Download - laporan kejang demam
BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. L
Usia : 6 Bulan
Jenis Kelamin : Laki - laki
Nama Orangtua : Tn. F
Alamat : Nagrak
MRS : 08 November 2013
No. RM : 718678
ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS)
Keluhan Utama : kejang ±12 jam SMRS
Keluhan Tambahan : demam, batuk, pilek, sesek
Riw. Peny. Sekarang : Os datang ke RSUD Cianjur diantar oleh orangtuanya dengan keluhan kejang sejak ±12 jam SMRS (tanggal 7 november 2015), kejang dirasakan sebanyak 11 kali dengan durasi ±2-5 menit setiap kejang. Kejang dirasakan pada seluruh tubuh, mula-mula kaki dan tangan kaku kemudian klojotan disertai bibir pucat dan mata mendelik ke atas. Setelah kejang pasien langsung sadar dan menangis. Keluhan kejang ini di dahului oleh demam, demam dirasakan sejak 1 minggu SMRS dan disertai batuk pilek. Demam dirasakan sepanjang hari, dan mereda saat diberikan obat penurun panas. Batuk dan pilek juga dirasakan sejak 1 minggu SMRS, menurut ibu batuk yang pasien rasakan adalah batuk berdahak namun tidak dapat dikelurkan dan nafas menjadi lebih cepat sejak ±1 hari SMRS. BAB dan BAK lancar, BAK berwarna jernih adanya kemerahan disangkal.
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 1
Riwayat Pengobatan : Pasien sudah berobat untuk mengatasi keluhan batuk pilek dan demamnya ke bidan, keluhan batuk pilek dirasakan sedikit lebih baik. Sedangkan untuk keluhan kejangnya pasien belum dibawa berobat sebelumnya.
Riw. Peny. Dahulu : Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama seperti ini, riwayat kejang demam (-), campak(-), TB paru (-).
Riw. Peny. Keluarga : Ayah dan Ibu pasien tidak mempunyai riwayat kejang demam. Asma (-) namun kaka pasien pernah mengalami kejang demam pada usia 6 bulan.
Riw. Kelahiran : Pasien lahir secara spontan di tolong bidan, lahir cukup bulan, tidak ada cacat kongenital, dan langsung menangis. BBL = 3100 gr, PB = 49 cm
Riw. Kehamilan : Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya di bidan dan mengaku tidak pernah sakit. Ibu tidak mengkonsumsi obat-obatan selama masa kehamilan, dan tidak ada penyulit selama kehamilan.
Riw. Imunisasi : BCG 1x, Hepatitis B 3x, Polio 3x, DPT 3x, Campak belum diberikan
Kesan : imunisasi dasar belum lengkap sesuai usia.
Riw. Pekembangan : Riwayat tumbuh kembang baik. Pada Saat usianya
di 6 bulan pasien bisa belajar berdiri dengan bantuan
dan kedua kaki menyangga sebagian berat badannya
sebagai motoric kasar. Memungut benda sebesar
kacang, memasukkan bisuit kemulut sebagai
motorik halus dan kemandirian. Untuk personal
social/komunikasi pada paien ini adalah pasien
menoleh kearah datangnya suara, dan tertawa riang.
Riw. Alergi : Tidak ada alergi obat; tidak ada alergi cuaca, debu; tidak ada alergi makanan (telur, susu, udang)
Riw. Makanan : ASI sejak usia 0 – 6 bulan
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 2
Susu formula mulai diberikan pada usia 2 bulan sampai sekarang
MP-ASI mulai diberikan pada usia 6 bulan awal berupa bubur bayi
Kesan: Makanan tidak sesuai usia
Riwayat Psikososial : Pasien Tinggal bersama kedua orangtua dan 1orang kaka. Pasien tidur bersama dengan ibu dan ayahnya. Ayah pasien tidak merokok, namun disekitar rumahnya banyak yang mmerokok karna ibu pasien mempunyai warung dan seringkali dijadikan termpat berkumpul dan merokok. Rumah ber alaskan lantai dan berdinding tembok semen dilapisi cat. Menurut ibu pencahayaan rumah cukup baik.
