Download - Laporan Praktikum Manajemen Peternakan
Laporan Praktikum Manajemen Peternakan
LAPORAN PRAKTIKUMMANAJEMEN TERNAK PERAH
Disusun oleh:
Kelompok IXD
Muhamad Nur Rokhim Aries Rahardian Septo Setyanang Dewi Sri Hartatik Novita Dewi Patriasari Liana Eka L.
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIANUNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Manajemen suatu perusahaan peternakan sapi perah penting untuk diketahui oleh orang-
orang yang berkecimpung dalam dunia peternakan khususnya peternakan sapi perah. Manajemen
sebagai pedoman agar tidak terjadi kerugian baik secara materi maupun kerugian secara genetik
dan agar terciptanya sebuah usaha peternakan yang efektif dan efisien. Susu sebagai hasil utama
dari ternak perah khususnya sapi perah dihasilkan melalui suatu peternakan sapi perah. Kualitas
dan kuantitas serta kontinuitas produksi susu dari suatu perusahaan peternakan sapi perah sangat
penting untuk menjamin kelangsungan produksi dari peternakan sapi perah.
Tujuan dilakukannya praktikum manajemen ternak perah adalah untuk mengetahui tata
laksana pemeliharaan sapi perah dari pakan, pemerahan, perkandangan, perkawinan, produksi
susu dan keadaan fisiologis lingkungan. Manfaat yang dapat diperoleh anatara lain adalah
mengetahui manajemen pemeliharaan sapi perah dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
susu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Perah
Sapi perah adalah suatu jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu.
Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire, Guernsey, Jersey dan Friesian Holstein
(FH) (Blakely dan Bade, 1995). Sapi-sapi perah di Indonesia dewasa ini pada umumnya adalah
sapi perah bangsa FH import dan turunannya. Kemampuan berproduksi susu dari sapi FH bisa
mencapai 5984 kg tiap laktasi dengan kadar lemak susu rata-rata 3,7%, standar bobot badan pada
sapi betina dewasa 650 kg, sedangkan pada sapi jantan dewasa 700-900 kg (Syarief dan
Sumoprastowo, 1985). Sapi Friesian Holstein (FH) yang mempunyai ciri-ciri anatara lain
warnanya hitam berbelang putih, kepala berbentuk panjang, lebar dan lurus, tanduk relatif
pendek dan melengkung ke depan, temperamen tenang dan jinak (Siregar, 1993).
Untuk mencapai produksi yang normal, pemeliharaan sebaiknya dilakukan pada
ketinggian + 1000 m diatas permukaan laut dengan suhu berkisar antara 15-21 0 C dan
kelembaban udara diatas 55% (Andriyani et al. 1980).
2. Manajemen Pemeliharaan
Tata laksana pemeliharaan dalam suatu peternakan memegang peranan penting karena
keberhasilan suatu usaha peternakan tersebut sangat dipengaruhi oleh baik tidaknya tata laksana
pemeliharaan (Muljana, 1985). Syarief dan Sumoprastowo (1985) menambahkan bahwa hal yang
harus mendapat perhatian dalam pemeliharaan adalah kebersihan kandang dan peralatan,
pengaturan pemberian ransum dan air minum serta penjagaan kebersihan sapi. Manejemen
pemeliharaan sapi perah terdiri atas pemeliharaan pedet, dara, bunting, laktasi dan kering kandang
(Putra, 2004).
1. Manajemen pedet
Pedet yang baru lahir tersebut dikeringkan atau membiarkan induk menjilatinya sehingga
pedet tidak kedinginan apabila cuaca dalam keadaan dingin (Blakely dan Bade, 1998). Menurut
Williamson dan Payne (1993), pedet yang baru lahir perlu disiapkan kandang dengan memberikan
alas berupa jerami kering atau serbuk gergaji.
Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa Pedet sapi perah disapih pada umur 3-4 bulan,
tergantung dari kondisi pedet. Cara penyapihan pedet sedikit demi sedikit susu yang diberikan
dikurangi. Sebaliknya, pemberian konsentrat dan hijauan ditingkatkan sampai pada saatnya pedet itu
disapih sehingga terbiasa dan tidak mengalami stress (Putra, 2004).
