KUMPULAN TERJEMAHAN
CERITA LISAN RAKYAT RUSIA
Oleh Tri Yulianty K. NIP 132310586
Program Studi Sastra Rusia Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran Jatinangor
2007
KATA PENGANTAR
Kumpulan Terjemahan Cerita Lisan Rakyat Rusia ini disusun sebagai upaya penunjang dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) pada Program Studi Sastra Rusia, khususnya untuk mata kuliah Cerita Rakyat Rusia, dan mata kuliah lain yang memiliki keterkaitan dengan masyarakat dan budaya Rusia, seperti mata kuliah Folklor Rusia atau Tradisi dan Budaya Rusia, serta Mozaik Seni Rusia.
Kelancaran proses KBM tidak akan tercapai tanpa ditunjang oleh sarana dan prasarana, yang salah satunya adalah ketersediaan materi perkuliahan. Kesulitan dalam mendapatkan buku-buku mengenai cerita rakyat Rusia menjadikan salah satu alasan penyusunan kumpulan terjemahan ini. Cerita-cerita rakyat Rusia ini diterjemahkan langsung dari bahasa Rusia ke dalam bahasa Indonesia untuk mempermudah pemahaman para mahasiswa terhadap isi cerita.
Akhir kata, semoga kumpulan terjemahan cerita lisan rakyat Rusia ini dapat menjadi sumbangan berharga, khususnya sebagai sarana penunjang KBM di Prodi Sastra Rusia, dan dapat menambah wawasan mengenai budaya Rusia melalui cerita rakyat.
Jatinangor, Juni 2007
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
Ivan Tsarevich dan Serigala Abu-abu ……………………………… 1 Seruling Gembala ………………………………………………………….… 9 Sivka-burka ……………………………………………………………………… 14 Atas Perintah Ikan Syuka ………………………………………………… 20 Angsa-angsa ……………………………………………………………………. 27 Alyonushka dan Ivanushka ……………………………………………… 30 Dua Orang dari Dalam Kantong …………………………………….. 33
Cerita Lisan Rakyat Rusia
Ivan Tsarevich dan Serigala Abu-Abu
Hiduplah seorang tsar bernama Berendya. Dia mempunyai tiga orang
anak laki-laki. Anak bungsunya bernama Ivan. Di istana tsar ada kebun yang
sangat indah, di sana tumbuh pohon apel dengan buahnya yang berwarna
emas.
Suatu hari ada yang memasuki kebun tsar dan mencuri buah apel
emas itu. Tsar menjadi gusar. Ia memerintahkan penjaga untuk mengawasi
kebunnya, tapi tak ada penjaga yang bisa mengintai pencurinya. Tsar mulai
tidak mau makan dan minum, ia sangat sedih. Anak-anaknya menghibur.
“Ayahku sayang, jangan sedih, kami sendiri yang akan menjaga
kebun itu”.
Anak yang paling besar berkata: “Hari ini giliranku, aku akan
menjaga kebun dari pencuri.” Anak yang paling besar itu pergi. Beberapa
jam berlalu dia tidak melihat siapapun, lalu ia duduk di atas rumput yang
empuk dan tertidur.
“Nah, apakah ada kabar gembira? Apakah kamu melihat pencurinya?”
“Tidak ayahku sayang, sepanjang malam aku tidak tidur, tidak
memejamkan mata, tapi tidak melihat siapapun.”
Malam berikutnya giliran anak kedua berjaga dan dia juga tertidur
sepanjang malam, tapi pagi harinya dia berkata bahwa dia tidak melihat
pencurinya.
Tiba giliran anak bungsu berjaga. Ivan Tsarevich pergi menjaga
kebun ayahnya. Ia bahkan tidak berani duduk karena takut tertidur. Saat
kantuk menyerang, ia mencuci mukanya dengan embun dari rerumputan
sehingga rasa kantuk hilang. Setengah malam berlalu, ia merasakan
keanehan: di kebun itu terang. Makin terang dan makin terang. Seluruh
kebun menjadi terang. Dia melihat di atas pohon apel hinggap seekor
burung Zar dan mematuki buah-buah apel emas. Ivan Tsarevich
mengendap-endap mendekati pohon apel dan menangkap ekor burung itu.
Burung Zar berontak dan terbang, di tangan Ivan hanya tertinggal satu bulu
ekornya. Pagi harinya Ivan mendatangi ayahnya.
“Bagaimana Ivan, anakku, apakah kamu melihat pencurinya?”
“Ayahku sayang, aku tidak bisa menangkapnya, tapi aku tahu, siapa
yang merusak kebun kita. Ini aku dapat bukti si pencuri itu. Ini, ayahku,
burung Zar.”
Tsar mengambil bulu itu dan sejak saat itu dia kembali mau makan
dan minum, dan tidak lagi sedih. Begitulah hingga pada suatu hari yang
indah dia memikirkan burung Zar itu. Lalu dia memanggil anak-anaknya dan
berkata kepada mereka:
“Anak-anakku sayang, siapkan kuda-kuda terbaik, pergilah mengikuti
terangnya cahaya untuk mengetahui dimana burung Zar itu.”
Mereka menuruti perintah ayahnya. Mereka menyiapkan kuda terbaik
dan pergi: anak yang paling besar pergi ke satu arah, yang kedua ke arah
lain, dan Ivan ke arah ketiga.
Berjalan Ivan Tsarevich entah lama entah sebentar. Saat itu musim
panas. Ivan Tsarevich merasa lelah dan turun dari kudanya. Ia melepaskan
kuda itu lalu dia sendiri tidur. Entah lama entah sebentar waktu berjalan,
Ivan Tsarevich terbangun dan melihat – kudanya tidak ada. Dia pergi
mencari, berjalan, berjalan, dan menemukan kudanya – ia hanya
menemukan tulang-tulangnya yang telah digigiti. Ivan Tsarevich sedih:
bagaimana ia bisa pergi jauh tanpa kuda?
“Bagaimana ini,” pikirnya, “tak ada yang bisa dilakukan lagi.”
Ia berjalan kaki, berjalan, berjalan, lelah sampai setengah mati.
Lalu ia duduk di atas rumput yang empuk. Entah darimana, berlari
mendatanginya seekor serigala abu-abu:
“Apa yang membuatmu sedih, Ivan Tsarevich?”
“Bagaimana aku tidak sedih, hai serigala abu-abu? Kuda terbaikku
tidak ada.”
“Ivan Tsarevich, aku yang makan kudamu… aku kasihan padamu!
Ceritakanlah, untuk apa kamu pergi jauh? Kemana tujuanmu?”
“Ayahku memerintahkan untuk pergi mengikuti terangnya cahaya,
untuk menemukan burung Zar.”
“Uh, uh, walaupun berjalan selama tiga tahun dengan menunggang
kuda terbaikmu, kamu tidak akan sampai ke tempat burung Zar itu. Hanya
aku yang tahu, dimana burung itu tinggal. Jadi, beginilah…aku telah
memakan kudamu, jadi akulah yang bertugas menjadi kepercayaanmu.
Duduklah di atas punggungku dan berpeganglah erat-erat.”
Ivan Tsarevich duduk di atas punggung serigala itu, lalu serigala abu-
abu itu berlari. Hutan-hutan yang biru melintas cepat di mata, danau-
danau terlihat seperti ekor. Entah lama entah sebentar mereka berlari
hingga sampai di benteng tinggi sebuah istana. Serigala abu-abu berkata:
“Dengarkan aku, Ivan Tsarevich, ingatlah: merayaplah lewat dinding,
jangan takut – waktunya tepat, semua penjaga sedang tidur. Kamu akan
melihat tingkap di atap menara, di sana ada sangkar emas, dan di dalam
sangkar itu ada burung Zar. Kamu ambil burung Zar itu, sembunyikan di
balik bajumu, dan ingatlah, jangan ambil sangkarnya!”
Ivan Tsarevich merayap lewat dinding, melihat atap menara – di
tingkapnya ada sangkar emas, di dalam sangkar itu ada burung Zar. Dia
mengambil burung itu dan menyembunyikannya di balik baju, tapi ia
kemudian melihat sangkar itu. Jantungnya bergetar: “Ah…sangkar emas
yang indah sekali! Masa tidak aku bawa?!” Lupalah ia dengan apa yang
diperintahkan serigala. Baru saja ia menyentuh sangkar itu, di benteng
istana terdengar bunyi-bunyi: terompet dibunyikan, genderang dibunyikan,
para penjaga terbangun, menangkap Ivan Tsarevich dan membawanya
menghadap Tsar Afron.
Tsar Afron marah dan bertanya:
“Siapa kamu? Darimana kamu?”
“Saya Ivan Tsarevich, putra Tsar Berendya.”
“Ah, betapa memalukan! Anak seorang tsar datang untuk mencuri.”
“Lalu bagaimana dengan burung Zar-mu yang datang merusak kebun
kami?”
“Ah..seandainya kamu datang kepadaku, meminta baik-baik, aku
akan menyerahkan burung itu padamu, sebagai rasa hormatku pada orang
tuamu, Tsar Berendya. Namun, kini seluruh kota membicarakan hal yang
tidak baik tentang kamu… Nah, baiklah, kamu akan melakukan suatu tugas
untukku, aku akan menyuruhmu. Di istana Tsar Kusman ada seekor kuda
bersurai emas. Bawalah kuda itu padaku, nanti akan kuberikan burung Zar
itu dengan sangkarnya.”
Ivan Tsarevich pergi menemui serigala abu-abu. Serigala itu berkata
padanya:
“Sudah aku katakan padamu, jangan sentuh sangkarnya! Mengapa
kamu tidak mendengarkan perintahku?”
“Oh, maafkan aku, maafkan, serigala abu-abu.”
“Ya, ya, maafkan…Baiklah, duduklah di atas punggungku. Tak usah
bicara, aku akan membawamu.”
Berlari lagi serigala itu dengan Ivan Tsarevich di atas punggungnya.
Entah lama entah sebentar, mereka berlari hingga sampai di benteng
sebuah istana, dimana kuda bersurai emas itu berada.
“Merayaplah, Ivan Tsarevich, lewat dinding, para penjaga sedang
tidur. Pergilah ke kandang kuda, ambil kudanya, tapi ingatlah, jangan
ambil tali kekangnya!”
Ivan Tsarevich merayap lewat dinding, di sana para penjaga sedang
tidur. Ia masuk ke kandang kuda, menangkap kuda bersurai emas itu, tapi
kemudian ia ingin memiliki tali kekang kuda itu – tali kekang emas, dihiasi
batu-batu indah, dengan tali kekang itulah kuda bersurai emas cocok
berjalan-jalan.
Begitu Ivan Tsarevich menyentuh tali kekang, terdengar bunyi-bunyi
di seluruh benteng istana: terompet dibunyikan, genderang dibunyikan,
para penjaga terbangun, menangkap Ivan Tsarevich dan membawanya
menghadap Tsar Kusman.
“Siapa kamu? Darimana kamu?”
“Saya Ivan Tsarevich.”
“Ah, bodoh sekali, mencuri kuda! Petani miskin pun tidak akan
setuju dengan perbuatan itu. Baiklah, aku menyuruhmu, Ivan Tsarevich,
melakukan tugas untukku. Tsar Dalmat punya anak gadis, Elena
Prekrasnaya. Culik dia, lalu bawa kepadaku. Aku akan menghadiahimu kuda
bersurai emas itu dengan tali kekangnya.”
