Download - Lapsus Struma
BAB I
ANAMNESIS
IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny.N
Usia : 32 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Bodean 03/09 Candigaron Sumowono kab. Semarang
Pekerjaan : Petani
Biaya pengobatan : Umum
No. RM : 073750-2015
Tanggal masuk RS : 17 Februari 2015
Pukul : 9.40 WIB
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada 17 Februari 2015.
Keluhan Utama : Benjolan dileher sebelah kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dari poli dengan keluhan benjolan dileher sebelah kanan muncul sejak 3
bulan yang lalu SMRS. Awalnya benjolan yang dirasakan tidak mengganggu
sehingga pasien tidak memeriksakan diri kedokter, hingga akhirnya benjolan yang
dirasakan membuat sakit saat menelan dan kian membesar. Benjolan berbentuk
lonjong, tidak disertai nyeri, hiperemis (-), konsistensi lunak, mudah digerakkan.
Perubahan suara menjadi serak (-),sesak nafas (-), demam (-), benjolan ditempat lain
(-), jantung berdebar-debar (-) tangan gemetar (-), tangan berkeringat (-), rasa penuh
ulu hati (-).
Pasien belum pernah diobati sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Penyakit yang sama : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
1
Riwayat alergi obat : Disangkal
Riwayat penyakit tiroid : Disangkal
Riwayat penyakit asma : Disangkal
Riwayat operasi : Disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit yang sama dalam keluarga : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat penyakit tiroid : Disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Biaya pengobatan pasien dengan umum.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 17 Februari 2015
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis GCS 15 (E4M5V6)
Vital sign
TD : 128/87 mmHg
Nadi : 88x/menit ( Reguler, isi dan tegangan kuat)
RR : 21x/menit
Suhu : 36,7C
Status Gizi
Kesan : Gizi Cukup
Status Generalis
Kulit : Warna kulit sawo matang.
Kepala : Kesan mesocephal.
Hidung : Nafas cuping hidung (-), konka hiperemis (-).
Mata : Conjungtiva anemis -/-, pupil isokor (3mm), Sklera Ikterik -/-
Telinga : Nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), serumen (-/-), MAE
hiperemis (-/-).
Mulut : Sianosis (-), karies gigi (-), stomatitis (-), lidah kotor (-), hiperemis (-),
uvula hiperemis (-).
Leher : Pembesaran kelenjar tiroid (+), pembesaran kelenjar getah bening (-).
2
Thorax :
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 2 cm medial LMCS
Perkusi :
batas kanan atas : ICS II linea parasternal dextra
batas kanan bawah : ICS IV linea Parasternal dextra
batas kiri atas : ICS II linea Parasternal sinistra
batas kiri bawah : ICS V, 2 cm ke arah LMCS
pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinsitra
KESAN : konfigurasi jantung Normal
Auskultasi :
Suara jantung murni: SI dan SII reguler.
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-) SIII (-), SIV (-)
Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, ikterik (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, pekak hepar (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ektremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
3
Paru Dextra Sinistra1. Inspeksi
2. Palpasi
3. Perkusi
4. Auskultasi
Simetris, statis, dinamis
Stem fremitus (-), Nyeri tekan (-) Sonor di seluruh lapang paru
SDP vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
Simetris, statis, dinamis
Stem fremitus (-), Nyeri tekan (-)
Sonor di seluruh lapang paru
SDP vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
Status Lokalis (Regio Colli Anterior Dextra)
o Inspeksi
Tampak massa dengan ukuran sebesar 6x5x3 cm di regio colli lobus
dextra, berbentuk lonjong, warnanya seperti kulit di sekitarnya, dan tidak
terdapat tanda-tanda radang.
o Palpasi
Teraba massa di colli lobus dextra, massa teraba tegas, konsistensi lunak,
uninodusa, tidak terasa nyeri tekan, ikut bergerak saat menelan, tidak
ditemukan pembesaran kelenjar getah bening disekitar tiroid, dan tidak
ada deviasi trakea.
o Auskultasi
Tidak terdengar bunyi bruit.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi
o Hb : 12,7 g/dl
o Lekosit : 7,5 ribu
o Eritrosit : 4,45 juta
o Hematokrit : 37,6%
o MCV : 80,5 mikro m3
o MCH : 28,5 pg
o MCHC : 33,8 g/dl
o RDW : 14,5%
o Trombosit : 302 ribu
o PDW : 13,8 %
o MPV : 7,8 mikro m3
o Limfosit : 2,3 103/mikro
o Monosit : 0,6 103/mikro
o Granulosit : 4,6 103/mikro (H)
o Limfosit% : 30,8%
o Monosit% : 8,2%
4
o Granulosit% : 61,0%
o PCT : 0,236%
o PT : 10,8 detik
o APTT : 30,3 detik
o Golongan darah : O
Kimia Klinik
o GDS : 62 mg/dl (L)
o SGOT : 18 U/L
o SGPT : 16 U/L
o Ureum : 32,0 mg/dl
o Kreatinin : 0,63 mg/dl
o T3 : 1,01 ng/ml
o T4 : 5,56 ug/dl
o TSH : 1,56 uIU/ml
Serologi
HbSAg : non reaktif
Diagnosis Banding
Struma nodusa non toksik
Struma nodusa toksik
Struma nodusa ganas
Diagnosis Kerja
Struma Nodusa Non Toksik
Penatalaksanaan
Operatif : Istmuslobektomi tiroid dextra
Medikamentosa : - Inf. RL 20 tpm
- Inj. Cefotaxim 3x1 gram
- Inj. Ketorolac 3x1 gram
- Inj. Ranitidin 3x1
- Inj. Asam Tranexamat 3x1
5
Prognosis
Vitam : ad bonam Fungsionam : ad bonam
Cosmeticam : ad bonam
Follow Up
Rabu, 18 Februari 2015
S : pusing, kemeng pada benjolan
O: KU: tampak baik, CM
TD : 110/70 mmHg RR : 20 x/m
N : 60 x/m T : 36,50 C
Status Lokalis
Regio Colli Anterior Dextra
Tampak benjolan berukuran sekitar 6x5x3cm. Benjolan berbentuk lonjong, tidak disertai
nyeri, hiperemis (-), konsistensi lunak, mudah digerakkan.
A: Struma Nodusa Non Toksik Dextra
P: Infus RL 20 tpm
Immos 1x1 tab
Inj. Cefotaxim 1 ampul
Konsul anastesi dan penyakit dalam
Kamis, 19 Februari 2015
S : Tidak ada keluhan, recana program hari jumat
O: KU: tampak baik, CM
TD: 103/74 mmHg RR : 21x/m
N: 69 x/m T : 36,50 C
Status Lokalis
Regio Colli Anterior Dextra
Tampak benjolan berukuran sekitar 6x5x3cm. Benjolan berbentuk lonjong, tidak disertai
nyeri, hiperemis (-), konsistensi kenyal, mudah digerakkan
Anastesi dan penyakit dalam sudah acc untuk dilakukan operasi
A: Struma Nodusa Non Toksik Dextra
P : Rencana operasi Jumat, 20 Februari 2015
6
Puasa mulai dari jam 24.00
Infus RL 20 tpm
Immos 1x1 tab
Inj. Cefotaxim 1 ampul
Jumat, 20 Februari 2015 (Pre Operasi)
S : pusing
O : KU: tampak baik, CM
TD : 110/70 mmHg RR : 20 x/m
N : 60 x/m T : 36,50 C
Status Lokalis
Regio Colli Anterior Dextra
Tampak benjolan berukuran sekitar 6x5x3cm. Benjolan berbentuk lonjong, tidak disertai
nyeri, hiperemis (-), konsistensi lunak, mudah digerakkan.
A : Struma Nodusa Non Toksik Dextra
P : Operasi Isthmolobektomi hari ini
Sabtu, 21 Februari 2015 (Post Operasi)
S : Nyeri pada bekas luka, nyeri jika dibuat menelan, mual (-), muntah (-), BAK (+), Flatus
(+), BAB (-)
O : KU: tampak baik, CM
TD: 108/67 mmHg RR : 20x/m
N : 84 x/m T : 36,50 C
Status Lokalis
Regio Colli Anterior Dextra
Tampak luka tertutup verban, darah (-), pus (-), nyeri tekan (+)
Keterbatasan gerak pada leher
Drain (+) darah minimal
A: Post Operasi H1 Isthmolobektomi pada Struma Nodusa Non Toksik Dextra
P: Infus RL 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x4 gr
Inj, Ketorolac 3x30 gr
Inj. Ranitidin 3x10 gr
Inj. Tranexamic acid 3x500g
7
Bila kesadran telah penuh minum dan makan
Minggu, 22 Februari 2015
S :Nyeri pada bekas luka berkurang , nyeri saat menelan (-), suara serak (-) dan kemeng pada
leher.
O: KU: tampak baik, CM
TD : 107/73 mmHg RR : 20x/m
N : 74 x/m T : 36,40 C
Status Lokalis
Regio Colli Anterior Dextra
Tampak luka tertutup verban, darah (-), pus (-), nyeri tekan (+)
Keterbatasan gerak pada leher
Drain (+) darah minimal
A: Post Operasi H2 Isthmolobektomi pada Struma Nodusa Non Toksik Dextra
P: terapi lanjut
Besok aff drain
Senin, 23 Februari 2015
S : Tidak ada keluhan .
O: KU: tampak baik, CM
TD : 96/65 mmHg RR : 20x/m
Nadi : 62 x/m T : 360 C
Status Lokalis
Regio Colli Anterior
Tampak luka tertutup verban, darah (-), pus (-), nyeri tekan (+)
A: Post Operasi H3 Isthmolobektomi pada Struma Nodusa Non Toksik Dextra
P: Boleh pulang
Kontrol poli jika obat habis
8
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
II.1. Kelenjar Tiroid
II.1.1 Embriologi
Glandula tiroidea pertama dikenal sebagai penebalan endoderm lantai faring dalam
awal embriosomit.(5 ) Endoderm ini menurun di dalam leher sampai setinggi cincin trakea
kedua dan ketiga yang kemudian membentuk dua lobus. Penurunan ini terjadi pada garis
tengah. Saluran pada struktur ini menetap dan menjadi duktus atau lobus piramidalis
kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke 12
masa kehidupan intra uterine.( 6 )
II.1.2. Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di leher, antara fasia koli media dan fasia prevertebralis
melekat pada trakea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran.
Keempat kelenjar pada tiroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar
tiroid. Arteri karotis komunis, a. jugularis interna dan n. vagus terletak bersama di dalam
sarung tertutup di laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum
masuk laring. Perdarahan kelenjar tiroid yang kaya berasal dari empat sumber yaitu
kedua a. karutis eksterna (a. tiroidea superior) dan kedua a. brakhialis (a. tiroidea
inferior). (7)
9
II.1.3. Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4), bentuk aktifnya
triyodotironin (T3). Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon
perangsang tiroid (TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis.(6)
II.2. Struma(2)
Struma ialah pembesaran dari kelenjar tiroid.
Biasanya dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.
Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan
mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena serta pembentukan
vena kolateral.
10
II.2.1 Klasifikasi Struma
Pada struma gondok endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi:
Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan
Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan.
Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal
Derajat III: terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:
Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.
Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila kepala
ditegakkan.(9)
Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon tiroksin, maka
bisa dibagi menjadi:
1. Hipertiroidi; sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada penderita
ini tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon tiroksin berlebihan.
2. Eutiroid; bila produksi hormon tiroksin normal.
3. Hipotiroidi; bila produksi hormon tiroksin kurang.
4. Struma nodosa non toksik; bila tanpa tanda-tanda hipertiroidi
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul dibedakan menjadi:
- nodul dingin (cold nodule)
- nodul hangat (warm nodule)
- nodul panas (hot nodule)
Berdasarkan konsistensinya dibagi menjadi:
(-) nodul lunak
(-) nodul kistik
11
(-) nodul keras
(-) nodul sangat keras3,6
Dari beberapa macam morfologi berdasarkan gambaran makroskopik dibedakan :
a. Bentuk kista : struma kistik
b. Bentuk noduler : struma nodosa
c. Bentuk difusi : struma difusa.
d. Bentuk vaskuler : struma vaskulosa.
II.3. Struma Nodosa Non Toksik
II.3.1. Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas
tanpa gejala-gejala hipertiroidi.
II.3.2. Klasifikasi dan Karakteristik
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, yaitu :
1. Berdasarkan jumlah nodul
Bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila
lebih dari satu disebut struma multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap iodium aktif, dikenal 3 bentuk nodul tiroid
yaitu: nodul dingin, nodul hangat dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya :
12
Nodul lunak, kistik, keras dan sangat keras.
II.3.3. Etiologi
Etiologi umumnya multifaktorial, terutama ditemukan di daerah pegunungan karena
defisiensi yodium.( 6 ) Namun demikian struma tampil dalam sekitar 10% dari semua
wanita dalam area geografi yang tidak kekurangan iodium.( 5 ) Kebanyakan struma
seluruh dunia akibat defiensi yodium, langsung atau akibat makan goitrogen dalam
hal diet aneh pada area dunia tertentu.(5)
II.3.4. Gejala Klinis
Pada umumnya pasien struma nodosa non toksik datang berobat karena keluhan
kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Biasanya penderita tidak mengalami
keluhan karena tidak ada hipo atau hipertiroidisme.(6) Sebagian kecil pasien,
khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu
penekanan pada esofagus atau trakea sehingga pasien merasa sakit untuk menelan
(disfagra) dan sesak nafas. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan
pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar.(6) Biasanya
tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.(3)
II.3.5 Pemeriksaan dan Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis/macam kelainan dari
struma nodosa non toksik tersebut. Perlu ditanyakan :
a. Umur, sex, asal
Penting sekali menanyakan asal penderita, apakah penderita tinggal di daerah
pegunungan atau dataran rendah, bertujuan apakah berasal dari daerah endemik
struma.
b. Pembengkakan : mulainya kapan (jangka waktu) dan kecepatan tumbuh.
c. Keluhan penekanan : adakah dysphagia, dyspnea dan suara serak.
d. Keluhan toksik seperti : tremor, banyak keringat, BB turun, nafsu makan,
palpitasi, nervous/gelisah tidak tenang.
e. Apakah ada keluarganya yang menderita penyakit yang sama dan meninggal.
2. Pemeriksaan Fisik
13
Inspeksi
Posisi penderita duduk dengan leher terbuka, sedikit hiperekstensi.
Pembengkakan :
Bentuk : diffus atau local
Ukuran : besar dan kecil
Permukaan : halus atau modular
Keadaan : kulit dan tepi
Gerakan : pada waktu menelan.
Adanya pembesaran tiroid dapat dipastikan dengan menelan ludah dimana
kelenjar tiroid akan mengikuti gerakan naik turunnya trakea untuk menutup
glotis. Karena tiroid dihubungkan oleh ligamentum cartilago dengan thyroid yaitu
ligamentum Berry.
Palpasi
Diperiksa dari belakang dengan kepala diflexikan diraba perluasan dan tepinya.
Ditentukan lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau
keduanya)
Ditentukan ukuran (diameter terbesar dari benjolan)
Konsistensi (lunak, kistik, keras atau sangat keras)
Mobilitas
- Infiltrasi terhadap kulit/jaringan sekitar.
- Pembesaran kelenjar getah bening disekitar tiroid : ada atau tidak.
- Nyeri pada penekanan atau tidak.
Perkusi
Jarang dilakukan
14
Hanya untuk mengetahui apakah pembesaran sudah sampai ke retrosternal.
Auskultasi
Jarang dilakukan
Dilakukan hanya jika ada pulsasi pada pembengkakan.
3. Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan Sidik Tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk, lokasi, dan yang
utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal
peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif
yang ditangkap oleh tiroid.
Dari hasil sidik tiroid dapat dibedakan 3 bentuk yaitu :
1. Nodul dingin bila penangkapan iodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya.
Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah.
2. Nodul panas bila penangkapan iodium lebih banyak dari sekitarnya. Keadaan ini
memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
3. Nodul hangat bila penangkapan iodium banyak dari sekitarnya. Ini berarti fungsi
nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
Dari hasil pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat dibedakan apakah yang kita hadapi itu
suatu keganasan atau sesuatu yang jinak.
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan antara yang padat dan cair. Gambaran
USG dapat dibedakan atas dasar derajat ekonya yaitu hipoekoik, isoekoik atau
campuran. Dibandingkan sidik tiroid dengan radioisotop, USG lebih menguntungkan
karena dapat dilakukan tanpa persiapan dan kapan saja, pemeriksaan lebih aman dan
lebih dapat dibedakan antara yang jinak dan yang ganas.
Biopsi Aspirasi Jarum Halus
15
Pada masa sekarang dilakukan dengan jarum halus biasa yaitu Biopsi Aspirasi Jarum
Italis (Bajah) atau Fine Needle Aspiration (FNA) mempergunakan jarum suntuk no.
22-27. Cara ini mudah, aman, dapat dilakukan dengan berobat jalan, biopsi jarum
halus tidak nyeri, tidak menyebabkan dan hampir tidak ada bahaya penyebaran sel-sel
ganas. Ada beberapa kerugian pada biopsi. Jarum ini yaitu dapat memberikan hasil
negatif palsu atau positif palsu. Negatif palsu biasanya karena lokasi biopsi yang
kurang tepat, tehnik biopsi yang kurang benar atau preparat yang kurang baik
dibuatnya. Hasil positif palsu dapat terjadi karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
Termografi
Adalah suatu metode pemeriksaan berdasarkan mengukuran suhu kulit pada suatu
tempat. Alatnya adalah Dynamic Telethermography Hasilnya disebut panas apabila
perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9 C dan dingin apabila < 0,9 C. Pada
penelitian Alves dkk didapatkan bahwa yang ganas semua hasilnya ganas.
Dibandingkan dengan cara pemeriksaan yang lain ternyata termografi ini adalah cara
yang paling sensitif dan spesifik.
Petanda Tumor (tumor marker)
Petanda tumor yang telah diuji hanya peninggian tiroglobulin (Tg) serum yang
mempunyai nilai yang bermakna. Kadar Tg normal ialah antara 1,5-30 ng/ml, pada
kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml dan pada keganasan rata-rata : 424 ng/ml. (3)
II.3.6 Penatalaksanaan
16
Penatalaksanaan Bedah
Indikasi untuk eksplorasi bedah glandula tiroidea meliputi :
1. Terapi :
pengurangan masa fungsional dan pengurangan massa yang menekan.
2. Ekstirpasi
penyakit keganasan.
3. Paliasi
eksisi massa tumor yang tidak dapat disembuhkan, yang menimbulkan gejala
penekanan mengganggu.
4. Reseksi Subtotal
Reseksi subtotal akan dilakukan identik untuk lobus kanan dan kiri, dengan
mobilitas sama pada tiap sisi. Reseksi subtotal dilakukan dalam kasus struma
multinodular toksik, struma multinodular non toksik.
Prinsip reseksi untuk mengeksisi sebagian besar tiap lobus, yang memotong
pembuluh darah tiroidea superior, vena + hyroidea media dan vena tiroidea
inferior utuh. Bagian kelenjar yang dieksisi merupakan sisi anterolateral tiap
lobus, isthmus dan lobus piramidalis. Ligasi pembuluh darah tiroidea superior
harus hati-hati untuk tidak mencederai ramus externus nervus laryngeus superior
dapat menimbulkan perubahan suara yang bermakna.
Sisa thyroidea dari lobus kiri harus sekitar 3 sampai 4 gram. Ini dapat dinilai
dengan menilai berbagai ukuran thyroidea pada timbangan. Lobus dapat dieksisi
lengkap dengan memotong isthmus atau ia dapat dijaga kontinyu dengan isthmus
yang dikupas bebas dari tracea di bawahnya.
Lobektomi Total
Dilakukan untuk tumor ganas glandula tiroidea dan bila penyakit unilobaris yang
mendasari tidak pasti. Bila dilakukan pengupasan suatu lobus, untuk tumor ganas
maka pembuluh darah tiroidea superior, vena tiroidea media dan vena tiroidea
inferior perlu dipotong. Glandula paratiroidea dan nervus laryngeus diidentifikasi
dan dilindungi. Lobus tiroidea diretraksi ke medial dengan dua glandula
paratiroidea terlihat dekat cabang terminal fasia (ligamentum Berry). Nervus ini
diidentifikasi sebagai struktur putih tipis yang berjalan di bawah ligamentum dan
17
biasanya di bawah cabang terminal arteria tiroidea inferior. Pada sejumlah tumor
ganas seperti varian folikularis dan meduler direkomendasikan lobektomi total
bilateral dengan pengupasan kelenjar limfe sentral.
Pengobatan untuk nodul tiroid yang bukan tiroiditis atau keganasan :
Apabila didapatkan nodul hangat, dapat diberikan preparat l-thyroxin selama
4-5 bulan dan kemudian sidik tiroid dapat diulang. Apabila nodul mengecil maka
terapi dapat diteruskan namun apabila tidak mengecil dilakukan biopsi aspirasi
atau operasi. Nodul panas dengan diameter < 2,5 cm observasi saja, tetapi kalau >
2,5 mm terapinya ialah operatif karena dikhawatirkan mudah timbul
hipertiroidisme.
II.3.7 Komplikasi
Komplikasi tiroidektomi
1. Perdarahan
2. Masalah terbukanya vena besar dan menyebabkan embolisme udara.
3. Trauma pada nervus laryngeus recurrens
4. Memaksa sekresi glandula ini dalam jumlah abnormal ke dalam sirkulasi
dengan tekanan
5. Sepsis yang meluas ke mediastinum
6. Hipotiroidisme pasca bedah akibat terangkatnya kelenjar para tiroid
7. Trakeumalasia (melunaknya trakea)
Trakea mempunyai rangka tulang rawan. Bila tiroid demikian besar dan
menekan trakea, tulang-tulang rawan akan melunak dan tiroid tersebut menjadi
kerangka bagian trakea
BAB III
ANALISIS KASUS
18
III.1 S (Subjective)
Pasien bernama Ny. N (32 tahun), pasien dari poli dengan keluhan benjolan dileher
sebelah kanan muncul sejak 3 bulan yang lalu SMRS. Awalnya benjolan yang
dirasakan tidak mengganggu sehingga pasien tidak memeriksakan diri kedokter,
hingga akhirnya benjolan yang dirasakan membuat sakit saat menelan dan kian
membesar. Benjolan berbentuk lonjong, tidak disertai nyeri, hiperemis (-), konsistensi
lunak, mudah digerakkan. Perubahan suara menjadi serak (-),sesak nafas (-), demam
(-), benjolan ditempat lain (-), jantung berdebar-debar (-) tangan gemetar (-), tangan
berkeringat (-), rasa penuh ulu hati (-) mual dan muntah (-), BAB dan BAK normal.
Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di daerah pegunungan
karena defisiensi iodium. Pada pasien ini, tidak mengalami keluhan kemungkinan
pasien mengalami hipo- atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai membesar pada
usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena
pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali
benjolan di leher dan tidak memiliki keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya
bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke
arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan
pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai
akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa
berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis
sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.
III.2. O (Objective)
Berdasarkan hasil pemeriksaan status lokalis pasien pada regio colli anterior dextra:
o Inspeksi
Tampak massa dengan ukuran sebesar 6x5x3 cm di regio colli lobus dextra,
berbentuk lonjong, warnanya seperti kulit di sekitarnya, dan tidak terdapat
tanda-tanda radang.
o Palpasi
Teraba massa di colli lobus dextra, massa teraba tegas, konsistensi lunak,
uninodusa, tidak terasa nyeri tekan, ikut bergerak saat menelan, tidak
19
ditemukan pembesaran kelenjar getah bening disekitar tiroid, dan tidak ada
deviasi trakea.
Konsistensi lunak dan mudah digerakkan memperlemah kemungkinan nodul
ganas, dan biasanya lebih sering terjadi pada keadaan jinak
Tidak ditemukannya pembesaran kelenjar getah bening memperlemah
dugaan metastasis nodul ganas
Pulsasi a. karotis teraba dari arah tepi belakang m.sternokleido mastoidea
dapat saja terjadi karena desakan pembesaran nodul (Berry’s sign)
o Auskultasi
Tidak terdengar bunyi bruit.
III.3. A (Assessment)
Struma Nodusa Non Toksik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik
Pada diagnosa banding lain dapat dilemahkan karena :
` 1. Struma nodusa toksik
Pada anamnesis tidak ditemukan keluhan yang mengarah kearah hipertiroid
maupun hipotiroid
2. Struma nodusa ganas
Secara klinis, nodul tiroid dicurigai ganas apabila: usia penderita di bawah 20
tahun atau di atas 50 tahun, ada riwayat radiasi leher pada masa anak-anak,
disfagia, sesak nafas, dan perubahan suara, nodul soliter, pertumbuhan cepat dan
konsistensi keras, ada pembesaran kelenjar getah bening leher (jugular, servikal,
atau submandibular), ada tanda-tanda metastasis jauh.
III.4 P (Planning)
Infuse RL 20 tpm
- Ringer Laktat merupakan salah satu cairan kristaloid yang bersifat isotonic yaitu
cairan yang osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum tubuh.
Komposisi RL terdiri dari Na+ (130 mEq/L), Cl- (190 mEq/L), Ca2+ (3 mEq/L),
dan laktat (28 mEq/L), osmolaritasnya sebesar 273 mosm/L. Sediannyaadalah
500 ml dan 1000ml.
- Pemberian infuse RL pada pasien hernia sebagai maintenance cairan tubuh.
20
Injeksi Cefotaxime 1 gr
- FD : Cefotaxime adalah antibitic golongan sefalosporin generasi ketiga yang
mempunyai efek bakterisidal dengan cara menghambat sintesis mukopeptida
dinding sel bakteri. Cefotaxime merupakan pilihan lini pertama terhadap bakteri
yang resisten terhadap penicilin karena cefotaxime stabil terhadap hidrolisis beta-
laktamase.
- Cefotaxime merupakan antibiotic spectrum luas.
- A : absorpsi di saluran cerna kecil, sehingga pemberiannya secara IV atau IM
- E : ginjal, air susu ibu (hati-hati penggunaan ibu menyusui)
- Dosis 300 mgkg/hari, dibagi dlam dosis dibagi setiap 8-12 jam pemberian melalui
injeksi IV, IM atau infuse. Dosis maksimum 12gr/hari. Penggunaan 5-7 hari.
- Indikasi : untuk mengobati infeksi bakteri atau sebagai profilaksis tindakan
pemedahan.
Injeksi Ketorolac 3x1
- FD : suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obat anti-inflamasi
nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-
inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan
sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap
reseptor opiat.
- FK : diserap cepat dan lengkap setelah pemberian IM dengan konsentrasi
puncak dalam plasma 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30
mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada
orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada
konsentrasi yang beragam. Kadar plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6
jam dalam sehari. Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume
distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan
metabolit para-hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya
(rata-rata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral
tidak mengubah hemodinamik pasien.
- Indikasi :
Nyeri akut sedang sampai berat
- Kontra Indikasi :
21
hipersesitivitas, alergi OAINS, gangguan ginjal, asma, selama masa kehamilan,
persalinan dan laktasi.
- Dosis :
10–30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif
terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa dan
60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan pasien yang berat
badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak boleh lebih dari 2 hari. Pada
seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat mungkin. Untuk
pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total kombinasi tidak boleh
lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia, gangguan ginjal dan pasien
yang berat badannya kurang dari 50 kg).
- Efek samping :
Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea.
Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat.
Injeksi Ranitidin 3x1
- FD : Ranitidine adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat
kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam
lambung.
- FK : Pada pemberian i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan untuk
menghambat 50% perangsangan sekresi asam lambung adalah 36–94 mg/mL.
Kadar tersebut bertahan selama 6–8 jam. Ranitidine diabsorpsi 50% setelah
pemberian oral. Konsentrasi puncak plasma dicapai 2–3 jam setelah pemberian
dosis 150 mg. Absorpsi tidak dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan
antasida. Waktu paruh 2 ½–3 jam pada pemberian oral, diekskresi melalui urin.
- Indikasi :.
Pengobatan jangka pendek tukak usus 12 jari aktif, tukak lambung aktif,
mengurangi gejala refluks esofagitis.
Terapi pemeliharaan setelah penyembuhan tukak usus 12 jari, tukak lambung.
Pengobatan keadaan hipersekresi patologis (misal : sindroma Zollinger Ellison
dan mastositosis sistemik).
untuk pasien rawat inap di rumah sakit dengan keadaan hipersekresi patologis
atau ulkus 12 jari yang sulit diatasi atau sebagai pengobatan alternatif jangka
pendek pemberian oral pada pasien yang tidak bisa diberi Ranitidine oral.
22
- Kontra Indikasi :
Penderita yang hipersensitif terhadap Ranitidine.
- Dosis :.Intermittent bolus : 50 mg (2 mL) tiap 6 – 8 jam.
- Efek Samping :.
Sakit kepala; konstipasi, diare, mual, muntah, nyeri perut, mialgia. Lain-lain,
kasus hipersensitivitas yang jarang (contoh : bronkospasme, demam, eosinofilia),
anafilaksis, edema angioneurotik, sedikit peningkatan kadar dalam kreatinin
serum.
Injeksi Asam Tranexamat 3x1
- FD : menghambat aktivitas dari aktivator plasminogen dan plasmin, mencegah
degradasi fibrin, pemecahan trombosit, peningkatan kerapuhan vaskular dan
pemecahan faktor koagulasi. Efek ini terlihat secara klinis dengan berkurangnya
jumlah perdarahan, berkurangnya waktu perdarahan dan lama perdarahan.,
menghambat produksi Kinin dan senyawa peptida aktif lainnya yang berperan
dalam proses inflamasi dan reaksi-reaksi alergi.
- Indikasi :
Untuk fibrinolisis lokal seperti : epistaksis, prostatektomi, konisasi serviks.
Edema angioneurotik herediter.
Perdarahan abnormal sesudah operasi.
Perdarahan sesudah operasi gigi pada penderita hemofilia.
- Kontra Indikasi :
Penderita subarachnoid hemorrhage dan penderita dengan riwayat
tromboembolik.
Penderita dengan kelainan pada penglihatan warna.
Penderita yang hipersensitif terhadap Asam Traneksamat.
- Dosis :.
Oral : 1-1,5 gram 2-3 x sehari. Parenteral : dianjurkan 500-1000 mg (iv) dengan
injeksi lambat (1ml/menit) 3 x sehari. Untuk pengobatan lebih dari 3 hari dapat
dipertimbangkan pemberian secara oral.
- Efek Samping :
Mual, muntah-muntah, anorexia, eksantema dan sakit kepala dapat timbul pada
pemberian secara oral. Gejala-gejala ini menghilang dengan pengurangan dosis
atau penghentian pengobatannya.
23
Operatif
Pasien dikonsulkan ke dokter spesialis bedah untuk dilakukan tindakan operatif
Dilakukan ismolobektomi tiroid sinistra pada penderita ini, di mana dilakukan
pengangkatan satu sisi lobus tiroid.
Pasca operasi penderita diobservasi tanda-tanda vitalnya serta produksi drain. Bila
penderita sudah sadar betul boleh minum sedikit-sedikit, bila kemudian tidak ada
gangguan boleh minum bebas. Bila setelah 8 jam post operasi tadak ada gangguan,
maka penderita bisa makan dan minum bebas. Drain dilepas setelah 24 jam post
operasi dengan produksi minimai <5 cc/24 jam. Rawat luka pada hari ke-2,
evaluasi luka operasi apakah ada tanda-tanda infeksi dan hematom.
Penderita bisa pulang sehari setelah lepas drain kemudian dianjurkan untuk kontrol
di poli Bedah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tarigan, S., dan Oppusunggu D.P. : Pendekatan Diagnosis Kelenjar Tiroid dengan Struma
pada Anak, Majalah Medika, No 1 tahun 15. Januari, 2001, hal : 59-60.
2. Anonim, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Penerbit Aksara Medisina, Jakarta 2003, hal 72-
78.
24
3. Sri Hartini, KS, Struma Nodosa Non Toksik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
I, Penerbit FKUI, Jakarta 1996, hal 757-761.
4. Pisi Lukitto, Frekuensi Tumor Ganas Tiroid pada Kasus Struma Nodosa yang Dirawat di
Bagian Bedah RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2005, dalam MKB Volume 29
No 4, 2007. Hal 265-266.
5. Sabiston, David. C. Jr, MD, Buku Ajar Bedah Sabiston, Alih Bahasa Petrus Andrianto,
Timan IS, Editor Jonatan Oswari, Penerbit EGC, Jakarta, 2005, hal 415-427.
6. Sjamsuhidayat, R, Buku Ajar Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2008,
hal 926-935.
7. Kaplan, Edwin. L, Thyroid and Parathyroid, in Principles of Surgery, New York, 2008,
page : 1611-1621.
8. Tim Bedah Unair, Struma Nodosa Non Toksika, lab/UPF Bedah FK-UNAIR, Surabaya,
2008, hal 43-51.
25