Kolostrum merupakan susu pertama yang diproduksi oleh induk sekitar hari 5-7 setelah
melahirkan dan sangat penting bagi pedet karena kandungan nutrisi yang terkandung dalam
kolostrum sangat tinggi dan terdapat antibodi yang dapat mencegah timbulnya penyakit
(Muljana, 1985). Kandang pedet harus tersedia tempat pakan dan air minum dan berukuran 1,5 x
2 m. Alas kandang diberi jerami dan sering diganti. Sebelumnya biarkan kandang itu kosong 2-7
hari sebelum pedet dimasukkan (Santosa, 1995). Saat sapi lahir hanya abomasum yang telah
berfungsi, kapasitas abomasum sekitar 60 % dan menjadi 8 % bila nantinya telah dewasa.
Sebaliknya untuk rumen semula 25 % berubah menjadi 80 % saat dewasa ( Imron, 2009 ).
2. Manajemen sapi dara
Sapi dara adalah sapi pada masa antara lepas sapih sampai laktasi pertama kali yaitu
berkisar antara umur 12 minggu sampai dengan 2 tahun (Ensminger, 1971). Setelah berumur 3
bulan sapi dara sebaiknya ditempatkan di dalam kandang kelompok yang berjumlah anrtara 3-4
ekor, dengan jenis kelamin, umur dan berat badan yang seragam (Soetarno, 2003). Kekurangan
pemeliharaan atau perawatan dimasa pertumbuhan akan meyebabkan sapi sulit bunting bila
dikawinkan, kesulitan dalam melahirkan (distokia) yang pertama kalinya, pedet yang dilahirkan
kecil dan lemah dan produksi susunya rendah. Tujuan pemeliharaan sapi dara yaitu untuk
mengganti induk “replacement” untuk sapi perah yang mempunyai kemampuan produksi rendah
serta untuk pengembangan usaha (Siregar, 1993).
Pemeliharaan sapi dara yang baik serta pemberian ransum yang berkualitas baik pula sapi
dara akan terus tumbuh sampai umur 4-5 tahun, bila sapi tidak cukup diberi ransum ditinjau dari
kualitas dan kuantitasnya akan terjadi sebagai berikut: 1). Pada waktu sapi dara beranak pertama
kali besar badannya tidak akan mencapai ukuran normal, 2). Kelahiran pertama kali pada umur 3
tahun adalah termasuk terlambat, 3). Produksi cenderung rendah tidak sesuai dengan yang
diharapkan (Sudono, 1984). Sapi perah dara dapat dikawinkan pertama kali pada umur 15 bulan
(Williamsom dan Payne, 1993). Sapi dara mampu mencerna serat kasar tinggi, sedangkan
penambahan pakan penguat hanya sebagai pelengkap zat-zat gizi yang terkandung dalam
hijauan. Pakan sebaiknya diberikan 2-3 kali sehari. Sapi perah dara dikawinkan tergantung dari
umur dan besar tubuhnya (Siregar, 1993).
Sapi-sapi harus selalu bersih setiap kali akan diperah, terutama bagian daerah lipatan
paha sampai bagian belakang tubuh sapi perah dan sebaiknya dimandikan sekurangnya satu kali
sehari (Syarief dan Sumoprastowo, 1985). Hal ini diperkuat dengan pendapat Muljana (1985)
yang menyatakan bahwa sapi sebaiknya dimandikan setiap hari dan pembersihan kotoran yang
menempel dikulit. Sanitasi dilakukan setiap 2 kali sehari setiap pagi dan sore dengan tujuan
menjaga kebersihan kandang karena berhubungan dengan kesehatan ternak.
3. Manajemen sapi laktasi
Manajemen perawatan sapi laktasi bertujuan untuk memperoleh produksi susu yang
bagus dan optimal (Prihadi, 1996). Sapi laktasi perlu mendapatkan perawatan badan secara rutin,
sebab setiap saat tubuhnya menjadi kotor, berupa daki atau kotoran sapi itu sendiri. Sapi laktasi
perlu diperhatikan sanitasinya, ransum/pakan yang diberikan dan produksi yang dihasilkan.
Pembersihan kandang dan ternak harus dilakukan secara rutin.
Pakan sapi perah laktasi terbagi menjadi dua golongan yaitu pakan kasar dan pakan penguat
atau konsentrat (Syarief dan Sumoprastowo, 1985). Pemberian konsentrat lebih dari 60% banyak
mendatangkan kerugian dibanding dengan keuntungan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahan pakan
konsentrat mengandung serat kasar rendah dan sifatnya mudah dicerna. Kadar serat kasar yang
terlalu tinggi menyebabkan ransum sulit untuk dicerna, sebaliknya jika kadar serar kasar rendah
mengakibatkan kadar lemak susu menjadi lebih rendah dan menyebabkan gangguan pencernaan
(Prihadi, 1996). Umur dewasa kelamin sapi yaitu 12- 17 bulan (Blakely dan Bade , 1998) .
Umur dewasa kelamin pada sapi perah bervariasi karena dipengaruhi fakror ras, keadaan
lingkungan dan terutama pemberian pakan (Putra, 2004). Sapi perah laktasi yang terinfeksi mastitis
bakterial mula-mula ditandai dengan perubahan susu. Susu berubah menjadi encer dan pecah
menggunakan uji alkohol, susu bergumpal dan kadang-kadang bercampur darah atau nanah.
Penyebab mastitis bakterial diantaranya adalah ambing yang tidak terpelihara kebersihannya,
perlakuan pemerahan atau tangan pemerah yang terkontaminasi (Siregar, 1993),.
3. Manajemen Pakan
Pakan sapi perah terdiri dari hijauan leguminosa dan rumput yang berkualitas baik serta
dengan konsentrat tinggi kualitas serta palatabel (Blakely dan Bade, 1998). Ransum ternak besar
(sapi) terdiri dari 60% hijauan dan 40% limbah pengolahan pangan (bekatul dan bungkil),
sedangkan pemberian pakan konsentrat hendaknya sebelum hijauan, bertujuan untuk merangsang
pertumbuhan mikrobia rumen (Reksohadiprojo, 1984). Hijauan diberikan sepanjang hari secara
ad libitum, hijauan juga diselingi dengan jerami padi sebanyak 1 kg yang diberikan dua kali
sehari (Prihadi, 1996).
Pemberian konsentrat diberikan sebelum sapi diperah dengan jumlah 1-2 kg/ekor/hari atau sebanyak 1-2%
bobot badan sapi tersebut dan pakan hijauan yang diberikan setelah pemerahan susu sebanyak 30-50 kg/ekor/hari
atau 10% dari bobot badan sapi. Pakan hijauan diberikan setelah pemerahan agar mikrobia dalam rumen dapat
dimanfaatkan dan karbohidrat dapat dicerna (Hidayat, 2001).
Kebutuhan bahan kering (BK) untuk sapi laktasi adalah 2-4% bobot badan. BK pakan
berfungsi sebagai pengisi lambung dan merangsang dinding saluran untuk menggiatkan
pembentukan enzim di dalam tubuh ternak. Kebutuhan BK ternak akan meningkat sesuai dengan
bertambahnya produksi susu (Williamsom dan Payne, 1993). Pakan konsentrat merupakan
komposisi pakan yang dilengkapi kebutuhan nutrisi utama, mengandung protein lebih dari 20%
dan serat kasar kurang dari 18%, energi tinggi berperan sebagai penutup kekurangan zat
makanan didalam pakan keseluruhannya (Ensminger,1971).
Konsentrat mengandung serat kasar rendah dan bersifat mudah dicerna, tersusun dari biji-
bijian dan hasil dari pengolahan suatu industri pertanian. Konsentrat berfungsi sebagai suplai
energi tambahan dan protein, lebih lanjut dijelaskan bahwa protein ransun bervariasi langsung
dengan kandungan protein hijauannya, dimana campuran konsentrat dari bahan pakan protein
dan energi kandungannya berfariasi antara 12% dan 18% PK. Pemberian konsentrat dilakukan
dua kali sehari sebelum pemerahan (Prihadi, 1996). Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1985)
jumlah air minum yang diberikan pada sapi perah laktasi sebaiknya adalah adlibitum karena
tidak akan menimbulkan efek negatif bahkan dapat meningkatkan produksi air susu.
4. Manajemen Pemerahan
Pemerahan adalah tindakan mengeluarkan susu dari ambing. Pemerahan bertujuan untuk
mendapatkan produksi susu yang maksimal. Terdapat tiga tahap pemerahan yaitu pra pemerahan,
pelaksanaan pemerahan dan pasca pemerahan (Syarief dan Sumoprastowo, 1985). Tujuan dari
pemerahan adalah untuk mendapatkan jumlah susu maksimal dari ambingnya, apabila pemerahan
tidak sempurna sapi induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi total
cenderung menjadi kering terlalu cepat dan produksi total menjadi menurun (Williamson dan Payne,
1993).
5. Manajemen Perkandangan
Perkandangan merupakan suatu lokasi atau lahan khusus yang diperuntukkan sebagai sentra
kegiatan peternakan yang di dalamnya terdiri atas bangunan utama (kandang), bangunan penunjang
(kantor, gudang pakan, kandang isolasi) dan perlengkapan lainnya (Sugeng, 1998).Menurut Siregar
(1993) dalam pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu : terdapat
ventilasi, memberikan kenyamanan sapi perah, mudah dibersihkan, dan memberi kemudahan bagi
pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya. Sistem perkandangan ada dua tipe yaitu stanchion
barn dan loose house. Stanchion barn yaitu sistem perkandangan dimana hewan diikat sehingga
gerakannya terbatas sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan
bergerak dengan batas – batas tertentu (Davis, 1962)
1. Lokasi kandang
Lokasi kandang harus dekat dengan sumber air, mudah terjangkau, tidak membahayakan
ternak, tidak berdekatan dengan pemukiman penduduk. Lokasi usaha peternakan diusahakan
bukan areal yang masuk dalam daerah perluasan kota dan juga merupakan daerah yang nyaman
dan layak untuk peternakan sapi perah (Syarief dan Sumoprastowo, 1985). Ditambahkan, hal-hal
lain yang perlu diperhatikan pada kandang sapi perah adalah lantai, selokan, dinding, atap,
ventilasi serta tempat pakan dan minum. Lokasi kandang sebaiknya berada pada tanah yang
datar, tidak becek dan lembab, cukup sinar matahari, ventilasi lancar, agak jauh dari pemukiman
penduduk dan ukurannya sesuai dengan umur ternak (Setiadi, 1982).
Menurut Siregar (1993), sebaiknya kandang 20-30 cm lebih tinggi dari tanah sekitarnya,
jauh dari keramaian lalu lintas, manusia dan kendaraan. Kandang harus dibangun dekat sumber
air, sebab sapi perah memerlukan air untuk minum, pembersihan lantai dan memandikan sapi.
Kandang sebaiknya diarahkan ke timur atau membujur ke utara selatan agar bagian dalam
kandang memperoleh sinar matahari pagi yang memadai. Sinar matahari bermanfaat untuk
mengeringkan lantai kandang sehingga mengurangi resiko terjangkitnya penyakit (Siregar,
1993).
2. Kontruksi kandang
Bahan yang digunakan untuk pembuatan atap antara lain asbes, rumbai, genting dan seng.
Keuntungan rumbai dan genting adalah kandang tidak terlalu panas pada siang hari dan tidak
terlalu dingin pada malam hari. Atap genting dan rumbai memiliki kelemahan yaitu mudah
rusak akibat serangan angin yang besar, oleh karena itu perlu adanya pengikatan yang kuat pada
pembuatan atap. Tetapi bila menggunakan seng sebaiknya dicat putih pada bagian luarnya dan
hitam pada bagian luarnya agar siang hari tidak terlalu panas (Williamson dan Payne, 1983).
Siregar (1993) menyatakan bahwa kemiringan atap dari genting 30–450, asbes 15–200, welit
(daun tebu dan sebagainya) 25–300. Tinggi atap dari genting 4,5 m untuk dataran rendah dan
menengah, dan 4 m untuk dataran tinggi. Tinggi plafon emperan berkisar antara 1,75–2,20 m
dengan lebar emperan sekitar 1 m.
Lantai kandang dapat dibuat agak miring, dari bahan beton dengan perbandingan 1
bagian semen 2 bagian pasir dan 3 bagian kerikil, atau tanah biasa (Williamson dan Payne,
1993). Menurut Sudarmono (1993), lantai kandang sebaiknya dibuat dari bahan yang cukup
keras dan tidak licin untuk dapat menjaga kebersihan dan kesehatan kandang. Kebersihan
kandang sangat diperlukan karena akan mempengaruhi kesehatan sapi. Lantai kandang terlalu
keras dapat ditutup dengan jerami agar menjadi tidak begitu keras. Lebih tegas Siregar (1993)
menyebutkan bahwa supaya air mudah mengalir atau kering, lantai kandang harus diupayakan
miring dengan kemiringan kurang lebih 20
Bagian kandang yang penting adalah tempat pakan dan minum. Hendaknya tempat
tersebut dibuat sekuat mungkin dan mudah dibersihkan (Ensminger,1991). Tempat pakan dapat
dibuat memanjang sepanjang kandang dan diusahakan sapi dapat mengambil pakan yang
disediakan. Tempat pakan dapat dibuat dengan kedalaman sekitar 50 cm, dengan luas tempat
pakan sekitar 1 m2. Tempat minum dapat diletakkan pada ember plastik atau dari bahan lain,
diletakkan dengan cara digantung dengan ketinggian kurang lebih 80 cm dari lantai dengan
tujuan untuk menghindari kontaminasi dari makanan dan desakan sapi (Sudarmono, 1993).
Selokan atau drainase lebarnya minimal 30–40 cm. Kedalaman selokan atau drainase 20–
25 cm (Siregar, 1993). Muljana (1985) menyatakan agar air pembersih kandang dan air untuk
memandikan sapi mudah mengalir menuju bak penampungan, maka lantai bagian belakang dan
disekeliling kandang harus dilengkapi selokan. Selokan dibuat dengan lebar 20 cm dan
kedalaman 15 cm yang dimaksudkan untuk memudahkan pembuangan kotoran yang cair, air
minum maupun air untuk memandikan sapi. Blakely dan Bade (1998) mengatakan bahwa
selokan harus cukup lebar agar kotoran yang berasal dari kandang dapat keluar dengan cepat.
2. Tipe kandang
Bentuk kandang sapi perah ada dua macam, yaitu kandang konvensional dan kandang
bebas. Kandang konvensional berarti sapi ditempatkan pada jajaran yang dibatasi dengan
penyekat, sedangkan kandang bebas yaitu kandang yang ruangannya bebas tanpa penyekat
(Williamson dan Payne, 1993). Kandang yang biasa digunakan yaitu jenis tail to tail atau saling
membelakangi dan head to head atau saling berhadapan (Blakely dan Bade, 1998).
3. Sanitasi dan penanganan limbah
Kandang dibersihkan setiap hari minimal 2 kali, bersama dengan memandikan sapi laktasi
(Syarif dan Sumoprastowo, 1985). Usaha pemeliharaan kesehatan ternak sapi perah selain
melalui pembersihan kandang, juga dengan kebersihan ternak, peralatan dan petugas kandang.
Kandang sapi perah harus bersih supaya saat pemerahan susu tidak terkontaminasi dengan udara
luar guna menjaga kesehatan ternak sapi (Williamson dan Payne, 1993).
Sapi harus dimandikan 2 kali sehari untuk membersihkan kotoran yang menempel pada
tubuhnya, karena dengan adanya kotoran yang menempel pada tubuh akan menyebabkan pori-
pori tertutup. Hal tersebut mengakibatkan kelenjar keringat tidak akan mengeluarkan sekresinya
secara senpurna dan selanjutnya akan mempegaruhi kesehatan ternak. Air pembersih kandang
dan air untuk memandikan sapi mudah mengalir menuju bak penampungan, maka lantai bagian
belakang dan disekeliling kandang harus dilengkapi selokan. Selokan dibuat dengan lebar 20 cm
dan kedalaman 15 cm yang dimaksudkan untuk memudahkan pembuangan kotoran yang cair, air
minum maupun air untuk memandikan sapi (Muljana, 1985).
Selokan harus cukup lebar agar kotoran yang berasal dari kandang dapat keluar dengan
cepat (Blakely dan Bade, 1998). Selokan atau drainase lebarnya minimal 30–40 cm. Kedalaman
selokan atau drainase 20–25 cm (Siregar, 1993).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum Manajemen Ternak Perah pakan yang digunakan terdiri dari
hijauan dan konsentrat. Pemberian pakan dilakukan dua kali dalam sehari dan pakan yang
diberikan adalah hijauan dan konsentrat. Sistem perkandangan head to head sehingga mudah
dalam pemberian pakan. Sanitasi kandang dilakukan dua kali sehari sebelum pemerahan untuk
menjaga kebersihan dan kesehatan sapi serta kehigienisan susu. Pemerahan dilakukan pagi dan
sore hari.
2. Saran
Sebaiknya dilakukan pemerikasaan kesehatan ternak secara berkala agar ternak yang terkena
mastitis atau penyakit-penyakit lainnya dapat segera ditangani.
DAFTAR PUSTAKA
Adriyani, Y. H. Suhartini, Aunorohman, Prayitno dan A. Priyono. 1980. Pengantar Ilmu Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Jendran Soedirman, Purwokerto (Tidak diterbitkan).
Blakely, J. dan Bade, D.H. 1995. Ilmu Peternakan. Edisi keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Bina UKM. 2011. http://binaukm.com/2011/03/peralatan-dalam-penanganan-susu-sapi-seri-penanganan-dan-pengolahan-susu-sapi/. Diakses pada tanggal 13 Juni 2012 pukul 21.37.
Chamberlain. 1993. Milk Production in The Tropics. Intermediate Tropical Agriculture Series. Longman Scientific and Technical, England.
Davis, R.F. 1962. Modern Dairy Cattle Management. Prentice Hall, Inc. Amerika
Serikat
Ensminger, M. E. 1971. Dairy Cattle Science. First Edition. The Inter State Printers Publisher, Inc. Dancilles, Illionois.
Hidayat, Arif. 2001. Buku Petunjuk Peternakan Sapi Perah, Jakarta: DairyTechnology ImproveElement Project Indonesia.
Imron, Muhammad. 2009. Manajemen Pemeliharaan Pedet.http://betcipelang.info.
Muljana, W. 1985. Pemeliharaan dan Ternak Kegunaan Sapi Perah. Aneka Ilmu. Semarang.
Putra, A. R. 2004. Kondisi teknis peternakan sapi perah rakyat di Kelurahan Pondok Rangon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultan Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prihadi. 1996. Tata Laksana dan Produksi Sapi Perah. Fakultas Peternakan Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta.
Reksohadiprodjo, S. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Puspaswara. Jakarta.
Santosa, U. 1995. Tata Laksana Pemeliharaan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Santosa, U. 1997. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sindoeredjo, S. 1970. Pedoman Perusahaan Pemerahan Susu. Proyek Pengembangan Produksi Ternak. Dirjen Peternakan. Jakarta.
Siregar, S.B. 1993. Sapi Perah, Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soepardjo, Timan Soetarno, Soenardi, Soetimboel, Wartomo. 1979. :Produksi Air Susu Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein di Yogyakarta”. Presentasi pada Seminar Fakultas Peternakan UGM tanggal 13 oktober 1979.
Soedono, A. 1984. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta
Sudono, A., R. F. Rosdiana dan B. Setiawan. 2003. Petnjuk Praktis Beternak SapiPerah Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta.Sugeng, Y. B. 1992. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sugeng, Y. B. 1992. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudarmono. 1993. Tata Usaha Sapi Kereman. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Syarief, M. Z. dan C. D. A. Sumoprastowo.1985. Ternak Perah. CV. Yasaguna. Jakarta.
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan Di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono)