Download - Laporan Pemetaan GeoFoto
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dilakukan pemetaan Geologi Foto ini adalah supaya para
mahasiswa atau praktikan dapat melalukan pemetaan dengan menggunakan foto
udara, yang mana kenampakan foto uadar ini lebih terlihat srtereomodel dibandingkan
dengan menggunakan peta topografi, namun dalam pemetaan geologi foto ini juga
tetap menggunakan peta topografi. Dalam hal ini kita harus dapat menginterpretasikan
foto udara tersebut dan kemudian kita mencocokkannya dengan di lapangan. Dalam
pemetaan geologi foto ini tidak hanya mengamati tentang kenampakan-kenampakan
morfologi yang ada tetapi juga struktur-struktur geologi yang ada bahkan litologi
yang ada pada daerah pemetaan ini sendiri.
I.2. Letak dan Kesampaian daerah
a. Letak
Letak dari daerah pemetaan kelompok XI berada di Kecamatan Wates
dan Kecamatan Pengasih daerah Kabupaten Kulon Progo, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Kesampaian Daerah Pemetaan
Untuk mencapai daerah pemetaan mahasiswa menggunakan kendaraan
berupa sepeda motor yang berjumlah tiga buah. Selain itu pada daerah
pemetaan tertentu mahasiswa juga harus berjalan kaki karena daerah
pemetaan tidak dapat dilalui oleh kendaran yang kami gunakan namun
jarak yang ditempuh tidak telalu jauh.
I.3. Waktu
Perjalanan pemetaan ini dilakukan dalam beberapa tahap ke lapangan yang
tidak berurutan, yaitu tanggal 31 Oktober 2004 dengan menempuh 5 STA dan
lapangan lagi pada tanggal 29 November 2004 menempuh 6 STA dan ke
lapangan terakhir pada tanggal 5 Desember 2004 dengan menempuh 2 STA
1
I. 4. Peralatan
Dalam melakukan Pemetaan Geologi Foto ini kami menggunakan alat-alat
yang diperlukan waktu sebelum ke lapangan yaitu ketika pengamatan foto uadar di
Laboratorium, alat-alat yang dipakai adalah :
1. Alat tulis dan penggaris
2. OHP Marker
3. Transparansi
4. Selotip
5. Kalkulator
Sedangkan alat-alat yang kami gunakan ketika di lapangan antara lain :
1. Kompas Geologi
Digunakan untuk mengukur atau menentukan besar sudut kemiringan
lapisan, kelerengan, selain itu juga digunakan sebagai bantuan untuk
menentukan lokasi pengeplotan, dan juga sebagai penentu arah.
2. Palu Geologi
Digunakan untuk memecah sampel batuan yang akan diambil sebagai
sampel selain itu juga digunakan sebagai pembanding ketika membuat
sketsa maupun dalam pembanding ketika di foto menggunakan kamera.
3. Alat tulis
Untuk menulis data-data dilapangan
4. HCl
Sebagai zat penguji apakah dalam batuan yang diambil mengandung
material karbonat atau tidak.
5. Peta Topografi
Digunakan untuk menentukan lokasi pengamatan dan fungsi utama dari
peta itu sendiri
6. Plastik
Digunakan untuk tempat sanpel batuan yang diambil
7. Buku Lapangan
Digunakan untuk mencatat data-data yang diambil pada tiap-tiap stasiun
pengamatan di lapangan dan membuat sketsa ketika dilapangan
8. Kamera
Untuk mengambil gambar ketika di lapangan
2
I. 5. Metode Penelitian
Seluruh tahapan penelitian dibagi dalam tiga tahapan utama, yaitu :
1. Tahap persiapan
- Menyiapkan peta topografi daerah pemetaan dan foto udara daerah pemetaan
- Mempelajari peta geologi bersistem Jawa Lembar Jogjakarta 1408-2 dan
1407-5, skala 1:100.000 (Wartono Rahardjo, Sukandarrumidi, dan Rosidi)
- Mempelajari beberapa pustaka yang dapat berupa text book serta publikasi
lainnya yang berhubungan dengan daerah interpretasi.
- Menginterpretasikan foto udara daerah pemetaan sehingga dapat membuat
peta geologi, peta geomorfologi, pola penyaluran, tabel geologi dan tabel
geomorfologi dari foto udara
- Membuat Peta Tentatif sebagai data sekunder sebelum ke lapangan
2. Tahap penelitian
Setelah tahap persiapan selesai dilakukan, maka tahapan selanjutnya adalah
survei ke daerah pemetaan yang terletak di daerah Wates, kecamatan Wates dan
Kecamatan pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta
untuk mendapatkan data-data yang diperlukan sehihngga dapat dilakukan
penginterpretasian daerah pemetaan.
Pengukuran paralaks dan beda tinggi, pengukuran luas dengan menggunakan
ketiga metode pengukuran yang dilakukan di laboratorium Geo Dinamik sebagai
lampiran lapran resmi
3. Tahap penyelesaian
Tahap penyelesaian merupakan tahap terakhir yang berupa penyusunan peta
tentatif setelah mendapatkan hasil data-data di lapangan daerah Kecamatan
Wates dan Kecamatan Pengasih, kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta Peta Geologi dan laporan resmi dalam bentuk buku.
3
BAB II
GEOMORFOLOGI DAERAH PEMETAAN
II.1. Geomorfologi Regional daerah Pemetaan
Secara fisiografis, kabupaten Kulon Progo tergolong dalam daerah yang
relatif datar, meskipun dikelilingi pegunungan yang sebagian besar terletak pada
wilayah utara, secara rinci luas wilayah Kulon Progo adalah sebagai berikut: 17,58 %
berada pada ketinggian < 7 m di atas permukaan laut, 15,20 % berada pada ketinggian
8 - 25 m di atas permukaan laut, 22,85 % berada pada ketinggian 26 - 100 m di atas
permukaan laut, 33,00 % berada pada ketinggian 101 - 500 m di atas permukaan laut
dan 11,37 % berada pada ketinggian > 500 m di atas permukaan laut. Jika dilihat dari
kemiringannya, 58,81 % dari seluruh wilayahnya memiliki kemiringannya < 15° ,
18,73 % kemiringannya antara 16° - 40° dan 22,46 % kemiringannya > 40° (
www.kulonprogo.go.id )
Daerah Kulon Progo ini dahulu berbentuk kubah atau dome yang disebabkan
oleh tenaga tektonik yang besar, terjadi sangat lama dan merupakan suatu
pengangkatan ( uplift ). Pada bagian atas kubah masih terdapar peneplain yang lama
disebut sebagai Plato Djonggrangan, begitu pula dengan lereng bagian selatan masih
terdapat breksi volkanik yang membentuk sabuk melingkar. Bagian utara pegunungan
Kulon Progo dipotong oleh sebuah gawir dan merupakan suatu peralihan antara zona
selatan dan zona tengah yang pada dasarnya merupakan pegunungan Karang Bolong
berupa tebing terjal yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sedangkan
pada bagian selatan berbatasan dengan Idjo Pass yang berhubungan dengan
pegunungan yang terletak pada zona tengah. Bagian timur Kulon Progo juga dibatasi
oleh dataran pantai Samudera Hindia dan bagian barat laut berhubungan dengan
Pegunungan serayu selatan.
Menurut relief dan topografinya, daerah Kulon Progo dibagi menjadi tiga
satuan morfologi yang meliputi:
1. Sataun perbukitan berelief terjal
2. Satuan perbukitan berelief sedang
3. Satuan dataran rendah
Perkembangan satuan pegunungan Kulon Progo tidak dipengaruhi oleh kegiatan
volkanik dari gunung merapi. Menurut Van Bemmelen ( 1949 ), morfologi Kulon
4
Progo bagian tepi terdiri dari batuan beku andesit dan breksi vulkanik, serta sebagian
tertutup batugamping berumur Eosen.
Daerah Kulon Progo dan sekitarnya menurut Van Bemmelen ( 1949 ) dibagi
menjadi lima satuan geomorfologi, yaitu :
1. Satuan Pegunungan Kulon Progo
Penyebarannya memanjang dari selatan ke utara dan menempati bagian barat
Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketinggiannya antara 100 – 1200 meter diatas
permukaan laut dengan kemiringan lereng antara 15o – 60o
Pemanfaatan lahan didaerah ini digunakan sebagai perkebunan, sawah,
pemukiman dan terdapat waduk
2. Satuan Perbukitan
Satuan ini memiliki penyebaran satuan yang sempit, satuan ini terpotong
oleh sungai Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten Kulon Progo
dengan Kabupaten Bantul.
Satuan ini meliputi daerah kecamatan Pengasih dan Sentolo.
Daerah satuan ini relatif bergelombang dengan ketinggian antara 50 – 500
meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng antara 13o – 17o.
3. Satuan Teras Progo
Satuan ini terletak di sebelah utara satuan perbukitan Sentolo dan sebelah
timur satuan pegunungan Kulon Progo yang meliputi Nanggulan dan
Kalibawang dan terutama diwilayah tepi Kulon Progo.
Daerah ini telah mengalami pengangkatan yang intensif yang diperlihatkan
oleh adanya teras-teras.
4. Satuan Dataran Alluvial
Satuan ini penyebarannya memanjang dari barat sampai timur meliputi
Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur dan Sebagian kecamatan Lendah
yang merupakan dataran rendah dengan kemiringan lereng yang relatif
landai. Pemanfaatan lahan sebagian besar digunakan untuk persawahan dan
pemukiman.
5. Satuan Dataran Pantai
Satuan dataran pantai ini masih dibagi lagi menjadi dua subsatuan yang
terdiri dari :
5
a. Subsatuan Gumuk Pasir
Penyebarannya memanjang di sepanjang pantai selatan Yogyakarta
yang meliputi Pantai Glagah dan Pantai Congot dengan sungai yang
bermuara di Pantai Selatan adalah Sungai Serang dan Sungai Progo.
Gumuk pasir ini terbentuk di sepanjang pantai akibat adanya aktivitas
angin yang mengendapkan material-material berukuran pasir yang
dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di pantai.
b. Subsatuan Dataran Alluvial Pantai
Terletak disebelah utara subsatuan gumuk pasir yang tersusun oleh
material-material berukuran pasir halus yang berasal dari subsatuan
gumuk pasir oleh kegiatan angin. Pada daerah ini dijumpai sebagian
gumuk pasir yang digunakan untuk persawahan dan pemukiman.
II.2. Geomorfologi Interpretasi Foto Udara
Dalam pengamatan geomorfolofi dengan menggunakan foto udara maka
dapat diinterpretasikan bahwa daerah pemetaan yaitu Kecamatan Wates dan
Kecamatan Pengasih mempunyai 3 satuan morfologi yaitu bentang alam struktural,
bentang alam fluvial dan bentang alam alluvial.
Bentang alam struktural ini terletak di bagian barat laut foto udara dan peta
topografi. Morfologi struktural ini mempunyai ketinggian dari 200 meter sampai
dengan 1400 meter setelah diukur dengan metode paralaks dan beda tinggi.
Bentang alam fluvial terdapat pada pinggiran sungai dengan jarak tindak
lebih dari 10 meter dari pinggiran sungai. Bentang alam ini meliputi adanya bar
deposit ( Chanel bar dan point bar ), selain itu juga terdapat adanya teras sungai, serta
adanya meander. Meander yang kami interpretasikan dengan menggunakan foto udara
terdapat pada alirang sungai serang baik pada hulu maupun pada hilir sungai.
Bentang alam alluvial merupakan suatu dataran rendah yang merupakan
dataran rendah yang ada di kecamatan Pengasih dan Wates. Dilihat dengan
menggunakan foto udara, dataran alluvial ini dikelilingi oleh suatu perbukitan
struktural yang berada di barat laut, tenggara dan timur laut. Sebelah barat laut
dibatasi dengan morfologi struktural yang berlitologi napal pasiran, breksi andeist dan
andesit, sedangkan pada bagian tenggara dan timur laut di batasi dengan perbukitan
struktural berelief rendah yang berlitologi batugamping dan napal pasiran.
6
II.3. Geomorfologi Setelah dilapangan
Geomorfologi di daerah pemetaan dapat dibagi menjadi menjadi bebera
satuan morfologi, yaitu :
A. Satuan Bentang Alam Struktural
1. Satuan Perbukitan Berlereng Terjal
Satuan geomorfologi pada daerah ini berupa perbukitan dengan morfogenesis
struktural pada satuan ini juga terdapat proses geologi berupa proses eksogenik
yaitu berupa erosi. Pada satuan ini ditemukan singkapan berupa singkapan tubuh
andesit. Bedasarkan data di lapangan bahwa singkapan Andesit ini dapat
diinterpretasikan bahwa memiliki dua kemungkinan asal yaitu berasal dari
aktifitas gunung api yang dulu terdapat di Kulon Progo yang kini telah
terdenudasi. Kegiatan vulkanisme dari Gunung Menoreh, Gunung Gajah, dan
Gunung Ijo yang berupa letusan dan dikeluarkannya material-material
piroklastik dengan ukuran dari kecil hingga blok, yang berdiameter lebih dari 2
meter. Kemudian material ini dikenal dengan formasi Andesit Tua karena
material vulkanik itu bersifat andesitik, dan terbentuk sebagai lava andesit dan
tuf andesit.
