Download - LAPORAN DISKUSI KASUS 2
LAPORAN DISKUSI KASUS 2
BLOK TROPICAL MEDICINE
Tutor :
dr. Dwi Adi Nugroho
Oleh :
Kelompok 6
G1A010063 Eviyanti Ratna Suminar
G1A010064 Meta Mukhsinina P
G1A010065 Mey Harsanti
G1A010066 Nurvynda Pratiwi
G1A010067 Agista Khoirul Mahendra
G1A010069 Atep Lutpia Pahlepi
G1A010071 Moch.Riski Kurniadi
G1A010072 Sarah Shafira Aulia Rahmah
G1A010059 Yuni Purwati
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2013
I. PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan
oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara
berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini
juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, 2009).
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di Dunia, sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2009, memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun. Insidens rate demam tifoid di Asia Selatan dan
Tenggara termasuk China pada tahun 2010 rata-rata 1.000 per 100.000 penduduk
per tahun. Insidens rate demam tifoid tertinggi di Papua New Guinea sekitar 1.208
per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358
per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per
tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000-1.500.000 penderita. Angka
kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10 %
(Nainggolan, 2011).
Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008,
demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat
inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi
3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan
proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539
dengan proporsi 3,01% (Depkes RI, 2009).
Endemik demam thypoid terjadi di Provinsi Jawa Tengah dengan
peningkatan jumlah kasus demam thypoid selama 3 tahun berturut dari tahun
2007 jumlah kasus 254, pada tahun 2008 menjadi 971 kasus pada tahun 2009 naik
4817 kasus dan 2010 naik menjadi 5021 kasus (Dinkes, 2005).
II. PEMBAHASAN
PBL Kasus 1
An. Bobolaki-laki usia 7 tahun datang ke poli klinik dengan keluhan demam.
Keluhan tersebut dirasakan sejak 7 hari yang lalu. Demam timbul
perlahan,demam meningkat pada sore hingga malam hari dan menurun saat pagi
hari. Demam tidak disertai menggigil dan tidak ada kejang. Anak sudah dibawa
kedokter 4 hari yang lalu dan diberi obat penurun panas dan puyer (tetapi tidak tau
obat apa saja yang didalam puyer tersebut), setelah minum obat panasnya turun
kemudian 1 jam berikutnya kembali demam lagi. Selain demam, anak juga
mengeluhkan perut terasa sakit, mual dan muntah yang berisi makanan. Nafsu
makan menurun. BAK (+) N, namun sudah 2 hari ini anak tidak BAB. Anak tidak
pernah mengeluhkan sakit yang sama sebelumnya. Anak terbiasa jajan makanan
di pinggir jalan.
A. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Demam
Demam adalah peningkatan suhu tubuh dari variasi suhu normal
sehari-hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu
tubuh di hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005).
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi atau non-infeksi.
Demam yang disebabkan oleh infeksi meliputi: infeksi bakteri, virus,
jamur, atau parasite. Sedangkan non-infeksi meliputi: faktor lingkungan
eksternal yang terlalu tinggi, penyakit autoimun, keganasan, dan
pemakaian obat-obatan (antibiotic, antihistamin, dll.) (Kaneshiro & Zieve,
2010).
Pengukuran suhu tubuh dapat melalui beberapa cara (Pujiarto, 2008)
a. Pengukuran suhu ketiak (axila)
b. Pengukuran suhu anus (rekta)
c. Pengukuran suhu oral
d. Pengukuran suhu telinga (tympanic)
Kisaran nilai normal suhu tubuh:
a. Suhu oral : 35,50C-37,50C
b. Suhu aksila : 34,70C-37,30C
c. Suhu rektal : 36,60C-37,90C
d. Suhu infrared tympanic : 35,70C-37,50C
2. Muntah
Muntah adalah keadaan dimana semua isi lambung dikeluarkan
melalui mulut. Timbulnya muntah sebagai akibat karena kontraksi yang
kuat dari antrum dan pilorus atau timbulnya anti peristaltik yang kuat pada
antrum dengan disertai relaksasi dari otot-otot sfingter kardia, disusul
melebarnya esofagus dan menutupnya glotis. Di samping itu juga timbul
kontraksi otot-otot perut dan otot diafragma untuk membantu
mengeluarkan isi lambung ke mulut (Hadi, 2002).
