Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2008
CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN
A. PENJELASAN UMUM
A.1. DASAR HUKUM
1. UUD 1945 Pasal 23 ayat (1) menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
5. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2008, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah.
8. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 91/PMK.05/2007 tentang Bagan Akun
Standar.
9. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
A.2. KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO
Walaupun diwarnai dengan extraordinary circumstances yakni krisis ekonomi global sebagai imbas dari
krisis pasar keuangan dunia di penghujung tahun, kondisi makroekonomi secara umum selama tahun
2008 masih relatif stabil. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kondisi perekonomian dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang berasal dari dalam negeri (internal factors) maupun yang berasal dari luar negeri
(external factors). Faktor eksternal khususnya, yang masih terus diwarnai dengan ketidakpastian
(uncertainty) dan tidak dapat diprediksi (unpredictable) telah memberikan pengaruh tersendiri
terhadap kinerja perekonomian domestik tahun 2008. Sorotan sepanjang tahun 2008 terletak pada
fluktuasi harga-harga komoditi dunia seperti minyak bumi, minyak sawit, gandum dan kedelai.
Menghadapi perlambatan ekonomi global yang merupakan rambatan krisis subprime mortgage yang
belum usai, di samping meneruskan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan, pemerintah juga
berupaya mengambil langkah-langkah antisipatif dan kuratif. Walaupun tidak berdampak secara
langsung, krisis ekonomi global mensyaratkan pemerintah untuk berjaga-jaga dikarenakan implikasinya
terhadap kinerja ekspor nasional, refinancing pemerintah maupun swasta serta meningkatnya iklim
kompetisi untuk memperoleh capital di pasar modal akibat suku bunga yang terus naik, yang secara
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2008
menyeluruh akan berdampak pada kinerja perekonomian Indonesia. Isu krusial yang menjadi perhatian
pemerintah adalah persiapan menghadapi krisis secara lebih baik, pembuatan kebijakan yang
komprehensif dengan berbagai skenario dampak krisis global yang transparan, peningkatan
pemahaman bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk peningkatan komunikasi yang
intensif dengan para pelaku dan pengamat ekonomi serta pemberian respon kebijakan yang tepat
terutama untuk melindungi rakyat miskin. Rambatan krisis Subprime mortgage yang berpotensi
mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia antara lain terdapat pada pasar valas yang cenderung
menimbulkan gejolak volatilitas yang dapat menekan eskpor, pada bidang perbankan dimana risiko
Non Performing Loan (NPL) meningkat. Selain itu dampak krisis tersebut berpotensi terjadi pada sektor
riil yang dapat memicu kenaikan harga komoditi internasional dan berpotensi menambah defisit APBN.
Di sisi lain kemampuan pemerintah untuk meminjam dana dari masyarakat dalam bentuk obligasi juga
dapat menurun akibat turunnya aktivitas pasar perdana dan sekunder. Terkait dengan hal tersebut
pemerintah secara konsisten melakukan pemantauan dini (surveillance) dan juga berkoordinasi
dengan negara-negara lain dalam bidang keuangan. Berbagai maneuver yang dilakukan pemerintah
melalui intervensi dalam kebijakan fiskal nasional telah menghasilkan kinerja perekonomian dalam
negeri yang menggembirakan sepanjang tahun 2008. Langkah-langkah kebijakan yang diambil
pemerintah memiliki sasaran untuk memulihkan kepercayaan ekonomi terhadap kesinambungan APBN,
memperbaiki struktur APBN dalam rangka melindungi masyarakat terutama yang berpendapatan
rendah dari tekanan harga komoditas pangan dan energi serta tetap menjaga laju pertumbuhan
ekonomi. Dalam rangka menghadapi krisis ekonomi global, pemerintah juga telah mengambil langkah-
langkah yang baru-baru ini diambil pemerintah sebagai respon bagi tekanan perekonomian domestik
adalah dengan mengeluarkan 2 (dua) Peraturan Perundang- Undangan (Perpu) yang bertujuan untuk
mengantisipasi meluasnya dampak krisis keuangan global yang terjadi saat ini yakni untuk melakukan
pencegahan dan penanganan krisis. Perpu itu adalah Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan dan Perpu No. 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Pada
intinya Perpu No. 3 tahun 2008 mengatur tentang nilai simpanan yang dijamin Pemerintah; sedangkan
Perpu No. 4 tahun 2008 mengatur tentang mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang
mencakup pencegahan dan penanganan krisis. Walaupun hasil dari kebijakan tersebut belum dapat
terukur, kebijakan tersebut telah menimbulkan reaksi positif dari para pelaku ekonomi serta
meningkatkan kredibilitas Pemerintah yang mempengaruhi kinerja perekonomian secara agregat.
Realisasi besaran sensitivitas asumsi makro ekonomi yang digunakan sebagai acuan perhitungan APBN
tahun 2008 seperti pertumbuhan ekonomi nasional, inflasi, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
nilai tukar Rupiah, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) menunjukkan
perkembangan yang cukup menggembirakan. Sebagai konsekuensi dari realisasi sensitivitas asumsi
makro ekonomi adalah dampak positif bagi realisasi APBN tahun 2008 yang memiliki varian yang relatif
kecil antara realisasi dan target yang ditetapkan yang berisi prioritas dari pembangunan tahun 2008.
Secara umum, indikator makro ekonomi selama tahun 2008 mengindikasikan perekonomian nasional
yang cukup terkendali (manageable) dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil dengan
berbagai progress di bidang investasi yang mendorong jalannya roda perekonomian, kinerja ekspor
yang menggembirakan serta terkendalinya inflasi. Hal tersebut secara simultan didukung oleh fokus
kebijakan fiskal di tahun 2008 yang berorientasi pada stimulus fiskal yang lebih memberikan
kelonggaran pada defisit anggaran. Kebijakan yang telah dimulai tahun 2005, sebagai pengganti
konsolidasi fiskal di tahun-tahun sebelumnya memiliki sasaran untuk menggerakkan sektor-sektor
perekonomian yang lebih berorientasi pada ekspansi fiskal.
Fluktuasi harga minyak dan komoditi internasional serta ketidakstabilan pasar uang global di sepanjang
tahun 2008 tidak dapat dipungkiri telah mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan
berbagai gejolak perekonomian, pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang tahun 2008
menunjukkan perkembangan yang positif yakni mencapai 6.1 persen (lihat Grafik 1). Salah satu chief
factor penurunan angka pertumbuhan ekonomi ini dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2007
yang mencapai 6.3 persen adalah adanya kenaikan harga BBM yang mempengaruhi konsumsi rumah
tangga dan investasi. Dengan nilai pertumbuhan ekonomi yang sedikit menurun, kondisi perekonomian
secara menyeluruh tetap menunjukkan perkembangan yang positif. Pertumbuhan ekonomi yang masih
dalam tingkat toleransi ini telah menstimulasi sektor riil, menciptakan kesempatan kerja, dan
mengurangi kemiskinan.
Produk Domestik Bruto tahun 2008 mencapai Rp4.954,0 triliun, meningkat dibandingkan PDB tahun
2007 yang hanya mencapai Rp3.957,4 triliun dan tahun 2006 yang hanya berada di kisaran Rp3.338,2
triliun. Pertumbuhan yang cukup impressive ini antara lain didorong oleh adanya berbagai faktor
seperti peningkatan daya beli masyarakat yang antara lain diakibatkan oleh recent policy di bidang
perpajakan, stimulus peningkatan lapangan kerja, perbaikan kesejahteraan pelayan publik, termasuk
program yang berpihak pada rakyat miskin seperti pemberian bantuan sosial, dan penyediaan subsidi
beras kepada rakyat miskin. Tren pertumbuhan PDB dalam empat tahun terakhir disajikan
dalam Grafik 2.
Di tahun 2008, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi meliputi konsumsi rumah tangga sebesar 61,0
persen, konsumsi Pemerintah sebesar 8,4 persen, pembentukan modal tetap bruto sebesar 27,7
persen dan ekspor sebesar 1,2 persen. Adanya fluktuasi harga minyak dunia yang menyebabkan
meningkatnya tekanan inflasi di tahun 2008 dan adanya kenaikan harga BBM dan sentimen bisnis yang
melemah telah berdampak pada penurunan daya beli masyarakat. Pada akhir tahun harga minyak dunia
kembali menurun telah mengakibatkan tekanan inflasi dalam negeri yang mereda. Kondisi ini
mempengaruhi pertumbuhan konsumsi masyarakat. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya
perekonomian Indonesia masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga (consumption-driven
economy). Struktur PDB menurut komponen penggunaan tahun 2008 dan 2007 tergambar dalam
Grafik 3 dan Grafik 4.
Walaupun masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga, sisa struktur PDB lainnya menunjukkan
adanya kenaikan Pembentukan Modal Tetap Bruto, yakni dari 24,9 persen PDB di tahun 2007
meningkat menjadi 27,7 persen terhadap total PDB sebagai hasil perbaikan kebijakan di bidang
investasi yang dilakukan Pemerintah. Struktur PDB menurut komponen penggunaan dapat terlihat di
Grafik 5., dimana apabila dibandingkan dengan tahun 2007, maka konsumsi Pemerintah mengalami
kenaikan yakni dari kontribusinya 8,3 persen terhadap PDB di tahun 2007 menjadi 8,4 persen terhadap
PDB pada tahun 2008 yang antara lain membuktikan kebijakan fiskal ekspansif yang dilakukan
Pemerintah sepanjang tahun 2008. Yang mengalami penurunan signifikan adalah ekspor yang
sebelumnya berkontribusi 4,1 persen di tahun 2007, menjadi hanya sekitar 1,2 persen terhadap PDB
yang antara lain dipengaruhi secara signifikan oleh perlambatan ekonomi dunia.
Indikasi jenis aktivitas dalam perekonomian yang menjadi penggerak utama ataupun aktivitas ekonomi
yang bertumbuh jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya tergambar dalam struktur PDB menurut
lapangan usaha (lihat Grafik 6). Pada akhir triwulan tahun 2008, Industri Pengolahan menduduki
tempat pertama dengan besaran representasi 27,9 persen, diikuti dengan Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan sebesar 14,4 persen dan Perdagangan, Hotel dan Restoran
merepresentasikan 14,0 persen. representasi 27,9 persen, diikuti dengan Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan sebesar 14,4 persen dan Perdagangan, Hotel dan Restoran
merepresentasikan 14,0 persen.
Membaiknya perekonomian nasional juga tercermin dari nilai PDB per kapita yang semakin meningkat.
Pada tahun 2008, PDB per kapita sebesar Rp21,7 juta dengan indeks peningkatan dibanding tahun
sebelumnya senilai 23,6 persen. Nilai ini terus meningkat dari tahun 2007 sebesar Rp17,6 juta, tahun
2006 senilai Rp15,0 juta dan tahun 2005 sebesar Rp12,7 juta. Sebagai salah satu indikator kesejahteraan
masyarakat (people welfare), PDB per kapita menggambarkan jumlah produk dan jasa yang dihasilkan
dalam perekonomian dibagi dengan jumlah penduduk. Perbandingan PDB per kapita selama empat
tahun terakhir disajikan dalam Grafik 7.
Optimalisasi pemanfaatan piranti fiskal dalam mendukung pertumbuhan investasi yang telah dilakukan
Pemerintah, dibuktikan dengan terjadinya penguatan sumber-sumber investasi. Di tahun 2008,
investasi tumbuh di angka 27,7 persen. Angka ini meningkat 2,8 persen dibandingkan dengan
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tahun 2007 yang berada di level 24,9 persen. Tidak dapat
dipungkiri bahwa penguatan sumber-sumber investasi tahun 2008 tersebut adalah dampak dari dari
dikeluarkannya serangkai kebijakan di bidang investasi seperti Inpres No. 6 Tahun 2007 tentang
Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah. Dampak utama dari serangkaian kebijakan tersebut tercermin dari kemajuan iklim investasi
nasional berupa pengurangan hambatan perizinan, perbaikan adminsitrasi perpajakan dan kepabeanan,
perbaikan kepastian hukum, implementasi proyek infrastruktur (antara lain seperti proyek jalan tol,
telekomunikasi, listrik, air minum dan bandara), adanya peningkatan produktivitas dan akses Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), adanya penurunan suku bunga dan stabilitas nilai tukar serta
optimisme perbaikan ekonomi di tahun 2008. Sumber investasi lain yang cukup materiil nilainya dalam
mendongkrak perekonomian tahun 2008 adalah pencairan belanja modal Pemerintah melalui APBN.
Pencairan belanja modal terlihat dari realisasinya dari tahun ke tahun dimana persentase realisasi
belanja modal terhadap pagu juga terus meningkat. Tidak dipungkiri bahwa walaupun relatif kecil,
belanja modal Pemerintah memiliki significant role dalam menghasilkan sumber investasi dan
mendorong pertumbuhan. Meningkatnya jumlah proyek infrastruktur yang menjadi prioritas
Pemerintah secara tidak langsung telah mendorong peningkatan realisasi belanja modal APBN. Realisasi
belanja modal dalam APBN meningkat pesat dimana pencairan mencapai Rp72,77 triliun atau sekitar
85,5 persen dari nilai pagu tahun 2008; meningkat dibandingkan tahun 2007 senilai Rp64,29 triliun atau
terealisasi hanya sekitar 85,7 persen dari nilai pagu; dan tahun 2006 sebesar Rp54,95 triliun atau 82,4
persen dari nilai pagu dan tahun 2006. Salah satu kebijakan meningkatkan nilai belanja modal yang
memiliki multiplier effect yang lebih besar dari belanja barang adalah dengan melakukan pergeseran
belanja barang tidak mengikat ke dalam belanja modal dan/atau bantuan sosial. Perbaikan mekanisme
penganggaran dan meningkatnya kualitas pelaporan dan penggunaan APBN yang dikarenakan oleh
reformasi di bidang keuangan negara secara masif telah berbuahkan peningkatan realisasi belanja
modal tersebut. Di tengah berbagai gejolak dalam perekonomian, kondisi perbankan secara
fundamental masih terjaga. Seiiring dengan perbaikan iklim investasi dan perbaikan lingkungan usaha,
peran intermediasi perbankan memberikan kontribusi yang positif terhadap perekonomian secara
nasional yang ditunjukkan dengan meningkatnya Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 80,4 persen pada
bulan September 2008; meningkat dibandingkan dengan LDR tahun 2007 yang hanya sekitar 56,0
persen dan LDR tahun 2006 yang hanya mencapai 53,3 persen. Dengan semakin meningkatnya risiko
perbankan juga memberikan perhatian terhadap aspek kehati-hatian (prudential) dalam menyalurkan
kredit. Peningkatan fungsi intermediasi tersebut juga terlihat dari rasio kredit bermasalah terhadap
total kredit yakni Non Performing Loan/NPL yang secara konsiten juga terus mengalami penurunan.
Dalam periode Januari sampai dengan September 2008 NPL berhasil ditekan dari 4,8 persen pada
bulan Januari 2008 menjadi 3,8 persen pada bulan Desember 2008.
Indikator lain yang menunjukkan pengaruh positif perbankan terhadap perekonomian sebagai institusi
intermediasi adalah Capital Adequacy Ratio (CAR) yang berada di angka 16,2 persen per Desember
2008. Stabilnya angka rasio kecukupan modal sepanjang tahun 2008 mengindikasikan bahwa kapasitas
perbankan cukup baik dalam rangka mengantisipasi berbagai risiko yang ada. Hal ini berkontribusi
secara langsung terhadap perekonomian melalui peran perbankan dalam memberdayakan
perekonomian. Indikasi membaiknya peran intermediasi perbankan secara khusus mendukung program
pengentasan kemiskinan yang dicanangkan pemerintah dan menjadi prioritas pembangunan tercermin
jelas melalui penyaluran kredit perbankan terhadap masyarakat golongan kecil dan sangat miskin
(extreme poor). Hal lain yang juga mencerminkan perbaikan fungsi intermediasi perbankan adalah
risiko kredit yang terkendali, kualitas kredit, dan profitabilitas yang cukup baik.