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran Umum : Tampak sakit sedang
Keadaan Umum : Compos mentis
Tanda- tanda Vital : N : 132 x/menit, irama nadi
teratur,regular, kualitas cukup
RR : 64 x/menit
S : 37,7 oC (UGD 38 oC)
Antopometri :
BB : 7,5 kg
TB : 65 cm
BB/U = 7,5/8x 100% = 93,75
TB/U = 65/67 x 100% = 97% (normal)
BB/TB = 7,5/7,4 x 100% = 101% (gizi baik)
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 3
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal
Mata : Konjuctiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-)
Deviasi septum (-/-)
Perdarahan (-/-)
Sekret (-/-)
Mulut : Bibir lembab(-)
Perdarahan gusi (-) sianosis (-)
Telinga : Normotia
Sekret -/-, pendengaran baik .
Leher : pembesaran KGB (-), retraksi supra sternal (+)
Thorak :
Paru : I : simetris, pergerakan dada simetris P: bagian dada yang tertinggal (-)
P : sonor +/+
A : vesikular (-/-), ronkhi( +/+), wheezing( -/-)
Jantung : I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis teraba
P : Jantung dalam batas normal
A : BJ 1 & 2 tunggal, murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : I : datar, retraksi epigastrium (+)
P : supel, lembut, hepatomegali (-), splenomegali (-), turgor
kulit baik
P : timpani
A : bising usus (+) normal.
Ekstremitas : atas bawah
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 4
Sianosis : ( -/-) (-/-)
Akral : hangat hangat
Udem : (-/-) (-/- )
Petekie : (-/-) (-/-)
RCT : < 2” < 2”
Anus : dalam batas normal
Genitalia : phimosis (-).
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS (RANGSANG MENINGENS)
Kaku Kuduk : (-)
Kernig Sign : (-)
Brudzinski 1 : (-)
Brudzinski 2 : (-)
Hasil Lab tanggal 08- November-2015
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,7 g/dL 11.5 – 13.5
Leukosit 4,9 103/uL 6 – 15
Hematokrit 39,3 % 30 – 40
Trombosit 375 103/uL 150 – 450
GDS 112 mg/dl <180
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 5
Hasil Lab tanggal 10-November 2015
Pemeriksaan
Kimia Urin
Hasil Satuan Nilai Rujukan
leukosit 25/1+ /µL Negative
Leukosit 10/+1 /µL Negative
pH 5,0 4.6 – 8.0
Nitrit Negative Negative
Pemeriksaan
Makroskopis
Hasil Satuan Nilai Rujukan
Leukosit 1-2 /LPB 1-4
Leukosit 10/+1 /LPB 0-1
Epitel 1-2
Kristal
Silinder
Negative
Negative /LPK
Negative
Negative
RESUME : Anak laki laki usia 6 bulan datang ke RSUD Cianjur diantar oleh orangtuanya dengan keluhan kejang sejak ±12 jam SMRS (tanggal 7 november 2015), kejang dirasakan sebanyak 11 kali dengan durasi ±2-5 menit setiap kejang. Kejang dirasakan pada seluruh tubuh, mula-mula kaki dan tangan kaku kemudian klojotan disertai bibir pucat dan mata mendelik ke atas. Setelah kejang pasien langsung sadar dan menangis. Keluhan kejang ini di dahului oleh demam, demam dirasakan sejak 1 minggu SMRS dan disertai batuk pilek. Demam dirasakan sepanjang hari, dan mereda saat diberikan obat penurun panas. Batuk dan pilek juga dirasakan sejak 1 minggu SMRS, menurut ibu batuk yang pasien rasakan adalah batuk berdahak namun tidak
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 6
dapat dikelurkan dan nafas menjadi lebih cepat sejak ±1 hari SMRS. BAB dan BAK lancar, BAK berwarna jernih adanya kemerahan disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Tanda- tanda vital
Nadi : 132 x/menit
Pernapasan : 64 x/menit
Suhu : 37,7 C
Retraksi supra sternal (+)
Retraksi epigastrium (+)
Pemeriksaan Lab
Leukosit : 4900
Assesment :
Kejang demam Komplek
Bronkopneumonia
Diagnosis :
Kejang Demam kompleks
Status Imunisasi Imunisasi dasar lengkap tidak sesuai usia
Status Tumbuh Kembang Tumbuh kembang sesuai usia
Status Gizi Gizi baik
Rencana Terapi :
Th/ :
Diazepam rectal 5mg
O2 nasal 1-2 Litr/menit
Nebulizer Combivent ½ ampul 2x/hari (Pagi-Sore)
Perhitungan cairan BB 7,5 Kg
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 7
Pemberian cairan D1-4 = 100cc x 7,5 = 750 cc
Tetesan infus = 750 cc x 15 tts = 9 tpm
24 x 60
Injeksi :
Cefotaksim 50mg/KgBB/kali
=2 x 400 mg
Gentamicin 5mg/KgBB/kali
= 1x 40mg
Dexametasone 0,1-1mg/KgBB
= 0,8 mg - 8 mg / hari
= 3 x 1,5 mg = 3x 1/3 ampul
Rencana pemeriksaan penunjang tambahan :
Elektrolit, gula darah, cek widal
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 8
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal > 38°C), biasanya terjadi pada bayi
dan anak dengan usia antara 6 bulan - 5 tahun, yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranium.1
Anak usia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun yang
mengalami kejang dengan demam, dapat dipikirkan kemungkinan infeksi
sistim saraf pusat (SSP) atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan
dengan demam.
Definisi ini menyingkirkan diagnosa kejang pada penyakit saraf
lainnya seperti meningitis, ensefalitis, atau ensefalopati. Kejang pada
keadaan ini mempunyai prognosis yang berbeda dengan kejang demam
karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistim susunan saraf pusat.
Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai
dengan kejang yang berulang tanpa disertai demam.
2.2 Etiologi
Penyebab demam
Tonsilitis dan/atau faringitis
Otitis media akut (radang liang telinga tengah)
Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna)
Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi
Bronkitis (radang saiuran nafas)
Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran nafas)
Morbili (campak)
Varisela (cacar air)
Dengue (demam berdarah)
Tidak diketahui
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 9
2.3 Klasifikasi
Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan
yaitu kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi
yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever). Namun
definisi ini tidak lagi digunakan karena suatu studi prospektif epidemiologi
membuktikan bahwa risiko berkembangnya epilepsi atau berulangnya
kejang tanpa demam tidak sebanyak yang diperkirakan. 2,3
Sekarang ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan
yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang
demam sederhana (simple febrile convulsion) adalah kejang yang
berlangsung kurang dari 15 menit, gerakan umum (tonik, klonik, tonik-
klonik, atau tanpa gerakan fokal), serta bersifat tunggal (tidak berulang
dalam waktu 24 jam). Sedangkan kejang demam kompleks (complex
febrile convulsion) adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit,
gerakan fokal, dan bersifat berulang (dapat lebih dari 2 kali dalam waktu
24 jam).
2.4 Faktor risiko
2.4.1 Faktor risiko kejang demam pertama
Studi telah memperlihatkan bahwa tingginya temperature
merupakan faktor risiko untuk terjadiya kejang demam, seperti halnya
riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung.
Perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, dan anak yang
dalam perawatan khusus juga merupakan faktor risiko. Rendahnya kadar
natrium serum juga mempunyai korelasi dengan kejadian kejang demam.2,5
Bila seseorang anak mempunyai 2 atau lebih dari faktor diatas,
maka risiko untuk mendapatkan kejang demam kira-kira 30%.5
2.4.2 Faktor risiko kejang demam berulang
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan
mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak
mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Makin muda usia anak ketika
kejang demam pertama, makin besar kemungkinan rekurensinya. 50%
rekurensi terjadi dalam 6 bulan pertama, 75% berulang pada tahun
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 10
2
pertama, dan 90% rekurensi terjadi pada tahun kedua. 6,7 Risiko rekurensi
juga berhubungan dengan cepatnya anak mendapat kejang setelah demam
timbul, dan rendahnya temperatur. Riwayat keluarga dengan kejang
demam juga merupakan faktor risiko. Usia dini saat kejang demam dan
riwayat kejang dalam keluarga merupakan factor risiko yang kuat untuk
timbulnya rekurensi. Rekurensi lebih sering bila serangan pertama pada
bayi berumur kurang dari 1 tahun. 8
2.4.3 Faktor risiko menjadi epilepsi
Meskipun telah dilaporkan bahwa 15% kasus epilepsi didahului
kejang demam, kejadian kejang demam ternyata lebih sering dibandingkan
kejadian epilepsi. Kurang dari 5% anak kejang demam berkembang
menjadi epilepsi.
Seluruh jenis epilepsi, termasuk absens, tonik klonik umum, dan
parsial kompleks dapat terlihat pada pasien dengan riwayat kejang demam.
National Institute of Neurologic Disorder and Stroke (NINDS) Perinatal
Collaborative Projecy (NCPP) melaporkan tingginya risiko epilepsi adalah
diantara anak-anak dengan perkembangan abnormal sebelum kejang
demam pertama, adanya riwayat orangtua atau saudara kandung dengan
epilepsi, dan anak dengan kejang demam kompleks.5
2.4.4 Faktor genetik
Faktor genetic tampaknya sangat kuat, meskipun cara
diturunkannya belum jelas, tetapi diduga adalah dengan cara autosomal
dominan sederhana. Kejang demam cenderung terjadi dalam keluarga,
meskipun belum jelas diketahui cara menurunkannya. Pada anak dengan
kejang demam sering dijumpai keluarganya mempunyai riwayat kejang
demam.
2.5 Manifestasi Klinik dan Pemeriksaan Penunjang
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 11
Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Sering
diperkirakan bahwa cepatnya peningkatan temperatur merupakan pencetus
untuk terjadinya kejang, meskipun belum ada data yang menunjangnya.
Umumnya serangan kejang tonik klonik awalnya dapat berupa
menangis, kemudian tidak sadar dan timbul kekauan otot. Selama fase
tonik mungkin disertai henti nafas dan inkontinensia. Kemudian diikuti
fase klonik berulang, ritmik dan akhirnya setelah kejang letargi atau tidur.
Gejala klinis lain yang timbul adalah mata terbalik ke atas dengan
disertai kekauan atau kelemahan otot, gerakan sentakan berulang tanpa
didahului kekauan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Serangan
dalam bentuk absens atau mioklonik sangat jarang.
Sebagian kejang berlangsung kurang dari 5 menit, sebanyak 8%
kejang berlangsung lebih dari 15 menit, dan sebanyak 4% kejang
berlangsung lebih dari 30 menit. Bila anak kejang, perlu diidentifikasi
apakah ada penyakit lain yang memerlukan pengobatan tersendiri. Perlu
juga diketahui mengenai pengobatan sebelumnya, ada tidaknya trauma,
perkembangan psikomotor, dan riwayat keluarga dengan epilepsi atau
kejang demam.
Anamnesis
Kejang jenis kejang, kesadaran, lama kejang, frekuensi dalam 24
jam, interval, keadaan anak pasca kejang
Suhu sebelum dan saat kejang
penyebab demam di luar infeksi SSP
Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dalam keluarga
Singkirkan penyebab yang lain
Deskripsi lengkap mengenai kejang sebaiknya didapat dari orang
yang melihatnya. Dari pemeriksaan fisik tentukan derajat kesadaran,
adanya meningismus, fontanela anterior yang tegang atau membonjol,
Kernig atau Brudzinski sign, kekuatan dan tonus otot harus diperiksa
dengan teliti dan dievaluasi secara periodik.
Penyebab lain dari kejang yang disertai demam harus disingkirkan,
khususnya ensefalitis atau meningitis. Untuk menyingkirkan hal tersebut
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 12
maka diperlukan adanya pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan untuk kejang demam antara lain:
- Pemeriksaan laboratorium darah; pemeriksaan ini tidak rutin
dilakukan. Biasanya hanya untuk mengevaluasi sumber infeksi dari
demam seperti adanya gastroenteritis karena Shigella, obat-obatan
tertentu seperti difenhidramin, antidepressant trisiklik, amfetamin,
kokain, dan dehidrasi yang dapat mengakibatkan gangguan
keseimbangan air dan elektrolit.
- Pungsi lumbal; indikasi dilakukan apabila ada kecurigaan klinis
meningitis. Tanda klinis meningitis yang tipikal biasanya sulit
didapatkan pada bayi yang kurang dari 12 bulan, sehingga
pemeriksaan pungsi lumbal pada bayi usia kurang dari 12 bulan yang
dicurigai meningitis ini sangat dianjurkan. Pada bayi usia 12-18 bulan
dianjurkan, sedangkan untuk bayi usia lebih dari 18 bulan tidak rutin
dilakukan terlebih jika gejala klinis meningitis sudah sangat terlihat.
- Pencitraan (CT scan atau MRI); diindikasikan pada keadaan adanya
riwayat dan tanda klinis trauma kepala, kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, adanya tanda peningkatan TIK (kesadaran menurun,
muntah berulang, fontanela anterior menonjol, paresis N.VI,
papiledema).
- Elektroensefalografi (EEG); alat ini tidak memperlihatkan kegunaan
dalam mengevaluasi kejang demam. EEG yang dikerjakan 1 minggu
setelah kejang demam dapat abnormal, biasanya berupa perlambatan di
posterior. 95% kasus kejang demam menunjukkan gambaran EEG
abnormal bila dikerjakan segera setelah kejang demam. Kira-kira 30%
penderita akan memperlihatkan gambaran perlambatan di posterior dan
akan menghilang 7-10 hari kemudian.4 Walaupun ada abnormalitas
gambaran EEG yang tinggi pada pasien anak dengan kejang demam,
namun EEG tidak dapat memprediksi rekurensi terjadinya kejang
demam ataupun risiko untuk terjadinya epilepsi di kemudian hari. 2,5,6
2.6 Penatalaksanaan
2.4.1 Pengobatan fase akut
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 13
2.4.2 Pengobatan Profilaksis
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 14
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, karena serangan kejang
selalu merupakan peristiwa yang menakutkan dan mencemaskan bagi
orangtua. Ada 2 cara profilaksis, yaitu:
- Profilaksis intermiten
Obat antikonvulsan hanya diberikan pada waktu penderita demam
dengan ketentuan orangtua atau pengasuh mengetahui dengan cepat
adanya demam pada penderita. Obat yang diberikan harus cepat
diabsorbsi dan cepat masuk ke otak. Diazepam dapat diberikan secara
oral dengan dosis 0.3 mg/kgBB/kali setiap 8 jam atau intrarektal
sebanyak 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg atau sebanyak 10
mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Efek samping diazepam adalah
ataksia, mengantuk, iritabel, dan hipotonia.
Obat antipiretik sering dianjurkan meskipun tidak terbukti dapat
mengurangi risiko rekurensi, tetapi efektif menurunkan suhu sehingga
dapat membuat anak menjadi tenang. 7
- Profilaksis terus menerus
Kontroversi masih terus berlanjut mengenai pemberian profilaksis
terus menerus pada anak dengan kejang demam. Mengingat sebagian
besar penderita kejang demam mempunyai prognosis baik dan sangat
rendahnya komplikasi yang diakibatkan oleh kejang demam serta
pertimbangan akan efektifitas dan efek samping obat antikonvulsan,
maka pemberian profilaksis terus menerus hanya diberikan secara
individual atau pada kasus tertentu saja. 1,2 American Academy of
Pediatrics (AAP) merekomendasikan untuk tidak memberikan
profilaksis terus menerus pada kejang demam sederhana atau yang
berulang tanpa faktor risiko. 8
Obat profilaksis terus menerus yang biasa diberikan adalah
fenobarbital 3-5 mg/kgBB.hari, tetapi obat ini tidak efektif untuk
profilaksis intermiten. Obat lain yang digunakan untuk profilaksis
kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik
dibandingkan fenobarbital. Dosis asam valproat yang diberikan adalah
15-40 mg/kgBB/hari. Fenitoin dan karbamazepin tidak efektif untuk
pencegahan kejang demam. 9
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 15
Unit Kerja Koordinasi Neurologi Anak IDAI 2005
merekomendasikan pemberian profilaksis terus menerus bila ada salah
satu dari kriteria dibawah ini:
Sebelum kejang demam pertama sudah ada kelainan neurologis
atau kelainan perkembangan yang nyata
Kejang demam kompleks
Kejang demam yang terjadi pada usia kurang dari 12 bulan
Lama pemberian profilaksis terus menerus yang dianjurkan adalah
1 tahun setelah kejang terakhir, kemudian diturunkan secara bertahap
selam 1-2 bulan.
2.8 Diagmosa banding
Ensefalitis Meningitis Abses Otak
Kejang Umum, fokal, twitching, bisa berjam-jam
EHSKejang fokal
+ fokal
Demam ↑ mndadak, >>> hiperpireksia
+ Tdk terlalu tinggi
gg. Kesadaran Cepat ↓ +/- +
Sakit kepala + sblm penurunan kesadaran
+ + (90% kasus)
Tanda rangsang meningeal
- Kaku kuduk, brudzinski, kernig
Kaku kuduk (25%)
Paresis, paralisis, afasia
M. Bakterialis sering didahului ISPAtas atausal.cerna
Hemiparese, disfagia
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 16
2.9 Prognosis
Baik jika ditangani dengan cepat dan tepat. Jika tidak, KD dapat berkembang menjadi:
- KD berulang
- Epilepsi
- Kelainan motorik
- Gangguan mental dan belajar
DAFTAR PUSTAKA
1. Widodo, Dwi Putro. Kejang Demam: Apa yang Perlu Diwaspadai?.
Penanganan Demam pada Anak Secara Profesional. Departemen Ilmu
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 17
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universita Indonesia RS. DR. Cipto
Mangunkusumo. Jakarta. 2005. Hal: 58-66.
2. Hirtz GH. Febrile Seizure. Pediatric Rev 1997; 1 (180): 5-8.
3. Holmes GL. Epilepsy and Other Seizure Disorders. In: Bruce O. Berg,
penyunting Principles of Child Neurology; edisi ke-1. New York:
McGraw-Hill, 1996. Hal: 221-33.
4. Gonzales Del Rey JA. Febrile Seizure. In: Barkin RM, penyunting
Pediatric Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice; edisi ke-2
St Louis: Mosby, 1997. Hal: 1017-19.
5. Camfield RP and Camfield SC. Management and Treatment of Febrile
Seizure. Curr Prob Pediatri 1997; 27:6-13.
6. Hara M, Seki T. Clinical Aspect of Febrile Convulsion. Asian Med. J
1995; 36 (10): 553-43.
7. Aicardi J. Febrile Convulsion. In: Aicardi J, penyunting Epilepsy in
Children; edisi ke-2 New York: Raven Press 1994. Hal: 253-75.
8. Nelson. K, Ellenberg JH. Predictors of Epilepsy in Children Who Have
Experience Febrile Seizure. N Eng J. Med 1976; 259: 1029-33.
9. Kuteree M, Emoto SE, Sofijanov N, dkk. Febrile Seizure, is the EEG a
useful predictor of recurrences? Clin Pediatric 1997; 31-6.
Universitas Muhammadiyah Jakarta | 18