B. BATASAN MASALAH
1. Identitas
Nama: An.Bobo
Usia: 7 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama: Demam
Onset: 7 hari yang lalu
Kuantitas: Meningkat pada sore hari dan menurun pada pagi hari
Kualitas: hilang timbul
Keluhan penyerta: Perut sakit, mual, muntah berisi makanan, nafsu makan
menurun, tida k bisa BAB selama 2 hari
3. Riwayat Penyakit Dahulu
-
4. Riwayat Penyakit Keluarga
-
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Terbiasa jajan di pinggir jalan
C. RUMUSAN MASALAH
1. Anamnesis Tambahan
2. Mekanisme demam
3. Mekanisme mual muntah
4. Interpretasi Info 2
5. Interpretasi Info 3
6. Diagnosis Banding
7. Interpretasi Info 4
8. Eliminasi Diagnosis Banding
D. ANALISIS MASALAH
1. Anamnesis Tambahan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Bagaimanakah kronologis demamnya?
Apakah keluhan penyerta terlebih dulu dirasakan atau keluhan
utamanya?
Apakah suka menjaga kebersihan?
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pernah sakit seperti sekarang atau tidak?
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga, tetangga atau temannya yang jajan bareng dengan An. Bobo
ada yang mengalami gejala sama?
d. Riwayat Sosial Ekonomi
Dimana anak Bobo tinggal, apakah daerah padat penduduk?
Bagaima keadaan sekitar tempat tinggal An. Bobo, apakah kumuh?
Apakah An. Bobo sudah mempunyai jamban? darima sumber air yang
digunakan?
Apakah makanan yang dimakan bersih?
Bagaima pendidikan dan status ekonomi keluarga An. Bobo?
2. Mekanisme demam
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih
(monosit, limfosit dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,
mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih mengeluarkan
pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNFα dan IFN). Pirogen eksogen dan
endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk
prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan
patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan
menganggap suhu sekarang lebih rendah dari patokan suhu yang baru
sehingga memicu mekanisme untuk peningkatan panas seperti menggigil,
vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut.
Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas yang
akhirnyamenyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru (Sherwood,
2001).
3. Mekanisme mual dan muntah
Muntah didefinisikan suatu reflek yang menyebabkan dorongan
ekspulsi isi lambung atau usus ke mulut. Pusat muntah dari kortex
cerebral, organ vestibular, daerah pemacu kemoreseptor (CTZ) dan serabut
afferent termasuk sistem gastrointestinal. Mutah terjadi akibat rangsang
pada pusat muntah yang terletak pada medulla oblongata. Dapat
dirangsang melalui jalur saraf efferent oleh rangsangan nervus vagus dan
simpatis atau oleh rangsang emetik yang menimbulkan muntah dengan
aktivasi CTZ. Jalur efferent menerima sinyal yang menyebabkan
terjadinya gerakan ekspulsif otot abdomen, gastrointestinal dan pernafasan
yang terkoordinasi dengan epifenomena emetik yang menyertai (Gleadel,
2003).
Penyebab muntah (Gleadel, 2003) :
a. Makanan atau menelan zat iritatif atau zat beracun atau makanan yang
sudah rusak
b. Konsumsi obat-obatan seperti obat anti kanker dan pereda nyeri
golongan opioat seperti morfin
c. Penyumbatan mekanis pada usus dapat menyebabkan muntah karena
makanan dan cairan berbalik arah dari sumbtan tersebut
d. Peraadangan atau iritasi lambung usus atau kandung empedu
INFO 2
Pemeriksaan Fisik
KU : tampak lemah
Kesadaran : compos mentis, GCS : E4V5M6
Vital sign : TD 110/70mmHg N: 84X/menit
RR : 20X/menit S: 38,5ºC
BB : 20 Kg TB: 100 cm
Mata : CA (-/-) , SI (-/-)
Mulut : lidah kotor (+), tepi hiperemis (+), lidah tremor (+)
Tenggorokan : faring hiperemis (-)
Thorax : cor dan pulmo dbn
Abdomen : inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Hepar teraba 1 jari BACD tepi tajam, konsistensi kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat (+/+), ptekiae (-/-)
4. Interpretasi Info 2
Anak Bobo tampak lemah akan tetapi kesadarannya masih baik,
mengalami demam tinggi, mulutnya terdapat gambaran lidah kotor dengan
tepi hiperemis serta tremor. Pada palpasi hepar ditemukan perabaan hepar
1 jari di bawah arkus costae dextra menandakan bahwa tidak terdapat
hepatomegali dan didapatkan akralnya hangat.