Foto 1Foto yang menunjukkan perbukitan berelief terjal
Kamera menghadap ke Barat Daya
Potensi geologi negatif yang terdapat pada daerah ini adalah berupa gerakan
massa seperti tanah longsor karena terletak pada perbukitan berlereng terjal
selain itu adanya gerakan massa. Potensi yang bersifat positif dari daerah ini
adalah untuk daerah perkebunan karena dilihat dari litologi yang merupakan
7
andesit yang telah mengalami pelapukan yang lebih lanjut dan tata guna lahan
daerah ini sebagian besar oleh masyarakat sekitar dimanfaatkan sebagai daerah
perkebunan karena daerah ini memiliki kondisi yang subur. Selain itu daerah ini
juga dimanfaatkan sebagi daerah pemukiman penduduk
2. Satuan Perbukitan Berlereng Curam Struktural-Denudasional
Satuan perbukitan berlereng curam sedang struktural-denudasional pada daerah
yang dipetakan terletak di bagian tenggara, timur, timur laut, serta barat laut
peta. Satuan ini memiliki pelamparan sebesar 34,4% dengan kelerengan 5,7º
sampai 12º sehingga menurut klasifikasi Verstappen dan Zuidam (1969) daerah
ini tergolong berlereng landai sampai curam sedang. (lihat foto 2)
Foto 2Kenampakan perbukitan berlereng Curam Sedang Struktural-Denudasional
Kamera menghadap ke Timur
Pola penyaluran yang berkembang pada daerah ini antara lain subdendritik,
subparalel-dendritik, subparalel, dan trellis.
Subdendritik
Pola penyaluran ini berkembang di daerah timur laut peta, yaitu di daerah
Kalipetir,
Subparalel
Pola penyaluran ini berkembang di daerah pada baratlaut peta, yaitu di
daerah Dobangsan. Pola penyaluran ini terbentuk pada daerah yang
8
memiliki kelerengan menengah atau terkontrol oleh bentuklahan yang
subparalel.
3. Satuan Geomorfologi Berelief landai
Satuan geomorfologi ini tergolong dalam Formasi Sentolo yang diperkirkan
berumur Miosen bawah sampai Pleistosen. Batuan penyusun daerah ini
umumnya tergolong dalam batuan karbonat, yaitu batugamping, batunapal
pasiran, batupasir napalan, dan batugamping berfosil. Adanya batuan-batuan
tersebut mengindikasikan bahwa daerah ini dulu merupakan dasar laut dangkal
yang kemudian terangkat oleh tenaga endogenik hingga membentuk tinggian
seperti sekarang ini. Kelerengan yang tidak terlalu curam disebabkan litologinya
yang mudah mengalami proses-proses denudasional, yaitu pelapukan kimiawi
dan erosi.
Satuan geomorfologi pada daerah ini berupa perbukitan dengan morfogenesis
struktural. Pada satuan ini terdapat proses geologi yang tampak yaitu berupa
proses eksogenik berupa pengangkatan. Sumber daya geologi yang ada berupa
tambang mangan dimana mangan tersebut telah berasosiasi dengan batugamping
dan pada daerah Selotanggung, mangan ini berasosiasi dengan batunapal.
Secara umum daerah ini memiliki potensi tata guna lahan sebagai tambang
rakyat, karena daerah ini memiliki litologi berupa batugamping berlapis dan ada
beberapa tempat yang batugamping-nya telah mengalami pergantian oleh unsur-
unsur logam dimana unsur logam tersebut didominasi oleh unsur mangaan.
Foto 3Foto yang menunjukkan satuan geomorfologi berelief landai
Kamera menghadap ke Timur
9
B. Satuan Dataran Alluvial
Satuan dataran alluvial dari daerah yang dipetakan memiliki pelamparan sebesar
54,5%, dengan relief yang halus, dan kelerengan 0º-0,59º. Sehingga menurut
klasifikasi Verstappen dan Zuidam (1969) daerah ini tergolong datar.(lihat Foto 4)
Foto 4Kenampakan satuan Dataran Alluvial yang digunakan sebagai lahan pertanian
Kamera menghadap ke Selatan
Pada satuan dataran aluvial ini tidak dijumpai adanya pola penyaluran. Hal ini
disebabkan pada daerah yang relatif datar tidak berkembang suatu pola
penyaluran. Satuan dataran aluvial ini mempunyai relief halus yang datar, yang
merupakan hasil deposisi material dari perbukitan di sekitarnya. Sehingga pada
daerah ini hampir tidak ada kontrol struktur yang membentuk dataran aluvial ini.
C. Satuan Fluvial
Satuan dataran fluvial dari daerah yang dipetakan, terletak di sekitar Kali
Serang. Satuan ini memilik pelamparan sebesar 11,1% dengan relief halus, dan
kelerengan 0º-0,59º, sehingga menurut klasifikasi Verstappen dan Zuidam
(1969) daerah ini tergolong datar.
Satuan dataran fluvial ini mempunyai relief yang datar, yang merupakan hasil
pengangkutan material-material yang dibawa oleh Kali Serang. Material tersebut
tersebut kemudian mengendap karena energi pengangkutan yang dimiliki Kali
Serang telah berkurang. Endapan-endapan tersebut kemudian membentuk bar
10
deposit yaitu point bar jika endapan tersebut berada di tepi sungai ddan
channel bar jika material tersebut diendapkan di tengah sungai. Kenampakan
fluvial lainnya yang terkait dengan energi sedimentasi dari sungai ini misalnya
kenampakan braided stream yang terbentuk pada bagian hilir sungai yang
memiliki slope hampir datar sampai datar. Sungai teranyam juga terbentuk
karena erosi yang berlebihan pada bagian hulu sungai sehingga terjadi
pengendapan pada bagian alurnya dan membentuk endapan gosong tengah,
dikarenakan banyak terdapat endapan gosong tengah maka seolah-olah
alirannya memberikan kesan teranyam. Di daerah ini juga terdapat dataran
banjir dan teras-teras sungai. Dataran banjir adalah dataran yang masih dapat
dicapai oleh air sungai, jika dataran tersebut tidak dapat dicapai oleh aliran
sungai, maka akan terbentuk teras sungai. Teras sungai pada Kali Serang ada
yang berpasangan (lihat Foto 5), namun ada juga yang berbentuk teras tunggal.
Di Kali Serang diperkirakan terdapat struktur berupa sesar yang mengakibatkan
sungai tersebut mengalami pembelokan. Namun secara umum daerah ini
terbentuk bukan karena adanya struktur, tapi lebih disebabkan pengendapan atau
sedimentasi material-material yang dibawa oleh Kali Serang.
Foto 5Kenampakan bentang alam fluvial (point bar) di Sungai Serang
Kamera menghadap ke Selatan
Pada satuan dataran fluvial ini relatif datar tidak berkembang suatu pola
penyaluran. Pada daerah ini hanya terdapat sungai yang berstadia dewasa
yaitu Kali Serang, yang dicirikan bentuk lembahnya yang relatif U karena
11
erosi lateralnya lebih dominan dibandingakan erosi vertikal, adanya dataran
banjir, teras sungai, serta bar deposit.
Daerah aliran kali Kokap
Daerah ini memiliki morfologi berupa sungai dengan tipe aliran sungai
ini adalah perrenial karena berair sepanjang tahun. Secara umum daerah
aliran sungai Kokap merupakan sungai yang terkontrol oleh kekar.
Sungai ini pada aliran terdapat material sedimen yang berupa breksi
andesit yang kemungkinan berasal dari gunung api yang berada pada
pegunungan Kulon Progo yang kini telah terdenudasi kemungkinan yang
lain adalah berasal dari hasil letusan gunung api merapi tua.
Daerah aliran sungai Nagung
Daerah ini bermorfologi berupa sungai dengan stadia dewasa dengan tipe
aliran sungai ini adalah perenial karena berair sepanjang tahun. Pada
stasiun pengamatan 7 kami mengamati sungai ini terdapat tanggul alam
dan juga terdapat dataran banjir, selain itu kami juga menemukan adanya
point bar dan channel bar pada sungai walaupun tidak dalam ukuran dan
jumlah yang begitu besar.
Litologi endapan yang terdapat pada daerah aliran sungai ini berupa
material karbonat. Yang kemungkinan endapan tersebut berasal dari
proses transportasi material yang berupa batugamping berlapis.
Batugamping ini berasal dari perbukitan berelief landai yang memang
berlitologi batugamping berlapis.
Daerah aliran sungai Serang
Daerah ini bermorfologi berupa sungai berstadia dewasa karena dalam
pengamatan dilapangan menemukan daerah pinggiran sungai berupa
dataran banjir dan juga terdapat suatu meander bahkan juga ditemukan
point bar dan channel bar dengan tipe aliran sungai ini adalah perenial
karena berair sepanjang tahun.
Pada aliran sungai serang bagian bawah secara tiba-tiba membelok.
Kami interpretasikan adanya kekar yang menyebabkan terjadinya
pembelokkan sungai itu. Litologi dari endapan yang terdapat pada
daerah aliran sungai ini berupa material karbonat. Material ini
kemungkinan berasal dari proses transportasi material yang berupa
12
batugamping berlapis. Batugamping ini berasal dari perbukitan berelief
landai yang berlitologi batugamping berlapis.
BAB III
STRATIGRAFI DAERAH PEMETAAN
III.1. Stratigrafi Regional Kulon Progo
Dalam statigrafi regional mengenai daerah pemetaan, dibahas umur batuan
berdasarkan batuan penyusunnya, untuk itu perlu diketahui sistem umur yang
ditentukan batuan penyusun tersebut. Sistem tersebut antara lain:
1. Sistem Eosen
Batuan penyusun yang menyusun sistem ini adalah batupasir, lempung,
napal, napal pasiran, batugamping, serta banyak kandungan fosil foraminifera maupun
moluska. Sistem Eosen dikenal dengan Nanggulan Group. Tipe dari sistem ini
misalnya di desa Kalisongo, Nanggulan Kabupaten Kulon Progo yang secara
keseluruhan ketebalannya mencapai 300 m. Tipe ini dibagi lagi menjadi empat yaitu
Yogyakarta beds, Discocyclyna beds, Axiena beds, dan Napal globigerina, yang
masing-masing tersusun oleh batupasir, napal, napal pasiran, lignit dan lempung.
Disebelah timur Nanggulan group ini berkembang fasies gamping yang kemudian
dikenal sebagai gamping Eosen yang mengandung fosil foraminifera, coelenterata,
dan moluska.
2. Sistem Oligosen – Miosen
Pada sistem Oligosen Miosen terjadi kegiatan vulkanisme yang memuncak
dari Gunung Menoreh, Gunung Gajah, dan Gunung Ijo yang berupa letusan dan
dikeluarkannya material-material piroklastik dengan ukuran dari kecil hingga blok,
yang berdiameter lebih dari 2 meter. Kemudian material ini dikenal dengan formasi
Andesit Tua karena material vulkanik itu bersifat andesitik, dan terbentuk sebagai
lava andesit dan tuf andesit. Sedang pada sistem Eosen, diendapkan pada lingkungan
laut dekat pantai yang kemudian mengalami pengangkatan dan perlipatan dilanjutkan
13
dengan penyusunan laut. Bila dari hal tersebut maka sistem Oligosen – Miosen
dengan formasi andesit tuanya terletak tidak selaras dengan sistem Eosen yang ada
dibawahnya. Diperkirakan ketebalan formasi ini sekitar 600 meter. Formasi andesit
tua ini membentuk daerah perbukitan dengan puncak-puncak yang runcing.
3. Sistem Miosen
Setelah pengendapan formasi andesit tua mengalami penggenangan oleh air
laut atau penurunan sehingga formasi ini ditutupi oleh formasi yang lebih muda secara
tidak selaras. fase pengendapan ini berkembang dengan batuan penyusunnya berupa
batugamping reef, napal, tuff breksi, batupasir, batugamping globigerina, dan lignit
yang kemudian disebut dengan formasi Djonggrangan, selain itu juga berkembang
formasi Sontolo yang formasinya terdiri dari batugamping, napal, dan batugamping
konglomeratan. Formasi Sentolo sering dijumpai berada di atas formasi Jonggrangan.
Formasi Jonggrangan dan formasi Sentolo sama-sama banyak mengandung fosil
foraminifera kecil yang menunjukan umur Burdigalian-Pliosen. Formasi-formasi
tersebut mempunyai persebaran yang luas dan pada umumnya membentuk daerah
perbukitan dengan puncak yang relatif bulat. Di akhir kala Pleiosen daerah ini
mengalami pengangkatan dan pada kuarter terbentuk endapan fluviatil dan vulkanik
dimana pembentukan tersebut berlangsung terus-menerus hingga sekarang yang
letaknya tidak selaras diatas formasi yang terbentuk sebelumnya.
Menurut Van Bemmelen ( 1949 ), dijelaskan bahwa stratigrafi rangkaian
pegunungan Kulon Progo dimulai dari yang tertua sampai yang termuda yaitu sebagai
berikut:
1. Formasi Nanggulan
Formasi ini terdiri dari batupasir dengan sisipan lignit, napal pasiran,
batulempung dengan konkresi lignit, sisipan napal dan batugamping, batupasir
dan tuff, kaya akan forraminifera dan moluska. Lingkungan pengendapannya
berupa litoral pada fase gunung laut.
Menurut Winggoprawiro ( 1973 ) dan Purwaningsih ( 1974 ) bagian bawah
formasi Nanggulan tersusun terutama oleh endapan laut dangkal, batupasir
serpih berselingan dengan napal dan lignit. Bagian atas tercirikan oleh batuan
yang bersifat napalan yang menunjukkan endapan laut yang lebih dalam dengan
fasies beritik. Berdasarkan atas studi forraminifera, Plankton formasi Nanggulan
14
ini mempunyai kisaran umur antara Eosen tengah sampai Oligosen atas
( Hartono, 1969 ).
Formasi ini terbagi menjadi 3 anggota yang lebih kecil lagi :
a. Axine Beds
Merupakan formasi yang terletak paling bawah dari formasi lainnya dengan
ketebalan lapisan 40 meter. Formasi ini terdiri dari batupasir dan
batulempung dengan sisipan lignit. Lapisan ini termasuk kedalam fasies
litoral dan banyak mengandung fosil Pelecypoda.
b. Yogyakarta Beds
Merupakan bagian yang terletak pada bagian atas dari formasi Axinea Beds,
ketebalan dari lapisan ini sekitar 60 meter. Lapisan ini terdiri dari
batulempung dan batupasir yang kaya dengan fosil Forraminifera besar dan
Gastropoda.
c. Discocylina beds
Formasi ini merupakan formasi yang berada di paling atas yang diendapkan
secara selaras diatas formasi Axinea Beds dan Yogyakarta Beds. Formasi ini
terdiri dari napal yang terinterklasi dengan batugamping dan batu tufan
vulkanik yang kemudian disusul oleh batupasi arkose. Fosil yang khas
adalah Discoclyna dengan ketebalan lapisan sekitar 200 meter.
2. Formasi Andesit Tua
Terdiri dari dari breksi andesit, tuff, tuff lapilli, aglomerat, dan sisipan lairan
lava nadesit. Lavanya terutama terdiri dari andesit hipersten dan andesit augit-
hornblende. Nama andesit tua telah dipakai berulang kali sejak diperkenalkan
dalam kepustakaan pada tahun 1896 dan dipakai untuk nama didaerah ini
( Marks, 1957:114 )
Kepingan Tuff Napalan yang merupakan hasil dari rombakan dari lapisan yang
lebih tua dijumpai di kaki Gunung Mudjil di dekat bagian bawah formasi ini.
Fosil Plankton pada kepingan ini dikenali oleh Purwaningsih ( 1974:12 ) berupa
Globigerina ciperoensis – BOLLI, Globigerina yugaensis – WEINZIERL dan
APPLIN, dan Globigerina praebulloides BLOW menunjukkan umur Oligosen
atas.
Formasi andesit tua ini merupakan formasi yang diendapkan tidak selaras diatas
formasi Naggulan dan berumur Oligosen sampai Miosen. Ketebalannya kira-
kira 660 meter.
15
3. Formasi Djonggrangan
Formasi ini terdiri dari batugamping berlapis, batugamping koral, konglomerat,
napal tuffaan. Bagian bawah terdiri dari konglomerat yang ditindih oleh napal
tuff dan batupasir gampingan dengan sisipan lignit. Batuan ini ke arah atas
berubah menjadi batugamping berlapis dan batu gamping berkoral.
Batugamping membentuk bukit berbentuk kerucut di sekitar desa Jonggrangan.
Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas formasi Andesit Tua dan
Berumur Miosen bawah sampai Miosen tengah. Dijelaskan pula bahwa ada
perbedaan dalam hal lingkungan pengendapannya antara formasi Djonggrangan
dengan formasi Sentolo. Formasi ini dianggap berumur Miosen bawah, dan di
bagain bawah berjari-jemari dengan batuan bawah dengan ketebalan formasi
sentolo ( Pringgiprawiro, 1968: 7 ). Ketebalannya kira-kira 250 meter.
Lingkungan pengendapan pada formasi Sentolo adalah neritik.
4. Formasi Sentolo
Terdiri dari batugamping dan batupasir napalan. Bagian bawah formasi ini
terdiri dari konglomerat alas yang ditumpuki oleh napal tuff dengan sisipan tuff
kaca. Batuan ini ke arah atas berangsur-angsur menjadi batugamping berlapis
yang kaya foraminifera.
Beberapa Spesies yang khas seperti Globigerinatella insueta CUSHMAN dan
STAINFORTH, Globigerinoides sicanus DESTEFANI, Globorotella
peripheroronda BLOW dan BANNER dan Hastigerina praesiphonifera BLOW
ditemukan pada bagian bawah formasi ini oleh Darwein Kadar ( 1975 ) yang
mengambil kesimpulan setelah melakukan penelitian terhadap fosil foraminifera
bahwa formasi ini berkisar antara awal Miosen sampai Pleiosen ( zona N 7
sampai zona N 21 ), dimana ketebalnnya kira-kira 950 meter.
Harsono ( 1968 ) menjelaskan, bahwa formasi ini terdiri dari napal,
batugamping yang menunjukkna fase neritik, dengan ketebalan mencapai 250
meter. Formasi ini berumur Miosen bawah sampai Pleiosen.
5. Endapan Alluvial dan Fluvial
Endapan ini berumur paling muda dan terbentuk pada zaman kuarter, dimana
proses-proses pembentukannya masih berlangsung sampai sekarang yang
letaknya tidak selaras di atas formasi sebelumnya. Litologinya terdiri dari
lempung, pasir, kerikil, dan kerakal yang bercampur menjadi batu.
Umur Formasi / grup Litologi
16
KuarterFluviatil
endapan vulkanik
Bongkah, kerakal, pasir, tuff, dan
romabakan dari formasi yang lebih
tua
Pleiosen
Sentolo
Batu gamping, napal, lenda
lensavitric tuff, batu paisr
konglomeratan
Jonggrangan
Batu gamping reef, batu gamping
globerina, napal, tuff breksi batu
pasir, lignit
Aquitanian “Old Andesite” Lava andesuit, tuff breksi
Eosen atas
Napal globerina
Discocyclina
Djogjakartae
Axinea
Napal
batu pasir, napal, pasiran napal dan
lempung
batu pasir, napal, lignit
Tabel 1 : Stratigrafi Regional Daerah kulon Progo
III.2. Stratigrafi hasil interpretasi foto udara
Startigrafi yang dapat kami interpretasikan dengan menggunakan foto udara
adalah bahwa daerah pemetaan kami yaitu daerah Kecamatan Wates dan Kecamatan
Pengasih mempunyai 3 satuan litologi, yaitu litologi pada dataran alluvial, litologi
napal pasiran dan batugamping yang termasuk dalam formasi Sentolo, litologi breksi
andesit yang termasuk dalam formasi Djonggrangan, dan paling tua adalah berlitologi
Andesit yang termasuk dalam formasi Andesit Tua.
Pada formasi paling tua mempunyai litologi berupa batuan beku andesit
karena terbentuk dari hasil aktifitas gunung api yang dulu terdapat di Kulon Progo
yang kini telah terdenudasi. Formasi ini terdapar pada morfologi struktural berelief
terjal.
Formasi selanjutnya adalah formasi Djonggrangan yang berlitologi breksi
andesit. Formasi ini terletak juga pada morfologi struktural berelief terjal. Litologi
pada formasi ini juga diperkirakan terbentuk dari hasil aktifitas gunug berapi.
Formasi Sentolo mempunyai litologi berupa pasir napalan dan batugamping.
Pada foto udara terlihat ciri-ciri dari suatu bentukan dari bentang alam karst tetapi
17
setelah kami lihat pada peta topografi ternyata bentukan dari bentang alam karst
belum terlihat sepenuhnya dengan kata lain formasi sentolo yang terdapat pada daerah
pemetaan kami ini belum termasuk dalam bentang alam karst walaupun dalam
interpretasi foto udara terlihat sep[erti bentang alam karst.
Dataran alluvial mempunyai litologi berupa alluvium yang berasal dari hasil
erosi dari pegunungan struktural yang berlitologi breksi andesit, andesit dan juga
batugamping serta napal pasiran. Jadi dimungkinkan litologi pada dataran alluvial ini
berupa pasir, lempung, kerikil sampai material-material karbonat yang dibawa oleh
sungai serang yang melalui formasi Sentolo.
III.3. Stratigrafi daerah pemetaan
Stratigrafi pada daerah pemetaan ini meliputi beberapa satuan litologi atau
beberapa formasi antara lain Formasi Andesit Tua yang berada pada morfologi
struktural yang berada diatas formasi Djonggrangan, sedangkan formasi
Djonggrangan ini sendiri berada pada daerah morfologi struktural juga dengan litologi
berupa breksi andesit. Formasi lainnya adalah formasi Sentolo yang berlitologi berupa
batugamping dan pada dataran rendah mempunyai litologi berupa endapan alluvial.
1. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai litologi berupa batuan beku yaitu batu Andesit.
Berdasarkan data dilapangan bahwa singkapan Andesit ini dapat
diinterpretasikan bahwa memiliki dua kemungkinan asal yaitu berasal dari
aktifitas gunung api yang dulu terdapat di Kulon Progo yang kini telah
terdenudasi.
Pada singkapan pada STA 8 menunjukkan adanya struktur yang memotong,
sedangkan sebuah hasil dari aktifitas gunung api maka harusnya struktur yang
tampak adalah struktur yang menyebar namun dalam singkapan ini struktur
yang tampak adalah struktur yang saling memotong. Kemungkinan lain dari
singkapan ini adalah berdasarkan adanya struktur yang saling memotong dan
berdasarkan komposisi struktur yang ada maka dalam singkapan ini bukanlah
suatu hasil dari proses sedimentasi. namun struktur tersebut memiliki komposisi
andesit sehingga kemungkinan yang ada pada singkapan tersebut adalah berasal
dari hasil ledakan gunung api yang merupakan batuan beku volkanik atau bisa
saja merupakan hasil dari intrusi gunung api.
Jika dilihat dari strukturnya kemungkinan besar bahwa singkapan itu berasal
dari letusan gunung api dan dari mekanisme yang ada dikatakan bahwa struktur
18
yang diakibatkan oleh aktifitas volkanik tidak akan menghasilkan struktur yang
saling memotong tetapi saling menyebar ke segala arah. Kemungkinan yang lain
yang dapat di analisis adalah adanya struktur yang tampak merupakan dari
intrusi karena jika dilihat dari struktur yang saling memotong tadi kemungkinan
yang terbesar adalah hasil dari intrusi baik dari intrusi dangkal maupun intrusi
menengah. Perkiraan intrusi yang bisa terjadi di sini adalah bisa berupa sill atau
dike yang saling berulang sehingga membentuk struktur yang saling memotong.
Daerah ini meliputi Kokap, Gunung Kendil, Gunung Jati Sawit, dan Sermo
Wetan.
Foto 6Kenampakan saling memotong dan diperkirakan adalah sill atau dike
Kamera menghadap ke Utara
19
Foto 7Foto yang menunjukkan pelapukan Membola
Kamera menghadap ke UtaraPada STA 7 yang berada di Gunung Kendil, menunjukkan adanya kontak antara
Breksi Andesit dengan Andesit yang mana kontak antar batuan ini diperkirakan
adalah suatu patahan atau sesar. Pada singkapan ini juga terdapat singkapan
yang menunjukkan bahwa batuan di singkapan ini telah mengalami pelapukan
dan pelapukan yang terdapat di singkapan ini adalah pelapukan jenis pelapukan
membola.
Foto 8Kontak antara Andesit dengan Breksi Andesit pada STA 7
Kamera menghadap ke Utara
2. Formasi Djonggrangan
Formasi ini berlitologi berupa breksi andesit. Litologi dari breksi andesit ini
sendiri dimungkinkan terbentuk seperti cara pembentukan andesit pada formasi
Andesit Tua yang juga merupakan hasil dari aktifitas gunung api yang dulu
terdapat di Kulon Progo yang telah terdenudasi. Singkapan Breksi Andesit pada
STA 6 ini mempunyai fragmen dengan ukuran dari kerakal sampai brangkal
dengan matriks berukuran pasir sampai kerikil.
Daerah formasi ini antara lain seperti Gunung Kukusan, Gunung Rebab,
Kedungtangkil, Kalisepat.
20
Foto 9Breksi Andesit pada Formasi Djonggrangan
Bagian Runcing Palu geologi menghadap ke Utara
3. Formasi Sentolo
Formasi ini mempunyai litologi berupa batugamping dan batupasir napalan.
Dari cara terjadinya formasi sentolo ini dulu merupakan dasar laut yang
kemudian mengalami pengangkatan, hal ini ditunjukkan dengan litologi batuan
yang karbonat.
Pada daerah Gunung Gempal dan Kalinongkop yang merupakan STA 1 dan
STA2 mempunyai litologi batupasir napalan, dengan arah bidang perlapisan
pada STA 1 N 80o E/9o.
21
Foto 10Bidang Perlapisan pada STA 1Kamera menghadap ke Selatan
Pada STA 3 yaitu di Dusun Kersan menemukan adanya singkapan yang berupa
napal yang termasuk dalam formasi Sentolo dan singkapan ini termasuk dalam
satuan geomorfologi struktural berelief sedang. Arah bidang bidang perlapisan
pada singkapan ini adalah N 265o E/15o.
Foto 11Foto singkapan pada STA 3
Bagian Runcing Palu Geologi menghadap ke Utara
Foto 12Foto Singkapan pada STA 4 kontak antara batugamping berlapis dengan batunapal
yang mana batunapal tersebut terkena pemasukan unsur logam yaitu ManganKamera menghadap ke Tenggara
22
Sedangkan pada STA 4 yaitu di Dusun Selotanggung kami menemukan adanya
singkapan Batunapal yang juga telah menjadi tambang rakyat. Singkapan ini
juga merupakan kontak antara batugamping berlapis dengan batunapal yang
merupakan kontak tidakselaras yang berupa pararel unconformity, hal ini
dikarenakan antara batunapal dengan lapisan batugamping yang berada
diatasnya memiliki perlapisan yang sama dengan arah perlapisan batuan N 270o
E/9o. Pada singkapan ini batunapal terkena proses penggantian dan pemasukan
unsur logam, dimana unsur logam tersebut adalah Mangan.
Pada STA 8 terdapat suatu sumber daya geologi yaitu adanya tambang Mangan
yang mana duku diusahakan secara besar-besaran namun sekarang sudah tidak
diusahan kembali karena dinilai tidak ekonomis.
Foto 13Singkapan batugamping berlapis pada STA 8
Kamera menghadap ke Barat
23
Foto 14Bekas Tambang Mangan
Kamera menghadap ke UtaraPda STA 9 di dususn Kalipetir dan pada STA 10 di dusun Kembang mempunyai
litologi berupa napal pasiran. Litologi pada kedua STA ini masih merupakan
kelompok dari Formasi Sentolo yang mempunyai Litologi Batugamping dan
Napal Pasiran. Arah kedudukan bidang lapisan pada STA 10 adalah N 130o
E/13o.
Foto 15Singkapan Napal Pasiran pada STA 10
Kamera menghadap ke Utara
Pada STA 11 yaitu di daerah dusun Pantjaran terdapat singkapan yang sama
dengan STA 10 yaitu Napal pasiran dengan arah kedudukan lapisan N 245o
E/10o.
Foto 16Singkapan Napal Pasiran pada STA 11
Arah runcing Palu Geologi menghadap ke Utara
24
Pada STA 12 di dusun Plugon juga mempunyai litologi yang sama yaitu napal
pasiran yang juga merupakan dari formasi sentolo. Arah kedudukan perlapisan
batuan N 260o E/19o
Foto 17Singkapan Napal Pasiran pada STA 12
Arah runcing pada palu geologi ke arah Utara
Sedangkan pada STA 13 yang terdapat di Gunung Dandang mempunyai litologi
batugamping pada singkapan ini juga terdapat batugamping yang telah menjadi
mineral kalsit. Singkapan ini juga digunakan sebagai tambang rakyat.
Foto 18Singkapan Batugamping (a) dan juga mineral Kalsit (b) pada STA 13
Bagian runcing palu geologi menunjukkan arah utara
25
4. Endapan Alluvial
Endapan Alluvial yang terdapat pada dataran rendah di Kecamatan Pengasih dan
Kecamatan Wates adalah berumur paling muda dan terbentuk pada zaman
kuarter, dimana proses-proses pembentukannya masih berlangsung sampai
sekarang yang letaknya tidak selaras di atas formasi sebelumnya. Litologinya
terdiri dari lempung, pasir, kerikil, dan kerakal yang bercampur menjadi batu.
Daerah yang merupakan endapan Alluvial contohnya Wates, Pengasih, Tambak,
Djelok dan Pendem.
Endapan Alluvial ini kebanyakan digunakan sebagai lahan pertanian seperti
sawah dan juga digunakan untuk pemukiman.
Foto 19Foto Endapan Alluvial di Dusun Tambak yang digunakan sebagai
Lahan pertanian yaitu sawahKamera menghadap ke Selatan
26
BAB IV
STRUKTUR GEOLOGI
IV.1. Struktur Geologi Reginal
Menurut Van Bemmelen ( 1949 ), secara keseluruhan daerah Kulon Progo
mempunyai bentuk kubah yang lonjong yang lebih dikenal dengan nama “Oblong
Dome” dengan diameter berukuran 32 km yang mengarah NNE – SSW, dan
berukuran 20 km yang mengarah ESW – WNW. Sebelah timur dibatasi oleh lembah
Progo, sebelah barat laut berhubungan dengan Pegunungan Serayu Selatan dan di
sebelah utara berbatasan dengan Pegunungan menoreh dan Dataran Magelang. Di
bagian selatan kubah tersebut tertutup oleh batugamping, napal, tuffan yang berlapis
ke arah selatan dan tenggara dengan beberapa bagian telah berupa bentuk antiklin dan
sinklin yang terpatahkan.kumpulan litologi terakhir ini disebut denan formasi Sentolo.
Disamping itu juga ada gerakan tanah terutama di daerah pelamparan
formasi Nanggulan di mana gerakannya masih berlangsung sampai sekarang dan
mudah diamati gejala-gejala yang ada di lapangan. Karena strukturnya yang berupa
dome, maka batuan yang tersingkap memiliki kemiringan yang relatif kecil karena
adanya pengangkatan setelah terjadi pengendapan batuan dibawahnya. Kubah ini
terjadi setelah jaman Miosen, hal ini dapat dilihat dari tidak ditemukannya perlapisan
yang berumur Pliosen-Plestosen.
Berdasarkan hasil interpretasi foto udara maka struktur geologi yang ada di
daerah Sungai Progo dan sekitarnya adalah berupa kelurusan. Kelurusan yang
dijumpai di daerah ini berupa gawir yang memanjang, adanya belokan Sungai Progo,
adanya puncak bukit yang memanjang yang dapat berupa sesar. Namun adanya
pembelokan aliran sungai yang terdapat di Kulon Progo tersebut sulit dibuktikan
sebagai sesar.
Secara regional, Jawa merupakan bagian tepi lempeng Benua Eurasia yang
merupakan tepi benua aktif. Penunjaman lempeng India-Australia terhadap lempeng
Benua Eurasia selama kapur akhir-Oligosen menghasilakan zona penunjaman berarah
barat-timur di Jawa Tengah bagian selatan (Daly et al., 1978; Hamilton, 1979;
Hamilton 1989,. Rangin et al., 1990; Sukendar, 1974 dalam Sujanto dan Roskamil,
1975)
27
Pegunungan Kulonprogo memliki tiga inti kubah yang terdiri atas tiga
gunung api tua dengan komposisi andesit, yaitu Gunung Gajah yang berada di tengah,
Gunung Ijo yang berada di bagian sekatan Gunung Menoreh yang berada di bagian
utara. Kompleks pegunungan ini mengarah ke utara dan timur dibatasi oleh dataran
pantai di Jawa Tengah, di barat laut berhubungan dengan pegunungan Serayu selatan.
Pada pegunungan Kulonprogo telah terjadi dua fase pengangkatan. Pengangkatan
pertama terjadi pada akhir aktivitas Gunung Menoreh, pada kala Oligosen-Miosen
sehingga membentuk struktur lembah. Fase kedua terjadi pada kala Pleistosen, yaitu
pada saat pegunungan ini terangkat kembali dan mengakibatkan terbentuknya sesar-
sesar yang berpola radier.
Struktur geologi regional disekitar pegunungan Kulonprogo berupa sesar
dan lipatan (Wartono Rahardjo et al., 1995). Berikut ini adalah penjelasan masing-
masing struktur:
1. Sesar
Sesar yang terbentuk di sekitar pegunungan Kulonprogo dapat
dibedakan menjadi dua yaitu, sesar turun dan sesar geser. Dimana
kedua sesar ini dapat diketahui dengan kenampakan dimensinya
dilapangan sebagai berikut:
a.Sesar turun.
Sesar turun yang dapat dijumpai dibagian barat-barat laut
pegunungan Kulonprogo dengan panjang sekitar 11 km.
b. Sesar geser
Sesar geser yang dapat dijumpai adalah sesar geser mendatar ke
arah kanan. Sesar geser ini berada di sebelah barat laut Pegunungan
Kulonprogo, dengan panjang sekitar 11 km.
2. Lipatan
Lipatan yang terbentuk adalah sinklin dan antiklin. Secara umum
formasi tertua yang terlipat adalah formasi Nanggulan, di selatan
Gunung Jonggol, sedangkan formasi termuda yang terlipat adalah
formasi Sentolo.
28
IV.2. Struktur Geologi hasil Intrerpretasi Foto Udara
Struktur geologi yang terlihat pada foto udara yaitu adanya kelurusan-
kelurusan pada daerah bermorfologi struktural dan diperkirakan adalah suatu sesar
atau patahan maupun adanya kekar. Patahan-patahan yang tampak pada morfologi
struktural situnjukkan oleh adanya lereng-lereng terjal. Sedangkan pada daerah
berlitologi batugamping maupun napal pasiran diperkirakan adanya kekar-kekar yang
tidak dapat terlihat oleh foto udara.
Struktur geologi lainnya pada morfologi fluvial terlihat jelas pada kelurusan-
kelurusan pada Sungai Serang dan Sungai-sungai yang ada pada morfologi struktural.
Struktur geologi juga nampak jelas pada batas antara formasi Djonggrangan dengan
Formasi Sentolo pada bagian tengah foto udara, terlihat jelas terpisahkan oleh adanya
patahan sehingga merupakan batas kontak batuan.
IV.3. Struktur Geologi Setelah lapangan
Kontrol Struktur paling banyak dijumpai terdapat pada daerah dengan
morfologi struktural yaitu kontrol sesar, sedangkan pada daerah berlitologi
batugamping dan batupasir napalan banyak ditemukan adanya kekar-kekar.
1. Struktur Geologi pada morfologi struktural
Banyak dijumpai adanya sesar yang ditunjukkan adanya triangle facet dan igir-
igir. Kelurusan-kelurusan yang terjadi adalah pada daerah Gunung Kukusan, Kali
Biru yang ditunjukkan dengan adanya sungai yang terbentuk dari adanya kontrol
struktur patahan ini, Struktur Geologi lainnya juga terlihat di daerah Sermo yang
terlihat adanya struktur sesar yang memanjang sehingga membentuk suatu sungai,
bahkan sesar ini melewati bendungan yang ada di Waduk Sermo, sesar ini
dimungkinkan adalah Dip Slip Fault yang memperlihatkan adanya perpindahan yang
relatif yaitu Up ( naik ) dan Down ( turun ). Kali Pantaran yang terdapat di lereng
Gunung Malaban juga terlihat jelas dari peta topografi maupun foto udara terbentuk
dari adanya suatu patahan atau sesar. Selain itu juga terdapat di lereng Gunung Bibis
terdapat sesar yang memanjang dari lereng Gunug Bibis sampai Wonokembang.
Patahan juga terlihat jelas pada peta topografi dan foto udara yaitu batas antara
formasi Djonggrangan dengan Formasi Sentolo yaitu sesar yang memisahkan Gunung
Dandang yang berlitologi batugamping dengan dusun Blubuk yang belitologi breksi
andesit. Kali Gede dan Kali Ngrantjang juga terbentuk dari adanya struktur sesar.
29
Kali Serang juga memisahkan formasi sentolo yang berlitologi batupasir napalan
dengan batugamping. Ditunjuukan pada Gunung Gamping dipisahkan dari Dusun
Djaten yang berlitologi batupasi napalan, Gunung Cangkir yang berlitologi batupasi
napalan tersesarkan dengan Gunung Dandang yang mana sesar ini juga membentuk
sungai yaitu Sungai Serang.
Patahan juga terdapat di selatan dusun Pucanggading dan memanjang sampai
dusun Kebonrejo. Struktur geologi di daerah ini adalah Dip Slip Fault yang
memperlihatkan adanya perpindahan yang relatif yaitu Up ( naik ) dan Down ( turun )
dan bergeser ke kiri, pergeseran ini kearah utara – selatan. Sesar-sesar yang sama juga
terdapat di lereng Gunung Jeruk memanjang sampai dusun Bletok dengan arah
pergeseran tenggara – barat laut; dan juga terdapat pada lereng Gunung Roto sampai
Dusun Ngulakan dengan arah pergeseran tenggara – barat laut.
Foto 20Foto yang menunjukkan adanya sesar yang ada di Waduk Sermo
Kamera menghadap ke Barat Laut
Struktur Geologi juga terdapat pada perbukitan berelief landai dibagian tenggara
kota Wates. Struktur geologi di perbukitan ini adalah adanya Struktur lipatan yang
berarag tenggara – barat laut. Sayap sinklin berada di sebelah barat laut dan antiklin
berada di bagian barat daya. Sayap sinklin berada pada STA 1 dengan kedudukan
bidang perlapisan N 80o E/ 9o dan sayap sinklin yang berlawanan kami temukan pada
30
STA 2 yaitu di dusun Gotakan dengan kedudukan perlapisan batuan N 260o E/ 11o
sedangkan sayap antiklin paling tenggara dengan kedudukan perlapisan batuan N 75o
E/ 8o.
2. Struktur Geologi pada daerah Fluvial
Pada satuan ini seperti yang telah dijelaskan bahwa kontrol struktur yang
dijumpai berupa sesar yang hanya mengontrol pembelokan Kali Serang. Sedang
kontrol struktur yang mempengaruhi bentuk morfologi satuan ini tidak ada. Dengan
demikian, secara keseluruhan dapat dikatakan tidak ada kontrol struktur yang
mempengaruhi pembentukan satuan dataran fluvial ini.
Kelurusan juga terlihat di cabang hulu sungai Serang di sebelah barat dusun
Paingan. Pada peta topografi jelas sekali bahwa kelurusan ini memanjang dari hulu
sungai pada Formasi Andesit Tua dan melewati Formasi Djonggrangan dan Formasi
Sentolo dan dimungkinkan kelurusan ini disebabkan oleh adanya kekar.
3. Struktur Geologi pada Dataran Alluvial
Pada dataran alluvial ini tidak begitu jelas adanya struktur geologi baik sesar,
kekar maupun sesar namun dimungkinkan bahwa dataran rendah Kecamatan Pengasih
dan Kecamatan Wates terbentuk dari adanya Graben, yaitu daerah yang terangkat
adalah daerah morfologi struktural yang terdapat di barat kota wates dan pengasih dan
daerah di timur kota Pengasih dan Kota Wates, sehingga kota Wates dan Kota
Pengasig adalah daerah yang dikelilingi oleh pengangkatan seperti halnya graben
Yogyakarta.
Gambar 1Peta Geologi Regional daerah Pemetaan dan sekitarnya
31
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kulonprogo.go.id
Priantoro, Agus, 1997, Karya Referat dengan judul Genesa Deposit Mangan
Daerah Kliripan dan sekitarnya Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon
Progo Daerah Istimewa Yogyakarta, jurusan Teknik Geologi Fakultas
Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tidak dipublikasikan
Soetoto, 2001, Geologi, Laboratorium Geodinamik Jurusan Teknik Geologi
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Staff Asisten Geomorfologi, 2001, Panduan Praktikum Geomorfologi Edisi
VI, Laboratorium Geodinamik Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sudarmawan, 1998, Karya Referat dengan judul “Pemetaan Geologi Daerah
Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Berdasarkan Interpretasi Citra
Landsat Thematic Mapper”, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. tidak dipublikasikan.
Van Bemmelen, R.W., 1970, The Geology of Indonesia, vol 1A, General
Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, 2nd ed., Martinus
Nijhoff, The Haque
32