Download - Laporan Tutorial Skenario 2 Blok Mata
LAPORAN TUTORIAL BLOK XVIII MATA
SKENARIO II
MATA SAYA MERAH TAPI KOK TIDAK KABUR?
KELOMPOK A2
YAASIN RACHMAN NOOR G0012231
MAHARDHIKA K G0012123
PARADA JIWANGGANA G0012159
FADHLI RAHMAN G0012073
DENATA SIENVIOLINCIA G0012055
PRATIWI RETNANINGSIH G0012163
RIFAATUL MAHMUDAH G0012183
BERLIAN MAYA DEWI G0012043
DITA MAYASARI G0012063
NELSI MARINTAN TAMPUBOLON G0012147
DEVITA MAHAJANA G0012057
TUTOR :
Dr. Yulia Lanti RD, dr., M. Si
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Pada diskusi tutorial kali ini, kami mendapat skenario sebagai berikut?
Mata Saya Merah tapi kok Tidak Kabur?
Seorang pasien laki-laki, 30 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan
mata kanan merah sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan mata kanan
terasa gatal dan berair, serta kelopak mata bengkak dan lengket ketika bangun
tidur di pagi hari. Pasien tidak mengeluh pandangan mata kanannya kabur ataupun
silau.
Pada pemeriksaan didapatkkan: VOD 6/6, pada konjungtiva bulbi dan
konjungtiva palpebra hiperemi, didapatkan sekrete, kornea jernih.
Setelah melapor kepada staf, dokter muda Andi disuruh melengkapi
pemeriksaan dan memberi usulan pemeriksaan/ terapi untuk pasien tersebut.
Selanjutnya pasien diperbolehkan rawat jalan.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Seven Jump
1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah
dalam skenario.
Mahasiswa sudah memahami istilah-istilah di skenario 2 karena banyak
kemiripan di scenario 1.
2. Langkah II : Menentukan/mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:
1. Mengapa mata kanan pasien merah sejak 3 hari yang lalu dan
bagaimana mekanisame mata merah ?
2. Mengapa keluhan pada pasien hanya pada mata kanan ?
3. Apa hubungan mata merah denga keluhan gatal dan berair ?
4. Mengapa pasien tidak ada keluhan mata kabur atau silau ?
5. Mengapa ketika bangun pagi didapatkan keadaan mata bengkak dan
lengket ?
6. Pemeriksaan apa yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada
mata merah ?
7. Mengapa visus tidak turun padahal ada ganguan mata ?
8. Interpretasi pemeriksaan pada mata ?
9. Hubungan keluhan dengan jenis kelamin serta usia pada pasien ?
10. Pemeriksaan lain apakah yang dilakukan untuk pasien ?
11. Atas dasar apakah pasien diperbolehkan rawat jalan ?
12. Terapi apakah yang diberikan dokter untuk pasien ?
3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan
sementara mengenai permasalahan.
a. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Struktur Accesoria pada Mata
b. Patofisiologi keluhan pasien :
- Mata kanan pasien merah sejak 3 hari yang lalu.
- Pasien juga mengeluhkan mata kanan terasa gatal dan berair.
- Kelopak mata bengkak dan lengket ketika bangun tidur di pagi
hari. Tidak ada keluhan mata kabur atau silau.
c. Pemeriksaan :
- Visus : 6/6
- Konjungtiva bulbi dan konjungtiva palpebral hiperemis
- Secret (+)
- Kornea jernih
- Pemeriksaan tambahan dimasukkan ke Diagnosis banding.
d. Diagnosis Banding
e. Diagnosis Kerja
1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Struktur Accesoria pada Mata
A. Palpebra
Palpebra atau kelopak mata mempunyai fungsi melindungi bola mata,
serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di
depan komea. Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk
melindungi bola mata terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan bola
mata. Dapat membuka diri untuk memberi jalan masuk sinar kedalam bola
mata yang dibutuhkan untuk penglihatan.
Pembasahan dan pelicinan seluruh permukaan bola mata terjadi karena
pemerataan air mata dan sekresi berbagai kelenjar sebagai akibat gerakan buka
tutup kelopak mata. Kedipan kelopak mata sekaligus menyingkirkan debu
yang masuk.
Kelopak mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan sedang di
bagian belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal.
Gangguan penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya permukaan mata
sehingga terjadi keratitis et lagoftalmos. Pada kelopak terdapat bagian-bagian:
Kelenjar seperti : kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar
keringat, kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom
pada tarsus.
Otot seperti : M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam
kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. Pada
dekat tepi margo palpebra terdapat otot orbikularis okuli yang disebut
sebagai M. Rioland. M. orbikularis berfungsi menutup bola mata yang
dipersarafi N. facial M. levator palpebra, yang berorigo pada anulus
foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian
menembus M. orbikularis okuli menuju kulit kelopak bagian tengah.
Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebra terlihat sebagai sulkus
(lipatan) palpebra. Otot ini dipersarafi oleh N. III, yang berfungsi
untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata.
Di dalam kelopak terdapat tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan
kelenjar di dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo
palpebra.
Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima
orbita merupakan pembatas isi orbita dengan kelopak depan.
Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada
seluruh lingkaran pembukaan rongga orbita. Tarsus (terdiri atas
jaringan ikat yang merupakan jaringan penyokong kelopak dengan
kelenjar Meibom (40 bush di kelopak atas dan 20 pada kelopak
bawah).
Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra.
Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal
N.V, sedang kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V.
Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat
dilihat dengan melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks
menutup bulbus okuli. Konjungtiva merupakan membran mukosa yang
mempunyai sel Goblet yang menghasilkan musin. Konjungtiva merupakan
membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Konjungtiva
mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat
membasahi bola mata terutama kornea (Sidarta Ilyas, 2010).
Lapisan terluar palpebra adalah kulit tipis. Epidermis terdiri atas epitel
berlapis gepeng dengan papilla. Di dalam dermis di bawahnya terdapat folikel-
folikel rambut dengan kelenjar sebasea terkait. Di dalam dermis juga terdapat
kelenjar keringat.
Lapisan terdalam palpebra adalah membrane mukosa, disebut
konjungtiva palpebra; lapisan ini terletak bersebelahan dengan bola mata.
Epitel pelapis konjungtiva palpebra adalah epitel berlapis silindris rendah
dengan sedikit sel goblet. Epitel berlapis gepeng kulit berlanjut ke atas tepi
palpebra, kemudian ditransformasi menjadi jenis berlapis silindris konjungtiva
palpebra, lamina propria tipis konjungtiva palpebra mengandung serat-serat
kolagen dan elastin. Di bawah lamina propria terdapat lempeng jaringan ikat
kolagen, yaitu tarsus. Daerah ini mengandung kelenjar sebacea khusus (besar),
yaitu kelenjar tarsalis meibom. Asini sekretoris kelenjar ini ke dalam sebuah
duktus sentral panjang yang berjalan paralel dengan konjungtiva palpebra dan
bermuara di tepi palpebra.
Ujung bebas palpebra mengandung bulu mata yang muncul dari folikel
rambut besar dan panjang. Terdapat kelenjar sebasea kecil yang berkaitan
dengan bulu mata. Di antara folikel rambut bulu mata terdapat kelenjar
keringat moll.
Palpebra mengandung tiga set otot: bagian terbesar palpebra adalah
otot rangka, orbikularis okuli; muskulus siliaris (Roilan) di daerah folikel
rambut bulu mata dan kelenjar tarsal; dan di bagian atas palpebra terdapat
berkas-berkas otot polos, yaitu muskulus tarsalis superior (Muller).
Jaringan ikat palpebra juga mengandung jaringan lemak, pembuluh
darah, dan jaringan limfatik (Eroschenko, 2003).
B. Konjungtiva
Konjungtiva terdiri atas 3 bagian yaitu:
1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus
2. Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera
3. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva selain
konjungtiva tarsal, berhubungan longgar dengan jaringan dibawahnya,
oleh karenanya bola mata mudah digerakkan.
Lapisan epitel konjungtiva tediri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat,superfisial dan basal. Sel epitel superfisial mengandung sel
goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang mendorong inti
sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata
diseluruh prekornea. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid
(superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundal). Lapisan adenoid
mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung
struktur semacam folikel tanpa stratum germativum.
Hipertrofi papilar adalah reaksi konjungtiva non-spesifik berupa
eksudat radang yang berkumpul di antara serabut-serabut konjungtiva yang
membentuk tonjolan pada konjungtiva. Kemosis yang hebat sangat mengarah
pada konjungtivitis alergika. Folikel tampak pada sebagian besar kasus
konjungtivitis viral. Folikel sendiri merupakan hiperplasi limfoid lokal di
dalam lapisan limfoid konjungtiva dan biasanya mempunyai pusat germinal.
Pseudomembran dan membran merupakan hasil dari proses eksudatif hanya
berbeda derajat. Pada psedomembran epitel tetap utuh sedangkan pada
membran melibatkan koagulasi epitel juga.
C. Apparatus Lakrimalis
Aparatus lakrimalis dibagi menjadi dua bagian secara fisiologis yaitu
sistem sekresi dan sistem ekskresi air mata.
Sistem Sekresi Air Mata
Air mata disekresikan oleh glandula lakrimal yang berada di superior
temporal tulang orbital pada fossa lacrimal os frontale. Glandula ini tidak
terlihat dan tidak dapat dipalpasi. Glandula lacrimal yang terpalpasi
menandakan keadaan patologis seperti dacryoadenitis. Glandula lacrimal
accesoria berada pada fornix superior yang berfungsi untuk menghasilkan
sekret air mata tambahan yang sifatnya serous. Glandula lacrimal menerima
persarafan dari nervus lacrimalis. Nervus lacrimalis merupakan saraf
secretomotorik parasimpatik yang berasal dari n.intermedius. Serat saraf
simpatik pada glandula lacrimal berasal dari ganglion cervicalis superior
Permukaan mata dijaga tetap lembab oleh kelenjar lakrimalis. Sekresi
basal air mata perhari diperkirakan berjumlah 0,75-1,1 gram dan cenderung
menurun seiring dengan pertambahan usia. Volume terbesar air mata
dihasilkan oleh kelenjar air mata utama yang terletak di fossa lakrimalis pada
kuadran temporal di atas orbita. Kelenjar yang berbentuk seperti buah kenari
ini terletak didalam palpebra superior. Setiap kelenjar ini dibagi oleh kornu
lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus
palpebra yang lebih kecil. Setiap lobus memiliki saluran pembuangannya
tersendiri yang terdiri dari tiga sampai dua belas duktus yang bermuara di
forniks konjungtiva superior. Sekresi dari kelenjar ini dapat dipicu oleh emosi
atau iritasi fisik dan menyebabkan air mata mengalir berlimpah melewati
tepian palpebra (epiphora). Persarafan pada kelenjar utama berasal nukleus
lakrimalis pons melalui nervus intermedius dan menempuh jalur kompleks
dari cabang maksilaris nervus trigeminus.
Kelenjar lakrimal tambahan, walaupun hanya sepersepuluh dari massa
utama, mempunya peranan penting. Kelenjar Krause dan Wolfring identik
dengan kelenjar utama yang menghasilkan cairan serosa namun tidak memiliki
sistem saluran. Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva, terutama
forniks superior. Sel goblet uniseluler yang tersebar di konjungtiva
menghasilkan glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea
Meibom dan Zeis di tepian palpebra memberi substansi lipid pada air mata.
Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk
film prekorneal
Sistem Ekskresi Air Mata
Musculus orbicularis occuli yang diinervasi oleh nervus facialis
menyebabkan mata tertutup. Proses menutup mata ini berfungsi sebagai sistem
penyapu air mata yang menggerakan air mata ke arah medial menuju canthus
medialis. Puncta lacrimal superior et inferior mengumpulkan air mata, yang
kemudian di drainasekan melalui canaliculi lacrimalis superior et inferior ke
arah saccus lacrimalis. Kemudian air mata akan mengalir ke ductus
nasolacrimalis yang bermuara ke concha nasalis inferior
Sistem ekskresi terdiri atas punkta, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan
duktus nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip dengan
risleting – mulai di lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea,
dan menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada aspek medial palpebra.
Setiap kali mengedip, muskulus orbicularis okuli akan menekan ampula
sehingga memendekkan kanalikuli horizontal. Dalam keadaan normal, air
mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan penguapannya, dan itulah sebabnya
hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi. Bila memenuhi sakus
konjungtiva, air mata akan masuk ke punkta sebagian karena hisapan kapiler.
Dengan menutup mata, bagian khusus orbikularis pre-tarsal yang
mengelilingi ampula mengencang untuk mencegahnya keluar. Secara
bersamaan, palpebra ditarik ke arah krista lakrimalis posterior, dan traksi
fascia mengelilingi sakus lakrimalis berakibat memendeknya kanalikulus dan
menimbulkan tekanan negatif pada sakus. Kerja pompa dinamik mengalirkan
air mata ke dalam sakus, yang kemudian masuk melalui duktus nasolakrimalis
– karena pengaruh gaya berat dan elastisitas jaringan – ke dalam meatus
inferior hidung. Lipatan-lipatan mirip-katup dari epitel pelapis sakus
cenderung menghambat aliran balik air mata dan udara. Yang paling
berkembang di antara lipatan ini adalah “katup” Hasner di ujung distal duktus
nasolakrimalis.
Lapisan Air Mata (Tear Film)
Tear film yang berfungsi untuk membasasi conjunctiva dan cornea
terdiri dari tiga lapisan:
1. Lapisan terluar, minyak (ketebalan mendekati 0.1 μm) merupakan produk
glandula meiboiman dan glandula sebaceous dan sweat glands pada tepi
kelopak mata. Fungsi utama lapisan ini adalah menstabilkan tear film.
Melalui komponen hidropobiknya membantu mencegah evaporasi.
2. Lapisan tengah, air (ketebalan mendekati 8 μm) disekresikan oleh glandula
lacrimal dan glandula lacrimalis accesoria (glandula krause dan wolfring).
Fungsinya untuk membersihkan cornea dan mendukung pergerakan
palpebra conjungtiva terhadap permukaan cornea, menjaga permukaan
cornea agar tetap rata.
3. Lapisan dalam, musin (ketebalan mendekati 0.8 μm) disekresikan sel
goblet pada conjungtiva dan glandula lacrimalis. Berfungsi membantu
stabilisasi tear film. Lapisan ini menjaga kelembapan pada seluruh lapisan
kornea dan konjungtiva
2. Patofisiologi Keluhan Pasien
A. Mata merah
Mata merah disebabkan oleh melebarnya pembuluh darah di
konjungtiva yang terjadi pada peradangan mata akut. Untuk pembagiannya
adalah sebagai berikut (yang sesuai dengan kasus di skenario) :
Injeksi Konjungtival
Merupakan melebarnya pembuluh darah a.konjungtiva posterior
dan dapat terjadi akibat penaruh mekanis, alergi atau infeksi pada jaringan
konjungtiva. Injeksi konjungtival mempunyai sifat :
Mudah digerakkan dari dasarnya.
Terutama didapatkan pada daerah forniks.
Ukuran pembuluh darah makin besar ke arah perifer karena asalnya
dari a.silliar anterior.
Berwarna merah segar.
Dengan tetes adrienalin 1:1000 akan lenyap sementara.
Gatal
Fotofobia tidak ada.
Pupil ukuran normal dengan reaksi normal.
Injeksi Siliar
Merupakan melebarnya pembuluh darah perikornea (a.siliar
anterior) yang terjadi akibat radang kornea, tukak kornea, benda asing
pada kornea, radang jaringan uvea, glaukoma, endoftalmitis ataupun
panoftalmitis. Injeksi siliar mempunyai sifat :
Berwarna lebih ungu
Pembuluh darah tidak tampak
Tidak ikut serta apabila konjungtiva digerakkan, karena menempel erat
dengan jaringan perikonea.
Ukuran sangat halus, paling oadat disekitar kornea berkurang kearah
forniks.
Tifak menciut apabila diberi epinefrin atau adrenalin 1:1000
Fotofobia
Sakit tekan disekitar kornea
Pupil ireguler kecil dan lebar.
(Sidarta Ilyas, 2010).
B. Mata Gatal dan Berair
Mata gatal pada pasien scenario di atas terjadi karena adanya
rangsangan yang dangkal terhadap system persarafan yang ada di mata.
Rangsangan ini terjadi karena adanya suatu keadaan yang tidak biasa pada
mata. Meskipun rangsangan gatal dapat dikatakan sebagai suatu bentuk
gejala yang bukan patologis (Guyton, 2010), namun pada keadaan ini rasa
gatal menjadi suatu tanda dari terjadinya keadaan patologis yang mengarah
ke reaksi radang. Mata berair adalah suatu bentuk keadaan system
lakrimasi yang berlebihan yang dipicu oleh suatu factor, bias karena flora
yang berlebihan pada mata, sehingga sebagai bentuk kompensasinya maka
mata harus membersihkannya. Sehingga air mata digunakan untuk hal
tersebut maka pada pasien ditemukan mata berair (Sidarta Ilyas, 2010).
C. Kelopak Mata Bengkak dan Lengket ketika Bangun Tidur di Pagi
Hari
Mata bengkak terjadi karena ada reaksi peradangan di daerah
sekitar mata, pada scenario mengarah ke konjungtiva. Sehingga pada
konjungtiva palpebral yang hiperemis pada bagian dalamnya membuat
kelopak mata yang bengkak pada bagian luarnya. Mata lengket saat
bangun tidur di pagi hari terjadi karena penumpukan cairan yang
dihasilkan oleh glandula lakrimalis pada mata. Penumpukan ini adalah
hasil akumulasi ketika memejamkan mata di malam hari. Namun, rasa
lengket ini bisa menjadi suatu tanda patologis karena menandakan air mata
yang dihasilkan tidak bersifat seperti air lagi, karena adanya suatu keadaan
yang pathologist air mata ini dihasilkan berlebihan dan bersifat mucus
karena terdapat debris bakteri-bekteri yang telah mati oleh system
pertahanan pada mata.
4. Langkah IV: Mengeinventarisir permasalahan secara sistematis dan
pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3
Setelah berdiskusi, kami telah mengetahui dasar dari permasalahan
skenerio, seperti anatomi, fisiologi, dan histologi dari organ accesoria pada
organon visus. Kami juga menyimpulkan hipothesis bahwa pasien mengalami
reaksi peradangan yang akut jika dilihat pada onset penyakitnya. Reaksi
peradangan ini bias terjadi pada penyakit-panyakit yang nanti akan dibahas di
langkah yang ke VI.
5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
1. Pemeriksaan
2. Diagnosis banding
3. Diagnosis kerja
4. Penatalaksanaan
6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi
kelompok
7. Langkah VII: melakukan sistesa dan pengujian informasi-informasi yang
sudah terkumpul
1. Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini
adalah penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya,
konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor
lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi
mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat
dengan banyak sekret purulen kental (Hurwitz, 2009).
Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat menyebabkan infeksi pada
mata semakin banyak, disebabkan oleh meningkatnya penggunaan oat-obatan
topical dan agen imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien
dengan infeksi HIV dan pasien yang menjalani transplantasi organ dan
menjalani terapi imunosupresif (Therese, 2002).
Konjungtivitis Bakteri
A. Definisi
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang
disebabkan oleh bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang
dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan iritasi mata (James,
2005).
B. Etiologi dan faktor risiko
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu
hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut
biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N
meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering
pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan
Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada
konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus
nasolakrimalis (Jatla, 2009).
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian
mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang
lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak
dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).
C. Patofisiologi
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal
seperti streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan
pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora
normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora
normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari
organ sekitar ataupun melalui aliran darah (Rapuano, 2008).
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah
satu penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi
terhadap antibiotik (Visscher, 2009).
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan
epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan
sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan
konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air
mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya
gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat
menyebabkan infeksi pada konjungtiva (Amadi, 2009).
D. Gejala Klinis
Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya
dijumpai injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain
itu sekret pada kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada
konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering dijumpai
edema pada kelopak mata (AOA, 2010).
Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada
konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret
dan debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih normal.
Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada
pagi hari sewaktu bangun tidur. (James, 2005).
E. Komplikasi
Komplikasi Blefaritis marginal kronik sering menyertai
konjungtivitis bateri, kecuali pada pasien yang sangat muda yang bukan
sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva paling sering terjadi dan dapat
merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus
kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film
air mata prakornea secara drastis dan juga komponen mukosa karena
kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk
palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu
mata dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan
parut pada kornea (Vaughan, 2010).
F. Penatalaksanaan
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal
spektrum luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai
disebabkan oleh diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi
topical dan sistemik . Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus
konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan
sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).
Konjungtivitis Virus
A. Definisi
Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan
oleh berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat
menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan
dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan,
2010).
B. Etiologi dan faktor risiko
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi
adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini,
dan herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit
ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus
(enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency
virus (Scott, 2010).
Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan
penderita dan dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan
benda-benda yang menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam
renang yang terkontaminasi (Ilyas, 2008).
C. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada
setiap jenis konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya
(Hurwitz, 2009). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit ini
dijelaskan pada etiologi.
D. Gejala Klinis
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan
etiologinya. Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh
adenovirus biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata
berair berat dan kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai
infiltrat subepitel kornea atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan
bertahan selama lebih dari 2 bulan (Vaughan & Asbury, 2010). Pada
konjungtivitis ini biasanya pasien juga mengeluhkan gejala pada saluran
pernafasan atas dan gejala infeksi umum lainnya seperti sakit kepala dan
demam (Senaratne & Gilbert, 2005).
Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (HSV) yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi
unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai
keratitis herpes.
Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh
enterovirus dan coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia,
sensasi benda asing, hipersekresi airmata, kemerahan, edema palpebra dan
perdarahan subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis
(Scott, 2010).
E. Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya
pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan
keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).
F. Penatalaksanaan
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada
orang dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan
terapi, namun antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk
mencegah terkenanya kornea (Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga
diberikan instruksi hygiene untuk meminimalkan penyebaran infeksi
(James, 2005). G. Penatalaksanaan
Konjungtivitis Alergi
A. Definisi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing
sering dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang
diperantarai oleh sistem imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi
hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi di konjungtiva
adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis
alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya
dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal,
keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan,
2010).
B. Etiologi dan faktor risiko
Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda
sesuai dengan subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman
dan tumbuh-tumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari,
rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada
waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat
asma, eksema dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi
pada pasien dengan riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis
papilar rak pada pengguna lensa-kontak atau mata buatan dari plastik
(Asokan, 2007).
C. Gejala Klinis
Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub-
kategorinya. Pada konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-
tumbuhan keluhan utama adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan
konjungtiva, dan sering ditemukan kemosis berat. Pasien dengan
keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal dengan
kotoran mata yang berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak
papila halus di konjungtiva tarsalis inferior.
Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia
merupakan keluhan yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik.
Ditemukan jupa tepian palpebra yang eritematosa dan konjungtiva tampak
putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan menurun,
sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala
yang mirip konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).
D. Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada
kornea dan infeksi sekunder (Jatla, 2009).
E. Penatalaksanaan
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-
antihistamin topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan
steroid topikal jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan,
2010).
2. Skleritis
A. Definisi
Skleritis adalah radang kronis granulomatosa pada sclera yang
ditandai dengan destruksi kolagen, infiltrasi sel dan vaskulitis. Skleritis
disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun
ataupun penyakit sistemik.
B. Epidemiologi
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat
insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-
pasien yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior,
sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada
penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau
bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung
sekali atau kambuh-kambuhan. Peningkatan insiden skleritis tidak
bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena
daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama
terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.
C. Etiologi
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai
oleh proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe
lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada
beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada
sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-
proses lokal, misalnya bedah katarak.
D. Patofisiologi
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang
meliputi sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting
terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia
dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi
dari bola mata. Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat
dengan penyakit imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular.
Disregulasi pada penyakit auto imun secara umum merupakan faktor
predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks
imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi
hipersensitivitas tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi
hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun
aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi
kompleks imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan
perforasi kapiler dan venula post kapiler dan respon imun sel perantara.
E. Manifestasi klinik
Rasa sakit berat yang menyebar ke dahi, alis, dan dagu secara
terus-menerus, mata merah berair, fotofobia, dan penglihatan menurun.
Terlihat sclera bengkak, konjungtiva kemosis, injeksi sclera profunda, dan
terdapat benjolan berwarna sedikit lebih jingga. Sering terjadi bersama
iritis atau siklitis dan koroiditis anterior.
F. Klasifikasi
Skleritis diklasifikasikan menjadi tiga:
1. Episkleritis
a. Simple
Biasanya jinak, sering bilateral, reaksi inflamasi terjadi
pada usia muda yang berpotensi mengalami rekurensi. Gejala
klinis yang muncul berupa rasa tidak nyaman pada mata, disertai
berbagai derajat inflamasi dan fotofobia. Terdapat pelebaran
pembuluh darah baik difus maupun segmental. Wanita lebih
banyak terkena daripada pria dan sering mengenai usia dekade 40-
an.
b. Nodular
Baik bentuk maupun insidensinya hampir sama dengan
bentuk simple scleritis. Sekitar 30% penyebab skleritis nodular
dihubungkan dengan dengan penyakit sistemik, 5% dihubungkan
dengan penyakit kolagen vaskular seperti artritis rematoid, 7%
dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus dan 3%
dihubungkan dengan gout.
2. Skleritis Anterior
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi
skleritis anterior sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi
sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14%
yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak
dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab
klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi.
Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe
nodular lebih nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.
a. Difus
Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster
oftalmikus dan gout.
b. Nodular
Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus.
c. Necrotizing
Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi
sistemik atau komplikasi okular pada sebagian pasien. 40%
menunjukkan penurunan visus. 29% pasien dengan skleritis
nekrotik meninggal dalam 5 tahun.
Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:
i. Dengan inflamasi
ii. Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans)
3. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama
dengan skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan
rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan
objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya perlengketan
massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di
retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis
posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal,
proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak
mata bawah.
G. Pemeriksaan Penunjang
Dengan penetesan epinefrin 1:1000 atau fenilefrin 10% tidak akan
terjadi vasokontriksi. Pemeriksaan foto rontgenorbita dilakukan untuk
menghilangkan kemungkinan adanya benda asing, juga dapat dilakukan
pemeriksaan imunologi serum.
H. Komplikasi
Keratitis perifer,glaucoma,granuloma subretina,uveitis,ablasi retina
eksudatif,proptosis katarak,hipermetropia,keratitis sklerotikan.
I. Penatalaksanaan
Dengan antiinflamasi non-steroid sistemik berupa indometasin 50-
100mg/hari atau ibuprofen 300mg/hari, biasanya terjadi penurunan gejala
dengan cepat. Bila tidak ada reaksi dalam 1-2 minggu, harus diberikan
terapi steroid sistemik dosis tinggi, misalnya prednisolon 80mg/hari, dan
diturunkan dalam 2 minggu sampai dosis pemeliharaaan 10mg/hari. Dapat
pula dipakai obat-obatan imunosupresif. Steroid topical tidak efektif tetapi
mungkim berguna untuk edema dan nyeri. Jika penyebabnya infeksi, harus
diberikan antibiotic yang sesuai. Pembedahan diperlukan bila terjadi
perforasi kornea.
3. Hematoma Subkonjungtiva
A. Definisi
Hematoma subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rupturnya
pembuluh darah dibawah lapisan konjungtiva yaitu pembuluh darah
konjungtivalis atau episklera. Dapat terjadi secara spontan atau akibat
trauma. Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok
umur. Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%).
B. Etiologi dan faktor risiko
Hematoma subkonjungtiva dapat terjadi pada keadaan dimana
pembuluh darah rapuh. (umur, hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis
hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan). Perdarahan
juga dapat terjadi akibat trauma langsung atau tidak langsung yang
kadang-kadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang terjadi.
(Sidarta, 2012)
C. Gejala Klinis
Pasien datang dengan keluhan adanya darah pada sklera atau mata
berwarna merah terang (tipis) atau merah tua (tebal). Sebagian besar tidak
ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan
subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera. Perdarahan akan
terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudian akan berkurang
perlahan ukurannya karena diabsorpsi. Selain itu warna merah akan
berubah menjadi hitam setelah beberapa lama.
