LAPORAN AKHIR
Analisis Peningkatan Perdagangan Intra ASEAN dalam Rangka
Peningkatan Ekspor Indonesia
Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
Kementerian Perdagangan
2016
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga
analisis yang berjudul “Analisis Peningkatan Perdagangan Intra ASEAN dalam
Rangka Peningkatan Ekspor Indonesia”, dapat diselesaikan.
Selain itu Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat
Pengkajian Kerjasama Perdagangan Internasional, BPPP Kemendag dan Kepala Bidang
Kerjasama Regional di Pusat Pengkajian Kerjasama Perdagangan Internasional atas
arahan dan bimbingan dalam penulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan dan pihak lain yang memberikan bantuan dan tidak dapat disebutkan
satu per satu.
Menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, diharapkan masukan yang
membangun untuk memperbaiki laporan ini dimasa mendatang.
TIM PENGKAJI
PUSKA KPI - KEMENDAG
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan iii
ABSTRAK
ANALISIS PENINGKATAN PERDAGANGAN INTRA ASEAN DALAM RANGKA PENINGKATAN EKSPOR INDONESIA
Sejak dimulainya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1993 perdagangan intra ASEAN yang diharapkan tumbuh cepat ternyata berjalan lamban. Sekretaris Jenderal ASEAN mengharapkan perdagangan intra ASEAN dapat meningkat sampai 30 persen pada tahun 2020. Namun berdasarkan data ASEAN Secretariat tahun 2016, perdagangan intra ASEAN mengalami stagnasi dikisaran 20-24 persen selama beberapa kurun waktu terakhir, meskipun hambatan tarif sudah mendekati zero tariff. Hasil analisis gravity model menunjukan bahwa variabel PDB negara eksportir dan importir, kemampuan logistik, dan efektivitas tata kelola pemerintah negara eksportir dan importir berpengaruh positif dan signifikan meningkatkan perdagangan intra ASEAN. Sedangkan jarak dan bahasa komunikasi berpengaruh signifikan menurunkan perdagangan intra ASEAN. Selain itu, berdasarkan hasil analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Intra-Industry Trade (IIT) produk Indonesia yang mampu meningkatkan perdagangan intra ASEAN dan memiliki daya saing tinggi adalah produk kendaraan bermotor lainnya. Sedangkan produk yang perlu didorong pemerintah Indonesia dalam upaya meningkatkan perdagangan intra ASEAN adalah produk makanan dan minuman olahan serta suku cadang dan aksesoris kendaraan bermotor.
Kata Kunci: FTA, Gravity Model, RCA, IIT
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan iv
DAFTAR ISI
Judul………………………………………………………………………………………………………………………….i
Kata Pengantar………………………………………………………………………………………………..……….ii
Abstrak…………………………………………………………………………………………………………………...iii
Daftar Isi……………………………………………………………………………………………………………….…iv
Daftar Tabel…………………………………………………………………………………………………………….vi
Daftar Gambar…………………………………………………………………………………………..……………vii
Bab I Pendahuluan………………………………………………………………………………………….……….1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………………………………..1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………………………………...…4
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………………………………...….5
1.4 Output dan Manfaat…………………………………………………………………………………………5
1.5 Dampak / Manfaat……………………………………………………………………………………….….5
1.6 Ruang Lingkup………………………………………………………………………………………………..5
1.7 Sistematika Penulisan……………………………………………………………………………………..6
Bab II Tinjauan Pustaka dan Metodologi Penelitian…………………………………...………….7
2.1 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pemikiran Penelitian………………………………………7
2.1.1 Teori Perdagangan Internasional dan Integrasi Ekonomi………………….……………7
2.1.2 Dampak Kreasi Perdagangan dari FTA………………………………………...………………15
2.1.3 Dampak Diversi Perdagangan dari FTA……………………………………………………….16
2.1.4 Gravity Model………………………………………………………………………………………………….18
2.1.5 Indeks Perdagangan………………………………………………………………………...…………22
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Terkait Perdagangan Intra Regional………………..23
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian………………………………………………………………...……24
2.4 Metodologi Penelitian……………………………………………………………………………………25
2.4.1 Jenis dan Sumber Data…………………………………………………………………………..……25
2.4.2 Metode Analisis…………………………………………………………………………………..……...25
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan v
Bab III Pembahasan………………………………………………………………………………………….……30
3.1 Analisis Kinerja Perdagangan dan Daya Saing Negara Anggota ASEAN……….……30
3.1.1 Intra-Industry Trade (IIT)…………………………………………………………………………..30
3.1.2 Revealed Comparative Advantage (RCA)………………………………………..……………36
3.1.3 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Perdagangan ASEAN….....42
Bab IV Penutup……………………………………..……………………………………………………………….54
4.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………..54
4.2 Saran………………………...………………………………………………………………………………….54
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………55
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan vi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Nilai IIT Indonesia Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014……………………………31
Tabel 3.2 Nilai IIT Malaysia Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014……………………………...32
Tabel 3.3 Nilai IIT Singapura Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014……………………………33
Tabel 3.4 Nilai IIT Thailand Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014……………………………...34
Tabel 3.5 Nilai IIT Filipina Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014………………………………..35
Tabel 3.6 Nilai IIT Vietnam Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014……………………………....36
Tabel 3.7 Nilai RCA Indonesia Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014………………………….37
Tabel 3.8 Nilai RCA Malaysia Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014……………………………38
Tabel 3.9 Nilai RCA Singapura Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014………………….………39
Tabel 3.10 Nilai RCA Thailiand Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014…………………….…..40
Tabel 3.11 Nilai RCA Filipina Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014…………………………....41
Tabel 3.12 Nilai RCA Vietnam Ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014…………………………..42
Tabel 3.13 Hasil Analisis Gravity Model………………………..………………………………………………51
Tabel 3.14 Rata-rata Rasio Kesuksesan Integrasi Komoditas yang diperdagangan di
Intra ASEAN Berdasarkan Broad Economic Categories (BEC) Selama Periode Tahun
2007-
2014………………………………………………………………………………………………………………………53
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Aliran Investasi Negara Donor ke Negara ASEAN dan Partner Dagangnya…1
Gambar 1.2 Pangsa GDP negara Anggota ASEAN…………………………………………………….…..2
Gambar 1.3 Pangsa Ekspor Intra ASEAN…………………………………………………………………….3
Gambar 1.4 Pangsa Impor Intra ASEAN………………………………………………………………………4
Gamabr 2.1 Analisis Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional……………….………9
Gambar 2.2 Dampak Penciptaan atau Kreasi Perdagangan dari Pembentukan Free Trade
Agreement………………………………………………………………………………………………………………16
Gambar 2.3 Dampak Diversi Perdagangan Akibat Pembentukan FTA……………………...18
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Penelitian……………………….....…………………………..………24
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sebagai suatu kerjasama regional di kawasan Asia Tenggara, ASEAN tumbuh
menjadi kawasan ekonomi yang kompetitif di dunia. Gross domestic product (GDP)
negara ASEAN menempati peringkat ke-7 terbesar di dunia dan terbesar ke-3 di
Asia. (Sekretariat ASEAN, 2015). Selain itu ASEAN juga berkembang menjadi salah
satu tujuan utama investasi dunia. Hal ini terlihat dari adanya dana investasi asing
yang masuk ke ASEAN sebesar 136 juta US$ pada tahun 2014. Dalam bidang
perdagangan ASEAN juga mencatat prestasi yang luar biasa dimana dari tahun 2007
sampai dengan 2014 nilai total perdagangan meningkat hampir 1 triliun Dollar
Amerika, yang mana share terbesarnya berasal dari perdagangan intra-ASEAN
sebesar 24,1 persen.
Dalam hal investasi selama tahun 2012-2014 dari total dana investasi asing yang
masuk sebesar 369 milyar US Dollar; 17,4 persen berasal dari ASEAN; kemudian
diikuti secara berurutan oleh Uni Eropa sebesar 15,7 persen; Jepang 15,3 persen;
Amerika Serikat 8,8 persen, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebesar 5.8
persen (Sekretariat ASEAN, 2015). Sedangkan dalam share perdagangan ASEAN
berdasarkan mitra dagang, perdagangan intra ASEAN menduduki share tertinggi
dengan persentase 24,1 persen; diikuti oleh RRT sebagai mitra dagang utama
ASEAN sebesar 14,5 persen; Uni Eropa sebesar 14,5 persen; Jepang 9,1 persen; dan
Amerika Serikat 8,4 persen. Secara detil dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Sumber: ASEAN Secretariat (2015)
Gambar 1.1. Aliran Investasi Negara Donor ke Negara ASEAN dan Mitra
Dagangnya.
Selama tahun 2011-2015 Indonesia merupakan negara dengan kontribusi terbesar
dalam GDP ASEAN dengan total share lebih dari 35 persen, diikuti oleh Thailand
diperingkat ke-2 sebesar 16 persen, Malaysia dan Singapura diperingkat ke-3 dan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 2
ke-4 sebesar 12 persen (IMF, 2016). Pangsa GDP negara anggota ASEAN secara
detil dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2. Pangsa GDP negara Anggota ASEAN
Berdasarkan Gambar 1.2. meskipun GDP Indonesia besar akan tetapi ekspor dan
impor Indonesia bukanlah yang terbesar di ASEAN. Impor ASEAN didominasi oleh
Singapura, Malaysia, dan Thailand selama kurun waktu tahun 2011-2015. Secara
total, nilai perdagangan Indonesia ke ASEAN hanya menduduki peringkat ke-3
dibawah Singapura dan Malaysia. Berdasarkan data IMF pada tahun 2015 ekspor
Indonesia ke ASEAN tercatat sebesar 17,15 persen; lebih rendah dibandingkan
dengan Singapura dengan total ekspor terbesar ke ASEAN sebesar 24,72 persen;
dan Malaysia sebesar 18,14 persen; menduduki peringkat ke-2. Hal yang menarik
dalam perkembangan ekspor negara ASEAN ke negara ASEAN lainnya selama
periode 2011-2015 adalah bahwa total persentase ekspor sebagian besar negara
mengalami penurunan kecuali Vietnam, Filipina, dan Myanmar. Indonesia
mengalami penurunan dari yang sebelumnya pada tahun 2011 sebesar 19,09 persen
menjadi 17,15 persen di tahun 2015; Singapura dari 29,07 persen menjadi 19,37
persen menjadi 18,14 persen; sedangkan hal sebaliknya dialami Vietnam yang
mengalami peningkatan dari 7,78 persen menjadi 10,12 persen; Filipina dari 5,60
persen menjadi 6,60 persen; dan Myanmar dari 1,89 persen menjadi 2,86 persen
(Lihat Gambar 1.3.)
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 3
Sumber: IMF,2016
Gambar 1.3. Pangsa Ekspor Intra ASEAN
Hal yang sama juga terjadi dalam share impor negara ASEAN dari ASEAN dimana
Indonesia hanya menempati peringkat ke-4 dibawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Pada tahun 2015 impor Indonesia tercatat sebesar 12,43 persen, sedangkan Singapura
sebagai negara pengimpor terbesar sebesar 30,06 persen; Malaysia 23,99 persen; dan
Thailand 19,31 persen. Selama periode 2011 – 2015 share impor beberapa negara
seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina mengalami penurunan. Indonesia dari semula
pada tahun 2011 sebesar 16,27 persen turun menjadi 12,43 persen di tahun 2015,
Malaysia dari 26,06 persen menjadi 23,99 persen; dan Filipina dari 4,52 persen menjadi
3,87 persen. Sedangkan beberapa negara seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam
mengalami kenaikan. Singapura dari semula tahun 2011 sebesar 26,60 persen naik
menjadi 30,06 persen; Thailand dari 19,31 persen menjadi 21,41 persen; dan Vietnam
dari 1,40 persen menjadi 5,34 persen. Secara detil dapat dilihat pada Gambar 1.4.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 4
Sumber: IMF,2016
Gambar 1.4. Pangsa Impor Intra ASEAN
Seiring dengan telah diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tanggal
31 Desember 2015, diharapkan perdagangan intra ASEAN dapat tumbuh menjadi
30 persen di tahun 2020 dari yang sebelumnya hanya sekitar 24 persen. Indonesia
sebagai negara dengan kontribusi terbesar dalam GDP terbesar di ASEAN diharapkan
dapat mempunyai peran yang besar dalam rangka meningkatkan perdagangan intra
ASEAN.
Berdasarkan uraian tersebut maka akan dilakukan kajian mengenai “Analisis
Peningkatan Perdagangan Intra ASEAN dalam Rangka Peningkatan Ekspor Indonesia”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka pertanyaan penelitian pada kajian ini
adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana kinerja perdagangan intra ASEAN dan posisi daya saing Indonesia di
antara negara ASEAN lainnya
b. Faktor-faktor apa yang memengaruhi perdagangan intra ASEAN?
c. Seberapa besar kesuksesan kerjasama perdagangan intra ASEAN?
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 5
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis kinerja perdagangan intra ASEAN dan posisi daya saing Indonesia
di antara negara ASEAN lainnya.
b. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi perdagangan intra ASEAN
c. Menganalisis kesuksesan kerjasama perdagangan intra ASEAN
Berdasarkan analisis tersebut diatas akan disusun rekomendasi dan
strategi/kebijakan untuk meningkatkan peran Indonesia dalam perdagangan
intra ASEAN.
1.4 OUTPUT DAN MANFAAT
Kajian ini akan menghasilkan laporan dan memo kebijakan terkait kebijakan apa
saja yang perlu dilakukan dalam upaya meningkatkan perdagangan intra ASEAN
dan sikap apa yang perlu diambil Indonesia dalam mewujudkan hal tersebut.
1.5 DAMPAK DAN MANFAAT
Diharapkan hasil dari analisis ini dapat menjadi masukan bagi Direktorat Kerjasama
ASEAN dan Kementerian Perdagangan serta stakeholder secara umum dalam upaya
meningkatkan peran Indonesia dalam upaya meningkatkan perdagangan intra
ASEAN dan
1.6 RUANG LINGKUP
Analisis ini dilakukan dengan batasan pengkajian sebagai berikut:
1. Metode yang digunakan untuk menganalisis kinerja perdagangan adalah indeks
RCA dan IIT. Indeks RCA dan IIT yang dianalisis dalam kajian ini meliputi
komoditas yang masuk kategori BEC (Broad Economic Categories) kecuali
komoditas pelumas. BEC merupakan statistik perdagangan internasional yang
mengklasifikasikan komoditas yang terdiri makanan (food), industrial supplies,
capital equipment, consumer durable dan consumer non-durables. Basis dari BEC
adalah SITC (Standad International Trade Classification). Data untuk
menganalisis kinerja perdagangan diperoleh dari WITS, sedangkan variabel non
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 6
ekonomi seperti indeks controll of corruption, government effectiveness, politicall
stability and absence of violence/terrorism, reguatory quality, dan rule of law
diperoleh dari WDI (Worldwide Governance Indicator).
2. Untuk analisis gravity model data panel, cross section terdiri dari aliran
perdagangan (trade flow) ekspor dari 6 negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand, Filiphina, dan Vietnam. Studi Okabe menunjukkan anggota
ASEAN lainnya seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar kontribusi total
terhadap ekspor dan impor intra ASEAN masih relatif rendah yaitu sekitar
sekitar 10.9 persen terhadap ekspor dan 6 persen terhadap impor. Namun
demikian untuk kajian ini Vietnam ikut serta dikaji mengingat akhir-akhir ini
Vietnam merupakan salah satu negara yang meningkat kontribusinya sebagai
penyedia input dalam GVC (Kemendag, 2015). Series tahun dari studi ini selama
periode tahun 2006-2014
3. Indeks kesuksesan integrasi perdagangan ASEAN diperoleh dengan
membandingkan aliran perdagangan aktual dengan potensial dari gravity model
yang diestimasi.
1.7 SISTEMATIKA PENULISAN
Laporan analisis ini terbagi menjadi beberapa bab, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN , berisikan uraian mengenai latar belakang, rumusan
masalah, tujuan kajian, output dan manfaat kajian, ruang lingkup kajian dan
sistematika laporan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN METODOLOGI, berisikan uraian mengenai teori
perdagangan internasional dan penelitian terdahulu serta metode analisis yang
digunakan dalam kajian.
BAB III ANALISIS, berisikan uraian berupa analisis kualitatif dan hasil analisis
gravity model.
BAB IV PENUTUP, berisikan kesimpulan dan rekomendasi dari hasil analisis.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN METODOLOGI PENELITIAN
2.1 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN
2.1.1 Teori Perdagangan Internasional dan Integrasi Ekonomi
Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai transaksi dagang
barang dan jasa antara subjek ekonomi satu negara dengan subjek ekonomi
negara lain. Subjek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri
dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan impor, perusahaan
industri ataupun perusahaan negara. Perdagangan internasional terjadi
akibat adanya perbedaan potensi sumber daya alam, sumber daya modal,
sumber daya manusia dan kemajuan teknologi antar negara (Halwani 2005).
Sedangkan menurut Dumairy (1997) perdagangan merupakan suatu proses
pertukaran barang dan jasa yang dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk
memperoleh barang yang dibutuhkan. Dalam masa globalisasi, perdagangan
tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja. Bahkan dunia sudah
memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak
melakukan hubungan dengan negara lain.
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya.
Demikian halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang
melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan
tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman (1991)
mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional:
Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain. Negara-
negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala
ekonomi (economic of scale).
Secara umum, perdagangan internasional terdiri dari kegiatan ekspor dan
impor. Ekspor merupakan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh
suatu negara ke negara lain, sebaliknya impor merupakan barang dan jasa
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 8
yang masuk ke suatu negara. Negara yang memproduksi lebih dari
kebutuhan dalam negerinya dapat mengekspor kelebihan produksi tersebut
ke negara lain. Akan tetapi, negara yang tidak mampu memproduksi sendiri
dapat mengimpor dari negara lain. Menurut Tambunan (2001), faktor-faktor
yang memengaruhi perdagangan internasional dapat dilihat dari teori
penawaran dan permintaan. Dari teori penawaran dan permintaan tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi
karena adanya kelebihan produksi suatu negara dengan kelebihan
permintaan negara lain.
Secara teoritis, suatu negara misal negara 1 akan mengekspor komoditi X
ke negara lain, misal negara 2 apabila harga domestik negara 1 sebelum
terjadinya perdagangan internasional relatif lebih rendah dibandingkan
dengan harga domestik negara 2 (Gambar 2.1). Struktur harga yang terjadi
di negara 1 lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar
dibandingkan dengan konsumsi domestiknya sehingga terjadi excess supply
di negara 1. Di sisi lain, di negara 2 terjadi excess demand karena konsumsi
domestiknya lebih besar dibandingkan dengan produksi domestiknya
sehingga harga di negara 2 lebih tinggi. Dengan demikian, negara 1 memiliki
kesempatan untuk menjual kelebihan produksinya ke negara lain, sementara
negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditi X dari negara lain yang
relatif lebih murah. Jika terjadi komunikasi antara negara 1 dan negara 2,
maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga yang sama di
kedua negara.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 9
Gambar 2.1. Analisis Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional
Sumber: Salvatore (1997)
Gambar 2.1 memperlihatkan bahwa sebelum terjadi perdagangan
internasional harga di negara 1 adalah sebesar P1, sedangkan harga di
negara 2 adalah sebesar P3. Penawaran di pasar internasional terjadi jika
harga internasional lebih tinggi dibandingkan dengan P1, sedangkan
permintaan di pasar internasional terjadi jika harga internasional lebih
rendah dibandingkan dengan P3. Dengan adanya perdagangan internasional,
maka negara 1 akan mengekspor komoditi X sebesar BE, sedangkan negara 2
akan mengimpor komoditi X sebesar B’E’ pada tingkat harga internasional
(P2).
Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam
Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute
comparative). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David
Ricardo (1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of
Comparative Advantage). Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang
menekankan pada biaya riil yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih
melihat pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi sebagai
penentu terjadinya perdagangan. Menurut David Ricardo (Hady, 2001),
perdagangan dapat dilakukan oleh negara yang tidak memiliki keunggulan
absolut pada kedua komoditi yang diperdagangkan dengan melakukan
spesialisasi produk yang kerugian absolutnya lebih kecil atau memiliki
0 X
Px
0 X
Px
Negara 2
0 X
Px
Negara 1
P1
P2
P3
A
Ekspor
Impor B E
E
S
D
A’
B’ E’
Sx
Dx
Dx
Sx
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 10
keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum Keunggulan
Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan komparatif
dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan production
comparative advantage (labor productivity). Asumsi yang digunakan
(Salvator, 1997):
a. Hanya terdapat dua negara dan dua komoditi
b. Perdagangan bersifat bebas
c. Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara
namun tidak ada mobilitas antara dua negara.
d. Biaya produksi konstan
e. Tidak terdapat biaya transportasi
f. Tidak ada perubahan teknologi
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara
akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat
berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut
berproduksi relatif kurang atau tidak efisien.
Berdasarkan analisis production comparative advatage (labor
productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh
manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi
produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut berproduski lebih
produktif serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi
realtif kurang atau tidak produktif. Dengan kata lain, cost comparative
menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara
memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga
kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi.
Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan
tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih
banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 11
memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan
perdagangan diperoleh jika negara melakukan spesialisasi pada barang yang
memiliki cost comparative advantage dan production advantage. Atau dengan
mengekspor barang yang keunggulan komparatifnya tinggi dan mengimpor
barang yang keunggulan komparatifnya rendah.
Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Heckscher-
Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model
H-O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama,
perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan
kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing
negara. Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan
berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive
goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih
akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-
intensive goods). Menurut teori H-O, suatu negara akan memproduksi dan
mengekspor barang dengan menggunakan faktor produksi yang dimiliki
secara melimpah, dan mengimpor barang yang untuk memproduksinya
diperlukan faktor produksi yang kurang tersedia (langka) di dalam negeri.
Dalam model H-O kepemilikan faktor (kapital dan tenaga kerja) akan
menentukan jenis komoditi yang diproduksi dan diekspor serta komoditi
yang harus diimpor oleh satu negara. Perbedaan kepemilikan faktor adalah
dasar dari keunggulan komparatif yang dimiliki dua negara untuk
melakukan perdagangan yang saling menguntungkan. Perbedaan
kepemilikan faktor produksi tersebut dihitung berdasarkan rasio antara
kapital dengan tenaga kerja di masing-masing negara. Sebagai contoh:
negara H dan F masing-masing memiliki 2 faktor produksi: K (kapital) dan L
(tenaga kerja), dan setiap negara memproduksi komoditi X dan Y. Negara H
dikatakan memiliki kapital melimpah apabila kapital per unit tenaga kerja di
H lebih besar dibandingkan di F, atau H
H
L
K
> F
F
L
K
. Sebaliknya, F dikatakan
memiliki tenaga kerja melimpah apabila tenaga kerja per unit kapitalnya
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 12
lebih besar di bandingkan di H, atau F
F
K
L
> H
H
K
L
. Dengan demikian, dapat
dikatakan kapital relatif lebih murah di H sedangkan tenaga kerja relatif
lebih murah di F. Selanjutnya apabila untuk menghasilkan komoditi Y
diperlukan kapital yang lebih banyak (padat kapital), sedangkan untuk
komoditi X diperlukan tenaga kerja yang lebih banyak (padat karya) maka
dapat dikatakan H memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi Y, dan F
memiliki keunggulan komparatif komoditi X. Menurut model H-O, dengan
perbedaan intensitas penggunaan faktor dan perbedaan kepemilikan faktor
maka apabila kedua negara melakukan perdagangan, H akan berspesialisasi
dalam produksi komoditi Y dan F berspesialisasi dalam produksi komoditi X.
Perdagangan bebas diharapkan secara bertahap akan mengurangi
hambatan perdagangan sehingga dapat memacu pertumbuhan volume
perdagangan internasional. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
kerjasama yang dilakukan antara satu negara dengan negara lainnya atau
antara satu negara dengan negara yang membentuk kelompok sehingga
terciptanya integrasi ekonomi. Negara-negara di seluruh dunia saat ini
menyadari bahwa integrasi ekonomi memiliki peran penting dalam
perdagangan mereka. Sebagian negara-negara yang berada di seluruh dunia
telah melakukan integrasi ekonomi dengan negara lain. Secara umum
integrasi yang dilakukan oleh setiap negara bertujuan agar posisi
ekonominya di pasar internasional dapat diperkuat, sehingga setiap negara
dapat bersaing dengan negara-negara yang telah maju dan sudah besar.
Selain itu, integrasi ekonomi dapat memperluas akses pasar dan mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu negara ke tingkat yang lebih tinggi. Studi Meir
(1995) menjelaskan integrasi ekonomi yang terdapat dalam suatu kawasan
memiliki beberapa manfaat untuk negara-negara yang tergabung dalam
integrasi tersebut, seperti terdorongnya efisiensi ekonomi di suatu kawasan
ekonomi, mendorong industri lokal agar berkembang, serta manfaat
perdagangan yang meningkat akibat adanya perbaikan terms of trade.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 13
Suatu organisasi terdiri dari berbagai bentuk, tergantung tingkat
kerjasamanya yang mengarah ke tingkat integrasi berbeda antara negara
peserta. Ada lima tingkat kerja sama formal antar negara anggota kelompok
regional, yaitu Free Trade Area (FTA), Custom Union, Common Market,
Monetary Union, dan Political Union (Kotabe dan Helsen, 2001).
Free Trade Are (FTA) adalah kerjasama formal antara dua atau lebih
negara untuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif diantara negara
anggota. Akan tetapi masing-masing negara anggota bebas menentukan
tingkat tarif individu dengan negara yang bukan anggota.
FTA adalah salah satu bentuk reaksi adanya globalisasi dan liberalisasi
yang berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan
dalam kegiatan perdagangan baik hambatan tarif (tarrief-barrier) maupun
hambatan non tarif (non-tarrif barier=NTB). FTA atau Free Trade Area adalah
suatu bentuk kerjasama ekonomi regional yang memperdagangkan produk-
produk orisinal negara-negara anggotanya tidak dipungut bea masuk atau
bebas bea masuk. Dengan kata lain, ”internal tariff” antara negara anggota
menjadi 0 persen, sedangkan masing-masing negara memiliki “external
tariff” sendiri-sendiri. Contohnya AFTA (Asean Free Trade Area) yang diawali
dengan CEPT (Common Effective Preferential Tariff) yang mulai diberlakukan
sejak tanggal 1 Januari 1993.
Dampak dibukanya perdagangan bebas tidak hanya akan dirasakan oleh
ekonomi negara-negara yang berdagang, namun juga akan dirasakan oleh
perekonomian dunia secara keseluruhan. Dampak diliberalisasikannya
perdagangan tersebut secara keseluruhan mengakibatkan kesejahteraan
dunia menurun. Berdasarkan teori perdagangan internasional, perdagangan
internasional seharusnya akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara
yang melakukan perdagangan bebas, karena melalui perdagangan bebas
akan terjadi peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan
akses pasar ke negara lain (Stephenson, 1994).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 14
Namun demikian, secara umum terdapat beberapa variabel ekonomi
dunia yang meningkat seperti investasi global barang-barang kapital, volume
perdagangan dunia, dan indeks harga perdagangan dunia. Peningkatan arus
perdagangan sebagai akibat dibukanya tarif seluas-luasnya mengakibatkan
peningkatan aliran barang-barang kapital untuk investasi volume
perdagangan dunia. Peningkatan investasi global ternyata diikuti dengan
tingkat pengembalian kapital yang negatif sehingga secara keseluruhan akan
mempengaruhi tingkat kesejahteraan dunia.
Custom Union. Anggota Custom Union tidak hanya mampu mengurangi
atau menghilangkan tarif antara anggota, tapi juga mereka mempunyai tarif
eksternal bersama terhadap negara yang bukan anggota Custom Union. Hal
ini mencegah negara yang bukan anggota mengekspor ke negara anggota
yang mempunyai tarif eksternal rendah.
Common Market. Jika kerja sama meningkat di antara negara Custom
Union, maka dapat terbentuk Common Market. Common Market
menghilangkan semua tarif dan hambatan lain dalam perdagangan antara
anggota, mengadopsi seperangkat tarif eksternal bersama pada negara
bukan anggota, dan menghilangkan batasan-batasan pada aliran modal dan
tenaga kerja antar negara anggota.
Monetary Union. Monetary Union berada pada level integrasi keempat
dengan satu mata uang bersama antar negara. Contohnya Negara anggota
European Union menggunakan mata uang bersama, Euro. Menurut Wild dan
Wild (2000), tingkat integrasi ini juga disebut Economic Union karena juga
melakukan harmonisasi kebijakan ekonomi negara anggota, seperti pajak,
kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Political Union. Political Union merupakan puncak dari proses integrasi.
Political Union dapat menjadi nama lain dari sebuah negara ketika union
secara sungguh-sungguh mencapai tingkat integrasi. Terkadang, negara-
negara yang berkumpul dalam Political Union antara lain adalah karena
alasan sejarah, seperti British Commonwealth yang terdiri dari negara-
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 15
negara yang pernah menjadi bagian oleh British Empire. Namun ketika
British bergabung dengan European Union, perlakuan istimewa ini hilang.
Sekarang kelompok ini hanya sebagai forum untuk diskusi dan ikatan
sejarah yang sama.
2.1.2. Dampak Kreasi Perdagangan dari FTA
Dampak keseimbangan parsial yang bersifat statis dari pembentukan
sebuah perserikatan pabean biasanya dihitung atau diukur berdasarkan
besar-kecilnya efek kreasi dan diversi perdagangan yang ditimbulkannya.
Kreasi perdagangan (trade creation) terjadi apabila sebagian produksi
domestik di suatu negara yang menjadi anggota perserikatan pabean atau
dari negara luar yang bukan anggota digantikan oleh impor yang harganya
lebih murah (artinya produksinya lebih efisien) dari negara anggota lainnya.
Berdasarkan asumsi sumber daya ekonomi terkerahkan secara penuh (full
employment), maka pembentukan perserikatan pabean yang menciptakan
dampak kreasi akan meningkatkan kesejahteraan negara anggota secara
keseluruhan karena hal tersebut mengarah pada peningkatan spesialisasi
produksi yang didasarkan pada keuntungan komparatif. Peningkatan
pendapatan itu akan membuat negara anggota FTA dapat memperbesar
impornya dari negara-negara lain yang bukan anggota.
Pada Gambar 2.2 Dx dan Sx masing-masing melambangkan kurva
permintan dan kurva penawaran komoditi X di negara 2. Sebelum
dibentuknya perserikatan pabean, harga komoditi X yang sudah
memperhitungkan tarif adalah Px = 2 dolar. Pada tingkat harga tersebut
negara 2 akan mengkonsumsi 50X (GH), dan 20X (GJ) merupakan produksi
domestik sedangkan 30X (JH) merupakan impor dari negara 1. Pemerintah
negara 2 juga mengumpulkan pendapatan tarif sebanyak 30 dolar (MJHN).
Negara 2 ini tidak mengimpor komoditi X dari negara 3, karena jika turut
dihitung dengan tarif yang diberlakukannya maka harga komoditi X dari
negara 3 itu akan melampaui 2 dolar per unit.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 16
Setelah negara 2 membentuk FTA bersama negara 1, maka negara 2 itu
akan meningkatkan konsumsi komoditi X menjadi 70 unit (AB). 10X (AC)
diantaranya merupakan produksi domestik sedangkan 60X (CB) merupakan
impor dari negara 1 berdasarkan harga bebas tarif Px = 1 dolar. Pendapatan
tarif bagi pemerintah negara 2 hilang, namun kesejahteraan konsumen
negara 2 akan meningkat karena akan terjadi transfer keuntungan dari
produsen domestik ke konsumen domestik yang nilainya setara dengan
bidang AGJC. Hal ini memberikan keuntungan statis netto bagi negara 2
secara keseluruhan sebesar 15 dolar, atau setara dengan penjumlahan dua
bidang segitiga CJM dan BHN.
Gambar 2.2. Dampak Penciptaan atau Kreasi Perdagangan dari
Pembentukan Free Trade Agreement
Sumber: Salvatore (1997)
2.1.3. Dampak Diversi Perdagangan dari FTA
Diversi perdagangan (trade diversion) terjadi apabila impor yang murah
(artinya produksinya lebih efisien) dari negara luar yang bukan merupakan
anggota perserikatan pabean tergusur oleh impor yang harganya lebih
mahal dari negara anggota. Hal ini terjadi karena adanya perlakuan
preferensial bagi sesama negara anggota (tarifnya dihapuskan) sehingga
produk dari negara luar non anggota yang sesungguhnya lebih murah
1 -
2 -
3 -
4 -
5 -
I
10
I
20
I
30
I
40
I
50
I
60
I
70
I
80
A C
G J
M N
H
B
W U V
E
Z X
S1
S1 + T
SX
Dx
Px ($)
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 17
menjadi lebih mahal karena ia masih harus menanggung tarif. Diversi
perdagangan cenderung menurunkan kesejahteraan, karena ia menggeser
kegiatan produksi dari para produsen yang lebih efisien (dari negara-negara
yang bukan anggota) kepada para produsen yang bukan efisien (dari sesama
anggota). Dengan demikian, dengan diversi perdagangan akan
memperburuk alokasi sumber daya internasional dan menjauhkan kegiatan-
kegiatan produksi dari pola keunggulan komparatifnya. Secara detil dapat
dilihat pada Gambar 2.3.
Dx dan Sx masing-masing melambangkan kurva permintaan dan kurva
penawaran komoditi X di negara 2, sedangkan S1 dan S3 masing-masing
merupakan kurva penawaran elastis sempurna dalam kondisi perdagangan
bebas untuk negara 1 dan negara 3. Jika negara 2 memberlakukan tarif ad
valorem secara non-diskriminatif sebesar 100% terhadap komoditi X, maka
ia akan mengimpor 30X (GH) berdasarkan Px = 2 dolar dari negara 1. Namun
setelah membentuk perserikatan pabean bersama negara 3 maka negara 2
akan mengimpor 45X (C’B’) berdasarkan Px = 1,5 dolar dari negara 3.
Peningkatan kesejahteraan bagi negara 2 yang bersumber dari kreasi
perdagangan murni mencapai 3,75 dolar (atau setara dengan penjumlahan
dua segitiga). Namun kerugian kesejahteraan akibat adanya diversi
perdagangan jauh lebih besar, yakni mencapai 15 dolar (setara dengan luas
bidang segi empat MNH’J’). Jadi, adanya diversi perdagangan itu
mengakibatkan kerugian kesejahteraan netto bagi negara 2 sebesar 11,25
dolar.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 18
Gambar 2.3. Dampak Diversi Perdagangan Akibat Pembentukan FTA
Sumber: Salvatore (1997)
2.1.4. Gravity Model
Salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk mengestimasi berapa
besar barang yang keluar dan masuk di suatu wilayah adalah gravity model.
Pendekatan model gravity digunakan untuk menganalisis perdagangan
bilateral suatu negara dengan negara lain. Model gravitasi pertama kali
dikembangkan oleh Tinbergen (1962) yang didasarkan atas penelitian Isard
(1954) dalam Chalagan dan Uprasen (2012) untuk menjelaskan aliran
perdagangan bilateral oleh mitra dagang pada Gross National Product (GNP)
dan jarak geografis antar negara. Model ini disebut model gravity karena
menggunakan perumusan yang sama dengan model gravitasi Newton,
dimana interaksi antara dua objek adalah sebanding dengan massanya dan
berbanding terbalik dengan jarak masing-masing. Salah satu keunggulan
empiris yang dicapai oleh model ini dalam ekonomi internasional, model ini
bekerja dengan baik ketika perdagangan bilateral diregresikan pada GDP.
Anderson (1979) yang membangun suatu teori untuk gravity equation
berdasarkan product differentiation dan fungsi produksi CES dan dilanjutkan
oleh Bergstrand (1985, 1989). Sedangkan kontribusi Deardorf (1998) adalah
1 -
2 -
3 -
4 -
5 -
I
10
I
20
I
30
I
40
I
50
I
60
I
70
I
80
C’ G J
M N
H
E
X
S1
S1 + T
SX
Dx
Px ($)
1,5 - H’
B’ S3
I
15
G’ J’
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 19
ide bahwa gravity equation dapat diturunkan tidak hanya berdasarkan HO
model tetapi juga berdasarkan pendekatan differentiation product.
Selanjutnya model gravity dari Anderson dan Van Wincoop (2003) adalah
sebagai berikut:
........................... ……………(2.1)
diturunkan secara teoritik dalam bentuk log-linear gravity model sebagai
berikut:
jiijjiij yyx ln)1(ln)1(ln)1(lnlnln ....
(2.2)
Dimana ijx = aliran perdagangan bilateral antara Negara i dan j
iy, jy
= GDP Negara i dan j
= elastisitas konstan dari subtitusi antara semua
komoditi
i , j = composite price indices negara i dan j
ij = iceberg trade costs
Persamaan (2.2) menunjukkan bahwa volume aliran perdagangan antar 2
mitra dagang ditentukan oleh ukuran perekonomian (yang
direpresentasikan oleh GDP), perbedaan tingkat harga, iceberg trade cost,
dan nilai elastisitas konstan dari subtitusi antara semua komoditi. Beberapa
penelitian yang menggunakan Gravity Equation antara lain penelitian Chow
dan Zietlow (1995) telah menggunakan Gravity Equation untuk memecahkan
masalah kesamaan budaya dan stabilitas politik. Kajian Lovasy (1941),
Linders Hypothesis (Linder, 1961) adalah salah satu dari penjelasan yang
sangat penting mengenai pola perdagangan dunia dengan produk yang
berbeda. Berdasarkan hipotesis ini, volume perdagangan adalah fungsi dari:
a country’s wealth, yang diukur dengan GDP per kapita. Kemudian besarnya
perbedaan pendapatan per kapita. Hipotesis ini telah diuji oleh Peridy
(2005), Marques dan Metcalf (2005) dan Philippidis dan Sanjuan (2006,
2007).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 20
Secara umum perdagangan dalam penelitian ini dibentuk oleh variabel
yang mengukur size suatu negara seperti GDP, GDP per kapita riil dan
populasi. Areethamsirikul (2006) meneliti perdagangan intra-ASEAN
menggunakan model gravity dengan memasukkan variabel ekonomi yang
mencakup GDP dan GDP per kapita. GDP per kapita negara pengekspor
maupun pengimpor umumnya memiliki pengaruh positif terhadap
permintaan impor suatu negara. Analisis model gravity juga digunakan oleh
O’Chalagan dan Uprasen (2012) untuk menjelaskan aliran perdagangan
bilateral oleh mitra dagang pada Gross National Product (GNP) dan jarak
geografis antar negara. GDP per kapita negara pengekspor maupun
pengimpor umumnya berpengaruh positif pada permintaan impor suatu
negara. Menurut Fitzsimons et al. (1999), peningkatan GDP per kapita
negara pengekspor akan menyebabkan peningkatan kemampuan produksi
negara tersebut, sedangkan peningkatan GDP per kapita negara pengimpor
akan meningkatkan konsumsi negara tesebut sehingga permintaan untuk
impor pun mengalami peningkatan.
Selain GDP dan GDP per kapita, jarak merupakan faktor geografis yang
menjadi variabel utama dalam gravity model untuk aliran perdagangan. Jarak
memberikan pengaruh dalam masalah biaya transportasi dalam
perdagangan. Beberapa spesifikasi gravity model dari produk EGs list
menggunakan jarak geografi, dan spesifikasi model lainnya menggunakan
jarak ekonomi. Menurut Siahaan (2008), variabel jarak maupun jarak
ekonomi dapat berpengaruh negatif dan positif. Apabila jarak berpengaruh
negatif maka faktor jarak geografis menjadi faktor yang lebih dominan
dibandingkan dengan GDP dalam memengaruhi perdagangan. Hal ini
disebabkan jarak dapat meningkatkan biaya transaksi pertukaran barang
dan jasa internasional. Namun, jarak ekonomi dapat berpengaruh positif
karena faktor GDP menjadi faktor yang lebih dominan dibandingkan dengan
jarak geografis. Di samping itu, dalam penelitian Manik (2012), jarak
ekonomi secara signifikan berpengaruh positif terhadap impor disebabkan
adanya komisi perdagangan dari suatu transaksi. Adanya komisi transaksi
yang diberikan kepada perantara (broker) akan memengaruhi transaksi
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 21
perdagangan internasional. Hal ini disebabkan, semakin tinggi nilai
perdagangannya, maka semakin tinggi juga komisi transaksi yang diterima
oleh perantara.
Variabel ekonomi lainnya yang mempengaruhi perdagangan bilateral
adalah nilai tukar dan CPI. Nilai tukar merupakan tingkat harga yang
disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan.
Menurut Mankiw (2000), nilai tukar riil diperoleh dengan mengalikan nilai
tukar nominal dan rasio tingkat harga. Oleh sebab itu, nilai tukar riil dapat
menunjukkan harga relatif barang di kedua negara. Jika nilai tukar negara
pengekspor terhadap negara pengimpor mengalami peningkatan
(depresiasi), maka hal ini akan meningkatkan ekspor negara pengekspor
tersebut ke negara pengimpor. Sedangkan, jika nilai tukar negara pengimpor
terhadap negara pengekspor mengalami depresiasi, maka hal ini akan
menurunkan insentif untuk melakukan impor karena harga produk negara
pengimpor tersebut lebih kompetitif.
Penelitian Retnowati (2007) yang bertujuan untuk menganalisis faktor-
faktor yang memengaruhi perdagangan intra-industri antara negara-negara
ASEAN-5 pada periode 2001-2005 menemukan bahwa variabel GDP per
kapita dua negara, perbedaan GDP antar negara, fluktuasi nilai tukar, dan
nilai tukar berpengaruh secara signifikan. Sedangkan, jarak antar negara dan
perbedaan GDP per kapita tidak memiliki pengaruh yang signifikan.
Selain variabel ekonomi, terdapat pula variabel non-ekonomi yang
memiliki pengaruh terhadap perdagangan suatu negara seperti, kualitas
pelabuhan, stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan. Penelitian Walsh
(2007) dengan model gravity memasukkan variabel non ekonomi untuk
menganalisis perdagangan impor sektor jasa yang meliputi total service
imports, travel service, transport services, government service, dan commercial
services di negara-negara Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD). Dalam penelitiannya ditemukan bahwa variabel GDP
per kapita negara pengekspor dan pengimpor serta bahasa adalah variabel
yang paling berpengaruh dalam perdagangan impor antar negara. Pada
penelitian ini juga, jarak ditemukan tidak berpengaruh signifikan terhadap
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 22
aliran perdagangan. Penelitian Zahidi (2012) dengan model gravity untuk
menganalisis dampak `fasilitasi perdagangan terhadap perdagangan di
kawasan ASEAN+3 menggunakan variabel non ekonomi. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa variabel efisiensi prosedur kepabeanan, GDP per kapita
riil negara pengekspor dan pengimpor, nilai tukar riil memberikan dampak
baik terhadap arus perdagangan impor, baik pada sektor pertanian barang
mentah maupun sektor manufaktur. Sedangkan, jarak ekonomi berdampak
negatif terhadap arus perdagangan di negara-negara kawasan ASEAN+3.
Penelitian yang menggunakan model gravity untuk menganalisis EGs list
dilakukan oleh Hayakawa dan Nabeshimas (2013) berjudul “Estimating
Environmental Goods Trade Liberalization in APEC”. Hayakawa dan
Nabeshima§ (2013) menguji dampak penurunan tarif EGs list pada arus
perdagangan dalam APEC dan dunia. Hasil penelitiannya menunjukkan,
secara rata-rata, eliminasi tarif pada barang produk EGs list dalam APEC
akan meningkatkan perdagangan EGs list sebesar 0,144 persen. Dampak ini
sedikit lebih besar daripada eliminasi produk manufaktur yang lain dalam
APEC sebesar 0,124 persen.
2.1.5. Indeks Perdagangan
Revealed Comparative Advantage (RCA)
Beberapa literatur menggunakan beberapa tehnik untuk mengukur
kelemahan dan keunggulan perdagangan suatu negara salah satu yang paling
banyak digunakan adalah Revealed Comparative Advantage (RCA) yang
dikembangkan oleh Balassa (1965). Indeks RCA Balassa pada dasarnya
mengukur pangsa (share) ekspor suatu negara yang dinormalkan dengan
ekspor pada industri atau produk yang sama dalam satu kelompok negara.
Trade Intensity Index (TII)
Untuk melakukan monitoring terhadap trade flows dan patterns dapat
digunakan formula index sederhana yaitu trade intensity (brown 1949 dan
Kojima 1962). Trade intensity (TI) menggambarkan perdagangan bilateral
dua negara dalam kaitannya dengan total perdagangan internasional di
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 23
dunia dan share-nya terhadap perdagangan di dunia. Formula TI digunakan
untuk melakukan analisa perdagangan dua negara, menilai perubahan dalam
perdagangan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Yamazawa, 1971)
selain itu TI juga dapat melakukan analisa perdagangan intensif dalam intra
trade atau extra trade di dalam suatu kawasan/region ( Iaprade, 2004)
Indeks ini mengukur apakah ini nilai perdagangan antara kedua negara
lebih besar (atau lebih kecil) dari yang diharapkan, berdasarkan kepentingan
mereka terhadap perdagangan dunia. Intensitas perdagangan diukur sebagai
pangsa negara pengekspor terhadap ekspor dunia dari komoditas tertentu
ke negara mitra, dibagi dengan pangsa negara pengekspor dari total ekspor
dunia.
2.2 TINJAUAN PENELITIAN TERDAHULU TERKAIT PERDAGANGAN INTRA
REGIONAL
Penelitian mengenai perdagangan intra-regional telah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya diantaranya oleh Okabe dan Urata (2013). Penelitian yang
dilakukan oleh Okabe dan Urata (2013) dengan analisis gravity model menunjukkan
bahwa efek trade creation adalah positif dan signifikan pada keduanya baik dalam
impor maupun ekspor. Hasil penelitiannya juga menunjukkan elastisitas dari
penurunan tarif impor lebih besar daripada ekspor. Lebih lanjut Okabe dan Urata
(2013) menemukan bahwa dampak AFTA terhadap anggota AFTA secara individual
menunjukkan efek trade creation dari eliminasi tarif dibawah skema CEPT relatif
kecil dan terbatas hanya pada sejumlah produk untuk anggota AFTA baru seperti
Kamboja, Myanmar dan Vietnam dibandingkan dengan anggota ASEAN yang sudah
lama.
Penelitian yang dilakukan oleh Ruhul Salim dan Shahriar Kabir mencoba melihat
faktor apa saja yang dapat meningkatkan perdagangan intra regional. Penelitian ini
juga berupaya mengukur tingkat kesuksesan suatu kerjasama ekonomi dengan
menggunakan Integration Success Index, yaitu dengan melihat estimasi dari rasio
perdagangan aktual dengan potensi perdagangan yang dimiliki oleh suatu kawasan.
Rasio kesuksesan anggota ASEAN menunjukkan nilai positif dan nilainnya bervariasi
antara 1.56 sampai dengan 8.71 selama periode tahun 2003-2008. Hasil penelitian
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 24
juga menunjukkan gap antara perdagangan aktual dangan perdagangan potensial
mengalami peningkatan.
2.3 KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN
Seiring telah diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tanggal 31 Desember
2015, perdagangan intra ASEAN diharapkan dapat tumbuh menjadi 30 persen di
tahun 2020 dari yang sebelumnya hanya sekitar 24 persen. Indonesia sebagai
negara dengan kontribusi terbesar dalam GDP terbesar di ASEAN diharapkan dapat
mempunyai peran yang besar dalam rangka meningkatkan perdagangan intra
ASEAN.
Terkait dengan hal tersebut maka kajian ini memiliki tujuan (1) menganalisis
kinerja perdagangan intra ASEAN dan posisi daya saing Indonesia di antara negara
ASEAN lainnya, (2) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kinerja
perdagangan intra ASEAN, serta (3) Mengestimasi kesuksesan perdagangan intra
ASEAN. Secara detil alur pikir penelitian kajian ini dapat dilihat pada Gambar
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 25
2.4 METODOLOGI PENELITIAN
2.4.1 JENIS DAN SUMBER DATA
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
ASEAN, Eurostat, World Trade Organization (WTO), Trademap, WDI-Worldbank, dan
Word Economic Forum (WEF) dan CEPII. Klasifikasi komoditas adalah berdasarkan
BEC. BEC merupakan statistik perdagangan internasional yang mengklasifikasikan
komoditas yang terdiri makanan (food) (BEC 1), industrial supplies (BEC 2), capital
equipment (BEC 4), transport equipment and parts and accessories thereof (BEC 5), dan
consumer goods (BEC 6). Basis dari BEC adalah SITC (Standad International Trade
Classification). Lingkup penelitian ini meliputi keseluruhan kategori berdasarkan BEC
kecuali kode BEC-3 Fuels and Lubricants. Data untuk menganalisis kinerja perdagangan
diperoleh dari WITS, sedangkan variabel non ekonomi seperti indeks controll of
corruption, government effectiveness, politicall stability and absence of
violence/terrorism, reguatory quality, dan rule of law diperoleh dari WDI (Worldwide
Governance Indicator).
2.4.2 METODE ANALISIS
Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas, kami menggunakan dua metode, yaitu:
1. Analisis Deskriptif
Analisis pendahuluan mengenai latar belakang dan gambaran ekonomi makro
ASEAN, Uni Eropa, NAFTA, dan MERCOSUR dilakukan secara deskriptif dengan
membandingkan beberapa variabel utama seperti: size ekonomi (GDP rill dan GDP
per kapita), neraca perdagangan, serta investasi.
2. Indeks Perdagangan
Indeks perdagangan (RCA dan TII ) pada analisis ini digunakan untuk
menganalisis fenomena perdagangan intra ASEAN. Dengan demikian diharapkan
dapat diketahui kinerja produk-produk yang diperdagangkan antar negara
ASEAN.
A. RCA (Revealed Comparative Advantage)
Formula RCA Balassa dirumuskan sebagai berikut.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 26
k
k
wj
k
wj
k
k
ij
k
ij
XX
XX
RCA/
/
.............................. ............................. 2.1
Dimana X menunjukkan ekspor, k menyatakan klasifikasi komoditi, i
menyatakan negara pengeskpor, j negara tujuan ekspor, dan w menyatakan
dunia. Perlu dicatat bahwa negara mitra j dapat berupa bentuk ekonomi
lainnya untuk menghitung RCA bilateral atau untuk menghitung RCA dalam
lingkup regional maupun global. Nilai RCA antara 1 dan batas tak hingga
menyatakan bahwa suatu produk dari negara i memiliki daya saing di negara
j. Sedangkan nilai RCA kurang dari satu sampai batas nol menyatakan bahwa
suatu produk tidak memiliki daya saing di negara j. Karena kisaran indeks
tersebut tidak bisa dibandingkan antara dua sisi (antara indeks yang lebih
dari satu dan kurang dari satu), maka indeks RCA dimodifikasi sedemikian
sehingga indeks tersebut simetris pada batas nilai satu dengan
menggunakan formula berikut ini:
1
1
RCA
RCARSCA .................................................................... 2.2
Dengan formula tersebut nilai indeks RCA yang lebih dari satu akan memiliki
indeks RSCA bernilai positif, sedangkan RCA yang bernilai kurang dari satu
akan memiliki indeks RSCA negatif.
B. TII (Trade Intensity Index)
Formula untuk menghitung Trade Intensity Index adalah sebagai berikut:
k
ww
k
iw
k
wj
k
ij
X
X
X
XTII 2.3
Dimana X menunjukkan ekspor, k menunjukkan kelompok komoditas ekspor,
i menunjukkan negara ekspor, j menunjukkan negara impor, dan w mengacu
pada dunia. Indeks intensitas perdagangan berkisar dari nilai nol hingga tak
terhingga. Nilai yang lebih besar dari satu menyimpulkan bahwa terdapat
perdagangan yang intens antara Negara pengekspor dan negara mitra jika
dibandingkan dengan perdagangan mereka dengan seluruh dunia.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 27
3. Gravity Model
Analisis gravity model pada analisis ini menggunakan rujukan konstruksi
persamaan pada penelitian Salim dan Kabir (2008) dimana untuk mengestimasi
faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan intra regional ASEAN dan
Uni Eropa menggunakan persamaan sebagai berikut:
Dimana :
= Total Perdagangan bilateral (ekspor + impor)
ijtGDPln = GDP eksportir
itGDPln = GDP importir
LnDist = Jarak antara kedua negara
CU = Dummy Currency Union
CLB = Dummy Common Land Border atau perbatasan
CL = Dummy Common Language
eit = Error
Dalam penelitian ini ukuran ekonomi pada persamaan impor jasa transportasi laut dan
udara diproksi dengan PDB importir dan eksportir. Tingginya PDB negara importir
mengindikasikan tingginya tingkat permintaan untuk jasa transportasi laut dan udara (yang
diproduksi oleh domestik maupun impor), sedangkan tingginya PDB negara eksportir secara
positif berhubungan dengan kemampuan untuk mengekspor lebih banyak jasa.
Jarak yang digunakan adalah jarak geografi. Jarak antara negara eksportir dan
importir memiliki dampak negatif pada perdagangan barang, namun berdasarkan review dari
literatur terdahulu hasil empiris untuk kasus sektor jasa bersifat ambigu (Walsh, 2006;
Callaghan dan Uprasen, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan sektor jasa relatif sedikit
dipengaruhi oleh jarak daripada barang manufaktur maupun pertanian karena karakteristiknya
yang intangible.
Sedangkan variabel jarak, continent, comlang_off (common languages off yaitu jika bahasa
nasional digunakan oleh 20 persen populasi dari Negara tersebut), dan comlang_etno (common
languages etnic yaitu jika satu bahasa digunakan sedikitnya 9 persen dari populasi) diperoleh dari
CEPII’s distance database (http://www.cepii.fr/anglaisgraph/bdd/distance.htm).
itijjtititijt eCLBCUdistGDPGDPyx 54321 lnlnlnln
ijtYln
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 28
Pengolahan data gravity model dilakukan dengan regresi data panel
menggunakan bantuan software Microsoft Office Excel, STATA dan Eviews . Data panel
menggunakan kombinasi data cross section dan time series. Implikasi yang diperoleh
dari kombinasi tersebut adalah model data panel lebih efisien karena jumlah observasi
lebih banyak. Disamping itu, penggunaan model data panel dapat mengurangi efek bias.
Menurut Baltagi (2005), terdapat beberapa keunggulan dari data panel, yaitu: (1)
mampu mengontrol heterogenitas individu, (2) memberikan lebih banyak informasi
dan variasi, (3) mengurangi kolinearitas antar variable, (4) meningkatkan degree of
freedom sehingga lebih efisien, (5) lebih baik untuk study of dynamic adjustments, (6)
mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat
diperoleh dari data cross section dan time series murni, dan (7) dapat menguji dan
membangun model perilaku yang lebih kompleks. Namun demikian, analisis data panel
memiliki beberapa keterbatasan yaitu: (1) disain dari survey panel, pengumpulan serta
manajemen data, (2) gangguan dalam kesalahan pengamatan (measurement errors)
karena respon yang tidak sesuai, (3) selektivitas yang meliputi self selectivity.
Dalam analisis data panel terdapat tiga macam pendekatan, yaitu Pooled Least
Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Masing-masing
analisis data panel diuraikan sebagai berikut: (1) Pooled Least Square Model merupakan
metode estimasi model regresi data panel yang paling sederhana dengan asumsi
intercept dan koefisien slope yang konstan antarwaktu dan cross section (Common
Effect). Pada dasarnya, PLS merupakan metode yang meminimumkan jumlah error
kuadrat sama seperti OLS, tetapi data yang digunakan bukan data time series saja atau
cross section saja melainkan data panel yang diterapkan dalam bentuk pooled. Model
yang digunakan yaitu yit αi + Xitβ + uit ; di mana αi bersifat konstan untuk semua
observasi, atau αi = α.
Kelemahan PLS adalah dugaan parameter β akan bias karena tidak dapat
membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama serta tidak dapat
membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda, (2) Fixed Effect Model
muncul ketika antara efek individu dan peubah penjelas memiliki korelasi dengan Xit
atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari
efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep, yaitu: Untuk one way
komponen error: yit αi + λi + Xitβ + uit; sedangkan Untuk two way komponen error: yit
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 29
αi + λi + µt + Xitβ + uit, dan terakhir (3) Random Effect Model muncul ketika antara efek
individu dan regresor tidak ada korelasi. Asumsi ini membuat komponen error dari efek
individu dan waktu dimasukkan ke dalam error. Untuk one way error component: yit αi
+ Xitβ + uit + λi; sedangkan untuk two way error component: yit αi + Xitβ + uit + λi + µt
Pemilihan metode estimasi untuk menentukan model pendekatan terbaik dalam
pengolahan data panel dapat dilakukan melalui Uji Chow, Uji Hausman, dan Uji LM. Uji
Chow atau Uji F-statistic adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan
menggunakan model PLS atau FEM. Sedangkan Uji Hausman adalah pengujian statistik
sebagai dasar pertimbangan dalam memilih untuk menggunakan FEM atau REM.
Terakhir uji LM (Breusch-Pagan) adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan
dalam memilih model PLS atau REM.
Jika model yang dipilih berdasarkan uji Hausman adalah REM maka estimasi dari
model diasumsikan best linear unbiased estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan
pengujian terhadap 3 asumsi utama model BLUE (non multicolinearity, homokedasticity,
dan non autocorrelation). Hal ini dikarenakan 2 alasan yaitu: (1) sifat data panel adalah
bebas dari gejala multikolinearitas, dan (2) REM adalah model generalized least square
(GLS) sehingga apabila estimasi menggunakan GLS secara otomatis akan terbebas dari
gejala autokorelasi, dan bahkan terbebas dari gejala heterokedastisitas yang disebabkan
variasi sisaannya yang konstan (Gujarati, 2004).
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 30
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Analisis Kinerja Perdagangan dan Daya Saing Negara Anggota ASEAN
3.1.1. Intra Industry Trade
Pola perdagangan antar negara intra ASEAN diidentifikasi melalui keterkaitan
perdagangan. Nilai dari IIT (Intra Industry Trade) masing-masing komoditi untuk
menganalisis tingkat integrasi dan keterkaitan perdagangan antara negara ASEAN.
Integrasi yang tinggi menunjukkan keterkaitan yang erat di antara negara-negara
tersebut. Komoditi yang akan disajikan dalam pembahasan adalah komoditi
berdasarkan BEC (Broad Economic Categories). Data tersebut menggunakan data ekspor
dan impor BEC tahun 2007 sampai 2014. Data nilai ekspor dan impor yang akan
digunakan untuk melihat aliran perdagangan antara intra ASEAN bersumber dari WITS
Nilai IIT yang tinggi (indeks = 1) menunjukkan adanya keterkaitan yang bersifat dua
arah (two-way trade) dimana masing-masing negara ASEAN melakukan ekspor dan
impor. Sementara itu, nilai IIT yang kecil (indeks = 0) menunjukkan adanya keterkaitan
yang bersifat satu arah (one-way trade) dimana masing-masing negara ASEAN hanya
berperan sebagai negara eksportir atau importir saja.
Intra Industry Trade Indonesia ke Negara ASEAN
Tabel 3.1. menunjukkan nilai IIT Indonesia ke negara ASEAN selama periode tahun
2007-2014. Secara keseluruhan, nilai IIT Indonesia ke negara ASEAN berada dibawah
nilai indek = 1 walaupun hampir sebagian besar berada pada nilai diatas 0.5 moderately
strong integration. Hal ini mengimplikasikan perdagangan Indonesia ke negara-negara
ASEAN memiliki keterkaitan yang bersifat mengarah pada two-way trade walaupun
belum optimal karena belum mencapai nilai 1. Komoditas yang cenderung meningkat
keterkaitan two-way trade dalam periode tahun 2007-2014 adalah komoditas BEC-2
(Industrial supplies not elsewhere specified) baik BEC-21 maupun BEC-22 dan BEC-5
(Transport equipment and parts and accessories) pada kategori BEC-51 dan BEC-53,
sedangkan BEC-52 cenderung menurun pada akhir tahun 2013 dan 2014. Diantara BEC
lainnya BEC-22 (Industrial supplies not elsewhere specified kategori prosesing) memiliki
indeks IIT tertinggi.
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 31
Sedangkan komoditas BEC yang memiliki keterkaitan two way trade semakin
menurun adalah komoditas BEC-1 (Food and beverages) terutama yang primary (BEC-
12) dan BEC-4 (Capital goods and parts) terutama Capital goods (BEC-41). BEC-1
khususnya primary (BEC-21) termasuk didalamnya sektor primer dalam perekonomian
seperti pertanian dalam arti sempit, kehutanan, perikanan, dan industry ekstraaktif. IIT
BEC-21 yang rendah mengimplikasikan bahwa Indonesia hanya berperan sebagai
pengekspor atau pengimpor. Dibandingkan dengan BEC-21, BEC-22 relatif memiliki
nilai IIT yang lebih tinggi. BEC-22 dibagi menjadi 2, yaitu “mainly for industry” (atau
intermediate goods) dan “mainly for household consumption”. Sebagai contoh komoditas
yang masuk dalam kategori BEC-22 adalah tepung terigu. Tepung terigu merupakan
intermediate good bagi industry roti, namun juga bisa dikonsumsi langsung oleh rumah
tangga.
Bila dibandingkan dengan Malaysia pada tahun terakhir tahun 2014, hanya BEC-
5 yang lebih tinggi dari ASEAN diantara kategori BEC lainnya. Secara detil dapat dilihat
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Nilai IIT Indonesia ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 0,968 0,689 0,707 0,796 0,981 0,811 0,686 0,705 2 (Industrial supplies not elsewhere specified) 0,673 0,881 0,834 0,883 0,894 0,994 0,989 0,989
4 (Capital goods and parts) 0,661 0,752 0,788 0,826 0,818 0,759 0,753 0,669 5 (Transport equipment and parts and accessories) 0,895 0,743 0,754 0,738 0,697 0,762 0,846 0,942 6 (Consumer goods not elsewhere specified) 0,583 0,831 0,771 0,737 0,751 0,767 0,785 0,705
11 (-- Primary) 0,515 0,367 0,441 0,410 0,627 0,613 0,357 0,496
12 (-- Processed) 0,821 0,875 0,915 0,996 0,855 0,867 0,799 0,764
21 (-- Primary) 0,542 0,733 0,675 0,774 0,805 0,964 0,916 0,779
22 (-- Processed) 0,687 0,894 0,848 0,891 0,901 0,996 0,984 0,998
41 (-- Capital goods) 0,824 0,800 0,785 0,879 0,803 0,727 0,685 0,562
42 (-- Parts and accessories) 0,480 0,718 0,790 0,773 0,834 0,796 0,832 0,790
51 (-- Passenger motor cars) 0,702 0,726 0,728 0,630 0,649 0,763 0,831 0,856
52 (-- Other) 0,752 0,735 0,565 0,504 0,476 0,585 0,821 0,796
53 (-- Parts and accessories) 0,969 0,753 0,964 0,884 0,820 0,837 0,862 0,895
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 32
Intra Industry Trade Malaysia ke Negara ASEAN
Secara keseluruhan, nilai IIT Malaysia ke negara ASEAN berada dibawah nilai indeks =
1, Seperti halnya Indonesia hampir sebagian besar berada pada kisaran strong
moderately integration (diatas 0,5) kecuali BEC-21 (Industrial supplies not elsewhere
specifies kategori primary) dan BEC-51 (Transport equipment and parts and accessories
kategori passangers motor cars) walaupun nilainya pada tahun 2014 meningkat hampir
mendekati nilai indeks 1, Hal ini mengindikasikan BEC-51 Malaysia semakin mengarah
pada two-way trade, Pada tahun 2014, BEC-1, BEC-2, BEC-4 mengalami penurunan dari
tahun sebelumnya tahun 2013 sedangkan BEC 5 (Transport equipment and parts and
accessories) mengalami kenaikan, Sedangkan BEC-6 (Consumer goods not elsewhere
specified) konstan tidak mengalami kenaikan maupun penurunan dari tahun
sebelumnya, Secara detil, perkembangan IIT setiap komoditas BEC di Malaysia dapat
dilihat pada Tabel 3,2,
Tabel 3,2, Nilai IIT Malaysia ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 0,908 0,954 0,884 0,833 0,821 0,916 0,847 0,792
2 (Industrial supplies not elsewhere specified) 0,983 0,935 0,967 0,985 0,960 0,986 0,978 0,955
4 (Capital goods and parts) 0,821 0,763 0,769 0,872 0,879 0,856 0,810 0,809
5 (Transport equipment and parts and accessories) 0,820 0,736 0,749 0,587 0,662 0,595 0,584 0,637
6 (Consumer goods not elsewhere specified) 0,638 0,745 0,679 0,631 0,643 0,676 0,711 0,711
11 (-- Primary) 0,636 0,622 0,738 0,725 0,831 0,946 0,963 0,878
12 (-- Processed) 0,691 0,777 0,734 0,669 0,732 0,886 0,792 0,769
21 (-- Primary) 0,377 0,349 0,428 0,364 0,388 0,426 0,304 0,338
22 (-- Processed) 0,924 0,860 0,896 0,944 0,970 0,902 0,885 0,883
41 (-- Capital goods) 0,845 0,775 0,782 0,799 0,839 0,850 0,842 0,858
42 (-- Parts and accessories) 0,813 0,758 0,765 0,896 0,895 0,858 0,796 0,787
51 (-- Passenger motor cars) 0,361 0,237 0,283 0,307 0,449 0,544 0,733 0,943
52 (-- Other) 0,946 0,818 0,740 0,349 0,484 0,509 0,288 0,561
53 (-- Parts and accessories) 0,839 0,807 0,818 0,738 0,764 0,637 0,672 0,599
Intra Industry Trade Singapura ke Negara ASEAN
Berdasarkan Tabel 3,3,, nilai IIT tertinggi Singapura didominasi oleh kode BEC-1 dan
BEC-6, Pada kedua kategori produk BEC ini, Singapura memiliki strong moderately
integration karena nilainya diatas 0,5, walaupun untuk BEC-11, food and beverages
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 33
kategori primary memiliki nilai urang dari 0,5, BEC-6 diklasifikasikan menjadi 3 yaitu
(1) Durable consumer goods, barang-barang yang diperkirakan memiliki expected life
time lebih dari satu tahun dan memiliki nilai relatif lebih tinggi seperti kulkas dan
mesin cuci, (2) Semi Durable consumer goods, barang-barang yang memiliki expected life
time lebih dari satu tahun tapi tidak lebih dari tiga tahun, tetapi tidak memiliki nilai
yang relative lebih tinggi, (3) Non-durable consumer goods, termasuk komoditas yang
memiliki expected life time kurang dari satu tahun, Untuk BEC-1 food and beverages
memiliki kecenderungan dari tahun ke tahun semakin meningkat IIT nya, terutama
yang processing (BEC-22), Hal ini sejalan dengan fenomena nyata bahwa Singapura
masuk sebagai jajaran industri dan salah satunya industri pengolahan food and
beverages,
Tabel 3,3, Nilai IIT Singapura ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 0,800 0,795 0,814 0,842 0,938 0,951 0,981 0,986
2 (Industrial supplies not elsewhere specified) 0,655 0,690 0,784 0,644 0,682 0,683 0,618 0,627
4 (Capital goods and parts) 0,837 0,816 0,825 0,870 0,773 0,767 0,747 0,764
5 (Transport equipment and parts and accessories) 0,570 0,526 0,481 0,468 0,440 0,439 0,506 0,592
6 (Consumer goods not elsewhere specified) 0,949 0,886 0,895 0,937 0,957 0,975 0,941 0,884
11 (-- Primary) 0,316 0,289 0,295 0,277 0,642 0,377 0,324 0,375
12 (-- Processed) 0,972 0,953 0,991 0,981 0,958 0,888 0,839 0,827
21 (-- Primary) 0,729 0,671 0,450 0,728 0,749 0,689 0,825 0,757
22 (-- Processed) 0,615 0,648 0,719 0,605 0,643 0,640 0,585 0,593
41 (-- Capital goods) 0,703 0,683 0,688 0,708 0,623 0,661 0,677 0,692
42 (-- Parts and accessories) 0,881 0,865 0,874 0,921 0,831 0,812 0,777 0,794
51 (-- Passenger motor cars) 0,621 0,484 0,768 0,477 0,227 0,236 0,218 0,492
52 (-- Other) 0,380 0,223 0,243 0,182 0,134 0,166 0,296 0,692
53 (-- Parts and accessories) 0,535 0,494 0,469 0,520 0,510 0,505 0,545 0,584
Intra Industry Trade Thailand ke Negara ASEAN
Berdasarkan Tabel 3,4, Thailand memiliki IIT tertinggi pada komoditas BEC-4
(capital goods and parts) dan BEC-6 (Consumer goods not elsewhere specified) pada
kisaran strong moderately integration, Untuk BEC-4, Thailand memiliki IIT tinggi baik
pada kategori BEC-41 (Capital goods) maupun BEC-42 (Part and accessories), Hal ini
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 34
menunjukkan bahwa Thailand pun selain Vietnam telah menjadi bagian dari GVC untuk
produk barang modal, Dalam kategori BEC-41 termasuk barang-barang mesin, seperti
electrical generators dan komputer dan barang manufaktur lain seperti medical
furniture, Sedangkan yang masuk parts and accessories adalah komponen dari mesin,
seperti yang digunakan untuk pabrik perakitan yang merupakan input dan masuk
kategori intermediate goods,
Tabel 3,4, Nilai IIT Thailand ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 0,472 0,461 0,485 0,432 0,451 0,513 0,514 0,506
2 (Industrial supplies not elsewhere specified) 0,844 0,853 0,788 0,835 0,819 0,814 0,742 0,754
4 (Capital goods and parts) 0,944 0,975 0,979 0,936 0,934 0,989 0,984 0,929
5 (Transport equipment and parts and accessories) 0,308 0,324 0,319 0,361 0,363 0,426 0,415 0,408
6 (Consumer goods not elsewhere specified) 0,958 0,861 0,865 0,913 0,908 0,823 0,843 0,853
11 (-- Primary) 0,789 0,956 0,857 0,892 0,897 0,709 0,892 0,834
12 (-- Processed) 0,427 0,393 0,418 0,364 0,383 0,475 0,447 0,436
21 (-- Primary) 0,322 0,417 0,313 0,334 0,313 0,431 0,354 0,432
22 (-- Processed) 0,906 0,911 0,848 0,898 0,883 0,853 0,777 0,781
41 (-- Capital goods) 0,802 0,904 0,877 0,849 0,908 0,924 0,996 0,851
42 (-- Parts and accessories) 0,985 0,894 0,887 0,995 0,964 0,891 0,963 0,992
51 (-- Passenger motor cars) 0,111 0,168 0,163 0,263 0,250 0,328 0,377 0,378
52 (-- Other) 0,267 0,337 0,336 0,174 0,502 0,473 0,370 0,443
53 (-- Parts and accessories) 0,374 0,379 0,371 0,446 0,361 0,455 0,448 0,404
Intra Industry Trade Filipina ke Negara ASEAN
Selain Thailand, negara ASEAN lainnya yang memiliki IIT tinggi untuk BEC-4 yaitu
Filipina, Sejak tahun 2012, BEC-41 Filipina mengalami peningkatan walaupun pada
tahun 2014 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 0,912 pada tahun 2013
menjadi 0,779 pada tahun 2014, BEC-42 bersama-sama dengan BEC-41 memiliki IIT
kategori termasuk strong moderately integration seperti halnya BEC-41,
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 35
Tabel 3,5, Nilai IIT Thailand ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 0,457 0,281 0,310 0,222 0,499 0,455 0,504 0,360
2 (Industrial supplies not elsewhere specified) 0,649 0,599 0,509 0,588 0,570 0,560 0,548 0,409
4 (Capital goods and parts) 0,954 0,871 0,996 0,561 0,980 0,853 0,871 0,868
5 (Transport equipment and parts and accessories) 0,658 0,702 0,609 0,618 0,719 0,838 0,412 0,552
6 (Consumer goods not elsewhere specified) 0,795 0,670 0,559 0,575 0,552 0,605 0,798 0,577
11 (-- Primary) 0,640 0,673 0,536 0,432 0,587 0,638 0,858 0,843
12 (-- Processed) 0,442 0,262 0,293 0,207 0,488 0,429 0,442 0,305
21 (-- Primary) 0,774 0,708 0,337 0,474 0,869 0,454 0,655 0,769
22 (-- Processed) 0,632 0,586 0,542 0,605 0,538 0,575 0,531 0,375
41 (-- Capital goods) 0,695 0,735 0,720 0,552 0,550 0,825 0,912 0,779
42 (-- Parts and accessories) 0,880 0,783 0,931 0,562 0,902 0,860 0,827 0,798
51 (-- Passenger motor cars) 0,219 0,246 0,254 0,228 0,179 0,093 0,071 0,115
52 (-- Other) 0,035 0,024 0,007 0,011 0,569 0,645 0,028 0,584
53 (-- Parts and accessories) 0,647 0,613 0,823 0,744 0,830 0,613 0,926 0,932
Intra Industry Trade Vietnam ke Negara ASEAN
Berdasarkan Tabel 3,6, hampir sebagian besar komoditas BEC Vietnam memiliki nilai
diatas 0,85 pada tahun 2014, bahkan pada tahun 2012, BEC-4 memiliki nilai IIT sama
dengan 1, strong integration, Hal ini mengukuhkan Vietnam memiliki kontribusi yang
besar dalam Global Value Chain, Sejalan dengan RCA yang kurang dari 1, nilai IIT
Vietnam untuk komoditas BEC-51 juga relative rendah bahkan pada tahun 2014 nilai
IIT hanya sebesar 0,051
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 36
Tabel 3,6, Nilai IIT Vietnam ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 0,660 0,642 0,628 0,722 0,705 0,789 0,949 0,897
2 (Industrial supplies not elsewhere specified) 0,368 0,495 0,466 0,587 0,691 0,881 0,877 0,852
4 (Capital goods and parts) 0,524 0,534 0,681 0,757 0,820 1,000 0,981 0,916
5 (Transport equipment and parts and accessories) 0,452 0,488 0,475 0,631 0,755 0,924 0,945 0,917
6 (Consumer goods not elsewhere specified) 0,702 0,713 0,705 0,654 0,782 0,823 0,881 0,902
11 (-- Primary) 0,668 0,661 0,748 0,881 0,741 0,892 0,971 0,985
12 (-- Processed) 0,658 0,638 0,604 0,687 0,697 0,758 0,919 0,861
21 (-- Primary) 0,355 0,311 0,401 0,510 0,502 0,844 0,819 0,638
22 (-- Processed) 0,369 0,514 0,474 0,596 0,713 0,886 0,884 0,872
41 (-- Capital goods) 0,357 0,424 0,615 0,844 0,980 0,757 0,609 0,647
42 (-- Parts and accessories) 0,696 0,667 0,781 0,603 0,486 0,771 0,645 0,438
51 (-- Passenger motor cars) 0,144 0,216 0,614 0,040 0,042 0,233 0,314 0,051
52 (-- Other) 0,370 0,680 0,428 0,784 0,619 0,603 0,613 0,701
53 (-- Parts and accessories) 0,466 0,464 0,486 0,606 0,566 0,809 0,744 0,742
3,1,2, Revealed Competitive Advantage (RCA)
Revealed Comparative Advantage (RCA) merupakan sebuah indeks yang digunakan
untuk mengukur keuntungan maupun kerugian relatif komoditi tertentu pada suatu
negara yang tercermin pada pola perdagangannya, seperti pangsa pasar ekspor,
Pada penelitian ini, metode RCA digunakan untuk mengukur posisi daya saing
sektor terpilih dalam konteks perdagangan intra ASEAN, Terdapat dua kemungkinan
hasil yang dapat diperoleh, yaitu:
1. Nilai RCA yang diperoleh bernilai lebih dari satu (RCA>1), Hal tersebut berarti
negara tersebut memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata ekspor dunia ke
ASEAN hingga komoditi tersebut memiliki dayasaing yang kuat,
2. Nilai RCA yang diperoleh kurang dari satu (RCA<1), yang berarti bahwa negara
tersebut memiliki keunggulan komparatif dibawah rata-rata ekspor dunia ke
ASEAN sehingga negara tersebut memiliki dayasaing yang lemah pada komoditas
tersebut,
Revealed Comparative Advantage (RCA) Indonesia ke Negara ASEAN
Tabel 3,7, menunjukkan nilai RCA Indonesia ke negara ASEAN selama periode
tahun 2007-2014, Secara umum, dapat dilihat bahwa nilai RCA Indonesia ke negara
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 37
ASEAN untuk sektor BEC 1 (Food and beverages), BEC 2 (Industrial supplies not
elsewhere specified), BEC 4 (Capital goods and parts), BEC 5 (Transport equipment and
parts and accessories, serta BEC 6 (Consumer goods not elsewhere specified) bernilai
lebih dari 1, Hal ini meningindikasikan bahwa Indonesia memiliki keunggulan
komparatif pada keseluruhan sektor terpilih tersebut, Klasifikasi produk yang lebih
detail menunjukkan bahwa dayasaing sektor BEC 1 (Food and beverages) didukung oleh
jenis produk Primary Products (BEC 11) dan Processed Products (BEC 12) dengan nilai
RCA keduanya menunjukkan tren positif selama periode 2007-2014, Sementara itu,
sektor yang cenderung meningkat dayasaingnya dalam periode tersebut adalah sektor
BEC-51 (passanger motor cars), Sedangkan komoditas BEC yang memiliki dayasaing
yang semakin menurun adalah komoditas BEC 2 dalam kategori primary products (BEC
21) serta capital goods (BEC 41),
Tabel 3,7, Nilai RCA Indonesia ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 2,354 2,526 2,098 2,410 2,393 3,073 2,728 2,827
2 (Industrial supplies not elsewhere specified) 2,740 2,813 2,696 2,536 2,452 2,236 2,368 2,395
4 (Capital goods and parts) 1,403 1,358 1,240 1,281 1,207 1,119 1,173 1,025
5 (Transport equipment and parts and accessories) 0,866 1,231 1,442 1,153 0,999 1,410 1,483 1,374
6 (Consumer goods not elsewhere specified) 0,879 0,926 0,967 1,076 1,029 1,115 1,109 1,215
11 (-- Primary) 3,235 3,366 3,191 3,170 2,336 2,256 2,483 2,079
12 (-- Processed) 1,914 2,090 1,514 1,997 2,424 3,513 2,859 3,232
21 (-- Primary) 2,629 2,288 2,119 1,500 1,393 1,024 0,883 0,665
22 (-- Processed) 2,754 2,879 2,767 2,690 2,621 2,414 2,576 2,624
41 (-- Capital goods) 1,168 1,068 1,041 1,229 1,063 1,004 1,016 0,801
42 (-- Parts and accessories) 1,695 1,732 1,494 1,345 1,399 1,274 1,378 1,322
51 (-- Passenger motor cars) 0,416 0,676 0,506 0,625 0,613 1,224 1,088 1,267
52 (-- Other) 0,673 1,235 1,896 0,750 0,685 0,931 1,245 0,841
53 (-- Parts and accessories) 1,386 1,692 1,877 1,820 1,480 1,834 1,915 1,738
Revealed Comparative Advantage (RCA) Malaysia ke Negara ASEAN
Berdasarkan hasil komputasi Revealed Comparative Advantage (RCA), dapat
diketahui bahwa sektor Malaysia yang berdayasaing dalam konteks perdagangan intra
ASEAN meliputi BEC 1 (Food and beverages), BEC 2 (Industrial supplies not elsewhere
specified), BEC 4 (Capital goods and parts), serta BEC 6 (Consumer goods not elsewhere
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 38
specified), Meskipun demikian terdapat tendensi penurunan dayasaing untuk sektor
BEC 4 (Capital goods and parts), serta BEC 6 (Consumer goods not elsewhere specified)
terutama di tahun 2014, Klasifikasi sektor yang menunjukkan hasil indeks RCA
dibawah 1 hanya ditunjukkan oleh BEC 5 (Transport equipment and parts and
accessories) serta BEC 51 (passanger motor cars) sehingga mengimplikasikan bahwa
Malaysia tidak memiliki keunggulan komparatif dalam sektor tersebut,
Tabel 3,8, Nilai RCA Malaysia ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 1,716 2,198 1,940 2,317 2,833 2,540 2,253 2,435
2 (Industrial supplies not elsewhere specified) 1,373 1,723 1,684 1,711 1,766 1,713 1,566 1,608
4 (Capital goods and parts) 3,119 2,650 3,168 3,260 3,142 3,062 3,127 2,959
5 (Transport equipment and parts and accessories) 0,351 0,435 0,567 0,396 0,410 0,399 0,409 0,395
6 (Consumer goods not elsewhere specified) 0,978 0,942 1,144 1,336 1,473 1,346 1,211 1,175
11 (-- Primary) 0,965 1,129 1,044 1,101 1,164 1,120 1,201 1,350
12 (-- Processed) 2,091 2,752 2,419 2,977 3,729 3,305 2,818 3,021
21 (-- Primary) 0,400 0,480 0,659 0,505 0,569 0,701 0,432 0,406
22 (-- Processed) 1,492 1,879 1,812 1,889 1,957 1,862 1,725 1,767
41 (-- Capital goods) 1,277 1,365 1,366 1,577 1,590 1,632 1,601 1,551
42 (-- Parts and accessories) 5,417 4,304 5,468 5,352 5,205 4,980 5,124 4,828
51 (-- Passenger motor cars) 0,039 0,054 0,058 0,088 0,093 0,148 0,211 0,230
52 (-- Other) 0,192 0,291 0,597 0,213 0,289 0,322 0,214 0,298
53 (-- Parts and accessories) 0,728 0,851 0,938 0,754 0,724 0,637 0,667 0,574
Revealed Comparative Advantage (RCA) Singapura ke Negara ASEAN
Sementara itu, hasil komputasi Revealed Comparative Advantage (RCA)
Singapura menunjukkan bahwa sektor Singapura yang berdayasaing dalam konteks
perdagangan intra ASEAN meliputi BEC 2 (Industrial supplies not elsewhere specified)
serta BEC 4 (Capital goods and parts), Secara spesifik, sektor yang memiliki dayasang
tertinggi adalah sektor BEC 4 (Capital goods and parts), dimana dayasaing sektor
tersebut ditopang oleh dayasaning produk BEC 42 (Parts and accessories) serta BEC 41
(capital goods), Temuan tersebut menjustifikasi bahwa Singapura memiliki keunggulan
komparatif pada industri manufaktur dan capital intensive industries lainnya,
Sementera itu, klasifikasi BEC 1 (Food and beverages BEC 6 (Consumer goods not
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 39
elsewhere), BEC 5 (Transport equipment and parts and accessories), serta BEC 6
(Consumer goods not elsewhere specified) tidak berdayasaing dalam perdagangan intra
ASEAN dengan hasil indeks RCA bernilai dibawah 1 selama periode 2007-2014,
Tabel 3,9, Nilai RCA Singapura ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 0,509 0,541 0,629 0,649 0,766 0,754 0,818 0,873
2 (Industrial supplies not elsewhere specified) 1,178 1,245 1,315 1,376 1,258 1,286 1,394 1,502
4 (Capital goods and parts) 3,661 3,658 3,814 3,660 3,469 3,460 3,429 3,246
5 (Transport equipment and parts and accessories) 0,386 0,553 0,716 0,623 0,671 0,755 0,710 0,594
6 (Consumer goods not elsewhere specified) 0,788 0,911 0,903 0,914 0,889 0,946 0,947 0,902
11 (-- Primary) 0,158 0,137 0,166 0,145 0,390 0,187 0,166 0,221
12 (-- Processed) 0,684 0,751 0,876 0,923 0,968 1,059 1,168 1,225
21 (-- Primary) 0,357 0,360 0,344 0,333 0,330 0,333 0,377 0,372
22 (-- Processed) 1,278 1,356 1,437 1,530 1,406 1,426 1,537 1,651
41 (-- Capital goods) 1,806 1,933 2,018 1,828 1,904 1,958 1,896 1,782
42 (-- Parts and accessories) 5,974 5,879 6,106 5,937 5,551 5,475 5,433 5,189
51 (-- Passenger motor cars) 0,027 0,033 0,057 0,067 0,088 0,118 0,120 0,103
52 (-- Other) 0,140 0,276 0,366 0,433 0,509 0,561 0,335 0,281
53 (-- Parts and accessories)
Revealed Comparative Advantage (RCA) Thailand ke Negara ASEAN
Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa nilai RCA Thailand ke negara ASEAN
untuk sektor BEC 1 (Food and beverages), BEC 2 (Industrial supplies not elsewhere
specified), BEC 4 (Capital goods and parts), BEC 5 (Transport equipment and parts and
accessories, serta BEC 6 (Consumer goods not elsewhere specified) bernilai lebih dari 1
dalam periode 2007-2014, Tendensi peningkatan dayasaing terlihat secara signfikan
untuk BEC 1 (Food and beverages) dan BEC 2 (Industrial supplies not elsewhere
specified), Untuk klasifikasi BEC 1 (Food and beverages), dapa diidentifikasi bahwa
Thailand memiliki daya saing yang kuat untuk processed food and beverages (BEC 42),
sementara untuk klasifikasi BEC 2 (Industrial supplies not elsewhere specified),
dayasaing juga diperlihatkan oleh primary and processed industrial supplies (BEC 21 dan
BEC 22),
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 40
Tabel 3,10, Nilai RCA Thailand ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 2,386 2,724 2,570 2,928 3,124 3,196 2,733 2,921
2 (Industrial supplies not elsewhere specified) 1,885 1,891 2,048 1,970 2,003 1,872 2,045 2,046
4 (Capital goods and parts) 2,023 1,846 1,884 1,942 1,967 1,850 1,861 1,952
5 (Transport equipment and parts and accessories) 1,998 2,502 2,870 2,873 2,763 3,120 3,055 2,966
6 (Consumer goods not elsewhere specified) 0,951 1,326 1,162 1,109 1,129 1,149 1,176 1,131
11 (-- Primary) 0,693 0,655 0,843 0,764 0,832 1,298 0,880 1,132
12 (-- Processed) 3,232 3,798 3,493 4,103 4,354 4,219 3,729 3,887
21 (-- Primary) 2,682 2,728 2,847 2,438 2,321 1,777 1,806 1,671
22 (-- Processed) 1,788 1,786 1,949 1,901 1,952 1,886 2,079 2,095
41 (-- Capital goods) 1,364 1,481 1,495 1,668 1,890 1,862 1,734 1,845
42 (-- Parts and accessories) 2,845 2,316 2,380 2,283 2,070 1,833 2,027 2,094
51 (-- Passenger motor cars) 1,392 1,944 2,208 2,667 2,110 2,641 2,080 1,992
52 (-- Other) 0,638 1,185 1,423 1,491 1,984 2,744 2,991 3,108
53 (-- Parts and accessories) 3,405 3,863 4,287 3,883 3,723 3,708 3,837 3,640
Revealed Comparative Advantage (RCA) Filipina ke Negara ASEAN
Sementara itu, indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) Filipina ke Negara
ASEAN menunjukkan bahwa sektor Filipina yang berdayasaing dalam konteks
perdagangan intra ASEAN meliputi BEC 1 (Food and beverages), BEC 4 (Capital goods
and parts), serta BEC 5 (Transport equipment and parts and accessories), Nilai indeks
RCA yang tertinggi ditunjukkan oleh BEC 4 (Capital goods and parts) yang didukung
oleh peningkatan signifikan indeks RCA BEC 42 (-- Parts and accessories) yang semula
bernilai 7,8 di tahun 2007 menjadi 10,9 di tahun 2014, Meskipun demikian, terdapat
kecenderungan penurunan dayasaing untuk sektor BEC 1 (Food and beverages), dan
BEC 5 (Transport equipment and parts and accessories) selama periode tersebut,
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 41
Tabel 3,11, Nilai RCA Filipina ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 1,227 1,582 1,319 1,826 2,235 1,302 1,399 1,229
2 (Industrial supplies not elsewhere specified) 0,791 0,983 0,939 1,745 1,533 1,029 1,011 0,806
4 (Capital goods and parts) 4,591 4,370 5,052 3,224 3,575 5,315 5,188 5,309
5 (Transport equipment and parts and accessories) 0,914 1,502 1,593 2,808 2,600 2,437 1,091 1,498
6 (Consumer goods not elsewhere specified) 0,586 0,712 0,661 0,957 0,877 0,659 1,113 0,728
11 (-- Primary) 0,389 0,510 0,451 0,634 0,862 0,652 1,021 0,829
12 (-- Processed) 1,646 2,139 1,783 2,474 2,973 1,653 1,603 1,445
21 (-- Primary) 1,015 1,130 0,886 1,411 1,628 0,820 1,331 1,107
22 (-- Processed) 0,764 0,965 0,946 1,795 1,518 1,060 0,965 0,766
41 (-- Capital goods) 1,970 2,052 2,179 0,831 0,758 1,824 1,240 1,069
42 (-- Parts and accessories) 7,859 7,353 8,720 6,200 7,321 9,995 10,354 10,935
51 (-- Passenger motor cars) 0,267 0,573 0,806 1,289 0,630 0,261 0,221 0,349
52 (-- Other) 0,051 0,039 0,012 0,035 1,862 1,451 0,063 1,437
53 (-- Parts and accessories) 2,039 3,272 3,190 5,718 4,545 4,686 2,319 2,414
Revealed Comparative Advantage (RCA) Vietnam ke Negara ASEAN
Performa keunggulan komparatif sektoral Vietnam dalam konteks perdagangan
intra ASEAN menunjukkan nilai yang relatif tinggi untuk BEC 1 (Food and Beverages)
dibandingkan klasifikasi sektor yang lainnya, Dalam periode 2007-2014, nilai RCA
BEC 1 berkisar diantara range nilai 3,38 sampai dengan 7,04, Meskipun demikian,
terdapat kecenderungan penurunan nilai dayasaing dalam periode 2012-2014, Secara
spesifik, nilai indeks daya saing klasifikasi sektor Food and Beverages dalam kategori
Processed Products (BEC 12) yang digunakan sebagai intermediate dan consumption
goods menunjukkan performa daya saing yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kategori Primary Products (BEC 11), Hal ini menunjukkan bahwa strategi peningkatan
nilai tambah produk telah berhasil menjadi faktor kunci dalam peningkatan daya saing
sektor Food and Beverages Vietnam di kawasan ASEAN,
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 42
Tabel 3,12, Nilai RCA Vietnam ke Negara ASEAN, Tahun 2007-2014
Kode BEC 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 (Food and beverages) 5,478 6,345 6,012 7,036 6,727 5,024 3,376 3,932
2 (Industrial supplies not elsewhere specified)
1,099 1,548 1,447 2,003 2,190 2,341 2,285 2,406
4 (Capital goods and parts) 0,830 0,897 1,036 1,128 1,352 1,979 2,576 2,200
5 (Transport equipment and parts and accessories)
0,306 0,386 0,474 0,649 0,839 0,705 0,853 0,909
6 (Consumer goods not elsewhere specified)
0,629 0,722 0,740 0,771 0,915 0,851 0,965 0,935
11 (-- Primary) 3,248 2,921 2,671 3,168 3,372 3,073 2,441 3,026
12 (-- Processed) 6,593 8,123 7,799 9,137 8,529 6,076 3,879 4,421
21 (-- Primary) 0,983 0,808 1,254 1,368 1,182 1,817 1,811 1,345
22 (-- Processed) 1,114 1,640 1,471 2,096 2,351 2,419 2,351 2,546
41 (-- Capital goods) 0,519 0,692 0,997 1,449 1,843 2,084 3,107 2,978
42 (-- Parts and accessories) 1,218 1,160 1,085 0,729 0,698 1,837 1,882 1,167
51 (-- Passenger motor cars) 0,001 0,002 0,011 0,000 0,001 0,005 0,006 0,002
52 (-- Other) 0,123 0,230 0,323 0,482 1,459 0,876 1,688 1,872
53 (-- Parts and accessories) 0,692 0,812 0,925 1,269 1,115 1,142 1,048 1,098
Peningkatan dayasaing juga ditunjukkan oleh klasifikasi sektor BEC 2 Industrial
supplies not elsewhere specified dengan tren nilai RCA positif selama periode 2007-2014,
Peningkatan dayasaing klasifikasi sektor tersebut lebih ditopang oleh BEC 22 (processed
products) dibandingkan dengan BEC 21 (primary products), Peningkatan dayasaing juga
dialami oleh klasifikasi sektor BEC 4 (capital goods), BEC 42 (capital goods parts and
accessories), Nilai Indeks RCA sektor BEC 52 (Transport equipment and parts and
accessories--Other) serta BEC 53 (Parts and accessories) memperlihatkan peningkatan
secara signfikan semenjak tahun 2011, Sementara itu, klasifikasi sektor BEC 51
(Passenger motor cars) Vietnam dapat dikatakan tidak memiliki keunggulan komparatif
dikarenakan nilai indeks RCA secara konsisten bernilai kurang dari satu untuk konteks
perdagangan intra ASEAN,
3,1,3, Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Perdagangan ASEAN
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya dugaan bahwa kinerja perdagangan
intra ASEAN belum optimal, terutama Indonesia yang memiliki GDP tertinggi namun
memiliki kontribusi ke perdagangan ASEAN relatif kecil dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya seperti Singapura dan Malaysia, Oleh karena itu untuk mengakomodir
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 43
seluruh negara anggota ASEAN maka seluruh anggota ASEAN dimasukkan dalam
estimasi model alternative dari gravity yaitu The Heckman Selection Estimator, The
Heckman Selection Estimator merupakan salah satu alternatif gravity model estimator
untuk mengatasi zero trade flow, Mengacu pada Fontagne et al, (2009), untuk assesment
terhadap zero trade flow dapat diatasi dengan beberapa cara yaitu: pertama yang tidak
ditemukan dalam teori dengan mereplace nilai nol dengan nilai yang sangat kecil, kedua
dengan menggunakan Pseudo Maximum Likelihood, dan terakhir ketiga dengan The
Heckman Selection Model, Berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan Heckman
Selection Model seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3,1, beberapa variabel yang
memengaruhi kinerja perdagangan (ekspor) memiliki tanda yang tidak sesuai dengan
teori dan bahkan tidak signifikan,
Upaya selanjutnya mencari model estimator terbaik untuk mengestimasi faktor
yang memengaruhi perdagangan intra ASEAN dan selanjutnya menghitung kesuksesan
integrasi ASEAN digunakan model data panel Random Effect Model (REM), Dalam
analisis data panel, apabila terdapat variabel yang fixed konstan over time seperti jarak,
lokasi, variabel dummy maka digunakan Random Effect Model (REM), Berdasarkan
Woolridge (2006) hal ini dimungkinkan karena REM mengasumsikan bahwa
unobserved effect tidak berkorelasi dengan semua explanatory variables, apakah
explanatory variables fixed over time atau tidak, Dalam penelitian ini, faktor jarak,
diduga berpengaruh terhadap aliran perdagangan beberapa komoditas yang
diklasifikasikan berdasarkan BEC di ASEAN namun nilainya konstan sepanjang waktu,
sehingga REM digunakan untuk estimasi dibandingkan dengan Fixed Effect Model
(FEM), Apabila tetap menggunakan FEM maka akan membuat variabel jarak tidak dapat
diestimasi sehingga keduanya akan dikeluarkan dalam model (omitted) (Walsh, 2006),
Dengan model REM, konsekuensinya beberapa data perdagangan negara anggota
ASEAN lainnya seperti Myanmar, Kamboja dan Laos yang zero trade flow didrop dari
model, Dikeluarkannya negara anggota ASEAN seperti Myanmar, Kamboja dan Laos
dengan pertimbangan bahwa ketiga negara tersebut hanya memiliki kontibusi yang
relatif kecil terhadap perdagangan ASEAN, Demikian juga untuk Brunei, tidak
diikutsertakan dalam model mengingat keterbatasan data, Berdasarkan kajian Okabe
dan Urata (2013) anggota ASEAN lainnya seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 44
kontribusi total terhadap ekspor dan impor intra ASEAN masih relatif rendah yaitu
sekitar sekitar 10,9% terhadap ekspor dan 6,0% terhadap impor, Berbeda dengan
Vietnam, walaupun kontribusi Vietnam masih relatif kecil dalam perdagangan ASEAN
namun akhir-akhir ini Vietnam merupakan salah satu negara yang meningkat
kontribusinya sebagai penyedia input dalam GVC (Kemendag, 2015), Oleh karena itu
Vietnam masuk dalam model REM di penelitian ini,
Hasil estimasi REM pada aliran perdagangan bilateral dengan persamaan gravity
model pada komoditas yang diperdagangkan oleh negara ASEAN 6 disajikan pada Tabel
3,1, Model data panel yang lain adalah pooled least square (PLS), Pengujian model
dilakukan terhadap PLS dan REM dengan menggunakan uji Breusch Pagan Lagrangian
Multiplier (LM), Hipotesa dari model adalah H0: pooled least square (PLS), Ha: random
effect model (REM), Pengujian LM menunjukkan prob>chi2=0,000 yang berarti tolak Ho,
REM lebih baik daripada PLS, Hasil estimasi PLS dan REM disajikan di Tabel 3,13,
Berdasarkan Firdaus (2011), model ini telah memenuhi asumsi sebagai berikut: (1)
, (3) (4)
, (6) , (7)
, Uji asumsi klasik seperti normalitas, autokorelasi,
heteroskedastisitas dalam REM tidak diperlukan menurut asumsi tersebut, Asumsi 1
menunjukkan error pada model REM menyebar normal, asumsi 3 menunjukkan ragam
konstan atau homoskedasitas dan asumsi 6 menunjukkan tidak ada korelasi antara uit
dan λi, artinya tidak ada autokorelasi, Hasil uji korelasi antara variabel tidak ada yang
lebih dari 0,8 artinya model terbebas dari multikolinieritas, Dengan demikian model
dapat diinterpretasi dan dapat dilihat apakah memenuhi kriteria ekonomi, Berdasarkan
uji LM maka penelitian ini fokus membahas hasil estimasi REM,
Gravity model pada penelitian ini mengacu pada gravity model penelitian Salim
dan Kabir (2008) serta Okabe dan Urata (2013), Pada penelitian ini variabel yang
digunakan sebagai ukuran ekonomi adalah GDP dan GDP perkapita, Hampir
keseluruhan klasifikasi komoditas berdasarkan BEC menggunakan proksi size ekonomi
dengan GDP kecuali kode 21 (klasifikasi Industrial Supplies not elsewhere specified untuk
primary), Persamaan BEC-21 ini menggunakan proksi ukuran ekonomi dengan GDP
perkapita, GDP perkapita lebih menggambarkan daya beli (purchasing power negara
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 45
eksportir dan importir) (Sohn, 2005; Walsh, 2006), Menurut De (2010) GDP lebih
menunjukkan market power, sedangkan GDP perkapita lebih menunjukkan consumption
power, GDP perkapita lebih relevan pada persamaan BEC-21 dibanding dengan GDP
karena terkait elatisitas komoditas industri dibandingkan dengan komoditas pertanian
maupun lainnya, Peningkatan pendapatan tidak akan serta merta meningkatkan
konsumsi komoditas pertanian, misalnya beras, Namun peningkatan pendapatan akan
memengaruhi peningkatan komoditas hasil industri seperti televisi, pakaian dan lain-
lain,
Variabel jarak digunakan sebagai proksi dari biaya transportasi, Pengukuran
standar dari jarak adalah jarak antara ibukota Negara (countries’ capital), Selain jarak
diigunakan variabel tarif, Beberapa model menggunakan variabel tarif namun hampir
sebagian besar model tidak memasukkan tarif, Variabel tarif digunakan untuk
menangkap signifikansi penurunan tarif karena kerjasama AFTA, Namun karena tarif
telah sedemikian rendah maka tarif tidak lagi signifikan memengaruhi kinerja ekspor
negara anggota ASEAN, Selain variabel size ekonomi, jarak dan tarif, penelitian ini
menggunakan variabel non ekonomi fasilitasi perdagangan seperti indeks kontrol
terhadap korupsi, efektivitas pemerintah, dan indeks kinerja logistik,
Berdasarkan Tabel 3,1, koefisien R2 untuk model gravity untuk komoditas
berdasarkan klasifikasi BEC dalam rentang 0,23 sampai dengan 0,70 persen,
Berdasarkan Callaghan dan Uprasen (2008), hal ini mengindikasikan 2 hal, yaitu: (1)
variabel ekonomi dan variabel non ekonomi dalam model belum mampu menjelaskan
pola perdagangan dengan baik, (2) R2 yang kecil menunjukkan terdapat variabel non
ekonomi lain yang memengaruhi perdagangan, Hal ini mengindikasikan besarnya
intervensi terhadap komoditas berdasarkan klasifikasi BEC yang diperdagangkan di
ASEAN tersebut, Intervensi dalam bentuk hambatan non tarif dilakukan karena tarif
impor dari produk manufaktur telah begitu berkurang relative pada tingkat yang
rendah dalam beberapa Negara industri sebagai hasil dari beberapa putaran
perundingan perdagangan multilateral, Deardoff and Stern (1997) menyatakan bahwa
karena tingkat tarif telah demikian rendahnya maka terdapat insentif untuk
memperluas keberadaan non-tariff barriers (NTB) atau non-tariff measured (NTM) yang
mendistorsi dan menghambat perdagangan internasional, Hal ini diperkuat dengan
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 46
hasil penelitian ini dimana beberapa variabel non ekonomi signifikan memengaruhi
kinerja ekspor negara ASEAN6,
Pada model gravity ekspor komoditas kategori BEC, tingginya GDP negara
importir mengindikasikan tingginya tingkat permintaan komoditas yang
diperdagangkan (yang diproduksi oleh domestik maupun impor), sedangkan tingginya
GDP negara eksportir secara positif berhubungan dengan kemampuan negara untuk
mengekspor lebih banyak komoditas, Hasil estimasi menunjukkan GDP pada
keseluruhan persamaan ekspor dari komoditas berdasarkan klasifikasi BEC memiliki
pengaruh positif dan signifikan baik pada taraf 5 persen maupun 1 persen terhadap
kinerja perdagangan (ekspor) kecuali pada kode BEC-41 (Capital goods except transport
equipment), Intuisinya tingginya PDB negara eksportir menunjukkan hubungan yang
positif dengan kemampuan Negara dalam memproduksi komoditas untuk selanjutnya
diekspor, Pada komoditas BEC-41 capital goods except transport equipment, GDP dari
importir lebih signifikan dibanding dengan GDP eksportir mengingat capital goods
except transport equipment lebih diproduksi oleh negara-negara maju, Dari sisi supply,
negara ASEAN6 termasuk negara berkembang yang relatif lebih banyak memproduksi
komoditas pertanian dibanding memproduksi barang capital, Berdasarkan ADB
Institute (2010), hanya Singapura yang merupakan Negara anggota ASEAN yang masuk
dalam jajaran “the newly industrialized economies”, Sedangkan ASEAN 4, terdiri dari
Indonesia, Malaysia, Philipina, dan Thailand adalah middle-income countries, Brunei
Darussalam adalah negara yang kaya minyak dengan pendapatan perkapita 38,000 US
Dollar, sedangkan Kamboja, Lao PDR, Myanmar, dan Viet Nam (CLMV) masuk dalam
kelompok “the least developed member countries of ASEAN”, Hal ini mempertegas dari
sisi supply bahwa GDP eksportir negara anggota ASEAN6 kurang mendukung
ketersediaan BEC-41 (capital goods except transport equipment) karena hanya
Singapura yang masuk kategori perekonomian yang bergerak dibidang industri,
Koefisien tertinggi untuk variabel GDP eksportir terdapat pada kode BEC-52
yaitu sebesar 1,7 persen dan signifikan pada taraf nyata 1 persen, Hal ini menunjukkan
peningkatan 1 persen GDP negara eksportir maka akan meningkatkan ekspor
komoditas BEC-52 sebesar 1,221 persen, Koefisien terkecil GDP eksportir terdapat pada
BEC-42 yaitu sebesar 0,444 dan signifikan ada taraf nyata 5 persen, Hal ini
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 47
menunjukkan peningkatan 1 persen GDP negara eksportir maka akan meningkatkan
ekspor komoditas BEC-42 sebesar 0,444 persen, GDP perkapita pun pada persamaan
BEC-21 berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 1 persen terhadap kinerja
perdagangan komoditas BEC-21 negara anggota ASEAN6, Koefisien GDP perkapita
sebesar 1,009, hal ini menunjukan peningkatan 1 persen GDP perkapita negara
eksportir BEC-21 maka akan meningkatkan ekspor komoditas BEC-21 sebesar 1,009
persen
Dari sisi GDP importir, secara keseluruhan GDP importir berpengaruh positif dan
signifikan baik pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10 persen terhadap kinerja ekspor
negara anggota ASEAN6, GDP importir menunjukkan sisi “demand” dari negara ASEAN6,
Hal ini memperkuat argumentasi bahwa ASEAN merupakan potensi pasar bagi negara
ASEAN, Menggarap pasar intra ASEAN maka akan memperbaiki kinerja perdagangan
negara ASEAN sendiri, Sedangkan GDP perkapita dari importir tidak signifikan
memengaruhi kinerja ekspor komoditas BEC-21, Hal ini mengimplikasikan kinerja
ekspor komoditas BEC-21 kurang didukung oleh “daya beli” dari negara anggota
ASEAN6, Faktor “supply” relatif lebih signifikan memengaruhi kinerja ekspor BEC-21
(produk industri kategori primary),
Secara keseluruhan variabel jarak berpengaruh negatif dan signifikan pada taraf
nyata 1 persen dan 5 persen terhadap kinerja ekspor komoditas berdasarkan BEC di
negara ASEAN6, Secara teori jarak adalah sebagai proksi biaya transportasi, Hal ini
berarti bahwa semakin jauh jarak geografis, maka perdagangan akan membutuhkan
biaya yang lebih besar, Jarak berhubungan erat dengan biaya transportasi, Adanya jarak
antara dua negara yang saling melakukan perdagangan barang akan memengaruhi
biaya transportasi, Biaya transportasi dapat dipengaruhi oleh harga minyak dunia, Jika
harga minyak dunia mengalami kenaikan, maka akan meningkatkan harga barang
tersebut sehingga akan memberikan dampak terhadap perdagangan internasional, Oleh
sebab itu, dengan adanya biaya transportasi akan menyebabkan penurunan volume
perdagangan, baik ekspor maupun impor (Salvatore 1997), Pengaruh negatif dan
signifikansinya variabel jarak terhadap kinerja ekspor sejalan dengan penelitian Kartika
Rahma Sari dan Widyastutik (2015) serta Raditya Anggoro dan Widyastutik (2016),
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 48
Dari 10 persamaan model gravity dari klasifikasi BEC, terdapat 5 persamaan
dimana variabel non ekonomi LPI (logistic performance index) berpengaruh positif dan
signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen, Hal ini menunjukkan
bahwa kinerja logistik berpengaruh terhadap kinerja ekspor pada BEC-12 (food
beverages processed), BEC-41 (capital goods except transport equipment), BEC-42 (parts
accessories), BEC-52 (Transport equipment and pasts and accessories thereof kategori
others), dan BEC-6 (di BEC-6 Consumer goods not elsewhere specified baik pada model 1
dan 2), Peningkatan kinerja logistik Indonesia akan meningkatkan kinerja ekspor
komoditas BEC-12, BEC-41, BRC-42, BEC-52, dan BEC-6, Limau dan Venables (2000)
menyebutkan bahwa peningkatan biaya transportasi lebih dari 10 persen akan
mengurangi volume perdagangan lebih dari 20 persen, Atau dengan kata lain
peningkatan kinerja logistik yang ditunjukkan dengan penurunan biaya transportasi
akan meningkatkan volume perdagangan, Signifikansinya pengaruh biaya logistik di
Indonesia sejalan dengan temuan WEF (2012) dimana biaya logistik Indonesia sekitar
17% dari biaya produksi keseluruhan, Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan
Jepang mencapai 5 persen, Singapura 6 persen, dan Malaysia 8 persen, Sementara itu
komponen biaya logistik sendiri meliputi biaya transportasi sebesar 66,8 persen,
penanganan dan administrasi masing-masing 27,56 persen dan 5,64 persen (World
Economic Forum, 2012), Pada persamaan BEC-11 dan BEC-22 variabel LPI tidak
signifikan memengaruhi kinerja ekspor komoditas kategori BEC negara anggota
ASEAN6,
Selain variabel non ekonomi kinerja logistik, pada hampir keseluruhan
persamaan, variabel efektivitas pemerintahan (GE) baik dari eksportir maupun importir
berpengaruh positif dan signifikan 1 persen dan 5 persen terhadap kinerja ekspor
komoditas klasifikasi BEC kecuali BEC-11 dan BEC-21 yang memiliki pengaruh negatif,
Efektivitas pemerintahan dari sisi eksportir cenderung menurunkan ekspor komoditas
BEC-11 (Food and Beverages kategori primary) dan BEC-21 (Industrial Supplies not
elsewhere specified kategori primary), Semakin efektif tata kelola pemerintahan di
domestik maka memberikan insentif pada eksportir komoditas BEC-11 dan 21 untuk
lebih fokus memenuhi permintaan dalam negeri, Konsekuensinya ekspor kedua
komoditas tersebut mengalami penurunan,
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 49
Di sisi lain, pengaruh positif efektivitas pemerintahan berarti bahwa semakin
efektif tata kelola pemerintaan baik dari sisi efektivitas pemerintahan dari eksportir
maupun importir akan meningkatkan kinerja ekspor negara ASEAN6, Efektivitas
pemerintahan dari sisi eksportir dan importir yang positif dan signifikan memengaruhi
kinerja ekspor terdapat pada persamaan BEC-21 dan BEC-42, Sedangkan dari sisi
eksportir saja terdapat pada persamaan BEC-22, BEC-42, BEC-6, dan dari sisi importir
saja terdapat pada persamaan BEC-41, Kondisi ini sejalan dengan penelitian Astari
Ayuwangi dan Widyastutik (2013) walaupun dengan model gravity impor, Hasil
penelitian Astari Ayuwangi dan Widyastutik (2013) menunjukkan efektivitas
pemerintahan Indonesia memiliki pengaruh negatif terhadap kinerja impor Indonesia
dari negara ASEAN+6, Dengan meningkatknya efektivitas pemerintahan Indonesia
maka volume impor Indonesia semakin mengalami penurunan, Tata kelola pemerintah
yang baik dan efektif seringkali disebut good governance, Dimensi-dimensi dari good
governance sangat luas, bukan hanya terbatas pada pemberantasan korupsi, melainkan
menyangkut kepercayaan publik terhadap kompetensi pemerintah dalam mengelola
pemerintahan, efisiensi birokrasi, pembuatan kebijakan, pencapaian stabilitas
keamanan, penegakan hukum, serta pengelolaan sumber daya ekonomi secara efektif,
transparan, dan akuntabel, Menurut Brunetti, Kinsuko dan Weder (1997) pengelolaan
pemerintahan yang efektif dan berkompetensi dapat mendorong perekonomian secara
optimal sebagai imbas dari terciptanya iklim yang kondusif bagi investasi-investasi
produktif, Peningkatan produksi suatu negara dapat mengurangi impor dan
meningkatkan ekspor,
Dari 12 persamaan dalam model BEC (dimana BEC-11 dan BEC-6 terdiri dari 2
model) hanya 2 persamaan yang memasukkan variabel tarif dan hasilnya berpengaruh
positif dan signifikan pada taraf nyata 5 persen memengaruhi ekspor negara ASEAN6
yaitu pada BEC-22 dan BEC-6 pada model 2, Pada BEC-21, besaran koefisien tarif adalah
0,013, Hal ini menunjukkan kenaikan tarif 1 persen akan menurunkan ekspor kooditas
BEC-22 sebesar 0,013 persen, Demikian juga untuk komoditas BEC-6, besaran koefisien
tarif adalah sebesar 0,008 relatif lebih rendah dibandingkan BEC-22, Hal ini
menunjukkan kenaikan tarif sebesar 1 persen akan menurunkan kinerja ekspor
komoditas BEC-6 negara anggota ASEAN6 sebesar 0,008 persen,
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 50
Pengaruh variabel impor terhadap ekspor komoditas BEC-11 di negara ASEAN6
positif dan signifikan pada taraf 5 persen baik model 1 dan 2, Peningkatan impor 1
persen pada komoditas BEC-11 meningkatkan ekspor sebesar 0,109 persen pada model
1 dan 0,126 pada model 2, Hal ini mengimplikasikan adanya mekanisme reekspor untuk
komoditas BEC-11,
Selain size ekonomi dan jarak dimungkinkan beberapa faktor lain yang
memengaruhi perdagangan seperti dua negara berbagi perbatasan darat, fenomena
budaya (seperti apakah negara-negara tersebut memiliki kesamaan bahasa resmi
umum), geografi yang sama (apakah satu atau kedua negara atau tidak satupun negara
yang terkurung daratan), dan apakah antara negara-negara tersebut memiliki
hubungan sejarah yang sama (seperti apakah memiliki kesamaan sebagai bekas daerah
jajahan) dimasukkan dalam model (Rose, 2002; Winchester, 2008), Pada penelitian ini
digunakan variabel comlang_off, Variabel dummy comlang_off menunjukkan setidaknya
20 persen penduduk kedua negara menggunakan bahasa yang sama, Hasil analisis
menunjukkan variabel comlang_off berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja
ekspor komoditas BEC-21 negara anggota ASEAN6, Kesamaan Bahasa 20 persen bukan
semakin meningkatkan kinerja ekspor negara ASEAN6 namun menurunkan kinerja
ekspor negara ASEAN6,
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 51
Tabel 3,13, Hasil Analisis Gravity Model
Keterangan:
Kode BEC
Komoditas
1 Food and Beverages 11 Primary 12 Processed 2 Industrial Supplies not elsewhere specified 21 Primary 22 Processed 4 Capital goods (except transport equipment) and part and accesories 41 Capital goods (except transport equipment) 42 Part and accessories 5 Transport equipment and pasts and accessories thereof 51 Passenger motor cars 52 Other 53 Parts and accessories 6 Consumer goods not elsewhere specified
Model
Estimasi
BEC
Dependent Variabel: Nilai Ekspor
Independent Variable
LnGDPI LnGDPJ LnGDPCAP_I LnGDPCAP_J LnJarak LnLPI LnGE_I LnGE_J Tarif Lnimpor Comlang_
off
C R2 Obs
PLS
11 1 0.341** [0.128]
0.123 [0.121]
-1.474*** [0.124]
0.341** [0.128]
-1.661*** [0.188]
0.111* [0.045]
4.635 0.57 240
2 0.682*** [0.111]
0.247** [0.116]
-1.615*** [0.121]
-0.729*** [0.085]
0.088** [0.045]
-2.492 0.52 270
12 1 0.443*** [0.083]
0.117 [0.083]
-0.404*** [0.091]
1.444*** [0.174]
-1.362 0.44 240
21 1.486*** [0.142]
-0.260*** [0.091]
-0.691*** [0.119]
-1.665*** [0.199]
0.737*** [0.126]
-0.931*** [0.195]
6.422 0.51 270
22 0.889*** [0.070]
0.257*** [0.061]
-0.873*** [0.066]
2.075*** [0.324]
-0.094 [0.109]
0.020 [0.013]
-12.873 0.81 220
41 0.161** [0.080]
0.624*** [0.078]
-0.496*** [0.103]
3.110*** [0.180]
0.489*** [0.062]
-8.843 0.76 240
42 0.301*** [0.095]
0.270*** [0.084]
-0.305*** [0.111]
1.515*** [0.421]
0.978*** [0.136]
0.907*** [0.067]
-2.704 0.81 240
51
52 1.462*** [0.228]
0.678*** [0.228]
-1.356*** [0.248]
2.248*** [0.478]
-39.841 0.38 238
53 1.074*** [0.094]
0.562*** [0.094]
-1.099*** [0.097]
-22.851 0.53 270
6 1 0.644*** [0.062]
0.229*** [0.056]
-0.861*** [0.061]
2.630*** [0.271]
-0.153** [0.090]
-7.804 0.84 240
2 0.713*** [0.065]
0.261*** [0.057]
-0.855*** [0.060]
1.907*** [0.311]
0.106 [0.107]
0.019*** [0.005]
-9.713 0.85 220
REM
11 1 0.632** [0.220]
0.666*** [0.192]
-1.461*** [0.330]
-0.054 [0.477]
-0.520**
[0.234] 0.109**
[0.054] -13.551 0.42 240
2 0.574*** [0.187]
0.701*** [0.189]
-1.468*** [0.353]
-0.556*** [0.188]
0.126** [0.051]
-13.133 0.49 270
12 0.589*** [0.154]
0.407*** [0.144]
-0.556** [0.223]
0.680** [0.310]
-10.632 0.34 240
21 1.009*** [0.158]
-0.087 [0.157]
-0.734** [0.336]
-0.983*** [0.241]
0.486** [0.226]
-1.040* [0.552]
9.083 0.32 270
22 0.928*** [0.097]
0.180** [0.085]
-0.976*** [0.135]
0.186 [0.245]
0.470*** [0.108]
0.013** [0.006]
-8.695 0.65 220
41 0.173 [0.144]
0.615*** [0.136]
-0.584*** [0.222]
2.739*** [0.327]
0.475*** [0.133]
-7.743 0.50 240
42 0.444** [0.175]
0.383** [0.151]
-0.516** [0.258]
0.889* [0.510]
1.018*** [0.204]
0.752*** [0.150]
-6.956 0.47 240
51
52 1.221*** [0.426]
0.759* [0.402]
-1.425** [0.604]
2.146** [0.883]
-35.001 0.23 238
53 0.578*** [0.139]
0.314** [0.139]
-1.122*** [0.284]
-3.147 270
6 1
0.727*** [0.106]
0.353*** [0.092]
-0.972*** [0.153]
0.702*** [0.250]
0.370*** [0.116]
-9.921 0.68 240
2 0.774*** [0.109]
0.394*** [0.095]
-0.919*** [0.159]
0.670*** [0.247]
0.459*** [0.004]
0.008** [0.004]
-12.640 0.70 220
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 52
Keterangan:
Kode BEC
Komoditas
1 Food and Beverages 11 Primary 12 Processed 2 Industrial Supplies not elsewhere specified 21 Primary 22 Processed 4 Capital goods (except transport equipment) and part and accesories 41 Capital goods (except transport equipment) 42 Part and accessories 5 Transport equipment and pasts and accessories thereof 51 Passenger motor cars 52 Other 53 Parts and accessories 6 Consumer goods not elsewhere specified
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 53
Indeks Kesuksesan Integrasi Intra ASEAN
Berdasarkan model Gravity maka diperoleh indeks kesuksesan integrasi ASEAN
berdasarkan komoditas kategori BEC, Kesuksesan integrasi diukur dari rasio antara
volume aktual dan potensial yang diperoleh dari model Gravity, Apabila indeks bernilai
lebih dari 1, maka integrasi perdagangan dalam komoditas tersebut dinilai sukses
dimana , Berdasarkan Tabel 3,14, secara rata-rata rasio kesuksesan lebih dari 1, Hal ini
menunjukkan seluruh komoditas berdasarkan BEC di ASEAN 6 telah mencapai
kesuksesan, Rentang nilai kesuksesan antara 1,02 sampai dengan 1,69, Rasio
kesuksesan terendah terdapat pada BEC-6 (Consumer goods not elsewhere specified )
khususnya pada model gravity 2, sedangkan tertinggi pada BEC-52 (Transport
equipment and pasts and accessories thereof) kategori other, Apabila dikaitkan dengan
IIT, maka Indonesia merupakah salah satu penyumbang nilai IIT tertinggi pada
komoditas BEC-52, Sedangkan dari daya saing (RCA), beberapa negara ASEAN lainnya
selain Indonesia juga memiliki RCA tinggi diantaranya Thailand, Vietnam dan Philipina,
Kategori 52 diklasifikasikan dalam capital goods, seperti sepeda motor dan sepeda yang
digunakan oleh konsumen dan diklasifikasikan sebagai barang konsumsi, Kategori BEC-
52 terdiri dari 2 kategori yaitu sub kategori 521 untuk komoditas industri dan 522 non
industrial, Posisi kedua yang memiliki indeks integrasi kesuksesan yang tinggi adalah
BEC-53 yang meliputi intermediate goods, masuk dalam kategori ini adalah unassembled
vehicles (bagian dari SITC kepala 781, 782, 783
Tabel 3,14, Rata-rata Rasio Kesuksesan Integrasi Komoditas yang diperdagangan di Intra ASEAN Berdasarkan Broad Economic Categories (BEC)
Selama Periode Tahun 2007-2014
Kode Produk
Indeks Integrasi Perdagangan Intra ASEAN Berdasarkan BEC
BEC 11 1,44
BEC 11(2) 1,44
BEC 12 1,19
BEC 22 1,04
BEC 41 1,10
BEC 42 1,08
BEC 52 1,69
BEC 53 1,49
BEC 6 1,05
BEC 6 (2) 1,02
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 54
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan perhitungan RCA dan IIT maka produk yang dapat mendorong
perdagangan intra ASEAN dan Indonesia dapat berperan besar dalam ASEAN
adalah Passenger Motor Cars,
2. Indonesia perlu mendorong integrasi ASEAN untuk produk Processed Food and
Beverages (BEC 12) dan Parts and Accessories Transport Equipment (BEC 53)
3. Berdasarkan gravity model, faktor yang mempengaruhi peningkatan
perdagangan intra ASEAN adalah jarak, GDP, populasi, Logistic Performance
Index, dan tata kelola pemerintah,
4. Berdasarkan Integration Success Index, tidak semua negara ASEAN dapat
berpartisipasi dalam ASEAN, Tingkat integrasi ASEAN perlu memperhitungkan
pola perdagangan ASEAN untuk masing-masing produk dan kemampuan negara
ASEAN secara individu untuk berintegrasi pada masing-masing produk,
4.2 Saran
1. Indonesia perlu mengembangkan dan berpartisipai aktif dalam mendorong
priority integration sector untuk produk otomotif, dan makanan minuman,
2. ASEAN perlu mendorong peningkatan fasilitasi perdagangan antar negara
ASEAN,
3. ASEAN perlu mengidentifikasi kendala integrasi pada masing-masing produk
secara detail agar dapat memfasilitasi masing-masing negara untuk
berpartisipasi dalam integrasi ASEAN,
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 55
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J,, E, 1979, A Theorital Foundation for The Gravity Equation, American
Economic Review,69 (1) pp,106-116
Anderson, J, E, and E, Van Wincoop, 2003, Gravity with Gravitas : A Solution to The
Border Puzzle, American Economic Review,93 pp,170-192
Areethamsirikul S, 2006, The Impact of ASEAN Enlargement Intra-ASEAN Trade: Gravity
Mode Approach, The Indonesian Quarterly, 34 (2): 176-192,
Balassa, B ,1965, Trade Liberalization and Revealed Comparative Advantage, Manchester School of Economic and Social Studies 33 99-123,
Callaghan, B,, A, and Uprasen, U, Impact of the 5th EU Enlargement on ASEAN, Euro-Asia
Centre (EAC), Departement of Economics Kemmy Business School University of
Limerick, Ireland,
Deardorff, A,, V, 1998, Determinants of Bilateral Trade Flows: Does Gravity Work in
Neoclasiccal World, The Regionalization of The World Economy, Chicago,
University of Chicago Press,
Dumairy ,1997, Perekonomian Indonesia, Jakarta : Penerbit Erlangga, Halwani RH, 2005, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Edisi ke-2, Bogor
(ID): Ghalia Indonesia,
Kotabe, M danHelsen, K, 2001,Global Marketing Management, Second Edition, John
Wiley and Sons, Inc, New York
Krugman P, 1991, Geography and Trade, Cambridge : MIT Press,
Mankiw NG, 2000, Teori Makroekonomi, Edisi ke-5, Imam N, penerjemah, Jakarta (ID):
Erlangga, Terjemahan dari: Principles of Macroeconomics,
Marques, H and H, Metcalf, 2005, What Determinants Sectoral Trade in the Enlarged EU?
Review of Development Economics, 9(2),pp, 197-231,
Nabeshima, K, and Hakayawa, K, 2013, Estimating Environmental Goods Trade
Liberalization in APEC, APEC Study Center Consortium Confeence 2013, Jakarta,
Okabe, M, and Urata, S, 2013, The Impact of AFTA on Intra-AFTA Trade, ERIA Discussion
Paper Series, Japan,
Peridy, N, 2005, The Trade Effect of the Euro-Mediterranean Partnership: What are The
Lessons for ASEAN Countries?, Journal of ASEAN Economics, 16, pp,125-139,
Philipidis, G, and A,I, Sanjuan, 2006, An Examination of Morroco’s Trade Options With
The EU, Journal of African Economics, 16 (2), pp,259-300,
Puska KPI, BPPP, Kementerian Perdagangan 56
Retnowati JD, 2007, Analisis Faktor-Faktor Determinan Perdagangan Intra-Industri
Komoditas Information and Communication Technology (ICT) antar Negara-
Negara ASEAN-5 [skripsi], Bogor (ID): InstitutPertanian Bogor,
Salim, R, and Kabir,S, 2011, Success of ASEAN Regional Integration on Intra-regional
Trade: A Comparative Study with EU’s Trade Integration, Journal of Curtin University,
Perth,
Salvatore D, 1996, Ekonomi Internasional Edisi Kelima Jilid 1, Jakarta (ID): Erlangga,
Stephenson, S, M ,1994, The Uruguay Round and Its Benefit to Indonesia, Ministry of Trade, Republic of Indonesia, Jakarta,
Tambunan TH, 2001, Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang: Kasus Indonesia,
Jakarta: Ghalia Indonesia, Walsh, K, 2006, Trade in Services: Does Gravity Hold? A Gravity Model Approach to
Estimating Barriers to Services, Institute for International Integration Studies (IIIS),
Discussion Paper, No 183/October 2006,
Yamazawa, Ippei, 2000, Financial Crisis and Economic Cooperation, In the Developing
Economies, Tokyo: Japan External Trade Organization
Zahidi A, 2012, Dampak Trade FacilitationTerhadap Arus Perdagangan di Kawasan
ASEAN+3 [tesis], Bogor (ID): InstitutPertanian Bogor,
http://wits,worldbank,org/
http://www,imf,org/
https://www,asean,org
http://www,kemendag,go,id/