INFO 3
Pemeriksaan Penunjang
Lab darah
Hb 13,7 gr/dl
Ht 40%
Leukosit 300/μl
Trombosit 270.000/mm3
HJL 0/1/3/22/70/5
5. Interpretasi Info 3
Pemeriksaan Laboratorium (Soedarto, 2008)
a. Hb 13,7 gr/dl normal 12-14 gr/dl jika anak perempuan dan anak laki-
laki 14-16 gr/dl.
b. Ht 240%, normal 37-47%
c. Leukosit 300/ μl, meningkat normal 4.000-11.000/mm3, terjadi
leukositosis (infeksi).
d. Trombosit 270.000/UI, normal 150.000-450.000 U/I
e. Diffcount Eosinofil 10, basofil 0, batang 3, segmen 60, limfosit 20,
monosit 7, eosinofilia
6. Diagnosis Banding
a. Demam Berdarah Dengue
b. Malaria
c. ISK
d. Demam Thypoid
INFO 4
Serologi widal :
Salmonella thypi O 1/320
Salmonella thypi H 1/640
Salmonella parathypi AO (-)
Salmonella parathypi AH (-)
Salmonella parathypi BO (-)
Salmonella parathypi BH (-)
IgM anti-Salmonella thypi (+)
IgG anti-Salmonella thypi (+)
7. Interpretasi Info 4
Dari hasil serologi widal yang dilakukan dihasilkan Antigen O
Salmonella thypi terdapat 1/320 dan Antigen H terdapat 1/640 meningkat
dari nilai normal 1/160. Untuk IgM dan IgG anti-Salmonella thypi
menunjukkan bahwa adanya suatu perlawanan sistem pertahanan tubuh
terhadap adanya infeksi.
8. Eliminasi Diagnosis Banding
a. Demam berdarah dengue
Penyebab penyakit Demam Berdarah (DB) ini adalah virus
Dengue, sehingga penyakit ini disebut juga dengan Demam Berdarah
Dengue (DBD). Ada 4 jenis virus Demam Berdarah, itulah sebabnya
pada beberapa kasus penderita demam berdarah yang satu
menunjukkan gejala yang berbeda dengan penderita Demam Berdarah
lainnya. Penyakit ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti. Nyamuk ini
biasa menggigit pada siang hari. Nyamuk yang mengisap darah dari
penderita DBD kemudian menggigit orang lain yang sehat membuat
virus yang ada berpindah ke orang yang sehat dan akan menyebabkan
orang tersebut menderita Demam Berdarah.
Jika virus Demam Berdarah ini sudah masuk ke dalam tubuh,
maka bisa menyebabkan terjadinya pendarahan pada organ tubuh
penderitanya. Bintik merah yang biasa muncul pada penderita
menunjukkan adanya pendarahan dalam tubuhnya. Jika sudah parah,
pendarahan dapat terjadi pada organ-organ penting yang dapat
menyebabkan kematian.
Gejala yang timbul pada penderita DB adalah:
1. Panas tinggi, umumnya > 38 derajat Celcius.
2. Badan pegal-pegal atau nyeri otot, sakit kepala, menggigil,
buang-buang air atau muntah.
3. Muncul bintik-bintik merah. Gejala ini mungkin tidak
muncul jika demam yang dialami baru sebentar. Cara melihat
bintik merah ini dengan tes tourniquet yaitu dengan menjepit
pembuluh darah mirip seperti saat Anda hendak memeriksa
tekanan darah. Setelah tahap ini, biasanya bintik merah akan
terlihat.
4. Setelah hari ketiga, biasanya demam akan turun dan penderita
mungkin merasa sudah sembuh tetapi setelah itu demam
dapat menyerang kembali. Pada masa ini sebaiknya berhati-
hati agar tidak menganggap sudah sembuh dan tidak menjaga
kesehatannya.
Lakukan pemeriksaan jumlah trombosit. Jika trombosit menurun,
biasanya < 100.000/ul, seseorang akan didiagnosis mengalami Demam
Berdarah Dengue. Tetapi, jika demam baru satu hari belum bisa
diketahui karena jumlah trombosit yang masih normal. Pada kasus
seperti ini, periksa kembali jumlah trombosit jika masih mengalami
demam. Pada pemeriksaan, dapat diketahui apakah darah mengandung
virus dengue atau tidak. Jadi, jika jumlah trombosit masih normal
tetapi pada darah positif mengandung virus dengue berarti positif
Demam Berdarah Dengue.
b. Malaria
Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnostic pasti
malaria harus ditegakan dengan pemeriksaan sediaan darah secara
mikroskopik atau tes diagnostic cepat (RDT-Rapid-Diagnostik Test)
(Depkes RI, 2008).
a. Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:
- Keluhan utama : demam, menggigil, berkeringat dan dapat
sisertai sakit kepala, mual muntah, diare, dan nyeri otot atau
pegal-pegal.
- Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke
daerah endemic malaria.
- Riwayat tinggal di daerah endemic malaria
- Riwayat sakit malaria
- Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir
- Riwayat mendapat transfuse darah
(Depkes RI, 2008).
b. Pemeriksaan fisik
- Demam (pengukuran dengan thermometer 37, 50C dengan
diselingi fase penyembuhan , jika malaria disebabkan P.
malariae demam timbul selang waktu 2 hari. Jika disebabkan
P. falciparum demam terjadi setiap hari.
- Konjungtiva atau telapak tangan pucat
- Pembesaran limfa (Splenomegali)
- Pembesaran hati (hepatomegaly)
- Tekanan darah systole <70 mmHg pada orang dewasa dan pada
anak-anak <50 mmHg
- Frekuensi nafas >35x permenit pada orang dewasa atau > 40x
permenit pada balita dan pada anak-anak >50x permenit.
- Penurunan derajat kesadaran dengan GCS <11
- Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, hematoma)
- Tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisitas kulit
berkurang, bibir kering, produksi air seni berkurang).
- Tanda-tanda anemia berat (konjungtiva pucat, telapak tangan
pucat, lidah pucat dan lain-lain)
- Terlihat mata kuning/ikterik
- Adanya ronki pada kedua paru
- Pembesaran limfe dan atau hepar
- Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai anuria
- Gejala neurologi (kaku kuduk, reflek patologik).
(Depkes RI, 2008).
c. ISK
Demam semakin lama semakin tinggi, pada anak yang sudah bias
bicara mengeluh sakit saat pipis, demam tinggi tanpa batuk dan pilek
berlangsung lebih dari 72 jam, dilakukan pemeriksaan air seni untuk
menyingkirkan ISK. Kalau hasilnya negative baru dilakukan
pemeriksaan darah. Kalau umur kurang dari 5 tahun, dapat dipastikan
bukan typhoid dan mungkin demam berdarah. Selain itu juga
perhatikan keadaan anak. Apakah terdapat luka dibadan yang bias
menandakan demam karena infeksi dari luka tersebut. Apakah timbul
kejang yang berlangsung lama atau penurunan kesadaran yang
menandakan meningitis.
d. Demam Thipoid
Penyebab penyakit tipus adalah bakteri yang bernama Salmonella
typhi. Bakteri ini berkembang cepat pada tempat-tempat yang kotor.
Penyebarannya dibantu oleh serangga-serangga pembawa bakteri
seperti lalat atau serangga lainnya. Sehingga, jika lalat atau serangga
pembawa bakteri ini hinggap pada makanan atau minuman dan
mengkontaminasinya.
Gejala yang terjadi pada tipus adalah: awalnya, demam yang
dialami tidak terlalu tinggi dan suhu akan terus meningkat bertahap
sampai > 38 derajat Celcius. Khususnya pada malam hari, suhu akan
meningkat dan akan turun pada pagi hari. Inilah yang membedakan
demam tifus dengan demam pada demam berdarah, nyeri perut dan
diare, batuk dan sakit tenggorokan.
Terjadi pada anak > 5 tahun yang suka jajan diluar : (bakteri
salmonella typhi). Awalnya demam tidak terlalu tinggi namun
semakin lama semakin tinggi terutama malam hari. Demam
berlangsung lebih dari 5 hari sakit perut atau ulu hati, BAB mencret
atau konstipasi serta terdapat lidah kotor dan tremor (bergetar bila
dijulurkan).
E. SASARAN BELAJAR
1. Definisi Demam Thypoid
2. Epidemiologi
3. Faktor Resiko
4. Manifestasi Klinis dan Gejala Demam Thypoid
5. Penegakan Diagnosis Kasus
6. Patogenesis
7. Patofisiologi Kasus
8. Penatalaksanaan
9. Komplikasi
10. Prognosis
11. Pencegahan
F. ANALISIS SASARAN BELAJAR
1. Definisi Demam Thypoid
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh
bakteri ditandai dengan demam insidious yang berlangsung lama, sakit
kepala, badan lemah, anoreksia, bradikardi relatif, serta splenomegali.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu
minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Gunawan,
2000).
2. Epidemiologi
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid
berkisar antara 2,3 – 16,8%. Angka kematian penderita yang dirawat di
rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6% pada tahun 1969
menjadi 3,74% pada tahun 1977 dan sebesar 3,4 % pada tahun 1978. Di
Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800/100.000
penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana. Ditemukan hampir
sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat
ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak umur 5-
9 tahun. Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan
paratifoid termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas penyakit rawat
inap. Pada tahun 1999 jumlah pasien terkena demam tifoid yang dirawat
sebesar 414 orang, tahun 2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada
tahun 2001 (Charis, 2010).
Sedangkan, dalam referensi lain mengatakan bahwa diperkirakan
angka kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia
dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun. Daerah
endemiknya tersebar di berbagai benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika
Selatan, Karibia, hingga Oceania. 80% kasus ditemukan di negara-negara
berkembang, seperti Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam,
dan Indonesia. Di Indonesia, mayoritas penderitanya adalah kelompok
umur 3-19 tahun (91%) (WHO, 2003).
Di Indonesia, Kabupaten Sumba Barat Daya adalah salah satu
daerah endemik tifoid dengan angka kesakitan diperkirakan mencapai
725/100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut melebihi angka
kesakitan rata-rata kejadian demam tifoid di daerah pedesaan Indonesia
(385/100.000 penduduk) bahkan mendekati angka kesakitan untuk
penduduk perkotaan (810/100.000 penduduk) (Charis, 2010).
3. Faktor Resiko (Charis, 2010).
a. Sanitasi lingkungan yang buruk
Sanitasi lingkungan yang buruk meliputi sumber air bersih yang
tercemar, kondisi lingkungan sekitar rumah maupun di dalam rumah
yang kotor, kotoran hewan di jalan umum yang tidak dibersihkan dan
sebagainya.
b. Personal Hygiene yang buruk
Personal hygiene yang buruk ini dapat berupa perilaku tidak bersih
dan sehat oleh anggota masyarakat, seperti tidak mencuci tangan
sebelum maupun sesudah makan, menggunakan peralatan makan yang
sudah dipakai sebelumnya, tidak menggunakan jamban atau toilet
untuk buang air besar maupun buang air kecil.
c. Menjadikan sungai sebagai septik tank rumah tangga
Hal ini dapat mencemari sungai sehingga bakteri S. typhi dapat
menyebar di dalam sungai. Jika, sungai tersebut dimanfaatkan sebagai
tempat untuk mandi, cuci, kakus maka bakteri S. typhi akan sangat
mudah menginfeksi manusia.
d. Mengkonsumsi makanan (khususnya sayuran) dalam kondisi mentah
dan minum air yang tidak direbus
Makanan atau minuman yang tidak dimasak hingga matang atau
mendidih (untuk air) akan menyebabkan bakteri yang berada pada
sayur dan yang berada di dalam air tidak mati sehingga akan dengan
mudah termakan dan masuk ke dalam tubuh.
e. Pasteurisasi susu yang tidak baik
Pasteurisasi susu menggunakan suhu yang tidak sesuai maka dapat
memicu berkembangnya bakteri-bakteri termasuk bakteri S. typhi,
apabila terminum oleh manusia maka akan masuk ke dalam tubuh dan
menginfeksi manusia tersebut.
f. Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang tidak
baik
Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang tidak
sesuai standar kebersihan, seperti tidak mencuci tangan sebelum
mengolah makanan dan minuman, menggunakan wadah yang tidak
bersih, makanan atau minuman dibiarkan terbuka begitu saja, dan
sebagainya. Hal tersebut dapat menyebabkan bakteri mudah
mengkontaminasi ke makanan dan minuman kemudian termakan dan
menginfeksi manusia.
4. Manifestasi Klinis
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan pasien berupa demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual dan muntah. Pada
penyakit ini didapatkan gambaran khas berupa demam yang meningkat
pada sore hingga malam hari, dan menurun di pagi hari disertai dengan
adanya lidah yang kotor dan tremor. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan gambaran berupa pembesaran hepar dan lien, meteorismus,
keadaan umum yang somnolen, stupor, koma, delirium dan psikosis
(Sudoyo, 2009).
Pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan lab darah dapat
ditemukan leukositosis dengan trombosit normal dan limfositopenia. Pada
uji widal dapat juga ditemukan IgM anti Salmonella typhii dan IgG anti
Salmonella typhii yang berhasil positif (Sudoyo, 2009).
Gold standar dari penyakit ini adalah ditemukannya bakteri
Salmonella typhii pada pemeriksaan kultur darah (Sudoyo, 2009).
5. Penegakan Diagnosis Kasus
a. Anamnesis (Sudoyo, 2009) :
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Demam
Onset : 7 hari yang lalu
Kuantitas : Meningkat pada sore hari dan menurun
pada pagi hari
Kualitas : hilang timbul
Keluhan penyerta : Perut sakit, mual, muntah berisi makanan,
nafsu makan menurun, tida k bisa BAB
selama 2 hari
RPSos : suka jajan di pinggir jalan
b. Pemeriksaan Fisik (Sudoyo, 2009)
1. Lidah kotor dengan tepi hiperemis dan tremor
2. Hepatomegali
3. Nyari perut
4. Bising usus (+) menurun
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah tepi
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan
eosinofilia pada permulaan sakit mungkin terdapat anemia dan
trombositopenia ringan.
2. Pemeriksaan widal.
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan
antibody (aglutinin) aglutinin yang spesifik terhadap salmonella
terdapat dalam serum pasien demam typhoid, juga pada orang-
orang pernah ketularan salmonella dan pada orang yang pernah di
vaksinasi terhadap demam tyfoid.
Maksud uji widal ini adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam
typhoid.
Akibat infeksi oleh S. typhi, pasien membuat antibody (aglutinin),
yaitu :
1. Agglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O
(berasal dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari
flagella kuman)
3. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk keperluan diagnosis. Makin tinggi
titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita demam
typhoid.
Pemeriksaan serologik Widal (titer Aglutinin OD) sangat
membantu dalam diagnosis walaupun ± 1/3 penderita
memperlihatkan titer yang tidak bermakna atau tidak meningkat.
Uji Widal bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan serial tiap
minggu dengan kenaikan titer sebanyak 4 kali.
3. Biakan
a. Darah : dijumpai basil salmonella thyposa pada minggu I.
b. Feses dan urine : (+) di jumpai basil salmonella thyposa pada
minggu II dan III.
c. Sum-sum tulang : Paling baik karena tidak di pengaruhi
waktu pengambilan maupun pemberian antibodi sebelumnya
(Behrman, 2000).
6. Patogenesis
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari
genus Salmonella. Kuman berspora, motil, berflagela, berkapsul, tumbuh
dengan baik pada suhu optimal 37ºC (15ºC-41ºC), bersifat fakultatif
anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman
ini mati pada pemanasan suhu 54,4ºC selama satu jam, dan 60ºC selama
15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella
memunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun
tidak terhadap laktosa dan sukrosa (Widodo, 2002).
Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses,
yaitu (1) proses invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses
kemampuan hidup dalam makrofag dan (3) proses berkembang biaknya
kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa
mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh kuman patogen ini,
yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non spesifik di saluran
pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme
pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular (Widodo,
2002).
Patogenesis demam typhoid dimulai dari masuknya bakteri
Salmonella ke dalam tubuh, biasanya lewat jalur oral. Tingkat infeksi
bakteri Salmonella dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti banyaknya
organisme yang ditelan, tingkat keasaman lambung, dan adanya
kepemilikan antigen Vi pada organisme. Lebih kurang 109 organisme yang
teringesti dapat menimbulkan penyakit. Tingkat keasaman lambung dapat
mempengaruhi karena asam lambung berperan untuk menahan infeksi
enterik. Jika tingkat keasaman lambung rendah, maka infeksi lebih mudah
terjadi. Kepemilikian antigen Vi juga sangat berpengaruh karena antigen
Vi merupakan antigen kapsul yang melindungi organisme dari proses
imun alami tubuh. Jika terdapat banyak organisme yang memiliki antigen
Vi, maka infektivitas organisme juga akan meningkat sehingga dapat
menimbulkan penyakit (Cook dan Zumla, 2009).
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang
memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal
usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha
pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di
samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi
pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang
akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi
mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada
permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke
dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan
difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S.typhi dapat
bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya
perlindungan oleh kapsul kuman (Widodo, 2002).
Di dalam makrofag, bakteri akan melakukan multiplikasi sambil
berjalan menuju limfenodi mesenterika. Lewat ductus thoracicus, bakteri
Salmonella akan masuk ke pembuluh darah dan mengakibatkan
bakteremia primer. Selanjutnya, perjalanan bakteri Salmonella menuju ke
hepar dan limpa juga melakukan multiplikasi. Terakhir, bakteri Salmonella
akan masuk kembali ke aliran darah yang disebut bakteremia sekunder,
dan mampu menimbulkan gejala-gejala klinis (Cook dan Zumla, 2009).
7. Patofisiologi
Salmonella thyposa
masuk ke mulut bersama makanan & minuman
sampai ke usus halus
INFO 6
peradangan usus halus
pelepasan zat pyrogen pada
jaringan yg meradang
melalui peredaran darah sampai ke
hipotalamus
iritasi mukosa usus
ruang usus terisi udara
lambung terisi udara(flatulence)
Gangguan eliminasi : diare
Gangguan eliminasi : konstipasi
bakteri multiplikasi di usus halus
gangguan kerja absorpsi pd usus
meningkatkan peristaltik
usus
penurunan peristaltik
usus
peradangan usus halus
pelepasan zat pyrogen pd jaringan
yg meradang
peningkatan asam lambung
mual, muntah, anoreksia
penurunan nafsu makan
kurangnya nutrisi yg diperlukan tubuh
lemas, kelemahan
intoleransi aktifitas
pembesaran organ tubuh( hati, limpa, empedu)
distensi abdomen
gangguan rasa nyaman (nyeri)
gangguan fungsi termoregulasi
peningkatan suhu tubuh
metaolisme meningkat-->outpu>>
resiko defisit volume cairan
melalui ductus thoracicus
menginvasi hati limpa dan empedu
IVFD RL 20 tpm
Inj Kloramphenikol 4x250 mg iv
Inj. Ondansentron 2 mg drip 1x1 pagi
Paracetamol 3-4 x 250 mg p.o jika demam
Diet rendah serat
8. Penatalaksanaan
a. TERAPI (Setiabudy, et al, 2009).
• Kloramfenikol
– FD: obat terikat pada ribosom, hambat enzim peptidil
transferase hambat sintesis protein kuman
– FK: kadar puncak dalam darah dalam 2 jam, 50% terikat
albumin, distribusi baik ke semua organ, metabolisme di
hepar, ekskresi melalui ginjal
– Indikasi : demam typhoid, meningitis oleh H. Influenzae
– Kontraindikasi: neonatus, pasien dengan gangguan fungsi hati,
hipersensitiv
– ESO: Depresi sumsum tulang, anemia, mual, muntah, diare,
glositis, enterokolitis, sindrom Gray pada neonatus
– Dosis: 50 mg/kgBB sehari per oral dibagi dalam 3-4 dosis
selama 2 minggu
• Siprofloksasin
– FD: hambat enzim topoisomerase II (girase) dan
topoisomerase IV gangguan replikasi DNA kuman,
pemisahan DNA kuman
– FK: Absorbsi terhambat bila diberikan bersama antasida,
distribusi baik ke semua organ, sedikit terikat dengan protein,
masa paruh eliminasi panjang, metabolisme di hepar, ekskresi
lewat ginjal
– Indikasi: demam typhoid, infeksi saluran kemih, tuberkulosis,
uretritis, infeksi tulang dan sendi
– Kontraindikasi: anak dan ibu hamil
– ESO: kerusakan tulang dan sendi, mual, muntah, rasa tidak
enak di perut, sakit kepala
– Dosis: 500 mg 2x1 selama 14 hari
• Sefalosporin
– FD: Hambat reaksi transpeptidase hambat sintesis dinding
sel kuman
– FK: Ekskresi lewat ginjal, waktu paruh 1 jam
– Indikasi: demam typhoid, meningitis
– ESO: alergi, nefrotoksik
– Dosis: 1 gram 3x1 selama 14 hari
b. Non-medikamentosa
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam
tifoid yaitu (Menkes, 2006) :
a. Istirahat dan Perawatan
Tujuan perawatan adalah:
1. Optimaslisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan
2. Observasi terhadap perjaalanan penyakit
3. Minimalisasi komplikasi
4. Isolasi untuk menjamn pencegahan terhadap pencernaan atau
kontaminasi
b. Diet, Cairan dan Tirah Baring
1) Diet
Diet harus mengandung protein dan kalori yang cukup.
Sebaiknya rendah selulose (serat) untuk mencegah perdarahan
dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
Jika keadaan pasien mulai membaik maka dapat dimulai
dengan diet padat atau tim (diet padat dini). Namun bila
keadaan pasien buruk maka diet dapat dimulai dengan diet
bubur atau cair. Jika keadaan pasien menurun diet diberikan
melalui pipa lambung.
2) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara
oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan untuk
penderita dengan sakit berat dan dengan komplikasi, kesadaran
menurun serta sulit makan. Dosisnya sesuai kebutuhan harian
(rumatan).
3) Tirah baring
Tirah baring pada penderita dilakukan dengan tujuan untuk
mencegah adanya komplikasi terutama perdarahan dan
perforasi. Jika keadaan klinis tampak sakit berat, pasien harus
istirahat total. Jika terjadi penurunan kesadaran posisi harus
diubah-ubah untuk menghindari komplikasi pnemunia
hipostatik dan decubitus.
9. Komplikasi
Komplikasi Intestinal (Simanjuntak et al, 2012) :
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan
akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri
perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah
nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
Komplikasi ekstra intestinal (Simanjuntak et al, 2012) :
1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok,
sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia,
koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia
hemolitik.
3. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan
kolelitiasis
5. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan
perinefritis
6. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan
artritis
7. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus,
meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia
(Simanjuntak et al, 2012).
10. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum,
derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat
dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6 % dan
pada orang dewasa 7,4 % dengan rata-rata 5,7 % (Sudoyo, 2009).
11. Pencegahan
Usaha pencegahan demam tifoid dapat dibagi dalam:
1. Usaha terhadap lingkungan hidup
- Penyediaan air minum yang memenuhi syarat
- Pembuangan kotoran manusia yang pada tempatnya
- Pemberantasan lalat
- Pengawasan terhadap rumah-rumah makan dan penjual-penjual
makanan (Mansjoer, 1999).
2. Usaha terhadap manusia
- Imunisasi
- Menemukan dan mengawasi pengidap kuman (carrier)
- Pendidikan kesehatan kepada mayarakat (Behrman, 2000).
III. PENUTUP
1. Anak Bobo didiagnosis terkena demam thypoid. Diagnosis didapatkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
kultur darah sangat khas yaitu ditemukannya kuman Salmonella thypii.
2. Faktor risiko dari demam thypoid pada kasus adalah Anak Bobo sering
membeli jajanan sembarangan di pinggir jalan yang kemungkinan sudah
terkontaminasi dari kuma Salmonella thypii.
3. Anak Bobo di terapi medikamentosa dengan memberikan kloramfenikol dan
terapi simptomatik lain serta diet rendah serat.
4. Anak Bobo dan keluarga perlu diedukasi tentang sanitasi, kesehatan
lingkungan dan higienitas agar terhindar dari penyakit demam thipoid.
DAFTAR PUSTAKA
Charis Amarantini. 2010. Epidemiologi Molekular Salmonella Typhi. Penyebab
Demam Tifoid Asal Wilayah Endemik Kabupaten Sumba Barat Daya,
Nusa Tenggara Timur. Diakses tanggal 7 Maret 2013. Available from:
http://pasca.ugm.ac.id/v2.1/promotion/id/83.
Cook, Gordon C., Alimuddin I. Zumla. 2009. Manson’s Tropical Disease. USA:
Elsevier.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Penatalaksanaan
Kasus Malaria Di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Dperatemen Kesehatan RI.
Dinarello, C.A., and Gelfand, J.A. 2005. Fever and Hyperthermia. In: Kasper
D.L., et.all. ed. Harrison’s Principes of Internal Medicine. 16th ed.
Singapore: The McGraw-Hill Compani, 104-108.
Gleadle, Jonathan. 2003. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:
Erlangga.
Gunawan G. 2000. Infeksi: Demam tifoid. Dalam: Yunanto A, Gunawan G dan
Muhyi R. Pedoman diagnosis dan terapi bagian/SMF ilmu kesehatan
anak. Edisi I. Banjarmasin: Rumah Sakit Umum Daerah Ulin.
Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni.
Kaneshiro, N.K, and Zieve, D. 2010. Fever. University of Washington. Available
from : http://www.nlm.gov/medlineplus/ency/article/000980.htm.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Nainggolan, R. 2011. Karakteristik Penderita Demam Tifoid. Medan: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Pujiarto, Purnamawati Sujud. 2008. Demam pada Anak. Majalah Kedokteran
Indonesia. Vol 58.
Setiabudy, Rianto., Yati H. Istiantoro, Vincent H. S. Gan. 2009. Farmakologi dan
Terapi. Jakarta: FKUI.
Simanjuntak, Alista Br. Et al. 2012. Karakteristik Penderita Tifus Abdominalis
Dengan Pemeriksaan Test Widal Rawat Inap Di RDU. Dr. F. L. Tobing
Sibolga Januari 2010-2012. Universitas Sumatera Utara Medan.
Simanjuntak, C. H, 2009. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan
Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.
Sudoyo, Aru. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid II. Jakarta:
Interna Publishing.
Widodo Darmowandoyo. 2002. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta : Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI.