1
LAPORAN HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN
UNGGULAN PERGURUAN TINGGI
Development and Upgrading of Seven Universities in Improving the
Quality and Relevance of Higher Education in Indonesia
Model Konservasi Shorea belangeran dari Habitat Hutan Kerangas
Rawa sebagai Bahan Obat Alami
TIM PENELITI
Ir.H.Ahmad Yamani, MP./NIDN 0002076011/Ketua Peneliti
Dr. Kissinger, S.Hut., M.Si./NIDN 0026047301/Anggota Peneliti
Rina Muhayah Noor Pitri, S.Hut, M.Si/NIDN 0006027902/Anggota Peneliti
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2016
2
3
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan ......................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................. iii
Abstrak ................................................................................................ iv
I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar belakang ..................................................................... 1
B. Tujuan khusus …………........................................................ 3
C. Urgensi (keutamaan) penelitian ........................................... 3
D. Target dan kontribusi penelitian ........................................ 3
E. Luaran Penelitian …………………………………………. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 5
A. Shorea belangeran.................................................................... 5
B. Hutan Kerangas ……………………………...……………… 6
C. Bioaktivitas antioksidan ......................................................... 6
D. Bioktivitas antidiabes .............................................................. 7
E. State of the Art Penelitian ...................................................... 8
F. Roadmap Penelitian ............................................................... 8
III. METODE PENELITIAN ............................................................ 10
A. Lokasi dan obyek penelitian ................................................. 10
B. Peralatan dan bahan penelitian ............................................ 10
C. Prosedur penelitian ................................................................ 10
D. Bagan Alir penelitian ............................................................. 14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………..………......................... 15
V. KESIMPULAN …………………………….…………………. 27
Daftar Pustaka….......................................................................... 28
4
ABSTRAK
Terdegradasinya hutan kerangas rawa (hutan kerapah) termasuk semakin
langkanya keberadaan S.belangeran memerlukan suatu tindakan konservasi untuk
mencegah kerusakan hutan lebih lanjut, mencegah kepunahan sumberdaya alam
hayati, dan sebagai upaya memulihkan kembali kerusakan terhadap kawasan
hutan kerangas rawa dan sumberdaya tumbuhan didalamnya yang merupakan
bagian dari ekosistem lahan basah. S.belangeran merupakan salah satu jenis
pohon dari habitat kerangas rawa yang selama ini menjadi sumberdaya pohon
yang banyak ditebang masyarakat dan digunakan sebagai kayu pertukangan.
Penebangan illegal yang dilakukan selama ini telah mengurangi secara signifikan
tegakan pohon serta permudaan yang ada di alam serta menjadi pemicu kerusakan
hutan kerangas yang terjadi.
Tujuan penelitian ini adalah menyusun model konservasi S.belangeran dari
habitat hutan kerangas rawa sebagai bahan obat alami. Penelitian tahun kedua
bertujuan: 1) Mengetahui kapasitas antioksidan esktrak methanol S.belangeran, 2)
Mengetahui kapasitas antidiabetes esktrak methanol S.belangeran secara in vitro,
3) Menganalisis sikap masyarakat terhadap konservasi S.belangeran, 4)
Menyusun strategi implementasi serta merumuskan model konservasi
S.belangeran dari hutan kerangas sebagai bahan obat alami
Metode penelitian yang dilakukan meliputi: 1) Pengujian anti radikal bebas
menggunakan metode mikroplate dengan mengukur absorbansi DPPH, 2)
Pengujian antidiabetes ekstrak methanol S.belangeran secara in vitro terhadap
daya hambat enzim α glukosidase, 3) Sikap masyarakat dianalisis secara deskriptif
dengan menggunakan kategori, 4) Penyusunan hierarkhi dari pilihan model
pengelolaan S.belangeran untuk kepentingan konservasi menggunakan AHP.
Bioaktivitas antioksidan berdasarkan pengujian absorbansi DPPH yang
terbaik berasal ekstrak methanol dari bagian kulit S.belangeran. (IC50 = 2,88
ppm) dibandingkan bagian daun S.belangeran (IC50= 18,94). Hasil pengujian
daya hambat terhadap α glukosidase dari ekstrak methanol kulit S.belangeran
memiliki nilai IC50 pada konsentrasi 0,816 ppm. Sikap masyarakat masih
termasuk dalam kategori lemah untuk ikut aktif dalam konservasi S.belangeran.
Berdasarkan hasil analisis hierarkhi proses pilihan pengelolaan terbaik terhadap
5
S.belangeraan saat ini adalah moratorium pemanfaatan kayu untuk tetap menjaga
fungsi jasa lingkungan dan nilai keberadaan biodiversitas. Temuan ini memberi
peluang untuk kemungkinan penerapan konservasi terhadap S.belangeran sebagai
bahan obat alami, paling tidak sifatnya untuk pemenuhan sendiri (subsisten)
dengan tetap menerapkan moratorium pemanfaatan kayu.
Kata kunci : Konservasi, kerangas rawa, S. belangeran,bioakttiviras,obat alami
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shorea belangeran satu jenis pohon yang terdapat di hutan kerapah /
kerangas rawa.. Berdasar observasi lapangan S.belangeran dari hutan kerapah
banyak dieksploitasi secara illegal oleh masyarakat untuk digunakan sebagai kayu
pertukangan yang pemanenannya dilakukan dengan sistem serampangan
(dekstruksi) dan sulit ditanam lagi karena jenis tanahnya podsolik dan miskin
hara. Kecenderungan eksploitasi S.belangeran yang tidak memperhatikan
kelestarian menyebabkan potensinya di hutan kerangas semakin kecil. Menurut
Kissinger (2013), keberadaan hutan kerangas di desa Guntung Ujung Kalimantan
Selatan, terdapat jenis ini yang hanya dijumpai pada tingkat semai dan pancang
hasil trubusan bekas tunggak pohon bekas tebangan. Menurut IUCN red list jenis
S.belangeran termasuk dalam kategori jenis critically endangered
Bertitik tolak dari permasalahan semakin langkanya S.belangeran dan
terdegradasinya hutan kerangas, diperlukan suatu tindakan konservasi untuk
menanganinya. Menurut (Amzu 2007), paradigma baru dalam konservasi adalah
bagaimana cara menemukan pengungkit sikap dan aksi konservasi melalui pemicu
manfaat suatu sumberdaya. Jika manfaat itu memiliki nilai yang besar bagi
masyarakat maka dengan sendirinya masyarakat akan berusaha meproteksi dan
memelihara sumberdaya. Nilai manfaat sumberdaya atau kawasan diharapkan
dapat menjadi stimulus manfaat yang menginisiasi sikap dan aksi konservasi.
Antar masyarakat sekitar hutan kerangas terdapat hubungan ketergantungan
dengan S.belangeran, hal ini dapat menjadi pintu masuk konservasi melalui
diversifikasi pemanfaatan berkelanjutan S.belangeran yang relatif ramah
lingkungan. Salah satu pilihan potensial pemanfaatan S.belangeran yang tumbuh
6
pada habitat terbatas hutan rawa kerangas adalah bioaktivitas bahan alami dari
senyawa metabolit sekunder hasil proses fisiologis adaptasi tanaman.
Berdasarkan hasil studi etnobotani masyarakat di dalam dan sekitar hutan
kerangas oleh Kissinger et al. (2013), S.belangeran biasa digunakan masyarakat
dalam pengobatan diare dan diabetes. Menurut Tukiran et al. (2005), menyatakan
kulit S.belangeran dari hutan dipterocarpaceae mengandung oligostilbenoids yang
memiliki potensi di antaranya sebagai antibakteri, antiinflamasi dan antitumor.
Penelitia ini berusaha untuk mengungkapkan bioaktivitas S.belangeran
sebagai bahan pengobatan alami sebagai antioksidan dan antidiabetes serta
merumuskan model konservasi S.belangeran. Pengungkapan ini merupakan
langkah untuk memperkuat implementasi konservasi jenis S.belangeran di
kawasan hutan kerangas. Proses identifikasi bioaktivitas bahan obat alami dari
S.belangeran juga menjadi media pembuktian pengetahuan tradisional dan
menjalin konektivitas pengetahuan tradisional dan pengetahuan modern.
Terumuskannya model konservasi S.belangeran dari hutan kerangas rawa
sebagai bahan obat alami dengan kapasitas antibakteri, antioksidan dan
antidiabetes bila dihubungkan dengan bidang fokus penelitian Universitas
Lambung Mangkurat akan menjadi suatu upaya untuk lebih memfokuskan
perhatian terhadap konservasi S.belangeran sebagai bagian sumberdaya alam
(bidang fokus 6) yang sangat potensial untuk dimanfaatkan bagi masyarakat
sekitar hutan dalam mendukung ketahanan pangan (bidang fokus 1) dan
pengembangan bahan obat tropika (bidang fokus 4). Konservasi S.belangeran
akan berdampak positif bagi kelestarian lingkungan hutan kerangas rawa yang
merupakan bagian ekosistem lahan basah. Implementasi konservasi S.belangeran
dari hutan kerangas rawa sebagai bahan obat alami merupakan salah satu pilihan
atau bagian penting dalam upaya pembangunan dan pemberdayaan lingkungan
lahan basah yang relatif ramah lingkungan.
B. Tujuan Khusus
Tujuan penelitian untuk menyusun model konservasi S.belangeran dari
hutan rawa kerangas (hutan kerapah) sebagai bahan obat alami. Batasan bahan
obat alami dalam penelitian ini adalah kapasitas bagian tanaman sebagai
7
antibakteri, antioksidan dan antidiabetes. Secara khusus penelitian tahun ke dua
ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kapasitas antioksidan esktrak methanol S.belangeran.
2. Mengetahui kapasitas antidiabetes esktrak methanol S.belangeran secara in
vitro melalui pengukuran daya hambat terhadap enzim α glukosidase
3. Menganalisis sikap masyarakat terhadap konservasi S.belangeran
4. Menentukan pilihan konservasi S.belangeran di hutan kerangas dan
menyusun strategi implementasi penerapaan model konservasi S.belangeran
dari hutan kerangas sebagai bahan obat alami
C. Urgensi (Keutamaan) Penelitian
Kerusakan hutan kerangas rawa dan berkurangnya potensi S.belangeran
perlu tindakan konservasi terhadap sumberdaya jenis maupun lingkungan
kawasan hutan. Penelitian ini sangat penting baik bagi konservasi S.belangeran
maupun kawasan atau lingkungan hutan kerangas sebagai bagian dari lahan basah.
Keutamaan lain dari penelitian ini selain berhubungan dengan mendesaknya
konservasi S.belangeran dan hutan kerangas, juga berhubungan dengan upaya
diversifikasi pemanfaatan S.belangeran yang relatif lebih ramah lingkungan dan
potensi nilai tambah (added value) baik potensi nilai jual maupun nilai pemakaian
untuk kesehatan yang lebih baik dibanding dengan penggunaan untuk kayu
pertukangan yang sifatnya relatif lebih mengancam regenerasi S.belangeran dan
hutan kerangas.
D. Target dan Kontribusi Penelitian
Target yang dicapai dari penelitian adalah didapatkannya bahan alam dari
S.belangeran dengan kapasitas antibakteri dan antidiabetes (screening awal
kapasitas antidiabetes dilakukan melalui pendekatan antioksidan). Keberadaan
dan keberlanjutan regenerasi S.belangeran dari hutan kerangas rawa tentu saja
memerlukan informasi mengenai karakterisasi bio-ekologi S.belangeran, sehingga
implementasi konservasi dapat berjalan sesuai dengan nilai alamiah dari sumber
daya alam. Pengungkapan sikap masyarakat terhadap S.belangeran merupakan
target utama yang harus diungkapkan agar implementasi konservasi dapat
direalisasikan.
8
Model konservasi S.belangeran yang dirancang berdasarkan karakterisasi
bio-ekologi, aspek nilai pemanfaatan dan karakterisasi sosial masyarakat akan
menjadi suatu skema konservasi berbasis pemanfaatan lestari dari sumberdaya
alam dan lingkungan yang diharapkan nantinya akan mendukung ketahanan
pangan dan kesehatan masyarakat, khususnya yang berada di sekitar lahan basah.
E. Luaran Penelitian
Luaran penelitian dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah:
1. Paling tidak dipublikasikannya penelitian ini dalam jurnal internasional,
sekurang-kurangnya sudah berupa draft siap dikirim.
2. Karakteristik bio-ekologi kerangas dan crude ekstrak S.belangeran yang dapat
dijadikan bahan tambahan dalam bahan ajar mata kuliah Ilmu Tanah Hutan,
Ekologi Hutan dan Konservasi Flora Fauna.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Shorea belangeran
Shorea belangeran merupakan jenis pohon dari family Diptrerocarpaceae
yang tingginya sampai 25 m, diameter pohon 60 cm up, panjang batang bebas
cabang sampai 15m, tidak memiliki banir. Kulit bagian luar berwarna merah tua
hingga hitam, sedikit beralur, tebal 1-3 cm dan tidak mengelupas. Tumbuh
tersebar di dalam hutan tropis basah yang bisa tergenang air rawa atau dipinggir
sungai, tanah berpasir, tanah gambut atau tanah liat, tipe curah hujan A dan B
pada ketinggian 0 sampai100 m dpl. Kayunya digunakan sebagai bahan bangunan,
jembatan, kayu perkapalan, kayu perkakas lantai, rangka pintu dan jendela. Status
jenis pohon ini menurut IUCN adalah critical endangered.
B. Hutan Kerangas
Kerangas merupakan suatu istilah yang awalnya diberikan suku Dayak Iban
terhadap lahan yang dikarenakan kondisi tanahnya bila ditanami padi maka
padinya tidak akan bisa tumbuh. Menurut Bruenig (1995), lahan kerangas yang
terbentuk oleh faktor edafis di atasnya ditumbuhi formasi hutan yang unik.
Akibat dari adaptasi terhadap lingkungan yang terbatas menyebabkan vegetasi
yang tumbuh terbatas dan memiliki karakter khusus.
Sebagian besar kerangas terutama ditemukan diwilayah Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan dan Sumatera.
9
Proporsi terbesar kerangas terdapat di Kalimantan yakni berada di Serawak dan
Brunei, .
Terbatasnya penelitian pemanfaatan hutan kerangas sebagai sumber
tanaman untuk pengobatan erat kaitannya dengan relatif sedikitnya peneliti-
peneliti yang menggeluti hutan kerangas. Berdasarkan hasil observasi dari
tinjauan referensi, para peneliti di Indonesia masih terbatas di lingkungan LIPI
dan sebagian kecil berasal dari beberapa perguruan tinggi di daerah khususnya
Kalimantan dan Sumatera. Hasil penelitian penggunaan tanaman dari hutan
kerangas masih sangat sedikit. Hartini (2007), dalam penelitiannya keragaman
tanaman di hutan kerangas terdapat beberapa tanaman yang berkhasiat obat dan
dikenal masyarakat diantaranya adalah jungrahab (Baeckea frutescens)., kantong
semar (Nepenthes spp.), tabat Barito (Ficus deltoidea), senduduk (Melastoma
malabathricum)
C. Bioaktivitas antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau
lebih electron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat
diredam. Penggunaan sebagai obat makin berkembang seiring dengan makin
bertambahnya pengetahuan tentang aktifitas radikal bebas terhadap beberapa
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan kanker. Antioksidan diketahui
dapat menghambat kerja radikal bebas. Sebagai salah satu upaya untuk
mengoptimalkan pemanfaatan tumbuhan kerangas dilakukanlah pengujian
antioksidan. Antioksidan merupakan contoh pemanfaatan bioaktifitas dari suatu
senyawa yang dihasilkan tanaman.
Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah
berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh membutuhkan
antioksidan eksogen. Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang
belum diketahui dari antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi
alternative yang sangat dibutuhkan. Antioksidan alami mampu melindungi tubuh
terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat
terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidae lipid pada
makanan. Meningkatnya minat untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi
10
beberapa tahun terakhir ini. Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus
hidroksi dalam struktur molekulnya (Sunarni, 2005).
D. Bioktivitas antidiabetes
WHO (2012) melaporkan bahwa 346 juta manusia di dunia menderita
diabetes, lebih dari 80 % penduduk yang menderita diabetes tinggal di negara-
negara dengan pendapatan rendah-sedang. Diprediksikan ke depan pada tahun
2030 penderita diabetes di dunia akan mencapai 366 juta jiwa. Laporan WHO
juga menyebutkan bahwa penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2000
mencapai 8,426,000 jiwa.
.Penggunaan herbal tanaman untuk pengobatan DM cukup popular.
Pengobatan tradisional memberikan pelayanan kesehatan terbaik yang mencapai
80 % jumlah populasi penduduk dunia. Keuntungan utama penggunaan bahan
tanaman untuk pengobatan DM adalah karena khasiatnya, rendahnya efek
samping dan biaya yang murah. Beberapa tanaman yang dikenal sebagai
antidiabetes dan telah diadakan penelitian skala laboratorium di antaranya adalah
Pare (momordica charantia), daun ki pahang (Pongamia pinnata), biji mangga
(Pujiyanto dan Ferniah, 2009, Sikarwar and Patil, 2010; Ramesh et al. 2011)
Beberapa metode digunakan dalam pengujian laboratorium antidiabetes baik
secara invitro maupun secara invivo. Pengujian secara invitro menggunakan enzim
α glukosidase banyak dilakukan untuk pengujian tahap awal dari bioaktivitas
antidiabetes. IC 50 diperhitungkan sebagai suatu aktivitas hambat bahan obat yang
digunakan terhada enzim α glukosidase (Elya et al. 2012). Metode lain yang
digunakan untuk pengujian antidiabetes adalah menggunakan alloxan atau
streptozotocin yang diinduksi dalam tikus atau mencit (Masih et al. 2011).
E. State of the Art Penelitian
State of the art dari penelitian adalah penerapan konservasi melalui
diversifikasi pemanfaatan berkelanjutan dan ramah lingkungan terhadap
S.belangeran dari hutan kerangas rawa sebagai bahan obat alami. Model
konservasi atau pemanfaatan S.belangeran dari hutan kerangas rawa dirancang
dan disusun secara komprehensif berdasarkan karakter nilai manfaat sebagai
bahan obat alami, karakter bio-ekologi dan karakter sosial ekonomi masyarakat.
11
F. Roadmap Penelitian
Berdasarkan hasil survey etnobotany yang dilakukan terhadap masyarakat di
sekitar hutan kerangas oleh Kissinger et al. (2003).,kulit S.belangeran
dipergunakan oleh penduduk sebagai bahan obat diare dan diabetes. Sedangkan
menurut Tukiran et al. (2005), kulit S.belangeran dari hutan dipterocarpaceae
campuran mengandung oligostilbenoids yang memiliki potensi di antaranya
sebagai antibakteri, antiinflamasi dan antitumor. Roadmap penelitian tentang
Model konservasi S.belangeran dari hutan kerangas rawa sebagai bahan obat
alami ditunjukkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Roadmap penelitian
Shorea belangeran
Keberadaannyadi alam langka
IUCN red list: critically endangered
Etnobotany: kulitnya digunakan masy.
sekitar kerangas untuk diabetes dan
diare (Kissinger et al. 2013)
Penting dan urgent untuk
dikonservasi
Kulit S.belangeran dari hutan
DipteroCampuran mengandung
oligostilbenoids (Tukiran et al. 2005)
Salah satu habitat tumbuhnya adalah
kerangas rawa (deep and medium
humus podsol) dan kerangas kering
(Kissinger, 2013)
Riset yang dilakukan tahun ke 1:
- Analisis vegetasi dan asosiasi
- Analisis tanah
- Screening senyawa fitokimia kualitatif bagian daun dan kulit
S.belangeran dari hutan kerangas rawa
- Ekstraksi metode maserasi dingin dengan pelarut methanol
- Pengujian toksisitas
- Pengujian antibakteri
1. Model konservasi S.belangeran yang berisikan arahan kebijakan dan tindakan
konservasi melalui pemanfaatan bioaktivitas S.belangeran dari hutan kerangas
rawa sebagai bahan obat alami dengan kapasitas antibakteri, antioksidan dan
antidiabetes
2. Diversifikasi pemanfaatan S.belangeran dari lingkungan lahan basan (hutan
kerangas rawa) yang diharapkan berdampak pada nilai tambah ekonomi langsung
bagi masyarakat untuk mendukung ketahanan pangan, nilai tambah kesehatan dari
bahan obat alami dan terkelolanya sumberdaya dan lingkungan atau kawasan lahan
Riset yang dilakukan tahun ke 2:
- Pengujian antioksidan DPPH
- Pengujian antidiabetes melalui analisis
terhadap enzim α glukosidase
- Analisis sikap masyarakat terhadap
konservasi S.belangeran sebagai bahan
alami untuk pengobatan
- Penyusunan model konservasi
S.belangeran dari hutan kerangas
sebagai bahan alami
12
BAB 3. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Obyek Penelitian
Lokasi pengambilan sampel tumbuhan berada pada hutan kerangas rawa
Desa Guntung Ujung Kalimantan Selatan dan Hutan kerangas rawa Tanjung-
Muara Kelanis (Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah). Obyek dari penelitian
ini adalah tumbuhan Shorea belangeran. Penelitian akan melakukan analisis di
Laboratorium Pengolahan Hasil Hutan Fakultas kehutanan ULM, Laboratorium
Dasar ULM, Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian ULM, Pusat Studi
Biofarmaka IPB Bogor dan Laboratorium Departemen Kimia Analitik FMIPA
IPB Bogor.
B. Peralatan dan Bahan Penelitian
Peralatan penelitian yang digunakan antara lain : GPS, kompas, pita ukur,
tali ukur dan tally sheet, tenaga bantu lapangan sebanyak 4 orang, pisau, silika
gel, alkohol, kotak penyimpanan,dan plastik penyimpanan). Bahan penelitian
adalah sampel komponen tumbuhan Shorea belangeran dan bahan-bahan untuk
analisis kimia organik, serta masyarakat sekitar, aparat pemerintah sebagai
responden penelitian.
C. Prosedur penelitian
Secara sistematik terdapat beberapa bagian kegiatan yang dilakukan secara
terpisah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1) Pengujian antioksidan dan antidiabetes ekstrak methanol S.belangeran
Ekstrak methanol daun dan kulit pohon S.belangeran yang dihasilkan
kemudian dilakukan sebagai bahan pengujian. Metode pengujian anti radikal
bebas tersebut dilakukan menggunakan metode mikroplate. Sutedja. (2003),
menyatakan pengujian antidiabetes dari ekstrak metanol tumbuhan terpilih
terhadap daya hambat enzim α glukosidase dilakukan secara in vitro.
2) Analisis sikap masyarakat terhadap konservasi S.belangeran
Obyek penelitian yakni masyarakat di dalam dan sekitar hutan kerangas
serta instansi pemerintah terkait. Data kusioner masyarakat berlokasi di desa
Guntung Ujung termasuk dalam Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar,
13
Kalimantan Selatan, dan desa Tanjung-Muara Kelanis (Kalimantan Selatan-
Kalimantan Tengah).
Metode pengumpulan data sikap masyarakat dengan metode wawancara
dan semi terstruktur (Walgito, 2003). Pengidentifikasian sikap masyarakat
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1) pengkarakterisasian sistem nilai masyarakat terhadap S.belangeran.
2) Pengungkapan / pemaknaaan S.belangeran sebagai spesies yang menjadi
stimulus untuk penerapan konservasi di hutan kerangas.
Pemaknaan stimulus S.belangeran di hutan kerangas di arahkan pada 2
komponen yakni: masyarakat lokal, pengelola hutan kerangas. Beberapa kategori
yang digunakan untuk memberikan penilaian adalah:
1) Nilai 5 untuk pernyataan sikap sangat suka / sangat setuju
2) Nilai 4 untuk pernyataan sikap suka / setuju
3) Nilai 3 untuk pernyataan sikap tidak punya pendapat / pengetahuan
4) Nilai 2 untuk pernyataan sikap tidak suka / tidak setuju
5) Nilai 1 untuk pernyataan sikap sangat tidak suka / sangat tidak setuju
Pengkategorian stimulus untuk sikap memakai nilai :
1) 3,9 = suka atau sangat suka/sangat setuju (stimulus kuat untuk sikap)
2) < 3,9= tidak tahu, tidak suka, sangat tidak suka (belum terbentuk stimulus kuat
untuk sikap).
Pemaknaan pernyataan sikap konservasi dianalisis dengan pendekatan stimulus
AMAR (Zuhud, 2007).
3. Penyusunan model konservasi S.belangeran dari hutan kerangas
Berdasarkan karakteristik bio-ekologi, pemanfaatan dan sosial ekonomi
masyarakat selanjutnya disusun model konservasi S.belangeran dari hutan
kerangas. Analisis yang digunakan dalam penyusunan model pengelolaan yang
dipilih adalah menggunakan Analisis Hierarki Proses (AHP). Bagan alir tentang
penyunan model konservasi S.belangeran dideskripsikan dalam Gambar 2.
14
Gambar 2. Proses dan indikator penyusunan model konservasi S.belangeran
D. Bagan Alir Penelitian
Bagan alir penelitian yang pelaksanaannya direncanakan selama dua tahun
ditampilkan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Bagan alir penelitian
RISET TAHUN KE-1
Shorea belangeran Hutan kerangas rawa (hutan kerapah)
Habitat ekstrim Memicu metabolit sekunder Potensi bioaktivitas
terdegradasi Langka, critically
endangered
Tindakan konservasi
Paradigma baru konservasi:
pemanfaatan berkelanjutan, bernilai
tinggi dan ramah lingkungan
Pemanfaatan bioaktivitas
S.belangeran sebagai bahan
obat alami
Karakterisasi sosial dan sikap
konservasi masyarakat
terhadap S.belangeran
Analisis vegetasi
Asosiasi tumbuhan
Sifat tanah Ekstraksi bahan
tumbuhan
Fitokimia
kualitatif Uji toksisitas
dan antibakteri
Uji antioksidan Uji antidiabetes
Karakteristik potensi
bioaktivitas S.belangeran
Karakteristik bioekologi dan potensi biomassa
S.belangeran
15
BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1) Bioaktivitas antioksidan
Bioaktivitas antioksidan dilakukan berdasarkan pendekatan pengujian
absorbansi DPPH terhadap ekstrak methanol S.belangeran.
Tabel 1. Hasil pengujian antioksidan S.belangeran
Nama Jenis Bagian
tanaman IC 50
Perbandingan
dgn kontrol
Potensi
antioksidan
Belangiran kulit
2,88 >
sangat
potensial
Belangiran daun
18,94 <
kurang
potensial
KONTROL POSITIF
Vitamin C
6,783
Butil hidroksi toluen
(BHT) 6,279
Bioaktivitas antioksidan terbaik berasal ekstrak methanol dari bagian kulit
S.belangeran. Nilai IC 50 ekstrak methanol kulit S.belangeran melebihi dari
kontrol positif vitamin C dan BHT. Sarastani et.al. (2002), menyatakan sumber
antioksidan alami umumnya adalah tumbuhan dan merupakan senyawa fenolik
yang tersebar di bagian tumbuhan baik di kayu, buah, daun, akar, bunga dan
serbuk sari. Kapasitas antioksidan dari 11 sampel ekstrak tumbuhan kerangas
tersebut di atas diduga disebabkan oleh kandungan flavonoid, phenol hidroquinon
dan tanin.
Penelitian terdahulu melaporkan kandungan senyawa fitokimia sekunder
seperti tannin, plavonoid dan fenol mempengaruhi kapasitas antioksidan tanaman.
Arini et.al. (2003), menyatakan anti radikal bebas dapat dihasilkan oleh komposisi
daun yang mengandung senyawa flavonoid, fenol hidrokuinon, tannin, steroid,
mono terpen dan sesquiterpen. Sedangkan Khallouki et.al. (2007) melaporkan dan
mengidentifikasikan sejumlah besar antioksidan dari golongan fenolik, memiliki
kapasitas besar sebagai antioksidan adalah ellagitannins dan polyhydroxyflavan-
3-ols (catechins dan procyanidins) pada jenis Anisophyllea dichostyla R. Br.
Bouchet et.al. (1998), melaporkan bahwa kandungan tannin dari tanaman yang
meningkatkan aktifitas antioksidan ditemukan juga pada jenis Guiera
senegalensis. Galloylquinic acids (hydrolysable tannins) dan tanin terkondensasi
16
(Epicatechin and Epigallocatechin gallate) yang terdapat dalam Guiera
senegalensis berperan dalam menghambat aktivitas radikal bebas 1,1-Diphenyl-2-
Picryl Hydrazyl Hydrat (DPPH).
2) Bioaktivitas antidiabetes
Pengujian antidiabetes dilakukan terhadap 2 sampel jenis tumbuhan sebagai
pembanding dari jenis Shorea belangeran yang diujikan. Kedua jenis ini beserta
Shorea belangeran dianggap masyarakat berkhasiat sebagai antidiabetes. Tabel 2
memperlihatkan hasil pengujian daya hambat ekstrak methanol pohon kerangas
terhadap α glukosidase.
Tabel 2. Nilai IC 50 ekstrak methanol beberapa jenis pohon kerangas
IC 50 of methanol extract of several kerangas trees
Jenis tumbuhan (Plant species)
Bagian tanaman
(Part of plant)
IC 50
(ppm)
Belangiran (S.belangeran) kulit 0,816
Irat (Cratoxylon arborescens) kulit 5,234
Rambuhatap (B.frutescens) daun 21,796
Kontrol positif Glucobay 0,167
Ekstrak methanol kulit Belangiran S belangiran memiliki nilai IC 50
(konsentrasi < 1 ppm). Ekstrak methanol kulit Cratoxylon arborescens memiliki
nilai IC 50 (konsentrasi > 1 ppm) dan B.frutescens memiliki nilai IC 50
(konsentrasi > 20 ppm). Nilai IC 50 akarbose (glucobay) lebih besar dari sampel
ekstrak methanol tumbuhan dimungkinkan karena konsentrasi senyawa aktif pada
ekstrak kasar belum terfraksinasi.
Hasil pengamatan membuktikan bahwa masyarakat paling tidak ada
menggunakan 1 jenis pohon yang biasa digunakan untuk pengobatan diabetes,
karena (kulit S.belangeran) terbukti pada konsentrasi < 1 ppm memiliki daya
hambat terhadap enzim α glukosidase. Kapasitas menghambat enzim α
glukosidase diduga berhubungan dengan efek sinergis dari senyawa fitokimia
(Tabel 2) yang terkandung dalam ekstrak metanol bagian tanaman (Cetto et al.
2008). Senyawa kimia seperti terpenoid, plavonoid, phenolik, tanin, mampu
mengatasi atau antidiabetes (Jung et al. 2006; Kunyanga et al. 2011; Masih et al.
2011). Kemampuan senyawa tersebut berperan sebagai antidiabetes oleh karena
terdapat ikatan rangkap berkonjugasi dalam bentuk ikatan siklis (phenol dan
turunannya) dan ikatan rantai lurus (alifatik).
17
Ekstrak metanol S.belangeran berdasarkan hasil pengamatan / analisis lebih
baik bila dibandingkan dengan ekstrak tanaman lainya yang biasa digunakan
dalam pengobatan tradisional sebagai antidiabetes. Menurut Sukandar et al.
(2010), ekstrak etil asetat daun Pandanus amaryllifolius memiliki IC 50 pada
konsentrasi 94,23 ppm. Sedangkan Jung et al. (2006), menyatakan esktrak
metanol Syzygium malaccense menghambat α-glukosidase dengan nilai IC50
sebesar 5,7 ppm. Adapun Sarjono et al. (2010), menyatakan bubuk kayu manis
(Cinnamomum cassia) memiliki nilai IC 50 pada konsentrasi 55,02 ppm. Hasil
penelitian ini menambah pengetahuan tentang keanekaragaman jenis tumbuhan
yang bisa digunakan sebagai obat antidiabetes.
Menerapan konservasi yang ramah lingkungan implikasinya adalah bahwa
bagian tumbuhan yang bermanfaat untuk antidiabetes umumnya adalah bagian
kulit dan daun, hal ini relatif tidak merusak tumbuhan. Sedangkan penggunaan
bagian akar dapat mematikan / merusak tanaman secara permanen, meskipun
demikian masih dapat dapat disikapi dengan tindakan penangkaran secara in situ
dan pengaturan jumlah pohon yang boleh ditebang.
3) Sikap masyarakat terhadap konservasi S.belangeran
Nilai karakterisasi S.belangeran bagi masyarakat di dalam dan sekitar
hutan kerangas seperti Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik sistem nilai masyarakat lokal terhadap S.belangeran
Sistem Nilai Shorea belangeran
Ekonomi Nilai ekonomi diperoleh dari penggunaan tumbuhan sebagai bahan obat menggantikan nilai dari harga obat modern
Nilai ekonomi dari harga penjualan sebagai penghasil kayu
Nilai ekonomi dari batangnya yang digunakan sebagai bahan
pembuat atap sirap
Sosio-budaya Nilai dari penggunaan: kerap dibawa sebagai perlengkapan saat
hendak pergi memancing di hutan, karena air rendaman kulitnya dapat menjaga stamina dan penawar racun.
Kulitnya sebagai bahan pewarna
Kulitnya digunakan sebagai dinding pondok saat membuat
ladang
Sosio-ekologi Sebagai indikator tanah kurang subur, bergambut dan berair
coklat kehitaman
Religius Semua ciptaan Tuhan pasti ada manfaatnya dan tidak sia-sia
Pengetahuan etnobotani masyarakat di lokasi penelitian referensi
menyangkut penggunaan S.belangeran merupakan pengetahuan ekologi
18
tradisional. S.belangeran dipandang tidak hanya pada pengetahuan khasiatnya
untuk pengobatan juga mencakup kepercayaan atau keyakinan. Menurut Berkes
et al. (2000), pengetahuan ekologi tradisional memang mencakup pengetahuan,
penggunaan dan kepercayaan yang kompleks. Penggunaan S.belangeran oleh
masyarakat tradisional juga merupakan kombinasi antara pengetahuan
(cognitive), penggunaan atau kecenderungan bertindak (tend to act) dan perasaan
(affective). Merancang suatu desain konservasi S.belangeran berdasarkan
pengetahuan tradisional masyarakat mengharuskan kita memahami mekanisme
sosial di belakangnya. Hal tersebut akan mempercepat ditemukannya alternatif-
alternatif dalam konservasi sumberdaya atau kawasan.
S.belangeran biasanya digunakan untuk menghasilkan income ekonomi dari
penjualan kayunya. Nilai ekonomi lainnya sebagai tumbuhan berkhasiat obat dan
sebagai bahan dinding rumah sifatnya insidentil dan bersifat sebatas pemenuhan
kebutuhan sendiri. Adanya perbedaan yang mendasar dari dampak antara
pemanfaatan kayu dan non kayu. Pemanfaatan kayu bersifat deskruktif dan
mengurangi tegakan S.belangeran sehingga bersifat tidak berkelanjutan. Proses
suksesi atau pemulihan tegakan relatif lama karena regenerasi secara alamiah
S.belangeran tergolong lambat (low growing) dan ketersediaan tegakan dari
tingkat tiang, pancang dan semai tidak merata. Selain itu upaya penanaman buatan
S.belangeran sering kesulitan karena langkanya bibit, lahannya terendam dan
keadaan lapangan yang sulit direkayasa untuk proses penanaman. Kendala teknis
dan pendanaan merupakan faktor penting dalam perencanaan penanaman
S.belangeran di hutan kerangas. Tegakan kerangas semakin diperparah dengan
dengan ancaman kebakaran berulang yang terjadi di berbagai spot-spot hutan
kerangas.
Permasalahan menyangkut S.belangeran dan hutan kerangas menjadi sangat
pelik bilamana adanya temuan terindikasikannya gejala keterputusan sistem nilai
di dalam masyarakat. Pada orang-orang tertentu penguasaan pengetahuan tentang
manfaat tumbuhan dari S.belangeran sebagai bahan pengobatan relatif terbatas.
Lemahnya pengetahuan ilmu tentang tanaman obat, disebabkan karena relatif
sedikitnya penduduk usia muda yang memahami penggunaan bahan tanaman
S.belangeran sebagai bahan pengobatan. Keterputusan sistem nilai tersebut
19
terindikasikan oleh terbatasnya pengetahuan dan nilai-nilai tentang S.belangeran
pada kalangan tertentu. Masyarakat yang hanya mengenal tumbuhan S.belangeran
pada bentuk penotifiknya saja relative besar. Menurut Ndraha, (2005),
keterputusan suatu “sistem nilai” yang sudah mengakar di masyarakat secara
turun temurun akan menimbulkan discontinuity, inconsistency, disparity dan
distorsion. Dianalogikan dengan belajar sejarah agar kita dapat mengambil
pelajaran dan dasar pertimbangan untuk perbuatan ke depan dengan cara
membangkitkan kembali sistem nilai tentang potensi biodiversitas hutan kerangas.
Untuk nilai manfaat ekonomi, sistem nilai tersebut dapat saja ditingkatkan.
Siagian (2004), menyatakan manfaat nilai ekonomi sudah jadi pegangan banyak
orang, apabila dikaitkan dengan kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai, baik
pada tingkat individu, kelompok maupun masyarakat. Nilai ekonomi mendorong
manusia bersikap realistik, baik menentukan tujuannya maupun menentukan
standar tingkat kepuasan yang ingin diperoleh. Nilai ini relatif mudah diamati dan
diukur dan sering dikaitkan harga padanya.
Pengungkapan S.belangeran sebagai spesies stimulus konservasi di hutan
kerangas dianalisis berdasar pendekatan sintesis terpadu antar pelaku konservasi.
Pemaknaan stimulus S.belangeran di hutan kerangas di tujukan kepada penduduk
lokal dan pemerintah terkait sebagai pengelola hutan kerangas. Tabel 4 Penjelasan
mengenai pemaknaan sikap untuk aksi konservasi terhadap S.belangeran dengan
pendekatan stimulus AMAR (Amzu, 2007).
Tabel 4 Kategori stimulus S.belangeran bagi penduduk dan pengelola
No PERNYATAAN STIMULUS
Penduduk Pengelola
Skore Sikap Skore Sikap
Pernyataan Stimulus S.belangeran tentang Nilai Alamiah
1 S.belangeran di hutan kerangas banyak tumbuh 4,5 + 3,6 - 2 Jumlah S.belangeran lebih banyak di hutan kerangas basah
dibanding kerangas kering
3,8 - 3,0 -
3 S.belangeran tumbuh ditempat dengan karakter spesifik 3,3 - 3,0 -
4 Jumlahnya menurun bila kebakaran berulang terjadi 4,2 + 4,0 +
5 Jumlahnya menurun sebab kegiatan penebangan dan pembukaan lahan
4,4 + 4,2 +
6 S.belangeran berfungsi sbg perlindung lingkungan 3,4 3,9 +
7 Permudaan alam di hutan relatif sulit 3,4 - 3,0 -
8 Permudaan buatan di hutan kerangas relatif sulit 3,3 - 3,2 -
Belum terbentuk stimulus alamiah yang kuat untuk sikap
konservasi 3,79 - 3,49 -
20
Pernyataan Stimulus S.belangeran tentang Nilai Manfaat
1 Kulit dan akar S.belangeran sebagai obat diare, malaria, diabetes, penawar racun dan penambah stamina
4,0 + 3,4 -
2 S.belangeran dipakai untuk bahan pewarna 3,6 - 3,2 -
3 S.belangeran dipakai untuk kayu perkakas rumah relatif kuat dan awet
4,2 + 4,2 +
4 Kesan gembira melihat S.belangeran berkembang baik di
hutan kerangas
3,6 - 3,6 -
5 Menyenangi S.belangeran karena dapat dipakai sebagai
antibakteri, antioksidan dan antidiabetes
3,8 - 3,6 -
6 S.belangeran rosot karbon bagi lingkungan 3,4 - 4,0 +
Belum terbentuk stimulus manfaat yang kuat untuk sikap
konservasi 3,80 - 3,67 -
Pernyataan Stimulus S.belangeran tentang Nilai Spiritual dan
Kerelaan
1 Menjaga S.belangeran di alam untuk generasi berikutnya 3,9 + 3,9 +
2 Mempertahankan S.belangeran terkait nilai budaya 3,2 - 2,8 -
3 Menjaga populasi S.belangeran sebagai titipan Pencipta 3,4 - 3,2 -
4 Memelihara S.belangeran karena status konservasinya rawan 3,0 - 3,3 -
5 Permasalahan legalitas akses lahan dapat diatasi 4,1 + 4,0 +
6 Perlunya regulasi pendukung konservasi S.belangeran 3,3 - 3,4 -
7
Campur tangan manusia untuk meningkatkan S.belangeran di
alam 3,0 - 3,4 -
8 Tanggungjawab moral menghindari kerusakan S.belangeran 3,7 - 3,3 -
Belum terbentuk stimulus religius/rela kuat untuk sikap
konservasi 3,45 - 3,41 -
Dari Tabel 4 hasil pengkategorian pernyataan sikap individu jelas
menyatakan bahwa S.belangeran belum cukup kuat sebagai stimulus bagi
individu-individu atau berbagai pihak melakukan aksi konservasi S.belangeran di
hutan kerangas. Pernyataan nomor 1,4,5 (37,50%) mengindentifikasikan
pernyataan yang menunjukkan pembentukan stimulus alamiah untuk sikap yang
kuat bagi penduduk lokal dan peryataan nomor 4,5,6 bagi pengelola (37,50%).
Pernyataan nomor 1, 3 mengindentifikasikan pernyataan yang menunjukkan
pembentukan stimulus manfaat untuk sikap penduduk lokal (33,33%), dan
pernyataan nomor 3,6 bagi pengelola (33,33%). Pernyataan yang menunjukkan
pembentuk stimulus sikap spiritual hanya teridentifikasi pada pernyataan nomor
1,5 bagi penduduk lokal dan pengelola (25%). Nilai rata-rata dari beberapa
pernyataan tentang stimulus bagi penduduk lokal dan pengelola kurang dari 3,9.
Ini mengindikasikan ketidakpahaman system nilai tentang S,belangeran di hutan
21
kerangas sehingga keperdulian yang kuat akan konservasi S.belangeran belum
terbangaun.
Ditinjau dari perspektif model komunikasi, S.belangeran sebagai sumber
sinyal masih belum bisa ditransformasikan sebagai sumber informasi dalam
pembentukan stimulus sikap penduduk dan pengelola. Keterbatasan pengetahuan
dan belum terbentuknya brand image yang menarik dari individu menyebabkan
sinyal S.belangeran belum direspon oleh komponen sikap individu penduduk dan
pengelola.
Penyampaian informasi manfaat bioaktivitas tumbuhan kantong semar dan
tumbuhan lainnya kepada masyarakat lokal relatif mampu menaikan persepsi
untuk aksi konservasi, namun belum cukup mampu untuk
mengimplementasikannya dalam bentuk sikap dan aksi konservasi jenis
S.belangeran dan konservasi kawasan hutan kerangas. Hal ini mengindikasikan
bahwa jenis S.belangeran masih kurang penting bagi masyarakat lokal dan
pengelola dalam menggiring sikap dan aksi konservasi terhadap jenis
S.belangeran di hutan kerangas.
Keberadaan S.belangeran yang memiliki nilai alamiah sebagai bagian dari
keanekaragaman hayati, habitat alami yang spesifik, kelangkaan dan menurunnya
populasi belum mampu menjadi stimulus alamiah bagi penduduk atau pengelola
untuk bersikap konservasi. Kelangkaan, menurunnya populasi S.belangeran
akibat penebangan, pembukaan lahan, kebakaran berulang ditanggapi biasa-biasa
saja atau sesuatu yang lumrah terjadi hampir setiap tahunnya. Berkurangnya
populasi S.belangeran di hutan kerangas dan nilai manfaat yang hasil nilai
kategorinya lebih tinggi dari nilai alamiah dan nilai spiritual/kerelaan belum
ditanggapi dengan kepedulian untuk mengkonservasi jenis tumbuhan ini. Belum
terbentuknya stimulus kerelaan untuk sikap dan aksi konservasi terhadap
S.belangeran terungkap dari beberapa pernyataan penduduk berikut : i) Melihat
S.belangeran tumbuh dominan di lahan hutan kerangas basah menjadi hal atau
pemandangan yang biasa, ii) Berkurang, berkembang tumbuh dengan sendirinya
dan hilangnya S.belangeran bukan dianggap masalah penting bagi masyarakat.
Mengkonservasi S.belangeran di hutan kerangas sebagai bahan pengobatan
masih terdapat beberapa harapan meskipun secara keseluruhan masih banyak
22
kendalanya. Pernyataan sikap masyarakat tentang pengetahuan manfaat tanaman
ini sebagai bahan pengobatan dan bukti empiris awal tentang potensinya sebagai
antioksidan, antibakteri dan antidiabetes mengindikasikan keadaan ini. Setelah
bukti empiris awal disampaikan ke masyarakat mulai muncul perasaan khawatir
jika S.belangeran punah karena khasiatnya bagi pengobatan. Mengkonservasi
S.belangeran harus dibangun dukungan dari pihak pengelola. Permasalahan klasik
pihak pengelola untuk dapat mengkonservasi S.belangeran dan hutan
kerangas.adalah keterbatasan anggaran dan belum masuknya S.belangeran dan
hutan kerangas menjadi skala prioritas pekerjaan
4) Pilihan Model Pengelolaan S.belangeran dari Hutan Kerangas
Berdasarkan analisis masalah terkini tentang status dan konservasi
S.belangeran dari hutan kerangas, dipilih 3 model pengelolaan terhadap
S.belangeran yaitu: i) moratorium pemanfaatan kayu S.belangeran, ii)
pengelolaan S.belangeran sebagai tumbuhan obat (HHBK tumbuhan obat), iii)
pengelolaan S.belangeran sebagai penghasil kayu. Analisis pemilihan pengelolaan
S.belangeran dilakukan dengan pendekatan Analisis Hirarki Proses (AHP).
Pilihan pakar (expert choice) digunakan untuk menentukan pengelolaan
S.belangeran terbaik dengan didasari oleh karakteristik nilai manfaat, biofisik,
dan sosial ekonomi masyarakat. Pakar dipilih dari pihak akademisi, Dinas
Kehutanan, LSM, praktisi dan pemerhati konservasi keanekaragaman hayati, dan
tokoh Masyarakat. Hasil AHP pilihan pengelolaan terbaik tertera dalam gambar
berikut:
Gambar 4. Hasil AHP untuk pilihan pengelolaan/konservasi S.belangeran
23
Berdasarkan hasil analisis, pemilihan pengelolaan terbaik saat ini adalah
moratorium pemanfaatan kayu S.belangeran dengan perbandingan nilai
0,493:0,36:0,200 dan nilai inkosistensi sebesar 0,02. Pilihan pengelolaan
berikutnya adalah pengelolaan S.belangeran sebagai tumbuhan obat. Hasil ini
temuan ini mengindakasikan bahwa langkah awal dalam konservasi S.belangeran
dari hutan kerangas adalah perlindungan terhadap sumber daya. Temuan ini
sejalan dengan dijadikannya Hutan kerangas berdasarkan Peraturan Pemerintah
RI Nomor 71 tahun 2014 termasuk ke dalam kategori lahan gambut.
Upaya penyelamatan atau perlindungan terhadap S.belangeran dari hutan
kerangas sangat diperlukan saat ini. Keberadaan S.belangeran di hutan kerangas
harus dipulihkan terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan lebih lanjut. Berdasarkan
hasil identifikasi potensi dan struktur tegakan hutan kerangas, keberadaan
S.belangeran potensinya relatif menurun dan struktur tegakannya tidak merata
antar tingkatan vegetasi (pohon-semai). Moratorium diarahkan untuk memulihkan
keberadaan S.belangeran di hutan kerangas.
Konsorsium Revisi HCVF Toolkit Indonesia (2008), menyebutkan harus
dipertahankannya hutan kerangas secara alami dan penambahan zona penyangga
minimal satu kilometer, dimana kegiatan pemanfaatan seminimal mungkin.
Prinsip-prinsip konservasi dengan urutan save it, study it, use it mengharuskan
penyelamatan terhadap sumberdaya S.belangeran terlebih dahulu (save it) dan
selanjut dikaji dan dirancang secara komprehensif (study it) untuk menemukan
alternative tentang pemanfaatan yang memungkinkan dan berkelanjutan (use it).
Onrizal (2004), mengungkapkan bahwa hutan kerangas keberadaannya sangat
penting, bukan hanya untuk melindungi tumbuhannya dan kayunya, juga karena
manfaat yang tidak langsung dari hutan kerangas, seperti penyerapan karbon,
perlindungan tata air, habitat satwaliar, ekowisata dan lainnya.
5) Konservasi S.belangeran dari hutan kerangas sebagai bahan obat alami
Berdasarkan hasil AHP dan pernyataan sikap masyarakat tentang aksi
konservasi S.belangeran di hutan kerangas. Konservasi S.belangeran harus
diawali dengan upaya moratorium pemanfaatan kayu S.belangeran. Pemanfaatan
S.belangeran sebagai bahan pengobatan dapat dilakukan tetapi sifatnya masih
subsisten atau untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Pemanfaatan untuk income
24
masyarakat secara langsung dari hasil penjualan bahan obat belum dapat
dianjurkan karena relatif rendahnya biomassa tegakan dan semakin berkurangnya
kualitas dan kuantitas hutan kerangas yang ada.
Permasalahan semakin langkanya S.belangeran akibat penebangan dan
pemanfaatan kayu secara prinsip disebabkan oleh perilaku ketidakperdulian yang
didorong oleh motif ekonomi dari para pelaku. Perlu upaya pengurangan
ketergantungan terhadap sumberdaya dalam rangka peningkatan perekonomian
masyarakat. Diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan
perekonomian melalui pengembangan keahlian dan keterampilan masyarakat yang
tidak atau sedikit bergantung dengan sumber daya hutan. Selama ini kebijakan di
bidang kehutanan diselesaikan dengan perspektif kehutanan dan tidak mengarah
pada akar permasalahan yang terjadi. Perlu rekayasa struktural maupun rekayasa
sosioekonomikultural untuk memecahkan permasalahan kerusakan dan langkanya
sumberdaya hutan.
Pilihan pengelolaan hutan seperti tumbuhan obat dan hasil hutan non kayu
lainnya yang relatif aman terhadap sumberdaya selama ini bukan menjadi utama
dalam rencana pembangunan kehutanan. Dampaknya adalah aspek kelembagaan
dan kebijakan tentang pengelolaan dan pemasarannya menjadi lemah.
Berdasarkan hasil analisis sikap masyarakat tentang S.belangeran dari Tabel
4 mengindikasikan bahwa tidak terbentuknya pemahaman yang lengkap tentang
manfaat S.belangeran dari hutan kerangas. Ketidaklengkapan pemahaman baik
nilai alamiah maupun nilai manfaat dari hutan kerangas menuntut skema tertentu
agar nilai-nilai potensial yang belum terbangun tersebut dapat dipahami dan
diterima oleh individu-individu dari penduduk lokal maupun pengelola.
Ketidaklengkapan pengetahuan diperburuk oleh interest lain yang menekan
keberadaan S.belangeran dari hutan kerangas dan berdampak pada belum
terbentuknya sikap konservasi dan ketidakperdulian terhadap konservasi
S.belangeran.
Pendekatan terhadap pemecahan masalah dalam rangka konservasi
S.belangeran sebagai bahan obat alami dapat dilakukan dengan tiga pendekatan,
yaitu pendekatan dengan (1) membangun sikap individu masyarakat pro-
konservasi untuk pemanfaatan lestari S.belangeran (2) pemenuhan prasyarat
25
implementasi bioprospeksi lestari (3) katalisasi aksi kolektif bagi implementasi
bioprospeksi lestari.
Konservasi S.belangeran sebagai bahan obat alami harus memenuhi
prasyarat bagi implementasi pemanfaatan lestari biodiversitas. Pemenuhan
prasyarat implementasi bioprospeksi lestari yang mencakup prasyarat adanya (1)
kerelaan berkorban (2) property right yang jelas (3) dukungan peraturan
perundangan (4) dukungan multipihak (5) penerapan dan penegakan hokum.
Aksi kolektif suatu aksi yang dilakukan sekelompok individu baik secara
langsung maupun melalui suatu organisasi, untuk mencapai kepentingan bersama
(Marshall 1998). Kelompok dapat terbentuk sendiri secara sukarela maupun
dibangun oleh institusi-institusi eksternal baik fomal maupun nonformal.
Katalisasi aksi kolektif mengandung pengertian: mendorong munculnya kembali
aksi kolektif. Katalisasi aksi kolektif bagi implementasi bioprospeksi lestari dapat
menjadi kunci keberhasilan penerapan konservasi jenis S.belangeran dan kawasan
hutan kerangas. Katalisasi aksi kolektif untuk penerapan pemanfaatan
berkelanjutan biodiversitas) relatif efektif apabila memberdayakan kelompok atau
institusi lokal yang sudah terdapat dalam masyarakat. Kelompok atau institusi
yang terdapat di dalam masyarakat telah memiliki modal sosial yang sudah
terbangun. Rasa saling percaya, pola komunikasi, bahasa, hubungan kerjasama
telah terbentuk dalam kelompok lokal baik formal maupun informal.
Pemberdayaan kelompok atau institusi lokal juga suatu bentuk pengakuan
terhadap nilai-nilai dari sebagian cara hidup mereka yg telah berjalan selama ini.
Pengakuan seperti ini sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri
mereka dan juga penting untuk menghasilkan aksi kolektif yang efektif.
BAB 5. KESIMPULAN
Hasil pengujian bioaktivitas bagian tumbuhan S.belangeran yang
teridentifikasikan melalui kandungan antioksidan dan kapasitas antidiabetes.
Bioaktivitas antioksidan terbaik berasal ekstrak methanol dari bagian kulit
S.belangeran. Nilai IC 50 ekstrak methanol kulit S.belangeran (IC 50=2,88 ppm)
melebihi dari kontrol positif vitamin C dan BHT. Sedangkan IC 50 dari ekstrak
26
methanol bagian daun S.belangeran adalah 18,94 ppm. Ekstrak methanol kulit
S.belangeran (nilai IC 50, konsentrasi < 1 ppm) dalam menghambat aktivitas
enzim α glukosidase (IC 50= 0,816 ppm). Ekstrak methanol kulit Irat (nilai IC 50 ,
konsntrasi > 1 ppm dan Rambuhatap (B.frutescens) memiliki (nilai IC 50 , >20
ppm). Nilai IC 50 akarbose (glucobay) yang lebih besar dari sampel ekstrak
methanol tumbuhan dimungkinkan karena konsentrasi senyawa aktif pada ekstrak
kasar belum terfraksinasi. Ekstrak methanol kulit S.belangeran cukup potensial
dikembangkan sebagai antioksidan dan antidiabetes.Kapasitas antioksidan dan
antidiabetes dari ekstrak methanol bagian tanaman dari S.belangeran diduga
merupakan efek sinergis dari kandungan senyawa fitokimia dari bagian tumbuhan.
Pernyataan sikap masyarakat terhadap konservasi S.belangeran tergolong
lemah dan belum cukup kuat untuk ikut aktif melakukan aksi konservasi.
Berdasarkan hasil analisis hierarkhi proses pilihan pengelolaan terbaik terhadap
S.belangeraan saat ini adalah moratorium pemanfaatan kayau untuk tetap
menjaga fungsi jasa lingkungan dan nilai keberadaan biodiversitas.
Berdasar temuan ini penerapan konservasi terhadap S.belangeran sebagai
bahan obat alami, paling tidak sifatnya untuk pemenuhan sendiri (subsisten) dan
moratorium pemanfaatan kayu harus tetap dilakukan. Pendekatan terhadap
pemecahan masalah dalam rangka konservasi S.belangeran sebagai bahan obat
alami dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan dengan (1)
membangun sikap individu masyarakat pro-konservasi untuk pemanfaatan lestari
S.belangeran (2) pemenuhan prasyarat implementasi bioprospeksi lestari (3)
katalisasi aksi kolektif bagi implementasi bioprospeksi lestari.
DAFTAR PUSTAKA
Amzu E. 2007. Sikap masyarakat dan konservasi:suatu analisis kedawung (Parkia
timoriana (DC) Merr.) sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat,
Kasus di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Media Konservasi. XII:
22-32.
Bruenig EF. 1995. Conservation and management of tropical rain forest: an
integrated approached to sustainability. CAB International.Bruenig 1995
Claros MP, Poorter L, Alarcon A. 2012. Soil effects on forest structure and
diversity in a moist tropical forest. BIOTROPICA. The Journal of Tropical
27
Biology an Conservation 44 (3): 276-283. doi: 10.111/j.1744-
7429.2011.00813.x
Elya B, Basah K, Mun’im A, Yuliastuti W, Bangun A and Septiana EK. 2012.
Screening of α-Glucosidase I nhibitory Activity fromSome Plants of
Apocynaceae, Clusiaceae, Euphorbiaceae, and Rubiaceae. Journal of
Biomedicine and Biotechnology Volume 2012, doi:10.1155/2012/281078
Hartini S. 2007. Keragaman flora dari Monumen Alam Kersik Luway,Kalimantan
Timur. BIODIVERSITAS. 8(1):67-72.
Kelana T.B. 2007.Uji sitotoksik ekstrak metanol kulit kayu tumbuhan cep-cepen
(Castanopsis costata Bl) dengan metode Brine Shrimp Lethality Assays.
Jurnal Sains Kimia Vol. 11, No.1: 25-30
Kissinger, Thamrin dan Pitri RMN. 2012. Konservasi Keanekaragaman Hayati
Hutan Kerangas Berbasis Penemuan Tumbuhan dengan Kapasitas
Antidiabetes. Prosiding Seminar InSINas. Kementerian Riset dan Teknologi
Republik Indonesia.
Kissinger 2013. Bioprospeksi Hutan Kerangas: Analisis Nepenthes gracilis Korth.
Sebagai Stimulus Konservasi. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor
Kissinger, Zuhud EAM, Darusman LK, Siregar IZ. 2013. Keanekaragaman Jenis
Tumbuhan Obat dari Hutan Kerangas. Jurnal Hutan Tropis. Vol.1 No.1.
Edisi Maret 2013
Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia. 2008. Panduan Identifikasi Kawasan
Benilai Konservasi di Indonesia. Jakarta:Konsorsium Revisi HCV Toolkit
Indonesia.
Ludwig JA and Reynold JF. 1989. Statistical ecology: A primer on methods on
computing. John Willey and Son.
Masih M, Banerjee T, Banerjee B and Pal A. Antidiabetic Activity of Acalypha
Indica Linn. on Normal and Alloxan Induced Diabetic Rats. Int J Pharm
Pharm Sci, Vol 3, Suppl 3
Marshall G. 1998. A dictionary of sociology. Oxpford University Press, New
York.
Ndraha, T. 2005. Teori Budaya Organisasi. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Onrizal. 2004. Model Penduga Biomassa dan Karbon tegakan Hutan Kerangas di
Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat [tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Onrizal, Kusmana C, Saharjo BH, Handayani IP, Kato T. 2005. Komposisi jenis
dan struktur hutan kerangas bekas kebakaran di Taman Nasional Danau
Sentarum, Kalimantan Barat. BIODIVERSITAS. 6 (4): 263-265.
Proctor, J. 2001. Heath forest and acid soils. Bot.J.Scotl. 51(1), 1-14.
Pujiyanto S dan Ferniah RS. 2009. Aktifitas Inhibitor Alpha-Glukosidase Bakteri
Endofit PR-3 yang Diisolasi dari Tanaman Pare (momordica charantia).
BIOMA Vol. 12, No. 1, Hal. 1-5
28
Ramesh PR, Parasuraman S, Vijaya C, Girish, Darwhekar and Devika GS. 2011.
Antidiabetic Effect of Kernel Seeds Extract of Mangifera indica.
International Journal of Pharma and Bio Sciences. Vol.12 Issue 1
Siagian SP. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Sirkawar MS. and Pati MB. 2010. Antidiabetic activity of Pongamia pinnata leaf
extracts in alloxan-induced diabetic rats International Journal of Ayurveda
Research. Vol 1 Issue 4. DOI: 10.4103/0974-7788.76780
Soerianegara I dan Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium
Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Sunarni,T., (2005). Aktivitas Antioksidan Penangkap Radikal Bebas Beberapa
kecambah Dari Biji Tanaman Familia Papilionaceae, Jurnal Farmasi
Indonesia 2 (2), 2001, 53-61
Tukiran, Achmad SA, Hakim EH, Makmur L, Sakai K, Shimizu K, Syah YM.
2005. Oligostilbenoids from Shorea balangeran. Biochemical Systematics
and Ecology 33 (2005) 631–634. doi:10.1016/j.bse.2004.10.016
Walgito B. 2003. Psikologi sosial (Suatu Pengantar), Edisi Revisi. Penerbit Andi.
Yogyakarta.