Ivan Tsarevich pergi lagi menemui serigala abu-abu.
“Aku sudah berkata padamu, Ivan Tsarevich, jangan ambil tali
kekangnya! Kamu tidak mendengarkan perintahku.”
“Ya, maafkan aku, maafkan, serigala abu-abu.”
“Ya, ya, maafkan…Nah, baiklah, duduk di atas punggungku.”
Kembali serigala abu-abu itu berlari dengan membawa Ivan
Tsarevich. Mereka sampai di istana Tsar Dalmat. Di istananya, di taman,
Elena Prekrasnaya sedang berjalan-jalan dengan para dayang. Serigala abu-
abu berkata:
“Kali ini aku sendiri yang akan pergi ke sana. Dan kamu, kembalilah,
aku akan segera menyusulmu.”
Ivan Tsarevich kembali, sedangkan serigala abu-abu merayap lewat
dinding, lalu ke taman. Ia bersembunyi di balik semak-semak dan
memperhatikan. Elena Prekrasnaya keluar dengan dayang-dayangnya. Dia
berjalan-jalan, berjalan-jalan, dan saat dia tanpa dayang-dayang, serigala
abu-abu menangkap Elena Prekrasnaya, mendudukannya di atas
punggungnya – dan lari.
Ivan Tsarevich sedang berjalan kaki ketika tiba-tiba serigala abu-abu
itu menyusulnya, di atas punggungnya duduk Elena Prekrasnaya. Ivan
Tsarevich gembira. Serigala abu-abu berkata padanya:
“Cepat duduk di atas punggungku, supaya kita tidak terkejar.”
Serigala abu-abu itu melesat kembali dengan Ivan Tsarevich dan
Elena Prekrasnaya di punggungnya – hutan-hutan yang biru melintas cepat
di mata, sungai dan danau tampak seperti ekor. Entah lama entah sebentar
mereka sampai di istana Tsar Kusman. Serigala abu-abu berkata:
“Nah, Ivan Tsarevich, bagaimana?”
“Ya, bagaimana aku tidak sedih, wahai serigala abu-abu? Akan
berpisah dengan si cantik ini! Bagaimana mungkin aku akan menukarkan
Elena Prekrasnaya dengan seekor kuda?”
Serigala abu-abu itu menjawab:
“Aku tidak akan memisahkanmu dengan si cantik ini, kita akan
menyembunyikannya di suatu tempat, lalu aku akan berpura-pura menjadi
Elena Prekrasnaya. Kamu bawa aku kepada tsar.”
Lalu mereka menyembunyikan Elena di pondok di dalam hutan.
Serigala abu-abu membalikkan kepala dan ia berubah menjadi persis
seperti Elena Prekrasnaya. Ivan Tsarevich membawanya kepada Tsar
Kusman. Tsar itu sangat gembira dan mengucapkan terima kasih:
“Terima kasih, Ivan Tsarevich, telah membawakan mempelai wanita
untukku. Bawalah kuda surai emas itu bersama tali kekangnya.”
Ivan Tsarevich duduk di atas kuda itu dan pergi menjemput Elena
Prekrasnaya. Ia membawanya, mendudukannya di atas kuda, dan pergi
melanjutkan perjalanan.
Tsar Kusman mengadakan pesta pernikahan, makan-makan dari siang
hingga malam. Saat waktunya tidur, ia membawa Elena Prekrasnaya ke
kamar, tapi baru saja hendak membaringkannya di ranjang, dia melihat –
moncong serigala! Dengan ketakutan tsar itu turun dari tempat tidur,
sedangkan si serigala berlari kabur.
Serigala abu-abu menyusul Ivan Tsarevich dan bertanya:
“Apa yang kau lamunkan, Ivan Tsarevich?”
“Bagaimana aku tidak melamun? Aku sedih berpisah dengan binatang
ini – kuda bersurai emas, dan menukarkannya dengan burung Zar.”
“Tak usah sedih, aku akan menolongmu.”
Begitulah, mereka sampai di istana Tsar Afron. Serigala berkata:
“Kamu sembunyikan kuda ini dan Elena Prekrasnaya di hutan, lalu
aku akan berpura-pura menjadi kuda bersurai emas, kamu bawa aku kepada
Tsar Afron.”
Mereka menyembunyikan Elena Prekrasnaya dan kuda bersurai emas
di hutan. Serigala abu-abu membalikkan kepala dan berubah menjadi
seperti kuda bersurai emas.
Ivan Tsarevich membawanya kepada Tsar Afron. Tsar senang dan
memberikan burung Zar bersama sangkar emasnya. Ivan Tsarevich kembali
berjalan kaki ke hutan, ia mendudukkan Elena Prekrasnaya di atas kuda
bersurai emas, mengambil sangkar emas berisi burung Zar dan berjalan
menuju istananya.
Sementara itu, Tsar Afron memerintahkan untuk membawa kuda
hadiah itu kepadanya, tapi saat baru saja ia akan duduk di atas
punggungnya – kuda itu berubah menjadi serigala abu-abu. Dengan
ketakutan tsar itu berdiri dan jatuh, sedangkan serigala abu-abu berlari
pergi dan segera menyusul Ivan Tsarevich.
“Kini, selamat tinggal, saya tidak bisa pergi lebih jauh lagi.”
Ivan Tsarevich turun dari kuda dan tiga kali membungkuk hingga
tanah, dengan penuh hormat berterima kasih kepada serigala abu-abu. Lalu
berkata:
“Jangan terlalu lama berpisah, aku masih memerlukanmu.”
Ivan Tsarevich berpikir: „Mengapa masih diperlukan? Semua
keinginanku telah terpenuhi‟. Dia duduk di atas kuda bersurai emaas itu,
dan berjalan lagi dengan Elena Prekrasnaya, dengan burung Zar. Dia sampai
di pinggir hutan, dia ingat bahwa dia punya sedikit roti. Mereka makan dan
minum dari mata air, lalu beristirahat.
Saat Ivan Tsarevich tertidur, datang kakak-kakaknya. Mereka pergi
ke daerah lain, mencari burung Zar, tapi pulang dengan tangan hampa.
Mereka tiba dan melihat semua hasil buruan Ivan Tsarevich. Lalu mereka
berkata:
“Ayo, kita bunuh saudara kita, semua hasil buruannya akan jadi milik
kita.”
Mereka membunuh Ivan Tsarevich. Lalu duduk di atas kuda bersurai
emas, mengambil burung Zar, dan mendudukkan Elena Prekrasnaya di atas
kuda dan menakut-nakutinya:
“Nanti di rumah, jangan berkata apapun!”
Ivan Tsarevich terbaring mati, di atasnya berterbangan burung
gagak. Entah darimana, datang berlari serigala abu-abu dan menangkap
anak burung gagak.
“Terbanglah kau, burung gagak, untuk membawa air kematian dan
kehidupan. Bawa padaku air kematian dan kehidupan itu, nanti aku
bebaskan anakmu.”
Burung gagak, yang tidak dapat berbuat apapun, terbang, sedangkan
serigala menahan anaknya. Entah lama burung gagak itu terbang, entah
sebentar, dia membawa air kematian dan kehidupan. Serigala abu-abu
mencipratkan air kematian pada luka Ivan Tsarevich – lukanya sembuh, lalu
mencipratkan air kehidupan – dan Ivan Tsarevich hidup.
“Oh, begitu pulasnya aku tidur…!”
“Kamu tidur sangat pulas,” kata serigala abu-abu. “Jika tak ada aku,
kamu sama sekali tidak akan bangun. Saudara-saudaramu membunuhmu
dan membawa pergi semua hasil buruanmu. Cepat duduklah di atas
punggungku.”
Mereka pergi mengejar kedua kakaknya. Di sana serigala abu-abu
mencakar mereka sampai mati. Ivan Tsarevich membungkuk hormat kepada
serigala abu-abu dan berpisah dengannya untuk selamanya.
Ivan Tsarevich pulang dengan naik kuda besurai emas, membawa
burung Zar untuk ayahnya, dan untuk dirinya sendir - mempelai wanita,
Elena Prekrasnaya.
Tsar Berendya merasa senang. Ia bertanya pada anaknya. Ivan
Tsarevich menceritakan, bagaimana serigala abu-abu telah membantunya
mendapatkan buruan, dan bagaimana kakak-kakaknya membunuhnya ketika
ia tidur, dan bagaimana serigala abu-abu mencakar mereka hingga mati.
Tsar Berendya sedih, tapi segera ia menghibur diri. Lalu Ivan
Tsarevich menikah dengan Elena Prekrasnaya dan mereka hidup bahagia.
Cerita Lisan Rakyat Rusia
Seruling Gembala
Di satu desa hidup seorang laki-laki tua dan istrinya, mereka sangat
miskin. Mereka punya seorang anak laki-laki bernama Ivanushka. Sejak kecil
ia suka bermain seruling. Begitulah, saat ia memainkan seruling dengan
baiknya, semua yang mendengar tidak akan bosan. Bila Ivanushka
memainkan lagu sedih – semua menjadi sedih, dan meneteskan air mata.
Bila ia memainkan lagu untuk tarian – semua menari, tidak ada yang bisa
menahan diri untuk tidak menari.
Ivanushka beranjak dewasa. Ia berkata kepada ayah dan ibunya:
“Ayah, ibu, aku akan pergi mencari kerja. Berapapun hasil yang akan
kudapat, akan kuberikan semuanya pada kalian.” Ivanushka berpamitan dan
pergi.
Ia tiba di satu desa, tapi tak ada yang mempekerjakannya. Ia pergi
lagi ke desa lain, tapi di sana pun tidak memerlukan pekerja. Ivanushka
pergi lagi. Ia berjalan, berjalan, dan tiba di desa yang lebih jauh. Dia
berjalan dari satu rumah ke rumah lainnya, bertanya:
“Apakah di sini perlu pekerja?”
Dari satu rumah keluar seorang lelaki dan berkata:
“Bisakan kamu menggembalakan domba?”
“Bisa, pekerjaan itu tidak sulit!”
“Ya, tidak sulit. Tapi saya punya syarat: jika kamu menggembala
dengan baik, akan saya beri upah dua kali lipat. Tapi, jika ada satu domba
dari ternakku ini hilang, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa, dan aku
akan mengusirmu tanpa memberimu uang!”
“Kalau begitu tidak akan saya hilangkan!”- jawab Ivanushka.
“Ya, ya, hati-hatilah!”
Domba digiring, dan Ivanushka mulai menggembalakan ternak. Pagi
hari, begitu matahari terbit, ia telah pergi dan kembali saat matahari
terbenam.
Saat ia kembali dari menggembala, majikannya telah berdiri di dekat
pintu gerbang dan menghitung domba: satu, dua, tiga,…sepuluh…
duapuluh…empatpuluh… limapuluh… ada semua!
Begitulah sebulan berlalu, dua bulan, tiga bulan. Segera gembala itu
harus dibayar, dia harus diberi upah.
“Bagaimana ini?” pikir si petani. “Bagaimana gembala itu bisa
menjaga semua domba? Sebelum ini selalu ada domba yang hilang, entah
dimakan serigala, entah lepas, dan hilang… Ini tidak mungkin. Harus dilihat
apa yang dilakukan gembala itu di tempat penggembalaan.”
Pagi harinya, saat semua masih tidur, petani itu membawa mantel
bulu domba, menutupinya dengan bulu domba, lalu dikenakannya, dan ia
pergi ke kandang. Dengan merangkak-rangkak ia ada di tengah-tengah
domda-domba. Ia menunggu saat si gembala menggembalakan ternak.
Begitu matahari terbit Ivanushka bangun dan pergi menggembalakan
domba. Domba-domba mengembik dan berlari. Majikannya dengan susah,
agar tidak tertinggal, berlari bersama domba-domba dan berteriak:
“Be-be-be! Be-be-be!” sambil berpikir: “Kini, aku akan tahu
semuanya, aku akan berusaha mengetahuinya!”
Ia mengira bahwa Ivanushka tidak memperhatikannya. Namun,
penglihatan Ivanushka tajam, segera ia melihatnya, tapi tidak langsung
memandangnya. Ia menggembalakan domba-domba, tapi tidak pada
majikannya. Ia menggiring domba-domba dengan cambuk. Ia terus
menandai punggung majikannya! Ivanushka menggembalakan domba ke tepi
hutan, ia duduk di semak-semak sambil mengunyah-ngunyah rumput.
Domba-domba berjalan di lapangan rumput, mereka makan rumput.
Ivanushka memperhatikan dari belakang. Saat ia melihat ada domba yang
lari masuk hutan, ia memainkan serulingnya. Semua domba berlari
menghampirinya. Si majikan terus merangkak-rangkak, menunduk-
nundukkan kepalanya ke tanah seperti sedang memakan rumput. Ia merasa
lelah, tapi malu menunjukkan diri: gembala itu nanti akan menceritakannya
pada para tetangga – ia tidak akan menyimpan aib ini!.
Ketika domba-domba itu selesai makan, Ivanushkan berkata pada
mereka:
“Nah, kalian sudah kenyang, sudah cukup, kini kalian bisa menari!”
Ia mulai memainkan lagu untuk tarian. Domba-domba mulai
melompat-lompat dan menari, dengan mengetuk-ngetukkan tapak kakinya!
Majikan itu pun melakukannya, walaupun ia tidak suka. Ia melompat keluar
dari tengah-tengah ternak dan menari. Ia menari, menari, dengan kakinya
ia membuat berbagai macam bunyi ketukan, ia tidak bisa menahannya!
Ivanushka memainkan seruling lebih cepat dan lebih cepat lagi.
Domba-domba dan majikannya menari lebih cepat lagi. Majikan itu
kelelahan, keringat bercucuran, rambutnya menjadi kusut…tidak
tertahankan. Ia berteriak:
“Oh, nak, hentikan!.. aku tak kuat lagi!”
Ivanushka pura-pura tidak mendengar, ia terus bermain, bermain!
Akhirnya, ia berhenti dan berkata:
“Oh, tuan, anda kah itu?”
“Ya…”
“Bagaimana anda bisa sampai kemari?”
“Ya… tidak sengaja…”
“Mengapa anda memakai mantel?”
“Dari pagi sepertinya dingin…”
Ia lalu pergi ke balik semak, pulang dan berkata pada istrinya:
“Nah, istriku, kita harus segera menyuruh pergi anak itu demi
kebaikan dan kesehatan, kita harus memberinya upah…”
“Apa? Tak ada yang diupahi, dan kita juga tidak akan
mengupahinya…”
“Jangan sampai tidak memberinya upah. Dia akan mempermalukan
kita, kita tidak akan bisa mengungkapkan hal ini pada para tetangga.”
Lalu lelaki itu bercerita pada istrinya, bagaimana gembala itu telah
membuatnya menari hingga sangat kelelahan. Istrinya mendengarkan dan
berkata:
“Kini kamu jadi bodoh! Kamu harusnya tidak menari! Dia tidak akan
bisa melakukan hal itu padaku! Kalau dia datang, aku akan menyuruhnya
memainkan seruling. Kamu akan lihat, apa yang akan terjadi. Lalu
suaminya meminta pada istrinya:
“Jika kamu mau melakukan ini, masukkan aku ke dalam peti dan ikat
pada tiang di langit-langit agar aku tidak ikut menari…! Aku telah menari
pagi ini sampai-sampai hampir mati.”
Istri lelaki itu melakukan permintaan suaminya. Ia memasukkan
suaminya ke dalam peti dan mengikatkannya pada tiang di langit-langit. Ia
sendiri menunggu Ivanushka kembali dari menggembala. Petang hari, saat
Ivanushka selesai menggembalakan ternak, majikan perempuannya berkata:
“Betulkah kamu punya seruling yang bisa membuat semua menari?”
“Betul”
“Ayo, mainkanlah! Jika aku menari – kami akan memberimu upah,
tapi jika aku tidak menari – kami akan mengusirmu.”
“Baiklah,” kata Ivanushka, “kalau itu yang anda mau.” Ia
mengeluarkan seruling dan mulai memainkan lagu tarian. Saat itu
majikannya sedang membuat adonan. Ia tidak bisa menahan diri dan mulai
menari. Dia menari sambil melempar-lempar adonan dari satu tangan ke
tangan lainya.
Ivanunshka memainkan seruling lebih cepat, lebih cepat, lebih keras,
dan lebih keras lagi. Majikan perempuan itu menari lebih cepat dan lebih
cepat lagi. Di langit-langit suaminya mendengar seruling itu. Dia mulai
menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, menari. Tapi, di sana sempit,
kepalanya selalu terbentur tutup peti. Dia bergerak, bergerak makin cepat,
lalu ikatan peti lepas dari tiang. Tutup peti terbuka karena terbentur
kepala, ia melompat keluar dari peti dan menari dengan merangkak-
rangkak di langit-langit. Dari langit-langit ia meluncur ke bawah, masuk ke
dalam rumah. Ia mulai menari bersama istrinya sambil menggerak-gerakkan
tangan dan kakinya!
Ivanushka keluar, ke teras, duduk di anak tangga, dan terus bermain
tanpa lelah. Majikannya melompat-lompat di halaman, menari dan
melompat-lompat di depan teras. Suami-istri itu kelelahan, hampir tak bisa
bernafas, tapi tak bisa berhenti. Sambil melihat mereka, ayam-ayam mulai
menari, juga domba, sapi, dan anjing di tempat penjagaan.
Lalu Ivanushka berdiri, sambil terus bermain ia berjalan ke pintu
gerbang. Di belakangnya semua mengikuti. Majikannya melihat bahwa ini
tidak baik. Ia mulai meminta pada Ivanushka:
“Hei, nak, berhentilah, jangan main lagi! Jangan keluar dari
halaman! Jangan permalukan kami di depan orang-orang! Kami janji akan
membayarmu! Kami akan membayarmu sesuai perjanjian!”
“Tidak!”- kata Ivanushka. “Biarlah orang-orang baik akan melihat
kalian, biarlah mereka tertawa!”
Ivanushka berjalan keluar dari halaman – masih bermain dengan
lebih cepat. Majikannya, dengan semua sapi, domba, dan ayam juga menari
lebih cepat. Mereka berputar, berkeliling, berjongkok, dan berjingkrak-
jingkrak!
Seluruh penduduk desa berlari keluar rumah – orang-orang tertawa
sambil menunjuk-nunjuk dengan jari…
Ivanushka memainkan seruling sampai malam. Pagi harinya ia
menerima upah. Ia pergi menemui ayah dan ibunya. Majikannya
bersembunyi di dalam rumah. Mereka diam, tidak berani bertemu orang-
orang.
Cerita Lisan Rakyat Rusia
Sivka-burka
Hiduplah seorang lelaki tua yang punya tiga anak laki-laki. Dua anak
tertua mengurus kebutuhan rumah, menjadi pedagang dan perlente,
sedangkan anak bungsunya, si bodoh Ivan, hidup seenaknya. Ia suka pergi
ke hutan mengumpulkan jamur, dan di rumah ia selalu duduk di dapur
dekat tungku.
Tiba waktunya lelaki tua itu wafat. Sebelumnya ia berpesan pada
anak-anaknya:
“Bila aku mati, selama tiga malam kalian harus bergiliran datang ke
makamku dan membawakan roti untukku.”
Begitulah, orang tua itu telah dikuburkan. Malam tiba. Anak yang
tertua harusnya pergi ke kuburan, tapi dia entah malas entah takut,
berkata pada adik bungsunya:
“Ivan, gantikan aku malam ini, datanglah ke makam ayah, nanti akan
kubelikan kamu kue jahe.”
Ivan setuju. Ia membawa roti, lalu peri ke makam ayahnya. Ia duduk
dan menunggu. Tengah malam tanah kuburan bergerak, terbuka, ayahnya
bangkit dari kubur dan berkata:
“Siapa itu? Kamukah anak pertamaku? Ceritakanlah, apa yang terjadi
di Rus: apakah anjing-anjing menggonggong? Serigala melolong? Atau bayi-
bayi menangis?”
Ivan menjawab:
“Ini aku, anakmu. Di Rus semuanya baik-baik saja.”
Ayahnya memakan habis roti dan kembali berbaring di kuburannya.
Ivan kembali ke rumah. Di sepanjang jalan ia mengumpulkan jamur. Kakak
tertuanya datang dan bertanya:
“Kamu bertemu ayah?”
“Ya.”
“Rotinya dia makan?”
“Ya. Dimakan habis sampai kenyang.”
Tiba malam kedua. Yang harus pergi anak kedua, tapi dia entah
malas entah takut berkata:
“Ivan, pergilah menggantikan aku ke makam ayah. Nanti aku akan
memberimu pemukul kasti.”
“Baiklah.”
Ivan mengambil roti, lalu pergi ke makam ayahnya. Ia duduk,
menunggu. Tengah malam tanah bergerak, terbuka, ayahnya bangkit dan
bertanya:
“Siapa itu? Kamukah anak keduaku? Ceritakanlah, apa yang terjadi di
Rus: apakah anjing-anjing menggonggong? Serigala melolong? Atau bayi-bayi
menangis?”
Ivan menjawab:
“Ini aku, anakmu. Di Rus semuanya baik-baik saja.”
Ayahnya memakan roti sampai habis dan kembali berbaring di
kuburannya. Ivan pulang ke rumah dan di sepanjang jalan ia mengumpulkan
jamur. Kakak keduanya bertanya:
“Ayah memakan rotinya?”
“Ya. Dimakan habis sampai kenyang.”
Malam ketiga tiba giliran Ivan yang harus pergi. Ia berkata pada
kakak-kakaknya:
“Sudah dua malam aku pergi. Sekarang kalianlah yang pergi ke
makam ayah, aku akan istirahat.”
Kakak-kakaknya menjawab:
“Bagaimana kamu ini Ivan, kamu sudah tahu keadaan di sana,
sebaiknya kamu sendirilah yang pergi.”
“Ya, baiklah.”
Ivan mengambil roti, lalu pergi. Tengah malam tanah kuburan
bergerak, terbuka. Ayahnya bangkit dari kubur:
“Siapa itu? Kamukah Ivan, anak bungsuku?” Ceritakanlah, apa yang
terjadi di Rus: apakah anjing-anjing menggonggong? Serigala melolong?
Atau bayi-bayi menangis?”
Ivan menjawab:
“Ini aku, anakmu, Ivan. Di Rus semuanya baik-baik saja.”
Ayahnya memakan roti sampai habis dan berkata:
“Hanya kamu yang memenuhi amanatku, kamu tidak takut selama
tiga malam datang ke makamku. Jika kamu ke lapangan yang kosong,
berserulah „Sivka-burka, berdirilah di hadapanku seperti daun di atas
rumput!‟, akan datang seekor kuda menghampirimu, mendekatlah ke
telinga kanan kuda itu, lalu ke telinga kirinya. Kamu akan menjadi seorang
yang gagah berani. Duduklah di atas kuda itu dan pergilah.”
Ivan mengambil tali kekang, berterima kasih pada ayahnya, dan
pulang ke rumah sambil mengumpulkan jamur di sepanjang jalan. Di rumah
kakak-kakaknya bertanya:
“Kamu bertemu ayah?”
“Bertemu.”
“Dia memakan rotinya?”
“Ayah memakannya habis sampai kenyang dan tidak menyuruh kita
datang lagi.”
Pada saat itu tsar menyerukan pada semua pemuda pemberani yang
masih bujangan untuk datang ke istana. Anak gadisnya, Nesravnennaya
Krasota (Kecantikan Yang Tak Ada Bandingannya), memerintahkan untuk
membuat tempat seperti sangkar di menara dengan duabelas susun tonggak
kayu dan duabelas susun batang kayu. Di dalam menara itu ia akan duduk
dan menunggu orang yang bisa meraihnya dan mencium bibirnya sambil
menunggangi kuda. Hadiahnya – Nesravnennaya Krasota dan setengah
kerajaan.
Saudara-saudara Ivan mendengar itu dan berkata:
“Ayo kita coba keberuntungan.”
Begitulah, mereka memberi makan kuda-kuda terbaik mereka
dengan havermouth dan memberinya minum. Mereka sendiri berpakaian
bagus dan menyisir rapi rambut mereka, sedangkan Ivan duduk di dapur
dekat tungku, menghisap pipa, dan berkata pada kakaknya:
“Kak, ajaklah aku untuk mencoba keberuntungan!”
“Orang bodoh tidak dibolehkan! Lebih baik kamu pergi ke hutan
mengumpulkan jamur, tak ada yang akan menertawakanmu.”
Kakak-kakaknya duduk di atas kuda, mengenakan topi, bersiul,
bersuit, lalu – tinggal debu yang tertinggal. Ivan mengambil tali kekang dan
pergi ke lapangan kosong. Ia berseru seperti yang diajarkan ayahnya:
“Sivka-burka, berdirilah di hadapanku seperti daun di atas rumput!”
Dari suatu tempat datanglah seekor kuda, tanah bergetar, dari
lubang hidung dan telinganya keluar uap panas. Dia berdiri tegak dan
bertanya:
“Apa yang anda perintahkan?”
Ivan memandang kuda itu, memasangkan tali kekang, dan mendekat
ke telinga kanannya, lalu ke telinga kirinya, dan … dia berubah menjadi
seorang yang gagah berani yang sebelumnya tak terpikirkan, tak terduga,
dan tak terlukiskan. Ia duduk di atas kuda dan pergi ke istana tsar. Sivka-
burka berlari, tanah bergetar, bukit-bukit tampak seperti ekor, bagian
bawah sepatu di antara kaki seperti akan lepas.
Ivan tiba di istana tsar, di sana banyak sekali orang. Di menara yang
tinggi dengan duabelas susun tonggak kayu dan duabelas susun batang kayu
duduk putri Nesravnennaya Krasota. Tsar keluar ke balkon dan berkata:
“Siapa diantara kalian, para pemberani, dengan menunggang kuda
bisa sampai di atas menara dan mencium bibir putriku, dialah yang akan
menjadi suaminya dan mendapatkan setengah kerajaanku.”
Para pemuda pemberani mulai menunggang kuda, ke tempat yang
tinggi, tapi tidak berhasil! Kakak-kakak Ivan ikut mencoba, sampai setengah
jalan pun mereka tidak berhasil. Tiba giliran Ivan.
Ia mempercepat Sivka-burka, bersuit, berseru, melompat – tinggal
melewati dua susun batang kayu. Mencoba lagi, kali ini tinggal mencapai
satu susun lagi. Dia berputar lagi, berkeliling, menyemangati kudanya,
mencari celah, lalu melesat ke dekat tingkap menara dan mencium putri
Nesravnennaya Krasota di bibirnya yang manis. Tapi, sang putri dengan
cincin di jari menampar dahinya, dan meninggalkan bekas.
Di bawah orang-orang berteriak:
“Tahan, tahan dia!”
Tapi Ivan terus pergi menghilang.
Ivan pergi ke lapangan kosong, ia mendekati telinga kanan Sivka-
burka, dan telinga kiri Sivka-burka, dan ia kembali menjadi si bodoh Ivan.
Kuda menghilang, dan ia sendiri pulang ke rumah sambil mengumpulkan
jamur di sepanjang jalan. Ia membalut dahinya dengan kain, berbaring-
baring di dapur dekat tungku.
Kakak-kakaknya datang dan menceritakan apa yang telah mereka
lihat.
“Ada banyak pemberani yang baik, tapi satu yang paling baik dari
semuanya – dengan menunggang kuda dia bisa mencium sang putri. Semua
melihat dari mana dia datang, tapi tak ada yang melihat kemana dia
pergi.”
Ivan duduk sambil menghisap pipa dan berkata:
“Bukankah orang itu aku?”
Kakak-kakaknya marah:
“Bodoh, tak tahu malu! Duduklah di dapur dekat tungku dan
makanlah jamur-jamurmu!”
Diam-diam Ivan membuka kain balutan di dahinya, dimana cincin
sang putri telah meninggalkan bekas, lalu ia menyalakan api di dalam
pondok. Kakak-kakaknya kaget dan berteriak:
“Apa yang kamu lakukan, bodoh? Kamu akan membuat rumah
terbakar!”
Esok harinya tsar mengundang semua bangsawan, tuan tanah, dan
rakyat biasa yang kaya maupun yang miskin, yang tua dan yang muda, ke
pesta besar. Kakak-kakak Ivan bersiap-siap menghadiri pesta itu. Ivan
berkata pada mereka:
“Ajaklah aku bersama kalian!”
“Kemana pun kamu pergi, hai bodoh, orang-orang akan
menertawakanmu! Duduklah di dapur dekat tungku dan makanlah jamur-
jamurmu.”
Kakak-kakaknya duduk di atas kuda terbaik mereka dan pergi,
sedangkan Ivan berjalan kaki. Ia datang ke pesta tsar dan duduk di pojok
yang jauh. Putri Nesravnennaya Krasota mulai berkeliling mendekati para
tamu. Ia membawa cawan berisi madu dan mencari siapa yang dahinya
mempunyai tanda cincin bekas pukulannya. Ia mengitari para tamu, lalu
mendekati Ivan, hatinya begitu berdebar. Ia memandang Ivan. Ivan, yang
wajahnya hitam karena jelaga, berdiri bulu romanya.
Putri Nesravnennaya Krasota mulai bertanya:
“Siapa kamu? Darimana kamu? Mengapa dahimu dibalut?”
“Terbentur.”
Sang putri membuka balutan di dahi Ivan – tiba-tiba seluruh istana
menjadi ramai. Putri berseru:
“Ini tanda yang kubuat! Inilah calon suamiku!”
Tsar mendekati dan berkata:
“Calon suami apa! Dia orang bodoh, hitam penuh jelaga!”
Ivan berkata pada tsar:
“Izinkan saya untuk membersihkan diri.”
Tsar mengizinkannya. Ivan keluar dari istana dan berseru seperti
yang diajarkan ayahnya:
“Sivka-burka, berdirilah di hadapanku seperti daun di atas rumput!”
Dari suatu tempat datanglah seekor kuda, tanah bergetar, dari
lubang hidung dan telinganya keluar uap panas. Ivan mendekat ke telinga
kanan kuda itu, lalu ke telinga kirinya, dan kembali ia menjadi seorang
yang gagah berani yang tak terpikirkan, tak terduga, tak terlukiskan.
Orang-orang takjub.
Pendek cerita, diadakanlah pesta besar pernikahan.
Cerita Lisan Rakyat Rusia
Atas Perintah Ikan Syuka
Di satu desa hidup seorang lelaki tua. Ia mempunyai tiga anak laki-
laki: dua anak tertuanya – pintar, sedangkan anak bungsunya, Emelya,
seorang yang bodoh. Kakak-kakak Emelya bekerja, tetapi Emelya sepanjang
hari hanya berbaring dekat tungku dan tidak melakukan apa-apa.
Begitulah, suatu hari kakak-kakaknya pergi ke pasar, lalu kakak-
kakak iparnya menyuruh Emelya:
“Emelya, pergilah mengambil air.”
Tapi, ia tidak beranjak dari dekat tungku: “Malas…”
“Pergilah Emelya, nanti kalau kakakmu pulang dari pasar, mereka
tidak akan memberimu hadiah.”
“Ya, baiklah.”
Emelya beranjak dari dekat tungku, memakai sepatu, mantel,
mengambil ember dan kapak, lalu pergi ke sungai. Ia memecahkan lapisan
es, menimba air, dan meletakkan ember-ember, lalu melihat ke lubang es.
Di lubang es itu Emelya melihat seekor ikan syuka. Ia mengambil ikan itu
dan meletakkannya di tangan: “Oh, sup ikan sepertinya enak!”
Tiba-tiba ikan syuka itu berbicara seperti manusia: “Emelya,
lepaskan aku ke air, aku nanti akan berguna bagimu.”
Emelya tertawa: “Bagaimana kamu bisa berguna untukku? Tidak, aku
akan membawamu pulang ke rumah dan aku akan menyuruh iparku untuk
membuat sup ikan. Sup ikan tampaknya enak.”
Ikan syuka memohon lagi: “Emelya, Emelya, lepaskan aku ke air, aku
akan melakukan semua yang kamu inginkan.”
“Baiklah, tapi buktikan dulu bahwa kamu tidak menipuku, nanti aku
lepaskan.”
Ikan syuka bertanya: “Emelya, Emelya, katakan, sekarang apa yang
kamu inginkan?”
“Aku ingin agar ember-ember ini pulang sendiri ke rumah dan airnya
tidak tumpah…”
Ikan syuka berkata: “Ingatlah kata-kataku ini: bila kamu
menginginkan sesuatu, tinggal katakan „Atas perintah ikan syuka, atas
keinginanku.‟”
Lalu Emelya berkata: “Atas perintah ikan syuka, atas keinginanku –
pulanglah ember ke rumah…”
Baru saja Emelya selesai berkata, ember-ember itu berjalan ke
bukit. Emelya melepaskan ikan syuka ke lubang es, dan ia sendiri berjalan
mengikuti ember-embernya. Ember-ember itu berjalan melalui pedesaan,
orang-orang merasa heran. Emelya berjalan di belakang, tertawa…
Ember-ember itu tiba di rumah dan langsung menempatkan diri di
atas bangku, sedangkan Emelya berbaring lagi dekat tungku.
Entah lama entah sebentar waktu berjalan, kakak-kakak iparnya
berkata pada Emelya:
“Emelya, mengapa kamu berbaring saja? Pergilah memotong kayu
bakar.”
“Malas…”
“Kalau kamu tidak mau memotong kayu bakar, kakakmu nanti pulang
dari pasar tidak akan membawakanmu hadiah.”
Dengan malas Emelya beranjak dari dekat tungku. Ia ingat akan ikan
syuka dan dengan pelan berkata: “Atas perintah ikan syuka, atas
keinginanku – pergilah, kapak, memotong kayu bakar, dan kayu bakar –
datanglah sendiri ke rumah dan masuklah ke dalam tungku…”
Kapak melompat keluar dari bawah bangku – dan pergi ke halaman,
lalu memotong kayu bakar. Kayu bakar itu sendiri berjalan ke rumah dan
meletakkan diri di dalam tungku. Entah lama entah sebentar waktu
berjalan, kakak-kakak iparnya kembali berkata:
“Emelya, kita sudah tidak punya kayu bakar. Pergilah ke hutan,
carilah kayu.”
Tapi, Emelya tidak beranjak dari dekat tungku: “Ah, bagaimana
kalian ini?”
“Kami bagaimana?…Masa pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar
adalah pekerjaan kami?”
“Aku malas…”
“Wah, kamu tidak akan dapat hadiah.”
Emelya tidak bisa berbuat apa-apa, ia beranjak dari tungku,
memakai sepatu dan mantel, mengambil tali dan kapak, keluar dan duduk
di atas kereta: “Kakak, bukakan pintu gerbang!”
Kakak iparnya berkata: “Bagaimana kamu ini, bodoh, duduk di
kereta, tapi tidak memasang kudanya?”
“Aku tidak butuh kuda.”
Kakak iparnya membukakan pintu gerbang, dan Emelya berkata
pelan: “Atas perintah ikan syuka, atas keinginanku – berjalanlah sendiri,
kereta, ke hutan…”
Kereta bergerak sendiri ke pintu gerbang, begitu cepat, dengan kuda
pun tak akan terkejar. Tapi, mereka harus melewati kota, di sana banyak
orang yang melihat dan merasa heran. Mereka berteriak: “Tahan dia!,
tangkap dia!”, tapi Emelya mempercepat kereta. Ia sampai di hutan:
“Atas perintah ikan syuka, atas keinginanku – kapak, potonglah
dahan-dahan kecil, dan kalian, dahan-dahan kecil, masuklah sendiri ke
dalam kereta, dan ikatlah sendiri…”
Kapak mulai menebang, memotong dahan-dahan yang kering, dan
dahan-dahan itu masuk sendiri ke dalam kereta, lalu mengikatkan diri
dengan tali. Kemudian Emelya memerintahkan kapak untuk membuat
pentungan agar sulit ditangkap. Ia lalu duduk di atas kereta: “Atas perintah
ikan syuka, atas keinginanku – nah, pentungan, hantam mereka dengan
pukulan.”
Pentungan itu keluar – dan memukul. Orang-orang cepat menyingkir,
dan Emelya tiba di rumah. Ia berbaring lagi dekat tungku.
Entah lama entah sebentar tsar mendengar tentang perbuatan
Emelya dan mengirimkan hulubalang ke rumahnya untuk mencari dan
membawa Emelya ke istana. Hulubalang itu datang ke desa, masuk ke
rumah, di mana Emelya tinggal, dan bertanya:
“Kamu si bodoh Emelya?”
Emelya beranjak dari tungku: “Ada perlu apa?”
“Cepatlah berpakaian, aku akan membawamu menghadap tsar.”
“Tapi aku malas…”
Hulubalang itu marah dan menamparnya. Emelya berkata dengan
perlahan: “Atas perintah ikan syuka, atas keinginanku – pentungan, pukul
dia…”
Pentungan melompat keluar dan memukul hulubalang, dengan
susahnya hulubalang itu pergi. Tsar heran halubalangnya tidak bisa
mengalahkan Emelya. Tsar kemudian mengirimkan pejabat tingginya:
“Bawa si bodoh Emelya ke hadapanku, kalau tidak aku akan melepaskan
kepala dari bahumu.”
Pejabat tinggi itu membeli kismis, buah sliva, dan kue jahe. Ia
datang ke desa, masuk ke rumah Emelya dan bertanya pada iparnya apa
yang disukai Emelya.
“Emelya, saudara kami, suka bila ia diminta secara lembut dan
dijanjikan kemeja panjang berwarna merah, maka ia akan melakukan
semua apa yang anda minta.”
Pejabat tinggi itu memberi Emelya kismis, buah sliva, kue jahe, dan
berkata: “Emelya, Emelya, mengapa kamu berbaring dekat tungku saja?
Mari kita pergi ke istana.”
“Di sini aku merasa hangat…”
“Emelya, Emelya, di istana kamu akan dijamu dengan baik dan diberi
minuman, marilah kita pergi.”
“Tapi aku malas…”
“Emelya, Emelya, tsar akan menghadiahimu kemeja panjang
berwarna merah, topi, dan sepatu.”
Emelya menimbang-nimbang: “Ya, baiklah, anda pergi duluan, aku
akan menyusul dari belakang.”
Pejabat tinggi itu pergi, dan Emelya tetap berbaring dan berkata:
“Atas perintah ikan syuka, atas keinginanku – nah, tungku, pergilah ke
istana tsar…” Lalu sisi-sisi rumah itu bergetar, atap bergoyang, dinding
berterbangan, dan tungku itu sendiri berjalan di sepanjang jalan langsung
menuju istana tsar. Tsar melihat ke jendela dan kaget:
“Ah, apa itu?”
Pejabat tinggi menjawabnya: “Itu Emelya dan tungkunya datang
kepada anda.”
Tsar keluar ke balkon: “Emelya, banyak pengaduan tentang kamu!
Kamu mengganggu banyak orang.”
“Tapi, mengapa mereka menghalangi kereta?”
Pada saat itu melalui jendela putri tsar, Maria-tsarevana, melihat
Emelya. Emelya melihatnya lewat teralis dan berkata perlahan: “Atas
perintah ikan syuka, atas keinginanku – jadikanlah putri tsar mencintaiku…”
Dan berkata lagi: “Pulanglah, tungku, ke rumah…”
Tungku berbalik dan pulang ke rumah. Ia masuk ke rumah dan berdiri
di tempat semula. Emelya kembali berbaring-baring.
Sementara itu di istana tsar terdengar teriakan dan tangisan. Maria-
tsarevna merindukan Emelya, ia tidak bisa hidup tanpa Emelya. Ia meminta
ayahnya untuk menikahkannya dengan Emelya. Karena itu tsar merasa
sengsara, sedih. Ia berbicara lagi pada pejabat tinggi: “Pergilah, bawalah
Emelya kepadaku, hidup atau mati, kalau tidak akan kulepas kepala dari
bahumu.”
Pejabat tinggi itu membeli anggur manis dan bermacam-macam
makanan, pergi ke desa, masuk ke rumah Emelya dan mulai menjamu
Emelya. Emelya makan dan minum sampai habis, mabuk, dan terbaring
tidur. Pejabat tinggi memasukkannya ke kereta dan membawanya ke istana
tsar. Saat itu juga tsar memerintahkan membuat tong besar dengan simpai
besi. Ke dalamnya dimasukkan Emelya dan Maria-tsarevna, tong itu diberi
ter dan dilemparkan ke laut. Entah lama entah sebentar – Emelya
terbangun, gelap, dan sesak.
“Dimana aku?”
Dan ada yang menjawab: “Bosan dan mual, Emelya! Kita diberi ter di
dalam tong dan dilemparkan ke laut biru.”
“Lalu siapa kamu?”
“Aku – Maria-tsarevna.”
Emelya berkata: “Atas perintah ikan syuka, atas keinginanku – angin
yang kuat, bawalah tong ke tepi pantai yang kering, ke pasir kuning…”
Angin kuat berhembus. Laut bergejolak, tong menepi ke pantai yang
kering, ke pasir kuning. Emelya dan Maria-tsarevna keluar dari tong.
“Emelya, dimana kita akan tinggal? Buatlah satu rumah.”
“Tapi aku malas…”
Maria memintanya lagi. Emelya lalu berkata: “Atas perintah ikan
syuka, atas keinginanku – buatlah istana batu dengan atap emas. Di
sekelilingnya – taman hijau dengan bunga-bunga bermekaran dan burung-
burung berkicau.”
Maria-tsareva dan Emelya masuk ke istana, duduk dekat jendela.
“Emelya, tidak bisakah kamu menjadi lebih tampan?”
Untuk itu Emelya tak berpikir lama: “Atas perintah ikan syuka, atas
keinginanku – jadikan aku seorang yang gagah berani dan tampan…” Dan
Emelya menjadi seperti yang tak bisa diungkapkan cerita, tak bisa
dituliskan tinta.
Sementara itu, tsar pergi berburu dan melihat telah berdiri sebuah
istana yang dulunya tidak ada.
“Siapa orang kurang ajar yang tanpa izinku telah membangun istana
di tanahku?”
Ia mengirim orang untuk mencari tahu dan bertanya, siapakah itu?
Orang yang dikirim itu lari dan berdiri di bawah teralis dan bertanya.
Emelya menjawab: “Mintalah tsar untuk bertamu ke rumahku, aku sendiri
yang akan berkata kepadanya.”
Tsar datang bertamu. Emelya menemuinya, membawanya ke istana,
dan mempersilakan duduk. Mereka mulai makan-makan. Tsar makan,
minum, dan tidak merasa heran: “Siapakah kamu, hai orang gagah?”
“Anda ingat si bodoh Emelya – yang datang pada anda dengan
tungku, tapi anda memerintahkan memasukkannya dengan anak gadis anda
ke dalam tong yang diberi ter dan dilemparkan ke laut? Saya – Emelya itu.
Ingin saya membakar dan menghancurkan seluruh kerajaan anda.”
Tsar sangat terkejut, ia meminta maaf: “Menikahlah dengan putriku,
Emelya, ambilah kerajaanku, tapi jangan bunuh aku!”
Mereka mengadakan pesta besar. Emelya menikah dengan Maria-
tsarevna dan mulai memerintah kerajaan.
Begitulah akhir ceritanya.
Cerita Lisan Rakyat Rusia
Angsa-angsa
Hidup sepasang suami istri. Mereka mempunyai seorang anak
perempuan dan anak laki-laki kecil.
“Putriku,” kata ibunya, “kami akan pergi bekerja, jagalah adikmu!
Jangan keluar dari pekarangan, jadilah anak pintar, nanti kamu akan kami
belikan baju.”
Lalu ayah dan ibunya pergi. Tapi, gadis cilik itu lupa akan pesan
orang tuanya: ia mendudukan adiknya di atas rumput di bawah jendela, dan
ia sendiri berlari ke jalan, bermain, dan berjalan-jalan. Datang
berterbangan angsa-angsa, mencengkeram anak laki-laki itu, dan membawa
anak itu di atas sayapnya.
Gadis cilik itu kembali, melihat – adiknya tidak ada! Ia berseru,
mencari ke sana kemari – tidak ada! Dia memanggil-manggil adiknya, tapi
tak ada balasan dari adiknya. Air matanya berlinang, menangisi akan
mendapatkan hal yang buruk dari ayah dan ibunya.
Ia berlari ke ladang, tapi hanya melihat angsa-angsa yang berjalan
mondar-mandir di kejauhan dan menghilang ke dalam hutan lebat. Iia
menduga bahwa mereka telah membawa adiknya, sudah lama terdengar
desas-desus tentang angsa-angsa itu, yang berbuat jahat dan membawa
anak-anak kecil.
Gadis cilik itu pergi mengejar mereka. Ia berlari, berlari, dan
melihat – berdiri sebuah tungku. “Tungku, tungku, katakanlah, kemana
angsa-angsa itu terbang?”
Tungku menjawab: “Makanlah pastel gandum hitamku, nanti akan
kukatakan.”
“Aku akan memakan pastel gandum hitammu! Di rumahku pastel
terigu tidak dimakan…”
Tungku tidak mengatakan apapun pada gadis cilik itu. Gadis cilik itu
berlari lagi – berdiri pohon apel. “Pohon apel, pohon apel, katakan,
kemana angsa-angsa itu terbang?”
“Makanlah buah apel hutanku ini, nanti akan kukatakan.”
“Di rumahku buah apel kebun tidak dimakan…” Pohon apel itu tidak
mengatakan apa-apa. Gadis cilik itu berlari lagi. Mengalir sungai susu
dengan jelai di tepinya.
“Sungai susu, tepian jelai, kemana angsa-angsa itu terbang?”
“Makanlah jelai dengan susuku ini, nanti akan kukatakan.”
“Di rumahku susu asam tidak diminum…”
Lama ia berlari-lari di ladang, di hutan. Siang mendekati sore, ia
tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia harus pulang ke rumah. Tiba-tiba ia
melihat ada sebuah pondok, dengan satu jendela, di atas kaki ayam. Ia
mengitari pondok itu.
Di pondok itu seorang nenek tua, Baba Yaga, sedang memintal rami.
Di atas bangku kecil duduk adiknya yang sedang memainkan apel-apel
perak. Gadis cilik itu masuk ke pondok: “Hai, nenek!”
“Hai, gadis cilik! Mengapa kamu datang kemari?”
“Aku berjalan-jalan di rawa, bajuku basah, aku datang untuk
menghangatkan diri.”
“Duduklah kemari, pintallah rami ini. Baba Yaga akan memberimu
alat pemintal, dan aku sendiri akan pergi.”
Lalu gadis cilik itu memintal. Tiba-tiba dari bawah tungku keluar
seekor tikus dan berkata padanya:
“Gadis cilik, gadis cilik, beri aku bubur, aku akan menceritakan
sesuatu padamu.”
Gadis cilik itu memberinya bubur, dan tikus itu berkata:
“Baba Yaga pergi memanaskan air. Dia akan membersihkanmu,
mengukusmu, meletakkanmu di atas tungku, memasakmu dan memakanmu,
lalu dia sendiri akan memakan habis tulang-tulangmu.”
Gadis cilik itu duduk tak bergerak, ia menangis, lalu tikus itu berkata
lagi:
“Jangan tunggu lagi, bawa adikmu, larilah, aku akan meng-
gantikanmu memintal rami.”
Gadis cilik itu membawa adiknya dan berlari. Sementara itu, Baba
Yaga mendekat ke tingkap jendela dan bertanya: “Gadis cilik, kamu masih
memintalkah?”
Tikus menjawab: “Aku masih memintal, nenek…”
Baba Yaga selesai memanaskan air dan kembali menemui gadis cilik
itu. Tapi, di dalam pondok itu tak ada siapa-siapa. Baba Yaga berteriak:
“Angsa-angsa! Kejarlah! Anak gadis itu membawa adiknya!”
Gadis cilik dan adiknya berlari sampai sungai susu. Ia melihat angsa-
angsa yang terbang. “Wahai sungai, sembunyikan aku!”
“Makanlah jelaiku ini.”
Gadis itu memakannya dan mengucapkan terima kasih. Sungai
menutupinya di bawah tepian jelai. Angsa-angsa itu tidak melihatnya,
mereka terbang melewatinya. Gadis cilik dan adiknya berlari lagi. Tapi,
angsa-angsa kembali dan melihatnya. Apa yang harus dilakukan? Sial!
Berdiri pohon apel… “Wahai pohon apel, sembunyikan aku!”
“Makanlah buah apel hutanku ini.”
Gadis itu segera memakannya dan mengucapkan terima kasih. Pohon
apel lalu melindunginya dengan ranting-ranting dan menutupinya dengan
daun-daun. Angsa-angsa tidak melihatnya, mereka terbang melewatinya.
Gadis cilik itu kembali berlari. Berlari, berlari, tinggal sedikit lagi. Tapi,
angsa-angsa melihatnya, tertawa-tawa, dan berterbangan di atasnya,
mengepak-ngepakkan sayap, melihat, dan hendak merebut adiknya dari
tangannya. Gadis cilik itu berlari sampai tungku. “Wahai tungku,
sembunyikan aku!”
“Makanlah pastel gandum hitamku.”
Gadis cilik itu segera memasukkan pastel ke mulutnya, lalu ia sendiri
dan adiknya masuk ke tungku dan duduk dekat lubang tungku.
Angsa-angsa itu terbang, terbang, berteriak, berteriak, dan terbang
kembali pada Baba Yaga tanpa hasil.
Gadis cilik itu mengucapkan terima kasih pada tungku dan bersama
adiknya lari pulang ke rumah. Lalu ayah dan ibunya datang.
Cerita Lisan Rakyat Rusia
Alyonushka dan Ivanushka
Hiduplah seorang lelaki tua dan istrinya, mereka mempunyai anak
perempuan bernama Alyonushka dan anak laki-laki bernama Ivanushka.
Lelaki tua dan istrinya itu lalu meninggal dunia. Tinggallah Alyonushka dan
adiknya, Ivanushka, sendiri. Alyonushka pergi mencari pekerjaan dengan
membawa adiknya. Mereka menempuh perjalanan yang jauh, melalui
ladang-ladang yang luas. Ivanushka ingin minum. “Alyonushka, kakakku,
aku ingin minum!”
“Tunggu, adikku, kita akan sampai ke sumur.”
Mereka berjalan, berjalan – matahari sudah tinggi, sumur masih
jauh, udara semakin panas, keringat bercucuran. Lalu ada kuku sapi yang
dipenuhi air.
“Alyonushka, kakakku, aku akan minum dari kuku itu!”
“Jangan adikku, nanti kamu jadi anak sapi!”
Ivanushka mematuhinya dan berjalan lagi. Matahari bertambah
tinggi, sumur masih jauh, udara makin panas, keringat bercucuran. Lalu
ada kuku kuda yang dipenuhi air.
“Alyonushka, kakakku, aku akan minum dari kuku itu!”
“Jangan adikku, nanti kamu jadi anak kuda!”
Ivanushka menarik nafas dan berjalan lagi. Mereka berjalan, berjalan
– matahari masih tinggi, sumur masih jauh, udara masih panas, keringat
bercucuran. Lalu ada kuku kambing yang dipenuhi air. Ivanushka berkata:
“Alyonushka, kakakku, aku tak kuat lagi, aku akan minum dari kuku itu!”
“Jangan adikku, nanti kamu jadi anak kambing!”
Ivanushka tidak mendengarkan kakaknya dan minum dari kuku
kambing. Setelah selesai minum, ia menjadi anak kambing… Alyonushka
memanggil adikknya, tapi, sebagai ganti Ivanushka, berlari di belakangnya
seekor anak kambing berwarna putih. Alyonushka berurai air mata. Ia
duduk di bawah timbunan jerami – menangis, sedangkan anak kambing
meloncat-loncat di dekatnya. Pada saat itu melintas seorang saudagar:
“Mengapa kau menangis, gadis cantik?”
Alyonushka menceritakan kemalangannya kepada saudagar itu.
Saudagar itu berkata: “Menikahlah denganku. Aku akan memberimu
pakaian bagus dengan emas dan perak, dan anak kambing itu akan tinggal
bersama kita.”
Alyonushka berpikir, berpikir, dan memutuskan untuk menikah
dengan saudagar itu. Mereka kemudian hidup bahagia. Anak kambing
tinggal bersama mereka, makan-minum dengan Alyonushka memakai wadah
yang sama.
Suatu hari saudagar itu sedang tidak di rumah. Entah darimana
datanglah seorang penyihir. Ia berdiri di bawah jendela kamar Alyonushka
dan dengan suatu cara ia mulai memanggilnya untuk berenang di sungai.
Penyihir itu menuntun Alyoshka ke sungai, lalu mendekatinya, mengikatkan
batu ke leher Alyonushka dan mendorongnya ke air. Ia sendiri kemudian
berubah menjadi Alyonushka, berpakaian seperti Alyonushka, dan masuk ke
rumah. Tak seorangpun mengenali penyihir itu. Saudagar pulang, tapi ia
sendiri tidak mengenalinya. Hanya anak kambing yang mengetahui hal itu.
Ia sedih, tidak mau minum dan makan. Pagi dan sore ia berjalan di
sepanjang sungai dekat air dan memanggil: “Alyonushka, kakakku!..
Keluarlah, keluarlah ke tepi sungai…”
Si penyihir mengetahui hal itu dan meminta suaminya untuk
menyembelih anak kambing itu… Saudagar merasa kasihan pada anak
kambing itu, dia sudah terbiasa dengan anak kambing itu. Tapi, si penyihir
terus mendesaknya dan memohon-mohon sehingga ia tidak dapat berbuat
apa-apa. Lalu saudagar menyetujuinya: “Baiklah, aku akan
menyembelihnya.”
Penyihir memerintahkan untuk menyiapkan api yang besar,
memanaskan periuk besi, mengasah pisau yang tajam. Anak kambing itu
mengatahui bahwa hidupnya tidak lama lagi, dan berkata pada ayah
angkatnya: “Menjelang kematianku, izinkan aku pergi ke sungai, aku akan
minum air, membersihkan ususku.”
“Baiklah, pergilah.”
Anak kambing itu berlari ke sungai, berdiri di tepi sungai dan
berteriak dengan sedih: “Alyonushka, kakakku! Keluarlah, keluarlah ke tepi
sungai. Api besar sedang dinyalakan, periuk besi sedang dididihkan, pisau
diasah tajam, mereka akan menyembelihku!”
Dari dalam sungai Alyonushka menjawab: “Oh, adikku Ivanushka!
Berat batu terikat di dasar sungai, rumput-rumput kecil membelit kaki,
pasir kuning menimbuni dada.”
Sementara itu si penyihir tidak bisa menemukan anak kambing. Ia
menyuruh pelayan: “Pergi, cari anak kambing itu, bawa dia kepadaku.”
Pelayan pergi ke sungai dan melihat: di tepi sungai anak kambing itu
berlari-lari dan dengan sedih memanggil: “Alyonushka, kakakku! Keluarlah,
keluarlah ke tepi sungai. Api besar sedang dinyalakan, periuk besi sedang
dididihkan, pisau diasah tajam, mereka akan menyembelihku!”
Dari dalam sungai Alyonushka menjawab: “Oh, adikku Ivanushka!
Berat batu terikat di dasar sungai, rumput-rumput kecil membelit kaki,
pasir kuning menimbuni dada.”
Pelayan itu berlari kembali ke rumah dan menceritakan apa yang
didengarnya di sungai kepada saudagar. Orang-orang berkumpul, lalu pergi
ke sungai. Mereka melemparkan jaring halus dan mengeluarkan Alyonushka
ke tepi sungai. Mereka melepaskan batu dari lehernya, membersihkan
Alyonushka ke air sumber, lalu mengenakan pakaian bagus pada
Alyonushka. Alyonushka masih hidup, ia bahkan lebih cantik dari
sebelumnya. Karena gembira, anak kambing itu tiga kali menggeleng-
gelengkan kepala dan berubah kembali menjadi anak laki-laki – Ivanushka.
Si penyihir lalu diikat ke ekor kuda yang dilepaskan ke lapangan kosong.
Cerita Lisan Rakyat Rusia
Dua Orang dari dalam Kantong
Hiduplah seorang lelaki tua dan istrinya. Istrinya selalu memakinya
sehingga setiap hari ia selalu dipukul dengan tongkat. Lelaki tua itu tak
dapat hidup tentram dengan istrinya. Ia lalu pergi ke ladang, membawa
jaring untuk menangkap burung dan meletakkannya. Ia menangkap seekor
burung bangau dan berkata kepadanya: „Jadilah anakku! Aku akan
membawamu pada istriku sehingga dia tidak akan memakiku lagi.”
Bangau menjawab: “Tuan, mari kita ke rumahku.”
Lalu lelaki tua itu pergi ke rumah bangau. Setelah sampai, burung
bangau mengambil kantong dari dinding dan berkata: “Dua orang dari
dalam kantong!” saat itu juga keluar dari dalam kantong dua anak muda,
mereka mulai menyiapkan meja, mengalasinya dengan taplak sutra,
menghidangkan makanan dan berbagai minuman. Lelaki tua itu melihat
hidangan yang tak pernah ia lihat seumur hidupnya. Ia sangat senang.
Burung bangau berkata kepadanya: “Ambil kantong ini untukmu dan
bawalah untuk istrimu.”
Begitulah, lelaki tua itu membawa kantong itu dan pulang. Dia
menempuh perjalanan yang jauh. Ia singgah di suatu pondok untuk
bermalam. Pemilik pondok itu mempunyai tiga anak perempuan. Mereka
menyiapkan makan malam ala kadarnya. Lelaki tua itu makan, tapi tak
dilanjutkan. Ia berkata pada pemilik pondok: “Makananmu tak enak!”
“Begitulah makanannya, Tuan!” jawab pemilik pondok.
Lalu lelaki tua itu berkata: “Bereskan makananmu ini.” Dengan
kantong yang ia punyai, lalu ia berkata seperti yang diperintahkan burung
bangau: “Dua orang dari dalam kantong!” Saat itu juga dua orang dari
dalam kantong keluar, menyiapkan meja, mengalasinya dengan taplak
sutra, menghidangkan makanan dan berbagai minuman.
Pemilik pondok dan anak-anaknya takjub. Pemilik pondok itu
berpikir untuk mengambil kantong itu dari lelaki tua itu. Ia berkata kepada
anak-anaknya: “Pergilah, siapkan kamar mandi agar tamu itu mandi.”
Begitulah, lelaki tua itu mandi, sedangkan si pemilik pondok
menyuruh anak-anaknya menjahit kantong yang persis sama seperti
kepunyaan lelaki tua itu. Mereka lalu menjahitnya dan meletakkan kantong
itu di kamar lelaki tua, sedangkan kantong lelaki tua diambilnya.
Lelaki tua itu keluar dari kamar mandi, mengambil kantong palsu itu
dan dengan gembira pulang ke rumah menemui istrinya. Ia sampai di
halaman rumah dan berteriak dengan suara keras: “Istriku, istriku! Sambut
aku dan bangau-anak lelakiku.”
Istrinya segera menemuinya dan menggerutu: “Ayolah, Pak Tua! Aku
akan memukulmu.”
Lelaki tua itu berkata: “Istriku! Sambut aku dan bangau-anak
lelakiku.” Ia masuk ke rumah, menggantungkan kantong ke cantolan dan
berteriak: “Dua orang dari dalam kantong!” Dari dalam kantong tidak ada
apa-apa. Istrinya tahu, bahwa suaminya berkata bohong, ia mengambil
tongkat dan memukul suaminya.
Lelaki tua itu kaget. Ia menangis dan pergi lagi ke ladang. Burung
bangau datang, tahu akan kemalangan lelaki tua itu dan berkata: “Marilah,
Tuan, ke rumahku lagi.”
Begitulah, lelaki tua itu pergi. Di rumah bangau ada lagi kantong
yang sama. “Dua orang dari dalam kantong!” kata bangau. Dua orang dari
dalam kantong keluar dan menyiapkan hidangan yang sama seperti
sebelumnya. “Bawa kantong ini untukmu.” Kata burung bangau pada lelaki
tua itu.
Lelaki tua itu mengambil kantong dan pulang. Ia berjalan, berjalan,
dan ingin makan. Ia berkata seperti yang diperintahkan burung bangau:
“Dua dari dalam kantong!” Dua orang dari dalam kantong keluar – dua anak
muda dengan tongkat besar dan mulai memukulinya sambil berkata:
“Jangan singgah di pondok, jangan mandi!” Sebelum dipukuli, lelaki tua itu
tidak mengatakan: “Dua orang ke dalam kantong!” Begitu ia mengucapkan
kata-kata itu, dua orang masuk ke dalam kantong bersembunyi.
Begitulah, lelaki tua membawa kantong itu dan pergi. Ia tiba di
pondok yang sama, menggantungkan kantong ke cantolan dan berkata pada
pemilik pondok: “Siapkan kamar mandi untukku.”
Pemilik pondok menyiapkannya. Lelaki tua itu mandi: pura-pura
mandi, hanya menghabiskan waktu. Pemilik pondok memanggil anak-
anaknya. Ia duduk di belakang meja, ingin makan, dan berkata: “Dua orang
dari dalam kantong!” Dua orang dari dalam kantong keluar dengan tongkat
besar, lalu memukul pemilik pondok sambil berkata: “Berikan kantong
punya Pak Tua!” Pemilik pondok dipukul, dipukul. Ia berkata pada anak
tertuanya: “Pergilah, panggil tamu itu dari kamar mandi, katakana dua
orang dari dalam kantong memukuli aku.”
“Aku masih mandi,” jawab lelaki tua.
Mereka masih terus memukuli pemilik pondok sambil berkata:
“Berikan kantong Pak Tua!”
Pemilik pondok itu menyuruh anak keduanya: “Cepat panggil tamu
itu kemari.”
Lelaki tua menjawab: “Aku belum keramas.”
Lalu pemilik pondok menyuruh anak ketiga.
“Aku belum selesai mandi” kata lelaki tua itu.
Pemilik pondok itu kehilangan kesabaran! Ia menyuruh
mengambilkan kantong yang dicurinya. Lelaki tua keluar dari kamar mandi,
melihat kantongnya yang dulu dan berkata: “Dua orang ke dalam kantong!”
Dua orang itu masuk ke dalam kantong dan bersembunyi.
Lelaki tua itu membawa kedua kantong – yang pemarah dan yang
baik. Ia pulang ke rumah. Saat sampai di halaman rumahnya ia berteriak
kepada istrinya: “Sambut aku dan bangau-anak lelakiku.”
Istrinya segera menemuinya: “Kamu pulang ke rumah, aku akan
memukulmu!”
Lelaki tua masuk ke dalam rumah, memanggil istrinya: “Duduklah di
balik meja!” Lalu ia berkata: “Dua orang dari dalam kantong!”
Dua orang dari dalam kantong keluar, menghidangkan minuman dan
makanan. Istrinya makan – minum sekenyang-kenyangnya dan berkata pada
suaminya: “Nah Pak Tua, kini aku tidak akan memukulmu!”
Setelah kenyang makan, lelaki tua itu pergi ke halaman. Ia
menyimpan kantong yang baik ke dalam kotak, sedangkan kantong pemarah
digantungkan ke cantolan. Lalu ia sendiri pura-pura berjalan-jalan di
halaman, sekedar menghabiskan waktu. Istrinya ingin minum lagi, dan ia
mengucapkan kata-kata seperti suaminya: “Dua orang dari dalam kantong!”
Keluarlah dua orang dari dalam kantong dengan tongkat besar dan mulai
memukulnya. Mereka memukuli sampai wanita tua itu tak kuat lagi! Ia
berteriak pada suaminya: “Pak Tua, Pak Tua! Masuklah, dua orang dari
dalam kantong memukuliku!”
Tapi, ia pura-pura berjalan-jalan, hanya tertawa dan berkata:
“Mereka akan memberimu!”
Dua orang dari dalam kantong terus memukuli wanita tua itu dan
berkata: “Jangan pukuli Pak Tua! Jangan pukuli Pak Tua!”
Akhirnya, lelaki tua itu merasa kasihan pada istrinya. Ia masuk ke
rumah dan berkata: “Dua orang ke dalam kantong!” Dua orang masuk ke
dalam kantong dan bersembunyi. Sejak saat itu lelaki tua dan istrinya hidup
begitu rukun dan damai. Istrinya selalu melayaninya. Begitulah cerita ini
berakhir.
A Russian Folk Tale
Morozko*
Hiduplah seorang lelaki tua yang menikah lagi. Lelaki itu mempunyai
seorang anak perempuan, istrinya pun mempunyai seorang anak
perempuan. Semua tahu bagaimana hidup dengan ibu tiri: melakukan
kesalahan atau tidak selalu dimarahi, tetapi anaknya sendiri tidak
melakukan apa-apa, dia selalu dibanggakan sebagai anak pintar. Si anak tiri
memberi minum dan makan ternak, membawakan kayu bakar dan air ke
dalam rumah, menyalakan tungku, membersihkan rumah saat pagi buta…
Namun, tak ada yang membuat wanita tua itu puas, semuanya selalu salah,
semuanya selalu jelek. Saat angin bergemuruh ataupun saat senyap, wanita
tua itu selalu ribut – tidak segera berhenti. Begitulah hingga suatu ketika
ibu tiri itu berpikir untuk melenyapkan anak tirinya dari muka bumi.
“Bawa, bawa dia, Pak Tua,” katanya kepada suaminya, “kemanapun kau
mau agar mataku tak melihatnya lagi! Bawa dia ke hutan, ke udara yang
sangat dingin.”
Lelaki tua itu sedih, menangis, tapi tak ada yang bisa dilakukannya,
ia tidak ingin bertengkar dengan istrinya. Lalu ia menyiapkan kuda:
“Duduk, anakku manis, dalam kereta.” Lelaki tua itu membawanya ke
hutan, menurunkannya di tumpukan salju di bawah pohon cemara besar,
lalu pergi. Anak gadis itu duduk di bawah pohon cemara, gemetar,
menggigil. Tiba-tiba terdengar – tidak jauh Morozko bergemeretak di pohon
cemara, melompat dari satu pohon cemara ke pohon cemara, berkeretak.
Tiba-tiba ia sampai di pohon cemara yang di bawahnya duduk gadis itu, dan
dari atas ia bertanya: “Merasa hangatkah kamu, nona?”
Gadis itu menarik nafas dalam: “Hangat, Morozko, hangat, Tuan.”
Morozko bergerak lebih rendah lagi, gemeretak lebih keras: “Merasa
hangatkah kamu, nona? Hangatkah kamu, cantik?”
Gadis itu menarik nafas dalam: “Hangat, Morozko, hangat, Tuan.”
Morozko bergerak lebih rendah lagi, berkeretak lebih kuat: “Merasa
hangatkah kamu, nona? Hangatkah kamu cantik? Hangatkah kamu manis?”
Gadis itu menjadi kaku, lidahnya hanya bergerak sedikit: : “Oi,
hangat Morozko yang baik!”
Saat itu Morozko merasa kasihan pada gadis itu. Ia menyelimutinya
dengan mantel bulu yang hangat, menghangatkannya dengan selimut bulu
yang halus.
Sementara itu ibu tirinya sedang mempersiapkan perayaan, ia sedang
membuat kue panekuk. Ia berteriak kepada suaminya: “Pergilah, hai Pak
Tua, bawa anakmu untuk dikuburkan!”
Lelaki tua itu pergi ke hutan. Ia sampai di tempat, di bawah pohon
cemara, dimana anak gadisnya duduk, tampak gembira, berseri-seri,
memakai mantel bulu, dengan emas dan perak, dan di dekatnya ada kotak
dengan barang-barang berharga. Lelaki tua itu gembira, meletakkan
semuanya ke dalam kerata, mendudukkan anak gadisnya, lalu pulang ke
rumah.
Sementara itu, di rumah, si wanita tua sedang memasak pastel,
anjing ada di bawah meja: “Guk, guk! Anak gadis lelaki tua datang dengan
emas dan perak, tapi anak gadis wanita tua tak akan menikah.”
Wanita tua itu melemparinya dengan pastel: “Jangan menyalak
begitu! Katakanlah: anak gadis wanita tua akan menikah, tapi anak gadis
lelaki tua tinggal tulang belulang…”
Anjing itu memakan habis pastel dan menyalak lagi: “Guk, guk! Anak
gadis lelaki tua datang dengan emas dan perak, tapi anak gadis wanita tua
tidak akan menikah.”
Wanita tua itu melemparinya dengan pastel dan memukulnya, tapi
anjing itu berkata hal yang sama. Tiba-tiba pintu gerbang berderit, pintu
terbuka, ke dalam rumah masuk si anak tiri – dengan emas dan perak,
begitu berkilau. Dan di belakangnya dibawa kotak besar yang berat. Wanita
tua itu memandangi, tangannya membentang lebar…
“Siapkan, Pak Tua, kuda lain! Bawa, bawa anakku ke tempat yang sama…”
Lelaki tua itu mendudukkan anak gadis wanita tua di kereta,
membawanya ke hutan, ke tempat yang sama, menurunkannya di tumpukan
salju di bawah pohon cemara besar dan pergi. Anak gadis wanita tua itu
duduk, giginya bergemeletuk. Sementara itu Morozko bergemeretak di
hutan, melompat dari satu pohon cemara ke pohon cemara yang lain,
berkeretak, lalu melihat pada anak gadis wanita tua itu: “Merasa hangatkah
kamu, nona?”
Anak gadis itu menjawab: “Oi, sangat dingin! Jangan berisik, jangan
berkeretak Morozko…”
Morozko bergerak lebih rendah, bergemeretak lebih keras: “Merasa
hangatkah kamu, nona? Hangatkah kamu, cantik?”
“Oi, tangan, kaki membeku! Pergilah Morozko…”
Morozko bergerak lebih rendah lagi, bergemeretak lebih keras,
berkeretak: “Merasa hangatkah kamu, nona? Hangatkah kamu, cantik?”
“Oi, dingin sekali! Cepat pergilah, Morozko terkutuk!”
Morozko marah dan memukul gadis itu sampai anak gadis wanita tua
itu membeku.
Pagi-pagi betul wanita tua itu menyuruh suaminya: “Cepatlah pergi,
hai Pak Tua, jemput anak gadisku, bawa dia dengan emas dan perak…”
Lelaki tua itu pergi. Anjing di bawah meja: “Guk, guk! Anak gadis
lelaki tua akan bertunangan, tapi anak gadis wanita tua tinggal tulang
belulang.”
Wanita tua melemparinya dengan pastel: “Jangan menyalak begitu!
Katakan: Anak gadis wanita tua datang dengan emas dan perak…” Tapi,
anjing itu tetap menyalak: “Guk. Guk! Anak gadis wanita tua tinggal tulang
belulang…”
Pintu gerbang berderit. Wanita tua cepat-cepat menyongsong
anaknya. Karung goni menutupinya. Anak gadis wanita tua itu berbaring di
kereta, mati. Wanita tua itu menjerit, tapi sudah terlambat.
-----------------------
* Bapak Musim Dingin/Salju
A Russian Folk Tale
Roti Kecil
Hiduplah seorang lelaki tua dan istrinya. Lelaki tua meminta pada
istrinya: “Buatkan roti, Nek!”
“Buat dari apa? Tak ada tepung.”
“Eeh, Nek! Korek-korek wadah gandum, sapukan, di situ tepung akan
terkumpul.”
Wanita tua itu mengambil kemoceng, mengorek-ngorek wadah gandum,
menyapunya, dan dapat mengumpulkan dua genggam gandum.
Ia mencampirkan adonan dengan krim susu, membakarnya dengan
mentega, lalu meletakkannya di tingkap jendela untuk didinginkan. Roti
kecil itu tergeletak, tergeletak, dan tiba-tiba menggelinding – dari jendela
ke bangku, dari bangku ke lantai, dari lantai mendekat ke pintu.
Menggelinding melewati ambang pintu ke jalan masuk, dari jalan masuk ke
teras, dari teras ke halaman, dari halaman ke pintu gerbang, terus dan
terus.
Roti kecil itu menggelinding di jalan, ia bertemu seekor kelinci:
“Roti kecil, roti kecil! Aku akan memakanmu!”
“Jangan makan aku, kelinci juling! Aku akan menyanyikanmu sebuah
lagu,” kata roti kecil itu dan mulai menyanyi: “Aku dikorek dari wadah
gandum, disapu dari wadah gandum, dicampur dengan krim susu, dibakar
dengan mentega, didinginkan di tingkap jendela, aku terbebas dari si
kakek, aku terbebas dari si nenek, dan dari kamu, kelinci, aku akan
terbebas!” Roti kecil menggelinding lagi sebelum kelinci sempat
melihatnya!
Roti kecil itu menggelinding lagi, ia bertemu seekor serigala: “Roti
kecil, roti kecil! Aku akan memakanmu!”
“Jangan makan aku, serigala abu-abu! Aku akan menyanyikanmu
sebuah lagu,” lalu roti kecil itu mulai menyanyi: “Aku dikorek dari wadah
gandum, disapu dari wadah gandum, dicampur dengan krim susu, dibakar
dengan mentega, didinginkan di tingkap jendela, aku terbebas dari si
kakek, aku terbebas dari si nenek, aku terbebas dari kelinci, dan dari
kamu, serigala, aku akan terbebas!” Roti kecil menggelinding lagi sebelum
serigala sempat melihatnya!
Roti kecil itu menggelinding lagi, ia bertemu seekor beruang: “Roti
kecil, roti kecil! Aku akan memakanmu!”
“Tak akan kamu memakanku, cakar merpati! Roti kecil itu mulai
menyanyi: “Aku dikorek dari wadah gandum, disapu dari wadah gandum,
dicampur dengan krim susu, dibakar dengan mentega, didinginkan di
tingkap jendela, aku terbebas dari si kakek, aku terbebas dari si nenek, aku
terbebas dari kelinci, aku terbebas dari serigala, dan dari kamu, beruang,
aku akan terbebas!” Roti kecil menggelinding lagi sebelum beruang sempat
melihatnya!
Roti kecil itu menggelinding lagi, ia bertemu seekor rubah: “Hai roti
kecil! Betapa lezatnya kamu!”
Roti kecil itu mulai menyanyi: “Aku dikorek dari wadah gandum,
disapu dari wadah gandum, dicampur dengan krim susu, dibakar dengan
mentega, didinginkan di tingkap jendela, aku terbebas dari si kakek, aku
terbebas dari si nenek, aku terbebas dari kelinci, aku terbebas dari
serigala, dari beruang aku terbebas, dan dari kamu, rubah, aku juga akan
terbebas!”
“Lagu yang sangat indah!” kata rubah. “Tapi, roti kecil, aku kan
sudah tua, pendengaranku tidak baik. Duduklah di moncongku, lalu
bernyanyilah sekali lagi dengan lebih keras.
Roti kecil melompat ke moncong rubah dan mulai menyanyikan lagu
yang sama.
“Terima kasih, roti kecil! Lagu yang indah, aku ingin mendengarnya
lagi! Duduklah di lidahku, lalu bernyanyilah sekali lagi,” kata rubah dan
menjulurkan lidahnya.
Roti kecil dengan bodohnya lompat ke lidah rubah, sedangkan rubah
itu: “Am,” memakannya.
A Russian Folk Tale
Rubah dan Bangau
Seekor rubah dan bangau berteman. Begitulah, hingga suatu hari
rubah berpikir untuk mengundang bangau untuk bertamu ke rumahnya.
“Datanglah, datanglah temanku! Aku mengundangmu makan!
Bangau datang ke jamuan makan malam. Rubah memasak bubur
gandum dan membaginya ke piring. Ia menghidangkannya dan berkata:
“Makanlah, temanku! Aku sendiri yang memasak.”
Bangau mematuk-matuk, mengetuk-ngetuk, tapi tidak bisa dapat
apapun. Sementara itu rubah menjilati sendiri bubur sehingga ia sendiri
yang habis memakannya. Bubur telah dimakan, rubah berkata: “Jangan
sakit hati, teman baikku. Tak ada lagi yang dapat dihidangkan untukmu.”
Terima kasih, temanku, untuk ini. Datanglah bertamu ke rumahku.”
Esok harinya rubah datang. Bangau menyiapkan sup dingin. Ia
menuangkan sup dingin ke kendi yang berleher sempit, meletakkannya di
meja dan berkata:
“Makanlah, kawan. Benar, tak ada lagi yang dapat dihidangkan.”
Rubah mulai memandangi sekeliling kendi. Ia mendekatinya dan
menjilatinya, lalu menciuminya, tapi tak dapat apapun. Kepalanya tak bisa
masuk ke kendi. Sementara itu bangau menghirup supnya sampai
menghabiskan semuanya. “Nah, jangan sakit hati, kawan. Tak ada yang bisa
dihidangkan lagi.”
Rubah merasa kesal. Ia mengira akan makan sepuas-puasnya
sepanjang minggu. Rubah pulang ke rumahnya tanpa mendapat apapun.
Bagaimana perbuatan kita, begitulah balasannya! Sejak saat itu
persahabatan rubah dengan bangau putus.