1
LAPORAN PENELITIAN
KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm)
ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA
MASYARAKATDI KAWASAN
HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)
Kajian Pada Masyarakat Di Kawasan Register 39 Kabupaten
Tanggamus
Oleh :
Dayang Berliana, SP.,M.Si Ismalia Afriani, SP.,M.Si.
Kerjasama Konsorsium Kota Agung Utara dan STIPER Dharma Wacana
Di Kabupaten Tanggamus Tahun 2014
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hutan memiliki manfaat secara langsung maupun tidak langsung bagi manusia. Menurut
Cruz dan Vergara (1987) dalam Kartasubrata (1991) pemanfaatan hutan oleh manusia
(petani) secara langsung seperti perlindungan yaitu mengurangi erosi, longsor, aliran
permukaan dan kehilangan hara dan fungsi rehabilitasi seperti memperbaiki status hara, kadar
organik tanah, PH dan sebagainya, sedangkan manfaat jangka panjang adalah berupa
peningkatan hasil pertanian secara berkelanjutan, perbaikan kondisi sosial ekonomi, stabilitas
pemeliharaan hutan, dan perbaikan konservasi lingkungan.
Manfaat hutan yang luar biasa tersebut menjadikan masyarakat tergiur untuk mendatangi
hutan sebagai tempat hidup bahkan bercocok tanam. Masyarakat memasuki hutan dengan
cara merambah isi hutan untuk berbagai keperluan. Meskipun pada awalnya hanya untuk
kebutuhan subsistensi saja, kemudian bergeser menjadi kepentingan komersil, yaitu hasil
pertanian yang diperjual belikan untuk keuntungan besar. Perambahan hutan ini lambat laun
menimbulkan permasalahan kompleks salah satunya kerusakan hutan.
Menjamurnya pembukaan lahan dan pemukiman spontan menurut Elmhirst (1997) terjadi
sejak akhir Perang Dunia II, ketika Pemerintahan Indonesia yang baru merdeka meniadakan
sistem marga dan melakukan nasionalisasi seluruh tanah marga yang dianggap tidak definitif
tanpa dibudidayakan. Masyarakat marga diperbolehkan memiliki hak ulayat (usufruct right)
atas tanah, tetapi tanah tersebut tidak selalu terdaftar/didaftar secara resmi oleh pemerintah.
3
Sementara itu, pemerintah kolonial memberlakukan sistem registrasi dan kepemilikan tanah
untuk tempat tinggal dan perkebunan. Namun akhirnya diperoleh sebuah pencerahan dengan
terbitnya Hukum Dasar Agraria tahun 1960 (UU/5/1960) yang berisikan tentang kekuasaan
penuh kepada pemerintahan Indonesia untuk menentukan dan mengatur hak-hak atas tanah,
transfer (pemindah-tanganan status) tanah, serta menggunakan dan mencadangkan tanah bagi
kepentingan nasional. Bidang tanah yang tidak lagi dimanfaatkan oleh komunitas adat
dianggap sebagai tanah negara (dikenal dengan istilah tanah Negara bebas) dan
penguasaannya beralih dari marga ke negara. Ini berarti, penduduk marga di Lampung
kehilangan sebagian besar hak tanahnya yang pernah disusun oleh Pemerintah Belanda.
Walaupun sejak saat itu hingga sekarang terdapat Hukum Dasar Agraria Tahun 1960,
pelaksanaan peraturan yang masih lemah dan tidak tersedianya alternatif pengaturan terhadap
dampak yang muncul, mengakibatkan ketidakpastian sistem pertanahan secara operasional di
tingkat lapang.
Saat ini dilema antara kesejahteraan masyarakat dengan kerusakan hutan membuahkan
sebuah solusi. Kegiatan rehabilitasi hutan mulai digalakkan namun dengan tetap mem-
perhatikan kelangsungan hidup petani. Program yang dicanangkan ialah pembangunan hutan
kemasyarakatan (disingkat HKm). Legitimasi hutan kemasyarakatan ini termaktub dalam SK
Menhut No. 31/Kpts-II/2001 yang berisikan bahwa masyarakat sebagai salah satu
stakeholder utama pengusahaan hutan.
Salah satu kabupaten di propinsi lampung yang menerapkan program hutan kemasyarakatan
ialah kabupaten Tanggamus. Kabupaten Tanggamus merupakan satu - satunya kabupaten
yang mendapatkan Penetapan Areal Kerja (PAK) paling luas di Indonesia untuk Hutan
Kemasyarakatan (HKm). Pola hutan kemasyarakatan di kabupaten Tanggamus diluncurkan
ketika pola usahatani umum yang diusahatani masyarakat lampung ialah sistem perladangan
4
berpindah. Tipe perladangan ini telah dikenal masyarakat dengan istilah lain yaitu
Nguma/huma/Ngumo. Sebagai kultur masyarakat yang telah melekat, tipe ini tidak hilang
hingga saat ini, meskipun sudah terjadi perubahan sosial budaya besar dalam masyarakatnya.
Menurut Nurdin (2013) seiring perubahan sosial budaya masyarakat yang semakin heterogen,
kehidupan berladang berpindah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Sumatera bahagian
Selatan, tetapi juga dilakukan oleh etnik lainnya seperti masyarakat Jawa dan Bali yang
mendominasi daerah sekitar kawasan hutan kemasyarakatan. Namun demikian, perladangan
berpindah ini secara tidak disadari dapat mengakibatkan kerusakan hutan apabila tidak
diiringi dengan pengelolaan kelembagaan yang bersifat partisipatif.
Hutan register di kabupaten tanggamus yang telah memperoleh ijin pengelolaan ialah register
39 yang terletak di Kota Agung Utara. Register 39 termasuk kategori hutan lindung yang
memiliki fungsi sistemik terhadap keseimbangan lingkungan alam disekitarnya, yakni
penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Daerah Tangkapan Air
(DTA) Waduk Batu Tegi. TNBBS memiliki potensi hutan dataran rendah di Sumatera yang
sangat kaya dalam hal keanekaragaman hayati dan merupakan tempat tinggal bagi tiga jenis
mamalia besar yang paling terancam di dunia yaitu gajah Sumatera, badak Sumatera, dan
harimau Sumatera. Sehingga TNBBS ditetapkan oleh Unesco sebagai salah satu tapak
warisan dunia (World Heritage Cluster Mountainous Area). Waduk Batu Tegi berfungsi
sebagai dam penampung air untuk irigasi dan pembangkit listrik.Dengan ketinggian muka air
maksimal bendungan 274 meter dapat menyimpan 6.677 meter kubik air. Secara periodik
debit air ini mampu mengairi seluruh dari 66 ribu hektar sawah irigasi teknis di lima
kabupaten, yaitu Kabupaten Pringsewu, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Kabupaten
Lampung Timur dan Kota Metro. Waduk Bau Tegi juga berfungsi sebagai Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA). Dua turbin pembangkit yang terpasang di dasar bendungan,
PLTA ini mampu menghasilkan daya listrik maksimal 28 MW (mega watt). Jumlah ini akan
5
memberikan tambahan bagi defisit pasokan listrik di wilayah Lampung, Bengkulu dan
Sumatera Selatan yang pada beban puncak (peak load) mencapai 620 MW 2, menahan
tekanan kerusakan oleh masyarakat maupun konflik manusia dan satwa.
(Konsorsium Kota Agung Utara, 2013).
Fungsi kawasan hutan lindung register 39 yang sangat strategis tersebut mengharuskan semua
stakeholder untuk memelihara keberlangsungannya. Namun, permasalahan saat ini ialah
adanya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan lindung sehingga lambat laun akan mulai
merambah hasil hutan yang mereka anggap sebagai common resources. Selain itu,
kekhawatiran rusaknya hutan lindung juga disebabkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang
menjadi kebijakan pemerintah untuk sumber pendapatan negara. Melalui pemberian izin
terhadap penebangan hutan alam ditandai dengan keluarnya Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Lampung tanggal 4 November 1969 No.G/161/I/TH/1969 yo. SK tanggal 8
Juni 1970 No.Des/123/B-VI/HK/70 tentang pemberian izin kappersil kepada PT. Tanjungjati,
CV. Kesuma Karya, CV. Kurnia, CV. Meranti dan CV. Tritaat dikawasan hutan lindung Reg.
39 Kota Agung Utara. ( Konsorsium Kota Agung Utara, 2013). Menurut hasil survey
Konsorsium Kota Agung Utara (2013) ini, masyarakat, buruh HPH dan karyawannya
sengaja memanfaatkan kesempatan hutan yang dibuka ini dengan berbagai macam tanaman
perkebunan seperti kopi, sebagai tanaman favorit.
Untuk permasalahan yang muncul tersebut, berbagai upaya yang mengarah kepada kegiatan
rehabilitasi hutan (reforestration) mulai sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah
maupun masyarakat. Salah satu program yang dibentuk oleh pemerintah guna mendukung
program tersebut adalah pemberian ijin pengelolaan HKm untuk register 39. Menurut
Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1998c) tujuan dari kegiatan pembangunan HKm
adalah (1) menciptakan system usahatani (agroforestry) di lahan kering yang berbasiskan
6
kepada kegiatan pengusahaan hutan secara lestari (2) membangun sistem kelembagaan
ekonomi petani dan meningkatkan scheme kemitraan antara petani dengan perusahaan swasta
yang saling menguntungkan; guna mendukung stabilitas kelembagaan ekonomi petani.
Kegiatan Perhatian utama pembangunan hutan kemasyarakatan adalah pemberdayaan
ekonomi masyarakat yang mengarah kepada upaya pelestarian sumber daya alam yang
dilakukan secara partisipatif. Konsep pembangunan hutan kemasyarakatan mempunyai
dimensi yang komplek. Pembangunan hutan kemasyarakatan, di satu sisi dilaksanakan untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup khususnya hutan (reforestration), sementara
itu kegiatan ini juga harus dapat memperbaiki kondisi perekonomian wilayah sekitar.
Dalam pengelolaan HKm pendekatan yang dilakukan adalah menggali, mengembangkan dan
membangun potensi yang ada di masyarakat, memperkuat kemampuan individu maupun
kelompok masyarakat dalam menganalisis keadaannya sendiri, serta memikirkan dan
merencanakan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Kelompok
masyarakat di kawasan hutan yang dapat dibentuk yakni kelompok-kelompok tani atau
disebut dengan Gapoktan (gabungan kelompok tani). Melalui saluran Gapoktan ini mereka
secara bersama-sama dapat melaksanakan segala tujuan dari pembangunan HKm bahkan
kelompok tani ini juga dapat sebagai jalan untuk mengajukan izin pembangunan HKm bagi
hutan lindung yang belum mendapatkan izin HKm. Izin tersebut disalurkan kepada
pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan RI. Peran Pemerintah dalam upaya
pemberdayaan masyarakat adalah sebagai fasilitator dengan bantuan LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) sebagai pendamping.
Menurut pra survey Konsorsium Kota Agung Utara (2013), Kabupaten Tanggamus memiliki
areal pencadangan untuk HKm seluas 50.000 ha. Ada14 Gabungan Kelompok Tani
(GAPOKTAN) yang memiliki izin (Areal Kerja HKm) dari Menteri Kehutanan dan Izin
7
Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) dari Bupati Tanggamus dengan luas 15.452 ha.
Sementara itu ada 20 GAPOKTAN masih dalam proses pengajuan izin. Untuk Kota Agung
Utara saja terdapat 7 Gapoktan yang sudah mendapatkan izin selama 35 tahun dari Menteri
Kehutanan, dan Gapoktan yang sedang dalam pengajuan adalah 9 Gapoktan. Pembiayaan
semua proses kegiatan untuk mendapatkan izin dilakukan secara swadaya anggota kelompok
HKm. Dalam proses pengajuan izin secara swadaya inilah yang seringkali para Gapoktan
membutuhkan bantuan dan bimbingan dari para pendamping, lembaga swadaya masyarakat,
pemerintah daerah dan unsur lainnya.
Selain kendala izin, KPHL Kota Agung Utara juga menemukan berbagai kendala dalam
pengelolaan HKm, yakni kurangnya kapasitas SDM, pola tanam petani yang belum
memenuhi kriteria pelestarian hutan, kurangnya kesadaran petani dalam memanfaatkan hutan
sekaligus melestarikan hutan karena hanya menanam tanaman semusim saja, dan adanya
pihak luar yang membuka ladang baru (KPHL, 2013). Untuk menanggulangi kendala-
kendala tersebut, salah satu rekomendasi penting yang perlu dilakukan adalah kajian kondisi
sosial ekonomi budaya masyarakat hutan. Kondisi sosial ekonomi budaya merupakan pondasi
dasar dalam memahami permasalahan tentang masyarakat perambah hutan. Tanpa memahami
ini maka permasalahan masyarakat petani hutan dan pelestarian hutan tidak akan berjalan dan
tercapai sebagaimana mestinya.
Disamping itu perlu diketahui kapasitas sumber daya manusia, serta pengelolaan kelem-
bagaan. Kedua unsur ini merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi
sosial budaya masyarakat yang memanfaatkan hutan tersebut. Kapasitas sumber daya
manusia sangatlah menentukan bagi kelangsungan pelestarian hutan dan pemanfaatan hutan.
Kapasitas sumber daya manusia baik secara personal maupun dalam suatu komunitas atau
kelompok. Gapoktan atau gabungan kelompok tani merupakan bentuk kelembagaan yang
8
mewadahi para petani hutan ini. Melalui Gapoktan ini diharapkan tujuan utama yakni
memanfaatkan sekaligus merawat hutan dapat tercapai.
B. TUJUAN
Adapun tujuan survey ini adalah :
1. Mengkaji keberadaan lahan petani di area hutan kemasyarakatan register 39 Tanggamus
2. Mengkaji kondisi sosial ekonomi dan budaya yang melingkupi masyarakat petani yang
memanfaatkan hutan register 39 Tanggamus.
C. MANFAAT
Adapun manfaat dari survey ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah, untuk dapat
lebih memahami kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat petani dan pengelolaan
kelembagaan. Sehingga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan serta
untuk memfasilitasi dan membantu serta mengevaluasi Gapoktan dalam HKm.
2. Bagi Pendamping, NGO dan Lembaga Swadaya Masyarakat, dengan kajian dan
analisis ini dapat dijadikan bahan masukan dalam melaksanakan pendampingan
program HKm sehingga di masa yang akan datang menjadi kegiatan pendampingan
bisa lebih baik, tepat guna, dan berhasil guna.
3. Bagi Petani (Gapoktan), dengan kajian ini dapat mencari solusi dan peluang dalam
menyelesaikan beberapa kendala-kendala yang ada untuk mencapai dan menjalakan
HKm.
4. Bagi peneliti, hasil kajian ini dapat dijadikan dasar untuk memahami dan mengem-
bangkan berbagai konsep, teori dan perspektif dalam kajian-kajian tentang HKm.
9
II. Tinjauan Literatur dan Kerangka Pemikiran
2.1. Konsep Perhutanan Sosial
Perhutanan sosial menurut Tiwari (1983) ialah sebagai ilmu dan seni tanam-menanam
pohonan dan/atau menumbuhkan lainnya pada setiap bidang lahan yang dapat digunakan
untuk keperluan tersebut di dalam dan di luar kawasan hutan, dan mengelola hutan yang ada
dengan partisipasi rakyat setempat secara akrab, dan mengintegrasikan kegiatan itu dengan
kegiatan-kegiatan lainnya, sehingga di dapat tata guna lahan yang berimbang dan
komplementer dengan tujuan untuk memenuhi keperluan benda atau jasa perorangan maupun
masyarakat pada umumnya.
Tujuan utama dari perhutanan sosial adalah mencapai keadaan sosial ekonomi penduduk
pedesaan yang lebih baik, terutama penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Dalam
program ini masyarakat diajak untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan dan
pemanfaatan hutan agar menjadi lebih bertang-gung jawab (Departemen Kehutanan, 1997a)
2.2 Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Hutan merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang mempunyai makna dan
kepentingan yang tinggi bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia.Pengusahaan hutan di
Indonesia awalnya dikuasai oleh swasta. Hal ini menimbulkan adanya konflik antara
pengusaha hutan dengan masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan karena tidak
merasakan manfaat langsung dari pengusahaan hutan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah
merubah paradigma pembangunankehutanan dari sebelumnya forest to state menjadi forest to
people,salah satunya melalui skema HKm. Sampai 2015 Pemerintahmentargetkan HKm
10
seluas 2,1, juta ha dan target 2009 seluas sekitar400.000 ha. HKm dikembangkan bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumberdaya
hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan
dan lingkungan hidup. Ada satu hal penting dari tujuan HKm, yaitu mensejahterakan
masyarakat dengan tetap menjaga pelestarian hutan. Semangatnya, “hutan lestari,masyarakat
sejahtera”
Hutan kemasyarakatan suatu sistem pengelolaan hutan yang ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan dengan tetap memperhatikan
kelestarian fungsi hutan. Program ini merupakan program yang dirancang untuk
meningkatkan kemandirian masyarakat sekitar hutan dengan pengembangan kapasitas dan
pemberian akses untuk mengelola hutan (Haryadi, 2012).
Program hutan kemasyarakatan mulai dikembangkan oleh Departemen Kehutanan mulai
dekade tahun 1980-an. Guna mendukung pelaksanaanya, program ini diatur oleh peraturan
perundangan melalui Keputusan SK Menhut No. 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan
Kemasyarakatan. Namun pelaksanaannya sendiri kurang berjalan dengan baik karena masih
kurang tersosialisasinya program tersebut di masyarakat dan belum adanya petunjuk teknis
dan pelaksanaannya. Selanjutnya untuk memperbaiki implementasinya di lapangan, Menteri
Kehutanan dan Perkebunan menerbitkan Surat Keputusan No. 677/Kpts-II/1998, yang
menekankan pada pola pendekatan yang bersifat partisipatif.
Dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah, maka pada
tanggal 12 februari 2001 diterbitkan Sk Menhut No.31 Kpts-II/2001 tentang penyelengaraan
hutan kemasyarakatan kemudian lalu diperbaharui dalam peratu-ran Menteri Kehutanan No.
P.37/Menhut-II/2007 dan yang terakhir Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 18/Menhut-
11
II/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan NomorP.37/Menhut-II/2007
Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan
Pembangunan Hutan kemasyarakatanbertujuan untuk
1. Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekono-mi dan
sosial masyarakat
2. Meningkatkan ikatan komunitas masyarakat pengusaha hutan
3. Mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi dan
manfaat hutan
4. Meningkatkan mutu, produktivitas dan keamanan hutan
5. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan
pendapatan negara dan masyarakat
6. Mendorong serta mempercepat pembangunan wilayah hutan
(Dephutbun, 1999)
Melalui HKm diharapkan masyarakat dapat memperoleh manfaat langsung dari keberadaan
hutan sebagai penunjang keberlangsungan ekonomi yang pada gilirannya akan
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Menurut SK. Menhut No. 31/Kpts-II/2001 hutan yang dapat ditetapkan sebagai wilayah
pengelolaan hutan kemasyarakatanadalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan
produksi yang tidak dibebani izin lain dibidang kehutanan. Wilayah pengelolaan hutan
kemasyarakatan tersebut adalah kawasan hutan yang menjadi sumber penghidupan
masyarakat setempat dan memiliki potensi untuk dikelola oleh masyarakat setempat. Menurut
Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999), kawasan hutan yang dapat dicadangkan
untuk areal hutan kemasyarakatan adalah areal hutan yang mempunyai kondisi sebagai
berikut:
12
1) Belum dibebani HPH/HP-HTI dan hak lainnya;
2) Sudah dibebani HPH/HP-HTI yang segera berakhir masa berlakunya;
3) Rawan gangguan terhadap keamanan hutannya;
4) Terdapat konflik kepentingan;
5) Berdekatan dengan pemukiman;
6) Telah lama menjadi tempat tinggal masyarakat (tradisional);
7) Telah dikelola secara tradisional oleh masyarakat setempat;
8) Meruapakan sumber mata pencaharian bagi masyarakat setempat.
Secara umum prinsip pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan adalah sebagai berikut:
(a) tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan,
(b) pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dilakukan darikegiatan penanaman,
(c) mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya,
(d) menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditasdan jasa,
(e) meningkatkan kesejahtaraan masyarakat yang berkelanjutan,
(f) memerankan masyarakat sebagai pelaku utama,
(g) adanya kepastian hukum,
(h) transparansi dan akuntabilitas publik
(i) partisipatif dalam pengambilan keputusan
Pemanfaatkan hutan tersebut dengan memperhitungkan aspek pemilihan jenis tanaman dan
jarak tanam. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman kehutanan multi purpose tree
species (MPTS) atau tanaman kayu-kayuan seperti : kayu bawang, surian, durian, pete,
pinang, dan kemiri, dengan menggunakan jarak tanam pohon tertentu (Senoaji, 2010).
Pengusahaan hutan kemasyarakatan bertumpu pada pengetahuan, kemampuan dan kebutuhan
masyarakat itu sendiri (Community Based Forest Manajemen). Oleh karena itu prosesnya
13
berjalan melalui perencanaan bawah-atas, dengan bantuan fasilitasi dari pemerintah secara
efektif, terus menerus dan berkelanjutan.(Dephutbun, 1999).
Menurut Dephutbun (1998) pola pemanfaatan lahan pada hutan kemasyarakatan diatur
dengan komposisi jenis tanaman kayu-kayuan dan tanaman MPTS sebesar 70 : 30 pada hutan
produksi, dan 30 : 70 pada hutan lindung. Perbedaan komposisi tersebut karena pada hutan
produksi merupakan hutan yang tidak begitu peka terhadap erosi bila dibandingkan hutan
lindung, sehingga pola pemanfaatan lahannya dapat diarahkan untuk produksi kayu.
Sebaliknya pada kawasan hutan lindung, pola agroforestry diarahkan untuk pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu, sehingga jenis MPTS nya lebih banyak dibandingkan tanaman kayu-
kayuan.
Pada areal-areal tertentu yang dinilai memenuhi persyaratan, penanaman MPTS tersebut
dapat dilakukan melalui pola tumpangsari atau pola tanaman campuran dengan jenis-jenis
tanaman pertanian dan/atau tanaman industry semusim atau tahunan, sepanjang tetap
berarahan pada tujuan pelestarian sumberdaya hutan dan konservasi tanah dan air yang
sinergi dengan tujuan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Tanaman musiman (tumpangsari)
dimaksudkan untuk memberikan pendapatan kepada petani dalam jangka pendek yaitu 3-4
bulan, sambil menunggu tanaman pokok siap panen. Dalam jangka menengah, pendapatan
petani akan diperoleh dari produksi tanaman MPTS, seperti kemiri, tengkawang, nangka,
jambu mete, petai dan sebagainya. Sedangkan dalam jangka panjang, petani akan
memperoleh pendapatan dari tanaman pokok berupa kayu, seperti tanaman sengon, mahoni,
maupun sono keling.
Model hutan kemasyarakatan sebenarnya hanya sesuai diterapkan dalam pengelolaan dan
sekaligus pelestarian areal-areal hutan yang berukuran kecil, dan kebanyakan berada pada
lokasi-lokasi terpencil, baik di dalam maupun di luar kawasan yang ditetapkan pemerintah
14
sebagai hutan negara. Luas kawasan hutan yang cocok untuk model hutan kemasyarakatan
adalah antara 40-10.000 Ha (Dephutbun, 1999).
Pelaksanaan hutan kemasyarakatan adalah sebagai berikut
1. Masyarakat sebagai pelaku utama
Sejalan dengan pembangunan kehutanan yang ingin memberdayakan masyarakat, maka
dalam kawasan hutan kemasyarakatan, yang menjadi pelaku utama dalam pelaksanaannya
adalah masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang kawasannya
ditetapkan sebagai areal hutan kema-syarakatan (Wardoyo, 1997). Pelaksanaan hutan
kemasyarakatan diprioritaskan pada masyarakat setempat yangkehidupannya tergantung
pada sumberdaya hutan. Hutan dan masyarakat sekitarnya merupakan satu kesatuan
ekosistem yang satu sama lain saling ketergantungan. Hutan bagi masyarakat tradisional
dianggap sebagaisumber penghasil makanan/kebutuhan, seperti buah-buahan, berburu
binatang, bahan bakar, dan lain-lain. Sebaliknya masyarakat modern lebih memandang
hutan sebagai sumber bahan mentah bagi proses manufaktur untuk mendapatkan nilai
tambah yang lebih lanjut. Atas dasar ini, semua diaktualisasikan dalam bentuk pemberian
hak pengusahaan kepada masyarakat lokal untuk mengusahakannya (Wardoyo, 1997).
2. Memiliki kepastian hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat dalam pelasksanaan
hutan kemasyarakatan, baik itu masyarakat dan pemerintah diatur sangat jelas. Masyarakat
sebagai peserta hutan kemasyarakatan berhak atas hasil hutan non kayu dan melakukan
pemeliharaan hutan kemasyarakatan sesuai dengan lokalisasi yang diterapkan. Di dalam
pelaksanaannya setiap peserta kegiatan hutan kemasyarakatan mendapat ijin mengelola
areal hutan kemasyarakatan seluas maksimum 2 ha untuk peserta perorangan, serta
membentuk koperasi usaha dan wajib menjadi anggota (Dephutbun,1999).
Selain hak tersebut peserta hutan kemasyarakatan juga memiliki kewajiban yakni terlibat
langsung dalam proses penyusunan rencana dan pelaksanaan program hutan
15
kemasyarakatan, serta hal-hal yang terkait di dalamnya. Selain kewajiban tersebut di atas,
masyarakat sebagai peserta hutan kemasyarakatan juga memiliki kewajiban untuk tetap
menjaga kelestarian fungsi dan manfaat hutan. Sedangkan pemerintah sebagai fasilitator
dan pemantau program menjalankanfungsi kontrolnya mengawasi pelaksanaan hutan
kemasyarakatan secara seksama agar diperoleh hasil yang maksimal (Priyo, 1999).
3. Keragaman komoditas (kayu dan non kayu), keadilan dan kelestarian, seder-hana dan
dinamis Komoditas tanaman yang digunakan dalam hutan kema-syarakatan harus dipilih
sesuai dengan karakteristik daerah dan lahan yang akan ditanami. Sebelum melakukan
pemilihan komoditas harus dilakukan inventarisasi dan identifikasi tanaman yang ada di
daerah tersebut. Pemilihan komoditi termasuk hal yang sangat penting. Secara teknis
pemilihan jenis komoditi ini mempertimbangkan faktor fisik teknis/ekologi, faktor sosial
ekonomi dan sosial budaya (Wardoyo, 1997).
Tahap-tahap pelaksanaan hutan kemasyarakatan :
1. Pencadangan areal hutan kemasyarakatan. Dapat dicadangkan pada kawasan hutan
produksi, kawasan lindung, dan pada pelestarian alam pada zona pemanfaatan
2. Penyiapan kondisi masyarakat. Merupakan kegiatan awal yangpenting dilak-sanakan
sebelum pemberian Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan
3. Terbentuknya kelembagaan masyarakat berdasarkan aspirasi dan inisiatif ma-syarakat itu
sendiri dalam mengelola hutan secara lestari. Penyiapan kondisi masyarakat dilakukan
melalui penyebarluasan informasi tentang kebijakan dan peraturan hutan kemasyarakatan
4. Perencanaan. Rencana pengembangan hutan kemasyarakatan diawali dengan diperolehnya
hak pengusahaan hutan kemasyarakatan, koperasi masyarakat lokal wajib menyusun
Rencana Induk Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (RPHKm), Rencana Lima Tahunan
Hutan Kemasyarakatan (RKLHKm)
5.Pelaksanaan. Hutan kemasyarakatan dikelola oleh koperasi
16
masyarakat lokal sebagai pemegang hak pengusahaan hutan kemasyarakatan
6. Pemantauan dan evaluasi di lapangan, sebagai pemegang hak pengusahaan hutan
kemasyarakatan, koperasi memantau sendiri kegiatan pengelolaan hutan
kemasyarakata(Dephutbun, 1999).
2.2.1 Manfaat Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh bagi masyarakat
pemerintah dan terhadap fungsi hutan yaitu:
1. Bagi Masyarakat, HKm dapat:
(a) memberikan kepastian akses untuk turut mengelola kawasan hutan
(b) menjadi sumber mata pencarian,
(c) ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk rumah tangga dan pertanian terjaga,
(d) hubungan yang baik antara pemerintah dan pihak terkait lainnya.
2. Bagi pemerintah, HKm dapat:
(a) sumbangan tidak langsung oleh masyarakat melalui rehabilitasi yang dilakukan secara
swadaya danswadana
(b) kegiatan HKm berdampak kepada pengamatan hutan.
3. Bagi fungsi butan dan restorasi habitat
(a) terbentuknya keaneka ragaman tanaman,
(b) terjaganya fungsi ekologis dan hidro orologis, melalui pola tanam campuran dan teknis
konservasi lahan yang diterapkan,
(c) menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya
Ijin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35
tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. Ada 4 tahap
perijinan IUPHKm, yaitu :
17
1. Permohonan IUPHKm
2. Penetapan Area Kerja HKm
3. Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm)
4. Pemberian Ijin Usaha pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam HKm
IUPHKm merupakan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan berupa kayu dalam hutan tanaman
pada hutan produksi dalam areal IUPHKm. Hak pemegang IUPHKm pada Hutan Lindung
Pemegang IUPHKm berhak mendapat fasilitasi; melakukan kegiatan pemanfaatan jasa
lingkungan;melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan; melakukan kegiatan pemungutan
hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pada Hutan Produksi, Pemegang IUPHKm berhak
mendapat fasilitas;
melakukan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan; melakukan kegiatan peman-faatan
kawasan; melakukan kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) ; melakukan
kegiatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK); melakukan kegiatan pemungutan
hasil hutan kayu.
Adapun kewajiban pemegang IUPHKm
• melakukan penataan batas areal kerja;
• menyusun rencana kerja;
• melakukan penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan;
• membayar provisi sumberdaya hutan sesuai ketentuan;
• menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan hutan kemasyarakatan kepada pemberi ijin.
Kewajiban pemegang IUPHHK HKm
• Membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH);
• Menyusun rencana kerja pemanfaatan hasil hutan kayu selama berlakunya ijin;
• Melaksanakan penataan batas areal pemanfaatan hasil hutan kayu;
18
• Melakukan pengamanan areal tebangan antara lain pencegahan kebakaran, me-lindungi
pohon-pohon yang tumbuh secara alami (tidak menebang pohon yang bukan hasil
tanaman).
• Melaksanakan penatausahaan hasil hutan sesuai tata usaha kayu hutan tanaman.
• Menyampaikan laporan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu kepada pemberi ijin.
Sanksi bagi yang melanggar kewajiban :
a. Penghentian sementara kegiatan di lapangan terhadap pemegang ijin usaha dalam hutan
kemasyarakatan yang melanggar ketentuan.
b. Pencabutan ijin dikenakan kepada pemegang ijin usaha dalam hutan kema-syarakatan
yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang ada.
2.3 Konsep Penerimaan Usahatani
Menurut Soekartawi (1995) penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang
diperoleh dengan harga jual. Pernyataan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
TRi = Yi . Pyi........................................................(1)
Dimana : TR = Total penerimaan
Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani
Py = Harga Y
Apabila macam tanaman yang diusahakan adalah lebih dari satu, maka rumus di atas berubah
menjadi:
n
TR = ∑ Y. Py...................................................(2)
i = 1
Dimana: n = jumlah macam tanaman yang diusahakan.
2.3.1 Konsep Biaya Usahatani
Biaya pada usahatani adalah semua biaya-biaya yang dikeluarkan dalam penge-rjaan
usahatani tersebut. Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed
cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap umum-nya didefinisikan sebagai
19
biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikelu-arkan walaupun produksi yang diperoleh
banyak atau sedikit. Sedangkan biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefinisikan
sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Cara
menghitung biaya tetap adalah :
n
FC = ∑ Xi. Pxi..................................................(3)
i = 1
Dimana : FC = biaya tetap
Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap
Pxi = Harga input
N = macam input
Untuk menghitung biaya variabel dapat digunakan juga digunakan rumus di atas.
Karena total biaya (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC)
maka:
TC = FC + VC…………………………………...(4)
Dimana : TC = total biaya
FC = jumlah biaya tetap, dan
VC = jumlah biaya variabel
2.3.2. Konsep Pendapatan Usahatani
Menurut Mosher (1968) usahatani didefinisikan sebagai suatu tempat atau bagian dari
permukaan bumi di mana pertanian diselenggarakan oleh seorang petani ter-tentu apakah
seorang pemilik, penyakap atau manajer yang digaji. Usahatani ada-lah himpunan dari
sumber-sumber alam yang terdapat di suatu tempat yang diper-lukan untuk produksi
pertanian seperti tubuh tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas tanah
itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didi-rikan di atas tanah dan sebagainya.
Pendapatan diartikan sebagai selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran ini
diartikan sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan selama musim tanam. Pada kenyataannya,
biaya-biaya ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap seperti sewa lahan dan
20
biaya tidak tetap, misalnya biaya untuk membeli pupuk, pupuk, obat-obatan, bibit, tenaga
kerja dan lain sebagainya. Pendapatan secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
π = YPy- Σ XiPxi- BTT……………………….....(6)
Dimana : π = pendapatan usahatani,
Y = produksi
Pi = harga produksi
Xi = faktor produksi
Pxi = harga faktor produksi
BTT = biaya tetap total
Kriteria pengukuran analisis ini dapat menggunakan nilai R/C. R/C adalah sing-katan
singkatan dari Return Cost Ratio, atau sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan
biaya. Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut:
a = R/C.................................................................(7)
R = Py.Y
C = FC + VC
a = [(Py.Y)/(FC+VC)]
Dimana : R = penerimaan
C = biaya
Py = harga output
Y = output
FC = biaya tetap
VC = biaya variabel
Berdasarkan nilai tersebut, maka kriteria pengukurannya adalah sebagai berikut:
a. Jika R/C > 1 artinya usahatani yang dilakukan menguntungkan
b. Jika R/C < 1 artinya usahatani yang dilakukan tidak menguntungkan
c. Jika rasio R/C = 1 artinya usahatani yang dilakukan tidak untung dan tidak pula rugi.
2.3.3 Kriteria kelayakan investasi
Menurut Nitisemito dan Burhan (2004), ada beberapa metode pengukuran kela-yakan
investasi yang akan ditanam pada suatu proyek. Metode-metode tersebut antara lain:
a. Periode kembali modal
21
Periode kembali modal (pay-off period) adalah jangka waktu yang diperlukan untuk
mengembalikan modal investasi. Alternatif jatuh pada proyek dengan periode
pengembalian modalnya paling pendek. Alasan yang mendasari pema-kaian kriteria ini,
yakni seorang investor lebih mementingkan pengambilan modalnya dalam waktu secepat
mungkin.
b. Nilai tunai (Present value)
Kriteria nilai tunai didasari oleh suatu kenyataan bahwa waktu mempengaruhi nilai guna
uang terhadap seseorang. Orang akan lebih senang menerima sejum-lah uang saat ini
daripada menerimanya tahun depan, sebaliknya orang akan lebih suka membayar sewa
kamar hotel di belakang daripada membayar di muka. Dari gambaran sederhana ini,
tampak bahwa jumlah uang yang sama akan memberikan nilai guna berbeda disebabkan
perbedaan waktu semata.
Antara nilai tunai (present value) dan nilai nanti (future value) terdapat hu-bungan
berbalik. Hal ini dicerminkan oleh rumus nilai tunai sebagai berikut:
( )ti
FP
+=
1
di mana:
P = nilai tunai (pada tahun 0)
F = nilai nanti
i = tingkat bunga
t = tahun ke-…
Konsep nilai tunai merupakan kriteria yang umumnya dipakai untuk menilai kelayakan suatu
proyek. Pada prinsipnya metode ini menghitung nilai tunai semua penerimaan dan
pengeluaran yang terjadi selama umur proyek. Nilai tunai penerimaan dapat dirumuskan:
( )∑
= +=
n
tt
t
i
BPV
0 1
dan nilai tunai pengeluaran dirumuskan:
` ( )∑
= +=
n
ott
t
i
CPC
1
22
Sedangkan nilai tunai bersih menjadi:
NPV = PV – PC
( )∑
+=
t
t
i
B
1 -
( )∑
+t
t
i
C
1
di mana: Bt = penerimaan pada tahun t
Ct = pengeluaran atau biaya pada tahun t
Nilai tunai bersih proyek dihitung dengan mengalihkan arus penerimaan dan pengeluaran tiap
tahun dengan discount factor-nya. Discount factor adalah nilai tunai uang seharga Rp 1,00
yang akan diterima pada tahun ke-t. Rumus discount factor adalah: ( )ti
fd+
=1
1.
di mana: d.f = discount factor
Sebagai pedoman umum, dapat dikatakan bahwa suatu proyek dikatakan layak kalau nilai
tunai (net present value) proyek lebih besar daripada nol atau
NPV ≥ 0
di mana NPV = Nilai Tunai Bersih.
c. Nisbah manfaat biaya
Seperti nilai tunai bersih (NPV), nisbah manfaat biaya (cost benefits ratio) juga sering
dipakai untuk mengukur kelayakan suatu proyek. Pada nisbah manfaat biaya yang dilihat
adalah perbandingan antara nilai tunai penerimaan dengan nilai tunai pengeluaran atau biaya.
Rumus nisbah manfaat biaya adalah:
( )
( )∑
∑
1
10
n
ott
t
n
tt
t
i
C
i
B
CB
=
=
+
+=/
di mana:
( )∑
+t
t
i
B
1= nilai tunai penerimaan = PV
23
( )∑
+t
t
i
C
1= nilai tunai biaya = PC
Dari rumus tersebut tampak bahwa jika:
PV > PC maka B/C > 1
PV < PC maka B/C < 1
PV = PC maka B/C = 1
Oleh karena NPV adalah selisih antara PV dan PC maka antara NPV dengan B/C terdapat
hubungan sebagai berikut, jika:
NPV > 0 maka B/C > 1
NPV < 0 maka B/C < 1
NPV = 0 maka B/C = 1
Sejalan dengan kriteria NPV, maka suatu proyek dikatakan layak bila:
B/C ≥ 1
d. Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga yang menghasilkan NPV sama dengan
nol. Dari pembahasan terdahulu sudah diketahuibahwa:
NPV = PV – PC
= ( )∑
+t
t
i
B
1 -
( )∑
+t
t
i
C
1
= ( )( )∑
1t
tt
r
CB
+
di mana: i = r
Analisis IRR digunakan untuk mengetahui berapa r sehingga:
( )( )∑
1t
tt
r
CB
+ = 0
Besarnya r yang menjadikan NPV = 0 itulah yang disebut dengan IRR dari suatu proyek.
Secara matematik, r dapat ditentukan, akan tetapi karena alasan kalkulasi yang agak rumit
24
maka dalam praktik, r dapat juga dicari dengan sistem trial and erorrs. Artinya, dapat saja
mencoba r dengan nilai tertentu, lalu hitung NPV proyek tersebut. Jika NPV masih positif,
maka r dinaikkan dan dihitung kembali NPV-nya. Bila masih positif, maka nilai r harus
dinaikkan lagi, sebaliknya bila NPV menjadi negatif, artinya r perlu diturunkan. Demikianlah
proses coba-coba ini dilakukan sampai akhirnya ditemukan nilai r yang menghasilkan NPV
mendekati 0 (nol).Kriteria untuk menetapkan kelayakan suatu proyek ialah bilamana IRR
lebih besar dari tingkat bunga, atau IRR > i, di mana i adalah tingkat bunga.Jika IRR ≤ i,
proyek dianggap tidak layak. Hubungan antara NPV, B/C, dan IRR adalah sebagai berikut:
NPV > 0, B/C > 1, IRR > i
NPV = 0, B/C = 1, IRR = i
NPV < 0, B/C < 1, IRR < i
2.4. Kerangka Pemikiran
Kajian ini dilakukan sebagai upaya bagi penguatan sistem pengelolaan HKm dan
pengembangan ekonomi terpadu pada area HKm, yang pada akhirnya akan tercapainya
penguatan fungsi HKm sebagai catchment area. Aspek penguatan sistem pengelolaan HKm
dilihat dari sisi sosial ekonomi, kelembagaan pengelolaan dan kondisi ekologis kawasan.
Pada penelitian ini hanya dilakukan telaah untuk aspek sosial ekonomi dan budaya yang
melingkupi masyarakat. Sosial ekonomi ditelaah melalui total pendapatan petani, yang
diperoleh dari usahatani, sampingan maupun tambahan. Secara ringkas keterpadua secara
holistikdapat dilihat pada Gambar 1.
25
Gambar1. Kerangka Pikir yang menggambarkan Keterkaitan secara Holistik pada masing-
masing variabel.
Bagan diatas menggambarkan pembinaan secara holistik untuk mencapai pulihnya fungsi
kawasan penyangga TNBBS yang berfungsi sebagai catchmen area. Untuk mendukung
penguatan sistem pengelolaan HKm, maka diperlukan penguatan ekonomi terpadu pada areal
HKm, sehingga tercipta sumber-sumber pendapatan baru yang berpotensi dan menjanjikan,
yang utama menyangkut pengelolaan pasca panen dan penyiapan industri hilir. Sistem
pengelolaan yang baik dan penguatan ekonomi terpadu disinyalir akan menjadi satu
kombinasi guna tercapainya fungsi HKm sebagai catchment area dan bufferzone bagi
kelestarian hutan alam.
Secara rinci identifikasi aspek sosial ekonomi, merupakan gambaran dari total sumber
pendapatan yang didapat dari berbagai sumber, apakah hutan lindung, ladang maupun
pendapatan selain dari bertani. Komoditas yang diusahakan beragam apakah coklat, kopi,
duren, pala. jengkol ataupun pete. Selajutnya akan dilihat seberapa besar manfaat bersih yang
26
diperoleh petani dari usahanya tersebut. Rincian kerangka pikir sosial ekonomi dapat dilihat
pada Gambar 2 berikut:
Gambar 2. Kerangka Aspek Sosial Ekonomi dalam Penguatan Sistem Pengelolaan HKm
27
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Metode Pengambilan Contoh
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Agung Utara Kabupaten Tanggamus. Pemilihan lokasi
dilakukan secara purposive (sengaja). Kabupaten Tanggamus dipilih menjadi daerah
penelitian atas dasar pertimbangan bahwa Kabupaten ini merupakan kabupaten yang
menerapkan pembangunan HKm register 39. Kawasan HKm tersebut memiliki fungsi yang
sangat krusial yakni salah satunya sebagai catchmen area atau daerah tangkapan air batu
tegi.
Responden yang dijadikan sampel (unit contoh) adalah masyarakat anggota gapoktan binaan
Konsorsiun Kota Agung Utara (KORUT) yang tinggal di sekitar pembangunan HKm di
Kota Agung Utara, yaitu anggota gapoktan Mulya Agung, Tribuana, dan Tulung Agung.
Jumlah sampel dipilih secara Quota sampling, yaitu berjumlah .231 responden.Namun untuk
analisis pendapatan usahatani kakao dan kopi sampel yang digunakan hanya responden dari
gapoktan Tulung Agung. Pra survei ke lapangan dilaksanakan pada tahun 2013, dan
pengumpulan data lebih lengkap dilakukan pada tahun tersebut.
B. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan pengamatan langsung. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dengan wawancara dengan petani (responden) melalui kuisioner (daftar pertanyaan). Data
sekunder diperoleh dari lembaga terkait/instansi terkait, laporan-laporan, publikasi dan
pustaka lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Berikut penjelasan mengenai
metode pengumpulan data dan informasi :
28
(1) Studi literatur, yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari data sekunder yang relevan
mengenai peraturan perundangan yang berkaitan dengan hutan kemasyarakatan, data
sosial ekonomi penduduk, data pelaksanaan kegiatan HKm, dan sebagainya.
(2) Observasi, yaitu dengan cara mengamati dan/atau menghitung obyek penelitian di
lapangan secara langsung, seperti jenis tanaman, produksi tanaman, biaya produksi, dan
pendapatan usahatani.
(3) Wawancara dengan cara ”dept interview”, yaitu dengan melakukan tanya jawab kepada
informan kunci guna menggali informasi mengenai mekanisme pelaksanaan kegiatan
HKm, pendampingan yang dilakukan KORUT, dan produksi tanaman. Responden yang
dijadikan responden terdiri atas anghota kelompok tani Mulya Agung, Tribuana, dan
Tulung Agung.
(4) Kuesioner, yaitu dengan menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden yang
dijadikan obyek penelitian.
C. Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode komputerisasi. Data yang
diperoleh disederhanakan akan diolah secara komputerisasi dengan menggunakan program
excel dan program lain yang mendukung.
1. Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan faktor-
faktor sebagaimana adanya. Analisis ini digunakan untuk mengakaji karakteristik sosial
ekonomi petani yang berada di sekitar register 39.
29
2. Analisis Pendapatan Usahatani
Tujuan kedua dari penelitian ini akan dijawab dengan menggunakan analisis pendapatan yang
dihitung dengan menghitung selisih antara penerimaan yang diterima dari hasil usaha dengan
biaya produksi yang dikeluarkan selama usahatani berlangsung, yang dirumuskan:
π = YPy – ΣXiPxi – BTT........................................................................(10)
dimana : π = pendapatan (Rp)
Y = produksi (kg)
Py = harga produksi (Rp/kg)
Xi = faktor produksi (1,2,3,......,n)
Pxi = harga faktor produksi
BTT = biaya tetap total
30
BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH
4.1 HUTAN, SUNGAI DAN GUNUNG : KONDISI FISIK DAN GEOGRAFIS
Register 39 sebagian besar terletak di wilayah administratif Kabupaten Tanggamus.
Tanggamus adalah nama gunung, yang kemudian dilekatkan kepada nama Kabupaten
tersebut ketika melakukan pemekaran dari kabupaten induk, yakni Kabupaten Lampung
Selatan. Di karenakan register 39 sebagian besar terletak di wilayah administratif kabupaten
Tanggamus, maka secara umum kondisi fisik dapat kita lihat pada kabupaten Tanggamus
secara umum. Dari hasil penelitian peneliti sebelumnya (Nurdin, 2013) dikatakan bahwa
Kabupaten Tanggamus sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Lampung merupakan daerah
yang memiliki potensi cukup besar dilihat dari sektor ketersediaan sumber daya alamnya
maupun luas wilayahnya yang mencakup sekitar 2721.88 Km2. Kabupaten Tanggamus
terbentuk dan menjadi salah satu Kabupaten di Propinsi Lampung berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 tahun 1997 yang diundangkan pada tanggal 3 Januari 1997 dan diresmikan
menjadi Kabupaten pada tanggal 21 Maret 1997. Adapun jumlah penduduk Kabupaten
Tanggamus adalah 542.439 jiwa.
Kabupaten Tanggamus berbatasan dengan 3 wilayah daratan dan juga berbatasan dengan laut.
Ibu kota kabupaten Tanggamus adalah Kota Agung, berada di sepanjang pinggir laut (BPS,
2011). Dari segi geografis, posisi kabupaten Tanggamus sangatlah unik dan menarik, ada
gunung Tanggamus dan juga memiliki laut. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten
Tanggamus sangatlah kaya jika dilihat dari kekayaan sumber daya alam.
Dilihat dari aspek geografi Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104o
18’ - 105o 12’
Bujur Timur dan antara 5o
05’ – 5o
56’ Lintang Selatan. Koordinat ini membatasi wilayah
seluas 21855,46 km2 untuk luas daratan ditambah dengan luas wilayah laut seluas 1.779,50
31
km2 dengan luas keseluruhan 4.634,96 Km
2. Berdasarkan ketinggian wilayah dari
permukaan laut, Kabupaten Tanggamus berada pada ketinggian sampai dengan 2.115 m.
Kabupaten Tanggamus memiliki topografi wilayah darat bervariasi antara dataran rendah dan
dataran tinggi, yang sebagian besar merupakan daerah berbukit sampai bergunung, sekitar
40% dari seluruh wilayah ( BPS, 2011) . Luas wilayah kabupaten Tanggamus, dapat dilihat
dari table berikut ini :
Tabel 1. Luas Kabupaten Tanggamus
No Kecamatan Luas
Km2 Persentase
1. Wonosobo 209,63 4,52
2. Semaka 170,90 3,69
3. Bandar Negeri Semuong 98,12 2,12
4. Kota Agung 76,93 1,66
5. Pematang Sawa 185,29 4,00
6. Kota Agung Barat 101,30 2,19
7. Kota Agung Timur 73,33 1,58
8. Pulau Panggung 437,21 9,43
9. Ulu Belu 323,08 6,97
10. Air Naningan 186,35 4,02
11. Talang Padang 45,13 0,97
12. Sumberejo 56,77 1,22
13. Gisting 32,53 0,70
14. Gunung Alip 25,68 0,55
15. Pugung 232,40 5,01
16. Bulok 51,68 1,12
17. Cukuh Balak 133,76 2,89
18. Kelumbayan 121,09 2,61
19. Limau 240,61 5,19
20. Kelumbayan Barat 53,67 1,16
Luas Darat 2.855,46 61,61
Luas laut 1.779,50 38,39
Jumlah Total 4.634,94 100,00
Sumber: BPS, 2013
Potensi sumber daya alam di Tanggamus tidak hanya penting untuk ekonomi, melainkan juga
sebagai penyeimbang ekologi. Hutan dan sungai-sungai besar yang mengaliri wilayah
Tanggamus merupakan penyangga bagi keseimbangan dan kelestarian alam di wilayah
tersebut.
32
Sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Lampung selatan, Kabupaten Tanggamus
memiliki batas -batas wilayah administratif dengan kabupaten lainnya, apalagi wilayah
Pringsewu sudah menjadi kabupaten sendiri berpisah atau mekar dari Tanggamus, batas-batas
administratifnya adalah sebagai berikut:
- sebelah Utara berbatsan dengan kabupaten Lampung Barat dan kabupaten Lampung
Tengah.
- sebelah Selatan berbatasan dengan samudra Indonesia
- sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Lampung Barat
- sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Pringsewu
Luas wilayah daratan kabupaten Tanggamus adalah 2855,46 Km2
di tambah luas wilayah
laut seluas 1799,50 Km2 di sekitar Teluk Semaka, dengan panjang pesisir 210 Km topografi
wilayah daratan bervariasi antara daratan rendah dan daratan tinggi, yang sebagian
merupakan daerah berbukit sampai bergunung, yakni sekitar 40% dari seluruh wilayah
dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai dengan 2115 m. Potensi sumber daya
alam yang dimiliki kabupaten tanggamus sebagian besar di manfaatkan untuk kegiatan
pertanian. selain itu masih terdapat beberapa sumber daya alam lain yang potensial adalah
pertambangan dan energi listrik ( BPS, 2011).
Kabupaten Tanggamus memiliki kawasan hutan lindung dan hutan Negara (taman nasional).
Beberapa hutan register di Tanggamus, telah mendapatkan izin pengelolaan HKm dari
menteri kehutanan. Dari peta hutan sebelumnya dapat dilihat bahwa hutan terbanyak ada di
kawasan Tanggamus. Beberapa register telah mendapatkan izin untuk pengelolaan hutan oleh
masyarakat tani. HKm adalah kawasan hutan Negara yang dimanfaatkan oleh masyarakat
sekaligus masyarakat berkewajiban melestarikannya. Masyarakat yang sudah memperoleh
izin HKm diperbolehkan memanfaatkan hutan, tetapi sekaligus diwajibkan untuk memelihara
33
hutan agar tidak rusak. HKm juga berupaya untuk memberdayakan masyarakat di kawasan
hutan. Sebagai sebuah solusi dalam menyelesaikan masalah kerusakan hutan, HKm
merupakan sebuah solusi yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah hutan ini. Namun
HKm tidak akan berjalan kalau hanya ditumpukan kepada masyarakat pengguna hutan saja
melainkan harus ada sinergi antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat
dalam merehabilitasi hutan (Nurdin, 2013)
4.2 WILAYAH : BATAS ADMINISTRATIF
Secara administrative sudah dijelaskan di atas bahwa Kabupaten Tanggamus berbatasan
dengan beberapa kabupaten, dan lautan. Batas administrative ini tidaklah mencerminkan
batas-batas budaya. Demikian juga dengan masyarakat petani perambah, bagi petani batas-
batas administrative bukanlah hal yang penting, yang paling utama adalah bagaimana bisa
berkebun dengan mendapatkan lahan. Kawasan hutan yang mereka pergunakan terkadang
sudah melewati batas-batas administarif Tanggamus. Bagi petani, tidak ada batas
administrative yang ada hanyalah bahwa mereka terus mencari lahan atau tanah untuk bisa
ditanami tanaman yang menguntungkan mereka.
Dari sisi administrative, pekon atau desa yang ada di kabupaten Tanggamus adalah 302
pekon / kelurahan dengan 20 kecamatan (BPS, 2011). Sesudah reformasi, satuan terkecil
wilayah administrative adalah Pekon, yakni nama kampung bagi sebutan masyarakat adat
Lampung di Tanggamus. System desa kemudian dihapuskan dibeberapa daerah di luar Jawa.
Batas administratif merupakan batas kabupaten, kecamatan dan desa yang dibuat oleh negara.
Adapun nama-nama kecamatannya adalah sebagai berikut :
34
Tabel 2. Ibu Kota Kecamatan dan Jarak ke Ibukota Kabupaten Menurut Kecamatan Tahun
2012
No Kacamatan Ibukota
Kecamatan
Jarak Ke Ibukota
Kabupaten (km)
1 Wonosobo Tanjung Kurung 28
2 Semaka Sukaraja 18
3 Bandar Negeri Semuong Sanggi 35
4 Kota Agung Kuripan 14
5 Pematang Sawa Way Nipah 57
6 Kota Agung Barat Negara Batin 14
7 Kota Agung Timur Keagungan 2,5
8 Pulau Pangggung Tekad 34,5
9 Ulu Belu Ngarip 30
10 Air Naningan Air Naningan 47,4
11 Talang Padang Talang Padang 26,5
12 Sumber Rejo Sumber Rejo 24
13 Gisting Kuto Dalom 12
14 Gunung Alif Banjar Negeri 28,7
15 Pugung Rantau Tinjang 43
16 Bulok Sukamara 65
17 Cukuh Balak Putih Doh 48,7
18 Kelumbayan Napal 107
19 Limau Kuripan 22
20 Kelumbayan Barat Sidoharjo 100
Sumber : Podes 2012 Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus
Peta administrative terdiri dari batas-batas pekon, dan kabupaten, sedangkan peta culture area
merupakan batas antara etnik di kabupaten Tanggamus. Dalam hal ini dibuat batas-batas
budaya antara etnik Lampung yakni per marga yang ada di kabupaten Tanggamus. Peta batas
budaya sangatlah penting, tidak hanya untuk pergesekan dan konflik etnik melainkan juga
sebagai landasan dasar pembangunan yang ada di kabupaten tersebut. Pembangunan
seringkali harus menggunakan modal social dan kearifan lokal masyarakat setempat, untuk
dapat berhasil. Demikian juga dengan hutan kemasyarakatan (HKm), budaya berkebun dan
petani di hutan Tanggamus perlulah dipelajari, untuk mengetahui titik kelemahan dan
kekuatan yang ada didalamnya. Melarang petani membuka lahan di tempat terlarang bisa
dilakukan dengan kekerasan atau secara hukum, namun tidak berarti bahwa kemudian
kegiatan ini berhenti kegitu saja, pendekatan kebudayaan sangatlah penting dalam
35
menanggulangi hal ini. Peta Tanggamus secara administrative dan culture area dapat dilihat
dalam peta-peta berikut ini
Peta 1. Administrative Kabupaten Tanggamus
Adapun peta berdasarkan batas-batas etnik, dapat dilihat dalam table berikut ini:
36
Peta 2. Culture Area di Kabupaten Tanggamus
Sumber : Peta diolah peneliti dari hasil survey, 2013.
37
4.3 KARAKTERISTIK GABUNGAN KELOMPOK TANI
4.3.1 Gabungan Kelompok Tani Mulya Agung
Gabungan Kelompok Tani Mulya Agung berdiri pada tanggal 13 Maret 2010 yang terletak
di kawasan hutan lindumg reg.39 kota agung utara dengan luas ajuan 1061,75 ha dan 961
anggota terdiri dari sembilan kelompok tani terdiri dari Keompok Tani Cempaka Putih satu
sampai dengan Kelompok Tani cempaka putih Sembilan anggota masyarakat yang tergabung
dalam kelompok tani terdiri dari masyarakat pekon Sido Mulyo Kecamatan semaka dan ada
sebagian dari masyarakat Lampung Barat.
Kelompok Cempaka Putih 1 jumlah anggota 117 dengan luas 130,72 Ha
Terletak di Kali Kumbang
Kelompok Cempaka Putih 2 jumlah anggota 158 dengan luas 174,45 Ha
Terletak di Kali Kumbang
Kelompok Cempaka Putih 3 jumlah anggota 105 dengan luas 117,66 Ha
di Umbul Seno bawah
Kelompok Cempaka Putih 4 jumlah anggota 104 dengan luas 129,82 Ha
Di Umbel Seno atas
Kelompok Cempaka Putih 5 jumlah anggota 115 dengan luas 127,45 Ha
Di Umbul Kuyung
Kelompok Cempaka Putih 6 jumlah anggota 75 dengan luas 85,37 Ha
Di Umbul Tampah
Kelompok Cempaka Putih 7 jumlah anggota 91 dengan luas 96,85 Ha
Di Umbul Pring
Kelompok Cempaka Putih 8 jumlah anggota 106 dengan luas 118,78 Ha
Di Tirto Luhur Pungkalan Lampung Barat
Kelompok Cempaka Putih 9 jumlah anggota 80 .dengan luas 89,68 Ha
Di Tirto Luhur Pungkalan Lampung Barat
Masyarakat yang tergabung dalam anggota kelompok tani berasal dari Pekon Sido Mulyo
Kecamatn Semaka Kabupaten Tanggamus kelompok Cempaka Putih satu sampai dengan
38
kelompok Cempaka Putih enam. Kelompok Cempaka Putih tujuh sampai dengan sembilan
berasal dari masyarakat Tirto Luhur Kecamatan Suoh Lampung Barat. Anggota kelompok
yang tergabung dalam Gapoktan Mulya Agung mayoritas etnis jawa ada sebagian kecil
lampung dan,sunda.
Pada saat ini masih banyak masyarakat beraktivitas memanen hasil tanaman budidaya
seperti Kakao, Lada dan kopi. Pada umumnya anggota kelompok tani yang tergabung dalam
gabungan kelompok tani Mulya Agung tinggal dan menetap didalam areal kelola HKm.
Budidaya tanaman anggota kelompok tani hampir 70% berkebun coklat di sela-sela kebun
coklat ada terlihat tanaman tjuk tinggi antara lain duren, kelpa, alpokat. dan jenkol. 20%
bekebun Lada dan !0% berkebun kopi
4.3.2 Gabungan Kelompok Tani Tri Buana
Gapoktan tri buana dalah terdiri dari kelompok tani Hutan Kemasyarakatan ( HKm ) yang
memiliki lahan kelola di hutan lindung. Gapoktan ini salah satu kelompok HKm yang sudah
memiliki izin (IUPHKm) B.337/23/03/ 2009.
Jenis tanah yang ada pada wilayah kerja kelompok tani Tri Buana Jenis tanah yang ada pada
wilayah kerja kelompok tani Tri Buana mayoritas terbagi menjadi 2 yakni; Latosol Coklat tua
dan Podsolik merah kuning dengan perbandingan 70 : 30%. Umumnya pada tanah masam
didominasi dari jenis Podsolik Merah Kuning dengan kisaran derajat kemasaman (Ph) 4 – 6,
sedangkan pada jenis tanah Latosol coklat tua cenderung basah dengan kisaran Ph 7 -8.
Tingkat topografi bervariasi dari mulai dataran dengan keluasan 30% sedangkan pada
lereng dengan kemiringan antara 20 - 60˚, mencapai 50 % pada areal kelola hutan
kemasyarakatan kelompok tani Tribuana. Pada kondisi topografi tingkat kelerangan curam
dan terjal mencapai 20%. Pada kondisi semacam ini tidak dilakukan budidaya dan masuk
dalam zona perlindungan
39
Iklim yang terjadi pada areal kelola HKm Tri Buana terdapat dua musim yaitu musim hujan
dan kemarau, musim hujan terjadi pada bulan November – Mei sementara selebihnya adalah
kemarau, walaupun hujan masih ada dalam relatif sedikit. Areal kelola cenderung beriklim
basah dengan kelembaban mencapai 50 – 80% sedangkan dengan curah hujan berkisar antara
1500 - 3000 mm/th (iklim A,B,C Scmidt Ferguson).
Jenis tanaman tumbuh yang ada saat ini terdiri dari tanaman kayu, Mpts, Perkebunan dan
tanaman Holtikultura. Berikut ini tabel Potensi Tanaman:
Tabel 3. Potensi tanaman anggota gapoktan tri buana
No Jenis Potensi Tanaman Jumlah (btg) Keterangan
1 Tanaman Kayu-kayuan 20.804 Terdiri dari 10 jenis tanaman
2 Tanaman MPTS 15.823 Terdiri dari 12 Jenis Tanaman
3 Tanaman Perkebunan 564.391 Terdiri dari 4 Jenis Tanaman
4 Tanaman Hortikultura 52.825 Terdiri dari 2 Jenis Tanaman
Jumlah 653.843 Batang
Sumber: Data Primer, 2013
Anggota kelompok tani Tri Buana sebagian besar tercatat dan berdomisili pada pemerintahan
Pekon Trimulyo Kec. Sumber Jaya, Kab. Lampung Barat. Jumlah penduduk disekitar hutan
makin tahun populasinya makin meningkat dengan tingkat penyebaran lokal.
Areal kerja Kelompok Tri buana pada status kawasan hutan lindung register 39. Areal kerja
terbagi dua zona, antara lain zona pemanfaatan (budidaya) dan zona perlindungan (lindung).
Jumlah blok budidaya (pemanfaatan) terbagi menjadi 9 blok dengan jumlah 540 penggarap
Potensi areal kerja hkm dalam wilayah kelompok tani Tri Buana terdiri atas :
1) Tanaman kayu
2) Tanaman MPTS
3) Sumberdaya Air
4) Kebun Percontohan (dalam perencanaan)
5) Wisata Alam
40
4.3.3 Gabungan Kelompok Tani Tulung Agung
Gapoktan Tulung Agung/Pekon Karang agung dan Tulung Asahan Kecamatan Semaka
Kabupaten Tanggamus. Dasar Hukum Penyelenggaraan HKm adalah Peraturan Mentri
Kehutanan Nomor : P.37 / Menhut ii / 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan. Kondisi tanah
didominasi dua jenis tanah antara lain jenis tanah Latasol Coklat dan Podsolik Merah
Kuning. Kondisi tanahsubur masih mencapai 60 % sementara kondisi tanah kurang subur,
tandus berbatu dengan kemiringan ≥ 41 ˚ mencapai 40 %, Kemasaman tanah (Ph) untuk jenis
tanah Podsonik Merah Kuning 5-6, sedangkan untuk tanah Latasol berkisar antara 6-7.
Tabel 4. Jenis tanah pada Gapoktan Tulung Agung
No Jenis Tanah Luas (ha) %
1 Latasol coklat Tua 721.50 80
2 Podsolik Merah Kuning 239.00 20
Jumlah 960.50 100
Jenis Tanaman yang terdiri dari jenis, mulai dari jenis tanaman kayu kayuan, MPTS,
Perkebunan dan tanaman Agricultur. Jenis tanaman kayu-kayuan yang ada saat ini antara lain
tanaman Cempaka, Bayur, Sengon, Mindri dan Tabu. Sementara dari jenis tanaman MPTS
berupa tanaman Durian, Petai, Jengkol, Alpukat, Nangka, Mangga, pinang dan are. Tanaman
perkebunan yang ada berupa tanaman Kopi, Coklat, Lada dan Pala. Sedangkan untuk jenis
tutupan lahan dari tanaman Agricultur (sayur-sayur) berupa jahe, Cabe, Kacang-kacangan
dan lain-lain masih bersifat tanaman sela yang berjumlah relative kecil.
Anggota kelompok Tani Tulung Agung sebagian besar tercatat dan berdomisili pada
pemerintahan Pekon Karang Agung, kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus. Jumlah
penduduk disekitar hutan semakin tahun populasinya semakin meningkat dengan tingkat
penyebaran lokal.
41
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No Kecamatan Desa/Pekon Jumlah Penduduk (Orang)
Pria wanita Jumlah
1 Semaka Karang Agung 785 968 1.753
2 Semaka Tulung Asahan 578 607 1.185
Jumlah
Tabel 6. Penduduk Berdasarkan Kelas Umur
No Kecamatan Desa/Pekon Jumlah Penduduk (Orang)
˂ 15 Th 15–55 Th ˃ 55 Th Jumlah
1 Semaka Karang Agung 578 1.008 167 1.753
Semaka Tulung Asahan 283 787 115 1.185
861 1.795 282 2.938
Tabel 7. Sarana dan Prasarana
No Kecamatan Desa/Pekon
Jumlah Prasarana Ekonomi (buah)
Pasar Koperasi Bank
Sarana Lainnya
Tok
o
Bengke
l
Pabri
k
1 Semaka Karang
Agung - - - 3 - -
2 Semaka Tulung
Agung - - - 2 1 2
Jumlah anggota tani yang tergabung dalam gapoktan Tulung Agung berjumlah 885 orang
yang terbagi dalam 8 blok, dengan profesi mata pencaharian petani penggarap, buruh tani,
PNS dan pedagang.
4.4 KARAKTERISTIK RESPONDEN ANGGOTA GAPOKTAN MULYA AGUNG, TRI
BUANA, DAN TULUNG AGUNG.
Dari hasil survey tentang program penguatan fungsi HKM yang dilakukan pada petani yang
berusahatani di kawasan hutan lindung di Kabupaten Tanggamus diperoleh hasil sebagai
berikut : karakteristik sosial ekonomi petani meliputi umur, etnis, jumlah anggota rumah
tangga, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan. Hasil wawancara tentang interaksi petani
42
dengan kawasan hutan meliputi tahun responden memasuki hutan, cara mendapatkan lahan
kawasan hutan, alasan mengelola hutan.
4.4.1 Umur Responden
Kematangan umur merupakan salah satu yang akan berpengaruh terhadap pola pikir, corak,
dan perilaku baik formal maupun informal. Selain itu, umur juga sangat mempengaruhi
emosionalisme dan rasionalisme. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan, diperoleh
hasil rata-rata umur gabungan kelompok tani Mulya Agung yang menetap di kawasan hutan
kemasyarakatan adalah 40 tahun, 37 tahun untuk gabungan kelompok tani Tribuana dan 43
tahun untuk gabungan kelompok tani Tulung Agung. Hal ini menunjukkan bahwa umur rata-
rata petani di ketiga lokasi penelitian adalah umur yang produktif, karena berdasarkan Data
statistik Indonesia (2009) umur produktif manusia berada pada kisaran umur 15-64.
Adapun sebaran umur tiga gapoktan di Kawasan Hutan Kemasyarakatan dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 8. Distribusi umur petani gapoktan Mulya Agung, Tribuana dan Tulung Agung
No Golongan
Umur
Jumlah responden (orang) Jumlah %
Mulya agung Tribuana Tulung Agung
1 17-23 5 4 1 10 4,33
2 24-30 16 17 8 41 17,75
3 31-37 22 19 16 57 24,68
4 38-44 21 9 22 52 22,51
5 45-51 16 4 12 32 13,85
6 52-58 8 7 5 20 8,66
7 59-65 1 2 9 12 5,19
8 66-72 4 0 1 5 2,16
9 73-79 0 0 0 0 0,00
10 80-86 1 1 0 2 0,87
Jumlah 94 63 74 231 100,00
Sumber: Data Primer diolah, 2014
43
Tabel 9 menunjukkan bahwa petani yang berusahatani di kawasan hutan kemasyarakatan di
Kabupaten Tanggamus memiliki kisaran umur 31-37 pada ketiga anggota gapoktan.
Persentase usia petani yang memiliki usia produktif tersebut adalah sebanyak 96,97 persen
sedangkan persentase petani yang memiliki umur yang sudah tidak produktif sebanyak 3,03
persen. Umur yang produktif merupakan umur yang sangat potensial untuk melakukan
segala aktivitas termasuk aktivitas berusahatani. Dalam batas-batas usia produktif seseorang
dapat mengelola usahataninya dengan baik. Kemampuan seseorang akan bertambah sampai
pada tingkat umur tertentu kemudian akan mulai menurun.
4.4.2 Etnis Petani Responden
Etnis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cara berusahatani pada suatu daerah.
Di daerah surve rata-rata petani merupakan petani pendatang dari pulau jawa sehingga etnis
yang paling banyak di lokasi penelitian adalah etnis jawa dan sunda. Jumlah etnis sunda
adalah 18, 18 persen petani sedangkan etnis jawa menempati urutan pertama yaitu berjumlah
71,00 persen petani. Adapun sebaran etnis petani di daerah survei dapat dilihat pada Tabel
10.
Tabel 9. Distribusi etnis petani yang tergabung dalam gapoktan Mulya agung, Tribuana,
dan Tulung Agung.
Etnis Jumlah Responden (orang)
Jumlah % Mulya Agung Tribuana Tulung Agung
Bali 0 0 2 2 0,87
Jawa 83 58 23 164 71,00
lampung 2 1 18 21 9,09
Palembang 0 0 2 2 0,87
Sunda 9 4 29 42 18,18
94 63 74 231 100,00
Sumber: Data Primer diolah, 2014
44
Dalam perkembangannya, perubahan pola budidaya di Kawasan HKm seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk migran dari Jawa dan tempat-tempat lain di Provinsi
Lampung. Perkembangan lain adalah adanya kecenderungan untuk meningkatkan
produtivitas per unit lahan dengan peningkatan intensitas pengelolaan lahan, khususnya
setelah masuknya para migran suku Jawa.
45
V. Karakteristik Sosial Ekonomi
5.1.Mata Pencaharian
Hasil survei menunjukkan, bertani di kawasan hutan kemasyarakatan merupakan pekerjaan
utama bagi petani responden. Sebaran ada tidaknya pekerjaan sampingan petani responden
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Distribusi ada tidaknya pekerjaan sampingan petani anggota gapoktan Mulya
Agung, Tribuana dan Tulung Agung.
No Pekerjaan Jumlah Responden Jumlah %
Sampingan Mulya Tri Tulung
Agung Buana Agung
1 Ada 30 30 33 93 40,26
2 Tidak ada 64 33 41 138 59,74
Juml 94 63 74 231 100
Sumber: Data Primer diolah, 2014
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa sebagian besar atau 59,74 persen petani
responden tidak memiliki usaha sampingan yang berarti rata-rata petani responden sangat
bergantung pada lahan usahatani yang ada di kawasan hutan kemasyarakatan. Oleh sebab itu,
sangat diperlukan penguatan kelembagaan anggota gapoktan Mulya agung, Tribuana dan
Tulung agung untuk mengelola Hkm menjadi kawasan yang sesuai dengan fungsinya.
5.2 Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga menjadi gambaran potensi tenaga kerja yang dimiliki keluarga
petani. Selain itu, jumlah tanggungan keluarga merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan dalam peningkatan produksi dan pendapatan petani serta kemampuan dalam
pengelolaan usahatani pada lahan kawasan Hkm. Jumlah tanggungan keluarga petani yaitu
banyaknya orang yang harus dibiayai oleh kepala keluarga sebagai pencari nafkah, bukan
berdasarkan banyaknya anak. Jumlah tanggungan keluarga berkaitan erat dengan pendapatan
46
dan pengeluaran keluarga, semakin banyak tanggungan keluarga, maka semakin besar
pengeluaran keluarga tersebut. Dengan demikian petani sebagai pencari nafkah akan
sungguh-sungguh dalam mengerjakan pekerjaan usahatani di kawasan hutan, sehingga sangat
diperlukan penguatan kelembagaan HKm yang dapat melatih petani dalam berusahatani serta
melestarikan HKm. Jumlah anggota dalam satu keluarga adalah semua orang yang hidupnya
oleh keluarga yang bersangkutan dan mempunyai kepentingan bersama dalam suatu kegiatan
usahatani. Adapun sebaran tanggungan keluarga petani responden di kawasan Hkm.
Tabel 11. Distribusi tanggungan keluarga anggota gapoktan Mulya Agung, Tribuana, dan
Tulung Agung
No Tanggungan
Keluarga
Jumlah responden(orang)
Jumlah % Mulya
Agung Tribuana
Tulung
Agung
1 0-1 10 10 5 25 10,82
2 2-3 35 34 21 90 38,96
3 4-5 42 16 38 96 41,56
4 6-7 7 2 9 18 7,79
5 8-9 0 1 1 2 0,87
Jumlah 94 63 74 231 100,00
Sumber: Data Primer diolah, 2014
Pada Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar tanggungan keluarga petani responden
adalah 4 sampai 5 orang. Petani rata-rata masih mempunyai anak yang sedang menempuh
pendidikan. Banyaknya tanggungan keluarga petani akan berpengaruh terhadap cepat atau
lambatnya penerimaan inovasi. Umumnya petani yang mempunyai tanggungan lebih banyak
akan lebih mudah menerima inovasi dan pembinaan penguatan kelembagaan, hal ini
dikarenakan terdorong oleh kewajibannya untuk membiayai sejumlah orang yang menjadi
tanggungannya.
5.3. Gambaran Pendapatan Usahatani di Kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
register 39 Kabupaten Tanggamus
5.3.1. Usahatani Kakao
47
Tanaman tajuk tengah yang banyak dibudidayakan oleh petani responden untuk anggota
gapoktan Tribuana ialah tanaman kopi, sedangkan anggota gapoktan Tulung Agung lebih
banyak membudidayakan tanaman kakao sebagai tanaman yang paling menguntungkan.
Selain itu, petani responden juga sejak lama telah menanam dan memelihara tanaman
MPTS (Multi Purpose Tree Species) atau tanaman serbaguna di kawasan hutan atau lebih
dikenal dengan istilah”reppong”’seperti pete, durian, jengkol akan tetapi jumlah MPTS
tersebut masih perlu ditingkatkan. Hal ini harus sesuai menurut peraturan dari Departemen
Kehutanan bahwa perbandingan antara tanaman kayu-kayuan / MPTS ialah 70:30 masih
harus ditingkatkan, dan disosialisasikan. Perbandingan tersebut sesuai dengan sifat hutan
lindung yakni sebagai hutan yang peka terhadap erosi, mengingat kawasan hutan lindung
Register 39 Kota Agung Utara merupakan kawasan hutan lindung yang strategis, karena
dibagian baratnya merupakan bufferzone TNBBS dan bagian timur adalah daerah
tangkapan air (catchment area) waduk Batu Tegi. Pola agroforestry ini juga diharapkan
dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar hutan untuk dapat memetik hasil dari tanaman
MPTS tersebut.
5.3.2. Budidaya kakao
1. Penyiapan bibit
Bibit yang digunakan petani sampeluntuk usahatani kakao berasal dari:
- Pembibitan sendiri
Petani mengambil biji kakao dari kebun sendiri ataupun kebun petani sekitar,
kemudian melakukan pembibitan (pendederan) sendiri.
a. Persiapan lahan dan penanaman
Petani sampel di daerah penelitian menggunakan jarak tanam yang bervariasi
untuktanaman kakao mulai dari 2 x 2 meter sampai dengan 4 x 4 meter. Setelah
48
dibuat jarak tanam yang dilakukan dengan pengajiran, dilakukan pembuatan lubang
tanam dengan ukuran rata-rata 40 x 40 x 40 cm.Penanaman dilakukan dengan
memasukkan bibit kakao yang ada dalam polibag (umur 5 – 6 bulan) ke dalam
lubang tanam kemudian lubang tanam ditutup kembali dengan tanah galian.
b. Penyiangan
Pada waktu tanaman kakao berumur 1 tahun, petani sampel belum melakukan
penyiangan. Hal ini dikarenakan gulma belum terlalu banyak. Penyiangan mulai
dilakukan pada waktu tanaman kakao berumur 2 tahun sampai dengan 20 tahun.
c. Pemangkasan (wiwilan)
Wiwilan merupakan istilah petani setempat untuk kegiatan pemangkasan tanaman
kakao. Pemangkasan yang dilakukan oleh petani sampel bertujuan agar mudah
dalam pemeliharaan dan produksi yang dihasilkan tinggi. Petani di kawasan HKm
biasanya tidak secara khusus melakukan pemangkasan untuk tanaman kakao
tetapi biasanya melihat kondisi tanaman lain yang ada di kawasannya.
Petani sampel mulai melakukan pemangkasan pada saat umur tanaman kakao
sudah menginjak umur 2 tahun. Pada tanaman mengahasilkan, pemangkasan juga
bertujuan untuk menghindarkan tanaman kakao dari serangan hama dan penyakit.
d. Pemupukan
Pemupukan hanya dilakukan oleh beberapa petani sampel di kawasan HKm.
Petani sampel yang melakukan pemupukan merupakan petani yang memiliki
modal dan yang mengetahui tentang cara meningkatkan pertumbuhan vegetatif
tanaman dan memberikan daya tahan tanaman terhadap hama dan penyakit. Pupuk
buatan yang sebagian besar dipakai oleh petani sampel di hutan kawasan HKm
49
adalah pupuk Urea dan NPK, tetapi penggunaan pupuk NPK hanya sedikit sebab
harga pupuk NPK yang sangat mahal yakni Rp. 4500 per kilogram nya.
e. Panen
Buah kakao dihasilkan setelah tanaman berumur ± 3 tahun. Buah yang matang
dicirikan oleh perubahan warna kulit buah dan biji yang mengelupas dari kulit
bagian dalam. Setelah dilakukan pemetikan, dilakukan pengupasan buah kakao
dan biji kakao diambil untuk dimasukkan ke dalam kotak kayu ataupun karung
(kandi) untuk didiamkan selama kurang lebih satu malam. Hal ini bertujuan untuk
membuang kandungan air dalam biji kakao. Setelah itu, dilakukan penjemuran biji
kakao berkisar antara 1-7 hari tergantung kebutuhan petani.
Musim panen pada daerah penelitian biasanya berlangsung dari bulan Mei – Juli.
Selama 3 bulan ini, rata-rata petani sampel melakukan pemetikan buah kakao
dengan frekuensi satu kali dalam seminggu. Setelah panen raya, terdapat pula
panen-panen kecil di mana frekuensi pemetikan buah adalah satu kali dalam 2
minggu. Hal inilah yang menjadi salah satu ciri khas tanaman kakao, yaitu dapat
berproduksi sepanjang tahun.
2. Biaya usahatani kakao
(a) Biaya investasi
Yang merupakan biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
investasi kakao sebelum tanaman kakao menghasilkan.
Biaya investasi dalam usahatani kakao meliputi pembukaan lahan, pembelian alat
usahatani dan biaya penanaman.
Petani sampel di kawasan HKm register 39 sangat diuntungkan dalam biaya
investasi kakao. Hal ini karena petani sampel tidak perlu mengeluarkan biaya
50
pembelian lahan, bibit dan tanaman pelindung. Lahan yang digunakan merupakan
lahan kawasan HKm sehingga yang status kepemilikannya adalah milik negara,
dan di kawasan tersebut sudah memiliki banyak tanaman lain atau dapat dijadikan
tanaman pelindung. Selain itu bibit yang digunakan yakni bibit yang di tanam
sendiri oleh petani.
Tahun pertama, biaya investasi meliputi pembukaan lahan, biaya penanaman dan
biaya pembelian alat usahatani. Selanjutnya tahun kedua dan ketiga, biaya
investasi meliputi hanya meliputi pembelian alat usahatani. Tanaman pelindung
yang ada di kawasan HKm sangat bervariasi, salah satunya ialah pisang.
(b) Biaya tenaga kerja
Biaya tenaga kerja dalam usahatani kakao terdiri dari biaya tenaga kerja dari
dalam dan luar keluarga, tetapi sebagian besar usahatani kakao sampel di daerah
penelitian menggunakan tenaga kerja dari dalam keluarga. Biaya tenaga kerja
terebut terdiri dari biaya pembukaan lahan, penanaman bibit kakao, penyulaman,
pemangkasan, pemupukan, penyemprotan obat-obatan, pemetikan buah,
pengupasan, dan penjemuran.
Biaya tenaga kerja dalam keluarga merupakan biaya yang tidak dikeluarkan
secara tunai, tetapi tetap diperhitungkan. Biaya tenaga kerja dari luar keluarga
merupakan biaya yang dikeluarkan secara tunai sebesar tarif upah yang berlaku di
daerah penelitian, yaitu Rp. 45.000,00 – Rp/ 50.000 per HKP.
Kegiatan tenaga kerja pada saat tanaman berumur 1 tahun adalah pembukaan
lahan, pengolahan lahan, pengajiran, pembuatan lubang tanam, penanaman bibit
kakao, penyulaman, dan pemupukan. Pada saat tanaman berumur 2 tahun,
kegiatan yang dilakukan adalah penyulaman, pemangkasan, penyiangan gulma,
51
pemupukan, dan penyemprotan obat-obatan. Perawatan kakao yang dilakukan
petani sampel berbeda-beda karena kawasan yang dijadikan areal tanam adalah
kawasan hutan kemasyarakatan yang berbentuk agroforestry yakni terdiri dari
tajuk bawah, tajuk tinggi dan tajuk tengah. Oleh karenanya perawatan kakao di
iringi pula dengan perawatan tanaman lain seperti lada, pisang dan durian.
(c) Biaya peralatan
Peralatan yang digunakan dalam usahatani kakao merupakan peralatan yang
sederhana dan mudah didapatkan, yaitu golok, cangkul, arit/sabit, gunting
pangkas, sprayer obat, dan koret. Perhitungan biaya peralatan dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12. Perhitungan biaya peralatan pada usahatani kakao gapoktan Tulung
Asahan.
No. Peralatan UE
(Thn)
Jml
(unit)
Harga
(Rp)
Biaya
Penyusutan per
umur ekonomis
1 Arit 2 1 34371,4 22185,71
2 Sabit 1 1 70555,6 88500
3 Parang 1 1 75000 75000
4 Cangkul 4 1 62045,5 15625
5 Handsprayer 3 1 250757,58 91070,70
6 Tembilang 3 1 15000 0
7 Linggis 3 0 0 0
8 Golok 1 1 58571,4 85500
9 Blincung 1 1 0 0
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa rata-rata kepemilikan alat-alat
usahatani hanya berjumlah satu dengan umur ekonomis penggunaan alat 1-4
tahun.
(d) Biaya pemupukan dan pestisida
Pada daerah kawasan HKm hanya beberapa petani yang menggunakan pupuk
kimia. Pupuk yang digunakan dalam usahatani kakao hanya pupuk Urea dan NPK.
52
Petani yang menggunakan kedua jenis pupuk ini yakni petani yang meyakini
bahwa dengan bantuan pupuk-pupuk buatan tersebut, tanaman kakao miliknya
mengalami pertumbuhan yang baik dan hasil produksinya memuaskan. Petani
yang tidak menggunakan pupuk adalah petani yang meyakini bahwa tanah
kawasan HKm masih subur dan tidak adanya modal yang dimiliki oleh petani
responden.
Petani di kawasan HKm tidak menggunakan pestisida dalam menangani hama dan
penyakit yang menyerang tanamannya. Akan tetapi petani responden hanya
menggunakan herbisida dalam menangani gulma yang menyerang areal tanam
kakao. Herbisida yang digunakan petani adalah Roundap dan sidolaris.
Penggunaan roundup oleh petani responden masih minim yaitu 5,4 liter per rata-
rata luas usahatani per tahun.
(e) Biaya panen
Biaya panen adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani ketika petani melakukan
pemetikan buah kakao. Sedangkan biaya pengangkutan tidak dikeluarkan petani
karena letak rumah petani di areal kawasan HKm. Biji kakao yang dipanen dijual
ke pedagang pengumpul. Walaupun sebagian besar petani menjual ke pedagang
pengumpul keliling (bakul keliling), namun ada pula petani yang menjual ke
pedagang pengumpul desa/kecamatan.
3. Produksi kakao
Hasil yang diperoleh dari tanaman kakao adalah biji kakao basah dan petani menjual
dalam bentuk biji kakao kering asalan, di mana biji kakao tersebut telah dijemur 1 – 7
hari (1 hari = 2 – 5 jam penjemuran). Setelah dijemur, maka kadar air yang terdapat
dalam biji kakao berkurang dan biji kakao akan mengalami penyusutan sebesar 25%
53
(100 kg biji kakao basah akan menjadi 75 kg biji kakao kering asalan). Oleh
karenanya harga kakao tergantung kering atau basahnya biji kakao.
Tanaman kakao sudah dapat dipanen pada umur 3 tahun dengan hasil produksi basah
yang dihasilkan rata-rata 107,91 kg/ha/tahun. Rendahnya hasil kakao di kawasan
register 39 ini bukan dikarenakan ketidaksuburan lahan usahatani, tetapi jumlah kakao
yang ditanam tidak sebanyak kakao untuk areal khusus produksi. Jumlah batang
kakao yang dimiliki petani responden gapoktan tulung asahan hanya berkisar 100-400
batang per ha. Sistem penanaman kawasan HKm merupakan agroforestry sehingga
tidak hanya tanaman kakao yang ada disana namun ada berbagai macam tanaman.
Jumlah produksi biji kakao per hektar untuk tiap umur tanaman dapat dilihat pada
Tabel 13.
Tabel 13. Jumlah rata-rata produksi biji kakao per hektar responden gapoktan
Tulung Agung dengan perhitungan trend linier.
Umur tanaman (Tahun) Produksi basah kg/ha
3 107,91
4 238,13
5 358,27
6 562,59
7 664,75
8 700,00
9 719,42
10 863,31
11 971,22
12 575,54
13 1115,11
14 1151,08
15 1294,96
16 1151,08
17 1151,08
18 561,15
19 1151,08
20 1133,09
Rata-rata 803,88
Keterangan: Data hasil produksi yang digunakan untuk mengetahui hasil produksi
dengan analisis trend adalah produksi dalam bentuk biji kakao basah.
54
Bila dilihat pada Tabel 13, dari umur tanaman 3 – 18 tahun terdapat fluktuasi
produksi. Hal ini dikarenakan antara petani satu dengan petani lainnya memiliki
perbedaan dalam pola usahatani kakao yang dijalankan, sebagai contoh, perbedaan
dalam penggunaan pupuk yaitu ada petani yang menggunakan pupuk dan ada juga
petani yang tidak menggunakan pupuk, sehingga perbedaan tersebut menimbulkan
perbedaan dalam hasil produksi.
Fluktuasi produksi yang didapat dari hasil penelitian menyebabkan tidak diketahuinya
trend produksi, sehingga untuk mengetahui trend produksi kakao di daerah penelitian
ini digunakan analisis trend linier. Dengan persamaan trend ini dapat diketahui
perkiraan produksi rata-rata per tahun selama umur ekonomis (20 tahun). Produksi
biji kakao dengan persamaan trend produksi disajikan pada Tabel 14.
Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa puncak produksi biji kakao terjadi pada saat
tanaman berumur 15 tahun, yaitu 1294, 96 kg/Ha/tahun. Hal ini sesuai dengan
Siregar, dkk.(199), bahwa tanaman kakao akan mengalami puncakproduksi antara
umur tanam ke – 10 hingga tahun ke – 15. Produksi terendah terjadi pada saat
tanaman berumur 3 tahun, yaitu
107, 91 kg/Ha/tahun. Hal ini dikarenakan pada umur tanam ini, tanaman kakao masih
dikatakan belajar berbuah.
Hasil produksi usahatani kakao dihitung sampai dengan umur tanaman 20 tahun.
Penetapan umur ekonomis ini didasarkan pada Siregar, dkk. yang menyatakan bahwa
umur ekonomis tanaman kakao adalah 20 tahun.
55
4. Penerimaan dan pendapatan usahatani kakao
Penerimaan usahatani kakao mulai diperoleh pada saat tanaman berumur 3 tahun
dengan harga jual rata-rata yang diterima petani adalah Rp 19.6944,44 per kg.
Penerimaan usahatani kakao yang diperoleh petani dari hasil menjual biji kakao dapat
dilihat pada Tabel 14.
Penerimaan tertinggi didapat pada saat tanaman kakao berumur 15 tahun. Hal ini
dikarenakan pada umur tanaman ini, petani memperoleh produksi biji kakao yang
tertinggi. Penerimaan terendah di dapat pada saat tanaman kakao berumur 3 tahun.
Hal ini dikarenakan pada umur tanaman ini, produksi biji kakao masih rendah.
Tabel 14 Penerimaan usahatani kakao per hektar gapoktan Tulung Agung Kabupaten
Tanggamus.
Umur tanaman (Tahun) Penerimaan kg/ha
3 641.007,19
4 1.564.510,79
5 2.174.591,47
6 3.578.071,94
7 3.907.473,02
8 4.389.000,00
9 4.273.381,29
10 5.128.057,55
11 5.769.064,75
12 3.608.633,09
13 6.623.741,01
14 5.697.841,73
15 6.837.410,07
16 6.077.697,84
17 6.077.697,84
18 2.962.877,70
19 6.077.697,84
20 6.356.654,68
Rata-rata 4.541.411,66
Pada lahan usahatani kakao, petani tidak hanya menanam tanaman kakao, walaupun
jumlahnya tidak terlalu banyak. Petani juga menanam tanaman pelindung, seperti
56
kelapa, pisang, cengkeh, dan petai, lada sehingga penerimaan yang diperoleh tidak
hanya berasal dari usahatani kakao. Total penerimaan yang diperoleh petani yang
berasal dari penjualan biji kakao dan hasil tanaman pelindung dapat dilihat pada
Tabel 15 dan pendapatan per hektar usahatani kakao dapat dilihat pada Tabel 16.
Dalam menentukan penerimaan dari tanaman pelindung digunakan beberapa asumsi,
karena ada beberapa petani yang tidak memiliki tanaman pelindung di areal
perkebunana kakaonya. Asumsi yang dipakai dalam menghitung penerimaan dari
tanaman pelindung, yaitu:
(i) Seluruh areal perkebunan kakao petani sampel memiliki tanaman sela pisang.
Asumsi ini digunakan karena hampir seluruh areal perkebunan kakao petani
sampel telah memiliki tanaman pisang, sehingga petani telah mendapatkan hasil
dari tanaman ini sejak tahun I proyek dan hasilnya dapat diambil tiap tahun. Untuk
petani yang tidak memiliki tanaman pisang, maka penerimaan dari hasil tanaman
pisang dihitung dengan pendekatan rata-rata dari petani sampel yang memiliki
tanaman pisangdan didapat rata-rata jumlah panen 4.451,98 kg , frekuensi panen
rata-rata 1 kali/tahun, dan harga jual rata-rata Rp 1600/kg kelapa.
(ii) Bibit tanaman cengkeh ditanam pada tahun I proyek, mulai dapat diambil hasilnya
pada tahun VI sampai seterusnya tiap tahun. Untuk petani yang tidak memiliki
tanaman cengkeh, maka penerimaan dari hasil tanaman cengkeh dihitung dengan
pendekatan rata-rata dari petani sampel yang memiliki tanaman cengkeh dan
didapat rata-rata jumlah panen cengkeh adalah 126,12 kg/ha/tahun dengan harga
jual rata-rata Rp 106.000/kg.
57
Tabel 15. Total penerimaan per hektar yang diperoleh dari penjualan biji kakao dan
hasil tanaman pelindung.
Umur tanaman
(tahun)
Penerimaan dari
biji kakao (Rp)
Penerimaan dari
tanaman pelindung (Rp)
Total Penerimaan
(Rp)
1 2.854.676 2.854.676
2 3.838.760 3.838.760
3 641.007 2.817.458 3.458.465
4 1.564.511 9.784.173 11.348.683
5 2.174.591 10.593.283 12.767.874
6 3.578.072 11.568.345 15.146.417
7 3.907.473 15.619.504 19.526.977
8 4.389.000 14.676.835 19.065.835
9 4.273.381 9.794.964 14.068.345
10 5.128.058 6.115.108 11.243.165
11 5.769.065 8.107.914 13.876.978
12 3.608.633 13.788.969 17.397.602
13 6.623.741 6.453.237 13.076.978
14 5.697.842 4.136.691 9.834.532
15 6.837.410 12.410.072 19.247.482
16 6.077.698 6.205.036 12.282.734
17 6.077.698 7.280.576 13.358.273
18 2.962.878 12.244.604 15.207.482
19 6.077.698 11.654.676 17.732.374
20 6.356.655 17.266.187 23.622.842
21 13.381.295 13.381.295
22 12.345.324 12.345.324
23 18.992.806 18.992.806
24 21.582.734 21.582.734
25 11.654.676 11.654.676
Keterangan: nilai ini merupakan hasil estimasi trend
Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa pendapatan tertinggi didapat pada saat umur
tanaman kakao 16 tahun, yaitu sebesar Rp 6.539.568. Hal ini dikarenakan pada saat
tanaman berumur 16 tahun terjadi produksi kakao yang tinggi dan diiringi biaya yang
rendah. Pada saat tanaman berumur 1 tahun, petani masih merugi, karena tanaman
kakao belum berproduksi dan biaya investasi yang dikeluarkan pada tahun tersebut
belum dapat ditutupi oleh pendapatan dari hasil tanaman pelindung.
58
Tabel 16. Biaya total, penerimaan, dan pendapatan per hektar petani kakao gapoktan
Tulung agung pada harga aktual rata-rata.
Umur tanaman
(Tahun)
Total biaya (Rp) Total penerimaan
(Rp)
Total
Pendapatan (Rp)
1 2.938.129 0 -2.938.129
2 231.331 0 -231.331
3 231.331 0 -231.331
4 220.123 641.007 420.884
5 220.123 1.564.511 1.344.388
6 268.688 2.174.591 1.905.903
7 365.656 3.578.072 3.212.415
8 230.112 3.907.473 3.677.361
9 513.429 4.389.000 3.875.571
10 148.434 4.273.381 4.124.947
11 517.050 5.128.058 4.611.007
12 148.434 5.769.065 5.620.631
13 849.880 3.608.633 2.758.753
14 148.434 6.623.741 6.475.307
15 369.486 5.697.842 5.328.356
16 297.842 6.837.410 6.539.568
17 148.434 6.077.698 5.929.264
18 148.434 6.077.698 5.929.264
19 134.892 2.962.878 2.827.986
20 148.434 6.077.698 5.929.264
59
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah:
1. Karakteristik petani dalam melakukan kegiatan hutan kemasyarakatan di Kabupaten
Tanggamus meliputi umur, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, pengalaman
berusahatani.
2. Penerimaan usahatani di kawasan HKm sebesar Rp. 38.521.323,25 sementara pendapatan
bersih sebesar Rp 34.971.323,00 pertahun per rata-rata usaha tani. Selisih ini dengan
tidak memperhitungkan upah tenaga kerja dalam keluarga. Pendapatan akan menjadi
lebih kecil apabila petani menggunakan jasa ijon/pedagang perantara untuk
memperoleh pupuk karena akan diperhitungkan dengan bon pembelian pupuk yang
lebih tinggi dari harga pasar, serta nilai jual yang tidak bersaing.
B. Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diberikan pada penelitian ini didasarkan dari hasil temuan yang
diperoleh adalah:
1. Pendapatan usahatani yang relatif masih rendah. Banyak hal yang menjadi penyebab
rendahnya pendapatan usahatani responden selain disebabkan oleh rendahnya produksi
tanaman tajuk tengah yang juga berfungsi sebagai tanaman yang sangat diandalkan. Juga
keterbatasan sarana produksi. Oleh sebab itu, hendaknya diupayakan untuk agar petani
HKm mendapatkan jatah ketersediaan pupuk sehingga tidak kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan usahataninya, serta tidak terjerat dalam sistem ijon. Untuk memperkuat sistem
kelembagaan petani juga diperlukan koperasi yang aktif, serta tetep melakukan pelatihan
dan pengembangan budidaya dan teknologi tanaman yang ada di kawasan register seperti
kopi, kakao, pisang dll. Diharapkan dengen memperhatikan hal-hal tersebut petani dapat
60
mengelola usahataninya dengan optimal sehingga produksi usahatani juga optimal.
Produksi yang optimal pendapatan usahatani pun dapat optimal yang pada akhirnya
tujuan hutan kemasyarakatan dapat tercapai yakni hutan lestari dan masyarakat sejahtera
Keberadaan Hutan kemasyarakatan merupakan upaya pemerintah untuk pemberdayaan
masyarakat yang terlanjur berada didalam hutan, dengan memberikan akses mengolah
sumberdaya dan meningkatkan kapasitas usahatani. Kondisi ini harus dimanfaatkan
dengan baik agar dapat mendapat hasil yang maksimal, baik bagi petani sebagai pelaku
maupun daerah sebagai pemilik sumberdaya. Untuk itu wirausaha kehutanan merupakan
model yang berpeluang untuk dikembangkan.
61
DAFTAR PUSTAKA
Alkadri, Muchdie, dan Suhandojo, editor. 2001. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Ed ke-2
(rev). Jakarta: Pusat Pengkajian KTPW BPPT.
Anonim, 1999. Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Anonim, 1997. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49/Kpts-II/1997
tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat.
Aronoff. 1993. Geographic Information System : A Management Perspective.
Ottawa, Canada : WDL. Publication.
(APHI) Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. 1995. Pemanfaatan Produk Hutan Rakyat
sebagai Pemasok Bahan Baku Industri. Makalah Utama pada Seminar Pengembangan
Hutan Rakyat di Bandung. Direktorat Jenderal RRL, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Attar, M. 2000. Hutan Rakyat : Kontribusi Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani dan
Perannya dalam Perekonomian Desa. P3KM Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
BAPPEDA Kabupaten Sukabumi. 2006. Laporan FGD (Focus Group Discussion) Penentuan
Komoditas Unggulan Daerah. Tidak diterbitkan.
Barus B, Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografi, Sarana Managemen
Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
BPS Sukabumi. 2006. Sukabumi Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Sukabumi. Sukabumi.
Butler, BJ dan Leatherberry, EC. 2004. America’sfamily forest owners. Journal of Forestry
102(7):4–14. Diakses dari www. Sagepub.com 24 Pebruari 2008.
De Foresta H, Kusworo A, Michon G dan Djatmiko WA, 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan
– Agroforest Khas Indonesia – Sebuah Sumbangan Masyarakat. ICRAF, Bogor.
Departemen Kehutanan. 1995. Hutan Rakyat. Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Jakarta.
Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. 2005. Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi
Pemerintah. Tidak diterbitkan.
Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. 2006. Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi
Pemerintah. Tidak diterbitkan. 97
Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. 2007. Laporan Produksi Kayu Rakyat. Tidak
diterbitkan.
Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. 2002. Informasi Kayu Perdagangan. Dinas Kehutanan
Propinsi Jawa Barat. Bandung.
62
Diniyati D, Yuliani SE, Suyarno, dan Badrunasar A. 2004. Info Teknis PolaTanam Hutan
Rakyat di Jawa Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Petani. Buletin Al-Basia
Vol. I No.4 4 Desember 2004. Loka Penelitian dan Pengembangan Hutan Monsoon
Ciamis.
Direktorat Hutan Tanaman Industri. 1991. Teknik Pembuatan Tanaman Jati. Diterbitkan oleh
Pusat Penyuluhan Kehutanan. Departemen Kehutanan Jakarta.
Djaenudin D, Sulaeman Y, Abdurachman A. 2002. Pendekatan Pewilayahan Komoditas
Pertanian Menurut Pedo-Agroklimat di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Litbang
Pertanian 21(1):1-10. http:// www.litbang deptan.go.id. [18 Mei 2007].
F.A.O. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bull. No. 32.Rome, 72 pp. and
ILRI Publication No.22, Wageningen.
Hardjowigeno S dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna
Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Managemen Sumberdaya Lahan. Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hardjowigeno S. 1987. Ilmu Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
_____________ 1993. Klasifikasi Tanah dan Morfologi. Akademi Press. Jakarta.
Helmiyati. 1998. Morfologi dan Klasifikasi Tanah pada Sepanjang Transek Lereng di Kebun
Percobaan IPB Dramaga. Skripsi. Jurusan Tanah. Faperta IPB. Bogor.
Hendayana R. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas
Unggulan Nasional. Informatika Pertanian 12:1-21. http://www.litbang deptan.go.id.
[4 Mei 2007]
.
Mardikanto T. 1995. Aspek Sosial Ekonomi Pengusahaan Hutan Rakyat. Makalah Utama
pada Seminar Pengembangan Hutan Rakyat di Bandung. Direktorat Jenderal RRL,
Departemen Kehutanan, Jakarta.
Mindawati N, Lestari TH. 2001. Aspek Silvikultur Jenis Khaya, Mahoni dan Meranti.
Makalah Seminar. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian 6 Desember 2001.
Pengembangan Jenis Tanaman Potensial. Balibanghut. Bogor. 98
Mulyani A, Suhardjo H. 1994. Karakteristik Tanah di Lahan Kering Marginal Propinsi
Jambi. Prosiding Penanganan Lahan Kering Marginal melalui Pola Usahatani Terpadu
di Jambi, Jambi 2 Juli 1994. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, 1994.
Prahasta E. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis, Informatika Bandung.
Pusat Penyuluhan Kehutanan. 1996. Materi Penyuluhan Kehutanan.Departemen Kehutanan.
Jakarta.
63
Puslit Sosek Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Hutan Rakyat sebagai Salah Satu Sumber
PAD : Sebuah Tantangan di Masa Depan. Makalah Utama dalam Seminar Upaya
Peningkatan PAD Melalui Pembangunan Hutan Rakyat dalam Mendukung Otonomi
Daerah. Bogor, 5 Desember 2000. Balitbang Kehutanan. Bogor.
Rachim DA, Suwardi. 1999. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Rachim DA. 2001. Mengenal Taksonomi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian IPB.
Bogor.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.
Bogor: Faperta IPB. Bogor
Simon, H. 1995. Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat. Makalah Utama pada
Seminar Pengembangan Hutan Rakyat di Bandung, Tanggal 5 – 6 Desember 1995.
Direktorat Jenderal RRL, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Sinha H, Suar H. 2005. Leadership and people's participation in community forestry.
International Journal Of Rural Management, I (I) 2005. Diakses dari www.
Sagepub.com 4 April 2007.
Sitorus SRP. 1989. Survai Tanah dan Penggunaan Lahan. Laboratorium Perencanaan
Pengembangan Sumberdaya Lahan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa Peranannya dalam Perekonomian Desa. P3KM
Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Sutara. 1996. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya. Program Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Tan KH. 1998. Andosol. Northern Sumatera University Press. Medan.
Tinambunan D, Mustari T, Waskhito B. 1995. Program Pengembangan UsahaHutan Rakyat :
Suatu Tinjauan Sosio-Ekonomi dan Kelembagaan