Download - Laporan Pendahuluan Comotio Cerebri
LAPORAN PENDAHULUAN COMOTIO CEREBRI
A. Pengertian
Dalam beberapa buku dan literatur ada beberapa definisi dari Comotio cerebri atau gegar
otak, diantaranya yaitu:
Kamus Kedokteran, 2000
Comotio cerebri atau gegar otak adalah gangguan fungsional sementara tanpa kelainan
organik, disebabkan oleh benturan langsung atau tidak langsung.
Hudak & Gallo,1996
Gegar serebral adalah sindrom yang melibatkan bentuk ringan dari cedera otak menyebar.
ini adalah disfungsi neurologis sementara dan bersifat dapat pulih dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran.
Engram B, 1998
Comotio Cerebri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kehilangan kesadaran
sementara tanpa adanya kerusakan jaringan otak.
B. Kriteria Cedera Kepala
Kategori penentuan keparahan Cedera Kepala berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
(GCS). (Arif Mansjoer,dkk, 2000, hal 3)
Ringan : GCS 14-15
Sedang : GCS 9-13
Berat : GCS 3-8
Kategori penentuan keparahan Cedera Kepala menurut Barbara C Long, 1996, hal 204 :
Cedera Kepala bisa terbuka atau tertutup. Luka kepala terbuka akibat Cedera Kepala dengan
pecahnya tengkorak, sedangkan Cedera Kepala tertutup diantaranya adalah :
Comotio Cerebri : Tidak ada perubahan struktur
Kontusio Cerebri : Ada perubahan struktur
Laserasi : Ada perubahan struktur dan ada perdarahan.
Menurut Mansjoer, (2000) cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme,
keparahan dan morfologi cedera :
a. Berdasarkan mekanisme cedera
1) Trauma tumpul
Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
2) Trauma tembus
Luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya
b. Berdasarkan keparahan cedera
1) Cedera kepala ringan
a) Skor skala koma Glasgow (GCS) 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
b) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
c) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e) Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
f) Tidak ada kriteria cedera sedang-berat.
2) Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
a) Skor skala koma Glasgow (GCS) 9-14 ( konfusi, letargi, ataustupor)
b) Konkusi
c) Amnesia pasca trauma
d) Muntah
e) Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun)
f) Kejang
3) Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
a) Skor skala koma Glasgow (GCS) 3-8 (koma)
b) Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c) Tanda neurologi fokal
d) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
c. Berdasarkan morfologi
1) Fraktur tengkorak
Kranium : linear/stelatum; depresi/nondepresi; terbuka/ tertutup
Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan tanpa kelumpuhan
nervus VII
2) Lesi intrakranial
Fokal : epidural, subdural, intracerebral
Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
C. Etiologi
Etiologi Comotio Cerebri biasanya berasal dari trauma langsung dan tidak langsung pada
kepala :
1. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek
terkena pada kepala akibat menarik leher.
2. Trauma langsung bila kepala langsung terluka.
Yang bisa mengakibatkan trauma langsung maupun tidak langsung diantaranya adalah
kecelakaan bermotor, jatuh, kecelakaan industri, dan olah raga. (Barbara, C.Long, 1996, hal.
203)
D. Patofisiologi
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah, jaringan otak dan jaringan
serebrospinal. Fungsi cerebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen, glukosa.
Berat ringannya cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak. Cedera yang
dialami dapat gegar otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau hematoma (injury
vaskuler, epudural ; epiduralatau subdural hematoma).
Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan
(deselerasi). Trauma dapat primer atau sekunder. Trauma primer adalah trauma yang
langsung mengenai kepala saat kejadian. Sedangkan trauma sekunder merupakan kelanjutan
dari trauma primer. Trauma sekunder dapat terjadi meningkatnya tekanan intrakranial,
kerusakan otak, infeksi dan edema cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada tulang
tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini dapat meluas
hingga menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang tinggi. Gejalanya akan
tampak seperti kebingungan atau kesadaran delirium, letargi, sukar untuk dibangunkan dan
akhirnya bisa koma. Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan adanya hemiparese.
Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur pembuluh vena dan
perdarahan terjadi antara dura dan serebrum atau antara duramater dan lapisan arakhnoid.
Terdapat dua tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut dapat dikaitkan
dengan kontusio atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam. Manifestasi
tergantung pada besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa kejang, sakit
kepala, muntah, meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan perasaan mengantuk.
Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya memar dan
robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan vaskularisasi, anoxia dan
dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak yang mendesak
ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial. Dalam jangka
waktu 24 – 72 jam akan tampak perubahan status neurologi.
Fraktur yang terjadi pada cedera kepala dapat berupa fraktur linear, farktur depresi,
fraktur basiler, fraktur compound (laserasi kulit dan fraktur tulang). Perubahan oksigenisasi
akibat trauma otak dapat dilihat pada bagan berikut :
Gangguan oksigenisasi
Kekurangan suplay oksigen
Gangguan metabolisme
Edema jaringan otak
Meningkatnya volume dan tekanan intrakranial
Tekanan intrakranial meningkat
Sumber : Suriadi dan Yuliani
(2011)
Comotio Cerebri dengan disertai edema dapat menyumbat sirkulasi CSF baik langsung
atau tidak yang berakibat tekanan intrakranial meningkat. Bersamaan dengan terjadinya
edema otak gangguan sirkulasi lokal maupun sistemik dan dapat disertai anoksia. (Barbara C.
Long, 1996, hal. 204)
Comotio Cerebri dapat menyebabkan perubahan fisiologis sehingga terjadi gangguan faal
berbagai organ :
1) Pola Pernafasan
Karena neurofisiologi pernafasan sangat kompleks, kerusakan neurologis dapat
menimbulkan masalah pada beberapa tingkat. Beberapa lokasi pada hemisfer serebral
mengatur kontrol volunter terhadap otot yang digunakan pada pernafasan pada
sinkronisasi dan koordinasi serebelum pada upaya otot. Nukleus dan area otak tengah
dari batang otak mengatur automatisasi pernafasan.
Pusat ini bisa dicederai oleh peningkatan TIK dan hipoksia serta oleh cedera langsung
atau interupsi aliran darah. Comotio Cerebri yang mengubah tingkat kesadaran biasanya
menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal. Faktor ini akhirnya dapat
menimbulkan gagal pernafasan yang mengakibatkan laju mortalitas tinggi pola
pernafasan berbeda dapat diidentifikasi bila terdapat disfungsi intrakranial. (Hudak dan
Gallo, 1996, hal. 229).
2) Kerusakan Mobilitas Fisik
Akibat utama dari Comotio Cerebri dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer
atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusaka pada area motorik otak. Selain
itu, pasien dapat mempunyai kontrol volunter terhadap gerakan dalam menghadapi
kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan postur,
spastisitas atau kontraktur.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat
kehilangan penghambat serebral dari gerakan atau nuclonter terdapat gangguan tonus otot
dan penampilan postur abnormal yang pada saatnya dapat membuat komplikasi seperti
peningkatan spasitisitas dan kontraktur. (Hudak dan Gallo, 1996, hal. 230).
3) Keseimbangan Hidrasi
Hampir semua pasien Comotio Cerebri akan mempunyai masalah untuk
mempertahankan status hidrasi yang seimbang. Dalam keadaan stress fisiologis makin
banyak hormon antidiuretik dan makin banyak aldosteron di produksi mengakibatkan
retensi cairan dan natrium. Proses membaik dengan sendirinya dalam sehari atau dua hari
bila diuresis terjadi. (Hudak dan Gallo, 1996, hal. 230-231).
4) Aktivitas Menelan
Suatu keadaan katabolisme dan keseimbangan nitrogen negatif adalah temuan yang
umumnya pada pasien dengan Comotio Cerebri. Gangguan area motorik dan sensorik
dari hemisfer serebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adaya makanan pada
sisi mulut dipengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan gerakan pipi dan lidah. Selain
itu reflek menelan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama
sekali. Hasil fungsional adalah tersedak, batuk tidak efektif atau tidak dan aspirasi
makanan atau cairan. (Hudak dan Gallo, 1996, hal. 231-233).
5) Kemampuan Komunikasi
Pasien dengan Comotio Cerebri disertai gangguan, kemampuan komunikasi bukan
tidak terjadi secara tersendiri. Kerusakan ini akibat dari kombinasi efek-efek
disorganisasi dan kekacauan proses bahasa dan gangguan afasia khusus, bila ada.
Pasien yang telah mengalami cedera pada area hemisfer serebral dominan dapat
menunjukkan disfasia. Kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam
beberapa hal bahkan mungkin semua bentuk dari bahasa tersebut. (Hudak dan Gallo,
1996, hal. 233).
E. Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinis Comotio Cerebri menurut Hudak & Gallo, 1996 :
Penurunan kesadaran beberapa detik, disorientasi dan bingung dalam waktu yang relatif
singkat.
Sakit kepala
Tidak mampu untuk berkonsentrasi
Gangguan memori sementara
Beberapa penderita mengalami amnesia retrograde
F. Penatalaksanaan Medis
Menurut Mansjoer, (2000) penatalaksanaan cedera kepala adalah :
a. Cedera Kepala Ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu
dilakukan CT-Scan bila memenuhi kriteria berikut :
1. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam
batas normal.
2. Foto servikal jelas normal
3. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien 24 jam pertama,
dengan instruksi untuk segera kembali kebagian gawat darurat jika timbul gejala yang
lebih buruk.
Kriteria perawatan di rumah sakit :
1) Adanya perdarahan intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan.
2) Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
3) Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
4) Intoksikasi obat atau alcohol
5) Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
6) Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
b. Cedera Kepala Sedang
Pasien yang menderita konkusi otak (comotio cerebri), dengan skala GCS 15 (sadar
penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat.
Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala,
mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang
bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
c. Cedera Kepala Berat
Setelah penilaian awal dan stabilitasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini
adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial
yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasikan ke bedah saraf untuk
tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat sebaiknya perawatan dilakukan di
unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer
akibat cedera kepala, tetapi sebaiknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat
hipoksia, hipertensi, atau tekanan intrakranial yang meningkat.
Dalam unit rawat intensif dapat dilakukan hal-hal berikut :
1) Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi
2) Monitor tekanan darah
3) Pemasangan alat monitor tekanan intraktranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila
memungkinkan.
4) Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal dan ringer laktat)
5) Nutrisi
6) Temperatur badan
7) Anti kejang fenitoin 15 – 20 mg/kg BB bolus intravena
8) Steroid deksametason 10 mg intravena setiap 4 – 6 jam selama 48 – 72 jam
9) Antibiotik
10) Pemeriksaan
Dapat menberikan manfaat terhadap kasus yang ragu-ragu. Harus dilakukan
pemeriksaan sinar X tulang kepala, bila bertujuan hanya untuk
kepentingan medikolegal.
Menurut American College of Surgeons, (1997), penatalaksanaan pada cedera kepala
adalah :
a. Cedera Kepala Ringan (GCS 14-15)
Semua penderita cedera kepala ringan diperiksa CT-Scan, terutama bila dijumpai adanya
kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala hebat.
Kriteria perawatan dirawat di RS adalah :
1) CT-Scan tidak ada
2) CT-Scan abnormal
3) Semua cedera tembus
4) Riwayat hilang kesadaran
5) Sakit kepala sedang-berat
6) Intoksikasi alkohol/ obat-obatan
7) Fraktur tengkorak
8) Rhinorea – otorea
9) Tidak ada keluarga di rumah
10) Tidak mungkin kembali ke RS segera
11) Amnesia.
Pasien dengan cedera kepala ringan dipulangkan dari RS adalah :
1) Tidak memenuhi kriteria rawat
2) Kontrol ke Rumah Sakit/ dokter bila ada tanda seperti
Mengantuk berat atau sulit dibangunkan (penderita harus dibagunkan setiap 2 jam
selama periode tidur)
Mual dan muntah
Kejang
Perdarahan atau keluar cairan dari hidung atau telinga
Sakit kepala hebat
Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai.
Bingung atau perubahan tingkah laku
Salah satu pupil mata (bagian mata gelap) lebih besar dari yang lain, gerakan-
gerakan aneh bola mata, melihat dobel atau gangguan penglihatan lain.
Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat, atau pola nafas yang tidak
biasa.
b. Cedera Kelapa Sedang (GCS 9-13)
Pasien cedera kepala sedang biasanya tampak kebingungan/ mengantuk, namun
masih mampu mengikuti perintah-perintah sederhana. Pemeriksaan awal sama dengan
untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan sederhana, pemeriksaan CT-Scan
Kepala, dirawat untuk diobservasi, amnesia retrograde adalah kehilangan kesadaran
sewaktu kejadian.
Setelah dirawat di Rumah sakit dilakukan pemeriksaan neurologis periodik,
pemeriksaan CT-Scan ulang bila kondisi penderita memburuk, bila penderita tidak
mampu melakukan perintah-perintah lagi segera lakukan pemeriksaan CT-Scan ulang
dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat. Bial kondisi membaik 90 %,
penderita dipulangkan dan kontrol ke poliklinik.
c. Cedera Kepala Berat (GCS 3-8)
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah-perintah
sederhana walaupun status kardiopulmonalnya telah di stabilisasi, pemeriksaan dan
penatalaksaannya adalah :
ABCDE
a) Airway
Membebaskan jalan nafas dengan memasang intubasi endotrakheal
b) Breathing
Diberikan ventilasi oksigen 100% sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas
darah
c) Circulation
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium
terminal dimana medulla oblongata sudah mengalami gangguan. Respon buka mata,
respon motorik, respon verbal, reaksi cahaya pupil, reflek okulosefalik, reflek
okulovestibuler.
d) Drugs dan Fluids
Pemberian obat-obatan kalau perlu cairan infus sebagai pengganti cairan tubuh yang
hilang yaitu monitol, steroid, furosemid, balbiturat, anti konvulsan.
e) Elektro Cardio Graphy
CT-Scan semua penderita, Ventrikulografi udara, angiogram.
G. Komplikasi
Menurut Mansjoer, (2000) komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala adalah :
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknyaleptomeningen dan
terjadi pada 2 – 6% pasien dengan cedera kepala tertutup.
b. Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala : eksolelamos,kemosis,dan bruit
orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik
d. Edema pulmonal, komplikasi paru-paru yang serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari
sindrom distres pernapasan dewasa.
e. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dan (minggu pertama) atau
lanjut (setelah satu minggu).
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT TEORITIS COMOTIO CEREBRI
A. Pengkajian
1) Identitas pasien.
Identitas pasien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat,
status perkawinan, suku bangsa dan tanggal masuk ruangan.
2) Riwayat Kesehatan dan pemeriksaan fisik
Menurut Smeltzer & Bare, (2001), riwayat kesehatan yang perlu dikaji/ ditanyakan
adalah kapan cedera terjadi? apa penyebab cedera? Peluru kecepatan tinggi? Objek
apa yang terbentur kepala? Dari mana arah dan kekuatan pukulan? Apakah ada
kehilangan kesadaran? Durasi periode tidak sadar? Dapatkah pasien dibangunkan?
Riwayat tidak sadar atau amnesia terhadap cedera kepala menunjukkan derajat
kerusakan otak yang berarti, dimana perubahan selanjutnya dapat menunjukkan
terjadi pemulihan kerusakan otak sekunder.
Menurut Engram.B,(1999), riwayat kesehatan yang perlu dilakukan adalah
pengkajian neurologis cepat amati kepala dan belakang kepala bila terjadi luka atau
edema. Periksa hidung dan telinga kalau memungkinkan ada darah atau cairan bening
yang keluar. Bila ada gunakan kertas deabetik untuk memeriksa ada tidaknya cairan
serebrospinal (CSS). Bila tes glukosa positif menunjukkan adanya CSS, bila pasien
sadar dan orientasinya penuh, kaji respon klien terhadap kondisi dan pemahamannya
tentang kondisi serta rencana penanganan.
Menurut Suriadi & Yuliani, (2001), pada saat melakukan pengkajian riwayat
kesehatan perlu diperhatikan hal penting, saat kejadian, tempat, bagaimana posisi saat
kejadian, serangan, lamanya, faktor pencetus adanya fraktur dan status kesadaran.
Status neurologis yang perlu dikaji perubahan kesadaran, pusing kepala, vertigo,
menurunnya refleks, malaise, kejang, iritabel, kegelisahan atau agitasi. Pupil yang
diperiksa adalah ukuran, refleks terhadap cahaya, hemiparesis, letargi dan koma,
mual muntah, kesukaran bernafas atau sesak, napas lambat, hipotensi , bradikardi.
1. Primary Survey
1) Airway : kaji adanya sumbatan parsial berupa cairan
2) Breathing : frekuensi respirasi cepat, serak, batuk, mengi, sianosis, gerakan dada tidak
simetris, ditemukan pula frekuensi respirasi dalam rentang normal.
3) Circulation : Hipotensi (syok), penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang
cedera, vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin,
takikardi (syok/ ansietas/ nyeri), disritmia (syok) pembentukan edema jaringan,
perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi, disritmia.
4) Disability :
a. Alert : Kehilangan kesadaran sementara, penurunan GCS, amnesia seputar
kejadian, perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
orientasi kewaspadaan, perhatian, konsentrasi pemecahan masalah, perubahan
pupil (respons terhadap cahaya, simetri)
b. Verbal : dapat menunjukkan disfasia, tidak dapat mengikuti perintah,
Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartia,
anomia.
c. Pain : Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.
d. Unrespon : ditemukan klien yang tidak dapat merespom rangsangan nyeri.
2. Secondary Survey
a. Keadaan Umum : tampak sakit ringan (GCS 15), sakit sedang (GCS 9-14), sakit berat
(GCS 3-8)
b. Kesadaran : compos mentis, somnolen, apatis, soporocomatous, coma
c. TTV : perubahan tekanan darah (normal, hipertensi atau hipotensi), vasokontriksi
perifer umum dengan kehilangan nadi,
d. Kepala : kaji adanya hematom, luas hematom dan regio hematom, adanya jejas
e. Mata : kaji kesimetrisan mata, keadaan pupil, conjungtiva anemis -/+, sclera icteric
-/+, adanya hematom dan jejas
f. Hidung : kaji kesimetrisan hidung, adanya cairan (secret/darah), adanya jejas dan
hematom
g. Mulut : kaji kesimetrisan mulut, adanya cairan yang keluar (secret/darah), adanya
jejas dan hematom
h. Leher : kaji adanya jejas dan hematom
i. Dada : kaji kesimetrisan dada, adanya jejas dan hematom
j. Perut : kaji bentuk, adakah bayangan vena, adanya jejas/ hematom
k. Kelamin : kaji adanya jejas dan hematom
l. Ekstremitas atas : kaji adanya jejas dan hematom
m. Ekstremitas bawah : kaji adanya jejas dan hematom
n. Anus : kaji adanya jejas dan hematom
o. Kulit : kaji akral (hangat/dingin), mukosa kulit, adanya sianosis
p. Psikososial : kaji pola mekanisme koping terhadap stress, pola nilai dan kepercayaan,
pola eliminasi dan nutrisi, dan lain-lain.
q. Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan laboratorium, CT Scan, MRI (Magnetic
Reaconance Imaging), Angiografi, BAER (Brain Auditory Evoked Respons), PET
(Posttarn Emission Tomography), GDA (Gas Darah Arteri)
B. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Tucker, et al (1998), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam
menegakkan diagnosa adalah :
1) Pemeriksaan sinar X tulang tengkorak
2) Pemeriksaan sinar X servikal
3) CT Scan
4) MRI (Magnetic Reaconance Imaging)
5) Punksi lumbal, pengambilan contoh CSS
6) Pneumoensefalogram
7) Sistogram
8) GDA (Gas Darah Arteri)
9) EEG (Elektro Ensefalo Grafi)
10) EKG (Elektro Kardio Grafi)
Menurut Doenges, (1999), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam
menegakkan media adalah :
1) CT Scan
2) MRI (Magnetic Reaconance Imaging)
3) Angiografi
4) BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
5) PET (Posttarn Emission Tomography)
6) GDA (Gas Darah Arteri)
C. Patoflodiagram
Cidera kepala TIK - oedem
- hematom
Respon biologi Hypoxemia
Kelainan metabolisme
Cidera otak primer Cidera otak sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan cel otak
Gangguan autoregulasi rangsangan simpatis Stress
Aliran darah keotak tahanan vaskuler katekolamin
Sistemik & TD sekresi asam lambung
O2 ggan metabolisme tek. Pemb.darah Mual, muntah
Pulmonal
Asam laktat tek. Hidrostatik Asupan nutrisi kurang
Oedem otak kebocoran cairan kapiler
NDx. Gangguan perfusi jaringan oedema paru cardiac out put
Cerebral
Difusi O2 terhambat NDx. Gangguan perfusi jaringan
NDx. Pola Nafas Tidak Efektif hipoksemia, hiperkapnea
D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Airway :
1) Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif b/d Hambatan Jalan Nafas (parsial/total)
2) Gangguan Perfusi Jaringan Cerebral b/d penghentian aliran darah oleh (hemoragi,
hematoma).
2. Breathing :
1) Pola Nafas Tidak Efektif b/d Kerusakan Neurovaskuler
2) Pertukaran Gas Tidak Efektif b/d
3. Circulation :
1) Perfusi Jaringan Kapiler Tidak Efektif b/d
2) Volume Cairan Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b/d Perdarahan
E. Intervensi dan Rasional
1) Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif b/d Hambatan Jalan Nafas (parsial/total)
1. Bersihkan Jalan Nafas Klien dengan Suction
R : suction digunakan untuk membebaskan jalan nafas klien dari sumbatan cairan
2. Lakukan Jaw Trust
R : untuk membebaskan jalan nafas klien dari sumbatan total
2) Gangguan Perfusi Jaringan Cerebral b/d penghentian aliran darah oleh (hemoragi,
hematoma).
1. Pantau/ catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
(misalnya GCS)
R : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran adan potensi
peningkatan TIK dan bermanfaaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan susunan saraf pusat (SSP).
2. Pantau tekanan darah
R : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan
pada saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat
mengikuti kerusakan vaskularisasi cerebral lokal atau menyebar (menyeluruh)
3. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan
dan reaksinya terhadap cahaya.
3) Pola Nafas Tidak Efektif b/d Kerusakan Neurovaskuler
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan.
R : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya
mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi/ luasnya keterlibatan otak.
Pernafasan lambat, periode apnoe dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
2. Lakukan pengisapan lendir dengan ekstra hati-hati selama 10 – 15 detik, catat
sifat, warna dan kekeruhan dari sekret.
R : Persiapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan
imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan nafasnya sendiri.
4) Pertukaran Gas Tidak Efektif b/d
1. Berikan O2 sesuai kebutuhan pasien
R : memenuhi kebutuhan O2 pasien
2. Kaji frekuensi pernapasan, irama, dan bunyi napas
R : untuk mengetahui keefektifan pemberian terapi O2 pada klien comotio cerebri
5) Perfusi Jaringan Kapiler Tidak Efektif b/d
1. Kaji lama Cavillary Time Refill klien
R : mengetahui kenormalan dari perfusi jaringan kapiler
2. Kaji apakah klien tampak sianosis
R : mengetahui suplai dari O2 ke jarigan kapiler
6) Volume Cairan Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b/d Perdarahan
1. Berikan terapi cairan sesuai indikasi dokter
R : rehidrasi segera mungkin dilakukan untuk mencegah dehidrasi lanjut
2. Kaji kebutuhan cairan klien
R : memenuhi kebutuhan cairan yang di butuhkan