin diangkat filmnya sepanjang 4 seri.
Penulis : Banyak karya sastra yang menampilkan permasalahan
sosial apalagi terkait dengan ketidakadilan. Apakah ada karya sastra yang paling
Anda kagumi dengan tema ketidakadilan sosial?
Elza Peldi Taher : Saya suka pada Rendra, Sutardji, ya... sebatas membaca
puisi-puisi mereka dan itu dulu sekali, atau pun sekadar menonton teater dari
Rendra.
Penulis : Fakta sosial yang dihadirkan lewat tokoh Atmo ini tentu
saja dibumbui dengan imajinasi Anda, salah satunya mengenai kehidupan
pedesaan saat ini dan kecenderungan mereka untuk memilih urbanisasi. Apakah
ada pengalaman di daerah pedesaan yang Anda temui terkait masalah-masalah
seperti ini?
Elza Peldi Taher : Iya, tentu. Setiap tahun hampir 100 ribu pendatang baru
dari pedesaan datang ke kota besar seperti Jakarta. Orang-orang pedesaan yang
pergi berurbanisasi ini sebagian pada akhirnya menjadi pengemis atau pun
pemulung. Dua pekerjaan ini memiliki perbedaan yang amat jelas. Para pengemis
yang datang dari luar perkotaan ternyata merupakan tenaga kontrak. Sedangkan,
para „manusia gerobak‟ mereka memiliki daya juang yang kuat, mereka tidak
ingin mengemis. Para manusia gerobak ini tinggal di tempat-tempat yang ilegal,
sebagian besar menjadikan gerobak sebagai tempat tinggalnya. Kecenderungan
mereka yang hidup tidak menetap seperti ini menjadi sasaran empuk para pekerja
dinas sosial. Mereka paling benci pada pekerja dinas sosial, dalam hal ini tantrib.
Mengapa? Karena setiap kali diamankan dan direhabilitasi mereka tidak bisa
dengan mudah keluar dari tempat rehabilitasi tersebut. Selalu harus ada uang
jaminan. Meskipun keadaan di kota sangat menjepit mereka, bagi mereka itu lebih
baik dibandingkan tinggal di desa.
Penulis : Apa sebenarnya pesan yang ingin Anda sampaikan lewat
puisi esai “Manusia Gerobak” ini?
Elza Peldi Taher : Sudah saatnya ada satu strategi pembangunan yang
memihak orang-orang lemah. Karena realitas yang kita hadapi masih banyak
masyarakat Indonesia yang hanya tamatan SD.
Penulis : Suatu hari, dosen pembimbing saya menyatakan bahwa
tugas peneliti adalah menguak intisari dari objek penelitiannya yang bahkan tidak
disadari oleh sang penyair itu sendiri. Penelitian kritik sosial yang saya peroleh
cenderung lebih banyak ditujukan kepada pemerintah. Menurut Anda siapakah
pihak yang paling bertanggung jawab dengan wajah-wajah kemiskinan yang
diwakili oleh Atmo?
Elza Peldi Taher : Jika dilihat untuk siapa, tentu untuk kita semua. Memang
pemerintah memiliki peran penting untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti
ini. Kepada LSM pun, pesan ini mungkin bisa dialamatkan. Ada banyak LSM
yang menangani masalah sosial seperti para pengemis, pengamen, pelacur,
premanisme, tapi belum ada yang memperjuangkan nasib „orang-orang‟ seperti
Atmo. Yang terlunta-lunta namun tetap berjuang menghadapi hidup.
Penulis : Saat menyusun Bab 4, saya mengalami banyak kesulitan
yang terkait dengan keterbatasan pemikiran saya. Dosen pembimbing saya sampai
berkali-kali mengulang koreksian di Bab 4 hingga akhirnya saya menemukan
bentuk yang menurut saya „pas‟. Ini tak lain salah satunya disebabkan oleh
sasaran kritik sosial yang saya hadirkan. Dalam puisi esai ini, saya hanya
menemukan sasaran kritik tersebut kepada beberapa pihak yakni pemerintah,
masyarakat dengan pembagian wilayah dan kelas sosial, pengusaha industri besar,
dan pengusaha di bidang properti. Sebenarnya adakah pihak lain yang ingin Anda
„tembak‟?
Elza Peldi Taher : Muara utama ada 3, 1) Kebijakan pemerintah yang
melakukan strategi pembangunan, 2) Tingkat pendidikan yang rendah 60%--70%
hanya tamat SD, dengan demikian survive untuk hidup kurang terakomodir, 3)
LSM harus memberikan perhatian. Seharusnya ditumbuhkan LSM yang
menangani manusia gerobak.
Penulis : Saya menyukai penggunaan alur dalam puisi esai ini.
Menurut saya pribadi, Anda memainkan emosi dengan alur yang jika saya teliti
sejak awal telah dibawa pada klimaks dan hampir menyentuh pada titik
penyelesaian. Apakah Anda merumuskan terlebih dahulu penggunaan-
penggunaan alur ini?
Elza Peldi Taher : Saya mengalir sekali dan saya menghindari kronologis
karena tentu jalan cerita akan mudah terbaca.
Penulis : Selain alur, saya juga tertarik dengan perpaduan tipografi
puisi lama dan puisi kontemporer yang Anda gunakan. Menurut saya bentuk puisi
kontemporer Anda letakkan di akhir penceritaan ini sangat menarik karena selain
dalam bentuk yang „bebas‟, rasa yang dihadirkan pun mewakili bentuk katarsis
Atmo. Apakah Anda merencanakan bentuk penulisan ini?
Elza Peldi Taher : Sama seperti yang saya katakan sebelumnya, saat saya
menulis puisi esai tersebut mengalir apa adanya. Bentuk awalnya memang tidak
seperti yang ada sekarang. Saya sengaja „mengendapkan‟nya terlebih dahulu.
Setelah saya baca ulang, saya ubah, tukar, atau kembangkan beberapa bagian.
Penulis : Riset seperti apa saja yang Bapak lakukan untuk
membingkai puisi esai ini dengan fakta-fakta yang ada?
Elza Peldi Taher : Ya, saya mencari data-data yang terkait lewat internet dan
beberapa sumber lainnya selama 4 bulan.
Penulis : Keluar dari konteks karya Bapak ya... Menurut Bapak,
bagaimana kehadiran puisi esai dipandang lewat kacamata aktivis sosial?
Elza Peldi Taher : Luar biasa menarik minat kami dalam mengekspresikan
hal-hal tentang fenomena sosial. Bagi sastrawan, puisi dianggap berhasil jika sulit
dipahami, sedangkan dalam puisi esai keberhasilan dinilai dari mudahnya
pembaca dalam memahami isi puisi esai tersebut. Beberapa waktu lalu, diadakan
sayembara lagi yang ternyata ada 600 tulisan masuk dan kami menyeleksi 60
tulisan, salah satunya yang menceritakan tentang tragedi tabrakan maut kereta api
yang terjadi beberapa waktu lalu.
Penulis : Oke...terakhir ya Pak wawancara semi formal saya. Apa
yang Anda harapkan dengan hadirnya puisi esai “Manusia Gerobak” ini?
Elza Peldi Taher : Mungkin satu yang bisa saya sebut “Orang yang hanya
punya waktu senggang, dia cenderung ingin membuat peradaban.”
(Gambar 1: Elza Peldi Taher)
BIODATA PENULIS
Naila Mufidah lahir di Bogor pada tanggal 5 bulan 5
tahun 1991. Pendidikan formal pertamanya ditempuh di TK
Tunas Muda IV Kota Bogor, kemudian melanjutkan
pendidikan yang penuh dengan perjuangan di SDN
Cilendek 1 Kota Bogor. Masa-masa remaja dilaluinya di
SMPN 4 Kota Bogor dan SMAN 5 Kota Bogor. Hingga
akhirnya, menjadi mahasiswi S1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
Di kala tertentu, penulis merupakan seorang introvert tingkat membahayakan,
meskipun begitu bagi penulis hidup adalah berorganisasi. Oleh karena itulah,
penulis pernah berkecimpung di dunia keorganisasian (beberapa masih digeluti
oleh penulis) yakni Bandung Karate Club, Teater Astina, Peers Conselor Kota
Bogor, Forum Silaturahim Rohis Bogor, D’Journalist, Tim Tari Saman POSTAR,
Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Indonesia (IMABSII), HMI
(serta KOHATI), hingga Himpunan Mahasiswa Jurusan PBSI.
Cita-citanya adalah menjadi arti namanya sendiri (anugerah yang
bermanfaat). Segala bidang pekerjaan yang bermanfaat serta mampu dilakukan
tentu menjadi daftar target pengabdiannya di masa kini dan di kemudian hari.
Penulis sejak menjadi mahasiswi hingga saat ini pun menimba pengalaman
sebagai Instruktur Smart di lembaga pendidikan Primagama, menjadi pelatih Tari
Ratouh Jaroe, dan beberapa kali menjadi penulis mimbar bebas di surat kabar
Radar Bogor di antaranya berjudul “Memilih untuk Terjajah”. Pengalaman-
pengalaman hidupnya yang berarti dia dapatkan di bangku-bangku pendidikan.
Maka dari itu, salah satu prinsipnya adalah pendidikan bukan hanya kewajiban
pikiran, melainkan juga kewajiban hati, jiwa, dan ruh. (e-mail: