LAPORAN AKHIR
HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH KUBURAN DALAM
KAITANNYA DENGAN AZAS RUKUN, LARAS DAN PATUT
( STUDI KASUS DI BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN
BANJAR ADAT SEMANA KECAMATAN UBUD KABUPATEN
GIANYAR PROPINSI BALI )
TIM PENELITI
I Gusti Ngurah Dharma Laksana, S.H., M.Kn. NIDN : 0007047503 (Ketua)
I Gusti Nyoman Agung, S.H., M.Hum. NIDN : 0031125033 (Anggota)
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
BULAN OKTOBER TAHUN 2015
i
ii
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH KUBURAN DALAM
KAITANNYA DENGAN AZAS RUKUN, LARAS DAN PATUT
(STUDI KASUS DI BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR
ADAT SEMANA KECAMATAN UBUD KABUPATEN GIANYAR
PROPINSI BALI)
I Gusti Ngurah Dharma Laksana, I Gusti Nyoman Agung, Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Kampus Bulit Jimbaran Indonesia,
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Kampus Bulit
Jimbaran Indonesia, Penulis [email protected]
ABSTRAK
Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan, begitu besarnya manfaat
tanah bagi kehidupan manusia, selain itu tanah juga sebagai tempat bagi
menguburkan orang-orang yang sudah meninggal (tempat peristirahatan terakhir).
Sehingga tanah sering menjadi obyek sengketa dari orang-orang yang
menginginkannya. Sengketa merupakan bagian dari konflik dalam dinamika
kehidupan masyarakat. Timbulnnya konflik umumnya disebabkan oleh berbagai
faktor 1) Konflik Data (Data Conflict), 2) Konflik Kepentingan (Interest Conflict),
3) Konflik Hubungan (Relationship Conflict), 4) Konflik Struktur (Structural
Conflict), 5) Konflik Nilai (Value Conflict).
Seperti halnya sengketa tanah kuburan yang terjadi di Banjar Adat
Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar
Propinsi Bali, sebenarnya hal seperti itu sangat disayangkan. Karena akan
membawa dampak yang kurang baik, tidak saja menimbulkan keresahan bagi
masyarakat sekitar (psikis) tetapi menimbulkan keresahan bagi masyarakat luas.
Maka dari itulah diperlukan peran dan kerjasama semua pihak antara lain : para
pihak yang bersengketa, pemerintah daerah, penegak hukum (dalam rangka
mengamankan ketertiban umum), Kesbang Pol dan Linmas, Tokoh Adat, Tokoh
Agama, dan pihak-pihak yang terkait supaya sengketa tidak berkepanjangan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, permasalahan yang akan dipecahkan
adalah faktor penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan serta penerapkan azas
rukun, laras, patut dan siapa saja para pihak yang ikut berperan dalam
penyelesaian sengketa di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana
Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali.
Penelitian di atas menggunakan metode pendekatan kasus, yaitu jenis
penelitian kualitatif deskriptif, berupa penelitian dengan metode atau pendekatan
studi kasus (Case Study).
Hasil penelitian yang terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar
Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali, dapat
disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan, berawal
dari pemotongan tiga pohon kelapa dan satu pohon blalu yang rencananya akan
digunakan untuk pembangunan Pura Prajapati. Dengan pemotongan pohon
tersebut maka terjadilah sengketa antar dua bajar adat dengan adanya saling klaim
kepemilikan tanah kuburan. Dengan demikian maka terjadilah sengketa yang
berkepanjangan dan berujung pada pelarangan penguburan jenasah sehingga
menyebabkan disintegrasi dan timbul pertentangan antar kelompok.
iii
Dalam penyelesaian sengketa dilakukan melalui proses mediasi dengan
mengadakan pertemuan beberapa kali dengan menerapkan azas rukun, laras, patut
untuk tercapainya masyarakat yang aman, tentram dan harmonis, serta
menghormati awig-awig (produk hukum adat bali) yang berlaku. Pada pertemuan
tersebut menghasilkan beberapa butir kesepakatan perdamaian yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak tanggal 14 April 2011. Terwujudnya
perdamaian berarti sengketa tanah kuburan sudah berakhir sehingga terwujud
kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam penyelesaian sengketa
tersebut melibatkan pihak ketiga antara lain : Perbekel Sayan, Perbekel
Singakerta, Camat Ubud, Kapolsek Ubud, Danramil Ubud, Kapolres Gianyar,
Kodim 1616 Gianyar, Bupati Gianyar.
Kata Kunci : Penyelesaian, Sengketa, Tanah, Kuburan
iv
K A T A P E N G A N T A R
Atas asung kerta nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas perkenanNya laporan hasil dapat diselesaikan sesuai jadwal yang
telah ditentukan.
Selain atas rahmatNya, laporan hasil ini dapat diselesaikan berkat
kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak, antara lain : kepada bapak Dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Badan Perijinan dan Penanaman Modal
Provinsi Bali yang telah memberi kemudahan dalam mendapatkan surat ijin
penelitian, dan pihak-pihak yang terkait secara tulus telah membantu memberikan
data berupa dokumen mengenai kasus sengketa tanah kuburan yang dikaji dalam
penelitian ini. Atas bantuan dari berbagai pihak tersebut di atas, sudah
sepantasnya melalui laporan ini peneliti menyampaikan terimakasih yang
sedalam-dalamnya.
Peneliti menyadari bahwa laporan hasil ini masih banyak kekurangan dan
kelemahan, namun demikian, peneliti yakin sekecil apapun usaha yang telah
dilakukan, akan bermanfaat secara teoritis maupun praktis.
Akhir kata, peneliti dengan senang hati selalu membuka diri untuk
mendapat kritik, masukan, komentar yang positif dan semoga laporan hasil
bermanfaat bagi semua pihak.
13 Oktober 2015
Ketua Tim Peneliti
v
D A F T A R I S I
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 5
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .............................. 11
A. Tujuan Penelitian ...................................................................... 11
B. Manfaat Penelitian .................................................................... 11
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................... 12
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 14
A. Munculnya Sengketa/Konflik di Kabupaten Gianyar ............... 14
B. Faktor Penyebab Munculnya Sengketa Tanah Kuburan ........... 16
C. Penyelesaian Sengketa Tanah Kuburan Dalam Penerapan
Azas Rukun, Laras dan Patut .................................................... 19
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 26
A. Tujuan Penelitian ...................................................................... 26
B. Manfaat Penelitian .................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 28
1
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang
Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan, mengingat Negara
Republik Indonesia merupakan negara agraris yang kehidupan masyarakatnya
sebagian besar bergantung pada tanah. Tanah selain dijadikan tempat tinggal juga
merupakan sumber kehidupan dan tempat mencari nafkah. Begitu besarnya
manfaat tanah bagi kehidupan manusia, sehingga orang-orang akan berusaha
untuk melindungi dan mempertahankan tanah miliknya dari gangguan pihak-
pihak lain, selain itu tanah juga sebagai tempat bagi menguburkan orang-orang
yang sudah meninggal (tempat peristirahatan terakhir).
Mengingat tanah sangat penting bagi kehidupan manusia, sehingga tanah
sering menjadi obyek sengketa dari orang-orang yang menginginkannya.
Sengketa merupakan bagian dari konflik dalam dinamika kehidupan masyarakat
yang semakin komplek, disebabkan adanya benturan kepentingan antara dua atau
lebih subyek hukum yang berisikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban.
Konflik mungkin pula menjadi sebab terjadinya perubahan sosial dan
kebudayaan. Konflik terjadi antara individu dengan kelompok atau kelompok
dengan kelompok. Keadaan demikian menimbulkan perubahan-berubahan
tertentu dalam masyarakat. Pertentangan antar kelompok mungkin terjadi antara
generasi tua dengan generasi muda. Pertentangan-pertentangan tersebut kerap
terjadi, apalagi pada masyarakat yang sedang berkembang dari tahap tradisional
ke tahap modern. Generasi muda yang belum terbentuk kepribadiannya lebih
2
mudah menerima unsur-unsur kebudayaan asing yang dalam beberapa hal
mempunyai taraf yang lebih tinggi. Keadaan demikian menimbulkan perubahan-
perubahan tertentu dalam masyarakat.1 Timbulnnya konflik umumnya disebabkan
oleh berbagai faktor 1) Konflik Data (Data Conflict), 2) Konflik Kepentingan
(Interest Conflict), 3) Konflik Hubungan (Relationship Conflict), 4) Konflik
Struktur (Structural Conflict), 5) Konflik Nilai (Value Conflict).2 Konflik
merupakan suatu gejala yang melekat pada setiap masyarakat, dan setiap unsur
dalam masyarakat memberikan sumbangan untuk terjadinya disintegrasi dalam
wujud konflik.3
Mustahil untuk menghilangkan konflik dalam kehidupan masyarakat,
namun yang terpenting bagaimana konflik mesti diarahkan kepada sesuatu yang
bermanfaat bagi kepentingan dan kemajuan masyarakat. Dalam hubungan tersebut
masyarakatlah yang mesti melakukan kontrol.4 Terjadinya konflik/sengketa
semakin hari semakin bertambah banyak, baik yang sifatnya sederhana maupun
yang bersifat kompleks. Sengketa yang banyak terjadi khususnya di Bali antara
lain : sengketa tapal batas, pemekaran wilayah, Perebutan Pura, pensertifikatan
tanah adat, sengketa tanah kuburan.
Seperti halnya sengketa tanah kuburan yang terjadi di Banjar Adat
Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar
Propinsi Bali, sebenarnya hal seperti itu sangat disayangkan. Karena akan
1 Soerjono Soekanto, 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.280.
2 Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.21-23.
3 Ronny Hanitijo Soemitro, 1981, Pendekatan Konflik Terhadap Masalah-Masalah
Hukum, dalam satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sosial, Alumni, Bandung, hal.9.
4 I Ketut Wirta Griadhi, et.al, 2013, Konflik Perbatasan Desa Pakraman Dalam
Perspektif Nilai Ekonomis Tanah Serta Penyelesaiannya, (Laporan Penelitian Kerjasama antara
LPPM Unud Dengan BAPPEDA Provinsi Bali), hal.2.
3
membawa dampak yang kurang baik, tidak saja menimbulkan keresahan bagi
masyarakat sekitar (psikis) tetapi menimbulkan keresahan bagi masyarakat luas.
Maka dari itulah diperlukan peran dan kerjasama semua pihak antara lain : para
pihak yang bersengketa, pemerintah daerah, penegak hukum (dalam rangka
mengamankan ketertiban umum), kesbangpol dan linmas, tokoh adat, tokoh
agama, dan pihak-pihak yang terkait supaya sengketa tersebut tidak
berkepanjangan.
Sebagaimana yang kita ketahui, bentuk penyelesaian sengketa dapat
dilakukan dengan ada 2 (dua) cara, yaitu secara litigasi (pengadilan) dan non-
litigasi (diluar pengadilan). Masing-masing penyelesaian sengketa memiliki
kelebihan dan kekurangan, tergantung yang mana yang lebih disukai atau
dianggap paling tepat oleh para pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang
sedang dihadapi. Masyarakat Bali dewasa ini dalam menyelesaikan sengketa,
khususnya sengketa adatlebih mengutamakan penyelesaian dengan cara non-
litigasi.
Apalagi jika sengketa itu melibatkan antar banjar adat maupun desa adat
(sekarang desa pakraman). Apabila dalam kenyataannya tingkat keberhasilan
menyelesaikan sengketa melalui mediasi yang mengarah pada win-win solusion
sangat rendah sehingga perlu di carikan faktor penyebabnya. Sepatutnya
menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat khususnya
tanah kuburan, supaya penyelesaian persoalan tidak dengan cara-cara kekerasan
(pengerusakan maupun penganiayaan), akan tetapi terlebih dahulu
dimusyawarahkan secara kekeluargaan, berdasarkan atas asas rukun, laras dan
4
patut, apabila penyelesaian demikian berhasil maka akan mempunyai efek yang
baik secara sosiologis, psychologis dan yuridis.
B. Rumusan Masalah :
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan di
Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud
Kabupaten Gianyar Propinsi Bali?
2. Apa dalam penyelesaian sengketa tanah kuburan menerapkan azas rukun,
laras, patut dan siapa saja para pihak yang ikut berperan dalam
penyelesaian sengketa tersebut?
5
BAB II
T I N J A U A N P U S T A K A
Pancasila, sebagai dasar filosofi kehidupan bermasyarakat telah
mengisyaratkan bahwa azas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk
mufakat lebih diutamakan, seperti tersirat juga dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, sumber hukum tertulis yang
mengatur alternatif penyelesaian sengketa selama ini, khususnya arbitrase dapat
ditemui di dalam Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (RV), Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sayangnya undang-undang
tersebut tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang bentuk-bentuk alternatif
penyelesaian sengketa kecuali arbitrase.5
Sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah surut, yang
sangat disayangkan khususnya di Bali yang menjadi obyek sengketa adalah tanah
kuburan. Tampaknya penyelesaian yang lebih efektif adalah melalui jalur non-
peradilan yang umumnya ditempuh melalui cara-cara perundingan dengan
dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau tidak memihak.6
Istilah konflik berasal dari bahasa inggris, conflict dan dispute, yang
berarti perselisihan atau percekcokan, atau pertentangan. Perselisihan atau
percekcokan tentang sesuatu terjadi antara dua orang atau lebih7.
5 Joni Emirzon, Op.Cit, hal.8-13.
6 Maria S.W.Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, 2008, Mediasi Sengketa
Pertanahan, Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di Bidang
Pertanahan, PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal.4.
7 Joni Emirzon, Op.Cit, hal.19.
6
Istilah konflik lebih banyak dibicarakan dalam sosiologi sebagai salah satu
bentuk dari suatu proses sosial. Konflik merupakan salah satu dari proses sosial
yang bersifat menjauhkan. Konflik sebagai suatu proses sosial dapat berakhir
dengan akomodasi (penyatuan kembali) tapi ada kalanya konflik berakhir dengan
situasi disintegrasi (perpecahan). Oleh karenanya, konflik juga dapat berakhir
dengan terjadinya perubahan sosial. Sedangkan istilah sengketa lebih banyak
digunakan dalam disiplin Antropologi Hukum dikaitkan dengan istilah sengketa
berkepanjangan dan penyelesaian sengketa. Dalam Hukum Adat, kedua istilah
konflik maupun sengketa adat sama-sama digunakan, secara inkonsisten.
Penggunaaan istilah sengketa adat antara lain digunakan oleh M.Koesnoe dalam
ajarannya yang terkenal dengan ajaran tentang penyelesaian sengketa adat.8
Pertentangan (conflict) masyarakat mungkin pula menjadi sebab terjadinya
perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan mungkin terjadi
antara individu dengan kelompok atau perantara kelompok dengan kelompok.
Umumnya masyarakat tradisional di indonesia bersifat kolektif, segala kegiatan
didasarkan pada kepentingan masyarakat. Kepentingan individu walaupun diakui,
tetapi mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara
kepentingan individu dengan kepentingan kelompok, yang dalam hal-hal tertentu
menimbulkan perubahan sosial.9
Nader dan Todd mengatakan dalam bukunya Perkembangan Teori Dalam
Ilmu Hukum, bahwa konflik sebagai bagian dari proses sengketa. Menurutnya,
proses bersengketa itu ada 3 (tiga) yaitu : 1) Pra Konflik (pre conflict stage) yakni
8TIP. Astiti,et.al., 2012, Sengketa Tanah Adat Yang Disertai Kekerasan Dalam Konteks
Perkembangan Pariwisata, (laporan Penelitian Magister Kenotariatan Universitas Udayana Tahun
2012), (selanjutnya disingkat Astiti.TIP,et.al I), hal.4.
9Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.280.
7
kondisi yang mendasari rasa tidak puas seseorang, 2) Situasi Konflik (conflict
stage) yakni sikap bermusuhan atau munculnya keluhan sehingga konfontasi
berlangsung secara diadik (diadic), 3) Sengketa (dispute stage) yakni perselisihan
sudah meningkat menjadi sengketa dan konfrontasi di antara pihak-pihak yang
berselisih menjadi triadik (triadic)/pihak yang berkonflik sudah ditunjukkan dan
dibawa ke arena publik (masyarakat).10
Menurut Astiti.TIP, konflik maupun
sengketa keduanya terjadi karena adanya gangguan atas keseimbangan dalam
pergaulan hidup bermasyarakat.11
Salah satu penyebabnya adalah sengketa tanah
kuburan yang terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana
Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali.
Konflik adat yang terjadi di Bali, selama masa reformasi tampak meluas di
seluruh wilayah. Penelitian Windia tahun 2006 menunjukkan dalam kurun waktu
enam tahun (1999-2005) telah terjadi 101 konflik yang menyebar di seluruh
kabupaten kota di Bali.12
Tabel konflik adat yang terjadi di Bali dari Tahun 1999 - 2005 :13
No
Kabupaten Konflik Adat di Bali
1 Karangasem 17
2 Gianyar 39
3 Tabanan 14
4 Jembrana 2
10Salim.H, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Cet.Kedua, hal.83-84.
11
TIP. Astiti,et.al I, Op.Cit, hal.5.
12
TIP.Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana University Pres, Cet.
Pertama, (selanjutnya disingkat TIP.Astiti II), hal.54.
13
I Gede Suartika, 2010, Anatomi Konflik Adat di Desa Pakraman dan Cara
Penyelesaiannya, Udayana University Press, hal.50.
8
5 Bangli 10
6 Klungkung 9
7 Badung 8
8 Denpasar 2
Jumlah
101
Selain istilah konflik/sengketa, penyelesaian sengketa adat juga
menggunakan pendekatan hukum adat berdasarkan asas-asas yang dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Asas kerukunan adalah pedoman dalam menyelesaikan konflik adat. Asas
kerukunan berhubungan erat dengan pandangan hidup dan sikap seseorang
menghadapi hidup bersama di dalam suatu lingkungan dengan sesamanya,
untuk mencapai masyarakat yang aman, tenteram, dan sejahtera.
Penerapan asas rukun dalam penyelesaian konflik adat dimaksudkan untuk
mengembalikan keadaan kehidupan seperti keadaan semula, status dan
kehormatan, serta terwujudkannya hubungan yang harmonis sesama krama
desa. Dalam menyelesaikan konflik adat yang demikian, setiap krama desa
dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan krama
desa selaku warga masyarakat hukum adat. Asas rukun tidak menekankan
menang kalah pada salah satu pihak, melainkan terwujudnya kembali
keseimbangan yang terganggu, sehingga para pihak yang bertikai bersatu
kembali dalam ikatan desa adat.
2. Asas kepatutan adalah menunjuk kepada alam kesusilaan dan akal sehat,
yang ditujukan kepada penilaian atas suatu kejadian sebagai perbuatan
9
manusia maupun keadaan. Patut pada satu sisi berada dalam lingkungan
alam normatif, sedangkan pada sisi lain berada dalam kenyataan. Patut
berisi unsur-unsur yang berasal dari alam susila, yaitu nilai-nilai buruk
atau baik dan unsur akal sehat, yaitu perhitungan-perhitungan yang
menurut hukum dapat diterima.
Pendekatan asas patut dimaksudkan agar penyelesaian konflik adat untuk
menjaga nama baik pihak masing-masing, sehingga tidak ada yang merasa
diturunkan atau direndahkan status dan kehormatannya selaku krama desa.
Dengan demikian, pedekatan asas patut dapat berlaku efektif untuk
mencegah terjadinya konflik adat.
3. Asas keselarasan adalah penggunaan pendekatan asas keselarasan
dilakukan dengan memperhatikan tempat, waktu dan keadaan (desa, kala,
patra) sehingga putusan terhadap konflik adat diterima oleh para pihak dan
masyarakat. Asas laras dalam hukum adat digunakan dalam menyelesaikan
konflik adat yang konkret dengan bijaksana, sehingga para pihak yang
bersangkutan dan masyarakat adat merasa puas.14
4. Asas musyawarah adalah suatu asas yang menegaskan bahwa dalam hidup
bermasyarakat segala persoalan yang hajat hidup dan kesejahteraan
bersama harus dipecahkan bersama oleh anggota-anggotanya atas dasar
kebulatan kehendak bersama.
5. Asas mufakat adalah asas yang digunakan dalam menyelesaikan
perbedaan-perbedaan kepentingan pribadi seseorang dengan orang lain
atas dasar perundingan antara yang bersangkutan. Perundingan difokuskan
14
I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Udayana
University Press, Cet. Pertama, hal.78-81.
10
pada pendapat atau pendirian yang masih berbeda untuk diusahakan
mendapat titik temu melalui proses tawar menawar. Proses tawar menawar
melalui sikap saling menerima dan saling memberi sesuai dengan apa yang
di Bali sebagai saling asah, saling asih, saling asuh.
6. Asas gotong-royong adalah suatu asas dalam penyelesaian pekerjaan
secara bersama-sama antara semua warga untuk kepentingan bersama
seluruh masyarakat.
7. Asas tolong-menolong lebih menekankan pada perbuatan yang bersifat
timbal-balik antara seseorang dengan orang lainnya dalam upaya
memenuhi kesejahteraan pribadi masing-masing. Obyek tolong-menolong
tidak hanya berupa pekerjaan, akan tetapi bisa berbentuk materi maupun
jasa lainnya.15
15 TIP.Astiti II, Op.Cit, hal.77-79.
11
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian berdasarkan pemaparan di atas, dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menemukan akar
permasalahan sebagai pemicu/penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan yang
terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud
Kabupaten Gianyar Propinsi Bali.
Secara khusus penelitian ini bertujuan : 1) untuk mengetahui mengapa
yang menjadi obyek sengketa merupakan tanah kuburan, 2) bagaimana sengketa
tersebut diselesaikan.
B. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian yang dilakukan penulis adalah untuk
mengembangkan ilmu hukum, terutama konsentrasi hukum adat yang berkaitan
dengan sengketa tanah kuburan.
Secara praktis, dapat memberi sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak
yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa khususnya dalam penerapan azas
rukun, laras dan patut.
12
BAB IV
M E T O D E P E N E L I T I A N
Salah satu jenis penelitian kualitatif deskriptif adalah berupa penelitian
dengan metode atau pendekatan studi kasus (Case Study). Data studi kasus dapat
diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, dengan kata lain data dalam studi
ini dikumpulkan dari berbagai sumber. Sebagai sebuah studi kasus maka data
yang dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dan hasil penelitian ini hanya
berlaku pada kasus yang diselidiki. Menurut Arikunto, bahwa metode studi kasus
sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah penelitian yang dilakukan
secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme (individu),
lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit.16
Penelitian case study atau penelitian lapangan (field study) dimaksudkan
untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang masalah keadaan dan
posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung dan bersifat apa adanya (given).
Dalam penelitian case study obyek yang diteliti mengenai sengketa tanah kuburan
antara Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana di Kecamatan Ubud
Kabupaten Gianyar Propinsi Bali.
Pendekatan dilakukan dengan cara menelaah kasus sengketa tanah
kuburan terkait dengan isu yang ada. Yang menjadi kajian pokok di dalam
pendekatan kasus adalah rasio decidendi atau reasoning. Pendekatan kasus
mempunyai kegunaan dalam mengkaji rasio decidendi atau reasoning yang
merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan masalah.
16 Pendekatan Studi Kasus (Case Study) Dalam Penelitian kualitatif, http://www.menulis
proposalpenelitian.com/2011/01/pendekatan-studi-kasus-case-study-dalam.html, diakses hari
minggu tanggal 10 Mei 2015
13
Dalam pendekatan kasus dianggap paling relevan untuk menggali informasi
secara mendalam/mengetahui faktor penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan
serta pola penyelesaian yang ditempuh oleh para pihak.
14
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Munculnya Sengketa/Konflik di Kabupaten Gianyar
Kabupaten Gianyar sebagai kota budaya yang memiliki kebudayaan dan
adat istiadat beraneka ragam yang bernafaskan agama, telah berhasil dijadikan
aset oleh Pemda Gianyar. Dalam kurun waktu 4 (empat) tahun kepemimpinan
Bupati Gianyar jumlah konflik sosial yang muncul dan ditangani sebanyak 56
kasus telah dapat diselesaikan sebanyak 36 kasus dan 20 kasus yang belum. Dari
56 kasus tersebut, 34 kasus terjadi sebelum tahun 2008, untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini :17
No
Tahun Jumlah
1 2007 34
2 2008 5
3 2009 7
4 2010 5
5 2011 5
Jumlah
56
Konflik sosial atau kerusuhan adalah suatu kondisi dimana terjadi huru
hara/kerusuhan atau perang/keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu
yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku ataupun organisasi tertentu.
17 Pemda Kabupaten Gianyar, 2012, Laporan Penanganan Konflik Sosial di Kabupaten
Gianyar Tahun 2007-2011, hal.1-2.
15
Konflik sosial yang didominasi oleh kasus yang berlatar belakang permasalahan
adat seperti : tanah laba pura, kuburan, tanah desa adat dan permasalahan tapal
batas. Penyebab terjadinya konflik yaitu, perbedaan pendapat, salah paham, ada
pihak yang dirugikan, peraaan sensitif, komunikasi, kepentingan pribadi.18
Konflik sosial di Kabupaten Gianyar sebagian besar berlatar belakang
kasus adat dimana setiap permasalahan yang muncul memiliki karakteristik dan
kekhasan tersendiri sesuai dengan adat istiadat dan awig-awig desa adat masing-
masing sehingga diperlukan proposionalitas dalam penanganan permasalahan
tersebut. Dalam penanganan konflik sosial Pemda Gianyar bekerjasama dengan
Polres Gianyar dan Instansi terkait dengan selalu mengedepankan pola
penyelesaian antara lain :
1. Koeksistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak
saling mengganggu dan saling merugikan, dengan menetapkan
peraturan yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara
ketat dan konsekuen;
2. Mediasi (perantaraan), jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu,
masing-maing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi
perantara yang berperan secara jujur dan adil serta tidak memihak;
3. Tujuan sekutu besar, yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang
berkonflik ke arah tujuan yang lebih besar dan kompleks;
4. Tawar-menawar integratif, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang
berkonflik, untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan luas/umum,
dan tidak hanya berkisar pada kepentingan sempit/pribadi.19
18 Ibid, hal.3.
19
Ibid, hal.5-6.
16
Dengan telah terselesaikannya sebanyak 36 konflik dari 56 kasus yang
ada, maka situasi dan kondisi daerah Kabupaten Gianyar sampai akhir tahun 2011
cukup kondusif. Terwujudnya penyelesaian konflik tersebut berkat kerjasama
yang baik antar pemimpin daerah, instansi terkait yang ada di Kabupaten Gianyar
dan juga berkat partisipasi masyarakat Kabupaten Gianyar.20
B. Faktor Penyebab Munculnya Sengketa Tanah Kuburan
Munculnya sengketa tanah kuburan berawal dari pemotongan 3 (tiga)
pohon kelapa dan 1 (satu) pohon blalu oleh warga Banjar Adat Semana di lokasi
kuburan pada tanggal 31 Mei 2007. Menurut warga Banjar Adat Semana, kayu
tersebut rencananya akan digunakan untuk pembangunan di Pura Prajapati
setempat yang digunakan secara bersama-sama, namun tindakan tersebut dilarang
oleh warga Banjar Adat Ambengan.21
Adapun luas obyek sengketa seluas 5,2 are
yang letaknya di sebelah barat jalan dengan batas pohon celagi. Sengketa tanah
kuburan antara kedua belah pihak terus berkembang yang menyebabkan
hubungan kedua banjar adat semakin tegang yang berlanjut dengan pelarangan
penggunaan kuburan bagi warga Banjar Adat Semana (sesuai hasil pesamuan
Banjar Adat Ambengan tanggal 01 Juni 2007), dalam kaitannya dengan hal
tersebut maka pada tanggal 04 Juli 2007, ada Warga dari Banjar Adat Semana
meninggal dunia yang penguburannya dilarang menggunakan kuburan di Banjar
Adat Ambengan.
20 Ibid, hal.13.
21
Kesbang Pol dan Linmas, 2012, Laporan Kasus Adat/Tapal Batas Desa Yang Masih
Berkembang Yang Perlu Diwaspadai Untuk Tahun 2012 Di Wilayah Kabupaten Gianyar, tanpa
halaman.
17
Dengan pelarangan penggunaan kuburan oleh Banjar Adat Ambengan,
maka sengketa tanah kuburan semakin berkembang dan hampir terjadi bertrok
fisik antara kedua belah pihak. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pihak Pemda
Gianyar telah berjanji memberikan tanah bekas timbunan pasir yang akan
dijadikan tanah kuburan dan bangunan perlengkapan lainnya seperti bangunan
Pura Prajapati. Atas terjadinya larangan penguburan tersebut, Pemda Gianyar
mengadakan pertemuan dengan kedua belah pihak, antara lain membicarakan
tentang keinginan pemerintah memberikan tanah seluas 5 are, akan tetapi ditolak
oleh warga Banjar Adat Semana karena tidak sesuai dengan tuntutannya untuk
diberikan tanah timbunan pasir yang akan dijadikan tanah kuburan. Dan warga
Banjar Adat Semana tetap meminta kembali menggunakan kuburan lama. Pihak
Banjar Ambengan menolahnya. Ketika diadakan pertemuan berikutnya yang
difasilitasi Pemda Gianyar. Pemda Gianyar tetap menawarkan akan memberikan
tanah seluas 5 are ditambah tanah bekas timbunan pasir kepada warga Banjar
Adat Semana, tetapi warga Banjar Adat Semana tetap tidak mau dan bagi mereka
keinginan kembali ke kuburan lama adalah “harga mati” dan tidak perlu lagi
tanah kuburan baru berapun luasnya. Situasi tolak menolak antara kedua belah
pihak menyebabkan sengketa ini berlangsung lama tidak kunjung selesai (Disusun
berdasarkan dokumen Kesbang Pol dan Limas Kabupaten Gianyar).22
Namun berkat kesigapan aparat situasi dapat dikendalikan dan untuk
mencarikan jalan keluar, maka aparat terkait mulai dari tingkat desa, kecamatan
dan Pemda Gianyar telah mengambil langkah-langkah yaitu kedua belah pihak
menandatangani kesepakatan bahwa tanah kuburan dibagi dua, sebagian
22 TIP.Astiti,et.al I, Op.Cit, hal.16.
18
dipergunakan oleh warga Banjar Adat Semana dan sebagian lagi dipergunakan
oleh warga Banjar Adat Ambengan. Adanya sikap ewuh pakewuh (tidak tegas)
pejabat di tingkat banjar/dusun dalam menyelesaiakan perkara, sehingga tidak ada
usaha maksimal untuk menyelesaiakan perkara secara tuntas, melainkan tergesa-
gesa diwaba ke jenjang lebih tinggi, yaitu bendesa atau kepala desa. Sikap ini
sering menimbulkan penyelesaian berlarut-larut karena pejabat ditingkat desa
kadang-kadang mengembalikan kembali kepada pihak yang berperkara karena
pihak yang bersangkutan dianggap lebih tahu pokok permasalahannya.23
Dalam perkembangannya proses industrialisasi, reformasi dan globalisasi,
telah banyak menimbulkan perubahan pada masyarakat Bali, antara lain, dalam
hal mata pencaharian, gaya hidup, pandangan hidup dan juga karakter orang Bali.
Perubahan karakter orang Bali yang sebelumnya ramah tamah dan santun dalam
bergaul, kini cenderung beringas dan suka berkonflik. Selain itu, terjadi
perubahan dalam fungsi kelembagaan, antara lain, dapat dilihat dari fungsi banjar
dan desa adat yang sebelumnya dibanggakan, sebagai lembaga tradisional yang
bersifat sosial religius yang berfungsi mengayomi warganya sehingga warganya
dapat hidup tenang dan damai, kini lembaga ini sering menjadi arena konflik
untuk memperjuangkan berbagai kepentingan (politik, ekonomi, sosial) pribadi
dan kelompok.24
Berdasarkan pemaparan di atas, senada apa yang dikemukakan Nader dan
Todd bahwa konflik sebagai bagian dari proses sengketa. Proses sengketa
berawal dari pra konflik (pre conflict stage), situasi konflik (conflict stage) dan
23 I Nyoman Wita, et.al, 2008, Format Hubungan Antara Desa Dinas/Kelurahan
Dengan Prajuru Adat Dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, (Laporan Penelitian
Kerjasama Pappeda Kabupaten Klungkung dengan Lembaga Penelitian Universitas Udayana
Denpasar, Semarapura), hal.87-88.
24
Astiti.TIP II, Op.Cit, hal.52-53.
19
sengketa (dispute stage) yaitu berawal dari pemotongan pohon yang dilakukan
oleh warga Banjar Adat Semana, sehingga perselisihan meningkat menjadi
sengketa dan konfrontasi dengan warga Banjar Adat Ambengan.
Konflik/sengketa tersebut sudah dibawa ke ranah publik (masyarakat), terbukti
dalam penyelesaian sengketa tanah kuburan di mediatori oleh Pemda Gianyar.
C. Penyelesaian Sengketa Tanah Kuburan Dalam Penerapkan Azas Rukun,
Laras, Patut
Setiap organisasi, baik organisasi tradisional maupun organisasi modern
yang ada hubungannya dengan pengelolaan pemakaman (kuburan umum atau di
Bali dikenal dengan nama setra), pasti mempunyai aturan tentang persyaratan
pemanfaatan kuburan. Masalah pelarangan penguburan jenasah atau penggalian
kembali jenasah yang sudah dikuburkan, terjadi karena beberapa hal, seperti :
1. Masyarakat adat di Bali (warga desa pakraman) belum memahami
tujuan (patitis) awig-awig desa pakraman;
2. Yang bersangkutan atau keluarganya telah melakukan pelanggaran
awig-awig secara terus-menerus (mamengkung);
3. Yang bersangkutan atau keluarganya tidak memenuhi persyaratan
penguburan jenasah seperti diminta atau ditentukan oleh desa
pakraman;
4. Masing-masing desa pakraman mempunyai aturan tentang penguburan
jenasah, kadang-kadang baru dibuat sesudah ada masalah;
5. Kerancuan pemahaman tentang konsep nindihin gumi.25
25 Wayan P.Windia, 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus & Penyelesaiannya, Udayana
University Press, Cetakan Pertama, hal.154-156.
20
Cara mengatasi masalah :
1. Tujuan dibuatnya awig-awig adalah untuk menciptakan ketertiban dan
kedamaian (kasukertan) di desa pakraman. Maka dari itu, kalau ada
ketentuan awig-awig yang tidak mencerminkan tujuan, ditinggalkan atau
dicabut dan dibuang, diganti dengan ketentuan awig-awig lain yang lebih
menjamin terciptanya ketertiban dan kedamaian (kasukertan) di desa
pakraman;
2. Pelanggaran terhadap awig-awig dapat dilakukan oleh siapa saja. Setiap
pelanggaran sebaiknya diselesaikan semasih yang melakukan pelanggaran
dapat diajak ngomong (bicara);
3. Tidak masalah desa pakraman membuat aturan atau persyaratan sendiri
tentang penguburan jenasah asalkan tidak mengandung muatan “mencekik
leher sendiri”, tetapi justru memberikan kemudahan kepada warga desa
pakraman untuk menguburkan jenasah, walaupun mereka dianggap
melakukan pelanggaran adat;
4. Nindihin gumi (membela atau bekerja untuk desa) selama ini diartikan
terbatas pada aktivitas atau kegiatan membela atau membangun desa
sendiri. Bentuk pembelaan atau pekerjaannya juga terbatas pada fisik
(ngayah) dan sumbangan sukarela (dana Punia).26
Upaya penyelesaian sengketa tanah kuburan yaitu dengan mengadakan
pertemuan berulangkali baik secara bergilir, maupun secara bersama-sama dengan
melibatkan pihak ke tiga yaitu Perbekel Sayan, Perbekel Singakerta, Camat Ubud,
26 Ibid, hal.156-157.
21
Kapolsek Ubud, Danramil Ubud, Kapolres Gianyar, Kodim 1616 Gianyar, Bupati
Gianyar. Ini mencerminkan ketidak mampuan prajuru banjar adat yang
bersangkutan dalam menyelesaikan persoalan intern warganya. Kegagalan
tersebut dapat disebabkan karena budaya hukum masyarakat (para pihak) yang
bersengketa tidak berkeinginan untuk berdamai.27
Akhirnya pada hari Rabu tanggal 13 April 2011 bertempat di Pos Polisi
Desa Singakerta dan dilanjutkan kembali di pelataran Pura Prajapati diadakan
pertemuan membahas kasus tanah kuburan yang disengketakan antara Banjar
Adat Ambengan Desa Pakraman Sayan, Desa Sayan dengan Banjar Adat Semana
Desa Pakraman Demayu, Desa Singakerta Kecamatan Ubud.
Kesepakatan tersebut ditandatangani pada tanggal 14 April 2011 oleh
Bendesa Adat Sayan, Kelihan Banjar Adat Ambengan, Kelian Banjar Dinas
Ambengan, Bendesa Adat Demayu, Kelian Banjar Adat Semana, Kelian Banjar
Dinas Semana, pihak-pihak yang hadir sebagai saksi pada saat itu antara lain :
Perbekel Sayan, Perbekel Singakerta, Camat Ubud, Kapolsek Ubud, Danramil
Ubud, Kapolres Gianyar, Kodim 1616 Gianyar, Bupati Gianyar juga ikut
penandatangani kesepakatan tersebut.
Adapun kesepakatan yang telah ditandatangani adalah sebagai berikut :
1. Pihak I (Pertama) dan Pihak II (Kedua) sepakat, lahan kuburan yang
terletak di sebelah barat jalan dengan batas pohon celagi ke selatan di
bagi sesuai batas dan pembagian yang telah disepakati;
2. Sebagai pembatas untuk lahan kuburan, hasil dari pada pembagian
sebagaimana dimaksud pada poin 1 (satu) kesepakatan ini adalah
27 TIP.Astiti, et.al I, Op.Cit, hal.17.
22
menggunakan batas buatan (tembok) pembuatannya dibantu oleh
Pemerintah Kabupaten Gianyar;
3. Lahan kuburan bagian dari pihak I (Pertama) dengan status
pemanfaatan, bukan berstatus kepemilikan dan juga bukan sebagai
batas wilayah kedinasan;
4. Mengenai batas wilayah kedinasan akan ditentukan oleh Pemerintah
Derah Kabupaten Gianyar sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku;
5. Pelinggih Pura Prajapati dan jalan yang ada sekarang tetap digunakan
bersama-sama oleh kedua belah pihak;
6. Pihak I (Pertama) dan pihak II (Kedua) tetap menjalin hubungan yang
harmonis dan bila ada kematian tetap berkoordinasi dan menghormati
dresta yang berlaku di masing-masing Banjar Adat.
Sebenarnya konflik sudah ada sepanjang sejarah dan menjadi bagian serta
dinamika dalam kehidupan. Konflik itu sendiri ada yang bersifat positif
(fungsional) ada juga konflik yang bersifat negatif (disfungsional). Disatu sisi
konflik dapat menimbulkan terjadinya perubahan sosial, di pihak lain, konflik
juga dapat terjadi sebagai akibat suatu perubahan sosial.28
Perubahan dan perkembangan dalam suatu masyarakat di manapun di
dunia ini merupakan gejala normal, hal ini merupakan konsekuensi dari akibat
melajunya arus globalisasi terutama kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa ada 3 (tiga) teori umum
28 TIP.Astiti II, Op.Cit, hal.53.
23
perihal perubahan-perubahan sosial yang berhubungan dengan hukum, yakni
pertama : komunikasi yang progresif dari penemuan-penemuan di bidang
teknologi, kedua : kontak dan konflik antara kebudayaan, ketiga : terjadinya
gerakan sosial (social movement).29
Setiap gejala dipandang sebagai suatu unsur yang merupakan bagian
daripada keseluruhan proses yang dinamis, gejala sosial dianggap sebagai suatu
unsur keseluruhan. Dengan demikian, maka setiap gejala sosial dianggap sebagai
bagian daripada jaringan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa, struktur-
struktur dan proses-proses yang mendasarinya. Tentang konflik, maka terdapat
dua model dari masyarakat yang masing-masing disebut sebagai model konflik
dan model konsensus. Cici-ciri kedua model tersebut adalah :
1. Ciri-ciri model konsensus adalah :
a. Masyarakat mempunyai struktur sosial yang stabil dan secara relatif
kokoh;
b. Terintegrasi secara baik;
c. Setiap elemen berfungsi dan mendukung pemeliharaan sistem;
d. Struktur sosial didasarkan pada suatu konsensus tentang nilai-nilai.
2. Ciri-ciri model konflik adalah :
a. Setiap bagian masyarakat dapat berubah;
b. Pada setiap bagian masyarakat terdapat konflik atau dissensus;
c. Setiap elemen mendorong terjadinya perubahan;
29 Abdul Manan, 2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Kencana, Cet.Ketiga,
hal. 76-77.
24
d. Didasarkan pada paksaan yang dilakukan oleh sebagian dari warga
masyarakat.30
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sengketa tanah
kuburan yang terjadi di Kabupaten Gianyar, akan menyebabkan perubahan sosial
dan menimbulkan perpecahan. Sebaliknya apabila sengketa tanah kuburan
ditinjau dari azas yang terdapat dalam hukum adat khususnya azas rukun, laras
dan patut seperti diuraikan pada halaman 8 s/d 10 dapat diimplementasikan
dengan baik melalui proses mediasi, walaupun sebelumnya kedua belah pihak
bersikukuh dengan keyakinannya masing-masing bahwa “kamilah yang paling
benar/paling berhak”. Dengan demikian upaya mediasi dengan mengedepankan
azas rukun, laras dan patut secara terus menerus untuk menumbuhkan kesadaran
para pihak supaya sengketa tanah kuburan yang terjadi di Kabupaten Gianyar
tidak berkepanjangan yang pada akhirnya kedua belah pihak sepakat
menandatangani surat kesepakatan penyelesaian kasus tanah kuburan pada tanggal
14 April 2011.
Disisi lain menunjukkan bahwa sikap, prilaku maupun moral orang Bali
sudah mulai terdegradasi yang melekat pada setiap individu karena berbagai
faktor, dan setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan untuk
terjadinya disintegrasi dalam wujud konflik. Ini menunjukkan bahwa sengketa
kuburan antara warga Banjar Adat Semana dan warga Banjar Adat Ambengan
terjadi karena adanya gangguan atas keseimbangan dalam pergaulan hidup
bermasyarakat.
30 Soerjono Soekanto, 1981, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung,
hal.54-55.
25
Menurut Moh.Koesnoe, dalam penerapan penyelesaian perkara, berpijak
pada sistem adat dan hukum dari pandangan dan ajaran tentang manusia dan
kehidupan yang merupakan kategori konstitutip yang terdiri dari tiga macam azas
kerja yaitu kerukunan, kepatutan, dan keselarasan untuk dapat mencapai
kehidupan bermasyarakat yang tenang, tentram dan sejahtera dalam ikatan
kekeluargaan, yang ke tiga azas tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain
baik dalam proses, maupun dalam soal-soal materiil.31
31 Herowaati Poesoko, M.Khoidin. Dominikus Rato, 2014, Eksistensi Pengadilan Adat
Dalam Sistem Peradilan di Indonesia, LaksBang Justitia, Surabaya, hal.22.
26
BAB VI
S I M P U L A N D A N S A R A N
A. Simpulan :
Berdasarkan uraian sengketa tanah kuburan yang terjadi di Banjar Adat
Ambengan dengan Banjar Adat Semana Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar
Propinsi Bali, akhirnya dapat disimpulkan bahwa :
1. Faktor penyebab terjadinya sengketa tanah kuburan, berawal dari
pemotongan tiga pohon kelapa dan satu pohon blalu yang rencananya akan
digunakan untuk pembangunan Pura Prajapati. Dengan pemotongan pohon
tersebut maka terjadilah sengketa antar dua bajar adat dengan adanya
saling klaim kepemilikan tanah kuburan. Dengan demikian maka terjadilah
sengketa yang berkepanjangan dan berujung pada pelarangan penguburan
jenasah sehingga menyebabkan disintegrasi dan timbul pertentangan antar
kelompok.
2. Dalam penyelesaian sengketa dilakukan melalui proses mediasi dengan
mengadakan pertemuan beberapa kali dengan menerapkan azas rukun,
laras, patut untuk tercapainya masyarakat yang aman, tentram dan
harmonis, serta menghormati awig-awig (produk hukum adat bali) yang
berlaku. Pada pertemuan tersebut menghasilkan beberapa butir
kesepakatan perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak
tanggal 14 April 2011. Terwujudnya perdamaian berarti sengketa tanah
kuburan sudah berakhir sehingga terwujud kerukunan dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam penyelesaian sengketa tersebut melibatkan pihak
27
ketiga antara lain : Perbekel Sayan, Perbekel Singakerta, Camat Ubud,
Kapolsek Ubud, Danramil Ubud, Kapolres Gianyar, Kodim 1616 Gianyar,
Bupati Gianyar.
B. Saran :
Kiranya tidaklah berlebihan penulis mengetengahkan beberapa saran,
antara lain :
1. Berdasarkan penelitian Wayan Windia dari Tahun 1999 s/d 2005 konflik
adat yang terjadi di Bali sebanyak 101 kasus, khusus di Kabupaten
Gianyar dari Tahun 2007 s/d 2011 sebanyak 56 kasus, ini menunjukkan
bahwa setiap tahun selalu saja ada desa adat/desa pakraman yang
bersengketa/berkonflik. Maka dari itu, desa adat/desa pakraman di Bali
yang merupakan organisasi tradisional supaya merevisi awig-awig (produk
hukum adat) untuk meminimalisir terjadinya sengketa/konflik yang
berkepanjangan, dan dalam penyelesaian sengketa mengedepankan azas
rukun, laras dan patut dengan tidak mengutamakan menang atau kalah
tetapi yang diutamakan adalah win-win solusion sehingga terwujud
keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Untuk menghindari sengketa/konflik antar desa pakraman yang akan
menyebabkan perpecahan/disintregrasi maka, bagi Pemerintah Daerah
Gianyar, penegak hukum, Kesbang Pol dan Linmas dan pihak yang terkait,
supaya terus untuk mengupayakan penyelesaian sengketa/konflik dengan
musyawarah-mufakat sehingga terwujud ajeg Bali sesuai dengan
berdasarkan konsep Tri Hita Karana.
28
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdul Manan, 2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Kencana,
Cet.Ketiga
Herowaati Poesoko, M.Khoidin. Dominikus Rato, 2014, Eksistensi Pengadilan
Adat Dalam Sistem Peradilan di Indonesia, LaksBang Justitia, Surabaya.
I Gede Suartika, 2010, Anatomi Konflik Adat di Desa Pakraman dan Cara
Penyelesaiannya, Udayana University Press.
I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Udayana
University Press, Cet. Pertama
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), PT.Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Maria S.W.Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, 2008, Mediasi Sengketa
Pertanahan, Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(ADR) di Bidang Pertanahan, PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1981, Pendekatan Konflik Terhadap Masalah-
Masalah Hukum, dalam satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif
Sosial, Alumni, Bandung, hal.9
Soerjono Soekanto, 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
--------------------, 1981, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni,
Bandung.
Salim.H, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Cet.Kedua.
TIP.Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana University Pres,
Cet. Pertama.
Wayan P.Windia, 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus & Penyelesaiannya,
Udayana University Press, Cetakan Pertama.
Herowaati Poesoko, M.Khoidin. Dominikus Rato, 2014, Eksistensi Pengadilan
Adat Dalam Sistem Peradilan di Indonesia, LaksBang Justitia, Surabaya.
29
Laporan Penelitian :
I Ketut Wirta Griadhi, et.al, 2013, Konflik Perbatasan Desa Pakraman Dalam
Perspektif Nilai Ekonomis Tanah Serta Penyelesaiannya, (Laporan
Penelitian Kerjasama antara LPPM Unud Dengan BAPPEDA Provinsi
Bali).
I Nyoman Wita, et.al, 2008, Format Hubungan Antara Desa Dinas/Kelurahan
Dengan Prajuru Adat Dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan,
(Laporan Penelitian Kerjasama Pappeda Kabupaten Klungkung dengan
Lembaga Penelitian Universitas Udayana Denpasar, Semarapura).
Pemda Kabupaten Gianyar, 2012, Laporan Penanganan Konflik Sosial di
Kabupaten Gianyar Tahun 2007-2011
Kesbang Pol dan Linmas, 2012, Laporan Kasus Adat/Tapal Batas Desa Yang
Masih Berkembang Yang Perlu Diwaspadai Untuk Tahun 2012 Di
Wilayah Kabupaten Gianyar.
TIP. Astiti,et.al., 2012, Sengketa Tanah Adat Yang Disertai Kekerasan Dalam
Konteks Perkembangan Pariwisata, (laporan Penelitian Magister
Kenotariatan Universitas Udayana Tahun 2012).
Internet :
Pendekatan Studi Kasus (Case Study) Dalam Penelitian kualitatif,
http://www.menulis proposalpenelitian.com/2011/01/pendekatan-studi-
kasus-case-study-dalam.html, diakses hari minggu tanggal 10 Mei 2015