D. Penatalaksanaan
Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2
minggu tanpa diobati. Namun perdarahan subkonjungtiva harus segera
dirujuk ke spesialis mata jika ditemukan penurunan visus.
4. Pteregium
A. Definisi
Pteregium merupakan pertumbuhan jaringan ikat pada
fibrovaskuler konjungtiva bulbar intrapalpebra dengan ektensi ke kornea
yang bersifat degeneratif. Pteregium berbentuk segi tiga dengan
puncaknya di bagian sentral kornea dan dasarnya di bagian perifer kornea,
biasanya terletak di celah kelopak mata bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke kornea.
B. Epidemiologi
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan
kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator,
yakni daerah yang terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan dari
ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang
dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium
cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.4
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium.
Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan
ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian
berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-
laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok,
pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.
C. Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan
yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di
udara dan faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterygium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi
kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi
sel. Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi
juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom
dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru
patogenesis dari pterygium. Wong juga menunjukkan adanya
pterygium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy
antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan
trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma
juga penyebab dari pterygium.
D. Etiologi
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini
lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena
itu gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon
terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari
(ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau
faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang
disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada daerah
dingin, iklim kering mendukung teori ini.
E. Patogenesis
Secara histopalogis ditemukan epitel konjungtiva irrekuler kadang-
kadang berubah menjadi gepeng. Pada puncak pteregium, epitel kornea
menarik dan pada daerah ini membran bauman menghilang. Terdapat
degenerasi stauma yang berfoliferasi sebagai jaringan granulasi yang
penuh pembulih darah. Degenerasi ini menekan kedalam kornea serta
merusak membran bauman dan stoma kornea bagian atas.
F. Gejala Klinis
Mata irritatatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmatisme,
kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea
(Zona Optic).
Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar
rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah
nasal. Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan.
Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterygium
dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu
penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga
pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura
interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada
bagian temporal. Pterygium dapat diserati keratitis Pungtata, delen
(penipisan kornea akibat kering) dan garis besi yang terletak di ujung
pteregium.
G. Komplikasi
Komplikasi pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada
konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan
penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat
menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan
degenerasi pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada.
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera,
graft oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar,
korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts,
skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus.
Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterygium post operasi.
H. Penatalaksanaan
1. Tidak ada pengobatan yang spesifik
2. Pembedahan :
Pengangkatan secara bedah transplantasi kornea,ketebalan
parsial diperlukan bila pteregium menarik sumbu pandangan dan
mengganggu kenyamanan. 30 – 50 % pasien pteregium kambuh lagi
setelah pembedahan
3. Bersifat rekuren
4. Operasi dilakukan bila terjadi kemunduran tajam penglihatan atau
gangguan kosmetik (Estetika)
5. Bila meradang dapat diberikan steroid atau obat tetes mata
dekongestan
6. Pada keadaan residif (kemungkinan tumbuh kembali) dapat dilakukan
(Beta) (stronsium - 90), atau eksterpasi danpenyinaran sinar
transplantasi mukosa mulut. Radiasi Beta pasca operasi menurunkan
angka kekambuhan namun bukannya tanpa komplikasi
7. Tetes mata Mitomycin (Bahan anti metabolik) efektif mencegah
kekambuhan. Mitomycin C adalah bahan anti myoplastik yang
mempunyai efek samping seperti infalamasi, photo phobia,
pengeluaran air mata dan nyeri.
8. Perawatan yang penting lindungi mata dari sinar matahari langsung,
debu atau udara panas. Gunakan juga kaca mata pelidung untuk
menghindari pajanan sinar matahari debu dan udara.
5. Blefaritis
A. Definisi
Blefaritis adalah radang pada kelopak mata. Radang yang sering
terjadi pada kelopak merupakan radang kelopak dan tepi kelopak. Radang
bertukak atau tidak pada tepi kelopak bisanya melibatkan folikel dan
kelenjar rambut. Blefaritis ditandai dengan pembentukan minyak
berlebihan di dalam kelenjar di dekat kelopak mata yang merupakan
lingkungan yang disukai oleh bakteri yang dalam keadaan normal
ditemukan di kulit.
B. Etiologi
Infeksi atau alergi yang biasanya berjalan kronik atau akibat
disfungsi kelenjar Meibom, alergi dapat disebabkan debu atau asap. Bahan
kimia iritatif atau bahan kosmetik. Infeksi oleh bakteri disebabkan
Stafilokok, Streptococcus alpha atau beta hemoloyticus, Pneumokok,
Pseudomonas, hingga Pityrosporum ovale yang menyebabkan blefaritis
seboroik. Infeksi oleh virus disebabkan Herpes zoster, Herpes simpleks,
dan sebagainya, sedangkan oleh jamur dapat menyebabkan infeksi
superfisial atau sistemik.
Terdapat 2 jenis blefaritis, yaitu : 1. Blefaritis anterior : mengenai
kelopak mata bagian luar depan (tempat melekatnya bulu mata).
Penyebabnya adalah bakteri stafilokokus dan seborrheik. Blefaritis
stafilokok dapat disebabkan infeksi dengan Staphylococcus aureus, yang
sering ulseratif, atau Staphylococcus epidermidis atau stafilokok
koagulase-negatif. Blefaritis seboroik(non-ulseratif) umumnya bersamaan
dengan adanya Pityrosporum ovale. 2. Blefaritis posterior : mengenai
kelopak mata bagian dalam (bagian kelopak mata yang lembab, yang
bersentuhan dengan mata). Penyebabnya adalah kelainan pada kelenjar
minyak. Dua penyakit kulit yang bisa menyebabkan blefaritis posterior
adalah rosasea dan ketombe pada kulit kepala (dermatitis seboreik).
C. Patofisiologi
Patofisiologi blefaritis biasanya terjadi kolonisasi bakteri pada
mata. Hal ini mengakibatkan invasi mikrobakteri secara langsung pada
jaringan ,kerusakan sistem imun atau kerusakan yang disebabkan oleh
produksi toksin bakteri , sisa buangan dan enzim. Kolonisasi dari tepi
kelopak mata dapat ditingkatkan dengan adanya dermatitis seboroik dan
kelainan fungsi kelenjar meibom.
D. Gejala Klinis
Kelopak mata merah, bengkak, sakit, gatal, eksudat lengket
bergantunga pada bulu mata, dan epifora. Serta disertai konjungtivitis,
keratitis, hordeolum, dan kalazoin. Pada laki laki lanjut usia biasanya
terjadi blefaritis seboroik dengan keluhan mata kotor, panas, eksudat,
berminyak dan rasa kelilipan.
E. Klasifikasi
1. Blefaritis superfisial
Bila infeksi kelopak superfisial disebabkan oleh staphylococcus
maka pengobatan yang terbaik adalah dengan salep antibiotik seperti
sulfasetamid dan sulfisolksazol. Sebelum pemberian antibiotik krusta
diangkat dengan kapas basah. Bila terjadi blefaritis menahun maka
dilakukan penekanan manual kelenjar Meibom untuk mengeluarkan
nanah dari kelenjar Meibom (Meibormianitis), yang biasanya
menyertai.
2. Blefaritis Seboroik
Blefaritis sebore biasanya terjadi pada laki-laki usia lanjut (50
Tahun), dengan keluhan mata kotor, panas dan rasa kelilipan.
Gejalanya adalah sekret yang keluar dari kelenjar Meiborn, air mata
berbusa pada kantus lateral, hiperemia dan hipertropi papil pada
konjungtiva. Pada kelopak dapat terbentuk kalazion, hordeolum,
madarosis, poliosis dan jaringan keropeng. Blefaritis seboroik
merupakan peradangan menahun yang sukar penanganannya.
Pengobatannya adalah dengan memperbaiki kebersihan dan
membersihkan kelopak dari kotoran. Dilakukan pembersihan dengan
kapas lidi hangat. Kompres hangat selama 5-10 menit. Kelenjar
Meibom ditekan dan dibersihkan dengan shampoo bayi. Penyulit yang
dapat timbul berupa flikten, keratitis marginal, tukak kornea,
vaskularisasi, hordeolum dan madarosis.
3. Blefaritis Skuamosa
Blefaritis skuamosa adalah blefaritis disertai terdapatnya
skuama atau krusta pada pangkal bulu mata yang bila dikupas tidak
mengakibatkan terjadinya luka kulit. Merupakan peradangan tepi
kelopak terutama yang mengenai kulit di daerah akar bulu mata dan
sering terdapat pada orang yang berambut minyak. Blefaritis ini
berjalan bersama dermatitik seboroik. Penyebab blefaritis skuamosa
adalah kelainan metabolik ataupun oleh jamur. Pasien dengan blefaritis
skuamosa akan terasa panas dan gatal. Pada blefaritis skuamosa
terdapat sisik berwarna halus-halus dan penebalan margo palpebra
disertai madarosis. Sisik ini mudah dikupas dari dasarnya
mengakibatkan perdarahan. Pengobatan blefaritis skuamosa ialah
dengan membersihkan tepi kelopak dengan shampoo bayi, salep mata,
dan steroid setempat disertai dengan memperbaiki metabolisme pasien.
Penyulit yang dapat terjadi pada blefaritis skuamosa adalah keratitis,
konjungtivitis.
4. Blefaritis Ulseratif
Merupakan peradangan tepi kelopak atau blefaritis dengan
tukak akibat infeksi staphylococcus. Pada blefaritis ulseratif terdapat
keropeng berwarna kekunung-kuningan yang bila diangkat akan
terlihat ulkus yang yang kecil dan mengeluarkan dfarah di sekitar bulu
mata. Pada blewfaritis ulseratif skuama yang terbentuk bersifat kering
dan keras, yang bila diangkat akan luka dengan disertai perdarahan.
Penyakit bersifat sangat infeksius. Ulserasi berjalan lebih lanjut dan
lebih dalam dan merusak folikel rambut sehingga mengakibatkan
rontok (madarosis). Pengobatan dengan antibiotik dan higiene yang
baik. Pengobatan pada blefaritis ulseratif dapat dengan sulfasetamid,
gentamisin atau basitrasin. Biasanya disebabkan stafilokok maka diberi
obat staphylococcus. Apabila ulseratif luas pengobatan harus ditambah
antibiotik sistemik dan diberi roboransia. Penyulit adalah madarosis
akibat ulserasi berjalan lanjut yang merusak folikel rambut, trikiasis,
keratitis superfisial, keratitis pungtata, hordeolum dan kalazion. Bila
ulkus kelopak ini sembuh maka akan terjadi tarikan jaringan parut
yang juga dapat berakibat trikiasis.
5. Blefaritis angularis
Blefaritis angularis merupakan infeksi staphylococcus pada tepi
kelopak di sudut kelopak atau kantus. Blefaritis angularis yang mengenai
sudut kelopak mata (kantus eksternus dan internus) sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pada fungsi puntum lakrimal. Blefariris
angularis disebabkan Staphylococcus aureus. Biasanya kelainan ini
bersifat rekuren. Blefaritis angularis diobati dengan sulfa, tetrasiklin dan
Sengsulfat. Penyulit pada pungtum lakrimal bagian medial sudut mata
yang akan menyumbat duktus lakrimal.
6. Meibomianitis
Merupakan infeksi pada kelenjar Meibom yang akan
mengakibatkan tanda peradangan lokal pada kelenjar tersebut.
Meibomianitis menahun perlu pengobatan kompres hangat, penekanan
dan pengeluaran nanah dari dalam berulang kali disertai antibiotik
lokal.
F. Komplikasi
Trikiasis, hordeolum, kalazion, keratitis, madarosis, dan
konjungtivitis.
G. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan mikrobiologi untuk mengetahuin penyebabnya.
H. Penatalaksanaan
Bersihkan dengan garam fisiologis hangat kemudian diberikan
antibiotic yang sesuai. Pada blefaritis sering diperlukan kompres hangat.
Pada infeksi ringan, diberikan antibiotic local sekali sehari oada kelopak
dan kompres basah dengan asam borat. Bila terjadi blefaritis menahun,
maka dilakukan penekanan manual kelenjar Meibom untuk mengeluarkan
nanah.
Pada blefaritis seboroik, kelopak harus dibersihkan dengan kapas
lidi hangat, soda bikarbonat, atau nitras argentu 1%. Dapat digunakan
salep sulfonamide untuk aksi keratolitiknya. Kompres hangat selama 5-10
menit, tekan kelenjar Meibom dan bersihkan dengan sampo bayi. Berikan
juga antibiotic local, prednisolone 0.125% dua kali sehari, dan antibiotic
sistemik, tetrasiklin 2 x 250 mg atay eritromisin 3 x 250 mg atau sesuaikan
dengan hasil kultur.
Pengobatan pada infeksi virus bersifat simtomatik, antibiotic
diberikan bila terdapat infeksi sekunder.
Bila disebabkan jamur, infeksi superfisial diobati dengan
griseofulvin 0.5-1 gram sehari dengan dosisi tunggal atau dibagi dan
diteruskan 1-2 minggu setelah gejala menurun. Bila disebabkan Kandida
diberikan nistatin topical 100.000 unit per gram. Pada infeksi jamur
sistemik, bila disebabkan Aktinomises atau Nokardia diobati dengan
sulfonamid, penisilin, atau antibiotic spectrum luas. Amfoterisin B
diberikan untuk histoplasmosis, sporotrikosis, aspergilosis, dan lainnya,
dimulai dengan 0.50-0.1 mg/kg BB secara intravena lambat 6-8 jam dalam
dekstrosa 5%. Dosis dinaikkan sampai 1mg/kg BB, namun total tidak
boleh lebih dari 2 gram. Pengobatan diberikan setiap hari selama 2-3
minggu atau sampai gejala berkurang. Hati-hati karena toksisk terhadap
ginjal.
Pada blefaritis akibat alergi dapat diberikan steroid local atau
sistemik, namun harus dicegah pemakaian lama. Untuk mengurangi gatak,
berikan antihistamin.
6. Chalazion
A. Definisi
Pembesaran pada palpebrae akibat infeksi/ obstruksi glandula
sebacea. Pada mata, terdapat 2 modifikasi glandula sebacea:
1. Meibomian Pembesaran pada bagian konjungtiva
(conjunctival portion)
2. Zeiss Pembesaran pada margin palpebrae
B. Etiologi
Pembesaran disebabkan karena hasil dari lipid breakdown yang
dapat disebabkan karena enzim bakteri maupun penumpuka secret
glandula yang keluar ke dalam jaringan interstitial (Granulomatous
inflammatory response), painless, preauricular nodes (pembesaran
menandakan adanya infeksi).
C. Gejala Klinis
Awalnya gejala kalazion hampir sama dengan hordeolum, yakni
Kelopak mata bengkak
Nyeri
Iritasi
Kemudian setelah beberapa hari gejala menghilang namun kelopak
mata tetap bengkak membentuk bundaran tanpa rasa nyeri dan tumbuh
secara perlahan. Di bawah kelopak mata terbentuk daerah kemerahan atau
abu-abu.
D. Penatalaksanaan
Bila kalazion mulai menunjukkan gejala segeralah kompres
kelopak mata dengan air hangat selama 10-15 menit, lakukan minimal 4
kali tiap hari. Pengompresan hangat bisa melunakkan minyak yang
mengeras dan menyumbat saluran sehingga dapat mempermudah
pengaliran dan penyembuhan.
Kalazion juga bisa menghilang tanpa pengobatan dalam waktu 1
bulan, namun bila kalazion makin membesar mungkin diperlukan
pembedahan. Biasanya pembedahan dilakukan di bawah kelopak mata
agar tidak membentuk jaringan parut di kulit. Selain itu, obat tetes mata
yang mengandung antibiotik biasanya digunakan beberapa hari sebelum
dan sesudah pengangkatan kalazion.
7. Pinguekula
Pinguekula adalah benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan
pada orang tua, terutama yang matanya sering teriritasi oleh sinar matahari,
debu, dan angina panas. Biasanya bercak ini terlihat terutama pada bagian
nasal
Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa
konjungtiva. Pembuluh darah tidak masuk kedalam pinguekula akan tetapi
meradang dan terjadi iritasi, maka pada sekitar pinguekula ini akan terlihat
pembuluh darah yang melebar.
Pada pinguekula tidak perlu diberikan pengobatan, akan tetapi bila
terlihat adanya tanda peradangan atau pinguekulitis, dapat diberikan obat anti
radang.
8. Trauma Mata
Trauma mata adalah rusaknya jaringan pada bola mata, kelopak mata,
saraf mata dan atau rongga orbita karena adanya benda tajam atau tumpul
yang mengenai mata dengan keras/cepat ataupun lambat.
Trauma mata dapat dibagi maenjadi:
I. Trauma Mekanik:
1. Trauma tumpul (contusio oculi)
2. Trauma tajam (perforasi trauma)
II. Trauma Fisika
1. Trauma radiasi sinar inframerah
2. Trauma radiasi sinar ultraviolet
3. Trauma radiasi sinar X dan sinart terionisasi
III. Trauma Kimia
1. Trauma asam
2. Trauma basa
Trauma pada mata dapat mengenai jaringan seperti kelopak mata,
konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita secara
terpisah atau menjadi gabungan trauma jaringan mata.
I. Trauma Mekanik
1. Trauma tumpul
Trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau
benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat
mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakn
pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya.
Trauma tumpul biasanya terjadi karena aktivitas sehari-hari
ataupun karena olah raga. Biasanya benda-benda yang sering
menyebabkan trauma tumpul berupa bola tenis, bola sepak, bola tenis
meja, shuttlecock dan lain sebagianya. Trauma tumpul dapat bersifat
Counter Coupe, yaitu terjadinya tekanan akibat trauma diteruskan pada
arah horisontal di sisi yang bersebrangan sehingga jika tekanan benda
mengenai bola mata akan diteruskan sampai dengan makula. Contoh:
hematoma kelopak, edema konjungtiva, hematoma subkonjungtiva,
edema kornea, erosi kornea,erosi kornea rekuren, iridoplegia, hifema.
2. Trauma Tembus
Trauma tembus pada mata dapat diakibatkan oleh benda tajam
atau benda asing lainya yang mengakibatkan terjadinya robekan
jaringan-jarinagan mata secara berurutan, misalnya mulai dari
palpebra,kornea, uvea sampai mengenai lensa..
A. Gambaran klinis
Bila trauma yang disebabkan benda tajam atau benda asing
lainya masuk kedalam bola mata maka akan mengakibatkan tanda-
tanda bola mata tembus seperti :
- Tajam penglihatan yang menurun
- Tekanan bola mata yang rendah
- Bilik mata dangkal
- Bentuk dan letak pupil yang berubah
- Terlihat adanya ruptur pada kornea atau sklera
- Terdapat jaringan yang prolaps, seperti cairan mata, iris, lensa,
badan kaca atau retina
- Konjungtivis kemotis
B. Penatalaksanaan
Bila terlihat salah satu atau beberapa tanda diatas maka
dicurigai adanya trauma tembus bola mata maka secepatnya
dilakukan pemberian antibiotika topikal dan mata ditutup tetapi
jangan terlalu kencang dan segera dikirim ke dokter mata untuk
dilakukan pembedahan dan penanganan lebih lanjut.
Pembuatan foto bisa dilakukan untuk melihat adanya benda
asing dalam bola mata. Benda asing yang bersifat magnetik dapat
dikeluarkan dengan magnet raksasa, dan benda asing yang tidak
bersifat magnetik dapat dikeluarkan dengan vitrektomi.
C. Komplikasi
Adanya benda asing intraokuler dapat mengakibatkan
endoftalmitis, panoftalmitis, ablasi retina, perdarahn intraokuler
dan ptisis bulbi.
II. Trauma Fisika
1. Trauma Sinar Inframerah
Sinar inframerah dapat mengakibatkan kerusakan pada lensa,
iris dan kapsul disekitar lensa. Hal ini terjadi karena sinar yang
terkumpul dan ditanglap oleh mata selama satu menit tanpa henti akan
menagkibatkan pupil melebar dan terjadi kenaikan suhu lensa
sebanyak 9 derajat selsius, sehingga mengakibatkan katarak dan
eksfoliasi pada kapsul lensa. Sinar inframerah yang sering didapatkan
adalah dari sinar matahari dan dari tempat pekerjaan pemanggangan.
A. Gambaran klinis
Seseorang yang sering terpejan dengan sinar ini dapat
terkena keratitis superfisial, katarak kortikal anterior posterior dan
koagulasi pada koroid. Biasanya terjadi penurunan tajam
penglihatan, penglihatan kabur dan mata terasa panas.
B. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang telah
terjadi, kecuali mencegah sering terpapar oleh sinar infra merah ini.
Pemberian steroid sistemik dimaksudkan untuk mencegah
terbentuknya jaringn parut pada makula dan untuk mengurangi
gejala radang yang timbul.
2. Trauma Sinar Ultra Violet
Sinar ultra violet merupakan sinar gelombang pendek yang
tidak terlihat, mempunyai panjang gelombang antara 350 – 295 nM.
Sinar ultra violet banyak dipakai pada saat bekerja las dan menatap
sinar matahari. Sinar ultra violet akan segera merusak sel epitel kornea,
kerusakan iniakan segera baik kembali setelah beberapa waktu dan
tidak memberikan gangguan tajam penglihatan yang menetap.
Gambaran klinis
Biasanya pasien akan memberikan keluhan 4 – 6 jam post
trauma, pasien akan merasakn mata sangat sakit, terasa seperti ada
pasir, fotofobia, blefarospasme dan konjungtiva kemotik. Korne akan
menunjukan adanya infiltrat pada permukaanyayang kadang-kadang
disetai dengan kornea yang keruh. Pupil akan terlihat miosis.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah sikloplegia, antibiotika
lokal, analgetika dan mata ditutup selama 2 – 3 hari. Biasanya sembuh
setelah 48 jam.
3. Trauma Sinar Ionisasi dan Sinar X
Sinar Ionisasi dibedakan dalam bentuk:
- Sinar alfa yang dapat diabaikan
- Sinar beta yang dapat menembus 1 cm jaringan
- Sinar gamma
- Sinar X
Gambaran Klinis
Sinar ionisasi dan sinar X dapat mengakibatkan kerusakan pada
kornea yang dapat bersifat permanen. Katarak akibat pemecahan sel
epitel yang tidak normal dan rusaknya retina dengan gambarandilatasi
kapiler, perdarahan, mikroaneuris mata dan eksudat. Atrofi sel goblet
pada konjungtiva juga dapat terjadi dan mengganggu fungsi air mata.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika topikal, steroid
sistemik dan sikloplegik. Bila terjadi simblefaron pada konjungtiva
dilakukan tindakan pembedahan.
III. Trauma Kimiawi
Trauma Kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi di
laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan
pertanian dan peperangan yang memakai bahan kimia. Taruma kimia pada
mata memerlukan tindakan segera, irigasi pada daerah mata yang terkena
bahan kimia harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya penyulit
yang berat.Pembilasan dapat dilakukan dengan memakai garam fisiologik
atau air bersih lainya selama 15 – 30 menit
1. Trauma Asam
Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi
pengendapan ataupun penggumpalan bahan protein permukaan.
Biasanya akan terjadi kerusakan pada bagian superfisisal saja, tetapi
bahan asam kuat dapat bereaksi yang mengakibatkan trauma menjadi
lebih dalam.
Gambaran klinis
Pasien akan merasakan mata terasa pedih, seperti kering,
seperti ada pasir dan ketajaman mata biasanya menurun.
Penatalaksanaan
Pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena
secara perlahan-lahan dan selama mungkin dengan air bersih atau
garam fisiologik minimal selama 15 menit. Antibiotika topikal untuk
mencegah infeksi Sikloplegik bila terjadi ulkus kornea atau kerusakan
lebih dalam. EDTA bisa diberikan satu minggu post trauma.
Prognosis
Baik bila konsentrasi asam tidak nterlalu tinggi dan hanya
terjadi kerusakan superfisisal saja.
2. Trauma Basa
Trauma basa pada mata akan memberikan reaksi yang gawat
pada mata. Alkali dengan mudah dan cepat dapat menembus jaringan
kornea, bilik mata depan dan bagian retina. Hal ini terjadi akibat
terjadinya penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa
bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan disertai dangan
dehidrasi.
Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan
menjadi :
Derajat 1: heperimi konjungtiva diikuti dengan keratitis pungtata.
Derajat 2: hiperemi konjungtiva dengan disertai hilangnya epitel
kornea.
Derajat 3: hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya
epitel kornea.
Derajat 4: Konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50 %.
Menurut klasifikasi Hughes maka trauma mata diklasifikasikan
menjadi:
a. Ringan
- Terdapat erosi epitel dan kekeruhan ringan kornea
- Tidak terdapat iskemi dan nekrosis kornea atau konjungtiva
- Prognosis baik
b. Sedang
- Terdapat kekeruhan kornea sehingga sukar melihat iris dan pupil
secara detail
- Terdapat nekrosis dan iskemi ringan konjungtiva dan kornea
- Prognosis sedang
c. Berat
- terdapat kekeruhan kornea, sehingga pupil tidak dapat dilihat
- terdapat iskemia konjungtiva dan sklera, sehingga tampak pucat
- prognosis buruk
Gambaran klinis
Pasien akan merasakan mata terasa pedih, seperti kering,
seperti ada pasir dan ketajaman mata biasanya menurun. Pengujian
dengan kertas lakmus saat pertama kali datang adalah menunjukan
suasana alkalis.
Penatalaksanaan
Tindakan yang dilakukan adalah dengan irigasi dengan garam
fisiologik sekitar 60 menit segera setelah trauma. Penderita diberikan
sikloplegia, antibiotika, EDTA diberikan segera setelah trauma 1 tetes
tiap 5 menit selama 2 jam dengan maksud untuk mengikat sisa basa
dan untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ketujuh
post trauma. Diberikan antiiatik lokal untuk mencegah infeksi
Analgetik dan anestesik topikal dapat diberikan untuk mengurangi rasa
nyeri.
Komplikasi
Penyulit yang dapat timbul adalah simblefaron, kekeruhan
kornea, katarak disertai dengan terjadinya ftisis bola mata.
Pencegahan
Trauma mata dapat dicegah dengan menghindarkan terjadinya
trauma seperti:
- Diperlukan perlindungan pekerja untuk menghindarkan terjadnya
trauma tajam akabiat alat pekerjaannya
- Setiap pekerja yang bekerja di tempat bahan kimia sebaiknya
mengerti bahan kimai apa yang dipakainya, asam atau basa.
- Pada pekerja las sebaiknya melindungi matanya dari sinar dan
percikan las.
- Awasi anak yang sedang bermain yang mungkin berbahaya untuk
matanya.
- Pada olah ragawan seperti tinju ataupun bela diri lainya, harus
melindungi bagian matanya dan daerah sekitarnya dengan alat
pelindung.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada skenario,
kami menarik kesimpulan bahwa pasien dalam skenario ini mengalammi
tanda-tanda konjungtivitis bakterial, seperti mata merah, terasa gatal, berair,
kelopak mata bengkak dan lengket ketika bangun tidur di pagi hari. Pasien
tidak mengeluhkan pandangan kabur menunjukkan tidak ada kelainan pada
media refrakta maupun pada nervus optikus. Untuk menentukan diagnosis
pasti perlu dilakukan pemeriksaan biakan kuman dari sekret mata.
Penatalaksanaan secara umum dengan menggunakan antibiotika.
B. SARAN
1. Keaktifan setiap anggota kelompok dalam menyampaikan materi sudah
baikdan ini perlu dipertahankan agar diskusi bisa berjalan memenuhi
Learning objective yang ada
2. Mahasiswa perlu mendalami lagi jenis-jenis penyakit pada skenario ini.
DAFTAR PUSTAKA
Eroschenko, Victor P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional
Edisi 9. Jakarta: EGC
Ilyas, Sidharta. 2004. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesulapius
Fakultas Kedoketran Universitas Indonesia.
Tortora, Gerard J. Derrickson, Bryan. 2009. Principle of Anatomy dan Physiology
12th Edition. USA: Wiley & Sons Inc.
Riordan-Eva, Paul dan John P. Whitcher. 2012. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Jakarta: EGC.
Hall, Guyton. 2012. Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC