LAPORAN
KULIAH KERJA LAPANGAN
DI KELURAHAN MUKTISARI KECAMATAN LANGENSARI
KOTA BANJAR
APRIL 2010
Disusun untuk memnuhi tugas
Mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan
Pada program S1 Jurusan Sastra Indoensia
Oleh:
Kelompok Muktisari
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR
2010
KELOMPOK
MUKTISARI
Pembimbing : Eni Karlieni, M.Hum dan Yetti Setianingsih, Dra
Ketua : Barkah Hanafi 180210070036
Anggota:
1. Arief Maulana 180110070004
2. Hari Fauzi 180110070029
3. Ajeng Widuri 180110070031
4. Femmi Tri Widani 180110070005
5. Dwi Mira Mulyaningsih 180110070044
6. Fadilla Ramadhona 180110070040
7. Chemi J.H 180110070022
8. Ai Mibiawati 180110090054
9. Lutfi Murdiansyah 180110090007
10. Vicky Yuni Angraini 180110090016
11. Asep Muhammad Bintang 180110090036
12. Azie Wijaya 180110090020
13. Fadhil Maulana Karim 180110090027
14. Cita Belantara Putri 180110090039
15. R. Achmad Aria Agung W. 180110090043
16. Adul Pajar Cahya I. 180110090049
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL : LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN DI KELURAHAN
MUKTISARI KECAMATAN LANGENSARI KOTA BANJAR
APRIL 2010
PENYUSUN : KELOMPOK MUKTISARI
Jatinangor, Juni 2010
Mengesahkan :
Pembimbing 1
Eni Karlieni, M.Hum
NIP. 131656205
Pembimbing 2
Yetty Setianingsih, Dra
NIP. 131122439
Mengetahui,
Ketua Program Studi Sastra Indonesia
Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran
Tatang Suparman, M. Hum
NIP. 132206488
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim,
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas kehendak-
Nyalah laporan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini dapat terselesaikan. Tak lupa
shalawat serta salam tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhamad
SAW.
Laporan ini merupakan hasil kerja dan wujud dari penerapan pelaksanaan
disiplin ilmu yang kami dapatkan di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Unpad. Adapun fokus penelitian yang kami lakukan adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan masalah bahasa,sastra (foklor), dan budaya di Kelurahan Muktisari
Kecamatan Langensari Kota Banjar.
Dalam menyusun laporan ini kami membutuhkan waktu dan perhatian
khusus, berkali-kali kami termenung, bingung, tak tahu apa yang mesti kami perbuat
dengan data yang minim. Tetapi kami sungguh beruntung masih memiliki teman-
teman serta pihak-pihak yang selalu dengan sukarela membantu kami.
Pertama-tama kami persembahkan ucapan terima kasih kepada pembimbing
kami dalam menyusun laporan ini, yaitu Ibu Eni Karlieni, M.Hum dan Ibu Yetti
setianingsih, Dra yang selalu dengan ikhlas menuntun, membimbing dan mengawasi
kami dari mulai pencarian data hingga selesainya laporan ini.
Terima kasih pula kami sampaikan kepada Bapak Camat Langensari, Ketua
Jurusan Sastra Indonesia, serta Bapak Lurah Muktisari selaku orang tua kedua kami
di Desa Muktisari dapat kami sebutkan satu persatu.
Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat untuk pengembangan dan
pelestarian khazanah kebudayaan Sunda.
Alhamdulillahirabbil’alamin.
Jatinangor, Mei 2010
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara sepintas, mungkin sukar dimengerti mengapa di Negara yang
mendambakan kemoderan, masih terdapat kelompok masyarakat yang masih
berpegang pada unsur-unsur budaya lama yang diwariskan secara turun-temurun dari
nenek moyang mereka. Barangkali hal tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan
memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia (Yudistira K. Garna, 1987).
Kuliah Kerja Lapangan merupakan salah satu cara untuk menggali akar
budaya daerah terutama pada masyarakat di daerah Desa Muktisari kecamatan
Langensari. Potensi budaya yang ada di Desa Muktisari tersebut nampak setelah
proses pengumpulan dan pengkajian data yang diperoleh. Ragam data yang diteliti
dan dikaji tersebut meliputi bidang bahasa, budaya dan foklor.
1.2 Identifikasi Masalah
Sesuai dengan program Jurusan Sastra Indonesia program Studi Bahasa
Indonesia, kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini diproyeksikan untuk mengumpulkan
dan mengkaji secara ilmiah data tentang:
1. Konsep bahasa dan dialek bahasa
2. Konsep sastra (folklor)
3. Konsep seni dan budaya
Seluruh data di atas yang terdapat di Desa Muktisari, Kecamatan Langensari
Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat, tentunya akan menambah khazanah wawasan
budaya daerah .Karena semakin lengkap data yang terhimpun, akan semakin jelas
transparansi jati diri budaya daerah sebagai salah satu akar budaya nasional.
1.3 Kerangka Teori
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan kelakuan dan hasil kelakuan
manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang luas. Didapatkannya dengan cara
belajar dan kesemuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat,
1965 dalam Suhandi 1993:7). Definisi ini menunjukan bahwa kehidupan masyarakat
membutuhkan keteraturan interaksi antar individu agar terjalin hubungan baik
dengan menggunakan piranti kebudayaan.
Sebagaimana menurut Samsuri (1978:5), bahasa adalah dasar dari
kebudayaan, disamping bahasa itu sendiri adalah sebagai kebudayaan masyarakat.
Dengan demikain bahasa merupakan salah satu konvensi berbahasa yang oleh Bloom
Field (1933:29) disimpulkan bahwa sekelompok orang yang menggunakan sistem
tanda-tanda ujaran yang sama disebut satu masyarakat bahasa (dalam Alwasilah,
1985:43).
Sastra adalah bahasa atau tulisan, namun pada kenyataan sastra mempunyai
nilai-nilai yang dalam fungsinya terdapat bahasa. Sastra adalah institusi sosial yang
memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan
mantra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma kehidupan (Warren &
Wellek, 1989:109).
Dari pernyataan ini secara transparan tampak jelas bahwa sastra tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
1.4 Tujuan
1. Menetapkan ruang lingkup gejala-gejala kebahasaan dengan jalan
mengelompokan dan memaparkan cirri-ciri dialek.
2. Mencari dan menemukan hubungan yang terjalin di antara dialek atau bahasa
dengan batas-batas alam yang sering menampilkan masalah-masalah yang
rumit dan saling bertentangan.
3. Mengetahui masalah yang timbul dari hubungan antara dialek dan batas-batas
alam.
1.5 Metodologi
1.5.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode pupuan lapangan
dan metode deskriptif. Metode pupuan lapangan untuk pertamakalinya dipergunakan
oleh Martin Sarmiento pada tahun 1730 di Spanyol (Ayatrohaedi, 1993:34). Dua cara
pengumpulan bahan menurut metode tersebut adalah:
1. Pencatatan langsung
2. Perekaman atau pencatatan langsung
Metode deskriptif dapat memberikan penyelesaian-penyelesaian dan
gambaran mengenai masalah atau fenomena-fenomena yang jelas.
1.5.2 Metode Kajian
Metode yang digunakan untuk mengkaji penelitian adalah metode deskriptif
praktis. Metode yang menggambarkan dan menguraikan data-data yang telah
dihimpun oleh tim peneliti yang disebut metode deskriptif, kemudian dianalisis guna
memperoleh kesimpulan sehingga data yang dihimpun dapat diperjelas sesuai dengan
pengklasifikasian data. Selain itu dengan metode deskriptif kita dapat mengetahui
mengenai struktur cerita yang didalamnya terdapat satuan-satuan unsur pembentuk
dan aturan susunannya (Yus Rusyana, 1979).
1.6 Sumber Data
Data-data yang diperoleh sebagai bahan untuk pengumpulan data studi
apresiasi didapatkan di Desa Muktisari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar,
Provinsi Jawa Barat.
Proses perolehan data-data tersebut melalui kerjasama antara pencari data dan
masyarakat setempat yang dianggap potensial memegang dan memahami seputar
bahasa, sastra (folklor), seni budaya, pemegang naskah dan juga bantuan dari pihak
pemerintah setempat.
BAB II
DATA KEBAHASAAN
2.1 Bilingualisme dan Diglosia
Istilah bilingualisme (Inggris bilingualism) dalam bahasa indonesia disebut
juga kedwibahasaan. Dari isatilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang
dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan dengan penggunaan dua
bahasa atau dua kodes bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum; bilingualism
diartikan sebagai pengunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya
dengan orang lain secara bergantian. (Meckey 1962: Eishman 1975:73)
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu
masayarakat di mana terdapat dua versi dari satu bahasa yang hidup berdampingan
dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.
Masyarakat Desa Muktisari memiliki dua atau lebih bahasa yang mereka
kuasai. Sehingga masayarakat desa Muktisari adalah masyarakat bilingualisme serta
bahasa jawa dan sunda yang mereka kuasai tetap hidup dan berkembang. Menurut
Ferguson hal itu dimanakan diglosia. Misalnya salah satu pemupuh pertama yaitu
Bapak Diro Sudiro laki-laki yang berumur 60 tahun ini menguasai setidaknya 3
bahasa yaitu bahasa Indonesia, Sunda dan Jawa. Walaupun beliau keturunan Sunda
ia mampu berbahasa Jawa dengan baik.
Selain itu bilingual mengakibatkan interaksi yang terjalin antara warga
Muktisari sangat beragam bahkan untik. Hal itu terjadi saat kami mendatangai anak-
anak SD N Muktisari 2 yang terletak di belakang Balai Desa Muktisari. Awalnya
kami hanya ingin bermain-main dengan mereka karena data yang didapatkan kami
rasa cukup tetapi saat mendengar mereka berbicara ada yang aneh. Ada seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan yang sedang bercakap-cakap. Dari jauh
terlihat biasa saja. Tetapi setelah didekati ada yang berbeda. Anak laki-laki berbicara
dengan bahasa jawa dan anak perempuan berbicara dengan bahasa sunda. Sesuatu
yang aneh dan kami lihat pembicaraan mereka berdua baik-baik saja dan tidak ada
kekeliruan.
2.2 Alih Kode dan Campur Kode
Appel (1976: 79) mendefinisikan alih kodes sebagai “gejala peralihan
pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.” Berbeda dengan Appel yang
menyatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875:103) menyatakan
alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-
ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa.
Campur kode (code-mixing) adalah interferes atau penggunaan satuan
bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam
bahasa, termasuk didalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan.
Msayarakat Desa Muktisari cukup unik karena alih kode dan campur kode
karap sekali terjadi. Karena dalam berkomunikasi terjadi persentuhan bahasa jawa
dan sunda. Hal itu dapat kami lihat saat melakukan penelitian. Pada saat
mewawancarai pemupuh I yaitu bapak Diro Sudiro terjadi keunikan yaitu awalnya
kamui mewawan beliau menggunakan bahasa Indonesia.kami menanyakan berbagai
macam pertanyaan sesuai dengan yang ada didaftar tanyaan. Saat beliau mengalami
kesulitan mengenai bahasa jawa kata Geraham tiba-tiba ada staf kelurahan yang
dating. Ia berasal dari Sunda maka terjadi percakapan antara bapak Sudiro dengan
staf 1 dan staf tersebut juga kurang mengetahui. Selanjutnya datang staf ke-2 yang
berasal dari jawa maka bapak sudiro berubah yang tadinya menggunakan bahasa
sunda menjadi bahasa jawa. Setelah mendapatkan jawabannya ia berbicara
menggunakan bahasa Indonesia kembali.
Saat berbicara dengan staf ke-2 bapak Sudiro juga menggukan campur kode
misalnya saat ia mengatakan. “lamun kepala bahasa jawane apa?” kata lamun
merupakan serpihan dari bahasa sunda dan sisanya merupakan bahasa jawa.
Alih kode juga terjadi saat mewawancarai pemupuh kedua yaitu bapak
Harimun. Beliau berusia 55 tahun dan keturunan jawa yang tinggal di Desa
Muktisari. Saat mewawancarai beliau datang bapak Supratman yang usianya lebih
muda yaitu 55 tahun. Untuk menghormati beliau bapak Supratman menggunakan
bahasa Jawa dan bercampur dengan bahasa Indonesia. Ditengah wawancara datang
bapak Eman yang Sunda tulen dan tidak dapat berbicara bahasa sunda maka bapak
Harimun dan bapak Supratman mengubah bahasa mereka menjadi bahasa sunda dan
bercampur bahasa Indonesia. Jadi kalau diteliti dalam proses tersebut mengalami dua
kali proses alih kode. Alih kode yang pertama disebabkan karena bapak Supratman
menghormati bapak harimun dan alih kode yang kedua disebabkan oleh pengertian
atau tenggang rasa terhadap bapak Eman yang tidak mengerti bahasa Jawa.
2.3 Kosakata Desa
Bahasa yang dipakai masyarakat Desa Muktisari ada 3 bahasa yaitu bahasa
Indonesia, Sunda dan Jawa. Tetapi yang dominan dalam pergaulan mereka
menggunakan bahasa Sunda dan Jawa. Oleh karena itu masyarakat Desa Muktisari
menguasai bahasa Sunda dan Jawa. Berikut ini merupakan beberapa contoh bahasa
yang digunakan oleh masayarakat Desa Muktisari.
Data I
No Glosarioum Diro Sudiro Harimun
Bahasa Sunda Bahasa
Jawa
Bahasa Sunda Bahasa
Jawa
001 Kakek* Aki Simbah/
mbah
kakung
Aki Kaki
002 Nenek* Nini Mbah putri Nini Nini
003 Ayah* Bapak Rama Bapa Bapa
004 Ibu*# Ema Biung Ibu Ibu/simbo
005 Paman tua Uwa pakde Ua Pakde
006 Paman muda Paman Mamang Lilik
007 Bibi tua Bibi Mbok de Bibi Uwa/ bude
008 Bibi muda* Bibi Bule
009a Laki-laki# Lalaki Lanang Pameget Lanang
009b Perempuan Awewe Wadon Istri Wadon
010 Kakak laki-
laki
Lanceuk Kakang Akang Kakang
011 Kakak
perempuan*
Eceu Mbakyu Ceu-ceu/ eceu Yayu
012 Adik laki-laki Adi Ade Ujang Dek
013 Adik
perempuan
Ade Neng/nyai Dek
014 Anak Budak Anak Putra Putra
015 Keponakan
tua
Ipar Ipe Alo Keponakan
016 Keponakan
muda
Alo Keponakan Keponakan
017 Cucu Incu Putu Incu Putu
018 Suami Salaki Bojo Caroge/salaki Suami
019 Istri# Pamajikan Bojo Istri Bojo
020 Mertua Mitoha Mertua Mitoha Mertua
021 Menantu Minantu Mantu Menantu Menantu
022 Besan Besan Besan Besan Besan
023 Ipar Ipar Ipe Ipar Ipe/grepean
024a Penggilan
untuk anak
lk*
Asep Tole Ujang/asep -
024b Panggilan
untuk anak
pr*
Neng Gendok Neng -
024c Tiri# Budak tere Kewalon Anak tere Anak walon
025a Nama# Ngaran Jenengan Ngaran/ nami Jeneng
026 Pegawai desa Pamong Pamong Pedamel desa Pedamel
desa
027 Pesuruh di
desa*
Pamong Pamong Juru kebon
028 Kepala desa Kuwu Lurah Kuwu Lurah
029 Kepala
kampung*
Kadus Kadus Golongan Golongan
030 Juru tulis Juru tulis Carik Kaur Carik
031 Penghulu Naid Penghulu Naïf Amil
032 Peronda Ronda Randa Ronda Ronda
033a Dukun
beranak
Paraji Dukun bayi Indung berang Dukun bayi
033b Dukun sunat Paraji sunat Dukun
sepit
Tukang khitan Dukun sepit
033c Arisan* Arisan Arisan Arisan Arisan
034 Selamatan
(kenduri)*
Ngariung Kenduren Riungan Kenduri
035 Kerja bakti Kerja bakti Kridan Keridan Keridan
036 Kepala# Hulu Endas Sirah Sirah
037 Otak# Otak Otak Otak Utek
038a Kening Tarang Batuk Kening Kening
038b Mata# Panon Meripat Panon Meripat
038c Bulu mata Bulu mata Idep Bulu panon Idep
039 Air mata# Cai mata Uluh Cai panon Eluh
040a Hidung Irung Cungur Irung Irung
041 Mulut# Sungut Cangkem Baham Cangkem
042a Air ludah# Ciduh idoh Ciduh Idoh
042b Dahak# Rehak Riak Rehak Riyak
043 Bibir Biwir Bibir Biwir Lambe
044 Gigi Huntu Untu Huntu Untu
045a Geraham Careham Gugusi Baham
046 Lidah Letah Ilat Letah Ilat
047 Telinga Ceuli Kuping Celi Kuping
048a Leher Beuheung Gulu Beheung Gulu
049 Pundak Tak tak Pundak Taktak Pundak
050 Belikat Walikat Welikat Belikat Centongan
051a Jari tangan Ramo Driji Ramo Cericih
tangan
052a Ibu jari Jempol Driji Jempol Jempol
053 Telunjuk Curuk Penunjuk Curuk Teriji
054a Jari tengah Jajngkung Jajangkung
055 Jari manis Jari manis Jari manisa - Jentik
manis
056 Kelingking Cingir Jentik Cingir Jentik
057 Tangan Leungeun Tangan Lengeun
058 Telapak
tangan
Talapak
leungeun
Telapak
059 Kuku Kuku Kuku Kuku Kuku
060a Kaki Suku Sikil Siku Sikil
060b Paha Pingping Pupu Pingping Pupu
061 Lutut# Tuur Dengkul Tuur Dengkul
062 Betis Bitis Kempol Bitis Kempol
063 Tulang kering Bincurang Gares Gares
064 Mata kaki Mumuncangan Ento-ento Mumuncangan Ento-ento
065a Telapak kaki Talapak suku Telapakan Dampal suku Tealapakan
065b Tulang Tulang Balung Tulang Balung
067 Rambut Buuk Rambut Buuk Rambut
068 Alis Halis Alis Halis Alis
069a Darah# Getih Getih Getih Getih
070 Sumsum# Sumsum Sumsum Sumsum Sumsum
071 Jantung Jantung Jantung Jantung Jantung
072 Hati# Hate Ati Hate Ati
Data II
No Glosarioum
Supratman Eman Sulaeman
Bahasa Sunda Bahasa
Jawa
Bahasa Sunda Bahasa
Jawa
001 Kakek* Aki Bahasa
Jawa
Aki
002 Nenek* Nini Kaki Nini
003 Ayah* Bapa Nini Bapak
004 Ibu*# Ibu Bapa Ema
005 Paman tua Ua Ibu/simbo Uwa
006 Paman muda Mamang Pakde Emang
007 Bibi tua Bibi Lilik Bibi
008 Bibi muda* Uwa/ bude
009a Laki-laki# Pameget Bule Pameget
009b Perempuan Istri Lanang Awewe
010 Kakak laki-laki Akang Wadon Akang
011 Kakak
perempuan*
Ceu-ceu/ eceu Kakang Teteh
012 Adik laki-laki Ujang Yayu Adi
013 Adik
perempuan
Neng/nyai Dek Nyai
014 Anak Putra Dek Anak
015 Keponakan tua Alo Putra Alo
016 Keponakan
muda
Keponakan Keponakan Alo
017 Cucu Incu Cucu
018 Suami Caroge/salaki Putu Punraka
019 Istri# Istri Suami Neng
020 Mertua Mitoha Bojo Mertua
021 Menantu Menantu Mertua Minantu
022 Besan Besan Menantu Besan
023 Ipar Ipar Besan Akang
024a Penggilan
untuk anak lk*
Ujang/asep Ipe/grepean Ujang
024b Panggilan
untuk anak pr*
Neng - Eneng
024c Tiri# Anak tere - -
025a Nama# Ngaran/ name Anak walon Nami
026 Pegawai desa Pedamel desa Jeneng Aparat
027 Pesuruh di
desa*
Juru kebon Bujang
028 Kepala desa Kuwu Pedamel
desa
Kepala desa
029 Kepala
kampong*
Golongan Lurah Kepala dusun
030 Juru tulis Kaur Golongan Juru tulis
031 Penghulu Naïf Carik
032 Peronda Ronda Amil Amil
033a Dukun beranak Indung berang Ronda ronda
033b Dukun sunat Tukang khitan Dukun bayi indung
beurang
033c Arisan* Arisan Dukun sepit Bengkong
034 Selamatan
(kenduri)*
Riungan Arisan arisan
035 Kerja bakti Kenduren Kenduri Kenduren
036 Kepala# Keridan Kerigan Kridan
037 Otak# Otak Sirah Sirah
038a Kening Kening Utek Otak
038b Mata# Panon Kening Lieur
038c Bulu mata Bulu panon Meripat Panon
039 Air mata# Cai panon Idep Bulu mata
040a Hidung Irung Eluh Cai panon
041 Mulut# Baham Irung Irung
042a Air ludah# Ciduh Cangkem Mulut/ bahang
042b Dahak# Rehak Idoh Ciduh
043 Bibir Biwir Riyak Reuhak
044 Gigi Huntu Lambe Biwir
045a Geraham Gugusi Untu Huntu
046 Lidah Letah Baham Gugusi
047 Telinga Celi Ilat Letah
048a Leher Beheung Kuping Ceuli
049 Pundak Taktak Gulu Beuheung
050 Belikat Belikat Pundak Pundak
051a Jari tangan Ramo Centongan Kelek
052a Ibu jari Jempol Cericih
tangan
Ramo
053 Telunjuk Curuk Jempol Jempol
054a Jari tengah Jajangkung Teriji Curuk
055 Jari manis - Jentik manis Jajangkung
056 Kelingking Cingir Jentik Jari manis
057 Tangan Lengeun Cingir
058 Telapak tangan Leungeun
059 Kuku Kuku Kuku Dampal
060a Kaki Siku Sikil Kuku
060b Paha Pingping Pupu Suku
061 Lutut# Tuur Dengkul Pingping
062 Betis Bitis Kempol Tuur
063 Tulang kering Gares Betis
064 Mata kaki Mumuncangan Ento-ento Mumuncangan
065a Telapak kaki Dampal suku Tealapakan Talapak
065b Tulang Tulang Balung Tulang
067 Rambut Buuk Rambut Buuk
068 Alis Halis Alis Alis
069a Darah# Getih Getih Getih
070 Sumsum# Sumsum Sumsum Sumsum
071 Jantung Jantung Jantung Jantung
072 Hati# Hate Ati Hate
Data III
No Glosarioum Yani Mulyani Siska, Harti, dan
Maryanti
Bahasa
Sunda
Bahasa Jawa Bahasa
Sunda
Bahasa
Jawa
001 Kakek* Aki/bapak
kolot
Kaki Akung
002 Nenek* Enne/nenek/
nini
Si mbok/uti Uti,mba
h
003 Ayah* Bapak Bapake Ayah,ba
pa
004 Ibu*# Mamah/emm
i/mimih
Mamah/emmi
005 Paman tua Uwah Pakde Uwa
006 Paman muda Mang Lilik Mamang
007 Bibi tua Wak istri Bude Uwa
008 Bibi muda* Bibi Buk lilik Bibi
009a Laki-laki# Pamenggeut Cah lanang Lalaki
009b Perempuan Istri Wedon Awewe
010 Kakak laki-laki Aa,aang Aang/kakang/
mas
Aang
011 Kakak
perempuan*
Teteh Yayuk Teteh Yayu
012 Adik laki-laki Manggil
nama/ayi
Adek
013 Adik perempuan Manggil
nama/ayi
Adek
014 Anak Manggil Manggil
nama nama
015 Keponakan tua Adek/aak Kakange
016 Keponakan muda Adek/aak Kakage
017 Cucu Manggil
nama
Manggil
nama
018 Suami Aak/bapak Mas Salaki
019 Istri# Teteh/mama
h
bapak Bojo
020 Mertua Mitoha Mamawe Mitoha
021 Menantu Minantu Mantu Minantu
022 Besan Manggil
nama
besanan Besan Besan
023 Ipar Adi
beuteung
Ipar Aa/teteh
024a Penggilan untuk
anak lk*
Ujang,ncep Lek/mas Adek
024b Panggilan untuk
anak pr*
Neng Ndo Neng
024c Tiri# Tere Kawalon/wal
on
025a Nama# Nami Jenong
026 Pegawai desa Tergantung
jabatan
027 Pesuruh di desa* Pesuruh -
028 Kepala desa Pa kuhu/bu
kuhu
-
029 Kepala kampong* Pagolongan Golongan
030 Juru tulis Pak ulis Carik
031 Penghulu Amil/naib Amil
032 Peronda Tukang Tukang
siskamling siskamling
033a Dukun beranak Paraji/indun
g beurang
Dukun bayi
033b Dukun sunat Mantri
(orang
puskesmas)
Bengkok
033c Arisan* Arisan/rutina
n
Arisan
034 Selamatan
(kenduri)*
Hajat Hajatan
035 Kerja bakti Kridun Kridan
036 Kepala# Sirah Endose
037 Otak# Utek Polo
038a Kening Tarang
(babatok)
Batoke Tarang/taar
038b Mata# Panon Mata Panon
038c Bulu mata Bulu panon Bulu mata Halis
039 Air mata# Cai panon - Cai panon
040a Hidung Irung
(pangambun
g)
Cumur Irung Irung
041 Mulut# Biwir congor Lambai
042a Air ludah# Ciduh Ludah Ciduh
042b Dahak# Rehak Riak Rehak
043 Bibir Biwir/wawos Cungur
044 Gigi Gigi Gigi Huntu
045a Geraham Tulang
rahang
-
046 Lidah Letah Lidah Letah
047 Telinga Cepil Cepil
048a Leher Beuheung Gulu Beher/beheu
ng
049 Pundak Taktak Pundak
050 Belikat Punduk Cecentong
051a Jari tangan Ramo Tangan Panangan
052a Ibu jari Jempol Jempol
053 Telunjuk Curuk Telunjuk
054a Jari tengah Jajangkung Jari tengah
055 Jari manis Jari manis -
056 Kelingking Cinggir Kalingking Jentik
057 Tangan Palengan Tangan
058 Telapak tangan Telapah
tangan
Tangan
059 Kuku Kuku Kuku
060a Kaki Sampean Kaki Suku
/sampean
060b Paha Pingping Paha Pingping
061 Lutut# Tuur Dengkul Tuur
062 Betis Bitis Betis
063 Tulang kering Bitis -
064 Mata kaki Mumuncang
an
Kaki
065a Telapak kaki Dampal Dampal
065b Tulang Tulang Balung Balung
067 Rambut Buuk Rambut
068 Alis Halis Alis
069a Darah# Getih Didih/darah Getih
070 Sumsum# Sum-sum -
071 Jantung Jantung Jantung
072 Hati# Hate Ati Ati
2.4 Perbandingan Data
Dari ke-3 data di atas terlihat bahwa hamper setiap informan mempunyai 2
bahasa yaitu jawa dan sunda. Selain itu setiap bahasa mempengaruhi masing-masing
penggunya. Bahasa pertama yang dikuasai seseorang akan mempengaruhi bahasa
keduanya. Begitu juga sebaliknya. Hal itu terjadi pada informan ke-2 yaitu Bapak
Harimun ketika di rumah ia menggunakan bahasa Jawa, saat berinteraksi dengan
mayarakat ia menggunkan bahasa Sunda dan Jawa. Di tempat kerja ia juga
menggunkana bahasa sunda dan jawa. Sedangkan bahasa yang ia kuasai adalah
bahasa jawa. Sehingga bahasa jawa banyak mempengaruhi bahasa sunda yang ia
kuasai. Miasalnya kata hidung dalam bahasa sunda adalah “Irung” dan bahsa jawa
“cungur” tetapi hidung menurut Bahak Harimun tetap “irung” baik dalam bahasa
sunda maupun jawa. Selain kata hidung pada kata kerja bakti dan kepala Bapak
harimun juga mengatakan kata yang sama “kridan dan sirah”.
Tetapi hal itu tidak berlaku untuk bapak Sudiro (Cipto). Beliau sama halnya
dengan Bapak Harimun menguasai dua bahasa tetapi pengaruh yang timbul terhadap
bahasa pertama mempengaruhi bahasa kedua tidak tampak dalam kosa kata tetapi
pada pengucapakan kata “t” dan “d” misalnya saat beliau mengucapkan kata “ento-
ento dan kridan” dalam bahasa jawa huruf “t” pada kata “ento-ento” dibaca “th”
layaknya orang bali.
BAB III
DATA SASTRA (FOLKLOR)
3.1 Upacara Sakral: Ruwatan Hajat Bumi/Suraan
Desa Muktisari kecamatan Langensari setiap tahunnya masih rutin
mengadakan upacara Ruwatan Hajat Bumi. Hal ini didasarkan atas pengalaman para
petani yang mengalami kerusakan hasil panen padi yang ditanamnya. Setelah dibuat
upacara Ruwatan ini, maka hasil panen membaik. Oleh sebab itu, tujuan
dilaksanakannya upacara hajat bumi ini adalah untuk menolak bala saat memulai
kegiatan menanam padi. Nama Suraan diambil dari waktu pelaksanaan Hajat Bumi
yang dilakukan pada bulan Muharam yang dalam kebudayaan Sunda disebut bulan
Sura, dan dalam adat jawa disebut bulan Suro.
Segala bentuk pelaksanaan upacara ini difasilitasi oleh pemerintah kelurahan
Muktisari bergotong royong dengan warga setempat. Karena hampir seluruh warga
yang berkumpul, maka dipasanglah blandongan (tenda beratap seng), serta panggung
untuk Dalang Kasepuhan dan acara hiburan. Makanan dibawa dari warga setempat
yang menyumbang dan dimakan bersama-sama pula di kantor kelurahan tersebut.
Upacara ruwatan ini dipimpin oleh Dalang Kasepuhan. Dalang Kasepuhan ini
adalah dalang khusus yang hanya memimpin upacara penolak bala ini, ia tidak
bermain untuk acara hiburan. Dalang Kasepuhan ini biasanya diwariskan
berdasarkan keturunan. Tapi yang memimpin tetap dalang yang sudah berusia di atas
45 tahun.
Prosesi acara ini dimulai dengan memakai salah satu tokoh wayang Batara
Kala yang sifatnya merusak. Kemudian sesaji disiapkan, sesaji itu antara lain adalah
alat-alat pertanian, padi, buah-buahan, sayur-sayuran dan air mantra. Air mantra ini
diambil dari tujuh sumur yang ada di daerah Muktisari. Kemudian ditempatkan pada
wadah sebuah dandang yang terbuat dari tembaga. Wadah ini adalah salah satu
syarat, jadi tidak bisa digantikan. Air tersebut kemudian dibacakan mantra dan di
bawa ke aliran irigasi. Kemudian air tersebut dituangkan sedikit di tempat aliran air
irigasi agar tercampur dengan aliran irigasi pada area persawahan setempat.
Kemudian sisanya disimpan dan bias dipakai berkali-kali oleh para petani.
Walaupun Kelurahan Muktisari masih berada di wilayah Jawa Barat, namun
upacara ini sebagian besar memakai bahasa Jawa sebab upacara ini berasal dari
kebudayaan keraton yang dibawa dari penduduk pendatang dari Jawa Tengah.
Upacara ini boleh didatangi oleh segala usia dan jenis kelamin. Jadi terbuka
untuk umum. Acara ruwatan ini memakan waktu paling lama dari acara pukul 09.00
sampai pukul 16.00. Pada malam harinya kemudian diadakan acara hiburan berupa
wayang kulit. Yang memimpin bukan Dalang Ksepuhan, melainkan dalang yang
khusus untuk acara hiburan. Acara wayang kulit ini pun memakai bahasa Jawa.
Cerita yang dibawakan biasanya yang berhubungan dengan padi dan pertanian. Lama
kelamaan, para pemuka agama setempat mengusulkan agar setelah acara ruwatan ini
diadakan acara pengajian. Oleh karena itu kini setiap tahunya setelah acara ruwatan
ini diselang pertunjukan wayang kulit dan pengajian.
Meskipun setiap tahunnya pada petani rutin mengadakan upacara ini, namun
dalam bekera mengolah sawah para petani juga sudah menggunakan alat-alat
pertanian yang modern untuk memudahkan. Jadi sifat ketradisionalan dan modern
dapat seimbang.
3.2 Ritual Menjelang Kelahiran Bayi
Menurut narasumber yang kami wawancarai, proses kelahiran sama halnya
seperti proses kelahiran biasanya. Tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya sedikit
perbedaan. Karena daerah yang kami teliti termasuk perbatasan Jawa Tengah dan
Jawa Barat, tepatnya kota Banjar, kecamatan Langensari, kelurahan Muktisari.
Kecamatan Langensari memakai 3 bahasa, yaitu bahasa Sunda, Jawa, dan Indonesia.
Dalam proses kelahiran, seorang perempuan yang sedang mengandung masih
wajar merasakan ngidam, dan tidak ada ritual-ritual khusus yang dilakukan. Dari usia
kandungan satu bulan sampai tiga bulan tidak ada upacara-upacara yang dilakukan.
Pada usia kandungan 4 bulan, barulah ada satu ritual yang dilakukan. Ritual
itu dinamakan dengan „Hajat 4 Bulan‟. Berupa syukuran berbentuk „yasinan‟, tapi,
sebelum yasinan ada pengajian dulu. Yang menarik disini, hajatan dilangsungkan
pada tanggal 4, 14, 24. Tetapi, biasanya dilakukan pada tanggal akhir bulan.
Setelah usia kandungan menginjak 7 bulan, dilakukan hajatan yang sama
seperti pada saat usia kandungan 4 bulan. Bedanya, pada bulan ke 7, syukuran dan
pengajian itu dilakukan pada tanggal 7, 17, dan 27. Biasanya hajatan itu dilakukan
pada tanggal 17, dan tanggal 27 mengadakan upacara yang disebut „nujuh bulanan‟.
Acara ini proses memandikan perempuan yang hamil. Dengan air dari gentong yang
berisi bunga-bunga. Orang yang memandikannya adalah pihak keluarga. Biasanya
tersedia kendi dengan ukiran bahasa Arab, yang didalamnya terdapat uang recehan
dan akan dipecahkan oleh si suami.
Setelah melahirkan, pihak keluarga mengadakan Akeqah, dan pemberian
nama. Semua itu dilakukan setelah 36 hari dari lahir, atau biasa disebut 1 selapan.
Tidak ada penambahan upacara-upacara setelah itu. Syarat akeqah sama, 2 ekor
domba / sapi untuk bayi perempuan, dan 1 ekor untuk bayi laki-laki.
3.3 Ritual yang Dilakukan Jika Terjadi Kematian
Dalam hal kematian, para penduduk kelurahan Muktisari tidak melakukan
ritual-ritual tertentu yang mungkin dianggap menyimpang.
Apabila ada seorang penduduk yang sedang menanti ajalnya, para penduduk
lain hanya bisa mendoakannya saja. Dengan cara datang ke rumah orang yang
sakarotul maut itu.
Sesudah orang itu meninggal, jenazahnya langsung dimandikan. Tapi,
penduduk yang memandikannya khusus, penduduk kelurahan Muktisari
menyebutnya dengan nama „Amil‟. Jadi, tidak sembarangan orang yang boleh
memandikan jenazah, selain Amil. ( tidak ada alasan tertentu mengenai itu,
pembicara menyebutnya sebagai pewarisan saja ).
Setelah dimandikan, jenazah dikafani. Ada paradigma khusus mengenai
mengafani jenazah pada penduduk Muktisari. Pembicara menyebutnya bahwa itu
merupakan sebuah symbol pertanggung jawaban. Artinya, si janazah hatus dalam
keadaan bersih dan suci. Untuk itu, ada sedikit hal yang berbeda. Ucapan akan
kebenaran mengenai urusan si jenazah semasa hidupnya dipertanggung jawabkan
sebelum jenazah dikafani. Menurut pembicara, itu menimbulkan bahwa setidaknya
jenazah itu sudah sedikit suci karena urusan semasa dia hidup sudah dipertanggung
jawabkan ( setidaknya ada pihak yang mewakilkan ).
Setelah dikafani, jenazah langsung dikuburkan. Setelah proses penguburan,
barulah pertanggun jawaban tentang utang piutang diucapkan. Setelah itu, pada
malam harinya diadakan prosesi tahlilan pertama yang biasa diucapkan oleh
penduduk Muktisari dengan „sadugna‟. Setelah itu, tujuh malam membacakan yasin.
Terus tahlilin lagi saat menginjak kurun waktu dari kematian 40 hari. Dari 7 hari ke
40 hari setiap malam jumat diadakan tahlilan khusus ( tidak ada alasan tertentu ).
Setelah itu, „nytus ( 100 ) hari‟, „mendak sakali ( 1 tahun )‟, dan „nguis nguisi ( 1000
hari )‟. Tidak ada alasan tertentu mengapa dinamakan seperti itu.
Setelah itu, ada ritual yang disebut „Ngijing‟ ( makam dibuat permanen ).
Setelah dibuat permanen ada hajatan atau syukuran ngijing ( bagi yang mampu ).
3.4 Kesenian Daerah
1. Kuda Lumping
2. Di kecamatan Langensari khususnya kelurahan Muktisari, terdapat sebuah
kesenian yang mungkin kita juga sudah lazim mendengarnya. Ya, kesenian
itu dinamakan „kesenian kuda lumping‟. Kuda lumping biasa disebut juga
Joko Turangga Jaya.
Di kelurahan Muktisari, jenis kesenian ini sudah tidak dimainkan lagi sampai
tahun 2006. Setelah tahun 2006, para penduduk mulai memainkan kembali
jenis kesebian ini. Di daerah Muktisari, pendiri dari kesenian ini adalah
Santa.
Peralatan yang yang digunakan untuk mengiringi kesenian ini antara lain.
Gamelan, terompet, kuda lumping / kepang, kostum seperti baju wayang.
Kesenian ini dimainkan kurang lebih oleh 14 orang, dan yang menjadi
penabuh 15 orang. Jenis kesenian ini bisa dimainkan oleh semua jenis
kalangan, baik dari segi umur maupun kasta.
Terlebih dahulu diadakan ritual-ritual. Yang pertama adalah ritual mendem.
Ritual mendem adalah ritual pengambilan roh. Dimana pengambilan roh ini
diambil oleh Panimbul ( orang yang memanggil roh ). Roh ini disebut Indang.
Alasan kenapa ritual ini dilakukan adalah karena ini sudah menjadi ciri khas
dan sudah tradisi. Kesenian ini diatur oleh Panimbul. Hanya Panimbul yang
bisa menentukan jenis roh apakah yaang nantinya akan masuk ke dalam raga
seorang pemain kuda lumping.
3. Pongdut (Jaipong dangdut)
Pondut adalah kesenian campuran antara jaipong dan dangdut yang memakai
alat musik kendang. Pemain pongdut yang terkenal adalah Bapak Eli Suherli.
Pongdut biasanya diadakan untuk hiburan pada acara syukuran, pernikahan,
dan hari besar. Namun para penonton pongdut ini seringkali sulit
dikendalikan. Oleh karena itu pongdut sempat dilarang, sekarang sudah
diperbolehkan kembali namun tidak boleh dilakukan pada malam hari.
4. Pencak Silat
5. Wayang Kulit
6. Wayang Golek
7. Hadroh
8. Paduan Suara
9. Orkes Melayu
4.5 Sastra Lisan
Sastra lisan yang ada di daerah ini adalah cerita tentang tokoh Mbah Kyai
Sanusi dan Mbah Madjalikin. Kedua tokoh yang diceritakan ini berperan
membangun desa Muktisari. Mbah Kyai Sanusi berperan membangun Masjid dan
Mbah Madjalikin membangun Jalan. Makam kedua tokoh ini ada di Muktisari.
Kebiasaan penduduk setempat, apabila hendak ziarah ke makam wali songo, maka
sebelumnya harus berziarah ke makam kedua tokoh tersebut.
BAB IV
DATA KEBUDAYAAN
4.1 Keadaan Sosial Budaya di Kelurahan Muktisari
Kelurahan Muktisari merupakan salah satu kelurahan dari induk kecamatan
Langensari, kota Banjar. Adapun kecamatan Langensari sendiri merupakan salah
satu kecamatan di Jawa Barat yang langsung berbatasan dengan Jawa Tengah
sehingga terjadi akulturasi bahasa dan budaya di dalamnya. Oleh karena itulah,
sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana keadaan sosial budaya
masyarakat di daerah transisi tersebut.
4.2 Data Statistik Kelurahan Muktisari
Berikut ini akan ditampilkan data statistik mengenai kelurahan Muktisari.
Data ini dimabil langsung dari lapangan dalam bentuk daftar tanya.
a. Keterangan tentang Titik Pengamatan
Nama Desa : Muktisari
Kecamatan : Langensari
Kabupaten : Ciamis
Provinsi : Jawa Barat
b. Situasi Kebahasaan
Sebelah timur desa berbahasa : Ds. Waringinsari, Sunda-Jawa
Sebelah barat desa berbahasa : Ds. Langensari, Sunda-Jawa
Sebelah utara desa berbahasa : Ds. Langensari, Sunda-Jawa
Sebelah selatan desa berbahasa: Kec. Lakbok, Sunda-Jawa
c. Situasi Geografis
Letak : perkotaan
Morfologi : dataran
d. Penduduk
Pria: 3205 jiwa (49%)
Wanita : 3292 jiwa (51%)
Jumlah : 6497 jiwa
Di bawah 20 tahun: 2589 jiwa (39,5%)
Antara 20-40 tahun: 1857 jiwa (29%)
Di atas 40 tahun : 2051 jiwa (31,5%)
Mayoritas etnik : etnik Jawa 3378 jiwa (52%)
Minoritas etnik : etnik Batak 5 jiwa (1%)
e. Mata Pencarian
Dalam data yang telah ditemukan, jumlah data untuk bertani dan buruh
merupakan jumlah akumulatif. Begitu juga untuk data Pegawai negeri dan
Pegawai Swasta.
Bertani dan Buruh: 558
Nelayan : -
Peg. Negeri &Swasta: 265
Berdagang : 301
f. Pendidikan
SD : 1821 orang
SMP : 1085 orang
SMA : 631 orang
Perguruan Tinggi: 163 orang
Untuk lulusan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah, menurut
informan yang ada rata-rata lembaga tersebut bukan secara resmi menjadi
lembaga pendidikan. Lembaga tersebut masih berupa pengajaran-pengajaran
yang dilakukan di masjid.
g. Agama
Islam : 6462 orang
Kristen (Katolik-Protestan): 35 orang
Hindu : -
Buddha : -
h. Hubungan ke Luar
Lancar. Sering sekali diadakan pertemuan dengan desa lain satu minggu
sekali.
i. Prasaran Hubungan
Sepeda, angkot, kuda, sepeda motor, ojek. Yang paling mendominasi adalah
sepeda. Mobil dan sepeda motor belum mendominasi. Begitu juga dengan
angkot, di Muktisari sendiri ada satu trayek jurusan yang melewati jalan
Muktisari, yakni trayek 01 Langensari-Banjarsari
j. Usia Desa
Desa Muktisari sudah ada antara 50-100 tahun yang lalu (sejarah terlampir di
subbab berikutnya).
k. Sejarah Desa
Untuk mengetahui sejarah Desa Muktisari, kami mewawancarai beberapa
orang informan yang masing-masing telah menjadi seseorang yang
“dituakan” dan telah lama tinggal di Desa Muktisari tersebut. Adapun
informan-informan tersebut yang paling menguasai dengan pasti mengenai
sejarah Desa Muktisari Bapak Citro atau Bpk. Diro Sudiro. Informan ini telah
sejak kecil tinggal di desa Muktisari sehingga kejelasan tentang sejarah ini
tidak dapat diragukan lagi.
4.3 Hasil data berdasarkan wawancara dengan Bapak Diro Sudiro
Desa Muktisari sudah ada sejak zaman Penjajahan Jepang. Pada waktu itu
nama desa itu bernama desa Pataruman. Pada tahun 1970, desa Pataruman kemudian
dipecah menjadi dua desa, yakni:
a. Desa Mulyasari
b. Desa Langensari
Sejak zaman Jepang, desa tersebut sangat luas wilayahnya hingga ke Banjar.
Namun ketika desa tersebut dipecah menjadi dua desa, batas desa itu sendiri dibatasi
oleh Sungai Citanduy sebagai batas antara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa
Tengah.
Desa Langensari pun dibagi lagi menjadi lima desa yang menjadikan desa
Langensari menjadi desa induk yang membawahi lima desa. Lima desa itu
diantaranya:
a. desa Rejasari
b. desa Kujang
c. desa Bojongkantong
d. desa Wainginsari. Dan
e. desa Langensari.
Pada tahun 1984 desa Langensari, hasil pencahan dari desa induk Langensari,
dipecah lagi menjadi dua desa, yakni desa Langensari dan desa Muktisari. Penggagas
nama “Muktisari” pada waktu itu ialah Alm. Bpk. Wagino (mantan Kepdes), Bpk.
Yusuf Sidik, Bpk. H. Karna Suyana, dan Bpk. Sudar. Tercetuslah desa tersebut
bernama desa Muktisari yang merupakan gabungan dari dua kata, yakni Mukti dan
Sari. Mukti sendiri diambil dari bahasa Jawa yang artinya sejahtera, sedangkan kata
Sari diambil dari nama desa induk, Langensari agar memiliki satu kesamaan dengan
desa induknya. Sejak saat itulah, nama Muktisari ditetapkan sebagai nama desa
tersebut.
Pada waktu itu sempat terjadi perdebatan antara dua kelompok yang
mengatasnamakan dengan nama “Kelompok Jumat dan Kelompok Senin” mengenai
batas-batas desa Muktisari dengan desa Langensari. Kelompok Jumat menginginkan
bahwa daerah pasar masuk ke daerah induk, yakni Langensari. Pendapat kelompok
Jumat ini ditentang oleh kelompok Senin yang mengungkapkan bahwa batas antara
desa Muktisari dengan Langensari dipisahkan oleh rel kereta. Hasil dari perdebatan
itu yakni menetapkan bahwa batas antara desa Muktisari dengan desa induk
Langensari dipisahkan oleh rel kereta.
Tahun 1986, desa Muktisari dibagi menjadi dua dusun. Hanya terjadi
ketidakefektifan ketika pembagian Muktisari menjadi dua dusun. Akhirnya
disepakati kembali bahwa desa Muktisari dibagi lagi menjadi tiga dusun, yakni
dusun Langen yang terletak di sebelah timur Muktisari, dusun Babakan yang terletak
di sebelah tengah, dan dusun Sidamukti yang terletak di sebelah barat.
Pada bulan Januari tahun 2008, dimana otonomi daerah mulai merambah ke
setiap wilayah pedesaan, maka desa Muktisari kemudian berganti status dari desa
menjadi kelurahan, yakni kelurahan Muktisari dan desa induk Langensari berubah
status menjadi kecamatan Langensari yang membawahi enam kelurahan. Maka
sampai sekarang, setelah adanya otonomi-otonomi daerah dan pemekaran wilayah,
maka keluarahan Muktisari saat ini memiliki tiga dusun dan memiliki 31 Rukun
Tetangga dan 6 Rukun Warga.
4.4 Keadaan Sosial dan Budaya di Muktisari
Seperti yang telah kita ketahui, letak geografis kelurahan Muktisari terletak di
antara provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hal itu mengakibatkan adanya
akulturasi budaya di daerah tersebut. Pencampuran tersebut menjadikan daerah
Muktisari termasuk daerah transisi.
Di kelurahan Muktisari itu sendiri, sangat jelas terlihat bagaimana
pencampuran kedua budaya itu dalam kehidupan masyarakatnya. Dimulai dari
bahasa yang digunakan sampai upacara-upacara adat. Hanya tidak ada sesuatu yang
khas yang menjadikan kelurahan Muktisari berbeda dengan kelurahan lain di
Langensari. Semuanya sama.
Keadaan sosial masyarakat Muktisari rata-rata merupakan keturunan dari
Jawa dan Sunda. Seringkali terdapat satu orang yang ternyata ibu atau ayahnya
berasal dari Jawa ataupun sebaliknya. Rata-rata mereka menikah beda suku, yakni
suku Sunda dengan suku Jawa. Meskipun di desa ini yang mendominasi adalah suku
Jawa, namun kebudayaan yang sering dipakai cenderung menggunakan budaya
Sunda. Kita tengok ke belakang bagaimana dulu orang Sunda masuk ke daerah ini.
Muktisari pada dulunya dihuni oleh orang Jawa karena memang daerah ini
berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah. Seiring dengan berjalannya
waktu, orang-orang Sunda mulai berdatangan ke Muktisari dan menyebabkan
penduduk Jawa ada yang sebagian pindah ke wilayah yang lebih menjorok ke Jawa
Tengah. Maka jadilah penduduk Muktisari ini ada yang orang Sunda ada juga yang
orang Jawa.
Rata-rata orang Muktisari bilingual. Mereka mampu berbahasa Jawa dan
mampu juga berbahasa Sunda. Hal ini dikarenakan karena garis keturunan dari orang
tuanya pun menggunakan bahasa ibu yang berbeda. Kami temui di lapangan, ada
masyarakat yang sedang mengobrol menggunakan bahasa Sunda, lalu muncul
seseorang menyapa mereka dengan menggunakan bahasa Jawa, maka secara
automatis kedua orang yang sedang mengobrol itu menggunakan bahasa Jawa. Hal
ini biasa disebut dengan alih kode. Namun, tidak semua orang Muktisari bilingual.
Jika suatu orang yang ternyata garis keturunannya berasal dari suku Jawa kedua
orangtuanya, maka ia pun fasih menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya.
Tetapi karena budaya Muktisari itu bilingual, mau tidak mau ia pun harus dituntut
untuk bisa berbahasa Sunda.
Bapak Wahyudin Ngarif, salah seorang informan yang kami wawancarai
perihal keadaan di desa Muktisari ini termasuk salah satu penduduk yang lebih fasih
menggunakan bahasa Jawa. Namun ia pun tidak menampik bahwa ia juga mengerti
sedikit dan bisa mengucapkan bahasa Sunda hanya masih belum lancar. Hal ini
dikarenakan karena kedua orangtuanya orang Jawa. Ia mengaku lebih fasih
menggunakan bahasa Jawa, dan bahasanya Sundanya cenderung kurang bagus.
Kami sempat mewawancarai beliau yang berprofesi sebagai seorang petugas
Kesmas di kelurahan Muktisari yang juga merangkap sebagai Amil Kematian. Dari
wawancara dengan beliau, kami mendapat informasi bahwa masyarakat Muktisari
selalu menggunakan dua budaya. Dan kebudayaan Sunda selalu lebih banyak
dipakai. Contohnya, jika ada pernikahan antara orang Jawa dengan orang Sunda,
adatnya selalu menggunakan adat Sunda. Tetapi tidak berarti adat Jawa ditinggalkan,
adat Jawa pun seringkali dipakai, hanya yang lebih sering dipakai ialah adat Sunda.
Begitu pun dalam hal kematian, upacara yang digunakan adalah pencampuran
antara adat Sunda dengan adat Jawa. Menurut kesaksian beliau, ketika proses
penguburan selesai selalu melakukan penaburan bunga ditambah dengan jangung
kering dan kedelai kering. Menurutnya, ikut ditaburinya jagung dan kedelai kering
ialah sebagai simbol bahwa segala sesuatu akan mengering dan kembali ke asalnya
(mati dan masuk ke alam kubur) namun selalu akan bermunculan tunas-tunas baru
untu meneruskan si jagung dan kedelai yang telah kering tersebut. Dan ada juga
prosesi membelah kelapa muda, sari kelapanya dituankan di atas pusara bersama-
sama dengan gula merah. Selalu terjadi pencampuran budaya antara budaya Sunda
dengan budaya Jawa di Muktisari namun hal itu tidak menimbulkan kesenjangan
sosial di kelurahan Muktisari. Masyarakatnya, meskipun merupakan mayarakat
transisi, tetap menjaga keharmonisan dalam berinteraksi dengan sekitarnya.
Ciri khas yang tampak pada masyarakat Muktisari menurutnya ialah pada
pemakian budaya pada setiap upacara. Orang-orang Jawa ketika mengadakan
upacara menggunakan adat Sunda, dan orang-orang Sunda pun cenderung
menggunakan adat Sunda dan adat Jawa.
Secara geografis, kelurahan Muktisari sudah mengalami perkembangan yang
signifikan dibanding dengan kelurahan lain di Langensari. Hal ini kami dapatkan
ketika kami membandingkan keadaan desa dengan kelompok lain yang tenyata jauh
lebih berkembang kelurahan Muktisari. Secara singkat, keluarahan Muktisari sudah
berangsur-angsur menjadi kota. Setelah masuknya listrik pada tahun 1987, perlahan-
lahan Muktisari memasuki kemodernan. Kini, telah masuk pula jaringan internet
sehingga di Muktisari banyak terdapat warnet. Untuk aparatur desa pun kini serba
komputer. Di Muktisari pun telah ada servis komputer dan studio band. Jalan
protokol telah diaspal yang memang menjadi jalan alternatif menuju Banjar dan
Pangandaran. Di batas keluarahan Muktisari dan Langensari yang dibatasi oleh rel
kereta api, sedang dibangun sebuah fly over yang beton-beton penyangganya telah
dipancang. Menurut salah seorang informan, pembangunan fly over tersebut
merupakan perwujudan dari keinginan masyarakat Langensari agar transportasi
menjadi lebih aman saat melintasi rel kereta yang tidak berpalang.
Di Muktisari juga sudah ada laundry dan beberapa kantin sate. Hanya
menurut pemiliknya, usaha kantin seperti itu di Muktisari kurang mendapat respon
Dario masyarakatnya sehingga kantin itu pun cenderung sepi. Waralaba seperti
Indomaret pun telah ada di depan pasar induk.
Untuk kegiatan perdagangan, ada pasar induk Langensari yang letaknya di
kelurahan Muktisari. Pasar inilah dulu yang menjadikan perdebata mengenai batas-
batas desa seperti yang telah dijelaskan di atas. Hanya keberadaan pasar induk ini
tidak setiap hari buka. Pasar induk ini hanya buka pada hari senin, rabu, dan sabtu.
Menurut pak Citro, nantinya pasar ini akan buka setiap hari.
Meskipun sudah menjadi berkembang, namun masyarakatnya masih
bersahaja. Hal ini terlihat dari sebagian besar masyarakat Muktisari masih
menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Tua, muda, laki-laki, perempuan,
anak sekolah pun kebanyakan menggunakan sepeda. Yang menggunakan sepeda
motor hanyalah tukang ojek, pegawai kelurahan dan guru-guru. Sekolah yang telah
didirikan di Muktisari te;ah ada dua, yakni SMP PGRI I Muktisari dengan SD N
Muktisari 2. Ketika kami berkunjung ke lapangan, para anak sekolah di sana sudah
mulai mengenal internet dan tidak lagi ketinggalan zaman. Uniknya, meskipun
teknologi telah brekembang di sini, anak-anak masih banyak yang melakukan
permainan-permainan tradisional ketika mengisi waktu senggangnya.
Kebudayaan dan kesenian tradisional di Muktisari hampir sama dengan
daerah lainnya. Tidak ada legenda atau donegn apapun yang menjadi ciri khas
Muktisari. Di Muktisari ini sendiri berdiri perkumpulan pencak silat “Sangga buana”
pada tahun 1992 yang didirikan oleh bapak Kastaman yang sempat menjadi informan
kami juga. Lalu perkumpulan kesenian kuda lumping “Joko Turonggo Jaya” yang
pemain-p[emainnya rata-rata orang Sunda. Dalam dua perkumpulan ini dikenal ada
istilah “mendem” yakni dalam bahasa Sunda berarti teu eling atau tidak sadar, yakni
para pemainnya ketika mementaskan permainannya selalu hilang kendali dan hilang
kesadaran.
Pemnetasan wayang pun di Muktisari menjadi beragam. Jika di Jawa Barat
berupa wayang golek, sedang di Jawa Tengah berupa wayang kulit, maka di
Muktisari kedua-duanya sering dipentaskan tergantung orang yang mengadakan
pementasan tersebut keturunan mana.
Ada satu kesenian di Muktisari yang telah punah, yakni kesenian Manoréng.
Manoréng adalah kesenian sandiwara yang berasal dari Jawa. Kepunahan ini
disebabkan karena tidak adanya regenerasi kesenian tersebut. Meskipun terjadi
akulturasi budaya Jwa dengan budaya Sunda, masyarakatnya merupakan penganut
agama Islam yang kuat. Pada malam Jumat selalu diadakan pengajian Yasinan yang
diadakan sehabis maghrib sampai Isya.
Adapun desa Muktisari merupakan daerah gudang pangan, yakni penghasil
gula kelapa, beras, dan pisang yang telah dijual ke setiap daerah baik di Jawa Barat
maupun di Jawa Tengah.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, dapat
ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Desa Muktisari dilihat dari gaya hidup dan
kebudayaannya merupakan kampung adat yang memang tidak menutup rapat akan
berbagai hal yang datang dari luar. Selain itu masyarakat Desa Munktisari ini masih
memegang kuat akan keyakinan yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya yang
diturunkan secara turun temurun. Kekeluargaan, gotong royong, menjadikan
masyarakat setempat hidup rukun dan tentram.
Peranan pemerintah dan berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam usaha
pelestaraian budaya yang merupakan aset bernilai tinggi terhadap kelestarian dan
perkembangan kebudayaan.
Hambatan yang kami hadapi selama mengikuti kuliah kerja lapangan ini yaitu
keterbatasan waktu yang diberikan kepada kami untuk memupu data yang kami
butuhkan.
5.2 Saran
Adapun saran kami untuk kegiatan kuliah kerja lapangan ini agar masa yang
akan datang dapat merencanakan waktu yang cukup matang sehingga apa yang kita
harapkan dapat terwujud dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. 1978. Dialektologi Suatu Pengantar. Jakarta. Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Chaer, Abdul Chaer dan Leonie Agustina.2004. Sosiolinguistik (Perkenalan
Awal). Jakarta: Rineka Cipta.
Djadjasudarma, T.F dan Idat Abdulwahid. 1994. Gramatika Sunda dan
Tatabasa Sunda. Bandung
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dll.
Jakarta. PT. Pustaka Utama Grafiti.
Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda. Jakarta. Pustaka Jaya.
Mustafa, H. Hasan. 1985. Adat Istiadat Orang Sunda. (Terjemahan Hj.
Maryati Sastrawidjaja). Bandung.
Sastrawidjaja, Maryati, dkk. 1995. Antologi Puisi Sunda. Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran. Fakultas Sastra Unpad
Suhamihardja, A. Suhandi. 1993. Pola Hidup Masyarakat Indonesia.
Bandung. Fakultas Sastra Unpad
Wellek & Warren. 1989. Teori Kesusastraan. (Diterjemahkan oleh Melanie
Budianata). Jakarta: Gramedia
Rusyana, Yus. 1981. Carita Rakyat Nusantara. (Himpunan Makalah Tentang
Cerita Rakyat). Bandung. Fakultas Keguruan Sastra dan Seni IKIP Bandung.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Keterangan Mengenai Informan
a. Wahyudin Ngarif
Nama : Wahyudin Ngarif
Usia : 32 tahun
Tempat Lahir : Dusun Langenpojok Ds. Muktisari Kec. Langensari
Kota Banjar, Jawa Barat
Pendidikan : Madrasah Aliyah PGII Banjar
Pekerjaan : Staf Kesmas (Kesejahteraan Masyarakat) di kantor
kelurahan Muktisari
Tinggal di desa ini sejak tahun: 1978 (sejak lahir)
Pernah bepergian ke luar desa : jarang (dulu ke Malaysia)
Bahasa yang digunakan
Di rumah : bahasa Jawa,
Di mayarakat : bahasa Sunda, Jawa
Di tempat kerja : bahasa Sunda, Jawa
Di perjalanan : bahasa Sunda, Jawa
Bahasa yang dikuasai : Bahasa Jawa
b. Diro Sudiro (Bpk Citro)
Nama : Diro Sudiro
Usia : 60 tahun
Tempat Lahir : Dusun Langen Ds. Muktisari Kec Langensari Kota
Banjar, Jawa Barat
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Kasi Pemerintahan di kantor kelurahan Muktisari
Tinggal di desa ini sejak tahun: 1941 (sejak kecil)
Pernah bepergian ke luar kota : jarang
Bahasa yang digunakan
Di rumah : Sunda
Di mayarakat : bahasa Sunda, Jawa
Di tempat kerja : bahasa Sunda, Jawa
Di perjalanan : bahasa Sunda, Jawa
Bahasa yang dikuasai : Bahasa Jawa
c. Kastaman
Nama : Kastaman
Usia : 78 tahun
Tempat Lahir : Dusun Ranjirata Ds. Cimari Kec Cikoneng Kab.
Ciamis, Jawa Barat
Pendidikan : SR
Pekerjaan : Keamanan di kelurahan Muktisari
Tinggal di desa ini sejak tahun: 1952
Pernah bepergian ke luar kota : sering (sebulan sekali ke Bandung)
Bahasa yang digunakan
Di rumah : Sunda
Di mayarakat : bahasa Sunda, Jawa
Di tempat kerja : bahasa Sunda, Jawa
Di perjalanan : bahasa Sunda, Jawa
Bahasa yang dikuasai : Bahasa Jawa
d. Nama: Harimun
Umur: 55 tahun
Jenis kelamin: Lk
Pendidikan: SMP
Pekerjaan: Pegawai desa
Agama: Islam
Kampung: Langenan
Rt/Rw: 02/04
Kelurahan: Muktisari
Kecamatan: Langensari
Kota: Banjar
Bahasa yang dikuasai : Bahasa Jawa
e. Nama: Supratman
Umur: 50 tahun
Jenis kelamin: Lk
Pendidikan: SMP
Pekerjaan: Pegawai desa
Agama: Islam
Kampung: Babakan
Rt/Rw: 04/08
Kelurahan: Muktisari
Kecamatan: Langensari
Kota: Banjar
Bahasa yang dikuasai : Bahasa Sunda
f. Nama: Eman Sulaiman
Umur: 31 tahun
Jenis kelamin: Lk
Pendidikan: D3 ekonomi
Pekerjaan: Wiraswasta
Agama: Islam
Kampung: Babakan
Rt/Rw: 04/03
Kelurahan: Muktisari
Kecamatan: Langensari
Kota: Banjar
Bahasa yang dikuasai : Bahasa Sunda
g. Nama: Yani Mulyani
Umur: 32 tahun
Jenis kelamin: Pr
Pendidikan: S1 UPI Bandung
Pekerjaan: Guru IPS terpadu SMP N 4 Banjar
Agama: Islam
Kampunng: Babakan
Rt/Rw: 04/03
Kelurahan: Muktisari
Kecamatan: Langensari
Kota: Banjar
Bahasa yang dikuasai : Bahasa Sunda
h. Nama: Siska, Harti, dan Maryanti
Umur: 15 tahun
Jenis kelamin: Pr
Pendidikan: SMP
Pekerjaan: Pelajar
Agama: Islam
Kampung: Langensari
Kelurahan: Muktisari
Kota: Banjar